Teori dan praxis

22
Teori dan Praxis Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita mendengar ungkapan: “Ah, Teori….mana prakteknya?” Seringkali kali juga kita melihat, ada orang yang suka berteori namun minim dalam hal praktek (tindakan). Begitu pula sebaliknya, ada orang yang suka bertindak (aktifis) namun minim dalam hal teori/konsep-konsep. Lalu ada pula yang mengatakan: “Ah, teori-teori yang saya pelajari sewaktu kuliah tidak berguna sama sekali dalam dunia kerja saya sekarang”. Kalau memang benar demikian, maka tak perlu kuliah untuk bekerja, mengingat bahwa ada orang yang dapat sukses dalam perkerjaan tanpa merasakan bangku kuliah. Dari pernyataan-pernyataan di atas nampak adanya masalah antara teori dan praxis. Sekilas tampak bahwa ada jurang yang begitu mendalam antara teori dan praxis. Dengan kata lain, semacam ada jarak antara berpikir dan bertindak. Namun benarkah demikian? Melalui tulisan ini, penulis akan membawa pada perenungan akan masalah ini. Terkait dengan masalah ini, penulis terkesan ketika membaca buah pemikiran dari beberapa tokoh yang tergabung dalam sebuah Mazhab yang biasa dikenal dengan 1

Transcript of Teori dan praxis

Page 1: Teori dan praxis

Teori dan Praxis

Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita mendengar

ungkapan: “Ah, Teori….mana prakteknya?” Seringkali kali juga

kita melihat, ada orang yang suka berteori namun minim dalam

hal praktek (tindakan). Begitu pula sebaliknya, ada orang yang

suka bertindak (aktifis) namun minim dalam hal teori/konsep-

konsep. Lalu ada pula yang mengatakan: “Ah, teori-teori yang

saya pelajari sewaktu kuliah tidak berguna sama sekali dalam

dunia kerja saya sekarang”. Kalau memang benar demikian,

maka tak perlu kuliah untuk bekerja, mengingat bahwa ada

orang yang dapat sukses dalam perkerjaan tanpa merasakan

bangku kuliah.

Dari pernyataan-pernyataan di atas nampak adanya

masalah antara teori dan praxis. Sekilas tampak bahwa ada

jurang yang begitu mendalam antara teori dan praxis. Dengan

kata lain, semacam ada jarak antara berpikir dan bertindak.

Namun benarkah demikian? Melalui tulisan ini, penulis akan

membawa pada perenungan akan masalah ini.

Terkait dengan masalah ini, penulis terkesan ketika

membaca buah pemikiran dari beberapa tokoh yang tergabung

dalam sebuah Mazhab yang biasa dikenal dengan Mazhab

Frankfurt. Pemikiran mereka disebut juga sebagai Teori Kritis.

Pemikiran-pemikiran mereka sangatlah bernuansa filosofis dan

berusaha mengaitkan antara teori dan praxis. Bagi para tokoh

Mazhab Frankfurt, sebuah teori harus bersifat emansipatoris1. 1 Teori harus bersifat emansipatoris menurut Teori Kritis Mazhab Frankfurt

adalah pertama-tama sebuah teori harus bisa membuka kesadaran masyarakat akan adanya penindasan yang terselubung. Dengan munculnya kesadaran maka diharapkan terjadi praxis, perubahan-perubahan yang mampu menggerakkan masyarakat ke arah yang lebih baik.

1

Page 2: Teori dan praxis

Penulis merasa gembira dan kagum ketika membaca

pemikiran mereka karena pemikiran mereka berusaha

membahas kaitan antara teori dan praxis. Sejauh penulis belajar

filsafat, para filsuf hanya berusaha menjelaskan realitas dalam

konsep-konsep yang terlalu abstrak. Maka wajar bila penulis

merasa bahwa filsafat terlalu terlewat batas, dalam arti terlalu

abstrak dan tidak menyentuh realitas konkrit kehidupan

manusia. Inilah keprihatinan yang melatarbelakangi penulis

untuk membahas kaitan antara teori dan praxis.

Kendati penulis merasa menemukan kecocokan dengan

pemikiran mereka, namun penulis juga tetap akan kritis

terhadap pemikiran mereka. Dalam hal ini, penulis tidak

berhenti pada pemikiran Mazhab Frankfurt melainkan penulis

akan melontarkan kritik terhadap pemikiran-pemikiran mereka

yang terkait antara teori dan praxis. Kritik yang penulis ajukan

terhadap pemikiran Mazhab Frankfurt sehubungan dengan teori

dan praxis, terkait dengan gagasan utama yang ingin penulis

kemukakan dalam tulisan ini. Argumen utama penulis adalah

antara teori dan praxis, keduanya merupakan dua hal yang tak

terpisahkan. Para pemikir Mazhab Frankfurt, walaupun

terkesan ingin mengaitkan antara teori dan praxis, namun

dasarnya mereka masih memisahkan teori dan praxis.

Sebelum penulis mulai memaparkan pemikiran-pemikiran

para tokoh Mazhab Frankfurt, penulis pertama-tama akan

memperkenalkan sedikit latar belakang Mazhab Frankfurt.

Setelah itu, penulis akan mulai melontarkan kritik atas

pemikiran-pemikiran mereka terkait masalah teori dan praxis.

Tidak hanya sebatas melontarkan kritik, namun penulis juga

akan membangun argumen penulis bahwa teori dan praxis

2

Page 3: Teori dan praxis

keduanya merupakan dua hal yang tak terpisahkan satu sama

lain.

Latar Belakang Sejarah Mazhab Frankfurt.

“Pemikiran-pemikiran kritis Mazhab Frankfurt disebut

juga dengan nama ‘Teori Kritis’ atau ‘Kritische Theorie’.”2

Istilah Mazhab Frankfurt juga sering dikaitkan dengan suatu

lembaga yang pernah menyokong aliran ini, yaitu: Institut fur

Sozialforschung (Institut Penelitian Sosial) yang didirikan di

Frankfurt am Main pada tahun 1923.3 Tokoh-tokoh perintisnya

yang terkenal diantaranya adalah Max Horkheimer (filsuf,

sosiolog, psikolog, dan direktur sejak 1930), Theodor

Wiesendrund-Adorno (filsuf, sosiolog, musikolog), dan Herbert

Marcuse (filsuf). Ketiga tokoh tersebut sering disebut sebagai

Generasi Pertama4 Teori Kritis.5 Tulisan ini akan banyak

mengacu pada gagasan-gagasan yang dimunculkan oleh

generasi pertama Mazhab Frankfurt ini.

2 Budi Hardiman, Francisco, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, Kanisius, Yogyakarta, 1990, hal 40.

3 Ibid.4 Disebut generasi pertama karena merupakan gerakan awal yang berusaha

melihat dengan kritis ajaran Karl Marxi dalam kacamata baru. Pada akhirnya generasi pertama teori kritis mengalami jalan buntu karena sikap kritis akan dirinya sendiri. Di tengah kebuntuan tersebut muncullah Jurgen Habermas, salah seorang tokoh Mazhab Frankfurt, yang mampu memberikan solusi atas kebuntuan tersebut. Atas kepiawaiannya tersebut, maka Jurgen Hubermas disebut sebagai generasi kedua (pembaharu) teori kritis.

5 Ibid., hal. 41.

3

Page 4: Teori dan praxis

“Pemikiran-pemikiran Mazhab Frankfurt merupakan

pemikiran-pemikiran yang sangat kritis terhadap pemikiran Karl

Marx dan para penerusnya”.6 Bagi Mazhab Franfurt, Karl Marx

telah membuat teori Hegel (filsuf Jerman) yang terlampau

abstrak menjadi sangat konkrit.7 “Dalam pandangan Marx, kritik

di dalam kritik di dalam filsafat hegel masih kabur dan

membingungkan karena ia memahami sejarah secara abstrak”.8

Karl Marx, yang berusaha mengkonkritkan filsafat Hegel,

menyatakan bahwa sejarah manusia bukanlah sejarah abstrak

melainkan sejarah konkrit kehidupan manusia. Sejarah konkrit

tersebut adalah sejarah dimana kaum proletar/buruh berusaha

membebaskan diri dari penindasan kaum kapitalis. Pemikiran

Karl Marx itulah yang kemudian menginspirasi Mazhab

Frankfurt untuk merumuskan sebuah teori/pemikiran yang

bertujuan emansipatoris.

Teori Kritis disebut memiliki tujuan emansipatoris, lebih

disebabkan karena pemikiran-pemikiran Teori Kritis diarahkan

untuk membuka selubung-selubung ideologi yang selama ini

menindas masyarakat. Penindasan dalam cara ini disebut

sebagai penindasan yang terselubung karena seringkali

masyarakat sendiri tidak sadar akan adanya penindasan yang

bersifat ideologis. Dalam hal ini Teori Kritis disebut juga sebagai

kritik ideologi.

Sebagai kritik ideologi, Teori Kritis memiliki tujuan

emansipatoris. Dimana mereka berusaha membuka kesadaran

masyarakat akan penindasan yang membelenggunya. Dengan

munculnya kesadaran atas penindasan tersebut diharapkan

terwujud adanya praxis yang mendorong perubahan ke arah

6 Ibid., hal. 35.7 Ibid., hal. 50.8 Ibid.

4

Page 5: Teori dan praxis

yang lebih baik. Inilah tujuan dasar Teori Kritis membangun

pemikiran-pemikirannya.

Pemikiran-pemikiran kritis Mazhab Frankfurt memang

banyak diarahkan untuk mengkritik cara berpikir positivistis

yang diterapkan untuk menganalisis fenomena-fenomena sosial.

Kritik Mazhab Frankfurt tersebut berkaitan dengan topik tulisan

ini, yang mana sebuah teori harus bertujuan praxis

emansipatoris. Bagi Mazhab Frankfurt, pengintegrasian metode

ilmu ke dalam ilmu sosial (yang kemudian disebut Mazhab

Frankfurt sebagai Teori Tradisional), tidak memiliki tujuan

praxis emansipatoris. Berikutnya penulis akan memaparkan

pemikiran dari Mazhab Frankfurt terkait kritik mereka atas cara

berpikir positivistis yang diterapkan untuk menganalisis

fenomena-fenomena sosial.

Kritik atas Metodologi: Membangun ‘Teori

dengan Maksud Praktis’

Sebagaimana telah disinggung di atas, kritik yang

dilakukan Mazhab Frankfurt mengarah pada kritik atas cara

berpikir positivistis yang diterapkan untuk menganalisis

berbagai masalah/fenomena sosial. Cara berpikir positivistis

yang dimaksud terkait dengan metode sebagaimana diterapkan

dalam ilmu alam. Metode tersebut menggunakan kalkulasi

sedemikian rupa untuk mendapatkan hasil yang akurat dan

“pasti”.

Horkheimer, salah seorang tokoh Mazhab Frankfurt,

menjatuhkan pengintegrasian cara berpikir positivistis ke dalam

ilmu sosial sebagai ‘Teori Tradisional’.9 Bagi Horkheimer,

pengintegrasian teori-teori ilmu alam dalam ilmu-ilmu sosial

telah menjadikan teori-teori ilmu alam tersebut bersifat

9 Ibid., hal. 54.

5

Page 6: Teori dan praxis

ideologis dan cenderung menjaga status quo masyarakat yang

pada dasarnya menindas.10 Berikut penulis akan memaparkan

argumen-argumen Horkheimer yang ingin membuka selubung

ideologis dari teori-teori positivistis yang digunakan dalam ilmu-

ilmu sosial.

Argumen pertama Horkheimer berangkat dari klaim Teori

Tradisional yang menganggap dirinya sebagai teori yang asosial,

mandiri, mencukupi dirinya dan terlepas dari konteks kegiatan

masyarakat sehari-hari. Dengan kata lain, Teori Tradisional

hendak memisahkan unsur-unsur subjektif dari teori. Pemisahan

tersebut mengarah pada klaim bahwa Teori Tradisional

merupakan bentuk pengetahuan yang bebas kepentingan

(disinterested) sebagaimana teori ilmu alam.11 Maka dari itu,

masyarakat yang ingin diterangkan dalam teori harus dipandang

sebagai fakta yang netral yang dapat dipelajari secara

obyektif.12

Bagi Horkheimer, Teori Tradisional yang menganggap

dirinya asosial telah mengabaikan proses-proses dinamika

kehidupan konkrit di dalam masyarakat. Dalam hal ini, Teori

Tradisional telah menganggap masyarakat sebagai obyek kajian

yang sama dengan obyek kajian ilmu alam. Masyarakat yang

pada hakekatnya memiliki sifat dinamis hanya dianggap sebagai

benda mati sebagaimana benda-benda yang menjadi obyek

kajian ilmu alam. Selain itu, klaim bahwa Teori Tradisional

memiliki sifat universal, berlaku dimana saja, dan suprasosial

dinilai tidak tepat. Adanya dinamika yang begitu kompleks

dalam masyarakat mengandaikan bahwa teori ilmu alam tidak

bisa diterapkan secara sembarangan pada realitas sosial.

10 Ibid., hal. 56.11 Ibid.12 Ibid.

6

Page 7: Teori dan praxis

Argumen kedua Horkheimer diarahkan pada klaim Teori

Tradisional bahwa pengetahuan yang didapatkan bersifat netral.

Klaim tersebut didasarkan pada pandangan bahwa masyarakat

merupakan fakta yang netral yang dapat dipelajari secara

obyektif. Dengan demikian, Teori Tradisional mengklaim bahwa

teori mereka adalah deskripsi murni tentang fakta yang

obyektif.

Klaim bahwa Teori Tradisonal merupakan deskripsi murni

tentang fakta tidak dapat dibenarkan. Di sini Teori Tradisional

telah mengabaikan adanya unsur dinamika manusiawi dalam

masyarakat. Kelemahan Teori Tradisonal adalah membiarkan

keadaan tanpa mempertanyakannya.13 Teori Tradisional

semacam telah mendirikan “tembok” bagi dirinya sendiri

dengan mengambil jarak pada dinamika manusiawi yang ada

dalam masyarakat. Padahal, unsur dinamika manusiawi tidak

dapat dilepaskan dari proses pembentukan Teori Tradisional.

Argumen ketiga dari Horkheimer diarahkan pada klaim

Teori Tradisional bahwa teori dapat dipisahkan dari praxis.14

Dengan kata lain, Teori Tradisional mengejar pengetahuan demi

pengetahuan itu sendiri. Teori Tradisional juga cenderung

mengabaikan segi praxis guna mendorong suatu perubahan

sosial. Dalam hal ini, Teori Tradisional tidak mendorong

munculnya kesadaran kritis masyarakat untuk melakukan

perubahan. “Dengan jalan ini pula, Teori Tradisional tidak

bertujuan mengubah keadaan, malah melestarikan status quo

masyarakat.”15 Dengan kritik-kritik ini, Horkheimer memandang

Teori Tradisional sebagai ideologi yang melestarikan kesalahan

berpikir tersebut.

13 Ibid., hal. 57.14 Ibid., hal. 56.15 Ibid., hal. 57.

7

Page 8: Teori dan praxis

Kritik Horkheimer terhadap Teori Tradisional pada

akhirnya mengarah pada ketiadaan dimensi praxis yang

mengubah masyarakat. Namun benarkah demikian? Pada

bagian selanjutnya, penulis akan mulai memaparkan kritik

terhadap Mazhab Frankfurt dan sekaligus pemikiran-pemikiran

Horkheimer terkait dengan dimensi teori dan praxis.

Kritik atas Pemikiran Mazhab Frankfurt

Pada bagian ini penulis akan mengajukan tiga kritik atas

pemikiran Mazhab Frankfurt. Kritik pertama, adanya

kontradiksi internal dalam paradigma Mazhab Frankfurt terkait

teori dan praxis. Kritik kedua dan ketiga, penulis akan

memberikan komentar berkaitan dengan kritik Horkheimer

terhadap Teori Tradisional yang dikatakan tidak memiliki

dimensi praxis. Berikut penulis akan mulai dengan kritik yang

pertama.

Pada kritik pertama, penulis mulai melihat suatu

kontradiksi internal dalam argumen yang dikemukakan oleh

Teori Kritis bahwa mereka berusaha mengaitkan antara teori

dan praxis. Kontradiksi internal yang diajukan oleh penulis

terkait dengan pengandaian dasar logika. Dimana jika ada dua

hal yang ingin disatukan maka dua hal tersebut belum

merupakan suatu kesatuan. Penulis menggunakan prinsip logika

tersebut untuk menganalisis kontradiksi internal dalam Teori

Kritis.

Teori Kritis yang senantiasa ingin mewujudkan kesatuan

antara teori dan praxis, pada dasarnya telah memisahkan secara

tegas hubungan antara teori dan praxis. Semangat yang diusung

Teori Kritis bahwa sebuah teori haruslah bertujuan

emansipatoris pada dasarnya juga telah memisahkan dimensi

8

Page 9: Teori dan praxis

teori dan praxis. Dengan ingin menyatukan keduanya, pada

dasarnya mereka telah mengambil jarak di dalamnya.

Kontradiksi internal tersebut nampaknya tidak disadari

oleh para pemikir Teori Kritis. Di satu sisi ingin menyatukan

keduanya, namun di sisi lain, ketika ingin menyatukannya,

mereka telah membedakan secara tegas dimensi teori dan

praxis. Adanya kontradiksi internal dalam paradigma Teori

Kritis mengandaikan bahwa antara teori dan praxis merupakan

dua hal yang terpisahkan. Inilah argumen utama penulis yang

akan dikemukakan kemudian. Selanjutnya penulis akan

memaparkan kritik kedua dan ketiga.

Kritik kedua yang diajukan oleh penulis didasarkan dari

kritik Horkheimer terhadap Teori Tradisional yang dikatakan

tidak memiliki dimensi praxis emansipatoris. Bahasa yang

digunakan Horkheimer dalam hal ini adalah Teori Tradisional

ingin mencapai ‘teori demi teori’ itu sendiri.16 Dengan kata lain,

Teori Tradisional tidak memiliki tujuan emansipatoris yang

membuka kesadaran masyarakat untuk mengadakan praxis. Hal

ini dikarenakan sistem dalam Teori Tradisional yang bersifat

tertutup.17

Kritik yang diajukan oleh penulis dalam hal ini adalah

Mazhab Frankfurt telah menyempitkan dimensi praxis

emansipatoris manusia ke dalam “kerja” semata. Dimensi praxis

kehidupan manusia tidaklah melulu soal “kerja”, melainkan

lebih luas. Dimensi praxis melibatkan seluruh tindakan manusia

dalam arti yang sungguh luas. Dalam hal inilah, Mazhab

Frankfurt telah menyempitkan dimensi praxis manusia ke dalam

“kerja”.

16 Ibid.17 Ibid., hal. 55.

9

Page 10: Teori dan praxis

Permasalahan tersebut merupakan permasalahan

mendasar di dalam dunia filsafat. Sebuah permasalahan dimana

antara pemikir satu dengan pemikir lain; antara kelompok satu

dengan kelompok lain; antara aliran satu dengan aliran lain,

memiliki persepsi yang berbeda dalam suatu konsep. Perspektif

yang digunakan oleh tiap pemikir; kelompok; aliran dalam

melihat suatu konsep cenderung bersifat partikular-partikular

(perspektifal) dan mengabaikan dimensi holistik (menyeluruh).

Hal ini sungguh sangat disayangkan, karena perdebatan besar

yang terjadi hanyalah diakibatkan oleh adanya perbedaan dalam

mempersepsi konsep sebagaimana dilakukan oleh para pemikir

Teori Kritis.

Adanya perbedaan dalam mempersepsi konsep tersebut

kiranya juga menjadi akar masalah dalam sebuah dialog.

Seringkali kita duduk bersama membahas soal keadilan dan

mengandaikan begitu saja bahwa setiap orang yang hadir

memiliki satu persepsi yang sama tentang keadilan. Padahal,

konsep keadilan sangatlah relatif antara orang yang satu

dengan yang lain.

Maka dalam sebuah dialog, ada dua hal mendasar yang

sangat penting. Pertama, memahami terlebih dahulu persepsi

yang digunakan oleh orang lain dalam memahami sebuah

konsep. Dengan memahami persepsi yang digunakan orang lain,

maka lebih mudah untuk menciptakan suatu dialog yang efektif.

Kedua, dengan menyamakan persepsi dasar dalam sebuah

dialog. Dengan adanya persepsi dasar tersebut, maka dialog

yang terjadi akan jauh lebih mudah dan efektif. Kesatuan

persepsi tersebut terwujud juga dalam sebuah visi yang

menyatukan suatu kelompok. Dengan adanya satu visi bersama

10

Page 11: Teori dan praxis

akan memudahkan untuk berdialog dan menentukan langkah

strategis dengan lebih efektif pula.

Kritik ketiga yang diajukan oleh penulis juga berkaitan

dengan kritik Horkheimer terhadap Teori Tradisional yang

menyatakan bahwa Teori Tradisional tidak memiliki dimensi

praxis. Sekali lagi bahwa, Teori Kritis hanya melihat dimensi

praxis dalam hal “kerja” (praxis dalam arti sempit). Dimensi

praxis yang dipahami oleh Teori Kritis pada dasarnya

merupakan dimensi ‘praxis langsung’. Dimensi ‘praxis langsung’

adalah sebuah teori harus dapat secara langsung membuka

kesadaran masyarakat dan mendorong perubahan.

Jika dicermati lebih dalam Teori Tradisional pun

sebenarnya dapat membuka kesadaran dan mendorong

perubahan, hanya saja secara tidak langsung. Tidak langsung

dalam arti bahwa Teori Tradisional, sejauh itu bersifat positif

(tertulis), pada akhirnya dapat dibaca oleh orang lain. Dengan

membaca, maka diharapkan juga muncul kesadaran dalam diri

pembaca dan akhirnya dapat juga mendorong perubahan. Dalam

hal inilah Teori Tradisional juga memiliki dimensi praxis. Pada

bagian selanjutnya, penulis akan mulai memaparkan argumen

utama penulis dimana antara teori dan praxis adalah dua hal

yang terpisahkan satu sam lain.

Teori dan Praxis

Sebagaimana telah disinggung di atas, antara teori dan

praxis keduanya merupakan dua hal yang terpisahkan. Ibarat

uang logam, keduanya merupakan dua sisi uang logam yang

memiliki perbedaan dalam hal gambar namun tetap satu

kesatuan, yaitu uang logam itu sendiri. Sebelum memaparkan

argumen utama, penulis akan terlebih dahulu mengklarifikasi

konsep praxis yang digunakan dalam tulisan ini.

11

Page 12: Teori dan praxis

Konsep praxis yang digunakan oleh penulis identik dengan

tindakan. Tindakan di sini adalah tindakan dalam arti luas.

Dimana menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia yang

bertindak. Maka dari itu. dimensi praxis hidup manusia dalam

arti luas adalah keseluruhan tindakan manusia yang

mencerminkan dirinya sebagai makhluk hidup.

Praxis dalam arti luas dapat diartikan bahwa berpikir juga

merupakan salah satu aspek dari tindakan manusia. Dengan

bahasa yang lebih lugas, berpikir juga merupakan bertindak.

Sebab dengan berpikir, manusia telah menunjukkan bahwa

manusia itu hidup (ada). Hidup (ada) sendiri mengandaikan

bahwa adanya gerak (tindakan) yang mencirikan sifat dinamis

dalam diri manusia. Setelah mengklarifikasi konsep praxis,

selanjutnya penulis akan memaparkan argumen utama untuk

menunjukkan kesatuan antara teori dan praxis.

Penulis mengajukan dua argumen untuk memperlihatkan

adanya kesatuan antara teori dan praxis. Pertama, berpikir

adalah sekaligus bertindak. Dalam hal ini, berpikir selalu terkait

dengan dua dimensi kehidupan manusia, yaitu dimensi personal

dan sosial. Kedua, teori merupakan hasil abstraksi dari praxis

hidup manusia sehari-hari. Berikutnya, penulis akan mulai

masuk pada argumen yang pertama.

‘Tindakan Berpikir’ sebagai Kesatuan antara

Berteori dan Ber-praxis

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa praxis dalam

arti luas terkait dengan keseluruhan tindakan manusia yang

12

Page 13: Teori dan praxis

mencerminkan ada-nya. Terkait dengan masalah teori dan

praxis, maka berpikir juga merupakan tindakan (praxis) manusia

yang mencerminkan adanya. Dengan kata lain, berpikir=praxis

(tindakan berpikir itu sendiri). Dalam hal ini penulis membagi

tindakan berpikir dalam dua bagian. Pertama tindakan berpikir

yang berdimensi personal (terkait dengan dirinya sendiri).

Kedua, tindakan berpikir yang berdimensi sosial (terkait dengan

orang lain). Berikut, penulis akan mulai dengan yang pertama.

‘Tindakan berpikir’ pertama merupakan ‘tindakan

berpikir’ yang terkait dengan diri sendiri (bersifat personal).

Berefleksi masuk dalam ranah ini. Dalam berefleksi, manusia

merenungkan makna yang terkait dengan pembentukan dirinya

secara personal. Berteori juga masuk dalam ranah ini, sejauh

berteori tersebut belum menjadi positif. Berteori juga

merupakan sebuah tindakan berpikir manusia yang berdimensi

personal. Di sinilah pada dasarnya, teori sudah memiliki sifat

praxis di dalam dirinya sendiri.

Berkaitan dengan kritik yang diajukan Teori Kritis

terhadap Teori Tradisional bahwa Teori Tradisional tidak

berdimensi praxis tidaklah tepat. Teori Tradisional pun

sebenarnya telah melakukan berdimensi praxis, karena sebagai

teori telah melibatkan ‘tindakan berpikir’ manusia dalam

dimensi personalnya. Sekali lagi, berpikir adalah sama dengan

bertindak. Namun dalam dimensi ini ‘tindakan berpikir’ masih

dalam dimensi personal dan belum berdimensi sosial. Hal ini

membawa kita pada jenis kedua dari ‘tindakan berpikir’. Dimana

‘tindakan berpikir’ telah berdimensi sosial.

‘Tindakan berpikir’ yang kedua merupakan tindakan

berpikir yang terkait dengan orang lain (berdimensi sosial).

‘Tindakan berpikir’ di sini memiliki sifat positif dan empiris.

13

Page 14: Teori dan praxis

Positif dalam arti, ‘tindakan berpikir’ tersebut dituangkan dalam

bentuk tulisan. Sedangkan empiris dalam arti bahwa ‘tindakan

berpikir’ telah diwujudkan dalam tindakan konkrit. Ketika

‘tindakan berpikir’ telah bersifat positif dan empiris maka sudah

selalu terkait dengan orang lain. Dengan bahasa yang lebih

sederhana, pikiran yang dituangkan dalam tulisan dapat dibaca

orang lain dan tindakan yang berbuah dari ‘tindakan berpikir’

dapat diamati orang lain. Di sinilah ‘tindakan berpikir’ telah

berdimensi sosial.

Dalam hal ini, Teori Tradisonal pun telah memiliki syarat

yang kedua. Teori Tradisional, sejauh teori tersebut telah

bersifat positif maka sudah memiliki dimensi sosial. Dengan

demikian, tentu sudah selalu memiliki sifat praxis yang

emansipatoris. Dengan bahasa yang lebih sederhana, ketika

Teori Tradisional itu telah dituangkan dalam bentuk tulisan

maka tulisan tersebut tentu dapat dibaca orang lain. Dengan

membaca Teori Tradisional, niscaya dapat menumbuhkan

kesadaran dalam diri pembacanya. Dan sangat memungkinkan

pula untuk muncul sebuah dorongan perubahan. Dengan

demikian, Teori Tradisional pun bersifat emansipatoris. Pada

bagian selanjutnya penulis akan memapaparkan argumen kedua

dimana teori merupakan hasil abstraksi dari praxis hidup

manusia sehari-hari. Pemaparan ini juga merupakan usaha

penulis untuk menunjukkan kesatuan antara dimensi teori dan

praxis hidup manusia.

Teori Merupakan Hasil Abstraksi dari Realitas

(Praxis Hidup Manusia Sehari-hari)

Ketika manusia mulai berteori, mau tidak mau ia akan

berhadapan dengan konsep-konsep. Dalam berteori, konsep-

konsep tersebut disusun secara sistematis untuk membentuk

14

Page 15: Teori dan praxis

sebuah teori/hukum. Dari pola tersebut nampak bahwa sebuah

teori tersusun dari adanya konsep. Pertanyaan selanjutnya,

darimanakah datangnya konsep-konsep yang kemudian

melahirkan suatu teori?

Konsep merupakan buah dari proses abstraksi. Abstraksi

merupakan sebuah proses dimana manusia menghasilkan

konsep-konsep dalam pikirannya yang diperoleh dari realitas di

luar dirinya. Realitas yang ada di luar diri manusia sangatlah

luas dan beraneka ragam, misalnya: benda-benda material,

berbagai bentuk interaksi sosial, bahkan hal-hal yang bersifat

spiritual. Realitas-realitas tersebut masuk ke dalam pikiran

manusia melalui panca indra. Setelah itu, realitas-realitas

tersebut diabstraksi sedemikian rupa oleh intelek manusia dan

menghasilkan konsep-konsep. Dengan demikian, proses

abstraksi menghasilkan konsep yang diperoleh dari realitas di

luar diri manusia.

Dalam berteori, konsep-konsep yang diperoleh dari proses

abstraksi disusun secara sistematis hingga menghasilkan

sebuah teori/hukum. Dari pola tersebut mulai nampak adanya

kaitan antara dimensi teori dan praxis. Teori sangat identik

dengan konsep-konsep. Sedangkan konsep, identik dengan

realitas hidup manusia yang begitu luas. Salah satu bagian dari

realitas tersebut adalah berbagai bentuk interaksi sosial.

Interaksi sosial tersebut merupakan tindakan-tindakan (praxis-

praxis) yang dihasilkan akibat adanya kontak antara orang yang

satu dengan yang lain. Dengan demikian, teori selalu bersumber

dari realitas yang di dalamnya mencakup praxis-praxis hidup

manusia. Inilah kemampuan khas manusia. Dimana ia mampu

membuat abstraksi atas realitas.

15

Page 16: Teori dan praxis

Agar argumen di atas menjadi lebih sederhana, penulis

akan menjelaskan proses abstraksi dalam contoh konkrit.

Namun dalam memahami arti sesungguhnya dari proses

abstraksi, kita harus bertindak seolah-olah kita belum mengenal

sebuah konsep sama sekali. Pikiran kita masih kosong dan

belum terisi. Penulis memulai dengan suatu pertanyaan:

“Darimanakah datangnya konsep ‘jatuh cinta’ dalam pikiran

manusia? Berikut, penulis akan menjelaskan prosesnya.

Pertama-tama ada seorang laki-laki yang melihat seorang

gadis cantik. Ketika melihat gadis tersebut jantungnya terasa

berdebar kencang dan tak mau berhenti. Lalu laki-laki tersebut

memberanikan diri untuk mengajak berkenalan. Dan seiring

berjalannya waktu, keduanya pun menjalin hubungan asmara

hingga jenjang pernikahan. Konsep ‘jatuh cinta’ lahir sebagai

sebuah penamaan atas runtutan kejadian tersebut.

Dari sini penulis ingin menegaskan kembali bahwa antara

teori dan praxis, keduanya merupakan dua hal yang tak

terpisahkan. Dimensi teori merupakan hasil dari dimensi

manusia yang berpikir. Dan teori selalu terkait dengan konsep-

konsep yang disusun secara sistematis hingga menjadi sebuah

hukum/teori itu sendiri. Konsep terbentuk dari proses abstraksi

terhadap realitas. Dengan demikian, pikiran manusia

merupakan cerminan atas realitas yang di dalamnya terkait juga

dimensi praxis hidup manusia.

Relevansi

Penulis mengambil sebuah fenomena yang terjadi dalam

Simposium Nasional yang diadakan Fakultas Filsafat beberapa

waktu lalu. Ketika itu ada seseorang yang mengungkapkan

bahwa teori-teori yang dipelajarinya selama di bangku kuliah

tidak ada manfaatnya dalam praxis hidupnya sehari-hari. Pribadi

16

Page 17: Teori dan praxis

tersebut merupakan seorang aktivis yang bergerak dalam

bidang kemanusiaan. Penulis tertarik untuk membahas

fenomena ini karena terkait dengan tema utama tulisan ini,

yaitu kaitan antara teori dan praxis. Berikut adalah analisis yang

coba dibangun oleh penulis.

Dari ungkapan yang diajukan oleh pemuda tersebut,

menulis menyimpulkan bahwa ia menyempitkan makna praxis

ke dalam kerja. Sebagaimana dilakukan oleh Teori Kritis dalam

kritiknya terhadap Teori Tradisional. Padahal tindakan berteori

pada dirinya sendiri sudah merupakan sebuah praxis. Praxis di

sini memang masih bersifat personal dan belum berdimensi

sosial (belum bersifat positif dan empiris). Dengan demikian,

pribadi tersebut masih membedakan secara tegas antara

dimensi teori dan praxis.

Kesimpulan:

Teori dan praxis sejatinya merupakan dua hal yang tak

terpisahkan. Kegiatan berteori sudah selalu merupakan praxis

dalam artinya yang bersifat personal. Dengan kata lain, berteori

sudah merupakan sebuah ‘tindakan berpikir’ dalam dirinya

sendiri. Memang dalam hal ini, praxis masih bersifat negatif.

‘Tindakan berpikir’ baru menjadi aktual ketika telah menjadi

positif atau empiris (tertuang dalam tulisan dan tindakan

konkrit). Dengan demikian ‘tindakan berpikir’ tersebut dapat

memiliki tujuan emansipatoris.

David Jones Simanungkalit

17

Page 18: Teori dan praxis

Acuan Sumber:

Budi Hardiman, Francisco, Kritik Ideologi: Pertautan

Pengetahuan dan Kepentingan, Kanisius, Yogyakarta,

1990.

18