Tantangan Implementasi
-
Upload
travis-holder -
Category
Documents
-
view
9 -
download
2
description
Transcript of Tantangan Implementasi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kartu Tanda Penduduk merupakan identitas resmi penduduk serta bukti diri yang saat
ini berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahwa dalam rangka
mewujudkan kepemilikan satu Kartu Tanda Penduduk untuk satu penduduk diperlukan kode
keamanan dan rekaman elektronik data kependudukan berbasiskan Nomor Induk
Kependudukan. Ini digunakan untuk efektivitas rekaman elektronik pada Kartu Tanda
Penduduk berbasis Nomor Induk Kependudukan, perlu adanya perubahan muatan rekaman
sidik jari tangan penduduk. Proyek e-KTP dilatarbelakangi oleh sistem pembuatan KTP
konvensional di Indonesia yang memungkinkan seseorang dapat memiliki lebih dari satu
KTP. Hal ini disebabkan belum adanya basis data terpadu yang menghimpun data penduduk
dari seluruh Indonesia. Fakta tersebut memberi peluang penduduk yang ingin berbuat curang
terhadap negara dengan menduplikasi KTP-nya.
Beberapa diantaranya digunakan untuk hal-hal berikut:
1. Menghindari pajak
2. Memudahkan pembuatan paspor yang tidak dapat dibuat di seluruh kota
3. Mengamankan korupsi
4. Menyembunyikan identitas (misalnya oleh para teroris)
Oleh sebab itu maka diperlukan dan diciptakannya e-KTP untuk menjadi identitas
resmi penduduk yang memiliki keamanan dan dapat diakses secara nasional di seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
E-KTP card atau kartu identitas elektronik adalah dokumen yang berisi demografi
sistem keamanan/kontrol baik dari administrasi atau teknologi informasi dengan database
berdasarkan populasi nasional. Sesuai dengan kebijakan pemerintah tentang penerapan KTP
berbasis NIK (Nomor Induk Kependudukan) telah sesuai dengan pasal 6 Perpres No.26
Tahun 2009 tentang Penerapan KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional
Jo Perpres No. 35 Tahun 2010 tentang perubahan atas Perpres No. 26 Tahun 2009 bertujuan
untuk terbangunnya penyimpanan database kependudukan yang akurat di tingkat Kab/Kota,
Provinsi dan Pusat dengan menggunakan rekaman elektronik berupa biodata, tanda tangan,
pas foto, dan sidik jari tangan penduduk yang bersangkutan. Ini pun berfungsi sebagai
identitas jati diri seseorang yang berlaku Nasional sehingga tidak perlu lagi membuat KTP
lokal untuk pengurusan izin, pembukaan rekening Bank, dan sebagainya serta mencegah KTP
ganda dan pemalsuan KTP sehingga terciptanya keakuratan data penduduk untuk mendukung
program pembangunan (Pasal 13 UU No 23 tahun 2006 tentang Adm induk). Struktur dalam
e-KTP terdiri juga dari sembilan lapisan yang akan meningkatkan keamanan kartu ID
konvensional. Penyimpanan data pada chip sudah sesuai dengan standar internasional dan
NISTIR 7123 Mesin Readable Dokumen Perjalanan ICAO dan Uni Eropa Paspor 9303
Keterangan 2006.
1.2 Rumusan Masalah
1. Menjelaskan Implementasi Kebijakan e-KTP di Indonesia
2. Menjelaskan Tantangan Implementasi dalam Kebijakan e-KTP
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui implementasi kebijakan e-KTP di Indonesia
2. Untuk mengetahui Tantangan Implementasi dalam Kebijakan e-KTP
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Kebijakan Publik
Banyak ahli memberikan definisi yang berbeda-beda tentang kebijakan publik (public
policy). Dalam kenyataannya, kebijakan seringkali diartikan dengan peristilahan lain seperti
tujuan (goal), program, keputusan, undang-undang, ketentuan-ketentuan, usulan-usulan dan
rancangan-rancangan besar. Sebagian besar ahli memberi pengertian kebijakan publik dalam
kaitannya dengan keputusan atau ketetapan pemerintah untuk melakukan suatu tindakan yang
dianggap akan membawa dampak baik bagi kehidupan warganya. Definisi yang diberikan
oleh Thomas R. Dye yang mengatakan bahwa kebijakan publik pada umumnya mengandung
pengertian mengenai ‘whatever government choose to do or not to do.’ Artinya, kebijakan
publik adalah apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan.
(Budi Winarno, 2002, p.15)
Lain halnya definisi yang diberikan oleh Hogwood dan Gunn yang menyatakan
bahwa kebijakan publik adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untuk
mencapai hasil-hasil tertentu. (Edi Suharto, 2008, p.3). Disamping itu Hogwood dan Gunn
menyebutkan sepuluh penggunaan istilah “kebijakan” dalam pengertian modern yakni
sebagai label untuk sebuah bidang aktifitas, sebagai ekspresi tujuan umum atau aktifitas
negara yang di harapkan, sebagai proposal spesifik, sebagai keputusan pemerintah, sebagai
otoritas formal, sebagai sebuah program, sebagai output, sebagai hasil, sebagai teori atau
model dan juga sebagai proses. (Wayna Parsons,2008, p.15). Menurut Landau, kebijakan
publik sebagai bentuk lain dari analisis politik yang menggunakan metafora atau model
sebagai perangkat untuk menjelajahi dunia yang tidak dikenal dan mungkin yang tidak
diketahui secara politik. (Edward Elgar, 1995, p.1):
“Public policy, as other forms of political analysis, uses metaphors or models as
devices to explore the unknown and possibly unknownable world of politics.”
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah kebijakan yang
dibuat oleh suatu lembaga pemerintah, baik pejabat maupun instansi pemerintah yang
merupakan pedoman pegangan ataupun petunjuk bagi setiap usaha dan aparatur pemerintah,
sehingga tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam pencapaian tujuan kebijakan.
Pada tahap analisis kebijakan, analisis kebijakan sangat berperan penting dalam
pengimplementasian kebijakan atau pelaksanaanya, sehingga nanti pada akhirnya dibuat
suatu kesimpulan apakah suatu kebijakan tersebut efektif atau tidak dan apakah kebijakan
tersebut sudah sesuai dengan peraturan kebijakan tersebut atau tidak. Hal ini merupakan
elemen penting dala analisis kebijakan.
2.2 Implementasi Kebijakan
a. Implementasi Kebijakan menurut George Edwards III
Dalam hal ini akan di kemukakan mengenai model pelakasanaan kebijakan yang
dikemukakan oleh George C. Edwards. Menurut Edwards, studi implementasi kebijakan
adalah krusial bagi public adminstration dan public policy. Implementasi kebijakan adalah
tahap pembuatan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang
dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang
merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan tersebut akan mengalami kegagalan
sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan baik. Sementara itu, suatu kebijakan ynag
cemerlang mungkin juga akan mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang
diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan.
Dalam mengkaji implementasi kebijakan, Edwards mulai menggunakan dua buah
pertanyaan mengenai Prakondisi-prakondisi apa yang diperlukan sehingga suatu
implementasi kebijakan berhasil dan hambatan apa yang mengakibatkan suatu implemtasi
gagal. Dalam menjawab kedua pertanyaan itu, Edwards menggunakan empat faktor atau
variabel krusial dalam implementasi kebijakan publik. Keempat faktor tersebut adalah
komunikasi, sumber-sumber, kecendrungan-kecendrungan atau tingkah laku dan struktur
birokrasi.
Menurut Edwards III, oleh karena empat faktor yang berpengaruh terhadap
implementasi kebijakan bekerja secara simultan dan berinteraksi satu sama lain untuk
membantu dan menghambat implementasi kebijakan, maka pendekatan yang ideal adalah
dengan cara mereflesikan kompleksitas ini dengan membahas semua faktor tersebut
sekaligus. Untuk memahami suatu implementasi kebijakan perlu meyederhanakan dan untuk
meyederhanakan perlu merinci penjelasan-penjelasan tentang implementasi dalam
komponen-komponen utama. Implementasi dari setiap kebijakan merupakan suatu proses
yang dinamis yang mencakup banyak interaksi dari banyak variabel. Oleh karenanya, tidak
ada variabel tunggal dalam proses implementasi, sehingga perlu dijelaskan keterikatan antara
satu variabel dengan variabel lainnya dan bagaimana variabel-variabel ini mempengaruhi
proses implementasi kebijakan.
Variabel-variabel tersebut dijelaskan oleh Edwards III sebagai berikut :
1. Komunikasi
Dalam variabel komunikasi ini, secara umum Edwards membahas tiga hal penting
dalam proses komunikasi kebijakan, yaitu transmisi, konsistensi, dan kejelasan. Menurut
Edwards, persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa
mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan.
Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah harus diteruskan kepada personil yang
tepat sebelum keputusan-keputusan dan perintah-perintah itu dapat diikuti. Komunikasi harus
akurat, dalam proses transmisi akan banyak hambatan-hambatan yang menghadang transmisi
komunikasi pelaksanaan dan akan menghalangi pelaksanaan kebijakan. Aspek lain dari
komunikasi menyangkut petunjuk-petunjuk pelaksanaan adalah persoalan konsistensi.
Keputusan-keputusan yang bertentangan akan membingungkan dan menghalangi staf
adminstrasi dan menghambat kemampuan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan secara
efektif.
2. Sumber-sumber
Sumber-sumber disini dimaksudkan sebagai sumber untuk melaksanakan kebijakan-
kebijakan sehingga implemenatsi kebijakan berjalan secara efektif. Sumber-sumber yang
penting meliputi staf yang memadai disertai dengan keahliannya, informasi, wewenang, dan
fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan pelayanan-peayanan publik. Tanpa
adanya sumber-sumber, kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan di atas kertas hanya akan
jadi rencana saja dan tidak pernah ada realisasinya.
3. Kecendrungan-kecendrungan
Kecendrunagan dari pelaksana kebijakan merupakan faktor ketiga yang mempunyai
konsekuensi-konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif. Mengingat
pentingnya kecendrungan-kecendrungan bagi implementasi kebijakan yang efektif, maka
akan timbul dampak dari kecendrungan-kecendrungan tersebut dalam implementasi
kebijakan. Menurut Edwards dampak dari kecendrungan-kecendrungan yaitu terdapat
kebijakan yang dilaksanakan secara efektif karena mendapat dukungan dari pelaksana
kebijakan, namun kebijakan-kebijakan lain mungkin akan bertentangan secara langsung
dengan pandangan-pandangan pelaksana kebijakan atau kepentingan-kepentingan pribadi
atau organisasi dari para pelaksana. Kecendrungan-kecendrungan yang menghalangi
implementasi bial para pelaksana tidak sepakat dengan substansi suatu kebijakan.
Implementasi tersebut di hambat oleh keadaan-keadaan yang sangat kompleks.
4. Struktur Birokrasi
Birokrasi merupakan salah satu badan yang menjadi pelaksana kebijakan. Pada
dasarnya, para pelaksana kebijakan mengetahui apa yang dilakukan dan mempunyai cukup
keinginan serta sumber-sumber untuk melakukannya, tetapi dalam pelaksanaannya masih
dihambat oleh struktur-struktur organisasi dalam menjalankan kegiatan tersebut. Menurut
Edwards, ada dua karakteristik utama dari birokrasi, yakni prosedur-prosedur kerja ukuran-
ukuran dasar atau sering disebut Standard Operating System (SOP) dan fargmentasi.
Struktur Organisasi-organisasi yang melaksanakan kebijakan mempunyai pengaruh penting
pada implementasi. Salah satu dari aspek-aspek struktural paling dasar dari suatu organisasi
adalah prosedur-prosedur kerja ukuran dasarnya (SOP). Sedangkan sifat kedua dari struktur
organisasi yang berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan yaitu fragmentasi organisasi.
Fragmentasi organisasi ini akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap implementasi
kebijakan. Fragmentasi mengakibatkan pandangan-pandangan yang sempit dari banyak
lembaga birokrasi.
Gambar 2. Dampak Langsung dan Tidak Langsung pada Implementasi
Komunikasi
Sumber-sumber Implementasi
Kecendrungan-kecendrungan
Struktur Birokrasi
Gambar diatas menjelaskan adanya interaksi mengenai beberapa hubungan dari
faktor-faktor yang akan menjelaskan peranan masing-masing dalam proses implementasi.
Kondisi seperti ini akan berpengaruh terhadap faktor-fator komunikasi, sumber-sumber,
kecendrungan-kecendrungan dan struktur birokrasi pada pelaksanaan kebijakan. Akan tetapi,
disamping itu secara langsung dapat mempengaruhi implementasi. Jika dilihat dari gambar
diatas, komunikasi-komunikasi mempengaruhi sumber-sumber, kecendrungan-kecendrungan,
dan struktur-struktur birokrasi, yang pada akhirnya akan mempengaruhi implementasi.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kebijakan e-KTP di Indonesia
Ada istilah mengatakan tentang kebijakan Publik “Hanya negara-bangsa yang
mampu mengembangkan kebijakan publik yang unggul, baik perumusan, implementasi,
maupun evaluasi yang akan menjadi negara yang unggul dalam persaingan global”1
Disini dijelaskan bahwa kebijakan publik yang unggul menentukan keunggulan negara-
bangsa dalam persaingan global. Mungkin disinilah mengapa Indonesia mencoba
melaksanakan kebijakan e-KTP yang dimana kebijakan ini sudah banyak dilakukan di
berbagai negara di belahan dunia. Ini dilakukan agar Indonesia tidak tertinggal oleh
perkembangan zaman dan mencoba untuk menjadi negara yang unggul dengan salah satunya
menerapkan kebijakan e-KTP di Indonesia.
Penerapan KTP berbasis NIK (Nomor Induk Kependudukan) telah sesuai dan diatur
dalam pasal 6 Perpres No.26 Tahun 2009 tentang Penerapan KTP berbasis Nomor Induk
Kependudukan Secara Nasional Jo Perpres No. 35 Tahun 2010 tentang perubahan atas
Perpres No. 26 Tahun 2009 yang berbunyi :
1. KTP berbasis NIK memuat kode keamanan dan rekaman elektronik sebagai alat
verifikasi dan validasi data jati diri penduduk;
2. Rekaman elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi biodata, tanda tangan,
pas foto, dan sidik jari tangan penduduk yang bersangkutan;
3. Rekaman seluruh sidik jari tangan penduduk disimpan dalam database kependudukan;
4. Pengambilan seluruh sidik jari tangan penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan pada saat pengajuan permohonan KTP berbasis NIK, dengan ketentuan :
Untuk WNI, dilakukan di Kecamatan; dan Untuk orang asing yang memiliki izin
tinggal tetap dilakukan di Instansi Pelaksana *)
5. Rekaman sidik jari tangan penduduk yang dimuat dalam KTP berbasis NIK
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berisi sidik jari telunjuk tangan kiri dan jari
telunjuk tangan kanan penduduk yang bersangkutan;
6. Rekaman seluruh sidik jari tangan penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
7. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perekaman sidik jari diatur oleh Peraturan
Menteri.
Penerapan e-KTP dilaksanakan diseluruh Indonesia, meliputi 2348 kecamatan dan
197 kabupaten/kota dan ditahun 2012 berada di 3886 di kecamatan dan 300 di
kabupaten/kota. Penerapan kebijakan tersebut mempunyai fungsi menjadikan e-KTP sebagai
identitas jati diri, Berlaku nasional yang tidak perlu lagi membuat KTP lokal untuk
pengurusan izin, pembukaan rekening bank, dan sebagainya serta mencegah KTP ganda dan
pemalsuan KTP, sehingga terciptanya kaakuratan data penduduk untuk mendukung program
pembangunan Indonesia yang aman dan unggul di tengah perkembangan global.
3.1.1 Implementasi kebijakan e-KTP di Indonesia
Implementasi kebijakan e-KTP yang diterapkan di Indonesia merupakan kebijakan
yang telah di atur oleh pemerintah yang dimana dalam tahap pembuatan kebijakan dan
konsekuensi-konsekuensi dipengaruhi dengan kepentingan serta kebutuhan masyarakat dan
bangsa. Jika dikaitkan dengan implementasi kebijakan menurut Edwards mengenai
prakondisi-prakondisi apa yang diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan berhasil
dan hambatan apa yang mengakibatkan suatu implementasi gagal dapat diketahui dengan
menggunakan empat faktor atau variabel krusial yang terjadi pada kondisi kebijakan e-KTP
Indonesia. Variabel-variabel tersebut yaitu:
a. Komunikasi
Negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia memerlukan banyak hal,
semuanya sekaligus secara serentak. Perlu memajukan pembangunan dan juga membangun
industri. Perlu menanam modal dalam bidang kesehatan umum dan juga dalam bidang
pendidikan lebih baik pula segala bidang yang menguntungkan. Perlu mengusahakan
transport dan juga media baru untuk berkomunikasi (teknologi canggih). Salah satunya
penerapan e-KTP ini. Untuk mengetahui mengenai kebijakan ini sudah berjalan dengan
efektif atau belum, menurut Edwadrs dapat dilihat melalui tiga kategori yaitu transmisi,
konsistensi, dan kejelasan.
Transmisi kebijakan e-KTP yang ada diIndonesia masih banyak mengalami hambatan
dalam komunikasi pelaksaannya yaitu misalkan kurang terjangkaunya penerapan e-KTP ini
di daerah-daerah terpencil. Ini mungkin terjadi kurangnya sosialisasi pemerintah terhadap
kabupaten atau kecamatan disetiap daerah yang kurang merata. Jika dilihat dari kosistensi,
berdasarkan target yang telah direncanakan oleh pemerintah menurut UU RI No.23 Tahun
2006 dan PERPRES RI No. 26 Tahun 2009 untuk akhir tahun 2011 masih kurang berjalan
efektif dan baik. Target yang telah dibuat tidak mencapai tujuan, hal ini terbukti bahwa masih
banyak daerah-daerah yang belum terjamah akan adanya penerapan kebijakan e-KTP ini,
walaupun sebagian memang sudah berjalan dengan baik. Sedangakan jika dilihat dari
kejelasan kebijakan sosialisasi e-KTP ini, masih belum memiliki kejelasan karena sosialisasi
yang disampaikan belum menyeluruh sehingga masyarakat Indonesia pun masih kurang
mengetahui tentang segala macam tentang kebijakan e-KTP ini. Dapat disimpulkan bahwa
dalam segi variabel komunikasi kebijakan e-KTP ini masih kurang berjalan secara efektif.
b. Sumber-sumber
Sumber-sumber dalam sebuah kebijakan sangat penting karena tanpa adanya sumber-
sumber, kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan di atas kertas hanya akan jadi rencana
saja dan tidak pernah ada realisasinya. Sumber-sumber yang penting dapat meliputi staf yang
memadai disertai dengan keahliannya, informasi, wewenang, dan fasilitas-fasilitas yang
diperlukan untuk melaksanakan pelayanan-pelayanan publik.
Adapaun tugas, tanggung jawab serta wewenang dalam memenuhi sumber-sumber
kebijakan e-KTP di Indonesia:
a. Pemerintah Pusat :
Menyiapkan Pedoman dan Petunjuk Teknis.
Menyediakan anggaran utk Pemutakhiran Data Kependudukan secara massal
pada tahun 2010, Penerbitan NIK tahun 2010 dan 2011, Penerapan e-KTP
tahun 2011 dan 2012.
Menyiapkan Perangkat Keras, Perangkat Lunak, Sistem, Sewa Jaringan,
Blangko e-KTP untuk pertama kali.
Melakukan Sosialisasi, Bintek, dan Damtek
b. Pemerintah Provinsi :
Melakukan Sosialisasi.
Mengkoordinasikan, memberikan Bimbingan, Supervisi dan Konsultasi
kepada Kabupaten/Kota di Provinsi masing-masing.
Monitoring dan Evaluasi, serta melaporkannya kepada Pemerintah Pusat.
Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kota Tanjungpinang
http://disduktpi.com
c. Pemerintah Kabupaten/Kota :
Melakukan Sosialisasi kepada aparat dan masyarakat.
Mengkoordinasikan Penyelenggaraan semua kegiatan Administrasi
Kependudukan di Kabupaten/Kota masing-masing.
Menyelenggarakan/ Melaksanakan Pemutakhiran Data Kependudukan,
Penerbitan NIK dan Penerapan e-KTP, dengan melibatkan Kecamatan, Desa/
Kelurahan, RT/RW.
Monitoring dan Evaluasi, serta melaporkannya kepada Pemerintah Provinsi
dan Pusat. Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kota Tanjungpinang
http://disduktpi.com
Dilihat dari sisi kewenangan, kebijakan e-KTP ini sudah diatur pembagian tugasnya
sesuai dengan lingkupnya, perencanaan sudah ditetapkan dengan baik. Sedangkan jika dilihat
dari fasilitas-fasilitas yang diperlukan dalam kebijakan publik ini masih kurang, walaupun
sebagian sudah telaksana dengan baik. Karena fasilitas yang diberikan oleh pemerintah pun
terbatas, sehingga masih banyak daerah yang belum dapat melaksanakan penerapan
kebijakan e-KTP ini.
c. Kecenderungan-kecenderungan
Kecenderungan dari pelaksana kebijakan merupakan faktor ketiga yang mempunyai
konsekuensi-konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif. Karena
kecenderungan ini dijadikan sebagai faktor pendukung yang mempengaruhi jalannya sebuah
kebijakan. Kecenderungan ini misalnya dapat dijadikan kendala dalam perbedaan
pemahaman serta pendapat tentang dilaksanakannya kebijakan e-KTP ini. Beberapa pihak
tidak setuju dengan dilaksanakannya kebijakan e-KTP, sebagian mereka beralasan bahwa
kebijakan ini akan membutuhkan dana yang besar karena alat yang digunakan dalam
keberlangsungan pembuatan kebijakan e-KTP ini cukup mahal, selain itu sebelumnya mereka
berfikir akan dapat munculnya tindakan korupsi dari proyek ini. Tetapi pemerintah baik
dalam menjawab semua permasalah itu, tidak ada yang lebih penting dari menjaga bangsa
Indonesia ini dari ancaman sebuah tindakan kejahatan melalui pemalsuan identitas yang nanti
dapat membahayakan bangsa Indonesia itu sendiri dari Teroris dan sebagainya. Pemerintah
tentu mempunyai caranya sendiri dalam menangani permasalah-permasalahan yang ada yang
sudah difikirkan lebih mantang ketika kebijakan ini dibuat.
d. Stuktur Birokrasi
Struktur Organisasi-organisasi yang melaksanakan kebijakan mempunyai pengaruh
penting pada implementasi. Salah satu dari aspek-aspek struktural paling dasar dari suatu
organisasi adalah prosedur-prosedur kerja ukuran dasarnya (SOP). Oleh karena itu, dari
adanya stuktur yang berbeda dari setiap tugas, tanggung jawab serta wewenang yang telah di
paparkan diatas sangat menentukan jalannya kebijakan e-KTP ini secara efektif.
3.2 Tantangan Implementasi dalam Kebijakan e-KTP
BAB IV
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA