SUNTINGAN TEKS SERAT DORAWECA
Transcript of SUNTINGAN TEKS SERAT DORAWECA
SUNTINGAN TEKS SERAT DORAWECA
Eko Rohmanto Karsono H. Saputra
Program Studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 64124, Indonesia
E-Mail: [email protected]
Abstrak
Penelitian filologi mengenai Serat Doraweca menghasilkan suntingan teks. Doraweca adalah nama lakon dalam pewayangan ringgit purwa. Teks Doraweca merupakan teks wayang yang dikategorikan sebagai sastra wayang, terdapat tiga naskah yang mengandung teks sastra wayang. Tiga naskah ini dikategorikan menjadi dua versi. Perbedaan antar kedua versi tersebut yaitu pada pupuh pertama, Pupuh pertama pada versi naskah “A” yaitu dhandhanggula, sedangkan pupuh pertama pada versi “B” yaitu sinom.
Metode penyuntingan teks menggunakan metode landasan, sedangkan alih aksara dikerjakan dengan menggunakan edisi suntingan standar.Naskah Serat Doraweca ini taat akan asas persajakan macapat terlihat dari sedikitnya perbaikan pada naskah yang disunting. Pada skripsi ini terdapat ringkasan adegan dalam naskah. Kata kunci: Wayang, lakon wayang, filologi, naskah,macapat, Doraweca, pupuh, adegan, suntingan teks.
Text Edits of Serat Doraweca
Abstract
In these philological research about Serat Doraweca, researcher makes an edited text from its content. Doraweca is the name of character in Javanese traditional puppetry, Ringgit Purwa. Doraweca itself classified as a puppetry literature. In its body text, there are three scripts classified as a puppetry literatures. There are two version of this scripts. The differences of both version can be identified from its first Pupuh. In “A” version of this scripts, the first pupuh is dhandhanggula. Whereas the first pupuh in “B” version is sinom.
A comparative based method are used to editing text, while a standard editing method are used to letter-translate process.Serat Doraweca script obey the principle of macapat’s rhyme, proved by its minimum correction that researcher done for its edited text. In this thesis, researcher makes a synopsis for every scene in the script. Keywords :Puppet, puppet role, philology, script, macapat, Doraweca, pupuh, scene, edited text
Pendahuluan
Bangsa Indonesia memiliki tradisi lisan dan tulis yang sudah sangat lama. Bentuk-
bentuk media dalam tradisi tulis sangat beragam, mulai dari batu, kulit kayu, kertas, dan
berbagai media yang dapat digunakan untuk menulis. Salah satu kebudayaan yang memiliki
tradisi tulis dan peninggalannya adalah Kebudayaan Jawa, berupa naskah. Naskah adalah
kumpulan tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai
hasil budaya bangsa masa lampau (Siti Baroroh Baried, 1985:5).
Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016
Teks merupakan isi dari kandungan naskah. Teks Jawa dalam pengelompokan
Behrend (1995) terdiri dari teks agama (Hindu-Bali), bahasa dan leksikografi, cerita historis,
cerita bercorak Islam, cerita kepahlawanan, cerita santri lelana, cerita Tiong Hoa, cerita
wayang, hukum dan undang-undang, Al-Quran dan teks-teks islam, keris-kerajinan-
keterampilan, legenda setempat, primbon dan pawukon, piwulang-suluk-teks didaktik, sejarah
dan babad, silsilah, seni suara dan musik, seni tari dan pertunjukan rakyat, upacara dan adat
istiadat rakyat, serta pewayangan dan padhalangan. Teks pewayangan merupakan salah satu
teks yang sampai saat ini masih disukai oleh masyakarat Jawa.
Kata wayang (Bahasa Jawa) bervariasi dengan kata bayang, yang berarti bayangan.
Hazeu (1979:50-51) mengatakan bahwa wayang dalam kata/bahasa Jawa berarti bayangan,
dalam bahasa Melayu. Bayang-bayang, yang artinya, bayangan, samar-samar, remang-
remang, menerawang, dalam bahasa Aceh, bayeng, artinya bayangan, serta dalam bahasa
Bugis bayang atau wayang.Apabila ditelusuri secara diakronis, maka cerita dan lakon
wayang tidak dapat dipisahkan dari karya sastra wayang. Tokoh-tokoh wayang yang sekarang
dikenal tidak terlepas dari epos tanah Hindi (India), seperti Ramayana dan Mahabarata
(Darmoko, 1999:7).
Teks wayang yang sedemikian banyaknya dapat dikategorikan menjadi tiga jenis,
yaitu: 1. Lakon wayang, 2. Balungan, 3. Sastra wayang. Lakon wayang dalam khasanah
pewayangan lebih menitikberatkan pada konteks dialog dalam suatu cerita. Menilik Pakem
Padhalangan Lampahan Wahju Purbasedjati (1958), wayang lebih digambarkan dalam
dialog-dialog antarlakon, dialog lebih ditonjolkan untuk menjelaskan berbagai makna tersirat
serta tersurat. Penggambaran pakem pedalangan yang dijelaskan sebelumnya, lakon disoroti
sebagai karya yang khas, yaitu percakapan/dialog (Boen S. Oemarjati, 1971:61).
Balungan dalam teks wayang merupakan gambaran ringkas suatu cerita. Balungan
biasanya hanya memuat ringkasan-ringakasan cerita dalam suatu lakon wayang pada teks
lain, biasanya hanya tertulis jalan cerita. Teks Balungan wayang dapat pula terdiri dari
beberapa kumpulan cerita wayang ringkas yang dipadukan menjadi satu (Darmoko, 1999:61).
Sastra wayang lebih menitikberatkan kepada unsur cerita, terdapat dialog dalam suatu
teks tetapi tidak melulu keseluruhan teks terdiri dari dialog antartokoh. Terdapat
penggambaran umum cerita serta banyak unsur intrinsik yang tidak hanya terdapat pada
dialog semata. Sastra wayang yaitu bentuk (karya) sastra yang berisi cerita mengenai wayang
(Darmoko, 1999:24).
Wayang memiliki banyak jenis, salah satu jenisnya adalah wayang purwa.
Penggambaran wayang purwa yaitu jenis pertunjukan wayang yang menyajikan lakon berasal
Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016
dari mitos permulaan zaman, awal adanya dewa-dewa, raksasa dan manusia, masa Wisrawa
dengan Sastrajendra-nya, masa prabu Arjunasasrabau, Ramayana dan Mahabarata
(Darmoko, 1999:56). Lakon-lakon dalam wayang purwa tersebut memiliki banyak sekali
jumlahnya, salah satunya lakon tersebut adalah Doraweca.
Cerita yang terkandung dalam naskahberjudul Dorawecaberisi kisah Resi Doraweca
yang ingin memperistri Dewi Sumbadra setelah mengetahui Arjuna menghilang dari
Dwarawati. Srikandi, Abimanyu, dan para punakawan pergi mencari Arjuna. Ternyata
Arjuna pergi ke pertapaan Bagawan Anoman di gunung Kendhali Suda. Anoman menyuruh
Arjuna untuk kembali ke Dwarawati. Dalam perjalanan pulangnya, Arjuna menyamar
menjadi bagawan Sidikmulya dan bertemu Srikandi. Resi Doraweca menyerang Dwarawati
dan bertempur dengan Arjuna, ketika terkena panah Arjuna, Doraweca berubah wujud
menjadi Sang Hyang Guru. Hyang Guru memberi wejangan kepada Arjuna untuk tidak pergi
terlalu lama.
Cerita Doraweca yang merupakan bagian dari cerita wayang, tentunya masuk ke
dalam salah satu bagian dari ketiga unsur pembagian teks wayang. Teks Doraweca
merupakan bagian dari sastra wayang bila dilihat dari karakteristik sastra wayang yang
memiliki unsur tembang, lakon, serta penjabaran cerita. Di beberapa naskah juga terdapat
judul Doraweca yang dikategorikan sebagai balungan cerita Doraweca, tetapi terdapat juga
teks yang akan dijadikan bahan penelitian merupakan teks yang merupakan bagian dari sastra
wayang.
Metode penelitian
Penelitian ini menggunakan metode landasan. Metode landasan bertolak pada
argumen bahwa ada satu versi yang dianggap unggul di antara teks-teks seversi dan ada satu
varian atau redaksi yang dianggap unggul di antara redaksi-redaksi dalam versi bersangkutan
(Karsono H. Saputra, 2008:105).
Langkah kerja penelitian mengikuti langkah kerja filologi, sebagaimana dijelaskan
oleh Karsono H. Saputra (2008:104). Langkah kerja meliputi: 1. Inventarisasi naskah, 2.
Deskripsi naskah, 3. Eliminasi naskah, 4. Alih aksara disertai Kritik Teks. Inventarisasi
adalah mengumpulkan informasi mengenai keberadaan naskah-naskah teks sekorpus.
Naskah-naskah yang mengandung teks sekorpus secara sederhana berarti naskah-naskah yang
mengandung teks sejudul, yang kadang-kadang tercantum pada sampul naskah dan/atau di
kelopak depan naskah.
Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016
Langkah kerja filologi selanjutnya adalah deskripsi naskah. Deskripsi naskah berarti
penyajian informasi mengenai fisik naskah-naskah yang menjadi objek penelitan.
Pendeskripsian naskah digunakan untuk menginformasikan secara mendetail, rinci dan
menggabungkan berbagai macam aspek, sehingga informasi yang didapat tersampaikan
dengan baik. Hal yang perlu dideskripsikan ditambah ringkasan cerita dan catatan lain berikut
penjelasan singkat, meliputi judul naskah, tempat penyimpanan naskah, nomor naskah,
ukuran halaman, jumlah halaman, jumlah baris, panjang baris, huruf, bahasa, kertas, cap
kertas, chain lain ‘garis tebal’ dan laid line ‘garis tipis’, kuras, garis panduan, pengarang-
penyalin-tempat dan tanggal penyalinan, keadaan naskah, pemilik naskah, serta gambar dan
ilustrasi.
Langkah kerja setelah deskrispi naskah adalah eliminasi teks Doraweca. Eliminasi
naskah merupakan salah satu langkah kerja filologi, proses eliminasi yaitu “pencoretan”
naskah dari daftar naskah-naskah yang akan diteliti karena berbagai alasan. Alasan
“pencoretan” seperti kondisi fisik naskah, keterbacaan, dan kandungan isi teks. Naskah yang
memiliki kondisi fisik yang baik sehingga dapat dikeluarkan dari tempat peletakan naskah,
serta teks yang terkandung dapat dibaca dengan jelaslah yang dapat dipilih.
Langkah kerja yang terakhir adalah alih aksara disertai dengan kritik teks Serat
Doraweca. Kritik teks adalah catatan mengenai teks yang dialihakasarakan. Catatan berupa
emendasi, bagian teks yang hilang atau rusak, metrum dan kata-kata yang sulit dibaca
dilakukan dengan berdasarkan pengetahuan, kemampuan dan pengalaman yang dimiliki
peneliti. Alih aksara menggunakan edisi standar.Edisi standar yaitu mengalihkan bentuk-
bentuk aksara dalam naskah ke bentuk-bentuk aksara yang berlaku saat ini serta mengalihkan
tanda baca beserta sistem naskah ke tanda baca beserta sistem aksara yang dituju. (Karsono
H. Saputra, 2008:98). Alih aksara berpedoman pada ejaan bahasa Jawa yang disempurnakan
serta disesuaikan dengan sistem ejaan yang terdapat pada naskah.
Hasil Penelitian
1. Inventarisasi Naskah
Terdapat 14 judul Doraweca yang ada dalam naskah, masing-masing naskah yang
berjudul Doraweca disimpan di berbagai tempat koleksi naskah, yaitu:
Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016
a. Museum Sonobudoyo, yang biasa disingkat MSB, terdapat lima judul yang
mencantumkan Doraweca ke dalam isi teks tersebut. Naskah pertama yaitu Pakem
Ringgit Purwa: Lampahan Doraweca (SW 22), naskah kedua yaitu Pakem Ringgit
Purwa, Madya, Wasanadengan (W 28), naskah ketiga yaitu Pakem Ringgit Purwa (4
lampahan) (W 36) lakon Doraweca terdapat dalam salah satu lampahan tersebut,
naskah keempat Pakem Ringgit Purwa (34 lampahan) (W 97) lakon Doraweca
terdapat dalam salah satu lampahan tersebut, naskah kelima yaitu Pakem Ringgit
Tiyang (19 lampahan) (W 41) lakon Doraweca termasuk dalam lampahan tersebut.
b. Keraton Mangkunagaran (Surakarta) dalam katalog Javanese manuscript in
Surakarta, memiliki dua judul dalam teks, yaitu Lampahan Doraweca (MN 426.27)
serta Lampahan Doraweca (MN 436.28).
c. Perpustakaan Surakarta dan Yogyakarta / Javanesse Manuscript Surakarta and
Yogyakarta (JMSY) memiliki empat naskah yang mengandung judul Doraweca, yaitu
Lampahan Ringgit Purwa di dalamnya terdapat lampahanDoraweca (20579 D83),
Pakem Ringgit Purwa terdapat cerita Doraweca (60710 PB C7), lakon Doraweca
(60625 PB C 133), Serat Pakem Lampahan Ringgit Tiyang (66635 PB A 49).
d. Museum Radya Pustaka dan Perpustakaan Harsonagara Memiliki satu judul yang
mencantumkan nama Doraweca (RP 250C. 1 59).
e. Perputakaan Pusat Universitas Indonesia (dahulu terdapat di Perpustakaan Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia disebut FIB UI) memiliki dua judul
naskah yaitu Serat Doraweca (NR 267) dan Doraweca (KT 37).
2. Pemilihan Naskah Suntingan
Terdapat tiga judul cerita Doraweca yaitu naskah A, naskah B dan naskah C. Ketiga
naskah yang mengandung teks Doraweca perlu dieliminasi sehingga diambil 1 teks yang
layak untuk disunting. Proses eliminasi menggunakan metode perbandingan isi teks karena
kemiripan yang ada pada ketiga teks tersebut. Perbandingan isi teks terdiri dari perbandingan
pupuh, perbandingan jumlah pada dalam satu pupuh maupun perbandingan cerita. Dalam
karya sastra Jawa, suatu karya sastra yang berupa puisi memiliki pupuh (bab) dalam
membentuk satu pola metrum. Pembagian pupuh pada ketiga teks tersebut:
Tabel 2.3 Perbandingan Pupuh serta Perbandingan Jumlah Pada
Nama pupuh
Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016
No pupuh (Naskah A)
(Versi B)
(Naskah B)
(Versi A)
(Naskah C)
(Versi B)
1 Sinom
(34 pada)
Dhandanggula
( 44 pada)
Sinom
(34 pada)
2 Kinanthi
(55 pada)
Kinanthi
(55 pada)
Kinanthi
(55 pada)
3 Pangkur
(46 pada)
Pangkur
(46 pada)
Pangkur
(46 pada)
4 Gambuh
(54 pada)
Gambuh
(54 pada)
Gambuh
(54 pada)
5 Pucung
(53 pada)
Pucung
(53 pada)
Pucung
(53 pada)
6 Durma
(57 pada)
Durma
(57 pada)
Durma
(57 pada)
7 Pangkur
(50 pada)
Pangkur
(50 pada)
Pangkur
(50 pada)
8 Megatruh
(40 pada)
Megatruh
(40 pada)
Megatruh
(40 pada)
9 Asmarandhana
(45 pada)
Asmarandhana
(45 pada)
Asmarandhana
(45 pada)
10 Dhandanggula
(29 pada)
Dhandanggula
(29 pada)
Dhandanggula
(29 pada)
11 Gambuh
(38 pada)
Gambuh
(38 pada)
Gambuh
(38 pada)
12 Pangkur
(43 pada)
Pangkur
(43 pada)
Pangkur
(43 pada)
13 Kinanthi
(40 pada)
Kinanthi
(40 pada)
Kinanthi
(40 pada)
14 Maskumambang
(34 pada)
Maskumambang
(34 pada)
Maskumambang
(34 pada)
15 Mijil
(33 pada)
Mijil
(33 pada)
Mijil
(33 pada)
16 Gambuh Gambuh Gambuh
Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016
(18 pada) (18 pada) (18 pada)
17 Sinom
(32 pada)
Sinom
(32 pada)
Sinom
(32 pada)
18 Pangkur
(33 pada)
Pangkur
(33 pada)
Pangkur
(33 pada)
19 Asmarandhana
(37 pada)
Asmarandhana
(38 pada)
Asmarandhana
(37 pada)
20 Dhandanggula
(9 pada)
Dhandanggula
(9 pada)
Dhandanggula
(9 pada)
Dilihat dari jumlah pupuh dan nama pupuh, perbedaan ketiga teks tersebut terdapat pada
pupuh pertama, dimana naskah A dan naskah C menggunakan Sinom, sedangkan naskah B
menggunakan dhandanggula. Naskah A dan C peneliti anggap sebagai 1 versi naskah karena
kemiripan dari segi jumlah pupuh maupun nama pupuh. Naskah B adalah versi yang berbeda
dari naskah A dan C.
Perbandingan isi cerita antara naskah A, B dan C:
Pada pupuh pertama naskah A dan C dengan pupuh sinom yaitu:
Naskah A:
// Niantya winurweng sekar / wigatine kang sun rakit / yen gebyarken caritanya /
ringgit purwa kang den anggit / yeku kang den wastani / Doraweca lakonipun / cetha
ingkang jejernya / mongka bubukaning nagri / Dwarawati kang kocap kariyinira //
Naskah C:
// Niantya winurweng sekar / wigatine kang sun rakit / yen gebyarken caritanya /
ringgit purwa kang den anggit / yeku kang den wastani / Doraweca lakonipun / cetha
ingkang jejernya / mongka bubukaning nagri / Dwarawati kang kocap kariyinira //
Terjemahan:
Disampaikan melalui lagu yang diharuskan untuk dirangkai jika ingin
menyemarakkan cerita, terdapat dalam cerita ringgit purwa yang dinamai dengan lakon
Doraweca, jelas dalam pembukaan negara yang terucap adalah negara Dwarawati.
Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016
Naskah B
// Mardyeng gita raras madu manis / manindityas den ayun mangripta / tan met
kotaman mashure / mung harda sedyeng kalbu / ngemba kartyeng sarjana luwih /
kang wasis subyakten tyas / tanwrin parlunya mung / gege minta cedeng liyan /
ngayawara ngarang pindha pujangga di / kang nedya ulah sastra //
Terjemahan:
Terdapat sebuah kata yang indah, yang dibuat dalam kota yang mashur, terdapat banyak
sarjana yang pintar untung merangkai sebuah kata layaknya pujangga, sehingga
menghasilkan sebuah karya sastra.
Pada pupuh kedua naskah A, B dan C dengan Pupuh Kinanthi memiliki kesamaan, yaitu:
Naskah A:
// Datan dangu lampahipun / narendra prapteng sitinggil / Dyan Samba lan
Wresniwira / tumutur minggah prasami / amung ki Patih Udawa / wangsul
magelaran malih//
Naskah B:
// Datan dangu lampahipun / narendra prapteng sitinggil / Dyan Samba lan
Wresniwira / tumutur minggah prasami / amung ki Patih Udawa / wangsul
magelaran malih//
Naskah C:
// Datan dangu lampahipun / narendra prapteng sitinggil / Dyan Samba lan
Wresniwira / tumutur minggah prasami / amung ki Patih Udawa / wangsul
magelaran malih//
Terjemahan:
datang dengan berjalan tanpa suara yaitu raja yang utama disertai putri Samba dan
Wresniwira, mereka duduk bersama, namun ki patih udawa malah pergi.
Pada pupuh keenam naskah A, B dan C dengan Pupuh Durma:
Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016
Naskah A:
// Lon manabda ditya kala Reksangkara / reh adhi: klanthang mimis / paran
rembugira / ingutus sri narendra dhinawihan mamanuki / jeng sang bagawan / kang
maring Dwarawati //
Naskah B:
// Lon manabda ditya kala Reksangkara / reh adhi: klanthang mimis / paran
rembugira / ingutus sri narendra dhinawihan mamanuki / jeng sang bagawan / kang
maring Dwarawati //
Naskah C:
// Lon manabda ditya kala Reksangkara / reh adhi: klanthang mimis / paran
rembugira / ingutus sri narendra dhinawihan mamanuki / jeng sang bagawan / kang
maring Dwarawati //
Terjemahan:
Berkata pelan raksasa Reksangkara, “hai klanthang mimis, sebaiknya kita berbicara
karena saya diutus oleh sang raja serta sang bagawan untuk kembali ke Dwarawati”
Ketiga naskah yang mengandung teks Doraweca secara garis besar memiliki
kesamaan cerita, perbedaan hanya terdapat pada pupuh pertama naskah A dan naskah C
menggunakan pupuh sinom sedangkan naskah B menggunakan pupuh dhandhanggula.
Naskah A dikategorikan sebagai nasakah dengan versi yang sama dengan naskah C, naskah B
merupakan versi yang berbeda dengan kedua naskah tersebut.
Versi naskah A pada awal tulisan dapat terbaca, namun lama kelamaan tulisan naskah
sulit terbaca. Naskah C yang seversi dengan naskah A memiliki tulisan yang dapat dibaca
dengan jelas, namun tidak dapat diambil data digitalnya dengan berbagai macam alasan.
Terdapat kesulitan yang terdapat pada naskah A dan naskah C, kedua naskah tidak dijadikan
bahan penyuntingan.
Mengacu pada metode Landasan, versi naskah B dijadikan acuan untuk penelitian
karena naskah B memiliki tulisan yang jelas dan terbaca hingga akhir cerita. Keunikan pupuh
pertama juga dijadikan sebagai landasan karena pupuh yang dimiliki naskah B adalah
dhandanggula, walaupun berbeda versi, isi cerita secara garis besar sama. Selain itu, naskah
B juga terdapat buku cetak beraksara Jawa terbitan tahun 1925 karangan Raden Mas Panji
Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016
Harjasuparta yang digunakan hanya sebagai pembantu untuk penyuntingan naskah B.
Penggunaan buku cetak dimaksudkan untuk membandingan beberapa aksara Jawa yang tidak
terbaca karena pudar.
3. Pertanggungjawaban Alih Aksara
Alih aksara merupakan proses pemindahan satu tulisan ke tulisan lain. Penyajian alih
aksara dapat saja tidak dimengerti oleh pembaca tanpa ada penejelasan yang luas (Robson,
1994:12-24). Proses pemindahan suatu teks ditujukan untuk menyajikan teks yang dapat
dimengerti oleh pembaca, tidak hanya pada proses pemindahan, namun alih aksara lebih
ditujukan pada penggunaan tata bahasa yang ada pada masyarakat pembaca.
Peneliti menggunakan edisi standar dalam pengalihaksaraan naskah Serat Doraweca.
Edisi standar merupakan proses mengalihkan sistem kode pada suatu teks ke dalam sistem
kode yang berlaku pada masyarakat kini (Siti Baroroh Baried, 1985:69), yaitu sistem kode
menggunakan aksara latin. Dalam mengalihaksarakan naskah Doraweca ke dalam aksara
latin menggunakan pedoman penulisan sebagai berikut:
1. Penulisan kata mengacu pada kamus Baoesastra Djawa yang dibuat Poerwadarminta
(1939) dan kamus Bausastra Jawa yang disusun Balai Bahasa Yogyakarta (2008).
2. Tata Bahasa Jawa menggunakan buku Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa karangan
Sudaryanto.
3. Pedoman prosodi tembang menggunakan buku Sekar Macapat karangan Karsono H.
Saputra.
4. Tanda yang digunakan pada suntingan teks:
a. Penomoran pupuh menggunakan angka romawi
b. Penanda akhir bait menggunakan tanda baca: //
c. Pembatas antarlarik nenggunakan tanda baca: /
d. Angka arab pada awal baris merupakan penanda awal bait dalam satu pupuh.
e. Tanda (-1) (-2) merupakan penanda terdapatnya kekurangan jumlah guruwilangan
dalam satu larik. Angka dalam tanda menunjukan jumlah suku kata yang kurang.
f. Tanda (+1) (+2) merupakan penanda terdapatnya kelebihan jumlah guruwilangan
dalam satu larik. Angka dalam tanda menunjukan jumlah suku kata yang lebih.
g. Tanda hubung [ - ] untuk penulisan kata yang mengandung reduplikasi.
5. Vokal
Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016
EYD bahasa Jawa yang terdapat dalam naskah Serat Doraweca terdapat enam bunyi
vokal, yaitu /a/, /i/, /u/, /e/, /ê/, /o/, namun pada proses alih aksara menggunakan edisi
standar, vokal /é/, /è/ dan /ê/ ditulis menggunakan vokal yang sama yaitu /e/.
6. Konsonan
Terdapat dua puluh macam konsonan bahasa Jawa. Seluruh konsonan dalam naskah
Serat Doraweca ditulis sesuai dengan EYD bahasa Jawa.
7. Huruf kapital
Aksara Jawa mengenal istilah aksara murda sebagi penggambaran huruf kapital,
aksara murda yang terdapat dalam aksara Jawa adalah /na/, /ka/, /ta/, /sa/, /pa/, /nya/,
/ga/, /ba/. Aksara murda dalam Serat Doraweca sebagai penggambaran nama suatu
lakon, nama tokoh serta nama tempat ditulis menggunakan huruf kapital.
8. Sastra Lampah
Sastra lampah adalah cara penulisan Aksara Jawa yang tulisannya mengikuti bunyi
pengucapan untuk memudahkan pembacaan, vokal yang diucapkan mengikuti
konsonan akhir dari kata sebelumnya (Padmosoekotjo, 1967:68). Contoh
sastralampah pada teks Serat Doraweca:
$=z %]*usangaprabu dialhaksarakan menjadi sang aprabu1
s=zjisangaji dialihaksarakan menjadi sang aji
zlunlun\ngalunalun dialihaksarakan menjadi ngalnu-alun
9. Perangkapan Huruf
Huruf dalam aksara Jawa dalam penulisan ada beberapa yang ditulis ganda, sehingga
perlu disesuaikan dengan EYD bahasa Jawa. Huruf rangkap berbeda dengan
sastralampah, pada huruf rangkap terdapat dalam satu kata sedangkan sastralampah
terdapat dalam dua kata. Contoh perangkapan huruf:
puniNkupunniku dialihaksarakan menjadi puniku [solh[asolahhe dialihaksarakan menjadi solahe
Contoh perangkap huruf pada fonem sedaerah artikulasi:
[avJi=enyjing dialihaksarakan menjadi enjing
1Huruf hanacaraka yang digunakan untuk menulis font hanacaraka diunduh dari http://www.jawapalace.org/honocoroko.html
Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016
10. Metrum Tembang
Teks Doraweca berbentuk macapat. Macapat merupakan suatu bentuk puisi yang
menggunakan bahasa Jawa baru, penulisan macapat terikat oleh aturan persajakan,
pola tersebut terdiri dari guru gatra2, guru wilangan3 dan guru lagu4. Proses jenis pola
persajakan (pupuh) mempengaruhi penggunaan guru gatra, guru wilangan dan guru
lagu (Karsono H. Saputra, 2001:12-26). Penyuntingan teks Doraweca mengikuti pola
penulisan metrum pada umumnya.
11. Emendasi
Perbaikan bacaan dengan penambahan catatan. Penambahan catatan menggunakan catatan kaki untuk kata yang tidak memiliki arti serta penggunaan tanda (...) untuk menggambarkan aksara yang tidak dapat terbaca.
4. Alih Aksara dan Suntingan Teks
Berikut disajikan pupuh pertama hasil suntingan teks naskah SeratDoraweca, yang disertai dengan perbaikan metrum dan bacaan.
Pupuh 1 (Dhandanggula)
1. Mardyeng gita raras madu manis / manindityas den ayun mangripta / tan met
kotaman mashure / mung harda sedyeng kalbu / ngemba kartyeng sarjana luwih /
kang wasis subyakteng5 tyas / tanwrin parlunya mung / gege minta cedeng liyan /
ngayawara ngarang pindha pujangga di / kang nedya ulah sastra //
2. tanpa ngrasa ngeseman sasami / saking taksih tuna saniskara / ukara ruwet
gandhenge / kaukit thaling tembung / panulise datan titis / reh tanpa prama sastra /
tambuh kang tinurut / mung manut penempanira / marma dahat kuciwa tan paja
mirib / lan para kawiradya //
3. amung lowung karya nengneng pikir / kehning guyu tan kapisan ana / kembang boreh
upamane / ngong sandhi wur wur sembur / barkahana myang murakabi / mring tyas
2Guru gatra adalah jumlah gatra ‘baris’ dalam setiap pada ‘baris’. 3Guru wilangan adalah jumlah wanda’suku kata’ tiap gatra sesuai kedudukan gatra pada pada. 4Guru lagu atau dhong-dhing atau rima akhir gatra sesuai kedudukan gatra dalam pada. 5Subaktyeng, ‘sungkem kepada’ . naskah versi b berbeda pupuh pertama dengan naskah versi a sehingga tidak dapat dibandingkan.
Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016
kang dahat alap / nirna kentar wilun / temah guna sambegana / ngirib-irib pra
pramudyeng pra maniti / patitis tyas kratarta//
4. nihan ta kang pinurwakeng kawi / wigatine kang mangun gitaya / yun gancarken
caritane / ringgit purwa ginelung / yeku ingkang dipunwastaning / lampahan
Doraweca / deta jejeripun mangka bubukaning kata (+1) / radyeng Dwarawati kang
kocap kariyin / nagri tata raharja//
5. gemah ripah miwah loh jinawi / murah sagung busana baksan(-1) / marma wong
sapraja kabeh / tentrem tyasnya kalangkung / noranana laku durniti / reh mirah
sandhang tedha / wong dagang aselur / prapta saking manca praja / saben dina tan
kendhat lir banyu mili / lumebeng Dwarawatya //
6. malah agung sudagar len nagri / samya katrem wismeng Dwarawatya / tan bali
maring prajane / boyong sawarganipun / milih praja ing Dwarawati / saya rame
raharja / ajogan wongipun / kang saking tanah ing liyan / yata ingkang jumeneng ing
Dwarawati / Narendra Binathara//
7. apeparab Prabu Harimurthi / padmanaba ya Sang Danangdana / nata Kresna
jujuluke / yeku panjanmanipun / Hyang Keshawaya Wisnumurthi / jawatha
ngejawantah / paningale terus / weruhsadurung winarah / osiking rat sang nata wus
amikani / tuhu Wisnu Bathara//
8. tyas silarja ing reh pramaniti / bek budya yupara martotama / asih maring sasamane
/ berbudi danan agung / ing ri ratri tansah kumintir / kadi entar ing tirta / dananya
sang prabu / maring wadya sanagara / tumrah luber ngeberi mring kawula lit /
sapraja kawaratan //
9. mila sagung wong ing Dwarawati / ajrih asih maring gusthinira / denya gung
parimarmane / myang tansah danartayu / yayah kadi surya tumiling / madhangi
sabuwana / jurang siluk siluk / kasongan cahyeng raditya / yeku mangka pindha ing
Sri Harimurti / denya mong mengku praja //
10. ageng alit kawuleng nagari / kasamadan de sunaring surya / yeku Narendra kucape /
tuhu lamun pinunjul / kota maning Danardanaji / sami tratag kuciwa / dera yun
mamayu / rahayunireng kanang rat / kongsi kontap kuncara liyan nagari / lir ratus
babar gondhang //
11. arum arum katiyub ing angin / temah abra ngebeki buwana / singa kapanduk
gandane / kapilut kapilayu / nedya ngruruh doning ganda mrik / marma keh para
nata / mancapraja suyut / sayuk nguncupaken asta / datan mawi sarana pinukul jurit /
jatine mung kinarya //
Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016
12. lalantaran denyarsa ngabekti / mring narendratama sadu dibya / wicaksana lus
ambeke / kongas kumala merdhu / widagda ring ulah semadi / tan kewran kridhaning
rat / bawana kacakup / cakep limpat pasang cipta / putusing reh patrap pamoring
dewadi / patitis kasunyatan //
13. de pranata kang wus suyut sami / panganggepe mring Sri Danardana / dudu mitra
sajatine / liningga Jawata gung / sungkemira nrusa ing batin / tangeh lamun
kinandha / kaluhuranipun / narendradi Dwarawatya / deta garwanira kanjeng sri
bupati / katri samyang yuhendah //
14. ingkang sepuh Retna Jembawati / saking wukir ing Gadamana / Etma janireng wiku
wre / Jembawana wastanipun / patutan ing garwa sang putri / retna Dewi Trijatha /
putranta sang prabu / Wibisana ing Alengka / dene garwa panengah Dewi Rukmini /
putri adi Kumbina //
15. deta garwa pamungkas winarni / apeparab dewi Setyaboma / Atmajani reng pamase /
Ugrasena sang prabu / narendra di ing Lesanpuri / garwa ingkang pamadya / lan
pamungkasipun / dwi samya kadang nak sanak / lan narendra yata ing dina respati /
nata miyos sinewa(ka) //
16. munggeng baletana ing sitinggil / apratisdheng dhampar mas sinotya / wurindra keh
pangayape / manggung miwah ketanggung / tuwin ingkang badhaya srimpi / emban
parekan inya / samya ayu-ayu / rinengga dening busana / yeku ingkang ngampil
pacareng narpati / lar badhane ring kanan //
17. akeh dalang miwah sawunggaling / datan kadi kang hardawalika / mas tinatur inten
kabeh / pating pancorot mancur / ngasoraken gebyaring rawi / deta kang munggeng
arsa / putranta sang prabu / satriya Paranggaruda / yeku putra kang ginadhang
madeg aji / para praha dyan Somba//
18. patutan sing Retna Jembawati / warna bagus tuhu kasembadan / lir parada pamulune
/ pidek sadedegipun / sarwa kanthet lan sarwa wing-wing / parigel tandangira /
sasolahe patut / baranya wangun lanyapan / dadya kondanging kidung prakenya di /
tuwa nom keh kasmaran//
19. ngayam-ayam kapencut nyethi / marang wau sang narpa atmaja / saya yen nuju
mangsane / atmajendra puniku / sowan nangkil ing rama aji / wanodya sajro pura /
mahaya gumrubyug / rebut kuwung pinggir marga / kang kamargan dera ri sang raja
siwi / saking ing kadipatyan//
20. jejel riyel samya rebut ngarsi / kang tinonton saya langak-langak / mundhak rong
palwi ragane / dhasare pancen besus / ngumbar kunca nyapuni siti / ngogleng
Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016
wangkinganira / tinaretes murub / lembeyanya asta kanan / seblak-seblak angasta
sap asta wilis / pinethit pucuk ira//
21. de kang pucuk sisih den pasangi / sogok waos kancana di mulya / pating krandhil
mainane / de asta keringipun / nyangking ganten kang ganten wangi / ginanten urut
marga / lawan nyamuk-nyamuk / lathi tansah jineweran / esemu cuwa lathi tinon
kirang abrit / jatine mung wiraga//
22. ngagem boreh: boreh burat wangi / busanane siniram sadaya / dening rum-aruming
kang we / jinebat myang rinatus / ingukupan kang sarwa sari / sumrik-sumrik
gandanya / mila rajasunu / ngambar tan pae prayangan / marga-marga kang mentas
dipunmargani / ring sang raja pinutra//
23. mung nak maksih tilar gonda wangi / ananangi tyas ing para kenya / kang samya
nandhang wirage / kasmaran wring sang bagus / sru kagagas sajroning ati / duh
mendahane baya / kang jengguti iku / yen ngrabo seng jroning tilam / luwih wasis
parigel luwes terampil / begjane kangge narpa//
24. lah ta sapa tan lamlamen meksi / mring solahe jeng Atma Iswara / siwong ngregas
amba lancer / deta yen lampahipun / sampun parek ngarseng ramaji / ngrepepeh
mendhak-mendhak / miwah kampuhipun / kadi garudha kirap lar / yen wus prapta
pan anggahan sreg alinggih / mabukuh silanira//
25. yekti tangeh sinandra ing tulis / sulistyaning warnanta dyan Samba / satriya ing
kadipaten / tuhu lamun binagus / deta jajaripun alinggih / Wresnindra sang nararya /
Setyaki gul-agul / manggala tanggulang ing prang / wus kasusra babanteng ing
Dwarawati / satriya lesan pura//
26. para ripu dibya miris giris / myat kadibyaning Sang Wresniwira / ing aprang pilih
bobote / tuhu dadya pikukuh / suhing praja ing Dwarawati / deta kang magelaran /
kuluning wadya gung / sira ki patih Udawa / yeku ingkang asta pusaran ing nagri /
tetunggul pangreh praja //
27. kukum ngadilira sri bupati / kasrah maring ki patih Udawa / narendra diwarangkane
/ putus pratameng laku / lalabetanira utami / taman ngegungken angga / sabar reh
ing wuwus / waskitha sih ing sasama / panganggepe marang wewengkone sami /
sirna mong kulawarga//
28. gedhe cilik punggawa myang mantri / sumawana prapteng ulubalang / rinaketan
pinetyase / rinoban ing sabdarum / mili sagung wadya sanagri / samya geng sih
tresnanya / mring sang manindya gung / denya gung menaki ing tyas / saben dina
tansah misuh keng wadya lit / tanapi gung gaganjar//
Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016
29. marma dahat sihnya sri bupati / mring kyat patih lir kinadang-kadang / dhasar pantes
lan wandane / jarot prakoseng pupuh / pamulu bang nembaga abrit / brengosake
ketogan / jembar jejeripun / sereng pandheleng ing netra / mratandhani lamun
prajurit winadi / gegamben ngadilaga//
30. kerep tatal ing aprang ngentasi / sikut wangsuh ngasorake tansah / mungsuh keh
jabut nyawane / saking srupa muktipun / ki Udawa rekyana patih / deta ing wurinira /
punggawa gung agung / satriya mantri myang lurah / ulubalang balabar kadya
jeladri / amber ing pangurukan//
31. abra sinang busana ning dasih / neka warna lir sekar saktaman / kabeh mabukuh
silane / dhedhep nir bawanipun / datan aswara kumlesik(-1) / sajroning panangkilan /
mung ana karungu / dwaraning pandhelan sayang / tuwin swareng peksi engkuk
ingkang muni / luhur ing tratag rambat//
32. samangkana kangjeng Sri Bupati / angandika aruma rang putra / satriya ing
kadipaten / dhuh ngango putraningsun / paran meko wartane kaki / bagawan
Doraweca / kang neng taman santun / dene abrang sebyanira / nora nebya lunga
gentan den tututi / ya marang bibek ira//
33. prasetyane den pilah umati / lamun tinampik ing bibek ira / lah mengko kaya kapriye
/ kulup mungguh rembugmu / radyan Samba matur wot sari / duh Rama Sri Narendra
/ yen pamanah ulun / Doraweca amba gesah / sampun ngantos dangu neng
Banoncinawi / jeng bibi saya susah//
34. mangke lagya nedhengnya prihatin / ngraosaken musnane jeng paman / dadak sina si
wodene / Doraweca sidhawuk / datan nolih githok pribadi / wus tuwa dhasar ala /
kumeksa mring ingsun / jeng bibi mangsa sotaha / yen pineksa yekti wini lalu lalis /
de lamun Doraweca//
35. meksa mogok tanar sahu mijil / saking taman geting kalampahan / ulun galandhang
geage / yen bangga amba suduk / mong sadadak balekna kyai / sang Narta mesem
lingya / alon-alon kulup / aywa sira angga gampang / Doraweca satuhu Pandhita
luwih / wus kontas tanyah sabrang//
36. wiku dibya tanah Atasangin / datan roro amung Doraweca / marma kaki dane6 sareh
/ tan kena grusa-grusu / penet-pinat sangkaning aris / lah priye yayi arya / Setyaki
pikirmu / tur sembah dyan Wresniwira / bilih ambadhe sekar seng putrantaji / anak
mas kadipatyan // 6Versi naskah b menggunakan pupuh sinom, sehingga tidak dapat dibandingkan. Kata yang tepat yaitu Dene, ‘datang’ menurut Baoesastra Djawa (1939).
Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016
37. pinten botipun tiyang sawiji / mangsa dadak ngebahken jendhikan / Sang nata mesem
sabdane / yabener kabeh iku / nanging padha sabarna dhihin / mesti ki kang prayoga
/ yata sang aprabu / dereng dumugi genira / imbal sabda lan putri tuwin kang rayi /
satriya lesanpura//
38. nulya kasaru geger ing jawi / ingkang sami nangkil pangurakan / obah myang umung
swarane / tan dangu praptanipun / mantri jug-ajujug ki patih / wigati tur uninga /
kalamun sang prabu / Baladewa ing Madura / saha bala nanging muhung sawatawis
/ rawuh ing Dwarawatya//
39. mangke maksih kandheg Sri bupati / wonten sajawining pangurakan / ki patih myarsa
ature / gya maplek ngarseng prabu / minggah marang ing siti inggil / jujug ing
wurinira / ri sang narpa sunu / umatur saha tur sembah / dhuh pukulun luwi kangjeng
Sri Bupati / pun patik tur uninga//
40. bilih raka tuwan Sri Bupati / ing Madura sang Sri Baladewa / rawuh ing ngriki
samangke / kendel jawi lun alun / duk miyarsa sri Harimurti / mring ature kya patya /
nulya ngandika rum / marang putra radyan Samba / eh ta kula prakira papagen nuli /
kanthiya pamanira//
41. yayi arya telu lan si patih / tur sandika kang samya liningan / manembah trinulya
lengser / saking arsa sang prabu / mandhap saking ing siti inggil / alaju lampahira /
kang sami umethuk / tanda nguwus tundhuk samya / tri tur sembah mring prabu
Baladewaji / dyan Samba lontarira//
42. dhuh jeng uwa tuwan dipunaglis / nunten lajeng ngamring siti bentar / aywa
kadangon kendele / arinta rama prabu / langkung denya anganti-anti / rawuhipun
jeng uwa / Baladewa Prabu / angguguk sarwi ngandika / iya kulup ayo ta padha
lumaris / saksana samya budhal //
43. Sri Narendra Madura pan maksih / manggung gung genging wahananira / dirada
gede arane / puspa denta puniku / gajah mulus ulese putih / gria ta kadi janma / yata
tan winuwus / prapteng caket tratag rambat / wus pinethuk ing ari Sri Harimurti /
maha Prabu Madura//
44. tandya tedhak saking luhur esthi / sri narendra Kresna duk umiyat / maring kang raka
tedhake / gupuh sinander gapyuk / ngrangkul jajani reng rakaji / kaliyan rarangkulan
tan antara dangu / anulya sami lumampah / minggah maring siti bentar dwi sang aji /
kanthen gandengan asta//
Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016
5. Kesimpulan
Naskah SeratDoraweca merupakan naskah wayang. naskah ini dikelompokan
menjadi sastra wayang. Cerita Doraweca merupakan bagian dari Wayang Purwa.
TeksDoraweca bercerita tentang keinginan Resi Doraweca untuk memperistri Dewi
Sumbadra. Naskah tersebar di lima tempat penyimpanan naskah, korpus naskah berjumlah
empat belas yaitu: (1) Museum Sonobudoyo terdapat lima teks yang mengandung judul
Doraweca, semuanya ditulis menggunakan bahasa dan aksara jawa. (2) Mangkunagaran
memiliki dua teks yang mengandung judul Doraweca, kedua teks berbentuk lampahan
menggunakan Bahasa Jawa. (3) Museum Radya Pustaka dan Perpustakaan Harsonagara
memiliki empat naskah yang mengantung judul Doraweca, terdapat satu naskah berbentuk
lakon serta tiga naskah berbentuk lampahan. (4) Perpustakaan Universitas Indonesia memiliki
dua naskah yang menggunakan aksara dan bahasa Jawa, dua naskah tersebut merupakan teks
sastra wayang.
Tidak semua naskah dapat dijadikan objek penelitian, oleh karena itu hanya naskah
yang dibutuhkan sesuai kriteria yang telah ditentukan dapat dijadikan objek penelitian. Hasil
pemilihan teks objek penelitan sesuai metode kerja filologi diperoleh naskah Perpustakaan
Universitas Indonesia dengan judul Doraweca nomor koleksi KT 37 untuk disunting.
Teks Doraweca ini memiliki dua versi naskah, versi naskah yang pertama yaitu
naskah Perpustakaan Universitas Indonesia kode naskah CW 5 yang seversi dengan naskah
MSB dengan kode panggil SW 22 sedangkan versi yang disunting adalah naskah dengan
versi yang sedikit berbeda yaitu naskah KT 37 Perpustakaan Universitas Indonesia.
Perbedaan versi ketiga naskah tersebut terletak pada pupuh pertama teks, selanjutnya teks
memiliki pupuh yang sama. Secara garis besar kedua versi teks juga memiliki kesamaan
cerita.
Proses penyuntingan teks menggunakan asas penyuntingan edisi standar. Teks
dibingkai dengan pola persajakan Macapat. Naskah Teks Doraweca ini termasuk naskah
yang taat terhadap pola persajakan. Terdapat pengurangan maupun penambahan suku kata
untuk memenuhi guru wilangan dan pengubahan vokal kata untuk memenuhi guru lagu.
Dilihat dari hasil penyuntingan teks, banyaknya nama-nama dalam tokoh wayang masuk
dalam teks ini, keseluruhan tokoh merupakan bagian dari tokoh Wayang Purwa.
Hasil penelitian naskah Serat Doraweca ini jauh dari kata sempurna sehingga perlu
adanya penelitian lanjutan untuk meneliti naskah tersebut. Penelitian ini merupakan
peneilitian awal yang dapat digunakan untuk meneliti teks wayang yang menggambarkan
lakon Doraweca.
Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016
Daftar Pustaka
Balai Bahasa Yogyakarta. 2011. Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa). Yogyakarta: Kanisius.
Behrend, T.E. (ed), dkk. 1990. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Museum
Sonobudoyo Yogyakarta. Jakarta: Penerbit Djambatan.
___________________. 1994. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
___________________. 1994. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Keraton
Yogyakarta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
___________________. 1997. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara FSUI. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Boen S. Oemarjati. 1971. Bentuk Lakon Dalam Sastra Indonesia. Djakarta: PT. Gunung
Agung.
Darmoko. 1999. Wayang Bentuk Isi dan Nilainya. Depok: Fakultas Sastra UI.
Edi S. Ekadjati. 2000. Direktori Naskah Nusantara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Florida, Nancy K. 1993. Javanese Literature in Surakarta Manuscripts Vol. I. New York:
Cornell University Ithaca.
Hazeu, G.A.J. 1979. Kawruh Asal-Usulipun Ringgit Sarta Gegepokanipun Kaliyan Agami
Ing Jaman Kina.
Karsono H. Saputra. 2001. Sekar Macapat. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Karsono H. Saputra. 2008. Pengantar Filologi Jawa. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Ki Siswoharsojo. 1957. Pakem Makutarama. Ngajogyakarta: Jajasan Penerbit Pesat.
Ki Siswoharsojo. 1958. Pakem Padhalangan Lampahan Wahju Purbasedjati Dhapukan
gagrag Surakarta. Ngajogyakarta.
Pigeaud, Thedore G. 1967. Literature of Java. Volume I. The Hague: Martinus Nijhoff.
________________. 1968. Literature of Java. Volume II. The Hague: Martinus Nijhoff.
Robson, S. O. 1994. Prinsip-prinsip Filologi Indonesia. Jakarta: RUL.
Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016
Siti Baroroh Barried. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, P&K.
Sri Ratna Saktimulya. 2005. Katalog Naskah-naskah Perpustakaan Pura Pakualaman.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sudaryanto. 1991. Tata Bahasa Baku Bahasa – Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University
Press.
Titik Pudjiastuti. 2006. Naskah dan Studi Naskah. Bogor: Akademia.
WJS. Poerwadarminta. 1939. Baoesastra Djawa. Groningen, Batavia: JB Wolters’
Uitgevesrs-Maatschappij N.V.
Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016