T.anggapan balik buat Rizal Mallarangeng Kapitalisme dan ... · pada diskusi di atas), terbentuk...

2
BERNAS 14 . JUMAT, 9 AGUSTUS 1991 T.anggapan balik buat Rizal Mallarangeng Kapitalisme dan Kebudayaan Ariel Heryanto RIZAL Mallarangeng (bernas, 6/8/91) benar, kaitan kapitalis- me dan kebudayaan tak mung- kin dibahas secara memadai dalam sebuah artikel koran seperti ini. Apalagi jika pengeta- huan pembahasnya masih sa- ngat terbatas, seperti dalam kasus tulisan saya (Bernas, 30n /91) yang ditanggapi Rizal. Saya memberanikan diri untuk menyinggung kapitalisme dalam kaitan dengan kebudaya- an karena beberapa dorongan. Pertarna, saya percaya·pandang- an para ahli bahwa kapitalisme merupakan dasar terpenting dari tata masyarakat dan sejarah umat manusia di seluruh planet bumi pada masa ini. Mustahil memahami seeara mendalam .apa pun yang berkait dengan manusia dan masyarakat muta- khir tanpa pemahaman minimal tentang kapitalisme. Sejarah kita dua abad terakhir adalah sejarah kapitalisme. Bayangkan jika soal sepen- ting ini harus dihindarkan dari halaman koran hanya karena rumit dan besarnya persoalan yang dikandungnya. Soal-soal seperti suksesi, pemilu, demo- krasi, pembangunan atau kea- dilan kini banyak dipersoalkan koran kita bukan karena soal- soal itu sempit dan sederhana. Kedua, ternyata soal sepen- ting kapitalisme belum cukup mendapatkan perhatian seeara memadai dalam masyarakat mutakhir kita. Saya tak perlu - dan jelas tak berani - menulis tentangnya seandainya mereka yang jauh lebih ahli telah mem- bahasnya berpanjang-lebar. Bahan-bahan perkuliahan yang wajib diikuti para mahasiswa kita, yakni I1mu Sosial Dasar dan Ilmu Budaya Dasar, tak (banyak) membahas tentang kapitalisme. Ketiga, dari perbincangan yang minim, kapitalisme. biasa- nya dibahas di kalangan penga- mat masalah ekonomi dan poli- tik. Bidang kebudayaan umum- nya dan kesenian khususnya seakan-akan asing dengan acu- an pada kapitalisme. Bahkan, diskusi yang membahas kaitan seni dan tata masyarakat biasa- nya tak menyinggung dinamika kapitalisme. Perang tiga bersaudara Saya teringat sebuah diskusi yang diadakan Yayasan Kalima- sada Yogyakarta. Topiknya seni dan politik, menyusul pelarang- an pentas Teater Koma tahun lalu. Di situ Emha Ainun Nadiih mengemukakan banwa ada tiga kiblat kegiatan berteater di Yog- yakarta masa kini: (a) yang berobsesi dengan estetika (seni untuk seni); (b) yangmenjaja- kan tontonan hiburan (seni untuk pasar); (c) yang berpriha- tin pada ketidakadilan sosial (seni untuk masyarakat). Dalam diskusi itu, seperti dalam peta intelektualisme Indonesia masa kini, Emha tampil sebagai peng- amat yang paling jitu menunjuk gejala-gejala sosial. Tapi sayang- nya penggambaran geiala itu biasanya, seperti dalam diskusi tadi, tak disertai analisis yang menjelaskan proses sosial ara yang bekerja di bawah permu- kaan gejala itu, yang memben- tuk dan mengangkatnya ke permukaan. Sementara kita bisa sepenuh- nya setuju dengan gambaran yang diberikan Emha, kita bisa mengatakan bahwa tiga kihlat yang sama sebenamya dapat dijumpai dalam semua masya- rakat bercorak kapitalistik. Ti- dak unik Yogyakarta masa kini. Bahkan tidak hanya Indonesia. Ketiganya merupakan produk danlatau reaksi terhadap kapita- lisme. Karena kapitalisme biasa-· nya tidak disinggung dalam diskusi kesenian (juga tidak pada diskusi di atas), terbentuk- nya ketiga kiblat itu tidak terje- laskan. Masing-masing penganut kiblat saling mengejek dan ber- musuhan. Pertentangan mereka menjadi warna dominan perga- ulan seniman Indonesia dalam dua dekade belakangan. Yang berobsesi estetika dianggap buta, picik atau angkuh terha- dap masalah sosial. Padahal awalnya kiblat ini merupakan perlawanan radikal terhadap reduksi estetika pada nilai mate- rialistik-utilitas-pragmatik-komo- diti. Kesenian yang laris diper- dagangkan disebut bukan karya seni. Padahal dia bisa menjadi idola yang paling memasyara- kat. Yang berprihatin pada ma- salah sosial disebut memperalat kesenian. Padahal kiblat ini dimaksudkan sebagai bagian dari konfrontasi paling kompre- hensif dan fundamental terha- dap seluruh proses sosial kapi- talistik. Ketiganya tidak saling me- nyadari bahwa mereka adalah sesama korban kapitalisme. Masing-masing merasa seakan- akan ketiganya bertumbuh sen- diri-sendiri. Seakan-akan ketiga- nya sekedar merupakan selera individu masing-masing seni- man dan pilihan pri badi. Karena tak ada wawasan (jangankan analisis) historis terhadap keti- ganya. maka tak muncul kesa- daran bahwa baru belakangan saja ketiganya muncul secara menonjol dalam sejarah sosial kita. Sebelum kolonialisme dan bpitalisme masuk ke wilayah keplllauan Nusantara, hampir semua kegiatan yang kini dise- but "kesenian" berkiblat ke nilai sakral atau politik keraton yang disakralkan. Ketiga kiblat di atas tak ada. Sebelum pembahasan 1111 diterllskan;mungkin perlu dica- tat beberapa pertanyaan historis yang penting. Mengapa pemba- hasan, dan terlebih-Iebih lagi analisis kritis, terhadap kapitalis- me sangat langka dan terbatas dalam masyarakat mutakhir kita? Mengapa di antara pembahasan yang minim tentang kapitalisme selama ini, ekonomi dan politik menjadi forum lItamanya, bukan kebudayaan dan kesenian? Ba- gaimanakah sikap dan isi pem- bicaraan orang Indonesia masa kini tentang kapitalisme? Me- ogara begitu? Semlla pertanyaan di atas dan jawabannya menjelaskan apa' Kesalahan teknis? Atau Iebih serius? Gejala keilmuan? Kebudayaan? Politik' Ekonomi? Bah'asa dan k1!kuasaan Jdas semua ini membutuh- kan pembahasan tersendiri. Saya tak berpretensi mampu menjawabnya secara tuntas di sini atall di mana pun. Tapi demi jelasnya, mungkin perlu diGItal seringkas mungkin bebe- rapa kemungkinan jawabnya. Tampaknya ada al.tsan histo- ris yang membatasi perbincang- an tentang kapitalisme di Indo- nesia masa kini. Masyarakat mlltakhir kita, yang biasa ditan- dai deng;1l1 penanggalan pasca- 1965 dan diseblit Orde Baru, merupakan masyarakat yang bangki! dari dlla kejadian besar. Pertama, masa pra-1965 ditandai oleh hiruk-pikuk ad.! slogan dan propaganda di samping adll-adu kekuatan dalam berba- gai bentuk lain. Kapitalisme, imperialisme, birokrat, revolusi adalah sebagian dari kata-kata kunci dalam adu slogan itu. Kedua, peralihan masa pra dan pasea 1965 itu merupakan salah satu trauma berbanjir darah paling dahsyat yang terealat dalam sejarah umat manusia abad ini dan masih menjadi teb-teki para ahli ilmu jiwa ma\lp\ll1 sejarah di dunia. tlisa dipahami jika pada masa itu generasi t\la kita enggan membicarakan kapitalisme, biarpun kata itu seperti halnya sosialisme, komunisme, nasio- nalisme atau Islam merupakan kata-kata paling penting dalam seluruh sejarah terl*ntuknya bangsa-negara dari awal abad ini hingga\ tahun 1965. Tapi ada beberapa alasan lain yang tak khas Indonesia. Istilah "kapitalisme" Q>erbeda dari kapitalis dan kapital)-baru mun- cui pada abad ke-19 dan mun- cui sejak awalnya bukan seba- gai kata yang bebas nilai. Kata itu menyebar dengan nilai serba negatif. Bandingkan dengan istilah "Orde Lama" yang tak pemah terdengar pada masa hidupnya Orde yang disebut Lama itu. Kapitalisme, dalam pengertian suatu tahap sejarah sosial atau sistem gagasan atau suatu tata sosial, tak dimonopoli tapi lebih banyak dipakai oleh para sarjana Marxis. Dengan terlarangnya Marxisme-Leninis- me di Indonesia sejak tahun 1966, bukan saja pembahasan tentang Marxisme tetapi juga fi Pitalisme semakin It"rbalas. R dahal perbincangan apitalisme tidak harus bercorak tau berpihak pada Marxisme. Dari kebanyakan pembahas.. an yang terbatas tentang kapi- !alisme di Indonesia maupun di luar Indonesia (Wallt'rslt'in, 1988) ada dua sikap 1Ilt'lldua yang saling satu pihak, kapital, kapltahs daii kapitalisrnt'diunggul-unggulkan sebagai ujung tOIll\lak rnodC:rni- sasi, pernbangunao, kl'lIl,lluan dan kesejahteraan serta. pc-ra- daban masa depan. Tapa yang penting di<'atat, kampanye mikian tidak rnenggunakan istilah-istilah kapitalis dan kapi- talisme. Kapitalis atau borjUis disebut sebagai wiraswasta, pengusaha, usahawan dan de- ngan malu-mal u belakangan disebut konglomerat. Sedang kapitalisme yang saat ini mele- dak-ledak disebut sebagai in- dustrialisasi, modernisasi, pem- bangunan yang belakangan dihiasi oleh kosmetika bernama globalisasi. Setiap istilah temyata mem- bawa bobotnilai 50sial yang berbeda. Itu sebabnya penguasa negara-negara kapitalis tidak bertepuk dada membang- gakan diri' sebagal perrumpin negara kapitalis: Bahkan di Indonesia justru dlkampanyekan penyangkalan bahwa Indonesia bukan negara kapitalistik. Bebe- rapa pihak tersinggung dan membantah ketika pejabat ne- gara yang menuding para lulus- an UI sebagai para calon kapi- talis. BMsambung k9 hal t t Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

Transcript of T.anggapan balik buat Rizal Mallarangeng Kapitalisme dan ... · pada diskusi di atas), terbentuk...

Page 1: T.anggapan balik buat Rizal Mallarangeng Kapitalisme dan ... · pada diskusi di atas), terbentuk ... Mengapa pemba hasan, dan ... pengertian suatu tahap sejarah sosial atau sistem

BERNAS 14 . JUMAT, 9 AGUSTUS 1991

T.anggapan balik buat Rizal Mallarangeng

Kapitalisme dan Kebudayaan Ariel Heryanto

RIZAL Mallarangeng (bernas, 6/8/91) benar, kaitan kapitalis­me dan kebudayaan tak mung­kin dibahas secara memadai dalam sebuah artikel koran seperti ini. Apalagi jika pengeta­huan pembahasnya masih sa­ngat terbatas, seperti dalam kasus tulisan saya (Bernas, 30n /91) yang ditanggapi Rizal.

Saya memberanikan diri untuk menyinggung kapitalisme dalam kaitan dengan kebudaya­an karena beberapa dorongan. Pertarna, saya percaya·pandang­an para ahli bahwa kapitalisme merupakan dasar terpenting dari tata masyarakat dan sejarah umat manusia di seluruh planet bumi pada masa ini. Mustahil memahami seeara mendalam .apa pun yang berkait dengan manusia dan masyarakat muta­khir tanpa pemahaman minimal tentang kapitalisme. Sejarah kita dua abad terakhir adalah sejarah kapitalisme.

Bayangkan jika soal sepen­ting ini harus dihindarkan dari halaman koran hanya karena rumit dan besarnya persoalan yang dikandungnya. Soal-soal seperti suksesi, pemilu, demo­krasi, pembangunan atau kea­dilan kini banyak dipersoalkan koran kita bukan karena soal­soal itu sempit dan sederhana.

Kedua, ternyata soal sepen­ting kapitalisme belum cukup mendapatkan perhatian seeara memadai dalam masyarakat

mutakhir kita. Saya tak perlu -dan jelas tak berani - menulis tentangnya seandainya mereka yang jauh lebih ahli telah mem­bahasnya berpanjang-lebar. Bahan-bahan perkuliahan yang wajib diikuti para mahasiswa kita, yakni I1mu Sosial Dasar dan Ilmu Budaya Dasar, tak (banyak) membahas tentang kapitalisme.

Ketiga, dari perbincangan yang minim, kapitalisme. biasa­nya dibahas di kalangan penga­mat masalah ekonomi dan poli­tik. Bidang kebudayaan umum­nya dan kesenian khususnya seakan-akan asing dengan acu­an pada kapitalisme. Bahkan, diskusi yang membahas kaitan seni dan tata masyarakat biasa­nya tak menyinggung dinamika kapitalisme.

Perang tiga bersaudara Saya teringat sebuah diskusi

yang diadakan Yayasan Kalima­sada Yogyakarta. Topiknya seni dan politik, menyusul pelarang­an pentas Teater Koma tahun lalu. Di situ Emha Ainun Nadiih mengemukakan banwa ada tiga kiblat kegiatan berteater di Yog­yakarta masa kini: (a) yang berobsesi dengan estetika (seni untuk seni); (b) yangmenjaja­kan tontonan hiburan (seni untuk pasar); (c) yang berpriha­tin pada ketidakadilan sosial (seni untuk masyarakat). Dalam diskusi itu, seperti dalam peta intelektualisme Indonesia masa kini, Emha tampil sebagai peng­amat yang paling jitu menunjuk gejala-gejala sosial. Tapi sayang­nya penggambaran geiala itu

biasanya, seperti dalam diskusi tadi, tak disertai analisis yang menjelaskan proses sosial ara yang bekerja di bawah permu­kaan gejala itu, yang memben­tuk dan mengangkatnya ke permukaan.

Sementara kita bisa sepenuh­nya setuju dengan gambaran yang diberikan Emha, kita bisa mengatakan bahwa tiga kihlat yang sama sebenamya dapat dijumpai dalam semua masya­rakat bercorak kapitalistik. Ti­dak unik Yogyakarta masa kini.

Bahkan tidak hanya Indonesia. Ketiganya merupakan produk danlatau reaksi terhadap kapita­lisme. Karena kapitalisme biasa-· nya tidak disinggung dalam diskusi kesenian (juga tidak pada diskusi di atas), terbentuk­nya ketiga kiblat itu tidak terje­laskan.

Masing-masing penganut kiblat saling mengejek dan ber­musuhan. Pertentangan mereka menjadi warna dominan perga­ulan seniman Indonesia dalam dua dekade belakangan. Yang

berobsesi estetika dianggap buta, picik atau angkuh terha­dap masalah sosial. Padahal awalnya kiblat ini merupakan perlawanan radikal terhadap reduksi estetika pada nilai mate­rialistik-utilitas-pragmatik-komo­diti. Kesenian yang laris diper­dagangkan disebut bukan karya seni. Padahal dia bisa menjadi idola yang paling memasyara­kat. Yang berprihatin pada ma­salah sosial disebut memperalat kesenian. Padahal kiblat ini dimaksudkan sebagai bagian

dari konfrontasi paling kompre­hensif dan fundamental terha­dap seluruh proses sosial kapi­talistik.

Ketiganya tidak saling me­nyadari bahwa mereka adalah sesama korban kapitalisme. Masing-masing merasa seakan­akan ketiganya bertumbuh sen­diri-sendiri. Seakan-akan ketiga­nya sekedar merupakan selera individu masing-masing seni­man dan pilihan pri badi. Karena tak ada wawasan (jangankan analisis) historis terhadap keti-

ganya. maka tak muncul kesa­daran bahwa baru belakangan saja ketiganya muncul secara menonjol dalam sejarah sosial kita. Sebelum kolonialisme dan bpitalisme masuk ke wilayah keplllauan Nusantara, hampir semua kegiatan yang kini dise­but "kesenian" berkiblat ke nilai sakral atau politik keraton yang disakralkan. Ketiga kiblat di atas tak ada.

Sebelum pembahasan 1111

diterllskan;mungkin perlu dica­tat beberapa pertanyaan historis yang penting. Mengapa pemba­hasan, dan terlebih-Iebih lagi analisis kritis, terhadap kapitalis­me sangat langka dan terbatas dalam masyarakat mutakhir kita? Mengapa di antara pembahasan yang minim tentang kapitalisme selama ini, ekonomi dan politik menjadi forum lItamanya, bukan kebudayaan dan kesenian? Ba­gaimanakah sikap dan isi pem­bicaraan orang Indonesia masa kini tentang kapitalisme? Me­ogara begitu?

Semlla pertanyaan di atas dan jawabannya menjelaskan apa' Kesalahan teknis? Atau Iebih serius? Gejala keilmuan? Kebudayaan? Politik' Ekonomi?

Bah'asa dan k1!kuasaan Jdas semua ini membutuh­

kan pembahasan tersendiri. Saya tak berpretensi mampu menjawabnya secara tuntas di sini atall di mana pun. Tapi demi jelasnya, mungkin perlu diGItal seringkas mungkin bebe­rapa kemungkinan jawabnya.

Tampaknya ada al.tsan histo­ris yang membatasi perbincang­an tentang kapitalisme di Indo­nesia masa kini. Masyarakat mlltakhir kita, yang biasa ditan­dai deng;1l1 penanggalan pasca-

1965 dan diseblit Orde Baru, merupakan masyarakat yang bangki! dari dlla kejadian besar. Pertama, masa pra-1965 ditandai oleh hiruk-pikuk ad.! slogan dan propaganda di samping adll-adu kekuatan dalam berba­gai bentuk lain. Kapitalisme, imperialisme, birokrat, revolusi adalah sebagian dari kata-kata kunci dalam adu slogan itu. Kedua, peralihan masa pra dan pasea 1965 itu merupakan salah satu trauma berbanjir darah paling dahsyat yang terealat dalam sejarah umat manusia abad ini dan masih menjadi teb-teki para ahli ilmu jiwa ma\lp\ll1 sejarah di dunia.

tlisa dipahami jika pada masa itu generasi t\la kita enggan membicarakan kapitalisme, biarpun kata itu seperti halnya sosialisme, komunisme, nasio­nalisme atau Islam merupakan kata-kata paling penting dalam seluruh sejarah terl*ntuknya bangsa-negara Indone~ia dari awal abad ini hingga\ tahun 1965.

Tapi ada beberapa alasan lain yang tak khas Indonesia. Istilah "kapitalisme" Q>erbeda dari kapitalis dan kapital)-baru mun­cui pada abad ke-19 dan mun­cui sejak awalnya bukan seba­gai kata yang bebas nilai. Kata itu menyebar dengan nilai serba negatif. Bandingkan dengan istilah "Orde Lama" yang tak pemah terdengar pada masa hidupnya Orde yang disebut Lama itu. Kapitalisme, dalam pengertian suatu tahap sejarah sosial atau sistem gagasan atau suatu tata sosial, tak dimonopoli tapi lebih banyak dipakai oleh para sarjana Marxis. Dengan terlarangnya Marxisme-Leninis-

me di Indonesia sejak tahun 1966, bukan saja pembahasan tentang Marxisme tetapi juga

fiPitalisme semakin It"rbalas.

R dahal perbincangan 1~'nt""K apitalisme tidak harus bercorak tau berpihak pada Marxisme.

Dari kebanyakan pembahas.. an yang terbatas tentang kapi-!alisme di Indonesia maupun di luar Indonesia (Wallt'rslt'in, 1988) ada dua sikap 1Ilt'lldua yang saling berteota~ga? Q~ satu pihak, kapital, kapltahs daii kapitalisrnt'diunggul-unggulkan sebagai ujung tOIll\lak rnodC:rni­sasi, pernbangunao, kl'lIl,lluan dan kesejahteraan serta. pc-ra­daban masa depan. Tapa yang penting di<'atat, kampanye ~­mikian tidak rnenggunakan istilah-istilah kapitalis dan kapi­talisme. Kapitalis atau borjUis disebut sebagai wiraswasta, pengusaha, usahawan dan de­ngan malu-mal u belakangan disebut konglomerat. Sedang kapitalisme yang saat ini mele­dak-ledak disebut sebagai in­dustrialisasi, modernisasi, pem­bangunan yang belakangan dihiasi oleh kosmetika bernama globalisasi.

Setiap istilah temyata mem­bawa bobotnilai 50sial yang berbeda. Itu sebabnya penguasa negara-negara kapitalis tidak bertepuk dada untu~ membang­gakan diri' sebagal perrumpin negara kapitalis: Bahkan di Indonesia justru dlkampanyekan penyangkalan bahwa Indonesia bukan negara kapitalistik. Bebe­rapa pihak tersinggung dan membantah ketika pejabat ne­gara yang menuding para lulus­an UI sebagai para calon kapi­talis.

BMsambung k9 hal t t

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

Page 2: T.anggapan balik buat Rizal Mallarangeng Kapitalisme dan ... · pada diskusi di atas), terbentuk ... Mengapa pemba hasan, dan ... pengertian suatu tahap sejarah sosial atau sistem

, Kapitalisme - - -Tapi pada saat yang salVa

semua nilai, sikap dan sifat ideal milik borjuis atau kapitalis di­kampanyekan di Indonesia: berhemat, rasional, tekun dan rajin, bekerja efisien, rajin me­nabung, kreatif dan produktif. Semua ini membentuk sepe-

I rangkat doktrin dan nilai resmi yang tidak harus sesuai "secara

, murni dan konsekuen" dengan praktek sosial sehari-hari. Ketika kita menemukan etos kerja borjuis itu pada kelompok ter-

I tentu dalam masyarakat Indone­sia, kita terperanjat dan mulai menolak dan mengejek. Kita

I mempertanyakan nilai-nilai yang baru: solidaritas sosialnya,

'patriotismenya, nasionalisme­nya, bahkan keturunannya. Semua ini menjelaskan apa?

Pertama, pemahaman tentang kapitalisme merupakan persya-

Sambungan dan hal. 4

ratan mutJak untuk memahami seqagian terbesar gejala dan proses sosial mutakhir. Kedua, langka atau minimnya pemba­hasan dan pemahaman tentang kapitalisme di Indonesia masa kini merupakan satu contoh bagaimana sebuah gejala meru­pakan prod uk dan proses seja­rah sosial. Bukan sebuah kebe­tulan! Ketiga, bahasa tidak per­nah netral. Bahasa tidak saja memberi bobot nilai yang berpi­hak sebatas kata per kata, tetapi juga menonjolkan sebagian dan realitas untuk dibicarakan serta mengubur bagian yang lain se­hingga seakan-akan tak ada .•••

(Bersambung)

-) Penults ada~h kandidat PhD pada Monash University, Aus­tralia, dan dosen Fakultas Pas­ca Sarjana UKSW, Salatiga.

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>