TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN...

96
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI TERHADAP UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN RI, UU NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN, UU NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG KUHAP, UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI, UU NO. 31 TAHUN 1999 jo UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI) Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh SHINTA UTAMI NIM.E0007211 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

Transcript of TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN...

Page 1: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

i

TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN

DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

(STUDI TERHADAP UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN

RI, UU NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN, UU NO. 8 TAHUN

1981 TENTANG KUHAP, UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI, UU NO. 31 TAHUN

1999 jo UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK

PIDANA KORUPSI)

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1

dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Oleh

SHINTA UTAMI

NIM.E0007211

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2011

Page 2: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xviii

Page 3: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xvii

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)

TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN

DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

(STUDI TERHADAP UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN

RI, UU NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN, UU NO. 8 TAHUN

1981 TENTANG KUHAP, UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI, UU NO. 31 TAHUN

1999 jo UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK

PIDANA KORUPSI)

Oleh

Shinta Utami

NIM.E0007211

Telah diterima dan dipertahankan di hadapan

Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada :

Hari : Selasa

Tanggal : 20 Juli 2010

Page 4: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xviii

Page 5: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xvii

PERNYATAAN

Nama : Shinta Utami

NIM : E0007211

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul

TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN

DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

(STUDI TERHADAP UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN

RI, UU NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN, UU NO. 8 TAHUN

1981 TENTANG KUHAP, UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI, UU NO. 31 TAHUN

1999 jo UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK

PIDANA KORUPSI) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya

saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan

dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak

benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan

penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum

(skripsi) ini.

Surakarta, Maret 2011

yang membuat pernyataan

Shinta Utami

NIM.E0007211

Page 6: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xviii

ABSTRAK

Shinta Utami, E0007211. 2011. TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI TERHADAP UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN RI, UU NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN, UU NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG KUHAP, UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI, UU NO. 31 TAHUN 1999 jo UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sinkronisasi hukum mengenai pengaturan kewenangan dalam hal penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi berdasarkan peraturan yang mengaturnya. Penulisan hukum ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif, mengkaji bagaimana pengaturan mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi serta taraf sinkronisasi hukum mengenai kewenangan tersebut berdasarkan peraturan yang mengaturnya yaitu UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, UU No. 8 tahun 1981 Tentang KUHAP, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sumber penelitian sekunder yang digunakan meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan sumber bahan hukum yang digunakan yaitu studi kepustakaan dan rujukan internet. Analisis penelitian yang digunakan adalah silogisme deduktif dengan pengumpulan sumber penelitian untuk menafsirkan norma terkait, kemudian sumber penelitian tersebut diolah dan dianalisis untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir adalah menarik kesimpulan dari sumber penelitian yang diolah, sehingga pada akhirnya dapat diketahui pengaturan mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi serta sinkronisasi hukum mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa pengaturan mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yaitu terdapat didalam Pasal 1 angka 8 sampai dengan 13 UU Kepolisian, Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 1 ayat (4) dan Pasal 6 ayat (1) KUHAP, Pasal 6, Pasal 7 huruf a, Pasal 8 ayat (2), (3), (4), Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 serta Pasal 43 sampai dengan Pasal 45 UU KPK, Pasal 25, 26, 28, 29, 30, 32, dan 33 UU Tipikor. Sedangkan taraf sinkronisasi horosontal kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi berdasarkan peraturan yang telah mengaturnya sesungguhnya terdapat sinergisitas antar instansi yang menanganinya sesuai dengan aturan yang telah mengaturnya. Kata Kunci : sinkronisasi hukum, kewenangan penyelidikan dan penyidikan, tindak pidana korupsi.

Page 7: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xvii

ABSTRACT

Shinta Utami, E0007211. 2011. A STUDY OF LAW SYNCHRONIZATION OF PERUSAL AND INVESTIGATION COMPETENCE OF CORRUPTION CRIMINALITY (A STUDY TOWARDS UU NO. 2 YEAR 2002 ABOUT REPUBLIK OF INDONESIA POLICE DEPARTEMENT, UU NO. 16 YEAR 2004 ABOUT HOUSE OF PROSECUTION, UU NO. 8 YEAR 1981 ABOUT KUHAP, UU NO. 30 YEAR 2002 ABOUT CORRUPTION CRIMINALITY DISMISS COMISSION, UU NO. 31 YEAR 1999 jo UU NO. 20 YEAR 2001 ABOUT CORRUPTION CRIMINALITY DISMISS). Faculty of Law of SEBELAS MARET UNIVERSITY. This law essay is aimed at finding how the synchronization of law about the regulation of competence in perusal and investigation towards corruption criminality based on the rule that regulate it. This law essay is a normatuve law research prescription, that examine how the rule about perusal and investigation fowards corruption criminality ang law synchronization degree about that compentence based on the rule that regulate it, that is UU No. 2 Year 2002 about Republik Of Indonesia Police Departement, UU No. 16 Year 2004 about House Of Prosecution, UU No. 8 Year 1981 about KUHAP, UU No. 30 Year 2002 about Corruption Criminality Dismiss Comission, UU No. 31 Year 1999 Jo UU No. 20 Year 2001 about Corruption Criminality Dismiss. Secondary source used is primary law materials, secondary law materials and tertiary law materials. The law material source collection technique used is literature study and internet recomendation. The research analysis used in this reaserch is deductive syllogism with research source is processed and is analyzed to solve the problem examined. The last stage is infering all the research source processed, so it can be found about the perusal and investigation competence towards corruption criminality and the synchronization of law about perusal and investigation competence towards corruption criminality. Based on the research, it can be infer that the regulation about perusal and investigation competence towards corruption criminality that is stated in Chapter 1 number 8 until 13 UU Republik of Indonesia Police, Chapter 30 verse (1) letter d UU House of Prosecution, Chapter 1 verse (4) and Chapter 6 verse (1) KUHAP, Chapter 6, Chapter 7 letter a, Chapter 8 verse (2), (3), (4), Chapter 9, Chapter 10, Chapter 11, Chapter 12, Chapter 38 until Chapter 41, Chapter 43 until Chapter 45 UU Corruption Criminality Dismiss Comission, Chapter 25, 26, 28, 29, 30, 32, and 33 UU Corruption Criminality Dismiss.. meanwhile, the horizontal synchronization degree of perusal on investigation towards corruption criminalitybased on the regulation that had been regulated is in fact there is a synergy between instances that handle it based on the regulation that regulate it. Key words: Law synchronization, perusal and investigation competence, corruption criminality.

Page 8: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xviii

MOTTO

Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kebaikannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan kalau kamu memutar balikkan kenyataan atau enggan menjadi saksi maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S.An-Nisa 4 : 135 ) Hiduplah bersama Al-quran, baik dengan cara menghafal, membaca, mendengarkan, maupun merenungkannya. Sebab ini obat yang mujarab untuk mengusir kesedihan dan kedukaan. (Dr. Aidh Al Qarni, La Tahzan) Terkadang Tuhan memberikan kita cukup kebahagiaan untuk membuat kita belajar bagaimana untuk tidak melupakan-Nya dengan bersyukur dan memberikan cukup cobaan membuat kita belajar bagaimana untuk tetap kuat dan berproses. (Penulis)

Page 9: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xvii

PERSEMBAHAN Karya kecil ini Penulis persembahkan kepada : · Allah SWT, Dzat yang Maha Sempurna, Maha mendengar doa manusia dan memberi jalan untuk setiap kesulitan dan kemudahan hamba-NYA · Baginda Rasulullah Muhammad SAW, yang telah menyampaikan kebenaran-kebenaran dari Allah SWT kepada kita hamba-Nya yang terlalu kecil di hadapan-Nya · Ibu dan Bapak, doamu adalah energiku dan harapanmu adalah kekuatanku · Simbah, sujud dan doamu adalah semangatku · Kakakku teman berbagiku, gudang pengalamanku · Fakultas Hukum UNS

Page 10: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xviii

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur Penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, atas setiap

kasih sayang-Nya, berkah dan rahmat-NYA sehingga Penulis dapat menyusun dan

menyelesaikan Penulisan Hukum yang berjudul “TELAAH SINKRONISASI

HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN

TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI TERHADAP UU NO. 2 TAHUN 2002

TENTANG KEPOLISIAN RI, UU NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG

KEJAKSAAN, UU NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG KUHAP, UU NO. 30

TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

KORUPSI, UU NO. 31 TAHUN 1999 jo UU NO. 20 TAHUN 2001

TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI)”. Shalawat

dan salam semoga selalu tercurah kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW.

Penulisan Hukum atau Skripsi merupakan tugas wajib yang harus diselesaikan

oleh setiap mahasiswa untuk melengkapi syarat memperoleh derajat sarjana dalam

Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penanganan tindak pidana korupsi seperti halnya dengan tindak pidana lain di

awali dengan penyelidikan dan penyidikan. Tindak pidana korupsi merupakan

salah satu tindak pidana khusus, dalam penanganan penyelidikan dan penyidikan

tindak pidana korupsi (tindak pidana khusus) dimiliki oleh beberapa instansi yang

memiliki kewenangan dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi,

diantaranya alah Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi di atur

di dalam beberapa aturan perundang-undangan yaitu UU No. 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, UU No. 8

tahun 1981 Tentang KUHAP, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga terlihat

seperti adanya tumpang tindik kewenangan antar instansi dalam penanganan

penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu adanya

Page 11: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xvii

sinkronisasi hukum kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana

korupsi untuk menjelaskan sinergisitas kewenangan antar instansi-instansi yang

berwenang tersebut

Untuk itu, mengenai pengaturan kewenangan penyelidikan dan penyidikan

terhadap tindak pidana korupsi harus diatur secara jelas agar terlihat sinergisitas

antar pihak yang mempunyai kewenangan tersebut dan tidak terlihat adanya

tumpang tindih kewenangan dalam penanganan korupsi di Indonesia dan dapat

tetap berjalan secara maksimal.

Penulis menyadari bahwa terselesainya Penulisan Hukum ini tidak terlepas dari

bantuan baik moril maupun materiil serta doa dan dukungan berbagai pihak,

dalam kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H., selaku pembimbing I yang telah

memberikan banyak masukan, saran dan motivasi bagi Penulis untuk

menyelesaikan penulisan hukum ini.

3. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H.,M.H., selaku pembimbing II yang dengan

sabar memberikan bimbingan, saran, kritik, dan motivasi serta bersedia

menyediakan waktu, pemikiran dan berbagi ilmu dengan penulis.

4. Ibu Kus Sunaryatun, S.H.,M.H., selaku pembimbing akademis, atas nasehat

yang berguna bagi penulis selama penulis belajar di Fakultas Hukum UNS.

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu

pengetahuan kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan

skripsi ini.

6. Ketua Bagian PPH Bapak Lego Karjoko S.H., M.Hum., dan Mas Wawan

anggota PPH yang banyak membantu penulis dalam penulisan skripsi ini.

7. Segenap staff Perpustakaan Fakultas Hukum UNS, yang telah membantu

menyediakan bahan referensi yang berkaitan dengan topik penulisan hukum.

8. Ibu dan Bapak tercinta yang selalu mengantarkan kepergianku dengan penuh

doa, harapan dan nasehat-nasehatnya serta selalu menyambut kepulanganku

Page 12: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xviii

dengan senyum dan perhatiannya. Terima kasih atas setiap cinta, doa, kasih

sayang, perhatian, harapan, dukungan, motivasi, semangat dan segala yang

telah kalian berikan yang tidak ternilai harganya sehingga Penulis dapat

menyelesaikan penulisan hukum ini.

9. Simbah tercinta, terimakasih disela-sela setiap sujud dan doamu tak lupa

selalu ada doa untukku.

10. Kakak terbaik didunia, Sulistyo Utomo teman berbagi yang telah memberikan

pandangan dan bantuan cukup ilmu bagi Penulis dalam menyelesaikan

penulisan hukum ini.

11. Saudara-saudara dan keluarga besar atas doa dan dukungan yang luar biasa

kepada penulis.

12. Sahabat-sahabat motivasiku, Lina “partner in crime” sahabat yang selalu

memberikan bantuan dan informasi selama hampir 4 tahun ini, Venni sahabat

ceriaku teman berbagi cerita, Tyas sahabat saling menopang teman untuk

saling menguatkan. Suka, duka, tawa dan tangis pernah mewarnai

kebersamaan kita dan kita selalu bertahan dalam keadaan apapun untuk tetap

menjadi satu dari awal sampai ujung kapanpun dibawah pedoman yang selalu

kita ingat bersama “Perbedaan Itu Indah!!”.

13. Sahabat-sahabat yang dipertemukan ketika Magang di Kejaksaan Negeri

Karanganyar : Mey, Wawan, Mas Agung, Mas Sukma, Puspita, Dhika,

Mardiyan. Tak akan pernah sekeping kenanganpun akan terlupakan dari

kebersamaan kita yang hanya 1 bulan saja.

14. Sahabat malamku, Mey, Wawan, Mas Agung dan Mas Sukma terimakasih

untuk hari-hari dan setiap malam yang kita lewati bersama. Walau hanya

sekedar kopi yang terkadang selalu menjadi teman bekumpul kita tapi rajutan

impian selalu terukir untuk menjadi semangat dan batu loncatan kita.

Tarimakasih dan maav atas segala kejutan yang terkadang menimbulkan tawa

ataupun amarah itu semua tak luput dari kealpaan dari diri pribadi untuk

kebersamaan kita.

15. Sahabat perjuangan, kawan untuk saling berproses : Dayat, Gopal, Padank,

Refi, Yuda, Mia, Citra, Dina, Riri, Desi, Hangga keluarga dalam satu tubuh

Page 13: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xvii

Pengurus HMI Kom FH UNS serta mas-mas yang telah membagi banyak ilmu

dan pandangan hidup untuk merubah dunia : Mas Didit, Mas Yasser, Mas

Anung, Mas Ridho, Mas Aldi, Mas Okki, Mas Aji, Mas Arman, Yedi, Mas

Martin, Mas Wisnu.

16. Keluarga keduaku, teman hidup bersama di kota Solo yang menumbuhkan arti

keluarga antara kita “Kethoprak” : Wulan, Lina, Dasri, Duden, Nopek, Nia,

Huzna, Dek Aning. Terimakasih atas perhatian dan bantuan serta canda tawa

yang mewarnai rumah kontrakan kita, walau hanya sekedar “gubuk” tetapi

banyak cerita tertoreh bersama.

17. Rahadian Anhar Ansori “kawan dalam bersaing” makasih untuk semua

waktunya sudah menjadi teman berbagi, menjadi pendengar dan penasehat

yang baik dan terimakasih untuk selalu mengingatkan tentang ajaran agama.

18. Sahabat senyum dan tawa : Prisil, Enggar, Lisa, Radit walau tak bisa

menempuh ilmu di kota yang sama dengan kalian tetapi terimakasih untuk

semua waktu, canda, tawa, cerita yang telah kalian luangkan dan bagi

bersama. Terima kasih untuk mau menampungku di Jogja ketika Solo

terkadang membuat lengah. Tetap saling berbagi semangat dalam keadaan

apapun. Bangkitkan kawan disaat dia terjatuh.

19. Teman-teman angkatan 2007 Fakultas Hukum UNS, teman-teman PETITUM

2010, teman-teman Kru DepDok (Hafidz, Mamo, Ebik, Yayas, Ocki, Yudha)

terimakasih atas kekompakan kita dan ilmu yang kita dapat bersama. Tak

pernah ada kata sesal pernah berada diantara kalian.

20. Para pihak “di belakang layar” yang telah banyak membantu dalam

penyelesaian Penulisan Hukum ini, yang tidak dapat Penulis sebutkan satu

persatu, semoga Allah SWT membalasnya dengan kebaikan yang lebih atas

jasa-jasa yang telah diberikan.

Penulis menyadari bahwa Penulisan Hukum atau Skripsi ini masih jauh dari

sempurna baik dari segi subtansi ataupun teknis penulisan. Untuk itu sumbang

saran dari berbagai pihak yang bersifat konstruktif, sangat penulis harapkan demi

perbaikan penulisan hukum selanjutnya. Demikian semoga penulisan hukum ini

Page 14: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xviii

dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, baik untuk penulisan, akademisi,

praktisi maupun masyarakat umum.

Surakarta, Maret 2011

Penulis

SHINTA UTAMI

Page 15: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xvii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i

HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................... iii

HALAMAN PERNYATAAN .................................................................................. v

ABSTRAK ....................................................................................................... vi

HALAMAN MOTTO ............................................................................................... viii

HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................... ix

KATA PENGANTAR .............................................................................................. x

DAFTAR ISI ....................................................................................................... xv

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ xviii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1

B. Perumusan Masalah ............................................................................. 7

C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 7

D. Manfaat Penelitian ................................................................................. 8

E. Metode Penelitian ................................................................................... 9

F. Sistematika Penulisan Hukum ................................................................ 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori ....................................................................................... 15

1. Tinjauan tentang Sinkronisasi Hukum ................................................. 15

2. Tinjauan tentang Penyelidikan dan Penyidikan .................................... 16

a. Pengertian Penyelidikan dan Penyidikan ...................................... 16

b. Pengertian Penyelidik dan Penyidik ............................................. 18

c. Tugas dan wewenang Penyelidik................................................... 19

d. Tugas dan wewenang Penyidik ..................................................... 21

3. Tinjauan tentang Tindak Pidana Korupsi ............................................. 24

a. Pengertian Korupsi ....................................................................... 24

Page 16: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xviii

b. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ............................................... 27

c. Pembagian Tindak Pidana Korupsi ............................................... 29

d. Faktor-faktor timbulnya korupsi .................................................... 33

4. Tinjauan tentang Undang-Undang Penegakan Hukum Tindak Pidana

Korupsi ................................................................................................. 35

a. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI ..... 35

b. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI .... 36

c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.............. 38

d. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ......................................... 38

e. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi .......................................................................................... 39

B. Kerangka Pemikiran ................................................................................. 41

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pengaturan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana

Korupsi dalam UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU KPK, UU

Tipikor ...................................................................................................... 42

1. Pengaturan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak

pidana korupsi dalam UU Kepolisian ................................................ 42

2. Pengaturan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak

pidana korupsi dalam UU Kejaksaan ................................................. 45

3. Pengaturan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak

pidana korupsi dalam KUHAP ........................................................... 47

4. Pengaturan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak

pidana korupsi dalam UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi ............................................................................................... 51

5. Pengaturan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak

pidana korupsi dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ... 60

Page 17: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xvii

B. Taraf Sinkronisasi Horisontal Pengaturan Kewenanagn Penyelidikan

dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi dalam UU Kepolisian, UU

Kejaksaan, KUHAP, UU KPK dan UU Tipikor ...................................... 64

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan ................................................................................................... 75

B. Saran ....................................................................................................... 77

DAFTAR PUSTAKA

Page 18: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. Bagan Kerangka Pemikiran ..................................................................... 42

Page 19: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Era globalisasi semakin lama semakin menunjukkan era persaingan dan

kemajuan di segala bidang mulai saling berhadapan. Indonesia sebagai suatu

negara yang sedang berkembang tidak mau untuk ketinggalan dalam melalui

era ini, sehingga mau tidak mau masyarakatnyapun harus dapat menyesuaikan

dengan kemajuan zaman.

Seiring dengan fenomena di atas, tidak hanya persaingan dan

kemajuan di segala bidang saja yang mencuat ke permukaan, tetapi kebutuhan

masyarakatpun juga semakin meningkat, bahkan meningkatnya berbagai

kebutuhan tersebut tidak senada dengan meninggkatnya daya beli dan

pendapatan masyarakat yang terkadang tidak cukup untuk memenuhi

kebutuhan tersebut. Hal inilah yang akhirnya dapat memunculkan barbagai

cara untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Berbagai inovasi akhirnya

muncul, masyarakat semakin produktif, namun tidak jarang cara-cara negatif

juga ikut bermunculan. Menghalalkan segala cara untuk memenuhi berbagai

kebutuhan menjadi hal yang biasa terjadi di tengah-tengah masyarakat tanpa

mempedulikan kepentingan orang lain bahkan kepentingan negara sekalipun

jika perlu akan dikorbankan. Perampokan, pencurian, penggelapan,

penyelundupan, penipuan dan berbagai bentuk kejahatan lainnya terjadi. Itu

semua dapat terjadi seakan-akan disebabkan karena faktor ekonomi, seiring

dengan kemajuan dan persaingan yang semakin meningkat.

Di sini peran penegak hukum sangatlah penting untuk menciptakan

kehidupan yang selaras dengan tujuan Pancasila dan UUD 1945. dalam

system penegakan hukum di peradilan pidana, polisi dan jaksa merupakan dua

institusi penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat.

Hukum acara pidana menjadi pegangan bagi Polisi, Jaksa, serta Hakim

(bahkan termasuk Penasihat Hukum) di dalam melaksanakan tugas

penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan dan pemeriksaan di

pengadilan. Para pelaksana hukum ini dalam melaksanakan tugasnya tidak

Page 20: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

boleh menyimpang dari asas-asas hukum acara pidana. Di dalam hukum acara

pidana diatur dengan jelas apa tugas dan kewenangan masing-masing alat

negara yang bekerja dalam sistem peradilan pidana.

Secara nyata pelanggaran terhadap peraturan-peraturan hukum

sangatlah marak terjadi di masyarakat bahkan di kalangan penegak hukum itu

sendiri. Pelanggaran terhadap peraturan-peraturan hukum ini merupakan

tindak pidana yang sangat merugikan masyarakat bahkan Negara itu sendiri.

Tindak pidana yang saat ini menjadi sorotan masyarakat adalah korupsi,

kolusi dan nepotisme. Masalah korupsi itu sendiri merupakan masalah yang

besar dan ruwet yang dihadapi oleh negara kita saat ini. Masalah korupsi

merupakan masalah banyak seginya, banyak sangkut pautnya dan tidak tentu

pangkalnya.

Andi Hamzah berpendapat, masalah korupsi telah mendunia. Buktinya

telah ada konvensi internasional mengenai pemberantasan korupsi, jadi

penentuan peringkat korupsi Indonesia yang demikian tingginya masih dapat

dipertanyakan kebenarannya, melihat negara lain yang sampai

mempergunakan kekuatan militer untuk merebutkan kekayaan negara lain, ini

sudah meningkat dari persoalan korupsi individual atau kelompok ke korupsi

negara (Andi Hamzah, 2004:13)

Korupsi merupakan suatu bentuk tindak pidana yang dianggap suatu

extra ordinary crime (kejahatan luar biasa), karena korupsi dapat menjegal

dan melumpuhkan sendi-sendi perekonomian negara baik secara langsung

maupun tidak langsung. Semenjak reformasi pada tahun 1998, sejak

lengsernya pemerintahan Orde baru, dimana pemerintahan yang dipimpin oleh

Soeharto tersebut dianggap tidak bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

(KKN), suara-suara tentang perlawanan terhadap korupsi mulai terdengar.

Bahkan termuat pula dalam agenda cita-cita reformasi sendiri yang dituangkan

dalam Ketetapan MPR No. XI Tahun 1998 tertanggal 13 November tentang

penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi, dan

Nepotisme, yang menyatakan antara lain bahwa upaya pemberantasan KKN

harus dilakukan secara tegas kepada siapapun juga, baik pejabat negara,

Page 21: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

mantan pejabat negara, keluarga dan kroni-kroninya, maupun pihak swasta

atau pengusaha konglomerat termasuk Presiden Soeharto

(http://www.komisihukum.go.id/konten.php/ diakses tanggal 9 September 2010

pukul 22.15 WIB).

Penanganan terhadap perkara-perkara korupsi haruslah dilakukan

secara serius, karena seperti yang telah disebutkan di atas korupsi dapat

menjegal dan melumpuhkan sendi-sendi perekonomian negara baik secara

langsung maupun tidak langsung. Maka daripada itu Peraturan Perundang-

undangan yang mengaturnyapun harus diupayakan secara efektif dapat

menjerat setiap menggeliatnya praktek-praktek korupsi, jadi Peraturan

Perundang-undangan tersebut juga harus dapat digunakan secara dinamis dan

fleksibel dari zaman ke zaman. Namun karena tidak dapat dibuat Undang-

undang tentang korupsi yang semacam itu, maka terpaksa Undang-undang

korupsi selalu diganti setiap undang-undang tersebut sudah dianggap tidak

efektif lagi.

Usaha pemberantasan korupsi selain telah diadakan pembaharuan

sumber pokok hukum pidana korupsi, Undang-Undang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 diubah dengan Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1971, telah dibentuk dan diberlakukan pula berbagai perangkat peraturan

perundang-undangan lainnya sebagai penunjang dan pelengkap dasar hukum

bagi pemerintah, dalam usaha memberantas korupsi di Indonesia. Hendaknya

dicermati bahwa dengan membuat dan mengganti atau memperbaiki peraturan

perundangan-undnagan akan berakibat penegakan hukum dalam mengatasi

korupsi menjadi beres. Anggapan tersebut tidak benar, karena penyebab

utamanya bukanlah pada perangkat hukumnya, tetapi pada penegak

hukumnya. Dahulu gagalnya pemberantasan korupsi disebabkan karena

pejabat atau penyelenggara negara banyak turut campur dalam urusan

penegakan hukum yang mempengaruhi dan mengatur proses jalannya

peradilan. Dalam era reformasi saat ini bukan saja penyelenggara negara

(eksekutif) yang ikut campur, tetapi juga dari kekuatan poitik yang ada di

Page 22: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4

partai politik atau kalangan politikus yang ada di DPR termasuk DPR daerah.

Lebih parah lagi bila pengaruh itu menggunakan uang. Tidak dapat di pungkiri

dan telah menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum di rusak oleh

adanya budaya suap (termasuk kategori korupsi) yang memang sulit

dibuktikan secara hukum.

Kesungguhan pemerintah dalam menanggulangi tindak pidana korupsi

adalah komitmen yang tidak dapat dipungkiri, harus dilaksanakan secara

konsekuen penuh tantangan dan resiko, walaupun kendala sangat komplek,

tetapi peraturan yang telah ada dijadikan sebagai pedoman kerja bagi aparat

penegak hukum. Setiap pelaku kejahatan korupsi tentu harus dikenakan sanksi

pidana sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (Ajimbar,

2007:5)

Kompleksitas kejahatan korupsi mustahil dapat dicari jalan keluarnya

hanya dengan pendekatan parsial. Dalam ketentuan hukum internasional,

selain korupsi sebagai kejahatan luar biasa akibat adanya penyalahgunaan

kewenangan (abuse of power) yang telah menggoyahkan sendi-sendi

kehidupan bernegara. Juga kejahatan korupsi menjadi sangat sulit diberantas

karena muara utamanya berada pada instutusi penegak hukum (Jawahir

Thontowi, 2007:2). Kasus korupsi yang juga menjadi masalah di negara-

negara lain memunculkan pernyataan bahwa bukti data kuantitatif mengenai

korupsi sebenarnya bisa didapatkan dari sumber resmi pemerintah seperti

lembaga statistik pemerintah namun data semacam itu hanya sedikit yang

dipublikasikan secara riil (Daniel Levy, 2007:1-2). Dalam pemeriksaan

perkara pidana di Indonesia secara normatif (substansi) menunjuk kepada

peraturan induk yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

(KUHAP), beserta aturan lain yang memiliki keterkaitan denagn ketentuan

tersebut. Tahapan pemeriksaan dalam aturan itu dapat digambarkan sebagai

berikut:

a. Tahap Penyelidikan;

b. Tahap Penyidikan;

Page 23: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

c. Tahap Penuntutan;

d. Tahap Pemeriksaan di Sidang Pengadilan;

e. Upaya Hukum Biasa dan Luar Biasa;

f. Pelaksanaan Putusan Pengadilan.

Dalam tahap pemeriksaan penyelidikan dan penyidikan merupakan

fungsi yang tidak dapat dipisahkan. Penyelidikan merupakan salah satu cara

atau metode yang menyatu dengan fungsí penyidikan sebagaimana yang

ditentukan Pedoman Pelaksanaan KUHAP berikut ini : “Penyelidikan

bukanlah merupakan fungsi yang berdiri sendiri, terpisah dari fungsi

penyidikan, melainkan hanya merupakan salah satu cara atau metode fungsi

penyidikan, yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa

penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat,

pemanggilan, tindakan pemeriksaan penyelesaian dan penyerahan berkas

perkara lepada penuntut umum. Latar belakang motivasi dan urgensi perkara

diintrodusirkan fungsi penyelidikan, antara lain adanya persyaratan dan

pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa, ketatnya pengawasan

dan adanya lembaga ganti kerugian dan rehabilitasi, dikaitkan bahwa tidak

setiap peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana, maka sebelum

melangkah lebih lanjut dengan melakukan penyidikan denagn konsekuensi di

gunakannya upaya paksa perlu ditentukan terlebih dahulu berdasarkan daat

atau keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan bahwa peristiwa yang

terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu benar adanya merupakan tindak

pidana sehingga dapat dilanjutkan dengan tindakan penyidikan”. Dapat ditarik

kesimpulan bahwa dalam melakukan statu penyidikan diperlukan adanya

taktik, teknik, pengetahuan, modus operandi yang variatif serta kejelian,

ketepatan dan kecepatan untuk mengungkapkan alat-alat bukti lain yang dapat

berupa surat-surat, baik asli maupun fiktif, neraca dan jurnal-jurnal

pembukuan dan lain-lain yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara secara melawan hukum sebagaimana elemen terpenting

dari tindak pidana korupsi.

Page 24: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

Dalam penanganan tindak pidana korupsi khususnya pada tahap

penyelidikan dan penyidikan terdapat ketidak harmonisan bahkan tumpang-

tindih penanganan terhadap masalah tersebut karena dilakukan oleh beberapa

lembaga yang kesemuanya merasa mempunyai wewenang untuk melakukan

penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. Sehinggga

muncul sindiran dari masyarakat bahwa lembaga-lembaga penegak hukum

tersebut saling berebut rejeki satu sama lain. Rebutan kewenangan

penyelidikan dan penyidikan tindak pidana khusus (seperti korupsi) antara

polisi, jaksa dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, misalnya

membuat masyarakat mengkritik bahwa antara lembaga penegak hukum

tersebut tengah terlibat “perkelahian” untuk mendapat “rejeki” yang besar.

Untuk itu perlu dilihat kembali lembaga mana yang benar-benar penting dan

perlu untuk menanggulangi korupsi secara optimal dengan peraturan

perbandingan tugas dan wewenang dalam penanganan tindak pidana korupsi.

Berdasarkan uraian di atas, menarik penulis untuk meneliti tentang

sinkronisasi hukum kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana

korupsi di tinjau dari peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, maka

penulis mengkaji lebih mendalam di dalam sebuah penulisan hukum dengan

judul “TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN

PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

(STUDI TERHADAP UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN

RI, UU NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN, UU NO. 8

TAHUN 1981 TENTANG KUHAP, UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG

KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI, UU NO.

31 TAHUN 1999 jo UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI)”.

Page 25: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

B. Rumusan Masalah

Agar permasalahan yang hendak diteliti tidak mengalami perluasan

konteks dan supaya penelitian yang dilaksanakan lebih mendalam maka

diperlukan suatu pembatasan masalah. Pokok permasalahan yang hendak

menjadi tujuan penulis yaitu terbatas pada masalah yang berkaitan dengan

sinkronisasi hukum kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana

korupsi di lihat dari UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16

Tahun 2004 tentang Kejaksaan, UU No. 8 tahun 1981 Tentang KUHAP, UU

No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. Sehingga agar tidak terjadi penyebutan berulang-

ulang mengenai produk-produk hukum diatas maka selanjutnya akan

disebutkan dengan UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU KPK dan

UU Tipikor.

Berdasarkan pemaparan dalam latar belakang dan mengacu dari judul

penelitian hukum, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak

pidana korupsi dalam UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU KPK

dan UU Tipikor?

2. Bagaimana taraf sinkronisasi horisontal pengaturan kewenangan

penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dalam UU Kepolisian,

UU Kejaksaan, KUHAP, UU KPK dan UU Tipikor?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian dilakukan karena memiliki tujuan. Tujuannya adalah

memecahkan permasalahan yang tergambar dalam latar belakang dan rumusan

masalah. Karena itu, tujuan penelitian sebaiknya dirumuskan berdasarkan

rumusan masalahnya. Tujuan penelitian dicapai melalui serangkaian

metodologi penelitian . Oleh karenanya, tujuan penelitian yang baik adalah

rumusannya operasional dan tidak bertele-tele. Dari tujuan inilah, dapat

Page 26: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

diketahui metode dan teknik penelitian mana yang cocok untuk dipakai dalam

penelitian itu (M. Subana dan Sudrajat, 2001:71)

Selain itu, tujuan penelitian diperlukan untuk memberikan arah dalam

melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang hendak

dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui pengaturan kewenangan penyelidikan dan

penyidikan tindak pidana korupsi dalam produk hukum di Indonesia.

b. Untuk mengetahui taraf sinkronisasi horisontal pengaturan

kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dalam

produk hukum di Indonesia.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk mengembangkan dan memperdalam pengetahuan penulis di

bidang Hukum Acara Pidana khususnya mengenai sinkronisasi hukum

kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi di

lihat dari UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU KPK dan UU

Tipikor.

b. Untuk memperoleh data sebagai bahan utama dalam penyusunan

skripsi sebagai persyaratan wajib guna mencapai derajat sarjana (S1)

di bidang hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian hukum ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi

penulis maupun orang lain baik sekarang dan di masa yang akan datang.

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan hukum ini sebagai

berikut:

Page 27: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan

sumbangan pemikiran pada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang

ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Acara Pidana pada khususnya.

b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dan referensi di bidang karya

ilmiah serta bagi penelitian dan penulisan hukum sejenis di masa yang

akan datang.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat memberikan data dan informasi mengenai sinkronisasi hukum

kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi di lihat

dari UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU KPK dan UU

Tipikor.

b. Dapat dipergunakan sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak dalam

melaksanakan tugas menangani perkara tindak pidana korupsi.

c. Sebagai praktek dan teori penelitian dalam bidang hukum dan juga

sebagai praktek dalam pembuatan karya ilmiah dengan suatu metode

penelitian ilmiah.

E. Metode Penelitian

Penelitian pada dasarnya merupakan suatu upaya pencarian dan bukan

sekedar mengamati dengan teliti terhadap suatu obyek yang mudah terpegang

di tangan. Penelitian merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris yaitu

research, yang berasal dari kata re (kembali) dan search (meneliti). Dengan

demikian artinya ”mencari kembali”. Suatu penelitian secara ilmiah dilakukan

oleh manusia untuk menyalurkan hasrat ingin tahunya yang telah mencapai

taraf ilmiah, yang disertai dengan keyakinan bahwa setiap gejala akan dicari

sebab akibatnya atau kecenderungan yang timbul. Pentingnya dilaksanakan

penelitian hukum ialah untuk mengembangkan disiplin hukum dan ilmu

hukum sebagai salah satu tridarma perguruan tinggi. Penelitian hukum itu

Page 28: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

bertujuan untuk membina kemampuan dan keterampilan para mahasiswa dan

para sarjana hukum dalam mengungkapkan kebenaran ilmiah, yang obyektif,

metodik, dan sistemati (Hilman Hadikusuma, 1995:8).

Sebuah tulisan baru dapat dirasakan bersifat ilmiah apabila ia

mengandung kebenaran secara obyektif, karena didukung oleh informasi yang

teruji kebenarannya. Untuk dapat membuktikan kebenaran ilmiah dari

penelitian yang dilaksanakan, maka perlu dikumpulkan fakta dan data yang

menyangkut masalahnya dengan menggunakan metode dan teknik penelitian.

Tanpa adanya metode dan teknik penelitian maka hasil penelitian itu

diragukan kebenarannya (Hilman Hadikusuma, 1995:58).

Adapun metode penelitian yang akan digunakan penulis dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian hukum ini adalah jenis penelitia hukum normatif atau

penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan

mempelajari bahan-bahan kepustakaan atau disebut juga data sekunder

yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan

hukum tersier. Bahan-bahan hukum disusun secara sistematis dan juga

dikaji untuk selanjutnya dapat ditarik kesimpulan atas apa yang diperoleh.

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian hukum ini sejalan dengan sifat ilmu hukum itu sendiri.

Sifat dari ilmu hukum adalah ilmu yang preskriptif dan terapan (Peter

Mahmud Marzuki, 2009:22). Penelitian ini bersifat Preskriptif karena

berusaha menjawab isu hukum yang diangkat dengan argumentasi, teori,

atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan permasalahan

yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2009:35).

3. Pendekatan Penelitian

Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian hukum

ada lima pendekatan, yaitu: pendekatan perundang-undangan (Statute

approach), pendekatan kasus (Case approach), pendekatan histories

(Historical approach), pendekatan perbandinagn (Comparative approach),

Page 29: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

dan pendekatan konseptual (Conceptual approach). (Peter Mahmud

Marzuki, 2009:93).

Adapun dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yang

relevan dengan permasalahan penelitian yang diangkat yaitu pendekatan

perundang-undangan. Pendekatan undang-undang (Statute approach)

dilakukan dengan menelaah beberapa undang-undang dan regulasi yang

bersangkut paut denagn isu hukum yang sedang diteliti oleh penulis.

Dalam hal ini penulis akan menelaah UU Kepolisian, UU Kejaksaan,

KUHAP, UU KPK dan UU Tipikor guna menemukan sinkronisasi hukum

kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi.

4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-

sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-

bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum

autoritatif. Artinya, bahan hukum primer merupakan bahan yang memiliki

otoritas atau kekuasaan dalam pelaksanaannya. Yang termasuk bahan

hukum primer adalah peraturan perundnag-undangan, catatan resmi atau

risalah dalam pembuatan undanng-undang, dan putusan hukum. Bahan

hukum sekunder adalah semua publikasi tidak resmi yang berkaitan

dengan hukum. Publikasi hukum tersebut meliputi buku-buku teks, kamus-

kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan

pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2009:141).

Sumber data yang diperguanakn dalam penelitian ini adalah sumber

data sekunder. Sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh

dari kepustakaan, dalam hal ini dibedakan menjadi 2 yaitu :

a) Bahan hukum primer

Semua bahan hukum yang mempunyai kedudukan mengikat secara

yuridis. Meliputi peraturan perundang-undangan dalam hal ini:

(1) Kitab Undang-Undnag Hukum Acara Pidana.

(2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI.

(3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.

Page 30: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

(4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(5) Undang-Undnag Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

b) Bahan hukum sekunder

Semua bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan

hukum primer, meliputi:

(1) Buku-buku ilmiah dibidang hukum.

(2) Makalah-makalah dan hasil-hasil karya ilmiah para sarjana.

(3) Kamus-kamus hukum dan ensiklopedia.

(4) Jurnal-jurnal hukum.

(5) Literatur dan hasil penelitian lainnya.

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam hal penelitian ini, penulis mengumpulkan data dengan melalui

studi pustaka yaitu dengan cara mengkaji, membaca, dan mempelajari

bahan-bahan pustaka, baik berupa peraturan perundang-undangan, artikel

dari media massa maupun internet, jurnal, makalah, dokumen, serta bahan-

bahan lain yang berhubungan denagn pokok bahasan daalm penelitian ini.

6. Teknik Analisis Bahan Hukum

Setelah bahan hukum terkumpul, langkah selanjutnya yang dapat

dilakukan ialah mengolah atau menganalisis bahan. Teknik analisis bahan

yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah interpretasi dan

silogisme dengan menggunakan pola berpikir deduktif.

Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penelitian

hukum yang memberikan penjelasan yang gamblang mengenai teks

undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan

dengan peristiwa tertentu.

Pola berpikir deduktif yaitu berpangkal dari prinsip-prinsip dasar untuk

kemudian memberikan objek yang akan diteliti. Sedangkan metode

silogisme yang menggunakan pendekatan deduktif menurut Aristoteles

berpangkal dari pengajuan premis mayor. Kemudian diajukan premis

Page 31: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

minor, dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan atau

conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2005:46)

Peter Mahmud membedakan interpretasi menjadi beberapa macam,

yaitu interpretasi berdasar kehendak pembentuk Undang-Undang,

interpretasi sistematis, interpretasi historis, interpretasi teologis,

interpretasi antisipatoris, dan interpretasi modern (Peter Mahmud Marzuki,

2005:106-107).

Dalam penulisan hukum ini penulis menggunakan metode interpretasi

antara lain adalah sebagai berikut:

a. Interpretasi berdasarkan kata Undang-Undang

Interpretasi ini berdasarkan kata-kata yang terdapat dalam

Undang-Undang. Interpretasi ini akan dapat dilakukan terhadap kata-

kata dalam undang-undang yang singkat, padat, tajam dan akurat

mengenai apa yang dimaksud oleh undang-undang tersebut dan tidak

mengandung kata yang multi tafsir atau arti yang bermacam-macam.

Hal ini sesuai dengan karakteristik dari Undang-Undang sebagai

perintah maupun larangan (Peter Mahmud Marzuki, 2005:112).

b. Interpretasi sistematis

Interpretasi yang menilik keterkaitan antara undang-undang

yang satu dengan peraturan perundang-undangan yang lain yang

memiliki hubungan saling ketergantungan asas yang mendasarinya

satu sama lain. Landasan pemikiran interpretasi sistematis adalah

undang-undang merupakan suatu kesatuan dan tidak satupun ketentuan

dalam undang-undang merupakan aturan yang berdiri sendiri (Peter

Mahmud Marzuki, 2005:112).

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memberikan gambaran secara mneyeluruh mengenai

sistematika penulisan yang sesuai denagn aturan baku dalam penulisan

Page 32: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

hukum, maka sistematika penulisan hukum ini terdiri dari empat bab yang

tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bab untuk memudahkan pemahaman

terhadap keseluruhan hasil penelitian ini.

Dalam menyajikan penelitian ini penulis menyusunnya dalam

sistematiak penulisan sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Bab ini berisi Latar Belakang Masalah, Rumusan

Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, kerangka

Teoritis, dan Metode Penelitian.

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini, penulis menguraikan teori-teori yang

menjadi landasan dalam penulisan hukum ini yang

meliputi tinjauan tentang sinkronisasi hukum, tinjauan

tentang penyelidikan dan penyidikan, tinjauan tentang

tindak pidana korupsi, tinjauan tentang undang-undang

penegakan hukum tentang tindak pidana korupsi dan

diakhiri dengan kerangka pemikiran.

BAB III: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan mengenai hasil penelitian

dan pembahasan tentang pengaturan kewenangan

penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dalam

UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU KPK dan

UU Tipikor dan taraf sinkronisasi horisontal pengaturan

kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana

korupsi dalam UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP,

UU KPK dan UU Tipikor.

BAB IV: PENUTUP

Pada bab ini berisi simpulan serta saran-saran yang

dapat penulis kemukakan kepada para pihak yang terkait

dengan bahasan penulisan hukum ini.

DAFTAR PUSTAKA

Page 33: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum tentang Sinkronisasi Hukum

Sinkronisasi hukum adalah penyelarasan dan penyelerasian

berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan

perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang

mengatur suatu bidang tertentu (http://www.penataan

ruang.net/Bab4.pdf/ diakses tanggal 16 Oktober 2010 pukul 01.30

WIB).

Sinkronisasi hukum dapat dilakukan baik secara vertikal (beda

derajat) ataupun secara horizontal (sama derajat/ sederajat).

Sinkronisasi secara vertikal merupakan sinkronisasi yang didasarkan

atas hierarki suatu peraturan perundang-undangan. Misalnya antar

Undang-Undang 1945 dengan Ketetapan MPR atau dengan peraturan

pelaksanaannya, seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,

Keputusan Presiden dan sebagainya. Untuk itu perhatikan beberapa

asas perundang-undangan, yaitu (Amiruddin, 2004:129):

a) Undang-undang tidak berlaku surut.

b) Asas lex superior (lex superior derogat legi inferior); Undang-

undang yang lebih tinggi mengalahkan yang lebih rendah.

c) Asas lex specialis (lex specialis derogat legi generalis); Undang-

undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang

bersifat umum.

d) Asas lex poterior (lex posterior derogat legi priori); Undang-

undang yang berlaku belakangan, mengalahkan undang-undang

yang terdahulu.

e) Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.

Sedangkan sinkronisaasi horizontal merupakan sinkronisasi

terhadap peraturan perundangan yang mengatur tentang berbagai

bidang yang mempunyai hubungan fungsional, konsisten yang sama

Page 34: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

derajatnya. Penelitian ini, disamping mendapatkan data yang lengkap

dan menyeluruh mengenai perundang-undangan bidang tertentu, juga

dapat mengungkapkan kelemahan-kelemahan yang ada pada

perundang-undangan yang mengatur bidang-bidang tertentu. Dengan

demikian peneliti dapat membuatrekomendasi agar perundnag-

undangan tersebut dilakukan amandemen. Misalnya sinkronisasi antara

Undanng-Undang dengan Peraturan Pemerintah atau antara Keputusan

Presiden dengan Keputusan Presiden.

Maksud dari kegiatan sinkronisasi adalah agar substansi yang

diatur dalam produk perundang-undangan tidak tumpang tindih, saling

melengkapi (suplementer), saling terkait, dan semakin rendah jenis

pengaturannya maka semakin detail dan operasional materi

muatannya. Adapun tujuan dari kegiatan sinkronisasi adalah untuk

mewujudkan landasan pengaturan suatu bidang tertentu yang dapat

memberikan kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan

bidang tersebut secara efisien dan efektif.

2. Tinjauan Umum tentang Penyelidikan dan Penyidikan

a) Pengertian Penyelidikan dan Penyidikan

Penyelidikan berasal dari kata ”selidik” yang berarti memeriksa

dengan saksama atau mengawasi gerak-gerik musuh sehingga

penyelidikan dapat diartikan sebagai pemeriksaan, penelitian, atau

pengawasan (Rusli Muhammad, 2007:52)

Berdasar Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981

tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk

mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai

tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan

penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Sedangkan Penyidikan atau yang biasa disebut Pengusutan,

dalam istilah asingnya disebut Opsporing adalah merupakan

Page 35: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

persiapan perlengkapan untuk melakukan suatu penuntutan

(verpolging) dengan kata lain merupakan dasar untuk

melaksanakan penuntutan. Karena itu tak dapat dilakukan

penuntutan sebelum dilakukan penyidikan atau pengusutan.

Perbuatan penyidik atau mengusut adalah merupakan usaha atau

tindakan untuk mencari dan menemukan kebenaran tentang apakah

betul terjadi suatu tindak pidana, siapa yang melakukan perbuatan

itu, bagaimana sifat perbuatan itu, serta siapakah yang terlibat

dalam perbuatan itu. Dan suatu penyidikan atau pengusutan

diakhiri dengan suatu kesimpulan, bahwa atas perkara tersebut

akan diadakan penuntutan atau tidak (K. Wantjik Saleh, 1983:58).

Perlu diketahui bahwa telah dilakukan penyidikan mungkin tidak

akan dilakukan penuntutan, karena Badan Penuntut Umum dapat

mempergunakan asas opportunitet yang tidak akan melakukan

penuntutan dengan alasan kalau dilakukan penuntutan maka

kerugian negara akan lebih besar.

Berdasar Pasal 1 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa:

“Penyidikan ádalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari

serta mengumpulkan bukti itu terang tentang tindak pidana yang

terjadi dan guna menentukan tersangkanya”.

Sebelum dilakukan penyidikan, telah diketahui adanya tindak

pidana, tetapi tindak pidana itu belum terang dan belum ditemukan

siapa pembuatnya. Adanya tindak pidana yang belum terang itu

diketahui dari pekerjaan penyelidikan. Karena menurut Pasal 1

ayat (5), pekerjaan penyelidikan itu dilakukan untuk mencari

peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, guna menentukan

dapat tidaknya dilakukan penyidikan. Jadi, hasil penyelidikan

adalah menemukan peristiwa yang diduga tindak pidana yang

berarti tindak pidana yang disebut dalam Pasal 1 ayat (2) tadi

masih dugaan saja, artinya belum terang. Walaupun belum terang

Page 36: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

karena masih berupa dugaan (subjektif penyelidik), tetapi telah

dapat ditentukan untuk dilakukan penyelidikan. Dasar untuk

menarik dugaan adanya atau terjadinya tindak pidana yang belum

terang tadi ialah adanya alat bukti permulaan, alat bukti permulaan

itu dalam praktik disandarkan pada adanya laporan polisi, atau

temuan penyelidik. Demikian kiranya isi pengertian dari

penyidikan (Adami Chazawi, 2005:381).

b) Pengertian Penyelidik dan Penyidik

Menurut Pasal 1 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) penyelidik adalah pejabat Polisi Negara

Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini

untuk melakukan penyelidikan. Sesuai dengan Pasal 1 ayat (5)

KUHAP di atas, maka tugas pokok penyelidik adalah mencari dan

menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana

guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.

Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau

Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang

khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan (Pasal 1

ayat (1) KUHAP). Penyidikan baru dapat dilaksanakan oleh

penyidik apabila terjadi suatu tindak pidana dan terhadap tindak

pidana tersebut dapat dilakukan penyidikan menurut yang diatur

dalam KUHAP. Untuk dapat menentukan suatu peristiwa yang

terjadi adalah termasuk suatu tindak pidana, menurut kemampuan

penyidik untuk mengidentifikasi suatu peristiwa sebagai tindak

pidana dengan berdasarkan pada pengetahuan hukum pidana.

Secara umum tindak pidana bisa diartikan sebagai suatu perbuatan

yang dilarang untuk dilakukan, yang apabila dilakukan, akan

dikenai ancaman hukuman oleh undang-undang. Hal ini berarti

bahwa suatu tindak pidana harus mempunyai unsur melawan

Page 37: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

hukum dan atas pelanggaran tersebut diancam dengan hukuman

pidana (H. Hamrat Hamid dan Harun M. Husein, 1991:2).

c) Tugas dan Wewenang Penyelidik

Berdasarkan definisi tersebut diatas jelaslah bahwa fungsi

penyelidikan atau tugas daripada penyelidik merupakan suatu

kesatuan dengan fungsi penyidikan, penyelidikan hanya

merupakan suatu cara, salah satu tahap dari penyidikan, yaitu tahap

yang seyogyanya dilakukan lebih dahulu sebelum melangkah pada

tahap-tahap penyidikan selanjutnya. Menurut Pasal 4 KUHAP

penyelidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

Di dalam buku Pedoman Pelaksanaan KUHAP dijelaskan latar

belakang, motivasi, dan urgensi diintrodusirnya fungsi

penyelidikan yaitu:

1) Adanya perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi manusia.

2) Adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam

penggunaan upaya paksa.

3) Ketatnya pengawasan dan adanya lembaga ganti rugi dan

rehabilitasi.

4) Tidak setiap peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak

pidana itu menampakkan bentuknya secara jelas sebagai tindak

pidana, maka sebelum melangkah lebih lanjut dengan

melakukan penyidikan, dengan konsekuensi digunakannya

upaya paksa, perlu ditentukan lebih dahulu berdasarkan data

dan keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan bahwa

peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu

benar adanya merupakan tindak pidana sehingga dapat

dilanjutkan dengan tindakan penyidikan.

Kewenangan penyelidik diatur dalam Pasal 5 KUHAP,

menyatakan bahwa:

Page 38: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

1) Penyelidik sebagaimana diatur dalam Pasal 4:

(a) Karena kewajibannya mempunyai wewenang:

(1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang

tentang adanya tindak pidana;

(2) Mencari keterangan dan barang bukti;

(3) Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan

menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

(4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang

bertanggung jawab.

(b) Atas perintah penyidik dapat dilakukan tindakan berupa:

(1) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat,

penggeledahan dan penyitaan;

(2) Pemeriksaan dan penyitaan surat;

(3) Mengambil sidik jari dan memotret seorang;

(4) Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.

2) Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil

pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf

a dan huruf b kepada penyidik.

Secara formal prosedural, suatu proses penyidikan sudah

dimulai dilaksanakan sejak dikeluarkannya Surat Perintah

Penyidikan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang di

instansi penyidik. Setelah pihak kepolisian menerima laporan atau

informasi tentang adanya suatu peristiwa tindak pidana, ataupun

mengetahui sendiri peristiwa yang diduga merupakan suatu tindak

pidana. Hal ini selain untuk menjaga agar tidak terjadi

penyalahgunaan wewenang dari pihak kepolisian, dengan adanya

Surat Perintah Penyidikan tersebut adalah sebagai jaminan

terhadap pelindungan hak-hak yang dimiliki oleh tersangka (H.

Hamrat Hamid dan Harun M. Husein, 1991:36).

Page 39: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

4) Tugas dan Wewenang Penyidik

Sesuai dengan pengertian dari penyidikan dalam Pasal 1 ayat

(2) KUHAP, maka tugas pokok dari seorang penyidik adalah:

a) Mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan bukti-bukti

tersebut membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi.

b) Menemukan tersangka (Leden Marpaung, 2001:17).

Untuk menunjang tugas utama penyidik agar berjalan dengan

lancar, maka penyidik diberi kewenangan utuk melaksanakan

kewajibannya, seperti yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1)

KUHAP yang berbunyi: ”Penyidik sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai

wewenang:

a) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tendang

adanya tindak pidana.

b) Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian.

c) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda

pengenal tersangka.

d) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan

penyitaan.

e) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

f) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.

g) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai

tersangka ataupun saksi.

h) Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam

hubungannya dengan pemeriksaan perkara.

i) Mengadakan penghentian penyidikan.

j) Melakukan tindakan lain menurut hukum secara bertanggung

jawab.”

Hukum acara kita membatasi pelaksanaan penyidikan tersebut

sedemikian rupa agar jangan sampai melanggar hak-hak asasi yang

paling pokok dari setiap individu dan penyidik wajib menghormati

Page 40: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

asas-asas tersebut, yaitu antara lain asas-asas (Mohammad Amari,

2003:6) :

a) Praduga tak bersalah (presumtion of innocence);

b) Persamaan di muka hukum (equality before the law);

c) Hak memperoleh bantuan hukum/penasehat hukum (legal and

assistance);

d) Peradilan yang cepat, sederhana, murah, serta bebas dan jujur;

e) Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan harus

berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang berwenang.

Jika memperhatikan keseluruhan ketentuan didalam KUHP,

dapat diketahui bahwa proses penyidikan yang dilakukan oleh

penyidik dapat digambarkan sebagai berikut:

1) Diawali dengan adanya bahan masukan suatu tindak pidana

Sumber bahan masukan suatu tindak pidana ke dalam pross

peradilan pidana berupa pengetahuan atau persangkaan telah

terjadinya suatu perbuatan tindak pidana dapat diperoleh

penyidik dari berbagai sumber, yaitu dari:

(a) Laporan;

(b) Pengaduan;

(c) Tertangkap tangan;

(d) Diketahui sendiri oleh aparat penegak hukum dari hasil

penyelidikan.

2) Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian

Yang dimaksud dengan ”tempat kejadian” adlah tempat

dimana telah dilakukan sesuatu tindak pidana. Sedangkan yang

dimaksud dengan ”melakukan tindakan pertama” di etmpat

kijadian itu adalah melakukan segala macam tindakan yang

oleh penyidik telah dipandang perlu untuk (P.A.F. Lamintang,

1984:76):

(a) Menyelamatkan nyawa korban atau harta kekayaan orang.

Page 41: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

(b) Menangkap pelakunya apabila pelaku tersebut masih

berada dalam jangkauan penyidik untuk segera ditangkap.

(c) Menutup tempat kejadian bagi siapa pun yang

kehadirannya disitu tidak diperlukan untuk menyelamatkan

nyawa korban, untuk menyelamatkan harta kekayaan orang

atau untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan

dengan maksud agar tempat kejadian itu tetap berada dalam

keadaan yang asli untuk memudahkan penyelidikan dan

penyidikan.

(d) Menemukan, menyelamatkan, mengumpulkan dan

mengambil barang-barang bukti serat bekas-bekas yang

dapat membantu penyidik untuk mendapatkan petunjuk-

petunjuk tentang identitas pelaku atau dari pelaku-

pelakunya, tentang cara-cara atau alat-alat yang telah

dipergunakan oleh para pelakunya dan untuk melemahkan

alibi yang mungkin saja akan dikemukakan oleh seorang

tersangka apabila ia kemudian berhasil ditangkap.

(e) Menemukan saksi-saksi yang diharapkan dapat membantu

penyidik untuk memecahkan persolan yang sedang ia

hadapi dan memisahkan saksi-saksi tersebut agar mereka

itu tidak dapat berbicara satu dengan yang lain, dan lain-

lain.

3) Pemanggilan dan pemeriksaan tersangka dan saksi

Berdasar Pasal 7 ayat (1) KUHAP, selama dalam tahap

penyidikan, penyidik mempunyai wewenang untuk melakukan

pemanggilan dan pemeriksaan terhadap tersangka dan saksi-

saksi lain yang diperlukan.

4) Melakukan upaya paksa yang diperlukan

Upaya paksa adalah segala bentuk tindakan yang dapat

dipaksakan oleh aparat penegak hukum pidana terhadap

kebebasan bergerak seseorang atau untuk memiliki dan

Page 42: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

menguasai suatu barang, atau kemerdekaan pribadinya untuk

tidak mendapat gangguan terhadap siapapun.

5) Pembuatan berita acara penyidikan

Pada berita acara juga dilampirkan semua berita acara

keterangan tersangka dan saksi, berita acara penangkapan,

penahanan, penggeledahan, penyitaan dan sebagainya jika hal

tersebut telah benar-benar dilakukan dalam rangka penyidikan

suatu perbuatan pidana.

6) Penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum

Apabila penyidikan telah selesai, penyidik wajib segera

menyerahkan berkas perkara tersebut kepada penuntut umum.

3. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi

a) Pengertian Korupsi

Korupsi berasal dari bahasa Latin ”Corruptio” atau

”Corruptus”. Yang kemudian muncul dalam banyak bahasa Eropa

seperti Inggris ”Corruption”, bahasa Belanda ”Korruptie” yang

berarti penyuapan, perusakan moral, perbuatan tak beres dalam

jawatan, pemalsuan dan sebagainya kemudian muncul dalam

bahasa Indonesia ”Korupsi”.

Definisi korupsi dalam kamus lengkap Webster’s Third New

International Dictionary adalah “ajakan (dari seorang pejabat

politik) dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya

(misalnya suap) untuk melakukan pelanggaran tugas”(Robert

Klitgaard dan Selo Soemardjan 2001:29).

Pengertian korupsi secara harfiah dapat berupa (IGM Nurdjana,

2010:14-15):

1) Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan

dan ketidak jujuran.

2) Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan

uang sogok dan sebagainya.

Page 43: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

3) Perbuatan yang kenyataannya menimbulakn keadaan yang

bersifat buruk, perilaku yang jahat dan tercela, atau kebejatan

moral, penyuapan dan bentuk-bentuk ketidak jujuran, sesuatu

yang dikorup, seperti kata yang diubah atau diganti secara tidak

tepat dalam satu kalimat, pengaruh-pengaruh yang korup.

Arti kata Korupsi oleh Purwadarminta disimpulkan dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (1979): ”Korupsi ialah perbuatan

yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan

sebagainya” (BPKP, 1999:267-268). Istilah ”korupsi” sering kali

selalu diikuti dengan istilah kolusi dan nepotisme yang selalu

dikenal dengan singkatan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).

KKN saat ini sudah menjadi masalah dunia, yang harus diberantas

dan dijadikan agenda pemerintahan untuk ditanggulangi secar

serius dan mendesak, sebagai bagian dari program untuk

memulihkan kepercayaan rakyat dan dunia internasional dalam

rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang

bersangkutan.

Transparency International definisi tentang korupsi yaitu

sebagai: ”Perbuatan menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan

publik untuk kepentingan pribadi”(Pope J, 2003:6). Dalam definisi

tersebut, terdapat tiga unsur dari pengertian korupsi :

1) Menyalahgunakan kekuasaan;

2) Kekuasaan yang dipercayakan (yaitu baik di sektor publik

maupun di sektor swasta), memiliki akses bisnis atau

keuntungan materi;

3) Keuntungan pribadi (tidak selalu berarti hanya untuk pribadi

orang yang menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga anggota

keluarganya dan teman-temannya).

Beberapa pengertian korupsi menurut John A. Gardiner dan

David J. Olson sebagaimana yang dikutip oleh Martiman

Prodjohamidjojo antara lain (M. Prodjohamidjojo, 2001:8-12):

Page 44: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

1) Rumusan korupsi dari sisi pandang teori pasar

Jacob Van Klaveren mengatakan bahwa seorang pengabdi

negara (pegawai negeri) yang berjiwa korup menganggap

kantor/instansinya sebagai perusahaan dagang, sehingga dalam

pekerjaannya diusahakan pendapatannya akan diusahakan

semaksimal mungkin.

2) Rumusan yang menekankan titik berat jabatan pemerintahan

M. Mc. Mullan mengatakan bahwa seorang pejabat

pemerintahan dikatakan korup apabila menerima uang yang

dirasakan sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang bisa

dilakukan dalam tugas dan jabatannya padahal seharusnya

tidak boleh melakukan hal demikian selama menjalankan tugas.

J.S. Nye berpendapat bahwa korupsi sebagai perilaku yang

menyimpang dari kewajiban-kewajiban normal suatu peran

instansi pemerintah, karena kepentingan pribadi (keluarga,

golongan, kawan, teman), demi mengejar status dan gengsi,

atau melanggar peraturan dengan jalan melakukan atau mencari

penngaruh bagi kepentingan pribadi.

3) Rumusan korupsi dengan titik berat pada kepentingan umum

Carl J. Friesrich mengatakan bahwa pola korupsi dikatakan

ada apabila seorang memegang kekuasaan yang berwenang

untuk melakukan hal-hal tertentu seperti seorang pejabat yang

bertanggung jawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya

yang tidak dibolehkan oleh undang-undang; membujuk untuk

mengambil langkah yang menolong siapa saja yang

menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar

membahayakan kepentingan umum.

4) Rumusan korupsi dari sisi pandangan sosiologi

Makna korupsi secara sosiologi dapat dilihat dari makna

korupsi sebagaimana yang dikemukakan oleh Syeh Hussein

Alatas yang mengatakan bahwa: ”Seperti halnya dengan semua

Page 45: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

gejala sosial yang rumit, korupsi tidak dapat dirumuskan dalam

satu kalimat saja. Yang mungkin ialah membuat gambaran

yang masuk akal mengenai gejala tersebut agar kita dapat

memisahkannya dari gejala lain yang bukan korupsi. Korupsi

adalah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan

pribadi”(SH Alatas, 1987:1).

Berdasarkan beberapa pengertian tentang korupsi di atas

maka dapat disimpulkan bahwa korupsi merupakan suatu

perbuatan melawan hukum yang baik secara langsung maupun

tidak langsung dapat merugikan perekonomian atau keuangan

negara yang dari segi materiil perbuatan itu dipandang sebagai

perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan

masyarakat. Pengertian tentang korupsi ini sering kali tidak dapat

dibedakan ataupun dicampuradukkan dengan pengertian kolusi dan

nepotisme. Hal ini disebabkan oleh karena ketiga perbuatan itu

mempunyai batasan yang sangat tipis dan dalam praktiknya sering

kali menjadi satu kesatuan tindakan atau merupakan unsur-unsur

dari perbuatan korupsi.

Pengertian tersebut diatas berdasarkan unsur-unsur mutlak

atau pokok korupsi, berupa: a. Adanya pelaku atau pelaku-pelaku

korupsi; b. Adanya tindakan yang melanggar norma-norma yang

berlaku yang dalam hal ini dapat membentuk moral (aspek agama),

etika (aspek profesi), maupun peraturan perundang-undangan

(aspek hukum); c. Adanya unsur merugikan keuangan/ kekayaan

negara atau masyarakat, langsung atau tidak langsung, serta d.

Adanya unsur atau tujuan untuk kepentingan atau keuntungan

pribadi/ keluarga/ golongan.

b) Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana korupsi adalah merupakan salah satu dari pada

sekian banyak macam tindak pidana. Dalam ilmu hukum pidana

Page 46: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

masalah tindak pidana adalah merupakan bagian yang paling

pokok dan sangat penting. Berbagai masalah dalam hukum pidana

seolah terpaut dan berselingkar dengan persoalan tindak pidana.

Oleh karena itu memahami pengertian tindak pidana sangatlah

penting sekali. Istilah tindak pidana adalah dimaksudkan sebagai

terjemahan dalam Bahasa Indonesia untuk istilah bahasa Belanda

strafbaar feit atau delict. Perkataan feit dalam bahasa Belanda

diartikan sebagian dari kenyataan sedang strafbaar berarti dapat

dihukum sehingga secara harfiah perkataan strafbaar feit berarti

sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum, yang sudah barang

tentu tidak tepat oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang

dapat dihukum adalah manusia sebagai pribadi dan bukan

kenyataan, perbuatan, tindakan (Evi Hartanti, 2005:5).

Dalam pengertian ini tindak pidana adalah rumusan tentang

perbuatan yang dilarang dalam peraturan perundang-undangan

yang disertai ancaman suatu pidana terhadap siapa yang melakukan

perbuatan yang dilarang tersebut. Apabila istilah tersebut

digabungkan dengan kata korupsi akan menjadi tindak pidana

korupsi sehingga mudah kita pahami bahwa pengertiannya ialah

rumusan-rumusan tentang segal perbuatan yang dilarang dalam

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 diubah dengan Undang-

Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Ciri-ciri perbuatan tindak pidana korupsi adalah sebagai

berikut:

1) Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.

2) Korupsi pada umumnya melibatkan elemen kewajiban dan

keuntungan timbal balik, dimana kewajiban dan keuntungan

itu tidaklah senantiasa berupa uang.

Page 47: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

3) Mereka yang mempraktekkan cara-cara korupsi biasanya

berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan

berlindung dibalik pembenaran hukum.

4) Mereka yang terlibat korupsi adalh mereka yang

menginginkan keputusan-keputusan yang tegas dan mereka

yang mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.

5) Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya

badan publik atau masyarakat umum.

6) Setiap bentuk korupsi merupakn suatu pengkhianatan

kepercayaan.

7) Setiap bentuk korupsi menggunakan fungsi ganda yang

kontradiktif dari mereka yang melakukan tindakan itu.

8) Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan

pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat berdasarkan

atas niat kesengajaan untuk menempatkan kepentingan umum

dibawah kepentingan khusus.

c) Pembagian Tindak Pidana korupsi

Tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang No. 31 tahun

1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut dirumuskan dalam

Pasal : 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12B, 13, 15, 21, 22, 23

(menarik Pasal 220, 231, 421, 422, 429, 430 KUHP), dan 24. Dari

pasal-pasal tersebut ada 44 rumusan tindak pidana korupsi yang

atas dasar-dasar tertentu dapat dibedakan dan dikelompokkan

sebagai berikut:

1) Atas Dasar Substansi Obyek Tindak Pidan Korupsi

Atas dasar substansi obyeknya, tindak pidana korupsi dapat

dibedakan menjadi beberapa jenis:

Page 48: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

(a) Tindak Pidana Korupsi Murni

Tindak pidana korupsi murni adalah tindak pidana

korupsi yang substansi obyeknya mengenai hal yang

berhubungan denngan perlindungan hukum terhadap

kepentingan hukum yang menyangkut keuangan negara,

perekonomian negara, dan kelancaran pelaksanaan

tugas/pekerjaan pegawai negeri atau pelaksana pekerjaan

yang bersifat publik.

(b) Tindak Pidana Korupsi Tidak Murni

Tindak pidana korupsi tidak murni ialah tindak

pidana yang substansi obyeknya mengenai perlindungan

hukum terhadap kepentingan hukum bagi kelancaran

pelaksanaan tugas-tugas penegak hukum dalam upaya

pemberantasan tindak pidana korupsi.

2) Atas Dasar Subyek Hukum Tindak Pidana Korupsi

Atas dasar subyek hukum atau si pembuatnya, maka tindak

pidana korupsi dapat dibedakan menjadi dua kelompok:

(a) Tindak Pidana Korupsi Umum

Tindak pidana korupsi umum ialah bentuk-bentuk

tindak pidana korupsi yang ditujukan tidak terbatas kepada

orang-orang yang berkualitas sebagai pegawai negeri, akan

tetapi ditujukan pada setiap orang termasuk korporasi.

(b) Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri dan atau

Penyelenggara Negara

Tindak pidana pegawai negeri atau tindak pidana

korupsi pejabat adalah tindak pidana korupsi yang hanya

dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas sebagai

pegawai negeri atau penyelenggara negara. Tindak pidana

korupsi ini merupakan bagian dari kejahatan jabatan atau

dapat disebut sebagai kejahatan jabatan khusus..

Page 49: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

3) Atas Dasar Sumbernya

Atas dasar sumbernya tindak pidana korupsi dapat

dikelompokan menjadi dua sebagai berikut:

(a) Tindak Pidana Korupsi yang Bersumber pada KUHP

Tindak pidna korupsi yang bersumber pada KUHP

dibedakan lagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut:

§ Tindak pidana korupsi yang dirumuskan tersendiri

dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-

Undang No. 20 Tahun 2001, rumusan tersebut berasal

atau bersumber dari rumusan tindak pidana dalam

KUHP. Formula rumusannya agak berbeda denagn

rumusan aslinya dalam pasal KUHP yang bersangkutan,

tetapi substansinya sama.

§ Tindak pidana korupsi yang menunjuk pada pasal-pasal

tertentu dalam KUHP dan ditarik menjadi tindak pidana

korupsi dengan mengubah ancaman dan sistem

pemidaannya.

(b) Tindak Pidana Korupsi yang oleh Undang-Undang No. 31

Tahun 1999 diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun

2001 dirumuskan sendiri sebagai Tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana ini berupa tindak pidana asli yang

dibentuk oleh Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo

Undanng-Undang No. 20 Tahun 2001. yang termasuk

dalam kelompok ini ialah tindak pidana korupsi

sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 2, 3, 12B, 13,

15, 16, 21, 22, dan 24.

4) Atas Dasar Tingkah Laku/ Perbuatan dalam Rumusan Tindak

Pidana

Dilihat dari sudut unsur tingkah laku dalam rumusan tindak

pidana, maka tindak pidana korupsi dapat dibedakan antara

tindak pidana korupsi aktif dan tindak pidana korupsi pasif.

Page 50: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

(a) Tindak Pidana Korupsi Aktif

Tindak pidana korupsi aktif atau tindak pidana

korupsi positif ialah tindak pidana yang dalam rumusannya

mencantumkan unsur perbuatan aktif. Perbuatan aktif atau

perbuatan materiil yang bisa disebut juga perbuatan jasmani

adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan

gerakan tubuh atau bagian dari tubuh orang.

(b) Tindak Pidana Korupsi Pasif atau Tindak Pidana Korupsi

Negatif

Tindak pidana korupsi pasif adalah tindak pidana

yang unsur tingkah lakunya dirumuskan secara pasif.

Sebagaimana diketahui bahwa tindak pidana pasif itu

adalah tindak pidana yang melarang untuk tidak berbuat

aktif (disebut perbuatan pasif). Di dalam kehidupan sehari-

hari, ada kalanya seseorang berada dalam situasi dan atau

kondisi tertentu, dan orang itu diwajibkan (disebut

kewajiban hukum) untuk melakukan suatu perbuatan (aktif)

tertentu. Apabila dia tidak menuruti kewajiban hukumnya

untuk berbuat (aktif) tertentu tersebut, artinya dia telah

melanggar kewajiban hukumnya untuk berbuat tadi, maka

dia dipersalahkan melakukan suatu tindak pidana pasif

tertentu.

5) Atas Dasar Dapat-Tidaknya Merugikan Keuangan dan atau

Perekonomian Negara

Atas dasar seperti itu tindak pidana korupsi dapat

dibedakan menjadi dua kelompok yaitu:

§ Tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara.

Page 51: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

§ Tindak pidana korupsi yang tidak mensyaratkan dapat

menimbulkan kerugian keuangan negara atau

perekonomian negara.

Terjadinya tindak pidana korupsi secara sempurna tidak

perlu menunggu timbulnya kerugian negara. Asalkan dapat

ditafsirkan menurut akal sehat bahwa suatu perbuatan dapat

menimbulkan kerugian bagi negara, maka perbuatan tersebut

sudah dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.

Tindak pidana korupsi yang terdapat unsur/syarat dapat

merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara

terdapat dalam Pasal: 2, 3, 15 jo 2 dan 3 (sepanjang percobaan,

pembantuan, atau permufakatan jahat itu dilakukan dalam

rangka melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang

dirumuskan dalam Pasal 2 dan 3). Demikian juga tindak pidana

dalam Pasal 16 disyaratkan dapat menimbulkan kerugian

negara sepanjang orang ayang berada di luar wilayah hukum RI

itu memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan

untuk terjadinya tindak pidana korupsi sebagaimana yang

dirumuskan dalam Pasal 2 dan 3. sedangkan terhadap bentuk-

bentuk tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam pasal-

pasal berikutnya (ini yang terbanyak) tidak memerlukan unsur

atau syarat dapat merugikan keuangan atau perekonomian

negara.

d) Faktor-faktor timbulnya Korupsi.

Menurut Sarlito W. Sarwono, tidak ada jawaban yang persis

tetapi ada dua hal yang jelas sebagai faktor timbulnya korupsi,

yaitu:

§ Dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak

dan sebagainya).

Page 52: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

§ Rangsangan dari luar (dorongan teman-teman, adanya

kesempatan, kurang kontrol).

Sedangkan menurut Andi Hamzah mengiventariskan beberapa

penyebab tindak pidana korupsi antara lain:

§ Kurangnya gaji pegawai negeri dibandingkan denagn

kebutuhan yang makin meningkat.

§ Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang

merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi.

§ Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif

dan efisien yang memberikan peluang orang untuk korupsi.

§ Modernisasi pengembangbiakan korupsi.

Faktor yang paling penting dalam dinamika korupsi adalah

keadaan moral dan intelektual para pemimpin masyarakat.

Keadaan moral dan intelektual dalam konfigurasi kondisi-kondisi

yang lain. Beberapa faktor yang dapat menjinakkan korupsi,

walaupun tidak akan memberantasnya adalah:

(a) Keterikatan positif pada pemerinyahan dan keterlibatan

spiritual serta tugas kemajuan nasional dan publik maupun

birokrasi.

(b) Administrasi yang efisien serta penyesuaian struktur yang

layak dari mesin dan aturan pemerintah sehingga menghindari

penciptaan sumber-sumber korupsi.

(c) Kondisi sejarah dan sosiologis yang menguntungkan.

(d) Berfungsinya suatu sistem yang anti korupsi.

(e) Kepemimpinan kelompok yang berpengaruh dengan standar

moral dan intelektual yang tinggi.

Page 53: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

4. Tinjauan Umum tentang Undang-Undang Penegakan Hukum

Tindak Pidana Korupsi

a) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 ini merupakan dasar

pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Sebelumnya, peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar

pelaksanaan tugas Kepoisian Negara Republik Indonesia sebelum

Undang-Undang ini berlaku adalah Undang-Undang Nomor 28

Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 81, Tambahan Lembaran

Negara Nomor 3710) sebagai penyempurnaan dari Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Kepolisian Negara (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor

245, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2289).

Undang-Undang ini telah didasarkan kepada paradigma baru

sehingga diharapkan dapat lebih memantapkan kedudukan dan

peranan serta pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik

Indonesia sebagai bagian integral dari reformasi menyeluruh

segenap tatanan kehidupan bangsa dan negara dalam mewujudkan

masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradap berdasarkan

Pancasila dan UUD 1945. Selain itu juga diharapkan dapat

memberikan penegasan watak Kepolisian Negara Republik

Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Tri Brata dan Catur

Prasatya sebagai sumber nilai Kode Etik Kepolisian yang mengalir

dari falsafah Pancasila. Oleh karena itu, Undang-Undang ini

mengatur pula pembinaan profesi dan kode etik profesi agar

tindakan pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat

dipertanggungjawabkan, baik secara hukum, moral, maupun secra

teknik profesi dan terutama hak asasi manusia.

Page 54: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

Undang-Undang ini menampung pula pengaturan tentang

keanggotaan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana

diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang

Pokok-Pokok Kepegawaian yang meliputi pengaturan tertentu

mengenai hak anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia baik

hak kepegawaian , maupun hak politik, dan kewajibannya tunduk

pada kekuasaan peradilan umum.Substansi lain yang baru dalam

Undang-Undang ini adalah diaturnya lembaga kepolisian nasional

yang tugasnya memeberikan saran kepada Presiden tentang arah

kebijakan kepolisian dan pertimbangan dalam pengangkatan dan

pemberhentian Kapolri sesuai amanat Ketetapan MPR RI No.

VII/MPR/2000, selain terkandung pula fungsi pengawasan

fungsional terhadap kinerja Kepolisian Negara Republil Indonesia

sehingga kemandirian dan profesionalisme Kepolisian Negara

Republik Indonesia dapat terjamin.

b) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 ini merupakan

perubahan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia karena sudah tidak sesuai lagi maka

perlu dilakukan perubahan secara komprehensif dengan

membentuk undang-undang ini.

Dalam Undang-Undang ini diatur hal-hal yang disempurnakan,

antara lain:

1) Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan

kekuasaan negara di bidang penuntutan ditegaskan kekuasaan

negara tersebut dilaksanakan secara merdeka. Oleh karena itu,

kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan

wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah

dan kekuasaan lainnya. Selanjutnya ditentukan Jaksa Agung

Page 55: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara

independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani.

Dengan demikian Jaksa Agung selaku pimpinan kejaksaan

dapat sepenuhnya merumuskan dan mengendalikan arah dan

kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan.

2) Untuk membentuk jaksa yang profesional harus ditempuh

berbagai jenjang pendidikan dan pengalaman dalam

menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang. Sesuai denagn

profesionalisme dan fungsi kejaksaan, ditentukan bahwa jaksa

merupakan jabatan fungsional. Dengan demikian , usia pensiun

jaksa yang semula 58 tahun ditetapkan menjadi 62 tahun.

3) Kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak

pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa

ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan

kepada kejaksaan untuk melakukan penyidikan.

4) Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan

kekuasaan negara di bidang penegakan hukum dengan

berpegang pada peraturan perundang-undangan dan kebijakan

yang ditetapkan oleh pemerintah. Dengan demikian Jaksa

Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden serta

bertanggung jawab kepada Presiden.

5) Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, kejaksaan

mempunyai kewenangan untuik dan atas nama negara atau

pemerintah sebagai penggugat atau tergugat yang dalam

pelaksanaannya tidak hanya memberikan pertimbangan atau

membela kepentingan negara atau pemerintah, tetapi juga

membela dan melindungi kepentingan rakyat.

Page 56: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana, peraturan ini yang menjadi dasar

bagi pelaksanaan hukum acara pidana dalam lingkungan peradilan

umum. Sebelum undang-undang ini, yang berlaku adalah

”Reglemen Indonesiayang dibaharui” atau yang terkenal dengan

nama ”Het Herziene Inlandsch Reglement” atau H.I.R (Staatsblad

Tahun 1941 Nomor 44).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana ini wajib didasarkan pada falsafah/

pandangan hidup bangasa dan dasar negara, maka sudah

seharusnyalah di dalam ketentuan materi pasal atau ayat tercermin

perlindungan terhadap hak asasi warganegara maupun asas-asas.

Kitab Undang-Undang ini tidak saja memuat ketentuan tentang

tatacara dari suatu proses pidana, tetapi kitab ini pun juga memuat

hak dan kewajiban dari mereka yang ada dalam suatu proses

pidana dan memuat pula hukum acara pidana Mahkamah Agung

setelah dicabutnya undang-undang Mahkamah Agung (Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1950) oleh Undang-Undang Nomor 13

Tahun 1965.

d) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 ini merupakan suatu

peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai suatu

badan khusus pemberantasan tindak pidana korupsi yang

selanjutnya disebut sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

yang mempunyai kewenangan melakukan koordinasi dan

supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan

penuntutan.

Page 57: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyelidikan,

penyidikan dan penuntutan, Komisi Pemberantasan Korupsi

disamping mengikuti hukum acara yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan yang berlaku dan Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga

dalam Undang-Undang ini dimuat hukum acara tersendiri sebagai

ketentuan khusus (lex specialis). Di samping itu, untuk

meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap

tindak pidana korupsi, maka dalam Undang-Undang ini diatur

mengenai pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi di

lingkungan peradilan umum, yang untuk pertama kali di bentuk di

lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Untuk mewujudkan asas proporsionalitas, dalam Undang-

Undang ini diatur pula mengenai ketentuan rehabilitasi dan

kompensasi dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan

tugas dan wewenangnya bertentangan denagn Undang-Undang ini

atau hukum yang berlaku.

e) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 merupakan perubahan

dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Undang-Undang ini

ditambahkan mengenai ”pembuktian terbalik”. Selain itu diatur

pula hak negara untuk mengajukan gugatam perdata terhadap harta

benda terpidana yang disembunyikan atau tersembunyi dan baru

diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum

Page 58: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

tetap. Harta benda yang disembunyikan atau tersembunyi itu

diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi.

Gugatan perdata dilakukan terhadap terpidana dana atau ahli

warisnya. Untuk melakukan gugatan tersebut, negara dapat

menunjuk kuasanya untuk mewakili negara.

Selanjutnya dalam Undang-Undang ini juga diatur ketentuan

baru mengenai maksimum pidana penjara dan pidana denda bagi

tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000,00

(lima juta rupiah). Ketentuan ini dimaksudkan untuk

menghilangkan rasa kekurangadilan bagi pelaku tindak pidana

korupsi, dalam hal nilai yang dikorup relatif kecil. Disamping itu

dalam Undang-Undang ini dicantumkan Ketentuan Peralihan.

Substansi dalam Ketentuan Peralihan ini pada dasarnya sesuai

denagn asas umum hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Page 59: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

B. Kerangka pemikiran

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

Penyelidikan diatur oleh KUHAP

dilaksanakan oleh

Kepolisian

Terjadi tindak pidana diatur oleh KUHP

Tindak pidana khusus diatur dalam Undang-Undang tersendiri

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002

Penyidikan diatur oleh KUHAP

dilaksanakan oleh

Kepolisian & Kejaksaan

Tindak pidana korupsi diatur oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Undang-Undang Dasar Tahun 1945

Sinkronisasi hukum kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Kepolisian, UU

Kejaksaan, KUHAP, UU KPK dan UU Tipikor guna menemukan keselarasan dan keserasian kewenangannya

Page 60: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pengaturan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana

Korupsi dalam UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi

Kewenangan penyelidikan dan penyidikan dalam penanganan tindak

pidana korupsi dimiliki oleh beberapa lembaga negara antara lain:

Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),

sedangkan pengaturan mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan

terhadap perkara tindak pidana korupsi diatur didalam beberapa peraturan

perundang-undangan antara lain: Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian RI, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP,

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

1. Pengaturan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak

Pidana Korupsi dalam UU Kepolisian

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian RI, salah satu tugas dan wewenang Kepolisian yaitu

melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap suatu tindak pidana.

Hal ini termuat di dalam Pasal 1 angka 8 sampai dengan 13, yaitu :

a. Penyelidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia

yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan

penyelidikan.

b. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari

dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana

Page 61: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut

cara yang diatur dalam undang-undang.

c. Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang

diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

d. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil

tertentu yang berdasakan peraturan perundang-undangan ditunjuk

selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan

penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang

menjadi dasar hukumnya masing-masing.

e. Penyidik Pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik

Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang

tertentu dalam melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam

undang-undang.

f. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan

menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak

pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Kepolisian merupakan segala hal ihwal yang berkaitan dengan

fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai tugas-tugas pokok

tercantum di dalam Pasal 13, antara lain:

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,

b. Menegakkan hukum, dan

c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat.

Didalam tugas pokok penegakkan hukum, Kepolisian Nagara

Republik Indonesia mempunyai tugas dan wewenang salah satunya yaitu

melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana. Hal

tersebut diperjelas didalam Pasal 14 ayat (1) huruf g yang berbunyi

”Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal

Page 62: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan

penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan

hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.” Dalam

Pasal tersebut menjelaskan bahwa Ketentuan Undang-Undang Hukum

Acara Pidana memberikan peranan utama kepada Kepolisian Negara

Republik Indonesia dalam penyelidikan dan penyidikan sehingga secara

umum diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan

terhadap semua tindak pidana. Namun demikian, hal tersebut tetap

memperhatikan dan tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh

penyidik lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

menjadi dasar hukumnya masing-masing. Maka Kepolisian Negara

Republik Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan

dan penyidikan terhadap semua tindak pidana termasuk juga tindak

pidana korupsi.

Mengenai hal-hal yang berhubungan dengan penyelidikan dan

penyidikan suatu tindak pidana sesuai ketentuan dalam Pasal 15 ayat (1)

huruf g, h, dan i, dalam menjalankan tugas Kepolisian Negara Republik

Indonesia berwenang antara lain melakukan tindakan pertama di tempat

kejadian, mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret

seseorang serat mencari keterangan dan barang bukti. Keterangan dan

barang bukti yang dimaksud adalah yang berkaitan baik dengan proses

pidana maupun dalam rangka tugas kepolisian pada umumnya. Selain itu

didalam Pasal 16 ayat (2) mengatur bahwa dalam menjalankan tugas

yang dimaksud, Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai

wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab yaitu tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika

memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan

tersebut dilakukan;

c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;

Page 63: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan

e. Menghormati hak asasi manusia.

2. Pengaturan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak

Pidana Korupsi dalam UU Kejaksaan

Berdasar Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menyatakan bahwa di bidang pidana,

Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang salah satunya mengenai

penyidikan yaitu melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu

berdasarkan undang-undang, dimana dalam penjelasannya kewenangan

tersebut mengenai kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi

Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dengan ketentuan dari Pasal tersebut memperlihatkan dengan jelas akan

kewenangan jaksa dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana

korupsi. Selain itu di dalam Pasal 30 ayat (1) huruf e menyatakan bahwa

tugas dan wewenang Kejaksaan yang lainnya adalah melengkapi berkas

perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan

sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya

dikoordinasikan dengan penyidik. Dalam hal ini dijelaskan bahwa untuk

melengkapi berkas perkara, pemeriksaan tambahan dilakukan dengan

memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Tidak dilakukan terhadap tersangka;

b. Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau

dapat meresahkan masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan

keselamatan Negara;

Page 64: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

c. Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah

dilaksanakan ketentuan Pasal 110 dan 138 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

d. Prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik.

Berdasar Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang

kejaksaan RI di dalam melakukan penegakkan hukum tidak diatur

mengenai kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyelidikan

terhadap suatu tindak pidana karena kewenangan penyelidikan oleh

Kejaksaan untuk menangani suatu tindak pidana seperti korupsi

kewenangan penyelidikan tersebut telah melekat dengan kewenangan

penyidikan yang dimiliki oleh Kejaksaan dalam menangani suatu tindak

pidana. Pada umumnya, Kejaksaan mempunyai tugas utama adalah

Penuntutan di bidang Peradilan Pidana termasuk didalamnya pada tindak

pidana korupsi. Namun mengenai kewenangan penyelidikan terhadap

tindak pidana korupsi, kewenangannya melekat pada kewenangan

penyidikan. Disamping itu, untuk kesempurnaan penyelesaian suatu

perkara pidana baik mengenai perkaranya itu sendiri maupun mengenai

cara-cara penyelesaiannya ataupun untuk kepentingan hukum orang yang

kena perkara yang selalu harus menajdi pedoman bagi para pejabat dalam

mengerjakan perkara-perkara itu, jaksa perlu turut campur tangan di

dalam segala tindakan-tindakan penyelesaian perkara dari mula-mula

perkara itu diungkap. Maka untuk kesempurnaan pemeriksaan perkara

dalam keseluruhannya yang pada hakekatnya ditujukan kepada pekerjaan

penuntutan perkara itu pada sidang peradilan, jaksa perlu mempunyai

wewenang penyidikan. Guna menjamin lancarnya penyidikan dan

penuntutan perkara-perkara tindak pidana, sewaktu-waktu jaksa

menganggap perlu dapat diadakan pertemuan dengan penyidik lainnya.

Jaksa yang berfungsi sebagai penuntut umum, juga merupakan

penyidik atau pengusut yang paling luas dan penting karena tugasnya

pengusutan dari permulaan sampai akhir, penyidikan lanjutan dan

mengawasi serta mengkoordinasikan alat penyidikan terhadap perkara

Page 65: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47

tertentu. Untuk itu jaksa wajib melengkapi berkas pemerikasaan perkara

tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum

dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan

dengan penyidik. Maka dalam perkara tindak pidana korupsi, pihak

Kejaksaan juga mempunyai peran dalam hal melakukan penyidikan.

3. Pengaturan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak

Pidana Korupsi dalam KUHAP

Berdasar Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981

tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan

menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang

diatur dalam undang-undang ini. Menurut Pasal 1 ayat (4) Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) penyelidik adalah pejabat Polisi

Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang

ini untuk melakukan penyelidikan. Sesuai dengan Pasal 1 ayat (5)

KUHAP di atas, maka tugas pokok penyelidik adalah mencari dan

menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.

Dari ketentuan Pasal 1 ayat (5) dan Pasal 5 KUHAP dapat

diperinci terhadap fungsi dan wewenang penyelidik adalah (Lilik

Mulyadi, 2000:37-38):

a. Apabila dilihat dari fungsi dan wewenang penyelidik berdasarkan

hukum dapat berupa:

1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya

tindak pidana;

2) Mencari keterangan dan barang bukti;

3) Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan

serta memeriksa tanda pengenal diri;

Page 66: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48

4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab.

b. Apabila dilihat dari fungsi dan wewenang penyelidik berdasarkan

perintah penyidik dapat berupa:

1) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan

penyitaan;

2) Pemeriksaan dan penyitaan surat;

3) Mengambil sidik jari dan memotret seorang;

4) Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik

c. Apabila dilihat dari hasil membuat dan menyampaikan laporan

pelaksanaan tindakan penyelidik kepada penyidik:

Untuk itu, penjelasan Pasal 5 huruf a angka 4 KUHAP

menyebutkan yang dimaksud ”tindakan lain” adalah tindakan

penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat:

1) Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

2) Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan

dilakukannya tindakan jabatan;

3) Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam

lingkungan jabatannya;

4) Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa;dan

5) Menghormati hak asasi manusia.

Sedangkan mengenai penyidikan atau ”opsporing” itu menurut

ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP disebutkan sebagai serangkaian

tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-

undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti

itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna

menentukan tersangkanya. Mengenai personil dari penyidik sebagaimana

ditentukan Pasal 6 ayat (1) KUHAP adalah pejabat polisi negara

Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi

Page 67: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49

wewenang khusus oleh undang-undang. Sedangkan mengenai syarat

kepangkatan pejabat sebagaimana tersebut diatas berdasarkan ketentuan

Pasal 6 ayat (2) KUHAP dan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP)

Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP dapat disebutkan

bahwa syarat kepangkatan pejabat polisi negara RI itu sekurang-

kurangnya Pembantu Letnan Dua Polisi, sedangkan pejabat pegawai

negeri sipil yang diberi wewenang penyidikan adalah berpangkat

sekurang-kurangnya Pengatur Muda Tingkat I (Gol II/b) atau yang

disamakan dengan itu.

Apabila dalam suatu daerah tidak terdapat pejabat penyidik

berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi ke atas, maka berdasarkan

Ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983

Komandan Sektor Kepolisian yang berpangkat bintara dibawah

Pembantu Letnan Dua Polisi karena jabatan adalah penyidik. Penyidik

pejabat polisi negara tersebut ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik

Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

dan dapat melimpahkan wewenang tersebut kepada pejabat polisi lain

(Pasal 2 ayat (3), (4) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983).

Sedangkan untuk penyidik pegawai negeri sipil berdasarkan ketentuan

Pasal 2 ayat (5) dan (6) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983

diangkat oleh Menteri Kehakiman RI atas usul departemen yang

membawahi pegawai tersebut. Wewenang pengangkatan ini dapat

dilimpahkan (didelegasikan) Menkeh RI sebagaimana ditentukan

Kepmenkeh RI Nomor: M.08-UM.01.06 Tahun 1963 sebelum

pengangkatan tersebut dilakukan oleh Menkeh RI, terlebih dahulu

meminta pertimbangan Jaksa Agung RI dan Kepala Kepolisian RI.

Adapun apabila dilihat fungsi dan wewenang penyidik

berdasarkan ketentuan Pasal 7 KUHAP maka dapat berupa:

a) Penyidik pejabat polisi negara RI karena kewajibannya mempunyai

wewenang:

Page 68: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50

1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tendang adanya

tindak pidana.

2) Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian.

3) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda

pengenal tersangka.

4) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan

penyitaan.

5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

6) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.

7) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka

ataupun saksi.

8) Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara.

9) Mengadakan penghentian penyidikan.

10) Melakukan tindakan lain menurut hukum secara bertanggung

jawab

b) Penyidik pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang

khusus oleh undang-undang mempunyai wewenang

Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) KUHAP sesuai dengan

undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan

dalam pelaksanaanya berada di bawah koordinasi dan pengawasan

penyidik tersebut sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1)

huruf a KUHAP. Apabila melalui visi tugas dan wewenang, maka

sebenarnya antara Penyelidikan dan Penyidikan merupakan fungsi

yang tidak dapat dipisahkan. Penyelidikan merupakan salah satu cara

atau metoda yang menyatu dengan fungsi penyidikan sebagaimana

ditentukan Pedoman Pelaksanaan KUHAP berikut ini (Departemen

Kehakiman Republik Indonesia, 1982:27):

”Penyelidikan bukanlah merupakan fungsi yang berdiri sendiri, terpisah dari fungsi penyidikan,melainkan hanya merupakan salah satu cara atau metoda atau sub daripada fungsi penyidikan, yang

Page 69: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51

mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan; tindakan pemeriksaan penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada Penuntut Umum. Latar belakang, motivasi dan urgensi diintrodusirnya fungsi penyelidikan, antara lain adanya perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi manusia, adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa, ketatnya pengawasan dan adanya lembaga ganti kerugian dan rehabilitasi, dikaitkan bahwa tidak setiap peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu menampakkan bentuknya secara jelas sebagai tindak pidana, maka sebelum melangkah lebih lanjut dengan melakukan penyidikan dengan konsekuensi digunakannya upaya paksa perlu ditentukan terlebih dahulu berdasarkan data atau keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan bahwa peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu benar adanya merupakan tindak pidana sehingga dapat dilanjutkan dengan tindakan penyidikan.”

Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam melakukan suatu penyidikan

diperlukan adanya taktik dan teknik sehingga apa yang menjadi modus

operandi dari tindak pidana tersebut dapat diungkap sekaligus dengan

tersangkanya.

4. Pengaturan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana

Korupsi dalam UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berdasarkan Pasal

2 dan 3 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi untuk selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi

adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya

bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Dalam

ketentuan ini yang dimaksud ”kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang

dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) atau anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif,

legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi,

Page 70: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52

atau keadaan dan situasi apapun dengan alasan apapun (Ermansjah Djaja,

2008 : 185).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, KPK mempunyai

kekuatan ekstra dibandingkan aparat penegak hukum lainnya. Selain dapat

melaksanakan fungsi penyelidikan dan penyidikan (fungsi yang selama ini

dipegang oleh Polisi), KPK juga dapat melaksanakan fungsi penuntutan

(fungsi yang selama ini di pegang oleh Kejaksaan). Berdasarkan alasan-alasan

tertentu, KPK bahkan diberi kewenangan untuk mengambil alih proses

penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan atas suatu tindak pidana korupsi

yang sebelumnya ditangani oleh aparat penegak hukum lainnya (Kepolisian

dan Kejaksaan) untuk dilaksanakan sendiri oleh KPK.

Mengenai ketentuan umum kewenangan penyelidikan dan penyidikan

tindak pidana korupsi berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi diatur dalam Pasal 6, Pasal 7

huruf a, Pasal 8 ayat (2), (3), (4), Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan

Pasal 38 sampai dengan Pasal 41.

Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas-tugas sebagaimana

diatur di dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, sebagai

berikut:

a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan

tindak pidana korupsi.

b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan

tindak pidana korupsi.

c. Melakukan penyelidikan, peenyidikan, dan penuntutan terhadap tindak

pidana korupsi.

d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi dan

e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Untuk menjelaskan Pasal 6 huruf a mengenai koordinasi tersebut maka

Pasal 7 huruf a menyebutkan bahwa:

”Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang

Page 71: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53

mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi.”

Pasal 8 yang menyatakan tentang kewenangan Komisi pemberantasan

Korupsi dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi tercantum

dalam ayat (2), (3), (4) yaitu:

(2) Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih

penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korusi yang

sedang dilakukan Kepolisian dan Kejaksaan.

(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan

atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka

dan seluruh berkas beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan

dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak

tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.

(4) Penyerahan dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara

penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian atau

kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi

Pemberantasan Korupsi.

Pasal 9 menyatakan bahwa pengambilalihan penyidikan dan penuntutan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan

Korupsi dengan alasan :

a. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti.

b. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau

tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

c. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku

tindak pidana korupsi yangs esungguhnya.

d. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung korupsi.

e. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari

eksekutif, yudikatif, atau legislatif, atau

f. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan,

penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat

dipertanggungjawabkan.

Page 72: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

54

Pasal 10 menyatakan bahwa:

”Dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Komisi Pemberantasan Korupsi memberitahukan kepada penyidik atau penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.”

Pasal 11 menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang

melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi

yang:

a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain

yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh

aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.

b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/atau

c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu

milyar rupiah).

Pasal 12 menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas penyelidikan,

penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c,

Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:

a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.

b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang

bepergian ke luar negeri.

c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang

keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa.

d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk

memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka,

terdakwa atau pihak lain yang terkait.

e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk

memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya.

f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa

kepada instansi yang terkait.

Page 73: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

55

g. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan,

dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta

konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang

diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan

tindak pidana korupsi yang sedang dipriksa.

h. Meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara

lain untuk melakukan pencarian, penangkapan dan penyitaan barang bukti

di luar negeri.

i. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk

melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam

perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

Sedangkan isi dari Pasal 38 sampai dengan Pasal 42 juga mengenai

ketentuan umum dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan pada Komisi

Pemberantasan Korupsi. Pasal 38 menyatakan bahwa:

(1) Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan dan

penuntutan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik,

penyidik dan penuntut umum pada Komisi Pemberantsan Korupsi.

(2) Ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-

undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku

bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

Dalam penjelasan Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun

2002 dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan “yang berkaitan dengan

penyelidikan, penyidikan dan penuntutan” dalam ketentuan ini antara lain,

kewenangan melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan

dan pemeriksaan surat.

Pasal 39 menyatakan bahwa:

(1) Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi

dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan

Page 74: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

56

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan

lain dalam undang-undang ini.

(2) Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi

dilakukan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama Komisi

Pemberantasan Korupsi.

(3) Penyelidik, penyidik dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada

Komisi Pemberantasan Korupsi, diberhentikan sementara dari instansi

Kepolisian dan Kejaksaan selama menjadi pegawai pada Komisi

Pemberantasan Korupsi.

Selanjutnya dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 42 menyatakan

bahwa:

a. Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat

perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak

pidana korupsi.

b. Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melaksanakan kerja sama dalam

penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dengan

lembaga penegak hukum negara lain sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku atau berdasarkan perjanjian internasional yang

telah diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Dalam penjelasan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan “lembaga penegak hukum

negara lain”, termasuk kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan badan-badan

khusus lain dari negara asing yang menangani perkara tindak pidana

korupsi.

c. Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan

mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana

korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada

peradilan militer dan peradilan umum.

Page 75: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

57

a. Ketentuan mengenai penyelidikan tindak pidana korupsi oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi

Pengaturan mengenai penyelidikan perkara tindak pidana korupsi

pada Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 43

dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, adalah sebagai

berikut :

Pasal 43

(1) Penyelidik adalah Penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi

yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

(2) Penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan fungsi

penyelidikan tindak pidana korupsi.

Pasal 44

(1) Jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti

permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam

waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal

ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut, penyelidik

melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

(2) Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah

ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak

terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima,

atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik.

(3) Dalam hal penyelidik melakukan tugasnya tidak menemukan bukti

permulaan yang cukup yaitu sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti,

penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan

Komisi Pemberantasan Korupsi menghentikan penyelidikan.

(4) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa perkara

tersebut diteruskan, Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan

penyidikan sendiri atau dapat dilimpahkan perkara tersebut kepada

penyidik kepolisian atau kejaksaan.

Page 76: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

58

(5) Dalam hal penyidikan dilimpahkan oleh Komisi Pemberantasan

Korupsi kepada Kepolisian atau Kejaksaan, maka Kepolisian atau

kejaksaan wajib melaksanakan koordinasi dan melaporkan

perkembangan penyidikan kepada Komisi Pemberantsan Korupsi.

b. Ketentuan mengenai penyidikan tindak pidana korupsi oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi

Pengaturan mengenai penyidikan perkara tindak pidana korupsi pada

Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 45

sampai dengan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, adalah

sebagai berikut :

Pasal 45

(1) Penyidik adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang

diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

(2) Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan fungsi

penyidikan tindak pidana korupsi.

Pasal 46

(1) Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut

prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka

diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku

berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 ini.

(2) Pemeriksaan tersangka dengan berdasarkan Undang-undang Nomor 30

Tahun 2002, dilakukan dengan tidak mengurangi hak-hak tersangka.

Dalam penjelasan Pasal 46 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun

2002 dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan “prosedur khusus” adalah

kewajiban memperoleh izin bagi tersangka pejabat negara tertentu untuk

dapat dilakukan pemeriksaan.

Pasal 47

(1) Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti pemulaan yang cukup,

penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan

Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya.

Page 77: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

59

(2) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur

mengenai tindak penyitaan, tidak berlaku berdasarkan Undang- undang

Nomor 30 Tahun 2002.

(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membuat berita

acara penyitaan pada hari penyitaan sekurang-kurangnya memuat :

a. Nama, jenis dan jumlah barang atau benda berharga lain yang

disita.

b. Keterangan tempat, waktu, hari, tanggal, bulan dan tahun

dilakukan penyitaan.

c. Keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang atau

benda berharga lain tersebut.

d. Tanda tangan dan identitas penyidik yang melakukan penyitaan,

dan

e. Tanda tangan dan identitas dari pemilik atau orang yang menguasai

barang tersebut.

(4) Salinan berita acara penyitaan barang atau benda berharga lain

disampaikan kepada tersangka atau keluarganya.

Pasal 48

Untuk kepentingan penyidikan, tersangka tindak pidan korupsi wajib

memberikan keterangan kepada penyidik tentang seluruh harta bendanya

dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau

korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan

dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka.

Pasal 49

Setelah penyidikan dinyatakan cukup, penyidik membuat berita acara dan

disampaikan kepada kepada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

untuk segera ditindaklanjuti.

Pasal 50

(1) Dalam hal tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan

Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut

telah dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi

Page 78: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

60

tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan

Korupsi paling lambat 14 (empat belas) hari hari kerja terhitung sejak

tanggal dimulainya penyidikan.

(2) Penyidikan suatu tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepolisian

atau kejaksaan wajib dilakukan koordinasi secara terus-menerus

dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.

(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan

penyidikan suatu tindak pidana korupsi, kepolisian atau kejaksaan

tidak berwenang lagi melakukan penyidikan.

(4) Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian

dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan

yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera

dihentikan.

Dalam penjelasan Pasal 50 ayat (4) Undang-undang Nomor 30 Tahun

2002 dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan “dilakukan secara

bersamaan” adalah dihitung berdasarkan hari dan tanggal yang sama

dimulainya penyidikan

5. Pengaturan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana

Korupsi dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana

korupsi diatur dalam Pasal-pasal sebagai berikut:

Pasal 25 menyatakan bahwa:

”Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya”.

Di dalam penjelasan Pasal 25 disebutkan bahwa ”apabila terdapat 2

(dua) atau lebih perkara yang oleh undang-undang ditentukan untuk

didahulukan maka mengenai penentuan prioritas perkara tersebut diserahkan

Page 79: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

61

pada setiap lembaga yang berwenang di setiap proses peradilan”. Makna dari

kalimat tersebut adalah penyelesaian yang secepatnya pada waktu melakukan

penyidikan, penuntutan, dan pemerikasaan di sidang pengadilan terhadap

perkara tindak pidana korupsi daripada penyelesaian penyidikan, penuntutan,

dan pemeriksaan tindak pidana yang bukan tindak pidana korupsi. Walaupun

pada dasarnya semua perkara hukum yang diproses sampai di sidang

pengadilan harus dilakukan dengan cepat sebagaimana diamanatkan dalam

Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman, tetapi berdasarkan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 penyelesaian perkara tindak pidana korupsi tetap harus didahulukan

dibanding perkara tindak pidana yang lain walaupun perkara pidana yang lain

tetap juga harus diselesaikan secepatnya sebagaimana yang diamanatkan Pasal

5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman.

Pasal 26 menyatakan bahwa:

”Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”.

Didalam Pasal 26 tersebut yang dimaksud dengan ”hukum acara pidana

yang berlaku” adalah:

a. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap tersangka tindak

pidana korupsi yang statusnya adalah masyarakat sipil.

b. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 31

Tahun 1997 tentang Peradilan Militer terhadap tersangka tindak pidana

korupsi yang statusnya adalah anggota militer.

Adapun yang dimaksud dengan ”kecuali ditentukan lain dalam undang-

undang ini” adalah bahwa yang menjadi dasar hukum untuk melakukan

penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan

dalam perkara tindak pidana korupsi adalah:

Page 80: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

62

a. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002 yang mengatur tentang penyelidikan, penyidikan, penuntutan,

dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana

korupsi.

b. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 yang mengatur tentang penyelidikan, penyidikan, penuntutan,

dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana

korupsi.

Pasal 28 menyatakan bahwa:

”Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan/atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka”.

Rumusan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi sama persis dengan rumusan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni:

”Untuk kepentingan penyidikan, tersangka tindak pidan korupsi wajib memberikan keterangan kepada penyidik tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka”.

Pasal 29 menyatakan bahwa:

(1) Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang

pengadilan, penyidik, penuntut umum atau hakim berwenang meminta

keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau

terdakwa.

(2) Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) diajukan kepada Gubernur Jenderal Bank Indonesia sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Page 81: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

63

(3) Gubernur Bank Indonesia berkewajiban memenuhi permintaan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya

3 (tiga) hari kerja, terhitung sejak dokumen permintaan diterima secara

lengkap.

(4) Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk

memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga

hasil dari korupsi.

(5) Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak

diperoleh bukti yang cukup atas permintaan penyidik, penuntut umum,

atau hakim, bank pada hari itu juga mencabut pemblokiran.

Di dalam penjelasan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan bahwa ketentuan ini

bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penyidikan, penuntutan,

pemberantasan tindak pidana korupsi dengan tetap memperhatikan koordinasi

lintas sektoral dengan instansi terkait. Demikian pula dalam alinea ke-1

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi dijelaskan bahwa untuk memperlancar proses penyidikan,

penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi undang-undang ini

mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan

tingkat penanganan perkara untuk dapat langsung meminta keterangan

tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa kepada bank dengan

mengajukan hal tersebut kepada Gubernur Bank Indonesia. Dengan

berdasarkan kepada Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi tersebut bahwa penyidik dan penuntut umum Komisi

Pemberantasan Korupsi, dan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk

meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau

terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi.

Pasal 30 menyatakan bahwa:

Page 82: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

64

”Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi”.

Dalam penjelasan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi dijelaskan bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi

kewenangan kepada penyidik dalam rangka mempercepat proses penyidikan

yang pada dasarnya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

untuk membuka, memeriksa atau menyita surat harus memperoleh izin

terlebih dahulu dari Ketua Pengadilan Negeri.

Pasal 32 ayat (1) menyatakan bahwa:

”Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan”.

Pasal 33 menyatakan bahwa:

”Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan padahal secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”.

B. Taraf Sinkronisasi Horisontal Pengaturan Kewenangan Penyelidikan

dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi dalam UU Kepolisian, UU

Kejaksaan, KUHAP, UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh

Indonesia pada saat ini. Setiap pergantian periode kepemimpinan selalu

menjanjikan akan melakukan tindakan hukum dalam pemberantasan tindak

Page 83: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

65

pidana korupsi. Namun tindakan pemberantasan tersebut selalu tidak berjalan

dengan optimal sehingga tanda-tanda bahwa masalah korupsi telah dapat

diatasi belum dapat dilihat secara nyata. Pemberantasan tindak pidana korupsi

memang pada dasarnya tidak semudah apa yang kita pikirkan, karena korupsi

seperti telah membudaya pada masyarakat negara kita. Sehingga secara

bertahap, tindak pidana korupsi harus segera ditangani, setidak-tidaknya

dapat berkurang dan harus dilenyapkan semua.

Salah satu langkah penanganan masalah tindak pidana korupsi ini yaitu

dengan pembentukan lembaga penanganan masalah tindak pidana korupsi

yang dilakukan baik oleh eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Selain itu,

penanganan masalah korupsi juga diatur didalam beberapa peraturan tertulis

yaitu dibentuknya peraturan perundang-undangan mengenai pengaturan

pemberantasan tindak pidana korupsi serta lembaga yang berwenang dalam

penanganan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Penanganan pemberantasan tindak pidana korupsi diawali dengan

adanya proses penyelidikan dan penyidikan. Proses penyelidikan dan

penyidikan terhadap tindak pidana korupsi dimana tindak pidana ini termasuk

didalam tindak pidana khusus diatur baik didalam peraturan perundang-

undangan yang bersifat umum dan peraturan perundang-undangan yang

bersifat khusus mengatur mengenai tindak pidana korupsi.

Kewenangan penyelidikan dan penyidikan dalam penanganan tindak

pidana korupsi dimiliki oleh beberapa lembaga negara antara lain: Kepolisian,

Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sedangkan pengaturan

mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara tindak

pidana korupsi diatur didalam beberapa peraturan perundang-undangan antara

lain: Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang KUHAP, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Page 84: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

66

Pembahasan tentang kewenangan dalam sistem peradilan pidana

terpadu, tidak lepas dari hukum acara pidana sebagai tata cara untuk

melaksanakan hukum meteriil. Posisi Kejaksaan dalam peradilan pidana

terpadu adalah melaksanakan fungsi penuntutan terhadap suatu perkara.

Semenjak diberlakukannya KUHAP kewenangan penyidikan Kejaksaan

hanya dalam hal tindak pidana khusus salah satunya yaitu tindak pidana

korupsi. Namun dalam hal kewenangan penyidikan yang di miliki oleh

Kejaksaan dalam penanganan tindak pidana korupsi, didalam kewenangan

penyidikan tersebut juga melekat kewenangan penyelidikan terhadap tindak

pidana korupsi. Setelah lahirnya Undang-Undang Kepolisian yang baru tahun

2002 yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI

membuat semakin rancu lagi kewenangan yang telah ada, dimana terdapat

arahan bahwa polisi memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan

dan merupakan penyidik tunggal terhadap segala bentuk tindak pidana (baik

tindak pidana umum maupun khusus). Pengaturan mengenai kewenangan

dalam penanganan tindak pidana korupsi menimbulkan pertentangan

perundang-undangan yang melahirkan tumpang tindih kewenangan, sehingga

timbul kesan perebutan penanganan perkara tindak pidana khusus, dalam hal

ini perkara korupsi. Kewenangan penyelidikan dan penyidikan yang dimiliki

oleh kedua institusi tersebut dapat juga diambil alih oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun

dengan diambil alihnya kewenangan penyelidikan dan penyidikan dari

Kepolisian atau Kejaksaan oleh KPK tidak menghilangkan permasalahan

kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara tindak pidana

korupsi, karena ketiga instansi tersebut secara yuridis-normatif sama-sama

mempunyai kewenangan terhadap perkara tindak pidana korupsi. Dengan

hadirnya KPK yang mempunyai kewenangan jauh lebih besar dari Kepolisian

atau Kejaksaan, KPK dapat melakukan pengambilalihan penyelidikan dan

penyidikan yang sedang ditangani Kepolisian atau Kejaksaan, walau

pengambilalihan tersebut harus disebabkan alasan tertentu, namun dirasakan

Page 85: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

67

oleh Kepolisian atau Kejaksaan dalam menangani penyelidikan dan

penyidikan tindak pidana korupsi telah berjalan dengan baik dan sesuai

dengan prosedur serta tidak menimbulkan alasan tertentu yang dapat

diambilalih penyelidikan dan penyidikan oleh KPK, KPK kadang

memandang penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan baik oleh

Kepolisian maupun Kejaksaan tersebut kurang baik sehingga perlu diambil

alih penyelidikan dan penyidikannya.

Pihak Kepolisian dan Kejaksaan sebagai bagian dari sistem peradilan

pidana terpadu memang mempunyai kewenangan yang sama dalam rangka

penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi karena kedua pihak

tersebut mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam sistem

peradilan pidana, polisi dan jaksa merupakan dua institusi penegak hukum

yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Kedua institusi ini

seharusnya dapat bekerja sama dan saling berkoordinasi dengan baik untuk

mencapai tujuan dari sistem ini yaitu menanggulangi kejahatan atau

mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi

yang dapat diterima masyarakat.

Berlakunya Undang-Undang Kepolisian yang baru yaitu Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2002 dimana dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g

menyebutkan :

“Kepolisian Negara RI bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya”.

Pengaturan mengenai wewenang penyelidikan oleh pihak Kepolisian juga

diatur dalam Pasal 1 butir 4 KUHAP yaitu:

“Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan”.

Sedangkan wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana diatur

dalam Pasal 1 butir 1 KUHAP yaitu:

Page 86: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

68

“Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”.

Hal ini berarti kewenangan penyelidikan dan penyidikan semua jenis tindak

pidana termasuk tindak pidana khusus (tindak pidana korupsi) dimiliki oleh

Kepolisian, padahal Kejaksaan juga mempunyai kewenangan penyidikan

terhadap tindak pidana korupsi dimana didalam kewenangan penyidikan

tersebut melekat pula kewenangan penyelidikan yang di lakukan oleh bagian

Intelejen di tubuh Kejaksaan. Kewenangan yang dimiliki oleh Kejaksaan

dalam melakukan penyidikan diatur didalam Pasal 30 ayat (1) huruf d

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang

menyebutkan :

“Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang”.

Dimana dalam Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor

16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan kewenangan tersebut mengenai

kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang Nomor 26

Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. Dengan ketentuan dari Pasal tersebut sehingga

memperlihatkan dengan jelas akan kewenangan Kejaksaan dalam melakukan

penyidikan terhadap tindak pidana korupsi.

Berdasarkan penjelasan yang telah diungkapkan diatas, maka baik

Kepolisian maupun Kejaksaan mempunyai kewenangan dalam melakukan

penyelidikan dan penyidikan tehadap tindak pidana korupsi dan dalam hal

kewenangan ini, kedua institusi tersebut mempunyai dasar hukum yang

mengatur mengenai kewenangan yang dimiliki baik oleh Kepolisian maupun

Page 87: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

69

Kejaksaan dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi sesuai

dengan yang telah dijelaskan diatas. Maka terlihat bahwa antara Kepolisian

dan Kejaksaan memiliki kewenangan yang sama dalam penyelidikan dan

penyidikan tindak pidana korupsi, hal tersebut dapat dianggap adanya

tumpang tindih kewenangan dalam menangani suatu perkara. Meskipun

kedua institusi tersebut mempunyai kewenangan yang sama dalam

penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dan kewenangan yang

dimiliki oleh kedua institusi tersebut diatur didalam peraturan perundang-

undangan yang didalamnya mengatur mengenai kewenangan yang dimiliki

oleh masing-masing institusi tersebut namun sesungguhnya tidak terjadi

tumpang tindih kewenangan dalam penyelidikan dan penyidikan tindak

pidana korupsi yang dimiliki baik oleh Kepolisian dan Kejaksaan karena

kedua pihak tersebut mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan

dalam sistem peradilan pidana, Kepolisian dan Kejaksaan merupakan dua

institusi penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat.

Kedua institusi ini harus dapat bekerja sama dan saling berkoordinasi dengan

baik dalam penanganan suatu tindak pidana (baik tindak pidana umum

maupun khusus).

Jaksa dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana terutama

korupsi juga mempunyai landasan dasar hukum yaitu pasal 17 Peraturan

Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. KUHAP yang

dikenal sebagai karya agung bangsa Indonesia karena telah melakukan

perubahan fundamental dalam Hukum Acara Pidana melalui Undang-Undang

No. 8 tahun 1981 perubahan fundamental tersebut antara lain di bidang

Penyidikan. Pada waktu HIR Penyidikan dapat dilakukan oleh banyak

instansi, kedudukan Jaksa sebagai Penuntut dapat sekaligus sebagai,

Koordinator Penyidikan. Setelah berlakunya KUHAP wewenang Penyidikan

dialihkan kepada Polri sebagai Penyidik Utama dan PPNS dengan

kewenangan terbatas sesuai dengan Undang-undang yang menjadi dasar

hukumnya. Dalam pelaksanaan Penyidikan di bawah Koordinasi Penyidik

Polri dengan memberikan pengawasan, petunjuk dan bantuan Penyidikan

Page 88: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

70

(Pasal 6, Pasal 7 ayat (2)), Pasal 107 dan Pasal 109 ayat (3) KUHAP.

Ketentuan-ketentuan dalam KUHAP sudah merupakan sistem Peradilan

Pidana Terpadu dan adanya saling kontrol dengan menempatkan para

penegak Hukum pada fungsi, tugas dan wewenangnya masing-masing. Pasal

284 KUHAP merupakan pasal mengenai Ketentuan Peralihan, suatu

ketentuan untuk menjamin agar tidak terjadi kekosongan dalam hukum

(rechts vacuum) dengan menghubungkan ketentuan-ketentuan yang diatur

dalam Undang-undang yang lama HIR dan Undang-undang yang baru

KUHAP. Fungsinya sebelum dapat dilaksanakannya seluruh ketentuan yang

berada dalam Undang-undang yang baru, maka terbitlah Ketentuan Peralihan

Pasal 284 KUHAP yang berbunyi :

1. Terhadap perkara yang ada sebelum Undang-Undang ini diundangkan, sejauh mungkin diberlakukan Undang-Undang ini.

2. Dalam waktu dua tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan Undang-Undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-Undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.

Penjelasan Pasal 284 ayat (2) berbunyi :

1. Yang dimaksud dengan semua perkara adalah perkara yang telah

dilimpahkan ke pengadilan.

2. Yang dimaksud dengan ketentuan khusus acara pidana

sebagaimana tersebut pada Undang-Undang tertentu ialah

ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada, antara

lain : a. Undang-Undang tentang pengusutan, penuntutan dan

peradilan tindak pidana ekonomi (Undang-Undang No. 7 Drt

Tahun 1955). b. Undang-Undang tentang pemberantasan tindak

pidana korupsi (Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 yang telah

diubah menjadi Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-

Undang No. 20 Tahun 2001). Dengan catatan bahwa semua

ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-

Page 89: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

71

Undang tertentu akan ditinjau kembali, diubah atau dicabut dalam

waktu yang sesingkat-singkatnya.

Rumusan ayat (2) pasal 284 KUHAP dengan menjelaskan bahwa

terhadap semua perkara setelah 2 (dua) tahun berlakunya KUHAP, mutlak

dilakukan sebagaimana diatur oleh KUHAP. Adapun batasan-batasan

terhadap pengecualian adalah bersifat sementara, sehingga kata “Sementara“

dan “Sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi“

merupakan keharusan untuk tidak membiarkan ketentuan-ketentuan tersebut

tetap berlaku, dan harus segera disesuaikan dengan ketentuan KUHAP yang

menginginkan adanya kodifikasi dan unifikasi. Peraturan pemerintah No. 27

tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP, dalam peraturan pemerintah ini

mengenai penyidikan terhadap tindak pidana tertentu sebagaimana diatur

dalam pasal 17 yang berbunyi:

“Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-Undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh Penyidik Jaksa, dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan ”.

Pasal 284 ayat (2) KUHAP sebagai pasal ketentuan peralihan dari

periode HIR ke KUHAP masih menyisakan kewenangan penyidikan kepada

penuntut umum sepanjang mengenai tindak pidana tertentu. Terlepas dari

ketentuan peralihan yang diatur dalam Pasal 284 ayat (1) KUHAP khususnya

mengenai peraturan peralihan yang disebut dalam pasal 284 ayat (2) KUHAP

sebab peraturan peralihan ini mempunyai kaitan yang agak khusus terhadap

fungsi dan wewenang jaksa sebagai penuntut umum. Karena peraturan

peralihan pada ayat ( 2 ) melibatkan jaksa / penuntut umum sebagai penyidik

dalam tindak pidana tertentu, justru jaksa yang berwenang melakukan

penyidikan. Namun di dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa:

“Dalam waktu 2 ( dua ) tahun setelah undang-undang ini, diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus

Page 90: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

72

acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”.

Dalam beberapa tindak pidana khusus, masih ada wewenang Jaksa

melakukan penyidikan, oleh karena undang-undang tindak pidana khusus itu

sendiri menyebut secara tegas tentang wewenang Jaksa melakukan

penyidikan, seperti Tindak Pidana Ekonomi, Tindak Pidana Korupsi, dan

lain-lain. Meskipun begitu, adanya pengecualian tersebut di atas sama sekali

bukan berarti mengurangi keabsahan penerapan KUHAP sebagai hukum

acara pidana bagi semua perkara tindak pidana, termasuk tindak pidana

khusus sepanjang tindak pidana khusus tersebut tidak mengatur sendiri

hukum acaranya secara keseluruhan. Juga sama sekali tidak mengurangi

prinsip diferensasi fungsional yang memberi wewenang tunggal kepada

Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai instansi yang diberi

wewenang penyidikan. Berkaitan dengan hal tersebut apa yang diatur pada

Pasal 284 ayat (2) KUHAP sebagai pengecualian atas prinsip umum diatas,

dimaksudkan:

1. Untuk menjaga jangan terjadi kevakuman pelaksanaan penyidikan,

disebabkan undang-undang tindak pidana khusus sendiri telah

melimpahkan wewenang penyidikan kepada jaksa / penuntut umum. Hal

ini, disebabkan karena Polri saat itu tidak dapat menjangkaunya,

sehingga bisa menimbulkan kekosongan hukum dalam penegakan

hukum.

2. Pengecualian ini tidak mengurangi arti prinsip-prinsip umum secara

permanen dalam ketentuan Pasal 284 ayat (2), yakni:

a) Pengecualian tersebut bersifat sementara.

b) Hanya mengenai ketentuan-ketentuan khusus acara pidana yang

terdapat pada undang-undang pidana khusus.

c) Sampai adanya perubahan atau dinyatakan tidak berlaku lagi

ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP tersebut.

Kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yang

dimiliki baik oleh Kepolisian dan Kejaksaan bukanlah suatu hal yang dapat

Page 91: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

73

dianggap perebutan kewenangan di tubuh Kepolisian dan Kejaksaan, namun

hubungan fungsional yang sangat erat antara Kepolisian dan Kejaksaan dapat

menciptakan suatu koordinasi diantara dua institusi tersebut. Begitu juga

dalam hal penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi, apabila

terdapat suatu tindak pidana korupsi maka untuk menghindari perebutan

maupun tumpang tindih kewenangan dalam penanganan penyelidikan dan

penyidikannya maka sebelumnya antara Kepolisian dan Kejaksaan

melakukan koordinasi terlebih dahulu untuk menentukan apakah Kepolisian

atau Kejaksaan yang akan melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap

perkara korupsi tersebut.

Selain itu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga mengatur bahwa Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) juga memiliki kewenangan untuk melakukan

penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. Dalam

penanganan tindak pidana korupsi sebenarnya telah ada instansi-instansi yang

telah mempunyai kewenangan berdasarkan hukum untuk menangani kasus

korupsi, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan, namun KPK ini dibentuk karena

lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi dirasa

belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana

korupsi. Sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi. Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai Ketentuan lain-lain yang

menyebutkan bahwa:

1. Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk

Page 92: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

74

melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur masyarakat.

4. Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja, pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Undang-Undang.

Walaupun KPK memiliki kewenangan yang sama dengan Kepolisian

dan Kejaksaaan dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi

namun kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan

juga penuntutan yaitu terhadap tindak pidana korupsi yang tertera di dalam

Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu antara lain:

1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain

yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh

aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.

2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau

3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu

milyar rupiah).

Sehingga untuk tindak pidana korupsi yang tidak tergolong dalam ketiga

kategori diatas penanganan penyelidikan dan penyidikannya dapat dilakukan

oleh Kepolisian atau Kejaksaan walaupun tidak menutup kemungkinan juga

tindak pidana korupsi yang tergolong dalam kategori diatas juga dapat

ditangani oleh Kepolisian ataupun Kejaksaan selama ada koordinasi antara

ketiga instansi tersebut.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat mengambil alih penyidikan

atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang

dilakukan oleh Kepolisian ataupun Kejaksaan, alasan pengambilalihan

wewenang penanganan ini diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang tentang

KPK yaitu:

1. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti

Page 93: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

75

2. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau

tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

3. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku

tindak pidana korupsi yang sesungguhnya.

4. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi.

5. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari

eksekutif, yudikatif, atau legislatif.

6. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan,

penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan

dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 tersebut

maka Komisi Pemberantasan Korupsi memberitahukan kepada penyidik atau

penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang

ditangani. Pasal 68 Undang-Undang KPK mengenai Ketentuan Peralihan

juga menegaskan:

“Semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9”.

Page 94: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

76

BAB IV. PENUTUP

A. Simpulan

1. Pengaturan mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap

perkara tindak pidana korupsi diatur didalam beberapa peraturan perundang-

undangan antara lain:

a. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI,

salah satu tugas dan wewenang Kepolisian yaitu melakukan penyelidikan

dan penyidikan terhadap suatu tindak pidana. Hal ini termuat di dalam

Pasal 1 angka 8 sampai dengan 13.

b. Berdasar Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2004 tentang Kejaksaan RI menyatakan bahwa di bidang pidana,

Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang salah satunya mengenai

penyidikan yaitu melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu

berdasarkan undang-undang, dimana dalam penjelasannya kewenangan

tersebut mengenai kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi

Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

c. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) penyelidik adalah pejabat Polisi Negara Republik

Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan

penyelidikan. Mengenai personil dari penyidik sebagaimana ditentukan

Pasal 6 ayat (1) KUHAP.

d. Mengenai ketentuan umum kewenangan penyelidikan dan penyidikan

tindak pidana korupsi berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi diatur dalam Pasal 6, Pasal 7

Page 95: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

77

huruf a, Pasal 8 ayat (2), (3), (4), Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan

Pasal 38 sampai dengan Pasal 41. Pengaturan mengenai penyelidikan

perkara tindak pidana korupsi pada Komisi Pemberantasan Korupsi

sebagaimana diatur dalam Pasal 43 dan Pasal 44 sedangkan pengaturan

mengenai penyidikan perkara tindak pidana korupsi pada Komisi

Pemberantasan Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 45 sampai dengan

Pasal 50 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.

e. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengenai

kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi

diatur dalam Pasal 25, 26, 28, 29, 30, 32, dan 33.

2. Penanganan pemberantasan tindak pidana korupsi diawali dengan adanya

proses penyelidikan dan penyidikan. Kewenangan penyelidikan dan penyidikan

dalam penanganan tindak pidana korupsi dimiliki oleh beberapa lembaga

negara antara lain: Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK), sedangkan pengaturan mengenai kewenangan penyelidikan dan

penyidikan terhadap perkara tindak pidana korupsi tersebut diatur didalam

beberapa peraturan perundang-undangan antara lain: Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP,

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pembahasan tentang kewenangan dalam sistem peradilan pidana terpadu, tidak

lepas dari hukum acara pidana sebagai tata cara untuk melaksanakan hukum

meteriil. Posisi Kejaksaan dalam peradilan pidana terpadu adalah

melaksanakan fungsi penuntutan terhadap suatu perkara. Semenjak

diberlakukannya KUHAP kewenangan penyidikan Kejaksaan hanya dalam hal

tindak pidana khusus salah satunya yaitu tindak pidana korupsi. Kewenangan

penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yang dimiliki baik oleh

Kepolisian dan Kejaksaan bukanlah suatu hal yang dapat dianggap perebutan

Page 96: TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

78

kewenangan di tubuh Kepolisian dan Kejaksaan, namun hubungan fungsional

yang sangat erat antara Kepolisian dan Kejaksaan dapat menciptakan suatu

koordinasi diantara dua institusi tersebut. Begitu juga dalam hal penyelidikan

dan penyidikan tindak pidana korupsi, apabila terdapat suatu tindak pidana

korupsi maka untuk menghindari perebutan maupun tumpang tindih

kewenangan dalam penanganan penyelidikan dan penyidikannya maka

sebelumnya antara Kepolisian dan Kejaksaan melakukan koordinasi terlebih

dahulu untuk menentukan apakah Kepolisian atau Kejaksaan yang akan

melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara korupsi tersebut.

Dengan hadirnya KPK yang mempunyai kewenangan jauh lebih besar dari

Kepolisian atau Kejaksaan, KPK dapat melakukan pengambilalihan

penyelidikan dan penyidikan yang sedang ditangani Kepolisian atau

Kejaksaan, walau pengambilalihan tersebut harus disebabkan alasan tertentu,

hal ini diatur dalam Pasal 8, 9, dan 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.

Sedangkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang- Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

mengatur kewenangan penyelidikan dan penyidikan pada Pasal 26 yaitu

dilakukan sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku ataupun ditentukan

lain dalam undang-undang tersebut.

B. Saran

1. Perlu adanya ketegasan dan pengaturan yang jelas mengenai kewenangan

penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi pada Undang-Undang

Kepolisian, Kejaksaan, KPK, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maupun

Hukum Acara Pidana sehingga tidak terluhat adanya tumpang tindih

kewenangan dalam menanganinya.

2. Adanya pembagian kewenangan antara Kepolisian, Kejaksaan, maupun KPK

yang diatur secara jelas baik dalam Undang-Undang yang mengatur tiap

instansi tersebut maupun di dalam Undang-Undang hukum acara pidana dan

tindak pidana korupsi sehingga dapat tumbuh sinergisitas antar instansi

tersebut dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi.