Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi...

81
Laporan Penelitian Gambaran Faktor Risiko Kejadian Stroke di RSHS Bandung Periode Januari 2015– Desember 2016 Nur’aini Jamilatul Badriyah, Lisda Amalia, Suwarman ....................................................................... 134–39 Perbandingan Status Nutrisi Minggu Pertama pada Pasien Pascacedera Otak Traumatik Sedang dan Berat yang Dirawat di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Dinilai dengan Subjective Global Assessment (SGA) Tengku Addi Saputra, Dewi Yulianti Bisri, Tatang Bisri ...................................................................... 140–49 Laporan Kasus Manajemen Anestesi untuk Awake Craniotomy pada Space Occupying Lesion Lobus Frontalis Kiri 150–56 Ferry Ferdyansyah, M. Sofyan Harahap .............................................................................................. Manajemen Anestesi pada Penderita Sindroma Pfeiffer dengan Posisi Sphinx Radian Ahmad Halimi, Dewi Yulianti Bisri, Tatang Bisri .................................................................... 157–63 Pengelolaan Anestesi untuk Eksisi Tumor Intradura Intramedula (IDIM) Setinggi Vertebra Cervical 5–6 dengan Panduan Intraoperative Neurophysiological Monitoring Dhania A. Santosa, Bambang Harijono, Hamzah, Zafrullah K. Jasa, Nancy Margarita Rehatta ......... 164–74 Manajemen Anestesi pada Pasien dengan Akromegali yang Menjalani Prosedur Reseksi Tumor Adenohipofise melalui Pendekatan Sublabial Transphenoidal Hamzah, Muhammad Faris, Yoppie Prim Avidar, Nancy Margarita Rehatta ...................................... 175–84 Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang Disertai Peningkatan Tekanan Tinggi Intrakranial Menetap Fitri Sepviyanti Sumardi, Hamzah, Sri Rahardjo, Tatang Bisri ............................................................ 185–97 Anestesi untuk Seksio Sesarea pada Pasien dengan Hipertensi Intrakranial Idiopatik Dewi Yulianti Bisri ................................................................................................................................ 198–206 Daftar Isi

Transcript of Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi...

Page 1: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

Laporan Penelitian

Gambaran Faktor Risiko Kejadian Stroke di RSHS Bandung Periode Januari 2015–Desember 2016Nur’aini Jamilatul Badriyah, Lisda Amalia, Suwarman ....................................................................... 134–39

Perbandingan Status Nutrisi Minggu Pertama pada Pasien Pascacedera Otak Traumatik Sedang dan Berat yang Dirawat di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Dinilai dengan Subjective Global Assessment (SGA)Tengku Addi Saputra, Dewi Yulianti Bisri, Tatang Bisri ...................................................................... 140–49

Laporan Kasus

Manajemen Anestesi untuk Awake Craniotomy pada Space Occupying Lesion Lobus Frontalis Kiri

150–56

Ferry Ferdyansyah, M. Sofyan Harahap ..............................................................................................

Manajemen Anestesi pada Penderita Sindroma Pfeiffer dengan Posisi SphinxRadian Ahmad Halimi, Dewi Yulianti Bisri, Tatang Bisri .................................................................... 157–63

Pengelolaan Anestesi untuk Eksisi Tumor Intradura Intramedula (IDIM) Setinggi Vertebra Cervical 5–6 dengan Panduan Intraoperative Neurophysiological MonitoringDhania A. Santosa, Bambang Harijono, Hamzah, Zafrullah K. Jasa, Nancy Margarita Rehatta ......... 164–74

Manajemen Anestesi pada Pasien dengan Akromegali yang Menjalani Prosedur Reseksi Tumor Adenohipofise melalui Pendekatan Sublabial TransphenoidalHamzah, Muhammad Faris, Yoppie Prim Avidar, Nancy Margarita Rehatta ...................................... 175–84

Tinjauan Pustaka

Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang Disertai Peningkatan Tekanan Tinggi Intrakranial MenetapFitri Sepviyanti Sumardi, Hamzah, Sri Rahardjo, Tatang Bisri ............................................................ 185–97

Anestesi untuk Seksio Sesarea pada Pasien dengan Hipertensi Intrakranial IdiopatikDewi Yulianti Bisri ................................................................................................................................ 198–206

Daftar Isi

Page 2: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

134

Gambaran Faktor Risiko Kejadian Stroke di RSHS Bandung Periode Januari 2015–Desember 2016

Nur’aini Jamilatul Badriyah*), Lisda Amalia**), Suwarman***)

*)Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung, **)Departemen Neurologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, ***)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif,

Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Abstrak

Latar Belakang dan Tujuan: Stroke merupakan masalah kesehatan di dunia yang menjadi penyebab kematian kedua tertinggi. Epidemiologi pasien stroke berdasarkan faktor risikonya masih sangat bervariasi dan belum ada data yang melaporkan di Jawa Barat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran faktor risiko kejadian stroke.Subjek dan Metode: Penelitian ini menggunakan studi desain deskriptif dengan rancangan potong lintang. Data diambil secara retrospektif dengan metode total sampling dari rekam medis pasien stroke di bangsal neurologi RSUP Dr. Hasan Sadikin periode Januari 2015–Desember 2016 yang memenuhi kriteri inklusi dan eksklusi.Hasil: Didapatkan 1044 subjek terdiri dari 486 laki-laki dan 558 perempuan. Kelompok usia 55-64 tahun (33,3%), pendidikan tamat SD (45,3%), dan tidak bekerja (56,4%) merupakan prevalensi tertinggi dari subjek yang diteliti. Stroke iskemik memiliki prevalensi lebih tinggi dibandingkan stroke perdarahan dengan lokasi sistem karotis lebih tinggi (89,6%) dibandingkan sistem vertebrobasilar (10,4%). Faktor risiko tertinggi yaitu hipertensi.Simpulan: Insidensi pasien stroke lebih tinggi terjadi pada wanita, kelompok usia tua, pendidikan rendah, dan tidak bekerja. Kasus pasien stroke iskemik lebih sering terjadi dibandingkan dengan stroke perdarahan dengan lokasi sistem karotis lebih banyak dibandingkan sistem vertebrobasilar. Hipertensi merupakan faktor risiko paling sering mengakibatkan stroke.

Kata kunci: faktor risiko, stroke, stroke iskemik, stroke perdarahan

JNI 2018;7(3): 134–39

Profile of Stroke Risk Factors in Hasan Sadikin General Hospital Bandung During January 2015–December 2016

Abstract

Background and Objective: Stroke is an important health issue causing the second most death worldwide. Epidemiology of stroke patients based on risk factors is highly variable without data to report regarding risk factors of stroke in West Java. Aim of this study is to find out profile of stroke risk factor.Subject and Method: This study is a descriptive study with cross section design. Data acquired retrospectively with total sampling method from medical records of stroke patients in Hasan Sadikin General Hospital from January 2015–December 2016 that fulfills inclusion criteria and exclusion criteria.Result: Obtained 1044 subjects consisted of 486 males and 558 females. Subjects with age 55–64 years old (33.3%), elementary school graduate (45.3%), and no occupation (56.4%) were the highest prevalence of studied subject. Ischaemic stroke had higher prevalence than haemorrhagic stroke with carotid system (89.6%) higher than vertebrobasilar (10.4%). Highest risk factor were hypertension.Conclusion: Incidence of stroke patients are higher in women, older age group, low education, and no occupation. Ischaemic stroke case patients were found more often than haemorrhagic stroke with carotid system more than vertebrobasilar system. Hypertension is the most common risk factor causing stroke.

Key words: haemorrhagic stroke, ischaemic stroke, risk factor, stroke

JNI 2018;7(3): 134–39

Page 3: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

135

I. Pendahuluan

Menurut World Health Organization (WHO), stroke didefinisikan sebagai manifestasi klinis dari gangguan fungsional otak yang berlangsung cepat, baik fokal maupun global. Berlangsung lebih dari 24 jam atau sampai menimbulkan kematian, tanpa penyebab lain melainkan akibat gangguan aliran darah otak.1 Setiap tahun, lima belas juta orang di seluruh dunia mengalami stroke. Hampir enam juta meninggal dan lima juta lainnya cacat permanen. Secara global, stroke adalah penyebab kematian kedua pada usia diatas 60 tahun dan urutan kelima pada usia 15 sampai 59 tahun.2 Hampir 800.000 (sekitar 795.000) orang di Amerika Serikat mengalami stroke setiap tahunnya, dengan sekitar tiga dari empat adalah stroke pertama kali.3

Faktor yang dapat menimbulkan stroke dibedakan menjadi faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi (non-modifiable risk factors) dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi (modifiable risk factors).4 Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi diantaranya adalah peningkatan usia, jenis kelamin, keturunan dan ras, dan riwayat stroke sebelumnya. Sedangkan faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain adalah hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, dislipidemia, hiperurisemia, merokok, penyakit arteri karotis, penyakit arteri perifer, penyakit sel sabit, diet yang buruk, dan inaktifitas fisik.5,6

Walaupun keberadaan faktor-faktor risiko stroke mengindikasikan peningkatan angka kejadian, tetapi angka mortalitas stroke ini dapat diturunkan jika faktor risiko stroke dideteksi secara dini serta dilakukan tatalaksana yang cepat, tepat dan adekuat. Dari beberapa penelitian yang sudah dilaksanakan, epidemiologi pasien stroke berdasarkan faktor risikonya masih sangat bervariasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui gambaran faktor risiko pasien stroke yang dirawat di bangsal neurologi Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung sebagai rumah sakit kelas A yang merupakan pusat rujukan provinsi Jawa Barat.

II. Subjek dan Metode

Penelitian ini menggunakan studi desain deskriptif dengan rancangan potong lintang. Data diambil secara retrospektif dengan metode total sampling. Data yang diambil berupa data sekunder melalui rekam medis pasien stroke yang dirawat di bangsal neurologi Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Januari 2015–Desember 2016 setelah mendapatkan izin penelitian dari Komite Etik Penelitian Kesehatan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Objek penelitian ini adalah rekam medis pasien stroke yang memenuhi kriteri inklusi (pasien terdiagnosis stroke yang dibuktikan dengan CT-Scan kepala tanpa kontras) dan eksklusi (data rekam medis yang tidak lengkap). Data di analisis dengan menggunakan Microsoft Office Excel 2011. Data kemudian ditampilkan dalam bentuk jumlah dan persentase.

III. Hasil

Pada penelitian ini didapatkan 1271 pasien stroke di bangsal neurologi Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Januari 2015–Desember 2016, dan hanya 1044 pasien yang memenuhi kriteria inklusi (usia 16-96 tahun). Total subjek yang memenuhi kriteria inklusi terdiri dari 486 laki-laki (46,6%) dan 558 perempuan (53,4%). Prevalensi stroke meningkat seiring dengan bertambahnya usia, tertinggi pada kelompok usia 55-64 tahun (33,3%). Sedangkan prevalensi terendah terjadi pada kelompok usia 15-24 tahun (0,6%). Subjek yang tidak bekerja memiliki prevalensi tertinggi yaitu 56,4%. Prevalensi tersebut disusul oleh pegawai (16,7%), wiraswasta (13,5%), petani/nelayan/buruh (9,7%), dan lainnya (3,7%). Stroke iskemik memiliki prevalensi lebih tinggi dibandingkan

Tabel 1. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah (n)

Persentase (%)

Laki-laki 486 46,6Perempuan 558 53,4Total 1044 100

Gambaran Faktor Risiko Kejadian Stroke di RSHS Bandung Periode Januari 2015–Desember 2016

Page 4: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

136 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Tabel 2. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia

Usia (Tahun) Jumlah (n) P e r s e n t a s e (%)

15-24 6 0,625-34 27 2,635-44 94 9,045-54 285 27,355-64 348 33,365-74 195 18,7≥75 89 8,5Total 1044 100

Pendidikan Jumlah (n) P e r s e n t a s e (%)

Tidak sekolah 6 0,6Tidak tamat SD 77 7,4Tamat SD 473 45,3Tamat SMP 160 15,3Tamat SMA 263 25,2Tamat D1/D3-PT

65 6,2

Total 1044 100

Tabel 3. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Pendidikan

Pekerjaan Jumlah (n) P e r s e n t a s e (%)

Tidak bekerja 589 56,4Pegawai 174 16,7Wiraswasta 141 13,5Petani/nelayan/buruh

101 9,7

Lainnya 39 3,7Total 1044 100

Tabel 4. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Pekerjaan

Tabel 5. Tipe Stroke Berdasarkan Patofisiologi dan Lokasi

Tipe Stroke Jumlah (n) Persentase (%)PatofisiologiStroke iskemik 693 66,4Stroke perdarahan

351 33,6

Total 1044 100LokasiSistem karotis 935 89,6Sistem vertebrobasilar

109 10,4

Total 1044 100

Faktor Risiko Jumlah (n) Persentase (%)Hipertensi 932 89,3Diabetes melitus 183 17,5Penyakit jantung 302 28,9Dislipidemia 464 44,4Hiperurisemia 193 18,5Merokok 211 20,2Riwayat stroke sebelumnya

218 20,9

Kelainan darah 19 1,8Kelainan pembuluh darah

34 3,3

Tabel 6. Faktor Risiko Terjadinya Strokedengan stroke perdarahan dengan persentase 66,4% berbanding 33,6%. Berdasarkan lokasi sistem pembuluh darahnya, sistem karotis juga memiliki prevalensi lebih tinggi dibandingkan dengan sistem vertebrobasilar dengan persentase 89,6% berbanding 10,4%. Berdasarkan faktor risiko yang dapat dimodifikasi, subjek yang memenuhi kriteria inklusi memiliki satu atau lebih faktor risiko. Hipertensi merupakan faktor risiko yang dapat dimodifikasi dengan prevalensi tertinggi yaitu 89,3%. Disusul oleh dislipidemia (44,4%), penyakit jantung (28,9%), riwayat stroke sebelumnya (20,9%), merokok (20,2%), hiperurisemia (18,5%), diabetes melitus (17,5%), kelainan pembuluh darah (3,3%), dan kelainan darah (1,8%).

IV. Pembahasan

Pada hasil penelitian ini didapatkan bahwa

penderita stroke di RSUP Dr. Hasan Sadikin sebagian besar adalah perempuan dengan persentase 53,4%. Hasil ini tidak sesuai berdasarkan studi yang dilakukan oleh American

Page 5: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

137

Heart Association yang menyatakan bahwa kasus stroke lebih banyak terjadi pada laki-laki. Namun, pada usia 85 tahun keatas, stroke lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan pria. Pernyataan ini didasarkan dari harapan hidup global yang lebih rendah pada pria dibandingkan wanita. Prevalensi stroke umum meningkat secara eksponensial pada kedua jenis kelamin berdasarkan usia. Pada beberapa penelitian, peningkatan insidensi stroke dapat terjadi pada perempuan karena meningkatnya obesitas, hilangnya estrogen setelah menopause, dan sindrom metabolik terkait.7,8

Penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok usia 55–64 tahun merupakan prevalensi tertinggi dengan persentase 33,3%. Peningkatan insiden stroke meningkat seiring pertambahan usia dan diperkirakan bertambah dua kali lipat setiap dekade di antara usia 45 tahun sampai 85 tahun.9 Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin pada tahun 2011 yang menunjukkan bahwa kasus stroke paling sering terjadi pada kelompok usia 50–59 tahun sebanyak 29,8%.10 Prevalensi terjadinya stroke berdasarkan usia masih sangat bervariasi. Stroke pada usia muda dilaporkan masih tidak umum terjadi, sekitar 10–15% dari semua kasus stroke. Namun, terdapat beberapa penelitian yang mengatakan bahwa terjadi peningkatan insiden stroke pada orang dewasa muda. Hal ini penting diingat karena pasien stroke yang lebih muda memiliki peningkatan risiko kematian yang jelas dibandingkan dengan populasi umum. Etiologi stroke di kalangan usia muda masih sangat luas, namun pola hidup dapat mempengaruhi terjadinya kejadian stroke di usia muda. Oleh karena itu, pencegahan primer sangat penting berkaitan dengan stroke pada orang usia muda dan penanganan faktor risiko stroke yang agresif seperti hipertensi, merokok, dan dislipidemia pula sangatlah penting.

Berdasarkan studi pasien stroke di Korea yang dilakukan oleh Korean Community Health Survey (KCHS) pada tahun 2010 didapatkan bahwa 55,6% merupakan pasien yang tamat sekolah dasar atau di bawahnya, 14,8% pasien

tamat sekolah menengah, dan 29,7% sekolah tinggi atau tingkat pendidikan lanjut. Hasil penilitian ini sebanding dengan penelitian tersebut yang menunjukkan bahwa subjek dengan pendidikan tamat sekolah dasar memiliki prevalensi tertinggi yaitu 45,3%. Disusul oleh tamat sekolah menengah atas (25,2%), tamat sekolah menengah pertama (15,3%), tidak tamat sekolah dasar (7,4%), tamat pendidikan lanjut (6,2%), dan tidak sekolah (0,6%).11 Studi KCHS juga menunjukkan bahwa subjek yang tidak memiliki pekerjaan memiliki prevalensi sebanyak 78,7% dibanding subjek yang bekerja.11 Hal ini sebanding dengan penelitian ini yang menunjukkan bahwa subjek yang tidak bekerja memiliki prevalensi tertinggi yaitu 56,4% disusul oleh pegawai (16,7%), wiraswasta (13,5%), petani/nelayan/buruh (9,7%), dan lainnya (3,7%).

Pada populasi Kaukasia sekitar 80% dari semua pasien stroke adalah iskemik, perdarahan intraserebral 10%–15%, perdarahan subarachnoid 5%, dan sisanya disebabkan oleh penyebab stroke lainnya. Studi dari negara-negara Asia menunjukkan bahwa proporsi perdarahan intraserebral lebih tinggi daripada orang Kaukasia dengan sekitar 20% sampai 30% mengalami stroke perdarahan. Sebuah tinjauan mengenai data epidemiologi stroke di Hongkong, Taiwan, Korea Selatan, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina dan Indonesia menunjukkan bahwa proporsi stroke iskemik dan perdarahan bervariasi dari 17% sampai 33%.2 Berdasarkan penelitian pada 96 pasien stroke yang dilakukan di RSUD Kabupaten Solok Selatan periode 1 Januari 2010 – 31 Juni 2012, stroke infark lebih banyak dibandingkan stroke perdarahan dengan persentase 61,46% penderita stroke infark dan hanya 38,54% penderita stroke perdarahan.4 Hasil penelitian ini sesuai dengan tinjauan pustaka dan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yaitu stroke iskemik lebih sering terjadi dibandingkan stroke perdarahan, diperkuat dengan sebuah penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Januari–Desember 2011 yang menunjukkan bahwa prevalensi kasus stroke terbanyak adalah stroke iskemik sebanyak 74%.10 Frekuensi, kejadian, dan prevalensi sindrom vertebrobasilar

Gambaran Faktor Risiko Kejadian Stroke di RSHS Bandung Periode Januari 2015–Desember 2016

Page 6: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

138 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

bervariasi, tergantung pada area yang terlibat. Sekitar 80–85% dari semua stroke adalah stroke iskemik, dan 20% lesi yang menghasilkan stroke terjadi pada sistem vertebrobasilar, lebih sedikit dibandingkan sistem karotis.12 Pada penelitian ini didapatkan bahwa lokasi sistem pembuluh darah yang sering terjadi pada pasien stroke adalah pada sistem karotis sebanyak 89,6%, sebanding dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.

Sebuah studi kohort yang dirancang untuk menilai faktor risiko stroke pada usia paruh baya (usia 47–55 tahun) selama 28 tahun menunjukkan bahwa hipertensi merupakan faktor risiko paling sering mengakibatkan stroke.13 Hipertensi adalah salah satu penyakit paling umum yang mempengaruhi sekitar 1,4 miliar orang di seluruh dunia. Prevalensi hipertensi terus meningkat seiring bertambahnya usia. Seiring bertambahnya usia penduduk di dunia, prevalensi hipertensi diperkirakan akan semakin meningkat. Risiko stroke meningkat secara drastis pada orang yang memiliki hipertensi tidak terkontrol. Sebuah penelitian berbasis populasi di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa 9% sampai 16% dari semua kasus stroke iskemik dapat dihindari dengan hanya menghilangkan hipertensi.14,15 Hasil penelitian ini sebanding dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, juga diperkuat dengan sebuah penelitian besar Interstroke studi yang melibatkan 22 negara dari tahun 2007–2010 yang menyatakan bahwa prevalensi tertinggi pada faktor risiko stroke adalah hipertensi (83%).16

III. Simpulan

Pada penelitian ini didapatkan bahwa insidensi pasien stroke di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung pada periode Januari 2015–Desember 2016 lebih banyak terjadi pada wanita, kelompok usia tua, pendidikan rendah, dan tidak bekerja. Kasus pasien stroke iskemik lebih sering terjadi dibandingkan dengan stroke perdarahan dengan lokasi terbanyak di sistem karotis. Hipertensi merupakan faktor risiko yang paling banyak diderita oleh pasien stroke di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung pada periode Januari 2015–Desember 2016.

Daftar Pustaka

1. Sacco RL, Kasner SE, Broderick JP, Caplan LR, Connors JJ, Culebras A, dkk. An updated definition of stroke for the 21st century: A statement for healthcare professionals from the AHA/ASA. Stroke. 2013;44(7):2064–89.

2. McMahon S, Chalmers J. Introduction: The global burden of stroke. Clinician's Manual on Blood Pressure and Stroke Prevention. SAGE Journals. 2002:1–6.

3. Benjamin EJ, Blaha MJ, Chiuve SE, Cushman M, Das SR, Deo R, et al. On behalf of the AHA Statistics Committee and Stroke Statistics Subcommittee. Heart disease and stroke statistics - 2017 update: a report from the AHA. Circulation. 2017;135:229–445.

4. Dinata CA, Safrita Y, Sastri S. Gambaran Faktor Risiko dan Tipe Stroke pada Pasien Rawat Inap di Bagian Penyakit Dalam RSUD Kabupaten Solok Selatan Periode 1 Januari 2010 - 31 Juni 2012. JKA. 2013;2(2):57–61.

5. Philip A, Wolf PA. Risk factors for stroke. Stroke. 2015;16(3):359–60.

6. ASA. Understanding Stroke Risk. 2014. Tersedia dari: http://www.strokeassociation.org

7. Haast RA, Gustafson DR, Kiliaan AJ. Sex differences in stroke. ISCBFM. 2012;32(12):2100–7.

8. Barker-collo S, Bennett DA, Krishnamurthi RV, Parmar P, Feigin VL, Naghavi M, dkk. Sex differences in stroke incidence, prevalence, mortality and disability-adjusted life years: results from the global burden of disease study 2013. Neuroepidemiology. 2015;45(3):203–14.

9. Jahirul MS, Choudhury H, Chowdhury TI, Nayeem A. Modifiable and non-modifiable risk factors of stroke: A review update. JNINB. 2015;1(1):22–26.

Page 7: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

139

10. Kartika PD. Gambaran faktor risiko penderita stroke di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Periode Januari-Desember 2011. MCUrepository. 2012;0–7.

11. Kim KJ, Heo M, Chun IA, Jun HJ, Lee JS, Jegal H, dkk. The relationship between stroke and quality of life in Korean adults: based on the 2010 Korean community health survey. JPTS. 2015;27(1):309–12.

12. Kamper L, Rybacki K, Mansour M, Winkler SB, Kempkes U, Haage P. Time management in acute vertebrobasilar occlusion. CVIR. 2009;32(2):226–2.

13. Harmsen P, Lappas G, Rosengren A, Wilhelmsen L. Long-term risk factors for stroke: twenty-eight years of follow-up of 7457 middle-aged men in Goteborg, Sweden.

Stroke. 2006;37(7):1663–67.

14. Kissela BM, Khoury J, Kleindorfer D, Woo D, Schneider A, Alwell K, dkk. Epidemiology of ischemic stroke in patients with diabetes. ADA. 2005;28(2):355–59.

15. Hisham NF, Bayraktutan U. Epidemiology, pathophysiology, and treatment of hypertension in ischaemic stroke patients. J. Stroke Cerebrovasc. Dis. 2013;22(7):4–14.

16. Donnell MJO, Xavier D, Liu L, Zhang H, Chin SL, Rao-melacini P, dkk. Risk factors for ischaemic and intracerebral haemorrhagic stroke in 22 countries (the interstroke study): a case-control study. Lancet. 2010;376(9735):112-123.

Gambaran Faktor Risiko Kejadian Stroke di RSHS Bandung Periode Januari 2015–Desember 2016

Page 8: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

140

Perbandingan Status Nutrisi Minggu Pertama pada Pasien Pascacedera Otak Traumatik Sedang dan Berat yang Dirawat di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Dinilai dengan

Subjective Global Assessment (SGA)

Tengku Addi Saputra, Dewi Yulianti Bisri, Tatang BisriDepartemen Anestesiologi dan Terapi Intensif

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran-RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Latar Belakang dan Tujuan: Penilaian status nutrisi merupakan hal vital untuk menentukan rencana pemberian nutrisi dan memperbaiki luaran pasien dengan cedera otak traumatik (COT). Pada pasien COT terjadi hipermetabolisme, hiperkatabolisme, dan intoleransi glukosa yang dapat mempengaruhi luaran pasien. Penilaian status gizi dilakukan dengan Subjective Global Assessment (SGA). Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan status nutrisi antara pasien COT sedang dan berat yang dinilai dengan SGA.Subjek dan Metode: Penelitian observasional analitik cross sectional ini dilakukan pada 22 pasien COT yang dirawat di RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung sejak November 2016 - Juli 2017, yang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu COT sedang dan berat. Status nutrisi subjek penelitian dinilai dengan SGA selama 7 hari. Analisis data dilakukan dengan Chi Square, Kolmogorof-Smirnof dan Exact Fisher. Hasil: Terdapat perbedaan status nutrisi yang signifikan antara kelompok COT sedang dan berat pada hari perawatan ke-6 dan 7, dimana lebih banyak didapatkan malnutrisi berat pada kelompok COT berat (p<0,05).Simpulan: Pada penelitian ini malnutrisi lebih banyak terjadi pada pasien dengan COT berat, disebabkan oleh perlambatan pemberian nutrisi akibat disfungsi gastrointestinal yang terjadi pada pasien COT berat sehingga diperlukan strategi pemberian nutrisi khusus pada kelompok COT berat.

Kata kunci: cedera otak traumatik, SGA, status nutrisiJNI 2018;7(3): 140–49

Comparison of a One Week Nutritional Status between Moderate and Severe Traumatic Brain Injury Patient in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Assessed with Subjective

Global Assessment (SGA)

Abstract

Background and Objective: Assessment of nutritional status is vital in determining nutritional plans and improving outcomes of traumatic brain injury (TBI) patients. Hypermetabolism, hypercatabolism, and glucose intolerance occur in patients with TBI can affect its outcome. The used nutritional status assessment is Subjective Global Assessment (SGA). The aim of this study was to compare nutritional status in moderate and severe TBI patients assesed with SGA.Subject and Method: This cross sectional observational analytic study was conducted on 22 TBI patients treated in RSUP DR. Hasan Sadikin Bandung since November 2016 - July 2017, divided into 2 groups, moderate and severe TBI. Assessment of SGA in study subjects was conducted for 7 days. Data was analyzed with Chi Square, Kolmogorof-Smirnof and Exact Fisher test. Results: This study showed a significant difference in nutritional status between moderate and severe TBI groups during the 6th and 7th treatment days, whereas more severe malnutrition was found in the severe TBI group (p <0.05).Conclusion: Compares to patients with moderate TBI, malnutrition is more prevalent in patients with severe TBI, because of delayed of nutrient delivery due to gastrointestinal dysfunction occurring in severe TBI patients requiring specific nutritional strategies in severe TBI group.

Key words: traumatic brain injury, SGA, nutritional status

JNI 2018;7(3): 140–49

Page 9: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

141

I. Pendahuluan

Nutrisi merupakan aspek penting pada penatalaksanaan pasien kritis dengan cedera otak traumatik (COT) namun seringkali tidak menjadi prioritas. Pemberian nutrisi perlu dilakukan sesegera mungkin setelah kondisi pasien stabil dan pemberian terapi. Dukungan nutrisi yang tepat akan meningkatkan luaran pasien. Sebuah rekomendasi berdasarkan Bendo, menyarankan pasien harus diberikan nutrisi penuh dalam 7 hari setelah trauma.1-3 Perubahan metabolisme yang terjadi pada COT yaitu hipermetabolik dan katabolik yang meningkatkan kebutuhan energi sistemik dan serebral serta mempengaruhi homeostasis nitrogen.1,4-6 Bila disertai dengan imobilitas, hiperkatabolisme akan meningkatkan risiko malnutrisi.7 Pasien COT memiliki risiko malnutrisi, imunokompromais, dan penyembuhan yang lambat bila kebutuhan nutrisi terutama protein tidak terpenuhi.2 Malnutrisi dilaporkan mempengaruhi morbiditas dan mortalitas pasien COT.3, 6

Monitoring status nutrisi pada pasien COT merupakan hal penting karena dapat menjadi panduan manajemen nutrisi yang lebih baik.4 Penilaian status nutrisi dilakukan dengan Subjective Global Assessment (SGA) yaitu alat penilaian nutrisi yang didesain oleh Baker, dkk pada tahun 1982 untuk mengidentifikasi risiko luaran yang buruk berhubungan dengan status nutrisi yang lebih buruk pada pasien surgikal. Subjective Global Assessment (SGA) terdiri dari kuesioner yang menanyakan riwayat klinis dan pemeriksaan fisik kemudian pasien dikelompokkan menjadi ternutrisi normal (A), cukup atau dicurigai malnutrisi (B) atau malnutrisi berat (C).8, 9

Subjective Global Assessment (SGA) memberikan gambaran yang sama atau lebih baik dari metode penilaian lain seperti antropometri dan data laboratorium. Subjective Global Assessment (SGA) juga dikatakan dapat mendeteksi malnutrisi secara dini.9 Penelitian mengemukakan bahwa pasien COT akan dapat kehilangan berat badan 15% per minggu.6 Selain itu, sekitar 68% pasien dengan COT menunjukkan tanda malnutrisi

dalam 2 bulan setelah trauma. Penelitian lain menyatakan rendahnya nilai Glasgow Outcome Scale (GOS) 6 bulan setelah COT pada pasien dengan malnutrisi.7,10 Penelitian di India terhadap 88 pasien dengan COT berat (GCS <8) menggambarkan peningkatan progresif prevalensi malnutrisi pada pasien yang dirawat dengan COT berat dan 75% terjadi dalam 3 minggu. Adanya tanda klinis malnutrisi berhubungan dengan luaran yang buruk dalam 6 bulan setelah COT.10

Penelitian lain di Boston terhadap 1.685 pasien dengan COT yang mendapatkan perawatan di ICU antara tahun 1997 dan 2011 menyatakan bahwa pasien dengan malnutrisi memiliki risiko mortalitas dalam 30 hari 1,7 kali lebih tinggi dan mortalitas dalam 90 hari 1,9 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa malnutrisi (p<0,001). Pada pasien yang bertahan hingga keluar dari rumah sakit, terdapat peningkatan 50% mortalitas 90 hari (p 0,059) dan 40% mortalitas 365 hari setelah perawatan (p=0,035) pada pasien yang dirawat di ICU dengan malnutrisi.4

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk memonitor status nutrisi pada pasien dengan COT namun belum ada penelitian mengenai kondisi nutrisi pada pasien COT yang dirawat di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung dengan penilaian SGA. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan status nutrisi antara pasien COT sedang dan berat di RSUP Dr. Hasan Sadikin dinilai dengan SGA.

II. Subjek dan Metode

Penelitian ini bersifat observasional analitik yang dilakukan pada 22 pasien dengan cedera otak traumatik (COT) sedang dan berat yang dirawat di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian dilakukan pada bulan November 2016 Juli 2017. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien COT sedang dan berat (GCS <13) pasca operasi yang di rawat di ruang intensif RSHS, usia 18 – 60 tahun. Kriteria eksklusi meliputi pasien dengan trauma di tempat lain, pasien memiliki penyakit metabolik sebelumnya. Pasien dikeluarkan dari penelitian bila pasien meninggal selama waktu pengambilan sampel. Perhitungan besar sampel dilakukan berdasarkan perhitungan

Perbandingan Status Nutrisi Minggu Pertama pada Pasien Pascacedera Otak Traumatik Sedang dan Berat yang Dirawat di RSUP Dr. Hasan Sadikin

Bandung Dinilai dengan Subjective Global Assessment (SGA)

Page 10: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

142 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

statistik dengan menetapkan taraf kepercayaan 90% dan kuasa uji (power test) 80%. Dengan menggunakan rumus penentuan besar sampel untuk penelitian analitis kategorik numerik tidak berpasangan didapatkan jumlah sampel sebanyak 22 orang. Sampel dibagi berdasarkan GCS menjadi kelompok COT sedang (GCS 9 13) dan COT berat (GCS 3 8), masing-masing berjumlah 11 orang. Pengambilan sampel dengan consecutive sampling.

Setelah mendapatkan persetujuan dari Komite Etik dan Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, peserta penelitian dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang akan dilakukan informed consent mengenai penelitian yang dilaksanakan. Pencatatan awal pasien meliputi identitas, diagnosis, dan GCS saat pasien di ruang intensif pascaoperatif. Penilaian kondisi nutrisi dilakukan setiap hari dengan formulir SGA, dimulai dari pasien masuk hingga 7 hari pasien dirawat di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung dan tidak ada intervensi perlakuan dari peneliti terhadap pasien sebagai subjek penelitian.

Prosedur pengukuran berat badan digunakan hospital bed elektrik dengan timbangan.

Cedera Otak Traumatik Nilai PVariabel Sedang BeratUsia 0,652 Mean ± Std 32,72±15,919 30,27±17,550BMI 0,133 Mean ± Std 21,60±1,832 19,80±3,364Diagnosa 0,993 EDH 7(7/11) 5(5/11) EDH dan ICH 1(1/11) 1(1/11) ICH 1(1/11) 1(1/11) SAB dan SBF 0(0/11) 1(1/11) SDH 2(2/11) 3(3/11)

Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian

Keterangan: Untuk data numerik nilai p diuji dengan uji T tidak berpasangan apabila data berdsitribusi normal dengan alternatif Uji Mann Whitney apabila data tidak berdistribusi normal. Data kategorik nilai p dihitung berdasarkan Uji Chi-Square dengan alternative Uji Kolmogorov Smirnov dan Exact Fisher apabila syarat dari Chi-Square tidak terpenuhi.Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05. Tanda* menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifkan atau bermakna secara statistik. EDH: Epidural hematoma; ICH: intracranial hematoma; SDH: Subdural hematoma; SAB: Subarachnoid bleeding; SBF: Skull base fractures

Pemberian nutrisi enteral pada hari perawatan ke dua. Analisis data untuk data kategorik diuji dengan uji Chi-Square, untuk data numerik dinilai dengan uji normalitas Shapiro Wilks test kemudian uji Mann Whitney. Uji Statistika untuk membandingkan karakteristik lebih dari dua kelompok berpasangan digunakan uji Repeated ANOVA. Kriteria kemaknaan yang digunakan adalah nilai p apabila p≤0,05 artinya signifikan atau bermakna secara statistika. Data yang diperoleh dicatat dalam formulir khusus kemudian diolah melalui program Statistical Product & Service Solution (SPSS) versi 21.0 for Windows.

III. Hasil

Penelitian dilakukan pada 22 pasien dengan COT sedang (GCS 9 13) dan berat (GCS 3 8) yang dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan GCS masing-masing 11 orang yang diambil berdasarkan consecutive sampling. Kedua kelompok memiliki usia, body mass index (BMI), dan diagnosa yang tidak berbeda secara statistik sehingga layak dibandingkan (Tabel 1).Distribusi nilai SGA tidak berbeda secara signifikan antara kelompok COT sedang dan berat dari hari ke 1 hingga hari ke 5 (p>0,05).

Page 11: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

143

Cedera Otak Traumatik Nilai PSGA Sedang

N=11BeratN=11

SGA hari Ke-1 1,000 A 0(0/11) 0(0/11) B 11(11/11) 11(11/11) C 0(0/11) 0(0/11)SGA hari ke-2 1,000 A 0(0/11) 0(0/11) B 11(11/11) 11(11/11) C 0(0/11) 0(0/11)SGA hari ke-3 0,476 A 0(0/11) 0(0/11) B 11(11/11) 9(9/11) C 0(0/11) 2(2/11)SGA hari ke-4 0,206 A 2(2/11) 0(0/11) B 8(8/11) 6(6/11) C 0(0/11) 5(5/11)SGA hari ke-5 0,206 A 3(3/11) 0(0/11) B 8(8/11) 6(6/11) C 0(0/11) 5(5/11)SGA hari ke-6 0,001** A 9(9/11) 0(0/11) B 2(2/11) 6(6/11) C 0(0/11) 5(5/11)SGA hari ke-7 0,000** A 10(10/11) 0(0/11) B 1(1/11) 6(6/11) C 0(0/11) 5(5/11)

Keterangan: SGA A: normal, SGA B: cukup/curiga malnutrisi, SGA C: malnutrisi berat. Untuk Data kategorik nilai p dihitung berdasarkan Uji Chi-Square dengan alternatif Uji Kolmogorov Smirnov dan Exact Fisher apabila syarat dari Chi-Square tidak terpenuhi.Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05. Tanda* menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifikan atau bermakna secara statistik.

Tabel 2. Perbandingan SGA Hari ke-1 sampai Hari ke-7 pada Kelompok Cedera Otak Traumatik Sedang dan Berat

Namun perubahan distribusi nilai SGA terjadi secara signifikan pada hari ke 6 dan hari ke 7, SGA yang lebih rendah (kelompok malnutrisi berat) didapatkan lebih banyak pada kelompok COT berat secara signifikan pada hari ke 6 dan ke

7 (p<0,05;Tabel 2). Pasien dengan COT sedang memiliki delta penurunan berat badan yang lebih kecil dibandingkan dengan pasien dengan COT berat dengan perbedaan yang signifikan (p<0,05;Tabel 3).

Perbandingan Status Nutrisi Minggu Pertama pada Pasien Pascacedera Otak Traumatik Sedang dan Berat yang Dirawat di RSUP Dr. Hasan Sadikin

Bandung Dinilai dengan Subjective Global Assessment (SGA)

Page 12: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

144 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Tabel 3. Perbandingan Delta Penurunan Berat Badan Hari ke-1 sampai Hari ke-7 antara Kelompok Cedera Otak Traumatik Sedang dan Berat

Delta Penurunan Berat Badan Cedera Otak TraumatikSedang BeratN=11 N=11

Hari 1 ke hari 2 Mean ± Std 0,10±0,077 0,19±0,130 Median 0,100 0,200 Range (min-max) 0,20-0,00 0,50-0,00Hari 2 ke hari 3 Mean ± Std 0,06±0,050 0,08±0,116 Median 0,100 0,100 Range (min-max) Range (min-max) 0,30-0,10Hari 3 ke hari 4 Mean ± Std 0,06±0,050 0,26±0,287 Median 0,100 0,100 Range (min-max) 0,10-0,00 0,90-0,00Hari 4 ke hari 5 Mean ± Std 0,04±0,052 0,39±0,470 Median 0,000 0,100 Range (min-max) 0,10-0,00 1,20-0,00Hari 5 ke hari 6 Mean ± Std 0,06±0,050 0,58±0,563 Median 0,100 0,200 Range (min-max) 0,10-0,00 1,50-0,00Hari 6 ke hari 7 Mean ± Std 0,23±0,136 0,68±0,604 Median 0,200 0,400 Range (min-max) 0,50-0,00 0,400

Nilai P 0,002** 0,002**Keterangan: Untuk data numerik nilai p diuji dengan uji T tidak berpasangan apabila data berdsitribusi normal dengan alternatif uji Mann Whitney apabila data tidak berdistribusi normal. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05.Tanda* menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifkan atau bermakna secara statistik

IV. Pembahasan

Pada penelitian ini dilakukan penilaian SGA pada pasien COT sedang dan COT berat yang dirawat di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah pasien yang mengalami malnutrisi berat mulai didapatkan pada hari ke-3 dan bertambah setiap harinya hingga signifikan secara statistik dibandingkan

dengan pasien dengan COT sedang dan COT berat pada hari perawatan ke-6 dan ke-7 dengan p 0,001 dan 0,000 berturut-turut. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya di India terhadap 88 pasien dengan COT berat (GCS <8) menggambarkan peningkatan progresif prevalensi malnutrisi pada pasien yang dirawat dengan COT berat.10 Pada kelompok COT sedang, pada penelitian ini didapatkan pada hari

Page 13: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

145 Perbandingan Status Nutrisi Minggu Pertama pada Pasien Pascacedera Otak Traumatik Sedang dan Berat yang Dirawat di RSUP Dr. Hasan Sadikin

Bandung Dinilai dengan Subjective Global Assessment (SGA)

Page 14: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

146 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Page 15: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

147

ke-4 jumlah pasien yang dikelompokkan menjadi SGA A (ternutrisi baik) bertambah, dan jumlah pasien yang dikelompokkan menjadi SGA B (ternutrisi cukup/curiga malnutrisi) berkurang. Hal ini menandakan perbaikan nutrisi pada kelompok COT sedang. Pemberian nutrisi pada pasien dengan COT sedang tidak mengalami masalah. Hal ini sesuai dengan rekomendasi yang menyarankan pasien harus diberikan nutrisi penuh dalam 7 hari setelah trauma.1-3 Pemberian nutrisi harus dimulai sejak dini dalam 24–48 jam dan berdasarkan kebutuhan nutrisi pasien tersebut selama 48–72 jam berikutnya. Proses ini terkadang menjadi tantangan pada pasien dengan COT berat karena pada COT berat dapat terjadi atoni gaster, ileus, dan ulkus yang disebabkan oleh stress.2

Pasien dengan COT mengalami peningkatan respon stress yang ditandai dengan peningkatan katekolamin serta mediator inflamasi lainnya.3 Stimulasi simpatoadrenal akibat trauma mengakibatkan pelepasan katekolamin yang memegang peranan penting pada regulasi resistensi pembuluh darah arteri dan kapasitansi pembuluh darah vena. Katekolamin mengakibatkan konstriksi pada pembuluh darah arterial dan vena pada sistem splanchnic.11 Skor GCS yang rendah berhubungan dengan makin meningkatnya kadar katekolamin yang dilepaskan. Pada beberapa penelitian, hiperaktivitas simpatis terjadi setelah COT berat.12,13 Semakin tinggi katekolamin yang dilepaskan, semakin rendah perfusi pada sistem gastrointestinal sehingga terjadi disfungsi gastrointestinal.14 Disfungsi gastrointestinal pasien COT sedang dan berat mengakibatkan jumlah volume residu gaster yang lebih tinggi sehingga pemberian nutrisi enteral sulit dilakukan.15,16

Pemberian nutrisi enteral pada penelitian ini diberikan pada hari ke 2 sesuai dengan panduan pemberian nutrisi pada pasien COT, namun pada beberapa pasien di kelompok COT berat terjadi gangguan pengosongan lambung sehingga pasien kembali dipuasakan ataupun dikurangi jumlah pemberian nutrisinya.6 Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan malnutrisi pada kelompok COT berat. Salah satu tanda malnutrisi

adalah penurunan berat badan. Penelitian ini terjadi penurunan berat badan >10% pada pasien dengan COT terutama pada COT berat pada hari ke-6 dan ke-7 sehingga pada hari tersebut lebih banyak pasien COT berat yang dikelompokkan menjadi kelompok C (malnutrisi berat). Penelitian ini sesuai dengan literatur yang menyatakan terjadi kehilangan berat badan 15% perminggu pada pasien COT.6 Tabel 3 membuktikan bahwa terdapat perbedaan berat badan yang signifikan setiap harinya pada kelompok COT sedang dan COT berat. Selain itu perubahan berat badan yang signifikan terjadi setiap harinya pada kelompok COT berat (p< 0,05) sehingga menguatkan bukti bahwa malnutrisi terjadi pada kelompok COT berat. Malnutrisi yang terjadi pada pasien dengan COT berat dapat disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu hiperkatabolisme yang terjadi pada pasien COT berat, perlambatan pemberian nutrisi enteral akibat disfungsi gastrointestinal pasca COT, pemberian protein yang kurang, ataupun kadar albumin yang rendah.1,2,6,10,17

Pada penelitian sebelumnya juga dikatakan bahwa bila disertai dengan imobilitas, hiperkatabolisme akan meningkatkan risiko malnutrisi. Hal ini sesuai dengan penelitian ini, dimana pasien dengan COT berat sebagian besar terhubung dengan ventilator dan imobile akibat sedasi yang diberikan ataupun GCS yang rendah dan kondisi pasien bertambah buruk.7 Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, pada penelitian ini pemberian nutrisi enteral pada kedua kelompok COT dimulai sejak hari perawatan ke-2. Namun pada pasien dengan COT berat terjadi perlambatan pengosongan lambung, sehingga pada beberapa pasien terdapat penundaan nutrisi dan juga pengurangan jumlah nutrisi yang diberikan. Jumlah protein yang diberikan pada setiap pasien telah dihitung oleh nutrisionis dengan mempertimbangkan hiperkatabolisme yang terjadi pada pasien dengan COT terutama COT berat, namun akibat pemberian nutrisi enteral yang terhambat, asupan protein yang diberikan pun akan berkurang. Kadar albumin pada setiap pasien pada penelitian ini tidak diukur, namun, dapat dianggap normal karena semua pasien memiliki BMI yang normal pada semua kelompok.

Perbandingan Status Nutrisi Minggu Pertama pada Pasien Pascacedera Otak Traumatik Sedang dan Berat yang Dirawat di RSUP Dr. Hasan Sadikin

Bandung Dinilai dengan Subjective Global Assessment (SGA)

Page 16: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

148 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

IV. Simpulan

Pasien COT berat memiliki status nutrisi yang lebih buruk dibandingkan pasien COT sedang, disebabkan penundaan pemberian nutrisi ataupun pengurangan jumlah nutrisi karena gangguan pengosongan lambung yang terjadi pasca COT akibat kondisi pasien yg memburuk. Malnutrisi berat mulai terjadi pada kelompok COT berat dari hari perawatan ke-3. Pada kelompok COT sedang terjadi perbaikan nutrisi yang mulai terjadi pada hari ke-4. Pasien dengan COT berat mengalami penurunan berat badan yang signifikan setiap harinya dari hari ke-1 hingga hari ke-7 perawatan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai status gizi dan malnutrisi yang terjadi pada pasien COT, terutama COT berat serta dapat digunakan untuk data penelitian selanjutnya serta bermanfaat untuk menentukan strategi pemberian nutrisi pada pasien dengan COT berat sehingga dapat mengurangi angka terjadinya malnutrisi.

Daftar Pustaka

1. Hartl R, Gerber L, Ni Q, Ghajar J. Effect of early nutrition on deaths due to severe traumatic brain injury. J Neurosurg. 2008;109(1):50–6.

2. Stutz HR, Charchaflieh J. Postoperative and intensive care including head injury and multisystem sequelae. Dalam: Cottrell JE, Young WL, penyunting. Cottrell and Young's Neuroanesthesia. Edisi ke-5. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2010, 407–8.

3. Campos BBNdS, Machado FS. Nutrition therapy in severe head trauma patients. Rev Bras Ter Intensiva. 2012;24(1):97–105.

4. Peetz A, Mogensen K, Rawn J, Salim A, Christopher K. Traumatic brain injury, nutritional status and outcomes: a registry based cohort study. Intens Care Med Experiment. 2015;3(Suppl 1):A437.

5. Wang X, Dong Y, Han X, Qi X-Q, Huang C-G, Hou L-J. Nutritional support for patients

sustaining traumatic brain injury: a systematic review and meta-analysis of prospective studies. PLOS ONE. 2013;8(3):e58838.

6. Bisri T. Terapi nutrisi pada pasien cedera kepala berat. Penanganan Neuroanestesia dan Critical Care Cedera Otak Traumatik. Edisi. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; 2011, 229–4.

7. Costello L, Lithander F, Gruen R, William L. Nutrition therapy in the optimisation of health outcomes in adult patients with moderate to severe traumatic brain injury: findings from a scoping review. Injury. 2014;45(12):1834–4.

8. Azim A, Ahmed A. Nutrition in neurocritical care. Neurol India. 2016;64(1):105–14.

9. Fink JdS, Mello PDd, Mello EDd. Subjective global assessment of nutritional status : a systematic review of the literature. Clin Nutr. 2015;XXX:1–8.

10. Dhandapani S, Manju D, Sharma B, Mahapatra A. Clinical malnutrition in severe traumatic brain injury: factors associated and outcome at 6 months. Indian J Neurotrauma. 2007;4(1):35–9.

11. Gelman S, Mushlin PS. Catecholamine-induced changes in the splanchnic circulation affecting systemic hemodynamics. Anesthesiology. 2004;100(1):434–9.

12. Choi HA, Jeon S-B, Samuel S, Allison T, Lee K. Paroxysmal sympathetic hyperactivity after acute brain injury. Curr Neurol Neurosci Rep. 2013;13(1):370–80.

13. Fernandez-Ortega JF, Baguley IJ, Gates TA, Garcia-Caballero M, Quesada-Garcia JG, Prieto-Palomino MA. Catecholamines and paroxysmal sympathetic hyperactivity after traumatic brain injury. J Neurotrauma. 2017;34(1):109–14.

14. Takala J. Determinants of splanchnic blood flow. Br J Anaesth. 1997;77(1):50–8.

Page 17: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

149

15. Blaser AR, Malbrain MLNG, Starkopf J, Fruhwald S, Jakob SM, Waele JD, dkk. Gastrointestinal function in intensive care patients: terminology, definition, and management. Recommendation of the ESICM Working Group on Abdominal Problems. J Intensive Care Med. 2012;38(1):384–94.

16. Hurt RT, McClave SA. Gastric residual volumes in critical illness: what do they really mean? Crit Care Clin. 2010;26(1):481–90.

17. Kao C-H, Lai S-PC, Chieng P-U, Yen T-C. Gastric emptying in head-injured patients. Am J Gastroenterol. 1998;93(7):1108–12.

Perbandingan Status Nutrisi Minggu Pertama pada Pasien Pascacedera Otak Traumatik Sedang dan Berat yang Dirawat di RSUP Dr. Hasan Sadikin

Bandung Dinilai dengan Subjective Global Assessment (SGA)

Page 18: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

150

Manajemen Anestesi untuk Awake Craniotomy pada Space Occupying Lesion Lobus Frontalis Kiri

Ferry Ferdyansyah, M. Sofyan HarahapDepartemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro-RSUP Dr. Kariadi

Semarang Abstrak

Tumor intrakranial adalah suatu lesi ekspansif yang membentuk massa dalam ruang tengkorak. Kami melaporkan manajemen anestesi pada pasien dengan tumor intrakranial yang menjalani prosedur awake craniotomy. Seorang laki-laki berumur 39 tahun, berat badan 60 kg dengan riwayat epilepsi ditemukan space occupying lession pada lobus frontalis kiri setelah dilakukan CT-scan kepala. Prosedur awake craniotomy untuk pengangkatan tumor dilakukan karena lokasi tumor berada di dekat area Broca. Awake craniotomy dilakukan dengan kombinasi anestesi intravena (i.v) dexmedetomidin dan blok scalp. Premedikasi midazolam 2 mg i.v dan oksigenasi 3 liter/menit nasal diberikan dari awal proses operasi. Pasien diberikan dexmedetomidine loading dose 1 mcg/kgBB dalam 15 menit dan fentanyl 1 mcg/kgBB i.v sebelum dilakukan blok scalp dengan injeksi bupivacain isobarik 0,5% dicampur pehacain 1:1, total 40 ml untuk kedua sisi kepala. Infiltrasi larutan bupivacain-pehacain tambahan diberikan 2,5 ml pada setiap titik pin holder fiksasi kepala dipasang. Pemeliharaan anestesi dijaga dengan infus kontinyu dexmedetomidin 0,5-0,7 mcg/KgBB/jam i.v selama pasien terbangun dan propofol 0,05 – 0,1 mg/kgBB/menit i.v ditambahkan apabila pasien ditidurkan. Mannitol 1 g/kgBB i.v diberikan 15 menit sebelum duramater dibuka. Proses kraniotomi berjalan 4 jam. Selama operasi berlangsung pasien tidak mengalami perubahan hemodinamik yang signifikan, tekanan darah rata-rata 95–69 mmHg, laju nadi 56–63 x/mnt, SpO2 100% dengan VAS 0-1. Pasca operasi, pasien stabil dan pindah ke ruangan setelah diobservasi selama 1 jam di ruang pemulihan.

Kata kunci : Awake craniotomy, blok scalp, dexmedetomidin, propofol

JNI 2018;7(3): 150–56

Anesthesia Management for Awake Craniotomy on Left Frontal Lobe Solid Occupiying Lesion

Abstract

Intracranial tumors are an expansive lesion that forms masses in the skull space. We report anesthesia management in patients with intracranial tumors who undergo awake craniotomy procedures. A 39-year-old male weighing 60 kg with a history of epilepsy found space occupying lession in the left frontal lobe after a head CT scan. The awake craniotomy procedure for removal of the tumor is done because the location of the tumor is near the Broca area. Awake craniotomy is performed with a combination of dexmedetomidine intravenous (i.v) and scalp block. Premedication with 2 mg midazolam i.v and oxygenation of 3 liters / minute nasal was given from the beginning of the surgery. The patient was given dexmedetomidine loading dose of 1 mcg/kg in 15 minutes and fentanyl 1 mcg/kg i.v before scalp block was done with 0.5% isobaric bupivacain injection mixed with 1: 1 Pehacain, a total of 40 ml for both sides of the head. Additional infiltration of bupivacain-pehacain solution was given 2.5 ml at each point the head fixation pin holder was installed. Maintenance of anesthesia is maintained with a continuous infusion of dexmedetomidine 0.5-0.7 mcg/Kg/h i.v as long as the patient is awake and propofol 0.05 - 0.1 mg/kg/minute i.v is added when the patient is put to sleep. Mannitol 1 g/kg i.v is given, 15 minutes before the duramater is opened. The craniotomy process runs 4 hours. During surgery, the patient does not experience significant hemodynamic changes, Mean Blood Pressure is 95-69 mmHg, heart rate 56-63 x/min, SpO2 100% with VAS 0-1. After surgery, the patient was stable and moved to the ward after being observed for 1 hour in the recovery room.

Key words: Awake craniotomy, scalp block, dexmedetomidine, propofol

JNI 2018;7(3): 150–56

Page 19: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

151

I. Pendahuluan

Tumor intrakranial adalah suatu lesi ekspansif yang bersifat jinak (benigna) ataupun ganas (maligna), membentuk massa dalam ruang tengkorak kepala yang membutuhkan suatu pengertian mengenai patofisiologi dari penekanan tekanan intrakranial, pengaturan dan pemeliharaan perfusi intraserebral. Kami melaporkan manajemen anestesi pada pasien laki laki dengan tumor intrakranial yang menjalani prosedur awake craniotomy. Awake Craniotomy adalah teknik yang penting digunakan untuk eksisi tumor otak pada area korteks bahasa dan operasi epilepsi. Teknik ini bermanfaat dalam meningkatkan keberhasilan pengangkatan lesi tumor, meningkatkan kelangsungan hidup pasca operasi1, memberikan kesempatan mapping cortex dan subcortex2, untuk meminimalkan kerusakan korteks bahasa dan meminimalkan disfungsi neurologis pasca operasi.3 Keunggulan lainnya termasuk waktu rawat inap yang lebih pendek, maka biaya perawatan berkurang, dan menurunkan insiden komplikasi pasca operasi seperti mual dan muntah.

Istilah awake craniotomy sebenarnya menyesatkan, karena pasien tidak sepenuhnya terjaga untuk keseluruhan prosedur. Pasien diperlukan untuk sepenuhnya bangun dan kooperatif selama tes neurologik, selama prosedur pemetaan dan selama reseksi lesi terjadi.4 Teknik anestesi umum yang digunakan adalah sedasi saja atau anestesi umum, dan membangunkan pasien untuk pemetaan kortikal dan reseksi, dengan opsi pasien ditidurkan kembali dalam anestesi umum untuk penutupan.

II. Kasus

Seorang pasien laki-laki 39 tahun, dengan berat badan 60 kg, didiagnosis adanya massa intracranial pada kortikal lobus frontal kiri dengan riwayat kejang berulang sehingga didiagnosis mengidap epilepsi. Pasien dilakukan kraniotomi untuk mengeluarkan massa.

Pemeriksaan FisikTekanan darah saat masuk kamar operasi 122/76

Gambar 1. CT scan kepala

mmHg, laju nadi 66 kali/menit, laju nafas 15 kali/menit, suhu 36,7o C, dan GCS E4 V5 M6. Mata pupil isokor, Mallampati II, pemeriksaan jantung dan paru dalam batas normal, dan fungsi motorik dalam batas normal.

Pemeriksaan LaboratoriumDari pemeriksaan darah rutin Hb 15 gr/dL, hematokrit 35 %, leukosit 10.500/L, trombosit 256.000/L dengan hasil laboratorium kimia darah lain dalam batas normal. Hasil elektrokardiografi irama normosinus dan hasil thorax foto sehari sebelum operasi ada infiltrat di lapang paru kiri bawah curiga bronkopneumonia. Hasil CT scan kepala memberi kesan: tampak massa solid pada kortikal lobus frontal kiri ukuran 2,2 x 2,4 x 3,1 cm dan tidak tampak peningkatan intrakranial.

Manajemen Anestesi untuk Awake Craniotomy pada Space Occupying Lesion Lobus Frontalis Kiri

Pengelolaan AnestesiPasien diberikan premedikasi ondansetron 4 mg intravena (i.v), dexametason 10 mg iv dan midazolam 2 mg iv. Di kamar operasi, pasien diberi oksigen dengan nasal kanul 3 Liter/menit dan dexmedetomidine loading dose 1 mcg/kgBB iv diberikan dalam waktu 15 menit dengan syringe pump. Pasang jalur infus kedua dengan abocath 20 G dan pasang kateter urin dilakukan setelah loading dexmedetomidine selesai, kemudian lanjutkan pemberian dexmedetomidine dengan dosis rumatan 0,5 – 0,7 mcg/kgBB/jam. Pasien

Page 20: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

152 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

diberikan fentanyl 1 mcg/kgBB dan parasetamol 1 g infus lalu dilakukan scalp block dengan injeksi bupivacain isobarik 0,5% dicampur pehacain dengan perbandingan 1:1, dengan total 40 ml larutan campuran bupivacain-pehacain untuk kedua sisi kepala. Saat pemasangan elektroda-elektroda electromyography (EMG) pasien diberikan propofol loading 20 mg dilanjutkan rumatan 0,05 mg/kgBB/menit IV dengan syring pump. Lalu propofol dihentikan setelah semua elekroda terpasang. Fentanyl 1 mcg/kgBB/menit diberikan intermiten setiap 1 jam. Injeksi infiltrasi larutan bupivacain-pehacain tambahan diberikan 2,5–3 ml pada setiap titik pin holder tempat fiksasi kepala dipasang. Ramsay score antara 3 dan 4 dipertahankan dengan titrasi dari dosis dexmedetomidine 0,4 sampai dengan 0,7 mcg/kgbb/menit. Pemeriksaan elektrofisiologi selama operasi dapat berjalan baik dan dilakukan oleh ahli neurologi, demikian juga tes bicara, mengartikan gambar dan tes motorik dapat dilakukan dengan baik. Pasca pemetaan dan eksisi tumor pasien ditidurkan dengan menjalankan kembali rumatan propofol 0,05–0,1 mg/kgBB/menit IV dengan syring pump. Proses kraniotomi berjalan 4 jam. Saat operasi berlangsung, pasien tidak mengalami perubahan hemodinamik yang signifikan. Selama operasi, tekanan darah rata-rata (MAP) pasien berada dikisaran 95 – 69 mmHg, laju nadi 56 – 63 x/mnt dan SpO2 100% dengan perdarahan sekitar 300 ml. Pasien tidak mengeluh selama operasi dengan visual analog scale (VAS) 0-1.

Pengelolaan PascabedahSetelah operasi, kondisi pasien stabil dengan Glasgow Coma Scale 15, tanda vital dalam batas normal dan VAS 0–1 di ruang pulih sadar, kemudian dipindahkan ke ruangan perawatan biasa setelah di observasi selama 1 jam di ruang pulih sadar.

III. Pembahasan

Obat – obat IntravenaDexmedetomidin Dexmedetomidin adalah suatu super-selektif alpha-2 adrenegik agonis dengan perbandingan alpha-2:alpha-1 sebesar 1600:1. Mempunyai efek sedatif juga analgesik, dan anesthesia sparring

effect-nya menurunkan kebutuhan akan obat anestesi intravena, obat anestesi inhalasi, dan obat analgetik narkotik lainnya. Menurunkan tekanan darah dan denyut jantung. Efek sedasi tidak disertai dengan efek depresi nafas, dan pasien mudah dibangunkan dan kooperatif. Aktivasi reseptor alpha-2 dari dexmetomidin dapat menimbulkan sedasi dan ansiolisis, analgesia, penurunan katekolamin plasma, mempunyai efek hipotensi dan bradikardi. Efek dexmedetomidin pada aliran darah otak pada binatang percobaan menunjukkan adanya penurunan aliran darah otak sampai 45%, tidak mempunyai pengaruh pada metabolisme otak, vasokonstriksi arteri dan vena, mengurangi efek vasodilatasi akibat hipoksia-hiperkapni. Pada penelitian manusia dengan transcranial dopler (TCD) menunjukkan adanya penurunan velositas rerata aliran darah otak dengan meningkatnya konsentrasi plasma dexmedetomidin. Index pulsatilitas meningkat pada konsentrasi tinggi dexmedetomidin yang menunjukkan adanya peningkatan resistensi pembuluh darah otak. Penelitian pada binatang menujukkan bahwa tekanan intrakranial tidak berubah walaupun ada peningkatan tekanan darah. Akan tetapi, tekanan intrakranial akan menurun bila sebelumnya ada peningkatan tekanan intrakranial. Penelitian pada manusia menunjukkan dexmedetomidin tidak mempengaruhi tekanan cairan serebrospinal lumbal pada pasien yang sedang mengalami reseksi tumor hipofise transpenoidal.

Efek neuroproteksi dexmedetomidin disebabkan karena menghambat iskemia yang diakibatkan pelepasan norepinefrin. Dexmedetomidin menurunkan level norepinefrin saat bangun dari anestesi (2 sampai 3 kali lebih rendah daripada plasebo). Dexmedetomidin mencegah kematian sel neuron setelah iskemi fokal dan daerah yang mengalami iskemik turun 40% dibandingkan dengan plasebo. Dexmedetomidin meningkatkan pembuangan glutamin melalui metabolisme oksidatif pada astrosit.5 Dexmedetomidin sebagai alpha-2 adrenoreseptor agonis memiliki beberapa keuntungan sebagai neuroprotektan dilihat dari pengaruhnya terhadap penurunan kadar glutamat.6 Alpha-2 agonis menurunkan konsumsi oksigen perioperatif. Obat sedatif yang ideal adalah

Page 21: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

153

mampu menurunkan CMRO2, menurunkan tekanan intrakranial tanpa menurunkan tekanan perfusi otak, mempertahankan autoregulasi serebral dan reaktivitas pembuluh darah terhadap CO2, mula kerja cepat dan lancar, mudah mengendalikan kedalaman dan lamanya sedasi, pada dosis therapeutic window dapat dilakukan evaluasi status neurologis dan komplikasi. Dexmedetomidin mempunyai sifat: sedasi reversibel tanpa depresi nafas, analgesia, anesthetic sparing effect, kardiovaskular stabil, mempunyai efek minimal pada tekanan intrakranial, mempunyai efek neuroproteksi, pasien cepat bangun. Secara teori dexmedetomidin menguntungkan untuk sedasi selama dan pascabedah pada pasien dengan kelainan intraserebral. Efek samping dexmedetomidin adalah hipotensi, hipertensi selintas, bradikardi, mulut kering, efek amnesi sedikit. Melihat efek dexmedetomidin pada dinamika serebral, kiranya dapat dipertimbangkan pemakaian dexmedetomidin untuk anestesi bedah saraf dan operasi lain dengan kelainan serebral.5

Propofol Propofol telah digunakan secara luas dalam neuroanestesi begitu juga untuk awake craniotomy pada saat periode pasien perlu ditidurkan. Propofol mudah dititrasi untuk mendapatkan efek sedatif, pemulihan cepat, menurunkan metabolisme otak (cerebral metabolic rate for oxygen/CMRO2), menurunkan tekanan intrakranial (intracranial pressure/ ICP), mempunyai gambaran anti convulsan dan antiemetik. Walaupun propofol memiliki efek menurunkan tekanan perfusi otak (cerebral perfusion pressure/CPP) dengan cara menurunkan tekanan darah, tetapi efek hemodinamik yang tidak menyenangkan tersebut dapat dicegah dengan menghindari efek konsentrasi puncak. Efek propofol terhadap metabolime otak dan aliran darah otak (cerebral blood flow/CBF) sama seperti golongan barbiturat. Pada penelitian manusia, juga diperlihatkan bahwa propofol menurunkan CBF dan metabolisme otak. Pada pasien dengan cedera otak, anestesia dengan propofol akan menurunkan CPP, ICP dan CBF. Reaktivitas perfusi serebral terhadap CO2 tetap ada. Profopol menurunkan CBF (sebanyak 30%),

CMRO2 (30%), dan ICP, tetapi CPP juga menurun disebabkan oleh propofol yang mempunyai efek menurunkan tekanan darah yang hebat. Penelitian lain menyatakan bahwa propofol bisa menurunkan atau tidak mengakibatkan perubahan pada ICP. Dengan infus kontinyu, CPP dipertahankan adekuat sehingga total intravenous anesthesia (TIVA) dengan propofol cukup menyenangkan. Seperti halnya hipnotik sedatif yang lain, depresi susunan saraf pusat terjadi bergantung pada dosis.5

Fentanyl Dosis kecil narkotik mempunyai efek kecil pada CBF dan CMRO2, sedangkan pada dosis besar menurunkan CBF dan CMRO2. Tidak mempengaruhi autoregulasi dan reaktivitas pembuluh darah otak terhadap CO2. Fentanyl merupakan suatu obat yang mempunyai sifat sangat lipofilik dan dapat menembus sawar darah otak dengan cepat sehingga pemakaian fentanyl melalui intravena akan memberikan efek analgetik dengan segera. Hampir sama dengan morfin, fentanyl menghasilkan analgesik kuat untuk pembedahan, menimbulkan depresi pernafasan, bradikardia, mual, dan muntah. Akan tetapi, berbeda dengan morfin, fentanyl mempunyai mula kerja yang cepat, masa kerja singkat, efek mual muntah sedikit, dan relatif tidak berpengaruh pada sistem kardiovaskuler. Fentanyl merupakan narkotik pilihan pertama untuk neuroanestesia. Penggunaan fentanyl sedikit menurunkan ICP dan mempertahankan CPP lebih baik daripada sufentanil. Fentanyl menurunkan resistensi absorpsi cairan serebrospinal dan menyebabkan penurunan volume darah otak sebesar 10%. Pada dosis tinggi (>5μg/kg) fentanyl menurunkan minimum alveolar concentration (MAC) sebesar 65%. Dosis yang lebih kecil, lebih cocok untuk bedah saraf dan tidak banyak menurunkan MAC.5

DiuretikPada kasus ini pasien diberikan mannitol 15 menit sebelum duramater dibuka. Penggunaan diuretik osmotik seperti mannitol akan meningkatkan osmolaritas darah secara akut, sehingga mengurangi kandungan air otak.1 Mannitol juga digunakan intraoperatif untuk menginduksi relaksasi otak pada tindakan reseksi tumor otak.

Manajemen Anestesi untuk Awake Craniotomy pada Space Occupying Lesion Lobus Frontalis Kiri

Page 22: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

154 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Mannitol umumnya diberikan intravena pada dosis 0,25 sampai 1,5 g/kgBB pada pasien yang menjalani kraniotomi. Dosis mannitol lebih tinggi memberikan relaksasi otak yang lebih baik tetapi efek samping yang ditimbulkan juga lebih berat. Menimbang antara keuntungan dan kerugian dari pemberian mannitol, peneliti menyarankan penggunaan dosis 1,0 g/kgBB intraoperatif mannitol untuk relaksasi otak yang memuaskan dengan efek samping yang lebih sedikit.7 Pada pasien ini mannitol diberikan dengan dosis 1 g/kgBB (digunakan 300 ml mannitol 20%) intravena.

Manajemen AnestesiPenilaian PreoperatifEvaluasi pra operasi diperlukan untuk mengevaluasi keadaan pasien dan karakteristik saluran napas. Ahli bedah saraf harus menjelaskan kelebihan, kebutuhan, dan sifat dari prosedur. Dalam hal operasi tumor, diagnosis patologis yang paling umum pada pasien yang menjalani awake craniotomy adalah low grade glioma, namun, high grade glioma, metastasis ke otak, dan meningioma dengan letak dekat reseksi korteks fungsional juga sering direncanakan memakai teknik awake craniotomy. Evaluasi preoperasi harus mempertimbangkan aspek-aspek berikut:1. Saluran nafas atas: prediksi intubasi trakea

yang sulit (konformasi fisik dan intubasi sebelumnya); risiko obstruktif apneu (obesitas, sleep apnea, retrognathia).

2. Epilepsi: farmakoterapi; konsentrasi serum obat antiepilepsi; jenis dan frekuensi kejang.

3. Mual dan muntah: anestesi sebelumnya; kinetosis.

4. Perkiraan tekanan intrakranial: jenis lesi; tanda-tanda radiologis dan klinis.

5. Risiko perdarahan: jenis dan lokalisasi lesi; terapi (obat antiplatelet); riwayat kesehatan.

6. Kerja sama pasien: kecemasan; toleransi nyeri; defisit neurologis.

Evaluasi jalan napas preoperatif sangat penting mengingat kesulitan mengelola komplikasi saluran napas selama prosedur. Sleep apnea syndrome harus dipertimbangkan sebagai kriteria eksklusi absolut. Evaluasi edema otak juga penting, karena jauh lebih sulit untuk mengontrol

tekanan intrakranial selama pernapasan spontan dibandingkan dengan ventilasi mekanis. Pasien epilepsi juga harus dievaluasi secara seksama karena kejang yang tidak terkendali adalah kriteria eksklusi relatif untuk awake craniotomy. Terjadinya kejang akibat stimulasi intraoperatif mungkin terkait dengan konsentrasi serum obat antiepilepsi yang rendah, teknik stimulasi, dan rejimen anestesi (opioid dosis tinggi dan neuroleptik). Menariknya, menurut Szelényi, pasien dengan epilepsi simtomatik tidak tampak memiliki risiko lebih tinggi terhadap stimulasi intraoperatif yang terkait dengan kejang dibandingkan pasien tanpa epilepsi simtomatik selama keadaan awake.

Akhirnya, kerjasama dan partisipasi pasien yang lengkap sangat diperlukan untuk prosedur ini. Disfasia dan kebingungan yang besar adalah kriteria eksklusi absolut. Terkait pemilihan pasien dan strategi intraoperatif, pada tahun 2006 Picht et al. mengusulkan protokol multimodal yang menarik untuk awake craniotomy dalam bedah tumor korteks pada pusat bahasa: mengikuti pemetaan kortikal, prosedur dilanjutkan dengan anestesi umum sesuai dengan status klinis pasien dan hasil gabungan pemetaan otak dan pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI). Sebelum operasi, pasien harus diberitahu tentang risiko potensial, tindakan keamanan, tahapan prosedur, dan apa yang akan terjadi ketika dia berada di ruang operasi. Kunjungan ke ruang operasi sebelum operasi adalah ide yang baik untuk membiasakan pasien dengan suara dan peralatan di kamar. Ahli anestesi harus mendapatkan kepercayaan pasien, karena pasien akan bergantung padanya selama prosedur.8

Persiapan PreoperatifPemberian edukasi kepada pasien maupun keluarga sebelum operasi pada pasien yang akan menjalani awake craniotomy sangat penting agar mengurangi kecemasan dan pasien kooperatif selama pembedahan. Sebelum operasi pasien diinformasikan bahwa lesi yang akan dioperasi melibatkan pusat bahasa dan bicara sehingga saat operasi ada periode pasien akan bangun namun terbebas dari rasa nyeri.3

Page 23: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

155

PremedikasiPada pasien tumor tanpa disertai gejala peningkatan tekanan intrakranial (TIK) dapat diberikan benzodiazepine dosis kecil misalnya alprazolam 0,5 mg peroral malam hari untuk mengurangi kecemasan. Pasien harus terhindar dari stress (akan meningkatkan Cerebral Metabolic Rate dan Cerebral Blood Flow/CBF) dan hipertensi (akan meningkatkan CBF, yang juga dapat menimbulkan edema vasogenik dengan kegagalan autoregulasi). Pemberian sedasi di ruangan perawatan dapat menyebabkan risiko hiperkapnia, hipoksemia, dan obstruksi partial jalan nafas sehingga dapat meningkatkan TIK.1 Pada pasien ini tidak diberikan benzodiazepine di ruangan perawatan tapi diberikan midazolam 2 mg iv saat pasien masuk kamar operasi.

Pada pasien ini juga diberikan steroid dexametason 10 mg iv dan ondansetron 4 mg iv di kamar operasi sebagai antiemetik selama pasien terbangun saat operasi.Hipotermia dan menggigil harus dicegah dengan penggunaan selimut, perangkat udara hangat, dan suhu ruangan yang sesuai. Tramadol 50 mg atau meperidine 25 mg hingga 30 mg intravena mungkin efektif untuk mencegah menggigil.9

Akses VaskulerDua jalur intravena perifer dipasang pada pasien ini dengan needle nomor 20 (satu dipasang pada tangan saat pasien di ruang perawatan, dan satu lagi dipasang pada kaki saat pasien sudah di ruang

Gambar 2. Posisi Operator dan Suasana pada saat Awake Craniotomy

operasi). Pada pasien ini tidak dipasangkan akses vena sentral. Akses vena sentral diindikasikan bila secara klinis ada potensi terjadinya emboli udara.

MonitoringStandar monitor termasuk EKG, tekanan darah non invasif, pulse oksimetri. Tekanan darah invasif tidak perlu begitu juga dengan monitor central venous pressure (CVP) tidak perlu, dengan pengecualian bila ditakutkan adanya emboli udara maka dipasang kateter vena sentral. Oksigen diberikan melalui face mask atau kanul binasal, dan lebih disukai pemakaian kanul binasal karena lebih nyaman untuk pasien dan dapat bebas berbicara. Bila dilakukan test bicara, lebih mudah untuk dokter anestesi untuk melihat muka pasien untuk melihat setiap gejala kejang.2

Memposisikan PasienPosisi supine baik, untuk memudahkan melihat muka pasien dan membebaskan jalan nafas. Penting bahwa pasien harus bisa melihat dokter anestesi dan dokter anestesi harus bisa melihat pasien. Penempatan posisi kepala tergantung dari dokter bedah sarafnya. Posisi pasien harus memudahkan pasien menggerakan tangan atau kakinya. Pemasangan pin holder merupakan stimulus nosiseptik terkuat. Hal tersebut harus dibarengi dengan blokade nyeri yang adekuat. Sebelum dipasangkan pin holder, injeksi infiltrasi larutan Bupivacain-pehacain tambahan diberikan 2,5-3 ml pada setiap tempat penusukan pin dan pemberian analgesia kuat (bolus fentanyl 1 mcq/kgbb) untuk mencegah perburukan SSP yang tidak diinginkan dan aktivasi hemodinamik.1

Penilaian Status Neurologik PasienSegera sebelum reseksi tumor, pasien dibangunkan dengan menghentikan propofol kira-kira 10 menit dilakukan tes (motorik dan bicara), sedangkan dexmetodemidine tetap diberikan, sehingga dapat berkomunikasi dengan dengan anesthesiologist dan ahli bedah. Pasien kemudian diminta untuk melakukan tugas verbal dan visual untuk memfasilitasi identifikasi area bicara selama stimulasi. Pada pasien setelah situs bahasa diidentifikasi, margin reseksi diambil dalam 1 hingga 2 cm area kortikal yang

Manajemen Anestesi untuk Awake Craniotomy pada Space Occupying Lesion Lobus Frontalis Kiri

Page 24: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

156 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

penting untuk fungsi bicara. Pada pasien yang motor utama dan korteks sensorik dipetakan, margin reseksi diambil lebih dekat ke margin kortikal (hingga 0,5 cm). Reseksi dihentikan jika fungsi bicara memburuk tetapi dilanjutkan jika pemulihan penuh terjadi dalam 5 menit. Selama stimulasi kortikal, perekaman simultan menggunakan elektrokortikografi tidak dilakukan karena pembukaan kraniotomi disesuaikan pada pasien ini.10

IV. Simpulan

Awake Craniotomy adalah teknik yang penting digunakan untuk eksisi tumor otak pada area korteks bahasa. Manajemen anestesi yang tepat sangat berguna agar tindakan evakuasi massa bisa dilakukan secara optimal dan pasien bisa terbebas dari rasa nyeri. Kombinasi anestesi intravena dengan dexmedetomidine dan blok scalp dapat menjadi pilihan dalam awake craniotomy Daftar Pustaka

1. Lalenoh DC, Lalenoh HJ, Rehatta NM. Anesthesia for craniotomy supratentorial Tumor. Jurnal Neuroanestesia Indonesia. 2012;1(1).

2. Bisri T. Awake craniotomy can be done humanly? JKA; 2013; 1(1): 73–80.

3. Burnand C, Sebastian J. Anaesthesia for awake craniotomy. Continuing in Anasthesia, Critical Care & Pain, 2014; 4(1).

4. Mahajan C, Rath GP, Singh GP, Mishra N, Sokhal S, Bithal PK. Efficacy and safety of dexmedetomidine infusion for patients undergoing awake craniotomy:

An observational study. Saudi J Anaesth. 2018;12(2):235–9.

5. Bisri DY, Bisri T. Awake Craniotomy: pengalaman dengan dexmedetomidin. Jurnal Neuroanestesi Indonesia. 2015;4(3):212–22.

6. Prihatno MMR, Harahap MS, Akbar IB, Bisri T. Penurunan kadar glutamat pada cedera otak traumatik pasca pemberian agonis adrenoseptor alpha-2 dexmedetomidin sebagai indikator proteksi otak. Jurnal Neuroanestesia Indonesia. 2014 ; 3(2):69–9.

7. Se H, Kim E, Jung H, Lim YJ, Kim JW, Park CK, et al. A prospective randomized trial of the optimal dose of mannitol for intraoperative brain relaxation in patients undergoing craniotomy for supratentorial brain tumor resection. J Neurosurg. 2017; 126(6) :1839–46.

8. Piccioni F, Fanzio M. Management of anesthesia in awake craniotomy. Minerva Anestesiol. 2008;74(7-8):393–408.

9. Zhang K, Gelb AW. Awake craniotomy: indications, benefits, and techniques. Rev Colomb Anestesiol. 2018;46:46–51.

10. Kim SS, McCutcheon IE, Suki D, Weinberg JS, Sawaya R, Lang FF, et al. Awake craniotomy for brain tumors near eloquent cortex: correlation of intraoperative cortical mapping with neurological outcomes in 309 consecutive patients. Neurosurgery. 2009;64(5):836–46.

Page 25: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

157

Manajemen Anestesi pada Penderita Sindroma Pfeiffer dengan Posisi Sphinx

Radian Ahmad Halimi, Dewi Yulianti Bisri, Tatang BisriDepartemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RS. Dr. Hasan Sadikin

Bandung

Abstrak

Sindroma pfeiffer adalah kelainan genetik autosomal dominan berupa fusi prematur tulang kepala dan tubuh lainnya. Operasi rekonstruksi kraniofasial pada pasien dengan sindrom pfeiffer memberikan tantangan tersendiri bagi ahli anestesi. Pada laporan kasus ini, seorang anak perempuan berusia 18 bulan datang ke rumah sakit Hasan Sadikin Bandung dengan keluhan kelainan bentuk kepala sejak lahir. Kelainan tersebut disertai dengan proptosis mata, hipoplasia maksila bilateral, high arc palate, hipotelorisme dan hidrosefalus, namun tidak terdapat riwayat obstruksi jalan nafas. Pasien direncanakan dilakukan prosedur rekonstruksi kraniofasial dan tarsorhaphy dengan posisi modifikasi prone (posisi sphinx). Permasalahan yang terjadi selama operasi adalah obstruksi vena juguler, perdarahan dan kebocoran cairan serebrospinal pascaoperasi. Operasi berlangsung selama 19 jam. Pascaoperasi pasien dirawat di PICU dan dipindahkan ke ruangan perawatan biasa pada hari ke 4.Penanganan perioperatif pasien dengan sindroma pfeiffer yang akan menjalani prosedur operasi kraniofasial membutuhkan penanganan secara multidisiplin dan dibutuhkan pemahaman yang mendalam mengenai fisiologi, potensi permasalahan intraoperasi, resiko dan komplikasi pascaoperasi untuk mencapai hasil luaran yang baik. Kata kunci: Posisi sphinx, rekonstruksi kraniofasial, sindroma pfeiffer

JNI 2018;7(3): 157–63

Anesthesia Management in Patients with Pfeiffer Syndrome with Sphinx Position

Abstract

Pfeiffer syndrome is a dominant autosomal genetic disorder characterized by premature fusion of head and other body bones. Craniofacial reconstruction surgery in patients with Pfeiffer syndrome presents a challenge for an anaesthesiologist. This case report discusses about 18 month old girl came to the Hasan Sadikin hospital in Bandung with complaints of clover head shape from birth. The other abnormalities consist of eye proptosis, bilateral maxilla hypophlasia, high arc palate, hypotelorism and hydrocephalus. There was no history of obstructive sleep apneau (OSA). The patient underwent craniofacial vault reconstruction procedure and a tarrsorhaphy with modified prone position (sphinx position). During the operation, there were problems occured such as jugular venous obstruction, bleeding and postoperative cerebrospinal fluid leakage. The procedure takes 19 hours long, and after the operation, the patient admitted to the PICU and being transferred to the ward on day-4. The perioperative treatment of patients undergoing craniofacial surgery requires a multidisciplinary treatment approach, and deep understanding of the physiology, potential intraoperative problems, risks and postoperative complications to achieve better outcomes.

Key words: Craniofacial reconstruction, pfeiffer syndrome, sphinx position

JNI 2018;7(3): 157–63

Page 26: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

158 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Pemeriksaan Rontgen Thoraks

Hasil pemeriksaan rontgen thorax didapatkan cor pulmonal dalam batas normal

Pemeriksaan Penunjang

I. Pendahuluan

Sindroma pfeiffer merupakan kelainan genetik autosomal dominan yang jarang terjadi, yang ditandai dengan fusi prematur tulang-tulang kepala (kraniosinostosis Pertumbuhan otak yang terbatas akibat fusi prematur tulang kepala dapat menyebabkan gangguan perkembangan dan masalah neurologis seperti hidrosefalus, bahkan beberapa penderita berumur pendek. Rekonstruksi kraniofasial pada pasien dengan sindroma pfeiffer memberikan tantangan tersendiri, baik bagi dokter bedah saraf maupun anestesi. Tujuan tindakan operasi adalah untuk memproteksi jalan nafas, memproteksi fungsi mata, dan manajemen peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Usia yang tepat untuk dilakukannya tindakan operasi masih menjadi perdebatan hingga saat ini.1

Permasalahan anestesi pada pasien sindroma pfeiffer yang akan tindakan rekonstruksi kraniofasial meliputi masalah kesulitan penanganan jalan nafas, komplikasi akibat posisi operasi (posisi sphinx yang merupakan modifikasi posisi prone), kehilangan darah masif, pergeseran cairan yang hebat, shunt-dependent hydrocephalus dan waktu anestesi yang panjang, dan permasalahan pascaoperasi lainnya sehingga membutuhkan monitoring ketat. Permasalahan tersebut dapat diantisipasi dengan perencanaan secara multidisiplin dan persiapan perioperatif yang baik.1-2

II. Kasus

Anamnesis Seorang anak perempuan berusia 18 bulan dibawa ke Rumah Sakit Hasan Sadikin dengan keluhan kelainan bentuk kepala sejak lahir. Berdasarkan anamnesis didapatkan riwayat perkembangan ukuran kepala yang tidak membesar dengan cepat, terdapat kelainan tangan, mata tampak membesar, kemerahan, muncul bintik putih pada lensa mata dan mata tidak dapat menutup saat tidur. Pasien ini lahir melalui proses persalinan spontan pada usia kehamilan 38 minggu dengan berat badan lahir 2.7 kg dan segera menangis setelah dilahirkan. Riwayat penurunan kesadaran, muntah, kejang disangkal, tidak ada demam,

batuk dan pilek.

Pemeriksaan FisikKesadaran: compos mentis. Tinggi badan: 80 cm, berat badan: 9 kg, lingkar kepala: 48 cm, laju nadi: 114x/m, frekuensi nafas: 28x/menit, suhu: 36,7oC, SpO2: 98–99%. Kepala: bentuk dismorfik, cloverleaf, exoftalmus bilateral dengan keratitis bilateral, pupil bulat isokor, diameter 3 mm bilateral, refleks cahaya positif, hipoplasia maxilla bilateral, high arc palate, hipotelorisme, narrow bitemporal, leher: dalam batas normal, thoraks: bentuk dan gerak tidak simetris, paru: ronkhi -/-, wheezing-/-, jantung: S1=S2 murni reguler, murmur (-), abdomen: bising usus (+) menurun, lembut, ekstremitas: broad thumb (+), tonus otot meningkat pada 4 ekstremitas, refleks fisiologis: meningkat, refleks patologis: Chaddock (+).

Pemeriksaan CT-scanPemeriksaan CT-scan menunjukkan bentuk calvaria dengan diameter vertical lebih besar dari horizontal sehingga menyerupai clover

Page 27: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

159

Pemeriksaan CT scan

Hb Ht Leukosit Trombosit PT INR APTT11,5 36,9 10.460 362.000 10,3 0,94 28,6SGOT SGPT Ureum Kreatinin Albumin Natrium Kalium36 15 25 0,28 3,8 143 4,5

Pemeriksaan Laboratorium

leaf, disertai sutura yang sudah menutup dan fontanela yang masih terbuka, hidrocephalus non communicans, spikula pada calvaria yang protruded dan proptosis bulbus oculi bilateral.

III. Pembahasan

Sindrom Pfeiffer pertama kali dikemukakan oleh Pfeiffer pada tahun 1964, dan saat itu dilaporkan sebanyak 60 kasus. Sindrom pfeiffer merupakan kelainan genetik autosomal dominan yang terjadi pada 1 per 100.000 individu kaukasia dan jarang terjadi pada ras asia. Sindrom pfeiffer ditandai dengan fusi prematur tulang-tulang kepala (craniosinostosis), tulang lengan, jari tangan dan jari kaki.1 Berdasarkan derajat keparahan fenotipnya, sindroma pfeiffer dibagi menjadi 3 subtipe klinis, yakni: Tipe 1 dikenal sebagai

sindroma pfeiffer klasik yang ditandai dengan adanya kondisi brakhicephali, hipoplasia midface, dan abnormalitas jari tangan dan kaki. Penderita tipe 1 mempunyai tingkat intelegensia dan hasil luaran yang baik. Tipe 2 ditandai dengan adanya kelainan deformitas tulang tengkorak kepala yang cloverleaf, proptosis mata yang berat, abnormalitas jari tangan dan kaki, ankilosis atau sinostosis sikut tangan, adanya keterlambatan perkembangan dan komplikasi neurologis. Tengkorak cloverleaf dapat menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan otak, dan proptosis berat dapat menyebabkan terjadinya gangguan penglihatan yang berat. Tipe 3 ditandai dengan kelainan yang hampir sama dengan tipe 2, namun tidak disertai adanya tengkorak kepala yang cloverleaf. Tipe 2 dan 3 biasanya menunjukkan hasil luaran yang buruk, karena memilki resiko kematian yang tinggi akibat gangguan neurologis berat (peningkatan TIK hingga terjadinya herniasi otak), dan gangguan pernafasan.2

Berdasarkan kasus ini, pasien termasuk klasifikasi pfeiffer tipe 2 yang ditandai dengan bentuk kepala dismorfik, cloverleaf, proptosis mata bilateral dengan kondisi kedua mata keratitis, hipoplasia maxilla bilateral, high arc palate, hipotelorisme, dan narrow bitemporal, serta pada kedua ekstremitas terdapat kondisi broad thumb.

Manajemen Anestesi pada Penderita Sindroma Pfeiffer dengan Posisi Sphinx

Page 28: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

160 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Gambar 3. Sniffing / Sphinx Position

Gambar 4. Kondisi Venekstasi Vena

Input OutputPRC: 416 cc Perdarahan:

500 ccFFP: 151 cc Produksi urine:

800 cc (19 jam)RL: 790 ccNaCl 0,9%: 400 cc

Gambar 5. Temuan Intraoperasi

Pasien ini juga didapatkan kondisi hidrosephalus akibat perkembangan kranium yang terganggu. Walaupun penderita sindrom pfeiffer memiliki prognosis yang buruk, beberapa penelitian melaporkan hasil yang baik pada beberapa kasus yang mendapatkan intervensi medikal dan bedah yang dilakukan pada stadium awal. Secara umum prosedur operasi bukan hanya bertujuan estetik, namun untuk mengkoreksi bentuk tulang kepala dan dekompresif otak, memperpanjang tulang mata agar bola mata bisa masuk ke

dalam dan kelopak mata dapat menutup, dan membuka jalan nafas nasofaringeal dengan memperbaiki kompleks nasomaxila-zygomatica. Tindakan operasi pada usia dini dilakukan untuk mengoptimalkan perkembangan otak normal dan fungsi kognitif.3,4

Prosedur neurosurgikal dan kraniofasial selalu memberikan tantangan bagi anestesiologis. Anomali kraniofasial sulit untuk dikelola dari pandangan surgikal dan anestesi. Kraniosinostosis merupakan defek perkembangan yang ditandai fusi prematur satu atau lebih sendi tulang tengkorak yang menyebabkan deformitas dan restriksi perkembangan otak. Koreksi surgikal bertujuan untuk remodelling tulang tengkorak dengan teknik strip craniectomy, spring assisted cranioplasty, bilateral craniectomy dengan atau tanpa pendekatan frontoorbital dan posterior, dan remodelling dan rekonstruksi tulang tengkorak. Manajemen pediatrik neuroanestesi pasien ini dititikberatkan pada pemahaman terhadap perubahan fisiologi dan patofisiologi pada sekumpulan sindroma yang terjadi.3 Operasi koreksi kraniofasial ditentukan oleh pertimbangan yang berhubungan dengan proteksi jalan nafas, proteksi mata, dan manajemen tekanan tinggi intrakranial. Waktu operasi menjadi masalah yang penting. Operasi awal (3–6 bulan) memberikan keuntungan karena tulangnya masih lunak dimana remodelling lebih mudah. Semakin besar usia dilakukannya tindakan koreksi kraniofasial, semakin sulit kondisi tulang untuk dilakukan remodeling.3 Penanganan pasien ini dilakukan secara multidisiplin keilmuan yang terdiri dari dokter bedah syaraf sebagai

Page 29: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

161

ketua tim, dokter spesialis bedah plastik, dokter spesialis anak tumbuh kembang, ahli perinatologi dan ahli anestesi. Indikasi tindakan operasi pasien ini adalah untuk mencegah terjadinya peningkatan TIK lebih lanjut dengan melakukan dekompresif kranium, memproteksi mata dengan dilakukannya tindakan tarsorrhaphy serta mengoptimalkan perkembangan otak dengan dilakukannya rekonstruksi kranium. Kondisi hidrosefalus memberat 3 hari pascaoperasi dan dilakukan tindakan pemasangan vp-shunt. Berdasarkan kondisi tersebut maka sebaiknya tindakan pemasangan vp shunt dilakukan pada saat tindakan operasi pertama dilakukan. Evaluasi preoperasi dilakukan secara spesifik berdasarkan kondisi klinis yang dialami oleh pasien serta tindakan operasi yang akan dilakukan. Evaluasi jalan nafas dan fungsi jantung diperlukan untuk mengidentifikasi kebutuhan untuk dilakukannya tindakan intervensi spesifik sebelum dilakukannya tindakan operasi rekonstruksi kraniofasial. Evaluasi terhadap adanya kondisi hipertensi intrakranial juga diperlukan untuk menentukan teknik anestesi dan pemilihan obat-obatan yang tidak akan memperberat kondisi peningkatan TIK tersebut. Obstructive sleep apnea (OSA) dan komplikasi pernafasan telah dilaporkan pada beberapa kasus pasien dengan sindroma kraniofasial, evaluasi yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan anamnesis pada orang tua pasien, serta dilakukan pemeriksaan saat pasien tidur oleh dokter bagian telinga hidung dan tenggorokan (THT).4 Pemeriksaan darah rutin, biokimia, dan faktor koagulasi perlu dilakukan, serta pemesanan produk darah dan faktor pembekuan, karena kemungkinan terjadinya perdarahan intraoperasi yang hebat intraoperasi. Orang tua pasien harus dilakukan inform consent mengenai resiko operasi baik resiko operasi dan anestesi, terutama mengenai masalah perdarahan dan kemungkinan dilakukannya transfusi darah yang masif serta kemungkinan terjadinya venous air embolism (VAE).4 Sebagian besar bayi tidak membutuhkan premedikasi, kecuali yang sudah mengalami kecemasan perpisahan dapat diberikan premedikasi midazolam per oral, namun penggunaannya harus dibatasi pada

pasien yang mengalami obstructive sleep apnea dan peningkatan TIK sebelumnya.4 Induksi anestesi dapat menggunakan teknik inhalasi atau intravena, bergantung pada dokter anestesi, pasien, dan orang tua pasien, bergantung pada adanya potensi gangguan jalan nafas dan potensi sulitnya untuk pemasangan jalur intravena. Hipoplasia midface dapat berpotensi untuk sulitnya melakukan tindakan ventilasi dengan sungkup, sehingga perlu dipertimbangkan untuk mempersiapkan peralatan untuk menguasai jalan nafas yang lebih mutakhir.4 Berdasarkan literatur dijelaskan bahwa tipe pipa dan teknik pemasangan pipa endotrakheal yang digunakan bervariasi, bergantung pada prosedur operasi yang dilakukan. Namun berdasarkan literatur tersebut mengatakan bahwa intubasi nasal lebih dipilih untuk digunakan karena memberikan stabilitas yang baik pada semua jenis prosedur operasi walaupun dilakukan perubahan posisi selama operasi. Posisi pipa endotrakheal harus selalu dipastikan aman saat posisi kepala pasien fleksi dan ekstensi maksimal, hal tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya kejadian ekstubasi secara tidak sengaja atau masuknya pipa kedalam endobronkhial saat dilakukannya perubahan posisi pasien.4

Monitoring tanda vital perlu dilakukan dengan monitor nonivasif standar (Elektrokardiografi, SpO2, EtCO2, central venous catheter (CVC), temperatur), dan monitor invasif seperti arterial line. Dua kateter intravena yang berukuran besar dan CVC perlu dipasang untuk mengantisipasi terjadinya perdarahan yang hebat intraoperasi. Penggantian darah dan cairan perlu sangat diperhatikan pada prosedur ini, perlu dilakukan monitoring ketat untuk diatesis perdarahan, elektrolit, dan suhu tubuh pada pasien ini. Penghangat sangat diperlukan untuk menjaga suhu selama operasi berlangsung.4,5 Berdasarkan kasus ini tidak didapatkan riwayat obstructive sleep apnea, dan riwayat kelainan jantung bawaan, namun dicurigai adanya difficult airway sehingga tidak diberikan premedikasi dengan midazolam oral. Hasil pemeriksaan laboratorium dalam batas normal. Persiapan darah sudah tersedia sebelum pasien dibawa ke kamar operasi. Setelah dilakukan induksi anestesi dilakukan pemasangan

Manajemen Anestesi pada Penderita Sindroma Pfeiffer dengan Posisi Sphinx

Page 30: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

162 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

infus dengan ukuran besar pada kaki, arterial line untuk monitoring tekanan darah dan pengambilan sampel darah, kateter vena sentral pada vena femoralis untuk mengantisipasi kehilangan darah masif, stetoskop prekordial, kapnografi, penghangat tubuh dan video laringoskopi untuk persiapan apabila terjadi kesulitan saat dilakukan intubasi endotrakheal.

Berdasarkan suatu literatur mengatakan bahwa pada tindakan operasi rekonstruksi kranial dengan teknik rekonstruksi total calvarial biasanya menggunakan posisi operasi modifikasi prone atau posisi sphinx, dimana pasien diposisikan prone namun dengan posisi kepala dan leher yang ekstensi. Prosedur ini merupakan suatu prosedur yang ekstensif dan memiliki beberapa resiko dan komplikasi operasi yang berat, sehingga pada beberapa pusat pendidikan kesehatan telah banyak ditinggalkan dan beralih pada operasi yang dilakukan pada beberapa tahapan dengan jarak beberapa bulan, namun dengan resiko yang lebih rendah. Komplikasi meliputi perdarahan masif dan emboli udara pada vena akibat posisi kepala yang lebih tinggi dibandingkan posisi jantung. Sphinx position juga dapat menyebabkan obstruksi aliran darah vena yang berakibat memperberatnya kondisi edema otak dan perdarahan.5

Posisi modifikasi prone (sea lion atau sphinx position) sebaiknya dihindari pada pasien dengan tulang servikal yang tidak stabil. Mata sebaiknya diberikan salep mata khusus secara berkala untuk mencegah terjadinya kondisi mata yang kering, karena biasanya pada pasien dengan proptosis biasanya tidak dapat menutup mata secara sempurna, selain itu daerah mata merupakan daerah operasi (dilakukan tindakan tarsorrhaphy). Daerah yang mengalami penekanan harus dilindungi dan diberikan ganjalan untuk menghindari cedera akibat tekanan.6 Teknik operasi pada kasus ini menggunakan teknik rekonstruksi total calvarial. Teknik tersebut dipilih berdasarkan aspek biaya operasi yang lebih murah karena tindakan operasi yang dilakukan lebih sedikit walaupun memiliki resiko dan komplikasi operasi yang lebih berat. Pada kasus ini setelah dilakukan posisi sphinx

dengan kepala ekstensi terjadi venektasi vena kepala yang menandakan terjadinya obstruksi vena jugularis sehingga drainase pembuluh darah otak dan kepala terganggu, sehingga dilakukan reposisi ulang terhadap posisi kepala.Studi literatur menyatakan bahwa seluruh anak yang dilakukan prosedur kraniotomi sebaiknya dilakukan perawatan pascaoperasi di ruang ICU. Ekstubasi umumnya dilakukan di kamar operasi. Pasien yang tidak di ekstubasi dan dilakukan ventilasi mekanik di PICU adalah pasien dengan posisi prone dan durasi operasi yang panjang, dengan pembengkakan daerah wajah yang signifikan dan adanya gejala OSA preoperasi terutama saat tidur. Kondisi anomali trakhea telah dilaporkan pada beberapa kasus, dan sebaiknya disarankan untuk dilakukan tindakan bronkhoskopi untuk mengevaluasi adanya kemungkinan anomali pada jalan nafas. Kondisi lain yang perlu diperhatikan pascaoperasi adalah adanya kebocoran cairan serebrospinal dan infeksi. Berdasarkan suatu penelitian retrospektif pada 306 pasien yang melihat komplikasi pascaoperasi pembedahan pasien dengan kraniosinostosis, mendapatkan bahwa salah satu komplikasi pascaoperasi adalah kebocoran cairan serebrospinal (2,7%). Berdasarkan penelitian lainnya menyebutkan bahwa higroma subdural merupakan salah satu komplikasi pascaoperasi rekonstruksi kraniofasial.6-10

Pada kasus ini dilakukan pemanjangan ventilasi mekanik pascaoperasi hingga kondisi permasalahan metabolik telah teratasi. Pemanjangan ventilasi mekanik tersebut dilakukan karena durasi operasi yang panjang (19 jam) dengan posisi prone, adanya kondisi hidrosephalus preoperasi, perdarahan dan pergantian cairan intraoperasi yang masif. Hari ke-3 perawatan pascaoperasi dilakukan tindakan pemasangan VP-shunt karena terjadi kebocoran cairan serebrospinal dan berdasarkan CT-scan kepala terjadi kondisi memperberatnya hidrosephalus.

IV. Simpulan

Penanganan perioperatif pasien dengan sindroma pfeiffer yang akan dilakukan prosedur operasi

Page 31: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

163

kraniofasial membutuhkan penanganan secara multidisiplin kelimuan. Berbagai permasalahan yang kompleks dapat terjadi pada pasien dengan sindroma pfeiffer, sehingga dibutuhkan pemahaman yang mendalam mengenai fisiologi, potensi permasalahan intraoperasi, resiko dan komplikasi pascaoperasi untuk mencapai hasil luaran yang baik.

Daftar Pustaka

1. Lee MY, Jeon GW, Jung JM, Sin JB. A case of pleiffer syndrome with c833_834GC>TG (Cys278Leu) mutation in the FGFR2 gene. Korean J Pediatr. 2010;53(7): 774–7.

2. Vogels A, Fryns JP. Pleiffer syndrome. Orphanet Journal of Rare Dissease. 2006;1(19): 1–3.

3. Bajwa SJS, Haldar R. Craniosynostosis surgery-anaesthetic challanges and implications. Medical Journal of Dr.D.Y Patil University. 2015;8(3): 364–6.

4. Pearson A, Matava CT. Anaesthetic management for craniosynostosis repair in children. BJA Education. 2016;16(12):410–6.

5. Nishimoto S, Oyama T, Nagashima T,

Osaki Y, Yoshimura Y, dkk. Lateral orbital expansion and gradual fronto-orbital advancement: an option to treat severe syndromic craniosynostosis. J Craniofac Surg. 2008; 19: 1622–7.

6. Stricker PA, Fiadjoe JE. Anesthesia for craniofacial surgery in infancy. Anesthesiology Clin. 2014;34:215–35.

7. Esparza J, Hinojosa J. Complications in the surgical treatment of craniosynostosis and craniofacial syndrome: apropos of 306 transcranial procedure. Childs Nerv Syst. 2008;24(12):1421–30.

8. Erten E, Cekmen N, Bilgin F, Orhan ME. Respiratory and cranial complications during anaesthesia in pfeiffer syndrome. Brain Disord Ther. 2015; 4(4):1–3.

9. Hockstein NG, McDonald-Mcginn D, Zackai E, Bartlett S, Huff DS, Jacobs IN. Tracheal anomalies in pfeiffer syndrome. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2004; 130:1298–302.

10. Ganesh P, Nagarjuna M, Shetty S, Salins PC. Subdural hygroma after craniosynostosis surgery. J Craniofac Surg. 2015; 26(1):193–5.

Manajemen Anestesi pada Penderita Sindroma Pfeiffer dengan Posisi Sphinx

Page 32: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

164

Pengelolaan Anestesi untuk Eksisi Tumor Intradura Intramedula (IDIM) Setinggi Vertebra Cervical 5-6 dengan Panduan Intraoperative Neurophysiological Monitoring

Dhania A. Santosa*), Bambang Harijono*), Hamzah*), Zafrullah K. Jasa**), Nancy Margarita Rehatta*)

*)Departemen Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga–RSUD Dr. Soetomo Surabaya, **)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Syahkuala – RSUD

dr. Zainoel Abidin Aceh

Abstrak

Eksisi tumor intradura intramedula (IDIM) dengan bantuan intraoperative neurophysiological monitoring (IOM) merupakan suatu teknik pembedahan yang bertujuan agar eksisi tumor dilakukan semaksimal mungkin, dengan meminimalkan defisit neurologis akibat pembedahan. Penanganan anestesi pada eksisi tumor IDIM dengan bantuan IOM ini, seorang ahli anestesi perlu menguasai ilmu dan keterampilan neuroanestesi untuk pembedahan tulang belakang, selain itu juga pemilihan teknik, jenis dan dosis obat yang mendukung pelaksanaan pembedahan dengan IOM ini. Seorang laki-laki usia 52 tahun dengan tumor IDIM setinggi vertebra cervical 5–6 menjalani pembedahan eksisi tumor dengan bantuan IOM. Pembedahan dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum dengan induksi intravena. Laringoskopi dilakukan dengan video laryngoscope. Pembedahan dilakukan dengan panduan IOM, selama anestesi diberikan total intravenous anesthesia tanpa pemberian pelumpuh otot tambahan setelah intubasi. Pembedahan berlangsung selama enam jam dan tumor dapat terangkat seluruhnya. Tantangan selama periode perioperatif adalah penilaian dan persiapan prabedah yang teliti, posisi pasien dan pemilihan teknik anestesi yang tepat.

Kata kunci: eksisi tumor, tumor IDIM, IOM, penanganan anestesiaJNI 2018;7(3): 164–74

Anesthesia Management for Cervical 5-6 Intradural Intramedullary (IDIM) Tumor under Intraoperative Neurophysiological Monitoring Guidance

Abstract

Excision of intradural intramedullary (IDIM) tumor using intraoperative neurophysiological monitoring (IOM) is one surgical technique aiming to excise tumor as maximum as possible, with minimum neurological deficit. In anesthesia management for IDIM tumor excision under IOM guidance, an anesthesiologist is required to master neuroanesthesia knowledge and skill, especially for spine surgery. Moreover, understanding the art of anesthesia technique, drug and dose supporting surgery with IOM. A male patient, 52 years old, with IDIM tumor at the level of cervical 5-6th underwent surgery for tumor excision using IOM. Surgery was done under general anesthesia, started with intravenous induction, and intubation was done using video laryngoscope. Surgery was done under IOM guidance, total intravenous anesthesia was implemented and no additional muscle relaxant was given after intubation. Surgery lasted for six hours and tumor was resected completely. Challenges during perioperative period are meticulous preoperative assessment and preparation, patient positioning and appropriate anesthesia technique.

Key words: tumor excision, IDIM tumor, IOM, anesthesia management

JNI 2018;7(3): 164–74

Page 33: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

165

I. Pendahuluan

Tumor intradura intramedula (IDIM) merupakan neoplasma yang jarang terjadi, hanya 2–4% dari seluruh tumor sistem saraf pusat.1 Pembedahan untuk eksisi tumor IDIM masih membawa risiko yang cukup signifikan untuk kerusakan akibat pembedahan yang pada akhirnya menyebabkan disfungsi neurologis. Pada awalnya, karena defisit neurologis pascabedah cukup signifikan, banyak ahli bedah saraf merekomendasikan strategi konservatif dengan biopsi, cangkok dura dan terapi radiasi, apa pun diagnosis histologisnya.1 Seiring dengan berjalannya waktu, terjadi kemajuan pesat dalam teknik pencitraan saraf dan bedah mikro, sehingga modalitas terapi kemudian bergeser menuju ke arah pembedahan sebagai modalitas utama. Namun demikian, pembedahan untuk tumor IDIM tetap merupakan suatu tugas yang menantang. Alasan digunakannya intraoperative neurophysiological monitoring (IOM) adalah untuk memenuhi target reseksi tumor maksimal dengan morbiditas neurologis yang minimal.1

Saat ini, penggunaan kombinasi somatosensory evoked potential (SSEP) dan motor evoked potential (MEP) pada pembedahan tumor IDIM hampir menjadi suatu kewajiban karena kemungkinannya mendeteksi cedera secara selektif baik pada jalur somatosensorik maupun motorik.1 Tantangan bagi ahli anestesi dalam melakukan anestesi pada pembedahan untuk eksisi tumor IDIM dengan IOM tidaklah ringan. Ahli anestesi dituntut memiliki kejelian dalam melakukan evaluasi prabedah yang menyeluruh; bukan hanya untuk menilai kondisi pasien secara umum tetapi juga hal-hal khusus yang terjadi pada pasien dengan patologi pada tulang belakang. Selain itu, ahli anestesi juga dituntut untuk menguasai dan menerapkan dengan baik teknik neuroanestesi pada pembedahan tulang belakang.2 Hal yang spesifik tentunya dalam hal penggunaan IOM selama pembedahan adalah pemilihan teknik, jenis dan dosis obat anestesi yang digunakan agar dapat mendukung terlaksananya pembedahan dengan baik agar tujuan akhir dapat tercapai.

II. Kasus

Seorang laki-laki berusia 52 tahun, berat badan 54 kg, dengan tetraparese tipe upper motor neuron (UMN) et causa tumor intra dura intra medulla (IDIM) setinggi vertebra C5–6 dilakukan eksisi tumor dengan Intraoperative Monitoring (IOM).

AnamnesisPasien mengeluh kedua tangan dan tungkai melemah sejak 7 bulan yang lalu. Kedua kaki pasien juga terasa tebal. Pada saat pasien dirawat di rumah sakit, pasien hanya bisa berbaring. Tidak ada riwayat trauma sebelumnya. Pasien memiliki riwayat hipertensi dengan terapi amlodipine 10 mg satu kali sehari per oral.

Pemeriksaan FisikPada pemeriksaan prabedah didapatkan pasien dengan kondisi jalan napas bebas, dengan pernapasan spontan torakal adekuat 16 kali per menit, gerak dada simetris, suara napas vesikuler kanan dan kiri, tidak terdapat suara napas tambahan. Pulse oximetry terbaca 97% dengan O2 udara bebas (FiO2 21%). Pada perabaan didapatkan perfusi hangat, kering dan merah, dengan capillary refill time kurang dari 2 detik. Tekanan darah 140/90 dan MAP 107 mmHg dan nadi 87 kali per menit, nadi radialis teraba teratur dan kuat angkat. Skor GCS E4V5M6, pupil bulat isokor diameter 3 mm dengan refleks cahaya positif kanan dan kiri. Pada pemeriksaan kekuatan motorik pasien didapatkan hasil yaitu sampai dengan setinggi C7 kekuatan motorik 5/5, selanjutnya setinggi C8 1/2 dan setinggi Th1 1/1. Sedangkan kekuatan motorik dari L2 ke bawah 3/2. Sedangkan pada pemeriksaan sensorik didapatkan normal pada ekstremitas atas dan menurun pada kedua ekstremitas bawah. Dari pemeriksaan refleks fisiologis didapatkan +2 pada ekstremitas atas kanan dan kiri dan +4 pada ektremitas bawah kanan dan kiri. Pada pasien ini tidak didapatkan inkontinesia urine maupun inkontinensia alvi.

Pemeriksaan PenunjangHemoglobin 13,5 g/dL, Hematokrit 42,6%, Leukosit 4.810/mm3, Trombosit 154.000 μL. PPT 10,4 (kontrol 9–12), aPTT 27,3 (kontrol

Pengelolaan Anestesi untuk Eksisi Tumor Intradura Intramedula (IDIM) Setinggi Vertebra Cervical 5-6 dengan Panduan Intraoperative

Neurophysiological Monitoring

Page 34: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

166 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

23-33). Natrium 139 mEq/L, Kalium 3,8 mEq/L, Chlorida 106 mEq/L, gula darah acak 97 mg/dL. BUN 10 mg/dL, kreatinin serum 0,8 mg/dL, SGOT 18 μ/L, SGPT 21 μ/L. Dari pemeriksaan analisa gas darah dengan oksigen udara bebas didapatkan hasil pH 7,41, pCO2 39, pO2 157, HCO3- 24,7, BE 0,3, SaO2 99%. Dari pemeriksaan foto toraks didapatkan cor prominen dengan Cardio Thoracic Ratio (CTR) 50% dan paru dalam batas normal. Dari pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) didapatkan hasil irama sinus 80 kali per menit, aksis LAD, tanpa tanda iskemia maupun blok.

Dari pemeriksaan MRI cervical dengan kontras didapatkan homogenous enhancing solid mass intradura intramedula setinggi C5-6 dengan syringomyelia setinggi vertebra C4-5 dan C7-Th2, kemungkinan besar spinal ependymoma, selain itu didapatkan bone marrow edema pada vertebra C6.

Gambar 1. MRI cervical dengan kontras didapatkan homogenous enhancing solid mass intradura intramedulla setinggi C5-6 dengan syringomyelia setinggi vertebra C4-5 dan C7-Th2, kemungkinan besar spinal ependymoma dan didapatkan bone marrow edema pada vertebra C6.

Pengelolaan AnestesiSelama persiapan untuk pembedahan elektif, pasien dipuasakan dan diberikan cairan infus berupa NaCl 0,9% 80 mL/jam. Kondisi pasien sebelum induksi anestesi adalah: tekanan darah 120/80 mmHg, MAP 93 mmHg

dengan nadi 100 kali per menit reguler kuat angkat di arteri radialis. Skor GCS E4V5M6 dengan pupil bulat isokor diameter 3 mm mata kanan dan kiri. Pasien tanpa distress napas dengan pulse oximetry 99% tanpa suplemen oksigen. Sebelum masuk kamar operasi, pasien diberi premedikasi midazolam 2 mg intravena. Induksi dilakukan dengan obat-obatan anestesi sebagai berikut: midazolam 3 mg, fentanyl 50 mcg, lidocaine 60 mg, propofol 100 mg dan atracurium 25 mg intravena kemudian dilakukan laringoskopi dengan video laryngoscope dan intubasi dengan pipa endotrakhea (endotracheal tube) non kink no. 7,5 dan difiksasi. Selama pembedahan dilakukan dengan rumatan propofol 75–200 mg/jam dan dexmedetomidine 0,2–05 mcg/kg BB/menit. Kemudian dilakukan persiapan pemasangan IOM dan setelahnya pasien diposisikan prone. Pada awal pembedahan, dilakukan pemasangan lateral mass screw di vertebra C5,6,7 dan dilakukan total laminektomi pada vertebra C5,6,7. Setelah

Grafik 1. Kondisi Hemodinamik Pasien selama Pembedahan

dilakukan insisi arachnoidmater, dilakukan identifikasi midline myelum dan dilakukan insisi. Tampak massa kemerahan, dilakukan diseksi tumor dan dipisahkan dari myelum.Dilakukan identifikasi pole atas dan bawah tumor dan dievaluasi dengan IOM. Dilakukan debulking tumor dan dapat terangkat seluruhnya. Setelahnya dilakukan evaluasi akhir neurofungsional dengan IOM, dilakukan pemasangan drain kemudian

Page 35: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

167

ditutup. Selama pembedahan tekanan darah berkisar 100–120/62–80 mmHg dengan MAP 75–90 mmHg. Nadi berkisar antara 55–100 kali per menit dan pulse oximetry 100%. Pembedahan berlangsung kurang lebih selama 6 jam dengan keseimbangan cairan yaitu input NaCl 0,9% 500 mL, ringerfundin 500 mL. Perkiraan perdarahan 300 mL, produksi urine selama pembedahan 300 mL.

Pengelolaan PascabedahPasca bedah pasien diobservasi di ICU dengan dukungan ventilator mekanik. Setelah pasien sadar baik dilakukan pemeriksaan neurologis dan setelah napas adekuat kemudian dilakukan ekstubasi. Perfusi hangat kering merah dengan tekanan darah 112/78, MAP 89 mmHg. Nadi 61 kali per menit suhu timpanik 36,2oC. Produksi urine 50 mL/jam. Terapi yang diberikan di antaranya ringerfundin 1500 mL/ 24 jam, injeksi ondansetron 3 x 4 mg iv, omeprazole 1 x 40 mg iv, paracetamol 3 x 1 g iv, fentanyl bila VAS > 3 dan dexmedetomidine 0,1 mcg/kg/jam sampai dengan 24 jam pasca bedah. Hasil pemeriksaan laboratorium pascabedah di antaranya Hb 11,1 g/dL, hematokrit 32,9%, leukosit 10.080/mm3, trombosit 134.000 μL.

Pasien kemudian diekstubasi pada pagi hari pertama pascabedah. Kondisi pasien setelah ekstubasi adalah sebagai berikut: jalan napas bebas dengan pernapasan spontan 15–16 kali per menit, suara nafas vesikuler kedua lapang paru tanpa suara napas tambahan, pulse oximetry terbaca 100% dengan suplemen nasal prong 2 lpm. Tekanan darah 131/77 mmHg dengan MAP 95 mmHg. Nadi 68 kali per menit, teraba reguler dan kuat angkat pada arteri radialis. Suhu timpanik 36,8°C. Kondisi kesadaran pasien dengan GCS E4 V5 M6 dengan pupil bulat isokor 3 mm mata kanan dan kiri dan refleks cahaya positif. Pasien kemudian dipindahkan ke ruangan perawatan biasa pada hari pertama pascabedah.

III. Pembahasan

Seorang laki-laki berusia 52 tahun, berat badan 54 kg, dengan tetraparese tipe upper motor neuron (UMN) et causa tumor intradura intramedulla

(IDIM) setinggi vertebra C5-6 dilakukan eksisi tumor dengan Intraoperative Monitoring (IOM).Tumor medulla spinalis IDIM merupakan neoplasma yang jarang ditemui, hanya sekitar 2–4% dari seluruh tumor sistem saraf pusat.1 Tumor IDIM muncul di suatu tempat antara perbatasan cervicomedula sampai dengan filum terminale dari medula spinalis dan umumnya menyebabkan defisit neurologis yang berat.2 Dari semua tumor IDIM, ependymoma adalah yang paling sering (60–70%) diikuti oleh astrositoma (30–40%).2 Tumor IDIM lainnya yang lebih jarang terjadi di antaranya hemangioblastoma, metastase dan limfoma.2

Pembedahan untuk eksisi tumor IDIM membawa risiko terjadinya kerusakan akibat pembedahan yang pada akhirnya menyebabkan disfungsi neurologis.1 Kemajuan teknologi telah menggeser modalitas terapi tumor IDIM. Hal ini terlihat dari perubahan terapi tumor IDIM yang dahulu berupa strategi konservatif dengan biopsi, cangkok dura dan terapi radiasi, apapun diagnosis histologisnya, sedangkan saat ini terapi radiasi hanya dilakukan untuk tumor yang muncul kembali atau ganas.1 Sebagian besar tumor IDIM sifatnya jinak3 dan oleh karenanya eksisi tumor total berakibat pasien dapat bertahan hidup dalam jangka panjang,4 sehingga pada akhirnya perlu melakukan pembedahan yang ‘aman’. Bagaimanapun, pembedahan pada neoplasma ini tetap memberikan tantangan dan latar belakang penggunaan monitoring neurofisiologi intraoperatif (IOM) adalah untuk memaksimalkan reseksi tumor dan meminimalkan morbiditas neurologi. IOM oleh karenanya tidak hanya diharapkan dapat memprediksi defisit neurologis pascabedah, tetapi, yang paling penting, dapat mengidentifikasi cedera yang mungkin terjadi pada medula spinalis pada waktu yang tepat sehingga dapat diambil tindakan korektif.

Pasien ini adalah seorang laki-laki yang masih berada pada usia produktif dengan jenis tumor yang dicurigai ependymoma yang sifatnya jinak. Oleh karena itu, pasien ini tentu akan sangat terbantu dan kualitas hidupnya sangat mungkin membaik bila teknik pembedahan eksisi sebanyak mungkin tanpa menimbulkan defisit neurologis

Pengelolaan Anestesi untuk Eksisi Tumor Intradura Intramedula (IDIM) Setinggi Vertebra Cervical 5-6 dengan Panduan Intraoperative

Neurophysiological Monitoring

Page 36: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

168 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

baru dapat berhasil. Pada kasus ini keputusan untuk dilakukan eksisi tumor dengan bantuan IOM sangat tepat. Tugas ahli anestesi dalam hal ini selain menguasai dan aplikasi teknik neuroanestesi untuk pembedahan tulang belakang, tentunya adalah mendukung pelaksanaan penggunaan IOM. Penilaian prabedah untuk pasien yang akan menghadapi pembedahan tulang belakang, perhatian khusus harus diberikan pada sistem pernapasan, kardiovaskular dan neurologi; yang mana ketiganya dipengaruhi oleh kondisi patologis tulang belakang yang akan dilakukan pembedahan.5 Selain itu perlu dilakukan diskusi yang menyeluruh dengan ahli bedah mengenai jenis pembedahan yang akan dilakukan dan kemungkinan perdarahan yang terjadi serta stabilitas tulang belakang.6 Potensi kesulitan pengelolaan jalan napas harus selalu dipertimbangkan, khususnya pada pasien yang akan menjalani pembedahan cervical atau torakal atas. Penilaian yang teliti harus dilakukan untuk riwayat kesulitan intubasi, keterbatasan gerak leher dan stabilitas cervical. Stabilitas didefinisikan sebagai kemampuan tulang belakang, dengan beban fisiologis mampu menahan terjadinya pergeseran yang dapat menyebabkan cedera neurologis.5 Selain itu,

modalitas penilaian lainnya seperti klasifikasi Mallampatti, pergerakan leher, bukaan mulut dan lainnya harus juga dinilai.6 Vertebra cervical dapat dinilai secara klinis (adanya nyeri atau defisit neurologis) dan secara radiografi (foto polos lateral atau fleksi/ekstensi, CT scan dan MRI). Stabilitas vertebra cervical bergantung pada elemen ligamen dan vertebra. Hancurnya elemen-elemen ini mungkin tidak terdeteksi dengan foto polos saja. Pada akhirnya harus diputuskan apakah pasien akan diintubasi dalam kondisi awake atau asleep. Evaluasi jalan napas pada pasien ini diprediksi tidak sulit mengingat walaupun tumor terletak pada vertebra cervical, tetapi vertebra cervical dalam kondisi stabil, selain itu juga gerak leher pasien tidak mengalami keterbatasan, sedangkan penilaian jalan napas lainnya dalam batas normal. Namun demikian kemungkinan terjadi cedera pada saat manuver laringoskopi dan intubasi tentu harus dipikirkan dengan baik. Pasien yang akan dilakukan pembedahan tulang belakang sering mengalami gangguan fungsi pernapasan. Pasien yang mengalami trauma pada cervical atau torakal tinggi atau dengan banyak cedera mungkin sudah diventilasi mekanik sebelum pembedahan. Pasien-pasien lain mungkin mengalami infeksi

Tabel 1. Pemeriksaan Prabedah yang Dianjurkan sebelum Pembedahan Tulang Belakang MayorPemeriksaan minimal Pemeriksaan opsional

Jalan napas Foto polos cervical lateral dengan tampilan fleksi/ekstensi (untuk pasien dengan artritis rematoid)

CT scan

Sistem pernapasan Foto polos dada Tes faal paru (bronchodilator reversibility)

Analisa gas darah Kapasitas difusi paruSpirometri (FEV1, FVC

Sistem Kardiovaskular Elektrokardiografi Ekokardiografi dobutamine-stressEkokardiografi Dypiridamole/thallium

scintigraphyPemeriksaan darah Darah lengkap Tes fungsi liver

Faal hemostasisCross match darahUrea, elektrolitAlbumin, kalsium (penyakit neoplastic)

Disadur dari Raw DA, Beattie JK, Hunter JM. Anaesthesia for spinal surgery in adults. Br J Anaesth 2003; 91: 886-904.

Page 37: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

169

paru yang berulang. Pada pemeriksaan prabedah, fungsi pernapasan harus dinilai mulai dari anamnesis yang teliti, berfokus pada gangguan fungsi, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan yang diperlukan (tabel 1). Prinsipnya, selama masa prabedah, semua kondisi yang reversible harus dikoreksi, seperti, mengendalikan infeksi paru dengan antibiotika yang adekuat dan optimalisasi kondisi paru dengan fisioterapi napas dan bronkodilator.6 Pasien yang berisiko tinggi membutuhkan ventilasi mekanik pasca bedah di antaranya adalah pasien dengan kapasitas vital 30-35% lebih rendah dari nilai prediksi, prabedah sudah menggunakan ventilasi mekanik dan pasien yang memerlukan tekanan jalan napas positif lewat hidung pada waktu malam hari.6

Secara klinis, pemeriksaan prabedah terhadap kondisi sistem pernapasan pasien ini cukup baik. Pernapasan pasien dalam kondisi dominan torakal dengan gerak naik-turunnya dada cukup adekuat, 16 kali per menit. Pada pemeriksaan analisa gas darah juga dapat dipastikan tidak

terdapat gangguan ventilasi dan oksigenasi pada pasien serta pada pemeriksaan foto toraks juga didapatkan paru dalam kondisi bersih dan tidak infeksi. Namun demikian apabila dilengkapi dengan pemeriksaan faal paru atau minimal spirometri pada pasien ini tentu lebih baik sehingga dapat diperoleh gambaran mengenai kondisi pasien dengan lebih detil. Kondisi awal pasien ini memberikan gambaran bahwa dukungan ventilasi mekanik pascabedah pada pasien ini seharusnya tidak perlu berlangsung terlalu lama.

Evaluasi sistem kardiovaskular penting untuk melihat ada tidaknya disfungsi jantung yang diakibatkan langsung oleh patologi primer yang terjadi, khususnya pada pasien dengan distrofi otot dan skoliosis. Profilaksis tromboemboli penting pada pembedahan tulang belakang karena risiko terjadinya besar mengingat waktu pembedahan lama, posisi prone, keganasan dan kemungkinan tirah baring lama setelah pembedahan.

Tabel 2. Masalah Terkait Posisi Telungkup12

Potensi Masalah KeteranganMata Abrasi korena Pastikan mata tertutup dan diplester Neuropati optik Peningkatan tekanan intraokuler

Penurunan tekanan perfusiKurangi risiko dengan menghindari penekanan pada mata, hipotensi, hematokrit rendah

Oklusi arteri renalis Hindari penekanan pada mataKepala dan Leher Pasien diposisikan dengan hati-hati untuk meminimalisir sumbatan aliran

venaFiksasi kepala Insersi pin pada kepala dapat menyebabkan respons hipertensi yang sulit

dikendalikanPenekanan abdomen Hindari penekanan abdomenGangguan ventilasi output Bantal lebih baik dibandingkan rangka pendukung atau posisi knee chestKerusakan pada pembuluh darah besar Aorta dan vena cava Kerusakan yang tidak disengaja setelah terjadi perforasi ligamentum

longitudinal anterior dapat menyebabkan perdarahan hebat. Tekanan darah mendadak turun dan terjadi disosiasi elektromekanikMortalitas tinggi

Pembuluh darah iliaca Kondisi menurun lebih perlahan. Kewaspadaan yang tinggi dapat menghindari terjadinya diagnosis yang terlambat

Disadur dari Samantaray A. Anaesthesia for spine surgery. The Indian Anaesthetists’ Forum 2006; Online ISSN 0973-0311.

Pengelolaan Anestesi untuk Eksisi Tumor Intradura Intramedula (IDIM) Setinggi Vertebra Cervical 5-6 dengan Panduan Intraoperative

Neurophysiological Monitoring

Page 38: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

170 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Direkomendasikan untuk menggunakan compression stocking dan/atau pneumatic boots.5 Penggunaan antikoagulan dikaitkan dengan komplikasi perdarahan, termasuk peningkatan perdarahan dan hematom epidural.5 Pemeriksaan kardiovaskular pada pasien ini sebaiknya dilengkapi dengan ekokardiografi, mengingat bahwa pasien ini ada riwayat penyakit penyerta yaitu hipertensi. Walaupun tampaknya tidak terlalu parah, namun kemungkinan hipertensi berlangsung cukup lama, terlihat dari gambaran EKG yang sudah ada gambaran pergeseran aksis jantung ke arah kiri. Sehingga bila dilakukan pemeriksaan ekokardiografi maka gambaran mengenai kondisi jantung pasien tentunya dapat lebih jelas. Hal ini penting sebagai modal untuk menghadapi kondisi selama dan setelah pembedahan yang mungkin mengalami gejolak hemodinamik baik karena kondisi medula spinalisnya sendiri maupun dari manuver pembedahan.

Pemeriksaan neurologis lengkap harus dilakukan pra bedah. Hasil pemeriksaan ini harus didokumentasikan untuk tiga alasan. Alasan pertama, pasien yang menjalani pembedahan cervical, ahli anestesi bertanggungjawab untuk menghindari perburukan kondisi neurologis lebih jauh selama manuver intubasi dan pemosisian pasien. Alasan kedua, distrofi otot mungkin melibatkan otot-otot bulbar sehingga meningkatkan risiko aspirasi pascabedah. Alasan ketiga, tingkat ketinggian cedera dan waktu yang berlalu sejak kejadian merupakan prediktor gangguan fisiologis pada sistem kardiovaskular dan pernapasan yang terjadi pada periode perioperatif. Bila pembedahan dilakukan dalam 3 minggu setelah cedera, syok spinal mungkin masih ada. Setelah periode waktu ini, dapat terjadi disrefleksia otonom.5 Penggunaan obat bronkodilator mungkin berguna untuk mengoptimalisasi fungsi pernapasan prabedah. Pada pasien dengan lesi medula spinalis yang tinggi, atau pada pasien yang akan dilakukan intubasi dengan fiber-optic, pemberian obat antikolinergik seperti atropine atau glikopirolat harus dipertimbangkan. Banyak pasien yang memiliki faktor-faktor yang meningkatkan risiko regurgitasi dan aspirasi isi lambung,

seperti pemberian opioid, cedera medula spinalis tinggi atau cedera traumatik yang baru terjadi.7 Dalam kondisi-kondisi seperti ini, penting untuk memberikan premedikasi pasien dengan antagonis reseptor histamine-2 atau proton pump inhibitor. Beberapa pasien mungkin menggunakan pipa nasogastrik, yang dapat menurunkan kompetensi sfinkter esophagus atas.

Secara umum, induksi menggunakan pelumpuh otot berdurasi pendek, dilanjutkan dengan pemberian kontinu propofol dan fentanyl serta dosis kecil nitrous oxide (tidak lebih dari 50%) penting untuk monitoring Motor Evoked Potential (MEP). Pada pemerikaan prabedah harus diputuskan apakah intubasi dilakukan dalam kondisi awake atau asleep dan apakah laringoskopi dengan fiber-optic mungkin diperlukan. Pasien harus diberitahu mengenai keputusan intubasi ini. Terdapat kontroversi apakah laringoskopi direk dapat memperburuk cedera neurologis pada pasien dengan vertebra cervical yang tidak stabil, namun demikian kontribusi faktor lain seperti hipotensi dan posisi pasien juga sama pentingnya.8 Laringoskopi direk dengan stabilisasi in-line manual atau dengan hard collar dapat dilakukan pada banyak pasien karena dapat dilakukan tanpa menggerakan leher. Deformitas fleksi yang kaku, yang melibatkan vertebra cervical dan torakal atas membuat laringkopi direk tidak mungkin dilakukan. Pada pasien ini dapat dilakukan laringoskopi fiber-optic atau dengan intubating LMA.5

Beberapa studi telah dilakukan untuk membandingkan laringoskop Macintosh dengan laringoskop Bullard, ventilasi dengan masker, combitube esophagus, LMA, intubating LMA dan intubasi nasal dengan panduan fiber optic atau intubasi oral dalam hal pergerakan vertebra cervical dan disimpulkan bahwa intubasi fiber optic adalah metode intubasi yang menyebabkan paling sedikit gerakan pada vertebra cervical.6 Namun demikian, beberapa studi belakangan menyatakan bahwa penggunaan video laryngoscope pada pasien dengan vertebra cervical yang tidak stabil ternyata merupakan alternatif yang baik bila tidak tersedia fiber optic.9

Penggunaan dexmedetomidine perioperatif tidak

Page 39: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

171

hanya memberikan efek sedasi dan analgesia tetapi juga memberikan kestabilan hemodinamik perioperatif dan hilangnya episode menggigil secara signifikan.10,11 Indikasi untuk intubasi awake termasuk risiko pengosongan lambung lambat, perlunya menilai neurologi setelah intubasi dilakukan (pada kasus di mana tulang vertebra cervical tidak stabil) atau adanya alat stabilisasi leher (traksi halo) yang tidak memungkinkan rumatan jalan napas yang adekuat pada pasien yang tidak sadar. Bila tidak, induksi intravena diikuti dengan obat pelumpuh otot non-depolarisasi merupakan teknik terpilih.5

Intubasi awake dengan fiber-optic diperlukan untuk pasien yang mengenakan alat stabilisasi semacam rompi halo, yang menyebabkan akses jalan napas konvensional tidak mungkin dan pada pasien yang diperkirakan akan sulit intubasi karena alasan anatomis, misalnya mikrognatia, bukaan mulut yang kecil. Pada pasien dengan vertebra cervical yang tidak stabil, pemberian anestesi lokal pada jalan napas untuk membantu intubasi awake dapat menyebabkan batuk hebat. Pada kasus demikian, lebih baik menggunakan lidokain yang dinebulisasi dibandingkan injeksi krikotiroid atau pemberian anestesi lokal melalui fiber-optic scope. Pada pasien ini diputuskan untuk melakukan intubasi dengan teknik asleep apneu dengan pertimbangan kondisi vertebra cervical yang stabil, namun demikian teknik laringoskopi yang dipilih adalah dengan video laryngoscope, hal ini didasari atas pertimbangan bahwa dengan bantuan video laryngoscope, pergerakan vertebra cervical selama laringoskopi cukup minimal sehingga diharapkan tidak menambah cedera neurologi akibat manuver laringoskopi. Setelah dilakukan induksi, pasien diposisikan telungkup (prone). Ada beberapa hal yang harus diwaspadai terkait posisi telungkup ini, terutama karena pembedahan tulang belakang umumnya berjalan cukup lama.9

Yang perlu menjadi perhatian adalah risiko kerusakan medula spinalis. Kerusakan neurologis selama pembedahan dan anestesia tidak hanya terbatas pada tempat pembedahan. Paraplegia dan quadriplegia juga telah dilaporkan sebagai hasil pemosisian pasien yang buruk. Risiko

ini terkait dengan lama dan jenis pembedahan, tekanan perfusi medula spinalis, patologi medula spinalis yang mendasari dan tekanan pada jaringan saraf selama pembedahan. Risiko ini dapat diminimalkan dengan pemosisian yang baik, menjaga tekanan perfusi medula spinalis, pemberian methylprednisolone kurang dari 8 jam setelah cedera, antagonis NMDA (ketamine, magnesium) dan pencegahan pembentukan bekuan darah (pengendalian perdarahan yang baik, penghentian obat anti-platelet sebelum pembedahan dan tunda pembedian heparin segera setelah pembedahan).12

Posisi pasien untuk pembedahan cervical umumnya kaki dekat dengan mesin anestesi. Hal ini memungkinkan akses pembedahan terhadap kepala dan leher. Perlu diperkirakan keperluan perpanjangan sirkuit pernapasan dan jalur intravena dan mungkin perlu memasang kanula intravena pada kaki pasien. Pipa trakea harus diamankan sedemikian rupa tanpa mengganggu lapangan pembedahan. Penting untuk menempatkan kepala pada alas yang lunak dan menjaga agar mata, nervus orbita superior dan kulit di sekitar maxila agar tidak mengalami cedera iskemia, yang bisa terjadi bila pemosisian pasien tidak tepat. Monitor standar digunakan selama pembedahan yaitu elektrokardiografi, pengukur tekanan darah non invasif, pulse oximetry, kapnograf dan temperatur. Monitoring khusus seperti pengukur tekanan darah arteri, tekanan vena sentral dan produksi urine bergantung lama prosedur, kemungkinan kehilangan banyak cairan, risiko emboli udara vena, riwayat penyakit pasien, kondisi hemodinamik tidak stabil prabedah (syok spinal) dan teknik anestesi khusus seperti hipotensi terkendali dan pembedahan endoskopik.12

Terapi cairan selama pembedahan medula spinalis pada dasarnya sama dengan penanganan cairan pada pasien bedah saraf lainnya yaitu mempertahankan normovolemia dan menghindari penurunan osmolaritas serum yang dapat berujung pada edema otak.13 Selama prosedur medula spinalis yang menggunakan IOM, idealnya dilakukan monitoring terhadap baik ¬somatosensory evoked potentials (SSEP)

Pengelolaan Anestesi untuk Eksisi Tumor Intradura Intramedula (IDIM) Setinggi Vertebra Cervical 5-6 dengan Panduan Intraoperative

Neurophysiological Monitoring

Page 40: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

172 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

maupun motoric evoked potential (MEP) mengingat kemungkinan terjadinya cedera selektif hanya pada jalur somato sensorik saja atau jalur motorik saja.1 Baik SSEP maupun MEP dipengaruhi oleh berbagai faktor farmakologis dan fisiologis. Obat atau parameter fisik yang mempengaruhi konduksi listrik sepanjang akson dapat merubah bentuk gelombang evoked potential.13 Secara umum, makin panjang dan makin banyak sinaps, sebuah traktus akan makin sensitif. Lebih jauh lagi, lebih mudah untuk mendapatkan sinyal dari ekstremitas atas dibanding ekstremitas bawah. Hal ini disebabkan karena area tangan menempati representasi lebih besar pada korteks motorik.14

Teknik anestesi konvensional dengan obat anestesi volatil berhalogen dapat mengganggu SSEP15 dan MEP1 tergantung dosis pada tingkat korteks dan spinal.2 Hal ini disebabkan karena obat anestesi inhalasi mengurangi amplitudo dan meningkatkan latensi, sedangkan obat anestesi intravena memiliki efek yang sama tetapi dengan tingkat yang lebih rendah.13 Obat anestesi berhalogen atau berbasis nitrous oxide mempengaruhi amplitudo dan latensi SSEP.13

MEP secara umum lebih sensitif terhadap obat anestesi dibanding SSEP.13

Pemberian kontinu propofol (umumnya dosis 100–150 mcg/kg/menit) dan fentanyl (umumnya sekitar 1 mcg/kg/jam) dapat digunakan untuk rumatan.1 Dosis diatur sedemikian rupa sehingga tekanan darah yang dimonitor secara invasif berada pada kisaran normotensi (kisaran MAP 70-100 mmHg)2 atau ketika pasien belum ditidurkan dan dalam posisi telentang.15

Pelumpuh otot berdurasi pendek dapat diberikan untuk intubasi tapi tidak setelahnya sehingga memungkinkan monitoring MEP.1,15 Pasien juga dipertahankan normotermi selama pembedahan.2

Selama pembedahan pada pasien ini, rumatan dilakukan dengan pemberian kontinu propofol dan dexmedetomidine. Hal ini dilakukan atas pertimbangan propofol pada kisaran dosis tertentu tidak terlalu banyak mengganggu SSEP dibandingkan anestesi inhalasi sehingga hal ini mendukung kelancaran reseksi tumor seradikal mungkin tetapi tetap menjaga terkontrol dengan

IOM. Selain itu pelaksanaan pembedahan dengan IOM didukung oleh tidak diberikannya pelumpuh otot rumatan, tetapi hanya diberikan pada awal saja untuk memfasilitasi intubasi. Pemberian dexmedetomidine dalam hal ini agar dapat menjadi sparring terhadap propofol sehingga dosis propofol tidak terlalu besar yang dapat berefek pada kondisi hemodinamik pasien dan SSEP pada IOM. Selain itu pemberian dexmedetomidine pada pasien ini diteruskan sampai dengan pascabedah di ICU selama pasien dalam proses pemulihan dalam dukungan ventilasi mekanik.11

Anestesia hipotensi mungkin digunakan untuk membuat lapangan pembedahan lebih baik dan mengurangi kehilangan darah selama pembedahan tulang belakang mayor. Beberapa teknik di antaranya obat anestesi volatil, calcium channel blocker, sodium nitroprusside, nitogliserin. MAP dijaga pada kisaran 60 mmHg. MAP umumnya tidak dibiarkan di bawah 60 mmHg karena pada titik ini SSEP tidak dapat terdeteksi dan cedera iskemia dapat terjadi.5 Terdapat hanya sedikit bukti menunjukkan obat mana yang lebih superior, tetapi menghindari takikardia adalah bagian penting untuk teknik anestesia yang baik.5 Propofol memberikan efek penekanan yang kuat pada cortical evoked responses, menyebabkan pengurangan yang bergantung pada dosis pada amplitude respons. Dosis bolus propofol 2 mg/kg dapat menghilangkan MEP cortical.11 Obat anestesi volatil juga mempunyai efek menekan cortical evoked MEP yang kuat. Midazolam dan etomidat menyebabkan reduksi amplitudo respons yang adekuat tetapi lebih kecil. Opioid seperti fentanyl juga dilaporkan mengurangi amplitudo respons atau tidak berefek.16 Pada akhirnya pemberian kontinu propofol dan fentanyl atau remifentanil memberikan perekaman MEP yang adekuat pada 97% pasien yang secara neurologis intak.17 Komplikasi pascabedah dini setelah pembedahan tulang belakang mayor di antaranya adalah kurang cairan, difungsi neurologis, cedera dura sehingga terjadi kebocoran cairan serebrospinal, mual, muntah, atelektasis, pneumonia dan thrombosis vena.6 Proses ekstubasi dapat sulit dilakukan dan sebaiknya dilakukan ketika pasien sadar dan

Page 41: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

173

dapat mempertahankan jalan napasnya sendiri. Namun demikian, salah satu komplikasi yang mungkin terjadi pascabedah di antaranya adalah sumbatan jalan napas pasca ekstubasi. Rentannya jalan napas pascabedah ini dapat terjadi karena adanya bekuan darah atau defisit neurologis. Sedasi dan ventilasi pascabedah sebaiknya tidak dipertahankan telalu lama karena dapat mengaburkan gejala dan tanda penurunan kondisi neurologis pascabedah. Oleh karenanya keputusan untuk melakukan ekstubasi atau mempertahankan sedasi dan ventilasi mekanik pascabedah harus melalui pertimbangan keuntungan dan kerugian yang matang dan telah dilakukan persiapan untuk mengantisipasi apa pun konsekuensi dari pilihan yang diambil. Perawatan pascabedah pada pasien ini dilakukan di ICU dengan sedasi dan dukungan ventilasi mekanik sampai dengan dapat dilakukan evaluasi kesadaran dan fungsi neurologi, kemudian dilakukan ekstubasi. Hal ini didasari pertimbangan agar pasien pulih sadar secara perlahan dan bertahap dalam pengawasan ketat. IV. Simpulan

Eksisi tumor IDIM dengan bantuan IOM merupakan suatu modalitas pembedahan yang dapat mengurangi defisit neurologis akibat pembedahan. Teknik pembedahan ini bertujuan agar tumor terambil sebanyak mungkin tanpa membuat defisit neurologis baru. Pendekatan pembedahan ini menuntut ahli anestesi tidak hanya menguasai ilmu dan keterampilan neuroanestesi untuk pembedahan tulang belakang saja, tetapi juga teknik anestesi untuk memungkinkan dilakukannya monitoring IOM selama pembedahan.

Daftar Pustaka

1. Sala F, Bricolo A, Faccioli F, Lanteri P, Gerosa M. Surgery for intramedullary spinal cord tumors: the role of intraoperative (neurophysiological) monitoring. Eur Spine J 2007; 16 (Suppl 2): S130-S139.

2. Tiruchelvarayan R, Tang MH, Perera S, Lo YL. Outcomes following aggressive

surgical resection of intra-medullary spinal cord tumours with intra-operative neuro-monitoring. Proceedings of Singapore Healthcare 2013; 22(3): 183–90.

3. Constantini S, Miller DC, Allen JC, Rorker LB, Freed D, Epstein FJ. Radical excision of intramedullary spinal cord tumors: Surgical morbidity and long-term follow up evaluation in 164 children and young adults. J Neurosurg (Spine) 2000; 93:183–193

4. Epstein FJ, Farmer J-P, Freed D. Adult intramedullary spinal cord ependymoma: the result of surgery in 38 patients. J Neurosurg 1993; 79: 204–09.

5. Raw DA, Beattie JK, Hunter JM. Anaesthesia for spinal surgery in adults. Br J Anaesth 2003; 91: 886–904.

6. Bajwa SJ, Kuslrestha A. Spine surgeries: challenging aspects and implications for anaesthesia. J Spine Neurosurg 2013; 2(3): 1–8.

7. Engelhardt T, Webster NR. Pulmonary aspiration of gastric contents in anaesthesia. Br J Anaesth 1999; 83: 453–60.

8. McLeod AD, Calder I. Spinal cord injury and direct laryngoscopy – the legend lives on. Br J Anaesth 2000; 84: 705–09.

9. Bathory I, Frascarolo P, Kern P, Schoettker P. Evaluation of the GlideScope for tracheal intubation in patients with cervical spine immobilization by a semi-rigid collar. Anaesthesia 2009; 64: 1337–41.

10. Bajwa SJ, Kaur J, Singh A, Parmar SS, Singh G, Kulshrestha A, dkk. Attenuation of pressor response and dose sparing of opioids and anaesthetics with pre-operative dexmedetomidine. Indian J Anaesth 2012; 56: 123–28.

11. Bajwa SJ, Gupta S, Kaur J, Singh A, Parmar S. Reduction in the incidence of shivering

Pengelolaan Anestesi untuk Eksisi Tumor Intradura Intramedula (IDIM) Setinggi Vertebra Cervical 5-6 dengan Panduan Intraoperative

Neurophysiological Monitoring

Page 42: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

174 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

with perioperative dexmedetomidine: A randomized prospective study. J Anaesthesiol Clin Pharmacol 2012; 28: 86–91.

12. Samantaray A. Anaesthesia for spine surgery. The Indian Anaesthetists’ Forum 2006; Online ISSN 0973–0311.

13. Park JH, Hyun SJ. Intraoperative neurophysiological monitoring in spinal surgery. World J Clin Cases 2015; 3(9): 765–73.

14. Deiner S. Highlights of anesthetic considerations for intraoperative neuromonitoring. Semin Cardiothorac Vasc Anesth 2010; 14: 51–3.

15. Brotchi J, Bruneau M, Lefranc F, Baleriaux D. Surgery of intraspinal cord tumor. Clinical Neurosurgery 2006; 53: 209–16.

16. Kalkman CJ, Drummond JC, Ribberink AA, Patel PM, Sano T, Bickford RG. Effects of propofol, etomidate, midazolam and fentanyl on motor evoked responses to transcranial electrical or magnetic stimulation in humans. Anesthesiology 1992; 76: 502–09.

17. Pelosi L, Stevenson M, Hobbs GJ, Jardine A, Webb JK. Intraoperative motor evoked potentials to transcranial electrical stimulation during two anaesthetic regimens. Clin Neurophysiol 2001; 112: 1076–87.

Page 43: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

175

Manajemen Anestesi pada Pasien dengan Akromegali yang Menjalani Prosedur Reseksi Tumor Adenohipofise melalui Pendekatan Sublabial Transphenoidal

Hamzah*), Muhammad Faris**), Yoppie Prim Avidar*), Nancy Margarita Rehatta*)

*)Departmen/SMF Anestesiologi and Reanimasi, **)Departemen/SMF Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga– RSUD Dr. Soetomo, Surabaya

Abstrak

Akromegali merupakan penyakit akibat produksi growth hormone secara berlebihan dan umumya disebabkan oleh adenoma kelenjar hipofisis. Insidensi akromegali pertahunnya mencapai 5 kasus per 1 juta orang dengan prevalensi 60 kasus per 1 juta orang. Manifestasi klinis pada tiap pasien berbeda, tergantung dari kadar dari growth hormone, insulin-like growth factor-1, usia pasien, ukuran tumor, dan keterlambatan diagnosis. Pasien dengan akromegali telah dilaporkan memiliki tingkat mortalitas dan morbiditas yang tinggi, peningkatan angka kematian pada umumnya terkait dengan komplikasi kelainan kardiovaskular, serebrovaskular dan masalah respirasi. Pada kasus ini, seorang laki-laki usia 57 tahun, berat badan 86 kg, dengan PS-ASA II, perawakan khas akromegali dan ditunjang dengan hasil pemeriksaan hormon. Pada pemeriksaan CT-scan ditemukan massa di ruang sella tursica. Pemeriksaan lebih lanjut menunjukkan pembesaran lidah yang menimbulkan kesulitan manajemen jalan nafas dan diklasifikasikan sebagai mallampati kelas II. Pasien akan dilakukan prosedur reseksi tumor adenohipofise melalui pendekatan sublabial transpheonidal dengan anestesi umum. Sebagian besar anestesi untuk operasi pada pasien akromegali membutuhkan perhatian khusus dibandingkan dengan tumor kepala yang lain..

Kata kunci: Akromegali, manajemen anestesi, pendekatan sublabial transfenoid, tumor adenohipofisis

JNI 2018;7(3): 175–84

Anesthesia Management in Patients with Acromegaly Underlying Adenohipofise Tumor Resection Procedures Through a Transphenoidal Sublabial Approach

Abstract

Acromegaly and gigantism are clinical abnormalities due to excessive growth hormone production, usually resulted from pituitary adenoma. The incidence of acromegaly is 5 cases per 1 million people per year while the prevalence is 60 cases per 1 million people. Clinical manifestations in each patient is depending on the levels of growth hormone, insulin-like growth factor-1, age of the patient, tumor size and the delay in diagnosis. Increased of morbidity and mortality have been reported in acromegaly patients predominantly caused by complications of cardiovascular, cerebrovascular and respiratory problem. A 57 year old male, 86 kgs, ASA physical status II. His appearance suggested acromegaly, diagnosis then confirmed with hormonal examination and imaging of the pituitary mass. Further examination presented tongue enlargement which cause airway management difficulty and classified as mallampati class II. The patient will undergo adenohipofise tumor resection procedures through a transphenoidal sublabial approach with general anaesthesia. Most of anaesthesia in acromegaly patient surgery require special attention compared with other head tumors.

Key words: Acromegaly, management anaesthesia, sublabial transphenoidal approach, adenohipophyse tumour

JNI 2018;7(3): 175–84

Page 44: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

176 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan

Akromegali merupakan penyakit yang sangat menarik oleh karena menimbulkan tantangan klinis untuk para ahli endokrin lebih dari 130 tahun setelah Pierre Marie menggambarkan penyakit ini.1

Akromegali adalah penyakit akibat produksi Growth Hormon (GH) yang berlebih. Penyakit ini umumnya disebabkan oleh adenoma kelenjar hipofisis, suatu bentuk tumor jinak yang baru terjadi setelah usia dewasa. Pasien dengan akromegali telah dilaporkan meningkatkan morbiditas dan mortalitas, terutama bila terjadi persisten GH. Angka harapan hidup dapat menurun kurang lebih 10 tahun terutama bila kadar GH tidak terkendali dan timbul komplikasi seperti penyakit jantung dan diabetes mellitus.1,2 Diagnosa akromegali paling sering ditegakkan setelah umur 50 tahun, angka kejadian pertahun 5 kasus per 1 juta orang sedangkan prevalensi 60 kasus per 1 juta orang, rasio antara laki-laki dan wanita adalah sama.3 Adenoma hipofisis adalah kelompok tumor yang berasal dari kelenjar hipofisis. Tumor ini telah diklasifikasikan berdasarkan ukuran menjadi mikroadenoma bila diameternya kurang dari 10 mm, makroadenoma bila ukurannya lebih dari 10 mm dan giant adenomas jika lebih dari 30 mm. Klasifikasi saat ini telah dilengkapi dengan sistem yang lebih komprehensif.4

Adenoma hipofisis yang menjadi penyebab akromegali, dapat memproduksi satu atau lebih hormon secara berlebih, sehingga sering juga disebut sebagai secretory pituitary adenomas. Jenis tumor ini tidak akan meluas keluar dari kranium, umumnya tetap berada di sella turcica (ruang kecil tempat kelenjar hipofisis).3 Kasus-kasus tertentu dapat bertumbuh ke luar dinding sella tursika dan disekitar pembuluh darah, nervus dan selaput otak sehingga dapat menimbulkan gejala klinis tertentu sesuai dengan luas daerah yang terpapar.3 Manifestasi klinis setiap penderita bervariasi tergantung dari ukuran tumor, kadar GH and Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-I), umur dan keterlambatan diagnosis. Umumnya gejala akromegali yang ditemukan disebabkan oleh ketidakseimbangan hormonal dengan

manefestasi klinis seperti keringat berlebih perbesaran jari dan tangan, kaki, dan pembesaran tulang wajah yang abnormal seperti tulang pipi dan tulang dagu. Gejala lain yang sering menyertai adalah hipertensi, pembesaran jantung, kelemahan otot jantung hingga gagal jantung dan gagal nafas. Kelainan patologis lain yang dapat ditemukan adalah gangguan toleransi glukosa dan diabetes Mellitus (DM), metabolism lemak yang tidak normal, polip colon, letak gigi berubah (teeth spacing), kulit berminyak dan berjerawat.3

Penyakit yang mirip dengan akromegali adalah gigantisme, yang juga disebabkan oleh sekresi berlebihan dari hormon pertumbuhan (GH), namun gigantisme terutama ditemukan pada usia muda sedangkan akromegali baru terjadi setelah usia dewasa.3

Masalah unik yang akan dihadapi spesialis anestesi pada kasus akromegali adalah perubahan anatomi seperti pembesaran lidah, yang diikuti perubahan pada laring, pembesaran hidung, protrusi mandibular dengan maxilla yang melebar, maloklusi rahang dan gigi serta jaw overbite, sehingga dapat menimbulkan masalah pengelolaan jalan nafas, perubahan anatomi ini digunakan sebagai antisipasi pengelolaan intubasi yang berdampak pada hemodinamik. Pemahaman mengenai penilaian pra bedah, tata laksana selama pembedahaan dan komplikasi yang mungkin terjadi, cara-cara pencegahan komplikasi merupakan dasar keberhasilan penanganan pasien perioperatif sehingga mencegah morbiditas dan mortalitas.3

II. Kasus

Seorang laki-laki 57 tahun, berat badan 86 kg, status fisik-ASA II masuk ke rumah sakit dengan rencana operasi transnasal transphenoidal. Pasien menunjukkan tanda akromegali dan dianjurkan untuk menjalankan pemeriksaan lebih lanjut, ternyata pasien mengalami tumor kelenjar hipofisis (Pitutary Adenoma) dan terdiagnosa sebagai akromegali.

Pemeriksaan Prabedah AnamnesisAnamnesa didapatkan riwayat penyakit sistemik berupa hipertensi yang mendapatkan terapi

Page 45: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

177

ramipril dan diabetes mellitus yang terkontrol dengan glimepiride. Saat ini pasien mengeluhkan sering berkeringat, pusing, penurunan libido dan pembesaran ukuran tangan dan kaki secara bertahap.

Pemeriksaan FisikPada pemeriksaan fisik didapatkan pembesaran ukuran tangan dan kaki serta masalah jalan nafas berupa lidah yang besar sehingga tergolongkan sebagai Mallampati klas 2. Evaluasi foto thorak didapatkan kardiomegali dan EKG menunjukan adanya hipertrofi ventrikel kiri. Selama mendapatkan pengobatan dengan ramipril, tekanan darah terendah 140/95 mmHg dan tekanan darah tertinggi 160/100 mmHg

Gambar 1. Foto Pada Umur Berbeda Menunjukkan Perubahan Fisik pada Wajah, Tangan dan Lidah Pasien Akromegali

Pemeriksaan LaboratoriumOleh karena keterbatasan pada fasilitas laboratorium, hanya dilakukan evaluasi kadar hormon serum (Tabel 1). Evaluasi kadar hormon menunjukan peningkatan prolaktin (PRL) dan GH, serta penurunan testosteron, sedangkan kadar thyroid-stimulating hormon (TSH), kortisol dan follicle stimulating hormon (FSH) dan luteinizing hormone (LH) normal.

Pemeriksaan RadiologiGambaran Magnetic Resonance Imaging (MRI) Kepala menunjukan adanya massa di sella tursica (Pituitari Fossa) yang termasuk sebagai makroadenoma (2x2x3 cm) sebagian besar membesar ke inferior masuk sampai mengisi sebagian sinus sphenoidalis namun ke superior belum menyebabkan penekanan chiasma.

Gambar 2. Foto MRI Kepala Pra Bedah . Panah menunjukkan adenoma hipofise

Penatalaksanaan AnestesiPasien akan dilakukan prosedur reseksi tumor adenohipofise melalui pendekatan sublabial transpheonidal dengan anestesi umum dan lama operasi ± 2 jam. Premedikasi dengan hidrocortison 100 mg, atropine 0,5 mg, lidocain 0,8 mg/kgBB. Induksi anestesi dilakukan dengan menggunakan thiopental 5 mg/kgBB, atracurium 0,6 mg/kgBB dan 1 µg/kgBB fentanil iv, dilanjutkan dengan

Gambar 3. Lidah Yang Membesar dan Proses Intubasi Pasien

rumatan menggunakan nitrous oxide 50% dalam oksigen (dengan fasilitas mesin anestesi tanpa air), isoflurane 0,7 % dan fentanil. Jalan nafas dipertahankan dengan oro pharyngeal airway dan chin lift selama 3 menit dan diberikan nafas buatan pasca pemberian atracurium sebagai fasilitas untuk intubasi dengan menggunakan

Manajemen Anestesi pada Pasien dengan Akromegali yang Menjalani Prosedur Reseksi Tumor Adenohipofise melalui Pendekatan Sublabial

Transphenoidal

Page 46: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

178 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

pipa endotrakhea no 8.0 mm melalui mulut dan diberikan tampon dengan sangat hati - hati. Saat melakukan laringoskopi dan intubasi sedikit dibutuhkan tenaga untuk melakukannya, pipa endotrakhea dimasukkan dan balon dikembangkan dengan tekanan <20 cm H2O dan difiksasi di dagu. Ekstubasi dilakukan saat pasien sudah sadar penuh dan bisa diperintah.

Pascabedah Setelah dilakukan ekstubasi, pasien dibawa ke ruang pulih sadar. Nyeri pasca operasi diatasi dengan menggunakan morphin, tekanan darah distabilkan dengan diltiazem, dan kadar gula darah dipertahankan dengan insulin dan glimeperide. Pemberian obat untuk diabetisnya tidak lagi dilanjutkan setelah hari ke 9 pasca pembedahan, tatalaksana hipertensinya masih menggunakan ramipril. Segera setelah pasien dapat menelan pasien diberikan bromokriptin per

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Hormonal Pasien

Hormona Prabedah Normal Value Pascabedah(5 minggu)

GH 65 ng/mL < 1 2,6 ng/mlProlactin (EIA) 444 ng/ml 2,5 -17 ng/ml 16.0 ng/mlTSH ( EIA) 1.02μIU/ml 0,4 – 4 μIU/ml 0,32μIU/mlT3 (MEIA) 1.31 ng/ml 0,79 – 1,49 ng/mL 1,12 ng/mlT4 ( EIA) 1.11 μg/dl 4,5 – 12,5 μg/dl 13,50 μg/dLLH (EIA) 1.3 mIU/ml 0,8 – 7,6 mIU/ml 5 mIU/mlCortisol (EIA) 107 ng/ml 50 -250 ng/mL 59 ng/mLTestoteron (EIA) 71.2 ng/dL 181-758 ng/dL 300 ng/dLFSH (EIA) 8.5 mlU/ml 0.7 – 11.1 mlU/ml 10,3 mlU/ml

Keterangan: GH: Growth Hormone, TSH: Thyroid-Stimulating Hormone, T3: Triiodothyronine, T4:Thyroxine, FSH: Follicle-Stimulating Hormone, EIA: Enzyme Immunoassay, MEIA: Microparticle Enzyme Immunoassay

Gambar 4. Tekanan Darah Rerata Selama di Ruang Pulih Sadar

Gambar 5. Foto MRI Kepala Pascabedah Eksisi Adenoma Hipofisa Melalui Sublabial Transphenoidal

Gambar 6. Kelenjar Hipofisis Normal5

Tampak bagian adenohipofisis yang kaya akan pembuluh dan bermacam sel yang dapat mensekresi berbagai hormon dan yang dapat distimulasi oleh hipotalamus

Page 47: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

179

oral untk mempertahankan kadar prolaktin. Penanganan setelah pembedahan pada pasien ini mempunyai resiko bermasalah pada jalan nafas dan diabetes insipidus, sehingga dibutuhkan pengawasan ketat. Pasien ini dipulangkan hari ke 12 setelah pembedahan.

III. Pembahasan

Akromegali adalah suatu penyakit dengan kelainan hormonal dimana disebabkan oleh produksi GH yang berlebih. Insiden tumor hipofisis didapatkan antara 10% –25% dari seluruh neoplasma intrakranial.3 Diagnosa akromegali sering terlambat ditegakkan, terkadang setelah penderita 25 tahun mengalami kelainan hormonal diagnosa baru dapat ditegakkan. Hal ini disebabkan karakteristik adenoma hipofisis yang sangat jarang yang menampakkan gejala yang signifikan. Sehingga biasanya ditemukan secara insidental ketika penderita berobat kedokter dengan penyakit bukan tumor yang diderita.6 Pada kasus ini, diagnosa akromegali ditegakkan pascabedah herniotomi penderita hernia inguinalis dan dicurigai terdapat manifestasi gangguan GH seperti pada foto 1. Kemudian dianjurkan dilakukan pemeriksaan laboratorium dan didapatkan peningkatan kadar prolaktin dan GH, serta penurunan testosteron. Tumor hipofisis berdasarkan ukurannya dibagi atas mikroadenoma (<10 mm) dan makroadenoma (≥10 mm) dan giant adenomas saat berukuran lebih dari 30 atau 40 mm,4 pembagian lain adalah berdasarkan biological behavior, yakni kelompok adenoma yang sekarang diklasifikasi berdasarkan immunohistochemistry dan status fungsional.3 Tujuan klasifikasi tambahan ini untuk menentukan manifestasi dan tingkat resiko mortalitas yang semakin tinggi, sebanding dengan makin besarnya tumor kelenjar hipofisis, dan tidak terkendalinya kadar GH.7 Berdasarkan temuan histopatologis, radiologis dan klinisnya tumor hipofisis dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu adenoma jinak, adenoma invasif, dan karsinoma.7

Adenoma jinak mencakup sebagian besar dari kasus neoplasma hipofisis dengan estimasi prevalensi keseluruhan diperkirakan sekitar 10

hingga 15%. Hanya sebagian kecil dari adenoma yang menimbulkan gejala. Adenoma adalah tumor dengan morfologi sel yang homogen dan memiliki aktivitas mitosis yang normal (Ki-67 labeling index <3 %). Adenoma dapat diklasifikasikan sebagai adenoma agresif saat memiliki risiko tinggi kekambuhan atau kurangnya respon terapeutik terhadap pengobatan konvensional, adenoma agresif biasanya berukuran lebih besar, lebih cepat tumbuh.7 Adenoma invasif didefinisikan sebagai tumor dengan pertumbuhan yang terbukti ke struktur yang berdekatan, seperti sinus kavernosa, tulang, dan sinus sphenoid, kecuali pertumbuhan ke suprasellar yang tidak dianggap sebagai kriteria invasif. Invasi dapat dideteksi dengan MRI pra-bedah, selama pembedahan, atau dengan demonstrasi histologis penyebaran tumor ke dura, tulang, atau mukosa hidung.7 Karsinoma hipofisis didefinisikan ketika didapatkan metastase sistemik atau di cairan serebrospinal bahkan jika mereka tidak menunjukkan fitur ganas histologis umum seperti aktivitas mitosis yang lebih tinggi, tumor ini jarang terjadi dengan angka insidensi 0,2% dari seluruh tumor pituitari.4

Peningkatan dari morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan akromegali adalah hasil dari sekresi berlebih dari GH dan IGF-1 dan dari efek massa dari tumor hipofisis. Diagnosis dini dari penyakit ini sangat penting sekalipun tidak satupun dari gejala ini cukup sensitif, terutama saat tahap awal dari penyakit ini.6 Akromegali sendiri memiliki berbagai tanda dan gejala yang umumnya didasari atas efek GH. Produksi berlebih dari GH menstimulasi dari hormon lain melalui hepar yaitu IGF-1. Hormon inilah yang menstimulasi pertumbuhan dari kulit, jaringan ikat, kartilago, tulang, organ, dan jaringan lain dalam tubuh; dengan pengecualian tulang dari ekstremitas, yang mana tidak tumbuh lagi setelah masa puber. Resiko lain yang sering ditemukan adalah penurunan libido yang disebabkan menurunnya produksi testosteron oleh karena penekanan pada sel yang memproduksinya.8 GH dalam darah akan menstimulasi hati untuk memproduksi IGF-1. IGF-1 bersifat mitogenik dan menghambat apoptosis, dan penelitian pada hewan menunjukkan GH dapat meningkatkan

Manajemen Anestesi pada Pasien dengan Akromegali yang Menjalani Prosedur Reseksi Tumor Adenohipofise melalui Pendekatan Sublabial

Transphenoidal

Page 48: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

180 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

resiko hiperplasia dan keganasan. Lebih lagi bukti epidemiologis menunjukkan bahwa aksis GH/IGF-I mempengaruhi resiko kanker pada manusia. Kadar GH berlebih ini akan mempengaruhi proses mitogenik dan antiapoptotik pada tingkat sel. Pada perangsangan GH di hepar, telah terbukti secara in-vitro menyebabkan efek karsinogenik (mitosis dan antiapoptotis) dan hiperplasia. Hasil dari studi kohort menunjukkan, sekalipun tidak konsisten, peningkatan IGF-1 dalam serum memprediksi peningkatan resiko kanker tertentu, dan ada bukti di mana resiko kanker tiroid, payudara dan usus besar meningkat pada pasien dengan akromegali, kelainan yang disebabkan oleh GH yang berlebih.9

Wajah dan kepala (hidung, bibir, dan dahi) melebar, membesar dan tampak bengkak. Penonjolan tengkorak regio frontalis dan cranial ridge, pertumbuhan berlebih dari mandibular dengan prognathism, pelebaran maxilla dengan gigi yang terpisah, maloklusi rahang, dan overbite. Lidah membesar, jarak antar gigi melebar, rahang bawah membesar. 3 Leher – Pertumbuhan jaringan lunak dari leher dan kotak suara dapat memicu pada suara serak atau sleep apnea (kondisi yang dapat menyebabkan seseorang kadang berhenti bernafas sesaat saat tidur, mengakibatkan penurunan kadar oksigen, mengganggu tidur, dan mengantuk pada siang hari).

Tangan dan kaki membesar, sehingga pasien memerlukan ukuran cincin, sarung tangan, dan sepatu yang sangat besar. Pertumbuhan dari jaringan di pergelangan tangan, dapat menekan saraf medianus di pergelangan tangan dan menimbulkan kesemutan atau nyeri di tiga jari tangan (Carpal Tunnel Syndrome). Tulang – Pertumbuhan berlebih dari tulang dapat merusak kartilago di sekitarnya dan memicu seringnya terjadi arthritis.

Jantung – Insidensi dari penyakit jantung pada penderita akromegali meningkat, hal ini diduga karena pembesaran otot jantung yang mengganggu fungsi dari otot (kardiomiopati). Tekanan darah tinggi juga lebih umum pada akromegali. Beberapa orang memiliki masalah pada katup jantungnya. Gagal jantung dapat

terjadi bila akromegali tidak terkontrol.10 Pada kondisi di mana kadar GH tidak terkontrol dan disertai penyakit jantung, angka harapan hidup dapat berkurang kurang 10 tahun. Pasien dengan akromegali yang terawat dan memiliki kadar GH normal umumnya memiliki angka harapan hidup yang normal oleh karena sebagian perubahan jaringan dapat reversibel. Kelainan kardiovaskuler lain yang juga sering menyertai adalah resiko terjadinya arterioskelerotik.1,3

Diabetes lebih umum pada orang dengan akromegali, dan orang yang sebelumnya didiagnosa dengan diabetes, kemungkinan akan memerlukan dosis terapi yang lebih tinggi.11 Diabetes pada penyakit akromegali disebabkan oleh kelebihan kadar GH yang mengganggu metabolisme glukosa, hal ini telah dibuktikan pada binatang coba di mana pemberian GH secara terus menerus (increasing doses of GH) didapatkan kerusakan sel beta, yang dimulai dengan peningkatan insulin, degranulasi, peningkatan mitosis dan proliferasi sel. Pemberian terus menerus berlanjut pada fibrosis and hyalinisasi dari pulau – pulau pankreas, sehingga masuk pada tahap ireversibel dan diabetes menjadi permanen. Peningkatan GH juga mengurangi pengambilan (uptake) glukosa oleh otot dan jaringan adipose dengen konsekuensi peningkatan kadar gula darah.11

Gejala lain dapat disebabkan oleh ukuran dari adenoma hipofisis, jika adenoma hipofisis menjadi lebih besar (contoh: 2 cm atau lebih) akan menyebabkan tekanan pada struktur di sekitar akan menimbulkan gejala. Jika adenoma tumbuh ke atas, hal ini dapat menimbulkan peregangan pada saraf mata (chiasma optikus) yang menyebabkan masalah penglihatan dimulai dengan gangguan lapang pandang dan apabila berlanjut akan menimulkan kebutaan.1

GH menstimulasi produksi zat kimiawi lain, seperti insulin-like growth factor-1 (IGF-1) di hati dan banyak jaringan tubuh lainnya. Sehubungan dengan adanya kaitan antara kelebihan GH dan kelebihan IGF-I, maka pengukuran kadar IGF-1 darah dianggap cukup mewakili atau dianggap sudah efektif jika hanya mengukur

Page 49: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

181

IGH-I untuk mewakili kadar GH dalam darah atau sebaliknya. Diagnostik lain adalah imaging kepala menggunakan MRI untuk melihat kelenjar hipofisis dan hipothalamus.3 Pada pemeriksaan MRI kepala hampir selalu diperlukan pemberian| kontras gadolinium, dengan teknik T1 weighted, dengan resolusi tinggi akan mudah diketahui adanya tumor hipofisa. Sebagai tambahan pemeriksaan darah dan urin untuk mendapatkan diagnose perubahan endokrin bisa dilakukan untuk menentukan kadar hormon basal PRL, GH, IGF-1, free thyroxine, kortisol dan testosteron (pada pria).1 Namun oleh karena keterbatasan dari pemeriksaan laboratorium, pada pasien ini hanya dilakukan pemeriksaan pada tabel 1 dan didapatkan peningkatan kadar PRL dan GH, serta penurunan testosteron.

GH menstimulasi produksi zat kimiawi lain, seperti insulin-like growth factor-1 (IGF-1) di hati dan banyak jaringan tubuh lainnya. Sehubungan dengan adanya kaitan antara kelebihan GH dan kelebihan IGF-I, maka pengukuran kadar IGF-1 darah dianggap cukup mewakili atau dianggap sudah efektif jika hanya mengukur IGF-I untuk mewakili kadar GH dalam darah atau sebaliknya.12 Namun terkadang hasil pemeriksaan laboratorium sudah jelas menunjukkan bahwa pasien mengalami kelebihan GH, Tapi MRI sering sulit memastikan adanya mikroadenoma yang kecil karena memerlukan teknik pembuatan imaging yang teliti. Apabila sudah dilakukan pemeriksaan MRI yang teliti dan tetap tidak ditemukan adanya mikroadenoma maka harus dicoba mencari alternatif pemeriksaan lain yaitu berusaha melacak atau menemukan jenis tumor lain di organ tubuh diluar kelenjar hipofisis, yang mempengruhi pelepasan GH di kelenjar hipofisis (Growth Hormone-releasing hormone). Biasanya berasal dari tumor di paru, gastrointestinal atau pankreas. Produksi hormon ektopik ini mempunyai kapasitas untuk menstimulasi pelepasan hormon yang berlebihan dari kelenjar hipofisis.13

Lingual Tonsil hypertrophy (LTH) seringkali asimptomatis, sekalipun beberapa pasien mungkin merasakan rasa mengganjal di leher, perubahan suara, batuk kronis, mendengkur, atau obstructive sleep apnoea. Dua dari 3 pasien dengan LTH

memiliki riwayat tonsilektomi palatum. Hal ini dapat mengakibatkan LTH, kemungkinan karena mekanisme kompensasi karena hilangnya tonsil palatum. LTH kebanyakan terjadi pada orang dewasa, terutama pada individu dengan atopi, namun hal ini juga dilaporkan terjadi pada anak.14

LTH dapat menggeser epiglottis ke arah posterior dan membuat mobilisasi epiglotis lebih sulit. Hal ini mungkin penyebab kenapa pasien dengan LTH lebih sulit diiintubasi menggunakan teknik konvensional. Intubasi dengan fiberoptik pada pasien yang telah dianestesi mungkin sama sulitnya. Pergeseran epiglotis ke arah posterior dan jaringan berlebih dapat mengganggu pandangan fiberoptik, dan dengan onset dari blokade neuromuskular yang menyebabkan relaksasi dari otot faring, menyebabkan pergeseran ke arah posterior yang lebih lagi dari lidah dan epiglotis. Kegagalan yang serupa dari intubasi dengan laryngeal mask telah dilaporkan sebelumnya. Perlu kehati-hatian untuk tidak menimbulkan trauma jaringan, dan pasien dalam semua kondisi lebih mudah untuk diberi ventilasi dengan face mask. Sekalipun perdarahan minimal terjadi, hal ini tetap dianggap aman untuk dilakukan. Insidensi LTH dipercaya rendah, namun oleh karena hal ini sering asimtomatis, kemungkinan hal ini tidak terdeteksi hingga dilakukan anestesi umum.14 Seperti tonsil lain, tonsil lingua dapat membengkak saat terjadi inflamasi akut dan berlanjut pada masalah jalan nafas. Ada laporan di mana pasien LTH dan jalan nafas sulit yang tidak terduga yang telah diintubasi beberapa minggu sebelumnya tanpa masalah. Intubasi dengan fiberoptik dalam kondisi sadar direkomendasikan untuk semua pasien dengan LTH yang memerlukan anestesi umum. Dalam situasi intubasi sulit yang tidak diduga, disarankan menggunakan laringoskop THT.15

Akromegali diketahui berkaitan dengan peningkatan resiko dari jalan nafas sulit dan insidensi dari kesulitan intubasi dilaporkan berkisar 10 hingga 30%. Hal ini berkontribusi pada prognathism, macroglossia dan penebalan dari jaringan lunak laring dan faring, serta LTH pada pasien kami yang mana berkontribusi sebagai penyulit intubasi.3 Kemungkinan ada pengaruh sinergis dari akromegali, menyebabkan

Manajemen Anestesi pada Pasien dengan Akromegali yang Menjalani Prosedur Reseksi Tumor Adenohipofise melalui Pendekatan Sublabial

Transphenoidal

Page 50: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

182 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

tonsil lingua lebih hipertrofi dari biasanya. Namun, oleh karena penemuan pre-operasi, dan konfirmasi LTH besar melalui endoskopi, kami percaya bahwa LTH adalah alasan utama dalam kesulitan kami, utamanya menyebabkan penggeseran epiglotis ke arah posterior. LTH dengan resiko pembengkakan dan perdarahan harus selalu dipertimbangkan pada saat menemui kesulitan dalam memvisualisasikan pita suara dengan laringoskop rigid.15

Terapi spesifik untuk adenoma dikoordinasi oleh Spesialis Bedah Saraf dan Spesialis Penyakit Dalam Endokrin yang tergabung dalam tim tumor hipofisis. Terapi dapat mencakup operasi, termasuk operasi pengangkatan melalui prosedur yang disebut Sublabial Transphenoidal atau Endonasal Transphenoidal Endoscopic Surgery, terapi medis, terapi radiasi, terapi hormon, dan atau observasi.16 Terapi untuk akromegali memiliki tujuan untuk mengurangi atau mengendalikan pertumbuhan tumor, menghambat hipersekresi GH, dan menormalkan kadar IGF-1. Terapi saat ini menggunakan tiga pendekatan yaitu, pembedahan, manajemen medis, dan radioterapi. Setiap modalitas terapi memiliki keuntungan dan kerugian spesifik, namun penggunaan optimum dari terapi ini bertujuan mengurangi mortalitas pada populasi pasien akromegali. Namun radioterapi lebih diarahkan apabila tindakan bedah gagal mengambil semua tumor sehingga masih ada bagian tumor yang memproduksi GH.16

Tujuan utama pada pengobatan akromegali dengan manajemen medis adalah dengan merestorasi kadar GH/IGF ke arah normal. IGF-1 merupakan penanda yang baik dari jumlah total sekresi GH sehingga dapat digunakan sebagai penanda utama dalam mengendalikan akromegali. Pada pasien yang terkontrol, kadar IGF-1 akan berada pada kadar yang normal dalam kelompok usia dan jenis kelamin masing – masing pasien. Tujuan dari terapi biokimia dari akromegali adalah untuk mengembalikan aksis GH/IGF-1 ke dalam batas normal.17 Pada fasilitas yang memiliki pemeriksaan lab yang lengkap sebaiknya pemeriksaan IGF-1 dilakukan oleh karena peningkatan sekresi dari GH menyebabkan peningkatan produksi IGF-1.18 Berdasarkan bukti

terbaru, kadar GH kurang dari 2–2.5 mug/L adalah prediktor yang lebih baik dibandingkan kadar IGF-1 yang normal, hal ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan antara GH and IGF-1 pada kadar GH yang rendah.19 Beberapa bukti menyarankan batas kadar GH yang lebih ketat (kurang dari 1 µg/L). Radioterapi berkaitan secara spesifik dengan mortalitas serebrovaskuler dan penggunaannya pada pasien dengan akromegali harus melibatkan analisa keuntungan dan resiko yang teliti pada tiap kasus.18 Terapi dengan pegvisomant atau somotostatin analog (octreotide) menghasilkan konsentrasi IGF-I menjadi normal hingga pada 90% pasien dengan akromegali, termasuk mereka yang mengalami kegagalan dengan modalitas terapi lain. Dengan agen ini, kadar GH dalam sirkulasi meningkat sebagai pengaruh dari penurunan kadar IGF-I.17

KomplikasiResiko tindakan anestesi pada kasus akromegali meliputi kesulitan pada penanganan jalan nafas, hipertensi, masalah di jantung, ginjal, diabetes dan sistem endokrin.10 Akromegali adalah penyakit serius yang dapat meningkatkan angka kesakitan dan kematian. Kasus ini selama tindakan anestesi tidak didapatkan masalah. Tetapi saat intubasi dibutuhkan tambahan usaha, memasukan tampon dan menggunakan penekanan pada cricoid yang harus hati-hati. Kemungkinan kesulitan saat intubasi membutuhkan penggunaan fiberoptik untuk menghindari komplikasi dan tracheostomi yang sebenarnya tidak diperlukan. Penekanan pada cricoid untuk membantu visualisasi dari laring dan pemasangan tampon harus dilakukan dengan hati-hati.20

Observasi hormonal dan MRI setelah operasi sangat penting untuk menentukan pengobatan selanjutnya. Masalah akan meningkat jika terjadi recurrent adenoma yang dapat diobeservasi dari pemeriksaan diatas. Peningkatan hormon yang dihasilkan oleh hipofisis oleh adenoma dapat dihilangkan dengan mengangkat tumor tersebut. Kegagalan bisa terjadi ketika masih ada sisa dari adenoma yang tertinggal.16 Berdasarkan data laboratorium pasca bedah didapatkan penurunan prolaktin dan GH (prolaktin menjadi normal tetapi GH masih belum normal), testosteron meningkat

Page 51: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

183

dan beberapa keluhan hilang. Hal ini menunjukan bahwa adanya perbaikan klinis tetapi masih ada kemungkinan terulang lagi atau timbul lagi. Dari literatur disebutkan bahwa angka kesembuhan setelah pembedahan mencapai 90% untuk mikroadenoma dan 60% untuk makroadenoma dengan tingkat rekurensi 2 hingga 8%.16

Pada kasus ini tidak ada kejadian perubahan hemodinamik yang bermakna selama operasi, dan komplikasi dari intubasi sulit juga tidak didapatkan. Resiko operasi berupa perdarahan, diabetes insipidus dan syndrom of inappropriate antidiuretic hormone tidak terjadi.

III. Simpulan

Terapi spesifik untuk adenoma dikoordinasi oleh Spesialis Bedah Saraf dan Endokrin (spesialis kelainan hormon) dalam tim tumor hipofisis. Terapi dapat mencakup operasi, termasuk operasi pengangkatan melalui prosedur yang disebut Sublabial transphenoidal dan Endonasal transphenoidal endoscopic surgery, terapi medis, terapi radiasi, terapi hormon, dan atau observasi.Pertanyaan yang sering ditanyakan adalah “seberapa efektifkah pembedahan bekerja?” – Tindakan Bedah biasanya efektif dalam mengurangi peningkatan kadar hormon, walaupun kadarnya tidak selalu kembali ke normal. Kemungkinan kadar GH kembali ke kadar normal setelah operasi berkaitan langsung dengan ukuran adenoma sebelum operasi. Kadar dari GH dan IGF-1 akan kembali normal pada 80% orang dengan mikroadenoma.

Pada sisi lain, kurang dari 40% dari orang dengan adenoma besar yang melebihi hipofisis akan memiliki kadar hormon normal setelah operasi. Jika adenoma diangkat seluruhnya, kadar GH darah akan langsung turun ke batas normal dalam hitungan jam setelah operasi dan kadar IGF-1 darah akan menjadi normal dalam hitungan minggu sampai bulan. Penelitian yang dipublikasikan menunjukkan bahwa pegvisomant memiliki efikasi yang baik dalam terapi akromegali. Zat ini terbukti aman dan dapat ditoleransi dengan baik, sehingga zat baru ini dapat menjadi pilihan terapi yang penting untuk pasien dengan akromegali.

Daftar Pustaka

1. Fleseriu M, Gadelha M. Acromegaly, a pituitary special issue. Pituitary 2017; 20: 2–3.

2. Găloiu S, Poiană C. Current therapies and mortality in acromegaly. J. Med. Life 2015; 8: 411–5.

3. Lugo G, Pena L, Cordido F. Clinical manifestations and diagnosis of acromegaly. International Journal of Endoclinology 2012; 2012.

4. Chatzellis E, Alexandraki KI, Androulakis II, Kaltsas G. Aggressive pituitary tumors. Neuroendocrinology 2015; 101: 87–104.

5. Raffa Rb, Rawis SM, Beyazarof EP. Netter’s Illustrated Pharmacology, 2014; 57–91.

6. Lavrentaki A, Paluzzi A, Wass JA, Karavitaki N. Epidemiology of acromegaly: review of population studies. Pituitary 2017; 20:4–9.

7. Sav A, Rotondo F, Syro LV, Di Ieva A, Cusimano MD, Kovacs K. et al. Invasive, atypical and aggressive pituitary adenomas and carcinomas. Endocrinol. Metab. Clin. North Am 2015; 44: 99–104.

8. Pastuszak AW, Liu JS, Vij A, Mohamed O, Sathyamoorthy K, Lipshultz LI. et al. IGF-1 levels are significantly correlated with patient-reported measures of sexual function. Int. J. Impot. Res 2011; 23: 220–26.

9. Terzolo M, Reimondo G, Berchialla P, Ferrante E, Malchiodi E, De Marinis L. et al. Acromegaly is associated with increased cancer risk: A survey in Italy. Endocr. Relat. Cancer 2017; 24: 495–504.

10. Abreu A, Tovar AP, Castellanos R, Valenzuela A, Giraldo CM, Pinedo AC. et al. Challenges in the diagnosis and management of acromegaly: a focus on comorbidities. Pituitary 2016; 19: 448–57.

Manajemen Anestesi pada Pasien dengan Akromegali yang Menjalani Prosedur Reseksi Tumor Adenohipofise melalui Pendekatan Sublabial

Transphenoidal

Page 52: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

184 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

11. Hannon AM, Thompson CJ & Sherlock M. Diabetes in Patients With Acromegaly. Curr. Diab. Rep 2017; 17: 8.

12. Giustina A, Chanson P, Kleinberg D, Bronstein MD, Clemmons DR, Klibanski A. et al. A consensus on the medical treatment of acromegaly. Nat. Publ. Gr 2014; 10: 243–48.

13. Danzig BJ. New guidelines for the treatment of acromegaly, a serious growth hormone disorder 2011; 1–7.

14. Tang JA. & Friedman M. Incidence of Lingual Tonsil Hypertrophy in Adults with and without Obstructive Sleep Apnea. Otolaryngol. Neck Surg 2018; 158: 391–94.

15. Ghatak T, Samanta S, Samanta S. & Bhagat H. Extubation difficulty after transphenoidal pituitary surgery in an acromegalic patient. Indian J. Anaesth 2013; 57: 322–23.

16. Molitch ME. Diagnosis and treatment of pituitary adenomas: A review. JAMA - J. Am. Med. Assoc 2017; 317: 516–24.

17. Giustina A, Arnaldi G, Bogazzi F, Cannavo S, Colao A, De Marinis L. et al. Pegvisomant in acromegaly: an update. J. Endocrinol. Invest. 2017; 40: 577–89.

18. Katznelson L, Laws ER jr, Melmed S, Molitch ME, Murah MH, Utz A. et al. Acromegaly: an endocrine society clinical practice guideline. J. Clin. Endocrinol. Metab 2014; 99: 3933–51.

19. Sherlock M, Reulen RC, Aragon-Alonso A, Ayuk J, Clayton RN, Sheppard MC. et al. A paradigm shift in the monitoring of patients with acromegaly: last available growth hormone may overestimate risk. J. Clin. Endocrinol. Metab 2014; 99: 478–85.

20. Friedel ME, Johnston DR, Singhal S, Al Khalili K, Farrell CJ, Evans JJ, et al. Airway management and perioperative concerns in acromegaly patients undergoing endoscopic transsphenoidal surgery for pituitary tumors. Otolaryngol. Neck Surg 2013; 149: 840–44.

Page 53: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

185

Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Otak Traumatik Berat yang Disertai Peningkatan Tekanan Tinggi Intrakranial Menetap

Fitri Sepviyanti Sumardi*), Hamzah**), Sri Rahardjo***), Tatang Bisri****)

*)Departemen Anestesiologi & dan Departemen Bedah Saraf Henan Provincial People's Hospital-Fakultas Kedokteran Universitas Zhengzhou, **)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo Surabaya, ***)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada-RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, ****)Departemen Anestesiologi & Terapi

Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran-RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Tekanan tinggi intrakranial menetap adalah penyebab kematian terbesar pada pasien dengan cedera kepala traumatik berat. Pada cedera kepala berat, tatalaksana secara konservatif dan operatif dilakukan untuk meminimalisir terjadinya cedera otak sekunder. Peningkatan tekanan intrakranial biasanya disebabkan karena edema otak, hal ini sangat penting dan menentukan hasil luaran pasien/Glasgow outcomes scale (GOS) atau Extended GOS (GOSE). Data klinis menunjukkan bahwa kraniektomi dekompresif menurunkan angka kematian, meningkatkan fungsi pemulihan, menurunkan durasi perawatan di ICU dan meningkatkan hasil luaran berdasarkan Barthel Index Score. Kraniektomi dekompresif sering dilakukan sebagai penyelamatan empiris untuk melindungi kerusakan otak lebih lanjut akibat efek edema dan hipertensi intrakranial menetap. Konsep utama tatalaksana pasien dengan tekanan tinggi intrakanial yang menetap adalah menjaga aliran darah otak dan tekanan perfusi otak.

Kata kunci: Cedera kepala traumatik, tekanan intrakranial menetap, kraniektomi dekompresif

JNI 2018;7(3): 185–97

Decompressive Craniectomy Management in Patients with Severe Traumatic Brain Injuries Accompanied by Refractory Intracranial Hypertension

Abstract

Refractory intracranial hypertension is the biggest cause of death in patients with severe traumatic head injury. In severe head injuries, conservative management and surgery are performed to minimize the occurrence of secondary brain injury. The increase in intracranial pressure is usually caused by brain edema, this is very important and determines the outcomes of the Glasgow outcomes scale (GOS) or extended GOS (GOSE). Clinical data show that decompressive craniectomy reduces mortality, improves recovery function, decreases duration of ICU treatment and increases outcome outcomes based on the Barthel Index Score. Decompressive craniectomy is often performed as an empirical salvage to protect further brain damage due to the effects of edema and refractory intracranial hypertension. The main concept of managing patients with refractory intracranial hypertension is to maintain cerebral blood flow and cerebral perfusion pressure.

Key words: traumatic head injury, persistent intracranial pressure, decompressive craniectomy

JNI 2018;7(3): 185–97

Page 54: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

186 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan

Cedera kepala merupakan penyebab kematian tersering pada trauma, data tahun 2004 dari Advance Life Trauma Support (ATLS) menunjukkan bahwa kejadian cedera kepala diperkirakan mencapai 500.000/tahun dari seluruh jumlah kasus di Amerika Serikat. Jumlah tersebut 10% meninggal sebelum sampai rumah sakit.1 Semua kasus yang sampai ke rumah sakit, sekitar 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan, 10% cedera kepala sedang dan 10% cedera kepala berat. Pada penelitian tahun 2006 menunjukkan cedera dan luka berada diurutan ke-6 dari total kasus yang masuk ke rumah sakit di seluruh Indonesia, tetapi belum terdapat data pasti mengenai jumlah cedera kepala.1 Angka kejadian tekanan tinggi intrakranial (TTIK)menetap setelah trauma adalah 15% dari seluruh pasien dengan cedera kepala traumatik.2

Data-data tersebut menunjukkan bahwa cedera kepala merupakan masalah utama kesehatan, yang biasanya disertai dengan komplikasi berupa perdarahan intrakranial, edema otak dan hidrocephalus yang akhirnya mengarah pada peningkatan TTIK.1-2 Penelitian-penelitian yang telah dilakukan selama ini, TTIK berhubungan erat dengan insedensi angka kematian dan kecacatan pasca cedera kepala. Monitoring ketat dan tatalaksana TTIK menjadi suatu hal rutin yang dilakukan di beberapa pusat trauma. Pada cedera kepala berat, tatalaksana secara konservatif dan operasi dilakukan untuk meminimalisir terjadinya cedera otak sekunder.

Peningkatan tekanan intrakranial biasanya disebabkan karena edema otak, hal ini sangat penting dan menentukan hasil luaran pasien/Glasgow outcomes scale (GOSE) atau extended GOS (GOSE).1 Fokus tatalaksana konservatif pada edema otak yang tidak terkontrol adalah pencegahan cedera otak sekunder. Tatalaksana konservatif yang bertujuan untuk menurunkan TTIK tersebut meliputi: terapi hiperosmolar, koma barbiturat, sedasi, terapi hipotermia dan ventricular drainage. Tatalaksana konservatif tersebut terbukti efektivitasnya dalam menurunkan TTIK dengan memfasilitasi tekanan

perfusi otak/cerebral perfusion pressure (CPP) dan oxygenasi (Brain Trauma Foundation 2007).3 Pada beberapa pasien terkadang tatalaksana ini tidak berhasil, dimana pembengkakan otak terjadi kontinyu dan pada akhirnya menjadi menetap, yang disebut tekanan tinggi intrakanial menetap/refractory intracranial hypertension (RICH).2-3 Pada kasus-kasus seperti ini, kraniektomi dekompresif dilakukan sebagai last tier therapy dalam mengontrol tekanan intrakranial.4

Definisi kraniektomi dekompresif adalah pengangkatan sebagian area dari tulang tengkorak, yang berpotensi mempengaruhi volume kompartemen intrakranial. Kraniektomi dekompresif pertama kali dipopulerkan oleh Kocher tahun 1991 dalam tatalaksana edema otak menetap pasca trauma dibandingkan dengan terapi konservatif. Sejak saat itu, perhatian tentang hasil penelitian kraniektomi dekompresif mengalami kemajuan dan kemunduran sejalannya dengan waktu.

Walaupun masih terdapat kontroversi, kraniektomi dekompresif masih dapat dilakukan untuk menurunkan TTIK yang dihubungkan dengan kondisi klinis pasien.4-6 Prosedur kraniektomi dekompresif pertama kali digambarkan tahun 1894 oleh Annandale dan hal ini yang menuntun popularitas kraniektomi dekompresif di awal tahun 1970, yang hanya dilakukan pada pasien dengan GCS yang buruk.7 Pada waktu yang sama, penelitian-penelitian eksperimental menunjukkan bahwa kraniektomi dekompresif memperburuk edema otak dan menyebabkan prosedur operasi ini hampir dilarang untuk dilakukan.

Pada tahun 1980-an, kepopuleran kraniektomi dekompresif kembali, beberapa penelitian membuktikan bahwa kraniektomi dekompresif dihubungkan dengan TTIK yang tidak terkendali pasca trauma, selain itu juga terjadinya stroke iskemik, perdarahan subdural dan infeksi intrakranial berat. Data eksperimental menyarankan bahwa edema otak dan cedera otak sekunder dapat dilakukan kraniektomi dekompresif primer dan ini memerlukan penelitian yang lebih besar, sehingga dapat dilihat kontribusi hasilnya secara signifikan dalam menjaga tekanan perfusi otak.7

Page 55: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

187

Selama lebih dari dua dekade ini, kraniektomi dekompresif dapat dilakukan dengan tehnik unilateral atau bilateral (bifrontally). Kraniektomi dekompresif unilateral biasanya dilakukan pada evakuasi lesi massa seperti subdural hematoma atau ketika edema otak hanya terlokalisasi pada satu hemisfer. Sedangkan, kraniektomi dekompresif bilateral biasanya dilakukan pada edema otak difus.1-7

Kraniektomi dekompresif merupakan prosedur operasi yang telah menarik perhatian para peneliti dalam tatalakasana cedera kepala berat (CKB) dengan RICH selama beberapa tahun terakhir ini.4 Kraniektomi dekompresif dapat dikategorikan menjadi primer dan sekunder. Kraniektomi dekompresif primer dilakukan pada fase akut setelah CKB, dimana pada operasi ini meninggalkan flap tulang yang sangat besar pasca evakuasi lesi di intrakranial.1,3-4 Ketika tatalaksana konservatif gagal, kraniektomi dekompresif sering dilakukan sebagai suatu tindakan penyelamatan akhir, hal ini seperti tindakan frustasi, karena pada beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa melakukan kraniektomi dekompresif sedini mungkin menyebabkan tingginya angka kematian dan GOSE yang buruk.1,5 Pada beberapa penelitian terakhir dalam skala besar randomized controlled trial (RCTs, RESCUEicp trial) menunjukkan bahwa kraniektomi dekompresif justru dapat menurunkan TTIK dan angka kematian, meningkatkan hasil angka luaran dibandingkan dengan tatalaksana secara medis. Walau bagaimanapun, kraniektomi dekompresif sekunder masih merupakan hal kontroversial dan diperlukan penelitian lanjutan.5

II. Edema Otak dan Tekanan Tinggi Intrakranial

Edema otak dan TTIK adalah dasar yang paling penting dalam proses patofisiologi yang terjadi pada beberapa kondisi neurologik, seperti: perdarahan subarachnoid (SAH), cedera otak traumatik, infark otak, abnormalitas aliran darah otak (cerebral blood flow/CBF) dan asupan oksigen (oxygen delivery) yang tidak adekuat.6 Penurunan tekanan perfusi otak akan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial,

bila hal ini berlangsung terus seperti ‘lingkaran setan’ yang berakhir pada kerusakan dan kematian sel. Target utama dari tatalaksana pasien-pasien seperti ini adalah memutuskan rantai ‘lingkaran setan’ tersebut dengan mengontrol pembengkakan otak dan mempertahankan ICP dalam batas normal. Kegagalan dalam penatalaksanaan target utama ini memberikan kontribusi yang signifikan pada GOSE buruk, angka kecacatan dan kematian tinggi pasien.6 Beberapa cara untuk menginterversi TTIK telah diaplikasikan.

Kebanyakan dari terapi ini efektif dan berhasil, seperti: penggunaan osmotik diuretik (manitol atau hipertonik saline), sedasi, barbiturat dosis tinggi, hiperventilasi ringan, hipotermia sedang, menjaga oksigenasi dan drainase cairan serebro spinal (Cerebrospinal fluid/CSF) melalui ventriculostomi.1,3,6 Bukti klinis membuktikan bahwa tidak semua tatalaksana ini berhasil dan sebagai hasilnya ‘lingkaran setan’ terus berlangsung.6 Pada beberapa kasus, diperlukan tatalaksana secara agresif, tetapi perlu diingat bahwa tatalaksana konservatif ini mempunyai efek samping. Pemberian manitol mempunyai efek samping, seperti: edema pulmonal, kejang, rebound hipertensi intrakranial, peningkatan tekanan intrakranial (intracranial pressure/.ICP) paradoxal, serta gangguan keseimbangan elektrolit dan cairan. Barbiturat menyebabkan hipotensi dan mendepresi fungsi jantung, sehingga terjadi peningkatan ICP rebound.1,6 Pada keadaan-keadaan seperti ini kraniektomi dekompresif perlu dipertimbangkan sebagai pilihan terapi, dengan pemantauan ICP secara ketat. Tanda-tanda kenaikan tekanan intrakranial yang signifikan:8-9

• 20–24 mmHg/ 30 menit• 25–29 mmHg/ 10 menit• >30 mmHg/ 1 menitTekanan tinggi intrakranial ringan: 15–25 mmHgTekanan tinggi intrakranial sedang: 25–40 mmHgTekanan tinggi intrakranial berat: > 40 mmHg Pada tahun 2011 dilakukan penelitian secara acak kedua dengan skala yang lebih besar dan telah dipublikasikan, the DECRA study. Pelajaran utama dari penelitian decompressive cranictomy (DECRA) adalah bahwa pengurangan tekanan

Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang Disertai Peningkatan Tekanan Tinggi Intrakranial Menetap

Page 56: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

188 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Algoritma 1. Tatalaksana Pasien dengan Cedera Kepala Traumatik9

Algoritma 2. Pasien Cedera Kepala Traumatik disertai Peningkatan TTIK9

Pemeriksaa neurologik Tanda-tanda peningkatan TTIK

atau GCS < 8

ABCD Neuroanestesi Intubasi CT-scan/MRI

Bila tampak lesi massa, hidrosefalus

atau perdarahan

Pasang monitor ICP dan CPP Target ICP < 20 mmHg dan CPP 60-70 mmHg (Bila fasilitas ini tersedia di rumah sakit)

Kraniektomy dekompresi Ventriculostomy drainage of cerebrospinal fluid Evakuasi

Head up Analgetik dan sedasi yang adekuat Normovolemik Pencegahan atau terapi demam dan kejang Elevasi kepala Normocarbia 20o-30o Hindari hipoksemia

PaO2 > 60 mmHg SpO2 > 92%

ICP > 20 mmHg

Sedasi optimal Osmotherapy Hiperventilasi minimal

Bila diperlukan dengan Manitol/Hypertonic saline PaCO2 30-35 mmHg

pelumpuh otot

Second tier therapy Koma barbiturate Hipotermia sedang suhu Hiperventilasi singkat Kraniektomi anal: 32o-35o C PaCO2 < 30 mmHg dekompresif

intrakranial melalui tindakan bedah tidak selalu menghasilkan hasil yang lebih baik untuk pasien, tetapi pada beberapa pasien justru menjadi lebih buruk.7

Pada penelitian yang dipublikasikan tahun 2012, melibatkan 155 pasien dewasa dengan cedera kepala traumatik berat, disertai dengan

peningkatan tekanan intrakranial yang menetap setelah dilakukan first-tier therapy (ICP > 20 mmHg selama >15 menit), yang secara acak dilakukan kraniektomi dekompresif bifrontotemporoparietal awal (indikasi: sebagai last tier therapy yang berhubungan dengan evakuasi perdarahan) atau dengan hanya tatalaksana konservatif. Pada pasien yang

Page 57: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

189

Gambar 1: Barthel index scoring; Total Skor yang mungkin Berkisar dari 0 - 20, dengan Skor yang Lebih Rendah menunjukkan Peningkatan Kecacatan yang Terjadi16

Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang Disertai Peningkatan Tekanan Tinggi Intrakranial Menetap

Barthel Index Scoring Form

Patient Name: Rater Name: Date:

FEEDING TOILET ISUE

0= unable 0= dependent

5= needs help cutting, spreading butter, etc, or requires modifed diet 5= needs some help, but can do something alone

10= independent 10= independent (on and off, dressing, wiping)

BATHING TRANSFERS (BED TO CHAIR AMD BACK)

0= dependent 0= unable=, no sitting balance

5= independent (or in shower) 5= major help (one or two, physical), can sit

10= minor help (verbal or physical)

GROOMING 15= independent

0= needs to help with are personal care

5= independent face/hairteeth/shaving (implements provided) MOBILITY (ON LEVEL SURFACES)

0= immobile or < 50 yards

DRESSING 5= wheelchair independent, including corners, > 50 yards

0= dependent 10= walks with help of one person (verbal or physical)> 50 yards

5= needs help but can do about half unaided 15= independent (but may use any aid; for example, stick)> 50 yards

10= independent (including buttons, zips, laces, etc)

STAIRS

BOWELS 0= unable

0= incontinent (or needs to be given enemas) 5= needs help (verbal, physical, carrying aid)

5= occasional accident 10= independent

10= continent

BLADDER

0= incontinent, or catheterized and unable to manage alone

5= occasional accident

10= continent TOTAL SCORE=

dilakukan kraniektomi dekompresif mengalami penurunan tekanan intrakranial lebih cepat dan mendapat perawatan lebih singkat di ICU. Beberapa dari pasien mengalami perburukan akibat komplikasi yang terjadi dan hasil luaran GOSE lebih buruk dari pasien-pasien yang hanya dilakukan tatalaksana konservatif, sehingga simpulan dari penelitian ini tidak ada perbedaan mengenai angka kematian pasien setelah 6 bulan.2,12

III. Kraniektomi Dekompresif

Penelitian klinis menunjukkan bahwa kraniektomi

dekompresif primer masih efektif dan aman dalam tatalaksana operasi penyelamatan pada pasien dengan TTIK yang disertai edema otak pasca cedera kepala berat. Ukuran optimal flap tulang pada kraniektomi masih merupakan controversial sampai saat ini.5-8 Fungsi kognitif pasien dihubungkan dengan kriteria pasien dan waktu dilakukannya operasi masih merupakan kontroversi; kraniektomi dekompresif terbukti bermanfaat dalam tatalaksana pasien dengan infark massif di daerah middle cerebral artery (MCA), tidak berpengaruh kraniektomi yang dilakukan unilateral atau bilateral, dengan atau tanpa durotomi atau duroplasti.5-8,10 Seperti

Page 58: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

190 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Tatalaksana konservatif gagal

Hipertensi intrakranial menetap yang tidak merespons strategi konservatif mengakibatkan hasil luaran buruk, dengan angka kematian melebihi 80% dilaporkan dalam beberapa seri.Kraniektomi dekompresif (DC) sering dilakukan sebagai pilihan terakhir dalam pengobatan seperti itu.16-19

Waktu Kraniektomi dekompresif primer (dalam 48 jam setelah cedera) telah dikaitkan dengan hasil fungsional yang baik. Laporan menunjukkan bahwa pemulihan neurologis relatif lebih rendah dibadingkan dengan pasien yang menjalani operasi tertunda10-11

Herniasi otak Kraniektomi dekompresif harus dilakukan ada tanda-tanda klinis neurologis herniasi otak.Evaluasi pemulihan fungsional pasien, menggunakan GOSE dan Barthel indeks scale menunjukkan bahwa pasien yang menjalani kraniektomi dekompresif sebelum terjadinya herniasi otak memberi hasil yang relatif lebih memuaskan daripada prosedur yang mereka lakukan setelah terjadi herniasi otak.7,16

Glasgow coma scale (GCS)

Skor minimal harus 8. Nilai GCS yang lebih rendah tampaknya terkait dengan hasil luaran yang lebih buruk.Penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan angka kematian di antara pasien yang memiliki GCS 4–6 pada saat dilakukan kraniektomi dekompresif, sedangkan mayoritas korban selamat adalah mereka yang memiliki GCS > 8.7,15-20

Usia pasien Harus kurang dari 50 tahun. Usia mungkin salah satu faktor kunci dalam mengambil keputusan apakah akan melakukan kraniektomi dekompresif atau tidak. Pasien di kelompok usia muda cenderung lebih baik setelah operasi dibandingkan dengan usia lebih dari 50 tahun dikaitkan dengan hasil luaran yang lebih buruk. Kejadian komplikasi juga lebih tinggi di atas usia ini.7,16-20

Kerusakan batang otak primer

Seharusnya tidak ada cedera batang otak primer. Kemungkinan angka kelangsungan hidup pasien-pasien seperti ini sangat rendah dan merupakan salah satu kontaindikasi dilakukannya kraniektomi dekompresif.15-20

Penemuan pupil tidak normal

Data klinis menunjukkan bahwa tidak adanya refleks pupil menunjukkan hasil luaran yang sangat buruk.14-19

Tekanan intrakranial Sebaiknya kurang dari 40 mmHg pada saat dilakukan kraniektomi dekompresif. Data klinis menunjukkan bahwa pasien dengan ICP > 40 mmHg mengalami hasil luaran yang cukup buruk pasca kraniektomi dekompresif dibandingkan dengan mereka yang ICP lebih rendah pada saat operasi.20

Midline shift Tingkat pergeseran midline shift pada ct-scan awal berhubungan erat dengan hasil luaran pasca kraniektomi dekompresif.Pergeseran midline shift sebelum operasi > 1 cm diyakini menjadi prediktor signifikan dari hasil buruk.14-16

Tabel 1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Luaran Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat

yang telah disebutkan sebelumnya, dalam 5 tahun terakhir banyak jurnal telah diterbitkan tentang manfaat, keterbatasan dan komplikasi dari kraniektomi dekompresif. Meski terdapat keterbatasan dalam metodologi penelitian, ada beberapa penelitian mengenai uji coba secara acak cedera kepala traumatik.5-8 Salah satu penelitian

prospektif secara acak tahun 2001 yang dilakukan pada anak-anak (27 kasus), menunjukkan hasil yang mendukung kraniektomi dekompresif, tetapi prosedur operasi yang digunakan (dekompresif bitemporal tanpa pembukaan dura) saat ini tidak dianggap sebagai pendekatan standar.11

Page 59: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

191

Gambar 2. Doktrin Monroe Kellie: Dalam Keadaan Fisiologis yang Normal7

Gambar 3. Hipertensi Intrakranial dengan Kompensasi Parsial7

Penelitian prospektif terkontrol secara acak lain tentang cedera kepala traumatik berlangsung per Juni 2011, RESCUEicp. Tiga ratus Sembilan pasien dengan tatalaksana konservatif gagal mengendalikan tekanan intrakranial dengan ambang batas 25 mmHg >1–12 jam pasca cedera dipilih secara acak; evakuasi perdarahan hanya diperbolehkan sebelum pengacakan.13-14 Penelitian yang dipublikasikan tahun 2005 menunjukkan bahwa kraniektomi dekompresif dengan frontotemporoparietal yang besar (kraniektomi trauma standar) secara signifikan memperbaiki hasil luaran GOSE pasien cedera kepala berat disertai tekanan tinggi intrakranial menetap

dibandingkan dengan kraniektomi temporoparietal rutin yang hanya memiliki efek lebih baik dalam hal penurunan tekanan intrakranial.14

Dengan segala kontroversinya, kraniektomi dekompresif terbukti masih menguntungkan dibandingkan dengan tatalaksana konservatif dalam mengontrol ICP, menjaga status neurologik dan dilakukannya penilaian status neurologik segera setelah operasi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kraniektomi dekompresif meningkatkan CPP dan CBF pada pasien cedera kepala.15 Data klinis menunjukkan bahwa kraniektomi dekompresif menurunkan angka kematian, meningkatkan fungsi

Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang Disertai Peningkatan Tekanan Tinggi Intrakranial Menetap

Jn adults, the intracranial volume-1400 to 1700 ml

• Brain parenchyma-80 percent • Cerebrospinal fluid-10 percent • Blood-10 percent

Page 60: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

192 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

pemulihan, menurunkan durasi perawatan di ICU dan meningkatkan hasil luaran berdasarkan Barthel Index Score (Gambar 1),16 terutama pada kraniektomi dekompresif primer. Penelitian yang dipublikasikan tahun 1999 melaporkan bahwa hampir 65% pasien-pasien mereka dengan edema otak menetap yang dilakukan kraniektomi dekompresif mengalami pemulihan cukup bagus setelah 1 tahun.16-17 Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa pada cedera kepala traumatik dan stroke iskemik, kraniektomi dekompresif meminimalisir peningkatan ICP, memperbaiki CPP, secara signifikan menurunkan kerusakan otak sekunder, meningkatkan GOSE dan fungsi kognitif. Hal ini disebabkan karena peningkatan aliran darah kolateral, penurunan edema sel dan perbaikan oksigenasi serta metabolisme energi dalam sel.16-18

IV. Dasar Pemikiran Fisiologis untuk Kraniektomi dekompresif

Pada tahun 1783 Monroe J. menyimpulkan bahwa tengkorak itu adalah "kotak kaku" yang diisi dengan "otak yang hampir tidak dapat dikompresi" dan volume totalnya selalu tetap konstan. Dalam keadaan fisiologis yang normal setiap peningkatan volume komponen penyusun intrakranial kompartemen tidak menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial yang signifikan, karena adanya kompensasi volume darah atau CSF (Gambar 2). Doktrin tersebut menyatakan bahwa setiap kenaikan volume isi tengkorak

(misalnya, otak, darah atau cairan serebrospinal), akan meningkatkan tekanan intrakranial. Selanjutnya, jika terjadi peningkatan volume dari salah satu dari tiga elemen ini, agar tetap konstan volumenya, otak harus mengorbankan dari dua elemen lainnya. Kellie pada tahun 1824 mengkonfirmasi banyak hasil pengamatan Monro.

Ketika terjadi cedera kepala dan otak mulai membengkak atau ada lesi massa seperti hematoma intraserebral, kompensasi dibuat dengan mengorbankan volume darah dan CSF. Hipertensi intrakranial dengan kompensasi parsial: ketika terjadi edema otak progresif kompensasi awal adalah dengan mengorbankan darah dan CSF (Gambar 3). Karena otak menjadi semakin membengkak atau lesi massa meningkat dalam ukuran, terjadi mekanisme dekompensasi dan akibatnya ketika kenaikan volume yang sedikit lebih kecil terjadi mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial yang menetap. ketika edema otak semakin memburuk atau membesarnya lesi massa terjadi pada saat mekanisme kompesasi mulai gagal, sehingga ketika terjadi peningkatan pembengkakan sedikit saja, maka tekanan intrakranial meningkat secara drastis (Gambar 4).7 Otak secara anatomi dibagi menjadi falx cerebri dan tentorium cerebri. Peningkatan tekanan intracranial sering menghasilkan penekanan gradien di antara kompartemen dan memungkinkan terjadinya herniasi otak.7,10-20

Gambar 4: Hipertensi Intrakranial Dekompensasi.7

Page 61: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

193

Peningkatan tekanan intrakranial dapat terjadi secara akut atau bertahap. Banyak sindrom klinis tekanan tinggi intrakranial yang terjadi merupakan konsekuensi dari kecepatan perubahan dari kompartemen otak, bukan tingkat absolut tingginya tekanan otak. Ada tiga jenis herniasi otak: transtentorial (baik lateral atau pusat), tonsillar, dan subfalcine. Pasien dengan tekanan intrakranial tinggi dapat terlihat dari gejala neurologis, mulai dari mengantuk/somnolen sampai koma yang dinilai dengan Glasgow Coma Score (GCS) biasa terjadi.

Kelainan posisi tubuh pasien bisa menujukkan kelainan yang terjadi, baik secara motorik maupun sensorik. Herniasi dari uncus lobus temporal antara batang otak dan tepi tentorial ke dalam fossa posterior mengakibatkan gangguan kesadaran yang progresif, pupil ipsilateral yang melebar, dan hemiplegia kontralateral. Herniasi dari cerebellum melalui foramen magnum hingga bagian atas saluran tulang belakang yang mengkompresi medulla akan menimbulkan gangguan kardiopulmonal, hipertensi, tekanan nadi tinggi, pernapasan Cheynes-Stoke, hiperventilasi neurogenik, gangguan kesadaran, dan kematian.7,9,11

Mempertahankan perfusi otak yang optimal pada periode akut setelah cedera kepala traumatis adalah tujuan utama manajemen yang diarahkan untuk mencegah cedera otak iskemik sekunder. Tekanan perfusi otak yang dihitung sebagai tekanan darah arterial rerata/mean arterial pressure (MAP) dikurangi tekanan intrakranial rerata (ICP), adalah parameter yang relevan secara klinis yang mencerminkan kekuatan pendorong substrat darah dan metabolik ke sel otak. Tekanan perfusi otak yang tidak memadai terkait dengan hasil neurologis yang tidak menguntungkan namun telah terjadi perdebatan mengenai tingkat optimal untuk mempertahankan tekanan perfusi otak. Bukti terbaru telah menghasilkan revisi Pedoman Pengelolaan Cedera Otak Parah pada orang dewasa untuk merekomendasikan mempertahankan tekanan perfusi otak minimum 60 mmHg, turun dari 70 mmHg pada pedoman sebelumnya.1,4,7,9,20

Bila dilihat dari sudut pandang ini keterbatasan, tatalaksana konservatif, seperti: hiperventilasi, koma barbiturat dan lain lain ini bisa diapresiasi. Ada sedikit keraguan bahwa barbiturat dan hipotermia berpotensi menjadi neuroprotektif karena pengaruhnya terhadap banyak mekanisme yang diketahui penting dalam respons seluler terhadap cedera seperti toksisitas yang dimediasi kalsium, ekskotoksisitas glutamat, peroksidasi radikal bebas dan apoptosis seluler. Penurunan tekanan intrakranial yang sering terjadi setelah penerapan salah satu dari tiga terapi ini terjadi sebagai akibat vasokonstriksi otak. Mengingat efek iskemia yang sering terjadi, mungkin tidak mengherankan bahwa banyak penelitian telah gagal menunjukkan bahwa terapi ini memberikan manfaat klinis dalam hal perbaikan dalam hasil jangka panjang. Di sinilah kraniektomi dekompresif mungkin paling tidak memiliki keuntungan teoritis. Dengan Doktrin Monroe Kellie sebagai pedoman dalam memperluas "kotak kaku", tekanan tinggi intrakranial dapat dikurangi, namun tidak dengan mengorbankan volume darah serebral, sehingga tekanan perfusi otak tampaknya akan meningkat.7-10

V. Indikasi dan Kontraindikasi Kraniektomi Dekompresif

Secara keseluruhan, tidak ada indikasi mutlak untuk kraniektomi dekompresif. Indikasi untuk hemikraniektomi dekompresif adalah lesi unilateral, seperti: edema otak unilateral, kontusio otak/contusion cerebri, perdarahan epidural atau subdural, gambaran CT-scan menunjukkan midline shift. Dekompresif bifrontal dilakukan bila ada edema serebral difus tanpa pergeseran midline shift yang jelas.14-20 Berdasarkan konsorsium European Brain Injury dan pedoman Brain Trauma Foundation berkaitan dengan cedera kepala traumatik berat, seharusnya kraniektomi dekompresif dimasukkan dalam second tier therapy, pada pasien dengan peningkatan TTIK menetap yang tidak berhasil dengan tatalaksana secara konservatif, maka tindakan operasi merupakan pilihan.2,14-20 Waktu terbaik untuk dilakukan kraniektomi dekompresif masih menjadi kontroversi. Kraniektomi dekompresif primer (dalam waktu 24 jam setelahnya cedera)

Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang Disertai Peningkatan Tekanan Tinggi Intrakranial Menetap

Page 62: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

194 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

dianjurkan pada pasien dengan cedera kepala berat tanpa disfungsi batang otak untuk mengurangi tekanan tinggi intrakranial. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kraniektomi dekompresif primer dapat mengurangi komplikasi akibat cedera kepala traumatik.15-20

Keputusan dilakukan tindakan operasi dapat berdasarkan pada beberapa hal, yaitu: pada mekanisme cedera pasien; usia; tingkat tekanan intrakranial, terjadinya iskemia otak dan perkiraan ahli bedah saraf tentang kemungkinan pasien akan mengalami peningkatan TTIK yang berat. Dengan pemantuan tekanan intrakranial yang ketat, seharusnya kraniektomi dekompresif bisa menjadi pilihan tatalaksana untuk mencegah otak herniasi. Jika tidak, hasil dari pasien yang menjalani kraniektomi dekompresif sekunder (setelah 24 jam) cukup memuaskan.7-15

Kontraindikasi dilakukannya kraniektomi dekompresif menurut kajian penelitian yang dipublikasikan tahun 2009, adalah:17 pasien dengan GCS 3 pasca resusitasi, dengan pupil yang melebar dan tetap, pasien > 65 tahun, trauma yang tidak akan memungkinkan pasien bertahan lebih dari 24 jam, pasien dengan penyakit sistemik yang ireversibel, TTIK yang tidak terkendali selama lebih dari 12 jam setelah tatalaksana konservatif gagal, perbedaan arterio-vena O2 <3,2 vol%, diukur di sisi hemikraniektomi atau PtiO2 < 10 mmHg di daerah yang sehat sejak pasien tiba di rumah sakit.

VI. Komplikasi Kraniektomi Dekompresif

Komplikasi pertama yang mungkin terjadi adalah perluasan dari lesi perdarahan, diikuti dengan munculnya perdarahan subdural baru pada sisi kontralateral, kejang, kebocoran CSF, dan herniasi otak. Beberapa komplikasi bisa berakibat fatal, seperti: infeksi intrakranial dan perdarahan intrakranial kontralateral, sementara yang lainnya dapat mempengaruhi neurologis dan pemulihan fungsi kognitif pasien. Komplikasi lebih sering terjadi pada pasien dengan GCS rendah dan berusia >60 tahun saat tiba di rumah sakit. Penelitian yang dipublikasikan tahun 2006 menyatakan hampir 50% pasien memiliki

setidaknya satu komplikasi, meskipun situasi ini terkadang sembuh secara spontan tanpa intervensi bedah lanjutan.8,9,12,14 Peningkatan faktor resiko terjadinya infeksi dan memerlukan perluasan defek termasuk, pengangkatan bola mata, sehingga angka kecacatan tinggi. Operasi rekontruksi lanjutan memberikan hasil yang cukup memuaskan.15-20

Herniasi melalui defek kraniektomi, terjadi pada 27,8% pasien, kraniektomi dekompresif seluas mungkin diharapkan dapt mencegah terjadinya hal ini. Kraniektomi dekompresif digabungkan dengan augmentative duraplasti akan mencapai efek dekompresi yang serupa, dibandingkan dengan meninggalkan dura terbuka, dan akan sangat membantu dalam mencegahnya herniasi melalui defek tengkorak yang dibatasi cephalocoele.15-20 Efusi subdural terjadi hampir 21,3%, mungkin karena gangguan CSF yang berasal dari dekompresif kraniektomi sendiri. Efusi subdural kontralateral disebabkan oleh kraniektomi dekompresif jarang dilaporkan, hal ini mungkin disebabkan karena pola aliran CSF pada tekanan intrakranial yang rendah. Komplikasi ini biasanya berhubungan dengan neurologis pasca operasi akibat penurunan atau peningkatan ICP. Faktor risiko efusi subdural setelah trauma kepala meliputi: pendarahan subarachnoid, penyusutan otak karena retraksi selama intraoperatif dan pergeseran jaringan otak secara signifikan. Komplikasi ini mungkin perlu penanganan yang lebih agresif karena kecenderungan untuk menyebabkan pergeseran midline shift.15-20

Hidrosefalus pasca-trauma, berkisar hingga 9,3%; karena pasien yang cedera tidak dapat menunjukkan gejala klinis, CT-scan bisa sangat berguna untuk deteksi pasien dengan dilatasi atau pergeseran ventrikel otak. Baru-baru ini, hidrosefalus komunikan merupakan komplikasi yang sering terjadi setelah hemikraniektomi dan kranioplasti awal. Penelitian yang dipublikasikan tahun 2010 justru menyatakan bahwa hidrosefalus tidak sering terjadi setelah kraniektomi dekompresif. Beberapa faktor resiko terjadinya hidrosefalus komunikan pada pasien dengan peningkatan TTIK, seperti: usia tua, pendarahan

Page 63: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

195

subaracnoid, infeksi CSF, GCS rendah dan luas tutup kraniektomi. Kraniektomi dengan batas atas <25 mm ke midline shift merupakan salah satu predisposisi terjadinya hidrosefalus juga. Shunting jelas diperlukan saat tekanan CSF lumbal secara konsisten > 180 mmH2O atau gejala khas hidrosefalus ada, kecuali ada kontraindikasi pembedahan.16-20

Syndrome of trephined, sangat jarang, klinis manifestasi meliputi: sakit kepala, pusing, lekas marah, epilepsy dan gangguan kejiwaan. Sindrom ini terutama berkaitan dengan defek kraniektomi yang sangat besar. Perbaikan penutupan defek kepala dalam 8 minggu setelah kraniektomi, tetapi pada pasien cedera kepala traumatik yang dilakukan cranioplasty awal dapat meningkatkan risiko infeksi, sehingga hal ini tidak disarankan.14

Hematoma kontralateral setelah kraniektomi dekompresif terjadi sampai 7,4%. Hal ini tidak biasa terjadi dan dikaitkan dengan peningkatan angka kematian yang signifikan. Pengurangan tekanan intrakranial setelah kraniektomi dekompresif dianggap sebagai alasan penting dalam susunan kompartemen isi kepala, sehingga perdarahan jauh dari lokasi operasi. Kunci utama dalam tatalaksana komplikasi ini adalah deteksi dini dan operasi ulangan.20

VI. Prognosis

Usia pasien dengan cedera kepala traumatik merupakan salah satu faktor penentu prognostik. Sebagian besar penelitian retrospektif dan prospektif yang telah dilakukan sayangnya memiliki batas usia 60–65 tahun.20-21 Penelitian yang dipublikasikan tahun 2009 mengambil sampel dengan rentang usia yang lebih luas (15–90 tahun), rata-rata pasien dengan hasil luaran yang baik secara signifikan adalah berusia muda.17-21 Laporan serial kasus dalam publikasi tahun 2002 menyatakan bahwa sebagai faktor prognostik paling penting sejauh ini umur. Hanya 7% pasien berusia di atas 65 tahun dengan hasil luaran yang baik, angka kematian setelah 6 bulan sebesar 72%. Pernyataan ini mirip dengan penelitian yang dipublikasikan tahun 2011, yang menyatakan angka kematian pasien sebesar 77% setelah 1 tahun, untuk sampel sebanyak 44

pasien cedera kepala traumatik yang dilakukan kraniektomi dekompresif dengan usia >65 tahun.12

Penelitian yang dipublikasikan tahun 2012 menujukkan bahwa tidak ada korelasi antara usia dengan hasil luaran pasien. Ukuran flap tulang yang memadai adalah faktor lain yang terkait kelangsungan hidup. Besar flap tulang (lebih besar dari 12 cm) berhubungan dengan angka kelangsungan hidup hanya pada pasien yang berusia di bawah 65 tahun. Penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan flap tulang ukuran besar juga memiliki hasil luaran yang lebih baik. Dua pertiga dari pasien dengan flap tulang >12 cm telah dilaporkan berhasil dan memiliki hasil luaran yang bagus, sedangkan angka kematian <20%.7

IV. Simpulan

Kraniektomi dekompresif sangat efesien dalam menurunkan tekanan intrakranial menetap.Tidak semua pasien yang mengalami peningkatan tekanan intrakranial dapat dilakukan kraniektomi dekompresif. Faktor-faktor yang menjadi bahan pertimbangan adalah faktor usia, tingkat kesadaran pasien sebelum dilakukan operasi, ukuran flap tulang yang efektif dan waktu yang tepat untuk dilakukan. Dengan segala kontroversinya, kraniektomi dekompresif terbukti masih menguntungkan dibandingkan dengan tatalaksana konservatif dalam mengontrol ICP, menjaga status neurologik dan dilakukannya penilaian status neurologik segera setelah operasi.

Daftar Pustaka

1. Grindlinger GA, Skavdahl DH, Ecker RD, Sanborn MR. Decompressive craniectomy for severe traumatic brain injury: clinical study, literature review and meta-analysis. Springerplus 2016; 5 (1605): 1–12.

2. Hutchinson PJ, Kolias AG, Timofeev IS, Corten EA, Czosnyka M, Timithy J, dkk. Trial of decompressive craniectomy for traumatic intracranial hypertension. N Engl J

Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang Disertai Peningkatan Tekanan Tinggi Intrakranial Menetap

Page 64: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

196 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Med 2016: 375 (12): 1119–30.

3. Carney N, Totten AM, O’Reilly C, Ulman JS, Hawryluk GWJ, Bell MJ, Bratton SL, dkk. Guidelines for management of severe traumatic brain injury, Edisi ke-4. Neurosurgery 2016; 0 (0): 1–10.

4. Cooper DJ, Rosenfeld JV, Murray LM, Arabi YM, Davies AR, D’Urso P, Kossmann T, dkk. Decompressive craniectomy in diffuse traumatic brain injury. N Eng J Med 2011; 16 (364); 1493–502.

5. Zhang D, Xue Q, Chen J, Dong Y, Hou L, Jiang Y, Wang J. Decompressive craniectomy in the management of intrakranial hypertension after traumatic brain injury: a systematic review and meta-analysis. Scientific Report 2017; 7; 1–10.

6. Eghwrudjakpor PO, Allison AB. Decompressive craniectomy following brain injury: factors important to patient outcome. Libyan J Med 2010; 5: 4620–26.

7. Honeybul S. Decompressive craniectomy for severe traumatic brain injury: a review of its current status. J Neurol Neurophysiol 2012; 3 (7): 1–6.

8. Rahmanian A, Seifzadeh B, Razmkon A, Petramfar P, Kivelev J, Hernesniemi J. Outcome of decompressive craniectomy in comparison to nonsurgical treatment in patients with malignant MCA infarction. Springerplus 2014; 3 (1): 115-21

9. Servadei F. Clinical value of decompressive craniectomy. N Engl J Med 2011; 364 (16): 1558-9

10. Tagliaferri F, Zani G, Iaccarino C, Ferro S, Ridolfi L, Basaglia N, dkk. Decompressive cranictomies, facts and fiction: retrospective analysis of 526 cases. Acta Neuro (Wien) 2012; 154 (5): 919-26

11. Jiang JY, Xu W,Li WP, Xu WH, Zhang J,

Bao YH, dkk. Efficacy of standard trauma craniectomy for refractory intracranial hypertension with severe traumatic brain injury: a multicenter, prospective, randomized control study. J Neurotrauma 2005; 22 (6): 623-8

12. Zweeckbergeer K, Stoffel M, Baethmann A, Plesnila N. Effect of decompression craniotomy on increase of contusion volume and functional outcome after controlled cortical impact in mice. J Neurotrauma 2003; 20:1307–4.

13. Van Veen E, Aerdts S, van den Brink W. decompressive (hemi)cranictomy for refractory intracranial hypertension after traumatic brain injury. Critical Care 2006; 10: 458–63.

14. Bullock MR, Chesnut R, Ghajar J, Gordon D, Hartl R, Newell DW, dkk. Surgical management of traumatic parenchymal lesions. Neurosurgery 2006; 58: 25–46.

15. Mori K, Nakao Y, Yamamoto T, Maeda M. Early external decompressive craniectomy with duroplasty improves functional recovery in patients with massive hemispheric embolic infarction: timing and indication of decompressive surgery for malignant cerebral infarction. Surg Neurol. 2004; 62: 420–30.

16. Ziai WC, Port JD, Cowan JA, Garonzik IM, Bhardwaj A, Rigamonti D. Decompressive craniectomy for intractable cerebral oedema: experience of a single centre. J Neurosurg Anaesthesiol. 2003; 15: 25–32.

17. Meier U, Lemcke J, Reyer T, Grawe A. Decompressive craniectomy for severe head injury in patients with major extracranial injuries. Acta Neurochir 2006; 96: 373–6.

18. National Trauma Research Institute, Australia. The DECRA trial: early decompressive craniectomy in patients with severe traumatic brain injury; 2009. Available from: http://clinicaltrials.gov/show/NCT00155987 [cited

Page 65: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

197

27 September 2009].

19. Raslan A, Bhardwaj A. Medical management of cerebral edema. Neurosurg Focus 2007; 22 (5): 1–12.

20. Santana-Cabrera L, Pérez-Acosta G, Rodríguez-Escot C, Lorenzo, Torrent R, Sánchez-Palacios M. Complications of post-injury decompressive craniectomy. Int J Crit Illn Inj Sci 2012; 2 (3): 186–8.

Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang Disertai Peningkatan Tekanan Tinggi Intrakranial Menetap

Page 66: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

198

Anestesi untuk Seksio Sesarea pada Pasien dengan Hipertensi Intrakranial Idiopatik

Dewi Yulianti BisriDepartemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran-RSUP Dr. Hasan

Sadikin Bandung

Abstrak

Hipertensi intrakranial idiopatik (Idiophatic intracranial hypertension/IIH) atau benign intracranial hypertension atau pseudotumor cerebri adalah kasus jarang dengan penyebab yang tidak diketahui, dan paling sering terlihat pada wanita obes dalam masa reproduktif (19,3/100.000), dan kadang-kadang terjadi pada wanita hamil. Hipertensi intrakranial idiopatik adalah suatu sindroma yang khas ditandai adanya peningkatan tekanan intrakranial tanpa hidrocefalus atau lesi massa dengan peningkatan tekanan cairan cerebrospinal dan komposisi cairan serebrospinal yang normal. Kehamilan dan estrogen eksogen dapat memicu IIH atau memperburuknya dan dapat terjadi pada setiap semester kehamilan, dan outcome visual sama seperti wanita tidak hamil dengan IIH. Tidak ada peningkatan angka keguguran. Abortus terapeutikus untuk membatasi perkembangan IIH tidak merupakan indikasi, dan kehamilan selanjutnya tidak meningkatkan risiko kekambuhan. Gambaran klinis sakit kepala dan kehilangan penglihatan dengan adanya papil edema. Tujuan terapi adalah melindungi penglihatan dan memperbaiki keluhan. Terapi medikal umumnya analgesik, kortikosteroid, carbonic anhydrase inhibitors, dan diuretik. Bila pengendalian adekuat tidak tercapai maka indikasi dilakukan punksi lumbal untuk mengeluarkan cairan serebrospinal, pengakhiran kehamilan melalai rute yang paling cepat, apakah dilakukan melalui induksi persalinan atau seksio sesarea. Prognosis IIH pada kehamilan baik untuk ibu dan bayi. Anestesi dapat dilakukan dengan spinal anestesia, epidural anestesia, combined spinal epidural atau anestesi umum.

Kata kunci: anestesi, hipertensi intrakranial idiopatik, seksio sesarea, kehilangan penglihatan

JNI 2018;7(3): 198–206

Anesthesia for Cesarean Section in Patient with Idiopathic Intracranial Hypertension

Abstract

Idiopathic intracranial hypertension (IIH) or benign intracranial hypertension or pseudotumor cerebri is a rare disorder of unknown etiology that is most often seen in obese women of reproductive age (19.3/100,000) and is reported only occasionally during pregnancy. It is a syndrome characterized by increased intracranial pressure without hydrocephalus or mass lession with elevated cerebrospinal fluid (CSF) pressure and normal CSF composition. Both pregnancy and exogenous estrogens are though to promote IIH or worsen it. It can occur in any trisemester during pregnancy, and the visual outcome is the same as for non pregnant patient with IIH. There is no increase in fetal wastage. Therapeutic abortion to limit its progression is not indicated, and subsequent pregnancies do not increase the risk of reccurence. Clinically present headache and loss of visions objectifying papil edema. The aim of treatment is to preserve vision and improve symptoms. The usual medical treatment is based on analgesics, corticosteriod, carbonic anhydrase inhibitors, and diuretics. If adequate control is not achieved lumbar puncture is indicated for extracting CSF. Uncontrolled intracranial hypertension is requiring terminated of the pregnancy as soon as posibble, either through induction or caesaeran section. The prognosis for IIH in pregnancy is excelent for both mother and baby. Anesthesia can be done with spinal anestheia, epidural anesthesia, combined spinal epidural or general anesthesia.

Key words: Anesthesia, caesarean section, idiophatic intracranial hypertension, visual loss

JNI 2018;7(3): 198–206

Page 67: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

199

I. Pendahuluan

Hipertensi intrakranial idiopatik (Idiopathic intracranial hypertension/IIH) adalah suatu penyakit yang belum diketahui penyebabnya dan dihubungkan dengan peningkatan tekanan intrakranial. Secara predominan mengenai wanita usia subur (childbearing age) dengan obesitas, didapatkan peningkatan tekanan intrakranial tanpa hidrosefalus atau lesi massa dengan komposisi cairan serebrospinal yang normal. Keluhan yang paling umum adalah sakit kepala sebagai akibat dari peningkatan tekanan intrakranial.1

Keluhan dan gejala dari hipertensi intrakranial adalah pasien tetap sadar, akan tetapi, tidak ada penemuan neurologik yang terlokalisir. Tidak ada bukti deformitas atau obstruksi sistem ventrikular dan pemeriksaan neurodiagnostik semuanya normal kecuali peningkatan tekanan cairan serebrospinal (>200 mmH2O pada pasien non obes dan >250 mmH2O pada pasien obes). Gejala neuroimaging dari peningkatan tekanan intrakranial berupa empty sella syndrome, sinus lateralis kolaps, fallened globes. Tidak ditemukan penyebab sekunder dari hipertensi intrakranial. Definisi ini diambil dari kriteria modifikasi Dandy untuk IIH.2

Tahun 1893 Heinrich Quincke telah melaporkan catatan kasus dari hipertensi intrakranial yang tidak diketahui penyebabnya dan disebutkan sebagai meningitis serosa. Selanjutnya pada tahun 1904 Nonne menyebutkan sebagai pseudo tumor cerebri dan menguraikan keluhan yang dihubungkan dengan tumor intrakranial tapi dengan remisi yang tidak biasa. Tahun 1955 Foley menyebutkan kondisi ini sebagai benign intracranial hypertension. Dalam pandangan adanya konsekuensi yang serius berupa kehilangan penglihatan, nama benign intracranial hypertension diubah menjadi idiopathic intracranial hypertension.1-3 Penamaan IIH telah berubah dalam beberapa tahun, pertama kali disebut sebagai meningitis serosa, pseudotumor cerebri dan benign intracranial hypertension. Penamaan benign intracranial hypertension dianggap tidak tepat karena kondisi yang secara nyata mempengaruhi morbiditas dari sakit

kepala kronis, bersama-sama dengan kehilangan penglihatan yang berat dan menetap pada 25% kasus.4 Rasio IIH antara perempuan dan laki-laki adalah 8:1. Insidensi IIH pada wanita yang masih dapat mempunyai anak adalah 0,9 per 100 ribu, yang meningkat menjadi 19,3 per 100 ribu pada wanita dengan obesitas. Prevalensi obesitas pada kehamilan meningkat dari 9-10% pada awal 1990-an menjadi 16–19% pada tahun 2000. Dengan meningkatnya prevalensi obesitas, kejadian IIH dalam kehamilan juga meningkat.1

Insidensi IIH adalah 0,9/100 ribu orang dan 3,5/100 ribu pada wanita dengan usia 15–44 tahun. Ada peningkatan insidensi seiring dengan meningkatnya obesitas. Pada wanita obes dengan berat badan 20% atau lebih dari berat badan ideal dengan usia 20 sampai 44 tahun, kejadian IIH adalah 19 per 100 ribu. Lebih dari 90% pasien IIH adalah obes dan lebih dari 90% wanita dalam masa subur. Walaupun keluhan dan gejala bisa rekuren pada 10% kasus, peningkatan tekanan intrakranial yang tanpa keluhan dapat menetap bertahun-tahun. Umur rerata saat terdiagnosis adalah 30 tahun.2 Penelitian keadaan yang dihubungkan dengan IIH kebanyakan penelitian tanpa kelompok kontrol dan retrospektif. Hal ini membawa kearah simpulan yang salah disebabkan para peneliti mencoba mengimplikasi IIH menggunakan hubungan palsu dan untung-untungan dengan kondisi medikal dan pengobatan yang umum.2 Keluhan peningkatan tekanan intrakranial adalah sakit kepala, tinitus (pulsatile tinnitus), kehilangan sebagian penglihatan selintas, dan kehilangan pandangan. Gejalanya adalah diplopia yang disebabkan paresis saraf kranial ke-6 dan papil edema yang dihubungkan dengan hilangnya fungsi visual sensoris. Morbiditas yang besar dari IIH adalah kehilangan penglihatan.2

II. Patofisiologi Hipertensi Intrakranial

Isi tengkorak terdiri dari jaringan otak (86%), darah (4%) dan cairan serebrospinal (cerebrospinal fluid/CSF) 10%. Cairan serebrospinal dibentuk dengan kecepatan konstan, 80% atau lebih dibuat di pleksus koroideus, sisanya dibuat di parenkim otak. Fungsi cairan serebrospinal adalah untuk

Anestesi untuk Seksio Sesarea pada Pasien dengan Hipertensi Intrakranial Idiopatik

Page 68: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

200 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

proteksi, sokongan, dan regulasi kimia otak. Produksi cairan serebrospinal kira-kira 0,35-0,4ml/menit atau 30ml/jam atau 500–600 ml/hari. Absorpsinya bergantung pada perbedaan tekanan cairan serebrospinal dan vena. Absorpsi tersebut terjadi melalui villi khorialis. Beberapa obat anestesi mempengaruhi produksi dan absorpsi cairan serebrospinal. Volume dan tekanan cairan serebrospinal berbeda pada anak dan dewasa.5

Karena ruangan tersebut dikelilingi tulang maka peningkatan salah satu volume tersebut akan meningkatkan tekanan intrakranial. Sedikit peningkatan volume intrakranial akan dikompensasi dengan memindahkan CSF ke ruangan subarachnoid spinal dan penekanan volume darah vena, tetapi kompensasi ini sangat terbatas dan bila terlewati, setiap penambahan volume intrakranial akan meningkatkan tekanan intrakranial.5 Peningkatan tekanan intrakranial akan menurunkan tekanan perfusi otak dan menimbulkan iskemia serebral, juga akan menyebabkan herniasi uncal dan serebelar. Makin tinggi tekanan intrakranial, prognosis makin jelek.5 Tekanan intrakranial normal 5–15 mmHg. Tekanan ini tidak selalu konstan bergantung pada pulsasi arteri, respirasi, dan batuk. Peningkatan volume salah satu komponen (otak, darah atau cairan serebrospinal) akan dikompensasi dengan penurunan volume komponen yang lainnya.5

Doktrin Monro-KellieVolume intrakranial selalu konstan. Bila volume bertambah, misalnya karena ada hematom, maka untuk mengurangi volume, cairan serebrospinal

Tabel 1.3 Tekanan dan Volume CSF pada Manusia

RentangTekanan CSF (mmH 3,0-7,5 Anak-anak 4,5-13,5 DewasaVolume CSF (mL) 40-60 Infant 60-100 Anak kecil 80-120 Anak yg lebih tua 100-160 Dewasa

Dikutip dari: Cottrell and Young’s, 2010

dan darah akan berkurang, dengan keluar dari ruangan intrakranial sehingga tekanan intrakranial akan tetap normal. Bila batas kompensasi dilewati, tekanan intrakranial akan meningkat (Gambar 1).5 Pada gambar 1, terlihat bahwa tekanan intrakranial tetap dalam batas normal walaupun volume bertambah (tanda 1 ke 2), akan tetapi, apabila batas kompensasi dilalui (volume intrakranial terus bertambah), maka tekanan intrakranial akan meningkat dengan cepat (tanda 3 dan 4). Terapi harus dimulai bila tekanan intracranial >20 mmHg.5

Bila tekanan intrakranial meningkat dengan cepat, terjadi perubahan sistemik seperti hipertensi, hipotensi, takikardia, bradikardia, perubahan irama jantung, perubahan elektrokardiografi (EKG), gangguan elektrolit, hipoksia, dan neurogenic pulmonary edema (NPE). Cushing menuliskan adanya Trias Cushing pada pasien dengan kenaikkan tekanan intrakranial. Trias itu terdiri atas hipertensi, bradikardia dan melambatnya respirasi. Peningkatan tekanan darah ini merupakan mekanisme untuk mempertahankan aliran darah otak yang terjadi akibat peningkatan kadar adrenalin, nor-adrenalin, dopamin dalam sirkulasi. Bradikardi tidak selalu terjadi pada setiap pasien. Bradikardi dapat juga terjadi selintas, yang paling sering terjadi yaitu takikardia dan atau aritmia ventrikel.5 Pada keadaan tekanan intrakranial yang meningkat bisa terjadi spasme arteri serebral, yang bisa menimbulkan serebral iskemia dan serebral infark. Pada cedera kepala berat bisa terjadi laktik asidosis cairan serebrospinal, yang juga akan meningkatkan tekanan intrakranial.5

Gambar 1. Hubungan Peningkatan Volume Intrakranial dengan Hipertensi Intrakranial

Page 69: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

201 Anestesi untuk Seksio Sesarea pada Pasien dengan Hipertensi Intrakranial Idiopatik

III. Patogenesis IIH

Patogenesis IIH belum jelas, telah diperkirakan disebabkan oleh gangguan dinamika cairan serebrospinalis. Tidak ada bukti yang jelas apakah hal ini adalah akibat dari peningkatan produksi cairan cerebrospinal (Cerebrospinal Fluid/CSF) pada pleksus choroideus atau hambatan drainase CSF pada jaringan granulasi arachnoid.1 Keluhan umum adalah sakit kepala dan gangguan penglihatan selintas. Sakit kepala dapat terjadi setiap hari dan khas sakit kepala retrobulber yang berdenyut-denyut yang bertambah buruk dengan pergerakan bola mata. Keadaan ini dihubungkan dengan mual, muntah dan photopobia. Kehilangan pandangan dapat berakhir dalam beberapa detik dan bisa parsial atau komplit. Keluhan penglihatan lain adalah pandangan kabur, kehilangan pandangan dan pandangan dobel. Kondisi ini dapat memperburuk migrain yang telah ada sebelumnya. Pasien dengan IIH juga dapat datang ke spesialis THT karena tinnitus, vertigo, ottorhoea dan rhinorhoea spontan.1

Gejala IIH yang sering terjadi adalah papil edema (pembengkakkan diskus optikus akibat peningkatan tekanan intrakranial), defek lapang pandangan dengan pembesaran blind spot, penurunan ketajaman pandangan, pengurangan penglihatan warna dan kelumpuhan saraf ke-6. Kelumpuhan saraf ke-6 terjadi akibat regangan saraf ini dengan angka Kejadian >10% pasien IIH. Tidak korelasi langsung antara keluhan visual dan beratnya papil edema.1 Setiap hipotesis dari patogenesis IIH harus menerangkan observasi pasien berikut dengan kelainan2: kejadian terbanyak pada wanita obes selama masa subur, menurunnya konduktans outflow CSF, ukuran ventrikel normal, tidak ada hidrosefalus, tidak ada bukti histologik dari edema serebral.

Telah dilaporkan adanya perubahan-perubahan pada hemodinamika serebral, yang meningkatkan volume darah otak dan menurunkan aliran darah otak. Akan tetapi, yang lain menemukan tidak ada perubahan yang signifikan pada faktor-faktor ini. Hipotesis yang paling populer adalah bahwa IIH adalah suatu sindroma akibat

pengurangan absorpsi CSF. Pengurangan konduktans outflow CSF mungkin disebabkan disfungsi mekanisme absorpsi dari granulasi arachnoid atau kemungkinan melalui limpatik ekstrakranial. Mekanisme limpatik merupakan suatu rute drainase alternatif sepanjang nerve roots saraf ekstrakranial dan spinal ke limpatik ekstrakranial, yang dipublikasikan oleh Miles Johnston dkk, mungkin merupakan faktor penting dalam mekanisme IIH.2

Patogenesis IIH belum diketahui. Gangguan dinamika CSF adalah hal yang mendasarinya walaupun ada banyak spekulasi yang tidak meyakinkan pada literatur sebagai hubungan antara peningkatan produksi CSF pada pleksus khorideus atau hambatan drainase CSF pada jaringan granulasi arachnoid.4 Keluhan IIH adalah sakit kepala (94%), transient visual obscuration (68%), pulse synchronous tinnitus (58%), photopsia (54%), dan nyeri retrobulbair (44%). Diplopia (38%) dan kehilangan penglihatan (30%) jarang menyertai IIH.2

IV. Diagnostik IIH

Keluhan paling sering adalah sakit kepala (pada lebih dari 90% pasien) dan gangguan penglihatan (sampai 70% pasien), termasuk kehilangan pandangan sementara (transient visual obscuration), kehilangan lapangan pandangan, dan hilangnya ketajaman penglihatan. Banyak pasien mengalami tinnitus pulsatif. Keluhan lain adalah adanya sakit leher dan punggung, edema ekstremitas, diplopia (umumnya dari palsi abdusen unilateral atau bilateral, gejala peningkatan tekanan intrakranial), facial palsi, ataksia, dan parestesia. 6

Gambaran klinisnya menunjukkan adanya sakit kepala, hilangnya pandangan akibat papil edema. Hal ini disebabkan karena peningkatan tekanan cairan serebrospinalis dengan gambaran CSF yang normal. Terapi umumnya dengan analgesik, kortikosteroids, inhibitor karbonik anhidrase dan diuretik (asetazolamide); bila pengendalian adekuat tidak tercapai maka dilakukan punksi lumbal untuk mengeluarkan cairan serebrospinal. Kejadian IIH sekitar 19,3 per 100 ribu wanita

Page 70: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

202 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

dalam masa reproduksi.Tidak indikasi untuk dilakukan aborsi. Hipertensi intrakranial yang tidak bisa dikendalikan memerlukan pengakhiran kehamilan dengan jalan yang paling cepat, pasien diinduksi atau dilakukan seksio sesarea.7

Diagnosa IIH pertama kali diperkenalkan oleh Dandy pada tahun 1937. Pada tabel dibawah ini ada kriteria diagnostik yang dibuat oleh Smith pada tahun 1985.

Tekanan CSF lumbal harus lebih besar dari 250 mmH2O yang diukur pada posisi lateral decubitus untuk mendiagnosa IIH. Neuroimaging penting untuk mengeklusi penyebab lain seperti hidrosefalus, lesi massa atau struktur. Satu laporan dalam kriteria diagnostik IIH mendukung bahwa CT-scan adekuat untuk mengeklusi hidrosefalus dan lesi massa. Akan tetapi, penyebab lain dari hipertensi intrakranial seperti trombosis sinus venosus tidak dapat terdeteksi, sehingga diperlukan magnetic resonance imaging. Satu penelitian retrospektif telah mengevaluasi penggunaan magnetic resonance venography pada wanita dengan IIH dan menyimpulkan bahwa magnetic resonance venography berguna pada atypical IIH.1 Penemuan ophtalmik pada peningkatan tekanan intrakranial adalah papil edema.

Peningkatan tekanan CSF ditranmisikan melalui kanal optikus kedalam selubung saraf optikus intraorbital, yang menyebabkan papil edema (pembengkakkan serabut saraf pada saraf kepala), yang dapat asimetris. Papil edema dinilai dengan funduskopi atau teknik imaging discus. Kehilangan penglihatan berat yang memperberat IIH antara 10–20%.1 Sindroma dari peningkatan

• Gejala dan keluhan peningkatan tekanan intrakranial: sakit kepala, mual, muntah, kehilangan pandangan selintas, papil edema.

• Tidak ada gejala neurologik yang terlokalisi, kecuali paresis unilateral atau bilateral N VI

• Peningkatan tekanan cairan serebrospinalis, tapi tidak ada abnormalitas sitologik atau kimia.

• Harus ditunjukkan ventrikel simetris normal atau kecil dengan ventriculografi atau CT-scan.

Tabel 1. Modified Dandy Criteria

Dikutip dari: Thirumalaikumar 1

Tabel 2. Kriteria Diagnosis untuk IIH• Keluhan, bila ada, berupa keluhan peningkatan

tekanan intrakranial• Gejala menunjukkan peningkatan tekanan

intrakranial atau papil eema• Peningkatan tekanan CSF pada posisi lateral

decubitus (>25 cmH2O, dan hanya dengan sangat hati-hati pada tekanan yang lebih rendah)

• Komposisi CSF normal• Pemeriksaan imaging untuk mengeksklusi

hidrosefalus, lesi massa atau struktur dan eksklusi universal dari trmbosis sinus venosus (dianjurkan pemeriksaan magnetic resonanse atau computed tomogram venography).

• Tidak ada penyebab kenaikkan tekanan intrakranial sekunder yang didapatkan (anemia, obstructive sleep apnoe (OSA), Guillain-Barre Syndrome, atau efek obat misalnya antibiotik, NSAIDs, vitamin A, lithium, cimetidin).

1 Gejala dan/atau keluhan peningkatan tekanan intrakranial

2 Terdokumentasi peningkatan tekanan intrakranial (>250 mmH2O)

3 Komposisi cairan serebrospinal normal4 Harus ditunjukkan ventrikel simetris normal

atau kecil dengan ventriculografi atau CT-scan.5 Tidak ada bukti ada hidrosefalus, lesi massa,

struktur atau vaskular pada pemeriksaan imaging

6 Tidak ada gejala neurologik terlokalisasi kecuali paresis N VI unilateral atau bilateral.

Dikutip dari: Sinclair4

Dikutip dari: Badve M9

Tabel 3. Modified Dandy Criteria

tekanan intrakranial tanpa hidrosefalus atau lesi massa dan dengan komposisi CSF normal, sebelumnya disebut sebagai pseudotumor serebri, adalah suatu diagnosis eksklusi yang sekarang disebut sebagai idiopathic intracranial hypertension (IIH). Kriteria diagnostik dari kelainan ini belum di update sejak kriteria Modifikasi Dundy dipakai pada tahun 1985.8

Diagnosis pseudotumor cerebri dapat dilakukan dengan kriteria modifikasi Dandy yaitu:1) keluhan dan gejala dari peningkatan tekanan intrakranial, 2) pemeriksaan neuroimaging normal, 3) tekanan

Page 71: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

203 Anestesi untuk Seksio Sesarea pada Pasien dengan Hipertensi Intrakranial Idiopatik

CSF 250 mm H2O atau lebih besar pada posisi lateral decubitus dalam keadaan pasien rileks, 4) kandungan CSF normal, dan 5) penyebab lain disingkirkan.6 Kriteria diagnosis IIH diawali pada tahun 1937 oleh Dandy dan walaupun baru-baru ini mendapat revisi, klarifikasi selanjutnya memerlukan kepentingan universal untuk menyingkirkan trombosis sinus venosus. Sebagai tambahan, batas peningkatan tekanan CSF harus ditentukan. Diagnosis ditegakkan dengan menggunakan modifikasi kriteria Dandy yang memerlukan peningkatan tekanan intrakranial >250 mmH2O dan menghilangkan keadaan patologik dengan pemeriksaan CSF dan radiologik seperti terlihat pada tabel dibawah ini.9

V. Efek IIH pada Kehamilan

Satu review kasus pada tahun 1972 mengomentari bahwa pengakhiran kehamilan harus dipertimbangkan bila gangguan penglihatan memburuk atau ada eksaserbasi IIH pada kehamilan sebelumnya. Hal ini telah menjadi perdebatan dengan modalitas terapi yang baru. Pengakhiran kehamilan tidak menjadi jaminan. Tidak ada peningkatan kejadian komplikasi obstetrik pada wanita dengan IIH.1

Tidak cukup bukti tentang mode yang aman untuk melahirkan bayi wanita dengan IIH. Satu serial kasus IIH pada wanita hamil telah melaporkan lebih dari 50% melahirkan per vaginam. Peningkatan tekanan intrakranial yang terjadi selama persalinan adalah selintas dan tidak berbahaya untuk ibu dan bayi. Seksio sesarea tidak diperlukan secara rutin dan cara melahirkan bayi bergantung pada faktor obstetri saja. Suatu penelitian dengan menggunakan rancangan kasus kontrol menemukan tidak ada peningkatan komplikasi obstetrik pada IIH.

Kehilangan penglihatan terjadi dalam jumlah yang sama antara pasien IIH yang hamil dan yang tidak hamil. Mereka menyimpulkan bahwa terapi pasien IIH pada kehamilan sama dengan pada wanita yang tidak hamil, kecuali restriksi kalori harus diperhatikan. Penggunaan acetazolamide pada trimester pertama kehamilan merupakan hal yang kompleks. Disebabkan kerena kemungkinan

efek teratogenik pada hewan dan satu kasus teratoma sacrococcygeal pada manusia, dasar penundaan penggunaan asetazolamid tidak kuat.2,10

VI. Efek Kehamilan pada IIH

Satu penelitian controlled study oleh Digre dkk telah menggambarkan bahwa kehamilan bukan merupakan faktor penyebab. Preeksisting IIH cenderung memburuk pada saat kehamilan, kemungkinan karena faktor penambahan berat badan. Outcome penglihatan pada wanita hamil sama dengan wanita yang tidak hamil. Kehamilan selanjutnya tidak berimplikasi sebagai faktor risiko untuk rekuren IIH.1

Sakit kepala (headache) akibat IIH pada kehamilan harus dibedakan dengan penyebab lain. The International Classification of Headache Disorder membagi sakit kepala kedalam 3 kategori. Keluhan sakit kepala pada wanita hamil harus dipertimbangkan secara serius dan pendekatan sistematik adalah sangat penting.

Tiga Kategori Headache• Headache Primer: migren atau tension

headache, merupakan penyebab headache paling umum pada wanita hamil.

• Headache Sekunder: sekunder terhadap trauma, kelainan vaskular, IIH, infeksi, masalah pskiatrik

• Neuralgia kranial, central dan nyeri fasial primer, dan headache yang lain

Dikutip dari: Thirumalaikumar1

Anamnesa yang detil tentang lokasi dan beratnya sakit kepala akan menolong mengidentifikasi penyebabnya. Keluhan gangguan penglihatan, muntah dan leher kaku menunjukkan adanya penyebab neurologik yang nyata.

Riwayat kelainan psikiatrik yang lalu dan oabat-obatan (kafein, opioid, kanabis dan kokain) menunjukkan headache sekunder. Komplikasi yang mengancam jiwa seperti eklampsia, trombosis vena serebral dan meningitis harus dieksklusi. Pemeriksaan mata, telinga, hidung, tenggorokan,

Page 72: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

204 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

dan leher penting untuk mengeluarkan penyebab headache sekunder. Pemeriksaan imaging perlu untuk mengeluarkan tumor intrakranial dam kejadian thrombosis. Gambar dibawah ini menyimpulkan proses penilaian bila wanita hamil mengalami sakit kepala.1

VII. Peranan Obesitas dalam IIH

Yang menarik pada IIH adalah lebih dari 93% pasien adalah obesitas. Pada populasi obesitas kejadian IIH meningkat diatas 19 per 100 ribu, dibandingkan dengan 2,2 per 100 ribu pada populasi umum.

Prevalensi IIH meningkat dalam hubungan dengan epidemik global dari obesitas (lebih dari 24% orang dewasa di Inggris adalah obes) berperan pada morbiditas wanita muda yang obes.1,4 Hubungan antara obesitas dan IIH belum sepenuhnya dapat diterangkan dan spekulasi sehubungan dengan peranan dari distribusi lemak dan OSA masih belum dibuktikan kebenarannya. Sejumlah laporan kasus telah menghubungkan IIH dengan Cushing disease suatu kondisi adanya obesitas dengan peningkatan kortisol sirkulasi.1,4

Dikutip dari: Thirumalaikumar1

VIII. Terapi IIH

Terapi IIH pada wanita hamil sama dengan terapi IIH pada wanita yang tidak hamil. Penanganan harus multidisilin dan meliputi neurologist, spesiali kandungan, anestetist, dan spesialis mata. Tujuan terapi adalah untuk memelihara penglihatan dan memperbaiki keluhan. Terapi medikal yang umum adalah analgetik, kortikosteroid, carbonic anhydrase inhibitor, dan diuretik; bila pengendalian adekuat tersebut tidak tercapai maka lakukan pengambilan CSF dari lumbal punksi. Diuretik perlu untuk mengurangi produksi CSF dan diet perlu untuk menurunkan berat badan. Opsi pembedahan termasuk melakukan lumbal punksi, dan fenestrasi selubung saraf optik. Bila hipertensi intrakranial tidak dapat dikontrol, lakukan pengakhiran kehamilan melalui rute yang paling cepat apakah dilakukan induksi persalinan atau seksio sesarea.1,10,12

Terapi medikal dapat dilakukan dengan penurunan berat badan, lumbal punksi, pemberian kortikosteroid, acetazolamid. Terapi surgikal dapat dilakukan dengan dekompresi subtemporal atau suboccipital, fenestrasi selubung saraf optik, prosedur shunting CSF, operasi oklusi gaster, stenting sinus venosus.2,13,14

Page 73: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

205 Anestesi untuk Seksio Sesarea pada Pasien dengan Hipertensi Intrakranial Idiopatik

IX. Implikasi Anestesi pada IIH

Pasien yang terdiagnosa kehamilan dengan IIH dapat melahirkan dengan cara intratechal labor analgesia (ILA) atau seksio sesarea. Tekanan CSF meningkat sebagai respon terhadap kontraksi miometrium dan berhubungan dengan peningkatan tekanan vena sentral, isi sekuncup, curah jantung dan tekanan darah arteri.15-16

Anetesi regional baik epidural atau spinal telah dinyatakan berhasil untuk seksio sesarea. Anestesi spinal lebih dianjurkan karena lebih aman untuk wanita dengan IIH. Hal ini disebabkan karena punksi lumbal untuk drainase CSF digunakan sebagai modalitas terapi IIH. Teknik epidural anestesia harus dipertimbangkan terlebih dahulu. Epidural anestesi membawa kemungkinan untuk peningkatan tekanan intrakranial dengan volume obat yang besar dalam ruangan epidural.15-16

Perhatian harus ditujukan pada wanita dengan shunt lumbo-peritoneal yang memerlukan anestesi regional, karena ada kemungkinan terjadi kerusakan shunt. Imaging sebelumnya diperlukan disebabkan adanya risiko belitan dari shunt.

Anestesi umum untuk seksio sesarea pada wanita hamil dengan IIH dianjurkan apabila dengan terapi drainse CSF tidak berfungsi dengan baik. Anestesi umum membawa risiko peningkatan tekanan intrakranial akibat rapid sequence induction.1 saat melakukan anestesi umum yang merupakan pertimbangan adalah pada saat

induksi dan laringoskopi intubasi memiliki resiko terjadinya tekanan intrakranial, kemungkian kesulitan intubasi akibat terjadinya obesitas. Saat melakukan ventilasi hindari hiperventilasi dapat mengakibatkan menurunnya aliran darak kepada janin yang akan berakibat hipoksia dan asidosis. Anestesi umum, spinal anestesi, epidural anestesi telah dilakukan pada pasien IIH.1,15-16

X. Simpulan

Hipertensi intrakranial idiopatik ditandai dengan peningkatan tekanan CSF dengan penyebab yang belum diketahui, merupakan penyakit yang predominan pada wanita dalam masa subur. Walaupun penyebab IIH masih tidak jelas, tapi sering terjadi hilangnya fungsi penglihatan dan berkembang kearah kebutaan bila tidak di terapi. Diagnosa mengikuti modifikasi kriteria Dandy dan penyebab lain dari hipertensi intrakranial yang ditemukan. Pengelolaan pasien IIH harus termasuk perimetri serial dan grading diskus optikus atau fotografi. Kemudian, dapat dipilih terapi yang lebih baik dan dilakukan pencegahan kehilangan penglihatan.

Walaupun tidak ada bukti berdasarkan data untuk panduan terapi, masih dilakukan penelitian RCT untuk terapi diet dan medikal. Hipertensi intrakranial idiopatik yang tidak bisa dikontrol memerlukan pengakhiran kehamilan melalui rute yang paling cepat, dengan induksi partus spontan atau seksio sesarea. Prognosis IIH

Dikutip dari: Wall M2

Page 74: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

206 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

dalam kehamilan adalah baik untuk ibu dan bayi. Anestesi dapat dilakukan dengan spinal anestesia, epidural anestesia, combined spinal epidural atau anestesi umum.

Daftar Pustaka

1. Thirumalaikumar L, Ramalingam K, Heafield T. Idiopathic intracranial hypertension in pregnancy. The Obstetrician & Gynecologist 2014;16:93–97.

2. Wall M. Idiopathic intracranial hypertension. Neurol Clin 2010;28(3):593–617.

3. Aly EE, Lawther BK. Anesthetic management of uncontrolled idiopathic intracranial hypertension during labour and delivery using an intrathecal catheter. Anesthesia 2007; 2(2):178–81.

4. Sinclair A. Idiopathic intracranial hypertension: recent concept and development. ACNR 2010; 10(3): 10–14.

5. Bisri DY, Bisri T. Pengelolaan Perioperatif Cedera Otak Traumatik, edisi-4. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; 2018.

6. Evans RW, Friedman DI. The management of pseudotumor cerebri during pregnancy. Headache 2000;40:495–97.

7. Manuel DG, Julia CR, Jose GL. Clinical management of delivery in pregnant women with idiopathic intracranial hypertension. ARC Journal of Gynecology and Obsterics 2017;2(1):4–6.

8. Friedman DI, Jacobson DM. Diagnostic criteria for idiopathic intracranial hypertension. Neurology 2002;59:1492.

9. Badve M, McConnell MJ, Shah T, Ondecko-Ligda KM, Poutous GW, Vallejo MC. Idiopathic intracranial hypertension in pregnancy treated with serial lumbar punctures. International journal of Clinical Medicine 2011;2: 9–12.

10. Bagga R, Jain V, Gupta KR, Gopalan S, Malhotra S, Das CP. Choice of therapy and mode of delivery in idiopathic intracranial hypertension during pregnancy. MedscapeGeneral Medicine 2005; 7 (4):42.

11. Butala BP, Shah VR. Anaesthetic management of a case of idiopathic intracranial hypertension. Indian J Anaesth 2013; 57(4):401–3.

12. 12. Tang RA. Management of idiopathic intracranial hypertension in pregnancy. MedGenMed 2005;7(4):40.

13. Huna-Baron R, Kupersmith MJ. Idiopathic intracranial hypertension in pregnancy. J Neurol 2002; 249:1078–81.

14. Falardeau J, Lobb BM, Golden S, Maxfield SD, Tanne E. The use of acetazolamide during pregnancy in intracranial hypertension patients. J Neuro-Ophthalmol 2013;33:9–12.

15. Worrel J, Lane S. Impact of pseudotumor cerebri (idiopathic intracranial hypertension) in pregnancy: a case report. AANA 2007;75(3): 199–204.

16. Karmaniolou I, Petropoulos G, Theodoraki K. Management of idiopathic intracranial hypertension in parturients: anesthetic considerations. J Can Anesth (2011) 58:650–67.

Page 75: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

BBambang Harijono, 164

DDhania Anindita Santosa, 164Dewi Yulianti Bisri, 140, 157, 198

FFerry Ferdyansyah, 150Fitri Sepviyanti Sumardi, 185

HHamzah, 164, 175, 185

INur'aini Jamilatul Badriyah, 134

LLisda Amalia, 134

MM. Sofyan Harahap, 150Muhammad Faris, 175

NNancy Margareta Rehatta, 164, 175

RRadian Ahmad Halimi, 157

SSri Rahardjo, 185Suwarman, 134

TTatang Bisri, 140, 157, 185Tengku Addi Saputra, 140

YYoppie Prim Avidar, 175

ZZafrullah Kany Jasa, 164

Indeks Penulis

Page 76: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

Indeks Subjek

AAnestesi, 198Anestesia, 175Akromegali, 175Awake craniotomy, 150

BBlok scalp, 150

CCedera kepala traumatik, 185Cedera otak traumatik, 140

DDexmedetomidin, 150

EEksisi tumor, 164

FFaktor risiko, 134

Hhipertensi intrakranial idiopatik, 198Hipersekresi hormon pertumbuhan, 175

IIOM, 164

KKehilangan penglihatan, 198Kraniektomi dekompresif, 185 PPenanganan anestesia, 164Posisi sphinx, 157Propofol, 150

RRekonstruksi kraniofasial, 157

SSeksio sesarea, 198Sindroma pfeiffer, 157SGA, 140Status nutris, 140Stroke, 134Stroke iskemik, 134Stroke perdarahan, 134

TTekanan intrakranial menetap, 185Tumor IDIM, 164

Page 77: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

Pedoman Bagi Penulis

1. Ketentuan Umum

Redaksi majalah Jurnal Neuroanestesia Indonesia menerima tulisan Neurosains dalam bentuk Laporan Penelitian, Laporan Kasus, Tinjauan Pustaka, serta surat ke editor. Naskah yang dipertimbangkan dapat dimuat adalah naskah lengkap yang belum dipublikasikan dalam majalah nasional lainnya. Naskah yang telah dimuat dalam proceeding pertemuan ilmiah masih dapat diterima asalkan mendapat izin tertulis dari panitia penyelenggara.

2. Judul

Bahasa Indonesia tidak melebihi 12 kata, judul bahasa Inggris tidak melebihi10 kata. 3. Abstrak

Ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia serta tidak boleh lebih dari 250 kata.

Abstrak Penelitian:

Terdiri dari IMRAD (Introduction, Method, Result, and Discussion). Dalam introduction mengandung latar belakang dan tujuan penelitian. Dalam Discussion diakhiri oleh Simpulan.

Contoh Penulisan Abstrak Penelitian:

Latar Belakang dan Tujuan: Disfungsi kognitif pascaoperasi (DKPO) sering terjadi dan menjadi masalah serius karena dapat menurunkan kualitas hidup pasien yang menjalani pembedahan dan meningkatkan beban pembiayaan kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui angka kejadian DKPO pada pasien yang menjalani operasi elektif di GBPT RSU dr. Sutomo dan menganalisa faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya.Subjek dan Metode: Penelitian ini melibatkan 50 orang sampel berusia 40 tahun atau lebih yang menjalani pembedahan lebih dari dua jam. Dilakukan serangkaian pemeriksaan fungsi kognitif praoperasi dan tujuh hari pascaoperasi.

Domain kognitif yang diukur adalah atensi dan memori. Faktor yang diduga mempengaruhi kejadian DKPO dalam penelitian ini adalah usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi.Hasil: Tujuh hari pascaoperasi 30% sampel mengalami gangguan atensi, 36% sampel mengalami gangguan memori dan 52% sampel mengalami disfungsi kognitif pascaoperasi. Pemeriksaan kognitif yang mengalami penurunan bermakna adalah digit repetition test, immediate recall, dan paired associate learning. Analisa logistik regresi variabel usia (p=0,798), tingkat pendidikan (p=0,921) dan durasi operasi (p=0,811) terhadap kejadian DKPO menunjukkan hubungan yang tidak bermakna. Namun bila dianalisa pada masing masing kelompok usia tampak bahwa persentase pasien yang mengalami DKPO konsisten lebih tinggi pada usia ≥50 tahun, tingkat pendidikan ≤6 tahun dan durasi operasi ≥180 menitSimpulan: Kejadian disfungsi kognitif pada pasien yang menjalani operasi elektif di GBPT RSU dr. Sutomo cukup tinggi. Faktor usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi tampaknya mempengaruhi kejadian DKPO meskipun secara statistik tidak signifikan.

Kata kunci: anestesi umum, atensi, kognitif pascaoperasi, memori

Abstrak Laporan Kasus:

Terdiri dari Pendahuluan, Kasus, Pembahasan, simpulan

Contoh Penulisan Abstrak Laporan Kasus:

Abstrack

Meningoencephaloceles are very rare congenital malformations in the world that have a high incidence in the population of Southeast Asia, include in Indonesia. Children with anterior meningoencephaloceles should have surgical correction as early as possible because of the facial dysmorphia, impairment of binocular vision,

Page 78: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

increasing size of the meningoencephalocele caused by increasing brainprolapse, and risk of infection of the central nervous system. In the report, we presented a case of a 9 months-old baby girl with naso-frontal encephalocele and hydrocepahalus non communicant, posted for VP shunt (ventriculo-peritoneal shunt) and cele excision. Becaused of the mass, nasofrontal or frontoethmoidal and occipital meningoencephalocele leads the anaesthetist to problems since the anaesthesia during the operation until post operative care. Anaesthetic challenges in management of meningoencephalocele, which most of the patients are children, include securing the airway with intubation with the mass in nasofrontal or nasoethmoidal with its associated complications and accurate assessment of blood loss and prevention of hypothermia

Key words: Anaesthesia, difficult ventilation, difficult intubation, naso-frontal, meningoencephalocele, padiatrics

Abstrak Tinjauan Pustaka:

Terdiri dari Pendahuluan, Isi, dan Simpulan

Abstrak

Stroke hemoragik merupakan penyakit yang mengerikan dan hanya 30% pasien bertahan hidup dalam 6 bulan setelah kejadian. Penyebab umum dari perdarahan intrakranial adalah subarachnoid haemorrhage (SAH) dari aneurisma, perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM), atau perdarahan intraserebral. Perdarahan intraserebral sering dihubungkan dengan hipertensi, terapi antikoagulan atau koagulopati lainnya, kecanduan obat dan alcohol, neoplasma, atau angiopati amyloid. Mortalitas dalam 30 hari sebesar 50%. Outcome untuk stroke hemoragik lebih buruk bila dibandingkan dengan stroke iskemik dimana mortalitas hanya sekitar 10-30%. Stroke hemoragik khas dengan danya sakit kepala, mual muntah, kejang dan defisit neurologic fokal yang lebih besar. Hematoma dapat menyebabkan letargi, stupor dan koma. Disfungsi neurologik dapat terjadi dari rentang sakit kepala sampai koma. Pengelolaan dini difokuskan pada: 1)

pengelolaan hemodinamik dan jantung, 2) jalan nafas dan ventilasi, 3) evaluasi fungsi neurologik dan kebutuhan pemantauan tekanan intrakranial atau drainase ventrikel atau keduanya.

Kata kunci: perdarahan intrakranial, stroke perdarahan

Diakhir abstrak dibuat kata kunci yang ditulis berurutan secara alphabet, 3–5 buah.

4. Cara Penulisan Makalah Penulisan Daftar Pustaka:

• Nomor Kepustakaan berdasarkan urutan datang” di dalam teks, Vancouver style.

• Jumlah kepustakaan minimal 8 dan maksimal 20 buah.

Contoh cara penulisannya:

Dari Jurnal:

1. Powers WJ. Intracerebral haemorrhage and head trauma. Common effect and common mechanism of injury. Stroke 2010;41(suppl 1):S107–S110.

2. Qureshi A, Tuhrim S, Broderick JP, Batjer HH, Hondo H, Hanley DF. Spontaneus intracerebral haemorrhage. N Engl J Med 2001,344(19):1450–58.

Dari Buku:

1. Ryan S, Kopelnik A, Zaroff J. Intracranial hemorrhage: Intensive care management. Dalam: Gupta AK, Gelb AW, eds. Essentials of Neuroanesthesia and Neurointensive Care. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008, 229–36.

2. Rost N, Rosand J. Intracerebral Hemorrhage. Dalam: Torbey MT, ed. Neuro Critical Care. New York: Cambridge University Press;2010,143–56.

Materi Elektronik

Artikel Jurnal dalam Format Elektronik Lipton B, Fosha D. Attachment as a transformative process in AEDP: operationalizing the intersection of

Page 79: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

attachment theory and affective neuroscience. Journal of Psychotherapy Integration [Online Journal] 2011 [diunduh 25 November 2011]. Tersedia dari: http://www.sciencedirect.com

5. Jumlah halaman

Laporan Kasus : 10-12 halamanLaporan Penelitian : 15 halamanTinjauan Pustaka : 15-20 halamanSurat Pembaca : 1 halamanDitik 1,5 spasi, Times New Roman, 11 font.

Page 80: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

Penanggungjawab, pemimpin, dan segenap redaksi Jurnal Neuroanestesi Indonesia menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya serta ucapan terima kasih yang tulus

kepada mitra bebestari:

Prof. Siti Chasnak Saleh, dr., SpAnKIC,KNA(Universitas Airlangga ‒ Surabaya)

Prof. dr. Tatang Bisri, dr., SpAnKNA, KAO(Universitas Padjadjaran – Bandung)Dr. Nazaruddin Umar, dr., SpAnKNA(Universitas Sumatera Utara – Medan)Dr. Sri Rahardjo, dr., SpAnKNA, KAO

(Universitas Gadjah Mada – Yogyakarta)Dr. M. Sofyan Harahap, dr., SpAnKNA(Universitas Diponegoro ‒ Semarang)

Dr. Sudadi, dr., SpAnKNA(Universitas Gadjah Mada –Yogyakarta)

Dr. I Putu Pramana Suarjaya, dr., SpAnKNA, KMA, M.Kes(Universitas Udayana – Bali)

Dr. Diana Lalenoh, dr., SpAnKNA, KAO(Universitas Sam Ratulangi–Manado)

Dr. Iwan Fuadi, dr., SpAnKNA(Universitas Padjadjaran – Bandung)

Dr. M.M. Rudi Prihatno, dr., SpAnKNA, M.Si(Universitas Jenderal Soedirman – Purwokerto)

Dr. Rose Mafiana, dr., SpAnKNA, Mafiana(Universitas Sriwijaya–Palembang)

Dr. Kenanga Marwan, dr., SpAnKNA(Universitas Lambunga Mangkurat – Banjarmasin)

Atas kerjasama yang terjalin selama ini, dalam membantu kelancaran penerbitan Jurnal Neuroanestesi Indonesia, semoga kerjasama ini dapat berjalan lebih baik untuk masa yang akan

datang

Redaksi

Page 81: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Tinjauan Pustaka Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Kepala Traumatik Berat yang ... Anestesi untuk Seksio Sesarea

FORMULIR PESANAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:Nama Lengkap : ………………………………………………………………...Alamat Rumah : ………………………………………………………………... ………………………………………………………………... ……………….. Kode pos…………………………................. Telepon …………………………Faks …………………......... HP ………………………………E-mail…………...................Alamat Praktik : ………………………………………………………………... Telepon …………………………Faks ……………….............Alamat Kantor : ………………………………………………………................ ……………………….. Kode pos…………………………….. Telepon …………………………Faks ……………………......Mulai berlangganan : ………………………………. s.d ……………………………...

Saya bermaksud untuk berlangganan JNI secara teratur dengan mengirimkan biaya berlangganan sebesar Rp. 250.000,00 per tahun**

Pembayaran melalui : □ Langsung ke Sekretariat Redaksi Jl. Prof. Dr. Eijkman No. 38 – Bandung 40161 Mobile : 087722631615

JNI dikirimkan ke* : □ Alamat Rumah □ Alamat praktik □ Alamat Kantor

Bandung, ………………………………… Hormat Saya

( )

* pilih salah satu** foto kopi bukti transfer mohon segera dikirimkan/faks ke Sekretariat Redaksi*** termasuk ongkos kirim untuk wilayah Jawa Barat, Jakarta, dan Banten