Tembok Tebal, Pengusutan Pembunuhan · PDF fileTembok Tebal, Pengusutan Pembunuhan Munir...
Transcript of Tembok Tebal, Pengusutan Pembunuhan · PDF fileTembok Tebal, Pengusutan Pembunuhan Munir...
Tembok Tebal, Pengusutan Pembunuhan Munir
Sebuah Analisis KebijakanTim Imparsial
September 2006
BAB I ”TEST OF OUR HISTORY”
”..... sejauh pengadilan HAM tidak becus,maka itu merupakan kepanjangan tangan masa lalu”
(Munir 1965-2004)
Proses pengungkapan kasus pembunuhan politik terhadap Munir berjalan
kembali ke titik nol. Menjelang dua (2) tahun pasca pembunuhan politik terhadap
Munir, 7 September 2004, belum terdapat titik terang yang menunjukkan motif dan
para pelaku pembunuhan sebenarnya. Bahkan penyelidikan pasca berakhirnya masa
kerja Tim Pencari Fakta (TPF) nyaris tidak memberikan perkembangan berarti bagi
kasus tersebut.
Pasca putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 20 Desember 2005 dengan
nomor 1361/Pid/B/2005/PN.Jkt.Pst, yang memutuskan hukuman 14 tahun penjara
bagi Pollycarpus Budihari Priyanto, pihak terdakwa mengajukan banding. Pada 27
Maret 2006, Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat memutuskan menerima banding yang
diajukan Pollycarpus dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yakni
tetap menghukum Pollycarpus dengan 14 tahun penjara.
Penyelidikan kepolisian yang setengah hati dan terkesan menemui buntu,
padahal banyak informasi yang dapat ditindak lanjuti, misalnya hubungan telpon
antara Muchdi, BIN, dan Pollycarpus. Pergantian pimpinan penyelidik yang sudah
dilakukan sebanyak tiga (3) kali, belum memberikan perkembangan. Malah semakin
berjalan lamban bila dibandingkan dengan hasil temuan dari tim penyelidik kepolisian
terdahulu.
Semasa hidupnya, advokasi yang dilakukan oleh Munir memang tidak pernah
lepas dari persinggungan dengan pihak militer. Sewaktu Munir menangani kasus
pembunuhan terhadap Marsinah, ia tidak hanya diancam oleh aparat kodam setempat
(Brawijaya) tapi juga diancam akan dihilangkan nyawanya lantaran melibatkan diri
dalam urusan kematian buruh pabrik di Sidoarjo tersebut.1 Bahkan, di lain
kesempatan, Munir berani menantang para pelaku pelanggar HAM –terutama dari
pihak militer- secara terbuka, di mana dalam sebuah aksi bersama keluarga korban di
1 Forum Keadilan,” Mantan Pedagang Melawan Kekerasan”, No. 10 Tahun VII, 24 Agustus 1998.
1
Mahkamah Agung (19/08/2004), ia menyebut pelanggar HAM sebagai ”para
pengecut yang bersembunyi di balik ketek (ketiak) kekuasaan2.”
Persinggungan dengan pihak militer yang cukup lama ini ini, membuat Munir
begitu mengenal kelebihan dan kekurangan mereka. Dengan begitu, berbagai aktivitas
dan kemampuan Munir mendapat respon dari berbagai kalangan petinggi militer, baik
respon positif maupun negatif.
“………..Military officers felt concerned by Munir’s sharp and unrelenting criticism, precisely because they felt that he had unrivalled knowledge of their internal doctrine and procedures. Particularly in recent years, Munir had learned the military’s vocabulary and technical code language, making it easy for him to outplay senior officers in their own domain. Some military leaders admired him for his intellect, others didn’t”3
(........pihak militer sering merasa disudutkan oleh kritik Munir yang tajam dan gencar, terutama karena mereka merasa Munir memiliki pengetahuan yang tak tertandingi mengenai berbagai diskursus dan prosedur mereka. Terlebih lagi pada tahun-tahun terakhir ini, Munir telah menguasai kosakata dan bahasa kode teknis mereka sehingga membuatnya mudah mengalahkan perwira-perwira senior dalam bidang mereka sendiri. Sebagian petinggi militer mengaguminya karena intelektualitasnya, sebagian lain tidak.)
Sebagai sebuah kasus pembunuhan politik, pembunuhan terhadap Munir tidak
dapat dilihat sebagai sebuah pembunuhan yang dilakukan oleh aktor tunggal,
melainkan banyak aktor yang terlibat, terutama dari lawan politik yang selama ini
bersinggungan dengan apa yang Munir lakukan. Bahkan aktor negara juga dapat
dianggap terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung, di mana dua
institusinya –yakni perusahaan BUMN PT Garuda Indonesia dan Badan Intelijen
Negara (BIN)- diduga terlibat dalam proses pembunuhan.
Adanya temuan yang mengindikasikan keterlibatan aparat intelijen (BIN)
dalam kasus pembunuhan Munir dengan ditemukannya hubungan telepon yang
menghubungkan antara terdakwa dengan ruang Deputi V BIN seharusnya menjadi
catatan untuk penelusuran lebih lanjut terkait keterlibatan aparat BIN dalam kasus
tewasnya Munir. Terlebih lagi hasil keputusan Pengadilan mengatakan bahwa
tewasnya Munir adalah bentuk kejahatan konspirasi, sehingga dalam kasus tersebut
2 Dokumentasi Imparsial, aksi keluarga korban Priok di Mahkamah Agung (19/08/2004).3 Marcus Mietzner, Munir (1965-2004), 2004. lihat http://www.serve.com/inside/edit81/p30_munobit-.html.
2
terdakwa tidak sendirian tetapi masih ada pihak-pihak lainnya yang perlu diungkap
keterlibatannya. Bahkan dalam keputusan tersebut hakim mengisyaratkan dan
memandatkan polisi untuk menyelidiki mantan Deputi V BIN4.
Keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di satu sisi telah
memberi ruang dan langkah baru untuk proses penyelidikan terhadap pihak-pihak lain
yang diduga terlibat dalam pembunuhan Munir. Namun di sisi lain hal itu tidak akan
bisa diteruskan dan dilanjutkan secara efektif jika pemerintah SBY-Kalla hanya diam
dan membiarkan buruknya kinerja tim kepolisian yang selama ini menangani kasus
Munir.
Potret Buruk Perlindungan Terhadap Pembela HAM
Peristiwa pembunuhan politik terhadap Pembela HAM (Human Rights
Defender) bukan merupakan kejadian yang pertama kali di Indonesia. Dalam Sejarah
Indonesia pasca Orde Lama jatuh ke tangan Soeharto hingga saat ini, Pembunuhan
terhadap seseorang atau kelompok tertentu yang berlawanan politik dengan pihak
penguasa banyak terjadi di Indonesia. Seperti yang juga terjadi pada kasus
pembunuhan Marsinah, Udin, Jafar Sidik dan lainnya. Berdasarkan monitoring
Imparsial, tercatat 2 kali pembunuhan terhadap Pembela HAM pada 2003 dan 6 kali
pada 2004.5
Kelompok kritis yang disebut sebagai Pembela HAM memang banyak
mengkritisi aktifitas negara dan hubungannya dengan kaum industrialis yang juga ikut
menentukan keberlangsungan berjalannya negara. Para pembela HAM tersebut dapat
dikatakan sebagai kelompok kritis ini karena posisi mereka yang menjadi lawan
politik bagi negara dan industrialis yang dikatakan sebagai kelompok establishment.
Pada umumnya, pembunuhan politik menjadi sebuah modus untuk
mempertahankan kekuasaan bagi kelompok establishment . Mereka dapat
membungkam kelompok kritis yang menjadi lawan politik dengan berbagai cara dan
biasanya dengan alasan stabilitas nasional. Tujuan dari pembunuhan politik ini adalah
untuk menghentikan aktifitas yang dilakukan oleh kelompok kritis. Pembunuhan
politik ini dapat dilakukan secara massive (suatu kelompok tertentu) atau perorangan
4 Putusan Perkara Pidana No: 1361/PID.B/2005/PN.JKT.PST atas nama terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto, 20 Desember 2005. 5 Imparsial, Perlindungan Terhadap Human Rights Defender (Hambatan dan Ancaman dalam Peraturan Perundang-undangan), November 2005.
3
yang dianggap sebagai icon dari kelompok kritis. Namun efek dari pembunuhan
politik tersebut melahirkan ketakutan (culture of fear)6 bagi masyarakat luas. Bagi
pelaku pelaksana (eksekutor), pembunuhan ini bertujuan untuk menghentikan aktifitas
pembela HAM dalam mendorong supremasi sipil.
Belum berjalannya tanggung jawab negara dalam mengungkap berbagai kasus
pembunuhan terhadap Munir dan HRD lainnya menunjukkan ketidakmauan
(unwillingness) dalam menegakkan hukum dan melindungi warga negaranya. Dalam
kondisi ini, negara menjadi kepanjangan tangan dari kejahatan kemanusiaan itu
sendiri.
***
Tulisan ini mencoba meninjau lebih jauh dari sepak terjang advokasi Munir --
terutama sejak Imparsial berdiri pada 2002-- semasa ia mulai masuk dalam
perlawanan terhadap kemapanan di tingkat nasional, maupun internasional. Demikian
juga dengan tanggapan dari kelompok yang berlawanan dengan Munir. Patut
dipahami, pembunuhan politik seperti pada Munir bukanlah merupakan yang pertama
di Indonesia. Dan tindakan pembunuhan ini juga tidak lepas dengan sepak terjang
Munir selama hidupnya. Sedangkan dalam konteks motif dari pembunuhan Munir,
buku berjudul Bunuh Munir! : Sebuah Buku Putih (KontraS, 2006), dapat dijadikan
sebagai landasan bagi para pembaca.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa kasus ini
merupakan test of our history.7 Adalah ujian berat bagi negara kita di mana
pemerintahnya harus membuktikan tanggungjawabnya sebagai pelindung keamanan
warganegaranya, atau malah sebaliknya? Figur Munir yang merupakan wakil Human
Rights Defender Indonesia, bahkan sudah dikenal oleh internasional, dapat dengan
mudah dan secara gamblang dibunuh oleh bangsanya sendiri, di dalam teritorinya
sendiri, di dalam maskapai penerbangan nasional kebanggaan Indonesia. Selain
memberikan teror terhadap HRD secara khusus dan masyarakat sipil secara umum,
pembunuhan ini juga memberikan ancaman terhadap demokrasi di Indonesia, di mana
6 Sumber http://www.elsam.or.id/more.php?id=51_0_4_0_M. Di Chili, beberapa pekan setelah KKR mengumumkan hasil kerjanya, setidaknya terjadi tiga pembunuhan politik. Di antaranya terhadap seorang senator terkemuka. Pembunuhan politik tersebut melahirkan ketakutan masyarakat luas (culture of fear). Targetnya, masyarakat berhenti membicarakan proses dan hasil kerja KKR. Agaknya, dalam kadar yang berbeda, risiko ini terjadi di mana-mana, tak terkecuali di Indonesia. 7 Diucapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat bertemu dengan Tim Pencari Fakta pada tahun 2005. Hal ini diberitakan pada Warta Berita - Radio Nederland, 20 Desember 2005.
4
Negara dalam realitasnya tidak dapat melindungi ikon dan model kebebasan
berpendapat.
Untuk itulah, laporan tim Imparsial ini tidak saja melihat pada proses
peradilan Pollycarpus, yang sejak awal diragukan keberhasilannya dalam
mengungkap dalang pembunuhan Munir, namun melihat lebih jauh dari sikap dan
kebijakan negara dalam perlindungan Pembela HAM secara khusus, dan pengakuan
pada proses interaksi antara kelompok kritis dan mapan.
5
BAB II Aktifitas Munir dalam Mempengaruhi Kebijakan Negara
Munir adalah sosok yang menjadi salah satu icon dalam gerakan perjuangan
Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi di Indonesia. Sebagian besar masa
hidupnya didedikasikan untuk mendorog terwujudnya sebuah tatanan yang
menghormati dan melindungi kemanusiaan serta mendorong tegaknya keadilan.
Tidaklah heran jika Munir kerap bersuara kritis terhadap berbagai kebijakan negara
yang dianggap menyimpang dan melakukan advokasi terhadap masyarakat yang
menjadi korban kekerasan negara, serta menyuarakan berbagai issu demokrasi dan
HAM lainnya.
Kontribusi Munir terhadap kemajuan HAM dan demokrasi di Indonesia
sangatlah besar. Hal itu terlihat dari rekam jejak Munir yang terus berupaya
membongkar berbagai kasus pelanggaran HAM, serta mendorong pelaksanaan
kebijakan yang menghormati HAM. Salah satu kontribusi besar yang akan selalu
dicatat dan diingat dalam sejarah perjuangan HAM di Indonesia, adalah usaha Munir
yang berhasil membongkar kasus penculikan aktivis pada 1998 yang dilakukan oleh
Kopassus. Terbongkarnya kasus tersebut mengakibatkan sejumlah perwira TNI
dipecat dan dicopot dari jabatannya.
Selain kasus penculikan, masih banyak kontribusi lainnya yang diberikan
Munir1 bagi kemajuan demokratisasi dan HAM. Sejak mendirikan Imparsial bersama
dengan aktivis NGO lainnya, Munir mulai fokus mengoreksi kebijakan Negara
melalui media massa, maupun dalam forum dialog antar masyarakat sipil juga dengan
aktor negara, termasuk dengan petinggi lembaga keamanan di Indonesia.
Namun demikian, sangatlah sulit mengurai secara detail aktivitas Munir
sepanjang masa hidupnya dalam catatan pendek pada bab ini. Sehingga catatan
mengenai aktivitas Munir ini hanya akan membatasi pada uraian mengenai
aktivitasnya dalam upaya mempengaruhi proses, dengan kerap mengkritik keras,
pembuatan kebijakan negara yang strategis sepanjang 2002-2004. Catatan ini akan
1 Mengenai aktivitas yang dilakukan oleh Munir dalam upaya membongkar berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia, mulai dari kasus pelanggaran di Tanjung Priok (1984), Timor-Timor (1999), Talangsari (1989), penculikan aktivis (1998), Trisakti-Semanggi (1998), dan lain-lain, dapat dilihat pada buku, Membunuh Munir, Sebuah Buku Putih (bagian I tentang Reka Duga Pembunuhan Munir), yang diterbitkan oleh KONTRAS pada awal 2006.
6
memperlihatkan posisi dan sikap Munir sebagai seorang demokrat dan pembela
HAM.
A. Bantuan International Military Education and Training (IMET): Quo Vadis Profesionalitas TNI?
Sinyal membaiknya hubungan militer Indonesia-AS bisa ditelusuri ketika pada
Agustus 2002, saat Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Collin Powell berkunjung ke
Indonesia dan menjanjikan bahwa Pemerintah Amerika Serikat (AS) akan
memberikan paket bantuan kerja sama militer sebesar 50 juta dollar AS lebih kepada
Indonesia. Kemudian, pada pertengahan Agustus 2002 gantian Komandan Armada
AS di Kawasan Pasifik Laksamana Thomas B Fargo berkunjung ke Jakarta untuk
mendiskusikan lebih lanjut paket bantuan tersebut.
Salah satu paket bantuan kerjasama militer AS-Indonesia meliputi
Internasional Military Education Training (IMET) yang telah direstui oleh Senat
Amerika Serikat. Informasi ini diawali ketika Assisten Secretary of State for East
Asia and Pasific, Matthew Daley menyampaikan kabar itu saat bertemu dengan
Menkopolkam Susilo Bambang Yudhoyono, Februari 2003. Namun belum dijelaskan
waktu target realisasi kerja samanya2. Selain soal war on terrorism , pemerintahan
Bush juga percaya, engagement (penjalin-hubungan) penting untuk membantu usaha
reformasi militer Indonesia.
Reaksi yang cukup mengejutkan berasal dari Kongres Amerika Serikat (AS).
Pada hari Rabu, 29 Oktober 2003, Kongres telah menyutujui dua amendemen
Undang-undang yang dirancang Senator Russel Feingold dan Senator Wayne Allard,
yang menyatakan dana program IMET tidak boleh dikeluarkan sebelum adanya
investigasi kasus Timika dan pelaku penembakan dibawa ke pengadilan. Kedua
amendemen tersebut berlaku hingga 30 September 2004.3
Namun, keesokan harinya, Matthew Daley, Wakil Asisten Sekretaris Negara
AS Utusan Asia-Pasifik, kembali mengatakan pemerintahan Bush tetap
mengharapkan pelanjutan kembali partisipasi Indonesia dalam program pelatihan
militer di Amerika atau IMET. Menurutnya, IMET adalah proposal berjangka panjang
dan merupakan kesempatan untuk meningkatkan posisi negosiasi pemerintah Bush
dalam penyelesaian masalah yang berjangka pendek. Pernyataan tersebut disampaikan
2 http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2003/02/18/brk,20030218-01,id.html, “Kerjasama Militer Indonesia-AS Kembali Dijalin”, 18 Pebruari 2003. 3 http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2003/10/29/brk,20031029-42,id.html, “Amerika Tidak Akan Berikan Bantuan Militer ke Indonesia”, 29 Oktober 2003.
7
Daley saat forum terbuka yang diadakan oleh US-Indonesia Society, sebuah LSM di
Washington DC.4
Sebelumnya, pada Mei 2003, Kongres AS juga memutuskan untuk tidak
mengeluarkan dana untuk program ini, sebesar US $ 400,000, sebelum selesainya
investigasi kasus Timika. Hal yang sama juga dilakukan oleh Joel Hefley, anggota
Kongres dari Partai Republik asal negara bagian Colorado, pada Juni 2003. Melalui
amandemen yang diajukannya, DPR AS menyetujui pemblokan dana IMET untuk
Indonesia dengan nilai lebih besar, US $ 600,000, yang dicantumkan di Foreign
Operations Appropriations Bill (UU Apropriasi Operasi Luar Negeri) untuk anggaran
belanja 2004.
Sebulan kemudian, tepatnya 15 Juli 2003, anggota Kongres The US House of
Representatives (DPR AS), menyetujui penahanan dana bantuan International
Military Education Training (IMET) untuk Indonesia sebesar 400.000 dollar AS di
State Authorization Bill (UU Otorisasi Departemen Luar Negeri) tahun anggaran
2004. Namun, penahanan itu hanya menyangkut bantuan IMET. Sedangkan bentuk
bantuan dan kerja sama lain, yaitu dalam bentuk latihan counter-terrorism dan juga
kunjungan perwira, masih diperbolehkan.5
Sementara di Indonesia sendiri, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto
mengatakan bahwa Indonesia tidak akan keberatan jika bantuan militer Amerika
kepada Indonesia dihentikan. Pernyataan itu ia tegaskan menjawab permintaan DPR
AS kepada pemerintahnya untuk menghentikan bantuan jika Indonesia tidak
mengungkapkan kasus Timika secara transparan. Endriartono mengatakan, justru
selama ini Indonesia tidak menerima bantuan militer dari AS.6
Di lain pihak, rencana pemberikan bantuan dalam bentuk kerjasama militer
tersebut menimbulkan keresahan di kalangan beberapa aktivis gerakan masyarakat
sipil dan hak asasi manusia (HAM) di Tanah Air, khususnya Munir.
Keresahan kalangan aktivis bukannya tanpa alasan. Pembekuan bantuan
militer AS di Indonesia selama ini tidak ubahnya sebuah dukungan moral bagi para
pejuang HAM di Tanah Air. Bantuan kerja sama militer itu bukan hanya
4 http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2003/10/30/brk,20031030-25,id.html, “Pemerintah AS akan Memperjuangkan IMET untuk Indonesia, 30 Oktober 2003. 5 Amandemen yang disetujui anggota Kongres AS ini kembali diajukan oleh Joel Hefley. Lihat Bara Hasibuan, ”Lagi-lagi Soal IMET”, Kompas, 04 Agustus 2003. 6 http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2003/07/18/brk,20030718-22,id.html, “TNI Tak Keberatan Bantuan Militer AS Dihentikan”, 18 Juli 2003.
8
dikhawatirkan akan menyebabkan terulangnya bentuk-bentuk pelanggaran HAM oleh
aparat militer dan kepolisian di masa lalu, tetapi sekaligus menjadi legitimasi bahwa
pelanggaran HAM yang pernah terjadi tidak perlu dipersoalkan lagi.
Pengalaman menunjukkan, sejak peristiwa Santa Cruz 1991, hubungan AS-
Indonesia melalui IMET mengalami pasang surut. Bahkan seluruh bantuan
pendidikan militer ke Indonesia di bawah IMET dibekukan. Namun, pada 1995
sejumlah dana untuk pelatihan dicairkan kembali di bawah program Extended-IMET.
Akan tetapi, seperti ditulis dalam laporan Lora Lompe pada organisasi nonpemerintah
internasional East Timor Action Network (ETAN) pada 1998, selama 1990-an
Pentagon mengabaikan ketentuan Kongres, memberikan pelatihan perang gerilya
kota, pengamatan, keahlian penembak jitu (sniper), dan operasi psikologis melalui
program pelatihan militer bersama, Joint Combined Exchange Training (JCET)
kepada pasukan khusus Indonesia. Program ini kemudian dibekukan atas inisiatif
anggota Kongres, Lane Evans.7
Peristiwa yang menjadi sorotan pihak Senat AS adalah kasus Timika, yakni
peristiwa penembakan terhadap dua warga AS, 31 Agustus 2002, yang tewas
ditembak sekelompok orang bersenjata. Dua rombongan mobil yang mereka
tumpangi dalam sebuah perjalanan ke Tembagapura ditembaki, sehingga beberapa
orang lainnya mengalami luka-luka. Yang membuat masalah menjadi lebih ruwet
adalah sejak tak ada investigasi serius yang dilakukan pemerintah Indonesia.
Karena hasil tim investigasi TNI/Polri ”terkesan” tidak memuaskan, maka
Federal Bureau of Investigation (FBI) akhirnya menurunkan tim investigasi
independen untuk menyelidiki kasus itu. Namun kedatangan tim FBI yang telah dua
kali ke Indonesia untuk mengusut kasus tersebut tidak diberi akses terhadap bukti-
bukti maupun saksi sehingga harus kembali ke Washington dengan tangan kosong.
Bahkan janji pemerintah Indonesia untuk memberikan kerjasama penuh saat
kedatangan mereka kali kedua, tidak juga ditepati. Tenggang waktu berbulan-bulan
terlanjur membentuk persepsi di Washington, bahwa Indonesia tidak punya komitmen
untuk membongkar kasus ini dan menyeret semua yang bertanggung jawab ke
pengadilan sehingga menimbulkan kecurigaan, ada yang ditutup-tutupi pemerintah
Indonesia. Penjelasan awal beberapa petinggi TNI bahwa pelaku pembunuhan adalah
7 Kompas, “Bantuan Militer AS: Untuk Apa?”, 15 Agustus 2002, hal. 8.
9
kelompok Organisasi Papua Merdeka menjadi tidak kredibel karena tidak didukung
investigasi menyeluruh yang mendukung tuduhan itu.8
Faktor lain yang menambah kecurigaan adalah fakta bahwa dulu sudah pernah
ada investigasi yang dilakukan Polda Papua (Kapolda I Made Pastika). Pasalnya, hasil
awal investigasi sudah terlanjur diumumkan ke publik di mana disebutkan ada
kemungkinan besar keterlibatan elemen TNI di balik peristiwa Timika itu. Ternyata
kesimpulan awal Polda Papua itu konsisten dengan laporan intelijen mengenai kasus
Timika yang diterima Kongres AS.
Pelatihan dan kerja sama militer yang ditawarkan AS sering mendapatkan
kritikan pedas, karena kekuatan militer asing yang dilatih justru digunakan oleh rezim
di negara bersangkutan untuk melakukan represi terhadap gerakan-gerakan demokrasi
yang mendukung perubahan secara damai. Keprihatinan terhadap pelanggaran HAM
yang dilakukan mitramiliter AS mendorong Kongres menambahkan satu tujuan dalam
program IMET, yakni meningkatkan kesadaran dan pemahaman persoalan HAM.
Akan tetapi, pelanggaran-pelanggaran HAM di negara-negara tersebut masih terus
terjadi.
Pendidikan, pelatihan, dan kerja sama militer dengan AS di satu pihak
membantu peningkatan profesionalisme militer dan kepolisian di negara-negara lain,
termasuk menyebarkan ide-ide demokrasi dan HAM di kalangan mereka. Kenyataan
yang terjadi sering justru sebaliknya. Baik di Indonesia, Kolumbia, maupun negara-
negara lain di Afrika dan Asia, kekuatan-kekuatan yang telah dilatih dan dipersenjatai
untuk melawan aksi-aksi pemberontakan justru menyebabkan kematian dan
penderitaan bagi masyarakat sipil.
Menurut rilis Deplu AS tertanggal 2 Agustus 2002, Indonesia dan Jakarta
khususnya, mengalami penderitaan akibat sejumlah teror bom. Karenanya, budget
yang didistribusikan untuk beasiswa kontraterorisme regional sebesar empat juta
dollar AS pada 2002-2003 dan untuk pelatihan dan pendidikan militer sebesar
400.000 dollar pada 2002.
Dalam versi aparat kepolisian dan militer Indonesia, teror bom itu dilakukan
oleh orang-orang Aceh yang terkait dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Menurut
Munir, memang ada target politik domestik Pemerintah Indonesia untuk
menyusupkan masalah Aceh dalam agenda perang melawan terorisme dan konflik
8 Bara Hasibuan, ”Lagi-lagi Soal IMET”, Kompas, 04 Agustus 2003, hal. 49.
10
Aceh coba diinternasionalisasi dengan menyebut GAM sebagai teroris. Melawan
GAM berarti melawan terorisme, sehingga kontrol terhadap masalah HAM tidak
penting lagi.9
Mengamati perubahan kebijakan luar negeri Pemerintah AS tersebut, Munir
berpendapat bahwa bagi TNI dan Polri, bantuan ini akan memberikan legitimasi
politik bahwa mereka telah diterima kembali, tidak terus-menerus diembargo, dan di
kalangan luar reformasi TNI/Polri yang begitu lambat tidak dipersoalkan. Apalagi
paska 11/9 bantuan ini juga diperuntukkan bagi polisi Indonesia.
Namun di sisi lain Munir menyatakan keraguannya, sejauh mana pelatihan-
pelatihan dan bantuan kepada TNI/Polri untuk memerangi terorisme bisa dikontrol
dan tidak ada jaminan akan pindah sasaran ke tempat lain. Apalagi dalam sistem
anggaran militer di Indonesia, hanya 25 persen di antaranya yang dibiayai melalui
anggaran negara sedangkan 75 persen lainnya dibiayai melalui bisnis legal maupun
ilegal yang dilakukan militer. Peluang untuk dialihkan dan imbas ke tempat lain selalu
bisa terjadi. Bantuan ini kurang mempertimbangkan kapasitas masyarakat sipil di
Indonesia untuk mengontrol militer. Akibatnya, akan mempermudah otoritas militer
menyelesaikan konflik dengan cara-cara yang membahayakan HAM.10
B. Korvet Belanda dan KAL-35 untuk Pemda: Ancaman bagi Kontrol Sipil terhadap Militer
Sejak menakhodai Angkatan Laut pada April 2002, kebijakan KSAL
Laksamana Bernard Kent Sondakh kerap menuai kontroversi. Ada dua hal yang
cukup menonjol pada periode 2003 khususnya yang berkaitan dengan pengadaan
kapal AL. Pertama, saat AL berencana membeli empat korvet Belanda pada Februari
2003 silam. Saat itu, rencana Kent Sondakh mendapat tanggapan yang cukup serius
dari Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti yang menyarankan agar KSAL
meninjau kembali rencana tersebut. Dengan lugas KSAL menukas, ”Kalau Menko
Perekonomian minta itu ditinjau, ya, dia yang tinjau”11. Namun hingga akhir tahun
2003, pemerintah melalui Departemen Keuangan belum memastikan dana pembelian
empat korvet dari Belanda tersebut. Padahal rencana penandatanganan kontrak
pertama akan dimulai akhir Desember 2003.
9 Kompas, “Bantuan Militer AS: Untuk Apa?”, 15 Agustus 2002, hal. 8.10 Ibid.11 Majalah Tempo, “Korvet Jalan Terus”, edisi 1 Februari 2004, hal. 19.
11
Program pembelian empat korvet produksi Belanda tersebut sangat mengundang
perhatian publik, khususnya terkait dengan harga beli tiap-tiap unit kapal. Bila
melihat kasus pembelian pesawat Sukhoi, masalah yang muncul menyangkut
mekanisme pembeliannya yang ”tidak biasa” karena memakai pola imbal dagang.
Pihak legislatif sampai membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk menyelidiki
pembelian pesawat tempur asal Rusia tersebut.
Dalam kasus korvet, sikap anggota Dewan sepertinya kurang berminat meminta
keterangan pemerintah --baik menyangkut harga, mekanisme, maupun skema
pembeliannya. Ditambah lagi dengan rencana pemerintah dan Mabes TNI, yang
hendak menyinergikan pembelian kapal perang tersebut dengan program korvet
nasional yang akan dimulai dengan memproduksi dua dari empat korvet Belanda di
PT PAL Surabaya.12
Di Belanda sendiri, reaksi keras terhadap rencana pembelian korvet justru
datang dari komunitas Parlemen Belanda. Paling tidak ada tiga hal yang menjadi
sorotan mereka. Pertama, menyangkut harga kapal yang totalnya sempat disebut-
sebut mencapai 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 8,5 triliun (nilai ini akhirnya
diklarifikasi KSAL dengan menyebut harga hasil negosiasi, yakni 167 juta dollar AS
atau Rp 1,4 triliun per unit kapal). Kedua, menyangkut dugaan adanya praktek KKN
dalam proses pembelian kapal yang membuat harga melambung. Ketiga, terkait
dengan kekhawatiran beberapa anggota Parlemen Belanda terhadap pemanfaatan
korvet-korvet ini jika kelak sudah menjadi milik TNI AL.13
Kontroversi kebijakan Laksamana Bernard Kent Sondakh lainnya yang cukup
memicu perdebatan di Indonesia, lahir dari imbauan dan ide awal Kent Sondakh
melalui keputusannya mengajak para gubernur se-Indonesia pada 1 Oktober 2002
untuk turut terlibat dalam pengadaan kapal-kapal patroli KAL-35 seraya mengutip
Undang-undang Pemerintah Daerah No. 22/1999. Melalui ”surat sakti” tersebut
12 Saat HUT TNI 10 Oktober 2003, Edwin H. Suryohadiprojo, Dirut PT PAL Indonesia,mempresentasikan pembuatan kapal korvet nasional dimana badannya dibuat oleh PT PAL Indoanesia,elektroniknya dibuat oleh PT Lion, sedangkan persenjataannya dibuat oleh PT Pindad. Lihathttp://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2003/11/05/brk,20031105-56,id.html, ”TNI Pesan EnamKapal Korvet”, 05 November 2003. Sementara Bank Syari’ah Mandiri (BSM) berniat mengucurkanpembiayaan kepada PT PAL Indonesia dengan menggunakan skema project financing. Lihat Kompas,”BSM Membiayai Pembuatan Kapal Perang”, 26 Maret 2004.13 Akhir November 2003, berbagai media massa di Belanda gencar memberitakan rencana pembeliankorvet tersebut, dari soal harga korvet hingga penggunaannya di Indonesia dan Krista van Velzen,salah satu politisi yang mengkhawatirkan korvet Belanda itu akan digunakan untuk membombardirdaerah konflik Aceh. Lihat Majalah Tempo, ”Saling Silang Kapal Perang”, edisi 14 Desember 2003.hal. 38.
12
Laksama Kent ”mengimbau” para gubernur agar ikut berpartisipasi dalam
mengamankan wilayah laut di daerah masing-masing. Caranya: mereka diminta
”arisan” untuk membelinya.14
Seolah gayung bersambut, sejak diresmikan Presiden Megawati, pada
pertengahan 2003 beberapa Pemerintah Daerah di Indonesia berencana untuk
memiliki Kapal Patroli KAL-35 yang nantinya akan dipergunakan untuk TNI AL. Hal
ini diakui Panglima Komando Armada RI Kawasan Barat, Laksda Mualimin Santoso,
yang menyatakan,”Memang Bapak KSAL menghimbau daerah untuk membeli kapal
patroli, dan ide itu disambut baik daerah”15. Di beberapa daerah himbauan pembelian
kapal tersebut juga dituangkan dalam bentuk surat keputusan, seperti di Banten,
melalui SK No. B/468/X/2002 tertanggal 1 Oktober 2002, KSAL meminta agar
propinsi yang mempunyai wilayah perairan diminta bekerjasama dengan TNI AL
untuk menyediakan dana pembelian kapal.16
Tawaran KSAL terhadap Pemda, ternyata disambut baik oleh para pimpinan
daerah setempat dan berlanjut pada terbentuknya beberapa kesepakatan antara Pemda
dan TNI AL. Berawal dari Pemda Riau yang diwakili oleh Gubernur Riau, Saleh
Djasit dan TNI AL yang diwakili Panglima Komando Armada RI Kawasan Barat,
Laksda Mualimin Santoso, penandatanganan Memory of Understanding (MoU) untuk
memiliki Kapal Patroli KAL 35 telah menjadi kesepakatan yang mengikat secara
hukum.
Keinginan Propinsi Riau dalam membeli Kapal tersebut didasarkan atas dua
alasan. Pertama, adalah adanya potensi ancaman yang timbul di daerah wilayah laut
daerah mereka masing-masing, sehingga dibutuhkan kapal patroli baru yang dapat
mengawasi wilayah mereka untuk digunakan TNI AL. Kedua, adalah didasarkan atas
adanya celah hukum di dalam UU No. 22/1999 yang menyatakan bahwa
“kewenangan daerah di wilayah laut juga meliputi bantuan penegakan keamanan dan
kedaulatan negara (Pasal 10 ayat 2 jo Pasal 3 UU No. 22/1999). Dengan dua alasan
tersebut, beberapa daerah lainnya, seperti Banten, Kutai Kertanegara, Bangka
Belitung, Maluku dan Papua juga berniat akan membiayai pengadaaan kapal KAL 35
untuk digunakan TNI AL. Mereka memiliki argumentasi yang sama, bahwa demi
menjaga keamanan laut di wilayah daerah masing-masing, pembelian perangkat
14 Majalah Tempo, “Kelak-kelok Si Tedung”, edisi 16 Mei 2004, hal. 6815 Media Indonesia, “Kapal Itu Nantinya Jadi Milik AL”, 7 September 2003.16 Kompas Selasa, “DPRD Banten Anggarkan Rp 13 Miliar untuk Pengadaan Kapal Patroli TNI AL,17 Februari 2004, hal. 20.
13
keamanan, seperti kapal patroli, nampaknya menjadi hal yang patut diprioritaskan.
Sehingga penggunaan anggaran daerah untuk membiayai pembelian kapal untuk TNI
AL dianggap sebagai tindakan yang sudah selayaknya.
14
Motivasi Daerah Membeli Kapal Patroli KAL-3524
No Daerah Alasan Pembelian Kapal Pejabat yang Menyatakan
Status Tanggal/ Sumber
Jumlah Anggaran
1 Propinsi Riau
1. Mengamankan wilayah laut terkait untuk menjaga sumber daya alam (SDA) dari segala macam pencurian seperti nelayan asing yang banyak melakukan pencurian ikan.
Asparaini Rasyad (Asisten Gubernur Bidang Pemerintahan)
Sudah membuat MoU
Kompas, 30 Agustus 2003
12 Milyar
2 Propinsi 1. Menjaga potensi sumber daya Emron Pangkapi Masih dalam Suara Karya, 12 Milyar Bangka Belitung
alam (SDA) yang dimiliki oleh propinsi Bangka. Selain itu
(Ketua DPRD Bangka
tahap perencanaan
Kamis, 19 Februari
2. Turunnya surat himbauan dari Belitung) 2004. Menteri pertahanann dan KSAL (www.suarak pada Februari 2002 yang diperkuat arya-dengan langkah nyata AL yang online.com/n membawa model kapal 35 kesungai ews.html?id= Siak, kemudian memberikan buku 64134) lengkap dan merekomendasikan pembuatannya di antara tiga galangan pembuatan kapal, Tanjung Pinang, Surabaya dan Batam
3 Propinsi Banten
1. Mengamankan wilayah atau kawasan pantai dan kepulauan,
Dharmono K. Lawi (Ketua
Masih dalam tahap
Kompas, 17 Februari
13 Milyar
sebab keberadaan polisi laut yang DPRD Propinsi perencanaan 2004 kekuatannya cuma 1 peleton tidak Banten) -cukup memadai untuk mengawasi kawasan pantai dan kepulauan. Apalagi terkait dengan pemenangan sengketa batas wilayah terkait upaya memasukan sebagian besar pulau seribu ke propinsi Banten 2. Secara geografis langsung berhadapan dengan perairan laut internasional yang dilewati oleh kapal-kapal asing, sehingga rawan yang butuh pengamanan.
4 Propinsi Papua
1. Untuk mengamankan perairan Propinsi Papua yang rawan terjadinya penyelundupan kayu maupun pencurian ikan
JP Solossa (Gubernur Propinsi Papua)
Masih dirapatkan dengan DPRD
Papuanews.c om/www.pap uanews.com
80 miliar
5 Propinsi Maluku
1. Untuk mengatasi pencurian kekayaan alam Maluku oleh orang-orang asing.
Karel Albert (Gubernur Maluku)
Masih dalam tahap perencanaan
Republika, 19 September 2003.
-
(www.malra. org/posko/ma lra.php4?id= 21216897)
6 Kabupat en Kutai Kertaneg ara
Membantu lancarnya pertahanan dan terselenggaranya pemerintahan yang kuat, dapat menangkal semua hambatan dan rintangan dari luar, dll
Syaukani (Bupati Kutai kertanegara)
Masih dalam tahap perencanaan
Wl, 30 September 2003
-
24 Imparsial, Analisa Kritis Kebijakan Pertahanan, Volume 1, Maret 2004, hal. 2.
15
Rencana pembelian kapal oleh beberapa daerah sebelumnya juga telah
didukung oleh Departemen Pertahanan. Untuk Propinsi Banten imbauan pembelian
Kapal Patroli tersebut dituangkan melalui surat Menteri Pertahanan No.
B/64/M/I/2003, tanggal 1 Januari 200325. Nampaknya imbauan pembelian kapal
melalui surat tersebut tidak hanya digunakan untuk Propinsi Banten, tetapi juga untuk
daerah lainnya yang memiliki perairan laut yang luas.
Menjadi menarik kemudian ketika dukungan Departemen Pertahanan tersebut
dibantah oleh Dirjen Strategi Pertahanan Dephan sendiri, yakni melalui pernyataan
Mayjen Sudrajat, yang menyatakan bahwa pengadaan kapal perang seharga Rp 12,8
Milyar itu sebaiknya ditinjau ulang26. Mekanisme pembelian kapal oleh daerah yang
bekerjasama dengan TNI AL telah menyalahi peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Dengan adanya dua sikap yang berbeda di dalam Departemen Pertahanan
dalam persoalan pembelian Kapal, terkesan sikap Dephan terlihat mendua. Pada
awalnya Dephan mendukung melalui Surat Menteri Pertahanan, tetapi kemudian
dalam proses kelanjutannya Dephan malah menolak mekanisme pengadaan kapal
oleh daerah tersebut.
Namun demikian, sikap penolakan pembelian kapal tersebut mendapatkan
tanggapan yang serius dari Laksamana Muda (Laksda) Mualimin Santoso, selaku
pihak yang menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) pembelian kapal
perang dengan Pemda Riau yang diwakili oleh Gubernur Riau, Saleh Djasit, 15 Juli
2003. Panglima Komando Armada RI Kawasan Barat (Armabar) ini menyatakan
bahwa ia kecewa dengan pernyataan Dirjen Strahan, Mayjen Sudrajat yang meminta
peninjauan ulang pembelian kapal. ”Harusnya dia ikut memikirkan kendala yang
kami hadapi”, ujarnya27. Menurutnya kebijakan Pemerintah Propinsi Riau yang
membantu pengadaan kapal perang jenis KAL 35 sangat tepat di tengah beratnya
tugas TNI AL dan keterbatasan prasarana operasi.
Sayangnya kemudian, di tengah kontroversi pengadaan kapal patroli tersebut,
sikap otoritas sipil di pusat dalam hal ini Presiden dan DPR terkesan tidak peduli.
Komentar dari anggota DPR ataupun Pemerintah dalam menanggapi dan bertindak
dalam menyelesaikan kontroversi pengadaan kapal oleh Pemda tersebut sangat
25 Opcit.26 Kompas Sabtu, “ TNI AL Dukung Riau Beli Kapal Perang; Pemda Beli Alat Perang, IdeBerbahaya”, 30 Agustus 2003.27 Ibid.
16
minim. Lebih disayangkan lagi sikap Dirjen Strahan yang meminta pengadaan Kapal
oleh Pemda untuk ditinjau ulang berhenti di tengah jalan dan terkesan membiarkan.
Perubahan sikap Mayjen Sudrajat ini terlihat ketika beberapa tanggapan dari perwira
tinggi TNI AL, seperti KSAL dan Panglima Armada Barat, mengecam pernyataan
Jenderal berbintang dua tersebut.
Berkaitan dengan rencana pembelian KAL-35 tersebut, pada Maret 2004,
Imparsial meluncurkan hasil risetnya berjudul ”Analisa Kritis kebijakan Pertahanan”.
Hasil riset ini mendapat tanggapan yang cukup serius dari KSAL Laksamana Bernard
Kent Sondakh.
3)
Menurut Kent Sondakh, kebijakan AL mengajak Gubernur se-Indonesia
bekerjasama dalam membangun kapal patroli jenis KAL-35 tidak dilakukan dengan
tindakan ngawur. Karena sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah. Pasal 2 ayat 1 menyatakan, provinsi terdiri atas wilayah darat dan wilayah
laut seluas 12 mil dan daerah memiliki lima kewenangan dalam wilayah laut (Pasal 28. Sementara Pasal 10 UU No. 22/1999 menyebutkan kewenangan daerah dalam
pengelolaan laut di wilayahnya. Poin e pasal tersebut berbunyi, daerah ikut serta
membantu keamanan dan penegakan kedaulatan. Menurutnya, bantuan keamanan dan
kedaulatan dalam UU No. 22/1999 Pasal 10 (e) adalah bantuan pengamanan
kedaulatan di wilayah laut yang diberikan kewenangan pengelolaan sumber daya
itu29. Lanjutnya, di tengah anggaran negara yang minim dan jumlah kapal AL yang
usianya bahkan melebihi 40 tahun dengan 17.500 pulau dengan luas perairan 5,8 juta
kilometer sangat dibutuhkan kapal patroli yang bisa menjaga wilayah laut Indonesia.
Pasal 10 (2) huruf e UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah memang
menyatakan bahwa Pemerintah Daerah memiliki kewenangan di wilayah laut, yaitu
dengan melakukan bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan. Namun, Pasal ini
tidak jelas benar apa yang dimaksudkan dengan ”membantu” serta ”kepada siapa
bantuan itu akan diberikan”. Sementara di sisi lain, beberapa Pemda menyediakan
anggaran untuk pembelian kapal patroli KAL 35 serta biaya operasionalnya30.
Berkaitan dengan itu, dalam sebuah wawancara di majalah Tempo, Bernard
Kent Sondakh mengatakan, ”bahwa ia tidak mengerti. Ada aksi-aksi eksternal yang
28 Majalah Tempo, ‘“KSAL Bernard Kent Sondakh: “Ini Terobosan untuk Mengamankan Laut’”, edisi 16 Mei 2004.
Koran Tempo, ‘”Bernard Kent Sondakh, Kepala Staf TNI AL: “Saya Didukung oleh Menteri Pertahanan”’, 8 September 2003. 30 Imparsial, Op. Cit., hal. 5.
17
29
ingin melemahkan TNI Angkatan Laut. Lembaga-lembaga swadaya masyarakat atau
para pemikir yang menyalahkan kita membeli kapal-kapal ini mungkin tidak tahu,
tidak sadar, atau tidak sengaja31”.
Pembelian tersebut justru menimbulkan problema, sebab pembelian peralatan
militer serta membiayai pengoperasiannya oleh Pemerintah Daerah jelas bertentangan
dengan sifat sistem pertahanan nasional, tunggal dan terpusat. UU No. 3/2002 tentang
Pertahanan Negara jelas mengatakan semua penganggaran maupun pengoperasian
semua kekuatan TNI berada di tangan Presiden dengan persetujuan DPR. Dalam
konteks ini menutup kemungkinan adanya interpretasi bahwa Pemda dapat
mengambil inisiatif sendiri untuk melakukan langkah-langkah di bidang pertahanan.
Dalam pandangan Munir, terobosan yang dilakukan TNI AL dalam pengadaan
kapal oleh daerah yang bekerjasama dengan TNI AL tersebut tidak hanya
menimbulkan terjadinya praktik penyimpangan pelaksanaan otonomi daerah, tapi juga
telah menimbulkan delegitimasi otoritas politik sipil dalam mengontrol peran militer,
yang salah satunya meliputi kontrol terhadap anggaran.32
Transaksi pengadaan kapal adalah model baru dalam kerumitan hubungan
kontrol sipil atas militer. Dalam kerangka negara demokrasi, peletakan hubungan
sipil-militer lebih didasarkan pada prinsip kewenangan otoritas yang lahir dari mandat
politik rakyat untuk mengelola organisasi pertahanan. Munir percaya, bahwa kontrol
tersebut hanya mampu dilakukan apabila sumber anggaran dan keputusan bagaimana
militer digunakan berada dalam kewengangan tunggal, yakni kepala negara. Di sini
memang menuntut pemisahan secara tegas militer dari wilayah politik.
Kasus kapal patroli KAL-35 antara Pemerintah Daerah dan TNI AL
menggambarkan beberapa problem pada perilaku organisasi militer. Apa yang
kemudian dipertunjukan adalah militer sebagai pelaku ekonomi dan sekaligus sebagai
pelaku politik.
Sebagai pelaku ekonomi, TNI AL secara terbuka menawarkan pembelian
kapal patroli kepada Pemerintah Daerah, dengan tawaran berbagai keuntungan yang
mungkin akan diperoleh. Tawaran ini mengandung banyak keuntungan, yaitu
keuntungan yang diperoleh dari transaksi kapal, keuntungan dari adanya relasi
permanen perawatan dan operasional kapal dengan sistem anggaran Pemerintah
31 Majalah Tempo, ‘“KSAL Bernard Kent Sondakh: “Ini Terobosan untuk Mengamankan Laut’”, edisi16 Mei 2004, hal. 74.32 Indopos, “Dituding Tak Sekedar Pengamanan”, 22 April 2004.
18
Daerah, serta legitimasi penjualan publik domain keamanan kepada Pemerintah
Daerah.
Transaksi penjualan kapal patroli tersebut memang akan melahirkan relasi segi
tiga pasar penjualan produk kapal tersebut, yaitu TNI AL, perusahaan produsen, serta
Pemerintah Daerah sebagai konsumen. Dalam penjualan kapal patroli dan servis
pengoperasiannya, TNI AL tidak saja sebagai kesatuan yang memang memiliki
otoritas untuk mengoperasikan kapal tersebut, tetapi juga sebagai penjual jasa-jasa
keamanan.
Proses relasi ekonomi keamanan semacam ini memang akan meningkatkan
posisi dana non budgeter yang mengalir pada TNI. Pertimbangan keuntungan adanya
anggaran non budgeter tentu dengan mudah meningkatkan keutuhan organisasi militer
yang mandiri. Sekecil apapun peluang dana non budger mengalir, terutama atas jasa
penjualan kemananan, jelas meningkatkan tingkat otonomi militer dari kapasitas
kontrol anggaran oleh otoritas politik.
Pada gilirannya, tindakan-tindakan ekonomi itu juga masuk ke dalam wilayah
politik praktis, yaitu wilayah pengambilan keputusan politik bagi pengelolaan sistem
pertahanan. Kesadaran bahwa TNI AL secara otonom dapat bertindak sebagai pelaku
politik ini diwujudkan dalam bentuk langkah membuat Memorandum of
Understanding (MoU) dengan Pemerintah Daerah tentang bagaimana pengelolaan
keamanan laut di wilayah propinsi. Dalam konteks ini TNI AL tidak saja bertindak
sebagai pelaku politik, tetapi juga sebagai subyek hukum otonom untuk bertindak atas
dirinya sendiri.
Dalam rangka menyukseskan agenda pembelian kapal patroli KAL-35 oleh
Pemda, Bernard Kent Sondakh mengirimkan timnya ke daerah-daerah untuk
melakukan promosi kapal tersebut. Namun di sisi lain promosi ini disinyalir sebagai
sebuah bentuk baru “bisnis” TNI melalui kapal-kapal patroli. Menanggapi hal ini,
Laksamana Bernard Kent Sondakh menyatakan, “Ini tidak ada kaitannya dengan
bisnis. Saya hanya mau bilang, ”Ini lo kapal AL. Kalian (daerah-daerah provinsi) bisa
bikin kayak gini. Nanti AL yang mengoperasikan .... 33”
Apa yang kemudian dicerminkan oleh tindakan sebagai pelaku ekonomi dan
politik itu memang berakibat serius terhadap konsepsi pihak TNI AL sendiri terhadap
hakikat dirinya. Sebab langkah-langkah di atas justru memberikan gambaran bahwa
33 Majalah Tempo, Op. Cit. , hal. 75.
19
TNI AL menganggap anggaran militer bukanlah instrumen negara, akan tetapi bagian
dari interest mereka sebagai kekuatan yang mewakili interest nasional, seperti
keamanan dan kedaulatan. Persepsi diri semacam ini memang akan melahirkan
benturan kepentingan yang serius antar otoritas politik yang memiliki kewenangan
mengambil keputusan pengelolaan sistem pertahanan dengan interpresi diri TNI AL
atas masa depan perannya.
Langkah TNI AL tersebut terkesan aneh, mengingat doktrin TNI AL, Eka
Sasana Jaya, 2001, yang merupakan pedoman dasar bagi TNI-AL, menyatakan
pelaksanaan pembinaan material dan pembinaan dukungan logistik harus mengikuti
prinsip perbendaharaan material sebagai milik negara (prinsip milik negara) dan
pembinaan logistik yang meliputi keseluruhan penyelenggaraan fungsi manajemen
logistik tersebut berdasarkan metode terpusat, organik, bina tunggal (fungsi logistik).
Tampak peluang-peluang di wilayah ekonomi dan politiklah yang berakibat terjadinya
perubahan konsepsi diri yang kemudian melakukan koreksi yang begitu berbeda.
C. Pemilu 2004: Dari Capres Purnawirawan TNI hingga Pilihan Memihak Amien Rais
Di tengah maraknya kemunculan calon presiden yang mantan militer dan aksi-
aksi masyarakat menolak pencalonon mereka, jalan dan komitmen politik yang
ditempuh Munir dengan mendukung dan bahkan ikut mengiklankan kampanye untuk
Amien Rais di layar televisi dan radio saat Pemilu 2004 digelar, memang cukup
membuat banyak kalangan34 bertanya-tanya soal pilihannya itu: gebrakan (politik) apa
yang tengah dibangun Munir? Apakah kerja-kerjanya selama ini di ranah civil society
kurang memuaskan dirinya ataukah ada interest tertentu dalam diri Munir, termasuk
mengejar jabatan tertentu di pemerintahan ataukan demi materi semata?
Tidak mudah baginya untuk menjatuhkan pilihan mengampanyekan Amien
Rais. Menurut Munir, ia harus menemui Amien Rais dan menawarkan semacam
”kontrak” dengan Amien menyangkut penegakan hukum, penyelesaian kasus HAM,
dan perbaikan politik pertanahan. Ada yang disetujui dan ada pula yang tak
sepenuhnya disetujui. Namun berdasarkan banyak pertimbangan, Munir pun mau
34 George Junus Aditjondro, adalah salah satu koleganya yang cukup tajam berdebat dengan Munir perihal pilihan politiknya kepada Amien Rais.
20
mengampanyekan Amien. Tapi di sisi lain, Munir akan tetap kritis pada Amien jika ia
ternyata tak memenuhi janjinya.35
Mengapa Amien? ”Pilihannya siapa yang tingkat destruksinya terhadap
demokrasi paling kecil,” ujarnya seraya mengatakan, aktivis LSM sebenarnya juga
punya pilihan politik. ”Masalahnya mereka mau menyatakan secara terbuka atau
tidak”.
Pilihan Munir terhadap Amien Rais disertai logika politik dalam konteks
menjaga bayi demokrasi Indonesia yang baru tumbuh karena, menurutnya36, bila
membiarkan pertarungan politik Indonesia hari ini tanpa pengambilan sikap politik
juga tidak ’fair’ sehingga kemudian membuat Munir mengambil keputusan dengan
mendukung Amien Rais. Sikap politik yang diambil Munir karena ia tidak melihat
kompetisi politik Indonesia saat ini sebagai kompetisi memilih yang terbaik, tapi ia
masih melihat kompetisi politik Indonesia memilih orang yang paling tidak punya
ancaman terhadap demokrasi.
Munir berharap pada Amien Rais agar tidak ada tafsiran dari pihaknya bahwa
pilihan politik Munir terhadapnya bukan karena ia tergiur dengan jabatan ataupun
uang. Yang ia sampaikan kepada Amien Rais adalah komitmen politik demokrasi.
Untuk dua hal ini, jelas ditolaknya. Ia memilih Amien dalam rangka melindungi
demokrasi di Indonesia. Karena bila jabatan atau uang yang dikejar Munir,
sebenarnya pada pemilu 199937 ia juga pernah mendapat tawaran jabatan yang cukup
menggiurkan. Salah satu tawaran tersebut berasal dari partai pemenang Pemilu,
namun ia tidak bersedia. Walau pada saat kampanye Amien-Siswono38 di Mataram
sempat disebutkan namanya dan Todung Mulya Lubis yang dipersiapkan untuk
jabatan Jaksa Agung, ia pun tidak bersedia. Munir memilih akan tetap bekerja di level
civil society ketimbang bekerja di level negara. Tawaran jabatan, tidak terlalu
mengejutkan bagi Munir. Baginya, tidak menarik untuk duduk di pemerintahan.
Pilihan Munir untuk tidak duduk di dalam pemerintahan karena menurutnya
karena masih ada proses politik di Indonesia yang lebih penting ketimbang sekedar
35 Kompas, ”Mimbar Demokrasi”, 16 Juni 2004. http://www.indonesiahouse.org/focus/civsociety/2004/09/090904Munir_dan_sikap_politiknya.htm,
”Munir dan Sikap Politiknya”, 09 September 2004. 37 Ibid. Pada pemilu 1999, Munir juga mendapat tawaran satu jabatan di DPR dari Partai KPI (pimpinan Edi Sudrajat). Saat zaman Gus Dur, Munir ditawari jabatan Jaksa Agung. Kemudian PDI lewat Sabam Sirati, juga menawarkan jabatan tersebut. 38 Lihat juga http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/nusatenggara/2004/06/19/brk,20040619-04,id.html, “Todung dan Munir Masuk Bursa Jaksa Agung Amien-Siswono”.
21
36
melihat penguatan pada sisi pemerintah tanpa kontrol dari masyarakat. Baginya,
bekerja di level kontrol masyarakat jauh lebih efektif kemungkinannya, punya impact
terhadap perilaku negara ketimbang langsung tercerabut ke dalam lingkungan pejabat
negara.
Di dalam konteks politik Indonesia, Munir mengamini bahwa di level negara
juga perlu ada perbaikan. Akan tetapi, proses penguatan sisi negara itu harus
diimbangi dengan penguatan pada sisi masyarakat. Di satu sisi, kalau negara
mengalami penguatan yang luar biasa (penguatan positif), dalam arti negara memiliki
kewibawaan yang cukup untuk menegakkan hukum, melindungi masyarakat dan
sebagainya, itu semua tidak cukup bila sisi masyarakat ditinggalkan. Dalam
pengamatan Munir, sisi masyarakat tidak mengalami penguatan yang serius walau
pada level ini cukup banyak yang bekerja dan cukup kuat untuk menopang kontrol
terhadap kekuasaan yang akan tumbuh di kemudian hari.
Problem yang ditemukannya di Indonesia adalah gerakan masyarakat sipil
yang dari hari ke hari makin melemah, karena banyak aktivis yang terseret ke dalam
birokrasi pemerintahan, atau pun lembaga-lembaga donor, misalnya. Sehingga tidak
muncul kekuatan yang signifikan untuk mendorong proses di dalam masyarakat. Jadi
pilihan politik Munir masih tetap di masyarakat, meskipun bukan berarti ia tidak
bekerja dalam kerangka untuk juga mendorong agar fungsi pemerintahan bekerja
dengan baik dalam proses politik Indonesia.
D. Kritik terhadap Kerangka Kebijakan Penanggulangan Aksi Terorisme
D.1. PERPPU tentangTindak Pidana Terorisme
Pasca terjadinya peristiwa peledakkan bom di Bali pada 12 Oktober 2002, atas
desakan berbagai pihak pemerintah akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 dan 2 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Di samping itu, pemerintah juga
memberikan kewenangan yang amat luas pada Badan Intelijen Negara (BIN) untuk
melakukan berbagai langkah mendukung operasi menyikat kelompok yang
diidentifikasi sebagai pelaku terorisme.
Lahirnya ketentuan yang dengan cepat disetujui DPR tersebut kemudian
mengundang sejumlah kontroversi di masyarakat. Berbagai kalangan terutama dari
elemen masyarakat sipil di sejumlah daerah menyatakan sikap penolakannya terhadap
22
rencana pemerintah membuat Perppu tersebut, sebagai payung hukum bagi aparat
dalam upaya memerangi terorisme di Indonesia. Dalam bagian itu, Munir merupakan
salah satu orang yang di antaranya turut menolak kehadiran Perppu Antiterorisme.
Munir melihat bahwa ada dua persoalan krusial di dalam Perppu
Antiterorisme sehingga menimbulkan kontroversi dan kelahirannya harus ditolak.
Pertama, adanya politik kontrol melalui organisasi intelijen dan tentara; dan Kedua,
adanya kekhawatiran terjadinya pemberangusan kebebasan masyarakat sipil yang
akan menganulir proses demokratisasi di Indonesia39. Persoalan lainnya yang juga
cukup mengkhawatirkan, menurut Munir, adalah munculnya gagasan pelibatan BIN
dan TNI dalam proses penegakkan hukum.
Dalam pandangan Munir, lingkup masuknya kedua organisasi tersebut akan
menimbulkan problematika yang sangat besar, terutama dengan kembalinya peran
intelijen non judicial dalam melakukan pengawasan terhadap kehidupan masyarakat.
Kewenangan kelembagaan semacam ini, dalam penilaiannya, tak pelak akan
melahirkan kekacauan pada kehidupan politik masyarakat. Terlebih mengingat
gagasan ini menyandar pada keinginan meminta hak untuk melakukan tindakan pre-
emtive (melakukan penindakan terhadap semua potensi ancaman).
Karena itu, Munir memandang bahwa kehadiran Perppu Antiterorisme tidak
lebih hanya akan menjadi mesin teror baru terhadap kehidupan masyarakat secara
keseluruhan karena fungsi intelijen di Indonesia tidak berada dalam kerangka yang
cukup untuk bisa dikontrol secara serius40. Kendati demikian, Munir sendiri tidak
menutupi bahwa memerangi terorisme merupakan kewajiban bersama, tetapi
menurutnya, ada peluang untuk mengubah beberapa pasal Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP)41 dan tidak mengacaukan sistem hukum nasional.42
Selain menawarkan soluasi hukum yang tidak mengacaukan sistem hukum
nasional, Munir juga menegaskan bahwa sesungguhnya ada alternatif lainnya yang
semestinya bisa dilakukan oleh negera, yakni kerja yang lebih serius dari negara
39 Munir, Menanti Kebijakan Anti-terorisme, ditulis dalam pengantar buku Terorisme: Definisi, Aksi dan Regulasi. Jakarta: Imparsial, 2003, Cet I, hal xiii. 40 Kompas, “Badan Musyawarah DPR Bahas Perpu Antiterorisme 31 Oktober”, 30 Oktober 2002. 41 Sikap Koalisi untuk Keselamatan Masyarakat dan dimana Munir juga terlibat di dalamnya mendesak agar Pemerintah dan DPR melakukan amandemen terhadap KUHP dan KUHAP untuk mengadopsi terorisme sebagai kejahatan yang dilarang dan dihukum di bahwah hukum pidana nasionla. Koalisi juga mendesak pemerintah dan DPR untuk meratifikasi 12 konvenasi dan protokol internasional yang dikeluarkan PBB mengenai terorisme. (Lihat: Komunike Pertama Koalisi untuk keselamatan Masyarakat Sipil dalam lampiran buku, Terorisme: Definisi, Aksi dan Regulasi. Jakarta: Imparsial, 2003, Cet I, hal xiii) 42 Kompas, “Badan Musyawarah DPR Bahas Perpu Antiterorisme 31 Oktober”, 30 Oktober 2002
23
melalui aparatnya untuk memerangi terorisme, melalui upaya kontrol terhadap
peredaran bahan peledak, kontrol terhadap aparat negara pengguna bahan peledak,
termasuk negara harus memperbaiki keluar masuknya barang ke Indonesia.43
Secara lebih jauh Munir juga menyoroti bahwa pelaksanaan Perppu
Antiterorisme di lapangan dengan tidak mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) justru akan menimbulkan kebingungan. Munir mencontohkan kasus
penanganan perkara bom yang terjadi di Bali, dimana ternyata aparat kepolisian di
sana tidak sepenuhnya melaksanakan Perppu Antiterorisme. Hal ini menunjukkan
bahwa Perppu Antiterorisme, dalam pandangan Munir, memang tidak bisa
dilaksanakan.44
Dilihat dari sisi hierarki perundang-undangan, Munir mengatakan bahwa
Perppu Antiterorisme bukan hanya tidak sejalan dengan Undang-Undang yang lebih
tinggi tingkatannya, melainkan juga dengan Konstitusi. Pemberlakuan surut Perppu
Nomor 1 Tahun 2002 dalam perkara peledakan bom di Bali dalam pandangannya
tidak sejalan dengan bunyi Pasal 28i Perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,
yang menyatakan dengan tegas mengenai hak untuk tidak dituntut dengan perundang-
undangan yang berlaku surut merupakan hak asasi.
Kendati menurutnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia (HAM) memberikan kemungkinan seseorang dituntut dengan
perundang-undangan yang berlaku surut, tatapi hal itu hanya pada tersangka pelaku
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang bisa dituntut dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku surut. Padahal, lanjut Munir, hanya genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan yang di Indonesia bisa dikenai peraturan yang
berlaku surut.45
D.2. Gagasan pembuatan Internal Security Act (ISA)
Sementara pasca terjadinya peristiwa peledakan bom di hotel JW Marriot,
Jakarta, pada Agustus 2003, atau 10 bulan setelah peristiwa bom Bali I, muncul
gagasan dibuatnya Undang-Undang tentang Keamanan Dalam Negeri atau Internal
Security Act (ISA). Pemerintah rupanya masih merasa belum cukup dengan telah
diberlakukannya Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Gagasan
43 Ibid.44 Kompas, “Meskipun Akan Dicabut, Koalisi Minta Perpu Antiterorisme Diuji”, 23 Januari 200345 Ibid.
24
ini pertama kalinya muncul atas usulan Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil yang
didukung sejumlah pejabat lainnya.46
Munculnya usulan dibuatnya Undang-Undang tentang Keamanan Dalam
Negeri atau Internal Security Act (ISA) sebagai upaya untuk menanggulangi makin
maraknya aksi terorisme di Indonesia, tentu saja mengundang banyak kritik dan
mendapat penolakan khususnya dari elemen masyarakat sipil. Munir sendiri secara
tegas menolak usulan tersebut. Menurutnya, ISA tidak akan mampu mengatasi dan
melenyapkan aksi terorisme. Bahkan ISA bersifat draconian (kejam) karena menolak
prinsip-prinsip fair trial, demokrasi, dan HAM.
Penerapan Internal Security Act (ISA) di Singapura dan Malaysia, dalam
pandangan Munir, tidak dapat dijadikan contoh karena kedua negara tersebut -
meskipun lebih maju dalam kesejahteraan ekonomi-bukanlah contoh dari negara
demokrasi modern. Pengalaman kasus penerapan ISA di negara-negara tersebut justru
digunakan untuk menghabisi kekuatan-kekuatan politik oposisi dan berfungsi untuk
menopang sistem kekuasaan tunggal (totalitarian).
Lebih jauh lagi, keberadaan ISA yang dimiliki oleh kedua negara tersebut
senyatanya adalah produk hukum kolonialisme (Inggris) yang digunakan untuk
menghadapi gerakan politik pribumi. ISA bersifat anakronistik, karena undang-
undang peninggalan kolonialisme yang bersifat sementara dan darurat itu masih
dipertahankan di kedua negara yang telah lama memperoleh kemerdekaannya sebagai
suatu bangsa.47
Karena itu, negara semestinya memperbaiki kinerja penyelenggara
pemerintahan secara sungguh-sungguh dan komprehensif dengan perangkat hukum
yang ada. Dalam pandangan Munir, tanpa adanya perbaikan kinerja, penambahan
wewenang kepada pemerintah tidak akan efektif. Menurutnya, tidak fair menuntut
kewenangan berlimpah tanpa ada kemampuan pemerintah untuk mengelolanya.
Sebab, yang terjadi jika penambahan kewenangan tersebut diberikan, potensi
penyalahgunaannya justru akan semakin besar.48
46 Sebenarnya tidak semua pejabat mendukung rencana dibuatnya ISA. Hal itu terlihat dari komentar yang dikemukan Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra yang menyatakan agar Indonesia tidak ikut-ikutan menggunakan ISA dan sebaiknya pemerintah menyempurnakan UU Antiterorisme yang sudah ada. Hal senada juga disampaikan Wapres Hamzah Haz, bila ada hal-hal yang dirasa kurang, ia meminta untuk merevisi UU No. 15/2003 tentang Penerapan Perppu No. 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Republika, “ISA Harus Ditolak”, 13 Agustus 2003. 47 Siaran Pers Imparsial Nomor 101/SK/VIII/Sek/03. 48 Kompas, ” Wapres Imbau Jangan Buru-Buru Bikin ISA”, 13 Agustus 2003
25
Secara lebih jauh, Munir justru mendesak pemerintah agar lebih
memberdayakan Badan Intelijen Negara (BIN) sebagai antisipasi ancaman teror.
Menurutnya hal itu lebih baik daripada membuat ISA. Selama ini, aparat intelijen
dalam pandangannya tidak menjalankan fungsi-funsginya sebagai intelijen secara
penuh. Hal ini mengakibatkan lembaga tersebut tidak dapat mengambil langkah-
langkah preventif dalam upaya menghadapi aksi terorisme.
Lembaga Intelijen Negara (BIN), menurut Munir, seharusnya lebih fokus pada
pencarian, yakni mencari bukti-bukti di lapangan ketimbang mengumpulkan data-data
yang harus disampaikan pada pemerintah. Padahal, kalau BIN mengumpulkan data-
data itu, pemerintah dapat mengambil tindakan untuk mengantisipasi teror. Sebagai
badan non-judicial, BIN seharusnya tidak lagi diberi tugas-tugas sampingan sebagai
bagian penegakan hukum. Jadi, lebih baik polisi berkoordinasi dengan BIN
ketimbang mengadopsi ISA.49
E. Kritik terhadap Kebijakan Penyelesaian konflik di Propinsi Aceh.
E.1. Pemberlakuan status darurat militerMunir mengkritik tajam pola kebijakan yang diambil pemerintah Megawati
dalam menangani dan menyelesaikan persoalan konflik di Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD). Salah satu kebijakan yang dikritik oleh Munir adalah
diterapkannya status keadaan darurat militer di Provinsi NAD pada 18 Mei 200350,
setelah terjadinya kegagalan dalam dua kali perundingan yang dilakukan di
Stockholm dan Tokyo, antara GAM dan pemerintah.
Munir memandang bahwa penerapan status keadaan darurat militer di Propinsi
NAD menunjukkan bahwa pemerintah Megawati tidak memiliki keinginan yang
serius untuk menyelesaikan persoalan konflik Aceh secara damai. Selain itu, upaya
penerapan status darurat militer di Aceh sesungguhnya memperlihatkan bahwa pola
kebijakan pemerintah Megawati dalam proses penyelesaian konflik Aceh cenderung
lebih banyak ditentukan oleh kalangan militer.
Dalam kaitan itu, Munir melihat adanya faktor dari lemahnya otoritas politik
sipil yang menyebabkan mereka cenderung lebih banyak tunduk kepada keinginan
TNI dalam proses penyelesaian masalah konflik di Aceh. Sehingga yang nampak
49 http://www.habibiecenter.or.id/index.cfm?fuseaction=artikel.detail&detailid=17&bhs=ina 50 Status darurat militer di Aceh diberlakukan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 28 Tahun 2003 tentang Pernyataan Keadaan Bahaya dengan Tingkatan Darurat Militer di Propinsi NAD yang ditandatangani pada 18 Mei 2003.
26
kalau otoritas politik sipil tidak memiliki keberanian dan ketegasan sikap ketika
berhadapan dengan institusi TNI.
Lebih lanjut, Munir mencontohkan kasus pengerahan pasukan dan peralatan
perang TNI ke Aceh jauh sebelum ditandatanganinya keputusan penerapan darurat
militer oleh pemerintah dapat menjadi cermin betapa TNI sangat menentukan dalam
hal pola penyelesaian konflik di wilayah NAD51. Padahal Keputusan Presiden
(Keppres) untuk menerapkan darurat militer dan operasi militer di sana belum keluar
dan masih tergantung pada hasil rapat konsultasi antara Presiden dengan DPR.52
Kasus tersebut mencerminkan bahwa otoritas politik sipil tidak memiliki
agenda yang utuh dan tidak berupaya menjaga hak-hak dan kewenangan politik yang
dimilikinya. DPR seharusnya tidak membiarkan kewenangan politiknya diambil oleh
pihak lain. Munir melihat bahwa DPR sebenarnya waktu itu bisa mempertahankan
pendapatnya bahwa persetujuan harus didahulukan dibandingkan pengerahan pasukan
ke Aceh53. Namun yang terjadi justru sebaliknya, DPR dan pemerintah malah
membiarkan TNI melanjutkan pengiriman pasukannya ke Aceh.
Sikap Munir sendiri menolak pemberlakuan status darurat militer di NAD.
Pemberlakuan operasi militer di Aceh, menurutnya, tidak lebih hanya akan mengoyak
rasa kesatu-bangsaan di antara rakyat Indonesia. Otoritas politik sipil tidak dapat
menjamin bahwa penggunaan senjata dalam penyelesaian konflik di NAD tidak akan
menghindarkan dari korban sipil. Adanya keputusan politik pemerintah sebagai
payung hukum dari status Darurat Militer di Aceh, dalam penilaiannya, dapat menjadi
selimut impunity (penggunaan kekerasan tanpa adanya penegakan hukum) bagi
militer.54
Secara lebih lanjut, Munir juga mengkhawatirkan bahwa penggunaan pola
kebijakan yang lebih bertumpu pada cara-cara militer tersebut akan melumpuhkan
kemampuan nasional di masa depan untuk menyelesaikan masalah konflik Aceh
secara lebih baik. Sebab, tidak menutup kemungkinan bahwa penggunaan cara-cara
militer tersebut tidak lebih hanya akan memupuk amarah rakyat Aceh.
51 Sebelum Keppres darurat militer ditandatangani, Mabes TNI sudah mulai mengirimkan prajurit TNI untuk diberangkatkan ke Aceh, yang menurut Panglima TNI Jenderal Endriyartono Sutarto sebagai persiapan operasi militer jika watunya tiba. Hal itu terlihat pada 07 Mei 2003 dimana sekitar 6.350 prajurit dari tiga angkatan diberangkatkan munuju Aceh dengan kapal-kapal perang TNI AL di kawasan Armada RI Kawasan Timur. Kompas, Kamis, 08 Mei 2003 52 Tempo Interaktif, 15 Mei 2003 53 Idem 54 Idem
27
Dalam pandangan Munir, saat ini banyak orang lupa bahwa apa yang terjadi di
Propinsi Aceh merupakan perang saudara, bukan memenangkan perang lawan bangsa
lain. Menurutnya, berlanjutnya kekerasan di Aceh tersebut lebih disebabkan masing-
masing pihak tidak mempunyai cara menyelesaikan persoalan kecuali dengan
penggunaan senjata. Sehingga kedua belah pihak seakan punya justifikasi
menggunakan persenjataan untuk menyelesaikan konflik.
Munculnya kasus pelanggaran HAM dan banyaknya warga sipil serta pembela
HAM menjadi korban sepanjang pemberlakuan darurat militer, juga tidak luput dari
sorotan Munir. Misalnya kasus penyanderaan reporter dan kameramen RCTI yang
berujung dengan tewasnya salah satu sandera55. Munir mengaku kalau dirinya tidak
kaget melihat para sandera GAM akhirnya menjadi korban baku tembak antara GAM-
TNI. Soal sandera menjadi korban tembak atau mati, itu sebenarnya hanya masalah
waktu”. Soal tempat, itu juga hanya masalah waktu”.
GAM maupun TNI, menurutnya, tidak serius bernegosiasi dalam pembebasan
para sandera. Keduanya justru lebih menjadikan para sandera tersebut sebagai alat
tawar-menawar (bargaining) untuk kepentingan masing-masing. Sikap TNI sendiri
yang tidak ingin terburu-buru membebaskan sandera yang disekap GAM bertujuan
membangun opini bahwa GAM merupakan tukang culik dan main sandera warga
sipil. Langkah tersebut jelas menguntungkan posisi TNI sekaligus memberi legimitasi
keberadaan TNI di Aceh.
Pemerintah seharusnya lebih bijaksana dalam upaya membebaskan para
sandera, yakni dengan sedikit bersikap mau mengalah kepada pihak GAM, seperti
halnya langkah yang dilakukan pemerintah saat membebaskan wartawan freelance
AS William Nassen ketika berada di sarang GAM. Di mana saat itu pemerintah
terlihat cukup akomodatif dan bahkan memberikan keleluasaan kepada atase
pertahanan AS untuk terlibat langsung keluar masuk hutan Aceh dalam membebaskan
sandera.56
Selain kasus tewasnya para sandera GAM dalam baku tembak, Munir juga
menyoroti digelarnya persidangan terhadap tiga prajurit TNI karena melakukan
55 Dua wartawan RCTI, seorang reporter Sory Ersa Siregar dan seorang kameramen Ferry Santoro serta Rahmatsyah pengemudinya disandera GAM pada 29 Juni 2003. Namun Sory Ersa Siregar tewas saat terjadi kontak tembak antara GAM dan TNI pada 29 Desember 2003. Sementara itu Ferry Santoro dibebaskan baru dibebaskan pada pada 16 Mei 2004. 56 http://www.polarhome.com/pipermail/marinir/2003-December/000149.html
28
tindakan penganiayaan pada saat operasi militer berjalan57. Setiap pelanggaran dalam
pandangan Munir memang harus ada penindakan secara hukum. Kalau sebuah
tindakan pelanggaran tidak cepat dilakukan koreksi dan tidak cepat pula ada
penghukuman, maka hal itu artinya dapat dikatakan bahwa operasi tersebut memilih
cara itu dan sudah barang tentu pertanggungjawabannya sampai ke level atas.
Kendati demikian, menurutnya, peradilan tersebut tentu saja tidak cukup. Ada
hal-hal lain yang juga harus dikoreksi. Pertama bahwa peradilan itu boleh diteruskan,
dan konsistensi terhadap bagian dari peradilan itu adalah membuka ruang bagi koreksi
dan bagi masuknya aktivitas kelompok-kelompok masyarakat untuk melakukan
monitoring. Sebab, kalau orang diadili tapi tidak ada yang melakukan monitoring,
maka hal itu tidak ada gunanya. Kemampuan negara mengoreksi dirinya sangat
tergantung pada adanya koreksi masyarakat.
Lebih jauh, Munir menilai proses pengadilan tersebut mengandung
kelemahan. Salah satunya bahwa sejak Tap (Ketetapan) MPR Nomor 6 dan Nomor 7
dulu diterbitkan, salah satu pasalnya menyebut bahwa kejahatan-kejahatan yang
dilakukan oleh aparatus militer yang sifatnya tindak pidana umum mestinya diadili
oleh peradilan umum. Namun sampai sekarang undang-undang-nya belum dirubah
sehingga tetap diadili pada peradilan militer. Sedangkan kritik dalam peradilan militer
kan banyak sekali, dimana ada struktur impunity (kejahatan tanpa proses hukum)
dalam proses itu.
E.2. Perpanjangan Status Darurat Militer
Rencana pemerintah yang akan memperpanjang status darurat militer di Aceh
untuk tahap enam bulan kedua58, di tengah banyak terjadinya pelanggaran HAM pada
tahap enam bulan pertama dan adanya solusi alternatif yang lain, memunculkan
gelombang penolakan berbagai kalangan. Munir menilai upaya perpanjangan status
57 Ketiga terdakwa prajurit Komando operasi TNI masing-masing divonis 4 bulan 20 hari penjara, karena terbukti melakukan penganiayaan terhadap warga sipil dan tidak taat terhadap pimpinan. Ketiganya terdakwa itu, yakni Pratu Saiful Bahri, Prada Toni Nariyanto, dan Prada Agus Hidayat, selaku anggota Kompi Mobil-1 Yonif 144 Jaya Yudha, terbukti melanggar pasal 351 ayat 1 jo pasal 53 ayat 1 ke-1 KUHP dan pasal 103 ayat 1 KUHPM Jo pasal 55 ayat ke-1 KUHP. http://www.gatra.com/2003-06-09/artikel.php?id=29079 58 Keputusan perpanjangan status darurat di Aceh diambil oleh Presiden dalam sidang terbatas yang dihadiri pula Wapres Hamzah Haz, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, Gubernur Aceh Abdullah Puteh, Pangdam Iskandar Muda/Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) Mayjen Endang Suwarya serta Kapolda Aceh Irjen Pol Bachrumsyah. Sebelumnya, PDMD, Panglima TNI dan Kepala BIN telah merekomendasikan kepada pemerintah untu memperpanjang status darurat militer tersebut. http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=5001
29
darurat militer di Aceh di tengah adanya sejumlah alternatif lain menunjukkan bahwa
pemerintah malas bekerja lebih keras untuk menyelesaikan persoalan Aceh secara
lebih baik. Pemerintah cenderung mengambil jalan pintas dengan menyerahkan
masalah Aceh pada militer.
Adanya perubahan taktik GAM menjadi gerilya dan atas permintaan
masyarakat Aceh sendiri sebagai alasan perpanjangan status darurat militer, dinilai
Munir sangat tidak masuk akal. Pemerintah sepertinya telah menganggap bodoh
masyarakat. Secara lebih jauh, darurat militer menurutnya, tidak lebih hanya
menciptakan ketergantungan masyarakat Aceh kepada TNI. Sebab, masyarakat Aceh
dihadapkan langsung dengan GAM, yakni dengan cara pemberlakuan KTP merah
putih dan pembentukan milisi untuk membantu TNI. Sehingga masyarakat Aceh takut
bila darurat militer dihentikan, maka GAM akan menghantam masyarakat.59
Pemberlakuan status darurat militer, dalam pandangan Munir, tidak lebih
hanya akan menghilangkan dimensi kemanusiaan dan HAM dalam keputusan politik.
Terlebih lagi menurutnya, tidak ada direksi otoritas politik terhadap penguasa darurat
militer untuk memperhatikan faktor-faktor manusia dalam pelaksanaan operasi.
Status darurat militer di Aceh merupakan kebijakan yang mengabaikan
manusia. Tidak ada rule of engagement yang menentukan batas-batas siapa lawan dan
bagaimana lawan harus dihadapi, politik identitas diberlakukan dengan dalih
memisahkan GAM dari masyarakat, partisipasi masyarakat dimanipulasi, kapasitas
politik masyarakat sipil dihancurkan. Mandat yang diberikan merupakan blangko
kosong, sehingga perpanjangan status darurat militer tidak lebih hanya merupakan
hasil kompromi, tanpa evaluasi, kontrol, dan pertanggungjawaban.60
F. Kritik Upaya Perluasan Kelembagaan dan Kewenangan BIN
F.1. Kewenangan menangkap oleh BIN dalam RUU Intelijen
Dalam satu kesempatan Munir mengkritik pernyataan Kepala Badan Intelijen
Negara (BIN) AM Hendropriyono agar BIN bisa diberikan kewenangan untuk
menangkap dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Intelijen. Dalam
pandangannya, pemikiran AM Hendropriyono tersebut mengikuti konsep crime
control model, yaitu upaya membongkar suatu kasus kejahatan yang tujuannya adalah
59 Tempo Interaktif, 04 November 2003 60 Kompas, “Komisi I DPR soal Darurat Militer Aceh, Perpanjangan Harus Dilengkapi Evaluasi”, 15 November 2003
30
melakukan konstruksi kejahatan. Model tersebut tidak mementingkan kontrol publik
dan tidak mementingkan pembelaan.
Berangkat dari contoh kasus di banyak negara, Munir berpandangan bahwa
model seperti ini akan menimbulkan rekayasa terhadap sebuah kasus, karena
orientasinya adalah bagaimana supaya kasus itu bisa ditemukan. Bukan bagaimana
menanggulangi kejahatan. "Ini banyak digunakan di negara-negara yang
mengandalkan kerja Secret Service seperti Jerman Timur dulu".61
Karena itu, Munir melihat jika RUU Intelijen yang dibuat oleh BIN berhasil
menjadi undang-undang, maka lembaga intelijen benar-benar akan menjadi gurita
sebagai sebuah lembaga yang tidak tersentuh. Selain karena adanya kewenangan
menangkap dan memperpanjang seseorang tanpa keterlibatan hukum, BIN punya
kekuatan membekukan dana di rekening, menyadap dan membuka hak-hak privasi
warga sipil lainnya. Bahkan BIN juga meminta punya wewenang untuk mengakses
langsung produsen senjata api baik di dalam maupun di luar negeri.62
F.2. Rekrutmen lurah sebagai agen BIN di daerah
Munir juga mengkritik langkah BIN yang berupaya merekrut lurah-lurah
untuk dijadikan kaki tangan BIN di daerah, seperti yang terjadi di Sulawesi Utara.
Munir berpendapat, langkah yang dilakukan oleh BIN tersebut merupakan usaha yang
hendak membangun otonomi dalam sistem negara. Kalau dulu intelijen di bawah sub
militer, kini berdiri sendiri. Dengan kata lain, BIN hendak membangun kerajaan
intelijen di atas pondasi negeri ini. Langkah ini dalam pandangan Munir sangat rentan
konflik kepentingan.
Munir mengkhawatirkan langkah tersebut berpotensi menimbulkan
penyalahgunaan kekuasaan di kalangan birokrasi. Posisi intelijen nanti rentan
digunakan sebagai alat petantang-petenteng oleh birokrat. Munir menerangkan,
kerjasama antara dua perangkat ini tidak saja akan memperkuat jaringan intelijen di
mana-mana tapi juga akan terjadi infiltrasi pada sistem pemerintahan hingga ke
daerah. Jika sudah demikian, tujuan public service yang seharusnya diperankan oleh
negara akan berganti fungsi menjadi alat represi bagi rakyatnya sendiri.
Dengan struktur intelijen yang mengakar dalam birokrasi sampai ke daerah,
menurut Munir, kelompok masyarakat yang rentan menjadi korban Intelijen adalah
61 Kompas, “Depkeh dan HAM Belum Terima RUU Intelijen”, 21 Februari 2003 62 http://swaramuslim.net/printerfriendly.php?id=1537_0_1_0_C
31
umat Islam. Sebab, saat ini umat Islam menjadi kekuatan otonom yang tumbuh di luar
partai politik yang ada. Basis konflik sosial diyakini sudah tidak menimbulkan
kerawanan keamanan, begitu juga perang antar kekuatan ideologi yang sudah berakhir
sejak pasca Perang Dingin. Satu-satunya issu yang bisa dimanfaatkan adalah isu
terorisme. Sehingga ujung-ujungnya, terorisme itu sudah punya stereotype tersendiri
yang akan memakan umat Islam.
BIN seharusnya hanya berada di Jakarta dan digunakan hanya untuk
mengumpulkan data-data intelijen yang berkaitan dengan kepentingan policy
nasional. Tidak menjadi organisasi yang eksesif yang kemudian memiliki struktur
paralel dengan seluruh sistem birokrasi pemerintahan. Karena itu, upaya BIN
merekrut lurah-lurah sampai ke tingkat daerah dikhawatirkan akan menempatkan
Indonesia menjadi negara intelijen di mana seluruh watak sistem birokrasi menjadi
bagian dari sistem fungsi-fungsi pengawasan kehidupan politik masyarakat.63
Kekuasaan BIN yang sudah meluas tanpa kontrol dapat menjadi ancaman bagi
kehidupan demokrasi di Indonesia. Karena itu, BIN seharusnya tidak perlu memiliki
perwakilan di daerah-daerah. Tugas pengamanan negara, menurut Munir, cukup
untuk ditangani aparat intel kepolisian dan kejaksaan.
Secara khusus, Munir menyoroti kekuasaan Kepala BIN AM Hendropriyono
yang sangat besar, yakni sebagai koordinator semua unit intelijen nasional, operasi
antiterorisme, pemberantasan uang palsu, pengamanan dokumen penting, bahkan
tagihan kartu kredit. Dalam pandangannya, jika rencana baru ini diterbitkan, itu bisa
mengancam kehidupan publik dan pribadi warga negara.64
G. Kritik RUU KMI dan RUU TNI
G.1. Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebebasan Memperoleh Informasi
Gagasan realisasi Undang-Undang kebebasan memperoleh informasi
(Freedom of Information Act) telah dilakukan oleh beberapa Organisasi Non
Pemerintah (Ornop). Melalui berbagai proses yang telah dilakukan, akhirnya
terbentuklan koalisi untuk bebebasan informasi yang kemudian menggagas draf
Rancangan Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi (RUU KMI).
Terkait dengan kekebasan memperoleh informasi, Munir berpandangan bahwa
sebagai pemilik kedaulatan tertinggi, maka masyarakatlah yang sesungguhnya lebih
63 http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg00126.html 64 Majalah Tempo, “Lurah Berdwifungsi Intel”, 28 Desember 2003
32
berhak untuk menentukan baik hitam dan putihnya sebuah pemerintahan. Sehingga
dengan mengikuti alur logika tersebut, menurut Munir, segala bentuk informasi yang
menyangkut hidup orang banyak wajib diinformasikan.
Dalam pandangannya, kebebasan memperoleh informasi merupakan bagian
dari apa yang diakui dalam kovenan hak sipil dan hak politik. Kovenan tersebut
menghendaki posisi negara pasif, dalam artian negara tidak boleh terlalu banyak
membuat regulasi yang mengatur, sehingga membatasi penggunaan hak informasi
masyarakat. Dalam pandangan Munir, pembatasan terhadap hak memperoleh
informasi dipandangnya sebagai cermin dari sebuah rezim yang tertutup.
Hak masyarakat untuk memperoleh informasi, menurut Munir, merupakan hal
yang penting. Berbicara mengenai hak masyarakat atas informasi, maka kewajiban
dari negara, yakni transparansi. Dalam pandangan Munir, UU ini seharusnya
mengatur tentang serbakewajiban negara untuk membuka dan menyampaikan setiap
informasi kepada publik, dan bukan sebaliknya, yang diatur serba kewajiban
masyarakat.65
G.2. Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI
Tahun 2003 muncul kontroversi seputar rencana pemerintah yang membuat
draft Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI. Kontroversi bermula dari adanya
sejumlah pasal dalam draft RUU TNI yang dianggap bermasalah. Salah satu pasal
yang paling banyak disoroti, dikritik, dan ditentang adalah keberadaan Pasal 19 (versi
draft Oktober 2002), yang dianggap oleh komponen masyarakat sipil sebagai pasal
“kudeta”.66
Munir salah satu sosok yang menentang keras Pasal 19. Menurutnya, kalau
Pasal 19 lolos seperti dalam bentuk yang sekarang (awal), hal itu akan menjadi
kecelakaan politik yang serius. Pasalnya, menurut Munir, dalam keadaan yang biasa-
biasa saja, tanpa ada tekanan publik, mestinya para politisi yang lebih dari 90 persen
sipil itu menolak munculnya Pasal 19. Oleh karena itu, jika sampai pasal itu lolos,
65 Majalah Gamma, “Undang-Undang Kebebasan Informasi Bisa Kontraproduktif”, 30 Mei s/d 05 Juni
66 Bunyi RUU TNI Pasal 19 yang kontroversial adalah sebagai berikut, dalam keadaan mendesak di mana kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan segenap bangsa terancam, Panglima dapat menggunakan kekuatan TNI sebagai langkah awal guna mencegah kerugian negara yang lebih besar.
33
2001
berarti keadaanya sudah abnormal. Kalau lolos, berarti partai-partai politik
memberikan kompromi yang luar biasa kepada TNI.
Dalam UUD 1945, wewenang untuk mengeluarkan keadaan darurat adalah
Presiden. Jika, Presiden berhalangan maka UUD memberikan kewenangannya kepada
Wakil Presiden (Wapres). Kalau Wapres juga berhalangan tetap, maka dalam politik
Indonesia mengenal istilah kepemimpinan darurat yang dikenal dengan istilah
triumvirat, kepemimpin yang terdiri dari Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri
dan Menteri Pertahanan. Bahkan kalau triumvirat juga tidak ada, para Gubernur
Tingkat I bisa menjadi pemimpin kolektif.67
Kuatnya penolakan dari publik terhadap Pasal 19, draft RUU TNI
kontroversial tersebut tidak jadi diajukan ke Parlemen dan memilih diendapkan.
Kendati demikian, setelah kurang lebih setahun isu mengenai Pasal 19 tenggelam. Di
tengah proses pelaksanaan Pemilu 2004 pemerintah mengajukan draft RUU TNI yang
berbeda ke Parlemen yang diserahkan oleh Menkopolkam atas dasar amanat Presiden
Megawati No.13/PU/VI/2004. Waktu yang tersedia bagi DPR untuk merampungkan
proses pembahasan sampai pengesahannya kurang lebih sekitar tiga bulan.
Kendati draft RUU TNI yang diajukan pada akhir 2004 tersebut tidak memuat
lagi Pasal 19 yang sangat kontroversial, namun tetap saja sejumlah substansinya juga
bermasalah. Hal itulah yang tetap mengundang munculnya berbagai kritik dan
penolakan dari komponen masyarakat sipil, termasuk Munir.
Secara umum, Munir melihat ada tiga kelemahan mendasar dalam RUU TNI
yang diajukan di masa Pemilu tersebut. Pertama, RUU itu tidak mencerminkan
orientasi pengembangan sistem pertahanan nasional; kedua, tidak menunjukkan
orentasi pengembangan sistem demokrasi, khususnya pengembangan hubungan sipil-
militer; ketiga, tidak mencerminkan adanya orientasi yang jelas terhadap kebijakan
tentang keprajuritan TNI.
Menyangkut pemberian peluang bagi TNI aktif untuk dikaryakan di
pemerintahan daerah (Pemda) misalnya. Munir menilai sebagai langkah mundur yang
semakin jauh dari upaya reformasi di tubuh TNI. Selain itu, Munir juga
mempertanyakan soal bantuan kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan TNI
dalam pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI (Pasal 64 ayat 1 RUU
67 Banjarmasin Post, “Kontras: DPR Bakal Tolak Pasal 19 RUU TNI”, 19 Maret 2003
34
TNI). Pasal ini dalam pandangan Munir menjadi justifikasi terhadap praktek
hubungan kerja sama yang tidak jelas antara Pemda dengan TNI.
Munir mengkhawatirkan pasal tersebut dapat memberi tafsir yang sangat luas
pada TNI untuk dapat melakukan tindakan yang bersifat politik. Bisa saja hal itu
ditafsirkan bahwa TNI dapat lakukan negosiasi politik dengan departemen, lembaga
pemerintah, bahkan dengan swasta. Masuknya pasal tersebut, menurut Munir,
mencerminkan adanya kegagalan untuk meletakkan fungsi dan relasi TNI dengan
sistem ketatanegaraan. Seharusnya, lanjut Munir, kalaupun akan diatur dalam
hubungan kelembagaan, maka harus ada pembatasannya. Semisal dengan siapa saja
TNI boleh berhubungan dan dalam konteks apa.68
Secara lebih jauh, masih ada beberapa ketentuan lainnya di dalam draft RUU
TNI 2004 yang dikritik, perlu dihapus atau diubah dalam pandangan Munir. Beberapa
ketentuan tersebut antara lain menyangkut soal waktu pensiun bagi prajurit TNI.
Dalam pandangan Munir, klausul mengenai pengaturan waktu pensiun tersebut harus
dihilangkan dan dimasukkan dalam UU tentang Keprajuritan.
Terkait dengan itu, Munir menilai bahwa masuknya pasal tersebut
menunjukkan adanya tumpang tindih dalam RUU TNI, yang semestinya hanya
mengatur aspek institusi TNI, semisal struktur, organisasi, fungsi, tugas dan peran
TNI terkait dengan kebijakan sistem pertahanan negara. Sedangkan mengenai
persoalan pensiun, Munir memandang hal itu semestinya masuk dalam aturan
kepegawaian. Selain itu, pengaturan mengenai status prajurit, jenis keprajuritan, masa
dinas dan pemberian tanda jasa juga harus diatur di UU Keprajuritan.69
Tentu masih banyak substansi RUU TNI lainnya yang disorot oleh Munir.
Karena itu, dengan ketentuannya yang bermasalah, maka sangat wajar Munir merasa
khawatir jika RUU TNI tersebut disahkan. Bahkan sebelum bertolak ke Belanda, awal
September 2004, Munir sempat berpesan agar pengesahan RUU TNI diupayakan
ditunda. Munir berpandangan bahwa RUU TNI tersebut dianggap belum
disosialisasikan secara maksimal kepada masyarakat dan belum ada perubahan dalam
pasal-pasalnya.70
68 Tempo Interaktif, “RUU TNI Juga Diduga Langgengkan Bantuan Pemda”, 29 Juli 2004 69 Tempo Interaktif, “Pasal Pensiun Diminta Dimasukkan ke UU Keprajuritan”, 11 Agustus 2004 70 Detic.com, “Pesan Terakhir Munir: Tunda Pengesahan RUU TNI”, 07 September 2004
35
BAB lll TPF (Tim Pencari Fakta) dan Pengungkapan Kasus Munir
Setelah peristiwa meninggalnya Munir muncul banyak spekulasi-spekulasi,
baik dikalangan komunitas para penggerak/pembela hak asasi manusia (gerakan
masyarakat sipil) maupun masyarakat Indonesia secara luas, mengenai sebab-sebab,
motif serta fakta seputar tewasnya Munir. Spekulasi-spekulasi tersebut semakin
gencar setelah ditemukannya bukti bahwa Munir meninggal disebabkan kadar zat
Arsenic yang tinggi di dalam darahnya seperti dinyatakan dalam hasil autopsi
lembaga forensik Belanda Nederlands Forensisch Instituut (NFI).1 Hal tersebut
akhirnya mendorong pihak keluarga serta rekan-rekan sesama aktifis pembela HAM
bersepakat untuk mendesak pemerintahan SBY agar segera membentuk suatu tim
khusus (tim investigasi pencari fakta), yang secara independen dengan melibatkan
berbagai pihak yang kompeten (unsur masyarakat sipil, lembaga pemerintahan,dll),
melakukan pengungkapan secara tuntas sebab-sebab serta fakta-fakta seputar
peristiwa meninggalnya Munir di atas pesawat maskapai penerbangan Garuda
tersebut.
Gagasan pembentukan tim investigasi ini dinyatakan pertama kali secara
terbuka kepada masyarakat umum melalui sebuah siaran pers bersama di kantor
KontraS Jakarta, 12 November 2004.2 Gagasan pembentukan tim investigasi ini
kemudian merebak tidak hanya di kalangan aktifis pembela HAM tetapi juga
diserukan oleh berbagai pihak di masyarakat luas, seperti dari kalangan komunitas
korban pelanggaran HAM, tokoh-tokoh nasional, anggota legislatif, serta banyak
pihak lainnya nasional maupun internasional. Beberapa anggota DPR RI misalnya
menyatakan akan membentuk tim khusus kematian Munir yang akan medorong serta
mengawasi pemerintah dalam mengungkap kasus ini.3 Hal tersebut diperjelas saat
pertemuan antara Komisi lll DPR RI dengan Suciwati (istri Munir), KontraS,
Imparsial, PBHI, pengacara Todung Mulya Lubis, Adnan Buyung Nasution, serta
seorang anggota Komnas HAM, MM Billah di Senayan, 22 November 2004. Ketua
Komisi lll, Teras Narang menyatakan DPR akan mendesak terbentuknya tim
1 Lihat buku putih KontraS “Bunuh Munir!”, Januari 2006, hal. 41. 2 Siaran Pers Bersama di kantor Kontras, 12 Novemebr 2004, atas nama Suciwati (istri Munir), Todung Mulya Lubis, Rachland Nashidik (Imparsial), dan Usman Hamid (KontraS). Salah satu isi siaran pers bersama tersebut menuntut kepada pemerintah untuk membentuk suatu tim investigasi menyeluruh dan terpercaya dengan melibatkan masyarakat sipil dan Komnas HAM. 3Kompas, “DPR Bentuk Tim Khusus Kematian Munir”, 19 November 2004.
36
investigasi di bawah presiden langsung pada sidang paripurna. Selain itu Ketua
Komisi lll juga menjanjikan DPR akan membentuk tim pencari fakta sendiri.4
Penegasan yang sama juga dinyatakan oleh beberapa anggota DPR lainnya, seperti
dinyatakan oleh Lukman Hakim Saifuddin (PPP) yang mengancam akan melayangkan
usulan hak interpelasi jika presiden tidak merespon desakan DPR dan kalangan
masyarakat sipil soal pembentukan tim investigasi kasus Munir tersebut.5 Esok
harinya, 23 November 2004, Rapat Paripurna DPR RI menghasilkan tiga kesepakatan;
pertama, DPR membentuk tim pencari fakta sendiri gabungan Komisi l dan lll; kedua,
DPR meminta presiden SBY membentuk tim investigasi independen yang langsung
bertanggungjawab kepada presiden; dan ketiga, meminta pemerintah dan kepolisian
untuk menyerahkan hasil lengkap autopsi kematian Munir kepada keluarga dan istri.6
Pernyataan penting lainnya dari seorang pejabat publik muncul dari Panglima TNI,
Jendral Endriartono Sutarto seusai rapat koordinasi dengan Menko Politik, Hukum,
dan Keamanan. Menurut Panglima TNI, ia siap membantu proses penyelidikan kasus
Munir serta dengan tegas membantah keterlibatan anggotanya dalam kasus ini.7
Dukungan penuh dari kalangan tokoh masyarakat misalnya dinyatakan oleh
Ketua PP Muhammadiyah, Syafii Maarif saat bertemu dengan keluarga Munir serta
rekan-rekan seperjuangannya dari NGO pada 24 November 2004 di kantornya. Dia
menyatakan bersedia bila namanya masuk dalam tim investigasi independen tersebut.8
Dukungan komunitas internasional terhadap pembentukan tim investigasi
kasus Munir datang dari 59 aktifis HAM internasional pada 20 November 2004 yang
disampaikan pada acara siaran pers bersama yang disampaikan Koordinator Human
Rights Working Group (HRWG) Rafendi Jamin di Jakarta. Aktifis HAM
Internasional dari 30 negara tersebut sebagian besar adalah penerima “The Rights
Livelihood Award” (RLA) yang diberikan oleh sebuah yayasan yang berbasis di
Swedia.9 Secara khusus mereka menyatakan rasa belasungkawa mendalam serta
memperingatkan pemerintahan SBY bahwa komunitas Internasional akan mengawasi
proses penuntasan kasus Munir.10 Munir sendiri merupakan salah satu penerima “ The
4 Kompas, “Kasus Munir ke Paripurna”, 23 November 2004.5 Koran Tempo, “DPR Desak Pembentukan Tim Investigasi Kasus Munir”, 23 November 2004.6 “DPR bentuk TPF Kematian Munir”, Media Indonesia, 24 November 2004.7 “SBY Dukung TPF Kematian Munir”, Media Indonesia, 25 November 2004.8 “Syafii Siap Masuk Tim Kasus Munir”, Koran Tempo, 26 November 2004.9 Http://www.rightlivelihood.org/news/munir-poisoned.htm10 Http://www.rightlivelihood.org/news/munir-poisoned.htm
37
Rights Livelihood Award” pada tahun 200011. Pada 8 – 13 Juni 2005, para aktifis
penerima penghargaan RLA tersebut kembali berkumpul pada sebuah pertemuan
tahunan di Salzburg, Vienna. Mereka kembali mengangkat pentingnya pengungkapan
kasus Munir. Dalam pertemuan tersebut juga turut hadir Suciwati, istri Munir, yang
didampingi oleh aktivis Imparsial Poengky Indarti serta aktivis KontraS, Mouvty
Makaari Al Akhlaq. Dalam waktu yang hampir bersamaan dengan digelarnya
pertemuan tahunan tersebut, Suciwati beserta Mouvty juga menghadiri sebuah
konferensi tahunan “Human Rights Defender Forum”, yang diadakan oleh The Carter
Center, pada 6 – 8 Juni 2005 di Atlanta. Dalam kesempatan tersebut mantan presiden
Amerika Serikat menyampaikan simpatinya sekaligus dukungan terhadap
pengungkapan kasus Munir. Suciwati, dengan difasilitasi oleh organisasi Human
Rights First (dulu Lawyers Commitee for Human Rights) yang berbasis di New York,
USA kemudian juga bertemu dengan sejumlah pejabat penting di washinton DC, USA
untuk kemudian membicarakan perkembangan kasus Munir.
Melalui kerjasama dengan Human Rights First inilah yang juga memfasilitasi
keikutsertaan Suciwati dalam sebuah pertemuan forum HAM yang diselenggarakan di
Atlanta, USA. Dalam siaran pers bersama yang dilakukan Human Rights First dan
The Carter Center mengkritik peran badan Intelijen negara. Salah satu butir
pernyataan berbunyi: “In Indonesia, efforts to reform the state intelligence body,
implicated in many human rights violations, are being resisted in the name of
safeguarding security” ( “Di Indonesia, upaya-upaya untuk mereformasi Badan
Intelijen Negara, yang terlibat dalam banyak kasus pelanggaran HAM, dihambat atas
nama perlindungan keamanan).
Dukungan dari masyarakat indonesia secara umum juga datang dari kalangan
komunitas korban serta kaum marjinal yang tergabung dalam Solidaritas rakyat untuk
Korban Pelanggaran HAM. Mereka berunjuk rasa pada 2 Desember 2004 dengan
melakukan jalan kaki dari Bundaran Hotel Indonesia ke Istana Presiden untuk
menunjukkan dukungannya terhadap pembentukan tim investigasi kasus Munir
tersebut.12 Dukungan terhadap pembentukan tim investigasi kasus Munir juga datng
dari seorang ikon pop penyanyi terkenal Indonesia, Iwan Fals, pada 8 Desember 2004,
ketika diadakan sebuah acara peresmian patung Munir di kantor Yayasan lembaga
11 “Aktifis HAM Dunia Desak Pengusutan Kasus Kematian Munir”, Suara Pembaruan, 24 November 2004. 12 “Aktifis HAM Tuntut Presiden Realisasikan Tim Independen Penyelidikan Munir”’ Kompas, 3 Desember 2004.
38
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).13 Tidak ketinggalan tercatat pula dukungan para
aktifis perempuan terhadap upaya pembentukan tim investigasi tersebut saat Hari
Internasional untuk Menghapus Kekerasan terhadap perempuan, 25 November 2004,
yang diselenggarakan di Komnas Perempuan, yang juga didedikasikan untuk
mengenang figur Munir. Menurut Ketua Komnas Perempuan, Kemala Chandrakirana,
Munir dapat dinilai sebagai aktifis yang memperjuangkan dan mengadvokasi hak-hak
perempuan. Selama di KontraS Munir dikenal aktif mendorong para ibu untuk
memperjuangkan nasib anak-anaknya yang hilang, mempersoalkan kasus kekerasan
terhadap perempuan seperti di Aceh dan Timor-Timur.
Dari pihak pemerintah sendiri, mulai dari Presiden hingga Kapolri sejak awal
sebetulnya telah mengeluarkan berbagai pernyataan serta berjanji untuk menangani
kasus meninggalnya Munir secara serius. Namun ternyata janji-janji tersebut tidak
serta merta disertai dengan berbagai tindakan nyata yang menunjukkan komitmen
pemerintah untuk mengungkapkan kasus Munir tersebut secara serius. Ini kemudian
terbukti ketika tim investigasi gabungan yang dibentuk Kepolisian RI berangkat ke
Belanda dan gagal untuk mendapatkan seluruh bukti otentik hasil autopsi karena
ternyata tidak membawa syarat-syarat sesuai yang diminta prosedur administrasi
antara Belanda dengan Indonesia.
A. Dinamika Pembentukan Tim Independen Pencari Fakta Kasus Munir
Pada 24 November 2004 di Istana Merdeka, Suciwati didampingi Todung
Mulya Lubis, Rachland Nashidik (Imparsial) serta Mouvty Makaarim Al Akhlaq
(KontraS) diterima oleh Presiden SBY. Pada pertemuan itu keluarga Munir meminta
Presiden SBY membentuk tim investigasi independen atas dasar Keppres (Keputusan
Presiden) dan melibatkan beberapa nama tokoh masyarakat seperti Amin Rais
(Mantan Ketua MPR), Syafii Maarif (Ketua PP Muhammadiyah), dan Todung Mulya
Lubis. Presiden SBY sendiri pada saat itu tidak secara eksplisit untuk segera
memenuhi permintaan tersebut dan lebih bersikap diplomatis dengan meminta lebih
dahulu konsep dasar usulan tim investigasi kasus Munir.14
Sebagai tindak lanjut atas pertemuan sebelumnya, pada 26 November 2004
Direktur Eksekutif Imparsial Rachland Nashidik menyerahkan rancangan tim kasus
13 “Pejuang HAM”, Kompas, 9 Desember 2004.14 “Presiden Minta Konsep Dasar Tim Investigasi Munir”, Kompas, 25 November 2004.
39
Munir beserta usulan nama-nama anggotanya kepada Andi Mallarangeng, juru bicara
Kepresidenan di Halim Perdanakusumah.15
Pada 8 Desember 2004, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi menyatakan bahwa
pemerintah memutuskan untuk menunggu perkembangan penyelidikan yang
dilakukan oleh aparat Kepolisian RI. Ini merupakan bahasa politis untuk menyatakan
“tidak” bagi tim investigasi independen kasus Munir. Pernyataan yang kurang lebih
sama juga diungkapkan Juru Bicara Kepresidenan, Andi Mallarangeng seusai
menghadiri pelantikan Direktur Badan Intelijen Negara (BIN) yang baru, Mayjen
(Purn) Syamsir Siregar. Andi Malarangeng menjelaskan bahwa presiden menilai
pembentukan tim independen belum tepat dan kesempatan harus diberikan dulu
kepada Polri untuk menjalankan tugasnya.16 Ada dugaan keputusan penolakan atas
usulan tim investigasi independen kasus Munir tersebut merupakan hasil keputusan
rapat Presiden dengan anggota kabinet secara terbatas sehari sebelumnya (7 Desember
2004).17
Merasa kecewa dengan sikap penolakan Presiden atas usulan pembentukan tim
independen, istri almarhum Munir, Suciwati, bersama KontraS, Imparsial serta
Kelompok Solidaritas Pembela HAM Indonesia melakukan konferensi pers bersama
di kantor Imparsial, 8 Desember 2004. Menanggapi kekecewaan keluarga Munir, Juru
Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng menjawab dengan bahasa diplomatis bahwa
Presiden SBY tidakmenolak usulan pembentukan tim investigasi independen, tetapi
Presiden SBY lebih memberikan kesempatan dulu kepada Kepolisian RI untuk
menyelidiki kematian Munir.18
Perkembangan menarik terjadi satu hari sesudahnya, 9 Desember 2004, sikap
Presiden SBY berubah cukup drastis dalam pernyataan yang disampaikan oleh
Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi. Dinyatakan bahwa Presiden SBY kecewa adanya
kesan bahwa dirinya menolak pembentukan tim investigasi independen kasus Munir.
Saat itu bahkan Presiden SBY telah menginstruksikan Jaksa Agung serta Kapolri
untuk berkoordinasi dengan pihak keluarga almarhum Munir untuk merancang tim
investigasi independen tersebut agar tidak tumpang tindih dengan ketentuan
perundang-undangan Indonesia.19. Ketidakjelasan dari sikap Presiden SBY tersebut
15 Surat Resmi Imparsial No.337/SK/SEK/Imparsial/XI/2004, ditujukan kepada Presiden SBY.16 Mallarangeng: Tim Independen Belum Tepat”, Indopos, 9 Desember 2004.17 “SBY Reneges on Promise to Munir’s Widow”, Jakarta Post, 9 Desember 2004.18 “Suciwati Kecewa terhadap SBY”, Media Indonesia, 9 Desember 2004.19 Lihat buku putih KontraS “Bunuh Munir!”, hal.62, Januari 2006.
40
kemudian mengundang munculnya berbagai reaksi dari banyak kalangan seperti
anggota DPR, tokoh masyarakat, akademisi, aktivis HAM, hingga organisasi HAM
internasional. Berita akan perubahan sikap dari Presiden SBY ini menjadi berita
utama berbagai media massa nasional.20 Bantahan dari Presiden SBY atas kesan
adanya penolakan dirinya tehadap usulan pembentukan tim independen nampaknya
lebih disebabkan kekacauan serta miskoordinasi di dalam tubuh tim juru bicara
kepresidenan.21
Namun ternyata apa yang telah diinstruksikan Presiden SBY untuk merancang
tim investigasi independen kasus Munir tersebut belum bisa terealisasikan secara
langsung. Hingga waktu seminggu setelah adanya pernyataan Presiden SBY tersebut
pihak keluarga serta kalangan NGO, dalam hal ini KontraS dan Imparsial, sama sekali
belum dilibatkan dalam perumusan draft tim independen tersebut yang direncanakan
disusun bersama dengan Jaksa Agung, Kapolri, dan Menko Polhukam. Padahal, sejak
24 November 2004 KontraS dan Imparsial telah menyerahkan draft pembentukan tim
(beserta usulan nama anggotanya). Satu-satunya undangan yang dikirim pemerintah
adalah pada 13 Desember 2004, itupun hanya untuk membahas langkah investigasi
yang telah dilakukan pihak kepolisian dan sama sekali tidak menyinggung
pembentukan tim investigasi independen.22
Pihak pemerintah (dalam hal ini perwakilan Polri, Kejaksaan Agung, dan
Departemen Hukum dan HAM) baru melakukan rapat dengan pihak keluarga Munir
serta tim pengacaranya pada 21 Desember 2004 dengan melakukan pembahasan
tentang kewenangan tim independen yang akan dibentuk. Pihak keluarga dan kerabat
Munir mendesak agar tim ini memiliki fungsi pro-justicia serta kewenangan yang
menyerupai peran Polri. Usulan tersebut ditolak pihak pemerintah dan hanya
menempatkan tim investigasi independen kasus Munir sebagai sebagai pembantu
penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan polisi, serta memberikan rekomendasi
20 “Tim Independen Kasus Munir Bukan Ambil Tugas Polisi”, Suara Pembaruan 10 Desember 2004. “Presiden Bantah Tolak Tim Independen Kasus Munir”, Suara Pembaruan 9 Desember 2004. “SBY Bantah Tolak Tim Investigasi Munir”, Koran Tempo, 10 Desember 2004. “Presiden Bantah Tolak Pembentukan Tim Independen Munir”, Republika, 10 Desember 2004. “SBY Sedih Dianggap Menolak”, Indopos, 10 Desember 2004. 21 “Presiden bantah Tolak Pembentukan Tim Investigasi”, Kompas 10 Desember 2004. Miskoordinasi antara pernyataan Presiden SBY dengan juru bicaranya (Andi Mallarangeng) tercatat juga terjadi pada kasus kecelakaan di jalan tol akibat iringan kendaraan presiden. 22 “Komnas HAM Pertanyakan Penyelidikan Kasus Munir”, Kompas, 20 Desember 2004.
41
bila dianggap perlu.23 Hasil dari pertemuan tersebut ternyata ditanggapi secara cepat
oleh Presiden SBY. Pada tanggal 23 desember 2004 dikeluarkanlah Keputusan
Presiden (Keppres) bernomor 111 tentang Pembentukan Tim Pencari fakta Kasus
Munir.24
Tim Pencari Fakta/TPF kasus Munir versi Keppres ternyata berbeda dengan
yang disepakati pada rapat bersama di mabes Polri 21 Desember 2004, padahal Juru
Bicara Presiden Andi Mallarangeng pernah menyatakan seharusnya apa yang
ditetapkan Presiden SBY sama dengan draft akhir yang disepakati di rapat Mabes
Polri tersebut.25 Berikut perbandingan tugas dan wewenang TPF versi Rapat Mabes
Polri 21 Desember 2004 dengan versi Keppres No. 111/2004 23 Desember 200426:
23 “Draft Tim Pembentukan Tim Investigasi Kasus Munir disepakati”, Koran Tempo, 22 Desember2004. “Tim Investigasi Diharapkan mampu Tembus Tembok”, Kompas, 22 Desember 2004. “Munir’sfamily, police agree on team”, Jakarta Post, 22 Desember 2004. Usulan nama anggota tim yangdirekomendasikan oleh pihak keluarga dan kerabat Munir adalah: Tim Pengarah: Syafii Maarif,Todung Mulya Lubis, Shinta Nuriyah, Asmara Nababan. Tim Kerja: Hendardi, Rachland Nashidik,Usman Hamid, Munarman, wakil Kejaksaan Agung, wakil Polri, wakil Deplu.24 “Susilo gives Christmas ‘gifts’ to papua, Munir’s family’, jakarta Post, 24 Desember 2004.25 “Keppres Tim Investigasi Munir Ditandatangani”, Koran Tempo, 24 Desember 2004.26 Tabel seperti dikutip dari buku putih KontraS “Bunuh Munir!”, hal.65, Januari 2006.
42
Tugas dan Wewenang TPF
Versi Rapat Mabes Polri, 21/12/2004 Versi Keppres No.111/2004, 23/12/2004
Tugas:
dan kasus meninggalnya Munir.
Wewenang: a) memberikan pertimbangan dan
atau
oleh pihak Penyidik Polri;
dan penyidikan oleh Penyidik P o l r i , m e m o n i t o r d a n mengevaluasi perkembangannya;
c) pihak yang diperlukan serta berkonsultasi dengan ahli-ahli dalam dan luar negeri demi kepentingan jalannya proses penyelidikan dan penyidikan.
Kewajiban: Membuat laporan kepada Presiden
bagi Presiden.
Tugas dan Wewenang: • Membantu Polri melakukan
penyelidikan. • Melakukan hal-hal lain yang
dianggap perlu. •
Pemerintah Pusat dan Daerah.
Secara aktif membantu Penyidik Polri dalam melaksanakan proses penyelidikan
penyidikan pengungkapan
pendapat kepada Penyidik Polri, dengan atau tanpa diminta
b) mengusulkan arah penyelidikan
meminta keterangan dari pihak-
mengenai kegiatan yang dilaksanakan dan merekomendasikan kebijakan-kebijakan
Memperoleh bantuan dari instansi
Komposisi anggota TPF Versi Keppres No.111/2004, 23 Desember 2004 pun
ternyata mengalami perubahan dari kesepakatan pada rapat di Mabes Polri 21
Desember 2004. Nama-nama yang memiliki karakter politik yang kuat seperti Ahmad
Syafii Maarif (Ketua PP Muhammadiyah) serta Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid
(Nahdlatul Ulama) tidak disertakan di dalam susunan tim. Keterlibatan tokoh-tokoh
tersebut padahal amat diperlukan mengingat nuansa politis kasus meninggalnya Munir
amat tinggi dan sudah dipastikan akan banyak menemui kendala secara serius.
Berikut perbandingan susunan anggota TPF versi Rapat Mabes Polri 21 Desember
2004 dengan versi Keppres No. 111/2004 23 Desember 200427:
27 Tabel seperti dikutip dari buku putih KontraS “Bunuh Munir!”, Januari 2006.
43
Komposisi/Susunan Keanggotaan TPF
1) K.H. Ahmad Versi Rapat Mabes Polri, 21/12/2004
Syafii Maarief 1) Brigjen (Pol) Marsudhi Hanafi Versi Keppres No.111/2004, 23/12/2004
(Ketua PP Muhammadiyah) (Ketua) 2) Sinta Nuriyah Abdurrahman 2) Asmara Nababn (Wa. Ketua)
wahid 3) Bambang Widjojanto 3) Asmara Nababan 4) Hendardi 4) Todung Mulya Lubis 5) Usman Hamid 5) Pejabat Pemerintah 6) Munarman 6) Bambang Widjojanto 7) Smita Notosusanto 7) Hendardi 8) I Putu Kusa 8) Usman Hamid 9) Kemala Chandra Kirana 9) Munarman 10) Nazaruddin Bunas 10) Smita Notosusanto 11) Retno LP Marsudi 11) Wakil Kepolisian, Brigjend Pol 12) Arif Navas Oegroseno
Drs. Andi Hasanudin Mappalangi, 13) Rachland Nashidik Karo Analis Bareskrim Polri 14) Mun’im Idris
12) Seorang Wakil dari Kejaksaan Agung RI, Agung, I Putu Kusa, Dir Pratut Jampidum Kejagung RI
13) Ketua Komnas Perempuan kamala Chandrakirana
14) Wakil departemen Hukum dan HAM, Nazaruddin Bunas, Dir Daktiloskopi Ditjen HAM
15) Wakil Departemen Luar negeri, Des Alwi, Kasubdit Eropa Dit Eropa Barat, Ditjen Amero
Pihak Keluarga dan kalangan NGO pun mempertanyakan perbedaan konsep
TPF sebagai masalah serius dan meminta Presiden memberi penjelasan resmi atas hal
itu, lebih jauh, anggota tim yang diusulkan dari unsur non-pemerintah menyatakan
sulit menjadi bagian dari tim yang dibentuk Presiden apabila tidak ada penjelasan dari
kepresidenan. Komite Solidaritas untuk Munir (KASUM), koalisi organisasi non-
pemerintah misalnya melakukan siaran pers yang menyatakan bahwa
pemerintah/presiden telah mengubah hasil kesepakatan rapat di Mabes Polri, 21
Desember 2004.28 Para anggota TPF dari wakil organisasi non-pemerintah
28 “Presiden Dinilai Langgar Kesepakatan Pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Munir”, Kompas, 29 Desember 2004. “Keppres TPF Kematian Munir Mengecewakan”, Media Indonesia, 30 Desember 2004.
44
menyatakan bila dalam waktu sebulan masih terjadi ketidakjelasan, mereka siap
mengundurkan diri dari TPF.29
Walau pada akhirnya tidak perubahan sama sekali terhadap konsep TPF
bentukan Presiden tersebut, dengan segala keterbatasan yang ada TPF versi Keppres
No.111/2004 yang terdiri dari unsur pemerintah dan non-pemerintah memutuskan
untuk melanjutkan kerja TPF. Termasuk mereka yang berasal dari unsur non
pemerintah yang menyatakan untuk sementara memutuskan ikut serta dalm TPF
tersebut. Mereka mengambil sikap akan mengundurkan diri jika dalam pelaksanaan
kerjanya terhambat oleh keterbatasan normatif dalam Keppres tersebut. Setelah TPF
berjalan, dua anggotaTPF dari unsur non-pemerintah, Bambang Widjojanto dan Smita
Notosusanto tetap mengambil sikap untuk tidak ikut aktif dalam TPF versi
kepresidenan tersebut.
B. TPF dan Pengungkapan Fakta Kasus Munir
B.1. Dugaan Keterlibatan Awak Maskapai Garuda
Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir yang dibentuk melalui Keppres No.
111/2004 dan beranggotakan perwakilan Polri, Deplu, Depkumdang, Kejaksaan
Agung, tim ahli serta organisasi non pemerintah mulai bekerja secara efektif sejak
Januari 2005. TPF melakukan pertemuan dengan Tim Penyidik Polri pada 13 Januari
2005. Pertemuan tersebut membahas soal perkembangan kemajuan serta merumuskan
rencana kerja atas penyelidikan kasus Munir. Dari pertemuan tersebut TPF
memperoleh informsi mengenai data-data awal penyelidikan kasus Munir, yaitu (1).
Lima berkas dokumen; General Declaration (outward/inward) awak pesawat GA
974, Laporan Perjalanan (Trip Report) atas nama Capt. Matondang, Surat Keterangan
Kematian dalam Penerbangan (Death on Board), Manifes Penumpang dan Bagasi
(Passenger and Banggage Manifest), serta Denah pesawat 747-400, dan (2).
Kronologis singkat sebelum dan sesudah kematian Munir. Dalam pertemuan tersebut
TPF menyatakan menilai Tim Penyidik Polri lambat dalam menetapkan tersangka.30
Kabareskrim Polri menyatakan mengakui keterlambatan tersebut dan menyatakan
bahwa penyidikan kasus Munir ini menghadapi beberapa kendala, berkaitan dengan
belum adanya respon dari pemerintah Belanda berkaitan dengan permintaan sisa
29 “Pembunuhan Munir Harus Tuntas Dibongkar”, Kompas, 31 Desember 2004.30 “TPF-Polri Rapat Paparkan Kemajuan Kasus Kematian Munir”, www.detik.com, 13 Januari 2004.
45
organ Munir, belum diperiksanya saksi penumpang yang duduk di samping Munir
karena yang bersangkutan berada di Belanda serta pemeriksaan atas pengakuan
Pollycarpus yang menyatakan bertugas sebagai mekanik di Bandara Changi.31
Dalam perjalanan penyelidikan selanjutnya terungkap bahwa Polly sempat
dikabarkan memiliki sebuah pistol yang dia peoleh dari Badan Intelijen Negara (BIN).
Pistol tersebut berjenis P-2 Double Action (P2DA) buatan Pindad. Ijin penggunaan
pistol dikeluarkan oleh BIN sejak 10 Februari 2004 sampai 31 Desember 2004. Pistol
tersebut dikeluarkan berdasarkan daftar administrasi BIN bernomor 210, dengan
nomor register AC. 000018xxxx. Pistol tersebut menurut situs resmi PT. Pindad
memiliki kaliber 9x19 mm dengan sejumlah keunggulan, seperti performa tinggi,
ketahanan tinggi, andal, cocok untuk militer dan polisi. Informasi ini dibocorkan ke
media dari seorang sumber di kepolisian yang enggan disebut namanya.32 Pada waktu
bersamaan, beredar pesan melalui layanan pesan singkat (SMS) yang mengabarkan
seputar keterlibatan Pollycarpus di Badan Intelijen Nasional (BIN).33
Ketua TPF Brigjen Marsudi Hanafi kala itu menyampaikan dua buah
permintaan penting kepada Tim Penyidik Polri. Pertama, meminta penyidik Polri agar
memeriksa dua orang operator Closed Circuit Television (CCTV) Bandara Soekarno-
Hatta yang bertugas pada 6 September 2004. Kedua, TPF juga meminta penyidik
Polri untuk mengadakan rekonstruksi kronologis kasus kematian Munir.34 Permintaan
TPF tersebut sangatlah penting mengingat PT. Angkasapura masih menggunakan
pengawasan di bandara dengan sistem keamanan yang sangat minimal. Yakni hanya
terdapat dua monitor kamera untuk memantau 600 titik di bandara. Itu pun
menggunakan kamera kuno dengan menggunakan kamera kaset, yang tidak secara
otomatis merekam setiap kejadian di sekitar areal badara. Sistim pengamanan dengan
kamera CCTV menggunakan sistem random (acak), ada yang direkam, ada juga yang
tidak. Karena alasan itulah pihak Angkasapura ll menjelaskan kepada TPF Munir
bahwa keberadaan Munir menjelang keberangkatannya pada 6 September 2004 di
bandara tidak terekam oleh kamera CCTV.35 Temuan tersebut sebenarnya menarik
dan krusial. Sulit untuk diyakini ditengah ramainya kampanye pemerintah dalam
31 “Polri Akui Penyidikan Kasus Munir Terkesan Lambat”, www.detik.com, 18 Januari 2005.32 “Beredar SMS Pollycarpus Direkrut BIN Sebagai Agen Utama Intelijen”, www.detik.com, 1Februari 2005.33 “Beredar SMS Pollycarpus Direkrut BIN Sebagai Agen Utama Intelijen”, www.detik.com, 1Februari 2005.34 Lihat buku putih KontraS “Bunuh Munir!”, hal.74, Januari 2006.35 “TPF Munir minta Polri Periksa 2 Operator CCTV Bandara”, www.detik.com, 15 Februari 2005.
46
penangan kejahatan terorrisme sistim pengamanan bandara masih seperti itu.
Permintaan kedua TPF kepada Penyidik Polri juga amat diperlukan untuk
memperjelas sekaligus menguatkan keyakinan penyidik atas bukti-bukti yang telah
diperoleh. Khususnya berkenaan dengan masuknya racun ke dalam tubuh Munir,
kapan dan di mana racun itu masuk ke dalam makanan atau minuman yang kemudian
dikonsumsi Munir. Lebih dari itu, juga untuk mendeteksi siapa saksi yan
kemungkinan melihat tindakan memasukan racun ke dalam makanan atau minuman
Munir.
Atas permintaan-permintaan TPF tersebut Polri memberikan respon yang tidak
jelas. Bahkan pra rekonstruksi tang semula akan digelar penyidik sesuai dengan
permintaan TPF justru dibatalkan.36 Pra rekonstruksi yang sedianya akan
dilaksanankan pada 23 februari 2005 dibatalkan secara tiba-tiba. Direktur l Keamanan
Transnasional Brigjen Pranowo memberikan alasan bahwa pihak Garuda belum siap
menghadirkan semua kru pesawat yang terlibat dalam penerbangan pada hari
kematian Munir serta belum tersedianya pesawat. Penundaan pra rekonstruksi sangat
mencurigakan, padahal, rencana prarekonstruksi sendiri telah dipersiapkan cukup
lama. TPF memberikan waktu tiga pekan bagi Garuda untuk mempersiapkan pesawat
dan kru yang ikut dalam penerbangan bersama Munir.37 Seharusnya pihak garuda
membebaskan kru yang dibutuhkan untuk proses prarekonstruksi dari tugas-tugas
rutin. Padahal jelas, prarekonstruksi penting untuk memperkuat bukti-bukti permulaan
yang sudah diperoleh penyidik, sehingga acara pemeriksaan akan dibuktikan secara
riil di lapangan, misalnya komunikasi kru Garuda dengan Munir.
Pembatalan mendadak prarekonstruksi ini akhirnya menimbulkan tanda tanya
besar bagi publik serta kalangan aktifis organisasi non pemerintah, apalagi kemudian
janji penundaan hingga bulan Maret 2005 ternyata tidak dipenuhi. Malah, penyidik
menggelar rekonstruksi secara diam-diam pada 23 Juni 2005, menjelang hari terakhir
masa kerja TPF. Rekonstruksi diadakan tanpa sepengetahuan TPF dan tanpa diketahui
publik. Padahal sebelumnya, TPF dijanjikan untuk diberitahukan bahwa
diikutsertakan sebagai pemantau dalam pelaksanaan rekonstruksi. Di sini,
kepemimpinan penyidikan oleh Brigjen Pol. Pranowo Dahlan menjadi
dipertanyakan.38
36 “Prarekonstruksi Kasus Munir Ditunda Hingga Maret”, www.tempointeraktif.com, 23 Februari 2005.
38 Lihat buku putih KontraS “Bunuh Munir!”, hal.76, Januari 2006.
47
37
Akibat dari kurang tanggapnya Polri terhadap usulan-usulan penyidikan dari
TPF di atas, penyidik Polri akhirnya hanya bisa menduga-duga kapan racun arsen
masuk ke tubuh Munir. Misalnya penyidik membuat tiga dugaan tentang masalah
tersebut, 1) saat penerbangan Jakarta-Singapura; 2) Saat transit di Changi; atau 3)
sesaat setelah pesawat take off dari Singapura menuju Amsterdam. Dugaan ini tentu
sangat umum. Seandainya didukung proses rekonstruksi tentu akan lebih kuat.
Dugaan lainnya dikemukakan oleh Komjen Suyitno Landung yang mengatakan, ada
saksi mengatakan Munir tidak mengkonsumsi apa-apa selama dalam perjalanan dari
Singapura menuju Amsterdam. Munir hanya mengkonsumsi seperti mie, orange juice
serta buah-buahan saat pesawat berada dalam perjalanan Jakarta-Singapura. Penyidik
Polri masih belum menemukan jawaban atas proses pada masa transit di singapura
dan sesaat setelah take off. Yang bisa diperkirakan, menurut Komjen Suyitno
landung, Munir diketahui meninggal dunia 2 jam sebelum mendarat di Amstrerdam.
Dalam hal perjalanan pesawat dari jakarta ke Amsterdam memakan waktu sekitar 13
jam 10 menit. Jika dikurangi 2 jam sebelum mendarat, maka rentang waktu
meninggalnya Munir menjadi 11 jam 10 menit. Rentang waktu itulah yang didalami
Polri untuk memeriksa saksi kunci.39
Pada awal Maret 2005, dari hasil pertemuan TPF dengan pihak Manajemen
Garuda (dipimpin langsung Direktur Utama Garuda, Indra Setiawan), di kantor Badan
Reserse Kriminal Kepolisian RI, telah ditemukan fakta bahwa Manajemen PT.
Garuda Indonesia tidak melakukan investigasi internal terkait dengan terbunuhnya
Munir. Menurut Ketua TPF, Brigadir Jenderal (Pol) Marsudi Hanafi, investigasi
internal tersebut semestinya dilakukan pihak Maskapai Penerbangan, seperti tertuang
dalam UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Bahkan, pihak Garuda, tidak
memiliki komitmen untuk membantu proses pengungkapan kasus secara tepat.
TPF kasus Munir menyimpulkan terdapat sejumlah bukti materil yang
menunjukkan bahwa sejumlah pejabat serta karyawan Garuda bersekongkol atau
setidaknya terlibat dalam peristiwa tewasnya aktivis HAM Munir. Untuk itu,
setidaknya tiga nama direkomendasikan dijadikan terdakwa. Ketiganya adalah
Aviation Security Garuda Pollycarpus, Vice President Corporation Security Ramelgia
Anwar dan Dirut Garuda Indra Setiawan.40 Dari dua kali pertemuan antara TPF dan
39 “Polri Meyakini Munir Diracun oleh Orang di Pesawat”, www.detik.com, 15 Februari 2005. 40 Indikasi keterlibatan indra, terutama pada pemeriksaan kepolisian atau saat BAP Indra mengaku sama sekali tidak mengenal Pollycarpus. Setelah dimintai keterangan secara bertubi-tubi dalam
48
manajemen Garuda ditemukan sejumlah bukti kuat bahwa meninggalnya kasus Munir
adalah hasil dari suatu kejahatan konspiratif. Terdapat indikasi kuat terlibatnya oknum
PT. Garuda serta pejabat direksi garuda baik langsung atau tidak dalam peristiwa
meninggalnya Munir. Dari hasil investigasi, TPF mendapatkan bukti materil yang
menunjukkan pejabat tersebut bersekongkol dengan cara mengeluarkan surat-suarat
khusus untuk menutupi kejanggalan-kejanggalan yang ditemukan TPF sebelumnya.41
Surat-surat tersebut dikeluarkan secara resmi oleh garuda. Ketiga surat tersebut sarat
dengan kejanggalan. Satu surat ditandatangani sendiri oleh Indra Setiawan, yang
kedua oleh Ramelgia Anwar, dan satu lagi sebuah nota yang ditandatangani Sekretaris
Kepala Pilot Airbus 330. Rohainil Aini. Semuanya berhubungan dengan satu orang,
yakni pilot Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot pesawat Airbus 330, yang sudah 19
tahun berkarier di garuda, Tiga salinan surat yang dimilki TPF, jelas sekali menyebut
(ditujukan) untuk pilot Pollycarpus. Surat pertama yang ditandatangani Indra
Setiawan adalah surat penugasan bertanggal 11 Agustus 2004. Bukanlah suatu
kelaziman penunjukkan seorang pilot untuk menjadi tenaga bantuan di unit keamanan
perusahaan Garuda ditandatangani langsung oleh seorang Direktur Utama.
Surat kedua yang dikeluarkan oleh Ramelgia Anwar juga sangat mencurigakan
TPF. Surat itu mencantumkan tanggal 4 September 2004, dua hari sebelum
penerbangan pesawat yang ditumpangi Munir. Tanggal itu jatuh pada hari Sabtu, saat
kantior Garuda tutup dan tak mungkin mengeluarkan surat sejenis itu dalam prosedur
resmi. Setelah melalui proses interogasi polisi, belakangan terungkap ternyata surat
itu sebenarnya dibuat pada 15 September 2004; dan baru ditandatangani Ramelgia
pada 17 september 2004. Artinya, sepekan lebih setelah Munir meninggal.
Berdasarkan kondisi tersebut, ada dua kemungkinan, yaitu administrasi Garuda yang
tidak profesional atau ada upaya untuk menutupi fakta tertentu yang terkait dengan
pembunuhan Munir.42
Selembar surat lainnya, sebuah nota bertanggal 6 september 2004
ditandatangani oleh Rohainil Aini. Sebagai sekretaris staf administrasi jelas dia bukan
pertemuan pihak Garuda dengan TPF Indra barulah mengakui perkenalannya dengan Pollycarpus. Bahkan, dalam pertemuan terakhir dengan TPF Indra hampir menangis karena tidak bias memberikan jawaban perihal kebohongannya mengenai perkenalan dirinya dengan Pollycarpus. Indikasi kuat perkenalan itu dibuktikan dengan adanya surat tugas Pollycarpus kepada Garuda yang ditandatangani oleh Indra (Semula hal ini disangkalnya); Lihat buku putih KontraS “Bunuh Munir!”, hal.77, Januari 2006. 41 “TPF: Tiga Pejabat Garuda Sekongkol Racuni Munir”, www.detik.com, 3 Maret 2005. 42 Lihat buku putih KontraS “Bunuh Munir!”, hal.78, Januari 2006.
49
orang yang memiliki wewenang untuk menandatangani surat berisi perubahan jadwal
terbang bagi Pollycarpus. Otoritas tersebut ada pada Kepala Pilot Airbus 330, Kapten
Karmel S, yang ketika itu tengah bertugas di luar negeri. Dari pemeriksaan yang ada,
terungkap bahwa Pollycarpus datang ke kantor pusat Garuda di Jalan Merdeka
Selatan, Jakarta, menemui Rohainil (6 September 2004) pukul 16.30 WIB. Menjelang
tutup kantor, Polly mendesak agar dibuat surat “pengubahan jadwal” terbang, agar dia
bisa ikut naik pesawat GA-974 menuju Singapura dan kembali ke Jakarta dengan
penerbangan paling pagi.
Dalam pertemuan antara TPF dengan Presiden 3 maret 2005, Ketua TPF
Munir, Brigjen Pol Marsudi hanafi –dalam laporan sementaranya- menyatakan bahwa
TPF menyimpulkan terdapat cukup bukti kuat peristiwa meninggalnya Munir
merupakan hasil satu kejahatan konspiratif yang tidak mungkin dilakukan
perseorangan dengan motif pribadi. Indikasinya ada persekongkolan antara pimpinan
Garuda dalam menutup-nutupi, berdasarkan sejumlah kejanggalan yang berhubungan
pada tanggal 6 September 2004 dengan pihak-pihak di dalam Garuda.
Selain itu ditemukan sejumlah fakta yang saling berhubungan yang
memperlihatkan kaitan antara BIN dengan meninggalnya Munir. Namun pihaknya
masih merahasiakan sejumlah fakta yang mengaitkan BIN dengan meninggalnya
Munir. TPF memfokuskan diri pada pihak di balik pelaku di lapangan. TPF sendiri
sebelum bertemu dengan SBY sudah menjadwalkan pertemuan dengan BIN, namun
belum ada tanggal pastinya.43 TPF merekomendasikan adanya pemeriksaan terhadap
para 4 orang direksi Garuda serta 2 orang petugas operator rekam untuk pemeriksaan
lebih lanjut.
Sementara itu, 3 Maret 2005, Presiden SBY melalui Menteri Sekertaris Negara
(Mensesneg) Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa pengungkapan kasus Munir
akan menjadi indikator perubahan bangsa ini. Ia menghargai kerja keras dari TPF
untuk membantu penyidikan Polri dan mempersilakan TPF kasus Munir meminta
keterangan dari semua institusi dan badan negara, termasuk BIN bila diperlukan.
Pemerintah tidak akan mencampuri, tetapui memberikan kebebasan dan mendukung
sepenuhnya.44
Pada sore harinya, TPF melakukan pertemuan dengan Tim Penyidik Mabes
Polri. TPF juga meyakini bahwa Tim Penyidik Polri akan menetapkan tersangka. Tim
43 “SBY Persilakan TPF Munir Minta Keterangan ke BIN”, www.detik.com, 3 Maret 2005. 44 “TPF: Ada Indikasi Konspirasi Dalam Kematian Munir”, Kompas, 3 Maret 2005.
50
penyidik telah menemukan kejanggalan-kejanggalan dari dokumentasi dan penugasan
kru Garuda di pesawat GA 974 yang sesuai dengan temuan TPF. Namun penyidik
belum juga menetapkan tersangka karena masih mengumpulkan bukti-bukti yang kuat
sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia.45
Kapolri Jendral Polisi Da’i Bachtiar menegaskan, akan melakukan evaluasi
secara mendalam terhadap informasi yang diberikan TPF yang menyatakan adanya
keterlibatan pejabat Garuda dengan kematian Munir. Da’i juga menegaskan, sejauh
ini pihak penyidik tidak akan menetapkan status tersangka terhadap siapapun sebelum
penyidik berhasil mengambil keterangan seluruh saksi, yakni semua penumpang yang
berada di pesawat dengan rute Jakarta-Singapura-Amsterdam pada 6 September 2004,
lalu. Langkah ini dilakukan agar pihak kepolisian memiliki seluruh data informasi
yang lengkap sebelum diputuskannya status tersangka. Da’i mengaku orang yang
patut diduga itu belum diketahui apa perannya dalam kematian Munir, tapi setidaknya
ada dugaan, ada sesuatu yang disembunyikan atau perlu dipertanyakan hingga patut
diduga yang bersangkutan terkait dengan meninggalnya Munir. Namun laporan TPF
tersebut merupakan hasil keterangan lebih lanjut dari keterangan jajaran direksi
Garuda yang perlu dikaji lagi atau perlu didalami lebih lanjut berkaitan dengan proses
penegakan hukum.46
Sementara itu, DPR melalui Tim Gabungan Kasus Munir DPR memanggil
direksi Garuda beserta seluruh kru yang bertugas saat Munir meninggal dalam
pesawat, guna meminta keterangan pihak Garuda berkaitan dengan meninggalnya
Munir. Pertemuan itu dilakukan secara tertutup. Dalam keterangan kepada pers, Dirut
Garuda Indra Setiawan membantah soal tudingan dirinya serta jajarannya terlibat
dalam kasus tewasnya Munir seperti yang diungkapkan TPF. Namun Indra
membenarkan soal surat penugasan Pollycarpus sebagai Aviation Security Garuda
yang dikeluarkannya. Adanya nomor ganda dalam surat penugasan Pollycarpus
berkaitan dengan masalah administrasi.47
Tim Gabungan Kasus Munir juga kemudian memanggil Pollycarpus dalam
sebuah pertemuan tertutup, sebagai tindak lanjut dari pertemuan dengan Dirut Garuda.
Slamet Effendy Yusuf menyatakan DPR tidak puas dengan jawaban Pollycarpus yang
dianggap berbelit-belt. DPR mempertanyakan tugas Polly pergi ke Singapura pada
45 “TPF Yakin Tim Penyidik Kasus Munir Segera Tetapkan Tersangka”, www.detik.com, 4 Maret2005.46 “Kapolri Akan Evaluasi kaitan Garuda dalam Kasus Munir”, www.detik.com, 4 Maret 2005.47 “Dirut Garuda Bantah terlibat Kasus Tewasnya Munir”, www.detik.com, 4 Maret 2005.
51
malam itu, secara umum apa tugas Polly sejak 11 Agustus 2004, apa yang dilakukan
Polly dalam pergaulannya dengan beberapa orang di Jakarta, serta tentang kejadian-
kejadian yang menimpa Polly seperti masalah tabrak lari yang pernah diderita oleh
Polly. DPR juga menyatakan keraguannya terhadap ketrangan Polly yang menyatakan
bahwa tugasnya ke Singapura sebagai Aviation Security itu dijalankan hanya dengan
melakukan pertemuan saja dengan teknisi Garuda yang ada di Singapura, tapi tidak
melakukan pengecekan terhadap pesawat yang bersangkutan.48
Pada 10 Maret 2005 sedianya pihak penyidik Polri akan melakukan
pemeriksaan intensif terhadap Pollycarpus, namun pemeriksaan tersebuat urung
terjadi karena Polly mengalami sakit dilengkapi dengan surat keterangan istirahat dari
dokter, berkop Garuda Sentra Medika dan logo Garuda. Namun keterangan itu
diraguakn penyidik Polri karena tidak menjelaskan sakit yang diderita Polly. Untuk
itu Polri mengancam akan mengirimkan tim khusus (termasuk dokter kepolisian),
serta menyiapkan lie detector (alat uji kebohongan) jika Polly tidak kooperatif.49
Akhirnya pada 14 Maret 2005, Polly mulai diperiksa di Mabes Polri, setelah
sebelumnya dibawa oleh Polri ke rumah Sakit Polri 12 Maret 2005, karena
penyempitan pembuluh darah setelah mengalami kecelakaan di Jl. Raya Pondok Cabe
tiga minggu sebelumnya.50
Setelah pemeriksaan secara marathon lima hari berturut-turut –melalui
pemeriksaan kesehatan, psikis, maupun aktivitasnya-, pada Jum’at 18 Maret 2005
malam tim penyidik Mabes Polri menetapkan Pollycarpus Budihari Priyanto, Pilot
Garuda, sebagai tersangka dan menahan Pollycarpus di rumah tahanan Mabes Polri.
Kapolri Jendral (Pol) da’I bachtiar menyatakan ada indikasi Pollycarpus
memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, ada sesuatu
yang disembunyikan, dan hal inilah yang menjadi indikator bagi penyidik bahwa
diperlukan pendalaman lagi untuk penyelidikan. Sejauh itu, atas dasar ‘ada sesuatu
yang disembunyikan’ polisi meyakini bahwa Pollycarpus terlibat dengan kematian
Munir. Dia berperan membantu serta menyediakan fasilitas, namun dia tidak
menyebutkan siapa eksekutor. Akan tetapi, Direktur Kriminal Umum dan
Transnasional Kepolisian Negara RI (Polri) Brigadir Jendral (Pol) Pranowo Dahlan
dan Penyidik Utama Unit lll Bareskrim Mabes Polri Kombes Pol. Anton Charlian
48 “Polly dianggap Berbelit-belit, DPR Tidak Puas”, www.detik.com, 8 Maret 2005.49 “Mabes Polri Periksa Polycarpus Pukul 10.00, Polri Kirim Tim untuk Pastikan SakitnyaPollycarpus”, www.detik.com, 8 Maret 2005.50 “Diam diam Pollycarpus sudah berada di Mabes Polri”, www.detik.com, 14 Maret 2005.
52
menegaskan, polisi memiliki bukti kuat untuk menetapkan Pollycarpus sebagai
tersangka. Tersangka dianggap melakukan pelanggaran pasal 340 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pembunuhan berencana, junto pasal 55 dan
pasal 56 KUHP, plus sangkaan subsider berupa pelanggaran pasal 263 KUHP, tentang
pemalsuan dokumen. Dasar-dasar penetapan yang bersangkutan, antara lain adanya
laporan polisi, keterangan saksi, visum dan bukti material.51
Mabes Polri kembali memeriksa Sekretaris Chief Pilot Airbus 3330 PT.
Garuda Indonesia, Rohainil Aini, sebagai saksi kunci terkait dugaan pemalsuan dalam
surat penugasan Pollycarpus Budihari Priyanto. Mabes Polri menduga semua surat
tugas Pollycarpus dalam penerbangan Garuda, 6 September 2005 ke Belanda semua
palsu. TPF kasus Munir mengindikasikan Rohainil Aini terkait langsung dengan
meninggalnya Munir. Rohainil merupakan orang yang menandatangani surat
penugasan Pollycarpus untuk menjadi Aviation Security di pesawat Garuda 974 rute
Jakarta-Singapura-Amsterdam, 6 September 2004. Padahal prosedur penerbangan
mengatur seorang pilot diperbolehkan terbang atau tidak jika mendapatkan surat
penugasan dari kepala pilot. Jika tidak disertai surat penugasan itu penerbangan
disebut illegal atau pelanggaran.52 Masih berdasarkan rekomendasi TPF, Polri
kemudian juga memeriksa Vice President Human resource Department, Daan
Ahmad, terkait dengan pembuatan surat tugas Pollycarpus. Ia melaksanakan tugas
yang diberika oleh Ramelgia Anwar (VP Corporate Security), yang menandatangani
surat tugas Pollycarpus. Padahal semestinya surat tugas Pollycarpus ditandatangani
oleh Direktur Operasional Garuda, Rudi A Hardono.53 Bahkan menurut TPF surat
Ramelgia Anwar ternyata dibuat mundur (backdated/antidatum).
Setelah Pilot Garuda Pollycarpus ditetapkan sebagai tersangka, penyidik
Mabes Polri menetapkan status yang sama terhadap dua awak garuda lainnya, Oedi
Irianto selaku petugas pantry serta Yeti Susmiarti selaku pramugari pada penerbangan
Garuda GA 974. Keduanya ditetapkan tersangka karena mereka bertugas
mempersiapkan segala sesuatu/makanan dan minuman untuk penumpang, termasuk
untuk almarhum Munir. Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri
Komjen Pol. Suyitno Landung menjelaskan racun Arsen masuk ke tubuh Munir
diduga pada penerbangan Jakarta-Singapura sesuai dengan hasil toksiologi dari pakar
51 “Pollycarpus Masih Sembunyikan Eksekutor Pembunuhan Munir”, www.detik.com, 21 Maret 2005. 52 “Pembuat Surat Tugas Pollycarpus kembali Diperiksa”, www.detik.com, 21 maret 2005. 53 “TPF Munir Minta Polri Periksa Vice President HRD Garuda”, www.detik.com, 23 Maret 2005.
53
Belanda dan Indonesia.54 Sedangkan TPF Kasus Munir meminta Kepolisian RI
mempertimbangkan penetapan Brahmanie Astawati-pramugari senior (purser) yang
juga bertugas pada penerbangan GA 974 sebagai tersangka. Alasan dari TPF,
Brahmani-lah yang mengijinkan penukaran tempat duduk bagi Munir saat perjalanan
Jakarta-Singapura. Brahmanie sendiri menegaskan, ia tidak pernah dimintai ijin oleh
Pollycarpus untuk memindahkan tempat duduk Munir dari nomor 40 G (klas
ekonomi) ke 3K (klas Bisnis). Menurutnya, Pollycarpus hanya memberitahu tentang
pemindahan tempat duduk tersebut. Brahmanie mengaku ia tidak kuasa menolak
pemindahan seat oleh Pollycarpus, meskipun Pollycarpus tidak berwenang. Sebab,
ketika itu Munir sudah duduk di seat bisnis.
Selain itu, ada satu alasan yang bisa dirsakan para awak kabin seperti dia,
yakni bahwa pilot ibarat ‘warga kelas satu’ di maskapai penerbangan. Ia menolak
keras jika dinilai terlibat dalam konspirasi pembunuhan Munir. Selain itu, ia hanya
bertugas sebagai flight service manager dari Jakarta sampai Singapura, sementara
yang bertugas menggantikannya untuk penerbangan Singapura-Jakarta adalah najib
Nasution. Brahmanie menyatakan lagi, sehari sebelum keberangkatan, awak kabin
menerima pesanan moslem meal (makanan muslim) untuk kursi 40G kelas ekonomi,
yang merupakan kursi ‘asli’ Munir, namun ia mengaku tidak tahu siapa yang
memesan makanan tersebut.55
Lebih jauh, Ketua TPF Munir, Brigjen Marsudhi Hanafi mengusulkan Indra
Setiawan serta Ramelgia Anwar untuk dijadikan tersangka, karena jelas terlibat dalam
pembuatan surat palsu.56 Untuk itu, tim penyidik Mabes Polri memeriksa semua awak
garuda, termasuk Indra setiawan, Ramelgia Anwar, Rohainil Anwar, Hermawan dan
Edi Susanto pada 8 April 2005.57 berkaitan dangan hal tersebut, Ketua TPF Marsudhi
menyatakan mempercayakan penyelidikan kepada pihak kepolisian, karena tugas TPF
hanyalah merekomendasikan beberapa nama yang kemudian akan ditindaklanjuti oleh
polisi.58
54 “Polisi Tetapkan Dua Tersangka Baru Kasus Munir”, www.kompascyber.com, 5 April 2005. Lihatjuga, “Lagi, Dua Kru Garuda akan Diperiksa Diduga terlibat Terlibat Kasus Munir”, Media Indonesia,5 April 2005.55 “Polri Perlu Pertimbangkan Status Brahmani”, Kompas, 7 April 2005.
56 “TPF Usulkan Indra dan Ramelgia Jadi Tersangka Kasus Munir”, www.detik.com, 7 April 2005.57 “Mantan Dirut Garuda Diperiksa Tim Penyidik Kasus Munir”, www.kompascyber.com, 8 April2005. “Semua Awak Garuda Diperiksa Polisi”, Tempo Interaktif, 8 April 2005.58 “TPF Percayakan Penyelidikan kepada Kepolisian”, www.tempointeraktif, 8 April 2005.
54
B.2. Dugaan Keterlibatan Anggota Badan Intelijen Negara pada Kasus Tewasnya Munir
Pertengahan Maret 2005, TPF kasus Munir mendapatkan sejumlah informasi
dari sumber-sumber yang dirahasiakan, mengenai dugaan keterlibatan (setidaknya
mengetahui), dari sejumlah aparat intelijen dalam kasus pembunuhan Munir. TPF
menganggap bahwa informasi itu terlalu penting untuk diabaikan, namun terlalu
berbahaya untuk dipercayai begitu saja. Penting, karena informasi itu memperkuat
salah satu dari kemungkinan motif pembunuhan Munir. Berbahaya, karena informasi
peka tersebut disampaikan oleh pihak-pihak yang merahasiakan identitasnya untuk
tujua-tujuan yang tidak diketahui.59 Karenanya, untuk memastikan informasi itu
adalah sebuah petunjuk bagi investigasi kasu pembunuhan Munir atau informsi yang
justru menyesatkan, TPF menilai perlu untuk mengecek kebenaran dari informasi
tersebut. Termasuk pula di dalamnya mengecek informasi mengenai keterlibatan
lembaga intelijen dalam kasus pembunuhan Munir, di mana BIN adalah salah satu
lembaga yang perlu diperiksa.TPF mengharapkan, semua pihak yang mengetahui
ataupun memiliki informasi satupun bukti-bukti tambahan yang tersembunyi
berkaitan dengan kasus Munir agar menyerahkannya kepada TPF. Selama kasus ini
tetap menjadi misteri dan tidak mampu diungkap, selama itu pula banyak pihak,
termasuk di dalamnya TNI dan sejumlah perwira tinggi lainnya, baik yang masih aktif
ataupun telah purnawirawan, akan mendapatkan sorotan yang sama sekali tidak
menguntungkan.60
Kapolri Jend Pol. Da’i Bachtiar saat itu menegaskan, Polri tidak ada masalah
dalam pemeriksaan Intelijen yang diduga terkait dalam pembunuhan Munir. Ia tetap
mempelajari rekomendasi TPF dan akan melakukan penyelidikan lebih lanjut jika
rekomendasi TPF cukup akurat.61 Kepala BIN Syamsir Siregar kemudian menyatakan
bahwa BIN siap diperiksa serta tidak ada kesulitan dari pihak manapun untuk bertemu
dengan pejabat BIN.62 Berkaitan dengan dugaan keterlibatan BIN dalam peristiwa
terbunuhnya Munir ia meminta pihak-pihak yang terkait tidak menduga-duga
melainkan memberikan bukti keterlibatan BIN.63
59 “TPF Munir Diminta mengecek Info keterlibatan Anggota BIN’, www.detik.com, 17 Maret 2005.60 Lihat buku putih KontraS “Bunuh Munir!”, hal.86, Januari 2006.61 “Kapolri: Tidak Ada Masalah Periksa Intelijen Soal Munir”, www.detik.com, 24 Maret 2005.62 “Polisi Tak Akan Ragu Periksa BIN”, www.kompascyber.com, 24 Maret 2005.63 “BIN Segera Ketemu TPF Munir”, www.tempointeraktif.com, 28 Maret 2005.
55
Pertemuan antara TPF dengan BIN di lapangan tertunda beberapa kali.
Menurut anggota TPF Rachland Nashidik, surat undangan kepada Kepala BIN tidak
terlalu digubris, sehingga pertemuan itu tertunda. TPF menyesalkan sikap Syamsir,
karena seringkali alasan pembatalan itu tidak dijelaskan secara jelas oleh pihak BIN.
TPF sebenarnya hanya ingin meminta komitmen BIN agar mau melakukan kerjasama
yang penuh dengan TPF dan memberika hal-hal yang dibutuhkan TPF, serta untuk
mengusulkan mekanisme kerjasama antara TPF dan BIN dalam proses penyelidikan
kasus Munir.64 Selain itu, Usman Hamid menyatakan bahwa pertemuan ini untuk
mendorong BIN melakukan penyelidikan internal terlebih dahulu terhadap
anggotanya yang diduga terlibat.65
Pertemuan antara TPF dengan BIN akhirnya terjadi pada 6 April 2005. Kepala
BIN Syamsir Siregar menyatakan komitmennya untuk medukung kerja TPF dalam
menuntaskan kasus meninggalnya Munir. Dukungan tersebut akan segera dituangkan
dalam nota kesepahaman bersama untuk kerja sama berikutnya. Sekretaris TPF
Usman Hamid mengatakan, pertemuan dengan Kepala BIN yang berlangsung sekitar
1,5 jam dan hasilnya cukup positif. Bahkan Kepala BIN sudah menyatakan
komitmennya guna mendukung kerja sama dengan TPF. Dukungan itu akan
dituangkan dalam pembuatan protokol atau kesepahaman bersama untuk kerjasama
berikutnya. BIN juga menempatkan tiga deputinya bergabung dalam tim khusus
bersama dengan empat orang anggota TPF, yang akan menyusun protokol (semacam
prosedur) untuk penyelidikan kasus kematian Munir.66
Menyikapi perkembangan tersebut, Presiden SBY menyetujui pembentukan
tim gabungan antara BIN dan TPF untuk mengungkap kematian Munir. Mengenai
pembentukan tim gabungan untuk kasus Munir, Kepala BIN Syamsir Siregar
menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan komitmen dari pihak BIN untuk
membantu penyelidikan atas kasus pembunuhan Munir. Ia menyerahkan kepada TPF
dalam menetapkan mekanisme dan pola kerja antara wakil dari BIN dan TPF.67
Namun ia membantah kabar adanya Surat Keputusan (SK) tentang pengangkatan
Pollycarpus sebagai agen BIN karena tidak ada bukti otentik.68
64 “TPF Munir Layangkan Surat Undangan Kedua untuk Kepala BIN”, www.detik.com, 31 Maret2005.65 “TPF Munir Kembali Jadwalkan Pertemuan dengan Kepala BIN”, Media Indonesia, 2 April 2005.66 “BIN Dukung TPF Munir”, www.kompascyber.com, 6 April 2005.67 “Presiden SBY Persilakan Tim Gabungan Kasus Munir Dibentuk”, www.detik.com, 11 April 2005.68 “BIN Bantah Pollycarpus jadi Agen Intelijen”, www.tempointeraktif.com, 11 April 2005.
56
Namun ternyata kesepakatan antara TPF dengan BIN tersebut tidaklah
berjalan dengan baik. Berbagai upaya TPF untuk memeriksa pejabat dan anggota BIN
terganjal berbagai kendala. TPF telah melakukan 3 kali pemanggilan pemeriksaan
sebagai saksi terhadap mantan Sekretaris Utama BIN yang kini menjadi Duta Besar
Indonesia untuk Republik Federasi Nigeria, Nurhadi Djazuli. Nurhadi menolak untuk
memenuhi panggilan TPF karena ia menilai TPF tidak berwenang melakukan
penyelidikan yang merupakan wewenang Kepolisian Negara RI.69 Ketua TPF
Marsudhi Hanafi menilai penolakan Nurhadi menunjukkan sikap yang tidak
kooperatif serta menghina Presiden karena TPF bekerja berdasarkan Keppres.70
Karena itu, anggota TPF Asmara Nababan mengusulkan adanya pertemuan antara
Presiden, TPF, BIN dan Kapolri untuk mencari solusi agar kinerja TPF dapat berjalan
efektif. Pertemuan ini juga diharapkan dapat memperlancar kerjasama dengan BIN
sehingga dapat mempercepat proses pencarian fakta.71 Hal tersebut didukung Kapolri
Jendral Da’i Bachtiar, walaupun ia mempertanyakan apakah pertemuan tersebut bisa
mendukung penyidikan yang berlangsung. Sejauh ini tim penyidik mengalami
kesulitan dalam proses kesaksian.72
Pada 2 Mei 2005 protokol kerjasama antara TPF dan BIN akhirnya
ditandatangani. Protokol ini pula dimaksudkan menjadi alat pengikat bagi Nurhadi
Djazuli untuk tidak menghindar dari panggilan TPF, karena diindikasikan keterlibatan
mantan sekretaris BIN tersebut dalam kasus pembunuhan Munir.73
Nurhadi Djazuli akhirnya hadir dalam pemeriksaan dengan TPF pada 8 Mei
2005 di kantor TPF, Komnas perempuan, Jakarta. Dari hasil pemeriksaan tertutup
tersebut TPF menyatakan bahwa TPF semakin yakin tentang adanya keterlibatan
aparat BIN atau mantan BIN dalam kasus pembunuhan Munir. Hal ini dapat menjadi
pintu masuk untuk menelusuri fakta-fakta tentang dugaan-dugaan yang telah dimiliki
TPF berkenaan dengan indikasi keterlibatan tersebut. 74 Sementara itu, Kepolisian RI
juga memeriksa Nurhadi Djazuli guna membandingkan temuan tim penyidik dengan
69 “Mantan Sekretaris Utama BIN Tolak Diperikasa TPF Munir”, Kompas, 28 April 2005.70 “Tolak Dipanggil TPF Munir, Mantan Sekretaris Utama BIN Hina SBY”, www.detik.com, 29 April2005.71 “Diusulkan Pertemuan Segi Empat SBY, TPF, BIN dan Kapolri”, www.detik.com, 19 April 2005.72 “Kapolri Dukung Pertemuan Segi Empat Kasus Munir”, www.detik.com, 20 April 2005.73 “TPF, BIN teken Kerja Sama Ungkap Kasus Munir”, Media Indonesia, 3 Mei 2005.74 “TPF Munir Kian Yakin BIN Terlibat Pembunuhan”, www.detik.com, 9 Mei 2005.
57
TPF, termasuk mencari keterkaitan Pollycarpus, tersangka kasus Munir dengan BIN.
Setelah dikonfrontir, baik Nurhadi maupun Pollycarpus mengaku tidak saling kenal.75
Berkaitan dengan perkembangan-perkembangan paska pemanggilan Nurhadi
Djazuli, TPF kasus Munir kemudian melaporkan hasil penyelidikannya kepada
Presiden SBY pada 11 Mei 2005. TPF juga melaporkan rencana pemeriksaan anggota
BIN lainnya, tetapi belum mendapat kepastian waktu.76 Terhambatnya berbagai
pertemuan TPF dengan BIN akhirnya mendorong Presiden untuk memimpin langsung
pertemuan antara TPF, BIN dan mabes Polri. Sebagai persiapan pertemuan segi empat
tersebut, SBY menggelar rapat koordinasi mendadak dengan dengan Kapolri Jendral
Pol Dai Bachtiar, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, serta Menkum dan HAM Hamid
Awaluddin. Rapat itu juga dilakukan untuk mengambil langkah sebagai tindak lanjut
usulan dari DPR mengenai pengungkapan kasus Munir, serta menginstruksikan
kepada seluruh dan instansi terkait untuk mendukung segala upaya TPF untuk
mengumpulkan keterangan mengenai kematian aktifis HAM Munir. SBY merasa
belum puas dengan kemajuan yang dicapai TPF sejauh ini belum juga menunjukan
hasil yang signifikan.77
Sebagai tindak lanjut pemeriksaan terhadap anggota BIN, TPF mendatangi
Kantor BIN pada 12 Mei 2005. TPF mengatakan akan memeriksa sejumlah dokumen
terkait dengan prosedur dan aturan di BIN serta menindaklanjuti hasil pertemuan tim
dengan Nurhadi.78 TPF juga melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap Nurhadi,
untuk memperdalam hasil temuan awal, dan akan menindaklanjutinya dalam 3
tahapan. Yaitu mendalami keterangan-keterangan Nurhadi, meng-crosscheck- seluruh
keterangan Nurhadi, baik pada pemeriksaan pertama dan kedua, dengan saksi lain,
informasi dan petunjuk lain yang dimiliki TPF Munir. Termasuk dibandingkan
dengan keterangan Nurhadi ketika diperiksa di Kepolisian.79
Pada pertemuan segiempat yang digelar antara Preseiden, TPF kasus Munir,
Polri dan BIN pada 19 Mei 2005, TPF melaporkan temuannya berupa suatu
kesimpulan tentang adanya keterangan-keterangan pejabat BIN yang bertentangan
dengan fakta-fakta yang ada.80 Selepas pertemuan tersebut, Wakil Ketua TPF Asmara
Nababan mengatakan bahwa TPF kasus Munir telah mempertimbangkan untuk
75 “Polisi Periksa Mantan Pejabat BIN”, www.tempointeraktif.com, 11 Mei 2005.76 “TPF Munir laporkan Hasil Penyelidikan ke SBY”, www,detik.com, 11 Mei 2005.77 “SBY Turun Tangan Pertemukan TPF Munir, BIN dan Polri”, www.detik.com, 11 Mei 2005.78 “Tim Munir Datangi Markas BIN”, www.tempointeraktif.com, 12 Mei 2005.79 “TPF Munir Kesulitan Peroleh Info riil dari Nurhadi”, www.detik.com, 18 Mei 2005.80 “Temuan TPF Munir, BIN Bohong”, www.tempointeraktif.com, 18 Mei 2005.
58
memeriksa mantan Kepala BIN Hendropriyono serta mantan Deputi V BIN Muchdi
PR. TPF menyatakan telah menemukan fakta adanya sambungan telepon dari nomor
telepon milik Pollycarpus dengan Kantor BIN di masa kepemimpinan Hendropriyono,
yaitu adanya sambungan telepon antara Polly dengan kantor Deputy V BIN yang
waktu itu dijabat oleh Muchdi PR. TPF kasus Munir menemukan fakta adanya
sambungan telepon antara Pollycarpus dengan Muchdi berlangsung sebelum dan
sesudah Munir tewas pada 7 September 2004. terlacak terjadi puluhan kali kontak
sambungan telepon antara Pollycarpus dangan Muchdi tersebut. Meski belum
diketahui pola hubungan antara keduanya, setidaknya fakta tersebut telah
menggugurkan semua bantahan BIN yang menyatakan tidak memiliki kaitan apapun
dengan Pollycarpus.81 Dalam pertemuan TPF kasus Munir dengan Tim Munir DPR
pada 19 Mei 2005, TPF juga menyatakan bahwa BIN tidak kooperatif dalam usaha
pengungkapan terbunuhnya Munir. Dalam menjalankan tugasnya TPF menyatakan
mendapat perlakuan yang meyulitkan dari BIN, di antaranya dalam mendapatkan
dokumen serah terima jabatan mantan Sekretaris Utama BIN Nurhadi Djazuli kepada
Sekretaris Utama BIN Suparto. TPF dalam kesempatan tersebut mengharapkan
perhatian DPR untuk mendorong agar apa yang telah disepakati pimpinan BIN
dengan TPF juga dapat diimplementasikan stafnya. Belajar dari kasus ini, seorang
anggota TPF juga mengusulkan kepada DPR agar merestrukturisasi lembaga intelijen,
termasuk soal pertanggungjawaban yang ketat atas sebuah operasi intelijen
Pada 18 Mei 2005, setelah sebelumnya dijadwalkan dilakukan pada 16 Mei
2005, Tim Penyidik Polri memeriksa Muchdi PR. Namun anehnya, pada 3 Juni 2005
Muchdi PR tidak hadir memenuhi panggilan TPF tanpa alasan yang jelas. Sedianya
TPF akan melakukan konfirmasi mengenai hasil penelusuran telepon antara Muchdi
dengan Polly. Seperti telah disebutkan, ditemukan adanya saling kontak antara
Pollycarpus dengan Muchdi PR sebanyak 35 kali, baik sebelum maupun sesudah
Munir tewas pada 7 September 2004.
Dengan berbagai berbagai kendala dari sikap BIN yang cenderung tidak
kooperatif, misalnya keengganan BIN untuk membuka akses penyelidikan TPF ke
dalam BIN, proses pembuatan protokol bersama BIN – TPF yang cukup menyita
waktu lama, hingga resistensi beberapa (mantan) anggota BIN untuk dimintai
keterangan, penyelidikan TPF terus berlanjut sampai ke arah Hendropriyono, mantan
81 “TPF Pertimbangkan Periksa Eks Kepala BIN Hendropriyono”, www.detik.com, 18 Mei 2005.
59
Kepala BIN yang saat Munir meninggal menjabat posisi tersebut. Pemeriksaan
Hendropriyono memang diperlukan untuk memastikan sejauh mana keterlibatan BIN
dalam kasus pembunuhan Munir. Sebelumnya pejabat/mantan pejabat BIN yang
masuk daftar TPF untuk dimintai keterangan adalah Nurhadi Djazuli (mantan
Sekretaris Utama BIN), Kolonel (Mar) Sumarno (Kepala Biro Umum BIN), dan
Mayjen (Purn) Muchdi PR (Deputi V BIN). Pemeriksaan terhadap Hendropriyono
penting dilakukan, apalagi mengingat Hendropriyono (dan Muchdi PR) memiliki
pengalaman sejarah yang kurang baik dengan Munir berkaitan dengan investigasi
kasus-kasus pelanggaran HAM seperti kasus Talangsari Lampung serta kasus
penculikan aktivis pada 1998. Secara politik almarhum Munir dan Hendropriyono
memiliki ketegangan hubungan berkaitan dengan beberapa kasus, dimulai dari
advokasi yang pernah dilakukan Munir pada kasus Talangsari, Lampung, hingga
kasus peran BIN berkaitan dengan tidak diperpanjangnya izin tinggal dan kerja
Sidney Jones, Direktur International Crisis Group (ICG), sebuah lembaga berbasis di
Belgia yang pernah mengeluarkan laporan terkait dengan peran intelijen dalam
sejumlah masalah sensitif. Hendropriyono mengeluarkan pernyataan bahwa mereka
yang membela Sidney Jones merupakan pengkhianat bangsa. Hendropriyono
kemudian menyatakan akan ada tindakan yang diambil terhadap mereka (yang
membela Sidney Jones).82 Isu yang terakhir ini juga bersamaan dengan
bersitegangnya Munir dengan Kepala BIN Hendropriyono, seputar pernyataan serta
laporan BIN tentang 20 LSM yang dituduh menjual Indonesia ke pihak asing.83
Keterkaitan Hendropriyono sebagai mantan Kepala BIN dalam kasus
pembunuhan Munir amat menarik mengingat hingga menjelang keberangkatan studi
ke Belanda Munir sendiri masih percaya bahwa karena sikap kritisnya itulah ia
dicekal oleh BIN.84 Sebelumnya almarhum Munir memang terlibat aktif dalam
mengkritisi upaya penguatan kewenangan BIN secara luar biasa melalui rancangan
undang-undang, mulai dari keinginan BIN agar diberi wewenang menangkap dan
menahan orang yang dicurigai, sumber pendanaan non APBN, wewenang pemberian
izin penggunaan senjata api, hingga perluasan struktur BIN hingga ke tingkat desa.85
82 “BIN Minta Tanggung Jawab WNI yang Bela Sidney Jones”, Koran Tempo, 8 Juni 2004.83 “Penyataan Kepala BIN Dinilai Hidupkan Kembali Mesin Represi”, Kompas, 31 Mei 2004.84 “Aboeprijadi Santoso, Pengantar: Gugur di Musi Gugur”, dalam Jaleswari Pramodhawardani danAndi Widjojanto (de), “Munir; Sebuah Kitab melawan Lupa”, Mizan Media Utama, 2004.85 Lihat buku putih KontraS “Bunuh Munir!”, hal.95, Januari 2006.
60
Menjelang hari terakhir masa kerja TPF, Polri secara diam-diam akhirnya
menggelar sebuah rekonstruksi –hal yang telah lama diminta TPF- di Hanggar ll
Garuda Maintenance Facility (GMF) Bandara Soekarno Hatta, 23 Juni 2006.
Rekonstruksi tersebut dihadiri oleh para tersangka yaitu Pollycarpus, Oedi Irianto dan
Yeti Susmiati, dengan menggunakan pesawat Garuda Boeing 737.86 Direktur l
Bareskrim Mabes Polri, Brigjen Pol Pranowo Dahlan, bahwa rekonstruksi sengaja
dilakukan secara tertutup demi kepentingan kelancaran jalannya proses rekonstruksi.87
Setelah sebelumnya sempat diperpanjang pada 23 April 2005, masa kerja TPF
kasus Munir berakhir 23 Juni 2005. TPF kemudian melaporkan hasil kerjanya kepada
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika penyampaian laporan TPF, Sekretaris
Kabinet Sudi Silalahi mengeluarkan pernyataan bahwa institusi TNI, mulai dari
Mabes hingga regu-regu di kesatuan, tidak telibat dalam kasus Munir. Selanjutnya
Sudi Silalahi menyatakan, pemerintah akan mengolah dan menindaklanjuti
rekomendasi TPF dalam waktu singkat untuk mengambil langkah-langkah kongkret
berkaitan dengan kasus kematian Munir.88Sudi Silalahi kemudian menjelaskan,
Presiden juga mendistribusikan laporan TPF ke para Menteri dan pejabat setingkat
menteri terkait, yaitu Kapolda BIN Syamsir Siregar, Menkum dan HAM Hamid
Awaluddin dan panglima TNI Jendral Endriartono Sutarto.89
86 “Rekonstruksi Kasus Munir Digelar di Bandara Soekarno Hatta”, www.detik.com, 23 Juni 2005.87 “Rekonstruksi Kasus Munir Dilakukan Tertutup”, www.detik.com, 23 Juni 2005.88 “TPF Munir Rekomendasikan Anggota BIN sebagai Tersangka”, www.detik.com, 24 Juni 2005.89 “Laporan TPF Munir Juga Dikirim ke BIN dan Panglima TNI”, www.detik.com, 27 Juni 2005.
61
BAB IV PROSES PERADILAN DAN USAHA PENUNTASAN
KASUS PEMBUNUHAN MUNIR
Pada awal Susilo B. Yudhono (SBY) terpilih sebagai Presiden, beliau
menyatakan bahwa kasus Munir merupakan tes bagi sejarah negara ini. Namun pada
kenyataannya, sejak tugas dari Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Pembunuhan Munir
selesai hingga saat ini, Presiden belum juga mengumumkan hasilnya. Tindak lanjut
yang ada hanyalah hasil TPF diserahkan ke Kejaksaan dan Polri.
Pergantian Kabareskrim Polri dari Komjen Suyitno Landung kepada Komjen
Makbul Padmanegara pada 3 juni 2006 tidak juga menunjukan kemajuan yang berarti
dalam pengusutannya. Padahal tugas utama untuk Makbul adalah penanganan kasus
Munir selain Bom Tentena dan korupsi dalam pengadaan jaringan dan alat
komunikasi Polri1.
Pengangkatan Kapolri baru Jenderal Sutanto menggantikan Jenderal Da’i
Bahtiar pada 8 Juli 2005, rupanya masih juga tidak menghasilkan perkembangan baru
dalam pengusutan. Empat skenario pembunuhan Munir yang diungkap oleh Brigjend
(Pol) Marsudhi Hanafi dalam kapasitasnya sebagai ketua TPF2 tidak mendapatkan
tindak lanjut oleh Kepolisian agar menjadi fakta hukum.
Perjuangan Suciwati dalam penuntasan kasus pembunuhan Munir dengan
berbagai upaya mendapatkan berbagai dukungan dari luar negeri. Majalah Time yang
berbasis di Hongkong menganugerahkan Asian Heroes 20053, untuk kegigihan dalam
perjuangan menemukan dalang pembunuh suaminya. Berbagai upaya telah ditempuh
oleh Suciwati, melakukan lobi ke DPR, mendatangi Kepolisian, mendatangi
Kejaksanaan Agung, melakukan kampanye ke beberapa negara dan beberapa daerah
di dalam negeri sendiri juga dilakukan. Walaupun sudah meninggal, Munir masih
mendapatkan pengakuan atas dedikasi dan keberanian dia dalam memperjuangkan
penegakan HAM di Indonesia. Pada 11 Oktober 2005 Suciwati mendapat undangan
untuk menghadiri penerimaan Civil Courage Award di New York. Penghargaan ini
diberikan oleh the Trustees of the Northcote Parkinson Fund dengan anggotanya yang
1 “Makbul Resmi Kabareskim, Munir dan Tentena PR Utama”, http://www.detik.com/indexberita/indexfr.-php, 3 Juni 2005.
2 “Empat Skenario Pembunuhan Munir”, Kompas, 15 Juni 2005. “Suciwati Munir; Taking Up the Struggle Justice” http://www.time.com/time/asia/2005/heroes
/suciwati_munir.html, 3 Oktober 2005.
62
3
berasal dari mantan Senator di AS, Mantan Dutabesar dari berbagai negara dan lain-
lain4.
Segala upaya yang telah ditempuh tidak menunjukan bahwa Suciwati
sendirian dalam berjuang. Respon dari luar negeri pun juga berdatangan diantaranya,
pernyataan oleh Anggota Parlemen dari Uni Eropa ketika berkunjung di Indonesia,
yang meminta agar adanya kesungguhan Pemerintah RI dalam pengungkapan
pembunuhan Munir5. Selain dari Parlemen Eropa, sebanyak 68 orang anggota
Konggres Amerika Serikat menandatangani surat yang ditujukan kepada Presiden
SBY untuk mempercepat penyelesaian kasusnya6.
TPF yang mengalami perpanjangan masa kerjanya hingga 23 Juni 2005
mengeluarkan beberapa rekomendasi. Berdasarkan laporan yang disampaikan kepada
Presiden SBY, TPF membuat 3 poin rekomendasi untuk ditindaklanjuti oleh
Pemerintah. Pertama, Pembunuhan Munir tidak melibatkan satu dua orang sehingga
pihak-pihak tertentu di lingkungan Garuda dan Badan Intelijen Negara yang terlibat
konspirasi pembunuhan terhadap Munir harus diperiksa secara intensif. Kedua, proses
pengusutan kasus Munir terhambat oleh faktor internal di tubuh Polri sehingga
diperlukan langkah konkrit berupa audit kinerja Polri dalam penanganan kasus Munir.
Ketiga, perlu dibentuk suatu kelembagaan baru yang berada di bawah Presiden untuk
meneruskan langkah-langkah yang ditempuh TPF sekaligus sebagai bentuk kelanjutan
komitmen Presiden mengungkap kasus pembunuhan terhadap Munir7.
Berakhirnya tugas TPF ternyata tidak menunjukan adanya tindak lanjut yang
serius dari Polri. Pimpinan Polri yang baru, Jenderal Sutanto, malah menarik Brigjen
Marsudi Hanafi yang menjadi tim penyidik Polri untuk kasus Munir setelah TPF
berakhir, menjadi Staf ahli Kapolri. Bahkan Kapolri sendiri yang berencana akan
menghentikan penyelidikan kasus pembunuhan ini8.
Bahkan berulang kali pergantian ketua tim penyelidik kasus ini diduga
merupakan usaha untuk melemahkan pengungkapan kasus pembunuhan Munir.
Pergantian demi pergantian tersebut tidak sejalan dengan perkembangan dari proses
pengungkapan kasus, melainkan semakin menjauh dari hasil yang diharapkan.
Penyelidik tidak dapat menemukan pelaku lain yang terlibat dalam kasus
4 Info lebih lanjut dapat dibuka di http://www.civilcourageprize.org/honoree-2005.htm 5 ”Uni Eropa Tanya Kasus Munir; Ada Kecenderungan Didiamkan”, Kompas, 27 Juli 2005. 6 ”68 Anggota Konggres AS Desak Pengungkapan Kasus Munir”, Suara Pembaruan, 9 Nopember
2005. 7 “Bunuh Munir! Sebuah Buku Putih”, KontraS. 2006, hal 99. 8 ”Penyelidikan Kasus Munir Kembali ke Titik Nol,” Kompas, 20 Desember 2005.
63
pembunuhan Munir. Bahkan ketua tim penyelidik saat ini, Brigjen Suryadharma
(Direktorat I Keamanan dan Transnasional Bareskrim), sedang menjalankan tugas
penyelidikan lainnya, sedangkan Kapolri sendiri juga bersikap menunggu keterbukaan
Pollycarpus untuk mengungkap siapa dalangnya9. Hal ini ironis sekali dimana
penyelidik yang seharusnya proaktif menggali berbagai informasi yang dimiliki oleh
Pollycarpus, tetapi malah bersikap menunggu informasi yang kecil kemungkinan
diberikan oleh Polly.
Sementara itu, Pollycarpus yang sejak awal diduga terkait dengan
pembunuhan ditetapkan menjadi tersangka sejak 18 maret 2005 ditahan Mabes Polri.
Berkas hasil penyidikan diserahkan ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Dalam berkas
yang diserahkan pada 13 juni 2005 ini, Polly dijerat dengan pasal 340 (tentang
pembunuhan berencana) jo pasal 55 dan atau 56 dan subsider 26310. Selain
Pollycarpus, Polisi juga menetapkan dua awak Garuda yaitu Yeti Susmiarti dan Oedi
Irianto menjadi tersangka11, yang sampai dengan sekarang tidak jelas proses hukum
selanjutnya.
A. Pengadilan Aktor TunggalFase perkembangan kasus Munir selanjutnya adalah pengadilan dengan
terdakwa Pollycarpus (dilihat perkembangan dalam penyerahan BAP dari Kejati
tetapi disidangkan di PN Jakpus) Persidangan dalam menguak pembunuhan Munir
hanya menyidangkan dengan terdakwa tunggal yaitu Polycarpus saja. Persidangan ini
dimulai sejak Agustus 2005. Pelaksanaan persidangan sebanyak 26 kali tersebut
berkahir hingga pembacaan putusan pada tanggal 20 Desember 2006.
Dalam persidangan ini Jaksa Penuntut Umum yang dipimpin Domu Sihite
–mantan anggota TPF- mendakwa Pollycarpus dengan pasal 263 KUHP yaitu
melakukan pembunuhan berencana, pasal 263 ayat 2 KUHP yaitu pemalsuan
surat/dokumen. Dakwaan JPU lebih menunjukkan bahwa pembunuhan berencana
terhadap Munir sebagai pembunuhan yang bersifat tunggal (individual crimes). Hal
ini berbeda dengan temuan TPF yang menyimpulkan sebagai sebuah konspirasi
kejahatan, yang melibatkan orang-orang dari lingkungan Garuda Indonesia dan Badan
9 “Terowongan Panjang Pengungkapan Pembunuhan Munir”, Bulletin HURIDOCS Imparsial, Vol. 3, Edisi Januari - April 2006.
10 “Mabes Polri Serahkan Berkas Pollycarpus ke Kejati”, Koran Pelita, 14 Juni 2005. 11 “Lagi, Dua Kru Garuda akan Diperiksa diduga Terlibat Kasus Munir”, Media Indonesia, 5 April
2005
64
Intelijen Negara (BIN). Memang, seseorang bisa membuat perencanaan sekaligus
pelaksana rencana untuk membunuh orang lain. Tetapi modus, pilihan lokasi, waktu
dan cara yang digunakan untuk membunuh Munir memerlukan sebuah perencanaan
yang luar biasa, dengan pengetahuan, akses informasi sekaligus kemampuan untuk
mengeksekusi dalam penerbangan internasional12.
Saksi-saksi yang dihadirkan untuk memberikan keterangan antara lain,
Suciwati-isteri Munir, Indra Setiawan-bekas Direktur Utama Garuda, Ramelgia
Anwar-bekas Vice President Corporate Security Garuda, Muchdi PR-mantan Direktur
V BIN dan masih banyak lagi saksi hingga berkisar 30 orang lebih berasal dari rekan-
rekan Munir, saksi ahli, serta PT Garuda Indonesia.
Dalam putusannya, Hakim menvonis Pollycarpus bersalah dalam melakukan
perbuatan pidana “turut melakukan pembunuhan berencana” dan “turut melakukan
pemalsuan surat”. Hukuman yang dijatuhkan hakim adalah 14 tahun penjara
dikurangi masa tahanan13.
Sejak awal persidangan dengan terdakwa Pollycarpus, sudah muncul sikap
pesimistis terhadap persidangan dalam mengungkap dalang dan juga orang-orang
yang ikut terlibat pembunuhan, karena dakwaan JPU cenderung pembunuhan Munir
sebagai pembunuhan tunggal (individual crime). Rekomendasi-rekomendasi yang
dikeluarkan oleh TPF sepertinya tidak mendapatkan tidak lanjut yang serius oleh
Kejaksaan, demikian juga dengan saksi-saksi yang dihadirkan, terkesan Hakim tidak
mau mendalami dalam persidangan. Seperti pada keterangan yang diberikan oleh
Muchdi PR tentang sambungan dari telepon genggam dengan nomor 08111900978
yang merupakan miliknya ke nomor telepon genggam milik Pollycarpus sebanyak 27
kali, namun oleh Muchdi PR disangkal bahwa bukan dia yang melakukan sambungan
telepon14.
Namun dalam keputusan Hakim, dalam pertimbangan disebutkan bahwa : Bahwa keterangan saksi Muchdi Purwopranjono sepanjang menyangkut handphone miliknya dengan nomor 0811900978 yang dapat dan boleh dipergunakan oleh orang lain atau siapa saja yang ingin menggunakan tanpa dapat menyebutkan siapa orangya, adalah sangat tidak masuk diakal, karena bagi saksi yang mempunyai jabatan strategis di lembaga tersebut tentunya menyadari betapa membahayakan dan dapat merugikan dirinya apabila saksi tetap membiarkan handphonenya menjadi alat
12 op cit, hal. 101.13 Putusan Perkara Pidana No. : 1361/PID.B/2005/PN.JKT.PST atas nama terdakwa Pollycarpus
Budihari Priyanto, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 14 Ibid, hal. 73
65
16
komunikasi bagi siapa saja yang mau memakai, sementara itu saksi pasti menyadari meskipun bukan saksi yang membayar namun tagihan untuk nomor tersebut harus tetap dibayar dan dilunasi tepat waktu; Bahwa demikian pula keterangan Terdakwa yang tidak pernah disumpah menerangkan tidak kenal dengan pemilik telepon genggam nomor 0811900978 tanpa alasan yang masuk akal, menurut hemat Pengadilan, Terdakwa telah melakukan sangkalan yang tidak mendasar, sehingga harus dikesampingkan;15
Secara umum dalam pertimbangannya Hakim menilai ada hubungan yang
sangat erat dalam rangka menghilangkan jiwa Munir, antara Pollycarpus dengan
orang yang menelponnya dari telepon genggam bernomor 081190978 milik Muchdi
dan sepatutnya Muchdi mengetahui orang yang mempergunakan telepon genggamnya
tersebut. Dan ditambahkan oleh Hakim bahwa siapa saja yang menelepon
menggunakan nomor 0811900978 mempunyai hubungan sangat erat dan telah dikenal
baik oleh Muchdi PR yang tetap bungkam menyatakan tidak tahu siapa yang
menggunakan telepon genggamnya16.
Dalam putusannya Hakim menyebutkan bahwa Munir meninggal karena
memakan mie goreng bukan karena minuman jus jeruk seperti yang didakwakan oleh
Jaksa Penuntut Umum. Perbedaan dalam memutuskan penyebab kematian ini ini
masih dimungkinkan karena hakim masih memiliki kewenangan untuk memeriksa
dan mengadili berdasarkan BAP17.
Berangkat dari Putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, seharusnya
Polisi menindaklajuti dengan melakukan pemeriksaan lanjutan kepada Ramelgia
Anwar, Yeti Susmiarti, Oedi Irianto dan Muchdi. Hal ini menjadi penting untuk
menguak lebih lanjut dari pengungkapan kasus pembunuhan Munir. Adanya
pernyataan yang tercantum dalam Putusan bahwa Pollycarpus terbukti turut dalam
melakukan pembunuhan berencana dan turut melakukan pemalsuan surat,
menunjukan bahwa Pollycarpus bukan pelaku satu-satunya dari kedua hal yang
15 Ibid, hal. 73 Ibid, hal 74. Bahwa keterangan saksi Mantan Deputi V BIN sepanjang menyangkut hand phone
miliknya dengan nomor 0811900978 yang dapat dan boleh dipergunakan orang lain atau siapa saja yang ingin menggunakan tanpa dapat menyebut satupun siapa orangnya, adalah tidak masuk diakal, karena bagi saksi yang mempunyai jabatan strategis di lembaga tersebut tentunya harus menyadari betapa membahayakan dan dapat merugikan dirinya apabila saksi tetap membiarkan hand phone-nya menjadi alat komunikasi bagi siapa saja yang mau memakai, sementara saksi pasti menyadari meskipun bukan saksi yang membayar, namun tagihan untuk nomor tersebut tetap dibayar dan dilunasi tepat waktu. Lihat juga hasil Putusan Majelis Eksaminasi Terhadap Putusan Perkara Pidana PN Jakarta Pusat No. 1361/PID.B/2005/PN.JKT.PST
Dan PT DKI Jakarta No. 16/PID/2006/PT.DKI Dengan Terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto. Putusan ini dibuat dalam kegiatan eksaminasi publik yang diselenggarakan oleh KASUM pada tanggal 21 Mei 2006.
17 Ibid, hal 77
66
didakwakan. Pemeriksaan intensif terhadap saksi-saksi, jelas diperlukan untuk
menindaklanjuti penyidikan kasus pembunuhan Munir.
Pada waktu Hakim memutuskan Pollycarpus bersalah dan dijatuhi hukuman
14 tahun, Jaksa segera mengajukan banding. Karena tuntutan hukuman seumur hidup
atas berbagai dakwaan, Putusan tersebut dinilai terlalu ringan18. Tuntutan yang
diajukan oleh JPU dianggap wajar mengingat dampak yang ditimbulkan akibat
perbuatan terdakwa yang sangat luas, tidak saja merugikan kepentingan korban dan
keluarganya, tapi juga kepentingan universal karena korban adalah pejuang HAM
yang sudah dikenal luas di kalangan masyarakat internasional, maka seharusnya
Pollycarpus Budihari Priyanto dituntut hukuman maksimal.
Namun dalam Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No.
16/PID/2006/PT.DKI, menguatkan putusan PN Jakarta Pusat. Walau dalam putusan
ini Pengadilan Tinggi melalui Hakim Memori Banding memberikan pertimbangan
tentang penyebab kematian Munir :
Bahwa dari fakta-fakta yang diperoleh di persidangan telah terbukti racun
arsen telah masuk ke dalam Munir, SH. Yang karena racun arsen tersebut
dalam jumlah yang mematikan, telah menyebabkan kematian Munir.
Bahwa dari keadaan yang demikian itu, tidaklah perlu untuk dipersoalkan
lagi, apakah racun arsen itu masuk ke dalam lambung Munir, SH, melalui
minuman orange juice sebagai yang disebutkan Jaksa Penuntut Umum
dalam dakwaannya ataukah melalui mie goreng sebagai yang disebutkan
oleh Majelis Hakim Tingkat Pertama dalam putusannya.19
Pada putusan Pengadilan Tinggi (PT), dua Hakim Memori Banding
memberikan dissenting opinion. Hakim tersebut adalah H. Basoeki SH. yang menjadi
Ketua Majelis Hakim dan Sri Handoyo anggota Majelis Hakim. Kedua Hakim
tersebut menerima banding dari JPU dan Pengacara Pollycarpus tetapi membatalkan
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam dissenting opinion tersebut mereka
menyatakan bahwa Pollycarpus tidak terbukti untuk dakwaan turut melakukan
pembunuhan berencana tetapi terbukti dalam dalam dakwaan kedua yaitu
mempergunakan surat palsu. Namun kedua hakim itu menjatuhkan hukuman yang
berbeda terhadap Pollycarpus. Basoeki SH menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara
“JPU Kasus Munir Ajukan Banding”, http://jkt1.detiknews.com/index.php/detik.read/tah-un/2005/bulan/12/tgl/21/time/180917/idnews/503594/idkanal/10, 21 Desember 2005.
19 Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 16/PID/2006/PT.DKI
67
18
lagi mendorong pengungkapankasus Munir dan memggunakan hakinterpelasi dalam kasus Munir
kepada pimpinankasus Munir DPRdan pimpinan komisiagar mengefektifkanpengawasan danmendorongpemerintah membuatTPF baru.
namun tidakefektif dalampengawasanterhadap kinerjapemerintah dalammenyelesaikankasus Munir.
dipotong masa tahanan, sementara Hakim Sri Handoyo menjatuhkan hukuman 3
tahun enam bulan dipotong masa tahanan20.
Saat ini, kasasi perkara kasus pembunuhan Munir dengan terdakwa
Pollycarpus sudah berada di Mahkamah Agung. Pollycarpus sendiri juga terancam
menjadi pelaku tunggal bila penyelidikan tidak berjalan dengan serius. Hal ini
memberikan ancaman akan berhentinya pengungkapan kebenaran kasus tersebut.
Selain itu juga memberikan ancaman bagi demokrasi, dimana civil liberties tidak
diakui oleh negara serta teror bagi penegak keadilan di Indonesia.
B. Usaha Penuntasan Kasus Pembunuhan Munir. Upaya untuk menuntaskan kasus pembunuhan Munir secara tuntas tidak
pernah usai, pengadilan yang hanya menyidangkan terdakwa Pollycarpus saja tidak
akan cukup untuk menguak orang-orang yang berada dibalik pembunuhan. Beberapa
kali Suciwati mendatangi lembaga-lembaga negara yang terkait dengan penanganan
kasusnya.
No. Kegiatan Tanggal Hasil Realisasi 1. Suciwati bertemu dengan Penyidik
Polri tentang adanya tersangka baru, yaitu Wakil Direktur Garuda berinisial RA
13-01-2006 BAP dikatakan oleh Penyidik sudah 90 % namum belum ditahan
Tersangka tersebut adalah untuk pemalsuan surat bukan dalam kapasitas terlibat dalam pembunuhan. Sampai sekarang belum ada penindakan lebih lanjut sampai di pengadilan
2. Suciwati mendatangi Jaksa Agung 26-01-2006 Jaksa Agung Abdul Belum ada mempertanyakan pengusutan nama- Rahman Saleh realisasi nama pelaku yang disebut dalam mengatakan, putusan majelis hakim Pengadilan pengusutan kasus Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). pembunuhan Munir Dan meminta agar Jaksa Agung merupakan beban bisa koordinasi dengan Kapolri tanggung jawab yang yang secara spesifik menyangkut harus diselesaikan pembicaraan antara Polly dengan Muchdi (mantan Deputi BIN
oleh penegak hukum.
Muchdi PR). Karena dalam UU telekomunikasi No. 36/99, Kejaksaan dan kepolisian berwenang untuk
3. Suciwati dan KASUM menemui Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar di Gedung DPR Jakarta untuk mendesak DPR agar proaktif
3-2-2006 Muhaimin berjanji akan menindaklanjuti desakan tersebut. Ia akan mengirim surat
Sampai sekarang tim kasus Munir DPR belum dibubarkan
20 ibid, hal 21
68
Belanda dan mencari informasi ttgwarga negara Belanda, Mr Lie yangduduk sebelah Munir di kelasbisnis.
Indonesia padaSeptember 2006 gunamenagih pemerintahmenuntaskan kasusitu
lagi mendorong pengungkapan kepada pimpinan namun tidak kasus Munir dan memggunakan hak kasus Munir DPR efektif dalam interpelasi dalam kasus Munir dan pimpinan komisi pengawasan
agar mengefektifkan terhadap kinerja pengawasan dan pemerintah dalam mendorong pemerintah membuat
menyelesaikan kasus Munir.
TPF baru. 4. Suciwati bersama Kasum
mendatangi pimpinan DPR RI guna mendesak DPR untuk lebih proaktif dan mendukung secara resmi agar Presiden SBY menindaklanjuti putusan pengadilan.
20-2-2006 Mereka ditemui Oleh Ketua DPR, Agung Laksono dan Ketua Tim Munir DPR, Taufikurahman. Agung Laksono mengatakan setuju dan mendukung
Sampai sekarang masih belum ada kejelasan realisasinya dan kerja dari Tim Munir DPR tidak jelas.
upaya penuntasan kasus pembunuhan Munir ditindaklanjuti. Selain itu, Agung Laksono juga berjanji akan meneruskan aspirasi Kasum dalam rapat pimpinan untuk diambil keputusan, apakah ditanyakan kepada presiden secara tertulis atau melalui konsultasi reguler
5. Suciwati kembali mendatangangi Jaksa Agung Abdurahman Saleh untuk meminta secepatnya bekerja sama dengan polisi untuk menindaklanjuti perkara pembunuhan Munir.
7-4-2006 - -
6. Aliansi Solidaritas untuk Munir dan 7-4-2006 Suciwati diterima -Demokrasi (Asumsi) demo di bertemu dengan Mabes Polri untuk mempercepat Kabareskrim Mabes penyelesaian kasus. Selain itu Polri Komjend Pol dalam aksi, Massa mendesak agar Makbul mantan Deputi V BIN Muchdi PR ditangkap dan diadili. BIN dan
Padmanegara.
Garuda pun harus bertanggung jawab atas kasus Munir.
7. Suciwati dan Kabareskrim Komjen Pol Makbul Padmanegara bertemu membahas evaluasi kasus Munir.
19-5-2006 Mabes Polri berjanji tidak akan memetieskan kasus
-
itu. 8. Komite Aksi Solidaritas Untuk 26-6-2006 Ditemui oleh Bagir -
Munir (KASUM) bersama Adnan Manan dan Buyun Nasution dan Suciwati menyatakan akan meminta kepada Mahkamah Agung mendiskusikan menggunakan wewenang untuk dengan jajaran memeriksa kembali perkara (judex pimpinan MA untuk factie) pembunuhan Munir. Karena saat ini kasus sedang Kasasi di MA
melihat peluang-peluang itu
9. Suciwati saya ke Belanda bertemu 30-6-2006 Parlemen Belanda -dengan beberapa anggota parlemen akan datang ke
69
Belanda dan mencari informasi ttg warga negara Belanda, Mr Lie yang duduk sebelah Munir di kelas bisnis.
Indonesia pada September 2006 guna menagih pemerintah menuntaskan kasus itu
10. Aktivis Kasum Romo Sandyawan Sumadji menemui Wakabareskrim Irjen Pol Gorries Mere untuk mempertanyakan perkembangan penyidikan.
7-7-2006 Wakabareskrim justru mengakui belum adanya perkembangan tersebut
-
11. Suciwati bersama dengan Angkhana, istri Somchai Neelaphaijit -seorang pengacara muslim terkemuka di Thailand dan menghilang sejak tahun 2004 sampai sekarang- mendatangi DPR
25-7-2006 Ditemui oleh Ketua DPR, Agung Laksono. Membicarakan tentang penguatan kerjasama antar parlemen ASEAN untuk mendorong demokratisasi dan penghargaan terhadap HAM
-
Diolah dari berbagai sumber
Lambatnya penanganan kasus untuk mencari pelaku selain Polycarpus pasca
putusan PT DKI Jakarta, rupanya juga diiringi adanya upaya yang dilakukan oleh
Yosephine Hera Iswandari (Hera), istri Pollycarpus yang berkeyakinan bahwa
suaminya tidak bersalah. Dalam suatu kesempatan Kapolri Jendral Sutanto masih saja
mengeluarkan pernyataan yang meminta Pollycarpus untuk berterus terang agar
mempermudah dalam penyidikan dan penuntasan kasus ini. Pernyataan demikian
langsung saja mendapatkan respon dari Hera, bahwa suaminya sudah jujur. Hera juga
pernah mengatakan bahwa ketiga anak mereka mengirimkan surat yang ditujukan
kepada Presiden SBY dan telah diterima serta dibaca oleh Presiden. Masih menurut
pengakuan Hera, Kapolri juga telah memberikan nomor kontaknya kepada Hera dan
berpesan kalau ada apa-apa, ia boleh menghubungi21.
Hal tersebut nampaknya sulit dipahami seandainya Kapolri Sutanto benar-
benar mengatakan seperti pernyataan terakhir Hera. Karena selama ini yang jelas-jelas
pernah mendapatkan teror adalah Suciwati dan juga beberapa orang yang membantu
penuntasan kasus Munir. Sikap Kapolri Jenderal Pol Sutanto yang melakukan
pendekatan secara personal kepada istri Hera, patut dipertanyakan.
Rachland Nashidik, mantan anggota TPF, dalam siaran pers yang dikeluarkan
oleh Imparsial menilai langkah yang diambil Sutanto ini mencerminkan
21 “SBY Terima Surat Anak Polly, Kapolri Janjikan Perlindungan”, http://www.detiknews.com/index-.php/detik.read/tahun/2006/bulan/01/tgl/09/time/131251/idnews/515338/idkanal/10, 9 Januari 2006.
70
ketidakpercayaan terhadap institusinya sendiri. Tugas yang yang harus dijalankan
Kapolri Sutanto adalah mengaudit tim penyelidik yang lama, di dalam kebutuhan
untuk membentuk penyelidik yang baru. Hal ini agar penyelidik yang baru memiliki
integritas yang cukup. Untuk melakukan penyelidikan terhadap nama-nama yang
diajukan tim pencari Fakta (TPF) Munir dulu22.
Hera juga mendatangi DPR yang sedang melakukan Rapat Paripurna dan
sempat ditemui oleh Effendi Simbolon, anggota DPR dari FPDI. Hera hanya
mengatakan, kedatangannya ke DPR hanya ingin kenal lebih dekat dengan Effendi
Simbolon. Dirinya merasa tertarik dengan Simbolon karena dianggap tegas dan berani
dalam menyampaikan pendapat. Saat ditanyai ditanyai oleh wartawan mengenai
tujuannya, Hera masih tidak mau mengakui dirinya meminta dukungan23.
Besar kemungkinan kedatangan Hera adalah menggunakan ajang rapat dengar
pendapat (RDP) untuk bertemu dengan Kapolri Jenderal Polisi Sutanto di Komisi I
DPR.Sekitar pukul 23.30 WIB, saat tengah RDP berlangsung, Sutanto hendak pergi
ke toilet di luar ruang Komisi I. Kesempatan inilah yang digunakan Hera untuk
bertemu Sutanto. Dia pun kemudian membacakan sebuah surat yang isinya meminta
suaminya dibebaskan karena tidak bersalah. Hera juga menyebutkan, kalau benar-
benar pembunuhan Munir belum terbukti, harus secara jiwa besar dan ksatria
dikatakan pembunuhnya belum ditemukan24.
Orang lain yang juga terus mencoba membuktikan bahwa dirinya tidak terlibat
dalam kasus pembunuhan Munir adalah Muchdi PR, Mantan pejabat Badan Intelijen
Negara (BIN) ini akhirnya meminta bantuan hukum kepada tim pembela muslim
(TPM) karena merasa terpojok atas kasus pembunuhan Munir. Lima pengacara TPM
yang menjadi pembela Muchdi PR adalah A Wirawan Adnan, Mahendradatta, Made
Rahman Marasabesi, M Luthfi Hakim, dan Ahmad Cholid25. Namun hal itu ditanggap
oleh Usman Hamid, Koordinator KontraS adalah hal yang wajar karena merupakan
22 “Sikap Kapolri Terhadap Istri Pollycarpus Dipertanyakan”, http://jkt1.detiknews.com/index.php/detik-.read/tahun/2006/bulan/01/tgl/11/time/232050/idnews/516791/idkanal/10, 11 Februari 2006.
23 “Ngaku Tak Cari Dukungan, Istri Pollycarpus Ikut Sidang DPR”; http://jkt.detikinet.com/index.php/-detik.read/tahun/2006/bulan/02/tgl/07/time/170223/idnews/534336/idkanal/10, 7 Februari 2006.
24 “Tuntut Bebas, Istri Polly Temui Kapolri saat ke Toilet”, http://jkt1.detikinet.com/index.php/detik.read/-tahun/2006/bulan/02/tgl/09/time/000148/idnews/535389/idkanal/10, 8 Februari 2006.
25 “Dikejar-kejar Kasus Munir, Muchdi Minta TPM Jadi Kuasa Hukum”, http://jkt1.detikinet.com/index.-php/detik.read/tahun/2006/bulan/02/tgl/02/time/144254/idnews/531084/idkanal/10, 2 Februari 2006.
71
hak setiap orang yang memiliki suatu masalah hukum untuk menunjuk pengacara.
Alasan ditunjukannya TPM dimungkinkan karena Muchdi tidak didampingi
Babinkum mengingat dia bukan anggota TNI aktif lagi, atau sebagai mantan Danjen
Kopassus dalam kasus pembunuhan Munir ini26.
Mahendradatta yang didampingi A Wirawan Adnan, Mohammad Ali, M
Luthfie Hakim menemui ketua majelis hakim kasus Munir, Cicut Sutiarso. Ia minta
penjelasan putusan pengadilan yang disebut-sebut memerintahkan penyelidikan
terhadap Muchdi dan aparat BIN terkait kasus pembunuhan Munir. Cicut
menyatakan, dalam putusan 14 tahun terhadap Pollycarpus Budihari Prijanto, hakim
tidak pernah menyebutkan ada perintah untuk melakukan penyelidikan kepada siapa
pun. Dengan berbekal bantahan pengadilan, pengacara Muchdi semakin mantap untuk
mengambil langkah hukum terhadap pihak-pihak yang memojokkan kliennya.
Pernyataan sejumlah tokoh yang menyatakan Muchdi terlibat pembunuhan Munir
dinilai telah memelintir putusan pengadilan. Tim Pembela Mantan Deputi V Badan
Intelijen Negara (BIN) Muchdi PR berencana akan segera menggugat pihak-pihak
yang menyatakan kliennya terlibat kasus pembunuhan Munir27. Namun belum jelas
siapa saja yang akan dituntut, namun terdapat dugaan tuntutan tersebut akan ditujukan
kepada Rachlan Nashidik, Usman Hamid, Hendardi dan Rafendi Djamin, karena
mereka selama ini tergabung dalam Kasum dan dikenal vokal dalam mengadvokasi
kasus pembunuhan Munir28. Namun sampai dengan sekarang belum ada laporan ke
Polisi ataupun tuntutan yang diajukan oleh pihak Muchdi PR.
Hal tersebut sangat dimungkinkan sebagai upaya untuk menekan ataupun
melemahkan orang-orang ataupun kelompok yang selama ini kritis dalam mendorong
pengungkapan kasus pembunuhan Munir hingga semua pihak yang terkait sampai
dengan dalangnya dapat di ajukan ke meja hijau.
26 “Minta Bantuan TPM, Langkah Muchdi PR Dinilai Tepat”, http://jkt.detikinet.com/index.php/-detik.read/tahun/2006/bulan/02/tgl/03/time/174805/idnews/532084/idkanal/10, 3 Februari 2006
27 “4 Orang Sebut Muchdi Terlibat Kasus Munir Akan Digugat”, http://jkt3.detiknews.com /index.php /detik.read/tahun/2006/bulan/02/tgl/21/time/150633/idnews/543993/idkanal/10, 21 Februari 2006
28 ibid.
72
BAB V
Kebijakan Negara Dalam Penyelesaian Kasus Pembunuhan Munir
Pengungkapan pembunuhan Munir setelah hampir 2 tahun telah menjadi
lembaran dalam sejarah negeri ini. Belum pernah memang ada preseden dalam proses
pengungkapan kasus pembunuhan yang pernah terjadi di negeri, dilakukan oleh
sebuah tim yang bentuk oleh Presiden, seperti Tim Pencari Fakta Munir (TPF).
Tujuan awal dari pembentukan tim ini bukan untuk sebagai bentuk ketidakpercayaan
masyarakat sipil terhada kinerja investigasi aparat keamanan negeri ini, khususnya
pihak kepolisian, tetapi justtru dibentuk untuk memberikan otoritas tambahan bagi tim
investigasi untuk dapat menembus batas-batas yang ada dalam koridor kekuasaan di
negara ini. Sejak awal memang ada indikasi mengenai keterlibatan sekelompok orang
yang memiliki akses terhadap kekuasaan keamanan dalam operasi pembunuhan ini,
khususnya dari pihak intelijen negara. Kontroversi yang sempat mencuat adalah
ketika TPF ingin memanggil mantan petinggi BIN, Letjen (Purn) Hendropriyono
dalam proses investigasi1.
Sikap Pemerintah dalam dalam kontroversi ini tidak pernah jelas. Sikap serupa
juga terjadi ketika TPF berhasil menyelesaikan laporan mengenai temuannya kepada
presiden. Laporan investigasi yang hingga sekarang seperti tersimpan rapat dalam laci
presiden. Presiden dalam pernyataannya mempercayakan pengungkapan kasus
pembunuhan ini ditangan aparat penegak hukum. Sepertinya yang terlupakan disini
adalah setelah proses peradilan terhadap Pollycarpus menguak kemungkinan
keterlibatan petinggi intelijen negara (BIN). Namun hingga kini sepertinya berbagai
temuan itu dibiarkan tidak mendapatkan tanggapan. Sekarang kasus munir masuk
didalam twilight zone untuk selanjutnya diendapkan dalam kotak pandora. Melihat
siklus perkembangan kasus pengungkapan ini dimana respons dari negara yang
cenderung bergerak menuju titik nol .
Tim Imparsial melihat mencoba membaca secara teliti perkembangan ini dari
sisi analisis historis kecendrungan penguasa dalam era transisi demokrasi belum dapat
melepaskan diri dari siklus kekerasan politik negara. Usaha pengungkapan tabir
pembunuhan ini memang memberikan dampak yang besar bagi lingkaran
Hendropriyono menolak untuk bertemu dengan TPF Munir . Dan Hendropriyono mensomasi anggota TPF, Usman Hamid dan Rachland Nashidik, karena dianggap telah memberikan pernyataan bahwa Hendropriyono tinggal di Amerika Serikat. Kompas, Selasa, 31 Mei 2005
73
1
establishment politik dan keamanan nasional. Reaksi yang berasal dari lingkaran
establishment akhirnya menjadi arus yang mendorong siapapun pimpinan eksekutif
dalam negara dapat dibuat seperti tak berdaya.
A. Warisan politik kekerasan negara
Kewajiban negara untuk menjaga dan memenuhi kewajibannya dalam
menjaga hak hidup seseorang masih jauh dari kondisi ideal seperti yang termaktub
dalam konstitusi (pasal 28i). Dalam masa transisi demokrasi ini, negara masih belum
dapat juga menjalankan kewajibannya secara maksimal. Di periode Orde Baru
Soeharto, gagalnya negara memenuhi kewajiban untuk menjaga hak hidup seseorang
adalah konsekwensi logis dari pendekatan keamanan yang represif. Obsesi
pemerintahan ORBA adalah menjaga stabilitas politik demi kelancaran pembangunan
ekonomi. Untuk mencapai hal tersebut stabilisasi politik menjadi prioritas utama.
Untuk mencapai yang dinamakan “stabilitas politik” cara yang ditempuh
adalah memberlakukan pendekatan keamanan pada semua aspek dalam kehidupan
masyarakat. Dalam masa ini urusan sepele pun bisa dianggap sebagai urusan
keamanan negara. Penguasa rejim tidak memberikan toleransi apapun terhadap suatu
yang dapat menimbulkan gangguan keamanan. Pertama, adalah menerapakan
kebijakan memberikan labelisasi negatif terhadap kelompok masyarakat tertentu,
seperti dalam akronim tertertentu “ ET”, atau “ekstrim kiri “, atau “PKI”, dan
“ekstrim kanan” atau radikal”.
Kedua adalah memberi reaksi keras terhadap siapa pun yang memiliki sikap
kritis atau semangat beroposisi terhadap rejim berkuasa. Dalam menghadapi sebuah
aksi protes, reaksinya adalah menggelar kekuatan gabungan bersenjata (militer dan
juga polisi). Kekuatan gabungan yang termobilsasi secara penuh itu ini biasanya
mendapatkan kewenangan untuk menggunakan sarana kekerasaan yang dimiliki.
Contohnya dalam menangani kasus perburuhan. Kekuatan dari aparat keamanan
(militer, polisi dan juga intelijen) dengan sengaja digelar secara besar-besaran untuk
menghadapi aksi buruh seperti dihadapkan pada bahaya untuk dihilangkan atau
dibunuh. Kasus pembunuhan aktifis buruh Marsinah menggambarkan betapa kerasnya
reaksi negara terhadap sikap kritis masyarakat.
Hal ini dilakukan untuk menciptakan kondisi psikologis bagi siapa pun untuk
berpikir ulang jika hendak berunjuk rasa sekaligus memanamkan persepsi bahwa
mereka akan menghadapi suatu kekuatan keamanan yang besar dan tidak segan untuk
74
bersikap keras. Apabila pamer kekuatan sudah tidak dianggap tidak dapat
menanggulangi masalah keamanan maka rejim mengambil langkah lanjut yang
“tegas” sebagai “shock therapy”. Hal ini yang diakui sendiri oleh Soeharto tahun,
dalam buku otobiografinya, dengan bangga ia mengakui bahwa dirinya yang menjadi
pencetus adanya operasi “penembakan misterius” pada 1980-an sebagai solusi untuk
menurunkan tingkat kejahatan. Sejak itu “Penembakan misterius” atau Petrus ini
diadopsi sebagai istilah lokal untuk pembunuhan politik (political assasination).
Pada perkembangannya setelah dimulainya kebijakan “Petrus” ada dua varian
yang berkembang. Pertama adalah varian tertutup yang termasuk dalam sebuah covert
action atau klendestin. Varian kedua adalah varian terbuka; ini lebih mirip jika untuk
dikatakan adalah operasi state sponsors vigilanities2 . Maksudnya adalah aparat
keamanan secara sengaja membiarkan kelompok vigilanties untuk mengambil
tindakan menghakimi seseorang yang diduga sebagai preman.
Perbedaan diantara keduanya adalah siapa yang menjadi pelaksana operasi
tersebut. Varian yang tertutup dilaksanakan oleh pihak intelijen (militer). Sasaran
operasi, atau target operasi adalah individu yang memiliki muatan politik. Contoh
kasus adalah penghilangan aktifis 1998, memberikan indikasi keterlibatan satuan
intelijen militer.
Sedangkan varian yang terbuka, atau operasi state vigilanties, biasanya yang
dijadikan sasaran operasi adalah individu yang memiliki latarbelakang catatan hukum
(para residivis). Dalam istilah yang di pakai oleh LB Moerdani, mereka adalah
anggota “gang kejahatan” atau preman. Pelaksana operasi biasanya dilakukan oleh
pihak aparat penegak hukum.
Kebijakan assasination yang dirintis Soeharto pada perkembangan selanjutnya
secara formil memang tidak pernah diakui sebagai kebijakan resmi dari negara3.
Pengunaan metode sempat dibahas oleh beberapa politisi di luar inner circle rejim
Soeharto secara terbuka. Tetapi hal ini adalah bagian dari cara Soeharto sendiri untuk
mengukur reaksi dari masyarakat, sekaligus usaha untuk mencari dukungan moril.
2 Vigilante : sekelompok orang yang melakukan tidakan penegakan hukum berdasarkan nilai /norma hukum yang mereka anut. Tindakan penegakan hukum yang dilakukan kelompok semacam ini dalam bahasa sehari harinya biasa disebut tindakan main hakim sendiri. 3 Israel adalah negara satu satunya yang secara terbuka memiliki pedoman legal dalam praktek assasination atas dasar untuk menjaga keamanan negara. Praktek assasination yang dilakukan oleh dinas intelijennya (miliyrtharus mendapatkan otorisasi dari perdana mentri.( diambil dari artikel Steven David : Fatal choices ; Israel ‘s Policy of targeted killing THE BEGIN-SADAT CENTER FOR STRATEGIC BAR-ILAN UNIVERSITY Mideast Security and Policy Studies No. 51)
75
Walau ada suara yang kontra seperti dari YLBHI dan beberapa tokoh masyarakat
lainnya, tetapi arus yang menyetujui kebijakan ini lebih besar. Hal ini terlihat dari
beberapa komentar anggota parlemen, terutama dari komisi I yang secara langsung
memberikan dukungan terhadap kebijakan teresebut seperti dukungan dari Wakil
Ketua Komisi I DPR, Marzuki Darusman, “Nampaknya penembakan terhadap para
pelaku kejahatan seperti akhir akhir ini merupakan pilihan terakhir karena pilihan
diluar itu tidak bisa mengatasi persoalan Masalahnya harus pula dikaitkan dengan
keseimbangan hak asasi masyarakat yang membutuhkan ketentraman dan keamaman.
Dalam hal ini penembakan terhadap pelaku kejahatan tentunya tidak bertentangan
dengan hak azasi masyarakat, seseorang dan hukum. Mestinya hal itu bisa dijadikan
peringatan bagi siapapun yang mencoba melanggar hukum4”
Pembenaran kebijakan petrus sebagai pembenaran untuk melakukan melawan
kejahatan ini berhasil mengalihkan perhatian masyarakat mengenai apa yang
sebenarnya terjadi ketika itu. Yang tidak pernah disinggung adalah kebijakan
assasination ini sebenarnya dikembangkan dalam kerangka kerja untuk melenyapkan
lawan politiknya secara sistematis dan terpadu. Hal ini memang Soeharto lakukan
mengingat saingan politiknya adalah sekutu terdekatnya juga. Ketika itu yang diduga
adalah saingan politik dari Soeharto adalah jendral Ali Moertopo5.
Hingga pemilihan umum 1982, dalam proses pemenangan Golkar erat
hubungannya dengan pengerahan kelompok para militer (ormas yang dibawah
naungan dari partai) dan para preman dalam meraup jumlah suara. Kendali terhadap
kelompok paramiliter dan preman ini sebagian besar berada pada Jendral Ali
Moertopo6. Kemenangan pemilu tahun 1982 oleh Golkar lagi sebenarnya menambah
posisi tawar atau memperkuat ambisi Ali Moertopo untuk dapat meraih posisi yang
lebih tinggi dalam politik.
4 Lihat Edwin Partogi dan Usman Hamid, “ Mereformasi Negara Intel Orde Baru : Kasus Penembak Misterius era 1980an “ di dalam “ Negara , Intel dan Ketakutan “ , Pacivis 2006. p 195 5 Nordholt , Schulte G Nico, “ kekerasan dan anarki negara Indonesia Modern “ dalam “ Orde zonder Order : kekerasan dan dendam di Indonesia 1965-1998 “ LKiS , 2002. Petrus menjadi perhatian masyarakat terhadap apa yang sebenarnya terjadi ketika itu, padahal maraknya kejahatan ketika itu adalah salah satunya juga karena ada resesi ekonomi, tidak adanya lapangan pekerjaan dan juga pembiaran .negara. Soeharto melihat masyarakat sudah cukup teralihkan perhatiannya pada soal upaya memberantas kejahatan, dan tidak ada perhatian sama sekali mengenai kemungkinan bahwa apa yang sebenarnya dikembangkan Soeharto dalam soal “penembakan misterius” adalah kerangka kerja untuk melenyapkan lawan politiknya.
Ali Moertopo adalah pemimpin dari Opsus, operasi khusus., yang telah berjasa mensukseskan proyek politiknya Soeharto , termasuk pemenangan pemilihan umum 1982.
76
6
Peristiwa lapangan banteng 1982 dimana organisasi pemuda (AMPI/Angkatan
Muda Pembaharuan Indonesia) yang berada dibawah naungan Partai Golkar berselisih
dengan kelompok jagoan, preman. Dari cara kerja yang terkoordinasi dengan rapih
dari para preman ini menimbulkan tafsir bahwa yang berada dibelakang para preman
itu adalah aparat keamanan negara.
Tujuan yang hendak dicapai dari operasi ini adalah untuk memberikan pesan
kepada Soeharto siapa sebenarnya yang telah berjasa di balik pemenangan pemilu
1982. Pihak yang berjasa dalam pemilu ini adalah pihak yang punya kendali terhadap
para preman. Pesan ini memang ditafsir oleh Soeharto sebagai ancaman langsung
terhadap kepemimpinannya yang sedang dikonsolidasi. Seperti menunggu pucuk ulam
tiba, ketika kelompok preman ini menuntut konsesi, atas jasanya yang untuk
pemenangan pemilu dan sempat memicu konflik dengan aparat keamanan.7 Hal
tersebut dijadikan pretext Soeharto memulai operasi pembersihan dari para preman
sekaligus untuk memperlemah basis kekuatan lawan politiknya.
Berakhirnya kekuasaan Soeharto, tidak serta merta berakhirnya juga kebijakan
informal asssasination. Pikiran dan tindakan ala Soeharto masih melekat pada mind
set petinggi negara, pembuat kebijakan keamanan negeri ini.
Metode informal asssasination ini masih dianggap sebagai pilihan “ideal”
dari pelaksanan kebijakan keamanan, khususnya dalam menghadapi situasi keamanan
yang masih belum stabil di beberapa daerah. Penyelesaian menghadapi gangguan
keamanan dengan cara mengeliminir sumber dari masalah keamanan tersebut.
Sumber dari masalah adalah seseorang yang diduga menggerakan gangguan
keamanan. Disini oleh para pelaksana kebijakan keamanan melihat bahwa metode
assasination dipercaya sebagai bagian dari metode penyelesaian masalah yang
efektif.
Tidak terlalu mengherankan bila di berbagai daerah konflik, mulai dari Aceh,
Papua, Poso, Ambon dan lainnya, fenomena penembak misterius juga ikut merebak.
Di daerah yang terjadi konflik pihak otoritas biasa menggelar operasi intelijen (untuk
koleksi informasi mengenai konflik) atau operasi intelijen (investigasi). Tetapi
dibeberapa kasus gelar operasi intelijen, tidak hanya menjalankan misi dengan
tujuan untuk pengumpulan informasi saja, tetapi juga menjalankan covert action
Peritiwa di Jawa timur pada September 1982, pembunuhan terhadap keluarga petinggi militer setempat. Pada malam harinya pihak berwenang militer menangkap tertuduh dan mengeksekusinya .Lihat Nordholt , Schulte G Nico, “ kekerasan dan anarki negara Indonesia Modern “ dalam “ Orde zonder Order : kekerasan dan dendam di Indonesia 1965-1998 “ LKiS , 2002. p 88
77
7
(operasi rahasia).pertama Masalahnya adalah gelar operasi rahasia ini tidak pernah
jelas adalah siapa yang memberikan otorisasi dan apa tujuannya. Hal ini justru hanya
makin memperkeruh keadaaan keamanan. Yang kedua, pengelaran operasi rahasia itu
memiliki sifat self tasking8dan illegitimate operation dimana penggunakan kekerasan
secara langung sekaligus dilakukan kegiatan propaganda untuk membenarkan
kekerasan9. Pembunuhan Theys Eluay adalah kasus, yang dapat memberikan contoh
bagaimana sebuah operasi penggalangan bekerja.
Theys Eluay, tokoh masyarakat Papua yang pro-otonomi, sudah sejak lama
dijadikan sasaran operasi intelijen. Ini terlihat dari dokumen dari Dirjen Kesbang dan
Linmas Departemen Dalam Negeri, dalam nota Dinas 578/ND/Kesbang/ 11 D/IV/VI/200010 atau sering disebut sebagai dokumen “Ermaya” . Walaupun
keberadaan dokumen ini tidak pernah secara resmi diakui keberadaannya, namun
kenyataannya dokumen ini dijadikan panduan untuk menggelar operasi untuk
menyikapi arah politik di Papua. Pihak keamanan khususnya intelijen militer12
mendapat pembenaranan untuk menggelar operasi rahasia. Tujuan dari operasi rahasia
ini adalah untuk melakukan “penggalangan13” terhadap Theys 14. Penggalangan ini
dimaksudkan untuk membujuk Theys membatalkan proklamasi kemerdekaan Papua
pada tanggal 1 Desember 200115. yang berujung dengan pembunuhan dari Theys
Eluay. Proses investigasi hingga pengadilan dari para tersangka pembunuhan, masih
menyisakan banyak pertanyaaan seperti siapa yang menjadi dalang dari operasi
tersebut dan motif sesungguhnya dibalik pembunuhan tersebut.
Berkaitan dengan kasus pembunuhan Munir, kuasa eksekutif seperti terkondisi
tidak memiliki inisiatif, bahkan cenderung diam. Hal ini dapat ditafsirkan sebagai
8 Sifat Self tasking disini berbagai menggabarkan kerja intelijen seperti, koleksi informasi, analisis dan operasi, dilakukan didalam suatu unit kesatuan yang sama. 9 Andi Widjajanto ed, “Menguak tabir intelijen Hitam “Indonesia , Pacivis UI, 2006 10 Benny Giay, “pembunuhan Theys : Kematian HAM di Tanah papua “, Galang Press , 2006 p38-39 11 “ Ermaya akui adanya dokumen Papua,” Kompas , 27 November, 2001. 12 Satgas Cendrawasih : adalah bagian satuan intelijen militer,yang biasanya dikomandani oleh perwira dari Kopassus. Para tersangka pembunuhan tersebut adalah perwira menengah kopassus , seperti Letkol (inf)Hartomo, Mayor (inf) Donny Hutabarat, kapten (inf) Rionardo, mereka menjadi terdakwa dalam siding kasus pembunuhan Theys (Komando Pasukan Khusus) TNI AD di Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) III di Surabaya .(sumber Bali Post, 4 Januari 2003) 13 Penggalangan adalah sebuah terminology dalam intelijen: yang artinya adalah sebuah tindakan untuk meraih dan membina dukungan. Apa bila yang seseorang tidak dapat di”bina “ maka kemungkinan besar orang tersebut dapat dibina –sa kan. 14 Pengakuan Letkol (inf) Hartomo; bahwa dia memerintahkan kepada bawahannya Mayor Donny Hutabarat untuk melakukan penggalanang terhadap Theys, menurutnya caranya terserah, jangan sampai berlebihan .(Bali Post, 4 Januari 2003) 15 Ibid.
78
ketidakmampuan kuasa eksekutif dalam mengendalikan birokrasi keamanan. Estimasi
yang berasal dari paradigma keamanan, mempengaruhi keputusan eksekutif untuk
melakukan pembiaran terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Membongkar tuntas
kasus Munir dapat dinterpretasikan sebagai ancaman secara langsung terhadap
eksistensi kekuasaan yang ada dalam labirin birokrasi keamanan. Kuasa dalam labirin
birokrasi keamanan ini pula yang memberikan tekanan secara tidak langsung kepada
eksektutif untuk tidak menempuh cara ekstraordinari.Usaha mengungkap kasus Munir
yang jelas akan menggaggu privilege, terutama kekuasaaan mereka untuk
menggunakan pilihan terhadap kekerasan16.
Periode transisi demokrasi belum dapat menyentuh labirin birokrasi yang erat
hubungannya dengan sektor keamanan. Sampai saat ini reformasi telah berhasil
menggulirkan produk perundang-undangan yang mengatur bagaimana sektor
pertahanan keamanan agar lebih accountable terhadap publik. Pembaharuan dalam
perundang undangan ini bisa tidak berarti sama sekali jika tidak dikuti dengan
perubahaan mendasar dari cara pandang aparat keamanan negara. Political will
untuk mendukung perubahan reformasi dalam sektor keamanan masih belum terlihat.
Kondisi seperti ini Itu mungkin jadi sebab mengapa cara pendekatan keamanan
represif tetap dijadikan kerangka acuan kerja yang menyangkut hubungan antara
masyarakat dan negara. Pelanggaran seperti hak hidup seseorang masih sering kali
terjadi hanya karena individu tersebut diduga memiliki pandangan yang berbeda.
Pandangan ini yang kemudian secara simplistis ditafsirkan sebagai bentuk ancaman
terhadap kepentingan negara.
Upaya penyelesaian kasus Munir bisa menjadi acuan untuk melihat seberapa
jauh komitmen pemerintah untuk perubahan (paradigma) sektor keamanan. Agenda
reformasi sektor keaman pemerintah dalam waktu yang dekat ini adalah pembahasan
rencana perundang undangan intelijen. Intelijen, adalah sektor dari keamanan negara
yang masih luput dari pengaruh reformasi. Sektor intelijen baik sipil maupun militer
16 Ketika penyebab kematian Munir diumumkan kepada publik, racun arsenikum diwacanakan sebagai alat pembunuh baru, yang selama ini nyaris tidak terdeteksi. Kematian yang misterius sesorang tokoh atau elit politik hanya menjadi gosip politik atau rahasia umum. Sekarang gosip politik ini sudah menjadi menjadi ancaman yang nyata. Ancaman arsenik ini langsung menjadi komoditas politik di lingkungan elit politik, lihat kasus dugaan ditemuan arsenik di makanan Wapres. Kasus kematian ini telah diberikan kesadaran baru bagi elit politik mengenai ancaman yang dapat menimpa mereka. Hal ini pula yang sempat menyatukan politik untuk bersama-sama untuk mencari dalang dari pembunuhan tersebut. Tapi ketika mulai terkuak adanya keterlibatan dari institusi intelijen negara, nyaris secara serempak semua juga menjadi diam. Tidak ada lagi suara dari pihak politik yang mengingatkan kita untuk meneruskan upaya investigasi kasus ini. Lihat juga Kompas, “Temuan arsenik di makanan Wapres, “16 Desember 2004.
79
masih menjadi peninggalan terakhir dari pengaruh pendekatan keamanan ala rejim
Soeharto. Membiarkan hal ini, berarti pemerintahan ditahun ke depan harus dapat
menanggung hancurnya kredibilitas dari intelijen.
“Test of our history ” seperti yang dikatakan oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono bakal menjadi tidak bermakna sama sekali, apa bila sang empu-nya kuasa
eksekutif tidak memiliki keberanian ekstra untuk memutus warisan masa lampau ini
dan melakukan terobosan yang dapat membuat manusia Indonesia bisa merasa aman
di negerinya sendiri.
B. Keraguan Tuan Presiden
Terulurnya rencana pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir hingga
tidak diumumkan hasil temuannya, sebenarnya sangat tergantung pada polical will
Presiden dalam menuntaskan kasus pembunuhan politik tersebut. Political will sang
Presiden pun tak terlepas dari “orang-orang dekat” Presiden yang bisa saja memilah-
milah atau bahkan menyortir hasil temuan TPF sebelum hasil temuan tersebut sampai
di meja Presiden.
Hingga saat ini, hasil temuan tersebut masih menjadi “rahasia” dan belum
memberikan jawaban memuaskan kepada publik berkaitan dengan master mind di
balik pembunuhan tersebut. Walaupun dalam suatu kesempatan Andi Malaranggeng,
sebagai juru Bicara Presiden, telah menganggap publik mengetahui hasil TPF dan
tidak perlu diumumkan kembali oleh Presiden.17
Seperti secara luas diketahui, sejak berakhirnya masa tugas TPF, kasus
pembunuhan yang dialami Munir diserahkan ke pihak kepolisian sebagai penyidik
untuk ditindaklanjuti. Namun hingga saat ini pun belum jelas terlihat kemajuan berarti
yang dilakukan oleh pihak Kepolisian Indonesia. Padahal di sisi lain, sejak vonis
pengadilan terhadap Pollycarpus Budihari Priyanto dibacakan hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat 20 Desember 2005, Presiden SBY telah menggunakan
otoritasnya dengan memerintahkan Kapolri untuk pro-aktif menuntaskan kasus
pembunuhan tersebut.
Menarik disimak, bila kelambanan usaha penanganan kasus ini di pihak kepolisian
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari konflik yang menyertai sebagian elit
17 Bali Post , “ Presiden Komitmen Bongkar Kasus Munir; Kepala BIN Diperintahkan Kooperatif”, 30 Desember 2005.
80
politik negeri ini, tak terkecuali sang Presiden dan mantan “Komandan” Badan
Intelijen Negara (BIN). Hal yang sama berkaitan dengan dugaan motif tertentu yang
menyelimuti pembunuhan politik (baca: tak lazim) ini.
Tidak diumumkannya ke publik laporan TPF hingga saat ini masih menjadi
pertanyaan besar dalam membuka tabir pembunuhan tersebut. Apakah pelaku
pembunuhan merupakan bagian dari lingkaran elit politik yang berkuasa di masa lalu,
yang notabene di sisi lain menjadi rival politik penguasa saat ini? Ataukah merupakan
bagian dari lingkaran penguasa politik saat ini? Tak ada jawaban pasti, mengenai
siapa dan apa latar belakang pelaku yang terlibat dalam pembunuhan atau “otak” di
balik pembunuhan Munir. Namun di sisi lain, bisa dipastikan, pelakunya merupakan
aktor yang tak jauh dari lingkaran establishment dan terlibat “operasi tersembunyi dan
rapi” dalam memonitor segala aktifitas yang dilakukan Munir. Meninggalnya Munir
tanpa kegaduhan desingan peluru, memperlihatkan dengan jelas cara dan pola
pembunuhan yang dilakukan.18
Adanya gambaran tentang keengganan Presiden SBY mengungkap kasus Munir
terlihat ketika munculnya perdebatan mengenai ketidakhadiran para mantan petinggi
BIN (AM Hendropriyono dan Muchdi PR) dalam forum TPF. Kedua petinggi tersebut
menolak mentah-mentah panggilan yang diajukan oleh TPF. Penolakan tersebut
merupakan pembangkangan terhadap Keppres 111/2004 tentang Pembentukan TPF.
Pada kesempatan lain, Hendropriyono juga memosisikan Presiden SBY sebagai
prajurit bawahannya secara struktural. Dimana pada saat masih aktif sebagai anggota
TNI, SBY merupakan staf Hendropriyono yang menjabat sebagai Pangdam Jaya kala
itu19. Bahkan yang cukup mencengangkan, dua orang anggota TPF, Rachland
Nashidik dan Usman Hamid, dijadikan tersangka karena dianggap melakukan
18 Munir dibunuh didalam pesawat Garuda dalam perjalanan dari Jakarta menuju Belanda. Ditemukannya kandungan racun arsenik yang sangat tinggi dalam tubuh Munir, 460 mg/l di lambung, 4,8 mg/l di urine dan 3,1 mg/l di darah mengarahkan kepada kesimpulan bahwa si pembunuh mempunyai niat membunuhnya dengan kejam, namun tanpa bekas di tubuh bagian luar. Berdasarkan salah satu rekomendasi Tim Pencari Fakta (TPF), yang menduga ada indikasi keterlibatan salah satu perusahan milik negara, PT Garuda Indonesia, sebagai fasilitator pembunuhan Munir, menunjukkan adanya keterlibatan pihak-pihak lain yang memiliki akses luas kepada kekuasaan dan sumber keuangan, sehingga dapat menggunakan sebuah perusahaan tersebut untuk merugikan keselamatan penumpangnya. 19 Lihat http://www.tempo.co.id/hg/nasional/2005/06/21/brk,20050621-62774,id.html, “ Hendropriyono Tak Percaya Presiden Kecewa Padanya”.
81
pencemaran nama baik Hendropriyono20. Pertanyaan pun kemudian layak diajukan,
ada apa di balik langkah yang dilakukan Hendropriyono?
Hubungannya dengan konflik, lima tahun yang lalu, tepatnya sejak akhir 2001,
pertentangan antara AM Hendropriyono dengan Susilo Bambang Yudoyono makin
tampak di muka publik. Saat itu SBY masih menjabat sebagai Menkopolkam di
kabinet Megawati Soekarnoputi21. Kedua tokoh nasional ini terlibat saling sanggah
dalam mengomentari kerusuhan yang terjadi di salah satu kabupaten di Sulawesi
Tengah, Poso.
Konflik ini bermula dari pernyataan Hendropriyono sebagai Kepala BIN
mengenai kerusuhan di Poso. Hendropriyono menyatakan bahwa ada keterlibatan Al-
Qaidah yang dipimpin Usamah bin Ladin dalam konflik antar agama di Poso22. Tak
dinyana, pernyataan inilah yang dibantah oleh Susilo Bambang Yudhoyono saat itu.
Konflik tersebut makin meningkat tensinya menjelang Pemilihan Umum 2004.
Dimana SBY mengundurkan diri dari struktur kabinet Megawati dan kemudian
menjadi rival politik Megawati dalam Pemilihan Presiden, September 2004.
Sedangkan di sisi lain, Hendropriyono menjadi “mesin” kampanye dari Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pimpinan Megawati Soekarnoputri23.
Perbedaan pilihan politik itulah yang semakin menunjukkan tajamnya nuansa
persaingan antara kedua tokoh tersebut, dimana Hendropriyono diduga menggunakan
jaringan intelijen untuk kepentingan partai, sementara SBY diduga menggunakan
program TNI Manunggal Masuk Desa (TMMD) dari setiap Komando Teritorial
(KOTER) untuk meraup dukungan suara.24
Memang, hingga saat ini belum ada bukti dokumen yang menunjukkan adanya
pemanfaatan program TMMD (TNI Manunggal Masuk Desa) dijadikan sebagai alat
kampanye SBY-Kalla dalam usaha meraup dukungan pada Pemilu 2004. Seolah
20 Kompas, “Hendropriyono Adukan Rachland dan Usman Hamid ke Polisi”, 30 Mei 2005. 21 Warta Berita-Radio Nederland , “ Topik Gema Warta: Pertentangan Hendropriyono dan Susilo Bambang Yodhoyono Makin Nampak”, 13 Desember 2001. 22 Ibid. 23 Suara Merdeka, “Sutjipto: Hendro Tetap Jurkam”, 6 Maret 2004. 24 Lihat http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2004/09/15/brk,20040915-41,id.html. Dalam bidang nonfisik TMMD memiliki program penyuluhan kesadaran bela Negara. Penyuluhan dan pembentukan kelompok bela negara ini yang dicurigai kampanye terselubung dari pihak SBY-Kalla oleh kubu kampanye Megawati. Baca juga bantahan Pangdam Brawijaya terhadap tuduhan koalisi kebangsaan di http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2004/09/15-/brk,20040915-31,id.html. Bela negara ini juga berkaitan dengan munculnya beberapa organisasi pemuda pendukung SBY-Kalla, seperti KOMAR (Konco Marhaen) di Jawa Tengah. Lihat Suara Merdeka, Deklarasi ''Komar'' untuk Dongkrak SBY-Kalla, 15 September 2004.
82
gayung bersambut, pihak Tim Sukses SBY-Kalla dan Mega-Hasyim membantah
informasi tersebut, termasuk juga Panglima Daerah Militer V/Brawijaya, Mayor
Jenderal TNI Ahmad Djunaidi Sikki ikut membantah. Namun yang menarik adalah
pernyataan Syamsir Siregar, mantan KaBIA (Kepala Badan Intelijen Angkatan),
tentang posisi Hendro yang dualistik tersebut. “Ini menjadikan kita kembali ke era
tahun 1964-1965, ketika dulu Angkatan Darat berlawanan dengan Badan Pusat
Intelijen (BPI) yang dipegang Soebandrio,” ujar Syamsir25. Bila posisi Hendropriyono
dianalogikan sebagai ketua BPI masa sekarang, siapakah lawannya yang memegang
tentara aktif, yang diandaikan sebagai Angkatan Darat oleh Syamsir?
Posisi bersitegang antara kedua tokoh mantan militer tersebut terus berlanjut
hingga hasil penyelidikan TPF menyentuh kelompok yang merupakan rival politik
dari kekuatan SBY. Tak heran bila dalam perjalanannya muncul hambatan dalam
proses pengungkapan kasus pembunuhan Munir. Kuat dugaan, bila pengungkapan
terus berlanjut dan menyentuh “pelaku utama” pembunuhnya dianggap dapat
mengancam posisi Presiden saat ini, termasuk juga banyak elit lainnya yang memiliki
posisi politik di negara ini.
Ibid. Syamsir Siregar mengingatkan, intelijen adalah untuk kepentingan negara semata-mata, sehingga tidak boleh bersentuhan dengan kepentingan satu kelompok. Dengan tampilnya Hendro sebagai anggota Majelis Pertimbangan Partai (MPP), maka yang bersangkutan dipastikan tidak netral lagi.
83
25
BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Pembunuhan terhadap Munir, sudah memasuki dua (2) tahun, sejak
kematiannya 7 September 2006. Namun demikian, komitmen Negara untuk
pengungkapan kasus ini, seperti yang diungkapkan presiden SBY, belum berhasil.
Terlepas dari belenggu dan hambatan politik, hukum, dan pertarungan antara
kubu kelompok kritis dan mapan, Indonesia seharusnya sudah bisa melangkah lebih
jauh dan memulai transisi ke negara yang demokratis.
Kita tahu, berbagai kesulitan terjadi di Indonesia sebelum, bahkan setelah
Munir terbunuh. Bencana alam, bencana ekonomi, kemiskinan, juga pelanggaran
HAM masih terjadi baik dalam ranah sipil politik, maupun di ranah ekonomi sosial
dan budaya. Namun demikian, tidak ada alasan yang cukup untuk menunda
pengungkapan kasus munir dan membawanya pada posisi keadilan. Ikhtiar ini
memang tidak mudah, melihat betapa kuat dan mengakarnya kultur kekerasan dan
penindasan dari penguasa pada masa lampau, yang juga masih bercokol dalam kepala
manusia Indonesia termasuk pemimpinnya.
Imparsial telah mengajukan hasil laporan analisis kebijakan, dengan
mengungkapkan perjalanan Munir dalam mngoreksi kebijakan negara, setidaknya
pada kurun waktu 2002 hingga wafatnya, 7 September 2004.
Dari pembacaan terhadap relasi negara terhadap masyarakatnya, berdasarkan
refleksi kasus Munir, Imparsial menyimpulkan :
1. Masih kuatnya usaha pengerasan kekuasaan yang otoriter dalam kerangka
reformasi kebijakan, terutama menyangkut reformasi badan negara yang
bergerak dalam sektor keamanan, pertahanan, dan intelijen.
2. Selain sektor keamanan, pertahanan, dan intelijen, masih belum tegasnya
kebijakan negara dalam penegakan hukum dan HAM, termasuk memberikan
keadilan pada kasus pelanggaran HAM masa lalu. Alih-alih membawa
keadilan, lembaga hukum dan peradilan malah memperluas ruang impunity
dengan cara kompromi dan manipulasi ‘atas dasar hukum’.
3. Dalam konteks persaingan kelompok kritis melawan kelompok mapan, dapat
disimpulkan bahwa kekuatan mapan dan pola respon terhadap dinamika yang
berkembang di masayarakat, masih menggunakan pola lama, yakni menggusur
84
kekuatan kritis termasuk melalui cara-cara kekerasan melalui kekuatan
lembaga negara.
4. Di sisi lain, dukungan masyarakat dan sebagian aparat hukum sebenarnya
masih ada. Paling tidak dirasakan dalam sepak terjang TPF kasus Munir yang
dibentuk oleh Presiden SBY. Namun demikian, kendala hubungan antara
instansi membuat penengakan pro-justisia tidak maksimal dan efektif
membawa kasus ini menjadi terbuka.
Bedasarkan kesimpulan di atas, ada beberapa rekomendasi yang mendesak
untuk dilakukan, antara lain :
1. Dalam konteks penuntasan kasus pembunuhan politik terhadap Munir,
Pemerintah Indonesia perlu membentuk komisi independen dengan
kewenangan yang lebih luas untuk melakukan penyelidikan lanjutan.
Keputusan hakim Pengadilan Negeri yang menyimpulkan adanya sebuah
kejahatan konspirasi dalam kasus pembunuhan ini, memberikan legitimasi
untuk menyelidiki lebih lanjut pelaku lainnya.
2. Pejabat negara harus lebih partisipatif dalam melakukan penyelidikan,
terutama untuk kasus pembunuhan politik, dengan memanfaatkan komisi-
komisi yang ada, sepeti komisi kepolisian, kejaksaan, HAM dan hukum untuk
melakukan audit terhadap proses pengungkapan kasus.
3. Perlu adanya audit terhadap lembaga kepolisian yang terlibat dalam
penyelidikan kasus pembunuhan ini. Perubahan ketua penyelidik kasus
pembunuhan Munir di Mabes Polri diduga kuat adanya usaha melemahkan
pengungkapan kasus pembunuhan Munir. Tanpa adanya audit terhadap
kinerja aparat yang selama ini terlibat dalam pengungkapan kasus Munir,
penyelesaian kasus Munir tetap akan berada di titik nol dan upaya untuk
mencari dalang pembunuhan Munir tetap tidak akan terjangkau.
4. Satu catatan tersisa dalam temuan pengadilan adalah, pentingnya peran KPK
dalam menyelidiki akuntabilitas pejabat publik, seperti fakta yang terungkap
pada nomor telpon genggam Muchdi yang dibiayai PT Barito. Walaupun dari
segi nilai kecil, namun pola hubungan antara birokrat dan korporasi tidak
dibenarkan. Pasalnya, pejabat negara harusnya mendapat fasilitas dari negara
saja.
85
5. Perlu adanya kebijakan perlindungan terhadap pembela HAM, mengingat pada
kasus Munir, jelas sekali arus kritis yang diusung Munir dianggap sebagai
ancaman terhadap kekuasaan. Karen itu, negara perlu menyikapinya dengan
pembuatan mekanisme perlindungan, baik melalui mekanisme komisi nasional
maupun melalui sebuah UU khusus tentang perlindungan terhadap HRD.
Dari sekian rekomendasi di atas, dalam jangka pendek seharusnya komitmen
Presiden dalam pengungkapan kasus Munir segera diimplementasikan dengan
mengaudit kinerja aparat kepolisian yang menangani kasus Munir. Jika tidak, maka
sepantasnya SBY segera membentuk tim independen yang baru dengan mandat yang
lebih kuat dari TPF. Sedangkan dalam waktu dekat ini, adalah kewajiban bagi SBY
untuk segera mempublikasikan hasil temuan TPF dan segera menindaklanjutinya.
86