SURAT PERINTAH KERJA : DPRD KLUNGKUNG : … · D. TUJUAN DAN KEGUNAAN NASKAH AKADEMIK 54 E. METODE...
Transcript of SURAT PERINTAH KERJA : DPRD KLUNGKUNG : … · D. TUJUAN DAN KEGUNAAN NASKAH AKADEMIK 54 E. METODE...
SURAT PERINTAH KERJA :
DPRD KLUNGKUNG : SEKWAN:027/V/BAG.HUKUM/KPA/SETWAN/2015
FH UNUD : 1752A/UN.14.1.11/KS.00.00/2015
TIM PENYUSUN:
1. Prof. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, SH, M.Hum
2. Dr. I Nyoman Suyatna, SH,MH
3. Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH,MH
4. Cok Istri Diah Widyantari Pradnya Dewi, SH,MH
DAFTAR ISI
TIM PENYUSUN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
A. URGENSI NASKAH AKADEMIK DALAM PERANCANGAN PRODUK HUKUM
DAERAH
1
B. LATAR BELAKANG MASALAH 11
C. IDENTIFIKASI MASALAH 53
D. TUJUAN DAN KEGUNAAN NASKAH AKADEMIK 54
E. METODE 55
1. Tipe Penelitian 55
2. Pendekatan Masalah 59
3. Bahan Penelitian 60
4. Langkah Penelitian 61
5. Analisis Hasil Penelitian 66
6. Desain Penelitian
BAB II. KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS 67
A. KERANGKA TEORITIK PERUBAHAN PERDA PENDIRIAN PDAM
1. Teori Validitas Norma
2. Teori Badan Hukum
3. Teori Legislasi, Fungsi, dan Tujuan Hukum
4. Teori Koherensi dan Norma Sebagai Suatu Sistem
5. Teori Perancangan Norma Produk Legislasi
B. KARAKTERISTIK PDAM KLUNGKUNG
1. Karaktersitik Pasar PDAM
2. Karakteristik Sumberdaya PDAM
3. Karakteristik Kelembagaan PDAM
4. Karakteristik Produk PDAM
5. Karakteristik Pengelolaan PDAM
C. KARAKTERISTIK MASALAH PDAM
1. Masalah Kebutuhan dan Daya Beli Pasar PDAM
2. Masalah Sumber Daya PDAM
3. Masalah Kelembagaan PDAM
4. Karakteristik Masalah Produk PDAM
5. Karakteristik Masalah Pengelolaan PDAM
6. Karakteristik Masalah Konstruksi Norma Pengaturan PDAM
D. KARAKTERISTIK KEBUTUHAN PEMECAHAN MASALAH PDAM
E. KARAKTERISTIK KONSEP PENGATURAN PDAM
F. KARAKTERISTIK KONSTRUKSI NORMA YANG DIBUTUHKAN UNTUK
MEMECAHKAN MASALAH PDAM
BAB III. DASAR, RUANG LINGKUP, DAN MATERI KEWENANGAN PEMERINTAH
KABUPATEN KLUNGKUNG DALAM PENGATURAN PDAM
75
A. KARAKTERISTIK PENGATURAN PDAM
1. Landasan Konstitusional
2. Pengaturan oleh Pemerintah
3. Pengaturan oleh Pemerintah Daerah
4. Pelingkupan Materi Pengaturan
B. KARAKTERISTIK DASAR, RUANG LINGKUP, DAN MATERI KEWENANGAN
PEMERINTAH KABUPATEN KLUNGKUNG DALAM MENGATUR PDAM
1. Undang-Undang Nomor [ ] Tentang Pemerintahan Daerah
2. Undang-Undang BUMD
BAB IV. LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS 86
A. LANDASAN FILOSOFIS
1. Landasan Filosofis Hukum
2. Landasan Filosofis Keilmuan Ilmu Hukum
B. LANDASAN SOSIOLOGIS
C. LANDASAN YURIDIS
D. KONSTRUKSI JUDUL
E. KONSTRUKSI KONSIDERANS MENIMBANG
F. KONSTRUKSI KONSIDERANS MENGINGAT
G. KONSTRUKSI MATERI DAN NORMA PENGATURAN PDAM
1. Konstruksi Azas Pengaturan
2. Konstruksi Materi Pengaturan
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 86
A. SIMPULAN
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1: RANPERDA PDAM
LAMPIRAN 2: SPK
LAMPIRAN 3: SURAT TUGAS DEKAN FH UNUD
BAB I
PENDAHULUAN
F. URGENSI NASKAH AKADEMIK DALAM PERANCANGAN PRODUK HUKUM
DAERAH
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan mendefinisikan Naskah Akademik (NA) sebagai naskah hasil
penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu
masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai
pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi, Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, sebagai
solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.
Naskah Akademik dalam perancangan produk legislasi diperlukan untuk
dua alasan: pertama, untuk memenuhi persyaratan epistemelogi dalam perancangan
norma; dan kedua, untuk mencegah berbagai masalah fungsi dan pewujudan tujuan
norma yang timbul akibat kekosongan landasan tersebut.
Syarat epistemelogi perancangan norma mencakup: (a) syarat obyektivitas;
(b) syarat rasionalitas; dan (c) syarat kontekstual. Pemenuhan ketiga syarat ini
bertujuan untuk mencegah problem obyektivitas norma, problem rasionalitas
norma, dan problem kontekstual norma. Problem obyektivitas norma adalah
problem obyektif-tidaknya atau sesuai/tidak konstruksi (struktur dan rumusan)
norma dengan karakter obyek pengaturan yang diatur dalam norma. Problem
obyektivitas norma muncul dari akibat kelemahan kapasitas epistemelogis
perancang produk legislasi dan intervensi kepentingan legislator atau pihak lainnya
terhadap produk legislasi yang dirancang.
Problem rasionalitas norma adalah problem valid-tidaknya norma
berdasarkan uji keberdasaran, uji kebersumberan, dan uji konsistensi antara norma
produk legilasi dengan norma peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
yang menjadi dasar atau sumber dari norma produk yang dibentuk. Problem
rasionalitas norma juga menyangkut wajar/tidaknya dan adil/tidaknya norma
suatu produk legislasi diukur dari persyaratan moral, nilai sosial budaya,
kemanusiaan, dan nilai-nilai historis politik, sosial, dan ekonomi yang dianut
Negara (ideologi) dan masyarakat. Problem kontekstual norma adalah problem
sesuai/tidaknya norma dengan ekspektasi masyarakat, yaitu harapan masyarakat
yang merupakan hasil dari proses atau interaksi komunitas. Landasan teoritik
mencakup konstruksi teori, konsep, dan persyaratan landasan lainnya yang
dipersyaratkan sebagai landasan dalam perancangan struktur dan rumusan norma.
Hakekat naskah akademik dalam perancangan produk legislasi adalah landasan
teoritik perancangan produk tersebut.
Dalam perancangan produk legislasi daerah, landasan demikian itu
dipersyaratkan dalam bentuk persyaratan pengadaan naskah akademik, yaitu suatu
naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum yang diselenggarakan dalam rangka
perancangan suatu produk legislasi. Lampiran I angka 1 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menentukan
bahwa naskah akademik adalah hasil penelitian atau pengkajian hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, terhadap suatu masalah tertentu dalam
rangka pengaturan masalah tersebut melalui Undang-Undang atau Peraturan
Daerah sebagai solusi terhadap masalah tersebut dan bentuk upaya untuk
memenuhi kebutuhan hukum masyarakat. Pengertian ini melahirkan konsep,
bahwa naskah akademik merupakan:
a. naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum;
b. penelitian terhadap masalah tertentu dan solusinya;
c. hasil penelitian dan pengkonstruksian masalah dan pemecahannya merupakan
bahan untuk mengkonstruksikan norma hukum untuk mengatur masalah dan
pemecahan masalah tersebut; dan
d. dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Definisi tersebut mengandung konsep bahwa suatu penelitian hukum dalam
penyusunan naskah akademik merupakan penelitian yang diselenggarakan karena
ada suatu masalah yang memerlukan pemecahan dan pemecahan masalah itu hanya
dapat dilakukan melalui pengaturan (hukum). Karena itu, suatu penelitian hukum
yang diselenggarakan dalam rangka penyusunan naskah akademik haruslah
dimulai dengan eksplorasi dan pendeskripsian masalah yang sedang dihadapi
masyarakat, untuk kemudian diidentifikasi dan didefinisikan, selanjutnya dicarikan
konstruksi teoritik pemecahannya. Hasil pemecahan masalah ini digunakan sebagai
bahan dan dasar pengkonstruksian norma untuk mengendalikan potensi dan
mengatur penyelenggaraan pemecahan masalah tersebut.
Berdasarkan ketentuan dan konsep tersebut, materi penelitian ini disusun
berdasarkan model konstruksi penelitian untuk pemecahan masalah (problem solving
based) sesuai dengan epistemelogi perancangan produk legislasi yang berkembang
sangat pesat belakangan ini. Penelitian hukum dalam penyusunan naskah ini
difokuskan pada obyek-obyek berikut:
a. Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung No. 11 Tahun 1990 Pendirian
PDAM dengan peraturan perundang-undangan yang baru.
b. Dampak penyelenggaraan tugas dan wewenang PDAM apabila Peraturan
Daerah Kabupaten Klungkung No. 11 Tahun 1990 Pendirian PDAM tidak
direvisi.
Konstruksi korelasi obyek penelitian dengan hasil dan kegunaan hasil
penelitian dalam penyusunan naskah akademik ini dapat digambarkan sebagai
berikut:
KONSTRUKSI KORELASI OBYEK PENELITIAN DENGAN HASIL DAN KEGUNAAN HASIL PENELITIAN
NO
OBYEK PENELITIAN
HASIL YANG
DIHARAPKAN
KEGUNAAN HASIL
PENELITIAN
1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG TENTANG PENDIRIAN PDAM
Deskripsi tentang urgensi perubahan PDAM
Memberikan penjelasan perlunya perubahan Peraturan Daerah
2 DAMPAK PENYELENGGARAAN TUGAS DAN WEWENANG PDAM APABILA PERATURAN DAERAH NO. 11 TAHUN 1990 TIDAK DIREVISI.
Deskripsi tentang dampak negatif pelayanan PDAM dengan tidak dirubahnya Peraturan Daerah No. 11 Tahun 1990.
Dasar Argumentasi masalah-masalah dalam penyelenggaraan pelayanan PDAM yang belum optimal di Kab. Klungkung.
Untuk keperluan pertanggungjawaban ilmiah, penelitian hukum dalam
rangka penyusunan naskah ini menggunakan pendekatan hukum normatif
(structural normative approach),1 hukum fungsional (functional approach)2 dan
pendekatan hukum dengan orientasi kebijakan (policy-oriented
approach).3Penggunaan pendekatan ini mencakup penggunaan teori, konsep, metode
penelitian, dan model analisis yang dibangun berdasarkan pendekatan tersebut.
Lampiran I angka 2.1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menentukan
bahwa bagian Pendahuluan suatu naskah akademik memuat latar belakang, sasaran
yang akan diwujudkan, identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan, serta metode
penelitian. Berdasarkan ketentuan tersebut, bagian Pendahuluan dari Naskah
Akademik ini secara berturut-turut menyajikan:
a. latar belakang masalah dan sasaran yang akan diwujudkan;
b. identifikasi masalah;
c. tujuan dan kegunaan penyusunan landasan teoritik; serta
d. metode penelitian.
Lampiran I angka 2.1.A. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menentukan
bahwa latar belakang memuat pemikiran dan alasan-alasan perlunya penyusunan
naskah akademik sebagai acuan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah
tertentu. Latar belakang menjelaskan mengapa pembentukan Peraturan Daerah
memerlukan suatu kajian yang mendalam dan komprehensif mengenai teori atau
pemikiran ilmiah yang berkaitan dengan materi muatan Rancangan Peraturan
1 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Transaction Publishers, New Brunswick, 2006,
h. 29. 2George Whitecross Paton, A Text-Book of Jurisprudence, Clarendon Press, Oxford, 1951, h. 20. 3 Lihat: lung-chu Chen, An Introduction to Contemporary International Law: A Policy Oriented
Perspective, Yale University Press, New York, 1989, h. ix. Lihat Juga: Myres S. McDougal and W. Michael Reisman, International Law in Policy-Oriented Perspective, dalam R. St. Johnston and J. Macdonald Douglas, The Structure and Process of International Law: Essays in Legal Philosophy, Doctrine and Theory, Martinus Nijhoff Publishers, The Hague, 1983, h. 103.
Daerah yang akan dibentuk. Pemikiran ilmiah tersebut mengarah kepada
penyusunan argumentasi filosofis, sosiologis serta yuridis guna mendukung perlu
atau tidak perlunya penyusunan Rancangan Peraturan Daerah.
Lampiran I angka 1.B. menentukan bahwa identifikasi masalah memuat
rumusan mengenai masalah apa yang akan ditemukan dan diuraikan dalam naskah
akademik. Pada dasarnya identifikasi masalah dalam suatu naskah akademik
mencakup 4 (empat) elemen pokok masalah, yaitu:
a. Permasalahan apa yang dihadapi dalam pelaksanaantugas dan kewenangan dari
PDAM selama ini.
b. Mengapa perlu Rancangan Peraturan Daerah Perubahan Atas Pendirian PDAM
sebagai dasar pemecahan masalah tersebut.
c. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis
pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah,
dalam hal ini Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung tentang
Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian
Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung.
d. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan
arah pengaturan dari pengaturanRancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Klungkung tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990
tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II
Klungkung.
Lampiran I angka 1.C. menentukan bahwa tujuan dan kegunaan penyusunan
naskah akademik sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang
dirumuskan sebagai berikut:
a. Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas dan fungsi
PDAM Kabupaten Klungkung selama ini.
b. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan pembentukan
Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar
hukum penyelesaian atau solusi permasalahan dalam kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat, dalam hal ini permasalahan hukum yang
dihadapi sebagai alasan pembentuk Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Klungkung tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990
tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II
Klungkung.
c. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis
pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah,
dalam hal ini Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung tentang
Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian
Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung.
d. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Undang-Undang atau
Rancangan Peraturan Daerah, dalam hal ini sasaran yang akan diwujudkan,
ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung tentang Perubahan Atas Peraturan
Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum
Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung.
Kegunaan penyusunan naskah akademik adalah sebagai acuan atau referensi
penyusunan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah, dalam hal ini
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung tentang Perubahan Atas
Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air
Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung.
Lampiran I angka 1.D. menentukan bahwa penyusunan naskah akademik
pada dasarnya merupakan kegiatan penelitian yang harus diselenggarakan
berdasarkan metode penyusunan naskah akademik yang berbasis pada metode
penelitian hukum.Penelitian hukum dapat dilakukan dengan menggunakan metode
yuridis normatif dan metode yuridis empiris.Metode yuridis empiris dikenal juga
dengan penelitian sosiolegal. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi
pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder berupa Peraturan Perundang-
undangan, putusan pengadilan, perjanjian, kontrak, atau dokumen hukum lainnya,
serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan referensi lainnya. Metode yuridis
normatif dapat dilengkapi dengan wawancara, diskusi (focus group discussion, FGD),
dan rapat dengar pendapat. Metode yuridis empiris atau sosiolegal adalah
penelitian yang diawali dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap
Peraturan Perundang-undangan (normatif) yang dilanjutkan dengan observasi yang
mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data faktor non
hukum yang terkait dan yang berpengaruh terhadap Peraturan Perundang-
undangan yang diteliti. Berdasarkan dua model metode itu, metode penelitian yang
digunakan di dalam penyusunan buku ini adalah penelitian hukum normatif
dengan menggunakan pendekatan hukum normatif struktural, pendekatan hukum
normatif fungsional, dan pendekatan hukum dengan orientasi kebijakan.
Berdasarkan standar normatif itu, bagian Pendahuluan dari Naskah
Akademik ini menyajikan:
a. latar belakang masalah;
b. identifikasi masalah;
c. tujuan dan kegunaan penyusunan landasan teoritik; dan
d. metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan landasan teoritik.
G. LATAR BELAKANG MASALAH
Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Klungkung adalah perusahaan
daerah milik Pemerintah Daerah Kabupaten Klungkung yang didirikan berdasarkan
Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian
Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung
(selanjutnya: Perda PDAM 1990). Perusahaan daerah ini menyelenggarakan
pelayanan air bersih di Kabupaten Klungkung dengan menggunakan sumber daya
air yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Klungkung. Total pelanggan yang
dilayani Perusahaan Daerah Air Minum Klungkung (selanjutnya: PDAM), data
pelanggan per 2013, adalah 23.176 pelanggan, tersebar di empat kecamatan.
Produksi air bersih per tahun 2013 adalah 9.567.350 m3 dengan jumlah tersalur ke
masing-masing kecamatan antara lain, kecamatan Nusa Penida 410.419 m3,
kecamatan Banjarangkan 782.316 m3, kecamatan Klungkung 3.056.026 m3 dan
kecamatan Dawan 671.841 m3.4
Perda PDAM 1990 mengatur tentang: pendirian, tempat kedudukan, organ
perusahaan, tugas dan wewenang organ perusahaan, pengangkatan dan
pemberhentian, dan kepegawaian [Pasal 2, Pasal 4, Pasal 9, Pasal 16, Pasal 25 dari
Peraturan Daerah No. 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air
Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung). Perda ini telah berlaku selama 25
(dua puluh lima) tahun, sementara itu kehidupan sosial masyarakat telah berubah,
demikian juga berbagai aspek dari kehidupan itu, sehingga keberadaan Perda ini
perlu disesuaikan dengan perubahan itu. Alasan perubahan ini juga berasal dari
kehadiran berbagai produk peraturan perundang-undangan yang baru, seperti:
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1998 tentang banetuk Hukum
Badan Usaha Milik Daerah, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air yang bahkan telah dibatalkan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor
85/PUU-XI/2013,5 Peraturan Menteri BUMN Nomor: Per-01/MBU/2011 tentang
Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) Pada
Badan Usaha Milik Negara, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun
2007 tentang Organ dan Kepegawaian PDAM, yang mengakibat Perda PDAM 1990
memerlukan penyesuaian terutama karena: (a) alasan validitas Perda, yang lebih
jauh berpengaruh terhadap validitas tindakan perusahaan; dan (b) kinerja
4Ibid 5 Pembatalan ini memberlakukan kembali Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang
Sumber Daya Air. Lihat Amar Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013, 17 September 2015 angka 5.
perusahaan dalam mwujudkan tujuan-tujuan pengelolaan air minum berdasarkan
berbagai regulasi yang baru.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 tahun 2007 tentang Organ dan
Kepegawaian PDAM mengatur berbagai ketentuan baru tentang organ perusahaan
dan kepegawaian, seperti: komponen organ perusahaan; dasar penentuan jumlah
Direksi dan Dewan Pengawas, yang sekaligus mengubah nomenklatur Badan
Pengawas menjadi Dewan Pengawas; persyaratan, pengangkatan, masa jabatan, dan
pemberhentian Direksi dan Dewan Pengawas; tugas wewenang Direksi dan Dewan
Pengawas; kepegawaian; persyaratan, mengangkatan, dan pensiun pegawai;
penghasilan dan tunjangan Direksi, Dewan Pengawas, dan Pegawai; dan materi
lainnya yang jauh berbeda dengan komponen, tugas, dan kewenangan organ
perusahaan sebagaimana diatur di dalam Perda PDAM 1990.
Untuk alasan demikian itu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Klungkung
memandang perlu melakukan perubahan terhadap Perda PDAM 1990, mencakup 5
(lima) alasan: pertama, pelayanan pengadaan air minum merupakan salah satu
upaya pemenuhan kebutuhan dasar rakyat yang perlu diselenggarakan dengan baik
agar kebutuhan rakyat demikian itu dapat terpenuhi dengan baik; kedua,
pemenuhan kebutuhan rakyat terhadap air minum dan pelayanan pengadaan air
minum merupakan bagian dari kewajiban konstitusional Pemerintah Daerah dalam
menyelenggarakan pelayanan public dalam pemenuhan hak-hak konstitusional
rakyat atas pemenuhan kebutuhan dasar; ketiga, Perda PDAM 1990 ditetapkan pada
tahun 1990 dan telah berlaku selama 25 (dua puluh lima) tahun sehingga tidak
mampu lagi memenuhi berbagai kebutuhan yang timbul dari akibat perubahan
sosial dan perubahan kebutuhan masyarakat yang berkembang sangat pesat dan
bersifat multidimensional; keempat, selama dua puluh lima tahun itu telah terbit
berbagai produk regulasi yang berpengaruh terhadap validitas Perda PDAM 1990,
yang lebih jauh berpengaruh terhadap validitas tindakan PDAM sebagai perusahaan
daerah, yang potensial menimbulkan berbagai masalah hukum yang dapat
mempenagruhi kinerja dan akuntabilitas perusahaan; kelima, PDAM sebagai satu-
satunya perusahaan daerah yang bergerak dalam bidang pelayanan pengadaan air
bersih harus mampu menyelenggarakan pelayanan publik dalam bidang pengadaan
air bersih sesuai dengan harapan masyarakat berdasarkan kinerja yang memenuhi
syarat tata kelola perusahaan yang baik (good coprporate governance), sehingga
pelayanan pengadaan air minum dapat menyeimbangkan kepentingan antara
perlindungan dan ketersediaan sumber daya air dalam rangka penyelenggaraan
pelayanan yang berkelanjutan dengan kebutuhan air minum masyarakat pada sisi
lainnya. Lima alasan itu merupakan alasan mendasar yang mendorong Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Klungkung mengusulkan perubahan Perda
PDAM 1990.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan menentukan berbagai persyaratan dalam pembentukan dan
perubahan peraturan perundang-undangan, antara lain:
(a) syarat kajian teoritik dan praktik empiris;
(b) syarat analisis peraturan perundang-undangan;
(c) syarat landasan filosofis, sosilogis, dan yuridis;
(d) syarat jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan undang-
undang, peraturan daerah provinsi, atau peraturan daerah.
Pemenuhan syarat-syarat itu bertujuan untuk:
(a) pencegahan problem epistemelogis perancangan produk hukum daerah;
(b) mencagah masalah validitas, kekosongan dan tumpang tindih kewenangan;
(c) mencegah masalah legitimasi dan validitas produk hukum daerah; dan
(d) mencegah problem fungsi dan pewujudan tujuan produk hukum daerah yang
dibentuk.
Berdasarkan persyaratan dan tujuan pemenuhan persyaratan itu, maka
penelitian dalam penyusunan naskah kademik ini diarahkan pada penelitian
terhadap empat masalah, yaitu:
(a) landasan teoritik dan praktik empiris sebagai landasan perubahan Perda PDAM
1990;
(b) dasar kewenangan, lingkup materi kewenangan, dan materi kewenangan
Pemerintah Kabupaten Klungkung dalam melakukan perubahan terhadap Perda
PDAM 1990 berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(c) landasan filosofis, sosilogis, dan yuridis perubahan Perda PDAM 1990; dan
(d) jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan Perda PDAM
yang akan dibentuk.
H. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan latar belakang demikian itu, maka penelitian hukum dalam rangka
penyusunan naskah akademik ini akan difokuskan empat rumusan masalah, yaitu:
a. Bagaimanakah landasan teoritik dan praktik empiris sebagai landasan
perubahan Perda PDAM 1990?
b. Bagaimanakah dasar kewenangan, lingkup materi kewenangan, dan materi
kewenangan Pemerintah Kabupaten Klungkung dalam melakukan perubahan
terhadap Perda PDAM 1990 berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku?
c. Bagaimanakah landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis perubahan Perda
PDAM 1990?
d. Bagaimanakah jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan
Perda PDAM yang akan dibentuk?
I. TUJUAN DAN KEGUNAAN NASKAH AKADEMIK
Penyusunan naskah akademik ini bertujuan untuk memberikan landasan ontologis,
epistemelogis dan aksiologis terhadap Perda yang akan dirancang. Karena itu,
tujuan penelitian dalam penyusunan naskah akademik ini mencakup:
(1) Merumuskan landasan teoritik dan praktik empiris sebagai landasan perubahan
Perda PDAM 1990.
(2) Merumuskan dasar kewenangan, lingkup materi kewenangan, dan materi
kewenangan Pemerintah Kabupaten Klungkung dalam melakukan perubahan
terhadap Perda PDAM 1990 berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Merumuskan landasan filosofis, sosilogis, dan yuridis perubahan Perda PDAM
1990.
(4) Merumuskan jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan
Perda PDAM yang akan dibentuk.
Kegunaan hasil penelitian ini adalah ketersediaan informasi dan bahan-bahan
penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung tentang
Perusahaan Daerah Air Minum.
J. METODE
1. Tipe Penelitian
Penelitian ini merupakan tipe penelitian hukum normatif, yaitu suatu
penelitian yang memfokuskan penelitian terhadap masalah hukum dalam sifat
tektualnya. Penelitian ini mencakup penelitian terhadap masalah norma hukum,
baik asal-usul, konstruksi normanya, validitas, keberadaannya dalam korelasi
dengan norma lainnya, maupun penerapan dan penegakannya. Penelitian ini
memfokuskan penelusuran terhadap beberapa aspek norma, yaitu:
a. dasar pengkonstruksian norma, konsep pengkonstruksian norma;
b. aspek dasar kewenangan; dan
c. aspek pengkonstruksian norma.
Aspek yang pertama mencakup: penelitian terhadap urgensi perubahan
Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah
Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung serta pengkajian tentang
masalah dampak tidak dirubahnya Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990
tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II
Klungkung.
Penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum normatif dalam cakupan
meliputi ketiga variannya, yaitu: penelitian hukum normatif struktural,
penelitian hukum normatif fungsional, dan penelitian hukum normatif
kontekstual. Obyek penelitian ini adalah karakteristik obyek pengaturan dan
masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan narkoba sebagai dasar
pengkonstruksian konsep pengaturan dan pengkonstruksian norma pengaturan
yang diasumsikan sebagai faktor penentu fungsi dan keberhasilan fungsi dalam
mewujudkan tujuan hukum. Dengan demikian, kendatipun memusatkan
penelitian dan pembahasan pada norma, penelitian ini bukanlah penelitian
hukum normatif sebagaimana diperkenalkan oleh Kelsen (normative structural),
melainkan kombinasi antara penelitian hukum normatif dalam pengertian
hukum normatif struktural, hukum normatif fungsional sebagaimana
diperkenalkan oleh Pound (normative functional), dan hukum normatif
kontekstual sebagaimana diperkenalkan oleh McDougal. Model penelitian
McDougal dipergunakan sebagai instrument untuk meneliti karakteristik obyek
penelitian, termasuk karakteristik masalah pengelolaan, karakteristik kebutuhan
pemecahan masalah pengelolaan, dan kebutuhan konsep pengaturannya. Model
penelitian Kelsen digunakan dalam mengidentifikasi kewenangan, dan model
penelitian Pound digunakan dalam mengidentifikasi karakteristik konstruksi
struktur dan substansi norma pengaturan.
Penelitian ini berinduk pada penelitian hukum fungsional (functional research
of law) atau penelitian hukum normatif fungsional (normative functional)-nya
Roscoe Pound6 dan McDougal dalam kombinasi dengan model penelitian
hukum normatif strukturalnya Kelsen. Esensi model penelitian Pound dan
McDougal adalah korelasi antara obyek pengaturan dengan konsep dan
konstruksi norma pengaturan sebagai aspek-aspek norma yang satu sama lain
saling mempengaruhi dan menentukan fungsi dan capaian tujuan hukum.
Konsistensi antara keseluruhan aspek itu merupakan dasar untuk menghasilkan
produk hukum yang berkualitas dan mengemban fungsi–fungsinya, dan fungsi
hukum yang berkualitas merupakan dasar pewujudan tujuan hukum secara
baik. Sementara esensi model penelitian Kelsen adalah model uji validitas, yaitu
uji terhadap keberdasaran pada dan kebersumberan norma kepada norma yang
lebih tinggi yang akan menentukan validitas norma yang dibentuk.
Bentuk penelitian ini, dengan demikian, adalah:
a. uji konsistensi konsep pengaturan, konstruksi struktur dan substansi norma
pengaturan dengan karakteristik obyek pengaturan dan karakteristik
kebutuhan pengaturan; dan
b. konstruksian dasar dan substansi kewenangan pengaturan sebagai instrumen
uji validitas terhadap konstruksi norma dalam pengaturan Rancangan
6 Ibid. Di Indonesia, model ini diperkenalkan oleh Mochtar Kusumaatmadja dengan namape
nelitian hukum pembangunandan pembangunan hukum. Di Amerika, model ini dikembangkan oleh Myres S. McDougal dan Harold D. Lasswell dengan nama ”model penelitian hukum dengan orientasi kebijakan hukum” (a policy-oriented approach), yang kemudian dipopulerkan oleh para penganut aliran New Heaven School. Bandingkan: Lung-chu Chen, An Introduction to Contemporary International Law: A Policy Oriented Perspective, Yale University Press, New York, 1989, h. ix. Baca juga: Myres S. McDougal and W. Michael Reisman, International Law in Policy-Oriented Perspective, dalam R. St Johnston and J. Macdonald Douglas, The Structure and Process of International Law: Essays in Legal Philosophy, Doctrine and Theory, Martinus Nijhoff Publishers, The Hague, 1983, h. 103.
Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung tentang Perusahaan Daerah Air
Minum;
2. Pendekatan Masalah
Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif fungsional
(functional normative approach), normatif struktural (structural normative approach),
dan normatif konstruktif dan kontekstual (policy-oriented research).7 Pendekatan
ini merupakan pendekatan penelitian hukum yang seharusnya digunakan
dalam proses legislasi di Indonesia mengingat kultur hukum Indonesia (civil law
system) dan kebutuhan-kebutuhan pengaturan yang lebih obeyktif dan
kontekstual.
Fungsi pendekatan tersebut dalam pelaksanaan penelitian ini adalah:
a. Pendekatan hukum kontekstual digunakan dalam penelitian terhadap
karakteristik obyek penelitian, karakteristik masalah pengelolaan obyek,
karakteristik kebutuhan pemecahan masalah pengelolaan obyek, dan
karakteristik konsep pengaturan obyek;
b. Pendekatan hukum normatif struktural digunakan sebagai dasar untuk
menjelaskan dasar, ruang lingkup dan substansi kewenangan Pemerintah
7 Pendekatan hukum dengan orientasi kebijakan melihat hukum sebagai bagian proses otoritatif pengambilan kebijakan yang berkelanjutan (continuing otoritative process of decision making) dimana substansi hukum dipandang sebagai bentuk transformasi substansi kebijakan yang ada dan diciptakan mendahului hukum, yang pada gilirannya akan menjadi sumber dari hukum dan kebijakan organik dan teknis yang akan dilahirkannya. Penguatan fungsi hukum, menurut pendekatan ini, dapat dilakukan melalui pengendalian substansi kebijakan atau hukum dalam proses kebijakan atau proses hukum. Pengendalian ini dilakukan dengan cara melakukan analisis konstruktif dan kontekstual terhadap bahan-bahan substansi kebijakan. Hubungan hukum dengan kebijakan dipandang sebagai suatu bentuk korelasi berkesinambungan dari tahap input, proses, output, dan feedback yang selanjutnya akan menjadi input. Ibid., h. 113.
Daerah dalam melakukan pengaturan terhadap perubahan atas Peraturan
Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air
Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung.
c. Pendekatan hukum normatif konstruktif dan fungsional digunakan sebagai
dasar untuk menjelaskan korelasi konstruksi struktur dan substansi norma
dengan konstruksi konsep pengaturan, korelasi konstruksi konsep
pengaturan dengan karakteristik kebutuhan pengaturan, dan korelasi
kebutuhan pengaturan dengan karakterisitik obyek pengaturan dan
karakteristik masalah pengelolaan obyek pengaturan.
3. Bahan Penelitian
Penelitian ini menggunakan ketiga jenis bahan hukum, yaitu: bahan hukum
primer (primary legal source), bahan hukum sekunder (secondary legal materials).
Bahan hukum primer (domestik) yang digunakan mencakup: undang-
undang (statutes passed by legislatures); peraturan atau keputusan-keputusan
pemerintah (decrees and orders of executives); kebijakan atau keputusan
administratif yang dibuat oleh lembaga-lembaga administratif (regulations and
rulings of administrative agencies).
Bahan hukum sekunder domestik yang digunakan, mencakup: literatur
standar (text-books); risalah-risalah hukum (treatises); commentaries; restatements;
terbitan-terbitan hukum periodik yang digunakan sebagai acuan bagi praktisi,
pengajar, dan mahasiswa (periodicals which explain and describe the law for the
practicioner, the scholar and the student)..
Penelitian pendahuluan telah dilakukan pada perpustakaan umum dan
perpustakaan hukum, seperti: Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Udayana dan ekplorasi melalui internet.
4. Langkah Penelitian
Penelitian hukum dengan orientasi kebijakan (configurative approach) memiliki
beberapa ciri-ciri sebagai berikut:
(1) bahwa penelitian pertama-tama harus menentukan titik pijak penelitian
dalam perspektif manusia sebagai suatu keseluruhan, memisahkan titik pijak
antara penelitian yang dilakukan oleh akademisi dan pembuat kebijakan, dan
untuk tujuan penyadaran, termasuk juga proses pengambilan kebijakan,
mengembangkan teori tentang hukum (theory about law), dan tidak semata-
mata teori hukum (not merely theory of law);
(2) harus membuat peta penelitian, baik yang sifatnya menyeluruh maupun
khusus, berkenaan dengan suatu kebijakan otoritatif yang efektif untuk suatu
proses komunitas dan masyarakat yang lebih luas yang mendapat pengaruh
dari kebijakan tersebut atau sebaliknya mempengaruhi kebijakan tersebut;
(3) harus merumuskan seperangkat nilai tujuan yang komprehensif dari
ketentuan hukum, yang dapat diwujudkan dalam konteks proses sosial,
dalam tingkatan abstraksi dan ketepatan apapun yang mungkin diperlukan
dalam penelitian maupun perumusan kebijakan;
(4) harus memerinci seluruh cakupan tugas-tugas intelektual yang diperlukan
untuk proses pemecahan masalah berkenaan dengan hubungan saling
mempengaruhi antara hukum internasional dengan proses sosial
internasional, dan harus menentukan prosedur-prosedur ekonomi yang
bersifat khusus dan efektif untuk setiap kerja tersebut.8
Penentuan titik pijak penelitian sangat penting untuk memudahkan
perumusan masalah, perumusan tujuan, dan pelaksanaan tugas-tugas
keintelektualan, untuk menjaga keutuhan penelitian. Pembuatan peta
penelitian yang komprehensif namun tetap memperhatikan detail, sangat
penting untuk memudahkan peneliti merumuskan fokus utama penelitian,
cara memandang hukum dan cara menempatkannya dalam konteks proses
sosial, karena akan sangat mempengaruhi cara merumuskan masalah,
penentuan prioritas masalah yang akan diteliti, dan menentukan tugas
intelektualitas yang hendak dipikul dalam kaitan dengan pengembangan
keilmuan dan pemecahan suatu masalah. Perumusan tujuan pengaturan
publik yang bersifat mendasar dan mempunyai sifat nyata sangat penting
untuk menentukan bahwa suatu penelitian kebijakan dan hukum dilakukan
untuk kepentingan bersama dan keadilan bagi masyarakat sebagai suatu
keseluruhan, bukan untuk kepentingan komunitas yang lebih besar atau yang
lebih kecil, komunitas yang lebih kuat atau lebih lemah. Penentuan
tanggungjawab intelektual sangat penting untuk efek praktis dan pemecahan
masalah dari hasil penelitian tersebut dalam rangka perlakuan kebijakan dan
hukum yang lebih efektif dalam proses sosial.
MacDougal merumuskan lima tahap penelitian hukum dengan orientasi
kebijakan yaitu:
8Macdougald, op.cit, h. 114.
(1) klarifikasi tujuan (goal clrarification);
(2) pendeskripsian kecenderungan kebijakan masa lalu (the description of past
trends in decision);
(3) pengidentifikasian faktor-faktor yang berpengaruh (identification of
conditioning factors);
(4) analisis dan perumusan proyeksi dan prediksi (projection and prediction);
(5) penemuan dan evaluasi alternatif kebijakan (the invention and evaluation of
policy alternatives).9
Model tersebut mencakup 3 ciri dasar, yaitu:
(1) klarifikasi tujuan, yang mencakup: pemetaan latar belakang masalah,
pelingkupan dan perumusan masalah, dan perumusan tujuan penelitian;
(2) pendeskripsian kondisi kebijakan yang sedang berlaku;
(3) analisis, perumusan hasil, dan penemuan alternatif pemecahan masalah.
Model tersebut dapat ditransformasikan kedalam model penelitian hukum
dan kebijakan, baik yang mempunyai sifat murni internasional, nasional,
maupun yang menunjukkan sifat campuran diantara keduanya. Model
penelitian hukum dengan orientasi kebijakan ini dipergunakan sebagai model
dasar penelitian ini. Alasannya adalah:
(1) obyek penelitian ini merupakan obyek yang berada pada konteksnya,
yaitu masyarakat tempat di mana produk legislasi itu akan ditetapkan;
9 Macdougald, ibid., h. 124-128.
(2) masalah belum dirubahnya Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990
tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah
Tingkat II Klungkung;
(3) Perda merupakan produk hukum yang harus dibangun sesuai dengan
karakteristik obyeknya dan karakteristik kebutuhan konteksnya;
(4) pendekatan ini tidak menutup peluang untuk menggunakan pendekatan
lain untuk menyempurnakan hasil penelitain, dalam penelitian ini
pendekatan ini dikombinasi dengan pendekatan hukum normatif
strukturalnya Kelsen.
5. Analisis Hasil Penelitian
Hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan metode analisis norma dan
obyek norma, analisis struktur (validitas) norma dan analisis konteks dan
fungsional norma hukum. Analisis struktur dan substansi norma menggunakan
analisis konstruksi (uji konsistensi dan koherensi) dan analisis konteks (uji
konsistensi) norma. Hasil-hasil penelitian yang telah dikelompokkan secara
terstruktur, sesuai dengan struktur materi (obyek) penelitian, sesuai dengan
rumusan masalah dan tujuan penelitian, dianalisis sesuai dengan sifat komponen
masalah dan tujuannya.
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
Standar materi bab ini ditentukan dalam Lampiran I angka 2 UUP3. Bagian
ini memuat uraian mengenai materi yang bersifat teoretis, asas, praktik,
perkembangan pemikiran, serta implikasi sosial, politik, dan ekonomi, keuangan
negara dari pengaturan dalam suatu Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi,
atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Bagian ini mencakup:
(a) Kajian teoretis.
Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma. Analisis
terhadap penentuan asas-asas ini juga memperhatikan berbagai aspek dan
bidang kehidupan terkait dengan Peraturan Perundang-undangan yang akan
dibuat, yang berasal dari hasil penelitian.
(b) Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan
yang dihadapi masyarakat. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru
yang akan diatur dalam Undang-Undang atau Peraturan Daerah terhadap aspek
kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan negara.
A. KAJIAN TEORITIS
a. Landasan Teoritik Perubahan Perda PDAM 1990
Alinea ke - 4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 (UUD NRI 1945), menyatakan: “Kemudian dari pada itu untuk membentuk
suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa…………….”. Frasa melindungi seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum mencerminkan suatu kerangka teoritik tentang
kewajiban konstitusional Pemerintahan Negara, termasuk Pemerintah Daerah,
untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum, termasuk penyediaan air minum
atau air besih, dengan tetap memperhatikan kelestarian sumber daya air dlam
rangka penyelenggaraan penyediaan air bersih yang berkelanjutan.
Indonesia yang merupakan negara hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1
ayat (3) Undang-Undang Dasar NRI 1945, mengedepankan penyelenggaraan
pemerintahan negara, termasuk ke dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik
berdasarkan hukum atau peraturan perundang-undangan. Secara teoritik,
pemikiran “negara hukum” Eropa Kontinental dimulai oleh pemikiran Imanuel
Kant, kemudian dikembangkan oleh J.F Stahl. Pemikiran negara hukum tersebut,
dipengaruhi oleh pemikiran Ekonom Adam Smith. Julius Friedrich Stahl,
mengemukakan 4 unsur sebagai ciri negara hukum, yakni:
(1) Tindakan pemerintah berdasarkan Undang-undang (Legalitas)
(2) Perlindungan HAM,
(3) Pemisahan Kekuasaan,
(4) Adanya peradilan administrasi10.
Ciri-ciri negara hukum sebagaimana dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl
dalam menguraikan “Konsep Negara Hukum” (Rechtstaat), berbeda dengan konsep
negara hukum Anglo Saxon yakni The Rule of Law. Secara konseptual “the rule of law”
dalam Dictionary of Law, diartikan sebagai “principle of government that all persons and
bodies and the government itself are equal before and answerable to the law and that no
person shall be punished without trial”.11 Kemudian A.V Dicey mengemukakan unsur-
unsur konsep The Rule of law, yakni;
(1) supremacy of law,
(2) equality before the law,
(3) the constitution based on individual rights.12
Terlepas dari perkembangan pemikiran negara hukum yang sangat pesat,
yang melahirkan berbagai gagasan tetang penyelenggaraan kehidupan negara
berdasarkan atas hukum, terdapat kesamaan pada kedua sistem hukum itu
10 Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty, Jogjakarta, 1993, h.28 11 PH. Collin, Dictionary of Law, Fourth Edition, Bloomsbury Publishing Plc, London. 2004,
P.266 12 A.V Dicey, Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution, Fifth edition, London,
Macmillan And Co., Limited New York: The Macmillan Company, 1987, p. 179-187
berkenaan dengan penempatan hukum dalam penyelenggaraan negara, yaitu
bahwa hukum harus diletakkan sebagai dasar seluruh perilaku negara. Pemikiran
negara hukum ini menjadi jastifikasi teoritis dalam pembentukan Peraturan Daerah
dalam mengatur tentang perubahan Perda PDAM 1990. Eksistensi peraturan daerah
ini akan menjamin dan melindungi hak rakyat atas ketersediaan air bersih di satu
sisi dan perlindungan serta penyelamatan sumber daya air pada sisi lainnya, sebagai
bentuk pemenuhan syarat terhadap asas legalitas dalam negara hukum “rechtstaat”,
yang mensyaratkan bahwa bentuk perlindungan itu harus diatur dalam instrumen
hukum, yaitu undang-undang, dan untuk di daerah berupa Peraturan Daerah.
Peraturan daerah itu merupakan legitimasi hukum bagi pemerintah daerah dalam
penyelenggaraan pelayanan publik yang akutabel, yaitu pelayanan publik
berdasarkan atas hukum.
A. Hamid S. Attamimi13 menyatakan bahwa teori perundang-undangan
berorientasi pada tujuan untuk menjelaskan dan menjernihkan pemahaman
pembentuk, pelaksana, penegak, serta masyarakat terhadap materi undang-undang
dalam sifat kognitif. Pemikiran ini menekankan pada pemahaman terhadap hal-hal
yang mendasar. Oleh sebab itu dalam membuat peraturan daerah, perlu dipahami
kharakter norma dan fungsi peraturan daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Peraturan daerah merupakan peraturan perundang-
undangan. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya: UP3) menentukan
bahwa Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat
13 A. Hamid S. Attamimi dalam H. Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-
Undangan Indonesia, Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, 1998,h. 14-15.
norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh
lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan
dalam Peraturan Perundang-undangan.
Peraturan daerah merupakan penjabaran Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang
Dasar NRI 1945, yang menggunakan frasa “dibagi atas”, lebih lanjut diatur sebagai
berikut:
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan
kota itu mempunyai pemerintahan aerah, yang diatur dengan undang-undang.
Frasa “dibagi atas” ini menunjukkan bahwa kekuasaan negara terdistribusi
ke daerah-daerah, sehingga memberikan kekuasaan kepada daerah untuk mengatur
rumah tangganya. Karenanya hal ini menunjukkan pemerintah daerah memiliki
fungsi regeling (mengatur). Dengan fungsi tersebut, dilihat dari sudut pandang “asas
legalitas” (tindak tanduk pemerintah berdasarkan hukum) memperlihatkan adanya
kewenangan pemerintah daerah untuk membentuk peraturan daerah. Pasal 1 angka
7 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, mengartikan Peraturan Daerah Kabupaten adalah Peraturan Perundang-
undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten dengan
persetujuan bersama Bupati.
Jimly Asshidiqqie mengatakan peraturan tertulis dalam bentuk ”statutory
laws” atau ”statutory legislations” dapat dibedakan antara yang utama (primary
legislations) dan yang sekunder (secondary legislations). Menurutnya primary
legislations juga disebut sebagai legislative acts, sedangkan secondary dikenal dengan
istilah ”executive acts”, delegated legislations atau subordinate legislations.14 Peraturan
daerah merupakan karakter dari legislative acts, sama halnya dengan undang-
undang. Oleh sebab itu hanya peraturan daerah dan undang-undang saja yang
dapat memuat sanksi.
Teori penjenjangan norma (Stufenbau des rechts), menurut Hans Kelsen15
bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu
hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber,
dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya
sampai pada norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis
dan fiktif, yaitu norma dasar (Grundnorm).
Selain Hans Kelsen, Hans Nawiasky juga mengklasifikasikan norma hukum
negara dalam 4 (empat) kategori pokok, yaitu Staatsfundamentalnorms (Norma
fundamental negara), Staatsgrundgesetz (aturan dasar/pokok negara), Formell Gesetz
(undang-undang formal) dan Verordnung & Autonoe Satzung (Aturan pelaksana dan
Aturan otonom).16
Sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia dipengaruhi oleh
pemikiran Hans Kelsen, sebagaimana tercermin dalam Pasal 7 ayat (1) UUP3, yang
menentukan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
14 Jimly Asshidiqqie, Perihal Undang-Undang, Cetakan Ke II, RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2011, h. 10 15 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Penerbit Kanisius, Jogjakarta,
1998, h.25 16 Hamid Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analis: Keputusan Presiden Yang Berfungsi Peraturan Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita V, Disertasi PPS Universitas Indonesia, 1990, h. 287
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pengaturan demikian menunjukkan bahwa peraturan yang dibentuk atau
berada dibawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi atau dengan kata lain peraturan dibawah bersumber pada aturan
yang lebih tinggi. Melihat ketentuan diatas Peraturan Daerah Provinsi pada huruf f,
sehingga pembentukannya harus mengacu pada peraturan perundang-undangan
sebagaimana tercantum pada huruf a sampai dengan e.
Teori dan metode legislasi, dari perspektif substansial hukum, menurut
Seidmann, mencakup 2 tujuan yaitu: pertama, untuk memberikan jastifikasi
terhadap produk yang dibuat; dan kedua, untuk mendapatkan panduan dalam
penyusunan laporan penelitian dari sisi fakta dan logika (facts and logic), yaitu untuk
menyusun jastifikasi rasio berdasarkan pengalaman (reason informed by experience),
yang mengakibatkan detail substansi suatu rancangan undang-undang menjadi
sebagaimana ditampilkan dalam rancangan.17 Teori Seidmann ini merupakan dasar
untuk memberikan jastifikasi teoritik terhadap suatu produk legislasi dan panduan
teoritik berkenaan dengan kegiatan perancangan produk legislatif.
17 Ida Bagus Wyasa Putra, op.cit., h. 124.
Teori legislasi dalam kategori sebagai panduan penelitian hukum (legislative
theory’s categories as a guide to research) adalah teori tentang cara melakukan
identifikasi dan cara menjelaskan masalah perilaku (identifies and explain problematic
behaviors) berkenaan dengan: (a) ketentuan yang dibuat dan akan diberlakukan
terhadap masyarakat yang akan terkena aturan (the rule addressed to the role occupant);
(b) perilaku masyarakat yang terkena aturan yang diharapkan oleh para pelaksana
aturan (the implementing agenciy’s expected behaviors); (c) seluruh sumber dan faktor
non-hukum yang bersifat menghambat dari keadaan lingkungan dan lokasi
pemberlakuan hukum yang bersifat khas (all non-legal constraints and resources of the
actors’ location-specific environment) yang menghambat bekerjanya aturan.18 Teori
legislasi kategori kedua dari Seidman berkenaan dengan posisi aturan dalam
korelasi dengan perilaku masyarakat.
Kategori tersebut dapat digunakan untuk menyusun HIPOTESIS SEBAB
(causal hypotheses), sesuatu yang sangat diperlukan dalam perancangan produk
legislasi yang efektif (necessary to design effective legislative measures). Teori legislasi
merumuskan kategori tersebut dalam kategori yang lebih sempit, yaitu: Rule,
Opportunity, Capacity, Communication, Interest, Process, dan Ideology (ROCCIPI).19
Kategori itu diklasifikasikan atas dua kelompok, yaitu; (a) faktor subyektif;
dan (b) faktor obyektif. Faktor subyektif adalah faktor subyek hukumnya. Faktor ini
mencakup kepentingan (interests atau incentives), yaitu persepsi masyarakat terhadap
18 Ibid., h. 4.15. 19 Susunan huruf ROCCIPI bersifat tidak mutlak. Susunan ini hanya digunakan untuk
memudahkan para drafter untuk mengingat. Komponen huruf itu jauh lebih penting dan tidak boleh diabaikan/ditiadakan. Seidmann, op.cit., h. 4.15.
siapa ketentuan itu dibuat dan diberlakukan (role occupants) berkenaan dengan
tindakan yang mereka lakukan berdasarkan pertimbangan biaya dan kemanfaatan
yang akan diperoleh (costs and benefits), baik insentif material maupun non-material,
seperti penghargaan terhadap seseorang di dalam kelompoknya (power and reference-
group esteem). Ideologi (Ideology: values and attitude) merupakan kategori kedua dari
kategori perilaku subyektif seseorang, yang menjadi motivasi seseorang melakukan
atau tidak melakukan tindakan tertentu. Motivasi ini merupakan motivasi yang
tidak bertolak dari kepentingan.20 Analisis terhadap faktor ini merupakan analisis
terhadap perilaku orang-perorang dalam struktur institusi yang sudah ada.
Faktor obyektif adalah faktor ketentuannya. Faktor ini mencakup: (a)
ketentuan (Rules); (b) peluang (Opportunity); (c) kemampuan (Capacity); (d)
komunikasi (Communication); dan (e) proses (Process). Komponen Rules merupakan
komponen yang berkaitan dengan pertanyaan: mengapa orang berperilaku tertentu
dibawah suatu ketentuan hukum, tidak hanya berkenaan dengan satu ketentuan (a
single rule), melainkan ketentuan dalam arti perangkat atau keseluruhan (a whole cage
of laws).21 Faktor Opportunity berkenaan dengan peluang seseorang untuk
berperilaku sesuai dengan perintah ketentuan yang dibuat. Apakah lingkungan
tempat ketentuan itu akan diberlakukan memungkinan perlaku yang diperintahkan.
Ketidaksesuaian antara perilaku yang diperintahkan dengan lingkungan tempat
20 Ibid., 4.16. 21 Lima faktor yang menentukan perlaku seseorang di bawah skema hukum: (a) rumusan
normanya kabur atau bermakna ganda (vague or ambiguously); (b) beberapa ketentuan memerintahkan melakukan tindakan yang dapat menimbulkan masalah (command problematic behaviours); (c) ketentuan tidak menyediakan alas an atau sebab tindakan demikian itu; (d) ketentuan yang ada membolehkan perlaku yang tidak transparan, tidak dapat dipertanggungjawabkan, dan non-partisipatif (non-transparent, unaccountable, non-participatory); atau (e) ketentuan memboleh tindakan diskresi yang tidak diperlukan dalam pemecahan masalah perilaku bermasalah. Ibid., h. 418.
perilaku itu dilakukan merupakan pemicu korupsi. Faktor Capacity berkenaan
dengan kemampuan role occupant untuk bertindak sesuai perintah undang-undang.
Communication merupakan faktor komunikasi antara pelaksana aturan dengan role
occupant dalam hal role occupant berperilaku menyimpang dengan ketentuan yang
berlaku. Komunikasi ini bertujuan mencari sebab-sebab ketidaktaatan itu. Process
merupakan faktor yang berkaitan dengan kriteria dan prosedur standar yang
ditetapkan ketentuan yang berlaku. Dalam hal terjadi penyimpangan perilaku,
pelaksana hukum harus memeriksa ketepatan kriteria dan prosedur standar yang
ditetapkan.22
Panduan perancangan produk legislasi ini mensyaratkan suatu eksplorasi
obyektif, analisis pada aturannya (analisis rumusan normanya, analisis lingkungan
aturannya, analisis kemampuan sasaran aturannya, analisis komunikasi sosialnya,
dan analisis kriteria dan standar prosedurnya), untuk membuat agar suatu produk
legislasi dapat berfungsi dengan baik pasca penetapannya.
Dikotomi fakta (FACTS) dengan logika (LOGIC) sebagaimana digunakan
Seidmann sebagai dasar konstruksi berfikir dalam penyusunan teorinya,
mengandung bahaya tersendiri dibandingkan dikotomi kenyataan (REALITIY)
dengan pikiran (MIND).23 Mind and reality memiliki kandungan makna yang lebih
luas dari komponen Seidmann. MIND adalah konstruksi substantif yang lebih luas
dibanding LOGIC. MIND adalah rumah besar dari LOGIC. Atau, LOGIC
merupakan kandungan dari MIND. REALITIY merupakan rumah besar dari
22 Ibid., 4.17-4.20. 23 Ibid, 127.
FACTS, atau FACTS merupakan kandungan teknis/detail dari REALITY.
Konstruksi ini melahirkan konstruksi pembahasan yang berbeda: rentang
pembahasan Mind dan Reality beranjak dari analisis FILOSOFIS, lanjut ke analisis
ILMU (TEORI), sampai pada analisis KONSEP, dan berhenti pada analisis TEKNIS
PERANCANGAN (KONSISTENSI KONSTRUKSI dan KOHERENSI SUBSTANSI
norma). Analisis Seidmann mulai dari analisis ILMU (TEORI) dan langsung ke
TEKNIS PERANCANGAN (ROCCIPI).
Perbedaan konstruksi berfikir tesebut menimbulkan akibat terhadap
penajaman arah dan hasil analisis Seidman. Teori Seidmann merupakan dasar untuk
memberikan jastifikasi teoritik terhadap suatu produk legislasi dari segi ROCCIPI
(Rule, role Occupant, occupant Capacity, Communication, Interest, Procedure, Ideology),
sedangkan dalam korelasi Mind and Reality bermaksud memberikan landasan
teoritik terhadap perancangan produk legislasi dalam konteks KONSISTENSI
LOGIC dari NORMA dan KOHERENSI SUBSTANTIF dari NORMA.
Analisis ROCCIPI mengabaikan karakteristik obyek (obyek pengaturan)
suatu pengaturan. Fokus analisis ROCCIPI adalah komponen tertentu dari
pengaturan, yaitu perilaku masyarakat yang diatur. Analisis ROCCIPI
memfokuskan analisis pada tiga substansi norma, yaitu: subyek, rumusan norma,
kriteria dan prosedur standar yang diatur dalam norma. Fokus ini merupakan
konsekuensi dari titik berangkat konstruksi berfikir Seidmann yang berangkat dari
sisi teknis dari bilah kajian filsafat (LOGIC dan FACTS), dan bukan aspek nilainya
(MIND dan REALITY). Fokus analisis ini dapat membahayakan suatu produk
legislasi dari soal KONSISTENSI KONSTRUKSI NORMA dan KOHERENSI
SUBSTANSI NORMA.
Teori Seidman dapat digunakan sebagai alat untuk penajaman konstruksi
berfikir Mind and Reality dalam menyusun teori legislasi dalam konteks pengaturan
suatu obyek yang memiliki karakter khas. Analisis teoritik ini memberikan
gambaran bahwa teori legislasi Seidmann tidak memadai untuk digunakan sebagai
dasar untuk merancang suatu produk legislasi yang obyek pengaturannya memiliki
karakteristik tertentu. Pemaksaan penggunaan teori legislasi Seidman dalam
perancangan produk legislasi dengan obyek demikian itu dapat menimbulkan
ancaman serius terhadap KONSISTENSI LOGIKA NORMA dan KOHERENSI
SUBSTANSI NORMA. Untuk mengatasi kelemahan ini, penelitian ini menggunakan
teori korelasi dan konsistensi obyek, konsep pengaturan, dengan konstruksi norma,
yang lebih jauh akan menentukan kualitas fungsi norma dan capaian tujuan
pengaturan. Teori ini mencakup:
(1) DEFINISI dan KONSEP HUKUM berkenaan dengan OBYEK yang akan diatur
dalam suatu produk legislasi merupakan PRASYARAT MUTLAK dalam
perancangan suatu produk legislasi, terutama yang mengatur obyek yang
karakteristik;
(2) DEFINISI dan KONSEP HUKUM tentang obyek yang diatur dalam suatu
produk legislasi merupakan satu-satunya DASAR KEILMUAN untuk
membangun atau menyusun KONSTRUKSI STRUKTUR NORMA dan
MERUMUSKAN SUBSTANSI NORMA.24
Berdasarkan teori ini, maka perancangan suatu produk legislasi harus
dimulai dari identifikasi terhadap karakteristik obyek yang akan diatur untuk
kemudian dipergunakan sebagai dasar untuk mengkonstruksikan konsep
pengaturan dan selanjutnya pengkonstruksian norma pengaturan. Dengan model
perancangan seperti ini, berbagai persoalan inkonsistensi logika antara norma
pengaturan dengan obyeknya dapat dicegah dan dihindarkan.
2. Kajian Asas
Secara yuridis Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
dituangkan dalam Pasal 5 UUP3, meliputi asas:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Yang dimaksud “asas kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak
dicapai. Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, bahwa setiap jenis
24 Konstruksi teoritik ini telah digunakan dalam beberapa penelitian terhadap bahan-bahan
dan landasan legislasi. Ida Bagus Wyasa Putra, op.cit., h. 129.
Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat
Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan yang berwenang. Peraturan
Perundang-Undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila
dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.
Kemudian “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan” adalah
bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-Undangan. “Asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus memperhitungkan efektivitas
Peraturan Perundang-Undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis,
sosiologis, maupun yuridis.
Selanjutnya yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan”
adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-Undangan dibuat karena memang benar-
benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah
bahwa setiap Peraturan Perundang-Undangan harus memenuhi persyaratan teknis
penyusunan Peraturan Perundang-Undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah,
serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan
berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. “Asas keterbukaan” adalah
bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan
masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan
masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Dari asas-asas dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut jika digunakan untuk
mengkaji Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung tentang Perusahaan
Daerah Air Minum maka dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
(1) Asas Kejelasan Tujuan, bahwa tujuan dari Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Klungkung tentang Perusahaan Daerah Air Minum, adalah berupaya
mengharmonisasi dengan aturan yang lebih tinggi serta menciptakan iklim good
coporate governance dalam perusahaan daerah air minum.
(2) Kelembagaan atau Pejabat Pembentuk yang tepat, bahwa Peraturan Daerah
Kabupaten Klungkung tentang Perusahaan Daerah Air Minum dibentuk oleh
Bupati dan DPRD Kabupaten Klungkung.
(3) Kesesuaian antara jenis, hirarki, dan materi muatan, bahwa pembentukan
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung tentang Perusahaan
Daerah Air Minum, memperhatikan jenis, hirarki dan materi muatan.
(4) Dapat dilaksanakan, alasan filosofis perlunya Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Klungkung tentang Perusahaan Daerah Air Minum ini
dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan memenuhi hak
masyarakat untuk mendapatkan air yang bersih. Alasan sosiologis perlunya
Peraturan Daerah tersebut dalam rangka peningkatan pelayanan PDAM.
(5) Kedayagunaan dan kehasilgunaan, bahwa Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Klungkung tentang Perusahaan Daerah Air Minum berdayaguna
dan berhasilguna untuk meningkatkan pelayanan PDAM dalam rangka
memenuhi kebutuhan dasar masyarakat akan air bersih.
(6) Kejelasan rumusan, bahwa pembentukan Peraturan Daerah ini memperhatikan
sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah
dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya.
(7) Keterbukaan, Pembentukan Peraturan daerah ini mulai dari perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan
bersifat transparan dan partisipatif.
Sedangkan dalam Pasal 6 UUP3, menentukan bahwa materi muatan
peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Asas-asas itu menjadi pedoman bagi pembentukan Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten Klungkung tentang Perusahaan Daerah Air Minum. Penjabaran
asas-asas Pasal 6 UUP3 adalah:
a. Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan
untuk menciptakan ketentraman masyarakat.
b. Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan pelindungan dan
penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara
dan penduduk Indonesia secara proporsional.
c. Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa
Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
d. Yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan” adalah bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan musyawarah
untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
e. Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-Undangan senantiasa memperhatikan
kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem
hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
f. Yang dimaksud dengan “asas Bhineka Tunggal Ika” adalah bahwa Materi
Muatan Peraturan Perundang-Undangan harus memperhatikan keragaman
penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
g. Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga Negara.
h. Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar
belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
i. Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan
ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
j. Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan”
adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan
individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.
Disamping asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
terdapat beberapa asas dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah yang patut dijadikan referensi, yang terdapat dalam beberapa
ketentuan, diantaranya:
Pasal 337 ayat (1) :
“Perusahaan umum Daerah dapat melakukan restruksturisasi untuk menyehatkan perusahaan umum Daerah agar dapat beroperasi secara efisien, akuntabel, transparan, dan profesional.”
Pasal 344 ayat (2) : Pelayanan publik diselenggarakan berdasarkan pada asas:
a. kepentingan umum; b. kepastian hukum; c. kesamaan hak; d. keseimbangan hak dan kewajiban; e. keprofesionalan; f. partisipatif; g. persamaan perlakuan/tidak diskriminatif; h. keterbukaan; i. akuntabilitas; j. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan; k. ketepatan waktu; dan l. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Dengan demikian dalam penyusunan Perda PDAM pengganti Perda PDAM
1990 asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut dijadikan
pedoman dalam perumusannya.
B. KAJIAN PRAKTIK EMPIRIK
Kabupaten Klungkung merupakan dataran pantai sehingga potensi
perikanan laut. Panjang pantainya sekitar 90 Km yang terdapat di Klungkung
daratan 20 Km dan Kepulauan Nusa Penida 70 Km. Permukaan tanah pada
umumnya tidak rata, bergelombang bahkan sebagian besar berupa bukit-bukit terjal
yang kering dan tandus. Hanya sebagian kecil saja merupakan dataran
rendah.Tingkat kemiringan tanah diatas 40 % (terjal) adalah seluas 16,47 Km2 atau
5,32% dari Kabupaten Klungkung.
Bukit dan gunung tertinggi bernama Gunung Mundi yang terletak di
Kecamatan Nusa Penida. Sumber air adalah mata air dan sungai hanya terdapat di
wilayah daratan Kabupaten Klungkung. Air sungai ini mengalir sepanjang tahun.
Sedangkan di Kecamatan Nusa Penida sama sekali tidak terdapat sungai. Sumber air
di Kecamatan Nusa Penida adalah mata air dan air hujan yang ditampung dalam
cubang oleh penduduk setempat. Kabupaten Klungkung termasuk beriklim tropis.
Bulan-bulan basah dan bulan-bulan kering antara Kecamatan Nusa Penida dan
Kabupaten Klungkung daratan sangat berbeda.
Wilayah Kabupaten Klungkung terbagi atas 4 Kecamatan, yaitu: (1)
kecamatan Klungkung; (2) Banjarangkan; (3) Dawan; dan (4) kecamatan Nusa
Penida. Kecamatan Klungkung merupakan kecamatan terkecil dari 4 (empat)
Kecamatan yang ada di Kabupaten Klungkung, dengan batas-batas: di sebelah Utara
Kabupaten Karangasem; sebelah Timur Kecamatan Dawan; sebelah Barat
Kecamatan Banjarangkan dan sebelah Selatan dengan Selat Badung; dengan luas
2.095 Ha, secara persis semua terletak di daerah daratan pulau Bali.
Kecamatan Banjarangkan merupakan Kecamatan yang terletak paling Barat
dari 4 (empat) Kecamatan yang ada di Kabupaten Klungkung, dengan batas-batas,
sebelah Utara Kabupaten Bangli, sebelah Timur Kecamatan Klungkung, sebelah
Barat Kabupaten Gianyar dan sebelah Selatan Selat Badung, dengan luas 45,73 Km².
Secara administrasi Kecamatan Banjarangkan terdiri dari 13 Desa, 55 dusun, 26 Desa
Adat, dalam usaha untuk memajukan perekonomian di wilayah ini telah didukung
dengan beberapa sarana seperti, pasar umum, koperasi, KUD, dan bank, RPD yang
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memajukan perekonomian desa.
Kecamatan Dawan merupakan Kecamatan yang terletak paling Timur dari 4
(empat) Kecamatan yang ada di Kabupaten Klungkung dengan batas-batas, sebelah
Utara dan Timur Kabupaten Karangasem, sebelah Barat Kecamatan Klungkung dan
sebelah Selatan Samudra Hindia dengan luas 37,38 Km ². Menurut penggunaannya
luas wilayah Kecamatan Dawan terdiri 16,21 % lahan sawah, 17,26 % lahan tegalan,
35,50 % lahan perkebunan, 6,93 % lahan pekarangan 0,21 % kuburan dan lainnya
23,89 %.
Kecamatan Nusa Penida terdiri dari tiga kepulauan yaitu pulau Nusa Penida,
Pulau Lembongan dan Pulau Ceningan, terdiri dari 16 Desa Dinas, Dengan Jumlah
Penduduk 46,749 Jiwa (8.543 KK). Pulau Nusa Penida bisa ditempuh dari empat
tempat yaitu lewat Benoa dengan menumpang Quiksilver/Balihai ditempuh +1 jam
perjalanan, lewat Sanur dengan menumpang perahu jarak tempuh + 1,5 Jam
perjalanan. Lewat Kusamba dengan menumpang Jukung jerak tempuh +1,5 jam
perjalanan. sedangkan kalau lewat Padangbai dengan menumpang Kapal Boat yang
jarak tempuh + 1 jam perjalanan. Secara umum kondisi Topografi Nusa Penida
tergolong landai sampai berbukit.Desa - desa pesisir di sepanjang pantai bagian
utara berupa lahan datar dengan kemiringan 0 - 3 % dari ketinggian lahan 0 - 268 m
dpl.Semakin ke selatan kemiringan lerengnya semakin bergelombang.
Demikian juga pulau Lembongan bagian Utara merupakan lahan datar
dengan kemiringan 0- 3% dan dibagian Selatan kemiringannya 3-8 %.Sedangkan
Pulau Ceningan mempunyai kemiringan lereng bervariasi antara 8-15% dan 15-30%
dengan kondisi tanah bergelombang dan berbukit. Mata pencaharian penduduk
adalah pertanian dan sektor perikanan merupakan mata pencaharian utama oleh
6,68% tersebar pada desa-desa pesisir yaitu Suana, Batununggul, Kutampi Kaler,
Ped dan Desa Toyapakeh. Di Pulau Lembongan 16,80% penduduk bergerak
dibidang perikanan, dan Ceningan 12,88% mengingat kondisi dan topografi daerah
maka yang cocok dikembangkan adalah Sektor Pertanian, dan Sektor Pariwisata.
Kabupaten Klungkung memiliki permukaan tanah yang pada umumnya
tidak rata, bergelombang bahkan sebagian besar berupa bukit-bukit terjal yang
kering dan tandus dan hanya sebagian kecil yang berupa daratan. Tingkat
kemiringan tanah di atas 40⁰ yang berarti terjal dengan luas 16,47 km2 atau sekitar
5,23 % dari luas kabupaten. Penggunaan lahan di Kabupaten Klungkung sebagian
besar digunakan sebagai lahan bukan sawah yaitu seluas 27.655 Ha (terdiri atas
lahan kering seluas 27.650 Ha dan lahan lainnya 5 Ha), sedangkan lahan sawah
seluas 3.845 Ha.
Klungkung daratan dan Kepulauan Nusa Penida mempunyai pantai
sepanjang 97,6 km yang merupakan potensi perekonomian laut dengan
pengembangan budidaya rumput laut dan penangkapan ikan laut.
Jumlah dan distribusi penduduk Kabupaten Klungkung selama 5 tahun
setiap tahunnya mengalami peningkatan.Jumlah kepala keluarga juga bertambah
setiap tahunnya. Penyebaran penduduk di empat kecamatan di Kabupaten
Klungkung tidak merata, yaitu 73,96 % berada di daratan Klungkung
(Banjarangkan, Dawan dan Klungkung) sedangkan 26,04 % berada di Kepulauan
Nusa Penida (Nusa, Penida, Lembongan dan Ceningan).
Klungkung mempunyai sumber air yang berasal dari sungai dan mata air.
Sungai hanya terdapat di Klungkung daratan yang mengalir sepanjang tahun,
sedangkan sumber air di Kecamatan Nusa Penida bersumber dari mata air dan air
hujan, air hujan tersebut ditampung di dalam bak penampungan yang disebut
cubing yang dibuat oleh penduduk setempat.
Curah hujan di Kabupaten Klungkung setiap bulan bervariasi dari 0 mm
samapi dengan 349 mm. Kecamatan Banjarangkan merupakan daerah dengan rata-
rata curah hujan tertinggi yaitu sebesar 211,50 mm dengan rata-rata hari hujan setiap
bulannya sebesar 11,67 hari. Curah hujan terendah terjadi di Kecamatan Nusa
Penida dengan rata-rata curah hujan sebesar 75,75 mm dan rata-rata hari hujan 5,58
hari.
Kabupaten Klungkung tidak banyak mempunyai sumber mata air besar yang
dapat langsung digunakan oleh masyarakat.Sumber produksi yang tersedia adalah
mata air dan sumur bor yang didistribusikan menggunakan pompa dan
gratifikasi.Sumber daya air yang tersedia seperti sungai belum tergarap secara
optimal, padahal Kabupaten Klungkung merupakan daerah hilir beberapa sungai
besar yang ada di Bali.
Berdasarkan data yang ada, terdapat 14 sungai yang melalui Kabupaten
Klungkung yaitu:
NO NAMA SUNGAI PANJANG (M) Tukad Bubungan 6000 Tukad Unda 24.000 Tukad Telaga Waja 33.000 Tukad Belatung 24.000 Tukad Rangka 33.600 Tukad Lantang 32.800 Tukad Samu 32.800 Tukad Pulo 33.600 Tukad Anyar 31.400 Tukad Menanga 30.000
Tukad Jinah 30.000 Tukad Bubuh 32.600 Tukad Bilok 32.600 Tukad Melangit 32.600
Klungkung yang memiliki visi “Unggul dan Sejahtera” mengandung
pengertian wilayah Kabupaten Klungkung yang memiliki sumber-sumber daya
yang unggul (lebih tinggi dari wilayah lainnya) dengan masyarakatnya yang aman
sentosa. Menciptakan Klungkung yang Unggul dan Sejahtera juga mengandung
pengertian usaha menciptakan keunggulan di sektor tertentu guna menciptakan
masyarakat yang cukup pangan, sandang, papan dan kualitas hidupnya meningkat
secara lahir batin menuju suatu peradaban manusia yang unggul, sosial ekonomi
yang lebih baik, atau yang lebih modern sesuai dengan amanat Pembukaan UUD
1945.
“Klungkung yang Unggul” dimaksudkan terwujudnya Klungkung sebagai
pusat pengembangan kegiatan kesenian dan budaya unggulan daerah yang
didukung oleh kualitas SDM dan sumber sumber daya keunggulan lokal meliputi
pengembangan pusat pasar Bali Timur, menjadikan RSUD Klungkung sebagai pusat
rujukan Bali Timur dan pengembangan potensi sosial ekonomi Nusa Penida sebagai
kawasan Wisata terpadu. Klungkung yang Sejahtera diwujudkan melalui
peningkatan kesejahteraan sosial dan kesejahteraan ekonomi serta daya saing
daerah seluruh masyarakat Kabupaten Klungkung meliputi peningkatan
pendapatan perkapita, penurunan angka kemiskinan, danpeningkatan IPM
(peningkatan derajat kesehatan, mutu pendidikan dan paritas daya beli).
Dalam upaya pembangunan Klungkung kedepan, ditetapkan beberapa Misi
yang diantaranya:
1. Penguatan dan peningkatan eksistensi adat budaya Bali.
2. Meningkatkan kualitas dan daya saing sumber daya manusia Kabupaten
Klungkung.
3. Peningkatan kesejahteraan sosial melalui pemberdayaan ekonomi
masyarakat.
4. Meningkatkan perekonomian yang berbasis kerakyatan dengan
mengedepankan kosepsi kemitraan.
5. Terciptanya kepastian hukum agar terwujud ketentraman dan ketertiban
masyarakat.
6. Mewujudkan pemerintahan yang baik berdasarkan prinsip good coorporate
governance.
7. Pengembangan jasa layanan kepada masyarakat yang lebih baik.
8. Mewujudkan pembangunan daerah yang selaras dan seimbang.
9. Pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup dalam pemanfaatannya
yang berkelanjutan.
10. Penyediaan sarana dan prasarana wilayah yang mengakomodir
perkembangan wilayah dan kebutuhan masyarakat.
11. Penguatan stabilitas politik dan keamanan di seluruh wilayah Kabupaten
Klungkung.
Pada misi yang ketujuh (7), terkait pengembangan jasa layanan kepada
masyarakat yang lebih baik, dapat ditujukan pada pelayanan penyediaan air
bersih.Penyediaan air bersih dilayani oleh Perusahaan Daerah Air Minum Air
Minum (PDAM) Kabupaten Klungkung. Jumlah pelanggan air minum Kabupaten
Klungkung terbanyak ada di Kecamatan Klungkung.Karena banyaknya jumlah
penduduk dan merupakan pusat pemerintahan. Sedangkan pelanggan terendah
terdapat di kecamatan Nusa Penida.25
Sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah, Pemerintah Kabupaten
Klungkung telah mempunyai kebijakan berkaitan dengan pengelolaan kawasan
mata air, antara lain sebagai berikut:
a) Mencegah dilakukan kegiatan budidaya di sekitar mata air yang dapat
mengganggu fungsi mata air (terutama sebagai sumber air baku)
b) Pengendalian kegiatan yang telah ada di sekitar mata air
c) Radius pengamaan sekitar mata air dapat lebih kecil dari 200 meter hanya bagi
banguan/kegiatan terkait dengan dengan pengamanan dan pemanfaatan mata
air secara terkendali, serta tidak mengganggu mata air.
Pembangunan prasarana air bersih telah menjadi salah satu prioritas
pengembangan sektoral Pemerintah kabupaten Klungkung, hal ini dapat dilihat dari
kebijakan pengembangan sistem penyediaan air bersih sebagai berikut:
a) Kebijakan Pengembangan Sistem Prasarana Air Bersih di Wilayah Klungkung
Daratan
b) Peningkatan pelayanan air bersih baik di perkotaan maupun di pedesaan dengan
mengadakan perluasan jaringan termasuk rehabilitasi jaringan yang sudah tidak
sesuai lagi;
c) Sistem pelayanan Klungkung daratan memanfaatkan Mata Air Tohpati, Mata Air
Bangbang, Mata Air Rendang, Mata Air Bajing, Sumur Bor Sema Agung dan
Sumur Bor Pikat;
25 Badan Pusat Statistik Kabupaten Klungkung, 2014, Klungkung Dalam Angka 2014, h. 198-
199
d) Pengembangan estuary dam Tukad Unda untuk melayani/memenuhi
kebutuhan air di wilayah SARBAGITAKU (Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan
dan Klungkung.
e) Kebijakan Pengembangan Sistem di Wilayah Klungkung Kepulauan
f) Pengembangan sistem prasarana air bersih di Nusa Penida jangka pendek,
melalui:
Pengembangan teknologi cubang untuk wilayah yang tidak terlayani sistem
utama.
Evaluasi Catudaya
g) Optimalisasi layanan sistem utama yang meliputi:
Peningkatan pelayanan Mata Air Guyangan dan Mata Air Tabanan;
Peningkatan pelayanan Sistem penida
h) Pengembangan sistem prasarana air bersih di Nusa Penida jangka panjang,
melalui:
Pengembangan sistem guyangan yang potensial untuk dijadikan sistem
utama (induk) sedangkan sistem lainnya adalah merupakan sistem
pendukung. Sistem pendukung dapat dihidupkan apabila ternyata terjadi
peningkatan permintaan yang luar biasa dan terjadi penurunan debit
Mata Air Guyangan, sehingga sistem induk tidak dapat menyokong
sistem secara keseluruhan.
Pelayanan dari sistem Guyangan harus dipadukan dengan sistem yang
telah ada sebelumnya dengan kata lain melakukan koneksi Sistem
Guyangan dengan jaringan local.
i) Pengembangan Sistem Prasarana air bersih di Nusa Lembongan dan Nusa
Ceningan, melalui:
Pemanfaatan air tanah dengan pembuatan sumur bor/gali dan
pembuatan sistem penyediaan air bersih secara parsial meliputi, Jungut
Batu (Tukad Pangkung), Desa Lembongan (sekitar kantor desa) dan Pulau
Ceningan;
Pengembangan dan membangun jaringan pipa dari Pulau Nusa Penida;
Penanganan dengan sistem jaringan (osmosis) atau destilasi;
Pengambilan air dengan Ponton.
BAB III
ANALISIS DAN EVALUASI
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
Bab III yang berjudul tentang Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-
undangan ini, menekankan pada upaya untuk menghindari konflik norma ketika
peraturan daerah ini dilaksanakan. Judul tersebut menampakkan 2 proposisi, yakni
Analisis Peraturan Perundang-undangan dan Evaluasi Peraturan Perundang-
undangan. Secara gramatikal, “analisis” diartikan sebagai berikut26 :
a. penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dsb) untuk
mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya,
dsb);
b. penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu
sendiri serta hubungan antarbagian untuk memperoleh pengertian yang tepat
dan pemahaman arti keseluruhan;
26 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi
Keempat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008 h. 58
c. penyelidikan kimia dengan menguraikan sesuatu untuk mengetahui zat
bagiannya dsb; penjabaran sesudah dikaji sebaik-baiknya;
d. pemecahan persoalan yang dimulai dengan dugaan akan kebenarannya;
Keempat pengertian diatas, mendeskripsikan tentang konsep “analisis atau analisa”
itu sendiri. Huruf a dan b, merupakan deskripsi yang tepat sebagai kajian guna
mencari esensi sumber dari aturan yang akan dibuat dengan mendasarkan pada
aturan yang lebih tinggi. Mengenai “evaluasi” secara gramatikal berarti penilaian27.
Tindakan melakukan penilaian terhadap peraturan perundang-undangan berkaitan
dengan menilai apakah rancangan peraturan daerah yang akan dibentuk ini
bertentangan atau tidak dengan aturan yang lebih tinggi.
Beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyusunan
Peraturan Daerah tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990
tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II
Klungkung,adalah :
1) Undang-Undang No. 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur
2) Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (karena Putusan MK membatalkan seluruh ketentuan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
4) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
5) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah 6) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1998 Tentang Bentuk
Hukum Badan Usaha Milik Daerah 7) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2007 tentang Organ dan
Kepegawaian PDAM.
27Ibid, h. 384
Kedelapan peraturan perundang-undangan diatas memiliki keterkaitan
dengan rancangan peraturan daerah Kabupaten Klungkung tentang Perubahan Atas
Perda PDAM. Guna menjamin harmonisasi dan sinkronisasi dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Maka akan dijabarkan lebih lanjut analisa
dan evaluasi peraturan perundang-undangan tersebut.
1. Undang-Undang No. 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur
Pasal 1. (1) Wilayah : 1. Daerah Swapraja Buleleng. 2. Daerah Swapraja Jembrana; 3. Daerah Swapraja Badung; 4. Daerah Swapraja Tabanan; 5. Daerah Swapraja Gianyar; 6. Daerah Swapraja Klungkung; 7. Daerah Swapraja Bangli; 8. Daerah Swapraja Karangasem; 1 sampai dengan 8 dimaksud dalam Staatsblad 1946 No. 143 masing-masing dibentuk sebagai daerah-daerah tingkat II, termasuk dalam Daerah tingkat I Bali, dengan diberi nama-nama: 1. Daerah tingkat II Buleleng; 2. Daerah tingkat II Jembrana; 3. Daerah tingkat II Badung; 4. Daerah tingkat II Tabanan; 5. Daerah tingkat II Gianyar; 6. Daerah tingkat II Klungkung; 7. Daerah tingkat II Bangli. 8. Daerah Tingkat II Karangasem
Dengan adanya pengaturan dari Undang-Undang No. 69 Tahun 1958 mengenai
Daerah tingkat II Klungkung sebagai daerah Swapraja memberikan legitimasi dari
eksistensi kabupaten Klungkung. Dengan demikian, kabupaten Klungkung
memiliki wewenang dalam menetapkan Peraturan Daerah.
2. Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (karena Putusan MK
Nomor 85/PUU-XI/2013 membatalkan seluruh ketentuan dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 terdapat beberapa ketentuan yang
menjadi acuan dari eksistensi PDAM, yaitu:
Pasal 3
(1) Air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalanmya seperti dimaksud dalam Pasal 1 angka 3, 4 dan 5 Undang-undang ini dikuasai oleh Negara.
(2) Hak menguasai oleh Negara tersebut dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang kepada Pemerintah untuk :
a. Mengelola serta mengembangkan kemanfaatan air dan atau sumber-sumber air;
b. Menyusun mengesahkan, dan atau memberi izin berdasarkan perencanaan dan perencanaan teknis tata pengaturan air dan tata pengairan;
c. Mengatur, mengesahkan dan atau memberi izin peruntukan, penggunaan, penyediaan air, dan atau sumber-sumber air;
d. Mengatur, mengesahkan dan atau memberi izin pengusahaan air, dan atau sumber-sumber air;
e. Menentukan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum dan hubungan-hubungan hukum antara orang dan atau badan hukum dalam persoalan air dan atau sumber-sumber air;
Pada Pasal 3 ayat (1) memberikan pemahaman bahwa Air yang menyangkut
kemaslahatan hidup bangsa harus dikuasai oleh negara.Kemudian Pemerintah
menentukan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum dan hubungan-
hubungan hukum antara orang dan atau badan hukum dalam persoalan air dan
atau sumber-sumber air.
Pasal 4, menentukan: Wewenang Pemerintah sebagaimana tersebut dalam Pasal 3
Undang- undang ini, dapat dilimpahkan kepada instansi-instansi Pemerintah,
baik Pusat maupun Daerah dan atau badan-badan hukum tertentu yang syarat-
syarat dan cara-caranya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 3 dan 4 ini menjadi dasar hukum dari eksistensi PDAM dalam
rangka mengelola penyediaan air bersih.
3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Pasal 2 Penyelenggara Negara meliputi: b. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; c. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; d. Menteri; e. Gubernur; f. Hakim; g. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undanganyang berlaku; dan h. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya
denganpenyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundanganyang berlaku.
Dalam bagian Penjelasan angka 7, menyatakan yang dimaksud dengan “pejabat
lain yang memiliki fungsistrategis” adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya
didalammelakukan penyelenggaraan negara rawan terhadap praktekkorupsi,
kolusi, dan nepotisme, yang meliputi:Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural
lainnya padaBadan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha MilikDaerah; dan
lainnya. Salah satu organ dalam PDAM adalah Direksi, oleh sebab itu dalam
menjalankan wewenangnya harus tunduk pada Undang-Undang ini.
Pasal 3
Asas-asas umum penyelenggaraan negara meliputi:
1. Asas Kepastian Hukum; 2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;
3. Asas Kepentingan Umum; 4. Asas Keterbukaan; 5. Asas Proporsionalitas; 6. Asas Profesionalitas; dan 7. Asas Akuntabilitas. Dikarenakan dalam Peraturan Daerah terdapat celah adanya tindakan yang
menyebabkan kurangnya efektifitas dari penyelenggaraan PDAM di Kabupaten
Klungkung karena adanya kekosongan norma pada hal-hal yang bersifat strategis
demi mewujdukan tertib penyelenggaraan negara dan profesionalitas, maka perlu
Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian
Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung.
4. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 mensyaratkan bahwa dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan di perlukan Naskah Akademik
yang harus dilampirkan dalam Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Disamping itu dalam
pembentukannya harus menggunakan asas-asas Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang baik, sebagai pedoman, asas tersebut meliputi:
a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan.
Selain itu ada asas yang dimuat dalam materi muatan dalam sebuah peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan asas: pengayoman; kemanusiaan;
kebangsaan; kekeluargaan; kenusantaraan; bhinneka tunggal ika; keadilan;
kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; ketertiban dan kepastian
hukum; dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Dengan demikian
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung tentang
Perusahaan Daerah Air Minum, harus menggunakan undang-undang No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai dasar.
5. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Esensi Undang-Undang Pemerintahan Daerah, menekankan pada asas otonomi
daerah. Dimana asas otonomi daerah ini bersentuhan dengan hak, wewenang,
dan kewajibandaerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiriUrusan
Pemerintahan dan kepentingan masyarakatsetempat dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan demikian kewenangan pusat telah dilimpahkan kepada daerah, dalam
hal pemenuhan hak asasi manusia sebagaimana dijamin oleh Konstitusi termasuk
dalam penyediaan air bersih.
Dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah ini juga mengatur
beberapa hal terkait dengan BUMD, yang patut diperhatikan dalam pembentukan
Peraturan Daerah Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990
tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat
II Klungkung, diantaranya :
1) Pasal 331 ayat (4) Pendirian BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)bertujuan untuk:
a. memberikan manfaat bagi perkembangan perekonomianDaerah pada umumnya;
b. menyelenggarakan kemanfaatan umum berupapenyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu bagipemenuhan hajat hidup masyarakat sesuai kondisi,karakteristik dan potensi Daerah yang bersangkutanberdasarkan tata kelola perusahaan yang baik; dan
c. memperoleh laba dan/atau keuntungan.
2) Pasal 335 ayat (1), menentukan : Organ perusahaan umum Daerah terdiri atas kepala daerahselaku wakil Daerah sebagai pemilik modal, direksi dandewan pengawas. Dalam ketentuan ini tepat menjadi rujukan dalam perubahan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung, yang terkait dengan hal:
a) Istilah dalam Peraturan Daerah No. 11 Tahun 1990 masih menggunakan Badan Pengawas.
b) Dalam Peraturan Daerah No. 11 Tahun 1990 hanya menunjukkan organ PDAM adalah Direksi dan Dewan Pengawas. Sehingga Bupati sebagai Ketua Dewan Pengawas. Padahal di dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, menekankan pada Bupati sebagai pemilik modal.
3) Pasal 337 ayat (1), menentukan: Perusahaan umum Daerah dapat melakukanrestruksturisasi untuk menyehatkan perusahaan umumDaerah agar dapat beroperasi secara efisien, akuntabel,transparan, dan profesional. Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung, dalam rangka restrukturisasi dengan merevisiketentuan yang terkait dengan organ PDAM, sehingga mampu beroperasi secara efisien, akuntabel, transparan dan professional.
6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1998 Tentang Bentuk Hukum Badan Usaha Milik Daerah
Dalam Peraturan Menteri ini terdapat suatu ketentuan yang terkait dengan
Perubahan atas Peraturan Daerah tentang Pendirian PDAM yaitu: Pasal 2 yang
menentukan : Bentuk Hukum Badan Usaha Milik Daerah dapat berupa
Perusahaan Daerah (PD) atau Perseroan Terbatas (PT).
Dengan adanya ketentuan dalam Pasal 2 tersebut, maka menjadi pertimbangan
dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Perubahan Atas Peraturan
Daerah No. 11 Tahun 1990 dalam hal status BUMD dari PDAM.
7. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2007 tentang Organ dan
Kepegawaian PDAM.
Ketentuan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri ini menjadi rujukan dalam
perubahan organ dan Kepegawaian PDAM secara keseluruhan. Kajian yang
komprehensif telah dilakukan pada Bab I.
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
Pemikiran akan landasan filosofis, sosiologis dan yuridis merupakan
aktualisasi dari teori Keberlakun Hukum (Gelding Theory). Teori ini didasari pada
pemahaman bahwa perundang-undangan yang baik harus memenuhi beberapa
persyaratan yaitu syarat filosofis, sosiologis dan yuridis. Implementasi dari teori
keberlakuan hukum ini, telah menjadi bagian dari salah satu asas
PembentukanPeraturan Perundang-undangan yang baik, yang diatur dalam Pasal 5
huruf d Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang baik, yaitu asas dapat dilaksanakan.
Lebih lanjut beberapa asas lainnya yang diatur di dalam Pasal 5 Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
wajib mendasarkan pada :
a. Kejelasan tujuan b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat c. Kesesuaian antara jenis,hirarkhi dan materi muatan d. Dapat dilaksanakan e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan f. Kejelasan rumusan g. Keterbukaan
Disamping asas-asas tersebut dalam Pasal 5, asas lainnya yang juga harus
terkandung pada peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan adalah :
a. Pengayoman b. Kemanusiaan c. Kebangsaan d. Kekeluargaan e. Kenusantaraan f. Bhineka Tunggal Ika g. Keadilan h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan i. Ketertiban dan Kepastian hukum dan/: j. Keseimbangan,Keserasian dan keselarasan
Untuk mewujudkan materi muatan peraturan perundangan di atas
diperlukan dasar untuk menjadi pijakan tentang dibentuknya sebuah peraturan
perundangan. Asas-asas peraturan perundangan di atas memberikan pemahaman
bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus
memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam
masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
4.1 Landasan Filosofis
Joeniarto28, mengatakan nilai filosofis, suatu peraturan perundang-undangan
harus mencerminkan nilai keadilan dan kepastian. Disamping itu syarat filosofis
berkaitan dengan cita hukum “rechtsidee”. Esensi dari landasan filosofis ini juga
dapat ditemukan pada eksistensi Pasal 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menentukan
“Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara. Hal ini dimaksudkan
dengan adanya kebijakan semacam itu, maka kehendak the founding fathers kita yang
termaktub dalam pembukaan bisa terwujud.
Tujuan didirikannya Perusahaan Daerah Air Minum adalah untuk
memberikan manfaat dan memenuhi kebutuhan masyarakat daerah akan air bersih
demi tercapainya kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945, bahwa Pemerintah Daerah
mempunyai hak untuk menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan
lainnya untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan, bahwa Peraturan
Daerah merupakan suatu produk yang menjadi sarana legislasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Metode dan tata cara pembangunan daerah satu dengan yang lainnya sangat
berbeda, begitu juga dengan karakteristik serta geografis suatu daerah juga sangat
mempengaruhi nilai-nilai yang terkandung di dalam masyarakat, seperti social
budaya, adat istiadat, ekonomi dan nilai lainnya. Dengan mengenal lebih jauh nilai-
nilai yang terkandung dalam masyarakat serta mengenal kondisi geografis wilayah
28 Joeniarto, Selayang Pandang Tentang Sumber Sumber Hukum Tata Negara Di Indonesia, Yogyakarta, Liberty, Jogyakarta, 1980, cet II, h.15.
suatu daerah, pemerintah melalui perusahaan daerah air minum dapat memberikan
pelayanan yang optimal dan merata kepada seluruh masyarakat.
Pemerintah Kabupaten Klungkung sudah memiliki Peraturan Daerah tentang
Perusahaan Daerah Air Minum, untuk mengakomodasi perkembangan yang terjadi
dalam masyarakat dan mengoptimalkan pelayanan PDAM bagi masyarakat di
Kabupaten Klungkung, maka diperlukan adanya Perda Perubahan Atas Perda No
11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah
Tingkat II Klungkung.
4.2 Landasan Sosiologis Berkaitan dengan syarat sosiologis, Robert Seidman dan Ann Seidman,29
mengatakan kelemahan utama dalam suatu peraturan perundang-undangan dewasa
ini yaitu kegagalannya mengungkap dengan jelas hubungan sebab akibat antara
Undang-Undang (norma-norma hukum) dengan kenyataan sosial dan
pembangunan. Dengan demikian syarat ini menekankan pada adanya relasi antara
kebijakan yang dibuat dan kenyataan di masyarakat.
Berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik
IndonesiaTahun 1945 itu, Pemerintah mempunyai kewajiban melaksanakan
kebijakan untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan jumlah usaha yang
dapat membantu masyarakat dalam menciptakan pekerjaan sendiri.
Proses penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang
ranperda wajib memberikan keikutsertaan masyarakat melalui partisipasi
masyaraka. Roscoe Pound mengemukakan pada fungsi hukum sebagai alat untuk
29 Ann Seidman, Robert Seidman, Penyusunan RUU Dalam Perubahan Masyarakat Yang Demokratis, Penyunting, Yohanes Usfunan cs., Elips, Jakarta, 2002, h.30.
merubah masyarakat (law as atool of social engineering), menyatakan bahwa hukum
yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam
masyarakat30. Pemikiran ini diawali oleh penelitian untuk memberikan dasar ilmiah
pada proses penentuan hukum (legal policy making).
Kabupaten Klungkung wilayahnya terbagi menjadi dua, yaitu wilayah
daratan yang terdiri dari tiga kecamatan dan wilayah laut yaitu Kepulauan Nusa
Penida, terpisahnya wilayah Kabupaten Klungkung menyebabkan berbeda juga
ketersediaan air bersih bagi masyarakatnya.Faktor geografis dan topografi wilayah
amat menentukan hal tersebut, sehingga PDAM belum mampu memberikan
pelayanan ke semua kelurahan/desa yang ada di Kabupaten Klungkung khususnya
yang terletak di Kecamatan Nusa Penida.
Kabupaten Klungkung tidak mempunyai banyak sumber mata air besar yang
dapat digunakan oleh masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, tapi
memiliki sungai yang merupakan daerah hilir dari beberapa sungai besar yang ada
di Bali, namun sungai-sungai yang merupakan sumber daya air tersebut belum
tergarap secara optimal.
Perbedaan luas wilayah dan kepadatan antara satu kecamatan yaitu Nusa
Penida dan tiga kecamatan lainnya dapt dikatakan sebagai salah satu faktor belum
meratanya pelayanan yang dapat diberikan oleh PDAM, mengingat beberapa
kelurahan/desa yang belum dapat menikmati pelayanan PDAM terletak di
kecamatan Nusa Penida. Jadi dengan dibentuknya Perda Perubahan ini diharapkan
30 Lili Rasjidi & Arief Sidharta, Filsafat Hukum – Mashab dan Refleksinya, PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 1988, h.8
mampu memenuhi kebutuhan semua masyarakat akan air bersih demi
kelangsungan hidup seluruh masyarakat.
4.3 Landasan Yuridis Persyaratan yuridis “juridische gelding” sangat penting dalam pembuatan
Undang-undang. Menurut, Bagir Manan31hal-hal penting yang harus diperhatikan :
Pertama, keharusan adanya pemberian wewenang dari pembuat peraturan perundang-undangan. Setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang. Kalau tidak peraturan perundang-undangan itu batal demi hukum “van rechtwegeneitig”. Dianggap tidak pernah ada dan segala akibatnya batal secara hukum.
Kedua, keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundangundangan dengan materi yang diatur, terutama kalau diperintahkan oleh perundang-undangan tingkat lebih tinggi atau sederajat.
Ketiga, keharusan mengikuti tata cara tertentu. Apabila tata cara tersebut tidak diikuti, peraturan perundang-undangan mungkin batal demi hukum. Misalnya keharusan Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD.
Keempat, keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Dengan demikian dalam Pembentukan Rancangan Peraturan Daerah ini,
maka harus menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, adapun yang menjadi hirarki
Peraturan perundang-undangan adalah Undang-Undang Dasar, TAP MPR,
Undang-Undang/Perppu, PP, Perpres, Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota.
Pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung maka harus
didasarkan pada aturan yang lebih tinggi. Untuk mewujudkan tujuan hukum yang
31 Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundangan Di Indonesia, Indo Hill, Co. Jakarta, 1992, h.152.
baik juga, diperlukan penyesuaian dengan asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan dan asas materi muatan peraturan perundang-undangan
yang telah diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menentukan
bahwa DPRD kabupaten/kota mempunyai tugas dan wewenang untuk membentuk
Perda kabupaten/kota bersama-sama dengan bupati/wali kota berdasarkan
ketentuan Pasal 154 ayat (1) butir a. Ketentuan tersebut dapat menjadi rujukan
untuk DPRD membentuk Perda.
Disamping itu juga mendasarkan pada Undang-Undang No. 69 Tahun 1958
tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-Daerah
Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme serta Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1984 tentang Pengairan, Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dapat
dijadikan landasan dalam pembentukan Perda Perubahan. Begitu pula Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1984 tentang Tata Cara Pembinaan dan
Pengawasan Perusahaan Daerah di Lingkungan Pemerintah Daerah, Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1998 tentang Bentuk Hukum Badan Daerah,
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2006 tentang Pedoman Teknis
dan Tata Cara Pengaturan Tarif Air Minum Perusahaan Daerah Air Minum,
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2007 tentang Organ dan
Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum, Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah Air, dan
ketentuan terkait lainnya juga dapat dijadikan sebagai dasar bagi pembentukan
Perda Perubahan atas Perda Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan
Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung.
Berdasarkan uraian di latar belakang, yang menunjukkan adanya kekosongan
norma dalam peraturan daerah, maka perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten
Klungkung No. 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum
dalam rangka menjamin kepastian hukum.
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN,
DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN
5.1 Sasaran yang akan Diwujudkan
Dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, naskah akademik
harus merumuskan sasaran yang akan diwujudkan dari penetapan sebuah
peraturan perundang-undangan. Sehubungan dengan itu, dalam upaya
penyusunan Naskah Akademik Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten
Klungkung No. 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum
(Ranperda PDAM) akan dijabarkan tentang sasaran yang akan diwujudkan.
Sasaran yang akan diwujudkan dari Rancangan Peraturan Daerah ini,
adalah:
1. Penyelenggaraan organ PDAM Kabupaten Klungkung yang efektif,
professional, transparan dan akuntabilitas.
2. Mewujudkan Penyelenggaraan PDAM yang berdasarkan prinsip Good
Corporate Governance
3. Memberikan kepastian hukum sebagai solusi dalam mengatasi kekosongan
hukum yang ada dalam Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung No. 11
Tahun 1990.
5.2 Arah dan Jangkauan Pengaturan
Arah dari pengaturan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Klungkung tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah No. 11 Tahun 1990
tentang Perusahaan Daerah Air Minum, adalah mengubah celah-celah tindakan
penyalahgunaan wewenang dan kesewenang-wenangan yang dikarenakan
kekosongan hukum dalam Peraturan Daerah.
5.3 Ruang Lingkup Materi Muatan
Ruang lingkup materi muatan dalam Peraturan Daerah tentang Perubahan Atas
Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung No. 11 Tahun 1990 tentang Pendirian
Perusahaan Daerah Air Minum, adalah:
KETENTUAN Tentang Mekanisme Pemilihan Dirut Kembali
Uji kelayakan terhadap calon Direktur Utama
Syarat Dirut dapat dipilih kembali
Perlunya evaluasi “kinerja” Dirut yang lama
Direksi Persyaratan 1) Kualifikasi pendidikan, 2) usia, 3) pengalaman kerja, 4) lulus pelatihan manajemen air minum, 5) batasan berapa kali menjabat sebagai Direksi,
bersedia bekerja penuh waktu 6) tidak terikat hubungan keluarga dengan
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah atau Dewan Pengawas atau Direksi lainnya sampai derajat ketiga menurut garis lurus atau kesamping termasuk menantu dan ipar;
7) lulus uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh tim ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
Prosedur Pengangkatan Direksi
Tanpa Persetujuan Gubernur
Pengaturan Rangkap Jabatan Direksi
Larangan rangkap jabatan
Tugas dan Wewenang Direksi
Tugas dan Wewenang Direksi
Penghargaan terhadap Direksi
Pemberian insentif kepada Direksi
Mekanisme Pemberhentian Direksi
Konsekuensi Direksi tidak hadir dalam persidangan Dewan Pengawas.
Istilah Badan Pengawas
Dirubah menjadi Dewan Pengawas
Dewan Pengawas Batas usia Dewan Pengawas
Dewan Pengawas Syarat calon anggota Dewan Pengawas
Dewan Pengawas Larangan memiliki hubungan keluarga antara dewan pengawas dengan direksi
Dewan Pengawas Kewenangan
Dewan Pengawas Jumlah Dewan Pengawas
Dewan Pengawas Batasan berapa kali masa jabatan anggota Dewan Pengawas.
Dewan Pengawas tidak mengatur kriteria pengangkatan anggota Dewan Pengawas
Dewan Pengawas tugas dan wewenang Dewan Pengawas tidak komprehensif.
Dewan Pengawas Mekanisme pemberhentian anggota Dewan Pengawas.
Kepegawaian PDAM Mekanisme Pengangkatan
Kepegawaian PDAM Kedudukan hukum, gaji, pensiun
Kepegawaian PDAM Cuti
Kepegawaian PDAM Penghargaan dan Tanda Jasa kepada Pegawai PDAM
Kepegawaian PDAM Kewajiban dan larangan pegawai PDAM
Kepegawaian PDAM Pelangggaran dan pemberhentian pegawai PDAM.
Kepegawaian PDAM Dana Pensiun Pegawai
BAB VI
PENUTUP
Standar materi Bab ini ditentukan di dalam Lampiran I angka 6 UUP3. Bab
penutup terdiri atas subbab simpulan dan saran. Simpulan memuat rangkuman
pokok pikiran yang berkaitan dengan praktik penyelenggaraan, pokok elaborasi
teori, dan asas yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya.
A. KESIMPULAN
1. Alinea ke - 4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 (UUD NRI 1945), mencerminkan suatu kerangka teoritik tentang kewajiban
konstitusional Pemerintahan Negara, termasuk Pemerintah Daerah, untuk
menyelenggarakan kesejahteraan umum, termasuk penyediaan air minum atau
air besih, dengan tetap memperhatikan kelestarian sumber daya air dalam
rangka penyelenggaraan penyediaan air bersih yang berkelanjutan. Eksistensi
peraturan daerah ini akan menjamin dan melindungi hak rakyat atas
ketersediaan air bersih di satu sisi dan perlindungan serta penyelamatan sumber
daya air pada sisi lainnya, sebagai bentuk pemenuhan syarat terhadap asas
legalitas dalam negara hukum “rechtstaat”, yang mensyaratkan bahwa bentuk
perlindungan itu harus diatur dalam instrumen hukum, di daerah berupa
Peraturan Daerah. Peraturan daerah itu merupakan legitimasi hukum bagi
pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang akutabel,
yaitu pelayanan publik berdasarkan atas hukum. Upaya perlindungan hak
rakyat yang dimplementasikan dalam bentuk pelayanan dilakukan melalui
pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai cerminan konstruktif dari
bentuk negara, negara berdasarkan atas hukum. Peraturan perundang-undangan
yang dibentuk harus taat asas dan taat materi pengaturan sebagaimana diatur di
dalam UUP3.
2. Secara empiris kondisi kabupaten Klungkung yang secara topografis berbukit-
bukit, memiliki sumber air terbatas, yaitu pada mata air dan sungai yang
terdapat di wilayah daratan Kabupaten Klungkung. Berbeda dengan di
Kecamatan Nusa Penida sama, yang sumber air nya berasal dari mata air dan air
hujan yang ditampung dalam cubang oleh penduduk setempat. Dengan kondisi
topografi seperti itu, maka diperlukan kebijakan-kebijakan inovatif oleh PDAM
dalam meningkatkan pelayanan akan kebutuhan air bersih bagi masyarakat
kabupaten Klungkung seluruhnya. Ditambah dengan adanya kebijakan prioritas
pemerintah daerah kabupaten Klungkung yang berkaitan dengan pengelolaan
kawasan mata air serta pembangunan prasarana air bersih. Kondisi demikian
menyebabkan pentingnya peningkatan pelayanan melalui pengaturan organisasi
PDAM dalam hal struktur kelembagaan yang tepat, mengatur hak dan
kewenangan dari pengurus serta mekanisme pengawasan. Hal ini dalam rangka
mewujudkan good corporate governance dalam PDAM. Sehingga esensi dari
Rancangan Peraturan Daerah tentang PDAM yang merupakan perubahan atas
Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung No. 11 Tahun 1990 tentang Pendirian
Perusahaan Daerah Air Minum dalam mewujudkan optimalisasi pelayanan akan
air bersih dapat terwujud.
3. Evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan menghasilkan fakta
hukum yang menunjukkan bahwa UU Pemda dan Permendagri No. 2 Tahun
2007 tentang Organ dan Kepegawaian PDAM menyediakan alokasi
kewenangan yang menentukan bahwa struktur, ruang lingkup, dan materi
pengaturan organisasi PDAM. Undang-Undang No. 23/2014 menentukan agar
pendirian BUMD, bertujuan untuk:
a. memberikan manfaat bagi perkembangan perekonomianDaerah pada umumnya;
b. menyelenggarakan kemanfaatan umum berupapenyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu bagipemenuhan hajat hidup masyarakat sesuai kondisi,karakteristik dan potensi Daerah yang bersangkutanberdasarkan tata kelola perusahaan yang baik; dan
c. memperoleh laba dan/atau keuntungan.
Sedangkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2007 tentang Organ
dan Kepegawaian PDAM menjadi rujukan dalam perubahan organ dan
Kepegawaian PDAM secara keseluruhan.
4. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2007 tentang Organ
dan Kepegawaian PDAM diharuskan untuk membentuk Perda kabupaten
Klungkung terkait perubahan Peraturan Daerah Klungkung No. 11 Tahun 1990
tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum. Dalam rangka
penyelenggaraan organ PDAM Kabupaten Klungkung yang efektif, professional,
transparan dan akuntabilitas. Serta Mewujudkan Penyelenggaraan PDAM yang
berdasarkan prinsip Good Corporate Governance
B. SARAN
1. Pemerintah Daerah Kabupaten Klungkung disarankan untuk membentuk Perda
Kabupaten sesuai dasar kewenangan dan materi kewenangan sebagaimana
ditentukan oleh UU Pemda dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun
2007 tentang Organ dan Kepegawaian PDAM.
2. Perlunya pemilahan substansi Naskah Akademik dalam suatu Peraturan
Perundang-undangan atau Peraturan Perundangundangan di bawahnya.
DAFTAR BACAAN Buku Literatur :
A.V Dicey, 1987, Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution, Fifth edition, London, Macmillan And Co., Limited New York: The Macmillan Company, p. 179-187
Ann Seidman, Robert Seidman, 2002, Penyusunan RUU Dalam Perubahan Masyarakat Yang Demokratis, Penyunting, Yohanes Usfunan cs., Elips, Jakarta
Badan Pusat Statistik Kabupaten Klungkung, 2014, Klungkung Dalam Angka 2014
Bagir Manan, 1992, Dasar-Dasar Perundangan Di Indonesia, Indo Hill, Co. Jakarta
Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi Keempat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
George Whitecross Paton, 1951, A Text-Book of Jurisprudence, Clarendon Press, Oxford, h. 20.
H. Rosjidi Ranggawidjaja, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, Penerbit CV Mandar Maju, Bandung.
Hamid Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analis: Keputusan Presiden Yang Berfungsi Peraturan Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita V, Disertasi PPS Universitas Indonesia.
Hans Kelsen, 2006, General Theory of Law and State, Transaction Publishers, New Brunswick.
Jimly Asshidiqqie, 2011, Perihal Undang-Undang, Cetakan Ke II, RajaGrafindo Persada, Jakarta
Joeniarto, 1980, Selayang Pandang Tentang Sumber Sumber Hukum Tata Negara Di Indonesia, Yogyakarta, Liberty, Jogyakarta, cet II
Lili Rasjidi & Arief Sidharta, 1988, Filsafat Hukum – Mashab dan Refleksinya, PT Remaja Rosda Karya, Bandung
Lung-chu Chen, 1989, An Introduction to Contemporary International Law: A Policy Oriented Perspective, Yale University Press, New York.
Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-undangan, Penerbit Kanisius, Jogjakarta
Moh. Mahfud MD, 1993, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty, Jogjakarta
Myres S. McDougal and W. Michael Reisman, International Law in Policy-Oriented Perspective, dalam R. St Johnston and J. Macdonald Douglas, The Structure and Process of International Law: Essays in Legal Philosophy, Doctrine and Theory, Martinus Nijhoff Publishers, The Hague, 1983.
PH. Collin, 2004, Dictionary of Law, Fourth Edition, Bloomsbury Publishing Plc, London.
Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang No. 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur
Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (karena Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 membatalkan seluruh ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1998 Tentang Bentuk Hukum Badan Usaha Milik Daerah
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian PDAM.
Amar Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013, 17 September 2015 angka 5.
Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung.
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG
NOMOR [ ] TAHUN [ ]
TENTANG
PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM [TIRTA MAHOTTAMA]
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI KLUNGKUNG,
Menimbang : a. bahwa Perusahaan Daerah Air Minum [Tirta Mahottama]
merupakan Perusahaan Daerah yang melakukan pelayanan publik dalam pemenuhan air minum sebagai kebutuhan dasar masyarakat;
b. bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan keadaan, sehingga perlu diganti;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Daerah Tentang Organ dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan
Daerah-Daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1655);
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2387);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587); Sebagaimana telah diubah beberapa kali dan perubahan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia 5679); 4. Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3046);
5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851);
6. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 5234);
7. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum.
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG dan
BUPATI KLUNGKUNG
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG TENTANG
PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM [TIRTA MAHOTTAMA]
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 1. Bupati adalah Bupati Klungkung. 2. DPRD adalah DPRD Klungkung. 3. Perusahaan Daerah Air Minum [Tirta Mahottama] yang selanjutnya disingkat
PDAM-TM adalah Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Klungkung. 4. Direksi adalah Direksi PDAM-TM. 5. Dewan Pengawas adalah Dewan Pengawas PDAM-TM. 6. Jasa produksi adalah laba bersih setelah dikurangi dengan penyusutan,
cadangan tujuan dan pengurangan yang wajar dalam perusahaan. 7. Konsumen adalah Pihak pelanggan jasa PDAM-TM
Pasal 2
PDAM-TM ini adalah PDAM yang didirikan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung.
BAB II
MODAL
Pasal 3 (1) Modal PDAM-TM bersumber pada:
a. Penyertaan modal Daerah; b. Pinjaman; c. Hibah; dan d. Sumber modal lainnya.
(2) Sumber modal lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurf d, mencakup: a. Kapitalisasi cadangan; b. Keuntungan revaluasi asset; dan c. Agio saham.
Pasal 4
(1) Bupati menyertakan modal secara periodik pada PDAM-AT. (2) Usulan penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berdasarkan: a. penilaian DPRD; b. usulan penambahan modal dari PDAM-AT berdasarkan kebutuhan riil
operasional PDAM-AT. (3) Dalam hal penambahan modal berdasarkan usulan PDAM-AT sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b, usulan disampaikan oleh Direktur PDAM-AT kepada Bupati.
BAB III ORGAN PDAM
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
(1) PDAM didukung dengan organ dan kepegawaian. (2) Organ PDAM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. Bupati selaku pemilik modal; b. Dewan Pengawas: dan c. Direksi.
Bagian Kedua Direksi
Paragraf 1
Jumlah Direksi, Calon, Persyaratan, Uji Kelayakan, Pengangkatan Direksi, Masa Jabatan Direksi
Pasal 6
(1) Jumlah Direksi ditetapkan berdasarkan jumlah pelanggan PDAM dengan ketentuan: a. 1 (satu) orang Direksi untuk jumlah pelanggan sampai dengan 30.000; b. paling banyak 3 (tiga) orang Direksi untuk jumlah pelanggan dari 30.001
sampai dengan 100.000; dan c. paling banyak 4 (empat) orang Direksi untuk jumlah pelanggan di atas
100.000. (2) Penentuan jumlah Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan
huruf c dilakukan berdasarkan asas efisiensi dan efektivitas pengurusan dan pengelolaan PDAM.
Pasal 7
(1) Calon Direksi dapat berasal dari PDAM atau luar PDAM. (2) Batas usia Direksi yang berasal dari luar PDAM pada saat diangkat pertama
kali berumur paling tinggi 50 (lima puluh) tahun. (3) Batas usia Direksi yang berasal dari PDAM pada saat diangkat pertama kali
berumur paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun.
Pasal 8 Persyaratan Calon Direksi, mencakup: a. mempunyai pendidikan Sarjana Strata 1(S-1): b. mempunyai pengalaman kerja 10 tahun bagi yang berasal dari PDAM
atau mempunyai pengalaman kerja minimal 15 tahun mengelola perusahaan bagi yang bukan berasal dari PDAM yang dibuktikan dengan surat keterangan (referensi) dari perusahaan sebelumnya dengan penilaian baik;
c. lulus pelatihan manajemen air minum di dalam atau di luar negeri yang telah terakreditasi dibuktikan dengan sertifikasi atau ijazah;
d. membuat dan menyajikan proposal mengenal visi dan misi PDAM; e. bersedia bekerja penuh waktu:
f. tidak terikat hubungan keluarga dengan Bupati/Wakil Bupati atau Dewan Pengawas atau Direksi lainnya sampai derajat ketiga menurut garis lurus atau kesamping termasuk menantu dan ipar; dan
g. lulus uji kelayakan dan kepatutan.
Pasal 9 (1) Setiap Calon Direksi yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c untuk dapat diangkat sebagai Direksi harus mengikuti uji kelayakan dan kepatutan.
(2) Uji kelayakan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh tim ahli.
(3) Tim ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditunjuk oleh Bupati. (4) Tim ahli menyelenggarakan uji kelayakan dan kepatutan sesuai dengan
standar operasional prosedur yang ditetapkan oleh Bupati. (5) Tim ahli menyampaikan hasil uji kelayakan dan kepatutan kepada Bupati. (6) Bupati memberitahukan hasil uji kelayakan dan kepatutan kepada DPRD.
Pasal 10
(1) Bupati mengangkat Direksi atas usul Dewan Pengawas dan memperhatikan saran dari DPRD.
(2) Pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
Pasal 11 (1) Direksi yang berjumlah paling banyak 3 (tiga) atau paling banyak 4 (empat)
orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dan huruf c, seorang diantaranya diangkat sebagai Direktur Utama.
(2) Pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan penilaian terbaik atas hasil uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan oleh Bupati terhadap seluruh Direksi.
(3) Bupati memberitahukan hasil uji kelayakan kepada DPRD.
Pasal 12 (1) Masa jabatan Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c
selama 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(2) Pengangkatan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila Direksi terbukti mampu meningkatkan kinerja PDAM dan pelayanan kebutuhan air minum kepada masyarakat setiap tahun.
(3) Jabatan Direksi berakhir pada saat yang bersangkutan berumur paling tinggi 60 (enam puluh) tahun.
Pasal 13
(1) Direksi dilarang memangku jabatan rangkap. (2) Jabatan rangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mencakup:
a. jabatan struktural atau fungsional pada instansi/lembaga Pemerintah Pusat dan Daerah;
b. anggota Direksi pada BUMD lainnya, BUMN, dan badan usaha swasta; c. jabatan yang dapat menimbulkan benturan kepentingan pada PDAM;
dan/atau d. jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Direksi tidak boleh mempunyai kepentingan pribadi secara langsung atau tidak langsung yang dapat menimbulkan benturan kepentingan pada PDAM.
Paragraf 2 Tugas dan Wewenang
Pasal 14
Tugas Direksi, mencakup: a. menyusun perencanaan, melakukan koordinasi dan pengawasan terhadap
seluruh kegiatan operasional PDAM; b. membina pegawai; c. mengurus dan mengelola kekayaan PDAM; d. menyelenggarakan administrasi umum dan keuangan; e. menyusun Rencana Strategis Bisnis 5 (lima) tahunan (business plan/corporate
plan) yang disahkan oleh Kepada Daerah melalui usul Dewan Pengawas. f. menyusun dan menyampaikan Rencana Bisnis dan Anggaran Tahunan
PDAM yang merupakan penjabaran tahunan dari Rencana Strategis Bisnis (business plan/corporate plan) kepada Bupati melalui Dewan Pengawas; dan
g. menyusun dan menyampaikan laporan seluruh kegiatan PDAM.
Pasal 15 (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf g terdiri dari Laporan
Triwulan dan Laporan Tahunan. (2) Laporan Triwulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari laporan
kegiatan operasional dan keuangan yang disampaikan kepada Dewan Pengawas.
(3) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari laporan keuangan yang telah diaudit dan laporan manajemen yang ditandatangani bersama oleh Direksi dan Dewan Pengawas, disampaikan kepada Bupati;
(4) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan paling lambat 120 (seratus dua puluh) hari setelah tahun buku PDAM ditutup untuk disahkan oleh Bupati paling lambat dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah diterima.
(5) Direksi menyebarluaskan Laporan Tahunan melalui media masa paling lambat 15 (lima betas) hari setelah disahkan oleh Bupati.
(6) Anggota Direksi atau Dewan Pengawas yang tidak menandatangani Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disebutkan alasannya secara tertulis.
Pasal 16
Direksi dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 mempunyai wewenang: a. mengangkat dan memberhentikan pegawai PDAM berdasarkan Peraturan
Kepegawaian PDAM; b. menetapkan susunan organisasi dan tata kerja PDAM dengan persetujuan
Dewan Pengawas; c. mengangkat pegawai untuk menduduki jabatan di bawah Direksi; d. mewakili PDAM di dalam dan di luar pengadilan; e. menunjuk kuasa untuk melakukan perbuatan hukum mewakili PDAM; f. menandatangani Laporan Triwulan dan Laporan Tahunan; g. menjual, menjaminkan atau melepaskan aset milik PDAM berdasarkan
persetujuan Bupati atas pertimbangan Dewan Pengawas; h. melakukan pinjaman, mengikatkan diri dalam perjanjian, dan melakukan
kerjasama dengan pihak lain dengan persetujuan Bupati atas pertimbangan Dewan Pengawas dengan menjaminkan aset PDAM.
Pasal 17 Untuk mendukung kelancaran pengelolaan PDAM, Direksi dapat diberikan dana representatif paling banyak 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah penghasilan Direksi dalam 1 (satu) tahun.
Paragraf 3 Penunjukan Pejabat Sementara
Pasal 18
(1) Apabila sampai berakhirnya masa jabatan Direksi, pengangkatan Direksi baru masih dalam proses penyelesaian, Bupati dapat menunjuk/mengangkat Direksi yang lama atau seorang Pejabat Struktural PDAM sebagai pejabat sementara.
(2) Pengangkatan pejabat sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
(3) Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku paling lama 6 (enam) bulan.
(4) Pejabat sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan.
Paragraf 4 Penghasilan, Jasa Pengabdian, dan Cuti
Pasal 19 (1) Penghasilan Direksi terdiri dari gaji dan tunjangan. (2) Tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. tunjangan perawatan/kesehatan yang anak termasuk istri/suami dan anak; dan
b. tunjangan lainnya. (3) Dalam hal PDAM memperoleh keuntungan, Direksi memperoleh bagian dari
jasa produksi. (4) Besarnya gaji, tunjangan, dan bagian dari jasa produksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Bupati setelah memperhatikan pendapat Dewan Pengawas dan kemampuan PDAM.
(5) Jumlah seluruh biaya untuk penghasilan Direksi, penghasilan Dewan Pengawas, penghasilan pegawai dan biaya tenaga kerja lainnya tidak boleh melebihi 40% (empat puluh per seratus) dari total biaya berdasarkan realisasi Anggaran Perusahaan Tabun Anggaran yang lalu.
Pasal 20 (1) Direksi setiap akhir masa jabatan dapat diberikan uang jasa pengabdian (2) Besarnya uang jasa pengabdian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Bupati berdasarkan usul Dewan Pengawas dan kemampuan PDAM.
(3) Direksi yang diberhentikan dengan hormat sebelum masa jabatannya berakhir dapat diberikan uang jasa pengabdian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan syarat telah menjalankan tugasnya paling sedikit 1 (satu) tahun.
(4) Besarnya uang jasa pengabdian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) didasarkan atas perhitungan lamanya bertugas dibagi masa jabatan dikalikan penghasilan bulan terakhir.
Pasal 21 (1) Direksi memperoleh hak cuti, meliputi:
a. cuti tahunan; b. cuti besar; c. cuti sakit; d. cuti karena alasan penting atau cuti untuk menunaikan lbadah haji; e. cuti nikah; f. cuti bersalin; dan g. cuti di luar tanggungan PDAM.
(2) Direksi yang menjalankan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap diberikan penghasilan penuh kecuali cuti di luar tanggungan PDAM.
(3) Pelaksanaan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Bupati dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Paragraf 5
Pemberhentian
Pasal 22
(1) Direksi berhenti karena: a. masa jabatannya berakhir; dan/atau b. meninggal dunia.
(2) Direksi diberhentikan karena: a. permintaan sendiri; b. reorganisasi; c. melakukan tindakan yang merugikan PDAM; d. melakukan tindakan atau bersikap yang bertentangan dengan
kepentingan Daerah atau Negara; e. mencapai batas usia 60 (enam puluh) tahun; dan f. tidak dapat melaksanakan tugasnya.
(3) Pemberhentian Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Bupati.
Pasal 23
(1) Direksi yang diduga melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf c dan huruf d diberhentikan sementara oleh Bupati atas usul Dewan Pengawas untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
(2) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bupati disertai dengan alasan dan diberitahukan kepada yang bersangkutan.
Pasal 24 (1) Paling lambat 1 (satu) bulan sejak pemberhentian sementara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23, Dewan Pengawas melakukan sidang yang dihadiri oleh Direksi untuk menetapkan yang bersangkutan diberhentikan atau direhabilitasi.
(2) Dewan Pengawas melaporkan kepada Bupati hasil sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai bahan bagi Bupati untuk memberhentikan atau merehabilitasi.
(3) Apabila dalam persidangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direksi tidak hadir tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dianggap menerima hasil sidang Dewan Pengawas.
(4) Apabila perbuatan yang dilakukan oleh Direksi merupakan tindak pidana dengan putusan bersalah dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang bersangkutan diberhentikan dengan tidak hormat.
Bagian Ketiga
Dewan Pengawas
Paragraf 1 Jumlah, Calon, Persyaratan, Uji Kelayakan, Pengangkatan, Masa Jabatan Dewan
Pengawas
Pasal 25 (1) Jumlah anggota Dewan Pengawas ditetapkan berdasarkan jumlah pelanggan
dengan ketentuan: a. paling banyak 3 (tiga) orang untuk jumlah pelanggan sampai dengan
30.000; dan b. paling banyak 5 (lima) orang untuk jumlah pelanggan di atas 30.000.
(2) Penentuan jumlah Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan asas efisiensi pengawasan dan efektivitas pengambilan keputusan.
Pasal 26
(1) Dewan Pengawas berasal dari unsur pejabat pemerintah daerah, profesional dan/atau masyarakat konsumen.
(2) Batas usia Dewan Pengawas paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun. (3) Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh
Bupati.
Pasal 27 (1) Persyaratan calon anggota Dewan Pengawas, mencakup:
a. menguasai manajemen PDAM; b. menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugasnya; dan c. tidak terikat hubungan keluarga dengan Bupati/Wakil Bupati atau
Dewan Pengawas yang lain atau Direksi sampai derajat ketiga baik menurut garis lurus atau kesamping termasuk menantu dan ipar.
(2) Pengangkatan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
Pasal 28 Anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) diangkat seorang sebagai Ketua merangkap anggota dan seorang sebagai Sekretaris merangkap anggota dengan Keputusan Bupati.
Pasal 29
(1) Masa jabatan anggota Dewan Pengawas paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(2) Pengangkatan kembali anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan kinerja dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan Direksi dan kemampuan PDAM dalam meningkatkan kinerja pelayanan air minum kepada masyarakat.
Paragraf 2
Tugas dan Wewenang
Pasal 30 Dewan Pengawas mempunyai tugas:
a. melaksanakan pengawasan, pengendalian dan pembinaan terhadap pengurusan dan pengelolaan PDAM;
b. memberikan pertimbangan dan saran kepada Bupati diminta atau tidak diminta guna perbaikan dan pengembangan PDAM antara lain pengangkatan Direksi, program kerja yang diajukan oleh Direksi, rencana perubahan status kekayaan PDAM, rencana pinjaman dan ikatan hukum dengan pihak lain, serta menerima, memeriksa dan atau menandatangani Laporan Triwulan dan Laporan Tahunan; dan
c. memeriksa dan menyampaikan Rencana Strategis Bisnis (business plan/corporate plan), dan Rencana Bisnis dan Anggaran Tahunan PDAM yang dibuat Direksi kepada Bupati untuk mendapatkan pengesahan.
Pasal 31 Dewan Pengawas dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, mempunyai wewenang: a. menilai kinerja Direksi dalam mengelola PDAM; b. menilai Laporan Triwulan dan Laporan Tahunan yang disampaikan Direksi
untuk mendapat pengesahan Bupati; c. meminta keterangan Direksi mengenai pengelolaan dan pengembangan
PDAM; dan d. mengusulkan pengangkatan, pemberhentian sementara, rehabilitasi dan
pemberhentian Direksi kepada Bupati.
Pasal 32 (1) Untuk membantu kelancaran tugas Dewan Pengawas dapat dibentuk
Sekretariat Dewan Pengawas dengan Keputusan Ketua Dewan Pengawas. (2) Sekretariat Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
beranggotakan paling banyak 3 (tiga) orang dan dibebankan pada Anggaran PDAM.
(3) Pembentukan Sekretariat Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) memperhatikan efisiensi pembiayaan PDAM.
Paragraf 3 Penghasilan dan Jasa Pengabdian
Pasal 33
Dewan Pengawas diberikan penghasilan berupa uang jasa.
Pasal 34 (1) Ketua Dewan Pengawas merangkap anggota menerima uang jasa paling
banyak 45% (empat puluh lima per seratus) dari gaji Direktur Utama. (2) Sekretaris Dewan Pengawas merangkap anggota menerima uang jasa paling
banyak 40% (empat puluh per seratus) dari gaji Direktur Utama. (3) Setiap anggota Dewan Pengawas menerima uang jasa paling banyak 35%
(tiga puluh lima per seratus) dari gaji Direktur Utama.
Pasal 35 Dalam hal PDAM memperoleh keuntungan, Dewan Pengawas memperoleh bagian dari jasa produksi secara proporsional dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 34.
Pasal 36 (1) Besarnya uang jasa dan bagian dari bagian dari jasa produksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ditetapkan oleh Bupati. (2) Penetapan uang jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan
kemampuan PDAM.
Pasal 37 (1) Dewan Pengawas mendapat uang jasa pengabdian. (2) Besarnya uang jasa pengabdian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Bupati dengan memperhatikan kemampuan PDAM. (3) Dewan Pengawas yang diberhentikan dengan hormat sebelum masa
jabatannya berakhir, mendapat uang jasa pengabdian dengan syarat telah menjalankan tugasnya paling sedikit 1(satu) tahun.
(4) Besarnya uang jasa pengabdian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) didasarkan atas perhitungan lamanya bertugas dibagi masa jabatan dikalikan uang jasa bulan terakhir.
Paragraf 4 Pemberhentian
Pasal 38
(1) Anggota Dewan Pengawas berhenti karena: a. masa jabatannya berakhir; dan/atau b. meninggal dunia.
(2) Anggota Dewan Pengawas diberhentikan karena: a. permintaan sendiri; b. reorganisasi; c. kedudukan sebagai pejabat daerah telah berakhir; d. mencapai batas usia 65 (enam puluh lima) tahun; e. tidak dapat melaksanakan tugas; f. melakukan tindakan yang merugikan PDAM: dan g. melakukan tindakan atau bersikap yang bertentangan dengan
kepentingan Daerah atau Negara. (3) Pemberhentian anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditetapkan oleh Bupati.
Pasal 39 (1) Anggota Dewan Pengawas yang melakukan tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf f dan huruf g diberhentikan sementara oleh Bupati.
(2) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
Pasal 40
(1) Paling lambat 1 (satu) bulan sejak pemberhentian sementara, Bupati melaksanakan rapat yang dihadiri oleh anggota Dewan Pengawas untuk menetapkan yang bersangkutan diberhentikan atau direhabilitasi.
(2) Apabila dalam waktu 1 (satu) bulan Bupati belum melakukan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemberhentian sementara batal demi hukum.
(3) Apabila dalam persidangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) anggota Dewan Pengawas tidak hadir tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dianggap menerima hasil rapat.
(4) Apabila perbuatan yang dilakukan oieh anggota Dewan Pengawas merupakan tindak pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang bersangkutan diberhentikan dengan tidak hormat.
BAB IV
PEGAWAI Bagian Kesatu Pengangkatan
Pasal 41
(1) Pengangkatan pegawai PDAM harus memenuhi persyaratan: a. Warga Negara Republik Indonesia; b. berkelakuan baik dan belum pernah dihukum; c. mempunyai pendidikan, kecakapan dan keahlian yang diperlukan; d. dinyatakan sehat oleh rumah sakit umum yang ditunjuk oleh Direksi; e. usia paling tinggi 35 (tiga puluh lima) tahun; dan f. lulus seleksi.
(2) Pengangkatan pegawai dilakukan setelah melalui masa percobaan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dengan ketentuan memenuhi daftar penilaian kerja setlap unsur paling sedikit bernilal baik.
(3) Selama masa percobaan sebagaimana dimasud pada ayat (2) dilakukan penilaian meliputi: a. loyalitas; b. kecakapan; c. kesehatan; d. kerjasama; e. kerajinan; f. prestasi kerja; dan g. kejujuran.
(4) Apabila pada akhir masa percobaan calon pegawai tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diberhentikan tanpa mendapat uang pesangon.
Pasal 42 (1) Direksi dapat mengangkat tenaga honorer atau tenaga kontrak dengan
pemberian honorarium yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Direksi yang berpedoman pada Upah Minimum Kabupaten.
(2) Tenaga honorer atau tenaga kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperbolehkan menduduki jabatan.
Pasal 43 (1) Batas usia pensiun pegawai PDAM 56 (lima puluh enam) tahun. (2) Pegawai yang memasuki masa pensiun dapat diberikan kenaikan pangkat
pengabdian setingkat lebih tinggi dari pangkatnya dengan ketentuan paling sedikit telah 2 (dua) tahun dalam pangkat terakhir.
Bagian Kedua Penghasilan dan Cuti
Pasal 44
(1) Pegawai PDAM berhak atas gaji, tunjangan dan penghasilan lainnya yang sah sesuai dengan pangkat, jenis pekerjaan dan tanggung jawabnya.
(2) Tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. tunjangan pangan; b. tunjangan kesehatan; dan c. tunjangan lainnya.
(3) Tunjangan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan kepada pegawai beserta keluarganya yang menjadi tanggungan.
(4) Tunjangan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengobatan dan/atau perawatan di rumah sakit, klinik dan lain-lain yang pelaksanaannya ditetapkan dengan Keputusan Direksi.
(5) Pemberian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan kemampuan PRAM.
Pasal 45 (1) Penyusunan skala gaji pegawai PDAM dapat mengacu pada prinsip-prinsip
skala gaji Pegawai Negeri Sipil yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan PDAM.
(2) Ketentuan gaji pegawai PDAM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Direksi.
Pasal 46 (1) Pegawai yang beristri/bersuami diberikan tunjangan istri/suami paling
tinggi 10% (sepuluh per seratus) dari gaji pokok. (2) Pegawai yang mempunyai anak berumur kurang dari 21 (dua puluh satu)
tahun, belum mempunyai penghasilan sendiri dan belum menikah, diberikan tunjangan anak sebesar 5% (lima per seratus) dari gaji pokok untuk setiap anak.
(3) Tunjangan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperpanjang sampai umur 25 (dua puluh lima) tahun, dalam hal anak masih bersekolah/kuliah yang dibuktikan dengan surat keterangan dari sekolah/perguruan tinggi.
(4) Tunjangan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling banyak untuk 2 (dua) orang anak.
Pasal 47 (1) Pegawai berhak atas jaminan hari tua yang dananya dihimpun dari usaha
PDAM atau iuran pegawai PDAM yang ditetapkan dengan Keputusan Direksi.
(2) Besarnya tunjangan jaminan hari tua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas perhitungan gaji.
Pasal 48 Dalam hal PDAM memperoleh keuntungan, pegawai PDAM diberikan bagian dari jasa produksi sesuai dengan kemampuan keuangan PDAM.
Pasal 49
(1) Pegawai yang memiliki nilai rata-rata baik dalam Daftar Penilaian Kerja Pegawai diberikan kenaikan gaji berkala.
(2) Apabila yang bersangkutan belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kenaikan gaji berkala ditunda paling lama 2 (dua) tahun.
Pasal 50 (1) Pegawai memperoleh hak cuti, meliputi:
a. cuti tahunan; b. cuti besar; c. cuti sakit; d. cuti karena alasan panting atau cuti untuk menunaikan lbadah haji; e. cuti nikah; f. cuti bersalin; dan g. cuti di luar tanggungan PDAM.
(2) Pegawai yang menjalankan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap diberikan penghasilan penuh, kecuali cuti di luar tanggungan PDAM.
(3) Pelaksanaan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Bupati dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga Penghargaan dan Tanda Jasa
Pasal 51
(1) Direksi memberikan penghargaan kepada pegawai yang mempunyai masa kerja secara terus menerus selama 10 tahun, 20 tahun dan 30 tahun yang besarnya disesuaikan dengan kemampuan PDAM.
(2) Direksi memberikan tanda jasa kepada pegawai yang telah menunjukkan prestasi luar biasa dalam pengembangan PDAM.
(3) Pemberian penghargaan dan tanda jasa kepada pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Direksi.
Bagian Keempat
Kewajiban dan Larangan
Pasal 52 Setiap pegawai wajib: a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila dan melaksanakan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tabun 1945; b. mendahulukan kepentingan PDAM di atas kepentingan lainnya; c. mematuhi dan mentaati segala kewajiban dan Larangan; dan d. memegang teguh rahasia PDAM dan rahasia jabatan.
Pasal 53
Pegawai dilarang: a. melakukan kegiatan yang merugikan PDAM, Daerah dan/atau Negara; b. menggunakan kedudukannya untuk memberikan keuntungan bagi diri
sendiri dan/atau orang lain yang merugikan PDAM; dan c. mencemarkan nama baik PDAM, Daerah dan/atau Negara.
Bagian Kelima
Pelanggaran dan Pemberhentian
Pasal 54 (1) Pegawai PDAM dapat dikenakan hukuman. (2) Jenis hukuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. teguran lisan; b. teguran tertulis; c. penundaan kenaikan gaji berkala; d. penundaan kenaikan pangkat: e. penurunan pangkat; f. pembebasan jabatan; g. pemberhentian sementara; h. pemberhentian dengan hormat; dan i. pemberhentian dengan tidak hormat.
(3) Pelaksanaan penjatuhan hukuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Direksi.
Pasal 55
(1) Pegawai PDAM diberhentikan sementara apabila diduga telah melakukan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dan/atau tindak pidana.
(2) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 6 (enam) bulan atau adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas dugaan tindak pidana yang dilakukan.
Pasal 56 (1) Pegawai PDAM yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55, mulai bulan berikutnya diberikan 50% (lima puluh per seratus) dari gaji.
(2) Dalam hal pegawai yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terbukti bersalah, pegawai yang bersangkutan harus dipekerjakan kembali dalam jabatan yang sama dan berhak menerima sisa penghasilan yang belum diterima.
(3) Dalam hal pegawai yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbukti bersalah, Direksi memberhentikan dengan tidak hormat.
Pasal 57
(1) Pegawai diberhentikan dengan hormat, karena: a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri; c. tidak dapat melaksanakan tugas; d. tidak sehat yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; e. telah mencapai usia pensiun; dan/atau f. reorganisasi.
(2) Pegawai yang diberhentikan dengan hormat diberikan pesangon yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Direksi.
(3) Pegawai yang diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b pelaksanaannya berlaku pada akhir bulan berikutnya.
Pasal 58
Pegawai diberhentikan dengan tidak hormat, karena: a. melanggar sumpah pegawai dan/atau sumpah Jabatan; b. dihukum berdasarkan putusan pengadilan dalam perkara pidana yang telah
memperoieh kekuatan hukum tetap; dan/atau c. merugikan keuangan PDAM.
BAB V TARIF
Bagian Kesatu
Dasar Penetapan dan Penggolongan Tarif
Pasal 59 (1) Bupati menetapkan tarif PDAM dengan persetujuan DPRD.
(2) Tarif PDAM-AT ditetapkan berdasarkan volume konsumsi air.
Pasal 60 (1) Tarif PDAM-AT digolongkan berdasarkan golongan konsumen. (2) Golongan Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mencakup:
a. Rumah tangga; b. Badan usaha; c. Desa adat.
Bagian Kedua
Tarif yang Dibayarkan dan Meteran Air
Pasal 61 (1) Konsumen wajib membayar tarif air yang dikonsumsi. (2) Besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada angka
penunjuk jumlah konsumsi air pada meteran air.
Pasal 62 (1) PDAM-AT memasang meteran air pada setiap konsumen. (2) Lokasi pemasangan meteran air ditentukan oleh PDAM-AT berdasarkan
persetujuan konsumen. (3) Biaya pemasangan meteran air dibebankan kepada konsumen. (4) Besarnya biaya pemasangan meteran air sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditetapkan berdasarkan ketersediaan pipa distribusi air PDAM-AT pada lokasi konsumen.
(5) Besarnya biaya pemasangan meteran air sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Direktur.
BAB VI
DANA PENSIUN
Pasal 63 (1) Direksi dan Pegawai PDAM wajib diikutsertakan pada program pensiun
yang diselenggarakan oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan.
(2) Penyelenggara program pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas pertimbangan optimalisasi dan kepastian manfaat bagi Direksi dan pegawai PDAM sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Atas pertimbangan efektifitas dan efisiensi penyelenggara program pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan dana pensiun pemberi kerja yang diselenggarakan oleh gabungan PDAM.
BAB VII SANKSI
Pasal 64
(1) Konsumen yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) dikenakan sanksi berupa: a. Peringatan tertulis, apabila konsumen tidak memenuhi kewajiban selama
3 (tiga) bulan berturut-turut; b. Penyegelan, apabila konsumen tidak memenuhi kewajiban selama 3 (tiga)
bulan berturut-turut terhitung sejak tanggal penerimaan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. Pemutusan saluran, apabila konsumen tidak memenuhi kewajiban selama 5 (lima bulan berturut-turut terhitung sejak tanggal penerimaan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a.
(2) Penerimaan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dan huruf b dibuktikan dengan lembar ekspedisi surat.
(3) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal konsumen memenuhi kewajiban sebelum batas akhir pengenaan sanksi.
BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 65
Pada saat Peraturan Daerah ini, Direksi dan Dewan Pengawas PDAM tetap melaksanakan tugas sampai berakhir masa jabatannya.
Pasal 66
Direksi, Dewan Pengawas, dan Pegawai PDAM menyesuaikan dengan Peraturan Daerah ini paling lambat 6 (enam) bulan sejak ditetapkan.
BAB IX
PEMBINAAN
Pasal 67 Bupati melakukan pembinaan umum dan pengawasan.
BAB X KETENTUAN PENUTUP
Pasal 68
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Perusahaan Daerah Air Minum Pemerintah Daerah Tingkat II Klungkung dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 69
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Klungkung.
Ditetapkan di Klungkung Pada tanggal [ ] [bulan] [tahun] BUPATI KLUNGKUNG ttd.
SUWITRA
Diundangkan di Klungkung pada tanggal ………………2015 SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG, [nama ] LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULUNGKUNG TAHUN 2015 NOMOR ...
PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG
NOMOR [ ] TAHUN 2015 TENTANG
ORGAN DAN KEPEGAWAIAN PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM
1. UMUM Pemerintah Kabupaten Klungkung telah mendirikan Perusahaan Daerah Air Minum pada tahun 1990 dengan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Klungkung. Perusahaan daerah ini melakukan pelayanan air minum diseluruh wilayah Kabupaten Klungkung, yang merupakan kebutuhan dasar manusia. Perubahan peraturan daerah ini dilakukan sebagai akibat perkembangan berbagai kebutuhan sosial dan ekonomi mengakibatkan Pemerintah Kabupaten Klungkung harus menyesuaikan dengan perkembangan dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Adapun urgensi perubahan peraturan daerah ini dalam hal peningkatan kinerja PDAM dan pelayanan air minum bagi masyarakat kabupaten Klungkung.
2. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 Cukup jelas
Pasal 2 Cukup jelas
Pasal 3 Cukup jelas
Pasal 4 Cukup jelas
Pasal 5 Cukup jelas
Pasal 6 Cukup jelas
Pasal 7 Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas Pasal 9
Cukup jelas Pasal 10
Cukup jelas Pasal 11
Cukup jelas Pasal 12
Cukup jelas Pasal 13
Cukup jelas Pasal 14
Cukup jelas Pasal 15
Cukup jelas Pasal 16
Cukup jelas Pasal 17
Cukup jelas Pasal 18
Cukup jelas Pasal 19
Cukup jelas Pasal 20
Cukup jelas Pasal 21
Cukup jelas Pasal 22
Cukup jelas Pasal 23
Cukup jelas Pasal 24
Cukup jelas Pasal 25
Cukup jelas Pasal 26
Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30
Cukup jelas Pasal 31
Cukup jelas Pasal 32
Cukup jelas Pasal 33
Cukup jelas Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35 Cukup jelas
Pasal 36 Cukup jelas
Pasal 37 Cukup jelas Pasal 38 Cukup jelas Pasal 39 Cukup jelas Pasal 40
Cukup jelas Pasal 41
Cukup jelas Pasal 42
Cukup jelas Pasal 43 Cukup jelas Pasal 44 Cukup jelas Pasal 45 Cukup jelas Pasal 46 Cukup jelas Pasal 47 Cukup jelas Pasal 48
Cukup jelas Pasal 49
Cukup jelas Pasal 50 Cukup jelas Pasal 51 Cukup jelas Pasal 52 Cukup jelas Pasal 53
Cukup jelas Pasal 54 Cukup jelas Pasal 55 Cukup jelas Pasal 56 Cukup jelas Pasal 57
Cukup jelas Pasal 58 Cukup jelas Pasal 59
Cukup jelas Pasal 60
Cukup jelas Pasal 61 Cukup jelas Pasal 62 Cukup jelas Pasal 63 Cukup jelas Pasal 64
Cukup jelas Pasal 65 Cukup jelas Pasal 66 Cukup jelas Pasal 67 Cukup jelas Pasal 68
Cukup jelas Pasal 69 Cukup jelas