TAFSIR TEOLOGIS - ipoenkdream.files.wordpress.com fileDalam peta pemikiran Islam, aktivitas yang...
Transcript of TAFSIR TEOLOGIS - ipoenkdream.files.wordpress.com fileDalam peta pemikiran Islam, aktivitas yang...
Tafsir Teologis
1
TAFSIR TEOLOGIS
Selayang Pandang
Dalam peta pemikiran Islam, aktivitas yang mewadai geliat
intelektual muslim adalah tafsir. Tafsir adalah bentuk mashdar dari kata
fassara yang berarti menguraikan dan menjelaskan segala sesuatu yang
dikandung dalam al-Qur’an. Tidak ada istilah atau tema dalam islam yang
cukup bisa menjelaskan proses penalaran yang produktif dalam islam
selain kata tafsir.1 Akan, tetapi seiring berkembangnya masa, nanti ada
klasifikasi lebih lanjut tentang tafsir, takwil, dan talwin.
Tafsir al-Qur’an sebagai interpretasi terhadap teks sudah ada sejak
ketika Muhammad SAW hidup sampai saat ini. Dalam perjalanannya,
tafsir terhadap al-Qur’an mengalami perkembangan dan karakteristik
yang berbeda-beda dari masa ke masa. Adapun Perkembangan tafsir
secara umum dibedakan menjadi tiga masa: klasik, pertengahan, dan
modern—kontemporer.
Dan diskusi ini berada di posisi masa pertengahan. Dalam fase ini,
semua model penafsiran bersifat tendensius. Dengan kalimat lain, banyak
penafsirnya menafsirkan Quran bukan untuk memahami Quran, namun
untuk membela kepentingan subjektifitasnya. Hal seperti itu sepertinya
sudah menjadi warna khas tersendiri di masa pertengahan ini. Dan tidak
1 Abd. Muin Salim, Metodelogi ilmu tafsir (Kota: TERAS Press, 2010). Hlm 5.
Tafsir Teologis
2
lepas darinya adalah tafsir corak teologi. Pembahasan lebih lanjut bisa
didiskusikan setelah ini.
1. Apa Itu Tafsir Teologis
a. Pengertian.
Tafsir teologis adalah satu bentuk penafsiran al-Qur’an yang
tidak hanya ditulis oleh simpatisan kelompok teologis tertentu, tetapi
lebih jauh lagi merupakan tafsir yang dimanfaatkan untuk membela
sudut pandang teologis tertentu.2 Sehingga dalam pembahasan model
penafsiran ini lebih banyak membicarakan tema-tema teologis
dibanding mengedepankan pesan-pesan pokok al-Qur’an. Pendeknya,
tafsir teologis adalah tafsir yang muatannya mengandung suatu
kepentingan subjektifitas penafsir yang sangat mencolok.
Dalam perkembangannya, bias ideologi dari beberapa aliran yang
ada pada waktu itu sudah muncul, seperti Sunni, Syiah, Khawarij,
Murjiah, Jabbariyah, dan Qadariyah. Sehingga kebenaran tafsir diukur
sesuai dengan aliran teologis tertentu yang cenderung
mengenyampingkan aliran lainnya. Akibatnya, produk tafsir ketika itu
tidak bisa terlepas dari almameter penafsirnya.3
2 Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an (Yogyakarta: Ponpest LSQ
Ar-Rahmah, 2012) hlm. 131-132.
3 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS, 2010) hlm. 22.
Tafsir Teologis
3
Dan merespon hal tersebut, Manna’ al-Qaththan mengatakan
bahwa itulah implikasi dari pemahaman yang cenderung subjektif tanpa
memperhatikan maksud dari teks. Selain itu, sebagai implikasi lain, hal
tersebut juga memberikan celah yang luas bagi para penafsir untuk
dengan sesuak hati menafsirkan teks. Dengan demikian, perlu rasanya
untuk menghadirkan kembali maksud asli dari teks dalam setiap
penafsiran supaya hal yang senada tidak terjadi untuk kali kesekiannya4
b. Sejarah
Dalam dinamika perkembangan tafsir, sebenarnya kecenderungan
untuk menafsirkan quran sesuai dengan sektenya sudah ada sejak masa
klasik. Lebih tepatnya hal itu terjadi secara masif di masa Dinasti
Umayyah. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan adanya sekte murji’ah
yang memandang bahwa iman itu terpisah sama sekali dengan amal dan
itu berdasarkan penafsirannya atas teks. Selain itu, ada sekte-sekte
lainnya, seperti khawarij, qadariyah, dan sebagainya. Khawarij memiliki
pandangan berbeda dengan murji’ah, bagi khawarij antara iman dan amal
tidak bisa dipisahkan dan seandainya dipisahkan hal itu berimplikasi
pada hilangnya pahala, dosa, ancaman, dan janji. Kira-kira itulah contohj
4 Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq
El-Mazni, Lc. MA. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009) hlm. 440-441
Tafsir Teologis
4
kecil yang membuktikan bahwa sedari masa ini pun, kepentingan selalu
meliputi banyak dari penafsir.5
Hal tersebut berlanjut hingga masuk masa pertengahan, abad ketiga
H. Di masa pertengahan, nuansa tafsir teologis lebih disemarakkan
dengan hadirnya satu sekte yang dipandang lahirnya paling akhir, yaitu
sekte mu’tazilah. Sekte ini, ada sebagai respon dari diskusi tanpa ujung
antara murji’ah, sunni, dan khawarij. Sekte ini dibawa kali pertamanya
oleh seorang murid Hasan Basri, Washil bin Atho’. Dan dengan
pandangannya yang berbeda terkait pelaku dosa besar, lahirlah
mu’tazilah.
2. Menyelami Persoalan
a. Menelanjangi Latar Belakang
Sebagaimana yang telah dijelaskan di awal, tafsir teologis adalah tafsir
yang interpretan-nya cenderung ke muatan-muatan yang membela sekte
tertentu dan itu ditulis oleh seorang tokoh dalam sekte. Dalam dinamika
sejarah tafsir Quran, tafsir teologi muncul di periode pertengahan.
Periode pertengahan sering disebut sebagai periode kepentingan bagi
tafsir apapun itu. Dengan kalimat lain, semua corak tafsir dalam periode
ini tidak bisa tidak lepas dari bebas nilai, semuanya sarat nilai atau
5 Nasr Hamid Abu Zaid, Menalar Firman Tuhan, terj. Abdurrahman Kasdi dan
Hamka Hasan (Bandung: Mizan, 2003) hlm. 35.
Tafsir Teologis
5
kepentingan, mereka menafsirkan quran hanya sebagai legitimasi atas
kepentingan mereka. Oleh sebab itu, tidak bisa dipungkiri kalau dalam
sejarah kelahiran tafsir teologi adalah sarat dengan kepentingan sekte.
Disebabkan oleh itu juga, tidak bisa tidak corak tafsir ini ditulis
dengan metode mushafi atau tahlili. Metode mushafi adalah metode yang
mengharuskan penafsir untuk menafsirkan semua ayat dalam quran.
sehingga contoh-contoh tafsir teologis—lebih umumnya adalah tafsir di
periode pertengahan—adalah tafsir tiga puluh jus. Dari seluruh bagian
tersebut, para penafsir corak ini, merasa tertuntut untuk selalu mencari
celah penafsiran yang sesuai untuk membela sekte teologinya. Tidak
jarang saking inginnya sektenya mendapat pengakuan dari masyarakat,
mereka—para penafsir—terkesan mencari-cari dan mencocok-cocokkan
ayat sampai ditemukan celah untuk membela sektenya. Dengan demikian,
di sini, hal itu bisa digambarkan bahwa dalam tafsir corak ini, semuanya
tidak langsung dijelaskan secara teologis, tidak. Akan tetapi hanya
sebagian ayat yang memang bermuatan teologis, itupun kalau tidak ada
unsur pemerkosaan ayat.
Ada beberapa gejolak yang melatarbelakangi lahirnya tafsir teologi,
yaitu gejolak sekte, gejolak politik, dan gejolak intelektual. Yang pertama,
hal itu bisa dibuktikan dengan adanya klaim kafir. Di masa ini, hal
semacam itu adalah suatu yang lumrah. Sedikit saja ada pendapat yang
berbeda dengan sektenya, maka orang itu kafir dan sebaliknya. Termasuk
Tafsir Teologis
6
dalam bagian perbedaan adalah perbedaan dalam menafsirkan Quran,
sedikit saja ada perbedaan penafsiran—dalam hal teologis—langsung
diklaim kafir oleh sekte lainnya. Kedua, hal itu bisa dibuktikan dengan
adanya pemaksaan sekte tertentu atas sekte lainnya. Ketika dalam
sebuah pemerintahan sudah mengambil satu sekte tertentu untuk
dijadikan sekte pemerintahan, maka sebagai konsekuensinya sekte yang
lain harus ikut, mau tidak mau. Dan hal seperti inilah yang menjadikan
sekte selain mu’tazilah terpinggirkan di masa khalifah al-Ma’mun di abad
ke—9 M. Yang terakhir, gejolak intelektual, hal itu bisa dibuktikan
dengan semakin banyaknya pengikut setiap sekte seiring berkembangnya
corak penafsiran teologisnya. Bagaimanapun, terlepas dari apakah ada
kepentingan tersendiri atau tidak, pasti semua penafsri teologis ingin
mengembangkan sektenya melalui penafsiran Quran. Namun, tidak bisa
dipungkiri juga, dari semakin banyaknya pengikuti sekte tertentu, banyak
dari mereka yang memilih untuk taklid dan percaya sepenuhnya kepada
penafsiran teologis sektenya. Sebagai konsekuensinya, hal itu
menimbulkan anggapan paling benar sendiri yang berimplikasi pada
semakin meruncingnya fanatisme antar sekte.
Sehingga, dari ketiga gejolak di atas, tidak bisa dipungkiri bahwa
para penafsir teologis di masa ini banyak yang tendensius atau memiliki
kepentingan tertentu dalam menafsirkan Quran. Banyak dari mereka
lebih memilih untuk menguatkan sekte mereka melalui Quran demi
Tafsir Teologis
7
sebuah legitimasi dari pada memahami Quran itu sendiri. Hal seperti ini,
sudahlah menjadi budaya di periode pertengahan.
b. Contoh-Contoh Penafsiran Teologis
Fahruddin al-Razi
Fahruddin al-Razi lahir pada abad ke—12 M, tepatnya pada 1149 di
Ray, sekarang di daerah Iran. Dia adalah seorang filosof—dibuktikan
dengan karya-karyanya tentang komentar terhadap pemikiran Ghazali
dan Avisena—teolog. Selain itu, dia juga menulis tentang kedokteran,
fisika, astronomi, hukum, dan sebagainya. Karya paling tenarnya adalah
tafsir al-kabir atau yang sering disebut sebagai mafatih al-ghaib.
Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Avisena, al-Safi’i, al-Asyari, dan
Ghazali. Al-Razi menutup matanya terakhir kali pada 1209 M di
Afganistan.
Disebabkan keterpengaruhannya atas tokoh-tokoh asyariyah, dia
juga masuk dalam sekte ahlus al-sunnah wa al-jamaah. Dalam sejarahnya,
sejak dulu—tepat paska wafatnya Muhammad SAW—benih perpecahan
sekte antar syiah dan sunni sudahlah ada. Di pihak sunni adalah
kelompok yang sangat mendukung Abu Bakar sebagai pemimpin
pengganti Muhammad SAW. dengan berbasis hadis terkait disuruhnya
Abu Bakar untuk menggantikan Muhammad SAW. sebagai imam shalat.
Sedangkan di pihak syiah adalah kelompok yang mendukung Ali yang
sebenarnya sebagai calon tunggal dengan basis bahwa hal itu termasuk
Tafsir Teologis
8
dalam salah satu tiga wasiat Muhammad SAW., tetapi sengaja
disembunyikan oleh kelompok sunni.6 Dan dalam perbincangan panjang
nan problematis tersebut, al-Razi memposisikan dirinya untuk membela
sunni. Manifestasi pembelaan tersebut bisa dilihat dari penafsirannya
atas ayat ke enam dan tujuh surat al-Fatihah.
Tunjukilah[8] Kami jalan yang lurus—(yaitu) jalan orang-orang yang
telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang
dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
6 Hadis riwayat Bukhari nomer 2825: Telah bercerita kepada kami Qobishah telah
bercerita kepada kami Ibnu 'Uyainah dari Sulaiman Al Ahwal dari Sa'id bin Jubair dari
Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma bahwa dia berkata; "Hari Kamis dan apakah hari
Kamis?". Lalu dia menangis hingga air matanya membasahi kerikil. Dia berkata;
"Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bertambah parah sakitnya pada hari Kamis lalu
Beliau berkata: "Berilah aku buku sehingga bisa kutuliskan untuk kalian suatu ketetapan
yang kalian tidak akan sesat sesudahnya selama-lamanya". Kemudian orang-orang
bertengkar padahal tidak sepatutnya mereka bertengkar di hadapan Nabi
Shallallahu'alaihiwasallam. Mereka ada yang berkata; "Rasulullah
Shallallahu'alaihiwasallam telah terdiam". Beliau berkata: "Biarkanlah aku. Sungguh aku
sedang menghadapi perkara yang lebih baik daripada ajakan yang kalian seru". Beliau
berwasiat menjelang kematiannya dengan tiga hal; "Usirlah orang-orang musyrikin dari
jazirah 'Arab, hormatilah para tamu (duta, utusan) seperti aku menghormati mereka dan
aku lupa yag ketiganya". Dan berkata Ya'qub bin Muhammad, aku bertanya kepada Al
Mughiroh bin 'Abdur Rohman tentang jazirah 'Arab, maka dia menjawab; "Makkah,
Madinah, Yamamah dan Yaman". Dan berkata Ya'qub; "Dan 'Aroj yang merupakan
permulaan Tihamah".
Tafsir Teologis
9
Al-Razi memahami ayat tersebut sebagai legitimasi atas diangkatnya Abu
Bakar sebagai khalifah pertama. Melalui ayat tersebut, Abu Bakar
dianggap sebagai satu-satunya pihak yang layak untuk menggantikan
Muhammad SAW. dan itu adalah sebuah petunjuk langsung dari Allah.
Tanpa diberi penjelasan lebih lanjut, hal tersebut sudah lebih dari
cukup untuk menunjukan betapa terlihatnya tendensi al-Razi untuk
membela sektenya melalui penafsiran Quran. Tampak sekali dalam
penafsirannya yang terkesan menyambung-nyambungkan bahwa dalam
menafsirkan ayat tersebut, tujuan al-razi bukan hanya untuk memahami
ayat tersebut, tetapi untuk membela sekte. Atau bahkan justru total
membela sekte dan menghilangkan unsur pemahaman ayatnya. Meskipun
pengaruh ideologi adalah sebuah hal yang niscaya dalam menafsirkan
Quran—yang sering disebut sebagai horison penafsir—tetap saja hal ini
keterlaluan.
Al-Zamakhsary
Adalah Mahmud bin Umar al-Zamakhsary. Dia lahir pada abad ke—
11 M, tepatnya tahun 1074 M di Khawarizmi Iran. Dia berideologi
mu’tazilah sejak kecil. Faktor yang paling mempengaruhinya hingga
menjadi seorang mu’tazilah adalah faktor lingkungan, Khawarizmi adalah
daerah mayoritas mu’tazilah dan supaya dia diakui sebagai anggota dari
mereka, akhirnya al-Zamakhsary berideologi mu’tazilah. Di sebabkan itu
Tafsir Teologis
10
juga, dia termasuk orang yang fanatik terhadap mazhabnya. Dia
meninggal pada tahun 1143.
Salah satu bukti dari fanatisme terhadap mu’tazilah adalah
penafsirannya tentang konsep ketuhanan dalam tafsir al-kasyaf. Baginya,
Allah adalah zat yang harus dibersihkan dari sifat apapun. Semua sifat
Allah yang sudah membumi di benak sunni ditolak olehnya. Sebab—bagi
mu’tazilah—andai Allah sarat dengan sifat itu sama halnya Allah terikat
dengan locus dan tempus atau ruang dan waktu, atau Allah itu bertempat,
sedangkan hal tersebut adalah suatu ketidakmungkinan. Tentang itu
Zamakhsari menafsirkan ayat 22—23 surat al-Qiyamah:
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri—kepada
Tuhannyalah mereka melihat.
Al-Zamakhsari memahami ayat itu bukan secara literal, tetapi secara
alligoris. Artinya, dia memandang bahwa melihat disitu bukan berarti
melihat dengan mata secara langsung. Akan tetapi, itu adalah simbol
membuminya kebahagiaan kepada seseorang. Melihat Allah adalah
simbol tengah memeluk kebahagiaan yang istimewa.
Ali Fadhl bin Hasan al-Tabarsi
Tafsir Teologis
11
Adalah salah satu tokoh Syiah yang produktif dalam menelorkan
karya. Dia lahir di Tabaristan, Iran pada 1073 M. Selain menulis tafsir, dia
juga menulis tentang etika, teologi, dan grammatika. Karya yang paling
popular darinya adalah tafsir majma’ al-bayan li ulum al-Quran. Al-
Tabarsi menutup hidupnya pada 1153 M.
Tentang kecenderungan penafsirannya tentang syiah, hal itu bisa
dilihat dari penafsirannya atas ayat 28 surat Ali Imran. Di dalamnya, al-
Tabarsi menjelaskan panjang lebar tentang konsep taqiyyah dalam sekte
syiah, padahal maksud dari ayat tersebut sama sekali tidak menyyingung
konsep taqiyyah. Dalam hal ini al-Tabarsi terkesan terlalu mencocok-
cocokkan ayat Quran dengan pemahamannya demi kepentingan sekte. Itu
bisa dilihat dalam redaksi ayat berikut:
janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi
wali[192] dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa
berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali
karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.
dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya
kepada Allah kembali (mu).
Tafsir Teologis
12
Dalam menafsirkan ayat tersebut, al-Tabarsi menghilangkan pemahaman
makna tuqah dan menggantinya dengan pemahaman kata taqiyyah dalam
syiah. Pun, hal itu dijelaskan panjang lebar.
Daftar Pustaka
Mustaqim, Abdul. 2010. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKIS.
2012. Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an. Yogyakarta: Ponpest LSQ Ar-Rahmah.
Zaid, Nasr Hamid Abu. 2003. Menalar Firman Tuhan, terj. Abdurrahman
Kasdi dan Hamka Hasan. Bandung: Mizan.
Salim, Abd. Muin. 2010. Metodelogi ilmu tafsir. Kota: TERAS Press.
Qaththan, Syaikh Manna’. 2009. Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc. MA.. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.