terapi asma.docx
-
Upload
dhimas-narra-junio -
Category
Documents
-
view
34 -
download
6
Transcript of terapi asma.docx
1. Terapi serangan asma akut
1) Di rumah sakit atau bagian darurat yang memiliki alat nebulizer, suntikan
adrenalin/agonis beta 2 tidak berikan lagi,tetapi langsung diberikan agonis beta 2
secara nebulizer,yang dapat diulang setiap 15 - 20 menit sampai serangannya teratasi
atau sampai tampak tanda-tanda efek samping seperti adanya tremor. Bilamana yang
diberikan adalah suntukan adrenalin/agonis betas 2 secara subkutan (untuk yang tidak
mempunyai nebulizer), maka suntikan tersebut dapat diulang setelah 15 atau 20 menit
2) Bila tindakan pertama tersebut tidak menolong, maka segera dipasang/diberikan cairan
secara parenteral untuk pemberian hidrasi secara optimal, koreksi asam-basa dan obat-
obatan, Juga oksigen diberikan dengan dosis yang lebih tinggi dari biasa
3) Pemberian kortikosteroid dosis tinggi baik secara oral maupun suntikan adalah suatu
keharusan. Kortikosteropid ini selain berfungsi sebagai anti inflamasi juga dapat
menghidupkan kembali reseptor beta 2 yang sudah resisten.
4) Teofilin dapat diberikan bersama-sama baik seeara oral ataupun intravena. Bila diberikan
seeara oral, maka digunakanpreparat teofilin lepas lambat
5) Dengan ketiga obat tersebut di atas biasanya 75% serangan dapat diatasi. Bila setelah 24
jam tidak memberikan respons maka sebaiknya penderita dipindahkan ke ruang
perawatan intensif untuk pemeriksaan dan tindakan lain yang lebih akurat.
Bilamana seorang penderita sampai mengalami serangan status asmatikus, harus
dipertimbangkan dan dievaluasi apakah pengobatan profilaksis yang diberikan kurang adekuat.
Sebelum penderita dipulangkan harus dibuat program pengobatan yang lebih tereneana untuk
meneegah serangan berikut.
2. Terapi Edukasi kepada pasien/keluarga bertujuan untuk
a. meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola penyakit asma
sendiri)
b. meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma sendiri/asmamandiri)
c. membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol asma
3. Pencegahan
a. Menjauhi alergen, bila perlu desensitisasi
b. Menghindari kelelahan
c. Menghindari stress psikis
d. Mencegah/mengobati ISPA sedini mungkin
Diagnosis Asma
Diagnosis asma didasari pada riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan penunjang. Pada
riwayat, ditemukan adanya sesak, batuk, dan mengi atau rasa berat di dada. Tapi kadang-kadang
pasien mengeluhkan adanya batuk setelah melakukan aktivitas fisik ataupun pada saat malam
hari. Adanya penyakit alergi lainnya pada pasien atau pun pada keluarganya semakin
memberikan kekhasan adanya penyakit asma ini. Ada kalanya gejala-gejala asma sering muncul
pada musim-musim tertentu. Perlu diketahui adanya faktor- faktor pemicu seperti:
- Infeksi saluran pernafasan
- Pajanan terhadap allergen, misalnya debu
- Pajanan terhadap iritan seperti asap
- Kegiatan jasmani: lari
- Ekspresi emosional
- Obat-obat aspirin
- Lingkungan kerja
- Pengawet makanan
- Polusi udara
Yang membedakan antara asma dengan penyakit saluran napas lainnya yaitu serangan
dapat hilang dengan sendirinya tanpa diberikan obat.
Riwayat ( anamnesis) + Pem. Fisik
Dicurigai Asma Tidak Dicurigai Asma
EpisodicMalam hariMusimanPasca aktivitas fisik
Kelainan kardiovaskulerInfeksiMuntah / tersedak
Berikan Bronkodilator
Mungkin ASMA
Tentukan derajat dan pencetusnya
Berikan Obat anti-asma
Pertimbangan pemeriksaan:
Foto rontgenProvokasi bronkusImunologisPemeriksaan motilitas siliaPemeriksaan GERD
Bukan Asma
Tidak mendukung diagnosis lainnya
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum pada penderita asma akan didapati :
kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinopil.
Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkus.
Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan
viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
b. Pemeriksaan darah
Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia,
hiperkapnia, atau asidosis.
Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana
menandakan terdapatnya suatu infeksi.
Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu
serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.
2. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan
gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga
intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan
yang didapat adalah sebagai berikut:
Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin
bertambah.
Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru
Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat
dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
3. Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan
reaksi yang positif pada asma. Pemeriksaan menggunakan tes tempel.
4. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian,
dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :
Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clockwise
rotation.
Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB (Right bundle
branch block).
Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau
terjadinya depresi segmen ST negative.
5. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan napas reversible, cara yang paling cepat dan
sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator.
Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol
(inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih
dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari
20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga
penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Banyak penderita tanpa keluhan
tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.
Tata Laksana
Perlu diberikan edukasi, antara lain mengenai pathogenesis asma, peranan terapi asma,
jenis-jenis terapi yang tersedia, serta faktor pencetus yang perlu dihindari. Pastikan pasien
menggunakan alat untuk terapi inhalasi yang sesuai. Secara umum, terdapat dua jenis obat dalam
penatalaksanaan asma, yaitu obat pengendali (controller) dan pereda (reliever). Obat pengendali
merupakan profilaksis serangan yang diberikan tiap hari, ada atau tidak ada serangan/ gejala,
sedangkan obat pereda adalah yang diberikan saat serangan.
Pengobatan asma secara cepat/jangka pendek yaitu dengan menggunakan obat pelega
saluran pernafasan seperti inhaler dan nebulizer yang berfungsi menghentikan serangan asma.
Pengobatan jangka panjang yang berfungsi untuk mencegah terjadinya serangan asma adalah
dengan menggunakan obat-obatan seperti steroid berfungsi untuk tetap membuat saluran
pernafasan terbuka dan mengurangi pembengkakan.
Adapun tujuan pengobatan:
- Mencegah ikatan allergen-IgE
a. Menghindari allergen
b. Melakukan hiposensitisasi, yaitu menyuntikkan allergen dengan dosis kecil secara terus-
menerus sampai pasien tidak mengalami alergi lagi.
- Mencegah pelepasan mediator
Dilakukan dengan natrium kromolin. Natrium kromolin diduga dapat mencegah
pelepasan mediator inflamasi dari sel mast.
Obat-obatan golongan agonis beta 2 dan teofilin selain sebagai bronkodilator, juga
sebagai pencegah pelepasan mediator.
- Melebarkan saluran napas dengan bronkodilator
a. Simpatomimetik
1) Agonis beta 2 (salbutamol, terbutalin, fenoterol, prokaterol) merupakan obat-
obatan pilihan untuk serangan asma, diberikan secara inhalasi dengan metered
dosed inhaler atau nebulizer.
2) Epinefrin diberikan subkutan sebagai pengganti agonis beta 2 pada serangan asma
berat.
b. Aminofilin: diapakai pada serangan asma akut, diberikan dosis awal, lalu diikuti
dengan dosis pemeliharaan.
c. Kortikosteroid: bukan termasuk golongan bronkodilator, tapi bias melebarkan saluran
napas. Diapaki pada serangan akut atau pada pemeliharaan.
d. Antikolinergik: terutama dipakai sebagai suplemen agonis beta 2.
- Mengurangi respon dengan meredam inflamasi saluran napas
Implikasi proses inflamasi adalah meredam inflamasi yang ada baik dengan natrium
kromolin, atau dengan kortikosteroid secara oral, parentral, atau inhalasi seperti pada
asma akut dan kronis.
Pendidikan / Edukasi Kepada Penderita Dan Keluarga
Pengobatan yang efektif hanya mungkin berhasil dengan penatalaksanaan yang komprehensif,
dimana melibatkan kemampuan diagnostik dan terapi dari seorang dokter Puskesmas di satu
pihak dan adanya pengertian serta kerjasama penderita dan keluarganya di pihak lain. Pendidikan
kepada penderita dan keluarganya adalah menjadi tanggung jawab dokter Puskesmas, sehingga
dicapai hasil pengobatan yang memuaskan bagi semua pihak.
Beberapa hal yang perlu diketahui dan dikerjakan oleh penderita dan keluarganya adalah
1. memahami sifat-sifat dari penyakit asma :
Bahwa penyakit asma tidak bisa sembuh secara sempurna.
Bahwa penyakit asma bisa disembuhkan tetapi pada suatu saat oleh karena faktor tertentu
bisa kambuh lagi.
Bahwa kekambuhan penyakit asma minimal bisa dijarangkan dengan pengobatan jangka
panjang secara teratur.
2. Memahami faktor yang menyebabkan serangan atau memperberat serangan, seperti :
Inhalan : debu rumah, bulu atau serpihan kulit binatang anjing, kucing, kuda dan spora
jamur.
Ingestan : susu, telor, ikan, kacang-kacangan, dan obat-obatan tertentu.
Kontaktan : zalf kulit, logam perhiasan.
Keadaan udara : polusi, perubahan hawa mendadak, dan hawa yang lembab.
Infeksi saluran pernafasan.
Pemakaian narkoba atau napza serta merokok.
Stres psikis termasuk emosi yang berlebihan.
Stres fisik atau kelelahan.
Penderita dan keluarga sebaiknya mampu mengidentifikasi hal-hal apa saja yang memicu dan
memperberat serangan asma penderita. Perlu diingat bahwa pada beberapa pasien, faktor di atas
bersifat individual dimana antara pasien satu dan yang lainnya tidaklah sama tetapi karena hal itu
sulit untuk ditentukan secara pasti maka lebih baik untuk menghindari faktor-faktor si atas.
3. Memahami faktor-faktor yang dapat mempercepat kesembuhan, membantu perbaikan dan
mengurangi serangan :
Menghindari makanan yang diketahui menjadi penyebab serangan (bersifat individual).
Menghindari minum es atau makanan yang dicampur dengan es.
Berhenti merokok dan penggunakan narkoba atau napza.
Menghindari kontak dengan hewan diketahui menjadi penyebab serangan.
Berusaha menghindari polusi udara (memakai masker), udara dingin dan lembab.
Berusaha menghindari kelelahan fisik dan psikis.
Segera berobat bila sakit panas (infeksi), apalagi bila disertai dengan batuk dan pilek.
Minum obat secara teratur sesuai dengan anjuran dokter, baik obat simptomatis maupun
obat profilaksis.
Pada waktu serangan berusaha untuk makan cukup kalori dan banyak minum air hangat
guna membantu pengenceran dahak.
Manipulasi lingkungan : memakai kasur dan bantal dari busa, bertempat di lingkungan
dengan temperatur hangat.
4. Memahami kegunaan dan cara kerja dan cara pemakaian obat – obatan yang diberikan oleh
dokter :
Bronkodilator : untuk mengatasi spasme bronkus.
Steroid : untuk menghilangkan atau mengurangi peradangan.
Ekspektoran : untuk mengencerkan dan mengeluarkan dahak.
Antibiotika : untuk mengatasi infeksi, bila serangan asma dipicu adanya infeksi saluran
nafas.
5. Mampu menilai kemajuan dan kemunduran dari penyakit dan hasil pengobatan. 6.
Mengetahui kapan “self treatment” atau pengobatan mandiri harus diakhiri dan segera
mencari pertolongan dokter. (Medlinux,2008) Penderita dan keluarganya juga harus
mengetahui beberapa pandangan yang salah tentang asma, seperti : 1. Bahwa asma semata-
mata timbul karena alergi, kecemasan atau stres, padahal keadaan bronkus yang hiperaktif
merupakan faktor utama. 2. Tidak ada sesak bukan berarti tidak ada serangan. 3. Baru
berobat atau minum obat bila sesak nafas saja dan segera berhenti minum obat bila sesak
nafas berkurang atau hilang.
1. Beta 2 Agonis
Mekanisme kerjanya adalah dengan menstimulasi adenylcyklase dan meningkatkan
cAMP pada otot polos.
Efek yang diharapkan dari pemberian beta 2 agonis adalah bronkodilatasi pada bronkus.
Pemberian secara inhalasi sangat dianjurkan karena:
Obat bekerja langsung pada saluran napas
Onset kerja yang cepat
Dosis obat yang kecil
Efek samping yang minimal
Farmakokinetik beta 2 agonis:
Pemberian secara inhalasi meningkatkan efektifitas dan mengurangi efek samping
sistemik.
Dengan pemberian secara inhalasi dapat meminimalkan efek beta 1 adrenoseptor
seperti tremor, keram, takikardi, dan hipokalemia.
Beta 2 agonis ada yang bersifat short acting dan bersifat long acting.
Short acting:
Contoh obat short acting adalah albuterol, terbutaline, metaproterenol, dan
pirbuterol.
Onset : bronkodilatasi maksimal : 30 menit
Durasi : 3-4 jam (2-6 jam), oral lebih lama
Obat-obat short acting dapat diberikan secara oral (albuterol, terbutaline),
inhalasi, dan injeksi secara subkutan (terbutaline).
Long acting:
Contoh obat yang bekerja long acting adalah salmeterol, formoterol.
Durasi : 12 jam atau lebih.
Pemberian obat-obatan yang bekerja long acting tidak dianjurkan sbg terapi
tunggal (Salmeterol dan fluticasone; Formoterol dan budesonide).
2. Metilxantin
Metilxantin yang penting sering digunakan klinis adalah teofilin, teobromin dan kafein.
Mekanisme kerja:
Menghambat enzim fosfodiesterase, sehingga menghambat degradasi cAMP à kadar
cAMP meningkat
Juga menghambat reseptor adenosin pada SSP dan jaringan lain.
Selain itu obat ini juga memiliki efek relaksasi otot polos bronkus dan sebagai
antiinflamasi.
Obat-obatan metilxantin diabsorbsi secara cepat dengan pemberian oral dan parenteral.
Pemberian bisa secara oral, intravena, dan per rectal.
Efek samping obat antara lain:
Gangguan gastrointestinal, tremor dan insomnia, nyeri kepala, palpitasi.
Dosis tinggi : mual dan muntah yang berat, hipotensi, aritmia, konvulsi.
3. Antagonis Muskarinik
Mekanisme kerja obat antagonis muskarinik adalah dengan menghambat reseptor
muskarinik pada saluran napas secara kompetitif mencegah kontraksi otot polos bronkus
dan hipersekresi mukus bronkus.
Sediaan preparatnya Ipratropium bromida (prototipe) dan Tiotropium (long acting).
Diberikan secara inhalasi.
Efek samping sistemik kecil, mulut kering, konstipasi, retensi urin, takikardi. Dosis besar
efek toksik mirip atropine.
4. Kortikosteroid
Farmakokinetik
Penting pada penatalaksanaan asma berat
Pada pemberian per oral, penggunaan jangka panjang diberikan bila dengan antiasma
yang lain gagal.
Pemberian per inhalasi, relatif aman.
Pemberian secara IV (prednisolon dan hidrokortison) untuk kondisi status asmatikus.
Glukokortikoid inhalasi dipertimbangkan untuk asma sedang yang kurang responsif
terhadap beta agonis.
Efek samping dari pemberian kortikosteroid adalah toksisitas sistemik. Toksisitas
sistemik muncul setelah pengobatan lebih dari 2 minggu.
5. Cromolyn & Nedocromil
Cromolyn ( disodium cromoglycate ) dan Nedocromil tidak diberikan secara oral tetapi
diberikan secara inhalasi ( aerosol )
Penggunaan klinis
pencegahan serangan asma ( terutama pada anak )
asma yang disebabkan allergen
mengurangi gejala rhinokonjungtivitis alergika
mengurangi gejala rhinokonjungtivitis alergika
Efek samping
iritasi tenggorokan
batuk, mulut kering
rasa sesak di dada
6. Leukotrine Antagonis
Contoh : Zafirlukast, Montelukast
Pada semua jenis asma baik yang kronik maupun akut, asma karena paparan allergen dan
asma akibat latihan ( exercise induced asthma ) akan timbul leukotrien yang memegang
peran utama pada serangan asma.Berhubung hal di atas maka reseptor leukotrien
merupakan target penting untuk intervensi terapi asma
Efek :
1. Anti inflamasi dan imunomodulator
2. Mencegah obstruksi brokus oleh leukotrien
3. Mencegah asma yang disebabkan oleh allergen
4. Mengurangi jumlah eksaserbasi serangan asma
5. Menghambat permeabilitas vaskuler dan edema mukosa
Terapi Reliever
Inhalasi β2-agonists kerja cepat
Steroid sistemik
Anticholinergik
Metilxanthin : aminophillin
Oral β2-agonists kerja cepat
Terapi kontroler
Steroid inhalasi
Steroid sistemik : intra vena
Cromones : ketotifen
Metilxanthin : aminophillin lepas lambat
inhalasi β2-agonists kerja lama
oral β2-agonists kerja lama
Leukotriene
Step-step Dalam Pengobatan Asma
step1 step2 step3 step4 step5
As needed
rapid
acting
Beta2
agonist
As needed rapid acting beta2 agonist
Controller
options
Select 1 Select 1 Add 1 or more Add 1 or both
Low dose ICS Low dose ICS +
long acting beta 2
agonist
Medium/high
dose ICS + long
acting beta2
Oral CS
agonist
Leukotriene
modifier (RA/SI)
Medium or high
dose ICS
Leukotrien
modifier
anti – IgE
treatment
Low dose ICS +
leukotrien
modifier
Sustained
released teophilin
Low dose ICS +
sustained release
teophilin
Step 1
Penderita dengan gejala harian, serangan durasi singkat
Inhalasi beta agonist kerja cepat direkomendasikan sebagai terapi pelega
Jikalau gejala lebih sering terjadi dan atau memburuk secara periodik, penderita
memerlukan terapi kontrol (step 2 atau lebih tinggi)
Step 2
Obat pelega ditambahkan dengan kontroler tunggal
ICS dosis rendah direkomendasikan sebagai terapi kontrol awal pada semua usia
Obat kontroler alternatif termasuk leukotriens modifiers diberikan pada pasien yang tak
bisa menggunakan ICS
Step 3
Obat pelega + 1 atau 2 kontroler
Untuk dewasa + dewasa muda, kombinasi ICS dosis rendah + inhalasi beta2 agonist kerja
lama baik kombinasi dalam 1 inhaler atau komponen terpisah
Inhalasi beta2 agonist kerja lama tidak boleh monoterapi
Untuk anak-anak, ICS tingkatkan sampai dosis medium
Tingkatkan dosis ICS sampai medium
Kombinasi ICS dosis rendah + leukotriens modifiers
Teofilin lepas lambat dosis rendah
Step 4
Obat pelega + 2 atau lebih kontroler
Pilihan terapi tergantung pilihan sebelumnya pada step 2 dan 3
Bila mungkin, pasien yang tak terkontrol pada step 3 dirujuk ke tenaga yang lebih ahli
ICS dosis medium atau tinggi kombinasi dg inhalasi Beta 2 agonist kerja lama
ICS dosis medium atau tinggi + leukotriens modifiers
Teofilin lepas lambat dosis rendah + ICS dosis medium atau tinggi kombinasi dengan
inhalasi Beta2 agonist kerja lama
Step 5
Obat pelega + penambahan kontroler lainnya
Penambahan CS oral pada obat kontroler lain mungkin efektif, tapi efek samping besar
Penambahan anti IgE pada kontroler lain memperbaiki kontrol asma alergi bila kontrol
tidak dapat dicapai dengan pengobatan lain
Pencegahan
a. Pencegahan Primer
Periode prenatal : menghindari makanan yang bersifat allergen pada ibu hamil dengan
resiko tinggi.
Periode postnatal :
o menghindari allergen sedini mungkin ( makanan bayi seperti susu sapi, telur, ikan,
kacang-kacangan).
o Diet menghindari antigen pada ibu menyusui resiko tinggi.
o Menghindari aeroallergen pada bayi dianjurkan dalam upaya menghindari sensitisasi
( tapi dalam studi terakhir dikatakan kontak sedini mungkin dengan kucing dan anjing
kenyataannya mencegah alergi lebih baik daripada menghindari binatang tersebut)
o Menghindari asap rokok lingkungan baik periode prenatal maupun postnatal.
b. Pencegahan sekunder
Mencegah yang sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma yakni dengan
jalan antara lain :
oPemberian antihistamin H-1 dalam menurunkan onset mengi pada penderita anak dermatitis
atopic.
oPenghentian pajanan allergen sedini mungkin pada penderita yang sudah terlanjur
tersensitisasi.