TEORI SOSIAL KOGNITIF
-
Upload
muhammad-afifudin -
Category
Documents
-
view
6 -
download
0
description
Transcript of TEORI SOSIAL KOGNITIF
TEORI SOSIAL KOGNITIF
Menurut Bandura (dalam Woolfolk, 2009) teori sosial kognitif adalah sebuah teori yang
memberikan pemahaman, prediksi, dan perubahan perilaku manusia melalui interaksi antara
manusia, perilaku, dan lingkungan. Teori ini didasarkan atas proposisi bahwa baik proses sosial
maupun proses kognitif adalah sentral bagi pemahaman mengenai motivasi, emosi, dan tindakan
manusia. Albert Bandura (dalam Santrock, 2010) mengatakan bahwa ketika murid belajar,
mereka dapat merepresentasikan atau mentransformasikan pengalaman mereka secara kognitif.
Teori sosial kognitif digunakan untuk mengenal, memprediksi perilaku dan
mengidentifikasi metode-metode yang tepat untuk mengubah perilaku tersebut. Teori ini
menjelaskan bahwa dalam belajar, pengetahuan (knowledge), pengalaman pribadi (personal
experience), dan karakteristik individu (personal characteristic) saling berinteraksi.
Menurut Ormrod (2006) dalam teori sosial kognitif terdapat lima asumsi dasar antara lain;
seseorang dapat belajar dengan mengamati orang lain, belajar merupakan proses internal yang
memiliki kemungkinan mempengaruhi perilaku, perilaku dilakukan untuk mencapai tujuan,
perilaku akan secepatnya diterima oleh diri dan dapat menjadi suatu kebiasaan, dan asumsi
terakhir dari teori sosial kognitif adalah reinforcement dan punishment memiliki efek secara
tidak langsung pada belajar dan perilaku.
SOCIAL LEARNING THEORY
Salah satu konsep yang dikembangkan Bandura yang berkaitan erat dengan teori sosial
kognitif yaitu social learning theory. Teori ini menekankan pada komponen kognitif dari pikiran,
pemahaman dan evaluasi. Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam hal interaksi
timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku, dan faktor lingkungan
(Chowdhury, 2006). Belajar terjadi baik sebagai akibat dari respon dari pengalaman sendiri
(yaitu, pandangan belajar operan) dan melalui mengamati efek pada lingkungan sosial dari
perilaku orang lain. Dalam Slavin (2008) disebutkan bahwa teori pembelajaran sosial
dilatarbelakangi dari Bandura yang memandang perilaku individu tidak hanya refleks otomatis
(Stimulus – Respon) tetapi juga reaksi yang timbul atas interaksi lingkungan dengan proses
mental internal individu tersebut. Prinsip belajar menurut teori ini menunjukkan bagaimana
observasi diri terhadap lingkungan sekitarnya mempengaruhi perilaku dan proses kognitif
dirinya. Sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku dapat dipelajari secara langsung maupun dari
pengalaman orang lain.
Teori belajar sosial menekankan bahwa lingkungan – lingkungan yang dihadapkan pada
seseorang secara kebetulan; lingkungan – lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang
itu melalui perilakunya sendiri. Sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara
selektif dan mengingat tingkah laku orang lain. Inti dari pembelajaran social adalah pemodelan
(modelling), dan pemodelan ini merupakan salah satu langkah paling penting dalam
pembelajaran terpadu.
Teori belajar sosial menekankan observational learning sebagai proses pembelajaran, yang
mana bentuk pembelajarannya adalah seseorang mempelajari perilaku dengan mengamati secara
sistematis imbalan dan hukuman yang diberikan kepada orang lain. Dalam analisis Bandura,
1986 (dalam Woolfolk, 2004) ada beberapa fase tentang observational learning atau modeling
yaitu; fase perhatian, fase pengingatan, reproduksi, dan fase motivasi. Yang penjelasan dari fase-
fase tersebut adalah sebagai berikut:
1. Fase Perhatian
Pada fase ini siswa memberikan perhatian pada orang yang ditiru. Pada umumnya, siswa
memberikan perhatian pada panutan yang memikat, brehasil, menarik, dan popular. Di ruang
kelas, guru mendapatkan perhatian siswa dengan menyajikan isyarat yang jelas dan menarik,
dengan menggunakan sesuatu yang baru dan kejutan, dan memotivasi siswa.
2. Fase Pengingatan
Begitu guru mendapatkan perhatian siswa, kinilah saatnya mencontohkan perilaku yang mereka
inginkan dan kemudian member kesempatan kepada siswa untuk mempraktikkan dan berlatih.
3. Reproduksi
Selama fase ini siswa mencoba untuk mencocokkan perilaku mereka dengan perilaku orang yang
ditiru.
4. Fase Motivasi
Dalam tahap ini siswa akan meniru orang yang akan ditiru karena mereka percaya bahwa
tindakan seperti itu akan meningkatkan perluang mereka sendiri dikuatkan
Determinisme resiprokal
Dalam teori sosial kognitif, faktor internal maupun eksternal dianggap penting. Peristiwa di
lingkungan, faktor-faktor personal, dan perilaku dilihat saling berinteraksi dalam proses belajar.
Faktor-faktor personal (keyakinan, ekspektasi, sikap, dan pengetahuan), lingkungan fisik dan
sosial (sumber daya, konskuensi tindakan, orang lain, dan setting fisik) semuanya saling
mempengaruhi dan dipengaruhi. Bandura menyebutkan interaksi kekuatan-kekuatan ini dengan
reciprocal determinism.
Faktor-faktor sosial seperti model, panutan, strategi instruksional, dan umpan balik
(elemen-elemen lingkungan untuk siswa) dapat mempengaruhi faktor-faktor personal siswa,
seperti tujuan, sense of efficacy untuk suatu tugas, atribusi dan proses-proses self-regulated
seperti merencanakan, memonitor, dan mengontrol distraksi. Pengaruh sosial di lingkungan dan
faktor-faktor personal mendorong perilaku untuk menghasilkan pencapaian seperti persistensi
dan usaha serta pembelajaran. Akan tetapi, perilaku-perilaku ini juga berdampak secara
resiprokal pada faktor-faktor personal.
Pengaruh Resiprokal
Sumber: “Social-Self Interaction and Achievement Behavior” dari D. H. Schunk, 1999 (dalam
Woolfolk, 2004)
Self-Efficacy
Self-efficacy merupakan salah satu kemampuan pengaturan diri individu. Konsep self-
efficacy pertama kali dikemukakan oleh Bandura. Menurut Bandura (dalam Baron & Byrne,
2000), self-efficacy adalah penilaian seseorang akan kemampuannya atau menampilkan
kompetensi, meraih tujuan, atau mengatasi suatu hambatan. Konsep self-efficacy menekankan
peran dari observational learning dan pengalaman sosial dalam pengembangan kepribadian.
Menurut teori Bandura (dalam Woolfolk, 2004), orang dengan self-efficacy yang tinggi yaitu
mereka yang percaya mereka dapat melihat tugas-tugas sulit sebagai sesuatu yang harus dikuasai
bukan sesuatu yang harus dihindari. Menurut Zimmerman (2000) tingkat Self-efficacy mengacu
pada ketergantungan pada kesulitan dari suatu tugas tertentu, seperti meningkatnya kesulitan
dalam ejaan kata-kata; berkaitan umum untuk pengalihan keyakinan self-efficacy di seluruh
kegiatan, seperti dari aljabar untuk statistik; kekuatan efikasi yang dirasakan diukur dengan
sejumlah orang yang telah melakukan tugas yang diberikan.
Sumber-sumber self-efficacy
Bandura (dalam Woolfolk, 2004) menjelaskan bahwa self-efficacy individu didasarkan pada
empat hal, yaitu:
- Mastery experience adalah pengalaman langsung kita menjadi sumber informasi efikasi yang
paling kuat. Pengalaman akan keberhasilan adalah sumber yang paling besar pengaruhnya
terhadap self-efficacy individu karena didasarkan pada pengalaman otentik. Pengalaman akan
kesuksesan menyebabkan self-efficacy individu meningkat, sementara kegagalan yang berulang
mengakibatkan menurunnya self-efficacy, khususnya jika kegagalan terjadi ketika self-efficacy
individu belum benar-benar terbentuk secara kuat. Kegagalan juga dapat menurunkan self-
efficacy individu jika kegagalan tersebut tidak merefleksikan kurangnya usaha atau pengaruh
dari keadaan luar.
- Physiological and emotional arousal merupakan reaksi fisik dan psikologis yang menyebabkan
seseorang alert (siaga), bergairah atau tegang. Penilaian individu akan kemampuannya dalam
mengerjakan suatu tugas sebagian dipengaruhi oleh keadaan fisiologis. Gejolak emosi dan
keadaan fisiologis yang dialami individu memberikan suatu isyarat terjadinya suatu hal yang
tidak diinginkan sehingga situasi yang menekan cenderung dihindari. Informasi dari keadaan
fisik seperti jantung berdebar, keringat dingin, dan gemetar menjadi isyarat bagi individu bahwa
situasi yang dihadapinya berada di atas kemampuannya.
- Vicarious experience merupakan pencapaian yang dimodelkan oleh orang lain. Dalam vicarious
experience, seseorang memberikan contoh penyelesaian. Semakin dekat siswa mengidentifikasi
diri dengan sang model, akan semakin besar pula dampaknya pada efikasi diri. Bila sang model
bekerja dengan baik, efikasi diri siswa meningkat, tetapi bila sang model bekerja dengan buruk
ekspektasi efikasi siswa menurun. Meskipun mastery experience secara umum diakui sebagai
sumber keyakinan efikasi paling berpengaruh pada orang dewasa, Keyser dan Barling (dalam
Woolfolk, 2004) menemukan bahwa anak-anak lebih bersandar pada modeling sebagai sumber
informasi efikasi diri. Modeling sendiri adalah perubahan dalam perilaku, pemikiran atau emosi
yang terjadi melalui mengobservasi orang lain sebagai panutan.
- Social persuation dapat berupa “pep talk” atau umpan balik spesifik atas kinerja. Persuasi
verbal dipergunakan untuk meyakinkan individu bahwa individu memiliki kemampuan yang
memungkinkan individu untuk meraih apa yang diinginkan. Persuasi sosial sendiri dapat
membuat siswa mengerahkan usaha, mengupayakan strategi baru, atau berusaha cukup keras
untuk mencapai kesuksesan (Bandura, 1982 dalam Woolfolk, 2004). Persuasi sosial dapat
menangkal setback yang telah menyebabkan seseorang meragukan dirinya dan menginterupsi
persistensi. Potensi persuasi bergantung pada kredibilitas, dapat dipercaya dan keahlian pemberi
persuasinya.
Self-efficacy, self-concept, dan self-esteem
Kebanyakan orang berasumsi bahwa self-efficacy sama dengan self-concept atau self-
esteem, tetapi ternyata tidak. Efikasi diri lebih berorientasi masa depan, sedangkan konsep diri
adalah konstrak yang lebih global dan berisi banyak persepsi tentang self, termasuk self-efficacy.
Konsep diri berkembang sebagai hasil perbandingan eksternal dan internal, dengan
menggunakan orang lain atau aspek-aspek self lainnya sebagai kerangka acuan. Menurut
Bandura keyakinan self-efficacy merupakan prediktor yang kuat untuk perilaku, tetapi self-
concept memiliki kekuatan prediktif yang lebih lemah (Woolfolk, 2009). Dibandingkan self-
esteem, self-efficacy berkaitan dengan penilaian tentang kapabilitas pribadi, sedangkan self-
esteem berkaitan dengan penilaian tentang harga diri.
Efikasi diri sebagai prediktor tingkah laku
Menurut Bandura, sumber pengontrol tingkah laku adalah resiprokal antara lingkungan,
tingkah laku dan pribadi. Efikasi diri merupakan variabel pribadi yang penting yang bila
digabungkan dengan tujuan-tujuan spesifik dan pemahaman akan menjadi penentu tingkah laku
di masa mendatang. Setiap individu memiliki efikasi diri yang berbeda-beda pada situasi yang
berbeda, tergantung pada kemampuan yang dituntut oleh situasi yang berbeda, kehadiran orang
lain serta kondisi fisiologis dan emosional individu tersebut.
Efikasi Diri dan Motivasi
Bila kita memiliki sense of efficacy yang tinggi di bidang tertentu, kita akan menetapkan
tujuan yang lebih tinggi, tidak terlalu takut gagal, dan menemukan strategi baru bila strategi lama
gagal. Dalam penelitian yang dilakukan Graham dan Weiner tahun 1996 (Woolfolk, 2009)
menunjukkan bahwa kinerja di sekolah meningkatkan efikasi diri bila siswa (a) mengadopsi
tujuan jangka pendek sehingga lebih mudah untuk menilai kemajuannya; (b) diajari untuk
menggunakan strategi belajar yang spesifik, seperti outlining (membuat garis besar atau ikhtisar)
atau summarizing (merangkum) yang membantu mereka memfokuskan perhatian; dan (c)
menerima reward berdasarkan prestasi/pencapaian, bukan sekedar keterlibatan, karena reward
atas prestasi menandakan meningkatnya kompetensi. Penelitian lain menunjukkan bahwa pada
anak Sekolah Dasar, siswa membutuhkan dorongan dan dukungan motivasi, sedangkan pada
tingkat pendidikan diatasnya lebih ditekankan mengenai strategi pencatatan atas materi apa yang
dikuasai oleh siswa (Dignath & Buttner, 2008).
Teacher’ Sense of Efficacy
Pengertian dari Teacher’s sense of efficacy adalah keyakinan guru bahwa dirinya mampu
menjangkau bahkan siswa yang paling sulit dan membantu mereka belajar. Salah satu aspek
yang mempengaruhi efikasi diri dari guru namun sering terlupakan adalah kepuasan hubungan
guru dan kepuasan dengan teman sejawat (Canrinus, 2011). Guru-guru yang optimistis mungkin
menetapkan tujuan yang lebih tinggi, bekerja lebih keras, mengajarkan ulang bagaimana perlu,
dan tetap bertahan saat mengahadapi masalah. Akan tetapi, beberapa manfaat mungkin timbul
setelah meragukan efikasi sendiri. Keraguan dapat membantu terjadinya refleksi, motivasi untuk
belajar, dan responsivitas yang lebih besar terhadap keanekaragaman, kolaborasi produktif, dan
jenis disekuilibrium yang dideskripsikan Piaget yang memotivasi perubahan (Wheatley, 2002
dalam Slavin, 2008). Dengan kata lain, jika guru memiliki efikasi diri yang rendah maka siswa
cenderung memiliki masalah dengan materi yang disampaikan oleh guru (Friedman, 2003).
Self-Regulated Learning
Pengertian dari self-regulated learning (pembelajaran regulasi diri) adalah proses
mengaktifkan dan mempertahankan pikiran, perilaku, dan emosi untuk mencapai tujuan. Self-
regulated learner memiliki keterampilan belajar akademik dan pengendalian diri yang membuat
pembelajarannya lebih mudah, sehingga mereka lebih termotivasi, dengan kata lain mereka
memiliki kemampuan, dan kemauan untuk belajar (McCombs & Marzano, 1990; Murphy &
Alexander, 2000 dalam Santrock, 2010). Regulasi diri mentransformasikan kemampuan-
kemampuan mental mereka, apa pun itu, menjadi keterampilan-keterampilan dan strategi-strategi
akademik (Zimmerman, 2000).
Self-Regulated Learning dan Agency
Memiliki pandangan bahwa belajar adalah keterampilan yang akan diterapkan untuk
menganalisis tugas-tugas belajar, menetapkan tujuan, dan merencanakan cara untuk mengerjakan
tugas itu, menerapkan keterampilan, dan khususnya membuat keputusan tentang bagaimana
belajar dilaksanakan dan model self-regulating learners didasarkan pada pendapat bahwa
pembelajar adalah agents. Agency adalah kapasitas untuk mengoordinasikan berbagai
keterampilan belajar, motivasi, dan emosi untuk mencapai tujuan. Self-regulating learners
menerapkan agency ketika mereka terlibat dalam siklus empat tahap utama, antara lain:
1. Menganalisis tugas pembelajarannya
Secara umum, pembelajar memeriksa informasi apa pun yang mereka anggap relevan untuk
mengonstruksikan sense tentang seperti apakah tugasnya, sumber daya apa yang harus dimiliki,
dan bagaiamana perasaannya tentang tugas yang akan dikerjakannya.
2. Menetapkan tujuan dan menyusun rencana
Mengetahui kondisi-kondisi yang mempengaruhi hasil kerja memberikan informasi yang
digunakan oleh pembelajar untuk menetapkan tujuan belajar. Setelah itu rencana tentang
bagaimana cara mencapai tujuan itu untuk dikembangkan.
3. Menetapkan taktik dan strategi
Self-regulated learners sangat siaga selama tahap ini karena mereka selalu memantau seberapa
baikkah rencana berjalan.
4. Meregulasi pembelajaran
Dalam tahap self-regulated learming ini, pembelajar mengambil keputusan tentang apakah perlu
dilakukan perubahan pada ketiga tahap sebelumnya. Sebagai contoh, bila pembelajarannya
lamban: haruskah anda belajar dengan sahabat anda? Apakah anda perlu mereviu beberapa
materi sebelumnya yang merupakan fondasi bagi isi yang saat ini sedang anda pelajari?
Mengajar ke Arah Self-Efficacy dan Self-Regulated Learning
Siswa mengembangkan berbagai bentuk self-regulated learning (SRL) yang efektif secara
akademik dan sense of efficacy untuk belajar bila guru melibatkan para siswa dalam tugas-tugas
yang bermakna dan kompleks yang membutuhkan waktu lama. Siswa juga perlu memiliki
kontrol tertentu atas proses dan produk pembelajarannya. Kunci dalam mencapai SRL dan sense
efficacy adalah pemantauan diri dan evaluasi diri, guru dapat membantu siswa mengembangkan
SRL dengan melibatkan siswa dalam menetapkan kriteria untuk mengevaluasi proses dan produk
belajarnya, lalu memberikan kesempatan untuk menilai kemajuan diri dengan menggunakan
standar-standar itu. Selanjutnya, akan membantu untuk bekerja kolaboratif dengan sesama siswa
dan mencari umpan baliknya. Siswa yang telah mencapai SRL secara efektif percaya bahwa
kemampuan belajarnya dapat meningkat melalui usaha dan pengalaman, menghargai nilai dari
tugas belajar, percaya diri akan kemampuannya sendiri, dan menggunakan internal locus of
control dalam belajarnya (Paulsen & Fredman, 2005).
Tugas-tugas yang menantang merupakan tugas-tugas yang paling memotivasi dan
bermanfaat secara akademik bagi siswa, tetapi tidak membuat mereka kewalahan. Dan perlu
diingat bahwa tugas-tugas kompleks tidak perlu terlalu suli nagi siswa, kompleks disini mengacu
pada rancangan tugas, bukan pada tingkat kesulitannya. Tugas disini dianggap kompleks bila
mencakup banyak tujuan dan melibatkan banyak chunks makna, seperti proyek dan unit-unit
tematik, butuh waktu lama, melibatkan siswa di berbagai proses kognitif dan metakognitif, dan
memungkinkan munculnya berbagai hasil. Misalnya studi tentang piramida Mesir dapat
menghasilkan laporan tertulis, peta, diagram, dan model. Yang lebih penting tugas yang
kompleks memberikan informasi pada siswa tentang kemajuan belajarnya. Kesuksesan dalm
tugas ini menaikkan self-efficacy dan motivasi intrinsik siswa.
Kontrol. Guru dapat berbagi kontrol dengan siswa dengan memberi pilihan pada mereka.
Sehingga siswa dapat meningkatkan usaha dan tetap bertahan saat kesulitan muncul, siswa juga
turut memikul tanggung jawab dalam membuat keputusan atas pembelajarannya. Dengan
memberi siswa pilihan menciptakan kesempatan siswa menyesuaikan tingkat tantangan yang
ditawarkan. Namun bila siswa membuat pilihan akademik kurang tepat maka ini adalah
tanggung jawab guru yang harus memiliki SRL tinggi dengan memastikan siswa memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan siswa untuk bekerja mandiri dan membuat
keputusan yang tepat.
Evaluasi Diri. Dengan melibatkan siswa dalam menghasilkan kriteria evaluasi dan
mengevaluasi hasil kerjanya sendiri akan mengurangi kecemasan pada siswa. Selain itu siswa
juga menikmati dan benar-benar mencari tugas-tugas yang menantang karena biaya
partisipasinya yang rendah.
Kolaborasi. Cara efektif dalam mendukung SRL adalah penggunaan yang mencerminkan iklim
komunitas dan pengatasan masalah bersama. Guru dan siswa melakukan ko-regulasi
pembelajaran satu sama lain, menawarkan dukungan, baik dengan bekerja sendiri, berpasangan,
atau bekerja dalam kelompok-kelompok kecil. Guru di awal tahun ajaran baru mengajarkan
berbagai rutinitas dan menetapkan norma-norma partisipasi, misalnya bagaimana cara
memberikan umpan balik konstruktif dan bagaimana cara menginterprestasi dan merespons usul
teman.
Pandangan Social Cognitive mengenai Reinforcement dan Punishment
Menurut Bandura (dalam Santrock, 2010), reinforcement penting dalam menentukan
apakah suatu tingkah laku akan terus terjadi atau tidak, tetapi itu bukan satu-satunya pembentuk
tingkah laku. Orang dapat belajar melakukan sesuatu hanya dengan mengamati dan kemudian
mengulang apa yang dilihatnya. Belajar melalui observasi tanpa ada reinforcement yang terlibat,
berarti tingkah laku ditentukan oleh antisipasi konsekuensi (ini merupakan pokok teori belajar
sosial). Reinforcement dan punishment mempengaruhi belajar dan perilaku dalam beberapa cara:
1. Orang membangun ekspektasi mengenai konsekuensi berdasarkan bagaiamana respon sekarang
mendapatkan reinforced atau punished
2. Ekspektasi seseorang juga terpengaruhi pada observasinya pada konsekuensi perilaku yang
dilakukan oleh orang lain
3. Ekspekstasi mengenai konsekuensi yang mungkin terjadi mempengaruhi bagaimana proses
kognitif terhadap informasi baru
4. Ekspektasi juga mempengaruhi pilihan seseorang mengenai bagaiamana berperilaku
5. Tidak terjadinya konsekuensi yang diharapkan dapat memiliki efek reinforcing atau punishing
pada dirinya.
KESIMPULAN
Teori sosial kognitif merupakan teori yang memberikan pemahaman perilaku yang
melibatkan manusia, perilaku, dan lingkungan. Belajar merupakan interaksi segitiga yang saling
berpengaruh dan mengikat antara lingkungan, faktor-faktor personal dan tingkah laku yang
meliputi proses-proses kognitif belajar. Faktor intrinsik maupun ekstrinsik dari dalam diri dalam
teori ini di anggap sama pentingnya. Jadi teori ini berbeda dengan tidak hanya menekankan
mengenai perilaku yang terjadi pada individu namun juga dengan mempertimbangkan faktor
kognitif yang dipikirkan oleh seseorang pada waktu tertentu.
Social Learning Theory dari Bandura menekankan bahwa manusia dapat belajar baik
secara langsung dari pengalaman yang dialami oleh individu itu sendiri maupun belajar dari
pengalaman orang lain. Belajar dari orang lain oleh individu salah satunya dapat berupa
pemodelan (modeling). Modeling sendiri dibagi menjadi empat fase, yaitu fase perhatian, fase
pengingatan, reproduksi, dan fase motivasi.
Dalam teori sosial kognitif, self-efficacy memiliki pengaruh besar dalam keberhasilan
dalam proses belajar. Self-efficacy ini memberi pengaruh penting terhadap motivasi seseorang,
karena menyangkut keyakinan seseorang tentang hal-hal yang akan dilakukannya. Yang dapat
mempengaruhi self-efficacy antara lain mastery experience, physiological and emotional arousal,
vicarious experience, serta persuasi sosial. Dalam proses belajar, self-efficacy dibutuhkan baik
didalam siswa maupun dari gurunya sendiri. Yang selanjutnya akan memunculkan yang
namanya Self-Regulated Learning, yaitu proses mengaktifkan dan mempertahankan pikiran,
perilaku, dan emosi untuk mencapai tujuan. Self-regulated learner memiliki keterampilan belajar
akademik dan pengendalian diri yang membuat pembelajarannya lebih mudah.
DAFTAR PUSTAKA
Baron, R. A., & Byrne, D. 2000. Social psychology (9th edition). Massachusetts: Allyn & Bacon.
Canrinus, E.T., dkk. 2011. Self-efficacy, job satisfaction, motivation and commitment: exploring the relationships between indicators of teachers’ professional identity. European Journal of Psychological Education, 10, 1-18.
Chowdhury, M. S, & College, M. 2006. Human Behavior In The Context of Training: An Overview Of The Role of Learning Theories as Applied to Training and Development. Journal of Knowledge Management Practice. Vol. 7, No. 2.
Dignath, Charlotte, & Buttner, Gerhard. 2008. Components of fostering self regulated learning among students. A meta-analysis on intervention studies at primary and secondary school level. Metacognition Learning, 3: 231-264.
Friedman, Isaac A. 2003. Self-efficacy and burnout in teaching: the importance of interpersonal-relations efficacy. Social Psychology of Education 6: 191–215.
Ormrod, Jeanne E. 2006. Educational Psychology: Developing Learners 5th Edition. Ohio: Pearson.
Paulsen, M. B., & Feldman, K. A. 2005. The Conditional and Interaction Effects of Epistemological Beliefs On The Self-Regulated Learning of College Students: Motivational Strategies. Research in Higher Education, Vol. 46, No. 7: 731-768.
Santrock, John W. 2010. Psikologi Pendidikan (Edisi Kedua). Jakarta: Kencana
Slavin, Robert E. 2008. Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktek (Edisi Kedelapan). Jakarta: PT Indeks
Woolfolk, Anita. 2004. Educational Psychology (Ninth Edition). Boston: Allyn and Bacon
Woolfolk, Anita. 2009. Educational Psychology: Active Learning Edition (Edisi Sepuluh). Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Zimmerman, Barry J. 2000. Self-Efficacy: An Essential Motive to Learn. Contemporary Educational Psychology. 25, 82–91.
http://menatappagi.blogspot.com/2011/11/teori-sosial-kognitif.html