Subdural-Hematoma.pdf
-
Upload
chaerunisautami -
Category
Documents
-
view
22 -
download
5
Transcript of Subdural-Hematoma.pdf
-
SUBDURAL HEMATOMA
Makalah ini Disusun Oleh Penulis Untuk Melengkapi Tugas Sebagai Mahasiswa Peserta
Kepanitraan Klinik Senior Ilmu Neurologi
Di susun oleh :
DIANA SARI LUBIS
NITTY AIDHA
RIFNATUL HASANNAH ALAM
SITI KHODIJAH
Pembimbing :
dr. ROBERT SILITONGA, Sp.S.Msi.Med
dr. BENNY M.SILAEN, Sp.S
Kepanitraan Klinik Senior
Bagian Ilmu Neurologi
RSUD. Deli Serdang Lubuk Pakam
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara
2013
-
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat beserta karunia-Nya sebagai
mahasiswa peserta Kepanitraan Klinik Senior Ilm Neurologi di RSUD. Deli Serdang Lubuk
Pakam, kami mendapat tugas menyusun makalah mengenai Subdural Hematoma
penyusun paper ini menjadi wadah pengembangan diri dan kreatifitas, serta pemahaman ilmu
lebih dalam mengenai neurologi klinik bagi para mahasiswa/I KKS ilmu yang sedang
mengikuti pendidikan sebagai dokter muda, dimana dalam perjalanan akademiknya sebagai
dokter muda, dituntut dapat mendiagnosis penyakit secara cepat dan tepat,serta mengetahui
penatalaksanaan terhadap Subdural Hematoma secara benar, sesuai dengan kompetensi
sebagai dokter umum.
Demikian gambaran secara singkat tentang pembahasan makalah yang terdapat pada
pembahasannya. Ucapan terima kasih kami ucapkan kepada dr.Robert
Silitonga,Sp.S.M.si.Med dan dr. Benny M Silaen, Sp.S yang telah membimbing kami dalam
mengikuti program kepanitraan klinik senior bagian ilmu neurologi di Rumah Sakit Umum
Deli Serdang Lubuk Pakam, Sumatera Utara. Layaknya sebagai mahasiswa/I yang masih
dalam proses pembelajaran tentunya pembahasan makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
sebab itu saya menerima saran dan kritik yang membangun dari para pembaca.
Lubuk Pakam, April 2013
-
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ........... ii
BAB I (PENDAHULUAN) . 1
BAB II ( PEMBAHASAN) 2
2.1 Anatomi 4
2.2 Subdural Hematoma..
2.3.1 Definisi
2.3.2 Etiologi
2.3.3 Patofisiologi
2.3.4 Geja
-
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cedera otak yang akan dibicarakan dalam makalah ini adalah cedera akibat rudapaksa
kepala (trauma kapitis). Di negara maju, kecelakan lalu lintas merupakan penyebab kematian
utama pada umur antara 2 44 tahun, dimana 70% diantaranya mengalami rudapaksa kepala
1-3 Di Surabaya, frekuensi trauma kapitismeningkat dengan 18% setiap tahunnya.
Secara klasik kita kenal pembagian : komosio, kontusio dan laserasio serebri. Pada
komosio serebri kehilangan kesadaran bersifat sementara tanpa kelainan PA. Pada kontusio
serebri terdapat kerusakan dari jaringan otak, sedangkan laserasio serebri berarti kerusakan
otak disertai robekan duramater. Pembagian lain menyebutkan bahwa pada komosio serebri,
penurunan kesadaran kurang dari 15 menit dan post traumatic amnesia kurang dari 1 jam.
Bila penurunan kesadaran melebihi 1 jam dan post traumatic amnesia melebihi 24 jam berarti
telah terjadi kontusio serebri. Perlu ditambahkan juga ada atau tidaknya gejala cedera otak
fokal yang dini, dan hasil rekaman EEG. Pembagian seperti di atas ternyata tidak
memuaskan, karena batas antara kontusio dan komosio serebri sering kali sulit dipastikan.
-
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Anatomi
Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meningens. Lapisan luarnya adalah
pachymeninx atau durameter dan lapisan dalamnya, leptomeninx, dibagi menjadi arachnoidea
dan piameter.
a. Perkembangan Otak
Otak manusia mencapai 2% dari keseluruhan berat tubuh, mengkonsumsi 25%
oksigen dan menerima 1,5% curah jantung. Bagian cranial pada tabung saraf membentuk tiga
pembesaran (vesikel) yang berdiferensiasi untuk membentuk otak : otak depan, otak tengah
dan otak belakang.
Otak depan (proensefalon) terbagi menjadi dua subdivisi : telensefalon dan
diensefalon. Telensefalon merupakan awal hemisfer serebral atau serebrum dan basal ganglia
serta korpus striatum (substansi abu-abu) pada serebrum. Diensefalon menjadi thalamus,
hipotalamus dan epitalamus.
Otak tengah (mesensefalon) terus tumbuh dan pada orang dewasa disebut otak tengah.
Otak belakang (rombensefalon) terbagi menjadi dua subdivisi : metensefalon dan
mielensefalon. Metensefalon berubah menjadi batang otak (pons) dan serebelum.
Mielensefalon menjadi medulla oblongata. Rongga pada tabung saraf tidak berubah dan
berkembang menjadi ventrikel otak dan kanal sentral medulla spinalis.
b. Lapisan Pelindung
Otak terdiri dari rangka tulang bagian luar dan tiga lapisan jaringan ikat yang disebut
meninges. Lapisan meningeal terdiri dari pia meter, lapisan araknoid dan durameter.
a) Pia meter adalah lapisan terdalam yang halus dan tipis, serta melekat erat pada otak.
b) Lapisan araknoid terletak di bagian eksternal pia meter dan mengandung sedikit pembuluh
darah. Runga araknoid memisahkan lapisan araknoid dari piameter dan mengandung
cairan cerebrospinalis, pembuluh darah serta jaringan penghubung serta selaput yang
mempertahankan posisi araknoid terhadap piameter di bawahnya.
-
c) Durameter, lapisan terluar adalah lapisan yang tebal dan terdiri dari dua lapisan.
Lapisan ini biasanya terus bersambungan tetapi terputus pada beberapa sisi spesifik.
Lapisan periosteal luar pada durameter melekat di permukaan dalam kranium dan berperan
sebagai periosteum dalam pada tulang tengkorak. Lapisan meningeal dalam pada
durameter tertanam sampai ke dalam fisura otak dan terlipat kembali di arahnya untuk
membentuk falks serebrum, falks serebelum, tentorium serebelum dan sela diafragma.
Ruang subdural memisahkan durameter dari araknoid pada regia cranial dan medulla
spinalis. Ruang epidural adalah ruang potensial antara perioteal luar dan lapisan meningeal
dalam pada durameter di regia medulla spinalis.
2.2 Subdural Hematoma
2.2.1 Definisi
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural. Dalam
bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki ruang tersebut
sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea sehingga menambah penekanan
subdural pada jejas langsung di otak. Dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang
subdural akibat pecahnya vena-vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala
tertutup. Efusi itu merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah
cedera, sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan
darah.
2.2.2 Etiologi
Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional
yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural.
-
Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:
1. Trauma kapitis
2. Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau putaran otak
terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.
3. Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi bila ruangan
subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan juga pada anak - anak.
4. Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdura.
5. Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural yang
spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial.
6. Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.
2.2.3 Patofisologi
Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat
robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan
sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang
bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan
terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena
halus pada tempat di mana mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan
menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural.
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh
jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik
cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena
tekanan intracranial yang berangsur meningkat
-
Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena
jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil sehingga
walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut.
Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering
menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Pada
perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang
besar biasanya menyebabkan terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma
subdural tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini
memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh
sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural kronik.
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan
perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh efluks dari
cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan
tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan intra kranial yang
cukup tinggi.
Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan
melampaui mekanisme kompensasi tersebut. Komplains intrakranial mulai berkurang yang
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya
perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi
transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika
seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan
supra tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke
-
thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang
lainnya.
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori
dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga
akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural
hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural
hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran
dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu
ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata
hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua mengatakan
bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural
kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan
subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan
vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi,
level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik..
Perdarahan Subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat timbulnya gejala-
gejala klinis yaitu :
1. Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma. Biasanya terjadi pada
cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada
pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat
kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya,
didapatkan lesi hiperdens.
2. Perdarahan sub akut
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada
subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan
dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran
skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan
karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.
-
3. Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan kronik
subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah
trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa
mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular
atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati
hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan
sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi.
Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi
hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah
permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada
selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama
pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat
menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat
pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya
hematoma.
Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan
dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seprti
pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien
yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi
hipodens.
Pembagian Subdural kronik:
Berdasarkan pada arsitektur internal dan densitas tiap hematom, perdarahan
subdural kronik dibagi menjadi 4 kelompok tipe, yaitu :
1. Tipe homogen ( homogenous)
2. Tipe laminar
3. Tipe terpisah ( seperated)
4. Tipe trabekular (trabecular)
-
Tingkat kekambuhan pada tipe terpisah adalah tinggi sedangkan pada tipe yang
trabekular adalah rendah. Pada perdarahan subdural kronik diyakini bahwa pada awalnya
dalam bentuk homogen, kemusian seringkali berlanjut menjadi bentuk laminar.
Sedangkan pada subdural kronik yang matang, diwakili oleh stadium terpisah dan
hematomnya terkadang melalui stadium trabekular selama penyerapan.
Sedangkan berdasarkan perluasan iutrakranial dari tiap hematom, perdarahan
subdural kronik dikelompokkan menjadi 3 tipe yaitu:
1. Tipe konveksiti ( convexity).
2. Tipe basis cranial ( cranial base ).
3. Tipe interhemisferik
Tingkat kekambuhan perdarahan subdural Kronik tipe cranial base adalah tinggi,
sedangkan kekambuhan tipe convexity adalah rendah. Pengelompokan perdarahan
subdural kronik berdasarkan arsitektur internal dan perluasan intra kranial ini berguna
untuk memperkirakan resiko terjadinya kekambuhan pasca operatif.
2.2.4 Gejala
1. Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam
setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif
disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen
magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat
menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan
darah.
2. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi
kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini
juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural. Anamnesis klinis dari
-
penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran,
selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu
tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat
kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan meningkatnya tekanan
intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar
dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi
intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan
menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari
kompresi batang otak.
3.Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan
beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena yang
melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural.
Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane
fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam
hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma.
Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan
merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan
hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada
usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera
tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan
CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah.
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang
tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa
seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya
dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
-
1. sakit kepala yang menetap
2. rasa mengantuk yang hilang-timbul
3. linglung
4. perubahan ingatan
5. kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
Kerusakan pada bagian otak tertentu
Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan
mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah tertentu pada
korteks serebri biasanya bertanggungjawab atas perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan
beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi.
-
Kerusakan Lobus Frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik (misalnya
menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu). Lobus frontalis juga mengatur
ekspresi wajah dan isyarat tangan. Daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggungjawab
terhadap aktivitas motor tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan.
Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi
kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengelai satu sisi otak,
biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan
kejang.
Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa menyebabkan apati,
ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau
samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan
yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam; penderita mengabaikan akibat yang
terjadi akibat perilakunya.
Kerusakan Lobus Parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur dan
berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan matematikan dan bahasa
berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di
sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya.
Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi
tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya kemampuan
untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini disebut apraksia) dan untuk
menentukan arah kiri-kanan.
Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali
bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan
bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik (misalnya bentuk kubus atau jam dinding).
Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun
melakukan pekerjaan sehari-hari.
-
Kerusakan Lobus Temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan
mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami suara dan
gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur
emosional.
Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan
suara dan bentuk.
Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman
bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam
mengekspresikan bahasanya. Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-
dominan, akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat
kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.
2.2.5 Penatalaksanaan
Pada kasus perdarahan yang kecil ( volume 30 cc ataupun kurang ) dilakukan
tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi
penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat
mengalami pengapuran.
Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala-
gejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan
pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan tindakan
operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing dan circulation
(ABCs).
Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist
drill craniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak diterima untuk perdarahan
sub dural kronik adalah burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik ini menunjukan
komplikasi yang minimal.
-
Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik pasca kraniotomi dianggap
sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada pasien yang sudah berusia lanjut
dan sudah menunjukkan perbaikan klinis, reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah
perlu untuk dilakukan operasi ulang kembali .Kraniotomi dan membranektomi
merupakan tindakan prosedur bedah yang invasif dengan tingkat komplikasi yang
lebih tinggi. Penggunaan teknik ini sebagai penatalaksanaan awal dari perdarahan
subdural kronik sudah mulai berkurang.
Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang
bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Pada pasien trauma,
adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor dengan refleks cahaya
menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya penekanan brainstem
oleh herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial.
Indikasi Operasi
1. Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata
2. Adanya tanda herniasi/ lateralisasi
3. Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT
Scan Kepala tidak bisa dilakukan.
Perawatan Pascabedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya.
Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau
kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.
Setelah operasi pun kita harus tetap berhati hati, karena pada sebagian pasien dapat
terjadi perdarahan lagi yang berasal dari pembuluh - pembuluh darah yang baru
-
terbentuk, subdural empiema, irigasi yang kurang baik, pergeseran otak yang tiba-
tiba, kejang, tension pneumoencephalus, kegagalan dari otak untuk mengembang
kembali dan terjadinya reakumulasi dari cairan subdural.. Maka dalam hal ini
hematoma harus dikeluarkan lagi dan sumber perdarahan harus ditiadakan.
Serial skening tomografi pasca kraniotomi sebaiknya juga dilakukan Markam .
Follow-up
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan
untuk menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.
Penjelasan Kesehatan untuk Keluarga
Keluarga diberikan penkes tentang perawatan pasien dengan masalah cedera
kepala, diantara yaitu :
1. Penjelasan tentang pengertian, penyebab, pengobatan dan komplikasi
cidera kepala termasuk gangguan fungsi luhur dari pasien, oleh karena itu
perlu control dan berobat secara teratur dan lanjut.
2. Mengajarkan bagaimana cara pemenuhan nutrisi dan cairan selama dirawat
dan dirumah nantinya
3. Mengajarkan pada keluarga dan melibatkan keluarga dalam pemenuhan
kebutuhan sehari-hari pasien
4. Mengajarkan melatih mobilisasi fisik secara bertahap dan terencana agar
tidak terjadi cidera pada neuromuskuler
5. Mempersiapkan keluarga untuk perawatan pasien dirumah bila saatnya
pulang, kapan harus istirahat, aktifitas dan kontrol selama kondisi masih
belum optimal terhadap dampak dari cidera kepala pasien dan sering
pasien akan mengalami gangguan memori maka mengajarkan pada
keluarga bagaimana mengorientasikan kembali pada realita pasien.
Rehabilitasi
-
1. Berbaring lama dan inaktiviti bisa menimbulkan komplikasi gerakan seperti
kontraktur, osteoporosis, dekubitus, edema, infeksi, trombophlebitis, infeksi
saluran kencing.
Goal jangka pendek
1) Meningkatkan spesifik area seperti kekuatan, koordinasi, ROM, balans, dan
posture untuk mobilitas dan keamanan.
2) Pengobatan tergantung kondisi pasien kestabilan kardiopulmoner, fungsi
musculoskletal, defisit neurologi
2. Rehabilitasi dini pada fase akut terutama untuk menghindari komplikasi seperti
kontraktur dengan terapi fisik pengaturan posis, melakukan gerakan ROM
(pergerakan sendi) dan mobilisasi dini.Terapi ini kemudian dilanjutkan dengan
home program terapi yang melibatkan lingkungan dirumah
3. Pada pasien tidak sadar dilakukan dengan strategi terapi coma management dan
program sensory stimulation
4. Penanganan dilakukan oleh tim secara terpadu dan terorganisis :dokter ,terapis,
ahli gizi, perawat, pasien dan keluarga.
5. Melakukan mobilisasi dini, rehabilitasi termasuk stimulasi, suport nutrisi yang
adekuat, edukasi keluarga.
-
2.2.6 Prognosis
Tindakan operasi pada hematoma subdural kronik memberikan prognosis yang baik, karena
sekitar 90 % kasus pada umumnya akan sembuh total. Hematoma subdural yang disertai lesi
parenkim otak menunjukkan angka mortalitas menjadi lebih tinggi dan berat dapat mencapai
sekitar 50 %.
2.2.7 Diagnosa banding
Dementia, stroke, TIA, encephalitis, abses otak, adverse drugs reactions, gangguan kejiwaan,
Tumor otak, perdarahan subarachnoid, Parkinson, hydrocephalusdengan tekanan normal.
-
DAFTAR PUSTAKA
Sloane Ethel, Anatomi dan Fisiologi,2004.EGC ; Jakarta
Gst.Ng.Gd Ngoerah, Prof , Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf,1991. Airlangga University
Press ; Surabaya
Ginsberg Lionel , Neurologi, edisi VIII, 2007. Airlangga. Jakarta
Zi, Hematoma Subdural, http://yazid88.blogspot.com/2009/04/kasus-2-nn.html (diakses
tanggal 4 april 2013)