Surat dari Janelle -...

46
J u n 5 i 2 2 , 0 s 1 i 5 m a K 6 . 1 0 l 0 u W k u IB P -s e l e sai g a n n e t a d k i j r i i l h b k e a r i b d u ( k a p u a s a ) g G n o a n u g R i D y a da a u n b K e o K e t s a n s a u di P H a r dja s o e m a n t ri M , G B U ul H a k K s K u m P / u r A T D R A R U I S JA NE L L E ya a r k S n u e n p r g e g C ing R aga y a d a m A a k m R a l (S as tra w an & D o s e n ) w ati a (M m a h h a a s is R w a S2 Ilmu Sastr a F I B U G M ) n M a o d d er C a to M r : A k m a l Ja y a

Transcript of Surat dari Janelle -...

Page 1: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

Jun5 i2 2, 0s 1i 5maK 6. 1 0l 0u Wku IBP -selesaiganne tad ki jr ii l h bk ea ri bd u( ka puasa)

g Gn oa nu gR iDyada au nb Ke oK et sa ns au diP Hardjasoemantri

M,G BU u lH akK sK umP/ u r

AT DR ARU IS JANELLE

yaar k S n ue npr ge gC ing Raga

ya dam Aa kmR al (Sastrawan & Dosen)

watia (Mm ahh aa sisR wa S2 Ilmu Sastra FIB UGM)

n Ma odd e rC atoM r: Akmal Jaya

Page 2: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

DISKUSI SASTRAPKKH UGM

Diselenggarakan oleh

Surat dari Janelle Cerpen karya Sungging Raga

i

Kamis, 25 Juni 2015

Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri dengan takjil berbuka puasa)Di Ruang Gong Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri

/PKKH UGM, Bulaksumur

Pembahas:Ramayda Akmal (Sastrawan & Dosen)

Rahmawati (Mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB

Pembaca cerpen:Sungging Raga

MC dan Moderator: Akmal Jaya

Page 3: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

DISKUSI SASTRAPKKH UGM

Diselenggarakan oleh

Surat dari Janelle Cerpen karya Sungging Raga

i

Kamis, 25 Juni 2015

Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri dengan takjil berbuka puasa)Di Ruang Gong Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri

/PKKH UGM, Bulaksumur

Pembahas:Ramayda Akmal (Sastrawan & Dosen)

Rahmawati (Mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB

Pembaca cerpen:Sungging Raga

MC dan Moderator: Akmal Jaya

Page 4: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

ii

Sekretariat:

PUSAT KEBUDAYAAN KOESNADI HARDJASOEMANTRI, UGM BULAKSUMUREmail: [email protected]

Telepon: 0274-557317 (pukul 8.00-16.00 WIB)Facebook: Pkkh Ugm Koesnadi Hardjasoemantri

Twitter: @PKKH_UGM

DISKUSI SASTRA PKKH UGMAcara ini dimaksudkan sebagai pergesekan atau persentuhan antar penyair dari generasi yang berbeda, yang diasumsikan mempunyai perspektif atau wawasan estetik yang berbeda.

Selain itu juga ada pembahas luar yang berasal dari mahasiswa sebagai semacam sarana praktikum (walaupun tanpa kurikulum)

Surat dari JanneleOleh Sungging Raga

Halaman 1 - 9

Halaman 10- 18

Halaman 19 - 24

Halaman 25 - 39

Narasi Besar dalam Persembunyian:Analisis Cerpen “Surat dari Janelle”

karya Sungging RagaOleh Ramayda Akmal

Yang Tersisa dari Janelleoleh Rahmawati

Surat dari Janelle karya Sungging Raga:Beberapa catatan khaki untuk pemancing Diskusi

Sastra PKKH Edisi Juni 2015Oleh Faruk HT

DAFTAR ISI

iii

Page 5: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

ii

Sekretariat:

PUSAT KEBUDAYAAN KOESNADI HARDJASOEMANTRI, UGM BULAKSUMUREmail: [email protected]

Telepon: 0274-557317 (pukul 8.00-16.00 WIB)Facebook: Pkkh Ugm Koesnadi Hardjasoemantri

Twitter: @PKKH_UGM

DISKUSI SASTRA PKKH UGMAcara ini dimaksudkan sebagai pergesekan atau persentuhan antar penyair dari generasi yang berbeda, yang diasumsikan mempunyai perspektif atau wawasan estetik yang berbeda.

Selain itu juga ada pembahas luar yang berasal dari mahasiswa sebagai semacam sarana praktikum (walaupun tanpa kurikulum)

Surat dari JanneleOleh Sungging Raga

Halaman 1 - 9

Halaman 10- 18

Halaman 19 - 24

Halaman 25 - 39

Narasi Besar dalam Persembunyian:Analisis Cerpen “Surat dari Janelle”

karya Sungging RagaOleh Ramayda Akmal

Yang Tersisa dari Janelleoleh Rahmawati

Surat dari Janelle karya Sungging Raga:Beberapa catatan khaki untuk pemancing Diskusi

Sastra PKKH Edisi Juni 2015Oleh Faruk HT

DAFTAR ISI

iii

Page 6: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

Surat dari Janellekarya Sungging Raga

1

Semua berawal pagi ini. Nada telepon tiba-tiba mendahului jadwal alarm. Aku butuh beberapa detik untuk sepenuhnya sadar dan menjawab telepon.

“Halo?”

“Hai kawan. Sudahkah kau terima surat dari Janelle?”

Terdengar suara seorang lelaki yang asing bagiku. Di layar handphone juga tak tertera nama.

“Janelle? Maaf, siapa Janelle?”

“Ayolah. Jangan bercanda. Janelle mungkin akan bunuh diri kalau tahu kau belum membaca suratnya, tapi kau pasti sudah menerimanya, kan? Aku hanya ingin memastikan saja.”

“Maaf, aku tidak tahu siapa Anda, siapa Janelle, dan surat yang Anda maksud.”

“Jadi surat itu belum sampai? Belum kau baca?”

“Sekali lagi aku tidak tahu. Mungkin Anda salah sambung. Coba diperiksa lagi nomornya.”

2

Segera kututup telepon, aku bahkan belum memulai kebiasaan pasca tidurku, membuka gorden dan bersiap menikmati cahaya pagi yang hangat menembus kaca jendela. Hm, hidup kadang mudah, aku hanya akan duduk menghadap sinar matahari dan kemudian berkata bahwa aku tidak kekurangan kalsium.

Namun ketenanganku pagi ini sedikit terusik dengan telepon itu. Apakah memang salah sambung? Orang iseng? Entahlah, aku harus siap-siap berangkat kerja. Semuanya harus tepat waktu, karena kalau terlambat sedikit saja maka jalan raya akan memadat, susah dan lama sekali untuk sampai ke tujuan: perang klakson, orang menyeberang sembarangan, lampu merah yang tidak dianggap, metromini berhenti tak teratur di badan jalan. Tapi inilah Jakarta, siapa yang tak ingin menghabiskan usianya di kota ini?

***

Kutinggalkan kamar kontrakan sekitar pukul 06.15, sebenarnya aku hampir saja melupakan urusan telepon tadi sampai seorang ibu pedagang sayur yang kebetulan melintas di hadapanku bertanya,

“Mau berangkat kerja ya?”

“Iya, Bu.”

Page 7: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

Surat dari Janellekarya Sungging Raga

1

Semua berawal pagi ini. Nada telepon tiba-tiba mendahului jadwal alarm. Aku butuh beberapa detik untuk sepenuhnya sadar dan menjawab telepon.

“Halo?”

“Hai kawan. Sudahkah kau terima surat dari Janelle?”

Terdengar suara seorang lelaki yang asing bagiku. Di layar handphone juga tak tertera nama.

“Janelle? Maaf, siapa Janelle?”

“Ayolah. Jangan bercanda. Janelle mungkin akan bunuh diri kalau tahu kau belum membaca suratnya, tapi kau pasti sudah menerimanya, kan? Aku hanya ingin memastikan saja.”

“Maaf, aku tidak tahu siapa Anda, siapa Janelle, dan surat yang Anda maksud.”

“Jadi surat itu belum sampai? Belum kau baca?”

“Sekali lagi aku tidak tahu. Mungkin Anda salah sambung. Coba diperiksa lagi nomornya.”

2

Segera kututup telepon, aku bahkan belum memulai kebiasaan pasca tidurku, membuka gorden dan bersiap menikmati cahaya pagi yang hangat menembus kaca jendela. Hm, hidup kadang mudah, aku hanya akan duduk menghadap sinar matahari dan kemudian berkata bahwa aku tidak kekurangan kalsium.

Namun ketenanganku pagi ini sedikit terusik dengan telepon itu. Apakah memang salah sambung? Orang iseng? Entahlah, aku harus siap-siap berangkat kerja. Semuanya harus tepat waktu, karena kalau terlambat sedikit saja maka jalan raya akan memadat, susah dan lama sekali untuk sampai ke tujuan: perang klakson, orang menyeberang sembarangan, lampu merah yang tidak dianggap, metromini berhenti tak teratur di badan jalan. Tapi inilah Jakarta, siapa yang tak ingin menghabiskan usianya di kota ini?

***

Kutinggalkan kamar kontrakan sekitar pukul 06.15, sebenarnya aku hampir saja melupakan urusan telepon tadi sampai seorang ibu pedagang sayur yang kebetulan melintas di hadapanku bertanya,

“Mau berangkat kerja ya?”

“Iya, Bu.”

Page 8: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

3

“Sudah terima surat dari Janelle, kan?”

Aku terdiam. Apakah ibu ini ada hubungannya dengan penelepon gelap tadi? Tapi ketika hendak kutanyakan lebih lanjut, tiba-tiba ia sudah dikerubungi pelanggannya.

Barangkali aku memang pernah mengenal seseorang bernama Janelle. Sistem pikiranku berubah, jika awalnya aku sama sekali tidak peduli siapa itu Janelle, kini otakku memberi asumsi: Baiklah, aku memang kenal Janelle, setidaknya mungkin pernah mengenalnya di masa lalu dan aku lupa. Dan tiba-tiba ia mengirimiku surat.

Namun sekarang bukan waktu yang tepat untuk mereparasi ingatan, aku buru-buru berjalan kaki menuju halte bus Trans Jakarta, duduk menunggu bersama penumpang lain, dan akhirnya naik ke dalam bus yang tiba empat menit kemudian.

Ketika melangkah masuk, sesaat aku melihat nama yang tertera di seragam kondektur bus yang kebetulan seorang perempuan cantik, siapa tahu ia yang bernama Janelle.

Ternyata bukan, namanya Nalea.

Mungkin aku terlalu optimistis.

4

Suasana bus Trans Jakarta cukup lengang, tidak ada penumpang yang berdiri, mungkin banyak yang bangun terlambat karena semalam ada pertandingan sepakbola. Sebagian wajah penumpang cukup familiar bagiku, karena kami sudah terbiasa berangkat di jam yang sama, di bus yang sama. Jika dipikir-pikir, kami seperti keluarga dalam sebuah bus yang berjalan. Dan aku baru sadar kalau hampir semua penumpang memandang kepadaku, termasuk sopir bus yang sesekali melihatku lewat kaca spion atas.

Nampak seorang gadis kecil yang duduk di bangku bagian belakang sedang didorong-dorong ibunya, gadis kecil itu tampak enggan, tapi ibunya memaksa, dan akhirnya gadis itu pun berjalan, melangkah ke arahku.

“Kakak,” gadis kecil ini menyapaku, “apa sudah terima surat dari Janelle?”

Aku terkejut, kali ini benar-benar terkejut. Entah siapa itu Janelle, yang pasti dia sudah gila kalau harus menitipkan pertanyaan itu pada semua orang. Seolah suratnya teramat penting. Aku menggeleng. Gadis kecil itu kembali pada ibunya. Orang-orang masih memandangiku.

Page 9: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

3

“Sudah terima surat dari Janelle, kan?”

Aku terdiam. Apakah ibu ini ada hubungannya dengan penelepon gelap tadi? Tapi ketika hendak kutanyakan lebih lanjut, tiba-tiba ia sudah dikerubungi pelanggannya.

Barangkali aku memang pernah mengenal seseorang bernama Janelle. Sistem pikiranku berubah, jika awalnya aku sama sekali tidak peduli siapa itu Janelle, kini otakku memberi asumsi: Baiklah, aku memang kenal Janelle, setidaknya mungkin pernah mengenalnya di masa lalu dan aku lupa. Dan tiba-tiba ia mengirimiku surat.

Namun sekarang bukan waktu yang tepat untuk mereparasi ingatan, aku buru-buru berjalan kaki menuju halte bus Trans Jakarta, duduk menunggu bersama penumpang lain, dan akhirnya naik ke dalam bus yang tiba empat menit kemudian.

Ketika melangkah masuk, sesaat aku melihat nama yang tertera di seragam kondektur bus yang kebetulan seorang perempuan cantik, siapa tahu ia yang bernama Janelle.

Ternyata bukan, namanya Nalea.

Mungkin aku terlalu optimistis.

4

Suasana bus Trans Jakarta cukup lengang, tidak ada penumpang yang berdiri, mungkin banyak yang bangun terlambat karena semalam ada pertandingan sepakbola. Sebagian wajah penumpang cukup familiar bagiku, karena kami sudah terbiasa berangkat di jam yang sama, di bus yang sama. Jika dipikir-pikir, kami seperti keluarga dalam sebuah bus yang berjalan. Dan aku baru sadar kalau hampir semua penumpang memandang kepadaku, termasuk sopir bus yang sesekali melihatku lewat kaca spion atas.

Nampak seorang gadis kecil yang duduk di bangku bagian belakang sedang didorong-dorong ibunya, gadis kecil itu tampak enggan, tapi ibunya memaksa, dan akhirnya gadis itu pun berjalan, melangkah ke arahku.

“Kakak,” gadis kecil ini menyapaku, “apa sudah terima surat dari Janelle?”

Aku terkejut, kali ini benar-benar terkejut. Entah siapa itu Janelle, yang pasti dia sudah gila kalau harus menitipkan pertanyaan itu pada semua orang. Seolah suratnya teramat penting. Aku menggeleng. Gadis kecil itu kembali pada ibunya. Orang-orang masih memandangiku.

Page 10: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

6

Sepertinya aku harus mulai berpikir siapa sebenarnya Janelle, untuk apa ia mengirim surat padaku, bagaimana mungkin ia memberitahu banyak orang tentang surat itu, mengapa orang-orang begitu bersemangat menanyakan sampai tidaknya surat itu, dan yang terpenting, kalau memang surat itu ada, sekarang ada di mana? Apakah tersangkut di pos? Atau dikirim lewat kurir dan tiba-tiba ketlisut?

Empat puluh menit kemudian, aku turun di halte yang tepat berada di depan kantorku. Dan tidaklah setiap orang yang kutemui melainkan pasti memandang curiga padaku. Apakah mereka semua ingin bertanya tentang surat dari Janelle?

Sepanjang hari di kantor, aku ditimpa perasaan gelisah. Ketika sedang santai, aku membuka google, kuketik “surat dari Janelle” di kolom pencarian, tapi hasilnya tidak jelas, tidak fokus. Mungkin Janelle hidup di suatu tempat yang tak mengenal internet, sehingga ia tak sempat mengunggah suratnya di website pribadi.

Dan yang semakin membuatku penasaran adalah beberapa email dari beberapa kawan, termasuk mantan kekasihku yang sudah lama tidak kuketahui kabarnya. Email itu intinya sama, “Sudahkah kau terima surat dari Janelle?”

5

Tunggu. Apakah Janelle mengirimiku surat cinta? Sebegitu dahsyatkah sebuah surat cinta yang bagi sebagian orang sudah dianggap sebagai budaya kadaluarsa?

Seharian penuh aku terus dihujani pertanyaan itu, mulai dari teman kantor, petugas cleaning service, pengamen di trotoar, penjual gorengan, penumpang bus sepanjang perjalanan pulang, mereka bergantian bertanya, “Sudahkah kau terima surat dari Janelle?”

Dan terakhir, ketika aku berjalan menuju kamar kontrakan, handphone berbunyi lagi, dari nomor yang sama, yang menghubungiku pagi tadi.

“Halo!” Suaraku sedikit kutinggikan.

“Maaf kalau aku mengganggu lagi, tapi aku hanya ingin tahu apakah surat dari Janelle sudah kau baca?”

“Sebentar, apa Anda kenal Janelle?” aku balik bertanya.

“Tentu saja, seharusnya kita semua kenal Janelle. Tapi ia hanya menulis surat untuk Anda, bukan untuk kami.”

“Kenapa harus aku?”

Page 11: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

6

Sepertinya aku harus mulai berpikir siapa sebenarnya Janelle, untuk apa ia mengirim surat padaku, bagaimana mungkin ia memberitahu banyak orang tentang surat itu, mengapa orang-orang begitu bersemangat menanyakan sampai tidaknya surat itu, dan yang terpenting, kalau memang surat itu ada, sekarang ada di mana? Apakah tersangkut di pos? Atau dikirim lewat kurir dan tiba-tiba ketlisut?

Empat puluh menit kemudian, aku turun di halte yang tepat berada di depan kantorku. Dan tidaklah setiap orang yang kutemui melainkan pasti memandang curiga padaku. Apakah mereka semua ingin bertanya tentang surat dari Janelle?

Sepanjang hari di kantor, aku ditimpa perasaan gelisah. Ketika sedang santai, aku membuka google, kuketik “surat dari Janelle” di kolom pencarian, tapi hasilnya tidak jelas, tidak fokus. Mungkin Janelle hidup di suatu tempat yang tak mengenal internet, sehingga ia tak sempat mengunggah suratnya di website pribadi.

Dan yang semakin membuatku penasaran adalah beberapa email dari beberapa kawan, termasuk mantan kekasihku yang sudah lama tidak kuketahui kabarnya. Email itu intinya sama, “Sudahkah kau terima surat dari Janelle?”

5

Tunggu. Apakah Janelle mengirimiku surat cinta? Sebegitu dahsyatkah sebuah surat cinta yang bagi sebagian orang sudah dianggap sebagai budaya kadaluarsa?

Seharian penuh aku terus dihujani pertanyaan itu, mulai dari teman kantor, petugas cleaning service, pengamen di trotoar, penjual gorengan, penumpang bus sepanjang perjalanan pulang, mereka bergantian bertanya, “Sudahkah kau terima surat dari Janelle?”

Dan terakhir, ketika aku berjalan menuju kamar kontrakan, handphone berbunyi lagi, dari nomor yang sama, yang menghubungiku pagi tadi.

“Halo!” Suaraku sedikit kutinggikan.

“Maaf kalau aku mengganggu lagi, tapi aku hanya ingin tahu apakah surat dari Janelle sudah kau baca?”

“Sebentar, apa Anda kenal Janelle?” aku balik bertanya.

“Tentu saja, seharusnya kita semua kenal Janelle. Tapi ia hanya menulis surat untuk Anda, bukan untuk kami.”

“Kenapa harus aku?”

Page 12: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

8

“Janelle sendiri yang bilang begitu. Sebelum ia menghilang, ia berkata telah menulis surat untuk Anda. Terakhir kali aku bertemu dengannya, wajahnya begitu pucat.”

Kututup telepon, ini tidak masuk akal. Aku tiba di depan kontrakan, segera kulepas sepatu dan kuletakkan di rak dekat pot bunga, lantas kubuka pintu.

Udara ruangan begitu pengap, aku baru saja ingin mengganti pakaian ketika kulihat sesuatu: Sepucuk surat di atas kasur. Entah siapa yang meletakkannya dan bagaimana, sebab kamar sudah kukunci, kecuali ada penyusup yang punya ilmu meloloskan diri seperti Harry Houdini.

Kupungut surat tersebut, pada amplopnya tertulis: DARI JANELLE.

Ah, jadi benar, ada seseorang bernama Janelle yang hidup di suatu tempat, tiba-tiba mengirim surat padaku. Dan kini sudah selamat sampai tujuan.

Tanpa menunggu lagi, segera kurobek tepian amplop, ada beberapa lembar kertas, lalu mulai kubaca surat itu pelan-pelan, dan…

Astaga, ini tidak mungkin, di surat ini aku membaca

7

perasaan tragis yang sangat kukenal, kesedihan, penderitaan, rahasia-rahasia Janelle yang begitu penting, kisah-kisah menakutkannya yang selama bertahun-tahun ditutup-tutupi dan disembunyikan. Surat ini benar-benar berbeda dari surat-surat lain yang tadinya sempat kubayangkan, surat dari Janelle tidak seperti surat seseorang dari medan perang yang mengirimkan potongan telinga untuk kekasihnya, atau surat seorang wanita yang terpenjara, atau surat-surat seorang aktivis. Tidak, surat dari Janelle justru membuatku terkejut dan merasa sangat bersalah. Bagaimana bisa aku melupakannya selama ini? Apakah aku telah mengalami cuci otak? Tentu saja aku sangat mengenal Janelle, di surat ini tertulis segala hal yang seharusnya kami perjuangkan sejak lama. Dan aku baru sempat membacanya? Tapi bagaimana kalau mereka tahu aku sudah menerima surat dari Janelle?

Kulipat kembali surat tersebut. Aku termenung cukup lama, membayangkan keadaan Janelle sekarang, segala penderitaan yang dirasakannya, kecemasannya karena surat ini ternyata terlambat. Apakah ia masih hidup? Terkadang sepucuk surat menjadi lebih penting daripada nyawa itu sendiri. Pantas saja semua orang bertanya kepadaku apakah aku sudah menerima surat ini. Dan kupikir seluruh

Page 13: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

8

“Janelle sendiri yang bilang begitu. Sebelum ia menghilang, ia berkata telah menulis surat untuk Anda. Terakhir kali aku bertemu dengannya, wajahnya begitu pucat.”

Kututup telepon, ini tidak masuk akal. Aku tiba di depan kontrakan, segera kulepas sepatu dan kuletakkan di rak dekat pot bunga, lantas kubuka pintu.

Udara ruangan begitu pengap, aku baru saja ingin mengganti pakaian ketika kulihat sesuatu: Sepucuk surat di atas kasur. Entah siapa yang meletakkannya dan bagaimana, sebab kamar sudah kukunci, kecuali ada penyusup yang punya ilmu meloloskan diri seperti Harry Houdini.

Kupungut surat tersebut, pada amplopnya tertulis: DARI JANELLE.

Ah, jadi benar, ada seseorang bernama Janelle yang hidup di suatu tempat, tiba-tiba mengirim surat padaku. Dan kini sudah selamat sampai tujuan.

Tanpa menunggu lagi, segera kurobek tepian amplop, ada beberapa lembar kertas, lalu mulai kubaca surat itu pelan-pelan, dan…

Astaga, ini tidak mungkin, di surat ini aku membaca

7

perasaan tragis yang sangat kukenal, kesedihan, penderitaan, rahasia-rahasia Janelle yang begitu penting, kisah-kisah menakutkannya yang selama bertahun-tahun ditutup-tutupi dan disembunyikan. Surat ini benar-benar berbeda dari surat-surat lain yang tadinya sempat kubayangkan, surat dari Janelle tidak seperti surat seseorang dari medan perang yang mengirimkan potongan telinga untuk kekasihnya, atau surat seorang wanita yang terpenjara, atau surat-surat seorang aktivis. Tidak, surat dari Janelle justru membuatku terkejut dan merasa sangat bersalah. Bagaimana bisa aku melupakannya selama ini? Apakah aku telah mengalami cuci otak? Tentu saja aku sangat mengenal Janelle, di surat ini tertulis segala hal yang seharusnya kami perjuangkan sejak lama. Dan aku baru sempat membacanya? Tapi bagaimana kalau mereka tahu aku sudah menerima surat dari Janelle?

Kulipat kembali surat tersebut. Aku termenung cukup lama, membayangkan keadaan Janelle sekarang, segala penderitaan yang dirasakannya, kecemasannya karena surat ini ternyata terlambat. Apakah ia masih hidup? Terkadang sepucuk surat menjadi lebih penting daripada nyawa itu sendiri. Pantas saja semua orang bertanya kepadaku apakah aku sudah menerima surat ini. Dan kupikir seluruh

Page 14: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

9

pembaca cerita pendek ini juga layak untuk ikut membaca surat dari Janelle, agar kalau seorang lupa, maka orang lain akan mengingatkannya, sehingga pengorbanan Janelle tidak akan pernah hilang dari sejarah.

Segera aku pergi ke tempat fotokopi, kugandakan surat itu sebanyak-banyaknya. Lantas esok harinya, seluruh tabungan gajiku kupakai untuk membeli amplop dan membayar biaya pos. Mungkin aku sudah gila, tapi Janelle lebih penting dari apapun. Kupastikan siapapun yang membaca cerita ini telah kukirimi salinan surat tersebut, dengan nama pengirimnya tetap Dari Janelle.

***

Setelah itu, perasaanku memang menjadi lebih tenang. Namun beberapa hari kemudian, sesaat sebelum aku dijemput paksa oleh orang-orang itu, aku mulai diliputi rasa penasaran…

Pembaca yang budiman, sudahkah Anda menerima surat dari Janelle?***

Sungging Raga lahir pada 25 April 1987. Pernah kuliah di

jurusan Matematika FMIPA UGM. Buku kumpulan

cerpennya “Sarelgaz” (Indie Book Corner, 2014) Memiliki

blog surgakata.wordpress.com

10

Narasi Besar dalam Persembunyian:Analisis Cerpen “Surat dari Janelle” karya Sungging RagaOleh Ramayda Akmal*

Saya akan membicarakan cerpen “Surat dari Janelle” karya Sungging Raga dalam hubungannya dengan tiga gejala kebudayaan yang juga berpengaruh terhadap karakteristik kesastraan kontemporer, yakni intertekstualitas, kepopuleran dan sebuah narasi besar.

Sudah sejak lama para pemikir sastra beranggapan bahwa genre prosa (terutama novel dan cerpen) adalah genre yang selalu terbuka dan berkembang dalam dirinya sendirinya terutama melalui mekanisme intertekstualitas. Bakhtin (1984:51) menyebut teks yang demikian sebagai carnival yang merujuk pada mode literer yang mensubversi gaya ataupun cerita dominan melalui patahan-patahan humor dan chaos yang dimasukkan ke dalamnya. Carnival menjadi dunia yang ambivalen, yang membawa bersamanya hal-hal yang sifatnya oposisional. Meski tidak seluruhnya sesuai, cerpen “Surat dari Janelle” juga seperti carnival, dengan begitu banyak patahan cerita yang menyembul pada setiap alurnya. Beberapa darinya beroposisi meskipun belum bisa dipastikan apakah itu diniatkan sebagai sebuah subversi atau tidak.

Page 15: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

9

pembaca cerita pendek ini juga layak untuk ikut membaca surat dari Janelle, agar kalau seorang lupa, maka orang lain akan mengingatkannya, sehingga pengorbanan Janelle tidak akan pernah hilang dari sejarah.

Segera aku pergi ke tempat fotokopi, kugandakan surat itu sebanyak-banyaknya. Lantas esok harinya, seluruh tabungan gajiku kupakai untuk membeli amplop dan membayar biaya pos. Mungkin aku sudah gila, tapi Janelle lebih penting dari apapun. Kupastikan siapapun yang membaca cerita ini telah kukirimi salinan surat tersebut, dengan nama pengirimnya tetap Dari Janelle.

***

Setelah itu, perasaanku memang menjadi lebih tenang. Namun beberapa hari kemudian, sesaat sebelum aku dijemput paksa oleh orang-orang itu, aku mulai diliputi rasa penasaran…

Pembaca yang budiman, sudahkah Anda menerima surat dari Janelle?***

Sungging Raga lahir pada 25 April 1987. Pernah kuliah di

jurusan Matematika FMIPA UGM. Buku kumpulan

cerpennya “Sarelgaz” (Indie Book Corner, 2014) Memiliki

blog surgakata.wordpress.com

10

Narasi Besar dalam Persembunyian:Analisis Cerpen “Surat dari Janelle” karya Sungging RagaOleh Ramayda Akmal*

Saya akan membicarakan cerpen “Surat dari Janelle” karya Sungging Raga dalam hubungannya dengan tiga gejala kebudayaan yang juga berpengaruh terhadap karakteristik kesastraan kontemporer, yakni intertekstualitas, kepopuleran dan sebuah narasi besar.

Sudah sejak lama para pemikir sastra beranggapan bahwa genre prosa (terutama novel dan cerpen) adalah genre yang selalu terbuka dan berkembang dalam dirinya sendirinya terutama melalui mekanisme intertekstualitas. Bakhtin (1984:51) menyebut teks yang demikian sebagai carnival yang merujuk pada mode literer yang mensubversi gaya ataupun cerita dominan melalui patahan-patahan humor dan chaos yang dimasukkan ke dalamnya. Carnival menjadi dunia yang ambivalen, yang membawa bersamanya hal-hal yang sifatnya oposisional. Meski tidak seluruhnya sesuai, cerpen “Surat dari Janelle” juga seperti carnival, dengan begitu banyak patahan cerita yang menyembul pada setiap alurnya. Beberapa darinya beroposisi meskipun belum bisa dipastikan apakah itu diniatkan sebagai sebuah subversi atau tidak.

Page 16: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

11 12

Patahan-patahan cerita itu menjalin sebuah intertekstualitas baik yang ditunjukkan dengan sadar oleh penulisnya maupun yang tidak eksplisit, yang muncul dalam benak pembaca sebagai ingatan-ingatan spontan. Perhatikan kalimat-kalimat ini:

…surat ini benar-benar berbeda dari surat-surat lain yang tadinya sempat kubayangkan, surat dari Janelle tidak seperti surat seseorang dari medan perang yang mengirimkan potongan telinga untuk kekasihnya, atau surat seorang wanita yang terpenjara, atau surat-surat seorang aktivis.

Surat-surat yang dijabarkan dalam kutipan di atas membawa pembaca kepada berbagai cerita lain yang juga bertema surat. Ppenulis cerpen ini secara eksplisit membandingkan surat dari Janelle dengan surat-surat lain itu. Ia dengan sengaja, mengantarkan pembaca pada kondisi untuk menghubungkan dan membandingkan.

Sementara patahan cerita yang tidak langsung, seperti sudah saya ungkap di awal, barangkali bergantung pada penemuan masing-masing

pembaca. Ketika saya membaca cerpen ini, yang tertangkap dalam benak saya pertama kali adalah adegan-adegan yang sifatnya sinematik, filmis, yang ada pada beberapa film yang saya tonton. Pertama, cerpen dibuka dengan telepon misterius yang merupakan simbol general dalam film-film thriller dan psikologis misalnya, saya hanya menyebut dua di antara yang banyak, Lost Highway (1997) dan

1The Call (2013).

Kedua, yang tidak kalah menarik perhatian dan memantik ingatan adalah sosok Janelle sendiri. Keberadaannya yang di mana-mana tetapi tidak bisa dijangkau dan bahkan nyaris hilang, sekilas mencitrakan kondisi kekuasaan yang kritis, seperti gambaran hilangnya Yang Absolut dalam film No

2News from God (2003). Ketiga, tokoh aku pun tidak kurang menghadirkan cerita-cerita yang sebelumnya sudah sering dibaca, yakni tentang seseorang yang membawa tugas penting dan berkorban dan akhirnya ditangkap oleh orang-orang itu, orang-orang yang tidak bisa disebutkan namanya, yang seringkali muncul dalam karya sastra kita sebagai representasi rezim otoriter.

Teks-teks yang saling bersinggungan tersebut membuat cerpen “Surat dari Janelle” terkesan begitu riuh. Lompatan-lompatannya membawa kita pada teks-teks lain, dalam bentuk yang berbeda pula,

Page 17: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

11 12

Patahan-patahan cerita itu menjalin sebuah intertekstualitas baik yang ditunjukkan dengan sadar oleh penulisnya maupun yang tidak eksplisit, yang muncul dalam benak pembaca sebagai ingatan-ingatan spontan. Perhatikan kalimat-kalimat ini:

…surat ini benar-benar berbeda dari surat-surat lain yang tadinya sempat kubayangkan, surat dari Janelle tidak seperti surat seseorang dari medan perang yang mengirimkan potongan telinga untuk kekasihnya, atau surat seorang wanita yang terpenjara, atau surat-surat seorang aktivis.

Surat-surat yang dijabarkan dalam kutipan di atas membawa pembaca kepada berbagai cerita lain yang juga bertema surat. Ppenulis cerpen ini secara eksplisit membandingkan surat dari Janelle dengan surat-surat lain itu. Ia dengan sengaja, mengantarkan pembaca pada kondisi untuk menghubungkan dan membandingkan.

Sementara patahan cerita yang tidak langsung, seperti sudah saya ungkap di awal, barangkali bergantung pada penemuan masing-masing

pembaca. Ketika saya membaca cerpen ini, yang tertangkap dalam benak saya pertama kali adalah adegan-adegan yang sifatnya sinematik, filmis, yang ada pada beberapa film yang saya tonton. Pertama, cerpen dibuka dengan telepon misterius yang merupakan simbol general dalam film-film thriller dan psikologis misalnya, saya hanya menyebut dua di antara yang banyak, Lost Highway (1997) dan

1The Call (2013).

Kedua, yang tidak kalah menarik perhatian dan memantik ingatan adalah sosok Janelle sendiri. Keberadaannya yang di mana-mana tetapi tidak bisa dijangkau dan bahkan nyaris hilang, sekilas mencitrakan kondisi kekuasaan yang kritis, seperti gambaran hilangnya Yang Absolut dalam film No

2News from God (2003). Ketiga, tokoh aku pun tidak kurang menghadirkan cerita-cerita yang sebelumnya sudah sering dibaca, yakni tentang seseorang yang membawa tugas penting dan berkorban dan akhirnya ditangkap oleh orang-orang itu, orang-orang yang tidak bisa disebutkan namanya, yang seringkali muncul dalam karya sastra kita sebagai representasi rezim otoriter.

Teks-teks yang saling bersinggungan tersebut membuat cerpen “Surat dari Janelle” terkesan begitu riuh. Lompatan-lompatannya membawa kita pada teks-teks lain, dalam bentuk yang berbeda pula,

Page 18: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

13 14

walaupun tidak pernah benar-benar jernih. Semua hanya tampak sebagai jejak-jejak, traces atas cerita-cerita besar yang sudah menjadi diskursus dalam kehidupan kita. Jejak-jejak cerita itu kemudian dihadirkan dalam cerita baru yang ringan dan sehari-hari. Pada bagian itulah relasi antara cerpen ini dengan yang populer muncul.

Maksud populer dalam tulisan ini adalah sesuatu yang berlawanan dengan kedalaman atau yang diistilahkan oleh Jameson sebagai depthlessness. Ketidakdalaman itu tampak ketika jejak-jejak cerita yang kanon tadi dihadirkan melalui ikon-ikon keseharian, dalam artefak-artefak mutakhir dan reproduksi yang masif, melalui percakapan ringan yang membuatnya terkesan bermain-main. Kombinasi antara depthlessness ini dan intertekstualitas yang diurai sebelumnya menghadirkan semacam dekreasi yang berusaha menunda totalitas pemaknaan pembaca terhadap cerpen tersebut.

Tanda-tanda lain yang menarik dicermati dalam cerpen ini adalah tidak adanya batas-batas yang jelas antara dunia fiksi dan dunia pembaca. Ada keterlibatan atau peleburan batas antara tokoh-tokoh di dalam cerita, narator dan pembaca. Apa yang terjadi di dalam cerita mungkin sekali terjadi di

3dunia pembacanya. Narator menjadi ruang di mana

yang fiksi dan yang di luarnya lebur, seperti misalnya ketika ia berkata, Dan kupikir seluruh pembaca cerita pendek ini juga layak untuk ikut membaca surat dari Janelle. Pembaca yang budiman, sudahkah Anda menerima surat dari Janelle?

Peleburan batas itu, bersama dengan intertekstualitas serta karakter bermain-main pernah dirunut oleh Ihab Hassan (1971) sebagai beberapa di antara banyak karakter literatur postmodern. Misalnya, kecenderungan untuk mengutamakan permainan (play) dibandingkan tujuan (purpose), melakukan decreation atas creation, menciptakan intertekstualitas yang mengatasi batas-batas, dan sebagainya. Namun apakah cerpen ini dimaksudkan mengarah ke karakter tersebut? yang sepenuhnya menghancurkan atau setidaknya menunda segala jenis totalisasi seperti kecenderungan literatur posmodern pada umumnya? Atau justru berbagai kecenderungan itu hanya gaya yang membalut sebuah wacana besar yang menjadi preseden utama cerpen tersebut, yang muncul sebagai sesuatu yang nirsadar?

Menurut saya pribadi, dengan pembacaan yang serba terbatas, cerpen ini tetap dibangun di atas narasi besar sebuah nilai kebenaran yang absolut (bisa berarti ketuhanan atau lebih luas dari itu). Pengertian

Page 19: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

13 14

walaupun tidak pernah benar-benar jernih. Semua hanya tampak sebagai jejak-jejak, traces atas cerita-cerita besar yang sudah menjadi diskursus dalam kehidupan kita. Jejak-jejak cerita itu kemudian dihadirkan dalam cerita baru yang ringan dan sehari-hari. Pada bagian itulah relasi antara cerpen ini dengan yang populer muncul.

Maksud populer dalam tulisan ini adalah sesuatu yang berlawanan dengan kedalaman atau yang diistilahkan oleh Jameson sebagai depthlessness. Ketidakdalaman itu tampak ketika jejak-jejak cerita yang kanon tadi dihadirkan melalui ikon-ikon keseharian, dalam artefak-artefak mutakhir dan reproduksi yang masif, melalui percakapan ringan yang membuatnya terkesan bermain-main. Kombinasi antara depthlessness ini dan intertekstualitas yang diurai sebelumnya menghadirkan semacam dekreasi yang berusaha menunda totalitas pemaknaan pembaca terhadap cerpen tersebut.

Tanda-tanda lain yang menarik dicermati dalam cerpen ini adalah tidak adanya batas-batas yang jelas antara dunia fiksi dan dunia pembaca. Ada keterlibatan atau peleburan batas antara tokoh-tokoh di dalam cerita, narator dan pembaca. Apa yang terjadi di dalam cerita mungkin sekali terjadi di

3dunia pembacanya. Narator menjadi ruang di mana

yang fiksi dan yang di luarnya lebur, seperti misalnya ketika ia berkata, Dan kupikir seluruh pembaca cerita pendek ini juga layak untuk ikut membaca surat dari Janelle. Pembaca yang budiman, sudahkah Anda menerima surat dari Janelle?

Peleburan batas itu, bersama dengan intertekstualitas serta karakter bermain-main pernah dirunut oleh Ihab Hassan (1971) sebagai beberapa di antara banyak karakter literatur postmodern. Misalnya, kecenderungan untuk mengutamakan permainan (play) dibandingkan tujuan (purpose), melakukan decreation atas creation, menciptakan intertekstualitas yang mengatasi batas-batas, dan sebagainya. Namun apakah cerpen ini dimaksudkan mengarah ke karakter tersebut? yang sepenuhnya menghancurkan atau setidaknya menunda segala jenis totalisasi seperti kecenderungan literatur posmodern pada umumnya? Atau justru berbagai kecenderungan itu hanya gaya yang membalut sebuah wacana besar yang menjadi preseden utama cerpen tersebut, yang muncul sebagai sesuatu yang nirsadar?

Menurut saya pribadi, dengan pembacaan yang serba terbatas, cerpen ini tetap dibangun di atas narasi besar sebuah nilai kebenaran yang absolut (bisa berarti ketuhanan atau lebih luas dari itu). Pengertian

Page 20: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

15 16

narasi besar dalam konteks ini adalah sama seperti yang dikemukakan Lyotard (1984), yang mengacu pada cerita, mitos, legenda, keyakinan atau paham yang melegitimasi kehidupan masyarakat pada periode tertentu. Keriuhan intertekstualitas di atas dan berbagai teknik yang berkarakter posmodern akhirnya tetap membawa kita pada narasi tersebut baik dengan terlena maupun dengan penuh curiga. Gaya-gaya di atas memang membuat yang dominan menjadi sayup-sayup dan laten, tetapi masih bertahan.

Asumsi saya tersebut diperoleh dari pembacaan dan penafsiran terhadap unsur-unsur intrinsik, terutama tema dan alur cerpen “Surat dari Janelle” ini, yang bagaimanapun masih menjadi satu bagian penting sebuah karya sastra selain bentuknya. Cerita cerpen bermula ketika tokoh aku menerima telepon dari laki-laki misterius yang mengingatkan tentang pengiriman surat dari Janelle. Disebutkan bahwa Janelle akan segera bunuh diri jika surat itu belum diterima oleh tokoh aku. Kemudian semua orang yang bertemu tokoh aku memberikan peringatan yang sama. Mereka, yang berasal dari berbagai kalangan, mengenal Janelle sementara tokoh aku melupakannya. Sampai-sampai tokoh aku mempertanyakan posisi dan kekuasaan Janelle karena kemampuannya yang bisa memberi tahu banyak orang tentang surat itu. Janelle juga tidak

terlacak oleh mesin pelacak secanggih google. Pikir tokoh aku, mungkin Janelle hidup di suatu tempat yang tak mengenal internet. Dan penelepon misterius itu muncul lagi. Ia menegaskan bahwa seharusnya semua orang kenal Janelle akan tetapi hanya yang terpilih yang akan mengemban tugas darinya, yakni menyebarkan surat Janelle yang tidak lain berisi kabar dan cerita kemanusiaan.

Siapakah Janelle itu? Mungkin dia perempuan. Mungkin dia manusia, karena dia bisa bunuh diri. Namun sebagai manusia, Janelle memiliki kekuasaan istimewa. Meski manusia, ia berada di luar manusia-manusia lain. Ia ada sekaligus berjarak dengan mereka. Ia selalu menyampaikan kabar dengan perantara, yakni surat. Dalam surat itu, dia mengabarkan cerita-cerita tentang kemanusiaan sebagai peringatan dan pengingat atas sejarah kehidupan.

Gambaran sederhana itu, di satu sisi memunculkan wacana tertentu, tetapi di sisi lain juga mengaburkannya, seperti sifat manusia dan supra-manusia yang ada pada Janelle. Terlepas dari berbagai gambaran yang berlawanan dan mengaburkan itu, terdapat ideologi dan pesan yang jelas meski disampaikan dalam berbagai kekaburan. Baik sebagai manusia atau bukan, Janelle adalah wali dari humanisme, nilai-nilai kebaikan dan

Page 21: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

15 16

narasi besar dalam konteks ini adalah sama seperti yang dikemukakan Lyotard (1984), yang mengacu pada cerita, mitos, legenda, keyakinan atau paham yang melegitimasi kehidupan masyarakat pada periode tertentu. Keriuhan intertekstualitas di atas dan berbagai teknik yang berkarakter posmodern akhirnya tetap membawa kita pada narasi tersebut baik dengan terlena maupun dengan penuh curiga. Gaya-gaya di atas memang membuat yang dominan menjadi sayup-sayup dan laten, tetapi masih bertahan.

Asumsi saya tersebut diperoleh dari pembacaan dan penafsiran terhadap unsur-unsur intrinsik, terutama tema dan alur cerpen “Surat dari Janelle” ini, yang bagaimanapun masih menjadi satu bagian penting sebuah karya sastra selain bentuknya. Cerita cerpen bermula ketika tokoh aku menerima telepon dari laki-laki misterius yang mengingatkan tentang pengiriman surat dari Janelle. Disebutkan bahwa Janelle akan segera bunuh diri jika surat itu belum diterima oleh tokoh aku. Kemudian semua orang yang bertemu tokoh aku memberikan peringatan yang sama. Mereka, yang berasal dari berbagai kalangan, mengenal Janelle sementara tokoh aku melupakannya. Sampai-sampai tokoh aku mempertanyakan posisi dan kekuasaan Janelle karena kemampuannya yang bisa memberi tahu banyak orang tentang surat itu. Janelle juga tidak

terlacak oleh mesin pelacak secanggih google. Pikir tokoh aku, mungkin Janelle hidup di suatu tempat yang tak mengenal internet. Dan penelepon misterius itu muncul lagi. Ia menegaskan bahwa seharusnya semua orang kenal Janelle akan tetapi hanya yang terpilih yang akan mengemban tugas darinya, yakni menyebarkan surat Janelle yang tidak lain berisi kabar dan cerita kemanusiaan.

Siapakah Janelle itu? Mungkin dia perempuan. Mungkin dia manusia, karena dia bisa bunuh diri. Namun sebagai manusia, Janelle memiliki kekuasaan istimewa. Meski manusia, ia berada di luar manusia-manusia lain. Ia ada sekaligus berjarak dengan mereka. Ia selalu menyampaikan kabar dengan perantara, yakni surat. Dalam surat itu, dia mengabarkan cerita-cerita tentang kemanusiaan sebagai peringatan dan pengingat atas sejarah kehidupan.

Gambaran sederhana itu, di satu sisi memunculkan wacana tertentu, tetapi di sisi lain juga mengaburkannya, seperti sifat manusia dan supra-manusia yang ada pada Janelle. Terlepas dari berbagai gambaran yang berlawanan dan mengaburkan itu, terdapat ideologi dan pesan yang jelas meski disampaikan dalam berbagai kekaburan. Baik sebagai manusia atau bukan, Janelle adalah wali dari humanisme, nilai-nilai kebaikan dan

Page 22: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

17 18

1

2

kebenaran, yang harus terus-menerus disebarkan bagaimanapun caranya. Keabsolutan nilai-nilai itu justru semakin tampak kuat ketika diwakilkan oleh Janelle dengan segala kontradiksinya. Artinya, dalam kondisi apapun, nilai itu akan selalu ada. Lebih jauh lagi, secara bersamaan teks itu juga menunjukkan bahwa kebenaran tidak bisa diperjuangkan oleh sembarang orang. Hanya orang-orang terpilih, yang mendapatkan tugas dan berhak menyebarkannya. Ada gagasan tentang hierarki yang jelas yang membuat kekaburan itu luruh dan menyingkap dikotomi-dikotomi dalam lapisan yang lebih dalam.

Secara singkat dan sederhana dapat dikatakan, cerpen “Surat dari Janelle” mengandung sebuah narasi besar yang dihadirkan dengan gaya populer dan sebagian berstruktur postmodern. Ciri karya sastra demikian banyak diperbincangan ketika para ahli melakukan tinjauan terhadap karya-karya yang diciptakan dalam atmosfer peralihan antara semangat modern menuju postmodern misal karya-karya Samuel Beckett dan Franz Kafka. Keterbelahan ini kemudian menjadi kondisi dan karakter kesastraan tersendiri, yang memungkinkan munculnya persepsi dan cara pandang yang lebih beragam.

Tentu saja, uraian di atas hanyalah penafsiran sangat sekilas yang perlu diperkuat lagi dan mungkin juga

akan menghasilkan kesimpulan yang berbantah ketika dihadapkan dengan pendekatan dan analisis dari perspektif lain. Yang jelas, penafsiran saya adalah satu di antara berbagai penafsiran lain terhadap cerpen Sungging Raga yang mungkin muncul, yang sekaligus membuktikan kekayaan dan keterbukaan cerpen tersebut.

1

kedua disutradarai oleh Brad Anderson.2 Disutradarai oleh Agustin Diaz Yanes3 Untuk karakter sastra postmodern yang lain bisa dilihat dalam

bukunya Ihab Hassan yang berjudul The Dismemberment of

Orpheus (1982).

ReferensiBakhtin, M.M. 1981. The Dialogic Imagination. Texas:

Texas University PressBakhtin, M.M. 1984. Rabelais and his world (Trans. Hélène

Iswolsky). Bloomington: Indiana University Press.Hassan, Ihab. 1971. The Dismemberment of Orpheus, Toward a

Postmodern Literature. Oxford: Oxford University

Press.Jameson, Fredric. 1991. Postmodernism, or The Cultural Logic

of Late Capitalism. London: VersoLyotard, Jean Francois. 1984. The Postmodern Condition: A

Report on Knowledge. Manchester: Manchester

University Press.Raga, Sungging. 2015. “Surat dari Janelle”. Tidak diterbitkan.

*Staf pengajar di Jurusan Sastra Indonesia, FIB, UGM.Mahasiswa Program Doktoral Universität Hamburg.

Yang pertama film arahan David Lynch sementara yang

Page 23: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

17 18

1

2

kebenaran, yang harus terus-menerus disebarkan bagaimanapun caranya. Keabsolutan nilai-nilai itu justru semakin tampak kuat ketika diwakilkan oleh Janelle dengan segala kontradiksinya. Artinya, dalam kondisi apapun, nilai itu akan selalu ada. Lebih jauh lagi, secara bersamaan teks itu juga menunjukkan bahwa kebenaran tidak bisa diperjuangkan oleh sembarang orang. Hanya orang-orang terpilih, yang mendapatkan tugas dan berhak menyebarkannya. Ada gagasan tentang hierarki yang jelas yang membuat kekaburan itu luruh dan menyingkap dikotomi-dikotomi dalam lapisan yang lebih dalam.

Secara singkat dan sederhana dapat dikatakan, cerpen “Surat dari Janelle” mengandung sebuah narasi besar yang dihadirkan dengan gaya populer dan sebagian berstruktur postmodern. Ciri karya sastra demikian banyak diperbincangan ketika para ahli melakukan tinjauan terhadap karya-karya yang diciptakan dalam atmosfer peralihan antara semangat modern menuju postmodern misal karya-karya Samuel Beckett dan Franz Kafka. Keterbelahan ini kemudian menjadi kondisi dan karakter kesastraan tersendiri, yang memungkinkan munculnya persepsi dan cara pandang yang lebih beragam.

Tentu saja, uraian di atas hanyalah penafsiran sangat sekilas yang perlu diperkuat lagi dan mungkin juga

akan menghasilkan kesimpulan yang berbantah ketika dihadapkan dengan pendekatan dan analisis dari perspektif lain. Yang jelas, penafsiran saya adalah satu di antara berbagai penafsiran lain terhadap cerpen Sungging Raga yang mungkin muncul, yang sekaligus membuktikan kekayaan dan keterbukaan cerpen tersebut.

1

kedua disutradarai oleh Brad Anderson.2 Disutradarai oleh Agustin Diaz Yanes3 Untuk karakter sastra postmodern yang lain bisa dilihat dalam

bukunya Ihab Hassan yang berjudul The Dismemberment of

Orpheus (1982).

ReferensiBakhtin, M.M. 1981. The Dialogic Imagination. Texas:

Texas University PressBakhtin, M.M. 1984. Rabelais and his world (Trans. Hélène

Iswolsky). Bloomington: Indiana University Press.Hassan, Ihab. 1971. The Dismemberment of Orpheus, Toward a

Postmodern Literature. Oxford: Oxford University

Press.Jameson, Fredric. 1991. Postmodernism, or The Cultural Logic

of Late Capitalism. London: VersoLyotard, Jean Francois. 1984. The Postmodern Condition: A

Report on Knowledge. Manchester: Manchester

University Press.Raga, Sungging. 2015. “Surat dari Janelle”. Tidak diterbitkan.

*Staf pengajar di Jurusan Sastra Indonesia, FIB, UGM.Mahasiswa Program Doktoral Universität Hamburg.

Yang pertama film arahan David Lynch sementara yang

Page 24: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

19 20

perangkap yang dibikin suatu pihak untuk menangkap si Aku. Karena si Aku terlibat dalam misi yang berpotensi mengguncang negara. Negara Indonesia mestilah sudah menjadi dunia distopia yang segenap definisi baik dan buruk sudah dimanipulasi. Hal ini karena surat Janelle menurut si Aku berisi kesedihan yang entah bagaimana dilupakan si Aku padahal haruslah disebar. Setelah disebar si Aku malah ditangkap dan “dilenyapkan.” Bagaimana bisa banyak orang kenal Janelle dan Aku padahal si Aku tidak. Pasti juga ada sistem dalam negara yang membuat seseorang mengenal orang lain dan mengetahui gerak-geriknya padahal ada yang tidak tahu menahu. Hal itu bisa saja karena ia telah melakukan sesuatu yang terlarang dan sial dia jadi tokoh utama yang harus mengalami segala kisah dalam masyarakat distopia tersebut.

Terlalu banyak pertanyaan kala membaca cerpen ini membuat saya menciptakan plot tersendiri. Mungkin inilah kelebihan cerpen yang pernah dimuat di Tribun Jabar pada tahun 2013 dan sudah diterbitkan dalam kumcer Sarelgaz. Kisahnya menciptakan nuansa distopia Indonesia ketika menyebarluaskan berita kesedihan dan kesengsaraan menjadi hal terlarang. Awalnya saya pikir kisah ini akan seperti dalam 13 Reasons Why, mengenai seseorang yang bunuh diri lalu membagikan kisahnya pada orang-orang yang semasa dia hidup tidak sadar kalau si

Yang Tersisa dari Janelleoleh Rahmawati

Janelle itu siapa (atau apa)? Bagaimana Aku bisa berhubungan dengan Janelle? Kenapa Aku yang dikirimi Janelle surat? Apa isi surat Janelle? Kenapa semua orang yang ditemui Aku menanyakan apakah surat Janelle sudah dibaca atau belum? Kenapa semua orang sepertinya kenal Janelle dan Aku sedangkan Aku tidak? Kenapa Janelle menghilang? Kenapa Aku ditangkap setelah menggandakan surat dari Janelle? Jakarta seperti apa yang ditinggali Aku? Membaca cerpen ini mengingatkan saya akan kata distopia, dan beberapa karya sastra lain, The Giver, 1984, dan 13 Reasons Why. Menurut kuliah Resepsi Sastra, cerpennya sudah berhasil membangkitkan repetoar dengan menghadirkan kekosongan (atau plot hole?) yang (sok) saya isi dengan repertoar saya tentang karya-karya fiksi distopia dan epistolary.

Janelle itu siapa dan dari mana. Bisa jadi dia bukan orang Indonesia karena namanya asing. Atau bisa jadi dia orang Indonesia asli, karena di Jakarta pasti segala nama ada. Kenapa namanya Janelle? Sungguhkah Janelle ini manusia yang mengalami kesedihan yang membuat tokoh Aku tergugah dan meneruskan suratnya ke banyak orang? Atau sesungguhnya Janelle ini bukan manusia. Dia hanya

Page 25: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

19 20

perangkap yang dibikin suatu pihak untuk menangkap si Aku. Karena si Aku terlibat dalam misi yang berpotensi mengguncang negara. Negara Indonesia mestilah sudah menjadi dunia distopia yang segenap definisi baik dan buruk sudah dimanipulasi. Hal ini karena surat Janelle menurut si Aku berisi kesedihan yang entah bagaimana dilupakan si Aku padahal haruslah disebar. Setelah disebar si Aku malah ditangkap dan “dilenyapkan.” Bagaimana bisa banyak orang kenal Janelle dan Aku padahal si Aku tidak. Pasti juga ada sistem dalam negara yang membuat seseorang mengenal orang lain dan mengetahui gerak-geriknya padahal ada yang tidak tahu menahu. Hal itu bisa saja karena ia telah melakukan sesuatu yang terlarang dan sial dia jadi tokoh utama yang harus mengalami segala kisah dalam masyarakat distopia tersebut.

Terlalu banyak pertanyaan kala membaca cerpen ini membuat saya menciptakan plot tersendiri. Mungkin inilah kelebihan cerpen yang pernah dimuat di Tribun Jabar pada tahun 2013 dan sudah diterbitkan dalam kumcer Sarelgaz. Kisahnya menciptakan nuansa distopia Indonesia ketika menyebarluaskan berita kesedihan dan kesengsaraan menjadi hal terlarang. Awalnya saya pikir kisah ini akan seperti dalam 13 Reasons Why, mengenai seseorang yang bunuh diri lalu membagikan kisahnya pada orang-orang yang semasa dia hidup tidak sadar kalau si

Yang Tersisa dari Janelleoleh Rahmawati

Janelle itu siapa (atau apa)? Bagaimana Aku bisa berhubungan dengan Janelle? Kenapa Aku yang dikirimi Janelle surat? Apa isi surat Janelle? Kenapa semua orang yang ditemui Aku menanyakan apakah surat Janelle sudah dibaca atau belum? Kenapa semua orang sepertinya kenal Janelle dan Aku sedangkan Aku tidak? Kenapa Janelle menghilang? Kenapa Aku ditangkap setelah menggandakan surat dari Janelle? Jakarta seperti apa yang ditinggali Aku? Membaca cerpen ini mengingatkan saya akan kata distopia, dan beberapa karya sastra lain, The Giver, 1984, dan 13 Reasons Why. Menurut kuliah Resepsi Sastra, cerpennya sudah berhasil membangkitkan repetoar dengan menghadirkan kekosongan (atau plot hole?) yang (sok) saya isi dengan repertoar saya tentang karya-karya fiksi distopia dan epistolary.

Janelle itu siapa dan dari mana. Bisa jadi dia bukan orang Indonesia karena namanya asing. Atau bisa jadi dia orang Indonesia asli, karena di Jakarta pasti segala nama ada. Kenapa namanya Janelle? Sungguhkah Janelle ini manusia yang mengalami kesedihan yang membuat tokoh Aku tergugah dan meneruskan suratnya ke banyak orang? Atau sesungguhnya Janelle ini bukan manusia. Dia hanya

Page 26: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

21 22

korban eksis. Ternyata salah. Janelle ternyata makhluk misterius yang terkenal seantero kota. Sampai akhir kisah isi persis surat Janelle tidak diketahui. Yang jelas hanya sebuah berita sedih yang harus dibagikan untuk menyadarkan manusia tentang keadaan hidupnya, seperti yang dialami Jonas sebagai penerima ingatan umat manusia dalam The Giver. Ternyata Kisah itu tidak bisa sembarangan digandakan dan disebarluaskan. Semua penduduk mengenal Aku dan apa yang dia kerjakan sehingga ia ditangkap karena memiliki pemikiran yang berbeda dari yang dianjurkan, seperti dalam 1984.

Cerpen ini memiliki beberapa unsur fiksi distopia. Distopia, sebuah masyarakat imajinasi yang penuh keburukan, sebuah tempat yang tidak layak huni. Tema distopia yang muncul adalah, identitas tokoh, tokoh Aku yang diketahui semua orang, Janelle yang dikenali semua orang kecuali Aku. Dalam fiksi distopia biasanya identitas seseorang sudah ditentukan oleh yang berkuasa, bisa berupa nama ataupun kode-kode lain seperti angka. Identitas seseorang biasanya sudah terkotak-kotak sehingga banyak pihak yang saling kenal atau saling mengetahui deskripsi masing-masing berdasarkan suatu kelompok. Hal ini terjadi karena komunitas distopia relatif kecil dan terbagi dengan jelas. Jika seseorang mengalami lupa ingatan atau tidak

menyadari identitasnya atau orang lain bisa saja hal itu karena kesalahan sistem, entah dirinya sendiri yang imun terhadap penggolongan yang terjadi atau pencucian otak karena pernah melakukan suatu kesalahan. Hal-hal itu tercermin dalam cerpen ini. Identitas tokoh Aku (nomor teleponnya diketahu orang asing) dan apa yang dilakukannya (menerima surat dari Janelle) diketahui banyak orang yang tidak dikenalinya. Janelle, seseorang misterius yang mengirim surat, juga dikenali banyak orang.

Selain itu ada tema kekerasan yang dipraktikkan oleh “orang-orang itu,” yang saya bayangkan sebagai orang suruhan negara yang mengatur gerak-gerik warga demi “ketentraman” masyarakat. Saya terhasut literatur sejenis 1984 atau The Hunger Games. Dalam banyak literatur distopia kekerasan yang terjadi akibat adanya perang yang tengah berlangsung. Selain itu, kekerasan muncul untuk menciptakan stabilitas masyarakat dan “melindungi” masyarakat dari input buruk yang memengaruhi kestabilan negara, ada kontrol dari pemimpin yang melibatkan kekerasan. Hal ini yang dilakukan “orang-orang itu” terhadap Aku dan Janelle, melenyapkan mereka karena membagikan berita sedih yang mungkin mengganggu stabilitas negara. Strategi yang digunakan penulis tepat saya rasa ketika menciptakan karya distopia yang penuh pemakluman akan berbagai plot hole dalam kisah

Page 27: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

21 22

korban eksis. Ternyata salah. Janelle ternyata makhluk misterius yang terkenal seantero kota. Sampai akhir kisah isi persis surat Janelle tidak diketahui. Yang jelas hanya sebuah berita sedih yang harus dibagikan untuk menyadarkan manusia tentang keadaan hidupnya, seperti yang dialami Jonas sebagai penerima ingatan umat manusia dalam The Giver. Ternyata Kisah itu tidak bisa sembarangan digandakan dan disebarluaskan. Semua penduduk mengenal Aku dan apa yang dia kerjakan sehingga ia ditangkap karena memiliki pemikiran yang berbeda dari yang dianjurkan, seperti dalam 1984.

Cerpen ini memiliki beberapa unsur fiksi distopia. Distopia, sebuah masyarakat imajinasi yang penuh keburukan, sebuah tempat yang tidak layak huni. Tema distopia yang muncul adalah, identitas tokoh, tokoh Aku yang diketahui semua orang, Janelle yang dikenali semua orang kecuali Aku. Dalam fiksi distopia biasanya identitas seseorang sudah ditentukan oleh yang berkuasa, bisa berupa nama ataupun kode-kode lain seperti angka. Identitas seseorang biasanya sudah terkotak-kotak sehingga banyak pihak yang saling kenal atau saling mengetahui deskripsi masing-masing berdasarkan suatu kelompok. Hal ini terjadi karena komunitas distopia relatif kecil dan terbagi dengan jelas. Jika seseorang mengalami lupa ingatan atau tidak

menyadari identitasnya atau orang lain bisa saja hal itu karena kesalahan sistem, entah dirinya sendiri yang imun terhadap penggolongan yang terjadi atau pencucian otak karena pernah melakukan suatu kesalahan. Hal-hal itu tercermin dalam cerpen ini. Identitas tokoh Aku (nomor teleponnya diketahu orang asing) dan apa yang dilakukannya (menerima surat dari Janelle) diketahui banyak orang yang tidak dikenalinya. Janelle, seseorang misterius yang mengirim surat, juga dikenali banyak orang.

Selain itu ada tema kekerasan yang dipraktikkan oleh “orang-orang itu,” yang saya bayangkan sebagai orang suruhan negara yang mengatur gerak-gerik warga demi “ketentraman” masyarakat. Saya terhasut literatur sejenis 1984 atau The Hunger Games. Dalam banyak literatur distopia kekerasan yang terjadi akibat adanya perang yang tengah berlangsung. Selain itu, kekerasan muncul untuk menciptakan stabilitas masyarakat dan “melindungi” masyarakat dari input buruk yang memengaruhi kestabilan negara, ada kontrol dari pemimpin yang melibatkan kekerasan. Hal ini yang dilakukan “orang-orang itu” terhadap Aku dan Janelle, melenyapkan mereka karena membagikan berita sedih yang mungkin mengganggu stabilitas negara. Strategi yang digunakan penulis tepat saya rasa ketika menciptakan karya distopia yang penuh pemakluman akan berbagai plot hole dalam kisah

Page 28: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

23 24

(kenapa tiba-tiba surat Janelle ada di kamar si Aku? Siapa “orang-orang itu” yang menjemput si Aku?).

Janelle itu siapa (atau apa)? Bagaimana Aku bisa berhubungan dengan Janelle? Kenapa Aku yang dikirimi Janelle surat? Apa isi surat Janelle? Kenapa semua orang yang ditemui Aku menanyakan apakah surat Janelle sudah dibaca atau belum? Kenapa semua orang sepertinya kenal Janelle dan Aku sedangkan Aku tidak? Kenapa Janelle menghilang? Kenapa Aku ditangkap setelah menggandakan surat dari Janelle? Jakarta seperti apa yang ditinggali Aku? Jika Anda yang sudah membaca cerpen ini, apa yang disisakan Janelle bagi Anda?

Sedikit usil, ternyata penulis memaksudkan cerpen ini sebagai kisah epistolary macam “Sepotong Senja untuk Pacarku”, lalu beliau bingung akan isi surat tersebut. Dalam proses menulis cerpen ini beliau kerap mendapat pertanyaan “Sudah dapat email dari Kompas?” Maka beliau mengubahnya jadi pertanyaan “Sudah dapat surat dari Janelle?” Pertanyaan itu begitu pentingnya dan diulang-ulang dari awal hingga akhir cerpen sehingga tidak diperlukan jawaban. Untuk judulnya, ternyata penulis terinspirasi dari lagu band post-hardcore, Chiodos berjudul “A Letter from Janelle”. Mungkin karena lagunya yang agak membikin frustasi ceritanya jadi begini.

ReferensiBacaan mengenai definisi distopia didapat dari laman

wikipedia berbahasa Inggris dan pengalamanmembaca novel terjemahan yang dilabeli fiksidistopia oleh media.Paragraf terakhir dikutip dari blog penulis,

surgakata.wordpress.com

Page 29: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

23 24

(kenapa tiba-tiba surat Janelle ada di kamar si Aku? Siapa “orang-orang itu” yang menjemput si Aku?).

Janelle itu siapa (atau apa)? Bagaimana Aku bisa berhubungan dengan Janelle? Kenapa Aku yang dikirimi Janelle surat? Apa isi surat Janelle? Kenapa semua orang yang ditemui Aku menanyakan apakah surat Janelle sudah dibaca atau belum? Kenapa semua orang sepertinya kenal Janelle dan Aku sedangkan Aku tidak? Kenapa Janelle menghilang? Kenapa Aku ditangkap setelah menggandakan surat dari Janelle? Jakarta seperti apa yang ditinggali Aku? Jika Anda yang sudah membaca cerpen ini, apa yang disisakan Janelle bagi Anda?

Sedikit usil, ternyata penulis memaksudkan cerpen ini sebagai kisah epistolary macam “Sepotong Senja untuk Pacarku”, lalu beliau bingung akan isi surat tersebut. Dalam proses menulis cerpen ini beliau kerap mendapat pertanyaan “Sudah dapat email dari Kompas?” Maka beliau mengubahnya jadi pertanyaan “Sudah dapat surat dari Janelle?” Pertanyaan itu begitu pentingnya dan diulang-ulang dari awal hingga akhir cerpen sehingga tidak diperlukan jawaban. Untuk judulnya, ternyata penulis terinspirasi dari lagu band post-hardcore, Chiodos berjudul “A Letter from Janelle”. Mungkin karena lagunya yang agak membikin frustasi ceritanya jadi begini.

ReferensiBacaan mengenai definisi distopia didapat dari laman

wikipedia berbahasa Inggris dan pengalamanmembaca novel terjemahan yang dilabeli fiksidistopia oleh media.Paragraf terakhir dikutip dari blog penulis,

surgakata.wordpress.com

Page 30: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

25 26

SURAT DARI JANELLE KARYA SUNGGING RAGA: BEBERAPA CATATAN KAKI UNTUK PEMANCING DISKUSI SASTRA PKKH EDISI JUNI 2015Oleh Faruk HT

Semua berawal pagi ini. Nada telepon tiba-tiba mendahului jadwal alarm. Aku butuh beberapa detik

1untuk sepenuhnya sadar dan menjawab telepon.

“Halo?”

“Hai kawan. Sudahkah kau terima surat dari Janelle?”

Terdengar suara seorang lelaki yang asing bagiku. Di layar handphone juga tak tertera nama.

“Janelle? Maaf, siapa Janelle?”

“Ayolah. Jangan bercanda. Janelle mungkin akan bunuh diri kalau tahu kau belum membaca suratnya, tapi kau pasti sudah menerimanya, kan? Aku hanya ingin memastikan saja.”

“Maaf, aku tidak tahu siapa Anda, siapa Janelle, dan surat yang Anda maksud.”

“Jadi surat itu belum sampai? Belum kau baca?”

“Sekali lagi aku tidak tahu. Mungkin Anda salah 2sambung. Coba diperiksa lagi nomornya.”

Segera kututup telepon, aku bahkan belum memulai kebiasaan pasca tidurku, membuka gorden dan bersiap menikmati cahaya pagi yang hangat menembus kaca jendela. Hm, hidup kadang mudah, aku hanya akan duduk menghadap sinar matahari dan kemudian berkata bahwa aku tidak kekurangan kalsium.

Namun ketenanganku pagi ini sedikit terusik dengan telepon itu. Apakah memang salah sambung? Orang iseng? Entahlah, aku harus siap-siap berangkat kerja. Semuanya harus tepat waktu, karena kalau terlambat sedikit saja maka jalan raya akan memadat, susah dan lama sekali untuk sampai ke tujuan: perang klakson, orang menyeberang sembarangan, lampu merah yang tidak dianggap, metromini berhenti tak teratur di badan jalan. Tapi inilah Jakarta, siapa yang

3tak ingin menghabiskan usianya di kota ini?

***

Kutinggalkan kamar kontrakan sekitar pukul 06.15, sebenarnya aku hampir saja melupakan urusan telepon tadi sampai seorang ibu pedagang sayur yang kebetulan melintas di hadapanku bertanya,

Page 31: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

25 26

SURAT DARI JANELLE KARYA SUNGGING RAGA: BEBERAPA CATATAN KAKI UNTUK PEMANCING DISKUSI SASTRA PKKH EDISI JUNI 2015Oleh Faruk HT

Semua berawal pagi ini. Nada telepon tiba-tiba mendahului jadwal alarm. Aku butuh beberapa detik

1untuk sepenuhnya sadar dan menjawab telepon.

“Halo?”

“Hai kawan. Sudahkah kau terima surat dari Janelle?”

Terdengar suara seorang lelaki yang asing bagiku. Di layar handphone juga tak tertera nama.

“Janelle? Maaf, siapa Janelle?”

“Ayolah. Jangan bercanda. Janelle mungkin akan bunuh diri kalau tahu kau belum membaca suratnya, tapi kau pasti sudah menerimanya, kan? Aku hanya ingin memastikan saja.”

“Maaf, aku tidak tahu siapa Anda, siapa Janelle, dan surat yang Anda maksud.”

“Jadi surat itu belum sampai? Belum kau baca?”

“Sekali lagi aku tidak tahu. Mungkin Anda salah 2sambung. Coba diperiksa lagi nomornya.”

Segera kututup telepon, aku bahkan belum memulai kebiasaan pasca tidurku, membuka gorden dan bersiap menikmati cahaya pagi yang hangat menembus kaca jendela. Hm, hidup kadang mudah, aku hanya akan duduk menghadap sinar matahari dan kemudian berkata bahwa aku tidak kekurangan kalsium.

Namun ketenanganku pagi ini sedikit terusik dengan telepon itu. Apakah memang salah sambung? Orang iseng? Entahlah, aku harus siap-siap berangkat kerja. Semuanya harus tepat waktu, karena kalau terlambat sedikit saja maka jalan raya akan memadat, susah dan lama sekali untuk sampai ke tujuan: perang klakson, orang menyeberang sembarangan, lampu merah yang tidak dianggap, metromini berhenti tak teratur di badan jalan. Tapi inilah Jakarta, siapa yang

3tak ingin menghabiskan usianya di kota ini?

***

Kutinggalkan kamar kontrakan sekitar pukul 06.15, sebenarnya aku hampir saja melupakan urusan telepon tadi sampai seorang ibu pedagang sayur yang kebetulan melintas di hadapanku bertanya,

Page 32: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

27 28

“Mau berangkat kerja ya?”

“Iya, Bu.”

“Sudah terima surat dari Janelle, kan?”

Aku terdiam. Apakah ibu ini ada hubungannya dengan penelepon gelap tadi? Tapi ketika hendak kutanyakan lebih lanjut, tiba-tiba ia sudah dikerubungi pelanggannya.

Barangkali aku memang pernah mengenal seseorang bernama Janelle. Sistem pikiranku berubah, jika awalnya aku sama sekali tidak peduli siapa itu Janelle, kini otakku memberi asumsi: Baiklah, aku memang kenal Janelle, setidaknya mungkin pernah

4mengenalnya di masa.

Namun sekarang bukan waktu yang tepat untuk mereparasi ingatan, aku buru-buru berjalan kaki menuju halte bus Trans Jakarta, duduk menunggu bersama penumpang lain, dan akhirnya naik ke dalam bus yang tiba empat menit kemudian.

Ketika melangkah masuk, sesaat aku melihat nama yang tertera di seragam kondektur bus yang kebetulan seorang perempuan cantik, siapa tahu ia yang bernama Janelle.

Ternyata bukan, namanya Nalea.

1Mungkin aku terlalu optimistis.

Suasana bus Trans Jakarta cukup lengang, tidak ada penumpang yang berdiri, mungkin banyak yang bangun terlambat karena semalam ada pertandingan sepakbola. Sebagian wajah penumpang cukup familiar bagiku, karena kami sudah terbiasa berangkat di jam yang sama, di bus yang sama. Jika dipikir-pikir, kami seperti keluarga dalam sebuah bus yang berjalan. Dan aku baru sadar kalau hampir semua penumpang memandang kepadaku, termasuk sopir bus yang sesekali melihatku lewat kaca spion atas.

Nampak seorang gadis kecil yang duduk di bangku bagian belakang sedang didorong-dorong ibunya, gadis kecil itu tampak enggan, tapi ibunya memaksa, dan akhirnya gadis itu pun berjalan, melangkah ke arahku.

“Kakak,” gadis kecil ini menyapaku, “apa sudah terima surat dari Janelle?”

Aku terkejut, kali ini benar-benar terkejut. Entah siapa itu Janelle, yang pasti dia sudah gila kalau harus menitipkan pertanyaan itu pada semua orang.

Page 33: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

27 28

“Mau berangkat kerja ya?”

“Iya, Bu.”

“Sudah terima surat dari Janelle, kan?”

Aku terdiam. Apakah ibu ini ada hubungannya dengan penelepon gelap tadi? Tapi ketika hendak kutanyakan lebih lanjut, tiba-tiba ia sudah dikerubungi pelanggannya.

Barangkali aku memang pernah mengenal seseorang bernama Janelle. Sistem pikiranku berubah, jika awalnya aku sama sekali tidak peduli siapa itu Janelle, kini otakku memberi asumsi: Baiklah, aku memang kenal Janelle, setidaknya mungkin pernah

4mengenalnya di masa.

Namun sekarang bukan waktu yang tepat untuk mereparasi ingatan, aku buru-buru berjalan kaki menuju halte bus Trans Jakarta, duduk menunggu bersama penumpang lain, dan akhirnya naik ke dalam bus yang tiba empat menit kemudian.

Ketika melangkah masuk, sesaat aku melihat nama yang tertera di seragam kondektur bus yang kebetulan seorang perempuan cantik, siapa tahu ia yang bernama Janelle.

Ternyata bukan, namanya Nalea.

1Mungkin aku terlalu optimistis.

Suasana bus Trans Jakarta cukup lengang, tidak ada penumpang yang berdiri, mungkin banyak yang bangun terlambat karena semalam ada pertandingan sepakbola. Sebagian wajah penumpang cukup familiar bagiku, karena kami sudah terbiasa berangkat di jam yang sama, di bus yang sama. Jika dipikir-pikir, kami seperti keluarga dalam sebuah bus yang berjalan. Dan aku baru sadar kalau hampir semua penumpang memandang kepadaku, termasuk sopir bus yang sesekali melihatku lewat kaca spion atas.

Nampak seorang gadis kecil yang duduk di bangku bagian belakang sedang didorong-dorong ibunya, gadis kecil itu tampak enggan, tapi ibunya memaksa, dan akhirnya gadis itu pun berjalan, melangkah ke arahku.

“Kakak,” gadis kecil ini menyapaku, “apa sudah terima surat dari Janelle?”

Aku terkejut, kali ini benar-benar terkejut. Entah siapa itu Janelle, yang pasti dia sudah gila kalau harus menitipkan pertanyaan itu pada semua orang.

Page 34: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

29 30

Seolah suratnya teramat penting. Aku menggeleng. Gadis kecil itu kembali pada ibunya. Orang-orang masih memandangiku.

Sepertinya aku harus mulai berpikir siapa sebenarnya Janelle, untuk apa ia mengirim surat padaku, bagaimana mungkin ia memberitahu banyak orang tentang surat itu, mengapa orang-orang begitu bersemangat menanyakan sampai tidaknya surat itu, dan yang terpenting, kalau memang surat itu ada, sekarang ada di mana? Apakah tersangkut di pos?

6Atau dikirim lewat kurir dan tiba-tiba ketlisut?

Empat puluh menit kemudian, aku turun di halte yang tepat berada di depan kantorku. Dan tidaklah setiap orang yang kutemui melainkan pasti memandang curiga padaku. Apakah mereka semua ingin bertanya tentang surat dari Janelle?

Sepanjang hari di kantor, aku ditimpa perasaan gelisah. Ketika sedang santai, aku membuka google, kuketik “surat dari Janelle” di kolom pencarian, tapi hasilnya tidak jelas, tidak fokus. Mungkin Janelle hidup di suatu tempat yang tak mengenal internet, sehingga ia tak sempat mengunggah suratnya di website pribadi.

Dan yang semakin membuatku penasaran adalah

beberapa email dari beberapa kawan, termasuk mantan kekasihku yang sudah lama tidak kuketahui kabarnya. Email itu intinya sama, “Sudahkah kau terima surat dari Janelle?”

Tunggu. Apakah Janelle mengirimiku surat cinta? Sebegitu dahsyatkah sebuah surat cinta yang bagi sebagian orang sudah dianggap sebagai budaya kadaluarsaSeharian penuh aku terus dihujani pertanyaan itu, mulai dari teman kantor, petugas cleaning service, pengamen di trotoar, penjual gorengan, penumpang bus sepanjang perjalanan pulang, mereka bergantian

7bertanya, “Sudahkah kau terima surat dari Janelle?”

Dan terakhir, ketika aku berjalan menuju kamar kontrakan, handphone berbunyi lagi, dari nomor yang sama, yang menghubungiku pagi tadi.

“Halo!” Suaraku sedikit kutinggikan.

“Maaf kalau aku mengganggu lagi, tapi aku hanya ingin tahu apakah surat dari Janelle sudah kau baca?”

“Sebentar, apa Anda kenal Janelle?” aku balik bertanya.

“Tentu saja, seharusnya kita semua kenal Janelle.

Page 35: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

29 30

Seolah suratnya teramat penting. Aku menggeleng. Gadis kecil itu kembali pada ibunya. Orang-orang masih memandangiku.

Sepertinya aku harus mulai berpikir siapa sebenarnya Janelle, untuk apa ia mengirim surat padaku, bagaimana mungkin ia memberitahu banyak orang tentang surat itu, mengapa orang-orang begitu bersemangat menanyakan sampai tidaknya surat itu, dan yang terpenting, kalau memang surat itu ada, sekarang ada di mana? Apakah tersangkut di pos?

6Atau dikirim lewat kurir dan tiba-tiba ketlisut?

Empat puluh menit kemudian, aku turun di halte yang tepat berada di depan kantorku. Dan tidaklah setiap orang yang kutemui melainkan pasti memandang curiga padaku. Apakah mereka semua ingin bertanya tentang surat dari Janelle?

Sepanjang hari di kantor, aku ditimpa perasaan gelisah. Ketika sedang santai, aku membuka google, kuketik “surat dari Janelle” di kolom pencarian, tapi hasilnya tidak jelas, tidak fokus. Mungkin Janelle hidup di suatu tempat yang tak mengenal internet, sehingga ia tak sempat mengunggah suratnya di website pribadi.

Dan yang semakin membuatku penasaran adalah

beberapa email dari beberapa kawan, termasuk mantan kekasihku yang sudah lama tidak kuketahui kabarnya. Email itu intinya sama, “Sudahkah kau terima surat dari Janelle?”

Tunggu. Apakah Janelle mengirimiku surat cinta? Sebegitu dahsyatkah sebuah surat cinta yang bagi sebagian orang sudah dianggap sebagai budaya kadaluarsaSeharian penuh aku terus dihujani pertanyaan itu, mulai dari teman kantor, petugas cleaning service, pengamen di trotoar, penjual gorengan, penumpang bus sepanjang perjalanan pulang, mereka bergantian

7bertanya, “Sudahkah kau terima surat dari Janelle?”

Dan terakhir, ketika aku berjalan menuju kamar kontrakan, handphone berbunyi lagi, dari nomor yang sama, yang menghubungiku pagi tadi.

“Halo!” Suaraku sedikit kutinggikan.

“Maaf kalau aku mengganggu lagi, tapi aku hanya ingin tahu apakah surat dari Janelle sudah kau baca?”

“Sebentar, apa Anda kenal Janelle?” aku balik bertanya.

“Tentu saja, seharusnya kita semua kenal Janelle.

Page 36: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

31 32

Tapi ia hanya menulis surat untuk Anda, bukan untuk kami.”

“Kenapa harus aku?”

“Janelle sendiri yang bilang begitu. Sebelum ia menghilang, ia berkata telah menulis surat untuk Anda. Terakhir kali aku bertemu dengannya, wajahnya begitu pucat.”

Kututup telepon, ini tidak masuk akal. Aku tiba di depan kontrakan, segera kulepas sepatu dan kuletakkan di rak dekat pot bunga, lantas kubuka

8pintu.

Udara ruangan begitu pengap, aku baru saja ingin mengganti pakaian ketika kulihat sesuatu: Sepucuk surat di atas kasur. Entah siapa yang meletakkannya dan bagaimana, sebab kamar sudah kukunci, kecuali ada penyusup yang punya ilmu meloloskan diri seperti Harry Houdini.

Kupungut surat tersebut, pada amplopnya tertulis: DARI JANELLE.

Ah, jadi benar, ada seseorang bernama Janelle yang hidup di suatu tempat, tiba-tiba mengirim surat padaku. Dan kini sudah selamat sampai tujuan.

Tanpa menunggu lagi, segera kurobek tepian

amplop, ada beberapa lembar kertas, lalu mulai kubaca surat itu pelan-pelan, dan…

Astaga, ini tidak mungkin, di surat ini aku membaca perasaan tragis yang sangat kukenal, kesedihan, penderitaan, rahasia-rahasia Janelle yang begitu penting, kisah-kisah menakutkannya yang selama bertahun-tahun ditutup-tutupi dan disembunyikan. Surat ini benar-benar berbeda dari surat-surat lain yang tadinya sempat kubayangkan, surat dari Janelle tidak seperti surat seseorang dari medan perang yang mengirimkan potongan telinga untuk kekasihnya, atau surat seorang wanita yang terpenjara, atau surat-surat seorang aktivis. Tidak, surat dari Janelle justru membuatku terkejut dan merasa sangat bersalah. Bagaimana bisa aku melupakannya selama ini? Apakah aku telah mengalami cuci otak? Tentu saja aku sangat mengenal Janelle, di surat ini tertulis segala hal yang seharusnya kami perjuangkan sejak lama. Dan aku baru sempat membacanya? Tapi bagaimana kalau mereka tahu aku sudah menerima surat dari Janelle?

Kulipat kembali surat tersebut. Aku termenung cukup lama, membayangkan keadaan Janelle sekarang, segala penderitaan yang dirasakannya, kecemasannya karena surat ini ternyata terlambat. Apakah ia masih hidup? Terkadang sepucuk surat

Page 37: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

31 32

Tapi ia hanya menulis surat untuk Anda, bukan untuk kami.”

“Kenapa harus aku?”

“Janelle sendiri yang bilang begitu. Sebelum ia menghilang, ia berkata telah menulis surat untuk Anda. Terakhir kali aku bertemu dengannya, wajahnya begitu pucat.”

Kututup telepon, ini tidak masuk akal. Aku tiba di depan kontrakan, segera kulepas sepatu dan kuletakkan di rak dekat pot bunga, lantas kubuka

8pintu.

Udara ruangan begitu pengap, aku baru saja ingin mengganti pakaian ketika kulihat sesuatu: Sepucuk surat di atas kasur. Entah siapa yang meletakkannya dan bagaimana, sebab kamar sudah kukunci, kecuali ada penyusup yang punya ilmu meloloskan diri seperti Harry Houdini.

Kupungut surat tersebut, pada amplopnya tertulis: DARI JANELLE.

Ah, jadi benar, ada seseorang bernama Janelle yang hidup di suatu tempat, tiba-tiba mengirim surat padaku. Dan kini sudah selamat sampai tujuan.

Tanpa menunggu lagi, segera kurobek tepian

amplop, ada beberapa lembar kertas, lalu mulai kubaca surat itu pelan-pelan, dan…

Astaga, ini tidak mungkin, di surat ini aku membaca perasaan tragis yang sangat kukenal, kesedihan, penderitaan, rahasia-rahasia Janelle yang begitu penting, kisah-kisah menakutkannya yang selama bertahun-tahun ditutup-tutupi dan disembunyikan. Surat ini benar-benar berbeda dari surat-surat lain yang tadinya sempat kubayangkan, surat dari Janelle tidak seperti surat seseorang dari medan perang yang mengirimkan potongan telinga untuk kekasihnya, atau surat seorang wanita yang terpenjara, atau surat-surat seorang aktivis. Tidak, surat dari Janelle justru membuatku terkejut dan merasa sangat bersalah. Bagaimana bisa aku melupakannya selama ini? Apakah aku telah mengalami cuci otak? Tentu saja aku sangat mengenal Janelle, di surat ini tertulis segala hal yang seharusnya kami perjuangkan sejak lama. Dan aku baru sempat membacanya? Tapi bagaimana kalau mereka tahu aku sudah menerima surat dari Janelle?

Kulipat kembali surat tersebut. Aku termenung cukup lama, membayangkan keadaan Janelle sekarang, segala penderitaan yang dirasakannya, kecemasannya karena surat ini ternyata terlambat. Apakah ia masih hidup? Terkadang sepucuk surat

Page 38: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

33 34

menjadi lebih penting daripada nyawa itu sendiri. Pantas saja semua orang bertanya kepadaku apakah

9aku sudah menerima surat ini. Dan kupikir seluruh pembaca cerita pendek ini juga layak untuk ikut membaca surat dari Janelle, agar kalau seorang lupa, maka orang lain akan mengingatkannya, sehingga pengorbanan Janelle tidak akan pernah hilang dari sejarah.

Segera aku pergi ke tempat fotokopi, kugandakan surat itu sebanyak-banyaknya. Lantas esok harinya, seluruh tabungan gajiku kupakai untuk membeli amplop dan membayar biaya pos. Mungkin aku sudah gila, tapi Janelle lebih penting dari apapun. Kupastikan siapapun yang membaca cerita ini telah kukirimi salinan surat tersebut, dengan nama

10pengirimnya tetap Dari Janelle.

***Setelah itu, perasaanku memang menjadi lebih tenang. Namun beberapa hari kemudian, sesaat sebelum aku dijemput paksa oleh orang-orang itu, aku mulai diliputi rasa penasaran…

Pembaca yang budiman, sudahkah Anda menerima 11surat dari Janelle?***

1

misalnya novelnya tiba-tiba malam. Tapi, tentu tidak hanya itu. Hampir semua karya putu, baik yang berupa novel, naskah drama, novelet, maupun cerpen memulai ceritanya dengan peristiwa yang mengejutkan bagi tokoh cerita yang mungkin menjadi tokoh utama. Apakah ini yang oleh penulis tersebut dinamakan teror? Kelihatannya begitu. Tapi, tentu saja yang dimaksudkan putu sebagai teror tidak hanya berkaitan dengan pembukaan cerita, melainkan keseluruhan bangunan ceritanya. Karena, melalui pintu peristiwa yang mengejutkan itu, putu biasanya mengajak pembacanya masuk ke dalam sebuah dunia “lain”, dunia yang asing dibandingkan dengan kehidupan keseharian (terutama tokoh cerita itu sendiri).

2 Sampai di sini saya kembali ingat sama karya-karya

penulis tahun 1970an di atas. Yang mengejutkan itu ternyata hanya sebuah surat, hal yang dapat dianggap sepele. Putu pun sangat gemar menggunakan hal-hal sepele sebagai pemicu terornya. Dalam kasus naskah drama yang berjudul Anu, misalnya, ia bahkan menggunakan sesuatu yang bisa dibilang tidak hanya sepele, melainkan non-sense, tak berarti. Dengan menggunakan pernyataan yang tanpa makna, putu dapat menyeret pembaca ke sebuah persoalan yang, katakanlah, bermakna, serius. Tentu anda masih ingat dengan noveletnya yang berjudul Telegram. Bukankah telegram sangat mirip dengan surat?

3 Bagian ini menunjukkan bahwa teror di atas mulai

memperlihatkan efektivitasnya. Narator dalam cerpen ini mulai merasa terganggu oleh telepon yang menanyakan surat dari jenille, yang menurut perkiraannya tidak ia kenal

Membaca bagian ini saya ingat Putu Wijaya. Ambillah

Page 39: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

33 34

menjadi lebih penting daripada nyawa itu sendiri. Pantas saja semua orang bertanya kepadaku apakah

9aku sudah menerima surat ini. Dan kupikir seluruh pembaca cerita pendek ini juga layak untuk ikut membaca surat dari Janelle, agar kalau seorang lupa, maka orang lain akan mengingatkannya, sehingga pengorbanan Janelle tidak akan pernah hilang dari sejarah.

Segera aku pergi ke tempat fotokopi, kugandakan surat itu sebanyak-banyaknya. Lantas esok harinya, seluruh tabungan gajiku kupakai untuk membeli amplop dan membayar biaya pos. Mungkin aku sudah gila, tapi Janelle lebih penting dari apapun. Kupastikan siapapun yang membaca cerita ini telah kukirimi salinan surat tersebut, dengan nama

10pengirimnya tetap Dari Janelle.

***Setelah itu, perasaanku memang menjadi lebih tenang. Namun beberapa hari kemudian, sesaat sebelum aku dijemput paksa oleh orang-orang itu, aku mulai diliputi rasa penasaran…

Pembaca yang budiman, sudahkah Anda menerima 11surat dari Janelle?***

1

misalnya novelnya tiba-tiba malam. Tapi, tentu tidak hanya itu. Hampir semua karya putu, baik yang berupa novel, naskah drama, novelet, maupun cerpen memulai ceritanya dengan peristiwa yang mengejutkan bagi tokoh cerita yang mungkin menjadi tokoh utama. Apakah ini yang oleh penulis tersebut dinamakan teror? Kelihatannya begitu. Tapi, tentu saja yang dimaksudkan putu sebagai teror tidak hanya berkaitan dengan pembukaan cerita, melainkan keseluruhan bangunan ceritanya. Karena, melalui pintu peristiwa yang mengejutkan itu, putu biasanya mengajak pembacanya masuk ke dalam sebuah dunia “lain”, dunia yang asing dibandingkan dengan kehidupan keseharian (terutama tokoh cerita itu sendiri).

2 Sampai di sini saya kembali ingat sama karya-karya

penulis tahun 1970an di atas. Yang mengejutkan itu ternyata hanya sebuah surat, hal yang dapat dianggap sepele. Putu pun sangat gemar menggunakan hal-hal sepele sebagai pemicu terornya. Dalam kasus naskah drama yang berjudul Anu, misalnya, ia bahkan menggunakan sesuatu yang bisa dibilang tidak hanya sepele, melainkan non-sense, tak berarti. Dengan menggunakan pernyataan yang tanpa makna, putu dapat menyeret pembaca ke sebuah persoalan yang, katakanlah, bermakna, serius. Tentu anda masih ingat dengan noveletnya yang berjudul Telegram. Bukankah telegram sangat mirip dengan surat?

3 Bagian ini menunjukkan bahwa teror di atas mulai

memperlihatkan efektivitasnya. Narator dalam cerpen ini mulai merasa terganggu oleh telepon yang menanyakan surat dari jenille, yang menurut perkiraannya tidak ia kenal

Membaca bagian ini saya ingat Putu Wijaya. Ambillah

Page 40: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

35 36

sama sekali. Yang terteror tentu saja kenyamanan hidup sang narator, rutinitas kehidupannya. Biarpun jakarta digambarkan sebagai semrawut, rutinitas membuat si narator merasa kehidupannya selama ini nyaman, bahkan benar (“siapa yang tak ingin menghabiskan usianya di kota ini?”.

4 Narator sebenarnya hampir bisa melupakan peristiwa itu

begitu ia mulai masuk ke dalam rutinitasnya. Namun, muncul teror kedua yang serupa. Pada teror yang kedua ini narator tidak hanya merasa terganggu dari kenyamanan kebiasaan hidupnya sehari-hari, melainkan bahkan mulai meragukan dirinya sendiri, meragukan pikirannya sendiri, dan mulai menganggap telepon itu serius, tidak kebetulan, dan surat itu memang ada, dan ia pun mungkin sudah kenal sama janelle. Apa yang semula kelihatan kebetulan menjadi berarturan, yang main-main menjadi serius, yang fisikal-behavioral menjadi mental, yang pemukaan jadi kedalaman.

5 Pada bagian ini narator kembali terlibat dalam rutinitasnya.

Tapi, ia tidak lagi tidak percaya. Ia hanya menunda usaha untuk mengkorfimasi kebenaran dari peristiwa teror di atas. Bahkan, meskipun bermaksud menunda, narator sudah mulai terperangkap ke dalam teror di atas. Janelle sudah hidup dalam pikirannya. Ia sudah salah baca. Yang tertulis sebagai Nalea ia kira Janelle. Pandangan matanya sudah berubah. Pikirannya sudah dihuni oleh kekuatan teror di atas. Dia menjadi orang lain dengan cara pandang lain terhadap dunia. Ia pun bertanya.

6 Narator kembali lagi pada rutinitasnya. Ia merasa sudah

sangat familiar dengan penumpang bus yang lain.

Katakanya, sudah seperti keluarga sendiri. Namun, familiaritas itu kembali terganggu dengan cara yang lebih mengejutkan. Semua penumpang bus menatap dia. Diwakili oleh pertanyaan seorang gadis kecil yang disuruh oleh ibunya, semua penumpang itu seakan bertanya mengenai hal yang sama padanya. “apa sudah terima surat dari Janelle?”. Peningkatan kuantitatif jumlah penanya tersebut segera diikuti oleh peningkatan kualitatif yang berupa perubahan pikiran narator. Sesuatu yang tidak masuk akal terjadi. “bagaimana mungkin ia memberitahu banyak orang tentang surat itu,..” tapi narator sudah tidak mempersoalkannya. Yang irrasional berubah menjadi rasional. Tentu saja yang dimaksud dengan rasionalitas itu adalah rasionalitas formal dari genre sastra realis yang mendasarkan diri pada kode-kode pemahaman yang empirik positivistik. Pola cerita yang demikian, yang menggoyahkan rasionalisme realis dengan menawarkan suatu rasionalisme yang lain mulai muncul dan menonjol sejak tahun 1970an. Karya Achmad Munjid yang berjudul “Kepala” termasuk dalam pola yang demikian. Karya-karya Seno Gumira juga banyak yang menggunakan pola ini. Ambillah, misalnya, sebuah cerpen yang agak mirip dengan cerpen ini, yang bercerita tentang kartu pos, “Sepotong Senja untuk Pacarku”.

7 Dunia alternatif dari rasionalitas realis semakin terbentuk

sampai di sini. Pembaca pun sudah tidak lagi mempertanyakan hal-hal yang menurut kode realis tidak masuk akal. Semua orang yang dijumpai narator, bahkan teman-teman kantornya, menanyakan surat Janelle.

8 Sesudah realisme baru itu terbentuk, cerita kembali ke

lanjutan dari peristiwa awal. Peneror pertama kembali

Page 41: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

35 36

sama sekali. Yang terteror tentu saja kenyamanan hidup sang narator, rutinitas kehidupannya. Biarpun jakarta digambarkan sebagai semrawut, rutinitas membuat si narator merasa kehidupannya selama ini nyaman, bahkan benar (“siapa yang tak ingin menghabiskan usianya di kota ini?”.

4 Narator sebenarnya hampir bisa melupakan peristiwa itu

begitu ia mulai masuk ke dalam rutinitasnya. Namun, muncul teror kedua yang serupa. Pada teror yang kedua ini narator tidak hanya merasa terganggu dari kenyamanan kebiasaan hidupnya sehari-hari, melainkan bahkan mulai meragukan dirinya sendiri, meragukan pikirannya sendiri, dan mulai menganggap telepon itu serius, tidak kebetulan, dan surat itu memang ada, dan ia pun mungkin sudah kenal sama janelle. Apa yang semula kelihatan kebetulan menjadi berarturan, yang main-main menjadi serius, yang fisikal-behavioral menjadi mental, yang pemukaan jadi kedalaman.

5 Pada bagian ini narator kembali terlibat dalam rutinitasnya.

Tapi, ia tidak lagi tidak percaya. Ia hanya menunda usaha untuk mengkorfimasi kebenaran dari peristiwa teror di atas. Bahkan, meskipun bermaksud menunda, narator sudah mulai terperangkap ke dalam teror di atas. Janelle sudah hidup dalam pikirannya. Ia sudah salah baca. Yang tertulis sebagai Nalea ia kira Janelle. Pandangan matanya sudah berubah. Pikirannya sudah dihuni oleh kekuatan teror di atas. Dia menjadi orang lain dengan cara pandang lain terhadap dunia. Ia pun bertanya.

6 Narator kembali lagi pada rutinitasnya. Ia merasa sudah

sangat familiar dengan penumpang bus yang lain.

Katakanya, sudah seperti keluarga sendiri. Namun, familiaritas itu kembali terganggu dengan cara yang lebih mengejutkan. Semua penumpang bus menatap dia. Diwakili oleh pertanyaan seorang gadis kecil yang disuruh oleh ibunya, semua penumpang itu seakan bertanya mengenai hal yang sama padanya. “apa sudah terima surat dari Janelle?”. Peningkatan kuantitatif jumlah penanya tersebut segera diikuti oleh peningkatan kualitatif yang berupa perubahan pikiran narator. Sesuatu yang tidak masuk akal terjadi. “bagaimana mungkin ia memberitahu banyak orang tentang surat itu,..” tapi narator sudah tidak mempersoalkannya. Yang irrasional berubah menjadi rasional. Tentu saja yang dimaksud dengan rasionalitas itu adalah rasionalitas formal dari genre sastra realis yang mendasarkan diri pada kode-kode pemahaman yang empirik positivistik. Pola cerita yang demikian, yang menggoyahkan rasionalisme realis dengan menawarkan suatu rasionalisme yang lain mulai muncul dan menonjol sejak tahun 1970an. Karya Achmad Munjid yang berjudul “Kepala” termasuk dalam pola yang demikian. Karya-karya Seno Gumira juga banyak yang menggunakan pola ini. Ambillah, misalnya, sebuah cerpen yang agak mirip dengan cerpen ini, yang bercerita tentang kartu pos, “Sepotong Senja untuk Pacarku”.

7 Dunia alternatif dari rasionalitas realis semakin terbentuk

sampai di sini. Pembaca pun sudah tidak lagi mempertanyakan hal-hal yang menurut kode realis tidak masuk akal. Semua orang yang dijumpai narator, bahkan teman-teman kantornya, menanyakan surat Janelle.

8 Sesudah realisme baru itu terbentuk, cerita kembali ke

lanjutan dari peristiwa awal. Peneror pertama kembali

Page 42: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

37 38

menelepon. Narator kembali menyangkal dengan mengatakan apa yang dikatakan oleh si penelepon tidak masuk akal. Tapi, pernyataannya itu sudah tidak lagi berpengaruh. Realisme baru malah terbentuk semakin kuat. Surat itu menjadi nyata, ada, ditemukan di atas kasur. Realisme baru itu tidak hanya sudah masuk akal, melainkan bahkan menjadi nyata, empirik. Narator pun sudah tidak mempertanyakan lagi adanya. Begitu pun, tentunya, pembaca.

9 Tidak hanya surat Janelle yang ada, tapi bahkan Janellenya.

Janelle tidak hanya ada, tapi narator mengaku sudah sangat mengenalnya. Dan ia sangat menyesal sudah melupakannya. Bagi narator, Janelle adalah orang yang menderita, orang yang tertekan, yang suaranya selama ini disembunyikan. Kalau surat itu terlambat, Janelle bisa kehilangan nyawanya. Karena itu, katanya, “Terkadang sepucuk surat menjadi lebih penting daripada nyawa itu sendiri.”

Selain itu, ada hal yang juga penting di bagian ini, yaitu pandangan narator mengenai kekhasan surat Janelle dibandingkan dengan surat-surat yang lain. Secara khusus narator mengemukakan perbedaannya dari suarat seorang yang dikirim dari medan perang yang berisi telinga. Perbandingan ini kelihatannya mengacu kepada salah satu cerpen Seno Gumira Ajidarma yang kalau tidak salah berjudul “Telinga”. Tapi, narator tidak mengemukakan dengan jelas perbedaan itu. Termasuk perbedaan surat Janelle ini dengan surat dari seorang wanita yang terpenjara dan surat dari seorang aktivis.

10 Karena memandang surat terkadang lebih penting dari

nyawa, dan mengharap semua pembaca cerpen ini bahkan harus ikut membacanya agar Janelle tidak terlupakan, narator harusnya mengkopi surat yang ia terima dan mengirimkannya kepada banyak orang bahkan dengan menghabiskan uang gajinya. Inikah yang membedakan surat ini dari surat-surat yang lain. Surat yang lain hanya dikirim sekali, sedangkan surat ini dikirim berantai. Sesepele itukah bedanya?

11 Pada bagian ini terjadi satu peristiwa yang mengenai diri

narator. Narator dijemput paksa oleh “orang-orang itu” beberapa hari sesudah ia mengirim surat di atas. Gambaran mengenai peristiwa itu segera disusul oleh pertanyaan yang sama yang ada di awal cerita, yang pertama kali menerornya: “sudahkan anda menerima surat dari Janelle?”. Pertanyaan ini menjadi mendua. Di satu pihak ia masih merupakan surat dari Janelle, tetapi di lain pihak, surat itu sebenarnya juga surat dari narator. Keduanya bisa menjadi pengirim surat itu karena keduanya sama-sama kemudian menjadi orang yang menderita, orang yang tertekan, tepaksa, dan terancam jiwanya. Bila hal ini benar, kekhasan surat ini tidak sekedar b ahwa yang satu dikirim sekali, sedang yang lain berantai, melainkan bahwa sang pengirim dengan sang penerima menjadi menyatu, tumpang-tindih. Pengirim surat adalah penerima surat. Begitu sebaliknya. Subjek dengan objek menjadi tidak terbedakan. Persis seperti multilevel marketing yang tidak membedakan penjual dengan pembeli.

Multilevel marketing? Sangat mungkin. Karena, bukan hanya karena sifatnya yang berangkai, melainkan karena yang disampaikan kosong, tidak ada barang yang

Page 43: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

37 38

menelepon. Narator kembali menyangkal dengan mengatakan apa yang dikatakan oleh si penelepon tidak masuk akal. Tapi, pernyataannya itu sudah tidak lagi berpengaruh. Realisme baru malah terbentuk semakin kuat. Surat itu menjadi nyata, ada, ditemukan di atas kasur. Realisme baru itu tidak hanya sudah masuk akal, melainkan bahkan menjadi nyata, empirik. Narator pun sudah tidak mempertanyakan lagi adanya. Begitu pun, tentunya, pembaca.

9 Tidak hanya surat Janelle yang ada, tapi bahkan Janellenya.

Janelle tidak hanya ada, tapi narator mengaku sudah sangat mengenalnya. Dan ia sangat menyesal sudah melupakannya. Bagi narator, Janelle adalah orang yang menderita, orang yang tertekan, yang suaranya selama ini disembunyikan. Kalau surat itu terlambat, Janelle bisa kehilangan nyawanya. Karena itu, katanya, “Terkadang sepucuk surat menjadi lebih penting daripada nyawa itu sendiri.”

Selain itu, ada hal yang juga penting di bagian ini, yaitu pandangan narator mengenai kekhasan surat Janelle dibandingkan dengan surat-surat yang lain. Secara khusus narator mengemukakan perbedaannya dari suarat seorang yang dikirim dari medan perang yang berisi telinga. Perbandingan ini kelihatannya mengacu kepada salah satu cerpen Seno Gumira Ajidarma yang kalau tidak salah berjudul “Telinga”. Tapi, narator tidak mengemukakan dengan jelas perbedaan itu. Termasuk perbedaan surat Janelle ini dengan surat dari seorang wanita yang terpenjara dan surat dari seorang aktivis.

10 Karena memandang surat terkadang lebih penting dari

nyawa, dan mengharap semua pembaca cerpen ini bahkan harus ikut membacanya agar Janelle tidak terlupakan, narator harusnya mengkopi surat yang ia terima dan mengirimkannya kepada banyak orang bahkan dengan menghabiskan uang gajinya. Inikah yang membedakan surat ini dari surat-surat yang lain. Surat yang lain hanya dikirim sekali, sedangkan surat ini dikirim berantai. Sesepele itukah bedanya?

11 Pada bagian ini terjadi satu peristiwa yang mengenai diri

narator. Narator dijemput paksa oleh “orang-orang itu” beberapa hari sesudah ia mengirim surat di atas. Gambaran mengenai peristiwa itu segera disusul oleh pertanyaan yang sama yang ada di awal cerita, yang pertama kali menerornya: “sudahkan anda menerima surat dari Janelle?”. Pertanyaan ini menjadi mendua. Di satu pihak ia masih merupakan surat dari Janelle, tetapi di lain pihak, surat itu sebenarnya juga surat dari narator. Keduanya bisa menjadi pengirim surat itu karena keduanya sama-sama kemudian menjadi orang yang menderita, orang yang tertekan, tepaksa, dan terancam jiwanya. Bila hal ini benar, kekhasan surat ini tidak sekedar b ahwa yang satu dikirim sekali, sedang yang lain berantai, melainkan bahwa sang pengirim dengan sang penerima menjadi menyatu, tumpang-tindih. Pengirim surat adalah penerima surat. Begitu sebaliknya. Subjek dengan objek menjadi tidak terbedakan. Persis seperti multilevel marketing yang tidak membedakan penjual dengan pembeli.

Multilevel marketing? Sangat mungkin. Karena, bukan hanya karena sifatnya yang berangkai, melainkan karena yang disampaikan kosong, tidak ada barang yang

Page 44: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

39

diperdagangkan. Transaksi berlangsung dalam intensitas dan ekstensitas yang tinggi, dengan frekuensi yang besar, tetapi tidak ada objek transaksinya. Proses menjadi lebih penting dari produknya seperti surat, media, lebih penting dari nyawa.

Tidak hanya surat itu yang khas, melainkan juga cerpen ini. Seperti sudah saya kemukakan, membaca cerpen ini saya ingat sama putu wijaya, sama karya-karya sastra 70-an, yang menawarkan sebuah dunia lain melalui hal yang sepele dan bahkan non-sense. Namun, bila dalam karya-karya sebelumnya pola penceritaan seperti itu digunakan untuk mengangkat persoalan eksistensial, membuka dunia yang tertutup dalam dirinya menjadi dunia yang terbuka bagi keserbamungkinan, atau menjadi semacam shock threapy untuk secara psikoanalitis membuka bawah sadar yang tertekan, atau membuka realitas politik tertentu seperti penjajahan indonesia atas timor timur, cerpen ini tidak membawa ke dunia di luar teks. Seperti surat, ia hanya mendorong penulisan dan pengiriman surat yang lain. Inikah posmo?

Page 45: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri

39

diperdagangkan. Transaksi berlangsung dalam intensitas dan ekstensitas yang tinggi, dengan frekuensi yang besar, tetapi tidak ada objek transaksinya. Proses menjadi lebih penting dari produknya seperti surat, media, lebih penting dari nyawa.

Tidak hanya surat itu yang khas, melainkan juga cerpen ini. Seperti sudah saya kemukakan, membaca cerpen ini saya ingat sama putu wijaya, sama karya-karya sastra 70-an, yang menawarkan sebuah dunia lain melalui hal yang sepele dan bahkan non-sense. Namun, bila dalam karya-karya sebelumnya pola penceritaan seperti itu digunakan untuk mengangkat persoalan eksistensial, membuka dunia yang tertutup dalam dirinya menjadi dunia yang terbuka bagi keserbamungkinan, atau menjadi semacam shock threapy untuk secara psikoanalitis membuka bawah sadar yang tertekan, atau membuka realitas politik tertentu seperti penjajahan indonesia atas timor timur, cerpen ini tidak membawa ke dunia di luar teks. Seperti surat, ia hanya mendorong penulisan dan pengiriman surat yang lain. Inikah posmo?

Page 46: Surat dari Janelle - web11.opencloud.dssdi.ugm.ac.idweb11.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/...Cerpen karya Sungging Raga i Kamis, 25 Juni 2015 Pukul 16.00 WIB-selesai (diakhiri