tanggungjawab kepala kantor wilayah badan pertanahan nasional ...
Transcript of tanggungjawab kepala kantor wilayah badan pertanahan nasional ...
79
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia kaya akan sumber daya alamnya, salah satunya adalah
tanah. Dalam hukum tanah, pengertian tanah telah diberi batasan sebagaimana
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1960, Nomor
104) yang selanjutnya disebut Undang-Undang Pokok Agraria. Menurut Pasal 4
ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria, “Atas dasar hak menguasai dari
negara....adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah,
yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang....”, berarti dalam hal
ini yang dimaksud dengan tanah adalah permukaan bumi. Tanah merupakan
sumber daya alam yang dikuasai oleh negara, yang perlu dijaga kelestariannya
dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik bagi generasi
sekarang maupun bagi generasi yang akan datang. Tanah yang disebut dengan
permukaan bumi ini dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh orang-orang yaitu
dengan pemberian hak-hak yang telah diatur dalam Undang-Undang yang disebut
dengan hak atas tanah. Hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu
permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan
lebar.1 Jadi dengan demikian bahwa, hak-hak atas tanah yang diberikan kepada
orang-orang harus sesuai dengan aturan yang berlaku, mengingat tanah
1 Boedi Harsono; 2008, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-UndangPokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan:Jakarta, hal. 18
1
2
merupakan kekayaan alam yang harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Hak menguasai negara, merupakan hak yang dimiliki oleh negara untuk
menguasai tanah. Hak menguasai Negara atas tanah bersumber pada Hak Bangsa
Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan tugas
kewenangan bangsa yang mengandung unsur hukum Publik.2 Tugas mengelola
seluruh tanah bersama tidak mungkin dilakukan oleh seluruh Bangsa Indonesia,
maka dalam penyelenggaraannya, bangsa Indonesia sebagai pemegang hak, pada
tingkatan tertinggi dikuasakan kepada Negara Republik Indonesia sebagai
organisasi seluruh rakyat. Dengan demikian, cabang produksi yang penting bagi
negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara dalam
artian diatur dan diselenggarakan oleh pihak-pihak yang diberi wewenang oleh
negara dan bertindak untuk dan atas nama negara berdasarkan peraturan
Perundang-Undangan yang berlaku, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
yang menentukan “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Sebagai
tindak lanjut ketentuan Pasal tersebut Negara memberikan kewenangan kepada
penyelenggara pemerintahan dalam bidang pertanahan, dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Pokok-pokok Agraria. Hak menguasai negara
atas tanah mencerminkan bahwa negara memiliki kewenangan untuk mengatur
dan menyelenggarakan peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan
2 W. Riawan Tjandra, 2008, Hukum Administrasi Negara, Universitas Atma JayaYogyakarta: Yogyakarta, hal. 107.
3
atas tanah serta mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah.
Terkait dengan adanya hak menguasai negara tersebut terdapat bermacam-macam
hak atas tanah yang diberikan dan dipunyai oleh orang baik secara sendiri-sendiri
maupun bersama-sama dan badan hukum. Oleh karena itu untuk menjamin adanya
kepastian hukum terhadap hak atas tanah tersebut, maka diterbitkan Sertipikat
Hak Atas Tanah.
Sertipikat hak atas tanah pada umumnya merupakan tanda bukti
kepemilikan hak atas tanah sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 1
angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
menentukan “Sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan,
tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan masing-
masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan”. Dengan melihat
pengertian sertipikat tersebut, maka dapat diketahui bahwa Sertipikat hak atas
tanah akan memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah tersebut
yang berkenaan jenis hak atas tanah, subyek hak dan obyek hak. Terdapat
berbagai jenis hak atas tanah, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang
Pokok Agraria, salah satunya yaitu hak milik. Dengan demikian sertipikat hak
milik atas tanah merupakan surat tanda bukti hak atas tanah yang berlaku sebagai
alat pembuktian yang kuat. Namun walaupun sertipikat hak milik atas tanah
merupakan tanda bukti hak atas tanah, namun hal tersebut belum dapat
memberikan kepastian hukum bagi pemegang haknya. Oleh karena itu bagi pihak
4
yang merasa memiliki tanah yang telah diterbitkan sertipikat hak milik atas tanah
dapat mengugugat di pengadilan.
Gugatan terhadap terbitnya Sertipikat hak milik atas tanah, selain
disebabkan karena sertipikat merupakan alat bukti kepemilikan hak atas tanah,
sertipikat juga merupakan salah satu Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat
penetapan (beschiking). Oleh karena itu maka sertipikat hak atas tanah juga
merupakan suatu keputusan pemerintahan yang bersifat konkret dan individual,
yang merupakan pengakuan hak atas tanah bagi pemegang hak tersebut.
Selain itu gugatan atas terbitnya sertipikat hak milik atas tanah disebabkan
karena sistem pendaftaran tanah yang dianut di Indonesia, adalah sistem publikasi
negatif. Sistem publikasi negatif dapat diartikan bahwa kebenaran data fisik dan
data yuridis yang tercantum didalam sertipikat harus diterima sepanjang tidak ada
alat bukti lain yang membuktikan sebaliknya, dengan kata lain bahwa Sertipikat
bukan merupakan alat bukti yang bersifat mutlak. Pendaftaran tanah dalam sistem
publikasi negatif, negara tidak menjamin kepastian dan kebenaran data yang
disajikan dalam sertipikat, hal inilah yang menimbulkan peluang bagi pihak lain
yang keberatan atas terbitnya sertipikat hak atas yaitu sertipikat hak milik atas
tanah suatu bidang tanah tertentu menggugat pihak yang namanya tercantum
dalam sertipikat tersebut, atau menggugat pejabat yang berwenang menerbitkan
atau mengeluarkan Sertipikat hak milik atas tanah tersebut. Oleh karena itu
apabila suatu Sertipikat Hak Milik atas tanah terdapat adanya cacat hukum
administrasi atau terdapat putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap/ inkracht, maka permasalahan hak milik atas tanah dapat diselesaikan
5
oleh pemerintah (dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional) dengan melakukan
pengkajian dan penanganan kasus pertanahan tersebut.
Pengkajian dan penanganan kasus pertanahan adalah bertujuan untuk
memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang bersengketa, sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Naisonal
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan
Penanganan Kasus Pertanahan, yang menetapkan “Pengelolaan Pengkajian dan
Penanganan Kasus Pertanahan bertujuan untuk memberikan kepastian hukum
akan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah di Indonesia”.
Dalam hal penyelesaian kasus pertanahan terhadap putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap maupun adanya suatu cacat yuridis
dalam penerbitan suatu Sertipkat Hak Milik Atas Tanah, maka terhadap sertipikat
hak milik atas tanah tersebut dapat dilakukan suatu tindakan hukum pemerintah
dalam hal ini pejabat yang berwenang untuk melakukan pembatalan.
Kewenangan untuk melakukan pembatalan terhadap sertipikat hak atas
tanah termasuk juga pembatalan sertipikat hak milik atas tanah adalah berada pada
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, sebagaimana yang diatur
dalam ketentuan Pasal 73 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011, yang menetapkan “Pemutusan
hubungan hukum atau pembatalan hak atas tanah atau pembatalan data
pemeliharaan data pendaftaran tanah dilaksanakan oleh Kepala BPN RI”. Selain
itu dalam ketentuan Pasal 58 ayat (1) menetapkan “ Kepala BPN RI menerbitkan
keputusan, peralihan dan/atau pembatalan hak atas tanah untuk melaksanakan
6
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Dengan
kewenangan yang dimiliki oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia untuk menerbitkan Keputusan Pembatalan Hak atas tanah termasuk
juga pembatalan sertipikat hak milik atas tanah, maka akan menimbulkan
tanggungjawab terhadap penerbitan Keputusan tersebut. Selanjutnya kewenangan
untuk menerbitkan Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah dapat dilimpahkan
kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 58 ayat (2) yang menetapkan “Penerbitan keputusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan kepada Deputi atau
Kakanwil”. Selanjutnya pelimpahan kewenangan dalam pembatalan hak atas
tanah dapat dilihat dalam Pasal 74 menetapkan:
Kakanwil mempunyai kewenangan untuk membatalkan: a. KeputusanPemberian Hak atas tanah yang dikeluarkan oleh Kakan yang terdapatcacat hukum administrasi dalam penerbitannya; b. Keputusan pemberianhak atas tanah yang kewenangan pemberiannya dilimpahkan kepadaKakan dan Kanwil untuk melaksnaakan putusan pengadilan yang telahmemperoleh kekuatan hukum tetap; c. Hak milik atas satuan Rumah Susununtuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatanhukum tetap; dan d. pendaftaran hak atas tanah asal penegasan/pengakuanhak yang terdapat cacat hukum administrasi dalam penerbitannya dan/atauuntuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatanhukum tetap.Namun dalam ketentuan Pasal 75 Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011, menetapkan “Kakanwil
dalam menerbitkan keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74
atas nama Kepala BPN RI”. Dari ketentuan Pasal 58 ayat (2) tersebut bermakna
bahwa adanya pelimpahan kewenangan secara delegasi dari Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia kepada Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional dalam hal penerbitan Keputusan Pembatalan, tetapi apabila
7
dilihat dalam ketentuan Pasal 75 terlihat bahwa Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia melimpahkan kewenangan kepada Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional dalam bentuk mandat, karena Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional bertindak atas nama Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Berarti dalam hal ini telah terjadi
inkonsistensi rumusan norma dalam Peraturan Nomor 3 Tahun 2011, sehingga
terlihat adanya ketidakharmonisan dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tersebut, terutama dalam hal
tanggungjawab apabila terjadi gugatan terhadap diterbitkannya Keputusan
Pembatalan sertipikat hak milik atas tanah. Ketidakharmonisan suatu norma
menyebabkan terjadinya konflik norma. Konflik norma secara luas dapat dilihat
dari pendapat Lars Lindahl yang menyatakan: “in a wide, norms are in conflict
when they do not “get on well” together”.3 (secara luas, norma disebut sebagai
konflik ketika mereka tidak dapat “harmonis” bersama-sama).
Inkonsistensi rumusan norma tersebut dapat dilihat dalam penerbitan
Keputusan Pembatalan Sertipikat yang salah satunya diterbitkan oleh Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali. Salah satu Keputusan
Pembatalan Sertipikat hak Milik Atas Tanah yang diterbitkan oleh Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali atas nama Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia adalah Keputusan Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali Nomor:
3607/Pbt/BPN.51/2011 tentang pembatalan Sertipikat Hak Milik Nomor 131
3 Lars Lidahl, 1992, Conflicts In System Of Legal Norms A Logical Point Of View. DalamOnder redaction van, et, al, editor. Conhrence and conflict in law, Kluwer law and TaxationPublisher Deventer, Boston, h. 39
8
sebagian, 132, 133, 134, 135, dan 136/Tajun beserta perlaihan haknya yatu
Sertipikat Hak Milik Nomor 40, 81 dan 82/Mengening yang terletak di Desa
Mengening, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali
sebagai pelaksanaan Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.4 Namun ketika terjadi gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar
oleh pihak yang merasa dirugikan akibat diterbitkan Keputusan Pembatalan
tersebut, yang digugat adalah Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Provinsi Bali yang, sebagaimana dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Denpasar Nomor 06/G/2012/PTUN.Dps, tanggal 11 Juli 2012.5
Berdasarkan hal tersebut, dengan adanya ketidakharmonisan rumusan
Pasal dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
antara Pasal 58 ayat (2) dengan Pasal 75 yang disertai dengan fakta hukum (legal
fact) yang ada, maka penulis bermaksud menghasilkan suatu kesimpulan hukum
yang dimaksud untuk menyelesaikan permasalahan hukum tersebut. Dengan
demikian, maka dalam penulisan karya tulis ini, penulis akan melakukan kajian
terhadap “Tanggungjawab Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Terkait Kewenangan Menerbitkan Keputusan Pembatalan sertipikat hak milik atas
tanah”.
4 Bidang Pengakjian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan Kantor WilayahBadan Pertanahan Nasional Provinsi Bali.
5 ibid
9
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, oleh karena adanya
konflik norma didalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 2011 yaitu antara Pasal 58 ayat (2) dan Pasal 73 ayat (2) dengan Pasal 75,
maka dapat dirumuskan masalahnya yaitu:
1.2.1 Kewenangan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dalam
menerbitkan Keputusan tentang Pembatalan sertipikat hak milik atas
tanah.
1.2.2 Tanggungjawab Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
terkait Kewenangannya menerbitkan Keputusan tentang Pembatalan
sertipikat hak milik atas tanah.
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Dalam Penulisan tesis ini, ruang lingkup masalah merupakan salah satu faktor
yang penting, dimana ruang lingkup masalah menggambarkan cakupan luasnya
penelitian tesis ini. Sehingga adapaun ruang lingkup masalah yang dibahas dalam
pokok permasalahan ini, dibatasi pada kewenangan Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional dalam menerbitkan Keputusan Pembatalan Sertipikat
Hak Milik Atas Tanah dan Tanggungjawab Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional yang ditimbulkan akibat penggunaan kewenangan
menerbitkan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah.
10
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari disusunnya penelitian yaitu dalam rangka
implementasi dan aplikasi Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang dalam hal ini
mengkhususkan di bidang penelitian ilmu pengetahuan yang menekankan antara
bidang ilmu hukum administrasi negara dan ilmu hukum Agraria. Dengan adanya
penelitian ini, diharapkan nantinya menghasilkan sebuah pemahaman yang lebih
mendalam perihal Tanggungjawab Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional terhadap penerbitan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas
Tanah.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengkaji secara yuridis kewenangan Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional dalam menerbitkan Keputusan tentang Pembatalan
Sertipikat Hak Milik Atas Tanah.
2. Untuk menemukan dan mengkaji secara yuridis tanggungjawab Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional terhadap terbitnya Keputusan
Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini ada 2 (dua) yaitu:
1.5.1 Manfaat Teoritis
a. Memberikan kontribusi ilmiah dalam pengembangan ilmu hukum
khususnya pengembangan ilmu hukum Perundang-Undangan dan peraturan
kebijakan bidang Perundang-Undangan dan peraturan kebijakan Agraria.
11
b. Memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan, memperdalam wawasan
serta dapat menjadi bahan perbandingan untuk penelitian sejenis.
1.5.2 Manfaat Praktis
a. Bagi Pemerintah dapat digunakan sebagai bahan kajian dalam merumuskan
peraturan hukum yang berkaitan dengan masalah pengkajian dan
penanganan pertanahan.
b. Bagi kalangan akademik, memberikan dorongan untuk dilaksanakannya
penelitian sejenis oleh peneliti lainnya dimasa mendatang sehingga dari
penelitian ini akan melahirkan inspirasi baru bagi kalangan akademisi untuk
melakukan pengkajian kritis terhadap kewenangan dan tanggungjawab
terhadap penerbitan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas
Tanah dalam rangka penyelesaian kasus-kasus pertanahan.
1.6. Orisinalitas Penelitian
Penelitian tentang Tanggungjawab Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional terkait Kewenangannya Menerbitkan Keputusan Pembatalan
Sertipikat Hak Milik Atas Tanah adalah secara umum membahas mengenai
bidang pertanahan. Dalam penelitian ini, penulis telah memperbandingkan dengan
beberapa penelitian yang juga membahas mengenai bidang pertanahan yang
khusunya mengkaji tentang pembatalan hak atas tanah. Adapun karya tulis yang
mirip dengan penelitian ini antara lain:
12
1. Penelitian tesis dari Sriyanti Achmad6, Program Studi Magister Kenotariatan,
Program Pasca Sarjana Universitas Diponogoro, judul tesis “Pembatalan dan
Peneribitan Sertipikat Hak Atas Tanah Pengganti (Studi Kasus Pembatalan
Sertipikat Putusan MA No. 987 K/ PDT/ 2004)”. Penelitian Sriyanti Achmad
mengkaji tentang kepastian hukum sertipikat hak atas tanah pengganti atas
pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang
kemudian di batalkan oleh putusan pengadilan tata usaha negara dan
perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap pihak yang tercatat dalam
sertipikat hak atas tanah pengganti tersebut. Sementara itu Penulis ini
mengkaji tentang tanggungjawab Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional karena diterbitkannya Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik
Atas tanah.
2. Penelitian tesis dari Dewi Purnama Julianti7, Program Magister Kenotariatan,
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, judul tesis “Analisis
Yuridis Pembatalan Hak Atas Tanah di Kantor Pertanahan Kota Medan”.
Penelitian Dwi Purnama Julianti mengkaji tentang analisis yuridis terhadap
penerbitan Keputusan pemberian hak atas tanah yang serta merta
membatalkan hak atas tanah berdasarkan putusan pengadilan, yang pada
tatanan empirik Badan Pertanahan Nasional sangat jarang mengeluarkan
Keputusan pembatalan hak atas tanah, walaupun putusan pengadilan
6 Sriyanti Achmad, 2008, “Pembatalan dan Peneribitan Sertipikat Hak Atas TanahPengganti (Studi Kasus Pembatalan Sertipikat Putusan MA No. 987 K/ PDT/ 2004)”, ProgramPascasarjana Universitas Diponogoro, Semarang,http://eprints.undip.ac.id/18339/1/SRIYANTI_ACHMAD.pdf, diakses 6 Agustus 2012.
7 Dwi Purnama Julianti, 2009, “Analisis Yuridis Pembatalan Hak Atas Tanah di KantorPertanahan Kota Medan”, Sekolah Pascasarjana Univeistas Sumatera Utara, Medan,http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/5464/1/09E01888.pdf, 8 Agustus 2012.
13
mengenai pembatalan sertipikat relatif banyak. Sementara itu penulis ini
mengkaji dari tatanan normatif tentang pengaturan Pelimpahan Kewenangan
Penerbitan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah kepada
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, yang selanjutnya dari
kewenangan tersebut menimbulkan tanggungjawab bagi Kepala Kantor
Wilayah sebagai Pejabat yang mengeluarkan Keputusan tersebut.
3. Penelitian Tesis dari Titut Rosawati8, Program Magister Kenotariatan
Universitas Indonesia, judul tesis “Analisis Pembatalan Sertipikat Hak Milik
Atas Tanah Oleh Badan Pertanahan Nasional sebagai Pelaksanaan Eksekusi
Putusan Pengadilan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI Nomor
2096.K/Pdt/1987 tanggal 28 Desember 1987 dan Keputusan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 4-X.C-2005 tanggal 14 Juli 2005)”. Penelitian
Titut Rosawati mengkaji tentang sengketa tanah antara Jaminan dengan
Kasmir dan Jamud yang berakibat pada pembatalan Sertipikat Hak Milik
Nomor 444/Kramas atas nama Indra Soewignya dan Sertipikat Hak Milik
Nomor 445/Kramas atas nama Nuning Lestari. Penelitian menekankan pada
perlindungan hukum bagi Indra Soewignya dan Nuning Lestari selaku
pemegang sertipikat hak atas tanah yang diperolehnya dengan itikad baik.
Sementara itu penulis ini mengkaji tentang tanggungjawab diterbitkannya
8 Titut Rosawati, 2010, “Analisis Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Oleh BadanPertanahan Nasional sebagai Pelaksanaan Eksekusi Putusan Pengadilan (Studi Kasus PutusanMahkamah Agung RI Nomor 2096.K/Pdt/1987 tanggal 28 Desember 1987 dan Keputusan KepalaBadan Pertanahan Nasional Nomor 4-X.C-2005 tanggal 14 Juli 2005)”, Program KenotariatanUniversitas Indonesia, Depok, http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131073-T%2027401-Analisis%20pembatalan-HA.pdf, 9 Agustus 2012.
14
Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah oleh Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional.
4. Penelitian Tesis dari Triastuti, Yulia Darini9, Program Magister Kenotariatan
Universitas Gajah Mada, judul tesis “Analisis Yuridis Pembatalan Keputusan
pemberian hak atas tanah dan/ atau sertipikat hak atas tanah berdasarkan
Putusan Pengadilan (Studi kasus di Pengadilan Tata Usaha Negara
Yogyakarta dan Pengadilan Negeri Sleman)”. Penelitan Triastuti mengkaji
tentang dasar hukum yang digunakan sebagai landasan pembatalan
Keputusan pemberian hak atas tanah dan/atau sertifikat hak atas tanah, akibat
hukum pembatalan sertifikat hak atas tanah, proses pembatalan sertifikat hak
atas tanah dan perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah.
Sementara itu penulis ini mengkaji pada tatanan normatif yang menekankan
pada diterbitkannya Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah
oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional yang menimbulkan
tanggungjawab dari diterbitkannya Keputusan tersebut.
Walaupun ke-4 penelitian diatas merupakan ranah penelitian dalam bidang
pertanahan khususnya tentang pembatalan sertipikat atas tanah, namunnya
kajiannya tidak sama dengan penelitian dalam tulisan yang berjudul
“Tanggungjawab Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Terkait
Kewenangannya Menerbitkan Keputusan Pembatalan sertipikat Hak Milik atas
9Yulia Darini Triastusi, “Analisis Yuridis Pembatalan Keputusan pemberian hak atas tanahdan/ atau sertipikat hak atas tanah berdasarkan Putusan Pengadilan ( Studi kasus di PengadilanTata Usaha Negara Yogyakarta dan Pengadilan Negeri Sleman)”, Program Magister KenotariatanUniversitas Gajah Mada Program Magister Kenotariatan Universitas Gajah Mada ,Yogyakarta,http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=38810&obyek_id=4, diakses 9 Agustus 2012.
15
Tanah”, karena dalam kajian ini menekankan pada tanggungjawab Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional terhadap diterbitkannya Keputusan
Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah. Hal ini membuktikan bahwa tulisan
dalam penelitian ini tidak merupakan plagiasi terhadap tulisan penelitian-
penelitian terdahulu.
1.7 Landasan Teoritis
Dalam rangka penelitian Tanggungjawab Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional terhadap Penerbitan Keputusan Hak Atas Tanah
diperlukan teori, asas, dan konsep yang dapat digunakan sebagai landasan teoritis
dalam membahas permasalahan yang telah dirumuskan, adapun teori, asas dan
konsep yang digunakan:
1. Konsep Negara Hukum
2. Teori Kewenangan
3. Asas Kepastian Hukum.
4. Konsep Keputusan Tata Usaha Negara
5. Konsep Pertanggungjawaban Pemerintah
1.7.1 Konsep Negara Hukum
Konsep tentang negara hukum sudah dicetuskan sejak abad ke17 dan 18
untuk menentang kekuasaan yang tidak terbatas dari penguasa. Para pemikir
mencoba menjawab persoalan yang berkaitan dengan hakekat, asal dan tujuan
negara. Khususnya adalah berkaitan dengan dari mana negara mendapat
16
kekuasaan, karena itulah muncul 2 teori besar tentang negara dan hukum yaitu
Teori Kedaulatan ( Souverenete) dan Teori Asal Mula Negara, yang menghasilkan
2 pola negara yaitu negara kekuasaan (machstaats) dan negara hukum
(rechstaat)10. Perkembangan konsep negara hukum modern terjadi sekitar abad
ke-20, dimana telah terjadi pergeseran kedudukan negara sebagai penjaga
keamanan dan ketertiban menjadi negara yang mengutamakan dan
mneyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya. Menurut Pendapat Bagir Manan
sebagaimana dikutip oleh Irfan Fachruddin menyatakan, “bahwa konsepsi negara
hukum modern merupakan perpaduan antara konsep negara hukum dan negara
kesejahteraan”. 11 Jadi dalam konsep negara hukum ini, negara tidak semata-mata
hanya sebagai penjaga keamanan dan ketertiban, tetapi memiliki tanggungjawab
dalam mewujudkan dan menyelenggarakan keadilan sosial dan kesejahteraan
masyarakatnya.
Konsep negara hukum modern dikenal dengan istilah “Rechtstaat”.
Penggunaan istilah negara hukum selain rechtstaat juga dikenal dengan The Rule
Of Law di Inggris dan Government of law,but not of man12. Konsep Negara
Hukum di Eropah Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant,
Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah
Jerman, yaitu “rechtsstaat”. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep
Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The
10 A. Mukthie Fadjar, 2004, Type Negara Hukum, Bayu Media Publihsing, Malang h. 11,11Lihat Pendapat Bagir Manan dalam Irfan Fachruddin, 2004, Pengawasan Peradilan
Administrasi Terhadap Tidakan Pemerintah, Edisi Pertama, cetakan ke-1, PT. Alumni, Bandung,h. 115.
12 Ni Matul Huda,2006, Hukum Tata Negara Indonesia, Raja Grafindo Persada,Jakarta,h.73.
17
Rule of Law”. Konsep negara hukum yang disebut dengan “The Rule of Law”,
dapat dilihat dari pendapat Hilaire Barnett menyatakan bahwa “The essence of the
rule of law is that of the soverignity or supremacy of law over man”13 (esensi dari
The Rule of Law adalah kedaulatan atau supremasi hukum atas manusia)
Menurut ahli hukum jerman, Friedrich Julius Stahl (1802-1861)
menyatakan bahwa prinsip negara hukum yang harus dipenuhi, yaitu: (1) Adanya
pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia; (2) Adanya pemisahan kekuasaan; (3)
Pemerintah dijalankan berdasarkan kepada Undang-Undang (hukum tertulis); (4)
Adanya pengadilan administrasi.14
Unsur-unsur Rule Of Law, seperti yang dikemukakan oleh A.V. Dicey
dalam Introduction to the Law of the Costitution mencakup:
a. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law); tidak adanyakekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam artibahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum.
b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before thelaw). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat.
c. Terjaminya hak-hak asasi manusia oleh Undang-Undang (di negeralain oleh Undang-Undang dasar) serta keputusan-keputusanpengadilan.15
Menurut Pendapat Prof. Sudargo Gautama, SH sebagaimana yang
dikutip oleh Abdul Azis Hakim, mengemukakan tiga ciri-ciri atau unsur-unsur
dari Negara Hukum, yakni:
a) Terdapat pembatasan kekuatan negara terhadap perorangan,maksudnya negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang, tindakan
13 Hilaire Barnett, 2011, Constitutional & Administrative Law, Eight Edition, Routledge,London and New York, h. 52
14 Munir Fuady, 2009, Teori Negara hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama:Bandung, h. 27.
15 Miriam Budiardjo, 2007, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama,Jakarta, h. 58.
18
negara dibatasi oleh hukum, individu mempunyai hak terhadap negaraatau rakyat mempunyai hak terhadap penguasa.
b) Asas LegalitasSetiap tindakan negara harus berdasarkan hukum yang telah diadakanterlebih dahulu yang harus ditaati juga oleh pemerintah atauaparaturnya.
c) Pemisahan kekuasan.16
Sehubungan dengan konsep negara hukum, Indonesia adalah negara yang
menganut prinsip negara hukum, hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 ayat
(3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menentukan “ Negara Indonesia adalah
Negara Hukum. Konsep Negara Hukum di Indonesia, menurut Muhammad
Yamin, menyatakan: “Indonesia ialah negara hukum (rechstaat, government of
law) tempat keadilan tertulis berlaku, bukanlah negara polisi atau negara militer,
tempat polisi dan prajurit memegang pemerintahan dan keadilan, bukanlah pula
negara kekuasaan (machstaat) tempat tenaga senjata dan kekuatan badan
melakukan sewenang-wenang”.17
Berdasarkan uraian konsep negara hukum tersebut, maka dapat
diketahui bahwa pada dasarnya dalam konsep negara hukum berkaitan dengan
asas legalitas (kepastian hukum). Asas legalitas merupakan salah satu unsur
negara hukum yang utama, karena suatu negara bukan diperintah oleh orang tetapi
diperintah oleh hukum. Menurut Montesquieu, “Negara merupakan alat hukum”
(rechtsappraat), bukan menjadi alat kekuasaan/kekuatan (manchtspperest).18
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa asas legalitas merupakan kekuasaan
negara didasarkan pada hukum yang berlaku, dimana dengan asas legalitas ini
dapat memberikan suatu legitimasi bagi tindakan pemerintah dalam artian bahwa
16 Lihat Pendapat Sudarto Gautama dalam Abdul Aziz Hakim, 2011, Negara Hukum danDemokrasi di Indonesia, Cetakan I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 10
17 Irfan Fachruddin,Op. cit, h. 126.18 Mukthie Fadjar,Op. cit, h. 59.
19
tindakan hukum pemerintah harus didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh
suatu aturan hukum yang tertulis. Apabila dikaitkan dengan usulan penelitian ini,
maka organ pemerintah, dalam hal ini adalah Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional dalam membentuk dan menerbitkan Keputusan berupa
penerbitan Keputusan terhadap pembatalan sertipikat hak milik atas tanah
didasarkan pada Hukum yang berlaku. Sehingga dengan adanya kewenangan yang
didasarkan oleh hukum yang berlaku, maka akan disertai dengan tanggungjawab
yang ditimbulkan dari kewenangan dalam menerbitkan Keputusan tersebut.
1.7.2 Teori Kewenangan
Istilah kewenangan dan wewenang dalam Hukum Administrasi Negara
terdapat perbedaan pandangan dari beberapa literatur yang ada. Secara konseptual
istilah kewenangan sering disebut authority, gezag atau yuridiksi dan istilah
wewenang disebut dengan competence atau bevoegdheid.19 Menurut Juanda yang
menyatakan bahwa “kewenangan adalah kekuasaan formal yang berasal dari atau
diberikan oleh Undang-Undang misalnya kekuasaan legislatif, kekuasaan
eksekutif, kekuasaan yudikatif. Dengan demikian dalam kewenangan terdapat
kekuasaan dan dalam kewenangan lahirlah wewenang”.20 Sedangkan wewenang
(competence, bevoegdheid) hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu atau bidang
tertentu saja.21 Sedangkan menurut Pendapat Philipus M. Hadjon sebagaimana
dikutip oleh Lukman Hakim, memakai istilah wewenang yang dapat
19 SF. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi diIndonesia, Liberty, Yogyakarta,(selanjutnya SF. Marbun I), h. 153
20 Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah, Alumnni, Bandung, h. 265.21 SF. Marbun (I), Op. cit, h. 154
20
dipertukarkan dengan istilah kewenangan, kedua istilah itu sering disejajarkan
dengan istilah bevoegheid dalam bahasa belanda.22 Menurut Atmosudirdjo antara
kewenangan (authority, gezag) dan wewenang (competence, bevoegheid) perlu
dibedakan, walaupun dalam praktik pembedaanya tidak selalu dirasakan perlu.23
Kewenangan memiliki kedudukan yang penting dalam menjalankan roda
pemerintahan, dimana didalam kewenangan mengandung Hak dan Kewajiban
dalam suatu hubungan hukum publik. Menurut H.D Stout yang mengatakan
bahwa:
Bevoegdheid is een begrip uit het bestuurlijke organisatierecht, wat kanworden omschreven als het geheel van regels dat betrekking heeft op deverkrijging en uitoefening van bestuursrechtelijke bevoegdheden doorpubliekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuursrechtelijkerechtsverkeer.24 ( wewenang merupakan pengertian yang berasal dariorganisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai sebagaikeseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan danpenggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik didalamhubungan hukum publik ).Pemerintah dalam mengambil suatu tindakan, harus disadarkan pada
hukum yang berlaku, oleh karena itu agar suatu tindakan pemerintah dikatakan
sah, maka hukum memberikan suatu kewenangan kepada pemerintah untuk
bertindak maupun tidak. Menurut Philipus M. Hadjon, Kewenangan membuat
keputusan hanya dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu dengan atribusi atau
dengan delegasi.25 Senada dengan hal tersebut, menurut pendapat F.A.M Stroink
dan J.G Steenbeek yang dikutip oleh Sajidjono, mengatakan bahwa hanya ada dua
22 Lihat Pendapat Philipus M. Hadjon dalam Lukman Hakim, 2012, Filosofi KewenanganOrgan Lembaga Daerah, perspektif Teori Otonomi & Desentralisasi dalam PenyelenggaraanPemerintahan Negara Hukum dan Kesatuan, Setara Press, Malang, h. 74.
23 Prajudi Atmosudirjo,1994, Hukum Administrasi Negara, Cetakan Kesepuluh, GhaliaIndonesia, Jakarta, h.78
24Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,h.101.
25 Philipus M. Hadjon, et.al, 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Introductionto the Indonesian Administrative law, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 130.
21
cara organ pemerintahan memperoleh wewenang yakni atribusi berkenaan dengan
penyerahan suatu wewenang baru, sedangkan delegasi adalah menyangkut
pelimpahan wewenang yang telah ada, untuk wewenang mandat dikatakan tidak
terjadi perubahan wewenang apapun, yang ada hanyalah hubungan internal.26
Namun secara teoritis pemerintah memperoleh kewenangan dari tiga sumber
yaitu, atribusi, delegasi dan mandat.
Menurut H.D Van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan sebagai
berikut:
a. Atrtibutie: toekenning van een bestursbevoegheid door een wetgeveraan een bestursorgaan, (atribusi adalah pemberian wewenangpemerintah oleh pembuat Undang-Undang kepada organ pemerintah).
b. Delegatie:overdracht van een bevoegheid van het ene hetbestuursorgaan aan een ander, (delegasi adalah pelimpahanwewenang pemerintah kepada organ pemerintahan lainnya).
c. Mandaat: een bestuursorgaan ;aat zijn bevoegheid namens hemuitoefenen door een ander, (mandat terjadi ketika organ pemerintahanmengijinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lainnya).27
Kewenangan yang diperoleh secara atribusi menunjukkan pada
kewenangan asli yaitu bahwa adanya pemberian kewenangan oleh pembuat
Undang-Undang kepada suatu organ pemerintah. Suatu atribusi merupakan
wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada
suatu peraturan Perundang-Undangan. Delegasi dapat diartikan adanya
penyerahan/ pelimpahan wewenang oleh pejabat pemerintah (delegans) kepada
pihak lain yang menerima wewenang tersebut (delegatoris). Dan kewenangan
yang diperoleh secara mandat tidak terjadi pergeseran kompetensi antara pemberi
mandat dengan penerima mandat.
26 Lihat Pendapat Stroink dan Steenbeek dalam H.Sadjijono, 2011, Bab- Bab Pokok HukumAdministrasi, Cetakan II, Edisi II, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, selanjutnya disebut Sadjijono(I), h. 65.
27 Ridwan HR, Op.cit, h.104-105.
22
Dalam kajian hukum Administrasi Negara, sumber wewenang bagi
pemerintah dalam menyelenggarakan suatu pemerintahan sangatlah penting. Hal
ini disebabkan karena dalam penggunaan wewenang tersebut selalu berkaitan
dengan pertanggungjawaban hukum. Dalam pemberian kewenangan kepada setiap
organ atau pejabat pemerintahan tertentu tidak terlepas dari pertanggungjawaban
yang ditimbulkan. Dalam hal atribusi, penerima wewenang dapat menciptakan
wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada dengan
tanggungjawab intern ekstern pelaksaanaan wewenang yang diatribusikan
sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris).28
Dalam wewenang delegasi sifat wewenanganya adalah penyerahan atau
pelimpahan wewenang yang bersumber dari wewenang atribusi. Akibat hukum
ketika wewenang dijalankan menjadi tanggungjawab penerima delegasi
(delegataris). 29
Mandat merupakan bentuk pelimpahan kekuasaan, tetapi tidak sama
dengan delegasi, karena mandataris (penerima mandat) dalam melaksanakan
kekuasaannya tidak bertindak atas namanya sendiri, tetapi atas nama sipemberi
kuasa, karenanya yang bertanggungjawab adalah si pemberi kuasa.30
Badan Pertanahan Nasional (BPN) merupakan Lembaga Pemerintahan
Non Departemen yang berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Presiden,
dan dipimpin oleh seorang Kepala, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan
Pasal 1 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan
Nasional. Selanjutnya dalam Pasal 2 menetapkan bahwa “Badan Pertanahan
28 Ridwan HR,Op.cit, h.108.29 H.Sadjijono (I) , Op. cit, h. 66.30 Jum Anggriani, 2012, “ Hukum Adminsitrasi Negara”, Graha Ilmu, Yogyakarta, h. 92.
23
Nasional mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan dibidang
pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral. Berdasarkan ketentuan Pasal
tersebut, maka hal-hal yang berkaitan dengan pertanahan merupakan kewenangan
yang dimiliki oleh Badan Pertanahan Nasional, yang kewenangannya diperoleh
dari adanya pendelegasian wewenang. Begitu juga berkaitan dengan produk
hukum yang dihasilkan oleh Badan Pertanahan Nasional adalah dalam bentuk
regulasi, yaitu salah satu dalam bentuk Peraturan Kepala Badan. Fungsi regulasi
kekuasaan eksekutif dapat dilihat dari; (a) pendelegasian Undang-Undang; (b)
peraturan kebijaksanaan.31
Berdasarkan hal tersebut, Peraturan Kepala Badan merupakan salah satu
bentuk Peraturan Kebijakan, dimana dalam hal kewenangan untuk membuat
Peraturan Kebijakan berupa Peraturan Kepala Badan diperoleh berdasarkan
adanya delegasi wewenang. Dikeluarkanya Peraturan Kepala Badan Pertanahan
tentang pengkajian dan penangangan sengketa dan konflik pertanahan yang salah
satunya mengatur tentang pelaksanaan pembatalan hak atas tanah materi
muatannya berisi hal-hal yang berkenaan dengan tanggung jawab Badan
Pertanahan Nasional yang bersifat mengatur. Dengan dibentuknya peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 yang berkaitan dengan
Pembatalan Hak Atas Tanah menjadi dasar kewenangan Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional dalam menerbitkan Keputusan Pembatalan sertipikat
hak milik atas tanah yang disertai dengan tanggung jawab secara internal maupun
31 Yudhi Setiawan, 2009, Instrumen Hukum campuran (gemeenscapelijkrecht) dalamKonsolidasi Tanah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disebut Yudhi Setiawan I), h.25
24
secara eksternal dalam hal menerbitkan Keputusan Pembatalan sertipikat hak
milik atas tanah.
1.7.3. Asas Kepastian Hukum
Asas Kepastian Hukum merupakan salah satu perwujudan asas legalitas
dalam negara hukum. Menurut penjelasan atas Undang-Undang Nomor 28 Tahun
1999 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme, menyebutkan bahwa “ Asas Kepastian hukum merupakan
Asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan Perundang-
Undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggaraan
Negara”.
Menurut Pendapat Ateng Syarifudin sebagiamana yang dikutip oleh Murtir
Jeddawi, asas kepastian hukum ini mempunyai dua aspek, masing-masing bersifat
hukum material dan hukum formal.32 Aspek hukum Material sangat erat
hubunganya dengan asas kepercayaan, dimana asas kepastian hukum
menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu
keputusan badan atau pejabat.33 Sementara yang bersifat formal, diartikan bahwa
keputusan yang memberatkan dan ketentuan yang terkait pada keputusan-
keputusan yang menguntungkan, harus disusun dengan kata-kata yang jelas.34
Terkait dengan asas kepastian hukum apabila ditinjau dari aspek hukum formal,
yaitu memberikan konsekuensi bahwa ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan
32Lihat Pendapat Ateng Syarifudin dalam H. Murtir Jeddawi, 2012, Hukum AdministrasiNegara, Total Media, Yogyakarta, h. 139.
33S.F Marbun dan Moh. Mahfud MD, 2009, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara,cetakan Kelima, Liberty, Yogyakarta, h. 60.
34Ibid
25
dengan penerbitan keputusan oleh badan pemerintah harus dirumuskan secara
jelas.
Asas Kepastian Hukum dalam Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik
dapat dikatakan bahwa, dalam banyak keadaan, asas kepastian hukum
memberikan konsekuensi hukum yaitu badan pemerintah tidak dapat menarik
kembali atau mengubah suatu ketetapan, namun menurut Philipus M. Hadjon, dkk
terdapat pengecualiannya yang harus diingat yaitu:
1. Asas kepastian Hukum tidak menghalangi penarikan kembali atauperubahan suatu ketetapan, bila sesudah sekian waktu dipaksa olehperubahan keadaan atau pendapat;
2. Penarikan kembali atau perubahan juga mungkin, bila ketetapan yangmenguntungkan didasarkan pada kekeliruan, asal saja kekeliruan itudapat diketahui oleh yang berkepentingan;
3. Demikian pula penarikan kembali atau perubahan mungkin, bila yangberkepentigan dengan memberikan keterangan yang tidak benar atautidak lengkap, telah ikut menyebabkan terjadinya ketetapan yang keliru;
4. Penarikan kembali atau perubahan mungkin, bila syarat-syarat atauketentuan-ketentuan yang dikaitkan pada suatu ketetapan yangmenguntungkan, tidak diaati. Dalam hal ini dikatakan ada penarikankembali sebagai sanksi.35
Dengan melihat pengecualian tersebut salah satunya adalah asas kepastian
hukum tidak menghalangi penarikan kembali atau perubahan suatu ketetapan, bila
sesudah sekian waktu dipaksa perubahan oleh keadaan atau pendapat dapat
dikaitkan dengan adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap terkait dengan tidak sahnya suatu keputusan menyebabkan dapat
dicabutnya keputusan tersebut.
Dalam pelaksanaan hukum, untuk menciptakan suatu kepastian hukum
sangat berkaitan dengan perilaku manusia, dimana kepastian menurut Radbruch
adalah kepastian dari adanya peraturan itu sendiri atau kepastian peraturan
35 Philipus M. Hadjon, et.al, Op. cit, h. 273.
26
(sicherkeit des Rechts).36 Terciptanya suatu kepastian hukum dalam suatu
peraturan hukum apabila dikaitkan dengan asas pembentukan peraturan
Perundang-Undangan yang baik, maka asas kepastian hukum dapat dikaitkan
dengan asas kejelasan rumusan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 huruf f
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Menurut penjelasan Pasal 5 huruf f Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011, asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap Peraturan
Perundang-Undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan
Perundang-Undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum
yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya.
Jadi dalam hal ini kepastian hukum dapat diartikan bahwa suatu aturan
hukum harus dirumuskan dan dibentuk secara jelas, sehingga dapat memberikan
kepastian bagi pemerintah dalam mengambil suatu tindakan hukum. Begitu juga
dalam hal tindakan pemerintah berupa penerbitan Keputusan Pembatalan Hak
Atas Tanah didasarkan pada suatu Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
tentang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan, dimana
aturan hukum khususnya tentang pembatalan Hak Atas tanah termasuk juga
pembatalan sertipikat hak milik atas tanah harus dirumuskan secara jelas sehingga
tidak menimbulkan suatu kekeliruan dalam pemaknaannya atau tidak
bertentangan antara Pasal yang satu dengan yang lainnya, sehingga tindakan-
36Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan(Judicialprudence), termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence)”, Edisi Pertama,cetakan ke-2, Kencana Prenada Media Group,Jakarta, h. 297.
27
tindakan hukum yang diambil oleh Badan Pertanahan Nasional dapat memberikan
suatu kepastian hukum.
1.7.4 Konsep Keputusan Tata Usaha Negara
Keputusan Tata Usaha Negara merupakan suatu perbuatan hukum atau
tindakan hukum pemerintah, dimana perbuatan hukum tersebut merupakan
pembentukan hukum yang bersifat kongkret atau inkonkrito. Tindakan Hukum
TUN adalah perbuatan hukum badan atau Pejabat TUN yang bersumber pada
suatu ketentuan hukum TUN yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada
orang lain.37 Oleh karena Keputusan Tata Usaha Negara merupakan suatu
perbuatan hukum, maka pemerintah dalam menerbitkan Keputusan Tata Usaha
Negara harus didasarkan pada suatu wewenang. Didalam memaknai istilah
keputusan ini, Prins berpendapat bahwa (“Inleiding in het administratief recht van
indonesie”) “beschiking adalah de eenzidige rechtshandeling op bestuursgebied
door een overheidsorgaan verricht uit/kracht van zijbijzondere bevoegdheden”
(suatu tindak hukum sepihak dibidang pemerintahan, dilakukan oleh alat penguasa
berdasarkan kewenangan khusus)”.38
Menurut E. Utrecht dalam bukunya pengantar Hukum Administrasi
Negara Indonesia sebagaimana yang dikutip oleh Titik Triwulan dan Gunadi
mendifinisikan ketetapan sebagai: “Suatu perbuatan pemerintahan dalam arti luas
yang khusus bagi lapangan pemerintahan dalam arti sempit (de specifieke
37 Zairin Harahap, 1997, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Raja GrafindoPersada, Jakarta, h. 66.
38 Kuntjoro Purbopranoto, 1981, Beberapa catatan hukum tata pemerintahan dan peradilanadministrasi negara, Alumni, Bandung, h. 46.
28
bewindshandeling of hat terrein van het bestuur).39 Berarti dalam hal ini,
keputusan (beschikking) merupakan suatu tindakan pemerintah dalam lapangan
hukum publik dalam rangka untuk mengatur hubungan hukum.
Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jis.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Jis. Pasal 1 angka 9 Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata usaha Negara, menentukan bahwa:
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yangdikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakanhukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yangmenimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.Jadi dapat dikatan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara merupakan suatu
norma hukum “penetapan” tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat administrasi
yang berwenang yang bersifat individual, konkret dan final. Keputusan Tata
Usaha Negara yang bersifat individual artinya Keputusan Tata usaha Negara tidak
bersifat umum yaitu bahwa Keputusan Tata Usaha Negara ditujukan kepada
seseorang atau lebih atau badan hukum perdata tertentu. Keputusan Tata Usaha
Negara yang bersifat konkret artinya Keputusan Tata Usaha Negara tidak abstrak,
yaitu yang menjadi obyek Keputusan Tata Usaha Negara ini berwujud atau dapat
ditentukan. Dan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat final artinya
Keputusan Tata Usaha Negara sudah definitif yang dapat menimbulkan suatu
akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan dari instansi atasan
39 Lihat pendapat Utrecht dalam Titik Triwulan T dan Kombes Pol. Ismu Gunadi Widodo,2011, Hukum Tata Usaha Negara & Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia,Kencana Prenada Media Group,Jakarta, h. 317.
29
atau instansi lain belumlah bersifat final, karenanya belum dapat menimbulkan
suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan.40
Pembentukan Keputusan Tata Usaha Negara dalam proses penetapannya
tidak boleh mengandung cacat yuridis. Cacat yuridis yang dimaksud dalam hal ini
yaitu dalam penetapan Keputusan Tata Usaha Negara tidak boleh mengandung
salah kira (dwaling), paksaan (dwang) dan tipuan (bedrog). Berarti dalam hal ini
agar suatu keputusan tata usaha negara dapat menjadi KTUN yang sah maka harus
dipenuhi syarat-syarat yang sah. Menurut Pendapat Van der Pot sebagaiman yang
dikutip oleh Riawan Tjandra menyebutkan ada 4 (empat) syarat yang harus
dipenuhi agar-agar suatu Keputusan Tata Usaha Negara menjadi KTUN yang sah
yaitu:
1. KTUN harus dibuat oleh alat (organ) yang berwenang (bevoegd) untukmembuatnya.
2. Karena KTUN itu merupakan suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring),maka pembentukan kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan yuridis(geen jurisdische gebreken in de wilsvorming)
3. KTUN itu harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturanyang menjadi dasarnya dan pembuatannya harus juga memperhatikan cara(procedure) pembuatan KTUN itu, manakala cara itu ditetapkan dengantegas dalam peraturan dasar tersebut.
4. Isi dan tujuan KTUN harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasartersebut. 41
Keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara apabila ditinjau dari sudut
normatif, maka yang menjadi acuan keabsahannya didasarkan pada Pasal 53 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jis. Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004 Jis. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 yang harus ditafsirkan secara a
contrario yaitu (1) Keputusan Tata Usaha Negara sesuai dengan peraturan
40 A. Siti Soetami, 2005, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Refika Aditama,Bandung, h. 3
41 Lihat Pendapat Van Der Pot dalam W. Riawan Tjandra, Op. cit, h. 71
30
Perundang-Undangan yang berlaku dan (2) Keputusan Tata Usaha Negara sesuai
dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.42 Jadi dalam hal ini keabsahan
suatu Keputusan Tata Usaha Negara yaitu Keputusan tersebut dikeluarkan oleh
pejabat yang berwenang yang didasarkan pada Peraturan Perundang-Undangan
yang berlaku dan/atau asas-asas umum pemerintahn yang baik.
Suatu Keputusan yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara tidak
semuanya disebut sebagai Keputusan Tata Usaha Negara, sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jis. Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 Jis. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, yaitu:
Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurutUndang-Undang ini:(a) keputusan tata usaha negara yang merupakan perbuatan hukum
perdata;(b) keputusan tata usaha negara yang merupakan pengaturan yang bersifat
umum;(c) keputusan tata usaha negara yang masih memerlukan persetujuan;(d) keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan
kitab Undang-Undang hukum pidana atau kitab Undang-Undanghukum acara pidana atau peraturan Perundang-Undangan lain yangbersifat hukum pidana;
(e) keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan atas dasar hasilpemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturanPerundang-Undangan yang berlaku;
(f) keputusan tata usaha negara mengenai tata usaha Tentara NasionalIndonesia;
(g) keputusan Komisi pemilihan Umum, baik pusat maupun di daerahmengenai hasil pemilihan umum.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka tidak semua Keputusan yang
dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara disebut dengan Keputusan Tata
Usaha Negara. Begitu juga dalam penerbitan Keputusan Pembatalan sertipikat hak
milik atas tanah oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional.
42Ibid, h. 72
31
Keputusan Pembatalan sertipikat hak milik atas tanah didasari oleh adanya cacat
administrasi dan karena Putusan Pengadilan yang telah memperoleh Kekuatan
Hukum Tetap. Keputusan Pembatalan Hak Milik Atas Tanah yang diterbitkan
karena cacat hukum administrasi dapat dikatakan sebagai Keputusan Tata Usaha
Negara, sedangkan Keputusan Pembatalan Hak Milik Atas Tanah diterbitkan
karena Putusan Pengadilan Yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak
dapat dikatakan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara. Namun demikian,
Keputusan Kepala Kantor Wilayah tentang Pembatalan sertipikat hak milik atas
tanah baik karena cacat administrasi dan karena Putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, apabila terdapat keberatan dari pihak yang
dirugikan dapat menggugat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Tersebut melalui
lembaga peradilan. Digugatnya Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional tentang pembatalan sertipikat hak milik atas tanah tersebut
akan disertai dengan tanggungjawab akibat dari digugatnya Keputusan tersebut.
1.7.5 Konsep Pertanggungjawaban Pemerintah
Hukum merupakan pedoman bagi penyelenggara negara dan warga negara
dan warga negara bertindak, oleh karena itu hukum harus dapat mewujudkan
keadilan bagi masyarakat. Namun apabila subyek hukum merasa dirugikan atau
telah dilanggar hak-haknya oleh subyek hukum lain, maka kepada subyek hukum
yang melakukan tindakan yang menyebabkan timbulnya kerugian bagi subyek
hukum lain dibebani suatu tanggungjawab.
32
Tanggungjawab dalam kamus hukum dapat diistilahkan sebagai liability
dan responsibility. Dalam black law’s dictionary, liability diartikan sebagai “the
quality or state of being obligated or accountable; legal responsibility to an other
or to society, enforceable by civil remidy criminal punishment.43 Sementara
responsibility adalah 1. Liability, 2. Criminal law. A. person’s mental fitnes to
answer in court for his her actions. See competency.44 Dari pengertian istilah
liability dan responsility merupakan suatu bentuk tanggungjawab hukum. Namun
dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada
pertanggungjawaban hukum yaitu tanggunggugat akibat kesalahan yang dilakukan
oleh subjek hukum, sedangkan istilah responsibility menunjuk pada
pertanggungjawaban politik.45
Dalam penyelenggaraan suatu negara dan pemerintahan,
pertanggungjawaban itu melekat pada jabatan yang juga telah dilekati dengan
kewenangan. Dalam perspektif hukum publik, adanya kewenangan inilah yang
memunculkan adanya pertanggungjawaban, sejalan dengan prinsip umum; “geen
bevegdheid zonder verantwoordelijkheid; there is no authority without
responsibility; la sulthota bi la mas-uliyat” (tidak ada kewenangan tanpa
pertanggungajwaban).46 Hal tersebut menunjukkan bahwa kewenangan yang
dimiliki oleh organ atau badan pemerintah selalu disertai dengan tanggungjawab.
Bagir Manan menyatakan bahwa “salah satu unsur penting dalam
43 Bryan A. Garner, 2004, Black Law’s Dictionary, eighth edition, Thomson business,West, h. 932.
44 Ibid, h. 133845 HR. Ridwan, Op.cit, h. 33746 HR. Ridwan, Op.cit, h. 352.
33
penyelenggaraan pemerintahan adalah pertanggungjawaban.47 Jadi dalam hal ini
setiap pejabat atau organ pemerintahan dalam menjalankan kewenangannya selalu
disertai dengan pertanggungjawaban.
Suwoto menyebutkan bahwa:
Pengertian tanggung jawab mengandung dua aspek yaitu, aspek internaldan aspek eksternal, pertanggungjawaban yang mengandung aspek internalhanya diwujudkan dalam bentuk laporan pelaksanaan kekuasaan.Pertanggungjawaban dengan aspek eksternal merupakanpertanggungjawaban terhadap pihak ketiga apabila dalam melaksankankekuasaan itu menimbulkan suatu derita atau kerugian.48
Dalam kaitannya dengan penggunaan kewenangan oleh organ atau pejabat
pemerintahan membebankan tanggungjawab terhadap pejabat yang bersangkutan.
Bentuk tanggungjawab pemerintah dalam penggunaan wewenang berupa
tanggungjawab intern dan tanggungjawab eksteren yang terdiri dari
tanggungjawab pribadi (sebagai pejabat) dan tanggungjawab jabatan.
Tanggungjawab pribadi berkenaan dengan maladministrasi dalam penggunaan
wewenang maupun public service, sedangkan tanggungjawab jabatan berkenaan
dengan legalitas (keabsahan) tindakan pemerintah.49 Tanggungjawab pribadi
dapat berupa tanggungjawab pidana, karena pada dasarnya yang melakukan
perbuatan pidana adalah manusianya sebagai pejabat bukan jabatannya.
Sedangkan taggungjawab jabatan dapat berupa tanggung gugat perdata dan
tanggung gugat Tata Usaha Negara, karena pada dasarnya gugatan seseorang atau
badan hukum perdata yang merasa dirugikan atas tindakan hukum pemerintah
yang diajukan gugatan adalah jabatan sebagai badan Tata Usaha Negara, bukan
terhadap manusia sebagai pejabat.
47 Bagir Manan, 2003, Lembaga Kepresidenan, FH UII Press. Yogyakarta, h. 10648 HR. Ridwan, Op. cit, h. 35349 Yudhi Setiawan (I), Op.cit, h. 96
34
Begitu juga dalam kaitannya dengan diterbitkannya suatu Keputusan oleh
Pejabat Tata Usaha Negara berupa Keputusan Pembatalan sertipikat hak milik
atas tanah menimbulkan suatu keberatan dari pihak yang merasa dirugikan, maka
akan menimbulkan suatu pertanggungjawaban bagi badan atau instansi yang
mengeluarkan Keputusan tersebut. Pertanggungjawaban hukum yang dimaksud
adalah tanggungjawab akibat digunakan kewenangan tersebut terhadap pihak
ketiga, baik tanggungjawab jabatan maupun tanggungjawab pribadi.
1.8 Metode Penelitian
1.8.1 Jenis Penelitian
Penelitian merupakan suatu sarana atau upaya pencarian untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara menemukan, dan
mengemukakan suatu kebenaran dengan melakukan suatu analisa. Menurut Peter
mahmud Marzuki, “penelitian hukum adalah suau proses untuk menemukan
aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna
menjawab isu hukum yang dihadapi.50 Menurut Morris L. Cohen dan Kent C.
Olson mengemukakan bahwa “Legal research is an essential component of legal
practice. It is the process of finding the law that governs an activity and materials
that explain or analyze that law”.51 Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa,
dalam ilmu hukum teradapat dua jenis penelitian hukum terdapat, yaitu penelitian
50 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Peneitian Hukum, Cetakan ke-1, Kencana, Jakarta, h. 35.51 Morris L. Cohen dan kent C. Olson, 2000, Legal Research In A Nutshell, Seventh
Edition, ST. Paul, Minn, West Group, h. 1.
35
hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis atau empiris.52 Penelitian hukum
Normatif disebut juga sebagai penelitian hukum doktrinal dan juga disebut
penelitian hukum perpustakaan. Disebut penelitian hukum doktrinal karena
penelitian ini dilakukan atau ditujukan pada peraturan- peraturan yang tertulis atau
bahan-bahan hukum lain, sedangkan disebut sebagai penelitian perpustakaan atau
studi dokumen karena penelitian ini lebih banyak dilakukan perpustakaan atau
studi dokumen karena penelitian ini lebih banyak dilakukan pada bahan hukum
yang bersifat sekunder yang ada diperpustakaan.53 Penelitian mengenai
tanggungjawab Kepala Kantor Wiayah Badan Pertanahan Nasional yang
digunakan adalah penelitian hukum normatif, dalam hal ini penelitian terhadap
sinkronisasi dari Pasal-Pasal dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 khususnya tentang pembatalan
sertipikat hak milik atas tanah.
1.8.2 Jenis Pendekatan
Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yang digunakan
untuk mendapatkan dan memecahkan masalah yang dihadapi. Pendekatan-
pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan Undang-
Undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), Pendekatan
historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach),
52 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI)Press), Jakarta, h. 51.
53 Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, jakarta, h. 31.
36
dan pendekatan konseptual (conceptual approach).54 Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah:
a. Pendekatan Perundang-Undangan (statute approach) yaitu pendekatan yang
dilakukan untuk meneliti peraturan perUndang Undangan dan Peraturan
Kabijakan yang berkaitan dengan tanggungjawab Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional terhadap Penerbitan Keputusan Pembatalan Hak
Atas Tanah, antara lain Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 dan
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 2011.
b. Pendekatan konseptual (conseptual approach) yaitu pendekatan melalui
konsep-konsep, asas-asas dan konsep-konsep berkaitan dengan
Tanggungjawab Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
terhadap penerbitan Keputusan Pembatalan sertipikat hak milik atas tanah
yang diakibatkan dari adanya pelimpahan kewenangan
c. Pendekatan kasus (case approach) yaitu dengan melakukan telaah kasus
sebagai refrensi isu hukum tentang tanggungjawab dalam penerbitan
Keputusan pembatalan Sertpikat hak milik atas tanah.
1.8.3 Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan/sumber
primer yakni bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru atau
mutakhir ataupun pengertian baru tentang fakta yang diketahui Maupun mengenai
54 Peter Mahmud Marzuki, Op. cit, h. 93.
37
suatu gagasan (ide) dan bahan/sumber sekunder yaitu bahan pustaka yang
berisikan informasi tentang bahan primer.55 Bahan hukum primer dalam penelitian
ini yaitu:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria ( Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1960, Nomor
104).
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1986, Nomor 77) Jis.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
(Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2004, Nomor 35) Jis. Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
(Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2009, Nomor 160).
4. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik
Indonesia (Lembar Negara Republik Indoensia Tahun 2008 Nomor 139).
5. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran.
6. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan
Nasional.
55 Soerjano Soekanto dan Sri Mamudji, 2011, “ Penelitian Hukum Normatif, SuatuTinjauan Singkat”, cetakan ke-13, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 29.
38
7. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor
3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus
Pertanahan.
8. Serta Peraturan peraturan Perundang-Undangan lainnya yang berkaitan
dengan tanggungjawab Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional terhadap Penerbitan Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah.
Sedangkan bahan hukum sekunder dalam penelitian ini seperti hasil
penelitian atau karya ilmiah para ahli hukum, kamus dan internet yang
mempunyai relevansi dengan penelitian ini.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan cara mengumpulkan dan menginvetarisasi bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder berkaitan dengan permasalahan yang diteliti yang
selanjutnya dilakukan pencatatan dengan menggunakan system kartu. Dalam
system kartu ini dilakukan suatu telaah kepustakaan dengan mencatat dan
memahami informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder serta bahan hukum penunjang lainnya yang berkaitan dengan
permasalahan yang dibahas.
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu setelah
bahan-bahan hukum yang terkait dengan permasalahan yang dikaji dikumpulkan,
39
kemudian diolah dan dianalisis secara hukum. Dalam menganalisis bahan-bahan
hukum yang telah terkumpul dalam penelitian ini digunakan beberapa teknik
analisis bahan hukum yaitu: Teknik deskripsi yaitu menguraikan apa adanya
terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non
hukum, dimana dalam penelitian ini menguraikan ketentuan pasal-pasal yang
inkonsistensi yang disertai dengan fakta hukum yang ada. Selanjutnya dilakukan
penilaian terhadap rumusan pasal-pasal tersebut dengan menggunakan teknik
evaluasi. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju
atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu
pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera
dalam bahan hukum primer maupun dalam bahan hukum sekunder.56 Analisis
bahan hukum selanjutnya yang digunakan adalah teknik argumentasi. Teknik
argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus
didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan
permasalahan hukum makin banyak argumen makin menunjukkan kedalaman
penalaran hukum.57 Berdasarkan teknik argumentasi tersebut, maka setelah
dilakukan penilaian terhadap rumusan norma dalam suatu aturan hukum yang
menjadi kajian dalam penulisan ini kemudian dilanjutkan dengan memberikan
argumentasi-argumentasi hukum untuk mendapatkan suatu kesimpulan atas pokok
permasalahan dalam tesis ini.
56 Program Studi Magister Ilmu Hukum, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesisdan Penulisan Tesis Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Program Studi magister (S2) IlmuHukum, Program Pascasarjana Unversitas Udayana, Denpasar, h. 35.
57 Ibid.
79
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN PERTANAHAN NASIONAL DAN
KEPUTUSAN PEMBATALAN SERTIPIKAT HAK MILIK ATAS TANAH
2.1 Struktur Organisasi Badan Pertanahan Nasional
Badan Pertanahan Nasional pada awalnya dibentuk berdasarkan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1988, dimana
pembentukan ini merupakan peningkatan dari Direktorat Jendral Agraria yang
berada dibawah Departemen Dalam Negeri. Dibentuknya Badan Pertanahan
Nasional tidak terlepas dari perkembangan politik dalam penyelenggaraan
pemerintah akibat dari diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, sehingga mengakibatkan institusi
kegiatan penyelenggaraan keagrariaan menjadi Badan Pertanahan Nasional.
Badan Pertanahan Nasional adalah lembaga Non Departemen (sekarang
disebut Kementerian berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara) yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada
Presiden sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional.
Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan
dibidang pertanahan baik secara sektoral, regioal maupun nasional. Jadi Badan
Pertanahan Nasional merupakan badan pemerintahan yang menyelenggarakan
tugas, fungsi dan wewenang dibidang pertanahan, dimana kedudukannya berada
dibawah presiden dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Badan
40
41
Pertanahan Nasional dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenang ditingkat
pusat terdiri dari Kepala dan beberapa kedeputian sebagaimana yang ditur dalam
Pasal 4 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang
Badan Pertanahan Nasional, yaitu:
a. Kepala;b. Sekretariat Utama;c. Deputi Bidang Survei, Pengukuran, dan Pemetaan;d. Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaf taran Tanah;e. Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan;f. Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat;g. Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik
Pertanahan;h. Inspektorat Utama.Dengan melihat susunan organisasi Badan Pertanahan Nasional tersebut, maka
dapat diketahui bahwa Badan Pertanahan Nasional dipimpin oleh seorang Kepala
yang dibantu oleh Sekretaris Utama, Inspektorat Utama dan lima Deputi yang
masing-masing memiliki tugas, fungsi dan wewenang.
Gambar 1: Struktur Organisasi Badan Pertanahan Nasional
(Sumber: Lampiran Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. 3 Tahun 2006)
Kepala Badan PertanahanNasional Republik Indonesia
Inspektorat Utama Sekretaris Utama
Deputi BidangSurvei,
Pengukuran danPemetaan
Deputi BidangHak Tanah dan
PendaftaranTanah
Deputi Bidangpengaturan dan
PenataanPertanahan
Deputi BidangPengendalian
Pertanahan danPemberdayaan
Masyarakat
Deputi BidangPengkajian dan
PenangananSengketa dan
Konflik Pertanahan
Pusat Data danInformasi
Pertanahan
Pusat Hukumdan Hubungan
Masyarakat
Pusat Penelitiandan
Pengembangan
Pusat Pendidikandan Pelatihan
Sekolah TinggiPertanahan NAsional
42
Selanjutnya Pasal 28 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
2006 tentang Badan Pertanahan Nasional menetapkan bahwa:
(1) Untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional didaerah dibentuk Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi diKabupaten dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di Kaupaten/Kota.
(2) Organisasi dan tata kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan NasionalProvinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota ditetapkan lebih lanjutoleh Kepala Badan Pertanahan Nasional setelah mendapat persetujuan dariMenteri yang bertanggungjawab dibudang pendayagunaan aparaturNegara.
Jadi dengan demikian Badan Pertanahan Nasional selain tediri dari Kepala,
Sekretaris Utama, Inspektorat Utama, dan lima Deputi, juga terdiri Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan. Lebih jelasnya
susunan organisasi Badan Pertanahan Nasional dapat dilihat dalam Pasal 4
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pertanahana Nasional Republik
Indonesia, yang menentukan bahwa:
a. Kepala;b. Sekretariat Utama;c. Deputi Bidang Survei, Pengukuran, dan Pemetaan, yang selanjutnya
disebut Deputi I;d. Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah, yang selanjutnya
disebut Deputi II;e. Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan, yang selanjutnya
disebut Deputi III;f. Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat,
yang selanjutnya disebut Deputi IV;g. Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik
Pertanahan, yang selanjutnya disebut Deputi V;h. Inspektorat Utama;i. Pusat Data dan Informasi Pertanahan;j. Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat;k. Pusat Penelitian dan Pengembangan;l. Pusat Pendidikan dan Pelatihan;m. Kantor Wilayah BPN Provinsi;n. Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
43
Sebagai tindak lanjut dari Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10
Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, Kepala Badan Pertanahan
Nasional mengeluarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan. Pasal 1 Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006
menetapkan bahwa:
(1) Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, yang selanjutnya dalamPeraturan ini disebut Kanwil BPN adalah instansi vertikal BadanPertanahan Nasional di Provinsi yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional.
(2) Kanwil BPN dipimpin oleh seorang kepala.Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas melaksanakan
sebagian tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional di provinsi yang
bersangkutan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasioal Nomor 4 Tahun 2006. Susunan organisasi Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional diatur dalam Pasal 4 Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2006, yaitu:
a. Bagian Tata Usaha;b. Bidang Survei, Pengukuran, dan Pemetaan;c. Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah;d. Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan;e. Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat;f. Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan.
Adapun struktur Organisasi Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional,
yaitu sebagai berikut:
44
Gambar II: Struktur Organisasi Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
(Sumber: Lampiran Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. 4 Tahun 2006)
Dengan merujuk pada uraian diatas terlihat bahwa susunan organisasi pada
Badan Pertanahan Nasional dengan susunan organisasi Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional tidak jauh berbeda, dimana unit kerja ketata usahaan dan 5
unit kerja teknis yang terdapat dalam susunan organisasi Badan Pertanahan
Nasional juga terdapat dalam susunan organisasi di Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional, sehingga terlihat adanya suatu hubungan kerja yang bersifat
Kantor Wilayah BPNProvinsi
BidangPengendalian
Pertanahan danPemberdayaan
Masyarakat
Seksipendaftaran,
peralihanpembebanan
hak dan PPAT
Seksi pengkajiandan penanganan
sengketa dankonflik
pertanahan
Bidang HakTanah dan
PendaftaranTanah
BidangPengkajian dan
PenangananSengketa dan
Konflik
Pertanahan
BidangPengaturan dan
PenataanPertanahan
Bidang Survei,Pengukuran dan
Pemetaan
Bagian Tata Usaha
Subbagianumum daninformasi
Subbagiankepegawaian
Seksi SurveiPotensi Tanah
Seksipengaturan
tanahpemerintah
Seksikonsolidasi
tanah
Seksipengendalianpertanahan
Seksi pengkajiandan penanganan
perkarapertanahan
Seksipengukuran danpemetaan dasar
Seksipenetapan hak
tanahperorangan
Seksipenetapan haktanah badan
hukum
Seksipenatagunaa
n tanah
Seksipemberdayaan masyarakat
Subbagianperencanaan dan
keuanangan
Seksipenataankawasantertentu
Seksilandreform
Seksipengukuran
bidang
Seksi pemetaantematik
45
rutin, karena dengan adanya susunan organisasi Badan Pertanahan Nasional pada
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional menggambarkan bahwa tugas pokok,
dan fungsi yang secara umum terdapat pada setiap unit kerja baik unit kerja tata
usaha negara maupun unit kerja teknis dalam bidang pertanahan yang terdapat
pada Badan Pertanahan Nasional juga terdapat pada unit kerja di Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional.
Di Indonesia jumlah Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional adalah
sebanyak 33 Kantor Wilayah yang tersebar diseluruh provinsi di Indonesia dengan
unit-unit kerjanya masing-masing. Hal ini terlihat bahwa adanya Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional disetiap provinsi di Indonesia merupakan perwujudan
tugas dari Badan Pertanahan Nasional, yaitu Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional menyelenggarakan sebagian tugas dan fungsi Badan Pertanahan
Nasional yaitu penyelenggaraan pemerintahan dalam bidang pertanahan secara
nasional, sektoral dan regional. Sehingga diharapkan dapat memberikan
pelayanan kepada masyarakat untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat dalam bidang pertanahan.
Berdasarkan Pasal 28 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10
Tahun 2006, selain dibentuk Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional juga
dibentuk Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Pasal 29 ayat (1) Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 menetapkan
bahwa: “Kantor Pertanahan, adalah instansi vertikal Badan Pertanahan Nasional
di Kabupaten/Kota yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala
Badan Pertanahan Nasional melalui Kepala Kanwil BPN”. Selanjutnya Pasal 30
46
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun
2006 menetapkan bahwa: “Kantor Pertanahan mempunyai tugas melaksanakan
sebagian tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional di Kabupaten/Kota yang
bersangkutan”. Sususan Organisasi Kantor Pertanahan Kabupatendan/Kota diatur
dalam Pasal 32 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 4 Tahun 2006, yang terdiri dari:
a. Subbagian Tata Usaha;b. Seksi Survei, Pengukuran dan Pemetaan;c. Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah;d. Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan;e. Seksi Pengendalian dan Pemberdayaan;f. Seksi Sengketa, Konflik dan Perkara.
Gambar III: Struktur Organisasi Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
(Sumber: Lampiran Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. 4 Tahun 2006)
Kantor PertanahanKabupaten/Kota
Subbagian Tata Usaha
Urusanperencanaan dan
keuanangan
Urusan Umumdankepegawaian
Seksi Sengketa,Konflik dan
Perkara
SeksiPengendalain dan
Pemberdayaan
Seksi Hak Tanahdan Pendaftaran
Tanah
Seksi Survei,Pengukuran dan
Pemetaan
Seksi Pengaturandan PenataanPertanahan
SubseksiPengukuran
dan Pemetaan
SubseksiTematik dan
Potensi Tanah
SubseksiPeraliahn
pembebanan hakdan PPAT
SubseksiPendaftaran hak
SubseksiPengaturan
TanahPemerintah
SubseksiPenetapan Hak
SubseksiPenatagunaan
Tanah danKawasanTertentu
SubseksiLandreform dan
KonsolidasiTanah
SubseksiPengendalain Pertanahan
SubseksiPemberdaya
anMasyarakat
SubseksiPerkara
Pertanahan
SubseksiSengketa dan
KonflikPertanahan
47
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka keberadaan Kantor Pertanahan
Kabupaten dan/Kota merupakan salah satu wujud dari pelaksanaan tugas dan
fungsi Badan Pertanahan Nasional di daerah Kabupaten atau Kota yang dipimpin
oleh seorang Kepala dan secara teknis administrasi bertanggungjawab kepada
Kepala Badan Pertanahan Nasional dan Kepala Kantor Wilayah Badan pertanahan
Nasional. Dengan demikian maka, wewenang pemerintah dalam bidang
pertanahan berada pada Badan Pertanahan Nasional yang dalam tingkat Provinsi
dilaksanakan oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan dalam tingkat
Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
2.2. Keputusan Yang Diterbitkan Oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Dan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional
2.2.1 Pengertian Keputusan
Keputusan merupakan salah satu instrumen hukum yang diterbitkan oleh
pemerintah sebagai bentuk dari tindakan hukum pemerintah. Tindakan pemerintah
yang tergolong tindakan hukum (rechtshandelingen), yakni: (1) tindakan menurut
hukum privat; dan (2) tindakan hukum menurut hukum publik.58 Selanjutnya
perbuatan pemerintah menurut hukum publik dibedakan menjadi dua, yaitu: (1)
Perbuatan menurut hukum publik bersegi satu; dan (2) perbuatan menurut hukum
publik bersegi dua.59 Terkait dengan Keputusan sebagai instrumen hukum yang
diterbitkan pemerintah, maka perbuatan hukum yang dimaksud adalah perbuatan
menurut hukum publik. Perbuatan hukum publik yang bersegi satu (yang
58 Titik Triwulan Tutik, 2010, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, PrestasiPustaka Publisher, Jakarta, h. 214
59 Ibid, h. 215
48
dilakukan oleh alat-alat pemerintahan berdasarkan suatu wewenang istimewa)
diberi nama “bescikiking”.60 Istilah bescikiking dapat diartikan sebagai ketetapan
dan keputusan. Menurut Utrecht, dalam bahasa Indonesia telah dipakai umum
istilah “ketetapan”.61 Senada dengan pendapat Utrecht, Djenal Hoesen
Koesoemahatmadja, yang menerjemahkan “beschikking” dengan “ketetapan”
lebih menunjuk kepada suatu bentuk keputusan yang khusus.62 Sedangkan
menurut Koentjoro Purbopranoto sebagaimana yang dikutip oleh Djaenal Hoesen
mempergunakan istilah “beschikking” untuk keputusan, dengan alasan bahwa
istilah “ketetapan” dalam waktu itu mempunyai arti yang yuridis teknis, yaitu
sebagai keputusan MPR yang berlaku umum (ke luar maupun ke dalam).63 Jadi
dapat dikatakan bahwa istilah beschikking yang lebih tepat disebut dengan
keputusan, namun perlu dibedakan antara keputusan yang disebut dengan
“beschikking” dengan keputusan yang disebut dengan “besluit”, dimana keputusan
yang disebut dengan “besluit” merupakan keputusan yang bersifat umum dan
mengikat atau sebagai peraturan Perundang-Undangan.64
Menurut H.D Van Wijk/Willem Konijnenbelt, “Een administrative
beschikking is een eenzijdig besluit van een bestuursorgaan, gegeven op grond
van een staats-of administratiefrechtelijke beveogheid, dat voor een of meer
individuele, concrete gevallen een rechtsverhouding schept, bindend vaststelt of
60 E. Utrecht, 1962, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Tjetakan Kelima,Ichtiar, Jakarta, h. 85
61 Ibid, h. 8762 Djenal Hoesen Koesoemahatmadja, 1983, Pokok-pokok Hukum Tata Usaha Negara,
Alumni, Bandung, h. 4763Lihat Pendapat Koentjoro Probopranoto dalam Djaenal Hoesen Koesoehatmadja, Ibid64 Ridwan HR, Op. cit, h. 145
49
opheft, of waarbij dat wordt geweigerd.65 (Suatu Keputusan Administratif adalah
keputusan sepihak dari badan, atas dasar suatu negara atau kewenangan
administrasi, yang menciptakan hubungan hukum untuk satu atau lebih individu,
dalam kasus-kasus konkret, yang mengikat atau mencabut, atau menolak). Jadi
keputusan “beschikking” merupakan suatu tindakan hukum sepihak yang
dikeluarkan oleh organ pemerintahan yang mempunyai suatu akibat hukum yang
didasarkan pada suatu wewenang.
Keputusan (Beshickking) dapat disebut juga dengan Keputusan Tata Usaha
Negara, hal ini dipertegas oleh Philipus M. Hadjon, dkk sebaimana yang dikutip
oleh Sadjijono mengartikan istilah Keputusan Tata Usaha Negara sama dengan
isitilah Beshickking.66 Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 Jis. Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, menentukan
bahwa:
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yangdikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakanhukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perUndangUndanganyang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yangmenimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata
Berdasarkan pengertian Keputusan Tata Usaha Negara yang tersebut, maka
unsur-unsur-unsurnya yaitu:
a. Penetapan tertulis;b. Dikeluarkan oleh Badan atau pejabat Tata Usaha Negara;c. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan
Perundang-Undangan;d. Bersifat konkret, individual dan final;
65 H.D. Van Wijk, 1988. Hoofdstukken van administratief recht, Culemborg, UitgeverijLemma, h. 208.
66 Lihat pendapat Philipus M. Hadjon dalam Sadjijono, 2008, Memahami Beberapa BabPokok Hukum Administrasi, Laksabang Pressindo, Yogyakarta, selanjtunya disebut Sadjijono (II),h. 90
50
e. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.67
Penetapan Hukum tertulis yang dimaksud adalah suatu keputusan dibuat
dalam bentuk tertulis namun bukan dilihat dari bentuk formatnya, sebagaimana
dapat dilihat dalam Penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 Jis. Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, yaitu istilah
“penetapan tertulis” menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan
yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN. Sehingga dengan demikian
penetapan tertulis diartikan bahwa suatu keputusan tidak terikat pada bentuknya,
ini berarti sebuah nota atau memo dapat disebut sebagai suatu penetapan tertulis.
Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dimaksud
adalah sutu keputusan harus dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang diberikan wewenang pemerintahan untuk mengeluarkan suatu
keputusan.
Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan
Perundang-Undangan yang dimaksud adalah bahwa suatu keputusan merupakan
salah satu bentuk tindakan hukum pemerintah, dimana penerbitan keputusan harus
didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh Peraturan Perundang-Undangan.
Tindakan hukum yang dimaksud merupakan tindakan-tindakan pemerintah untuk
menimbulkan akibat-akibat hukum.
Suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang disebut bersifat konkret,
individual dan final, dapat dilihat dalam Penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu konkret berarti obyek yang diputuskan dalam
Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau
67 R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta, h. 15-16
51
dapat ditentukan. Individual artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak
ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Final
berarti sudah definitif sehingga dapat menimbulkan akibat hukum. Menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata berarti bahwa suatu
tindakan hukum organ atau pejabat pemerintah dengan maksud untuk
menimbulkan akibat-akibat hukum, sehingga menyebabkan muncul dan
lenyapnya hak dan kewajiban bagi seseorang atau badan hukum perdata yang
dituju oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jis. Pasal 1 angka 9 Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara memberikan
suatu pembatasan terkait dengan Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara,
dimana tidak semua Keputusan yang diterbitkan oleh pejbat atau instansi
pemerintah merupakan Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 2.
Sehingga dengan demikian tidak semua Keputusan termasuk Keputusan
Tata Usaha Negara, karena Suatu Keputusan dari badan atau pejabat Tata Usaha
Negara baru dapat ditentukan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jis.
Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.
2.2.2. Syarat-Syarat Sahnya Suatu Keputusan
Pemerintah dalam membuat suatu Keputusan (Beshickking) harus
berdasarkan pada syarat-syarat yang ditentukan oleh Peraturan Perundang-
52
Undangan yang berlaku, apabila suatu keputusan (Beshickking) tidak sesuai
dengan syarat-syarat yang ditentukan tersebut berakibat Keputusan yang dibuat
menjadi tidak sah. Didalam lapangan hukum administrasi istilah “keabsahan”
merupakan terjemahan dari istilah hukum Belanda “rechmatig”, sedangkan
perbuatan melanggar hukum merupakan terjemahan dari istilah “onrechtmatig”
yang merupakan isitilah dalam lapangan hukum perdata.68
Terkait dengan syarat-syarat keabsahan suatu keputusan (Beshickking),
menurut Kuntjoro Purbopranoto yang dikutip oleh Sadjijono menyatakan bahwa,
terdapat dua syarat yang harus dipenuhi, agar suatu Keputusan yang dibuat
menjadi keputusan yang sah, yakni syarat syarat materiil dan syarat formil, syarat
materiil sahnya keputusan meliputi:
a. Alat pemerintahan yang membuat keputusan harus berwenang(berhak);
b. Dalam kehendak alat pemerintahan yang membat keputusan tidakboleh ada kekurangan yuridis (geen yurisdiche gebreken in dewelsvorming);
c. Keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturanyang menjadi dasarnya dan pembuatanya harus juga memperhatikanprsedure membuat keputusna bilamana prosedure itu ditetapkandengan tegas dalam peraturan itu (rechmatig);
d. Isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan tujuan yang hendakdicapai (doelmatig).
Sedangkan syarat formil sahnya keputusan, meliputi:a. Syarat-syarat yang ditentukan berhubungan dengan persiapan
dibuatnya keputusan dan berhubungan dengan cara dibuatnyakeputusan harus dipenuhi;
b. Harus diberi bentuk yang telah ditentukan;c. Syarat-sayarat berhubungan dengan pelaksanaan keputusan itu
dipenuhi;d. Jangka waktu harus ditentukankan antara timbulnya hak-hak yang
menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu dan tidakboleh dilupakan.69
68 Sadjijono (II), Op. cit, h. 9669 Lihat Kuntjoro Purbopranoto dalam Sadjijono (II), Ibid, h. 98
53
Berdasarkan syarat-syarat Keputusan yang harus dipenuhi tersebut, maka
apabila suatu keputusan (Beshickking) tidak memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan tersebut, maka suatu Keputusan menjadi tidak sah, sehingga
mengakibatkan bahwa suatu keputusan menjadi batal demi hukum, dimana tidak
dipenuhinya syarat dan unsur-unsur tersebut menyebabkan timbulnya suatu
kewajiban untuk membatalakan keputusan tersebut. Selain itu tidak dipenuhi
unsur dan syarat keputusan yang tekah ditentukan tersebut juga menyebabkan
suatu keputusan dapat digugat di pengadilan.
Dalam kaitannya dengan Keputusan Tata Usaha Negara, tindakan hukum
pemerintah dianut asas “Presumtio Causa” yang maksudnya bahwa suatu
keputusan TUN harus selalu dianggap benar dan dapat dilaksanakan, sepanjang
Hakim belum membuktikan sebaliknya.70 Keputusan Tata Usaha Negara selalu
dianggap sah sebelum adanya Putusan Hakim yang membuktikan tidak sahnya
suatu keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara.
Jadi dalam hal ini apabila terdapat suatu keputusan yang dikeluarkan oleh badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara harus selalu dianggap sah, dan apabila
menimbulkan kerugian bagi sesorang atau badan hukum perdata, maka pihak
tersebut dapat mengajukan gugatan di Pengadilan, sampai terdapat putusan
pengadilan yang menyatakan Keputusan yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata
Usaha Negara tersebut tidak sah.
Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jis. Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009 menentukan bahwa:
70 Titik Triwulan Tutik, Op cit, h. 234
54
Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) adalah:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan denganPeraturan Perundang-Undangan yang berlaku;
b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkanKeputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakanwewenang untuk tujuan lain dimaksud diberikan wewenang tersebut.
c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkanatau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana yang dimaksuddalam ayat (1) seteleh mempertimbangkan semua kepentingan, yangbersangkutan dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai padapengambilan keputusan tersebut.
Berdasarkan rumusan dalam Pasal 53 ayat (2) tersebut, maka apabila
dikaitkan dengan keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara, maka dapat
diketahui unsur-unsur sahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara yaitu:
1. Sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan yang meliputi: Prosedural,substansial dan wewenang.
2. Keputusan harus mengarah kepada maksud dan tujuan pemberianwewenang (tidak menyalahgunakan wewenang).
3. Bertindak secara wajar, rasional atau tidak bertindak sewenang-wenang.71
Jadi dapat dikatakan bahwa syarat sahnya suatu Keputusan Tata Usaha
Negara pada dasarnya harus memenuhi unsur wewenang, substansi dan
prosedural, dimana unsur wewenang dan substansi merupakan landasan bagi
keabsahan tindakan pemerintah. Terkait dengan syarat sahnya suatu Keputusan
Tata Usaha Negara dapat dilihat pendapat H.D Van Wijk, yang menyatakan
bahwa:
Vormgebreken hebben betrekking op de voorbereiding, totstandkoming,inrichting of be kendmaking van een besluit.Inhoudsgrebeken ten slotte zijn afwijkingen van een materiele rechtsnorm.(Suatu Keputusan Tata Usaha Negara, yang bertentangan denganketentuan dalam peraturan Perundang-Undangan yang bersifatprosedural/formal merupakan Keputusan Tata Usaha Negara yang cacatmengenai bentuknya (vormgebreke) dan biasanya menyangkut persiapan,terjadinya, susunan atau pengumuman keputusan yang bersangkutan.
71 Philipus M. Hadjon, 1993, Pemerintah Menurut Hukum (Wet En Rechtmatig Bestuur),Yuridika, Surabaya, h. 8
55
Keputusan Tata Usaha Negara yang bertentangan dengan peraturanPerundang-Undangan yang bersifat material/substansial adalah keputusanyang cacat mengenai isinya (inhoudsgebreken))72
Dengan demikian, merujuk uraian tersebut diatas, maka dapat dikatakan
bahwa suatu keputusan (Beshickking) menjadi sah apabila memenuhi syarat-syarat
formil maupun materiil suatu keputusan sebagaimana yang telah diuraikan
tersebut, begitu juga dengan Keputusan Tata Usaha Negara. Oleh karena
keputusan (Beshickking) merupakan suatu keputusan administrasi yang
dikeluarkan oleh organ pemerintah dan Keputusan Tata Usaha Negara juga
merupakan suatu Keputusan administrasi, maka syarat-syarat formil dan materiil
yang merupakan syarat-syarat sahnya suatu keputusan (Beshickking) juga harus
dipenuhi dalam menerbitkan suatu Keputusan Tata Usaha Negara.
2.3 Jenis-jenis Keputusan Yang Diterbitkan Oleh Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Dan Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional
Adapun jenis-jenis Keputusan yang diterbitkan oleh Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia dan Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional, yaitu:
2.3.1 Jenis-Jenis Keputusan yang diterbitkan oleh Kepala Badan
Pertanahan Nasional
a. Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah yang diberikan secara umum,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 dan 11 Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pelimpahan
72 H.D. Van Wijk, Op.cit, h. 354
56
Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran
Tanah Tertentu.
b. Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah, sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 58 ayat (1) dan Pasal 73 Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pelimpahan
Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran
Tanah Tertentu.
c. Keputusan Penetapan Tanah Terlantar, sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 19 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun
2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar.
d. Keputusan tentang Pembatalan Keputusan Penegasan tanah sebagai
obyek Konsolidasi Tanah yang telah ditetapkan oleh Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional, sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 3 ayat (1) Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
3 Tahun 2003 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Keputusan
Penegasan Tanah Sebagai Obyek Konsolidasi tanah.
Merujuk uraian diatas, jadi Jenis-jenis keputusan yang dapat diterbitkan
oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional, yaitu:
a. Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah;
b. Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah;
c. Keputusan Penetapan Tanah Terlantar;
57
d. Keputusan tentang Pembatalan Keputusan Penegasan tanah sebagai
obyek Konsolidasi Tanah yang telah ditetapkan oleh Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional.
1.3.1 Jenis-Jenis Keputusan yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional
a. Keputusan Pemberian Hak Milik untuk orang perseorangan atas tanah
pertanian yang luasnya lebih dari 20.000 M² (dua puluh ribu meter
persegi), sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 huruf a Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas
Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu.
b. Keputusan Pemberian Hak Milik untuk badan hukum atas tanah
pertanian yang luasnya lebih dari 20.000 M² (dua puluh ribu meter
persegi), sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 huruf b Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas
Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu.
c. Keputusan Pemberian Hak Milik atas tanah non pertanian yang
luasnya lebih dari 2.000 M² (dua ribu meter persegi) dan tidak lebih
dari 5.000 M² (lima ribu meter persegi), sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 6 huruf c Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pelimpahan
58
Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran
Tanah Tertentu.
d. Keputusan Hak Guna Usaha atas tanah yang luasnya tidak lebih dari
2.000.000 M² (Dua juta meter persegi), sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 7 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun
2011 Jo. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pelimpahan Kewenangan
Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu.
e. Keputusan Pemberian Hak Guna Bangunan untuk orang perseorangan
atas tanah yang luasnya lebih dari 1.000 M2 (seribu meter persegi) dan
tidak lebih dari 5.000 M² (lima ribu meter persegi), sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 8 huruf a Peraturan Kepala Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Jo. Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2012 tentang
Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan
Pendaftaran Tanah Tertentu.
f. Keputusan pemberian Hak Guna Bangunan untuk badan hukum atas
tanah yang luasnya lebih dari 5.000 M2 (lima ribu meter persegi) dan
tidak lebih dari 150.000 M² (seratus lima puluh ribu meter persegi),
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 huruf b Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011
Jo. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
59
Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian
Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu.
g. Keputusan pemberian Hak Pakai untuk orang perseorangan atas tanah
pertanian yang luasnya lebih dari 20.000 M² (dua puluh ribu meter
persegi), sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 huruf a Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas
Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu.
h. Keputusan pemberian Hak Pakai untuk badan hukum atas tanah
pertanian yang luasnya lebih dari 20.000 M² (dua puluh ribu meter
persegi), sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 huruf b Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas
Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu.
i. Keputusan pemberian Hak Pakai untuk orang perseorangan atas tanah
non pertanian yang luasnya lebih dari 2.000 M² (dua ribu meter
persegi) dan tidak lebih dari 5.000 M2 (lima ribu meter persegi),
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 huruf c Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011
tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan
Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu.
j. Keputusan mengenai penetapan tanah negara untuk menjadi tanah
objek landreform, sebagaimana yang diatur Pasal 9A Peraturan Kepala
60
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011
Jo. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian
Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu.
k. Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah, sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 74 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan pengkajian dan
Penanganan Kasus Pertanahan.
l. Keputusan tentang Penegasan tanah sebagai obyek Konsolidasi Tanah,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Keputusan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pelimpahan
Kewenangan Pemberian Keputusan Penegasan Tanah Sebagai Obyek
Konsolidasi tanah.
Merujuk uraian tersebut, maka jenis-jenis Keputusan yang diterbitkan oleh
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, yaitu:
1. Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah, dengan spesifikasi:
- Hak Milik untuk perorangan dan badan hukum atas tanah pertanian,
luasnya lebih dari 20.000 M2.
- Hak Milik atas tanah Non Pertanian, luasnya lebih dari 2.000 M2 dan
tidak lebih dari 5.000 M2.
- Hak Guna Usaha atas tanah, luasnya tidak lebih dari 2.000.000 M2.
- Hak Guna Bangunan untuk orang perseorangan atas tanah, luasnya
lebih dari 1.000 M2 dan tindakan lebih dari 5.000 M2.
61
- Hak Guna Bangunan untuk Badan Hukum atas tanah, luasnya lebih
dari 5.000 M2 dan tidak lebih dari 150.000 M2;
- Hak Pakai untuk perseorangan dan badan hukum atas tanah pertanian,
luasnya lebih dari 20.000 M2.
- Hak Pakai untuk orang perseorangan atas tanah non pertanian, luasnya
lebih dari 2.000 M² dan tidak lebih dari 5.000 M2.
2. Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah.
3. Keputusan mengenai penetapan tanah negara untuk menjadi tanah objek
landreform.
4. Keputusan tentang Penegasan tanah sebagai obyek Konsolidasi Tanah.
Dengan semikian jenis-jenis Keputusan yang diterbitkan oleh Kepala Badan
Pertanahan Nasioanl dan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional,
yaitu:
Tabel 1. Jenis-jenis Keputusan yang diterbitkan oleh Kepala Badan PertanahanNasional Republik Indonesia dan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
NasionalNo. Keputusan
Kepala Badan PertanahanNasional Republik Indonesia
No. KeputusanKepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional1. Keputusan Pemberian Hak Atas
Tanah yang diberikan secaraumum (dalam artian bahwaKeputusan Pemberian Hak AtasTanah yang tidak dilimpahkankewenangannya kepada KepalaKantor Wilayah badanPertanahan Nasional atau KepalaKantor Pertanahan)
1. Keputusan Pemberian Hak AtasTanah dengan spesifikasi tertentu,sebagaimana yang daitur dalampasla 6 sampai Pasal 9 PeraturanKepala Badan PertanahanNasional Republik IndonesiaNomor 1 Tahun 2011
2. Keputusan pembatalan Hak AtasTanah
2. Keputusan Pembatalan Hak AtasTanah (dalam artian bahwaKepala Kantor Wilayah BadanPertanahan Nasional dapat
62
menerbitkan KeputusanPembatalan Hak Atas Tanah yangkewenangannya dilimpahkan olehKepala Badan PertanahanNasional)
3. Keputusan Penetapan TanahTerlantar
3. Keputusan mengenai penetapantanah negara untuk menjadi tanahobjek landreform
4. Keputusan tentang PembatalanKeputusan Penegasan tanahsebagai obyek KonsolidasiTanah (ini berarti bahwa dalamhal terjadi pembatalanKeputusan Penegasan tanahsebagai obyek KonsolidasiTanah yang diterbitkan olehKepala Kantor Wilayah BadanPertanahan Nasional,kewenangannya berada padaKepala Badan PertanahanNasional untuk mengeluarkankeputusan pembatalan tersebut)
4. Keputusan tentang Penegasantanah sebagai obyek KonsolidasiTanah
(Sumber: diolah dari berbagai Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia)
2.2.4 Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah
Sertipikat merupakan bukti kepemilikan hak atas tanah sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 19 ayat 2 huruf (c) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960,
sertipikat sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah mengandung makna bahwa
sertipikat merupakan bukti hak atas tanah yang bersifat kuat bukan mutlak. Oleh
karena itu apabila terdapat pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat diterbitkan
suatu sertipikat hak atas tanah, maka pihak tersebut dapat menggugat di
Pengadilan sepanjang dapat membuktikan sebaliknya.
Adanya gugatan di pengadilan atas terbitnya suatu sertipikat
menimbulkan konsekuensi bahwa gugatan dari pihak-pihak yang dirugikan akan
63
menuntut agar sertipikat yang diterbitkan tersebut tidak sah atau membatalkan
Sertipikat Hak Atas tanah yang menjadi pokok perkara. Pembatalan Sertipikat
Hak Atas Tanah merupakan salah satu tindakan hukum dalam bidang pertanahan
yang diambil oleh Pemerintah dalam hal ini adalah Badan Pertanahan Nasional.
Pembatalan Sertipikat Hak Atas dikonkretkan dengan membatalakan Keputusan
Kepala Kantor Pertanahan dilakukan dalam hal:
1. Adanya cacat hukum dalam penerbitan sertipikat, sebagaimanaditemukan sendiri oleh Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan.
2. Adanya putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukumtetap yang harus dilaksanakan. Amar putusan pengadilan tersebutharus secara tegas memerintahkan pembatalan keputusan pemberianhak yang bersangkutan.73
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diketahui bahwa suatu Sertipikat
Hak Atas Tanah termasuk juga Sertipikat Hak Milik Atas Tanah apabila
mengandung cacat hukum dalam penerbitannya dapat dilakukan suatu pembatalan
atas sertipikat tersebut tanpa harus ada putusan pengadilan yang telah incraht dan
apabila dalam hal terdapat putusan pengadilan yang inkracht yang menyebabkan
batalnya sertipikat hak atas tanah, maka sertipikat hak atas tanah tersebut
termasuk juga Sertipikat Hak Milik Atas Tanah tidak serta merta menjadi batal,
karena pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah merupakan tindakan administratif
dari pemerintah, sehingga pembatalan sertipikat tersebut harus dilakukan oleh
organ atau instansi yang diberikan wewenang untuk membatalkan Sertipikat Hak
Atas Tanah yang dimaksud. Hal ini dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah
Agung No. 350 K/Sip/1968 tanggal 3 Maret 1969, yaitu:
73 Adrian Sutedi, 2011, Sertipikat Hak Atas Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, selanjutnyadisebut Adrian Sutedi (I), h. 12.
64
Untuk menyatakan batal surat bukti hak milik (sertipikat) yangdikeluarkan oleh instansi agraria secara sah tidak termasuk wewenangPengadilan, melainkan semata-mata wewenangnya administrasi, sehinggapihak yang oleh pengadilan dimenangkan wajib meminta pembatalansurat bukti hak milik (sertipikat) itu kepada instansi Agraria berdasarkanputusan pengadilan yang diperoleh itu.Berdasarkan hal tersebut, maka terhadap Pembatalan Sertipikat Hak Milik
Atas Tanah ditindaklanjuti oleh Pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan
Nasional dengan penerbitan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas
Tanah. Sertipikat Hak Milik Atas Tanah merupakan salah satu Bentuk Keputusan
Tata Usaha Negara, oleh karena itu maka dalam penerbitan Keputusan
Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah harus dilaksanakan oleh pejabat
adminitrasi yang memiliki wewenang yaitu Badan Pertanahan Nasional
sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan
Penanganan Kasus Pertanahan. Apabila terdapat putusan pengadilan tentang
pembatalan sertipikat yang sudah inkracht harus ditindaklanjuti oleh Badan
Pertanahan Nasional dengan menerbitkan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak
Milik Atas Tanah melalui permohonan dari pihak yang bersangkutan. Pasal 56
ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanhan Nasional Republik Indonesia
menetapkan bahwa: “Perbuatan hukum pertanahan berupa penerbitan, peralihan
dan/atau pembatalan hak atas tanah untuk melaksanakan putusan pengadilan
dilaksanakan dengan keputusan pejabat yang berwenang”. Selanjutnya ayat (2)
menetapkan bahwa:
Proses pengolahan data dalam rangka penerbitan Keputusan sebagaimanadimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah diterimanya putusanpengadilan oleh BPN RI, berupa:a. salinan resmi putusan pengadilan yang dilegalisir pejabat berwenang;
65
b. surat keterangan dari pejabat berwenang di lingkungan pengadilanyang menerangkan bahwa putusan dimaksud telah memperolehkekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde); dan
c. Berita Acara Pelaksanaan Eksekusi untuk putusan perkara yangmemerlukan pelaksanaan eksekusi.
Berdasarkan uraian Pasal 56 tersebut, maka Badan Pertanahan
Nasional dapat mengambil tindakan hukum berupa penerbitan Sertipikat Hak
Milik Atas Tanah setelah dilakukan pengelolaan data terhadap Putusan Pengadilan
dimaksud telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde)
dan Berita Acara eksekusi untuk putusan perkara yang memerlukan pelaksanaan
eksekusi. Selain apabila penerbitan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah mengandung
suatu cacat hukum administrasi, maka Badan Pertanahan Nasional dapat
menerbitkan Keputusan Pembatalan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 63
huruf a Peraturan Kepala Badan Pertanhan Nasional Republik Indonesia yang
menetapkan bahwa: “Perbuatan hukum administrasi pertanahan terhadap
sertipikat hak atas tanah yang cacat hukum administrasi dilaksanakan dengan
menerbitkan Keputusan pembatalan”.
2.3 Sertipikat Hak Milik Hak Atas Tanah Wujud Dari Pendaftaran Tanah
2.3.1 Hak Milik Atas Tanah sebagai salah satu jenis hak-hak atas tanah
Hak-hak atas tanah merupakan salah satu perwujudan dari hak menguasai
negara dalam bidang pertanahan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960. Dasar hukum ketentuan hak-hak atas tanah diatur dalam
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, yaitu “Atas dasar hak
menguasai dari negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan
adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat
66
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-
sama dengan orang lain serta badan-badan hukum”.
Menurut Sudikno Mertokusumo, yang dimaksud hak atas tanah adalah hak
yang memberikan wewenang kepada yang mempunyai hak untuk menggunakan
atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya.74 Kata “Menggunakan”
mengandung pengertian bahwa hak atas tanah digunakan untuk kepentingan
mendirikan bangunan, misalnya rumah, toko, hotel, kantor, pabrik, kata
“mengambil manfaat” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah digunakan
untuk kepentingan bukan mendirikan bangunan, misalnya untuk kepentingan
pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan.75
Berdasarkan hak menguasai negara atas tanah, maka akan melahirkan
macam-macam hak atas tanah, salah satunya yaitu hak milik atas tanah
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960.
Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 menentukan
bahwa “Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuhi, yang dapat
dipunyai orang atas tanah. Selanjutnya dalam ayat (2) menentukan bahwa “hak
milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”. Berdasarkan rumusan Pasal
tersebut, maka hak milik merupakan hak-hak yang paling kuat, namun tidak
bersifat mutlak, karena dapat beralih kepada pihak lain. Berdasarkan penjelasan
Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, disebutkan sifat-sifat dari hak
milik berbeda dengan hak-hak lainnya, yaitu:
74 Urip Santoso, 2011, Pendaftaran Tanah dan Peralihan Hak Atas Tanah, Edisi Pertama,Cetakan Ke-2, Kencana, jakarta, h. 49.
75 Ibid.
67
Hak milik adalah hak yang “terkuat dan terpenuhi”, yang dapat dipunyaiorang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti bahwa hak inimerupakan hak “mutlak”, tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugatsebagai eigendom menurut pengertiannya yang asli dulu. Sifatnya yangdemikian akan terang bertentangan dengan sifat hukum adat dan fungsisosial dari tiap-tiap hak. kata-kata “terkuat dan terpenuhi” itu bermaksuduntuk membedakannya dengan Hak Guna Usaha , Hak Guna Bangunan,Hak Pakai dan lain-lain, yaitu untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hakatas tanah yang dapat dipunyai orang hak miliklah yang ter (artinya palingkuat dan terpenuhi).76
Merujuk pada pengertian hak milik atas tanah sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Notonegoro merinci tentang ciri-
ciri hak milik, sebagai berikut:
(1) Merupakan hak atas tanah terkuat bahkan terpenuh menurut Pasal 20ayat (1) UUPA adalah terkuat, artinya mudah dihapus dan mudahdipertahankan terhadap gangguan pihak lain.
(2) Merupakan hak turun-temurun dan dapat beralih, artinya dapatdialihkan kepada ahli waris yang berhak.
(3) Dapat menjadi hak induk, tetapi tidka akan berinduk pada hak-hak atastanah lainnya, berarti hak milik dapat dibebani dengan hak-hak atastanah lainnya, sperti HGB, HGU, HP, hak sewa, hak gadai, hak bagihasil dan hak numpang karang.
(4) Dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebabni hak tanggungan(dahulu hypotheek dan credietverband).
(5) Dapat dilaihkan, seperti dijual, ditukar dengan benda lain, dihibahkan,dan diberikan dengan wasiat.
(6) Dapat dilepaskan dengan yang punya, sehingga tanahnya menjaditanah dikuasai oleh negara.
(7) Dapat diwakafkan.(8) Pemilik mempunyai hak untuk menuntut kembali terhadap orang yang
memegang benda tersebut.77
Dalam kaitannya dengan hak milik atas tanah, hanya warga negara Indonesia
yang dapat mempunyai hak milik, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, yaitu:
(1) Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hak milik.
76 Soeharyo Soimin, 2004, Status Hak dan Pembebasan Tanah, ed.2, cet.2, Sinar Grafika,Jakarta, h. 2
77 Aslan Noor, 2006, Konsep hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau DariAjaran hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung, h. 82-83.
68
(2) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapatmempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.
(3) Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang inimemperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat ataupercampuran harta karena perkawinan, demikian pula warganegaraIndonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunyaundangundang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskanhak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya haktersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangkawaktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka haktersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, denganketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetapberlangsung.
(4) Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianyamempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyaitanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3)Pasal ini.
Merujuk Pasal 21 tersebut diatas, memberikan konsekuensi yuridis bahwa,
dalam hal terjadi pemindahan hak milik baik secara jual beli, pewarisan,
penghibahan dan perbuatan-perbutan lain yang berkaitan dengan pengalihan hak
milik tersebut diawasi oleh pemerintah, sehingga oleh karena hak milik tersebut
hanya dapat diberikan dan dimiliki oleh warga negara Indonesia, maka apabila
terjadi peralihan kepada orang asing atau badan hukum, maka kepemilikan tanah
tersebut batal demi hukum dan status tanahnya menjadi tanah negara.
Terkait dengan terjadinya hak milik atas tanah dapat dilihat dalam Pasal 22
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang menentukan bahwa:
(1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan PeraturanPemerintah.
(2) Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini hakmilik terjadi karena :a. penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;b. ketentuan Undang-undang.
Dengan demikian terjadinya hak milik ada 3, yaitu terjadi hak milik menurut
hukum adat, yaitu hak milik yang diperoleh dengan cara ini didasarkan atas
69
hukum adat; 2, hak milik terjadi berdasarkan penetapan pemerintah, yaitu
sesorang atau badan hukum yang mengajukan permohonan hak milik kepada
pemerintah, jika permohonan itu dikabulkan maka atas dasar penetapan
pemerintah orang atau badan hukum itu memperoleh hak milik; dan (3) terjadi
berdasarkan ketentuan undang-undang artinya bahwa karena undang-undang
menentukan tentang konversi hak atas tanah tertentu menjadi hak milik.78
Hapusnya Hak Milik diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960, yang menentukan bahwa:
Hak Milik hapus bila:a.tanahnya jatuh kepada Negara :
1. karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18;2. karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya ;3. karena diterlantarkan;4. karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2).
b.tanahnya musnah.Berdasarkan Uraian hak-hak atas tanah diatas, dapat dikatakan bahwa Hak
Milik merupakan salah satu jenis hak atas tanah yang berbeda dengan hak-hak
atas tanah lainnya, karena hak milik atas tanah merupakan hak atas tanah yang
terpenuh, terkuat dan dapat dimiliki secara turun temurun. Hak Milik adalah hak
hak terkuat dan terpenuh mengandung makna bahwa Hak Milik berbeda dengan
Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai dan hak-hak lainnya.
Sedangkan Hak Milik sebagai hak turun temurun mempunyai makna bahwa hak
itu dapat diwariskan secara turun temurun dan dialihkan kepada orang lain.
Hak Milik sebagai hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dipunyai
orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan tanah sebagai fungsi sosial,
78 J.B. Daliyo, et, al, 1992, Pengantar Hukum Indonesia, Buku Panduan Mahasiswa,Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 143
70
sehingga dengan sendirinya memberikan kewenangan kepada pemiliknya untuk
memberikan kembali hak lain di atas tanah hak milik tersebut.79 Dengan kata lain,
diatas hak milik dapat diberikan Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, sedangkan
Hak Guna Usaha tidak bisa diberikan diatas Hak Milik, karena Hak Guna Usaha
hanya diberikan atas tanah yang langsung dikuasai negara. Salah satu kekhususan
hak milik adalah tidak dibatasi oleh waktu dan diberikan untuk waktu yang tidak
terbatas lamanya, yaitu selama hak milik masih diakui.80
2.3.2 Pendaftaran Tanah
a. Pengertian Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah merupakan salah satu tugas negara yang dilaksanakan
oleh pemerintah dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dibidang
pertanahan bagi rakyatnya. Dalam pendaftaran tanah yang didaftarkan tidak hanya
hak-hak atas tanahnya melainkan juga tanah negara dan tanah wakaf sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Dalam
hal tanah negara pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang
tanah yang bersangkutan dalam daftar tanah.81 Dan pada tanah wakaf, apabila
tanah yang bersangkutan bersertipikat, pendaftaran dilakukan dengan
membubuhkan catatan-cataann pada buku tanah dan Sertipikat hak Miliknya.82
Jadi dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa disebut dengan pendaftaran
tanah, bukan pendaftaran hak-hak atas tanah, karena yang dapat didaftarkan bukan
79 Yudhi Setiawann (I), Op. cit, h. 4180 Aslan Noor, Op. cit, h. 8281 Boedi Harsono, Op.cit, h. 47682 Ibid
71
hanya hak-hak atas tanah saja seperti Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan hak-
hak atas tanah lainnya tetapi juga dapat berupa tanah negara dan tanah wakaf.
Menurut A.P Parlindungan sebagaimana yang dikutip oleh Urip Santoso
memberikan suatu penjabaran tentang asal kata pendaftaran tanah, yaitu:
Pendaftaran tanah berasal dari kata Cadastre (Bahasa Belanda Kadaster)suatu istilah teknis untuk suatu record (rekaman), menunjukkan kepadaluas, nilai, dan kepemilikan (atau lain-lain atas hak) terhadap suatu bidangtanah. Kata ini berasal dari Bahasa Latin “Capistratum” yang berarti suaturegister atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah Romawi(Capotatio Torrens).83
Boedi Harsono memberikan definisi tentang Pendaftaran Tanah, yaitu:
Pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan, yang dilakukan olehNegara/Pemerintah secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulanketerangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada diwilayah-wilayah tertentu, pengelolahan, penyimpanan dan penyajian bagikepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukumdibidang pertanahan termasuk penerbitan tanda-buktinya danpemeliharaannya.84
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pengertian pendaftaran
tanah diatur dalam Pasal 19 ayat (2) yaitu rangkaian kegiatan yang meliputi (1)
Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah; (2) Pendaftaran hak atas tanah dan
peralihan hak tersebut; (3) Pembuktian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat. Selanjutnya menurut Pasal 1 angka 1
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah mengatur
bahwa:
Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan olehPemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputipengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaandata fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat
83Lihat Pendapat AP. Parlindungan dalam Urip Santoso, Op.cit, h.1284 Boedi Harsono, Op.cit, h. 72
72
tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya danhak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yangmembebaninya.
Secara umum tujuan utama dari pendaftaran tanah adalah: 1) untuk
memelihara dan mengembangkan sistempendataran tanah secara efisien; 2) untuk
menjamin hak-hak atas tanah secara sah menurut undnag-undang atas nama; 3)
untuk mengakses ke informasi tanah secara akurat; 4) untukm meningkatkan
pemberian layanan.85
Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menentukan bahwa
“Pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah”.
Menurut Boedi harsono, kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali
(“initial registration) dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu:
1. Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanhuntuk pertama kali yang dilakukan secara serentak, yang meliputisemua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayahatau bagan wilayah suatu desa atau kelurahan. Umumnya prakarsadatang dari pemerintah.
2. Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanahuntuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftarantanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahansecara individual atau massal, yang dilakukan atas pemegang ataupenerima hak atas tanah yang bersangkutan.86
Dengan demikain pendaftaran tanah dapat dilakukan melalui dua cara yaitu
pendaftaran tanah secara sporadik, yaitu pada dasarnya prakasarsa berasal dari
pemohon pendaftaran baik yang bersifat individual maupun massal dengan biaya
dari pemohon sendiri. Sedangkan pendaftaran tanah sporadik yaitu pendaftaran
tanah yang pada dasarnya berasal dari prakarsa pemerintah.
85 Adrian Sutedi, 2006, Kekuatan Hukum Berlakunya Sertifikat Sebagai Tanda Bukti HakAtas Tanah, BP. Cipta Jaya, Jakarta, selanjutnya disebut Adrian Sutedi (II), h. 29
86 Boedi Harsono, Op.cit, h.75-76
73
b. Obyek Pendaftaran Tanah
Negara Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur penguasaan,
peruntukan, pengelolaan dan pemanfaatan atas tanah atau yang dilaksakan oleh
Pemerintah yang disebut dengan hak menguasai negara atas tanah menimbulkan
adanya hak-hak atas tanah, dimana hak-hak atas tanah ini merupakan obyek
pendaftaran tanah yang harus didaftarkan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 obyek pendaftaran tanah meliputi:
1. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha,hak guna bangunan dan hak pakai;
2. Tanah hak pengelolaan;3. Tanah wakaf;4. Hak milik atas satuan rumah susun;5. Hak tanggungan;6. Tanah negara.
c. Sistem Publikasi dalam Pendaftaran Tanah
Sistem Publikasi dalam pendaftaran tanah dikalangan para ahli disebut
juga dengan sistem pendaftaran tanah, namun menurut Boedi Harsono kedua
istilah tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Sistem pendaftaran tanah
mempermasalahkan: apa yang didaftarkan, bentuk penyimpangan dan penyajian
data yuridisnya serta bentuk tanda bukti haknya.87 Sistem pendaftaran tanah terdiri
dari Registration of deeds (sistem Pendaftaran Akta atau Perbuatan hukum) dan
Registration of titles (Sistem Pendaftaran Hak atau hubungan hukum).88
Registration of title kemudian dikenal dengan sistem Torens.89 Sedangkan Sistem
Publikasi dalam Pendaftaran tanah adalah berkaitan dengan penyajian data yang
87 Ibid, h. 7688 Arie S. Hutagalung, et.al, 2012, Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia, Pustaka
Larasan, Denpasar, h. 24289 Boedi Harsono, Op. cit, h. 77
74
dihimpun secara terbuka dan disajikan dalam tanda bukti hak sebagai informasi
bagi masyarakat yang akan melakukan perbuatan hukum atas tanah yang telah
didaftrkan tersebut. Sistem publikasi dalam pendaftaran tanah dikenal ada 2 (dua)
macam, yaitu sistem Publikasi Positif dan Sistem Publikasi Negatif.
1) Sistem Publikasi Positif
Sistem Publikasi Positif dalam pendaftaran tanah menandakan bahwa
sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang bersifat mutlak, dalam artian
bahwa pendaftaran tanah yang dilakukan oleh orang adalah benar, sehingga
apabila ada pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat diterbitkannya suatu
sertipikat, maka pihak tersebut tidak dapat menuntut perbuatan hukum yang
terjadi pendaftaran hak atas tanah tersebut, dan dalam keadaan tertentu pihak
ketiga yang dirugikan tersebut akan diberikan kompensasi dalam bentuk yang
lain. Dengan kata lain bahwa negara memberikan jaminan bahwa pendaftaran
tanah yang dilakukan tersebut sudah dilakukan dengan benar. Sistem publikasi
pendaftaran tanah yang positif, ditemukan pada negara-negara Anglo saxon,
seperti Inggris, dan negeri-negeri jajahannya. Cara Pengumpulan data pada
sistem positif ialah pendaftaran “title” atau hubungan hukum yang kongkrit
yaitu haknya.90
Adapun ciri-ciri sistem publikasi positif dalam pendaftaran tanah yaitu:
1. Sistem pendaftaran tanah menggunakan sistem pendaftaran hak(registration of titles).
2. Sertipikat yang diterbitkan sebagai tanda bukti hak yang bersifat mutlak,yaitu data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertipikat tidakdapat diganggu gugat dan memberikan kepercayaan yang mutlak padabuku tanah.
90 Ibid.
75
3. Negara sebagai pendaftar menjamin bahwa data fisik dan data yuridisdalam pendaftaran tanah adalah benar.
4. Pihak ketiga yang memperoleh tanah dengan itikad baik mendapatkanperlindungan hukum yang mutlak.
5. Pihak lain yang dirugikan atas diterbitkannya sertipikat mendapatkankompensasi dalam bentuk lain.
6. Dalam pelaksanaan pendaftaran tanah membutuhkan waktu yang lama,petugas pendaftaran tanah melaksanakan tugasnya dengan sangat telitidan biaya relatif lebih besar.91
2) Sistem Publikasi Negatif
Sistem Publikasi Negatif dalam pendaftaran tanah mempunyai makna
bahwa data yang disajikan dalam pendaftaran belum tentu benar adanya,
dengan kata lain bahwa negara tidak jaminan tentang kebenaran data yang
disajikan dalam pendafataran. Sehingga apabila ada pihak yang keberatan atas
pendaftaran hak atas tanah, maka dimungkinkan adanya gugatan dari pihak lain
yang dapat membuktikkan bahwa ia merupakan pemegang hak yang
sebenarnya. Terkait dengan sistem publikasi negatif pendaftaran tanah Arie S.
Hutagalung menyatakan bahwa
Dalam sistem publikasi negatif ini, negara hanya secara pasif menerimaapa yang dinyatakan oleh pihak yang meminta pendaftaran, oleh karenaitu sewaktu-waktu dapat digugat oleh orang yang merasa lebih berhakatas tanah itu. pihak yang memperoleh tanah dari orang yang sudahterdaftar pun tidak dijamin, walaupun dia memperoleh tanah itu denganiktikad baik.92
Sistem publikasi pendaftaran tanah yang negatif pada umumnya berlaku di
negara-negara Eropa Kontinental, seperti Belanda. Cara pengumpulan data
pada sistem ini ialah pendaftaran “deeds” atau perbuatan hukumnya.93 Dengan
demikian ciri-ciri sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah yaitu:
91 Urip Santoso, Op.cit, h. 26492 Ibid, h. 26693 Arie S. Hutagalung, et.al, Op.cit, h. 242.
76
1. Sistem pendaftaran tanah mengunakan sistem pendaftaran akta(registration of deed).
2. Sertipikat yang diterbitkan sebagai tanda bukti hak bersifat kuat, yaitudata fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertipikat dianggapbenars epanjang tidak dibuktikan sebaliknya oleh alat bukti lain.Sertipikat bukan sebagai satu-satunya tanda bukti hak.
3. Negara sebagai pendaftar tidak menjamin bahwa data fisik dan datayuridis dalam pendaftaran tanah adalah benar.
4. Pihak lain yang dirugikan atas diterbitkannya sertipikat a]dapatmengajukan keberatan kepada penyelenggara pendaftaran tanah untukmembatalkan sertipikat ataupun gugatan ke pengadilan untuk memintaagar sertipikat dinyatakan tidak sah.94
d. Sistem Publikasi dalam Pendaftaran Tanah Yang dianut di Indonesia
Sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf,
hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing
sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan, sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendafaran Tanah. Berdasarkan Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 menentukan bahwa “Pendaftaran tersebut pada ayat (1) Pasal ini
meliputi pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat”.
Dengan melihat ketentuan tersebut, maka sertipikat hak atas tanah memiliki
pengakuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Meskipun sertipikat
mendapat pengakuan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 sebagai alat
bukti yang kuat, namun sertipikat belum menjamin adanya kepastian hukum,
karena bagi pihak yang berkebaratan atas penerbitan sertipikat tersebut, maka
94 Urip Santoso, Op.cit, h. 266-267
77
dapat mengajukan gugatan di pengadilan dan dapat membuktikan sebaliknya
bahwa tanah yang dimaksud adalah miliknya. Adanya gugatan dari pihak lain
yang merasa memiliki tanah tersebut, disebabkan oleh karena pendaftaran tanah di
Indonesia menganut sistem publikasi negatif.
Asas Publikasi negatif tersebut telah dijadikan Yurisprudensi yakni putusan
Mahkamah Agung No. 459/K/Sip/1975 tanggal 18 September 1975, yang
menyebutkan bahwa “Mengingat stelsel negatif tentang registrasi pendaftaran
tanah yang berlaku di Indonesia, maka terdaftaranya nama seseorang di dalam
register bukanlah berarti absolut menjadi pemilik tanah tersebut apabila
ketidakabsahannya dapat dibuktikan oleh pihak lain.95
Menurut Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
menentukan bahwa “Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang
termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan
data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan”.
ketentuan Pasal 32 ayat (1) tersebut mengandung makna bahwa data fisik dan data
yuridis yang terkandung dalam data fisik dan data yurids dalam sertipikat harus
dianggap benar sebelum ada alat bukti lain yang membuktikannya. Selanjutnya
dalam penjelasan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
menjelaskan bahwa:
Pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya diperintahkan oleh UUPAtidak menggunakan sistem publikasi positif, yang kebenaran data yangdisajikan dijamin oleh Negara, melainkan menggunakan sistem publikasi
95 Adrian Sutedi (I), Op.cit, h. 4
78
negatif. Di dalam sistem publikasi negatif Negara tidak menjaminkebenaran data yang disajikan. Tetapi walaupun demikian tidaklahdimaksudkan untuk menggunakan sistem publikasi negatif secara murni.Hal tersebut tampak dari pernyataan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf cUUPA, bahwa surat tanda bukti hak yang diterbitkan berlaku sebagai alatbukti yang kuat dan dalam Pasal 23, 32, dan 38 UUPA bahwa pendaftaranberbagai peristiwa hukum merupakan alat pembuktian yang kuat. Selainitu dari ketentuan-ketentuan mengenai prosedur pengumpulan,pengolahan, penyimpanan dan penyajian data fisik dan data yuridis sertapenerbitan sertipikat dalam Peraturan Pemerintah ini, tampak jelas usahauntuk sejauh mungkin memperoleh dan penyajian data yang benar, karenapendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum.Merujuk uraian diatas, maka sistem publikasi pendaftaran tanah di
Indonesia menganut sistem publikasi negatif, namun bukan publikasi negatif yang
murni, karena disatu sisi, pendafataran tanah di Indonesia menggunakan sistem
pendaftaran hak “registration of titles”, hal ini dapat dilihat dari adanya buku
tanah sebagi dokumen yang memuat data yridis dan data fisik suatu bidang tanah
dan selanjutnya dihimpun dan disajikan dalam bentuk Sertipikat sebagai tanda
bukti hak atas tanah yang didaftar. Ini berarti bahwa pendaftaran tanah
memberikan perlindungan hukum yang seimbang atas pendaftaran tanah yang
diselenggarakan untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam bidang
pertanahan sedangkan disisi lain negara tidak menjamin kebenaran data fisik
maupun data yuridis yang disajikan dalam Sertipikat, sehingga menyebabkan
Sertipikat dapat digugat di Pengadilan.
79
BAB III
KEWENANGAN KEPALA KANTOR WILAYAH BADAN PERTANAHAN
NASIONAL DALAM MENERBITAKAN KEPUTUSAN PEMBATALAN
SERTIPIKAT HAK MILIK ATAS TANAH
3.1 Kewenangan Badan Pertanahan Nasional
3.1.1 Pengertian Kewenangan
Kewenangan atau yang disebut dengan wewenang (beveogdheid)
mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam penyelenggaraan
pemerintahan, karena dengan adanya wewenang yang didasarkan atas hukum,
maka akan memberikan legitimasi bagi tindakan pemerintah. Menurut F.A.M.
Stroink sebagaimana yang dikutip oleh Jum Aggriani, dikemukakan bahwa
“Dalam konsep hukum publik, wewenang merupakan suatu konsep inti dalam
hukum tata negara dan hukum administrasi. Dalam hukum tata negara wewenang
(bevoegheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtmacht). Dengan
demikian dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan”.96
Kewenangan menurut P. Nicolai, adalah sebagai berikut:
Het vermogen tot het verrichten van bepaalde rechtshandelingn(handeling die op rechtsgevoleg gericht zijn en dus ertoe strekken datbepaalde rechtsgovelgen onstaan of teniet gaan). Een recht houdt in de(rechten gegeven) aanspraak op het verrichten van een handeling door eenander. Een plicht impliceert een verplichting om een bepaalde handelingte verrichten of na te laten.97 (kemampuan untuk melakukan tindakanhukum tertentu (yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untukmenimbulkan akibat-akibat hukum, dan mencakup mengenai timbul danlenyapnya akibat hukum). Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau
96 Lihat Pendapat Stroink dalam Jum Aggriani, Op.cit, h. 7597Ridwan HR, Op.cit, h.102.
80
tindak melakukan tindakna tertentu atau menuntut pihak lain untukmelakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusanuntuk melakukan tindakan tertentu).
Selanjutnya menurut S.F. Marbun, wewenang mengandung arti
kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis
adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku
untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.98 Dari pengertian tersebut, maka
dapat diketahui bahwa kewenangan merupakan suatu kemampuan yang dimiliki
oleh organ atau pejabat Tata Usaha Negara yang diberikan oleh Undang-Undang,
sehingga dapat dikatakan setiap penyelenggaraan pemerintahan harus didasarkan
pada asas legalitas.
Asas legalitas memberikan legitimasi pada kewenangan yang dimiliki
oleh Pejabat atau badan Tata Usaha Negara dalam mengambil suatu tindakan
hukum. Menurut Pendapat Indroharto sebagaimana yang dikutip oleh Irfan
Fachruddin merumuskan: “...tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh
suatu peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, segala macam aparat
pemerintah itu tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau
mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya”.99 Berdasarkan
pengertian tersebut, maka dapat diketahui bahwa adanya pembatasan kekuasaan
pemerintah oleh hukum.
Sifat wewenang pemerintahan antara lain expressimplied, jelas maksud
dan tujuannya, terikat pada waktu tertentu dan tunduk pada batasan-batasan
hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.100 Jadi dalam hal ini, Kewenangan yang
98 SF. Marbun (I), Op.cit, h. 154.99 Lihat Pendapat Indroharto dalam Irfan Fachruddin, Loc. cit.100 SF. Marbun (I), Loc.cit
81
dimiliki oleh pemerintah terikat pada maksud dan tujuan dari pemberian
wewenang tersebut dan dilaksanakan menurut hukum tertulis dan hukum tidak
tertulis yaitu asas-asas umum penyelenggara pemerintahan yang layak.
Dalam konsep hukum publik, kewenangan berkaitan dengan kekuasaan
hukum, sehingga dengan adanya wewenang memberikan legitimasi bagi
penyelenggara pemerintah dalam mengeluarkan keputusan-keputusan secara
sepihak yang bersifat mengikat bagi orang lain. Sebagai konsep hukum publik,
wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen, yaitu: Pengaruh, Dasar
Hukum, dan Konformitas hukum.101
Phipilus M. Hadjon, menyatakan bahwa:
Komponen pengaruh ialah penggunaan wewenang dimaksud untukmegendalikan perilaku subyek hukum; komponen dasar hukum, bahwawewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya dan komponenkonformitas hukum, mengandung makna adanya standar wewenang, yaitustandar umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jeniswewenang tertentu).102
3.1.2 Sumber-sumber Kewenangan Pemerintah
Kewenangan merupakan suatu kekuasaan hukum penyelenggara
pemerintah dalam melaksanakan tindakan hukum publik. Suwoto Mulyosudarmo
dengan menggunakan istilah kekuasaan mengemukakan ada dua macam
pemberian kekuasaan, yaitu perolehan kekuasaan yang sifatnya atributif dan
perolehan kekuasaan yang sifatnya derivatif. Perolehan kekuasaan secara derivatif
101 Philipus M. Hadjon, et.al, 2011, Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi,Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 11
102 Ibid.
82
dibedakan antara delegasi dan mandat.103 Menurut Lukman Hakim, yang
menyatakan bahwa “Kekuasaan yang diperoleh secara atribusi (atributie van
macht) bersumber pada UUD atau Konstitusi melalui asas-asas pembagian
kekuasaan. Kekuasaan derivatif yang terdiri atas delegasi dan mandat bersumber
dari pelimpahan kekuasaan.104 Jadi secara teoritis, sumber wewenang ada tiga
yaitu Atribusi, Delegasi dan Mandat.
Menurut Rapport sebagaimana yang dikutip oleh Philipus M. Hadjon,
menyatakan bahwa “Atribusi juga merupakan wewenang untuk membuat
keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti
materiil”.105 Jadi wewenang yang diperoleh secara atribusi merupakan suatu
pembentukan wewenang tertentu oleh suatu organ yang berwenang berdasarkan
peraturan Perundang-Undangan yang diberikan kepada organ tertentu. wewenang
yang diperoleh secara atribusi menyebabkan munculnya suatu wewenang baru,
dimana wewenang tersebut sebelumnya tidak dimiliki oleh organ pemerintah
yang bersangkutan.
Indroharto membedakan wewenang pemerintahan baru (legislator) yang
kompeten untuk memberikan atribusi wewennag pemerintah itu dibedakan antara:
original legislator dan delegated legislator.106 Yang disebut sebagai original
legislator yaitu badan legislasi yang mempunyai kewenangan membentuk
konstitusi dan undang-undang, misalnya MPR dan delegated legislator yaitu
103Suwoto Mulyosudarmo, 1997, Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan YuridisTerhadap Pidato Nawaksara, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.39-48
104 Lukman Hakim, Op. cit, h. 74105 Lihat Pendapat Rapport dalam Philipus M Hadjon,et al, Loc. cit106 Indroharto, 1991, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata usahaNegara, Pustaka Sinar Harapan, jakarta, h. 65
83
organ pemerintah yang berdasarkan pada suatu Undang-undang membentuk suatu
peraturan yang menciptakan wewenang-wewenang pemerintahan tertentu kepada
badan atau pejabat Tata Usaha Negara. Jadi dapat dikatakan bahwa, dalam suatu
wewenang yang diperoleh secara atribusi, pembentukan wewenang atribusi dan
penyebaran wewenang utamanya ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar dan
pembentukan wewenang organ atau Pejabat Tata Usaha Negara didasarkan pada
suatu Peraturan Perundang-undnagan.
Dalam artikel 10: 3 Alegemen Wet Bestuursrecht, delegasi diartikan
sebagai penyerahan wewenang (untuk membuat “besluit”) oleh pejabat
pemerintahan kepada pihak lain dan wewenang tersebut menjadi tanggungjawab
pihak lain tersebut, Yang memberi/melimpahkan wewenang disebut delegans dan
yang menerima wewenang disebut delegataris.107 Jadi dalam wewenang yang
diperoleh secara delegasi merupakan suatu bentuk pelimpahan wewenang yang
menimbulkan sautu pergeseran kompetensi dari pemberi wewenang (delegans)
kepada penerima delegasi (delegataris), sehingga pemberi wewenang (delegans)
tidak menggunakan lagi wewenang tersebut, sehingga tanggungjawab dan
tanggunggugat beralih kepada penerima delegasi (delegataris).
Menurut Triepel, pengertian delegasi dibedakan dalam echte delegation
dan unechte delegation.108Unechte delegation atau yang disebut dengan
Konservierende delegation merupakan suatu jenis pendelegasian dengan
menyerahkan suatu kompetensi tetapi pemangku kekuasaan yang asli sama
memperoleh wewenangnya seperti yang memperoleh kompetensi itu. Jadi dalam
107 Philipus M. Hadjon, et al, Op. cit, h. 13108 H. Mustamin Daeng Matutu. Al Kajangi, e.al, 2004, Mandat, delegasi, Attribusi dan
Implementasinya di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, h. 65.
84
pendelegasian jenis ini, bukan merupakan pendelegasian yang membebaskan
secara penuh kewenangan dari pemberi delegasi, melainkan hanya untuk
meringankan beban saja, namun dalam pendelgasian ini, walaupun pemberi
wewenang masih dapat menggunakan kewenangan seperti sediakala, penerima
wewenang dalam bertindak bukan atas nama pemberi wewenang, tetapi dalam
bertindak atas nama penerima delegasi sendiri. Sedangkan menurut Triepel, echte
Delegation (delegasi sesungguhnya) berarti suatu pelepasan dan suatu penerimaan
kompetensi.109 Ini berarti bahwa pemberi wewenang tidak lagi dapat
menggunakan wewenangnya, karena telah terjadi suatu penyerahan wewenang
(pelepasan) kepada penerima wewenang. Dengan demikian dalam pendelegasian
wewenang, terjadi suatu pelepasan dan penerimaan wewenang yang didasarkan
atas kehendak dari pihak yang menyerahkan wewenang, sehingga pihak yang
mendelegasikan wewenang tidak dapat lagi menggunakan wewenangnya,
sedangkan pihak yang menerima pendelegasian wewenang dapat memperluas
wewennag yang telah didelegasikan tersebut.
Dalam wewenang yang diperoleh secara delegasi oleh suatu organ atau
pejabat Tata usaha Negara, maka organ atau pejabat Tata Usaha Negara tersebut
dapat mendelegasikan kembali wewenang tersebut kepada pejabat Tata Usaha
lainnya. Menurut Jum Anggriani, “jika kewenangan yang diperoleh melalui
delegasi dilimpahkan kepada badan/lembaga/pejabat TUN yang lebih rendah
untuk melaksanakan wewennag dan tanggungjawab atas namanya sendiri.” 110
Contohnya: dari Depdagri dilimpahkan kepada Gubernur dan dari Gubernur
109 Ibid, h. 67110 Jum Anggriani, Op.cit, h.91.
85
dilimpahkan lagi kepada Kepala Dinas. 111 Selanjutnya wewenang pemerintah
yang dilimpahkan secara subdelegasi, indroharto menjelaskan bahwa:
“subdelegasi dapat terjadi apabila ditentukan dalam peraturan dasarnya bahwa
sang delegataris dapat mendelegasikan lebih lanjut wewenang pemeintahan yang
diperolehnya berdasarkan delegasi itu kepada pejabat lainnya. Untuk subdelegasi
ini secara mutatis mutandis juga berlaku ketentuan-ketentuan mengenai delegasi
pada umumnya.”112 Sejalan dengan pendapat indorharto, H.D. van Wijk
menegaskan bahwa:
De gewone vorm van delegatie is die, weararbij een is eerste instantie aaneen bestuursorgaan geattribueerde bestuursbevoegdheid door dit orgaanwordt overgedragen aan een ander bestuursorgaan. Maar ook dedelegataris kan deze beveogdheid soms weer doorgeven; dan is er sprakevan subdelegatie. Voor subdelegatie gelden, mutatis mutandis, dezelfderegels als voor delegatie. 113 (bentuk delegasi yang biasa adalah bentuk,dimana didalam instansi pertama suatu wewenang pemerintah yangdilambangkan kepada suatu lembaga pemerintahan disrahkan oleh lembagaini kepada lembaga pemerintahan yang lainnya. Namun, pihak yangdidelegasikan juga kadang-kadang bisa menyerahkan wewenang ini;sehingga kita dapat berbicara tentnag subdelegasi. Undtuk subdelegasibelaku mutatis mutandis, peraturan yang sama seperti untuk delegasi).
Jadi suatu wewenang pemerintah yang diperoleh secara delegasi dapat
dilakukan suatu pelimpahan kembali yang disebut dengan sub delegasi kepada
pejabat lainnya apabila ditentukan dalam peraturan dasarnya dan penerima
subdelegasi bertindak atas namanya sendiri.
Terkait dengan wewenang yang diperoleh secara mandat, dapat dilihat dari
pendapat Rosjidi Ranggawidjaja, dengan mengikuti pendapat Heinrich Triepel
sebagaimana yang dikutip oleh SF. Marbun, berpendapat bahwa: “Mandat
111 Ibid.112 Indroharto, Op.cit, h.66-67.113 Irfan fachruddin, Op.cit, h.52.
86
merupakan opdracht/suruhan kepada suatu alat perlengkapan (organ) untuk
melaksanakan kompetensi sendiri maupun berupa tindakan hukum oleh pemegang
suatu wewenang dengan diberikan kekuasaan penuh kepada suatu objek lain
untuk melaksanakan kompetensi si pemberi mandat atas nama si pemberi
mandat”.114 Mandat itu dapat berupa opdracht (suruhan) pada suatu alat
perlengkapan (organ) untuk melaksanakan kompetensinya sendiri ataupun untuk
melaksanakan kompetensi yang dimiliki oleh pemberi mandat atas nama si
pemberi mandat. Jadi sumber wewenang yang diperoleh secara mandat, yaitu
penerima mandat (mandataris) hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi
mandat, dimana dalam hal ini penerima mandat bukan merupakan pihak lain dari
pemberi mandat, dengan kata lain biasanya terlihat dalam hubungan antara atasan
dan bawahan.
3.1.3 Kewenangan Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional
Dalam penyelenggaraan negara, setiap tindakan pemerintah atau kebijakan
pemerintah harus didasarkan pada kewenangan yang diatur dalam Peraturan
Perundang-Undangan. Begitu juga tindakan pemerintah atau kebijakan
pemerintah dalam bidang pertanahan harus didasarkan pada Peraturan Perundang-
Undangan. Menurut Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mengatur bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya
114 Lihat Pendapat Rosjidi Ranggawidjaja dalam SF. Marbun (I), Op. cit, h. 163
87
kemakmuran rakyat”. Ketentuan tersebut, merupakan landasan konstitusional
yang memberikan kewenangan kepada penyelenggara pemerintahan dalam bidang
pertanahan. Rumusan Pasal tersebut, mengandung arti bahwa kewenangan
mengelola dan mengatur tanah dalam bidang hukum publik dalam hukum
pemerintahan merupakan kewenangan pemerintah pusat. Menurut Philipus M.
Hadjon sebagaimana yang dikutip oleh Yudhi Setiawan menjelaskan “Kekuasaan
hukum terkait dengan wewenang dalam bidang hukum publik terutama dalam
hukum administrasi pemerintahan, kekuasaan hukum menunjuk kepada
wewenang Pemerintah Pusat dan diatur dalam norma pemerintahan”.115 Hal
tersebut berarti bahwa tindakan pemerintah harus didasarkan pada kewenangan
yang sah yang memiliki dasar hukum. Oleh karena itu sebagai konsekuensi logis
dan yuridis dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, maka diundangkan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pasal 2
mengatur bahwa:
(1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar danhal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi air dan ruang angkasa,termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatantertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruhrakyat.
(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) Pasal ini memberiwewenang untuk :a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
115 Lihat Pendapat Philipus M. Hadjon dalam Yudhi Setiawan, 2010, Hukum Pertanahan,Teori dan Praktik, Bayumedia Publishing, Malang, selanjutnya disebut Yudhi Setiawan (II), h. 10.
88
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air danruang angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut padaayat (2) Pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuranrakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalammasyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adildan makmur.
Merujuk Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, dapat diketahui
bahwa terdapat 3 (tiga) fungsi utama keagrariaan yang harus dijalankan oleh
negara dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional, yaitu:
1. Mengatur dan Menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persediaandan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air danruang angkasa.116
Sehingga dengan wewenang yang bersumber pada hak negara untuk
menguasai tanah harus dipergunakan untuk:
a) Mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;b) Membahagiakan dan mensejahterakan rakyat;c) Memerdekakan rakyat dari berbagai tekanan hidup; dand) Memantapkan kedaulatan, keadilan dan kemakmuran di kalangan
masyarakat luas.117
Menurut Sjachran Basah sebagaimana yang dikutip oleh SF. Marbun
menyatakan bahwa, “Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria merupakan landasan
hukum yang memungkinkan administrasi negara melaksanakan tugas, fungsi dan
wewenang di bidang pertanahan”.118 Hal tersebut berarti bahwa diaturnya hak
menguasai negara dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 mengandung makna bahwa negara sebagai
116 Adrian Sutedi, 2006, Politik dan Kebijakan Hukum Pertanahan serta berbagaipermasalahan, BP. Cipta Jaya, Jakarta, selanjutnya disebut Adrian Sutedi (III), h. 12
117 Lihat Pendapat Sjachran Basah dalam SF. Marbun, et. al, 2001, Dimensi-DimensiPemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, h. 371
118 Ibid, h. 364
89
tingkat tertinggi yang memiliki kewenangan dalam bidang pertanahan, dimana
negaralah yang memiliki kewenangan dan berhak mengatur penguasaan,
peruntukan, pemanfaatan dan penguasaan tanah, sehingga kewenangan negara ini
merupakan suatu kewenangan asli atau yang disebut dengan kewenangan yang
diperoleh secara atribusi yang lansung bersumber pada Pasal 33 ayat (3) yaitu
memberikan kewenangan tersebut kepada penyelenggara pemerintahan untuk
mengatur penguasaan, peruntukkan dan pemanfaatan tanah.
Jadi dalam rangka pelaksanaan kewenangan dalam bidang pertanahan
tersebut, Presiden sebagai Kepala Pemerintahan membentuk suatu Lembaga
Pemerintahan non Departemen yaitu Badan Pertanahan Nasional sebagai lembaga
pemerintahan yang mengurusi dan menangani bidang pertanahan. Dengan kata
lain bahwa segala urusan dibidang pertanahan menjadi wewenang Badan
Pertanahan Nasional yang dipimpin oleh seorang kepala, dan ini berarti adanya
suatu penyerahan wewenang dari Presiden kepada Kepala Badan Pertanahan
Nasional untuk menangani urusan dalam bidang pertanahan. Sehingga ketentuan
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
tersebut dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dijadikan landasan
bagi pemerintah dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang di bidang
pertanahan, sehingga dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988,
tanggal 19 Juli 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional. Pasal 2 Keputusan
Presiden Nomor 26 Tahun 1988 menetapkan bahwa:
Badan Pertanahan bertugas membantu Presiden dalam mengelola danmengembangkan administrasi pertanahan baik berdasarkan Undang-Undang Pokok Agaria maupun peraturan Perundang-Undangan lain yangmeliputi pengaturan, penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah,
90
pengurusan hak-hak tanah pengukuran dan pendaftaran tanah, dan lain-lainyang berkaitan dengan masalah pertanahan berdasarkan kebijaksanaan yangditetapkan oleh Presiden.Selanjutnya dalam rangka penguatan kelembagaan Badan Pertanahan
Nasional, maka dibentuklah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10
Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Presiden sebagai pemegang dan
penyelenggara pemerintahan memiliki kedudukan sebagai delegated legislator
yaitu yang berdasarkan pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960,
membentuk Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006
tentang Badan Pertanahan nasional dengan menciptakan wewenang-wewenang
pemerintah dalam bidang pertanahan. Dalam salah satu pertimbangan terbitnya
Peraturan Presiden ini adalah bahwa tanah merupakan perekat Negara Kesatuan
Republik Indonesia, sehingga perlu diatur dan dikelola secara nasional untuk
menjaga keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara.119 Namun
dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang
Badan Pertanahan Nasional, tidak menjelaskan secara tegas tentang wewenang
Badan Pertanahan Nasional, tetapi peraturan tersebut menguraikan hal-hal yang
berkenaan dengan tugas pokok dan fungsi Badan Pertanahan Nasional.
Pasal 3 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006
tentang Badan Pertanahan Nasional menentukan bahwa:
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, BadanPertanahan Nasional menyelenggarakan fungsi :a. perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan;b. perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan;
119 Arie Sukanti Hutagalung, 2008, Kewenangan pemerintah di Bidang Pertanahan, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 88.
91
c. koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;d. pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan;e. penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan di
bidang pertanahan;f. pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian
hukum;g. pengaturan dan penetapan hak -hak atas tanah;h. pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan
wilayah-wilayah khusus;i. penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik
negara/daerah bekerjasama dengan Departemen Keuangan;j. pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah;k. kerjasama dengan lembaga-lembaga lain;l. penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program
di bidang pertanahan;m.pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;n. pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di
bidang pertanahan;o. pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan;p. penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan;q. pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang
pertanahan;r. pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan;s. pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang
pertanahan;t. pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau
badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturanperundang -undangan yang berlaku;
u. fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundang -undanganyang berlaku.
Berdasarkan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional seperti yang
diuraikan diatas, terlihat bahwa Badan Pertanahan Nasional memiliki tugas dan
fungsi yang bersifat administratif yaitu merumuskan kebijakan pertanahan baik
yang didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria dan Peraturan Perundang-Undangan lainnya.
Ditinjau dari sudut hukum administrasi negara, Badan Pertanahan Nasional
merupakan lembaga pemerintah Non Departemen yang bertugas untuk membantu
92
presiden dalam pengelolaan keadminstrasian dibidang pertanahan yang meliputi:
pengaturan penggunaan tanah, penguasaan tanah, pemilikan tanah dan
pemanfaatan tanah, pengukuran tanah, pendaftaran tanah, pegkajian dan
penanganan sengketa dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah-masalah
pertanahan.
Dalam rumusan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional tersebut,
secara tersirat memuat wewenang Badan Pertanahan Nasional untuk
mengeluarkan berbagai peraturan dalam bidang pertanahan yang bersifat
mengatur yang diperoleh secara pendelegasian wewenang. Jadi dalam hal ini
Badan Pertanahan Nasional merupakan badan pemerintah dalam tingkat pusat
yang diberikan wewenang, tugas, fungsi dan tanggungjawab untuk
menyelenggarakan pemerintahan dalam bidang pertanahan.
Dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional
di daerah, sebagai instansi vertikal Badan Pertanahan Nasional membentuk
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 28 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006
yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan dibentuknya Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Organisasi
Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional. Dalam Pasal 1 ayat (1)
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2006 yang
menetapkan bahwa “Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, yang
selanjutnya dalam peraturan ini disebut Kanwil BPN, adalah instansi vertikal
Badan Pertanahan Nasional di Provinsi yang berada dibawah dan bertanggung
93
jawab langsung kepada Kepala Badan Pertanahan nasional”. Selanjutnya Pasal 1
ayat (2) menetapkan bahwa “Kanwil BPN dipimpin oleh seorang Kepala”.
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional memiliki tugas untuk
melaksanakan fungsi dan tugas Badan Pertanahan Nasional di provinsi yang
bersangkutan. Dalam Pasal 3 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006, menetapkan bahwa:
Dalam menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,Kanwil BPN mempunyai fungsi:
a. penyusunan rencana, program, dan penganggaran dalam rangkapelaksanaan tugas pertanahan;
b. pengkoordinasian, pembinaan, dan pelaksanaan survei, pengukuran, danpemetaan; hak tanah dan pendaftaran tanah; pengaturan dan penataanpertanahan; pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat;serta pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan;
c. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan pertanahan di lingkunganProvinsi;
d. pengkoordinasian pemangku kepentingan pengguna tanah;e. pengelolaan Sistem Informasi Manajemen Pertanahan Nasional
(SIMTANAS) di Provinsi;f. pengkoordinasian penelitian dan pengembangan;g. pengkoordinasian pengembangan sumberdaya manusia pertanahan;h. pelaksanaan urusan tata usaha, kepegawaian, keuangan, sarana, dan
prasarana, perundangundangan serta pelayanan pertanahan;Berdasarkan uraian diatas, maka terlihat adanya pelimpahan kewenangan
dari Presiden kepada Badan Pertanahan Nasional untuk menangani bidang
pertanahan yang selanjutnya adanya pelimpahan wewenang kepada Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional untuk melaksanakan sebagian tugas dan
fungsi Badan Pertanahan Nasional di Provinsi. Jadi dengan demikian untuk
memperjelas dasar hukum yang digunakan terhadap lahirnya kewenangan yang
dimiliki oleh Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional, dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:
94
Tabel 2: Dasar Hukum lahirnya kewenangan Badan Pertanahan Nasional dan
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
No. Jenis Peraturan Keterangan
1. Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
Dalam Pasal 3 ayat (3) merupakan landasan
konstitusional lahirnya kewenangan yang
dimiliki oleh Pemerintah dalam bidang
Pertanahan.
2. Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria
Pasal 2 malahirkan tiga fungsi utama dalam
keagrariaan khususnya bidang pertanahan
Indonesia yang dijalankan pemerintah
dalam hal ini adalah Badan Pertanahan
Nasional, yaitu:
1. Mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan penggunaan, pemanfaatan,
pengelolaan, persediaan dan
pemeliharaan tanah.
2. Menentukan dan mengatur hubungan-
hubungan hukum antara orang-orang
dengan tanah.
3. Menentukan dan mengatur perbuatan-
perbuatan hukum antara orang-orang
menganai tanah.
3. Keputusan Presiden Nomor
26 Tahun 1988, tanggal 19
Juli 1988 tentang Badan
Pertanahan Nasional.
Keputusan Presiden ini merupakan
peraturan awal yang dikeluarkan oleh
Presiden untuk membentuk Badan
Pertanahan Nasional sebagai lembaga
pemerintahan yang mengurusi bidang
pertanahan.
4. Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 10 Tahun
Peraturan ini dibentuk dalam rangka
penguatan kelembagaan Badan Pertanahan
95
2006 tentang Badan
Pertanahan Nasional.
Nasional sebagai lembaga non departeman
yang berada dibawah dan
bertanggungjawab langsung kepada
Presiden.
5. Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor
4 Tahun 2006 tentang
Organisasi Tata Kerja
Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional.
Peraturan ini merupakan peraturan yang
digunakan sebagai dasar dibentuknya
Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional sebagai instansi vertikal dari
Badan Pertanahan Nasional didaerah
provinsi.
(Sumber: diolah dari berbagai Peraturan Perundang-Undangan)
3.2 Sumber Kewenangan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional Dalam Menerbitkan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak
Milik Atas Tanah
Dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan, organ pemerintahan
melakukan suatu tindakan hukum dengan berbagai kebijakan. Tindakan hukum
organ pemerintah harus didasarkan pada wewenang yang berasal dari Peraturan
Perundang-Undangan. Hal ini didasarkan karena, pilar utama negara hukum
adalah asas legalitas. Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang
dijadikan dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan di negara hukum, sehingga
dengan asas legalitas ini akan memberikan suatu legitimasi atas tindakan
pemerintah. terkait dengan penggunaan wewenang oleh pemerintah, Philipus M.
Hadjon sebagaimana yang dikutip oleh Jufri Dewa yang menyimpulkan terdapat
lima norma umum penggunaan wewenang, yaitu:
96
1. Penggunaan wewenang harus berdasarkan peraturan Perundang-Undangan (asas wetmatigheid);
2. Larangan menyalahgunakan wewenang;3. Larangan bertindak sewenang-wenang;4. Wajib bertindak sesuai dengan norma-norma kepatutan;5. Wajib memberikan ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkan oleh
tindakan yang dilakukan.120
Lebih lanjut dijelaskan, pemerintahan yang bersih atau rechmategheid van
bestuur adalah asas keabsahan tindak pemerintahan yang memiliki tiga fungsi; (1)
bagi aparat pemerintah berfungsi sebagai norma pemerintahan (bestuursnormen);
(2) bagi masyarakat berfungsi sebagai alasan mengajukan gugatan terhadap tindak
pemerintahan (beroepsgronden); dan (3) bagi hakim berfungsi sebagai dasar
pengujian suatu tindak pemerintahan (toetsingsgronden).121 Selanjutnya terkait
dengan pemerintah dalam mengambil suatu tindakan atau perbuatan hukum harus
berdasarkan pada suatu peraturan yang berlaku dapat dilihat dari pendapat dari
Belinfante, yakni: “Administratiefrechtelijke rechtshandelingen kunen uitsluitend
verricht worden in de gevalen waarin, en op de wije waarop een wettelijk
voorschrift dat heeft voorzien of toelaat” (perbuatan hukum yang bersifat hukum
administrasi hanya dapat dilaksanakan dalam hal dengan cara yang diperkenankan
oleh peraturan yang sah).122
Begitu juga dalam kaitannya dengan tindakan pemerintah berupa penerbitan
Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah, organ atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang diberikan wewenang untuk itu harus sesuai dengan norma
umum dalam penggunaan wewenang sebagaimana yang telah disebutkan tersebut.
Setiap tindak pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang
120 Lihat Philipus M. Hadjon dalam H. Muh. Jufri Dewa, 2011, Hukum AdministrasiNegara Dalam Perspektif pelayanan Publik, Unhalu Perss, Kendari, h. 84.
121Yudhi Setiawan (I) Op.cit, h. 16.122 Adrian Sutedi (I), Op.cit, h. 37
97
sah yang diperoleh dari sumber: atribusi, delegasi dan mandat, serta dibatasi oleh
isi (materi), wilayah dan waktu.123 Sebagaimana yang telah diuraikan, bahwa
sumber wewenang pemerintahan pada umumnya diperoleh melalui tiga cara yaitu,
Atribusi, Delegasi dan Mandat, yaitu wewenang atribusi merupakan wewenang
yang diperoleh dari Peraturan Perundang-Undangan, artinya bahwa peraturan
Perundang-Undangan telah mengatur wewenang dari organ pemerintah yang
dimaksud. Wewenang delegasi merupakan wewenang yang diperoleh atas dasar
pelimpahan wewenang dari organ atau badan pemerintanahan kepada oragan atau
badan pemerintahan lainnya. Wewenang mandat merupakan suatu wewenang
yang biasanya terdapat dalam hubungan rutin antara atasan dan bawahan.
Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah merupakan salah
satu bentuk dari perbuatan hukum dalam bidang pertanahan yang berupa
pemutusan, penghentian atau peghapusan suatu hubungan hukum terhadap hak
milik atas tanah dalam rangka penanganan dan penyelesaian kasus pertanahan.
Menurut doktrin hukum terdapat asas-asas hukum mengenai kebatalan, yakni:
nietgheid, nultiteit, yang dibedakan menjadi kebatalan mutlak dan kebatalan
nisbi.124 Kebatalan mutlak merupakan suatu perbuatan harus dianggap batal,
meskipun tidak perlu diminta secara tegas oleh pihak tertentu, sedangkan
kebatalan nisbi adalah pembatalan suatu perbuatan apabila diminta oleh pihak
tertentu. Kedua jenis pembatalan tersebut, berkaitan dengan perbuatan yang
dianggap sah atau tidak sahnya suatu keputusan sehingga menyebabkan keputusan
dibatalkan, dimana yang dapat melakukan pembatalan suatu perbuatan hanya
123 Yudhi setiawan (II), Op. cit, 51124 Adrian Sutedi (I), Op. cit, h. 243
98
dapat dilakukan oleh hakim atau badan atau pejabat pemerintahan yang diberikan
wewenang untuk itu. Jadi keputusan yang batal merupakan keputusan yang
pembatalannya harus dengan putusan hakim atau keputusan Badan Administrasi
Negara yang lebih tinggi atau badan Administrasi Negara yang mengeluarkan
keputusan tersebut. Termasuk juga dalam pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas
Tanah, karena Sertipikat merupakan suatu keputusan yang dikeluarkan oleh organ
atau pejabat Tata Usaha Negara dalam hal ini adalah Badan Pertanahan Nasional.
Pembatalan Sertipikat Hak Milik atas tanah merupakan salah suatu
tindakan hukum Badan Pertanahan Nasional sebagai pejabat Tata Usaha Negara
yang diberikan kewenangan untuk melakukan suatu tindakan hukum berupa
Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah. Telah dijelaskan bahwa Badan
Pertanahan Nasional merupakan lembaga pemerintah non departemen yang
diberikan tugas untuk mengatur peruntukan, penguasaan, pemilikan dan
hubungan-hubungan hukum atas tanah yang dibentuk berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Namun
dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tidak dijelaskan secara tegas
tentang kewenangan yang dimiliki oleh Badan Pertanahan Nasional, dan hanya
mengatur tentang tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional, sehingga dapat
diartikan bahwa penetapan kewenangan Badan Pertanahan Nasional dalam
bidang Pertanahan oleh Presiden merupakan suatu bentuk penyerahan wewenang
secara delegasi.
Wewenang yang diperoleh secara delegasi merupakan suatu penyerahan
wewenang yang dipunyai oleh organ atau pejabat pemerintahan kepada organ atau
99
pejabat Pemerintahan lain, dalam hal ini Presiden sebagai organ pemerintahan
menyerahkan kewenangan untuk mengurusi bidang pertanahan kepada Badan
Pertanahan Nasional. Termasuk juga dalam kaitannya dengan pembatalan
Sertipikat Hak Atas tanah, wewenang yang dimiliki oleh Badan Pertanahan
Nasional untuk melakukan pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah dapat dilihat
dalam Pasal 3 huruf t Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 intinya
menentukan bahwa salah satu fungsi Badan Pertanahan Nasional adalah
pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan
hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-Undangan
yang berlaku. Berdasarkan wewenang yang diperoleh secara delegasi tersebut,
maka Kepala Badan Pertanahan Nasional sebagai pemimpin Badan Pertanahan
Nasional mengeluarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan
Kasus Pertanahan yang dijadikan sebagai peraturan dasar dalam Pembatalan
Sertipikat Hak Atas Tanah termasuk Hak Milik Atas Tanah.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor
3 Tahun 2011 merupakaan peraturan yang diterbitkan atas dasar kekuasaan
regulasi yang materi muatannya bersifat pengaturan. Kekuasaan regulasi
merupakan kekuasaan mengatur yang diberikan kepada pemerintah untuk
melaksanakan kekuasaan legislatif atau dengan kata lain untuk menjalankan
segala sesuatu hal pokok yang dituangkan dalam kekuasaan legislasi.125
Dibentuknya suatu peraturan regulasi bertujuan untuk melaksanakan kekuasaan
125 Yudhi Setiawan (I), Op.cit, h. 62
100
legislasi atau untuk menjalankan segala sesuatu hal pokok yang dituangkan dalam
kekuasaan legislasi, sehingga Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 merupakan peraturan regulasi yang
dikeluarkan oleh adanya suatu delegasi wewenang atau delegated legislation.
Menurut H.W.R. Wade menyatakan bahwa: “A standard argument for delegated
legislation is that is necessary for cases where parliament cannot attend to small
maters of details”.126 (pendapat mendasar tentang delegated legislation adalah
diperlukan untuk kasus-kasus, dimana parlemen tidak dapat mengurus masalah
secara mendetail).
Dalam rangka melaksanakan regulasi tersebut, Pemerintah dalam hal ini
Badan Pertanahan Nasional melaksanakan tindakan-tindakan hukum dalam
penyelesaian kasus pertanahan salah satunya yaitu tindakan hukum berupa
Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah, sebagiamana yang diatur dalam
pasal 72 huruf b Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun
2011 yang itinya menetapkan bahwa kasus pertanahan yang dalam penanganan
BPN RI dinyatakan selesai dengan kriteria penyelesaian berupa Penerbitan
Keputusan tentang pemberian Hak Atas Tanah, Pembatalan Sertipikat Hak Atas
Tanah, pencatatat dalam buku tanah atau perbuatan hukum lainnya sesuai surat
pemberiatahuan penyelesaian kasus. Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah
termasuk Sertipikat Hak Milik Atas Tanah merupakan salah satu kebijakan
pertanahan nasional dalam rangka menetapkan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum dengan tanah.
126 H.W.R.Wade, 1977, Administrasi law, Fourth Edition, Oxford University Press,England, h. 698.
101
Dalam melakukan pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah terlebih
dahulu harus mengetahui perolehan hak atas tanahnya, dimana dengan diketahui
perolehan hak atas tanahnya, maka akan menimbulkan prosedur atau mekanisme
pembatalannya. Terjadinya suatu pembatalan sertipikat hak milik atas tanah
disebabkan oleh perolehan atau penerimaan haknya tidak memenuhi syarat-syarat
yang telah ditetapkan dalam Keputusan pemberian haknya atau telah terjadi
kekeliruan atau kesalahan baik secara administrasi maupun dalam hal penerapan
peraturannya dalam pemberian haknya tersebut, yang dapat diketahui baik melalui
putusan pengadilan yang telah memeperoleh kekuatan hukum tetap maupun tidak.
Pembatalan sertipikat hak atas tanah termasuk juga dalam pembatalan
Sertipikat Hak Milik Atas Tanah, dapat dilakukan, karena:
1. Adanya cacat hukum administrasi dalam penerbitan Sertipikat Hak Milik
Atas Tanah. Terkait dengan adanya cacat hukum administrasi dalam
penerbitan Sertipikat Hak Milik Atas tanah dapat dilihat dalam Pasal 62
ayat (1) Peraturan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 yang menetukan bahwa “Sertipikat hak
atas tanah yang mengandung cacat hukum administrasi dilakukan
pembatalan atau pemerintah pencatatan perubahan pemeliharaan data
pendaftaran tanah menurut peraturan Perundang-Undangan”. Selanjutnya
Pasal 62 ayat (2) menetapkan bahwa:
a. kesalahan prosedur dalam proses penetapan dan/atau pendaftaranhak tanah;
b. kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran peralihan hakdan/atau sertipikat pengganti;
c. kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran penegasan dan/ataupengakuan hak atas tanah bekas milik adat;
102
d. kesalahan prosedur dalam proses pengukuran, pemetaan dan/atauperhitungan luas;
e. tumpang tindih hak atau sertipikat hak atas tanah;f. kesalahan subyek dan/atau obyek hak; dang. kesalahan lain dalam penerapan peraturan Perundang-Undangan.
Terkait dengan perbuatan hukum dalam menerbitkan Keputusan
Pembatalan Hak Atas Tanah diatur dalam Pasal 63 yang menetapkan
bahwa: “Perbuatan hukum administrasi pertanahan terhadap sertipikat hak
atas tanah yang cacat hukum administrasi dilaksanakan dengan: (a)
menerbitkan Keputusan pembatalan; dan/atau (b) pencatatan pemeliharaan
data pendaftaran tanah”.
2. Sebagai pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap (incraht). Berdasarkan putusan pengadilan yang teah
memperoleh kekuatan hukum tetap, badan atau pejabat yang berwenang
dapat melakukan suatu tindakan hukum berupa pembatalan Sertipikat Hak
Atas Tanah termasuk juga Hak Milik Atas tanah. Tindakan hukum
pembatalan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 55 Ayat (1) Peraturan
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor
3 Tahun 2011 yang menetapkan bahwa: “Tindakan untuk melaksanakan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat
berupa: a. pelaksanaan dari seluruh amar putusan; b. pelaksanaan sebagian
amar putusan; dan/atau c. hanya melaksanakan perintah yang secara tegas
tertulis pada amar putusan”. Terkait dengan pembatalan Sertipikat Hak
Milik Atas Tanah dapat dilihat dalam Pasal 56 ayat (1) yang menetapkan
bahwa “Perbuatan hukum pertanahan berupa penerbitan, peralihan
103
dan/atau pembatalan hak atas tanah untuk melaksanakan putusan
pengadilan dilaksanakan dengan keputusan pejabat yang berwenang”.
Jadi dalam hal dilakukan pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah baik
karena cacat hukum administrasi maupun sebagai pelaksanaan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterbitkan suatu Keputusan
sebagai bentuk dari tindakan hukum dari pejabat yang diberikan wewenang untuk
menerbitkan Keputusan pembatalan hak milik atas tanah.
Terkait dengan wewenang dalam melakukan Pembatalan Sertipikat Hak
Atas Tanah termasuk Sertipikat Hak milik Atas tanah dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 73 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011, yang menetapkan bahwa: “Pemutusan
hubungan hukum atau pembatalan hak atas tanah atau pembatalan data
pemeliharaan data pendaftaran tanah dilaksanakan oleh Kepala BPN RI”.
Selanjutnya dalam Pasal 58 ayat (1) menetapkan bahwa: “Kepala BPN RI
menerbitkan keputusan, peralihan dan/atau pembatalan hak atas tanah untuk
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut, maka yang mempunyai wewenang untuk
melakukan pembatalan sertipikat hak milik atas tanah adalah Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
Dalam membatalkan sertipikat Hak Milik Atas tanah Kepala Badan
Pertanahan Nasional melimpahkan wewenang tersebut kepada Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 73 ayat (2)
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
104
2011 yang menetapkan bahwa: “Pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilimpahkan kepada Deputi dan Kakanwil”. Selanjutnya dalam Pasal 58
ayat (2) menetapkan bahwa: “Penerbitan keputusan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat didelegasikan kepada Deputi atau Kakanwil”.
Berdasarkan ketentuan tersebut wewenang untuk melakukan Pembatalan
Sertipikat Hak Milik Atas tanah karena cacat administrasi dan sebagai
pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
selain berada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia juga
wewenang untuk melakukan pembatalan juga berada pada Kepala Kantor Wilayah
melalui pelimpahan wewenang. Pelimpahan wewenang dalam pembatalan diatur
dalam Pasal 74 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indoensia
Nomor 3 Tahun 2011, yang menetapkan bahwa:
Kakanwil mempunyai kewenangan untuk membatalkan:a. keputusan pemberian hak atas tanah yang dikeluarkan oleh Kakan yang
terdapat cacat hukum administrasi dalam penerbitannya;b. keputusan pemberian hak atas tanah yang kewenangan pemberiannya
dilimpahkan kepada Kakan dan Kakanwil, untuk melaksanakan putusanpengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap;
c. hak milik atas satuan rumah susun untuk melaksanakan putusanpengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap; dan
d. pendaftaran hak atas tanah asal penegasan/pengakuan hak yang terdapatcacat hukum administrasi dalam penerbitannya dan/atau untukmelaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatanhukum yang tetap;
e. pencatatan data yuridis/fisik dalam pemeliharaan data pendaftaran tanahsebagai lanjutan dari penyelesaian kasus pertanahan.
Berdasarkan rumusan Pasal-Pasal yang diuraikan tersebut mengandung
makna bahwa Kepala Badan Pertanahan Nasional yang mempunyai kewenangan
untuk membatalkan Sertipikat Hak Atas Tanah termasuk juga Sertipikat Hak
Milik Atas Tanah hanya melimpahkan kewenangan tersebut kepada Kepala
105
Kantor Badan Pertanahan Nasional, sedangkan yang mempunyai kewenangan
untuk menerbitkan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah sebagai salah satu bentuk dari
keputusan Tata Usaha Negara adalah berada pada Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran Tanah yang
menentukan bahwa “Dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 tugas pelaksanaan pendaftaran tanah
dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan, kecuali kegiatan-kegiatan tertentu yang
oleh Peraturan Pemerintah ini atau perundang-undangan yang bersangkutan
ditugaskan kepada Pejabat lain”. Sehingga berdasarkan asas “contrarius actus”127
yaitu suatu Keputusan Tata Usaha Negara dibatalkan atau dicabut oleh Pejabat
yang mengeluarkan keputusan tersebut, maka yang seharusnya berwenang
membatalkan adalah Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang
menerbitkan Sertipikat Hak Milik tersebut. Namun perlu dijelaskan kewenangan
untuk membatalkan Sertipikat Hak Atas tanah termasuk Sertipikat Hak Milik Atas
Tanah hanya dilimpahkan sampai pada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional disebabkan karena apabila terjadi keberatan atas terbitnya suatu
sertipikat maka pihak yang keberatan tersebut dapat mengajukan upaya hukum
administratif. Menurut SF. Marbun, Upaya administratif tersebut dapat diajukan
baik kepada instansi semula mengeluarkan keputusan itu yang disebut prosedur
keberatan, maupun kepada instansi lain dari instansi semula yang mengeluarkan
127 Soehino, 1984, mengatakan bahwa Prosedur Pencabutan Kembali atau perbuatan suatuketetapan harus sama dengan prosedur pembuatan atau pembentukan ketetapan tersebut (asasContrarius actus), Lihat Soehino, Asas-Asas Hukum Tata pemerintahan, Liberty, Yogyakarta, h.172
106
keputusan itu yang disebut banding administratif. 128 Dengan demikian, maka
apabila terhadap terbitnya suatu Sertipikat Hak Milik Atas Tanah apabila terdapat
pihak yang berkeberatan atas terbitnya Sertipikat tersebut, maka terlebih dahulu
mengajukan keberatan pada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang
bersangkutan, namun apabila tidak mendapatkan penyelesaian maka dapat
mengajukan banding administratif berupa Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas
tanah tersebut kepada Instansi atasan yaitu kepada Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional maupun kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Terkait dengan Kewenangan Kepala Kantor Pertanahan Nasional dalam
menerbitkan Keputusan Permabatlan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah, telah
dijelaskan sebelumnya, wewenang delegasi merupakan suatu cara untuk
memperoleh wewenang bagi pejabat atau organ pemerintah dalam
menyelenggarakan pemerintahan, dimana dalam wewenang delegasi ini terjadi
suatu penyerahan wewenang yang menyebabkan terjadi pergeseran kompetensi
dari pemberi delegasi (delegans) kepada penerima wewenang (delegataris). Dalam
pemberian atau pelimpahan wewenang ada persayaratan-persayaratan yang harus
dipenuhi, yaitu:
1. Delegasi harus definitif, artinya delegans tidak lagi menggunakansendiri wewenang yang telah dilimpahkan (diserahkan) itu;
2. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan Perundang-Undangan,artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan itu dalamperaturan Perundang-Undangan;
3. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarkikepegawaian tidak diperkenalkan adanya delegasi;
128 SF. Marbun (I), Op. cit, 71
107
4. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan) artinya delegansberwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenangtersebut;
5. Peraturan kebijakan (beleidsregeelen) artinya delegans memberikaninstruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.129
Dalam suatu pengertian hukum publik, suatu pendelegasian wewenang
dimaksudkan untuk menyerahkan suatu kompetensi yang dimiliki oleh pejabat
pemerintahan baik seluruh atau sebagian kompetensinya kepada pejabat
pemerintahan lainnya. Pejabat atau organ pemerintahan yang mendelegasikan
wewenang tersebut harus memiliki suatu wewenang, dimana setelah
mendelegasikan wewenang tersebut, maka pemberi delegasi tidak dapat
menggunakan wewenangnya tersebut. Namun terdapat pendapat yang
memberikan batasan totalitas pada pendelegasian wewenang, sebagaimana
pendapat H. Mustamin Daeng Matutu. AL. Kajagi, dkk yang menyatakan bahwa
“pendelegasian wewenang secara total didalam suatu organisasi sewajarnya tidak
boleh dilakukan, dan kalau hal demikian sampai terjadi juga, maka hal itu dengan
sendirinya sudah menimbulkan perubahan struktur (susunan tertib) wewenang
dalam organisasi yang semula telah disepakati”. 130
Disamping itu, sebagaimana yang telah diuraikan diatas, bahwa dalam
penyerahan wewenang secara delegasi dikenal dengan Konservierende
Delegation, yaitu suatu penyerahan wewenang, dimana pemberi wewenang masih
memiliki suatu wewenang tertentu, walaupun wewenang tersebut telah diserahkan
kepada penerima delegasi. Jadi dalam hal ini dapat dikatakan pemberi wewenang
dengan penerima wewenang memiliki kompetensi yang sama, sehingga
129 Muh. Juhfri Dewa, Op. cit, h. 80130 H. Mustamin Daeng Matutu. Al Kajangi, e.al, Op.cit, h. 15
108
pendelegasian jenis ini bukan untuk membebaskan sepenuhnya terhadap suatu
wewenang tertentu, melainkan hanya bersifat meringankan saja. Namun perlu
ditegaskan bahwa delegasi wewenang pada jenis ini, penerima delegasi dalam
mengambil suatu tindakan hukum tidak atas nama penerima delegasi, melainkan
atas namanya sendiri. Jadi dalam hal ini tidak terjadi pendelegasian total atas
wewenang yang dialihkan tersebut.
Wewenang yang diperoleh secara mandat mempunyai pengertian bahwa
terjadinya wewenang mandat didasarkan karena adanya suatu penugasan dari atas
kepada bawahan, misalnya dalam hal pembuatan suatu Keputusan atas nama
Pemberi Mandat (Mandans). Jadi sipenerima mandat (mandataris) itu sebenarnya
tidak lebih dari bawahan/pelayan si pemberi mandat yang berkewajiban
melaksanakan keinginan-keinginan si pemberi mandat.131 Indroharto
menambahkan bahwa pada “mandat” tidak terjadi perubahan wewenang yang
sudah ada dan merupakan hubungan internal pada suatu badan atas penugasan
bawahan melakukan suatu tindakaan atas nama dan atas tanggugjawab mandat.132
Jadi wewenang yang diperoleh secara mandat mengandung arti bahwa
wewenang yang telah dilimpahkan kepada penerima mandat dapat digunakan
sewaktu-waktu oleh pemberi mandat. Untuk memperjelas perbedaan antara
delegasi dan mandat dapat dilihat pada tabel berikut:
131 H. Mustamin Daeng Matutu. Al Kajangi, e.al, Op.cit, h. 112132 Lukman Hakim, Op. cit, h. 129.
109
Tabel 3: Perbedaan Delegasi dan Mandat
No. Delegasi No. Mandat1. Pelimpahan wewenang dari
organ atau pejabat pemerintahan
kepada pejabat lainnya yang
didasakan pada peraturan
Perundang-Undangan.
1. Pelimpahan wewenang dalam
hubungan rutin antara atasan
dengan bawahan biasanya berupa
perintah untuk melaksanakan
tugas.
2. Pemberi delegasi tidak dapat
menggunakan wewenang yang
telah dilimpahkan, kecuali
dilakukan penarikan kembali.
Namun disisi lain dikenal
dengan Konservierende
Delegation pemberi delegasi
dapat memggunakan wewenang
yang telah dilimpahkan tanpa
melalui penarikan kembali. Dan
dalam delegasi dapat dilakukan
subdelegasi.
2. Pemberi mandat dapat
menggunakan wewenang yang
telah dilimpahkan setiap saat.
3. Penerima Delegasi dalam
melakukan suatu tindakan
hukum atas nama penerima
delegasi sendiri, sekalipun dalam
delegasi yang disebut
Konservierende Delegation dan
subdelegasi.
3. Penerima mandat bertindak atas
nama pemberi mandat.
4. Tanggungjawab beralih kepada
penerima delegasi.
4. Tanggungjawab berada pada
pemberi mandat.
(Sumber: diolah dari berbagai literatur tentang Atribusi, Delegasi dan Mandat)
110
Berdasarkan uraian tentang wewenang yang diperoleh secara delegasi dan
mandat apabila dikaitkan dengan wewenang Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional dalam menerbitkan Keputusan pembatalan Sertipikat Hak
Milik Atas Tanah khususnya yang sebagai pelaksanaan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yaitu merupakan wewenang yang
diperoleh secara subdelegasi. Hal ini dapat dilihat dari kewenangan yang dimiliki
oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional dalam bidang pertanahan diatur dalam
Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2006 sebagai bentuk dari adanya suatu
pendelegasian wewenang dari Presiden kepada Kepala Badan Pertanahan
Nasional. Selanjutnya berdasarkan kewenangan yang diperoleh secara delegasi
tersebut Kepala Badan Pertanahan Nasional membentuk Peraturan Kebijakan
yaitu berupa Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011
yang berisi petunjuk pelaksanaan tentang penerbitan Keputusan Pembatalan
Sertipikat Hak Milik Atas Tanah.
Peraturan kebijakan dibentuk karena adanya kewenangan diskresioner atau
Freies ermessen administrasi negara yang mengandung dan aspek pokok yaitu:
pertama, kebebasan menafsirkan mengenai ruang lingkup wewenang yang
dirumuskan dalam peraturan dasar wewenangnya, kedua, kebebasan untuk
menentukan sendiri dengan cara bagaimana dan kapan wewenang yang dimiliki
administrasi negara dilaksanakan.133 Oleh karena itu wewenang freis Ermessen ini
dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut:
133 Ibid
111
1. Belum ada Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur tentangpenyelesaian secara kongkrit terhadap suatu masalah tertentu,sedangkan masalah tersebut menuntut penyelesaian segera.
2. Peraturan Perundang-Undangan yang menjadi dasar bertindak aparatpemerintah memberikan kebebasan sepenuhnya untuk bertindak.
3. Adanya delegasi wewenang dari Perundang-Undangan, maksudnyaaparat pemerintah diberi kekuasaan untuk mengatur, meninjau danmenentukan tindakan sendiri atas tanggungjawabnya sendiri.
4. Tindakan dilakukan dalam hal-hal tertentu yang mengharuskan untukbertindak.134
Jadi Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus
Pertanahan yang merupakan peraturan dasar yang mengatur tentang Pembatalan
Sertipikat Hak Atas tanah termasuk Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas tanah
dibentuk karena adanya suatu delegasi wewenang dari Presiden sebagimana yang
diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006,
sehingga Kepala Badan Pertanahan Nasional memiliki kebebasan untuk
menafsirkan ruang lingkup wewenang dari Badan Pertanahan Nasional yang
diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006,
dimana peraturan tersebut tidak mengatur secara tegas mengenai wewenang yang
dimiliki oleh Badan Pertanahan Nasional, tetapi hanya mengatur tentang Tugas
Pokok dan Fungsi Badan Pertanahan Nasional, sehingga dengan demikian maka
dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional memilik kebebasan menafsirkan lingkup
wewenangnya termasuk dalam penerbitan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak
Milik Atas Tanah yang dirumuskan dalam Peraturan Presiden tersebut dan
menentukan kapan dan cara bagaimana wewenang tersebut dilaksanakan.
134 Sadjijono (I), Op.cit, h. 76
112
Selanjutnya dalam rumusan Pasal 58 ayat (2) Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasioanal menetapkan bahwa: “Penerbitan keputusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan kepada Deputi atau Kakanwil”. Dan
Pasal 73 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 yang menetapkan “Pelaksanaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilimpahkan kepada Deputi dan Kakanwil”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 58 ayat (2) dan pasal 73 ayat (2) tersebut, kata
“dapat mendelegasikan” dan “dapat dilimpahkan” mengandung makna bahwa
Kepala Badan Pertanahan Nasional sebagai penerima delegasi kewenangan dari
Presiden (delegataris) melimpahkan lebih lanjut sebagian kewenangannya kepada
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, karena Peraturan dasar yang
menjadi dasar penerbitan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah
memberikan kewenangan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk
mendelegasikan sebagian wewenangnya tersebut. Sebagaimana pendapat dari Mr.
H. Mustamin Daeng Matutu. Al kajangi, dkk yang menyatakan bahwa:
Jelaslah setiap organisasi, bukan saja pucuk pimpinan yang bolehmengalihkan sebagian wewenangnya kepada bawahan-bawahanlangsungnya, tetapi bawahan-bawahan itu dapat pula mengalihkansebagian wewenang yang diperolehnya melalui pengalihan dari atasanlangsungnya kepada bawahan langsungnya juga. Dengan kata lain, bukansaja “delegation” tetapi juga “subdelegation” boleh saja dilakukan dalamsetiap organisasi asalkan tidak mendelegasikan keseluruhan wewenangnyasecara total. 135
Jadi berdasarkan hal tersebut, maka pelimpahan subdelegasi dalam
Penerbitan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Atas tanah termasuk Sertipikat
Hak Milik Atas Tanah dapat terjadi pelimpahan dari Presiden kepada Kepala
135 H. Mustamin Daeng Matutu. Al Kajangi, e.al, Op.cit, h. 14
113
Badan Pertanahan Nasional sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional
yang selanjutnya melimpahkan lagi sebagian kewenangannya tersebut kepada
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional. Pelimpahan sebagian
kewenangan dari Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan untuk menerbitkan
Keputusan Pembatalan dapat dilihat dari ditentukannya ruang lingkup
kewenangan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dalam Pasal 74
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011.
Selanjutnya ketentuan yang diatur dalam pasal 58 ayat (2) dan Pasal 73
ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor
3 Tahun 2011 yang menetapkan “ dapat didelegasikan” dan dapat “dilimpahkan”,
mengandung pengertian bahwa terjadi suatu pelimpahan wewenang dari Kepala
Badan Pertanahan Nasional kepada kepala kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional, dimana pelimpahan itu tidak dimaksudkan melimpahkan sepenuhnya
kewenangan yang ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional namun
pelimpahan tersebut dimaksudkan untuk meringankan tugas dan mengurangi
penumpukan masalah pada Kepala Badan Pertanahan Nasional dalam penanganan
dan penyelesaian kasus pertanahan.
Selain itu dalam subdelegasi wewenang secara teoritik tidak boleh
dilakukan dari atasan kepada bawahan, namun dalam prakteknya Pelimpahan
kewenangan dari Kepala Badan Pertanahan Nasional kepada Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional dapat terjadi secara subdelegasi, karena
114
banyaknya jumlah kasus pertanahan yang ada di Indonesia yang dapat dilihat dari
tata penyelesaian kasus pertanahan tahun 2011 dan 2012, yaitu:
Tabel 4
Data penyelesaian Kasus Pertanahan Perode Januari-Desember 2011
No Provinsi Yang Diproses Kriteria PenyelesaianSisa Kasus
BaruJml seles
aisisa K-1
Pernyataan
K-2DgnSK
K-3mediasi
k-4Hukum
k-5lain
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 Aceh 2 30 32 27 5 27 26 0 1 0
2 Sumatera Utara 264 67 331 76 255 76 12 7 25 22
3 Sumatera Barat 494 389 883 379 504 379 0 116 75 26
4 Sumatera Selatan 3 16 19 1 18 1 0 0 0 1
5 Kep. Bangka Balitung 1 0 1 0 1 0 1 0 7 0
6 Riau 24 137 161 126 35 126 3 21 64 0
7 Kepulauan Riau 33 39 72 59 13 59 0 12 30 5
8 Jambi 21 16 37 34 3 34 2 23 7 2
9. Bengkulu 15 39 54 43 11 43 0 29 9 3
10. Lampung 115 36 151 17 134 17 0 5 2 0
11 Banten 157 167 324 166 158 166 0 0 200 0
12 DKI Jakarta 9 107 116 86 30 86 13 9 15 36
13 Jawa Barat 257 492 749 480 272 480 16 125 263 37
14 Jawa Tengah 163 369 532 274 258 274 28 176 834 83
15 Daerah Istimewa
Yogyakarta
5 142 147 112 35 112 1 23 42 32
16 Jawa Timur 233 167 400 400 0 400 36 9 97 74
17 Kalimantan Barat 10 87 97 77 20 77 0 22 58 2
18 Kalimantan Selatan 55 52 107 8 99 9 0 0 2 6
19 Kalimantan Tengah 40 54 94 89 5 89 11 11 0 10
20 Kalimantan Timur 173 69 242 125 242 125 0 25 14 79
115
21 Sulawesi Utara 29 93 122 43 79 43 0 23 9 6
22 Gorontalo 0 66 66 44 22 44 0 0 0 0
23 Sulawesi Tengah 55 85 140 89 51 89 11 11 46 10
24 Sulawesi Selatan 383 397 780 199 581 199 18 50 126 15
25 Sulawesi Barat 5 45 50 35 15 35 2 24 19 0
26 Sulawesi Tenggara 10 135 145 73 72 73 5 19 34 2
27 Bali 178 337 515 180 335 180 16 0 138 0
28 NTB 70 135 205 99 106 99 4 52 42 13
29 NTT 35 300 335 248 87 248 0 168 66 14
30 Maluku 0 106 106 80 26 80 0 68 9 3
31 Maluku Utara 17 33 50 6 44 6 0 0 0 0
32 Papua 118 53 171 51 67 51 0 26 16 8
33 Papua Barat 17 0 17 8 3 8 4 3 6 3
34 Deputi V 62 994 1056
568 488 568 1 7 79 29
Jumlah 3053
5254 8307
4302
4005
4302
210 1064
2335 521
(Sumber: TU Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan BPN RI)
Tabel 5
Data penyelesaian Kasus Pertanahan Perode Januari-Desember 2012
No Provinsi Yang Diproses Kriteria PenyelesaianSisa Kasus
BaruJml seles
aisisa K-1
Pernyataan
K-2DgnSK
K-3mediasi
k-4Hukum
k-5lain
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 Aceh 5 146 151 38 113 38 0 13 3 84
2 Sumatera Utara 255 89 344 312 32 312 9 2 12 6
3 Sumatera Barat 504 129 633 542 91 542 5 34 31 21
4 Sumatera Selatan 18 30 48 20 28 20 0 28 0 0
5 Kep. Bangka Balitung 1 8 9 5 4 5 0 4 4 3
6 Riau 35 5 40 34 6 34 3 3 0 0
7 Kepulauan Riau 13 47 60 12 48 12 0 9 35 3
116
8 Jambi 3 10 13 2 11 2 0 0 11 0
9. Bengkulu 11 23 34 17 17 17 0 22 16 0
10. Lampung 134 25 159 138 21 138 0 7 14 53
11 Banten 158 109 267 182 85 182 15 11 20 4
12 DKI Jakarta 30 107 137 42 95 42 10 29 0 0
13 Jawa Barat 272 384 656 239 417 239 40 93 161 53
14 Jawa Tengah 258 165 423 289 134 289 13 84 19 50
15 Daerah Istimewa
Yogyakarta
35 53 88 31 57 31 7 18 39 22
16 Jawa Timur 0 687 687 85 602 85 25 65 144 193
17 Kalimantan Barat 20 7 27 16 11 16 0 6 0 0
18 Kalimantan Selatan 99 12 111 110 1 110 0 1 0 0
19 Kalimantan Tengah 5 30 35 30 5 30 0 30 5 0
20 Kalimantan Timur 242 39 281 270 11 270 0 11 0 0
21 Sulawesi Utara 79 85 164 58 106 58 0 0 0 30
22 Gorontalo 22 12 34 29 5 29 0 0 1 0
23 Sulawesi Tengah 51 81 132 5 127 5 2 21 43 14
24 Sulawesi Selatan 581 396 977 636 341 636 0 16 47 147
25 Sulawesi Barat 15 55 70 19 51 19 4 21 0 0
26 Sulawesi Tenggara 72 13 85 76 9 76 0 0 4 0
27 Bali 335 140 475 298 177 298 0 24 14 50
28 NTB 106 61 167 25 142 25 5 6 0 0
29 NTT 87 85 172 95 77 95 0 0 10 0
30 Maluku 26 98 124 23 101 23 10 71 29 7
31 Maluku Utara 44 16 60 29 31 29 0 0 19 12
32 Papua 67 12 79 67 12 67 1 1 0 10
33 Papua Barat 3 32 35 15 20 15 0 8 0 12
34 Deputi V 488 523 1013
502 511 502 1 15 12 57
Jumlah 4005
3191 7196
4291
2905
4291
149 638 681 774
(Sumber: TU Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan BPN RI)
117
Melihat jumlah kasus pertanahan yang ditangani oleh Badan pertanahan
nasional tersebut, maka Pengalihan sebagian wewenang dari pemerintah pusat
yaitu Kepala Badan Pertanahan kepada bawahan sangat berkaitan dengan masalah
efiensi waktu dan kecermatan dalam memecahkan masalah yang diahadapi.
Adanya pemusatan wewenang, menyebabkan pemerintah pusat yaitu Kepala
Badan Pertanahan Nasional atau atasan akan ditumpuki dengan banyak masalah,
sehingga memerlukan banyak waktu untuk menangani dan menyelesaikan kasus
yang ada, yang menyebabkan masalah menjadi tertunda dan berlarut-larut.
Padahal dalam pengambilan suatu keputusan dituntut adanya suatu kecermatan
dan ketelitian agar tidak terjadi kekeliruan. Jadi fungsi pengalihan sebagian
kewenangan tersebut yakni menghindari kemungkinan perbenturan antara
keharusan memecahkan banyak persoalan dalam waktu terbatas tetapi harus
mempertimbangkan secara cermat dan menjamin mutu keputusan yang
diambil.136
Dengan merujuk uraian tersebut, maka wewenang untuk melakukan
Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah termasuk Sertipikat Hak Milik Atas tanah
sebagai bentuk dari pembatalan atau penghentian hubungan hukum antara orang
perorangan dengan tanah berada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional dan
wewenang tersebut dapat dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 dan Kepala Badan
Pertanahan Nasional masih dapat menggunakan wewenang dalam menerbitkan
136 Ibid, h. 23
118
Keputusan Pembatalan tersebut sebagimana fungsi dari Badan Pertanahan
Nasional tersebut, karena yang terjadi adalah pelimpahan atau pengalihan
sebagian wewenangnya. Sehingga dengan demikian wewenang dari Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dalam menerbitkan Keputusan
Pembatalan Hak Milik Atas Tanah bersumber dari adanya subdelegasi
kewenangan yaitu dari Kepala Badan Pertanahan Nasional sebagai penerima
delegasi (delegataris) dari Presiden melimpahkan kembali sebagian
kewenangannya kepada Kepala kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dalam
menerbitkan Keputusan pembatalan Sertipikat Hak Milik. Adapun struktur
pelimpahan kewenangan dalam penerbitan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak
Milik Atas Tanah, yaitu:
Gambar. IV Skema pelimpahan kewenangan
BAB IV
(sumber: diolah dari Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan kebijakan serta berbagai literatur)
Kewenangan dalam bidangpertanahan berada pada negara (pasal33 ayat (3) UUD 1945
Diberikan kepada Presiden sebagaikepala negara.
Dilimpahkan kepada Kepala BPN RIdalam bentuk delegasi (Keppres No.26 Tahun 1988 dan Perpres No. 10Tahun 2006)
Membentuk Peraturan Kepala BPNRI No. 3 Tahun 2011 yang mengaturtentang Pembatalan Sertipikat HakAtas Tanah
Pasal 58 ayat (2): PenerbitanKeputusan pembatalan, Kepala BPNdapat mendelegasikan kewenangankepada Kanwil BPN
KewenanganAtribusi
Kewenangandelegasi
Kewenangansubdelegasi
79
BAB IV
TANGGUNGJAWAB KEPALA KANTOR WILAYAH BADAN
PERTANAHAN NASIONAL DALAM MENERBITKAN KEPUTUSAN
PEMBATALAN SERTIPIKAT HAK MILIK ATAS TANAH
4.1 Konsep Tanggungjawab
Dalam negara hukum, setiap pemerintah dalam mengambil sutu tindakan
hukum harus didasarkan pada wewenang yang sesuai dengan hukum yang
berlaku, sehingga akibat dari tindakan pemerintah tersebut menimbulkan suatu
tanggungjawab bagi pemerintah yang bersangkutan. Tanggungjawab pada
dasarnya mempunyai makna bahwa setiap perbuatan seseorang tidak terlepas dari
hasil atau akibat dari perbuatan tersebut, dimana atas perbuatan tersebut seseorang
tersebut dapat dituntut untuk melaksanakan suatu perbuatan yang layak yang
diwajibkan kepadanya. Didalam teori hukum dikenal pengertian
pertanggungjawaban, pertama ialah pertanggungjawaban dalam arti sempit, yaitu
tanggungjawab tanpa sanksi, yang kedua ialah tanggungjawab dalam arti luas,
yaitu tanggungjawab dengan sanksi.137
Berkaitan dengan pengertian tanggungjawab dapat dilihat dari pendapat
Prajudi Atmosudirjo yang dikutip oleh Pipin Sjarifin dan Jubaedah, menyatakan
bahwa:
Tangungjawab dan pertanggungjawaban dapat dibedakan dalam tiga batasanyaitu responsibility, accountability dan liability. Tanggungjawab dalam artiresponsibility adalah tanggungjawab yang berlaku antara bawahan danatasan. Liability menunjukkan tanggungjawab hukum dan tanggung jawab
137 Lukman Hakim, Op.cit, h. 47
119
120
gugat, seperti halnya peneyelesaian perkara melalui pengadilan (hukum)sedangkan tanggung jawab sebagai accountability adalahpertanggungjawaban yang dibuat oleh mereka yang menerima kuasa ataumendapat kewenangan yang diterima untuk kebaikan (kesejahteraan) merekayang memberikan kuasa (rakyat).138
Berdasarkan pengertian tanggungjawab tersebut diatas, maka terdapat
perbedaan istilah dalam tanggungjawab, namun dalam hal kaitannya dengan
tindakan hukum pejabat atau organ pemerintahan yang dimaksud adalah
tanggungjawab dalam artian liability yaitu tanggungjawab hukum dan tanggung
jawab gugat akibat dari adanya suatu kewajiban hukum. Tanggungjawab dalam
artian liability juga menyangkut tentang tanggungjawab pemerintah dengan
memberikan ganti kerugian atau kompensasi atas suatu kerugian yang terjadi
yang harus dilakukan melalui pengadilan. Sedangkan terkait dengan
taggungjawab dalam arti responsibility misalnya tanggungjawab hukum dari
menteri dan para pegawainya atas tindakan-tindakan yang telah dilakukan.
Tanggungjawab dalam arti responsibility juga merupakan bentuk tanggungjawab
yang dalam tanggungjawab politik, yaitu tanggungjawab pemerintah kepada
parlemen.
Organ atau pejabat pemerintah dalam melaksanakan fungsi dan tugas serta
wewenangnya disertai dengan tanggungjawab. Menurut A.D. Belinfante
menyatakan bahwa “Niemandkan een bevoegheid uitoefenen zonder
verantwording schuldig te zijn of zonder dat of die uitefening controle bestaan”
(tidak seorang pun dapat melaksanakan kewenangan tanpa meemikiul kewajiban
138 Lihat Pendapat Pradjudi Atmosudirjo dalam Pipin Syarifin dan DedahJubaedah,2005,Pemerintah Daerah di Indonesia Dilegkapi Undang-Undang No.32 Tahun 2004,Pustaka Setia, Bandung, h. 146
121
tanggungjawab atau tanpa pelaksanaan pengawasan).139 Tanggungjawab organ
pemerintah dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya dapat
dibedakan antara tanggungjawab pribadi dan tanggungjawab jabatan.
Tanggungjawab pribadi terjadi apabila pejabat atau organ pemerintah dalam
melakukan tindakan hukum tidak sesuai dengan wewenang yang dimiliki atau
dengan kata lain tanggungjawab pribadi berkaitan dengan perilaku menyimpang
aparat pemerintah terhadap peraturan Perundang-Undanganan dan Asas-asas
Umum Pemerintahan Yang Baik. Tanggungjawab pribadi berkenaan dengan
maladministrasi dalam penggunaan suatu wewenang dalam pemberian pelayanan
publik. Konsep maladministrasi pertama kali diintrodusir tahun 1967, ketika
pemerintah Inggris membentuk Parliamentary Commisin for Administrasion (the
Ombudsman).140 Menelaah arti kata maladminsitrasi, kata dasar mal dalam bahasa
Latin malum artinya jahat (jelek), kata administrasi asal katanya administrare
dalam bahasa Latin artinya melayani.141 Jadi maladministrasi dapat dikaitkan
dengan perilaku pejabat atau organ pemerinah dalam memberikan pelayanan.
Menurut Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman, menentukan bahwa:
Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum,melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dariyang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian ataupengabaian kewajiban hukum dalam penyelanggaraan pelayanan publikyang dilakukan oleh Penyelanggara Negara dan Pemerintahan yangmenimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat danorang perseorangan.
139 Ridwan HR, Op.cit, h. 352.140Titiek Sri Djatmiati, 2010, Maladministrasi dalam Konteks kesalahan Pribadi dan
Kesalahan Jabatan, Tanggung Jawab Pribadi dan Tanggung Jawab Jabatan, dalam Philipus MHadjon, et, al, Hukum Administrasi dan Good Governance, Universitas Trisakti, Jakarta, h. 74
141 Philipus M. Hadjon, et.al, Op.cit, h. 19
122
Ketentuan Pasal tersebut tidak memberikan definisi yang jelas tentang
pengertian maladministrasi, karena dalam pengertian tersebut menimbulkan suatu
kesulitan untuk menentukan pertanggungjawabannya apakah tanggungjawab
pribadi atau tanggungjawab jabatan, karena dalam pengertian maladministrasi
tersebut memberikan batasan-batasan dari bentuk-bentuk maladministrasi yang
juga menyangkut tanggungjawab jabatan selain tanggungjawab pribadi.
Maladministrasi dikaitkan dengan tindakan menyimpang dari aparat, yang
tidak mengindahkan atau tidak mengikuti norma-norma perilaku yang baik.142
Jadi maladministrasi berkaitan dengan perilaku pejabat dalam melaksanakan tugas
pemerintahan dalam memberikan pelayanan publik, sehingga maladministrasi ini
ditujukan pada tanggungjawab pada pribadi pejabat Tata usaha Negara. Adapun
batasan dari maladministrasi yaitu perilaku menyimpang dalam penggunaan suatu
wewenang, seperti penyalahgunaan wewenang dan kesewenang-wenangan.
Berkaitan dengan tanggungjawab pribadi tidak dikenal asas “Superior
Respondeat” (atasan bertanggungjawab atas perbuatan bawahan).143 Jadi
tanggungjawab aparat pemerintah dalam melaksakan tugasnya maupun dalam
memberikan pelayanan publik apabila terjadi suatu maladministrasi, maka yang
bertanggungjawab adalah aparat pemerintah sendiri secara pribadi, dalam hal ini
tanggungjawab yang ditimbulkan tidak melihat sumber wewenang yang diperoleh
dari aparat pemerintah. Sehingga konsekuensi yang ditimbulkan atas
tanggungjawab pribadi atas tindakan pemerintah berkaitan dengan tanggung
jawab administrasi, tanggungjawab pidana dan tanggung gugat perdata, karena
142 Titiek Sri Djatmiati, Loc.cit143 Ibid, h. 94
123
tanggungjawab pribadi seorang pejabat atau organ pemerintah berhubungan
dengan adanya maladministrasi.
Selanjutnya dalam tanggungjawab jabatan organ atau pejabat pemerintah
berkaitan dengan legalitas atau keabsahan tindakan pemerintah. Ruang Lingkup
legalitas tindak pemerintahan meliputi: wewenang, prosedur, substansi.144
Wewenang yang dimaksudkan dalam hal ini adalah bahwa tindak pemerintah
harus didasarkan pada kewenangan yang sah, dimana sumber wewenang
pemerintah diperoleh melalui tiga sumber yaitu, atribusi, delegasi dan mandat.
Selanjutnya dalam hal prosedur dikenal tiga asas umum yang menjadi tumpuan
utama prosedur dalam hukum administrasi yaitu asas negara hukum, asas
demokrasi dan asas instrumental. 145 Asas negara hukum dapat memberikan
perlindungan hak, asas demokrasi dapa memberikan keterbukaan informasi, dan
asas instrumental yang dimaksud adalah dapat berdaya guna bagi masyarakat. Dan
Substansi yang dimaksud yaitu bahwa tindakan pemerintah dibatasi secara
substansial yaitu harus didasari pada tujuan tertentu yang telah ditetapkan oleh
Peraturan yang menjadi dasanya. Atau dengan kata lain, aspek substasial
menyangkut “apa dan “untuk apa”, cacat substansial menyangkut “apa”
merupakan tindakan sewenang-wenang; cacat substansial menyangkut “untuk
apa” merupakan tindakan penyalahgunaan wewenang.146
Jadi organ atau pejabat pemerintah dalam melakukan perbuatan hukum
harus memenuhi ketiga komponen tersebut, tidak dipenuhi ketiga komponen
tersebut, maka tindak organ atau pejabat pemerintah menjadi tidak sah atau cacat
144 Philipus M. Hadjon, et.al, Op.cit, h. 17.145 SF. Marbun, et.al, Op.cit, h.429.146 Ibid, 430.
124
dalam tindakan pemerintah. Menurut Titiek Sri Djatmiati, yang menyatakan
bahwa:” cacat wewenang mengakibatkan tindakan pemerintah atau keputusan
pemerintah menjadi batal demi hukum (nietig); cacat prosedur tidak menyebabkan
tindakan atau keputusan pemerintah menjadi batal namun kekurangan yang harus
dilengkapi, cacat prosedur dapat dimohonkan pembatalan, dan bukan batal demi
hukum”.147
Konsekuensi yang ditimbulkan dari tindak pemerintah sebagai wujud
tanggungjawab jabatan organ atau pejabat pemerintah dapat berupa
tanggunggugat perdata dan tanggung gugat Tata Usaha Negara. Tanggung gugat
perdata yang dimaksudkan yaitu berkaitan dengan perbuatan melanggar hukum
oleh oragan atau pejabat pemerintah dalam mengambil suatu tindakan hukum.
Para ahli hukum administrasi memberi arti tanggung gugat pemerintah adalah
kewajiban Pemerintah atau Pemerintah Daerah membayar ganti rugi sebagai
akibat badan dan/atau pejabatnya melakukan tindakan yang cacat hukum baik
dalam menjalankan tugas, jabatan, pelayanan publik, maupun kesalahn
administratif.148 Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jis. Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2004 Jis. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
tentang Peradilan Tata Usaha Negara ada dua jenis tanggung gugat, yaitu
tanggung gugat sebagai konsekuensi atas kerugian karena implementasi dari
KTUN dan tanggung gugat karena perbuatan pemerintah yang bertentangan
dengan hukum.149
147 Titiek Sri Djatmiati, Op. cit, h. 95148 Lukman Hakim, Op.cit, h. 45-46149 Ibid, h. 46.
125
Perbandingan antara tanggungjawab jabatan dan tanggung jawab pribadi
dapat digambarkan dalam tabel berikut150:
Tabel 6. Perbandingan tanggungjawab jabatan dan tanggungjawab pribadi
Tanggung Jawab Jabatan Tanggung Jawab Pribadia. Fokus: legalitas (keabsahan) tindakan:
- Wewenang- Prosedur- Substansi
Fokus: maladministrasiPerilaku jelek aparat dalampelaksanaaan tugas perbuatantercelaAntara lain: - sewenang-wenang
- Penyalahgunaanwewenang
b. Parameter:- Peraturan Perundang-Undangan- Asas-asas umum pemerintahan
yang baik-
Parameter:1. Peraturan Perundang-Undangan2. Asas-asas umum pemrintahn yang
baik3. Code of good administrative
behavior (Uni Eropa)c. Pertanyaan hukum:
Adakah cacat yuridis menyangkut:- Wewenang- Prosedur- Substansi
Pertanyaan hukum:Adakah maladministrasi dalamtindakan tersebut?
d. Asas praesumptio iustse causaSetiap tindakan pemerintahan harusdianggap sah sampai ada pencabutanatau pembatalan
Berkaitan dengan tindak pidana: asaspraduga tak bersalah
e. Asas vicarious liability: berlaku Asas vicariuos liability: tidak berlakuf. Sanksi: administrasi, perdata Sanksi: administrasi, perdata, pidana
(Sumber: Philipus M. Hadjon, et, al, Hukum Adminitrasi dan Tindak Pidana Korupsi, h. 20-21)
4.2 Mekanisme Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan
Kasus Pertanahan, dalam rangka penyelesaian kasus pertanahan dilakukan suatu
tindakan hukum dari Badan Pertanahan Nasional berupa Pembatalan Sertipikat
Hak Atas Tanah termasuk juga Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah.
150 Philipus M. Hadjon, et.al, Op.cit, h. 20-21
126
Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah merupakan suatu bentuk penyelesain
sengketa hak atas tanah yang disebabkan karena Sertipikat Hak Atas Tanah yang
merupakan Suatu Keputusan (beshickking) menimbulkan kerugian pihak tertentu,
dimana pembatalan Sertipikat hak Atas tanah termasuk Sertipikat Hak mIli Atas
tanah bertujuan untuk memutuskan, menghentikan atau menghapus hubungan
hukum antara subyek hak atas tanah dengan obyek hak atas tanah.
Menurut Pasal 1 angka 14 Peraturan Menteri Agraria/Kepala badan
Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 yang menetapkan bahwa “pembatalan
Hak atas Tanah yaitu pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah atau
sertipikat hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacat hukum
administrasi dalam penerbitannya atau untuk melaksanakan putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap”. Jadi pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah
termasuk Sertipikat Hak Milik Atas Tanah terjadi karena cacat hukum
administrasi dan sebagai pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Sebagaimana yang telah diuraikan diatas, Pembatalan Sertipikat Hak Milik
Atas Tanah dapat dilakukan karena sebagai pelaksanaan Putusan Pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan karena cacat hukum administrasi
sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Kepala Badan Nomor 3 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan. Oleh karena
itu adapun mekanisme pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah, yaitu:
127
4.2.1 Mekanisme Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah sebagai
Pelaksanaan Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah yang didasarkan putusan
pengadilan adalah putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap. Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
mempunyai makna bahwa terhadap suatu putusan pengadilan telah tidak
ada upaya hukum lagi atau upaya hukum masih tersedia, namun para pihak
yang berperkara tidak menggunakan upaya hukum tersebut dan telah lewat
tenggang waktu sebagaimana yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Terdapatnya putusan Pengadilan yang menyebabkan batalnya suatu
suatu Sertipikat Hak Milik Atas Tanah, tidak serta merta Sertipikat Hak
Milik tersebut menjadi batal, melainkan pembatalan tersebut harus
dilakukan oleh instansi pemerintah yang memiliki wewennag untuk
melakukan pembatalan terhadap Sertipikat Hak Atas Tanah dan harus
didasarkan atas permohonan dari pihak yang berkepentingan. Hal ini dapat
dilihat dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 350 K/Sip/1968 tanggal 3
Mei 1969 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 716 K/Sip/1973 tanggal 5
September 1973, yang menyatakan bahwa: “Pengeluaran/pencabutan dan
pembatalan surat sertipikat adalah semata-mata wewenang dari Kantor
Pendaftaran Tanah dan Pengawas Pendaftaran Tanah, bukan termasuk
wewenang Pengadilan Negeri ”.151 Ini berarti bahwa yang berwenang
151 Adrian Sutedi (1), Op. cit, h. 12
128
membatalkan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah adalah instansi pemerintah
yang mempunyai wewenang atas permohonan pihak yang berkepentingan
atau pihak yang dimenangkan yang berdasarkan pada Putusan Pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut.
Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah sebagai pelaksanaaan
Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
didasarkan atas permohonan dari pihak yang berkepentingan, sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 59 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 2011, yang menetapkan bahwa: “Proses
penerbitan, peralihan dan/atau pembatalan hak atas tanah untuk
melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap,
dilakukan berdasarkan adanya pengaduan/permohonan pihak yang
berkepentingan”. Selanjutnya permohonan pembatalan sertipikat hak milik
atas tanah dapat diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan atau Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional atau Kepala Badan Pertanahan
Nasional, dimana berdasarkan Pasal 59 ayat (3), surat permohonan
pembatalan tersebut harus dilengkapi dengan:
a. putusan pengadilan yang memutus perkara kasus tanah;
b. Berita Acara Pelaksanaan Eksekusi untuk putusan perkara yang
memerlukan pelaksanaan eksekusi;
c. surat-surat lain yang berkaitan dengan permohonan pembatalan.
Dalam melakukan pengajuan permohonan pembatalan Sertipikat Hak
Milik Atas tanah, tindakan Badan Pertanahan Nasional dalam rangka
129
melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap yaitu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 55, yang menetapkan:
(1) Tindakan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telahmemperoleh kekuatan hukum tetap, dapat berupa:a. pelaksanaan dari seluruh amar putusan;b. pelaksanaan sebagian amar putusan; dan/atauc. hanya melaksanakan perintah yang secara tegas tertulis pada
amar putusan.(2) Amar putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, yang berkaitan dengan penerbitan, peralihan dan/ataupembatalan hak atas tanah, antara lain:a. perintah untuk membatalkan hak atas tanah;b. menyatakan batal/tidak sah/tidak mempunyai kekuatan hukum
hak atas tanah;c. menyatakan tanda bukti hak tidak sah/tidak berkekuatan
hukum;d. perintah dilakukannya pencatatan atau pencoretan dalam buku
tanah;e. perintah penerbitan hak atas tanah; danf. amar yang bermakna menimbulkan akibat hukum terbitnya,
beralihnya atau batalnya hak.Namun tidak semua Putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan
hukum tetap dapat dijadikan dasar untuk melakukan pembatalan Sertipikat
Hak Atas Tanah termasuk juga Sertipikat Hak Milik Atas Tanah, alasan-
alasan yang sah untuk tidak melakukan perbuatan hukum berupa penerbitan
Keputusan pembatalan dapat dilihat dalam Pasal 54 ayat (2) yang
menetapkan bahwa: “Alasan yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
antara lain:
a.terhadap obyek putusan terdapat putusan lain yang bertentangan;b.terhadap obyek putusan sedang diletakkan sita jaminan;c.terhadap obyek putusan sedang menjadi obyek gugatan dalam perkara
lain;d. alasan lain yang diatur dalam peraturan Perundang-Undangan.
Berdasarkan alasan-asalan tersebut, maka Pejabat Badan Pertanahan
Nasional yang memiliki wewenang untuk itu dapat menolak permohonan
130
pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah dengan memberitahukan
kepada pemohon yang disertai dengan alasan dan pertimbangannya,
sebagaimana yangdiatur dalam Pasal 60 ayat (3).
Dalam rangka proses penanganan permohonan Pembatalan Sertipikat Hak
Milik Atas Tanah untuk melaksanakan Putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, adapun tahap-tahap yang dilaksanakan
sesuai dengan Pasal 60 ayat (1), yaitu:
a. penelitian berkas permohonan/usulan pembatalan;b. penelitian dan pengolahan data putusan pengadilan;c. pemeriksaan lapangan dalam hal diperlukan;d. Gelar Internal/Eksternal dan Gelar Mediasi;e. Gelar Istimewa dalam hal sangat diperlukan;f. penyusunan Risalah Pengolahan Data; dang. pembuatan keputusan penyelesaian kasus.
Jadi dalam pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah tindakan
terakhir yang dilakukan oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang
memiliki wewenang untuk itu dalam rangka pelaksnaaan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yaitu berupa
Penerbitan Keputusan Pembatalan.
Setelah dilakukan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah yaitu
berupa penerbitan Keputusan Pembatalan, maka dilakukan pencatataan
pada Buku Tanah oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang
bersangkutan setelah diterima salinan Keputusan tentang Pembatalan
Sertipikat Hak Milik Atas Tanah tersebut, hal ini dapat dilihat dari Pasal 55
ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran
yang menentukan bahwa “Pencatatan hapusnya hak atas tanah, hak
pengelolaan dan hak milik atas satuan rumah susun berdasarkan putusan
131
Pengadilan dilakukan setelah diperoleh Keputusan mengenai hapusnya hak
yang bersangkutan dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1)”. Selanjutnya dalam Pasal 125
ayat (3) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menetapkan
bahwa: “Pendaftaran pencatatan hapusnya suatu hak atas tanah atau Hak
Pengelolaan atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun berdasarkan
putusan Pengadilan dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pertanahan setelah
diterimanya salinan keputusan mengenai hapusnya hak bersangkutan dari
Menteri atau pejabat yang ditunjuk”.
4.2.2 Mekanisme Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah karena
cacat hukum administrasi.
Dalam proses pendaftaran tanah memuat kegiatan dalam
penerbitan Sertipikat Hak Atas Tanah, dimana hal tersebut berpotensi
timbulnya kesalahan atau kekeliruan dalam kegiatan tersbeut, sehingga
menimbulkan suatu sertipikat yang cacat hukum admnistrasi. Cacad
hukum admnistrasi merupakan salah satu sebab, bahwa suatu Sertipikat
Hak Atas Tanah untuk dilakukan Pembatalan. Sertipikat Hak Milik Atas
tanah yang terdapat cacat hukum administrasi, Badan Pertanahan Nasional
dapat melakukan perbuatan hukum berupa Penerbitan Keputusan
132
Pembatalan. Cacat hukum administrasi yang dimaksud yaitu dapat dilihat
dalam Pasal 62 ayat (2) yang menetapkan:
a. kesalahan prosedur dalam proses penetapan dan/atau pendaftaranhak tanah;
b. kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran peralihan hakdan/atau sertipikat pengganti;
c. kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran penegasan dan/ataupengakuan hak atas tanah bekas milik adat;
d. kesalahan prosedur dalam proses pengukuran, pemetaan dan/atauperhitungan luas;
e. tumpang tindih hak atau sertipikat hak atas tanah;f. kesalahan subyek dan/atau obyek hak; dang. kesalahan lain dalam penerapan peraturan Perundang-Undangan.
Dalam proses penanganan atas Sertipikat Hak Milik Atas Tanah
yang cacat hukum administrasi, permohonan diajukan oleh pihak yang
berkepentingan/ pemohon atau kuasanya, sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 64 ayat (1). Selanjutnya menurut Pasal 64 ayat (3) menetapkan
bahwa:
Surat permohonan/usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dilampiri data pendukung antara lain:a. sertipikat hak atas tanah yang kedapatan cacat hukum administrasi;b. hasil pengolahan data yang membuktikan adanya cacat hukum
administrasi;c. salinan amar putusan pengadilan atau pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan yang substansinya menyatakan tidak sah dan/atau palsu dokumen yang digunakan dalam proses penerbitansertipikat hak atas tanah;
d. surat-surat lain yang mendukung alasan permohonan pembatalan.Dalam hal permohonan pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah
tidak hanya datang dari pihak yang merasa dirugikan atas diterbitkan
Sertipikat Hak Milik atas tanah tertentu, tetapi permohonan pembatalan
tersebut dapat berasal dari Aparatur Badan Pertanahan Nasional,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 65 yang menetapkan bahwa:
133
Pihak yang berkepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64ayat (1):a. aparatur BPN RI yang mengetahui data dan/atau warkah penerbitan
hak atas tanah yang tidak sah mengenai substansi dan/atau prosespenerbitannya;
b. aparatur BPN RI mempunyai bukti adanya kesalahan proseduradministrasi penerbitan sertipikat hak atas tanah; dan
c. pihak yang dirugikan akibat terbitnya sertipikat hak atas tanah yangcacat hukum.
Terhadap Sertipikat Hak Atas Tanah termasuk juga Sertipikat Hak Milik
Atas Tanah yang mengandung cacat hukum administrasi dapat diambil
suatu perbuatan hukum berupa menundaan untuk dilakukan pembatalan
Sertipikat Hak Milik Atas Tanah, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 66 ayat
(2) yang menetapkan bahwa:
Alasan yang sah untuk menunda atau menolak pelaksanaan perbuatanhukum administrasi pertanahan sebagaimana dimaksud ayat (1) antaralain:a. surat yang akan dibatalkan sedang dalam status diblokir, disita oleh
pejabat yang berwenang (conservatoir beslag-CB);b. tanah yang dimohon perbuatan hukum administrasi merupakan
tanah yang merupakan obyek perkara di pengadilan;c. pelaksanaan pembatalan diperkirakan dapat menimbulkan gejolak
sosial/konflik massal.Tata cara dalam Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah karena cacat
hukum administrasi sama dengan tata cara Pembatalan Sertipikat Hak Atas
Tanah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 67 ayat (1) yang menetapkan
bahwa: “Proses penanganan permohonan perbuatan hukum pertanahan
terhadap sertipikat hak atas tanah yang cacat hukum administrasi melalui
tahapan penanganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27”. Selanjutnya
adapun tata cara penanganan yang daitur dalam Pasal 27 yaitu:
a. penelitian/pengolahan data pengaduan;b. penelitian lapangan;c. penyelenggaraan Gelar Kasus;d. penyusunan Risalah Pengolahan Data;
134
e. penyiapan berita acara/surat/keputusan; dan/atauf. monitoring dan evaluasi terhadap hasil penanganan sengketa.
Sertipikat Hak Milik Atas Tanah yang belum dialihkan dan yang telah
dialihkan, memiliki mekanisme dalam mengambil suatu perbuatan hukum
melalui cara yang berbeda. Adapun mekanisme pembatalan Sertipkat Hak
Atas tanah termasuk juga Sertipikat Hak Milik Atas Tanah, yaitu:
a. Mekanisme Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah yang cacat
Hukum Administrasi dan belum dialihkan haknya diatur dalam Pasal 67
ayat (2), yang menetapkan bahwa:
Sertipikat hak atas tanah yang cacat hukum administrasi dan belumdialihkan haknya dilakukan melalui proses:a. dilakukan penelitian oleh Kantor BPN setempat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 sampai tahap pembuatan RisalahPengolahan Data paling lambat 3 (tiga) bulan setelah menerimasurat permohonan;
b. dalam hal Risalah Pengolahan Data berkesimpulan bahwa terdapatcacat hukum administrasi yang dapat berakibat batalnya sertipikathak atas tanah, Kakan mengajukan usulan pembatalan sertipikathak atas tanah kepada pejabat yang berwenang sebagaimanadimaksud dalam Pasal 73.
c. pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam huruf bmelakukan penanganan melalui tahapan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 27 sampai dengan pembuatan Risalah PengolahanData paling lambat 3 (tiga) bulan setelah menerima usulansebagaimana dimaksud huruf b untuk menetapkan perbuatanhukum pertanahan berupa:1) pembatalan sertipikat hak atas tanah yang cacat hukum
administrasi;2) penetapan pencatatan dalam Buku Tanah dan Daftar Umum
lainnya;3) penolakan usulan pembatalan.
d. dalam hal pejabat berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal73 tidak dapat mengambil suatu keputusan, diusulkan untukdilakukan Gelar Istimewa guna menentukan dapat tidaknyapembatalan sertipikat yang terdapat cacat hukum administrasi;
e. selanjutnya dilakukan tindakan sesuai dengan putusan GelarIstimewa;
f. dalam hal terdapat gugatan ke pengadilan dengan keputusanpengadilan yang menguatkan adanya cacat hukum administrasi,
135
BPN RI tidak melakukan upaya banding atau kasasi dan langsungmelaksanakan putusan pengadilan tersebut.
b. Mekanisme Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah yang cacat
Hukum Administrasi yang telah dialihkan haknya diatur dalam Pasal 67
ayat (3), yang menetapkan bahwa:
Sertipikat hak atas tanah yang cacat hukum administrasi, yang telahdialihkan kepada pihak lain, proses penyelesaiannya sebagai berikut:a. pencatatan dalam Buku Tanah dan Daftar Umum lainnya bahwa
sertipikatnya terdapat cacat hukum administrasi sesuai dengan hasilRisalah Pengolahan Data;
b. pencatatan dalam Buku Tanah bahwa sertipikat yang terdapat cacathukum administrasi tidak dapat dialihkan lagi selama belumdilakukan pembetulan atas cacat hukum administrasi yangditemukan;
c. dilakukan Gelar Istimewa untuk menentukan dapat tidaknyapembatalan sertipikat yang terdapat cacat hukum administrasidengan putusan:1) tindakan pembatalan sertipikat tanpa menunggu putusan
pengadilan;2) tindakan pembatalan sertipikat dilaksanakan setelah terdapat
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.d. dalam hal terdapat gugatan ke pengadilan dengan keputusan
pengadilan yang menguatkan adanya cacat hukum administrasi,BPN RI tidak melakukan upaya banding atau kasasi dan langsungmelaksanakan putusan pengadilan berupa pembatalan sertipikatyang cacat hukum administrasi.
Merujuk uraian diatas pada dasarnya walaupun suatu Sertipikat Hak Milik
Atas tanah walaupun terdapat adanya cacat hukum administrasi, namun
cacat hukum administrasi tersebut harus dikuatkan dengan bukti-bukti
seperti amar putusan pengadilan yang menyatakan bahwa Sertipikat hak
Milik Atas tanah tidak sah dan bukti-bukti lainnya, hal ini dapat dilihat
dalam Pasal 71 ayat (2) Peraturan Kepala badan Nomor 3 Tahun 2011
yang menetapkan bahwa:
136
Cacat hukum administrasi yang dapat mengakibatkan tidak sahnyasuatu sertipikat hak atas tanah harus dikuatkan dengan bukti berupa:
a. putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; dan/ataub. hasil penelitian yang membuktikan adanya cacat hukum
administrasi; dan/atauc. keterangan dari penyidik tentang adanya tindak pidana pemalsuan
surat atau keterangan yang digunakan dalam proses penerbitan,pengalihan atau pembatalan sertipikat hak atas tanah; dan/atau
d. surat-surat lain yang menunjukkan adanya cacat administrasi.Dengan demikian maka dalam hal Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas
tanah baik sebagai pelaksanaan Putusan Pengadilan yang menjadi dasar bagi
Aparatur Badan Pertanahan Nasional yang mempunyai wewenang untuk itu dalam
hal ini Kepala Badan Pertanahan Nasional atau Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang berupa
Penerbitan Keputusan Pembatalan adalah Putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap (incraht) dan Pembatalan Sertipikat Hak Milik
Atas karena cacat hukum administrasi yang mengakibatkan suatu Sertipikat Hak
Milik Atas tanah menjadi tidak sah dikuatkan dengan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, hasil penelitian yang membuktikan
adanya cacat hukum admnistrasi, keterangan penyidik tentang adanya tindak
pemalsuan dalam penerbitan atau peralihan suatu Sertipikat Hak Milik Atas Tanah
dan surat-surat lain yang membuktikan telah terjadi cacat hukum administrasi.
Pengajuan permohonan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah oleh
pihak yang berkepentingan dapat diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten dan/atau Kota, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
dan/ atau Kepala Badan Pertanahan Nasional. Namun pada umumnya oleh karena
pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan
sebagaimana yang daitur dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24
137
Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, sehingga seluruh data yuridis dan data
fisik berada pada Kantor Pertanahan, maka permohonan pembatalan Sertipikat
Hak Milik Atas tanah dapat diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan untuk
dilakukan suatu kajian dengan melakukan penelitian data fisik dan data yuridis
terhadap Sertipikat Hak Milik Atas tanah yang dimohonkan untuk dibatalkan. Dan
dalam hal penerbitan Keputusan Pembatalan yang mempunyai wewennag adalah
Kepala Badan Pertanahan Nasional dan dapat dilimpahkan kepada Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional, maka Kepala Kantor Pertanahan akan
meneruskan permohonan pembatalan yang telah memenuhi persyaratan tersebut
kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional yang disertai dengan
hasil kajian yang telah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan yang
bersangkutan.
Dalam hal terdapat permohonan pembatalan atas Sertipikat Hak Milik
Atas Tanah baik karena cacat hukum administrasi maupun didasarkan atas
Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka perlu
dilakukan pemberitahuan kepada termohon tentang adanya permohonan
pembatalan, hal ini bertujuan untuk memenuhi asas-asas umum pemerintahan
yang baik dan menghindari terjadinya kesewenang-wenangan. Hal tersebut dapat
dilihat dari Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 19 Juli 2000,
Nomor: 500-2147 yang ditujukan kepada Seluruh Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota se Indonesia
menetapkan bahwa:
Agar setelah menerima permohonan pembatalan hak/sertipikat, segeramemberitahukan secara tertulis kepada termohon (pihak yang dimintakan
138
pembatalan) tentang adanya permohonan pembatalan hak/sertipikat,disertai alasan-alasannya dengan penjelasan :1. Apabila permohonan pembatalan itu berdasarkan atas kekuatan
keputusan Badan Peradilan yang telah mempunyai kekuatan hukumtetap, kepada termohon tidak perlu diminta untuk menanggapi;
2. Apabila permohonan pembatalan tersebut karena alas hak yang tidaksah atau cacat administrasi, kepada termohon diberi tenggang waktu 1(satu) bulan untuk menanggapi;
3. Surat pemberitahuan tertulis dan tanggapannya menjadi warkah danapabila kewenangan pembatalan ada pada Kepala Badan PertanahanNasional, harus disertakan sebagai bahan pertimbangan.
Dengan diaturnya mekanisme Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah
sebagai pelaksanaan Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap merupakan salah satu penerapan asas kepastian hukum berupa pelaksanaan
putusan hakim secara nyata begitu juga perbutan Aparatur Badan Pertanahan
Nasional Badan Pertanahan Nasional berupa Pembatalan Sertipikat Hak Milik
Atas Tanah karena cacat hukum administrasi juga merupakan salah satu
pelaksanaan asas kepastian hukum, yaitu kepastian bagi tindakan pemerintah
dalam hal memberikan kepastian bagi masyarakat yang merasa dirugikan karena
Sertipikatnya menjadi tidak sah akibat adanya cacat hukum administrasi.
4.3 Konsekuensi Yuridis diterbitkan Keputusan Pembatalan Sertipikat
Hak Milik Atas Tanah.
Sertipikat Hak Milik Atas Tanah merupakan salah satu Keputusan Tata
Usaha Negara sebagai tanda bukti yang kuat kepemilikan hak atas tanah. Namun
apabila terhadap Sertipikat tersebut terdapat cacat hukum administrasi dalam
penerbitannya dan terdapat putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap yang menyatakan sertipikat tersebut tidak sah, maka bagi pihak yang
139
berkepentingan dapat mengajukan permohonan pembatalan Sertipikat Hak Milik
Atas Tanah yang dimaksud.
Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah merupakan salah satu wujud
dari pengelolaan dan pengkajian suatu kasus pertanahan. Menurut Pasal 2 ayat (1)
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2011 menetapkan bahwa:
Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan dimaksudkanuntuk:a. mengetahui akar, sejarah dan tipologi kasus pertanahan dalam rangka
merumuskan kebijakan strategis penyelesaian kasus pertanahan diIndonesia;
b. menyelesaikan kasus pertanahan yang disampaikan kepada Kepala BPNRI agar tanah dapat dikuasai, dimiliki, dipergunakan dan dimanfaatkanoleh pemiliknya serta dalam rangka kepastian dan perlindungan hukum.
Selanjutnya dalam ayat (2) menetapkan bahwa: “Pengelolaan Pengkajian
dan Penanganan Kasus Pertanahan bertujuan untuk memberikan kepastian hukum
akan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah di Indonesia”.
Jadi dengan diterbitkannya Sertipikat Hak Milik Atas Tanah sebagai wujud dari
penyelesaian kasus pertanahan maka akan memberikan kepastian hukum bagi para
pihak yang berkepentingan atas hak milik atas tanah tertentu.
Sertipikat Hak Milik Atas tanah merupakan salah satu Keputusan yang
diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan sebagaimana yang diatur dalam Pasal
6 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Oleh
karena Sertipikat Hak Milik Atas tanah merupakan keputusan, maka secara
teoritik dalam hal dilakukannya Pembatalan keputusan dapat terjadi karena batal
(nietig), batal demi hukum (van rechtswege nietig) dan dapat dibatalkan
140
(vernietgbaar). Secara singkat perbedaan antara batal, batal demi hukum dan
dapat dibatalkan, dapat dilihat dalam tabel sebagi berikut:152
Tabel 7. Perbedaan antara nietig, van rechswege nietig dan verniatigbaar
Uraian Nietig Van rechswegenietig
Vernietigbaar
1. Sejak kapandibatalkan
Ex tunc*) Ex tunc Ex nunc*)
2. TindakanPembatalan
Tidak harusdengan putusanatau Keputusan
Sifat putusan ataukeputusan.
Konstatering ataudeklaratur
Tanpa harus adaputusan ataukeputusan
-------------------
Mutlak harus adaputusan ataukeputusan
Sifat putusan ataukeputusan
konstitutif
(Sumber: Philipus M. Hadjon, Kebutuhan akan Hukum Administrasi Umum, h. 74)
*)Ex tunc : secara harfiah “ex tunc” berarti sejak waktu (dulu) itu.
dalam koneks ini, “ex tunc” berarti perbuatan dan akibatnyadianggap tidak pernah ada.
Ex nunc : secara harfiah “ex nunc” berarti sejak saat sekarang.Dalam konteks ini “ex nunc” berarti perbuatan danakibatnya dianggap ada sampai saat pembatalannya.153
Jadi dalam hal ini suatu Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah dapat
dilakukan tidak harus dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap (dalam hal ini dapat dikatakan pembatalan karena cacat
hukum administrasi) dan didasarkan dengan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Terhadap Sertipikat Hak Milik Atas tanah
mengandung cacat hukum administrasi dalam artian terdapat kesalahan prosedur
dalam penerbitannya, diterbitkan Keputusan pembatalannya dimana dalam
152 Philipus M. Hadjon, 2010, Kebutuhan akan Hukum Administrasi Umum, dalamPhilipus M Hadjon, et, al, Hukum Administrasi dan Good Governance, Universitas Trisakti,Jakarta, h. 74
153 Ibid.
141
penerbitan Keputusan Pembatalan tersebut tidak harus adanya Putusan Pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melainkan Putusan Pengadilan
hanya sebagai data pendukung dalam menerbitkan Keputusan Pembatalan
sebagaiama yang diatur dalam Pasal 64 ayat (3) Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011, sehingga
Sertipikat tersebut menjadi batal demi hukum, dan konsekuensi hukum yang
ditimbulkan yaitu Sertipikat Hak Milik Atas tanah tersebut dianggap tidak pernah
ada atau tidak pernah diterbitkan (ex. tunc), dalam artian bahwa Sertipikat tersebut
dianggap batal terhitung sejak diterbitkannya Sertipikat Hak Milik tersebut.
Sedangkan apabila terdapat putusan pengadilan atas suatu sengketa Sertipikat Hak
Milik Atas tanah yang amar putusannya menyatakan Sertipikat Hak Milik batal,
tidak mempunyai kekuatan hukum tetap atau Sertipikat Hak Milik Atas Tanah
tidak sah, Sertipikat Hak Milik tersebut tidak serta merta menjadi batal, melainkan
harus dilakukan pembatalan dengan diterbitkan Keputusan Pembatalan oleh
pejabat yang mempunyai wewenang untuk itu, karena hakim tidak dapat secara
langsung membatalkan Keputusan yang diterbitkan oleh Pemerintah sebagaimana
dalam Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. 350 K/Sip/1968 tanggal 3
Mei 1969 dan Putusan Mahkamah Agung No. 716 K/Sip/1973 tanggal 5
September 1973. Dalam Penerbitan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik
Atas Tanah sebagai pelaksanaan Putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap, yang amar putusannya antara lain menyatakan Sertipikat Hak Milik
Atas tanah batal demi hukum, batal, tidak sah atau tidak mempunyai kekuatan
hukum tetap yang menyebabkan Sertipikat Hak Milik Atas tanah yang dibatalkan
142
kembali pada status semula, maka konsekuensi yuridis yang ditimbulkan adalah
Sertipikat Hak Milik Atas Tanah menjadi batal sejak Sertipikat tersebut
diterbitkan (ex.tunc).
Namun dalam hal ini, walaupun diterbitkannya Keputusan Pembatalan
Sertipikat Hak Milik Atas Tanah dapat memberikan kepastian hukum berkaitan
dengan status kepemilikan tanah, tidak semua pihak-pihak yang bersangkutan
dapat menerima Keputusan Pembatalan Sertipkat Hak Milik Atas tanah yang telah
diterbitkan. Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa pihak-pihak yang merasa
keberatan atas diterbitkannya Keputusan pembatalan sehingga menimbulkan
sengketa dapat mengajukan keberatan kepada instansi yang berwenang
menerbitkan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah atau yang
disebut dengan upaya administratif maupun upaya hukum dengan mengajukan
gugatan di pengadilan.
Upaya hukum administratif merupakan suatu prosedur yang dapat
ditempuh oleh seseorang atau badan hukum yang merasa dirugikan akibat
diterbitkan suatu keputusan yang dikeluarkannya oleh Organ atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang dilakukan dilingkungan pemerintahan sendiri.
Upaya administrasi terdiri dua bentuk, yakni:
a. Keberatan
b. “banding administrasi”154
Ad. a. Keberatan yang dimaksud yaitu ditempuh dengan mengajukan
kebaratan atas diterbitkannya Keputusan kepada badan atau pejabat Tata Usaha
154Martiman Prodjohamidjojo, 1996, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, GhaliaIndonesia, Jakarta, h. 45
143
Negara yang mengeluarkan Keputusan tersebut. Dalam hal ini apabila pihak yang
berkeberatan atas diterbitkan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas
Tanah dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional
dan/ atau Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, sebagai pejabat
atau badan Tata Usaha Negara yang memiliki wewenang untuk menerbitkan
Keputusan Pembatalan tersebut.
Ad. b. Banding Administratif yaitu apabila penyelesaian itu dilakukan oleh
instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan Keputusan yang
bersangkutan.155 Jadi dalam banding administratif ini dimaksudkan upaya
penyelesaian adminsitratif yang ditempuh apabila dalam upaya keberatan tidak
menemukan penyelesaian, sehingga pihak yeng merasa keberatan atas diterbitkan
sutu keputusan dapat mengajukan keberatannya kepada instansi yang lebih tinggi
atau instansi lainnya.
Upaya Administratif dalam penyelesaian masalah dapat dilihat dalam Pasal 48
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jis. Undang-Undang Nomor 51 Tahun
2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menentukan bahwa:
(1) dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenangoleh atau berdasarkan peraturan Perundang-Undangan untukmenyelesaikan secara administrasi sengketa Tata Usaha Negara tertetnu,maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus diselesaikan melaluiupaya administratif.
(2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelseaikansengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jikaseluruh administrasi yang bersangkutan telah digunakan.
Merujuk Pasal tersebut, maka dapat diketahui bahwa apabila terdapat
sengketa Tata Usaha Negara, maka sebelum diselesaikan melalui jalur hukum
155 SF. Marbun, 1988, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta, h. 78.
144
yanitu gugatan dipengadilan, maka sengketa tersebut terlebih dahulu harus
diupayakan diselesaikan melalui upaya administratif dan apabila tidak
menemukan penyelesaian, maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut
diselesaikan melalui jalur hukum yaitu gugatan di pengadilan.
Disamping itu, dengan melihat ketentuan Pasal 48, upaya hukum administratif
pada umumnya digunakan untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara
akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, jadi obyek dalam
penyelesaian dengan upaya hukum administrasi adalah Keputusan Tata Usaha
Negara. Namun sebagaimana yang telah diuraikan diatas, tidak semua Keputusan
disebut dengan Keputusan Tata Usaha Negara, hal ini dapat dilihat dari
pembatasan-pembatasan dari pengertian Keputusan Tata Usaha Negara yang
dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara, sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jis. Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004 Jis. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, yaitu:
Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurutUndang-Undang ini:(a) keputusan tata usaha negara yang merupakan perbuatan hukum
perdata;(b) keputusan tata usaha negara yang merupakan pengaturan yang bersifat
umum;(c) keputusan tata usaha negara yang masih memerlukan persetujuan;(d) keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan
kitab Undang-Undang hukum pidana atau kitab Undang-Undanghukum acara pidana atau peraturan Perundang-Undangan lain yangbersifat hukum pidana;
(e) keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan atas dasar hasipemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturanPerundang-Undangan yang berlaku;
(f) keputusan tata usaha negara mengenai tata usaha Tentara NasionalIndonesia;
(g) keputusan Komisi pemilihan Umum, baik pusat maupun di daerahmengenai hasil pemilihan umum.
145
Jadi walaupun tidak semua keputusan yang dikeluarkan oleh Pejabat atau
organ Tata Usaha Negara termasuk dalam Keputusan Tata Usaha Negara atau
hanya disebut sebagai Keputusan (beschikking), namun oleh karena baik
Keputusan Tata Usaha Negara maupun Keputusan (beschikking) merupakan
bentuk dari tindakan administratif dari organ atau pejabat Tata Usaha Negara,
maka upaya administratif ini dapat ditempuh terhadap Keputusan yang diterbitkan
oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik yang termasuk Keputusan Tata
Usaha Negara maupun hanya disebut dengan Keputusan (beshickking). Dalam
penyelesaian masalah melalui upaya hukum administratif tidak hanya terbatas
dengan mempertimbangkan aspek hukumnya (rechtmatigheid) tetapi juga segi
kebijaksanaan atau ketepatgunaan (doelmatigheid).
Selanjutnya apabila dalam penerbitan suatu Keputusan oleh Pejabat Tata
Usaha Negara telah dilakukan upaya hukum administratif namun tidak
menemukan penyelesaian, maka pihak yang merasa dirugikan tersebut dapat
mengajukan upaya hukum dengan mengajukan gugatan hukum di Pengadilan,
baik melalui peradilan umum maupun melalui Pengadilan Tata Usaha Negara
yang disesuaikan dengan kompetensi dari Pengadilan untuk memeriksa, mengadili
dan memutus suatu perkara tentang suatu perbuatan yang dituntut oleh pihak yang
bersangkutan, apakah perbuatan pemerintah tersebut termasuk dalam kompetensi
dari peradilan Umum ataupun perbuatan pemerintah yang dimaksud termasuk
kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara. Pengadilan pada dasarnya merupakan
tempat terakhir bagi para pihak yang bersengketa atau pihak yang dirugikan atas
tindakan hukum pemerintah untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi. Dalam
146
gugatan di peradilan umum berkaitan dengan perbuatan yang melanggar
hukumyang dilakukan oleh organ pemerintah yang mengeluarkan keputusan,
sehingga tanggungjawab pemerintah atas perbuatan tersebut digugat oleh pihak
yang merasa dirugikan di Peradilan Umum, sedangkan seseorang dapat
mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara didasarkan dengan alasan-
alasan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Jis. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Jis. Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menentukan
bahwa:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan Perundang-Undangan yang berlaku;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Sehingga merujuk uraian diatas, apabila terjadi ketidak puasan atas
diterbitkannya Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah baik
sebagai pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, maupun karena cacat hukum administrasi, pihak yang keberatan tersebut
diberikan kesempatan untuk mengajukan upaya administrasi untuk menyelesaikan
sengketa tersebut sebelum diajukan gugatan di Pengadilan. Upaya administrasi ini
bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang merasa keberatan
atas diterbitkannya Keputusan untuk menyelesaikannya melalui sarana yang
tersedia.
147
Dalam hal penerbitan Keputusan pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas
Tanah, apabila pihak yang merasa tidak puas telah mengajukan keberatan kepada
Kepala Badan Peratanahan Nasional atau Kepala Kantor Wilayah Badan
peratanahan Nasional sebagai pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan
Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah, namun tidak
menemukan penyelesaiannya, maka pihak yang berkebratan tersebut dapat
mengajukan banding administratif kepada intansi yang lebih tinggi atau instansi
lain. Misalnya apabila Keputusan pembatalan dikeluarkan oleh Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional, maka banding admnisratif dapat diajukan
kepada Kepala Badan Peratanahan Nasional. Selanjutnya setelah dilakukan upaya
hukum administratif tidak menemukan penyelesaian, maka pihak yang merasa
keberatan atas diterbitkan suatu Keputusan dapat mengajukan upaya hukum
dengan mengajukan gugatan di Pengadilan. Gugatan atas diterbitkan suatu
Keputusan dapat diajukan baik melalui Pengadilan Tata Usaha Negara maupun
melelaui peradilan umum, disesuaikan dengan kompetensi mengadili dari
Pengadilan itu sendiri.
Dengan demikian konsekuensi yuridis atas diterbitkan Keputusan pembatalan
Sertipikat Hak Milik Atas Tanah yaitu dapat memberikan kepastian hukum atas
kepemilikan hak atas tanah, yang secara teoritis pembatalan suatu keputusan
dalam hal ini sertipikat Hak Milik Atas tanah dapat berakibat batal (nietig), batal
demi hukum (van rechtswege nietig) dan dapat dibatalkan (varniatigbaar).
Perbedaan antara batal (nietig), batal demi hukum (van rechtswege nietig) dan
148
dapat dibatalkan (varniatigbaar) dapat dilihat dari Pendapat Philipus M. Hadjon,
yaitu:
Nietig berarti bahwa bagi hukum perbuatannya yang dilakukan dianggaptidak ada. Konsekuensinya, bagi hukum akibat perbuatan itu dianggap tidakpernah ada.Vernietigbaar berarti bagi hakim perbuatan yang dilakukan dan akibatnyadianggap ada sampai waktu pembatalan oleh hakim atau badan pemerintahlain yang kompeten.Nietigheid van rechtswege artinya bagi hukum akibat suatu perbuatandianggap tidak ada tanpa perlu adanya suatu keputusan yang membatalkanperbuatan tersebut.156
Sehingga, apabila Suatu Sertipikat Hak Milik mengandung cacat hukum
administrasi yaitu terjadi kesalahan prosedur atau cacat yuridis dalam
penerbitannya yang menyebabkan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah menjadi batal
demi hukum, maka Sertipikat Hak Milik Atas tanah tersebut menjadi batal sejak
diterbitkan Sertipikat Hak Milik tersebut (ex tunc), sehingga penerbitan Sertipikat
tersebut dianggap tidak pernah ada atau dianggap tidak pernah diterbitkan.
Selanjutnya apabila terdapat putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, dimana sebagai tindak lanjut dari Putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap yaitu diterbitkannya Keputusan pembatalan,
karena hakim tidak dapat secara langsung membatalkan suatu keputusan, sehingga
akibat dari penerbitan Keputusan pembatalan adalah dilihat dari amar putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht), apabila
Putusan Pengadilan menyatakan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah batal demi
hukum, batal, tidak sah atau tidak mempunyai kekuatan hukum tetap,
menyebabkan tanah yang diterbitkan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah yang
156Philipus M. Hadjon, 1985, Pengertian-Pengertian Dasar tentang Tindak Pemerintahan(bestuurshandeling), Djumali, Surabaya, h. 24.
149
dibatalkan kembali kepada status semula, maka Sertipikat Hak Milik Atas Tanah
menjadi batal sejak saat diterbitkan (ex.tunc), atau dengan kata lain Sertipikat Hak
Milik tidak berlaku sejak diterbitkannya Sertipikat tersebut.
Namun apabila dalam hal penerbitan Keputusan tersebut terdapat keberatan
dari pihak-pihak tertentu, maka dapat ditempuh melalui upaya admistratif yang
terdiri dari keberatan dan banding administratif dan dapat ditempuh melalui jalur
hukum dengan mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara atau
lembaga peradilan umum.
4.4 Tanggungjawab Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
dalam Menerbitkan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas
Tanah.
Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah merupakan salah
satu bentuk dari perbuatan hukum badan permerintah yaitu berupa perbuatan
hukum menerbitkan Keputusan oleh Pejabat Pemerintah yaitu Badan Pertanahan
Nasional. Perbuatan hukum berupa penerbitan Keputusan Pembatalan tersebut
harus didasarkan pada wewenang yang sah dan tidak boleh dilakukan tanpa dasar
peraturan Perundang-Undangan. Tindakan Pemerintah haruslah “Rechmatig”,
yaitu suatu tindakan pemerintah harus sesuai dengan batasan atau ukuran tertentu.
Ukuran “rechmatigheid”dari pada tindakan penguasa adalah:
1. Undang-Undang dan peraturan-peraturan formil yang berlaku;
2. Kepatutan dalam masyarakat yang harus dipatuhi oleh penguasa.157
157 Philipus M. Hadjon, Op.cit, h. 15
150
Dalam konsep negara hukum dikenal dengan asas legalitas yang mempunyai
arti setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada hukum yang berlaku,
sehingga keputusan-keputusan yang merupakan bentuk dari tindakan hukum
pemerintah memiliki resiko dibatalkan oleh Pengadilan apabila ada pihak yang
dirugikan. Sehingga sebagai konsekuensi dari negara hukum, maka diwajibkan
adanya jaminan bagi pejabat atau organ pemerintah sebagai alat perlengkapan
negara dalam menjalankan pemerintahan. Hal ini berarti bahwa setiap tindakan
hukum pemerintah yang didasarkan pada wewenang yang sah juga disertai dengan
tanggungjawab akibat digunakannya wewenang tersebut.
Tanggungjawab organ pemerintah dalam mengambil suatu tindakan hukum
juga dititikberatkan pada kewajiban untuk memenuhi aturan-aturan hukum yang
dijadikan dasar untuk mengambil tindakan hukum tersebut, dan juga
dititikberatkan pada kewajiban untuk mempertanggungjawabkan suatu perbuatan
tersebut apabila tindak dipenuhinya aturan-aturan hukum yang telah ditentukan
tersebut. Penerbitan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Atas tanah merupakan
suatu kewajiban bagi aparatur Badan Pertanahan Nasional dalam memberikan
suatu pelayanan publik kepada masyarakat, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 80
ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor
3 Tahun 2011 yang menetapkan bahwa: “Pengambilan keputusan untuk
melakukan perbuatan hukum pertanahan berupa penerbitan, peralihan dan
pembatalan sertipikat hak atas tanah, pencatatan/pencoretan dalam Buku Tanah
dan Daftar Umum lainnya serta perbuatan hukum lainnya untuk melaksanakan
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap merupakan perbuatan
151
hukum yang wajib dilaksanakan oleh pejabat BPN yang berwenang”. Dengan
adanya kewajiban tersebut, mengakibatkan timbulnya suatu tanggungjawab akibat
dilaksanakan perbuatan hukum berupa penerbitan Keputusan Pembatalan Hak
Milik Atas Tanah.
Tangungjawab apabila dilihat dari sisi badan atau lembaga mana
pertanggungjawaban itu diberikan, maka dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
1) Tanggungjawab eksternal; dan
2) Tanggungjawab internal.158
Tanggungjawab internal dapat berupa tanggungjawab bawahan kepada
atasan, pada dasarnya terjadi dalam hubungan rutin antara atasan dengan
bawahan. Sedangkan tanggungjawab eksternal merupakan tanggungjawab kepada
pihak lain dalam hal ini misalnya tanggungjawab eksternal berupa tanggung
gugat. Tanggung gugat ini muncul apabila terdapat individu atau badan hukum
tertentu yang merasa dirugikan atas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah.
terkait dengan tanggunggugat yang ditujukan kepada pemerintah, menurut
Tribunal de Conflicts tahun 1873, menetapkan 3 asas, yaitu:
1. Asas tanggung gugat negara atas kesalahan pejabatanya.2. Tanggung gugat tunduk kepada peraturan yang memisahkan dan
membedakannya dengan hukum privat.3. Asas bahwa tanggung gugat tersebut merupakan yuridiksi dari peradilan
administrasi.159
Tanggung gugat pemerintah setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, ada dua jenis, yaitu: tanggung gugat sebagai konsekuensi atas
158 Lukman Hakim, Op. cit, h. 45159 Titiek Sri Djatmiati, Op. cit, h. 89
152
kerugian karena implementasi dari KTUN dan tanggung gugat karena perbuatan
pemerintah yang bertentangan dengan hukum.160
Tanggung jawab dalam hukum publik dikenal dengan tanggung jawab
pribadi dan tanggungjawab jabatan. Tanggung jawab pribadi disebut dengan
maladministrasi, dimana tanggung jawab ini terjadi karena adanya kesalahan
pribadi yang diakukan oleh pejabat atau organ pemerintahan dalam memberikan
suatu pelayanan publik seperti kurang hati-hati atau kelalaian sehingga
menyebabkan timbulnya kerugian bagi individu atau suatu badan hukum tertentu.
Seseorang dikatakan secara hukum bertanggungjawab untuk suatu perbuatan
tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan
yang berlawanan.161 Dalam kaitannya dengan tanggungjawab negara, oleh karena
terdapat unsur adanya kesalahan pribadi, maka orang yang merasa dirugikan
tersebut dapat menggugat pejabat atau organ pemerintahan yang bersangkutan di
peradilan umum. Jadi dalam hal tanggungjawab pribadi ini tidak dilihat dari
sumber wewenang-wewenang yang dimiliki oleh organ atau pejabat pemerintah,
baik yang diperoleh secara atribusi, delegasi ataupun mandat, apabila telah terjadi
maladministrasi atau kesalahan pribadi dalam memberikan pelayanan publik
(public service), maka yang bertanggungjawab adalah pribadi dari pejabat atau
organ pemerintah yang bersangkutan. Dalam tanggungjawab pribadi tidak dikenal
dengan asas yang menyatakan bahwa atasan bertanggungjawab atas perbuatan
bawahannya.
160 Lukman Hakim, Op.cit, h. 46161Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,
Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, h. 61
153
Tanggung jawab jabatan merupakan tanggungjawab yang timbul dalam
kaitannya dengan tindakan atau perbuatan hukum pemerintah, dimana
tanggungjawab ini didasarkan pada adanya asas legalitas. Ini berarti bahwa setiap
tindakan pemerintah harus didasarkan pada wewenang yang sah, prosedur tertentu
dan harus sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Sehingga segala tindakan
hukum pemerintah harus sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan yang
berlaku dan asas-asas umum pemerintah yang baik, dimana setiap keputusan yang
dikeluarkan oleh organ atau pejabat pemerintah harus dianggap sah sampai
terdapat pencabutan atau pembatalan. Jadi dalam tanggungjawab jabatan ini dapat
digugat oleh pihak yang merasa dirugikan melalui Peradilan Tata Usaha Negara
karena berkaitan dengan tindakan pemerintah yang tidak sesuai dengan peraturan
Perundang-Undangan yang berlaku atau asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Namun terhadap tanggungjawab jabatan ini juga dapat digugat melalui peradilan
umum apabila terdapat unsur perbuatan melanggar hukum oleh organ atau pejabat
pemerintah.
Dalam kaitannya dengan tanggungjawab pejabat atau organ pemerintah
dalam menjalankan pemerintahan kecuali tanggungjawab pribadi, tidak terlepas
dari wewenang yang dimiliki oleh pejabat atau organ pemerintah yang
bersangkutan, dimana setiap sumber wewenang yang dimiliki oleh pejabat atau
organ pemerintah menimbulkan tanggungjawab yang berbeda. Sumber wewenang
yang diperoleh secara atribusi, tanggungjawab yang timbulkan baik
tanggungjawab intern dan tanggungjawab eksteren akibat digunakan wewenang
tersebut berada pada penerima atribusi (atributaris). Wewenang yang diperoleh
154
secara delegasi, tanggungjawab yang ditimbulkan baik tanggungjawab eksteren
maupun tanggugjawab jabatan beralih kepada penerima delegasi, karena pada
wewenang delegasi terjadi pergeseran wewenang dari pemberi delegasi kepada
penerima delegasi. Dan wewenang yang diperoleh secara mandat, tanggungjawab
yang ditimbulkan baik tanggungjawab jabatan maupun tanggungjawab eksteren
berada pada pemberi mandat, karena dalam wewenang yang diperoleh secara
mandat tidak terjadi pergeseran kompetensi, sehingga tanggungjawab yang
dimiliki hanya tanggungjawab internal yaitu tanggungjawab bawahan (penerima
mandat) kepada atasan (pemberi mandat). Namun apabila suatu tindakan
pemerintah atau suatu Keputusan Pemerintah dibuat oleh pejabat yang tidak
mempunyai wewenang untuk itu, maka menyebabkan tindakan pejabat atau
Keputusan Pejabat batal demi hukum.
Selanjutnya tanggungjawab jabatan dapat dilihat dalam legalitas tindakan
pejabat harus sesuai dengan prosedur tertentu, yang dimaksudkan dengan
prosedur yaitu bahwa tindakan pemerintah harus bertumpu pada asas negara
hukum, asas demokrasi dan asas instrumental. Dan terhadap legalitas substansi
tindakan pejabat menyebabkan bahwa setiap tindakan pejabat harus sesuai dengan
tujuan yang telah ditentukan, apabila legalitas substansial ini tidak dipenuhi dalam
artian bahwa tindakan pejabat yang didasari suatu wewenang tidak sesuai dengan
tujuan, sehingga menyebabkan terjadi suatu penyalahgunaan wewenang. Menurut
Praktek “Conseil d’Etat” di Perancis, tindakan yang demikian disebut dengan
“deteurnement de pouvoir”.162 Hal ini berarti tanggungjawab yang ditimbulkan
162 Philipus M.Hadjon, Op.cit, h. 19.
155
tidak hanya tanggungjawab jabatan, tetapi dapat berupa tanggungjawab pribadi
karena mengandung penyalahgunaan wewenang maupun kesewenang-wenangan.
Tanggungjawab Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
dalam menerbitkan Keputusan pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah yang
dimaksud dapat dilihat dari wewenang yang dimiliki oleh Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional. Berdasarkan Pasal 58 ayat (1) dan Pasal 73 ayat (1)
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2011, dapat diketahui bahwa wewenang untuk menerbitkan Keputusan
Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah termasuk Sertipikat Hak Milik Atas Tanah
berada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Selanjutnya wewenang
penerbitan Keputusan Pembatalan dapat dilimpahkan kepada Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional dengan melihat rumusan dalam Pasal 58 ayat
(2) dan Pasal 73 ayat (2), dimana arti kata “dapat didelegasikan dan dapat
dilimpahkan” serta mengingat jumlah kasus pertanahan yang ada di Indoensia
mencapai ribuan kasus mengandung makna bahwa wewenang yang dimaksud
adalah wewenang yang diperoleh secara sudelegasi. Oleh karena wewenang yang
dimiliki oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional merupakan
wewenang yang diperoleh secara subdelegasi, dimana dalam hal penerbitan
Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah terjadi pelimpahan
sebagian wewenang dari Kepala Badan Pertanahan Nasional kepada Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, sehingga tanggungjawab dan
tanggunggugat tetap berada pada penerima subdelegasi yaitu Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional. Hal tersebut diperkuat denga adanya legal
156
fakta yang terdapat di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali,
yaitu Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali
menerbitkan Keputusan Nomor: 3607/Pbt/BPN.51/2011 tentang pembatalan
Sertipikat Hak Milik Nomor 131 sebagian, 132, 133, 134, 135, dan 136/Tajun
beserta perlaihan haknya yatu Sertipikat Hak Milik Nomor 40, 81 dan
82/Mengening yang terletak di Desa Mengening, Kecamatan Kubutambahan,
Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali sebagai pelaksanaan Putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap163 yang diterbitkan atas nama Kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Namun ketika terjadi gugatan di
Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar oleh pihak yang merasa dirugikan akibat
diterbitkan Keputusan Pembatalan tersebut, yang digugat adalah Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali, sebagaimana dalam Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar Nomor 06/G/2012/PTUN.Dps, tanggal
11 Juli 2012.164 Dengan digugatnya Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional Provinsi Bali walaupun atas nama Kepala Badan Pertanahan Nasional
memperkuat bahwa yang dimaksud adalah pelimpahan kewenangan secara
subdelegasi, karena dalam Putusan Pengadilan tersebut Majelis Hakim Pengadilan
Tata usaha Negara tidak mempertimbangkan para pihak yang seharusnya digugat
di pengadilan. Selain itu, apabila yang digugat adalah kepala Badan Pertanahan
Nasional, maka akan memberikan beban atau tanggungjawab yang cukup berat
kepada kepala Badan Pertanahan Nasional, mengingat banyaknya kasus
163 Bidang Pengakjian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan Kantor WilayahBadan Pertanahan Nasional Provinsi Bali.
164 ibid
157
pertanahan yang ada diseluruh Provinsi di Indonesia terutama yang berkaitan
dengan pembatalan Sertipikat hak Atas tanah, maka apabila setiap Keputusan
Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah digugat di Pengadilan terhadap
penerbitan Keputusan tersebut menjadi tanggungjawab Kepala Badan Pertanahan
menyebabkan terjaidnya penumpukan tanggungjawab pada Kepala Badan
Pertanahan Nasional, padahal fungsi dari pelimpahan sebagian kewenangan dari
pemerintah pusat adalah untuk meringankan beban atau untuk menghindari terjadi
pemusatan wewenang pada pemerintah pusat.
Jadi tanggungjawab Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
secara teoritis menurut Hukum Administrasi Negara apabila dilihat dari
tanggungjawab jabatan baik berupa tanggungjawab perdata maupun
tanggungjawab administrasi adalah berada pada penerima subdelegasi yaitu
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, karena dalam pelimpahan
kewenangan subdelegasi secara mutatis mutandis berlaku ketentuan dalam
delegasi sehingga penerima subdelegasi menerima sebagian pelimpahan
kewenangan dari delegataris yaitu dari Kepala Badan Pertanahan Nasional
kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional. Sedangkan apabila
dilihat dari tanggungjawab pribadi terhadap Penerbitan Keputusan Pembatalan
Sertipikat Hak Milik Atas tanah apabila dalam penggunaan wewenang tersebut
tidak sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan dan kebijakan yang telah
ditentukan atau dengan kata lain telah terjadi maladministrasi, maka yang
bertanggungjawab adalah pribadi pejabat yang bersangkutan yaitu aparatur Badan
Pertanahan Nasional yang terbukti melakukan tindakan maladministrasi dalam
158
Penerbitan Keputusan pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah, karena dalam
tanggungjawab pribadi tidak dikenal asas “Superior Respondeat” (atasan
bertanggungjawab atas perbuatan bawahan).165 Sehingga tanggungjawab pribadi
atas penerbitan Keputusan pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah dapat
berupa tanggungjawab adminstrasi, perdata dan pidana.
165 Titiek Sri Djatmiati, Op. cit, h. 94.
79
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Dari keseluruhan uraian pada pembahasan terhadap 2 (dua) masalah
sebagaimana yang dirumuskan dalam Bab I dapat ditarik simpulan, yaitu:
1. Kewenangan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dalam
menerbitkan Keputusan Pembatalan Hak Milik Atas Tanah adalah kewenangan
yang diperoleh secara subdelegasi. Hal ini dapat dilihat dari beberapa
pertimbangan, yaitu:
- Kepala Badan Pertanahan Nasional memperoleh kewenangan delegasi dari
presiden (delegataris) membentuk Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 sebagai peraturan dasar
dalam penerbitan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah, dimana
dalam rumusan Pasal 58 ayat (2) yang menetapkan “....dapat didelegasikan
kepada Deputi atau Kakanwil”, mengandung makna Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 sebagai
peraturan dasar untuk menerbitkan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak
Atas tanah termasuk juga Sertipikat Hak Milik Atas Tanah menentukan
bahwa Kepala Badan Pertanahan Nasional yang berkedudukan sebagai
delegataris dapat mendelegasikan lebih lanjut wewenangnya untuk
menerbitkan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah kepada
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional.
159
160
- Dalam rangka efiensi waktu dan kecermatan dalam pemecahan masalah yang
ada, mengingat banyaknya kasus pertanahan yang ada diseluruh Indonesia
termasuk juga jumlah pembatalan yang cukup tinggi, sehingga tidak terjadi
perbenturan antara keharusan menyelesaikan masalah dalam waktu yang
terbatas dengan harus mempertimbangkan kecermatan dan kehatian-hatian
dalam mengambil keputusan, sehingga dapat menjamin mutu keputusan yang
diambil tersebut.
- Dalam rangka mengurangi atau meringankan beban kerja atau tugas Kepala
Badan Pertanahan Nasional , mengingat banyaknya kasus peratanahan yang
ada diseluruh Indonesia yang memerlukan penyelesaian, maka untuk
menghindari pemusatan kewenangan pada Kepala Badan Pertanahan
Nasional yang dapat menyebabkan terjadinya penumpukan beban tugas pada
Kepala Badan Pertanahan Nasional, diperlukan adanya subdelegasai
kewenangan.
2. Tanggungjawab Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dalam
menerbitkan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah
apabila dilihat dari tanggungjawab jabatan, Kepala Kantor Wilayah badan
Pertanahan Nasional bertanggungjawab secara jabatan baik anggungjawab
perdata maupun tanggungjawab administrtaif. Hal ini disebabkan karena
wewenang Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dalam
menerbitkan Keputusan Pembatalan adalah wewenang yang diperoleh secara
subdelegasi, sehingga tanggungjawab dan tanggunggugat tetap berada pada
penerima subdelegasi yaitu Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
161
Nasional. Sedangkan tanggungjawab Pribadi merupakan tanggungjawab
yang berkaitan dengan maladministrasi yaitu perilaku menyimpang aparat
pemerintah terhadap Peraturan Perundang-Undangan dan Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik, sehingga tanggungjawab dalam menerbitkan
Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah berada pada pribadi
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional atau aparatur Badan
Pertanahan Nasional yang terbukti melakukan maladministrsi dalam
melakukan penanganan atas Permohonan Pembatalan Sertipikat Hak Milik
Atas tanah. Hal ini disebabkan karena dalam kaitannya dengan
Tanggungjawab pribadi tidak melihat sumber wewenang yang diperoleh
oleh pejabat atau aparatur pemerintah dalam melakukan suatu perbuatan
hukum tertentu dan tidak dikenal atasan bertanggungjawab atas perbuatan
bawahan.
5.2 Saran
Bahwa perlu dilakukan perubahan terhadap peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan dengan tidak
mencantumkan Pasal 75, karena pelimpahan kewenangan dalam Penerbitan
Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah termasuk juga Sertipikat
Hak Milik Atas Tanah adalah pelimpahan secara subdelegasi dari Kepala
Badan Pertanahan Nasional sebagai delegataris atau penerima delegasi dari
Presiden kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional. Dan
162
oleh karena kewenangan yang diterima oleh Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional dalam bentuk subdelegasi, yang berarti tangungjawab
berada pada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, maka
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional hendaknya berhati-hati
dan bersikap cermat dalam penerbitan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak
Atas Tanah.
163
DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU
Ali, Achmad, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan TeoriPeradilan (Judicialprudence), termasuk Interpretasi Undang-Undang(Legisprudence)”, Edisi Pertama, cetakan ke-2, Kencana Prenada MediaGroup,Jakarta.
Anggriani, Jum, 2012, “ Hukum Adminsitrasi Negara”, Graha Ilmu,Yogyakarta.
Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen TentangHukum, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,Jakarta.
Atmosudirjo, Prajudi,1995,”Hukum Administrasi Negara”, CetakanKesepuluh, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Barnett, Hilaire, 2011, Constitutional & Administrative Law, Eight Edition,Routledge, London and New York.
Budiardjo, Miriam, 2007, “ Dasar-dasar Ilmu Politik”, PT. Gramedia PustakaUtama, Jakarta.
Cohen, Morris L dan kent C. Olson, 2000, “Legal Research In A Nutshell”,Seventh Edition, ST. Paul, Minn, West Group.
Daeng, Mustamin, et, al, 2004, Mandat, delegasi, Attribusi danImplementasinya di Indonesia, UII Press, Yogyakarta.
Djatmiati, Titiek Sri, 2010, Maladministrasi dalam Konteks kesalahan Pribadidan Kesalahan Jabatan, Tanggung Jawab Pribadi dan Tanggung JawabJabatan, dalam Philipus M Hadjon, et, al, Hukum Administrasi dan GoodGovernance, Universitas Trisakti, Jakarta.
Dewa, H. Muh. Jufri, 2011, Hukum Administrasi Negara Dalam Perspektifpelayanan Publik, Unhalu Perss, Kendari.
Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah, Alumnni, Bandung.
J.B. Daliyo, et, al, 1992, Pengantar Hukum Indonesia, Buku PanduanMahasiswa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
164
Fachruddin, Irfan , 2004, “Pengawasan Peradilan Administrasi TerhadapTidakan Pemerintah”, Edisi Pertama, cetakan ke-1, PT. Alumni,Bandung
Fadjar, A. Mukthie,2004,Type Negara Hukum,Bayu Media Publihsing,Malang.
Fuady, Munir, 2009, “Teori Negara hukum Modern (Rechtstaat)”, RefikaAditama: Bandung
Garner, Bryan A, 2004, “Black Law’s Dictionary”, eighth edition, Thomsonbusiness, West.
Hadjon, Philipus M, 1985, Pengertian-Pengertian Dasar tentang TindakPemerintahan (bestuurshandeling), Djumali, Surabaya.
-------, 1993, Pemerintah Menurut Hukum (Wet En Rechtmatig Bestuur),Yuridika, Surabaya.
-------, 2010, Kebutuhan akan Hukum Administrasi Umum, dalam Philipus MHadjon, et, al, Hukum Administrasi dan Good Governance, UniversitasTrisakti, Jakarta.
Hadjon, Philipus M., et.al, 2011, “Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,Introduction to the Indonesian Administrative law”, Gadjah MadaUniversity Press, Yogyakarta.
Hadjon, Philipus M, et.al, 2011, Hukum Administrasi dan Tindak PidanaKorupsi, Gadjah Mada Uiversity Press, Yogyakarta.
Hakim, Abdul Aziz, 2011, “ Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia”,Cetakan I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Hakim, Lukman, 2012, Filosofi Kewenangan Organ Lembaga Daerah,perspektif Teori Otonomi & Desentralisasi dalam PenyelenggaraanPemerintahan Negara Hukum dan Kesatuan, Setara Press, Malang.
Harahap, Zairin, 1997, “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara”, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta
Harsono, Boedi 2008, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah PembentukanUndang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya,Djambatan:Jakarta.
Huda, Ni Matul,2006,”Hukum Tata Negara Indonesia”,Raja GrafindoPersada,Jakarta.
165
Hutagalung, Arie Sukanti dan Markus Gunawan, 2009, KewenanganPemerintahan di Bidnag Pertanahan, PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta.
Hutagalung, Arie S., et.al, 2012, Hukum Pertanahan di belanda dan Indonesia,Pustaka Larasan, Denpasar.
Indroharto, 1991, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan TataUsaha Negara, Pustaka Harapan, Jakarta.
Jeddawi, H. Murtir, 2012, “ Hukum Administrasi Negara”, Total Media,Yogyakarta.
Koesoemahatmadja, Djenal Hoesen, 1983, Pokok-pokok Hukum Tata UsahaNegara, Alumni, Bandung.
Lars Lidahl, 1992, Conflicts In System Of Legal Norms A Logical Point OfView. Dalam Onder redaction van, et, al, editor. Conhrence and conflictin law, Kluwer law and Taxation Publisher Deventer, Boston.
Manan, Bagir, 2003, “Lembaga Kepresidenan”, FH UII Press. Yogyakarta.
Marbun, SF, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi diIndonesia, Liberty, Yogyakarta.
Marbun, SF, 1988, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta.
Marbun, SF, et. al, 2001, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum AdministrasiNegara, UII Press, Yogyakarta.
Marbun, S.F dan Moh. Mahfud MD, 2009, “ Pokok-pokok Hukum AdministrasiNegara”, cetakan Kelima, Liberty, Yogyakarta.
Marzuki Peter Mahmud, 2005, “Peneitian Hukum”, Cetakan ke-1, Kencana,Jakarta.
Mulyosudarmo, Suwoto, 1997, Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis danYuridis Terhadap Pidato Nawaksara, PT. Gramedia Pustaka Utama,Jakarta.
Noor, Aslan, 2006, Konsep hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa IndonesiaDitinjau Dari Ajaran hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung.
Prodjohamidjojo, Martiman, 1996, Hukum Acara Peradilan Tata UsahaNegara, Ghalia Indonesia, Jakarta.
166
Program Studi Magister Ilmu Hukum, 2013, Pedoman Penulisan UsulanPenelitian Tesis dan Penulisan Tesis Program Studi Magister (S2) IlmuHukum, Program Studi magister (S2) Ilmu Hukum, ProgramPascasarjana Unversitas Udayana, Denpasar.
Purbopranoto, Kuntjoro, 1981, Beberapa catatan hukum tata pemerintahandan peradilan administrasi negara, Alumni, Bandung.
Ridwan, HR., 2006, “Hukum Administrasi Negara”, PT. Raja GrafindoPersada, Jakarta.
Sadjijono, 2008, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi,Laksabang Pressindo, Yogyakarta.
-------, 2011, “Bab- Bab Pokok Hukum Administrasi”, Cetakan II, Edisi II,Laksbang Pressindo, Yogyakarta.
Santoso, Urip, 2011, Pendaftaran Tanah dan Peralihan Hak Atas Tanah, EdisiPertama, Cetakan Ke-2, Kencana, jakarta.
Setiawan, Yudhi, 2009, “Instrumen Hukum campuran (gemeenscapelijkrecht)dalam Konsolidasi Tanah”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
-------, 2010, Hukum Pertanahan, Teori dan Praktik, Bayumedia Publishing,Malang.
Soehino,1984, Asas-Asas Hukum Tata pemerintahan, Liberty, Yogyakarta.
Soekanto, Soerjono, 1986, “Pengantar Penelitian Hukum”, UniversitasIndonesia (UI) Press), Jakarta (selanjutnya disebut Soerjono I).
Soekanto, Soerjano dan Sri Mamudji, 2011, “ Penelitian Hukum Normatif,Suatu Tinjauan Singkat”, cetakan ke-13, PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta.
Soetami, A. Siti, 2005, “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara”, PT.Refika Aditama, Bandung.
Soimin, Soeharyo, 2004, Status Hak dan Pembebasan Tanah, ed.2, cet.2, SinarGrafika, Jakarta.
Sutedi, Adrian, 2006, Kekuatan Hukum Berlakunya Sertifikat Sebagai TandaBukti Hak Atas Tanah, BP. Cipta Jaya, Jakarta.
-------, 2006, Politik dan Kebijakan Hukum Pertanahan serta berbagaipermasalahan, BP. Cipta Jaya, Jakarta.
167
-------, Adrian, 2011, “ Sertipikat Hak Atas Tanah”, Sinar Grafika, Jakarta.
Syarifin, Pipin dan Dedah Jubaedah, 2005, Pemerintahan Daerah Di IndoesiaDilengkapi Undang-undang No. 32 tahun 2004, Pustaka Setia, bandung.
Tjandra, W. Riawan, 2008, “ Hukum Administrasi Negara”, Universitas AtmaJaya Yogyakarta: Yogyakarta.
Triwulandari, Titik, 2010, “ Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia”,Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta
Triwulan T, Titik dan Kombes Pol. Ismu Gunadi Widodo, 2011, “Hukum TataUsaha Negara & Hukum Acara Peradilan Tata Usaha NegaraIndonesia”, Kencana Prenada Media Group,Jakarta.
Utrecht, E, 1962, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, TjetakanKelima, Ichtiar, Jakarta.
Wade,W.R, 1977, Administrasi law, Fourth Edition, Oxford University Press,England.
Waluyo, Bambang, 1991, “Penelitian Hukum Dalam Praktek”, SinarGrafika,jakarta.
Wijk, H.D. Van, 1988. Hoofdstukken van administratief recht, Culemborg,Uitgeverij Lemma.
Wiyono, R, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika,Jakarta.
II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokokAgraria ( Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1960, Nomor 104).
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara(Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1986, Nomor 77)sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentangPeradilan Tata Usaha Negara (Lembar Negara Republik IndonesiaTahun 2004, Nomor 35) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
168
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-UndangNomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (LembarNegara Republik Indonesia Tahun 2009, Nomor 160).
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RepublikIndonesia (Lembar Negara Republik Indoensia Tahun 2008 Nomor 139).
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan PeraturanPerundang-Undangan (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2011,Nomor 82).
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran.
Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tanggal 19 Juli 1988 tentangBadan Pertanahan Nasional.
Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan PertanahanNasional.
Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 19 Juli 2000, Nomor:500-2147 yang ditujukan kepada Seluruh Kepala Kantor Wilayah BadanPertanahan Nasional dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota seIndonesia.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan PertanahanaNasional Republik Indonesia.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah BadanPertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan KasusPertanahan.
III. INTERNET
Dwi Purnama Julianti, 2009, “Analisis Yuridis Pembatalan Hak Atas Tanah diKantor Pertanahan Kota Medan”, Sekolah Pascasarjana UniveistasSumatera Utara, Medan,http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/5464/1/09E01888.pdf,diakses 8 Agustus 2012.
Sriyanti Achmad, 2008, “Pembatalan dan Peneribitan Sertipikat Hak AtasTanah Pengganti (Studi Kasus Pembatalan Sertipikat Putusan MA No.
169
987 K/ PDT/ 2004)”, Program Pascasarjana Universitas Diponogoro,Semarang,http://eprints.undip.ac.id/18339/1/SRIYANTI_ACHMAD.pdf,8 Agustus 2012.
Titut Rosawati, 2010, “Analisis Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas OlehBadan Pertanahan Nasional sebagai Pelaksanaan Eksekusi PutusanPengadilan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI Nomor2096.K/Pdt/1987 tanggal 28 Desember 1987 dan Keputusan KepalaBadan Pertanahan Nasional Nomor 4-X.C-2005 tanggal 14 Juli 2005)”,Program Kenotariatan Universitas Indonesia, Depok,http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131073-T%2027401-Analisis%20pembatalan-HA.pdf, 9 Agustus 2012.
Yulia Darini Triatusi, “Analisis Yuridis Pembatalan Keputusan pemberian hakatas tanah dan/ atau sertipikat hak atas tanah berdasarkan PutusanPengadilan ( Studi kasus di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakartadan Pengadilan Negeri Sleman)”, Program Magister KenotariatanUniversitas Gajah Mada Program Magister Kenotariatan UniversitasGajah Mada ,Yogyakarta,http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=38810&obyek_id=4, 9Agustus 2012.
170
LAMPIRAN