Tataran linguistik semantik
-
Upload
alfian-akatsuki -
Category
Documents
-
view
8.257 -
download
4
Transcript of Tataran linguistik semantik
7 TATARAN LINGUISTIK (4) : SEMANTIK
Semantik dengan objeknya, yakni makna berada di seluruh atau di semua
tataran bangun membangun ini. Makna berada di dalam tataran fonologi,
morfologi dan sintaksis.
Oleh karena itu, penanaman tataran untuk semantik agar kurang tepat sebab
dia bukan satu tataran dalam arti unsur pembangun satuan lain yang lebih besar,
melainkan merupakan unsur yang berada pada semua tataran itu, meskipun sifat
kehadirannya itu tidak sama.
Subsistem gramatik, fonologi dan morfofemik bersifat sentral. Subsistem
semantik dan fonetik bersifat periperal. Subsistem semantik bersifat periferal
karena makna yang menjadi objek semantik adalah sangat tidak jelas, tidak dapat
diamati secara empiris. Tetapi sejak Chomsky, Bapak linguistik transformasi
menyatakan betapa pentingnya semantik dalam studi linguistik, semantik tidak
lagi periferal melainkan menjadi objek yang setaraf dengan bidang-bidang studi
linguistik lainnya.
7.1. Hakikat Makna
Menurut Ferdinand de Saussure setiap tanda linguistik atau tanda
bahasa terdiri dari dua komponen yaitu signifian “yang mengartikan” dan
signifie “yang diartikan”
Jadi makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada
tanda linguistik. Tanda linguistik bisa berupa kata atau leksem maupun
morfem.
Banyak pakar juga menyebutkan bahwa makna sebuah kata dapat
ditentukan apabila kata itu sudah berada dalam konteks kalimatnya,
wacananya dan situasinya. Karena bahasa itu bersifat arbitrer (tidak adanya
hubungan wajib antara lambang bahasa dengan pengertian yang dimaksud
oleh lambang tersebut kuda kenapa tidak daku. Maka hubungan makna
dan kata juga bersifat arbitrer.
7.2. Jenis Makna
7.2.1. Makna Leksikal, Gramatikal, dan Kontekstual
Makna leksikal adalah makna sebenarnya makna yang sesuai dengan
hasil observasi kita, maka apa adanya atau makna yang ada dalam
kamus.
Makna gramatikal baru ada kalau terjadi proses gramatikal seperti
afikasi, reduplikasi, komposisi atau kalimatisasi. Umpamanya dalam
proses gramatikal seperti afikasi, reduplikasi, komposisi atau
kalimatisasi. Umpamanya dalam proses afikasi prefiks ber- dengan
dasar baju melahirkan makna gramatikal “memakai baju”.
Makna kontekstual adalah makna sebuak leksem atau kata yang
berada di dalam satu konteks.
Contoh: Rambut di kepala nenek belum ada yang putih
Sebagai kepala sekolah dia sudah berwibawa
Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya yakni
tempat, waktu dan lingkungan penggunaan bahasa itu.
7.2.2. Makna Referensial dan Non-referensial
Sebuah kata disebut bermakna referensial kalau ada referensi-nya
atau acuannya. Misal kuda, gambar, merah. Kata-kata yang tidak
mempunyai referens, misal dan, atau, karena adalah kata-kata yang
tidak bermakna referensial.
Berkenaan dengan acuan, kata-kata deiktik adalah kata yang
acuannya tidak menetap pada satu maujud. Yang termasuk kata-kata
deiktik ini adalah kata-kata yang termasuk pronomina, seperti dia,
saya, dan kamu; kata-kata yang menyatakan ruang, seperti di sini dan
di situ.
7.2.3. Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Makna denotatif adalah makna asli, atau makna sebenarnya yang
dimiliki oleh sebuah leksem.
Makna konotatif adalah makna lain yang “ditambahkan” pada makna
denotatif tadi yang berhubungan nilai rasa dari orang atau kelompok
orang yang menggunakan kata tersebut.
Konetasi sebuah kata bisa berbeda antara seseorang dengan orang
lain, daerah satu dengan yang lain.
7.2.4. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem
terlepas dari konteks atau asosiasi apa pun.
Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata atau leksem
berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang
berada di luar bahasa. Misal, kata melati berasosiasi dengan sesuatu
yang suci.
7.2.5. Makna Kata dan Makna Istilah
Dalam penggunaannya makna kata baru menjadi jelas kalau kata itu
sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya.
Berbeda dengan kata, maka yang disebut istilah mempunyai makna
yang pasti yang jelas, yang tidak meragukan, meskipun tanpa
konteks kalimat.
7.2.6. Makna Idiom dan Peribahasa
Idiom adalah satu ujaran yang maknanya tidak dapat “diramalkan”
dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun gramatikal.
Contoh: membanting tulang dengan makna bekerja keras.
Ada dua macam idion, yaitu idion penuh dan idiom sebagian.
Idiom penuh adalah idiom yang unsur-unsurnya sudah melebur
menjadi satu kesatuan.
Misal: membanting tulang, meja hijau.
Idiom sebagian adalah idiom yang salah satu unsurnya masih
memiliki makna leksikal sendiri.
Misal: daftar hitam, buku putih.
Peribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak
dari makna unsur-unsurnya karena adanya “asosiasi” antara makna
asli dengan maknanya sebagai peribahasa.
7.3. Relasi Makna
Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan
bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya.
Dalam pembicaraan tentang relasi makna biasanya dibicarakan
masalah-masalah yang disebut sinonim, antonim, polisemi, hiponimim
ambiquiti dan redundansi.
7.3.1. Sinonim
Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya
kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran
lainnya.
Dua buah ujaran yang bersinonim maknanya tidak akan persis sama.
Itu terjadi karena beberapa faktor, antara lain:
- Faktor waktu, misal hulubalang dengan komandan
- Faktor tempat, misal saya dengan beta
- Faktor keformalan, misal uang dengan duit
- Faktor sosial, misal saya dengan aku
- Faktor bidang kegiatan, misal matahari dengan surya
- Faktor nuansa makna, misal melihat, melirik, menonton, meninjau,
dan mengintip.
7.3.2. Antonim
Antonim adalah hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran
yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan, atau kontras
antara yang satu dengan yang lain.
Dilihat dari sifat hubungannya, maka antonimi itu dapat dibedakan
beberapa jenis, antara lain:
1. Antonimi yang bersifat mutlak. Misalnya hidup dengan mati
2. Antonimi yang bersifat relatif atau bergradasi. Misal besar dengan
kecil
3. Antonimi yang bersifat relasional. Misal, suami dengan istri.
4. Antonimi yang bersifat hierarkial. Misal, gram dengan kilogram.
Ada satuan ujaran yang memiliki pasangan antonim lebih dari satu
disebut antonimi majemuk.
7.3.3. Polisemi
Sebuah kata atau ujaran disebut polisemi kalau kata itu mempunyai
makna lebih dari satu. Dalam kasus polisemi, biasanya makna
pertama adalah makna sebenarnya, yang lain adalah makna yang
dikembangkan.
7.3.4. Homonimi
Homonimi adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya
“kebetulan” sama; maknanya tentu saja berbeda.
Misal, bisa “racun” dengan bisa “sanggup”
Pada homonimi adalah adanya kesamaan bunyi (fon) antara dua
satuan ujaran tanpa memperhatikan ejaannya.
Misal, bisa “racun” dengan bisa “sanggup”
Bang “abang” dengan bank “lembaga keuangan”
Istilah homografi mengacu pada bentuk ujaran yang sama ortografi-
nya atau ejaannya, tetapi ucapan dan maknanya tidak sama.
Contoh kata teras /taras/ yang maknanya bagian serambi rumah.
Untuk membedakan homonimi atau polisemi adalah maknanya. Jika
polisemi maknanya ada hubungannya satu sama lain. Homonimi
maknanya tidak ada hubungan sama sekali.
7.3.5. Hiponimi
Hiponimi adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran
yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain.
Misal kata merpati dengan kata burung. Maka kata merpati tercakup
dalam makna kata burung. Makna kata merpati berhiponim dengan
burung berhipernim dengan merpati.
7.3.6. Ambiquiti atau Ketaksaan
Ambiquisi adalah gejala dapat terjadinya kegandaan makna akibat
tafsiran gramatikal yang berbeda.
7.3.7 Redundansi
Redundansi biasanya diartikan berlebih-lebihannya penggunaan
unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran. Misal, bola itu ditendang
oleh Dika. Kata oleh inilah yang dianggap redundans karena bisa
dibuat kalimat bola ditendang Dika.
7.4. Perubahan Makna
Secara sinkronis atau masa yang relatif singkat makna sebuah kata
tidak akan berubah, tetapi secara diakronis atau masa yang relatif lama ada
kemungkinan dapat berubah yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor
antara lain:
1. Perkembangan dalam bidang ilmu dan teknologi
2. Perkembangan sosial budaya
3. Perkembangan pemakaian kata
4. Pertukaran tanggapan indra
5. Adanya asosiasi
Dalam pembicaraan mengenai perubahan makna ini biasanya
dibicarakan juga usaha untuk “menghaluskan” atau “mengkasarkan”
ungkapan.
Ungkapan untuk menghaluskan disebut eutemia. Dan usaha untuk
mengkasarkan disfemia.
7.5. Medan Makna dan Komponen Makna
Kata-kata yang berada dalam satu kelompok lazim, dimana kata-kata
yang berada dalam satu medan makna.
Sedangkan usaha untuk menganalisis kata atau leksem atas unsur-unsur
makna yang dimilikinya disebut analisis komponen makna.
7.5.1. Medan Makna
Medan makna adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya
saling berhubungan karena menggambarkan bagian dari bidang
kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu.
Kata-kata yang mengelompok dalam satu medan makna, berdasarkan
sifat hubungan semantisnya dapat dibedakan atas kelompok medan
kolokasi dan medan set.
7.5.2. Komponen Makna
Komponen makna ini dapat dianalisis, dibutiri, atau disebutkan satu
per satu berdasarkan “pengertian-pengertian” yang dimilikinya.
Umpama kata ayah mempunyai komponen maka /+manusia/,
/+dewasa/, /+jantan/, /+kawin/, /+punya anak/.
Analisis komponen makna ini dapat dimanfaatkan untuk mencari
perbedaan dari bentuk-bentuk yang bersinonim.
Misal:
Komponen Makna Ayah Bapak
1. Manusia
2. Dewasa
3. Sapaan kepada orang tua laki-laki
4. Sapaan kepada orang yang dihormati
+
+
+
-
+
+
+
+
Catatan tambahan, analisis makna dengan mempertandakan ada (+)
atau tidak adanya (-) komponen makna pada sebuah butir leksikal
disebut analisis biner, analisis dua-dua.
7.5.3. Kesesuaian Semantik dan Sintaktik
Ketidakberterimaan sebuah kalimat bukan hanya masalah
gramatikal, tetapi juga masalah semantik.
Contoh:
1. Kambing yang Pak Udin terlepas lagi
Ketidakberterimaan kalimat tersebut adalah karena kesalahan
gramatikal, yaitu adanya konjungsi yang antara kambing dan Pak
Udin.
2. Segelas kambing minum setumpuk air
Ketidakberterimaan kalimat ini bukan karena kesalahan
gramatikal, tetapi karena kesalahan persesuaian klasikal.
3. Kambing itu membaca komik
Kalimat ini tidak berterima karena tidak ada persesuaian
semantik antara kata kambing sebagai pelaku dengan kata
membaca sebagai perbuatan yang dilakukan kambing itu.
4. Penduduk DKI Jakarta sekarang ada 50 juta jiwa
Ketidakberterimaan kalimat ini adalah karena kesalahan
informasi.
Kalimat (2) dan (3) tidak berterima karena kesalahan semantik,
kesalahan itu berupa tidak adanya persesuaian semantik di antara
konstituen-konstituen yang membangun kalimat itu.
Analisis persesuaian semantik dan sintaktik ini tentu saja harus
memperhitungkan komponen makna kata secara terperinci.
Selain diperlukan keterperincian analisis, masalah, metafora,
tampaknya juga perlu disingkirkan, sebab kalimat-kalimat metaforis
seperti (5) adalah berterima 5 bangunan itu menelan biaya 100 juta
rupiah.