Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw

download Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw

of 22

Transcript of Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw

  • 7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw

    1/22

    EVALUASI IMPLEMENTASI RENCANA TATA RUANG

    WILAYAH KAWASAN PESISIR PERKOTAAN

    KABUPATEN MUNA

    OLEH:

    NAMA : NATSIR, S.Sos

    STAMBUK : G2F113006

    PROGRAM PASCA SARJANA

    UNIVERSITAS HALUOLEO

    KENDARI

    2013

  • 7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw

    2/22

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan (archiphelagic state) dengan

    jumlah pulau besar dan kecil lebih dari 17.500 buah dan panjang garis pantai lebih

    dari 81.000 km (Dahuri, 2001) menjadikan wilayah pesisir memiliki potensi

    sumberdaya alam yang sangat besar. Wilayah pesisir beserta sumberdaya alamnya

    memiliki arti penting bagi pembangunan ekonomi bangsa Indonesia, terlebih pada

    saat ini bangsa Indonesia dilanda krisis ekonomi yang berkepanjangan. Nilai dan arti

    penting pesisir dan laut bagi bangsa Indonesia dapat dilihat dari dua aspek,Pertama,

    secara sosial ekonomi, wilayah pesisir dan laut memiliki arti penting karena:

    a) dihuni oleh sekitar 140 juta (60%) penduduk Indonesia (denganpertumbuhan rata-rata 2 % pertahun);

    b) sebagian besar kota (provinsi dan kabupaten) terletak di kawasan pesisir;c) kontribusi sektor kelautan terhadap PDB nasional 20,06 % pada tahun 1998;d) industri kelautan (coastal industries) menyerap lebih dari 16 juta tenaga kerja

    secara langsung (Kusumastanto, 2000).

    Kedua, secara biofisik, wilayah pesisir dan laut Indonesia memiliki arti peting

    karena:

    a) Indonesia memiliki garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada (sekitar81 km);

    b) sekitar 75 % dari wilayahnya merupakan wilayah perairan (sekitar 5,8 jutakm termasuk ZEEI;

    c) Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlahpulau sekitar 17.508 pulau;

    d) memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi (Dahuri, 2001).Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Integrated Zone

    Planning and Management) telah diadopsi oleh pemerintah sebagai suatu model

    pengelolaan yang dinilai dapat menjamin keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya

    yang ada di wilayah pesisir. Secara nasional, kisi-kisi pengelolaan mengamanatkan

    perlunya aspek keterpaduan dalam penerapan sistem perencanaan sehingga unsur-

  • 7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw

    3/22

    unsur perencana terlibat secara aktif dalam seluruh tahapan pengelolaan (Pemerintah

    Provinsi Sulawesi Selatan, 2006).

    Implementasi pengelolaan terpadu telah diterapakan sejumlah daerah di

    Indonesia sejak awal tahun 1990-an melalui beberapa proyek, seperti pengelolaan

    terumbu karang (Coremap)dan proyek pengelolaan pesisir (CRMP). Dan pada tahun

    2002, pemerintah merasa perlu menjabarkan sistem perencanaan pengelolaan wilayah

    pesisir dan laut dalam bentuk Keputusan Menteri Nomor 10/2002 tentang Pedoman

    Umum Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut (Departemen Kelautan dan Perikanan,

    2005).

    Perencanaan pengelolaan terpadu wilayah pesisir yang dimaksudkan dalam

    Kepmen ini merupakan suatu kebijakan riil dalam membangun sistem perencanaan

    pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia. Dalam surat keputusan itu, diisyaratkan

    bahwa perencanaan pengelolaan pesisir seyogianya didasarkan pada empat dokumen

    perencanaan hierarkis, yaitu Rencana Strategis (Strategic Plan), Rencana Zonasi

    (Zonation Plan), Rencana Pengelolaan (Management Plan) dan Rencana Aksi

    (Action Plan). Keempat dokumen perencanaan tersusun secara hierarkis, artinya

    dokumen yang satu merupakan penjabaran dari dokumen yang berada di atas

    tingkatan dan bersifat koheren, artinya pendekatan dan substansi perencanaan harus

    konsisten bagi pemerintah daerah yang menyusunnya.

    Salah satu pedoman untuk melakukan implementasi pengelolaan yang baik

    adalah dengan mengacu pada sebuah perencanaan yang terpadu, dalam bentuk

    dokumen rencana pengelolaan terpadu yang disusun dengan mempertimbangkan

    berbagai kondisi objektif, antara lain kondisi dan potensi geografis, kultural daerah,

    kemampuan pembiayaan daerah, sumberdaya manusia sebagai pendukung, serta

    kelembagaan yang terkait yang diharapkan mampu mengimplementasikan rencana

    strategis tersebut (Jompa, 2006).

    Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis mengadakan penelitian

    tentang evaluasi implementasi rencana tata ruang wilayah kawasan pesisir perkotaan

    Kabupaten Muna.

  • 7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw

    4/22

    1.2. Rumusan Masalah

    Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka ditarik rumusan masalah:

    Apakah rencana penataan tata ruang wilayah pesisir yang telah disusun oleh

    Pemerintah Kabupaten Muna telah diimplementasikan sesuai dengan rencana yang

    termuat dalam dokumen?

    1.3.Tujuan Penelitian1. Untuk menganalisis dokumen rencana penataan tata ruang wilayah pesisir

    yang telah disusun oleh Pemerintah Kabupaten Muna.

    2. Untuk menganalisis sampai seberapa jauh implementasi dari dokumenrencana penataan tata ruang wilayah pesisir yang telah disusun oleh

    Pemerintah Kabupaten Muna.

    1.4.Manfaat PenelitianPenelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut :

    1. Sebagai bahan banding dan rujukan bagi para peneliti yang relevankhususnya dalam bidang penataan tata ruang wilayah pesisir.

    2. Sebagai bahan informasi kepada stakeholder di Kabupaten Muna, khususnyainstansi teknis yang terlibat dalam menyusun rencana penataan tata ruang

    wilayah pesisir yang telah disusun oleh Pemerintah Kabupaten Muna.

  • 7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw

    5/22

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Konsep Ruang dan Wilayah

    Ruang adalah wadah kehidupan manusia beserta sumberdaya alam yang

    terkandung di dalamnya meliputi bumi, air dan ruang angkasa sebagai satu kesatuan.

    Konsep ruang mempunyai beberapa unsur, yaitu: jarak, lokasi, bentuk, dan ukuran.

    Konsep ruang sangat berkaitan erat dengan waktu, karena pemanfaatan bumi dan

    segala kekayaannya membutuhkan organisasi/pengaturan ruang dan waktu. Unsur-

    unsur tersebut di atas secara bersama-sama menyusun unit tata ruang yang disebut

    wilayah (Budiharsono, 2001).

    Selanjutnya Budiharsono (2001) menyebutkan definisi wilayah sebagai suatu

    unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung

    secara internal dalam dimensi ruang yang merupakan wadah bagi kegiatan-kegiatan

    sosial ekonomi yang memiliki keterbatasan serta kesempatan ekonomi yang tidak

    sama. Disamping itu, perlu pula diperhatikan bahwa kegiatan sosial ekonomi dalam

    ruang dapat menimbulkan dampak positif maupun negative terhadap kegiatan

    lainnya.

    Rustiadi et al. (2002) membagi konsep wilayah atas enam jenis, yakni:

    (1) Konsep-konsep wilayah klasik, yang mendefinisikan wilayah sebagai unitgeografis dengan batas-batas spesifik dimana komponen-komponen dari

    wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional;

    (2) Wilayah homogen, yaitu wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataanbahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen,

    sedangkan faktor-faktor yang tidak dominant bisa bersifat heterogen. Pada

    umumnya wilayah homogen sangat dipengaruhi oleh potensi sumberdaya

    alam dan permasalahan spesifik yang seragam. Dengan demikian konsep

    wilayah homogen sangat bermanfaat dalam penentuan sector basis

    perekonomian wilayah sesuai dengan potensi/daya dukung utama yang ada

    dan pengembangan pola kebijakan yang tepat sesuai dengan permasalahan

    masing-masing wilayah;

  • 7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw

    6/22

    (3) Wilayah nodal, menekankan perbedaan dua komponenkomponen wilayahyang terpisah berdasarkan fungsinya. konsep wilayah nodal diumpamakan

    sebagai suatu sel hidup yang mempunyai inti dan plasma. Inti adalah

    pusat-pusat pelayanan/pemukiman, sedangkan plasma adalah daerah

    belakang (hinterland);

    (4) Wilayah sebagai sistem, dilandasi atas pemikiran bahwa komponen-komponen di suatu wilayah memiliki keterkaitan dan ketergantungan satu

    sama lain dan tidak terpisahkan;

    (5) Wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataanterdapatnya sifat-sifat tertentu pada wilayah baik akibat sifat alamiah

    maupun non alamiah sehingga perlu perencanaan secara integral;

    (6) Wilayah administratif-politis, berdasarkan pada suatu kenyataan bahwawilayah berada dalam satu kesatuan politis yang umumnya dipimpin oleh

    suatu sistem birokrasi atau sistem kelembagaan dengan otonomi tertentu.

    wilayah yang dipilih tergantung dari jenis analisis dan tujuan

    perencanaannya. Sering pula wilayah administratif ini sebagai wilayah

    otonomi. Artinya suatu wilayah yang mempunyai suatu otoritas melakukan

    keputusan dan kebijaksanaan sendiri-sendiri dalam pengelolaan sumberdaya-

    sumberdaya di dalamnya.

    2.2. Pengertian dan Definisi Wilayah Pesisir

    Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan darat dan laut, dengan batas darat

    dapat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih

    mendapat pengaruh sifat-sifat laut, seperti angin laut, pasang surut, dan intrusi air

    laut. Ke arah laut, perairan pesisir mencakup bagian batas terluar dari daerah paparan

    benua yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat, seperti

    sedimentasi dan aliran air tawar.

    Definisi wilayah seperti diatas memberikan suatu pengertian bahwa

    ekosistem perairan pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai

    kekayaan habitat beragam, di darat maupun di laut serta saling berinteraksi. Selain

    mempunyai potensi besar wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang mudah

    terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan secara langsung

  • 7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw

    7/22

    maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem perairan pesisir

    (Dahuri et al., 1996).

    Menurut Dahuri et al. (1996), hingga saat ini masih belum ada definisi

    wilayah pesisir yang baku. Namun demikian, terdapat kesepakatan umum di dunia

    bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan.

    Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line), maka wilayah pesisir

    mempunyai dua macam batas (boundaries)yaitu batas yang sejajar garis pantai (long

    shore)dan batas yang tegak lurus garis pantai (cross shore).

    Untuk kepentingan pengelolaan, batas ke arah darat suatu wilayah pesisir

    ditetapkan dalam dua macam, yaitu wilayah perencanaan (planning zone) dan batas

    untuk wilayah pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan keseharian (day-to-day

    management). Batas wilayah perencanaan sebaiknya meliputi seluruh daerah daratan

    dimana terdapat kegiatan manusia (pembangunan) yang dapat menimbulkan dampak

    secara nyata terhadap lingkungan dan sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan,

    sehingga batas wilayah perencanaan lebih luas dari wilayah pengaturan.

    Dalam day-to-day management, pemerintah atau pihak pengelola memiliki

    kewenangan penuh untuk mengeluarkan atau menolak izin kegiatan pembangunan.

    Sementara itu, bila kewenangan semacam ini berada di luar batas wilayah pengaturan

    (regulation zone), maka akan menjadi tanggung jawab bersama antara instansi

    pengelola wilayah pesisir dalam regulation zone dengan instansi/lembaga yang

    mengelola daerah hulu atau laut lepas.

    Analisis kebijakan adalah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan

    berbagai metode penelitian dan argumen menghasilkan dan memindahkan informasi

    yang relevan dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan ditingkat politik dalam

    rangka memcahkan masalah kebijakan (Dun, 1998). Kebijakan adalah dasar bagi

    pelaksanaan kegiatan atau pengambilan keputusan dengan maksud untuk membangun

    suatu landasan yang jelas dalam pengambilan keputusan dan langkah yang diambil.

    Kebijakan didasarkan pada masalah yang ada di daerah, selanjutnya kebijakan harus

    secara terus menerus dipantau, direvisi, dan ditambah agar tetap memenuhi

    kebutuhan yang terus berubah. Disebutkan juga bahwa analisis kebijakan tidak hanya

    membatasi diri pada pengujian-pengujian teori deskriptif umum maupum teori-teri

    ekonomi karena masalah-masalah kebijakan yang kompleks, dimana teori-teori

  • 7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw

    8/22

    semacam ini seringkali gagal untuk memberikan informasi yang memungkinkan para

    pengambil kebijakan juga menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan

    yang dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah, juga menghasilkan informasi

    mengenai nilai-nilai dan arah tindakan yang lebih baik. Jadi analisis kebijakan

    meliputi dua hal yaitu sebagai evaluasi dan sebagai anjuran kebijakan.

    Dun (1998) menyebutkan bahwa analisis kebijakan adalah setiap jenis

    analisa yang menghasilkan dan menyajikan informasi sehingga dapat menjadi dasar

    bagi para pengambil kebijakan dalam menguji pendapat mereka. Kata analisa

    digunakan dalam pengertian yang paling umum yang secara tidak langsung

    menunjukkan penggunaan intuisi dan pertimbangan yang mencakup tidak hanya

    pengujian kebijakan dalam pemecahan terhadap komponen-komponen tapi juga

    merencanakan dan mencari sintesa atas alternatif-alternatif baru. Aktivitas ini

    meliputi sejak penelitian untuk memberi wawasan terhadap masalah atau issue yang

    mendahului atau untuk mengevaluasi program yang sudah selesai.

    Ada tiga pendekatan dalam analisis kebijakan (Sugiyono, 2006), yaitu: (1)

    pendekatan empiris, (2) pendekatan evaluatif dan (3) pendekatan normatif.

    Pendekatan empiris adalah pendekatan yang menjelaskan sebab akibat dari kebijakan

    publik, pertanyaan pokoknya adalah mengenai fakta yaitu apakah sesuatu itu ada.

    Sementara pendekatan evaluatif adalah pendekatan yang berkenaan dengan

    penentuan harga atau nilai dari beberapa kebijakan, pertanyaan pokoknya adalah

    berapa nilai sesuatu. Sedangkan pendekatan normatif adalah pendekatan yang

    terutama berkaitan dengan pengusulan arah tindakan yang dapat

    memecahkan masalah kebijakan, pertanyaan pokoknya adalah tindakan apa yang

    harus dilakukan.

    Proses penelitian analisis kebijakan menggunakan prosedur analisis umum

    yang biasa dipakai untuk memeahkan masalah-masalah kemanusiaan, yaitu :

    deskriptif, prediksi, evaluasi dan rekomendasi. Dari segi waktu dan hubungannya

    dengan tindakan maka prediksi dan rekomendasi, digunakan sebelum tindakan

    diambil, sedangkan deskriptif dan evaluasi digunakan setelah tindakan terjadi.

    Dalam kaitannya dalam pembangunan sumberdaya wilayah pesisir dan laut,

    pemerintah dan bangsa Indonesia telah memuat suatu kebijakan yang strategis dan

    antisipatif. Kebijakann ini ditindaklanjuti dengan penetapan kebijaksanaan dan

  • 7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw

    9/22

    strategi pembangunan yang mantap dan berkesinambungan (Dahuri dalam Ismail,

    2000). Menurut Nurlia (1999), hal-hal yang perlu dilakukan dalam penataan ruang

    kelautan dan pesisir adalah sebagai berikut :

    2.3. Arah Kebijaksanaan Nasional Bidang Penataan Ruang

    Kebijaksanaan pemerintah yang mempunyai peranan yang sangat penting

    dan strategis untuk mnejaga kelestarian sumberdaya laut, adalah terbitnya Undang-

    undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang

    Nomor 32 Tahun 2004, dimana secara tegas telah mengatur mengenai kewenangan

    daerah dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut yang terdiri dari

    wilayah darat dan laut sejauh 12 mil yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas

    dan/atau ke arah perairan kepulauan.

    Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), 1999-2004, mengamanatkan

    agar pembangunan wilayah Indonesia dapat dilaksanakan secara seimbang dan serasi

    antara dimensi pertumbuhan dengan dimensi pemerataan, antara pengembangan

    Kawasan Barat dengan Kawasan Timur Indonesia, serta antara kawasan perkotaan

    dengan kawasan perdesaan. Hal ini dimaksudkan agar kesenjangan pembangunan

    antar wilayah dapat segera teratasi melalui pembangunan yang terencana dengan

    matang, sistematis, dan bertahap. Dalam kaitan ini, maka pengembangan wilayah

    merupakan sebuah pendekatan yang digunakan agar tujuan pembangunan nasional

    sesuai dengan amanat GBHN diatas benar-benar dapat terwujud.

    Pengembangan wilayah menekankan pula keserasian dan keseimbangan

    antara pembangunan pada wilayah hulu dengan wilayah hilir, antara wilayah daratan

    (main-land) dengan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (perairan), serta antara

    kawasan lindung dan kawasan budidaya. Dengan kata lain, pengembangan wilayah

    menekankan adanya keserasian dan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi

    dengan kelestarian lingkungan, demi terselenggaranya pembangunan yang

    berkelanjutan untuk generasi mendatang (development sustainability) (Darwanto,

    2000)

    Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional yang terpadu, terarah dan

    holistik, maka pendekatan pengembangan wilayah untuk pembangunan nasional

    ditempuh dengan instrumen penataan ruang, yang terdiri dari perencanaan,

  • 7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw

    10/22

    pembangunan (pemanfaatan ruang) dan pengendalian pemanfaatan ruang. Rencana

    Tata Ruang merupakan landasan ataupun acuan kebijakan dan strategi pembangunan

    bagi sektor-sektor maupun wilayah-wilayah yang berkepentingan agar terjadi

    kesatuan penanganan yang sinergis sekaligus mengurangi potensi konflik lintas

    wilayah dan lintas sektoral. (Kusumastanto, 2000), selanjutnya bahwa dalam upaya

    memberikan respons terhadap beratnya tantangan yang akan dihadapi pada masa

    mendatang, serta mendorong percepatan otonomi daerah, maka pada tingkat nasional

    ditempuh kebijakan pokok revitalisasi penataan ruang yang bertujuan untuk

    mengfungsikan kembali penataan ruang sejalan dengan paradigma baru, yakni

    keterbukaan, akuntabilitas sehingga mampu menjawab berbagai persoalan dan

    masalah aktual yang ada sekaligus meletakan landasan pembangunan ke depan yang

    lebih baik.

    Selain itu, kebijakan penting lainnya yang dikembangkan adalah:

    (a) penyiapan Norma, Standar, Prosedur dan Manual (NSPM) untuk per-cepatandesentralisasi bidang penataan ruang ke daerah;

    (b)peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia serta pemantapanformat dan mekanisme kelembagaan penataan ruang,

    (c) sosialisasi produk-produk penataan ruang kepada masyarakat melalui publiccampaigndan

    (d)penyiapan dukungan sistem informasi penataan ruang.Sebagai penjaga kepentingan nasional, pemerintah pusat juga

    mengeluarkan kerangka perencanaan makro dalam wujud RTRWN dan RTR Pulau

    sebagai operasionalisasinya. Pada tingkatan rencana makro tersebut, yang merupakan

    fokus penataan adalah bagaimana mewujudkan struktur perwilayahan melalui upaya

    mensinergikan antar kawasan yang antara lain dicapai dengan pengaturan hirarki

    fungsional yaitu: sistem kota-kota, sistem jaringan prasarana wilayah, serta fasilitasi

    kerjasama lintas propinsi, kabupaten, dan kota.

    Kusumastanto (2000) menyatakan bahwa mengelola pembangunan kawasan

    pesisir secara efisien dan efektif, diperlukan strategi pendayagunaan penataan ruang

    yang senada dengan semangat otonomi daerah yang disusun dengan memperhatikan

    faktor-faktor berikut : Keterpaduan yang bersifat lintas sektoral dan lintas wilayah

    dalam konteks pengembangan kawasan pesisir sehingga tercipta konsistensi

  • 7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw

    11/22

    pengelolaan pembangunan sektor dan wilayah terhadap rencana tata ruang kawasan

    pesisir. Pendekatan bottom-up atau mengedepankan peran masyarakat (participatory

    planning process)dalam pelaksanaan pembangunan kawasan pesisir yang transparan

    dan accountable agar lebih akomodatif terhadap berbagai masukan dan aspirasi

    seluruh stakeholders dalam pelaksanaan pembangunan. Kerjasama antar wilayah

    (antar propinsi, kabupaten maupun kota-kota pantai, antara kawasan perkotaan

    dengan perdesaan, serta antara kawasan hulu dan hilir) sehingga tercipta sinergi

    pembangunan kawasan pesisir dengan memperhatikan inisiatif, potensi dan

    keunggulan lokal, sekaligus reduksi potensi konflik lintas wilayah. Penegakan hukum

    yang konsisten dan konsekuen baik PP, Keppres, maupun Perda - untuk

    menghindari kepentingan sepihak dan untuk terlaksananya role sharing yang

    seimbang antar unsur-unsur stakeholders. Dalam hal ini instrument pengaturan bagi

    wilayah pesisir perlu dirumuskan sebagai turunan dan bagian yang tidak terpisahkan

    dari UU 24/1992 tentang Penataan Ruang.

    2.4.Implementasi Kebijakan Penataan RuangKebijakan penataan ruang wilayah pesisir pada dasarnya ditempuh untuk

    memenuhi tujuan-tujuan sebagai berikut : Mewujudkan pembangunan berkelanjutan

    pada kawasan pesisir, termasuk kota-kota pantai dengan segenap penghuni dan

    kelengkapannya (prasarana dan sarana) sehingga fungsi-fungsi kawasan dan kota

    sebagai sumber pangan (source of nourishment) dapat tetap berlangsung. ;

    Mengurangi kerentanan (vulnerability) dari kawasan pesisir dan para pemukimnya

    (inhabitants)dari ancaman kenaikan muka air laut, banjir, abrasi, dan ancaman alam

    (natural hazards) lainnya; Mempertahankan berlangsungnya proses ekologis esensial

    sebagai sistem pendukung kehidupan dan keanekaragaman hayati pada wilayah

    pesisir agar tetap lestari yang dicapai melalui keterpaduan pengelolaan sumber daya

    alam dari hulu hingga ke hilir (integrated coastal zone management). (Darwanto,

    2000)

    Menurut Nurlia (1999), hal-hal yang perlu dilakukan dalam penataan ruang

    kelautan dan pesisir adalah sebagai berikut :

    1) Pengenalan kondisi pemanfaatan ruang laut dan pesisir yang ada mencakupkegiatan analisis sumberdaya di laut, batasan wilayah laut dimana suatu

  • 7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw

    12/22

    wilayah atau negara mempunyai wewenang, analisis pendekatan teknologi

    yang mungkin dibutuhkan dalam pengembangan sumberdaya yang ada,

    identifikasi sektor-sektor dalam pemanfaatan ruang dan sumberdaya

    kelautan, identifikasi kesepakatan nasional dan konvensi internasional

    mengenai pemanfaatan ruang laut serta analisis hubungan fungsional secara

    sosial ekonomi antara pemanfaatan ruang laut dan udara.

    2) Pengenalan dimensi spasial pembangunan suatu daerah meliputi analisistujuan dan sasaran makro pembangunan daerah, analisis pola ekonomi ruang

    darat dan laut yang sesuai untuk mewujudkan tujuan pembangunan serta

    analisis skenario pembangunan laut dalam konstelasi pengembangan ruang

    darat dan laut secara menyeluruh dan pemilihan alternatif yang ada.

    Penjabaran pola pembangunan ruang laut, kawasan-kawasan pesisir dan

    kawasan konservasi di laut dan pantai. Untuk mencapai pembangunan wilayah pesisir

    dsn lautan secara optimal dan berkelanjutan maka diperlukan kebijakan pengelolaan

    sumberdaya wilayah pesisir dan laut secara terpadu (Integrated Coastal and Marine

    Zone Management). Pada dasarnya arahan kebijakan pembangunan sumber daya

    wilayah pesisir dan laut meliputi empat aspek utama yaitu:

    (1) aspek teknis dan sosial,(2) aspek sosial ekonomi dan budaya,(3) aspek sosial politik, dan(4) aspek hukum serta kelembagaan termasuk pertahanan dan keamanan.

    Implementasi kebijakan menurut Grindle (1980) dalam Wibawa (1994)

    ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasar Grindle adalah

    bahwa kebijakan ditransformasikan menjadi program aksi maupun proyek individual

    dan biaya telah disediakan, maka implementasi kebijakan dilakukan. Tetapi ini tidak

    berjalan mulus, tergantung pada implementability dari program itu, yang dapat dilihat

    pada isi dan konteks kebijakannya.

    Secara sederhana tujuan implementasi kebijakan adalah untuk menetapkan

    arah agar tujuan kebijakan dapat direalisasikan sebagai hasil dari kegiatan

    pemerintah. Karena itu, hal ini akan menyangkut penciptaan sistem pelaksanaan

    kebijakan yang juga merupakan alat khusus yang disusun untk mencapai tujuan

    khusus. Dengan demikian, kebijakan adalah suatu pernyataan tujuan secara luas,

  • 7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw

    13/22

    sasaran dan cara-cara, yang ekmudian diterjemahkan kedalam program-program

    tindakan yang dimaksudkann untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dalam

    kebijakan (Wibawa, 1994).

    Selanjutnya Salusu (2005) menyatakan bahwa implementasi adalah

    seperangkat kegiatan yang dilakukan menyusul suatu keputusan. Suatu keputusan

    selalu dimaksudkan untuk mencapai sasaran tertentu, guna merealisasikan pencapaian

    sasaran itu, sehingga diperlukan serangkaian aktivitas. Jadi dapat dikatakan bahwa

    implementasi adalah operasionalisasi dari berbagai aktivitas guna mencapai sasaran

    tertentu.

    Menurut Abdullah (1988), pengertian dan unsur-unsur pokok dari proses

    implementasi adalah sebagai berikut :

    1) Proses implementasi program (kebijakan) adalah rangkaian tindak lanjut(setelah sabuah program atau kebijakan diterapkan), yang terdiri atas

    pengambilan keputusan, langkah-langkah strategis maupun operasional yang

    ditempuh guna mewujudkan suatu program atau kebijakan menjadi

    kenyataan guna mencapai sasaran dari program yang ditetapkan semula.

    2) Proses implementasi dalam kenyataan sesungguhnya dapat berhasil, kurangberhasil ataupun gagal sama sekali, ditinjau dari sudut hasil yang dicapai

    atau out come, karena dalam proses tersebut turut bermain dan terlibat

    sebagai unsur yang pengaruhnya dapat bersifat mendukung maupun

    menghambat pencapaian sasaran program.

    3) Dalam proses implementasi sekurang-kurangnya terdapat tiga unsur yangpenting dan mutlak yaitu:

    a) adanya program/kebijakan yang dilaksanakan;b) target group yaitu kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dan

    diharapkan akan menerima manfaat dari program tersebut, perubahan

    atau peningkatan; dan

    c) unsur pelaksana (implementer)baik organisasi maupun perorangan yangbertanggung jawab dalam pelaksanaan dan pengawasan dari

    implementasi tersebut.

    Jones (1991) mengemukakan pendapat tentang pilar implementasi sebagai

    berikut :

  • 7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw

    14/22

    a. Pengorganisasian; yakni penataan kembali sumberdaya unit-unit sertametode untuk menjalankan program.

    b. Interpretasi; yakni aktivitas menafsirkan agar program menjadi rencanadan pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta dilaksanakan.

    c. Aplikasi; yaitu memberikan kelengkapan rutin bagi pelayanan,pembayaran, atau aktivitas lainnya sesuai dengan tujuan program.

    Ada beberapa strategi yang harus ditempuh dalam proses implementasi,

    strategi tersebut meliputi: (a) persiapan implementasi, dan (b) implementasi program.

    Persiapan implementasi meliputi rencana program, pengumpulan data, sentralisasi

    atau desentralisasi keputusan penentuan agen-agen pelaksana, sedangkan

    implementasi program ada yang bersifat spasial atau sektoral. Dalam proses

    implementasi ada banyak kenyataan yang dihadapi yang ikut mempengaruhi

    keberhasilan program yaitu:

    1) karakteristik lingkungan dimana program tersebut dilaksanakan,2) aparat pelaksana program menyangkut keterampilan, pengetahuan,

    komitmen dan loyalitas,

    3) otoritas yang berlaku dalam program,4) dukungan masyarakat, dan5) sistem administrasi yang berlaku dalam program (Keban, 1994).

    Allison dalam Tangkilisan (2003) dalam menilai konteks implementasi

    kebijakan, menampilkan tiga model pembuatan keputusan untuk implementasi yaitu:

    aktor rasional, proses organisasional, dan model politik birokrasi. Kedua dan ketiga

    model ini berfokus pada prosedur operasi standar (Standard Operating

    Procedure/SOP) dan politik birokrasi secara berurutan dan telah memberi banyak

    perhatian untuk pembuatan keputusan. Pendekatan dilakukan sesuai dengan kondisi

    lingkungan masing-masing intitusi, namun tetap berfokus pada pentingnya faktor

    dalam pembuatan keputusan. Dengan demikian, penekanan terhadap faktor tersebut

    adalah bagaimana faktor-faktor domian tersebut mempengaruhi implementasi secara

    khusus.

    Mempelajari masalah implementasi kebijakan berarti berusaha untuk

    memahami apa kenyataan yang terjadi sesudah program diberlakukan atau

    dirumuskan, yakni peristiwa dan kegiatan terjadi setelah proses pengesahan

  • 7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw

    15/22

    kebijakan, baik itu menyangkut usaha-usaha untuk memberikan dampak tertentu pada

    masyarakat. Beberapa model dalam pengkajian implementasi kebijakan,

    dikemukakan sebagai berikut (Pressman dan Wildavsky, 1984): implementation

    problem approach, mengemukakan dua pertanyaan pokok, yaitu:

    1) hal-hal apa saja yang merupakan prasyarat bagi suatu implementasi yangberhasil?

    2) apa saja yang merupakan penghambat utama terhadap berhasilnyaimplementasi program?

    Berdasarkan kedua pertanyaan tersebut dapat dirumuskan empat faktor atau

    variabel yang merupakan prasyarat penting guna berhasilnya implementasi, yaitu:

    a) Komunikasi menjadi penting karena suatu program hanya dapatdilaksanakan dengan baik apabila jelas bagi pelaksana. Hal ini menyangkut

    penyampaian informasi, kejelasan informasi dan konsistensi informasi yang

    dibutuhkan.

    (1)Sumberdaya; meliputi: staf yang cukup dalam arti jumlah dan mutu,informasi yang dibutuhkan guna pengambilan keputusan, kewenangan

    yang cukup untuk melaksanakan tugas serta fasilitas yang dibutuhkan

    dalam pelaksanaan.

    (2)Sikap birokrasi dan pelaksanaan; sikap dan komitmen para birokrasiterhadap program khususnya bagi implementasi dari suatu program

    dalam hal ini aparatur birokrasi.

    (3)Struktur birokrasi; adanya suatu SOP yang mengatur tata aliranpekerjaan program. Apabila tidak ada SOP maka akan sulit mencapai

    hasil yang memuaskan karena penyelesaian masalah yang timbul akan

    bersifat ad-hoc. Dengan demikian, penyelesaian masalah tanpa pola yang

    baku.

    b) Transactional model, merupakan suatu model yang memadai karena cukupkomprehensif sifatnya, sbagai kerangka pemikiran guna memahami masalah

    yang dihadapi dalam proses pelaksanaan pembangunan. Pada prinsipnya

    model ini bertolak dari pandangan bahwa guna memahami berbagai masalah

    pada tahap pelaksanaan suatu rencana atau kebijakan, keterikatan antara

    perencanaan dan implementasi tak dapat diabaikan. Proses perencanaan itu

  • 7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw

    16/22

    sendiri tidak dapat dilihat sebagai suatu proses terpisah dari pelaksanaan.

    Pada tahap implementasi berbagai kekuatan akan berpengaruh baik faktor

    yang mendorong maupun menghambat pelaksanaan program.

    c) Faktor-faktor untuk dipertimbangkan dalam implementasi (Chuse dalamAbdullah, 1988) mengemukakan bahwa hambatan dalam proses

    implementasi program yang terkait dengan masyarakat dapat dibedakan

    dalam tiga kategori, yaitu:

    a. Masalah yang timbul karena kebutuhan operasional yang melekat padaprogam itu sendiri.

    b. Masalah yang timbul dalam kegiatan dengan sumberdaya yangdibutuhkan guna pelaksanaan program.

    c. Masalah lain yang timbul karena keterikatan dengan organisasi lainnnyauntuk memberikan dukungan, bantuan dan persetujuaan guna

    melaksanakan program tersebut.

    2.5.Evaluasi Implementasi KebijakanMenurut Wibawa (1994) kegiatan evaluasi dalam beberapa hal mirip dengan

    pengawasan, pengendalian, penyeliaan, supervise, kontrol dan pemonitoran. Pelaku

    utama kegiatan evaluasi adalah pemerintah dan juga dapat dilakukan oleh lembaga

    lain. Tujuan evaluasi dapat berbeda-beda, misalnya untuk menunjukkan kegagalan

    kebijakan dan untuk menunjukkan ketidakadilan yang melekat pada suatu kebijakan.

    Menurut Lester dan Stewart (2000) dalam Winarno (2002) mengemukakan

    bahwa evaluasi kebijakan ditujukan untuk melihat sebab-sebab kegagalan suatu

    kebijakan atau untuk mengetahui apakah kebijakan yang telah dijalankan meraih

    dampak yang diharapkan, sedangkan menurut Jones (1991) dalam Winarno (2002)

    mendefinisikan bahwa evaluasi kebijakan adalah kegiatan yang bertujuan untuk

    menilai manfaat suatu kebijakan. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Andeson

    (1975) dalam Winarno (2002), evaluai kebijakan dapat didefinisikan sebagai

    kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup

    substansi, implementasi, dan dampak.

    Berdasarkan beberap pengertian evaluasi kebijakan tersebut, dapat

    disimpulkan bahwa tujuan dilakukannya evaluasi kebijakan adalah untuk mengetahui

  • 7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw

    17/22

    konsekuensi apa yang ditimbulkan dari pelaksanaan suatu kebijakan dengan cara

    menggambarkan dampaknya dan untuk menilai keberhasilan atau kegagalan dari

    suatu kebijakan berdasarkan standar atau kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.

    Secara singkat tujuan evaluasi kebijakan adalah untuk mendokumentasikan apa yang

    terjadi dan mengapa itu terjadi, serta untuk mengetahui apakah ada kaitan dari

    keduanya.

    Perhatian khusus juga diberikan bagi pengembangan prasarana wilayah yang

    strategis untuk pengembangan wilayah pesisir dalam rangka mewujudkan

    pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruangnya menurut Darwanto (2000),

    diantaranya:

    a. Pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman, yang layak danterjangkau dengan menitikberatkan pada masyarakat miskin dan berpendapat

    rendah (seperti pada permukiman nelayan), diantaranya melalui

    pengembangan sistem pembiayaan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat

    lokal.

    b. Pengembangan prasarana dan sarana permukiman, khususnya untuk kota-kota pesisir, melalui: (a) peningkatan prasarana dan sarana perkotaan untuk

    mewujudkan fungsi kota sebagai Pusat Kegiatan Nasional, Wilayah dan

    Lokal; (b) pengembangan desa pusat pertumbuhan dan prasarana dan sarana

    antara desa-kota untuk mendukung pengembangan agribisnis dan

    agropolitan (termasuk sentra-sentra produksi kelautan); (c) mempertahankan

    tingkat pelayanan dan kualitas jalan kota (arteri dan kolektor primer) bagi

    kota-kota metro, besar, dan ibukota propinsi.

    c. Pemantapan kehandalan prasarana jalan untuk mendukung kawasan andalan(laut dan darat), termasuk sentra-sentra produksi di wilayah pesisir, melalui:

    (a) harmonisasi sistim jaringan jalan terhadap tata ruang, (b) pemantapan

    kinerja pelayanan prasarana jalan terbangun melalui pemeliharaan,

    rahabilitasi serta pemantapan teknologi terapan, (c) penyelesaian

    pembangunan ruas jalan untuk memfungsikan sistem jaringan.

    d. Pemantapan pelayanan sumber daya air, terkait dengan pembangunanwilayah pesisir melalui: (a) Pengelolaan dan konservasi sungai, danau,

    waduk dan sumber air lainnya untuk menjamin ketersediaan air dan

  • 7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw

    18/22

    pengamanan pantai untuk melindungi kawasan sentra ekonomi (termasuk

    kelautan), pemukiman (perkotaan dan perdesaan) pada wilayah pesisir. (b)

    Pengembangan pengelolaan sumber daya air yang terkoordinasi secara lintas

    sektoral dan multi-stakeholders pada tingkat nasional, daerah dan wilayah

    sungai.

    Menuru Ripley dalam Wibawa (1994) terdapat beberapa persoalan yang

    harus dijawab dalam suatu kegiatan evaluasi, yaitu:

    1. Kelompok dan kepentingan mana yang memiliki akses di dalam pembuatankebijakan?

    2. Apakah proses pembuatannya cukup rinci, terbuka dan memenuhi prosedur?3. Apakah program didesain secara logis?4. Apakah sumberdaya yang menjadi input program telah cukup memadai

    untuk mencapai tujuan?

    5. Apakah standar implementasi yang baik menurut kebijakan itu?6. Apakah program dilaksanakan sesuai standar efisiensi dan ekonomi?7. Apakah kelompok sasaran memperoleh pelayanan dan barang seperti yang

    didesain dalam program?

    8. Apakah program memberikan dampak kepada kelompok non-sasaran?9. Apa dampaknya, baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan

    terhadap masyarakat?

    10. Kapan tindakan program dilakukan dan dampaknya diterima olehmasyarakat?

    11. Apakah tindakan dan dampak tersebut sesuai dengan yang diharapkan?

  • 7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw

    19/22

  • 7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw

    20/22

    BAB III

    KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

    Perkembangan Kota Muna akan membawa pengaruh besar terhadap

    lingkungannya termasuk lingkungan pesisir. Hal ini karena perkembangan kota akan

    diiringi dengan perkembangan teknologi, industri, pertumbuhan penduduk, sarana

    pemukiman, fasilitas umum dan sosial, serta sarana transportasi yang akan

    memberikan tekanan terhadap lingkungan. Apabila hal ini tidak dikelola, maka

    kemungkinan besar akan menimbulkan masalah lingkungan (fisik, kimia, biologi,

    sosial, ekonomi, dan budaya) yang lebih kompleks dan mengakibatkan degradasi

    lingkungan termasuk degradasi lingkungan pesisir yang pada akhirnya akan

    berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir terutama nelayan.

    Kondisi eksisting di pesisir Kota Muna antara lain dapat dijelaskan sebagai

    berikut:

    A. Kondisi BiofisikBeberapa tahun terakhir ini terjadinya penurunan luasan terumbu karang dan

    mangrove. Ancaman intrusi air laut di wilayah ini mulai dirasakan masyarakat

    sekitar. Hal ini disebabkan antara lain oleh pemakaian air bawah tanah yang tinggi

    untuk aktivitas perumahan. Ancaman lain yang juga kerap melanda pesisir Kabupaten

    Muna adalah masalah banjir. Banjir yang terjadi antara lain disebabkan oleh alur

    sungai yang menyempit karena permukiman atau reklamasi pantai di bantaran sungai

    dan pembuangan sampah ke alur sungai.

    B. Kondisi Sosial EkonomiPesisir Muna masih menyimpan potensi besar dalam pariwisata pantai yang

    ditunjang oleh letaknya yang dekat dengan pusat kota. Sumberdaya alam berupa

    pariwisata pantai yang besar ini sayangnya belum dikelola secara optimal dan

    pengelolaan yang ada sekarang belum memperhatikan aspek keberlanjutan. Masalah

    sosial ekonomi yang lain adalah tingginya tingkat pengeboman ikan. Cara seperti ini

    memang mudah untuk dilakukan namun sangat membahayakan nelayan maupun

    lingkungan sekitarnya. Penggunaan bahan peledak ini menjadikan metode

  • 7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw

    21/22

    penangkapan ikan menjadi tidak selektif karena peluang matinya ikan-ikan berukuran

    kecil menjadi semakin tinggi, bahkan tidak jarang dapat merusak terumbu karang.

    Selain itu permasalahan sosial ekonomi lain di wilayah ini adalah rendahnya mutu

    sumberdaya manusia (SDM) yang rata-rata tamat sekolah dasar.

    C. Kondisi KelembagaanKelembagaan merupakan salah satu faktor yang berperan dalam pengelolaan

    pesisir secara terpadu. Hal yang menjadi masalah berkenaan dengan kelembagaan

    dalam pengelolaan wilayah pesisir Kabupaten Muna, antara lain: institusi pengelola

    wilayah pesisir belum berfungsi secara optimal, rendahnya penaatan dan penegakan

    hukum disamping belum adanya peraturan daerah yang mengatur secara khusus

    pengelolaan wilayah pesisir berkelanjutan, serta penataan ruang wilayah pesisir yang

    belum optimal.

    Kondisi diatas merupakan permasalahan yang terdapat di wilayah pesisir

    Kabupaten Muna. Pemerintah Kabupaten Muna sebenarnya telah menuangkan

    berbagai kebijakan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Namun sampai sejauh ini,

    berbagai kebijakan yang telah dituangkan belum mampu meningkatkan kesejahteraan

    masyarakat pesisir secara luas dan merata.

    Permasalahan-permasalahan yang saat ini melanda desa/kel di wilayah

    pesisir Kabupaten Muna berakar pada belum optimalnya arahan pengembangan di

    kawasan penelitian.

    Kawasan pesisir merupakan kawasan yang paling mendapat tekanan di

    Kabupaten Muna akibat tingginya intensitas pemanfaatan sumberdaya di kawasan ini.

    Berkembangnya kawasan ini menjadi permukiman, perhubungan, pariwisata, dan

    perikanan menjadikan kawasan ini salah satu kawasan yang paling terancam secara

    ekologis dan rawan terhadap berbagai konflik sosial ekonomi. Identifikasi potensi dan

    arah pengembangan desa/kel. di kawasan ini diharapkan dapat memberikan kerangka

    dasar penyusunan kebijakan pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan.

    Analisis pengembangan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan

    tipologi wilayah, yang terbagi atas dua, yakni dengan melihat keragaan relatif tingkat

    perkembangan desa/kelurahan pesisir dibanding dengan desa/kelurahan umumnya di

    Kabupaten Muna dan melihat keterkaitan antara tipologi dan perkembangan desa

  • 7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw

    22/22

    dengan faktor-faktor penciri/karakteristik desa. Hasil analisis ini kemudian dijadikan

    dasar pemikiran untuk menyusun strategi pengembangan dan pengelolaan sosial

    ekonomi wilayah pesisir Kabupaten Muna.