Tahap penyelesaian sengketa
-
Upload
edwin-salim -
Category
Documents
-
view
23 -
download
2
description
Transcript of Tahap penyelesaian sengketa
Tahap penyelesaian sengketa :
Tahap Pertama : Konsultasi
Tahap Kedua : Cara alternative
a) Cara alternative
b) Arbitrase
Sengketa arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan compromise yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu
sengketa yang lahir atau melalui pembuatan klausul arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum sengketanya
lahir [clausul compromise].
Pemelihan arbritrator sepenuhnya tergantung kepada kesepakatan para pihak dan mereka dipilih dari ahli
mengenai pokok sengketa serta tidak harus ahli hukum
- Pada pokoknya, beberapa pengaturan mengenai arbitrase dalam Pasal 25 DSU adalah sebagai berikut:
a) Harus ada kesepakatan bersama di antara para pihak untuk menyerahkan sengketanya kepada arbitrase.
b) Kesepakatan para pihak tersebut harus diberitahukan kepada semua anggota terlebih dahulu sebelum
proses arbitrase berlangsung.
c) Pihak ketiga dapat menjadi pihak dalam persidangan arbitrase setelah para pihak yang sepakat
menyerahkan sengketanya kepada arbitrase juga menyetujuinya.
d) Putusan arbitrase mengikat para pihak dan putusan harus diberitahukan kepada DSB dan Dewan atau
Committee yang terkait dengan perjanjian yang relevan.
Setelah ditunjuk arbritrator menetapkan terms of reference atau aturan main yang menjadi patokan kerja
mereka yang disepakati para pihak yang bersengketa. Putusan arbitrase itu bersifat mengikat dan final.
Tahap Ketiga : Pembentukan Panel
- Fungsi utama panel adalah membentu penyelesaian secara obyektif dan untuk memutuskan apakah suatu subyek
atau obyek perkara telah melanggar perjanjian cakupan (covered agreements) WTO.
- Panel terdiri dari 3 orang yang berkompeten (‘wellqualified’). Mereka harus memiliki syarat-syarat :
(1) Berpengalaman di dalam bidang penyelesaian sengketa berdasarkan GATT atau mereka yang telah mengajar
atau mempublikasikan hukum atau kebijakan perdagangan internasional;
(2) Anggota panel harus netral. Mereka tidak boleh berkewarganegaraan yang sama dengan negara yang sedang
bersengketa kecuali para pihak dalam sengketa meyetujuinya;
(3) Mereka boleh pejabat negara (biasanya diplomat), atau orang perorangan biasa;
(4) Anggota penal harus dipilih dengan tujuan untuk memastikan agar tercapai ‘a sufficiently diverse background
and a wide spectrum of experience.’
- Permohonan untuk membentuk suatu panel harus dibuat secara tertulis. Permohonan tersebut harus memuat
antara lain hal-hal berikut:
(1) upaya-upaya tertentu yang menjadi masalah;
(2) kesimpulan ringkas mengenai dasar hukum untuk sengketa; dan
(3) informasi mengenai upaya-upaya konsultasi yang gagal.
Keanggotaan panel harus disetujui oleh negara-negara yang sedang bersengketa dan terdiri dari tiga orang dan jika
persetujuan tidak disepakati, maka dalam 20 hari atas permintaan salah satu, Dirjen GATT harus membentuk panel
dengan menunjuk para panelis.
Tahap Keempat : Pembentukan Badan Banding(appellate body)
- Appellate Body (AB) terdiri dari tujuh orang, tiga di antaranya mengadili Sengketa. Tugas utama dari AB adalah
terbatas. AB bertugas hanya untuk meninjau hukum yang diterapkan panel dan penafsirannya. AB diberi wewenang
untuk menegakkan, mengubah, atau penemuan-penemuan hukum dan putusan atau kesimpulan panel. Laporan AB
disahkan secara otomatis dalam jangka waktu 30 hari sejak laporan tersebut disirkulasikan kepada anggota-
anggotanya.
Tahap kelima :
• Penentuan mengenai waktu “wajar” dapat ditempuh melalui perse-tujuan antara pihak yang bersengketa
dan direstui oleh DSB, dalam 45 hari setelah diadopsi DSB atau ditentukan melalui arbitrasi, dalam waktu
90 hari setelah diadopsi oleh DSB. Dalam implementasi, DSB harus senantiasa melakukan pengawasan
hingga masalahnya selesai.
• Apabila pencabutan tindakan melanggar tersebut tidak dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan
dalam Understanding dan diputuskan telah resmi melalui ruling maupun recommendation, pihak
bersengketa dapat merundingkannya kompensasi yang dapat diberikan. Kompensasi tersebut harus telah
disepakati bersama harus konsisten dengan overeed agreement yang terkait.
Contoh kasus :
Indonesia pernah menjadi “tergugat” menghadapi Uni Eropa, Jepang, dan Amerika
Serikat pada kasus “Mobil Nasional” (indonesia-certain measures affecting the automobile
industry). Kebijakan Indonesia dalam memberikan kemudahan untuk industri mobil nasional
dianggap melanggar ketentuan WTO yang terkait dengan Persetujuan TRIMs dan dianggap telah
melakukan diskriminasi. Panel memutuskan agar Indonesia menyesuaikan peraturannya selaras
dengan aturan WTO.
Indonesia pernah menjadi pihak ketiga (third party) bersama dengan beberapa anggota
WTO dalam sengketa antara Uni Eropa menghadapi Argentina sebagai “tergugat” yang
melakukan diskriminasi dengan menetapkan tindakan safeguard berupa pembatalan impor alas
kaki (footwear) yang berasal dari beberapa negara anggota WTO, termasuk Indonesia.
Indonesia yang merupakan eksportir utama alas kaki ke Argentina merasa dirugikan
karena dikenakan tambahan bea masuk (specific duty) sedangkan negara-negara Mercosur
(Brazil, Uruguay, Paraguay) tidak dikenakan tindakan safeguard. Argentina akhirnya melakukan
penyesuaian aturannya mengenai safeguard.
Di samping itu, Indonesia bersama-sama beberapa anggota WTO (Canada, Mexico,
jepang, Brazil, India, Thailand, Chile, Korea Selatan, dan EC) menggugat Amerika Serikat
dalam kasus “US-Continued Dumping and Subsidy Offset Act of 2000” (Byrd Amendent).
Kebijakan AS dianggap bertentangan dengan persetujuan anti-dumping Subsidy and
Countervailing Measures.
Byrd amendment merupakan peraturan AS yang membagikan bea anti dumping dan
countervailing yang dikumpulkan pemerintah AS kepada industri domestiknya yang dirugikan
oleh tindakan dumping atau subsidi oleh negara lain. Kasus ini menarik untuk dikaji karena
menunjukan keterkaitan yang erat antara kebijakan dalam negeri suatu negara dengan peraturan
yang disepakati di WTO. AS berpendapat bahwa WTO tidak mengatur bagaimana suatu negara
harus menggunakan bea anti dumping dan countervailing, karenanya AS bebas untuk
membagikannya kepada industri domestiknya. Namun negara-negara penggugat di atas
berpendapat bahwa byrd amendment menyebabkan kerugian ganda bagi produk ekspornya,
karena AS di satu sisi telah memberlakukan bea anti dumping dan countervailing, dan kemudian
membagikannya kepada perusahaan saingannya di AS. Byrd Amendment tersebut dianggap
tindakan yag berlebihan dalam menangkal dumping atau subsidi dari negara lain. Kasus ini juga
sarat dengan interpretasi legalistik berbagai perjanjian WTO khususnya berkaitan dengan
perjanjian Anti Dumping dan Subsidy and Countervailing Measures.
Panel untuk kasus ini yang dibentuk pada tahun 2001 telah menghasilkan
keputusan untuk merekomndasikan kepada DSB untuk meminta AS agar menyesuaikan
peraturannya dengan persetujuan-persetujuan WTO dengan cara mencabut CDSOA (Bird
Amendment). Namun AS mengajukan banding atas keputusan tersebut sehingga
kemudian dibentuk Appellate Body yang pada bulan Januari 2003 memutuskan bahwa
Byrd Amendment tidak konsisten dengan persetujuan-persetujuan WTO. Oleh karena itu
AS diminta untuk melakukan penyesuaian (perubahan) dalam Byrd Amendment tersebut
agar konsisten dengan ketentuan WTO.