TEMBANG TANPA SYAIR - 02

download TEMBANG TANPA SYAIR - 02

of 167

Transcript of TEMBANG TANPA SYAIR - 02

2

TEMBANG TANPA SYAIRMas Gunggung

*** untuk apa ilmu silat kalau itu menjauhkan diri dari Tuhan dari ketentraman dari persatuan dengan kehidupan yang sesungguhnya lebih baik tidak usah dipelajari lebih baik tidak usah diajarkan lebih baik tidak usah diberitahu tembang ini tanpa syair dibuat dari renungan untuk mencari sampai mendapatkan tindakan yang benar dengan mata hati tembang ini tanpa syair biar saja dibaca oleh burung biar saja dibaca oleh ikan biar saja dibaca oleh angin biar saja ditemukan oleh mata oleh hati oleh mata hati *** Jakarta, 20112

Daftar Isi

Prolog .....................................................................................................................................2 Bab 15 Hidup Dan Mati ....................................................................................................4 Bab 16 Eureka! ................................................................................................................. 24 Bab 17 Tradisional Dan/Atau Modern ........................................................................ 36 Bab 18 Fenomena Regenerasi Sel ................................................................................. 47 Bab 19 Persiapan Pertandingan Pertamaku ................................................................. 59 Bab 20 Pertandingan Itu Bukan Pertarungan .............................................................. 77 Bab 21 Kesadaran Yang Menembus Ambang Batas ................................................ 101 Bab 22 Kesadaran Jiwa ................................................................................................. 121 Bab 23 Siapa Memahami Apa ...................................................................................... 140 Bab 24 Siapa Mengolah Apa ........................................................................................ 154

3

BAB 15

HIDUP DAN MATIAku berjalan bersama Dewi menuju tempat parkir mall. Tempat parkir mobil itu berjarak kira-kira dua puluh meter dari pintu keluar mall arah sebelah kiri. Kami harus melewati parkiran motor terlebih dahulu, kemudian melewati KFC, dan sebuah masjid yang cukup besar. Setelah itu, barulah parkir mobil. Selesai menonton film Spiderman, aku mengantar Dewi. Menurut Dewi, supirnya sudah menunggu di parkiran mobil. Ini pertama kalinya aku menonton bioskop bersama seorang gadis. Hatiku masih berbunga-bunga. Aku yakin hati Dewi pun sama. Kami berjalan beriringan. "Mau dianter ga pulangnya?", tanya Dewi. Ia menatapku lembut. Tatapan ini tidak pernah aku lupakan. Aku tersenyum. "Ga usah. Kamu dulu saja ga apa-apa. Kebetulan aku mau ada perlu untuk ke Gramedia dulu. Mau lihat-lihat buku.", jawabku lembut. Hatiku sebenarnya ingin bersamanya, tapi aku belum berani. Aku berikan alasan untuk ke Gramedia dulu untuk menolak halus ajakannya. Istilah anak-anak muda zaman sekarang itu jaim alias jaga image. "Yeee, kok ga bilang dari tadi sih?", ucap Dewi sambil cemberut. Bibirnya agak manyun. Wajahnya menjadi lucu. Ia menghentikan langkahnya. "Iya iya, nanti lain kali kita jalan-jalan ke Gramedia ya.", jawabku sambil tertawa kecil.4

Aku kemudian berdiri di depannya. "Jangan marah ya...", pintaku lembut. Sambil kedua telapak tanganku aku rapatkan di depan wajah membentuk posisi memohon. "Huh!", jawab Dewi. Ia membuang wajahnya ke arah kiri. Mukanya masih cemberut, bibirnya juga masih agak manyun. Dewi ternyata manja. "Iya... iya... gue janji. Nanti, gue akan ajak ke Gramedia... Ok?", ucapku sambil tanganku membentuk simbol V dengan jari telunjuk dan jari tengah. Aku menegakkan punggung, wajah kubuat serius seperti sedang upacara bendera. Dewi mulai melunak, ia menoleh ke arahku. "Beneran ya? Awas loh kalau bohong!", tanya Dewi. Telunjuk tangan kanannya kini sedang menunjuk keningku. "I swear... by the moon and the stars in the skies. And I swear like the shadow thats by your side...", jawabku sambil bernyanyi sekenanya saja lagu 'I Swear' dari Backstreet Boys sambil memasang tampang serius. Nada suaraku memang asal saja, yang penting liriknya benar. "Iiiih.. ga usah nyanyi deh! Jelek tau! Minggir sana!", ucap Dewi geram. Ia mencubit lenganku. Menyuruhku minggir karena memang aku sengaja menghalangi jalannya. Tanpa menunggu jawaban dariku, ia langsung melangkah maju sambil menggerakkan bahunya untuk menggeser posisi berdiriku. Aku otomatis tergeser ke samping kanan. Ia berjalan melewatiku. Berjalan dengan cepat sambil kepalanya sedikit menengadah dengan manja. Di depan, tidak jauh dari tempatku berdiri, terlihat mobil Toyota Avanza warna silver metalik.

5

Aku meringis. Cubitan itu cukup keras, meski tidak menyakitkan. Aku mengikuti Dewi dari belakang, berjalan menuju mobil. Supir Dewi yang sedang duduk kemudian berdiri dengan tergesa setelah melihat kedatangan Dewi. Kami berhenti di dekat pintu belakang mobil. Pak Supir itu tersenyum padaku. Akupun tersenyum membalasnya. Ia kemudian segera membuka pintu mobil untuk Dewi dengan sedikit membungkukkan badan. "Silahkan Neng", ucap pak supir. Aku melihat Dewi masuk ke dalam mobil. Setelah itu pak supir menutupkan pintu untuknya dan kemudian menuju tempat duduknya. Pintu kaca mobil tempat Dewi duduk terlihat membuka perlahan. "Gue pulang dulu ya A.", tanya Dewi sambil menatapku. "Iya... hati-hati di jalan. Sampai ketemu nanti ya...", jawabku sambil mengangguk. Dewi juga mengangguk. Tangan kanannya kemudian membentuk isyarat seolah sedang menelpon. Aku paham maksudnya, yakni bahwa aku harus menelponnya. Perlahan, kaca mobil itu kembali tertutup. Suara mesin mobil yang baru dinyalakan pun terdengar. Aku mundur beberapa langkah, mengambil jarak aman dan memberikan ruang pada mobil Dewi. Aku naik ke trotoar. Aku melihat Dewi dari balik kaca belakang mobil. Ia melambai ke arahku sambil tangannya sesekali membentuk simbol gerakan sedang menelpon yang berarti aku harus menelponnya nanti. Aku juga kemudian balas melambai padanya6

sambil tersenyum dan mengangguk. Setelah melihat anggukanku, barulah Dewi kembali duduk seperti biasa. Perlahan, mobil itupun melaju. Aku hanya menatap bagian belakang dari mobil itu yang makin lama makin menjauh. Aku bersiap untuk pulang. Perjalanan dari mall ini ke rumahku sekitar tiga puluh menitan dengan dua kali naik angkutan umum. Pertama, aku harus naik angkutan umum 06 dan turun di pasar Gunung Sari. Lokasi yang dekat dengan pertarungan pertamaku dahulu. Setelah itu aku melanjutkan naik angkutan umum 04 menuju depan jalan rumahku. Angkutan umum 06 itu memang sering berhenti cukup lama di depan mall ini. Aku melihat kondekturnya berteriak ke arahku sambil melambaikan tangannya. "Nol enam! Nol enam! Nol enam!", teriak pak kondektur. Aku mengangguk. Kondektur itu langsung mendekatiku, lalu tangannya seolah melindungiku dan membimbingku untuk masuk. Entah melindungi dari apa. Aku tersenyum. Barangkali, itu kebiasaan yang berlaku untuk para kondektur. Seolah memberi tanda kalau itu adalah penumpangnya, kondektur lain tidak boleh mengambilnya. Aku berjalan mendekati tempat duduk di samping supir yang kosong. Kondektur itu kemudian membukakan pintu untukku, mempersilahkanku untuk duduk. Aku menurut dan duduklah kini disamping pak supir yang tersenyum ke arahku. Uuh, nyaman juga ternyata dibukakan pintu oleh orang lain. Mungkin, ini juga yang dirasakan oleh Dewi saat ia dibukakan pintu mobilnya oleh supir. Tidak berapa lama, kondektur itu langsung melompat dan bergantungan di samping pintu masuk angkutan umum di sebelah kiri. "Tariiiik piiiiiiir!", teriak pak kondektur.7

Mobil angkutan umum 06 pun melaju. Aku paling suka duduk di depan, sebelah pak supir. Alasannya, karena aku senang mempelajari bagaimana cara seorang supir mengemudikan kendaraannya. Aku memperhatikan bagaimana gerakan kakinya, koordinasi antara tangan dan kaki, melihat bagaimana cara dia berhenti, cara melaju, cara berganti kopling, dan sebagainya. Meski belum punya mobil, aku yakin suatu hari nanti pengetahuan ini akan berguna untukku. Kira-kira lima belas menitan berlalu. "Kiri.. kiri... stop di depan pak!", pintaku pada pak supir. Aku melihat pasar Gunung Sari di depanku. Ia pun melambatkan kendaraannya. Berhenti kira-kira tiga puluh meter dari pasar itu. Aku membuka pintu mobil dan bersiap untuk turun. Tidak lupa aku memberikan uang dua ribu rupiah sebagai ongkos. Pak kondektur kemudian menutupkan pintu depan untukku. Mobilpun kembali melaju. Aku berhenti tepat di depan tempat dimana dulu aku mengalami pertarungan pertamaku. Aku masih teringat, beberapa bulan yang lalu tempat ini menjadi saksi bisu perkelahianku. Pohon yang sama. Tanah yang sama. Ruko yang sama. Parkiran yang sama. "Itu dia orangnya!!!", teriak seseorang membuyarkan lamunanku. Aku terkejut. Dari arah kiri aku melihat ada dua pemuda orang berjalan mendekatiku. Salah satunya menunjuk ke arahku. Di belakangnya juga terlihat ada tiga orang pemuda8

lagi berjalan. Hidung salah satunya terlihat diperban dengan kain kasa dan dibalut oleh plester. Semuanya total ada lima orang. "Itu dia bang orangnya! Orang itu yang sudah menghajar adik abang!", teriak pemuda yang menunjuk itu. Aku masih ingat wajahnya. Ia adalah pemuda yang dulu pingsan saat aku pukul ulu hatinya. Lima orang kini sudah berdiri berjejer di depanku. Salah satu pemuda, yang badannya cukup besar bertanya. "Apa benar orang ini yang pernah memukulmu?", tanpa pemuda itu. Ia menoleh ke arah kanan, ke arah pemuda yang hidungnya diperban. Pemuda yang hidungnya diperban itupun mengangguk. "Benar bang! Dia orangnya! Kita hajar saja bang! Beri dia pelajaran!", ucap pemuda yang hidungnya diperban itu semangat. Ia juga menunjuk ke arahku. "Sabar kak... ada apa ini?", tanyaku pada yang badannya terlihat paling besar. Aku memberanikan bertanya, meskipun aku tahu ketiga orang itu adalah pemuda yang dulu pernah mengeroyokku dan kalah. Rupanya mereka dendam dan menungguku di tempat yang sama. Mereka tahu aku sering lewat situ. "Udah bang, ga usah pake jawab segala! Kita beresin aja nih orang!", ucap salah satu pemuda lainnya dengan lantang. Kelima orang itu kini mengambil jarak satu sama lain. Beberapa melingkariku dari belakang. Aku mulai waspada. Dalam posisi seperti ini sangat berbahaya bagiku mendapati lawan yang melingkari dari depan dan belakang. Aku harus mengambil posisi dimana semuanya terlihat olehku. Pandanganku menyapu ke sekeliling,9

berusaha mencari celah dan juga mencari jarak yang terdekat. Aku melihat pemuda yang ulu hatinya pernah aku serang berada paling dekat denganku. "Hajaaar!", teriak pemuda di belakangku. Teriakan itu menjadi reflek bagiku untuk bergerak menyerang pemuda yang terdekat. Tubuh pemuda itu sedikit terbuka. Aku menggunakan gerak langkah serangan bernama Jlontrotan, yakni tendangan samping dengan sisi telapak kaki sedemikian rupa dengan kombinasi langkah lebar. Sasaranku adalah ulu hati pemuda itu. DUESSS! "Aaaakkh!", teriak pemuda yang terdekat denganku. Ia terpelanting dan bergulingan di tanah. Tangannya memegangi perutnya. Ia tampak sangat kesakitan. Hanya beberapa detik mengaduh, kemudian ia pingsan. Aku terkejut. Tendanganku mengenainya. Rasanya biasa saja, tapi ia terpental cukup jauh dengan sangat kesakitan seperti itu. Aku melihat ada celah kosong saat pemuda itu terpelanting. Secepatnya aku berlari keluar dari jarak kepungan mereka. Aku berlari menuju tembok salah satu ruko yang dijadikan usaha cuci cetak film. "Kurang ajar! Kepuuuung!", teriak salah satunya. Ia tidak mempedulikan temannya yang sudah pingsan. Keempat pemuda itupun berlari ke arahku. Lariku terhenti saat berada di depan tembok. Aku lalu membalik badan. Di belakangku ini ada sebuah tembok. Pemuda-pemuda itu sudah tidak bisa lagi mengelilingiku dari belakang.10

Keempat pemuda itupun berhenti kira-kira dua meter dariku. Mereka saling mengambil jarak satu sama lain. Bagian bawah pusarku menghangat. Hangatnya naik hingga ke dada. Lalu perlahan merambati leher, kepala, serta kedua lengan dan kakiku. Kewaspadaanku meningkat. Aku tahu ini sudah bukan main-main lagi. Meski demikian, aku berusaha untuk tenang, agar konsentrasiku tidak buyar. Salah seorang pemuda itu mendekatiku dengan cepat, dan kemudian berusaha memukulku dengan pukulan melingkar. Ia rupanya akan menyasar pelipis kiriku. Sebelum tangannya mengeluarkan pukulan, aku maju satu langkah menyongsongnya, kemudian melakukan serangan tangan tangkisan bernama Tangkisan Atas dengan sisi telapak tangan kiriku bersamaan dengan tangan kananku melakukan Sodokan Atas dengan lintasan dari bawah ke arah dagu menggunakan telapak tangan kanan. TAKK!! DHEESS!! Pemuda itu terangkat hampir satu meter! Lehernya agak tertekuk ke belakang. Aku melihat ada cucuran darah menetes. Ia jatuh cukup keras ke tanah dengan kepala bagian belakang dulu. Dan terdiam. Tak ada suara lagi. Hanya terlihat ada darah keluar dari mulut dan hidungnya. Ia pingsan seketika. Eh, aku kembali terkejut. Tak kusangka seranganku berakibat sangat fatal terhadapnya. "Sialan lu! Kita habisi saja bang!", teriak salah satu pemuda. Ia terlihat memasukkan tangannya di balik bajunya, lalu mengeluarkan sebuah benda seperti bulan sabit yang masih terbungkus. Ia dengan cepat membuka bungkusnya. Ia mengeluarkan sebuah senjata. Clurit! Senjata itu berkilauan terkena pantulan cahaya matahari.11

Pemuda yang hidungnya diperban juga mengikutinya. Ia mengambil sesuatu dari balik bajunya, lalu mengeluarkan benda yang sama. Sedangkan pemuda yang satunya lagi terlihat mundur. Ia terlihat waspada dan menjaga kedua temannya. Entah apa yang direncanakannya. Di hadapanku kini sudah ada dua orang pemuda bersenjatakan clurit. "Uuh, bagaimana ini?", gumamku dalam hati. "Mampus luh!!!", teriak pemuda di sebelah kiriku sambil menyabetkan clurit ke arahku. Ia yang paling dekat denganku. Jaraknya denganku sekitar satu meteran saja. Tebasannya sedikit menyilang, ia rupanya ingin menyasar leherku. Ia benar-benar ingin menghabisiku. Ini gawat! Tanpa berpikir panjang, aku gerakkan tangan kiriku menangkis tebasan clurit itu dengan sebelumnya aku kepalkan tangan kiriku dengan keras agar otot-ototku mengejang. Seluruh lengan kiriku terasa sangat panas. Aku menutup jalur lintasan clurit ke arah leher dengan lengan kiriku sambil terkepal. CRAK! Aku merasakan tanganku membentur cluritnya. Aku tidak tahu di bagian yang mana benturan itu terjadi. Sesaat, gerakannya menjadi terhenti. Ruang waktu sesaat itu aku gunakan dengan cepat untuk menyerang balik. Kepalan tanganku bergerak lurus menyasar wajahnya. Aku menggunakan serangan tangan bernama Pukulan Datar. DHUES!12

Pukulan lurusku mengenai wajahnya. Pemuda itu terdorong mundur satu langkah sambil mengaduh. Tangan kirinya terlihat memegangi hidungnya. "Uuuukh!", teriak pemuda itu kesakitan. Matanya terlihat terpejam. Aku tidak mau menunggu ia siap kembali. Aku bergerak maju, mengikuti langkah mundurnya. Ia kini berada dalam jarak serangku. Langsung saja aku melakukan Tendangan Sabit kaki kanan ke arah pinggang kirinya. Keras, cepat, bertenaga. BUKK! Tubuhnya tertekuk. Clurit di tangan kanannya terlepas. Ia mengaduh perlahan sebelum jatuh, dan pingsan. Aku kembali mengambil posisi siap. Jarakku dengan tembok bertambah renggang. "Sialan lu! Mampus lu!", teriak pemuda yang hidungnya diperban. Ia langsung menebaskan clurit itu ke arahku. Cepat sekali. Aku tidak sempat melihat arah clurit itu. Yang aku tahu lengan kiri atasku terasa agak panas. Aku hanya merasakan agak perih pada lengan kiriku. Aku langsung mundur dan mengambil jarak. Rasa sakit itu tak begitu kurasakan karena pikirannya terfokus pada pertarungan ini. Aku langsung mengambil posisi aman di dekat tembok. Pemuda itu terlihat mengayun-ayunkan cluritnya. Ia menyeringai, dan bersiap untuk menyerang lagi. Aku waspada. Pemuda ini terlihat memiliki dasar ilmu beladiri. Serangannya cepat dan terarah.13

Bagian bawah pusarku semakin memanas. Panasnya kini menjalari dadaku. Aku mengarahkan hawa panas itu memutar ke bawah tulang ekor, melewati tulang belakang, terus hingga ke leher, dan berhenti di kepala bagian belakang yang dekat dengan sambungan leher atas. Aku pusatkan disitu. Aku hanya merasakan kepala belakangku menghangat. Pandangan mataku menjadi semakin jernih. Suara-suara di telingaku mulai mengecil, menghilang. Aku berada dalam keheningan. Efek lambat-pun kembali muncul. Gerakan ayunan clurit pemuda itu terlihat 'melambat' dalam pandangan mataku. Aku bisa melihat jelas arah ayunannya, bahkan gerakan bibir pemuda itupun terlihat. Sekelilingku seolah menjadi 'melambat'. Aku hanya melihat ia mengatakan "Mati!" dengan mengayunkan cluritnya mengarah ke perutku dari kiri ke kanan. Lintasan clurit itu 'terlihat' begitu jelas dan lambat. Aku jadi punya cukup waktu untuk menghindarinya. Aku menggeser kaki kananku ke belakang, sambil menarik perutku agar menjauh dari jarak jangkauan cluritnya. Merasa serangannya gagal, pemuda itu kembali menebaskan cluritnya ke tubuhku. Ia memutar pergelangannya, mengubah arah clurit menyilang ke atas. Lintasannya berubah, dari bawah ke atas. Putaran pergelangannya begitu 'terlihat' oleh mataku. Tak menunggu ia selesai melakukan serangan, aku langsung melangkah maju, memutar pinggang, dan merapatkan tubuhku di depannya dengan posisi dan arah yang sama dengannya. Punggungku kini berada dekat sekali dengan dadanya sementara tangan kananku masih memegang pergelangan tangan pemuda itu. Aku langsung memutarkan tubuhku ke arah kiri dengan cepat sambil menarik tangannya. Pemuda itu ikut berputar dengan keras. Punggungnya mengenai tembok di belakangku. Keras sekali. Kepalanya menghantam tembok dengan cukup keras. BUKKK! "Aduuh!", ia berteriak kesakitan.14

Seranganku tidak berhenti sampai disitu saja, aku menggerakkan kaki kiriku mendekatinya dan langsung menyarangkan Sodokan Datar tangan kanan ke arah dada pemuda itu. DUKK! CLANG! Telapakku masih menempel di dadanya. Tak terdengar suara mengaduh. Hanya bunyi clurit yang jatuh saja yang terdengar. Aku melihatnya lemas dan tiba-tiba ia jatuh terduduk, kakinya lurus dengan pinggang tertekuk. Kepalanya juga tertekuk menunduk. Aku hanya melihat ada darah yang keluar dari sudut bibirnya. Aku kembali terkejut. Eh, apa ini? Saat melakukan Sodokan Datar tadi, aku merasakan telapak tanganku seperti mengeluarkan 'sesuatu'. Entah apa itu. Seperti panas yang berlebih, atau entahlah, aku tidak tahu. Biar sajalah. Sudah empat orang aku rubuhkan. Tinggal satu orang lagi. Aku langsung memutar badan. Bersiap. Siaga. Waspada. Pemuda yang terakhir ini berjalan mendekatiku. Ia tampak begitu tenang. Di tangannya kini tergenggam kayu pemukul baseball. Aku tidak tahu darimana ia dapatkan. Pemukul baseball itu terlihat keras dan kokoh.

15

"Lu bener-bener kudu dimatiin!", ucap pemuda itu dengan tenang. Ia memukul telapak tangan kirinya perlahan berkali-kali dengan kayu pemukul baseball itu. Aku merasakan ada yang hangat dan menetes dari ujung jari tangan kiriku. Aku melirik darah. Rupanya serangan clurit itu membuatku terluka. Meski tidak terasa perih, tapi darah itu rupanya sejak tadi menetes. Pandanganku mulai berkunangkunang. Aku harus segera menyelesaikan pertarungan ini. Pemuda itu semakin mendekatiku. Kira-kira jarak satu meteran, ia menebaskan kayu pemukul baseball itu ke arah kepalaku dengan lintasan vertical dari atas ke bawah. Secara reflek aku menahannya dan menangkapnya dengan Tangkisan Silang Atas, yakni menggunakan dua telapak tangan yang disilangkan berhadapan setinggi kepala. Bersamaan dengan itu kaki kananku bergerak mengayun menendang keras dari bawah ke atas mengarah ke selangkangan pemuda itu. PLAKK!! DHEG! "Uuugh!", pemuda itu mengaduh. Kayu pemukul baseball itupun terlepas. Matanya mendelik. Beberapa detik kemudian, ia terjatuh dan bergulingan di tanah sambil kedua tangannya memegang kemaluannya. Mulutnya tidak henti mengaduh. Beberapa saat kemudian, gerakannya terhenti. Ia pingsan. Tubuhku masih terasa begitu panas. Hawa panas ini menjalar kemana-mana. Pandangan mataku menyapu ke sekeliling. Aku hanya melihat lima orang pemuda yang terbaring pingsan. Sementara tangan kiriku masih mengeluarkan darah. Tetesannya terasa di ujung jari. Pandangan mataku juga mulai bertambah berkunang-kunang.16

Tiba-tiba aku melihat pintu jendela ruko terbuka. Seorang wanita melambaikan tangannya kepadaku. Aku menoleh. "Dik, sini! Masuk saja dulu", pinta wanita itu dari jendela yang terbuka. Ia kemudian menunjuk pada arah pintu masuk ruko. Kelihatannya ia menyaksikan perkelahianku dengan para pemuda itu dari balik jendela ruko. Aku berjalan mendekati pintu yang ditunjuk oleh wanita itu. Beberapa saat kemudian pintu itupun terbuka. Wanita tadi terlihat mempersilahkanku masuk. "Duduk saja dulu, Dik. Tunggu sebentar ya...", ucap wanita itu. Aku menurut. Aku duduk di kursi putar di depan kaca etalase samping kasir. Wanita itu terlihat berjalan masuk. Beberapa saat kemudian ia keluar sambil membawa segelas air teh dan sepotong kain yang agak basah. "Ini, diminum saja dulu teh manisnya. Habiskan saja.", pinta wanita itu. Ia kemudian meletakkan gelas berisi teh manis itu di atas kaca etalase di depanku. Lalu duduk disampingku. "Terima kasih mbak", jawabku. Aku mengambil gelas berisi teh manis itu dengan tangan kananku, lalu meminumnya. Aku benar-benar menghabiskannya. Perkelahian itu membuatku haus. "Bersihkan juga darahmu dengan kain ini, Dik", ucap wanita itu. Aku menganguk. Lalu mengambil sepotong kain yang agak basah itu. Aku bersihkan darah yang keluar dari lengan kiriku bagian atas. Aku melihat pada sisi pergelangan tangan kiriku bagian luar. Ah, sobek. Terlihat cukup lebar. Tapi sama17

sekali tidak mengeluarkan darah. Darah hanya keluar dari luka di lengan kiri atas. Itu juga sobek. Tapi tidak panjang. Tubuhku masih terasa panas. Hawa panas itu masih merambati tubuhku. Keringat juga masih menetes. "Mbak melihat perkelahianmu, Dik. Berandalan itu memang sering membuat ulah. Sudah banyak yang menjadi korban. Kebanyakan rata-rata dimintai uang, atau diambil benda-benda yang berharga. Kamu termasuk hebat juga bisa merobohkan semuanya.", lanjut wanita itu sambil tersenyum. "Ah, saya mungkin kebetulan sedang beruntung saja mbak. Yang tiga itu dulu pernah berkelahi juga dengan saya mbak. Rupanya mereka dendam, dan membawa teman-temannya untuk mengeroyok saya. Alhamdulillah Tuhan masih melindungi saya mbak.", ucapku. "Mbak, boleh pinjam telponnya tidak? Saya ingin menelpon saudara saya.", pintaku. "Oh, silahkan silahkan. Pakai saja, Dik.", jawab wanita itu. Ia kemudian berdiri dan berjalan menuju kasir. Ia mengambil gagang telpon dan memberikannya kepadaku. Aku menerimanya dengan tangan kanan. "Berapa nomornya, Dik?", tanya wanita itu. "Tiga dua satu satu empat lima", jawabku. Aku menempelkan gagang telpon itu ke telingan kananku. Terdengar nada ketika tombol nomor ditekan, kemudian diikuti oleh nada sambung. Beberapa saat kemudian, seorang wanita menyahut. "Halo..." "Kak Yani, ini Aa. Ada Mas Ade gak?", tanyaku.18

"Ada apa A?", tanya wanita yang dipanggil 'Kak Yani' itu. "Dateng aja dulu ya kesini, samping pasar Gunung Sari. Di ruko Cirebon Indah, tempat cuci cetak foto. Nanti anter Aa ke rumah sakit ya. Sekarang ya kak...", ucapku. "Ya udah, kamu tunggu saja disitu. Nanti kakak sama Mas Ade kesitu.", jawab Kak Yani. Nada suaranya terdengar agak cemas. "Iya kak, makasih ya...", lanjutku. Aku kemudian memberikan gagang telpon itu kembali ke wanita di belakang kasir. Ia menerimanya, dan mengembalikan ke posisinya. "Terima kasih mbak", ucapku. "Iya, sama-sama.", ucap wanita itu. Tubuhku sudah tidak sepanas tadi rasanya. Sudah mulai agak baikan. Air teh manis itu cukup memulihkan tenagaku. Pandanganku yang tadinya berkunangkunang, kini sudah normal lagi. "Ah, bagaimana caraku bilang sama ayah ya? Ini parah sekali kejadiannya.", gumamku dalam hati. Meski aku tahu ayahku sangat bijaksana, tapi tetap saja ada kekhawatiran dan ketakutan dalam hatiku karena aku lagi-lagi melanggar nasehat ayah untuk tidak berkelahi. Lima menit berlalu, kakakku belum datang. Aku lebih baik keluar saja.

19

"Mbak, sekali lagi terima kasih ya atas bantuannya. Saya keluar dulu, barangkali kakak saya sudah datang dan mencari saya.", ucapku. Aku langsung berdiri dan berjalan menuju pintu keluar yang masih terbuka. "Oh ya sudah Dik, tidak apa-apa. Cepat sembuh ya Dik...", ucap wanita itu. Ia kemudian berjalan mengantarku sampai pintu. Setelah keluar kira-kira tiga langkah, aku melihat wanita itu kembali menutup pintu. Aku melihat ke sekeliling. Para pemuda itu masih tergeletak pingsan. Timbul iba di hatiku. Aku bimbang, apakah aku harus menolongnya lagi atau tidak? Para pemuda ini sudah dua kali melakukan hal jahat terhadapku. Ah, sudahlah, lebih baik aku tolong saja. Aku mantapkan niatku. Aku dekati pemuda dengan hidung diperban yang tergeletak di depan tembok. Aku menunduk, membungkuk, lalu mencubit urat besar di ketiaknya sebalah kanan dan kiri secara bergantian. Kemudian menotok dua titik di pungunggnya dekat dengan leher. Terakhir, aku menepuk-nepuk punggungnya. Ia pun tersadar. Kepalanya menggeleng beberapa kali. Matanya kemudian melihatku. Ia terkejut, dan bergerak mundur dengan beringsut. "Ampunn.. ampunnn!", ucap pemuda itu memohon. Tangannya bergerak menutupi wajahnya untuk melindungi kalau-kalau aku memukulnya. Aku berdiri. "Ini terakhir kalinya gue melihat lu seperti ini! Pergi sana! Bawa temen-temen lu dari sini!", ucapku agak keras. Ia semakin ketakutan. Ia makin beringsut mundur.20

"I...iya.. ampuun..!", jawab pemuda itu. TIINN... TIIN...! Suara klakson motor terdengar jelas. Aku menoleh. Terlihat seorang laki-laki yang berbadan cukup besar memarkirkan motornya di samping pohon dipinggir jalan. Wajahnya agak persegi. Tubuhnya cukup kekar, terlihat cukup rutin berolah raga. Laki-laki itu kemudian berjalan tergesa ke arahku. "A, ada apa ini?", tanyanya. "Ga apa-apa mas Ade. Cuman berantem aja...", jawabku pada laki-laki itu. Laki-laki itu adalah Mas Ade. Ia adalah suami dari Kak Yani yang tidak lain adalah kakak dari ayahku. Orangnya sangat baik dan penyabar. "Mas, Aa minta tolong untuk dianterin ke rumah sakit ya. Ini harus dijahit nih kayaknya.", pintaku pada mas Ade sambil menunjukkan luka sobek pada lengan kiriku. "Ya ampuun! Ya udah, cepetan kita ke rumah sakit.", jawab mas Ade. Ia terlihat khawatir. Lalu langsung balik badan menuju motor. Ia tidak mempedulikan para pemuda yang tergeletak di tanah itu. Aku mengikutinya. Mas Ade sampai lebih dulu. Ia langsung naik dan menyalakan motornya. "Mas, tolong jangan bilang-bilang sama ayah ya... Nanti bilang saja jatuh dari motor atau gimana gitu...", pintaku. Aku tahu alasanku ini konyol, tapi kalau mas Ade yang bilang, ayah biasanya percaya. Aku berharap semoga saja ayah percaya. "Iya, udah cepetan naik... itu harus dijahit...!", ucap mas Ade.21

Aku menurut. Aku langsung melompat ke belakang mas Ade. Motor itupun melaju, menuju rumah sakit untuk menjahit luka sobek di lengan kiriku. Aku menoleh. Pandanganku hampa. Ada banyak yang berkecamuk di pikiranku. Pertarungan ini benar-benar pertarungan hidup dan matiku. Melawan lima orang dengan tiga orang bersenjata. Dua orang malah bersenjata tajam. Aku bersyukur bisa lolos dari maut, meskipun mendapat luka akibat sabetan clurit. Aku teringat kembali pertarunganku tadi. Beberapa kali aku menggunakan gerakan silatku, sesuai dengan apa yang dulu dilatih oleh ayah. Beberapa malah tidak sama sekali. Seperti misalnya saat aku berusaha membanting dengan memutar, atau saat aku menahan pukulan kayu baseball sambil menendang kemaluan. Itu keluar begitu saja. Naluriku bergerak begitu saja mengikuti kata hatiku. Yang kurasakan tadi, ketika berada diantara hidup dan mati, tubuhku seperti melebur. Mengeluarkan potensi yang dirasa diperlukan di dalam pertarungan itu. Hawa panas yang biasanya teratur bisa aku salurkan, saat itu mengalir ke seluruh tubuhku tanpa henti. Bisa aku gunakan semaunya. Aku mengeluarkan apa yang hatiku ingin keluarkan. Meski demikian, ada hal yang agak mengherankanku. Yakni saat aku melakukan serangan pada lawan, aku merasa memukul atau menendang biasa saja. Tapi efek yang ditimbulkannya sangat luar biasa. Lawan terpental, lawan pingsan, bahkan mengaduh dengan sangat kesakitan. Efek seranganku ini berbeda sekali ketika pertama kali aku berkelahi melawan tiga pemuda. Dimana pada pemuda yang ketiga, pukulanku nyaris tidak menimbulkan efek apapun. Sakitpun tidak. Pemuda itu dulu masih bisa tersenyum saat menerima pukulanku. Tapi saat ini benar-benar berbeda. Aku merasa ada 'sesuatu' pada pukulanku. Apalagi saat aku melakukan Sodokan Datar pada dada pemuda dengan hidung diperban itu. Rasanya ada yang memancar keluar dari telapak tanganku. Tapi aku masih belum tahu apa itu. Tidak sama dengan getaran yang selama ini aku pancarkan saat berlatih Tutup Mata bersama ayah. Agak berbeda rasanya.22

Uuh, banyak pertanyaanku. Aku ingin bertanya pada ayah. Nanti, setelah selesai menjahit luka sobek ini. Aku teringat ucapan ayah. "Nak, saat nanti kamu berada dalam hidup dan mati, maka pada saat itu kamu akan mengetahui betapa berharganya silat yang kamu pelajari ini. Apabila kamu bisa tertolong dan menolong dengannya. Meski demikian, tetaplah bijak dengan silatmu. Belajar silat, belajarlah bijaksana", ucap ayah. Aku tersenyum. Membenarkan ucapan ayah. ***

23

BAB 16

EUREKA!Aku duduk di dalam ruangan rumah sakit. Di depanku berdiri seorang laki-laki yang cukup berumur mengenakan baju putih bersih. Aku melihat tulisan nama kecil di dada kirinya bertuliskan "dr. Bagyo". "Coba kepalkan tanganmu", tanya dokter Bagyo. Aku menurut, meski aku tidak mengerti maksudnya. Tangan kiriku aku kepalkan perlahan, lalu semakin keras. "Cukup...", pinta dokter Bagyo. "Memangnya kenapa dok?", tanyaku memberanikan diri. "Kamu beruntung, Dik. Kalau saja sobek ini lebih dalam sedikit saja, maka otot dan uratmu pasti akan putus. Tanganmu tidak akan bisa menggenggam erat lagi seperti tadi.", jawab dokter Bagyo. Dheg... Jantungku berdegup kencang. Aku terkejut. "Alhamdulillah ya Allah, Engkau masih melingdungi hamba...", gumamku dalam hati. Aku bersyukur karena luka tebasan clurit ini tidak sampai mengenai otot dan urat lenganku. Kalau lebih dalam sedikit saja, maka tanganku ini akan menjadi cacat.24

"Perkiraan ada delapan jahitan luar dan sebelas jahitan dalam. Termasuk ada empat jahitan di lengan kiri bagian atas. Tanganmu nanti akan dibius lokal dulu sebelum dijahit.", ucap dokter Bagyo. Aku mengangguk. Aku tidak tahu bagaimana rasanya dijahit pada kulit. Ini termasuk pengalaman pertamaku. Aku melihat dokter Bagyo mengambil beberapa peralatan, lalu diletakkan disamping kursi tempatku duduk. Ada sebuah nampan dari logam yang di dalamnya terdapat gunting, jarum suntik, alat jahit khusus, kain kasa, kapas, dan beberapa benda lain yang asing yang aku tidak tahu fungsinya untuk apa. Dokter Bagyo mengambil sebuah jarum suntik yang masih dibungkus plastik steril dengan tangan kanannya. Ia sobek pinggirannya, lalu mengeluarkan isinya. Jarum suntik itu masih terbungkus pada ujungnya. Dokter Bagyo kemudian membuka tutupnya dan membuangnya ke tempat sampah tidak jauh dari situ. Ia kemudian mengambil sebuah benda kecil berbentuk seperti botol yang berisi cairan berwarna kekuningan. Mengangkatnya dengan tangan kiri, lalu ujung jarum di tangan kanannya ditusukkan ke tengah botol kecil tersebut. Tangan kirinya menahan botol kecil dan ujung jarum suntiknya, sementara tangan kanannya menarik pangkal jarum suntiknya sehingga isi dari botol yang berupa cairan berwarna kekuningan itu berpindah ke dalam badan jarum suntik. Beberapa tetes cairannya terlihat keluar dari ujung jarum suntik. "Tahan sedikit ya, Dik...", ucap dokter Bagyo. Aku melihat dokter Bagyo menyuntikkan di beberapa titik di dekat luka sobek di dekat pergelangan tangan bagian atas. Rasanya seperti digigit semut. Tidak menyakitkan. Selesai menyuntik, aku melihat dokter Bagyo meletakkan kembali suntikannya di nampan logam di samping kursiku. Ia lalu mengambil jarum jahit khusus. Bentuknya kotak, dengan ujungnya digunakan untuk menjahit dengan cara25

yang khas dan tidak menyakitkan. Setidaknya, begitulah penjelasan yang aku ketahui dari buku. Di zaman sekarang, proses menjahit luka sobek sudah tidak menggunakan jarum tradisional lagi seperti halnya jarum yang digunakan untuk menjahit baju. Tetapi sudah menggunakan alat khusus yang lebih mudah dan efektif. Tentunya dengan tidak menyakitkan pasien karena kecepatan dan keakuratan proses menjahit. Kira-kira sepuluh detik kemudian, pergelangan tanganku sudah mulai terasa kebas. Terasa seperti menebal. Aku mulai tidak bisa merasakan apa-apa di sekitar pergelangan tangan itu. Dokter Bagyo kemudian memulai proses menjahit lukaku. Luka sobek luar dan dalam. Sebelas jahitan dalam, dan delapan jahitan luar. Persis seperti yang diperkirakannya. Proses menjahit luka sobek ini sama sekali tidak terasa sakit. Hanya terasa seperti digigit oleh semut. Sekitar dua menitan saja luka sobekku sudah dijahit dan tertutup kembali. Jahitannya rapi. Bentuk lukaku terlihat seperti hewan lipan. Dokter Bagyo meletakkan alat jahit di atas nampan logam, lalu mengambil kembali jarum suntik yang berisi obat bius lokal. "Tahan sedikit sekali lagi ya, Dik...", ucap dokter Bagyo mengulangi. Ia kemudian menyuntikkan di beberapa titik di dekat luka sobek lengan kiri bagian atas. Luka itu tidak selebar seperti luka di pergelangan tangan atas. Cukup empat jahitan saja kata dokter Bagyo. Lengan kiriku bagian atas terasa kebas. Sama seperti tadi. Aku melihat dokter Bagyo kembali mengambil alat jahit yang sama, kemudian mulailah proses menjahit luka dimulai. Hanya beberapa detik saja proses jahit selesai. Ia kemudian meletakkan kembali alat jahit di nampan logam untuk kemudian mengambil kapas dengan sebuah capit logam kecil, mencelupkan kapas tersebut pada cairan obat berwarna26

coklat tua dan berbau menyengat. Kapas itu kemudian ditempel-tempelkan diatas luka jahitku. Membiarkan obatnya menutupi permukaan luka. Ia melakukan hal yang sama pada bagian atas lenganku. Menempel-nempelkan kapas yang sudah basah oleh cairan obat itu beberapa kali. Setelah dirasa cukup, ia meletakkan kembali kapas dan capit logam di atas ke nampan. Ia kemudian mengambil sebuah kain kasa dan plester. Kain kasa itu berbentuk persegi panjang. Ukurannya sudah terpotong rapi sedemikian rupa. Dokter Bagyo kemudian memasang kain kasa dan plester itu di atas luka jahit tanganku kemudian merekatkan plesternya. Ia melakukan hal yang sama untuk luka di lengan atasku. Tidak berapa lama, semua luka sudah tertutup. "Sudah selesai, Dik...", ucap dokter Bagyo. "Sementara ini jangan sampai kena air dulu untuk luka-luka ini. Kira-kira tiga harian. Nanti saya akan memberikan resep obat yang dioleskan sehari tiga kali pada luka jahitnya. Obat itu akan mempercepat menutupnya luka.", lanjut dokter Bagyo. Aku mengangguk. Dokter Bagyo kemudian berjalan menuju wastafel, membersihkan tangannya dengan air dan mencucinya dengan sabun antiseptik. Setelah itu ia kembali berjalan menuju meja dan mulai menuliskan resep. Oh iya, di ruangan itu aku hanya berdua saja dengan dokter Bagyo. Sementara Mas Ade sendiri menunggu di luar. "Ada pantangan makan tidak Dok?", tanyaku. Dokter Bagyo menoleh ke arahku.27

"Sementara ini sih belum ada. Tapi kalau mau lebih cepat sembuhnya, sementara hindari dulu makan telur ayam.", jawab dokter Bagyo sambil memberikan secarik kertas yang berisi resep obat untuk lukaku. "Nanti tebus resep ini di apotik di luar ya, Dik", lanjut dokter Bagyo. "Iya Dok, terima kasih.", ucapku sambil menerima kertas resep tersebut. Dokter Bagyo tersenyum. "Sama-sama Dik. Semoga cepat sembuh ya...", ucap dokter Bagyo. "Terima kasih...", jawabku kembali. Aku langsung berdiri dari kursi dan berjalan menuju pintu keluar. Pintu itu dibuka dengan digeser ke samping kanan, dan menutup kembali secara otomatis. Aku kemudian keluar. Aku melihat mas Ade menungguku di kursi panjang yang memang disediakan di depan ruangan periksa. Ia kemudian berdiri dan menghampiriku. "Udah selesai A?", tanya mas Ade. "Sudah mas.", jawabku. "Gimana kata dokternya?", tanya mas Ade kembali. "Delapan jahitan luar, sebelas jahitan dalam untuk pergelangan tangan ini. Dan empat jahitan luar untuk lengan atas ini mas. Tapi ngga apa-apa kok. Alhamdulillah tidak sampe kena otot dan urat. Kalau sampe kena, tangan ini jadi cacat.", jawabku sambil tersenyum pahit. "Duh, alhamdulillah kalau begitu. Kalau sampe cacat ya gawat. Haduuh itu jahitannya banyak amat?!", ucap mas Ade. Ia terkejut.28

Aku hanya tersenyum. "Buat kenang-kenangan mas. Buat nanti cerita sama anak cucu", jawabku sekenanya sambil bergurau. Aku duduk di kursi panjang. Mas Ade mengikutiku, dan ia duduk disampingku. "Mas, nanti kalau ayah nanya, bilang aja Aa jatuh dari motor ya. Jangan bilang Aa berkelahi.", pintaku. "Ya udah, nanti mas yang akan ngomong sama ayah. Aa tenang saja.", jawab mas Ade berusaha menenangkanku. Aku merasa sedikit lebih lega. Batinku menjadi lebih tenang. Setidaknya, aku dibantu oleh mas Ade untuk menjelaskan asal luka ini. Meskipun aku tahu, sulit bagiku untuk membohongi ayah. Kalaupun ayah mendesak, aku terpaksa akan mengatakan yang sebenarnya. Tapi kalau tidak, ya aku tidak akan memulai pembicaraan yang mengarah ke penyebab luka ini. "Kita pulang saja sekarang...", ucap mas Ade. Aku mengangguk. Mas Ade kemudian bangun dan berjalan menuju tempat parkiran motor. Aku mengikutinya dari belakang. Aku mengingat kembali perkelahian tadi. Aku sendiri masih belum mengerti mengapa tebasan clurit yang begitu keras dan cepat itu hanya menyebabkan luka luar saja. Otot dan uratku sama sekali tidak terpotong. Pada saat itu aku hanya mengejangkan tangan kiriku semaksimal mungkin saat menangkis tebasan clurit. Temasuk juga saat tebasan yang kedua yang mengarah pada lengan atasku. Apakah ada pengaruh dari melakukan pengejangan otot? Ditambah lagi saat kemudian aku29

merasa berada dalam kondisi hidup dan mati, aku benar-benar merasakan seolah seluruh jiwa raga ini melebur jadi satu. Setiap aliran hawa di tubuhku begitu terasa. Mengalir, dari bawah pusar, lalu ke dada, lalu ke jantung, kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Terasa benar. Lebur. Membaur. Mengalir. Menjadi satu. Aku teringat, kalau selama enam bulan terakhir ini aku sudah dilatih olah nafas untuk Power oleh ayah. Olah nafas ini disebut dengan Olah Nafas Pengolahan, terdiri dari empat belas bentuk sedemikian rupa dengan teknik nafas berbasis dadaperut. Satu bulan pertama ayah melatihku tanpa menggunakan beban pemberat. Seminggu sekali aku berlatih olah nafas jenis ini. Setelah dirasa cukup, di bulan kedua ayah melatihku dengan menggunakan tambahan beban berupa batu bata yang sudah di cor semen. Beratnya sekitar dua kilogram. Berlatih dengan menggunakan beban pemberat ini ternyata jauh lebih melelahkan, tapi juga menghasilkan kekuatan dan daya lentur otot yang lebih baik. Dua bulan aku dilatih seperti ini dengan durasi seminggu sekali. Di bulan keempat, ayah mengganti bebanku dengan dua buah pot semen yang ujungnya berlubang lima sedalam satu ruas jari. Beratnya sekitar enam kilogram. Tiga kali lipat dari yang pertama. Aku harus mencengkram pot tersebut dengan masing-masing satu ruas jari saja. Pada pelatihan untuk beban ini, ayah juga memberikan tambahan berupa bentuk Petruk, yakni berdiri dengan satu salah satu kaki sedikit tertekuk dimana kaki yang satunya lagi diangkat dan ditekuk ke arah lutut sementara satu jari menyentuh tembok untuk menjaga keseimbangan. Jari yang tidak menyentuh tembok kemudian digunakan untuk mencengkram satu pot. Dilakukan bergantian untuk kanan dan kiri. Bentuk tambahan berikutnya adalah bentuk kopstand, yakni berdiri terbalik dengan kepala dibawah yang sedikit ditahan30

oleh tumpuan kedua lengan. Kurang lebih dua bulanan aku dilatih olah nafas pengolahan plus beban seperti itu. Tepat di bulan keenam, ayah mengganti bebannya dengan menggunakan rautan bambu selebar lengan dengan panjang kirakira lima puluh sentimeter. Di tengah rautan bambu itu digantungi pot semen seberat kira-kira enam kilogram. Pada penggunaan beban yang ini, bentuknya masih sama dengan yang sebelumnya, hanya berbeda pada bagaimana cara mengejangkan tangannya. Kalau sebelum penggunaan beban rautan bambu, aku cukup dengan kejang-kendor saja. Maka pada rautan bambu itu aku harus mencengkram dan memutarnya keatas dan kebawah berkali-kali. Ini jauh lebih menguras tenaga. Aku sendiri tidak mengetahui ada apa dibalik setiap latihan itu. Yang aku rasakan hanyalah kebugaran pada tubuh ini. Otot-otot semakin kuat dan kokoh, tapi juga semakin lentur. Nafasku semakin panjang dan dalam. Dan di dalam tubuh ini terasa seperti ada sesuatu. Rasanya, aliran hawa hangat yang dulu sering aku rasakan menjadi semakin kuat dan tebal. Menjadi semakin terasa. Aku pernah menanyakan tujuan dari latihan itu pada ayah. Dijawab oleh ayah kalau nanti saat liburan, barulah ayah akan menjelaskannya. Sekarang ini kebetulan sudah liburan sekolah, dua minggu pula. Tapi aku mengalami perkelahian yang tidak aku kehendaki sehingga harus mendapatkan dua puluh tiga jahitan. Kalau ayah mengajakku di awal liburan ini bisa gawat karena lukaku pasti belum sembuh benar. Berdasarkan pengalaman dari liburan tahun sebelumnya, ayah biasanya mengajak liburan kalau tidak di tengah waktu, ya di akhir waktu liburan. Lamanya antara tiga sampai lima hari. Lokasi biasanya di alam terbuka. Seringkali di daerah pegunungan. Beberapa kali pernah di daerah pinggiran pantai. Liburanku dengan ayah selalu diisi dengan latihan silat.31

Aku tidak pernah menolaknya karena aku memang suka. Mungkin, cara ayah mengajariku silat begitu berbeda, begitu menarik, sehingga aku jadi suka. Banyak hal-hal di dalam silat yang berguna bagi kehidupanku. Ayah selalu mengingatkan, kalau silat janganlah dijadikan tontonan, tetapi jadikanlah bagian dari tuntunan. Silat harus bisa menjadikan diri lebih baik dari sebelumnya. Silat harus bisa menjadikan diri kita bijaksana. Begitu kata ayah. "Uuh, bagaimana ini? ", gumamku dalam hati. Aku harus secepatnya mengobati luka ini. Paling tidak, aku masih punya tiga sampai lima hari sebelum nanti ayah mengajakku berlibur. Lamunanku dibuyarkan oleh suara mas Ade. "Sudah sampe rumah A. Ayah keliatannya belum datang tuh. Mobilnya belum ada.", ucap mas Ade. Benar, mobil ayah tidak terlihat di garasi, berarti ayah belum datang. Aku langsung melompat turun. "Terima kasih ya mas, ucapku. "Iya Masuk gih sana, jawab mas Ade. Aku melihat mas Ade memarkirkan motornya di garasi. Aku berjalan menuju depan pintu rumah. Sesampainya di depan, aku membungkuk untuk melepas sepatuku dan meletakkannya pada rak sepatu di samping kanan pintu. Kemudian bergegas masuk ke dalam menuju kamarku.

32

Saat berjalan itu aku tiba-tiba teringat ucapan ayah. Ucapan yang sepertinya bisa menjadi petunjuk agar aku cepat pulih dari luka sobek ini. "Getaran adalah gelombang. Gelombang adalah getaran. Getaran dari sukma sejati. Gelombang dari sukma sejati. Seni ini sangat istimewa. Mengembangkan ini akan membuka cakrawala pengetahuan beladiri yang sama sekali baru. Akan membuka ranah pengetahuan baru. Sebuah evolusi yang benar-benar evolusi. Bukan sekedar pengembangan, tetapi benar-benar evolusi. Belum pernah dibukukan sebelumnya. Belum pernah dipikirkan sebelumnya. Gabungan tradisional dengan modern. Satu ruang tumbuh yang baru. Yang suatu hari nanti akan kamu tempati, asalkan kamu masih di jalan pendekar dan ilmuwan.", ucapan ayah terngiang di telingaku. "Tradisional Modern ", ucapku perlahan. "Jalan pendekar jalan ilmuwan ", ucapku kembali dengan perlahan. Ah, itu dia jawabannya! Eureka! Aku urungkan untuk masuk ke kamarku, tapi berbelok berjalan lebih cepat menuju ruang perpustakaan. Itu adalah ruang perpusatakaan keluarga. Dibuat sedemikian rupa oleh ayah untuk penghuni keluarga atau siapapun yang senang membaca. Di kepalaku kini sudah terpikirkan sesuatu. Aku harus mencobanya. Harus. Sesampainya di ruang perpustakaan, terlihat ada lima lemari buku yang cukup besar. Masing-masing lemari itu terbuat dari kayu jati tebal dan tingginya kira-kira tiga meter. Masing-masingnya terdiri dari empat sekat yang dibatasi oleh papan kayu. Lebar sekatnya kira-kira satu setengah meter. Setiap sekatnya berisi kumpulan33

dari buku-buku pengetahuan. Ada Agama, Biologi, Kimia, Fisika, Matematika, Kedokteran, Psikologi, Militer, Komputer, Majalah, Komik, Novel, dan banyak lagi. Kebanyakan buku-buku itu dibeli oleh ayah. Jumlahnya mencapai ratusan. Aku senang berada di ruang perpustakaan itu karena aku banyak menemukan hal baru. Aku banyak menemukan pengetahuan baru. Buku benar-benar merupakan gudang ilmu. Dan niat kita membacanya adalah kuncinya. Di depan lemari-lemari tersebut ada sebuah meja bundar yang di atasnya terdapat beberapa pulpen dan kertas-kertas kosong. Seperti yang saat ini ada di kepalaku. Sepertinya aku ingin mencoba suatu pendekatan untuk mempercepat memulihkan jahitan pada luka ini. Tiba-tiba aku teringat dengan sel batang atau sel punca, atau juga disebut dengan stem cell. Aku pernah membaca di salah satu buku di ruang perpustakaan kalau sel batang ini sangat unik. Sifatnya hanya dua, yang pertama adalah tetap menjadi sel batang saja dan yang kedua adalah dapat menjadi sel lain yang berbeda. Kalau ia ditempelkan pada sel jantung maka ia akan menjadi sel jantung, kalau ia ditempelkan pada sel kulit maka ia akan menjadi sel kulit, kalau ia ditempelkan pada jaringan tissue otot, maka ia akan menjadi jaringan tissue otot, demikianlah seterusnya. Ia akan menjadi apa dimana ia ditempelkan. Sel ini pada awalnya ditemukan dan dikembangkan dari placenta. Sehingga tidak heran penelitian awalnya sangat banyak ditentang oleh agamawan karena dianggap jahat sebab harus mengorbankan bayi hanya untuk mengambil placenta-nya agar bisa digunakan untuk penelitian. Belakangan juga diketahui letak konsentrasi sel batang tersebut pada tubuh manusia, meskipun tidak sebanyak seperti pada placenta. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian, salah seorang professor dari Jepang berhasil menemukan bahwa sel batang juga ternyata bisa dikembangkan dari jaringan di bawah kulit. Penelitian ini membawanya mendapatkan hadiah Nobel. Aku langsung mencari buku yang berhubungan dengan informasi mengenai sel batang ini. Pandanganku tertumbuk pada sebuah buku berwarna ungu yang bertuliskan STEM CELL. Aku langsung mengambilnya.34

Aku membuka buku itu. Membolak-balik halamannya. Mencoba mencari informasi yang berhubungan dengan lokasi-lokasi konsentrasi sel batang di dalam tubuh manusia. Ketemu! Aku mengambil pulpen dan secarik kertas dari atas meja. Menuliskan lokasi konsentrasi sel batang dalam tubuh manusia. Setelah itu meletakkan kembali buku itu di tempatnya. Aku kemudian bergegas berjalan menuju kamar. "Tradisional modern ", ucapku kembali sambil tersenyum. Aku bersiap-siap untuk melakukan sesuatu yang baru dalam hidupku. ***

35

BAB 17

TRADISIONAL DAN/ATAU MODERNKamarku berukuran empat kali lima meter. Cukup besar. Ada cukup ruang bagiku untuk berlatih sendiri di kamar. Temboknya berwarna putih. Sebuah jam dinding berwarna biru terpaku di tembok di atas lemari agak sedikit ke atas. Letak kamarku berada di samping kamar adikku, Ayu, dan agak jauh sedikit dari kamar adik-adikku yang lainnya yakni Bayu dan Taufan. Di dalam kamar aku langsung membuka baju. Dengan bertelanjang dada aku mengambil posisi duduk sila. Aku merapatkan kedua tanganku, memejamkan mata, kemudian berdoa agar diberikan kemudahan. Kemudian aku kembali membuka mata, bersiap untuk memulai latihan olah nafas yang disebut dengan Nafas Pembersih, yakni salah satu bagian olah nafas dari latihan Getaran tingkat dasar. Aku tidak perlu melakukan pemanasan lagi, karena pertarungan tadi cukup membuat tubuhku menjadi panas. Aku membaca ulang tulisan pada secarik kertas yang kugunakan sebelumnya untuk mencatat lokasi konsentrasi sel batang atau sel punca atau stem cell. Tulisan yang aku sadur sebagian dari buku stem cell dan sebagian dari jurnal ilmiah dari dr. Shinya Yamanaka. Ada beberapa alasan mengapa stem cell merupakan calon yang bagus dalam terapi berbasis sel. Pertama, stem cell tersebut dapat diperoleh dari pasien itu sendiri. Artinya transplantasi dapat bersifat autolog sehingga menghindari potensi rejeksi. Berbeda dengan transplantasi organ yang membutuhkan organ donor yang sesuai (match), transplantasi stem cell dapat dilakukan tanpa organ donor yang sesuai. Kedua, mempunyai kapasitas proliferasi yang besar sehingga dapat diperoleh36

sel dalam jumlah besar dari sumber yang terbatas. Misalnya pada luka bakar luas, jaringan kulit yang tersisa tidak cukup untuk menutupi lukanya. Dalam hal ini terapi stem cell sangat berguna. Ketiga, mudah dimanipulasi untuk mengganti gen yang sudah tidak berfungsi lagi melalui metode transfer gen. Keempat, dapat bermigrasi ke jaringan target dan dapat berintegrasi ke dalam jaringan dan berinteraksi dengan jaringan sekitarnya. Stem cell dapat ditemukan dalam berbagai jaringan tubuh. Salah satunya ada pada stem cell dewasa, yang diambil dari jaringan dewasa yakni pertama pada sumsum tulang, kedua pada susunan syaraf pusat, ketiga pada adiposit atau jaringan lemak, keempat pada otot rangka, dan kelima pada pankreas. Pada lokasi-lokasi itulah nanti getarannku akan kupakai untuk 'memancing' stem cell untuk kemudian diarahkan pada luka sobek di lengan kiriku. Aku mulai dari Nafas Pembersih berdasakan empat penjuru mata angin seperti yang pernah diajarkan oleh ayah. Mulai dari arah Selatan, Timur, Utara, dan Barat. Arah Selatan dan Utara berhawa dingin. Arah Timur dan Barat berhawa panas. Selatan dan Utara membersihkan kepala dan badan sedangkan Timur dan Barat membersihkan tangan dan kaki. Pertama, aku menghadap ke Selatan. Saat itu aku harus melakukan visualisasi seperti ada aliran 'air dingin' yang dijatuhkan pada ubunubun hingga kemudian 'membersihkan' rongga kepala hingga pangkal leher. Setelah dirasa cukup, kemudian bergeser ke arah kiri menghadap Timur. Saat itu aku harus melakukan visualisasi seperti ada aliran panas yang masuk ke pangkal lenganku hingga ujung jari. Setelah dirasa cukup, kemudian bergeser ke arah kiri menghadap Utara. Saat itu aku harus melakukan visualisasi seperti ada 'air dingin' yang masuk mulai dari pangkal leher hingga ke pinggang untuk membersihkan area tersebut. Setelah dirasa cukup, kemudian bergeser ke arah kiri menghadap Barat. Saat itu aku harus melakukan visualisasi seperti ada aliran panas yang masuk mulai dari pangkal kaki hingga ke ujung jari kaki. Setelah dirasa cukup, kembali bergeser ke arah kiri hingga balik lagi pada arah selatan.

37

Bagaimana memahami rasa inderawi pada 'dingin' dan 'panas'? Dulu, kira-kira sepuluh tahunan yang lalu saat ayah pertama kali mengajariku, tanganku diminta untuk menyentuh es batu terlebih dahulu sambil mengatakan kalau nanti rasa seperti inilah yang coba dimunculkan. Tanganku benar-benar disentuhkan ke es batu beberapa detik. Tentu saja rasanya sangat dingin. Dinginnya merambat perlahan dari telapak tangan yang menyentuh es batu itu ke arah lengan. Menjalar seperti rambatan tetumbuhan. Seperti itulah nanti rasa dinginnya kata ayah. Sedangkan untuk hawa panas, ayah dulu membawa lilin kemudian menyalakannya. Telapak tanganku diminta didekatkan ke arah api lilin hingga hanya berjarak satu ruas jari saja. Tentu saja rasanya mula-mula hangat kemudian memanas. Merambati telapak tanganku hingga ke lengan. Menjalar seperti rambatan tetumbuhan juga. Seperti itulah nanti rasa awal yang harus aku rasakan saat berlatih nafas pembersih ini. Kemudian, saat kemudian usiaku bertambah, dan aku baru sudah masuk SMU, pada suatu latihan yang sama, ayah mengatakan bahwa 'dingin' dan 'panas', janganlah sekedar dirasakan oleh panca indera saja, tetapi juga harus memahami makna dari itu. Saat menghadap ke Selatan, kepalaku 'dibersihkan' dengan hawa dingin. Sedangkan saat menghadap ke Utara, badanku juga 'dibersihkan' dengan hawa dingin. Ayah mengatakan kalau kepala dan badan itu tempat dimana pikiran dan hati berada. Pikiran, nalar, otak, berada di kepala. Sedangkan hati,, berada di badan. 'Membersihkan' ini juga harus membersihkan hakekat dari keduanya, mendinginkan keduanya. Dingin. Tenang. Bersih. "Kepala tidak boleh 'panas', dan hati juga tidak boleh 'panas'. Kalaupun hati terpaksa 'panas', maka kepala harus tetap 'dingin'. Kalau dua-duanya 'panas', maka akan hilanglah kontrol diri. Hilanglah apa yang disebut dengan sisi kemanusiaan kita. Kita sudah bukan manusia lagi. Dan itu tidak boleh terjadi.", kata ayah.38

"Memahami Nafas Pembersih tidak sekedar pada hasil akhir dari manfaat nafas jenis ini, atau yang berhubungan dengan kesadaran inderawi saja pada apa yang bisa dihasilkan darinya, akan tetapi lebih jauh lagi menyelami filosofi apa yang bisa didapatkan dari nafas pembersih yang berguna untuk membuat hidup kita menjadi lebih baik dan bijak.", lanjut ayah. Saat ini, aku baru memahami ucapan ayah. Sembilan menit berlalu. Aku sudah selesai melakukan nafas pembersih. Pikiran dan hatiku sudah sangat tenang. Tubuh ini juga rasanya ringan. Telinga seperti mendengar suara yang lebih jelas dan jernih dari biasanya. Pandangan mata juga menjadi lebih 'terang'. Aku memejamkan mata, memusatkan diri pada niat dan konsentrasi. Bawah pusarku mulai menghangat. Aku 'tarik' tenaga getaranku menuju dada, merasakan dadaku mulai menghangat. Setelah itu aku alirkan tenaga getaran ini pada jantung terlebih dahulu, kemudian pada lokasi-lokasi stem cell ini berada sambil memperkuat niat dan konsentrasi untuk 'membawa' stem cell ini pada kedua luka sobek di lengan kiriku. Terakhir, aku berkonsentrasi pada seluruh bagian kulit tubuhku, untuk kemudian mencoba 'menarik' stem cell dari kulit yang dialiri tenaga getaran ini yang nantinya akan diarahkan pada dua luka sobek di lengan kiriku itu. Seluruh kulitku serasa dirambati ribuan semut yang berjalan. Perlahan. Merambati. Setelah itu, luka sobek ini terasa agak berasa 'gatal' seperti digigiti semut. 'Gatal' yang tidak ingin digaruk. Aku tidak tahu berapa lama melakukan ini .Yang jelas, aku39

benar-benar 'tenggelam' pada aktivitas ini. Keringatku juga cukup banyak keluar dari tubuhku ini. Aku baru membuka mata setelah menginginkannya. Artinya, tubuhku sudah merasa cukup untuk itu. Aku menoleh ke arah jam dinding, ternyata sudah lima belas menit aku melakukan ini. Lumayan lama juga, gumamku dalam hati. Luka sobekku ini mulai berasa nyaman. Aku tutup kembali latihan kali ini dengan Nafas Pengendapan, menarik kembali tenaga yang sudah dikeluarkan, kemudian menyimpannya kembali di bawah pusar sambil menyisakan sedikit untuk dialirkan ke dada agar tubuhku menjadi lebih segar. Setelah itu berdoa, berterima kasih kepada Allah atas segala nikmat-Nya. Aku berdiri. Berjalan menuju lemari baju yang disampingnya ada tempat untuk menggantungkan handuk. Ada dua handuk disitu, terdiri dari satu handuk besar dan satu handuk kecil. Tangan kananku meraih handuk kecil, lalu aku bersihkan badanku, terutama yang berkeringat, dengan handuk tersebut. Setelah itu aku berjalan menuju lemari, membuka pintu lemari, untuk kemudian mengambil kaos berlengan panjang dan memakainya. Segar sekali rasanya tubuh ini. Tiba-tiba terdengar suara-suara aneh di perutku. Ah, tampaknya perutku sudah mulai berontak untuk diisi nih. Aku berjalan menuju pintu kamar, membukanya, dan berjalan keluar menuju dapur. Sambil berjalan, aku melihat adikku, Ayu, sedang bermain bersama Bayu dan Taufan. "Kakaaak sini ikutan main gak Kak?", tanya Ayu. Aku menggeleng, sambil kedua ujung telunjuk tanganku mengarah ke perutku sendiri.40

"Nggak Yu, nanti saja ya mainnya. Kakak lapar nih. Mau makan dulu di dapur", jawabku. Aku melihat Ayu kembali bermain bersama adik-adiknya. Aku meneruskan langkahku menuju dapur. Bersiap untuk makan karena perut ini rupanya sudah mulai berontak. Wajar saja, setelah mengalami pertarungan hidup dan mati sebelumnya aku baru meminum segelas teh manis saja. Ditambah lagi latihan nafas pembersih yang hampir setengah jam, benar-benar membuat perutku seperti 'protes' untuk diisi. Sesampainya di dapur, aku melihat mbak Juju sedang mencuci piring. Mbak Juju diperbantukan oleh bundaku untuk beres-beres rumah. Aku tidak pernah sampai hati menyebutnya 'pembantu' sebab meskipun ia orang lain, tapi ia bagian dari keluargaku kini, yang juga ikut menjaga rumah dalam porsinya yang sudah ditentukan. Aku lebih suka menyebutnya dengan istilah 'mbak'. Usianya kira-kira tiga puluh tahunan, berasal dari salah satu kampung yang agak jauh di Jawa Barat. Dapur itu ukurannya agak besar, kira-kira lima kali enam meter. Terdapat kaca yang mengarah ke halaman pada beberapa sisinya. Di tengahnya ada meja makan, tempat aku dan anggota keluarga yang lain makan. Meja makan itu berbentuk persegi empat, dengan empat kursi yang mengelilinginya. Meskipun kami sebenarnya memiliki ruang makan keluarga sendiri yang letaknya terpisah dari situ. Mbak Juju melihatku. Ia bergegas mencuci bersih tangannya, berbalik badan, dan menyapaku. "Mau makan A?", tanyanya sambil tangannya berusaha di lap dengan kain yang diikatkan di pinggangnya. Aku mengangguk. "Iya mbak. Laper nih perut. Ada masakan apa mbak hari ini?", jawabku.41

"Ada semur telur dan tahu A. Tempe goreng juga ada, tapi keliatannya tadi habis karena dimakan sama Ayu. Mbak goreng dulu ya sebentar.", ucap mbak Juju. Mbak Juju kemudian menyalakan kompor yang letaknya tidak jauh dari tempat mencuci piring, mengambil sebuah penggorengan, lalu mengisinya dengan minyak secukupnya. Ia lalu berjalan menuju lemari pendingin, membuka pintunya, dan mengeluarkan tempe mentah yang sudah dipotong-potong kecil. Berjalan kembali menuju tempat penggorengan. Lalu berdiri disitu, menunggu minyaknya panas. Aku sendiri langsung duduk mengambil kursi yang terdekat. Sambil menunggu mbak Juju selesai menggoreng tempe, aku terpikirkan aktivitasku sebelum ini. Pandanganku aku arahkan pada salah satu kaca di depan. Aku menyentuhkan ujung siku kedua lenganku di atas meja sambil telapak tanganku menahan daguku. Sikap ini adalah sikap seperti sedang merenung. Mataku terpejam. Yang baru aku lakukan barusan saat dikamar adalah berusaha untuk mengobati sendiri luka sobek ini dengan menggunakan pendekatan tradisional dan modern. Aku menganggap latihan silatku ini adalah tradisional, dan pengetahuan mengenai stem cell atau sel batang ini adalah modern. Setidaknya, begitulah saat ini yang ada di pikiranku. Dianggap tradisional karena latihan seperti itu tidak berhubungan dengan ilmu pengetahuan modern. Seringkali tidak tahu alasannya mengapa begini dan mengapa begitu. Bahkan seringkali juga tidak bisa dijelaskan dengan rasio. Sedangkan stem cell atau sel batang dihasilkan dari penelitian para ilmuwan dengan berdasarkan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah modern di abad 20 saat ini. Dheg Tiba-tiba hatiku seperti dipalu godam.42

Aku tiba-tiba teringat ucapan ayah mengenai kesadaran inderawi dan kesadaran rasional. Ingatanku juga melayang pada saat ayah selesai melatih olah nafas Pengolahan dengan menggunakan beban bambu raut yang ditengahnya digantung sebuah pot kecil dari semen seberat empat kilogram. Saat itu ayah berdiskusi denganku. "Nak, orang-orang zaman sekarang menggolongkan silat ini sebagai tradisional. Termasuk latihan olah nafasmu barusan. Sedangkan apa yang dihasilkan di zaman sekarang dianggap sebagai modern. Menurutmu, benarkah demikian nak?", tanya ayah kepadaku. Aku menggeleng. "Aa belum begitu mengerti yah", jawabku. "Ketahuilah nak, silat adalah ilmu pengetahuan. Meskipun orang-orang modern tidak berani mengakuinya demikian. Silat itu dapat mengungkap pengetahuan akan banyak hal. Ia seringkali dianggap tradisional, hanya karena ia kebanyakan berasal dari kampung, tertutup, diturunkan dari generasi ke generasi yang umumnya secara tutur atau lisan, sedikit tulisan, dan seringkali susah dijelaskan dengan menggunakan metode-metode ilmiah pada saat ini. Padahal ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari silat ini sudah melampaui zamannya, sudah lebih dulu diketahui sebelum ilmu pengetahuan modern berhasil menemukannya. Silat itu sendiri sudah merupakan teknologi 'modern' dalam bentuknya yang lain.", ucap ayah. "Sebagai contoh, ilmu getaran untuk tutup mata yang sudah pernah ayah ajarkan. Ilmu itu sudah lebih dulu ditemukan sebelum pengetahuan modern memahami konsep remote sensing, sebelum pengetahuan modern memahami bahwa atom suatu benda itu menyimpan karakteristik berupa warna, bentuk, sifat, dan informasi lainnya, atau sebelum konsep dualisme sifat pada Fisika Kuantum bisa diterima secara umum. Dan ada banyak hal lain lagi yang sudah ditemukan43

lebih dulu oleh ilmu silat ini. Ia sesungguhnya sudah modern pada zamannya. Ia sudah melampaui zamannya.", lanjut ayah. "Eh, bener juga", gumamku dalam hati. Aku mengangguk. Membenarkan ucapan ayah. "Sudah belajar apa saja kamu sampai sejauh ini di sekolah?", tanya ayah. "Banyak yah. Aa belajar matematika, fisika, akuntansi, kimia, biologi, sejarah, olahraga, dan banyak lagi yah", jawab Aa. "Benar nak, kamu hidup dengan belajar banyak hal. Di sekolah, sebagian besar kamu belajar hal-hal yang mengasah logika, nalar, otak. Hal-hal yang kebanyakan mengajarkan pada rasionalitas. Dimulai dari kesadaran inderawi, dan berujung pada kesadaran rasional. Pada akhirnya nanti, pengetahuanmu ini diharapkan akan mengerucut menjadi 'sesuatu'. Ingin menjadi apa nantinya pengetahuan dari kesadaran rasionalmu, ingin digunakan untuk apa nantinya pengetahuanmu, semua tergantung pada ini..", ucap ayah sambil ujung empat jari tangan kanannya ditempelkan ke tengah dadanya sambil sedikit ditepuk-tepuk perlahan. "Pengetahuan itu nantinya akan bergantung pada hati, bergantung pada rasa, bergantung pada mata hati. Jika baik hatimu, maka baik pula lisanmu, baik pula tindakanmu, baik pula pada apa yang dihasilkan dari pengetahuanmu, serta baik pula apa-apa yang dihasilkan dari kombinasi diantaranya. Efeknya baik pula pada apa-apa yang dirasakan oleh sekitarmu serta alam raya ini. Demikian juga sebaliknya nak.", lanjut ayah. "Ilmu silat sesungguhnya adalah ilmu pengetahuan modern. Sama sekali bukanlah tradisional dalam gambaran yang dibayangkan oleh orang-orang modern zaman sekarang.", ucap ayah menambahkan.

44

"Pengetahuan modern, memungkinkan kamu menjelaskan sesuatu. Sedangkan ilmu silat, memungkinkan kamu merasakan sesuatu. Pengetahuan modern memberimu penjelasan pada suatu fenomena. Ilmu silat memberimu fenomena itu. Lebih jauh lagi ia bahkan memberimu rasa pada fenomena tersebut, sesuatu yang seringkali ilmu pengetahuan modern lupakan. Ilmu silat, merupakan bagian dari pengetahuan rasa pada suatu fenomena. Sebagian fenomena sudah bisa dijelaskan pada zaman sekarang, tapi sebagian lagi belum. Yang belum bisa dijelaskan, bukanlah berarti bahwa keilmuan silat itu klenik atau misterus atau ajaib atau bahkan aneh dan tidak rasional, akan tetapi ilmu pengetahuan modern itulah yang perlu waktu untuk bisa menjelaskannya. Sebab sebagai bagian dari hukum Allah di alam ini, sebagian sudah bisa dijelaskan oleh pengetahuan manusia, tapi sebagian lagi belum. Yang jelas, akan ada masa dimana ia akan bisa dijelaskan oleh suatu ilmu pengetahuan modern nantinya. Masa itu akan datang, suatu hari nanti. Pada saat itu, tabir akan terbuka", tambah ayah. "Ingatlah nak, tidak penting bagaimana kamu menafsirkan modern dan tradisional. Karena tradisional tidaklah sepenuhnya 'tradisional', dan modern tidaklah benar-benar 'modern'. Bahkan banyak beladiri yang mengklaim modern tetapi kehilangan ruh pada 'rasa'. Definisi seperti itu lebih baik disingkirkan. Ambil manfaat dari keduanya. Ambil apinya, jangan abunya. Yang jelas, ketahuilah bahwa siapapun yang bersungguh-sungguh berusaha 'membaca' fenomena alam, apakah dari pendekatan fisika, kimia, biologi, matematika, medis, maupun bagian dari suatu seni beladiri, baik pada dirinya sendiri ataupun pada orang lain, niscaya akan makin menyaksikan kebesaran ilahi. Berpeluang mendapat hidayah, makin tebal keimanannya.", tegas ayah. Aku menunduk. Hatiku bergetar mengingat ucapan ayah. "Sudah siap A.", ucap mbak Juju membuyarkan lamunanku. Mbak Juju kemudian menghidangkan sepiring nasi yang berisi lauk pauk semur telur dan tahu, tidak lupa ada tiga potong tempe goreng. Setelah itu mengambil teh botol dari lemari pendingin dan meletakkannya disamping piring.45

"Iya mbak, terima kasih.", jawabku sambil mengangkat kepalaku. Melihat sepiring nasi dengan semur telur kesukaanku, hasrat makanku menjadi menggebu. Tanpa menunggu lagi, langsung aku santap hidangan di atas meja.

***

46

BAB 18

FENOMENA REGENERASI SELMalam ini adalah malam ketiga di liburanku. Tiga hari ini pula aku selalu memakai kaos lengan panjang saat di rumah. Aku tidak ingin ayah atau bundaku khawatir dengan luka sobekku. Tiga hari pula aku selalu berlatih pengobatan dengan caraku sendiri. Luka ini sudah mulai merapat. Lengan kiriku sudah mulai berani terkena air. Jujur, aku sendiri heran mengapa lukaku bisa cepat merapat seperti ini. Aku hanya mencoba melakukan apa yang bisa aku lakukan. Aku coba gabungkan pengetahuan mengenai tenaga getaranku dengan ilmu pengetahuan modern berbasis stem cell atau sel batang atau yang sering disebut dengan sel punca. Mencoba mengalirkan stem cell itu pada kedua lukaku. Nyatanya berhasil. Meski aku tidak bisa menjelaskan mengapa bisa begitu. Meski aku juga tidak tahu apa benar stem cell itu yang membuat lukaku menjadi cepat merapat. Tapi nyatanya demikian. Luka ini sudah mulai kering. Sudah mulai merapat. Lebih cepat dari yang diperkirakan. Obat dari dokter masih tersisa banyak. Malam ini, tempat jam sembilan malam, ayah mengajakku berlatih di halaman setelah siang tadi ayah mengatakan kalau ada sesuatu yang harus aku pelajari. Siang tadi, aku sedang menonton televisi di ruang keluarga. Dari balik kaca ruang tamu, aku melihat ayah berbicara dengan mas Ade di depan teras rumah. Pembicaraan itu tampak serius. Mas Ade pasti memberitahu lukaku ini, dan aku yakin mas Ade juga melindungiku dengan tidak mengatakan kejadian yang sebenarnya bahwa luka yang kudapat ini adalah hasil dari perkelahian di jalanan. Saat itu aku melihat ayah hanya tersenyum mendengar penjelasan dari mas Ade meskipun aku tidak tahu apa yang dijelaskan oleh mas Ade. Setelah selesai menjelaskan, ayah berdiri dan berjalan masuk ke rumah, menghampiriku. Aku langsung balik badan dan kembali menonton televisi, pura-pura tidak melihat ayah.47

Ayah duduk di samping tempat dudukku. "Nanti malam, jam sembilan, kita latihan di halaman. Ada yang ingin ayah ajarkan padamu...", ucap ayah. Aku mengangguk. "Iya yah...", jawabku. Aku masih di kamar, memandangi jam dinding yang menunjukkan pukul delapan lebih empat puluh lima menit. Masih ada waktu lima belas menit lagi sebelum aku berlatih bersama ayah di halaman. Aku melepas perban yang digunakan untuk membalut luka sobek di lengan kiriku. Terlihat luka itu kini benarbenar sudah mulai merapat. Aku sengaja melepasnya karena kalau berlatih bersama ayah dan perban itu masih aku pakai, tentu akan terlihat, dan ayah tentu akan bertanya. Setidaknya, dengan melepas perban itu, suasana halaman yang agak gelap bisa menyamarkan kulit ini. Setelah mengganti celana dengan celana hitam latihan, aku berjalan mendekati pintu kamar. Membukanya, dan kemudian berjalan santai menuju ruang tamu yang terbuka. Aku melihat ayah sudah berada di halaman. Ayah tampak sedang duduk bersila. Matanya terpejam. Nafasnya halus, teratur. Aku berjalan mendekati ayah. Lalu duduk di depan ayah, berjarak kira-kira dua meteran. Ayah kemudian membuka mata. "Bagaimana lukamu?", tanya ayah. Benar saja. Ayah pasti akan bertanya masalah ini.

48

"Sudah mendingan yah. Sudah diobati. Sekarang sudah mulai merapat dan sudah mulai kering.", jawabku. Hatiku masih agak khawatir kalau-kalau nanti ayah menanyakan penyebab dari luka ini. "Ya sudah. Kalau begitu, dalam dua atau tiga hari ke depan ini kamu akan ayah ajarkan teknik olah nafas untuk regenerasi sel tubuh", ucap ayah. Dheg... Aku terkejut. Teknik olah nafas untuk regenerasi sel tubuh? "Me...me...memangnya ada yah yang seperti itu?", tanyaku dengan sedikit kebingungan. "Tentu saja ada nak... Silat yang ayah ajarkan ini istimewa loh. Salah satu seni yang tidak kalah istimewa dengan yang lain. Meski kebanyakan sedikit yang mau peduli dengan keistimewaannya karena rata-rata malas untuk memikirkan dan merenungkan, apalagi melatihnya secara rutin.", jawab ayah dengan tersenyum. Aku menjadi bersemangat. Ini luar biasa! Aku tidak tahu kalau ada keilmuan pada silat yang ayah ajarkan yang fungsinya untuk regenerasi sel tubuh. Aku sendiri sebelumnya sudah mencoba teknikku sendiri berdasarkan pada pengetahuan stem cell yang pernah aku baca di perpustakaan. Itu kemudian memberikanku ide untuk mencoba sendiri gabungan antara tenaga getaran dengan pengetahuan stem cell. Dengan rasa penasaran yang besar, aku ingin tahu bagaimana teknik olah nafas untuk regenerasi sel yang nanti akan ayah ajarkan. "Ambil jarak. Berdoa terlebih dahulu, kemudian lakukan Nafas Pembinaan, tapi cukup bentuk Nafas Garuda saja. Lakukan tiga kali. Tidak perlu pengejangan maksimal, terutama pada lengan kirimu.", pinta ayah.49

Aku menurut. Aku mundur dengan beringsut beberapa langkah, kupejamkan mataku, lalu mengambil sikap berdoa. Setelah itu barulah melakukan olah nafas yang disebut dengan Nafas Pembinaan. Olah nafas ini terdiri dari empat bentuk utama. Boleh dilakukan dengan posisi duduk, atau posisi berdiri dengan kuda-kuda rendah. Bentuk pertama disebut dengan Bentuk Garuda. Gerakannya adalah merapatkan kedua telapak tangan di depan dada dengan kedua siku yang diangkat sejajar. Badan tegak. Nafasnya berdesis keras sehingga menimbulkan bunyi "cesssssssssss". Bungkukkan badan, lalu buang nafas sampai 'habis', sampai sudah tidak bisa lagi menghembuskan nafas. Setelah itu tahan tiga sampai lima detik dalam kondisi 'kosong'. Selanjutnya tarik nafas dari hidung sambil badan kembali ditegakkan. Nafas yang dihirup, 'ditelan' dan di tahan di dada. Saat menahan nafas ini, kedua telapak tangan saling mendorong kuat, keras, bertenaga sambil telapak tangan yang bersentuhan tadi didorongkan ke depan perlahan sekali sembari otot-otot lengan dikejangkan dengan kuat. Dorong sampai maksimal, sampai kedua lengan menjadi lurus ke depan dengan telapak tangan terbuka menghadap ke depan. Setelah itu, gerakkan ke samping badan dengan lengan tetap lurus dan telapak tangan tetap terbuka ke depan. Gerakkan perlahan, sejajar bahu hingga melewati bahu, hingga tidak bisa lagi digerakkan. Yakni saat otot bahu sudah mencapai titik akhir pergerakan. Biasanya otot bahu akan saling berdekatan. Tahan beberapa detik, lalu gerakkan kembali ke depan hingga kedua tangan lurus. Rapatkan kedua telapak tangan secara perlahan bersamaan dengan menekuk siku yang harus tetap sejajar sehingga kedua telapak tangan yang tadi dirapatkan mulai mendekat ke dada. Telapak tangan ini saling mendorong. Kuat, keras, bertenaga. Dekatkan ke arah dada, lalu kendorkan dan buang nafas kembali. Aku melakukan itu sebanyak tiga kali, secara maksimal, seperti yang diminta oleh ayah.50

Seluruh tubuhku kini sudah mulai menghangat Aku membuka mataku. "Bagus, nak. Sekarang, buka telapak tanganmu dan letakkan punggung tanganmu di atas lutut. Atur agar sudut yang dibentuk pada masing-masing tengah telapak tanganmu mengarah pada ulu hatimu.", pinta ayah. Aku menurut. Aku buka telapak tanganku, punggung telapak tanganku aku letakkan di atas lutut, kemudian aku atur sedemikian rupa sudutnya agar mengarah pada ulu hatiku. Bagus. Sekarang, pejamkan matamu seluruh tubuh harus rileks, tanpa ada pengejangan , ucap ayah. Aku mulai memejamkan mata. Pola nafas menggunakan nafas segitiga yakni interval antara buang, tahan, dan tarik harus sama, harus teratur, harus berada dalam keteraturan. Ingat, konsentrasi pada nafasmu., lanjut ayah. Buang nafas perlahan dari mulut sampai habis lalu tarik perlahan dari hidung. Perlahan dihayati rasakan benar nafasmu .. .turunkan ke bawah pusar, tahan sebentar lalu naikkan ke ulu hati naikkan lagi ke pangkal tenggorokan naikkan lagi ke titik diantara dua mata naikkan lagi ke ubun-ubun lalu buang nafas perlahan dari mulut. Tarik nafas lagi perlahan dari hidung konsentrasikan pada ubun-ubun lalu turunkan ke otak kecil bagian belakang tahan sebentar disana lalu turunkan ke leher turun lagi ke menyusuri tulang belakang turunkan lagi ke51

pinggang turunkan lagi hingga ke ujung tulang ekor buang nafas perlahan dari mulut. Tarik nafas lagi perlahan dari hidung konsentrasikan pada ujung tulang ekor lalu naikkan ke pinggang naikkan lagi menyusuri tulang belakang naikkan lagi ke leher naikkan lagi ke otak kecil bagian belakang tahan sebentar disana lalu naikkan lagi ke ubun-ubun lalu buang nafas perlahan dari mulut. Tarik nafas lagi perlahan dari hidung konsentrasikan pada ubun-ubun lalu turunkan ke titik diantara dua mata turunkan lagi ke tenggorokan turunkan lagi ke ulu hati lalu turunkan lagi ke bawah pusar tahan sebentar disana lalu buang nafas perlahan dari mulut., jelas ayah. Aku mengikuti setiap instruksi dari ayah. Menarik nafas, lalu menurunkannya ke bawah pusar, naik lagi pada lokasi-lokasi yang disebutkan oleh ayah. Terasa sekali ada sesuatu yang berjalan pada setiap titik lokasi yang disebut oleh ayah. Seperti memutari tubuhku, lalu mengalir dan seperti berpencar ke seluruh tubuh. Rasanya, setiap sel-sel tubuh ini terisi oleh sesuatu. Baru satu putaran saja sudah menghasilkan kesegaran yang luar biasa. Lakukan seperti itu terus hingga ayah bilang cukup, lanjut ayah. Aku menurut. Rasanya sungguh sangat nyaman. Aku tenggelam dalam konsentrasi melakukan olah nafas ini. Entah berapa lama, aku tidak tahu. Yang jelas, ini benar-benar sangat nyaman sekali. Setiap titik yang dilewati oleh aliran nafas ini benar-benar membawa kesegaran yang luar biasa. Cukup sudah tujuh menit bukalah matamu , ucap ayah.52

Aku membuka mata. Entah apakah perasaanku saja atau bagaimana, tapi pandangan mata ini terasa lebih terang dari biasanya. Pendengaranku juga serasa lebih tajam. Tujuh menit ini benar-benar membuat tubuhku bugar dan segar luar biasa. Bagaimana perasaanmu?, tanya ayah. Nyaman sekali yah , jawabku. Bagus. Sekarang kamu lakukan yang sama seperti tadi, tetapi ditambah dengan visualisasi. Setiap kali kamu menarik nafas, bayangkan juga seolah ada air dingin yang masuk ke tubuhmu, dan setiap jalur yang dilewati oleh air dingin bayangkan menjadi terang seperti lampu halogen, seperti lampu neon yang berwarna putih terang. Paham?, tanya ayah. Aku mengangguk. Aku memejamkan mataku. Ingat, konsentrasilah pada nafasmu ikhlas , ucap ayah. Aku tidak menjawab, tapi lebih tenggelam pada konsentrasiku. Hening. Menghayati. Merasakan. Ikhlas.53

Aku tarik nafas perlahan dari hidung, lalu menurunkannya ke bawah pusar sambil membayangkan air dingin memasuki tubuhku ini. Setelah itu melakukan visualisasi seperti lampu halogen atau lampu neon berwarna putih terang pada setiap titik yang dilewati. Pertama adalah bawah pusar. Dalam keheninganku, aku melihat bawah pusarku menyala putih terang. Lalu aku naikkan ke ulu hati, menyala pada jalur, menyala pada ulu hati. Uuh, terang sekali. Persis seperti lampu neon. Naik lagi ke tenggorokan, naik lagi ke titik diantara dua mata, naik lagi ke ubun-ubun. Lalu aku buang nafas karena memang itu sudah batas maksimum dari menahan nafasku. Uuh, jalur yang dilewatinya benar-benar menjadi sangat terang. Aku bisa melihatnya. Setelah kemudian menarik nafas yang kedua, aku konsentrasikan pada ubun-ubun, lalu turun ke otak kecil bagian belakang, tahan sebentar disana, lalu turun lagi, terus, terus, terus, pada lokasi yang sudah disebutkan oleh ayah. Dengan visualisasi ini, rasanya sungguh sangat berbeda. Aku bisa melihat bagian depan dan tubuhku menyala terang. Pendarannya kemudian seperti merambat mengisi ke samping kanan dan kiri tubuhku. Perlahan lahan tapi pasti, warna putih itu menyebar hingga memenuhi tubuh ini. Rasanya menjadi sangat sangat nyaman. Entah berapa lama aku tenggelam dalam latihan ini. Aku benar-benar bisa merasakan aliran darah ini mengalir, jantung, lengan, tenggorokan, ulu hati, kaki, ubun-ubun, otak kecil, kepala, semua bagian ini rasanya dipenuhi oleh sensasi yang luar biasa. Kulitku seperti dirambati ribuan semut. Bagus. cukup, nak sudah sembilan menit. Selesaikan putarannya hingga kembali ke bawah pusar., ucap ayah. Aku membuka mata perlahan. Benar-benar tidak terasa sudah sembilan menit aku melakukan ini. Tubuhku jauh lebih segar dan bugar. Sama seperti yang pertama tadi, hanya bedanya ketika ditambah dengan visualisasi, efeknya menjadi dua bahkan tiga kali lipat. Ayah juga54

dulu pernah menjelaskan kalau visualisasi itu jangan dianggap remeh. Visualisasi, meskipun hanya berada dalam pikiran, tetapi dapat memiliki efek pada tubuh fisik. Bagaimana?, tanya ayah sambil tersenyum. Istimewa yah!, jawabku dengan mantap. Tangan kananku reflek mengepal dengan ibu jari terbuka yang membentuk simbol hebat!. Tidakkah kamu menyadari sesuatu nak?, tanya ayah kembali. Keningku berkerut. Eh apa ya?, gumamku dalam hati. Tidakkah kamu perhatikan, bahwa jalur yang dilintasi oleh latihan oleh nafas untuk regenerasi sel ini adalah jalur-jalur yang juga merupakan titik-titik konsentrasi dari sel punca atau sel batang atau stem cell?, ucap ayah. Dheg Aku terkejut. Benar juga. Setelah aku pikir-pikir, ternyata jalur ini memang jalur yang merupakan lokasi tempat titik-titik konsentrasi dari sel batang yang baru saja aku pelajari dua hari yang lalu. Ayah tahu juga mengenai sel batang ini?, tanyaku. Tentu saja nak. Dan bukankah kamu juga sudah pernah mencoba memanfaatkannya?, ucap ayah. Aku kembali terkejut.55

Kok ayah bisa tahu?, tanyaku keheranan. Tentu saja tahu. Buku mengenai stem cell yang ada di perpustakaan belum kamu letakkan kembali ke tempatnya. Dari situ ayah jadi tahu kalau kamu berusaha melakukan sesuatu dengan lukamu ini. Dan dua hari ini ayah lihat kamu sudah tidak memakai perban lagi. Itu menandakan kamu ada kemajuan di dalam memanfaatkan potensi keilmuan yang kamu miliki. Ayah sendiri tidak tahu bagaimana caramu melakukannya, tapi nyatanya kamu berhasil., jawab ayah. Tebakan ayah sangat tepat. Benar yah, Aa coba untuk menggabungkan pengetahuan getaran Aa dengan pengetahuan mengenai sel batang ini. Barangkali saja bisa dimanfaatkan untuk mengobati luka sobek ini. Alhamdulillah ada perkembangan yang baik yah, ucapku agak berhati-hati. Jujur aku masih agak khawatir kalau-kalau nanti ayah menanyakan bagaimana luka itu bisa terjadi. Tapi Aa tidak tahu kalau ternyata ada olah nafas untuk regenerasi sel seperti yang tadi ayah ajarkan, lanjutku. Hehehe, apa kamu pikir silat ayah ini hanya berisi tata gerak dan getaran tutup mata saja?, ucap ayah sambil tersenyum. Aku tersenyum sambil menggaruk kepalaku yang tentu saja sama sekali tidak gatal dengan tangan kiriku. Kalau kamu perhatikan, bahwa pengetahuan mengenai konsep regenerasi sel ternyata sudah jauh ditemukan oleh pengetahuan silat dibanding dengan riset mengenai hal yang sama yang terjadi baru-baru ini. Jalur-jalur yang dilewati pada56

olah nafas ini ternyata merupakan jalur-jalur yang merupakan titik-titik konsentrasi dari sel batang., tanya ayah. Silat sudah menemukannya, melakukan riset secara unik, dan bahkan sudah memanfaatkannya terlebih dahulu., lanjut ayah. Aku melihat ayah mengangkat kepalanya sedikit dan memandang ke langit. Meski demikian, ilmu pengetahuan silat belumlah bisa menjelaskan mengenai fenomena ini secara gamblang. Sebab memang sifatnya bukan memberimu penjelasan yang rinci seperti halnya ilmu pengetahuan modern, tapi memberimu pengetahuan untuk merasakan fenomena tersebut. Harus dianalisa terlebih dahulu secara multidisiplin, barulah akan tergambar dengan jelas bagaimana fenomena ini bisa terjadi bagaimana ia bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan modern. Pengetahuan modern menggunakan nalar. Sedangkan silat menggunakan nalar dan rasa. Kalau penggunaan nalarmu tidak dibarengi rasa, maka hasil yang kamu capai tidak mendapatkan ridho Yang Maha Kuasa, meskipun memberikan nilai guna bagi orang lain. Kalau penggunaan otakmu tidak dibarengi hati, maka akan menjadi otakatik, membodohi orang-orang. Harus ada keselarasan antara nalar dan rasa, antara otak dan hati. Kalau nalar tidak pas, jangan teruskan. Kalau hati tidak yakin, tunda dulu. Kalau mantap dua-duanya, barulah dilanjutkan. , lanjut ayah. Aku terdiam beberapa saat, mencoba merenungi ucapan ayah. Bagaimana cara silat menemukan hal-hal seperti ini yah?, ucapku memberanikan bertanya. Ayah kemudian menatapku. Ia tersenyum.57

Cara silat menemukan hal-hal seperti itu bukan dengan pendekatan rasional semata, tetapi lebih dari itu, yakni dari pendekatan spiritual, dari tumbuhnya kesadaran spiritual sehingga terjadi kontak antara dirinya dengan Tuhannya melalui mata hati sehingga ia bisa membaca tanda-tanda yang diberikan oleh Tuhannya pada dirinya, dan pada alam sekitar. Barangkali, dengan cara seperti itulah, dengan mengharap tuntunan ilahi melalui mata hati, apa-apa yang dihasilkan oleh teknologi silat ini dikemudian hari bisa ditemukan juga oleh ilmu pengetahuan modern yang kemudian memberimu pengetahuan untuk menjelaskan fenomena ini., jawab ayah. Aku menunduk. Membenarkan ucapan ayah. Kita sudahi dulu latihan kali ini. Ingat, latihlah olah nafas tadi setiap ada kesempatan. Itu akan sangat membantumu untuk pengobatan luka di lenganmu itu. Jangan lupa berdoa dulu, berterima kasihlah kepada Allah SWT, Sang Maha Pemberi., lanjut ayah. Sertakan Allah dalam setiap aktivitasmu, nak., tutup ayah. Aku mengangguk. Menurut. Kepalaku menunduk. Batinku menjadi lebih tenang.

***

58

BAB 19

PERSIAPAN PERTANDINGAN PERTAMAKUKRIIIING! Dering telpon di ruang tamu terdengar begitu nyaring. Aku sendiri sedang berada di dalam kamar, sedang di kursi belajar sambil membaca-baca buku Kimia. Aku mengenakan celana pendek santai model Hawaii yang agak panjang dengan kaos putih bermotif abstrak. Suara telpon itu terdengar, tapi tidak membuatku tertarik untuk keluar kamar. Aku hanya melihat dari celah pintu kamarku yang agak sedikit terbuka. Aku menoleh ke arah jam dinding, ternyata sudah pukul empat sore. Seorang perempuan paruh baya berkaos lengan panjang dan berkebaya batik berlari-lari kecil dari arah dapur menuju sumber suara. Ia langsung meraih gagang telpon dan mengangkatnya. Dia adalah mbak Juju. Assalamualaikum, sapa mbak Juju. Waalaikum salam Aa ada mbak?, ucap suara di seberang telpon. Oh ada. Sebentar saya panggilkan ya, Dik?, jawab mbak Juju. Mbak Jujur meletakkan gagang telpon dalam posisi terbuka di samping pesawat telpon. Kemudian aku melihatnya berlari kecil menuju kamarku dan mengetuk pintunya perlahan. A, ada telpon dari temannya., ucap mbak Juju.59

Aku bangkit dari tempat dudukku. Iya mbak, terima kasih., jawabku sambil berjalan menuju pintu dan membukanya. Aku melihat mbak Juju membalikkan badan dan kembali lagi ke ruang dapur. Aku berjalan perlahan menuju meja kecil tempat pesawat terlpon itu diletakkan. Saat berjalan, sekilas dari sudut mataku aku melihat ke ruang perpustakaan. Aku melihat ayah sedang membaca buku disana. Sesampainya di depan meja kecil tempat pesawat telpon diletakkan, aku segera mengambil gagang telpon tersebut lalu mendekatkannya di telingaku. Assalamualaikum, tanyaku ramah. Waalaikum salam. Halo Aa, ini Mita., jawab suara merdu di ujung telpon. Ia adalah Mita, wakil ketua OSIS di sekolahku. Ia gadis super gaul dan super sibuk. Tingginya semampai, rambut pendek, bahkan sering kali dipotong cepak. Sedikit agak tomboy. Kulit sawo matang dan berkacamata. Oh iya Mit, ada apa nih?, tanyaku kembali. Gini A, kita ada masalah sedikit nih. Masih ingat khan kalau sekolah kita ikut pertandingan pencak silat antar pelajar di acara POPKOTA?, ucap Mita. Iya masih lah Mit. Khan gue yang bantu ngetik proposal pengajuan ke kepala sekolah waktu itu. Yang ikut khan si Pipit sama si Roni ya?, jawabku. Iya bener. Tapi ada masalah nih A. Masalahnya si Roni mendadak sakit. Kakaknya tadi nelpon. Mana pertandingannya lusa. Jadi kita kekurangan orang. Gue bingung nih A., ucap Mita.60

Lho kok bisa? Trus gimana donk jadinya?, tanyaku. Ya tadi sih udah laporan sama Pak Toto. Katanya harus cari penggantinya secepatnya. Sayang banget kalo ga ada gantinya karena sekolah udah keluarin dana untuk dua orang. Gue udah coba nanya ke si Adi, tapi pas gue telpon ke rumahnya, eh udah liburan sama keluarganya. Tinggal elu doank nih kayaknya.. Elu juga khan belajar silat, gimana kalau elu aja yang gantiin si Roni? Mau ya A, pliiiisss?, rayu Mita dengan nada memelas. Waduh, gue sih mau mau aja Mit. Tapi gue belum pernah ada pengalaman yang kayak gini nih, jawabku jujur. Memang benar, aku sendiri belum pernah ada pengalaman bertanding itu seperti apa. Aku memang pernah mengalami pertarungan, perkelahian, bahkan yang terakhir malah pertarungan antara hidup dan mati. Selain itu, aku hanya berlatih sparring bersama ayah di rumah. Udah deeh ga apa-apa ya A. Yang penting jangan sampe kosong aja Plis banget ya A, rayu Mita sekali lagi. Hmmm gimana ya Mit? Gue coba tanya ayah dulu deh. Soalnya minggu ini ayah ngajak liburan ke gunung nih. Satu jam lagi gue kabarin ya Mit, jawabku. Ya udah deh. Tapi beneran ya A, nanti lu kontak gue ya., ucap Mita. Iyaiya, bener. Nanti satu jam lagi gue pasti telpon elu. Gue mau nanya ama ayah dulu kapan berangkat liburannya., jawabku mantap. Ya udah, makasih ya A. Semoga bisa pliiiissss, rayu Mita sambil memelas sekali lagi. Entah sudah berapa kali dia merayu seperti ini. Kasihan juga sih. Aku tidak tega mendengarnya.61

Ok. Gue pasti telpon elu. Gue tutup dulu ya Mit. Assalamualaikum, jawabku. Waalaikumsalam, tutup Mita sambil juga menutup percakapan kita. Aku meletakkan kembali gagang telponnya. Lalu duduk disamping meja telpon. Aku berpikir apakah akan aku penuhi keinginan Mita atau tidak? Aku memandangi tangan kiriku, luka sobek ini sudah sembuh, sudah merapat dengan sempurna. Jujur, hatiku sih ingin. Meskipun aku tidak yakin bisa atau tidaknya. Sebab pasti nanti disana aku bisa ketemu sama Dewi. Dewi pasti akan ikut, karena ia juga tim dari sekolah bersama Mita dan yang lainnya. Ah, daripada bingung, lebih baik aku temui ayah. Aku ingin bertanya kapan kira-kira ayah akan mengajakku liburan. Kalau waktunya masih lama, aku akan menggantikan Roni sebagai wakil pesilat dalam pertandingan pencak silat antar pelajar. Tapi kalau tidak, terpaksa aku harus menolak permintaan Mita. Aku mantapkan hatiku, lalu segera berdiri dan berjalan menuju ke ruang perpustakaan. Aku melihat ayah sedang membaca buku. Hanya terlihat punggungnya saja karena ayah memutar kursinya ke arah berlawanan. Aku langsung duduk di salah satu kursi yang ada di depan meja baca, tepat di depan ayah. Suara derit kursi terdengar, aku melihat ayah memutar badannya lalu tersenyum. Ia menutup buku yang sedang dibacanya, dan meletakkannya di meja di depannya. Aku memulai terlebih dahulu percakapan dengan ayah. Yah, maaf Aa ganggu. Gini yah, tadi Mita, wakil ketua OSIS telpon Aa. Katanya salah satu pesilat wakil dari sekolah Aa mendadak sakit., ucapku langsung to the point atau langsung mengarah pada pokok persoalan. Tidak apa-apa. Terus gimana?, tanya ayah.62

Anu yah, Mita minta Aa buat gantiin pesilat yang sakit itu. Tapi Aa belum mengatakan iya atau tidak karena khan nanti ayah mau ajak Aa liburan., jawabku lugas. Oh, bagus itu A. Itu bisa jadi pengalamanmu bertanding. Diambil aja peluangnya. Ngomong-ngomong, kapan pelaksanaannya?, ucap ayah. Lusa yah. Makanya Aa mau nanya dulu sama ayah., jawabku. Ya sudah tidak apa-apa. Kita geser saja liburannya setelah pertandingan ini. Bagaimana?, tanya ayah. Kalau ayah mengizinkan ya Aa sih mau yah, jawabku. Tentu saja ayah mengizinkan, nak. Sudah, sana telpon temanmu, bilang kalau kamu bersedia menggantikan pesilat yang sakit tadi., ucap ayah sambil tersenyum ke arahku. Aku senang sekali mendengarnya. Aku langsung berdiri dari kursi dan berterima kasih pada ayah. Terima kasih ya yah, ucapku sambil tersenyum sumringah. Ayah tidak menjawab. Ia hanya mengangguk. Tapi itu sudah cukup bagiku. Aku membalikkan badan, lalu berjalan cepat menuju meja tempat pesawat telpon diletakkan. Aku angkat gagang telponnya, lalu segera menelpon Mita. Gagang telpon itu aku dekatkan ke telingan kiriku, sambil aku jepit dengan bahu dan tangan kiriku mengangkat pesawat telponnya bersamaan dengan tangan kananku memutar nomor Mita. Dua enam tiga kosong dua kosong.63

Beberapa detik kemudian terdengar nada tunggu di telinga kiriku. Halo assalamualaikum, terdengar suara merdu. Itu pasti suara Mita. Waalaikumsalam Mit, ini gue, ucapku. Iya A. Gimana A jadinya? Udah kasih tau ayahmu belum?, tanya Mita. Sudah Mit. Ayah mengizinkan, dan kebetulan liburannya digeser beberapa hari ke depan., jawabku. Horeeee! Sip lah kalau begitu! Tengkyu berat nih A!, ucap Mita kegirangan. Oh iya A, sore ini ada latihan bersama di sekolah. Barangkali saja mau ketemuan sama Pipit dulu buat ngobrol-ngobrol, lanjut Mita. Oh ya? Baguslah kalau begitu. Gue segera kesana aja. Gue juga mau nanyananya dulu sama Pipit nih mengenai aturan pertandingannya, ucapku. Ya udah nanti gue sms-in si Pipit ya. Kasih tau dia kalau dia jangan pulang dulu karena elu mau dateng kesitu. Gue juga nanti nyusul kesitu, jawab Mita. Ok Mit. Thanks yak Assalamualaikum, ucapku menutup pembicaraan. Waalaikumsalam, jawab Mita. Aku tutup gagang telponnya, lalu kembali berjalan menuju kamar. Di dalam kamar, aku segera mengganti celana pendekku dengan celana silat berwana hitam yang tergantung di dinding kamar. Celana silat ini sudah lusuh. Warnanya juga sudah mulai pudar. Jahitan di ujungnya