Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

45
i Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi Mamat Menurut Jemaat GMIT Gunung Sinai Oleh, NEFRIYANTI EMA PENNA 712015076 TUGAS AKHIR Diajukan kepada Program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi Guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi (S.Si-Teol) Program Studi Teologi FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2019

Transcript of Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

Page 1: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

i

Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan

dalam Tradisi Mamat Menurut Jemaat GMIT Gunung Sinai

Oleh,

NEFRIYANTI EMA PENNA

712015076

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi

Guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana

Sains Teologi

(S.Si-Teol)

Program Studi Teologi

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2019

Page 2: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

ii

Page 3: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

iii

Page 4: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

iv

Page 5: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

v

Page 6: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa,

karena kasih dan anugerah-Nya yang begitu melimpah dalam kehidupan penulis.

Secara khusus, penulis mengucapkan syukur karena penyertaanNya bagi penulis

selama penulis menjalani masa pendidikan di Fakultas Teologi Universitas

Kristen Satya Wacana (UKSW) hingga pada akhirnya penulis mampu

menyelesaikan perkuliahan dan penulisan Tugas Akhir dengan baik.

Tugas Akhir ini ditulis untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk

mencapai gelar Sarjana Sains dalam bidang Teologi (S.Si.Teol). Tugas Akhir ini

disusun dengan harapan karya tulis ini dapat membantu Jemat GMIT Gunung

Sinai, untuk lebih memahami dan memaknai keramahtamahan yang terkandung

dalam tradidi Mamat. Penulis juga berharap Tugas Akhir ini dapat berguna di

kemudian hari guna referensi atau sekedar menambah pengetahuan bagi

masyarakat maupun jemaat dalam memakan, menyuguhkan dan memahami

tradisi Mamat. Dalam seluruh rangkaian tulisan ini, penulis menyadari bahwa

tulisan ini jauh dari kesempurnaan sehingga diperlukan kritik dan saran agar

tulisan ini juga dapat terus dikembangkan menjadi lebih baik.

Dalam proses penulisan Tugas Akhir ini penulis banyak mendapatkan

bantuan baik dalam bentuk kritik, saran serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh

karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Tuhan Yesus Kristus yang oleh karena kasihNya selalu menolong dan

menuntun penulis dalam menjalani studi di Fakultas Teologi, Universitas

Kristen Satya Wacana (Agustus 2015 – Agustus 2019) sampai penulis

sudah menyelesaikan studi S1 dengan memperoleh gelar Sarjana Sains –

Teologi (S.Si – Teol).

2. Keluarga tercinta. Orang-orang terhebat Papa Jacob, Mama Sarci, Ka

Meyn, Ka Ve, Dede, Aldi, dan Gift yang selalu setia mendukung,

mendoakan penulis selama masa perkuliahan. Terima Kasih untuk cinta

dan kasih sayang kalian.

Page 7: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

vii

3. Untuk Alm. Te’o tercinta Neltji Talan-Penna yang selalu mendukung

untuk terus melangkah maju.

4. Pdt. Dr. Rama Tulus Pillakoannu dan Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo

yang telah menjadi dosen pembimbing penulis selama masa penulisan

Tugas Akhir ini. Terima kasih atas waktu, motivasi, saran dan kritik yang

diberikan kepada penulis. Mohon maaf jika ada perilaku yang kurang

berkenan selama masa bimbingan.

5. Dosen Wali, Pdt. Simon Julianto, M.Si yang telah menjadi orang tua

selama penulis menempuh studi di UKSW.

6. Seluruh Dosen dan Staff Fakultas Teologi. Terima kasih sudah membagi

ilmu pengetahuan kepada penulis, mendukung dan memotivasi penulis

untuk terus belajar agar penulis dapat terus berkembang. Buat Ibu Budi

yang selalu setia membantu segala keperluan mahasiswa dan tidak bosan

untuk menerima kami dikantornya terima kasih banyak.

7. Kepada seluruh keluarga tersayang, keluarga besar Penna-Tiran untuk

segala dukungan dan doa kepada penulis selama menempuh perkuliahan di

UKSW.

8. Untuk saudara seperjuangan saya angkatan Teol-15 terkhususnya untuk

Dembris K. Soeki, S.Si-Teol, Kak Nyongki Puling, Kak Itho Tanesab,

Angel Dima, Inry B. Timo, S.Si-Teol, Kak Vita Lucasnussy, Augita

Gabriella, S.Si-Teol, Ka Alyan M. Sioh, S.Si-Teol dan Kak Agy Manafe

yang menampung banyak airmata penulis. Terima kasih untuk

kebersamaan dan dukungan serta motivasi. Tuhan Yesus memberkati.

9. Untuk saudara-saudara beda rahim. Yudith Gultom, SE, Novita Ena Aulu,

Andho Hasan, Ka Ghym Halundaka, Vellyn Pelokila, Etha Modok,

Margareth Solumodok, Abang Nando Atalani, dan Chandra Rohi. Terima

kasih untuk dukungan yang selalu menguatkan penulis. Tuhan Yesus

memberkati

10. Untuk Sandy Thimoti Ndoen yang selalu menemani dan mendukung serta

selalu sabar mendengar keluh-kesah penulis. Terima Kasih. Tuhan

memberkati

Page 8: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

viii

11. Jemaat GMIT Gunung Sinai, Kupang. Terima Kasih atas bantuannya bagi

penulis selama masa penelitian. Tuhan memberkati.

12. Teruntuk yang terkasih orang-orang yang selalu menjatuhkan,

meremehkan, dan yang selalu memberi pertanyaan kapan lulus. Terima

kasih karena sudah hadir dan memberi motivasi yang besar sampai saat

ini.

13. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada semua orang yang tidak bisa

di sebutkan satu demi satu. Terima kasih sudah hadir dan memberi warna

dalam kehidupan penulis. Terimakasih untuk semua orang yang membantu

penulis dalam proses penulisan Tugas akhir ini. Tuhan memberkati.

Penulis

Page 9: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii

PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT .................................................................. iii

PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES........................................................ iv

PERNYATAAN BEBAS ROYALTI DAN PUBLIKASI ................................... v

KATA PENGANTAR..........................................................................................vi

DAFTAR ISI.........................................................................................................ix

MOTTO..................................................................................................................x

ABSTRAK.............................................................................................................xi

1. Pendahuluan.....................................................................................................1

1.1. Latar Belakang.........................................................................................1

1.2. Metode Penelitian.....................................................................................6

2. Landasan Teori.................................................................................................7

2.1. Keramahtamahan....................................................................................7

2.2. Simbol......................................................................................................10

a. Simbol dalam Prespektif Antropologi Sosial..............................11

b. Simbol dalam Prespektif Filsafat-Teologi...................................13

3. Hasil Penelitian...............................................................................................16

3.1. Gambaran Tempat Penelitian...............................................................16

3.2. Sejarah Budaya Sirih Pinang................................................................18

3.3.Makna Sirih Pinang Sebagai Simbol Keramahtamahan Menurut

Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan.................................................20

4. Analisa.............................................................................................................24

4.1.Pandangan Jemaat GMIT Gunung Sinai Mengenai Tradisi MAMAT

atau Memakan Sirih Pinang Sebagai Simbol Keramatamahan.........24

5. Penutup...........................................................................................................29

5.1. Kesimpulan.............................................................................................29

5.2. Saran.......................................................................................................30

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................32

Page 10: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

x

MOTTO

Tidak ada hidup yang terlalu hancur untuk dapat

dibentuk kembali oleh Allah. Dia mengasihi kita

sekalipun kita tidak sempurna dan penuh kegagalan, dan

Dia ingin menjadikan kita indah.

YESAYA 41:10

Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau,

janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan

meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan

memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang

membawa kemenangan.

NYAYIAN: Hidupmu Berharga Bagi Allah

Page 11: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

1

I. PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Kata “Sirih” dalam kamus umum bahasa Indonesia ialah sejenis tumbuhan

yang memanjat dengan akarnya; buah atau daunnya dimakan (dikunyah) bersama-

sama dengan gambir, pinang, kapur bagi orang pemakan sirih pinang.1 Kata

“Pinang”, dalam kamus bahasa Indonesia adalah sejenis tumbuhan bangsa palm

berbatang lurus dan berakar serabut, tingginya sampai 30 meter, buahnya kecil

sedikit dari telur ayam berkulit sabut dan dagingnya dimakan dengan kawan

sirih.2

Sirih pinang di sini secara umum dimakan hanya untuk menjadi kebiasaan

atau menghargai orang yang memberi dan dipakai untuk kesehatan, akan tetapi

secara khusus sirih pinang sering dipakai dalam berbagai upacara adat dan sebagai

simbol-simbol kedamaian dan keramatamahan karena di dalam memakan sirih

pinang sebenarnya ada nilai-nilai yang tertanam dalam budaya masyarakat Nusa

Tenggara Timur. Nusa Tenggara Timur banyak memiliki suku, bahasa, dan adat

istiadat yang berbeda-beda.3 Sirih Pinang dalam masyarakat Nusa Tenggara

Timur banyak digunakan dalam berbagai hal, baik itu upacara adat, sebagai salah

satu prasyarat mas kawin, sebagai suguhan untuk tamu, upacara kelahiran, ritual

adat, dst.

Tradisi Mamat (makan pinang) bagi orang Timor adalah sebuah warisan

budaya sejak zaman nenek moyang. Tidak aneh, bila bertandang atau berkunjung

ke rumah orang Timor, pasti disuguhkan sirih pinang yang tertata rapi di Oko

Mamat (tempat sirih pinang). Selain disuguhkan saat menyambut tamu, aktivitas

sirih pinang bisa ditemui di acara-acara resmi, baik acara suka cita dan duka cita.4

Tradisi ini merupakan sebuah penghargaan tuan rumah atau tuan acara kepada

setiap orang yang datang. Tradisi makan sirih pinang juga sering terjadi pada saat

1 J. S. Badudu, Sultan Mohammad Zain, “Kamus Umum Bahasa Indonesia”, (Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan, 2001), 1334 2 Badudu, Sultan Mohammad Zain. “Kamus Umum Bahasa Indonesia”, 1603. 3 DepertemenPendidikan Dan Kebudayaan Pusat Penilitian Sejarah Dan Budaya Proyek

Penilitian Sejarah Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Adat istiadat Daerah Nusa Tenggara

Timur, (Jakarta: 1981), 5. 4https://www.kompasiana.com/leksisalukh/5976dae4da1e4a35384b0262/sirih-pinang-

simbol-penghargaan?page=all (akses 08-09-18. 19.00 WIB)

Page 12: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

2

warga bertemu di jalan. Tradisi ini biasanya dilakukan sebelum dan sesudah

makan atau minum.

Selain untuk konsumsi sendiri, sirih pinang ini juga membangun

kekerabatan yaitu ketika berpapasan dengan kenalan atau sanak keluarga di jalan,

maka sambutan paling pertama adalah saling berbagi dan bertukaran sirih pinang,

kemudian memakannya bersama. Jika ada pihak yang kekurangan salah satu

bahan, sirih, pinang atau kapur, maka akan dilengkapi oleh pihak lain saat

pertemuan itu.

Tradisi makan sirih pinang tidak membatasi umur warga yang

mengkonsumsi. Sehingga ada orang tua yang sudah biasakan anaknya untuk

makan sirih pinang sejak kecil. Sirih Pinang yang disuguhkan oleh tuan rumah

atau tuan acara merupakan simbol penghargaan”. Kebiasaan makan sirih pinang

membuat orang Timor (Atoin Meto) memiliki tas kecil (Alu Mamat) yang

fungsinya untuk menyimpan sirih pinang. Tradisi makan sirih pinang ini, bukan

saja di Pulau Timor, tapi di sebagian Nusantara, tradisi makan sirih pinang ini

berlaku sama.5

Contohnya dalam masyarakat Sabu yang menggunakan sirih pinang

sebagai salah satu mas kawin. Pada waktu kunjungan pihak lelaki membawa sirih

pinang atau rukenana sebagai lambang peminangan.6 Tidak hanya di masyarakat

Sabu yang menggunakan sirih pinang, masyarakat Timor menggunakan sirih

pinang untuk upacara adat dalam pertanian di sawah waktu padi akan panen.

Dukun mnane akan memeriksa sekeliling sawah kemudian memilih bulir-bulir

padi yang dianggap mengandung smanaf jiwa. Pada upacara ini disajikan sirih

pinang, kemudian setiap orang berjalan keliling dengan memercikan air sirih

pinang pada padi yag akan dipanen, maksud pemercikan air supaya dewa padi

tidak lari.7 Selain masyarakat Sabu dan Timor, sirih pinang juga digunakan oleh

masyarakat Rote dalam upacara penguburan. Di dekat mayat diberi saji-sajian

5https://www.kompasiana.com/leksisalukh/5976dae4da1e4a35384b0262/sirih-pinang-

simbol- penghargaan?page=all (akses 08-09-18. 19.00 WIB) 6 Nico L. Kana, “Dunia Orang Sawu”, (Jakarta:Sinar Harapan, 1983), 52 7 Depertemen Pendidikan Dan Kebudayaan Pusat Penilitian Sejarah Dan Budaya Proyek

Penilitian Sejarah Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, “Adat istiadat Daerah Nusa Tenggara

Timur”, (Jakarta : 1981), 40

Page 13: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

3

seperti sirih pinang dan makanan yang mana menurut kepercayaan masyarakat,

rohpun masih perlu makan dan minum.8 Sirih pinang sangatlah penting dalam

kehidupan masyarakat Nusa Tenggara Timur, dan hal ini terlihat dari sejak proses

kehamilan, calon bayipun sudah diperkenalkan dengan sirih pinang.9

Terlepas dari efeknya bagi tubuh secara kesehatan, mengamati kebiasaan

memakan sirih pinang oleh masyarakat NTT memberikan perspektif unik, bahwa

tatanan relasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat kadang terbentuk oleh

instrumen yang sulit dijelaskan secara ilmiah. Arti penting mengunyah daging

buah pinang, sirih dan kapur bagi Atoin Meto, tidak sekedar untuk menjadi

pemerah bibir, atau penguat stamina, tapi bahan-bahan itu merupakan perekat

hubungan sosial, yang membuat orang merasa sebagai satu kesatuan, saling

memberi dan menerima, dan terutama saling menghargai.

Begitupula dengan Ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kota Kupang.

Kota Kupang ini adalah kota yang terbesar di pesisir Teluk Kupang, di bagian

Barat Laut pulau Timor. Sebagai kota terbesar di Provinsi Nusa Tenggara Timur,

Kota Kupang dipenuhi dengan berbagai suku bangsa. Suku yang signifikan

jumlahnya di Kota Kupang adalah suku Timor, Rote, Sabu, Tionghoa, Flores, dan

sebagian kecil pendatang dari Jawa. Kota Kupang ini terbagi menjadi 6 kecamatan

dan 50 kelurahan.10

Akan tetapi Koepang tempo doeloe adalah sebuah legenda bermakna

sejarah karena peristiwa-peristiwa yang dialami penduduk pemula di suatu lokasi

negeri yang sepi diliputi hutan belukar adalah sebuah peristiwa sejarah yang

berproses dari masa ke masa sampai terbentuknya nama Koepang. Awalnya

Koepang Tempo Doeloe, bagi orang Helong dinamakan “Kai Salun-Buni Baun”.

Hal ini diketahui lewat sejarah dan asal-usul kota Koepang. Adalah Raja Koen

Bissi ll atau Koen Am Tuan memerintah warganya untuk membangun pagar batu

8 Depertemen Pendidikan Dan Kebudayaan Pusat Penilitian Sejarah Dan Budaya Proyek

Penilitian Sejarah Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, “Adat istiadat Daerah Nusa Tenggara

Timur”, (Jakarta : 1981), 103. 9 Depertemen Pendidikan Dan Kebudayaan Pusat Penilitian Sejarah Dan Budaya Proyek

Penilitian Sejarah Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, “Adat istiadat Daerah Nusa Tenggara

Timur”, (Jakarta : 1981), 89. 10 http://v8.kupangkota.go.id/2018/10/15/wilayah-administrasi/ (akses, 18-10-18. 17.30

WITA)

Page 14: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

4

di sekeliling pagar istana. Pagar batu tersebut adalah batu Alam bersusun ke atas

berlapis empat. Kondisi tersebut menurut bahasa Helong yaitu “PAN”. Oleh

rakyat atau warga yang ini berurusan atau menemui Raja Koen di tempat yang

disebut PAN, sehingga sering disebut “KOENPAN”. Dalam perkembangan

penggunaan bahasa (ucapan) secara etimologis kata ‘’KoenPan” berubah menjadi

“Koepang”, selanjutnya dengan ejaan baru maka disesuaikan lagi menjadi

“KUPANG”.11

Kota Kupang merupakan salah satu kota yang padat penduduknya.

Masyarakat Kota Kupang adalah orang yang hidup dengan rasa toleransi yang

tinggi. Masyarakat Kota Kupang percaya bahwa dengan adanya toleransi dapat

membangun persaudaraan yang lebih antar sesama umat beragama dan sesama

individu dengan latar belakang suku yang berbeda. Kota Kupang yang berada di

bagian barat laut Pulau Timor dan kebanyakan penduduk yang berasal dari suku

Timor, Sabu, Rote dan Flores ini tidak melepas kebudayaan mereka yaitu Mamat

atau memakan sirih pinang. Salah satu kebudayaan yang menarik dari penduduk

Kota Kupang ialah sirih pinang sebagai suguhan. Sirih pinang juga dianggap

sebagai keramahtamahan bagi masyarakat Timor di Kupang. Tradisi memakan

sirih pinang yang kuat tersebut mulai menghilang atau memudar di Kota Kupang,

namun masih ada beberapa jemaat Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) yang

masih memakan sirih pinang dan salah satunya ialah Jemaat GMIT Gunung Sinai,

tetapi di jemaat tersebut juga terdapat perpecahan yaitu ada yang setuju memakan

atau melestarikan sirih pinang yang dianggap sebagai bentuk keramatamahan

dengan sesama dan ada yang tidak setuju memakan sirih pinang dengan alasan

bahwa sirih pinang dapat mengotori bait Allah, membuat kotor lingkungan dan

lain sebagainya.

Seperti yang telah penulis jelaskan bahwa sirih pinang tersebut berguna

dengan banyak hal di samping sebagai keramatamahan dan kasih, sirih pinang

juga dapat menciptakan kekerabatan antara sesama, budaya dan adat istiadat tetap

terpelihara. Namun karena berkembangnya zaman dan memunculkan isu bahwa

sirih pinang tidak berguna dan bermanfaat sehingga membuat saya terdorong

11 http://v8.kupangkota.go.id/2018/10/15/sejarah-kota-kupang-2/ (akses, 17-10-18. 15.10

WITA)

Page 15: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

5

untuk melakukan penelitian tentang Kajian Sosio-Teologis Terhadap

Keramatamahan Dalam Tradisi MAMAT menurut Jemaat GMIT Gunung

Sinai.

Kajian sosio teologis yang dimaksud bahwa sirih pinang yang terkait

dengan keramatamahan akan membentuk perilaku masyarakat dalam berinteraksi.

Interaksi adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut

hubungan antara orang-orang perorangan, antar kelompok-kelompok manusia,

maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia.12 Unsur-unsur yang

terkandung dalam interaksi adalah adanya kontak sosial dan adanya komunikasi.13

Pada sisi yang lain dalam konteks Jemaat GMIT Gunung Sinai, interaksi ini tentu

baik bila di refleksikan secara teologis. Karena itu yang dimaksud dengan teologis

dalam tulisan ini adalah sebuah refleksi iman. Refleksi teologis merupakan upaya

untuk memahami secara lebih luas dan mendalami pengalaman yang telah

dianalisis itu dalam terang iman yang hidup.14

Berdasakan uraian yang telah dijelaskan di atas, maka peneliti

merumuskan pertanyaan permasalahan yaitu; bagaimana pandangan jemaat GMIT

Gunung Sinai mengenai tradisi makan sirih pinang sebagai simbol

keramatamahan dalam kajian Sosio-Teologis? Dengan tujuan yang ingin dicapai

dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan pandangan jemaat GMIT Gunung

Sinai mengenai tradisi memakan sirih pinang sebagai simbol keramatamahan

dalam kajian Sosio-Teologis. Penelitian ini memberi manfaat: Secara teoritis:

dapat memberikan kontribusi serta sumbangsih tentang pemahaman baru

terhadap nilai keramatamahan dan kasih yang sudah mulai memudar yang

terkandung dalam budaya memakan sirih pinang bagi masyarakat Kota Kupang

khususnya di Jemaat GMIT Gunung Sinai. Secara praktis: dapat dijadikan sebagai

bahan acuan dan pertimbangan bagi jemaat Gereja dalam mencari informasi bagi

penelitian yang lebih lanjut.

12 Soerjono Soekanto, “Sosiologi Suatu Pengantar”, (Jakarta: Rajawali Per, 2014), 55. 13 Soerjono Soekanto, “Sosiologi Suatu Pengantar”.... 61. 14 Joe Holland dan Peter Henroit SJ, “Analisis Sosial dan Refleksi Teologis – Kaitan

Iman dan Keadilan”, (Yogyakarta: Kanisius, 1986), 25.

Page 16: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

6

1.2. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian Tugas Akhir yaitu

penelitian deskriptif, bertujuan mendeskripsikan atau menjelaskan suatu hal

secara sistematis, faktual serta akurat mengenai fakta-fakta tertentu yang ada

dilapangan. Dalam menentukan metode penelitian, maka peneliti menggunakan

metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif.15

Pendekatan deskriptif adalah pendekatan yang bertujuan untuk

menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, gejala, ataupun kelompok

tertentu untuk menentukan penyebab suatu frekuensi adanya hubungan tertentu

antara suatu gejala dengan gejala lainnya dalam masyarakat.16

Metode yang dipakai untuk mengumpulkan data yakni pengumpulan data

primer merupakan pengumpulan data dari lapangan tempat dimana peneliti

melakukan peniltian.17 Metode ini dilakukan dengan wawancara secara terstruktur

yang bertujuan untuk mendapatkan keterangan masalah yang diteliti dengan

percakapan tatap muka, guna mendapatkan informasi yang lebih akurat dan

terperinci untuk memperkuat data tentang obyek yang diteliti bagi penulis.

Penulis juga melakukan Observasi jenis partisipasi dalam rangka

mendapatkan gambaran tentang sirih pinang sebagai keramahtamahan di Jemaat

GMIT Gunung Sinai dengan cara identifikasikan tentang situasi dan kondisi

wilayah penelitian. Gambaran secara umum tersebut meliputi berbagai informasi

tentang sirih pinang, untuk itu perlu dilakukan pengambilan data, rekaman,

informen, jurnal, wawancara, bergaul dengan Jemaat GMIT Gunung Sinai dan

mengikuti kegiatan yang ada.

Sesuai dengan penjelasan yang telah diuraikan maka yang menjadi subjek

penelitian adalah jemaat GMIT Gunung Sinai dengan menggunakan teknik

pengambilan sampel secara random atas dasar himpunan (cluster random

15 Nawawi. “Metode Penelitian Bidang Sosial”. (Yogjakarta: Gajah Mada University

Press, 2004) 63 16 D. Engel. “Metodologi Penelitian Sosial dan Teologi Kristen”. (Salatiga: Widya Sari,

2005) 20-21 17 Suharsimi Arikunto. “Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik”. (Jakarta:

Rineka Cipta, 2010) 21-22

Page 17: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

7

sampling) yaitu, pemuda, orang tua, dan lansia.18 Untuk mengetahui jumlah

subjek yang akan diteliti, peneliti menggunakan tenik random sederhana yaitu

subjek tidak dipilah-pilah atau distartakan terlebih dahuli; semua sabjek penelitian

langsung dipilih secara random.19 Waktu penelitian adalah pada tahun 2019 dan

lokasi penilitian yang akan diteliti oleh Peniliti adalah Kota Kupang, NTT

khususnya di Jemaat GMIT Gunung Sinai.

II. LANDASAN TEORI

a. Teori Keramahtamahan

Kata keramahtamahan berasal dari bahasa latin hospes, yang berarti “tuan

rumah”, “tamu”, atau orang asing.20 Louis, Chevalier de Jaucourt menggambarkan

keramahtamahan sebagai kebajikan dari jiwa besar yang peduli terhadap seluruh

alam semesta melalui ikatan manusia. Di Yunani Kuno, keramahtamahan adalah

hak, dengan tuan rumah diharapkan untuk memastikan kebutuhan tamunya

terpenuhi. Dalam masyarakat Yunani, kemampuan seseorang yang mematuhi

hukum keramahtamahan menentukan kemuliaan dan kedudukan sosial. Kaum

Stoa menganggapnya sebagai tugas yang diilhamkan oleh Allah (ZEUS) sendiri.21

Orang Yunani menganggap keramahtamahan sebagai kebajikan yang paling

menyenangkan bagi para dewa. Kebajikan tersebut dikejar sedemikian rupa di

Yunani sehingga orang mendirikan, di berbagai tempat, bangunan publik di mana

orang asing dapat diterima.22 Dalam agama Kristen, keramahtamahan adalah suatu

kebajikan yang merupakan pengingat empati bagi orang asing dan aturan untuk

menyambut pengunjung.23 Berdasarkan pemahaman tentang keramahtamahan

yang telah dijelaskan maka keramahtamahan merupakan bagian yang telah

18 Sanapiah Faisal. “Format-Format Penelitian Sosial”. (Jakarta: Rajagrafindo Persada,

2010) 65 19 Sanapiah Faisal. “Format-Format Penelitian Sosial”. 59 20 C. Lewis,“Elementary Latin Dictionary”, (Oxford: Oxford University Press, 2000),

371. 21 Louis, Chevalier de Jaucourt: (2009). The Encyclopedia of Dderot & d’Alembert

Collaborative Traslation Project, http://hdl.handle.net./2027/spo/did222/0002.761 (akses 12-03-

19. 21.31 WIB) 22 Louis, Chevalier de Jaucourt: (2009), The Encyclopedia of Dderot & d’Alembert

Collaborative Traslation Project, http://hdl.handle.net./2027/spo/did222/0002.761 (akses 12-03-

19. 21.45 WIB) 23 Alain Montandon, “L’hospitalite au XVIIe siecle”, (France: Presses Universitaires

Blaise Pascal, 2000), 12.

Page 18: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

8

melekat dalam kehidupan bersosial. Dalam keramahtamahan juga terdapat unsur

penerimaan atau empati terhadap sesama atau orang lain.

Empati berasal dari Bahasa Yunani empatheia, yang berarti “ketertarikan

fisik”. Empati termasuk kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang

lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil

prespektif orang lain.24 Empati adalah kemampuan dengan berbagai definisi yang

berbeda yang mencakup spektrum yang luas, berkisar pada orang lain yang

meciptakan keinginan untuk menolong sesama, mengalami emosi yang serupa

dengan emosi orang lain, mengetahui apa yang orang lain rasakan dan pikirkan,

mengaburkan garis antara diri sendiri dan orang lain.25 Menurut Tedi Sutardi,

empati adalah kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain oleh

seorang individu atau suatu kelompok masyarakat. Budaya orang lain menjadi

landasan bersikap dalam setiap interaksi yang terjalin. Empati berpotensi untuk

mengubah perbedaan menjadi saling memahami dan mengerti secara mendalam.26

Menurut Hoffman, empati melibatkan perasaan yang dirasakan oleh orang lain.

Empati sebagai respon emosional yang berasal dari kondisi emosional orang lain

sesuai dengan keadaan atau situasi.27 Untuk dapat merasakan atau mewujudkan

rasa empati seseorang maka dibutuhkan interaksi sosial atau hubungan sosial

dengan orang lain. Interaksi adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang

menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-

kelompok manusia, manupun antara orang perorangan dengan kelompok

manusia.28 Interaksi sosial merupakan hubungan yang tertata dalam bentuk-

bentuk tindakan yang berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang

berlaku dalam masyarakat.29 Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi

apabila tidak adalanya kontak sosial dan komunikasi sosial. Menurut Roucek dan

Warren, interaksi adalah proses timbal balik, di mana satu kelompok dipengaruhi

24 Baron & Byrne, “Psikologi Sosial”, Jilid 2, (Jakarta: Erlangga, 2004), 111. 25 Sara D. Hodges & Kristi J. Klein, “Regulating the Cost of Empathy: the Price of Being

Human”, (Journal of Sosio-Economic: 2001), 23. 26 Tedi Sutardi. “Antropologi: Mengungkapkan Keragaman Budaya”. (Bandung: PT

Setia Purnama Inves, 2007), 27. 27 Nancy Eisenberg and Janet Strayer (ed), “Emphaty and its Development”, (New York:

Press Syndicate of University of Cambridge, 1990), 5. 28 Soerjono Soekanto, “Sosiologi Suatu Pengantar”, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 55. 29 Basrowi, “Pengantar Sosiologi”, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2014), 138.

Page 19: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

9

tingkah laku reaktif pihak lain dan dengan demikian, ia mempengaruhi tingkah

laku orang lain.30

Melalui penjelasan di atas maka dapat dikatakan bahwa empati adalah

bagian dalam keramahtamahan yang tidak dapat dipisahkan. Sehingga dalam buku

Judith Still yang berjudul Derrida and Hospitality, menunjukan pemahaman

Derrida tentang keramahtamahan adalah etika itu sendiri yang akan merujuk

kepada penerimaan atau empati terhadap sesama.

Menurut Derrida, keramahtamahan adalah etika atau budaya itu sendiri,

yang berkaiatan dengan etos yaitu tempat tinggal atau rumah seseorang. Selain itu

keramahtamahan adalah bagaimana cara berada di sana, cara kita berhubungan

dengan diri kita sendiri dan dengan orang lain, terhadap orang lain sebagai diri

sendiri atau sebagai orang asing.31 Keramahtamahan adalah definisi sturktur yang

mengatur hubungan antara di dalam dan di luar, dalam artian antara pribadi dan

publik. Keramahtamahan juga merupakan cara untuk menghubungan hubungan

antara yang satu dan yang lain, diri sendiri dan orang asing.32

Menurut Derrida, keramahtamahan berarti membiarkan yang lain masuk

ke diri sendiri, ke ruang milik sendiri. Keramahtamahan juga dapat (dan memang)

memperkuat ikatan antara mereka yang secara budaya sama serta yang datang

dengan perbedaan.33 Dalam buku Derrida and Hospitality, Derrida juga

menjelaskan tentang keramahtamahan yang berfokus pada persahabatan, yang

lebih sering dipahami sebagai persaudaraan spritual dan persahabatan antara

perbedaan atau keanehan dari orang lain (bahkan teman).34 Bagi Derrida,

keramahtamahan termasuk rezeki atau makan, bukan hanya dari tubuh tetapi juga

dari pikiran. Secara tradisional tamu atau orang asing menceritakan kisah mereka;

saling berbicara dengan pertukaran pikiran yang bermanfaat dan menyenangkan.

Derrida menuliskan bahwa persahabatan dibangun di atas keramahtamahan dan

tindakan-tindakan yang bersahabat atau istimewa untuk membangun

30 Basrowi, “Pengantar Sosiologi”, 140. 31 Judith Still, “Derrida and Hospitality – Theory and Practice”, (Edinburgh: Edinburgh

University Press, 2010). 7. 32 Still, “Derrida and Hospitality – Theory and Practice”, 9. 33 Still, “Derrida and Hospitality – Theory and Practice”, 54. 34 Still, “Derrida and Hospitality – Theory and Practice”, 93.

Page 20: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

10

persahabatan, di saat yang sama juga struktur persahabatan sejati adalah

keramahtamahan itu sendiri. Dengan kata lain persahabatan dibangun sebagai

keramahtamahan.35 Derrida mengatakan bahwa berbagi pengetahuan dan

kebijaksanaan adalah bentuk utama dari keramahtamahan.36

Setelah membaca dan memahami pandangan Derrida tentang

keramahtamahan, maka keramahtamahan adalah suatu kesenangan sehari-hari

dimana kita tidak bisa hidup tanpa keramahtamahan. Keramahtamahan juga sering

dilihat sebagai lambang atau simbol perdamaian dan penerimaan (empati)

terhadap sesama. Sehingga, untuk memperjelas maksud tentang lambang atau

simbol tersebut; maka peneliti akan memaparkan beberapa teori tentang simbol.

b. Teori Simbol

Kata simbol berasal dari bahasa Yunani symbolon dari kata symballo yang

berarti menarik kesimpulan, memiliki arti dan atau memberi kesan.37 Menurut

pernyataan yang diberikan oleh seorang sosiologi ternama, kesatuan sebuah

kelompok, seperti semua nilai budayanya, pasti diungkapkan dengan memakai

simbol. Simbol sekaligus merupakan sebuah pusat perhatian yang tertentu, sebuah

sarana komunikasi, dan landasan pemahaman bersama. Setiap komunikasi,

dengan bahasa atau sarana yang lain, menggunakan simbol-simbol. Masyarakat

hampir tidak mungkin ada tanpa simbol-simbol.38 Simbol adalah suatu tanda yang

dapat menyatakan sesuatu hal atau maksud tertentu. Menurut Herusatoto, simbol

atau lambang adalah sesuatu hal atau keadaan yang merupakan pengantar

pemahaman terhadap objek.39 Menurut Landmann, bahwa setiap karya manusia

dilaksanakan dengan sesuatu tujuan, yaitu bahwa setiap benda alam disekitarnya

yang disentuh dan dikerjakan oleh manusia mengandung dalam dirinya suatu

nilai.40 Oleh karena itu, setiap sesuatu (termasuk sirih pinang) menandakan nilai

tertentu didalamnya. Simbol yang berupa benda, keadaan, atau hal sendiri

35 Still, “Derrida and Hospitality – Theory and Practice”, 94-95. 36 Still, “Derrida and Hospitality – Theory and Practice”, 257. 37 Lorens Bagus, “Kamus Filsafat”, (Jakarta: PT Gramedia, 2000), 1007. 38 R.M Maclver, “Society”. (Macmillan, 1950), 340. 39 Laela, Nurhayati Dewi, Suhartati, dan Sunarto, “Fungsi dan Makna Simbolis Genta Di

Jawa Tengah”, (Semarang: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, 2007),

125. 40 Budiono Herusatoto, “Simbolisme Jawa”, (Yogyakarta: Ombak, 2008), 14.

Page 21: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

11

sebenarnya bebas terlepas dari tindakan manusia, tetapi sebaliknya tindakan

manusia harus selalu mempergunakan simbol-simbol sebagai media penghantar

dalam komunikasi antar sesamanya.41 Berdasarkan pemahaman tentang simbol

yang telah dijelaskan, maka peneliti akan membagi dalam beberapa teori simbol

yaitu dalam prespektif Antropologi-Sosial dan dalam prespektif Filsafat-Teologi.

Simbol dalam Prespektif Antropologi Sosial

Bagian ini peneliti akan menguraikan beberapa pandangan teori

simbolisme menurut beberapa ahli-ahli Antropologi Sosial antara lain; Raymond

Firth, Mary Douglas, Victor Turner dan Clifford Geertz.

Pandangan pertama adalah pandangan dari Raymond Firth. Menurut Firth,

simbol mempunyai peran yang sangat penting dalam urusan-urusan manusia:

“manusia menata dan menafsirkan realitasnya dengan simbol-simbol dan bahkan

merekonstruksi realitasnya itu dengan simbol.42 Simbol menurut pandangan Firth

tidak hanya berperan untuk menciptakan tatanan – fungsi yang dapat dianggap

pertama-tama bersifat intelektual. Sebuah simbol dapat berhasil memusatkan pada

dirinya sendiri seluruh semangat yang semestinya hanya menjadi milik realitas

terakhir (tertinggi) yang mewakilinya.43 Sesungguhnya, menurut pandangan Firth,

sebuah simbol dapat menjadi sarana untuk menegakkan tatanan sosial atau untuk

menggugah kepatuhan-kepatuhan sosial; selain itu, sebuah simbol kadang-kadang

dapat memenuhi suatu fungsi yang lebih bersifat privat dan individual, meskipun

tidak mudah mengakui adanya nilai dalam sebuah simbol yang tidak mempunyai

suatu acuan kepda pengalaman sosial yang lebih luas.44 Dengan demikian, dapat

dikatakan bahwa simbol memiliki peran ganda dalam kehidupan bermasyarakat.

Hal ini sangat berkaitan dengan pandangan Mary Douglas dalam bukunya Natural

Symbols. Dauglas sangat terkesan melihat hubungan erat yang ada antara tubuh

manusia dan masyarakat manusia, di semua zaman dan di semua tempat. Mary

Douglas melihat bahwa tubuh jasmani dapat mempunyai makna universal hanya

41 Herusatoto, “Simbolisme Jawa”, 32. 42 Raymond Firth, “Symbol: Public and Private”, (Ithaca, New York: Cornell University

Perss, 1973), 20. 43 Firth, “Symbol: Public and Private”, 132. 44 Firth, “Symbol: Public and Private”, 428.

Page 22: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

12

sebagai sistem yang menjawab sistem sosial, dengan mengungkapkannya sebagai

sebuah sistem. Apa yang disimbolkannya secara alami adalah hubungan bagian-

bagian sebuah organisme dengan keseluruhan. Dua tubuh itu adalah diri sendiri

dan masyarakat: kadang-kadang keduanya sedemikian dekatnya sehingga hampir

menjadi satu; kadang-kadang keduanya terpisah jauh. Ketegangan antara

keduanya memungkinkan pengembangan makna-makna.45 Dauglas memberi

kesaksian tentang nilai dari corak tertentu bentuk-bentuk ritual dalam mebawa

koherensi dan stabilitas kepada masyarakat: kedudukan dan batas disimbolkan

dengan tepat oleh ciri-ciri tubuh. Bentuk-bentuk simbolis juga diperlukan untuk

pengalaman sosial dalam waktu, untuk interaksi, dan semuanya ini, mempunyai

hak untuk dipandang bukan sebagai simbol alami melainkan historis, sebagai

simbol yang dibangun, dipola, dibentuk oleh peristiwa penting dalam pengalaman

sosial.46

Pandangan ketiga adalah pandangan menurut Victor Turner dalam

bukunya yang berjudul The Forest of Symbols and The Ritual Process

membicarakan fungsi simbol dalam mengatur kehidupan sosial: ia sungguh

menyadari bahwa ada dua segi yang harus dipertimbagkan: penciptaan peranan-

peranan dan aturan-aturan yang memungkinkan eksistensi sosial sehari-hari. Ada

interaksi dialektis antara masyarakat keseluruhan dan kelompok-kelompok

khususnya di dalamnya. Dualitas dalam mengatur kelompok-kelompok sosial

yang ia temukan disimbolkan dengan cara yang berarti praktek-praktek ritual

suku-suku yang membawa makna rangkap.47 Di satu pihak, ada penataan terus-

menerus atas upacara-upacara yang berkaitan dengan kelahiran, masa puber, dan

kematian atau dengan siklus penanggalan, perayaan gerakan-gerakan benda-benda

langit. Di pihak lain, ada tata cara simbolis yang harus dilaksanakan ketika suatu

peristiwa kritis hampir terjadi: suatu perjalanan ekspedisi berburu, perjumpaan

dengan suku-suku lain.48

45 Mary Douglas, “Natural Symbols: Explorations in Cosmology”, (London: Penguin

Books, 1973), 112-113. 46 F.W Dilistone, “The Power of Symbols”, (Yogyakarta: Kanisius, 2000 ), 110. 47 Dilistone, “The Power of Symbols”, 111. 48 Dilistone, “The Power of Symbols”, 112.

Page 23: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

13

Pandangan yang teakhir adalah pandangan menurut Clifford Greetz.

Menurut Greetz simbol dapat didefiniskan “sebagai objek, tindakan, peristiwa,

sifat, atau hubungan yang dapat berperan sebagai wahana suatu konsepsi, dan

konsepsi ini adalah “makna” simbol. Jadi, penafsiran kebudayaan pada dasarnya

adalah penafsiran simbol-simbol, sebab simbol-simbol bersifat teraba, tercerap,

umum, dan konkret. Simbol-simbol keagamaan adalah simbol-simbol yang

mensintesiskan dan mengintegrasikan “dunia sebagaimana dihayati dan dunia

sebagaimana dibayangkan”, dan simbol-simbol ini berguna untuk menghasilakn

dan memperkuat keyakinan keagamaan”.49

Simbol dalam Prespektif Filsafat-Teologi

Pada bagian ini peneliti akan menguraikan beberapa pandangan simbolis

menurut beberapa ahli dalam prespektif Filsafat-Teologi.

Pandangan pertama yaitu pandangan menurut Paul Tillich. Simbol

menurut Tillich merupakn kategori sentral dalam ajarannya tentang Allah. Ada

ciri-ciri mendasar tertentu dari sebuah simbol yang berkali-kali ditunjukan oleh

Tillich. Pertama, ia membedakan antara simbol dan tanda. Menurut Tillich

sebuah tanda bersifat univok, arbiterer dan dapat diganti, karena tidak mempunyai

hubungan instrinstik dengan sesuatu yang ditunjukannya itu, sedang sbuah simbol

sungguh-sungguh mengambil bagian dalam realitas yang ditunjukannya dan yang

sampaitiangkat tertentu diwakilinya. Simbol berfungsi seperti ini tidak secara

mandiri tetapi dalam kekuatan hal yang ditunjukannya.50 Pandangan tentang

hubungan Allah dengan tatanan alami dan tentang masukanya Roh Suci ke dalam

roh manusia dipandang oleh Tillich sebagai sesuatu yang sangat menentukan

penafsirannya tentang fungis simbol dalam mengantarai kehadiran spritual.

Kedua, menurut pandangan Tillich, simbol dapat membukakan kepada

manusia adanya tingkat-tingkat realitas yang dapat dimengerti dengan cara lain.

Hal ini secara khusus berlaku untuk simbol-simbol seni.51 Simbol-simbol seni

sebenarnya membukakan roh manusia kepada dimensi pengalaman estetis dan

49 Clifford Greetz, “Kebudayaan dan Agama”, (Yogyakarta: Kanisius, 1992 ), 51. 50 Dilistone, “The Power of Symbols”, 124. 51 Dilistone, “The Power of Symbols”, 125.

Page 24: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

14

membukakan realitas kepada dimensi makna instrisiknya. Sedangkan simbol-

simbol keagamaannya menjadi medium realitas tertinggi melalui barang-barang,

orang-orang, peristiwa-peristiwa yang berbaat fungsi-fungsinya sebagai medium,

menerima sifat “kudus”.52 Dengan demikian simbol “membukakan” roh manusia

kepada pandangan-pandangan yang lebih tentang “Yang Kudus” dalam dimensi

trasendennya. Ketiga, menurut pandangan Tillich sebuah simbol ialah membuka

dimensi-dimensi roh batiniah manusia sehingga terwujudlah suatu koresponsdensi

atau kolerahi dengan segi-segi realitas tertinggi. Simbol memperluas roh manusia

untuk memampukannya ditangkap oleh penglihatan itu dan dengan demikian

tumbuh berkembanglah pengertian rohaninya.53 Keempat, menurut Tillich simbol

muncul dari kegelapan dan hidup oleh karena hubungannya dengan suatu

kebudayaan khusus. Bila simbol tidak lagi membangkitkan respons yang vital,

maka simbol itu mati.54 Tillich juga mengatakan bahwa simbol tidak dapat

diciptakan, simbol tidak dapat dihasilkan dengan sengaja.55

Sehingga dari pemahaman Tillich, simbol keagamaan dibedakn dari

simbol-simbol yang lain oleh kenyataan bahwa simbol keagamaan merupakan

representasi dari sesuatu yang sama sekali ada di luar bidang konseptual. Simbol

keagamaan menunjuk kepada realitas tertinggi yang tersirat dalam tinfakan

keagamaan, kepada apa yang menyangkut diri kita pada akhirnya.

Selanjutnya, pandangan menurut Paul Ricoeur. Menurut Ricoeur simbol

dan penafsiran menjadi konsep-konsep yang korelatif.56 Dalam bukunya The

Symbolism of Evil, Ricoeur menegaskan bahwa arti harafiah menimbulkan suatu

analogi dan dengan demikian membentuk arti simbolis.57 Menurut Ricoeur simbol

dan analogi sedemikian eratnya berkaitan satu sama lain. Ricoeur juga

mengatakan bahwa kewajiban terbesar penafsir ialah melampaui yang harafiah

untuk menerangi makna-makna yang tersembunyi, makna-makna yang sekunder,

52 Sydney Hook (ed), “Religious Experience and Truth”, (Edinburgh: Oliver and Boyd,

1962 ), 5. 53 Dilistone, “The Power of Symbols”, 125. 54 Dilistone, “The Power of Symbols”, 125. 55 Paul Tillich, “Ultimate Concern”, (London: SCM Press, 1965 ), 149. 56 Paul Ricoeur, “The Conflicts of Interpretations”, Evanston: Nortwestern University

Press, 1974), 12. 57 Paul Ricoeur, “The Symbolism of Evil”, (Boston: Beacon Press, 1970), F.W Dillistone.

“The Power of Symbols”, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 129.

Page 25: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

15

makna-makna yang diperkaya, makna-makna yang secara tepat itulah yang

disebut simbolis.58 Jadi dari pemahaman Ricoeur, menafsir simbol, menelaah

makna simbolis berarti membawa diri ke dalam hidup yang lebih tinggi.

Berikutnya adalah pemahaman dari Karl Rahner. Menurut Rahner seluruh

teologi tidak dapat dipahami jika teologi itu pada hakikatnya bukan teologi

simbol.59 Menurut Rahner ungkapan simbolis adalah ungkapan diri Allah sendiri

dalam Sang Sabda (Logos): Logos adalah simbol Bapa.60 Bagi Rahner amatlah

penting bahwa simbol tidak pernah boleh dipandang sebagai suatu yang terpisah

dari hal yang disimbolkannya, yang berdiri dihadapannya, menunjuk kepadanya,

dan mengilustrasikanya. Sebalikanya, suatu objek, suatu diri menjadi terungkap

dalam simbol dan dengan demikian menjadi hadir dalam simbol.61 Simbol tidak

memisahkan ketika mengantarai, tetapi mempersatukan dengan segera, sebab

simbol yang sejati dipersatukan dengan hal yang disimbolkan, karena hal yang

disimbolkan membentuk simbol sebagai realisasi dirinya sendiri.62 Jadi dari

pemahaman Rahner, simbol adalah realitas yang diwujudkan oleh hal yang

disimbolkan sebagai momen batin dari dirinya sendiri, yang nenyingkapkan serta

memaklumkan hal yang disimbolkan dan dirinya sendiri dipenuhi oleh hal yang

disimbolkan, karena merupakan bentuk konkret eksisstensinya.

Selanjutnya merupakan pemahaman dari Bernard Lonergan. Bagi

Lonergan sebuah simbol adalah gambaran dari suatu objek nyata atau khayal yang

menggugah perasaan atau digugah oleh perasaan. Perasaan-perasaan berhubungan

dengan objek, satu sama lain dan dengan subjek.63 Menurut pandangan Lonergan,

simbol adalah ungkapan tertinggi atau perekam perasaan.64

Setelah membaca dan memahami pandangan-pandangan dari para ahli dari

beberapa sumber-sumber tentang simbol, maka peneliti pada pemahaman tentang

58 Dilistone, “The Power of Symbols”, 130. 59 Karl Rahner, “Theological Investigation Vol IV”, (London: Darton, Longman and

Todd, 1966), 235. 60 Rahner, “Theological Investigation Vol IV”, 239. 61 Dilistone, “The Power of Symbols”, 135. 62 Rahner, “Theological Investigation Vol IV”, 252. 63 Bernard Lonergan, “Method in Theology”, (London: Darton, Longman and Todd,

1972), 64. 64 Dilistone, “The Power of Symbols”, 138.

Page 26: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

16

simbol adalah bahwa kedekatan manusia dengan simbol sangatlah erat karena

dapat dirasakan oleh benda-benda yang ada dalam kehidupan manusia sehari-hari.

Simbol juga merupakan sesuatu yang khas, sehingga dapat berkomunikasi untuk

hal-hal yang baik antar sesama dan juga alam, terkhususnya kepada Sang

Pencipta.

III. HASIL PENELITIAN

3.1. Gambaran Tempat Penelitian

Jemaat Gunung Sinai Naikolan (JGSN) adalah jemaat yang berada dalam

lingkup pelayanan Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), Rayon IV Klasis Kota

Kupang. Jemaat Gunung Sinai Naikolan (JGSN) menjadi jemaat yang mandiri

dalam pelayanannya sejak 31 Mei 2009, setelah dimekarkan dari Jemaat Imanuel

Oepura (JIO) sebagai jemaat induk.

Ide awal untuk mendirikan Gereja Gunung Sinai Naikolan pertama kali

dicetuskan Ketua Majelis Sinode Harian GMIT, Bpk. Pdt. Thobias Messak. Pada

awalnya, Jemaat Gunung Sinai Naikolan (JGSN) adalah bagian dari anggota

Jemaat Imanuel Oepura (JIO) yang berada di dalam 3 (tiga) Persekutuan Lingkup

Jemaat (Rayon) yakni Rayon 18, 19, dan 20 dengan jumlah Kepala Keluarga

(KK) pada tahun 2005 tercatat sebanyak 200 KK atau ± 732 jiwa, dan terus

tumbuh berkembang menjadi 235 KK atau ± 1000 jiwa pada saat pemandirian

tahun 2009.65 Rayon 18, 19, dan 20 Jemaat Imanuel Oepura adalah 3 rayon yang

memiliki wilayah pelayanan yang berdekatan satu dengan yang lainnya di wilayah

Kelurahan Naikolan dan Kelurahan Sikumana-Kecamatan Maulafa-Kota Kupang.

Seiring berjalannya waktu dan pesatnya pertumbuhan jumlah anggota jemaat,

khususnya jemaat di Rayon 18, 19, dan 20 (JIO), maka pembentukan mata jemaat

baru menjadi suatu kebutuhan mutlak. Pemekaran jemaat menjadi satu-satunya

opsi (pilihan) demi meningkatkan pelayanan yang lebih fokus dan terpadu kepada

jemaat.

Pada Juni 2005 terbentuklah panitia untuk membangun Pos Pelayanan

yang secara legal dilegitimasi dengan Surat Ketetapan Majelis Jemaat Imanuel

65 Arsip Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan tahun 2018.

Page 27: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

17

Oepura No 09/GMIT/SK-JIO/2005 tentang Komposisi Personalia Panitia

Pembangunan Pos Kebaktian Rayon 18, 19, dan 20 Jemaat Imanuel Oepura yang

telah direvisi pada tanggal 23 Maret 2006. Dan sejak tahun 2005 pula Pos Pelayan

tersebut mulai melakukan aktifitas pelayanan kepada jemaat ketiga rayon.66

Pada persidangan Lengkap Majelis JIO tahun 2005, pemekaran ketiga

rayon JIO diusulkan secara resmi oleh Komisi Pengembangan Jemaat JIO yang

diketuai oleh Pnt. Alex Bureni, SH. Menindaklanjuti penetapan pleno majelis

pada persidangan tersebut maka dibentuklah Panitia Pembangunan Pos Pelayanan

JIO dengan Surat Keputusan JIO No. 09/GMIT/SK-JIO/2005 tanggal 12 Maret

2005 dengan mengangkat Pnt. Ir. Esthon L. Foenay, M.Si. sebagai Ketua Umum

dan Drs. Ady Endezon Mandala, M.Si. sebagai Ketua Pelaksana Pembangunan

serta susunan kepanitiaan yang dilengkapi dengan seksi-seksi guna mendukung

kelancaran pembangunan.

Peletakan batu pertama Pembangunan Rumah Kebaktian JGSN dilakukan

pada 15 Agustus 2005. Dan atas kerja keras Panitia Pembangunan dan partisipasi

jemaat, Pembangunan Rumah Kebaktian JGSN rampung dalam kurun waktu yang

tidak terlalu lama: 3 (tiga) tahun 11 (sebelas) bulan 19 (sembilanbelas) hari. Pada

Minggu tanggal 31 Mei 2009, Jemaat Gunung Sinai Naikolan resmi dithabiskan

menjadi sebuah jemaat mandiri yang memperhadapkan Pendeta Ch. S. V. Lada-

Messakh, SSi.Teol. sebagai Pelayan Jemaat dan sekaligus menjabat sebagai Ketua

Majelis Jemaat Gunung Sinai Naikolan periode 2009-2014.

Pada tanggal 3 Agustus 2009 dilakukan pengresmian dan pentabisan

Rumah Kebaktian Jemaat Gunung Sinai Naikolan yang ditandai dengan

penandatanganan prasasti oleh Gubernur Nusa Tenggara Timur, Drs Frans Lebu

Raya, yang diwakili oleh Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Propinsi Nusa

Tenggara Timur, Ir. Benny Ndoen Boey dan Ketua Majelis Sinode Gereja Masehi

Injili di Timor, Dr. Eben Nuban Timo. Berdasarkan data statistik Jemaat Gunung

66 Arsip Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan tahun 2018.

Page 28: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

18

Sinai Naikolan tahun 2018, jumlah jemaat 1.427 jiwa yang tersebar dalam 6

Rayon dan jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 318 KK. 67

3.2. Sejarah Budaya Sirih Pinang

Budaya dan tradisi merupakan identitas dari masyarakat yang tidak boleh

dihilangkan. Secara harafia, budaya adalah cara hidup hidup sekelompok

masyarakat yang berkembang dan diwariskan secara turun-temurun dari generasi

ke generasi. Hal ini juga berlaku dalam budaya atau tradisi Mamat atau tradisi

makan sirih pinang. Tradisi Mamat (makan pinang) bagi orang Timor adalah

sebuah warisan budaya sejak zaman nenek moyang. Sebagai masyarakat yang

melestarikan budaya atau tradisi Mamat, tentunya mengetahui sejarah serta

memiliki pengalaman dalam memakan sirih pinang. Dari hasil penelitian, terdapat

pemahaman jemaat terhadap sejarah serta pengalaman memakan sirih pinang,

manfaat sirih pinang, perkembangan sirih pinang dalam kehidupan bersosial, dan

nilai-nilai yang terkandung dalam budaya sirih pinang.

1. Sejarah serta pengalaman memakan sirih pinang

Sirih pinang sudah ada sejak dahulu kala, sejak zaman nenek moyang dan

sudah menjadi tradisi turun temurun atau sudah menjadi kebiasaan bagi

masyarakat Timor.68 Sirih Pinang jika dilihat dari adat atau kebudayaan orang

Timor adalah sebagai langkah awal untuk membuka sebuah komunikasi yang

baik, atau dengan kata lain sirih pinang sebagai alat penyambutan dan sebagai alat

penghubung dalam satu pertemuan sebelum memulai satu pembicaraan. Sirih

pinang juga merupakan sebuah lambang kehormatan serta lambang persatuan.

Sirih pinang di sisi lain yang menjadi hal utama ialah merupakan fondasi budaya

67 Arsip Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan tahun 2018. 68 Hasil wawancara dengan Ibu Nona Amtiran. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai

Naikolan. Kupang, 13 April 2019. Pukul 15.00 WITA. Bapak Mesakh Kolis. Anggota Jemaat

GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 18 April 2019. Pukul 09.00 WITA. Bapa Christopel

Kolis. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 18 April 2019. Pukul 09.30

WITA. Bapak Imanuel Kolis. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang 18 April

2019. Pukul 10.00 WITA. Bapak Alex Tasuib. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan.

Kupang, 30 April 2019. Pukul 17.25 WITA. Bapak Thomas Tefu. Anggota Jemaat GMIT Gunung

Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.00 WITA. Sdr. Febrianto Bajang. Anggota

Jemaat GMIT G unung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.30 WITA. Sdr. Adypapa

Blegur. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 20.15

WITA.

Page 29: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

19

ramah tamah atau fondasi nilai sosial dari masyarakat khususnya masyarakat

Timor. Dalam hal ini juga sirih pinang menjadi kunci utama bagi masyarakat

NTT.69

2. Manfaat sirih pinang dalam kehidupan bersosial.

Sirih pinang dapat dikatakan sebagai alat pemersatu atau alat penghubung.

Sirih pinang ini juga bermanfaat untuk kesehatan. Menurut orang tua dulu atau

nenek moyang, sirih pinang ini dapat memperkuat gigi. Selain untuk gigi, sirih

pinang juga dapat digunakan untuk penghilang bau mulut. Sirih pinang dalam

hubungan sosial kemasyarakatan juga dapat mempererat hubungan sesama,

sebagai bentuk kerendahan hati, dan sirih pinang ini juga dapat menjadi simbol

atau tanda permintaan maaf. Manfaat lain dari budaya sirih pinang adalah sebagai

simbol perdamaian.70

3. Perkembangan sirih pinang dalam kehidupan bersosial

Perkembangan sirih pinang semakin hari semakin memudar, karena anak-

anak zaman sekarang sudah tidak mau lagi untuk mengenal atau mencari tahu

tentang adat atau budaya. Mereka menganggap bahwa yang mengkonsumsi sirih

pinang itu hanyalah orang kampung. Sirih pinang kalau dalam hal sosial itu

mengikat persaudaraan kita. Dalam sejarahnya budaya orang Timor ketika

bertamu yang disuguhkan pertama adalah sirih pinang. Namun seiring

69 Hasil wawancara dengan Bapak Mesakh Kolis. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai

Naikolan. Kupang, 18 April 2019. Pukul 09.00 WITA. Bapa Christopel Kolis. Anggota Jemaat

GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 18 April 2019. Pukul 09.30 WITA. Bapak Imanuel Kolis.

Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang 18 April 2019. Pukul 10.00 WITA. Ibu

Oma Illu. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 18.40

WITA. 70 Hasil wawancara dengan Ibu Nona Amtiran. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai

Naikolan. Kupang, 13 April 2019. Pukul 15.00 WITA. Bapak Mesakh Kolis. Anggota Jemaat

GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 18 April 2019. Pukul 09.00 WITA. Bapa Christopel

Kolis. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 18 April 2019. Pukul 09.30

WITA. Bapak Alex Tasuib. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April

2019. Pukul 17.25 WITA. Bapa Edy Illu. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. 30 April

2019. Pukul 18.00 WITA. Ibu Ema Illu. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang,

20 April 2019. Pukul 18.20 WITA. Bapa Thomas Tefu. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai

Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.00 WITA. Sdr. Febrianto Bajang. Anggota Jemaat

GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.30 WITA. Sdr. Elen Momay.

Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.50 WITA. Sdr.

Adypapa Blegur. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul

20.15 WITA.

Page 30: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

20

berkembangnya zaman, sirih pinang mulai digantingan oleh kopi, teh, dan

permen.71

4. Nilai-nilai yang terkandung dalam budaya sirih pinang.

Nilai pemersatu, bagi orang Timor atau masyarakat NTT sirih pinang

memiliki nilai yang dapat mempersatukan sesama manusia. Sirih pinang juga

merupakan suatu kebutuhan yang dapat memperdamaikan hal-hal yang bernilai

konflik. Disisi lain, sirih pinang memiliki nilai keakraban, serta mampu

melancarkan sebuah komunikasi. Sirih pinang juga dipandang sebagai alat untuk

menghargai sesama manusia.72

Oleh karena itu, sirih pinang tidak boleh dihilangkan karena merupakan

identitas budaya masyarakat NTT, sehingga jika sirih pinang hilang maka

identitas budaya pun akan hilang. Sirih pinang juga menjadi ciri khas masyarakat

NTT dan menjadi simbol atau alat penghubung dan pemersatu antar sesama

masyarakat yang ada di NTT khususnya Kota Kupang. Sehingga sirih pinang

untuk adat atau tradisi Timor tidak dapat dipisahkan.73

3.3. Makna Sirih Pinang Sebagai Simbol Keramahtamahan Menurut Jemaat

GMIT Gunung Sinai Naikolan.

Masyarakat NTT Khususnya di jemaat GMIT Gunung Sinai mengartikan

sirih pinang sebagai lambang atau simbol pemersatu, sebab ada berbagai macam

71 Hasil Wawancara dengan Ibu Nona Amtiran. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai

Naikolan. Kupang, 13 April 2019. Bapa Thomas Tefu. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai

Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.00 WITA. 72 Hasil wawancara dengan Ibu Nona Amtiran. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai

Naikolan. Kupang, 13 April 2019. Pukul 15.00 WITA. Bapak Mesakh Kolis. Anggota Jemaat

GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 18 April 2019. Pukul 09.00 WITA. Bapa Christopel

Kolis. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 18 April 2019. Pukul 09.30

WITA. Bapak Alex Tasuib. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April

2019. Pukul 17.25 WITA. Bapa Edy Illu. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. 30 April

2019. Pukul 18.00 WITA. Bapa Thomas Tefu. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan.

Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.00 WITA. Sdr. Febrianto Bajang. Anggota Jemaat GMIT

Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.30 WITA. Sdr. Elen Momay. Anggota

Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.50 WITA. Sdr. Adypapa

Blegur. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 20.15

WITA. 73 Hasil wawancara dengan Bapak Alex Tasuib. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai

Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 17.25 WITA. Sdr. Febrianto Bajang. Anggota Jemaat

GMIT unung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.30 WITA.

Page 31: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

21

suku di Indonesia yang ada di dalam jemaat Gunung Sinai. Bukan hanya sebagai

simbol pemersatu, tetapi jemaat GMIT Gunung Sinai juga menganggap sirih

pinang sebagai simbol keramahtamahan dalam kehidupan bersosial. Berikut

beberapa penjelasan pandangan jemaat tentang sirih pinang sebagai simbol

keramahtamahan dan pemahaman jemaat tentang sirih pinang sebagai simbol

keramahtamahan yang dapat membentuk perilaku jemaat.

1. Pandangan tentang sirih pinang sebagai simbol keramahtamahan

Sirih pinang sebagai simbol keramahtamahan dianggap sangat penting

menurut jemaat GMIT Gunung Sinai. Ramah tamah dalam sirih pinang, dilihat

dari sisi orang Timor atau masyarakat NTT artinya saling menghargai dan

menghormati antar sesama. Sirih pinang menjadi simbol keramahtamahan karena

didalamnya terkandung sikap sopan santun. Bagi masyarakat NTT jika belum ada

sirih pinang maka nilai sopan santun menjadi berkurang atau bahkan akan dinilai

bahwa tidak memiliki keramahtamahan dalam menyambut tamu.74

Sirih pinang merupakan pembuka keramahmatahan pertama yang artinya

sudah mencakup segala aspek seperti membuka wawasan, keakraban, serta

komunikasi dan adat pun sudah terbentuk di dalamnya. Keramahtamahan

merupakan simbol tanda kasih. Sirih pinang ini sebagai pelancar ramahtamah

serta memperlancar komunikasi.75 Memiliki kebiasaan memakan sirih pinang itu

merupakan budaya atau alat utama untuk membuka ramah tamah pertama. Sirih

pinang dianggap sebagai pembuka suatu perbincangan antara satu individu

dengan individu yang lain atau satu individu dengan satu kelompok.76

Bagi jemaat GMIT Gunung Sinai memulai dengan memakan sirih pinang

maka ketika mengakhiri juga harus dengan memakan sirih pinang itulah bentuk

keramahtamahan. Sirih pinang ini juga sebagai keramahtamahan karena jika

74 Hasil wawancara dengan Ibu Nona Amtiran. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai

Naikolan. Kupang, 13 April 2019. Pukul 15.00 WITA. 75 Hasil wawancara dengan Bapak Mesakh Kolis. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai

Naikolan. Kupang, 18 April 2019. Pukul 09.00 WITA. Bapa Christopel Kolis. Anggota Jemaat

GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 18 April 2019. Pukul 09.30 WITA. Bapak Alex Tasuib.

Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 17.25 WITA. 76 Hasil wawancara dengan Bapak Christopel Kolis. Anggota Jemaat GMIT Gunung

Sinai Naikolan. Kupang, 18 April 2019. Pukul 09.30 WITA.

Page 32: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

22

datang dan tidak membawa sirih pinang maka seperti ada yang kurang atau

pertemuan tersebut terasa belum lengkap dan belum diterima atau dianggap

sebagai orang asing dalam pertemuan. Sehingga keramahtamahan tidak

ditemukan atau dengan kata lain jika sirih pinang tidak ada maka suatu maksud

yang ingin disampaikan masih tertutup.77

Jemaat GMIT Gunung Sinai percaya bahwa dengan sirih pinang

komunikasi menjadi tidak tertutup dan dengan sirih pinang juga suatu pertemuan

dapat berakhir dengan baik. Sudah mencakup semua aspek jika kita

mendahulukan sirih pinang. Karena simbol keramahtamahan dalam sirih pinang

ini tinggi sekali.78 Jadi sirih pinang ini merupakan adat dan juga sebagai alat

pemersatu. Sehingga jika sirih pinang tidak ada, maka satu sama lain akan

menjadi acuh.79

2. Pemahaman jemaat tentang sirih pinang sebagai simbol keramahtamahan

dalam lingkungan bergereja yang dapat membentuk perilaku jemaat.

Sirih pinang sebagai simbol keramahtamahan dalam lingkungan

bergereja menurut beberapa jemaat GMIT Gunung Sinai sangatlah relatif, semua

tersebut tergantung dari lingkungan, atau dari yang utama keluarga kecil dulu.

Bagaimana memberikan pemahaman tentang arti sirih pinang itu sendiri,

kemudian dari lingkungan keluarga kecil akan merambat ke lingkungan keluarga

besar seperti acara-acara keluarga. Dalam kondisi seperti pertemuan-pertemuan

keluarga pasti disuguhkan sirih pinang, sehingga untuk itu sebagai orang yang

tahu akar budaya sirih pinang tersebut mencoba menjelaskan tentang budaya serta

tradisi kita kepada mereka. Jadi semuanya kembali ke keluarga kemudian barulah

gereja bisa mengambil tindakan lain untuk memperkuat pemahaman budaya yang

ada. Seperti ketika diacara keluarga tidak memiliki larangan atau bebas

77 Hasil wawancara dengan Bapak Mesakh Kolis. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai

Naikolan. Kupang, 18 April 2019. Pukul 09.00 WITA. Bapak Imanuel Kolis. Anggota Jemaat

GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang 18 April 2019. Pukul 10.00 WITA. Bapa Thomas Tefu.

Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.00 WITA. Sdr.

Elen Momay. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul

19.50 WITA. 78 Hasil wawancara dengan Sdr. Febrianto Bajang. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai

Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.30 WITA. 79 Hasil wawancara dengan Ibu Ema Illu. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan.

Kupang, 20 April 2019. Pukul 18.20 WITA.

Page 33: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

23

mengkonsumsi sirih pinang tetapi dalam lingkungan gereja kita harus menjaga

kebersihan lingkungan gereja. Sirih pinang dalam lingkungan gereja atau jemaat

ini berhubungan dengan budaya dan tempat, atau memiliki tatakrama budaya dan

tempat, sehingga terlepas dari hal tersebut mungkin tetap mempertahankan

komunikasi, juga sudah mempertahankan jangan mengotori rumah atau Bait

Allah.80

Tetapi ada juga beberapa jemaat yang menyarankan gereja untuk tetap

membudidayakan dan mendukung tradisi Mamat atau makan sirih pinang. Gereja

itu benar harus dan tetap merawat dan melestarikan sirih pinang bagi jemaatnya

untuk memperindah struktur hubungan masyarakat sosial di tingkat jemaat karena

sirih pinang ini sudah mendarah daging atau merupakan identitas masyarakat

NTT. Gereja masih mempertahankan budaya sirih pinang sebagai nilai-nilai

pembentuk perilaku jemaat agar jemaat tetap ramah dan tetap eksis dalam budaya

ketimurannya dalam gereja, karena gereja dapat memaparkan beberapa aspek

penting secara teologis bahwa sirih pinang ini termasuk salah satu tanaman yang

ada di Taman Eden yang diberkati. Jika gereja yang mengelolah maka tujuannya

indah dan diberkati Tuhan.81 Oleh karena itu, terdapat masukan-masukan tentang

cara agar tradisi Mamat atau budaya makan sirih pinang ini tetap dilestarikan

khususnya kepada jemaat yang kurang mengenal budaya atau tradisi Mamat.

1. Mencoba menjelaskan tentang tradisi Mamat atau budaya asli sirih pinang di

gereja atau di mana saja bahwa sirih pinang adalah simbol persatuan, serta

nilai keramahtamahan juga termasuk dalam tradisi Mamat tersebut.82

80 Hasil wawancara dengan Ibu Nona Amtiran. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai

Naikolan. Kupang, 13 April 2019. Pukul 15.00 WITA. Bapa Christopel Kolis. Anggota Jemaat

GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 18 April 2019. Pukul 09.30 WITA. Bapak Imanuel Kolis.

Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang 18 April 2019. Pukul 10.00 WITA.

Bapak Alex Tasuib. Anggot Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul

17.25 WITA. Sdr. Febrianto Bajang. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30

April 2019. Pukul 19.30 WITA. Sdr. Adypapa Blegur. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai

Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 20.15 WITA. 81 Hasil wawancara dengan Bapak Mesakh Kolis. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai

Naikolan. Kupang, 18 April 2019. Pukul 09.00 WITA. Bapa Thomas Tefu. Anggota Jemaat GMIT

Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.00 WITA. 82 Hasil wawancara dengan Ibu Nona Amtiran. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai

Naikolan. Kupang, 13 April 2019. Pukul 15.00 WITA. Ibu Ema Illu. Anggota Jemaat GMIT

Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 18.20 WITA. Ibu Oma Illu. Anggota

Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 18.40 WITA. Sdr. Elen

Page 34: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

24

2. Harus menyediakan sirih pinang, dan sebelum melaksanakan ibadah

mungkin dapat memulai dengan bersama-sama memakan sirih pinang

terlebih dahulu. Kemudian, ketika ada tamu yang datang ke gereja harus

sambut dengan oko mamat dan sirih pinang.83

3. Belajar untuk mengkonsumsi sirih pinang sehingga dapat tahu dan rasakan

manfaat dari sirih pinang ini.84

Melalui penjelasan diatas yaitu, keramahtamahan dalam tradisi makan

sirih pinang sangat penting karena dapat memberi nilai positif bagi jemaat GMIT

Gunung Sinai, dapat di simpulkan bahwa keramahtamahan yang terkandung

dalam tradisi makan sirih pinang perlu diteruskan untuk generasi berikutnya

karena dengan memakan sirih pinang bersama, banyak manfaat yang didapatkan,

tidak ada lagi yang namanya membedakan status sosial, sebab dengan memakan

sirih pinang bersama itu artinya semua sama dan bahwa dengan makan sirih

pinang bersama sebenarnya lebih kepada penerimaan dan menghargai antara

sesama makhluk ciptaan Tuhan. Keramahtamahan dalam tradisi Mamat juga dapat

menciptakan keakraban serta menciptakan kehidupan yang rukun dan damai

antara sesama manusia.

IV. ANALISA

4.1. Pandangan Jemaat GMIT Gunung Sinai Mengenai Tradisi MAMAT

atau Memakan Sirih Pinang Sebagai Simbol Keramatamahan.

Masyarakat adalah sekumpulan individu-individu yang hidup bersama

dalam waktu yang sangat panjang dan memiliki budaya atau tradisi yang ditaati

dalam lingkungannya. Demikian pula dengan masyarakat NTT yaitu, Kota

Kupang terkhususnya di Jemaat GMIT Gunung Sinai yang hidup dengan budaya

atau tradisi mereka yaitu tradisi Mamat. Tradisi Mamat bagi orang Timor adalah

sebuah warisan budaya sejak zaman nenek moyang yang harus tetap

dibudidayakan atau dilestarikan. Tradisi Mamat atau tradisi makan sirih pinang

Momay. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.50

WITA. 83 Hasil wawancara dengan Bapak Thomas Tefu. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai

Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.00 WITA. 84 Hasil wawancara dengan Sdr. Febrianto Bajang. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai

Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.30 WITA.

Page 35: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

25

bagi masyarakat NTT khususnya Jemaat GMIT Gunung Sinai dimengerti sebagai

simbol keramahtamahan. Keramahtamahan yang dimaksud adalah cara untuk

menghubungkan hubungan antara yang satu dengan yang lain atau diri sendiri

dengan orang asing.

Dengan adanya tradisi Mamat sebagai simbol keramahtamahan, tentunya

dapat membuat masyarakat menjadi lebih dekat atau dapat menjalin keakraban

satu sama lain dengan baik. Hal ini sesuai dengan teori dari Derrida yang

mengatakan bahwa keramahtamahan adalah etika itu sendiri yang akan merujuk

kepada penerimaan atau empati terhadap sesama. Gagasan utama dari

keramahtamahan adalah penerimaan atau empati. Empati adalah kemampuan

dengan berbagai definisi yang berbeda yang mencakup spektrum yang luas,

berkisar pada orang lain yang menciptakan keinginan untuk menolong sesama,

mengalami emosi yang serupa dengan emosi orang lain, mengetahui apa yang

orang lain rasakan dan pikirkan sehingga mengaburkan garis antara dirinya dan

orang lain. Hal ini juga dialami oleh masyarakat NTT khususnya jemaat GMIT

Gunung Sinai, yang mengatakan bahwa dengan tadisi makan sirih pinang artinya

sudah saling menerima satu dengan yang lain serta tidak ada lagi perbedaan dalam

kelompok tersebut.

Pengertian keramahtamahan adalah etika atau budaya itu sendiri,

kermahtamahan juga merupakan definisi struktur yang mengatur hubungan antara

di dalam dan di luar; dalam artian antara pribadi dan publik. Demikian juga

dengan tradisi Mamat, jika berkunjung ke rumah orang lain dan tidak membawa

atau tidak menyuguhkan sirih pinang maka seperti ada yang belum kurang atau

pertemuan itu belum lengkap dan belum diterima atau dianggap sebagai orang

asing. Keramahtamahan berarti membiarkan yang lain masuk ke diri sendiri atau

ke ruang milik sendiri. Hal tersebut pun terjadi dalam tradisi Mamat, ketika sirih

pinang telah disuguhkan dan telah makan sirih pinang bersama artinya sudah ada

penerimaan dalam pertemuan tersebut, sehingga komunikasi tidak menjadi

tertutup atau dengan sirih pinang suatu pertemuan dapat berakhir dengan baik.

Keramahtamahan dapat (dan memang) memperkuat ikatan antara mereka yang

secara budaya sama serta yang datang dengan perbedaan. Keramahtamahan juga

Page 36: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

26

sering dilihat sebagai lambang atau simbol perdamaian dan penerimaan (empati

terhadap sesama) sehingga, dalam tradisi Mamat keramahtamahan dijadikan

sebagai simbol untuk memperkuat tujuan dari tradisi tersebut.

Simbol mempunyai peran yang sangat penting dalam urusan-urusan

manusia: manusia dapat menata dan menafsirkan realitasnya dengan simbol-

simbol dan bahkan merekonstruksi realitasnya tersebut dengan simbol. Tradisi

Mamat sebagai simbol, karena merupakan identitas budaya masyarakat NTT,

sehingga jika tradisi tersebut hilang maka identitas masyarakatpun akan hilang.

Raymond Firth mengatakan bahwa sebuah simbol kadang-kadang dapat

memenuhi suatu fungsi yang lebih bersifat privat dan individual. Hal tersebut juga

ada dalam tradisi Mamat, sirih pinang merupakan lambang kehormatan dan

lambang persatuan. Sirih pinang merupakan fondasi budaya ramah tamah atau

fondasi nilai sosial dari masyarakat khususnya masyarakat Timor. Dalam hal ini

sirih pinang menjadi kunci utama bagi masyarakat NTT khususnya jemaat GMIT

Gunung Sinai. Tradisi Mamat juga dapat membantu seseorang yang sedang

mengalami perselisihan dengan orang lain, ketika datang dan ingin meminta maaf

serta menyuguhkan sirih pinang sirih pinang terlebih dahulu dapat membuat

susasana menjadi lebih damai, sehingga tradisi makan sirih pinang juga dianggap

sebagai simbol perdamaian atau tanda permintaan maaf yang bersifat individual.

Simbol tidak memisahkan ketika mengantarai, tetapi mempersatukan dengan

segera, sebab simbol yang sejati dipersatukan dengan hal yang disimbolkan,

karena hal yang disimbolkan membentuk simbol sebagai realitas dirinya sendiri.

Hal ini juga ada dalam tradisi Mamat sebagai simbol keramahtamahan, bagi

jemaat GMIT Gunung Sinai simbol keramahtamahan yang ada dalam tadisi

makan sirih pinang sangatlah tinggi, karena sirih pinang merupakan pembuka

keramahtamahan yang mencakup segala aspek seperti membuka wawasan,

keakraban, komunikasi, bahkan adat atau budaya pun sudah terbentuk

didalamnya.

Tradisi Mamat atau makan sirih pinang sebagai simbol keramahtamahan

dalam konteks Jemaat GMIT Gunung Sinai sangat memiliki makna dan peran

yang tidak hanya satu. Tradisi Mamat menjadi simbol keramahtamahan yang

Page 37: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

27

mencakup segala aspek atau bidang seperti bidang komunikasi, bidang agama

yaitu ritual, dan bidang sosial lain seperti persahabatan bagi Jemaat GMIT

Gunung Sinai karena dilihat dan diteliti dari berbagai pandangan. Hal ini pun

sesuai dengan teori dari Clifford Greetz yang mengatakan bahwa simbol dapat

didefinisikan sebagai objek, tindakan, peristiwa, sifat, atau hubungan yang dapat

berperan sebagai wahana suatu konsepsi dan konsepsi ini adalah makna simbol.

Dengan demikian tradisi makan sirih pinang ada dan hadir dalam kehidupan

Jemaat GMIT Gunung Sinai yang selalu menggunakan sirih pinang sebagai

simbol keramahtamahan dalam kehidupan bersosial sehari-hari.

Tradisi Mamat memiliki acuan budaya sehingga masyarakat NTT

Khususnya Jemaat GMIT Gunung Sinai menggunakannya sebagai simbol

keramahtamahan dalam menjalani kehidupan sehari-hari yang mana simbol

keramahtamahan itu dapat selalu dilihat, dirasakan. Hal ini pun sesuai dengan

teori dari Budiaono Herusatoto yang mengatakan bahwa simbol yang berupa

benda, keadaan, atau hal sebenarnya bebas terlepas dari tindakan manusia, tetapi

sebaliknya tindakan manusia harus selalu mempergunakan simbol-simbol sebagai

media penghantar dalam komunikasi antar sesama. Budaya atau tradisi makan

sirih pinang sudah ada sejak dahulu kala dan sudah digunakan atau diterapkan

oleh masyarakat NTT khususnya Jemaat GMIT Gunung Sinai. Berdasarkan hasil

penelitian tradisi makan sirih pinang bagi jemaat Gunung Sinai mengalami

pergeseran makna yang awalnya hanya sebagai kebiasaan karena merupakan

budaya berubah menjadi suatu simbol pemersatu serta penerimaan dan lebih

khususnya menjadi simbol keramhatamahan. Hal tersebut sesuai denga teori dari

para ahli seperti Raymond Fitrh dan Mary Douglas yang mengatakan bahwa

perubahan pada simbol mengalami pergeseran dari generasi ke generasi

berikutnya.

Berdasarkan hasil studi teoritis dan hasil penelitian lapangan, ada beberapa

faktor yang menarik dari hasil penelitian tentang pandangan jemaat Gunung Sinai

terhadap tradisi Mamat sebagai simbol keramhtamahan. Pertama, tidak

melestarikan tradisi Mamat atau makan sirih pinang, sama artinya dengan

menghilangkan identitas diri. Menurut masyarakat NTT khususnya jemaat GMIT

Page 38: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

28

Gunung Sinai, sirih pinang merupakan identitas mereka sebagai masyarakat NTT.

Sehingga jika menghilangkan tradisi makan sirih pinang berarti menghilangkan

adat istiadat atau budaya.

Kedua, penolakan terhadap ajakan makan sirih pinang atau tradisi Mamat

merupakan sikap tidak menghargai karena tidak memiliki sopan santun dan tata

krama atau dapat dikatakan penolakan terhadap ajakan makan sirih pinang atau

tradisi Mamat berarti menolak akan adanya sikap ramah tamah. Masyarakat NTT

khususnya jemaat GMIT Gunung Sinai membangun kekerabatan, persahabatan

dan sikap saling menghargai melalui tradisi Mamat, karena melalui sirih pinang

ada komunikasi, rasa persaudaraan terkhususnya keramahtamahan yang terjalin

baik dalam kehidupan sosial masyarakat.

Ketiga, keramahtamahan yang terkandung dalam tradisi Mamat

merupakan tanda cinta kasih yang terjadi secara spontan. Ketika saling memberi

atau menyuguhkan sirih pinang artinya terdapat sebuah keramahtamahan berupa

cinta kasih saling menerima satu sama lain sehingga tidak terdapat lagi perbedaan

antara satu dan yang lain. Keempat, tradisi Mamat atau makan sirih pinang

sebagai simbol penerimaan dan alat pemersatu bagi mayarakat NTT Khususnya

jemaat GMIT Gunung Sinai yang menggunakan sirih pinang sebagai alat untuk

membangun hubungan baik antar sesama.

Kelima, sirih pinang sebagai simbol perdamaian. Secara ritual adat

masyarakat NTT sirih pinang serta tempat sirih (Oko Mamat) untuk berdamai

dengan sesama jika terdapat peselisihan, berdamai dengan alam, roh leluhur.

Masyarakat NTT percaya bahwa ketika saling menyuguhkan serta makan sirih

pinang bersama dapat membuat suasana emosi atau dapat membuat amarah

menjadi redah dan suasana menjadi tentram dan damai. Dengan kata lain ketika

menyuguhkan dan makan sirih pinang bersama ada tanda penghormatan dan

saling menghargai.

Keenam, jemaat GMIT Gunung Sinai percaya bahwa dengan tetap

melestarikan tradisi Mamat dapat membentuk perilaku jemaat khususnya jemaat

atau masyarakat yang kurang mengenal tradisi Mamat. Membudidayakan dan

Page 39: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

29

melestarikan tradisi Mamat dengan cara memberi dan memakan sirih pinang

bersama artinya sudah ada keramahtamahan yang terjalin dengan baik dari saling

menghargai, menghormati, menerima, mengasihi sesama. Tradisi Mamat bukan

hanya sekedar memberi dan makan bersama tetapi memiliki banyak nilai-nilai

positif yang dapat membentuk perilaku jemaat menjadi lebih baik dalam bersosial.

Tradisi Mamat merupakan adat istiadat berupa sajian tradisional bagi

masyarakat NTT khususnya jemaat GMIT Gunung sinai. Tradisi Mamat atau

makan sirih pinang digunakan sebagai alat, lambang atau simbol keramahtamahan

dalam kehidupan sehari-hari karena memiliki berbagai nilai-nilai positif yang

dapat mempersatukan dan membentuk perilaku masyarakat seperti saling

menerima dan menghargai perbedaan. Selain itu tradisi Mamat juga sebagai

simbol pemersatu, penerimaan, pendamaian, tanda kasih, penghormatan,

komunikasi, serta dalam tradisi makan sirih pinang tidak ada lagi perbedaan

terhadap status sosial dalam masyarakat.

V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang dijelaskan diatas, dapat disimpulkan bahwa

kehidupan masyarakat NTT terkhususnya jemaat GMIT Gunung Sinai

dipengaruhi oleh budaya atau tradisi karena memiliki nilai-nilai positif yang

mencakup relasi sosial antara sesama dalam kehidupan bersosial di zaman

modern. Hal ini terbukti dengan adanya tradisi Mamat atau makan sirih pinang

sebagai budaya tradisional yang masih ada dan sangat kuat nilai keramahtamahan

yang ada dalam tradisi makan sirih pinang bersama.

Refleksi iman Kristen dan sikap terhadap tradisi makan sirih pinang

sebagai simbol keramahtamahan yang mempersatukan, menghormati dan saling

menghargai menunjukkan bahwa iman Kristen itu berinteraksi dengan relasi

sosial dan budaya sehingga budaya atau tradiri dan kekristenan tidak dapat

dipisahkan, karena kekristenan adalah bagian dari budaya itu sendiri. Hal tersebut

dapat diperjelas dengan saling memberikan dan memakan sirih pinang bersama,

kemudian sirih pinang yang merupakan suguhan pertama ketika bertemu dengan

Page 40: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

30

kenalan maupun dengan para tamu. Dengan adanya tradisi Mamat masyarakat

saling berbaur tanpa melihat adanya perbedaan. Tradisi Mamat juga memberikan

sebuah perubahan yang baik untuk masyarakat khususnya untuk gereja karena

dapat mengajarkan tentang saling menerima dan saling menghargai tanpa

memandang status, tradisi makan sirih pinang bersama membuat masyarakat

dapat memiliki perilaku yang baik seperti mengasihi, menghargai, dan

menghormati sesama. Sirih pinang sebagai tanda awal pembuka pembicaraan,

penghormatan, dan penghargaan. Tradisi Mamat juga sebagai tanda awal bahwa

tuan rumah telah menerima tamu dengan tanda kasih seperti yang diajarkan dalam

Kekristenan. Sehingga tradisi makan sirih pinang bersama dapat membuat

perilaku masyarakat menjadi lebih positif dalam lingkungan masyarakat mauapun

lingkungan bergereja.

5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan teori yang telah dianalisa dan dijelaskan,

maka saran yang dapat disampaikan oleh peneliti ialah;

1. Gereja

Gereja harus mempertahankan serta membudidayakan tradisi Mamat atau

makan sirih pinang karena memiliki nilai keramahtamahan yang terkandung

dalam tradisi makan sirih pinang. Tradisi Mamat atau makan sirih pinang memilik

makna yang luas serta dengan tradisi tersebut juga dapat membentuk perilaku

positif terhadap jemaat dalam berrelasi dengan sesama. Gereja harus terus

memberikan pemahaman tentang tradisi atau budaya-budaya lokal yang telah ada

bahwa budaya adalah identitas masyarakat dan juga identitas gereja sehingga

harus tetap untuk dilestarikan di kehidupan modern. Sehingga budaya yang telah

ada tidak memudar atau bahkan menghilang karena tawaran-tawaran budaya baru

dari perkembangan zaman yang semakin pesat.

2. Fakultas

Tulisan ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi sivitas

akademika, Fakultas Teologi berkaitan budaya Masyarakat NTT yaitu tradisi

Page 41: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

31

Mamat atau makan sirih pinang yang kurang mendapat perhatian dalam penelitian-

penelitian terdahulu. Fakultas Teologi sebaiknya harus meningkatkan lagi

penelitian terhadap kebudayaan lokal yang ada, karena budaya dan kekristenan

merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ini juga berkaitan dengan

mata kuliah Agama, Masyarakat dan IPTEK. Mata kuliah tersebut juga harus

memasukan berbagai materi tentang kebudayaan lokal yang tidak dapat dipisahkan

dari agama dan cara agar kebudayaan lokal tidak hilang ketika mengalami

perkembangan zaman sehingga tidak menimbulkan penyimpangan dalam

penilaian terhadap kebudayaan lokal.

Page 42: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

32

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Bagus, Lorens. 2000. “Kamus Filsafat”. Jakarta: PT Gramedia.

Baron & Byrne. 2004. “Psikologi Sosial”. Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Basrowi. 2014. “Pengantar Sosiologi”. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.

C. Lewis. 2000. “Elementary Latin Dictionary”. Oxford: Oxford University

Press.

D. Engel. 2005. Metodologi Penelitian Sosial dan Teologi Kristen. Salatiga:

Widya Sari

Depertemen Pendidikan Dan Kebudayaan Pusat Penilitian Sejarah Dan Budaya

Proyek Penilitian Sejarah Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1981. Adat

istiadat Daerah Nusa Tenggara Timur. Jakarta

Dilistone, F.W. 2000. “The Power of Symbols”. Yogyakarta: Kanisius.

Douglas, Mary. 1973. “Natural Symbols: Explorations in Cosmology”. London:

Penguin Books.

Eisenberg, Nancy and Janet Strayer (ed). 1990. “Emphaty and its Development”.

New York: Press Syndicate of University of Cambridge.

Faisal, Sanapiah. 2010. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: Rajagrafindo

Persada

Firth, Raymond. 1973. “Symbol: Public and Private”. Ithaca, New York: Cornell

University Perss.

Greetz, Clifford. 1992. “Kebudayaan dan Agama”. Yogyakarta: Kanisius.

Herusatoto, Budiono. 2008. “Simbolisme Jawa”. Yogyakarta: Ombak.

Hodges , Sara D.& Kristi J. Klein. 2001. “Regulating the Cost of Empathy: the

Price of Being Human”. Journal of Sosio-Economic

Page 43: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

33

Holland, Joe dan Peter Henroit SJ. 1986. Analisis Sosial & Refleksi Teologis –

Kaitan Iman dan Keadilan. Yogyakarta: Kanisius

Hook, Sydney (ed). 1962. “Religious Experience and Truth”. Edinburgh: Oliver

and Boyd.

J. S. Badudu, Sultan Mohammad Zain. 2001. Kamus Umum Bahasa Indonesia.

Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Kana, Nico L.1983. Dunia Orang Sawu. Jakarta: Sinar Harapan

Laela, Nurhayati Dewi, Suhartati, dan Sunarto. 2007. “Fungsi dan Makna

Simbolis Genta Di

Jawa Tengah”. Semarang: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi

Jawa

Tengah.

Lonergan, Bernard. 1972. “Method in Theology”. London: Darton, Longman and

Todd.

Montandon, Alain. 2000. “L’hospitalite au XVIIe siecle”. France: Presses

Universitaires Blaise Pascal.

Nawawi. 2004. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogjakarta: Gajah Mada

University Press.

R.M Maclver. 1950. “Society”. Macmillan.

Rahner, Karl. 1966. “Theological Investigation Vol IV”. London: Darton,

Longman and Todd

Ricoeur, Paul. 1974. “The Conflicts of Interpretations”. Evanston: Nortwestern

University Press.

Ricoeur, Paul. 1970. “The Symbolism of Evil”. Boston: Beacon Press.

Soekanto, Soerjono. 2014. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers

Page 44: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

34

Still, Judith. 2010. “Derrida and Hospitality – Theory and Practice”. Edinburgh:

Edinburgh University Press

Suharsimi, Arikunto. 2010. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik.

Jakarta: Rineka Cipta

Sutardi, Tedi. 2007. “Antropologi: Mengungkapkan Keragaman Budaya”.

Bandung: PT Setia Purnama Inves.

Tillich, Paul. 1965. “Ultimate Concern”. London: SCM Press.

INTERNET

Risal, 2018. Wilayah Administrasi.

http://v8.kupangkota.go.id/2018/10/15/wilayah- administrasi/. Akses

18-10-18. Pukul 17.30 dan 17.45 WITA

Risal, 2018. Sejarah Kota Kupang.

http://v8.kupangkota.go.id/2018/10/15/sejarah-kota-kupang-2/. Akses 17

10-18. Pukul 15.00 dan 15.10 WITA

Salukh, Leksi. 2017. Sirih Pinang, Simbol Penghargaan di Timor Tengah Selatan

https://www.kompasiana.com/leksisalukh/5976dae4da1e4a35384b0262/sir

ih-pinang-simbol-penghargaan?page=all. Akses 08-09-18. Pukul 19.00 WIB

Louis, Chevalier de Jaucourt: 2009. The Encyclopedia of Dderot & d’Alembert

Collaborative Traslation Project.

http://hdl.handle.net./2027/spo/did222/0002.761. Akses 12-03-19. Pukul

21.31 WIB

HASIL WAWANCARA

Hasil wawancara dengan Bapak Alex Tasuib. Anggota Jemaat GMIT Gunung

Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 17.25 WITA.

Hasil wawancara dengan Bapa Christopel Kolis. Anggota Jemaat GMIT Gunung

Sinai Naikolan. Kupang, 18 April 2019. Pukul 09.30 WITA.

Page 45: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Keramatamahan dalam Tradisi ...

35

Hasil wawancara dengan Bapak Edy Illu. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai

Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 18.00 WITA.

Hasil wawancara dengan Bapak Imanuel Kolis. Anggota Jemaat GMIT Gunung

Sinai Naikolan. Kupang 18 April 2019. Pukul 10.00 WITA.

Hasil wawancara dengan Bapak Mesakh Kolis. Anggota Jemaat GMIT Gunung

Sinai Naikolan. Kupang, 18 April 2019. Pukul 09.00 WITA.

Hasil wawancara dengan Bapak Thomas Tefu. Anggota Jemaat GMIT Gunung

Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.00 WITA.

Hasil wawancara dengan Ibu Ema Illu. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai

Naikolan. Kupang, 20 April 2019. Pukul 18.20 WITA.

Hasil wawancara dengan Ibu Nona Amtiran. Anggota Jemaat GMIT Gunung

Sinai Naikolan. Kupang, 13 April 2019. Pukul 15.00 WITA.

Hasil wawancara dengan Ibu Oma Illu. Anggota Jemaat GMIT Gunung Sinai

Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 18.40 WITA.

Hasil wawancara dengan Sdr. Adypapa Blegur. Anggota Jemaat GMIT Gunung

Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 20.15 WITA.

Hasil wawancara dengan Sdri. Elen Momay. Anggota Jemaat GMIT Gunung

Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.50 WITA.

Hasil wawancara dengan Sdr. Febrianto Bajang. Anggota Jemaat GMIT Gunung

Sinai Naikolan. Kupang, 30 April 2019. Pukul 19.30 WITA.