Terorisme Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Uu No.15 Thn 2003
Transcript of Terorisme Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Uu No.15 Thn 2003
TERORISME DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DANUNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003
(STUDY TERHADAP DEFINISI, MATERI DAN PENYELESAIAN)
S K R I P S I
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu SyaratGuna Mencapai Gelar Sarjana Hukum
Disusun Oleh :
ADE SUNARDINPM : 106010175
Pembimbing :
1. H. Daman Pribadi, Drs. M.Ag.2. Waluyadi, SH., MH.
FALKUTAS HUKUMUNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON 2010
TERORISME DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DANUNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003
(STUDY TERHADAP DEFINISI, MATERI DAN PENYELESAIAN)
Cirebon, Juni 2010
Disetujui Untuk Diajukan ke Muka SidangSarajana Lengkap Fakultas Hukum Unswagati
C i r e b o n
Mengetahui :
DekanFakultas Hukum UnswagatiSelaku Ketua Panitia Ujian
H. NENDAR DARKONI, SH., MH.
Pembantu Dekan IFakultas Hukum Unswagati
Selaku Sekretaris Panitia Ujian
Hj. HASTUTI. KL, SH., MM. MH.
TERORISME DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DANUNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003
(STUDY TERHADAP DEFINISI, MATERI DAN PENYELESAIAN)
Mengetahui :
Pembimbing I
H. DAWAM PRIBADI, Drs. M.Ag.
Pembimbing II
WALUYADI, SH., MH.
Kepala Bagian Hukum PublikFakultas Hukum
Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon
MOH. SIGIT GUNAWAN, SH., MKn.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepa Allah SWT, yang telah melimpahkan
segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan judul : “TERORISME DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 (STUDY TERHADAP
DEFINISI, MATERI DAN PENYELESAIAN) “.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak
terdapat kekurangan-kekurangan, baik dilihat dari cara menyajikan data maupun
dalam menganalisanya, untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan demi
perbaikan penulisan selanjutnya, namun penulis tetap berharap semoga skripsi ini
dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi semua
pembaca.
Perwujudan skripsi ini adalah berkat bantuan, pembimbing, petunjuk serta
saran dari berbagai pihak yang tidak ternilai harganya. Oleh karena itu pada
kesempatan ini perkenankanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Rektor Unswagati Cirebon, Bapak Dr. H. Djakaria Machmud, SE, SH., M.Si
2. Dekan Fakultas Hukum Unswagati Cirebon, Bapak H. Nendar Darkani, SH.
MH.
3. Pembantu Dekan I Fakultas Unswagati Cirebon, Ibu Hj. Hastuti KL, SH. MM.
MH.
4. Bapak Moh. Sigit Gunawan, SH. MKn. selaku Kepala Bagian Hukum Publik.
iv
5. Bapak Drs. H. Dawam Pribadi, M.Ag. selaku pembimbing satu, yang telah
banyak memberikan bimbingan dan pengarahan dalam menyelesaikan
penyusunan skripsi ini.
6. Bapak Waluyadi, SH., MH., selaku pembimbing dua, yang telah banyak
memberikan arahan, petunjuk serta semangat dalam menyelesaikan
penyusunan skripsi ini.
7. Para dosen di Fakultas Hukum Unswagati Cirebon, yang telah membimbing
dan mengarahkan penulis selama perkuliahan.
8. Segenap karyawan dan seluruh staff Tata Usaha Fakultas Hukum Unswagati
Cirebon yang telah banyak membantu penulis.
9. Segenap teman-teman kampus yang telah sama-sama saling mendukung dan
membantu dalam penyusunan skripsi ini.
Kesempurnaan hanya milik Allah dan tidak ada manusia yang sempurna,
begitu juga dengan penyusunan skripsi ini jauh dari sempurna, masih banyak
penempatan dan penyusunan kata yang salah, untuk itu kami mohon maaf yang
sebesar-besarnya.
Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu, membimbing dan
memberikan dorongan baik secara moril maupun materiil, penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga Tuhan Yang Maha Esa membalasnya
dengan berlipat ganda.
Cirebon, Juni 2010
Penulis
iv
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. iii
ABSTRAK ...................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................. 9
C. Kegunaan Penelitian ............................................................................ 10
D. Kerangka Pemikiran ............................................................................ 10
E. Metode Penelitian ................................................................................ 17
F. Sistematika Penulisan .......................................................................... 18
BAB II TERORISME DILIHAT DARI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Sejarah Terorisme ................................................................................ 21
B. Pengertian Terorisme ........................................................................... 24
C. Tipologi Terorisme dan Awal Timbulnya Terorisme .......................... 30
D. Ciri-ciri Hukum Islam dan Perspektif Hukum Islam Terhadap
Terorisme ............................................................................................. 35
BAB III TERORISME DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG
NOMOR 15 TAHUN 2003
A. Latar Belakang Munculnya Undang-undang Nomor 15
Tahun 2003 .......................................................................................... 40
B. Tindak Pidana Terorisme Menurut Hukum Positif Indonesia............. 62
C. Tindak Pidana Terorisme Menurut Hukum Islam................................ 68
D. Unsur-unsur Dari Tindak Pidana Terorisme ........................................ 73
iv
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengertian Terorisme Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 ........................................................................ 83
B. Materi Terorisme Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 ......................................................................... 89
C. Penyelesaian Tindak Pidana Terorisme Menurut Hukum Islam dan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 ............................................. 97
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................... 104
B. Saran ...................................................................................................... 106
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 108
iv
ABSTRAK
Tindak pidana terorisme yang timbul pada saat ini diakibatkan oleh tiga hal yaitu, kemiskinan, ketidakadilan, dan kesenjangan. Ketiga faktor ini merupakan persoalan yang cukup mendasar dalam teriadinya suatu tindak pidana terorisme, apalagi pada saat ini terorisme identik dengan Islam. Para teroris mengatasnamakan jihad sebagai dasar mereka melakukan tindak pidana terorisme, yang sebenarnya mereka telah melakukan kekeliruan dalam mengartikan makna dari pada jihad itu sendiri. Sementara dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menganggap bahwa terorisme itu merupakan perbuatan melawan hukum yang dapat membahayakan serta menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara, dengan menimbulkan suasana teror dan rasa takut serta menimbulkan korban yang bersifat masal. Untuk itu penulis ingin mengetahui bagaiman cara pandang hukum Islam mengenai tindak pidana terorisme yang teriadi sekarang ini, serta bagaiman cara penyelesaian dan penanganan tindak pidana terorisme menurut hukum Islam dan menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003, serta hal-hal apa saja yang menjadi hambatan dalam proses pemberantasan tindak pidana terorisme baik menurut hukum Islam maupun menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003.
Adapun metode yang digunakan penulis adalah, metode deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, yang bertujuan menggambarkan fakta-fakta dari beberapa data yang diperoleh, dengan kegiatan mengumpulkan data sekunder tentang objek penelitian yang diperoleh dari hasil penelitian yang kemudian dianalisis dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Permasalahan yang dihadapi oleh hukum Islam dalam pemberantasan tindak pidana terorisme adalah, adanya salah mengartikan makna jihad oleh kaum muslim itu sendiri, dan Al-Quran yang merupakan sumber agama islam jelas sangat menentang terhadap aksi terorisme. Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 masih adanya beberapa pasal yang terdapat dalam Undang-undang tersebut yang seharusnya diganti, karena menimbulkan kerancuan. Adapun proses penyelesaian dan penanganan tindak pidana terorisme menurut hukum Islam yaitu dengan menciptakan rasa cinta damai, kasih sayang, toleransi, serta adanya dialog antar umat beragama untuk tidak mengsalah artikan makna dari jihad itu sendiri dalam setiap pelaksanaanya. Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 kita harus menegakkan supermasi hukum yang berlaku di negara Indonesia, sehingga tindak pidana terorisme dapat dihapuskan di negara Indonesia.
v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peristiwa serangan teroris 11 September 2001 serta peristiwa lain yang
mengikuti termasuk peristiwa Bali 12 Oktober 2002 memunculkan berbagai
pertanyaan pelik yang belum memperoleh jawaban tuntas. Usaha berbagai pihak
untuk memahami akar persoalan (root causes) dan terorisme umumnya
menyimpulkan bahwa persoalan seperti kemiskinan (poverty), ketidakadilan
(injustice) dan kesenjangan (inequality) merupakan persoalan paling mendasar
yang harus diselesaikan terlebih dahulu untuk memerangi terorisme.1
Keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia harus dipandang sebagai
sebuah kekayaan bukan kemiskinan. Indonesia tidak memiliki identitas budaya
yang tunggal bukan berarti tidak memiliki jati diri, namun dengan
keanekaragaman budaya yang ada membuktikan bahwa masyarakat kita memiliki
kualitas produksi budaya yang luar biasa.
Pada dasarnya, multikulturalisme sendiri menghendaki adanya persatuan
dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial polltik yang
sama dalam masyarakat modern.2 Hal ini berbeda dengan monokulturalisme yang
lebih menghendaki kepada adanya kesatuan, yang cenderung homogen, bukan
1 Philips J Vermonte, Terorisme Definisi, Aksi, dan Regulasi, Imparsial, Jakarta, 2003, hlm.25.
2 www.lebahmuda.multiply.com/journal/multi-culture
1
2
persatuan yang menjadi cermin dari harmonisasi dalam pluralitas. Sila ketiga
Pacasila, "Persatuan Indonesia", adalah jawaban sebenarnya atas persoalan 'pelik'
mengenai kebudayaan Indonesia.
Dalam hal ini, terorisme bisa dibaca sebagai bagian artikulasi benturan
antar peradaban sehingga perlu diadakan dialog peradaban.3 Hanya saja, bila
kemudian ditarik garis lurus dalam Barat dan Islam, adalah sebuah kekeliruan
mendasar. Sebab, Barat tidak tunggal, Islam juga tidak tunggal. Salah satu
buktinya adalah kasus invasi Amerika Serikat ke Irak, justru negara yang paling
keras menentang invasi itu adalah Jerman, Perancis, dan Rusia yang Barat.
Sebaliknya, tidak semua negara Arab membela Irak dari invasi Amerika Serikat,
seperti Kuwait yang membela Amerika Serikat.
Dalam tingkat lebih khusus, harus dibaca, bila memang terjadi benturan,
ada dalam konteks kebijakan-kebijakan Amerika Serikat dengan umumnya
kalangan Muslim. Meski umumnya dibayangkan oleh kalangan Muslim ada
benturan, tetapi tidak semua kalangan Islam melakukan aksi terorisme untuk
melawannya. Dari sinilah poin yang menunjukkan pemahaman yang harus
didialogkan antara umat Islam dengan Amerika Serikat dan sekutunya. Dengan
catatan, yang melakukan terorisme dari mereka yang merasa ada benturan dibenak
umum umat Islam, hanya sebagian kecil Muslim. Dalam hal ini, penting
mengetahui "pembayangan perasaan" umat Islam atas Amerika Serikat dan
sekutunya, sebagai kelompok besar yang di dalamnya ada kelompok kecil yang
melakukan terorisme, sebagai pihak yang dianggap melakukan teror.
3 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/01/opini/521035.htm
3
"Pembayangan perasaan" di kalangan umat Islam, yang lalu dipandang ada
ganjalan dalam benak mereka dengan Amerika Serikat dan sekutunya, sebenarnya
bukan hal baru. Tetapi ini sering dilupakan.
Pertama, ada perasaan ketidakadilan perlakuan Amerika Serikat atas umat
Islam dalam kasus Afganistan-Irak, dibanding sikap Amerika Serikat atas Israel-
Palestina. Tentu saja ini persoalan tidak baru, tetapi justru di sinilah persoalan
sebenarnya yang ada dalam benak umat Islam, yang tidak pemah ditanggapi
secara serius.
Kebanyakan umat Islam melihat, kebijakan Amerika Serikat atas Israel
yang sudah bertahun-tahun tidak berobah. Sebaliknya, saat Irak dan Afganistan
yang melakukan kesalahan misalnya, bukan hanya dicarikan solusi damai, tetapi
dibombardir. Tentu saja, ada imajinasi di kalangan umat Islam, negara Amerika
Serikat dan sekutunya yang kuat ini, tengah melakukan politik diskriminasi.
Kedua, ada perasaan di kalangan umat Islam sebagai negara-negara
terbelakang yang tidak memiliki posisi menentukan dalam percaturan dunia. Di
satu sisi, ini disebabkan keadaan umat Islam sendiri yang lemah meski umumnya
memiliki geografis dan wilayah yang strategis dan subur. Di sisi lain, ada negara-
negara besar secara ekonomi dan politik (meski wilayahnya amat kecil seperti
Inggris) yang mampu menentukan peta politik-ekonomi dunia. Dalam hal ini,
Amerika Serikat dan sekutunya dibayangkan sebagai negara kuat, tetapi sama
sekali tidak memberi rangsangan positif bagi kemajuan negara-aegara terbelakang
Muslim. Alih-alih memberi kebijakan simpatinya, yaag dilakukan adalah
mendikte badan-badan dunia, seperti PBB, IMF, dan seterusnya untuk
4
memaksakan kehendak.
Dua hal itu adalah masalah-masalah mendasar yang menjadi ganjalan
hubungan kalangan Islam dengan Amerika Serikat dan sekutunya. Sebagian
kalangan Islam, menyikapi hal itu dengan antusias untuk belajar dari apa yang
besar di Amerika Serikat dan sekutunya, seperti rasionalitas, demokrasi, hak asasi
manusia, pembebasan perempuan, dan seterusnya. Untuk mengejar
ketertinggalannya, sembari tetap menahan kekecewaannya atas sikap Amerika
Serikat dalam kasus Palestina. Sebagian Muslim lain, yang tidak puas dengan
sikap moderat ini, menciptakan ideologi fundamentalis untuk mengejar
ketertinggalan (sembari tetap kecewa dengan sikap Amerika Serikat atas
Palestina) dan solidaritas atas Palestina, di antara sempalannya adalah ketompok
Muslim teroris.
Saat ini, himbauan untuk melakukan dialog antar peradaban nampaknya
masih tetap relevan. Bahkan akan terus relevan selama umat manusia hidup dalam
perbedaan. Namun, seruan tersebut harus lebih disederhanakan pada isu-isu yang
lebih spesifik dan nyata. Pesan dialog antar peradaban mungkin akan lebih
bermakna bila dipersempit lagi pada isu dialog antar budaya. Dialog antar
peradaban, mungkin terdengar agak "general" dan tidak memiliki fokus.
Sedangkan dialog antar budaya jelas sangat terfokus baik isu maupun result atau
hasil yang ingin dicapainya. Budaya merupakan inti dari peradaban, atau dengan
kata lain peradaban adalah cerminan dari suatu budaya. Bila kita menyebut
peradaban barat misalnya maka pikiran kita akan langsung terasosiasi dengan
bentuk kebudayaan barat.
5
Begitupun dengan peradaban-peradaban lainnya. Adapun yang
mempengaruhi budaya secara dominan adalah agama yang hidup di dalamnya.
Dialog antar budaya, dengan demikian, menjadi sangat penting untuk bisa
membangun kesepahaman.
Lebih jauh, fenomena globalisasi juga disebut sebagai faktor pemicu
terorisme alasannya adalah karena globalisasi diyakini ikut menjadi faktor
signifikan dalam teriadinya kemiskinan, ketidakadilan, dan kesenjangan global.
Menurut Philips J Vermonte:4
"Selain itu, kedua peristiwa tersebut pun menunjukan sebuah dimensi baru yang dikembangkan kelompok-kelompok teroris dimana aktivitasnya menjadi sedemikian rupa sehingga menjadi bersifat lintas batas dan lintas kewarganegaraan (transnasional)".
Walaupun demikian, teknologi lama dan sederhana, sebagaimana terlihat
dalam aksi peledakan born di tempat ibadah, tempat perbelanjaan di wilayah
Indonesia, atau aksi teror yang pernah terjadi di Filipina Selatan misalnya, Pada
1972, Front Pembebasan Nasional Moro mengangkat senjata, memperjuangkan
hak-hak tanah mereka. Pertempuran berdarah itu terjadi selama 30 tahun.
Akibatnya ratusan ribu orang tewas dan yang lainnya kehilangan tempat tinggal
mereka.
Baru pada 1992, sebuah kesepakatan damai ditandatangi untuk daerah
otonomi warga Moro. Kemudian berkembang menjadi wilayah Islam Mindanao
atau ARMM di kepulauan Sulu. Pembentukan wilayah itu bertujuan untuk
pembangunan dan penentuan nasib sendiri warga Islam di sana. Namun, semua
pihak yakin hal itu gagal total. Bahkan para pemimpin Moro mengatakan mereka
4 Ibid,hlm.25-26
6
ditipu dan Manila tidak memenuhi janjinya. Di Basilan, Maya Ali, kepala kantor
teknologi dan pembangunan lokal menilai gagasan otonomi itu sebuah lelucon.
Walaupun dengan tekonologi lama dan sederhana, tetapi hal tersebut tetap
dimaksimalkan pemanfaatan oleh kelompok-kelompok yang melakukannya.
Singkatnya, ruang dan peluang yang dimiliki oleh kelompok teroris untuk
menjalankan aksinya semakin meluas. Hal ini menjadikan terorisme sebagai
sebuah ancaman serius karena relatif sulit menentukan kapan dan dimana
kelompok teroris akan melakukan aksinya.
Selanjutnya menurut Philips J Vermonte mengatakan:5
"Alasan kedua adalah tindak pidana terorisme berlaku indiskriminatif terhadap warga biasa yang tidak terkait langsung dengan tujuan politik yang hendak dicapai aksi teror yang dilakukan dan juga pada instansi negara yang dipandang sebagai target yang sah dalam pemahaman konvensional atas konsepsi perang.Alasan ketiga adalah kelompok-kelompok teroris tidak lagi bergerak dalam situasi isolasi dimana fakta-fakta menunjukan bahwa saat ini terorisme sulit dipisahkan dan berkembangnya organisasi kejahatan transnasional terorganisasi (transnational organized crime). "
Globalisasi sering dianggap sebagai penyebab meluasnya fenomena
transnational organized crime ini. Globalisasi jelas mendorong meluasnya modul
bisnis legal yang melintas batas negara, namun pada saat yang sama ia juga
memberi peluang pada meluasnya bisnis illegal karena kemudahan yang
ditawarkan oleh kemajuan pesat dalam teknologi, utamanya teknologi komunikasi
dan transportasi.
5 Ibid., hlm. 26
7
Akibatnya konsumerisme dan komersialisme Barat yang dicitrakan
melalui gaya hidup dan kemakmuran yang ditrasnfer melalui citra televisi, internet
dan lain-lain, mendorong orang untuk mendapatkannya dengan cara mudah yakni
melalui bisnis-bisnis illegal, yang sering disebut sebagai kelompok black dollar,
yang jumlahnya meningkat pesat di berbagai tempat di dunia.
Terorisme sebenarnya telah menjadi perdebatan publik internasional pasca
terjadinya tragedi World Trade Center dan menimbulkan perbedaan dalam
pemaknaannya. Perbedaan pemaknaan ini cenderung lebih disebabkan karena
adanya perbedaan kepentingan dari berbagai negara tersebut.
Menurut Indriyanto Seno Aji, hal ini terjadi karena adanya dua paradigma
yang berbeda dalam memahami istilah terorisme.
"Pertama adalah pengertian awal terorisme yang dikategorikan sebagai perbuatan atau tindak pidana yang dijatuhkan terhadap negara atau crimes against state.Kedua adalah definisi terorisme yang diperluas menjadi crimes against humanity, yang meliputi tindak pidana untuk menciptakan suatu keadaan yang mengakibatkan individu, golongan dan masyarakat umum dalam suasana teror dan ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil." 6
Penerapan standar ganda Barat dalam upaya memerangi aksi-aksi
terorisme saat ini justru menimbulkan ketidakpuasan berbagai pihak yang tidak
menutup kemungkinan akan melahirkan aksi-aksi teroris lain di masa datang
sebagai akibat tersumbatnya jalan damai dalam mengatasi berbagai perbedaan
pandangan. Upaya perang terhadap terorisme yang dilakukan Barat sebenarnya
tidak menyentuh kepada akar penyebab timbulnya aksi terorisme. Apalagi pelaku
teroris dewasa ini cenderung identik dengan identitas muslim yang terjadi pada
6 Indriyanto Seno Adji, Bali, Terorisme dan Ham, Kompas, Selasa, 29 Oktober 2001, hlm. 4.
8
pelaku teror Born Ball ataupun World Trade Center. Namun sebenarnya ada sisi
menarik dari para pelaku teror tersebut terutama untuk kasus Bom Bali.
Mereka melakukan teror tersebut atas dasar jihad untuk melawan
ketidakadilan yang umat Islam rasakan terutama dari dunia Barat. Hal ini perlu
segera diklarifikasi agar pelaku teror yang mengatasnamakan agama tersebut
sebenarnya telah melakukan kekeliruan di dalam menerapkan konsep jihad
sehingga anggapan islam sebagai agama yang penuh kekerasan dapat dibantah
dengan tegas, padahal kita semua sepakat bahwa islam merupakan agama yang
membawa rahmat bagi segenap manusia yang tercermin dari qjarannya yang
penuh akan nilai-nilai keadilan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia,
masalah utama penyebab terjadinya aksi terorisme ialah masalah keadilan.
Dalam prinsip dasar ajaran Islam pelaksanaan keadilan tidak boleh berat
sebelah, tanpa membeda-bedakan status sosial, kekayaan, kelas, ras, pengaruh
politik ataupun keyakinan agama. Namun demikian ketidakadilan inilah yang
sesungguhnya membuat seseorang atau kelompok dapat diposisikan sebagai
terorisme oleh orang atau kelompok lain seperti yang telah dituduhkan oleh
Amerika Serikat kepada jaringan AL Qaeda, Jamaah Islamiyah atau pun Iraq.
Penafsiran yang kabur tentang ketidakadilan pada akhirnya menimbulkan saling
mengklaim bahwa dirinya yang paling benar dan orang lainlah yang bersalah
sehingga mereka punya alasan melakukan tindakan terhadap orang lain. Karena
merasa paling benar maka kebenaran tersebut dijadikan parameter untuk menilai
orang lain yang belum tentu benar menurut pandangan yang lain. Kesalahan
penggunaan parameter ini diakibatkan tersumbatnya saluran komunikasi, sehingga
9
penyesuaian pemikiran dan pemahaman masing-masing agar tercipta saling
menghargai dan toleransi yang tidak terjadi.
M. Abdul Gani mengutip AL-QUR'AN:
"Islam mengajarkan melalui AL QUR'AN bahwa melaksanakan keadilan (hukum) merupakan bentuk ketakwaan terhadap ALLAH (QS, 5:8; 4: 135) sehingga orang adil dalam pandangan Islam memiliki posisi mulia dihadapan ALLAH."7
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tindakan terorisme
itu merupakan suatu kejahatan yang bersifat global dan dampaknya dapat
merugikan kepentingan umat manusia, demikian juga tindak pidana terorisme itu
sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, karena
kadang perbuatan terorisme itu mengatasnamakan agama sebagai alasan untuk
melakukan tindak pidana terorisme.
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimanakah pengertian terorisme menurut Hukum Islam dan Undang-
Undang No15 Tahun 2003?
2. Bagaimanakah materi terorisme menurut Hukum Islam dan Undang-
Undang No15 Tahun 2003?
3. Bagaimanakah penyelesaian terorisme menurut Hukum Islam dan
Undang-Undang No15 Tahun 2003?
7 M.Abdul Gani, Jurnal Ilmu Hukum, LITIGASI, Fak. Hukum Unpas Volume 4, Nomor 1 Februari 2003, hlm. 83-84
10
C. Kegunaan Penelitian
Dengan dilakukannya penelitian ini, maka diharapkan akan diperoleh
kegunaan penelitian, baik secara teoritis maupun praktis.
1. Kegunaan Teoritis
Diharapkan penulisan hukum dalam bentuk skripsi ini secara
ilmiah dapat memberikan konstribusi bagi perkembangan ilmu hukum
pada umumnya, dan secara khusus tentang bagaimana perspektif hukum
Islam dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 untuk menyingkapi
masalah terorisme.
2. Kegunaan Praktis
Diharapkan dapat memberikan masukan bagi aparat penegak
hukum dalam melaksanakan tugasnya agar dapat diterima oleh masyarakat
luas, khususnya dalam menuntaskan kasus-kasus yang berhubungan
dengan pemberantasan tindak pidana terorisme.
D. Kerangka Pemikiran
Di Indonesia yang berlandaskan Pancasila, tindak pidana terorisme itu
sangat bertentangan dengan Pancasila khususnya sila ke 2 yaitu kemanusiaan
yang adil dan beradab, karena didalam sila ke 2 memuat mengenai masalah:8
a. Butir ke 5 mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap
orang lain;
b. Butir 6 menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
8 Pancasila, Fokusmedia, Jakarta, hlm. 40.
11
Tindak pidana terorisme juga bertentangan dengan Undang-undang Dasar
1945.
Hak Asasi Manusia yang dilanggar oleh para teroris didalam Undang-
undang Dasar 1945 sebagaimana diatur dalam pasal 28 G ayat (1).
"Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi."9
Demikian juga pasal 28 I ayat (2).
"Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif."10
Selama ini yang menjadi sasaran para teroris di Indonesia ialah kaum
minoritas dan itu sangat bertentangan dengan hak asasi manusia. Dalam
melakukan aksinya di Indonesia para teroris sering mengatasnamakan agama
sebagai alasan mereka melakukan teror, dalam aksinya itu para teroris memakai
alasan jihad sebagai landasan dasar mereka dalam melakukan perbuatan
terorisme. dalam hukum Islam jihad itu diatur dalam AL QUR'AN. Seperti yang
dikemukakan Mochtar Naim dalam bukunya Kompendium Himpunan Ayat-ayat
AL-QUR'AN yang berkaitan dengan HUKUM.11
"Perangilah di jalan ALLAH orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampau batas. Sesungguhnya ALLAH tidak suka kepada orang-orang yang melampaui batas (Q.S: 2 ayat 190)."
9 Undang-Undang Dasar 1945 Dan Amandemennya, Fokusmedia, hlm. 26.10 Ibid,hlm. 27.11 Moctar Naim, Kompendium Himpunan Ayat-ayat AL-QUR’AN yang berkaitan dengan
HUKUM, HASANAH, Jakarta, 2001.
12
"Berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orangmunafik itu dan bersikap keraslah terhadap mereka (Q.S: 9 ayat 73-74)." "orang-orang yang gugur pada jalan ALLAH akan masuksurga (Q.S: 47 ayat 4-6)."
Menurut Hamka mengemukakan bahwa:12
"Maksudnya diizinkan berperang untuk mempertahankan diri, kalau pihak lawan yang memulai menyerang. Apalagi dalam masalah ibadah atau mempertahankan keyakinan aqidah, karena hidup seorang muslim adalah dengan niat menegakkan jalan Allah".
Selanjutnya menurut Hamka mengemukakan bahwa:13
"Maksudnya Jihad artinya berjuang bersungguh-sungguh atau bekerja keras pada jalan Allah. Di dalam ayat ini Rasul disuruh berjihad kepada kafir dan munafik. Dengan ini sudah nyata bahwa kedudukan munafik sudah disamakan dengan kafir. Tingkah laku mereka adalah menentang Rasul dari dalam. Sedang orang kafir sudah nyata dari luar atau menentang secara terbuka. Hendaklah mereka itu dijihadi. Dilawan, dihadapi dan ditangkis tantangan mereka dengan berbagai cara. Satu diantaranya hendaklah bersikap keras atau gagah kepada mereka, artinya jangan mereka diberi hati".
Hamka mengemukakan bahwa:14
"Maksud arti dalam ayat ini apabila jihad itu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh maka jaminanya ialah surga, tetapi kenyataanya para teroris melakukan jihad secara salah caranya yaitu dengan banyak mengorbankan manusia yang tak berdosa dan itu menyalahi maksud dalam pandangan agama juga tujuan jihad yang selama ini dikobarkan para terons itu sangat tidak sesuai dengan ajaran agama sesunguhnya".
12 Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu X, PT. Pustaka Panjimas, Jakarta, 1986, hlm. 118.13 Ibid.14 Ibid.
13
Dalam hal ini Islam membolehkan untuk berperang untuk
mempertahankan diri dari musuh yang mulai menyerang, pada saat ini umat Islam
selalu disudutkan dan dipojokan oleh penerapan standar barat yang selalu
menuduh bahwa umat Islam itu sebagai teroris. Oleh karena itu selalu
diperlakukan tidak adil, sehingga timbulah perlawanan-perlawanan dari
segolongan kelompok yang ingin menuntut ketidakadilan tersebut, maka timbulah
bentuk perlawanan seperti peledakan Bom bunuh diri, dan lain-lain.
Dalam Islam diperbolehkan berperang untuk mempertahankan diri, untuk
membela agama dan aqidah yang diyakini, seperti di Palestina dan Libanon, tetapi
jangan melampaui batas, dalam Islam boleh beperang tetapi jangan sampai
membunuh rakyat sipil yang tidak berdosa seperti orang tua, jompo, dan juga
anak-anak, apabila musuh sudah menyerah itu jangan sampai dibunuh. Jelas
bahwa Islam sangat mulia dan adil terhadap sesama manusia, tetapi pada saat ini
ada sebagian kelompok yang mengatasnamakan jihad dalam perjuangannya untuk
menuntut ketidakadilan.
Dalam Islam memang dikenal adannya jihad yaitu bersungguh-sungguh
berjuang di jalan Allah untuk memerangi orang kafir. Pada saat ini umat Islam
teraniaya oleh kebijakan dari barat seperti terjadi di Palestina dan Libanon dalam
hal ini jihad dibolehkan untuk mempertahankan diri dan aqidah, jihad menurut
Rosul kalau di lakukan dengan sunguh-sungguh akan mendapat jaminan surga.
Pada saat ini banyak orang yang mengatasnamakan jihad tetapi pada
pelaksanaannya bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri, karena mereka
belum mengerti arti sebenarnya dari jihad itu apa.
14
Jadi arti perang (jihad) yang dimaksud para teroris itu tidak sesuai dengan
yang ada pada penjelasan ayat-ayat di atas, mereka melakukan tindakan
perangnya (jihad) dengan cara yang menyimpang, misalnya dengan cara bom
bunuh diri yang mengakibatkan banyaknya korban yang terbunuh.
Din Syamsudin berpendapat:
"Bom bunuh diri itu amat sangat bertentangan dengan islam dan hukumnya haram. Bom bunuh diri adalah tindakan putus asa yang jelas-jelas bertentangan dengan AL QUR'AN, itu merupakan faham yang salah karena hal itu tidak terdapat atau tercantum di dalam AL QUR'AN dan Hadits. Kalau mereka menggunakan ayat-ayat AL QUR'AN, itu semata-mata karena kesalahpahaman atau ayat yang terpotong-potong."15
Ahmad Bagja juga berpendapat:
"Para teroris yang menggunakan ajaran Islam sebagai landasan pembenaran tindakannya itu sesungguhnya belum lagi selesai belajar soal Islam. Pemahamannya baru setengah-setengah. Bom bunuh din itu tidak dapat dikategorikan sebagai mati sahid atau jihad dalam rangka untuk membela agama itu perbuatan haram."16
Tindakan para teroris yang banyak membunuh orang itu bertentangan
dengan ajaran Islam sendiri karena dalam ajaran Islam tidak diperbolehkan
membunuh. Di dalam kitab jinayah dalam hukum pidana islam dijelaskan
mengenai sanksi bagi tindak pidana pembunuhan, membunuh orang adalah dosa
besar.
Pembunuhan yang dilakukan oleh para teroris ialah betul-betul disengaja
yaitu dilakukan dengan cara orang yang akan dibunuhnya dengan
mempergunakan suatu senjata (Bom) yang dapat digunakan untuk membunuh
orang. Hukum ini wajib di Qisas, berarti dia wajib dibunuh pula, kecuali apabila
15 Din Syamsudin, dalam bukunya, HD Haryo Sasongko, Terorisme, Dialog, dan Toleransi, Pustaka Grafiksi, Jakarta, 2006, hlm. 10.
16 Ibid.
15
dimaafkan oleh ahli waris yang terbunuh dengan membayar diyat (denda) atau
dimaafkan sama sekali.
Setelah menjelaskan hal-hal di atas mengenai tindak pidana terorisme yang
telah banyak melanggar nilai-nilai kemanusiaan maupun nilai-nilai agama maka
dapat diketahui bahwa perbuatan terorisme itu tidak diperbolehkan dalam ajaran
agama Islam.
Menurut pandangan As'ad Sahamrani hukum Islam (dari organisasi Fiqih
dan ilmiah di Al Azhar) terorisme itu adalah:
"Terorisme adalah tindakan menimbulkan rasa takut terhadap keamanan masyarakat, mengganggu kepentingan umum, memusnahkan harta, mengganggu kebebasan dan kemanusiaan karena ingin membuat kerusakan di Bumi. perang dalam syariat islam tidak boleh dilakukan kecuali karena faktor darurat yang terjadi pada dua kondisi berikut. Pertama, membela Negara dari penjajahan dan perampasan kekayaan Negara. Kedua, perang melawan upaya-upaya merusak keyakinan kaum muslimin."17
Sangat jelas sekali perbuatan terorisme itu bertentangan dengan nilai-nilai
yang ada dalam kehidupan bangsa Indonesia, karena dalam prakteknya perbuatan
terorisme itu banyak membunuh ribuan manusia dan perbuatan itu telah
melanggar nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
pemberantasan tindak pidana terorisme. Bahwa yang dimaksud tindak pidana
terorisme menurut peraturan perundang-undangan yang ditulis tim Perum
Negotirto:
17 As’ad As Sahamrani penerjemah Erwin Yuandani, Menyingkapi Terorisme Dunia, Era Intermedia, Solo, 2005, hlm. 13-14.
16
"Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang srategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas Internasional, dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun."18
Dari sini dapat dijelaskan bahwa tindak pidana terorisme itu merupakan
suatu kejahatan yang banyak mengorbankan umat manusia, tindak pidana
terorisme merupakan kejahatan yang paling berbahaya dalam abad ini, karena
tindak pidana terorisme saat ini memakai teknologi tinggi dan berimplikasi sosial,
budaya, politik, dan agama. Paradigma tentang kejahatan abad 21 bertemakan
nilai-nilai universal tentang kemanusiaan, keadilan dan HAM.
Terorisme merupakan suatu kejahatan yang melanggar nilai-nilai
kemanusiaan, keadilan dan HAM, oleh karena itu tindak pidana terorisme sangat
dimusuhi oleh setiap umat manusia. Tindak pidana terorisme merupakan tindak
pidana intemasional yang mempunyai dampak global dan salah satu kejahatan
yang memenuhi kriteria sebagai kejahatan Hostis Humanis Generis (kejahatan
umat manusia). Perluasan konsep kejahatan Internasional dapat menempatkan
kejahatan terorisme sebagai salah satu kejahatan Internasional dan terhadap
kejahatan terorisme dapat diberlakukan asas au dedere aupunere.
18 Perum negotirto, Kumpulan Peratuan Perundangan Anti Terorisme, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2006, hlm. 15.
17
Asas dikemukakan oleh Hugo Grotius, yaitu:
"Terhadap pelaku tindak pidana Internasional dapat di pidana oleh negara tempat Locus delicti terjadi dalam batas teritorial negara tersebut atau diserahkan atau di ekstradisi kepada negara peminta yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku tersebut."19
Bassioumjuga mengungkapkan asas au dedere aujudicare yaitu:
"Setiap negara berkewajiban untuk menuntut dan mengadili pelaku tindak pidana Internasional dan berkewajiban untuk melakukan kerjasama dengan negara lain didalam menangkap, menahan dan menuntut, serta mengadili pelaku untuk tindak pidana Internasional."20
E. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai
berikut:
1. Metode Pendekatan
Penelitian ini difokuskan pada masalah pokok terorisme dalam
perspekif hukum islam dan Undang-Undang No.15 Tahun 2003. Study
terhadap definisi, materi dan penyelesaian.
Berangkat dari fokus penelitian diatas, maka pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan penelitian hukum normatif atau disebut juga
penelitian hukum doktrinal atau disebut juga penelitian kepustakaan yaitu
penelitian hukum yang menggunakan data sekunder (data yang sudah
tertulis).
19 Hugo Grotius, dalam bukunya, Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, refika ADITAMA, Bandung, 2000, hlm. 14.
20 Ibid.
18
2. Sumber dan Jenis Data
Berpedoman dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif atau penelitian hukum doktrinal atau penelitian hukum
kepustakaan maka data yang digunakan berupa data sekunder yang
meliputi :
1) Al-Qur’an
2) Buku-buku
3) Undang-Undang
4) Sumber Lain.
3. Teknik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan cara study
kepustakaan.
4. Analisis Data
Data yang sudah terkumpul selanjutnya dianalisis dengan analisis
normatif kualitatif untuk memperoleh gambaran definisi, materi dan
penyelesaian tindak pidana terorisme.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan dan pemahaman skripsi ini, maka
penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I Skripsi ini dimulai dengan Pendahuluan yang menguraikan
mengenai Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Kegunaan
19
Penelitian, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian, dan Sistematika
penulisan.
Bab II TERORISME DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Bab ini akan membahas mengenai apa itu tindakan terorisme dan
mengapa sampai terjadi tindak pidana terorisme. Pandangan Islam
tentang terorisme yang menyatakan terorisme itu tidak dibenarkan
dalam Islam dan merupakan tindakan yang salah. Bahwa dalam aksi
terorisme yang terjadi di Indonesia yang didasarkan atas hukum
Islam adalah suatu pandangan yang salah, karena dalam hukum
Islam sendiri tidak dibenarkan untuk melakukan aksi terorisme.
Bab III TERORISME DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG
NO.15 TAHUN 2003. Dalam bab ini akan dibahas mengenai
peristiwa-peristiwa tentang peledakan bom di Indonesia terutama
membahas tentang peledakan bom di Bali, serta membahas
mengenai pengertian dan unsur-unsur dari tindak pidana terorisme.
Bab IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN PENGERTIAN,
MATERI DAN PENYELESAIAN TINDAK PIDANA
TERORISME. Bab ini akan membahas mengenai permasalahan –
permasalahan tindak pidana terorisme dalam perspektif hukum
Islam, serta permasalahan-permasalahan terorisme menurut Undang-
undang Nomor 15 Tahun 2003, serta dalam hal terjadinya hambatan-
hambatan dalam proses penyelesaian dan penanganan tindak pidana
terorisme, seperti kurang efisiennya Undang-undang Nomor 15
20
Tahun 2003, karena dalam Undang-undang tersebut masih terdapat
banyak kerancuan. Selain itu dibahas pula mengenai upaya
penyelesaian atau solusi agar terorisme bisa diatasi misalnyadengan
menciptakan rasa cinta damai, dialog, toleransi antar masyarakat dan
antar umat beragama serta dengan menegakkan hukum dengan
sebaik-baiknya.
Bab V PENUTUP
Pada Bab ini akan membahas mengenai latar belakang mengapa
teriadi suatu tindak pidana terorisme, kemudian bagaimana
pandangan hukum Islam dan pandangan Undang-undang Nomor 15
Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, serta
bagaimana solusi agar tidak terjadi lagi tindak pidana terorisme
dimasa yang akan datang.
BAB II
TERORISME DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Sejarah Terorisme
Sejarah tentang Terorisme berkembang sejak berabad lampau,
ditandai dengan bentuk kejahatan murni berupa pembunuhan dan ancaman
yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu. Perkembangannya bermula
dalam bentuk fanatisme aliran kepercayaan yang kemudian berubah
menjadi pembunuhan, baik
yang dilakukan secara perorangan maupun oleh suatu kelompok terhadap
penguasa yang dianggap sebagai tiran. Pembunuhan terhadap individu ini sudah
dapat dikatakan sebagai bentuk murni dari Terorisme dengan mengacu pada
sejarah Terorisme modern.21
Meski istilah Teror dan Terorisme baru mulai populer abad ke-18,
namun fenomena yang ditujukannya bukanlah baru. Menurut Grant
Wardlaw dalam buku Political Terrorism (1982), manifestasi Terorisme
sistematis muncul sebelum Revolusi Perancis, tetapi baru mencolok sejak
paruh kedua abad ke-19. Dalam suplemen kamus yang dikeluarkan
Akademi Perancis tahun 1798, terorisme lebih diartikan sebagai sistem
rezim teror.22
Kata Terorisme berasal dari Bahasa Perancis Ie terreur yang
semula dipergunakan untuk menyebut tindakan pemerintah hasil Revolusi
21Loudewijk F. Paulus, Terorisme, http://buletinlitbang.dephan.go.id.22Rikard Bangun, Indonesia di Peta Terorisme Global, http://www.polarhome.com, 17
November 2002
Perancis yang mempergunakan kekerasan secara brutal dan berlebihan
dengan cara memenggal 40.000 orang yang dituduh melakukan kegiatan
anti pemerintah. Selanjutnya kata
21Loudewijk F. Paulus, Terorisme, http://buletinlitbang.dephan.go.id.22Rikard Bangun, Indonesia di Peta Terorisme Global, http://www.polarhome.com, 17
November 2002
23
Terorisme dipergunakan untuk menyebut gerakan kekerasan anti pemerintah di
Rusia. Dengan demikian kata Terorisme sejak awal dipergunakan untuk menyebut
tindakan kekerasan oleh pemerintah maupun kegiatan yang anti pemerintah.23
Terorisme muncul pada akhir abad 19 dan menjelang teriadinya Perang
Dunia-I, terjadi hampir di seluruh belahan dunia.24 Pada pertengahan abad ke-19,
Terorisme mulai banyak dilakukan di Eropa Barat, Rusia dan Amerika. Mereka
percaya bahwa Terorisme adalah cara yang paling efektif untuk melakukan
revolusi politik maupun sosial, dengan cara membunuh orang-orang yang
berpengaruh.25 Sejarah mencatat pada tahun 1890-an aksi terorisme Armenia
melawan pemerintah Turki, yang berakhir dengan bencana pembunuhan masal
terhadap warga Armenia pada Perang Dunia I. Pada dekade tersebut, aksi
Terorisme diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri yang berbasiskan
ideologi.26
Bentuk pertama Terorisme, terjadi sebelum Perang Dunia II, Terorisme
dilakukan dengan cara pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah. Bentuk
kedua Terorisme dimulai di Aljazair di tahun 50an, dilakukan oleh FLN yang
mempopulerkan "serangan yang bersifat acak" terhadap masyarakat sipil yang
tidak berdosa. Hal ini dilakukan untuk melawan apa yang disebut sebagai
Terorisme negara oleh Algerian Nationalist. Pembunuhan dilakukan dengan
tujuan untuk mendapatkan keadilan. Bentuk ketiga Terorisme muncul pada tahun
60an dan terkenal dengan istilah "Terorisme Media", berupa serangan acak
terhadap siapa saja untuk tujuan publisitas.27
23 Muhammad Mustofa, Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi, Jurnal Kriminologi FISIP UI, vol 2 no III, Desember 2002hlm, 30.
24 Loudewijk F Paulus, Loc. Cit.25 History Of Terrorism, www.terrorismfiles.org/encyclopedia/history_of_terrorism.26 Loudewijk F Paulus, Loc. Cit.27 Muladi, Demokrasi, HAM dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Centre,
Jakarta, 2002, hlm. 168.
24
Bentuk ketiga ini berkembang melalui tiga sumber, yaitu:
1. Kecenderungan sejarah yang semakin menentang kolonialisme dan
tumbuhnya gerakan-gerakan demokrasi serta HAM;
2. Pergeseran ideologis yang mencakup kebangkitan fundamentalis agama,
radikalis setelah era perang Vietnam dan munculnya ide perang gerilya
kota;
3. Kemajuan teknologi, penemuan senjata canggih dan peningkatan lalu
lintas.
Namun Terorisme bentuk ini dianggap kurang efektif dalam masyarakat yang
ketika itu sebagian besar buta huruf dan apatis. Seruan atau perjuangan melalui
tulisan mempunyai dampak yang sangat kecil. Akan lebih efektif menerapkan "the
philosophy of the bomb" yang bersifat eksplosif dan sulit diabaikan.28 Pasca
Perang Dunia H, dunia tidak pernah mengenal "damai". Berbagai pergolakan
berkembang dan berlangsung secara berkelanjutan. Konfrontasi negara adikuasa
yang meluas menjadi konflik Timur - Barat dan menyeret beberapa negara Dunia
Ketiga ke dalamnya menyebabkan timbulnya konflik Utara - Selatan. Perjuangan
melawan penjajah, pergolakan rasial, konflik regional yang menarik campur
tangan pihak ketiga, pergolakan dalam negeri di seklan banyak negara Dunia
Ketiga, membuat dunia labil dan bergejolak. Ketidakstabilan dunia dan rasa
frustasi dari banyak Negara Berkembang dalam perjuangan menuntut hak-hak
yang dianggap fundamental dan sah, membuka peluang muncul dan meluasnya
Terorisme. Fenomena terorisme meningkat sejak permulaan dasa warsa 70-an.
28 Muladi, Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam kriminalisasi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, no. III, Desember 2002, hlm. 1.
25
Terorisme dan Teror telah berkembang dalam sengketa ideologi, fanatisme
agama, perjuangan kemerdekaan, pemberontakan, gerilya, bahkan juga oleh
pemerintah sebagai cara dan sarana menegakkan kekuasaannya.29
B. Pengertian Terorisme
Hingga saat ini, definisi terorisme masih menjadi perdebatan meskipun
sudah ada ahli yang merumuskan, dan dirumuskan di dalam peraturan perundang-
undangan yaitu Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan
tindak pidana terorisme. Amerika Serikat sendiri yang pertama kali
mendeklarasikan perang melawan teroris belum mendefinisikan dengan gamblang
dan jelas sehingga semua orang bisa memahami makna sesungguhnya tanpa
dilanda keraguan, tidak merasa didiskriminasikan serta dimarjinalkan. Kejelasan
definisi ini diperlukan agar tidak terjadi salah tangkap, dan berakibat merugikan
kepentingan banyak pihak, disamping demi kepentingan atau target meresponsi
hak asasi manusia yang seharusnya wajib dihormati oleh semua orang beradab.
Memang tidak bisa disalahkan jika kata terorisme dikaitkan dengan
persoalan pelanggaran hak asasi manusia, karena akibat terorisme, banyak
kepentingan umat manusia yang dikorbankan, rakyat yang tidak bersalah
dijadikan ongkos kebiadaban, dan kedamaian hidup antar umat manusia jelas-jelas
dipertaruhkan. Namun demikian, ada komunitas sosial keagamaan yang
mengenalkan bentuk implementasi keagamaan sebagai bagian dari strategi
perjuangan. Strategi perjuangan ini dipopulerkan dalam kategori "jihad".
Meskipun begitu, bukan berarti terorisme tidak termasuk kejahatan, khususnya
29 Loudewijk F Paulus, Loc. Cit.
26
jika dikaitkan dengan persoalan dampaknya secara makro. Meskipun dengan
menggunakan kategori "jihad", tetapi jika manusia yang tidak berdosa menjadi
korban dan kepentingan publik menjadi rusak berantakan serta negara dilanda
disharmonisasi nasional, maka kategori jihad itu patut dipertanyakan.
Ketiadaan definisi hukum internasional mengenai terorisme tidak serta-
merta berarti meniadakan definisi hukum tentang terorisme itu. Menurut hukum
nasional masing-masing Negara-negara, disamping bukan berarti meniadakan
sifat jahat perbuatan itu dan dengan demikian lantas bisa diartikan bahwa pelaku
terorisme bebas dari tuntutan hukum. Nullum crimen sine poena, begitu bunyi
sebuah asas hukum tua, yang bermakna, bahwa tiada kejahatan yang boleh
dibiarkan berlalu begitu saja tanpa hukuman, tetapi karena faktanya terorisme
sudah bukan lagi sekadar internasional crime dan sudah menjadi internationally
organized crime maka sangatlah sulit untuk memberantas kejahatan ini tanpa
adanya kerjasama dan pemahaman yang sama dikalangan Negara-negara.
Kata teroris dan terorisme berasal dari kata latin "terrere "yang kurang
lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata "teror" juga bisa
menimbulkan kengerian tentu saja, kengerian dihati korban dan pikiran
korbannya. Akan tetapi, hingga kini tidak ada definisi terorisme yang bisa
diterima secara universal. Pada dasarnya, istilah "terorisme" merupakan sebuah
konsep yang memiliki konotasi yang sangat sensitif karena terorisme
menyebabkan terjadinya pembunuhan dan penyengsaraan tehadap orang-orang
yang tidak berdosa. Tidak ada negara yang ingin dituduh pendukung terorisme
atau menjadi tempat perlindungan bagi kelompok-kelompok terorisme.
27
Ada yang mengatakan seseorang bisa disebut sebagai teroris sekaligus juga
sebagai pejuang kebebasan. Hal itu tergantung dari sisi mana masing-masing
Negara mendefinisikan terorisme menurut kepentingan dan keyakinan mereka
sendiri untuk mendukung kepentingan nasionalnya.
Pengertian terorisme untuk pertama kali dibahas didalam European
Convention on the suppression of terrorism (ECST) di Eropa tahun 1977 teriadi
perluasam paradigma arti dari Crimes Against State menjadi Crimes Against
Humanity, Crimes Against Humanity meliputi tindak pidana untuk menciptakan
suatu keadaan yang mengakibatkan individu, golongan, dan masyarakat umum
ada dalam suasana teror. Seruan diperlukannya suatu perundang-undangan
terorisme pun disambut pro-kontra mengingat polemik definisi mengenai
terorisme masih bersifat multi- interpretatif, umumnya lebih mengarah pada
polemik kepentingan Negara atau state interested.
Tindak pidana terorisme merupakan tindak pidana mumi (mala perse)
yang dibedakan dengan Administrative criminal law. Kriminalisasi tindak pidana
terorisme sebagai bagian dari pekembangan hukum pidana dapat dilakukan
dengan banyak cara seperti; melalui sistem revolusi misalnya amandemen
terhadap pasal-pasal KUHP, melalui sistem global melalui pengaturan yang
lengkap diluar KUHP kekhususan hukum acaranya, sistem kompromi dengan cara
memasukan bab baru dalam KUHP "tentang kejahatan teorisme".
Untuk memahami makna teroris lebih jauh dan mendalam kiranya perlu
dikaji telebih dahulu pengertian atau definisi terorisme yang dikemukakan oleh
baik beberapa lembaga maupun beberapa penulisan atau pakar ahli, yaitu:
28
Menurut US Central Inteligence agency (CM):
"Terorisme intemasional adalah terorisme yang dilakukandengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga, ataupemerintah asing."30
Menurut US Federal Bureau Of Investigation (FBI):
"Terorisme Adalah Penggunaan kekerasan tidak sah ataukekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasisebuah pemerintah, penduduk sipil elemen-elemenya untuk mencapai tujuan sosial atau politik."31
Menurut A.C Manullang pengertian terorisme adalah:
"Terorisme adalah suatu cara untuk merebut kekuasaan dari kelompok lain, dipicu antara lain karena adanya pertentangan agama, ideologi dan etnis serta kesenjanganekonomi, serta tersumbatnya komunikasi rakyat denganpemerintah, atau karena adanya paham separatisme danideologi fanatisme."32
Menurut Hadi al-Makdkhaly:
"Terorisme adalah sebuah kalimat yang terbangun di atasnya makna yang mempunyai bentuk (modus) beraneka ragam yang intinya adalah gerakan intimidasi atau terror atau gerakan yang menebarkan rasa ketakutan kepada individu atau kelompok masyarakat." 33
30 Muladi, Demokrasi, HAM dan Reformasi Hukum di Indonesia,Op. Cit, hlm. 171.31 Ibid, hlm. 172.32 A.C Manullang, Menguak Tabu Intelejen Teror, Motif dan Rezim, Panta Rhei, Jakarta,
Januari 2001, hal. 151.33 Al-Madkhaly, Muhammad, Terorisme dalam Tinjauan Islam, Makhtabah Salafy Press,
Tegal, 2002, hlm. 1-2.
29
Menurut Salah Kansu:
"Terorisme adalah perlawanan atau peperangan bukan pada serdadu (militer) melainkan terhadap orang-orang yang tidak berdosa dan masyarakat sipil. Mereka adalah pembunuh-pembunuh pengecut yang mengambil sikap dengan membunuh orang-orang yang tidak bersalah, dengan target, yaitu menciptakan ketakutan. Teroris adalah menakut-nakuti dan mengancam. la tidak bisa diterima oleh akal manusia dan tidak dibenarkan oleh semua agama. Apa yang dilakukan oleh Al qaidah adalah nyata-nyata tindakan teroris dan tidak bisa dikatakan sebagai perjuangan di jalan Allah. la adalah aksi murahan, pengecut dan tidak jantan."34
Menurut Paul Wilkinson:
"Terorisme adalah aksl terror yang sistematis, rapi dan dilakukan oleh organisasi tertentu."35
Menurut Syed Hussein Alatas:
"Teroris adalah mereka yang merancang ketakutan sebagai senjata persengketaan terhadap lawan dengan serangan pada manusia yang tidak terlibat, atau harta benda tanpa menimbang salah satu benar dari segi agama atau moral, berdasarkan atas perhitungan bahwa segalanya itu boleh dilakukan bagi mencapai tujuan maklumat persengketaan."36
Menurut kamus besar bahasa Indonesia kontemporer:
"Terorisme adalah penggunaan kekerasan atau ancaman untuk menurunkan semangat, menakut-nakuti, dan menakutkan, terutama untuk tujuan politik. "37
34 Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik, Kejahatan terorisme dal perspektif agama, HAM dan hukum, Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm. 30.
35 Ibid, hlm. 29.36 Ibid, hlm. 31.37 Ibid.
30
Menurut Muhammad Mustofa pengertian terorisme adalah:
"Terorisme adalah tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang ditujukan kepada sasaran secara acak (tidak ada hubungan langsung dengan pelaku) yang berakibat pada kerusakan, kematian, ketakutan, ketidakpastian dan keputusasaan massal. "38
Menurut Fauzan Al- Anshari:
"Terorisme adalah tindakan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berlatar belakang politik atau kekuasaan dalam suatu pemerintah Negara."39
Menurut Ustadz Abu Bakar Ba'asyir pengertian terorisme adalah:
"Terorisme adalah tindakan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berlatar belakang politik atau kekuasaan dalam suatu pemerintahan negara. Terorisme itu bisa dilakukan oleh pihak-pihak yang melawan suatu pemerintahan yang sedang berkuasa untuk menjatuhkannya, tetapi bisa juga dilakukan oleh suatu pemerintahan terhadap rakyatnya atau kelompok oposisi untuk mempertahankan kekuasaannya".40
Dari pengertian-pengertian di atas jelas bahwa tindak pidana terorisme
merupakan suatu kejahatan yang luas, karena selain menggunakan teknologi yang
canggih, kekerasan dalam setiap pelaksanannya, terror terhadap masyarakat juga
merupakan perbuatan melawan hukum, tetapi tindak pidana terorisme yang saat
ini teriadi banyak yang berlatar belakang politik untuk mendapatkan suatu hal,
orang rela mengorbankan kepentingan rakyat yang tidak berdosa seperti peristiwa-
peristiwa yang terjadi di tanah air, mereka tega mengorbankan rakyat yang tak
berdosa demi mencapai tujuan yang mereka inginkan apapun bentuk dari
38 Muhammad Mustofa, Op. Cit.39 Fauzan, Saya Teroris (“Sebuah Pledoi”), Republika, Jakarta, 2002, hlm. 24.40 Abu Bakar Baasyir, Terorisme di Indonesia, Forum Studi Islam Surakarta, Surakarta,
2004, hlm. 16.
31
tujuan dari para terroris itu ialah salah dan bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan, HAM, karena banyak mengorbankan kepentingan orang lain.41
C. Tipologi Terorisme dan Awal Timbulnya Terorisme
Dalam hal tipologi, tindak pidana terorisme dapat terbagi dalam beberapa
tipologi terorisme atau terbagi ke dalam beberapa tipe sebagai berikut:
1. Tipologi terorisme terdiri dari:
Tipe kesatu"Political terrorism adalah bentuk terorisme yang dirancang untuk menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat dengan tujuan politik secara umum, semua terorisme ditengarai bermuatan politik setidaknya, demikianlah pandangan klasik mengenai terorisme, karenanya tipe political terrorism menjadi sangat dominan, dan dengan mudah ditemukan dalam berbagai kasus.
Tipe keduaNonpolitical terrorism, kekerasan dan ancaman kekerasan dilakukan diluar motif politik. Jadi terorisme non politik adalah bentuk terorisme yang dilakukan untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti motif ekonomi, balas dendam, penyelamatan, maupun semata-mata karena kegilaan.
Tipe ketigaQuasi terrorism. Menggambarkan kegiatan incidental guna melakukan kejahatan kekerasan yang bentuk dan caranya menggunakan metode teror. Ilustrasi dari tipe ini dapat ditemukan pada kasus-kasus pembajakan pesawat atau penculikan tokoh yang tidak didasarkan pada motivasi idiologis. Dalam tipe quasi terrorism ini, para pelaku terror lebih tertarik untuk melakukan tindakan teror, semata-mata karena untuk memperoleh uang tebusan.
41 Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik Op. Cit. hlm. 31-32.
32
Tipe keempat
Limited political terrorism pada tipe ini, terorisme jelas bermotifkan politik, meskipun dalam skala terbatas. Artinya, kegiatan teror dilakukan tidak menampakan bagian dari suatu gerakan untuk menyerang negara contoh dari tipe ini adalah pembunuhan politik.
Tipe kelima
“State terrorism memang masih menjadi perdebatan sengit para pakar hukum internasional. Disatu sisi, state terrorism diartikan negara sebagai pelaku teror, dan sisi yang lain diartikan negara hanya menjadi sponsor dari kelompok atau negara yang melakukan aktivitas terorisme. Sejumlah negara sering disebut-sebut sebagai state terrorism.” 42
2. Awal timbulnya terorisme
Dalam mengkaji terorisme, satu hal yang perlu diingat adalah adanya
perbedaan sudut pandang tentang terorisme. Lebih dari itu, terorisme hingga
saat ini menjadi sebuah gejala sosial yang kompleks. Sudut pandang dan
kepentingan para pihak larut dalam memaknai terorisme. Pemaknaan dari
sudut pandang yang berbeda tersebut yang menyebabkan terjadinya
pergeseran makna terorisme dari masa kemasa. Terorisme pada awal
kemunculannya berkonotasi positif, kini menjadi sebuah kejahatan berat dan
kejahatan terhadap kemanusian crime againt humanity.
Istilah teror (isme), pertama kali, populer pada masa Revolusi Perancis
(1789-1794). Akan tetapi, praktik terorisme itu sendiri teriadi jauh
sebelunmya. Dalam catatan sejarah, terorisme telah dipraktikkan manusia
sejak zaman Yunani kuno. Xenophon (431-350 SM) misalnya, menuliskan
dalam bukunya tentang terorisme dalam term "perang psikologis" untuk
menaklukkan musuh. Pada awal abad masehi tercatat nama
42 Luqman Hakim, Terorisme di Indonesia, Forum Studi Islam, Surakarta, hlm. 19-22.
33
Kaisar Rome Tiberius (14-37 M) dan Caligula (37-41 M) yang melakukan
terorisme terhadap lawan-lawan politiknya.
Aksi teror juga dilakukan Zealot (hidup pada 66-73 M), sebuah organisasi
partai politik yang beroposisi dengan pemerintahan Herodes yang menentang
penjajah Roma. Mereka menuntut kemumian religius dan menentang segala
tindakan asusila dan tindakan yang bersifat anti Yahudi. Mereka menggunakan
pisau kecil yang disebut sica yang disembunyikan di balik jaket. Dengan senjata
sica tersebut, aksi Zealot sering disebut Sicarii. Aksi sicarii dilakukan dengan cara
bercampur orang-orang dipasar. Jika mereka melihat suatu pelanggaran mereka
langsung mengambil pisau dan menikam si pelanggar. Metode yang mereka
gunakan adalah praktek pembunuhan teroganisir di zaman kuno. Tindakan ini
bersifat acak dan menimbulkan ketakutan masyarakat. Motivasi kelompok Zealot
adalah agama dan didukung oleh kitab suci.
Teror sebagai sebuah aksi yang sistematis dikenal sejak Revolusi Perancis
(1789-1794). Pada masa itu, muncul apa yang dikenal dengan French Revolution's
terrorism atau regime de la terreur pimpinan Maximilien Robespierre. Regime de
la terreur digunakan sebagai instrumen untuk mendirikan Revolusionary State
yaitu membentuk sebuah masyarakat baru yang lebih baik. Selain mempunyai
kaitan erat dengan revolusi, Maximilien Robespierre, sang pemimpin gerakan,
mengaitkan teror dengan kebaikan (virtue) dan demokrasi (democracy).
Robespierre menyebutkan : virtue, without which terror is evil; terror, without
which virtue is helpless. ... terror is nothing but justice, prompt,severe and
inflexible; its therefore an emanation of virtue.
34
Terdapat dua karakteristik utama dari French Revolution's terrorism.
Pertama, regime de la terreur tidak dilakukan dengan acak (random) dan tidak
juga indiskriminasi (neither random nor indiscriminate), tetapi dilakukan secara
terorganisir (organized), terarah dan berhati-hati (deliberate), serta sistematis
(systematic). Karakteristik ini yang membedakan regime de la terreur dengan aksi
terror yang digambarkan saat ini. Kedua, tujuan French Revolution's terrorism
(regime de la terreur) adalah untuk membentuk sebuah masyarakat baru yang
lebih baik (a new and batter society).
Pertengahan abad ke-19, di Eropa, revolusi Perancis mengilhami
munculnya sentimentil anti monarki (anti penguasa). Pada abad ini, muncul aksi
era terorisme baru di mana terorisme dikonotasikan dengan gerakan anti
pemerintahan. Aksi-aksi teror digunakan sebagai taktik untuk menggulingkan
orang-orang berkuasa. Carlo Pisacane, seorang extrim Republika Italia,
melakukan gerakan revolusioner yang disandarkan pada teori "the propaganda by
deed".
Hingga menjelang perang dunia I, terrorisme berkonotasi revolutioner,
bersamaan dengan perang dunia II dan semangat pergerakan kemerdekaan,
penggunaan istilah terorisme digunakan dalam perspektif berbeda. Pertama,
teroris dikonotasikan dengan gerakan revolusioner. Dan, kedua, mengacu pada
pemberontakan yang dilakukan kaum nasionalis/anti-colonialis. Konotasi kedua
memicu ketidaksenangan para pejuang kemerdekaan (negara dunia ketiga) dengan
stigma teroris. mereka dengan tegas menolak stigma teroris yang melekat pada
mereka. Bagi mereka (pejuang kemerdekaan) berjuang untuk kemerdekaan dan
35
kebebasan demi tanah air dari penjajahan bukan terorisme tetapi freedom fighters.
Pada awal tahun 1990, muncul istilah narco terrorism dan istilah gray area
phenomenon. Istilah Pertama muncul bersamaan dengan gerakan sekelompok
orang dengan motivasi ekonomi yang bergelut dalam perdagangan obat terlarang.
Narco terrorism muncul akibat pertemuan antara penjualan obat terlarang dengan
penjualan senjata. Sedangkan istilah gray area phenomenon digunakan pada
gerakan yang mengancam stabilitas nasional oleh orang atau kelompok bukan
negara.
Bila ditelaah lebih mendalam pada awalnya kata terror merupakan jargon
politik yang berasal dari bahasa Perancis yang selanjutnya diserap kedalam bahasa
Inggris yang merupakan ekses negatif teriadinya revolusi perancis, berupa
lahirnya pemerintahan yang memiliki sifat teror terutama pada awal pasca
revolusi perancis yang diawali oleh pemerintahan yang dipimpin Maximilian
Robespierre yang diakhiri kudeta oleh Napoleon Bonaparte sehingga terbentuklah
Republik Perancis.
Bila pada masa pasca revolusi perancis terorisme dilakukan Negara dalam
bentuk penekanan terhadap lawan politiknya, maka pada dewasa ini terminologi
yang umum tentang terorisme adalah, bentuk kekerasan yang dilakukan oleh
kelompok atau individu yang sebagian besar ditunjukan pada komunitas muslim
terhadap kepentingan negara tertentu terutama terhadap nagara-negara barat.
Pandangan ini ternyata tampak lebih nyata ketika dunia barat melakukan upaya
penanggulangan terhadap aksi-aksi terorisme dengan melakukan standar ganda
seperti terlihat dalam kasus Irak dan Korea Utara.
36
D. Ciri-ciri Hukum Islam dan Perpektif Hukum Islam Terhadap Terorisme
1. Ciri-ciri hukum Islam adalah sebagai berikut: 43
1) Mempakan bagian dan bersumber dari agama Islam;
2) Mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan dari iman
atau kaidah atau aqidah dan kesusilaan atau aqhlak Islam;
3) Mempunyai dua istilah kunci yaitu:
a. Syariat,
b. Fiqih.
4) Terdiri dari dua bidang utama yaitu:
a. Ibadah,
b. Muamalah.
5) Strukturnya berlapis terdiri dari:
a. Al'Quran,
b. Hadist,
c. Ijtihad.
6) Mendahulukan kewajiban daripada hak;
7) Menghormati martabat manusia sebagai kesatuan jiwa dan raga, rohani
dan jasmani serta memelihara kemuliaan manusia dan kemanusiaan
secara keseluruhan;
8) Pelaksanaanya dalam praktik digerakan oleh iman dan aqhlak umat
Islam;
9) Berwatak universal, tidak terbatas pada umat Islam di suatu tempat
atau negara pada suatu masa saja.
43 Mohammad Daud Ali Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 52-54.
37
Dari uraian-uraian diatas Islam merupakan suatu agama yang
sempurna bisa dilihat dad ciri-cirinya, Islam agama yang mendahulukan
kewajiban daripada hak, dalam Islam kewajiban itu ialah suatu hal yang harus
didahulukan seseorang, menurut Islam seperti halnya dalam contoh bekerja
dulu baru menerima upah, Islam juga sangat menghargai dan menghomiati
sesama umat manusia, Islam ialah agama pelindung bagi segenap mausia
karena dalam prakteknya di gerakan oleh rasa keimanan dan akhlak yang
terpuji.
2. Perspektif Hukum Islam Terhadap Terorisme
Menurut pandangan As'ad As Sahamrani dari (Hukum Islam organisasi
Fiqh dan ilmiah di Al Azhar) terorisme itu adalah:
"Terorisme adalah tindakan menimbulkan rasa takut terhadap keamanan masyarakat, mengganggu kepentinganumum, memusnahkan harta, mengganggu kebebasan dankemanusiaan karena ingin membuat kerusakan di Bumi. perang dalam syariat islam tidak boleh dilakukan kecuali karena faktor darurat yang terjadi pada dua kondisi berikut. Pertama, membela Negara dari penjajahan dan perampasan kekayaan Negara. Kedua, perang melawan upaya-upaya merusak keyakinan kaum muslimin."44
Sementara dari sudut pandang agama, bahwa terorisme sebagai
kekerasan politik sepenuhnya bertentangan dengan etos kemanusiaan agama
Islam. Agama Islam mengajarkan etos kemanusian yang sangat menekankan
kemanusiaan universal, Islam mengajarkan umatnya untuk berjuang
mewujudkan perdamaian, keadilan, dan kehormatan. Akan tetapi, perjuangan
44 As’ad As Sahamrani, Op. Cit.
38
itu haruslah tidak dilakukan dengan cara-cara kekerasan atau terorisme. Setiap
perjuangan untuk keadilan harus dimulai dengan premis bahwa keadilan
adalah konsep universal yang harus diperjuangkan dan dibela setiap manusia,
Islam memang menganjurkan dan memberi justfikasi kepada muslim untuk
berjuang dan berperang terhadap para penindas musuh-musuh Islam, dan
pihak luar yang menunjukan sikap bermusuhan atau tidak mau hidup
berdampingan secara damai dengan Islam dan kaum muslim.
Islam sebagai agama yang rahmatan lilalamin, jelas menolak dan
melarang penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan-tujuan termasuk
tujuan yang baik sekalipun, Islam menegaskan bahwa pembasmian suatu jenis
kemungkaran tidak boleh dilakukan dengan kemungkaran pula. Tidak ada
alasan etik dan moral sedikit pun yang bisa membenarkan suatu tindakan
kekerasan, terlebih teror. Kalau ada tindakan-tindakan teror yang dilakukan
oleh kelompok Islam tertentu, maka sudah pasti alasannya bukan karena
ajaran etika moral Islam, melainkan agenda lain yang tersembunyi di bank
tempurung tindakan tersebut.
Kita perlu menerapkan definisi terorisme dengan tepat supaya kita
tidak mencemarkan pemikiran agama yang murni dengan unsur-unsur
kebatilan dan kejahatan serta menganggap perjuangan tanpa moral sebagai
jihad. Dimana dalam Islam diizinkan dengan sengaja membunuh atau
mencederakan orang-orang yang tidak bersalah dan tidak terlibat. Dalam
peperangan yang sah saja Islam tidak mengizinkan tindakan yang demikian
39
terhadap mereka yang tidak terlibat alasan yang berperang pun meski
diperlakukan dengan kemanusian, termasuk si pengganas sendiri.
Menurut Ali Mubarok pandangan Hukum Islam terhadap terorisme
adalah:
"Sebenarnya tidak ada urusan antara agama dan kekerasan (teroris). Agama dalam kasus-kasus kekerasan dimanapun tidak lebih hanya sebagai faktor yang menambah bobotnya saja kalau ditamsilkan, hanya sebagai bumbu penyedap yang hanya mempergawat situasi konflik yang sudah terjadi karena faktor-faktor lain. Memang sulit dijelaskan bahwa faktor itu dipicu secara independen antar agama. Apalagi Islam sendiri, sangat menjungjung tinggi perdamaian."45
Fenomena terorisme yang mengatakan agama bisa jadi merupakan
akibat dari hubungan antar negara agama, ketika negara dipersepsikan
sebagai representasi agama sehingga setiap konflik yang muncul antar negara
disebut juga konflik agama seperti konflik antar negara-negara Arab dan
Israel, padahal yang menjadi pelaku kekerasan atau teror berasal dari
kelompok-kelompok dalam masyarakat yang memang memiliki perbedaan
agama. Namun sulit untuk menarik hubungan bahwa agama merupakan
sumber dari aksi terorisme.
Kenyataan ini sedikit banyak memberikan pandangan kuat terhadap
masyarakat internasional bahwa radikalisme dan ekstrimisme merambah ke
Tanah air. Setidaknya gerakan Islam politik di Tanah air mempunyai
kemiripan dan kedekatan idiologis dengan beberapa gerakan Islam politik di
negara lain. Kedua pandangan tersebut memang sulit untuk diterima, tetapi di
45 Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik, Op. Cit, hlm. 43.
40
sisi lain juga sangat sulit untuk ditolak. Sebab, dalam era teknologi seperti
sekarang ini, sesuatu yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin, sehingga
mengaitkan peledakan Bom di Bali dengan jaringan terorisme intemasional
bisa menjadi dugaan sementara hingga terdapat bukti-bukti atau sebaliknya
nanti tidak terbukti pada titik ini, agama sering dijadikan bulan-bulanan dan
objek tuduhan. Benarkah agama mendorong para terorisme. Pandangan
negatif tehadap agama kian tersebar karena ada bau tidak sedap dan
stigmasasi yang dimondialkan terhadap kelompok keagamaan tertentu, dan
bahkan dianggap sebagai representasi yang paling absah terhadap sebagian
besar tindakan terorisme global, tudingan diarahkan kepada kelompok
tersebut.
Uraian di atas dengan sendirinya mengharuskan masyarakat supaya
lebih giat mengembangkan cara-cara menyelesaikan masalah idiologi, sosial,
kebenaran, dan ketidakadilan tanpa kekerasan dan pemaksaan. Cara-cara
kekerasan, otoritarisme, dan pemaksaan lahan bagi cara-cara kekerasan masih
harus disikapi dengan kearifan dan penuh kesabaran. Salah satu caranya
dengan membina ruang publik sebagai strategi utama mengatasi ruang
kematian. Bila kehidupan sosial, potitik, dan ekonomi diibaratkan sebagai
ruang, kita tentu mengangankan ruang publik yang terbuka, toleran dan
beradab.
40
BAB III
TERORISME DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG
NOMOR 15 TAHUN 2003
A. Latar Belakang Munculnya Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003
Peristiwa Peledakan dari Tahun 1984-2009 dalam angka
Sebagaimana diketahui bersama bahwa teror dalam bentuk peledakan bom
sebagaimana yang terjadi di Bali bukanlah yang pertama kali terjadi di Indonesia-
Teror-teror tersebut seringkali terjadi seiring dengan moment-moment politik
tertentu sehingga dengan mudah diduga bahwa pelaku teror adalah pihak-pihak
yang berkepentingan dengan moment politik tersebut atau pihak yang
berkepentingan dalam sebuah dinamika politik.
Tetapi selain dengan motif tersebut, banyak yang melatar belakangi
terjadinya tindak pidana terorisme yang terjadi di Negara Indonesia, untuk itu
dibutuhkan kewaspadaan dari semua pihak, baik dari pihak pemerintah atau
negara dan tentunya semua lapisan masyarakat, hal tersebut perlu dilakukan
mengingat dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana terorisme sangat
merugikan dan akan menimbulkan kesengasaraan.
Awal timbulnya terorisme di Indonesia, itu banyak dilakukan dengan
beberapa peristiwa ledakan bom seperti yang terjadi berikut ini:46
46 Bambang Abimayu, Teror Bom Di indonesia, Grafindo, Jakarta, 2005, hlm. 82-90.
42
Kronologis Bom Di Indonesia
4 Oktober 1984 Ledakan terjadi di BCA Jl. Pecenongan, BCA
kompleks pertokoan glodok, BCA Jl. Gadjah
Mada. Para pelaku mengaku protes atas
peristiwa tanjung priok. Lima pelaku ditangkap
dan dipenjara.
Desember 1984 Gedung seminari Alkitab Asia Tenggara di Jl.
Margono, Malang, Jawa Timur, dilempari bom
dan meledak. Motifnya diduga untuk memecah
kerukunan antar umat beragama. Pelaku
berhasil diketahui.
20 Januari 1985 Peledakan terhadap Candi Borobudur yang
dilakukan oleh seorang Mubaligh Husein Ali
Alhabsby. Pada awalnya Husein mendapat
ganjaran penjara seumur hidup, namun pada 23
maret 1999 mendapat grasi dari Habibie.
16 Maret 1985 bom meledak dal bus Pengemudi Ekspress di
Banyuwangi, Jawa Timur. Tersangka pelaku
Abdul Kadir Alhabsby, anggota majelis taklim.
Kasus ini dikaitkan dengan kasus peladakan
Candi Borobudur.
13 September 1991 Sebuah Bom meledak secara tidak sengaja di
Demak, Jawa Tengah, Tiga pemuda Timor-
43
Timur sebagai tersangka, namun Xanana
Gusmao menyatakan bertanggungjawab.
18 Januari 1998 Lagi-lagi Bom meledak dengan tidak sengaja di
Rumah Susun Tanah Tinggi, Jakarta Barat,
Agus Priono, anggota SMID, menjadi
tersangka dan dipenjara tujuh bulan.
15 dan 19 April 1999 Terjadi peledakan Bom di Plaza Hayam Wuruk
(15 April 1999) dan Masjid Istiqlal (19 April
1999). Angkatan Mujahidin Islam Nusantara
pimpinan Edy Rianto menjadi tersangka
pelaku.
15 Mei 2000 Ada Peledakan Bom Di Gereja Kristen
Protestan, Indonesia Medan, Sumatra Utara.
Kemungkinan Besar Bermotif Adu Domba
Antar Umat Beragama. Sehari Kemudian
Menyusul Ledakan Gereja Katholik Jl. Pemuda
Medan.
4 Juli 2000 Sebuah Bom meledak di kejaksaan Agung,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Bom
dikategorikan M-I buatan pindad, kasusnya
belum terungkap.
12 Oktober 2002 Diskotik Paddy’s Café dan Sari Club. Legian,
Kuta, Bali. Meledak kurang lebih sebanyak 202
44
orang meninggal dunia, dan ratusan mengalami
luka-luka.
5 Desember 2002 Restourant siap saji Mc Donal’s Jl. Sam
Ratulangi, Makasar. Meledak tiga orang tewas
akibat Bom rakitan ini.
5 Agustus 2003 Hotel JW Marriott di Jl. Casablanca, Jakarta
Pusat, diledakan. Sebanyak 10 orang tewas,
dua diantaranya satpam dan supir.
9 September 2004 Terjadi ledakan dahsyat di depan Gedung
Kedubes Australia, di Jl. HR. Rasuna Said,
Kuningan, Jakarta Selatan. Ledakan Bom yang
terdengar sampai radius 4 Km itu juga
memecahkan kaca sejumlah gedung pencakar
langit di sekitar lokasi kejadian. Pintu depan
Kedubes dan pohon-pohon disekitar rontok
terbakar api akibat bom yang berdaya hulu
tinggi itu.
21 Maret 2005 Ledakan Bom terjadi di Batu Merah,
Kecamatan Sirimau, Ambon, pada hari senin
malam melukai 19 warga sipil.
8 Juni 2005 Sebuah Bom meledak dihalaman samping
rumah salah seorang aktifis Islam, Abu Jibril,
45
Pemulang, Banten. Tidak ada korban dalam
peristiwa yang terjadi sekitar pukul 05.00 WIB
itu.
17 Juli 2009 Bom Jakarta 2009, 17 Juli 2009, dua ledakan
dahsyat terjadi di Hotel JW Marriott dan Ritz-
Carlton, Jakarta. Ledakan terjadi hamper
bersamaan, sekitar pukul 7.00 WIB.
Sebagai catatan saja selama kurun waktu 2005
-2009 semasa pemerintahan SBY-JK relatif
tidak ada bom, namun di akhir masa
pemerintahan mereka diwarnai bom yang
terjadi di tempat yang sama JW Marriott.
Semoga di masa masa mendatang Indonesia
diwarnai kedamaian tanpa adanya serangan
teror dan pertikaian lagi seterusnya.
46
Kronologis Peledakan Bom Di Bali Tanggal 12 Oktober 2002
Suasana Bali Sebelum Terjadinya Peledakan Bom 47
Bali telah menjadi kata kunci bagi gerbang kelangsungan hidup bangsa
Indonesia. Ketika negeri ini memasuki krisis ekonomi dan hamper semua
wilayah menderita akibat krisis itu, Bali tetap tegak dengan tegar. Wisatawan
asing yang datang membawa dollar menemukan Bali bagaikan the lost
paradise, surga yang hilang, karena murahnya kehidupan yang diukur dengan
dollar.
Sebaliknya, bagi sebagian anak negeri yang mencari nafkah di pulau
seribu dewa itu, Bali adalah the last paradise, surga yang terakhir. Wisatawan
asing (selanjutnya disingkat Wisman) membawa dollar dan mengisi kantong
orang Indonesia yang berhubungan dengan mereka, utamanya melalui
pariwisata.
Salah satu sebab dan sekaligus prasyarat mengapa Bali bagaikan the
last resort yang tidak terganggu krisis adalah keamanannya. Sebagai pulau
yang tidak terlalu besar, pencurian kendaraan bermotor frekuensinya rendah
(apalagi mobil), karena Polisi akan dengan mudah menemukannya.
Jumlah Polisi di Bali, dibandingkan dengan penduduknya (ratio)
memang termasuk yang paling ideal dibandingkan di daerah-daerah lain di
Indonesia, Ratio antara Polisi dengan penduduk tercatat 1 : 294. Ini jauh lebih
baik dari angka nasional yang sebesar 1 : 1080.
Namun, perlu dicatat, bahwa hingga Oktober 2002, Polda Bali berada
pada status Kelas B-l. artinya, Polda dipimpin oleh seorang Kapolda
47 History Of Terrorism, http: // www.terrorismfiles.org/ encyclopedia/ history_of_ terrorism.html.
47
berpangkat Brigadir Jenderal Polisi dengan Wakapolda Komisaris Besar.
Status ini sudah direncanakan untuk ditingkatkan menjadi lebih tinggi
sebelum akhir 2002 (akhirnya setelah kasus bom Bali naik menjadi status
Kelas A). Status ini berkaitan erat dengan sarana dan prasarana yang dimiliki
oleh Polda, karena menyangkut alokasi dana (anggaran) yang lebih kecil
dibanding Polda yang statusnya lebih tinggi (Kelas A).
Kondisi ganda yang menampilkan dimensi kekuatan sekaligus
kelemahan Polda Bali, juga agak terbantu oleh setidaknya dua faktor, yaitu :
pertama, faktor exposure terhadap unsur-unsur eksternal, bahkan luar negeri,
sangat intern dan ekstensif, sehingga membuat Polisi Bali relatif lebih terbuka
terhadap orang luar, termasuk gagasan-gagasan dari luar institusi Polri. Kedua,
banyak posisi kunci di dalam struktur organisasi, terutama yang bersifat
kewilayahan (Polsek) dipegang oleh para perwira muda yang sangat
potensial.48
Dengan ratio Polisi dibanding penduduk yang ideal, ditambah dengan
lokasi geografis yang relatif tertutup (sehingga memudahkan pengamanan
wilayah), serta infrastruktur keamanan yang mapan dan efektif (perangkat
adat, terutama pecalang), maka situasi keamanan dan ketertiban masyarakat
(kamtibmas) secara umum sangat kondusif.
Suatu situasi yang pada satu sisi membentuk citra bagus, sebagaimana
ditampilkan oleh Polisi Pariwisata, namun pada sisi lain juga menyebabkan
kemampuan pengendalian kamtibmas yang kurang siap untuk kasus-kasus
yang berskala besar.
48 Ibid.
48
Itulah wajah Bali hingga 12 Oktober 2002, ketika terjadi tiga kali
peledakan bom, dengan dua diantaranya diledakkan di kawasan Legian, Kuta
dan satu di kawasan Renon, Denpasar. Bom Bali bukan hanya mengubah
wajah lokal, tetapi juga wajah nasional Indonesia.
Pada tingkat dan skala lokal, dampak bom Bali bukan hanya sekedar
mengejutkan atau membuat terkejut, tetapi membuat "terpana", baik bagi
masyarakat Bali sendiri dan terlebih lagi bagi Kepolisian setempat. Bom Bali
telah meluluhlantakkan rasa percaya diri aparat keamanan, masyarakat lokal,
pemukim pendatang dan bahkan turis-turis asing maupun domestik. Suatu
efek teror yang betul-betui mencapai sasaran teror, yaitu menyebarkan rasa
ketakutan hingga maksimal.
Kronologi peristiwa peledakan Bom di Bali dapat dilihat seperti
berikut ini:
Pertemuan Persiapan
Ada empat kali pertemuan yang dilakukan berturut-turut mulai tanggal
2 Agustus, 8 Agustus, 21 Agustus dan 28 Agustus 2002, dilanjutkan 12
September dan 20 September 2002. Pertemuan dilakukan secara bergantian di
daerah Solo dan Lamongan. Rangkaian pertemuan itu diikuti berganti-ganti
oleh Amrozi, Muhammad Ali Imron alias Alik (30), Umar alias Patek (35),
Umar alias Wayan (35), Idris alias Joni Saputra alias Gembrot (35), Did Matin
alias Amar Usman alias Muktamar alias Djoko Supriyanto (32) dan Fatih alias
Fat alias Kudama alias Abu Umar alias Abdul Aziz alias Heri alias Imam
Samudra (35).
49
Setelah perencanaan cukup matang, dengan dana yang memadai, mulai
dilakukan berbagai persiapan teknis, seperti pembelian mobil L-300 dan
pembelian sejumlah bahan peledak. Bahan peledak berupa Amonium Nitrat
dibeli di toko Tidar Kimia dan Aneka Kimia. Kedua toko berada di Surabaya.
Di took Tidar Kimia, Amrozi membeli satu ton Kalium Klorat (KC103), dua
zak Sulfur, safu long bubuk Alumunium, 25 kilogram Tawas, dan satu ember
Klorin. Karena jumlahnya banyak, pembelian dilakukan dalam beberapa kali.
Dan toko Tidar Kimia menghubungi toko Aneka Kimia untuk membantu
pengadaan.
Mobil Mitsubishi L-300 dibeli Amrozi dari Anas. Mobil inilah yang
akan digunakan untuk membawa bom yang akan diledakkan di Bali. Setelah
pembelian, mobil mulai dimodifikasi di Lamongan guna mengganti dengan
cara menggerinda dan memahat nomor palsu, nomor mesin dan nomor rangka.
Tindakan ini merupakan tindakan antisipasi jika seandainya ledakan tersebut
tidak menghancurkan seluruh mobil.
Artinya, dengan mengubah atau mengganti nomor mesin dan nomor
rangka, akan memutus kaitan dengan para pelaku, terutama pemilik mobil atau
yang melakukan pembelian mobil. Di kemudian hari, tindakan antisipasif ini
cukup efektif dalam mengecoh Kepolisian (dalam hal ini Laboratorium
Forensik), bahkan termasuk Tim Forensik dari Kepolisian Australia (AFP,
Australia Federal Police).
Dana yang disalurkan untuk realiasasi rencana ini diperkirakan sebesar
Rp. 120 juta rupiah. Uang yang dikumpulkan terdiri atas mata uang rupiah,
50
ringgit Malaysia, dollar Singapura dan dollar Amerika Serikat. Jumlah dana
tersebut dengan perhitungan kebutuhan pembelian mobil, bahan peledak dan
kebutuhan lainnya (yang nantinya termasuk pembelian sebuah sepeda motor
Yamaha Fl-ZR). Setelah rangkaian pertemuan di luar Bali, kelompok tersebut
berangkat ke Bali guna mempersiapkan teknis peledakan. Diperkirakan,
kelompok ini berangkat secara terpisah dan semuanya berada di Bali tanggal 5
Oktober 2002. Tanggal tersebut merupakan kesepakatan kelompok penggagas
untuk kembali bertemu di Bali.
Persiapan Teknis Peledakan
Pertemuan pertama kali diadakan di Bali dilakukan pada tanggal 5
Oktober 2002, lokasinya di Hotel Harum, Denpasar, yang membahas
mengenai persiapan lebih teknis. Keberadaan bahan-bahan peledak, gambaran
situasi lokasi yang akan diledakkan dan kesiapan kelompok eksekutor dibahas
secara intensif.
Diputuskan bahwa lokasi peledakan adalah Sari Club yang berada di
Legian, Kuta. Diduga, pemilihan lokasi ini dilakukan oleh orang luar Bali
yang tidak begitu mengetahui situasi. Dugaan ini berkaitan dengan banyaknya
orang yang tewas justru bukan merupakan warga negara Amerika Serikat,
namun Australia. Setelah pertemuan 5 Oktober tersebut, masih dilakukan
pertemuan-pertemuan intensif (kemungkinan setiap hari) untuk membahas
perkembangan situasi.
Pada tanggal 10 Oktober 2002, dilakukan pembelian motor bekas yang
dilakukan oleh Amrozi dan 2 orang lainnya dari "kelompok eksekutor"
(diduga Idris alias Joni Saputra, sebagaimana disebutkan dalam kuitansi
51
pembelian, serta kemungkinan Umar alias Wayan). Pembelian dilakukan di
sebuah Showroom Toko Mitra Motor di Jalan Gatot Subroto, Denpasar. Selain
membeli sepeda motor, mereka juga menyewa mobil Kijang Grand Extra
Nopol. DK-1435-CR, yang digunakan untuk melakukan pemindahan bahan
peledak dari lokasi penyimpanan ke lokasi tempat perakitan bom, Pemindahan
kemungkinan dilakukan dengan menempatkan bahan peledak (handak) di
bawah jok sopir.
Setelah melakukan pemindahan bahan campuran TNT tersebut, bom
segera dirakit menggunakan peralatan (kunci-kunci) yang ada di bawah jok
motor. Hal ini dikuatkan dengan penemuan residu peledak berupa HMX,
Tetril, Nitrat dan PETN di bawah jok dan kunci-kunci sepeda motor Fl-ZR
tersebut. Selain itu motor juga dipasangi 3 buah swicth yang nampaknya
digunakan sebagai pemicu jarak jauh (remote) dari bom yang akan
diledakkan. Meskipun demikian, besar kemungkinan bahwa switch detonator
dari jarak jauh ini tidak digunakan, dan yang digunakan adalah handphone
sebagai perangkat kontrol jarak jauh (remote control device).
Alternatif ini diketahui karena dari ledakan kecil di Renon ditemukan
serpihan handphone, Setelah semua siap, kemudian bom diletakkan dalam
mobil Mitsubishi L-300. Tanggal 11 Oktober merupakan hari terakhir
persiapan dan setelah mengecek persiapan peledakan. Pada tanggal ini,
beberapa orang sudah meninggalkan Bali. Tetapi, kelompok yang bertugas
untuk melakukan peledakan tetap tinggal di Denpasar.
52
Malam Peledakan49
Tanggal 12 Oktober 2002, kelompok eksekutor yang sudah diserahi
tanggung jawab mulai menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan
pelaksanaan lapangan. Malam harinya, mobil yang sudah dipasangi bom dan
motor yang sudah dilengkapi dengan switch remote mulai bergerak
meninggalkan tempat mereka berkumpul. Orang yang membawa motor,
diperkirakan juga membawa bahan peledak siap pakai., namun tidak sebanyak
dan sebesar yang diletakkan di dalam mobii L-300. Kemungkinan besar, motor
melakukan pemantauan lokasi terakhir dengan melintasi jalan Legian, Kuta.
Jalan Legian merupakan salah satu jalan paling ramai dan macet di
daerah Kuta. Di sepanjang jalan ini banyak terdapat tempat-tempat hiburan
semacam klub malam dan kafetaria. Kemacetan kian memuncak di atas pukul
sepuluh malam. Biasanya dari pukul 10.00 WITA sampai pukul 04.00 WITA,
kemacetan sangat parah karena malam Minggu (Sabtu malam).
Sumber kemacetan adalah ramainya orang yang melintas di sepanjang
jalan ini, ditambah dengan banyaknya kendaraan yang berhehti, terutama taksi
untuk mengambil penumpang. Situasi ini sangat mendukung pelaksanaan
peledakan. Kondisi macet dan ramai jelas menguntungkan pelaku karena tidak
akan timbul kecurigaan orang-orang di sekitar lokasi.
Banyak skenario yang bisa dikembangkan berdasarkan keterangan
saksi-saksi di sekitar lokasi peledakan. Skenario tersebut berkembang karena
pada saat yang bersamaan ada dua ledakan di jalan Legian, Kuta dan satu
ledakan di Jalan Puputan, Renon.
49 Ibid.
53
Sampai dengan Pukul 23.00 W1TA
Banyak alternatif skenario yang mungkin dilakukan oleh para pelaku
beberapa saat menjelang ledakan, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
Skenario 1
Pelaku A (kemungkinan membawa motor Fl-ZR) menuju Jl.
Legian dan menunggu pelaku yang membawa mobil L-300 (pelaku B).
Setelah menunggu beberapa saat, mobil L-300 yang dibawa oleh
pelaku B terlihat oleh Pelaku A. Pelaku A segera masuk ke dalam
Paddy's Café dan meletakkan tas berisi bom di sebuah kursi (bisa juga
meja) yang berada di antara bar tengah (lantai 1) dan meja DJ (Disc
Jockey). Setelah itu Pelaku A keluar dan kembali menunggu pelaku B
sampai pada posisi di depan Sari Club.
Posisi mobil L-300 sudah di depan Sari Club dan Pelaku B
telah melihat Pelaku A keluar dari Paddy's Cafe. Pelaku B kemudian
mematikan mobil dan meninggalkan mobil tersebut menuju ke arah
Pelaku A. kemudian keduanya segera meninggalkan lokasi.
Skenario 2
Pelaku A berangkat menuju Legian. Setelah tiba di depan
Paddy's Cafe, sejenak menunggu mobil L-300 yang dibawa Pelaku B
terlihat Setelah mobil L-300 terlihat di kejauhan, Pelaku A yang
membawa tas berisi bom segera masuk dan mengambil posisi duduk di
kursi yang ada di bar tengah (lantai 1). Beberapa saat kemudian,
Pelaku A keluar meninggalkan Paddy's, namun meninggalkan tas
54
berisi bom tersebut di kursi yang didudukinya. Dengan demikian,
pelaku tidak dicurigai dan dianggap hanya sebentar meninggalkan
kursinya. Pelaku A segera meninggalkan lokasi.
Sementara itu Pelaku B yang membawa mobil L-300 sudah
berada di depan Sari Club. Kemudian mematikan mobil dan
meninggalkannya. Pelaku B kemudian naik taksi yang berada tepat di
depan mobil L-300 yang dikendarainya. Pelaku B segera
meninggalkan lokasi menggunakan taksi.
Skenario 3
Pelaku A menuju Paddy's dari arah Kuta membawa bom
(kemungkinan di dalam tas). Setibanya di depan Paddy's, Pelaku A
segera masuk ke Paddy's (lantai 1) dan mengambil posisi duduk di
kursi yang berada di antara bar tengah dan meja DJ. Pelaku A tetap di
dalam Paddy's sampai bom meledak (kemungkinan bom bunuh diri).
Pelaku B telah sampai di depan Sari Club, kemudian
mematikan mobil dan meninggalkannya. Kemudian Pelaku B segera
meninggalkan lokasi.
Skenario 4
Pelaku A dengan membawa bom (kemungkinan di dalam tas)
menuju Paddy's diantar oleh pelaku lainnya. Sesampainya di Paddy's,
Pelaku A langsung masuk dan mengambil posisi duduk di kursi yang
berada di antara bar tengah dan meja DJ. Pelaku A tetap di dalam
Paddy's sampai bom meledak (kemungkinan bom bunuh diri).
55
Sementara Pelaku membawa mobil L-300 sampai di depan Sari
Club, mematikan mobil dan meninggalkannya.
Pukul 23.15 WITA
Bom pertama meledak di dalam Paddy's Cafe. Ledakan ini memakan
korban jiwa sebanyak 8 orang, satu orang tewas dengan kondisi Sangat
mengenaskan karena berada sangat dekat dengan bom yang meledak. Hanya
betis ke bawah dan dada, kepala yang utuh, sementara tubuhnya hancur terkena
ledakan.
Para saksi mata yang lolos dari maut menyebut ledakan berasal dari
tengah-tengah kerumunan pengunjung yang sedang menari di lantai dansa.
Begitu bom meledak, seluruh pengunjung Paddy's berhamburan. Ledakan itu
segera disusul dengan nyala api dan kebakaran. Di lokasi kejadian ditemukan
residu RDX dan THT.
Pukul 23.15.03
Sementara itu, beberapa saat menjelang ledakan di Paddy's Cafe, mobil
Mitsubishi L-300 yang ditinggal dalam keadaan mati di depan Sari Club
mengundang perhatian pengunjung dan pejalan kaki yang melintasi Sari Club.
Beberapa orang berkerumun di sekitar mobil tersebut. Tidak bergeraknya
mobil L-300 membuat mobil dibelakangnya mengambil jalur kiri untuk
mendahului.
56
Mobil Carry dan diikuti taksi yang berada di belakang L-300 bisa
mendahului. Sementara di belakang kedua mobil yang berhasil mendahului ada
Kijang Abu-abu DK-1738-CR yang tejebak di belakang L-300 mengambil ke
kiri dan tidak bisa mundur karena ada Kijang Abu-abu Metalik DK-1257-JC
dan Ford Laser Merah Metalik DK-8164-BX.
Di jalur sebelah kiri, ada beberapa mobil yang sedang di parkir.
Tercatat mobil Kijang Merah Metalik DK-1524-AC, Daihatsu Espass DK-
1706-BQ dan Timor Biru Metalik DK-53-GA serta beberapa mobil lainnya
yang terparkir sekitar 13 meter dari mobil L-300.
Setelah ledakan di Paddy's, banyak pengunjung Paddy's berlarian
keluar. Ketika itulah, dalam jarak waktu hanya 3 detik, mobil Mitsubishi L-300
yang berada di depan Sari Club meledak. Ledakan sedemikian besar dan
kerasnya, sehingga langsung membuat listrik padam. Ini terutama karena
hancumya gardu tegangan rendah yang berada di samping Sari Club akibat
ledakan.
Ledakan menimbulkan kebakaran yang dengan cepat menghanguskan
Sari Club beserta isinya (termasuk pengunjung yang berada didalamnya).
Kebakaran bisa cepat terjadi karena Sari Club adalah bangunan semi permanen
yang terbuat dari kayu. Beberapa orang tewas seketika dalam keadaan
mengenaskan (banyak yang gendang telinganya hancur).
Ledakan tersebut selain menimbulkan kebakaran dan kerusakan yang
luas, juga sangat keras. Dari kondisi korban, dapat disimpulkan banyak yang
tewas karena kerasnya suara (di samping rambatan hawa panas). Sampai
57
beberapa menit selanjutnya tidak ada yang bisa mendekati pusat ledakan
(ground zero) karena panas.
Pada saat evakuasi pertama dilakukan, tercatat 71 orang tewas dalam
keadaan tubuh utuh, namun "hangus" karena terbakar. Pada lokasi ledakan
ditemukan TNT, RDX, HMX, Tetril dan Nitrat.
Pukul 23.15.33
Tiga puluh detik setelah ledakan kedua di jalan Legian, persis di depan
Sari Club, terjadi ledakan ketiga di Jalan Puputan, Renon, Denpasar. Lokasi
ledakan di trotoar jalan yang berjarak diagonal 100 meter dari Konsulat
Amerika Serikat di Jalan Hayam Wuruk, Renon dan sekitar 300 meter dari
Konsulat Australia di Jalan Puputan. Ledakan ini tidak menimbulkan korban
jiwa. Kerusakan hanya pada beton trotoar dan dahan, ranting-ranting serta
dedaunan pepohonan di sekitar trotoar yang berguguran.
Pada lokasi ledakan di Renon ini ditemukan residu bahan peledak
(handak) jenis TNT dan komponen elektronika yang kemudian diidentifikasi
sebagai handphone merek Nokia dengan kode body DMC 00455-3. Para saksi
yang mendengar ledakan tersebut melukiskan suara yang keras, meskipun efek
ledakan tidak sekeras suaranya. Jika dihitung dari interval waktu yang sama
dari ketiga ledakan, yaitu 30 detik, maka kemungkinan pengaktifan remote
control dilakukan dari Pelaku yang sama di Legian, meskipun tidak tertutup
kemungkinan pelaku peledakan di Renon adalah orang lain dari kelompok
yang sama.
58
Pasca Peledakan50
Kesibukan menanggulangi akibat ledakan dimanfaatkan pelaku untuk
menghilangkan jejak. Setelah merealisasikan rencana peledakan, dua orang
pelaku yang mengendarai sepeda Motor Yamaha Fl-ZR Nopol. DK-5228-PE
menuju musholla Al-Ghuroba di Sanglah, Denpasar. Mereka memarkir motor
di samping musholla, salah seorang melepas helm dan kaus tangan kulit,
kemudian mengambil kain lap dari atas jok sepeda motor disebelahnya, dan
kain lap tersebut ditutupkan di atas jok sepeda motor Yamaha yang
diparkirnya.
Salah seorang di antara kedua pelaku sempat mencuci muka, sementara
lainnya menunggu di luar. Tampaknya pelaku yang menunggu diluar resah,
sehingga pelaku yang telah selesai mencuci muka langsung menghampirinya
dan keduanya meninggalkan musholla tersebut. Motor Yamaha Fl-ZR yang
tadinya dibawa, dibiarkan tetap terparkir di samping musholla.
Beberapa pelaku segera ke luar dari Bali pada keesokan harinya.
Diperkirakan, paling lama dalam waktu empat hari setelah hari peledakan,
seluruh pelaku sudah meninggalkan Bali, semuanya melalui jalur darat.
Dampak Peristiwa51
Kasus bom Bali bukan sekedar menyisakan persoalan kemanusiaan dan
perkara kriminal yang belum terselesaikan sepenuhnya, melainkan tetap
memberikan dampak yang luar biasa, baik terhadap kehidupan masyarakat
50 Ibid.51 Ibid.
59
lokal Bali, bangsa Indonesia secara keseluruhan dan bahkan dunia
internasional.
Akibat dari pemboman itu sangat luas. Perubahan-perubahan struktural
dan fungsional terjadi begitu cepat dan berlangsung dalam skala yang sangat
besar. Barangkali tidak banyak yang menyadari bahwa dalam kilas balik
mengenai seminggu pertama setelah pengeboman, sesungguhhya nasib bangsa
Indonesia dipertaruhkan.
Segera setelah pemboman 12 Oktober 2002 itu, potensi-potensi laten
dari konflik horizontal berpeluang besar untuk muncul ke permukaan. Jika saja
masyarakat Bali tidak mampu segera mengendalikan diri dari tindakan-
tindakan penghancuran diri (self destruction), seperti sweeping kaum
pendatang, khususnya yang beridentitas "Jawa", yaitu etnik Jawa-Madura yang
Muslim.
Setelah itu, berbagai dampak struktural dan fungsional mulai muncul di
permukaan berurutan. Berbagai isu nasional telah menjadi wacana publik,
mulai dari diterbitkannya Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang). Rancangan Undang-Undang Antiterorisme, sampai rekonstruksi
ekonomi dan validasi organisasi Polri, bahkan hingga politik luar negeri
Republik Indonesia, serta sikap dunia internasional terhadap Indonesia.
Semuanya terpengaruh dan mengubah banyak asumsi mengenai situasi
Indonesia menjelang peralihan tahun.
60
Perpu dan Undang-Undang Anti Terorisme
Dampak langsung lain dari bom Bali menyangkut aspek hukum.
Pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang (PERPU) dan menyegerakan proses pengesahan Rancangan Undang-
undang Antiterorisme ke DPR. Tetapi, kedua payung hukum ini segera pula
menimbulkan kontroversi di masyarakat. Banyak kalangan, terutama aktivis
pro-demokrasi, yang menentang, dengan argumen, bahwa keduanya bisa-bisa
dijadikan payung hukum bagi pemerintah untuk menindas dan mematikan
oposisi. Misalnya, dapat digunakan laporan intelijen sebagai bukti permulaan
yang cukup, sehingga dengan laporan tersebut seseorang dapat ditangkap atas
kecurigaan terlibat dalam tindak pidana terorisme. Hal lain yang tidak lazim
adalah kewajiban Hakim (Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri) untuk
memeriksa laporan intelijen yang diajukan kepadanya. Hakim di sini tidak
dilatih untuk mampu memeriksa seperti itu.
Kontroversi lain, penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap
setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan
bukti permulaan yang cukup untuk waktu paling lama 7 x 24 (tujuh kali
duapuluh empat) jam (pasal 28 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme). Jadi seseorang dapat ditangkap
tujuh hari tanpa kejelasan akan dilakukan penahanan atau tidak atas dirinya. Di
dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, penangkapan dilakukan
untuk waktu paling lama satu hari, dan selebihnya harus dengan surat
penahanan (pasal 19 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).
61
Dalam hal Rancangan Undang-undang Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, yang sebelumnya terlihat lambat dibahas, mengalami
percepatan pembahasan. Bom Bali telah menjadi pemicu terjadinya percepatan
pembahasan tersebut Tekanan internasional atas keseriusan Indonesia dalam
memberantas terorisme telah semakin kuat, sehingga perdebatan mengenai
perlu tidaknya atau masalah isi menjadi berkurang banyak.
Tidak hanya itu, tentangan juga semakin berkurang. Tokoh-tokoh yang
biasanya bersuara keras, sudah ditahan Polisi atau memilih diam. Mayoritas
akan mengambil posisi mengikuti arus. Dengan peristiwa Bali, penentang
Rancangan Undang-undang ini bisa saja dianggap sebagai pendukung
terorisme. Dengan demikian, melihat kompleksitas dampak yang muncul baik
pada tingkat lokal, nasional dan internasional, maka bom Bali adalah sebuah
ujian berat bagi kekuatan lokal, yaitu legitimasi adat dan agama Hindu.
Kerukunan antar umat beragama dan antar etnik sedang dipertaruhkan dalam
kasus ini.
Rangkaian peristiwa pengeboman yang terjadi di wilayah Negara
Republik Indonesia telah menimbulkan rasa takut masyarakat secara luas,
mengakibatkan hilangnya nyawa serta kerugian harta benda, sehingga
menimbulkan pengaruh yang tidak menguntungkan bagi kehidupan sosial,
politik, ekonomi, dan hubungan Negara Indonesia dengan dunia internasional.
Peledakan bom tersebut merupakan salah satu modus pelaku terorisme
yang telah menjadi fenomena umum dibeberapa negara. Terorisme merupakan
kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan bahkan merupakan tindak pidana
62
internsaional yang mempunyai jaringan luas, yang mengancam perdamaian dan
keamanan nasional maupun internasional.
Pemerintah Indonesia sejalan dengan amanat sebagaimana ditentukan
dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 alinia ke 4 (empat) yakni, melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam memelihara ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi dan keadilan
sosial, berkewajiban untuk melindungi seluruh wargannya dari setiap ancaman
kejahatan baik yang bersifat nasional, transnasional, maupun yang bersifat
internasional.
Pemerintah juga berkewajiban untuk mempertahankan kedaulatan serta
memelihara keutuhan dan integritas nasional dari setiap bentuk ancaman baik
yang datang dari luar maupun dari dalam. Untuk itu, maka mutlak diperlukan
penegakkan hukum dan ketertiban secara konsisten dan berkesinambungan.
Untuk menciptakan suasana tertib dan aman, serta untuk memberikan
landasan hukum yang kuat, dan kepastian hukum yang kuat, serta kepastian
hukum dalam mengatasi permasalahan yang mendesak dalam hal
pemberantasan tindak pidana terorisme, Presiden Republik Indonesia telah
menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun
2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Berdasarkan
pertimbangan tersebut maka perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
63
Terorisme menjadi Undang-undang, dalam hal ini menjadi Undang-undang
Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
B. Tindak Pidana Terorisme Menurut Hukum Positif Indonesia
Seperti yang telah diterangkan, tindakan terorisme di Indonesia itu
memiliki unsur membuat rasa takut kepada orang lain, dan rasa takut itu
juga harus ditujukan kepada orang yang banyak atau massal. Seumpama
tidak termasuk dari unsur ini, maka kejahatan tersebut hanya masuk di
dalam ketentuan pidana biasa.
Dalam hal ini, termasuk dari tindakan terorisme adalah kejahatan
yang dilakukan berkaitan dengan transportasi penerbangan atau pesawat.
Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 8 Undang-Undang No.15 Tahun 2003
Tindak Pidana Terorisme. Pasal 8 ini adalah merupakan usaha pencegahan
berlakunya kejadian serupa dengan 9/11 di New York.
Selanjutnya di Pasal 9 Undang-Undang No.15 Tahun 2003 Tindak
Pidana Terorisme, terdapat ketentuan pidana terorisme yaitu bagi orang
yang membantu seorang teroris untuk mendapatkan bahan peledak,
amunisi dan yang menyamainya. Hanya saja, seumpama orang melakukan
tindakan yang sesuai dengan Pasal 6, maka ia akan dipidana dengan
pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Sedangkan Pasal 9
menentukan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua
64
puluh) tahun. Jadi bedanya hanya pidana penjara paling singkat yaitu antara 4 dan
3 tahun.
Perlu diketahui, Pasal 6 dan 9 ini kejahatan tindakan pidana
terorisme. Akan tetapi Undang-Undang No.15 Tahun 2003 ini tidak
berhenti hanya pada tindakan terorisme yang berhasil. Ia juga memberi
ketentuan bagi tindakan yang memiliki niat untuk tindak pidana terorisme,
tapi tidak berhasil. Ini terdapat di Pasal 7 dengan pidana penjara paling
lama seumur hidup.
Ada juga tindak pidana lain dari tindak pidana terorisme, akan
tetapi ia berkaitan dengan terorisme. Tindak pidana ini diatur dalam Pasal
20-24. Contoh dari tindak pidanan ini adalah seperti usaha mengintimidasi
penyidik dalam penyidikan kasus teroris. Hanya saja, tindakan ini tidak
dihukum seberat dengan tindakan kejahatan terorisme murni.
Undang-Undang No.15 tahun 2003 Tindak Pidana Terorisme pula
mengatur tentang kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Undang-Undang
No.15 Tahun 2003 ini memberikan pengaturan tentang perlindungan
korban dan ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme.52
Kompensasi pembiayaannya dibebankan kepada negara yang
dilaksanakan oleh pemerintah, sedangkan restitusi merupakan gati
kerugiannya diberikan oleh pelaku kepada ahli warisnya.53
Turut campurnya pemerintah dalam memberikan kompensasi
kepada korban dan keluarganya merupakan salah satu perwujudan dari
52 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 36-42.
53 Dikdik, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, 131.
65
welfare state. Pemerintah berkewajiban untuk memberikan kesejahteraan
bagi warga negaranya.
52 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 36-42.
53 Dikdik, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, 131.
66
Apabila negara tidak mampu untuk memberikan kesejahteraan bagi warga
negaranya (dalam hal ini melindungi warga negaranya dari aksi-aksi terorisme)
pemerintah harus bertanggung jawab untuk memulihkannya.54
Salah satu keistimewaan Undang-Undang No.15 Tahun 2003
Tindak Pidana Terorisme adalah ia memiliki ketentuan kerjasama
internasional. Kerjasama internasional ini diatur di dalam Pasal 43
Undang-Undang No.15 Tahun 2003 Tindak Pidana Terorisme.55
Wujudnya Pasal 43 ini mencerminkan bahwa kejahatan terorisme adalah
sebuah kejahatan internasional dan seluruh rakyat internasional ingin
melawannya.
Delik Tindak Pidana Terorisme
Delik berasal dari bahasa Latin yakni kata delictum. Dalam bahasa
Jerman disebut delict, dalam bahasa Perancis disebut delit, dan dalam
bahasa Belanda disebut delict. Menurut Leden Marpaimg dalam bukunya
Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik ) yaitu secara umum
oleh pakar hukum telah disetujui bahwa strafbaar feit disebut delict.56
Pengertian delik telah diterjemahkan oleh para sarjana menjadi berbagai
macam arti dan para sarjana itu mempunyai batasan dan alasan tersendiri
untuk menentukan pengertian delik.
Untuk lebih jelasnya, penulis mengutip beberapa pengertian
tentang delik menurut pakar dan ahli hukum pidana seperti tersebut di
bawah ini:
54 Ibid.55 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Pasal 43:56 Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana dan Penerapannya, Alumni AHM-PTHM, Jakarta,
1990, hlm.32.
67
Sianturi dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana Dan
Penerapannya, mengartikan istilah delik atau hot strafbaar feit ke dalam
bahasa Indonesia menjadi:
54 Ibid.55 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Pasal 43:56 Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana dan Penerapannya, Alumni AHM-PTHM, Jakarta,
1990, hlm.32.
68
a. Perbuatan yang dapat atau boleh dihukum;
b. Peristiwa pidana;
c. Perbuatan pidana;
d. Tindak pidana.
Selanjutnya Sianturi mengutip pendapat Moeljatno bahwa delik
maksudnya adalah perbuatan pidana, yaitu:
“Hal itu dibuat oleh seseorang dan ada sebab maupun
akibatnya, sedangkan pengertian peristiwa pidana tidak
menunjukkan bahwa yang melakukan adalah seorang
manusia, bisa hewan atau alam yang melakukannya.'' 57
Menurut Moeljatno dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana,
menerjemahkan delik dengan istilah perbuatan pidana adalah:
"Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pidana itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditentukan oleh kelakuan atau perbuatan orang. Sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. " 58
Pengertian delik menurut Bambang Purnomo dalam bukunya Asas-asas
Hukum Pidana adalah tindak pidana, yang mengatakan bahwa:
57 Ibid.58 Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm.54.
69
"Perbuatan pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan cirri tertentu pada peristiwa hukum pidana, perbuatan pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa konkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga perbuatan pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidiyan masyarakat." 59
Mengenai pengertian yang baku dan definitive dari apa yang disebut
dengan Tindak Pidana Terorisme itu, sampai saat ini belum ada keseragaman.
Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa
tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima
secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme
tersebut. Oleh karena itu menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan
pandangan yang subjektif.60
Tidak mudahnya untuk merumuskan definisi dari Terorisme itu sendiri,
hal tersebut dapat dilihat dari usaha Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan
membentuk Ad Hoc Committee on Terrorism pada tahun 1972 yang bersidang
selama tujuh tahun tanpa menghasilkan rumusan definisi.61 Pengertian paling
otentik adalah pengertian yang diambil secara etimologis dari kamus dan
ensiklopedia. Dari pengertian etimologis itu dapat diintepretasikan
pengembangannya yang biasanya tidak jauh dari pengertian dasar tersebut.62
59 Bambang Purnomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm.16.60 Indriyanto Seno Adji, Loc. Cit.61 Muhammad Mustofa, Op. Cit, hlm. 35.62 Kunarto, Intelejen Pengertian dan Pemahaman, Jakarta, Cipta Manunggal, 1999,
hlm.19.
70
Dalam pasal 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU)
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang
sekarang telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1,
Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur
tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Mengenai
perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur
dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, pasal 7, bahwa
setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:
1. "Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas intrnasional (Pasal 6)." 63
2. "Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7)." 64
63 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Citra Umbara, Bandung, 2007, hlm. 215.
64 Ibid.
71
Dan seseorang juga dianggap melakukan Tindak
Pidana Terorisme, berdasarkan ketentuan pasal 8, pasal 9,
pasal 10, pasal 11 dan pasal 12 Undang-Undang Nomor 15
tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Dari banyak definisi yang dikemukakan oleh banyak pihak,
yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah:
1) Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut;
2) Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu;
3) Menggunakan kekerasan;
4) Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud
mengintimidasi pemerintah;
5) Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari
pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama.
C. Tindak Pidana Terorisme Menurut Hukum Islam
Seperti yang telah diterangkan di pembahasan sebelumnya, bahwa dalam
Islam kata terorisme tidak dibahas secara khusus sebagai “terorisme”. Akan
tetapi ia mengukuti bab jinâyah. Di sisi lain, karena melihat bentuk kejahatan
terorisme itu banyak (seperti pembajakan, penculikan, pengeboman, dan lain-
lain), maka perlulah dibahas dari beberapa sisi.
Tokoh terorisme yang terkenal di dunia dan dianggap sebagai teroris
yang paling dicari oleh Amerika dan koalisi-koalisinya adalah Usamah bin
Ladin. Aksi yang dilakukan termasuk mengebom dan aksi teror terhadap
militer maupun sipil dari orang Amerika dan sekutunya.
72
Ini terbukti di dalam fatwa Usama bin Ladin yang menurut
perspektifnya adalah jihad: 65
Bahwa hukum membunuh orang-orang Amerika dan sekutunya – baik sipil maupun militer – adalah wajib individual (fardl al-‘ain) bagi setiap muslim yang mampu melakukannya di setiap negara di mana mungkin untuk melaksanakannya, sampai al-Masjid al-Aqsha dan al-Masjid al-Haram berhasil dibebaskan dari cengkeraman mereka, sampai tentera mereka keluar dari seluruh tanah Islam, tunduk dan tidak mampu lagi mengancam setiap muslim.66
Dalam fatwa yang diberikan Usamah di sini, dapat difahami bahwa
target kejahatan yang akan dilancarkan adalah orang-orang Amerika dan
sekutunya (seperti Inggris, Australia dan lain-lain) baik sipil maupun militer.
Kenyataan ini menurut Islam pada dasarnya adalah salah. Menurut fiqh Islam,
orang yang akan diperangi haruslah bebas dari 2 krateria: 1) Kafir yang
diamankan (musta`manîn), yang memiliki perjanjian dengan Islam, atau kafir
dzimmî; 2) Tidak membatas-batasi dakwah Islam, dan pemahaman tentang
Islam.67 Maka, ketika orang tersebut bukan kafir dzimmî atau musta`manîn
(yaitu ia adalah kafir harbî) dan menghalang-halangi dakwah Islam dan
menentangnya, maka barulah ia boleh diperangi yang dalam hal ini disebut
dengan jihad.
Walau bagaimanapun kafir harbî masih harus dipilah-pilah.
Seumpama kafir harbî itu adalah militer, maka ia boleh diperangi. Jikalau
kafir harbî itu adalah warga sipil, maka tidak diperkenankan untuk membunuh
65 ‘Abd Allah bin Husain Bâ’alwî, `Is’âd al-Rafîq wa Bughyah al-Shâdîq (Indonesia: Dâr `Ihyâ` al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.), 138-139.
66 Usamah bin Ladin, Karya Asli Fatwa dan Wawancara Usamah bin Ladin (Jakarta: Ababil Press, 2001), 63.
67 Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-`Islâmî wa `Adillatuh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2004), vol. 8, 5855.
73
perempuan, anak kecil, orang gila, orang tua uzur, orang cacat, orang buta,
bisu, yang tidak mampu berperang, agamawan (seperti rahib), atau petani,
selagi mereka tidak ikut memerangi orang Islam. Ketika mereka memerangi
orang Islam, maka barulah diperkenan membunuh mereka.68
Menurut ulama kontemporer, Syaikh Muhammad Afifi al-Akiti, bahwa
dapat difahami (mafhûm muwâfaqah) seorang lelaki dewasa pun, selagi ia
bukan militer (atau yang menyamainya) termasuk dari pelarangan untuk
membunuh di sini. Ini disesuaikan dengan ruh-ruh syariat, bahwa warga sipil
yang tidak ikut-ikut di dalam sebuah peperangan adalah dilarang untuk
dibunuh.69
Sehingga, dalam hal ini, pada tahun 1980 M/1401 H di Damascus telah
menetapkan Pasal 23 sebagai berikut:
Ketika di dalam perang, tidak diperkenankan membunuh kanak-kanak, perempuan, orang tua, agamawan dan selainnya dari orang-orang yang tidak ikut di dalam peperangan. Dan tidak (diperkenankan) memotong pohon, menjarah harta, dan tidak (diperkenankan) merobohkan pembangunan tamadun, dan tidak boleh disamakan dengan orang yang diperangi. Bagi yang cedera berhak untuk mendapatkan obat, dan bagi tawanan harus diberi makan dan dilindungi.70
Lebih-lebih lagi, persepsi jihad ini bertentangan dengan dasar paling
awal di dalam Islam. Dalam Islam, jihad merupakan hak abosulut pemimpin
bagi negara itu. Oleh karena itu, tidak dibenarkan bagi mana-mana bagian dari
rakyatnya
68 al-Zuhaylî, al-Fiqh al-`Islâmî, vol. 8, 5855-6.69 Muhammad Afifi al-Akiti, Defending The Transgressed by Censuring The Reckless
Against The Killing of Civilians (Germany: Warda Publication, 2005), 20.70 Al-Zuhaylî, al-Fiqh al-`Islâmî, vol. 8, 6454-5.
74
untuk melakukan jihad tanpa ada perintah dari pemimpin negara tersebut.71 Ini
dinyatakan oleh Syaikh Wahbah al-Zuhaylî dan dinukil juga oleh Syaikh
Muhammad Afifi al-Akiti:
Perintah jihad diwakilkan kepada pemimpin/presiden dan ijtihadnya. Wajib bagi rakyat untuk mentaati perintah imam tentang apa yang menjadi pemikirannya untuk masalah tersebut.72
Sedangkan kenyataan yang berlaku, para martir itu melakukan apa
yang mereka klaim dengan jihad pada warga negara (sipil) yang tidak dalam
keadaan perang bersama negara asal mereka. Ini adalah kesalahan besar
mereka sehingga dapat dikategorikan sebagai teroris.
Di sisi lain, teknik yang digunakan oleh para martir tersebut
kebanyakannya salah di sisi Islam. Salah satu yang selalu dipakai oleh martir
adalah praktek misi bunuh diri (martydom). Kalau dahulu, ketika masih dalam
perang dunia kedua, tentera Jepang yang setia dengan Kaisar Jepang
melakukan praktek kamikaze yaitu dengan menaiki pesawat terbang yang
membawa bom besar, lalu pesawat tersebut dijatuhkan ke kapal perang
Amerika beserta dengan pilotnya sekalian. Kematian ini membawa bangga
tersendiri bagi para martir Jepang tersebut. Sedangkan di dunia modern ini,
misi bunuh diri adalah dengan cara membajak pesawat, bom bunuh diri, dan
lain-lain.73
71 Suheil Laher, “Indiscriminate Killing”, dalam The State We Are In – Identity, Terror and The Law of Jihad, ed. Aftab Ahmad Malik (Bristol: Amal Press, 2006), 53.
72 Al-Zuhaylî, al-Fiqh al-`Islâmî, vol. 8, 5852; Afifi al-Akiti, Defending The Transgressed, 21.
73 “Suicide Attack”, Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Suicide_attack, diakses tanggal 21 Mei 2010.
75
Praktek seperti ini adalah salah besar. Dalam Islam, segala jenis bunuh
diri diharamkan dan ia termasuk dosa besar.74 Ini berdasarkan surah al-Nisâ`
ayat 29 dan 30:
Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan Barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
Syaikh Muhammad Afifi al-Akiti telah menulis perincian metode-
metode penyerangan bunuh diri yang diharamkan. Secara ringkasnya, semua
metode yang dipakai oleh para martir di zaman sekarang adalah termasuk
praktek bunuh diri yang diharamkan. Ini mengecualikan sebuah misi yang
dapat berakibat mati karena dibunuh musuh, yang mana secara dasarnya
bukan dengan sengaja membunuh diri sendiri. Seperti contoh, seorang
mujahid yang masuk di barisan perang musuh dengan membunuh general
musuh, lalu dia dibunuh oleh pasukan yang lain. Secara mendasar, walaupun
ini seperti praktek membunuh diri, akan tetapi ini tidak termasuk dalam
kategori membunuh diri yang diharamkan karena secara realnya ia tetap saja
dibunuh oleh orang lain dan dalam aksinya masih memungkinkan ia tidak
sampai dibunuh musuh dan hanya ditangkap.75
74 `Ahmad bin Muhammad `Ibn Hajar, al-Zawâjir (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.t.), vol. 2, 9575 Afifi al-Akiti, Defending The Transgressed, 24.
76
D. Unsur-unsur Dari Tindak Pidana Terorisme
Dari beberapa perumusan delik jelas bahwa adanya suatu
perbuatan yang bersifat melawan hukum tersebut merupakan unsur-unsur
yang sangat penting di dalam usaha mengemukakan adanya suatu tindak
pidana.
Unsur-unsur delik menurut Leden Marpaung, yaitu:
1. Unsur Pokok Subyektif
Asas pokok hukum pidana " tak ada hukuman kalau tak ada
kesalahan
" (An act does not make a person gutty unless mind is guilty / actus non
facitt reum, nisi mens sit red). Kesalahan dimaksud adalah sengaja ( The
intention /Qpzet/dolus) dan kealpaan (the negligence/schuld).
1) Sengaja ( The Intention/ Dolus )
Menurut para pakar ada 3 (tiga ) bentuk sengaja yaitu :
a) Sengaja sebagai maksud ( oogmerk);
b) Sengaja dengan keinsafan pasti ( opset bijzekerheids bewusziJn);
c) Sengaja dengan keinsafan akan kemungkinan ( dolus evantualis).
2) Kealpaan (The Negligence/ Culpa)
Adalah merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan dari dolus
(sengaja). Ada 2 (dua) bentuk kealpaan yakni:
a) Tak berhati-hati;
b) Dapat menduga akibat perbuatan itu.
77
2. Unsur Pokok Obyektif
Unsur pokok obyektif terdiri dari :
1) Perbuatan manusia, berupa:
a) Act yakni perbuatan aktif yang juga ada pakar yang menyebut
perbuatan positif;
b) Ommission yakni tidak aktif berbuat. Hal ini karena tidak aktif.
Sebagian pakar menyebut dengan perbuatan negatif. Dengan
perkataan lain ialah membiarkan, mendiamkan.
2) Akibat (result) perbuatan manusia
Hal ini erat hubungannya dengan. causalitat. Akibat dimaksud
adalah membahayakan atau merusak atau menghilangkan kepentingan-
kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya: nyawa, badan
kemerdekaan, hak milik atau harta benda, kehormatan dan lain
sebagainya.
3) Keadaan-keadaan ( The circumstences )
Pada umumnya keadaan-keadaan ini dibedakan antara:
a) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan;
b) Keadaan setelah perbuatan melawan hukum.
4) Sifat yang dapat dihukum dan sifat melawan hukum
Sifat dapat dihukum ini berkenaan dengan alasan-alasan yang
membebaskan dari hukuman. Sifat melawan hukum adalah
bertentangan dengan hukum yakni berkenaan dengan larangan atau
perintah.
78
Dalam bukunya tersebut Leden Marpaung juga menjelaskan
mengenai unsur-unsur delik menurut para pakar hukum, antara lain:
a. Menurut Satochid Kartanegara
Menurut Satochid Kartanegara, unsur delik terdiri dari unsure obyektif dan
unsur subyektif.
1) Unsur Obyektif
Adalah unsur-unsur yang terdapat di mar manusia yang kesemuanya
ini dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-undang yaitu
berupa:
a) Suatutindakan;
b) Suatu akibat;
c) Keadaan (omstandigheid).
2) Unsur Subyektif
Yang juga termasuk " Algemene Leerstukken " adalah unsur-unsur
subyektif dari perbuatan dan yang dapat berupa:
a) Toerekeningsvatbaarheid (dapat dipertanggungjawabkan);
b) Schuld (Kesalahan).
b. Menurut Moeljatno
Menurut Moeljatno, tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur
lahir, oleh karena perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang
ditimbulkan karenanya, adalah suatu kejadian dalam alam lahir. Selanjutnya
Moeljatno mengatakan, bahwa disamping kelakuan dan akibat untuk adanya
79
perbuatan pidana biasanya diperlukan juga adanya, hal ihwal atau keadaan
tertentu yang menyertai perbuatan.
c. Menurut P.A.F. Lamintang
Menurut Lamintang unsur-unsur delik terdiri dari 2 macam yaitu:
1) Unsur-unsur subyektif
Adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang
berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu
segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.
Unsur-unsur subyektif dari suatu tindakan itu adalah:
a) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culfa);
b) Maksud atau vornemen pada suatu percobaan atau poging;
c) Macam-macam maksud atau oogmerk;
d) Merencanakan teriebih dahulu atau voorbedacht6 food;
e) Perasaan takut atau vrees.
2) Unsur-unsur obyektif
Adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-
keadaan yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari
si pelaku itu harus dilakukan.
Unsur-unsur obyektif dari suatu tindak pidana:
a. Sifat melawan hukum atau wederrechtelykfieid;
b. Kualitas dari si pelaku, yakni hubungan antara tindakan sebagai
penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
80
Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang
sekarang telah disahkan menjadi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang dijadikan sebagai
dasar hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia,
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme
sebagai berikut: tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan Undang-
undang ini (pasal 1 ayat 1).
Sedangkan yang dimaksudkan unsur-unsur terorisme dalam Pasal 1 ayat 1
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana
terorisme di atas adalah, perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara
sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara,
dan membahayakan bagi kedaulatan bangsa dan negara yang dilakukan dengan
menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, yang menimbulkan rasa takut
dan teror terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat
masal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta
benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan, atau kehancuran terhadap objek-
objek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau
fasilitas Intemasional.
Tindak pidana terorisme tersebut di atas terdapat dalam pasal 6 Undang-
undang Nomor 15 Tahun 2003 yang dikualifikasikan sebagai Delik materil.
Disebutkan dalam pasal 6 Undang- undang Nomor 15 Tahun 2003: 76
76 Abdul Wahid,Sunardi,Muhammad Imam Sidik, Op. Cit., hlm. 76.
81
76 Abdul Wahid,Sunardi,Muhammad Imam Sidik, Op. Cit., hlm. 76.
82
"Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau mengakibatkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik dan fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua puluh tahun."
Pasal ini adalah termasuk delik materil yang ditekankan pada akibat yang
dilarang yaitu hilangnya nyawa, hilangnya harta atau kerusakan dan kehancuran.
Kalaupun yang dimaksud kerusakan dan kehancuran lingkungan hidup adalah
tercemarnya atau rusaknya kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan
mahluk hidup, termasuk manusia dan prilakunya, yang mempengaruhi
kelangsungan prikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk lainya.
Termasuk merusak atau menghancurkan adalah dengan sengaja melepaskan atau
membuang zat energi, dan atau komponen lain yang berbahaya dan beracun
kedalam tanah, udara, air dan permukaan yang membahayakan terhadap orang
atau barang.
Berdasarkan beberapa pemahaman tersebut di atas, terorisme dapat
diartikan sebagai penggunaan atau ancaman penggunaan kekerasan fisik yang
direncanakan secara sistematis, menimbulkan suasana teror atau rasa takut,
dilakukan oleh kelompok atau sendiri-sendiri, dilancarkan secara mendadak dan
tiba-tiba terhadap sasaran langsung yang lazimnya untuk mencapai suatu
tujuannya.
83
Dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme membatasi atau mengecualikan tindak pidana selain
yang bermotif politik. Pengaturannya dirumuskan dalam Pasal 5, yang
menyatakan bahwa, tindak pidana terorisme yang diatur dalam undang-undang ini
dikecualikan dari tindak pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan
tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik, dan tindak pidana
dengan tujuan politik, yang menghambat proses ekstradisi.
Di dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, pasal 5 mengecualikan kegiatan terorisme terhadap
kejahatan-kejahatan dengan motivasi-motivasi politik dengan alasan, supaya
pihak-pihak gerakan atau aksi-aksi demonstrasi untuk melaksanakan hak-hak
politik, sosial dan ekonomi dapat diwujudkan tanpa perlu adanya rasa takut
dituduh sebagai teroris. Asas nondiskriminatif yang tidak mengaitkan perumusan
tindak pidana terorisme memakai prinsip depolitisasi. Sebab, sekalipun citra
tindak pidana terorisme selalu berkonotasi politik, tetapi penekanan lebih pada
perbuatan dan akibatnya. Dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003
dinyatakan bahwa, tindak pidana terorisme yang diatur dalam undang-undang ini
bukan merupakan tindak pidana politik, atau tindak pidana dengan motif politik,
atau tindak pidana dengan tujuan politik menghambat ekstradisi.
Sedangkan yang mengenai delik formil tindak pidana terorisme terdapat
dalam pasal 7 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan
tindak pidana terorisme.
84
Isi dari pasal 7 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 adalah: 77
"Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat masal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangriyanyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup."
Dalam hal ini perbuatan yang dilarang dan dikategorikan sebagai kegiatan
teorisme adalah, bermaksud untuk melakukan perbuatan yang menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan dimana perbuatan tersebut dapat menimbulkan
suasana teror ditengah-tengah masyarakat Sebenarnya terlalu berat sanksi bagi
tindakan delik formil yang belum menimbulkan dampak apapun, kepada orang
lain yang terlalu berlebihan. Pasal ini juga memungkinkan kepada aparat untuk
melakukan tindakan refresif dengan alasan-alasan yang kurang akurat.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, bahwa adanya unsure batin dari
pembuat hendak menjangkau secara luas yaitu rumusan "dengan maksud untuk
menimbulkan teror."
Delik formil lainnya, yang menyangkut suatu kejahatan yang dilakukan
terhadap dan didalam pesawat udara. Misalnya pasal 8 menyebutkan bahwa
dipidana melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, setiap orang yang menghancurkan,
membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan untuk pengamanan lalu
lintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut.
77 Ibid., hlm. 79.
85
Pasal 8 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme di atas mengatur tentang tindak pidana terorisme yang
dilakukan terhadap fasilitas umum yaitu fasilitas penerbangan. Hal ini
sebagaimana diatur dalam BAB XXIX tentang Kejahatan Penerbangan dan
Kejahatan Sarana/Prasarana Penerbangan pasal 479 KUHP disebutkan yaitu
sebagai tindak pidana menghancurkan, mencelakakan, membuat tidak dapat
dipakainya pesawat udara, yang dilakukan karena sengaja maupun kealpaan:
menimbulkan kebakaran, Ledakan, kecelakan, kehancuran dan lain sebagainya.
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Pasal 9 Isinya sebagai berikut: 78
"Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atausesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama dua puluh tahun."
Dipertegas dalam perumusan pasal 9 Undang-undang Nomor 15 Tahun
2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme tersebut adalah unsur-
unsurnya:
1) Setiap orang (kelompok/korporasi);
2) Melawan hukum;
3) Memasukan ke Indonesia.
78 Ibid., hlm. 85.
86
Hal ini dilakukan sebagai upaya preventif atau pencegahan yang
dimaksudkan untuk mendeteksi sejak dini tentang kedudukan kepemilikan senjata
api dan amunisi secara ilegal dalam artian kepemilikan senjata-senjata yang
dimaksud dalam perundangan-undangan tersebut dimiliki oleh selain pihak-pihak
yang diberi kewenangan oleh undang-undang.
Pasal 10 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 isinya sebagai berikut: 79
"Dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan senjata kimia, senjatabiologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya, sehingga menimbulkan suasana teror, atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, membahayakan terhadap kesehatan, terjadi kekacauan terhadap kehidupan, keamanan, dan hak-hak orang, atau terjadi kerusakan, kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional."
Pasal di atas, juga termasuk dalam delik baru dan itu tergolong ke dalam
delik formil yang titik tekannya menyangkut perbuatan yang dilarang, dan
kaitannya dengan yang ada dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang sering disebut sebagai
technological terrorism (tindak pidana terorisme yang dalam perbuatan
kejahatannya menggunakan teknologi) yaitu yang memanfaatkan bahan-bahan
kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, dan komponennya,
dan yang lain ialah tindak pidana berupa dengan sengaja menyediakan atau
mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan untuk kegiatan
terorisme.
79 Ibid.
83
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengertian Terorisme Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang
No.15 Tahun 2003
1. Kejahatan Terorisme Menurut Hukum Islam
Seperti yang telah diterangkan di pembahasan sebelumnya, bahwa
dalam Islam kata terorisme tidak dibahas secara khusus sebagai “terorisme”.
Akan tetapi ia mengukuti bab jinâyah. Di sisi lain, karena melihat bentuk
kejahatan terorisme itu banyak (seperti pembajakan, penculikan, pengeboman,
dan lain-lain), maka perlulah dibahas dari beberapa sisi.
Kenyataan ini menurut Islam pada dasarnya adalah salah. Menurut fiqh
Islam, orang yang akan diperangi haruslah bebas dari 2 krateria: 1) Kafir yang
diamankan (musta`manîn), yang memiliki perjanjian dengan Islam, atau kafir
dzimmî; 2) Tidak membatas-batasi dakwah Islam, dan pemahaman tentang
Islam. Maka, ketika orang tersebut bukan kafir dzimmî atau musta`manîn (yaitu
ia adalah kafir harbî) dan menghalang-halangi dakwah Islam dan
menentangnya, maka barulah ia boleh diperangi yang dalam hal ini disebut
dengan jihad.
Bilamana mengacu pada ajaran Islam, kita mendapati informasi yang
melimpah ruah mengenai hal ini, dan kita menyaksikan bahwa para ahli hukum
Islam telah mengkaji aspek-aspek yang berkaitan dengan persoalan ini. Kita
memiliki pendapat mengenai al-baghi, yaitu pemberontakan bersenjata
88
menentang pemerintahan yang sah dan adil, intimidasi kepada khalayak
banyak dan penyelidikan atas tujuan politik yang bermaksud memecah belah
serta membahayakan keutuhan nasional.
Kita juga memiliki pendapat mengenai al-harabah, yang berdefinisi
“penggunaan senjata, di darat dan di laut, siang atau malam hari, untuk
mengintimidasi rakyat, kota-kota atau daerah lainnya, oleh laki-laki atau
perempuan lemah dan kuat.” Allah Swt berfirman dalam al-Quran:
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di atas bumi hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri. Yang demikian itu suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. (QS. 5:33)
Ayat tersebut menyebutkan subjek dan tujuan yaitu perang melawan
masyarakat dan menyebarkan kerusakan di atas bumi. Juga disebutkan
hukuman berat yang ditimpakan pada pelakunya, hal ini menunjukkan
perhatian Islam pada permasalahan ini.
Ada pula hukum-hukum tentang pencuri dan pembunuhan yang dapat
disebutkan dalam masalah ini. Kita juga mendapati teks Islam yang berkenaan
dengan ini, misalnya pembunuhan (al-fatk), penipuan (al-ghilah) dan
persekongkolan jahat (al- I’timar).
Terdapat juga teks-teks yang menetapkan penghormatan mendalam atas
perjanjian bahkan bila ditemukan kemudian bahwa perjanjian tersebut
89
menguntungkan orang lain. Selama dia taat pada ketetapan, perjanjian ini mesti
diperhatikan.
Lebih jauh lagi, kita juga mendapati persyaratan sistem moral Islam
yang terdiri dari konsep-konsep yang tidak diketahui oleh hukum positif
namun berakar secara mendalam pada sistem ini. Misalnya berbohong
termasuk dosa besar dan begitu pula fitnah. Oleh karena itu, kita meyakini
bahwa Islam benar-benar melindungi seluruh bentuk kebebasan manusia yang
sebenarnya, dan melindungi harkat martabat individu dan masyarakat, juga
kepaduan masyarakat dan integritas keluarga. Islam memandang segala bentuk
penyerangan atas mereka sebagai kejahatan besar yang mesti dihukum seberat-
beratnya seperti hukuman mati, penyaliban dan sebagainya.
Islam menegakkan prinsip tanggung jawab personal dan memandang
serangan berupa apapun terhadap orang tak berdosa sebagai kejahatan besar.
Islam berorientasi pada perlindungan pada si lemah, si tertindas dan menyeru
jihad untuk melindungi mereka: “Dan mengapakah engkau tidak berperang
karena Allah, dan orang-orang tua laki-laki dan wanita yang tidak berdaya
…” (QS. 4:75).
Umat Islam diharuskan senantiasa membela orang tertindas hingga
mereka mendapatkan hak-hak mereka. Imam Ali as memberi nasehat pada
kedua anak laki-lakinya: “Jadilah kalian penentang para penindas dan
pelindung para tertindas.” Beliau juga berkata: “Bagiku orang yang rendah
adalah mulia hingga aku memperoleh hak-hak untuk mereka, dan orang yang
kuat adalah lemah hingga aku memperoleh hak-hak dari mereka.”
90
Teror ini menyebabkan tertumpahnya darah orang tak berdosa, hilang
dan terampasnya harta benda, terkoyaknya kehormatan, dan porak porandanya
persatuan. Selain itu keadaan yang tenang bisa berubah menjadi fitnah dan
bencana yang dahsyat dan munculah kerusakan di muka bumi. Lalu
berembuslah angin fitnah yang busuk ke tengah masyarakat dan terbentanglah
sayapnya yang mengerikan. Diantara tindak terorisme ini adalah pembajakan
pesawat dan transportasi darat, penculikan penguasa, pengeboman, kudeta,
penyerangan pusat-pusat perdagangan oleh kelompok-kelompok bersenjata
dengan dalih dakwah islamiyyah, lalu membunuh dan merampas harta dan lain
lain. Contoh konkritnya adalah usaha pembunuhan terhadap Raja Abdul Aziz
bin Abdurrahman Alu Faishol tahun 1353 H, penyerangan Masjidil Haram oleh
Juhaiman bin Saif Al- Utaibi dan Muhamad bin Abdullah Al-Qohthoni tahun
1400H, demonstrasi yang dilakukan jama’ah haji Iran pengikut Khomeini
1407H silam, penyerangan Saddam Husain ke Kuwait 1411 H dan lain lain.
Termasuk tindakan terorisme adalah berbagai macam usaha menakut-
nakuti, gangguan, ancaman, dan perampokan. Semua tindak kekerasan atau
ancaman sebagai realisasi tindak kriminal baik dari perorang atau kelompok
dan bertujuan menyebarkan rasa ketakutan di tengah masyarakat, atau
ancaman terror atau perbuatan yang dapat menyeret kehidupan bermasyarakat,
kemerdekaan, atau ketentraman mereka ke situasi yang gawa, semua itu
termasuk perbuatan kerusakan di muka bumi. Allah telah melarangnya dalam
firman-Nya : “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
91
Sesunguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.“
(QS Al-Qoshosh : 77).
Allah telah menyiapkan balasan yang menakutkan bagi pelaku tindak
teror dan kerusakan dan dikategorikan sebagai permusuhan kepada Allah dan
rasul-Nya. Allah Ta'ala berfirman :
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi
Allah dan rasul-Nya, dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka
dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang atau
diasingkan. Yang demikian itu sebagai suatu penghinaan terhadap mereka di
dunia dan di akhirat mereka memperoleh siksa yang besar.” (QS Al-Maidah :
33)
Termasuk tindakan terorisme adalah terror yang dilancarkan oleh suatu
negara. Yang paling kejam adalah yang digencarkan oleh Yahudi terhadap
muslimin Palstina, agresi dan pembantaian muslim Bosnia Herzegovina oleh
Serbia. Maka tindakan pembelaan diri terhadap merka adalah jihad
fisabilillah.
2. Menurut Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, Tindak Pidana Terorisme
adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai
dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Mengenai perbuatan apa saja
yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan
92
pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang
dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:
a. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara
meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara
merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda
orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap
obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas
publik atau fasilitas internasional (Pasal 6)80
b. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap
orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal,
dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan
harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran
terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau
fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7)81
Dan seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme,
berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15
tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dari banyak
definisi yang dikemukakan oleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu
Tindak Pidana Terorisme adalah:
1. Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.
2. Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.
80 Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Op. cit., pasal 6.
81 Ibid., pasal 7.
93
3. Menggunakan kekerasan.
4. Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi
pemerintah.
5. Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku,
yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama.
B. Materi Terorisme Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang No.15 Tahun 2003
Dalam kasus bom Bali tanggal 12 Oktober tahun 2002, apabila kita
perhatikan bahwa kasus tersebut merupakan unsur sengaja menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan, telah menimbulkan rasa takut terhadap orang
secara luas, dengan cara meledakan bahan peledak itu disebut sebagai tindak
pidana terorisme karena ia telah melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu
membuat, menerima, mencoba, memperoleh, menyerahkan atau coba
menyerahkan, menguasai, membawa mempunyai persedian padanya, atau
mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mempergunakan suatu senjata api, atau
amunisi, atau suatu bahan peledak, atau bahan-bahan lainnya yang berbahaya,
dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme.
Penerapan standar ganda Barat dalam upaya memerangi aksi-aksi
terorisme saat ini justru menimbulkan ketidakpuasan berbagai pihak yang tidak
menutup kemungkinan akan melahirkan aksi-aksi terorisme lain dimasa yang
akan datang sebagai akibat tersumbatnya jalan damai dalam mengatasi berbagai
perbedaan pandangan. Upaya perang terhadap terorisme yang dilakukan Barat
sebenarnya tidak menyentuh kepada akar penyebab timbulnya aksi terorisme.
94
Apalagi pelaku teroris dewasa ini cenderung identik dengan identitas muslim yang
terjadi pada pelaku teror Bom Bali ataupun World Trade Center. Namun
sebenarnya ada sisi menarik dan para pelaku teror tersebut terutama untuk kasus
Bom Bali.
Mereka melakukan teror tersebut atas dasar jihad untuk melawan
ketidakadilan yang umat Islam rasakan terutama dari dunia Barat. Hal ini perlu
segera diklarifikasi agar pelaku teror yang mengatasnamakan agama tersebut
sebenarnya telah melakukan kekeliruan di dalam menerapkan konsep jihad
sehingga anggapan islam sebagai agama yang penuh kekerasan dapat dibantah
dengan tegas, padahal kita semua sepakat bahwa islam merupakan agama yang
membawa rahmat bagi segenap manusia yang tercermin dari ajarannya yang
penuh akan nilai-nilai keadilan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia,
masalah utama penyebab terjadinya aksi terorisme ialah masalah keadilan.
Masalah keadilan ini juga yang menyebabkan Amrozi, Imam Samudera
dan rekan-rekannya yang tergabung dalam suatu kelompok melakukan beberapa
peledakan Bom di Indonesia. Tujuan mereka adalah menuntut keadilan, tetapi
keadilan yang bagaimana yang mereka inginkan, mereka bersembunyi dibalik
nama agama dalam melakukan setiap aksinya dan mengatasnamakan jihad dalam
setiap pelaksanaanya, tetapi apa yang mereka lakukan itu salah dan mereka telah
melakukan kekeliruan terhadap makna dari jihad mereka melakukan terror dan
ketakutan terhadap manusia dengan cara meledakan Bom dan membunuh banyak
orang.
95
Fenomena terorisme yang mengatasnamakan agama bisa jadi merupakan
akibat dari hubungan antar agama negara, ketika Negara dipersepsikan sebagai
representasi agama.82 Sehingga setiap konflik yang muncul antar negara disebut
juga konflik antar agama seperti konflik antara negara Arab dan Israel, padahal
yang menjadi pelaku kekerasan atau teror berasal dari kelompok-kelompok dalam
masyarakat yang memang memiiki perbedaan agama. Namun sulit untuk menarik
hubungan bahwa agama merupakan sumber dari aksi terorisme.
Kita perlu menerapkan definisi terorisme dengan tepat supaya kita tidak
mencemarkan pemikiran agama yang murni dengan unsur-unsur kebatilan dan
kejahatan serta menganggap perjuangan tanpa moral sebagai jihad. Dimana dalam
Islam diizinkan dengan sengaja membunuh atau mencederakan orang-orang yang
tidak bersalah dan tidak terlibat. Dalam peperangan yang sah saja Islam tidak
mengizinkan tindakan yang demikian, terhadap mereka yang tidak terlibat dan
yang berperang pun meski diperlakukan dengan kemanusian, termasuk si
penggagas sendiri.
Banyak orang mengatakan bahwa terorisme tidak ada kaitannya dengan
Islam sebab tindakan kejahatan seseorang harus dibedakan dengan Islam. Islam
adalah suatu ajaran yang suci sebagaiman tercantum dalam AL-QUR'AN dan di
ajarkan oleh Rasullulah, sedangkan yang melakukan atau berbuat kejahatan
adalah orangnya, jadi Islam harus dibedakan dengan orangnya.
Cara yang proposional untuk menghindari kemungkinan adanya tindakan
teror, bagi muslim adalah dengan cara memperbaiki pemahaman, penghayatan
dan implementasi keislamanya. Pemahaman yang sempit dan dangkal harus
82 Ibid., hlm. 42.
96
diperluas dengan tafsir keagamaan yang inklusif dan esotolik harus sering
digalakkan atau disosialisasikan. Bagaimanapun, dengan pemahaman keagamaan
yang sempit akan sulit menjadi nalar cerdas dalam menyikapi pluralitas sosial dan
demokratisasi dalam beragama Permasalahan terorisme ada 3 faktor yaitu
kemiskinan, kesenjangan dan ketidakadilan dari ketiga faktor tersebut yang
menjadi faktor utama timbulnya terorisme pada saat ini ialah faktor ketidakadilan,
pada saat ini lahirnya ketidakadilan memandang sesuatu dengan parameter yang
keliru yang tenyata parameter tersebut cenderung bersifat sepihak, dan akhirnya
menimbulkan sifat fanatisme yang berlebihan.83
Sementara dari sudut pandang agama, bahwa terorisme sebagai kekerasan
politik sepenuhnya bertentangan dengan etos kemanusiaan agama Islam. Agama
Islam mengajarkan etos kemanusian yang sangat menekankan kemanusiaan
universal, Islam mengajarkan umatnya untuk berjuang mewujudkan perdamaian,
keadilan, dan kehormatan, akan tetapi, perjuangan itu haruslah tidak dilakukan
dengan cara-cara kekerasan atau terorisme. Setiap perjuangan untuk keadilan
harus dimulai dengan premis bahwa keadilan adalah konsep universal yang harus
diperjuangkan dan dibela setiap manusia.
Islam memang menganjurkan dan memberi justfikasi kepada muslim
untuk berjuang dan berperang terhadap para penindas musuh-musuh Islam, dan
pihak luar yang menunjukan sikap bermusuhan atau tidak mau hidup
berdampingan secara damai dengan Islam dan kaum muslim. Islam sebagai agama
yang rahmatan lilalamin, jelas menolak dan melarang penggunaan kekerasan
untuk mencapai tujuan-tujuan tennasuk tujuan yang baik sekalipun, Islam
83 Philip J Vermonte, Op. Cit., hlm. 250
97
menegaskan bahwa pembasmian suatu jenis kemungkaran tidak boleh dilakukan
dengan kemungkaran pula. Tidak ada alasan etik dan moral sedikit pun yang bisa
membenarkan suatu tindakan kekerasan, terlebih teror. Dengan demikian kalau
ada tindakan-tindakan teror yang dilakukan oleh kelompok Islam tertentu, maka
sudah pasti alasanya bukan karena ajaran etik moral Islam, melainkan agenda lain
yang tersembunyi di balik tempurung tindakan tersebut.
Permasalahan tindak pidana terorisme menurut hukum pidana juga sama
pada masalah ketidakadilan yang dirasakan oleh sekelompok orang. Kinerja
pemerintah dan aparat hukum yang kurang meyakinkan atau belum professional
dalam mengantisipasi dan menghadapi kejahatan-kejahatan berat, maka sulit
dipungkiri kenyataan memprihatinkan, bahwa aparat penegak hukum yang
sebenarnya punya misi mulia untuk menjaga kewibawaan negara hukum akhirnya
dijadikan objek eksperimen oleh kalangan teroris. Teroris posisinya menjadi
subjek yang menentukan, sedangkan penegak hukum menjadi objek yang
menunggu dan ditentukan.
Peristiwa serangan teroris 11 September 2001 serta peristiwa lain yang
mengikuti termasuk peristiwa Bali 12 Oktober tahim 2002 memunculkan berbagai
pertanyaan pelik yang belum memperoleh jawaban tuntas. Adanya Undang-
undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang pemberantasan tindak pidana terorisme
maka Amrozi, Imam Samudera dan para pelaku terorisme lainnya dapat dijerat
dan dihukum, tapi pada praktek pelaksanaannya banyak hambatan-hambatan
dalam proses penyelesaian dan penanganan tindak pidana terorisme oleh Undang-
98
undang nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
ini.
Hambatan yang harus dihadapi dalam proses penyelesaian dan penanganan
mengenai tindak pidana terorisme, ialah mengajarkan rasa cinta damai dan kasih
sayang serta dialog dan toleransi dalam menyelesaikan kasus terorisme,
mungkinkah itu bisa terwujud, mengingat masyarakat Indonesia yang pluralistik
ini, membangun wacana dialog serta keterbukaan yang penuh semangat toleransi,
ketika truth claim dari suatu kalangan keagamaan tertentu masih dominan dan
truth claim itu kemudiaan digulirkan dalam bentuk kekerasan untuk memvonis
pihak lain yang dipandangnya salah satu bahkan sesat. Jawabannya sudah jelas,
tidak mungkin.
Kita tidak mungkin bergotong royong membangun sebuah jembatan,
ketika yang akan gotong royong justru saling berbeda pendapat tentang satu sama
lain mengenai perlu tidaknya jembatan itu dibangun. Apalagi yang akan dibangun
adalah jembatan dengan fondasi agree in disagreement dengan kerangka
pluralisme dan demokrasi sementara dipihak lain mereka mengusung fondasi
dengan kerangka yang desain serta konstuksinya berbeda namun sudah diklaim
bahwa itulah yang benar dan konstruksi itu pulalah yang harus diikuti.
Hambatan atau permasalahan yang dihadapi oleh hukum pidana dalam hal
ini oleh Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 dalam proses peyelesaian dan
penanganan tindak pidana terorisme ialah :
99
1) Mengenai rumusan pasal bersifat karet
Misalnya dalam rumusan definitif seperti dalam pasal 6 ini akan
meyulitkan orang atau rakyat mengira apakah tindakanya
merupakan tindakan terorisme atau bukan. Kesulitan dalam
memprediksi sedari awal sebuah tindakan itu bisa dilihat dari
suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas.
Pengertian suasana teror dan tase, takut secara meluas itu sama
sekali tidak ada kuantifikasinya dalam Undang-undang ini, jika
sebuah definisi tidak mengandung kerincian dalam menunjukan
unsurnya, maka terpenuhinya unsur pidana terorisme tersebut akan
sangat ditentukan oleh kehendak dan pandangan subyektif
penyelidik atau penyidik. Sehingga pengertiannya nantinya akan
kabur dan tidak jelas batasanya yang pada giliranya akan sangat
mudah diselewengkan oleh pihak-pihak tertentu. Dalam pasal 20
dan 22 terdapat tiga istilah yang sangat luas pengertiannya atau
multi intepetatif, yaitu : pertama istilah, "mengintimidasi". Kedua,
istilah "proses peradilan menjadi terganggu". Dan ketiga, istilah
"tidak langsung". Istilah-istilah tersebut akan membuat orang sulit
untuk memperkirakan apakah tindakannya melawan Undang-
undang ini atau tidak. Setiap orang dengan demikian akan khawatir
atau takut aktifitasnya akan dikualifikasikan sebagai perbuatan
terorisme.
100
2) Adanya delik-delik kealpaan
Pertanyaan pertama yang sangat relevan berkaitan dengan masalah
delik kealpaan ini adalah, apakah suatu kealpaan bisa dianggap
suatu perbuatan terorisme.
Contohnya terdapat dalam BAB III tentang Tindak Pidana
Terorisme pasal 8 huruf d dan pasal 8 huruf g.
3) Penggunaan laporan intelejen
Dalam rumusan ini mengindikasikan bahwa laporan intelejen bisa
digunakan dan bisa tidak digunakan. Namun masalah yang perlu
diperhatikan adalah, "untuk memperoleh bukti permulaan yang
cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen" (pasal
26 ayat 1) ialah, apakah hanya dengan laporan intelejen saja sudah
bisa dikulifikasikan sebagai bukti permulaan yang cukup atau
laporan intelejen tersebut hanya merupakan tambahan saja dalam
mengkualifikasikan sebagai bukti permulaan yang cukup. Hal itu
tidak ada penjelasannya.
4) Mengandung justifikasi terhadap pelanggaran HAM
Karena dalam Undang-undang ini masih terdapat penjatuhan
pidana yang berupa pidana mati, sedangkan pidana mati sangat
ditentang karena melanggar HAM.
5) Penulisan yang tidak cermat
Karena dalam Undang-undang ini tidak sedikitpun mengatur secara
khusus mengenai hak-hak tersangka maupun terdakwa. Selain itu
101
hal yang tidak kalah pentingnya adalah, tidak adanya pengertian
atau definisi mengenai terorisme itu sendiri dalam Undang-undang
ini. Tetapi dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 hanya
menyebutkan mengenai pengertian atau definisi dari tindak pidana
terorisme saja.
C. Penyelesaian Tindak Pidana Terorisme Menurut Hukum Islam dan
Undang-Undang No.15 Tahun 2003
1. Upaya Penyelesaian Masalah Terorisme Menurut Hukum Islam
Terorisme adalah perlawanan atau peperangan bukan pada militer,
melainkan pada orang-orang yang tidak berdosa dan masyarakat sipil. Teror
adalah menakut-nakuti dan mengancam, terorisme tidak bisa diterima oleh
akal manusia dan tidak dibenarkan oleh semua agama.
Kejahatan terorisme merupakan produk perilaku kebiadaban, karena
akibat yang ditimbulkan sangat terasa sebagai wujud pelanggaran terhadap
hak asasi manusia (HAM). Di dalam hukum Islam memang ada tindakan
kekerasan yang dibenarkan tetapi hal tersebut sebagai wujud implementasi
hukum (syari'ah), seperti masih diakuinya sanksi dalam bentuk hukuman mati.
Tetapi cara-cara keji seperti yang dilakukan oleh para pelaku tindak pidana
terorisme dengan mengorbankan orang-orang yang tidak bersalah tidaklah
dibenarkan dalam ajaran hukum Islam.
Dalam pandangan hukum Islam solusi yang terbaik agar tidak terulang
kembali terjadinya tindak pidana terorisme adalah dengan menciptakan rasa
102
cinta damai dikalangan masyarakat, hal ini sesuai dengan makna atau hakekat
dari Islam itu sendiri. Rasa cinta damai ini menunjukan pula akan fitrah
manusia sebenarnya, yang satu sama lainya adalah bersaudara sehingga
pemikiran awal yang harus dimiliki oleh manusia adalah, bagaimana
mempertahankan persaudaraan tersebut. Tentunya mempertahankan
persaudaraan memiliki arti dan aplikasi multi makna, persaudaraan seperti
makna persaudaraan sesama muslim, makna persaudaraan sesama umat
manusia dan lain sebagainya.
Rasa cinta damai yang dimiliki oleh manusia berfungsi untuk
mempertemukan manusia dalam kebaikan, dan menjauhkan manusia dari
kerusakan sehingga bentuk kekerasan seperti terorisme dalam pandangan
Islam sebenarnya dapat dihindarkan manakala umat manusia memiliki rasa
ini, oleh karena itu usaha untuk menumbuhkembangkan rasa cinta damai di
hati umat manusia merupakan langkah awal dalam memerangi terorisme
bukan dengan langkah kekerasan yang justru akan menimbulkan aksi-aksi
serupa dimasa yang akan datang.
Untuk menciptakan rasa cinta damai terutama di lingkungan
masyarakat dan negara tentunya diperlukan figur-figur yang memiliki
komitmen untuk berlaku jujur dan tidak berat sebelah dalam membuat suatu
keputusan. Perilaku ini penting karena dengan kemampuan inilah
permasalahan dari setiap perselisihan dapat diselesaikan dengan situasi
kebijakan yang adil tanpa kekerasan termasuk dalam masalah terorisme.
Keadilan yang dimaksud disini adalah keadilan hukum dan keadilan sosial.
103
Selain itu hal yang terpenting adalah, bahwa jangan ada lagi salah
tafsir atau salah untuk mengartikan terorisme sebagai bagian dari "jihad",
yang jelas-jelas bahwa agama Islam dan hukum Islam tidak pernah
mengajarkan dan memerintahkan umatnya untuk saling membunuh,
melakukan teror, merugikan orang lain dan semua hal yang dapat
mendatangkan kesengsaraan bagi umat manusia. Terlebih dengan adanya sifat
atau sikap fanatisme yang terlalu berlebihan tanpa melihat suatu permasalahan
dari sisi objektifhya, atau melihat pada ajaran atau hukum Islam yang
sebenarnya, sehingga seseorang atau sekelompok orang tidak terjerumus
dalam ajaran atau pandangan yang salah dengan melakukan tindak pidana
terorisme yang bersembunyi di balik nama agama atau hukum islam yang
mengatasnamakan "jihad".
2. Upaya Penyelesaian Masalah Terorisme Menurut Undang-undang
Nomor 15 Tahun 2003
Konflik timbul karena adanya ketidaksesuaian dalam hal proses-proses
sosial. Secara teoretik konflik sering didefinisikan sebagai suatu kondisi yang
menunjukkan adanya pertentangan antara dua pihak atau lebih yang saling
berbeda pandangan atau kepentingan. Konflik juga merupakan suatu bentuk
perjuangan untuk memperoleh hal-hal yang langka seperti: nilai, status,
kekuasaan, otoritas, dan sebagainya, dimana tujuan dari mereka yang
berkonflik itu tidak hanya untuk memperoleh keuntungan tetapi juga untuk
104
menundukkan saingannya. Selain itu ada juga yang menganggap bahwa
konflik timbul karena adanya ketidak sesuaian dalam hal proses-proses sosial.
Konflik merupakan suatu bentuk perjuangan untuk memperoleh hal-
hal yang langka seperti: nilai, status, kekuasaan, otoritas, dan sebagainya,
dimana tujuan dari mereka yang berkonflik itu tidak hanya untuk memperoleh
keuntungan tetapi juga untuk menundukkan saingannya. Oleh karena itu,
konflik lebih sering dipandang sebagai sesuatu yang bersifat negatif, hal ini
karena orang melihat dampak dari konflik yang bersifat kekerasan (seperti
perang, dan sebagainya) sering menunjukkan kerusakan dan kerugian yang
bersifat materi maupun non materi. Konflik sering dianggap sebagai sesuatu
yang bersifat traumatik, dan mengganggu stabilitas atau keseimbangan yang
menjadi cita-cita ideal masyarakat.
Teori resolusi konflik artinya menghentikan konflik dengan cara-cara
yang analitis dan masuk ke akar permasalahan. Resolusi konflik, berbeda
dengan sekedar 'manajemen' atau 'settlement', yang mengacu pada hasil,
dalam pandangan pihak-pihak yang terlibat, merupakan solusi permanen
terhadap suatu masalah.84
Resolusi konflik merupakan suatu terminologi ilmiah yang
menekankan kebutuhan untuk melihat perdamaian sebagai suatu proses
terbuka dan membagi proses penyelesaian konflik dalam beberapa tahap
sesuai dengan dinamika siklus konflik. Penjabaran tahapan proses resolusi
konflik dibuat untuk empat tujuan. Pertama, konflik tidak boleh hanya
dipandang sebagai suatu fenomena politik-militer, namun harus dilihat sebagai
84 Burton Jhon, Conflict Resolution and Prevention, Mac Milan Press, London, 1990.
105
suatu fenomena sosial. Kedua, konflik memiliki suatu siklus hidup yang tidak
berjalan linear. Siklus hidup suatu konflik yang spesifik sangat tergantung dari
dinamika lingkungan konflik yang spesifik pula. Ketiga, sebab-sebab suatu
konflik tidak dapat direduksi ke dalam suatu variabel tunggal dalam bentuk
suatu proposisi kausalitas bivariat. Suatu konflik sosial harus dilihat sebagai
suatu fenomena yang terjadi karena interaksi bertingkat berbagai faktor.
Terakhir, resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara optimal jika
dikombinasikan dengan beragam mekanisme penyelesaian konflik lain yang
relevan. Suatu mekanisme resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara
efektif jika dikaitkan dengan upaya komprehensif untuk mewujudkan
perdamaian yang langgeng.
Upaya penyelesaian masalah terorisme menurut Undang-undang atau
hukum yang berlaku di negara Indonesia adalah dengan menegakkan hukum
atau peraturan perundang-undangan tersebut dengan sebaik-baiknya, tanpa
membedakan status atau kedudukan seseorang atau sekelompok orang. Selain
itu, dalam pembentukan suatu peraturan atau perundang-undangan tidak boleh
menimbulkan kontroversi, dan harus sesuai dengan keinginan masyarakat,
serta tidak membingungkan bagi masyarakat, selain itu diperlukannya
kedisiplinan dari para aparat penegak hukum agar berbuat adil dan bijaksana
dalam setiap pengambilan keputusan.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam hal penerapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang telah disahkan menjadi
106
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme harus dapat berlaku secara efektif, sehingga tercipta keadaan yang
aman, damai, dan sejahtera. Upaya yuridis yang berupa pengaturan hukum
harus disadari sebagai suatu hal yang penting, karena aturan hukum
merupakan pedoman bagi aparat penegak hukum untuk bertindak secara
proposional dan profesional. Dalam hal pemberantasan tindak pidana
terorisme, dan diharapkan para penegak hukum dapat secara konsisten
sehingga dapat tercipta ketertiban dan keadilan di masyarakat serta
terlindungnya hak-hak asasi manusia.
Selain itu, melalui produk hukum yang diberlakukan yang kemudian
menjadi hukum positip, negara mempunyai kewajiban untuk melindungi
harkat dan martabat manusia. Hak-hak asasi manusia, seperti hak bebas dari
ketakutan, hak untuk dilindungi jiwa dan nyawanya, dan hak-hak lainnya yang
menjadi tanggungjawab negara untuk melindunginya. Bentuk penghormatan
dan perlindungan yang hams diberikan oleh negara adalah berupa penegakkan
hukum terhadap segala perbuatan yang dikategorikan perbuatan yang
melawan hukum termasuk tindak pidana terorisme.
Penegakkan hukum tersebut akan menentukan citra dan jati diri
Negara hukum, berarti bahwa dalam penyelenggaraan negara segala tindakan
penguasa dan masyarakat harus berdasarkan atas hukum dan bukan
berdasarkan atas kekuasaan belaka, dengan maksud untuk membatasi
kekusaan penguasa dan melindungi kepentingan masyarakat yaitu
107
perlindungan terhadap hak asasi manusia dari tindakan yang sewenang-
wenang.
Pelanggaran atau perbuatan melawan hukum yang telah diatur di
dalam Undang-undang tersebut, maka pelaku atau para pelaku tindak pidana
terorisme tersebut harus mendapat sanksi atau hukuman sebagaimana telah
diatur di dalam bunyi pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang
tersebut, sehingga diharapkan akan timbul efek jera, dan akan menekan
bahkan diharapkan tidak terjadi lagi tindak pidana terorisme di Indonesia.
104
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kita perlu menerapkan definisi terorisme dengan tepat supaya kita tidak
mencemarkan pemikiran agama yang murni dengan unsur-unsur kebatilan
dan kejahatan, serta menganggap perjuangan tanpa moral sebagai jihad
yang identik dengan kaum muslim, dimana dalam prakteknya mereka
membunuh atau mencederakan orang-orang yang tidak bersalah.
Sebagimana yang tercantum dalam Al-Quran surat Al-Baqoroh ayat 190,
At-Taubab ayat 5, 24, 16, 73, 74, 111, As-Shoffayat 10-11, Al-Anfal ayat
65, maupun yang terdapat di dalam hadist-hadist shohih, bahwa terorisme
bukanlah jihad, sehingga terdapat kesalahan dalam pemaknaan jihad itu
sendiri. Agama adalah pembawa kesejukan dan kedamaian entah agama
apapun, bukan alat kekerasan yang tampil dengan sangar dan beringas.
Tak satupun agama di dunia ini yang membenarkan tindakan terorisme
meskipun untuk tujuan yang baik, dimana untuk mencapai suatu tujuan
tidak dapat menghalalkan berbagai cara walaupun tujuan yang baik
sekalipun.
2. Hambatan yang terjadi dalam proses penyelesaian dan penanganan
terhadap tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh hukum pidana, ialah
dalam hal Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 dalam penerapan
terhadap tindak pidana terorisme, terjadi pada beberapa pasal di dalam
109
Undang-undang tersebut yang mempunyai banyak kelemahan diantaranya:
- Rumusan pasalnya bersifat karet (pasal 6, pasal 20, dan pasal 22);
- Adanya delik kealpaan (pasal 8 huruf d, dan pasal 8 huruf g);
- Penggunaan laporan intelijen (pasal 26 ayat 1);
- Mengandung justifikasi terhadap pelanggaran HAM, (pasal 6, pasal 8,
pasal 9, pasal 10, pasal 14);
- Penulisan tidak cermat, dengan tidak adanya definisi terorisme dalam
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003.
Hambatan yang terjadi dalam proses penyelesaian dan penanganan
terhadap tindak pidana terorisme yang dilakukan juga ialah bahwa
keanekaragaman suku, ras, agama di Indonesia melahirkan sifat ego dari
masing-masing golongan tersebut, tiap golongan mengklaim bahwa
dirinya yang paling benar. Jadi intinya hambatan untuk menciptakan tata
cara dan kasih sayang, dialog serta toleransi itu terganjal oleh sifat
pluralistik dari bangsa Indonesia.
3. Dalam pandangan hukum Islam solusi yang terbaik agar tidak terulang
kembali terjadinya tindak pidana terorisme adalah dengan menciptakan
rasa cinta damai dikalangan masyarakat. Adapun cara untuk menciptakan
suasana cinta damai diantaranya adalah dengan usaha:
a) Menciptakan silaturahmi secara terus-menerus, memelihara kasih
sayang dan menghindarkan ucapan, sikap dan tingkah laku yang dapat
menyinggung atau melukai perasaan apalagi menimbulkan
perselisihan;
110
b) Bersedia untuk menciptakan suasana damai apabila ada pihak lain
yang mengajak untuk berdamai, sehingga bentuk-bentuk
penyelesaian segala perselisihan dengan kekerasan yang
menimbulkan kemudharatan dapat dihindarkan;
c) Dengan cara berdialog dan mengembangkan sikap toleransi antar umat
beragama.
Upaya penyelesaian masalah Terorisme menurut Undang-undang Nomor
15 Tahun 2003 adalah selain dengan menegakkan supermasi hukum di
Negara Indonesia, dibutuhkan juga kesadaran dari seluruh lapisan
masyarakat, bahwa tindak pidana terorisme tidak akan membawa pada
suatu perubahan yang lebih baik. Terorisme hanya akan membawa
kesengsaraan dan menimbulakan perpecahan. Tentunya sangat diharapkan
bahwa Undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana terorisme ini
dapat berlaku secara efektif, agar tidak terjadi lagi tindak pidana terorisme
dimasa yang akan datang.
B. Saran
1. Bahwa tindak pidana terorisme yang mengatasnamakan jihad atas dasar
hukum Islam adalah suatu kekeliruan yang besar, maka dari itu harus
adanya suatu kesepahaman atas makna dari jihad itu sendiri, dengan
kembali mengacu pada Al’Quran dan Hadist, sehingga tidak ada lagi
kesalahan penafsiran atas makna dari jihad yang sebenarnya.
111
2. Bahwa dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, masih terdapat kerancuandalam
beberapa pasalnya, sehingga diperlukan perubahan untuk beberapa
pasalnya atau dengan menambahkan penjelasan atas beberapa pasalnya,
sehingga tidak ada penafsiran yang salah atas isi pasalnya, terutama
memasukan satu pasal mengenai pengertian dari terorisme, sehingga jelas
mengenai apa yang dimaksud dengan terorisme.
3. Agar solusi di atas dapat dilaksanakan hrus ada kerjasama dari setiap
lapisan masyarakat dan pemerintah, dengan cara menolak dan menentang
segala bentuk terorisme. Apa yang dihasilkan dari terorisme hanya akan
memupuk kenistaan, kesedihan, dan keresahan bagi masyarakat, karena
watak dari terorisme yang identik dengan kekerasan dan teror. Peristiwa
yang menimpa Bali dapat dijadikan momentum untuk merefleksi sejauh
mana keberagamaan kita dalam kebangsaan. Dengan demikian akan
tercipta satu kesatuan yang utuh diantara semuanya sehingga tidak terjadi
lagi tindak pidana terorisme dimasa yang akan datang.
112
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku :
Hamka, Tafsir Al-Azhar, PT. Pustaka Panjimas, Jakarta, 1986.
Mochtar Naim, Kompendium Himpunan ayat-ayat AL-QUR’AN yang berkaitan dengan hukum, Hukum Hasanah, Jakarta, 2001.
A.C Manullang, Menguak Tabu Intelejen Teror, Motif dan Rezim, Panta Rhei, Jakarta, Januari 2001.
Abdillah Toha, Islam dan Sikap Defensif, Republika, 15 Agustus 2003.
Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan Hukum, Refika Aditama, Bandung 2004.
Al-Akiti, Muhammad Afifi. Defending The Transgressed by Censuring The Reckless Against The Killing of Civilians. Germany: Warda Publication, 2005.
Al-Madkhly, Muhammad, Terorisme dalam Tinjauan Islam, Makhtabah Salafy Press, Tegal, 2002.
Al-Zuhaylî, Wahbah. al-Fiqh al-`Islâmî wa `Adillatuh. Damaskus: Dâr al-Fikr, 2004.
Amirudin, Terorisme, Definisi dan Aksi mengenai Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003.
As’ad As-Sahamrani, Menyingkapi Teroris Dunia, Era Intermedia, Solo, 2005.
Bambang Abimanyu, Teror Bom di Indonesia,Grafindo, Jakarta, 2005.
Bambang Purnomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994.
Burton Jhon, Conflict Resolution and Provention, MacMilan Press, London, 1990.
Daud Ali, Islam Untuk Disiplin, Ilmu Hukum, Sosial dan Politik, Bulan Bintang, Jakarta, 1988.
Daud Ali, Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998.
113
Haryo Sasongko, Terorisme, Dialog dan Toleransi, Pustaka Grafika, Jakarta, 2006.
Hajar, `Ahmad bin Muhammad `Ibn. al-Zawâjir. Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.t.
___________, Terorisme, Perpu No.1 Tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia. Jakarta: O.C. Kaligis dan Associates, 2001.
Kunarto, Intelejen Pengertian dan Pemahamannya, Jakarta: Cipta Manunggal, 1999.
Laher, Suheil. “Indiscriminate Killing”. The State We Are In – Identity, Terror and The Law of Jihad. ed. Aftab Ahmad Malik. Bristol: Amal Press, 2006.
Luqman Hakim, Terorisme di Indonesia, Forum Studi Islam Surakarta, Surakarta, 2004.
Mahfud MD, Politik Hukum Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998.
Mansur, Dikdik M. Arief. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2007.
Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993.
Muhammad Afifi al-Akiti, Defending The Transgressed by Censuring The Reckless Against The Killing of Civilians (Germany: Warda Publication, 2005), 20.
Philips J Vermonte, terorisme definisi, aksi, dan regulasi, imparsial, Jakarta, 2003.
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2002.
Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana dan Penerapannya, Alumni AHM-PTHM, Jakarta, 1990.
Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-`Islâmî wa `Adillatuh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2004), vol. 8, 5855.
114
Undang-Undang :
___________, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Asa Mandiri, 2006.
___________, Undang-undang Dasar 1945 dan Amandemennya, Fokusmedia, Jakarta.
___________, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pemberantasan Terorisme dan Pancasila, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2006.
Yesmil Anwar, Undang-undang Dasar 1945 Amandemen ke 4, Citra Umbara, Bandung, 2000.
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Sumber Lain :
Azyumardi Azra, Jihad dan Terorisme: Konsep dan Perkembangan Histories, Dalam Jurnal Islamika, edisi 4, April-Juni 1994.
Fauzan, Saya Teroris (“Sebuah Pledoi”), Republika, Jakarta, 2002.
History Of Terorism, http: // www.terrorisfiles.org/ encyclopedia/ history_of_terrorism.html.
http://akitiano.blogspot.com/2009/12/kejahatan-terorisme-kajian-prespektif.html
http://abualitya.wordpress.com/2009/01/21/definisi-terorisme/
http: //alghuroba.org/index.php?read=54
http: //id.wikipedia.org/wiki/Terorisme
http: //groups.yahoo.com/group/assunnah/message/32044
http: //www.detiknews.com/read/2008/11/09/015608/1033710/10/kronologi-bom-bali-eksekusi-mati-amrozi-cs.
http: //www.Kompas.Com/kompas-cetak/0211/13/opini/berb04.html.
Indriyanto Seno Adji, Bali, Terorisme dan Ham, Kompas, Selasa, 29 Oktober 2001.
115
“Jangan Cepat Menuding”. Utusan Online, (Online), (http://www.utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2009&dt=0919&pub=utusan_malaysia&sec=Muka_Hadapan&pg=mh_01.htm&arc=hive, diakses tanggal 15 November 2009).
M. Abdul Gani, Jurnal Ilmu Hukum, Litigasi, Fakultas Hukum Pasundan Volume 4, Nomor 1 Februari 2003.
Muhammad Mustofa, Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III Desember 2002.
___________, Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI no III. Desember 2002.
Rikard Bangun, Indonesia di Peta Terorism Global, http://www.polarhome.com, 17 November 2002.
“Suicide Attack”, Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Suicide_attack, diakses tanggal 21 Mei 2010.
Usamah bin Ladin, Karya Asli Fatwa dan Wawancara Usamah bin Ladin (Jakarta: Ababil Press, 2001), 63.
www.lebahmuda.multiply.com/journal/multi-culture.