Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...
Transcript of Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...
i
Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan
dalam Tradisi Mamat Menurut Jemaat GMIT Gunung Sinai
Oleh,
NEFRIYANTI EMA PENNA
712015076
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi
Guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana
Sains Teologi
(S.Si-Teol)
Program Studi Teologi
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2019
ii
iii
iv
v
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa,
karena kasih dan anugerah-Nya yang begitu melimpah dalam kehidupan penulis.
Secara khusus, penulis mengucapkan syukur karena penyertaanNya bagi penulis
selama penulis menjalani masa pendidikan di Fakultas Teologi Universitas
Kristen Satya Wacana (UKSW) hingga pada akhirnya penulis mampu
menyelesaikan perkuliahan dan penulisan Tugas Akhir dengan baik.
Tugas Akhir ini ditulis untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk
mencapai gelar Sarjana Sains dalam bidang Teologi (S.Si.Teol). Tugas Akhir ini
disusun dengan harapan karya tulis ini dapat membantu Jemat GMIT Gunung
Sinai, untuk lebih memahami dan memaknai keramahtamahan yang terkandung
dalam tradidi Mamat. Penulis juga berharap Tugas Akhir ini dapat berguna di
kemudian hari guna referensi atau sekedar menambah pengetahuan bagi
masyarakat maupun jemaat dalam memakan, menyuguhkan dan memahami
tradisi Mamat. Dalam seluruh rangkaian tulisan ini, penulis menyadari bahwa
tulisan ini jauh dari kesempurnaan sehingga diperlukan kritik dan saran agar
tulisan ini juga dapat terus dikembangkan menjadi lebih baik.
Dalam proses penulisan Tugas Akhir ini penulis banyak mendapatkan
bantuan baik dalam bentuk kritik, saran serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Tuhan Yesus Kristus yang oleh karena kasihNya selalu menolong dan
menuntun penulis dalam menjalani studi di Fakultas Teologi, Universitas
Kristen Satya Wacana (Agustus 2015 – Agustus 2019) sampai penulis
sudah menyelesaikan studi S1 dengan memperoleh gelar Sarjana Sains –
Teologi (S.Si – Teol).
2. Keluarga tercinta. Orang-orang terhebat Papa Jacob, Mama Sarci, Ka
Meyn, Ka Ve, Dede, Aldi, dan Gift yang selalu setia mendukung,
mendoakan penulis selama masa perkuliahan. Terima Kasih untuk cinta
dan kasih sayang kalian.
vii
3. Untuk Alm. Te’o tercinta Neltji Talan-Penna yang selalu mendukung
untuk terus melangkah maju.
4. Pdt. Dr. Rama Tulus Pillakoannu dan Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo
yang telah menjadi dosen pembimbing penulis selama masa penulisan
Tugas Akhir ini. Terima kasih atas waktu, motivasi, saran dan kritik yang
diberikan kepada penulis. Mohon maaf jika ada perilaku yang kurang
berkenan selama masa bimbingan.
5. Dosen Wali, Pdt. Simon Julianto, M.Si yang telah menjadi orang tua
selama penulis menempuh studi di UKSW.
6. Seluruh Dosen dan Staff Fakultas Teologi. Terima kasih sudah membagi
ilmu pengetahuan kepada penulis, mendukung dan memotivasi penulis
untuk terus belajar agar penulis dapat terus berkembang. Buat Ibu Budi
yang selalu setia membantu segala keperluan mahasiswa dan tidak bosan
untuk menerima kami dikantornya terima kasih banyak.
7. Kepada seluruh keluarga tersayang, keluarga besar Penna-Tiran untuk
segala dukungan dan doa kepada penulis selama menempuh perkuliahan di
UKSW.
8. Untuk saudara seperjuangan saya angkatan Teol-15 terkhususnya untuk
Dembris K. Soeki, S.Si-Teol, Kak Nyongki Puling, Kak Itho Tanesab,
Angel Dima, Inry B. Timo, S.Si-Teol, Kak Vita Lucasnussy, Augita
Gabriella, S.Si-Teol, Ka Alyan M. Sioh, S.Si-Teol dan Kak Agy Manafe
yang menampung banyak airmata penulis. Terima kasih untuk
kebersamaan dan dukungan serta motivasi. Tuhan Yesus memberkati.
9. Untuk saudara-saudara beda rahim. Yudith Gultom, SE, Novita Ena Aulu,
Andho Hasan, Ka Ghym Halundaka, Vellyn Pelokila, Etha Modok,
Margareth Solumodok, Abang Nando Atalani, dan Chandra Rohi. Terima
kasih untuk dukungan yang selalu menguatkan penulis. Tuhan Yesus
memberkati
10. Untuk Sandy Thimoti Ndoen yang selalu menemani dan mendukung serta
selalu sabar mendengar keluh-kesah penulis. Terima Kasih. Tuhan
memberkati
viii
11. Jemaat GMIT Gunung Sinai, Kupang. Terima Kasih atas bantuannya bagi
penulis selama masa penelitian. Tuhan memberkati.
12. Teruntuk yang terkasih orang-orang yang selalu menjatuhkan,
meremehkan, dan yang selalu memberi pertanyaan kapan lulus. Terima
kasih karena sudah hadir dan memberi motivasi yang besar sampai saat
ini.
13. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada semua orang yang tidak bisa
di sebutkan satu demi satu. Terima kasih sudah hadir dan memberi warna
dalam kehidupan penulis. Terimakasih untuk semua orang yang membantu
penulis dalam proses penulisan Tugas akhir ini. Tuhan memberkati.
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT .................................................................. iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES........................................................ iv
PERNYATAAN BEBAS ROYALTI DAN PUBLIKASI ................................... v
KATA PENGANTAR..........................................................................................vi
DAFTAR ISI.........................................................................................................ix
MOTTO..................................................................................................................x
ABSTRAK.............................................................................................................xi
1. Pendahuluan.....................................................................................................1
1.1. Latar Belakang.........................................................................................1
1.2. Metode Penelitian.....................................................................................6
2. Landasan Teori.................................................................................................7
2.1. Keramahtamahan....................................................................................7
2.2. Simbol......................................................................................................10
a. Simbol dalam Prespektif Antropologi Sosial..............................11
b. Simbol dalam Prespektif Filsafat-Teologi...................................13
3. Hasil Penelitian...............................................................................................16
3.1. Gambaran Tempat Penelitian...............................................................16
3.2. Sejarah Budaya Sirih Pinang................................................................18
3.3.Makna Sirih Pinang Sebagai Simbol Keramahtamahan Menurut
Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan.................................................20
4. Analisa.............................................................................................................24
4.1.Pandangan Jemaat GMIT Gunung Sinai Mengenai Tradisi MAMAT
atau Memakan Sirih Pinang Sebagai Simbol Keramatamahan.........24
5. Penutup...........................................................................................................29
5.1. Kesimpulan.............................................................................................29
5.2. Saran.......................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................32
x
MOTTO
Tidak ada hidup yang terlalu hancur untuk dapat
dibentuk kembali oleh Allah. Dia mengasihi kita
sekalipun kita tidak sempurna dan penuh kegagalan, dan
Dia ingin menjadikan kita indah.
YESAYA 41:10
Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau,
janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan
meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan
memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang
membawa kemenangan.
NYAYIAN: Hidupmu Berharga Bagi Allah
1
I. PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Kata “Sirih” dalam kamus umum bahasa Indonesia ialah sejenis tumbuhan
yang memanjat dengan akarnya; buah atau daunnya dimakan (dikunyah) bersama-
sama dengan gambir, pinang, kapur bagi orang pemakan sirih pinang.1 Kata
“Pinang”, dalam kamus bahasa Indonesia adalah sejenis tumbuhan bangsa palm
berbatang lurus dan berakar serabut, tingginya sampai 30 meter, buahnya kecil
sedikit dari telur ayam berkulit sabut dan dagingnya dimakan dengan kawan
sirih.2
Sirih pinang di sini secara umum dimakan hanya untuk menjadi kebiasaan
atau menghargai orang yang memberi dan dipakai untuk kesehatan, akan tetapi
secara khusus sirih pinang sering dipakai dalam berbagai upacara adat dan sebagai
simbol-simbol kedamaian dan keramatamahan karena di dalam memakan sirih
pinang sebenarnya ada nilai-nilai yang tertanam dalam budaya masyarakat Nusa
Tenggara Timur. Nusa Tenggara Timur banyak memiliki suku, bahasa, dan adat
istiadat yang berbeda-beda.3 Sirih Pinang dalam masyarakat Nusa Tenggara
Timur banyak digunakan dalam berbagai hal, baik itu upacara adat, sebagai salah
satu prasyarat mas kawin, sebagai suguhan untuk tamu, upacara kelahiran, ritual
adat, dst.
Tradisi Mamat (makan pinang) bagi orang Timor adalah sebuah warisan
budaya sejak zaman nenek moyang. Tidak aneh, bila bertandang atau berkunjung
ke rumah orang Timor, pasti disuguhkan sirih pinang yang tertata rapi di Oko
Mamat (tempat sirih pinang). Selain disuguhkan saat menyambut tamu, aktivitas
sirih pinang bisa ditemui di acara-acara resmi, baik acara suka cita dan duka cita.4
Tradisi ini merupakan sebuah penghargaan tuan rumah atau tuan acara kepada
setiap orang yang datang. Tradisi makan sirih pinang juga sering terjadi pada saat
1 J. S. Badudu, Sultan Mohammad Zain, “Kamus Umum Bahasa Indonesia”, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2001), 1334 2 Badudu, Sultan Mohammad Zain. “Kamus Umum Bahasa Indonesia”, 1603. 3 DepertemenPendidikan Dan Kebudayaan Pusat Penilitian Sejarah Dan Budaya Proyek
Penilitian Sejarah Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Adat istiadat Daerah Nusa Tenggara
Timur, (Jakarta: 1981), 5. 4https://www.kompasiana.com/leksisalukh/5976dae4da1e4a35384b0262/sirih-pinang-
simbol-penghargaan?page=all (akses 08-09-18. 19.00 WIB)
2
warga bertemu di jalan. Tradisi ini biasanya dilakukan sebelum dan sesudah
makan atau minum.
Selain untuk konsumsi sendiri, sirih pinang ini juga membangun
kekerabatan yaitu ketika berpapasan dengan kenalan atau sanak keluarga di jalan,
maka sambutan paling pertama adalah saling berbagi dan bertukaran sirih pinang,
kemudian memakannya bersama. Jika ada pihak yang kekurangan salah satu
bahan, sirih, pinang atau kapur, maka akan dilengkapi oleh pihak lain saat
pertemuan itu.
Tradisi makan sirih pinang tidak membatasi umur warga yang
mengkonsumsi. Sehingga ada orang tua yang sudah biasakan anaknya untuk
makan sirih pinang sejak kecil. Sirih Pinang yang disuguhkan oleh tuan rumah
atau tuan acara merupakan simbol penghargaan”. Kebiasaan makan sirih pinang
membuat orang Timor (Atoin Meto) memiliki tas kecil (Alu Mamat) yang
fungsinya untuk menyimpan sirih pinang. Tradisi makan sirih pinang ini, bukan
saja di Pulau Timor, tapi di sebagian Nusantara, tradisi makan sirih pinang ini
berlaku sama.5
Contohnya dalam masyarakat Sabu yang menggunakan sirih pinang
sebagai salah satu mas kawin. Pada waktu kunjungan pihak lelaki membawa sirih
pinang atau rukenana sebagai lambang peminangan.6 Tidak hanya di masyarakat
Sabu yang menggunakan sirih pinang, masyarakat Timor menggunakan sirih
pinang untuk upacara adat dalam pertanian di sawah waktu padi akan panen.
Dukun mnane akan memeriksa sekeliling sawah kemudian memilih bulir-bulir
padi yang dianggap mengandung smanaf jiwa. Pada upacara ini disajikan sirih
pinang, kemudian setiap orang berjalan keliling dengan memercikan air sirih
pinang pada padi yag akan dipanen, maksud pemercikan air supaya dewa padi
tidak lari.7 Selain masyarakat Sabu dan Timor, sirih pinang juga digunakan oleh
masyarakat Rote dalam upacara penguburan. Di dekat mayat diberi saji-sajian
5https://www.kompasiana.com/leksisalukh/5976dae4da1e4a35384b0262/sirih-pinang-
simbol- penghargaan?page=all (akses 08-09-18. 19.00 WIB) 6 Nico L. Kana, “Dunia Orang Sawu”, (Jakarta:Sinar Harapan, 1983), 52 7 Depertemen Pendidikan Dan Kebudayaan Pusat Penilitian Sejarah Dan Budaya Proyek
Penilitian Sejarah Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, “Adat istiadat Daerah Nusa Tenggara
Timur”, (Jakarta : 1981), 40
3
seperti sirih pinang dan makanan yang mana menurut kepercayaan masyarakat,
rohpun masih perlu makan dan minum.8 Sirih pinang sangatlah penting dalam
kehidupan masyarakat Nusa Tenggara Timur, dan hal ini terlihat dari sejak proses
kehamilan, calon bayipun sudah diperkenalkan dengan sirih pinang.9
Terlepas dari efeknya bagi tubuh secara kesehatan, mengamati kebiasaan
memakan sirih pinang oleh masyarakat NTT memberikan perspektif unik, bahwa
tatanan relasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat kadang terbentuk oleh
instrumen yang sulit dijelaskan secara ilmiah. Arti penting mengunyah daging
buah pinang, sirih dan kapur bagi Atoin Meto, tidak sekedar untuk menjadi
pemerah bibir, atau penguat stamina, tapi bahan-bahan itu merupakan perekat
hubungan sosial, yang membuat orang merasa sebagai satu kesatuan, saling
memberi dan menerima, dan terutama saling menghargai.
Begitupula dengan Ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kota Kupang.
Kota Kupang ini adalah kota yang terbesar di pesisir Teluk Kupang, di bagian
Barat Laut pulau Timor. Sebagai kota terbesar di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
Kota Kupang dipenuhi dengan berbagai suku bangsa. Suku yang signifikan
jumlahnya di Kota Kupang adalah suku Timor, Rote, Sabu, Tionghoa, Flores, dan
sebagian kecil pendatang dari Jawa. Kota Kupang ini terbagi menjadi 6 kecamatan
dan 50 kelurahan.10
Akan tetapi Koepang tempo doeloe adalah sebuah legenda bermakna
sejarah karena peristiwa-peristiwa yang dialami penduduk pemula di suatu lokasi
negeri yang sepi diliputi hutan belukar adalah sebuah peristiwa sejarah yang
berproses dari masa ke masa sampai terbentuknya nama Koepang. Awalnya
Koepang Tempo Doeloe, bagi orang Helong dinamakan “Kai Salun-Buni Baun”.
Hal ini diketahui lewat sejarah dan asal-usul kota Koepang. Adalah Raja Koen
Bissi ll atau Koen Am Tuan memerintah warganya untuk membangun pagar batu
8 Depertemen Pendidikan Dan Kebudayaan Pusat Penilitian Sejarah Dan Budaya Proyek
Penilitian Sejarah Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, “Adat istiadat Daerah Nusa Tenggara
Timur”, (Jakarta : 1981), 103. 9 Depertemen Pendidikan Dan Kebudayaan Pusat Penilitian Sejarah Dan Budaya Proyek
Penilitian Sejarah Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, “Adat istiadat Daerah Nusa Tenggara
Timur”, (Jakarta : 1981), 89. 10 http://v8.kupangkota.go.id/2018/10/15/wilayah-administrasi/ (akses, 18-10-18. 17.30
WITA)
4
di sekeliling pagar istana. Pagar batu tersebut adalah batu Alam bersusun ke atas
berlapis empat. Kondisi tersebut menurut bahasa Helong yaitu “PAN”. Oleh
rakyat atau warga yang ini berurusan atau menemui Raja Koen di tempat yang
disebut PAN, sehingga sering disebut “KOENPAN”. Dalam perkembangan
penggunaan bahasa (ucapan) secara etimologis kata ‘’KoenPan” berubah menjadi
“Koepang”, selanjutnya dengan ejaan baru maka disesuaikan lagi menjadi
“KUPANG”.11
Kota Kupang merupakan salah satu kota yang padat penduduknya.
Masyarakat Kota Kupang adalah orang yang hidup dengan rasa toleransi yang
tinggi. Masyarakat Kota Kupang percaya bahwa dengan adanya toleransi dapat
membangun persaudaraan yang lebih antar sesama umat beragama dan sesama
individu dengan latar belakang suku yang berbeda. Kota Kupang yang berada di
bagian barat laut Pulau Timor dan kebanyakan penduduk yang berasal dari suku
Timor, Sabu, Rote dan Flores ini tidak melepas kebudayaan mereka yaitu Mamat
atau memakan sirih pinang. Salah satu kebudayaan yang menarik dari penduduk
Kota Kupang ialah sirih pinang sebagai suguhan. Sirih pinang juga dianggap
sebagai keramahtamahan bagi masyarakat Timor di Kupang. Tradisi memakan
sirih pinang yang kuat tersebut mulai menghilang atau memudar di Kota Kupang,
namun masih ada beberapa jemaat Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) yang
masih memakan sirih pinang dan salah satunya ialah Jemaat GMIT Gunung Sinai,
tetapi di jemaat tersebut juga terdapat perpecahan yaitu ada yang setuju memakan
atau melestarikan sirih pinang yang dianggap sebagai bentuk keramatamahan
dengan sesama dan ada yang tidak setuju memakan sirih pinang dengan alasan
bahwa sirih pinang dapat mengotori bait Allah, membuat kotor lingkungan dan
lain sebagainya.
Seperti yang telah penulis jelaskan bahwa sirih pinang tersebut berguna
dengan banyak hal di samping sebagai keramatamahan dan kasih, sirih pinang
juga dapat menciptakan kekerabatan antara sesama, budaya dan adat istiadat tetap
terpelihara. Namun karena berkembangnya zaman dan memunculkan isu bahwa
sirih pinang tidak berguna dan bermanfaat sehingga membuat saya terdorong
11 http://v8.kupangkota.go.id/2018/10/15/sejarah-kota-kupang-2/ (akses, 17-10-18. 15.10
WITA)
5
untuk melakukan penelitian tentang Kajian Sosio-Teologis Terhadap
Keramatamahan Dalam Tradisi MAMAT menurut Jemaat GMIT Gunung
Sinai.
Kajian sosio teologis yang dimaksud bahwa sirih pinang yang terkait
dengan keramatamahan akan membentuk perilaku masyarakat dalam berinteraksi.
Interaksi adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut
hubungan antara orang-orang perorangan, antar kelompok-kelompok manusia,
maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia.12 Unsur-unsur yang
terkandung dalam interaksi adalah adanya kontak sosial dan adanya komunikasi.13
Pada sisi yang lain dalam konteks Jemaat GMIT Gunung Sinai, interaksi ini tentu
baik bila di refleksikan secara teologis. Karena itu yang dimaksud dengan teologis
dalam tulisan ini adalah sebuah refleksi iman. Refleksi teologis merupakan upaya
untuk memahami secara lebih luas dan mendalami pengalaman yang telah
dianalisis itu dalam terang iman yang hidup.14
Berdasakan uraian yang telah dijelaskan di atas, maka peneliti
merumuskan pertanyaan permasalahan yaitu; bagaimana pandangan jemaat GMIT
Gunung Sinai mengenai tradisi makan sirih pinang sebagai simbol
keramatamahan dalam kajian Sosio-Teologis? Dengan tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan pandangan jemaat GMIT Gunung
Sinai mengenai tradisi memakan sirih pinang sebagai simbol keramatamahan
dalam kajian Sosio-Teologis. Penelitian ini memberi manfaat: Secara teoritis:
dapat memberikan kontribusi serta sumbangsih tentang pemahaman baru
terhadap nilai keramatamahan dan kasih yang sudah mulai memudar yang
terkandung dalam budaya memakan sirih pinang bagi masyarakat Kota Kupang
khususnya di Jemaat GMIT Gunung Sinai. Secara praktis: dapat dijadikan sebagai
bahan acuan dan pertimbangan bagi jemaat Gereja dalam mencari informasi bagi
penelitian yang lebih lanjut.
12 Soerjono Soekanto, “Sosiologi Suatu Pengantar”, (Jakarta: Rajawali Per, 2014), 55. 13 Soerjono Soekanto, “Sosiologi Suatu Pengantar”.... 61. 14 Joe Holland dan Peter Henroit SJ, “Analisis Sosial dan Refleksi Teologis – Kaitan
Iman dan Keadilan”, (Yogyakarta: Kanisius, 1986), 25.
6
1.2. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian Tugas Akhir yaitu
penelitian deskriptif, bertujuan mendeskripsikan atau menjelaskan suatu hal
secara sistematis, faktual serta akurat mengenai fakta-fakta tertentu yang ada
dilapangan. Dalam menentukan metode penelitian, maka peneliti menggunakan
metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif.15
Pendekatan deskriptif adalah pendekatan yang bertujuan untuk
menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, gejala, ataupun kelompok
tertentu untuk menentukan penyebab suatu frekuensi adanya hubungan tertentu
antara suatu gejala dengan gejala lainnya dalam masyarakat.16
Metode yang dipakai untuk mengumpulkan data yakni pengumpulan data
primer merupakan pengumpulan data dari lapangan tempat dimana peneliti
melakukan peniltian.17 Metode ini dilakukan dengan wawancara secara terstruktur
yang bertujuan untuk mendapatkan keterangan masalah yang diteliti dengan
percakapan tatap muka, guna mendapatkan informasi yang lebih akurat dan
terperinci untuk memperkuat data tentang obyek yang diteliti bagi penulis.
Penulis juga melakukan Observasi jenis partisipasi dalam rangka
mendapatkan gambaran tentang sirih pinang sebagai keramahtamahan di Jemaat
GMIT Gunung Sinai dengan cara identifikasikan tentang situasi dan kondisi
wilayah penelitian. Gambaran secara umum tersebut meliputi berbagai informasi
tentang sirih pinang, untuk itu perlu dilakukan pengambilan data, rekaman,
informen, jurnal, wawancara, bergaul dengan Jemaat GMIT Gunung Sinai dan
mengikuti kegiatan yang ada.
Sesuai dengan penjelasan yang telah diuraikan maka yang menjadi subjek
penelitian adalah jemaat GMIT Gunung Sinai dengan menggunakan teknik
pengambilan sampel secara random atas dasar himpunan (cluster random
15 Nawawi. “Metode Penelitian Bidang Sosial”. (Yogjakarta: Gajah Mada University
Press, 2004) 63 16 D. Engel. “Metodologi Penelitian Sosial dan Teologi Kristen”. (Salatiga: Widya Sari,
2005) 20-21 17 Suharsimi Arikunto. “Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik”. (Jakarta:
Rineka Cipta, 2010) 21-22
7
sampling) yaitu, pemuda, orang tua, dan lansia.18 Untuk mengetahui jumlah
subjek yang akan diteliti, peneliti menggunakan tenik random sederhana yaitu
subjek tidak dipilah-pilah atau distartakan terlebih dahuli; semua sabjek penelitian
langsung dipilih secara random.19 Waktu penelitian adalah pada tahun 2019 dan
lokasi penilitian yang akan diteliti oleh Peniliti adalah Kota Kupang, NTT
khususnya di Jemaat GMIT Gunung Sinai.
II. LANDASAN TEORI
a. Teori Keramahtamahan
Kata keramahtamahan berasal dari bahasa latin hospes, yang berarti “tuan
rumah”, “tamu”, atau orang asing.20 Louis, Chevalier de Jaucourt menggambarkan
keramahtamahan sebagai kebajikan dari jiwa besar yang peduli terhadap seluruh
alam semesta melalui ikatan manusia. Di Yunani Kuno, keramahtamahan adalah
hak, dengan tuan rumah diharapkan untuk memastikan kebutuhan tamunya
terpenuhi. Dalam masyarakat Yunani, kemampuan seseorang yang mematuhi
hukum keramahtamahan menentukan kemuliaan dan kedudukan sosial. Kaum
Stoa menganggapnya sebagai tugas yang diilhamkan oleh Allah (ZEUS) sendiri.21
Orang Yunani menganggap keramahtamahan sebagai kebajikan yang paling
menyenangkan bagi para dewa. Kebajikan tersebut dikejar sedemikian rupa di
Yunani sehingga orang mendirikan, di berbagai tempat, bangunan publik di mana
orang asing dapat diterima.22 Dalam agama Kristen, keramahtamahan adalah suatu
kebajikan yang merupakan pengingat empati bagi orang asing dan aturan untuk
menyambut pengunjung.23 Berdasarkan pemahaman tentang keramahtamahan
yang telah dijelaskan maka keramahtamahan merupakan bagian yang telah
18 Sanapiah Faisal. “Format-Format Penelitian Sosial”. (Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2010) 65 19 Sanapiah Faisal. “Format-Format Penelitian Sosial”. 59 20 C. Lewis,“Elementary Latin Dictionary”, (Oxford: Oxford University Press, 2000),
371. 21 Louis, Chevalier de Jaucourt: (2009). The Encyclopedia of Dderot & d’Alembert
Collaborative Traslation Project, http://hdl.handle.net./2027/spo/did222/0002.761 (akses 12-03-
19. 21.31 WIB) 22 Louis, Chevalier de Jaucourt: (2009), The Encyclopedia of Dderot & d’Alembert
Collaborative Traslation Project, http://hdl.handle.net./2027/spo/did222/0002.761 (akses 12-03-
19. 21.45 WIB) 23 Alain Montandon, “L’hospitalite au XVIIe siecle”, (France: Presses Universitaires
Blaise Pascal, 2000), 12.
8
melekat dalam kehidupan bersosial. Dalam keramahtamahan juga terdapat unsur
penerimaan atau empati terhadap sesama atau orang lain.
Empati berasal dari Bahasa Yunani empatheia, yang berarti “ketertarikan
fisik”. Empati termasuk kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang
lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil
prespektif orang lain.24 Empati adalah kemampuan dengan berbagai definisi yang
berbeda yang mencakup spektrum yang luas, berkisar pada orang lain yang
meciptakan keinginan untuk menolong sesama, mengalami emosi yang serupa
dengan emosi orang lain, mengetahui apa yang orang lain rasakan dan pikirkan,
mengaburkan garis antara diri sendiri dan orang lain.25 Menurut Tedi Sutardi,
empati adalah kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain oleh
seorang individu atau suatu kelompok masyarakat. Budaya orang lain menjadi
landasan bersikap dalam setiap interaksi yang terjalin. Empati berpotensi untuk
mengubah perbedaan menjadi saling memahami dan mengerti secara mendalam.26
Menurut Hoffman, empati melibatkan perasaan yang dirasakan oleh orang lain.
Empati sebagai respon emosional yang berasal dari kondisi emosional orang lain
sesuai dengan keadaan atau situasi.27 Untuk dapat merasakan atau mewujudkan
rasa empati seseorang maka dibutuhkan interaksi sosial atau hubungan sosial
dengan orang lain. Interaksi adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang
menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-
kelompok manusia, manupun antara orang perorangan dengan kelompok
manusia.28 Interaksi sosial merupakan hubungan yang tertata dalam bentuk-
bentuk tindakan yang berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang
berlaku dalam masyarakat.29 Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi
apabila tidak adalanya kontak sosial dan komunikasi sosial. Menurut Roucek dan
Warren, interaksi adalah proses timbal balik, di mana satu kelompok dipengaruhi
24 Baron & Byrne, “Psikologi Sosial”, Jilid 2, (Jakarta: Erlangga, 2004), 111. 25 Sara D. Hodges & Kristi J. Klein, “Regulating the Cost of Empathy: the Price of Being
Human”, (Journal of Sosio-Economic: 2001), 23. 26 Tedi Sutardi. “Antropologi: Mengungkapkan Keragaman Budaya”. (Bandung: PT
Setia Purnama Inves, 2007), 27. 27 Nancy Eisenberg and Janet Strayer (ed), “Emphaty and its Development”, (New York:
Press Syndicate of University of Cambridge, 1990), 5. 28 Soerjono Soekanto, “Sosiologi Suatu Pengantar”, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 55. 29 Basrowi, “Pengantar Sosiologi”, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2014), 138.
9
tingkah laku reaktif pihak lain dan dengan demikian, ia mempengaruhi tingkah
laku orang lain.30
Melalui penjelasan di atas maka dapat dikatakan bahwa empati adalah
bagian dalam keramahtamahan yang tidak dapat dipisahkan. Sehingga dalam buku
Judith Still yang berjudul Derrida and Hospitality, menunjukan pemahaman
Derrida tentang keramahtamahan adalah etika itu sendiri yang akan merujuk
kepada penerimaan atau empati terhadap sesama.
Menurut Derrida, keramahtamahan adalah etika atau budaya itu sendiri,
yang berkaiatan dengan etos yaitu tempat tinggal atau rumah seseorang. Selain itu
keramahtamahan adalah bagaimana cara berada di sana, cara kita berhubungan
dengan diri kita sendiri dan dengan orang lain, terhadap orang lain sebagai diri
sendiri atau sebagai orang asing.31 Keramahtamahan adalah definisi sturktur yang
mengatur hubungan antara di dalam dan di luar, dalam artian antara pribadi dan
publik. Keramahtamahan juga merupakan cara untuk menghubungan hubungan
antara yang satu dan yang lain, diri sendiri dan orang asing.32
Menurut Derrida, keramahtamahan berarti membiarkan yang lain masuk
ke diri sendiri, ke ruang milik sendiri. Keramahtamahan juga dapat (dan memang)
memperkuat ikatan antara mereka yang secara budaya sama serta yang datang
dengan perbedaan.33 Dalam buku Derrida and Hospitality, Derrida juga
menjelaskan tentang keramahtamahan yang berfokus pada persahabatan, yang
lebih sering dipahami sebagai persaudaraan spritual dan persahabatan antara
perbedaan atau keanehan dari orang lain (bahkan teman).34 Bagi Derrida,
keramahtamahan termasuk rezeki atau makan, bukan hanya dari tubuh tetapi juga
dari pikiran. Secara tradisional tamu atau orang asing menceritakan kisah mereka;
saling berbicara dengan pertukaran pikiran yang bermanfaat dan menyenangkan.
Derrida menuliskan bahwa persahabatan dibangun di atas keramahtamahan dan
tindakan-tindakan yang bersahabat atau istimewa untuk membangun
30 Basrowi, “Pengantar Sosiologi”, 140. 31 Judith Still, “Derrida and Hospitality – Theory and Practice”, (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 2010). 7. 32 Still, “Derrida and Hospitality – Theory and Practice”, 9. 33 Still, “Derrida and Hospitality – Theory and Practice”, 54. 34 Still, “Derrida and Hospitality – Theory and Practice”, 93.
10
persahabatan, di saat yang sama juga struktur persahabatan sejati adalah
keramahtamahan itu sendiri. Dengan kata lain persahabatan dibangun sebagai
keramahtamahan.35 Derrida mengatakan bahwa berbagi pengetahuan dan
kebijaksanaan adalah bentuk utama dari keramahtamahan.36
Setelah membaca dan memahami pandangan Derrida tentang
keramahtamahan, maka keramahtamahan adalah suatu kesenangan sehari-hari
dimana kita tidak bisa hidup tanpa keramahtamahan. Keramahtamahan juga sering
dilihat sebagai lambang atau simbol perdamaian dan penerimaan (empati)
terhadap sesama. Sehingga, untuk memperjelas maksud tentang lambang atau
simbol tersebut; maka peneliti akan memaparkan beberapa teori tentang simbol.
b. Teori Simbol
Kata simbol berasal dari bahasa Yunani symbolon dari kata symballo yang
berarti menarik kesimpulan, memiliki arti dan atau memberi kesan.37 Menurut
pernyataan yang diberikan oleh seorang sosiologi ternama, kesatuan sebuah
kelompok, seperti semua nilai budayanya, pasti diungkapkan dengan memakai
simbol. Simbol sekaligus merupakan sebuah pusat perhatian yang tertentu, sebuah
sarana komunikasi, dan landasan pemahaman bersama. Setiap komunikasi,
dengan bahasa atau sarana yang lain, menggunakan simbol-simbol. Masyarakat
hampir tidak mungkin ada tanpa simbol-simbol.38 Simbol adalah suatu tanda yang
dapat menyatakan sesuatu hal atau maksud tertentu. Menurut Herusatoto, simbol
atau lambang adalah sesuatu hal atau keadaan yang merupakan pengantar
pemahaman terhadap objek.39 Menurut Landmann, bahwa setiap karya manusia
dilaksanakan dengan sesuatu tujuan, yaitu bahwa setiap benda alam disekitarnya
yang disentuh dan dikerjakan oleh manusia mengandung dalam dirinya suatu
nilai.40 Oleh karena itu, setiap sesuatu (termasuk sirih pinang) menandakan nilai
tertentu didalamnya. Simbol yang berupa benda, keadaan, atau hal sendiri
35 Still, “Derrida and Hospitality – Theory and Practice”, 94-95. 36 Still, “Derrida and Hospitality – Theory and Practice”, 257. 37 Lorens Bagus, “Kamus Filsafat”, (Jakarta: PT Gramedia, 2000), 1007. 38 R.M Maclver, “Society”. (Macmillan, 1950), 340. 39 Laela, Nurhayati Dewi, Suhartati, dan Sunarto, “Fungsi dan Makna Simbolis Genta Di
Jawa Tengah”, (Semarang: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, 2007),
125. 40 Budiono Herusatoto, “Simbolisme Jawa”, (Yogyakarta: Ombak, 2008), 14.
11
sebenarnya bebas terlepas dari tindakan manusia, tetapi sebaliknya tindakan
manusia harus selalu mempergunakan simbol-simbol sebagai media penghantar
dalam komunikasi antar sesamanya.41 Berdasarkan pemahaman tentang simbol
yang telah dijelaskan, maka peneliti akan membagi dalam beberapa teori simbol
yaitu dalam prespektif Antropologi-Sosial dan dalam prespektif Filsafat-Teologi.
Simbol dalam Prespektif Antropologi Sosial
Bagian ini peneliti akan menguraikan beberapa pandangan teori
simbolisme menurut beberapa ahli-ahli Antropologi Sosial antara lain; Raymond
Firth, Mary Douglas, Victor Turner dan Clifford Geertz.
Pandangan pertama adalah pandangan dari Raymond Firth. Menurut Firth,
simbol mempunyai peran yang sangat penting dalam urusan-urusan manusia:
“manusia menata dan menafsirkan realitasnya dengan simbol-simbol dan bahkan
merekonstruksi realitasnya itu dengan simbol.42 Simbol menurut pandangan Firth
tidak hanya berperan untuk menciptakan tatanan – fungsi yang dapat dianggap
pertama-tama bersifat intelektual. Sebuah simbol dapat berhasil memusatkan pada
dirinya sendiri seluruh semangat yang semestinya hanya menjadi milik realitas
terakhir (tertinggi) yang mewakilinya.43 Sesungguhnya, menurut pandangan Firth,
sebuah simbol dapat menjadi sarana untuk menegakkan tatanan sosial atau untuk
menggugah kepatuhan-kepatuhan sosial; selain itu, sebuah simbol kadang-kadang
dapat memenuhi suatu fungsi yang lebih bersifat privat dan individual, meskipun
tidak mudah mengakui adanya nilai dalam sebuah simbol yang tidak mempunyai
suatu acuan kepda pengalaman sosial yang lebih luas.44 Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa simbol memiliki peran ganda dalam kehidupan bermasyarakat.
Hal ini sangat berkaitan dengan pandangan Mary Douglas dalam bukunya Natural
Symbols. Dauglas sangat terkesan melihat hubungan erat yang ada antara tubuh
manusia dan masyarakat manusia, di semua zaman dan di semua tempat. Mary
Douglas melihat bahwa tubuh jasmani dapat mempunyai makna universal hanya
41 Herusatoto, “Simbolisme Jawa”, 32. 42 Raymond Firth, “Symbol: Public and Private”, (Ithaca, New York: Cornell University
Perss, 1973), 20. 43 Firth, “Symbol: Public and Private”, 132. 44 Firth, “Symbol: Public and Private”, 428.
12
sebagai sistem yang menjawab sistem sosial, dengan mengungkapkannya sebagai
sebuah sistem. Apa yang disimbolkannya secara alami adalah hubungan bagian-
bagian sebuah organisme dengan keseluruhan. Dua tubuh itu adalah diri sendiri
dan masyarakat: kadang-kadang keduanya sedemikian dekatnya sehingga hampir
menjadi satu; kadang-kadang keduanya terpisah jauh. Ketegangan antara
keduanya memungkinkan pengembangan makna-makna.45 Dauglas memberi
kesaksian tentang nilai dari corak tertentu bentuk-bentuk ritual dalam mebawa
koherensi dan stabilitas kepada masyarakat: kedudukan dan batas disimbolkan
dengan tepat oleh ciri-ciri tubuh. Bentuk-bentuk simbolis juga diperlukan untuk
pengalaman sosial dalam waktu, untuk interaksi, dan semuanya ini, mempunyai
hak untuk dipandang bukan sebagai simbol alami melainkan historis, sebagai
simbol yang dibangun, dipola, dibentuk oleh peristiwa penting dalam pengalaman
sosial.46
Pandangan ketiga adalah pandangan menurut Victor Turner dalam
bukunya yang berjudul The Forest of Symbols and The Ritual Process
membicarakan fungsi simbol dalam mengatur kehidupan sosial: ia sungguh
menyadari bahwa ada dua segi yang harus dipertimbagkan: penciptaan peranan-
peranan dan aturan-aturan yang memungkinkan eksistensi sosial sehari-hari. Ada
interaksi dialektis antara masyarakat keseluruhan dan kelompok-kelompok
khususnya di dalamnya. Dualitas dalam mengatur kelompok-kelompok sosial
yang ia temukan disimbolkan dengan cara yang berarti praktek-praktek ritual
suku-suku yang membawa makna rangkap.47 Di satu pihak, ada penataan terus-
menerus atas upacara-upacara yang berkaitan dengan kelahiran, masa puber, dan
kematian atau dengan siklus penanggalan, perayaan gerakan-gerakan benda-benda
langit. Di pihak lain, ada tata cara simbolis yang harus dilaksanakan ketika suatu
peristiwa kritis hampir terjadi: suatu perjalanan ekspedisi berburu, perjumpaan
dengan suku-suku lain.48
45 Mary Douglas, “Natural Symbols: Explorations in Cosmology”, (London: Penguin
Books, 1973), 112-113. 46 F.W Dilistone, “The Power of Symbols”, (Yogyakarta: Kanisius, 2000 ), 110. 47 Dilistone, “The Power of Symbols”, 111. 48 Dilistone, “The Power of Symbols”, 112.
13
Pandangan yang teakhir adalah pandangan menurut Clifford Greetz.
Menurut Greetz simbol dapat didefiniskan “sebagai objek, tindakan, peristiwa,
sifat, atau hubungan yang dapat berperan sebagai wahana suatu konsepsi, dan
konsepsi ini adalah “makna” simbol. Jadi, penafsiran kebudayaan pada dasarnya
adalah penafsiran simbol-simbol, sebab simbol-simbol bersifat teraba, tercerap,
umum, dan konkret. Simbol-simbol keagamaan adalah simbol-simbol yang
mensintesiskan dan mengintegrasikan “dunia sebagaimana dihayati dan dunia
sebagaimana dibayangkan”, dan simbol-simbol ini berguna untuk menghasilakn
dan memperkuat keyakinan keagamaan”.49
Simbol dalam Prespektif Filsafat-Teologi
Pada bagian ini peneliti akan menguraikan beberapa pandangan simbolis
menurut beberapa ahli dalam prespektif Filsafat-Teologi.
Pandangan pertama yaitu pandangan menurut Paul Tillich. Simbol
menurut Tillich merupakn kategori sentral dalam ajarannya tentang Allah. Ada
ciri-ciri mendasar tertentu dari sebuah simbol yang berkali-kali ditunjukan oleh
Tillich. Pertama, ia membedakan antara simbol dan tanda. Menurut Tillich
sebuah tanda bersifat univok, arbiterer dan dapat diganti, karena tidak mempunyai
hubungan instrinstik dengan sesuatu yang ditunjukannya itu, sedang sbuah simbol
sungguh-sungguh mengambil bagian dalam realitas yang ditunjukannya dan yang
sampaitiangkat tertentu diwakilinya. Simbol berfungsi seperti ini tidak secara
mandiri tetapi dalam kekuatan hal yang ditunjukannya.50 Pandangan tentang
hubungan Allah dengan tatanan alami dan tentang masukanya Roh Suci ke dalam
roh manusia dipandang oleh Tillich sebagai sesuatu yang sangat menentukan
penafsirannya tentang fungis simbol dalam mengantarai kehadiran spritual.
Kedua, menurut pandangan Tillich, simbol dapat membukakan kepada
manusia adanya tingkat-tingkat realitas yang dapat dimengerti dengan cara lain.
Hal ini secara khusus berlaku untuk simbol-simbol seni.51 Simbol-simbol seni
sebenarnya membukakan roh manusia kepada dimensi pengalaman estetis dan
49 Clifford Greetz, “Kebudayaan dan Agama”, (Yogyakarta: Kanisius, 1992 ), 51. 50 Dilistone, “The Power of Symbols”, 124. 51 Dilistone, “The Power of Symbols”, 125.
14
membukakan realitas kepada dimensi makna instrisiknya. Sedangkan simbol-
simbol keagamaannya menjadi medium realitas tertinggi melalui barang-barang,
orang-orang, peristiwa-peristiwa yang berbaat fungsi-fungsinya sebagai medium,
menerima sifat “kudus”.52 Dengan demikian simbol “membukakan” roh manusia
kepada pandangan-pandangan yang lebih tentang “Yang Kudus” dalam dimensi
trasendennya. Ketiga, menurut pandangan Tillich sebuah simbol ialah membuka
dimensi-dimensi roh batiniah manusia sehingga terwujudlah suatu koresponsdensi
atau kolerahi dengan segi-segi realitas tertinggi. Simbol memperluas roh manusia
untuk memampukannya ditangkap oleh penglihatan itu dan dengan demikian
tumbuh berkembanglah pengertian rohaninya.53 Keempat, menurut Tillich simbol
muncul dari kegelapan dan hidup oleh karena hubungannya dengan suatu
kebudayaan khusus. Bila simbol tidak lagi membangkitkan respons yang vital,
maka simbol itu mati.54 Tillich juga mengatakan bahwa simbol tidak dapat
diciptakan, simbol tidak dapat dihasilkan dengan sengaja.55
Sehingga dari pemahaman Tillich, simbol keagamaan dibedakn dari
simbol-simbol yang lain oleh kenyataan bahwa simbol keagamaan merupakan
representasi dari sesuatu yang sama sekali ada di luar bidang konseptual. Simbol
keagamaan menunjuk kepada realitas tertinggi yang tersirat dalam tinfakan
keagamaan, kepada apa yang menyangkut diri kita pada akhirnya.
Selanjutnya, pandangan menurut Paul Ricoeur. Menurut Ricoeur simbol
dan penafsiran menjadi konsep-konsep yang korelatif.56 Dalam bukunya The
Symbolism of Evil, Ricoeur menegaskan bahwa arti harafiah menimbulkan suatu
analogi dan dengan demikian membentuk arti simbolis.57 Menurut Ricoeur simbol
dan analogi sedemikian eratnya berkaitan satu sama lain. Ricoeur juga
mengatakan bahwa kewajiban terbesar penafsir ialah melampaui yang harafiah
untuk menerangi makna-makna yang tersembunyi, makna-makna yang sekunder,
52 Sydney Hook (ed), “Religious Experience and Truth”, (Edinburgh: Oliver and Boyd,
1962 ), 5. 53 Dilistone, “The Power of Symbols”, 125. 54 Dilistone, “The Power of Symbols”, 125. 55 Paul Tillich, “Ultimate Concern”, (London: SCM Press, 1965 ), 149. 56 Paul Ricoeur, “The Conflicts of Interpretations”, Evanston: Nortwestern University
Press, 1974), 12. 57 Paul Ricoeur, “The Symbolism of Evil”, (Boston: Beacon Press, 1970), F.W Dillistone.
“The Power of Symbols”, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 129.
15
makna-makna yang diperkaya, makna-makna yang secara tepat itulah yang
disebut simbolis.58 Jadi dari pemahaman Ricoeur, menafsir simbol, menelaah
makna simbolis berarti membawa diri ke dalam hidup yang lebih tinggi.
Berikutnya adalah pemahaman dari Karl Rahner. Menurut Rahner seluruh
teologi tidak dapat dipahami jika teologi itu pada hakikatnya bukan teologi
simbol.59 Menurut Rahner ungkapan simbolis adalah ungkapan diri Allah sendiri
dalam Sang Sabda (Logos): Logos adalah simbol Bapa.60 Bagi Rahner amatlah
penting bahwa simbol tidak pernah boleh dipandang sebagai suatu yang terpisah
dari hal yang disimbolkannya, yang berdiri dihadapannya, menunjuk kepadanya,
dan mengilustrasikanya. Sebalikanya, suatu objek, suatu diri menjadi terungkap
dalam simbol dan dengan demikian menjadi hadir dalam simbol.61 Simbol tidak
memisahkan ketika mengantarai, tetapi mempersatukan dengan segera, sebab
simbol yang sejati dipersatukan dengan hal yang disimbolkan, karena hal yang
disimbolkan membentuk simbol sebagai realisasi dirinya sendiri.62 Jadi dari
pemahaman Rahner, simbol adalah realitas yang diwujudkan oleh hal yang
disimbolkan sebagai momen batin dari dirinya sendiri, yang nenyingkapkan serta
memaklumkan hal yang disimbolkan dan dirinya sendiri dipenuhi oleh hal yang
disimbolkan, karena merupakan bentuk konkret eksisstensinya.
Selanjutnya merupakan pemahaman dari Bernard Lonergan. Bagi
Lonergan sebuah simbol adalah gambaran dari suatu objek nyata atau khayal yang
menggugah perasaan atau digugah oleh perasaan. Perasaan-perasaan berhubungan
dengan objek, satu sama lain dan dengan subjek.63 Menurut pandangan Lonergan,
simbol adalah ungkapan tertinggi atau perekam perasaan.64
Setelah membaca dan memahami pandangan-pandangan dari para ahli dari
beberapa sumber-sumber tentang simbol, maka peneliti pada pemahaman tentang
58 Dilistone, “The Power of Symbols”, 130. 59 Karl Rahner, “Theological Investigation Vol IV”, (London: Darton, Longman and
Todd, 1966), 235. 60 Rahner, “Theological Investigation Vol IV”, 239. 61 Dilistone, “The Power of Symbols”, 135. 62 Rahner, “Theological Investigation Vol IV”, 252. 63 Bernard Lonergan, “Method in Theology”, (London: Darton, Longman and Todd,
1972), 64. 64 Dilistone, “The Power of Symbols”, 138.
16
simbol adalah bahwa kedekatan manusia dengan simbol sangatlah erat karena
dapat dirasakan oleh benda-benda yang ada dalam kehidupan manusia sehari-hari.
Simbol juga merupakan sesuatu yang khas, sehingga dapat berkomunikasi untuk
hal-hal yang baik antar sesama dan juga alam, terkhususnya kepada Sang
Pencipta.
III. HASIL PENELITIAN
3.1. Gambaran Tempat Penelitian
Jemaat Gunung Sinai Naikolan (JGSN) adalah jemaat yang berada dalam
lingkup pelayanan Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), Rayon IV Klasis Kota
Kupang. Jemaat Gunung Sinai Naikolan (JGSN) menjadi jemaat yang mandiri
dalam pelayanannya sejak 31 Mei 2009, setelah dimekarkan dari Jemaat Imanuel
Oepura (JIO) sebagai jemaat induk.
Ide awal untuk mendirikan Gereja Gunung Sinai Naikolan pertama kali
dicetuskan Ketua Majelis Sinode Harian GMIT, Bpk. Pdt. Thobias Messak. Pada
awalnya, Jemaat Gunung Sinai Naikolan (JGSN) adalah bagian dari anggota
Jemaat Imanuel Oepura (JIO) yang berada di dalam 3 (tiga) Persekutuan Lingkup
Jemaat (Rayon) yakni Rayon 18, 19, dan 20 dengan jumlah Kepala Keluarga
(KK) pada tahun 2005 tercatat sebanyak 200 KK atau ± 732 jiwa, dan terus
tumbuh berkembang menjadi 235 KK atau ± 1000 jiwa pada saat pemandirian
tahun 2009.65 Rayon 18, 19, dan 20 Jemaat Imanuel Oepura adalah 3 rayon yang
memiliki wilayah pelayanan yang berdekatan satu dengan yang lainnya di wilayah
Kelurahan Naikolan dan Kelurahan Sikumana-Kecamatan Maulafa-Kota Kupang.
Seiring berjalannya waktu dan pesatnya pertumbuhan jumlah anggota jemaat,
khususnya jemaat di Rayon 18, 19, dan 20 (JIO), maka pembentukan mata jemaat
baru menjadi suatu kebutuhan mutlak. Pemekaran jemaat menjadi satu-satunya
opsi (pilihan) demi meningkatkan pelayanan yang lebih fokus dan terpadu kepada
jemaat.
Pada Juni 2005 terbentuklah panitia untuk membangun Pos Pelayanan
yang secara legal dilegitimasi dengan Surat Ketetapan Majelis Jemaat Imanuel
65 Arsip Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan tahun 2018.
17
Oepura No 09/GMIT/SK-JIO/2005 tentang Komposisi Personalia Panitia
Pembangunan Pos Kebaktian Rayon 18, 19, dan 20 Jemaat Imanuel Oepura yang
telah direvisi pada tanggal 23 Maret 2006. Dan sejak tahun 2005 pula Pos Pelayan
tersebut mulai melakukan aktifitas pelayanan kepada jemaat ketiga rayon.66
Pada persidangan Lengkap Majelis JIO tahun 2005, pemekaran ketiga
rayon JIO diusulkan secara resmi oleh Komisi Pengembangan Jemaat JIO yang
diketuai oleh Pnt. Alex Bureni, SH. Menindaklanjuti penetapan pleno majelis
pada persidangan tersebut maka dibentuklah Panitia Pembangunan Pos Pelayanan
JIO dengan Surat Keputusan JIO No. 09/GMIT/SK-JIO/2005 tanggal 12 Maret
2005 dengan mengangkat Pnt. Ir. Esthon L. Foenay, M.Si. sebagai Ketua Umum
dan Drs. Ady Endezon Mandala, M.Si. sebagai Ketua Pelaksana Pembangunan
serta susunan kepanitiaan yang dilengkapi dengan seksi-seksi guna mendukung
kelancaran pembangunan.
Peletakan batu pertama Pembangunan Rumah Kebaktian JGSN dilakukan
pada 15 Agustus 2005. Dan atas kerja keras Panitia Pembangunan dan partisipasi
jemaat, Pembangunan Rumah Kebaktian JGSN rampung dalam kurun waktu yang
tidak terlalu lama: 3 (tiga) tahun 11 (sebelas) bulan 19 (sembilanbelas) hari. Pada
Minggu tanggal 31 Mei 2009, Jemaat Gunung Sinai Naikolan resmi dithabiskan
menjadi sebuah jemaat mandiri yang memperhadapkan Pendeta Ch. S. V. Lada-
Messakh, SSi.Teol. sebagai Pelayan Jemaat dan sekaligus menjabat sebagai Ketua
Majelis Jemaat Gunung Sinai Naikolan periode 2009-2014.
Pada tanggal 3 Agustus 2009 dilakukan pengresmian dan pentabisan
Rumah Kebaktian Jemaat Gunung Sinai Naikolan yang ditandai dengan
penandatanganan prasasti oleh Gubernur Nusa Tenggara Timur, Drs Frans Lebu
Raya, yang diwakili oleh Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Propinsi Nusa
Tenggara Timur, Ir. Benny Ndoen Boey dan Ketua Majelis Sinode Gereja Masehi
Injili di Timor, Dr. Eben Nuban Timo. Berdasarkan data statistik Jemaat Gunung
66 Arsip Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan tahun 2018.
18
Sinai Naikolan tahun 2018, jumlah jemaat 1.427 jiwa yang tersebar dalam 6
Rayon dan jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 318 KK. 67
3.2. Sejarah Budaya Sirih Pinang
Budaya dan tradisi merupakan identitas dari masyarakat yang tidak boleh
dihilangkan. Secara harafia, budaya adalah cara hidup hidup sekelompok
masyarakat yang berkembang dan diwariskan secara turun-temurun dari generasi
ke generasi. Hal ini juga berlaku dalam budaya atau tradisi Mamat atau tradisi
makan sirih pinang. Tradisi Mamat (makan pinang) bagi orang Timor adalah
sebuah warisan budaya sejak zaman nenek moyang. Sebagai masyarakat yang
melestarikan budaya atau tradisi Mamat, tentunya mengetahui sejarah serta
memiliki pengalaman dalam memakan sirih pinang. Dari hasil penelitian, terdapat
pemahaman jemaat terhadap sejarah serta pengalaman memakan sirih pinang,
manfaat sirih pinang, perkembangan sirih pinang dalam kehidupan bersosial, dan
nilai-nilai yang terkandung dalam budaya sirih pinang.
1. Sejarah serta pengalaman memakan sirih pinang
Sirih pinang sudah ada sejak dahulu kala, sejak zaman nenek moyang dan
sudah menjadi tradisi turun temurun atau sudah menjadi kebiasaan bagi
masyarakat Timor.68 Sirih Pinang jika dilihat dari adat atau kebudayaan orang
Timor adalah sebagai langkah awal untuk membuka sebuah komunikasi yang
baik, atau dengan kata lain sirih pinang sebagai alat penyambutan dan sebagai alat
penghubung dalam satu pertemuan sebelum memulai satu pembicaraan. Sirih
pinang juga merupakan sebuah lambang kehormatan serta lambang persatuan.
Sirih pinang di sisi lain yang menjadi hal utama ialah merupakan fondasi budaya
67 Arsip Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan tahun 2018. 68 Hasil wawancara dengan Ibu Nona Amtiran. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai
Naikolan. Kupang, 13 April 2019. Pukul 15.00 WITA. Bapak Mesakh Kolis. Anggota Jemaat
GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 18 April 2019. Pukul 09.00 WITA. Bapa Christopel
Kolis. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 18 April 2019. Pukul 09.30
WITA. Bapak Imanuel Kolis. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang 18 April
2019. Pukul 10.00 WITA. Bapak Alex Tasuib. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan.
Kupang, 30 April 2019. Pukul 17.25 WITA. Bapak Thomas Tefu. Anggota Jemaat GMIT Gunung
Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.00 WITA. Sdr. Febrianto Bajang. Anggota
Jemaat GMIT G unung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.30 WITA. Sdr. Adypapa
Blegur. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 20.15
WITA.
19
ramah tamah atau fondasi nilai sosial dari masyarakat khususnya masyarakat
Timor. Dalam hal ini juga sirih pinang menjadi kunci utama bagi masyarakat
NTT.69
2. Manfaat sirih pinang dalam kehidupan bersosial.
Sirih pinang dapat dikatakan sebagai alat pemersatu atau alat penghubung.
Sirih pinang ini juga bermanfaat untuk kesehatan. Menurut orang tua dulu atau
nenek moyang, sirih pinang ini dapat memperkuat gigi. Selain untuk gigi, sirih
pinang juga dapat digunakan untuk penghilang bau mulut. Sirih pinang dalam
hubungan sosial kemasyarakatan juga dapat mempererat hubungan sesama,
sebagai bentuk kerendahan hati, dan sirih pinang ini juga dapat menjadi simbol
atau tanda permintaan maaf. Manfaat lain dari budaya sirih pinang adalah sebagai
simbol perdamaian.70
3. Perkembangan sirih pinang dalam kehidupan bersosial
Perkembangan sirih pinang semakin hari semakin memudar, karena anak-
anak zaman sekarang sudah tidak mau lagi untuk mengenal atau mencari tahu
tentang adat atau budaya. Mereka menganggap bahwa yang mengkonsumsi sirih
pinang itu hanyalah orang kampung. Sirih pinang kalau dalam hal sosial itu
mengikat persaudaraan kita. Dalam sejarahnya budaya orang Timor ketika
bertamu yang disuguhkan pertama adalah sirih pinang. Namun seiring
69 Hasil wawancara dengan Bapak Mesakh Kolis. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai
Naikolan. Kupang, 18 April 2019. Pukul 09.00 WITA. Bapa Christopel Kolis. Anggota Jemaat
GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 18 April 2019. Pukul 09.30 WITA. Bapak Imanuel Kolis.
Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang 18 April 2019. Pukul 10.00 WITA. Ibu
Oma Illu. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 18.40
WITA. 70 Hasil wawancara dengan Ibu Nona Amtiran. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai
Naikolan. Kupang, 13 April 2019. Pukul 15.00 WITA. Bapak Mesakh Kolis. Anggota Jemaat
GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 18 April 2019. Pukul 09.00 WITA. Bapa Christopel
Kolis. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 18 April 2019. Pukul 09.30
WITA. Bapak Alex Tasuib. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April
2019. Pukul 17.25 WITA. Bapa Edy Illu. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. 30 April
2019. Pukul 18.00 WITA. Ibu Ema Illu. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang,
20 April 2019. Pukul 18.20 WITA. Bapa Thomas Tefu. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai
Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.00 WITA. Sdr. Febrianto Bajang. Anggota Jemaat
GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.30 WITA. Sdr. Elen Momay.
Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.50 WITA. Sdr.
Adypapa Blegur. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul
20.15 WITA.
20
berkembangnya zaman, sirih pinang mulai digantingan oleh kopi, teh, dan
permen.71
4. Nilai-nilai yang terkandung dalam budaya sirih pinang.
Nilai pemersatu, bagi orang Timor atau masyarakat NTT sirih pinang
memiliki nilai yang dapat mempersatukan sesama manusia. Sirih pinang juga
merupakan suatu kebutuhan yang dapat memperdamaikan hal-hal yang bernilai
konflik. Disisi lain, sirih pinang memiliki nilai keakraban, serta mampu
melancarkan sebuah komunikasi. Sirih pinang juga dipandang sebagai alat untuk
menghargai sesama manusia.72
Oleh karena itu, sirih pinang tidak boleh dihilangkan karena merupakan
identitas budaya masyarakat NTT, sehingga jika sirih pinang hilang maka
identitas budaya pun akan hilang. Sirih pinang juga menjadi ciri khas masyarakat
NTT dan menjadi simbol atau alat penghubung dan pemersatu antar sesama
masyarakat yang ada di NTT khususnya Kota Kupang. Sehingga sirih pinang
untuk adat atau tradisi Timor tidak dapat dipisahkan.73
3.3. Makna Sirih Pinang Sebagai Simbol Keramahtamahan Menurut Jemaat
GMIT Gunung Sinai Naikolan.
Masyarakat NTT Khususnya di jemaat GMIT Gunung Sinai mengartikan
sirih pinang sebagai lambang atau simbol pemersatu, sebab ada berbagai macam
71 Hasil Wawancara dengan Ibu Nona Amtiran. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai
Naikolan. Kupang, 13 April 2019. Bapa Thomas Tefu. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai
Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.00 WITA. 72 Hasil wawancara dengan Ibu Nona Amtiran. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai
Naikolan. Kupang, 13 April 2019. Pukul 15.00 WITA. Bapak Mesakh Kolis. Anggota Jemaat
GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 18 April 2019. Pukul 09.00 WITA. Bapa Christopel
Kolis. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 18 April 2019. Pukul 09.30
WITA. Bapak Alex Tasuib. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April
2019. Pukul 17.25 WITA. Bapa Edy Illu. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. 30 April
2019. Pukul 18.00 WITA. Bapa Thomas Tefu. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan.
Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.00 WITA. Sdr. Febrianto Bajang. Anggota Jemaat GMIT
Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.30 WITA. Sdr. Elen Momay. Anggota
Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.50 WITA. Sdr. Adypapa
Blegur. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 20.15
WITA. 73 Hasil wawancara dengan Bapak Alex Tasuib. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai
Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 17.25 WITA. Sdr. Febrianto Bajang. Anggota Jemaat
GMIT unung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.30 WITA.
21
suku di Indonesia yang ada di dalam jemaat Gunung Sinai. Bukan hanya sebagai
simbol pemersatu, tetapi jemaat GMIT Gunung Sinai juga menganggap sirih
pinang sebagai simbol keramahtamahan dalam kehidupan bersosial. Berikut
beberapa penjelasan pandangan jemaat tentang sirih pinang sebagai simbol
keramahtamahan dan pemahaman jemaat tentang sirih pinang sebagai simbol
keramahtamahan yang dapat membentuk perilaku jemaat.
1. Pandangan tentang sirih pinang sebagai simbol keramahtamahan
Sirih pinang sebagai simbol keramahtamahan dianggap sangat penting
menurut jemaat GMIT Gunung Sinai. Ramah tamah dalam sirih pinang, dilihat
dari sisi orang Timor atau masyarakat NTT artinya saling menghargai dan
menghormati antar sesama. Sirih pinang menjadi simbol keramahtamahan karena
didalamnya terkandung sikap sopan santun. Bagi masyarakat NTT jika belum ada
sirih pinang maka nilai sopan santun menjadi berkurang atau bahkan akan dinilai
bahwa tidak memiliki keramahtamahan dalam menyambut tamu.74
Sirih pinang merupakan pembuka keramahmatahan pertama yang artinya
sudah mencakup segala aspek seperti membuka wawasan, keakraban, serta
komunikasi dan adat pun sudah terbentuk di dalamnya. Keramahtamahan
merupakan simbol tanda kasih. Sirih pinang ini sebagai pelancar ramahtamah
serta memperlancar komunikasi.75 Memiliki kebiasaan memakan sirih pinang itu
merupakan budaya atau alat utama untuk membuka ramah tamah pertama. Sirih
pinang dianggap sebagai pembuka suatu perbincangan antara satu individu
dengan individu yang lain atau satu individu dengan satu kelompok.76
Bagi jemaat GMIT Gunung Sinai memulai dengan memakan sirih pinang
maka ketika mengakhiri juga harus dengan memakan sirih pinang itulah bentuk
keramahtamahan. Sirih pinang ini juga sebagai keramahtamahan karena jika
74 Hasil wawancara dengan Ibu Nona Amtiran. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai
Naikolan. Kupang, 13 April 2019. Pukul 15.00 WITA. 75 Hasil wawancara dengan Bapak Mesakh Kolis. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai
Naikolan. Kupang, 18 April 2019. Pukul 09.00 WITA. Bapa Christopel Kolis. Anggota Jemaat
GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 18 April 2019. Pukul 09.30 WITA. Bapak Alex Tasuib.
Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 17.25 WITA. 76 Hasil wawancara dengan Bapak Christopel Kolis. Anggota Jemaat GMIT Gunung
Sinai Naikolan. Kupang, 18 April 2019. Pukul 09.30 WITA.
22
datang dan tidak membawa sirih pinang maka seperti ada yang kurang atau
pertemuan tersebut terasa belum lengkap dan belum diterima atau dianggap
sebagai orang asing dalam pertemuan. Sehingga keramahtamahan tidak
ditemukan atau dengan kata lain jika sirih pinang tidak ada maka suatu maksud
yang ingin disampaikan masih tertutup.77
Jemaat GMIT Gunung Sinai percaya bahwa dengan sirih pinang
komunikasi menjadi tidak tertutup dan dengan sirih pinang juga suatu pertemuan
dapat berakhir dengan baik. Sudah mencakup semua aspek jika kita
mendahulukan sirih pinang. Karena simbol keramahtamahan dalam sirih pinang
ini tinggi sekali.78 Jadi sirih pinang ini merupakan adat dan juga sebagai alat
pemersatu. Sehingga jika sirih pinang tidak ada, maka satu sama lain akan
menjadi acuh.79
2. Pemahaman jemaat tentang sirih pinang sebagai simbol keramahtamahan
dalam lingkungan bergereja yang dapat membentuk perilaku jemaat.
Sirih pinang sebagai simbol keramahtamahan dalam lingkungan
bergereja menurut beberapa jemaat GMIT Gunung Sinai sangatlah relatif, semua
tersebut tergantung dari lingkungan, atau dari yang utama keluarga kecil dulu.
Bagaimana memberikan pemahaman tentang arti sirih pinang itu sendiri,
kemudian dari lingkungan keluarga kecil akan merambat ke lingkungan keluarga
besar seperti acara-acara keluarga. Dalam kondisi seperti pertemuan-pertemuan
keluarga pasti disuguhkan sirih pinang, sehingga untuk itu sebagai orang yang
tahu akar budaya sirih pinang tersebut mencoba menjelaskan tentang budaya serta
tradisi kita kepada mereka. Jadi semuanya kembali ke keluarga kemudian barulah
gereja bisa mengambil tindakan lain untuk memperkuat pemahaman budaya yang
ada. Seperti ketika diacara keluarga tidak memiliki larangan atau bebas
77 Hasil wawancara dengan Bapak Mesakh Kolis. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai
Naikolan. Kupang, 18 April 2019. Pukul 09.00 WITA. Bapak Imanuel Kolis. Anggota Jemaat
GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang 18 April 2019. Pukul 10.00 WITA. Bapa Thomas Tefu.
Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.00 WITA. Sdr.
Elen Momay. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul
19.50 WITA. 78 Hasil wawancara dengan Sdr. Febrianto Bajang. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai
Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.30 WITA. 79 Hasil wawancara dengan Ibu Ema Illu. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan.
Kupang, 20 April 2019. Pukul 18.20 WITA.
23
mengkonsumsi sirih pinang tetapi dalam lingkungan gereja kita harus menjaga
kebersihan lingkungan gereja. Sirih pinang dalam lingkungan gereja atau jemaat
ini berhubungan dengan budaya dan tempat, atau memiliki tatakrama budaya dan
tempat, sehingga terlepas dari hal tersebut mungkin tetap mempertahankan
komunikasi, juga sudah mempertahankan jangan mengotori rumah atau Bait
Allah.80
Tetapi ada juga beberapa jemaat yang menyarankan gereja untuk tetap
membudidayakan dan mendukung tradisi Mamat atau makan sirih pinang. Gereja
itu benar harus dan tetap merawat dan melestarikan sirih pinang bagi jemaatnya
untuk memperindah struktur hubungan masyarakat sosial di tingkat jemaat karena
sirih pinang ini sudah mendarah daging atau merupakan identitas masyarakat
NTT. Gereja masih mempertahankan budaya sirih pinang sebagai nilai-nilai
pembentuk perilaku jemaat agar jemaat tetap ramah dan tetap eksis dalam budaya
ketimurannya dalam gereja, karena gereja dapat memaparkan beberapa aspek
penting secara teologis bahwa sirih pinang ini termasuk salah satu tanaman yang
ada di Taman Eden yang diberkati. Jika gereja yang mengelolah maka tujuannya
indah dan diberkati Tuhan.81 Oleh karena itu, terdapat masukan-masukan tentang
cara agar tradisi Mamat atau budaya makan sirih pinang ini tetap dilestarikan
khususnya kepada jemaat yang kurang mengenal budaya atau tradisi Mamat.
1. Mencoba menjelaskan tentang tradisi Mamat atau budaya asli sirih pinang di
gereja atau di mana saja bahwa sirih pinang adalah simbol persatuan, serta
nilai keramahtamahan juga termasuk dalam tradisi Mamat tersebut.82
80 Hasil wawancara dengan Ibu Nona Amtiran. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai
Naikolan. Kupang, 13 April 2019. Pukul 15.00 WITA. Bapa Christopel Kolis. Anggota Jemaat
GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 18 April 2019. Pukul 09.30 WITA. Bapak Imanuel Kolis.
Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang 18 April 2019. Pukul 10.00 WITA.
Bapak Alex Tasuib. Anggot Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul
17.25 WITA. Sdr. Febrianto Bajang. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30
April 2019. Pukul 19.30 WITA. Sdr. Adypapa Blegur. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai
Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 20.15 WITA. 81 Hasil wawancara dengan Bapak Mesakh Kolis. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai
Naikolan. Kupang, 18 April 2019. Pukul 09.00 WITA. Bapa Thomas Tefu. Anggota Jemaat GMIT
Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.00 WITA. 82 Hasil wawancara dengan Ibu Nona Amtiran. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai
Naikolan. Kupang, 13 April 2019. Pukul 15.00 WITA. Ibu Ema Illu. Anggota Jemaat GMIT
Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 18.20 WITA. Ibu Oma Illu. Anggota
Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 18.40 WITA. Sdr. Elen
24
2. Harus menyediakan sirih pinang, dan sebelum melaksanakan ibadah
mungkin dapat memulai dengan bersama-sama memakan sirih pinang
terlebih dahulu. Kemudian, ketika ada tamu yang datang ke gereja harus
sambut dengan oko mamat dan sirih pinang.83
3. Belajar untuk mengkonsumsi sirih pinang sehingga dapat tahu dan rasakan
manfaat dari sirih pinang ini.84
Melalui penjelasan diatas yaitu, keramahtamahan dalam tradisi makan
sirih pinang sangat penting karena dapat memberi nilai positif bagi jemaat GMIT
Gunung Sinai, dapat di simpulkan bahwa keramahtamahan yang terkandung
dalam tradisi makan sirih pinang perlu diteruskan untuk generasi berikutnya
karena dengan memakan sirih pinang bersama, banyak manfaat yang didapatkan,
tidak ada lagi yang namanya membedakan status sosial, sebab dengan memakan
sirih pinang bersama itu artinya semua sama dan bahwa dengan makan sirih
pinang bersama sebenarnya lebih kepada penerimaan dan menghargai antara
sesama makhluk ciptaan Tuhan. Keramahtamahan dalam tradisi Mamat juga dapat
menciptakan keakraban serta menciptakan kehidupan yang rukun dan damai
antara sesama manusia.
IV. ANALISA
4.1. Pandangan Jemaat GMIT Gunung Sinai Mengenai Tradisi MAMAT
atau Memakan Sirih Pinang Sebagai Simbol Keramatamahan.
Masyarakat adalah sekumpulan individu-individu yang hidup bersama
dalam waktu yang sangat panjang dan memiliki budaya atau tradisi yang ditaati
dalam lingkungannya. Demikian pula dengan masyarakat NTT yaitu, Kota
Kupang terkhususnya di Jemaat GMIT Gunung Sinai yang hidup dengan budaya
atau tradisi mereka yaitu tradisi Mamat. Tradisi Mamat bagi orang Timor adalah
sebuah warisan budaya sejak zaman nenek moyang yang harus tetap
dibudidayakan atau dilestarikan. Tradisi Mamat atau tradisi makan sirih pinang
Momay. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.50
WITA. 83 Hasil wawancara dengan Bapak Thomas Tefu. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai
Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.00 WITA. 84 Hasil wawancara dengan Sdr. Febrianto Bajang. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai
Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.30 WITA.
25
bagi masyarakat NTT khususnya Jemaat GMIT Gunung Sinai dimengerti sebagai
simbol keramahtamahan. Keramahtamahan yang dimaksud adalah cara untuk
menghubungkan hubungan antara yang satu dengan yang lain atau diri sendiri
dengan orang asing.
Dengan adanya tradisi Mamat sebagai simbol keramahtamahan, tentunya
dapat membuat masyarakat menjadi lebih dekat atau dapat menjalin keakraban
satu sama lain dengan baik. Hal ini sesuai dengan teori dari Derrida yang
mengatakan bahwa keramahtamahan adalah etika itu sendiri yang akan merujuk
kepada penerimaan atau empati terhadap sesama. Gagasan utama dari
keramahtamahan adalah penerimaan atau empati. Empati adalah kemampuan
dengan berbagai definisi yang berbeda yang mencakup spektrum yang luas,
berkisar pada orang lain yang menciptakan keinginan untuk menolong sesama,
mengalami emosi yang serupa dengan emosi orang lain, mengetahui apa yang
orang lain rasakan dan pikirkan sehingga mengaburkan garis antara dirinya dan
orang lain. Hal ini juga dialami oleh masyarakat NTT khususnya jemaat GMIT
Gunung Sinai, yang mengatakan bahwa dengan tadisi makan sirih pinang artinya
sudah saling menerima satu dengan yang lain serta tidak ada lagi perbedaan dalam
kelompok tersebut.
Pengertian keramahtamahan adalah etika atau budaya itu sendiri,
kermahtamahan juga merupakan definisi struktur yang mengatur hubungan antara
di dalam dan di luar; dalam artian antara pribadi dan publik. Demikian juga
dengan tradisi Mamat, jika berkunjung ke rumah orang lain dan tidak membawa
atau tidak menyuguhkan sirih pinang maka seperti ada yang belum kurang atau
pertemuan itu belum lengkap dan belum diterima atau dianggap sebagai orang
asing. Keramahtamahan berarti membiarkan yang lain masuk ke diri sendiri atau
ke ruang milik sendiri. Hal tersebut pun terjadi dalam tradisi Mamat, ketika sirih
pinang telah disuguhkan dan telah makan sirih pinang bersama artinya sudah ada
penerimaan dalam pertemuan tersebut, sehingga komunikasi tidak menjadi
tertutup atau dengan sirih pinang suatu pertemuan dapat berakhir dengan baik.
Keramahtamahan dapat (dan memang) memperkuat ikatan antara mereka yang
secara budaya sama serta yang datang dengan perbedaan. Keramahtamahan juga
26
sering dilihat sebagai lambang atau simbol perdamaian dan penerimaan (empati
terhadap sesama) sehingga, dalam tradisi Mamat keramahtamahan dijadikan
sebagai simbol untuk memperkuat tujuan dari tradisi tersebut.
Simbol mempunyai peran yang sangat penting dalam urusan-urusan
manusia: manusia dapat menata dan menafsirkan realitasnya dengan simbol-
simbol dan bahkan merekonstruksi realitasnya tersebut dengan simbol. Tradisi
Mamat sebagai simbol, karena merupakan identitas budaya masyarakat NTT,
sehingga jika tradisi tersebut hilang maka identitas masyarakatpun akan hilang.
Raymond Firth mengatakan bahwa sebuah simbol kadang-kadang dapat
memenuhi suatu fungsi yang lebih bersifat privat dan individual. Hal tersebut juga
ada dalam tradisi Mamat, sirih pinang merupakan lambang kehormatan dan
lambang persatuan. Sirih pinang merupakan fondasi budaya ramah tamah atau
fondasi nilai sosial dari masyarakat khususnya masyarakat Timor. Dalam hal ini
sirih pinang menjadi kunci utama bagi masyarakat NTT khususnya jemaat GMIT
Gunung Sinai. Tradisi Mamat juga dapat membantu seseorang yang sedang
mengalami perselisihan dengan orang lain, ketika datang dan ingin meminta maaf
serta menyuguhkan sirih pinang sirih pinang terlebih dahulu dapat membuat
susasana menjadi lebih damai, sehingga tradisi makan sirih pinang juga dianggap
sebagai simbol perdamaian atau tanda permintaan maaf yang bersifat individual.
Simbol tidak memisahkan ketika mengantarai, tetapi mempersatukan dengan
segera, sebab simbol yang sejati dipersatukan dengan hal yang disimbolkan,
karena hal yang disimbolkan membentuk simbol sebagai realitas dirinya sendiri.
Hal ini juga ada dalam tradisi Mamat sebagai simbol keramahtamahan, bagi
jemaat GMIT Gunung Sinai simbol keramahtamahan yang ada dalam tadisi
makan sirih pinang sangatlah tinggi, karena sirih pinang merupakan pembuka
keramahtamahan yang mencakup segala aspek seperti membuka wawasan,
keakraban, komunikasi, bahkan adat atau budaya pun sudah terbentuk
didalamnya.
Tradisi Mamat atau makan sirih pinang sebagai simbol keramahtamahan
dalam konteks Jemaat GMIT Gunung Sinai sangat memiliki makna dan peran
yang tidak hanya satu. Tradisi Mamat menjadi simbol keramahtamahan yang
27
mencakup segala aspek atau bidang seperti bidang komunikasi, bidang agama
yaitu ritual, dan bidang sosial lain seperti persahabatan bagi Jemaat GMIT
Gunung Sinai karena dilihat dan diteliti dari berbagai pandangan. Hal ini pun
sesuai dengan teori dari Clifford Greetz yang mengatakan bahwa simbol dapat
didefinisikan sebagai objek, tindakan, peristiwa, sifat, atau hubungan yang dapat
berperan sebagai wahana suatu konsepsi dan konsepsi ini adalah makna simbol.
Dengan demikian tradisi makan sirih pinang ada dan hadir dalam kehidupan
Jemaat GMIT Gunung Sinai yang selalu menggunakan sirih pinang sebagai
simbol keramahtamahan dalam kehidupan bersosial sehari-hari.
Tradisi Mamat memiliki acuan budaya sehingga masyarakat NTT
Khususnya Jemaat GMIT Gunung Sinai menggunakannya sebagai simbol
keramahtamahan dalam menjalani kehidupan sehari-hari yang mana simbol
keramahtamahan itu dapat selalu dilihat, dirasakan. Hal ini pun sesuai dengan
teori dari Budiaono Herusatoto yang mengatakan bahwa simbol yang berupa
benda, keadaan, atau hal sebenarnya bebas terlepas dari tindakan manusia, tetapi
sebaliknya tindakan manusia harus selalu mempergunakan simbol-simbol sebagai
media penghantar dalam komunikasi antar sesama. Budaya atau tradisi makan
sirih pinang sudah ada sejak dahulu kala dan sudah digunakan atau diterapkan
oleh masyarakat NTT khususnya Jemaat GMIT Gunung Sinai. Berdasarkan hasil
penelitian tradisi makan sirih pinang bagi jemaat Gunung Sinai mengalami
pergeseran makna yang awalnya hanya sebagai kebiasaan karena merupakan
budaya berubah menjadi suatu simbol pemersatu serta penerimaan dan lebih
khususnya menjadi simbol keramhatamahan. Hal tersebut sesuai denga teori dari
para ahli seperti Raymond Fitrh dan Mary Douglas yang mengatakan bahwa
perubahan pada simbol mengalami pergeseran dari generasi ke generasi
berikutnya.
Berdasarkan hasil studi teoritis dan hasil penelitian lapangan, ada beberapa
faktor yang menarik dari hasil penelitian tentang pandangan jemaat Gunung Sinai
terhadap tradisi Mamat sebagai simbol keramhtamahan. Pertama, tidak
melestarikan tradisi Mamat atau makan sirih pinang, sama artinya dengan
menghilangkan identitas diri. Menurut masyarakat NTT khususnya jemaat GMIT
28
Gunung Sinai, sirih pinang merupakan identitas mereka sebagai masyarakat NTT.
Sehingga jika menghilangkan tradisi makan sirih pinang berarti menghilangkan
adat istiadat atau budaya.
Kedua, penolakan terhadap ajakan makan sirih pinang atau tradisi Mamat
merupakan sikap tidak menghargai karena tidak memiliki sopan santun dan tata
krama atau dapat dikatakan penolakan terhadap ajakan makan sirih pinang atau
tradisi Mamat berarti menolak akan adanya sikap ramah tamah. Masyarakat NTT
khususnya jemaat GMIT Gunung Sinai membangun kekerabatan, persahabatan
dan sikap saling menghargai melalui tradisi Mamat, karena melalui sirih pinang
ada komunikasi, rasa persaudaraan terkhususnya keramahtamahan yang terjalin
baik dalam kehidupan sosial masyarakat.
Ketiga, keramahtamahan yang terkandung dalam tradisi Mamat
merupakan tanda cinta kasih yang terjadi secara spontan. Ketika saling memberi
atau menyuguhkan sirih pinang artinya terdapat sebuah keramahtamahan berupa
cinta kasih saling menerima satu sama lain sehingga tidak terdapat lagi perbedaan
antara satu dan yang lain. Keempat, tradisi Mamat atau makan sirih pinang
sebagai simbol penerimaan dan alat pemersatu bagi mayarakat NTT Khususnya
jemaat GMIT Gunung Sinai yang menggunakan sirih pinang sebagai alat untuk
membangun hubungan baik antar sesama.
Kelima, sirih pinang sebagai simbol perdamaian. Secara ritual adat
masyarakat NTT sirih pinang serta tempat sirih (Oko Mamat) untuk berdamai
dengan sesama jika terdapat peselisihan, berdamai dengan alam, roh leluhur.
Masyarakat NTT percaya bahwa ketika saling menyuguhkan serta makan sirih
pinang bersama dapat membuat suasana emosi atau dapat membuat amarah
menjadi redah dan suasana menjadi tentram dan damai. Dengan kata lain ketika
menyuguhkan dan makan sirih pinang bersama ada tanda penghormatan dan
saling menghargai.
Keenam, jemaat GMIT Gunung Sinai percaya bahwa dengan tetap
melestarikan tradisi Mamat dapat membentuk perilaku jemaat khususnya jemaat
atau masyarakat yang kurang mengenal tradisi Mamat. Membudidayakan dan
29
melestarikan tradisi Mamat dengan cara memberi dan memakan sirih pinang
bersama artinya sudah ada keramahtamahan yang terjalin dengan baik dari saling
menghargai, menghormati, menerima, mengasihi sesama. Tradisi Mamat bukan
hanya sekedar memberi dan makan bersama tetapi memiliki banyak nilai-nilai
positif yang dapat membentuk perilaku jemaat menjadi lebih baik dalam bersosial.
Tradisi Mamat merupakan adat istiadat berupa sajian tradisional bagi
masyarakat NTT khususnya jemaat GMIT Gunung sinai. Tradisi Mamat atau
makan sirih pinang digunakan sebagai alat, lambang atau simbol keramahtamahan
dalam kehidupan sehari-hari karena memiliki berbagai nilai-nilai positif yang
dapat mempersatukan dan membentuk perilaku masyarakat seperti saling
menerima dan menghargai perbedaan. Selain itu tradisi Mamat juga sebagai
simbol pemersatu, penerimaan, pendamaian, tanda kasih, penghormatan,
komunikasi, serta dalam tradisi makan sirih pinang tidak ada lagi perbedaan
terhadap status sosial dalam masyarakat.
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang dijelaskan diatas, dapat disimpulkan bahwa
kehidupan masyarakat NTT terkhususnya jemaat GMIT Gunung Sinai
dipengaruhi oleh budaya atau tradisi karena memiliki nilai-nilai positif yang
mencakup relasi sosial antara sesama dalam kehidupan bersosial di zaman
modern. Hal ini terbukti dengan adanya tradisi Mamat atau makan sirih pinang
sebagai budaya tradisional yang masih ada dan sangat kuat nilai keramahtamahan
yang ada dalam tradisi makan sirih pinang bersama.
Refleksi iman Kristen dan sikap terhadap tradisi makan sirih pinang
sebagai simbol keramahtamahan yang mempersatukan, menghormati dan saling
menghargai menunjukkan bahwa iman Kristen itu berinteraksi dengan relasi
sosial dan budaya sehingga budaya atau tradiri dan kekristenan tidak dapat
dipisahkan, karena kekristenan adalah bagian dari budaya itu sendiri. Hal tersebut
dapat diperjelas dengan saling memberikan dan memakan sirih pinang bersama,
kemudian sirih pinang yang merupakan suguhan pertama ketika bertemu dengan
30
kenalan maupun dengan para tamu. Dengan adanya tradisi Mamat masyarakat
saling berbaur tanpa melihat adanya perbedaan. Tradisi Mamat juga memberikan
sebuah perubahan yang baik untuk masyarakat khususnya untuk gereja karena
dapat mengajarkan tentang saling menerima dan saling menghargai tanpa
memandang status, tradisi makan sirih pinang bersama membuat masyarakat
dapat memiliki perilaku yang baik seperti mengasihi, menghargai, dan
menghormati sesama. Sirih pinang sebagai tanda awal pembuka pembicaraan,
penghormatan, dan penghargaan. Tradisi Mamat juga sebagai tanda awal bahwa
tuan rumah telah menerima tamu dengan tanda kasih seperti yang diajarkan dalam
Kekristenan. Sehingga tradisi makan sirih pinang bersama dapat membuat
perilaku masyarakat menjadi lebih positif dalam lingkungan masyarakat mauapun
lingkungan bergereja.
5.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan teori yang telah dianalisa dan dijelaskan,
maka saran yang dapat disampaikan oleh peneliti ialah;
1. Gereja
Gereja harus mempertahankan serta membudidayakan tradisi Mamat atau
makan sirih pinang karena memiliki nilai keramahtamahan yang terkandung
dalam tradisi makan sirih pinang. Tradisi Mamat atau makan sirih pinang memilik
makna yang luas serta dengan tradisi tersebut juga dapat membentuk perilaku
positif terhadap jemaat dalam berrelasi dengan sesama. Gereja harus terus
memberikan pemahaman tentang tradisi atau budaya-budaya lokal yang telah ada
bahwa budaya adalah identitas masyarakat dan juga identitas gereja sehingga
harus tetap untuk dilestarikan di kehidupan modern. Sehingga budaya yang telah
ada tidak memudar atau bahkan menghilang karena tawaran-tawaran budaya baru
dari perkembangan zaman yang semakin pesat.
2. Fakultas
Tulisan ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi sivitas
akademika, Fakultas Teologi berkaitan budaya Masyarakat NTT yaitu tradisi
31
Mamat atau makan sirih pinang yang kurang mendapat perhatian dalam penelitian-
penelitian terdahulu. Fakultas Teologi sebaiknya harus meningkatkan lagi
penelitian terhadap kebudayaan lokal yang ada, karena budaya dan kekristenan
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ini juga berkaitan dengan
mata kuliah Agama, Masyarakat dan IPTEK. Mata kuliah tersebut juga harus
memasukan berbagai materi tentang kebudayaan lokal yang tidak dapat dipisahkan
dari agama dan cara agar kebudayaan lokal tidak hilang ketika mengalami
perkembangan zaman sehingga tidak menimbulkan penyimpangan dalam
penilaian terhadap kebudayaan lokal.
32
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Bagus, Lorens. 2000. “Kamus Filsafat”. Jakarta: PT Gramedia.
Baron & Byrne. 2004. “Psikologi Sosial”. Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Basrowi. 2014. “Pengantar Sosiologi”. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.
C. Lewis. 2000. “Elementary Latin Dictionary”. Oxford: Oxford University
Press.
D. Engel. 2005. Metodologi Penelitian Sosial dan Teologi Kristen. Salatiga:
Widya Sari
Depertemen Pendidikan Dan Kebudayaan Pusat Penilitian Sejarah Dan Budaya
Proyek Penilitian Sejarah Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1981. Adat
istiadat Daerah Nusa Tenggara Timur. Jakarta
Dilistone, F.W. 2000. “The Power of Symbols”. Yogyakarta: Kanisius.
Douglas, Mary. 1973. “Natural Symbols: Explorations in Cosmology”. London:
Penguin Books.
Eisenberg, Nancy and Janet Strayer (ed). 1990. “Emphaty and its Development”.
New York: Press Syndicate of University of Cambridge.
Faisal, Sanapiah. 2010. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: Rajagrafindo
Persada
Firth, Raymond. 1973. “Symbol: Public and Private”. Ithaca, New York: Cornell
University Perss.
Greetz, Clifford. 1992. “Kebudayaan dan Agama”. Yogyakarta: Kanisius.
Herusatoto, Budiono. 2008. “Simbolisme Jawa”. Yogyakarta: Ombak.
Hodges , Sara D.& Kristi J. Klein. 2001. “Regulating the Cost of Empathy: the
Price of Being Human”. Journal of Sosio-Economic
33
Holland, Joe dan Peter Henroit SJ. 1986. Analisis Sosial & Refleksi Teologis –
Kaitan Iman dan Keadilan. Yogyakarta: Kanisius
Hook, Sydney (ed). 1962. “Religious Experience and Truth”. Edinburgh: Oliver
and Boyd.
J. S. Badudu, Sultan Mohammad Zain. 2001. Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Kana, Nico L.1983. Dunia Orang Sawu. Jakarta: Sinar Harapan
Laela, Nurhayati Dewi, Suhartati, dan Sunarto. 2007. “Fungsi dan Makna
Simbolis Genta Di
Jawa Tengah”. Semarang: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi
Jawa
Tengah.
Lonergan, Bernard. 1972. “Method in Theology”. London: Darton, Longman and
Todd.
Montandon, Alain. 2000. “L’hospitalite au XVIIe siecle”. France: Presses
Universitaires Blaise Pascal.
Nawawi. 2004. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogjakarta: Gajah Mada
University Press.
R.M Maclver. 1950. “Society”. Macmillan.
Rahner, Karl. 1966. “Theological Investigation Vol IV”. London: Darton,
Longman and Todd
Ricoeur, Paul. 1974. “The Conflicts of Interpretations”. Evanston: Nortwestern
University Press.
Ricoeur, Paul. 1970. “The Symbolism of Evil”. Boston: Beacon Press.
Soekanto, Soerjono. 2014. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers
34
Still, Judith. 2010. “Derrida and Hospitality – Theory and Practice”. Edinburgh:
Edinburgh University Press
Suharsimi, Arikunto. 2010. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta
Sutardi, Tedi. 2007. “Antropologi: Mengungkapkan Keragaman Budaya”.
Bandung: PT Setia Purnama Inves.
Tillich, Paul. 1965. “Ultimate Concern”. London: SCM Press.
INTERNET
Risal, 2018. Wilayah Administrasi.
http://v8.kupangkota.go.id/2018/10/15/wilayah- administrasi/. Akses
18-10-18. Pukul 17.30 dan 17.45 WITA
Risal, 2018. Sejarah Kota Kupang.
http://v8.kupangkota.go.id/2018/10/15/sejarah-kota-kupang-2/. Akses 17
10-18. Pukul 15.00 dan 15.10 WITA
Salukh, Leksi. 2017. Sirih Pinang, Simbol Penghargaan di Timor Tengah Selatan
https://www.kompasiana.com/leksisalukh/5976dae4da1e4a35384b0262/sir
ih-pinang-simbol-penghargaan?page=all. Akses 08-09-18. Pukul 19.00 WIB
Louis, Chevalier de Jaucourt: 2009. The Encyclopedia of Dderot & d’Alembert
Collaborative Traslation Project.
http://hdl.handle.net./2027/spo/did222/0002.761. Akses 12-03-19. Pukul
21.31 WIB
HASIL WAWANCARA
Hasil wawancara dengan Bapak Alex Tasuib. Anggota Jemaat GMIT Gunung
Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 17.25 WITA.
Hasil wawancara dengan Bapa Christopel Kolis. Anggota Jemaat GMIT Gunung
Sinai Naikolan. Kupang, 18 April 2019. Pukul 09.30 WITA.
35
Hasil wawancara dengan Bapak Edy Illu. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai
Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 18.00 WITA.
Hasil wawancara dengan Bapak Imanuel Kolis. Anggota Jemaat GMIT Gunung
Sinai Naikolan. Kupang 18 April 2019. Pukul 10.00 WITA.
Hasil wawancara dengan Bapak Mesakh Kolis. Anggota Jemaat GMIT Gunung
Sinai Naikolan. Kupang, 18 April 2019. Pukul 09.00 WITA.
Hasil wawancara dengan Bapak Thomas Tefu. Anggota Jemaat GMIT Gunung
Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.00 WITA.
Hasil wawancara dengan Ibu Ema Illu. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai
Naikolan. Kupang, 20 April 2019. Pukul 18.20 WITA.
Hasil wawancara dengan Ibu Nona Amtiran. Anggota Jemaat GMIT Gunung
Sinai Naikolan. Kupang, 13 April 2019. Pukul 15.00 WITA.
Hasil wawancara dengan Ibu Oma Illu. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai
Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 18.40 WITA.
Hasil wawancara dengan Sdr. Adypapa Blegur. Anggota Jemaat GMIT Gunung
Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 20.15 WITA.
Hasil wawancara dengan Sdri. Elen Momay. Anggota Jemaat GMIT Gunung
Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.50 WITA.
Hasil wawancara dengan Sdr. Febrianto Bajang. Anggota Jemaat GMIT Gunung
Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.30 WITA.