tebu

24
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tebu merupakan tanaman yang sudah tidak asing bagi kalangan masyarakat. karena tebu merupakan bahan dasar dari gula, gula kristal putih dan gula merah tebu. Tebu diekstrak niranya sebagai langkah awal dalam proses pembuatan gula. Kualitas nira mempengaruhi hasil dari gula kristal putih yang terbentuk. Zat yang dibutuhkan untuk bahan pembuatan gula kristal putih adalah sukrosa yang terdapat dalam nira. Nira hasil ekstraksi masih banyak mengandung zat-zat selain sukrosa seperti kotoran, baik yang dari dalam tebu maupun dari luar tebu. Oleh karena itu terdapat proses pemurnian untuk menghilangkan zat-zat selain sukrosa. Proses pemurnian nira tebu terdapat beberapa metode yang berbededa, tetapi dengan prinsip yang sama, yakni pengikatan dengan senyawa fosfat di dalam nira tebu yang dapat menyerap dan memerangkap zat-zat selain sukrosa. Dari metode pemurnian tersebut, meninggalkan residu di dalam gula kristal putih yang dihasikan. Oleh karena itu terdapat standart batas maksimum kandungan residu yang diperbolehkan di dalam gula kristal putih. Selain batas maksimum residu, standart lain dalam gula kristal putih yakni antara lain warna kristal dan besar jenis butir gula kristal putih. Praktikum ini dilakukan salah satunya untuk mengetahui apakah gula kristal putih yang biasa kita konsumsi sehari-hari telah memenuhi standart yang telah ditetapkan oleh pemerintah. 1.2 Tujuan Tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pengaruh kondisi tebu terhadap derajat brix nira. 2. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan defekasi terhadap derajat brix nira. 3. Untuk mengetahui warna (kecerahan) gula kristal putih. 4. Untuk menentukan besar jenis butir gula kristal putih.

description

tebu

Transcript of tebu

Page 1: tebu

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tebu merupakan tanaman yang sudah tidak asing bagi kalangan masyarakat.

karena tebu merupakan bahan dasar dari gula, gula kristal putih dan gula merah

tebu. Tebu diekstrak niranya sebagai langkah awal dalam proses pembuatan gula.

Kualitas nira mempengaruhi hasil dari gula kristal putih yang terbentuk. Zat yang

dibutuhkan untuk bahan pembuatan gula kristal putih adalah sukrosa yang

terdapat dalam nira. Nira hasil ekstraksi masih banyak mengandung zat-zat selain

sukrosa seperti kotoran, baik yang dari dalam tebu maupun dari luar tebu. Oleh

karena itu terdapat proses pemurnian untuk menghilangkan zat-zat selain sukrosa.

Proses pemurnian nira tebu terdapat beberapa metode yang berbededa,

tetapi dengan prinsip yang sama, yakni pengikatan dengan senyawa fosfat di

dalam nira tebu yang dapat menyerap dan memerangkap zat-zat selain sukrosa.

Dari metode pemurnian tersebut, meninggalkan residu di dalam gula kristal putih

yang dihasikan. Oleh karena itu terdapat standart batas maksimum kandungan

residu yang diperbolehkan di dalam gula kristal putih. Selain batas maksimum

residu, standart lain dalam gula kristal putih yakni antara lain warna kristal dan

besar jenis butir gula kristal putih. Praktikum ini dilakukan salah satunya untuk

mengetahui apakah gula kristal putih yang biasa kita konsumsi sehari-hari telah

memenuhi standart yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

1.2 Tujuan

Tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaruh kondisi tebu terhadap derajat brix nira.

2. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan defekasi terhadap derajat brix

nira.

3. Untuk mengetahui warna (kecerahan) gula kristal putih.

4. Untuk menentukan besar jenis butir gula kristal putih.

Page 2: tebu

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tebu

Tebu (Saccharum officinarum) termasuk keluarga rumput-rumputan. Mulai

dari pangkal sampai ujung batangnya mengandung air gula dengan kadar

mencapai 20%. Air gula inilah yang kelak dibuat kristal-kristal gula atau gula

pasir. Disamping itu, tebu juga dapat menjadi bahan baku pembuatan gula merah

(Setyamidjaja dan Husaini, 1992). Sesuai dengan daerah asalnya tebu sebagai

tanaman tropis, maka tanaman tebu dapat tumbuh baik di daerah tropis, tetapi

dapat pula ditanam di daerah subtropis sampai garis isotern 20°C yaitu pada

kawasan yang berada di antara 39° Lintang Utara dan 35° Lintang Selatan.

Pertumbuhan tebu yang optimum dapat dicapai pada suhu 24°C - 30°C

(Setyamidjaja dan Husaini, 1992). Klasifikasi tanaman tebu menurut Steenis

dkk.,(2006) adalah sebagai berikut:

Kerajaan: Plantae

Divisi: Magnoliophyta

Kelas: Liliopsida

Ordo: Poales

Famili: Poaceae

Genus: Saccharum

Spesies: Saccharum officinarum L

Tanaman tebu merupakan salah satu bahan dasar pembuatan gula. Produk

olahan pabrikan dalam bentuk gula kristal atau gula putih. Komposisi nira tebu

rata-rata mengandung sukrosa (10 - 11%), air (2%), zat lain bukan gula (74 –

76%) dan sabut (14%), ini tergantung jenis tebu (Setyohadi, 2006).

Tujuan utama pengolahan tebu adalah untuk memperoleh hasil hablur yang

tinggi. Hablur adalah gula sukrosa yang dikristalkan. Dalam sistem produksi gula,

pembentukan gula terjadi didalam proses metabolisme tanaman. Proses ini terjadi

di lapangan (on farm). Pabrik gula sebenarnya hanya berfungsi sebagai alat

ekstraksi untuk mengeluarkan nira dari batang tebu dan mengolahnya menjadi

gula kristal (Purwono, 2003).

Page 3: tebu

Dasar pengolahan gula tebu dalam bentuk kristal atau nama umum gula

pasir, prinsipnya memisahkan gula sukrosa dari kotoran-kotoran bukan gula dan

air yang untuk selanjutnya dilakukan pengkristalan. Pada umumnya proses

pengolahan gula secara pabrik digolongkan menjadi beberapa stasiun yang

berturut-turut sebagai berikut pertama stasiun penggilingan, kedua stasiun

pemurnian, ketiga stasiun penguapan, keempat stasiun kristalisasi, kelima stasiun

putaran dan keenam stasiun penyelesaian. Masing-masing stasiun ini mempunyai

fungsi dan tugas tersendiri, namun tetap merupakan satu kesatuan yang saling

berkaitan sehingga harus dipahami berbagai aspek operasionalnya, termasuk

pengendalian dan pengawasan prosesnya (Setyohadi, 2006).

2.2 Nira Mentah Tebu

Nira yang berasal dari stasiun penggilingan disebut nira mentah. Nira yang keuar

dari penggilingan belum siap untuk dimasukkan ke dalam proses kristalisasi,

karena masih mengandung banyak kotoran-kotoran. Kotoran tersebut sebelumnya

harus dipisahkan terlebih dahulu. Di dalam stasiun pemurnian kotoran-kotoran

tersebut akan dihilangkan, meskipun di dalam pelaksanaannya penghilangan

kotoran belum dapat sempurna khususnya terhadap kotoran yang terlarut dan

melayang baru dapat dihilangkan sekitar 10-25% dari jumlah kotoran yang ada.

Kualitas gula yang dihasilkan dan sifat intrinsik gula yang memenuhi spesifikasi

diperoleh dari pemurnian larutan serta susunan bahan bukan gula dalam larutan

tersebut (Moerdokusumo, 1993). Untuk mengukur jumlah zat padatan terlarut di

dalam nira tebu terdapat parameter tertentu, seperti derajat brix dan derajat

polarisasi. Derajat brix adalah zat padat kering terlarut dalam larutan

(gr/100grlarutan) . Derajat pol adalah jumlah gula (gr) yang terlarut dalam 100

gram larutan yang mempunyai kesamaan putaran optik dengan sukrosa murni.

Hasil perbandingan dari derajat pol dengan derajat brix disebut HK (Hasil bagi

Kemurnian) (Santoso 2011).

2.3 Pemurnian Nira

Hal yang paling utama di dalam pemurnian adalah menjaga agar jangan

sampai gula yang ada hilang atau rusak, sebab gula yang sudah rusak tidak

Page 4: tebu

mungkin lagi dapat diperbaiki. Apabila ada gula yang rusak maka akan diderita

dua kerugian, yaitu:

1. Rusaknya gula berarti kehilangan langsung dari gula yang seharusnya

dijadikan kristal.

2. Rusaknya gula akan berarti menambah kotoran dalam nira yang akan

menyebabkan kesulitan proses dan jumlah molase meningkat,

selanjutnya kehilangan gula akan semakin besar (Tjokroadikoesoemo,

1984).

Cara pemurnian nira yang banyak dilakukan di Indonesia ada tiga macam,

yaitu:

1. Cara defekasi, cara ini adalah yang paling sederhana tetapi hasil

pemurniannya juga belum sempurna, terlihat dari hasil gulanya yang

masih berupa kristal yang berwarna merah atau coklat. Pada pemurnian

ini hanya dipakai kapur sebagai pembantu pemurnian.

2. Cara sulfitasi, cara ini lebih baik dari defekasi karena dapat dihasilkan

gula yang berwarna putih. Pada pemurnian cara ini dipakai kapur dan

gas hasil pembakaran belerang sebagai pembantu pemurnian.

3. Cara karbonatasi, cara ini adalah yang terbaik hasilnya dibandingkan

dengan dua cara di atas. Tetapi biayanya yang paling mahal. Pada

pemurnian ini dipakai sebagai bahan pembantu adalah kapur, gas asam

arang (CO2) dan gas hasil pembakaran belerang (Soemarno, 1991).

2.4 Gula Kristal Putih

Gula merupakan salah satu kebutuhan pokok dan paling banyak

dikonsumsi oleh masyarakat. Sebagai produk makanan tentunya harus memenuhi

standar mutu yang telah ditetapkan sehingga layak untuk dikonsumsi. Gula yang

kita konsumsi sehari-hari adalah gula kristal putih secara internasional disebut

sebagai plantation white sugar. Gula kristal putih dibuat dari tebu yang diolah

melalui berbagai tahapan proses, untuk Indonesia kebanyakan menggunakan

proses sulfitasi dalam pengolahan gula (Kuswurj, 2009).

Mutu dari gula kristal putih menurut SNI yakni sebagai berikut:

Page 5: tebu

Tabel 1. Mutu Gula Kristal Putih

No. Parameter Uji Satuan Persyaratan

GKP 1 GKP 2

1.

1.1

1.2

Warna

Warna Kristal

Warna Larutan (ICUMSA)

CT

IU

4 – 7,5

81 – 200

7,6 – 10

201 – 300

2. Besar Jenis Butir mm 0,8 – 1,2 0,8 – 1,2

3. Sudut Pengeringan (b/b) % Maks 0,1 Maks 0,1

4. Polarisasi (oZ, 20

oC) “Z” Min 99,6 Min 99,5

5. Abu konduktiviti (b/b) % Maks 0,10 Maks 0,15

6.

6.1

Bahan Tambahan Pangan

Belerang dioksida (SO2)

mg/kg

Maks 30

Maks 30

7

7.1

7.2

7.3

Cemaran Logam

Timbal (Pb)

Tembaga (Cu)

Arsen (As)

mg/kg

mg/kg

mg/kg

Maks 2

Maks 2

Maks 1

Maks 2

Maks 2

Maks 1

Sumber : SNI 3140.3-2010 (2010)

Page 6: tebu

BAB 3. METEODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat

a. Alat pemanas

b. Ayakan 16, 18, 20, 30, dan 50 mesh

c. Beaker glass

d. Buret mikro 10 ml

e. Colour reader

f. Erlenmeyer 300 ml

g. Hand refraktometer

h. Kertas pH universal

i. Neraca analitik

j. Pengaduk magnetik (magnetic stirer)

k. Penyangga buret (statif)

l. Pipet tetes

m. Pipet volume

n. Spatula

o. Termometer

3.1.2 Bahan

a. Aquadest

b. Dua macam gula kristal putih (GKP) dengan warna berbeda (Gulaku dan gula

curah)

c. Indikator amilum 0,2%

d. Kertas label

e. Larutan HCL 5%

f. Larutan iodin (I2)

g. Larutan kapur

h. Larutan Tiosulfat

i. Nira tebu dengan kulit dan tanpa kulit

j. Plastik

Page 7: tebu
Page 8: tebu

3.2 Skema Kerja

3.2.1 Derajat Brix Nira

3.2.2 Defekasi

3.2.3 Warna (Kecerahan) Gula Kristal Putih

Nira

Refraktometer

Amati derajat brix (3x)

Penambahan larutan kapur

hingga pH netral

250 ml

Pemanasan ± 70°C

Pemanasan 30 menit dan pengadukan

Pendinginan

Penetesan pada refraktometer

Perbandingan brix sebelum dan

sesudah defekasi

Gula kristal

Pengamatan kecerahan

Perbandingan 2 jenis GKP (Gula Kristal Putih)

Page 9: tebu

3.2.4 Besar Jenis Butir Gula Kristal Putih

3.2.5 Residu Belerang Oksida (SO2)

1. Larutan Iodium

60 gram Gula

Kristal Putih

Penimbangan tiap fraksi

Pengayakan 10 menit

(ayakan 12, 18, 20, 30, 50 mesh)

6 gram KI

Pemasukan dalam labu takar 1000ml

Penambahan 0,8 gram I2

Tera hingga 1000 ml

Pendiaman 24 jam (botol gelap)

Pemipetan 40 ml I2

Pemasukan dalam erlenmeyer 300

ml

Penambahan 25 ml aquadest

Titrasi dengan Tiosulfat

hingga kuning muda

Penambahan indikator amilum 10

ml

Titrasi hingga warna biru

hilang

Page 10: tebu

2. Penentuan Residu Belerang

a. Blanko

b. Contoh

Penambahan 10 ml indikator amilum

Penambahan 10 ml HCL

Titrasi dengan I2

(warna ungu muda) (v)

150 ml aquadest

50 gram contoh

Penambahan 10 ml indikator amilum

Penambahan 10 ml HCL

Titrasi dengan I2

(warna ungu muda) (t)

Penambahan 150 ml aquadest

Page 11: tebu

BAB 4. HASIL PENGAMATAN DAN HASIL PERHITUNGAN

4.1 Hasil Pengamatan

4.1.1 Derajat Brix Nira dan Defekasi

Nira Ulangan Derajat Brix Derajat Brix

setelah defekasi

Nira tebu

bersama

kulitnya

1 17 10

2 16,9 10

3 17 10

Nira tebu yang

dikupas kulitnya

1 18,2 10

2 18 10

3 18,1 10

4.1.2 Warna (Kecerahan) Gula Kristal Putih

Gula Kristal Putih Shift Ulangan Nilai L

A (Putih) 1 1 54,6

2 53,0

3 55,2

B (Agak gelap) 1 1 49,6

2 49,9

3 48,5

4.1.3 Besar Jenis Butir Gula Kristal Putih

Gula Kristal

Putih Fraksi

Besar jenis

butir ulangan

1

Besar Jenis

Butir

ulangan 2

Rata-rata

Berat (gram)

A (Putih) Fraksi I (16 mesh) 2,31 5,75 4,03

Fraksi II (18 mesh) 9,37 14,57 11,97

Fraksi III (20 mesh) 0,001 0,05 0,0255

Fraksi IV (30 mesh) 23,00 23,34 23,17

Fraksi V (50 mesh) 20,58 14,47 17,525

Fraksi VI (baki) 4,47 1,63 3,05

B (Agak

gelap)

Fraksi I (16 mesh) 17,39 16,79 17,09

Fraksi II (18 mesh) 17,26 19,2 18,23

Fraksi III (20 mesh) 0,09 0,01 0,05

Fraksi IV (30 mesh) 17,24 17,17 17,205

Fraksi V (50 mesh) 7,12 6,13 6,625

Fraksi VI (baki) 0,67 0,28 0,475

Page 12: tebu

4.1.4 Residu Belerang Oksida (SO2)

Gula Titran (mL) contoh Titrasi (mL) blanko

A (Putih) 1,3 0,5

B (Agak gelap) 5,4 0,5

Berat Sampel 50,01 gram

Volume larutan tiosulfat 2,5 mL

4.2 Hasil Perhitungan

4.2.1 Derajat Brix Nira dan Defekasi

Nira Ulangan Derajat Brix Rata-Rata

Derajat Brix

setelah

defekasi

Rata-Rata

Nira tebu

bersama

kulitnya

1 17

16,97

10

10 2 16,9 10

3 17 10

Nira tebu

yang

dikupas

kulitnya

1 18,2

18,1

10

10 2 18 10

3 18,1 10

4.2.2 Warna (Kecerahan) Gula Kristal Putih

Gula Kristal Putih Ulangan Nilai L Rata-Rata

A (Putih) 1 54,6

54,27 2 53,0

3 55,2

B (Agak gelap) 1 49,6

49,33 2 49,9

3 48,5

4.2.3 Besar Jenis Butir Gula

Gula

Kristal

Putih

Fraksi

Berat

(Gram)

Ulangan 1

Berat

(Gram)

Ulangan 2

Faktor

Ayakan

Besar Jenis

Butiran

Ulangan 1

Besar Jenis

Butiran

Ulangan 2

A

(Putih)

I (16 mesh) 2,31 5,75 7,10 27,46 68,26

II (18 mesh) 9,37 14,57 8,55 134,12 208,28

III (20 mesh) 0,001 0,05 10,00 0,02 0,84

Page 13: tebu

IV (30 mesh) 23 23,34 14,10 542,93 550,23

V (50 mesh) 20,58 14,47 24,00 826,91 580,64

VI (Baki) 4,47 1,63 48,00 359,21 130,81

Jumlah 59,731 59,81 1890,65 1539,06

Besar Jenis Butir (mm) 0,53 0,65

B

(Agak

Gelap)

I (16 mesh) 17,39 16,79 7,1 206,5735 200,0822

II (18 mesh) 17,26 19,2 8,55 246,9015 275,5287

III (20 mesh) 0,09 0,01 10 1,505772 0,167842

IV (30 mesh) 17,24 17,17 14,1 406,699 406,3394

V (50 mesh) 7,12 6,13 24 285,8959 246,9285

VI (Baki) 0,67 0,28 48 53,80626 22,55791

Jumlah 59,77 59,58

1201,382 1151,605

Besar Jenis Butir (mm) 0,832 0,868

4.2.4 Residu Belerang Oksida

Gula Titran (ml) contoh Titrasi (ml) blanko Kadar SO2 (ppm)

A (Putih) 1,3 0,5 0,2025

B (Agak gelap) 5,4 0,5 1,2404

Berat Sampel 50,01 gram

Nilai kesetaraan Iod 0,01266 mg SO2/mL

Page 14: tebu

BAB 5. PEMBAHASAN

5.1 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan

5.1.1 Derajat Brix Nira dan Defekasi

Nira dari tebu yang dikupas dan yang tanpa dikupas diambil masing-masing

sebanyak 250 ml, lalu ditaruh di dalam beker glass. Setelah itu diteteskan pada

refraktometer menggunakan pipet tetes. Pengukuran menggunakan refraktometer

tersebut untuk mengetahui derajat brix dari nira. Pengukuran tersebut dilakukan

sebanyak 3 kali pengulangan. Setelah dilakukan pengukuran derajat brix, masing-

masing dari nira tersebut dipanaskan hingga suhunya 70oC lalu ditambahkan

larutan kapur hingga pH dari nira menjadi netral. Untuk mengetahui apkah pH

nira telah netral atau belum, digunakan kertas pH universal untuk mengeceknya.

Pemanasan hingga 70oC dilakukan untuk menonaktifkan enzim yang dapat

mengurai sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Lalu penambahan larutan

dilakukan agar ion Ca (dalam kapur) dapat berikatan dengan phosphat dalam nira

sehingga membentuk garam phosphat yang dapat menyerap dan memerangkap

bahan nonsukrosa lainnya membentuk flokulan. Penambahan larutan kapur

hingga pH nira netral dilakukan karena dalam pH asam, sukrosa akan terinversi

menjadi glukosa dan fruktosa.

Nira terus dipanaskan selama 30 menit setelah pH nya netral sambil diaduk.

Pemanasan tersebut dilakukan untuk mempercepat reaksi pembentukan garam

phosphat. Suhu pemanasan dijaga agar tidak melebihi 70oC, karena pada suhu

yang terlalu tinggi sukrosa dapat rusak (mengkaramelisasi). Setelah 30 menit nira

didinginkan untuk memberi kesempatan kotoran-kotaran agar mengendap. Setelah

dingin, nira yang jernih diambil untuk diteteskan pada refraktometer untuk diukur

derajat brixnya. Sama seperti sebelumnya pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali

pengulangan.

5.1.2 Warna (Kecerahan) Gula Kristal Putih

Dua jenis sampel dari gula kristal putih disiapkan untuk diukur tingkat

kecerahannya, yakni sampel A dan sampel B. Masing-masing sampel dimasukkan

ke dalam plastik bening lalu diukur menggunakan colour reader. Nilai yang

Page 15: tebu

dibaca hanya L (Lightness) karena yang dibandingkan adalah tingkat

kecerahnnya. Setiap pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan.

5.1.3 Besar Jenis Butir Gula Kristal Putih

Dua jenis sampel gula krital putih, yakni sampel A dan B, ditimbang

sebanyak 60 gram menggunakan neraca analitik. Setelah itu diayak menggunakan

mesh bertingkat dengan ukuran 16 mesh, 18 mesh, 20 mesh, 30 mesh, 50 mesh

dan baki. Pengayakan dilakukan selama 60 menit. Setelah 60 menit, gula yang

terdapat pada masing-masing fraksi ditimbang beratnya. Pengayakan dilakukan

sebanyak 2 kali pengulangan.

5.1.4 Residu Belerang Oksida (SO2) Gula Kristal Putih

Mengukur jumlah residu belerang di dalam nira, dilakukan dengan metode

titrasi dengan larutan iodium. Larutan iodium dibuat dengan menimbang 6 gram

kalium iodida (KI). Setelah itu dimasukkan ke dalam labu takar 1000 mL.

Kemudian ditambahkan 0,8 gram kristal iod dan ditera hingga volumenya 1000

mL. Lalu didiamkan selama 24 jam di dalam botol gekap agar tidak mudah

teroksidasi. Sebelum digunakan untuk titrasi, larutan iodin diukur terlebih dahulu

nilai kesetaraannya dengan SO2 dengan dititrasi dengan larutan tiosulfat. Larutan

iodium diambil sebanyak 40 ml lalu dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer.

Setelah itu ditambahkan 25 ml aquades ke dalamnya agar tidak terlalu pekat.

Kemudian ditambahkan indikator amilum sebanyak 10 ml untuk mengetahui

perubahan warna pada saat titrasi. Lalu larutan tiosulfat dimasukkan ke dalam

buret dan titrasi dimulai. Larutan iodin yang berwarna biru karena penambahan

indikator amilum, setelah warna birunya menghilang maka titrasi dihentikan, dan

dicatat jumlah volume larutan tiosulfat yang digunakan untuk titrasi. Setalah

diperoleh volume dari larutan tiosulfat, selanjutnya dihitung untuk mengetahui

nilai kesetaraan dari larutan iodin terhadap SO2.

Sebanyak 150 ml aquades dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer. Lalu

ditambahkan 10 ml indikator amium dan 10 ml HCl. Larutan tersebut digunakan

sebagai blanko. Setelah itu dititrasi mengggunakan larutan iodin sampai warna

larutan dalam erlenmeyer berubah menjadi ungu muda, lalu titrasi dihentikan.

Setelah menitrasi blanko, selanjutnya adalah menitrasi sampel. Sampel ditimbang

Page 16: tebu

sebanyak 50 gram. Setelah itu dilarutkan di dalam 150 ml aquades. Kemudian

ditambahkan 10 ml HCl dan 10 ml indikator amilum. Penambahan HCl dilakukan

karena larutan iodium digunakan untuk lingkungan yang memiliki pH < 8.5,

larutan iodium tidak dapat mengiksidasi belerang oksida dengan baik, lalu

indikator ditambahkan untuk mempermudah pengamatan perubahan warna larutan

gula, sehingga dapat diketahui kapan titrasi dapat dihentikan. Setelah larutan gula

berubah warna menjadi ungu muda, maka titrasi dihentikan dan dihitung jumlah

volume HCl yang telah digunakan untuk titrasi.

5.2 Analisa Data

5.2.1 Derajat Brix Nira dan Defekasi

Nira tebu yang diukur derajat brixnya berasal dari tebu yang dikupas

kulitnya dan yang tidak dikupas kulitnya. Nira yang berasal dari tebu yang tanpa

dikupas kulitnya, dari pengulangan pertama, kedua dan ketiga diperoleh nilai

derajat brix sebesar 17, 16.9 dan 17. Sedangkan pada nira tebu yang dikupas dari

pengulangan pertama, kedua dan ketiga diperoleh derajat brix sebesar 18.2, 18

dan 18.1. Data perolehan derajat brix nira dari setiap pengulangan baik pada nira

tebu yang dikupas maupun nira tebu yang tanpa dikupas menghasilkan nilai yang

hampir sama, yakni pada nira tebu yang tanpa dikupas sebesar 17 dan nira tebu

yang dikupas sebesar 18.

Derajat brix nira tebu yang dikupas dengan yang tanpa dikupas dari hasil

pengamatan, lebih rendah daripada nira tebu yang dikupas. Menurut Santoso

(2011) derajat brix adalah zat padat kering terlarut dalam larutan

(gr/100grlarutan). Nira tebu yang dikupas memiliki nilai derajat brix sebesar 18,

yang berarti dalam 100 gram larutan nira terdapat 18 gram padatan terlarut.

Kemudian pada nira tebu yang tanpa dikupas memiliki nilai derajat brix sebesar

17, yang berarti dalam 100 gram larutan terdapat 17 gram padatan terlarut.

Padatan terlarut tersebut tidak hanya sukrosa, tetapi juga zat-zat lain. Seharusnya

derajat brix nira yang tanpa dikupas lebih tinggi daripada yang dikupas, karena

selain dari daging tebu, kotoran yang terdapat pada kulit tebu juga ikut masuk

pada nira tebu. Tetapi hasilnya justru sebaliknya. Hal tersebut dapat terjadi karena

nira tebu merupakan bahan yang mudah rusak karena kontaminasi dengan

Page 17: tebu

mikroba kerusakan nira sudah dimulai sejak awal penggilingan tebu. Mikroba

yang banyak menyerang tebu adalah Leuconostoc mesenteroides yang berasal dari

tanah. Sukrosa terhidrolisis dengan adanya mikroba yang menghasilkan asam atau

enzim dalam nira. Sehingga terjadi pemecahan sukrosa menjadi glukosa dan

fruktosa. Selanjutnya glukosa dan fruktosa hasil inversi akan terfermentasi oleh

khamir Saccharomyces ellipsoides. Gula invert dapat juga terfermentasi menjadi

asam laktat oleh bakteri Bacillus lactis acidi pada suhu 45⁰C-55⁰C selama 3-6

hari. Reaksi-reaksi tersebut diatas dapat menyebabkan kadar sukrosa menurun dan

kadar asam meningkat, sehingga pH cenderung menurun. Asam yang ditimbulkan

akan menyebabkan terjadinya inversi sukrosa. Kerusakan nira ditandai dengan

rasa asam, adanya buih dan lendir. Kerusakan terjadi karna aktivitas mikroba

dalam nira. Kerusakan nira tebu (sukrosa) sangat tergantung pada pH nira dan

suhu pemurnian nira. Pada pH rendah sukrosa akan terinversi menjadi glukosa

dan fruktosa. Hidrolisis sukrosa menyebabkan derajat brix nira menjadi turun

karena kandungan sukrosa juga masuk dalam hitungan derajat brix. Oleh karena

itu derajat brix nira dari tebu yang dikupas lebih tinggi daripada yang tanpa

dikupas.

Nira tebu yang telah diukur derajat brixnya kemudian dilakukan defekasi.

Dengan defekasi, zat-zat nonsukrosa dapat dihilangkan dari nira seperti kotoran.

Setelah dilakukan defekasi baik nira tebu yang dikupas maupun yang tidak

dikupas dilakukan pengukuran derajat brix kembali. Seperti sebelumnya

pengukuran derajat brix dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan. Nira tebu yang

dikupas setelah dilakukan defekasi, dari ulangan pertama hingga ketiga, nilai

derajat brixnya sebesar 10. Kemudian untuk nira tebu yang tanpa dikupas setelah

dilakukan defekasi, derajat brixnya berubah menjadi 10 baik dari ulangan pertama

hingga ulangan ketiga. Nira tebu yang dikupas maupun tanpa dikupas setelah

dilakukan defekasi derajat brixnya sama-sama turun menjadi 10. Hal tersebut

berarti jumlah padatan terlarut dalam 100 gram larutan nira turun menjadi 10

gram. Dalam proses defekasi zat-zat nonsukrosa dihilangkan, sehingga kotoran-

kotoran dan zat lainnya menjadi hilang atau berkurang. Hal tersebutlah yang

menyebabkan derajat brixnya menjadi turun.

Page 18: tebu

5.2.2 Warna (Kecerahan) Gula Kristal Putih

Gula kristal putih dari berbagi produsen memiliki warna (kecerahan) yang

berbeda. Hal tersebut terkait dengan proses selama pengolahan gula kristal putih.

Dari 2 sampel gula kristal putih setelah diukur tingkat kecerahannya yang

dilakukan sebanyak 3 kali ulangan, pada sampel A ulangan pertama tingkat

kecerahannya sebesar 54.6, pada ulangan kedua sebesar 55.2 dan pada ulangan

ketiga sebesar 55.2. Kemudian pada sampel B, dari ulangan pertama diperoleh

nilai sebesar 49.6, ulangan kedua sebesar 49.9 dan pada ulangan ketiga sebesar

48.5. Sehingga terlihat bahwa gula sampel A memiliki tingkat kecerahan yang

lebih tinggi daripada gula sampel B. Menurut SNI (2010), gula kristal putih I

memiliki tingkat kecerahan sebesar 4-7.5 CT dan gula krital putih II memiliki

tingkat kecerahan sebesar 7.6-10 CT. Hasil tersebut diperoleh dengan pengukuran

menggunakan spektrofotometer, sedangkan dari pada praktikum menggunakan

alat color reader, sehingga tidak dapat dibandingkan secara langsung.

5.2.3 Besar Jenis Butir Gula Kristal Putih

Terdapat 2 sampel yang diukur besar jenis butirnya, yakni sampel A dan

sampel B. Masing-masing sampel dilakukan 2 kali pengulangan. Pada sampel A,

dari ulangan pertama diperoleh besar jenis butir gula sebesar 0,53 mm. Lalu dari

ulangan kedua diperoleh besar jenis butir gula sebesar 0,65 mm.

Sampel B, dari ulangan pertama diperoleh besar jenis butir gula sebesar

0,832 mm, kemudian pada ulangan kedua diperoleh besar jenis butir gula sebesar

0,868 mm. Pada SNI (2010) baik gula kristal putih 1 maupun gula kristal putih 2

ukuran besar jenis butir gula berkisar antara 0,8 – 1,2 mm, sehingga sampel B

masuk dalam syarat mutu SNI, sedangkan sampel A tidak masuk dalam kriteria

gula kristal menurut SNI dalam segi ukuran besar jenis butiran, karena nilainya di

bawah 0,8.

5.2.4 Residu Belerang Oksida (SO2)

Sebagian besar pabrik gula kristal putih di Indonesia, dalam pemurnian

nira masih menggunakan metode sulfitasi, oleh karena itu gula yang dihasilkan

mengandung residu belerang oksida (SO2). Pada sampel A setelah dilakukan

titrasi, volume larutan iodin yang terpakai sebanyak 1,3 ml, sehingga dari hasil

Page 19: tebu

perhitungan residu belerang oksida yang terdapat dalam sampel A sebesar 0,2025

ppm. Lalu pada sampel B, jumlah larutan iodin yang terpakai sebanyak 5,4 ml,

sehingga hasil perhitungan residu belerang oksidanya sebesar 1,2404 ppm. Dari

data tersebut dapat diketahui bahwa residu belerang oksida pada sampel A lebih

sedikit daripada sampel B, sehingga dilihat dari jumlah residu belerang oksidanya,

gula kristal putih sampel A lebih baik daripada gula kristal puith sampel B.

Meskipun demikian menurut SNI terbaru (2010) tentang gula kristal putih, batas

maksimal residu belerang oksida dalam gula kristal putih sebesar 30 mg/kg atau

30 ppm. Sehingga kedua sampel gula, baik sampel A maupun sampel B tergolong

layak dikomsumsi karena kadar residu belerang oksidanya masih jauh di bawah

ambang batas maksimal yang ditetapkan oleh SNI.

Page 20: tebu

BAB 6. PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Hasil dari data yang diperoleh selama praktikum memberikan kesimpulan

bahwa:

1. Derajat brix nira yang belum didefekasi, lebih tinggi pada nira tebu yang

dikupas.

2. Proses defekasi membuat derajat brix dari nira menjadi turun, baik nira

dari tebu yang dikupas maupun yang tanpa dikupas.

3. Warna (kecerahan) gula kristal putih lebih tinggi pada sampel A

daripada sampel B, yakni dengan rata-rata 54,27.

4. Besar jenis butiran gula kristal putih lebih tinggi pada sampel B daripada

sampel A, yakni 0,832 pada ulangan pertama dan 0,868 pada ulangan

kedua.

5. Jumlah residu belerang oksida pada sampel A lebih rendah daripada

sampel B yakni, 0,2025 ppm.

6.2 Saran

Gula kristal putih sampel A, dari segi warna kristal lebih baik daripada

sampel B, karena kecerahannya lebih tinggi, begitu pula dengan jumlah residu

belerang oksida, lebih baik pada sampel A, karena jumlah residu belerang

oksidanya lebih rendah daripada sampel B. Tetapi dari segi besar jenis butir,

sampel B lebih baik daripada sampel A, karena besar jenis butir sampel B telah

sesuai dengan standart SNI, sedangkan sampel A di bawah standart SNI.

Page 21: tebu

DAFTAR PUSTAKA

Kuswurj, R. 2009. Sugar Technology and Research: Kualitas Mutu Gula Kristal

Putih. Surabaya : Institut Teknologi Surabaya.

Moerdokusumo. 1993. Pengawasan Kualitas dan Teknologi Pembuatan Gula di

Indonesia. Bandung: ITB press.

Purwono. 2003. Penentuan Rendemen Gula Tebu Secara Cepat. Paper Individu

m.k. Pengantar Falsafah Sain. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Santoso, B.E. 2011. Analisis Kualitas Nira dan Bahan Alur untuk Pengawasan

Pabrikasi di Pabrik Gula. Pasuruan: Pusat Penelitian Perkebunan Gula

Indonesia (P3GI).

Setyamidjaja dan Husaini. 1992. Tebu : Bercocok Tanam dan Pascapanen.

Jakarta: Yasaguna.

Setyohadi. 2006. Agroindustri : Hasil Tanaman Perkebunan. Medan: Fakultas

Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Soemarno. 1991. Dasar-Dasar Teknologi Gula. Yogyakarta: LPP Yogyakarta.

Standarisasi Nasional Indonesia. 2010. SNI 3140.3-2010: Gula Kristal – Bagian

3: Putih. Jakarta: Badan Standarisasi Indonesia.

Steenis, V.C.G.G.J., G.den Hoed dan P.J Eyma .2006. Flora Pegunungan Jawa.

Bogor: Pusat Penelitian Biologi LIPI.

Tjokroadikoesoemo. 1984. Ekstraksi Nira Tebu. Surabaya: Yayasan

Pembangunan Indonesia Sekolah Tinggi Teknologi Industri.

Page 22: tebu

LAMPIRAN PERHITUNGAN

1. Derajat Brix

a. Nira tebu tanpa dikupas kulitnya

b. Nira tebu dikupas kulitnya

2. Defekasi

a. Nira tanpa dikupas dikulitnya

b. Nira dikupas kulitnya

3. Warna (Kecerahan) Gula Kristal Putih

a. Sampel A

b. Sampel B

4. Besar Jenis Gula Kristal Putih

a. Sampel A

Fraksi Ulangan 1 Ulangan II

I ( )

( )

( )

( )

( )

( )

( )

( )

Page 23: tebu

( )

( )

( )

( )

jumlah 1890,65 1539,06

BJB 100 / 1890,65 X 10 mm = 0,53 mm 100 / 1539,06 X 10 mm = 0,65 mm

b. Sampel B

Fraksi Ulangan 1 Ulangan II

I ( )

( )

( )

( )

( )

( )

( )

( )

( )

( )

( )

( )

jumlah 1201,382 1151,605

BJB 100 / 1201,382 X 10 mm = 0,832

mm

100 / 1151,605 X 10 mm = 0,868

mm

5. Residu Belerang Oksida

Nilai kesetaraan larutan iodin terhadap SO2:

2,5 X 0,2025 = 0,50625 mg 0,50625 mg / 40 ml = 0,01266

a. Sampel A

( )

Page 24: tebu

b. Sampel B

( )