Syarat Jurnal Ilmiah Lulus S1 Jangan Dipaksa

12
Syarat Jurnal Ilmiah Lulus S1 Jangan Dipaksa "Biro penulisan akan menjamur. Akhirnya, tulisan bukan asli lagi." VIVAnews - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan kebijakan syarat kelulusan mahasiswa S1, S2, dan S3, yakni harus menulis makalah di jurnal ilmiah. Kebijakan ini menuai kritik. "Saya kira itu tujuannya bagus. Cuma kalau kemudian serta merta ingin mendapatkan hasil maksimal dan optimal, sementara kualitas pendidikan kurang bagus, bagaimana? Kalau ini dilakukan secara bertahap, saya kira hasilnya nanti akan bagus," ujar anggota Komisi X DPR dari Fraksi PKS, Rohmani saat dihubungiVIVAnews, Senin 13 Februari 2012. Surat edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud yang ditujukan kepada seluruh perguruan tinggi negeri dan swasta itu akan berlaku mulai kelulusan setelah Agustus 2012. Rohmani menilai, kebijakan tersebut belum bisa diberlakukan dalam waktu dekat ini. Karena menurutnya, perguruan tinggi baik negeri maupun swasta belum semua siap atas kebijakan itu. Menurutnya, pendidikan tinggi di Indonesia umumnya masih mengedepankan nilai indeks prestasi kumulatif (IPK), sementara abai terhadap kompetensi sesungguhnya. Sehingga, banyak yang belum siap terhadap kebijakan ini. Oleh karena itu, sebaiknya kebijakan tersebut tidak dilakukan dalam waktu dekat ini. Harus terlebih dulu melihat aspek-aspek lain. Seperti, sistem penerimaan mahasiswa yang menekankan pada kualitas calon mahasiswa, pendidikan yang selama ini berorientasi pada nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang harus dikurangi. Karena menurutnya, selama ini, pendidikan di Indonesia hanya mengedepankan nilai. Selain itu, budaya membaca harus ditekankan. "Bagaimana bisa menulis, membaca saja tidak. Budaya membaca di kita masih sangat kecil," katanya. Karenanya jika kebijakan ini dipaksakan dalam waktu dekat, banyak dampak buruk yang terjadi. "Banyak mahasiswa yang secara kompetensi tidak melakukan riset, tidak menulis, ini akan jadi beban berat buat mereka. Nantinya akan banyak sekali mahasiswa yang kuliahnya lama. Efek lainnya adalah, tulisannya jadi dipaksakan," ungkapnya. "Biro penulisan akan menjamur. Akhirnya, tulisan bukan asli lagi. Semua yang dipaksakan, tidak akan baik hasilnya," tambahnya.

description

Syarat Jurnal Ilmiah Lulus S1 Jangan Dipaksa

Transcript of Syarat Jurnal Ilmiah Lulus S1 Jangan Dipaksa

Page 1: Syarat Jurnal Ilmiah Lulus S1 Jangan Dipaksa

Syarat Jurnal Ilmiah Lulus S1 Jangan Dipaksa"Biro penulisan akan menjamur. Akhirnya, tulisan bukan asli lagi."

VIVAnews - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan kebijakan syarat kelulusan

mahasiswa S1, S2, dan S3, yakni harus menulis makalah di jurnal ilmiah. Kebijakan ini menuai

kritik.

"Saya kira itu tujuannya bagus. Cuma kalau kemudian serta merta ingin mendapatkan hasil

maksimal dan optimal, sementara kualitas pendidikan kurang bagus, bagaimana? Kalau ini

dilakukan secara bertahap, saya kira hasilnya nanti akan bagus," ujar anggota Komisi X DPR dari

Fraksi PKS, Rohmani saat dihubungiVIVAnews, Senin 13 Februari 2012. 

Surat edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud yang ditujukan kepada seluruh

perguruan tinggi negeri dan swasta itu akan berlaku mulai kelulusan setelah Agustus 2012. 

Rohmani menilai, kebijakan tersebut belum bisa diberlakukan dalam waktu dekat ini. Karena

menurutnya, perguruan tinggi baik negeri maupun swasta belum semua siap atas kebijakan itu. 

Menurutnya, pendidikan tinggi di Indonesia umumnya masih mengedepankan nilai indeks prestasi

kumulatif (IPK), sementara abai terhadap kompetensi sesungguhnya. Sehingga, banyak yang

belum siap terhadap kebijakan ini.

Oleh karena itu,  sebaiknya kebijakan tersebut tidak dilakukan dalam waktu dekat ini. Harus

terlebih dulu melihat aspek-aspek lain. 

Seperti, sistem penerimaan mahasiswa yang menekankan pada kualitas calon mahasiswa,

pendidikan yang selama ini berorientasi pada nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang harus

dikurangi. Karena menurutnya, selama ini, pendidikan di Indonesia hanya mengedepankan nilai. 

Selain itu, budaya membaca harus ditekankan. "Bagaimana bisa menulis, membaca saja tidak.

Budaya membaca di kita masih sangat kecil," katanya.

Karenanya jika kebijakan ini dipaksakan dalam waktu dekat,  banyak dampak buruk yang terjadi.

"Banyak mahasiswa yang secara kompetensi tidak melakukan riset, tidak menulis, ini akan jadi

beban berat buat mereka. Nantinya akan banyak sekali mahasiswa yang kuliahnya lama. Efek

lainnya adalah, tulisannya jadi dipaksakan," ungkapnya.

"Biro penulisan akan menjamur. Akhirnya, tulisan bukan asli lagi. Semua yang dipaksakan, tidak

akan baik hasilnya," tambahnya. 

Dirjen Dikti Djoko Santoso dalam surat edarannya mengungkapkan alasan kebijakan tersebut.  

Sebagimana kita ketahui pada saat sekarang ini, jumlah karya ilmiah dari Perguruan Tinggi

Indonesia secara total masih rendah jika dibandingkan dengan Malaysia, hanya sekitar sepertujuh.

Page 2: Syarat Jurnal Ilmiah Lulus S1 Jangan Dipaksa

Hal ini menjadi tantangan kita bersama untuk meningkatkannya. Sehubungan dengan itu terhitung

mulai kelulusan setelah Agustus 2012 diberlukan ketentuan sebagai berikut:

Untuk program Sarjana harus menghasilkan makalah yang terbit di jurnal ilmiah.

Untuk program Magister harus telah makalah yang terbit di jurnal ilmiah terakreditasi Dikti.

Untuk program Doktor harus telah menghasilkan makalah yang terbit di jurnal Internasional.(umi)

Syarat Lulus S1, S2, S3, Mahasiswa Harus Publikasi Makalah (Jurnal)Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan surat edaran bernomor 152/E/T/2012 terkait publikasi karya ilmiah. Surat tertanggal 27 Januari 2012 ini ditujukan kepada Rektor/Ketua/Direktur PTN dan PTS seluruh Indonesia. Seperti dimuat dalam laman www.dikti.go.id, surat yang ditandatangani Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Djoko Santoso itu memuat tiga poin yang menjadi syarat lulus bagi mahasiswa program S-1, S-2, dan S-3 untuk memublikasikan karya ilmiahnya.

Disebutkan bahwa saat ini jumlah karya ilmiah perguruan tinggi di Indonesia masih sangat rendah. Bahkan, hanya sepertujuh dari jumlah karya ilmiah perguruan tinggi di Malaysia. Oleh karena itu, ketentuan ini bertujuan untuk meningkatkan jumlah karya ilmiah di Indonesia. Apa saja bunyi ketentuan itu?

1. Untuk lulus program Sarjana harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah.

2. Untuk lulus program Magister harus telah menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional, diutamakan yang terakreditasi Dikti.

3. Untuk lulus program Doktor harus telah menghasilkan makalah yang diterima untuk terbit pada jurnal internasional.

Ketentuan ini berlaku mulai kelulusan setelah Agustus 2012. Kompas.com menghubungi Dirjen Dikti Djoko Santoso dan berjanji akan memberikan penjelasan lebih jauh mengenai ketentuan ini pada hari ini, Jumat (3/2/2012).

Beberapa waktu lalu terungkap bahwa jurnal perguruan-perguruan tinggi Indonesia yang terindeks dalam basis data jurnal dan prosiding penelitian internasional, seperti Scopus dan Google Scholar, masih sangat rendah. Tak hanya karya ilmiah para mahasiswa, Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran Eky S Soeria Soemantri juga mengakui minimnya hasil penelitian para peneliti Indonesia yang dipublikasikan dalam jurnal penelitian internasional.

"Itu makanya para peneliti harus diberikan pelatihan agar memiliki kemahiran dalam menulis," kata Eky kepada Kompas.com, beberapa waktu lalu.

Page 3: Syarat Jurnal Ilmiah Lulus S1 Jangan Dipaksa

Alasan Mahasiswa Wajib Publikasi Makalah

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dirjen Dikti Kemdikbud), Djoko Santoso menjelaskan mengapa seluruh mahasiswa (S-1, S-2, S-3) diwajibkan membuat dan memublikasikan tulisan karya ilmiahnya sebagai salah satu penentu kelulusan. Seperti diketahui, per 27 Januari 2012, Ditjen Dikti mengeluarkan surat edaran mengenai ketentuan tersebut.

Djoko mengatakan, sebagai ahli, seorang sarjana harus memiliki kemampuan menulis secara ilmiah. Termasuk menguasai tata cara penulisan ilmiah yang baik. Setiap mahasiswa, lanjut Djoko, dapat menulis karya ilmiah baik dari rangkuman tugas, penelitian kecil, mau pun ringkasan dari skripsi yang dibuatnya.

Sarjana harus punya kemampuan menulis secara ilmiah. Apa saja yang ia pelajari selama kuliah, termasuk bisa juga ringkasan skripsi-- Dirjen Dikti Djoko Santoso

"Sarjana harus punya kemampuan menulis secara ilmiah. Apa saja yang ia pelajari selama kuliah, termasuk bisa juga ringkasan skripsi," kata Djoko, Jumat (3/2/2012), saat ditemui Kompas.com, di Gedung Kemdikbud, Jakarta.

Alasan kedua, terangnya, ketika seorang sarjana telah mahir menulis ilmiah, ke depannya diharapkan tidak akan kesulitan ketika membuat karya ilmiah di jenjang selanjutnya. Djoko berharap, aturan ini dapat menciptakan kuantitas dan kualitas karya ilmiah yang dihasilkan oleh Indonesia.

"Nanti ketika lanjut ke Magister atau Doktor, kualitas tulisan ilmiahnya bisa meningkat, berwawasan global, dan bisa terbit di jurnal-jurnal internasional," ujarnya.

Alasan ketiga, aturan ini sengaja dibuat untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dalam hal membuat karya ilmiah. Berdasarkan data Kemdikbud, jumlah karya ilmiah yang dihasilkan perguruan tinggi Indonesia saat ini masih rendah, hanya sepertujuh jika dibandingkan dengan negara tetangga, Malaysia.

"Kita tertinggal jauh. Sehingga ini harus dipahami sangat mendesak. Karena jumlah karya ilmiah memiliki korelasi dengan pendapatan per kapita," kata Djoko.

Seperti termuat dalam surat edaran Ditjen Dikti, ketentuan itu berlaku bagi mahasiswa yang akan lulus setelah Agustus 2012. Ketentuan ini dibuat merespons rendahnya karya tulis ilmiah perguruan tinggi di Indonesia, yang hanya sepertujuh dari karya ilmiah perguruan tinggi di Malaysia.

Bagi mahasiswa S-1, untuk lulus program Sarjana harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah. Sementara, mahasiswa S-2 diharuskan menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional, diutamakan yang terakreditasi Dikti. Adapun mahasiswa program Doktor harus telah menghasilkan makalah yang diterima untuk terbit pada jurnal internasional.

Page 4: Syarat Jurnal Ilmiah Lulus S1 Jangan Dipaksa

Sistem Baru Akreditasi Jurnal Ilmiah

Untuk memudahkan dan mengoptimalkan pelayanan akreditasi jurnal ilmiah, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menerapkan sistem teknologi informasi yang memungkinkan akses informasi secara online.

Hal ini disampaikan Kepala Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII- LIPI) Sri Hartinah dalam Seminar Pengelolaan Majalah Ilmiah Indonesia dan Peluncuran Akreditasi Majalah Ilmiah Online, Selasa (31/1), di Jakarta.

Menurut Kepala LIPI Lukman Hakim, jurnal elektronik atau online saat ini menjadi tuntutan yang tak dapat dihindarkan lagi. Hal ini memudahkan akses dan penelusuran oleh masyarakat serta mengatasi duplikasi dan plagiarisme.

Sistem online diterapkan untuk pengajuan International Standard and Serial Number dan akreditasi jurnal ilmiah. Sarana akses bagi proses akreditasi jurnal ilmiah online terintegrasi dalam Indonesia Scientific Journal Database, yaitu pada http://www.akreditasi.lipi.go.id.

Sistem aplikasi online berbasis open source untuk akreditasi jurnal dikembangkan oleh tim teknologi informasi PDII-LIPI.

Selama dua tahun terakhir, sebanyak 70.000 artikel dari 4.000 jurnal dari seluruh Indonesia terintegrasi dalam jurnal online. Jurnal online ini telah diakses lebih dari 1,7 juta pengunjung di seluruh dunia, kata Lukman.

Ely Eliah, Kepala Bidang Penilaian Akreditasi Pusat Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan LIPI, menyatakan, untuk meningkatkan kualitas jurnal ilmiah di Indonesia, sistem akreditasi baru ditetapkan.

Akreditasi dengan sistem baru ini akan dilaksanakan pada Maret mendatang. Dari 208 jurnal, ada 157 jurnal yang perlu diakreditasi ulang tahun 2012.

Sebelumnya, ada tiga klasifikasi jurnal, yaitu A, B, dan C, berdasarkan pemenuhan sembilan persyaratan. Jurnal masuk kelas A jika dapat memenuhi seluruh persyaratan, masa berlakunya 3 tahun. Jurnal kelas B mendapat penilaian 70 ke atas, masa berlakunya 2 tahun. Adapun jurnal kelas C nilai 60, masa berlakunya setahun.

Pada sistem baru, tidak ada lagi pengklasifikasian. Penilaian dilakukan mutlak. Bila tidak memenuhi sembilan persyaratan dan nilai substansinya—salah satunya syarat itu—di bawah 25, jurnal dinyatakan tidak lolos. Penilaian diberikan oleh tim penguji dari beberapa lembaga penelitian nonkementerian dengan berbagai kepakaran.

Keberadaan jurnal ilmiah ini diperlukan para peneliti untuk meningkatkan angka kredit nilainya karena artikel yang termuat di jurnal terakreditasi akan mendapat poin 25. Pemuatan di jurnal tak terakreditasi hanya mendapat 5 poin.

Page 5: Syarat Jurnal Ilmiah Lulus S1 Jangan Dipaksa

NasionalSyarat Publikasi Ilmiah S1 Berlaku Tahun Ini"Masak nulis saja tidak bisa? Ini kan sarjana, bukan SMA," kata Mendikbud M Nuh.

SELASA, 14 FEBRUARI 2012, 13:17 WIB

Anggi Kusumadewi, Suryanta Bakti Susila

VIVAnews – Menteri Pendidikan Muhammad Nuh menyatakan kewajiban publikasi ilmiah sebagai

syarat kelulusan S1, S2, dan S3 efektif berlaku per Agustus 2012. Menurut Nuh, pihaknya kini

tengah menyosialisasikan kebijakan baru tersebut melalui Surat Edaran Dirjen Pendidikan Tinggi.

Meski kebijakan itu menuai kritik bertubi, Nuh bersikukuh hal itu tetap harus dijalankan. Oleh

karena itu pula Kemendikbud tengah gencar mengampanyekan maksud baik dari kebijakan

tersebut.

“Maksud kebijakan itu untuk menumbuhkan budaya akademik. S1 itu kuliah empat tahun

loh.Masak nulis saja tidak bisa?” kata Nuh di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa 14 Februari

2012.

Nuh menekankan, kewajiban publikasi ilmiah bagi S1 itu perlu untuk memicu peningkatan kualitas

akademis. “Coba bayangkan, kalau dia menulis tapi tidak berkualitas. Itu kan sarjana, bukan

lulusan SMA,” ujar Nuh.

Ia menjelaskan, perguruan tinggi yang merasa tidak mampu merealisasikan kebijakan itu bisa

mengajukan permintaan bantuan kepada Kementerian Pendidikan. Nuh mengatakan, kementerian

pasti bersedia membantu. “Tapi kalau tidak mau, lain lagi,” ucapnya. (umi)

Prahara Panas Sarjana MudaKamis, 09 Februari 2012 10:05  okezone opini kampus

by: Inggar Saputra Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI)Peneliti Institute For Reform Sustainable (Insure)(//rfa)

SALAH satu tugas utama perguruan tinggi adalah mengamalkan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Kebijakan itu bukan tanpa dasar, pendidikan misalnya dianggap sebagai ruh strategis memandirikan dan mencerdaskan bangsa. Penelitian dipandang sebagai model efektif mentradisikan kebudayaan ilmiah. Pengabdian masyarakat merupakan tradisi mendekatkan ilmu pengetahuan yang bersifat teoritik dengan praktik. Ketiganya bersinergi menjadi landasan gerak perguruan tinggi mencapai visi besar konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Tapi ironisnya, semangat Tridharma Perguruan Tinggi belum berjalan maksimal di lapangan.

Page 6: Syarat Jurnal Ilmiah Lulus S1 Jangan Dipaksa

Menurut Mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Djalal misalnya, kemampuan ilmuwan Indonesia untuk menyumbang penelitian ke jurnal ilmiah hanya 0,8 artikel per satu juta penduduk. Sebuah bukti betapa rendahnya kemampuan peneliti Indonesia. Lebih jauh diungkapkan, jurnal ilmiah Indonesia yang terakreditasi oleh Ditjen Dikti hanya 121 buah. Berdasarkan data, selama kurun waktu 1996–2010 Indonesia memiliki 13.047 jurnal ilmiah, Tertinggal jauh dibandingkan negeri tetangga Malaysia (55.211) dan Thailand (58.931).

Penguatan budaya ilmiah yang rendah diperparah kegagapan literasi masyarakat Indonesia. Taufiq Ismail menyebut Indonesia negara nol buku sebab jumlah bacaan buku siswa SMA Indonesia (nol), Malaysia (enam buku) dan Amerika (30 buku). Sedangkan menurut Badan Penelitian  dan Pengembangan Kemendikbud, kemampuan membaca anak usia 15 tahun hanya 37,6 persen anak membaca tanpa bisa menangkap makna. Dalam persoalan menulis, Indonesia hanya mampu menghasilkan 8.000 buku per tahun, tertinggal dari Vietnam yang mampu menghasilkan 15.000 buku per tahun. 

Kebijakan "Mi Instan"

Merespons buruknya pengamalan Tridharma Perguruan Tinggi, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Djoko Santoso mengeluarkan kebijakan kontroversial demi meningkatkan kapasitas mahasiswa dan dosen di Indonesia. Kebijakan itu berbentuk surat edaran yang ditujukan kepada semua Perguruan Tinggi di Indonesia.  Surat edaran pertama tertanggal 30 Desember 2011 (No. 250/E/T/2011) tentang kebijakan unggah karya ilmiah untuk kenaikan pangkat dosen. Isinya adalah Ditjen Dikti hanya menilai suatu karya ilmiah jika artikel dan identitas penulisnya bisa ditelusuri secara online. Untuk itu perguruan tinggi wajib mengunggah karya ilmiah mahasiswa dan dosen pada portal Garuda, perguruan tinggi dan seterusnya demi kemulusan usulan kenaikan pangkat 2012.

Edaran kedua tertanggal 27 Januari 2012 (No. 152/E/T/2012) perihal publikasi karya ilmiah untuk mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 untuk kelulusan Agustus 2012. Isinya mengejutkan mahasiswa, sebab untuk syarat kelulusan program S-1 harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah, syarat lulus S-2 harus menghasilkan makalah yang terbit di jurnal ilmiah nasional terakreditasi Dikti, dan S-3 yang terbit di jurnal internasional. Sebuah kebijakan yang sangat baik, tapi perlu mendapatkan catatan kritis sebab berpotensi menghasilkan tiga dampak terhadap lulusan mahasiswa di masa mendatang. 

Pertama, pada dasarnya seorang sarjana S-1 baru siap dikembangkan menjadi peneliti (calon peneliti). Mengutip Risman Nababan, mahasiswa yang excellent bisa lulus dalam empat tahun dan mahasiswa S-1 umumnya lulus dalam empat hingga 4,5 tahun. Lahirnya kebijakan Dikti berpotensi membuat kelulusan mahasiswa berjalan lebih lama yaitu lima hingga 7,5 tahun. Sebab, membuat karya ilmiah bukan persoalan mudah karena membutuhkan dana yang besar dan proses panjang. Perlu dipertimbangkan juga, kebiasaan menulis ilmiah mahasiswa Indonesia belum dapat dikatakan bagus. Tentu persoalan ini menjadi tantangan sebab jurnal ilmiah yang tidak berkualitas hanya menghasilkan sampah yang tidak layak dibaca.

Kedua, mengutip Franz Magnis Suseno, andai makalah calon lulusan S-1 sepanjang 10 halaman dan setiap tahun rata-rata ada 100.000 calon lulusan S-1, maka perlu disediakan sejuta halaman jurnal ilmiah. Kalau satu jurnal rata-rata 150 halaman dan terbit 12 kali dalam setahun yang harus disediakan adalah sekira 55 jurnal ilmiah. Seharusnya Ditjen Dikti paham jurnal ilmiah memiliki daya tampung terbatas. Jelas, kebijakan ini tidak berdasarkan kajian mendalam sebab Dikti belakangan mengambil jalan pintas atas persoalan ini yaitu mempersilahkan kampus membuat jurnal ilmiah online.  

Ketiga batasan jurnal ilmiah sangat membingungkan dan kaku. Perlu adanya kesadaran  Ditjen Dikti, tidak semua perguruan  tinggi menerapkan skripsi. Ada beberapa perguruan tinggi memberikan penugasan laporan proyek akhir dan tugas akhir magang di sebuah instansi atau perusahaan. Bagi perguruan tinggi yang tidak lagi mengharuskan skripsi sebagai syarat kelulusan program sarjana tetapi memberikan pilihan magang, kebijakan baru itu akan menyulitkan. 

Melihat proses kebijakan Ditjen Dikti yang gagal menyerap aspirasi Perguruan Tinggi, kita

Page 7: Syarat Jurnal Ilmiah Lulus S1 Jangan Dipaksa

layak menyebut kebijakan ini sebagai "mi instan" demi mengatasi tumpulnya pemerintah atas kegagalan memproduksi jurnal ilmiah. Sebuah proses kebijakan yang ingin serba cepat, mengandung unsur paksaan dan tidak mengakar kepada kalangan mahasiswa dan dosen. 

Restorasi (Mahasiswa) Peneliti 

Sejatinya penelitian dan publikasi ilmiah adalah lambang prestasi penelitian mengingat rendahnya publikasi ilmiah. Pemerintah sebagai perumus kebijakan mencoba mengatasi persoalan itu. Tapi, mengutip Prof HAR Tilaar dalam buku Kebijakan Pendidikan, kebijakan pendidikan harus sebangun dengan kebijakan publik dalam mencapai tujuan pembangunan negara. Jangan sampai formulasi kebijakan pendidikan nasional mengalami disorientasi di lapangan. 

Untuk itu, minimnya publikasi karya ilmiah harus disikapi arif, bijaksana dan dibingkai konsep jangka panjang. Sudah waktunya pemerintah membangun budaya membaca, menulis dan diskusi sejak dini (usia remaja) sehingga budaya riset dapat terbangun secara optimal. 

Berangkat dari pemikiran itu, beberapa formulasi dan strategi yang dapat dikembangkan adalah : 

a. Meningkatkan pendapatan peneliti/sistem penggajian yang tinggi.

Tidak dapat dimungkiri, lemahnya riset ilmiah peneliti salah satunya adalah faktor kesejahteraan. Banyak ahli Indonesia yang memilih bekerja di luar negeri karena minimnya apresiasi pemerintah baik persoalan fasilitas, kesejahteraan dan faktor pendukung kompetensi. Bagaimana seseorang nyaman menjalankan ativitas riset jika kesejahteraan kurang diperhatikan? Sebagai perbandingan, Malaysia memberikan gaji kepada seorang peneliti sepuluh kali lipat dibandingkan pemerintah Indonesia. Di negara maju, standar gaji peneliti berkisar Rp80-90 juta per bulan. 

b. Menggencarkan tradisi baca tulis. 

Dalam persoalan minat baca, pemerintah Indonesia bisa mengambil teladan dari goyangan literasi India. Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru pernah mengatakan, "Kemajuan iptek dan industri harus sejalan dengan kemajuan sosial dan kebudayaan. Indikator paling nyata adalah tingginya minat baca masyarakat agar mammpu memahami dan menghargai berbagai kekayaan tradisi, seni dan budaya di masyarakat India sendiri." Dalam konteks global, India menempati peringkat pertama dalam menggunakan waktu untuk membaca. Orang India menghabiskan waktu membaca 10,7 jam per minggu. 

c. Terpenuhinya infrastruktur meningkatkan budaya penelitian.

Membangun tradisi riset dan pembuatan jurnal ilmiah membutuhkan proses panjang, sarana dan iklim yang kondusif, Untuk itu perlu ditumbuhkan kesadaran pemerintah membangun infrastruktur yang mendukung budaya penelitian. Pembangunan laboratorium, pembuatan jurnal ilmiah (online dan cetak) dan  dukungan lembaga penelitian harus digencarkan. Sehingga semakin banyak peneliti muda bermunculan. Selain itu, dukungan kelengkapan infrastruktur dapat membantu peneliti berkembang secara terbuka, intelektual dan kreatif.   

d. Optimalisasi peran dosen sebagai pendidik dan peneliti utama.

Pemberdayaan dosen perlu dilakukan pemerintah mengingat mereka teladan mahasiswa. Ketika pembudayaan penelitian ilmiah dosen meningkat dan mahasiswa dijadikan partisipan aktif penelitian. Potensi pewarisan budaya ilmiah dan intelektual mahasiswa dapat terangkat. Untuk itu, interaksi pembangunan budaya ilmiah dosen dan mahasiswa harus berjalan sinergis dan berkesinambungan. Jangan sampai penelitian ilmiah dicitrakan dosen sebagai permainan proyek dan mahasiswa sebagai "kelinci percobaan" saja. 

Rekomendasi ini tentu perlu mendapat tinjauan eksplorasi dan konsep yang mendalam sehingga dapat berkembang sebagai rencana aksi strategis yang bersifat nasional. Tentu

Page 8: Syarat Jurnal Ilmiah Lulus S1 Jangan Dipaksa

harapan kita bersama budaya penelitian Indonesia meningkat dan peneliti muda banyak bermnnculan. 

Tapi pemerintah hendaknya tidak lupa petuah bijak Francis Bacon, "Seseotang yang gemar membaca akan mempunyai pandangan luas, membuatnya menjadi manusia utuh. Seseorang yang gemar berdiskusi membuat dia harus siap memberikan jawaban atau mengajukan pertanyaan. Dan orang yang gemar menulis membuatnya menjadi orang yang cermat." Pemerintah mulai sekarang harus menumbuhkan budaya membaca, menulis dan diskusi agar kelak budaya riset dapat tumbuh subur di Indonesia. 

PDII LIPI: Menulis di Jurnal Ilmiah Bikin Mahasiswa Tak Asal LulusNurvita Indarini - detikNews

Jakarta Dinas Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud menyaratkan menulis di jurnal ilmiah sebagai syarat lulus S1, S2 dan S3. Ada yang pro dan ada yang kontra. Bagi yang pro, kebijakan ini dinilai sangat bagus karena bisa meningkatkan kualitas alumnus dan membuat mahasiswa tak asal lulus.

"Kalau nggak dipaksa nanti nggak maju. Di kita ini kan masih biasa dipaksa dulu untuk maju. Karena ada juga mahasiswa yang malas, mahasiswa yang asal lulus. Dengan ini, maka akan semakin meningkatkan kualitas mahasiswa. Agar mahasiswa bukan sekadar status dan gelarnya bukan sekadar gelar," ujar Kepala Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII LIPI), Sri Hartinah.

Berikut ini wawancara detikcom dengan Hartinah, Jumat (10/2/2012):

Dirjen Dikti Kemendikbud mensyaratkan kelulusan mahasiswa S1, S2 dan S3 dengan menulis di jurnal ilmiah. Menurut Anda, apakah kondisi jurnal ilmiah kita sangat memprihatinkan?

Data jumlah jurnal yang terdaftar sekitar 7.000 buah. Dari jumlah tersebut, hanya 4.000 jurnal yang masih aktif, dan yang terakreditasi LIPI sekitar 400 jurnal ilmiah. Artinya tidak sampai 15 persen.

Itu data di LIPI, karena ada jurnal ilmiah dari lembaga penelitian yang proses akreditasinya dari LIPI. Tapi perlu dilihat juga data di Dikti Kemendikbud, karena Dikti mengakreditasi jurnal ilmiah juga.

Tanggapan Anda soal menulis jurnal menjadi syarat kelulusan?

Ya kenapa tidak? Kalau di luar negeri, itu wajib. Doktor juga kan sebelum lulus diminta mempublikasikan tulisan di jurnal internasional. Saya rasa ini bagus untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Saya kira ini kebijakan bagus untuk meningkatkan kualitas lulusan ke depan. Ini bisa memacu mereka untuk lebih baik. Kalau tulisannya masuk ke jurnal kan nantinya bisa diindeks juga oleh jurnal internasional.

Muncul kekhawatiran banyak bermunculan jurnal yang tidak memenuhi standar? Juga menjamurnya jasa penulisan jurnal?

Kalau abal-abal nggak bisa masuk ke ilmiah, nantinya tidak akan dapat akreditasi. Kalau jasa penulisan jurnal, selama ini kita juga tahu ada yang menawarkan jasa penulisan skripsi. Jadi ini

Page 9: Syarat Jurnal Ilmiah Lulus S1 Jangan Dipaksa

tergantung orangnya.

Seharusnya ditekankan penulisan di jurnal terakreditasi?

Iya. Karena lebih terpercaya. Suatu tulisan untuk masuk ke jurnal itu juga ada ujinya. Ada reviewer untuk melihat kelayakan. Kalau kurang layak nanti dikembalikan kepada penulis untuk diperbaiki.

Untuk S1, mereka kan juga menulis skripsi. Sudah penelitian juga. Nanti kalau ada poin yang ditulis dan dimasukkan ke jurnal, maka akan ada nilai tambah. Tulisan itu bisa dikutip orang lain, lalu bisa ada penelitian lanjutan. Suatu tulisan yang dipublikasikan ke jurnal, saya yakin pasti ada nilai tambahnya.

Yang dikhawatirkan adalah jumlah jurnal yang terbatas padahal jumlah mahasiswa yang akan lulus ratusan ribu. Bagaimana jalan keluarnya?

Memang dalam satu jurnal itu artikelnya paling 5-6. Tapi nggak apa. Semakin banyak tulisan yang masuk, maka akan masuk bank naskah. Jadi saling menguntungkan, jurnal punya bank soal sementara mahasiswa membutuhkannya untuk lulus. Ke depan, kualitas penulisan di dunia keilmiahan saya kira akan semakin baik. Yang jurnalnya belum terakreditsi akan berusaha untuk mengakreditasi.

Bukankah kasihan mahasiswanya, tidak segera lulus karena tulisannya belum dimuat di jurnal ilmiah?

Tulisan yang masuk akan direview dulu, jadi menurut saya mahasiswa tidak perlu tunggu sampai tulisannya dimuat. Asal sudah direview dan mendapat surat tanda sudah direview ya sudah bisa. Kalau belum baik silakan diperbaiki. Ini juga bisa menjadi bentuk pembinaan ke mahasiswa.

Menurut saya, kebijakan ini tidak perlu dikhawatirkan. Karena tujuannya kan baik untuk tujuan kemajuan ilmu pengetahuan dan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa. Dengan menulis sesuatu, meneliti, mahasiswa akan semakin tahu dan memahami sesuatu.

Dengan syarat ini jadi terkesan ada pemaksaan?

Kalau nggak dipaksa nanti nggak maju. Di kita ini kan masih biasa dipaksa dulu untuk maju. Karena ada juga mahasiswa yang malas, mahasiswa yang asal lulus. Dengan ini, maka akan semakin meningkatkan kualitas mahasiswa. Agar mahasiswa bukan sekadar status dan gelarnya bukan sekadar gelar.

Ada jalan lain terkait keterbatasan jumlah jurnal?

Bisa menggunakan jurnal online, mengingat saat ini jurnal online mulai bermunculan. Jurnal online adalah jurnal ilmiah berbentuk cetak yang ditransformasi ke teknologi informasi. Ada keterbukaan informasi juga di sini. Jadi ini jurnal cetak yang digitalkan, penerbitan manual.

Ada juga jurnal elektronik atau e-journal. Jenis ini ada yang ada bentuk cetaknya, dan ada yang tidak. Jadi, administrasi sampai review itu pakai proses elentronik, begitu juga dengan penerbitannya.