tebu
-
Upload
nurul-ummah -
Category
Documents
-
view
53 -
download
6
description
Transcript of tebu
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tebu merupakan tanaman yang sudah tidak asing bagi kalangan masyarakat.
karena tebu merupakan bahan dasar dari gula, gula kristal putih dan gula merah
tebu. Tebu diekstrak niranya sebagai langkah awal dalam proses pembuatan gula.
Kualitas nira mempengaruhi hasil dari gula kristal putih yang terbentuk. Zat yang
dibutuhkan untuk bahan pembuatan gula kristal putih adalah sukrosa yang
terdapat dalam nira. Nira hasil ekstraksi masih banyak mengandung zat-zat selain
sukrosa seperti kotoran, baik yang dari dalam tebu maupun dari luar tebu. Oleh
karena itu terdapat proses pemurnian untuk menghilangkan zat-zat selain sukrosa.
Proses pemurnian nira tebu terdapat beberapa metode yang berbededa,
tetapi dengan prinsip yang sama, yakni pengikatan dengan senyawa fosfat di
dalam nira tebu yang dapat menyerap dan memerangkap zat-zat selain sukrosa.
Dari metode pemurnian tersebut, meninggalkan residu di dalam gula kristal putih
yang dihasikan. Oleh karena itu terdapat standart batas maksimum kandungan
residu yang diperbolehkan di dalam gula kristal putih. Selain batas maksimum
residu, standart lain dalam gula kristal putih yakni antara lain warna kristal dan
besar jenis butir gula kristal putih. Praktikum ini dilakukan salah satunya untuk
mengetahui apakah gula kristal putih yang biasa kita konsumsi sehari-hari telah
memenuhi standart yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
1.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengaruh kondisi tebu terhadap derajat brix nira.
2. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan defekasi terhadap derajat brix
nira.
3. Untuk mengetahui warna (kecerahan) gula kristal putih.
4. Untuk menentukan besar jenis butir gula kristal putih.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tebu
Tebu (Saccharum officinarum) termasuk keluarga rumput-rumputan. Mulai
dari pangkal sampai ujung batangnya mengandung air gula dengan kadar
mencapai 20%. Air gula inilah yang kelak dibuat kristal-kristal gula atau gula
pasir. Disamping itu, tebu juga dapat menjadi bahan baku pembuatan gula merah
(Setyamidjaja dan Husaini, 1992). Sesuai dengan daerah asalnya tebu sebagai
tanaman tropis, maka tanaman tebu dapat tumbuh baik di daerah tropis, tetapi
dapat pula ditanam di daerah subtropis sampai garis isotern 20°C yaitu pada
kawasan yang berada di antara 39° Lintang Utara dan 35° Lintang Selatan.
Pertumbuhan tebu yang optimum dapat dicapai pada suhu 24°C - 30°C
(Setyamidjaja dan Husaini, 1992). Klasifikasi tanaman tebu menurut Steenis
dkk.,(2006) adalah sebagai berikut:
Kerajaan: Plantae
Divisi: Magnoliophyta
Kelas: Liliopsida
Ordo: Poales
Famili: Poaceae
Genus: Saccharum
Spesies: Saccharum officinarum L
Tanaman tebu merupakan salah satu bahan dasar pembuatan gula. Produk
olahan pabrikan dalam bentuk gula kristal atau gula putih. Komposisi nira tebu
rata-rata mengandung sukrosa (10 - 11%), air (2%), zat lain bukan gula (74 –
76%) dan sabut (14%), ini tergantung jenis tebu (Setyohadi, 2006).
Tujuan utama pengolahan tebu adalah untuk memperoleh hasil hablur yang
tinggi. Hablur adalah gula sukrosa yang dikristalkan. Dalam sistem produksi gula,
pembentukan gula terjadi didalam proses metabolisme tanaman. Proses ini terjadi
di lapangan (on farm). Pabrik gula sebenarnya hanya berfungsi sebagai alat
ekstraksi untuk mengeluarkan nira dari batang tebu dan mengolahnya menjadi
gula kristal (Purwono, 2003).
Dasar pengolahan gula tebu dalam bentuk kristal atau nama umum gula
pasir, prinsipnya memisahkan gula sukrosa dari kotoran-kotoran bukan gula dan
air yang untuk selanjutnya dilakukan pengkristalan. Pada umumnya proses
pengolahan gula secara pabrik digolongkan menjadi beberapa stasiun yang
berturut-turut sebagai berikut pertama stasiun penggilingan, kedua stasiun
pemurnian, ketiga stasiun penguapan, keempat stasiun kristalisasi, kelima stasiun
putaran dan keenam stasiun penyelesaian. Masing-masing stasiun ini mempunyai
fungsi dan tugas tersendiri, namun tetap merupakan satu kesatuan yang saling
berkaitan sehingga harus dipahami berbagai aspek operasionalnya, termasuk
pengendalian dan pengawasan prosesnya (Setyohadi, 2006).
2.2 Nira Mentah Tebu
Nira yang berasal dari stasiun penggilingan disebut nira mentah. Nira yang keuar
dari penggilingan belum siap untuk dimasukkan ke dalam proses kristalisasi,
karena masih mengandung banyak kotoran-kotoran. Kotoran tersebut sebelumnya
harus dipisahkan terlebih dahulu. Di dalam stasiun pemurnian kotoran-kotoran
tersebut akan dihilangkan, meskipun di dalam pelaksanaannya penghilangan
kotoran belum dapat sempurna khususnya terhadap kotoran yang terlarut dan
melayang baru dapat dihilangkan sekitar 10-25% dari jumlah kotoran yang ada.
Kualitas gula yang dihasilkan dan sifat intrinsik gula yang memenuhi spesifikasi
diperoleh dari pemurnian larutan serta susunan bahan bukan gula dalam larutan
tersebut (Moerdokusumo, 1993). Untuk mengukur jumlah zat padatan terlarut di
dalam nira tebu terdapat parameter tertentu, seperti derajat brix dan derajat
polarisasi. Derajat brix adalah zat padat kering terlarut dalam larutan
(gr/100grlarutan) . Derajat pol adalah jumlah gula (gr) yang terlarut dalam 100
gram larutan yang mempunyai kesamaan putaran optik dengan sukrosa murni.
Hasil perbandingan dari derajat pol dengan derajat brix disebut HK (Hasil bagi
Kemurnian) (Santoso 2011).
2.3 Pemurnian Nira
Hal yang paling utama di dalam pemurnian adalah menjaga agar jangan
sampai gula yang ada hilang atau rusak, sebab gula yang sudah rusak tidak
mungkin lagi dapat diperbaiki. Apabila ada gula yang rusak maka akan diderita
dua kerugian, yaitu:
1. Rusaknya gula berarti kehilangan langsung dari gula yang seharusnya
dijadikan kristal.
2. Rusaknya gula akan berarti menambah kotoran dalam nira yang akan
menyebabkan kesulitan proses dan jumlah molase meningkat,
selanjutnya kehilangan gula akan semakin besar (Tjokroadikoesoemo,
1984).
Cara pemurnian nira yang banyak dilakukan di Indonesia ada tiga macam,
yaitu:
1. Cara defekasi, cara ini adalah yang paling sederhana tetapi hasil
pemurniannya juga belum sempurna, terlihat dari hasil gulanya yang
masih berupa kristal yang berwarna merah atau coklat. Pada pemurnian
ini hanya dipakai kapur sebagai pembantu pemurnian.
2. Cara sulfitasi, cara ini lebih baik dari defekasi karena dapat dihasilkan
gula yang berwarna putih. Pada pemurnian cara ini dipakai kapur dan
gas hasil pembakaran belerang sebagai pembantu pemurnian.
3. Cara karbonatasi, cara ini adalah yang terbaik hasilnya dibandingkan
dengan dua cara di atas. Tetapi biayanya yang paling mahal. Pada
pemurnian ini dipakai sebagai bahan pembantu adalah kapur, gas asam
arang (CO2) dan gas hasil pembakaran belerang (Soemarno, 1991).
2.4 Gula Kristal Putih
Gula merupakan salah satu kebutuhan pokok dan paling banyak
dikonsumsi oleh masyarakat. Sebagai produk makanan tentunya harus memenuhi
standar mutu yang telah ditetapkan sehingga layak untuk dikonsumsi. Gula yang
kita konsumsi sehari-hari adalah gula kristal putih secara internasional disebut
sebagai plantation white sugar. Gula kristal putih dibuat dari tebu yang diolah
melalui berbagai tahapan proses, untuk Indonesia kebanyakan menggunakan
proses sulfitasi dalam pengolahan gula (Kuswurj, 2009).
Mutu dari gula kristal putih menurut SNI yakni sebagai berikut:
Tabel 1. Mutu Gula Kristal Putih
No. Parameter Uji Satuan Persyaratan
GKP 1 GKP 2
1.
1.1
1.2
Warna
Warna Kristal
Warna Larutan (ICUMSA)
CT
IU
4 – 7,5
81 – 200
7,6 – 10
201 – 300
2. Besar Jenis Butir mm 0,8 – 1,2 0,8 – 1,2
3. Sudut Pengeringan (b/b) % Maks 0,1 Maks 0,1
4. Polarisasi (oZ, 20
oC) “Z” Min 99,6 Min 99,5
5. Abu konduktiviti (b/b) % Maks 0,10 Maks 0,15
6.
6.1
Bahan Tambahan Pangan
Belerang dioksida (SO2)
mg/kg
Maks 30
Maks 30
7
7.1
7.2
7.3
Cemaran Logam
Timbal (Pb)
Tembaga (Cu)
Arsen (As)
mg/kg
mg/kg
mg/kg
Maks 2
Maks 2
Maks 1
Maks 2
Maks 2
Maks 1
Sumber : SNI 3140.3-2010 (2010)
BAB 3. METEODOLOGI PRAKTIKUM
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
a. Alat pemanas
b. Ayakan 16, 18, 20, 30, dan 50 mesh
c. Beaker glass
d. Buret mikro 10 ml
e. Colour reader
f. Erlenmeyer 300 ml
g. Hand refraktometer
h. Kertas pH universal
i. Neraca analitik
j. Pengaduk magnetik (magnetic stirer)
k. Penyangga buret (statif)
l. Pipet tetes
m. Pipet volume
n. Spatula
o. Termometer
3.1.2 Bahan
a. Aquadest
b. Dua macam gula kristal putih (GKP) dengan warna berbeda (Gulaku dan gula
curah)
c. Indikator amilum 0,2%
d. Kertas label
e. Larutan HCL 5%
f. Larutan iodin (I2)
g. Larutan kapur
h. Larutan Tiosulfat
i. Nira tebu dengan kulit dan tanpa kulit
j. Plastik
3.2 Skema Kerja
3.2.1 Derajat Brix Nira
3.2.2 Defekasi
3.2.3 Warna (Kecerahan) Gula Kristal Putih
Nira
Refraktometer
Amati derajat brix (3x)
Penambahan larutan kapur
hingga pH netral
250 ml
Pemanasan ± 70°C
Pemanasan 30 menit dan pengadukan
Pendinginan
Penetesan pada refraktometer
Perbandingan brix sebelum dan
sesudah defekasi
Gula kristal
Pengamatan kecerahan
Perbandingan 2 jenis GKP (Gula Kristal Putih)
3.2.4 Besar Jenis Butir Gula Kristal Putih
3.2.5 Residu Belerang Oksida (SO2)
1. Larutan Iodium
60 gram Gula
Kristal Putih
Penimbangan tiap fraksi
Pengayakan 10 menit
(ayakan 12, 18, 20, 30, 50 mesh)
6 gram KI
Pemasukan dalam labu takar 1000ml
Penambahan 0,8 gram I2
Tera hingga 1000 ml
Pendiaman 24 jam (botol gelap)
Pemipetan 40 ml I2
Pemasukan dalam erlenmeyer 300
ml
Penambahan 25 ml aquadest
Titrasi dengan Tiosulfat
hingga kuning muda
Penambahan indikator amilum 10
ml
Titrasi hingga warna biru
hilang
2. Penentuan Residu Belerang
a. Blanko
b. Contoh
Penambahan 10 ml indikator amilum
Penambahan 10 ml HCL
Titrasi dengan I2
(warna ungu muda) (v)
150 ml aquadest
50 gram contoh
Penambahan 10 ml indikator amilum
Penambahan 10 ml HCL
Titrasi dengan I2
(warna ungu muda) (t)
Penambahan 150 ml aquadest
BAB 4. HASIL PENGAMATAN DAN HASIL PERHITUNGAN
4.1 Hasil Pengamatan
4.1.1 Derajat Brix Nira dan Defekasi
Nira Ulangan Derajat Brix Derajat Brix
setelah defekasi
Nira tebu
bersama
kulitnya
1 17 10
2 16,9 10
3 17 10
Nira tebu yang
dikupas kulitnya
1 18,2 10
2 18 10
3 18,1 10
4.1.2 Warna (Kecerahan) Gula Kristal Putih
Gula Kristal Putih Shift Ulangan Nilai L
A (Putih) 1 1 54,6
2 53,0
3 55,2
B (Agak gelap) 1 1 49,6
2 49,9
3 48,5
4.1.3 Besar Jenis Butir Gula Kristal Putih
Gula Kristal
Putih Fraksi
Besar jenis
butir ulangan
1
Besar Jenis
Butir
ulangan 2
Rata-rata
Berat (gram)
A (Putih) Fraksi I (16 mesh) 2,31 5,75 4,03
Fraksi II (18 mesh) 9,37 14,57 11,97
Fraksi III (20 mesh) 0,001 0,05 0,0255
Fraksi IV (30 mesh) 23,00 23,34 23,17
Fraksi V (50 mesh) 20,58 14,47 17,525
Fraksi VI (baki) 4,47 1,63 3,05
B (Agak
gelap)
Fraksi I (16 mesh) 17,39 16,79 17,09
Fraksi II (18 mesh) 17,26 19,2 18,23
Fraksi III (20 mesh) 0,09 0,01 0,05
Fraksi IV (30 mesh) 17,24 17,17 17,205
Fraksi V (50 mesh) 7,12 6,13 6,625
Fraksi VI (baki) 0,67 0,28 0,475
4.1.4 Residu Belerang Oksida (SO2)
Gula Titran (mL) contoh Titrasi (mL) blanko
A (Putih) 1,3 0,5
B (Agak gelap) 5,4 0,5
Berat Sampel 50,01 gram
Volume larutan tiosulfat 2,5 mL
4.2 Hasil Perhitungan
4.2.1 Derajat Brix Nira dan Defekasi
Nira Ulangan Derajat Brix Rata-Rata
Derajat Brix
setelah
defekasi
Rata-Rata
Nira tebu
bersama
kulitnya
1 17
16,97
10
10 2 16,9 10
3 17 10
Nira tebu
yang
dikupas
kulitnya
1 18,2
18,1
10
10 2 18 10
3 18,1 10
4.2.2 Warna (Kecerahan) Gula Kristal Putih
Gula Kristal Putih Ulangan Nilai L Rata-Rata
A (Putih) 1 54,6
54,27 2 53,0
3 55,2
B (Agak gelap) 1 49,6
49,33 2 49,9
3 48,5
4.2.3 Besar Jenis Butir Gula
Gula
Kristal
Putih
Fraksi
Berat
(Gram)
Ulangan 1
Berat
(Gram)
Ulangan 2
Faktor
Ayakan
Besar Jenis
Butiran
Ulangan 1
Besar Jenis
Butiran
Ulangan 2
A
(Putih)
I (16 mesh) 2,31 5,75 7,10 27,46 68,26
II (18 mesh) 9,37 14,57 8,55 134,12 208,28
III (20 mesh) 0,001 0,05 10,00 0,02 0,84
IV (30 mesh) 23 23,34 14,10 542,93 550,23
V (50 mesh) 20,58 14,47 24,00 826,91 580,64
VI (Baki) 4,47 1,63 48,00 359,21 130,81
Jumlah 59,731 59,81 1890,65 1539,06
Besar Jenis Butir (mm) 0,53 0,65
B
(Agak
Gelap)
I (16 mesh) 17,39 16,79 7,1 206,5735 200,0822
II (18 mesh) 17,26 19,2 8,55 246,9015 275,5287
III (20 mesh) 0,09 0,01 10 1,505772 0,167842
IV (30 mesh) 17,24 17,17 14,1 406,699 406,3394
V (50 mesh) 7,12 6,13 24 285,8959 246,9285
VI (Baki) 0,67 0,28 48 53,80626 22,55791
Jumlah 59,77 59,58
1201,382 1151,605
Besar Jenis Butir (mm) 0,832 0,868
4.2.4 Residu Belerang Oksida
Gula Titran (ml) contoh Titrasi (ml) blanko Kadar SO2 (ppm)
A (Putih) 1,3 0,5 0,2025
B (Agak gelap) 5,4 0,5 1,2404
Berat Sampel 50,01 gram
Nilai kesetaraan Iod 0,01266 mg SO2/mL
BAB 5. PEMBAHASAN
5.1 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan
5.1.1 Derajat Brix Nira dan Defekasi
Nira dari tebu yang dikupas dan yang tanpa dikupas diambil masing-masing
sebanyak 250 ml, lalu ditaruh di dalam beker glass. Setelah itu diteteskan pada
refraktometer menggunakan pipet tetes. Pengukuran menggunakan refraktometer
tersebut untuk mengetahui derajat brix dari nira. Pengukuran tersebut dilakukan
sebanyak 3 kali pengulangan. Setelah dilakukan pengukuran derajat brix, masing-
masing dari nira tersebut dipanaskan hingga suhunya 70oC lalu ditambahkan
larutan kapur hingga pH dari nira menjadi netral. Untuk mengetahui apkah pH
nira telah netral atau belum, digunakan kertas pH universal untuk mengeceknya.
Pemanasan hingga 70oC dilakukan untuk menonaktifkan enzim yang dapat
mengurai sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Lalu penambahan larutan
dilakukan agar ion Ca (dalam kapur) dapat berikatan dengan phosphat dalam nira
sehingga membentuk garam phosphat yang dapat menyerap dan memerangkap
bahan nonsukrosa lainnya membentuk flokulan. Penambahan larutan kapur
hingga pH nira netral dilakukan karena dalam pH asam, sukrosa akan terinversi
menjadi glukosa dan fruktosa.
Nira terus dipanaskan selama 30 menit setelah pH nya netral sambil diaduk.
Pemanasan tersebut dilakukan untuk mempercepat reaksi pembentukan garam
phosphat. Suhu pemanasan dijaga agar tidak melebihi 70oC, karena pada suhu
yang terlalu tinggi sukrosa dapat rusak (mengkaramelisasi). Setelah 30 menit nira
didinginkan untuk memberi kesempatan kotoran-kotaran agar mengendap. Setelah
dingin, nira yang jernih diambil untuk diteteskan pada refraktometer untuk diukur
derajat brixnya. Sama seperti sebelumnya pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali
pengulangan.
5.1.2 Warna (Kecerahan) Gula Kristal Putih
Dua jenis sampel dari gula kristal putih disiapkan untuk diukur tingkat
kecerahannya, yakni sampel A dan sampel B. Masing-masing sampel dimasukkan
ke dalam plastik bening lalu diukur menggunakan colour reader. Nilai yang
dibaca hanya L (Lightness) karena yang dibandingkan adalah tingkat
kecerahnnya. Setiap pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan.
5.1.3 Besar Jenis Butir Gula Kristal Putih
Dua jenis sampel gula krital putih, yakni sampel A dan B, ditimbang
sebanyak 60 gram menggunakan neraca analitik. Setelah itu diayak menggunakan
mesh bertingkat dengan ukuran 16 mesh, 18 mesh, 20 mesh, 30 mesh, 50 mesh
dan baki. Pengayakan dilakukan selama 60 menit. Setelah 60 menit, gula yang
terdapat pada masing-masing fraksi ditimbang beratnya. Pengayakan dilakukan
sebanyak 2 kali pengulangan.
5.1.4 Residu Belerang Oksida (SO2) Gula Kristal Putih
Mengukur jumlah residu belerang di dalam nira, dilakukan dengan metode
titrasi dengan larutan iodium. Larutan iodium dibuat dengan menimbang 6 gram
kalium iodida (KI). Setelah itu dimasukkan ke dalam labu takar 1000 mL.
Kemudian ditambahkan 0,8 gram kristal iod dan ditera hingga volumenya 1000
mL. Lalu didiamkan selama 24 jam di dalam botol gekap agar tidak mudah
teroksidasi. Sebelum digunakan untuk titrasi, larutan iodin diukur terlebih dahulu
nilai kesetaraannya dengan SO2 dengan dititrasi dengan larutan tiosulfat. Larutan
iodium diambil sebanyak 40 ml lalu dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer.
Setelah itu ditambahkan 25 ml aquades ke dalamnya agar tidak terlalu pekat.
Kemudian ditambahkan indikator amilum sebanyak 10 ml untuk mengetahui
perubahan warna pada saat titrasi. Lalu larutan tiosulfat dimasukkan ke dalam
buret dan titrasi dimulai. Larutan iodin yang berwarna biru karena penambahan
indikator amilum, setelah warna birunya menghilang maka titrasi dihentikan, dan
dicatat jumlah volume larutan tiosulfat yang digunakan untuk titrasi. Setalah
diperoleh volume dari larutan tiosulfat, selanjutnya dihitung untuk mengetahui
nilai kesetaraan dari larutan iodin terhadap SO2.
Sebanyak 150 ml aquades dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer. Lalu
ditambahkan 10 ml indikator amium dan 10 ml HCl. Larutan tersebut digunakan
sebagai blanko. Setelah itu dititrasi mengggunakan larutan iodin sampai warna
larutan dalam erlenmeyer berubah menjadi ungu muda, lalu titrasi dihentikan.
Setelah menitrasi blanko, selanjutnya adalah menitrasi sampel. Sampel ditimbang
sebanyak 50 gram. Setelah itu dilarutkan di dalam 150 ml aquades. Kemudian
ditambahkan 10 ml HCl dan 10 ml indikator amilum. Penambahan HCl dilakukan
karena larutan iodium digunakan untuk lingkungan yang memiliki pH < 8.5,
larutan iodium tidak dapat mengiksidasi belerang oksida dengan baik, lalu
indikator ditambahkan untuk mempermudah pengamatan perubahan warna larutan
gula, sehingga dapat diketahui kapan titrasi dapat dihentikan. Setelah larutan gula
berubah warna menjadi ungu muda, maka titrasi dihentikan dan dihitung jumlah
volume HCl yang telah digunakan untuk titrasi.
5.2 Analisa Data
5.2.1 Derajat Brix Nira dan Defekasi
Nira tebu yang diukur derajat brixnya berasal dari tebu yang dikupas
kulitnya dan yang tidak dikupas kulitnya. Nira yang berasal dari tebu yang tanpa
dikupas kulitnya, dari pengulangan pertama, kedua dan ketiga diperoleh nilai
derajat brix sebesar 17, 16.9 dan 17. Sedangkan pada nira tebu yang dikupas dari
pengulangan pertama, kedua dan ketiga diperoleh derajat brix sebesar 18.2, 18
dan 18.1. Data perolehan derajat brix nira dari setiap pengulangan baik pada nira
tebu yang dikupas maupun nira tebu yang tanpa dikupas menghasilkan nilai yang
hampir sama, yakni pada nira tebu yang tanpa dikupas sebesar 17 dan nira tebu
yang dikupas sebesar 18.
Derajat brix nira tebu yang dikupas dengan yang tanpa dikupas dari hasil
pengamatan, lebih rendah daripada nira tebu yang dikupas. Menurut Santoso
(2011) derajat brix adalah zat padat kering terlarut dalam larutan
(gr/100grlarutan). Nira tebu yang dikupas memiliki nilai derajat brix sebesar 18,
yang berarti dalam 100 gram larutan nira terdapat 18 gram padatan terlarut.
Kemudian pada nira tebu yang tanpa dikupas memiliki nilai derajat brix sebesar
17, yang berarti dalam 100 gram larutan terdapat 17 gram padatan terlarut.
Padatan terlarut tersebut tidak hanya sukrosa, tetapi juga zat-zat lain. Seharusnya
derajat brix nira yang tanpa dikupas lebih tinggi daripada yang dikupas, karena
selain dari daging tebu, kotoran yang terdapat pada kulit tebu juga ikut masuk
pada nira tebu. Tetapi hasilnya justru sebaliknya. Hal tersebut dapat terjadi karena
nira tebu merupakan bahan yang mudah rusak karena kontaminasi dengan
mikroba kerusakan nira sudah dimulai sejak awal penggilingan tebu. Mikroba
yang banyak menyerang tebu adalah Leuconostoc mesenteroides yang berasal dari
tanah. Sukrosa terhidrolisis dengan adanya mikroba yang menghasilkan asam atau
enzim dalam nira. Sehingga terjadi pemecahan sukrosa menjadi glukosa dan
fruktosa. Selanjutnya glukosa dan fruktosa hasil inversi akan terfermentasi oleh
khamir Saccharomyces ellipsoides. Gula invert dapat juga terfermentasi menjadi
asam laktat oleh bakteri Bacillus lactis acidi pada suhu 45⁰C-55⁰C selama 3-6
hari. Reaksi-reaksi tersebut diatas dapat menyebabkan kadar sukrosa menurun dan
kadar asam meningkat, sehingga pH cenderung menurun. Asam yang ditimbulkan
akan menyebabkan terjadinya inversi sukrosa. Kerusakan nira ditandai dengan
rasa asam, adanya buih dan lendir. Kerusakan terjadi karna aktivitas mikroba
dalam nira. Kerusakan nira tebu (sukrosa) sangat tergantung pada pH nira dan
suhu pemurnian nira. Pada pH rendah sukrosa akan terinversi menjadi glukosa
dan fruktosa. Hidrolisis sukrosa menyebabkan derajat brix nira menjadi turun
karena kandungan sukrosa juga masuk dalam hitungan derajat brix. Oleh karena
itu derajat brix nira dari tebu yang dikupas lebih tinggi daripada yang tanpa
dikupas.
Nira tebu yang telah diukur derajat brixnya kemudian dilakukan defekasi.
Dengan defekasi, zat-zat nonsukrosa dapat dihilangkan dari nira seperti kotoran.
Setelah dilakukan defekasi baik nira tebu yang dikupas maupun yang tidak
dikupas dilakukan pengukuran derajat brix kembali. Seperti sebelumnya
pengukuran derajat brix dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan. Nira tebu yang
dikupas setelah dilakukan defekasi, dari ulangan pertama hingga ketiga, nilai
derajat brixnya sebesar 10. Kemudian untuk nira tebu yang tanpa dikupas setelah
dilakukan defekasi, derajat brixnya berubah menjadi 10 baik dari ulangan pertama
hingga ulangan ketiga. Nira tebu yang dikupas maupun tanpa dikupas setelah
dilakukan defekasi derajat brixnya sama-sama turun menjadi 10. Hal tersebut
berarti jumlah padatan terlarut dalam 100 gram larutan nira turun menjadi 10
gram. Dalam proses defekasi zat-zat nonsukrosa dihilangkan, sehingga kotoran-
kotoran dan zat lainnya menjadi hilang atau berkurang. Hal tersebutlah yang
menyebabkan derajat brixnya menjadi turun.
5.2.2 Warna (Kecerahan) Gula Kristal Putih
Gula kristal putih dari berbagi produsen memiliki warna (kecerahan) yang
berbeda. Hal tersebut terkait dengan proses selama pengolahan gula kristal putih.
Dari 2 sampel gula kristal putih setelah diukur tingkat kecerahannya yang
dilakukan sebanyak 3 kali ulangan, pada sampel A ulangan pertama tingkat
kecerahannya sebesar 54.6, pada ulangan kedua sebesar 55.2 dan pada ulangan
ketiga sebesar 55.2. Kemudian pada sampel B, dari ulangan pertama diperoleh
nilai sebesar 49.6, ulangan kedua sebesar 49.9 dan pada ulangan ketiga sebesar
48.5. Sehingga terlihat bahwa gula sampel A memiliki tingkat kecerahan yang
lebih tinggi daripada gula sampel B. Menurut SNI (2010), gula kristal putih I
memiliki tingkat kecerahan sebesar 4-7.5 CT dan gula krital putih II memiliki
tingkat kecerahan sebesar 7.6-10 CT. Hasil tersebut diperoleh dengan pengukuran
menggunakan spektrofotometer, sedangkan dari pada praktikum menggunakan
alat color reader, sehingga tidak dapat dibandingkan secara langsung.
5.2.3 Besar Jenis Butir Gula Kristal Putih
Terdapat 2 sampel yang diukur besar jenis butirnya, yakni sampel A dan
sampel B. Masing-masing sampel dilakukan 2 kali pengulangan. Pada sampel A,
dari ulangan pertama diperoleh besar jenis butir gula sebesar 0,53 mm. Lalu dari
ulangan kedua diperoleh besar jenis butir gula sebesar 0,65 mm.
Sampel B, dari ulangan pertama diperoleh besar jenis butir gula sebesar
0,832 mm, kemudian pada ulangan kedua diperoleh besar jenis butir gula sebesar
0,868 mm. Pada SNI (2010) baik gula kristal putih 1 maupun gula kristal putih 2
ukuran besar jenis butir gula berkisar antara 0,8 – 1,2 mm, sehingga sampel B
masuk dalam syarat mutu SNI, sedangkan sampel A tidak masuk dalam kriteria
gula kristal menurut SNI dalam segi ukuran besar jenis butiran, karena nilainya di
bawah 0,8.
5.2.4 Residu Belerang Oksida (SO2)
Sebagian besar pabrik gula kristal putih di Indonesia, dalam pemurnian
nira masih menggunakan metode sulfitasi, oleh karena itu gula yang dihasilkan
mengandung residu belerang oksida (SO2). Pada sampel A setelah dilakukan
titrasi, volume larutan iodin yang terpakai sebanyak 1,3 ml, sehingga dari hasil
perhitungan residu belerang oksida yang terdapat dalam sampel A sebesar 0,2025
ppm. Lalu pada sampel B, jumlah larutan iodin yang terpakai sebanyak 5,4 ml,
sehingga hasil perhitungan residu belerang oksidanya sebesar 1,2404 ppm. Dari
data tersebut dapat diketahui bahwa residu belerang oksida pada sampel A lebih
sedikit daripada sampel B, sehingga dilihat dari jumlah residu belerang oksidanya,
gula kristal putih sampel A lebih baik daripada gula kristal puith sampel B.
Meskipun demikian menurut SNI terbaru (2010) tentang gula kristal putih, batas
maksimal residu belerang oksida dalam gula kristal putih sebesar 30 mg/kg atau
30 ppm. Sehingga kedua sampel gula, baik sampel A maupun sampel B tergolong
layak dikomsumsi karena kadar residu belerang oksidanya masih jauh di bawah
ambang batas maksimal yang ditetapkan oleh SNI.
BAB 6. PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Hasil dari data yang diperoleh selama praktikum memberikan kesimpulan
bahwa:
1. Derajat brix nira yang belum didefekasi, lebih tinggi pada nira tebu yang
dikupas.
2. Proses defekasi membuat derajat brix dari nira menjadi turun, baik nira
dari tebu yang dikupas maupun yang tanpa dikupas.
3. Warna (kecerahan) gula kristal putih lebih tinggi pada sampel A
daripada sampel B, yakni dengan rata-rata 54,27.
4. Besar jenis butiran gula kristal putih lebih tinggi pada sampel B daripada
sampel A, yakni 0,832 pada ulangan pertama dan 0,868 pada ulangan
kedua.
5. Jumlah residu belerang oksida pada sampel A lebih rendah daripada
sampel B yakni, 0,2025 ppm.
6.2 Saran
Gula kristal putih sampel A, dari segi warna kristal lebih baik daripada
sampel B, karena kecerahannya lebih tinggi, begitu pula dengan jumlah residu
belerang oksida, lebih baik pada sampel A, karena jumlah residu belerang
oksidanya lebih rendah daripada sampel B. Tetapi dari segi besar jenis butir,
sampel B lebih baik daripada sampel A, karena besar jenis butir sampel B telah
sesuai dengan standart SNI, sedangkan sampel A di bawah standart SNI.
DAFTAR PUSTAKA
Kuswurj, R. 2009. Sugar Technology and Research: Kualitas Mutu Gula Kristal
Putih. Surabaya : Institut Teknologi Surabaya.
Moerdokusumo. 1993. Pengawasan Kualitas dan Teknologi Pembuatan Gula di
Indonesia. Bandung: ITB press.
Purwono. 2003. Penentuan Rendemen Gula Tebu Secara Cepat. Paper Individu
m.k. Pengantar Falsafah Sain. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Santoso, B.E. 2011. Analisis Kualitas Nira dan Bahan Alur untuk Pengawasan
Pabrikasi di Pabrik Gula. Pasuruan: Pusat Penelitian Perkebunan Gula
Indonesia (P3GI).
Setyamidjaja dan Husaini. 1992. Tebu : Bercocok Tanam dan Pascapanen.
Jakarta: Yasaguna.
Setyohadi. 2006. Agroindustri : Hasil Tanaman Perkebunan. Medan: Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Soemarno. 1991. Dasar-Dasar Teknologi Gula. Yogyakarta: LPP Yogyakarta.
Standarisasi Nasional Indonesia. 2010. SNI 3140.3-2010: Gula Kristal – Bagian
3: Putih. Jakarta: Badan Standarisasi Indonesia.
Steenis, V.C.G.G.J., G.den Hoed dan P.J Eyma .2006. Flora Pegunungan Jawa.
Bogor: Pusat Penelitian Biologi LIPI.
Tjokroadikoesoemo. 1984. Ekstraksi Nira Tebu. Surabaya: Yayasan
Pembangunan Indonesia Sekolah Tinggi Teknologi Industri.
LAMPIRAN PERHITUNGAN
1. Derajat Brix
a. Nira tebu tanpa dikupas kulitnya
b. Nira tebu dikupas kulitnya
2. Defekasi
a. Nira tanpa dikupas dikulitnya
b. Nira dikupas kulitnya
3. Warna (Kecerahan) Gula Kristal Putih
a. Sampel A
b. Sampel B
4. Besar Jenis Gula Kristal Putih
a. Sampel A
Fraksi Ulangan 1 Ulangan II
I ( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
jumlah 1890,65 1539,06
BJB 100 / 1890,65 X 10 mm = 0,53 mm 100 / 1539,06 X 10 mm = 0,65 mm
b. Sampel B
Fraksi Ulangan 1 Ulangan II
I ( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
jumlah 1201,382 1151,605
BJB 100 / 1201,382 X 10 mm = 0,832
mm
100 / 1151,605 X 10 mm = 0,868
mm
5. Residu Belerang Oksida
Nilai kesetaraan larutan iodin terhadap SO2:
2,5 X 0,2025 = 0,50625 mg 0,50625 mg / 40 ml = 0,01266
a. Sampel A
( )
b. Sampel B
( )