tedy

9
Tanda dan Gejala Menurut Mansjoer (2007), gejala yang timbul antara lain: 1. Sakit kepala berat 2. Muntah proyektil 3. Pupil edema 4. Perubahan tipe kesadaran 5. Tekanan darah menurun, bradikardia 6. Anisokor 7. Suhu tubuh yang sulit dikendalikan. 8. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih 9. Kebingungan/kecemasan 10. Iritabel 11. Pucat 12. Pusing kepala 13. Terdapat hematoma 14. Sukar untuk dibangunkan 15. Bila fraktur, mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal. Penanganan di Rumah Sakit : Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif. Walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk kerusakan primer akibat cedera tetapi setidaknya dapat mengurangi kerusakan otak sekunder akibat hipoksia, hipotensi, atau tekanan intra kranial yang meningkat (Brunner & Suddarth, 2003). 1. Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi: umumnya pasien dengan stupor atau koma harus diintubasi untuk proteksi jalan nafas.

description

awe

Transcript of tedy

Page 1: tedy

Tanda dan Gejala

Menurut Mansjoer (2007), gejala yang timbul antara lain:

1. Sakit kepala berat

2. Muntah proyektil

3. Pupil edema

4. Perubahan tipe kesadaran

5. Tekanan darah menurun, bradikardia

6. Anisokor

7. Suhu tubuh yang sulit dikendalikan.

8. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih

9. Kebingungan/kecemasan

10. Iritabel

11. Pucat

12. Pusing kepala

13. Terdapat hematoma

14. Sukar untuk dibangunkan

15. Bila fraktur, mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan

telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.

Penanganan di Rumah Sakit :

Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif. Walaupun

sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk kerusakan primer akibat cedera tetapi setidaknya dapat

mengurangi kerusakan otak sekunder akibat hipoksia, hipotensi, atau tekanan intra kranial yang

meningkat (Brunner & Suddarth, 2003).

1. Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi: umumnya pasien dengan stupor atau koma harus

diintubasi untuk proteksi jalan nafas.

2. Monitor tekanan darah: jika pasien memperlihatkan tanda ketidakstabilan hemodinamik

(hipotensi atau hipertensi), pemantauan paling baik dilakukan dengan kateter arteri.

3. Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor GCS (Glasgow Coma

Scale) < 8, bila memungkinkan.

4. Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis (larutan RL) yang diberikan kepada pasien dengan

cedera kepala.

Page 2: tedy

5. Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan katabolik, dengan

keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal. Pemberian makanan enteral melalui pipa nasogastrik

harus diberikan sesegera mungkin.

6. Temperatur badan: demam mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati secara agresif dengan

asetaminofen atau kompres.

7. Profilaksis ulkus peptik: pasien dengan ventilasi mekanik memiliki resiko ulserasi stres gastrik

yang meningkat dan harus mendapat ranitidin 50 mg intravena setiap 8 jam.

8. CT Scan lanjutan: umumnya, scan otak lanjutan harus dilakukan 24 jam setelah cedera awal pada

pasien dengan perdarahan intrakranial untuk menilai perdarahan yang progresif.

Penatalaksanaan penderita cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya cedera dan dilakukan

menurut urutan prioritas. Yang ideal dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri dari paramedis terlatih,

dokter ahli saraf, bedah saraf, radiologi, anestesi dan rehabilitasi medik. Pasien dengan cedera kepala

harus ditangani dan dipantau terus sejak tempat kecelakaan, selama perjalanan dari tempat kejadian

sampai rumah sakit, diruang gawat darurat, kamar radiologi, sampai ke ruang operasi, ruang

perawatan atau ICU, sebab sewaktu-waktu bisa memburuk akibat aspirasi, hipotensi, kejang dan

sebagainya. Macam dan urutan prioritas tindakan cedera kepala ditentukan atas dalamnya penurunan

kesadaran pada saat diperiksa:

A. Pasien dalam keadaan sadar (GCS=15)

Pasien yang sadar pada saat diperiksa bisa dibagi dalam 2 jenis:

1. Simple head injury (SHI)

Pasien mengalami cedera kepala tanpa diikuti gangguan kesadaran, dari anamnesa maupun gejala

serebral lain. Pasien ini hanya dilakukan perawatan luka. Pemeriksaan radiologik hanya atas indikasi.

Keluarga dilibatkan untuk mengobservasi kesadaran.

2. Kesadaran terganggu sesaat

Pasien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah cedera kepala dan pada saat diperiksa sudah

sadar kembali. Pemeriksaan radiologik dibuat dan penatalaksanaan selanjutnya seperti SHI.

B. Pasien dengan kesadaran menurun

1. Cedera kepala ringan / minor head injury (GCS=13-15)

Kesadaran disoriented atau not obey command, tanpa disertai defisit fokal serebral. Setelah

pemeriksaan fisik dilakukan perawatanluka, dibuat foto kepala. CT Scan kepala, jika curiga adanya

hematom intrakranial, misalnya ada riwayat lucid interval, pada follow up kesadaran semakin

menurun atau timbul lateralisasi. Observasi kesadaran, pupil, gejala fokal serebral disamping tanda-

tanda vital.

Page 3: tedy

2. Cedera kepala sedang (GCS=9-12)

Pasien dalamkategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner, oleh karena itu urutan

tindakannya sebagai berikut:

a. Periksa dan atasi gangguan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi

b. Periksa singkat atas kesadaran, pupil, tanda fokal serebral dan cedera organ lain. Fiksasi leher dan

patah tulang ekstrimitas

c. Foto kepala dan bila perlu bagiann tubuh lain

d. CT Scan kepala bila curiga adanya hematom intrakranial

e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, defisit fokal serebral

3. Cedera kepala berat (CGS=3-8)

Penderita ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple, oleh karena itu disamping kelainan serebral

juga disertai kelainan sistemik.

Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut:

a. Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation=ABC)

Pasien dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan hiperkapnia akibat

gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan pertama adalah:

o Jalan nafas (Airway)

Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi,kalau perlu

dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi

palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan

o Pernafasan (Breathing)

Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer. Kelainan sentral adalah

depresi pernafasan pada lesi medulla oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central

neurogenik hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema paru, DIC,

emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia.

Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari danatasi faktor penyebab dan kalau perlu

memakai ventilator.

o Sirkulasi (Circulation)

Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan sekunder. Jarang hipotensi

disebabkan oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni berupa hipovolemi

akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung atau

peumotoraks dan syok septik. Tindakannya adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan

fungsi Jantung danmengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah

b. Pemeriksaan fisik

Setalh ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran, pupil, defisit fokal serebral dan

cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan fisik pertama ini dicatat sebagai data dasar dan

Page 4: tedy

ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah satu komponen diatas bis adiartikan sebagai adanya

kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan menanggulangi penyebabnya.

c. Pemeriksaan radiologi

Dibuat foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak, dada danabdomen dibuat atas indikasi.

CT scan kepala dilakukan bila ada fraktur tulang tengkorak atau bila secara klinis diduga ada

hematom intrakranial

d. Tekanan tinggi intrakranial (TTIK)

Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom intrakranial atau hidrosefalus.

Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang normal adalah

berkisar 0-15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan sebagai berikut:

1. Hiperventilasi

Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang terkontrol, dengan sasaran

tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimana terjadi vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran

darah serebral. Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu

dicoba dilepas dgnmengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi hiperventilasi diteruskan lagi selama

24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT scan

ulang untuk menyingkirkan hematom

2. Drainase

Tindakan ini dilakukan bil ahiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka pendek dilakukan drainase

ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang dipasang ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila

terjadi hidrosefalus

3. Terapi diuretik

o Diuretik osmotik (manitol 20%)

Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak normal melalui sawar otak yang

masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya

harus dihentikan.

Cara pemberiannya :

Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48

jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm

o Loop diuretik (Furosemid)

Frosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat pembentukan cairan cerebrospinal dan

menarik cairan interstitial pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek

sinergik dan memperpanjang efek osmotic serum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/iv

4. Terapi barbiturat (Fenobarbital)

Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang tidak responsif terhadap semua jenis terapi yang tersebut

diatas.

Page 5: tedy

Cara pemberiannya:

Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan

pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg

selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.

5. Streroid

Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi menfaatnya pada cedera

kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang tidak digunakan lagi pada kasus cedera kepala

6. Posisi Tidur

Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya ditinggikan bagian kepala sekitar 20-

30, dengan kepala dan dada pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh

vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar.

e. Keseimbangan cairan elektrolit

Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya edema serebri dengan

jumlah cairan 1500-2000 ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya dengan cairan koloid seperti

hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer

laktat, jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa oleh karena terjadi keadaan hiperglikemia

menambah edema serebri. Keseimbangan cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan

takikardia kembali normal dan volume urin normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat dimulai

makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Pada keadaan tertentu dimana terjadi gangguan

keseimbangan cairan eletrolit, pemasukan cairan harus disesuaikan, misalnya pada pemberian obat

diuretik, diabetes insipidus, syndrome of inappropriate anti diuretic hormon (SIADH). Dalam

keadaan ini perlu dipantau kadar eletrolit, gula darah, ureum, kreatinin dan osmolalitas darah.

f. Nutrisi

Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal dan akan

mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh karena meningkatnya kadar

epinefrin dan norepinefrin dalam darah danakan bertambah bila ada demam. Setekah 3-4 hari

dengan cairan perenterai pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai,

sebanyak 2000-3000 kalori/hari

g. Epilepsi/kejang

Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early epilepsi dan yang terjadi

setelah minggu pertama disebut late epilepsy. Early epilelpsi lebih sering timbul pada anak-anak dari

pada orang dewasa, kecuali jika ada fraktur impresi, hematom atau pasien dengan amnesia post

traumatik yang panjang.

Pengobatan:

o Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari

Page 6: tedy

o Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit. Bila cendrung berulang 50-100

mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <40 mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru oleh karena

tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak berhasil, ganti obat lain misalnya Fenitoin.

Cara pemberian Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50 mg/menit. Dilanjutkan

dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan

resiko kejang tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom intrakranial dan penderita dengan

amnesia post traumatik panjang

h. Komplikasi sistematik

o Infeksi: profilaksis antibiotik diberikan bila ada resiko tinggi infeksi seperti: pada fraktur tulang

terbuka, luka luar dan fraktur basis kranii

o Demam: kenaikan suhu tubuh meningkatkan metabolisme otak dan menambah kerusakan sekunder,

sehingga memperburuk prognosa. Oleh karena itu setiap kenaikan suhu harus diatasi dengan

menghilangkan penyebabnya, disamping tindakan menurunkan suhu dengan kompres

o Gastrointestinal: pada penderita sering ditemukan gastritis erosi dan lesi gastroduodenal lain, 10-

14% diantaranya akan berdarah. Keadan ini dapat dicegah dengan pemberian antasida atau

bersamaan dengan H2 reseptor bloker.

o Kelainan hematologi: kelainan bisa berupa anemia, trombosiopenia, hipo hiperagregasi trombosit,

hiperkoagilasi, DIC. Kelainan tersebut walaupun ada yang bersifat sementara perlu cepat

ditanggulangi agar tidak memperparah kondisi pasien.

Sumber :

Brunner and Suddarth.2003. Keperawatan Medical Bedah . Jakarta : EGC

Mansjur, Arif. 2007 . Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius. Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.