Susu Fermentasi_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_A4_Unika Soegijapranata

19
SUSU FERMENTASI LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN SUSU Disusun oleh: Nama: Nita Silviani Arifin NIM: 13.70.0069 Kelompok: A4 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG 2016 Acara III

description

Produk susu fermentasi dapat berupa yoghurt, kefir, dan acidophilus milk, di mana masing-masing jenis produk dibedakan menurut jenis inokulum yang digunakan.

Transcript of Susu Fermentasi_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_A4_Unika Soegijapranata

Page 1: Susu Fermentasi_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_A4_Unika Soegijapranata

SUSU FERMENTASI

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

TEKNOLOGI PENGOLAHAN SUSU

Disusun oleh:

Nama: Nita Silviani Arifin

NIM: 13.70.0069

Kelompok: A4

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

SEMARANG

2016

Acara III

Page 2: Susu Fermentasi_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_A4_Unika Soegijapranata

1

1. TOPIK DAN TUJUAN PRAKTIKUM

1.1. Topik

Topik praktikum kali ini adalah “Susu Fermentasi”. Praktikum dilaksanakan pada Rabu,

18 Mei 2016 mulai pukul 15.00 sampai dengan 17.30 WIB.

1.2. Tujuan Praktikum

Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengetahui prinsip pembuatan

yoghurt dan kefir dengan tipe inokulum yang berbeda, mengetahui cara pembuatan

acidophilus milk, mengetahui karakteristik yoghurt, kefir, dan acidophilus milk dengan

tipe inokulum yang berbeda, serta mengetahui perbedaan karakteristik yoghurt, kefir,

dan acidophilus milk.

Page 3: Susu Fermentasi_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_A4_Unika Soegijapranata

2

2. HASIL PENGAMATAN

2.1. Hasil Pengamatan Sensori dan Derajat Keasaman Susu Fermentasi

Hasil pengamatan sensori (kekentalan) dan derajat keasaman susu fermentasi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Sensori dan Derajat Keasaman Susu Fermentasi

Kelompok Jenis Susu Fermentasi Kekentalan Derajat Keasaman Hasil

1 Yoghurt dengan inokulum “fresh culture” + 4,5 √

2 Yoghurt dengan inokulum “plain yoghurt” komersial ++ 4,0 √

3 Kefir dengan inokulum “fresh culture” ++ 4,5 √

4 Kefir dengan inokulum “plain kefir” komersial ++ 5,0 √

5 Acidophilus milk dengan inokulum “fresh culture” +++ 4,0 √ Keterangan:

Hasil: tanda centang bila produk berhasil, tanda silang bila gagal

Kekentalan:

+ = encer

++ = kurang kental

+++ = kental

++++ = sangat kental

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa pada praktikum kali ini berhasil dilakukan proses pembuatan susu fermentasi,

menghasilkan produk-produk berupa yoghurt, kefir, dan acidophilus milk. Dilihat dari kekentalannya, yoghurt bersifat encer dan kurang

kental, kefir bersifat kurang kental, sementara acidophilus milk bersifat sangat kental. Dilihat dari derajat keasamannya, kefir dengan

inokulum “plain yoghurt” komersial memiliki derajat keasaman yang paling tinggi (5,0), sementara jenis susu fermentasi lainnya memiliki

derajat keasaman yang berkisar antara 4,0 hingga 4,5.

Page 4: Susu Fermentasi_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_A4_Unika Soegijapranata

3

2.2. Penampakan Produk Susu Fermentasi yang Dihasilkan

Penampakan produk susu fermentasi yang dihasilkan kelompok 1, 2, 3, 4, dan 5 secara berurutan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Penampakan Produk Susu Fermentasi yang Dihasilkan

Page 5: Susu Fermentasi_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_A4_Unika Soegijapranata

4

3. PEMBAHASAN

Menurut Walstra et al. (2006), susu fermentasi diklasifikasikan menjadi empat jenis

yang berbeda, antara lain:

1) Produk-produk fermentasi laktat yang menggunakan strain dari bakteri asam laktat

mesofilik;

2) Produk-produk fermentasi laktat dengan bakteri asam laktat termofilik;

3) Produk-produk yang didapatkan dari fermentasi alkohol-laktat, melibatkan yeast dan

bakteri asam laktat;

4) Produk-produk seperti fermentasi nomor 1 dan nomor 2, tetapi di dalamnya terjadi

pertumbuhan kapang.

Pada praktikum kali ini, produk susu fermentasi yang dibuat adalah yoghurt, kefir, dan

acidophilus milk, di mana yoghurt dan kefir dibuat dengan dua perlakuan yang berbeda.

Perlakuan yang pertama adalah yoghurt dan kefir dengan inokulum “fresh culture”,

sedangkan perlakuan yang kedua adalah yoghurt dan kefir dengan inokulum “plain

yoghurt” dan “plain kefir” komersial. Analisa yang dilakukan adalah pengukuran

kekentalan secara sensori dan derajat keasaman dengan kertas pH, kemudian

diidentifikasi apakah produk yang dibuat berhasil atau tidak. Berdasarkan tabel hasil

pengamatan, dapat diketahui bahwa pada praktikum kali ini semua susu fermentasi yang

dibuat dapat dikatakan sebagai produk yang berhasil.

3.1. Yoghurt

Yoghurt dapat dikatakan sebagai produk susu fermentasi yang paling populer. Yoghurt

dibuat dari komposisi yang bervariasi (lemak dan kandungan bahan kering), baik dalam

bentuk plain atau dengan tambahan substansi seperti buah-buahan, gula, dan agen

pembentukan gel. Mikroorganisme pembentuk yoghurt terdiri dari bakteri-bakteri

termofil seperti Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus delbureckii ssp.

bulgaricus. Supaya terbentuk flavor yang memuaskan, kedua spesies tersebut harus

ditambahkan kurang lebih dengan jumlah yang sama. Bakteri-bakteri tersebut memiliki

efek menstimulasi pertumbuhan satu sama lain. Komponen-komponen volatil yang

Page 6: Susu Fermentasi_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_A4_Unika Soegijapranata

5

dihasilkan oleh bakteri yoghurt yaitu sedikit asam asetat, diasetil, dan yang paling

penting adalah asetaldehid (Walstra et al., 2006).

Sebelum dilakukan pembuatan yoghurt, mula-mula dilakukan persiapan inokulum.

Masing-masing kultur yang akan digunakan diaktifkan terlebih dahulu menggunakan

media MRS Broth cair dan diinkubasi selama 48 jam. Menurut Atlas (1984), media

MRS (de Man Ragosa Shape) merupakan suatu media yang cocok untuk pertumbuhan

Lactobacillus sp. maupun bakteri asam laktat lain yang akan digunakan untuk proses

fermentasi susu karena mengandung sejumlah faktor pertumbuhan untuk Lactobacilli,

seperti polisorbat, asetat, magnesium, dan mangaan. Menurut Bylund (1995), segera

setelah inokulasi dilakukan dan starter telah dicampurkan ke dalam media, bakteri

mulai berkembang biak. Waktu inkubasi ditentukan oleh tipe bakteri pada kultur, dosis

inokulasi, dan sebagainya. Selama inkubasi, bakteri berkembang biak dengan cepat dan

memfermentasi laktosa menjadi asam laktat. Setelah dihasilkan endapan pada media,

media dibuang sehingga yang tersisa hanya endapan kultur.

Endapan dicuci dengan garam fisiologis 0,85% atau aquades steril, kemudian

dihomogenisasi dan disentrifugasi sampai benar-benar terpisah antara filtratnya. Filtrat

dibuang, lalu proses pencucian diulangi lagi sampai 2 kali. Endapan kultur bakteri ini

digunakan sebagai inokulum. Selanjutnya susu cair sebanyak 100 ml dipanaskan dalam

erlenmeyer hingga mencapai suhu 85°C, kemudian didinginkan hingga suhunya 45°C.

Susu dituang secukupnya ke dalam tabung sentrifuge yang berisi bakteri kultur. Setelah

itu campuran tersebut dituangkan kembali ke dalam erlenmeyer berisi susu pasteurisasi.

Proses pencucian, pemanasan dan pendinginan susu ini sesuai dengan teori dari Bylund

(1995) yang menyatakan bahwa kultur di dalam media dicuci dengan air (atau susu

skim) yang sudah dipanaskan dan didinginkan. Menurut Bylund (1995) juga, susu

merupakan media yang paling sering digunakan untuk produksi starter. Larutan

kemudian dihomogenkan dengan cara digoyang perlahan-lahan dengan cara yang

aseptis. Inokulum diinkubasi pada suhu 42-44°C hingga terbentuk curd, lalu diaduk rata

dengan batang kaca steril.

Page 7: Susu Fermentasi_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_A4_Unika Soegijapranata

6

Selanjutnya untuk membuat yoghurt dengan inokulum “fresh culture”, mula-mula susu

skim dan susu segar dipanaskan secara terpisah hingga suhunya mencapai 85°C selama

2 menit (jangan sampai mendidih). Hal ini sesuai dengan pernyataan Walstra et al.

(2006) yang menyatakan bahwa susu untuk fermentasi yoghurt dipasteurisasi terlebih

dahulu pada suhu 85 hingga 95°C. Perlakuan panas pada susu bertujuan untuk merusak

mikoorganisme-mikroorganisme lain yang dapat mengganggu proses fermentasi

nantinya (Bylund, 1995). Menurut Saleh (2004), pemanasan susu memang dianjurkan

untuk dilakukan dengan metode pasteurisasi, bukan sterilisasi, karena sterilisasi yang

menggunakan suhu di atas 100°C selama 15-40 menit akan membunuh semua bakteri

yang terkandung pada susu, termasuk bakteri baik. Dengan demikian, proses fermentasi

tidak akan berjalan secara optimal.

Selanjutnya sebanyak 110 ml susu skim dan 115 susu segar tersebut dicampurkan ke

dalam toples kaca steril, kemudian segera ditutup supaya susu tidak terkontaminasi.

Toples kaca yang berisi susu didinginkan di dalam baskom berisi air hingga terasa

hangat. Proses pendinginan ini juga sesuai dengan pernyataan Walstra et al. (2006)

yang menyatakan bahwa penambahan bakteri pada yoghurt dilakukan pada suhu sekitar

43°C. Hal ini disebabkan karena suhu yang terlalu tinggi dapat membunuh kultur

bakteri asam laktat dan menghambat terjadinya proses koagulasi (Sumner & Hutkins,

1990). Potter (1987) menambahkan bahwa suhu tersebut sudah cukup untuk mencegah

pertumbuhan dari mikroorganisme kontaminan. Selanjutnya, susu ditambahkan dengan

10% kultur starter (25 ml) secara aseptis. Menurut Dwidjoseputro (1994), teknik

aseptik bertujuan untuk mencegah adanya kontaminasi dari mikroorganisme lain yang

berasal dari lingkungan. Keadaan yang tidak steril dapat menyebabkan tumbuhnya

mikroorganisme kontaminan yang bersifat mengganggu (Lay, 1994).

Toples ditutup dengan aluminium foil atau plastik untuk meminimalkan kemungkinan

kontaminasi, kemudian diinkubasi pada suhu 42-44°C selama 1 hari tanpa ada

gangguan (tidak dibuka atau diaduk-aduk) hingga tercapai konsistensi curd yang

diinginkan. Menurut Hadiwiyoto (1983), tahapan inkubasi ini disebut sebagai

pemeraman, di mana pada tahap ini terjadi proses fermentasi oleh bakteri asam laktat

yang mengubah laktosa menjadi asam laktat. Setelah terbentuk gumpalan, yoghurt

Page 8: Susu Fermentasi_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_A4_Unika Soegijapranata

7

diaduk perlahan hingga kental merata. Yoghurt diambil sebagian untuk dianalisa. Untuk

pembuatatan yoghurt dengan inokulum “plain yoghurt” komersial, tidak perlu

dilakukan persiapan inokulum, cukup ditambahkan “plain yoghurt” yang masih

mengandung kultur aktif.

Prosedur pembuatan yoghurt pada praktikum kali ini sesuai dengan teori dari Walstra et

al. (2006) yang menyatakan bahwa proses fermentasi dapat diperbaiki dengan cara

membersihkan wadah secara teliti, memanaskan susu untuk membunuh mikroba yang

tidak diinginkan, kemudian menginokulasikan susu dengan sedikit susu fermentasi

sebagai sebuah starter untuk fermentasi yang akan dilakukan. Dengan perlakuan seperti

ini, susu fermentasi yang didapatkan nantinya memiliki umur simpan yang lebih

panjang, serta flavor yang enak. Selain itu, susu fermentasi juga menjadi lebih aman

untuk dikonsumsi karena bakteri patogen telah dibunuh, dan kontaminasi dengan

patogen setelahnya hampir tidak dapat menyebabkan pertumbuhan dari organisme-

organisme tersebut. Bakteri asam laktat akan mengubah kondisi susu di mana sebagian

besar organisme-organisme yang tidak diinginkan tidak dapat tumbuh atau bahkan mati.

Kondisi-kondisi ini termasuk adalah pH yang rendah (4,0 hingga 4,6), potensi redoks

yang rendah, dan penghambatan pertumbuhan dengan asam yang tidak terdisosiasi

(seperti asam laktat) dan metabolit-metabolit lain seperti H2O2 dan komponen-

komponen dengan aktivitas antibiotik.

Berdasarkan hasil pengamatan, yoghurt dengan kedua jenis perlakuan yang berbeda

menghasilkan tingkat kekentalan yang encer dan kurang kental, dengan pH sebesar 4,0

dan 4,5, di mana nilai pH ini sudah sesuai dengan teori dari Walstra et al. (2006) yaitu

berkisar antara 4,0 dan 4,6. Menurut Walstra et al. (2006), perlakuan panas pada susu

meningkatkan kekentalan yoghurt. Pengendapan dari protein serum akan meningkatkan

fraksi volume dari agregat protein dan kemungkinan juga akan mengubah jumlah dan

sifat dari ikatan antara partikel-partikel protein. Struktur fisik dari yoghurt yang

dihasilkan berupa suatu jaringan partikel agregat kasein di mana protein serum telah

mengendap dikarenakan terjadinya denaturasi oleh panas. Jaringan tersebut

memerangkap globula-globula lemak dan serum. Pori-pori yang paling besar dari

jaringan tersebut berukuran 10µm. Kehadiran suatu jaringan yang kontinyu

Page 9: Susu Fermentasi_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_A4_Unika Soegijapranata

8

menunjukkan bahwa yoghurt merupakan bahan berbentuk gel yang viskoelastis, yang

dikarakterisasi oleh suatu yield stress yang cukup kecil (sekitar 100 Pa).

Selain itu, yoghurt yang dibuat dengan inokulum “plain yoghurt” komersial lebih kental

dan lebih asam dibandingkan dengan yoghurt yang dibuat dengan inokulum “fresh

culture”, tetapi perbedaannya tidak terlalu jauh. Sesuai dengan pernyataan Walstra et al.

(2006), kultur yang digunakan pada yoghurt memang dapat mempengaruhi kekentalan

yang dihasilkan, tetapi perbedaanya hanya sedikit. Perbedaan ini disebabkan karena di

dalam “plain yoghurt” komersial terdapat bahan-bahan lain yang sengaja ditambahkan

untuk meningkatkan kekentalan produk (Fellows, 1990). Selain itu, sifat yoghurt

dengan perlakuan fermentasi “fresh culture” yang encer dapat disebabkan karena suhu

pemanasan yang berlebihan, pendinginan yang terlalu singkat, atau penanganan yang

kurang baik terhadap curd yoghurt, sehingga yoghurt mengalami kerusakan

(Kosikowski, 1977). Herchdoefer (1986) menambahkan bahwa keenceran yoghurt dapat

disebabkan karena kadar padatan dan kalsium pada susu terlalu rendah, serta pemanasan

dan pengadukan yang berlebihan. Sementara itu, hubungan antara tingkat kekentalan

dan keasaman yoghurt dengan inokulum “plain yoghurt” komersial juga sesuai dengan

pernyataan Walstra et al. (2006), yaitu bahwa pada umumnya, yoghurt menjadi lebih

kental ketika pH-nya lebih rendah, di mana nilai pH yang paling baik adalah di antara

4,1 dan 4,6. Hal ini didukung oleh Insyiroh et al. (2014) yang menyatakan bahwa asam

yang dihasilkan pada fermentasi yoghurt dapat menurunkan pH sekaligus menciptakan

tekstur yang kental.

Menurut Bylund (1995), faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas yoghurt adalah

pemilihan susu, standarisasi susu, zat-zat aditif yang ditambahkan pada susu, deaerasi,

homogenisasi, perlakuan panas, pemilihan kultur, preparasi kultur, desain plant.

Pretreatment dari susu juga merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam

menentukan kualitas dari produk akhir. Hafsah & Astriana (2012) menambahkan bahwa

lama penyimpanan dan suhu inkubasi juga berpengaruh terhadap kualitas yoghurt yang

dihasilkan.

Page 10: Susu Fermentasi_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_A4_Unika Soegijapranata

9

3.2. Kefir

Mikroflora yang membentuk kefir terdiri dari berbagai jenis. Lactococci (L. lactis sspp.

lactis dan cremoris, dan L. lactis ssp lactis biovar. diacetylactis), Leuconostoc (Leuc.

lactis dan Leuc. cremoris), dan Lactobacilli (Lb. brevis, Lb. kefir, terkadang juga Lb.

delbrueckii ssp. bulgaricus dan Lb. acidophilus) yang dapat membentuk asam laktat, di

mana yeast, termasuk spesies Candida, Kluyveromyces, dan Saccharomyces,

memproduksi alkohol. Kefir dengan kualitas yang memuaskan dipercaya mengandung

bakteri asam asetat juga. Biasanya, organisme yang terlibat di dalam produk yang

dikulturkan terdapat dalam bentuk butiran-butiran. Selama fermentasi susu, butiran-

butiran tersebut tumbuh oleh karena terjadinya koagulasi protein, serta menjadi

terhubung dalam arti membentuk polisakarida (kefiran) (Walstra et al., 2006).

Kefir merupakan minuman susu asam yang bersifat creamy dan sparkling. Kandungan

asam laktatnya adalah 0,7% hingga 1%, dan kandungan alkoholnya berkisar antara

0,05% hingga 1%, tetapi jarang ada yang melebihi 0,5%. Tingkatan asam laktat dan

alkohol ini tergantung pada kondisi inkubasi dan penyimpanan. Metabolit-metabolit

harus terbentuk dengan proporsi tertentu supaya didapatkan flavor yang baik. Beberapa

konversi bersifat merugikan terhadap kualitas kefir; contohnya adalah pembentukan

asam asetat dari alkohol oleh bakteri asam asetat setelah pengambilan oksigen dari

udara (Walstra et al., 2006).

Untuk membuat kefir dengan inokulum “fresh culture” pada praktikum kali ini,

persiapan inokulum dilakukan sama seperti pada pembuatan yoghurt. Mula-mula susu

segar dipananaskan hingga suhunya mencapai 85-95°C selama 2 menit (jangan sampai

mendidih). Sebanyak 230 ml susu dituangkan dalam toples kaca steril dan segera

ditutup. Toples yang berisi susu didinginkan di dalam baskom berisi air hingga terasa

hangat. Proses pendinginan ini sesuai dengan teori Bylund (1995) yang menyatakan

bahwa setelah dipanaskan, susu kemudian didinginkan hingga suhu inokulasi, baru

kemudian ditambahkan dengan starter. Susu ditambahkan dengan 8% kultur starter (20

ml) secara aseptis. Toples ditutup dengan aluminium foil atau plastik untuk

meminimalkan kemungkinan kontaminasi, kemudian diinkubasi pada suhu 42-44°C

Page 11: Susu Fermentasi_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_A4_Unika Soegijapranata

10

selama 1 hari tanpa ada gangguan (tidak dibuka atau diaduk-aduk) hingga tercapai

konsistensi curd yang diinginkan. Setelah diinkubasi, kefir dimasukkan ke dalam suhu

4°C. Setelah terbentuk gumpalan, kefir diaduk perlahan hingga kental merata. Kefir

diambil sebagian untuk dianalisa. Untuk pembuatatan kefir dengan inokulum “plain

kefir” komersial, tidak perlu dilakukan persiapan inokulum, cukup ditambahkan “plain

kefir” yang masih mengandung kultur aktif. Penjelasan lebih detail untuk prosedur ini

secara garis besar sama dengan prosedur pembuatan yoghurt yang telah dijelaskan

sebelumnya.

Selama proses fermentasi berlangsung, substrat mengalami perubahan biokimia sebagai

akibat dari adanya aktivitas bakteri asam laktat dan yeast. Senyawa yang dihasilkan

selama fermentasi kefir antara lain asetonin dan diasetil. Selain itu juga dihasilkan

karbon dioksida oleh yeast sehingga produk menghasilkan rasa karbonat. Komponen-

komponen ini akan membentuk cita rasa kefir yang diinginkan (Fardiaz, 1997).

Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa kekentalan kefir dengan inokulum

“fresh culture” dan inokulum “plain kefir” komersial menunjukkan tingkatan yang sama

yaitu kurang kental, sedangkan dilihat dari keasamannya, kefir dengan inokulum “fresh

culture” bersifat lebih asam. Kondisi kefir yang asam menurut Yusriyah & Agustini

(2014) disebabkan karena pada proses fermentasi, bakteri asam laktat berperan dalam

menguraikan laktosa menjadi asam laktat dan asam organik lainnya, sedangkan

kekentalan kefir dipengaruhi oleh kecepatan proses koagulasi protein yang berbeda-

beda. Menurut Gianti & Evanuarini (2011), semakin tinggi asam laktat yang dihasilkan,

maka semakin tinggi pula tingkat keasamannya karena semakin banyaknya ion hidrogen

(H+) yang dihasilkan. Perbedaan tingkat keasaman pada kedua jenis kefir dapat

disebabkan karena perbedaan konsentrasi starter yang ditambahkan ke dalam susu, di

mana konsentrasi starter yang berupa “fresh culture” kemungkinan lebih tinggi

dibandingkan starter yang berasal dari “plain kefir” komersial, karena menurut

Agustina et al. (2013), semakin tinggi konsentrasi bibit kefir yang ditambahkan,

semakin rendah pH kefir yang dihasilkan. Selain itu menurut Albaari & Murti (2003),

jenis starter yang digunakan dalam membentuk asam laktat juga akan mempengaruhi

Page 12: Susu Fermentasi_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_A4_Unika Soegijapranata

11

hasil fermentasi kefir. Jadi, starter yang digunakan pada kedua jenis perlakuan kefir ada

kemungkinan terdiri atas inokulum mikroorganisme yang berbeda.

3.3. Acidophilus Milk

Acidophilus milk dikulturkan dengan Lactobacillus acidophilus yang fungsi utamanya

adalah untuk memproduksi asam laktat (Walstra et al., 2006). Menurut Jay (1998),

Lactobacillus acidophilus merupakan salah satu jenis bakteri yang bersifat intestinal

implantable, di mana bakteri ini dapat bertahan hidup di lingkungan dengan pH yang

rendah dan resisten terhadap asam empedu yang terdapat di saluran pencernaan. Dalam

hal ini, Lactobacillus acidophilus dikatakan sebagai bakteri probiotik, dan telah

diketahui dapat memberikan bermacam-macam manfaat kesehatan. Akan tetapi, bakteri

probiotik tidak dapat mempengaruhi lingkungannya kecuali jika populasinya mencapai

suatu tingkatan terentu, yang kemungkinan berkisar antara 106 dan 10

8 CFU/gram.

Untuk mencapai tingkatan ini, bakteri probiotik harus mampu berkoloni dan tumbuh

pada saluran pencernaan. Ujung ileum dan kolon diketahui merupakan tempat-tempat

yang disukai oleh lactobacilli dan bifidobacteria untuk membentuk koloni pada saluran

pencernaan (Walstra et al., 2006). Kailasapathy & Chin (2000) menambahkan bahwa

tidak semua bakteri probiotik dan bakteri asam laktat bersifat intestinal implantable,

seperti misalnya Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus, di mana

bakteri-bakteri ini termasuk jenis bakteri asam laktat yang bersifat probiotik, namun

tidak dapat tahan terhadap asam empedu, sehingga tidak tergolong sebagai bakteri yang

intestinal implantable.

Untuk membuat acidophilus milk, mula-mula susu skim dipanaskan hingga suhunya

mencapai 85°C selama 2 menit (jangan sampai mendidih). Pemanasan ini dilakukan

karena menurut Walstra et al. (2006), bakteri Lactobacillus acidophilus bukan

merupakan bakteri yang secara alami terdapat pada susu dan pertumbuhannya di dalam

susu membutuhkan waktu yang lama. Oleh karena itu, kontaminasi selama pembuatan

acidophilus milk harus dihindari. Selanjutnya, sebanyak 245 ml susu dimasukkan ke

dalam toples kaca steril dan segera ditutup. Toples berisi susu didinginkan di dalam

baskom berisi air hingga terasa hangat. Selanjutnya susu ditambahkan dengan 1% kultur

Page 13: Susu Fermentasi_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_A4_Unika Soegijapranata

12

starter (5 ml) secara aseptis. Toples ditutup dengan aluminium foil atau plastik untuk

meminimalkan kemungkinan kontaminasi, kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama

1 hari tanpa ada gangguan (tidak dibuka atau diaduk-aduk) hingga terbentuk smooth

curd. Setelah terbentuk gumpalan, susu diaduk perlahan hingga kental merata. Susu

diambil sebagian untuk dianalisa. Penjelasan lebih detail untuk prosedur ini juga secara

garis besar sama dengan pembuatan yoghurt yang telah diberikan sebelumnya.

Berdasarkan hasil pengamatan, didapatkan bahwa acidophilus milk bersifat sangat

kental dan asam, terutama jika dibandingkan dengan yoghurt dan kefir. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Walstra et al. (2006), di mana Lactobacillus acidophilus bersifat

cukup toleran terhadap asam, sehingga kandungan asam laktat di dalam susu dapat

menjadi sangat tinggi, yaitu 1% hingga 2%, jika produk disimpan pada suhu yang tidak

cukup rendah. Maka dari itu flavor susu akan menjadi tajam, dan jumlah sel bakteri

yang hidup menurun dengan cepat. Masalah ini dapat diatasi dengan cara

mencampurkan susu plain dengan konsentrat kultur Lactobacillus acidophilus dalam

keadaan beku dan dengan cara menjaga campuran tersebut pada suhu rendah (misalnya

4°C), sehingga pengasaman susu dapat dicegah. Perbandingan lurus antara kekentalan

dan keasaman acidophilus milk juga sesuai dengan teori dari Walstra et al. (2006),

seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai yoghurt.

Proses fermentasi susu yang menghasilkan yoghurt, kefir, dan acidophilus milk secara

keseluruhan mengakibatkan terjadinya koagulasi atau penggumpalan pada susu.

Menurut Sri & Abubakar (2009), salah satu penyebab terjadinya penggumpalan susu

adalah kondisi yang asam. Ketika laktosa difermentasi menjadi asam laktat, pH susu

mengalami penurunan, sehingga terjadi penggumpalan kasein pada susu. Secara umum,

faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas susu fermentasi menurut Bylund (1995)

antara lain:

- Komposisi susu

Susu yang akan difermentasi tidak boleh mengandunga antibiotik, bakteriofage,

residu larutan CIP, ataupun agen-agen sterilisasi. Selain itu, kandungan lemak pada

susu yang baik untuk fermentasi berkisar antara 0 sampai 10%.

Page 14: Susu Fermentasi_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_A4_Unika Soegijapranata

13

- Perlakuan panas

Susu dipanaskan sebelum diinokulasi dengan starter dengan tujuan untuk: (1)

meningkatkan sifat susu sebagai substrat untuk kultur bakteri; (2) memastikan

bahwa gumpalan pada produk akan bersifat kental; dan (3) mengurangi resiko

separasi whey pada produk akhir. Pada saat pemanasan, sekitar 70-80% dari protein

whey akan terdenaturasi. Komponen β-laktoglobulin yang merupakan salah satu

jenis protein whey akan berinteraksi dengan κ-kasein, sehingga membantu

memberikan yoghurt “body” yang stabil.

- Jenis dan preparasi kultur

Kultur yang digunakan untuk fermentasi diharapkan mampu menghasilkan produk

dengan viskositas yang tinggi dan pH yang agak tinggi. Selanjutnya, penanganan

starter juga harus menggunakan presisi dan higienitas yang maksimal.

Page 15: Susu Fermentasi_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_A4_Unika Soegijapranata

14

4. KESIMPULAN

Prinsip pembuatan susu fermentasi pada praktikum kali ini terdiri atas higienitas

proses pembuatan inokulum dan penginokulasiannya, perlakuan pemanasan susu

untuk membunuh mikroba yang tidak diinginkan, serta inkubasi atau pemeraman

yang dilakukan selama 24 jam.

Pemanasan susu dilakukan dengan metode pasteurisasi, bukan sterilisasi, karena

sterilisasi akan membunuh semua bakteri yang terkandung pada susu, termasuk

bakteri baik yang akan digunakan untuk fermentasi.

Mikroorganisme yang digunakan untuk fermentasi yoghurt yaitu Streptococcus

thermophilus dan Lactobacillus delbureckii ssp. bulgaricus, menghasilkan asam

asetat, diasetil, dan asetaldehid.

Mikroorganisme yang digunakan untuk fermentasi kefir terdiri atas jenis bakteri

Lactococci, Leuconostoc, dan Lactobacilli untuk membentuk asam laktat, serta

yeast spesies Candida, Kluyveromyces, dan Saccharomyces untuk memproduksi

alkohol.

Mikroorganisme yang digunakan untuk fermentasi acidophilus milk adalah

Lactobacillus acidophilus yang memproduksi asam laktat.

Yoghurt yang dihasilkan memiliki tingkat kekentalan yang encer dan kurang kental,

dengan pH sebesar 4,0 dan 4,6.

Yoghurt dengan inokulum “plain yoghurt” komersial lebih kental daripada yoghurt

dengan inokulum “fresh culture” karena di dalamnya terdapat bahan-bahan lain

yang sengaja ditambahkan untuk meningkatkan kekentalan produk.

Kefir yang dihasilkan memiliki tingkat kekentalan yang kurang kental, dengan pH

sebesar 4,5 dan 5,0.

Kefir dengan inokulum “fresh culture” lebih asam daripada kefir dengan inokulum

“plain kefir” komersial, dengan kemungkinan penyebabnya adalah perbedaan

konsentrasi dan/atau jenis starter yang ditambahkan ke dalam susu.

Acidophilus milk yang dihasilkan memiliki tingkat kekentalan yang kental, dengan

pH sebesar 4,0.

Produk acidophilus milk menghasilkan kekentalan dan keasaman yang paling tinggi,

karena Lactobacillus acidophilus bersifat toleran terhadap asam sehingga mampu

Page 16: Susu Fermentasi_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_A4_Unika Soegijapranata

15

menghasilkan susu dengan kandungan asam laktat yang sangat tinggi dan dengan

demikian meningkatkan kekentalan susu.

Semakin asam susu fermentasi yang dihasilkan, maka kekentalannya akan semakin

tinggi.

Bakteri yang bersifat intestinal implantable dapat bertahan hidup di lingkungan

dengan pH yang rendah dan resisten terhadap asam empedu yang terdapat di saluran

pencernaan, contohnya adalah Lactobacillus acidophilus.

Penyebab terjadinya penggumpalan susu adalah karena laktosa di dalam susu

difermentasi menjadi asam laktat, sehingga pH susu mengalami penurunan dan

terjadi penggumpalan kasein pada susu.

Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil dan kualitas susu fermentasi secara umum

adalah komposisi susu, perlakuan panas, jenis dan preparasi kulutr.

Semarang, 24 Mei 2016 Asisten Dosen:

- Tjan, Ivana Chandra

- Beatrix Restiani

(Nita Silviani Arifin)

13.70.0069

Kelompok A4

Page 17: Susu Fermentasi_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_A4_Unika Soegijapranata

16

5. DAFTAR PUSTAKA

Albaari, A. N. dan Murti, T. W. 2003. Analisa pH, Keasaman, dan Kadar Laktosa pada

Yakult, Yoghurt, Kefir. Proceeding Simposium Nasional Hasil-hasil Penelitian di

Unika Soegijapranata, Semarang, 22 Maret 2003.

Agustina, L.; T. Setyawardani; dan T. Y. Astuti. 2013. Penggunaan Starter Biji Kefir

dengan Konsentrasi yang Berbeda pada Susu Sapi terhadap pH dan Kadar Asam

Laktat. Jurnal Ilmiah Peternakan Vol. 1 (1): 254-259.

Atlas, R. M. 1984. Microbiology: Fundamentals and Applications. MacMillan

Publishing Company. New York.

Bylund, Gosta. 1995. Dairy Processing Handbook. Tetra Pak Processing Systems.

Lund, Sweden.

Dwidjoseputro. 1994. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan. Jakarta.

Fardiaz, S. 1997. Kefir, Susu Asam Berkhasiat. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi.

Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.

Fellows, P. 1990. Food Processing Technology: Principles and Practices. Ellis

Horwood. New York.

Gianti, Ice dan H. Evanuarini. 2011. Pengaruh Penambahan Gula dan Lama

Penyimpanan terhadap Kualitas Fisik Susu Fermentasi. Jurnal Ilmu dan Teknologi

Hasil Ternak Vol. 6 (1): 28-33.

Hadiwiyoto, S. 1983. Hasil-hasil Olahan Susu, Ikan, Daging, dan Telur. Liberty.

Yogyakarta.

Hafsah dan Astriana. 2012. Pengaruh Variasi Starter terhadap Kualitas Yoghurt Susu

Sapi. Jurnal Bionature Vol. 13 (2): 96-102.

Herchdoefer. 1986. Quality Control in Food Industry, Volume 2. Academic Press.

London.

Insyiroh, U.; Masykuri; dan S. B. M. Abduh. 2014. Nilai pH, Keasaman, Citarasa, dan

Kesukaan Susu Fermentasi dengan Penambahan Ekstrak Buah Nanas. Jurnal

Aplikasi Teknologi Pangan Vol. 3 (3): 114-116.

Jay, J. M. 1998. Modern Food Microbiology, Fifth Edition. Aspen Publishers.

Maryland.

Kailasapathy, K. & J. Chin. 2000. Survival and therapeutic potential of probiotic

organisms with reference to Lactobacillus acidophilus and Bifidobacterium spp.

Immunology and Cell Biology Vol. 78: 80-88.

Kosikowski, F. V. 1977. Cheese and Fermented Foods. FV Kosikowski & Asc. New

York.

Page 18: Susu Fermentasi_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_A4_Unika Soegijapranata

17

Lay, B. W. 1994. Analisa Mikrobia di Laboratorium. PT Raja Grafindo Persada.

Jakarta.

Potter, N. N. 1987. Food Science. The Avi Publishing Company. USA.

Saleh, E. 2004. Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. USU Digital Library.

Sri & Abubakar. 2009. Teknologi Pengolahan Susu. Balai Penelitian dan

Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor.

Sumner, S. & R. Hutkins. 1990. Making Yoghurt at Home. University of Nebraska.

Institute of Agriculture and Natural Resources. USA.

Walstra, Pieter; Jan T. M. Wouters; and Tom J. Geurts. 2006. Dairy Science and

Technology, Second Edition. Taylor & Francis Group. Boca Raton, United States

of America.

Yusriyah, N. H. dan Rudiana Agustini. 2014. Pengaruh Waktu Fermentasi dan

Konsentrasi Bibit Kefir terhadap Mutu Kefir Susu Sapi. Journal of Chemistry

Vol. 3 (2): 53-57.

Page 19: Susu Fermentasi_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_A4_Unika Soegijapranata

18

6. LAMPIRAN

7.1. Foto

7.2. Perhitungan

7.3. Laporan Sementara