Survey (Ilmu Ukur Tanah)

48
BAB I Identifikasi Modifikasi Lingkungan Alam A. PENDAHULUAN Dalam bab ini dijelaskan tentang indikasi dan cara identifikasi terhadap modifikasi lingkungan alam, baik melalui survei permukaan terhadap gejala atau kenampakan yang sekarang masih dapat dikenali di permukaan tanah, maupun melalui penginderaan jauh. Isi bab ini berkaitan dengan Mata Ajaran Metode Survei dan Ekskavasi. Sebagai catatan, teori mengenai teknik-teknik survei permukaan sudah dijelaskan dalam Mata Ajaran Metode Survei dan ekskavasi, sehingga dalam Mata Ajaran Arkeologi Lansekap yang ditekankan adalah praktik identifikasi dan interpretasi terhadap objek survei berdasarkan hasil perekaman atau pencatatan data. Dalam bab ini contoh hasil modifikasi lingkungan alam yang disajikan meliputi indikasi-indikasi baik berupa fitur bekas aktivitas manusia maupun kenampakan yang bersifat monumental. Contoh-contoh tersebut dapat menjadi titik tolak untuk praktikum yang tercakup dalam Bab II, III, VII, VIII, dan IX. Tujuan Instruksional Khusus Setelah mengikuti kuliah ini (akhir pertemuan II) mahasiswa akan dapat melakukan identifikasi terhadap modifikasi yang telah dilakukan manusia terhadap lingkungan alamnya. B. PENYAJIAN 1. Pengertian modifikasi lingkungan alam Aktivitas manusia tidak hanya tergantung dan dipengaruhi oleh lingkungan alam, namun juga dapat mempengaruhi dan menyebabkan modifikasi lingkungan alam, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Dalam mata ajaran ini, yang dimaksud dengan modifikasi sebagai akibat aktivitas manusia bukanlah perubahan suhu atau punahnya spesies flora- fauna tertentu (lihat Bradsaw dan Weaver 1993: 488-489), melainkan semua perubahan bentuk relief bumi atau permukaan tanah, baik sebagai akibat adanya konstruksi maupun adanya gejala atau kenampakan fisik lainnya.

Transcript of Survey (Ilmu Ukur Tanah)

Page 1: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

BAB I

Identifikasi Modifikasi Lingkungan Alam

 

A.     PENDAHULUAN

 

Dalam bab ini dijelaskan tentang indikasi dan cara identifikasi terhadap modifikasi  lingkungan alam,

baik melalui survei permukaan terhadap gejala atau kenampakan yang sekarang masih dapat dikenali

di permukaan tanah, maupun melalui penginderaan jauh. Isi bab ini berkaitan dengan Mata Ajaran

Metode Survei dan Ekskavasi. Sebagai catatan, teori mengenai teknik-teknik survei permukaan sudah

dijelaskan dalam Mata Ajaran Metode Survei dan  ekskavasi, sehingga dalam Mata Ajaran Arkeologi

Lansekap yang ditekankan adalah praktik identifikasi dan interpretasi terhadap objek survei

berdasarkan hasil perekaman atau pencatatan data. Dalam bab ini contoh hasil modifikasi lingkungan

alam yang disajikan meliputi indikasi-indikasi baik berupa fitur bekas aktivitas manusia maupun

kenampakan yang bersifat monumental. Contoh-contoh tersebut dapat menjadi titik tolak untuk

praktikum yang tercakup dalam Bab II, III, VII, VIII, dan IX.

 

Tujuan Instruksional Khusus

 

Setelah mengikuti kuliah ini (akhir pertemuan II) mahasiswa akan dapat melakukan identifikasi

terhadap modifikasi yang telah dilakukan manusia terhadap lingkungan alamnya.

 

B.     PENYAJIAN

 

1.     Pengertian modifikasi lingkungan alam

 

Aktivitas manusia tidak hanya tergantung dan dipengaruhi oleh lingkungan alam, namun juga dapat

mempengaruhi dan menyebabkan modifikasi lingkungan alam, baik secara sengaja maupun tidak

sengaja. Dalam mata ajaran ini, yang dimaksud dengan modifikasi sebagai akibat aktivitas manusia

bukanlah perubahan suhu atau punahnya spesies flora-fauna tertentu (lihat Bradsaw dan Weaver

1993: 488-489), melainkan semua perubahan bentuk relief bumi atau permukaan tanah, baik sebagai

akibat adanya konstruksi maupun adanya gejala atau kenampakan fisik lainnya.

 

Seiring dengan berjalannya waktu, gejala atau kenampakan akibat aktivitas manusia tersebut kadang-

kadang tidak disadari kehadirannya, lebih-lebih bila tidak terkonsentrasi pada situs-situs arkeologi.

Oleh karena itu gejala tersebut menjadi pokok bahasan salah satu cabang dalam arkeologi yang

seringkali disebut sebagai Arkeologi Lansekap (Landscape Archaeology) (lihat Sharer dan Ashmore

1993: 246). Keberadaan gejala atau kenampakan bekas aktivitas manusia di permukaan tanah antara

lain dapat diketahui melalui survei, baik survei permukaan (surface survey) maupun melalui

interpretasi foto udara hasil penginderaan jauh (remote sensing). Survei permukaan adalah

pengamatan langsung terhadap permukaan tanah secara sistematis.

 

Dalam hal ini, pengetahuan, pengalaman, dan kecermatan sangat diperlukan untuk dapat melakukan

identifikasi segala kenampakan di permukaan tanah. Melalui pengamatan yang seksama, gejala atau

kenampakan di atas permukaan tanah yang merupakan hasil aktivitas manusia dapat dibedakan dari

Page 2: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

gejala atau kenampakan yang terbentuk secara alamiah, yang biasa dipelajari dalam geomorfologi

(lihat Bradsaw dan Weaver 1993: 264).

 

Bekas aktivitas di suatu lahan kadang tidak diketahui keberadaannya karena telah   tertimbun tanah

dalam kurun waktu lama atau tertutup tanaman yang rimbun, dan tidak diketahui oleh pengguna

lahan yang baru. Dalam kasus seperti ini hasil interpretasi terhadap foto udara dapat membantu

mengungkap keberadaan bekas aktivitas tersebut.

 

Selain melalui kegiatan-kegiatan tersebut, keberadaan situs arkeologi kadangkadang

juga dapat diketahui secara tidak sengaja, misalnya melalui petani penggarap sawah yang

cangkulnya terantuk suatu benda atau struktur bangunan candi, aktivitas pembuatan jalan, dan

pembangunan pemukiman baru. Semua kegiatan tersebut mengakibatkan terkuaknya tinggalan

arkeologis yang semula terpendam tanah. Oleh karena itu, wawancara dengan penduduk setempat

perlu dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai keberadaan tinggalan arkeologis di wilayah

yang disurvei.

 

2.     Indikasi Modifikasi

 

Pengetahuan mengenai indikasi-indikasi adanya modifikasi yang telah dilakukan  manusia terhadap

lingkungan alamnya sangat membantu dalam melakukan survei arkeologis. Indikasi modifikasi

lingkungan alam antara lain berupa:

 

�          garis-garis lurus yang tampak di permukaan tanah,

�          parit atau sistem saluran air,

�          pematang atau dinding batu,

�          deretan lubang yang membentuk garis lurus,

�          lubang-lubang bekas tiang,

�          permukaan tanah yang datar,

�          batu-batu tanpa pengerjaan tertentu yang membentuk formasi segiempat atau lingkaran

(lihat foto I.1.).

�          kumpulan batu yang tertata membentuk struktur tertentu dan datar,

�          timbunan kulit kerang bercampur batu penumbuk,

�          timbunan-timbunan pasir dan kerakal alluvial (lihat foto I.2.),

�          tanda-tanda kerusakan pada dinding suatu bukit kapur,

�          vegetasi dengan tingkat kesuburan berbeda dari vegetasi di sekitarnya.

 

Page 3: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

 Foto I.1. Susunan batu-batu tanpa pengerjaan tertentu yang membentukformasi segiempat atau lingkaran, dikenal sebagai watu kandang (ston

enclosure). Lokasi temuan: Matesih, Karanganyar, Surakarta(Dok. Anggraeni)

  

 

 

 

Foto I.2. Timbunan-timbunan pasir dan kerakal alluvial, sebagai indikasi

aktivitas penambangan emas sekitar awal abad XV di Shoalhaven, New

South Wales, Australia (Dok. Anggraeni)

 Dalam bidang ilmu Arkeologi, indikasi-indikasi tersebut merupakan bentuk-bentuk data arkeologi,

yang dapat dikategorikan sebagai artefak, fitur, atau ekofak. Agar indikasiindikasi tersebut dapat

dijelaskan makna dan fungsinya, maka dilakukan beberapa kegiatan, yaitu:

 

a.       Perekaman, meliputi pengukuran, penggambaran, pemotretan, dan pemetaan.

Page 4: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

b.       Interpretasi yang didasarkan pada: hasil perekaman data, sumber tertulis, gambar,foto dan

peta lama, atau wawancara dengan penduduk sekitar.

 

Kombinasi dua atau lebih indikasi mengenai adanya aktivitas manusia kadangkadang ditemukan di

lokasi yang sama dan membentuk suatu situs arkeologi baru yang semula belum diketahui

keberadaannya. Temuan atau situs baru yang berhasil diidentifikasi dan batas-batas distribusinya

harus dicatat dengan baik dan diplotkan pada peta yang sudah ada untuk keperluan analisis

selanjutnya. Berdasarkan interpretasi yang telah dilakukan, diketahui bahwa indikasi-indikasi yang

telah disebutkan di atas ada yang merupakan lubang bekas tiang suatu gubuk atau rumah, fondasi

rumah, bekas aktivitas penambangan, atau bagian dari aktivitas pertanian.

 

Berikut ini akan dipaparkan dua contoh hasil survei permukaan dan interpretasi terhadap indikasi

bekas aktivitas manusia yang terdapat di Arizona, dan Maryland Amerika  Serikat. Survei pertama

yang berskala besar dilakukan oleh Suzanne Fish, Paul Fish dan tim di dekat Tucson, Arizona, di

bagian baratdaya Amerika Serikat. Survei tersebut telah menghasilkan temuan berupa timbunan batu

kerakal sebanyak 42.000 buah, masing-masing timbunan  tingginya kurang dari 1 meter, dan

diameternya kurang dari 1,50 meter. Timbunan-timbunan batu tersebut tersebar pada 112 lahan,

masing masing lahan luasnya mencapai 1 - 50 hektar (lihat gambar I.1.). Pada lahan-lahan tersebut

juga terdapat lubang-lubang pembakaran dan artefak-artefak yang berasal dari periode Klasik dalam

budaya Hohokam, sekitar 1100-1450 Masehi. Hasil eksperimen dan interpretasi menunjukkan bahwa

timbunan-timbunan batu yang semula diabaikan tersebut merupakan bagian dari teknik pertanian

Hohokam yang hebat. Timbunan timbunan batu tersebut digunakan untuk memperl ambat proses

penguapan atau mempertahankan kelembaban tanah di daerah Arizona yang beriklim kering,

sehingga memungkinkan untuk bercocok tanam agave (Sharer dan Ashmore 1993: 191-192).

 

 

 

Page 5: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

Gambar I.1. Peta ini memperlihatkan distribusi timbunan-timbunan

batu (rock pile), lubang-lubang pembakaran (roasting pits), terasteras

dan cekdam yang merupakan sarana bercocok tanam

prasejarah di lahan pertanian Hohokam, dekat Tucson, Arizona.

(Sumber: Sharer dan Ashmore 1993: 192)

 Penelitian kedua dilakukan oleh suatu tim yang dipimpin oleh Mark Leone di tiga buah kebun dari

abad XVIII di Annapolis, Maryland, di bagian timur Amerika Serikat. Kegiatan  penelitian Arkeologi

Lansekap tersebut menghasilkan dua buah  premis: (1) ruang-ruang di antara bangunan-bangunan

dan fitur-fitur lainnya sama pentingnya dengan fitur itu sendiri; (2) ruang-ruang tersebut

mencerminkan makna sosial dan ideologi yang penting bagi pembuatnya. Dengan bantuan dokumen

sejarah  dan hasil ekskavasi, Leone dan kawan-kawan menyimpulkan bahwa kebun-kebun tersebut

dirancang sebagai pembatas fisik dan sosial untuk memasuki rumah-rumah mewah di dekatnya, yang

merupakan milik bangsawan kaya. Dengan kata lain, kebun-kebun dari abad XVIII tersebut dirancang

dengan hati-hati untuk menciptakan ilusi atau bayangan mengenai ruang yang lebih luas yang dapat

menaikkan pengakuan atas kekuasaan dan status pemiliknya (Sharer dan Ashmore 1993: 246).

 

3.     Distribusi Artefak

 

Selain contoh-contoh yang telah dikemukakan, banyak situs arkeologi yang dapat diidentifikasi

keberadaannya melalui adanya konsentrasi temuan artefaktual di permukaan tanah, seperti fragmen-

fragmen gerabah atau serpih-serpih batu beserta calon-calon beliung. Sebagaimana gejala-gejala

lainnya, himpunan artefak di suatu lokasi dapat mengubah relief permukaan tanah. Sebagai contoh,

keberadaan timbunantimbunan tatal batu pada areal seluas kurang lebih 6000 hektar, yang dikenal

sebagai bengkel pembuatan beliung persegi dan mata panah di wilayah Punung, Kabupaten Pacitan,

Jawa Timur (lihat Susilo 2000). Dalam hal ini, aktivitas alam, seperti aliran air tidak dipungkiri ikut

andil sebagai faktor penyebab terjadinya transformasi dan akumulasi data arkeologi. Namun, melalui

pengamatan terhadap serpih-serpih batu limbah  produksi beliung dan artefak yang ada, dapat

dipastikan bahwa timbunan timbunan batu tersebut bukan sekedar hasil aktivitas alam, melainkan

bekas aktivitas komunitas manusia yang pernah tinggal di wilayah yang sekarang lebih dikenal

sebagai wilayah yang tandus tersebut.

 

Kasus yang hampir sama dapat dijumpai di dekat pantai Samas, sekitar 30 km di sebelah selatan

Yogyakarta. Dalam hal ini, aktivitas alam berupa gelombang air dan angin telah membentuk bukit

pasir yang terdiri atas endapan beting gisik bagian bawah dan endapan aeolian di bagian atas. Dua di

antara tiga deretan bukit pasir bentukan alam tersebut ternyata pernah dimanfaatkan oleh manusia,

sebagaimana terbukti dari adanya timbunan ribuan fragmen gerabah dan sejumlah artefak lain (lihat

Nitihaminoto 2001).

 

Akumulasi fragmen gerabah dan artefak lain pada bukit pasir tersebut telah membentuk situs

arkeologi yang khas, yang dikenal sebagai situs Gunung Wingko.

 

4.     Bangunan Monumental

 

Keberadaan konstruksi bangunan, baik masih dalam kondisi utuh maupun reruntuhan, paling mudah

diketahui kehadirannya bila dibandingkan dengan jenis data arkeologis lainnya. Jenis data arkeologis

Page 6: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

ini, yang memang bentuknya sangat menonjol bila dibandingkan dengan gejala lainnya, benar-benar

mengubah relief permukaan tanah yang terbentuk secara alamiah. Namun demikian, aktivitas alam

yang tidak hentihentinya, seperti meletusnya gunung berapi, banjir, banjir lahar, juga berpengaruh

terhadap tersembunyi atau terkuaknya tinggalan arkeologis berupa bangunan monumental.

 

Kalau sekarang kita dapat menyaksikan kemegahan candi-candi di sekitar Yogyakarta dan Jawa

Tengah, seperti Candi Prambanan dan Borobudur, sebenarnya tidak demikian halnya dengan kondisi

candi-candi tersebut puluhan tahun yang lalu. Kondisi megah seperti sekarang adalah hasil proses

rekonstruksi yang panjang dari gejala-gejala yang tampak di permukaan tanah berupa gundukan

tanah atau bukit batu dengan onggokan batu-batu persegi baik polos maupun berhias relief. Kondisi

yang sama juga terjadi pada candi atau kompleks percandian lainnya. Dengan demikian, faktor

ketidaksengajaan dan faktor kesengajaan seperti kegiatan survei juga tetap berperan dalam

pengungkapan keberadaan jenis tinggalan arkeologis ini.

 

Latihan

 

Amati lingkungan kampus dan sekitarnya, buatlah catatan mengenai contoh kenampakan-

kenampakan di permukaan tanah yang dapat menjadi indikasi adanya campur tangan manusia. Bila

misalnya kenampakan yang anda peroleh tersebut merupakan permukaan yang membukit, sulit

ditanami (tidak subur) dibandingkan tanah sekitarnya, dan sering didapatkan pecahan-pecahan batu-

bata, maka kemungkinan besar gundukan tanah tersebut merupakan bekas bangunan. Catatan yang

dibuat di lapangan (field notes) sangat bermanfaat untuk keperluan-keperluan selanjutnya. 

 

Rangkuman:

 

�          Modifikasi lingkungan alam oleh manusia adalah semua perubahan bentuk relief

�          bumi atau permukaan tanah, baik sebagai akibat adanya konstruksi maupun adanya

�          gejala atau kenampakan fisik lainnya.

�          Indikasi modifikasi: semua gejala yang bentuknya cenderung geometris, beraturan,

�          berpola, atau membentuk formasi tertentu.

 

C.     PENUTUP

 

�          Sebutkan gejala atau kenampakan di permukaan tanah yang merupakan hasil modifikasi

manusia berkaitan dengan kegiatan pertanian.

�          Tunjukkan gejala-gejala bekas aktivitas manusia yang tampak dalam foto udara wilayah Pleret,

Yogyakarta.

 

Kunci:

Indikasi modifikasi: lahan tanah berbentuk persegi, jalur-jalur lurus, parit.

BAB IIPraktikum I: Simulasi Survei A

 

Page 7: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

 

A.     PENDAHULUAN

 

Dalam bab ini akan dijelaskan teknik-teknik perekaman reruntuhan atau fitur, yang meliputi teknik

pengukuran, penggambaran, dan pemotretan. Di samping itu akan dijelaskan pula mengenai cara

pembuatan catatan lapangan atau field notes yang bukan hanya perlu untuk mata ajaran ini, tetapi juga

untuk kegiatan lapangan lainnya. Penjelasan yang disertai dengan demonstrasi dan latihan dalam bab ini

merupakan langkah dan bekal awal sebelum melakukan praktikum selanjutnya, yang langsung

dilaksanakan pada situs-situs arkeologi, terutama sebagaimana dijelaskan pada Bab III dan VI.

 

Tujuan Instruksional Khusus

 

Setelah mengikuti kuliah ini (akhir pertemuan IV) mahasiswa akan dapat melakukan perekaman data

berupa fitur atau reruntuhan secara visual.

 

B.     PENYAJIAN

 

1.     Pembuatan Field Notes

 

Catatan lapangan atau field notes, sesuai dengan namanya, merupakan catatan yang dibuat langsung

pada buku catatan ketika peneliti berada di lapangan. Catatan lapangan sebaiknya ditulis pada buku

yang mudah dibawa kemana-mana, bukan berupa lembaran- lembaran kertas yang mudah hilang.

Buku catatan ini memuat semua indikasi atau gejala, nama atau istilah yang diberikan penduduk

setempat, letak administratif temuan, deskripsi temuan, sket temuan, hasil pengukuran, informasi

atau pendapat penduduk mengenai temuan tersebut, dan interpretasi sementara. Semua catatan

harus ditulis dengan jelas dan dapat dimengerti bila akan diacu untuk pembuatan laporan verbal dan

visual. Agar tidak ada hal-hal penting yang  terlewatkan, field note dapat berupa form yang tinggal

diisi di lapangan (lihat Joukowsky 1980).

 

2.     Perekaman reruntuhan/fitur di Permukaan Tanah: Pengukuran

 

Yang dimaksud dengan kegiatan perekaman objek survei yaitu mencatat, menyalin, atau memetakan

objek tersebut di kertas, baik dalam bentuk verbal (uraian kata) maupun visual (gambar, foto, peta).

Pembuatan catatan yang baik dan lengkap (lihat sub judul �Pembuatan Field Notes� di atas) harus

dilakukan di lapangan. Catatan dan gambar sket yang telah dibuat di lapangan harus segera disalin

dengan rapi (dalam format laporan). Oleh karena itu kegiatan pengukuran dan pencatatan detail objek

atau situs harus dilakukan dengan cermat agar hasil perekaman di lapangan dapat disalin dengan

akurat.

 

Perekaman objek atau situs yang disurvei dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai teknik

survei, mulai dari yang paling sederhana hingga yang rumit, meliputi: chain survey, plane table

survey, levelling, theodolite survey (lihat Farrington 1997; Joukowsky 1980), dan Global Positioning

System (GPS). Teknik-teknik tersebut menggunakan peralatan pokok yang berbeda-beda, dan

pemilihan masing-masing teknik tergantung pada sifat dan ukuran situs yang perlu dipetakan.

Page 8: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

Meskipun demikian, teknik yang paling sederhana (chain survey) pun mempunyai tingkat akurasi

cukup tinggi, bila pengukuran dilakukan dengan cermat, bahkan dapat menekan biaya yang

dibutuhkan dan hasilnya pun dapat dipublikasikan. Berikut ini akan diuraikan prosedur beberapa

teknik survei yang sering digunakan dalam survei arkeologis.

 

a)    Chain survey

Alat yang diperlukan dalam teknik ini adalah: kompas, 2 buah rol meter (biasanya 20- 50 meter),

beberapa tongkat setinggi 2 meter yang salah satu ujungnya runcing, sejumlah patok, buku

catatan, dan pensil. Teknik survei ini mencakup dua metode dasar, yaitu offset survey dari

sebuah garis dasar (baseline) dan compass traversing yang dimulai dan berakhir pada titik yang

sama. Bila tingkat akurasi yang diharapkan tidak terlalu tinggi, kedua metode tersebut berguna

untuk membuat peta situs secara cepat.

 

Offset Survey

           

            Teknik ini dapat digunakan bila kondisi objek atau situs relatif lurus, seperti parit dan

pematang, atau dapat pula digunakan pada objek survei yang berukuran kecil dan bentuknya

tidak beraturan, seperti sebaran artefak paleolitik atau sebaran artefak di situs bengkel neolitik.

Teknik ini dapat pula dipakai untuk membuat layout kotak-kotak untuk ekskavasi, atau untuk

mencatat indikasi permukaan tanah dan kegiatan pengoleksian artefak.

 

Langkah-langkah (lihat Farrington 1997):

 

�          Pilih titik awal untuk melakukan survei - disebut sebagai titik (stasiun) A � pada jarak

3-15 m dari titik sudut terluar dari suatu situs. Tandai stasiun A dengan tongkat.

�          Tariklah baseline dari stasiun A ke stasiun B. Baseline ini usahakan untuk sejajar

dengan axis situs atau objek. Stasiun B juga harus berada pada jarak yang cukup jauh

dari sudut luar lain dari suatu situs. Tandai pula stasiun B dengan tongkat.

�          Catatan: bila situs atau objek survei itu panjang dan berbentuk kurva, maka perlu

dibuat baseline kedua dari stasiun B ke stasiun C

�          Ukur dan catat panjang baseline. Panjang baseline biasanya sama dengan panjang

maksimum suatu rol meter.

�          Berdirilah sejauh 5 m di belakang stasiun A dan tembak stasiun B dengan kompas,

catat  posisinya dalam derajat.

�          Pindahlah ke stasiun B dan bidik stasiun A dengan kompas, dan catat posisi

derajatnya. Jika kedua hasil pembacaan kompas tadi sama (sama dengan 180o), berarti

anda dapat mulai melakukan survei dan pengukuran detail situs. Jika hasilnya tidak

sama, posisi kedua stasiun harus ditentukan lagi. Bila posisi kedua stasiun sudah benar,

kedua stasiun tersebut jangan dipindah-pindah lagi.

�          Tandai semua gejala yang ada di situs dan ingin anda survei dengan patok. Berilah

nomor urut gejala-gejala tadi pada sket yang sudah anda gambar di buku catatan.

 

Perekaman data secara rinci di suatu situs, dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu:

perpendicular offset dan intersection (lihat Farrington 1997).

 

Page 9: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

(1) Perpendicular Offset

 

Pada dasarnya metode ini digunakan untuk mencatat posisi tiap titik (gejala) yang sudah

dicatat pada sket (lihat gambar II.1) terhadap baseline. Langkah-langkahnya dapat diuraikan

sebagai berikut:

�          Letakkan rol meter di sepanjang baseline.

�          Berjalanlah di sepanjang baseline dari stasiun A menuju ke stasiun B sampai titik 1

berada tegak lurus baseline. Untuk memperoleh perpotongan yang tegak lurus

antara kedua garis tersebut, dapat digunakan penggaris siku, rumus Trigonometri,

kompas, atau dengan perkiraan saja.

�          Tandai titik perpotongan tadi (tanda X) dengan patok.

�          Ukurlah jarak antara stasiun A dengan titik X dan dari titik X ke titik 1.

�          Catatlah hasil pengukuran tersebut di dalam buku catatan lapangan

�          Lakukan hal yang sama untuk titik-titik yang lain, sesuai nomor urut yang telah

ditentukan.

 

Catatan:

Metode konvensional yang dipakai dalam mencatat hasil perpendicular offset survey

dapat dilihat pada gambar II.2. Bagian kiri buku catatan lapangan dipakai untuk

menggambar sket, bagian kanan buku dipakai untuk menuliskan semua penjelasan

tentang gejala (fitur) pada situs yang disurvei. Pertama-tama gambarlah dua garis

vertikal sejajar. Pada masing-masing ujung (stasiun A dan B) buatlah dua garis

horisontal di antara kedua garis vertikal tersebut. Angka-angka di antara kedua garis

vertikal menunjukkan posisi stasiun A terhadap stasiun B (120o), panjang baseline dari

stasiun A ke B (64 m), jarak dari stasiun A ke titik-titik perpotongan (8,4 m; 28,7 m;

30,3 m; 55,1 m). Angka-angka lain yang menunjukkan besar jarak, merupakan hasil

pengukuran jarak dari titik (gejala) ke titik perpotongan dengan baseline. Gambar sket

kemudian disalin pada kertas kalkir (tracing paper) yang diletakkan di atas kertas

grafik, sehingga hasil pengukuran di lapangan dapat disalin dengan mudah dan

berskala. Selain salinan gambar yang dibuat dengan skala tertentu, cantumkan pula

judul survei, keterangan gambar (legenda), besar skala, penunjuk arah utara

magnetik, dan nama orang yang melakukan survei. Cara ini merupakan cara

menggambar hasil survei yang paling mudah dan akurat, serta dapat menghasilkan

sebuah peta situs yang lumayan.

 

(2) Intersection

 

Metode ini cocok untuk diterapkan pada titik (gejala) yang letaknya saling berjauhan (lebih

dari 10 m). Dalam metode ini, titik (gejala) yang disurvei dapat diplot melalui pengukuran

dari stasiun A dan B yang lokasinya tetap. Jarak stasiun A dan B haruslah cukup jauh dari

objek survei. Pengukuran dapat dilakukan dengan atau pun tanpa kompas (lihat gambar II.3,

II.4). Dalam survei tanpa kompas, alat utama yang digunakan adalah rol meter.

 

Langkah-langkah pengukuran dengan menggunakan kompas adalah sebagai berikut.

�          Dari stasiun A bidik dengan kompas semua titik (gejala) yang sudah ditandai

secara berurutan, dimulai dari titik 1.

Page 10: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

�          Pada waktu membidik titik tersebut, berdirilah padajarak 5 m di belakang stasiun

A.

�          Pindahlah ke stasiun B, ulangi pengukuran dengan cara yang sama, untuk semua

titik (gejala).

�          Pengukuran dikatakan akurat bila sudut yang diperoleh berkisar antara 35o-145o.

 

Langkah-langkah pengukuran dengan menggunakan rol meter adalah sebagai berikut.

�          Tempatkan ujung sebuah rol meter di stasiun A, dan sebuah lagi di stasiun B

�          Ukurlah jarak tiap-tiap titik (gejala) dari kedua stasiun.

�          Teknik ini mempunyai keterbatasan pada pengontrolan besar sudut yang

diperoleh

�          dari hasil pengukuran dari kedua stasiun.

 

Catatan:

Metode konvensional yang dipakai dalam mencatat hasil survei intersection dapat

dilihat pada gambar II.5. Bagian kiri buku catatan lapangan dipakai untuk

menggambar sket, bagian kanan buku dipakai untuk menuliskan semua penjelasan

tentang gejala (fitur) pada situs yang disurvei. Pertama-tama gambarlah dua garis

vertikal sejajar. Pada masing-masing ujung (stasiun A dan B) buatlah dua garis

horisontal di antara kedua garis vertikal tersebut. Angka-angka di antara kedua garis

vertikal menunjukkan posisi stasiun A terhadap stasiun B (120o), panjang baseline dari

stasiun A ke B (38 m). Angka-angka lain menunjukkan hasil pengukuran dengan

kompas (160o, 220o; 180o, 246o) dan rol meter (25,9 m, 16,4 m; 19 m, 35 m) dari

stasiun A dan B ke masingmasing titik (gejala).

 

Hasil survei ke mudian dapat disalin pada kertas kalkir (tracing paper) yang

diletakkandi atas kertas grafik, dengan menggunakan protractor dan metode

geometris yang sederhana, sehingga hasil pengukuran di lapangan dapat disalin

dengan mudah dan berskala. Selain salinan gambar yang dibuat dengan skala

tertentu, cantumkan pula judul survei, keterangan gambar (legenda), besar skala,

penunjuk arah utara magnetik, dan nama orang yang melakukan survei.

Dengan teknik intersection, gejala yang berhasil disurvei dapat Dalam proses

perekaman data secara detail dengan menggunakan chain survey, teknik

perpendicular offset dan intersection dapat diterapkan bersama-sama (lihat gambar

II.6). Kedua teknik juga sering dipakai untuk mencatat gejala dengan rinci, setelah

survei secara umum dilakukan dengan menggunakan plane table atau teodolit.

 

Compass Traversing

 

Traversing adalah suatu istilah yang dipakai dalam pengukuran panjang dan arah garis-garis lurus

yang saling berhubungan (Joukowsky 1980: 93). Teknik ini dipakai bila situs yang disurvei luas

dengan hanya sedikit hambatan, atau bila situs tersebut perlu ditempatkan pada konteks yang

lebih luas, misalnya hubungan antara situs tersebut dengan suatu bangunan yang masih utuh

(Joukowsky 1980: 94; Farrington 1997). Pada prinsipnya, survei dengan teknik ini dimulai dan

berakhir pada stasiun yang sama.

 

Page 11: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

Langkah-langkah dalam metode compass traversing sama dengan offset survey, demikian pula

prosedur pencatatannya. Biasanya dalam metode ini digunakan gabungan teknik perpendicular

offset dan intersection.

 

Jika traverse ditutup atau dibuat di antara titik-titik yang ditempatkan pada suatu peta, maka

kemungkinan ketika traverse digambar bagian akhir tidak tumpang tindih dengan titik-titik yang

sudah diketahui lokasinya. Untuk mengurangi kesalahan atau ketidaktelitian pengukuran perlu

dilakukan langkah-langkah sebagai berikut (lihat gambar II.7).

�          Traverse berlangsung dari stasiun A ke B, C, dan D. Jika diketahui bahwa D akan

berakhir di D1, maka garis antara D-D1 menunjukkan total kesalahan yang telah terjadi.

Demikian pula bila traverse dimulai dan berakhir di A, maka garis A-A1 menunjukkan

total kesalahan.

�          Gambarlah garis yang sejajar D-D1 melalui B dan C. Untuk traverse yang paling dekat,

gambarlah garis paralel A-A1 melalui semua stasiun yang lain.

�          Mengingat sumber kesalahan utama traverse terletak pada fungsi jarak, maka

gambarlah keseluruhan traverse sebagai garis lurus dari A-D untuk mengukur dan

menandai posisi B dan C. Demikian pula untuk traverse tertutup, gambarlah sabuah

garis sepanjang A-A dari traverse dan tandai pula semua titik yang lain.

�          Gambarlah garis D-D1 atau A-A1 untuk mengukur perpendicular ke garis A-D atau A-A.

�          Gambarlah garis A-D1 atau A-A1.

�          Hapuslah perpendicular dari garis 5 untuk intersect garis 3 dan ukurlah jarak antara B-

B1, C-C1 dst. Hal itulah yang merupakan kesalahan.

�          Tandai jarak-jarak tersebut pada gambar denah asli pada garis yang digambar sejajar

dengan D-D1 atau A-A1.

�          Gambarlah kembali traverse tersebut dengan memakai stasiun-stasiun yang baru.

�         Tambahkan detail pada tiap-tiap traverse untuk membuat denah situs.

 

Page 12: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

 Gambar II.1 Offset Surveying

Page 13: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

 Gambar II.2. Pencatatan hasil Offset Surveying

Page 14: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

Gambar II.3. Intersection dengan menggunakan kompas 

Page 15: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

 Gambar II.4. Intersection dengan menggunakan rol meter

Page 16: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

 Gambar II.5. Pencatatan hasil Chain Survey dengan teknik Intersection

 

Page 17: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

 Gambar II.6. Offset Surveying dengan kombinasi teknik

perpendicular offset dan intersection

Page 18: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

Gambar II.8. Teknik pengukuran kontur situs  

b)    Theodolite Survey

 

Teodolit merupakan alat yang paling canggih di antara peralatan yang digunakan dalam survei.

Pada dasarnya alat ini berupa sebuah teleskop yang ditempatkan pada suatu dasar berbentuk

membulat (piringan) yang dapat diputar-putar mengelilingi sumbu vertikal, sehingga

memungkinkan sudut horisontal untuk dibaca. Teleskop tersebut juga dipasang pada piringan

kedua dan dapat diputar-putar mengelilingi sumbu horisontal, sehingga memungkinkan sudut

vertikal untuk dibaca. Kedua sudut tersebut dapat dibaca dengan tingkat ketelitian sangat tinggi

(Farrington 1997).

 

Teleskop pada teodolit dilengkapi dengan garis vertikal, stadia tengah, stadia atas dan bawah,

sehingga efektif untuk digunakan dalam tacheometri, sehingga jarak dan tinggi relatif dapat

dihitung. Dengan pengukuran sudut yang demikian bagus, maka ketepatan pengukuran yang

diperoleh dapat mencapai 1 cm dalam 10 km. Pada saat ini teodolit sudah diperbaiki dengan

menambahkan suatu komponen elektronik. Komponen ini akan menembakkan beam ke objek

yang direfleksikan kembali ke mesin melalui cermin. Dengan menggunakan komponen tersebut

pengukuran jarak dan tinggi relatif hanya berlangsung beberapa detik saja. Bila komponen

tersebut ditempatkan pada bagian atas teodolit, maka disebut Electronic Distance Measurers

(EDM), namun bila merupakan satu unit tersendiri maka disebut Total Stations (Farrington 1997).

 

Survei dengan menggunakan teodolit dilakukan bila situs yang akan dipetakan luas dan atau

cukup sulit untuk diukur, dan terutama bila situs tersebut memiliki relief atau perbedaan

Page 19: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

ketinggian yang besar. Dengan menggunakan alat ini, keseluruhan kenampakan atau gejala akan

dapat dipetakan dengan cepat dan efisien (Farrington 1997).

 

Alat-alat yang diperlukan: sebuah teodolit, tripod, levelling stave, buku catatan, pensil, patok

berbendera untuk menandai situs.

 

Cara pembacaan sudut berbeda antara satu tipe teodolit dengan tipe yang lain. Tiap teodolit

mempunyai sebuah skala vernier. Skala ini akan memberikan hasil pembacaan derajat dan menit.

 

Format Pencatatan

Judul survei:

Nama:                           Pembantu survei:                       Tgl. & jam:

Stasiun A

 Titikno.

Suduthorisontal

Sudutvertikal

Stadiatengah

Stadiaatas

Stadiabawah

Jarak Tinggirelatif

               

               

 Atau

TitikNo.

Suduthoris.

Sudutvertikal

StadiaTengah

Stadiaatas

Stadiabawah

Jarak Tinggirelatif

X Y Z

                     

                     

  

Catatan: Kontur Situs

 

Gambar kontur (irisan melintang) perlu pula dibuat agar diperoleh gambaran mengenai tinggi

rendah permukaan (relief) situs yang disurvei. Dalam hal ini gambar tersebut dapat dengan

mudah dibuat berdasarkan hasil pengukuran dengan menggunakan teodolit. Meskipun demikian,

pembuatan gambar kontur suatu situs atau gejala yang kecil dapat pula dilakukan melalui

pengukuran dengan teknik yang sederhana.

 

Langkah-langkah:

�          Sejajar dengan axis (sumbu X) situs, tancapkan dua buah tongkat di kiri kanan, pada

jarak 1 m dari titik-titik terluar situs. Pada kedua tongkat tersebut rentangkan tali

setinggi 1 meter di atas permukaan situs.

�          Buatlah agar posisi tali rata-rata air (level) dengan bantuan waterpass (spirit level).

�          Ukurlah jarak antara tali dengan permukaan situs dengan rol meter; agar posisi rol

meter tegak lurus, dapat digunakan lot (plumb bob). Ulangi pengukuran pada jarak yang

sudah ditentukan, misalnya tiap 20 cm, sepanjang rentangan tali (lihat gambar II.8).

�          Sejajar dengan ordinat (sumbu Y) situs juga dilakukan pengukuran dengan prosedur

yang sama.

�          Catat semua hasil pengukuran. Hasil pengukuran tersebut akan digunakan untuk

membuat gambar kontur situs (lihat gambar II.9)

 

Page 20: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

3.     Penggambaran

 

Gambar merupakan alat penting dalam Arkeologi Lansekap. Informasi yang sudah disampaikan secara

verbal akan lebih mudah dimengerti melalui gambar (lihat Kabaila 1997). Beberapa aspek Arkeologi

Lansekap yang dapat dikomunikasikan melalui gambar antara lain adalah:

 

�          Kondisi objek survei dan konteksnya

�          Hierarki ruang dan hubungannya

�          Hubungan secara keruangan antar artefak yang saling berasosiasi

�          Struktur

 

Gambar dapat dibuat langsung dengan tangan. Pada umumnya gambar yang memadai untuk

ditampilkan dalam laporan tidak dibuat selama survei permukaan berlangsung. Pada saat itu yang

dapat dibuat adalah gambar sket dengan catatan-catatan mengenai ukuran dan  keterangan-

keterangan lain (lihat gambar II.2). Gambar dapat dibuat dengan alat dan teknik yang sederhana

hingga yang canggih, yaitu dengan bantuan komputer. Namun yang penting di sini, gambar perlu

dibuat dengan jelas dan tidak rumit (penuh arsiran), agar memperjelas  penyampaian informasi.

Gambar yang sederhana tetapi jelas dan berskala lebih tepat untuk kepentingan Arkeologi Lansekap.

 

Sebagai komponen penting dalam perekaman situs, gambar yang dibuat untuk melengkapi sebuah

laporan survei situs tipe A dapat berupa gambar denah situs, gambar kontur situs, dan gambar

artefak yang penting, yang ditemukan di situs tersebut. Gambar-gambar tersebut, khususnya gambar

denah situs dan gambar kontur situs dibuat berskala, atas dasar hasil pengukuran melalui suatu

teknik survei (lihat gambar II.9).

 

4.     Pemotretan

 

Foto merupakan alat perekam atau pembantu ingatan mengenai bentuk objek dan situasi di

sekitarnya. Foto sangat membantu dalam proses penggambaran, analisis data dan  interpretasi. Oleh

karena itu, dalam pembuatan foto arkeologis, penempatan skala yang besarnya disesuaikan dengan

besar objek akan membantu membuat perkiraan mengenai ukurannya, terlebih lagi bila ada bagian

yang lupa diukur.

 

Latihan

 

Pilihlah suatu objek di halaman Fakultas Ilmu Budaya UGM dan buat sketnya. Dengan bantuan dua

orang teman, buatlah baseline dari stasiun A ke stasiun B, sebagai titik tolak untuk memetakan objek

tersebut. Sebelumnya, tentukan stasiun A dan B beberapa kali dengan menggunakan beberapa jenis

kompas. Catatlah semua hasil pengukuran di buku catatan lapangan. Posisi stasiun A terhadap B atau

sebaliknya dikatakan akurat bila jumlahnya 180o. Setelah gejala-gejala yang akan dipetakan

ditentukan, ukurlah posisinya terhadap baseline. Dengan menggunakan alat bantu berupa kompas, rol

meter, tali, dan waterpass buatlah dua kontur yang memotong objek; yang satu sejajar axis dan yang

lain sejajar ordinat.

 

Page 21: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

Setelah teknik-teknik perekaman data diketahui, teknik-teknik tersebut perlu dipraktekkan beberapa

kali secara individual, dengan bantuan teman. Dengan penguasaan terhadap teknik dasar tersebut,

mahasiswa akan siap untuk dihadapkan pada tugas yang lebih berat dan mengetahui langkah-langkah

yang harus dilakukan dalam proses perekaman data di lapangan.

 

Rangkuman:

�          Catatan lapangan atau field notes adalah catatan yang dibuat langsung pada buku catatan

ketika peneliti berada di lapangan.

�          Chain survey: teknik survei yang paling sederhana, dengan alat kompas dan rol meter, tetapi

hasilnya dapat dipertanggungjawabkan dan cukup akurat.

�          Theodolite survey: teknik survei dengan menggunakan alat berupa sebuah teodolit, tripod,

levelling stave, buku catatan, pensil, patok berbendera untuk menandai situs. Teknik ini terutama

digunakan untuk memetakan situs yang luas dan reliefnya besar.

�          Semua survei yang dilakukan, baik dengan peralatan canggih maupun sederhana, harus

direncanakan dengan sebaik-baiknya, dicatat dengan hati-hati dan teliti, dan dilengkapi dengan

sket peta (denah situs) yang memadai. Hal ini mengingat semua catatan tersebut akan

digunakan untuk membuat salinan gambar dan untuk interpretasi. Pengecekan catatan selama di

lapangan sangat dianjurkan, sehingga bila perlu dapat dilakukan perubahan.

 

C.     PENUTUP

 

Buatlah gambar denah dan gambar kontur suatu objek di lingkungan UGM dengan menggunakan

teknik perpendicular offset survey.

 

BAB III

PRAKTIKUM II: SIMULASI SURVEI B

 

A.     PENDAHULUAN

 

Dalam bab ini akan dijelaskan teknik-teknik perekaman data berupa bangunan

monumental, yang meliputi teknik pengukuran, penggambaran, dan pemotretan.

Penjelasan yang disertai dengan demonstrasi dan latihan ini merupakan lanjutan dari

Simulasi Survei A, dan menjadi bekal sebelum melakukan praktikum selanjutnya

yang berlangsung pada situs arkeologi, sebagaimana dijelaskan pada Bab VIII dan IX.

 

Tujuan Instruksional Khusus

 

Setelah mengikuti kuliah ini (akhir pertemuan VI) mahasiswa akan dapat melakukan

perekaman data berupa bangunan monumental secara verbal dan visual.

 

Page 22: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

B.     PENYAJIAN

 

1.     Perekaman Data Monumental: Pengukuran

 

Objek praktikum untuk jenis situs B adalah data monumental, yaitu bangunan

bersejarah yang merupakan bangunan tunggal dan masih utuh. Dalam merekam

data semacam ini yang pertama-tama perlu dilakukan adalah mengadakan

observasi menyeluruh terhadap bangunan tersebut, dan mengamati detail-

detailnya, yang meliputi bentuk dan konstruksi bangunan mulai dari lantai hingga

atap, ciri arsitekturalnya, bahan bangunan, tebal dinding, dan indikasi-indikasi

yang menunjukkan perubahan-perubahan yang telah terjadi pada bangunan

tersebut. Dari

hasil observasi tersebut buatlah catatan selengkap-lengkapnya, dan tandai hal-

hal yang perlu dicarikan informasi lebih lanjut, baik melalui narasumber maupun

studi literatur.

 

Langkah selanjutnya adalah membuat sket denah bangunan, dan mengukur

secara horisontal semua bagian dari bangunan tersebut dengan teliti, dengan

menggunakan rol meter. Perhatikan pula letak pintu masuk atau jendela,

sehingga posisikan dengan benar pada gambar denah tersebut.

 

Gambar lain yang perlu dibuat adalah tampak depan bangunan. Pada bagian ini,

selain  pengukuran secara horisontal, pengukuran perlu pula dilakukan secara

vertikal. Namun mengingat tingginya bangunan, pengukuran secara vertikal sulit

untuk dilakukan. Dalam hal ini adanya foto tampak depan bangunan yang

dilengkapi dengan skala sangat membantu untuk membuat gambar tampak

depan tersebut.

 

2.     Penggambaran

 

Sebagaimana telah dikemukakan dalam Bab II, gambar sket yang dibuat secara

teliti dan lengkap dengan catatan-catatan mengenai ukuran dan

keteranganketerangan lain, sangat diperlukan dalam survei arkeologis. Hal ini

mengingat sket yang dibuat secara terinci akan memudahkan proses penyalinan

gambar untuk melengkapi suatu laporan survei.

 

Page 23: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

Gambar yang dibuat untuk merekam hasil survei dapat dikatakan baik dan

informatif jika gambar tersebut mudah dimengerti dan dilengkapi dengan

penjelasan yang memadai. Gambar yang perlu dibuat untuk melengkapi sebuah

laporan survei situs tipe B adalah gambar denah dan gambar tampak depan

bangunan (lihat gambar III.1 dan III.2). Dalam hal ini skala juga sangat diperlukan

dalam menggambar hasil survei tersebut; semakin besar skala yang dipakai,

akan semakin banyak detail yang dapat ditampilkan. Namun, bila gambar yang

dibuat terlalu banyak detail, misalnya seluruh susunan batu batanya juga

ditampilkan, maka gambar denah atau tampak depan yang dihasilkan menjadi

tidak jelas, atau bahkan membingungkan (lihat

Gambar  III.3).

 

Peralatan dasar yang diperlukan untuk menggambar meliputi: pensil, pena, dan

penggaris. Melalui alat-alat yang sederhana itu pun sudah dapat dihasilkan

gambar yang memadai untuk lampiran suatu laporan verbal. Dalam hal ini, kunci

laporan visual arkeologis yang baik terletak pada pemilihan skala, ukuran, dan

detail objek.

 

3. Pemotretan

 

Foto untuk kepentingan perekaman data monumental perlu dibuat dari segala

penjuru bangunan dan dilengkapi dengan skala. Foto, selain dapat digunakan

untuk menginterpretasikan tinggi bangunan, juga dapat membantu ingatan

dalam merekam detail-detail bangunan, seperti bentuk dan letak pintu, jendela,

tiang, bentuk atap, dan hiasan. Selain itu, detail bangunan yang terekam dalam

foto antara lain dapat dipakai untuk menginterpreasikan ciri arsitektural, latar

belakang etnik atau agama pendiri bangunan, dan periode pembangunannya.

 

Bagian-bagian tertentu dari bangunan, yang menunjukkan ciri-ciri khusus perlu

difoto dari jarak dekat (close up). Foto semacam ini juga dapat membantu proses

pendeskripsian bangunan dan interpretasi (lihat foto III.1).

 

Latihan

 

Pilihlah suatu bangunan di lingkukan kampus UGM sebagai objek survei. Lakukan

observasi terhadap bentuk dan konstruksinya, ciri arsitekturalnya, bahan

Page 24: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

bangunan, perubahan-perubahan yang telah terjadi pada bangunan tersebut, dan

interpretasikan pula mengenai kurun waktu pembangunannya.

 

Ciri arsitektural dan pilihan terhadap bahan bangunan seringkali berubah dari

waktu ke waktu, mengikuti trend yang ada. Hal yang demikian memungkinkan

peneliti untuk membuat perkiraan tentang masa pembangunannya, terutama bila

tidak ada sumber tertulis yang dapat memberikan informasi. Oleh karena itu, ciri

arsitektural dan bahan perlu sekali untuk diperhatikan, di samping aspek lainnya.

 

Rangkuman

�         Gambar hasil survei dikatakan baik dan informatif jika mudah dimengerti

dan dilengkapi dengan penjelasan yang memadai.

�         Foto suatu objek yang dilengkapi dengan skala digunakan untuk membantu

ingatan dalam merekam detail-detail objek dan menginterpretasikan ukuran

objek.

 

C.     PENUTUP

 

Lakukan observasi terhadap salah satu bangunan di sekitar tempat tinggal anda.

Buatlah laporan tertulis selengkap-lengkapnya mengenai bangunan tersebut,

dilengkapi gambar denah dan tampak depan bangunan tersebut.

 

BAB IV

PENGUMPULAN INFORMASI UNTUK INTERPRETASI

 

A.     PENDAHULUAN

 

Dalam bab ini akan diberikan penjelasan mengenai penggunaan beberapa jenis

sumber informasi, antara lain dokumen sejarah, gambar dan foto lama, serta

keterangan penduduk sekitar situs. Dengan memahami pentingnya sumber-

sumber informasi yang ada, proses analisis dan interpretasi untuk penyusunan

laporan survei arkeologis, sebagaimana dijelaskan dalam Bab VI, dapat dilakukan

dengan baik.

 

Tujuan Instruksional Khusus

 

Page 25: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

Setelah mengikuti kuliah ini (akhir pertemuan VII) mahasiswa akan dapat

mengumpulkan informasi untuk keperluan analisis dan interpretasi.

 

B.     PENYAJIAN

 

Sumber-sumber informasi, baik berupa dokumen tertulis, laporan penelitian

terdahulu, gambar atau foto lama, maupun keterangan penduduk di sekitar situs,

sangat membantu dalam proses analisis dan interpretasi terhadap objek yang

disurvei. Dengan memanfaatkan sumber-sumber informasi yang ada, laporan

survei yang dibuat tidak hanya berupa laporan yang bersifat deskriptif

berdasarkan kondisi objek yang dapat dilihat pada saat survei berlangsung.

Dalam hal ini, melalui sumbersumber informasi yang ada, berbagai peristiwa atau

perubahan yang berkaitan dengan objek survei akan lebih mudah untuk dirunut

kembali.

 

Sumber-sumber tertulis biasanya juga memuat foto, gambar, atau peta yang

mungkin dapat dimanfaatkan. Sumber-sumber tertulis pada umumnya tersimpan

di perpustakaan-perpustakaan, seperti perpustakaan milik pemerintah (misalnya

Perpustakaan Nasional) milik instansi (misalnya Perpustakaan Museum Sono

Budoyo, Perpustakaan Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala DIY),

perpustakaan pribadi, atau di Pusat Arsip Nasional. Meskipun demikian, foto dan

peta lama ada yang disimpan secara khusus, bukan merupakan bagian dari

dokumen tertulis, atau tidak diterbitkan. Dalam hal ini keberadaan gambar dan

foto lama dapat pula diperoleh di perpustakaan-perpustakaan.

 

Sumber-sumber yang dipergunakan harus tetap diteliti akurasinya, mengingat

beberapa sumber, seperti babat, mungkin tidak langsung memberikan

keterangan mengenai objek yang disurvei, atau hanya memuat informasi terpilih

(lihat McIntosh 1986: 45). Demikian pula halnya dengan informasi yang diperoleh

dari hasil wawancara dengan penduduk (narasumber) di sekitar situs. Informasi

yang diterima pada saat wawancara di lapangan sedang berlangsung perlu

ditanggapi dengan positif. Dalam hal ini si pewawancara perlu menjadi pendengar

yang baik. Bila perlu informasi yang diberikan direkam dengan tape recorder.

Dalam proses analisis informasi tersebut baru disaring dan dicocokkan (cross

checked) dengan informasi dari sumber-sumber lain, misalnya sumber tertulis.

 

Page 26: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

Informasi yang dicari melalui proses membaca biasanya jauh lebih mudah

didapatkan daripada informasi yang harus dikorek dari seorang narasumber. Hal

ini mengingat antara pewawancara dan narasumber mungkin belum pernah

saling mengenal, sehingga kadang-kadang timbul kecurigaan di pihak

narasumber. Oleh karena itu pewawancara perlu mengenal teknik pengumpulan

data melalui wawancara, dan sangat dianjurkan untuk menguasai bahasa

setempat. Berdasarkan berbagai pengalaman, wawancara semacam itu cukup

efektif digunakan untuk melacak keberadaan situs-situs atau tinggalan arkeologis

dan latar belakang sejarahnya. Namun sekali lagi, informasi mengenai latar

belakang sejarah khususnya, perlu diteliti kebenarannya.

 

Latihan

 

Peti kubur batu banyak ditemukan di wilayah Kabupaten Gunung Kidul dan

penelitian terhadap tinggalan tersebut sudah banyak dilakukan. Untuk itu, carilah

referensi-referensi mengenai peti kubur batu di wilayah tersebut, sehingga

deskripsi mengenai jenis tinggalan ini dapat disusun. Usahakan referensi yang

dipakai tidak  hanya yang merupakan koleksi Perpustakaan Jurusan Arkeologi

Fakultas Ilmu Budaya UGM saja, tetapi juga referensi dari perpustakaan lain di

luar Fakultas Ilmu Budaya UGM, seperti perpustakaan Balai Arkeologi Yogyakarta

dan Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Daerah Istimewa

Yogyakarta.

 

Rangkuman

�         Sumber-sumber informasi untuk keperluan analisis dan interpretasi suatu

situs arkeologi dapat berupa dokumen tertulis, laporan penelitian terdahulu,

gambar atau foto lama, dan keterangan penduduk sekitar situs.

�         Sumber-sumber yang dipergunakan untuk keperluan interpretasi harus

diteliti akurasinya, mengingat beberapa sumber tidak langsung memberikan

keterangan mengenai objek yang disurvei, atau hanya memuat informasi

terpilih.

 

C.     PENUTUP

 

�         Tentukan suatu topik yang berkaitan dengan tinggalan-tinggalan

arkeologis di Kotagede.

�         Carilah referensi mengenai topik tersebut dari berbagai perpustakaan.

Page 27: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

�         Buatlah tulisan singkat (250 kata) berdasarkan referensi yang sudah

dikumpulkan.

BAB V

KARTOGRAFI

 

 

A.     PENDAHULUAN

 

Kartografi adalah ilmu dan teknik pembuatan peta (Prihandito, 1989). Dalam

kaitannya dengan survei arkeologi, pembahasan mengenai kartografi pada bab ini

tidak langsung dikaitkan dengan ilmu dan teknik pembuatan peta, tetapi lebih

berkaitan dengan pemanfaatan peta yang sudah dipublikasikan untuk kepentingan

survei. Ulasan tentang teknik pemetaan secara garis besar sudah dibahas dalam Bab

II.

 

Mengingat peta termasuk sebagai perlengkapan utama dalam kegiatan survei

arkeologis, maka bab ini selain membahas pemanfaatan peta untuk survei

arkeologis, juga akan membahas tentang jenis-jenis peta dan teknik pembacaan

peta. Pemanfaatan peta yang dikemukakan dalam bab ini dapat melengkapi

�Pengumpulan Informasi untuk Interpretasi� yang dijelaskan di Bab IV dan survei

situs arkeologis yang dijelaskan di Bab VII, VIII, dan IX.

 

Tujuan Instruksional Khusus

 

Setelah mengikuti kuliah ini (akhir pertemuan VIII) mahasiswa akan dapat

menggunakan peta yang sudah diterbitkan untuk keperluan survei arkeologis.

 

B.     PENYAJIAN

 

1.     Pengenalan Jenis-jenis Peta

 

Peta dapat diklasifikasikan menurut jenis, skala, fungsi, dan macam persoalan

(maksud dan tujuan). Ditinjau dari jenisnya peta dapat dibedakan menjadi dua,

yaitu peta foto dan peta garis. Peta foto adalah �peta yang dihasilkan dari

mosaik foto udara / ortofoto yang dilengkapi garis kontur, nama, dan legenda�

(Prihandito 1989: 3). Peta ini meliputi peta foto yang sudah direktifikasi dan peta

Page 28: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

ortofoto. Adapun peta garis adalah �peta yang menyajikan detil alam dan buatan

manusia dalam bentuk titik, garis, dan luasan� (Prihandito 1989: 3). Peta ini

terdiri atas peta topografi dan peta tematik.

 

Ditinjau dari skalanya, peta dapat dibedakan menjadi peta skala besar (1:50.000

atau lebih kecil, misalnya 1:25.000) dan peta skala kecil (1:500.000 atau lebih

besar). Adapun menurut klasifikasi berdasarkan fungsi, terdapat tiga macam

peta, yaitu:

 

�         Peta umum, yang antara lain memuat jalan, bangunan, batas wilayah,

garis pantai, dan elevasi. Peta umum skala besar dikenal sebagai peta

topografi, sedangkan yang berskala kecil berupa atlas;

�         Peta tematik, yang menunjukkan hubungan ruang dalam bentuk atribut

tunggal atau hubungan atribut; dan

�         Kart, yang didesain untuk keperluan navigasi, nautical dan aeronautical

(Prihandito 1989: 3-4).

 

Adapun peta yang dapat diklasifikasikan menurut macam persoalan (maksud dan

tujuan), antara lain meliputi: peta kadaster, peta geologi, peta tanah, peta

ekonomi, peta kependudukan, peta iklim, dan peta tata guna tanah (Prihandito

1989: 4).

 

Di antara macam-macam peta peta tersebut, yang sering digunakan dalam survei

arkeologi adalah peta topografi. Peta topografi adalah peta yang menampilkan,

semua unsur yang berada di atas permukaan bumi, baik unsur alam maupun

buatan manusia, sehingga disebut juga peta umum. Unsur alam antara lain

meliputi: relief muka bumi, unsur hidrografi (sungai, danau, bentuk garis pantai),

tanaman, permukaan es, salju, dan pasir (Prihandito 1989: 23; Hascaryo dan

Sonjaya 2000: 10).

 

Adapun unsur buatan manusia di antaranya adalah: sarana perhubungan (jalan,

rel kereta api, jembatan, terowongan, kanal), konstruksi (gedung, bendungan,

jalur pipa, jaringan listrik), daerah khusus (daerah yang ditanami tumbuhan,

taman, makam, permukiman, lapangan olah raga), dan batas administratif

(Prihandito 1989: 22; Hascaryo dan Sonjaya 2000: 10). Tinggalan-tinggalan

arkeologis atau bersejarah seperti bangunan megalitik, candi, gereja, dan

reruntuhan bangunan kuna, seringkali juga ditampilkan dalam peta topografi

Page 29: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

(lihat McIntosh, 1986: 44). Selain menyajikan data keruangan, peta topografi juga

memuat data non-keruangan, antara lain grid, graticul (garis lintang dan bujur),

arah utara, skala, dan legenda (keterangan mengenai simbol-simbol yang

digunakan pada peta) (Prihandito 1989: 117-120; Hascaryo dan

Sonjaya 2000: 10; lihat gambar V.1).

 

2.     Pemanfaatan Peta

 

Peta topografi dapat digunakan untuk berbagai macam tujuan, serta dapat

digunakan sebagai peta dasar (base map) dalam pembuatan peta tematik,

seperti peta arkeologi dan peta turis (lihat Prihandito 1989: 17). Dalam survei

arkeologi, peta topografi berguna untuk  memperoleh  gambaran umum tentang

wilayah yang diteliti.  Dalam kondisi tertentu, misalnya medan survei yang terlalu

berat, peta yang sudah ada dapat dipakai untuk memplotkan temuan arkeologis.

Pemetaan tersebut, meskipun hanya bersifat sementara, sangat efektif untuk

menyimpan dan menyelamatkan data arkeologis (Hascaryo dan Sonjaya 2000: 1).

 

 

Page 30: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

Data dari peta topografi yang diambil untuk membuat peta arkeologi hanya satu

atau dua unsur saja, tergantung dari skala dan tujuan pembuatan peta arkeologi

itu. Data tersebut digunakan sebagai latar belakang penempatan dan orientasi

secara geografis. Selain peta topografi, yang dapat digunakan sebagai peta dasar

antara lain adalah foto udara, peta geologi, dan peta administratif (Hascaryo dan

Sonjaya 2000: 10). Besar skala peta dasar yang dibutuhkan untuk membuat peta

arkeologi tergantung pada luas wilayah yang akan dipetakan, yaitu:

 

�         wilayah seluas provinsi memerlukan peta dasar berskala 1:100.000

sampai dengan 1:250.000;

�         wilayah seluas kabupaten memerlukan peta dasar berskala 1:50.000

sampai dengan 1:100.000;

�         wilayah setingkat kecamatan, desa, atau situs memerlukan peta dasar

berskala 1:10.000 sampai dengan 1:25.000 (Wasisto 1998, dikutip dalam

Hascaryo dan Sonjaya 2000: 10).

 

Latihan

 

Berdasarkan peta topografi yang tersedia, berikan penjelasan tentang:

�         nomor grid peta

�         besar skala

�         data arkeologis yang dimuat dalam peta

�         nama tempat (toponim) yang menurut anda berkaitan dengan sejarah,

peristiwa, kegiatan, atau status sosial tertentu.

 

Rangkuman

 

�         Pengertian kartografi secara luas adalah ilmu dan teknik pembuatan peta.

�         Peta topografi adalah peta yang menampilkan semua unsur yang berada di

atas permukaan bumi, baik unsur alam maupun buatan manusia.

�         Peta topografi disebut juga peta umum atau peta dasar, dan dari peta ini

dapat diciptakan peta tematik, seperti peta arkeologi.

 

C.     PENUTUP

 

Page 31: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

�         Berikan penjelasan tentang unsur buatan manusia yang tercantum

dalam peta topografi

�         Tergolong dalam peta apakah peta sebaran situs dan peta situasi situs ?

 

Kunci

 

�         Unsur buatan manusia antara lain meliputi: sarana perhubungan (jalan, rel

kereta api, jembatan, terowongan, kanal), konstruksi (gedung, bendungan,

jalur pipa, jaringan listrik), daerah khusus (daerah yang ditanami tumbuhan,

taman, makam, permukiman, lapangan olah raga), dan batas administratif.

�         Peta tematik, karena menyajikan tema tertentu.

BAB VI

PENYAJIAN DATA 

A.   PENDAHULUAN

 

Suatu catatan hasil survei hanya akan mudah dimengerti dan bermanfaat bagi orang lain

apabila sudah disalin dalam format (laporan) yang baik, atau lebih-lebih bila sudah

diterbitkan. Laporan tersebut berupa laporan verbal yang dilengkapi dengan ilustrasi yang

memadai, baik berupa denah, peta, gambar, maupun foto. Oleh karena itu dalam bab ini

mahasiswa akan dibekali dengan teknik-teknik penyajian data, yang dapat menunjang

pembuatan laporan praktikum di Bab VII, VIII, dan IX.

 

Tujuan Instruksional Khusus

 

Setelah mengikuti kuliah ini (akhir pertemuan IX) mahasiswa akan dapat menyusun

laporan verbal dan visual dengan baik.

 

B.   PENYAJIAN

 

Laporan pada umumnya dibuat sebagai bentuk pertanggungjawaban suatu pekerjaan yang

sudah diselesaikan. Dalam kaitannya dengan survei arkeologi, laporan yang perlu dibuat

tidak hanya berupa laporan verbal, tetapi juga laporan visual. Hal ini mengingat gambar,

foto, atau peta akan menjadi bahan komunikasi yang lebih efektif dan efisien dibandingkan

dengan uraian kalimat.

Page 32: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

 

Sebuah laporan hasil survei, baik yang verbal maupun visual, memuat semua data

arkeologi yang telah dikumpulkan di lapangan. Laporan tersebut menjadi kurang

bermanfaat dan sulit dimengerti pembaca apabila data yang ditampilkan disusun secara

serampangan (tidak sistematis). Oleh karena itu, perlu disusun suatu format standar yang

sifatnya luwes, sehingga laporan penelitian arkeologi menjadi enak dibaca dan tetap

mencerminkan ciri penyusunnya. Contoh yang diberikan berikut ini adalah garis besar isi

sebuah laporan verbal yang sederhana (bandingkan dengan Putranto 2000).

 

�          Penjelasan tentang objek survei (lokasi, status kepemilikan, indikasi sebagai

situs arkeologi, kondisi saat ini)

�          Deskripsi tentang situs dan segala komponennya (ukuran, jenis, bahan, ciri yang

khas

�          Analisis terhadap data atau gejala yang ada

�          Interpretasi atas dasar data yang diperoleh di lapangan dan hasil studi pustaka.

 

Bila keempat unsur tersebut dipenuhi, diharapkan laporan yang dibuat meskipun ringkas

sudah dapat menampilkan semua data hasil penelitian lapangan dan mudah dipahami,

baik oleh kalangan akademisi, pemerintah, maupun khalayak umum.

 

Latihan

 

Pilihlah tiga buah laporan penelitian arkeologi yang tersedia di Perpustakaan Jurusan

Arkeologi, seperti Berita Penelitian Arkeologi (BPA) yang diterbitkan oleh Pusat Arkeologi

dan sejumlah Balai Arkeologi. Lakukan penilaian terhadap laporan-laporan tersebut, yang

meliputi materi (verbal dan visual), formatnya, dan kemudahannya untuk dimengerti.

 

Rangkuman

 

�          Laporan merupakan bentuk pertanggungjawaban suatu pekerjaan yang sudah

diselesaikan.

�          Laporan hasil survei, baik yang verbal maupun visual, memuat semua data arkeologi

yang telah dikumpulkan di lapangan.

�          Laporan menjadi kurang bermanfaat dan sulit dimengerti apabila data ditampilkan

secara serampangan (tidak sistematis).

 

C.   PENUTUP

 

�          Pilihlah dua buah laporan penelitian dan bandingkan sistematika penulisannya

Page 33: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

�          Berikan pula penilaian terhadap data yang ditampilkan dalam laporan tersebut

secara visual; apakah sudah komunikatif ataukah tidak mudah dipahami.

 

 BAB VII

PRAKTIKUM III:

SURVEI SITUS ARKEOLOGI A 

 

A.   PENDAHULUAN

 

Bab ini berisi petunjuk instruksional untuk melakukan survei di situs arkeologi yang tidak

bersifat monumental. Teknik survei untuk objek semacam ini sudah dibahas dalam Bab II,

sehingga ketika dihadapkan pada tinggalan yang sesungguhnya, mahasiswa tidak

kebingungan lagi untuk memilih teknik survei dan langkah-langkah yang perlu dilakukan.

 

Tujuan Instruksional Khusus

 

Setelah mengikuti kuliah ini (akhir pertemuan XI) mahasiswa akan dapat melakukan

identifikasi dan perekaman data arkeologi yang berupa fitur atau reruntuhan,

menginterpretasikan, serta membuat laporannya.

 

B.   PENYAJIAN

 

Situs tipe A yang harus disurvei merupakan situs yang tinggalan arkeologisnya sudah tidak

utuh lagi atau tidak bersifat monumental. Indikasi yang akan diperoleh dapat berupa

himpunan artefak, reruntuhan atau fondasi bangunan, atau fitur-fitur lain bekas aktivitas

manusia. Situs semacam ini banyak dijumpai di wilayah DIY dan Jawa Tengah, tidak hanya

terbatas tinggalan dari masa prasejarah saja, namun juga meliputi tinggalan masa

pengaruh Hindu-Budha, Islam, dan Kolonial. Prosedur perekaman data untuk situs tipe A

dapat dilihat pada Bab II.

 

Latihan

 

1.      Tentukan objek survei yang sesuai

2.      Amatilah sebaran artefak atau reruntuhan.

3.      Tentukan teknik survei yang akan digunakan.

Page 34: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

4.      Berilah tanda pada batas terluar sebaran tersebut dengan menggunakan patok.

5.      Buatlah sket denah objek survei tersebut, dan lakukan pengukuran

6.      Buatlah gambar kontur objek survei tersebut

7.      Buatlah foto objek survei

8.      Plotkan lokasi objek survei pada peta topografi.

9.      Susunlah semua data yang diperoleh dalam bentuk laporan.

 

Perlu diingat bahwa dalam laporan harus dicantumkan hasil interpretasi dan argumen

yang melatar belakanginya.

 

C.   PENUTUP

 

�          Buatlah daftar situs tipe A di wilayah DIY dan Jawa Tengah.

�          Lakukan observasi terhadap salah satu situs dan buatlah denahnya

BAB VIII

PRAKTIKUM IV:

IDENTIFIKASI SITUS ARKEOLOGI B

  

A.   PENDAHULUAN

 

Bab ini berisi petunjuk instruksional untuk melakukan survei di situs arkeologi yang

mempunyai tinggalan bersifat monumental. Teknik survei dan perekaman untuk objek

semacam ini sudah dibahas dalam Bab III, sehingga ketika dihadapkan pada tinggalan

arkeologis yang masih utuh atau sudah direkonstruksi sehingga hampir mendekati utuh,

mahasiswa tidak kebingungan lagi untuk memilih teknik survei dan langkah-langkah yang

perlu dilakukan.

 

Tujuan Instruksional Khusus

 

Setelah mengikuti kuliah ini (akhir pertemuan XIII) mahasiswa akan dapat melakukan

identifikasi dan perekaman data arkeologi yang berupa bangunan monumental tunggal,

interpretasi, serta membuat laporannya.

 

Page 35: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

B.   PENYAJIAN

 

Di wilayah DIY dan Jawa Tengah banyak terdapat tinggalan arkeologis yang bersifat

monumental, yang berasal dari berbagai periode, mulai dari periode Klasik, Islam, sampai

dengan Kolonial. Bangunan monumental dari tiap periode mempunyai ciri arsitektural

tersendiri, sehingga cukup mudah dibedakan. Namun demikian, bangunan-bangunan dari

suatu periode juga mempunyai berbagai macam variasi.

 

Variasi tersebut antara lain dipengaruhi oleh fungsi bangunan (misalnya fasilitas

peribadatan, benteng, atau tempat tinggal), latar belakang keagamaan (misalnya Hindu,

Buddha, Islam, Kristen, Katolik, atau Kong Hu Cu), latar belakang budaya (misalnya India,

Jawa, Cina, Belanda, Inggris, Portugis, atau Jepang), status sosial pemilik (golongan atas,

menengah, atau bawah). Dengan demikian arsitektur suatu bangunan dapat ditinjau

berdasarkan aspek-aspek tersebut di atas. Bangunan yang bahan utamanya batu atau

bata pada umumnya dapat bertahan

dalam kurun waktu lama. Dalam kurun waktu panjang berbagai hal dapat terjadi pada

suatu bangunan, misalnya dipugar, diperluas, atau dialihkan fungsi dan kepemilikannya.

Oleh karena itu, studi kepustakaan sangat perlu dilakukan untuk mengetahui hal-hal yang

telah terjadi dengan bangunan tersebut.

 

Latihan

 

Objek untuk latihan survei kali ini adalah bangunan Masjid Agung Kotagede. Lakukan

evaluasi terhadap ciri arsitekturalnya, bentuk, konstruksi, dan fungsinya. Amati

perubahan-perubahan yang mungkin telah terjadi pada bangunan tersebut, baik

perubahan bentuk, konstruksi, pembagian ruang, maupun fungsinya. Dalam hal ini, studi

literatur sangat membantu untuk mendapatkan informasi mengenai �evolusi� yang telah

terjadi pada bangunan tersebut (lihat gambar III.1 dan VIII.1). Berdasarkan hasil

pengamatan dan studi literatur, buatlah laporan tertulis selengkap-lengkapnya mengenai

bangunan tersebut, dilengkapi gambar denah dan tampak depan bangunan tersebut.

Sertakan pula peta yang menunjukkan lokasi tinggalan tersebut.

 

C.   PENUTUP

 

�          Pilihlah suatu bangunan tunggal yang masih utuh sebagai objek survei.

�          Buatlah gambar denah dan tampak depan bangunan tersebut

BAB IX

Page 36: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

PRAKTIKUM V:

IDENTIFIKASI SITUS ARKEOLOGI C 

 

A.   PENDAHULUAN

 

Bab ini berisi petunjuk instruksional untuk melakukan survei di kompleks situs

arkeologi. Pada kompleks situs semacam ini akan didapatkan berbagai macam

komponen, antara lain berupa bangunan, jalan, gapura, atau pintu gerbang.

Secara umum, teknik survei dan perekaman data untuk objek semacam ini sudah

tercakup dalam pembahasan teknik survei terhadap objek yang lebih sederhana,

yaitu dalam Bab II dan III.

 

Tujuan Instruksional Khusus

 

Setelah mengikuti kuliah ini (akhir pertemuan XV) mahasiswa akan dapat

melakukan identifikasi dan perekaman data arkeologi yang berupa kompleks

situs, serta membuat laporannya.

 

B.   PENYAJIAN

 

Kompleks situs, sebagaimana bangunan tunggal, juga banyak dijumpai di wilayah

DIY dan Jawa Tengah. Kompleks situs tersebut antara lain kompleks situs Candi

Prambanan, Ratu Boko, Benteng Vrederburg, Masjid Agung Yogyakarta, dan

Kraton Kasultanan Yogyakarta.

 

Sebelum melakukan pencatatan daan pengukuran, berjalanlah di sekitar situs

dan lakukan observasi secara menyeluruh. Observasi ini penting untuk

mengetahui luas kompleks situs dan gejala-gejala yang perlu dicatat secara

terinci. Namun mengingat suatu kompleks situs biasanya mencakup suatu

wilayah yang luas, maka pengukuran untuk pembuatan peta situs dapat

dilakukan tanpa menggunakan rol meter, tetapi menggunakan langkah kaki.

Melalui pengukuran secara kasar tadi dapat pula dihasilkan sket kompleks situs

yang cukup memadai. Detail tiap-tiap gejala atau komponen dalam kompleks

situs dapat direkam melalui foto, sehingga pendeskripsian data yang kurang

Page 37: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

lengkap dan interpretasi dapat dilakukan setelah pulang dari lapangan. Sama

halnya dengan survei situs tipe A dan B, peralatan minimal untuk pemetaan dan

penggambaran adalah field note, pensil, penggaris, penghapus, dan rol meter.

Kamera dan skala juga merupakan alat yang penting untuk dibawa.

 

Latihan

 

Contoh objek praktikum untuk jenis situs C adalah kompleks situs Benteng

Vrederburg. Lakukan evaluasi mengenai komponen-komponen yang ada, bentuk

dan konstruksi masing-masing komponen, tata ruang, perubahan-perubahan

yang tata ruang yang mungkin terjadi, dan interpretasikan pula fungsi masing-

masing komponen atau perubahan fungsinya. Buatlah laporan tertulis selengkap-

lengkapnya mengenai kompleks situs tersebut, dilengkapi dengan peta situs

(lihat gambar IX.1)

 

Dalam proses pembuatan laporan yang lengkap, terutama pada tahap

interpretasi, diperlukan pula studi terhadap literatur-literatur tentang situs

tersebut. Di samping itu, wawancara dengan narasumber mungkin juga perlu

dilakukan. Siapkan pula peta topografi agar situs yang disurvei dapat diplotkan

dalam peta tersebut.

 

C.   PENUTUP 

�         Sebutkan grid reference peta yang memuat situs Benteng Vrederburg.

�         Berikan penjelasan tentang fungsi Benteng Vrederburg sejak didirikan

hingga sekarang.

Page 38: Survey (Ilmu Ukur Tanah)
Page 39: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

Gambar IX.1. Contoh denah situs

(Sumber: Kaabaila, 1997)

BAB 10. Arkeologi Bentanglahan 

ARKEOLOGI BENTANGLAHAN(LANDSCAPE ARCHAEOLOGY)

 

(Oleh: Drs. J. Susetyo Edy Yuwono)

 

 

A.    Pengertian Umum Bentanglahan:

(Istilah bentanglahan, alam, dan lingkungan, secara umum memiliki makna yang

sama. Perbedaannya terletak pada aspek interpretasinya. Bentanglahan

merupakan landasan dasar lingkungan manusia)

 

Arti Luas:

Permukaan bumi dengan segaja gejalanya, mencakup bentuk-bentuk lahan,

vegetasi, dan atribut (sifat) pengaruh manusia, yang secara kolektif ditunjukkan

melalui fisiografi.

 

Arti Sempit:

Wilayah, atau suatu luasan di permukaan bumi dengan delineasi (batas-batas)

tertentu, yang ditunjukkan melalui suatu geotop atau kelompok geotop. (Geotop:

bagian geosfera yang relatif homogen dari segi bentuk dan prosesnya). Delineasi

bentanglahan merupakan tahapan paling dasar dalam visualisasi suatu

bentanglahan sebagai satuan (unit) wilayah.

 

B.    Visualisasi Bentanglahan:

 

�         Karakteristik alami dan non-alami dari ruang di permukaan maupun dekat

permukaan bumi, yang bersifat dinamis.

�         Hasil suatu perubahan berkesinambungan dari interaksi dinamis antar sfera

(Bentanglahan merupakan ekspresi hubungan erat antar sfera).

 

C.    Unit Bentanglahan:

f (L, T, V, M)

(Landform, Tanah, Vegetasi, Manusia)

Page 40: Survey (Ilmu Ukur Tanah)

 

D.    Unit Bentuk Lahan (Landform):

f (R, P, S, B, W)

(Relief/topografi, Proses, Struktur, Batuan, Waktu)

 

E.     Penekanan Analisis Bentanglahan:

-    Bentanglahan untuk manusia

-    Pengaruh negatif dan positif manusia terhadap bentanglahan

 

F.     Jenis-Jenis Landscape (H.R. Bintarto):

 

Natural Landscape (NL)

Bentangalam alami, merupakan fenomena/perwujudan di muka bumi. Misal:

gunung, laut.

 

Physical Landscape (PL)

Bentangalam alami yang masih didominasi unsur-unsur alam, yang

diselangseling dengan  kenampakan budaya. Misal: jembatan, jalan.

 

Sosial Landscape (SL)

Bentangalam dengan kenampakan fisik dan sosial yang bervariasi karena

adanya  heterogenitas adaptasi dan persebaran penduduk terhadap

lingkungannya. Misal: kota dan desa dengan berbagai fasilitas individual

maupun publiknya.

 

Economical Landscape (EL)

Bentangalam yang didominasi oleh bangunan beragam yang berorientasi

ekonomis. Misal: daerah industri, daerah perdagangan, daerah perkotaan,

daerah perkebunan, dll.

 

Cultural Landscape (CL)

Bangunan/unsur budaya dengan natural feature sebagai latar belakangnya.

Misal: daerah pemukiman dengan kelengkapan sawah, kebun, pekarangan.