Tahap penyelesaian sengketa

3
Tahap penyelesaian sengketa : Tahap Pertama : Konsultasi Tahap Kedua : Cara alternative a) Cara alternative b) Arbitrase Sengketa arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan compromise yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang lahir atau melalui pembuatan klausul arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum sengketanya lahir [clausul compromise]. Pemelihan arbritrator sepenuhnya tergantung kepada kesepakatan para pihak dan mereka dipilih dari ahli mengenai pokok sengketa serta tidak harus ahli hukum - Pada pokoknya, beberapa pengaturan mengenai arbitrase dalam Pasal 25 DSU adalah sebagai berikut: a) Harus ada kesepakatan bersama di antara para pihak untuk menyerahkan sengketanya kepada arbitrase. b) Kesepakatan para pihak tersebut harus diberitahukan kepada semua anggota terlebih dahulu sebelum proses arbitrase berlangsung. c) Pihak ketiga dapat menjadi pihak dalam persidangan arbitrase setelah para pihak yang sepakat menyerahkan sengketanya kepada arbitrase juga menyetujuinya. d) Putusan arbitrase mengikat para pihak dan putusan harus diberitahukan kepada DSB dan Dewan atau Committee yang terkait dengan perjanjian yang relevan. Setelah ditunjuk arbritrator menetapkan terms of reference atau aturan main yang menjadi patokan kerja mereka yang disepakati para pihak yang bersengketa. Putusan arbitrase itu bersifat mengikat dan final. Tahap Ketiga : Pembentukan Panel - Fungsi utama panel adalah membentu penyelesaian secara obyektif dan untuk memutuskan apakah suatu subyek atau obyek perkara telah melanggar perjanjian cakupan (covered agreements) WTO. - Panel terdiri dari 3 orang yang berkompeten (‘wellqualified’). Mereka harus memiliki syarat -syarat : (1) Berpengalaman di dalam bidang penyelesaian sengketa berdasarkan GATT atau mereka yang telah mengajar atau mempublikasikan hukum atau kebijakan perdagangan internasional; (2) Anggota panel harus netral. Mereka tidak boleh berkewarganegaraan yang sama dengan negara yang sedang bersengketa kecuali para pihak dalam sengketa meyetujuinya; (3) Mereka boleh pejabat negara (biasanya diplomat), atau orang perorangan biasa; (4) Anggota penal harus dipilih dengan tujuan untuk memastikan agar tercapai ‘a sufficiently diverse background and a wide spectrum of experience.’

description

law

Transcript of Tahap penyelesaian sengketa

Page 1: Tahap penyelesaian sengketa

Tahap penyelesaian sengketa :

Tahap Pertama : Konsultasi

Tahap Kedua : Cara alternative

a) Cara alternative

b) Arbitrase

Sengketa arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan compromise yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu

sengketa yang lahir atau melalui pembuatan klausul arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum sengketanya

lahir [clausul compromise].

Pemelihan arbritrator sepenuhnya tergantung kepada kesepakatan para pihak dan mereka dipilih dari ahli

mengenai pokok sengketa serta tidak harus ahli hukum

- Pada pokoknya, beberapa pengaturan mengenai arbitrase dalam Pasal 25 DSU adalah sebagai berikut:

a) Harus ada kesepakatan bersama di antara para pihak untuk menyerahkan sengketanya kepada arbitrase.

b) Kesepakatan para pihak tersebut harus diberitahukan kepada semua anggota terlebih dahulu sebelum

proses arbitrase berlangsung.

c) Pihak ketiga dapat menjadi pihak dalam persidangan arbitrase setelah para pihak yang sepakat

menyerahkan sengketanya kepada arbitrase juga menyetujuinya.

d) Putusan arbitrase mengikat para pihak dan putusan harus diberitahukan kepada DSB dan Dewan atau

Committee yang terkait dengan perjanjian yang relevan.

Setelah ditunjuk arbritrator menetapkan terms of reference atau aturan main yang menjadi patokan kerja

mereka yang disepakati para pihak yang bersengketa. Putusan arbitrase itu bersifat mengikat dan final.

Tahap Ketiga : Pembentukan Panel

- Fungsi utama panel adalah membentu penyelesaian secara obyektif dan untuk memutuskan apakah suatu subyek

atau obyek perkara telah melanggar perjanjian cakupan (covered agreements) WTO.

- Panel terdiri dari 3 orang yang berkompeten (‘wellqualified’). Mereka harus memiliki syarat-syarat :

(1) Berpengalaman di dalam bidang penyelesaian sengketa berdasarkan GATT atau mereka yang telah mengajar

atau mempublikasikan hukum atau kebijakan perdagangan internasional;

(2) Anggota panel harus netral. Mereka tidak boleh berkewarganegaraan yang sama dengan negara yang sedang

bersengketa kecuali para pihak dalam sengketa meyetujuinya;

(3) Mereka boleh pejabat negara (biasanya diplomat), atau orang perorangan biasa;

(4) Anggota penal harus dipilih dengan tujuan untuk memastikan agar tercapai ‘a sufficiently diverse background

and a wide spectrum of experience.’

Page 2: Tahap penyelesaian sengketa

- Permohonan untuk membentuk suatu panel harus dibuat secara tertulis. Permohonan tersebut harus memuat

antara lain hal-hal berikut:

(1) upaya-upaya tertentu yang menjadi masalah;

(2) kesimpulan ringkas mengenai dasar hukum untuk sengketa; dan

(3) informasi mengenai upaya-upaya konsultasi yang gagal.

Keanggotaan panel harus disetujui oleh negara-negara yang sedang bersengketa dan terdiri dari tiga orang dan jika

persetujuan tidak disepakati, maka dalam 20 hari atas permintaan salah satu, Dirjen GATT harus membentuk panel

dengan menunjuk para panelis.

Tahap Keempat : Pembentukan Badan Banding(appellate body)

- Appellate Body (AB) terdiri dari tujuh orang, tiga di antaranya mengadili Sengketa. Tugas utama dari AB adalah

terbatas. AB bertugas hanya untuk meninjau hukum yang diterapkan panel dan penafsirannya. AB diberi wewenang

untuk menegakkan, mengubah, atau penemuan-penemuan hukum dan putusan atau kesimpulan panel. Laporan AB

disahkan secara otomatis dalam jangka waktu 30 hari sejak laporan tersebut disirkulasikan kepada anggota-

anggotanya.

Tahap kelima :

• Penentuan mengenai waktu “wajar” dapat ditempuh melalui perse-tujuan antara pihak yang bersengketa

dan direstui oleh DSB, dalam 45 hari setelah diadopsi DSB atau ditentukan melalui arbitrasi, dalam waktu

90 hari setelah diadopsi oleh DSB. Dalam implementasi, DSB harus senantiasa melakukan pengawasan

hingga masalahnya selesai.

• Apabila pencabutan tindakan melanggar tersebut tidak dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan

dalam Understanding dan diputuskan telah resmi melalui ruling maupun recommendation, pihak

bersengketa dapat merundingkannya kompensasi yang dapat diberikan. Kompensasi tersebut harus telah

disepakati bersama harus konsisten dengan overeed agreement yang terkait.

Contoh kasus :

Indonesia pernah menjadi “tergugat” menghadapi Uni Eropa, Jepang, dan Amerika

Serikat pada kasus “Mobil Nasional” (indonesia-certain measures affecting the automobile

industry). Kebijakan Indonesia dalam memberikan kemudahan untuk industri mobil nasional

dianggap melanggar ketentuan WTO yang terkait dengan Persetujuan TRIMs dan dianggap telah

melakukan diskriminasi. Panel memutuskan agar Indonesia menyesuaikan peraturannya selaras

dengan aturan WTO.

Indonesia pernah menjadi pihak ketiga (third party) bersama dengan beberapa anggota

WTO dalam sengketa antara Uni Eropa menghadapi Argentina sebagai “tergugat” yang

melakukan diskriminasi dengan menetapkan tindakan safeguard berupa pembatalan impor alas

kaki (footwear) yang berasal dari beberapa negara anggota WTO, termasuk Indonesia.

Page 3: Tahap penyelesaian sengketa

Indonesia yang merupakan eksportir utama alas kaki ke Argentina merasa dirugikan

karena dikenakan tambahan bea masuk (specific duty) sedangkan negara-negara Mercosur

(Brazil, Uruguay, Paraguay) tidak dikenakan tindakan safeguard. Argentina akhirnya melakukan

penyesuaian aturannya mengenai safeguard.

Di samping itu, Indonesia bersama-sama beberapa anggota WTO (Canada, Mexico,

jepang, Brazil, India, Thailand, Chile, Korea Selatan, dan EC) menggugat Amerika Serikat

dalam kasus “US-Continued Dumping and Subsidy Offset Act of 2000” (Byrd Amendent).

Kebijakan AS dianggap bertentangan dengan persetujuan anti-dumping Subsidy and

Countervailing Measures.

Byrd amendment merupakan peraturan AS yang membagikan bea anti dumping dan

countervailing yang dikumpulkan pemerintah AS kepada industri domestiknya yang dirugikan

oleh tindakan dumping atau subsidi oleh negara lain. Kasus ini menarik untuk dikaji karena

menunjukan keterkaitan yang erat antara kebijakan dalam negeri suatu negara dengan peraturan

yang disepakati di WTO. AS berpendapat bahwa WTO tidak mengatur bagaimana suatu negara

harus menggunakan bea anti dumping dan countervailing, karenanya AS bebas untuk

membagikannya kepada industri domestiknya. Namun negara-negara penggugat di atas

berpendapat bahwa byrd amendment menyebabkan kerugian ganda bagi produk ekspornya,

karena AS di satu sisi telah memberlakukan bea anti dumping dan countervailing, dan kemudian

membagikannya kepada perusahaan saingannya di AS. Byrd Amendment tersebut dianggap

tindakan yag berlebihan dalam menangkal dumping atau subsidi dari negara lain. Kasus ini juga

sarat dengan interpretasi legalistik berbagai perjanjian WTO khususnya berkaitan dengan

perjanjian Anti Dumping dan Subsidy and Countervailing Measures.

Panel untuk kasus ini yang dibentuk pada tahun 2001 telah menghasilkan

keputusan untuk merekomndasikan kepada DSB untuk meminta AS agar menyesuaikan

peraturannya dengan persetujuan-persetujuan WTO dengan cara mencabut CDSOA (Bird

Amendment). Namun AS mengajukan banding atas keputusan tersebut sehingga

kemudian dibentuk Appellate Body yang pada bulan Januari 2003 memutuskan bahwa

Byrd Amendment tidak konsisten dengan persetujuan-persetujuan WTO. Oleh karena itu

AS diminta untuk melakukan penyesuaian (perubahan) dalam Byrd Amendment tersebut

agar konsisten dengan ketentuan WTO.