Tesis Pembuangan Bayi Oleh Orang Tua Kandung1
-
Upload
rudi-penalaran-unm -
Category
Documents
-
view
41 -
download
5
Transcript of Tesis Pembuangan Bayi Oleh Orang Tua Kandung1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Problem yang dialami manusia silih berganti dan tidak mengenal titik nadir,
manusia dililit oleh masalah yang dilakukannya sendiri, problem ini
menjadikannya sebagai makhluk yang kehilangan arah dan tujuan. Manusia
kadang gagal mencegah dirinya dari kecenderungan berbuat diviatif
(menyimpang) dan jahat karena kepentingan ekonomi, tuntutan biologis, status
dan harga dirinya. Padahal kejahatan yang diperbuat merupakan bentuk
penyimpangan terhadap norma – norma dan nilai – nilai kemanusiaan.
Persoalan kejahatan dengan modus kejahatan menjadi masalah yang sering
dihadapi oleh bangsa dan negara di muka bumi ini. Dalam wilayah sosial, masalah
kekerasan yang dikaitkan dengan kasus - kasus kriminalitas cenderung semakin
keras dan brutal. Hal ini mengisyaratkan bahwa kejahatan dengan modus
kekerasan tetap mengalami pasang surut. Problem kriminalitas yang menakutkan
bagi masyarakat yang kemunculannya biasanya tidak dapat diduga atau tiba – tiba
saja terjadi disuatu lingkungan dan komunitas yang melahirkan kejahatan karena
kejahatan tumbuh, berkembang dan sejajar dengan perkembangan masyarakat itu
sendiri.
1
Di antara anggota masyarakat yang sangat rentang menjadi korban
kejahatan adalah anak-anak, bahkan tidak jarang menimpa bayi yang baru lahir.
Mereka menjadi objek pelecehan dan perampasan hak, karena mereka berada
dalam posisi ketidak berdayaan untuk menghadapi individu yang lebih kuat dan
berkuasa dari mereka.
Realitas keadaan anak-anak di muka bumi ini masih belum
menggembirakan, terutama di negara – negara yang sedang berkembang. Nasib
mereka belum seindah ungkapan verbal yang sering memposisikan anak bernilai
penting dan sebagai penerus masa depan suatu bangsa, serta simbolik lainnya
terhadap anak tersebut. Anak di negara berkembang sering kali di eksploitasi dan
terdiskriminasi dalam bidang ekonomi khususnya. Sering kali anak dipekerjakan
dalam lingkungan – lingkungan industri dengan tidak diberikan haknya dengan
baik sebagai mana mestinya, bahkan tidak sedikit dari mereka yang dieksploitasi
habis – habisan oleh kaum industrialis dengan jumlah waktu kerja yang sama
dengan waktu kerja orang dewasa bahkan tidak jarang juga melebihi waktu kerja
orang dewasa sedangkan upah yang mereka terima jauh dibawah standar upah
pekerja biasa. Kasus lain ditemukan bahwa tidak jarang anak dijadikan alat
pencari nafkah oleh orang tuanya atau suatu kelompok tertentu dengan
menjadikan mereka sebagai pengemis. Padahal secara jelas dicantumkan dalam
Konvensi Hak-Hak Anak yang disahkan oleh Perserikatan Bangsa – Bangsa pada
tanggal 20 November 1989. sedangkan dalam mukaddimah deklarasi Perserikatan
Bangsa – Bangsa juga tersirat bahwa ummat manusia berkewajiban memberikan
2
yang terbaik bagi anaknya. Semua pihak menyetujui peran anak ( rule of child
) merupakan harapan masa depan.
Sama halnya di Indonesia sebagai negara berkembang yang juga tidak
pernah lepas dari permasalahan sosial khususnya tentang masalah perlindungan
anak. Di antaranya yang sedang marak saat ini adalah tentang kasus pembuangan
anak. Hal inilah yang akan dikaji secara khusus oleh penulis dalam tesis ini.
Pemerintah Indonesia sendiri sebenarnya berharap dapat memberikan hak – hak
bagi anak sebagaimana mestinya. Perhatian terhadap anak sebenarnya sudah lama
ada sejalan dengan peradaban manusia itu sendiri yang dari hari ke hari semakin
berkembang
Dalam rangkaian perundang – undangan yang pernah dan sedang berlaku,
perhatian terhadap anak sudah dirumuskan sejak tahun 1925, yang ditandai
dengan lahirnya Stb. 1925 No. 647 Junto Ordonansi 1949 No. 9 yang mengatur
pembatasan kerja anak dan wanita. Kemudian Tahun 1926 lahir pula Stb. 1926
No. 87 yang mengatur pembatasan anak dan orang muda bekerja diatas kapal.
Selanjutnya pada tanggal 8 Maret 1942 lahirlah Kitab Undang – Undang Hukum
Pidana ( KUHP ), yang disahkan mulai berlaku pada tanggal 26 Februari 1946.
pada tahun 1948 lahir Undang –Undang Pokok Perburuhan ( Undang – Undang
No. 12 tahun 1948 ) yang melarang anak melakukan pekerjaan. Pada tanggal 23
Juli 1979 lahir pula Undang – Undang No. 4 tahun 1979 Tentang Kesejahteraan
Anak dengan Peraturan Pelaksanaan PP No.2 Tahun 1988 tentang Usaha
Kesejahteraan Anak (29 Februari 1988 ), kemudian pada tanggal 22 oktober
diundangkan Undang – Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
3
Undang – Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
diterbitkan sebagai pijakan untuk memenuhi Hak dan Kewajiban Anak secara
luas. Dalam Konvensi Hak Anak dan dalam pasal (2) Undang – Undang No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberi perhatian kepada anak secara
khusus yang dicerminkan dengan prinsip – prinsip :
1. Tanpa diskriminasi (non discrimination )
2. Kepentingan terbaik bagi anak (the interest of the child )
3. Prinsip hak – hak anak untuk hidup, bertahan hidup dan
pengembangan (the right to life, survival and development)
4. Prinsip menghormati pandangan anak ( respect to the views of the
child)
Kepentingan terbaik bagi anak menjadi prinsip tatkala sejumlah kepentingan
lain melingkupi kepentingan anak. Sehingga, dalam hal ini kepentingan terbaik
harus diutamakan dari kepentingan lainnya. Kepentingan terbaik bagi anak bukan
dipahami sebagai pemberian kebebasan kepada anak untuk menentukan pendapat
dan pandangannya sendiri secara liberal. Peran orang dewasa justru untuk
menghindarkan anak memilih suatu keadaan yang justru tidak adil dan tidak
eksploratif walaupun hal itu tidak lagi dirasakan oleh seorang anak. Pelaksanaan
Undang – Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak belum
menunjukkan hasil yang signifikan, kenyataannya anak masih sering
tereksploitasi dan hak – haknya masih sering dirampas oleh orang dewasa.
Nampaknya Negara belum mampu untuk konsisten menegakkan hak – hak anak
walaupun relative perangkat hukumnya telah tersedia. ironis memang hukum
4
sebagai regulasi mengenai perlindungan anak hanya menjadi hiasan bibir belaka
dan hampir tidak bermakna lagi.
Tindak kekerasan yang dialami oleh anak, jarang terekspos sebab masalah
ini sering dianggap sebagai masalah interen baik keluarga maupun individu.
Tindak kekerasan terhadap anak baru menjadi perhatian public ketika jumlah anak
yang menjadi korban kekerasan semakin bertambah.Hal ini menjadi tantangan
tersendiri bagi pihak kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya
kasus kekerasan terhadap anak khususnya kasus tindak pidana pembuangan bayi.
Usia anak yang menjadi korban kekerasan tak hanya menimpa anak di atas
usia lima tahun tapi juga menimpa anak yang baru lahir, anak tersebut biasanya
dibuang di selokan, di tempat sampah, di sungai bahkan sering kali diletakkan
begitu saja di depan sebuah toko atau bahkan dirumah warga atau dengan kata lain
berusaha disembunyikan dengan paksa agar aib orang tuanya, khususnya orang
tua kandung tidak sampai ke permukaan. Seperti kasus yang terjadi di daerah
Pannakkukang tepatnya hari kamis (15/4) sekitar pukul 19 :15 Wita, seorang anak
perempuan yang baru berusia seminggu ditinggalkan oleh ibunya di sebuah
bengkel trali yang terletak di jalan Abdullah Dg sirua ( Sumber: Data Lembaga
Perlindungan Anak sulawesi selatan ( Tribun Timur, 16 April 2011) ).
Dari latar belakang masalah tersebut di atas, penulis memutuskan untuk
mengangkatnya ke dalam tesis dengan judul “Tinjauan Kriminologis Terhadap
Tindak pidana pembuangan bayi yang dilakukan oleh orang tua kandung”.
5
B. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah tersebut, maka rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apakah yang mendorong terjadinya pembuangan bayi yang
dilakukan oleh orang tua kandung ?
2. Upaya apakah yang harus dilakukan untuk menanggulangi tindak pidana
pembuangan bayi yang dilakukan oleh orang tua kandung ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas maka penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui :
1. Faktor - faktor penyebab terjadinya tindak pidana pembuangan bayi yang
dilakukan oleh orang tua kandung.
2. Upaya - upaya yang ditempuh untuk menangani kasus tindak pidana
pembuangan bayi yang dilakukan oleh orang tua kandung.
D. Manfaat Penelitian
Apabila penelitian ini dilakukan dan mencapai tujuan seperti yang telah
dirumuskan, maka hasilnya diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara
teoritis maupun manfaat praktis yang meliputi :
6
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan dan
pengetahuan baik penulis sendiri, masyarakat secara luas dan teristimewa
bagi mahasiswa yang sedang menempuh studi dalam memahami dan
mengkaji ilmu - ilmu hukum sebagai referensi, sekaligus diharapkan
dapat memotivasi peneliti lain untuk melakukan penelitian lanjutan
kaitannya dengan kasus-kasus yang menyangkut tindak pidana terhadap
anak.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak
kepolisian dan pemerintah (khususnya pemerintah Kota Makassar) untuk
mencegah dan menanggulangi kasus pembuangan anak yang dilakukan
oleh orang tua.
BAB II
7
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hakikat Kriminologi
1. Pengertian Kriminologi
Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang
kejahatan. Istilah kriminologi pertama kali dipergunakan oleh seorang antropolog
Perancis, Paul Topinard (1830 – 1911 ). Secara harfiah kriminologi berasal dari
kata “crime”yang berarti kejahatan atau penjahat dan “logos” yang berarti ilmu
pengetahuan , jadi kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan atau penjahat.
Wolf Gang Savitz dan Johnston (B. Simandjuntak,1981 :5) dalam the
sociology of crime an delinquency menyatakan bahwa :
“ kriminologi adalah kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk meperoleh pengetahuan dan pengertian tentang gejala kejahatan dengan jalan mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan – keterangan, keseragaman, pola – pola dan faktor kausal yang berhubungan dengan kejahatan, pelaku kejahatan serta reaksi masyarakat terhadap keduanya”.
W.A.Bonger (Topo Santoso-Eva Achjani Zulfa, 2001:7) mendefenisikan
kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki kejahatan
seluas – luasnya, lebih lanjut Bonger membagi kriminologi menjadi kriminologi
murni yang mencakup :
8
a). Antropologi kriminil, ialah ilmu pengetahuan tentng manusia yang jahat.b). Social kriminil, ialah ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai suatu
gejala masyarakat.c). Psikologi kriminal, ialah ilmu tentang kejahatan dipandang dari sudut
ilmu jiwa.d). Psikopatologi dan neuropatologi kriminologi, ialah ilmu pengetahuan
tentang penjahat dan sakit jiwa atau urat syarafnya.e). Penologi, ialah ilmu pengetahuan tentang tumbuh dan berkembangnya
hukuman.
Disamping itu pula terdapat kriminologi terapan yang mencakup :
1) Higine criminal, ialah usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan
2) Politik kriminil, ialah usaha penanggulangan kejahatan dimana suatu krjahatan telah terjadi, menyangkut sebab – sebab seseorang melakukan kejahatan.
3) Kriminalistik ( Police Scientific ) merupakan ilmu tentang pelaksanaan penyidikan, tehnik kejahatan dan pengusutan kejahatan.
Disisi lain Vrij (B.Simandjuntak, 1981:5) dalam karyanya Enige Kanten van
Het Object der Criminologie mengemukakan bahwa:
“ Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan kejahatan
baik sebagai gejala maupun sebagai faktor sebab akibat dari kejahatan itu”.
Michael dan Adler (Topo Santoso-Eva Achjani, 2001:12) juga berpendapat
bahwa :
“kriminologi adalah keseluruhan keterangan mengenai perbuatan dan sifat dari para penjahat, lingkungan mereka dan cara mereka secara resmi diperlakukan oleh lembaga – lembaga penertib masyarakat dan oleh para anggotanya”.
Dari sekian banyak defenisi tentang kriminologi yang telah dikemukakan
oleh beberapa pakar diatas maka dapat disimpulkan bahwa kriminologi ditujukan
untuk menganalisa sebab – sebab kejahatan tapi tidak terbatas pada bidang itu
9
saja, kriminologi juga meliputi penology dan politik criminal yaitu ilmu
pengetahuan terhadap pelaku.
Menurut E.H.Sutherland ( Topo Santoso – Eva Achjani, 2001:12)
menyatakan bahwa kriminologi adalah keseluruhan ilmu pengetahuan yang
bertalian perbuatan jahat sebagai gejala sosial. Selain itu, beliau juga membagi
kriminologi ke dalam tiga bagian utama yaitu :
1. Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum memandang bahwa kejahatan adalah perbuatan yang
oleh hukum dilarang dan diancam dengan suatu sanksi, jadi yang
menentukan bahwa suatu perbuatan merupakan kejahatan adalah
hukum.
2. Etiologi kejahatan
Etiologi kejahatan merupakan cabang ilmu kriminologi yang paling
utama dalam menentukan sebuah tindak kejahatan.
3. Penologi
Penologi pada dasarnya merupakan ilmu tentang hukuman, akan tetapi
Sutherland memasukkan hal – hal yang berhubungan dengan usaha
pengendalian kejahatan baik represif maupun preventif.
Lain halnya dengan Paul Mudigdo Mulyono (Topo Santoso – Eva Achjani,
2001:11 ) yang tidak sependapat dengan defenisi yang dikemukakan oleh
Sutherland.menurutnya devinisi itu seakan – akan tidak memberikan gambaran
10
bahwa pelaku kejahatan itu pun mempunyai andil atas terjadinya kejahatan bukan
semata – mata perbuatan yang di tentang oleh masyarakat akan tetapi adanya
dorongan dari sisi si pelaku untuk melakukan perbuatan yang ditentang oleh
masyarakat tersebut, oleh karenanya Paul Modigdo mulyono memberikan defenisi
kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai
masalah manusia.
2. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana merupakan terjemahan dari kata “delictum” dan “delicta”
(bahasa Latin) dan dalam KUHP dikenal dengan istilah “straf baarfeit” yang
merupakan bahasa Belanda. Poerwodarmito (1996:229) menyatakan bahwa tindak
pidana diartikan sebagai kejahatan, pelanggaran, dosa, dan kesalahan. Kemudian
oleh beberapa sarjana hukum, perkataan strafbaarfeit diterjemahkan secara
berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing, seperti: peristiwa
pidana, perbuatan pidana, tindak pidana, perbuatan yang dapat dihukum, dan ada
pula yang menggunakan istilah delik.
Moeljatno (1983:54) mengemukakan istilah perbuatan pidana sebagai
perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan mana disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi
barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa
perbuatan pidana yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam asal saja
dalam hal itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan (yaitu keadaan
yang timbul oleh kelakuan orang) sedang ancaman pidana ditujukan kepada yang
menimbulkan kejadian itu.
11
Moeljatno tidak setuju terhadap penggunaan istilah peristiwa pidana dengan
alasan karena alam dan hewan pun dapat menimbulkan peristiwa yang dari sudut
hukum pidana tidak mempunyai arti sama sekali. Hal ini ditegaskan Moeljatno
(1983:31) yaitu kurang tepat jika untuk pengertian yang abstrak itu digunakan
istilah peristiwa tindak pidana, sebagaimana halnya dalam Pasal 14 ayat 1 UUD
Sementara dahulu memakai istilah peristiwa pidana sebab peristiwa itu adalah
pengertian yang kongkrit yang menunjukkan kejadian yang tertentu saja,
misalnya: matinya, peristiwa ini sangat tidak mungkin dilarang. Hukum pidana
tidak melarang adanya orang mati karena sudah tua, dan peristiwa itu tidak
penting sama sekali bagi hukum pidana.
Berdasarkan pendapat di atas, maka istilah tindak pidana senantiasa
menimbulkan perdebatan dalam istilah hukum oleh para pakar hukum.
Penggunaan istilah tindak pidana dikemukakan oleh Prodjohamidjojo (1996:57)
bahwa pidana adalah suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah
diakibatkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu
putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.
Prakoso (1984:19) mengemukakan bahwa hukum pidana yang berlaku
sekarang disebut schuldstrafrecht (hukum pidana kesalahan), yang mengandung
arti bahwa untuk adanya pemidanaan harus ada kesalahan pada si pelaku (asas
nulla poena sine culpa). Hanya harus ditambahkan disini bahwa asas kesalahan itu
tidak berarti bahwa tindak pidana tidak boleh lebih berat dari apa yang dibenarkan
oleh kesalahan yang telah diperbuat oleh si pelaku.
12
Berdasarkan pendapat di atas, maka perbuatan seseorang yang menimbulkan
kerugian dapat pula dijatuhkan pidananya, bukan hubungan sesuatu yang bersalah
dengan yang dirugikan, melainkan hubungan dari yang bersalah terhadap
pemerintah yang ditugaskan untuk melindungi kepentingan masyarakat.
Rumusan perbuatan yang dapat dipidana adalah perbuatan yang diancam
pidana oleh undang-undang yang dinyatakan secara terang. Dalam KUHP Pasal 1
ayat (1) dinyatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas
kekuatan-ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum
perbuatan itu terjadi.
Berdasarkan rumusan di atas, maka tidak ada suatu perbuatan dapat
dihukum sebelum dinyatakan di dalam undang-undang, dan apabila ada undang-
undang sesudah perbuatan itu terjadi, tanggal berlakunya undang-undang tidak
boleh surut (mundur). Dalam bahasa Latin disebutkan “Nullum delictum, nulla
poena praevia lege poenali”, artinya, tiada delik, tiada hukuman tanpa suatu
peraturan yang terlebih dahulu menyebut perbuatan yang bersangkutan sebagai
suatu delik yang memuat hukuman yang dapat dijatuhkan atas delik itu.
(Projohamidjojo, 1996:9).
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, maka dapat diperoleh berbagai
kesimpulan tentang tindak pidana, yaitu:
a) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, kalau hal
itu terlebih dulu belum dinyatakan dalam suatu undang-undang.
13
b) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana, tidak boleh digunakan
analogis.
c) Aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Secara harfiah, tindak pidana diterjemahkan sebagai perbuatan yang dapat
dipidana. Feit diartikan sebagai tindakan atau perbuatan, sementara straf
diartikan pidana, sehingga straf baarfeit diartikan sebagai suatu perbuatan yang
dapat dipidana.
Pompe (Poernomo, 1982:91) mengemukakan bahwa definisi menurut teori,
memberikan pengertian strafbaarfeit adalah suatu pelanggaran terhadap norma
yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk
mempertahankan tata hukum dan membuat kesejahteraan umum. Sedangkan
defenisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian strafbaarfeit adalah suatu
kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang atau oleh aturan
perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.
Tindak pidana atau tindak kejahatan merupakan terjemahan yang diberikan
oleh pakar hukum yang diambil dari istilah bahasa Belanda yang terdapat dalam
Wetboek Van Straf Recht yang sekarang menjadi Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) yakni strafbaarfeit.
Perbedaan pandangan dan pendapat dari para ahli hukum maupun
pembentuk undang-undang dalam hal mendefenisikan istilah tindak pidana yang
disetarakan dengan istilah perbuatan pidana, maupun peristiwa pidana, dan lain
sebagainya.
14
Kemungkinan untuk mengalihkan bahasa dari istilah asingnya yaitu
strafbaarfeit. akan tetapi dari pengalihan bahasa tersebut, apakah berpengaruh atau
tidak dalam makna dan pengertiannya yang disebabkan oleh sebagian besar
kalangan para ahli hukum belum secara jelas dan terinci dalam menerangkan
pengertian istilah tindak pidana, ataukah sekedar mengalihkan bahasanya. Hal
tersebut yang merupakan pokok perbedaan pandangan di antara para ahli hukum
dalam mendefinisikan istilah tindak pidana.
Pengertian tindak pidana sebagai suatu dasar hukum dalam ilmu hukum
terutama hukum pidana yang ditujukan sebagai suatu istilah perbuatan yang
melanggar norma-norma atau aturan hukum yang berlaku di suatu negara. Oleh
karena itu, Daliyo (2001:93) mengemukakan syarat-syarat suatu perbuatan yang
mengandung tindak pidana, yaitu:
1. Harus ada suatu perbuatan, yaitu suatu kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang.
2. Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan
dalam undang-undang. Pelakunya harus telah melakukan suatu kesalahan dan
harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
3. Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Jadi perbuatan itu memang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang
melanggar hukum.
4. Harus ada ancaman hukumannya. Dengan kata lain,
ketentuan hukum yang dilanggar itu mencantumkan sanksinya.
15
Berdasarkan syarat-syarat di atas, maka perbuatan yang dapat dikatakan
suatu tindak pidana adalah perbuatan yang dapat dibuktikan sebagai suatu
perbuatan yang melanggar ketentuan hukum atau undang-undang yang berlaku,
dan disertai ancaman hukumannya untuk mempertanggung jawabkan perbuatan
tersebut.
3. Unsur-unsur Tindak Pidana
Mengklasifikasikan suatu tindak pidana ke dala unsur-unsurnya, maka yang
perlu diperhatikan adalah apakah perbuatan tersebut telah melanggar undang-
undang atau tidak. Berbagai macam tindak pidana yang diatur dalam KUHP pada
umumnya dapat diklasifikasikan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur
subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif tersebut merupakan unsur-unsur yang
melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku,
termasuk di dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.
Menurut Lamintang (1997:193) bahwa unsur-unsur subjektif dari suatu
tindak pidana, antara lain:
a) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (Dolus atau Culpa);
b) Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging, seperti yang
dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;
c) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat dalam
kejahatan- kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan
lain-lain;
16
d) Merencanakan terlebih dahulu atau Voorbedachte road seperti yang
terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
e) Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana
menurut Pasal 308 KUP.
Sedangkan unsur objektif merupakan unsur-unsur yang ada hubungannya
dengan keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan
dari si pelaku itu harus dilakukan. Lebih lanjut Lamintang (1997:194)
mengemukakan unsur-unsur objektif tindak pidana, antara lain:
1) Sifat melanggar hukum;
2) Kualitas si pelaku, misalnya keadaan sebagai pegawai negeri di dalam
kejahatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau
komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal
398 KUHP.
3) Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab
dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Berdasarkan pendapat tersebut, maka yang terpenting dalam merumuskan
suatu tindak pidana yaitu apakah dari perbuatan tersebut terdapat suatu sifat
melanggar hukum, walaupun pembentuk undang-undang tidak menyatakan dalam
suatu unsur tindak pidana. Akan tetapi unsur tersebut sebenarnya dapat bertujuan
untuk mengklasifikasikan bahwa benar perbuatan tersebut adalah suatu tindak
pidana, dan unsur lainnya seperti kausalitas di mana sebab dan akibat menjadi
tolak ukur dalam menentukan bahwa itu suatu tindak pidana atau bukan
merupakan tindak pidana.
17
B. Pengertian Anak
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan Purwodarminto
( 2001 : 41 ) “bayi adalah Anak yang belum lama lahir”
Menurut Hukum Pidana pasal 45 KUHP menyebutkan bahwa :
“Anak adalah anak yang belum cukup dewasa atau anak yang umurnya belum
cukup 16 (enam belas ) tahun”.
Di dalam pasal 330 ayat (1) KUHPerdata memberikan defenisi yang
berbeda tentang anak yakni anak yang belum dewasa adalah anak yang belum
mencapai usia 21 (dua puluh satu ) tahun dan belum pernah kawin.
Sama halnya di dalam hukum adat yang tidak memberikan ketentuan yang
pasti tentang kapan orang dapat dianggap dewasa. Misalnya di daerah jawa barat,
ukuran kedewasaan seseorang diukur dari sisi :
1. Dapat mandiri ( bekerja sendiri ).
2. Cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan
bermasyarakat dan bertanggung jawab.
3. Dapat mengurus harta kekayaan sendiri.
Lain halnya dalam hukum islam yang mengemukakan bahwa dalam hukum
islam, batas kedewasaan seseorang tidak berdasarkan kepada hitungan usia tapi
sejak adanya tanda – tanda perubahan badaniah, bagi pria apabila dia sudah mimpi
18
maka ia dikatakan sudah dewasa dan bagi wanita apabila sudah mendapat haid
( datang bulan ) maka dia juga sudah dapat dikatakan dewasa.
Selain beberapa pengertian anak di atas, masih terdapat pula beberapa
pengertian anak menurut ketentuan undang – undang yang berlaku di Indonesia
(M. Ghufran H:1 ) yakni :
1. Menurut Undang – Undang RI No. 3 Tahun 2007 tentang peradilan
anak dalam pasal 1 ayat (1) yang menyebutkan bahwa anak adalah
seseorang yang mencapai umur 8 (delapan ) tahun tapi belum mencapai
umur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin
2. Menurut undang – undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan
anak dalam pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang berada dalam
kandungan.
3. Undang – Undang RI No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak
dalam pasal 1 ayat (2) yang menyebutkan bahwa anak adalah seseorang
yang belum mencapai umur 21 tahun.
4. Undang –Undang RI No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia
(HAM) yang terdapat dalam pasal 1 ayat (5) yang menyebutkan bahwa
anak adalah seseorang yang umurnya berada di bawah 18 tahun dan
belum menikah termasuk anak yang masih berada di dalam kandungan.
5. Menurut Konvensi Hak Anak yang menyebutkan bahwa anak adalah
setiap manusia di bawah umur 18(delapan belas )tahun kecuali
19
berdasarkan undang – undang yang berlaku bagi anak tersebut ditentukan
bahwa dewasa dicapai lebih awal.
Dari beberapa pengertian anak di atas, maka pengertian anak yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas ) tahun dan atau belum menikah termasuk anak yang masih berada dalam
kandungan.
C. Pengertian Perlindungan Anak dan Dasar Hukum Perlindungan Anak
Istilah perlindungan anak mengandung arti perlindungan dari kekerasan,
abuse (penganiayaan) dan eksploitas. Dalam bentuknya yang paling sederhana,
perlindungan anak mengupayakan agar sang anak tidak dirugikan. Perlindungan
anak brsifat melengkapi hak – hak lain yang menjamin bahwa anak – anak akan
menerima apa yang mereka butuhkan agar dapat bertahan hidup, tumbuh dan
berkembang.
Perlindungan anak menurut pasal 1 ayat (2) Undang – Undang No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa :
“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak – anak dan hak – haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan”.
20
Selain itu di dalam Undang – Undang perlindungan anak juga mengatur
mengenai perlindungan khusus bagi anak yakni :
“Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang di eksploitasi ekonomi dan atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalagunaan narkotika, alcohol, dan zat adiktif lainya (napza ), anak korban kekerasan fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak dari korban perlakuan salah dan penelantaran”.
Kemudian yang menjadi dasar hukum perlindungan anak adalah Undang –
Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak diundangkan pada tanggal
22 Oktober 2002. pada dasarnya perlindungan anak bertujuan untuk menjamin
terpenuhinya Hak – Hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak
Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
Karena itu, penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan
Undang – Undang Dasar Tahun 1945 serta prinsip – prinsip dasar Konvensi Hak
Anak yang meliputi non- Diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak
untuk hidup, kelangsungan hidup,dan perkembangan serta penghargaan terhadap
pendapat anak.
Adapun hak – hak anak yang diatur dalam Undang – Undang No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak yaitu :
1. Hak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi
21
(pasal 4);
2. Nama dan status kewarganegaraan (pasal 5);
3. Beribadah menurut agama, berfikir dan berekspresi (pasal 6)
4. Mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang
tuanya(pasal 7 ayat (1));
5. Memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial ( pasal 8);
6. Memperoleh pendidikan dan pengajaran (pasal 9);
7. Menyatakan pendapat, menerima, mencari dan memberikan informasi
(pasal 10);
8. Beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak
sebaya, bermain dan berkreasi ( pasal 11);
9. Anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan
sosial dan dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial (pasal 12);
10. Mendapat perlindungan dari : a) diskriminasi; b)eksploitasi,baik
ekonomi maupun seksual; c) penelantaran; d) kekejaman, kekerasan
dan penganiayaan; e) ketidak adilan ; dan f) perlakuan salah lainnya
(pasal 13 ayat (1));
11. Mendapat perlindungan dari; (a) penyalahgunaan dalam kegiatan
politik; (b)pelibatan dalam sengketa bersenjata; (c) pelibatan dalam
konflik sosial; (d) pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur
kekerasan; dan (e) pelibatan dalam peperangan (pasal 15);
12. Perlindungan dari penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman
tidak manusiawi (pasal 16 ayat (1)).
22
Selain itu penyelenggaraan perlindungan anak bukan hanya kewajiban dan
tanggung jawab orang tua tapi juga kewajiban dan tanggung jawab negara dan
pemerintah.
D. Kewajiban dan Tanggung Jawab Orang Tua Menurut Undang –
Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Dalam pasal 26 Undang – undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
anak, mengatur kewajiban dan tanggung jawab orang tua yakni:
a) Mengasuh, memelihara, mendidk dan melindungi anak,
b) Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan
minatnya dan mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak – anak.
Dalam hal orang tua tidak ada atau karena sesuatu sebab tidak dapat
melaksanakan kewajiba dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung
jawab sebagaimana dimaksud dapat beralih kepada keluarga yang dilaksanakan
sesuai dengan Undang – Undang.
E. Kejahatan Yang Berhubungan Dengan Pembuangan Anak
23
Di dalam kitab Undang – Undang Hukum Pidana ( KUHP ) terdapat
beberapa ketentuan pidana yang berhubungan dengan pembuangan anak, antara
lain :
Pasal 304 KUHP yang menyebutkan bahwa :
“Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam kesengsaraan, sedang ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan pada orang itu karena hukum yang berlaku atasnya atau karena menurut perjanjian, dihukum penjara selama – lamanya dua tahun delapan bulan atau sebanyak – banyaknya Rp 4.500”.
Yang dihukum menurut pasal ini adalah orang yang sengaja menyebabkan
atau membiarkan orang dalam kesengsaraan, sedang ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan dan pemeliharaan kepada orang itu karena hukum yang
berlaku atau karena perjanjian, misalnya orang tua membiarkan anaknya dalam
kesengsaraan, demikian pula kepada wali terhadap anak peliharaanya.(R.Soesilo,
1996 : 223-224).
Pasal 305 KUHP yang menyebutkan bahwa :
“Barang siapa yang menaruhkan anak di bawah umur tujuh tahun di suatu tempat supaya dipungut oleh orang lain, atau dengan maksud akan terbebas dari pemeliharaan anak tersebut, meninggalkanya, dihukum penjara sebanyak – banyaknya lima tahun enam bulan”.
Menaruh anak yang dimaksud dalam pasal di atas sama dengan menaruh
anak kecil yang artinya meninggalkan anak kecil belum berumur tujuh tahun di
24
suatu tempat, sehingga dapat ditemukan oleh orang lain dengan tidak mengetahui
siapa orang tuanya, maksudnya ialah untuk melepaskan tanggung jawab atas anak
itu. Ini dapat dilakukan oleh siapa saja. Jika yang melakukan perbuatan itu ialah
bapak atau ibunya sendiri maka ancaman hukumannya ditambah dengan
sepertiga. Jika perbuatan itu dilakukan oleh seorang ibu tidak berapa lama setelah
anak itu dilahirkan oleh karena ketakutan akan diketahui orang kalau dia telah
melahirkan anak, maka ancaman hukumannya dikurangi separuh. (R.Ssoesilo,
1996:223-224).
Dalam pasal 306 KUHP yang juga menekankan :
1. Kalau salah satu perbuatan yang diterangkan dalam pasal 304 dan 305 itu
menyebabkan luka maka si tersalah dihukum penjara selama – lamanya
tujuh tahun enam bulan.
2. Kalau salah satu perbuatan itu menyebabkan lematian maka si bersalah
tersebut dihukum penjara selama – lamanya sembilan tahun.
Pasal 307 KUHP menyebutkan bahwa jika yang melakukan perbuatan
tersebut adalah bapak atau ibu dari anak tersebut maka baginya hukuman yang
ditentukan dalam pasal 305 KUHP dan pasal 306 KUHP dapat ditambah dengan
sepertiga.
Kemudian pasal 308 KUHP yang menyebutkan :
25
“Jika seorang ibu menaruh di suatu tempat supaya dipungut oleh orang lain tidak berapa lama sesudah anak itu dilahirkan oleh kaena takut akan diketahui orang dia akan melahirkan seorang anak atau dengan maksud akan terbebas dari pemeliharaan anak itu, meninggalkannya, maka hukuman maksimum yang tersebut dalam pasal 305 dan 306 dikurangi seperdua”.
Selain beberapa ketentuan pidana yang terdapat dalam Kitab Undang –
Undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah dijelaskan di atas masih terdapat lagi
ketentuan yang mengatur tentang masalah anak tersebut yakni terdapat dalam
pasal 77 huruf b Undang – Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak yakni :
“Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental maupun sosial dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.
F. Teori –Teori Tentang Penyebab Terjadinya Kejahatan
Di dalam ilmu kriminologi terdapat berbagai macam teori – teori yang dapat
digunakan untuk menganalisa mengenai sebab – sebab terjadinya suatu kejahatan.
Dalam teori tersebut terdapat berbagai persfektif yang berbeda tidak hanya pada
subjek penelitian tapi juga pada fokus atau sasaran penelitian.
Berikut beberapa teori mengenai sebab terjadinya suatu kejahatan :
26
1) Teori Konflik
George B Vold (1896 – 19670) adalah orang pertama yang
menghubungkan teori konflik dengan kriminologi, menurut pendapatnya individu
– individu terikat bersama dalam kelompok karena mereka social animals dengan
kebutuhan – kebutuhan yang sebaiknya dipenuhi melalui tindakan kolektif. Jika
kelompok itu melayani anggotanya, ia akan terus hidup tapi jika tidak maka
kelompok lain akan mengambil alih. Penjelasan Mark dan Angel tentang teori
konflik ini terdapat dalam beberapa dalil berikut ini (Topo Santoso –Eva Achjani
zulfa, 2001:107 )
a) Konflik kepentingan antara kelompok – kelompok berbeda akan
ditingkatkan oleh ketidak merataan distribusi sumer – sumber langka
(seperti sandang, pangan, papan dan sebagainya ).
b) Mereka yang menerima lebih sedikit akan mempertanyakan legitimasi
dari pengaturan, begitu mereka tau “perlakuan kasar” yang mereka
dapatkan.
c) Kelompok – kelompok ini kemudian cenderung mengorganisasikan dan
membawa konflik terbuka, dimana setelah mungkin terjadi polarisasi
dan kekerasan yang membawa redistribusi arus sumber – sumber
langkah - langkah tadi sehingga bisa diperoleh setiap orang.
Menurut pandangan mereka, kapitalisme merupakan akar dari
konflikkarena ia merupakan sumber dari ketidak samaan yang tidak adil. Pada
abad ke- 20, perspektif konpleks dari Marx dan Angel diterapkan secara khusus ke
dalam kriminologi oleh William Bonger, menurutnya di bawah kapitalisme
27
muncul pemisahan tajam antara penguasa dan yang dikuasai yang berasal dari
ekonomi itu sendiri. Bonger menelusuri segitu banyak kejahatan pada kemiskinan
yang disebabkan oleh kapitalisme. Kejahatan dilihat Bonger sebagai suatu produk
sistem ekonomi yang mendorong mentalitas tamak, egoistis, mengejar nomor satu
sementara pada saat yang bersamaan membuat yang kaya semakin kaya dan yang
miskin semakin miskin.
2. Teori Label
Teori label mempunyai perbedaan orientasi tentang kejahatan dengan teori
– teori kejahatan yang lain. Banyak pakar kriminologi menghubungkan teori
labeling dengan buku Frank Tannenbaum (1983), “crime and community” .
menurut Tannembaun, kejahatan tidaklah sepenuhnya merupakan hasil dari
kekurang mampuan seseorang untuk menyesuaikan dirinya dengan kelompoknya.
Dengan demikian menurut Tannembaun kejahatan merupakan hasil dari konflik
antara kelompok dengan masyarakat yang lebih luas.
Pendekatan teori label dapat dibedakan dalam dua bagian yaitu :
a) Persoalan labeling pertama, memperlakukan labeling sebagai
depending variabel atau tidak bebas dan keberadaannya memerlukan
penjelasan, labeling dalam arti ini adalah labeling sebagai akibat dari
reaksi masyarakat.
b) Persoalan labeling ke dua adalah bagaimana labeling
mempengaruhi seseorang yang terkena label /cap, memperlakukan
28
labeling sebagai variabel yang independen atau variabel
bebas/mempengaruhi.
Dalam kaitan ini, ada dua proses bagaimana labeling mempengaruhi
seseorang yang terkena label / cap untuk melakukan penyimpangan tingkah
lakunya.
Pertama, cap/ label tersebut menarik perhatian pengamat dan
mengakibatkan pengamat selalu memperhatikan dan kemudian seterusnya
cap/label tersebut melekat pada orang tua tersebut.
Kedua, label atau cap terebut sudah diadopsi oleh seseorang dan membawa
pengaruh pada dirinya ia mengetahui dengan sendirinya bagaimana cap/label
ersebut diberikan padanya oleh si pengamat.
Salah satu dari ke dua proses di atas dapat memperbesar penyimpangan
tingkah laku (kerja) dan membentuk karir kriminal seseorang.seseorang yang
telah memperoleh cap/label dengan sendirinya akan menjadi perhatian oleh orang
– orang yang ada di sekitarnya. Selanjutnya kewaspadaan dan perhatian orang –
orang di sekitarnya akan mempengaruhi orang yang dimaksud sehingga kejahatan
kedua dan selanjutnya akan memungkinkan terjadi lagi.
Dua konsep penting dalam teori labeling adalah “primary deviance” dan
“secondary deviance”.”primary deviance” ditujukan kepada perbuatan
penyimpangan tingkah laku awal, sedangkan “secondary deviance” adalah
berkaitan dengan reorganisasi psikologis dari pengalaman seseorang sebagai
akibat dari penangkapan dan cap sebagai penjahat. Sekali cap atau status ini
dilekatkan pada seseorang, maka sangat sulit orang yang bersangkutan oleh
29
selanjutnya melepaskan diri dari cap dimakud dan kemudian akan
mengidentifikasi dirinya dengan cap yang telah diberikan oleh masyarakat
terhadap dirinya.
3. Teori Sub - Kultur
Menurut Thorsten selling, conduct norms ( norma – norma yang mengatur
kehidupan kita sehari – hari) merupakan aturan – aturan yang merefleksikan sikap
– sikap dari kelompok yang masing – masing dari kita yang memilikinya. Tujuan
dari norma itu adalah untuk mendefenisikan apa yang dianggap sebagai tingkah
laku yang pantas dan yang tidak pantas (abnormal). Menurut Sellin setiap
kelompok memiliki masing – masing conduct norms yang mungkin bertentangan
dengan conduct norm kelompok lain. Seorang yang mengikuti norma
kelompoknya mungkin saja dipandang kelompoknya telah melakukan suatu
kejahatan apabila norma – norma kelompoknya itu bertentangan dengan norma –
norma di masyarakat secara dominan.jadi, perbedaan antara seorang kriminal
dengan non kriminal adalah masing – masing menanut conduct norm yang
berbeda.
Sub culture adalah suatu sub devisi di dalam budaya dominan yang
memiliki norma – norma, keyakinan – keyakinan, dan nilai–nilainya
sendiri.subculture biasanya timbul ketika orang – orang dalam keadaan serupa
mendapat diri mereka terpisah dari mainsteam (arus terbesar) masyarakat dan
mengikatkan diri bersama untuk aling mendukung. Subculture mungkin terbentuk
30
dengan anggota sesama suku atau ras minoritas, sesama para penghuni daerah
kumuh. Subculture hadir di dalam suatu masyarakat yang lebih besar, tidak
terpisah dari masyarakat itu.
4. Teori Anomi
Suatu cara dalam mempelajari suatu masyarakat adalah dengan melihat
pada bagian – bagian komponennya dalam usaha mengetahui bagaimana masing –
masing berhubungan satu sama lain. Jika masyarakat itu stabil, bagian –
bagiannya beroperasi secara lancar, susunan – susunannya berfungsi juga.
Masyarakat seperti ini ditandai oleh kepaduan, kerja sama dan kesepakatan.namun
jika bagian – bagian komponennya tertata dalam suatu keadaan yang
membahayakan keteraturan/ ketertiban sosial, susunan masyarakat itu disebut
disfungsional (tidak berfungsi). Demikianlah perspektif structural functinalist
yang dikembangkan oleh Emile Durkheim.
Bagian penjelasan tentang perbuatan manusia dan terutama perbuatan –
perbuatan salah manusia. Tidak terletak pada diri si individu, tetapi terletak pada
kelompok dan organisasi sosial. Dalam konteks inilah Durkheim memperlihatkan
istilah anomie (hancurnya keteraturan sosial sebagai akibat dari hilangnya patokan
– patokan dan nilai – nilai). Keadaan tersebut sering diartikan keadaan
(masyarakat ) tanpa norma, keadaan ini sangat mempermudah terjadinya
penyimpangan tingkah laku yang disebabkan karena kondisi ekonomi kondisi
ekonomi di dalam masyarakat.
31
Ilustrasi terbaik dalam konsep Durkheim tentang anomi adalah dalam
suatu diskusi bunuh diri yang terjadi di negara prancis. Ketika durkheim
menganalisa data statistik, ia mendapati bahwa angka bunuh diri meningkat
selama perubahan ekonomi yang tiba –tiba, baik perubahan itu depresi hebat
ataupun kemakmuran yang tidak terduga. Dalam periode perubahan yang cepat itu
orang tiba –tiba terhempas ke dalam suatu cara/jalan hidup yang tidak dikenal
(unfamiliar).aturan – aturan yang pernah membimbing tingkah laku tidak lagi
dipegang.
5. Teori Kontrol Sosial
Teori – teori sebelumnya, seperti yang telah diursiksn di atas, mengkaji
pertanyaan mengapa sebagian orang melanggar norma, sebagai contoh dengan
melakukan kejahatan.Teori – teori kontrol sosial, sebaliknya tertarik pada
pertanyaan mengapa sebagian orang tertarik pada norma. Para penganut tori ini
menerima bahwa pencurian bisa dilakukan oleh siapa saja. Pertanyaanya justru,
mengapa orang menaati norma di tengah banyaknya cobaan, bujukan dan tekanan
melakukan pelanggaran norma. Jawabannya adalah bahwa anak – anak muda dan
orang dewasa mengikuti hukum sebagai respon atas kekuatan – kekuatan
pengontrol tertentu dalam kehidupan mereka. Mereka menjadi kriminal ketika
kekuatan - kekuatan yang mengontrol tersebut lemah atau hilang.teori kontrol
sosial memfokuskan diri pada tehnik-tehnik dan strategi yang mengatur tingkah
laku manusia dan membawanya kepada penyesuaian atau ketaatan kepada aturan
–aturan masyarakat.
32
6. Teori Assosiasi Differensial
Teori diferensiasi pertama kali dikemukakan oleh seorang ahli sosiologi
amerika, Edwin H Sutherland. Menurutnya perilaku kriminal merupakan perilaku
yang dipelajari dalam lingkungan sosial.semua tingkah laku dipelajari dengan
berbagai cara.oleh karena itu, perbedaan tingkah laku yang conform (terpuji ) dan
criminal (jahat ) adalah apa dan bagaimana hal itu dipelajari. Munculnya teori ini
didasarkan pada tiga hah yaitu :
a) Setiap orang akan menerima dan mengikuti pola – pola perilaku yang
dapat dilaksanakan.
b) Kegagalan untuk mengikuti pola tingkah laku menimbulkan
inkonsistensi dan ketidak harmonisan.
c) konflik budaya merupakan prinsip dasar dalam menjelaskan
kejahatan.
Pengertian assosiasi differensial diartikan oleh sutherland sebagai “the
contents of the patterns presented in association”. Hal ini tidak berarti bahwa
kelompok pergaulan dengan penjahat akan menyebabkan perilaku kriminil, tetapi
yang terpenting adalah isi dari proses komunikasi dengan orang lain.
Sutherland juga menjelaskan bahwa semua tingkah laku dipelajari. Dengan
demikian, tidak ada tingkah laku yang diturunkan berdasarkan pewarisan dari
orang tuanya, tetapi tingkah laku jahat dipelajari dalam kelompok melalui
interaksi dan komunikasi. Yang dipelajari dalam kelompok tersebut adalah teknik
untuk melakukan kejahatan dan alasan yang mendukung perbuatan jahat tersebut.
33
7. Teori Penanggulangan Kejahatan
Kejahatan adalah suatu gejalah sosial yang senantiasa dihadapi oleh setiap
masyarakat di dunia ini.kejahatan yang dalam keberadaanya, dirasakan sangat
meresahkan dan di samping itu juga mengganggu ketertiban dan ketentraman
dalam masyarakat.oleh kerena itu, masyarakat berupaya semaksimal mungkin
untuk menanggulangi timbulnya kejahatan.
Pelaksanaan pengawasan dan pencegahan kejahatan menurut Walter
C.Reckless (Soedjono Dirdjosisworo, 1976:75) meliputi kegiatan operasi
kepolisian yang efektif yng harus diorganisir menjadi kekuatan pemberantasan
yang siaga, mampu menguasai tugas – tugas rutinya maupun dalam keadaan
darurat. Efektifnya Dinas kepolisian tidak tergantung pada banyaknya
penangkapan dan penghukuman terhadap penjahat, justru dalam hal pengawasan
dan pencegahan kejahatan sehingga masyarakat segan untuk melakukan
kejahatan.
Untuk mencegah kejahatan ada tiga kegiatan yang dilakukan
( Soedjarwono Dirdjosisworo, 1984:141) yaitu :
a) Kegiatan moralitas untuk menumbuhkan immunitas di bidang
keteguhan iman dan mental individu dalam masyarakat yang
dilakukan oleh para ulama pendidikan juru penerangan melalui sarana
komunikasi sosial tentunya dengan meningkatkan kesadaran
masyarakat akan agamanya.
34
b) Kegiatan – kegiatan penelitian ilmiah untuk menggalih faktor – faktor
yang berhubungan dengan faktor – faktor yang dapat menimbulkan
kejahatan dalam masyarakat.
c) Tindakan unsur – unsur penegak hukum dalam rangka law
enforcement melalui penegak hukum dan koordinasi aparat serta
partisipasi masyarakat.
Upaya penanggulangan telah terus dan terus dilakukan oleh semua pihak,
baik pemerintah maupun masyarakat pada umumnya. Dalam hubungan ini, E.H.
Sutherland dan Cressey ( Romli Atmasasmita, 1983:66) mengemukakan bahwa
dalam crime prevention dalam pelaksanaanya ada dua metode yang dipakai untuk
mengurangi frekwensi dari kejahatan, yaitu :
a) Metode untuk mengurangi pengulangan dari kejahatan.
b) Metode untuk mencegah terjadinya the first crime
Metode pertama merupakan suatu cara yang ditujukan kepada
pengurangan residivis (kejahatan pengulangan ) dengan suatu pembinaan yang
dilakukan secara konseptual. Sedangkan metode kedua merupakan suatu cara
yang ditujukan kepada usaha untuk mencegah terjadinya kejahatan yang pertama
kali (the first crime ) yang akan dilakukan oleh seseorang dan metode ini dikenal
juga sebagai metode prevention (preventif).
Jadi upaya penanggulangan kejahatan itu tidak hanya dapat dilakukan
secara preventif tetapi juga dapat dilakukan dengan cara represif.
35
1) Upaya Preventif
Penanggulangan kejahatan secara preventif dilakukan untuk mencegah
kejahatan yang pertama kali akan dilakukan seseorang. Keunggulan prevensi
dapat digambarkan di dalam masalah sekolah anak – anak nakal, dimana tingkah
laku yang baik tidak berkembang hanya dengan menambah kekerasan
hukumannya, banyak perubahan tingkah laku itu berhasil dengan adanya
perbaikan para pengajarnya, kurikulum maupun perkembangan graduil dalam
tradisi dan perkembangan perkembangan tingkah laku.
Salah satu alat yang dapat membantu prevensi adalah digiatkannya bidang
rekreasi seperti camping, olah raga dan lain – lain. Metode ini adalah suatu
pengisian waktu luang bagi anak – anak yang diarahkan ke hal – hal yang
mendidik. Barnest dan Teeters (Romli Atmasasmita, 1983:79) menunjukkan
beberapa cara untuk menanggulangi kejahatan yaitu :
a. Menyadari bahwa akan adanya kebutuhan – kebutuhan
untuk mengembangkan dorongan – dorongan sosial atau tekanan –
tekanan sosial dan keadaan ekonomi yang dapat mempengaruhi
tingkah laku seseorang ke arah perbuatan jahat.
b. Memusatkan perhatian pada individu – individu yang mrnunjukkan
potensialitas kriminal atau asosial, sekalipun potensialitas tersebut
disebabkan gangguan – gangguan biologis dan psikologis atau kurang
mendapat kesempatan sosial ekonomi yang cukup baik sehingga dapat
merupakan suatu kesatuan yang harmonis.
36
Dari pendapat Barnest dan teeretrs tersebut di atas, menunjukkan bahwa
kejahatan dapat kita tanggulangi apabila keadaan ekonomi atau lingkungan sosial
yang mempengaruhi seseorang ke arah tingkah laku kriminal dapat dikembalikan
kepada keadaan baik. Dengan kata lain perbaikan di bidang sosial ekonomi adalah
mutlak diperlukan untuk berhasilnya program penanggulangan kejahatan,
sedangkan faktor – faktor biologis, psikologis merupakan faktor sekunder.
Jadi dalam upaya preventif itu adalah bagaimana kita melakukan suatu
upaya yang positif, bagaimana kita menciptakan suatu kondisi seperti keadaan
ekonomi, lingkungan juga kultur masyarakat menjadi suatu daya dinamika dalam
pembangunan dan bukan sebaliknya seperti menimbulkan keterangan –
keterangan sosial yang mendorong timbulnya perbuatan yang menyimpang juga
di samping itu bagaimana meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat
bahwa keamanan dan ketertiban adalah tanggung jawab bersama.
2. Upaya Represif
Upaya represif adalah suatu upaya penanggulangan kejahatan secara
konseptual yang ditempuh setelah terjadinya kejahatan. Penanggulangan dengan
upaya represif dimaksudkan menindak para pelaku kejahatan sesuai dengan
perbuatannya serta memperbaikinya kembali agar mereka sadar bahwa perbuatan
yang dilakukannya merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan merugikan
masyarakat,sehingga tidak akan mengulanginya dan orang lain juga tidak akan
melakukannya mengingat sanksi yang akan ditanggungnya juga sangat berat.
37
Untuk upaya represif dalam pelaksanaanya dilakukan pula dengan metode
perlakuan (treatment) dan penghukuman (punishment) yakni :
a) Perlakuan
Penerapan dari perlakuan adalah tanggapan dari pelanggar hukum
terhadap perlakuan yang diterimanya. Perlakuan ini dititik beratkan
pada upaya supaya si pelaku kejahatan dapat kembali sadar dari
kekeliruannya dan kesalahannya, dan dapat kembali bergaul di
masyarakat seperti sedia kala. Contoh dari perlakuan dari kehidupan
sehari – hari yang sering kita jumpai adalah : kadang – kadang pihak
kepolisian melakukan penangkapan – penangkapan yang
tujuannyaberbeda dengan maksud agar pelaku diadili, dalam keadaan
tertentu dilakukan penangkapan dengan tujuan agar pihak penangkapan
yang semula terganggu peranan sosialnya, mendapatkan peranan
sosialnya kembali di dalam masyarakat.
Jadi dapat disimpulkan bahwa perlakuan ini mengandung dua
tujuan pokok, yaitu sebagai upaya pencegahan dan penyadaran
terhadap pelaku kejahatan agar tidak melakukan hal – hal yang lebih
buruk lagi dan dimaksudkan agar si pelaku kejahatan ini dikemudian
hari tidak lagi melakukan pelanggaran hukum, baik pelanggaran –
pelanggaran yang mungkin akan lebih merugikan masyarakat ataupun
pemerintah.
38
b) Penghukuman
Indonesia merupakan negara yang dalam pemberian penghukuman
menganut sistem pemasyarakatan, bukan lagi sistim kepenjaraan yang
penuh dengan penderitaan, maka dengan sistem pemasyarakatan
hukuman yang dijatuhkan kepada pelangganr hukum adalah hukuman
yang semaksimal mungkin (bukan pembalasan ) dengan berorientasi
pada pembinaan dan perbaikan penjahat.
Jadi dengan sistem pemasyarakatan disamping narapidana harus
menjalani hukumannya di lembaga pemasyarakatan, mereka juga dididik
dan dibina serta dibekali oleh suatu keterampilan agar kelak setelah
keluar menjadi orang yang berguna dan dapat berintegrasi kembali
dengan masyarakat dan bukan lagi menjadi narapidana yang meresahkan
masyarakat karena segala perbuatan jahat mereka di masa lalu yang
sudah banyak merugikan masyarakat, sehingga kehidupan yang mereka
jalani setelah keluar dari penjara dapat lebih baik karena kesadaran
mereka untuk melakukan perubahan di dalam dirinya maupun bersama
dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya.
39
G. Kerangka Pikir
Tindak pidana pembuangan anak merupakan suatu tindakan melawan
hukum yang merupakan suatu kejahatan tetapi sekaligus kenyataan sosial dalam
masyarakat. Tindak pidana pembuangan anak merupakan penyalahgunaan
tanggung jawab yang telah melanggar hak asasi manusia, karena tindakan tersebut
menimbulkan adanya korban yang berakibat adanya penderitaan atau kerugian
bagi korban. Pembuangan anak sebagai suatu perbuatan penyalahgunaan tanggung
jawab sangat dipengaruhi oleh faktor yang bersumber dari dalam diri seseorang
ataupun faktor lingkungannya.
Akibat tindak pidana pembuangan anak, maka menimbulkan akibat hukum
yang perlu diproses, baik pihak kepolisian, kejaksaan, pengadilan, hingga proses
pembinaan di lembaga pemasyarakatan atau dikembalikan kepada orang tuanya.
Dari proses hukum yang dijalankan oleh penegak hukum sesuai undang-undang
yang berlaku, menjadi harapan yang besar terpenuhinya rasa keadilan hukum
dalam masyarakat untuk dapat terayomi dari segala bentuk tindak kejahatan.
Kerangka pikir mengenai tindak pidana pembuangan anak digambarkan
dalam bentuk skema berikut:
40
Gambar 1: Kerangka piker
41
Tindak Pidana Pembuangan Anak
Faktor-Faktor Penyebabnya Akibat yang ditimbulkan
Proses penegakan hukumnya
Kepolisian Kejaksaan Pengadilan Pembinaan oleh Lembaga Pemasyarakatan
(Lapas)
Keadilan Hukum bagi Anak
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Polrestabes Kota Makassar, beralamat di Jalan
Ahmad Yani No.9 Kecamatan Wajo Kota Makassar. Waktu penelitian
dilaksanakan selama kurang lebih 4 (empat ) bulan, yaitu dari bulan April sampai
Juli 2013.
B. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data-data deskriptif berupa
kata-kata yang berbentuk tulisan (data tertulis) dan lisan dari informan.
Penggunaan pendekatan kualitatif didasarkan atas pertimbangan bahwa
pendekatan ini menyajikan secara langsung hubungan antara peneliti dan
informan dalam mengungkap dan mengkaji dengan mendalam masalah yang
menjadi variabel penelitian, yaitu tindak pidana pembuangan bayi yang dilakukan
oleh orang tua kandung dalam wilayah hukum Polrestabes Kota Makassar.
Penelitian ini berbentuk penelitian kasus atau studi kasus sebagai suatu
penelitian yang tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis dan
menggeneralisasikan hasil penelitian, tetapi untuk menemukan gambaran tindak
42
pidana pembuangan bayi yang dilakukan oleh orang tua kandung di Kota
Makassar, mengidentifikasi faktor-faktor penyebab, dan upaya
penanggulangannya, serta akibat-akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana
pembuangan bayi yang dilakukan oleh orang tua kandung.
C. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian
berkaitan dengan dengan tindak pidana pembuangan bayi yang dilakukan oleh
orang tua kandung di Polrestabes Kota Makassar yaitu wawancara dan
dokumentasi.
D. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data penelitian ditempuh dengan menggunakan teknik
wawancara dan dokumentasi.
1. Wawancara
Teknik wawancara bertujuan untuk memperoleh informasi secara langsung
melalui tatap muka dengan informan penelitian, yaitu aparat kepolisian di
Polrestabes Kota Makassar dengan menggunakan pedoman wawancara
terstruktur. Isi wawancara berkaitan dengan tindak pidana pembuangan bayi
yang dilakukan oleh orang tua kandung dalam wilayah hukum Polrestabes
Kota Makassar.
43
2. Dokumentasi
Teknik dokumentasi dimaksudkan untuk mengumpulkan data sekunder
berupa dokumen berkaitan dengan kasus yang dikaji yaitu tindak pidana
pembuangan bayi yang dilakukan oleh orang tua kandung yang ditangani
Polrestabes Kota Makassar dari tahun 2009 sampai 2012. Selain itu, data
dokumentasi juga bertujuan memperoleh data sekunder berupa: sejarah
singkat Polrestabes Kota Makassar, keadaan personil kepolisian Polrestabes
Kota Makassar, dan struktur organisasi Polrestabes Kota Makassar.
A. Teknik Analisis Data
Jenis penelitian ini adalah penelitian kasus sehingga data-data yang
terungkap melalui hasil dokumentasi dan wawancara dianalisis menggunakan
analisis kualitatif, yaitu mendeskripsikan hasil analisis. Hasil analisis tersebut
dipaparkan secara kualitatif sehingga dapat diperoleh hasil aktual tentang tindak
pidana pembuangan bayi yang dilakukan oleh orang tua kandung dalam wilayah
hukum Polrestabes Kota Makassar.
44
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
a. Gambaran Umum Polrestabes Makassar
Kepolisian Resort Kota Besar Makassar (Polrestabes Makassar) memiliki
sejarah cukup panjang. Sejak awal berdirinya hingga saat ini telah mengalami
beberapa kali pergantian nama mulai dari Kontabes/Kotabes (Komando Kota
Besar) 146 Makassar, lalu berubah menjadi Poltabes (Kepolisian Kota Besar)
Ujung Pandang, lalu berubah lagi menjadi Polrestabes (Kepolisian Resort Kota
Besar) Makassar, kemudian berganti menjadi Polwiltabes (Kepolisian Wilayah
Kota Besar) Makassar, dan terakhir kembali menjadi Polrestabes (Kepolisian
Resort Kota Besar) Makassar. Kantor Polrestabes Makassar sejak berdirinya
hingga sekarang terletak di Jalan Ahmad Yani No. 9 Kota Makassar dengan batas
wilayah meliputi: Sebelah Selatan Jalan Ahmad Yani, Sebelah Utara Jalan Serui,
Sebelah Barat Bank Mega, dan Sebelah Timur Bank Danamon.
Peralihan nama dari Polwiltabes Makassar menjadi Polrestabes Makassar
juga berpengaruh pada perubahan luas wilayah pantauannya. Pada saat bernama
Polwiltabes Makassar, luas wilayah pantauannya meliputi 3 Polresta (Polisi
Resort Kota) yakni Polresta Makassar Barat, Polresta Makassar Timur, dan
Polresta Pelabuhan, serta 14 Polsek yang tersebar di 3 wilayah Polresta tersebut,
juga meliputi 2 Polres yakni Polres Gowa dengan 11 Polsek dan Polres Maros
45
dengan 6 Polsek yang pada saat itu Kepala Polwiltabes Makassar dipimpin oleh
Kombes Pol. Gatta Haeruddin, SH. denganWakilnya AKBP Endi Sutendi, S.IK.,
SH., MH.
Setelah berganti nama menjadi Polrestabes Makassar tanggal 14
Desember 2010 berdasarkan Keputusan Kapolri No. Kep/366/VI/10 Juni 2010
Tentang Organisasi dan tata Kerja Kepolisian NKRI Resort (Polres), maka
kepemimpinan di Polrestabes Makassar beralih kepada Kombes Pol. Drs.
Chairul Anwar, SH. dengan wakilnya AKBP Andi Patawari, SH., MH. yang
kemudian digantikan oleh Kombes Pol. Drs. J. Wisnu Sanjaya, SH., dengan
wakilnya AKBP Totok Lisdiarto, S.Sik.
Personil Polrestabes Makassar tersebar berdasarkan 5 fungsi utama, yaitu:
1) Pimpinan 2 orang, terdiri atas Kapolrestabes dan Wakapolrestabes.
2) Unsur Pengawas dan Pembantu Pimpinan yang terdiri atas 7 bagian, yaitu:
a) Bagian OPS (Operasional) 21 orang.
b) Bagian REN (Rencana) 9 orang.
c) Bagian SUMDA (Sumber Daya) 27 orang.
d) SIWAS (Seksi Pengawas) 8 orang.
e) SIPROPAM (Seksi Profesi dan Pengamanan) 42 orang.
f) SIKBU (Seksi Keuangan) 5 orang.
g) SIUM (Seksi Umum) 29 orang.
3) Unsur Pelaksana Tugas Pokok terdiris atas 9 bagian, yaitu:
a) SPKT (Sentral Pelayanan Kepolisian Terpadu) 20 orang.
46
b) SAT INTELKAM (Intelijen dan Pengamanan) 97 orang.
c) SAT RESKRIM (Reserse dan Kriminal) 118 orang.
d) SAT NARKOBA (Narkotika dan Obat Terlarang) 66 orang.
e) SAT BINMAS (Bimbingan Masyarakat) 21 orang.
f) SAT SABHARA 102 orang.
g) SAT LANTAS (Lalu Lintas) 248 orang.
h) SAT PAM OBVIT 48 orang.
i) SAT TAHTI (Tahanan dan Barang Bukti) 16 orang.
4) Unsur pendukung yaitu SITIPPOL yang terdiri atas 5 orang.
5) Unsur Pelaksana Tugas Pokok pada Polsek Jajaran Polrestabes Makassar,
terdiri atas 12 Polsek, yaitu:
a) Polsek Panakkukang 108 orang.
b) Polsek Tamalate 109 orang.
c) Polsek Rappocini 114 orang.
d) Polsek Tamalanrea 94 orang.
e) Polsek Biringkanaya 120 orang.
f) Polsek Tallo 87 orang.
g) Polsek Manggala 90 orang.
h) Polsek Ujung Pandang 101 orang.
i) Polsek Mamajang 86 orang.
j) Polsek Makassar 81 orang
k) Polsek Bontoala 98 orang.
l) Polsek Mariso 95 orang.
47
Struktur organisasi Polrestabes Makassar disajikan pada gambar 4.1
berikut ini:
Gambar 4.1. Struktur Organisasi Polrestabes Makassar
48
b. Gambaran Umum Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) Reskrim Polrestabes Makassar
Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) merupakan unit khusus
yang bernaung di bawah Satuan Reserse dan Kriminal. Satuan Reserse dan
Kriminal bertujuan membina fungsi dan menyelenggarakan kegiatan penyelidik
dan penyidik tindak pidana termasuk fungsi identifikasi dan fungsi laboratorium
forensik lapangan dalam rangka penegakan hukum, koordinasi, dan pengawasan
operasional.
Dalam menyelenggarakan tujuan, unit Reskrim menyelenggarakan fungsi
sebagai berikut:
1) Membina fungsi/penyelidik tindak pidana termasuk fungsi identifikasi dan
fungsi laboratorium forensik lapangan serta kegiatan-kegiatan lain yang
menjadi tugas unit Reskrim dalam lingkungan Polrestabes.
2) Penyelenggara kegiatan-kegiatan penyelidikan/penyidikan tindak pidana
umum dan tertentu dengan memberikan pelayanan/perlindungan khusus
kepada korban/ pelaku remaja, anak, dan wanita dalam rangka penegakan
hukum sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
3) Penyelenggara fungsi identifikasi baik untuk kepentingan penyidik maupun
pelayanan umum.
4) Penyelenggara pembinaan teknis dan koordinasi dan pengawasan operasional
dan administrasi penyidik PNS.
49
5) Pelaksana analisis setiap kasus dan isu-isu menonjol beserta penanganannya
dan mempelajari/mengkaji efektivitas pelaksanaan tugas satuan-satuan fungsi
Reskrim.
Unit Reskrim dipimpin oleh Kepala Unit Reskrim, disingkat Kanit
Reskrim, yang bertanggung jawab kepada Kapolrestabes dan dalam pelaksanaan
tugas sehari-hari berada di bawah kendali Wakapolrestabes.
Salah satu unit kerja Reskrim adalah RPK (Ruang Pelayanan Khusus).
RPK dibentuk pada tahun 2002 yang diprakarsai oleh anggota Derapwarapsari
(yang terdiri dari senior-senior POLWAN yang telah pensiun) pada tingkat Mabes
Polri dan bekerjasama dengan LSM dan instansi terkait. Berdasarkan PERKAP
No. PO/KEP/54/X/2002, tanggal 17 Oktober 2002 Tentang Organisasi dan Tata
Kerja Satuan-satuan Organisasi pada Tingkat Polda, maka terbentuklah RPK
(Ruang Pelayanan Khusus) yang dilayani oleh POLWAN.
Berdasarkan PERKAP No. Pol. 10 Tahun 2007 tanggal 6 Juli 2007
Tentang Organisasi dan tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit
PPA) di lingkungan Kepolisian Republik Indonesia, maka dengan sendirinya RPK
berubah nama menjadi Unit Pelayanan Perempuan dan Anak yang disingkat
UPPA.
Unit Pelayanan Perempuan dan Anak merupakan unit yang bertugas
memberikan pelayanan dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak
yang menjadi korban kejahatan dan penegakan hukum terhadap pelakunya.
50
Struktur organisasi Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polrestabes
Makassar, digambarkan sebagai berikut :
Gambar 4.2. Struktur Organisasi UPPA Polrestabes Makassar
51
Kanit PPA
Panit Lindung Panit Idik
Anggota Anggota Anggota Anggota
AnggotaAnggotaAnggotaAnggota
Unit PPA terdiri dari 2 sub unit yaitu Sub Unit lindung dan Sub Unit Idik
(Penyidikan). Sub Unit Lindung bertugas melaksanakan perlindungan terhadap
perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan serta berkoordinasi dengan
instansi terkait. Sub Unit Penyidikan bertugas melakukan penyelidikan pelaku
kejahatan terhadap perempuan dan anak.
Sebagai unit pelayanan perempuan dan anak, maka unit ini memiliki visi
dan misi sebagai berikut:
Visi : Perempuan dan anak korban kekerasan mendapat perlindungan dan
bantuan baik medis, psikologis maupun hukum sehingga masalahnya
terselesaikan.
Misi : Memberikan rasa aman dan nyaman kepada perempuan dan anak
korban kekerasan, memberikan pelayanan secara cepat, profesional,
penuh empati dan kasih kepada perempuan dan anak korban
kekerasan, membangun jaringan kerjasama antara instansi/lembaga
untuk menyelesaikan masalah terhadap kekerasan perempuan dan
anak.
2. Keadaan Umum Tindak Pidana Pembuangan Bayi Di Kota Makassar
Kejahatan yang terjadi di kota Makassar dengan berbagai bentuk dan
jenisnya menjadi hal yang sangat gencar menjadi bahan pembicaraan di kalangan
masyarakat. Salah satu diantaranya adalah kejahatan pembuangan bayi. Ini
menunjukkan bahwa tingkat kesadaran untuk memelihara dan meningkatkan
52
kesejahteraan anak cenderung semakin berkurang dengan berbagai cara atau
modus operandi yang mereka lakukan untuk menjalankan aksinya.
Modus operandi yang dilakukan oleh para tersangka sangat rapi sehinga
tidak mudah untuk diketahui oleh para pelakunya, karena kasus pembuangan bayi
merupakan kasus yang tertutup.
Makassar sebagai salah satu kota besar yang ada di Sulawesi selatan,
memiliki kehidupan masyarakat yang tidak lepas dari pergaulan bebas (free sex).
Dalam kondisi masyarakat yang seperti ini cenderung menimbulkan permasalahan
yang kompleks, misalnya timbul berbagai macam tindak kejahatan yang
pelakunya tidak terbatas pada orang dewasa melainkan juga pada kalangan
remaja.
Kejahatan pembuangan bayi tidak terlepas dari perubahan pola kehidupan
masyarakat seiring dengan perkembangan zaman.
Kejahatan pembuangan bayi merupakan salah satu bentuk perubahan
sosial dalam masyarakat, dan mempunyai kaitan yang sangat erat dengan tingkah
laku dan penerimaan masyarakat itu sendiri, terhadap pengaruh perkembangan
kota yang begitu pesat. Tingkah laku menyimpang dalam bentuk kejahatan,
khususnya pembuangan bayi yang dilakukan orang tua kandung walaupun tidak
dikehendaki namun kenyataannya ia timbul dengan sendirinya seiring dengan
perputaran waktu.
53
B. Faktor Yang Menyebabkan TerjadinyaTindak Pidana Pembuangan Bayi
yang Dilakukan oleh Orang Tua Kandung Di kota Makassar
Sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis pada
Kantor Polrestabes Kota Makassar, maka penulis memperoleh data sebagai
berikut :
Tabel I
Jumlah kasus pembuangan bayi yang ditangani oleh Polrestabes Kota Makassar dari Tahun 2009-2012 :
Sumber : Polrestabes Kota Makassar
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah kasus pembuangan bayi
yang dilaporkan dan diselesaikan di Polrestabes Kota Makassar dari Tahun 2009-
2012 sebanyak 7 kasus. Dengan perincian dari tahun 2009 tidak ditemukan kasus,
tahun 2010 sebanyak 1 kasus pembuangan bayi, kemudian pada tahun 2011
keadaanya sama sebanyak 1 kasus, sedangkan pada tahun 2012 mengalami
peningkatan jumlah kasus pembuangan bayi sebanyak 5 kasus. Hal ini
54
No Tahun Jumlah Kasus Pembuangan Bayi
1.
2.
3.
4.
2009
2010
2011
2012
-
1
1
5
Jumlah 7
menggambarkan bahwa jumlah kasus pembuangan bayi yang ditangani oleh
Polrestabes Kota Makassar dari tahun 2009-2012 mengalami peningkatan.
Adapun wilayah penemuan bayi meliputi :
Tabel 2
Jumlah kasus pembuangan bayi dalam wilayah Porestabes kota Makassar dalam
kurun waktu 2009 - 2012
No TahunWilayah Polsek
Tamalate Panakukang Tamalanrea Biringkanaya
1
2
3
4
2009
2010
2011
2012
-
-
1
2
-
1
-
-
-
-
-
2
-
-
-
1
Jumlah 3 1 2 1
Sumber : Polrestabes Kota Makassar
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa dari 7 kasus pembuangan
bayi yang terjadi dalam wilayah hukum Polrestabes Kota Makassar antara tahun
2009 - 2012, angka yang tertinggi terjadi pada wilayah kerja Polsek Tamalate
dengan jumlah 3 kasus, Polsek Tamalanrea 2 kasus, Polsek Panakukang 1 kasus,
dan Polsek Biringkanaya 1 kasus.
Menurut Bardo ( Panit Idik Reskrim Polrestabes Kota Makassar,
wawancara Juli 2013 ) bahwa ada kemungkinan telah terjadi kasus pembuangan
bayi beberapa tahun terakhir, tapi ada kemungkinan masyarakat telah melaporkan
55
kasus tersebut di kantor kepolisian lain di sektor-sektor lain yang tersebar di
seluruh wilayah kota Makassar.
Hal ini terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis di
kantor Pengadilan Negeri Makassar, bahwa selama tahun 2009-2012 terdapat 3
kasus pembuangan bayi yaitu pada tahun 2010 dan tahun 2012. Hardianti, SH
(Hakim Pengadilan Negeri Makassar, wawancara Juli 2013 ) mengemukakan
bahwa kasus pembuangan bayi mungkin saja sering terjadi namun baru 3 kasus
yang sampai di Kantor Pengadilan Negri Makassar karena belum diketahui siapa
pelakunya. Hal ini disebabkan karena kasus pembuangan bayi termasuk kasus
tertutup dan dirahasiakan oleh pelaku maupun keluarganya, karena kasus
pembuangan bayi menyangkut aib keluarga dan pada umumnya baru terungkap
setelah ditemukan bayi, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal
yang diletakkan di tempat-tempat sepi atau di depan rumah salah satu warga atau
bahkan dibuang di tempat sampah dan baru diketahui oleh masyarakat setelah
beberapa waktu kemudian setelah bayi tersebut dibuang, sehingga mempersulit
pihak kepolisian untuk menemukan siapa pelakunya.
Kemudian penulis memperoleh data primer tentang penyebab terjadinya
pembuangan bayi. Data tersebut diperoleh langsung dari pelaku pembuangan bayi
di lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Makassar. Adapun jumlah pelaku
tindak pidana pembuangan bayi dapat dilihat dari tabel 3 sebagai berikut :
Tabel 3
56
Data Pelaku Pembuangan Bayi Di Lapas Kelas I Makassar Tahun
2009 - 2012 :
No Nama Pelaku (inisial) Lama Hukuman Penjara
(Tahun)
1
2
3
PPU
SM
IR
2,5
5
3
Sumber : Lapas Kelas I Makassar
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah pelaku tindak pidana
pembuangan bayi yang ada di lembaga pemasyarakatan kelas I Makassar pada
tahun 2009 - 2012 sebanyak 3 orang. Data pelaku pembuangan bayi yang ada di
kantor Pengadilan Negeri Makassar dan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan
terdapat tahanan titipan dari Pengadilan Negeri lain seperti Pengadilan Negri
Maros, Sungguminasa, dan lain sebagainya, sehingga total pelaku pembuangan
bayi yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Tingkat I berjumlah 5 orang.
Pada umumnya seorang orang tua tidak ada yang tegah membuang
bayinya sendiri, kecuali dalam keadaan terpaksa atau karena kondisi kejiwaan
salah satu orang tuanya sedang terganggu. Meskipun demikian tidak ada alasan
yang membenarkan perbuatan tersebut.
57
Secara umum ada beberapa alasan yang menyebabkan sehingga seorang
ibu tegah membuang anaknya antara lain :
1. Faktor Hubungan Di Luar Nikah
Salah satu faktor yang menyebabkan perubahan-perubahan sosial dan
kebudayaan dalam hubungannya dengan problema sosial adalah pengaruh
kebudayaan masyarakat, terutama kebudayaan barat yang diterapkan begitu saja
sehingga tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari turut pula mewarnai pergaulan
yang menjerumuskan pada perbuatan maksiat yang dianggap sebagai suatu hal
yang biasa dengan mengatas namakan cinta tanpa memperdulikan norma-norma
yang ada. Seperti yang dialami oleh SM dan PPU (Pelaku Pembuangan Bayi,
wawancara Juli 2013), keduanya mengaku berani melakukan hubungan badan
dengan lelaki yang sudah memacarinya karena alasan saling mencintai dan atas
dasar suka sama suka, namun setelah hamil laki-laki itu meninggalkannya.
2. Faktor Malu
Sebagai mana kita ketahui bahwa sebagai orang Bugis-Makassar ada suatu
budaya yang disebut dengan budaya siri’ yang mengandung dua unsur yakni malu
dan harga diri. Budaya masyarakat Sulawesi Selatan yang menyatakan bahwa
tidak ada nilai moral yang lebih penting dari budaya siri’.
Bertitik tolak pada pandangan suatu nilai-nilai yang dimiliki, mampu
mendorong seseorang untuk berbuat apa saja untuk mempertahankan serta
membela harga dirinya. Seperti yang dialami oleh IR, (Pelaku Pembuangan Bayi,
wawancara Juli 2013), setelah ditinggal oleh laki-laki yang telah menghamilinya,
58
ia kemudian kembali ke rumah orang tuanya dan merahasiakan kehamilannya
kepada keluarganya dan baru diketahui pada saat akan melahirkan dan hal ini
menimbulkan kemarahan keluarganya. Hal inilah yang mendorong pelaku untuk
membuang bayinya.
3. Faktor Kurangnya Pemahaman Terhadap Nilai-Nilai Keagamaan
Salah satu ciri masyarakat Indonesia adalah percaya kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Seluruh masyarakat Indonesia pasti memeluk salah satu agama yang
berkembang dan diperlukan adanya ketaatan terhadap agama yang dianutnya.
Padahal pendidikan agama sangat penting bagi manusia untuk diajarkan sedini
mungkin kepada anak karena di dalam ajaran agama itu sendiri menganut ajaran
untuk saling kasih mengasihi, sayang menyayangi dan cinta mencintai karena
sesuai kodrat manusia dalam dirinya terdapat rasa cinta dan kasih.
4. Faktor Reaksi Emosi Ibu
Kehadiran seorang anak oleh ibunya diterima dalam berbagai sikap ada
yang senang dan ada pula yang sebaliknya. Sikap yang tidak senang merupakan
reaksi emosional dari sang ibu. Kehidupan emosional ibu tersebut sangat
dipengaruhi oleh unsure - unsur ketidak sadaran antara lain terauma psikis,
kekecewaan, frustrasi, konflik batin, harapan ilusif, dan sebagainya. Unsur yang
tidak disadari ini ikut menentukan kondisi sang ibu dan arti kehadiran anak
tersebut bagi sang ibu, apakah membawa kebahagiaan atau tidak.
Kebencian dan kekecewaan sang ibu terhadap suami atau pria yang telah
menghamilinya mengakibatkan hubungan sang ibu dan anak kandungnya
59
dipenuhi emosi-emosi negatif yang tidak disadari dan protes keras terhadap
eksistensi anak, karena sang ibu menganggap bahwa suami atau pria yang
menghamilinya merupakan sumber utama penyebab dari segala permasalahan dan
kesulitan yang dihadapinya. Selanjutnya emosi-emosi negatif terhadap suami atau
pria yang menghamilinya ditimpahkan pada sang anak sebagai penyebab kedua
dari permasalahan yang dihadapinya. IR dan SM mengaku tega membuang
bayinya karena mereka kecewa pada pria atau suami yang lari dari tanggung
jawab. PPU mengaku tegah membuang bayinya karena suaminya bersikap acuh
tak acuh dengan tidak memperhatikan dan tidak mengakui bahwa anak yang
dikandungnya adalah anaknya (wawancara Juli 2013).
5. Faktor Ekonomi
Umumnya keterbelakangan ekonomi dengan kebiasaan yang buruk dari
“kebudayaan kemiskinan” menumbuhkan keterbelakangan moril pada kelompok-
kelompok masyarakat tertentu Khususnya pada masyarakat miskin.
Dari hasil penelitian penulis membuktikan adanya korelasi yang akrab
antara kemiskinan dengan kejahatan yang mendorong seseorang untuk melakukan
tindak pidana ( tindak Kriminalitas ).
6. Faktor Keluarga
Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang sangat berperan bagi
masyarakatnya yang sangat berperan bagi perkembangan anak. Keluarga
merupakan lingkungan yang paling kuat dalam membesarkan anak, serta
merupakan lingkungan yang paling berperan dalam membimbing pola dan
60
tingkah laku anak. Pendidikan yang baik oleh orang tua dalam melahirkan anak
yang baik dan bertanggung jawab dengan menanamkan ajaran agama dan selalu
memprhatikan perkembangan anak, sehingga anak akan terhindar dari pergaulan
bebas.
Disisi lainya,Lusi Palulungan ( Mantan Ketua LBH APIK) mengemukakan
bahwa untuk mengetahui faktor yang menyebabkan sehingga seorang ibu tegah
membuang bayinya dapat dilihat dari status perkawinannya, yakni :
a. Ibu tidak mempunyai ikatan perkawinan.
Menurut Lusy Palulungan ( Mantan Ketua LBH APIK) bahwa
seorang wanita yang tidak terikat dalam suatu ikatan perkawinan atau hamil
di luar nikah, mempunyai kecenderungan lebih besar untuk membuang
bayinya, karena :
- Faktor kurangnya pemahaman terhadap nilai-nilai ajaran agama.
Sebagai mana kita ketahui bahwa masyarakat Sulawesi Selatan
dominan menganut agama islam, dan di dalam islam itu sendiri
menganggap bahwa seorang anak yang lahir dari suatu hubungan
diluar suatu ikatan perkawinan dianggap anak haram dan bagi
seorang ibu dianggap telah melakukan suatu perbuatan dosa besar
yang tak terampuni, dan tidak ada seorang wanita pun yang ingin
dicap seperti itu oleh masyarakat, serta tidak ada seorang ibu yang
mau anaknya dianggap sebagai anak haram, karena keadaan inilah,
61
maka seorang ibu lebih memilih membuang bayinya daripada
memeliharanya.
- Faktor Malu
Selain agama, budaya juga merupakan alasan yang
menyebabkan sehingga seorang ibu tega membuang bayinya
Karena budaya yang berkembang di masyarakat kususnya
masyarakat suku Bugis/Makassar sangat keras. Hal ini dapat dilihat
dari adanya budaya siri’, masyarakat Bugis/Makassar lebih
memilih mati dari pada harga diri mereka diinjak-injak dan sanksi
yang diberikan oleh masyarakat terhadap pelaku pelanggaran
terhadap budaya siri’ tersebut sangat berat. Hal inilah yang menjadi
alasan seorang ibu yang hamil di luar nikah untuk membuang
bayinya karena takut pada sanksi yang akan diberikan oleh
masyarakat.
- Faktor Perlindungan Hukum
Di dalam KUHP atau Undang-undang lain tidak ada satu pun
aturan yang memberikan perlindungan hukum kepada wanita yang
hamil tanpa seorang suami atau hamil di luar nikah, sehingga hal
inilah yang menyebabkan sehingga seorang wanita yang hamil
tanpa suami tega membuang bayinya. Seharusnya di dalam aturan
perundang-undangan ada aturan khusus yang mengatur masalah
tersebut dan hal tersebut dapat dijadikan dasar hukum yang kuat
bagi wanita tersebut meminta pertanggung jawaban apabila laki-
62
laki yang telah menghamilinya dan tegah meninggalkannya tanpa
diketahui dimana keberadaanya. Selain itu dapat pula dijadikan
dasar hukum yang kuat dari segala bentuk hukuman yang diberikan
oleh masyarakat.
2) Seorang Ibu Yang Terikat Pada Status Pekawinan
Tidak ada seorang ibu kandung yang tegah membuang bayinya
tanpa alasan dan bukan karena terpaksa. Walaupun demikian, sang ibu
tetap mendapat ganjaran atas perbuatannya. Adapun yang menjadi
alasan sehingga seorang ibu yang sudah terikat tega membuang
bayinya karena :
- Faktor Ekonomi
Selain satu faktor yang menyebabkan seorang ibu membuang
bayinya adalah karena keadaan ekonomi yang kurang. Hal ini
disebabkan karena adanya ketidakberdayaan sang ibu untuk
membiayai kebutuhan sang anak. Karena keadaan ekonomi yang
minim dan ibu tidak ingin melihat anaknya hidup dalam
kemiskinan, maka anak tersebut rela ia buang atau sengaja ia
letakkan di depan rumah yang dianggapnya mampu untuk
memelihara dan memenuhi kehidupan anaknya.
- Faktor psikologis
63
Anak adalah titipan Tuhan dan setiap ibu pasti mengharapkan
kehadirannya, tetapi tidak semua anak yang lahir itu diharapkan
oleh orang tuanya, anak yang lahir dari rahim seorang ibu yang
memiliki kelainan jiwa dianggap sebagai sumber dari permasalahan
dan kesulitan yang dihadapinya (Wawancara Juli 2013).
Hal ini jelas bertentangan dengan yang diatur dalam pasal 7 ayat
(1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan
anak, yakni setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya,
dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya.
C. Upaya Penanggulangan Delik Pembuangan Bayi
Delik pembuangan bayi merupakan suatu kejahatan yang sudah lama
meresahkan masyarakat, sehingga mendorong para anggota masyarakat, pejabat
yang berwenang, bersama-sama masyarakat dengan potensi yang memadai
berupaya dengan sungguh-sungguh mengadakan pencegahan dan penanggulangan
delik pembuangan bayi, yaitu:
1. Pihak Kepolisian
Menurut Bardo (Panit Reskrim Polrestabes Kota Makassar, wawancara
Juli 2013), ) bahwa upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh pihak kepolisian
untuk menanggulangi tindak pidana pembuangan bayi yaitu :
a. Upaya Preventif
64
Upaya preventif merupakan upaya penanggulangan yang dilakukan untuk
mencegah kejahatan yang baru pertama kali akan dilakukan oleh seseorang.
Adapun upaya preventif yang dapat dilakukan yaitu :
1) Mengadakan penyuluhan hukum kepada masyarakat.
Arti penting penyuluhan hukum terhadap masyarakat dimaksudkan
untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman serta mendidik
masyarakat supaya mereka mengerti hukum, sehingga mereka akan
lebih menghargai dan mematuhi hukum yang brlaku dengan sebaik-
baiknya. System hukum yang harus dipatuhi dan ditaati serta dipahami
oleh masyarakat tidak hanya terbatas pada hukum tertulis saja tetapi
yang lebih luas di dalamnya hukum adat serta norma-norma yang
tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Sebagai implikasi penyuluhan hukum di tengah-tengah masyarakat
khususnya kaum wanita perlu dilakukan sedini mungkin dengan
harapan bahwa mereka akan memiliki kesadaran hukum yang tinggi.
Dengan demikian kehidupan masyarakat yang sering resah dan merasa
tidak nyaman karena adanya seorang ibu yang tega membuang
bayinya berangsur-angsur akan hilang.
2) Melakukan Razia
Pihak kepolisian sebagai aparat penegak hukum dalam melakukan
upaya preventif dengan melakukan razia ke tempat-tempat yang
dianggap rawan seperti tempat kost. Razia ini dilakukan sebagai upaya
65
penanggulangan kejahatan. Hal ini bertujuan untuk menanggulangi
kejahatan pembuangan bayi, mengingat bahwa kota Makassar
merupakan daerah yan sering ditemukan kasus pembuangan bayi.
b. Upaya Represif
Upaya represif merupakan upaya yang memerlukan tindakan
kepolisian dalam menanggulangi kejahatan setelah kejahatan itu
dilakukan. Adapun upaya represif yang dilakukan yakni :
1) Melakukan penyidikan
Kejadian atau peristiwa yang memerlukan tindakan polisi yang
dilaporkan oleh saksi ataupun yang dilaporkan oleh polisi yang
bertugas. Dalam hal pemeriksaan polisi terhadap suatu peristiwa
kejahatan melalui pemeriksaan pendahuluan, berusaha menemukan
barang bukti, mencari tersangka, memeriksa tersangka dan saksi,
pengusutan secara intensif terhadap tempat kejadian perkara untuk
mencari saksi dan keterangan yang dibutuhkan dalam pemeriksaan
suatu kejahatan.
2) Penghukuman.
Sistem penghukuman yang diterapkan terhadap pelaku tindak
pidana pembuangan bayi adalah system pemasyarakatan bukan system
penjara. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan hukuman yang
semaksimal mungkin kepada pelaku sehingga timbul efek jera
terhadap pelaku
66
2. Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga pemasyarakat merupakan lembaga milik Negara yang menjadi
tempat para pelaku kejahatan dalam melaksanakan hukuman yang diberikan
kepadanya, lembaga pemasyarakatan selain berfungsi sebagai tempat bagi pelaku
menjalankan hukuman, mereka juga dididik dan dibina serta dibekali suatu
keterampilan agar kelak setelah mereka bebas, mereka menjadi orang yang
berguna dan dapat berintegrasi kembali dengan masyarakat dan bukan lagi
menjadi narapidana yang meresahkan masyarakat karena perbuatan jahat yang
dilakukannya, sehingga kehidupan yang mereka jalanai setelah keluar dari penjara
dapat lebih baik karena kesadaran mereka untuk melakukan perubahan di dalam
dirinya maupun bersama dengan masyarakat yang ada di sekitarnya.
3. Lembaga Bantuan Hukum
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) merupakan lembaga sosial yang
memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak yang membutuhkan bantuan
hukum khusus yang diperuntukkan bagi kaum perempuan yang berhadapan
dengan hukum, yang bersifat independen, tidak berada di bawah naungan parpol
maupun agama, ras, golongan, suku tertentu, dan tidak menjadi sub-ordinat
lembaga lain manapun baik pemerintah maupun non-pemerintah. Lembaga ini
didirikan atas komitmen untuk memperjuangkan kepentingan dan pemenuhan
hak-hak perempuan, khususnya terhadap perempuan yang berkonflik dengan
hukum. Adapun langkah represif yang dilakukan oleh perempuan yang telah
melakukan pembuangan bayi yaitu memberikan keterampilan dan bantuan modal
67
kepada sang ibu agar dia memperoleh penghasilan untuk membiayai hidupnya ke
depan ( wawancara Juli 2013 ).
4. Masyarakat
Penanggulangan kejahatan sebagai upaya untuk meciptakan ketertiban
dan perasaan aman masyarakat dapat dilakukan dengan cara :
a) Perbaikan lingkungan yang kurang sehat, karena lingkungan yang
buruk akan mempengaruhi tingkah laku seseorang dan masyarakat.
Diusia yang masih belia seseorang akan sangat mudah terpengaruh
pergaulan yang tidak sehat.
b) Penyuluhan agama dapat dilaksanakan dengan mengadakan kerja sama
dengan para tokoh-tokoh agama.
c) Memberi nasehat secara langsung kepada pihak yang bersangkutan agar
meninggalkan kegiatan yang tidak sesuai dengan norma-norma yang
berlaku, yakni norma agama, norma hukum, norma sosial dan susila.
d) Langkah terakhir yang harus dilakukan oleh masyarakat untuk
menanggulangi kejahatan pembuangan bayi yaitu berani melaporkannya
kepada pejabat yang berwenang tentang adanya perbuatan tindak pidana
pembuangan bayi sehingga segera diadakan upaya prevensi secara
menyeluruh.
Hal lain yang perlu dilakukan oleh keluarga dan masyarakat adalah
jika terjadi kasus kehamilan yang terjadi di luar nikah, diharapkan secara
bertahap berusaha menghilangkan mereka dari rasa bersalah, berdosa,
dan dari konflik-konflik batin lainnya. Menyangkut masalah kewajiban
68
dan tanggung jawab masyarakat diatur dalam pasal 25 Undang-Undang
perlindungan anak No. 23 Tahun 2002.
Dalam pelaksanaan di lapangan banyak ditemukan kendala-kendala yang
dihadapi oleh pihak kepolisian dalam upayanya menangani tindak pidana
pembuangan bayi. Seperti yang dikemukakan oleh Bardo ( Panit Reskrim Polresta
Kota Makassar, wawancara Juli 2013 ), yaitu :
a. Adanya kesulitan mengungkap pelaku
kejahatan pembuangan bayi karena kasus pembuangan bayi merupakan
kasus yang tertutup
b. Kurangnya partisipasi masyarakat dalam hal
melaporkan terjadinya tindak pidana pembuangan bayi.
B. Pembahasan Hasil Penelitian
Persoalan kejahatan dengan modus kejahatan menjadi masalah yang sering
dihadapi oleh bangsa dan negara di muka bumi ini. Dalam wilayah sosial, masalah
kekerasan yang dikaitkan dengan kasus - kasus kriminalitas cenderung semakin
keras dan brutal. Hal ini mengisyaratkan bahwa kejahatan dengan modus
kekerasan tetap mengalami pasang surut. Problem kriminalitas yang menakutkan
bagi masyarakat yang kemunculannya biasanya tidak dapat diduga atau tiba – tiba
saja terjadi disuatu lingkungan dan komunitas yang melahirkan kejahatan karena
kejahatan tumbuh, berkembang dan sejajar dengan perkembangan masyarakat itu
sendiri.
69
Di antara anggota masyarakat yang sangat rentang menjadi korban
kejahatan adalah anak-anak, bahkan tidak jarang menimpa bayi yang baru lahir.
Mereka menjadi objek pelecehan dan perampasan hak, karena mereka berada
dalam posisi ketidak berdayaan untuk menghadapi individu yang lebih kuat dan
berkuasa dari mereka.
Kasus pembuangan bayi yang dilaporkan dan diselesaikan di Polrestabes
Kota Makassar dari Tahun 2009 - 2012 sebanyak 7 kasus. Dengan perincian dari
tahun 2009 tidak ditemukan kasus, tahun 2010 sebanyak 1 kasus pembuangan
bayi, kemudian pada tahun 2011 keadaanya sama sebanyak 1 kasus, sedangkan
pada tahun 2012 mengalami peningkatan jumlah kasus pembuangan bayi
sebanyak 5 kasus. Hal ini menggambarkan bahwa jumlah kasus pembuangan bayi
yang ditangani oleh Polrestabes Kota Makassar dari tahun 2009 - 2012
mengalami peningkatan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa
dari 7 kasus pembuangan bayi yang terjadi dalam wilayah hukum Polrestabes
Kota Makassar antara tahun 2009 - 2012, angka yang tertinggi terjadi pada
wilayah kerja Polsek Tamalate dengan jumlah 3 kasus, Polsek Tamalanrea 2
kasus, Polsek Panakukang 1 kasus, dan Polsek Biringkanaya 1 kasus.
Menurut hemat penulis bahwa terjadinya kasus pembuangan bayi yang
terjadi dalam wilayah hukum Polsek Tamalate, Polsek Tamalanrea, Polsek
Panakukang, dan Polsek Biringkanaya tidak terlepas dari kondisi pemukiman dan
warga yang menghuni pemukiman tersebut. Dalam wilayah yang teridentifikasi
70
terjadi tindak pidana pembuangan bayi merupakan kawasan pemukiman yang
padat dan dihuni oleh orang-orang yang bertempat tinggal sementara dan
cenderung berpindah-pindah tempat. Dari pengamatan penulis terhadap wilayah
tempat terjadinya tindak pidana pembuangan bayi, wilayah tersebut dihuni oleh
komunitas mahasiswa dan komunitas pekerja yang datang ke kota Makassar.
Dari 7 jumlah kasus tindak pidana pembuangan bayi yang terjadi dalam
wilayah hukum Polrestabes kota Makassar terdapat 4 kasus yang tidak
dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Kota Makassar dengan alasan tidak cukup
bukti , karena pihak kepolisian sulit menemukan pelaku tindak pidana hal ini
memberikan gambaran bahwa dalam melakukan penanganan kasus tindak pidana
pembuangan bayi membutuhkan kejelian dan kerja keras untuk mengungkapnya.
Secara umum ada beberapa faktor yang menjadi alasan yang menyebabkan
sehingga orang tua melakukan tindak pidana pembuangan bayi antara lain:
terjadinya hubungan suami istri di luar nikah yang menyebabkan kehamilan, rasa
malu, kurangnya pemahaman dan pelaksanaan nilai-nilai keagamaan, reaksi
emosional seorang ibu karena merasa tertekan yang diakibatkan oleh ketidak
siapannya menerima kehadiran bayinya, ekonomi, keluarga.
Disamping faktor-faktor tersebut di atas terdapat juga faktor yang ikut
mendorong terjadinya tindak pidana pembuangan bayi, yakni rendahnya jaminan
perlindungan hukum yang diberikan kepada seorang perempuan yang mengalami
kehamilan tanpa memiliki suami.
71
Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana pembuangan bayi yang
terjadi dalam wilayah hukum Polrestabes Kota Makassar relevan dengan pendapat
Walyo (1990), tentang berbagai faktor-faktor pendorong terjadinya tindak pidana
adalah faktor lingkungan dan faktor diri sendiri.
Untuk mencegah terjadinya tindak pidana pembuangan bayi yang dilakukan
oleh orang tua kandung sedapat mungkin melibatkan semua pihak termasuk
didalamnya adalah, pihak pemerintah dan masyarakat bersinergi untuk melakukan
upaya-upaya penanggulangan terjadinya tindak pidana yang ada di sekitarnya baik
secara prefentif maupun refresif, termasuk tindak pidana pembuangan bayi.
Disamping aspek-aspek pencegahan yang telah diketengahkan di atas, yang
tidak kalah pentingnya adalah adanya penerapan sanksi yang didasarkan pada
ketentuan hukum yang berlaku secara adil dan proporsional dapat mencegah
perbuatan tindak pidana pembuangan bayi. Dengan adanya penerapan sangksi
yang tegas membuat masyarakat mendapatkan efek jerah untuk melakukan
perbuatan tindak pidana pembuangan bayi.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
72
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai tindak pidana pembuangan bayi yang
dilakukan oleh orang tua kandung ( Studi Kasus pada Polrestabes Kota Makassar),
disimpulkan bahwa:
1. Faktor yang menjadi alasan yang menyebabkan sehingga orang tua melakukan
tindak pidana pembuangan bayi antara lain: terjadinya hubungan suami istri di
luar nikah yang menyebabkan kehamilan, rasa malu, kurangnya pemahaman
dan pelaksanaan nilai-nilai agama, reaksi emosional seorang ibu karena merasa
tertekan yang diakibatkan oleh ketidak siapannya menerima kehadiran bayinya,
ekonomi, keluarga, dan rendahnya perlindungan hukum yang diterima oleh
perempuan apabila terjadi kehamilan tanpa adanya suami.
2. Upaya-upaya penjegahan terjadinya tindak pidana pembuangan bayi yang
dilakukan oleh orang tua kandung melalui tindakan preventif berupa:
penyuluhan hukum dan melakukan razia dari pihak aparat kepolisian dan pihak
terkait secara berkala. Disamping itu ada upaya represif berupa: melakukan
penyidikan terhadap kasus tindak pembuangan bayi yang ditemukan sampai
tahap penghukuman.
B. Saran
73
Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, maka penulis menyarankan hal-hal
sebagai berikut:
1. Bagi penegak hukum khususnya pihak kepolisian hendaknya pro aktif
melakukan upaya-upaya pencegahan tindak pidana dalam rangka memberikan
perlindungan dan rasa aman kepada masyarakat melalui terwujudnya
kantibmas yang kondusif, sekaligus memberikan kepastian hukum terhadap
setiap tindak pidana yang terjadi tanpa padang buluh.
2. Masyarakat hendaknya menyadari bahwa terciptanya keamanan dan ketertiban
tidak lepas dari peran aktif semua pihak, untuk itu masyarakat hendaknya
meningkatkan kewaspadaan terhadap kondisi lingkungannya dan hendaknya
melakukan kegiatan-kegiatan positif untuk mencegah tindakan-tindakan yang
memancing terjadinya tindak pidana.
3. Lembaga peradilan sebagai ujung tombak penegakan hukum hendaknya
menjatuhkan sanksi secara proporsional berdasarkan ketentuan hukum yang
berlaku untuk mencegah terjadinya tindak ppidana pembuangan bayi oleh
orang tua kandung di tengah-tengah masyarakat.
74