Supervisi Klinis Non Direktif

51
1. MODEL & PENDEKATAN DALAM SUPERVISI PENDIDIKAN STAIMUS November 2013 Model Supervisi ini dimaknai sebagai : Bentuk atau Kerangka sebuah konsep atau Pola supervisi , ( Kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman atau acuan daam melakukan sebuah kegiatan supervisi).2. MODEL 3. Model Menurut Sahertian (2008) Ada Beberapa Model Supervisi yang berkembang, yaitu : 4. 5. 6. Supervisi Artistik mempunyai beberapa ciri khusus yg harus diperhatikan oleh supervisor, yaitu : a. b. c. d. e. f. g. h. Memerlukan perhatian khusus agar lebih banyak mendengarkan daripada banyak bicara Memerlukan tingkat perhatian yang cukup dan keahlian yg khusus utk memahami apa yg dibutuhkan oleh orang lain. Mengutamakan sumbangan yg unik dari guru guru untuk mengembangkan pendidikan bagi generasi muda. Menuntut utk memberi perhatian yg lebih banyak thd proses pembelajaran di kelas dan di observasi pd waktu waktu tertentu. Memerlukan laporan yg menunjukkan bahwa dialog antara supervisor dan supervisee yg dilaksanakan atas dasar kepemimpinan dari kedua belah pihak Memerlukan kemampuan berbahasa ttg cara mengungkapkan apa yg dimilikinya thd orang lain. Memerlukan kemampuan utk menafsirkan makna dari peristiwa yg diungkapkan sehingga memperoleh pengalaman dan mengapresiasi dari apa yg dipelajarinya. Menunjukkan fakta bahwa sensivitas dan pengalaman merupan instrumen utam yg

description

Supervisi Klinis Kepala sekolah

Transcript of Supervisi Klinis Non Direktif

Page 1: Supervisi Klinis Non Direktif

1. MODEL & PENDEKATAN DALAM SUPERVISI PENDIDIKAN STAIMUS

November 2013

Model Supervisi ini dimaknai sebagai : Bentuk atau Kerangka sebuah

konsep atau Pola supervisi , ( Kerangka konseptual yang digunakan

sebagai pedoman atau acuan daam melakukan sebuah kegiatan

supervisi).2. MODEL

3. Model Menurut Sahertian (2008) Ada Beberapa Model Supervisi yang

berkembang, yaitu :

4.

5.

6. Supervisi Artistik mempunyai beberapa ciri khusus yg harus diperhatikan

oleh supervisor, yaitu : a. b. c. d. e. f. g. h. Memerlukan perhatian khusus

agar lebih banyak mendengarkan daripada banyak bicara Memerlukan

tingkat perhatian yang cukup dan keahlian yg khusus utk memahami apa

yg dibutuhkan oleh orang lain. Mengutamakan sumbangan yg unik dari

guru guru untuk mengembangkan pendidikan bagi generasi muda.

Menuntut utk memberi perhatian yg lebih banyak thd proses pembelajaran

di kelas dan di observasi pd waktu waktu tertentu. Memerlukan laporan yg

menunjukkan bahwa dialog antara supervisor dan supervisee yg

dilaksanakan atas dasar kepemimpinan dari kedua belah pihak

Memerlukan kemampuan berbahasa ttg cara mengungkapkan apa yg

dimilikinya thd orang lain. Memerlukan kemampuan utk menafsirkan

makna dari peristiwa yg diungkapkan sehingga memperoleh pengalaman

dan mengapresiasi dari apa yg dipelajarinya. Menunjukkan fakta bahwa

sensivitas dan pengalaman merupan instrumen utam yg sigunakan

sehinga situasi pendidikan itu diterima dan bermakna bagi orang yg

disupervisi.

7.

Page 2: Supervisi Klinis Non Direktif

Supervisi klinis adalah bentuk supervisi yang difokuskan pada

peningkatan mengajar dengan melalui siklus yang sistematik, dalam

perencanaan, pengamatan serta analisis yang intensif dan cermat tentang

penampilan mengajar yang nyata, serta bertujuan mengadakan perubahan

dengan cara yang rasional. (R. Willem dalam Archeson dan Gall, 1980 : 1 /

terjemahan S.L.L Sulo, 1985). K.A. Archeson dan M.D. Gall (1980 : 25)

terjemahan S.L.L Sulo, 1985 : 5, mengemukakan supervisi klinis adalah

proses membantu guru-guru memperkecil kesenjangan antara tingkah laku

mengajar yang nyata dengan dengan tingkah laku mengajar yang ideal.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa

supervisi klinis adalah suatu proses pembimbing dalam pendidikan yang

bertujuan membantu pengembangan profesional guru dalam pengenalan

mengajar melalui observasi dan analisis data secara objektif serta teliti

sebagai dasar untuk usaha mengubah perilaku mengajar guru. 8.

Beberapa Pembatasan tentang Supervisi Klinis.

9. Ada beberapa ciri supervisi klinis 1) Bantuan yang diberikan bukan

bersifat instruksi atau memerintah. Tetapi tercipta hubungan manusiawi,

sehingga guru-guru memiliki rasa aman. 2) Apa yang akan disupervisi itu

timbul dari harapan dan dorongan dari guru sendiri karena dia memang

membutuhkan bantuan itu. 3) Satuan tingkah laku mengajar yang dimiliki

guru merupakan satuan yang terintegrasi. 4) Suasana dalam pemberian

supervisi adalah suasana yang penuh kehangatan, kedekatan, dan

keterbukaan. 5) Supervisi yang diberikan tidak saja pada keterampilan

mengajar tapi juga mengenai aspek-aspek kepribadian guru, misalnya

motivasi terhadap gairah mengajar. 6) Instrumen yang digunakan untuk

observasi disusun atas dasar kesepakatan antara supervisor dan guru. 7)

Balikan yang diberikan harus secepat mungkin dan sifatnya objektif. 8)

Dalam percakapan balikan seharusnya datang dari pihak guru lebih dulu,

bukan dari supervisor.

10. Prinsip-Prinsip Supervisi Klinis a. Supervisi klinis yang dilaksanakan

harus berdasarkan inisiatif dari para guru lebih dahulu. b. Menciptakan

hubungan manusiawi yang bersifat interaktif dan rasa kesejawatan. c.

Page 3: Supervisi Klinis Non Direktif

Menciptakan suasana bebas di mana setiap orang bebas mengemukakan

apa yang dialaminya. d. Objek kajiannya adalah kebutuhan profesional

guru yang riil yang mereka sungguh alami. e. Perhatian dipusatkan pada

unsur-unsur yang spesifik yang harus diangkat untuk diperbaiki.

11. 1. 2. 3. Tahap Pertemuan awal (Perencanaan) Tahap Pelaksanaan

(Observasi) Tahap Akhir (Analisis dan Diskusi Balikan )

12. PENDEKATAN DALAM SUPERVISI PENDIDIKAN

Pendekatan yg digunakan dlm menerapkan SP sering didasarkan atas

prinsip2 Psikologis. Suatu Pendekatan sangat bergantung pada Prototype

Guru. 13. Pendekatan

Komitmen Berfikir Abstrak. (A) 14. Menurut Glickman, Setiap guru

mempunyai 2 kemampuan dasar, yaitu : & Kepedulian . (K)

1. 2. 3. 4. Ada 4 Prototype Guru : Guru Professional = daya abstrak tinggi

(A+) , Komitmen Tinggi (K+) Guru Yg Suka Mengkritik = Daya abstrak

tinggi (A+) , Komitmen rendah (K-) Guru Yg terlalu sibuk = Daya abstrak

rendah (A-) , tetapi Komitmen Tinggi (K+) Guru yg tidak bermutu = Daya

abstrak rendah (A-) , Komitmen rendah (K-).15. Menurut Glickman dalam

Sahertian (2008) :

Seorang Supervisor, perlu memahami prototype guru, dengan harapan

guru mendapatkan arahan dan bimbingan yg memadai utk memperbaiki

kinerjanya, melalui pendekatan2 yang cocok dengan kondisi riil prototype

guru.16. Prototype Guru ...

17. Sebagai contoh.. 1. 2. Guru berprototype Professional (A+, K+),

pendekatan yg digunakan : Non Direktif. Guru berprototype Tukang Kriti

/terlalu sibuk (A+, K-), dengan pendekatan yang digunakan

18. Penggunaan Pendekatan Supervisi dengan pertimbangan Prototype

Guru Prototype Guru 1 Professional (A+ , K+) . 2 Tukang Kritik (A+,K-) . 3

Page 4: Supervisi Klinis Non Direktif

Terlalu sibuk (A- , K+) . 4 Tidak bermutu (A-, K- ) . Pendekatan Non Direktif

Kolaboratif Kolaboratif Direktif

adalah cara pendekatan terhadap masalah yang bersifat langsung, shg

pengaruh perilaku supervisor lebih dominan. Pendekatan direktif ini

berdasarkan pemahaman terhadap psikologi behaviorisme. Prinsip

behaviorisme ialah bahwa segala perbuatan berasal dari refleks, yaitu

respons terhadap rangsangan stimulus,. Oleh karena guru ini mengalami

kekurangan, maka perlu diberikan rangsangan agar ia bisa bereaksi.

Supervisor dapat menggunakan penguatan (reinforcement) atau hukuman

(punish-ment). 19. 1. Pendekatan Langsung (Direct Approach) :

Menjelaskan Menyajikan Mengarahkan Memberi contoh Menetapkan tolak

ukur Menguatkan 20. Direct Approach = (A- , K-) Perilaku

Supervis or

Yang dimaksud dengan pendekatan tidak langsung (non-direktif) adalah

cara pendekatan terhadap permasalahan yang sifatnya tidak langsung.

Perilaku supervisor tidak secara langsung menunjukkan permasalahan,

tapi ia terlebih dulu mendengarkan secara aktif apa yang dikemukakan

guru-guru. Ia memberi kesempatan sebanyak mungkin kepada guru untuk

mengemukakan permasalahan yang mereka alami. Oleh karena pribadi

guru yang dibina begitu dihormati, maka ia lebih banyak mendengarkan

permasalahan yang dihadapi guru-guru. Guru mengemukakan

masalahnya. Supervisor mencoba mendengarkan, memahami apa yang

dialami guruguru. 21. 2. Pendekatan Tidak Langsung (Non-Direct

Approach) :

Mendengarkan Memberi penguatan Menjelaskan Menyajikan

Memecahkan masalah Supervis or 22. Non-Direct Approach =

( A+,K+) Perilaku

Yang dimaksud dengan pendekatan kolaboratif adalah cara pendekatan

yang memadukan cara pendekatan direktif dan non-direktif (cara

pendekatan baru). Pada pendekatan ini baik supervisor maupun guru

Page 5: Supervisi Klinis Non Direktif

bersama-sama, bersepakat untuk menetapkan struktur, proses dan kriteria

dalam pelaksanaan proses percakapan terhadap masalah yang dihadapi

guru Pendekatan ini didasarkan pada psikologi kognitif. Psikologi kognitif

beranggapan bahwa belajar adalah hasil paduan antara kegiatan individu

dengan lingkungan pada gilirannya nanti berpengaruh dalam pembentukan

aktivitas individu. Pendekatan dalam supervisi berhubungan pada dua

arah. Dari atas ke bawah (Top-Down) dan dari bawah ke atas (Bottom-

UP). Perilaku Supervisor dilakukan secara bertahap , mulai dari

pertanyaan awal sampai dengan mengemukakan permasalahan dan

negoisasi bersama sama dan dicari 23. 3. Pendekatan Kolaboratif

(Collaborative Approach)

Menyajikan Menjelaskan Mendengarkan Memecahkan masalah

Negoisasi 24. Collaborative Approach = (A+,K- / Tukang Kritik dan

A-,K+ / Terlalu sibuk ) Perilaku Supervis or

Setiap supervisor pasti menginginkan keberhasilan dalam melaksanakan

supervisi pendidikan. Seorang Supervisor Pendidikan hendaknya

menguasai dan mampu mengimplementasikan rangkaian kegiatan

supervisi mulai dari pendekatan,metode, teknik serta mampu

mengembangkan model supervisi pendidikan, dengan harapan supervisor

pendidikan menjalankan fungsi fungsi supervisi sebagai aktualisasi dari

tugas dan tanggung jawabnya. Dengan demikian upaya peningkatan mutu

pada 25. Kesimpulan

Jasmani dkk. 2013. Supervisi Pendidikan Terobosan Baru dalam

Peningkatan Kinerja Pengawas Sekolah dan Guru, Yogyakarta : Ar Ruzz

Media Hasan, Yusuf, dkk., Pedoman Pengawasan, Jakarta: CV. Mekar

Jaya, 2002. A. Sahertian, Piet, Drs. Prinsip dan Teknik Supervisi

Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya, 1981. 26. Referensi :

Page 6: Supervisi Klinis Non Direktif

PENDEKATAN DAN MODEL-MODEL SUPERVISI PENDIDIKAN

Apr25* Pengertian Model Supervisi Pendidikan

Pendekatan yang digunakan dalam menerapkan supervisi modern didasarkan pada prinsip-

prinsip psikologis. Suatu pendekatan atau teknik pemberian supervisi, sangat bergantung

kepada prototipe guru. Beberapa pendekatannya antara lain :

1. Pendekatan langsung (direktif)

Yang dimaksud dengan pendekatan direktif adalah cara pendekatan terhadap masalah yang

bersifat langsung. Supervisor memberikan arahan langsung. Sudah tentu pengaruh perilaku

supervisor lebih dominan. Pendekatan direktif ini berdasarkan pemahaman terhadap

psikologi behaviorisme.

Prinsip behaviorisme ialah bahwa segala perbuatan berasal dari refleks, yaitu respon

terhadap rangsangan / stimulus. Oleh karena guru ini mengalami kekurangan, maka perlu

diberikan rangsangan agar ia bereaksi. Supervisor dapat menggunakan penguatan

(reinforcement) atau hukuman (punishment). Pendekatan seperti ini dapat dilakukan

dengan perilaku supervisor seperti : menjelaskan, menyajikan, mengarahkan, memberi

contoh, menetapkan tolak ukur, menguatkan.

2. Pendekatan tidak langsung (Non-Direktif)

Yang dimaksud pendekatan tidak langsung (non-direktif) adalah cara pendekatan terhadap

permasalahan yang sifatnya tidak langsung. Perilaku supervisor tidak secara langsung

menunjukkan permasalahan, tapi ia terlebih dulu mendengarkan secara aktif apa yang

dikemukakan guru-guru. Ia memberi kesempatan sebanyak mungkin kepada guru untuk

mengemukakan permasalahan yang mereka alami. Pendekatan non-direktif berdasarkan

pemahaman terhadap psikologi humanistik.

Psikologi Humanistik sangat menghargai orang yang akan dibantu. Oleh karena pribadi guru

yang dibina begitu dihormati, maka ia lebih banyak mendengarkan permasalahan yang

dihadapi guru-guru. Guru mengemukakan masalah, Supervisor mencoba mendengarkan,

memahami apa yang dialami guru-guru. Perilaku supervisor dalam pendekatan non-direktif

adalah seperti: mendengarkan, memberi penguatan, menjelaskan, menyajikan,

memecahkan masalah.

3. Pendekatan Kolaboratif

Yang dimaksud dengan pendekatan kolaboratif adalah cara pendekatan yang memadukan

cara pendekatan direktif dan non-direktif menjadi cara pendekatan baru. Pada pendekatan

ini baik supervisor maupun guru bersama-sama sepakat untuk menetapkan struktur, proses

dan kriteria dalam melaksanakan proses percakapan terhadap masalah yang dihadapi guru.

Page 7: Supervisi Klinis Non Direktif

Pendekatan ini berdasarkan pada psikologi Kognitif.

Psikologi Kognitif beranggapan bahwa belajar adalah hasil paduan antara kegiatan individu

dengan lingkungan pada gilirannya nanti berpengaruh dalam pembentukan aktivitas

individu. Dengan demikian pendekatan dalam supervisi berhubungan pada dua arah. Dari

atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Perilaku supervisor dalam pendekatan kolaboratif

seperti: menyajikan, menjelaskan, mendengarkan, memecahkan masalah, negosiasi.

* Pengembangan Model Supervisi Pendidikan

Yang dimaksud dengan model dalam uraian ini ialah suatu pola, misalnya : acuan dari

supervisi yang diterapkan. Ada empat model pengembangan dalam supervisi yang

berkembang saat ini, yaitu :

1. Model Supervisi yang Konfensional (tradisional)

Model ini tidak lain dari refleksi kondisi masyarakat pada suatu saat. Pada saat kekuasaan

yang otoriter dan feodal, akan berpengaruh pada sikap pemimpin yang otrokrat dan

korektif. Pemimpin cenderung untuk mencari-cari kesalahan. Perilaku supervisi ialah

mengadakan inspeksi untuk mencari kesalahan dan menemukan kesalahan. Kadang-kadang

bersifat memata-matai (snoopervision), atau sering disebut supervisi yang korektif. Lebih

sulit untuk melihat segi-segi positif dalam hubungan dengan hal-hal baik dari pada hanya

mengoreksi kesalahan orang lain.

Menurut Briggs, jika adanya supervisor hanya ditujukan untuk mencari kesalahan maka

dianggap menjadi pemulaan yang tidak berhasil. Karena hanya mencari-cari kesalahan

dalam membimbing adalah bertentangan dengan prinsip dan tujuan supervisi pendidikan.

Akibatnya guru-guru merasa tidak puas dan ada dua sikap yang tampak dalam kinerja guru

yaitu acuh tak acuh (masa bodoh) dan menantang (agresif).

2. Model Supervisi yang Bersifat Ilmiah (Scientifict)

Supervisi yang bersifat ilmiah memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a) Dilaksanakan secara berencana dan kontinu

b) Sistematis dan menggunakan prosedur serta teknik tertentu

c) Menggunakan teknik pengumpulan data.

d) Ada data yang objektif yang diperoleh dari keadaan yang riil.

Dengan menggunakan skala penilaian atau check list para siswa atau mahasiswa menilai

proses kegiatan belajar-mengajar guru/dosen di kelas. Hasil penelitian diberikan kepada

guru-guru sebagai balikan terhadap penampilan mengajar guru pada semester yang lalu.

3. Model Supervisi Klinis

Richard Waller memberikan definisi tentang supervisi klinis sebagai berikut: Supervisi klinis

adalah bentuk supervisi yang difokuskan pada peningkatan mengajar dengan melalui siklus

yang sistematis dalam perencanaan, pengamatan serta analisis yang intensif dan cermat

tentang penampilan mengajar yang nyata, serta bertujan mengadakan perubahan dengan

cara rasional.

Keith Archeson dan Meredith D. Gall mengemukakan bahwa Supervisi Klinis adalah proses

Page 8: Supervisi Klinis Non Direktif

membantu guru-guru memperkecil kesenjangan antara tingkah laku mengajar yang nyata

dengan tingkah laku yang ideal.

Dari kedua definisi tersebut di atas, John J. Bolla menyimpulkan Supervisi Klinis adalah suatu

proses pembimbingan dalam pendidikan yang bertujuan membantu pengembangan

professional guru, khususnya dalam penampilan mengajar, berdasarkan observasi dan

analisis data secara teliti dan objektif.

Beberapa ciri Supervisi Klinis:

a) Fokus supervise klinis adalah perbaikan cara mengajar, bukan mengubah kepribadian

guru.

b) Dalam supervisi klinis, bantuan yang diberikan bukan bersifat intruksi atau memerintah.

Tetapi tercipta hubungan manusiawi, sehingga guru-guru memiliki rasa aman. Dengan

timbulnya rasa aman diharapkan adanya kesediaan untuk menerima perbaikan.

c) Ada kesepakatan antara supervisor dengan guru yang akan disupervisi tentang aspek

prilaku yang akan diperbaiki.

d) Satuan tingkah laku mengajar yang dimiliki guru merupakan satuan yang terintegrasi.

Harus dianalisa sehingga terlihat kemampuan apa, keterampilan apa yang spesifik yang

harus diperbaiki.

e) Ada unsur pemberian penguatan terhadap prilaku guru terutama yang sudah berhasil

diperbaiki, sehingga muncul kesadaran betapa pentingnya bekerja dengan baik serta

dilakukan secara berkelanjutan.

f) Suasana dalam pemberian supervisi adalah suasana yang penuh kehangatan, kedekatan,

dan keterbukaan.

g) Supervisi yang diberikan tidak saja pada keterampilan mengajar tapi juga mengenai

aspek-aspek kepribadian guru, misalnya motivasi terhadap gairah mengajar.

Adapun prinsip supervisi klinis berdasarkan pada inisiatif para guru. Pelaku supervisor harus

teknis sehingga guru-guru terdorong untuk berusaha meminta bantuan kepada supervisor

dan bisa menciptakan hubungan yang bersifat interaktif dan sejawat. Secara umum

supervise klinis bertujuan untuk memberikan tekanan pada proses pembentukan dan

pengembangan professional guru.

4. Model Supervisi Artistik

Mengajar adalah suatu pengetahuan (knowledge), mengajar itu suatu keterampilan (skill),

tapi mengajar juga suatu kiat (art). Sejalan dengan tugas mengajar supervisi juga sebagai

kegiatan mendidik dapat dikatakan bahwa supervisi adalah suatu pengetahuan, suatu

keterampilan dan juga suatu kiat.

Supervisi itu menyangkut bekerja untuk orang lain, bekerja dengan orang lain, bekerja

melalui orang lain, dalam hubungan bekerja dengan orang lain maka suatu rantai hubungan

kemanusiaan adalah unsur utama. Hubungan manusia dapat tercipta bila ada kerelaan

untuk menerima orang lain sebagaimana adanya. Hubungan itu dapat tercipta bila ada

unsur kepercayaan. Saling mengerti saling menghormati, saling mengakui, saling menerima

seorang sebagaimana adanya. Hubungan tampak melalui pengungkapan bahasa, yaitu

Page 9: Supervisi Klinis Non Direktif

supervisi lebih banyak menggunakan bahasa penerimaan ketimbang bahasa penolakan

(Thomas Gordon, 1985). Supervisor yang mengembangkan model artistik akan menampak

dirinya dalam relasi dengan guru-guru yang dibimbing sedemikian baiknya sehingga para

guru merasa diterima. Adanya sikap seperti mau belajar mendengarkan perasaan orang

lain, mengerti orang lain dengan problema-problema yang dikemukakan, menerima orang

lain sebagaimana adanya, sehingga menjadi dirinya sendiri. Itulah supervisi artistik.

Dalam bukunya Supervision of Teaching, Sergiovanni Th.J, menyamakan beberapa ciri yang

khas tentang model supervisi yang artistik, antara lain:

a) Supervisi yang artistik memerlukan perhatian agar lebih banyak mendengarkan dari pada

banyak berbicara.

b) Supervisi artistik memerlukan tingkat pengetahuan yang cukup/keahlian khusus, untuk

memahami apa yang dibutuhkan seseorang yang sesuai dengan harapannya.

c) Supervisi yang artistik sangat mengutamakan sumbangan yang unik dari guru-guru

dalam rangka mengembangkan pendidikan bagi generasi muda.

d) Model artistik terhadap supervisi, menuntut untuk memberi perhatian lebih banyak

terhadap proses kehidupan kelas dan proses itu diobservasi sepanjang waktu tertentu,

sehingga diperoleh peristiwa-peristiwa yang signifikan yang dapat ditempatkan dalam

konteks waktu tertentu

e) Model artistik terhadap supervisi memerlukan laporan yang menunjukkan bahwa dialog

antara supervisor yang supervisi dilaksanakan atas dasar kepemimpinan yang dilakukan

oleh kedua belah pihak.

MENINGKATKAN KEMAMPUAN GURU DALAM MENERAPKAN STRATEGI PEMBELAJARAN “THINK-TALK-WRITE” SEBAGAI ALTERNATIF PEMECAHAN

Page 10: Supervisi Klinis Non Direktif

MASALAH MATEMATIKA PADA WILAYAH SMA BINAAN DI KABUPATEN DOMPU MELALUI SUPERVISI KOLABORATIF” 

A.    Judul

“MENINGKATKAN KEMAMPUAN GURU DALAM MENERAPKAN STRATEGI

PEMBELAJARAN “THINK-TALK-WRITE” SEBAGAI ALTERNATIF PEMECAHAN

MASALAH MATEMATIKA PADA

WILAYAH SMA BINAAN DI KABUPATEN DOMPU MELALUI SUPERVISI KOLABORATIF”

 

B. Latar Belakang

Peningkatan kualitas pendidikan melalui peningkatan kualitas pembelajaran merupakan

salah satu cara yang dapat ditempuh dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan di

sekolah. Peningkatan kualitas pembelajaran juga memiliki makna strategis dan berdampak

positif, berupa (1) peningkatan kemampuan dalam menyelesaikan masalah pendidikan dan

pembelajaran yang dihadapi secara nyata, (2) peningkatan kualitas masukan, proses dan

hasil belajar, (3) peningkatan keprofesionalan pendidik, dan (4) penerapan prinsip

pembelajaran berbasis penelitian (Mastur, 2006: 50).

Komunikasi dan pemecahan masalah matematis merupakan bagian dari berpikir matematis

tingkat tinggi yang bersifat kompleks, karena itu pembelajaran yang berfokus pada

kemampuan tersebut memerlukan prasyarat konsep dan proses dari yang lebih rendah.

Artinya kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis siswa tidak ada tanpa

kemampuan pemahaman yang baik. Hal ini meliputi materi maupun cara mempelajari atau

mengajarkannya. Untuk itu dalam pembelajaran perlu dipertimbangkan tugas matematika

serta suasana belajar yang mendukung untuk mendorong kemampuan tersebut.

Page 11: Supervisi Klinis Non Direktif

Pertimbangan ini menyangkut pengambilan keputusan pembelajaran yang digunakan di

kelas yang diambil oleh guru.

Salah satu keputusan yang perlu diambil guru tentang pembelajaran adalah pemilihan

pendekatan dan strategi yang digunakan . Masih banyak guru matematika pada sekolah-

sekolah binaan penulis, yang menganut paradigma transfer of knowledge, yang

beranggapan bahwa siswa merupakan objek dari belajar. Dalam paradigma ini guru

mendominasi dalam proses pembelajaran. Kenyataan ini telah diungkapkan oleh

Ruseffendi (1991:328), bahwa matematika yang dipelajari siswa di sekolah sebagian besar

tidak diperoleh melalui eksplorasi matematika, tetapi melalui pemberitahuan oleh guru.

Walaupun dominasi guru dalam proses pembelajaran matematika tidak selamanya tidak

baik, karena terdapat guru yang karena ketegasannya di kelas membuat siswa menjadi

lebih bersungguh-sungguh. Namun menurut Sutiarso (2000) kondisi seperti ini menjadikan

siswa pasif dalam belajar. Pembelajaran pada kondisi ini berpusat pada keterampilan dasar

yang menekankan pada latihan mengerjakan soal rutin (drill) dengan mengulang prosedur

serta lebih banyak menggunakan rumus atau algoritma tertentu. Model pembelajaran

seperti ini menurut Brooks & Brooks (Ansari, 2004) disebut pembelajaran mekanistik atau

konvensional.

Kondisi pembelajaran dimana siswa belajar secara pasif, jelas tidak menguntungkan

terhadap hasil belajarnya. Untuk itu perlu usaha guru agar siswa belajar secara aktif.

Sriyono (1992) mengatakan bahwa salah satu cara untuk meningkatkan mutu pendidikan

adalah dengan mengaktifkan siswa dalam belajar. Dan proporsi aktivitas siswa dalam

belajar akan lebih produktif  apabila siswa belajar dalam kelompok. Sejalan dengan

pendapat tersebut Sumarmo (2000) mengatakan agar pembelajaran dapat memaksimalkan

proses dan hasil belajar matematika, guru perlu mendorong siswa untuk terlibat secara aktif

dalam diskusi, bertanya serta menjawab pertanyaan, berpikir secara kritis, menjelaskan

setiap jawaban yang diberikan, serta mengajukan alasan untuk setiap jawaban yang

diajukan. Pembelajaran yang diberikan pada kondisi ini ditekankan pada penggunaan

diskusi, baik diskusi dalam kelompok kecil maupun diskusi dalam kelas secara

keseluruhan. Meskipun kesimpulan tersebut diambil berdasarkan penelitian yang dilakukan

terhadap siswa sekolah dasar, namun pengembangannya sangat mungkin untuk siswa

pada jenjang sekolah yang lebih tinggi.

Malone dan Krismanto (1997) mengatakan penggunaan kegiatan kelompok dalam belajar

matematika direkomendasikan secara tinggi. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong

motivasi siswa dalam pembelajaran. Salah satu cara pengelompokkan yang disukai siswa

adalah berdasarkan keheterogenan siswa, sehingga pada tiap-tiap kelompok terdapat

siswa yang pandai. Diharapkan mereka yang pandai ini dapat membantu siswa lainnya

yang kemampuannya lebih rendah.

Page 12: Supervisi Klinis Non Direktif

Dengan mempertimbangkan beberapa pendapat di atas, penulis melakukan sebuah

penelitian kolaboratif bersama guru-guru matematika di lingkungan SMA binaan Dinas

Dikpora Kabupaten Dompu, dengan judul

“MENINGKATKAN KEMAMPUAN GURU DALAM MENERAPKAN STRATEGI

PEMBELAJARAN “THINK-TALK-WRITE” SEBAGAI ALTERNATIF PEMECAHAN

MASALAH MATEMATIKA PADA WILAYAH SMA BINAAN DI KABUPATEN DOMPU

MELALUI SUPERVISI KOLABORATIF”

 

            Strategi pembelajaran yang digunakan ini mengharuskan siswa terlibat berpikir,

berbicara, dan menulis dalam proses pembelajaran. Sedangkan model yang dipilih adalah

pembelajaran dalam kelompok kecil dengan anggota 4 sampai 6 orang siswa yang

dikelompokkan secara heterogen menurut kemampuan matematikanya. Pengelompokkan

seperti ini dimaksudkan agar semua siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran.

Kenyataan rendahnya hasil belajar siswa, yang terlihat dari hasil evaluasi hasil belajar mata

pelajaran matematika pada siswa SMA wilayah binaan Kabupaten Dompu, seperti tampak

pada tabel 1.  Data pad tabel 1 menunjukkan bahwa nilai mata pelajaran Matematika siswa

SMA di wilayah binaan masih jauh dari standar ketuntasan belajar, yang menunjukkan pula

bahwa penguasaan siswa pada materi pelajaran matematika yang diajarkan guru tidak

mencapai 60%, apalagi memenuhi standar ketuntasan belajar yang telah ditetapkan. Hal ini

jelas menunjukkan bahwa diperlukan upaya-upaya pendampingan secara intensif kepada

guru-guru di sekolah binaan penulis secara kolaboratif dalam upaya peningkatan pross dan

hasil belajar matematika pada siswa SMA termasuk pada Wilayah SMA binaan kabupaten 

Dompu

 

Tabel 1.

Nilai Rata-Rata Hasil  Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2009/2010 pada SMA Wilayah

Binaan Kabupaten Dompu

No Nama Sekolah Rerata UN Rerata Nilai Matematika

1 SMA Negeri 1 Dompu 5.95 5,73

2 SMA Negeri 1 Kempo 6.45 6,06

Page 13: Supervisi Klinis Non Direktif

3 SMA Negeri 2 Kempo 5.71 5,06

4 SMA Negeri 1 Woja 6.27 5,78

5 SMA Tri Dharma Kosgoro Dompu 5.10 4,29

Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Dompu Tgn 2010

 

Data pada tabel 1 menunjukkan bahwa nilai mata pelajaran matematika siswa SMA masih

jauh dari standar ketuntasan belajar, yang menunjukkan pula bahwa penguasaan siswa

pada materi pelajaran matematika yang diajarkan guru tidak mencapai 50% nya, apalagi

memenuhi standar ketuntasan belajar yang telah ditetapkan rata-rata 65%. Hal ini jelas

menunjukkan bahwa diperlukan adanya upaya-upaya peningkatan hasil belajar matematika

pada siswa SMA khususnya di wilayah binaan peneliti.

 

 

Tabel 2

Persentase Rata-Rata Ketuntasan  Siswa SMA Binaan  Pada Mata pelajaran Matematika

Hasil UKK Tahun Pelajaran 2009/2010

No Nama Sekolah Prosentase Rerata Ketuntasan Siswa (sebelum remedial)

KKM

1 SMA Negeri 1 Dompu 58,50 68

2 SMA Negeri 1 Kempo 56,25 68

3 SMA Negeri 2 Kempo 53,50 60

4 SMA Negeri 1 Woja 58,46 68

5 SMA Tri Dharma Kosgoro 54,15 60

Rata-Rata 56,17

( Sumber: Rekap Nilai UKK  Semester Genap  Thn 2009/2010 )

Page 14: Supervisi Klinis Non Direktif

 

 

 

Berdasarkan rekap ketuntasan/kelulusan  menurut mata pelajaran, ternyata KD

( Kompetensi Dasar  ) pelajaran matematika yang tuntas  hanya 56,17%, sementara itu

43,83 % siswa dinyatakan tidak tuntas , harus mengikuti peembelajaran remedial .

Perhatikan gambar berikut.

Gambar 1.       Persentase Rata-Rata Ketuntasan  Siswa SMA Binaan  Pada Mata

pelajaran Matematika Hasil UKK Tahun Pelajaran 2009/2010 (Sumber: Rekap Nilai pada

guru Matematika  )

Hal tersebut menunjukkan hasil yang memprihatinkan, dan mungkin dipengaruhi oleh

beberapa faktor, di antaranya adalah perencaaan pengajaran  yang kurang, penggunaan

metode yang tidak tepat dapat menimbulkan kebosanan, dan kurang kondusifnya pada

sistem pembelajaran, sehingga kurangnya menyerap materi pelajaran.

Pendampingan Pengawas dalam bentuk supervisi kolaboratif terhadap guru matematika

dalam pengelola pembelajaran matematika menjadi sangat penting sehingga guru benar-

benar dapat mengelola pembelajaran dengan sebaik-baiknya mulai dari perencanaan

(materi, model belajar, media belajar, metode, sumber belajar, dan evaluasi), pelaksanaan

pembelajaran sampai dengan evaluasi hasil belajar siswa.

 

C. Perumusan Masalah

Masalah yang mendasar pada penelitian ini adalah rendahnya prestasi belajar siswa pada

mata pelajaran matematika terutama pada aspek Pemecahan masalah ( C3 ,C4) . Salah

yang diduga menjadi penyebab rendahnya kemapuan guru terutama dalam pengelolaan

pengajaran yang relatif monoton, kurang variatif, tidak terencana dengan baik, yang pada

akhirnya proses pembelajaran bersifat konvensional, monoton dan terkesan guru hanya

“asal menjalankan tugas” saja. Selain itu juga guru kurang inovatif dalam pengelolaan

model pembelajaran ..

Rendahnya hasil belajar tersebut merupakan tanggung jawab bersama pengelola

pendidikan. Pengawas sebagai supervisor guru turut bertanggung jawab untuk melakukan

Page 15: Supervisi Klinis Non Direktif

upaya-upaya peningkatan kinerja guru sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan proses

dan  hasil belajar siswanya.

Jelas bahwa hasil belajar siswa dapat ditingkatkan melalui peningkatan pengelolaan

pembelajaran yang lebih aktif dan kondusif sehingga siswa benar-benar dapat menguasai

materi-materi pelajaran yang harus dikuasainya. Peningkatan pengelolaan pembelajaran

dapat dilakukan oleh guru didampingi oleh pengawas sebagai supervisor yang dapat

membantu menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh guru sehingga

guru dapat mengelola pembelajaran dengan sebaik-baiknya. Selanjutnya rumusan

masalahnya adalah sebagai berikut.

1.      Apakah pembimbingan dalam bentuk supervisi kolaboratif oleh pengawas terhadap

guru mata pelajaran matematika dapat meningkatkan kinerja guru matematika dalam

merencanakan dan menerapkan strategi pembelajaran “think-talk-wite ‘?

2.      Apakah pembelajaran dengan strategi think-talk-write dalam kelompok kecil dapat

meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa?

D. Hipotesis Tindakan

Hipotesis dalam penelitian tindakan ini adalah diduga bahwa pembimbingan  dalam bentuk

supervisi kolaboratif oleh pengawas terhadap guru mata pelajaran matematika dalam

merencanakan dan menerapkan strategi pembelajaran think-talk-write pada kelompok kecil

dapat meningkatkan kinerja guru dan prestasi belajar siswa..

 

E. Tujuan  Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah

a.    untuk meningkatkan kinerja guru dalam merencanakan , melaksanakan dan

menerapkan  pembelajaran dengan strategi peebelajaran ”think-talk-write” dalam kelompok

kecil

b.  Meningkatkan kolaborasi yang sinergis antara pengawas dan guru-guru pada sekolah

binaan dalam merencanakan dan menerapkan pembelajaran dengan strategi think-talk-

write pada kelompok kecil sebagai alternatif pemecahan masalah-masalah dalam

pembelajaran matematika.

c.   Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa .

3.      Manfaat Penelitian

Page 16: Supervisi Klinis Non Direktif

Penelitian ini dapat memberikan manfaat terutama  adalah:

a.   Guru menemukan pendekatan pembelajaran yang sesuai untuk lebih me-ningkatkan

hasil belajar siswa.

b.  Siswa lebih bebas mengekspresikan kemampuan komunikasi matematiknya, sehingga

kemampuannya dalam pemecahan masalah matematika menjadi lebih baik.

c.    Sekolah mendapatkan dampak positif dari terselenggaranya penelitian ini, karena

kualitas siswa, guru dan pembelajaran semakin meningkat, yang sekaligus dapat

meningkatkan kinerja sekolah

.

E. Kajian Teori

1.      Supervisi Pendidikan terhadap Guru

a. Arti dan Pentingnya SupervisiAda bermacam–macam konsep supervisi. Good Cartel dalam Sahertian (2000: 17)

memberi pengertian bahwa supervisi adalah usaha dan petugas–petugas sekolah dalam

memimpin guru-guru dan petugas-petugas lainnya dalam memperbaiki pengajaran,

termasuk menstimulasi, menyelesaikan pertumbuhan jabatan dan perkembangan guru-guru

serta merevisi tujuan-tujuan pendidikan.

Menurut Boardman dalam Ahmad Rohani dan Abu Ahmadi (1990: 68), supervisi adalah

suatu kegiatan menstimulir, mengkoordinasi, dan membimbing secara kontiyu pertumbuhan

guru–guru sekolah, baik secara individual maupun secara kolektif, agar lebih mengerti, dan

lebih efektif dalam mewujudkan seluruh fungsi pengajaran, sehingga dengan demikian

mereka mampu dan lebih berpartisipasi dalam masyarakat moderen.

Pendapat lain yang dikemukakan oleh Ngalim Purwanto (1997: 76) bahwa supervisi adalah

segala bantuan dari para pemimpin sekolah, yang tertuju kepada perkembangan

kepemimpinan guru-guru dan personel sekolah lainnya di dalam mencapai tujuan–tujuan

pendidikan. Supervisi berupa dorongan, bimbingan, dan kesempatan dalam usaha dan

pelaksanaan pembaharuan–pembaharuan dalam pendidikan dan pengajaran, pemilihan

alat-alat pelajaran dan metode-metode mengajar yang lebih baik, cara-cara penilaian yang

sistematis terhadap frase seluruh proses pengajaran, dan sebagainya.

Page 17: Supervisi Klinis Non Direktif

Berdasarkan pendapat–pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa supervisi adalah suatu

aktivitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu para guru dan pegawai sekolah

lainnya dalam melakukan pekerjaan mereka secara efektif.

 

b. Tujuan Supervisi Pendidikan

Tujuan supervisi pendidikan menurut Suharsimi Arikunto (1993: 154) bahwa supervisi

pendidikan adalah pembinaan yang diberikan kepada seluruh staff sekolah, khususnya

guru, agar mereka dapat meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan situasi belajar

mengajar dengan lebih baik. Ahmad Rohani dan Abu Ahmadi (1990: 69) berpendapat

bahwa tujuan supervisi pendidikan ialah untuk mengetahui situasi mengukur tingkat

perkembangan kegiatan sekolah dalam usahanya mencapai tujuan.

Ngalim Purwanto (1997: 77) berpendapat bahwa tujuan supervisi pendidikan yaitu: (a)

membangkitkan dan merangsang semangat guru-guru dan pegawai sekolah lainnya dalam

menjalankan tugasnya masing-masing dengan sebaik-baiknya, (b) berusaha mengadakan

dan melengkapi alat-alat perlengkapan termasuk macam-macam media instruksional yang

diperlukan bagi kelancaran jalannya proses belajar mengajar yang lebih baik, (d) membina

kerja sama yang baik dan harmonis antara guru, murid, dan pegawai sekolah, antara lain

dengan mengadakan workshop, seminar, inservice-training, atau up-grading.

Kata kunci dari supervisi ialah memberikan layanan dan bantuan kepada guru-guru, maka

tujuan supervisi adalah memberikan layanan dan bantuan untuk mengembangkan situasi

belajar-mengajar yang dilakukan guru di kelas yang pada gilirannya meningkatkan kualitas

belajar siswa. Pendapat ini diuraikan oleh Sahertian (2000: 19) yang menyatakan bahwa

tujuan sipervisi pendidikan ialah: (a) mengembangkan kurikulum yang sedang dilaksanakan

di sekolah, (b) meningkatkan proses belajar mengajar di sekolah, (c) mengembangkan

kinerja sekuruh staf sekolah, termasuk para guru.

 

c. Fungsi Supervisi Pendidikan

Ahmad Rohani dan Abu Ahmadi (1990: 70) menjelaskan secara singkat bahwa fungsi atau

tugas supervisor ialah (a) menjalankan aktivitas untuk mengetahui situasi adaministrasi

pendidikan, sebagai kegiatan pendidikan di sekolah dalam segala bidang, (b) menentukan

syarat-syarat yang diperlukan untuk menciptakan situasi pendidikan di sekolah, (c)

menjalankan aktivitas untuk mempertinggi hasil dan untuk menghilangkan hambatan-

hambatan. Dalam penjelasan rinci, dikemukakan bahwa supervisi mempunyai beberapa

fungsi yaitu (a) fungsi pelayanan, yaitu kegiatan pelayanan untuk peningkatan

Page 18: Supervisi Klinis Non Direktif

profesionalnya, (b) fungsi penelitian, yaitu untuk memperoleh data yang obyektif dan

relevan, misalnya untuk menemukan hambatan belajar, (c) fungsi kepemimpinan, yaitu

usaha memepengaruhi orang lain agar yang disupervisi dapat memecahkan masalah

sendiri sesuai dengan tanggung jawab profesionalnya, (d) fungsi manajemen, yaitu

supervisi dilakukan sebagai control atau pengarah, sebagai aspek manajemen, (e) fungsi

evakuasi, yaitu supervisi dilakukan untuk mengevaluasi hasil atau kemajuan yang dipeoleh,

(f) fungsi bimbingan, (g) fungsi pendidikan dalam jabatan (inservice education) khususnya

bagi para guru muda.

 

Ngalim Purwanto (1997: 86) menjelaskan secara rinci fungsi-fungsi sipervisi pendidikan

yang penting diketahui, yaitu sebagai berikut:

a.       Dalam bidang kepemimpinan: (1) menyusun rencana dan kebijaksanaan bersama,

(2) mengikutsertakan anggota-anggota kelompok (guru-guru, pegawai) dalam berbagai

kegiatan, (3) memberikan bantuan kepada anggota kelompok dalam menghadapi dan

memecahkan masalah, (4) membangkitkan dan memupuk semangat kelompok atau

memupuk moral yang tinggi kepada anggota kelompok, (5) mengikutsertakan semua

anggota dalam menetapkan putusan-putusan, (6) membagi dan medelegasikan wewenang

dan tanggung jawab kepada anggota sesuai, dengan fungsi-fungsi dan kecakapan masing-

masing, (7) mempertinggi daya kreatif pada anggota kelompok, (8) menghilangkan rasa

malu dan rasa rendah diri pada anggota kelompok sehingga mereka berani mengemukakan

pendapat demi kepentingan bersama.

b.      Dalam hubungan kemanusiaan: (1) memanfaatkan kekeliruan yang dialaminya untuk

dijadikan pelajaran demi perbaikan selanjutnya, bagi diri sendiri maupun bagi anggota

kelompoknya, (2) membantu mengatasi kekurangan atau kesulitan yang dihadapi anggota

kelompok, seperti dalam hal kemalasan, merasa rendah diri, acuh tak acuh, pesimis, (3)

mengarahkan anggota kelompok kepada sikap-sikap yang demokratis, (4) memupuk rasa

saling menghormati di antara sesama anggota kelompok dan sesama manusia, (5)

menghilangkan rasa curiga-mencurigai antara anggota kelompok.

c.       Dalam pembinaan proses kelompok: (1) mengenai masing–masing pribadi anggota

kelompok, (2) memelihara sikap saling mempercayai, (3) memupuk sikap saling menolong,

(4) memperbesar tanggung jawab, (5) bertindak bijaksana dalam menyelesaikan

pertentangan atau perselisihan pendapat di antara anggota kelompok, (6) menguasai teknik

memimpin rapat dan pertemuan.

Page 19: Supervisi Klinis Non Direktif

d.      Dalam bidang administrasi personel: (1) memilih personel yang memenuhi syarat

untuk suatu pekerjaan, (2) menempatkan personel pada tempat dan tugas yang sesuai

dengan kemampuan, (3) mengusahakan susunan kerja yang menyenangkan dan

meningkatkan daya kerja serta hasil maksimal.

e.       Dalam bidang evaluasi: (1) menguasai dan memahami tujuan-tujuan pendidikan

secara khusus dan terinci, (2) menguasai dan memiliki normat/ukuran yang akan digunakan

sebagai kriteria penilaian, (3) menguasai teknik pengumpulan data, (4) menafsirkan dan

menyimpulkan hasil penilaian sehingga dapat digunakan untuk perbaikan.

 

d.   Supervisi yang Efektif

Agus Dharma (2000: 13) menyebutkan bahwa para supervisor bertanggung jawab atas

kualitas kinerja para personel/karyawan yang dipimpinnya. Dapat dinyatakan bahwa

kemampuan supervisor untuk bawahannya akan sangat mempengaruhi produktivitas unit

kerjanya. Efektivitas kepemimpinan seorang supervisor diukur oleh dua faktor utama, yaitu

faktor keluaran (output) dan faktor manusia. Faktor keluaran adalah tingkat hasil yang di

capai unit kerja yang merupakan petunjuk seberapa baik pencapaian sasaran yang telah

direncanakan. Faktor output ini mencakup produktivitas, kualitas, kemampulabaan

(profitability), dan efektivitas biaya. Faktor manusia menunjukkan tingkat kerja sama di

kalangan karyawan dan kepuasan bekerja di perusahaan/instansi yang bersangkutan. Ini

termasuk kadar kegairahan, jumlah dan jenis komunikasi, tinggi rendahnya motivasi,

komitmen terhadap tujuan perusahaan/instansi, serta tingkat konflik antar pribadi dan antar

kelompok.

Agar dapat memimpin secara efektif, seorang supervisor harus mampu berkomunikasi

dengan jelas, mengharapkan yang terbaik dari orang-orangnya, berpegang pada tujuan,

dan berusaha memperoleh komitmen.

e. Pengembangan Model Supervisi

Sahertian (2000) lebih lanjut menyebutkan bahwa model-model supervisi adalah model

konvensional, model ilmiah model klinis, dan model artistik.

1) Model supervisi yang konvesional (tradisional)

Model ini adalah  model supervisi yang hanya untuk mengkoreksi kesalahan seseorang

yang dilakukan supervisor adalah hanya untuk mencari kesalahan dalam membimbing,

namun demikian model ini sangat bertentangan dengan prinsip dan tujuan supervisi

pendidikan.

Page 20: Supervisi Klinis Non Direktif

 

2) Model supervisi yang bersifat ilmiah.

Supervisi yang bersifat ilmiah memiliki ciri-ciri: dilaksanakan secara berencana dan kontinu,

sistematis dan menggunakan prosedur serta teknik tertentu, menggunakan instrument

pengumpulan data, dan ada sda data yang obyektif yang diperoleh dari kesalahan yang riil.

 

3) Model Supervisi Klinis.

Supervisi klinis adalah bentuk supervisi yang difokuskan pada peningkatan mengajar

dengan melalui siklus yang sistematik, dalam perencanaan, pengamatan serta analisis

yang intensif dan cermat tentang penampilan mengajar yang nyata, serta bertujuan

mengadakan perubahan dengan cara yang rasional.  supervisi klinis adalah proses

membantu guru-guru memperkecil kesenjangan antara tingkah laku mengajar yang nyata

dengan dengan tingkah laku mengajar yang ideal. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas

dapat disimpulkan bahwa supervisi klinis adalah suatu proses pembimbing dalam

pendidikan yang bertujuan membantu pengembangan profesional guru dalam pengenalan

mengajar melalui observasi dan analisis data secara objektif, teliti sebagai dasar untuk

usaha mengubah perilaku mengajar guru.

Adapun ciri-ciri sSupervisi klinis adalah

a)      Dalam supervisi klinis, bantuan yang diberikan bukan bersifat instruksi atau

memerintah. Tetapi tercipta hubungan manusiawi, sehingga guru-guru memiliki rasa aman.

Dengan timbulnya rasa aman diharapkan adanya kesediaan untuk menerima perbaikan.

b)      Apa saja yang akan disupervisi itu timbul dari harapan dan dorongan dari guru sendiri

karena dia memang membutuhkan bantuan itu.

c)      Satuan tingkah laku mengajar yang dimiliki guru merupakan satuan yang terintegrasi.

Harus dianalisis sehingga terlihat kemampuan apa, ketrampilan apa yang spesifik yang

harus diperbaiki.

d)     Suasana dalam pemberian supervisi adalah suasana yang penuh kehangatan,

kedekatan dan keterbukaan.

e)      Supervisi yang diberikan tidak saja pada keterampilan mengajar tapi juga mengenai

aspek-aspek kepribadian guru, misalnya motivasi terhadap gairah mengajar.

Page 21: Supervisi Klinis Non Direktif

f)       Instrument yang digunakan untuk observasi disusun atas dasar kesepakatan antara

supervisor dan guru.

g)      Balikan yang diberikan harus secepat mungkin dan sifatnya obyektif.

h)      Dalam percakapan balikan sehausnya datang dari pihak guru lebih dulu, bukan dari

supervisor.

 

4). Model Supervisi Artistik

Mengajar adalah suatu pengethauan (Knowledge), mengajar itu suatu keterampilan (Skill),

tapi mengajar juga suatu kiat (art). Sejalan dengan tugas mengajar supervisi juga sebagai

kegiatan mendidik. Dapat dikatakan bahwa supervisi adalah suatu pengetahuan, suatu

keterampilan dan juga suatu kiat.

Supervisi itu menyangkut bekerja untuk orang lain (working for the others), bekerja dengan

orang lain (working with the others), bekerja melalui orang lain (working though the others).

Dalam hubungan bekerja dengan orang lain maka suatu rantai hubungan kemanusiaan

adalah unsur utama. Hubungan manusia dapat tercipta bila ada kerelaan untuk menerima

orang lain sebagaimana adanya hubungan itu dapat tercipta bila ada unsur kepercayaan.

Saling percaya saling mengerti, saling menghormati, saling mengakui, saling menerima

seseorang sebagaimana adanya. Hubungan tampak melalui pengungkapan bahasa, yaitu

supervisi lebih banyak menggunakan bahasa penerimaan ketimbang bahasa penolakan.

Supervisor yang mengembangkan model artistik akan menampak dirinya dalam relasi

dengan guru-guru yang dibimbing sedemikian baiknya sehingga para guru merasa diterima.

Adanya perasaan aman dan dorongan positif untuk berusahauntuk maju. Sikap seperti mau

belajar mendengarkan perasaan orang lain., mengerti orang lain dengan problema-

problema yang dikemukakan, menerima orang lain sebagaimana adanya, sehingga orang

dapat menjadi dirinya sendiri. itulah supervisi artistik. Dalam bukunya Supervision of

Teaching.(Sahertian, 2000: 34-44)

 

f. Pendekatan Supervisi Pendidikan

Pendekatan yang digunakan dalam menerapkan supervisi modern didasarkan pada prinsi-

prinsip psikologis. Suatu pendekatan atau teknik pemberian supervisi, sangat bergantung

kepada prototipe guru. Ada satu paradigma yang dikemukakan Glickman untuk memilah-

milah guru dalam empat prototipe guru. Ia mengemukakan setiap guru memiliki dua

kemampuan dasar, yaitu berpikir abstrak dan komitmen serta kepedulian.

Page 22: Supervisi Klinis Non Direktif

Pendekatan dan perilaku serta teknik yang diterapkan dalam memberi supervisi kepada

guru-guru berdasarkan prototipe guru seperti yang disebut di atas. Bila guru profesional

maka pendekatan yang digunakan adalah non-direktif.

Perilaku supervisor (1) mendengarkan, (2) memberanikan, (3) menjelaskan, (4)

mmnyajikan, (5) memecahkan masalah. Teknik yang diterapkan dialog dan mendengarkan

aktif.

Bila gurunya tukang kritik atau terlalu sibuk, maka pendekatan yang diterapkan adalah

kolaboratif. Perilaku supervisi (1) menyajikan, (2) menjelaskan, (3) mendengarkan, (4)

memecahkan masalah, (50 negosiasi. Teknik yang digunakan percakapan pribadi, dialog

menjelaskan.

Bila gurunya tidak bermutu, maka pendekatan yang digunakan adalah direktif. Perilaku

supervisor (1) menjelaskan, (2) menyajikan, (3) mengarahkan, (4) memberi contoh, (5)

menetapkan tolak ukur, dan (6) menguatkan.

Berdasarkan uraian singkat tentang paradigma kategori di atas, maka dapat diterapkan

berbagai pendekatan teknik dan perilaku supervisi berdasdar data mengenai guru yang

sebenarnya yang memerlukan pelayanan supervisi. Berikut ini akan disajikan beberapa

pendekatan supervisor.

 

(1)    Pendekatan Langsung (Direktif)           

Pendekatan direktif adalah cara pendekatan terhadap masalah yang bersifat langsung.

Supervisor memberikan arahan langsung. Sudah tentu pengaruh perilaku supervisor lebih

dominan. Pendekatan direktif ini berdasarkan pemahaman terhadap psikologi

behaviorisme. Prinsip behaviorisme ialah bahwa segala perbuatan berasal dari refleks,

yaitu respons terhadap rangsangan/stimulus. Oleh karena guru ini mengalami kekurangan,

maka perlu diberikan rangsangan agar ia bisa bereaksi. Supervisor dapat menggunakan

penguatan (reinforcement) atau hukuman (punishment). Pendekatan seperti ini dapat

dilakukan dengan perilaku supervisoradalah: menjelaskan, menyajikan, mengarahkan,

memberi contoh, menetapkan tolak ukur, dan menguatkan.

 

(2)   Pendekatan Tidak Langsung (Non-direktif)

pendekatan tidak langsung (non-direktif) adalah cara pendekatan terhadap permasalahan

yang sifatnya tidak langsung. Perilaku supervisor tidak secara langsung menunjukkan

permasalahan, tapi  ia terlebih dulu mendengarkan secara aktif apa yang dikemukakan

Page 23: Supervisi Klinis Non Direktif

guru-guru. Ia memberi kesempatan sebanyak mungkin kepada guru untuk mengemukakan

permasalahan yang mereka alami. Pendekatan non-drektif ini berdasarkan pemahaman

psikologis humanistik. Psikologi humanistik sangat menghargai orang yang akan dibantu.

Oleh karena pribadi guru yang dibina begitu dihormati, maka ia lebih banyak mendengarkan

permasalahan yang dihadapi guru-guru. Guru mengemukakan masalahnya supervisor

mencoba mendengarkan, memahami, apa yang dialami guru-guru. Perilaku supervisor

dalam pendekatan non-direktif  adalah:  mendengarkan, memberi penguatan, menjelaskan,

menyajikan, dan memecahkan masalah

 

(3)   Pendekatan Kolaboratif

Yang dimaksud dengan pendekata koplaboratif adalah cara pendekatan yang memadukan

cara pendekatan direktif dan non–direktif menjadi pendekatan baru. Pada pendekatan ini

baik supervisor maupun guru bersama-sama, bersepakat untuk menetapkan struktur,

proses dan kriteria dalam melaksanakan proses percakapan terhadap masalah yang

dihadapi guru. Pendekatan ini didasarkan pada psikologi kognitif. Psikologi kognitif

beranggapan bahwa belajar adalah hasil panduan antara kegiatan individu dengan

lingkungan pada gilirannya nantui berpengaruh dalam pembentukan aktivitas individu.

Dengan demikian pendekatan dalam supervisi berhubungan pada dua arah. Dari atas ke

bawah dan dari bawah ke atas. Perilaku supervisor adalah sebagai berikut: menyajikan,

menjelaskan, mendengarkan, memecahkan masalah, dan negosiasi. (Sahertian, 2000:44-

52).

 

g. Teknik-Teknik Supervisi Pendidikan

Suharsimi Arikunto (1993: 172) menjelaskan tahap-tahap dalam teknik supervisi untuk

pemecahan masalah sebagai berikut: (a) identifikasi masalah, yaitu mengidentifikasi celah

antara keadaan yang sekarang ada dengan keadaan yang diharapkan, (b) diagnosis

penyebab, yaitu penelitian mengenai kemungkinan sebab- sebab timbulnya masalah

dengan cara menguji faktor- faktor penghambat maupun faktor penunjang, (c)

mengembangkan rencana kegiatan, yaitu mengembangkan strategi untuk bertindak dengan

secara rinci menealaah setiap alternative yang ada, mengantisipasikan akibat- akibat yang

mungkin timbul, mempertimbangkan untuk kemudian memilih salah satu untuk

dilaksanakan, (d) melaksanakan kegiatan yang telah direncanakan dengan

menterjemahkan setiap langkah perencanaan dengan prosedur khusus, (e)

mengevakuasikan rencana kegitan, yaitu melihat kembali keterlaksanaan, dan lain- lain

yang perlu di pertimbangkan di dalam pelaksanaan nanti.

Page 24: Supervisi Klinis Non Direktif

Ahmad Rohani dan Abu Ahmadi (1990: 79) menjelaskan secara operasional teknik- teknik

supervisi yang lazim dan secara teratur dapat dilakukan oleh setiap sekolah yaitu: rapat

sekolah, kunjungan kelas, musyawarah, atau pertemuan perseorangan.

Sahertian (2000: 52) menyebutkan teknik-teknik supervisi pendidikan secara garis besar

menjadi dua bagian yaitu teknik yang bersifat individual dan teknik yang bersifat kelompok.

Teknik yang bersifat individual yaitu: (a) kunjungan kelas, (b) observasi kelas, (c)

percakapan pribadi, (d) saling mengunjungi kelas (intervisitasi), (e) penyeleksi berbagai

sumber materi untuk mengajar, (f) menilai diri sendiri. Adapun teknik yang bersifat

kelompok, yaitu teknik yang digunakan bersama-sama oleh supervisor dengan sejumlah

guru dalam satu kelompok yaitu: teknik yang digunakan bersama-sama oleh supervisor

dengan sejumlah guru dalam satu keompok yaitu: (a) pertemuan orientasi bagi guru baru,

(b) panitia penyelenggara, (c) rapat guru, (d) studi kelompok antar guru, (e) diskusi sebagai

proses kelompok, (f) tukar menukar pengalaman, (g) lokakarya (workshop), (h) diskusi

panel, (i) symposium, (j) demonstrasi mengajar, (k) perpustakaan jabatan, (l) bulletin

supervisi, (m) membaca langsung, (n) mengikuti kursus, (o) organisasi jabatan, (p)

laboratorium kurikulum, (q) perjalanan sekolah untuk angota staf.

 

2.   Kemapuan / Kinerja  Guru

a. Pengertian Kinerja Guru

Keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan tidak dapat dilepaskan dari peranan para

anggotanya, dan kelangsungan organisasi ditentukan oleh kinerja anggotanya. Kinerja

menurut Gibson, J.L.dkk (1996) adalah perilaku yang ditunjukkan oleh individu dalam

mengerjakan suatu tugas yang dibebankan. Kinerja adalah ungkapan kemajuan yang

didasari oleh pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam menghasilkan sesuatu. Namun

menurut Yaslis Ilyas (2001) mengatakan kinerja adalah penampilan hasil karya personel,

baik kuantitas maupun kualitas dalam suatu organisasi. Dengan demikian kinerja adalah

perilaku individu sebagai ungkapan kemajuan dalam menghasilkan sesuatu yang diperoleh

dengan mendayagunakan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dimiliki.

Masih menurut Yaslis Ilyas (2001), deskripsi kinerja menyangkut 3 (tiga) komponen penting

yaitu tujuan, ukuran dan penilaian. Penentuan tujuan dari  setiap unit organisasi merupakan

strategi untuk meningkatkan kinerja. Tujuan ini akan memberikan arah dan mempengaruhi

bagaimana seharusnya perilaku kerja yang diharapkan organisasi terhadap setiap personil.

Walaupun demikian, penentuan setiap tujuan saja tidaklah cukup, sebab itu dibutuhkan

ukuran apakah seorang personil telah mencapai kinerja yang diharapkan. Untuk itu ukuran

kuantitatif dan kualitatif standar kinerja untuk setiap tugas dan jabatan personil memegang

peranan penting.

Page 25: Supervisi Klinis Non Direktif

Dalam bidang pendidikan, kinerja personil dalam konteks ini adalah guru selalu menjadi

perhatian karena guru merupakan faktor penentu dalam meningkatkan prestasi belajar dan

berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Supriadi (1998) mengartikan kinerja

guru adalah usaha guru dalam meningkatkan prestasi belajar siswa melalui pengajaran.

Tidak berbeda dengan pendapat di atas, Raka Joni (1991) mengartikan kinerja guru adalah

kemampuan guru dalam mengelola kegiatan belajar-mengajar. Dalam keputusan

Mendikbud R.I. No. 025/O/1995, tentang Petunjuk Teknis Ketentuan Pelaksanaan Jabatan

Fungsional Guru dan Amgka Kreditnya, mengistilahkan kinerja guru sebagai prestasi kerja

guru yang artinya hasil kerja dan kemajuan yang telah dicapai seorang guru dalam bidang

tugasnya. Lebih lanjut dijelaskan dalam kepurusan tersebut, bahwa guru mata pelajaran

wajib melaksanakan tugas sebagai berikut: (1) penyusunan program pengajaran, (2)

menyajikan program pengajaran-pengajaran, (3) mengevaluasikan belajar, (4) menganalisis

hasil evaluasi belajar, (5) menyusun dan melaksanakan program perbaikan dan

pengayaan, (6) membuat karya tulis/ katya ilmiah dalam bidang pendidikan, (7)

mengembangkan kurikulum.

        Guru mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan kualitas dan kuantitas

pengajaran yang telah ditentukan. Oleh sebab itu, guru harus memikirkan dan membuat

perencanaan secara rutin dan terprogram dalam usaha meningkatkan kualitas mengajar

dan kesempatan belajar bagi siswa. Untuk itu dituntut adanya inovasi dalam pengelolaan

kelas. Guru sebagai penanggung jawab kegiatan belajar mengajar harus penuh inisiatif dan

kreatif dalam kegiatan belajar mengajar, karena gurulah yang mengetahui secara pasti

situasi dan kondisi kelas terutama keadaan anak dengan segala latar belakangnya. Tolok

ukur utama dalam menilai guru adalah kualitas kegiatan belajar mengajar yang terjadi di

kelas, kegiatan itu disebut juga kinerja guru.

b. Tugas Pokok Guru

Kinerja guru ditunjukkan dalam aktifitas kerjanya. Aktifitas disini secara langsung dapat

dikaitkan dengan tugas dan tanggung jawab yang dilaksanakan guru dalam melaksanakan

tugasnya. Tugas dan kegiatan pokok guru adalah melaksanakan pengajaran. Tugas ini

dapat dicapai dengan baik apabila seorang guru mengetahui secara jelas maksud dan

tujuan pengajaran yang akan dilaksanakan, serta mengelola pengajran itu sebaik mungkin.

Pengelolaan pengajaran yang menjadi tugas guru meliputi: (1) Menyusun rencana program

pengajaran; (2) Menyajikan dan melaksanakan program pengajaran; (3) Melakukan

evaluasi belajar; (4) Melakukan analisis hasil evaluasi belajar; dan (5) Menyusun program

perbaikan (Sukari, 1999: 51). Gagne da Berliner yang dikutip Ibrahim Bafadal (1992: 26)

menjelaskan ada tiga fase pengajaran, yaitu (1) fase sebelum pengajaran, (2) fase saat

pengajaran, dan (3) fase sesudah pengajaran. Tugas guru sebelum mengajar adalah

bagaimana merencanakan suatu sistem pengajaran yang baik. Tugas guru saat mengajar

adalah menciptakan suatu kondisi pengajaran yang sesuai dengan yang direncanakan.

Page 26: Supervisi Klinis Non Direktif

Sedangakan tugas guru setelah mengajar adalah bagaimana menentukan keberhasilan

pengajaran yang telah dilakukan dan mengadakan perbaikan. Ketiga tugas besar ini saling

berhubungan dalam mencapai efektifitas dan efisien pengajaran.

Tugas pertama, merencanakan pengajaran merupakan tugas pertama guru sebagai

pengajar. Merencanakan pengajaran berarti merencanakan suatu sistem pengajaran.

Sistem pengajaran merupakan suatu sistem yang kompleks, sehingga tugas merencanakan

pengajaran bukanlah tugas yang mudah bagi seorang guru, karena guru dituntut memiliki

kemampuan berpikir yang tinggi untuk memecahkan masalah pengajaran. Lebih dari itu,

guru juga dituntut memiliki kemampuan yang tinggi untuk mengidentifikasi unsur-unsur

pengaajaran dan menghubungkan satu sama lainnya.

Tugas guru di bidang pengajaran sama dan relevan dengan langkah-langkah dalam proses

perencanaan pengajaran. Dick dan Carey (1985:3) mengatakan bahwa komponen-

komponen dalam proses belajar mengajar yang perlu diperhatikan yaitu: (1) Melakukan

identifikasi tujuan instruktional umum; (2) Melakukan analisis instruksional; (3) Melakukan

identifikasi perilaku dan karakteristik awal siswa; (4) Menulis tujuan kompetensi; (5)

Melakukan revisi kegiatan instrusional; (6) Mengembangkan butir tes acuan patokan; (7)

Mengembangkan strategi instruksional; (8) Mengembangkan dan memilih bahan

instruksional; (9) Mendesain dan melaksanakan evaluasi formatif; (10) Mendesain dan

melaksanakan evaluasi sumatif. Kemp (1977: 27) pernah mengembangkan tujuh langkah

dalam perencanaan pengajaran, yaitu, (1) Memahami tujuan, mendaftar topik, dan

menetapkan tujuan umum bagi setiap topik; (2) Mengidentifikasi pokok murid-murid; (3)

Menspesifikasi tujuan khusus pengajaran yang akan dicapai dalam bentuk hasil perilaku

murid yang bisa diukur; (4) Mendaftarkan subyek isi yang mendukung pencapaian tujuan;

(5) Mengembangkan pengukuran awal untuk menentukan topik; (6) Menyelesikan aktivitas-

aktivitas belajar mengajar dan sumber-sumber pengajaran yang akan menyampaikan

subyek isi sehingga murid bisa mencapai tujuan pengajaran; (7) Mengkoordinasikan

layanan-layanan pendukung, seperti anggaran, personil, fasilitas, jadwal untuk

melaksanakan rencana pengajaran; dan (8) Mengembangkan alat evaluasi belajar dengan

kemungkinan revisi dan penilaian kembali semua langkah perencanaan dan perlu

pengembangan..

Tugas kedua adalah mengajar atau mengimplementasikan rencana pengajaran yang

dibuat. Tugas ini merujuk pada bagaimana seseorang guru menciptakan suatu sistem

pengajaran yang sesuai dengan apa yang telah direncanakan sebelumnya. Tugas ini

mencakup, menyampaikan tujuan pengajaran,  menyampaikan materi pelajaran,

menggunakan metode-metode sera alat-alat tertentu sesuai dengan rencana, menilai

keberhasilan belajar murid, memotivasi, membantu memecahkan belajar murid. Thomas

Page 27: Supervisi Klinis Non Direktif

Green yang dikutip oleh Ibrahim Bafadal (1992: 31), mengklasifikasi aktivitas-aktivitas

pengajaran menjadi tiga kelompok, yaitu: (1) Aktivitas logik; (2) Aktivitas strategik, dan (3)

Aktivitas instruksional. Aktivitas logik pengajaran adalah segala aktivitas yang berhubungan

dengan pemikiran dalam melakukan pengajaran, seperti menjelaskan, menyimpulkan,

merangkum, dan mendemostrasikan. Aktivitas strategis pengajaran adalah segala aktivitas

yang mengacu pada perencanaan atau strategi dalam pengajaran, seperti memotivasi’

bimbingan, pendisiplinan, dan bertanya. Sedangkan aktivitas instruksional pengajaran

adalah segala aktivitas yang merupakan bagian dari pengorganisasian kerja guru oleh

institusi sekolah. Aktivitas-aktivitas ini meliputi pengumpulan dana, pengarsipan laporan,

memonitor murid, dan konsultasi dengan orang tua murid.

Kerangka berpikir Green mendeskripsikan antara aktivitas-aktivitas pengajaran dan

aktivitas-aktivitas guru. Aktivitas logik dan aktivitas strategik lebih menuju pada aktivitas

pengajaran guru di kelas, sedangkan aktivitas instruksional lebih menuju pada aktivitas

guru di luar kelas/pengajaran. Menurut Mc Pherson dikutip oleh Ibrahim Bafadal (1992: 32),

apabila seseorang ingin mengembangkan pengajaran guru, maka harus difokuskan pada

pengembangan aktivitas-aktivitas logik dan strategik. Aktivitas logik pengajaran ditujukan

guru selama satu kali pengajaran, sedangkan aktivitas-aktivitas strategik pengajaran

ditujukan guru dalam waktu yang lebih lama, misalnya selama satu semester.

Konsekuensinya, menurut MC. Pherson, apabila kepala sekolah maupun supervisor ingin

mngukur kemampuan guru dalam melakukan aktivitas-aktivitas logik, maka bisa melalui

satu kali observasi kelas. Namun apabila guru dalam melaksanakan aktivitas-aktivitas

strategik, maka sebaiknya melalui serangkaian observasi, diskusi, dan review, sehingga

menghasilkan penilaian yang tepat. Dalam pelaksanaan program-program pengajaran

dalam melaksanakan secara efektif dan efisien tentu banyak aspek ketrampilan mengajar

yang dituntut bagi seorang guru. Proses pengajaran akan efektif, apabila guru dapat

berkomunikasi secara efektif, dapat menrncanakan isi pengajaran, mampu menggunakan

alat bantu secara maksimal, mahir dalam menggunakan metode pengajaran yang

bervariasi, penampilan yang menarik, dapat memotivasikan minat belajar siswa, mampu

menciptakan seni bertanya yang efektif dan mampu mengadalkan evaluasi.

Tugas ketiga guru adalah menilai pengajaran. Tugas ini merujuk bagaimana guru menilai

keberhasilan proses belajar mengajar yang telah dikelolanya. Tugas menilai pengajaran

adalah menilai bagian-bagian yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Beberapa hal yang dapat merangsang tumbuhnya motivasi belajar aktif pada diri peserta

didik, antara lain :

a.       Penampilan guru yang hangat dan menumbuhkan partisipasi positif

Page 28: Supervisi Klinis Non Direktif

Sikap guru tampil hangat, bersemangat, penuh percaya diri dan antusias, serta dimulai  dan

pola pandang bahwa peserta didik adalah manusia-manusia cerdas berpotensi, merupakan

faktor penting yang akan meningkatkan  partisipasi aktif peserta didik.  Segala bentuk

penampilan guru akan membias mewarnai sikap para peserta didiknya.  Bila tampilan guru

sudah tidak bersemangat maka jangan harap akan tumbuh sikap aktif  pada diri peserta

didik.  Karena itu hendaknya seorang guru dapat selalu menunjukkan keseriusannya

terhadap pelaksanaan proses  belajar  mengajar, serta dapat meyakinkan bahwa materi

pelajaran serta  kegiatan yang dilakukan merupakan hal yang sangat penting bagi peserta

didik, sehingga akan tumbuh minat yang kuat pada diri para peserta didik yang

bersangkutan.

b.      Guru memberitahu maksud dan tujuan pembelajaran

Bila peserta didik telah mengetahui tujuan dari pembelajaran yang sedang mereka ikuti,

maka mereka akan terdorong untuk melaksanakan kegiatan tersebut secara aktif. Oleh

karena itu pada setiap awal kegiatan guru berkewajiban memberi penjelasan kepada

peserta didik  tentang apa dan untuk apa materi pelajaran itu harus mereka pelajari serta 

apa keuntungan yang akan mereka peroleh. Selain itu hendaknya guru tidak lupa untuk 

mengadakan kesepakatan bersama  dengan para peserta didiknya mengenai tata tertib

belajar yang berlaku agar kegiatan pembelajaran dapat berlangsung lebih efektif.

c.       Guru menyiapkan fasilkitas, sumber belajar, dan lingkungan yang mendukung

Bila di dalam kegiatan pembelajaran telah tersedia fasilitas dan sumber belajar yang

“menarik”  dan  “cukup”  untuk mendukung kelancaran kegiatan belajar mengajar  maka hal

itu juga akan  menumbuhkan semangat belajar peserta  didik.  Begitu pula halnya dengan

faktor situasi dan kondisi lingkungan yang juga penting untuk diperhatikan,  jangan sampai

faktor itu memperlunak semangat dan keaktifan peserta didik dalam mengikuti kegiatan

belajar.

d.      Adanya prinsip pengakuan penuh atas pribadi setiap peserta didik

Agar kesadaran akan potensi, eksistensi, dan percaya diri pada diri peserta didik dapat

terus tumbuh, maka guru berkewajiban menjaga situasi interaksi agar dapat berlanagsung

dengan berlandaskan prinsip pengakuan atas pribadi setiap individu. Sehingga kemampuan

individu, pendapat atau ggasan, maupun keberadaannya perlu diperhatikan dan dihargai. 

Dan yang penting lagi guru hendaknya  rajin memberikan apresiasi atau pujian bagi para

peserta didik, antara lain  dengan mengumumkan  hasil prestasi, mengajak peserta didik

Page 29: Supervisi Klinis Non Direktif

yang lain memberikan  selamat atau tepuk tangan, memajang hasil karyanya di kelas atau

bentuk penghargaan lainnya.

e.       Adanya konsistensi dalam penerapan aturan atau perlakuan oleh guru di dalam

proses belajar mengajar

Perlu diingat bahwa bila terjadi kesalahan dalam hal perlakuan oleh guru di dalam

pengelolaan kelas pada waktu yang lalu maka hal itu berpengaruh negatif terhadap

kegiatan selanjutnya. Penerapan peraturan yang tidak konsisten, tidak adil, atau kesalahan

perlakuan yang lain akanmenimbulkan kekecewaan dari para peserta didik, dan hal ini akan

berpengaruh terhadap tingkat keaktifan belajar peserta didik.  Karena itu di dalam

memberikan sanksi harus sesuai dengan ketentuannya, memberi nilai sesuai kriteria, dan

memberi pujian tidak pilih kasih.

f.       Adanya pemberian  “penguatan”  dalam proses belajar-mengajar

Penguatan adalah pemberian respon dalam proses interaksi belajar mengajar baik berupa

pujian maupun sanksi. Pemberian penguatan ini dimaksudkan untuk lebih meningkatkan

keaktifan belajar dan mencegah berulangnya kesalahan dari peserta didik.  Penguatan

yang sifatnya positif dapat dilakukan dengan kata-kata; bagus! baik!, betul!, hebat! Dan

sebagainya, atau dapat juga dengan gerak; acungan jempol, tepuk tangan, menepuk-nepuk

bahu, menjabat tangan dan lain-lain.  Ada pula dengan  cara memberi hadiah  seperti

hadiah buku, benda kenangan atau diberi hadiah khusus berupa; boleh pulang duluan atau

pemberian perlakuan menyenangkan lainnya.

g.      Jenis kegiatan Pembelajaran menarik atau menyenangkan dan menantang

Agar peserta didik dapat tetap aktif dalam mengikuti kegiatan atau melaksanakan tugas

pemebelajaran perlu  dipilih jenis kegiatan atau tugas yang sifatnya menarik atau

menyenangkan bagi peserta didik di samping juga bersifat menantang.  Pelaksanaan

kegiatan hendaknya bervariasi, tidak selalu harus di dalam kelas, diberikan tugas yang

dikerjakan di luar kelas seperti di perpustakaan, dan lain-lain.  Penerapan model “belajar

sambil bekerja” (learning by doing) sangat dianjurkan, di jenjang sekolah dasar antara lain

dilakukan belajar sambil bernyanyi atau belajar sambil bermain.  Untuk lebih mengaktifkan

peserta didik secara merata dapat  diterapkan pemberian tugas pembelajaran secara

individu atau kelompok belajar (group learning) yang didukung adanya fasilitas/sumber

belajar yang cukup. Sekiranya tersedia dianjurkan penggunaan media pembelajaran

sehingga pelaksanaan pembelajaran dapat lebih efektif.

h.      Penilaian hasil belajar dilakukan serius, obyektif, teliti dan terbuka

Page 30: Supervisi Klinis Non Direktif

Penilaian hasil belajar yang tidak serius akan sangat mengecewakan peserta didik, dan hal

itu akan memperlemah semangat belajar.  Karena itu, agar kegiatan penilaian ini dapat 

membangun semangat belajar para peserta didik maka hendaknya dilakukan serius, sesuai

dengan ketentuannya, jangan sampai terjadi manipulasi, sehingga hasilnya dapat obyektif. 

Hasil penilaiannya diumumkan secara terbuka atau yang lebih baik dibuatkan daftar

kemajuan hasil belajar yang ditempel di kelas.  Dari daftar kemajuan belajar tersebut setiap

peserta  didik dapat melihat prestasi mereka masing-masing tahap per tahap.

 

Dari teori-teori di atas dapat dirumuskan bahwa kinerja guru adalah perilaku nyata guru

yang dapat diamati dalam tugasnya sebagai guru. Perilaku guru  sebagaimana dimaksud

berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengelolaan pengajaran dan pengembangan profesi

meliputi kegiatan-kegiatan: (1) Mampu menyusun program atau praktek, (2) mampu

menyajikan program pengajaran, (3) mampu melaksanakan evaluasi belajar, (4) mampu

melaksanakan analisis hasil evaluasi belajar atau praktek, (5) mampu menyusun dan

melaksanakan program perbaikan dan pengayaan, (6) mampu membuat karya tulis/karya

ilmiah di bidang pendidikan, (7) mampu mengembangkan kurikulum. Kegiatan-kegiatan

tersebut akan diukur dengan angket yang di kerjakan oleh guru tersebut.

3. STRATEGI PEMBELAJARAN THINK-TALK-WRITE

 

Strategi mengajar menyangkut pemilihan cara yang dipilih guru dalam menentukan ruang

lingkup, urutan bahasan, kegiatan pembelajaran, dan lain-lain dalam menyampaikan materi

matematika kepada siswa di dalam kelas (Hudoyo, 1990: 11).

Dalam kegiatan pembelajaran matematika sering ditemui bahwa ketika siswa diberikan

tugas tertulis, siswa selalu mencoba untuk langsung memulai menulis jawaban. Walaupun

hal itu bukan sesuatu yang salah, namun akan lebih bermakna jika dia terlebih dahulu

melakukan kegiatan berpikir, merefleksikan dan menyusun ide-ide, serta menguji ide-ide itu

sebelum memulai menulisnya. Strategi think-talk-write yang dipilih pada penelitian ini

dibangun dengan memberikan waktu kepada siswa untuk melakukan kegiatan tersebut

(berpikir, merefleksikan dan untuk menyusun ide-ide, dan menguji ide-ide itu sebelum

menulisnya).

Tahap pertama kegiatan siswa yang belajar dengan strategi think-talk-write adalah think,

yaitu tahap berfikir dimana siswa membaca teks berupa soal (kalau memungkinkan dimulai

dengan soal yang berhubungan dengan permasalahan sehari-hari siswa atau kontekstual).

Page 31: Supervisi Klinis Non Direktif

Dalam tahap ini siswa secara individu memikirkan kemungkinan jawaban (strategi

penyelesaian), membuat catatan kecil tentang ide-ide yang terdapat pada bacaan, dan/atau

hal-hal yang tidak dipahaminya sesuai dengan bahasanya sendiri.

Tahap kedua adalah talk (berbicara atau diskusi) memberikan kesempatan kepada siswa

untuk membicarakan tentang penyelidikannya pada tahap pertama. Pada tahap ini siswa

merefleksikan, menyusun, serta menguji (negosiasi, sharing) ide-ide dalam kegiatan diskusi

kelompok. Kemajuan komunikasi siswa akan terlihat pada dialognya dalam berdiskusi baik

dalam bertukar ide dengan orang lain ataupun refleksi mereka sendiri yang

diungkapkannya kepada orang lain.

Tahap ketiga adalah write, siswa menuliskan ide-ide yang diperolehnya dari kegiatan tahap

pertama dan kedua. Tulisan ini terdiri atas landasan konsep yang digunakan, keterkaitan

dengan materi sebelumnya, strategi penyelesaian, dan solusi yang diperolehnya. Huinker

dan Laughlin (1996) mengatakan bahwa strategi ini terlihat secara khusus efektif ketika

siswa ditugaskan untuk merencanakan, meringkas, atau merefleksikan dan mereka bekerja

dalam grup heterogen yang terdiri  dari 2-6 siswa. Grup heterogen dimaksudkan agar

dalam grup tersebut terdapat siswa yang dapat membantu anggota lain dalam

menyelesaikan masalah. Diskusi dimulai dari kelompok kecil kemudian ukuran

kelompoknya diperbesar sehingga siswa menjadi lebih mampu dengan proses

pembelajaran tersebut.

Menurut Silver dan Smith (1996:21), peranan dan tugas guru dalam usaha mengefektifkan

penggunaan strategi think-talk-writeadalah mengajukan dan menyediakan tugas yang

memungkinkan siswa terlibat secara aktif berpikir, mendorong dan menyimak dengan hati-

hati ide-ide yang dikemukakan siswa secara lisan dan tertulis, mempertimbangkan dan

memberi informasi terhadap apa yang digali siswa dalam diskusi, serta memonitor, menilai,

dan mendorong siswa untuk berpartisipasi secara aktif. Tugas yang disiapkan diharapkan

dapat menjadi pemicu siswa untuk bekerja secara aktif yaitu soal-soal yang mempunyai

jawaban divergen atau open ended task.

Untuk mewujudkan pembelajaran yang sesuai dengan harapan diatas, dirancang

pembelajaran yang mengikuti langkah-langkah berikut:

1.            Guru membagi teks bacaan berupa Lembar Kerja Siswa yang dimulai dengan

soal-soal yang berhubungan dengan lingkungan sehari-hari siswa (kontekstual) dan jika

diperlukan diberikan sedikit petunjuk.

2.            Siswa membaca teks dan membuat catatan kecil secara individu (think). Kegiatan

ini bertujuan agar siswa dapat membedakan atau menyatukan ide-ide yang terdapat pada

bacaan untuk kemudian diterjemahkan kedalam bahasa sendiri.

3.            Siswa berdiskusi dengan teman dalam kelompok membahas isi catatan yang

dibuatnya (talk). Dalam kegiatan ini mereka menggunakan bahasa dan kata-kata yang

Page 32: Supervisi Klinis Non Direktif

mereka sendiri untuk menyampaikan ide-ide matematika dalam diskusi. Pemahaman

dibangun melalui interaksinya dalam diskusi. Diskusi diharapkan dapat menghasilkan solusi

atas soal yang diberikan.

4.            Dari hasil diskusi, siswa secara individu merumuskan pengetahuan berupa

jawaban atas soal (berisi landasan dan keterkaitan konsep, strategi dan solusi) dalam

bentuk tulisan (write) dengan bahasanya sendiri. Pada tulisan itu siswa menghubungkan

ide-ide yang diperolehnya melalui diskusi.

5.            Kegiatan akhir pembelajaran adalah membuat refleksi dan kesimpulan atas materi

yang dipelajari. Sebelum itu dipilih beberapa (atau satu) orang siswa sebagai perwakilan

kelompok untuk menyajikan jawabannya, sedangkan kelompok lain diminta memberikan

tanggapan.

Selama kegiatan pembelajaran guru bertindak sebagai mediator dan jika diperlukan dapat

memberikan arahan, petunjuk, serta dorongan.

4.                            Belajar dalam Kelompok Kecil (Cooperative Learning)

 

Cooperative Learning merupakan model pembelajaran yang disetting secara sistematis

mengelompokkan siswa agar tercipta pembelajaran yang efektif serta dapat

mengintegrasikan keterampilan sosial siswa yang bermuatan akademis. DalamCooperative

Learning, siswa dibagi dalam kelompok kecil yang saling bekerja sama untuk

menyelesaikan suatu masalah atau suatu tugas dalam mencapai tujuan bersama (Turmudi,

2001).

Dalam pembelajaran dengan Cooperative Learning siswa berlatih mendengar dan

menghargai pendapat orang lain, saling membantu dalam membangun pengetahuan baru

dengan mengintegrasikan pengetahuan lama masing-masing individu. Sehingga

diharapkan dapat meningkatkan sikap positif siswa terhadap matematika serta dapat

menerapkan nilai-nilai kerja sama dalam kehidupan sehari-hari.

Malone dan Krismanto (1997) mengatakan bahwa terdapat fakta bahwa siswa mempunyai

perkembangan sifat positif dan persepsi yang baik tentang belajar matematika dengan

pengelompokan. Bahkan berdasarkan penelitian yang mereka lakukan, penggunaan

kegiatan kelompok dalam belajar matematika direkomendasikan secara tinggi untuk

mendorong motivasi siswa dalam pembelajaran. Pada penelitian lain Duren dan

Cherrington (1992) menemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam ingatan

jangka panjang siswa (student’s long-term retention) antara siswa yang dalam belajarnya

mengerjakan latihan secara kelompok dibandingkan dengan siswa yang bekerja secara

sendiri. Dengan memberikan soal kepada dua kelompok siswa tersebut beberapa bulan

setelah proses pembelajaran, diperoleh bahwa siswa yang dalam belajarnya bekerja dalam

Page 33: Supervisi Klinis Non Direktif

kelompok ternyata lebih mampu menguasai materi pelajaran dibandingkan dengan siswa

yang dalam belajarnya bekerja secara individu.

Terdapat dua teori yang mendukung bahwa prestasi siswa yang dalam belajarnya bekerja

dalam kelompok lebih baik dari siswa yang belajar secara tradisional yaitu Teori

Motivasional dan Teori Kognitif (Slavin, 1995: 16).

Menurut teori motivasional terdapat tiga jenis motivasi orang dalam belajar yaitu: (1)

kooperatif, yaitu seseorang yang dalam mencapai tujuan belajarnya diarahkan untuk

mendukung pencapaian tujuan (usaha) orang lain; (2) kompetitif, yaitu seseorang yang

dalam mencapai tujuan belajarnya diarahkan untuk menghalangi usaha orang lain dalam

mencapai tujuannya; dan (3) individualistik, yaitu seseorang yang dalam mencapai tujuan

belajarnya tidak mempengaruhi pencapaian tujuan belajar orang lain.

Menurut pandangan teori motivasional, belajar kooperatif menciptakan situasi dimana satu-

satunya cara anggota kelompok agar tidak mengutamakan tujuan pribadinya adalah jika

kelompoknya berhasil dengan baik. Oleh karena itu, keberhasilan kelompok harus

diusahakan secara bersama dengan maksimal. Untuk mempertemukan tujuan dari masing-

masing individu yang berbeda tersebut, setiap anggota kelompok harus membantu

kelompoknya mengerjakan apapun yang dapat membuat kelompok itu sukses dan

mendorong kelompoknya untuk berusaha secara maksimal.

Teori kognitif menekankan pengaruh dari kerja kelompok terhadap diri masing-masing

anggota kelompok yaitu apakah kelompoknya sedang berusaha mencapai tujuan bersama

yang merupakan gabungan dari tujuan masing-masing individu tersebut. Terdapat

beberapa teori kognitif, yang secara garis besar dapat dibedakan atas: Teori

Perkembangan Mental dan Teori Elaborasi Kognitif.

Menurut teori perkembangan mental pembelajaran terjadi saat anak bekerja pada suatu

zona yang disebut zona perkembangan proksimal (zone of proximal development), yaitu

suatu tingkat perkembangan sedikit berada diatas tingkat perkembangan seseorang saat

ini. Vigotsky (Slavin, 1995:17; Kariadinata, 2001) mendefinisikan zona perkembangan

proksimal sebagai jarak antara level perkembangan nyata yang ditandai dengan

kemampuan problem solving independent dan level perkembangan potensial ditentukan

melalui pemecahan masalah dibawah bimbingan atau kolaborasi dengan orang yang lebih

mampu. Untuk mencapai zona tersebut tugas guru adalah memberikan scaffolding, yaitu

sejumlah bantuan kepada anak pada tahap awal pembelajaran, dan berangsur-angsur

menguranginya untuk memberikan kesempatan kepada anak untuk bekerja secara mandiri

pada saat mereka sudah mampu. Bantuan dimaksud dapat berupa petunjuk, peringatan,

Page 34: Supervisi Klinis Non Direktif

dorongan, mengaitkan masalah dengan langkah-langkah penyelesaian masalah, memberi

contoh, atau hal-hal lain yang memungkinkan anak untuk tumbuh mandiri.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa untuk mendapatkan keuntungan belajar

dengan Cooperative Learning tidaklah cukup dengan siswa duduk berkelompok kemudian

mengerjakan tugasnya secara individu, atau menugaskan seseorang dalam kelompoknya

untuk menyelesaikan seluruh tugas kelompoknya. Pelaksanaan model ini haruslah didasari

oleh filosofis getting better together, yang artinya untuk mendapatkan hasil belajar yang

terbaik hendaklah dilakukan secara bersama-sama.

Johnson & Johnson (Astuti, 2000: 20) mengemukakan syarat agar belajar kooperatif dapat

berhasil, yaitu:

1.             Adanya saling ketergantungan yang positif. Hal ni menuntut guru untuk

menciptakan suasana belajar mendorong siswa untuk saling membutuhkan.

2.             Adanya interaksi tatap muka secara langsung sehingga dapat melakukan dialog

dan dapat mengembangkan komunikasi yang efisien.

3.             Adanya akuntabilitas individu. Artinya setiap individu dituntut memberikan andil

bagi keberhasilan kelompok.

4.             Adanya keterampilan menjalin hubungan interpersonal, yang berupa

keterampilan sosial berupa: tenggang rasa, bersikap sopan terhadap teman, mengkritik ide

orang lain secara benar, berani mempertahankan pikiran dengan logis, dan berbagai

keterampilan lain yang bermanfaat untuk menjalin hubungan antar individu.

Untuk memenuhi tujuan tersebut perlu dipenuhi dalam Cooperative Learning hal-hal

sebagai berikut bahwa para siswa yang tergabung dalam kelompok harus merasa bahwa:

1) mereka adalah bagian dari tim dan tujuan yang hendak dicapai adalah tujuan bersama,

2) masalah yang mereka hadapi adalah masalah kelompok dan berhasil tidaknya kelompok

menjadi tanggung jawab bersama, 3) untuk mencapai hasil maksimal mereka harus

berbicara satu sama lain dalam mendiskusikan masalah yang mereka hadapi, dan 4) setiap

pekerjaan siswa berakibat langsung pada keberhasilan kelompoknya (Turmudi, 2001).

Dalam membentuk kelompok Malone dan Krismanto (1997) mengusulkan salah satu cara

yang dalam penelitiannya terbukti disukai siswa adalah berdasarkan keheterogenan

kemampuan siswa dalam kelompok, sehingga pada setiap kelompok terdapat siswa pandai

yang dapat membimbing atau membantu siswa lain dalam kelompok yang berkemampuan

kurang. Sebaliknya siswa yang lemah tidak merasa enggan untuk berdiskusi dengan siswa

yang pandai, sehingga dapat terjadi kolaborasi antar siswa tanpa melihat perbedaan latar

belakang.

Page 35: Supervisi Klinis Non Direktif

 

5.                                                                                                      Kemampuan

Pemecahan Masalah Matematika

Kemampuan pemecahan masalah matematika adalah kemampuan:

Mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan kecukupan unsur yang

diperlukan

Merumuskan masalah matematik atau menyusun model matematik

Menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru)

dalam atau di luar matematika

Menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal

Menggunakan matematika secara bermakna.

 

F.                            Kerangka Berpikir

Upaya peningkatan hasil belajar matematika siswa SMA di wilayah binaan kabupaten

Dompu sudah merupakan hal yang sangat perlu untuk diupayakan sehingga siswa

mendapatkan hasil belajar yang maksimal, upaya itu dapat dilakukan dengan berbagai

cara, salah satunya adalah dengan peningkatan kinerja guru dalam mengelola

pembelajaran yang inovatif, mulai dari persiapan perencanaan pengajaran,

metode,strategi, media, sumber belajar, alat evaluasi, pelaksanaan kegiatan belajar

mengajar, sampai dengan evaluasi hasil belajar.

Guru sering kali mendapatkan masalah dan kesulitan dalam merencanakan dan

melaksanakan pengelolaan pembelajaran yang inovatif, yang menjadi tugas dan tanggung

jawabnya, karena berbagai keterbatasan, oleh karena itu diperlukan pendampingan

terhadap guru mulai dari perencanaan pengajaran, pelaksanaan pembelajaran sampai

dengan evaluasi hasil belajar. Jika upaya ini dilakukan dengan baik diduga dapat

memberikan kontribusi yang tinggi dalam peningkatan hasil kinerja guru dan prestasi

belajar siswa. Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran ini dapat digambarkan sebagai

berikut.

 

 

 

 

Page 36: Supervisi Klinis Non Direktif

 

 

 

Gambar 2. Kerangka Berpikir

 

G. Rencana Tindakan

1. Desain Penelitian Tindakan

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan disain penelitian tindakan (action

research) yang dirancang melalui tiga siklus melalui prosedur: (1)

perencanaan (planning), (2) pelaksanaan tindakan (action), (3)

pengamatan (observation), (4) refleksi(reflecsion) dalam tiap-tiap siklus.

Gambar 3. Disain penelitian tindakan (action research)

Sumber: S Kemmis and R McTaggart, 1986)

2. Subjek Tindakan

Penelitian dilaksanakan terhadap semua guru matematika pada SMA yang menjadi binaan

peneliti di Kabupaten Dompu  seperti pada tabel berikut.

Tabel 2. Daftar sampel penelitian tindakan

No Nama Sekolah Gr Matematika Siswa

1 SMA Negeri 1 Dompu 1 orang Kelas XI IPA

2 SMA Negeri 1 Kempo 1 orang Kelas XI IPA

3 SMA Negeri 2 Kempo 1 orang Kelas XI IPA

4 SMA Negeri 1 Woja 1 orang Kelas XI IPA

5 SMA Tri Dharma Kosgoro 1 orang Kelas XI IPA

Jumlah 5 orang

 

H. Metode dan Pelaksanaan Tindakan

Page 37: Supervisi Klinis Non Direktif

Penelitian ini akan dilaksanakan pada semester gasal tahun pelajaran 20010/2011.

Pelaksanaan penelitian dilaksanakan sebanyak tiga Siklus yang akan dilaksanakan pada

bulan  Juli  sd Nopember  2010.

Subjek penelitian ini adalah guru yang mengajar matematika pada siswa Kelas XI IPA, SMA

di Wilayah sekolah binaan peneliti. Sedangkan Siswa yang menjadi obyek  penelitian

memiliki karakteristik yang beragam, baik dari segi kemampuan, motivasi maupun latar

belakang pengetahuannya. Itulah sebabnya penulis tertarik melakukan penelitian pada

kelas tersebut.

1.            Faktor yang Diteliti

Untuk berhasilnya tujuan penelitian, maka beberapa faktor yang diteliti dalam penelitian ini

adalah:

a.   Faktor Guru

Karena penelitian ini bersifat kolaboratif, maka hal-hal yang diamati selama berlangsungnya

pembelajaran dalam penelitian ini adalah: apakah guru berhasil dalam menyampaikan

konsep, membimbing dan memotivasi siswa.

b.  Faktor Pembelajaran

Faktor yang diteliti dalam hal pembelajaran adalah: apakah perencanaan, metode atau

pendekatan pembelajaran dapat berjalan sesuai yang direncanakan.

 

c.   Faktor Siswa

Siswa menjadi sentral utama dari penelitian ini. Semua kegiatan siswa selama

berlangsungnya pembelajaran diamati dan dicatat perkembangannya untuk selanjutnya

dilakukan perbaikan-perbaikan pada siklus pembelajaran selanjutnya.

Aktivitas siswa selama berlangsungnya pembelajaran diamati dengan menggunakan

instrumen Lembar Observasi.

d.  Peningkatan kemampuan   pemecahan masalah matematika siswa.

Peningkatan pemecahan masalah matematika siswa adalah hasil akhir yang diharapkan

terlihat setelah pemberian perlakuan. Oleh karena itu setiap akhir siklus, kemampuan ini

Page 38: Supervisi Klinis Non Direktif

diukur dengan instrumen tes kemampuan pemecahan masalah matematika untuk

mengetahui apakah tujuan penelitian telah tercapai.

e.   Ketuntasan Belajar

Prosentase ketuntasan belajar siswa merupakan bagian penting yang diamati dalam

penelitian ini. Siswa dianggap tuntas belajar apabila penguasaan materinya lebih dari atau

sama dengan KKM yang telah ditetapkan , atau sesuai dengan Kriteria Ketuntasan Minimal

yang ditetapkan dalam kurikulum SMA yang menjadi binaan peneliti..

 

Tahapan-tahapan yang akan dilakukan dalam  Penelitian ini meliputi  perencanaan,

pelaksanaan, pengamatan dan refleksi dalam tiga siklus. Setiap siklus terdiri dari.

1. Siklus I

a. Perencanaan (Planning)

Dalam tahap perencanaan disiapkan hal-hal sebagai berikut: (a) Menyiapkan bahan,

inventarisasi kebutuhan dan inventarisasi masalah/kesulitan guru matematika  dalam

mengelola pembelajaran yqng inovatif. (b) berdiskusi dengan guru (Fokus Group

Discussion) tentang hal-hal yang terkait dengan pembelajaran dengan strategi think-talk-

write dalam kelompok kecil yang dapat dilakukan untuk peningkatan kualitas pembelajaran

matematika. (c) menyiapkan jadwal pelaksanaan supervise pendapingan  pada setiap guru

disesuaikan dengan kesiapan setiap guru. (d) Menyiapkan bahan dan alat yang dibutuhkan

dalam pendampingan supervise.

 

b. Pelaksanaan Tindakan (Action)

Pada tahap ini dilaksanakan supervise  pada setiap guru secara kolaborativ sesuai dengan

jadwal yang telah direncanakan, yaitu: (a) Bimbingan /Pendampingan terhadap guru dalam

perencanaan pembelajaran Think-talk-write : mulai dari menyusun rencana pengajaran:

menyiapkan metode, membuat media belajar, menyiapkan sumber belajar, dan

menyiapkan alat evaluasi. (b) Pendampingan terhadap guru saat melaksanakan kegiatan

belajar mengajar baik di dalam kelas maupun di luar kelas, sesuai dengan pokok bahasan

dan materi yang akan diajarkan. (c) Pendampingan terhadap guru saat mengevaluasi hasil

belajar terhadap siswa.

 

c. Pengamatan (Observation)

Page 39: Supervisi Klinis Non Direktif

Pengamatan dilakukan pada setiap tahap penelitian, mulai dari tahap perencaaan dan

pelaksanaan tindakan, kejadian dan hal-hal yang terjadi direkam dalam bentuk catatan-

catatan hasil observasi, dan didokumentasikan  sebagai data-data penelitian.

d. Refleksi (Reflection)

Pada akhir tiap siklus diadakan refleksi berdasarkan data observasi, dengan Refleksi ini

dimaksudkan agar peneliti dapat melihat apakah tindakan yang dilakukan dalam penelitian

ini dapat meningkatkan kinerja guru dan hasil belajar siswa, kendala-kendala apa yang

menghambat, faktor apa saja yang menjadi pendorong, dan alternatif apa sebagai

solusinya. Pada penelitian ini refleksi yang dilakukan adalah dari hasil pengamatan input

dan output kinerja guru dan hasil belajar siswa.

Sumber data penelitian ini adalah siswa, guru ekonomi, peneliti. Jenis data yang

dikumpulkan berupa data kuantitatif dan kualitatf, yang mencakup (a) rencana

pendampingan, (b) pelaksanaan pendampingan, (c) data hasil observasi, (d) kinerja guru,

(e) hasil belajar mata pelajaran matematika, (e) perubahan guru dan sikap siswa dalam

mengikuti mata pelajaran matematika.

 

2. Siklus II

Kegiatan tindakan pada siklus II didasarkan atas temuan-temuan hasil dari siklus I, adapun

langkah-langkah tindakan yang dikalukan sama dengan pada siklus I.

3.Siklus III

Berdasarkan hasil refleksi dari kegiatan pembelajaran pada siklus kedua, maka

perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran pada siklus ketiga diarahkan untuk semakin

meningkatkan kemampuan  pemecahan masalah matematika. Masalah-masalah semakin

dibuat sulit agar siswa tertantang untuk mengerahkan segala kemampuan matematiknya

untuk dapat menjawab masalah tersebut

 

2. Teknik Pengumpulan Data & Instrumen Penelitian

Teknik pengumpulan data meliputi panduan observasi, panduan wawancara, jurnal

kegiatan guru dan siswa, tes kinerja guru, dan tes pengukuran hasil belajar siswa.

Instrumen pengumpul data meliputi:

Page 40: Supervisi Klinis Non Direktif

(1)   Pedoman observasi dan pengamatan (observasi), sebagai data untuk melihat kondisi

guru Matematika dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajarnya.

(2)   Instrumen penilaian kinerja guru, untuk melihat kemajuan kinerja guru.

(3)   Instrumen penilaian hasil belajar siswa, sebagai salah satu indikator keberhasilan

belajar mengajar guru.

(4)   Alat-alat dokumentasi seperti kamera dan tape recorder, sebagai perekam data-data

penelitian yang dibutuhkan.

 

3. Teknik Analisis Data

Data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Data

kualitatif dianalisis dengan menggunakan analisis kategorial dan fungsional melalui model

analisis interaktif (interactive model), yakni analisis yang dilakukan melalui empat

komponen analisis: reduksi data, penyandian, dan verifikasi dilakukan secara simultan.

Data kuantitatif dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif.

 

I. JADWAL PENELITIAN

Jadwal penelitian adalah seperti pada tabel berikut.

Tabel 2. Jadwal Penelitian

NO KEGIATAN JUNI JULI AGTS SEPT OKT

MINGGU KE-

1 Penyusunan Proposal 1  2  3  4 1  2  3  4

2 Persiapan Tindakan 1 2 3 4

3 Tindakan Siklus I       2  3  4  

4 Analisis Data Hasil Siklus I               3  4  

5 Tindakan Siklus II         1  2  3  4

6 Analisis Data Hasil Siklus II             3  4

7 Penyusunan Laporan Hasil Penelitian     3 4

Page 41: Supervisi Klinis Non Direktif

8 Pelaporan Hasil

 

Daftar Pustaka

Adam, H.F. & Frank. G. 1959. Basic Principles Supervision. New York: American Book

Company.

Agung, I. G. N. 1992, Metode Penelitian Sosial: Pengertian dan Pemakaian

Praktis. Jakarta  PT. Gramedia Pustaka Utama.

Bafadal, Ibrahim. 1992. Supervisi Pengajaran: Teori dan Aplikasinya dalam Membina

Profesional Guru. Jakarta: Bumi Aksara.

Boardman, et. al. 1953. Democratic Supervision In Scondary School. Massachusetts:

Houghton Miffin Company.

Carr, W., & Kemmis, S. (1986). Becoming critical: education, knowledge and action

research.  Brighton, Sussex: Falmer Press.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Alat Penilaian Kemampuan Guru. Jakarta:

Dirjen Pendidikan dasar dan Menengah.

Douglass, Hari. 1961. Democratic Supervision in Secindary School. Boston: Ginn and

Company.

Fatah, N. 1996. Landasan Manajemen Pendidikan Bandung: Remaja Rosdakarya.

Hadikusumo, Kunaryo., Sadjad Sayuti, Achmad Rifai, Agus Salim dan Budiyono.

1995. Pengantar Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang Press

Hamalik, Oemar. 1992. Administrasi dan Supervisi Pengembangan

Kurikulum. Bandung: CV. Mandar Maju.

Imron Ali. 1995. Pembinaan Guru Di Indonesia. Malang: Pustaka Jaya.

Kember, D. 2000. Action learning and action research: Improving the quality of teaching and

learning. London: Kogan Page.

Kemmis, S.  and R McTaggart, 1988. Action Research – some ideas from The Action Research Planner, Third edition, ed. Deakin University.

Nurtain. 1989. Supervisi Pengajaran (Teori dan Prektek). Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti –

P2LPTK.

Oliva, P.F.1984. Supervision for to Days School. New York: Tomas J. Crowell Company.

Pidarta, Made. 1992. Pemikiran Tentang Supervisi Pendidikan. Jakarta: Bina Aksara.

Purwanto, Ngalim. 1988. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: Remaja

Rodakarya.

Sahertian, Piet. 1994. Profil Pendidik Profesional. Yogyakarta: Andi Offset.

Page 42: Supervisi Klinis Non Direktif

Sahertian, Piet. 2000. Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan dalam rangka

Pengembangan Sumberdaya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.

Samana A. 1994. Profesionalisme Keguruan. Yogyakarta: Kanisius.

Segiovanni, T. J. 1991. The Principals: A Reflective Practice Perspective. (2rd Ed) Boston :

Allyn and Bacon.

Sergiovani, T. J. 1971. Emerging Paterns Of  Supervision: Human Perspective. New York:

Mc Graw – Hill Book Company.

Sevilla, C.G., Ochave, J.A., Punsalan, T.G., Regala, B.P. & Uriarte, G.G. 1993. Pengaturan

Metode Penelitian. Alih Bahasa oleh Alimudin Tuwu. Jakarta : UI Press.

Undang-Undang RI Nomor 20. 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.

Wiles, K. 1955. Supervision For Better Schools. New York: Printince Hall Inc.

Ansari, B.I (2004). Menumbuhkembangkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi

Matematik Siswa SMU Melalui StrategiThink-Talk-Write. Disertasi Doktor PPS UPI

Bandung: Tidak dipublikasikan.

Astuti, W.W. (2000). Penerapan Strategi Koperatif Tipe STAD pada Pembelajaran

Matematika Kelas II MAN Magelang. Tesis pada PPS UPI Bandung: tidak dipublikasikan.

Duren, P.,E. dan Cherrington, A. (1992). “The Effective of Cooperative Group Work Versus

Independent Practice on the Learning of Some Problem Solving Strategies”. Official 

Journal of School Science and Mathematics, 92 (2). 80-83.

Hudoyo, H. (1990). Strategi Mengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP Malang.

Huinker, D. dan Laughlin, C. (1996). “Talk Your Way into Writing”. Dalam Communication in

Mathematicss K-12 and Beyond, 1996 year book. National Council of Teachers of

Mathematics.

Kariadinata, R. (2001).  Peningkatan Pemahaman dan Kemampuan Analogi Matematika

Siswa SMU melalui Pembelajaran Kooperatif. Tesis PPS UPI Bandung: tidak

dipublikasikan.

Malone, J.A. dan Krismanto, A. (1997). “Indonesian Students’ Attitudes and Perceptions

Towards Small-Group Work in Mathematics”. Journal of Science and Mathematics

Educations in Southeast Asia.  XVI (2). 97-103

Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan

Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung:

Tarsito.

Silver, E.A. dan Smith, M.S. (1996). “Building Discourse Communities in Mathematics

Classrooms: A Worthwhile but Challenging Journey”. dalam Communication in

Mathematicss K-12 and Beyond. 1996 year book. National Council of Teachers of

Mathematics.

Slavin, R. E. (1994).  Educational Psychologi: Theory and Practice. Massachusetts: Allyn

and Bacon Publisher.

Sriyono (1992). Teknik Belajar Mengajar dalam CBSA. Jakarta: Rinika Cipta.

Page 43: Supervisi Klinis Non Direktif

Sumarmo, U. (2000). Pengembangan Model Pembelajaran Matematika untuk

Meningkatkan Kemampuan Intelektual Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Dasar. Laporan

Penelitian. Bandung: Lembaga Penelitian UPI.

Sutiarso, S. (2000). Problem Posing, Strategi Efektif Meningkatkan Aktivitas Siswa dalam

Pembelajaran Matematika. Bandung: tidak diterbitkan.

Turmudi (Ed)(2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, UPI Bandung: JICA,

FPMIPA-UPI.