TA_10101001025
description
Transcript of TA_10101001025
ANALISIS FAKTOR PENYEBAB DERMATITIS KONTAK IRITAN PADA PEKERJA
PABRIK TAHU PRIMKOPTI UNIT USAHA KELURAHAN BUKIT SANGKAL
PALEMBANG TAHUN 2014
MANUSKRIP SKRIPSI
OLEH
RAHMI GARMINI
NIM. 10101001025
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2014
HALAMAN PERSETUJUAN
Manuskrip skripsi ini dengan judul “Analisis Faktor Penyebab Dermatitis Kontak
Iritan pada Pekerja Pabrik Tahu Primkopti Unit Usaha Kelurahan Bukit Sangkal
Palembang Tahun 2014” telah mendapat arahan dan bimbingan dari Pembimbing I
dan/atau Pembimbing II serta disetujui pada tanggalJuli 2014.
Indralaya, Juli 2014
Pembimbing :
1. H.A. Fickry Faisya, S.KM., M.Kes ( )
NIP. 196406211988031002
2. Rini Mutahar, S.KM., M.KM ( )
NIP. 197806212003122003
ANALISIS FAKTOR PENYEBAB DERMATITIS KONTAK IRITAN PADA PEKERJA
PABRIK TAHU PRIMKOPTI UNIT USAHA KELURAHAN BUKIT SANGKAL
PALEMBANG TAHUN 2014
ANALYSIS OF FACTORS CAUSE IRRITANT CONTACT DERMATITIS IN TOFU INDUSTRY
PRIMKOPTI BUKIT SANGKAL PALEMBANG 2014
Rahmi Garmini1, A. Fickry Faisya
2, Rini Mutahar
3
1Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya
2Dosen Bagian K3KL Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya
3Dosen Bagian Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya
email: [email protected]
CP: 085267306606
ABSTRACT
Background :Occupational contact dermatitis is a common skin disorder, about 85% to 98% of all
occupational skin diseases. The results of a preliminary survey conducted in the Primkopti tofu industry 4
people found that workers experienced a cumulative irritant contact dermatitis of 7 workers interviewed,
equivalent to 57.1%.
Methods :This study is an analytic survey with cross sectional approach. The total sample of 33 workers. The
sampling technique was conducted using purposive sampling technique. Data analysis performed univariate
and bivariate chi-square statistical test. The data presented in the analysis of the p-value, the prevalence
ratio (PR) and 95% confidence intervals (CI).
Results :The results showed that 51.5% of workers had DKI.Based on the results of measurements of the
levels of acetic acid in water of tofu processing is 44.19 mg / L. Factors related causes in this research that
there is a relationship between DKI withworking period (p value = 0.019), duration of contact (p value =
0.009), knowledge (p value = 0.019 ) and the use of PPE (p value = 0.023), while the unrelated age (p value
= 0.589) and personal hygiene (p value = 0.858).
Conclusion :It can be concluded that the results of the study, the incidence of irritant contact dermatitis in
workers that is equal to 51.5% and necessary educate the employees regarding the use of PPE and
occupational diseases.
Keywords : Irritant Contact Dermatitis, Duration of Contact,Using PPE.
ABSTRAK
Latar Belakang : Dermatitis kontak akibat kerja merupakan salah satu kelainan kulit yang sering dijumpai,
sekitar 85% sampai 98% dari seluruh penyakit kulit akibat kerja. Hasil survei pendahuluan yang dilakukan di
pabrik tahu Primkopti didapatkan bahwa 4 orang pekerja mengalami dermatitis kontak iritan kumulatif dari 7
pekerja yang diwawancara atau setara dengan angka 57,1%.
Metode :Penelitian ini merupakan penelitian survei analitik dengan pendekatan cross sectional. Jumlah
sampel sebanyak 33 pekerja. Teknik pengambilan sampel dilakukan menggunakan teknik purposive
sampling. Teknik analisa data dilakukan secara univariat dan bivariat dengan uji statistik chi square. Data
disajikan dalam analisa p-value, prevalensi rasio (PR) dan 95% interval kepercayaan (CI).
Hasil : Hasil penelitian didapatkan bahwa 51,5% pekerja mengalami DKI. Berdasarkan hasil pengukuran
kadar asam cuka pada air pengolahan tahu yaitu 44,19 mg/L.Faktor penyebab yang berhubungan dalam
penelitian ini yaitu ada hubungan antara DKI dengan masa kerja (p value = 0,019), lama kontak (p value =
0,009), pengetahuan (p value = 0,019) dan penggunaan APD (p value = 0,023), sedangkan yang tidak
berhubungan yaitu usia (p value = 0,589) dan personal hygiene (p value = 0,858).
Kesimpulan :Dapat disimpulkan bahwa dari hasilpenelitian,kejadian dermatitis kontak iritan pada pekerja
tahu yaitu sebesar 51,5% dan perlu dilakukan penyuluhan kepada pekerja mengenai penggunaan APD dan
penyakit akibat kerja.
Kata Kunci:Dermatitis Kontak Iritan,Lama Kontak, Penggunaan APD.
PENDAHULUAN
Berbagai risiko dalam kesehatan dan keselamatan kerja adalah kemungkinan terjadinya
Penyakit Akibat Kerja (PAK), penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan dan kecelakaan kerja
yang dapat menyebabkan kecacatan dan kematian. Antisipasi ini dapat dilakukan semua pihak
dengan menyesuaikan antara pekerja, proses kerja, dan lingkungan kerja. Perkembangan industri
yang pesat menimbulkan lapangan kerja baru dan menyerap tambahan angkatan kerja baru yang
sebagian besar (70-80%) berada di sektor informal. Semua industri, baik formal maupun informal
diharapkan dapat menerapkan K3.1
Salah satu penyakit akibat kerja yang paling banyak dijumpai yaitu dermatitis kontak akibat
kerja. Kelainan kulit ini dapat ditemukan sekitar 85% sampai 98% dari seluruh penyakit kulit
akibat kerja. Insiden dermatitis kontak akibat kerja diperkirakan sebanyak 0,5 sampai 0,7 kasus per
1000 pekerja per tahun. Penyakit kulit diperkirakan menempati 9% sampai 34% dari penyakit yang
berhubungan dengan pekerjaan. Dermatitis kontak akibat kerja biasanya terjadi di tangan dan
angka insiden untuk dermatitis bervariasi antara 2% sampai 10%. Diperkirakan sebanyak 5%
sampai 7% penderita dermatitis akan berkembang menjadi kronik dan 2% sampai 4% di antaranya
sulit untuk disembuhkan dengan pengobatan topikal.2
Penyakit dermatitis juga terjadi pada pekerja informal yang umumnya kurang memperhatikan
sanitasi dan perlindungan bagi kesehatan dirinya. Pekerja tahu misalnya, penyakit dermatitis dapat
terjadi sebagai akibat dari pemaparan zat-zat kimia dalam limbah cair tahu yang mengakibatkan
penyakit dermatitis dengan gejala seperti iritasi, gatal-gatal, kulit kering dan pecah-pecah,
kemerah-merahan, dan koreng yang sulit sembuh.3Faktor-faktor penyebab dermatitis kontak
dikelompokkan menjadi dua yaitu penyebab langsung (sifat zat, kelarutan, formulir (gas, cair,
padat), konsentrasi, lama kontak) dan penyebab tidak langsung (usia, gender/ jenis kelamin, ras,
personal hygiene, penggunaan APD, dan pengetahuan).4
Penelitian yang dilakukan oleh Azhar,5terhadap petani rumput laut di Kabupaten Bantaeng
Sulawesi Selatan terdapat sebanyak 56,2% petani menderita dermatitis kontak iritan yang berasal
dari kontak alergen pada saat pembibitan. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa kontak dengan
bahan kimia salah satunya dengan amonia pada waktu bekerja di perusahaan industri otomotif
kawasan industri Cibitung Jawa Barat terdapat dermatitis kontak akut terjadi pada 14 responden
(26%), dermatitis kontak sub akut pada 21 responden (39%), dermatitis kontak kronik pada 5
responden (9%), dan tidak mengalami kontak pada 14 responden (26%). Faktor yang paling utama
mempengaruhi terjadinya dermatitis akibat kerja karena kontak dengan bahan kimia adalah
pemakaian APD berupa sarung tangan yang tidak sesuai untuk jenis bahan kimia yang digunakan.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi dermatitis kontak akibat kerja adalah adanya kontak dengan
bahan kimia, lama kontak, dan frekuensi kontak.6
Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang dilakukan peneliti dengan jumlah sampel 20% dari
total populasi pekerja pabrik tahu Primkopti yang berjumlah 33 orang, didapatkan bahwa 4 orang
dari 7 pekerja mengalami dermatitis kontak iritan kumulatif dengan gejala-gejala seperti kulit
terasa panas, gatal, dan perih atau setara dengan angka 57,1%.
BAHAN DAN CARA PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian survei analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel
pada penelitian ini adalah 33 orang. Teknik yang digunakan untuk pengambilan sampel
adalahpurposive sampling. Teknik analisa data secara univariat dan bivariat dengan uji chi square.
Data yang telah didapat dari uji yang telah dilakukan akan disajikan dalam bentuk tabel dan
gambar yang kemudian diinterpretasikan. Variabel dependen yang diteliti berupakejadian
dermatitis kontak iritan di pabrik Primkopti sedangkan variabel dependennya adalahusia,
pengetahuan, masa kerja, lama kontak, personal hygiene, dan penggunaan APD.
HASIL PENELITIAN
Analisis Univariat
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 33 pekerja pabrik tahu Primkopti Unit Usaha
Kelurahan Bukit Sangkal Palembang mengenai distribusi frekuensi kejadian dermatitis kontak
iritan, usia, masa kerja, lama kontak, pengetahuan, personal hygiene, penggunaan APD yang
diperoleh dari hasil kuesioner, dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1.Distribusi Frekuensi Kejadian Dermatitis Kontak Iritan, Usia, Masa Kerja, Lama
Kontak, Pengetahuan, Personal Hygiene, Penggunaan APD.
Variabel Kategori Jumlah %
Kejadian Dermatitis
Kontak Iritan
Dermatitis Kontak Iritan
Tidak Dermatitis Kontak Iritan
17
16
51,5
48,5
Usia ≥ 25 Tahun
< 25 Tahun
18
15
54,5
45,5
Masa Kerja ≤ 3 tahun
> 3 tahun
22
11
66,7
33,3
Lama Kontak ≥ 8 jam
< 8 jam
17
16
51,5
48,5
Pengetahuan Tidak baik
Baik
22
11
66,7
33,3
Personal Hygiene Tidak baik
Baik
16
17
48,5
51,5
Penggunaan APD Tidak Lengkap
Lengkap
20
13
60,6
39,4
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa pekerja pabrik tahu Primkopti yang mengalami
dermatitis kontak iritan sebanyak 17 orang (51,5%). Adapun pekerja pabrik tahu memiliki usia ≥
25 tahun sebanyak 18 orang (54,5%), pekerja yang bekerja ≤ 3 tahun terdapat 22 orang
(66,7%),pekerja dengan lama kontak ≥ 8 jam sebanyak 17 pekerja (51,5%), pekerjayang memiliki
pengetahuan tidak baiksebanyak22 pekerja (66,7%), pekerjayang memiliki personal hygiene yang
baiksebanyak17 pekerja (51,5%) dan 20 pekerja (60,6%) menggunakan APD tidak lengkap.
Kadar Asam Cuka dalam Air Pengolahan Tahu
Setelah dilakukan pengukuran kadar asam cuka pada air pengolahan tahu dengan cara titrasi,
diperoleh hasil yaitu mengandung asam cuka 44,19 mg/L, sehingga kadar asam cuka pada air
pengolahan tahu di pabrik Primkopti melebihi standar kadar maksimal yang ditentukan.
Berdasarkan Kepmenkes No. 1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan
Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri standar kadar maksimal asam cuka yaitu 10 mg/L.
Analisis Bivariat
Berdasarkan analisis bivariat yang dilakukan dengan menggunakan tabulasi silang dari masing-
masing variable independen terhadap kejadian dermatitis kontak iritan dengan menggunakan chi
square. Analisis bivariat dilakukan untuk mengukur besarnya p value dan prevalensi rasio. Hal ini
ditujukan untuk mengetahui hubungan antara variable (p value) dan untuk mengetahui setiap
variabel penelitian merupakan faktor protektif, bukan faktor risiko, atau merupakan faktor risiko.
Derajat kepercayaan yang digunakan adalah sebesar 95% atau tingkat kemaknaan sebesar 0,05.
Selanjutnya secara keseluruhan hasil analisis bivariat terkait beberapa variabel terhadap
kejadian dermatitis kontak iritan dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini.
Tabel 2.Analisis bivariat antara variabel usia, masa kerja, lama kontak, pengetahuan,
personal hygiene, penggunaan APD dengan dermatitis kontak iritan
Variabel Kategori p value RP 95% CI
Usia ≥ 25 Tahun
< 25 Tahun 0,589
0,741
0,382-1,435
Masa Kerja ≤ 3 tahun
> 3 tahun 0,019 3,750 1,037-13,564
Lama Kontak ≥ 8 jam
< 8 jam 0,009
3,059
1,258-7,439
Pengetahuan Tidak baik
Baik 0,019
3,750
1,037-13,564
Personal Hygiene Tidak baik
Baik 0,858
1,195
0,615-2,322
Penggunaan APD Tidak Lengkap
Lengkap 0,023
3,033
1,080-8,523
Berdasarkan tabel 2, dapat dilihat bahwa secara statistik (lihat p value), variabel yang memiliki
hubungan dengan kejadian dermatitis kontak iritan yaitu variabel masa kerja ( p value=0,019), lama
kontak ( p value=0,009), pengetahuan ( p value=0,019), dan penggunaan APD ( p value=0,023).
Selanjutnya, jika dilihat secara epidemiologi (lihat RP) bahwa variabel yang merupakan faktor
risiko terhadap kejadian dermatitis kontak iritan ialah masa kerja (RP=3,759) (CI 95% : 1,037-
13,564), lama kontak (RP= 3,059) (CI 95% : 1,258-7,439), pengetahuan (RP=3,759) (CI 95% :
1,037-13,564), penggunaan APD (RP=3,033) (CI 95% : 1,080-8,523).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel lama kontak (p value=0,009) ialah variabel yang
paling bermakna secara statistik. Sedangkan variabel masa kerja dan pengetahuan merupakan
variabel yang paling bermakna secara epidemiologi (RP=3,759), artinya sebesar 3 kali pekerja yang
memiliki masa kerja kurang dari 3 tahun dan pekerja yang memiliki pengetahuan tidak baik lebih
cenderung untuk terkena dermatitis kontak iritan.
Seperti yang dikethui, jika p value<0,05, maka dapat disimpulkan bahwa variabel masa kerja,
lama kontak, pengetahuan, dan penggunaan APD merupakan variabel yang berhubungan dengan
dermatitis kontak iritan di pabrik tahu Primkopti Palembang. Begitupun dengan rasio prevalensi
pada variabel yang berhubungan menunjukkan RP>1, yang artinya bahwa memang benar variabel
masa kerja, lama kontak, pengetahuan, dan penggunaan APD menjadi faktor risiko atau faktor yang
mempengaruhi terjadinya kejadian dermatitis kontak iritan.
PEMBAHASAN
Kejadian Dermatitis Kontak Iritan
Dermatitis kontak iritan merupakan respon inflamasi yang tidak berkaitan dengan reaksi imun
dikarenakan paparan langsung dari agen bahan iritan dengan kulit.7 Berdasarkan NIOSH,
8 gejala
umum dari dermatitis yaitu gatal, sakit, kemerahan, bengkak, pembentukan lepuh kecil atau bercak
(gatal, lingkaran merah dengan pusat putih) pada kulit, dan kering, mengelupas, bersisik kulit yang
dapat mengembangkan retak.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 33 orang pekerja pabrik tahu Primkopti,
diperoleh dari hasil kuesioner dan pemeriksaan fisik bahwa responden yang mengalami dermatitis
kontak iritan sebanyak 17 orang (51,5%). Semua responden yang mengalami dermatitis kontak
iritan, mengalami gejala-gejala seperti kulit terasa panas/ tergigit/ terbakar, gatal-gatal di lokasi
samping dan punggung jari-jari tangan dan kaki, kulit terasa perih serta kulit perih setelah terkena
kontak dengan limbah cair sebanyak 17 orang (51,5%). Pada proses pembuatan tahu, bahan
tambahan kimia yang digunakan adalah asam cuka (CH3COOH) yang berfungsi sebagai bahan
penggumpal protein menjadi tahu yang kontak langsung dengan para pekerja.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Azhar,5 kejadian dermatitis kontak iritan pada petani
rumput laut di Kabupaten Bantaeng Sulawesi Selatan ditemukan sebanyak 56,2% dari seluruh
responden yang berjumlah 210 orang. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa dari hasil penelitian
dan observasi oleh tenaga medis, ditemukan kejadian dermatitis kontak iritan yang tinggi yakni
sebesar 82,5% pengrajin logam di Desa Cepogo menderita dermatitis kontak iritan.9
Kadar Asam Cuka dalam Air Pengolahan Tahu
Menurut Suprapti,10
penggunaan bahan tambahan kimia dalam proses pengolahan/ pengawetan
makanan dan minuman bertujuan untuk meningkatkan kualitas makanan dan minuman yang
dihasilkan. Dalam kaitannya dengan pembuatan produk tahu, digunakan beberapa macam bahan
tambahan kimia. Salah satunya adalah asam cuka (CH3COOH) yang berfungsi sebagai bahan
penggumpal protein pada proses pembuatan tahu.
Berdasarkan hasil pengukuran kadar asam cuka pada air pengolahan tahu dengan cara titrasi,
diperoleh hasil yaitu air pengolahantahu mengandung asam cuka 44,19 mg/L, sehingga kadar asam
cuka yang terdapat di pabrik tahu Primkopti melebihi standar kadar maksimal yang ditentukan.
Berdasarkan Kepmenkes No 1405/MENKES/SK/XI/2002,11
standar kadar maksimal asam cuka
yaitu 10 mg/L.
Berdasarkan penelitian Nuraga,6kontak dengan bahan kimia pada waktu bekerja terjadi pada
semua responden. Jenis bahan kimia yang digunakan salah satunya yaitu asam asetat (asam cuka).
Hubungan antara Usia dengan Kejadian Dermatitis Kontak Iritan
Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p value =
0,589 > α (0,05) berarti tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara usia dengan
kejadian dermatitis kontak iritan.
Usia merupakan salah satu faktor yang dapat memperparah terjadinya dermatitis kontak.
Walaupun untuk usia yang terkena dermatitis tidak spesifik.12
Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang telah dilaksanakan oleh Nuraga,6 yang menyatakan bahwa faktor usia tidak
mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap terjadinya dermatitis kontak akibat kerja. Pada usia
kulit yang lebih tua menjadi lebih kering dan lebih rentan terhadap infeksi.4
Pekerja tahu yang usianya lebih tua berisiko mengalami dermatitis kontak iritan karena diduga
kelompok ini memiliki kondisi kulit yang lebih rentan dan kering terhadap infeksi dibanding
dengan usia yang lebih muda. Masa kerja juga ikut berpengaruh karena usia yang lebih tua
memiliki masa kerja yang lebih lama sehingga berisiko mengalami dermatitis kontak iritan.
Hubungan antara Masa Kerja dengan Kejadian Dermatitis Kontak Iritan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan diketahui bahwa ada hubungan yang bermakna secara
statistik antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak iritan dengan nilai p value = 0,019.
Nilai RP = 3,750 berarti pekerja dengan masa kerja ≤ 3 tahun mempunyai risiko untuk terkena
dermatitis kontak iritan 3,750 kali lebih besar dibandingkan pekerja dengan masa kerja > 3 tahun,
diketahui bahwa masa kerja merupakan faktor risiko terjadinya dermatitis kontak iritan pada
pekerja.
Masa kerja juga dapat berpengaruh pada terjadinya dermatitis. Hal ini berhubungan dengan
pengalaman bekerja, sehingga pekerja yang lebih lama bekerja lebih jarang terkena dermatitis
dibandingkan dengan pekerja yang sedikit pengalamannya. Namun, pekerja yang telah lebih lama
bekerja akan meningkatkan risiko terkena dermatitis karena lebih banyak terpajan bahan kimia.13
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Cahyawati,14
diketahui
bahwa masa kerja (p = 0,001) berhubungan dengan kejadian dermatitis pada nelayan. Masa kerja
seseorang menentukan tingkat pengalaman seseorang dalam menguasai pekerjaannya. Sama halnya
dengan pekerjaan sebagai nelayan yang ada di tempat pelelangan ikan Tanjungsari Kecamatan
Rembang. Di mana sebagian besar (75%) nelayan penderita dermatitis memiliki masa kerja 2 tahun
atau kurang, sebaliknya yang tidak menderita dermatitis semuanya memiliki masa lebih dari dua
tahun sebesar (25%).
Masa kerja berkaitan dengan lama kontak pekerja pabrik tahu Primkopti. Semakin lama pekerja
yang berkontak dengan limbah cair tahu, ditambah masa kerja yang lama akan memperberat
kejadian dermatitis kontak pada pekerja. Oleh karena itu, baik pekerja baru maupun pekerja lama
sebaiknya diberikan arahan atau prosedur kerja yang standar dan aman sebelum mulai bekerja.
Selain itu juga perlu disediakan alat pelindung diri yang lengkap dan mencukupi seluruh jumlah
pekerja, sehingga dapat terhindar dari bahaya-bahaya serta penyakit akibat kerja.
Hubungan antara Lama Kontak dengan Kejadian Dermatitis Kontak Iritan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui nilai p value = 0,009 bahwa ada
hubungan yang bermakna secara statistik antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak
iritan. Nilai RP = 3,059 yang berarti pekerja yang memiliki lama kontak terhadap air tahu ≥ 8 jam
mempunyai risiko untuk terkena dermatitis kontak iritan 3,059 kali lebih besar dibandingkan
pekerja yang memiliki lama kontak terhadap air tahu < 8 jam.
Lama kontak mempengaruhi kejadian dermatitis kontak akibat kerja. Lama kontak dengan
bahan kimia yang terjadi akan meningkatkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja. Semakin
lama kontak dengan bahan kimia, maka peradangan atau iritasi kulit dapat terjadi sehingga
menimbulkan kelainan kulit. Pengendalian risiko, yaitu dengan cara membatasi jumlah dan lama
kontak yang terjadi perlu dilakukan.6
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Ruhdiat,15
yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara lama kontak (p value 0,001) dengan kejadian
dermatitis kontak. Hal ini terjadi karena lama kontak akan menyebabkan makin meningkatnya
reaksi peradangan atau kelainan kulit yang terjadi.
Rata-rata pekerja yang kontak dengan air pengolahan tahu dibawah 8 jam merupakan pekerja
yang bekerja di bagian perendaman kedelai. Sedangkan pekerja yang bekerja dalam kurun waktu 8
jam tau lebih yaitu pekerja yang bekerja pada bagian perebusan yaitu merebus bubur kedelai,
penyaringan bubur kedelai, serta penggumpalan tergantung proses produksi yang
berlangsung.Pekerja yang mempunyai rata-rata lama kontak dengan air tahu lebih lama cenderung
lebih banyak menderita dermatitis kontak iritan, dibandingkan dengan pekerja yang mempunyai
rata-rata lama lebih singkat. Hal tersebut bisa terjadi karena semakin lama pekerja kontak dengan
limbah cair yang bersifat iritan lemah, sehingga kelainan kulit timbul setelah berulang kali kontak
atau dalam durasi yang lebih lama.
Hubungan antara Pengetahuan dengan Kejadian Dermatitis Kontak Iritan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui nilai p value = 0,019 bahwa ada
hubungan yang bermakna secara statistik antara pengetahuan dengan kejadian dermatitis kontak
iritan. Nilai RP = 3,750 berarti pekerja yang memiliki pengetahuan yang tidak baik mempunyai
risiko untuk terkena dermatitis kontak iritan 3,750 kali lebih besar dibandingkan pekerja yang
memiliki pengetahuan yang baik. Berdasarkan hasil kuesioner pertanyaan yang paling sedikit
dijawab benar oleh pekerja sebanyak 5 orang (15.2%) mengenai penyakit yang ditimbulkan oleh
amonia jika terkena kulit yaitu dermatitis.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilaksanakan oleh Erliana,16
diketahui
bahwa proporsi pekerja dengan pengetahuan kategori kurang 52,9% menderita dermatitis kontak
dibandingkan dengan pekerja berpengetahuan baik yaitu hanya 16,7%. Hasil uji chi-square
menunjukkan bahwa variabel pengetahuan mempunyai hubungan signifikan dengan kejadian
dermatitis kontak dengan nilai p=0,047.
Pengetahuan dapat berpengaruh terhadap terjadinya dermatitis kontak iritan, karena semakin
rendahnya pengetahuan pekerja mengenai penyakit akibat kerja, pentingnya penggunaan APD
dalam bekerja serta berperilaku hidup bersih dan sehat, akan menimbulkan potensi-potensi untuk
terjadinya bahaya di tempat kerja. Rendahnya pengetahuan pekerja tersebut disebabkan karena
tidak pernah dilakukannya penyuluhan mengenai bahaya-bahaya serta penyakit akibat kerja pada
saat melakukan pekerjaan. Oleh karena itu pabrik tersebut seharusnya memberikan pelatihan atau
penyuluhan mengenai risiko apa saja yang dapat timbul di tempat kerja.
Hubungan antara Personal Hygiene dengan Kejadian Dermatitis Kontak Iritan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui nilai p value = 0,858 bahwa tidak ada
hubungan yang bermakna secara statistik antara personal hygiene dengan kejadian dermatitis
kontak iritan. Berdasarkan hasil observasi, paling banyak yang dilakukan oleh pekerja yaitu
mencuci tangan dengan air dan sabun setelah melakukan proses pekerjaan sebanyak 29 orang
(87,9%).
Personal hygiene dapat digambarkan dengan cara mencuci tangan, karena tangan merupakan
anggota tubuh yang paling sering kontak dengan bahan kimia. Kebiasaan mencuci tangan yang
buruk akan memperparah kerusakan kulit. Kebersihan pribadi merupakan salah satu usaha
pencegahan terhadap penyakit kulit.17
Hasil penelitian yang sudah dilaksanakan sejalan dengan hasil penelitian Lestari,4yang menyatakan
bahwa tidak terdapat perbedaan proporsi kejadian dermatitis kontak yang bermakna antara
personal hygiene yang baik dengan personal hygiene yang kurang baik. Hal ini terlihat dari hasil p
value sebesar 0,588.
Pekerja yang memiliki personal hygiene yang baik lebih sedikit mengalami dermatitis kontak
iritan dibanding dengan pekerja yang memiliki personal hygiene yang tidak baik. Pengetahuan juga
ikut berpengaruh karena pekerja yang memiliki pengetahuan rendah mengenai personal hygiene
berisiko mengalami dermatitis kontak iritan. Agar terhindar dari penyakit kulit akibat kerja,
sebaiknya pekerja memperhatikan kebersihan diri selama berada di lingkungan kerja, seperti
mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan proses kerja, langsung membilas bagian tubuh
yang terkena limbah cair serta menggunakan pakaian yang bersih selama melakukan proses
pekerjaan.
Hubungan antara penggunaan APD dengan kejadian dermatitis kontak iritan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui nilai p value = 0,023 berarti ada
hubungan yang bermakna secara statistik antara penggunaan APD dengan kejadian dermatitis
kontak iritan. Nilai RP = 3,033 berarti pekerja yang menggunakan APD tidak lengkap mempunyai
risiko untuk terkena dermatitis kontak iritan 3,033 kali lebih besar dibandingkan pekerja yang
menggunakan APD lengkap. Berdasarkan hasil observasi, bahwa pekerja paling sedikit
menggunakan pakaian yang menutupi seluruh bagian tubuh sampai kebawah yaitu sebanyak 23
orang (69,7%).
Alat perlindungan diri adalah segala perlengkapan yang dipakai oleh seseorang di tempat kerja
yang melindunginya dari risiko terhadap keselamatan dan kesehatannnya.18
Pemakaian APD yang
tidak tepat dapat mencelakakan tenaga kerja yang memakainya karena mereka tidak terlindung dari
bahaya potensial yang ada di tempat mereka terpapar. Oleh karena itu agar dapat memilih APD
yang tepat, maka perusahaan harus mampu mengidentifikasi bahaya potensi yang ada, khususnya
yang tidak dapat dikendalikan, serta memahami dasar kerja setiap jenis APD yang akan digunakan
di tempat kerja dimana bahaya potensial tersebut ada.19
Hasil penelitian yang sudah dilaksanakan tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Azhar,5yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara
penggunaan APD dengan kejadian dermatitis kontak iritan pada petani rumput laut dengan p value
= 0,285.
Penggunaan APD memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kejadian dermatitis kontak
iritan, karena APD merupakan alat pelindung dari potensi-potensi bahaya yang ada di tempat kerja,
salah satu nya agar terhindar kontak langsung dengan bahan kimia yang dapat mengakibatkan
dermatitis kontak iritan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan.
Kejadian dermatitis kontak iritan pada pekerja tahu sebanyak 17 orang (51,5%).Berdasarkan hasil
pengukuran kadar asam cuka pada air tahu yaitu 44,19 mg/L. Faktor penyebab dermatitis kontak
iritan yang berhubungan yaitu masa kerja, lama kontak, pengetahuan,dan penggunaan APD. Faktor
lain yang tidak berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak iritan yaitu usia dan personal
hygiene.
Saran dari penelitian ini adalah sebaiknya pekerja lebih meningkatkan kesadaran untuk
menggunakan APD yang lengkap pada saat bekerja dan diberikan pelatihan serta penyuluhan
kepada pekerja tentang penggunaan APD, PHBS, dan mengenai penyakit akibat kerja.
DAFTAR PUSTAKA
1. Effendi, Fikry. 2007. Ergonomi Bagi Pekerja Sektor Informal Bagian Ilmu Kesehatan Kerja.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta (Cermin Dunia Kedokteran).
2. Tombeng, Melina, IGK Darmada, IGN Darmaputra. 2012. Dermatitis Kontak Akibat Kerja
pada Petani. Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
3. Ernasari. 2011. Pengaruh Penyuluhan Dermatitis Kontak terhadap Pengetahuan dan Sikap
Perajin Tahu di Kelurahan Mabar Kecamatan Medan Deli. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
4. Lestari, Fatma dan Utomo HS. 2007. Faktor-faktor yang berhubungan dengan dermatitis
kontak pada pekerja di PT Inti Pantja Press Industri. Makara, Kesehatan, Vol. 11, No.
2, Desember 2007: 61-68.
5. Azhar, Khadijah dan Miko Hananto. 2011. Hubungan Proses Kerja dengan Kejadian
Dermatitis Kontak Iritan pada Petani Rumput Laut di Kabupaten Bantaeng Sulawesi Selatan.
Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 10 No 1, Maret 2011 : 1-9.
[www.ejournal.litbang.depkes.go.id, 18 April 2014].
6. Nuraga, Wisnu, Fatma Lestari dan L. Meily Kurniawidjaja. 2008. Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja yang Terpajan dengan Bahan Kimia
di Perusahaan Industri Otomotif Kawasan Industri Cibitung Jawa Barat. Makara, Kesehatan,
Vol. 12, No. 2, Desember 2008: 63-70.
7. Sularsito SA dan Djuanda S. 2005. Dermatitis. In: Djuanda A, kepala editor. Ilmu penyakit
kulit dan kelamin edisi ke-4. Jakarta: FKUI.
8. National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH). (2012). “Skin Exposures &
Effects”. [http://www.cdc.gov/niosh/topics/skin, diakses tanggal 2 April 2014].
9. Rachmasari, Nonic. 2013. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Dermatitis
Kontak Iritan Pada Pengrajin Logam di Desa Cepogo, Kecamatan Cepogo Kabupaten
Boyolali. Jurnal Kesehatan Masyarakat 2013,Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013.
[http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm, diakses tanggal 2 April 2014].
10. Suprapti, M. Lies. 2005. Pembuatan Tahu. Yogyakarta : Kanisius.
11. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/Menkes/SK/XI/2002 tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri.
12. HSE, 2000. The Prevalence of Ocuupational Dermatitis Amongst Printers in The Midlands.
[http://www.hse.gov.uk, diakses tanggal 2 April 2014].
13. Sularsito SA, Djuanda S. 2007. Dermatitis. In: Djuanda A, dkk (eds). Ilmu penyakit kulit dan
kelamin edisi ke-5. Jakarta: FKUI.
14. Cahyawati, Imma Nur dan Irwan Budiono. 2011. Faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian
Dermatitis pada Nelayan. Jurnal Kesehatan Masyarakat 6 (2) (2011) 134-141.
15. Ruhdiat, Rudi. 2006. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak Akibat
Kerja pada Pekerja Laboraturium Kimia di PT Sucifindo Area Cibitung Bekasi. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
16. Erliana. 2008. Hubungan Karakteristik Individu dan Penggunaan Alat Pelindung Diri dengan
Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Paving Block CV. F. Lhoksumawe.
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
17. Mausulli, Annisa. 2010. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Dermatitis Kontak Iritan
pada Pekerja Pengolahan Sampah di TPA Cipayung Kota Depok. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Uniersitas Islam Negeri Jakarta.
18. Gozan, M. 2010. Keselamatan Kerja dalam Industri Kimia. [http://repository.ui.ac.id, diakses
2 April 2014].
19. Boediono, Sugeng. 2003. Higiene Perusahaan, dalam Bunga Rampai Hiperkes dan K3, 2nd.