TEORI SOSIAL KOGNITIF

17
TEORI SOSIAL KOGNITIF Menurut Bandura (dalam Woolfolk, 2009) teori sosial kognitif adalah sebuah teori yang memberikan pemahaman, prediksi, dan perubahan perilaku manusia melalui interaksi antara manusia, perilaku, dan lingkungan. Teori ini didasarkan atas proposisi bahwa baik proses sosial maupun proses kognitif adalah sentral bagi pemahaman mengenai motivasi, emosi, dan tindakan manusia. Albert Bandura (dalam Santrock, 2010) mengatakan bahwa ketika murid belajar, mereka dapat merepresentasikan atau mentransformasikan pengalaman mereka secara kognitif. Teori sosial kognitif digunakan untuk mengenal, memprediksi perilaku dan mengidentifikasi metode-metode yang tepat untuk mengubah perilaku tersebut. Teori ini menjelaskan bahwa dalam belajar, pengetahuan (knowledge), pengalaman pribadi (personal experience), dan karakteristik individu (personal characteristic) saling berinteraksi. Menurut Ormrod (2006) dalam teori sosial kognitif terdapat lima asumsi dasar antara lain; seseorang dapat belajar dengan mengamati orang lain, belajar merupakan proses internal yang memiliki kemungkinan mempengaruhi perilaku, perilaku dilakukan untuk mencapai tujuan, perilaku akan secepatnya diterima oleh diri dan dapat menjadi suatu kebiasaan, dan asumsi terakhir dari teori sosial kognitif adalah reinforcement dan punishment memiliki efek secara tidak langsung pada belajar dan perilaku.

description

teori belajar sosial

Transcript of TEORI SOSIAL KOGNITIF

Page 1: TEORI SOSIAL KOGNITIF

TEORI SOSIAL KOGNITIF

Menurut Bandura (dalam Woolfolk, 2009) teori sosial kognitif adalah sebuah teori yang

memberikan pemahaman, prediksi, dan perubahan perilaku manusia melalui interaksi antara

manusia, perilaku, dan lingkungan. Teori ini didasarkan atas proposisi bahwa baik proses sosial

maupun proses kognitif adalah sentral bagi pemahaman mengenai motivasi, emosi, dan tindakan

manusia. Albert Bandura (dalam Santrock, 2010) mengatakan bahwa ketika murid belajar,

mereka dapat merepresentasikan atau mentransformasikan pengalaman mereka secara kognitif.

Teori sosial kognitif digunakan untuk mengenal, memprediksi perilaku dan

mengidentifikasi metode-metode yang tepat untuk mengubah perilaku tersebut. Teori ini

menjelaskan bahwa dalam belajar, pengetahuan (knowledge), pengalaman pribadi (personal

experience), dan karakteristik individu (personal characteristic) saling berinteraksi.

Menurut Ormrod (2006) dalam teori sosial kognitif terdapat lima asumsi dasar antara lain;

seseorang dapat belajar dengan mengamati orang lain, belajar merupakan proses internal yang

memiliki kemungkinan mempengaruhi perilaku, perilaku dilakukan untuk mencapai tujuan,

perilaku akan secepatnya diterima oleh diri dan dapat menjadi suatu kebiasaan, dan asumsi

terakhir dari teori sosial kognitif adalah reinforcement dan punishment memiliki efek secara

tidak langsung pada belajar dan perilaku.

SOCIAL LEARNING THEORY

Salah satu konsep yang dikembangkan Bandura yang berkaitan erat dengan teori sosial

kognitif yaitu social learning theory. Teori ini menekankan pada komponen kognitif dari pikiran,

pemahaman dan evaluasi. Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam hal interaksi

timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku, dan faktor lingkungan

(Chowdhury, 2006). Belajar terjadi baik sebagai akibat dari respon dari pengalaman sendiri

(yaitu, pandangan belajar operan) dan melalui mengamati efek pada lingkungan sosial dari

perilaku orang lain. Dalam Slavin (2008) disebutkan bahwa teori pembelajaran sosial

dilatarbelakangi dari Bandura yang memandang perilaku individu tidak hanya refleks otomatis

(Stimulus – Respon) tetapi juga reaksi yang timbul atas interaksi lingkungan dengan proses

mental internal individu tersebut. Prinsip belajar menurut teori ini menunjukkan bagaimana

observasi diri terhadap lingkungan sekitarnya mempengaruhi perilaku dan proses kognitif

Page 2: TEORI SOSIAL KOGNITIF

dirinya. Sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku dapat dipelajari secara langsung maupun dari

pengalaman orang lain.

Teori belajar sosial menekankan bahwa lingkungan – lingkungan yang dihadapkan pada

seseorang secara kebetulan; lingkungan – lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang

itu melalui perilakunya sendiri. Sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara

selektif dan mengingat tingkah laku orang lain. Inti dari pembelajaran social adalah pemodelan

(modelling), dan pemodelan ini merupakan salah satu langkah paling penting dalam

pembelajaran terpadu.

Teori belajar sosial menekankan observational learning sebagai proses pembelajaran, yang

mana bentuk pembelajarannya adalah seseorang mempelajari perilaku dengan mengamati secara

sistematis imbalan dan hukuman yang diberikan kepada orang lain. Dalam analisis Bandura,

1986 (dalam Woolfolk, 2004) ada beberapa fase tentang observational learning atau modeling

yaitu; fase perhatian, fase pengingatan, reproduksi, dan fase motivasi. Yang penjelasan dari fase-

fase tersebut adalah sebagai berikut:

1.    Fase Perhatian

Pada fase ini siswa memberikan perhatian pada orang yang ditiru. Pada umumnya, siswa

memberikan perhatian pada panutan yang memikat, brehasil, menarik, dan popular. Di ruang

kelas, guru mendapatkan perhatian siswa dengan menyajikan isyarat yang jelas dan menarik,

dengan menggunakan sesuatu yang baru dan kejutan, dan memotivasi siswa.

2.    Fase Pengingatan

Begitu guru mendapatkan perhatian siswa, kinilah saatnya mencontohkan perilaku yang mereka

inginkan dan kemudian member kesempatan kepada siswa untuk mempraktikkan dan berlatih.

3.    Reproduksi

Selama fase ini siswa mencoba untuk mencocokkan perilaku mereka dengan perilaku orang yang

ditiru.

4.    Fase Motivasi

Dalam tahap ini siswa akan meniru orang yang akan ditiru karena mereka percaya bahwa

tindakan seperti itu akan meningkatkan perluang mereka sendiri dikuatkan

Determinisme resiprokal

Page 3: TEORI SOSIAL KOGNITIF

Dalam teori sosial kognitif, faktor internal maupun eksternal dianggap penting. Peristiwa di

lingkungan, faktor-faktor personal, dan perilaku dilihat saling berinteraksi dalam proses belajar.

Faktor-faktor personal (keyakinan, ekspektasi, sikap, dan pengetahuan), lingkungan fisik dan

sosial (sumber daya, konskuensi tindakan, orang lain, dan setting fisik) semuanya saling

mempengaruhi dan dipengaruhi. Bandura menyebutkan interaksi kekuatan-kekuatan ini dengan

reciprocal determinism.

Faktor-faktor sosial seperti model, panutan, strategi instruksional, dan umpan balik

(elemen-elemen lingkungan untuk siswa) dapat mempengaruhi faktor-faktor personal siswa,

seperti tujuan, sense of efficacy untuk suatu tugas, atribusi dan proses-proses self-regulated

seperti merencanakan, memonitor, dan mengontrol distraksi. Pengaruh sosial di lingkungan dan

faktor-faktor personal mendorong perilaku untuk menghasilkan pencapaian seperti persistensi

dan usaha serta pembelajaran. Akan tetapi, perilaku-perilaku ini juga berdampak secara

resiprokal pada faktor-faktor personal.

Pengaruh Resiprokal

Sumber: “Social-Self Interaction and Achievement Behavior” dari D. H. Schunk, 1999 (dalam

Woolfolk, 2004)

Self-Efficacy

Self-efficacy merupakan salah satu kemampuan pengaturan diri individu. Konsep self-

efficacy pertama kali dikemukakan oleh Bandura. Menurut Bandura (dalam Baron & Byrne,

2000), self-efficacy adalah penilaian seseorang akan kemampuannya atau menampilkan

kompetensi, meraih tujuan, atau mengatasi suatu hambatan. Konsep self-efficacy menekankan

peran dari observational learning dan pengalaman sosial dalam pengembangan kepribadian.

Menurut teori Bandura (dalam Woolfolk, 2004), orang dengan self-efficacy yang tinggi yaitu

mereka yang percaya mereka dapat melihat tugas-tugas sulit sebagai sesuatu yang harus dikuasai

bukan sesuatu yang harus dihindari. Menurut Zimmerman (2000) tingkat Self-efficacy mengacu

pada ketergantungan pada kesulitan dari suatu tugas tertentu, seperti meningkatnya kesulitan

dalam ejaan kata-kata; berkaitan umum untuk pengalihan keyakinan self-efficacy di seluruh

kegiatan, seperti dari aljabar untuk statistik; kekuatan efikasi yang dirasakan diukur dengan

sejumlah orang yang telah melakukan tugas yang diberikan.

Page 4: TEORI SOSIAL KOGNITIF

Sumber-sumber self-efficacy

Bandura (dalam Woolfolk, 2004) menjelaskan bahwa self-efficacy individu didasarkan pada

empat hal, yaitu:

-          Mastery experience adalah pengalaman langsung kita menjadi sumber informasi efikasi yang

paling kuat. Pengalaman akan keberhasilan adalah sumber yang paling besar pengaruhnya

terhadap self-efficacy individu karena didasarkan pada pengalaman otentik. Pengalaman akan

kesuksesan menyebabkan self-efficacy individu meningkat, sementara kegagalan yang berulang

mengakibatkan menurunnya self-efficacy, khususnya jika kegagalan terjadi ketika self-efficacy

individu belum benar-benar terbentuk secara kuat. Kegagalan juga dapat menurunkan self-

efficacy individu jika kegagalan tersebut tidak merefleksikan kurangnya usaha atau pengaruh

dari keadaan luar.

-          Physiological and emotional arousal merupakan reaksi fisik dan psikologis yang menyebabkan

seseorang alert (siaga), bergairah atau tegang. Penilaian individu akan kemampuannya dalam

mengerjakan suatu tugas sebagian dipengaruhi oleh keadaan fisiologis. Gejolak emosi dan

keadaan fisiologis yang dialami individu memberikan suatu isyarat terjadinya suatu hal yang

tidak diinginkan sehingga situasi yang menekan cenderung dihindari. Informasi dari keadaan

fisik seperti jantung berdebar, keringat dingin, dan gemetar menjadi isyarat bagi individu bahwa

situasi yang dihadapinya berada di atas kemampuannya.

-          Vicarious experience merupakan pencapaian yang dimodelkan oleh orang lain. Dalam vicarious

experience, seseorang memberikan contoh penyelesaian. Semakin dekat siswa mengidentifikasi

diri dengan sang model, akan semakin besar pula dampaknya pada efikasi diri. Bila sang model

bekerja dengan baik, efikasi diri siswa meningkat, tetapi bila sang model bekerja dengan buruk

ekspektasi efikasi siswa menurun. Meskipun mastery experience secara umum diakui sebagai

sumber keyakinan efikasi paling berpengaruh pada orang dewasa, Keyser dan Barling (dalam

Woolfolk, 2004) menemukan bahwa anak-anak lebih bersandar pada modeling sebagai sumber

informasi efikasi diri. Modeling sendiri adalah perubahan dalam perilaku, pemikiran atau emosi

yang terjadi melalui mengobservasi orang lain sebagai panutan.

-          Social persuation dapat berupa “pep talk” atau umpan balik spesifik atas kinerja. Persuasi

verbal dipergunakan untuk meyakinkan individu bahwa individu memiliki kemampuan yang

memungkinkan individu untuk meraih apa yang diinginkan. Persuasi sosial sendiri dapat

Page 5: TEORI SOSIAL KOGNITIF

membuat siswa mengerahkan usaha, mengupayakan strategi baru, atau berusaha cukup keras

untuk mencapai kesuksesan (Bandura, 1982 dalam Woolfolk, 2004). Persuasi sosial dapat

menangkal setback yang telah menyebabkan seseorang meragukan dirinya dan menginterupsi

persistensi. Potensi persuasi bergantung pada kredibilitas, dapat dipercaya dan keahlian pemberi

persuasinya.

Self-efficacy, self-concept, dan self-esteem

Kebanyakan orang berasumsi bahwa self-efficacy sama dengan self-concept atau self-

esteem, tetapi ternyata tidak. Efikasi diri lebih berorientasi masa depan, sedangkan konsep diri

adalah konstrak yang lebih global dan berisi banyak persepsi tentang self, termasuk self-efficacy.

Konsep diri berkembang sebagai hasil perbandingan eksternal dan internal, dengan

menggunakan orang lain atau aspek-aspek self lainnya sebagai kerangka acuan. Menurut

Bandura keyakinan self-efficacy merupakan prediktor yang kuat untuk perilaku, tetapi self-

concept memiliki kekuatan prediktif yang lebih lemah (Woolfolk, 2009). Dibandingkan self-

esteem, self-efficacy berkaitan dengan penilaian tentang kapabilitas pribadi, sedangkan self-

esteem berkaitan dengan penilaian tentang harga diri.

Efikasi diri sebagai prediktor tingkah laku

Menurut Bandura, sumber pengontrol tingkah laku adalah resiprokal antara lingkungan,

tingkah laku dan pribadi. Efikasi diri merupakan variabel pribadi yang penting yang bila

digabungkan dengan tujuan-tujuan spesifik dan pemahaman akan menjadi penentu tingkah laku

di masa mendatang. Setiap individu memiliki efikasi diri yang berbeda-beda pada situasi yang

berbeda, tergantung pada kemampuan yang dituntut oleh situasi yang berbeda, kehadiran orang

lain serta kondisi fisiologis dan emosional individu tersebut.

Efikasi Diri dan Motivasi

Bila kita memiliki sense of efficacy yang tinggi di bidang tertentu, kita akan menetapkan

tujuan yang lebih tinggi, tidak terlalu takut gagal, dan menemukan strategi baru bila strategi lama

gagal. Dalam penelitian yang dilakukan Graham dan Weiner tahun 1996 (Woolfolk, 2009)

menunjukkan bahwa kinerja di sekolah meningkatkan efikasi diri bila siswa (a) mengadopsi

tujuan jangka pendek sehingga lebih mudah untuk menilai kemajuannya; (b) diajari untuk

menggunakan strategi belajar yang spesifik, seperti outlining (membuat garis besar atau ikhtisar)

Page 6: TEORI SOSIAL KOGNITIF

atau summarizing (merangkum) yang membantu mereka memfokuskan perhatian; dan (c)

menerima reward berdasarkan prestasi/pencapaian, bukan sekedar keterlibatan, karena reward

atas prestasi menandakan meningkatnya kompetensi. Penelitian lain menunjukkan bahwa pada

anak Sekolah Dasar, siswa membutuhkan dorongan dan dukungan motivasi, sedangkan pada

tingkat pendidikan diatasnya lebih ditekankan mengenai strategi pencatatan atas materi apa yang

dikuasai oleh siswa (Dignath & Buttner, 2008).

Teacher’ Sense of Efficacy

Pengertian dari Teacher’s sense of efficacy adalah keyakinan guru bahwa dirinya mampu

menjangkau bahkan siswa yang paling sulit dan membantu mereka belajar. Salah satu aspek

yang mempengaruhi efikasi diri dari guru namun sering terlupakan adalah kepuasan hubungan

guru dan kepuasan dengan teman sejawat (Canrinus, 2011). Guru-guru yang optimistis mungkin

menetapkan tujuan yang lebih tinggi, bekerja lebih keras, mengajarkan ulang bagaimana perlu,

dan tetap bertahan saat mengahadapi masalah. Akan tetapi, beberapa manfaat mungkin timbul

setelah meragukan efikasi sendiri. Keraguan dapat membantu terjadinya refleksi, motivasi untuk

belajar, dan responsivitas yang lebih besar terhadap keanekaragaman, kolaborasi produktif, dan

jenis disekuilibrium yang dideskripsikan Piaget yang memotivasi perubahan (Wheatley, 2002

dalam Slavin, 2008). Dengan kata lain, jika guru memiliki efikasi diri yang rendah maka siswa

cenderung memiliki masalah dengan materi yang disampaikan oleh guru (Friedman, 2003).

Self-Regulated Learning

Pengertian dari self-regulated learning (pembelajaran regulasi diri) adalah proses

mengaktifkan dan mempertahankan pikiran, perilaku, dan emosi untuk mencapai tujuan. Self-

regulated learner memiliki keterampilan belajar akademik dan pengendalian diri yang membuat

pembelajarannya lebih mudah, sehingga mereka lebih termotivasi, dengan kata lain mereka

memiliki kemampuan, dan kemauan untuk belajar (McCombs & Marzano, 1990; Murphy &

Alexander, 2000 dalam Santrock, 2010). Regulasi diri mentransformasikan kemampuan-

kemampuan mental mereka, apa pun itu, menjadi keterampilan-keterampilan dan strategi-strategi

akademik (Zimmerman, 2000).

Self-Regulated Learning dan Agency

Page 7: TEORI SOSIAL KOGNITIF

Memiliki pandangan bahwa belajar adalah keterampilan yang akan diterapkan untuk

menganalisis tugas-tugas belajar, menetapkan tujuan, dan merencanakan cara untuk mengerjakan

tugas itu, menerapkan keterampilan, dan khususnya membuat keputusan tentang bagaimana

belajar dilaksanakan dan model self-regulating learners didasarkan pada pendapat bahwa

pembelajar adalah agents. Agency adalah kapasitas untuk mengoordinasikan berbagai

keterampilan belajar, motivasi, dan emosi untuk mencapai tujuan. Self-regulating learners

menerapkan agency ketika mereka terlibat dalam siklus empat tahap utama, antara lain:

1.      Menganalisis tugas pembelajarannya

Secara umum, pembelajar memeriksa informasi apa pun yang mereka anggap relevan untuk

mengonstruksikan sense tentang seperti apakah tugasnya, sumber daya apa yang harus dimiliki,

dan bagaiamana perasaannya tentang tugas yang akan dikerjakannya.

2.      Menetapkan tujuan dan menyusun rencana

Mengetahui kondisi-kondisi yang mempengaruhi hasil kerja memberikan informasi yang

digunakan oleh pembelajar untuk menetapkan tujuan belajar. Setelah itu rencana tentang

bagaimana cara mencapai tujuan itu untuk dikembangkan.

3.      Menetapkan taktik dan strategi

Self-regulated learners sangat siaga selama tahap ini karena mereka selalu memantau seberapa

baikkah rencana berjalan.

4.      Meregulasi pembelajaran

Dalam tahap self-regulated learming ini, pembelajar mengambil keputusan tentang apakah perlu

dilakukan perubahan pada ketiga tahap sebelumnya. Sebagai contoh, bila pembelajarannya

lamban: haruskah anda belajar dengan sahabat anda? Apakah anda perlu mereviu beberapa

materi sebelumnya yang merupakan fondasi bagi isi yang saat ini sedang anda pelajari?

Mengajar ke Arah Self-Efficacy dan Self-Regulated Learning

Siswa mengembangkan berbagai bentuk self-regulated learning (SRL) yang efektif secara

akademik dan sense of efficacy untuk belajar bila guru melibatkan para siswa dalam tugas-tugas

yang bermakna dan kompleks yang membutuhkan waktu lama. Siswa juga perlu memiliki

kontrol tertentu atas proses dan produk pembelajarannya. Kunci dalam mencapai SRL dan sense

efficacy adalah pemantauan diri dan evaluasi diri, guru dapat membantu siswa mengembangkan

SRL dengan melibatkan siswa dalam menetapkan kriteria untuk mengevaluasi proses dan produk

Page 8: TEORI SOSIAL KOGNITIF

belajarnya, lalu memberikan kesempatan untuk menilai kemajuan diri dengan menggunakan

standar-standar itu. Selanjutnya, akan membantu untuk bekerja kolaboratif dengan sesama siswa

dan mencari umpan baliknya. Siswa yang telah mencapai SRL secara efektif percaya bahwa

kemampuan belajarnya dapat meningkat melalui usaha dan pengalaman, menghargai nilai dari

tugas belajar, percaya diri akan kemampuannya sendiri, dan menggunakan internal locus of

control dalam belajarnya (Paulsen & Fredman, 2005).

Tugas-tugas yang menantang merupakan tugas-tugas yang paling memotivasi dan

bermanfaat secara akademik bagi siswa, tetapi tidak membuat mereka kewalahan. Dan perlu

diingat bahwa tugas-tugas kompleks tidak perlu terlalu suli nagi siswa, kompleks disini mengacu

pada rancangan tugas, bukan pada tingkat kesulitannya. Tugas disini dianggap kompleks bila

mencakup banyak tujuan dan melibatkan banyak chunks makna, seperti proyek dan unit-unit

tematik, butuh waktu lama, melibatkan siswa di berbagai proses kognitif dan metakognitif, dan

memungkinkan munculnya berbagai hasil. Misalnya studi tentang piramida Mesir dapat

menghasilkan laporan tertulis, peta, diagram, dan model. Yang lebih penting tugas yang

kompleks memberikan informasi pada siswa tentang kemajuan belajarnya. Kesuksesan dalm

tugas ini menaikkan self-efficacy dan motivasi intrinsik siswa.

Kontrol. Guru dapat berbagi kontrol dengan siswa dengan memberi pilihan pada mereka.

Sehingga siswa dapat meningkatkan usaha dan tetap bertahan saat kesulitan muncul, siswa juga

turut memikul tanggung jawab dalam membuat keputusan atas pembelajarannya. Dengan

memberi siswa pilihan menciptakan kesempatan siswa menyesuaikan tingkat tantangan yang

ditawarkan. Namun bila siswa membuat pilihan akademik kurang tepat maka ini adalah

tanggung jawab guru yang harus memiliki SRL tinggi dengan memastikan siswa memiliki

pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan siswa untuk bekerja mandiri dan membuat

keputusan yang tepat.

Evaluasi Diri. Dengan melibatkan siswa dalam menghasilkan kriteria evaluasi dan

mengevaluasi hasil kerjanya sendiri akan mengurangi kecemasan pada siswa. Selain itu siswa

juga menikmati dan benar-benar mencari tugas-tugas yang menantang karena biaya

partisipasinya yang rendah.

Page 9: TEORI SOSIAL KOGNITIF

Kolaborasi. Cara efektif dalam mendukung SRL adalah penggunaan yang mencerminkan iklim

komunitas dan pengatasan masalah bersama. Guru dan siswa melakukan ko-regulasi

pembelajaran satu sama lain, menawarkan dukungan, baik dengan bekerja sendiri, berpasangan,

atau bekerja dalam kelompok-kelompok kecil. Guru di awal tahun ajaran baru mengajarkan

berbagai rutinitas dan menetapkan norma-norma partisipasi, misalnya bagaimana cara

memberikan umpan balik konstruktif dan bagaimana cara menginterprestasi dan merespons usul

teman.

Pandangan Social Cognitive mengenai Reinforcement dan Punishment

Menurut Bandura (dalam Santrock, 2010), reinforcement penting dalam menentukan

apakah suatu tingkah laku akan terus terjadi atau tidak, tetapi itu bukan satu-satunya pembentuk

tingkah laku. Orang dapat belajar melakukan sesuatu hanya dengan mengamati dan kemudian

mengulang apa yang dilihatnya. Belajar melalui observasi tanpa ada reinforcement yang terlibat,

berarti tingkah laku ditentukan oleh antisipasi konsekuensi (ini merupakan pokok teori belajar

sosial). Reinforcement dan punishment mempengaruhi belajar dan perilaku dalam beberapa cara:

1.    Orang membangun ekspektasi mengenai konsekuensi berdasarkan bagaiamana respon sekarang

mendapatkan reinforced atau punished

2.    Ekspektasi seseorang juga terpengaruhi pada observasinya pada konsekuensi perilaku yang

dilakukan oleh orang lain

3.    Ekspekstasi mengenai konsekuensi yang mungkin terjadi mempengaruhi bagaimana proses

kognitif terhadap informasi baru

4.    Ekspektasi juga mempengaruhi pilihan seseorang mengenai bagaiamana berperilaku

5.    Tidak terjadinya konsekuensi yang diharapkan dapat memiliki efek reinforcing atau punishing

pada dirinya.

KESIMPULAN

Teori sosial kognitif merupakan teori yang memberikan pemahaman perilaku yang

melibatkan manusia, perilaku, dan lingkungan. Belajar merupakan interaksi segitiga yang saling

berpengaruh dan mengikat antara lingkungan, faktor-faktor personal dan tingkah laku yang

meliputi proses-proses kognitif belajar. Faktor intrinsik maupun ekstrinsik dari dalam diri dalam

teori ini di anggap sama pentingnya. Jadi teori ini berbeda dengan tidak hanya menekankan

Page 10: TEORI SOSIAL KOGNITIF

mengenai perilaku yang terjadi pada individu namun juga dengan mempertimbangkan faktor

kognitif yang dipikirkan oleh seseorang pada waktu tertentu.

Social Learning Theory dari Bandura menekankan bahwa manusia dapat belajar baik

secara langsung dari pengalaman yang dialami oleh individu itu sendiri maupun belajar dari

pengalaman orang lain. Belajar dari orang lain oleh individu salah satunya dapat berupa

pemodelan (modeling). Modeling sendiri dibagi menjadi empat fase, yaitu fase perhatian, fase

pengingatan, reproduksi, dan fase motivasi.

Dalam teori sosial kognitif, self-efficacy memiliki pengaruh besar dalam keberhasilan

dalam proses belajar. Self-efficacy ini memberi pengaruh penting terhadap motivasi seseorang,

karena menyangkut keyakinan seseorang tentang hal-hal yang akan dilakukannya. Yang dapat

mempengaruhi self-efficacy antara lain mastery experience, physiological and emotional arousal,

vicarious experience, serta persuasi sosial. Dalam proses belajar, self-efficacy dibutuhkan baik

didalam siswa maupun dari gurunya sendiri. Yang selanjutnya akan memunculkan yang

namanya Self-Regulated Learning, yaitu proses mengaktifkan dan mempertahankan pikiran,

perilaku, dan emosi untuk mencapai tujuan. Self-regulated learner memiliki keterampilan belajar

akademik dan pengendalian diri yang membuat pembelajarannya lebih mudah.

DAFTAR PUSTAKA

Baron, R. A., & Byrne, D. 2000. Social psychology (9th edition). Massachusetts: Allyn & Bacon.

Canrinus, E.T., dkk. 2011. Self-efficacy, job satisfaction, motivation and commitment: exploring the relationships between indicators of teachers’ professional identity. European Journal of Psychological Education, 10, 1-18.

Chowdhury, M. S, & College, M. 2006. Human Behavior In The Context of Training: An Overview Of The Role of Learning Theories as Applied to Training and Development. Journal of Knowledge Management Practice. Vol. 7, No. 2.

Dignath, Charlotte, & Buttner, Gerhard. 2008. Components of fostering self regulated learning among students. A meta-analysis on intervention studies at primary and secondary school level. Metacognition Learning, 3: 231-264.

Friedman, Isaac A. 2003. Self-efficacy and burnout in teaching: the importance of interpersonal-relations efficacy. Social Psychology of Education 6: 191–215.

Ormrod, Jeanne E. 2006. Educational Psychology: Developing Learners 5th Edition. Ohio: Pearson.

Page 11: TEORI SOSIAL KOGNITIF

Paulsen, M. B., & Feldman, K. A. 2005. The Conditional and Interaction Effects of Epistemological Beliefs On The Self-Regulated Learning of College Students: Motivational Strategies. Research in Higher Education, Vol. 46, No. 7: 731-768.

Santrock, John W. 2010. Psikologi Pendidikan (Edisi Kedua). Jakarta: Kencana

Slavin, Robert E. 2008. Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktek (Edisi Kedelapan). Jakarta: PT Indeks

Woolfolk, Anita. 2004. Educational Psychology (Ninth Edition). Boston: Allyn and Bacon

Woolfolk, Anita. 2009. Educational Psychology: Active Learning Edition (Edisi Sepuluh). Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Zimmerman, Barry J. 2000. Self-Efficacy: An Essential Motive to Learn. Contemporary Educational Psychology. 25, 82–91.

http://menatappagi.blogspot.com/2011/11/teori-sosial-kognitif.html