SUNTINGAN TEKS SERAT DORAWECA

20
SUNTINGAN TEKS SERAT DORAWECA Eko Rohmanto Karsono H. Saputra Program Studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 64124, Indonesia E-Mail: [email protected] [email protected] Abstrak Penelitian filologi mengenai Serat Doraweca menghasilkan suntingan teks. Doraweca adalah nama lakon dalam pewayangan ringgit purwa. Teks Doraweca merupakan teks wayang yang dikategorikan sebagai sastra wayang, terdapat tiga naskah yang mengandung teks sastra wayang. Tiga naskah ini dikategorikan menjadi dua versi. Perbedaan antar kedua versi tersebut yaitu pada pupuh pertama, Pupuh pertama pada versi naskah “A” yaitu dhandhanggula, sedangkan pupuh pertama pada versi “B” yaitu sinom. Metode penyuntingan teks menggunakan metode landasan, sedangkan alih aksara dikerjakan dengan menggunakan edisi suntingan standar.Naskah Serat Doraweca ini taat akan asas persajakan macapat terlihat dari sedikitnya perbaikan pada naskah yang disunting. Pada skripsi ini terdapat ringkasan adegan dalam naskah. Kata kunci: Wayang, lakon wayang, filologi, naskah,macapat, Doraweca, pupuh, adegan, suntingan teks. Text Edits of Serat Doraweca Abstract In these philological research about Serat Doraweca, researcher makes an edited text from its content. Doraweca is the name of character in Javanese traditional puppetry, Ringgit Purwa. Doraweca itself classified as a puppetry literature. In its body text, there are three scripts classified as a puppetry literatures. There are two version of this scripts. The differences of both version can be identified from its first Pupuh. In “A” version of this scripts, the first pupuh is dhandhanggula. Whereas the first pupuh in “B” version is sinom. A comparative based method are used to editing text, while a standard editing method are used to letter-translate process.Serat Doraweca script obey the principle of macapat’s rhyme, proved by its minimum correction that researcher done for its edited text. In this thesis, researcher makes a synopsis for every scene in the script. Keywords :Puppet, puppet role, philology, script, macapat, Doraweca, pupuh, scene, edited text Pendahuluan Bangsa Indonesia memiliki tradisi lisan dan tulis yang sudah sangat lama. Bentuk- bentuk media dalam tradisi tulis sangat beragam, mulai dari batu, kulit kayu, kertas, dan berbagai media yang dapat digunakan untuk menulis. Salah satu kebudayaan yang memiliki tradisi tulis dan peninggalannya adalah Kebudayaan Jawa, berupa naskah. Naskah adalah kumpulan tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau (Siti Baroroh Baried, 1985:5). Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016

Transcript of SUNTINGAN TEKS SERAT DORAWECA

Page 1: SUNTINGAN TEKS SERAT DORAWECA

SUNTINGAN TEKS SERAT DORAWECA

Eko Rohmanto Karsono H. Saputra

Program Studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 64124, Indonesia

E-Mail: [email protected]

[email protected]

Abstrak

Penelitian filologi mengenai Serat Doraweca menghasilkan suntingan teks. Doraweca adalah nama lakon dalam pewayangan ringgit purwa. Teks Doraweca merupakan teks wayang yang dikategorikan sebagai sastra wayang, terdapat tiga naskah yang mengandung teks sastra wayang. Tiga naskah ini dikategorikan menjadi dua versi. Perbedaan antar kedua versi tersebut yaitu pada pupuh pertama, Pupuh pertama pada versi naskah “A” yaitu dhandhanggula, sedangkan pupuh pertama pada versi “B” yaitu sinom.

Metode penyuntingan teks menggunakan metode landasan, sedangkan alih aksara dikerjakan dengan menggunakan edisi suntingan standar.Naskah Serat Doraweca ini taat akan asas persajakan macapat terlihat dari sedikitnya perbaikan pada naskah yang disunting. Pada skripsi ini terdapat ringkasan adegan dalam naskah. Kata kunci: Wayang, lakon wayang, filologi, naskah,macapat, Doraweca, pupuh, adegan, suntingan teks.

 

Text Edits of Serat Doraweca

Abstract

In these philological research about Serat Doraweca, researcher makes an edited text from its content. Doraweca is the name of character in Javanese traditional puppetry, Ringgit Purwa. Doraweca itself classified as a puppetry literature. In its body text, there are three scripts classified as a puppetry literatures. There are two version of this scripts. The differences of both version can be identified from its first Pupuh. In “A” version of this scripts, the first pupuh is dhandhanggula. Whereas the first pupuh in “B” version is sinom.

A comparative based method are used to editing text, while a standard editing method are used to letter-translate process.Serat Doraweca script obey the principle of macapat’s rhyme, proved by its minimum correction that researcher done for its edited text. In this thesis, researcher makes a synopsis for every scene in the script. Keywords :Puppet, puppet role, philology, script, macapat, Doraweca, pupuh, scene, edited text

Pendahuluan

Bangsa Indonesia memiliki tradisi lisan dan tulis yang sudah sangat lama. Bentuk-

bentuk media dalam tradisi tulis sangat beragam, mulai dari batu, kulit kayu, kertas, dan

berbagai media yang dapat digunakan untuk menulis. Salah satu kebudayaan yang memiliki

tradisi tulis dan peninggalannya adalah Kebudayaan Jawa, berupa naskah. Naskah adalah

kumpulan tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai

hasil budaya bangsa masa lampau (Siti Baroroh Baried, 1985:5).

Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016

Page 2: SUNTINGAN TEKS SERAT DORAWECA

Teks merupakan isi dari kandungan naskah. Teks Jawa dalam pengelompokan

Behrend (1995) terdiri dari teks agama (Hindu-Bali), bahasa dan leksikografi, cerita historis,

cerita bercorak Islam, cerita kepahlawanan, cerita santri lelana, cerita Tiong Hoa, cerita

wayang, hukum dan undang-undang, Al-Quran dan teks-teks islam, keris-kerajinan-

keterampilan, legenda setempat, primbon dan pawukon, piwulang-suluk-teks didaktik, sejarah

dan babad, silsilah, seni suara dan musik, seni tari dan pertunjukan rakyat, upacara dan adat

istiadat rakyat, serta pewayangan dan padhalangan. Teks pewayangan merupakan salah satu

teks yang sampai saat ini masih disukai oleh masyakarat Jawa.

Kata wayang (Bahasa Jawa) bervariasi dengan kata bayang, yang berarti bayangan.

Hazeu (1979:50-51) mengatakan bahwa wayang dalam kata/bahasa Jawa berarti bayangan,

dalam bahasa Melayu. Bayang-bayang, yang artinya, bayangan, samar-samar, remang-

remang, menerawang, dalam bahasa Aceh, bayeng, artinya bayangan, serta dalam bahasa

Bugis bayang atau wayang.Apabila ditelusuri secara diakronis, maka cerita dan lakon

wayang tidak dapat dipisahkan dari karya sastra wayang. Tokoh-tokoh wayang yang sekarang

dikenal tidak terlepas dari epos tanah Hindi (India), seperti Ramayana dan Mahabarata

(Darmoko, 1999:7).

Teks wayang yang sedemikian banyaknya dapat dikategorikan menjadi tiga jenis,

yaitu: 1. Lakon wayang, 2. Balungan, 3. Sastra wayang. Lakon wayang dalam khasanah

pewayangan lebih menitikberatkan pada konteks dialog dalam suatu cerita. Menilik Pakem

Padhalangan Lampahan Wahju Purbasedjati (1958), wayang lebih digambarkan dalam

dialog-dialog antarlakon, dialog lebih ditonjolkan untuk menjelaskan berbagai makna tersirat

serta tersurat. Penggambaran pakem pedalangan yang dijelaskan sebelumnya, lakon disoroti

sebagai karya yang khas, yaitu percakapan/dialog (Boen S. Oemarjati, 1971:61).

Balungan dalam teks wayang merupakan gambaran ringkas suatu cerita. Balungan

biasanya hanya memuat ringkasan-ringakasan cerita dalam suatu lakon wayang pada teks

lain, biasanya hanya tertulis jalan cerita. Teks Balungan wayang dapat pula terdiri dari

beberapa kumpulan cerita wayang ringkas yang dipadukan menjadi satu (Darmoko, 1999:61).

Sastra wayang lebih menitikberatkan kepada unsur cerita, terdapat dialog dalam suatu

teks tetapi tidak melulu keseluruhan teks terdiri dari dialog antartokoh. Terdapat

penggambaran umum cerita serta banyak unsur intrinsik yang tidak hanya terdapat pada

dialog semata. Sastra wayang yaitu bentuk (karya) sastra yang berisi cerita mengenai wayang

(Darmoko, 1999:24).

Wayang memiliki banyak jenis, salah satu jenisnya adalah wayang purwa.

Penggambaran wayang purwa yaitu jenis pertunjukan wayang yang menyajikan lakon berasal

Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016

Page 3: SUNTINGAN TEKS SERAT DORAWECA

dari mitos permulaan zaman, awal adanya dewa-dewa, raksasa dan manusia, masa Wisrawa

dengan Sastrajendra-nya, masa prabu Arjunasasrabau, Ramayana dan Mahabarata

(Darmoko, 1999:56). Lakon-lakon dalam wayang purwa tersebut memiliki banyak sekali

jumlahnya, salah satunya lakon tersebut adalah Doraweca.

Cerita yang terkandung dalam naskahberjudul Dorawecaberisi kisah Resi Doraweca

yang ingin memperistri Dewi Sumbadra setelah mengetahui Arjuna menghilang dari

Dwarawati. Srikandi, Abimanyu, dan para punakawan pergi mencari Arjuna. Ternyata

Arjuna pergi ke pertapaan Bagawan Anoman di gunung Kendhali Suda. Anoman menyuruh

Arjuna untuk kembali ke Dwarawati. Dalam perjalanan pulangnya, Arjuna menyamar

menjadi bagawan Sidikmulya dan bertemu Srikandi. Resi Doraweca menyerang Dwarawati

dan bertempur dengan Arjuna, ketika terkena panah Arjuna, Doraweca berubah wujud

menjadi Sang Hyang Guru. Hyang Guru memberi wejangan kepada Arjuna untuk tidak pergi

terlalu lama.

Cerita Doraweca yang merupakan bagian dari cerita wayang, tentunya masuk ke

dalam salah satu bagian dari ketiga unsur pembagian teks wayang. Teks Doraweca

merupakan bagian dari sastra wayang bila dilihat dari karakteristik sastra wayang yang

memiliki unsur tembang, lakon, serta penjabaran cerita. Di beberapa naskah juga terdapat

judul Doraweca yang dikategorikan sebagai balungan cerita Doraweca, tetapi terdapat juga

teks yang akan dijadikan bahan penelitian merupakan teks yang merupakan bagian dari sastra

wayang.

Metode penelitian

Penelitian ini menggunakan metode landasan. Metode landasan bertolak pada

argumen bahwa ada satu versi yang dianggap unggul di antara teks-teks seversi dan ada satu

varian atau redaksi yang dianggap unggul di antara redaksi-redaksi dalam versi bersangkutan

(Karsono H. Saputra, 2008:105).

Langkah kerja penelitian mengikuti langkah kerja filologi, sebagaimana dijelaskan

oleh Karsono H. Saputra (2008:104). Langkah kerja meliputi: 1. Inventarisasi naskah, 2.

Deskripsi naskah, 3. Eliminasi naskah, 4. Alih aksara disertai Kritik Teks. Inventarisasi

adalah mengumpulkan informasi mengenai keberadaan naskah-naskah teks sekorpus.

Naskah-naskah yang mengandung teks sekorpus secara sederhana berarti naskah-naskah yang

mengandung teks sejudul, yang kadang-kadang tercantum pada sampul naskah dan/atau di

kelopak depan naskah.

Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016

Page 4: SUNTINGAN TEKS SERAT DORAWECA

Langkah kerja filologi selanjutnya adalah deskripsi naskah. Deskripsi naskah berarti

penyajian informasi mengenai fisik naskah-naskah yang menjadi objek penelitan.

Pendeskripsian naskah digunakan untuk menginformasikan secara mendetail, rinci dan

menggabungkan berbagai macam aspek, sehingga informasi yang didapat tersampaikan

dengan baik. Hal yang perlu dideskripsikan ditambah ringkasan cerita dan catatan lain berikut

penjelasan singkat, meliputi judul naskah, tempat penyimpanan naskah, nomor naskah,

ukuran halaman, jumlah halaman, jumlah baris, panjang baris, huruf, bahasa, kertas, cap

kertas, chain lain ‘garis tebal’ dan laid line ‘garis tipis’, kuras, garis panduan, pengarang-

penyalin-tempat dan tanggal penyalinan, keadaan naskah, pemilik naskah, serta gambar dan

ilustrasi.

Langkah kerja setelah deskrispi naskah adalah eliminasi teks Doraweca. Eliminasi

naskah merupakan salah satu langkah kerja filologi, proses eliminasi yaitu “pencoretan”

naskah dari daftar naskah-naskah yang akan diteliti karena berbagai alasan. Alasan

“pencoretan” seperti kondisi fisik naskah, keterbacaan, dan kandungan isi teks. Naskah yang

memiliki kondisi fisik yang baik sehingga dapat dikeluarkan dari tempat peletakan naskah,

serta teks yang terkandung dapat dibaca dengan jelaslah yang dapat dipilih.

Langkah kerja yang terakhir adalah alih aksara disertai dengan kritik teks Serat

Doraweca. Kritik teks adalah catatan mengenai teks yang dialihakasarakan. Catatan berupa

emendasi, bagian teks yang hilang atau rusak, metrum dan kata-kata yang sulit dibaca

dilakukan dengan berdasarkan pengetahuan, kemampuan dan pengalaman yang dimiliki

peneliti. Alih aksara menggunakan edisi standar.Edisi standar yaitu mengalihkan bentuk-

bentuk aksara dalam naskah ke bentuk-bentuk aksara yang berlaku saat ini serta mengalihkan

tanda baca beserta sistem naskah ke tanda baca beserta sistem aksara yang dituju. (Karsono

H. Saputra, 2008:98). Alih aksara berpedoman pada ejaan bahasa Jawa yang disempurnakan

serta disesuaikan dengan sistem ejaan yang terdapat pada naskah.

Hasil Penelitian

1. Inventarisasi Naskah

Terdapat 14 judul Doraweca yang ada dalam naskah, masing-masing naskah yang

berjudul Doraweca disimpan di berbagai tempat koleksi naskah, yaitu:

Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016

Page 5: SUNTINGAN TEKS SERAT DORAWECA

a. Museum Sonobudoyo, yang biasa disingkat MSB, terdapat lima judul yang

mencantumkan Doraweca ke dalam isi teks tersebut. Naskah pertama yaitu Pakem

Ringgit Purwa: Lampahan Doraweca (SW 22), naskah kedua yaitu Pakem Ringgit

Purwa, Madya, Wasanadengan (W 28), naskah ketiga yaitu Pakem Ringgit Purwa (4

lampahan) (W 36) lakon Doraweca terdapat dalam salah satu lampahan tersebut,

naskah keempat Pakem Ringgit Purwa (34 lampahan) (W 97) lakon Doraweca

terdapat dalam salah satu lampahan tersebut, naskah kelima yaitu Pakem Ringgit

Tiyang (19 lampahan) (W 41) lakon Doraweca termasuk dalam lampahan tersebut.

b. Keraton Mangkunagaran (Surakarta) dalam katalog Javanese manuscript in

Surakarta, memiliki dua judul dalam teks, yaitu Lampahan Doraweca (MN 426.27)

serta Lampahan Doraweca (MN 436.28).

c. Perpustakaan Surakarta dan Yogyakarta / Javanesse Manuscript Surakarta and

Yogyakarta (JMSY) memiliki empat naskah yang mengandung judul Doraweca, yaitu

Lampahan Ringgit Purwa di dalamnya terdapat lampahanDoraweca (20579 D83),

Pakem Ringgit Purwa terdapat cerita Doraweca (60710 PB C7), lakon Doraweca

(60625 PB C 133), Serat Pakem Lampahan Ringgit Tiyang (66635 PB A 49).

d. Museum Radya Pustaka dan Perpustakaan Harsonagara Memiliki satu judul yang

mencantumkan nama Doraweca (RP 250C. 1 59).

e. Perputakaan Pusat Universitas Indonesia (dahulu terdapat di Perpustakaan Fakultas

Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia disebut FIB UI) memiliki dua judul

naskah yaitu Serat Doraweca (NR 267) dan Doraweca (KT 37).

2. Pemilihan Naskah Suntingan

Terdapat tiga judul cerita Doraweca yaitu naskah A, naskah B dan naskah C. Ketiga

naskah yang mengandung teks Doraweca perlu dieliminasi sehingga diambil 1 teks yang

layak untuk disunting. Proses eliminasi menggunakan metode perbandingan isi teks karena

kemiripan yang ada pada ketiga teks tersebut. Perbandingan isi teks terdiri dari perbandingan

pupuh, perbandingan jumlah pada dalam satu pupuh maupun perbandingan cerita. Dalam

karya sastra Jawa, suatu karya sastra yang berupa puisi memiliki pupuh (bab) dalam

membentuk satu pola metrum. Pembagian pupuh pada ketiga teks tersebut:

Tabel 2.3 Perbandingan Pupuh serta Perbandingan Jumlah Pada

Nama pupuh

Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016

Page 6: SUNTINGAN TEKS SERAT DORAWECA

No pupuh (Naskah A)

(Versi B)

(Naskah B)

(Versi A)

(Naskah C)

(Versi B)

1 Sinom

(34 pada)

Dhandanggula

( 44 pada)

Sinom

(34 pada)

2 Kinanthi

(55 pada)

Kinanthi

(55 pada)

Kinanthi

(55 pada)

3 Pangkur

(46 pada)

Pangkur

(46 pada)

Pangkur

(46 pada)

4 Gambuh

(54 pada)

Gambuh

(54 pada)

Gambuh

(54 pada)

5 Pucung

(53 pada)

Pucung

(53 pada)

Pucung

(53 pada)

6 Durma

(57 pada)

Durma

(57 pada)

Durma

(57 pada)

7 Pangkur

(50 pada)

Pangkur

(50 pada)

Pangkur

(50 pada)

8 Megatruh

(40 pada)

Megatruh

(40 pada)

Megatruh

(40 pada)

9 Asmarandhana

(45 pada)

Asmarandhana

(45 pada)

Asmarandhana

(45 pada)

10 Dhandanggula

(29 pada)

Dhandanggula

(29 pada)

Dhandanggula

(29 pada)

11 Gambuh

(38 pada)

Gambuh

(38 pada)

Gambuh

(38 pada)

12 Pangkur

(43 pada)

Pangkur

(43 pada)

Pangkur

(43 pada)

13 Kinanthi

(40 pada)

Kinanthi

(40 pada)

Kinanthi

(40 pada)

14 Maskumambang

(34 pada)

Maskumambang

(34 pada)

Maskumambang

(34 pada)

15 Mijil

(33 pada)

Mijil

(33 pada)

Mijil

(33 pada)

16 Gambuh Gambuh Gambuh

Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016

Page 7: SUNTINGAN TEKS SERAT DORAWECA

(18 pada) (18 pada) (18 pada)

17 Sinom

(32 pada)

Sinom

(32 pada)

Sinom

(32 pada)

18 Pangkur

(33 pada)

Pangkur

(33 pada)

Pangkur

(33 pada)

19 Asmarandhana

(37 pada)

Asmarandhana

(38 pada)

Asmarandhana

(37 pada)

20 Dhandanggula

(9 pada)

Dhandanggula

(9 pada)

Dhandanggula

(9 pada)

Dilihat dari jumlah pupuh dan nama pupuh, perbedaan ketiga teks tersebut terdapat pada

pupuh pertama, dimana naskah A dan naskah C menggunakan Sinom, sedangkan naskah B

menggunakan dhandanggula. Naskah A dan C peneliti anggap sebagai 1 versi naskah karena

kemiripan dari segi jumlah pupuh maupun nama pupuh. Naskah B adalah versi yang berbeda

dari naskah A dan C.

Perbandingan isi cerita antara naskah A, B dan C:

Pada pupuh pertama naskah A dan C dengan pupuh sinom yaitu:

Naskah A:

// Niantya winurweng sekar / wigatine kang sun rakit / yen gebyarken caritanya /

ringgit purwa kang den anggit / yeku kang den wastani / Doraweca lakonipun / cetha

ingkang jejernya / mongka bubukaning nagri / Dwarawati kang kocap kariyinira //

Naskah C:

// Niantya winurweng sekar / wigatine kang sun rakit / yen gebyarken caritanya /

ringgit purwa kang den anggit / yeku kang den wastani / Doraweca lakonipun / cetha

ingkang jejernya / mongka bubukaning nagri / Dwarawati kang kocap kariyinira //

Terjemahan:

Disampaikan melalui lagu yang diharuskan untuk dirangkai jika ingin

menyemarakkan cerita, terdapat dalam cerita ringgit purwa yang dinamai dengan lakon

Doraweca, jelas dalam pembukaan negara yang terucap adalah negara Dwarawati.

Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016

Page 8: SUNTINGAN TEKS SERAT DORAWECA

Naskah B

// Mardyeng gita raras madu manis / manindityas den ayun mangripta / tan met

kotaman mashure / mung harda sedyeng kalbu / ngemba kartyeng sarjana luwih /

kang wasis subyakten tyas / tanwrin parlunya mung / gege minta cedeng liyan /

ngayawara ngarang pindha pujangga di / kang nedya ulah sastra //

Terjemahan:

Terdapat sebuah kata yang indah, yang dibuat dalam kota yang mashur, terdapat banyak

sarjana yang pintar untung merangkai sebuah kata layaknya pujangga, sehingga

menghasilkan sebuah karya sastra.

Pada pupuh kedua naskah A, B dan C dengan Pupuh Kinanthi memiliki kesamaan, yaitu:

Naskah A:

// Datan dangu lampahipun / narendra prapteng sitinggil / Dyan Samba lan

Wresniwira / tumutur minggah prasami / amung ki Patih Udawa / wangsul

magelaran malih//

Naskah B:

// Datan dangu lampahipun / narendra prapteng sitinggil / Dyan Samba lan

Wresniwira / tumutur minggah prasami / amung ki Patih Udawa / wangsul

magelaran malih//

Naskah C:

// Datan dangu lampahipun / narendra prapteng sitinggil / Dyan Samba lan

Wresniwira / tumutur minggah prasami / amung ki Patih Udawa / wangsul

magelaran malih//

Terjemahan:

datang dengan berjalan tanpa suara yaitu raja yang utama disertai putri Samba dan

Wresniwira, mereka duduk bersama, namun ki patih udawa malah pergi.

Pada pupuh keenam naskah A, B dan C dengan Pupuh Durma:

Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016

Page 9: SUNTINGAN TEKS SERAT DORAWECA

Naskah A:

// Lon manabda ditya kala Reksangkara / reh adhi: klanthang mimis / paran

rembugira / ingutus sri narendra dhinawihan mamanuki / jeng sang bagawan / kang

maring Dwarawati //

Naskah B:

// Lon manabda ditya kala Reksangkara / reh adhi: klanthang mimis / paran

rembugira / ingutus sri narendra dhinawihan mamanuki / jeng sang bagawan / kang

maring Dwarawati //

Naskah C:

// Lon manabda ditya kala Reksangkara / reh adhi: klanthang mimis / paran

rembugira / ingutus sri narendra dhinawihan mamanuki / jeng sang bagawan / kang

maring Dwarawati //

Terjemahan:

Berkata pelan raksasa Reksangkara, “hai klanthang mimis, sebaiknya kita berbicara

karena saya diutus oleh sang raja serta sang bagawan untuk kembali ke Dwarawati”

Ketiga naskah yang mengandung teks Doraweca secara garis besar memiliki

kesamaan cerita, perbedaan hanya terdapat pada pupuh pertama naskah A dan naskah C

menggunakan pupuh sinom sedangkan naskah B menggunakan pupuh dhandhanggula.

Naskah A dikategorikan sebagai nasakah dengan versi yang sama dengan naskah C, naskah B

merupakan versi yang berbeda dengan kedua naskah tersebut.

Versi naskah A pada awal tulisan dapat terbaca, namun lama kelamaan tulisan naskah

sulit terbaca. Naskah C yang seversi dengan naskah A memiliki tulisan yang dapat dibaca

dengan jelas, namun tidak dapat diambil data digitalnya dengan berbagai macam alasan.

Terdapat kesulitan yang terdapat pada naskah A dan naskah C, kedua naskah tidak dijadikan

bahan penyuntingan.

Mengacu pada metode Landasan, versi naskah B dijadikan acuan untuk penelitian

karena naskah B memiliki tulisan yang jelas dan terbaca hingga akhir cerita. Keunikan pupuh

pertama juga dijadikan sebagai landasan karena pupuh yang dimiliki naskah B adalah

dhandanggula, walaupun berbeda versi, isi cerita secara garis besar sama. Selain itu, naskah

B juga terdapat buku cetak beraksara Jawa terbitan tahun 1925 karangan Raden Mas Panji

Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016

Page 10: SUNTINGAN TEKS SERAT DORAWECA

Harjasuparta yang digunakan hanya sebagai pembantu untuk penyuntingan naskah B.

Penggunaan buku cetak dimaksudkan untuk membandingan beberapa aksara Jawa yang tidak

terbaca karena pudar.

3. Pertanggungjawaban Alih Aksara

Alih aksara merupakan proses pemindahan satu tulisan ke tulisan lain. Penyajian alih

aksara dapat saja tidak dimengerti oleh pembaca tanpa ada penejelasan yang luas (Robson,

1994:12-24). Proses pemindahan suatu teks ditujukan untuk menyajikan teks yang dapat

dimengerti oleh pembaca, tidak hanya pada proses pemindahan, namun alih aksara lebih

ditujukan pada penggunaan tata bahasa yang ada pada masyarakat pembaca.

Peneliti menggunakan edisi standar dalam pengalihaksaraan naskah Serat Doraweca.

Edisi standar merupakan proses mengalihkan sistem kode pada suatu teks ke dalam sistem

kode yang berlaku pada masyarakat kini (Siti Baroroh Baried, 1985:69), yaitu sistem kode

menggunakan aksara latin. Dalam mengalihaksarakan naskah Doraweca ke dalam aksara

latin menggunakan pedoman penulisan sebagai berikut:

1. Penulisan kata mengacu pada kamus Baoesastra Djawa yang dibuat Poerwadarminta

(1939) dan kamus Bausastra Jawa yang disusun Balai Bahasa Yogyakarta (2008).

2. Tata Bahasa Jawa menggunakan buku Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa karangan

Sudaryanto.

3. Pedoman prosodi tembang menggunakan buku Sekar Macapat karangan Karsono H.

Saputra.

4. Tanda yang digunakan pada suntingan teks:

a. Penomoran pupuh menggunakan angka romawi

b. Penanda akhir bait menggunakan tanda baca: //

c. Pembatas antarlarik nenggunakan tanda baca: /

d. Angka arab pada awal baris merupakan penanda awal bait dalam satu pupuh.

e. Tanda (-1) (-2) merupakan penanda terdapatnya kekurangan jumlah guruwilangan

dalam satu larik. Angka dalam tanda menunjukan jumlah suku kata yang kurang.

f. Tanda (+1) (+2) merupakan penanda terdapatnya kelebihan jumlah guruwilangan

dalam satu larik. Angka dalam tanda menunjukan jumlah suku kata yang lebih.

g. Tanda hubung [ - ] untuk penulisan kata yang mengandung reduplikasi.

5. Vokal

Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016

Page 11: SUNTINGAN TEKS SERAT DORAWECA

EYD bahasa Jawa yang terdapat dalam naskah Serat Doraweca terdapat enam bunyi

vokal, yaitu /a/, /i/, /u/, /e/, /ê/, /o/, namun pada proses alih aksara menggunakan edisi

standar, vokal /é/, /è/ dan /ê/ ditulis menggunakan vokal yang sama yaitu /e/.

6. Konsonan

Terdapat dua puluh macam konsonan bahasa Jawa. Seluruh konsonan dalam naskah

Serat Doraweca ditulis sesuai dengan EYD bahasa Jawa.

7. Huruf kapital

Aksara Jawa mengenal istilah aksara murda sebagi penggambaran huruf kapital,

aksara murda yang terdapat dalam aksara Jawa adalah /na/, /ka/, /ta/, /sa/, /pa/, /nya/,

/ga/, /ba/. Aksara murda dalam Serat Doraweca sebagai penggambaran nama suatu

lakon, nama tokoh serta nama tempat ditulis menggunakan huruf kapital.

8. Sastra Lampah

Sastra lampah adalah cara penulisan Aksara Jawa yang tulisannya mengikuti bunyi

pengucapan untuk memudahkan pembacaan, vokal yang diucapkan mengikuti

konsonan akhir dari kata sebelumnya (Padmosoekotjo, 1967:68). Contoh

sastralampah pada teks Serat Doraweca:

$=z %]*usangaprabu dialhaksarakan menjadi sang aprabu1

s=zjisangaji dialihaksarakan menjadi sang aji

zlunlun\ngalunalun dialihaksarakan menjadi ngalnu-alun

9. Perangkapan Huruf

Huruf dalam aksara Jawa dalam penulisan ada beberapa yang ditulis ganda, sehingga

perlu disesuaikan dengan EYD bahasa Jawa. Huruf rangkap berbeda dengan

sastralampah, pada huruf rangkap terdapat dalam satu kata sedangkan sastralampah

terdapat dalam dua kata. Contoh perangkapan huruf:

puniNkupunniku dialihaksarakan menjadi puniku [solh[asolahhe dialihaksarakan menjadi solahe

Contoh perangkap huruf pada fonem sedaerah artikulasi:

[avJi=enyjing dialihaksarakan menjadi enjing

                                                                                                                         1Huruf hanacaraka yang digunakan untuk menulis font hanacaraka diunduh dari http://www.jawapalace.org/honocoroko.html

Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016

Page 12: SUNTINGAN TEKS SERAT DORAWECA

10. Metrum Tembang

Teks Doraweca berbentuk macapat. Macapat merupakan suatu bentuk puisi yang

menggunakan bahasa Jawa baru, penulisan macapat terikat oleh aturan persajakan,

pola tersebut terdiri dari guru gatra2, guru wilangan3 dan guru lagu4. Proses jenis pola

persajakan (pupuh) mempengaruhi penggunaan guru gatra, guru wilangan dan guru

lagu (Karsono H. Saputra, 2001:12-26). Penyuntingan teks Doraweca mengikuti pola

penulisan metrum pada umumnya.

11. Emendasi

Perbaikan bacaan dengan penambahan catatan. Penambahan catatan menggunakan catatan kaki untuk kata yang tidak memiliki arti serta penggunaan tanda (...) untuk menggambarkan aksara yang tidak dapat terbaca.

4. Alih Aksara dan Suntingan Teks

Berikut disajikan pupuh pertama hasil suntingan teks naskah SeratDoraweca, yang disertai dengan perbaikan metrum dan bacaan.

Pupuh 1 (Dhandanggula)

1. Mardyeng gita raras madu manis / manindityas den ayun mangripta / tan met

kotaman mashure / mung harda sedyeng kalbu / ngemba kartyeng sarjana luwih /

kang wasis subyakteng5 tyas / tanwrin parlunya mung / gege minta cedeng liyan /

ngayawara ngarang pindha pujangga di / kang nedya ulah sastra //

2. tanpa ngrasa ngeseman sasami / saking taksih tuna saniskara / ukara ruwet

gandhenge / kaukit thaling tembung / panulise datan titis / reh tanpa prama sastra /

tambuh kang tinurut / mung manut penempanira / marma dahat kuciwa tan paja

mirib / lan para kawiradya //

3. amung lowung karya nengneng pikir / kehning guyu tan kapisan ana / kembang boreh

upamane / ngong sandhi wur wur sembur / barkahana myang murakabi / mring tyas

                                                                                                                         2Guru gatra adalah jumlah gatra ‘baris’ dalam setiap pada ‘baris’. 3Guru wilangan adalah jumlah wanda’suku kata’ tiap gatra sesuai kedudukan gatra pada pada. 4Guru lagu atau dhong-dhing atau rima akhir gatra sesuai kedudukan gatra dalam pada. 5Subaktyeng, ‘sungkem kepada’ . naskah versi b berbeda pupuh pertama dengan naskah versi a sehingga tidak dapat dibandingkan.

Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016

Page 13: SUNTINGAN TEKS SERAT DORAWECA

kang dahat alap / nirna kentar wilun / temah guna sambegana / ngirib-irib pra

pramudyeng pra maniti / patitis tyas kratarta//

4. nihan ta kang pinurwakeng kawi / wigatine kang mangun gitaya / yun gancarken

caritane / ringgit purwa ginelung / yeku ingkang dipunwastaning / lampahan

Doraweca / deta jejeripun mangka bubukaning kata (+1) / radyeng Dwarawati kang

kocap kariyin / nagri tata raharja//

5. gemah ripah miwah loh jinawi / murah sagung busana baksan(-1) / marma wong

sapraja kabeh / tentrem tyasnya kalangkung / noranana laku durniti / reh mirah

sandhang tedha / wong dagang aselur / prapta saking manca praja / saben dina tan

kendhat lir banyu mili / lumebeng Dwarawatya //

6. malah agung sudagar len nagri / samya katrem wismeng Dwarawatya / tan bali

maring prajane / boyong sawarganipun / milih praja ing Dwarawati / saya rame

raharja / ajogan wongipun / kang saking tanah ing liyan / yata ingkang jumeneng ing

Dwarawati / Narendra Binathara//

7. apeparab Prabu Harimurthi / padmanaba ya Sang Danangdana / nata Kresna

jujuluke / yeku panjanmanipun / Hyang Keshawaya Wisnumurthi / jawatha

ngejawantah / paningale terus / weruhsadurung winarah / osiking rat sang nata wus

amikani / tuhu Wisnu Bathara//

8. tyas silarja ing reh pramaniti / bek budya yupara martotama / asih maring sasamane

/ berbudi danan agung / ing ri ratri tansah kumintir / kadi entar ing tirta / dananya

sang prabu / maring wadya sanagara / tumrah luber ngeberi mring kawula lit /

sapraja kawaratan //

9. mila sagung wong ing Dwarawati / ajrih asih maring gusthinira / denya gung

parimarmane / myang tansah danartayu / yayah kadi surya tumiling / madhangi

sabuwana / jurang siluk siluk / kasongan cahyeng raditya / yeku mangka pindha ing

Sri Harimurti / denya mong mengku praja //

10. ageng alit kawuleng nagari / kasamadan de sunaring surya / yeku Narendra kucape /

tuhu lamun pinunjul / kota maning Danardanaji / sami tratag kuciwa / dera yun

mamayu / rahayunireng kanang rat / kongsi kontap kuncara liyan nagari / lir ratus

babar gondhang //

11. arum arum katiyub ing angin / temah abra ngebeki buwana / singa kapanduk

gandane / kapilut kapilayu / nedya ngruruh doning ganda mrik / marma keh para

nata / mancapraja suyut / sayuk nguncupaken asta / datan mawi sarana pinukul jurit /

jatine mung kinarya //

Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016

Page 14: SUNTINGAN TEKS SERAT DORAWECA

12. lalantaran denyarsa ngabekti / mring narendratama sadu dibya / wicaksana lus

ambeke / kongas kumala merdhu / widagda ring ulah semadi / tan kewran kridhaning

rat / bawana kacakup / cakep limpat pasang cipta / putusing reh patrap pamoring

dewadi / patitis kasunyatan //

13. de pranata kang wus suyut sami / panganggepe mring Sri Danardana / dudu mitra

sajatine / liningga Jawata gung / sungkemira nrusa ing batin / tangeh lamun

kinandha / kaluhuranipun / narendradi Dwarawatya / deta garwanira kanjeng sri

bupati / katri samyang yuhendah //

14. ingkang sepuh Retna Jembawati / saking wukir ing Gadamana / Etma janireng wiku

wre / Jembawana wastanipun / patutan ing garwa sang putri / retna Dewi Trijatha /

putranta sang prabu / Wibisana ing Alengka / dene garwa panengah Dewi Rukmini /

putri adi Kumbina //

15. deta garwa pamungkas winarni / apeparab dewi Setyaboma / Atmajani reng pamase /

Ugrasena sang prabu / narendra di ing Lesanpuri / garwa ingkang pamadya / lan

pamungkasipun / dwi samya kadang nak sanak / lan narendra yata ing dina respati /

nata miyos sinewa(ka) //

16. munggeng baletana ing sitinggil / apratisdheng dhampar mas sinotya / wurindra keh

pangayape / manggung miwah ketanggung / tuwin ingkang badhaya srimpi / emban

parekan inya / samya ayu-ayu / rinengga dening busana / yeku ingkang ngampil

pacareng narpati / lar badhane ring kanan //

17. akeh dalang miwah sawunggaling / datan kadi kang hardawalika / mas tinatur inten

kabeh / pating pancorot mancur / ngasoraken gebyaring rawi / deta kang munggeng

arsa / putranta sang prabu / satriya Paranggaruda / yeku putra kang ginadhang

madeg aji / para praha dyan Somba//

18. patutan sing Retna Jembawati / warna bagus tuhu kasembadan / lir parada pamulune

/ pidek sadedegipun / sarwa kanthet lan sarwa wing-wing / parigel tandangira /

sasolahe patut / baranya wangun lanyapan / dadya kondanging kidung prakenya di /

tuwa nom keh kasmaran//

19. ngayam-ayam kapencut nyethi / marang wau sang narpa atmaja / saya yen nuju

mangsane / atmajendra puniku / sowan nangkil ing rama aji / wanodya sajro pura /

mahaya gumrubyug / rebut kuwung pinggir marga / kang kamargan dera ri sang raja

siwi / saking ing kadipatyan//

20. jejel riyel samya rebut ngarsi / kang tinonton saya langak-langak / mundhak rong

palwi ragane / dhasare pancen besus / ngumbar kunca nyapuni siti / ngogleng

Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016

Page 15: SUNTINGAN TEKS SERAT DORAWECA

wangkinganira / tinaretes murub / lembeyanya asta kanan / seblak-seblak angasta

sap asta wilis / pinethit pucuk ira//

21. de kang pucuk sisih den pasangi / sogok waos kancana di mulya / pating krandhil

mainane / de asta keringipun / nyangking ganten kang ganten wangi / ginanten urut

marga / lawan nyamuk-nyamuk / lathi tansah jineweran / esemu cuwa lathi tinon

kirang abrit / jatine mung wiraga//

22. ngagem boreh: boreh burat wangi / busanane siniram sadaya / dening rum-aruming

kang we / jinebat myang rinatus / ingukupan kang sarwa sari / sumrik-sumrik

gandanya / mila rajasunu / ngambar tan pae prayangan / marga-marga kang mentas

dipunmargani / ring sang raja pinutra//

23. mung nak maksih tilar gonda wangi / ananangi tyas ing para kenya / kang samya

nandhang wirage / kasmaran wring sang bagus / sru kagagas sajroning ati / duh

mendahane baya / kang jengguti iku / yen ngrabo seng jroning tilam / luwih wasis

parigel luwes terampil / begjane kangge narpa//

24. lah ta sapa tan lamlamen meksi / mring solahe jeng Atma Iswara / siwong ngregas

amba lancer / deta yen lampahipun / sampun parek ngarseng ramaji / ngrepepeh

mendhak-mendhak / miwah kampuhipun / kadi garudha kirap lar / yen wus prapta

pan anggahan sreg alinggih / mabukuh silanira//

25. yekti tangeh sinandra ing tulis / sulistyaning warnanta dyan Samba / satriya ing

kadipaten / tuhu lamun binagus / deta jajaripun alinggih / Wresnindra sang nararya /

Setyaki gul-agul / manggala tanggulang ing prang / wus kasusra babanteng ing

Dwarawati / satriya lesan pura//

26. para ripu dibya miris giris / myat kadibyaning Sang Wresniwira / ing aprang pilih

bobote / tuhu dadya pikukuh / suhing praja ing Dwarawati / deta kang magelaran /

kuluning wadya gung / sira ki patih Udawa / yeku ingkang asta pusaran ing nagri /

tetunggul pangreh praja //

27. kukum ngadilira sri bupati / kasrah maring ki patih Udawa / narendra diwarangkane

/ putus pratameng laku / lalabetanira utami / taman ngegungken angga / sabar reh

ing wuwus / waskitha sih ing sasama / panganggepe marang wewengkone sami /

sirna mong kulawarga//

28. gedhe cilik punggawa myang mantri / sumawana prapteng ulubalang / rinaketan

pinetyase / rinoban ing sabdarum / mili sagung wadya sanagri / samya geng sih

tresnanya / mring sang manindya gung / denya gung menaki ing tyas / saben dina

tansah misuh keng wadya lit / tanapi gung gaganjar//

Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016

Page 16: SUNTINGAN TEKS SERAT DORAWECA

29. marma dahat sihnya sri bupati / mring kyat patih lir kinadang-kadang / dhasar pantes

lan wandane / jarot prakoseng pupuh / pamulu bang nembaga abrit / brengosake

ketogan / jembar jejeripun / sereng pandheleng ing netra / mratandhani lamun

prajurit winadi / gegamben ngadilaga//

30. kerep tatal ing aprang ngentasi / sikut wangsuh ngasorake tansah / mungsuh keh

jabut nyawane / saking srupa muktipun / ki Udawa rekyana patih / deta ing wurinira /

punggawa gung agung / satriya mantri myang lurah / ulubalang balabar kadya

jeladri / amber ing pangurukan//

31. abra sinang busana ning dasih / neka warna lir sekar saktaman / kabeh mabukuh

silane / dhedhep nir bawanipun / datan aswara kumlesik(-1) / sajroning panangkilan /

mung ana karungu / dwaraning pandhelan sayang / tuwin swareng peksi engkuk

ingkang muni / luhur ing tratag rambat//

32. samangkana kangjeng Sri Bupati / angandika aruma rang putra / satriya ing

kadipaten / dhuh ngango putraningsun / paran meko wartane kaki / bagawan

Doraweca / kang neng taman santun / dene abrang sebyanira / nora nebya lunga

gentan den tututi / ya marang bibek ira//

33. prasetyane den pilah umati / lamun tinampik ing bibek ira / lah mengko kaya kapriye

/ kulup mungguh rembugmu / radyan Samba matur wot sari / duh Rama Sri Narendra

/ yen pamanah ulun / Doraweca amba gesah / sampun ngantos dangu neng

Banoncinawi / jeng bibi saya susah//

34. mangke lagya nedhengnya prihatin / ngraosaken musnane jeng paman / dadak sina si

wodene / Doraweca sidhawuk / datan nolih githok pribadi / wus tuwa dhasar ala /

kumeksa mring ingsun / jeng bibi mangsa sotaha / yen pineksa yekti wini lalu lalis /

de lamun Doraweca//

35. meksa mogok tanar sahu mijil / saking taman geting kalampahan / ulun galandhang

geage / yen bangga amba suduk / mong sadadak balekna kyai / sang Narta mesem

lingya / alon-alon kulup / aywa sira angga gampang / Doraweca satuhu Pandhita

luwih / wus kontas tanyah sabrang//

36. wiku dibya tanah Atasangin / datan roro amung Doraweca / marma kaki dane6 sareh

/ tan kena grusa-grusu / penet-pinat sangkaning aris / lah priye yayi arya / Setyaki

pikirmu / tur sembah dyan Wresniwira / bilih ambadhe sekar seng putrantaji / anak

mas kadipatyan //                                                                                                                          6Versi naskah b menggunakan pupuh sinom, sehingga tidak dapat dibandingkan. Kata yang tepat yaitu Dene, ‘datang’ menurut Baoesastra Djawa (1939).

Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016

Page 17: SUNTINGAN TEKS SERAT DORAWECA

37. pinten botipun tiyang sawiji / mangsa dadak ngebahken jendhikan / Sang nata mesem

sabdane / yabener kabeh iku / nanging padha sabarna dhihin / mesti ki kang prayoga

/ yata sang aprabu / dereng dumugi genira / imbal sabda lan putri tuwin kang rayi /

satriya lesanpura//

38. nulya kasaru geger ing jawi / ingkang sami nangkil pangurakan / obah myang umung

swarane / tan dangu praptanipun / mantri jug-ajujug ki patih / wigati tur uninga /

kalamun sang prabu / Baladewa ing Madura / saha bala nanging muhung sawatawis

/ rawuh ing Dwarawatya//

39. mangke maksih kandheg Sri bupati / wonten sajawining pangurakan / ki patih myarsa

ature / gya maplek ngarseng prabu / minggah marang ing siti inggil / jujug ing

wurinira / ri sang narpa sunu / umatur saha tur sembah / dhuh pukulun luwi kangjeng

Sri Bupati / pun patik tur uninga//

40. bilih raka tuwan Sri Bupati / ing Madura sang Sri Baladewa / rawuh ing ngriki

samangke / kendel jawi lun alun / duk miyarsa sri Harimurti / mring ature kya patya /

nulya ngandika rum / marang putra radyan Samba / eh ta kula prakira papagen nuli /

kanthiya pamanira//

41. yayi arya telu lan si patih / tur sandika kang samya liningan / manembah trinulya

lengser / saking arsa sang prabu / mandhap saking ing siti inggil / alaju lampahira /

kang sami umethuk / tanda nguwus tundhuk samya / tri tur sembah mring prabu

Baladewaji / dyan Samba lontarira//

42. dhuh jeng uwa tuwan dipunaglis / nunten lajeng ngamring siti bentar / aywa

kadangon kendele / arinta rama prabu / langkung denya anganti-anti / rawuhipun

jeng uwa / Baladewa Prabu / angguguk sarwi ngandika / iya kulup ayo ta padha

lumaris / saksana samya budhal //

43. Sri Narendra Madura pan maksih / manggung gung genging wahananira / dirada

gede arane / puspa denta puniku / gajah mulus ulese putih / gria ta kadi janma / yata

tan winuwus / prapteng caket tratag rambat / wus pinethuk ing ari Sri Harimurti /

maha Prabu Madura//

44. tandya tedhak saking luhur esthi / sri narendra Kresna duk umiyat / maring kang raka

tedhake / gupuh sinander gapyuk / ngrangkul jajani reng rakaji / kaliyan rarangkulan

tan antara dangu / anulya sami lumampah / minggah maring siti bentar dwi sang aji /

kanthen gandengan asta//

Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016

Page 18: SUNTINGAN TEKS SERAT DORAWECA

5. Kesimpulan

Naskah SeratDoraweca merupakan naskah wayang. naskah ini dikelompokan

menjadi sastra wayang. Cerita Doraweca merupakan bagian dari Wayang Purwa.

TeksDoraweca bercerita tentang keinginan Resi Doraweca untuk memperistri Dewi

Sumbadra. Naskah tersebar di lima tempat penyimpanan naskah, korpus naskah berjumlah

empat belas yaitu: (1) Museum Sonobudoyo terdapat lima teks yang mengandung judul

Doraweca, semuanya ditulis menggunakan bahasa dan aksara jawa. (2) Mangkunagaran

memiliki dua teks yang mengandung judul Doraweca, kedua teks berbentuk lampahan

menggunakan Bahasa Jawa. (3) Museum Radya Pustaka dan Perpustakaan Harsonagara

memiliki empat naskah yang mengantung judul Doraweca, terdapat satu naskah berbentuk

lakon serta tiga naskah berbentuk lampahan. (4) Perpustakaan Universitas Indonesia memiliki

dua naskah yang menggunakan aksara dan bahasa Jawa, dua naskah tersebut merupakan teks

sastra wayang.

Tidak semua naskah dapat dijadikan objek penelitian, oleh karena itu hanya naskah

yang dibutuhkan sesuai kriteria yang telah ditentukan dapat dijadikan objek penelitian. Hasil

pemilihan teks objek penelitan sesuai metode kerja filologi diperoleh naskah Perpustakaan

Universitas Indonesia dengan judul Doraweca nomor koleksi KT 37 untuk disunting.

Teks Doraweca ini memiliki dua versi naskah, versi naskah yang pertama yaitu

naskah Perpustakaan Universitas Indonesia kode naskah CW 5 yang seversi dengan naskah

MSB dengan kode panggil SW 22 sedangkan versi yang disunting adalah naskah dengan

versi yang sedikit berbeda yaitu naskah KT 37 Perpustakaan Universitas Indonesia.

Perbedaan versi ketiga naskah tersebut terletak pada pupuh pertama teks, selanjutnya teks

memiliki pupuh yang sama. Secara garis besar kedua versi teks juga memiliki kesamaan

cerita.

Proses penyuntingan teks menggunakan asas penyuntingan edisi standar. Teks

dibingkai dengan pola persajakan Macapat. Naskah Teks Doraweca ini termasuk naskah

yang taat terhadap pola persajakan. Terdapat pengurangan maupun penambahan suku kata

untuk memenuhi guru wilangan dan pengubahan vokal kata untuk memenuhi guru lagu.

Dilihat dari hasil penyuntingan teks, banyaknya nama-nama dalam tokoh wayang masuk

dalam teks ini, keseluruhan tokoh merupakan bagian dari tokoh Wayang Purwa.

Hasil penelitian naskah Serat Doraweca ini jauh dari kata sempurna sehingga perlu

adanya penelitian lanjutan untuk meneliti naskah tersebut. Penelitian ini merupakan

peneilitian awal yang dapat digunakan untuk meneliti teks wayang yang menggambarkan

lakon Doraweca.

Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016

Page 19: SUNTINGAN TEKS SERAT DORAWECA

Daftar Pustaka

Balai Bahasa Yogyakarta. 2011. Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa). Yogyakarta: Kanisius.

Behrend, T.E. (ed), dkk. 1990. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Museum

Sonobudoyo Yogyakarta. Jakarta: Penerbit Djambatan.

___________________. 1994. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Perpustakaan

Nasional Republik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

___________________. 1994. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Keraton

Yogyakarta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

___________________. 1997. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara FSUI. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia.

Boen S. Oemarjati. 1971. Bentuk Lakon Dalam Sastra Indonesia. Djakarta: PT. Gunung

Agung.

Darmoko. 1999. Wayang Bentuk Isi dan Nilainya. Depok: Fakultas Sastra UI.

Edi S. Ekadjati. 2000. Direktori Naskah Nusantara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Florida, Nancy K. 1993. Javanese Literature in Surakarta Manuscripts Vol. I. New York:

Cornell University Ithaca.

Hazeu, G.A.J. 1979. Kawruh Asal-Usulipun Ringgit Sarta Gegepokanipun Kaliyan Agami

Ing Jaman Kina.

Karsono H. Saputra. 2001. Sekar Macapat. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Karsono H. Saputra. 2008. Pengantar Filologi Jawa. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Ki Siswoharsojo. 1957. Pakem Makutarama. Ngajogyakarta: Jajasan Penerbit Pesat.

Ki Siswoharsojo. 1958. Pakem Padhalangan Lampahan Wahju Purbasedjati Dhapukan

gagrag Surakarta. Ngajogyakarta.

Pigeaud, Thedore G. 1967. Literature of Java. Volume I. The Hague: Martinus Nijhoff.

________________. 1968. Literature of Java. Volume II. The Hague: Martinus Nijhoff.

Robson, S. O. 1994. Prinsip-prinsip Filologi Indonesia. Jakarta: RUL.

Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016

Page 20: SUNTINGAN TEKS SERAT DORAWECA

Siti Baroroh Barried. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa, P&K.

Sri Ratna Saktimulya. 2005. Katalog Naskah-naskah Perpustakaan Pura Pakualaman.

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sudaryanto. 1991. Tata Bahasa Baku Bahasa – Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University

Press.

Titik Pudjiastuti. 2006. Naskah dan Studi Naskah. Bogor: Akademia.

WJS. Poerwadarminta. 1939. Baoesastra Djawa. Groningen, Batavia: JB Wolters’

Uitgevesrs-Maatschappij N.V.

Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016