Teori dan praxis
-
Upload
david-jones -
Category
Education
-
view
100 -
download
0
Transcript of Teori dan praxis
Teori dan Praxis
Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita mendengar
ungkapan: “Ah, Teori….mana prakteknya?” Seringkali kali juga
kita melihat, ada orang yang suka berteori namun minim dalam
hal praktek (tindakan). Begitu pula sebaliknya, ada orang yang
suka bertindak (aktifis) namun minim dalam hal teori/konsep-
konsep. Lalu ada pula yang mengatakan: “Ah, teori-teori yang
saya pelajari sewaktu kuliah tidak berguna sama sekali dalam
dunia kerja saya sekarang”. Kalau memang benar demikian,
maka tak perlu kuliah untuk bekerja, mengingat bahwa ada
orang yang dapat sukses dalam perkerjaan tanpa merasakan
bangku kuliah.
Dari pernyataan-pernyataan di atas nampak adanya
masalah antara teori dan praxis. Sekilas tampak bahwa ada
jurang yang begitu mendalam antara teori dan praxis. Dengan
kata lain, semacam ada jarak antara berpikir dan bertindak.
Namun benarkah demikian? Melalui tulisan ini, penulis akan
membawa pada perenungan akan masalah ini.
Terkait dengan masalah ini, penulis terkesan ketika
membaca buah pemikiran dari beberapa tokoh yang tergabung
dalam sebuah Mazhab yang biasa dikenal dengan Mazhab
Frankfurt. Pemikiran mereka disebut juga sebagai Teori Kritis.
Pemikiran-pemikiran mereka sangatlah bernuansa filosofis dan
berusaha mengaitkan antara teori dan praxis. Bagi para tokoh
Mazhab Frankfurt, sebuah teori harus bersifat emansipatoris1. 1 Teori harus bersifat emansipatoris menurut Teori Kritis Mazhab Frankfurt
adalah pertama-tama sebuah teori harus bisa membuka kesadaran masyarakat akan adanya penindasan yang terselubung. Dengan munculnya kesadaran maka diharapkan terjadi praxis, perubahan-perubahan yang mampu menggerakkan masyarakat ke arah yang lebih baik.
1
Penulis merasa gembira dan kagum ketika membaca
pemikiran mereka karena pemikiran mereka berusaha
membahas kaitan antara teori dan praxis. Sejauh penulis belajar
filsafat, para filsuf hanya berusaha menjelaskan realitas dalam
konsep-konsep yang terlalu abstrak. Maka wajar bila penulis
merasa bahwa filsafat terlalu terlewat batas, dalam arti terlalu
abstrak dan tidak menyentuh realitas konkrit kehidupan
manusia. Inilah keprihatinan yang melatarbelakangi penulis
untuk membahas kaitan antara teori dan praxis.
Kendati penulis merasa menemukan kecocokan dengan
pemikiran mereka, namun penulis juga tetap akan kritis
terhadap pemikiran mereka. Dalam hal ini, penulis tidak
berhenti pada pemikiran Mazhab Frankfurt melainkan penulis
akan melontarkan kritik terhadap pemikiran-pemikiran mereka
yang terkait antara teori dan praxis. Kritik yang penulis ajukan
terhadap pemikiran Mazhab Frankfurt sehubungan dengan teori
dan praxis, terkait dengan gagasan utama yang ingin penulis
kemukakan dalam tulisan ini. Argumen utama penulis adalah
antara teori dan praxis, keduanya merupakan dua hal yang tak
terpisahkan. Para pemikir Mazhab Frankfurt, walaupun
terkesan ingin mengaitkan antara teori dan praxis, namun
dasarnya mereka masih memisahkan teori dan praxis.
Sebelum penulis mulai memaparkan pemikiran-pemikiran
para tokoh Mazhab Frankfurt, penulis pertama-tama akan
memperkenalkan sedikit latar belakang Mazhab Frankfurt.
Setelah itu, penulis akan mulai melontarkan kritik atas
pemikiran-pemikiran mereka terkait masalah teori dan praxis.
Tidak hanya sebatas melontarkan kritik, namun penulis juga
akan membangun argumen penulis bahwa teori dan praxis
2
keduanya merupakan dua hal yang tak terpisahkan satu sama
lain.
Latar Belakang Sejarah Mazhab Frankfurt.
“Pemikiran-pemikiran kritis Mazhab Frankfurt disebut
juga dengan nama ‘Teori Kritis’ atau ‘Kritische Theorie’.”2
Istilah Mazhab Frankfurt juga sering dikaitkan dengan suatu
lembaga yang pernah menyokong aliran ini, yaitu: Institut fur
Sozialforschung (Institut Penelitian Sosial) yang didirikan di
Frankfurt am Main pada tahun 1923.3 Tokoh-tokoh perintisnya
yang terkenal diantaranya adalah Max Horkheimer (filsuf,
sosiolog, psikolog, dan direktur sejak 1930), Theodor
Wiesendrund-Adorno (filsuf, sosiolog, musikolog), dan Herbert
Marcuse (filsuf). Ketiga tokoh tersebut sering disebut sebagai
Generasi Pertama4 Teori Kritis.5 Tulisan ini akan banyak
mengacu pada gagasan-gagasan yang dimunculkan oleh
generasi pertama Mazhab Frankfurt ini.
2 Budi Hardiman, Francisco, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, Kanisius, Yogyakarta, 1990, hal 40.
3 Ibid.4 Disebut generasi pertama karena merupakan gerakan awal yang berusaha
melihat dengan kritis ajaran Karl Marxi dalam kacamata baru. Pada akhirnya generasi pertama teori kritis mengalami jalan buntu karena sikap kritis akan dirinya sendiri. Di tengah kebuntuan tersebut muncullah Jurgen Habermas, salah seorang tokoh Mazhab Frankfurt, yang mampu memberikan solusi atas kebuntuan tersebut. Atas kepiawaiannya tersebut, maka Jurgen Hubermas disebut sebagai generasi kedua (pembaharu) teori kritis.
5 Ibid., hal. 41.
3
“Pemikiran-pemikiran Mazhab Frankfurt merupakan
pemikiran-pemikiran yang sangat kritis terhadap pemikiran Karl
Marx dan para penerusnya”.6 Bagi Mazhab Franfurt, Karl Marx
telah membuat teori Hegel (filsuf Jerman) yang terlampau
abstrak menjadi sangat konkrit.7 “Dalam pandangan Marx, kritik
di dalam kritik di dalam filsafat hegel masih kabur dan
membingungkan karena ia memahami sejarah secara abstrak”.8
Karl Marx, yang berusaha mengkonkritkan filsafat Hegel,
menyatakan bahwa sejarah manusia bukanlah sejarah abstrak
melainkan sejarah konkrit kehidupan manusia. Sejarah konkrit
tersebut adalah sejarah dimana kaum proletar/buruh berusaha
membebaskan diri dari penindasan kaum kapitalis. Pemikiran
Karl Marx itulah yang kemudian menginspirasi Mazhab
Frankfurt untuk merumuskan sebuah teori/pemikiran yang
bertujuan emansipatoris.
Teori Kritis disebut memiliki tujuan emansipatoris, lebih
disebabkan karena pemikiran-pemikiran Teori Kritis diarahkan
untuk membuka selubung-selubung ideologi yang selama ini
menindas masyarakat. Penindasan dalam cara ini disebut
sebagai penindasan yang terselubung karena seringkali
masyarakat sendiri tidak sadar akan adanya penindasan yang
bersifat ideologis. Dalam hal ini Teori Kritis disebut juga sebagai
kritik ideologi.
Sebagai kritik ideologi, Teori Kritis memiliki tujuan
emansipatoris. Dimana mereka berusaha membuka kesadaran
masyarakat akan penindasan yang membelenggunya. Dengan
munculnya kesadaran atas penindasan tersebut diharapkan
terwujud adanya praxis yang mendorong perubahan ke arah
6 Ibid., hal. 35.7 Ibid., hal. 50.8 Ibid.
4
yang lebih baik. Inilah tujuan dasar Teori Kritis membangun
pemikiran-pemikirannya.
Pemikiran-pemikiran kritis Mazhab Frankfurt memang
banyak diarahkan untuk mengkritik cara berpikir positivistis
yang diterapkan untuk menganalisis fenomena-fenomena sosial.
Kritik Mazhab Frankfurt tersebut berkaitan dengan topik tulisan
ini, yang mana sebuah teori harus bertujuan praxis
emansipatoris. Bagi Mazhab Frankfurt, pengintegrasian metode
ilmu ke dalam ilmu sosial (yang kemudian disebut Mazhab
Frankfurt sebagai Teori Tradisional), tidak memiliki tujuan
praxis emansipatoris. Berikutnya penulis akan memaparkan
pemikiran dari Mazhab Frankfurt terkait kritik mereka atas cara
berpikir positivistis yang diterapkan untuk menganalisis
fenomena-fenomena sosial.
Kritik atas Metodologi: Membangun ‘Teori
dengan Maksud Praktis’
Sebagaimana telah disinggung di atas, kritik yang
dilakukan Mazhab Frankfurt mengarah pada kritik atas cara
berpikir positivistis yang diterapkan untuk menganalisis
berbagai masalah/fenomena sosial. Cara berpikir positivistis
yang dimaksud terkait dengan metode sebagaimana diterapkan
dalam ilmu alam. Metode tersebut menggunakan kalkulasi
sedemikian rupa untuk mendapatkan hasil yang akurat dan
“pasti”.
Horkheimer, salah seorang tokoh Mazhab Frankfurt,
menjatuhkan pengintegrasian cara berpikir positivistis ke dalam
ilmu sosial sebagai ‘Teori Tradisional’.9 Bagi Horkheimer,
pengintegrasian teori-teori ilmu alam dalam ilmu-ilmu sosial
telah menjadikan teori-teori ilmu alam tersebut bersifat
9 Ibid., hal. 54.
5
ideologis dan cenderung menjaga status quo masyarakat yang
pada dasarnya menindas.10 Berikut penulis akan memaparkan
argumen-argumen Horkheimer yang ingin membuka selubung
ideologis dari teori-teori positivistis yang digunakan dalam ilmu-
ilmu sosial.
Argumen pertama Horkheimer berangkat dari klaim Teori
Tradisional yang menganggap dirinya sebagai teori yang asosial,
mandiri, mencukupi dirinya dan terlepas dari konteks kegiatan
masyarakat sehari-hari. Dengan kata lain, Teori Tradisional
hendak memisahkan unsur-unsur subjektif dari teori. Pemisahan
tersebut mengarah pada klaim bahwa Teori Tradisional
merupakan bentuk pengetahuan yang bebas kepentingan
(disinterested) sebagaimana teori ilmu alam.11 Maka dari itu,
masyarakat yang ingin diterangkan dalam teori harus dipandang
sebagai fakta yang netral yang dapat dipelajari secara
obyektif.12
Bagi Horkheimer, Teori Tradisional yang menganggap
dirinya asosial telah mengabaikan proses-proses dinamika
kehidupan konkrit di dalam masyarakat. Dalam hal ini, Teori
Tradisional telah menganggap masyarakat sebagai obyek kajian
yang sama dengan obyek kajian ilmu alam. Masyarakat yang
pada hakekatnya memiliki sifat dinamis hanya dianggap sebagai
benda mati sebagaimana benda-benda yang menjadi obyek
kajian ilmu alam. Selain itu, klaim bahwa Teori Tradisional
memiliki sifat universal, berlaku dimana saja, dan suprasosial
dinilai tidak tepat. Adanya dinamika yang begitu kompleks
dalam masyarakat mengandaikan bahwa teori ilmu alam tidak
bisa diterapkan secara sembarangan pada realitas sosial.
10 Ibid., hal. 56.11 Ibid.12 Ibid.
6
Argumen kedua Horkheimer diarahkan pada klaim Teori
Tradisional bahwa pengetahuan yang didapatkan bersifat netral.
Klaim tersebut didasarkan pada pandangan bahwa masyarakat
merupakan fakta yang netral yang dapat dipelajari secara
obyektif. Dengan demikian, Teori Tradisional mengklaim bahwa
teori mereka adalah deskripsi murni tentang fakta yang
obyektif.
Klaim bahwa Teori Tradisonal merupakan deskripsi murni
tentang fakta tidak dapat dibenarkan. Di sini Teori Tradisional
telah mengabaikan adanya unsur dinamika manusiawi dalam
masyarakat. Kelemahan Teori Tradisonal adalah membiarkan
keadaan tanpa mempertanyakannya.13 Teori Tradisional
semacam telah mendirikan “tembok” bagi dirinya sendiri
dengan mengambil jarak pada dinamika manusiawi yang ada
dalam masyarakat. Padahal, unsur dinamika manusiawi tidak
dapat dilepaskan dari proses pembentukan Teori Tradisional.
Argumen ketiga dari Horkheimer diarahkan pada klaim
Teori Tradisional bahwa teori dapat dipisahkan dari praxis.14
Dengan kata lain, Teori Tradisional mengejar pengetahuan demi
pengetahuan itu sendiri. Teori Tradisional juga cenderung
mengabaikan segi praxis guna mendorong suatu perubahan
sosial. Dalam hal ini, Teori Tradisional tidak mendorong
munculnya kesadaran kritis masyarakat untuk melakukan
perubahan. “Dengan jalan ini pula, Teori Tradisional tidak
bertujuan mengubah keadaan, malah melestarikan status quo
masyarakat.”15 Dengan kritik-kritik ini, Horkheimer memandang
Teori Tradisional sebagai ideologi yang melestarikan kesalahan
berpikir tersebut.
13 Ibid., hal. 57.14 Ibid., hal. 56.15 Ibid., hal. 57.
7
Kritik Horkheimer terhadap Teori Tradisional pada
akhirnya mengarah pada ketiadaan dimensi praxis yang
mengubah masyarakat. Namun benarkah demikian? Pada
bagian selanjutnya, penulis akan mulai memaparkan kritik
terhadap Mazhab Frankfurt dan sekaligus pemikiran-pemikiran
Horkheimer terkait dengan dimensi teori dan praxis.
Kritik atas Pemikiran Mazhab Frankfurt
Pada bagian ini penulis akan mengajukan tiga kritik atas
pemikiran Mazhab Frankfurt. Kritik pertama, adanya
kontradiksi internal dalam paradigma Mazhab Frankfurt terkait
teori dan praxis. Kritik kedua dan ketiga, penulis akan
memberikan komentar berkaitan dengan kritik Horkheimer
terhadap Teori Tradisional yang dikatakan tidak memiliki
dimensi praxis. Berikut penulis akan mulai dengan kritik yang
pertama.
Pada kritik pertama, penulis mulai melihat suatu
kontradiksi internal dalam argumen yang dikemukakan oleh
Teori Kritis bahwa mereka berusaha mengaitkan antara teori
dan praxis. Kontradiksi internal yang diajukan oleh penulis
terkait dengan pengandaian dasar logika. Dimana jika ada dua
hal yang ingin disatukan maka dua hal tersebut belum
merupakan suatu kesatuan. Penulis menggunakan prinsip logika
tersebut untuk menganalisis kontradiksi internal dalam Teori
Kritis.
Teori Kritis yang senantiasa ingin mewujudkan kesatuan
antara teori dan praxis, pada dasarnya telah memisahkan secara
tegas hubungan antara teori dan praxis. Semangat yang diusung
Teori Kritis bahwa sebuah teori haruslah bertujuan
emansipatoris pada dasarnya juga telah memisahkan dimensi
8
teori dan praxis. Dengan ingin menyatukan keduanya, pada
dasarnya mereka telah mengambil jarak di dalamnya.
Kontradiksi internal tersebut nampaknya tidak disadari
oleh para pemikir Teori Kritis. Di satu sisi ingin menyatukan
keduanya, namun di sisi lain, ketika ingin menyatukannya,
mereka telah membedakan secara tegas dimensi teori dan
praxis. Adanya kontradiksi internal dalam paradigma Teori
Kritis mengandaikan bahwa antara teori dan praxis merupakan
dua hal yang terpisahkan. Inilah argumen utama penulis yang
akan dikemukakan kemudian. Selanjutnya penulis akan
memaparkan kritik kedua dan ketiga.
Kritik kedua yang diajukan oleh penulis didasarkan dari
kritik Horkheimer terhadap Teori Tradisional yang dikatakan
tidak memiliki dimensi praxis emansipatoris. Bahasa yang
digunakan Horkheimer dalam hal ini adalah Teori Tradisional
ingin mencapai ‘teori demi teori’ itu sendiri.16 Dengan kata lain,
Teori Tradisional tidak memiliki tujuan emansipatoris yang
membuka kesadaran masyarakat untuk mengadakan praxis. Hal
ini dikarenakan sistem dalam Teori Tradisional yang bersifat
tertutup.17
Kritik yang diajukan oleh penulis dalam hal ini adalah
Mazhab Frankfurt telah menyempitkan dimensi praxis
emansipatoris manusia ke dalam “kerja” semata. Dimensi praxis
kehidupan manusia tidaklah melulu soal “kerja”, melainkan
lebih luas. Dimensi praxis melibatkan seluruh tindakan manusia
dalam arti yang sungguh luas. Dalam hal inilah, Mazhab
Frankfurt telah menyempitkan dimensi praxis manusia ke dalam
“kerja”.
16 Ibid.17 Ibid., hal. 55.
9
Permasalahan tersebut merupakan permasalahan
mendasar di dalam dunia filsafat. Sebuah permasalahan dimana
antara pemikir satu dengan pemikir lain; antara kelompok satu
dengan kelompok lain; antara aliran satu dengan aliran lain,
memiliki persepsi yang berbeda dalam suatu konsep. Perspektif
yang digunakan oleh tiap pemikir; kelompok; aliran dalam
melihat suatu konsep cenderung bersifat partikular-partikular
(perspektifal) dan mengabaikan dimensi holistik (menyeluruh).
Hal ini sungguh sangat disayangkan, karena perdebatan besar
yang terjadi hanyalah diakibatkan oleh adanya perbedaan dalam
mempersepsi konsep sebagaimana dilakukan oleh para pemikir
Teori Kritis.
Adanya perbedaan dalam mempersepsi konsep tersebut
kiranya juga menjadi akar masalah dalam sebuah dialog.
Seringkali kita duduk bersama membahas soal keadilan dan
mengandaikan begitu saja bahwa setiap orang yang hadir
memiliki satu persepsi yang sama tentang keadilan. Padahal,
konsep keadilan sangatlah relatif antara orang yang satu
dengan yang lain.
Maka dalam sebuah dialog, ada dua hal mendasar yang
sangat penting. Pertama, memahami terlebih dahulu persepsi
yang digunakan oleh orang lain dalam memahami sebuah
konsep. Dengan memahami persepsi yang digunakan orang lain,
maka lebih mudah untuk menciptakan suatu dialog yang efektif.
Kedua, dengan menyamakan persepsi dasar dalam sebuah
dialog. Dengan adanya persepsi dasar tersebut, maka dialog
yang terjadi akan jauh lebih mudah dan efektif. Kesatuan
persepsi tersebut terwujud juga dalam sebuah visi yang
menyatukan suatu kelompok. Dengan adanya satu visi bersama
10
akan memudahkan untuk berdialog dan menentukan langkah
strategis dengan lebih efektif pula.
Kritik ketiga yang diajukan oleh penulis juga berkaitan
dengan kritik Horkheimer terhadap Teori Tradisional yang
menyatakan bahwa Teori Tradisional tidak memiliki dimensi
praxis. Sekali lagi bahwa, Teori Kritis hanya melihat dimensi
praxis dalam hal “kerja” (praxis dalam arti sempit). Dimensi
praxis yang dipahami oleh Teori Kritis pada dasarnya
merupakan dimensi ‘praxis langsung’. Dimensi ‘praxis langsung’
adalah sebuah teori harus dapat secara langsung membuka
kesadaran masyarakat dan mendorong perubahan.
Jika dicermati lebih dalam Teori Tradisional pun
sebenarnya dapat membuka kesadaran dan mendorong
perubahan, hanya saja secara tidak langsung. Tidak langsung
dalam arti bahwa Teori Tradisional, sejauh itu bersifat positif
(tertulis), pada akhirnya dapat dibaca oleh orang lain. Dengan
membaca, maka diharapkan juga muncul kesadaran dalam diri
pembaca dan akhirnya dapat juga mendorong perubahan. Dalam
hal inilah Teori Tradisional juga memiliki dimensi praxis. Pada
bagian selanjutnya, penulis akan mulai memaparkan argumen
utama penulis dimana antara teori dan praxis adalah dua hal
yang terpisahkan satu sam lain.
Teori dan Praxis
Sebagaimana telah disinggung di atas, antara teori dan
praxis keduanya merupakan dua hal yang terpisahkan. Ibarat
uang logam, keduanya merupakan dua sisi uang logam yang
memiliki perbedaan dalam hal gambar namun tetap satu
kesatuan, yaitu uang logam itu sendiri. Sebelum memaparkan
argumen utama, penulis akan terlebih dahulu mengklarifikasi
konsep praxis yang digunakan dalam tulisan ini.
11
Konsep praxis yang digunakan oleh penulis identik dengan
tindakan. Tindakan di sini adalah tindakan dalam arti luas.
Dimana menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia yang
bertindak. Maka dari itu. dimensi praxis hidup manusia dalam
arti luas adalah keseluruhan tindakan manusia yang
mencerminkan dirinya sebagai makhluk hidup.
Praxis dalam arti luas dapat diartikan bahwa berpikir juga
merupakan salah satu aspek dari tindakan manusia. Dengan
bahasa yang lebih lugas, berpikir juga merupakan bertindak.
Sebab dengan berpikir, manusia telah menunjukkan bahwa
manusia itu hidup (ada). Hidup (ada) sendiri mengandaikan
bahwa adanya gerak (tindakan) yang mencirikan sifat dinamis
dalam diri manusia. Setelah mengklarifikasi konsep praxis,
selanjutnya penulis akan memaparkan argumen utama untuk
menunjukkan kesatuan antara teori dan praxis.
Penulis mengajukan dua argumen untuk memperlihatkan
adanya kesatuan antara teori dan praxis. Pertama, berpikir
adalah sekaligus bertindak. Dalam hal ini, berpikir selalu terkait
dengan dua dimensi kehidupan manusia, yaitu dimensi personal
dan sosial. Kedua, teori merupakan hasil abstraksi dari praxis
hidup manusia sehari-hari. Berikutnya, penulis akan mulai
masuk pada argumen yang pertama.
‘Tindakan Berpikir’ sebagai Kesatuan antara
Berteori dan Ber-praxis
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa praxis dalam
arti luas terkait dengan keseluruhan tindakan manusia yang
12
mencerminkan ada-nya. Terkait dengan masalah teori dan
praxis, maka berpikir juga merupakan tindakan (praxis) manusia
yang mencerminkan adanya. Dengan kata lain, berpikir=praxis
(tindakan berpikir itu sendiri). Dalam hal ini penulis membagi
tindakan berpikir dalam dua bagian. Pertama tindakan berpikir
yang berdimensi personal (terkait dengan dirinya sendiri).
Kedua, tindakan berpikir yang berdimensi sosial (terkait dengan
orang lain). Berikut, penulis akan mulai dengan yang pertama.
‘Tindakan berpikir’ pertama merupakan ‘tindakan
berpikir’ yang terkait dengan diri sendiri (bersifat personal).
Berefleksi masuk dalam ranah ini. Dalam berefleksi, manusia
merenungkan makna yang terkait dengan pembentukan dirinya
secara personal. Berteori juga masuk dalam ranah ini, sejauh
berteori tersebut belum menjadi positif. Berteori juga
merupakan sebuah tindakan berpikir manusia yang berdimensi
personal. Di sinilah pada dasarnya, teori sudah memiliki sifat
praxis di dalam dirinya sendiri.
Berkaitan dengan kritik yang diajukan Teori Kritis
terhadap Teori Tradisional bahwa Teori Tradisional tidak
berdimensi praxis tidaklah tepat. Teori Tradisional pun
sebenarnya telah melakukan berdimensi praxis, karena sebagai
teori telah melibatkan ‘tindakan berpikir’ manusia dalam
dimensi personalnya. Sekali lagi, berpikir adalah sama dengan
bertindak. Namun dalam dimensi ini ‘tindakan berpikir’ masih
dalam dimensi personal dan belum berdimensi sosial. Hal ini
membawa kita pada jenis kedua dari ‘tindakan berpikir’. Dimana
‘tindakan berpikir’ telah berdimensi sosial.
‘Tindakan berpikir’ yang kedua merupakan tindakan
berpikir yang terkait dengan orang lain (berdimensi sosial).
‘Tindakan berpikir’ di sini memiliki sifat positif dan empiris.
13
Positif dalam arti, ‘tindakan berpikir’ tersebut dituangkan dalam
bentuk tulisan. Sedangkan empiris dalam arti bahwa ‘tindakan
berpikir’ telah diwujudkan dalam tindakan konkrit. Ketika
‘tindakan berpikir’ telah bersifat positif dan empiris maka sudah
selalu terkait dengan orang lain. Dengan bahasa yang lebih
sederhana, pikiran yang dituangkan dalam tulisan dapat dibaca
orang lain dan tindakan yang berbuah dari ‘tindakan berpikir’
dapat diamati orang lain. Di sinilah ‘tindakan berpikir’ telah
berdimensi sosial.
Dalam hal ini, Teori Tradisonal pun telah memiliki syarat
yang kedua. Teori Tradisional, sejauh teori tersebut telah
bersifat positif maka sudah memiliki dimensi sosial. Dengan
demikian, tentu sudah selalu memiliki sifat praxis yang
emansipatoris. Dengan bahasa yang lebih sederhana, ketika
Teori Tradisional itu telah dituangkan dalam bentuk tulisan
maka tulisan tersebut tentu dapat dibaca orang lain. Dengan
membaca Teori Tradisional, niscaya dapat menumbuhkan
kesadaran dalam diri pembacanya. Dan sangat memungkinkan
pula untuk muncul sebuah dorongan perubahan. Dengan
demikian, Teori Tradisional pun bersifat emansipatoris. Pada
bagian selanjutnya penulis akan memapaparkan argumen kedua
dimana teori merupakan hasil abstraksi dari praxis hidup
manusia sehari-hari. Pemaparan ini juga merupakan usaha
penulis untuk menunjukkan kesatuan antara dimensi teori dan
praxis hidup manusia.
Teori Merupakan Hasil Abstraksi dari Realitas
(Praxis Hidup Manusia Sehari-hari)
Ketika manusia mulai berteori, mau tidak mau ia akan
berhadapan dengan konsep-konsep. Dalam berteori, konsep-
konsep tersebut disusun secara sistematis untuk membentuk
14
sebuah teori/hukum. Dari pola tersebut nampak bahwa sebuah
teori tersusun dari adanya konsep. Pertanyaan selanjutnya,
darimanakah datangnya konsep-konsep yang kemudian
melahirkan suatu teori?
Konsep merupakan buah dari proses abstraksi. Abstraksi
merupakan sebuah proses dimana manusia menghasilkan
konsep-konsep dalam pikirannya yang diperoleh dari realitas di
luar dirinya. Realitas yang ada di luar diri manusia sangatlah
luas dan beraneka ragam, misalnya: benda-benda material,
berbagai bentuk interaksi sosial, bahkan hal-hal yang bersifat
spiritual. Realitas-realitas tersebut masuk ke dalam pikiran
manusia melalui panca indra. Setelah itu, realitas-realitas
tersebut diabstraksi sedemikian rupa oleh intelek manusia dan
menghasilkan konsep-konsep. Dengan demikian, proses
abstraksi menghasilkan konsep yang diperoleh dari realitas di
luar diri manusia.
Dalam berteori, konsep-konsep yang diperoleh dari proses
abstraksi disusun secara sistematis hingga menghasilkan
sebuah teori/hukum. Dari pola tersebut mulai nampak adanya
kaitan antara dimensi teori dan praxis. Teori sangat identik
dengan konsep-konsep. Sedangkan konsep, identik dengan
realitas hidup manusia yang begitu luas. Salah satu bagian dari
realitas tersebut adalah berbagai bentuk interaksi sosial.
Interaksi sosial tersebut merupakan tindakan-tindakan (praxis-
praxis) yang dihasilkan akibat adanya kontak antara orang yang
satu dengan yang lain. Dengan demikian, teori selalu bersumber
dari realitas yang di dalamnya mencakup praxis-praxis hidup
manusia. Inilah kemampuan khas manusia. Dimana ia mampu
membuat abstraksi atas realitas.
15
Agar argumen di atas menjadi lebih sederhana, penulis
akan menjelaskan proses abstraksi dalam contoh konkrit.
Namun dalam memahami arti sesungguhnya dari proses
abstraksi, kita harus bertindak seolah-olah kita belum mengenal
sebuah konsep sama sekali. Pikiran kita masih kosong dan
belum terisi. Penulis memulai dengan suatu pertanyaan:
“Darimanakah datangnya konsep ‘jatuh cinta’ dalam pikiran
manusia? Berikut, penulis akan menjelaskan prosesnya.
Pertama-tama ada seorang laki-laki yang melihat seorang
gadis cantik. Ketika melihat gadis tersebut jantungnya terasa
berdebar kencang dan tak mau berhenti. Lalu laki-laki tersebut
memberanikan diri untuk mengajak berkenalan. Dan seiring
berjalannya waktu, keduanya pun menjalin hubungan asmara
hingga jenjang pernikahan. Konsep ‘jatuh cinta’ lahir sebagai
sebuah penamaan atas runtutan kejadian tersebut.
Dari sini penulis ingin menegaskan kembali bahwa antara
teori dan praxis, keduanya merupakan dua hal yang tak
terpisahkan. Dimensi teori merupakan hasil dari dimensi
manusia yang berpikir. Dan teori selalu terkait dengan konsep-
konsep yang disusun secara sistematis hingga menjadi sebuah
hukum/teori itu sendiri. Konsep terbentuk dari proses abstraksi
terhadap realitas. Dengan demikian, pikiran manusia
merupakan cerminan atas realitas yang di dalamnya terkait juga
dimensi praxis hidup manusia.
Relevansi
Penulis mengambil sebuah fenomena yang terjadi dalam
Simposium Nasional yang diadakan Fakultas Filsafat beberapa
waktu lalu. Ketika itu ada seseorang yang mengungkapkan
bahwa teori-teori yang dipelajarinya selama di bangku kuliah
tidak ada manfaatnya dalam praxis hidupnya sehari-hari. Pribadi
16
tersebut merupakan seorang aktivis yang bergerak dalam
bidang kemanusiaan. Penulis tertarik untuk membahas
fenomena ini karena terkait dengan tema utama tulisan ini,
yaitu kaitan antara teori dan praxis. Berikut adalah analisis yang
coba dibangun oleh penulis.
Dari ungkapan yang diajukan oleh pemuda tersebut,
menulis menyimpulkan bahwa ia menyempitkan makna praxis
ke dalam kerja. Sebagaimana dilakukan oleh Teori Kritis dalam
kritiknya terhadap Teori Tradisional. Padahal tindakan berteori
pada dirinya sendiri sudah merupakan sebuah praxis. Praxis di
sini memang masih bersifat personal dan belum berdimensi
sosial (belum bersifat positif dan empiris). Dengan demikian,
pribadi tersebut masih membedakan secara tegas antara
dimensi teori dan praxis.
Kesimpulan:
Teori dan praxis sejatinya merupakan dua hal yang tak
terpisahkan. Kegiatan berteori sudah selalu merupakan praxis
dalam artinya yang bersifat personal. Dengan kata lain, berteori
sudah merupakan sebuah ‘tindakan berpikir’ dalam dirinya
sendiri. Memang dalam hal ini, praxis masih bersifat negatif.
‘Tindakan berpikir’ baru menjadi aktual ketika telah menjadi
positif atau empiris (tertuang dalam tulisan dan tindakan
konkrit). Dengan demikian ‘tindakan berpikir’ tersebut dapat
memiliki tujuan emansipatoris.
David Jones Simanungkalit
17
Acuan Sumber:
Budi Hardiman, Francisco, Kritik Ideologi: Pertautan
Pengetahuan dan Kepentingan, Kanisius, Yogyakarta,
1990.
18