Teori Hukum Dan Pengertian

download Teori Hukum Dan Pengertian

of 16

Transcript of Teori Hukum Dan Pengertian

  • 8/10/2019 Teori Hukum Dan Pengertian

    1/16

    TEORI HUKUM DAN PENGERTIAN

    TEORI HUKUM

    Ini merupakan kumpulan handout tentang kenapa teori hukum itu ada dan apa sebenarnya teori

    hukum. Bahan ini didapat dari pertemuan awal dengan Prof. Dr. Hata, SH., MH.

    1.

    B.Arief Sidharta : Teori Ilmu Hukum (rechtstheorie) secara umum dapat diartikan sebagai

    ilmu atau disiplin hukum yang dalam perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis

    menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik tersendiri maupun dalam kaitan

    keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritisnya mau pun dalam pengejawantahan praktisnya,

    dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan

    sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam kenyataan

    masyarakat. Obyek telaahnya adalah gejala umum dalam tatanan hukum positif yang

    meliputi analisis bahan hukum, metode dalam hukum dan kritik ideologikal terhadap hukum

    ( Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, 2000,h.122).

    2. JJH Bruggink : Teori hukum adalah seluruh pernyataan yang saling berkaitan berkenan

    dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem

    tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan (HR Otje Salman et.al.TeoriHukum,

    2002,h.60).

    3.

    Hans Kelsen (Satjipto Rahardjo : Hukum Dalam Jagat Ketertiban, h.8-9) :

    a. The aim of a theory of law, as of any science, is to reduce chaos and multiplicity to unity.

    b.

    Legal theory is science, not volition. It is knowledge of what the law is, not of what the law

    ought to be.

    c. The Law is a normative not a natural science.

    d. Legal theory as a theory of norms is not concerned with the effectiveness of legal norms.

    e.

    A theory of law is formal, a theory of the way of ordering, changing content in a specific

    way.

    f.

    The relation of legal theory to a particular system of positive law is that of possible to

    actual law.

    g.

    Tujuan teori hukum, ilmu apapun, adalah untuk mengurangi kekacauan dan keragaman

    untuk persatuan.

    h. Teori hukum adalah ilmu, bukan kemauan. Ini adalah pengetahuan tentang apa hukum

    itu, bukan dari apa yang hukum seharusnya.

    i. Hukum adalah normatif bukan ilmu alam.

    j.

    Teori hukum sebagai teori norma tidak peduli dengan efektivitas norma-norma hukum.

    http://krisnaptik.wordpress.com/polri-4/teori/teori-hukum-dan-pengertian/http://krisnaptik.wordpress.com/polri-4/teori/teori-hukum-dan-pengertian/
  • 8/10/2019 Teori Hukum Dan Pengertian

    2/16

    k.

    Sebuah teori hukum adalah formal, suatu teori cara pemesanan, konten berubah dengan

    cara tertentu.

    l.

    Hubungan teori hukum untuk sistem tertentu dari hukum positif adalah bahwa mungkin

    untuk hukum yang sebenarnya.

    4.

    Perkembangn ilmu dan teknologi yang sangat pesat pada abad keduapuluh mendorong

    Kelsen untuk mengangkat ilmu hukum untuk bisa maju sederajat dengan kemajuan sains

    waktu itu.

    5. J H von Kirchman : ilmu hukum berdiri di atas fondasi yang subyektif karena itu sebagai sains

    ia menjadi sangat goyah. Hanya dengan vonis tiga kata saja dari pembuat undang-undang,

    maka seluruh perpustakaan menjadi bubar.

    6. Kelsen ingin membuktikan bahwa ilmu hukum itu tidak subyektif melainkan obyektif, sama

    dengan sains yang lain. Ia harus membangun teori yang mengatasi subyektivitas pembuat

    undang-undang.A theory of law is formal. Tidak boleh mengandung muatan nilai,

    kepentingan dan lain-lain.

    7. Schuyt, dengan merujuk pada Holmes dan Cordozo menyarankan agar ilmu hukum

    melepaskan diri dari cara menganalisa persoalan berdasar metode hukum yang sempit dan

    selalu mencari pertolongan kepada lmu-ilmu lain.

    8.

    Kemajuan ilmu alam, ekonomi, sosial, politik seharusnya mendorong para ahli hukum untuk

    memanfaatkan kemajuan tsb.

    9.

    Hunt (The Sociological movement in law) : The twentieth century has produced a movementtowards the sociologically oriented study of law. The study of law can no longer be regarded

    as the exclusive preserve of legal professionals, whether practitioners or academics. There

    has emerged a sociological movement in law which has had as its common and explicit goal

    the assault on legal exclusivism.

    10.

    Nonet & Selznick : Hukum (di Amerika) gagal menyelesaikan persoalan hukum karena hanya

    melihat ke dalam dan tidak keluar. Disarankan untuk melakukan sintesis antara

    jurisprudence dan social sciences.

    11. Satjipto Rahardjo : Studi sosiologis terhadap hukum yang menumbangkan analytical

    positivism hanya merupakan simbul atau dorongan untuk melakukan studi saja terhadap

    hukum secara lebih benardi belakang studi sosiologis masih berderet yang lain seperti

    antropologi, sosiologi dan ekonomi..

    Teori ilmu hukum juga bertujuan untuk menjelaskan kejadian-kejadian dalam bidang hukum dan

    mencoba untuk memberikan penilaian. Menurut Radburch tugas dari teori hukum adalah membikin

    jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada dasar-dasar filsafat yang paling dalam.

    Teori hukum merupakan kelanjutan dari usaha untuk mempelajari hukum positif. Teori hukum

    menggunakan hukum positif sebagai bahan kajian dengan telaah filosofis sebagai salah satu sarana

    bantuan untuk menjelaskan tentang hukum. Teori hukum dipelajari sudah sejak zaman dahulu, para

    ahli hukum Yunani maupun Romawi telah membuat pelbagai pemikiran tentang hukum sampai

  • 8/10/2019 Teori Hukum Dan Pengertian

    3/16

    kepada akar-akar filsafatnya. Sebelum abad kesembilan belas, teori hukum merupakan produk

    sampingan yang terpenting dari filsafat agama, etika atau politik. Para ahli fikir hukum terbesar pada

    awalnya adalah ahli-ahli filsafat, ahli-ahli agama, ahli-ahli politik. Perubahan terpenting filsafat

    hukum dari para pakar filsafat atau ahli politik ke filsafat hukum dari para ahli hukum, barulah terjadi

    pada akhir-akhir ini. Yaitu setelah adanya perkembangan yang hebat dalam penelitian, studi teknik

    dan penelitian hukum. Teori-teori hukum pada zaman dahulu dilandasi oleh teori filsafat dan politik

    umum. Sedangkan teori-teori hukum modern dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli

    hukum sendiri. Perbedaannya terletak dalam metode dan penekanannya.

    Teori hukum para ahli hukum modern seperti teori hukum para filosof ajaran skolastik,

    didasarkan atas keyakinan tertinggi yang ilhamnya datang dari luar bidang hukum itu sendiri.Teori-

    Teori Hukum Pada Zaman Yunani-Romawi Plato (427-347 sebelum Masehi) beranggapan bahwa

    hukum itu suatu keharusan dan penting bagi masyarakat. Sebagaimana yang dituliskannya dalam

    The Republik, hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang

    mengikat masyarakat. Pelaksanaan keadilan dipercayakan kepada para pengatur pemerintahan yang

    pendidikan serta kearifannya bersumber pada ilham merupakan jaminan untuk terciptanya

    pemerintahan yang baik. Dan pada karyanya yang telah diperbaharui Plato mulai mengusulkan

    negara hukum sebagai alternatif suatu sistem pemerintahan yang lebih baik, dengan konsepnya

    mengenai negara keadilan yang dijalankan atas dasar norma-norma tertulis atau undang-undang.

    Aristoteles (384-322 sebelum Masehi) adalah murid Plato yang paling termasyur. Ia adalah seorang

    pendidik putra raja yang bernama Aleksander Agung. Menurut Aristoteles hukum harus ditaati demi

    keadilan, dan ini dibagi menjadi hukum alam dan hukum positif. Hukum alam menurut Aristoteles

    merupakan aturan semesta alam dan sekaligus aturan hidup bersama melalui undang-undang. Pada

    Aristoteles hukum alam ditanggapi sebagai suatu hukum yang berlaku selalu dan dimana-mana

    karena hubungannya dengan aturan alam.

    Hukum positif adalah semua hukum yang ditentukan oleh penguasa negara. Hukum itu harus

    selalu ditaati, sekalipun ada hukum yang tidak adil. Aristoteles juga membedakan antara keadilan

    distributif dan keadilan korektif atau remedial. Keadilan distributif mengacu kepada

    pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya didalam masyarakat,

    dan perlakuan yang sama terhadap kesederajatan dihadapan hukum (equality before the law).

    Keadilan jenis ini menitikberatkan kepada kenyataan fundamental dan selalu benar, walaupun selalu

    dikesampingkan oleh hasrat para filsuf hukum untuk membuktikan kebenaran pendirian politiknya,

    sehingga cita keadilan secara teoritis tidak dapat memiliki isi yang tertentu sekaligus sah. Keadilan

    yang kedua pada dasarnya merupakan ukuran teknik dari prinsip-prinsip yang mengatur penerapanhukum. Dalam mengatur hubungan hukum harus ditemukan suatu standar yang umum untuk

    memperbaiki setiap akibat dari setiap tindakan, tanpa memperhatikan pelakunya dan tujuan dari

    perilaku-perilaku dan obyek-obyek tersebut harus diukur melalui suatu ukuran yang obyektif.

    Selanjutnya Aristoteles memberikan pembedaan terhadap keadilan abstrak dan kepatutan. Hukum

    harus menyamaratakan dan banyak memerlukan kekerasan didalam penerapannya terhadap

    masalah individu. Kepatutan mengurangi dan menguji kekerasan tersebut, dengan

    mempertimbangkan hal yang bersifat individual.

    Pada Abad PertengahanThomas Aquinas (1225-1275) adalah seorang rohaniawan Gereja Katolik

    yang lahir di Italia, belajar di Paris dan Kolin dibawah bimbingan Albertus Magnus. Didalammembahas arti hukum, Thomas Aquinas mulai dengan membedakan antara hukum-hukum yang

  • 8/10/2019 Teori Hukum Dan Pengertian

    4/16

    berasal dari wahyu dan hukum-hukum yang dijangkau oleh akal budi manusia sendiri. Hukum yang

    didapati dari wahyu disebut hukum Ilahi (ius divinum positivum). Hukum yang diketahui

    berdasarkan kegiatan akal budi ada beberapa macam. Pertama-tama ada hukum alam ( ius nature),

    kemudian juga hukum bangsa-banga (ius gentium), akhirnya hukum positif manusiawi (ius positivum

    humanum). Tentang hukum yang berasal dari wahyu dapat dikatakan, bahwa hukum mendapat

    bentuknya dalam norma-norma moral agama. Seringkali norma-norma itu sama isinya dengan

    norma-norma yang umumnya berlaku dalam hidup manusia.

    Untuk dapat menjelaskan hukum alam, Thomas Aquinas bertolak dari ide-ide dasar Aristoteles.

    Aturan alam semesta tergantung dari Tuhan yang menciptakannya. Oleh karena itu aturan alam ini

    harus berakar dalam suatu aturan abadi (lex aeterna), yang terletak dalam hakekat Allah sendiri.

    Hakekat Allah itu adalah pertama-tama Budi Ilahi yang mempunyai ide mengenai segala ciptaan.

    Budi Ilahi praktis membimbing segala-galanya kearah tujuannya. Semesta alam diciptakan dan

    dibimbing oleh Allah, tetapi lebih-lebih manusia beserta kemampuannya untuk memahami apa yang

    baik dan apa yang jahat dan kecenderungan untuk membangun hidupnya sesuai dengan aturan alam

    itu. Oleh karena itu untuk hukum alam, Thomas Aquinas pertama-tama memaksudkan aturan hidup

    manusia, sejauh didiktekan oleh akal budinya. Hukum alam yang terletak dalam akal budi manusia

    itu (lex naturalis) tidak lain daripada suatu pertisipasi aturan abadi dalam ciptaan rasional. Hukum

    alam yang oleh akal budi manusia ditimba dari aturan alam, dapat dibagi dalam dua golongan yaitu:

    hukum alam primer dan hukum alam sekunder.

    Hukum alam primer dapat dirumuskan dalam norma-norma yang karena bersifat umum berlaku

    bagi semua manusia. Hukum alam sekunder dapat diartikan dalam norma-norma yang selalu berlaku

    in abstracto, oleh karena langsung dapat disimpulkan dari norma-norma hukum alam primer, tetapi

    dapat terjadi juga adanya kekecualian berhubung adanya situasi tertentu. Thomas Aquinas

    membedakan antara keadilan distributif, keadilan tukar-menukar dan keadilan legal. Keadilan

    distributif menyangkut hal-hal umum. Keadilan tukar-menukar menyangkut barang yang ditukar

    antara pribadi seperti misalnya jual beli. Keadilan legal menyangkut keseluruhan hukum, sehingga

    dapat dikatakan bahwa kedua keadilan tadi terkandung keadilan legal.

    Teori-Teori Pada Abad XIX dan Selanjutnya Positivisme dan Utilitarianisme

    Selama abad XIX manusia semakin sadar akan kemampuannya untuk mengubah keadaan dalam

    segala bidang. Dalam abad ini pula muncul gerakan positivisme dalam ilmu hukum.

    Oleh H.L.A Hart (lahir tahun 1907), seorang pengikut positivisme diajukan berbagai arti dari

    positivisme sebagai berikut :

    1.

    Hukum adalah perintah.

    2.

    Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk dilakukan.

    Analisis yang demikian ini berbeda dari studi sosiologis dan historis serta berlainan pula dari

    suatu penilaian kritis.

    3. Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah

    ada terlebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta

    moralitas.

  • 8/10/2019 Teori Hukum Dan Pengertian

    5/16

    4.

    Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh

    penalaran rasional, pembuktian atau pengujian.

    5.

    Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari

    hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan. Inilah yang sekarang sering kita terima

    sebagai pemberian arti terhadap positivisme ini.

    Berbeda dengan John Austin (1790-1859), yang menyatakan bahwa hukum adalah sejumlah

    perintah yang keluar dari seorang yang berkuasa didalam negara secara memaksakan, dan biasanya

    ditaati. Satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan tertinggi didalam suatu negara. Sumber-

    sumber yang lain disebutnya sebagai sumber yang lebih rendah (subordinate sources).

    John Austin mengartikan ilmu hukum sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat

    mencukupi dirinya sendiri. Menurut John Austin, tugas dari ilmu hukum hanyalah untuk menganalisa

    unsur-unsur yang secara nyata ada dari sistem hukum modern. Sekalipun diakui ada unsur-unsur

    yang bersifat histeris didalamnya, namun unsur-unsur tersebut telah diabaikan dari perhatian.

    Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat didalam suatu negara.

    Jeremy Bentham (1748-1832) adalah seorang penganut utilitarian yang menggunakan pendekatan

    tersebut kedalam kawasan hukum. Dalilnya adalah bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara

    sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan

    serendah-rendahnya penderitaan. Tujuan akhir dari perundang-undangan adalah untuk melayani

    kebahagiaan paling besar dari sejumlah terbesar rakyat. Rudolph von Jhering sering disebut sebagai

    social utilitarianism. Ia mengembangkan segi-segi positivisme dari John Austin dan

    menggabungkannya dengan prinsip-prinsip utilitarianisme dari Jeremy Bentham dan John Stuart

    Mill.

    Rudolph von Jhering memusatkan perhatian filsafat hukumnya kepada konsep tentang tujuan,

    seperti dikatakannya didalam salah satu bukunya yaitu bahwa tujuan adalah pencipta dari seluruh

    hukum, tidak ada suatu peraturan hukum yang tidak memiliki asal-usulnya pada tujuan ini, yaitu

    pada motif yang praktis. Menurutnya hukum dibuat dengan sengaja oleh manusia untuk mencapai

    hasil-hasil tertentu yang diinginkan. Ia mengakui bahwa hukum itu mengalami suatu perkembangan

    sejarah, tetapi menolak pendapat para teoritisi aliran sejarah, bahwa hukum itu tidak lain

    merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan historis murni yang tidak direncanakan dan tidak disadari.

    Hukum terutama dibuat dengan penuh kesadaran oleh negara dan ditujukan kepada tujuan

    tertentu. John Stuart Mill berpendapat hampir sama dengan jeremy bentham, yaitu bahwa tindakan

    itu hendaklah ditujukan kepada tercapainya kebahagiaan. Standar keadilan hendaknya didasarkan

    kepada kegunaannya. Akan tetapi Ia berpendapat, bahwa asal usul kesadaran akan keadilan itu tidak

    ditemukan pada kegunaan, melainkan pada dua sentimen, yaitu rangsangan untuk mempertahankan

    diri dan perasaan simpati. Menurut John Stuart Mill, keadilan bersumber pada naluri manusia untuk

    menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri, maupun oleh siapa saja yang

    mendapatkan simpati dari kita. Perasaan keadilan akan memberontak terhadap kerusakan,

    penderitaan, tidak hanya atas dasar kepentingan individual, melainkan lebih luas dari itu, sampai

    kepada orang-orang lainyang kita samakan dengan diri kita sendiri. Hakikat keadilan dengan

    demikian, mencakup semua persyaratan moral yang sangat hakiki bagi kesejahteraan umat manusia.

  • 8/10/2019 Teori Hukum Dan Pengertian

    6/16

    Teori Hukum Murni

    Hans Kelsen (1881-1973), adalah pelopor aliran ini. Bukunya yang terkenal adalah Reine

    Rechslehre (ajaran hukum murni).Teori hukum murni ini lazim dikaitkan dengan Mazhab Wina.

    Mazhab Wina mengetengahkan dalam teori hukum pencarian pengetahuan yang murni, dalam arti

    yang paling tidak mengenal kompromi, yaitu pengetahuan yang bebas dari naluri, kekerasan,

    keinginan-keinginan dan sebagainya.

    Teori hukum murni juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan

    pembicaraan tentang etika. Dasar-dasar pokok teori Hans Kelsen adalah sebagai berikut:

    1. Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu, adalah untuk mengurangi kekalutan

    dan meningkatkan kesatuan (unity)

    2. Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang

    hukum yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya ada

    3.

    Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam

    4. Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan

    efektifitas norma-norma hukum

    5. Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang

    berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik

    6. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti

    antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.

    Salah satu ciri yang menonjol pada teori hukum murni adalah adanya suatu paksaan. Setiap

    hukum harus mempunyai alat atau perlengkapan untuk memaksa. Negara dan hukum dinyatakan

    identik, sebab negara hanya suatu sistem perilaku manusia dan pengaturan terhadap tatanan sosial.

    Kekuasaan memaksa ini tidak berbeda dengan tata hukum, dengan alasan bahwa didalam suatu

    masyarakat hanya satu dan bukan dua kekuasaan yang memaksa pada saat yang sama.

    Bagian lain dari teori Hans Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai Grundnorm,

    yaitu suatu dalil yang akbar yang tidak dapat ditiadakan yang menjadi tujuan dari semua jalan

    hukum bagaimanapun berputar-putarnya jalan itu. Grundnormmerupakan induk untuk melahirkan

    peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu.

    TENTANG TEORI, KONSEP DAN PARADIGMA DALAM KAJIAN TENTANG MANUSIA, MASYARAKAT

    DAN HUKUMNYA

    oleh: Soetandyo Wignjosoebroto

    Sesungguhnyalah tidak ada satu konsep semata wayang tentang apa yang disebut hukum itu.

    Maka pula, apabila diketahui bahwa apa yang disebut konsep itu sesungguhnya merupakan penentu

    suatu bangunan teori seperti yang dikatakan dalam kepustakaan berbahasa Inggris bahwa

    concepts is the building blocks of theories, haruslah disimpulkan di sini bahwa tiadanya kesamaan

    konsep akan berkonsekuansi pada akan tiadanya satu teori semata tentang apa yang disebut hukumitu. Hukum yang dikonsepkan sebagai aturanaturan undang-undang tentulah akan diteorikan lain

  • 8/10/2019 Teori Hukum Dan Pengertian

    7/16

    dari hukum yang dikonsepkan sebagai seluruh hasil proses yudisial yang berujung pada putusan

    hakim, dan akan lain pula apabila hukum dikonsepkan dalam ujud realitas atau realisasinya yang

    tertampak sebagai keteraturan perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakatnya.

    Tentang apa yang dimaksud dengan konsep dan teori yang lazim dirujuk dalam berbagai

    wacana akademik pada umumnya. Karena perbincangan tentang teori ini tak hanya akan

    menyangkut ihwal strukturnya saja, akan tetapi juga ihwal perkembangannya yang tak selamanya

    lancar-lanacar saja melainkan acap benar banyak mengalami berbagai gejolak dan konflik pemikiran

    maka persoalan paradigmasudah selayaknya kalau juga dipaparkan dan dijelaskan di bab pertama

    ini. Relevansi perbincangan tentang konsep, teori dan paradigma dengan permasalahan dalam

    kajian hukum akan dibicarakan di bab-bab berikutnya.

    *Tentang Konsep

    Dalam bahasa sehari-hari, apa yang disebut konsep itu tak lain daripada kata. Di sebut dalam

    batasan tertentu yang definitif, apa yang disebut konsep secara umum ini tak lain daripada apa yangdisebut terma dalam logika dan apa yang disebut istilah dalam setiap perbincangan keilmuan.

    Apapun sebutannya dalam berbagai perbincangan, secara umum dapatlah dikatakan per definisi

    bahwa konsep itu ialah simbol tertentu yang digunakan sebagai representasi objek yang diketahui

    dan/atau dialami oleh manusia dalam kehidupan bermsyarakatnya. Sebagai simbol bermakna, setiap

    konsep bermukim di alam numenon, ialah alam ide yang imajinatif, sedangkan objek yang diwakili

    berada di alamphenomenon, ialah alam fakta-aktual yang indrawi.1

    Kucing sebagai hewan berkaki empat sebagaimana yang kita lihat sehari-hari di sekitar rumah kita

    dengan segala ulah lakunya, misalnya, adalah objek amatan mata kita. Sebagai objek, kucing berada

    di alam fenomenon yang sekaligus juga indrawi. Tetapi katakucing (dalam bahasa Indonesia) atauyang boleh juga diganti dengan kata cat (dalam bahasa Inggris) adalah suatu simbol representatif

    yang berada di alam nomenon yang sekaligus juga imajinatif. Sebagai simbol representatif yang

    berada di alam nomenon, dan yang sekaligus juga imajinatif itu, kata atau terma kucing ini akan

    bersifat abstrak dan umum, yang akan tergambar secara berlain-lainan dalam imajinasi para

    pewacana, dan akan terlukis berbeda-beda di alam imajinasi dari orang ke orang.

    Konsep dalam alam imajinasi yang abstrak ini sebenarnya masih berjenjang-jenjang,

    terkategorikan ke dalam kelas-kelas, dari yang relatif lebih kongkrit sampaipun ke yang lebih atau

    bahkan bisa yang jauh lebih abstrak dan bermakna lebih umum atau luas. Kucing, misalnya,

    adalah konsep yang abstrak, tetapi binatang adalah konsep yang lebih abstrak dan makhlukadalah konsep yang jauh lebih abstrak lagi. Makin abstrak, akan makin luas cakupan representasinya.

    Kata binatang sebagai konsep jelas tidak akan mencakup apa yang kita kenali lewat amatan sebagai

    kucing saja, akan tetapi juga mencakupi hewanhewan lain seperti harimau, anjing, kambing, ayam,

    1Nomenon (atau nomena kalau plural) itu berasal dari bahasa Yunani klasik yang berarti buah

    gagasan,.Nomenon itu sendiri berasal dari kata nonein yang berarti berpikiran, yang pada gilirannya juga

    berasal dari kata nous yang berari alam gagasan. Sementara itu,phenomenon (atauphemomena dalam

    bentuknya yang plural) juga berasal dari bahasa Yunani klasik yang berari fakta yang segera terlihat.

    Fenomenon itu sendiri berasal dari kataphanesthai yang berarti menampak, yang pada gilirannya berasal dari

    kataphainein yang berarti memperlihatkan atau menunjukkan. Demikianlah, dari art i kata-kata itu jelassudah apa yang dimaksud dengan realitas nomena yang bermaqom di alam imajinasi manusia dan apa pula

    yang dimaksud dengan realitas fenomena yang berada di alam indrawi manusia.

  • 8/10/2019 Teori Hukum Dan Pengertian

    8/16

    buaya, ikan dan lain-lain ad infinitum. Lebih abstrak daripada konsep binatang, tentu saja konsep

    makhluk hidup, dan masih lebih abstrak lagi adalah konsep semua makhluk.

    Sementara itu, di tingkat abstraksi manapun, sesuatu konsep bisa direduksi kembali agar lebih

    kongkrit dengan menambahkan kata sifat atau kata keterangan lain yang berefek mengkhususkan.

    Kembali pada kata kucing sebagai contoh, kucing hitam, misalnya adalah terma atau konsep yang

    lebih kongkrit daripada kucing begitu saja. Kucing hitam yang kakinya pincang dan yang kemarin

    saya beri makan tak pelak lagi adalah terma yang jauh lebih kongkrit lagi. Dalam kajian zoologi,

    segala macam hewan tersebut di muka, yang dicakup dalam konsep animal kingdom, bisa saja

    direduksi secara konseptual ke dalam dua divisianimalea yang bercakupan lebih sempit dan saling

    membedakan, misalnya ke dalam hewan yang menyusui (mamalia) dan bertelur; yang menyusui

    masih akan bisa dikongkritkan lagi secara konseptual ke dalam yang pemakan daging (karnivora)

    dan yang pemakan tumbuh-tumbuhan (herbivora), dan seterusnya. Begitulah kita dapati dalam

    perbincangan keilmuan, kali ini mengambil zoologi sebagai contoh, adanya berbagai konsep

    animalea, mamalia, herbivorayang berbeda-beda tingkat abstraksinya, yang dengan demikian juga

    luas-sempit atau umum-khusus taraf cakupannya.

    Dalam ilmu pengetahuan sosial, objek-objek yang terjumpai dalam kehidupan sosial pun harus

    dibataskan secara definitif kedalam konsep-konsep, dan persoalan yang berkenaan dengan taraf

    abstraksinya akan pula mesti diperhatikan. Hanya saja, cukup berbeda dari kajian-kajian ilmu hayat

    dengan objek hewan atau tumbuh-tumbuhan yang lebih kasat mata, kajian-kajian ilmu pengetahuan

    sosial akan lebih banyak berkenaan dengan objek-objek yang tak secara langsung berkategori kasat

    mata. Kelas sosial (yang atas, yang tengah atau yang bawah, misalnya adalah konsep yang tak bisa

    dibataskan berdasarkan kerja sekali amatan yang direk, melainkan mesti dikerjakan dengan

    memperhatikan tengara-tengaranya (thesigns) yang manifes di alam indrawi, yang oleh sebab itu

    dapat didatakan; misalnya tingkat pendapatannya, tingkat pendidikan dan keterpelajarannya,

    tingkat kekayaannya, dan apapun lainnya lagi. Berbeda dengan ilmu hayat atau ilmu alam kodrat

    lainnya, yang seabstrak apapun simbolsimbol yang dipakai sebagai konsep, selalu saja konsep-

    konsep itu gampang menunjukkan objek-objek rujukannya dengan sekali amatan, tidaklah demikian

    halnya dengan kajian ilmiah yang berobjek manusia berikut masyarakatnya. Akan diketahui nanti

    bagaimana dalam kajian dengan objek manusia dan/atau masyarakatnya ini baik yang dikenali

    sebagai ilmu pengetahuan sosial maupun yang dikenali sebagai ilmu hukum konsep-konsep yang

    dikembangkan akan condong lebih bersifat abstrak, imajinatif, dan merupakan konstruksikonstruksi

    rasional dalam alam pikiran daripada lebih bersifat hasil abstraksi yang berpadanan langsung dengan

    objek yang terjumpai sebagaifenomenon/na di alam indrawi ini. Dengan demikian, ilmupengetahuan sosial dan ilmu hukum itu boleh dikatakan lebih gampang dicenderungkan ke

    gambarannya yang ideal dengan blue-sky concepts-nya daripada kajian-kajian ilmu alam kodrat

    (natural and life sciences) yang nyata lebih down to earth, punya padanannya yang nyata dan direk

    di alam indrawi.

    *Tentang Teori

    Teoriberasal dari kata theoriadalam bahasa Latin yang berarti perenungan, yang pada

    gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa Yunani yang berarti cara atau hasil pandang2

    2Dari kata dasar thea ini pulalah datangnya kata modern teater yang berarti pertunjukan atau tontonanyang berkonotasi dengan pengertain apa yang dilhat

  • 8/10/2019 Teori Hukum Dan Pengertian

    9/16

    adalah suatu konstruksi di alam ide imajinatif manusia tentang realitas-realitas yang ia jumpai dalam

    pengalaman hidupnya. Adapun yang disebut pengalaman ini tidaklah hanya pengalaman-

    pengalaman yang diperoleh manusia dari alam kehidupannya yang indrawi, tetapi juga diperoleh

    dari alam kontemplatif-imajinatifnya, khususnya dalam ilmu pengetahuan yang berobjek manusia

    dalam kehidupan bermasyarakatnya. Apapun sumbernya, apakah pengalamannya yang indrawi

    ataukah pengalamannya yang kontemplatif-imajinatif murni, teori itu adalah suatu himpunan

    konstruksi yang dibangun oleh konsep-konsep yang berada di alam ide imajinatif manusia, Berada di

    alam imajinatif, teori adalah gambaran atau hasil penggambaran secara reflektif fenomena

    yang dijumpai dalam alam pengalaman indrawi manusia, dibangun dengan bahan-bahan

    pembangun yangsebagaimana kita ketahui disebut konsep. Betullah apa yang dikatakan secara

    ringkas dalam kepustakaan berbahasa Inggris, seperti yang telah dikatakan di awal bab ini,

    bahwa concepts is the building blocks of theories. Didefinisikan dalam rumusan yang demikian,

    berbicara tentang teori, tak pelak lagi orang niscaya akan diperjumpakan dengan dua macam

    realitas. Yang pertama adalah realitas in abstractoyang berada di alam idea yang imajinatif, dan

    yang kedua adalah padanannya yang berupa realitas in concretoyang berada di alam pengalamanyang indrawi. Di dalam bahasa falsafati, sementara orang mengatakan bahwa realitas pertama

    disebut realitas nomenon (ataunomena apabila jamak), sedangkan yang tersebut kedua disebut

    realitas fenomenon (ataufenomena apabila jamak).

    Berhakikat sebagai realitas yang berada di alam nomena yang imajinatif itu, teori hanya bisa

    dijembatani dengan padanannya yang berada di alam realitas fenomena, vise versa, bersaranakan

    simbol-simbol yang dalam ilmu bahasa disebut kata-kata atau rangkaiannya yang disebut

    kalimat. Ringkasnya kata, teori itu terdiri dari sehimpunan konsep berikut rangkaian -rangkaiannya

    yang disebut hukum (dalam artinya yang umum dan luas). Adapun yang disebut hukum dalam

    artinya yang umum dan luas ini tak lain daripada kalimat-kalimat pernyataan tentang adanyakeniscayaan dalam dua rupa. Yang pertama ialah keniscayaan faktual yang berasal dari hasil amatan

    indrawi di alam fenomena (disebut nomosatau keteraturan empirikal yang objektif); sedangkan

    yang kedua ialah keniscayaan moralitas yang berasal dari segugus ajaran yang diyakini kebenarannya

    sebagaimana yang bermaqom di alam nomena (disebut norma, atau pula aturan yang secara

    subjektif membedakan mana yang baik, yang karena itu wajib dijalani, dan mana pula yang buruk,

    yang karena itu wajib dijauhi).

    Keniscayaan tersebut pertama, apabila telah teruji dan terverifikasi berdasarkan data ialah

    informasi yang dihimpun secara terukur dari alam empirik berdasarkan metode sains akan

    disebut hukum alam atau hukum kodrat, atau yang didalam bahasa Inggris disebut the scientificlaws of nature. Hukum kodrat adalah suatu rangkaian kata yang secara afirmatif menyatakan

    adanya teori tentang ada-tidaknya hubungan kausal atau korelatif antara fenomenon yang telah

    dikonsepkan. Misalnya tentang adanya hubungan antara permintaan atas suatu komoditas dan

    harga komoditas itu; kian tinggi jumlah permintaan akan kian tinggi pula harga; demikian

    sebaliknya, kian rendah jumlah permintaan akan kian rendah pula harga yang ditawarkan. Teori

    aakan tervalidasi secara ilmiah manakala konstruksi rasionalnya seperti yang disebutkan di muka itu

    konform dengan data empirik yang bisa dan telah diperoleh lewat observasi, untuk selanjutnya

    diabstrakkan sebagai asas atau dalil yang akan menjelaskan sejumlah amatan yang serupa, di

    manapun dan kapanpun, yang terjadi di alam fenomena.

  • 8/10/2019 Teori Hukum Dan Pengertian

    10/16

    Berbeda dengan keniscayaan tersebut pertama, keniscayaan tersebut kedua tidaklah

    memerlukan verifikasi pembenaran dari konsep-konsep yang diperoleh sebagai hasil observasi. Alih-

    alih, kebenaran keniscayaan tersebut kedua ini berpangkal pada konsepkonsep abstrak yang disebut

    bahan-bahan ajaran, yang hadirnya sebagai realitas tidaklah dibenarkan atas otoritas data empirik

    melainkan, melainkan atas dasar asas-asas yang diyakini sebagai yang telah benar dengan

    sendirinya (self-evident). Kalaupun toh diperlukan dasar pembenar yang lebih bersifatin personam,

    amatlah lazim kalau orang mengklaim bahwa asas-asas itu datang dari sumber kekuasaan yang

    teramat sentral, baik yang abstrak (wahyu Tuhan atau tradisi ajaran nenek moyang) ataupun yang

    lebih kongkrit dan struktural (titah raja atau putusan suatu badan legislatif).

    Mana yang akan dipilih dan diyakini sebagai dasar pembenar pengetahuan berikut teori-teori

    yang dibangun olehnya itu akan tergantung dari paradigmanya. Paradigma yang mensyaratkan

    kebenaran pengetahuan itu mesti didasarkan pada kebenaran faktual yang diperoleh dari hasil

    amatan indrawi yang aktual akan disebut paradigma nomotetik atau kebenaran fenomenologik,

    sedangkan paradigma kedua yang mensyaratkan agar kebenaran pengetahuan itu harus

    diniscayakan berdasarkan ajaran moral, entah yang bersumber wahyu entah pula yang bersumber

    tradisi akan disebut kebenaran normatif atau kebenaran menologik. Sehubungan dengan

    kontroversi antara dua ragam dasar pembenar pengetahuan yang disebut paradigma itu, maka

    memperbincangkan kebenaran pengetahuan dan/atau teoriteorinya itu, tak pelak lagi, orang

    mestilah akan juga memperbincangkan ihwal paradigma. Apakah paradigma itu?

    *Tentang Paradigma

    Apakah yang dinamakanparadigma itu? Paradigma adalah suatu istilah yang kini amat populer

    dipakai dalam berbagai wacana di kalangan para akademisi untuk menyebut adanya suatu

    pangkal(an) atau pola berpikir yang akan mensyarati kepahaman interpretatif seseorang secara

    individual atau sekelompok orang secara kolektif pada seluruh gugus pengetahuan berikut teori-

    teori yang dikuasainya. Istilah ini berasal muasal dari bahasa Yunani klasik, paradeigma, dengan

    awal pemaknaannya yang filosofik, yang berarti pola atau model berpikir. Dari pangkalan berpikir

    yang berbeda inilah, sekalipun melihat objek yang sama, orang tak ayal lagi akan memandang objek

    yang sama itu dengan persepsi interpretatif dan akhirnya juga dengan simpulan dan pandangan

    yang berbeda. Segelas air, sebagai misal, di satu pihak dapat dipersepsi sebagai sebuah gelas yang

    berisi air, tetapi di lain pihak dapat pula dipersepsi sebagai sejumlah air yang tengah berada di dalam

    sebuah gelas. Seseorang yang religius untuk menyebut misal lain akan cebnderung melihat

    manusia sebagai ruh yang terpenjara dalam tubuh yang fisikal, sedangkan seseorang yang lebih

    berorientasi sekular akan lebih cenderung untuk melihat manusia sebagai tubuh fisikal yang

    berfungsi secara biokhemikal sebagai konverter energi yang memungkin terjadinya berbaagai

    gerakan.

    Seseorang ahli sejarah ilmu pengetahuan bernama Thomas Kuhn menggunakan istilah paradigma

    itu tidak hanya untuk mengisyaratkan adanya pola atau pangkal berpikir yang berbeda, akan tetapi

    juga adanya potensi dan proses konflik antara berbagai pola berpikir yang akan melahirkan apa yang

    disebutparadigm shift. Dijelaskan olehnya bahwa, sepanjang sejarah peradabannya yang panjang,

    komunitas-komunitas manusia itu hanya akan dapat mempertahankan eksistensinya atas dasar

    kemampuannya mengembangkan pola atau model berpikir yang sama untuk mendefinisikan

    pengetahuan-pengetahuannya, dan menstrukturkannya sebagai ilmu pengetahuan yang diterima

  • 8/10/2019 Teori Hukum Dan Pengertian

    11/16

    dan diyakini bersama sebagai yang normal dan yang paling benar, untuk kemudian didayagunakan

    sebagai penunjang kehidupan yang dipandangnya paling normal dan paling benar pula. Tetapi

    bersikukuh pada satu gugus pengetahuan dengan keyakinan paradigmatik tak selamanya bertahan

    dalam jangka panjang. Dari sejarah ilmu pengetahuan diketahui bahwa selalu terjadi pergeseran

    atau beringsutnya suatu komunitas dengan segala pengetahuan dan ilmunya itu dari satu paradigma

    ke lain paradigma. Inilah yang disebut the paradigm shiftitu.

    Demikianlah pola berpikir alias paradigma yang mendefinisikan pengetahuan suatu komunitas

    sebagai pengetahuan yang normal dan normal ini hanya bisa bertahan sepanjang kurun waktu

    tertentu, sampai .. sampai suatu ketika tatkala datang krisis; ialah ketika seluruh gugus teori

    pengetahuan yang normal ternyata tak lagi dapat didayagunakan secara memuaskan untuk

    menjawabi persoalan hidup yang bermunculan, demikian rupa sehingga terjadi kegelisahan yang

    mendorong orang untuk mencari teori-teori pengetahuan baru untuk menjawabi banyak persoalan

    yang tak bisa dipecahkan bersaranakan pengetahun-pengethuan berparadigmaa lama, dengan

    beringsut untuk beralih ke pengetahuan pengetahuan baruyang dibangun atas dasar paradigma

    yang baru. Terjadilah di sini pergeseran dari pola berpikir paradigmatik yang lama ke yang baru.

    Kuhn (1922- ), seorang ahli fisika, dalam kapasitasnya sebagai pengkaji sejarah ilmu pengetahuan

    mengatakan bahwa perkembangan intelektual dalam peradaban manusia itu tidaklah pernah

    berlangsung secara lempang-lempang saja dalam satu alur arus linier yang berotoritas besar

    (a mainstream). Alih-alih, dalam perkembangan selalu saja terjadi kritik yang mengundang gejolak,

    ialah tatkala paradigma lama sebagai ilmu yang dipandang normal dan berlegitimasi pada

    masanya gagal menjawabi masalah-masalah baru yang timbul, dan selanjutnya hanya akan

    menerbitkan anomali-anomali saja. Keadaan seperti itu akan mengundang paradigma baru yang bisa

    menawarkan alternatif. Apabila diterima, paradigma baru ini akan menjadi sumber terjadinya arus

    pemikiran baru, yang tak hanya akan menyandingi melainkan juga sampai bisamenandingi mainstreamlama. Apabila berhasil, paradigma baru akan dominan sebagai mainstream

    yang meminggirkan paradigma lama, walau mungkin saja yang lama ini tidak akan lenyap begitu saja

    dari percaturan.

    Konsepparadigm shifts membuka kesadaran bersama bahwa para pengkaji ilmu pengetahuan itu

    tak akan selamanya mungkin bekerja dalam suatu suasana objektivitas yang mapan, yang

    bertindak tak lebih tak kurang hanya sebagai penerus yang berjalan dalam suatu alur progresi yang

    linier belaka. Para pengkaji dan peneliti ilmiah yang sejati selalu saja memiliki subjektivitas naluriah

    untuk bergerak secara inovatif guna mencari dan menemukan alur-alur pendekatan baru, atau untuk

    mempromosikan cara pendekatan yang sampai saat itu sebenarnya sudah ada namun yang selamaini terpendam dan terabaikan oleh kalangan yang selama ini berkukuh pada paradigma lama yang

    diyakini telah berhasil menyajikan sehimpunan pengetahuan yang normal dan tak lagi diragukan

    legitimasinya.

    Kehendak untuk mencari dan menemukan alur pendekatan baru yang berbau bidah ini selalu

    saja terjadi dalam sejarah falsafati dan keilmuan manusia, khususnya apabila terjadi perubahan

    besar yang mendasar pada kehidupan sosial-politik, yang menghadapkan manusia warga masyarakat

    politik pada banyak permsalahan baru yang menghendaki jawabanjawaban yang baru pula.

  • 8/10/2019 Teori Hukum Dan Pengertian

    12/16

    Konflik Paradigma Yang Klasik:

    *Kebenaran Teologik Versus Kebenaran Saintifik

    Dalam kajian filsafat sosial dan ilmu pengetahuan sosial, yang kelak meliput juga kajian tentang

    hukum nasional yang modern, ada dua paradigma yang sejak lama berebut dan silih bergantimerebut posisi dominan, baik dalam percaturan akademik maupun dalam pemecahan masalah

    kehidupan sehari-hari. Adapun kedua paradigma itu ialah paradigma teologik yang etik-normatif dan

    paradigma saintifik yang logik-empirik. Paradigma tersebut pertama tampil sebagai mainstream yang

    dominan sejak dari era falsafati kaum Stoa di masa sejarah Yunani kuno, sebagaimana yang diwakili

    antara lain oleh Aristoteles (384-322 s.M.), sedangkan paradigma yang kedua datang mencabar pada

    masa yang jauh lebih kemudian, ialah masa datangnya ajaran tentang kebangkitan rasio manusia

    yang dikenali sebagai era renesans, sebagaimana yang diwakili antara lain oleh Galileo dari Galilea

    (1564 -1642).

    *Paradigma Aristotelian:

    Paradigma Aristotelian berpangkal pada kepahaman bahwa alam semesta ini berhakikat sebagai

    suatu keteraturan atau suatu tertib (disebutorder dalam bahasa Inggris) yang sudahpre-establihed,

    dalam arti bahwa sudah tercipta dan menjadi ada sejak awal mulanya. Alam semesta itu sudah ada

    di idea Tuhan yang normatif sebelum ada dalam wujudnya yang empirik dalam alam amatan

    manusia. Lebih lanjut lagi alam pemikiran Aristoteles, semesta itu tidaklah cuma merupakan sesuatu

    ada sebelum ada (pre-established), akan tetapi juga disifati oleh hadirnya keselarasan (harmony)

    yang final dan sekaligus juga merupakan suatu rancangbangun tatanan yang terwujud hanya karena

    adanya suatu penciptaan oleh Yang Maha Sempurna, yang oleh sebab itu juga mengisyaratkan

    adanya tujuan subjektif Sang Maha Sempurna yang final (causa finalis) pula, ialah kesempurnaanyang tak akan dapat diganggu. EpistemeAristotelian yang memahamkan semesta sebagai suatu

    tertib tunggal yangpre-established, finalistik, serba berkelarasan dan teleologik (teleos = tujuan)

    ini, menggambarkan semesta ini sebagai suatu tertib kodrati yang telah sempurna, yang tidak hanya

    tak akan dapat diganggu akan tetapi juga tak boleh diganggu. Tak ayal lagi, alam semesta ini lalu

    juga dipahamkan sebagai suatu alam yang berkeniscayaan mutlak karena bersumber dari moral

    kesempurnaan Tuhan, yang dalam kekuasaannya sebagai Sang Khalik adalah pencipta kebaikan dan

    keindahan yang tak terbantah. Semesta merupakan ekspresi kecerdasan dan kearifan illahi, dan

    setiap elemen dalam tatanan moral seperti ini (yang anorganik maupun yang organik, tak kurang-

    kurangnya juga manusia) sudah dikodratkan dan karena itu haruslah pula berulahlaku menuruti

    keniscayaan yang sudah kodrati itu, deikian rupa agar keteraturan dan keselarasan dalam tertib

    semesta ini akan senantiasa terjaga. Nama Gotfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) barangkali dapatlah

    disebut sebagai salah seorang representasi paham Aristotelian dari masa yang boleh dibilang

    sezaman dengan maraknya paham Galilean yang dikatakan sebagai perintis peletakan dasar-dasar

    ontologik dan epistimologik bagi perkembangan ilmu pengetahuan fisika modern. Sebagai pemikir

    dalam garis Aristotelian, alam pemikiran Leibniz tak terlalu berbeda dengan episteme Aristotelian

    yang dikuasai oleh pemikiran metafisikal yang meyakini kebenaran konsep, bahwa kehidupan

    semesta ini telah dikuasai sejak awal mula oleh suatu imperativa keselarasan. Dengan perkataan

    lain, alam semesta ini pada hakikatnya adalah suatu tertib berkeselarasan yang telah terwujud

    secara pasti sejak awal mulanya sebagai suatupreestablished harmonius order yang tak sekali-kali

    mengenal adanya pertentangan. Leibniz menggambarkan hadirnya keselarasan semesta semisal

  • 8/10/2019 Teori Hukum Dan Pengertian

    13/16

    hadirnya keselarasan yang dimainkan oleh suatu paduan orchestra. Sekian banyak pemusik (ialah

    satuan-satuan yang oleh Leibniz disebut monadyang independen) telah memainkan bagian

    masingmasing yang sekalipun masing-masing bertindak sendiri-sendiri secara mandiri, namun secara

    total terwujudlah suatu berkeselarasan. Dipahamkan bahwa keselarasan itu terwujud tak lain karena

    adanya partitur yang telah ada dan tercipta serta ditetapkan sejak awal mula oleh sang komposer,

    lama sebelum musik dimainkan oleh para monaditu dan tersaksikan secara indrawi. Partitur itu

    telah hadir sebagai bagian yang inheren di dalam setiap diri satuan (pemain) yang sama-sama hadir

    di dalam totalitas sistem (orkestra).

    *Paradigma Galilean:

    Paradigma Galilean, yang mencabar paradigma lama yang Aristotelian, marak pada suatu zaman

    tatkala sejumlah manusia pencari kebenaran mencoba memahami keteraturan alam semesta ini

    tidak lagi berhakikat sebagai a harmonious pre-established Gods order. Paradigma baru ini

    mengetengahkan pemikiran bahwa seluruh tertib semesta inisesungguhnya merupakan himpunan

    fragmen variabel dalam jumlah yang tak terhingga, yang secara terus-menerus berhubungan secara

    interaktif dalam suatu proses kausalitas di ranah indrawi, yang sekalipun tampak seperti suatu

    kekisruhan (chaos), yang berlangsung secara berterusan seolah tanpa mengenal titik henti yang

    final, namun yang sesungguhnyadi tengah situasi yang secara indrawi tampak kisruh itu sedang

    berproses secara progresif dengan keniscayaan yang tinggi, bergerak dari suatu situasi

    keseimbangan yang semula ke suatu situasi keseimbangan berikutnya, ad infinitum. Inilah yang

    kelak, dalam sains fisika, disebut homeostasis.

    Demikianlah akan dikatakan secara paradigmatik dalam pemikiran yang Galilean ini bahwa

    semesta itu adalah sesungguhnya suatu jaringan variabel yang interaktif, yang bergerak secara

    dinamik dan progresif di tengah alam indrawi yang objektif, tunduk pada imperativa kausalitas yang

    berada di luar rencana dan kehendak sesiapapun. Imperativa kausalitas ini meniscayakan terjadinya

    keterulangan hubungan interaktif antar-variabel yang progresif, yang oleh sebab itu akan

    memungkinkan para pemantau yang dengan tekun menyimaknya untuk menengarai adanya

    universalitas dalam hubungan antar-variabel itu, yang pada gilirannya akan memungkinkan para

    pemantau ini dapat membuat prediksi apa yang akan terjadi apabila satu variabel dikontrol dan/atau

    dihadirkan terhadap variabel yang lain. Di sinilah letak keistimewaan paradigma Galilean yang non-

    teologik melainkan saintifik, yang memungkinkan terjadinya transfer dariepisteme (pengetahuan

    yang murni dengan idiom-idiomnya yang normatif) ke techne(pengetahuan yang aplikatif dengan

    idiomidiomnya yang lugas dan rasional untuk mengatakan apa adanya). Dari paradigma yang tak

    hanya mengetengahkan perlunya mengetahui berbagai peristiwa kausalitas di alamnya yang objektif

    dan buta nilai, melainkan yang juga menyadari adanya kemungkinan mengontrol sebab untuk

    memproduksi dan mereproduksi akibat inilah lahirnya ilmu pengetahuan (science>sains) berikut

    berbagai metodenya untuk memanipulasi hubungan-hubungan sebabakibat ke arah ragam-

    ragamnya yang tak hanya bernilai ilmiah/saintifik tetapi juga yang teknologik.

    Pengetahuan Tentang Manusia Berikut Perilakunya:

    *Manusia Seperti Apa Adanya Sebagai Objek Kajian Sains

    Berabad lamanya pemikiran dalam rangka pencarian pengetahuan yang benar tentang ihwalmanusia, berikut kebenaran perilakunya, tak pernah dilepaskan dari pengkategoriannya ke dalam

  • 8/10/2019 Teori Hukum Dan Pengertian

    14/16

    rumpun episteme Aristotelian yang normatif-moralistik. Dalam kategori rumpun ini, kebenaran

    tentang ihwal manusia secara kategorikal akan masuk dalam perbincangan tentang rightnessyang

    dilawankan dengan wrongdoing, dan bukan tentang persoalanfactual truth yang harus dilawankan

    denganfalsenessatau the untruth. Maka, tatkala kehidupan fauna dan flora mulai diminati sebagai

    objek kajian life sciences, yaitu suatu kajian dalam tradisi dan strategi Galilean yang saintifik,

    manusia sebagai makhluk hidup tidaklah serta merta dipandang patut untuk dikaji dalam eksistensi

    jasmaniahnya yang faktual itu. Vesalius, misalnya, memperoleh reaksi keras ketika ia membedah

    mayat untuk mempelajari anatomi tubuh manusia, yang ternyata berkemiripan dengan anatomi

    makhlukmakhluk hewani lainnya. Reaksi muncul karena konsep tentang manusia pada masa itu

    mengunggulkan manusia sebagai makhluk tercipta dalam kualitasnya yang paling sempurna di

    antara makhluk-makhluk yang lain. Dalam pembedahan anatomik, tatkala Vesalius mengatakan

    kesaksiannya bahwa ia tidak menemukan apapun yang boleh disebut ruh di dalam tubuh yang ia

    bedah itu, dan apa yang ia temukan tak berbeda secara kualitatif dengan apa yang ada di dalam

    tubuh-tubuh hewan, sang dokter pembedah ini mendapatkan reaksi dan dakwaan yang amat keras

    sebagai pengganggu kepercayaan umat yang selama ini meyakini kesempurnaan Tuhan dan refleksi-Nya pada makhluk-makhluk ciptaannya. Reaksi keras juga diserukan terhadap teori evolusi yang

    dikemukakan Charles Darwin tentang The Origin of Speciesdua abad kemudian. Reaksi tidak hanya

    dimaksudkan untuk menyangkal tesis Darwin bahwa jenis-jenis makhluk yang ada di permukaan

    bumi saat ini merupakan produk proses sebab-akibat yang acak, yang berlangsung secara

    evolusioner, antara berbagai unsur dinamik yang ada di dalam tubuh makhluk (potensi mutasi) dan

    yang ada di luar tubuh (lingkungan yang menuntut kemampuan adaptif makhluk). Lebih lanjut dari

    itu, reaksi terutama juga sehubungan dengan tersiratnya asumsi dalam teori Darwin, bahwa evolusi

    yang menjelaskan asal-muasal primordial makhluk-makhluk hidup itu boleh juga dipakai untuk

    menjelaskan asal-muasal manusia (yang mungkin sekali primordial juga, dan tidak sempurna sejak

    awal mulanya).

    Apapun juga kerasnya reaksi dan keberatan yang diserukan atas digunakannya

    pendekatan scientismdengan paradigma Galilleannya itu, tanpa bisa ditahan-tahan lagi pemikiran

    pada alur scientismyang meragukan kesempurnaan sistem semesta sejak awal penciptaannya

    mulai masuk juga ke alam pemikiran mereka yang menempatkan manusia dan kehidupan kolektifnya

    sebagai objek pemikiran dan/atau kajiannya. Inilah pemikiran yang terbilang eklektik dan merupakan

    pengkajian yang tergolong sekular, dalam arti bahwa dan nomos an norma adalah identik, dalam arti

    bahwa apapun yang merupakan keteraturan umum yang terjadi dalam kehidupan manusia,

    suatunomos yang tersimak dalam wujud pola perilaku (pattern of behavior) manusia adalah sesuatu

    yang secara normatif harus dibilang wajar dan manusiawi, dan karena itu ya baik-baik saja.Pola

    perilaku manusia yang mencerminkan adanya naluri egosentrik untuk mempertahankan

    eksistensinya yang jasmaniah, misalnya, oleh Adam Smith dikatakan secara jelas sebagai pola

    perilaku individual yang sekalipun pada dasarnya adalah perilaku yang berangkat dari usaha

    memperjuangkan kepentingannya sendiriadalah sesuatu fenomen yang wajar, yang oleh sebab itu

    tak tercela, dan harus dibilang etis jugalah adanya. Menurut Smith, dalam bukunya The Wealth of

    Nations(1776),justru self-interestitulah yang mendorong manusia-manusia bekerja keras untuk

    memperoleh meningkatkan kesejahteraan jasmaninya, dan secara total akan meningkatkan pula

    kesejahteraan bangsa. Perilaku yang berbasis self-interestnamun mampun mendatangkan

    kesejahteraan bangsa inilah yang mendorong Smith untuk menggolongkan manusia bermotif

    ekonomi ini tidak hanya hadir sebagai Homo economicustapi juga sebagai Homo ethicus.

  • 8/10/2019 Teori Hukum Dan Pengertian

    15/16

    Pola perilaku manusia yang berbasis kepentingan pribadi tatkala berupaya memenuhi kebutuhan

    jasmaninyayang toh dikonsepkan juga sebagai perilaku etik oleh Adam Smith itu tersimak dalam

    ujud faktafakta lugas dalam kehidupan manusia. Proses interaktif antar-manusia ke arah

    tertetapkannya nilai dan harga suatu barang adalah salah satu contohnya. Nomosyang di kemudian

    hari dinamakan hukum permintaan-penawaran menggambarkan dengan jelas perilaku individual

    manusia, namun yang kemudian berlangsung interaktif di pasar dalam suasana yang bebas, tanpa

    adanya order (perintah normatif), telah berproses secara acak ke terbentuknya suatu order

    (keteraturan nomotetik) yang berkeniscayaan. Naiknya permintaan niscaya akan menaikkan harga,

    dan, pada gilirannya, naiknya harga akan menaikkan penawaran. Apabila penawaran akan terus naik,

    maka harga akan turun, dan turunnya harga akan menaikkan permintaan. Demikianlah goncangan

    chaotic itu akan terus berlangsung sampai terjadi keseimbangan baru (yang pada saatnya akan

    mengalami goncangan chaoticbaru oleh sebab tertentu, yang niscaya akan menjurus ke

    keseimbanganyang menggambarkan suatu tertibyang baru pula).

    *Positivisme Yang Berparadigma Galilean Abad 18-19:

    Paham Falsafati Untuk Mendasari Kajian Tentang Hadirnya Keteraturan Dalam Kehidupan

    Bermasyarakat Manusia

    Pada belahan awal abad 19, marak suatu pemikiran falsafati yang dikenali dengan sebutan paham

    positivisme. Positivisme adalah suatu paham falsafati dalam alur tradisi Galilean yang muncul dan

    berkembang .pada abad 18. Positivisme yang berkembang sebagai hasil pemikiran falsafati

    perintisnya yang bernama Auguste Comte (1798-1857) mencoba mendayagunakan paradigma

    Galilean ini untuk menjelaskan kehidupan manusia dalam masyarakatnya. Menurut Comte yang

    berlatar belakangkan kesarjanaan matemtica dan fisika itu konsep dan metode ilmu alam kodrat

    dapat juga dipakai untuk menjelaskan kehidupan kolektif manusia. Menurut Comte, kehidupan

    manusia itu sebagaimana peristiwa-peristiwa yang berlangsung seperti apa adanya di kancah

    alam benda-benda anorganik yang tak bernyawa pun terjadi di bawah imperativa hukum sebab

    akibat dengan segala kondisi dan faktor probabilitasnya. Hubungan sebab-akibat antar-variabel

    seperti itu nyata kalau terlepas dari sembarang kehendak atau rencana yang berkesengajaan yang

    sifatnya subjektif.

    Sebagaimana halnya kejadian-kejadian di alam semesta yang tunduk pada suatu hukum yang

    terbit dari suatu proses acak yang tak berada di bawah imperativa suatu grand design, menurut

    Comte kehidupan manusia itu selalu saja dapat dijelaskan sebagai prosesproses aktualisasi hukum

    sebab-akibat yang serba berdasarkan hal-hal yang tak deterministic pula sifatnya. Setiap kejadian

    dan/atau perbuatan dalam kehidupan manusia yang kasuistik sekalipun selalu saja dapat

    dijelaskan dari sisi sebab-sebabnya yang rasional dan alami, dan yang karena itu bersifat

    ilmiah/scientific. Setiap perbuatan tidaklah dapat dimaknakan dari substansinya yang berupa niat

    dan tujuannya sendiri yang moral-altruistik yang metafisikalitu. Berpenjelasan seperti itu, berangkat

    dari paradigma Gallilean yang semula didayagunakan untuk menjelasakan alam tak bernyawa saja,

    positivisme harus dikatakan sebagai paham monisme dalam ihwal metodologi keilmuan. Artinya,

    bahwa hanya ada satu metode saja dalam kajian sains yang lugas itu, baik yang akan didayagunakan

    dalam kajian ilmu pengetahuan alam dan hayat (natural and life sciences) maupun yang

    akandidayagunakan dalam kajian ilmu pengetahuan sosial (social sciences). Menurut kaum positivis

    ini, mempelajari perilaku benda-benda mati dalam fisika dan mempelajari perilaku manusia yang

  • 8/10/2019 Teori Hukum Dan Pengertian

    16/16

    mempunyai jiwa dan ruh tidaklah perlu dibedakan. Dua macam perilaku dalam ranah yang berbeda

    ini dikatakan sama-sama dikontrol oleh hukum sebab-akibat yang dapat dijelaskan sebagai

    imperativa-imperativa yang berlaku secara universal.

    Perkembangan konsep dan metodologi seperti ini, yang menggambarkan terjadinya orderialah

    suatu keteraturan yang tertib yang terwujud sebagai produk interaksi atau hasil transaksi antar-

    manusia tertemui juga kemudian dalam upaya para pemikir untuk menjelaskan kehidupan

    berhukum-hukum di tengah suasana kehidupan yang sedang go national di negeri Barat pada masa

    itu. Di sini, di tengah kehidupan yang kian berkembang dalam konfigurasinya yang baru sebagai

    organisasi negara bangsa, kekuatan pengatur yang bisa difungsikan untuk mengontrol ketertiban

    dalam kehidupan yang baru inipun dikonsepkan sebagai hasil tawar-menawar antar manusia warga

    bangsa. Transaksi lewat suatu pasar politik antar-manusia dan/atau antar-golongannya itulah nanti

    yang akan menentukan hukum baru apa yang akan diterima dan berlaku.

    Di pasar politik yang di masyarakat-masyarakat demokratik diinstitusikan sebagai parlemen,

    kalaupun sekali-sekala bisa melimpah juga ke jalanan inilah terjadinya interaksi dan transaksi

    antar-manusia warga bangsa untuk menemukan kompromi harga. Warga bangsa dan/atau

    organisasi politiknya, masing-masing dengan latar belakang kepentingan dan/atau keyakinannya,

    menyepakatkan macam keseimbangan baru, yang didokumentasikan secara tertulis, yang di dalam

    kajian-kajian scientificatau quasi-scientific tentang hal ini disebut lexatau lege, (yang di dalam

    bahasa Indonesia diterjemahkan undang-undang.

    Dalam kehidupan kebangsaan, yang dikonsepkan sebagai hasil proses sejarah sebagaimana

    berlangsung sebagai proses acak, (tidak menuruti suatu grand designmelainkan by accidents and

    chances), hukum yang berfungsi sebagai penata tertib kehidupan kebangaan itu pun nyata kalau

    terwujud dan tersimak sebagai hasil proses sejarah, yang acak dan tidak bisa diniscayakan karena

    adanya suatu grand design yang final.

    Di sinilah awal perkembangan suatu cabang ilmu dan ajaran baru tentang sarana pengontrol

    ketertiban yang menurut paradigmanya merupakan hasil proses interaktif antar-warga sendiri.

    Inilah ilmu (nomologik