TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA …

24
i TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA INTOKSIKASI OPIOID Oleh: Putu Angga Dharmayuda dr. I Gede Budiarta,SpAn.KMN BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA RSUP SANGLAH DENPASAR 2017

Transcript of TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA …

Page 1: TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA …

i

TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA

INTOKSIKASI OPIOID

Oleh:

Putu Angga Dharmayuda

dr. I Gede Budiarta,SpAn.KMN

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

RSUP SANGLAH DENPASAR

2017

Page 2: TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA …

iii

DAFTAR ISI

Halaman Judul ……………………………………………………………… .... i

Kata Pengantar ……………………………………………………………... .... ii

Daftar Isi.............................................................................................................. iii

BAB I Pendahuluan ........................................................................................... 1

BAB II Tinjauan Pustaka .................................................................................... 3

2.1 Opioid ............................................................................................................ 3

2.2 Farmakokinetik ............................................................................................. 3

2.3 Farmakodinamik ........................................................................................... 4

2.4 Dosis Terapi .................................................................................................. 6

2.5 Dosis Toksik ................................................................................................. 7

2.6 Opioid Tolerance ........................................................................................... 7

2.7 Opioid Dependence ....................................................................................... 7

2.8 Opioid Addiction ........................................................................................... 7

2.9 Opioid Withdrawal ........................................................................................ 8

2.9.1 Skala PEngukuran ......................................................................... 8

2.9.2 Tanda dan Gejala ........................................................................... 10

2.10 Overdosis .................................................................................................... 10

2.10.1 Tanda dan Gejala ......................................................................... 10

2.11 Penanganan ................................................................................................ 11

BAB III Simpulan dan Saran .............................................................................. 14

Page 3: TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA …

4

BAB I

PENDAHULUAN

Overdosis obat merupakan hal penting untuk dipahami saat ini karena telah

menjadi masalah kesehatan masyarakat. Peningkatan ketersediaan opioid memiliki

peran dalam peningkatan jumlah overdosis dan kematian akibat opiod, tercatat pada

tahun 1999 sampai 2010 terjadi peningkatan dari 4000 menjadi lebih dari 16.000

ketersediaan. Di dekade terakhir ini, peningkatan overdosis obat mulai menjadi

masalah global karena cukup berperan menyebabkan kematian. Kematian akibat

overdosis obat memiliki angka yang cukup tinggi di dunia, opioid merupakan salah

satu obat yang memiliki angka kematian yang cukup tinggi akibat overdosis. Pada

tahun 2010, disebutkan terdapat 99.000 sampai 253.000 kematian yang berkaitan

dengan overdosis opioid. Pada tahun 1999 sampai 2010 terjadi peningkatan

penjualan opioid sebesar empat kali lipat dan ditahun yang sama sampai 2009

terjadi juga peningkatan sebesar enam kali lipat terhadap penyalahgunaan opioid

yang berujung pada overdosis.. Setiap tahunnya, diperkirakan terjadi 70.000 sampai

100.000 angka kematian akibat overdosis opioid. Sebagian besar kasus overdosis

opioid dikaitkan dengan konsumsi yang illegal dan penyalahgunaan yang telah

diresepkan oleh praktisi kesehatan.1-3

Di Amerika, terjadi peningkatan hampir tiga kali lipat pada tahun 1999

sampai 2014 kematian akibat overdosis obat. Di tahun 2014, angka kematian akibat

opioid sebesar 28.647 (63,1%) dari 47.055 kejadian overdosis akibat obat.

Sedangkan pada 2015, terdapat 52.404 kematian akibat overdosis obat dimana

opioid memiliki jumlah kematian sebesar 33.091 (63.1%).1-3 Di Alaska pada tahun

2012, kematian akibat opiod lebih dari dua kali lipat kejadian di Amerika yaitu 10,5

berbanding 5,1 per 100.000 orang. Dan selama tahun 2009 sampai 2015, tercatat

774 kasus kematian akibat overdosis obat dan 512 (66%) diakibatkan oleh opiad.

Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat secara objektf adanyai angka

kematian dan penyalah gunaan dari opioid yang cukup tinggi di dunia. Selain itu

American Heart Asossiation telah mengeluarkan update guide lines resusitasi

kardio pulmoner baru tahun 2015, yang merekomendasikan kemungkinan untuk

memikirkan overdosis opiod pada pasien dengan pernapasan yang tidak adekuat

Page 4: TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA …

5

namun memiliki denyut nadi yang cukup. Dapat disimpulkan bahwa tingginya

toksisitas dan penyalahgunaan opioid yang tinggi sangat menimbulkan morbiditas

dan mortalitas bagi pasien dan menjadi beban bagi negara dalam pengobatan dan

rehabilitasi. Keadaan ini sangat menarik untuk dibahas lebih lanjut guna memahami

toksisitas dan penyalahgunaan opioid agar lebih waspada dan mampu memberi

penanganan yang adekuat terhadap toksistas dari opioid guna meningkatkan

survival dan kualitas hidup dari pasien.

Page 5: TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA …

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 OPIOID

Aktivasi reseptor opioid menyebabkan penghambatan neurotransmisi

sinaptik dalam sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf perifer (PNS). Opioid

mengikat dan meningkatkan neurotransmisi di tiga kelas utama dari reseptor opioid.

Efek fisiologis opioid dimediasi terutama melalui µ dan reseptor kappa dalam SSP

dan saraf tepi. Reseptor µ memberikan efek analgesia, euforia, depresi pernapasan,

dan miosis, sedangkan reseptor kappa memilii efek analgesia, miosis, depresi

pernapasan, dan sedasi. Dua reseptor opioid lain yang memediasi efek opioid

tertentu, yaitu δ. Reseptor Sigma memediasi disforia, halusinasi, dan psikosis.

Antagonis opioid (misalnya, nalokson, nalmefene, naltrexone) memiliki

efek berlawanan dengan keempat reseptor opiate tersebut. Opioid diklasifikasikan

menjadi alami, semi-sintetis, sintetis. Opioid mengurangi persepsi nyeri, bukan

menghilangkan atau mengurangi stimulus yang menyakitkan. Merangsang sedikit

euforia, agonis opioid mengurangi sensitifitas terhadap rangsangan eksogen.

Opioid mudah diserap pada gastrointestinal dan mukosa pernafasan.

Efek maksimal umumnya dicapai dalam 10 menit dengan pemberian secara

intravena, 10-15 menit melalui hidung secara dihirup (misalnya, butorphanol,

heroin), 30-45 menit secara intramuskular, 90 menit secara oral, dan 2-4 jam

melalui aplikasi dermal (yaitu, fentanil). berdasarkan dosis terapi, kebanyakan

penyerapan terjadi di usus kecil. Dosis toksisitas mungkin terjadi bila penyerapan

tertunda oleh karena pengosongan lambung tertunda dan terlambatnya motilitas

usus.

Kebanyakan opioid dimetabolisme oleh konjugasi hati dan kemudian

diekskresikan melalui urin. Beberapa opioid (misalnya, fentanyl, buprenorfin) lebih

mudah larut dalam lemak dan dapat disimpan dalam jaringan lemak tubuh. Semua

opioid memiliki durasi aktivasi yang memanjang pada pasien dengan penyakit hati

(misalnya, sirosis) karena metabolisme hepatik terganggu. Hal ini dapat

menyebabkan akumulasi obat dan menyebabkan toksisitas opioid. Gangguan fungsi

ginjal dapat menyebabkan efek toksik dari akumulasi obat atau metabolit aktif.

Page 6: TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA …

7

2.2 FAMAKOKINETIK5

Absorpsi

Sebagian besar diserap secara baik bila diberikan secara subkutan,

intramuscular, oral, maupun intravena. Akan tetap, oleh arena first-pass effect,

dosis oral dari opioid harus ditingkatkn dibandingkan dengan pemberian secara

parenteral untuk menimbulkan efek terapi.

Distribusi

Distribusi dari opioid dari berbagai organ dan jaringan sangat bervariasi

dipengaruhi oleh fisiologi dan berbagai faktor kimia. Walaupun opioid terikat

dengan protein plasma dengan affinitas yang bervariasi. Namun opioid secara cepat

meninggalkan kompartemen darah dan kemudian terkonsentrasi secara tinggi di

otak, paru, ginjal, dan limpa.

Metabolisme

Opioid akan dikonversi dalam jumlah besar ke metabolism polar untuk

dipersiapkan diekskresi melalui ginjal. Pengggunaan dalam jangka waktu panjang

atau melibihi dosis akan menyebabkan terjadi penumpukan pada ginjal dan

akhirnya menyebabkan terganggunya metabolism.

Eskresi

Metabolik polar dari konjugat glukoronil kemudian diekskresi melalui urin.

Selain itu hasil konjugat dari opioid akan diekskresikan sebagian kecil melalui

empedu melalui sirkulasi entero hepatik.

2.3 FARMAKODINAMIK5

Mekanisme Kerja

Page 7: TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA …

8

Opoid agonis menghasilkan analgesia dengan cara berikatan dengan reseptor

specific G protein-coupled yang berada di otak dan medulla spinalis yang

berhubungan pada proses transmisi dan modulasi dari nyeri.

1. Tipe Reseptor

Tiga golongan utama reseptor opioid (µ,δ,κ) berada pada sistem saraf dan

jaringan yang berbeda. Setiap reseptor utama tersebut mampu meggandakan

diri tetapi hanya mampu menjadi salah satu subtipe saja. Ketiganya

merupakan bagian dari reseptor G protein-coupled dan merupakan

serangkaian asam amino homologi. Penduplikasian dari masing-masing

reseptor tersebut memiiki efek farmakologi yang berbeda oleh karena opioid

memiiki potensi sebagai agonis, semi-agonis, atau antagonis.5

2. Aksi Sel

Di level molekuler, reseptor opiod berpasangan dengan G protein dan

memberikan efek sebagai ion channel gating, memodulasi perpindahan

intraseluler CA2+, dan meningkatkan fosfolirasi protein. Opioid memiliki

dua G protein-coupled langsung yang cukup baik di neuron ; (1) menutup

pintu aliran CA2+ pada saraf terminal presinap dan mengakibatkan

penurunan pelepasan transmitter, (2) hiperpolarisasi dan mencegah neuron

postsinap dengan cara membuka saluran K+.

3. Hubungan Efek Fisiologi dengan Tipe Reseptor

Reseptor µ-opioid merupakan reseptor primer opioid. Analgetik, euforia,

depresi pernafasan, dan ketergantungan fisik terhadap morfin merupakan

hasil reaksi di reseptor µ.

4. Toleransi dan Dependensi

Dengan penggunaan dosis terapi berulang, akan terjadi penurunan efek

secara bertahap yang kemudian akan menimbulkan adanya toleransi. Untuk

mendapat efek yang sama, maka dosis obat ditingkatkan. Bersamaan dengan

adanya toleransi, secara perlahan ketergantungan fisik berkembang,

ketergantungan tersebut didefinisikan sebagai adanya gejala putus obat

Page 8: TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA …

9

apabila dilakukan pemberhentian penggunaan obat atau memberikan

antagonis dari obat tersebut. Keadaan ini diduga terjadi akibat adanya suatu

konsep reseptor recycling. Secara normal, aktivasi dari reseptor µ opioid

akan mengasilkan endositosis yang diikuti oleh resensitisasi dan recycling

dari reseptor menuju membran plasma. Pada keadaan toleransi ini terjadi

kegagalan opioid untuk melakukan induksi endositosis dari µ-opioid

reseptor. Sehingga menimbulkan keadaan toleransi dan dependensi.

Efek Sistem Organ

1. CNS

Bergabungnya µ reseptor ke sistem saraf pusat menimbulkan

manifestasi analgesia, euforia, sedasi, dan depresi nafas. Penggunaan

berulangan akan meningkatkan derajat toleransi dan menimbulkan manifest

tersebut.

a. Analagesik -> Nyeri terdiri dari sensori dan komponen afektif

(emosi). Opioid memiliki kemampuan yang unik karena mampu

mengurangi perasaan nyeri pada kedua aspek tersebut terutama pada

aspek afektif. Tidak seperti NSAID.

b. Euforia -> Memberikan sensasi melayang dengan menurunkan

kecemasan dan kesedihan. Terkadang dapat juga menyebabkan

disforia atau perasaan tidak menyenangkan yang disebabkan oleh

kurangnya istirahat dan rasa lemas.

c. Sedasi -> Rasa mengantuk dan berkabut merupakan efek opioid

yang umum, terkadang ada sedikit atau tidak ada amnesia. Efek tidur

lebih bermanifes pada orang tua dibandingkan pada anak muda dan

orang sehat. Saat mendapatkan efek tertidur, akan mudah

dibangunkan.

d. Depresi nafas -> disebabkan dengan cara menghambat mekanisme

respirasi di batang otak. Pco2 Alveoli mungkin menigkat, tetapi

terjadinya penekanan pada respon pada carbon dioxide challenge

merupakan indikator yang jelas pada depresi nafas yang terjadi.

Page 9: TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA …

10

e. Penekanan Batuk -> penekanan reflek batuk merupakan efek

opioid yang cukup terlihat. Tetapi, penekanan batuk dapat

menyebabkan penumpukan sekresi dan mampu menyebabkan

obstruksi jalan nafas dan atelektasis.

f. Miosis -> dapat dilihat secara visual. Merupakan reaksi farmakologi

dimana terjadi sedikit atau tidak sama sekali keterlibatan toleransi.

Ini sangat berguna untuk mendiagnosis overdosis opioid.

g. Truncal rigidity -> peningkatan tonus pada area tengkuk disebabkan

oleh mekanisme kerja obat pada regio supraspinal. Peningkatan

tonus area tengkuk menyebabkan penurunan compliance dinding

dada dan menyebabkan gangguan ventilasi. Hal ini muncul apabila

dilakukan pemberian opioid larut lemak dengan dosis sangat tinggi.

Untuk mencegah rigiditas tengkuk, dapat digunakan obat blokade

neuro muskuler.

h. Mual dan muntah -> analgesia opioid dapat mengaktifasi

kemoreseptor trigger zone di batang otak untuk menyebabkan mual

dan muntah.

i. Suhu -> regulasi homeostatis dari temperatur tubuh dimediasi oleh

peptida endogen opioid di otak.

2. Perifer

a. System kardiovaskuler -> kebanyakan opioid tidak memiliki efek

pada jantung, selain bradikardi. Tekanan darah biasanya terkontrol

dengan baik. Analgesik opioid hanya memiliki dampak minimal

pada sistem kardiovaskuler kecuali, ada depresi nafas yang

menyebabkan peningkatan Pco2.

b. Saluran gastrointestinal -> konstipasi merupakan efek dari opioid,

efek terebut tidak akan berkurang meskipun penggunaannya

berlanjut. Reseptor opioid banyak terdapat pada saluran

gastrointestinal, dan konstipasi terjadi karena opioid dimediasi

Page 10: TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA …

11

melalui sistem saraf enterik. Terjadi penurunan motilitas dan

peningkatan tonus.

c. Saluran bilier -> opioid berinteraksi dengan otot polos bilier

menyebabkan kolik bilier. Terjadi konstriksi spingter oddi

menyebabkan refluk bilier dan sekresi pankreas dan peningkatan

amilase dan lipase.

d. Ginjal -> opioid menekan fungsi ginjal, menyebabkan menurunnya

aliran plasma pada ginjal. Mekanisme yang mungkin terlibat pada

CNS dan saraf tepi.

e. Uterus -> memperpanjang kehamilan, mekanisme masih belum

jelas kemungkinan karena opioid mengurangi tonus uterus.

f. Neuroendokrin -> opioid menstimulasi pelepasan ADH, prolaktin,

dan somatotropin tapi menghambat pelepasan hormon lutenizing.

g. Gatal -> dosis terapi opioid dapat menimbulkan kemerahan dan rasa

hangat pada kulit yang diikuti dengan berkeringat dan sensasi gatal.

Efek tersebut diakibatkan pelepasan histamin pada CNS dan perifer.

Pemberian secara parenteral lebih sering menimbulkan pruritus dan

terkadang juga timbul urtikaria.

2.4 DOSIS TERAPI

Immediate releae.6

- Dosis awal : 15 - 30 mg per oral setiap 4 jam sesuai kebutuhan

10 - 20 mg per oral setiap 4 jam sesuai kebutuhan

- Toleran-opioid : 100 mg per 5 ml (20 mg/mL)

Extended-release.6

Page 11: TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA …

12

- Dosis awal : 30 mg per oral setiap 24 jam

- Toleransi-opioid : 1 – 2 kali per hari

Subkutis/Intra Muskuler.6

- Dosis awal : 10 mg (5 – 20 mg) setiap 4 jam sesuai kebutuhan

Intra Vena.6

- Dosis awal : 4 – 10 (5 – 15 mg) mg setiap 4 jam secara perlahan 4 – 5

menit

o Dosis harian : 12 – 120 mg

Epidural.6

- Dosis awal : 5 mg untuk 24 jam -> 1 jam pertama belum menghilangkan

nyeri, dipertimbangkan menambahkan dosis 1 – 2 mg (dosis maksimal

perhari 10 mg)

Anak-anak.6

- Subkutis : 0,1 – 0,2 mg per kg berat badan (maksimal 15 mg per

dosisnya)

- Intra Vena : 50 – 100 mcg per kg berat badan -> injeksi secara perlahan

( maksimal 10 mg perdosis)

2.5 DOSIS TOKSIK7

Lebih dari 98 MME/day.

2.6 OPIOID TOLERANSI

Penurunan efektifitas obat -> pemberian dosis terapiutik atau

penyalahgunaan berulang. Dosis harus ditingkatkan untuk mencapai efek yang

diharapkan atau sama.5

2.7 OPIOID DEPEDENCE

Setelah toleransi, timbul physical dependence yaitu, terjadi perubahan cara

kerja pada tubuh setelah penggunaan obat yang cukup lama karena normalnya

Page 12: TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA …

13

tubuh mampu menghasilhkan opioid endogen secara mandiri, tapi karena toleransi

meningkat menyebabkan tubuh bergantung pada sumber eksternal. Perubahan

tersebut bisa menimbulkan withdrawal atau abstinence syndrome. Physical

dependence saat ini disebut dengan dependence. Toleransi dan depdence

sesungguhnya sesuatu yang bisa dikatakan normal setelah pengkonsumsian opioid

untuk jangka waktu yang lama.

2.8 OPIOID ADDICTION

Physiological dependence saat ini disebut sebagai addiction. Addiction

ditandai dengan ketidak mampuan mengontrol keinginan, motivasi atau hasrat yang

tinggi untuk mendapatkan dan menggunakan obat tanpa memikirkan efek negatif

yang timbul. Susah diobati karena memiliki resiko tinggi untuk kembali lagi

menjadi addiction dengan adanya pemicu salah satu dari tiga kondisi berikut :

terpapar kembali dengan obat yang membuat addiction sebelumya, stress, atau

bertemu dan melakukan kontak dengan pengguna obat lainnya. Saat ini, gejala yang

mengarahkan ke addiction hanya kecemasan yang berlebih. Ini merupakan ketidak

normalan mekanisme yang terjadi dan digolongkan sebagai penyakit.

2.9 OPIOID WITHDRAWAL

Ketika dilakukan penghentian penggunaan obat atau tiba-tiba berhenti

setelah menggunakan obat beberapa minggu atau lebih dengan jumlah yang banyak,

maka akan muncul gejala yang semakin nyata. Inilah yang disebut withdrawal.

2.9.1 SKALA PENGUKURAN

Skala pengukuran ini dilengkapi dengan identitas, tanggal dan nama

pemeriksa. Dicatat juga waktu dilakukannya pengukuran dan waktu terakhir

mengkonsumsi obat.

Resting Pulse Rate: (record beats per minute)

Measured after patient is sitting or lying for one minute

0 pulse rate 80 or below

1 pulse rate 81-100

Page 13: TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA …

14

2 pulse rate 101-120

4 pulse rate greater than 120

Sweating: over past ½ hour not accounted for by room

temperature or patient activity.

0 no report of chills or flushing

1 subjective report of chills or flushing

2 flushed or observable moistness on face

3 beads of sweat on brow or face

4 sweat streaming off face

Restlessness Observation during assessment

0 able to sit still

1 reports difficulty sitting still, but is able to do so

3 frequent shifting or extraneous movements of legs/arms

5 Unable to sit still for more than a few seconds

Pupil size

0 pupils pinned or normal size for room light

1 pupils possibly larger than normal for room light

2 pupils moderately dilated

5 pupils so dilated that only the rim of the iris is visible

Bone or Joint aches If patient was having pain

previously, only the additional component attributed

to opiates withdrawal is scored

0 not present

1 mild diffuse discomfort

2 patient reports severe diffuse aching of joints/ muscles

4 patient is rubbing joints or muscles and is unable to sit

still because of discomfort

Runny nose or tearing Not accounted for by cold

symptoms or allergies

0 not present

1 nasal stuffiness or unusually moist eyes

2 nose running or tearing

4 nose constantly running or tears streaming down cheeks

Page 14: TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA …

15

GI Upset: over last ½ hour

0 no GI symptoms

1 stomach cramps

2 nausea or loose stool

3 vomiting or diarrhea

5 Multiple episodes of diarrhea or vomiting

tremor observation of outstretched hands

0 No tremor

1 tremor can be felt, but not observed

2 slight tremor observable

4 gross tremor or muscle twitching

Yawning Observation during assessment

0 no yawning

1 yawning once or twice during assessment

2 yawning three or more times during assessment

4 yawning several times/minute

Anxiety or Irritability

0 none

1 patient reports increasing irritability or anxiousness

2 patient obviously irritable anxious

4 patient so irritable or anxious that participation in the

assessment is difficult

Gooseflesh skin

0 skin is smooth

3 piloerrection of skin can be felt or hairs standing up on

arms

5 prominent piloerrection

Total scores

Page 15: TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA …

16

Score withdrawal:

5-12 = ringan;

13-24 = sedang;

25-36 = sedang berat;

> 36 = berat

2.9.2 TANDA dan GEJALA

• Awal

o Agitasi

o Anxietas

o Produksi air mata meningkat

o Insomnia

o Pilek

o Berkeringat

o Mengantuk

• Terlambat

o Kram perut

o Gooseflesh skin

o Pupil dilatasi

o Mual muntah

Gejala akan menimbulkan rasa tidak nyaman tetapi tidak mengancam

nyawa. Biasanya timbul 12 jam sampai 30 jam awal setelah penggunaan.

2.10 OVERDOSIS

Page 16: TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA …

17

Kondisi dimana mengkonsumsi opioid melebihi dosis atau penggunaan

yang seharusnya, biasanya bersifat akut dan mengancam nyawa.5,8

2.10.1 TANDA dan GEJALA

Overdosis opioid menimbulkan toxidrome, tanda dan gejala yang umum

dan utama yang ditimbulkan yaitu :

• Pupil bulat kecil (pinpoint pupils)

• Deprsi pernafasan

• letargia

Tingkat keparahan toxidrome yang ditimbulkan berbeda-beda tergantng

dari dosis dan toleransi terhadap opioid tersebut. Depresi nafas merupakan

manifestasi emergensi yang paling utama perlu diperhatikan. kemudian

toksisitas juga menimbulkan gejala tambahan seperti :

• mual muntah

• esophagitis atau gastritis

• dizziness

• peningkatan atau penurunan tekanan darah

• kejang (seizures)

• megantuk -> pusing -> tidak sadar

• organ damage -> hati dan ginjal

• diare

• disforia

• lakrimasi

• ereksi involunter rambut (piloerection)

• pengelupasan kulit seperti kulit angsa (gooseflesh)

Page 17: TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA …

18

2.11 PENANGANAN

Penanganan perlu dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah terjadinya

efek yang lebih serius meskipun overdosis opioid belum menimbulkan tanda dan

gejala.

Penangnan yang bisa dilakukan berupa :8,12-16

• bila pasien apnea, berikan bantuan farmakologis atau mekanik untuk

menstimulasi pernafasan

• bila laju pernafasan ≤ 12 per menit, lakukan chin-lift, jaw-thrust kemudian

pasang ventilasi dengan bag-valve mask.

• Berikan antidote

o Naloxone -> opioid antagonis, berikatan dengan reseptor opioid

membalikkan dan memblok efek dari opioid dengan onset kerja 1-2

menit. Half-life 20-60 menit dengan durasi 2-3 jam.

▪ Ada tiga cara penggunaan naloxone :

• Injeksi

o Sediaan yang tersedia dalam 1 vial : 0,4 mg/ml; 1

mg/ml; 0,4 mg/10 ml

o Untuk injeksi IM biasanya 1 mg/ml sedangkan

untuk IV biasanya 0,4 mg/ml

o Gunakan jarum 1 – 1 ½ inch

o Injeksi pada otot paha, bokong bagian luar, bahu

(paling baik di bahu)

o Bila tidak tersedia IM needle, gunakan jarum

yang lebih kecil kemudian injeksikan IV atau

subkutis

Page 18: TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA …

19

o Bila melalu akses IV, bolus secara perlahan

kurang lebih selama 30 detik dengan dosis yang

sudah ditentukan (0,4 – 2 mg)

• Autoinjeksi

o Alat ini di setujuti tahun 2014

o Mudah dipakai, ada pengaturan suara untuk

mengikuti instruksi penggunaan

o 0,4 mg/0,4 ml

o Siap pakai dengan single dose 2 mg dan dengan

jarum yang bisa dimasukkan kemabali

o Injeks secara IM dan tahan selama 5 detik

• Nasal

o Tarik penutup kuning pada syringe

o Buka tutup merah pada tabung naloxone

o Pasang ujung penyemprot (berwarna biru) ke

syringe

o Secara gentle masukkan sambil memutar tabung

naloxone dari belakang

o masukkan alat yang sudah terpasang ke lobang

hidung dan semprotkan 1 cc di kanan dan 1 cc di

kiri

▪ Dosis penggunaan naloxone

• Neonatus -> 0,1 mg/kg dengan depresi nafas dan dengan

ibu yang menggunakan opioid selama 4 jam melahirkan

• Anak

o <5 tahun atau <20 kg -> 0,1 mg/kg (IV/IM)

Page 19: TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA …

20

o >5 tahun atau >20 kg -> 2 mg

• Dewasa

o 0,4 – 2 mg

o Dapat diulang setiap 2 – 3 menit sampai tercapai

target atau maksimal 10 mg

▪ Observasi minimal 2 jam setelah pemberian dosis terakhir

• Reaksi imun -> reaksi alergi (biasanya pada daerah

suntikan)

• Sistem saraf -> pupil kembali miosis

• Jantung -> bradikardi

• Paru-paru dan pernafasan -> nafas mulai spontan

• Gastrointestinal -> bising usus kembali

• kulit -> kemrahan, pruritus

▪ Efek samping yang mungkin ditimbulkan yaitu :

• Nyeri, rasa terbakar, kemerahan pada tempat injeksi

• Berkeringat

• Denyut jantung yang ireguler

• Halusinasi

• Kehilangan kesadaran

• Kejang

• Tanda opioid withdrawal

• Menangis dengan kuantitas lebih dan peningkatan reflek

pada bayi

• Edema paru

Page 20: TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA …

21

o Peningkatan respon simpatis yang cepat :

pelepasan katekolamin akan meningkatkan

cardiac Output dan tekanan pulmonal

o Kebocoran kapiler paru : akumulasi cairan paru

dengan konsentrasi protein yang tinggi dan

mungkin berkaitan juga dengan pelepasan

histamine di jaringan paru dan vaskuler

o Tekanan negatif paru akut : bila ada obstruksi

saluran nafas atas

▪ Secret di jalan nafas

▪ Glotis yang tertutup

▪ Efek opioid yang melemahkan glotis

o Naltrexone -> opioid antagonis yang lebih baru, half-life lebih lama dari

naloxone yaitu 4-8jam atau 8-12 jam

▪ Tidak direkomendasikan untuk pasien yang tidak sadar

▪ Bisa digunakan untuk opioid withdrawal

o Methadone -> golongan narkotika kerja panjang yang sering digunakan

untuk melemahkan gejala withdrawal dan biasanya digunakan untuk

opioid dependence atau opioid addiction.

▪ Untuk detoksifikasi -> 20-30 mg PO, bisa di titrasi menjadi 40

mg per hari yang dibagi menjadi beberapa dosis dan diberikan

selama 2-3 hari.

▪ Digunakan setelah detoksifikasi dimana pasien bebas opioid

untuk 7-10 hari

• Per-oral : 25 mg untuk dosis awal -> observasi 1 jam; 50

mg dimulai dari hari kedua.

Page 21: TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA …

22

• Intra Muskular : 380 mg di injeksi pada otot gluteal

setiap 4 minggu.

• Menggunakan arang aktif (activated charcoal) -> Dilakukan dalam waktu 1 jam

pertama sebagai GI dekontaminasi jika pasien diketahui intoksikasi dengan

cara mengkonsumsi opioid secara oral

• Kubah lambung (Whole-bowel irrigation) -> bisa dipertimbangkan dilakukan

untuk menghilangkan bahan aktif yang ada pada pencernaan.

Berdasarkan profil farmakologis dari opioid, aktivasi dari µ reseptor

menyebabkan suatu dose dependence yang melakukan depresi terhadap sistem

respirasi melalui hambatan primer pada pusat nafas di batang otak, sehingga pada

suatu keadaan dimana antidote tidak tersedia maka kita dapat melakukan dukungan

ventilasi untuk menjaga breathing dari pasien yang kemudian dilakukan hingga

obat tersebut sepenuhnya tereleminasi oleh tubuh melalui sistem genitourinary

track.

Page 22: TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA …

23

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 KESIMPULAN

1. Opioid merupakan kelompok obat yang sering digunakan sebagai analgesia

untuk penanganan nyeri, biasanya nyeri derajat berat

2. Tahapan yang mungkin terjadi sebelum terjadinya overdosis yaitu,

Tolerance, Dependence, withdrawal

3. Gejala utama overdosis opioid : pintpoint pupil, depresi pernafasan, letargia

4. Ada beberapa penangnan pada overdosis, tetapi menggunakan antidotum

terutama naloxone sangat disarankan. penggunaan secara tepat akan

meningkatkan survival pasien

3.2 SARAN

1. Kepada petugas medis agar tetap mempertimbangkan kemungkinan

intoksikasi opioid apabila menemukan ventilasi dengan tidak adequate

namun memiliki nadi yang cukup.

2. Peresepan dan peredaran dari opioid hendaknya menjadi suatu barang yang

sangat ketat dengan pemantauan penuh terhadap setiap penggunaannya

guna meminimalkan penyalah gunaan dari opioid.

3. Perlunya dilakukan suveilance secara berkala terhadap penggunaan opioid

di Indonesia oleh karena sangat minimalnya data yang tersedia.

Page 23: TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA …

24

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. 2013. Opioid Overdose: Preventing and Reducing Opioid Overdose

Mortality. United Nation Office on Drugs and crime.New York: United

Nation.

2. American Society of Addiction Medicine.2016. Opioid Addiction 2016 Fact

& Figure. United State: ASAM

3. Unick, GJ.,Rosenblum, D.,Mars, S.,Ciccarone, D.2013. Interwined

Epidemic: National Demographic Trends in Hospitalization. United State:

PLOS

4. Mclaughlin, J.,Castrodale, L. 2016. Drug Overdose Death in Alaska 2009-

2015. Alaska: State Of Alaska Epidemiology.

5. Katzung, BG.,Masters, SB., Trevor, AJ. 2012. Basic & Clinical

Pharmacology 12th Edition.New York: MC Graw Hill.

6. Kishner, S.,Windle, ML.2016. Opiod Equivalents and Conversions.

7. CDC. 2013. Calculation Total Daily Dose of Opioids for Safer

Dosage.United State.

8. Cline, DM., Ma, OJ., Cydulka, RK., et all.2012.Tintinallis Emergency

Medical Manual 7th Edition.New York: MC Graw Hill.

9. WHO. 2009. Guidelines for the Psychosocially Assisted Pharmacological

Treatment of Opioid Dependence.

10. Bovill, JG. 2001. Update on Opioid and Analgesic Pharmacology. IARS.

11. NAABT. 2016. Physical Dependence and Addiction. Unites State.

12. Boyer, EW. 2012. Management of Opioid Analgesic Overdose. United

State. NCBI.

13. Stephens, E. 2016. Opioid Toxicity Treatment & Management. US.

Medscape.

Page 24: TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA …

25

14. Busti, J., Hinson, J., Regan, L. 2015. Mechanism for Naloxone-Related

Pulmonary Edema in Opiate and Opioid Overdose Reversal. EBM.

15. Bansal, S., Khan, R. 2007. Naloxone-Induced Pulmonary Edem. America.

Chest Journal : American College of Chest Physicians.

16. Simmonds, M. 2015. Guideline for The Use of Naloxone in Adults.

England. NHS.