Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
-
Upload
dandhi-firmansyah -
Category
Documents
-
view
285 -
download
16
Transcript of Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 1/40
NEGARA ISLAMTANAH JAWA Cita-Cita Jihadis Diponegoro
K. Mustarom
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 2/40
NEGARA ISLAM TANAH JAWA
LAPORAN KHUSUS
EDISI XII / JUNI 2014
Penulis:
K. Mustarom
ABOUT US
Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS
merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka
membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini
didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semuaelemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah
satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk
bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong
kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar
sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan
gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang
lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini
merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.
Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami, kirimkan e-mail ke:
Seluruh laporan kami bisa didownload di website:
www.syamina.org
CITA-CITA JIHADIS DIPONEGORO
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 3/40
3
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
Gambar 1. Raden Mas Ontowiryo alias Pangeran Diponegoro
A. Profil Diponegoro
Pangeran Diponegoro lahir sekitar 1785.
Pangeran ini merupakan putra tertua dari
Sultan Hamengkubuwono III yang memerintah
pada tahun 1811 hingga 1814.Ibunya bernama,
Raden Ayu Mangkarawati, yang merupakan
keturunan Kyai Agung Prampelan, ulama yang
sangat disegani di masa Panembahan Senapati
mendirikan kerajaan Mataram. Bila ditarik lebih
jauh lagi, silsilahnya sampai pada Sunan Ampel
Denta, seorang wali Sanga dari Jawa Timur.
Saat masih kanak-kanak, Diponegoro diramal
oleh buyutnya, Sultan Hamengkubuwono I,
bahwa ia akan menjadi pahlawan besar yang
merusak orang kafir.1
Kondisi kraton ketika itu penuh dengan
intrik dan persaingan akibat pengaruh Belanda.
Sebab itulah sejak kecil Diponegoro yang
bernama asli Pangeran Ontowiryo dikirim
ibunya ke Tegalrejo untuk diasuh neneknya,
Ratu Ageng di lingkungan pesantren. Sejak
kecil, Ontowiryo terbiasa bergaul dengan para
petani di sekitarnya, menanam dan menuai
padi. Selain itu ia juga kerap berkumpul dengan
para santri di pesantren Tegalrejo, menyamar
sebagai orang biasa dengan berpakaian
wulung. Diponegoro belajar mengenai Islam
kepada Kyai Taptojani, salah seorang keturunan
dari keluarga asal Sumatera Barat, yang
bermukim di dekat Tegalrejo. Menurut laporan
1Louw, P.J.F – S Hage – M nijhoff, Eerstee Deel Tweede deel
1897, Derde deel 1904, De Java Oorlog Van 1825 – 1830 door,
hal. 89
residen Belanda pada tahun 1805, Taptojani
mampu memberikan pengajaran dalam bahasa
Jawa dan pernah mengirimkan anak-anaknya
ke Surakarta, pusat pendidikan agama pada
waktu itu. Di Surakarta, Taptojani
menerjemahkan kitab fiqih Sirat Al-Mustaqim
karya Nuruddin Ar Raniri ke dalam bahasa
Jawa. Ini mengindikasikan, Diponegoro belajar
Islam dengan serius.2
Louw dalam De Java Oorlog Van 1825 –
1830, menulis: “Sebagai seorang yang berjiwa
Islam, ia sangat rajin dan taqwa sekali hingga
mendekati keterlaluan.”
2Dr. Kareel A. Steenbrink, 1984, Beberapa Aspek Tentang
Islam di Indonesia Abad ke 19, Penerbit Bulan Bintang Jakarta
hal. 29
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 4/40
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 5/40
5
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
Ada banyak hal tentang Diponegoro yang
mencerminkan nilai-nilai Jawa desa: di sini
orang berpikir tentang kekuatan fisik,
kebiasaannya untuk berjalan dengan kaki
telanjang (tidak hanya ketika berziarah), dan
partisipasinya sekali setahun dalam panen raya
padi di tanah miliknya di selatan Yogya. Kehati-
hatiannya dalam menggunakan uang, yang
sampai-sampai membuat terkesan orang
Belanda yang kikir, dan kecermatan
mengadministrasi dan mengurus tanah-tanahnya, suatu hal yang tidak umum dilakukan
di kalangan keraton Jawa tengah bagian selatan
pada waktu itu, juga istimewa. Begitu juga
ketajaman ekspresinya, kemuakannya pada
sifat angkuh dan suka pamer, kedekatannya
dengan alam, dan cintanya pada binatang
peliharaan.
Dalam Babad Diponegoro disebutkan,
adalah Diponegoro sendiri yang menolak gelar
putra mahkota dan merelakan untuk adiknya
R.M. Ambyah. Latar belakangnya, untuk
menjadi Raja yang mengangkat adalah orang
Belanda. Diponegoro tidak ingin dimasukkan
kepada golongan orang-orang murtad. Ini
merupakan hasil tafakkurnya di Parangkusuma.
Dikutip dalam buku Dakwah Dinasti Mataram:
“Rakhmanudin dan kau Akhmad, jadilah
saksi saya, kalau-kalau saya lupa, ingatkan
padaku, bahwa saya bertekad tak mau
dijadikan pangeran mahkota, walaupun
seterusnya akan diangkat jadi raja, seperti
ayah atau nenenda. Saya sendiri tidak ingin.
Saya bertaubat kepada Tuhan Yang Maha
Besar, berapa lamanya hidup di dunia, tak
urung menanggung dosa.” 3
Dalam bukunya, Babad Diponegoro,Pangeran Diponegoro menjelaskan tentang
peranan dan tanggungjawab Ratu Adil dalam
menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan
rakyatnya di masa-masa perubahan yang
disebabkan oleh politik ganda dan revolusi
industri di Eropa serta tatanan kolonial baru di
Jawa; pentingnya mengombinasikan otoritas
spiritual dan duniawi dalam sosok pemimpin.
Diponegoro mengeksplorasi peranan Ratu Adil
sebagai penjaga tatanan moral masyarakat,
dan sebagai penjamin penghormatan atas
peranan Islam dalam masyarakat Jawa. Ia juga
menunjukkan nilai-nilai universal Islam sebagai
sebuah agama namun tetap mengakui peran
agama-agama dan sistem kepercayaan lain,
khususnya pengaruh penting dari nenek
moyang dan spiritual wali Jawa.
Pendidikan Diponegoro membuatnya
mampu diterima di berbagai komunitas yang
berbeda meliputi dunia peradilan, pedesaan,pesantren, dan mereka yang terlibat dalam
perdagangan jarak jauh (termasuk Arab dan
China).
3Babad Diponegoro, jilid 1 hal. 39-40
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 6/40
6
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
Gambar 3.Peta wilayah Yogyakarta pada awal abad ke-19
Pandangan dunia Diponegoro juga
mencakup suatu pendapat yang sangat jelas
hingga hari ini mengenai bagaimana orang-
orang Muslim Jawa seharusnya hidup dalam
zaman dominasi imperium Barat. Bagi
Diponegoro, tidak seperti kebanyakan orang
Muslim Indonesia dewasa ini, jawaban atas ini
semua rupanya terletak pada menjalankan
perang suci dan pengembangan karakter yang
jelas tegas antara wong Islam (orang Islam),
orang Eropa kapir laknatullah (kafir yang
dilaknat oleh Allah), dan kapir murtad (orang
Jawa yang memihak Belanda).
Diponegoro dan para komandan seniornya
memberikan perhatian yang cukup detail untuk
melestarikan budaya dan bahasa Jawa dalam
menghadapi serangan budaya Barat dan
pembentukan tatanan kolonial baru pasca
Januari 1818 negara Hindia Timur Belanda.
Diponegoro bersikeras pada penggunaan
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 7/40
7
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
bahasa Jawa, khususnya kromo inggil , dan
adopsi penggunaan pakaian Jawa oleh tawanan
perang Belanda. Tapi dia mengombinasikan
tuntutan budaya spesifik tersebut dengan
analisis yang luas dan praktis pada hubungan
Jawa-Belanda dengan memberikan penawaran
kepada kolonialis Belanda tiga pilihan: (1)
mereka memeluk agama Islam, dalam hal ini
posisi administratif atau militer mereka akan
ditingkatkan; (2) mereka kembali
ke negara mereka di manahubungan antara Jawa dan Belanda
akan tetap sebagai saudara dan
teman; atau terakhir (3) jika
mereka ingin tetap di Jawa, mereka
diminta untuk membatasi diri untuk
tinggal di dua kota di Pantai Utara
Jawa—yaitu Batavia, ibukota
kolonial, dan Semarang bekas pusat
Pemerintahan Pantai Utara Jawa. Di
sana mereka akan ditawarkan
kesempatan untuk terus melakukan
perdagangan dan hubungan
komersial dengan Jawa asalkan
mereka membayar produk Jawa
sesuai dengan harga di pasar
internasional—terutama indigo,
kopi, gula dll—dan juga membayar
sewa yang tepat untuk setiap tanah
yang mereka tinggali atau dibangun
pos perdagangan di atasnya. Visi
Diponegoro melihat sebuah masa
depan yang terglobalisasi, di mana
nusantara akan menjadi bagian dari jaringan
perdagangan dan arus modal internasional.
Diponegoro hidup dalam suatu dunia yang
semakin terbelah, antara mereka yang siapmenyesuaikan diri dengan rezim Eropa yang
baru dan mereka yang melihat tatanan moral
Islam sebagai “bintang pedoman” dalam
masyarakat yang telah kehilangan tambatan
tradisionalnya. Keputusannya untuk
Gambar 4. Rencana pengembangan Tegalrejo sebagai tempat “menjual dan
membeli” gagasan, konsep ideologi, politik, kenegaraan, budaya, militer,
rencana strategi dan aksi, serta penggalangan dukungan.
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 8/40
8
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
memberontak pada bulan Juli 1825 adalah
karena tuntutan keadaan waktu itu. Ia tidak
punya pilihan lain. Dalam melakukannya ia
benar-benar bersikap seperti ungkapan
“kemuliaan kegagalan” (the nobility of failure)
dalam tradisi samurai Jepang, yaitu
kemampuan untuk tetap setia pada cita-cita
meskipun tahu akan kalah atau menemui
ajalnya.
B.
Arti Penting Perang Jawa
Perang yang terjadi dalam satu wilayah
kedaulatan negara dalam sejarah militer
disebut perang kecil (small war ).
Pemberontakan, revolusi atau perang saudara
adalah bentuk dari aksi politik dalam perang
kecil. Perang kecil (Oorlog) dalam arti sebagaisebuah kampanye militer yang dilakukan oleh
tentara reguler terhadap kekuatan
militer bukan reguler. Formatnya digelar
sebagai aksi penumpasan pemberontak ( Java
Oorlog, Atjeh Oorlog), penaklukan atau
aneksasi wilayah, atau aksi penghukuman atas
penghinaan kedaulatan.
Teori tersebut mendasari pandangan
Belanda terhadap perlawanan Diponegoro dan
umatnya sebagai aksi politik yang dilakukan
oleh orang Jawa untuk merebut kembali
kedaulatannya. Menurut As’ad, ada tiga
indikasi untuk sampai pada kesimpulan
tersebut: pertama, memiliki ideologi
(ideological asset), yaitu jihad, berperang untuk
mendirikan negara yang berkeadilan
berdasarkan agama Islam. Kedua, memiliki
organisasi dan kondisi lingkungan yang
mendukung, pemimpinnya mampu
mengeksploitasi emosi masyarakat dengan
tema yang abstrak. Ketiga, “pemberontak”
amat menguasai medan. Pemberontakan
Diponegoro juga merupakan kelanjutan dari
perang antarkelompok feodal masyarakat Jawa
pada abad ke-19, yang oleh John Keegan
disebut sebagai permanent warfare.
Dari aspek kultural, perang Jawa juga
merupakan bentuk penolakan terhadap sistem
budaya asing, termasuk sistem militer. Hal ini
terlihat dalam susunan organisasi militer
pasukan Diponegoro yang berkiblat pada Turki
Utsmani untuk semakin menajamkan antipati
terhadap budaya Barat.
Perang Jawa (1825-1830) adalah garis
batas dalam sejarah Jawa dan sejarah
Indonesia pada umumnya antara tatanan lama
Jawa dan zaman modern. Itulah masa dimana
untuk pertama kali sebuah pemerintah kolonial
Eropa menghadapi pemberontakan sosial yangberkobar di sebagian besar Pulau Jawa. Hampir
seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta
banyak daerah lain di sepanjang pantai utara
Jawa terkena dampak pergolakan itu. Dua juta
orang, yang artinya sepertiga dari seluruh
penduduk Jawa, terpapar oleh kerusakan
perang; seperempat dari seluruh lahan
pertanian yang ada, rusak; dan jumlah
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 9/40
9
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
Gambar 5. Penduduk Jawa kelas bawah
penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000
orang.4
Demi memastikan kemenangan pahitnya
atas orang Jawa, karena banyak korban yang jatuh, Belanda harus membayar dengan sangat
mahal: sebanyak 7.000 serdadu pribuminya
dan 8.000 tentara asli Belanda tewas; dan biaya
perang yang harus mereka keluarkan mencapai
sekitar 25 juta gulden (setara dengan 2,2 miliar
dolar AS saat ini).5 Setelah berakhirnya perang,
Belanda secara tak terbantahkan menguasai
pulau Jawa dan sebuah fase baru pemerintah
kolonial Belanda dimulai dengan
diberlakukannya “sistem tanam paksa” (cultuur
4 Peter Carey, The Origin of Java War (1825-1830), English
Historical Review, 1976, hal. 525 De Graaf, Geschiedenis van Indonesie. ‘s-Gravenhage: Nijhof,
Bandung: Van Hoeve, 1949, hal. 399
stelsel) pada tahun 1830-1870 oleh Gubernur
Jenderal Johannes van den Bosch (menjabat
antara 1830-1834).
Kekalahan Diponegoro pada tahun 1830membuka jalan bagi pengenalan ‘Cultivation
System’ yang digulirkan oleh Johannes van den
Bosch (1830-1877), dimana produk Jawa dibeli
oleh negara kolonial Belanda dengan harga
tetap yang rendah dan kemudian dijual di pasar
dunia sesuai dengan harga internasional,
sebuah sistem yang memberikan penghasilan
bersih kepada Belanda sebesar 832.000.000
gulden (setara dengan USD75 miliar uang hari
ini) sehingga meringankan beban transisi
negara tersebut menuju ke ekonomi industri
modern.6
Perkembangan pasca-Perang Jawa
semakin membenarkan keprihatinan
Diponegoro atas ketidakadilan perdagangan
antara Jawa dan kekuasaan kolonial Belanda.
Dengan demikian, perang ini menandai
berakhirnya sebuah proses yang mematang
sejak periode Gubernur Jenderal Herman
Willem Daendels (1808-1811). Termasuk
perubahan sejak dari era Serikat PerusahaanHindia Timur atau Vereenigde Oost-Indische
Compagnie (VOC), 1602-1799, ketika kontak-
kontak antara Batavia dan kerajaan-kerajaan di
Jawa tengah bagian selatan telah terjalin
diantara para pejabat setingkat duta besar
sebagaimana layaknya terjadi di antara negara-
negara berdaulat, menuju periode “puncak
6 Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c.1300,
Basingtoke: Macmillan, 1993, hal. 123
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 10/40
10
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
kolonial” ketika para raja akhirnya menduduki
posisi sebagai bawahan atau subordinat
terhadap kekuasaan kolonial Eropa.
Perang Jawa juga memberikan dayadorong untuk sebuah proses yang masih akan
bergulir sendiri dalam Indonesia modern, yaitu
intergrasi nilai-nilai Islam ke dalam identitas
Indonesia masa kini.
C. Jalannya Peperangan
1. Penyiapan kekuatan
Masa pemerintahan Sultan
Hamengkubuwono IV adalah masa keemasan
masuknya pengaruh budaya Eropa di Jawa.
Pada 16 Desember 1822, Sultan
Hamengkubuwono IV meninggal secara
mendadak saat makan. Kemungkinan dia
diracun. Kemudian pemerintah Hindia Belanda
mengangkat RM Menol yang masih berusia 2
tahun sebagai Sultan Hamengkubuwono V.
Tiadanya kepemimpinan yang kuat dan
disegani telah membuat wibawa keraton
menjadi hilang sehingga tingkah laku para
pejabat pemerintahan Hindia Belanda semakin
menjadi-jadi, semakin mudah keluar masuk
keraton dan mengadakan hubungan gelap
dengan puteri-puteri keraton. Skandal seks dan
perselingkuhan merebak di kalangan keluarga
para bangsawan dan keluarga kalangan
keraton. Korupsi, penyalahgunaan jabatan dan
pemerasan rakyat meluas. Tanah-tanah milik
kerajaan (Kroonsdomein) yang subur disewakan
kepada orang Eropa atau orang Cina yang
mendapat dukungan dari para bangsawan
keraton serta Residen pemerintah kolonial
Belanda. Pungutan pajak dan pungutan bea
lainnya semakin ditingkatkan—tanpa
mengindahkan akibat yang semakin
membebani kehidupan rakyat—dengan
semakin memperbanyak gerbang pajak (Tol
Poorten) yang disewakan kepada orang-orang
Cina.
Hal ini membuat prihatin Pangeran
Diponegoro, sehingga menginspirasikan dirinya
untuk membentuk negara (balad) Islam.
Pangeran Diponegoro ini merupakan anak
tertua dari Sultan Hamengkubuwono III.
Pangeran Diponegoro menolak diangkat
menjadi Pangeran Adipati/Putera Mahkota,
Gambar 6. Sultan Hamengkubuwono IV dalam balutan
seragam tentara Belanda
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 11/40
11
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
sebagai penggantinya dia menunjuk RM
Ambyah. Penolakan dinobatkan menjadi putera
mahkota ini dikarenakan Pangeran Diponegoro
kecewa terhadap ayahandanya (Sultan
Hamengkubuwono III) yang dinilainya telah
melakukan perbuatan durhaka terhadap
orangtuanya sendiri. Pangeran Diponegoro
tidak menyetujui sikap Sultan
Hamengkubuwono III yang melakukan
pemakzulan terhadap kakeknya (Sultan
Hamengkubuwono II) dan bersikap lemahterhadap tekanan pemerintah Hindia Belanda
serta mengadopsi gaya hidup sekuler yang
kebarat-baratan.
Masa muda Pangeran Diponegoro
dijalaninya dengan berkelana dari masjid ke
masjid dan berguru dari satu pesantren ke
pesantren lainnya. Kebiasaan itu membuatnya
memiliki banyak guru (kyai, ulama) dan
hubungan yang luas dengan komunitas santri.
Pengembaraannya di kalangan komunitas
santri disertai pendalamannya atas sejarah
Nabi Muhammad SAW telah mengubah sikap
dan gagasannya tentang masyarakatnya. Situasi
dan kondisi masyarakat Jawa masa itu
dipersepsikannya identik dengan masyarakat
Arab jaman pra Islam. Sehingga ia merasa
berkewajiban mengubahnya menjadi
masyarakat Islami yang berdasarkan tuntunan
Rasulullah SAW. Gagasannya itu hanya dapat
dicapai melalui perang Sabil terhadap orangkafir. Pendirian Pangeran Diponegoro semakin
teguh dan secara simbolik untuk menegaskan
idealisme sikapnya itu ia mulai menanggalkan
pakaian Jawa dan menggantinya dengan
pakaian jubah dan surban yang serba putih.
“Saya bukan Diponegoro, saya adalah Ngabdul
Khamid.”7
Pergaulannya dengan yang luas dengan
komunitas santri dan petani memudahkannya
untuk memperoleh simpati, dukungan dan
legitimasi kepemimpinan dari masyarakat,
apalagi ia adalah salah seorang keturunan
Sultan. Tekad untuk mendirikan negara Islam di
Jawa semakin kuat karena hubungannya yang
akrab dengan para pemimpin bawahan,
demang, bekel, kyai dan ulama, terutama Kyai
Mlangi, Kyai Kwaron, dan Kyai Taptojani.
Pangeran Diponegoro selama 12 tahun
mempersiapkan diri seandainya terjadi perang
Sabil yang dicita-citakannya. Tegalrejo
merupakan suatu markplaats, yaitu tempat
“menjual dan membeli” gagasan, konsep
ideologi, politik, kenegaraan, budaya, militer,
rencana strategi dan aksi; tempat
berkumpulnya pemimpin masyarakat ketika di
Kesultanan Yogyakarta terjadi kekosongankepemimpinan;
8 tempat Diponegoro
memperoleh basis legitimasinya melalui
permufakatan sukarela dari kelompok yang
berkepentingan.9
7 Bernhard H.M. Vlekke, Nusantara a History of Indonesia,1959, hal. 2848 P.J.F. Louw, De Java Oorlog van 1825-1830, I, 1894, hal. 97-
106.9 Babad Diponegoro, I, 1983, hal. 103.
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 12/40
12
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
Diponegoro mendapatkan dukungan dari
dua basis utama, yaitu dari kalangan komunitas
santri dan pendukung berbasis kedaerahan.
Para santri merupakan komunikator terdepan
bagi penyampaian ide dan gagasan tentang
negara Islam, perang sabil, dan masyarakat
jahiliyyah. Mereka adalah kelompok yang
memiliki jaringan luas di masyarakat. Dalam
tradisi pesantren, seorang santri yang tamat
belajar wajib menjalankan semacam “inisiasi”,
yaitu menggembara dari satu tempat ketempat lain, untuk mengajarkan ilmunya
kepada orang lain (dakwah). Pangeran
Diponegoro memanfaatkan anggota komunitas
religius untuk menjaga dan memelihara kontak-
kontak hubungan dengan para pendukungnya
di daerah-daerah yang jauh seraya mendorong
pihak-pihak lain untuk ikut bergabung dalam
perang sabil.
Selain komunitas santri, pendukung
Diponegoro berasal dari lintas daerah, dengan
tingkatan mutu tempur pasukan yang
bertingkat. Menurut Diponegoro:
“Penduduk Madiun bagus dalam bertahanterhadap serangan pertama, namun setelah itu
mereka tidak banyak berguna. Penduduk
Pajang juga terkenal pemberani, tetapi tidak
lama setelah itu kondisinya sama seperti yang
tadi. Penduduk Bagelen lebih baik, itu kalau
bertempur di daerahnya sendiri. Jika mereka
harus bertempur di luar daerahnya, mereka
kalah dengan cepat. Tetapi penduduk Mataram
terbaik diantara semua; mereka bertarung
dengan gigih dan tahu bagaimana harus
prihatin dan tabah menghadapi penderitaan
akibat perang.”10
Setelah sekian lama mempersiapkan diridan menggalang dukungan, pendirian
Diponegoro semakin teguh setelah mengalami
beberapa peristiwa yang menyinggung
kehormatan pribadi dan pelanggaran terhadap
norma-norma kehidupan Jawa dan Islam.
Ditambah lagi beban kehidupan yang makin
berat bagi masyarakat lapisan bawah. Ia
akhirnya mengambil keputusan untuk berbuat
sesuatu, yaitu merebut kembali pulau Jawa.
Usaha menyongsong perang Jawa dimulai
dengan mempersiapkan gua Selarong sebagai
tempat awal untuk konsolidasi kekuatan laskar
tempur para pengikutnya, membangun pabrik-
pabrik mesiu yang tersembunyi dan tersebar di
beberapa tempat, antara lain: desa Geger di
sebelah selatan kota Yogyakarta, daerah
Gunung Kidul, desa Parakan, desa
Kembangarum di daerah Kedu, dan beberapa
tempat lainnya. Menyebar telik sandi yang
menyamar sebagai abdi pembantu rumahtangga, pekatik pemelihara kuda peliharaan, di
lingkungan Keraton maupun di kediaman Patih
Danurejo, Residen, Sekretaris Residen, Asisten
Residen, para Ningrat yang dianggap sebagai
sahabat para pejabat pemerintah Hindia
Belanda, dan orang-orang lain yang dianggap
sebagai lawan (musuh) dari cita-citanya
mendirikan negara Islam, serta dilakukannya
10 Louw dan de klerck 1894-1909, v:743
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 13/40
13
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
pembelian padi secara besar-besaran oleh
masyarakat pada pertengahan 1825.
Kemudian pada pertengahan Juli 1825,
terjadi insiden pemancangan patok batasrencana pembebasan tanah untuk
pembangunan infrastruktur transportasi jalan
baru dan penutupan jalan masuk ke
kediamannya di Tegalrejo. Insiden itu membuat
Pangeran Diponegoro merasa sudah tiba
saatnya bagi dirinya untuk mengambil
keputusan untuk berbuat sesuatu dengan
memobilisasi kekuatan pasukan laskar tempur
sebagai awal Perang Sabil merebut kembali
pulau Jawa yang tujuan akhirnya mendirikan
negara Islam.
Sejak terjadinya insiden pancang dan
penutupan jalan dari Yogyakarta ke Tegalrejo,
kediaman Diponegoro dijaga oleh 1.500 orang
pengikutnya. Mereka terpengaruh berita
bahwa Diponegoro akan ditangkap. Pada 21 Juli
1825, residen akhirnya memerintahkan satu
detasemen pasukan yang dipimpin oleh asisten
residen, Chevallier, untuk menangkap
Diponegoro. Kedatangan pasukan tersebutdisambut dengan perlawanan dari pengikut
Diponegoro.11
Dalem Tegalrejo dikepung, dihancurkan,
dan dibakar. Diponegoro kemudian lari ke
Selarong, sebuah desa strategis yang berada di
kaki bukit kapur, kurang lebih 9 km dari
Yogyakarta. Di sana, diam-diam telah lama
11 P.J.F. Louw, I, 1894, hal 85
dipersiapkan sebagai markas besar. Pada akhir
Juli 1825, di Selarong telah berkumpul
beberapa orang bangsawan Yogyakarta, antara
lain Pangeran Mangkubumi, Pangeran
Adinegoro, Pangeran Panular, Adiwinoto
Suryodipuro, Kyai Mojo, Pangeran Ronggo, dan
Pangeran Surenglogo. Diponegoro
memerintahkan Joyomenggolo, Bahuyuda dan
Hanggowikromo untuk memobilisasi orang-
orang di desa sekitar Selarong dan bersiap
melakukan perang. Ia juga membuatperencanaan strategis dan langkah-langkah
taktis untuk melakukan serangan.
Secara garis besar, strategi Diponegoro
adalah merebut dan menguasai seluruh
wilayah Kesultanan, lalu mengusir Belanda dan
orang Cina keluar dari wilayah Kesultanan
Yogyakarta. Nagara, terutama keraton
Yogyakarta, sebagai sasaran strategis yang
harus diduduki dengan mengepungnya dari
semua penjuru. Pemberontakan lokal disulut
untuk memecah kekuatan lawan dan kekuatan
pihak-pihak yang membantu lawan.
Selanjutnya, Diponegoro mengambilbeberapa langkah untuk mencapai tujuan
strategisnya:
1. Menyerbu nagara (Keraton Yogyakarta)
dan mengisolasinya untuk mencegah
datangnya pasukan bantuan dari luar
Yogyakarta.12
12 Peter Carey, Orang Jawa dan Masyarakat Cina 1755-1825,
Pustaka Azet, 1986, hal. 39
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 14/40
14
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
2. Mengirim pesan yang berisi perintah
untuk memerangi orang Eropa dan
Cina.13
Pesan itu disampaikan kepada
para pemimpin pasukan ke seluruh
wilayah Kesultanan; Kedu, Bagelen,
Banyumas, Serang, dan wilayah
Monconegoro Timur. Ia mengirim pesan
yang sama kepada para demang di
perbatasan Kesultanan dan Kesunanan.
Diponegoro kemudian mengangkat
pemimpin daerah melalui suratkeputusan pengangkatan resmi yang
disebut Piagem.
3. Menyusun daftar bangsawan yang
dianggap sebagai lawan dan melindungi
mereka yang membantu.
4. Membagi wilayah Kesultanan menjadi
beberapa daerah perang14
serta
mengangkat komandan wilayah dan
komandan pasukan, juga melantik
beberapa pembantu utama.
5. Menyusun pasukan pengawal keraton
yang terdiri atas enam korps, yaitu
Pasukan Mantirejo, Pasukan Daeng,
Pasukan Nyutro, Pasukan Mandung,
Pasukan Ketanggung, dan Pasukan
Kanoman.
Struktur organisasi, hierarki, dan susunan
tugas masing-masing korps tidak meniru model
13 J. Hageman Jcz, Geschiedenis Oorlog op Java 1825 tot 1850,
1856, hal. 3214
Peter Carey, Babad Diponegoro An Account of the Outbreak
of the Java War (1825-1830), 1981, hal. 18-36
Barat, tetapi meniru model organisasi Janissari ,
yaitu pasukan elit kekhilafahan Turki Utsmani
abad ke-16, yang disesuaikan dengan kondisi
Jawa. Untuk menjalankan strategi perlawanan,
Diponegoro menggunakan hierarki Turki untuk
kepangkatan pasukannya. Ali Pasha setara
komandan divisi diadopsi menjadi Alibasah. Di
bawahnya, Pasha setara komandan brigade
menjadi Basah. Kemudian setara komandan
batalyon adalah Dulah, yang diadopsi dari
istilah kepangkatan Agadulah. Untuk setarakomandan kompi diambil istilah Seh.
Struktur pimpinan perlawanan Diponegoro
meliputi dari yang tertinggi Pramudeng Prang
(Sultan Ngabdulkamid Herucokro Kabirul
Mukminim Sayidin Panotogomo Senopati ing
Ngalogo Sabilullah, yaitu Pangeran Diponegoro
sendiri). Panglima Tentara adalah Alibasah
Ngabdul Mustapa Sentot Prawirodirjo.
Komandan untuk kewilayahan perang
(mandala) Pajang, Yogyakarta, dan Bagelen,
berturut-turut Alibasah Kasan Besari, Alibasah
Sumonegoro, dan Pangeran Diponegoro.
Perang Diponegoro sebagai perang rakyatmeluas di sebagian wilayah Jawa. Saleh
menuangkan catatan Letnan Gubernur Jenderal
LPJ (Viscount) du Bus de Gissignies yang
menyebutkan adanya pasokan senjata untuk
pasukan Diponegoro melewati pantai selatan
(Samudra Hindia) di sekitar wilayah muara
Sungai Progo.
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 15/40
15
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
Pada 9 Agustus 1828, diketahui ada sebuah
padewakang, kapal Bugis, bersama sejumlah
besar perahu kecil berangkat dari muara Sungai
Progo ke arah daratan. Peristiwa ini diduga
sebagai penyelundupan senjata untuk pasukan
Diponegoro. Siapa yang membantu
penyelundupan senjata untuk pasukan
Diponegoro sampai sekarang belum terungkap.
Dari Turki hanya digunakan istilah hierarki
kepangkatan tentara Diponegoro.
Melihat persiapan yang begitu matang,
selama beberapa tahun Diponegoro telah
melakukan aksi conspiracy of silence karena
dalam waktu yang relatif singkat mampu
memobilisasi kekuatan. Ia dengan sengaja
mempersiapkan diri untuk melakukan
perebutan kekusaan politik di Kesultanan
Yogyakarta. Hal ini dimulai saat ia menolak
pencalonan sebagai putra mahkota olehJohn
Crawfurd pada tahun 1812 hingga menolak
tawaran Residen Baron de Salis untuk menjadi
Sultan pada tahun 1822. Sikap tersebut
menjadi bukti bahwa ia mempunyai pendirian
dan ideologi tersendiri tentang negara dan
sistem kenegaraan.
2. Tujuan perang Diponegoro
Banyak penutur sejarah yang mengatakan
bahwa perang Diponegoro dipicu oleh perang
dinasti antara kasultanan Mataram danSurakarta dan masalah patok kuburan
leluhurnya yang dilanggar. Pemikiran sejarah
haruslah logis, kata Hacket Fischer, agar
mencegah kekeliruan penuturan sejarah.
Logikanya, butuh lebih dari itu untuk
melangsungkan perang panjang yang
dampaknya hingga menguras anggaran belanja
sebuah negara.
Faktor yang mendukung keberlangsungan
perlawanan Diponegoro menjadi demikian
hebatnya:
a. Perang Diponegoro bertujuan
mempertahankan kedaulatan negara.
Kegiatan perlawanan militer Diponegoro
adalah dalam kerangka penegakan Balad al
Islam (negara Islam).
Ada tiga indikasi yang menunjukkan Perang
Diponeogoro bertujuan mempertahankan
negara:
Memiliki ideologi (sumber ideologi)
berperang untuk mendirikan negara yang
Berkeadilan yang Berdasarkan Agama
Islam. Aksi kolektif militer Diponegoro
jelas bertujuan untuk
mendirikan balad (negara) Islam yang
sekaligus merupakan bentuk reaksi
penolakan terhadap perluasan pengaruh
kapitalisme atau liberalisme yang
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 16/40
16
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
dianggap mengganggu sistem sosial dan
keagamaan di Tanah Jawa.
Menurut Louw perjuangan masyarakat
Jawa di bawah kepemimpinanDiponegoro dilandasi oleh alasan yang
lebih filosofis, yaitu jihad fi sabilillah. Hal
ini diakui oleh Louw dalam De Java
Oorlog Van 1825-1830:
“Tujuan utama dari pemberontakan
tetap tak berubah, pembebasan negeri
Yogyakarta dari kekuasaan Barat dan
pembersihan agama daripada noda-noda
yang disebabkan oleh pengaruh orang-
orang Barat.”
Hal ini tampak dari ucapan Pangeran
Diponegoro kepada Jendral De Kock pada
saat penangkapannya.
“Namaningsun Kangjeng Sultan
Ngabdulkamid. Wong Islam kang padha
mukir arsa ingsun tata. Jumeneng ingsun
Ratu Islam Tanah Jawi”
(Nama saya adalah Kanjeng Sultan
Ngabdulkhamid, yang bertugas untuk
menata orang Islam yang tidak setia,
sebab saya adalah Ratu Islam Tanah
Jawa)”.15
Memiliki organisasi dan kondisi
masyarakatnya yang mendukung.
Kepemimpinannya mampu mendidik
masyarakat, memupuk semangat, dan
15 P. Swantoro, Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung
Menjadi Satu, 2002.
memberikan tujuan. Implikasi positifnya
Pangeran Diponegoro memiliki Hegemoni
Politik di wilayahnya.
Dengan latar belakang ideologis, diiringidengan kondisi sosial ekonomi saat itu
yang penuh dengan kezaliman, semakin
memudahkan Diponegoro untuk
mendapatkan dukungan masyarakat.
Kondisi tersebut antara lain: Pertama,
wilayah kraton yang menyempit akibat
diambil alih Belanda, Kedua, pemberian
kesempatan kepada orang Tionghoa
untuk menarik pajak, Ketiga,
kekurangadilan di masyarakat Jawa,
Keempat, aneka intrik di istana, Kelima,
praktek sewa perkebunan secara besar-
besaran kepada orang Belanda, yang
menyebabkan pengaruh Belanda makin
membesar, Keenam, kerja paksa bukan
hanya untuk kepentingan orang
Yogyakarta saja, tetapi juga untuk
kepentingan Belanda.
Kareel A Steenbrink menyebutkan,
pemikiran dan kiprah PangeranDiponegoro menarik para ulama, santri
dan para penghulu merapat pada barisan
perjuangannya. Carey menemukan 108
kyai, 31 haji, 15 Syeikh, 12 penghulu
Yogyakarta, dan 4 kyai guru yang turut
berperang bersama Diponegoro.
Bagi sebagian kalangan, ini cukup
mengherankan. Sebab, pasca
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 17/40
17
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
Gambar 7. Salah seorang pemimpin masyarakat Jawa
dengan pakaian perangnya
pembunuhan massal ulama dan santri
oleh Sunan Amangkurat I tahun 1647,
hubungan santri dengan kraton
digambarkan sangat tidak harmonis.
Namun Pangeran Diponegoro yang
merupakan keturunan bangsawan dan
ulama sekaligus, berhasil menyatukan
kembali dua kubu tersebut.
Bentuk penolakan terhadap kedaulatan
sistem asing yang batil. Di samping itu
sistem organisasi militer Pangeran
Diponegoro- yang berkiblat ke Sistem
militer Kekhalifahan Turki Usmani
menunjukkan sikap hubungan formal
bilateral antar dua kekuasaan politik.
Terkait dengan kedaulatan, ada
hubungan politik antara Pangeran
Diponegoro dengan Khalifah di
Turki. Bulkiyo yang berasal dari
istilahBolzuk atau divisi pasukan elite
Turki Usmani Janissari abad ke-16, juga
digunakan sebagai nama korps pasukan
elite Diponegoro.
b.
Kekuatan motivasi dan kecakapan parapemimpin perang Diponegoro dalam
mengelola aksi-aksi untuk mencapai tujuan.
Kemampuan para pemimpin perang
Diponegoro dalam menggali dan mengolah
emosi masyarakatnya agar tetap
berkeyakinan terhadap perjuangan,
merupakan salah satu faktor pendukung
hingga peperangan bisa berlangsung lama.
Secara umum kecakapan itu tercermin dari
munculnya strategi baru sebagai balasan
untuk strategi Stelsel Benteng. Strategi
langsung yang mengandalkan keunggulan
jumlah tentara yang diterapkan Diponegoro
sebelumnya sudah tidak efektif kemudian
digantikan dengan strategi atrisi (die
Ermatung Strategie). Strategi
penggerogotan mengubah sifat perangnya
menjadi perang jangka panjang.
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 18/40
18
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
3. Jihad Diponegoro
Dalam pandangan Diponegoro dan
pasukannya, perang yang mereka lakukan
melawan Belanda dan sekutunya adalahsebuah jihad, yaitu berperang melawan kaum
kafir yang telah melakukan penyerangan,
pengusiran, dan perampasan terhadap umat
Islam, dan juga berperang melawan orang-
orang murtad, yaitu orang Islam yang
membantu orang kafir dalam memusuhi dan
melakukan agersi terhadap umat Islam. Dalam
masa itu, kata sabil dan sabilillah yang
mempunyai makna spesifik, digunakan untuk
menggantikan kata jihad. Kata sabil maupun
sabilillah merupakan sebutan ringkas dari kata
jihad fi sabilillah yang secara khusus kata ini
bermakna melakukan peperangan melawan
orang kafir.
Di samping itu, penggunaan kata sabil
maupun sabilillah dianggap lebih mudah
pengucapannya dalam bahasa Jawa daripada
kata jihad fisabilillah. Pengucapan istilah-istilah
asing dalam bahasa Jawa seringkali disingkat
dengan cara mengambil kata yang palingbelakang atau menggandengkan dua kata
tersebut dan diucapkan sesuai dengan lidah
orang Jawa. Hal ini juga dilakukan oleh
Diponegoro dalam penulisan Babadnya.
Sebagai contoh, Gerad Baron Nahuys (nama
Residen Yogyakarta tahun 1816 – 1822) cukup
ditulis dengan Nahuys, John Crawfurd
diucapkan dengan Karepet, Abu Bakar
dilafalkan Bubakar, Abdurrahim menjadi
durahim, serta Ali Pasya menjadi Libasah atau
basah.
Penggunaan kata sabil dan sabilillah juga
erat kaitannya dengan struktur penulisanBabad Diponegoro yang menggunakan
macapat. Seperti telah diketahui bahwa
penulisan macapat mempunyai aturan yang
ketat terutama berkaitan dengan jumlah suku
kata (guru wilangan) dan rima (guru lagu).
Penggunaan kata jihad fisabilillah yang
mempunyai suku kata yang panjang dan agak
sulit diucapkan orang Jawa, dirasakan sangat
menyulitkan dalam penyusunan macapat yang
mempunyai aturan suku kata dan rima. Oleh
karena itu, kata sabil dan sabilillah digunakan
sebagai kependekan dari kata Jihad fisabilillah.
Di dalam Babad Diponegoro terdapat
kurang lebih 59 kata sabil dan sabilillah yang
mempunyai pengertian berperang melawan
orang kafir. Antara lain dalam tembang Girisan
(X) berikut:
Mas Lurah aris katanya
“Bok ayo sabil kewala
Iki Jumungah dinanya
Mapan hiwih aprayoga”
Jeng Sultan kendel sakala
Mangkana osiking drinya
“Wus bener Mas Lurah ika
Nging sun tan rinilan suksma,
Sadina iki sirnaa
Pan aja kongsi kadawa”
Kanjeng Sultan angandika
Mring Pangeran DipanagaraHeh Kulup prajurit ika
Saanane tuturana
Yen sun arsa sabil iya”
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 19/40
19
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
Kanjeng Sultan apan biya…!
Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai
berikut:
Mas Lurah dengan bijaksana berkataAyo kita sabil saja
Hari ini hari Jumat
Hari baik untuk berperang
Sultan (Abdul Hamid) berhenti sejenak
Dalam batinnya berkata
“Benar perkataan Mas Lurah
Jiwa saya rela
Hari ini juga
Jangan sampai tertundaSultan kemudian berkata
Kepada Pangeran Diponegoro III (putera
Diponegoro)
Wahai ananda, prajurit
Yang ada hendaknya diberitahu
Kalau saya hendak berperang
Sultan karena saran ini….
Kata sabil yang digunakan dalam tembangdi atas bermakna berperang melawan kafir
(Belanda). Kalimat “Bok ayo sabil kewala”
mempunyai pengertian mari kita berperang
dengan orang kafir saja dan tidak perlu
mundur.
Selain itu, pasukan yang meninggal dalam
jihad disebut dengan meninggal dalam sabil
(prapta sabil/sabilullah). Diponegoro
menggunakan kata sahid untuk orang-orang
Islam dari kalangan masyarakat sipil yang
menjadi korban perang. Penggunaan kata sahid
ini merupakan pemberian penghargaan
Diponegoro yang besar kepada umat Islam
yang tidak terlibat langsung dalam peperangan.
Bantuan umat Islam sangat besar bagi
keberlangsungan perjuangan Diponegoro yang
mempergunakan sistem gerilya.
Diponegoro menggunakan Al Quran
sebagai dasar ideologi untuk berjihad. Sebagianbesar kata Al Quran dalam Babad Diponegoro
menunjukkan makna Al Quran sebagai
landasan dalam berjihad. Dalam menafsirkan
ayat-ayat Al Quran yang membahas jihad
dalam artian perang melawan orang kafir,
Diponegoro meminta kepada penasihat
utamanya, yaitu Kyai Keweron dan Kyai Mojo,
untuk menjabarkan dan menafsirkan ayat-ayat
tersebut. Di dalam Babad, Diponegoro
mengaku bahwa dirinya tidak mengetahui
seluruh isi Al Quran dan takut apabila salah
dalam menafsirkannya.16
Secara umum, Babad Diponegoro tidak
menunjukkan dengan terperinci ayat-ayat Al
Quran yang dijadikan dasar dalam jihad.
Diponegoro hanya mengungkapkan bahwa
perjuangan yang dilakukannya didasarkan atas
menjalankan perintah untuk menjalankan ayat
qital dalam Al Quran.
Ngantepi Islamnya samya
Nglampahi parentah dalil
Ing Quran pan ayat Katal
Namung sing Rabulngalamin
Ing akerat punika
Tetepa ingkang sinuwun
Semua orang memegang teguh Islam
Menjalankan perintah dalil
Ayat Qital dalam Al Quran
16 Ambaristi dan lasman marduwiyota, babad diponegoro i,
hal. 479
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 20/40
20
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
Hanya kasih Rabbul’alamin
Di akhirat lah
Yang tetap dimohon
Jihad yang dilakukan oleh Diponegoro
bertujuan untuk menegakkan agama Islam di
Jawa. Hal ini terlihat dalam surat balasan yang
ditulis oleh Diponegoro kepada Jenderal de
Kock yang menanyakan maksud dan tujuan
Diponegoro:
“Dhateng ingkang saudara
Jenderal de Kock ri sampunnyaTabe kawula punika
Dene Jengandika tanya
Menggah Karsane ki Harya
Estu yen darbe karsa
Rumiyin lan sapunika
Nging luhuring kang agama
Ing Tanah Jawi sadaya
Kalamun estu andika
Tan makewedi punikaMring agamane akar ya
Islame ing Tanah Jawa
Pan inggih purun ki Harya
Dhame lawan Jengandika
Nanging Anedha pratandha17
Kepada Saudara
Jenderal de Kock
Saya mohon maaf
Jika anda bertanya
Apa keinginan Aryo (Diponegoro)
Sungguh bila punya keinginan
Hanya untuk meninggikan agama
Di seluruh tanah Jawa
Jika anda benar-benar
Tidak membuat kesulitan
Kepada agama
Islam di tanah Jawa
17 Ambaristi dan lasman marduwiyota, babad diponegoro i,
hal.251
Maka Aryo bersedia
Berdamai dengan anda
Tetapi, meminta bukti
Selain menegakkan Islam, jihad
Diponegoro juga mempunyai misi untuk
mendirikan negara Islam di tanah Jawa. Secara
implisit hal itu disampaikan oleh Diponegoro
kepada Kyai Penghulu yang hendak berangkat
ke Mekkah menunaikan ibadah haji seperti
yang dituturkan dalam pupuh Dandanggula
(VII) berikut ini:
Syukur kaki dika jangji
Lamun besuk dika prapteng Mekah
Poma aywa muleh-muleh
Matia aneng ngriku
Yen manira antuk kang kardi
Dika kabar-kabarna
Lan dika nunuwun
Pandongane para imam
Muga kula oleha supangat Nabi
Lan kaliraning Allah
Den kuwatno manglawan mring kapir
Lan den banget andika nenedha
Sujud ing kakbahtolahi
Nunuwa ing Hyang Agung
Lestarine kang tanah Jawa
Dadya balad agama
Kaki laman estu
Wonten pitulung Hyang Suksma
Ki Pangulu den rikat andika mulih
Ki pangulu aturnya….18
Syukurlah kalau begitu ananda, kamu
harus janji
Jika kamu sudah tiba di Mekah
Sungguh jangan pulang-pulang
Jika perlu wafatlah di sana
18 Ambaristi dan lasman marduwiyota, babad diponegoro i,
hal. 188
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 21/40
21
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
Jika saya mendapat apa yang
diperjuangkan
Kamu kabarkan
Dan kau pintakan
Doa kepada para imam
Semoga saya mendapat syafaat Nabi
Dan ridlo Allah
Dikuatkan melawan orang kafir
Dan kamu mohonkan dengan sungguh-
sungguh
Saat sujud di Ka’bah
Mohonlah kepada Tuhan
Lestarinya tanah Jawa
Menjadi balad agamaWahai ananda, jika benar-benar
Ada pertolongan Tuhan
Ke Pengulu, cepat-cepat Anda pulang”
Ki Pengulu berkata….
Dari kutipan di atas terlihat bahwa
keinginan Diponegoro adalah berdirinya balad
agama yang lestari di tanah Jawa. Balad agama
yang dimaksud adalah sebuah negara di tanah
Jawa yang berlandaskan syariat Islam.
Keinginan ini tidak hanya murni keinginan
Diponegoro, tetapi menjadi keinginan dari
pembantu dan pengikutnya juga. Indikasi itu
terlihat dari saran Mangkubumi untuk
mengangkat Diponegoro menjadi Sultan
dengan gelar Abdulhamid Herucakra Amirul
Mukminin Sayyidin Panatagama Khalifatur
Rasul ing Tanah Jawa.
Adapun sasaran dari jihad Diponegoro
adalah dua kelompok, yaitu orang-orang kafir
dan murtad. Yang dimaksud kafir adalah orang
Belanda yang notabene adalah non Muslim dan
telah melakukan penyerangan dan penjajahan
terhadap umat Islam. Sedangkan kata murtad
ditujukan kepada orang-orang Muslim
Indonesia yang membantu Belanda dalam
memerangi Diponegoro dan pasukannya serta
melakukan kegiatan penindasan kepada rakyat.
Dalam babad Diponegoro terdapat kurang
lebih 96 kata kafir dan 70 kata murtad yang
konteksnya adalah musuh orang-orang Islam
dalam peperangan. Diantaranya seperti
diungkapkan dalam tembang pangkur (XII)
berikut ini:
Budhal saking sela Mirah
Sampun prapta ing sawetning Pragi
Mesanggrahan senjati
Mangsah nulya prapta
Kapir lan murtad apan langkung
kathahipun
Dhateng ira mara tiga
Nanging datan den tangledi 19
Berangkat dari Selamira
Sampailah di sebelah timur Pragi
Dan kemudian singgah di Senjati
Kemudian musuh datang
Kafir dan murtad dengan jumlah yang
banyak
Datang dengan dibagi tiga
Tetapi tidak dihiraukan
Secara kronologis, istilah kafir dan murtad
ini digunakan setelah penyerbuan pasukan
Belanda dan Yogyakarta ke Tegalrejo. Sebelum
peristiwa tersebut, istilah kafir tidak digunakan
meskipun pasukan Inggris dan Sepoy pernah
melakukan penyerbuan ke wilayah keraton
Yogyakarta. Istilah kafir dan murtad ini muncul
19 Ambaristi dan lasman marduwiyota, babad diponegoro i,
hal.325
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 22/40
22
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
ketika ideologi jihad telah dirumuskan oleh
Diponegoro bersama dengan ulama-ulama
yang mendampinginya.
Pemberian label kafir dan murtad serta
Islam sangat diperlukan untuk membedakan
siapa pembela agama dan siapa musuh agama.
Diponegoro membuat peraturan bahwa yang
menjadi pasukannya harus beragama Islam dan
menunjukkan perilaku dan atribut Islam.
Pasukan Diponegoro yang berasal dari
keturunan Tionghoa yang turut bagian dalammelawan Belanda, diwajibkan untuk masuk
Islam serta diharuskan memotong rambut
kuncir yang menunjukkan identitas orang
Cina.20
Sebagai gantinya, pasukan Diponegoro
menggunakan atribut bercorak keislaman yakni
surban.
Ideologi anti kafir dan murtad yang keras di
kalangan pasukan Diponegoro tercermin dalam
penggunaan bahasa, khususnya yang berkaitan
dengan kematian pasukan musuh. Dalam
babad, Diponegoro tidak segan-segan
menyebut musuh yang mati di medan perang
dengan nama bangke (bangkai) yang biasanya
digunakan untuk hewan.21
20 lihat Benny g. Santoso, Tionghoa Dalam Pusaran Politik , hal.
177 serta hembing wijayakusuma, pembantaian massal 1740:tragedi berdarah angke (jakarta: pustaka populer obor, 2005),
hal. 177.21
Ambaristi dan lasman marduwiyota, babad diponegoro ii ,
hal.218.
4. Jalannya peperangan
Tepat tiga minggu sesudah insiden
penyerbuan Tegalrejo, pasukan Diponegoro
melakukan penyerbuan terhadap nagara
Yogyakartadari segala penjuru dengan
kekuatan 6.000 pasukan, dimana pasukan ini
terdiri dari tiga kolone: Kolone pertama
dipimpin oleh Pangeran Abu Bakar, saudara
dari Diponegoro yang juga seorang putra dari
Sultan III. Pasukan pertama ini bergerak dari
arah timur dan menyerbu dalem Pakualaman.
Mereka menghancurkan jembatan Kali Code,
membakar perkampungan orang-orang Cina
dan Eropa ser
Kolone kedua dipimpin oleh Pangeran
Adinegoro. Mereka berhasil menguasai jalan
penghubung Yogya – Magelang - Surakarta. ta
merusak gerbang-gerbang pajak.
Kolone ketiga di bawah pimpinan Pangeran
Blitar, bergerak dari arah selatan dan
menguasai jalan raya Bantul. Pasukan ini
berusaha merebut keraton.22
Rumah para
bupati (tumenggung) yang dianggap lawan
dirusak, dijarah, dan dibakar. Dalam
penyerbuan tersebut, pasukan Diponegoro juga
menjarah gudang-gudang logistik dan
mengangkutnya ke luar kota. Penjarahan ini
mengakibatkan sebagian besar penduduk
Yogyakarta menderita kekurangan bahan
makanan.
22 Babad Diponegoro, I, hal. 230
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 23/40
23
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
Sultan Hamengkubuwono V berhasil
diselamatkan dan diberi pengawalan ketat di
benteng Vredenburg. Sedangkan Keraton
Yogyakarta berhasil dipertahankan oleh pasukan
Pengawal Keraton yang dipimpin oleh Mayor
Wironegoro, tanpa menimbulkan kerusakan berarti.
Setelah dibakar, nagara Yogyakarta tidak
diduduki oleh pasukan Diponegoro, melainkan
hanya diisolasi. Pasukan Diponegoro memblokade
semua jalan masuk ke kota dan berjaga-jaga di
pinggir kota. Praktis, Yogyakarta menjadi kota mati
dan kekurangan pangan. Tawanan dan barang-
barang rampasan dibawa ke Selarong. Pasukan
Diponegoro berhasil menduduki Yogyakarta selama
tujuh hari.
Serbuan terhadap nagara yang strategis
berdampak luas. Para peserta conspiracy of silence,
terutama para tumenggung dan demang bawahan,
melakukan mobilisasi pasukan untuk melakukan
perang. Akibatnya, dalam waktu singkat hampir
seluruh wilayah Kesultanan bergolak. Satu-satunya
kekeliruan strategi pasukan Diponegoro adalah
mereka tidak sepenuhnya menduduki nagara.
Terutama keraton yang menjadi simbol kekuasaan,
sekalipun objek vital lainnya berhasil direbut.
Perang kemudian berkobar meluas ke segala
penjuru tanah Jawa. Laskar tempur pengikut
Pangeran Diponegoro tak mudah ditaklukkan,
sebab di dada mereka terpendam Bara Api
Semangat Perang Sabil. Tak kurang usaha licik untuk
menundukkannya dengan menawarkan tahta dan
status tanah perdikan kepada Pangeran
Diponegoro. Namun bujuk rayu tawaran tahta dan
uang yang terbukti ampuh dalam menyelesaikan
pemberontakan Ningrat Jawa pada masa-masa
sebelumnya ini tak membuat bergeming pendirian
Gambar 8. Sketsa perang antara Pasukan Diponegoro dengan Belanda. Pasukan Diponegoro menggunakan bendera
dengan simbol Erucakra (Ratu Adil) yang bergambarkan panah dan matahari.
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 24/40
24
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
Pangeran Diponegoro dari tujuannya mendirikan
negara Islam.
5. Strategi Belanda menghadapi Diponegoro
Banyak kesulitan yang harus dihadapi oleh
Belanda pada awal masa perang Jawa (1825-1827).
Mulai dari jumlah pasukan yang hanya 3 resimen
(satu resimen infanteri, satu resimen huzar, dan
satu resimen artileri), ditambah legiun
Mangkunagoro yang jumlahnya sekitar 1.800
orang.23
Pasukannya tersebut juga tidak mengenal
medan (terrain) dengan baik. Tidak ada peta yang
lengkap dan hampir semua peta yang tersedia
berada dalam kondisi buruk dan cacat. Padahal
sebagian besar wilayah Kesultanan Yogyakarta
berbukit-bukit. Pasukan yang sebagian besar tidak
mengenal medan menjadi faktor penghambat
mobilitas. Kondisi cuaca juga tidak menguntungkan
karena musim kemarau dan hujan berganti tidak
menentu. Selain itu, karakter pemberontak yang
mereka hadapi terkenal pemberani dan fanatik.
Mereka amat membenci orang Eropa dan Cina.
Jenderal H.M. de Kock, yang ditugaskan sebagai
Komisaris Pemerintah untuk Kesultanan Yogyakarta
dan Kasunanan Surakarta, menyusun plan de
champagne (rencana kampanye) untuk menumpas
pemberontakan. Plan de champagne tersebut
terdiri atas:
- Membuat persekutuan dengan Sunan Surakarta
dan Mangkunagoro untuk mengisolasi
Diponegoro.
23 Peter Carey, Waiting for the Just King, Modern Asia Studies,
20, I, 1986, hal. 59-137
- Merebut sasaran strategis, yaitu nagara
Yogyakarta, dari tangan pemberontak untuk
mengembalikan kedaulatan Pemerintah Hindia
Belanda dan kewibawaan Sultan.
- Mengamankan jalur komunikasi darat yang
strategis antara Surakarta-Klaten dan Klaten-
Yogyakarta.
- Mengamankan jalur komunikasi darat Semarang-
Salatiga dan Salatiga-Surakarta.
- Mengamankan jalur komunikasi darat di pantai
utara antara Semarang-Rembang
- Mengamankan jalur komunikasi darat
Pekalongan-Semarang
- Membebaskan daerah-daerah milik Kesultanan
yang direbut dan diduduki oleh pemberontak,
seperti Serang, Ngawi, dan Madiun.
- Membebaskan daerah milik Pemerintah Hindia
Belanda di Demak, Rembang, Jabarangkah
(Karesidenan Pekalongan), Banyumas, Kedu, dan
Bagelen sampai batas sungai Bogowonto.
- Memanggil pasukan-pasukan yang beroperasi di
luar Jawa dan menetapkan garis awal di
beberapa pelabuhan pendaratan di Pantai Utara.
- Merekrut spion dan orang-orang yang dipercaya
untuk mencari informasi tentang lawan.
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 25/40
25
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
Gambar 9. Jenderal Hendrik Merkus de Kock
Selama 1825-1827, de Kock terus melakukan
operasi militer dengan beberapa sasaran strategis.
Ia melakukan operasi militer dengan lima
pendekatan langsung, yaitu:
- Membuat persekutuan dengan Sunan Surakarta
dan Mangkunagoro untuk mengisolasi
Diponegoro, baik secara militer maupun politis,
untuk membentuk pendapat umum bahwa
pemberontakan adalah sebuah perbuatan jahat.
- Mengikat persahabatan dengan musuh-musuh
Diponegoro—para pangeran di Kesultanan
Yogyakarta—agar tidak membantu Diponegoro,
sekalipun bersikap pasif.
- Merebut kembali daerah-daerah Kesultanan
Yogyakarta yang diduduki oleh pengikut
Diponegoro. Menegakkan kembali keamanan
dan pemerintahan agar pajak-pajak dapat
dipungut dan perekonomian dapat berjalan
kembali secara lancar.
- Menggiring pasukan pemberontak ke daerah
antara Sungai Progo dan Bogowonto sebagai
killing area.
- Menangkap pemimpin tertinggi pemberontak,
yaitu Diponegoro sebagai “center of gravity ”.
Selain itu, de Kock juga menyebarkan seruan
kepada pengikut Diponegoro bahwa ia akan
memberikan pengampunan kepada mereka yang
dengan sukarela menyerahkan diri. Ia juga menulis
surat kepada Diponegoro dan Mangkubumi yang
berada di Selarong. Diponegoro segera
merundingkan isi surat itu dengan Pangeran
Mangkubumi dan Kyai Mojo, kemudian
memerintahkan kepada Pangeran Joyokusumo dan
Pangeran Suryenglogo untuk menulis surat balasan
yang secara tegas menolak berdamai.24
Setelah menerima surat balasan, de Kock segera
memerintahkan pasukan kolose kedua untuk
menyerbu Selarong, tetapi desa Selarong telah
kosong. Para pimpinan pasukan Diponegoro telah
berpencar meninggalkan Selarong menuju ke
pelbagai arah. Kegagalan dalam penyerbuan
Selarong tersebut membuat perang menjadi
semakin berlarut-larut. Perkiraan de Kock yang
membiarkan lawan berperang dengan cara
24 P.J.F. Louw, I, 1984, hal. 253
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 26/40
26
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
Gambar 10. Patih dan Sultan Madura mendiskusikan
rencana pengiriman tentara untuk membantu Belanda
perangnya sendiri sampai kehabisan logistic
ternyata keliru. Karena prajurit-prajurit Diponegoro
ternyata mampu bertahan hanya dengan makan
nasi kering dan garam. Dapat dikatakan, operasi
pengejaran (marching, fighting, camping) selama
1825-1827 yang diprakarsai oleh Jenderal de Kock
telah gagal menangkap Diponegoro.
Pada pertengahan tahun 1827, Jenderal De Kock
mulai merintis jalan perundingan dengan
menugaskan seorang pengusaha berkebangsaan
Inggris (William Stavers) dan seorang pengusaha
keturunan Arab (Ali Chalif) untuk berunding serta
menawarkan kepada Pangeran Diponegoro untuk
memilih tanah di mana saja yang diinginkannya asal
bersedia menghentikan peperangan.
Menjawab tawaran Jenderal De Kock itu,
Pangeran Diponegoro menjawab ia mau
menghentikan peperangan dengan syarat :
Pertama, semua orang Belanda harus memeluk
agama Islam. Kedua, wilayah pesisir utara Jawa
dikembalikan kepada Kesultanan. Ketiga, orang
Belanda boleh tinggal di Jawa tetapi tidak boleh
melakukan aktivitas perdagangan. Tujuan
peperangan tidak lain adalah untuk memuliakanagama Islam.
Perang perlawanan rakyat semesta yang
dipimpin Pangeran Diponegoro ini pun terus
berkobar. Perang yang panjang dan melelahkan
bagi kedua belah pihak.
Operasi Stelsel Benteng (1827-1830)
Selama perang berlangsung pemerintah Hindia
Belanda terpaksa harus membangun lebih dari 250
buah benteng untuk mendukung strategi perangStelsel Benteng. Menerapkan strategi politik berupa
Blokade Politik, Isolasi Politik, politik Belah Bambu
(Stick and Carrot ), Politik Adu Domba (Devide Et
Empera). Dibarengi penelitian sosio budaya untuk
menguak titik kelemahan kekuatan Laskar
Diponegoro yang dilakukan oleh ilmuwan orientalis
ahli urusan Pribumi dan orang Jawa (Roorda van
Eysinga).
Mereka juga mendatangkan bala bantuan
pasukan koninklijke leger expedisi yang didatangkan
langsung dari negeri Belanda. Selain itu, untuk
menambah jumlah pasukannya, Belanda kemudian
merekrut prajurit dari Afrika dan Pantai Gading—
yang kemudian dikenal sebagai Belanda hitam.
Belanda juga memobilisasi pasukan bantuan
prajurit Pribumi dari berbagai daerah
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 27/40
27
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
(Hulptroepen), antara lain : Legiun Mangkunegoro,
Pasukan Kasunanan Surakarta, Manado dan
Gorontalo (pimpinan Hasan Monwarfa), Buton
(pimpinan Raja Haji Sulaiman), Alfoeren Halmahera,
Tidore, Ternate, Sumenep Madura, Badung Bali,
dan dari beberapa daerah lainnya. mendatangkan
tentara yang bermarkas di Sulawesi hingga total
kekuatannya mencapai 23.000 personel.
Perang ini telah menguras keuangan pemerintah
Hindia Belanda yang mengeluarkan biaya perang
hingga tak kurang dari 25.000.000 Gulden (Rp 127
Milyar). Biaya perang yang sangat besar untuk
ukuran masa itu. Konsekuensi finansial yang besar
untuk strategi Stelsel Benteng hingga Belanda
menyebut Perang Diponegoro sebagai groote
onheilen (bencana besar) bagi administratif
Kolonial. Defisit anggaran mereka
sampai f 18.000.000 Gulden (sekitar Rp 92 Milyar).
Dan tahun 1827 saja tidak kurang dari 3000 orang
serdadu Eropa tewas di hadapan kedigdayaan
Tentara Islam Diponegoro.
Gagalnya strategi mobilitas merupakan
pengalaman yang berharga. De Kock selama ini
banyak terfokus untuk menangkap pimpinanpemberontak. Ia kini mencoba untuk melakukan
cara pendekatan pribadi dengan para tumenggung
beserta bawahannya. Operasi-operasi militer
intensif bukan semata-mata untuk menghancurkan
lawan atau merebut daerah lawan, tetapi juga
sekaligus mengucilkan para pemimpinnya. Berbeda
dengan perang umum, pihak lawan dalam perang
kecil tidak memiliki center of gravity sehingga sulit
untuk menentukan sasaran pokok. Salah satu cara
menghancurkannya adalah dengan merebut milik
yang paling berharga bagi mereka, to capture
whatever they prize most.
Bagi de Kock, para pimpinan lawan adalahsesuatu yang amat berharga. Mereka dibujuk dan
diajak berbicara untuk menyelesaikan permusuhan
secara damai. Berunding dengan lawan tidak berarti
mengurangi kehormatan dan kewibawaan
pemerintah karena karakter orang Jawa ternyata
sulit diperhitungkan. Mereka seringkali terlihat
sebagai orang yang lamban dan pemalas, namun
ternyata mereka adalah gerilyawan yang tangguh.
Dari hasil pemikiran dan pengalaman di
lapangan, de Kock memperbaiki kesalahan strategi
mobilitasnya. Pada tahun 1827, ia memutuskan
untuk melaksanakan strategi baru, yaitu strategi
Stelsel Benteng. Strategi ini meliputi dua aspek,
yaitu aspek strategi dan aspek sistem persenjataan
yang menyatukan pasukan dengan senjatanya.
Dalam strategi ini, benteng, meriam dan pasukan
menjadi unsur pokok ofensif-defensif. Benteng
menjadi tidak terpaku dalam satu wilayah (statis),
tetapi dinamis.
Dalam teori strategi, Stelsel Benteng disebut
sebagai strategi tidak langsung. Sebab, penguasaan
wilayah agar pasukan dapat memperoleh
kebebasan bergerak esensinya. Pasukan harus
berada sedekat mungkin dengan lawan untuk
memecahkan konsentrasi pasukan lawan, sehingga
benteng sebagai pangkalan pasukan harus dibangun
sedekat mungkin dengan daerah penduduk lawan.
Operasi-operasi militer yang berupa patroli taktis
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 28/40
28
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
ofensif dilakukan secara teratur. Gunanya untuk
mendesak lawan ke suatu “killing area”, yaitu
daerah antara Sungai Projo dan Bogowonto, yang
merupakan daerah yang dijaga secara ketat dengan
mendirikan benteng-benteng untuk mempersempit
lawan dan mencegah penerobosan lawan ke luar
wilayah, serta mendisorganisasi kekuatannya.
Pelaksanaan strategi benteng disertai beberapa
pedoman dan operasi yang harus ditaati oleh setiap
prajurit, seperti larangan ( forbidances) bagi pasukan
untuk tidak membakar desa (rumah, lumbung-
lumbung pangan dan rumah ibadah), menangkap
ternak (lembu, kerba dan kambing),
menghancurkan panen juga persediaan makanan
atau lumbung-lumbung pangan. Perbuatan-
perbuatan tersebut hanya akan menimbulkan sikap
antipati dan permusuhan yang berujung
perlawanan.
Pasukan juga diharuskan berhubungan langsung
dengan masyarakat agar mereka merasa
terlindungi. Merebut simpati masyarakat amat
esensial dalam strategi ini. Inilah sebuah strategi
yang menggabungkan beberapaaspek militer
ofensif-defensif dengan aspek kultural, psikologidan ekonomi.
Secara ringkas, konsepsi Stelsel Benteng adalah
penguasaan teritorial atau penaklukan total.
Penguasaan teritori merupakan tujuan pokok,
sebab jika keamanan ditegakkan, diharapkan
perekonomian rakyat akan pulih dan pajak-pajak
bisa dipungut kembali. Aspek kultural yang
disosialisasikan kepada tentara adalah
menghormati kepercayaan dan budaya setempat.
Aspek psikologi terutama untuk melunakkan sikap
fanatik (dwiepziek ) lawan.
Konsepsi Stelsel Benteng dimaksudkanuntuk memperbaiki kualitas daya tempur pasukan
Jendral de Kock yang merasa malu atas kegagalan
selama perang dua tahun. Dapat dikatakan, strategi
itu adalah kekuatan baru setalah gagasan membagi
Kesultanan Yogyakarta ditolak oleh Menteri Koloni
dan Kelautan, Elout, pada April 1827 atas nama Raja
Belanda.
Operasi sosial dilakukan oleh Belanda dengan
mengerahkan para bangsawan pemilik apanage ke
medan perang dengan tugas utama mempengaruhi
masyarakat agar tidak melakukan “perbuatan
jahat”. Istilah “berandal” juga dipopulerkan di
masyarakat.
Operasi psikologi dilakukan oleh Belanda dengan
mengangkat kembali Sultan Sepuh (Sultan
Hamengkubuwono II) pada Agustus 1826.
Pengangkatan ini membawa pengaruh besar
terhadap sebagian bangsawan yang berpihak pada
Diponegoro. Pangeran Mangkudiningrat, adalah
salah satu pimpinan pasukan di Sambiroto yang
meninggalkan Diponegoro. ia menghubungi Residen
Kedu, van Valck, untuk menyatakan keinginannya
menghentikan permusuhan dengan meminta
imbalan apanage di Kaliabu. Pada 1 Desember
1826, sekalipun permohonannya ditolak,
Mangkudiningrat tetap menyerah. Menyerahnya
Mangkudiningrat menginspirasi Belanda untuk
membuat surat tawaran yang berisi ajakan untuk
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 29/40
29
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
berdamai dan menghentikan permusuhan juga
disampaikan kepada para pimpinan pasukan
Diponegoro lainnya. Pangeran Notoprojo dan
Pangeran Serang berhasil dibujuk.
Belanda juga melakukan operasi teritorial
sebagai upaya menjauhkan Diponegoro dari rakyat.
Karena tanpa dukungan rakyat, pasukan
Diponegoro akan terisolir dan hanya dianggap
sebagai berandal atau gerombolan perampok.
Tujuan utamanya adalah untuk memikat hati
rakyat, membina perkawanan, dan merebut teritori
secara damai, yang berguna untuk mempersempit
ruang gerak lawan. Belanda berusaha merebut
simpati rakyat dengan membentuk opini dan sikap
antipati terhadap pasukan Diponegoro.
Operasi teritorial dilakukan dengan dua cara,
persuasif dan intimidasi. Cara persuasif dilakukan
untuk meyakinkan rakyat bahwa tentara Belanda
tidak berperang atau memusuhi orang Jawa, tetapi
hanya mencari Diponegoro dan Kyai Mojo serta
pengikutnya. Cara kedua dilakukan dengan
intimidasi. Bila ada orang yang menolak
memberikan informasi kepada pasukan Belanda,
seluruh penduduk akan dianggap berandal dan desaakan dibakar. Para kuli dan tukang rumput (untuk
kuda) juga tidak akan dibayar upahnya.25
Strategi Stelsel Benteng ini memaksa pasukan
Diponegoro untuk berpencar menjadi kelompok-
kelompok kecil. Keadaan ini bukan tanpa resiko.
Komunikasi diantara para pimpinan pasukan
Diponegoro menjadi terhambat. Masing-masing
25 G. Teitler, Anatomie van de Indische Defensie, Rijks
Universiteit te Leiden, 1998, hal. 16-18
akhirnya mengambil inisiatif sendiri tanpa
menunggu arahan komando dari panglima tertinggi,
yaitu Diponegoro. Destabilisasi mulai terjadi di
tubuh pasukan Diponegoro. Menurut Carley, ada
tiga indikator utama terjadinya destabilisasi sebuah
jaringan, yaitu berkurangnya aliran informasi,
kesulitan untuk mencapai konsensus umum, dan
berkurangnya efektivitas pelaksanaan tugas secara
keseluruhan.26
Kondisi ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk
melakukan bujukan dan rayuan kepada beberapa
tokoh kunci pasukan Diponegoro. Tawaran
pengampunan atau negosiasi penyelesaian
permusuhan secara damai pun dilakukan oleh
Belanda. Untuk mengantisipasinya, Diponegoro
memutuskan tidak seorang pun boleh bertemu
dengan Residen Kedu, van Valck.27
Menurunnya perlawanan pasukan Diponegoro
ditandai dengan menyerahnya pemimpin spiritual
perjuangan, Kyai Mojo pada tahun 1829. Tak
berapa lama, panglima utama Dipanagara, Sentot
Alibasya dan Pangeran Mangkubumi, menyusul
menyerah.28
Ketidaksamaan tujuan mulai terjadi diantara
para pimpinan pasukan Diponegoro. Salah satunya
adalah antara Diponegoro dengan Kyai Mojo.
Perdebatan besar terjadi antara Diponegoro dan
Kyai Mojo pada Agustus 1827 tentang hakikat
kekuasaan politik. Mojo, menurut Diponegoro,
26 Lee carley dan krackhardt,“destabilizing networks,” h. 90.27
Babad Diponegoro, II, 1983, hal. 2628
alibasah adalah pangkat dalam organisasi militer diponegoro
setingkat komandan divisi: satuan tempur militer terbesar,
dengan kekuatan penuh
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 30/40
30
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
menantang posisinya sebagai Sultan Erucokro
dengan memintanya membagi kekuasaan menjadi
empat bagian, yaitu kekuasaan ratu (raja), wali
(penyebar agama), pandita (yang terpelajar di
bidang hukum), dan mukmin (orang yang percaya).
Mojo menyarankan agar Diponegoro memilih satu
saja dari empat fungsi di atas. Jika Pengeran
Diponegoro memilih menjadi ratu, Mojo
mengatakan ia sendiri akan mengambil kekuasaan
wali dan akan menjalankan kekuasaan agama
secara mutlak. Namun, Diponegoro menolakpembagian kekuasaan semacam itu.
29 Bagi
Diponegoro, ia adalah Khalifah Nabi Allah dalam
perang suci di Tanah Jawa, dimana kekuasaan poitik
dan agama berada di tangannya.
Perdebatan berlarut-larut ini ternyata sulit
diselesaikan. Fakta bahwa Mojo menjadi kekuatan
ideologi pendorong di balik perang dan intelektual
Diponegoro yang tidak mudah didikte menciptakan
keadaan dimana sulit dicari titik temu.30
Karakter keras kepala dan yakin akan
pendapatnya sendiri membuat Kyai Mojo sempat
membuat keputusan sendiri tanpa sepengetahuan
Diponegoro. Pada awalnya ia diinstruksikan olehDiponegoro untuk kembali ke Pajang, namun
kemudian mengambil inisiatif untuk bertemu
dengan Letnan Kolonel Wironegoro dan membuat
perjanjian terpisah dengan Belanda.31
Perubahan
sikap Kyai Mojo, yang merupakan tokoh spiritual
pasukan Diponegoro, terjadi akibat terbujuk
29 peter carey, takdir: riwayat pangeran diponegoro, hal. 322
30 ibid, hal. 324
31 Babad, II, 983, hal. 26
muridnya, Kyai Dadapan. Dalam pertemuan
tersebut Kyai Mojo mengajukan beberapa
permintaan dan syarat, yaitu keluarganya
diperbolehkan ke Pajang dengan hak-hak khusus,
pengakuan dirinya sebagai penata agama di
keraton, serta mendapat pengawalan sebuah
barisan pasukan berkuda. Wironegoro
menyanggupi semua permintaan Kyai Mojo apabila
ia bersungguh-sungguh ingin menghentikan perang.
Sayangnya Mojo gagal menyadari bahwa Belanda
bersikap jauh lebih lunak kepada para ningrat yangmenyeberang ke pihak mereka, tetapi tidak kepada
santri terkemuka seperti dirinya yang mereka
anggap sebagai pihak yang paling
bertanggungjawab mengobarkan fanatisme agama
dalam perang.32
32 peter carey, takdir: riwayat pangeran diponegoro, hal. 324
Gambar 11. Kyai Mojo
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 31/40
31
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
Inisiatif Kyai Mojo ini membuat Diponegoro
marah. Perbuatan Kyai Mojo dinilai sebagai
perbuatan nista dan perbuatan orang yang takut
mati. Ia dianggap telah menghina rekan-rekannya
yang gugur dalam perang sabil dalam rangka
menegakkan agama Islam.
Dene banget karya nistha
tulusuran luru urip
tuture ngelmu tan kena
wus titah lamun tan keni
ginugu ujarneki
ngulama apa ran iku
Sungguh perbuatan yang nista
berkelana hanya ingin hidup (takut mati)
ilmunya tidak bisa
perintahnya tidak bisa
diteladani kata-katanya
ulama macam apa dia
Diponegoro menegaskan, bahwa ia tidak pernah
mengijinkan Kyai Mojo untuk bertemu siapa pun.
Mangkono maneh ki Maja
Bicara tan sun lilani
Lamun tan wani jurit
Angur konen bali iku
Demikian Kyai Mojo
Tidak saya ijinkan berunding
Jika tidak berani berperang
Lebih baik kembali
Setelah peristiwa tersebut, Kyai Mojo berusaha
bertemu dengan Diponegoro, tetapi permintaan
tersebut ditolak oleh Diponegoro.
Akhirnya, Kyai Mojo berserta pasukannya
kemudian menuju Pajang. Mengetahui itu, pasukan
Letnan Kolonel Le Bron de Vexela dengan cepat
mengikuti gerak Kyai Mojo. Pada 11 November
1828 dini hari, mereka melakukan pencegatan dan
menyergap pasukan Kyai Mojo di tepi Barat Sungai
Bedog. Kemudian, Kyai Mojo dan pengikutnya
dibawa ke Salatiga.33
Keberhasilan Belanda menangkap Kyai Mojo dan
pasukannya membuat pasukan Diponegoro yang
masih tersisa semakin terkepung di daerah sempit
antara Kali Progo dan Kali Bogowonto. Di situ,
strategi Belanda untuk membangun benteng-
benteng darurat untuk melindungi dan
mempertahankan wilayah-wilayah yang baru saja
dibebaskan oleh pasukan mereka mulai
mempersulit Diponegoro dan para panglimanya
dalam pasokan makanan dan logistik tempur
lainnya. Kesulitan-kesulitan juga mulai dirasakan
dalam memungut pajak untuk membiayai pasukan.
Pada awal perang, Diponegoro mengorganisasi
kebijakan pajaknya sendiri di daerah-daerah yang
berhasil direbut. Hal ini meliputi pajak tanah dan
cukai di pasar-pasar setempat.Tugas-tugas militer
dan tugas-tugas administratif sungguh-sungguh
dipisahkan. Kadang-kadang, bupati yang diangkat
Pangeran ikut dalam pertempuran, namun mereka
kebanyakan diarahkan untuk memainkan peran
administratif. Orang-orang yang dipilih Diponegoro
untuk jabatan keuangan tersebut ditarik dari
33saleh as’ad djamhari, strategi menjinakkan diponegoro,
komunitas bambu, 2004, hal. 154
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 32/40
32
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
pejabat-pejabat priayi senior keraton yang pernah
mengabdi pada kesultanan dalam jabatan yang
sama. Namun bagi komandan militer, Diponegoro
menerapkan kriteria yang berbeda. Di sini,
kriterianya adalah keberanian pribadi dan
keperkasaan dalam pertempuran. Dalam
pandangan Pangeran, keberanian pada dasarnya
adalah sifat orang muda.
Namun pada Desemebr 1828, dengan semakin
sulitnya pendanaan yang dialami oleh pasukan
tempur, membuat Sentot Prawirodirjo meminta
agar diberi kuasa untuk memimpin seluruh
kekuatan pasukan Diponegoro di medan tempur,
sekaligus diizinkan untuk menarik pajak secara
langsung. Hal ini mengganggu batin Diponegoro,
yang sadar bahwa perannya sebagai Ratu Adil
mestilah menjamin kebijakan pajak yang ringan,
dan tersedianya sandang pangan yang murah.34
Pangeran takut jangan-jangan rakyat kebanyakan
bakal tertindas jika Sentot Prawirodirjo—yang
terkenal suka hidup boros—diizinkan memegang
dalam satu tangan tanggungjawab militer dan
pemerintahan.
“Jika orang yang memegang pedang juga
nyambi memegang uang, bagaimana [ini]?
Apakah tidak semakin kapiran
(terbengkalai)?”35
Akhirnya, dengan rasa enggan Diponegoro setuju
untuk memerintahkan pajak pasar bulanan dibagi
34peter carey ( 1981a), babad dipanagara: an account of the
outbreak of the java war (1825-1830: xxxix-xl35
babad diponegoro iv: 54
antara Sentot Prawirodirjo dan dirinya, dengan dua
pertiga untuk Sentot Prawirodirjo dan sepertiga
untuk Pangeran pribadi.36
Dalam babad,
Diponegoro cukup menyesali keputusannya
tersebut. Segera sesudah Belanda membangun
dengan cepat sebuah benteng baru yang besar di
Nanggulan, di tepi jalan antara Sentolo dan
Kalibawang, Sentot tidak bereaksi cukup cepat
karena sibuk dengan urusan keuangan.37
Ketika
panglima muda ini memerintahkan serangan
dengan kekuatan penuh, benteng Belanda sudahterlampau kuat untuk ditembus dan ia menderita
kekalahan besar pada awal Januari 1829.38
Pertengahan 1829, suplai makanan semakin
menipis. Pejabat-pejabat lokal yang semula
mendukung Diponegoro sekarang berbalik
menentangnya. Banyak yang mengungsi ke wilayah
yang berada di bawah kendali benteng Belanda,
karena keamanan dirasa lebih terjamin dan
kesempatan ekonomi lebih baik.39
Perilaku culas
dari sebagian pejabat pasukan Diponegoro serta
kebijakan Belanda untuk merebut hati rakyat
dengan memberikan bajak dan benih gratis kepada
mereka yang mau pindah ke wilayah Belanda,mendorong para petani dan keluarga mereka tetap
betah tinggal di dekat benteng tersebut.40
Ikatan
kerjasama dan saling percaya antara pasukan
Diponegoro dan penduduk desa setempat sudah
36peter carey, takdir , hal. 33337
babad diponegoro iv: 5638
peter carey, takdir , hal. 33439
peter carey (2008), the power of prophecy : 651-240
carey (1981a), :lxviii catatan 185.
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 33/40
33
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
rusak. Tanpa adanya dukungan rakyat tidaklah
mungkin dilancarkan perang gerilya yang berhasil.
Bulan September 1829 benar-benar bulan yang
menyedihkan bagi Diponegoro, sebagai pemimpin
tertinggi Perang Jawa. Pada tanggal 25 September
1829 Mayor Bauer bersama Raden Mas
Atmadiwirja (putera Pangeran Mangkubumi),
Tumenggung Reksapraja beserta rombongan
mencari Pangeran Mangkubumi, tetapi hasilnya
nihil. Belanda tidak berputus asa. Jenderal De Kock
mengutus Pangeran Natadiningrat, puteraPangeran Mangkubumi yang telah menyerah, untuk
membujuk ayahnya. Maka pada tanggal 27
September 1829 Pangeran Natadiningrat berhasil
membujuk ayahnya untuk menyerah kepada
Belanda. Keesokan harinya, tanggal 28 September
1829 Pangeran Mangkubumi dibawa oleh
puteranya ke Yogyakarta. Di pertengahan jalan (di
Mangir) rombongan Pangeran Mangkubumi telah
dijemput oleh Residen Van Nes dan pejabat-pejabat
kesultanan Yogyakarta.
Pengaruh dari menyerahnya Pangerang
Mangkubumi sangat besar bagi pasukan
Diponegoro, karena secara berturut-turut telah
menyerah pula pangeran Adinegara, KanjengPangeran Aria Suryabrangta, Pangeran Suryadipura,
Pangeran Suryakusuma, dan Kanjeng Pangeran
Dipasana. Semuanya masih mempunyai hubungan
famiIi dengan Diponegoro. Menyerahnya secara
berturut-turut orang-orang di sekitar Diponegoro,
benar-benar dapat melumpuhkan pasukan
Diponegoro.
Apalagi usaha untuk menarik Alibasah, panglima
pasukan Diponegoro yang disegani masih terus
dilanjutkan. Melalui Pangeran Prawiradiningrat,
yang menjadi bupati Madiun dan saudara Alibasah
sendiri, Belanda telah berusaha untuk
menaklukkannya. Sejak tanggal 23 Juli 1829 usaha
ini telah dilakukan walaupun pada permulaannya
gagal, karena syarat-syarat yang diajukan oleh
Alibasah cukup berat, yaitu:41
- Memberikan uang jaminan sebesar £ I0.000
- Menyetujui pembentukan sebuah pasukan
di bawah Pimpinan Alibasah sendiri yang
berkekuatan seribu orang dan dilengkapi
dengan persenjataan dan pakaian seragam
- Memberikan 400 – 500 pucuk senjata api
- Pasukan Alibasah ini langsung dibawah
komando pemerintah Hindia Belanda, dan
bebas dari kekuasaan sultan atau pembesar
bangsa Indonesia
- Mereka bebas menjalankan agamanya
- Tidak ada paksaan minum Jenever atau arak
- Diizinkan pasukannya memakai surban
Tawar-menawar syarat-syarat ini dilakukan pada
tanggal 17 oktober 1829 di Imogiri, antara delegasi
Ali basah dengan delegasi Belanda, yang hasilnya
masih memerlukan waktu untuk diputuskan oleh
penguasa tertinggi Hindia Belanda di Batavia.
Dalam surat yang ditulis Jenderal De Kock
kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di
Batavia, tertanggal 20 Oktober 1829, antara lain
berisi: “…saya telah menulis surat kepada Residen
dan Kolonel Cochius bahwa mereka harus sedapat
mungkin berusaha menyenangkan hati Alibasah,
karena adalah hal yang penting sekali apabila orang
41 carey 2008: 652
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 34/40
34
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
seperti Alibasah dapat kita tarik ke pihak kita dan
turut membela kepentingan kita ….. seperti yang
hendak saya nyatakan dengan hormat, bahwa
karena sebab-sebab itulah saya berpendapat bahwa
adalah sangat penting apabila Alibasah sudah
berada di pihak kita, makin lama makin mengikat
dia pada kepentingan kita. Sungguhpun hal ini
harus disertai beberapa pengorbanan dari pada
kita.”
Surat Jenderal De Kock ini mendapat jawaban
dari pemerintah Hindia Belanda di Batavia
tertanggal 25 Oktober 1829, antara lain berbunyi:
“Pemerintah pada dasarnya setuju dengan
keinginan Jenderal (Jenderal De Kock) bahwa dari
pihak kita harus dipergunakan segala apa yang
mungkin dapat dipakai, selama hal itu dapat sesuai
dengan kebesaran pemerintah dan berusaha
sedapat mungkin mencegah kembalinya Alibasah ke
pihak pemberontak.”
Melihat isi surat-surat pemerintah Bindia
Belanda ini dapat disimpulkan bahwa Belanda
bersedia memenuhi syarat-syarat yang diajukan
oleh Alibasah. Oleh karena itu kepada Residen
Yogyakarta diperintahkan untuk segera
menyerahkan uang sebanyak £ 5.000 dan 200
pucuk senjata untuk dipergunakan pasukan
Alibasah serta pasukannya itu langsung dibawah
komando Jenderal De Kock, walau secara yuridis
masih berada dibawah wewenang sultan. Syarat-
syarat lainnya seluruhnya dipenuhi.
Untuk pelaksanaan penyerahan Alibasah dengan
pasukannya, pada tanggal 23 Oktober 1829
Jenderal De Kock datang ke kota Yogyakarta untuk
menyambutnya; dan pada tanggal 24 Oktober 1829
Alibasah dengan pasukannya memasuki kota
Yogyakarta dan diterima oleh Jenderal De Kock
dengan upacara militer yang meriah.
Dengan menyerahnya Pangeran Mangkubumi,
Ali basah dan puluhan Pangeran dan Tumenggung
serta tertangkapnya Kiai Mojo dan gugurnya
ratusan tokoh-tokoh Perang Jawa, maka secara
praktis Diponegoro tinggal sendirian. Pengalaman
pahit dan getir yang di alami oleh Diponegoro
sebagai pimpinan tertinggi perang Jawa, karena
banyaknya sababat-sahabat meninggalkannya atau
meninggal dunia. Dalam kondisi yang demikian, ia
harus menentukan pilihan: meneruskan
pertempuran sampai mati syahid di medan laga
atau menyerah kepada musuh sampai mati di
dalam penjara.
Setelah menyerahnya Alibasah dengan
pasukannya, operasi militer Belanda terus
ditingkatkan guna memberikan pukulan terakhir
terhadap pasukan Diponegoro yang tinggal sedikit
lagi itu. Tekanan-tekanan pasukan Belanda kepada
posisi pasukan Diponegoro yang terus-menerus
ditingkatkan, banyak pula tokoh-tokoh Perang Jawa
yang menyerah, antara lain pada bulan Desember
1829; salah seorang komandan pasukan
Diponegoro yang masih ada yaitu Jayasendirga;
Tumenggung Jayaprawira dan beberapa
tumenggung lainnya beserta pasukannya bertekuk
lutut kepada Belanda. Adapula yang karena kondisi
kesehatan, akhirnya wafat di puncak gunung
Sirnabaya Banyumas seperti Pangeran Abdul Rahim
(saudara Diponegoro sendiri).
Pada akhir 1829, posisi Diponegoro beserta sisa
pasukannya telah diketahui secara jelas. Namun de
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 35/40
35
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
Sebagai pribadi dan sebagai seorang
prajurit, de Kock ingin mengakhiri
perang dengan kesatria tanpa
menjadikan Diponegoro sebagai
pahlawan. Kematian Diponegoro hanya
akan membuat orang Jawa
menganggap orang Belanda sebagai
musuh—sesuatu yang sangat ingindihindarinya.
Kock tidak memerintahkan penyerbuan untuk
membunuh Diponegoro. Ia sadar pengaruh
Diponegoro masih besar di masyarakat Jawa. Hal ini
terbukti saat ia mengumumkan sayembara untuk
menangkap Diponegoro, hidup atau mati, dengan
hadiah uang, tak seorang pun yang menanggapi.
Sebagai pribadi dan sebagai seorang prajurit, de
Kock ingin mengakhiri perang dengan kesatria
tanpa menjadikan Diponegoro sebagai pahlawan.
Kematian Diponegoro hanya akan membuat orang
Jawa menganggap orang Belanda sebagai musuh—sesuatu yang sangat ingin dihindarinya.
Dengan alasan tersebut, ia akhirnya memilih
untuk memperdaya dan membujuk Diponegoro
keluar dari kantong pertahanannya secara damai
untuk kemudian menangkapnya. De Kock berusaha
mengeksploitasi nilai-nilai budaya dan karakter
kesatria bangsawan Jawa yang ada pada diri
Diponegoro. Salah satu nilai kesatria yang dianggap
luhur adalah “seorang kesatria pantang ingkar
terhadap janji”. Karena itu, ia memerintahkan
Kolonel Cleerens untuk terus melakukan aksi tipu
daya terhadap Diponegoro sampai ia mengucapkan
janjinya.42
Memasuki tahun 1830, musibah yang menimpa
pasukan Diponegoro masih terus saja bertambah.
Pada tanggal 8 Januari 1830, putera Diponegoro
yaitu Pangeran Dipakusuma tertangkap oleh
pasukan Belanda; pada tanggal 18 Januari 1830
berikutnya Patih Diponegoro menyerah kepada
Belanda.
42 Saleh, Strategi Menjinakkan Diponegoro, hal. 176.
Usaha untak menghentikan Perang Jawa dengan
damai yang licik terus dilakukan. Dengan
menggunakan bekas tokoh-tokoh Perang Jawa
seperti Alibasah dan Patih Danureja dalam usaha
perdamaian licik membawa hasil yang
menggembirakan bagi Belanda. Sebab pada tanggal
16 Februari 1830 telah terjadi pertemuan pertama
antara Diponegoro dengan Kolonel Cleerens, wakil
pemerintah Hindia Belanda dalam rangka
perdamaian di Kamal, sebelah utara Rama
Jatinegara daerah Bagelen.
Pertemuan perdamaian tidak dapat
dilangsungkan, karena Diponegoro menuntut
perundingan itu harus dilakukan oleh seorang yang
mempunyai posisi yang sama dengan dia; setidak-
tidaknya seperti Jenderal De Kock. Padahal Jenderal
De Kock pada saat itu sedang berada di Batavia.
Untuk menunggu kedatangan Jenderal De Kock,
maka Diponegoro dengan pasukannya terpaksa
harus menginap di Kecawang sebelah utara desa
Saka. Selama tenggang waktu perundingan,
gencatan senjata dilakukan oleh kedua belah pihak.
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 36/40
36
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
Desa Kecawang masih terlalu jauh, apabila
perundingan akan dilangsungkan di sana. Oleh
karena itu; untuk memudahkan jalan perundingan
Diponegoro dengan pasukannya harus pindah ke
Menoreh yang tidak begitu jauh dari Magelang,
markas besar pasukan Belanda.
Pada tanggal 21 Februari 1830 rombongan
Diponegoro telah tiba di Menoreh. Tetapi sampai 5
Maret 1830 Jenderal De Kock belum juga datang ke
Magelang padahal bulan Ramadhan telah tiba.
Berkenaan dengan bulan suci ini; Diponegoro tidak
mau mengadakan perundingan dengan Belanda
karena ia akan memusatkan dirinya untuk
melakukan ibadah puasa selama sebulan. Kontak
pertama antara Diponegoro dengan Jenderal De
Kock terjadi pada tanggai 8 Maret 1830, sebagai
perkenalan dan selanjutnya jadwal perundingan
akan dilangsungkan sesudah bulan Ramadhan.
Menjelang hari raya Idul Fithri, Diponegoro telah
menerima hadiah dalam bentuk seekor kuda
tunggang yang sangat baik dan uang sebesar f
10.000.- Kemudian diikuti dengan pembebasan
putera dan isteri Diponegoro yang ditahan di
Semarang dan membolehkan mereka berkumpuldengan Diponegoro di tempat penginapan
perundingan di Magelang.
Pada tanggal 25 Maret 1830, Jenderal de Kock
telah memberikan perintah rahasia kepada Letnan
Kolonel Du Perron dan pasukannya untuk
memperketat pengawalan dan penjagaan kota
Magelang dengan mengerahkan pasukan Belanda
dari beberapa daerah di Jawa Tengah. Instruksinya,
apabila perundingan gagal, Diponegoro dan
delegasinya harus ditangkap!
Pada tanggal 28 Maret 1830 perundingan akan
dilangsungkan di gedung Keresidenan Kedu diMagelang. Sebelum jam 07.00 pagi Tumenggung
Mangunkusuma datang kepada Residen Kedu untuk
memberitahukan bahwa sebentar lagi Diponegoro
dengan staf nya akan tiba. Pemberitahuan ini
menyebabkan Letnan Kolonel Du Perron menyiap-
siagakan pasukannya, sesuai dengan perintah
Jenderal De Kock. Jam 07.30 pagi Diponegoro
dengan stafnya dikawal oleh seratus orang
pasukannya memasuki gedung keresidenan.
Delegasi Diponegoro diterima langsung oleh
Jenderal De Kock dengan staf nya. Perundingan
dilakukan di tempat kerja Jenderal De Kock. Pihak
Diponegoro disertai dengan tiga orang puteranya
yaitu Diponegoro Anom, Raden Mas Jonad, Raden
Mas Raab, ditambah dengan Basah Martanegara
dan Kiai Badaruddin. Sedangkan di pihak Jenderal
De Kock disertai oleh Residen Valk, Letnan Kolonel
Roest, Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps
sebagai juru bicara.
Letnan Kolonel De Kock van Leeuwen, MayorPerie dan opsir-opsir Belanda lainnya ditugaskan
untuk melayani dan mengawasi pemimpin-
pemimpin pasukan Diponegoro yang berada di
kamar yang lain. Sedangkan letnan Kolonel Du
Peron tetap berada di luar gedung keresidenan
untuk setiap saat dapat melakukan penyergapan,
sebagaimana telah diperintahkan oleh Jenderal De
Kock.
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 37/40
37
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
Kolonel Cleerens yang mula-mula sekali berhasil
melakukan kontak dengan Diponegoro dan berhasil
merencanakan pertemuan perdamaian serta telah
memberikan jaminan diplomasi penuh kepada
Diponegoro dan stafnya tidak diikutsertakan
bahkan tidak berada di kota Magelang tempat
perundingan dilaksanakan. Dengan demikian jika
terjadi pengkhianatan maka secara moral Cleerens
tidak terlibat langsung, karena memang tidak hadir.
Babak pertama Jadwal perundingan, menurut
Diponegoro sebagai pendahuluan untuk menjajagi
materi perundingan pada babak selanjutnya; tetapi
menurut Jenderal De Kock harus langsung
memasuki materi Perundingan. Pembicaraan materi
perundingan menjadi tegang, karena De Kock
bersikeras untuk langsung membicarakan materi
perundingan. Suasana tegang dan panas itu,
sampai-sampai Diponegoro terlontar ucapan: “Jika
tuan menghendaki persahabatan, maka seharusnya
tidak perlu adanya ketegangan di dalam
perundingan ini. Segalanya tentu dapat diselesaikan
dengan baik. Jikalau kami tahu bahwa, tuan begitu
jahat, maka pasti lebih baik kami tinggal terus saja
berperang di daerah Bagelen dan apa perlunya
kami datang kemari.”43
Ketika pihak Jenderal De Kock terus mendesak
tentang tujuan penerangan yang telah dilakukan
oleh Diponegoro selama lebih lima tahun ini, maka
akhirnya ia memberi jawaban dengan tegas dan
gamblang, yaitu antara lain: “Mendirikan negara
43 Abdul Qadir Djaelani , Perang Sabil Versus Perang Salib:
Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis Dan Belanda,
Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah, Jakarta,
1999 .
merdeka di bawah pimpinan seorang pemimpin dan
mengatur agama Islam di pulau Jawa”. Mendengar
jawaban ini Jenderal De Kock terperanjat, karena ia
tidak mengira bahwa Diponegoro akan mengajukan
tuntutan semacam itu. Sewaktu De Kock memberi
jawaban bahwa tuntutan semacam itu adalah
terlalu berat dan tak mungkin dapat dipenuhi,
Diponegoro tetap teguh pada tuntutannya.
Tanda-tanda perundingan babak pertama akan
menemui jalan buntu, dan Belanda khawatir jika
pe¬rundingan ditunda sampai besok, berarti
kesempatan buat Diponegoro dan pasukannya
untuk mengadakan konsolidasi guna menghadapi
segala kemungkinan. Sesuai dengan rencana
Belanda bahwa perundingan adalah semata-mata
methoda untuk menangkap Diponegoro dan
stafnya, maka dengan angkuhnya Jenderal De Kock
berkata: “Kalau begitu, tuan tidak boleh lagi
kembali dengan bebas.”
Mendengar ucapan ini, Diponegoro dengan
marah menjawab : “Jika demikian, maka tuan
penipu dan pengkhianat, karena kepada saya telah
dijanjikan kebebasan dan boleh kembali ke tempat
perjuangan saya semula, apabila perundingan inigagal.”
Jenderal De Kock berkata lagi: “Jika tuan
kembali, maka peperangan akan berkobar lagi.”
Diponegoro menjawab: “Apabila tuan perwira dan
jantan, mengapa tuan takut berperang?”44
Tiba-tiba Jenderal De Kock menginstruksikan
kepada Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya
44 ibid
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 38/40
38
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
untuk menyergap Diponegoro dan stafnya serta
seluruh pengawalnya dilucuti. Dalam posisi tidak
siap tempur, Diponegoro dan pasukannya dengan
mudah ditangkap dan dilucuti.
Menyadari telah tertipu, Diponegoro kemudian
menyatakan diri bertanggungjawab atas pecahnya
peperangan. Namun ia tetap menolak menyerah
dan menyatakan lebih baik mati.
Pan wus yekti nora nana maning
Begja pinatenan
Ingsun tan nedya gumingsir 45
Sesungguhnya tidak ada lagi
Sekalipun dihukum mati
Saya tidak akan menyerah
Dalam kondisi emosional, Diponegoro sempat
berpikir untuk membunuh Jenderal de kock. Namun
niat tersebut ia urungkan mengingat akibatnya
kurang baik.
Pan sansaya enget tyasnya Sri Bupati 46
Lamun matenana
Ingsun marang jendral iki
Nora becik temahira
Terpikir oleh Sri Raja
Seandainya membunuh
Jenderal
Tidak baik akhirnya.
Kesadaran itu membuatnya bersikap pasrah
terhadap takdir. Ia memutuskan untuk
45ibid
46ibid
meninggalkan Tanah Jawa karena tidak ada yang
dimilikinya lagi di sana. Keputusan itu juga untuk
menghormati mereka yang gugur dalam
peperangan karena membela dan melaksanakan
perintah.
Tujuan diponegoro mencapai cita-cita ini terus
dilakukannya, meski ia tahu bahwa ia akan kalah.
Bukan keberhasilan mencapai tujuan ini yang
menjadi fokus utama Diponegoro.. Baginya,
konsisten dalam menjalani proses adalah sebuah
kemenangan tersendiri.
Pada tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro beserta
stafnya dibawa ketempat pembuangannya di
Menado. Tidak kurang dari 19 orang yang terdiri
dari keluarga dan stafnya ikut dalam pembuangan
di Menado. Pada tahun 1834 Diponegoro beserta
keluarga dan stafnya dipindahkan ke kota Makasar.
Dan pada tanggal 8 Januari 1855 Diponegoro wafat
dalam usia kira-kira 70 tahun, setelah menjalani
masa tawanan selama duapuluh lima tahun.
Perang ini juga memberi dampak yang cukup
dahsyat pada keluarga dan keturunan Diponegoro.
Bertahun-tahun lamanya keluarga Pangeran
Diponegoro dikucilkan dan diasingkan olehkalangan keraton karena tindakan perjuangan
perlawanan Pangeran Diponegoro tersebut. Kondisi
ini baru pulih setelah Diponegoro mendapatkan
pengakuan sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal
6 November 1973.
Pasca kemenangan di perang Diponegoro,
Belanda mulai melakukan demiliterisasi di kalangan
masyarakat Jawa. Kekhawatiran terhadap
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 39/40
39
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
munculnya jiwa keprajuritan bangsa Jawa membuat
pemerintah kolonial Hindia Belanda mengeluarkan
strategi baru. Untuk melemahkan kekuatan Jawa,
selain diadakan tanam paksa, pasukan keraton juga
didemobilisasikan.
Selanjutnya, keraton dipisahkan dari rakyat
dengan cara menghapus tanah lungguh para
bangsawan/pejabat keraton dan juga menghapus
tanah-tanah mancanegara. Dengan dihapusnya
tanah lungguh, berarti para bangsawan tidak lagi
memiliki basis di pedesaan. Akibat lebih jauh, tradisi
dan potensi militer kerajaan menjadi lumpuh.
Semangat, kemampuan, dan keterampilan prajurit
terus merosot. Terlebih lagi dengan dihapusnya
tradisi Seton pada masa pemerintahan
Pakubuwono VII (1830-1858) di Surakarta. Sejak itu,
prajurit Jawa benar-benar kehilangan arena berlatih
yang juga sekaligus ajang pencarian bakat militer.
Untuk semakin menggerus jiwa keprajuritan bangsa
Jawa, satu-satunya kerajaan yang diberi
kesempatan oleh pemerintah kolonial Hindia
Belanda untuk memelihara tentara yang agak
lengkap hanya Mangkunegaran, yang dinilai loyal
dan tidak membahayakan.
Di tengah kebuntuan perkembangan militer
secara fisik, Belanda juga mengembangkan konsep
ksatria Jawa, yang aktualisasinya tidak lagi
berhubungan dengan organisasi kemiliteran.
Sejalan dengan ide kepriyayian, maka ide kstaria
yang ditanamkan lewat wayang dan piwulang itu
lebih ditekankan pada segi moral dan etika.
Sejak itu, dunia keprajuritan Jawa hidup dalam
bayangan. Kebesaran, kemegahan, keperkasaan
prajurit dan ksatria Jawa hanya tinggal kenangan,
yang tersimpan dalam catatan sejarah, naskah
babad, kronik, atau cerita tutur, tempat bangsa
Jawa bernostalgia pada kebesaran masa lampau.
Aliran darah prajurit dan tradisi ksatria pada bangsa
Jawa seolah-olah lenyap tinggal bekas-bekasnya.47
D. KESIMPULAN
Dalam ranah sejarah strategi militer, perang
Diponegoro ini meninggalkan jejak sejarah yang
monumental. Penerapan taktik strategi militer
Stelsel Benteng yang memadukan antara manuver
kolone dengan pembangunan benteng, disertai
dengan strategi Blokade Politik, Isolasi Politik,
politik Belah Bambu, Politik Adu Domba, dibarengi
penelitian sosio-budaya oleh ilmuwan orientalis,
oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk selanjutnya
terus dipakai untuk memandamkan perlawanan
pemberontakan di berbagai pelosok Nusantara.
Termasuk pula di antaranya untuk menjinakkan
perlawanan rakyat Aceh.
Perang Diponegoro ini pada hakekatnya adalah
manifestasi dari konflik laten di antara bangsawan
Jawa, sebuah Permanent Warfare yang beraspek
politik dan budaya. Kekalahan Pangeran
Diponegoro bermakna ideologis di mana gagalnya
realisasi gagasan Pangeran Diponegoro membentuk
Balad Islam dan menjadi Khalifah Islam di tanah
Jawa.
47Sigit Wahyudi, Sariana and Priyanto, Supriya, Ksatria Jawa
Kajian Tentang Etika, Moral Dan Tradisi Keprajuritan Jawa Di
Masa Mataram, Universitas Diponegoro, 1997, hal. vii
7/24/2019 Syamina_Lapsus_XII_Juni-2014.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/syaminalapsusxiijuni-2014pdf 40/40
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XII/Juni 2014
Aja anglaaken wong kang becik,
lan aja ambecikaken wong kang ala,
lan aja anganiaya wong akeh.
Jangan menjelekan orang baik,
Jangan membaikan orang yang jahat,
Jangan berbuat aniaya terhadap rakyat
banyak
Diskursus tentang negara (balad) Islam di tanah
Jawa sudah ada dari jaman Pangeran Diponegoro.
Bahkan bukan sekadar wacana, melainkan
bagaimana untuk mempertahankannya. Perang
Jawa yang dahsyat dan penuh patriotisme telah
digerakkan dan dipimpin oleh tokoh-tokoh pejuang
Islam, yang hampir sebagian terbesar berideologi
Islam dan bertujuan berdirinya negara merdeka
yang berdasarkan Islam. Fakta-fakta sejarah yang
terungkap, baik latar belakang yang mewarnai para
tokoh Perang Jawa, masa peperangan yangmemakan waktu lima tahun lebih, yang diisi dengan
menegakkan syari’at Islam di dalam kehidupan
pasukan Diponegoro sampai pada saat perundingan
dengan Belanda serta tujuan yang akan dicapai,
semuanya adalah bukti yang kuat bahwa
Diponegoro dan pasukannya telah melakukan
perjuangan politik Islam untuk mendirikan negara
Islam di tanah Jawa.
Kegagalan yang diderita oleh Diponegoro dan
pasukannya, bukan karena tujuan dan metodenya
yang salah, tetapi karena kekuatan yang tak
seimbang, baik manpower , persenjataan,
perlengkapan dan pengkianatan bangsa sendiri
yang sebagian besar membantu Belanda yang kafir;
disamping tipu muslihat yang licik dan keji yang
dilakukan oleh penguasa kolonial Belanda.
Tipu muslihat yang licik dan keji, yang hanya
bisa dilakukan oleh orang-orang yang bermoral
rendah dan jahat, ternyata telah menjadi watak
baik Portugis-Kristen Katholik maupun Belanda-
Kristen Protestan.
Jika sekarang diskursus tentang negara Islam
kembali hangat, mestinya umat tidak perlu merasaheran. Berarti ada yang memelihara
kesinambungan perjuangan islam di tanah Jawa
sesudahnya, sebagai sebuah upaya rekonstruksi
sejarah dan mengembalikan visi dan misi Islam
kembali ke jalurnya. Yang harus menjadi
pertanyaan adalah siapa yang menjadi pelanjut
perjuangan itu kini?