TAFSIR TEOLOGIS - ipoenkdream.files.wordpress.com fileDalam peta pemikiran Islam, aktivitas yang...

12
Tafsir Teologis 1 TAFSIR TEOLOGIS Selayang Pandang Dalam peta pemikiran Islam, aktivitas yang mewadai geliat intelektual muslim adalah tafsir. Tafsir adalah bentuk mashdar dari kata fassara yang berarti menguraikan dan menjelaskan segala sesuatu yang dikandung dalam al-Qur’an. Tidak ada istilah atau tema dalam islam yang cukup bisa menjelaskan proses penalaran yang produktif dalam islam selain kata tafsir. 1 Akan, tetapi seiring berkembangnya masa, nanti ada klasifikasi lebih lanjut tentang tafsir, takwil, dan talwin. Tafsir al-Qur’an sebagai interpretasi terhadap teks sudah ada sejak ketika Muhammad SAW hidup sampai saat ini. Dalam perjalanannya, tafsir terhadap al-Qur’an mengalami perkembangan dan karakteristik yang berbeda-beda dari masa ke masa. Adapun Perkembangan tafsir secara umum dibedakan menjadi tiga masa: klasik, pertengahan, dan modernkontemporer. Dan diskusi ini berada di posisi masa pertengahan. Dalam fase ini, semua model penafsiran bersifat tendensius. Dengan kalimat lain, banyak penafsirnya menafsirkan Quran bukan untuk memahami Quran, namun untuk membela kepentingan subjektifitasnya. Hal seperti itu sepertinya sudah menjadi warna khas tersendiri di masa pertengahan ini. Dan tidak 1 Abd. Muin Salim, Metodelogi ilmu tafsir (Kota: TERAS Press, 2010). Hlm 5.

Transcript of TAFSIR TEOLOGIS - ipoenkdream.files.wordpress.com fileDalam peta pemikiran Islam, aktivitas yang...

Tafsir Teologis

1

TAFSIR TEOLOGIS

Selayang Pandang

Dalam peta pemikiran Islam, aktivitas yang mewadai geliat

intelektual muslim adalah tafsir. Tafsir adalah bentuk mashdar dari kata

fassara yang berarti menguraikan dan menjelaskan segala sesuatu yang

dikandung dalam al-Qur’an. Tidak ada istilah atau tema dalam islam yang

cukup bisa menjelaskan proses penalaran yang produktif dalam islam

selain kata tafsir.1 Akan, tetapi seiring berkembangnya masa, nanti ada

klasifikasi lebih lanjut tentang tafsir, takwil, dan talwin.

Tafsir al-Qur’an sebagai interpretasi terhadap teks sudah ada sejak

ketika Muhammad SAW hidup sampai saat ini. Dalam perjalanannya,

tafsir terhadap al-Qur’an mengalami perkembangan dan karakteristik

yang berbeda-beda dari masa ke masa. Adapun Perkembangan tafsir

secara umum dibedakan menjadi tiga masa: klasik, pertengahan, dan

modern—kontemporer.

Dan diskusi ini berada di posisi masa pertengahan. Dalam fase ini,

semua model penafsiran bersifat tendensius. Dengan kalimat lain, banyak

penafsirnya menafsirkan Quran bukan untuk memahami Quran, namun

untuk membela kepentingan subjektifitasnya. Hal seperti itu sepertinya

sudah menjadi warna khas tersendiri di masa pertengahan ini. Dan tidak

1 Abd. Muin Salim, Metodelogi ilmu tafsir (Kota: TERAS Press, 2010). Hlm 5.

Tafsir Teologis

2

lepas darinya adalah tafsir corak teologi. Pembahasan lebih lanjut bisa

didiskusikan setelah ini.

1. Apa Itu Tafsir Teologis

a. Pengertian.

Tafsir teologis adalah satu bentuk penafsiran al-Qur’an yang

tidak hanya ditulis oleh simpatisan kelompok teologis tertentu, tetapi

lebih jauh lagi merupakan tafsir yang dimanfaatkan untuk membela

sudut pandang teologis tertentu.2 Sehingga dalam pembahasan model

penafsiran ini lebih banyak membicarakan tema-tema teologis

dibanding mengedepankan pesan-pesan pokok al-Qur’an. Pendeknya,

tafsir teologis adalah tafsir yang muatannya mengandung suatu

kepentingan subjektifitas penafsir yang sangat mencolok.

Dalam perkembangannya, bias ideologi dari beberapa aliran yang

ada pada waktu itu sudah muncul, seperti Sunni, Syiah, Khawarij,

Murjiah, Jabbariyah, dan Qadariyah. Sehingga kebenaran tafsir diukur

sesuai dengan aliran teologis tertentu yang cenderung

mengenyampingkan aliran lainnya. Akibatnya, produk tafsir ketika itu

tidak bisa terlepas dari almameter penafsirnya.3

2 Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an (Yogyakarta: Ponpest LSQ

Ar-Rahmah, 2012) hlm. 131-132.

3 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS, 2010) hlm. 22.

Tafsir Teologis

3

Dan merespon hal tersebut, Manna’ al-Qaththan mengatakan

bahwa itulah implikasi dari pemahaman yang cenderung subjektif tanpa

memperhatikan maksud dari teks. Selain itu, sebagai implikasi lain, hal

tersebut juga memberikan celah yang luas bagi para penafsir untuk

dengan sesuak hati menafsirkan teks. Dengan demikian, perlu rasanya

untuk menghadirkan kembali maksud asli dari teks dalam setiap

penafsiran supaya hal yang senada tidak terjadi untuk kali kesekiannya4

b. Sejarah

Dalam dinamika perkembangan tafsir, sebenarnya kecenderungan

untuk menafsirkan quran sesuai dengan sektenya sudah ada sejak masa

klasik. Lebih tepatnya hal itu terjadi secara masif di masa Dinasti

Umayyah. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan adanya sekte murji’ah

yang memandang bahwa iman itu terpisah sama sekali dengan amal dan

itu berdasarkan penafsirannya atas teks. Selain itu, ada sekte-sekte

lainnya, seperti khawarij, qadariyah, dan sebagainya. Khawarij memiliki

pandangan berbeda dengan murji’ah, bagi khawarij antara iman dan amal

tidak bisa dipisahkan dan seandainya dipisahkan hal itu berimplikasi

pada hilangnya pahala, dosa, ancaman, dan janji. Kira-kira itulah contohj

4 Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq

El-Mazni, Lc. MA. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009) hlm. 440-441

Tafsir Teologis

4

kecil yang membuktikan bahwa sedari masa ini pun, kepentingan selalu

meliputi banyak dari penafsir.5

Hal tersebut berlanjut hingga masuk masa pertengahan, abad ketiga

H. Di masa pertengahan, nuansa tafsir teologis lebih disemarakkan

dengan hadirnya satu sekte yang dipandang lahirnya paling akhir, yaitu

sekte mu’tazilah. Sekte ini, ada sebagai respon dari diskusi tanpa ujung

antara murji’ah, sunni, dan khawarij. Sekte ini dibawa kali pertamanya

oleh seorang murid Hasan Basri, Washil bin Atho’. Dan dengan

pandangannya yang berbeda terkait pelaku dosa besar, lahirlah

mu’tazilah.

2. Menyelami Persoalan

a. Menelanjangi Latar Belakang

Sebagaimana yang telah dijelaskan di awal, tafsir teologis adalah tafsir

yang interpretan-nya cenderung ke muatan-muatan yang membela sekte

tertentu dan itu ditulis oleh seorang tokoh dalam sekte. Dalam dinamika

sejarah tafsir Quran, tafsir teologi muncul di periode pertengahan.

Periode pertengahan sering disebut sebagai periode kepentingan bagi

tafsir apapun itu. Dengan kalimat lain, semua corak tafsir dalam periode

ini tidak bisa tidak lepas dari bebas nilai, semuanya sarat nilai atau

5 Nasr Hamid Abu Zaid, Menalar Firman Tuhan, terj. Abdurrahman Kasdi dan

Hamka Hasan (Bandung: Mizan, 2003) hlm. 35.

Tafsir Teologis

5

kepentingan, mereka menafsirkan quran hanya sebagai legitimasi atas

kepentingan mereka. Oleh sebab itu, tidak bisa dipungkiri kalau dalam

sejarah kelahiran tafsir teologi adalah sarat dengan kepentingan sekte.

Disebabkan oleh itu juga, tidak bisa tidak corak tafsir ini ditulis

dengan metode mushafi atau tahlili. Metode mushafi adalah metode yang

mengharuskan penafsir untuk menafsirkan semua ayat dalam quran.

sehingga contoh-contoh tafsir teologis—lebih umumnya adalah tafsir di

periode pertengahan—adalah tafsir tiga puluh jus. Dari seluruh bagian

tersebut, para penafsir corak ini, merasa tertuntut untuk selalu mencari

celah penafsiran yang sesuai untuk membela sekte teologinya. Tidak

jarang saking inginnya sektenya mendapat pengakuan dari masyarakat,

mereka—para penafsir—terkesan mencari-cari dan mencocok-cocokkan

ayat sampai ditemukan celah untuk membela sektenya. Dengan demikian,

di sini, hal itu bisa digambarkan bahwa dalam tafsir corak ini, semuanya

tidak langsung dijelaskan secara teologis, tidak. Akan tetapi hanya

sebagian ayat yang memang bermuatan teologis, itupun kalau tidak ada

unsur pemerkosaan ayat.

Ada beberapa gejolak yang melatarbelakangi lahirnya tafsir teologi,

yaitu gejolak sekte, gejolak politik, dan gejolak intelektual. Yang pertama,

hal itu bisa dibuktikan dengan adanya klaim kafir. Di masa ini, hal

semacam itu adalah suatu yang lumrah. Sedikit saja ada pendapat yang

berbeda dengan sektenya, maka orang itu kafir dan sebaliknya. Termasuk

Tafsir Teologis

6

dalam bagian perbedaan adalah perbedaan dalam menafsirkan Quran,

sedikit saja ada perbedaan penafsiran—dalam hal teologis—langsung

diklaim kafir oleh sekte lainnya. Kedua, hal itu bisa dibuktikan dengan

adanya pemaksaan sekte tertentu atas sekte lainnya. Ketika dalam

sebuah pemerintahan sudah mengambil satu sekte tertentu untuk

dijadikan sekte pemerintahan, maka sebagai konsekuensinya sekte yang

lain harus ikut, mau tidak mau. Dan hal seperti inilah yang menjadikan

sekte selain mu’tazilah terpinggirkan di masa khalifah al-Ma’mun di abad

ke—9 M. Yang terakhir, gejolak intelektual, hal itu bisa dibuktikan

dengan semakin banyaknya pengikut setiap sekte seiring berkembangnya

corak penafsiran teologisnya. Bagaimanapun, terlepas dari apakah ada

kepentingan tersendiri atau tidak, pasti semua penafsri teologis ingin

mengembangkan sektenya melalui penafsiran Quran. Namun, tidak bisa

dipungkiri juga, dari semakin banyaknya pengikuti sekte tertentu, banyak

dari mereka yang memilih untuk taklid dan percaya sepenuhnya kepada

penafsiran teologis sektenya. Sebagai konsekuensinya, hal itu

menimbulkan anggapan paling benar sendiri yang berimplikasi pada

semakin meruncingnya fanatisme antar sekte.

Sehingga, dari ketiga gejolak di atas, tidak bisa dipungkiri bahwa

para penafsir teologis di masa ini banyak yang tendensius atau memiliki

kepentingan tertentu dalam menafsirkan Quran. Banyak dari mereka

lebih memilih untuk menguatkan sekte mereka melalui Quran demi

Tafsir Teologis

7

sebuah legitimasi dari pada memahami Quran itu sendiri. Hal seperti ini,

sudahlah menjadi budaya di periode pertengahan.

b. Contoh-Contoh Penafsiran Teologis

Fahruddin al-Razi

Fahruddin al-Razi lahir pada abad ke—12 M, tepatnya pada 1149 di

Ray, sekarang di daerah Iran. Dia adalah seorang filosof—dibuktikan

dengan karya-karyanya tentang komentar terhadap pemikiran Ghazali

dan Avisena—teolog. Selain itu, dia juga menulis tentang kedokteran,

fisika, astronomi, hukum, dan sebagainya. Karya paling tenarnya adalah

tafsir al-kabir atau yang sering disebut sebagai mafatih al-ghaib.

Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Avisena, al-Safi’i, al-Asyari, dan

Ghazali. Al-Razi menutup matanya terakhir kali pada 1209 M di

Afganistan.

Disebabkan keterpengaruhannya atas tokoh-tokoh asyariyah, dia

juga masuk dalam sekte ahlus al-sunnah wa al-jamaah. Dalam sejarahnya,

sejak dulu—tepat paska wafatnya Muhammad SAW—benih perpecahan

sekte antar syiah dan sunni sudahlah ada. Di pihak sunni adalah

kelompok yang sangat mendukung Abu Bakar sebagai pemimpin

pengganti Muhammad SAW. dengan berbasis hadis terkait disuruhnya

Abu Bakar untuk menggantikan Muhammad SAW. sebagai imam shalat.

Sedangkan di pihak syiah adalah kelompok yang mendukung Ali yang

sebenarnya sebagai calon tunggal dengan basis bahwa hal itu termasuk

Tafsir Teologis

8

dalam salah satu tiga wasiat Muhammad SAW., tetapi sengaja

disembunyikan oleh kelompok sunni.6 Dan dalam perbincangan panjang

nan problematis tersebut, al-Razi memposisikan dirinya untuk membela

sunni. Manifestasi pembelaan tersebut bisa dilihat dari penafsirannya

atas ayat ke enam dan tujuh surat al-Fatihah.

Tunjukilah[8] Kami jalan yang lurus—(yaitu) jalan orang-orang yang

telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang

dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

6 Hadis riwayat Bukhari nomer 2825: Telah bercerita kepada kami Qobishah telah

bercerita kepada kami Ibnu 'Uyainah dari Sulaiman Al Ahwal dari Sa'id bin Jubair dari

Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma bahwa dia berkata; "Hari Kamis dan apakah hari

Kamis?". Lalu dia menangis hingga air matanya membasahi kerikil. Dia berkata;

"Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bertambah parah sakitnya pada hari Kamis lalu

Beliau berkata: "Berilah aku buku sehingga bisa kutuliskan untuk kalian suatu ketetapan

yang kalian tidak akan sesat sesudahnya selama-lamanya". Kemudian orang-orang

bertengkar padahal tidak sepatutnya mereka bertengkar di hadapan Nabi

Shallallahu'alaihiwasallam. Mereka ada yang berkata; "Rasulullah

Shallallahu'alaihiwasallam telah terdiam". Beliau berkata: "Biarkanlah aku. Sungguh aku

sedang menghadapi perkara yang lebih baik daripada ajakan yang kalian seru". Beliau

berwasiat menjelang kematiannya dengan tiga hal; "Usirlah orang-orang musyrikin dari

jazirah 'Arab, hormatilah para tamu (duta, utusan) seperti aku menghormati mereka dan

aku lupa yag ketiganya". Dan berkata Ya'qub bin Muhammad, aku bertanya kepada Al

Mughiroh bin 'Abdur Rohman tentang jazirah 'Arab, maka dia menjawab; "Makkah,

Madinah, Yamamah dan Yaman". Dan berkata Ya'qub; "Dan 'Aroj yang merupakan

permulaan Tihamah".

Tafsir Teologis

9

Al-Razi memahami ayat tersebut sebagai legitimasi atas diangkatnya Abu

Bakar sebagai khalifah pertama. Melalui ayat tersebut, Abu Bakar

dianggap sebagai satu-satunya pihak yang layak untuk menggantikan

Muhammad SAW. dan itu adalah sebuah petunjuk langsung dari Allah.

Tanpa diberi penjelasan lebih lanjut, hal tersebut sudah lebih dari

cukup untuk menunjukan betapa terlihatnya tendensi al-Razi untuk

membela sektenya melalui penafsiran Quran. Tampak sekali dalam

penafsirannya yang terkesan menyambung-nyambungkan bahwa dalam

menafsirkan ayat tersebut, tujuan al-razi bukan hanya untuk memahami

ayat tersebut, tetapi untuk membela sekte. Atau bahkan justru total

membela sekte dan menghilangkan unsur pemahaman ayatnya. Meskipun

pengaruh ideologi adalah sebuah hal yang niscaya dalam menafsirkan

Quran—yang sering disebut sebagai horison penafsir—tetap saja hal ini

keterlaluan.

Al-Zamakhsary

Adalah Mahmud bin Umar al-Zamakhsary. Dia lahir pada abad ke—

11 M, tepatnya tahun 1074 M di Khawarizmi Iran. Dia berideologi

mu’tazilah sejak kecil. Faktor yang paling mempengaruhinya hingga

menjadi seorang mu’tazilah adalah faktor lingkungan, Khawarizmi adalah

daerah mayoritas mu’tazilah dan supaya dia diakui sebagai anggota dari

mereka, akhirnya al-Zamakhsary berideologi mu’tazilah. Di sebabkan itu

Tafsir Teologis

10

juga, dia termasuk orang yang fanatik terhadap mazhabnya. Dia

meninggal pada tahun 1143.

Salah satu bukti dari fanatisme terhadap mu’tazilah adalah

penafsirannya tentang konsep ketuhanan dalam tafsir al-kasyaf. Baginya,

Allah adalah zat yang harus dibersihkan dari sifat apapun. Semua sifat

Allah yang sudah membumi di benak sunni ditolak olehnya. Sebab—bagi

mu’tazilah—andai Allah sarat dengan sifat itu sama halnya Allah terikat

dengan locus dan tempus atau ruang dan waktu, atau Allah itu bertempat,

sedangkan hal tersebut adalah suatu ketidakmungkinan. Tentang itu

Zamakhsari menafsirkan ayat 22—23 surat al-Qiyamah:

Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri—kepada

Tuhannyalah mereka melihat.

Al-Zamakhsari memahami ayat itu bukan secara literal, tetapi secara

alligoris. Artinya, dia memandang bahwa melihat disitu bukan berarti

melihat dengan mata secara langsung. Akan tetapi, itu adalah simbol

membuminya kebahagiaan kepada seseorang. Melihat Allah adalah

simbol tengah memeluk kebahagiaan yang istimewa.

Ali Fadhl bin Hasan al-Tabarsi

Tafsir Teologis

11

Adalah salah satu tokoh Syiah yang produktif dalam menelorkan

karya. Dia lahir di Tabaristan, Iran pada 1073 M. Selain menulis tafsir, dia

juga menulis tentang etika, teologi, dan grammatika. Karya yang paling

popular darinya adalah tafsir majma’ al-bayan li ulum al-Quran. Al-

Tabarsi menutup hidupnya pada 1153 M.

Tentang kecenderungan penafsirannya tentang syiah, hal itu bisa

dilihat dari penafsirannya atas ayat 28 surat Ali Imran. Di dalamnya, al-

Tabarsi menjelaskan panjang lebar tentang konsep taqiyyah dalam sekte

syiah, padahal maksud dari ayat tersebut sama sekali tidak menyyingung

konsep taqiyyah. Dalam hal ini al-Tabarsi terkesan terlalu mencocok-

cocokkan ayat Quran dengan pemahamannya demi kepentingan sekte. Itu

bisa dilihat dalam redaksi ayat berikut:

janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi

wali[192] dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa

berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali

karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.

dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya

kepada Allah kembali (mu).

Tafsir Teologis

12

Dalam menafsirkan ayat tersebut, al-Tabarsi menghilangkan pemahaman

makna tuqah dan menggantinya dengan pemahaman kata taqiyyah dalam

syiah. Pun, hal itu dijelaskan panjang lebar.

Daftar Pustaka

Mustaqim, Abdul. 2010. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKIS.

2012. Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an. Yogyakarta: Ponpest LSQ Ar-Rahmah.

Zaid, Nasr Hamid Abu. 2003. Menalar Firman Tuhan, terj. Abdurrahman

Kasdi dan Hamka Hasan. Bandung: Mizan.

Salim, Abd. Muin. 2010. Metodelogi ilmu tafsir. Kota: TERAS Press.

Qaththan, Syaikh Manna’. 2009. Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc. MA.. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.