Subdural-Hematoma.pdf

20
SUBDURAL HEMATOMA Makalah ini Disusun Oleh Penulis Untuk Melengkapi Tugas Sebagai Mahasiswa Peserta Kepanitraan Klinik Senior Ilmu Neurologi Di susun oleh : DIANA SARI LUBIS NITTY AIDHA RIFNATUL HASANNAH ALAM SITI KHODIJAH Pembimbing : dr. ROBERT SILITONGA, Sp.S.Msi.Med dr. BENNY M.SILAEN, Sp.S Kepanitraan Klinik Senior Bagian Ilmu Neurologi RSUD. Deli Serdang Lubuk Pakam Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara 2013

Transcript of Subdural-Hematoma.pdf

  • SUBDURAL HEMATOMA

    Makalah ini Disusun Oleh Penulis Untuk Melengkapi Tugas Sebagai Mahasiswa Peserta

    Kepanitraan Klinik Senior Ilmu Neurologi

    Di susun oleh :

    DIANA SARI LUBIS

    NITTY AIDHA

    RIFNATUL HASANNAH ALAM

    SITI KHODIJAH

    Pembimbing :

    dr. ROBERT SILITONGA, Sp.S.Msi.Med

    dr. BENNY M.SILAEN, Sp.S

    Kepanitraan Klinik Senior

    Bagian Ilmu Neurologi

    RSUD. Deli Serdang Lubuk Pakam

    Fakultas Kedokteran

    Universitas Islam Sumatera Utara

    2013

  • KATA PENGANTAR

    Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat beserta karunia-Nya sebagai

    mahasiswa peserta Kepanitraan Klinik Senior Ilm Neurologi di RSUD. Deli Serdang Lubuk

    Pakam, kami mendapat tugas menyusun makalah mengenai Subdural Hematoma

    penyusun paper ini menjadi wadah pengembangan diri dan kreatifitas, serta pemahaman ilmu

    lebih dalam mengenai neurologi klinik bagi para mahasiswa/I KKS ilmu yang sedang

    mengikuti pendidikan sebagai dokter muda, dimana dalam perjalanan akademiknya sebagai

    dokter muda, dituntut dapat mendiagnosis penyakit secara cepat dan tepat,serta mengetahui

    penatalaksanaan terhadap Subdural Hematoma secara benar, sesuai dengan kompetensi

    sebagai dokter umum.

    Demikian gambaran secara singkat tentang pembahasan makalah yang terdapat pada

    pembahasannya. Ucapan terima kasih kami ucapkan kepada dr.Robert

    Silitonga,Sp.S.M.si.Med dan dr. Benny M Silaen, Sp.S yang telah membimbing kami dalam

    mengikuti program kepanitraan klinik senior bagian ilmu neurologi di Rumah Sakit Umum

    Deli Serdang Lubuk Pakam, Sumatera Utara. Layaknya sebagai mahasiswa/I yang masih

    dalam proses pembelajaran tentunya pembahasan makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh

    sebab itu saya menerima saran dan kritik yang membangun dari para pembaca.

    Lubuk Pakam, April 2013

  • DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR i

    DAFTAR ISI ........... ii

    BAB I (PENDAHULUAN) . 1

    BAB II ( PEMBAHASAN) 2

    2.1 Anatomi 4

    2.2 Subdural Hematoma..

    2.3.1 Definisi

    2.3.2 Etiologi

    2.3.3 Patofisiologi

    2.3.4 Geja

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Cedera otak yang akan dibicarakan dalam makalah ini adalah cedera akibat rudapaksa

    kepala (trauma kapitis). Di negara maju, kecelakan lalu lintas merupakan penyebab kematian

    utama pada umur antara 2 44 tahun, dimana 70% diantaranya mengalami rudapaksa kepala

    1-3 Di Surabaya, frekuensi trauma kapitismeningkat dengan 18% setiap tahunnya.

    Secara klasik kita kenal pembagian : komosio, kontusio dan laserasio serebri. Pada

    komosio serebri kehilangan kesadaran bersifat sementara tanpa kelainan PA. Pada kontusio

    serebri terdapat kerusakan dari jaringan otak, sedangkan laserasio serebri berarti kerusakan

    otak disertai robekan duramater. Pembagian lain menyebutkan bahwa pada komosio serebri,

    penurunan kesadaran kurang dari 15 menit dan post traumatic amnesia kurang dari 1 jam.

    Bila penurunan kesadaran melebihi 1 jam dan post traumatic amnesia melebihi 24 jam berarti

    telah terjadi kontusio serebri. Perlu ditambahkan juga ada atau tidaknya gejala cedera otak

    fokal yang dini, dan hasil rekaman EEG. Pembagian seperti di atas ternyata tidak

    memuaskan, karena batas antara kontusio dan komosio serebri sering kali sulit dipastikan.

  • BAB II

    PEMBAHASAN

    2.1 Anatomi

    Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meningens. Lapisan luarnya adalah

    pachymeninx atau durameter dan lapisan dalamnya, leptomeninx, dibagi menjadi arachnoidea

    dan piameter.

    a. Perkembangan Otak

    Otak manusia mencapai 2% dari keseluruhan berat tubuh, mengkonsumsi 25%

    oksigen dan menerima 1,5% curah jantung. Bagian cranial pada tabung saraf membentuk tiga

    pembesaran (vesikel) yang berdiferensiasi untuk membentuk otak : otak depan, otak tengah

    dan otak belakang.

    Otak depan (proensefalon) terbagi menjadi dua subdivisi : telensefalon dan

    diensefalon. Telensefalon merupakan awal hemisfer serebral atau serebrum dan basal ganglia

    serta korpus striatum (substansi abu-abu) pada serebrum. Diensefalon menjadi thalamus,

    hipotalamus dan epitalamus.

    Otak tengah (mesensefalon) terus tumbuh dan pada orang dewasa disebut otak tengah.

    Otak belakang (rombensefalon) terbagi menjadi dua subdivisi : metensefalon dan

    mielensefalon. Metensefalon berubah menjadi batang otak (pons) dan serebelum.

    Mielensefalon menjadi medulla oblongata. Rongga pada tabung saraf tidak berubah dan

    berkembang menjadi ventrikel otak dan kanal sentral medulla spinalis.

    b. Lapisan Pelindung

    Otak terdiri dari rangka tulang bagian luar dan tiga lapisan jaringan ikat yang disebut

    meninges. Lapisan meningeal terdiri dari pia meter, lapisan araknoid dan durameter.

    a) Pia meter adalah lapisan terdalam yang halus dan tipis, serta melekat erat pada otak.

    b) Lapisan araknoid terletak di bagian eksternal pia meter dan mengandung sedikit pembuluh

    darah. Runga araknoid memisahkan lapisan araknoid dari piameter dan mengandung

    cairan cerebrospinalis, pembuluh darah serta jaringan penghubung serta selaput yang

    mempertahankan posisi araknoid terhadap piameter di bawahnya.

  • c) Durameter, lapisan terluar adalah lapisan yang tebal dan terdiri dari dua lapisan.

    Lapisan ini biasanya terus bersambungan tetapi terputus pada beberapa sisi spesifik.

    Lapisan periosteal luar pada durameter melekat di permukaan dalam kranium dan berperan

    sebagai periosteum dalam pada tulang tengkorak. Lapisan meningeal dalam pada

    durameter tertanam sampai ke dalam fisura otak dan terlipat kembali di arahnya untuk

    membentuk falks serebrum, falks serebelum, tentorium serebelum dan sela diafragma.

    Ruang subdural memisahkan durameter dari araknoid pada regia cranial dan medulla

    spinalis. Ruang epidural adalah ruang potensial antara perioteal luar dan lapisan meningeal

    dalam pada durameter di regia medulla spinalis.

    2.2 Subdural Hematoma

    2.2.1 Definisi

    Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural. Dalam

    bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki ruang tersebut

    sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea sehingga menambah penekanan

    subdural pada jejas langsung di otak. Dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang

    subdural akibat pecahnya vena-vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala

    tertutup. Efusi itu merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah

    cedera, sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan

    darah.

    2.2.2 Etiologi

    Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional

    yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural.

  • Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:

    1. Trauma kapitis

    2. Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau putaran otak

    terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.

    3. Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi bila ruangan

    subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan juga pada anak - anak.

    4. Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdura.

    5. Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural yang

    spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial.

    6. Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.

    2.2.3 Patofisologi

    Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat

    robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan

    sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang

    bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan

    terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena

    halus pada tempat di mana mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan

    menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural.

    Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh

    jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik

    cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena

    tekanan intracranial yang berangsur meningkat

  • Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena

    jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil sehingga

    walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut.

    Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering

    menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Pada

    perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang

    besar biasanya menyebabkan terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma

    subdural tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini

    memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh

    sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural kronik.

    Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan

    perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh efluks dari

    cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan

    tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan intra kranial yang

    cukup tinggi.

    Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan

    melampaui mekanisme kompensasi tersebut. Komplains intrakranial mulai berkurang yang

    menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya

    perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi

    transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika

    seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan

    supra tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke

  • thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang

    lainnya.

    Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori

    dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga

    akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural

    hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural

    hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran

    dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu

    ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata

    hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua mengatakan

    bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural

    kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan

    subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan

    vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi,

    level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat

    menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik..

    Perdarahan Subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat timbulnya gejala-

    gejala klinis yaitu :

    1. Perdarahan akut

    Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma. Biasanya terjadi pada

    cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada

    pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat

    kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya,

    didapatkan lesi hiperdens.

    2. Perdarahan sub akut

    Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada

    subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan

    dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran

    skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan

    karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.

  • 3. Perdarahan kronik

    Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan kronik

    subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah

    trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa

    mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular

    atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati

    hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan

    sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi.

    Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi

    hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah

    permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada

    selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama

    pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat

    menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat

    pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya

    hematoma.

    Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan

    dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seprti

    pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien

    yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi

    hipodens.

    Pembagian Subdural kronik:

    Berdasarkan pada arsitektur internal dan densitas tiap hematom, perdarahan

    subdural kronik dibagi menjadi 4 kelompok tipe, yaitu :

    1. Tipe homogen ( homogenous)

    2. Tipe laminar

    3. Tipe terpisah ( seperated)

    4. Tipe trabekular (trabecular)

  • Tingkat kekambuhan pada tipe terpisah adalah tinggi sedangkan pada tipe yang

    trabekular adalah rendah. Pada perdarahan subdural kronik diyakini bahwa pada awalnya

    dalam bentuk homogen, kemusian seringkali berlanjut menjadi bentuk laminar.

    Sedangkan pada subdural kronik yang matang, diwakili oleh stadium terpisah dan

    hematomnya terkadang melalui stadium trabekular selama penyerapan.

    Sedangkan berdasarkan perluasan iutrakranial dari tiap hematom, perdarahan

    subdural kronik dikelompokkan menjadi 3 tipe yaitu:

    1. Tipe konveksiti ( convexity).

    2. Tipe basis cranial ( cranial base ).

    3. Tipe interhemisferik

    Tingkat kekambuhan perdarahan subdural Kronik tipe cranial base adalah tinggi,

    sedangkan kekambuhan tipe convexity adalah rendah. Pengelompokan perdarahan

    subdural kronik berdasarkan arsitektur internal dan perluasan intra kranial ini berguna

    untuk memperkirakan resiko terjadinya kekambuhan pasca operatif.

    2.2.4 Gejala

    1. Hematoma Subdural Akut

    Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam

    setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif

    disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen

    magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat

    menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan

    darah.

    2. Hematoma Subdural Subakut

    Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi

    kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini

    juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural. Anamnesis klinis dari

  • penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran,

    selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu

    tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat

    kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan meningkatnya tekanan

    intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar

    dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi

    intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan

    menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari

    kompresi batang otak.

    3.Hematoma Subdural Kronik

    Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan

    beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena yang

    melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural.

    Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane

    fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam

    hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma.

    Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan

    merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan

    hematoma.

    Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada

    usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera

    tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan

    CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah.

    Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang

    tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa

    seringkali diserap secara spontan.

    Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya

    dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:

  • 1. sakit kepala yang menetap

    2. rasa mengantuk yang hilang-timbul

    3. linglung

    4. perubahan ingatan

    5. kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

    Kerusakan pada bagian otak tertentu

    Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan

    mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah tertentu pada

    korteks serebri biasanya bertanggungjawab atas perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan

    beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi.

  • Kerusakan Lobus Frontalis

    Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik (misalnya

    menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu). Lobus frontalis juga mengatur

    ekspresi wajah dan isyarat tangan. Daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggungjawab

    terhadap aktivitas motor tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan.

    Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi

    kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengelai satu sisi otak,

    biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan

    kejang.

    Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa menyebabkan apati,

    ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau

    samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan

    yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam; penderita mengabaikan akibat yang

    terjadi akibat perilakunya.

    Kerusakan Lobus Parietalis

    Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur dan

    berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan matematikan dan bahasa

    berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di

    sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya.

    Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi

    tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya kemampuan

    untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini disebut apraksia) dan untuk

    menentukan arah kiri-kanan.

    Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali

    bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan

    bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik (misalnya bentuk kubus atau jam dinding).

    Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun

    melakukan pekerjaan sehari-hari.

  • Kerusakan Lobus Temporalis

    Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan

    mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami suara dan

    gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur

    emosional.

    Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan

    suara dan bentuk.

    Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman

    bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam

    mengekspresikan bahasanya. Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-

    dominan, akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat

    kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.

    2.2.5 Penatalaksanaan

    Pada kasus perdarahan yang kecil ( volume 30 cc ataupun kurang ) dilakukan

    tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi

    penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat

    mengalami pengapuran.

    Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala-

    gejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan

    pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan tindakan

    operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing dan circulation

    (ABCs).

    Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist

    drill craniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak diterima untuk perdarahan

    sub dural kronik adalah burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik ini menunjukan

    komplikasi yang minimal.

  • Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik pasca kraniotomi dianggap

    sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada pasien yang sudah berusia lanjut

    dan sudah menunjukkan perbaikan klinis, reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah

    perlu untuk dilakukan operasi ulang kembali .Kraniotomi dan membranektomi

    merupakan tindakan prosedur bedah yang invasif dengan tingkat komplikasi yang

    lebih tinggi. Penggunaan teknik ini sebagai penatalaksanaan awal dari perdarahan

    subdural kronik sudah mulai berkurang.

    Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang

    bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Pada pasien trauma,

    adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor dengan refleks cahaya

    menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya penekanan brainstem

    oleh herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial.

    Indikasi Operasi

    1. Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata

    2. Adanya tanda herniasi/ lateralisasi

    3. Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT

    Scan Kepala tidak bisa dilakukan.

    Perawatan Pascabedah

    Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya.

    Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau

    kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.

    Setelah operasi pun kita harus tetap berhati hati, karena pada sebagian pasien dapat

    terjadi perdarahan lagi yang berasal dari pembuluh - pembuluh darah yang baru

  • terbentuk, subdural empiema, irigasi yang kurang baik, pergeseran otak yang tiba-

    tiba, kejang, tension pneumoencephalus, kegagalan dari otak untuk mengembang

    kembali dan terjadinya reakumulasi dari cairan subdural.. Maka dalam hal ini

    hematoma harus dikeluarkan lagi dan sumber perdarahan harus ditiadakan.

    Serial skening tomografi pasca kraniotomi sebaiknya juga dilakukan Markam .

    Follow-up

    CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan

    untuk menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.

    Penjelasan Kesehatan untuk Keluarga

    Keluarga diberikan penkes tentang perawatan pasien dengan masalah cedera

    kepala, diantara yaitu :

    1. Penjelasan tentang pengertian, penyebab, pengobatan dan komplikasi

    cidera kepala termasuk gangguan fungsi luhur dari pasien, oleh karena itu

    perlu control dan berobat secara teratur dan lanjut.

    2. Mengajarkan bagaimana cara pemenuhan nutrisi dan cairan selama dirawat

    dan dirumah nantinya

    3. Mengajarkan pada keluarga dan melibatkan keluarga dalam pemenuhan

    kebutuhan sehari-hari pasien

    4. Mengajarkan melatih mobilisasi fisik secara bertahap dan terencana agar

    tidak terjadi cidera pada neuromuskuler

    5. Mempersiapkan keluarga untuk perawatan pasien dirumah bila saatnya

    pulang, kapan harus istirahat, aktifitas dan kontrol selama kondisi masih

    belum optimal terhadap dampak dari cidera kepala pasien dan sering

    pasien akan mengalami gangguan memori maka mengajarkan pada

    keluarga bagaimana mengorientasikan kembali pada realita pasien.

    Rehabilitasi

  • 1. Berbaring lama dan inaktiviti bisa menimbulkan komplikasi gerakan seperti

    kontraktur, osteoporosis, dekubitus, edema, infeksi, trombophlebitis, infeksi

    saluran kencing.

    Goal jangka pendek

    1) Meningkatkan spesifik area seperti kekuatan, koordinasi, ROM, balans, dan

    posture untuk mobilitas dan keamanan.

    2) Pengobatan tergantung kondisi pasien kestabilan kardiopulmoner, fungsi

    musculoskletal, defisit neurologi

    2. Rehabilitasi dini pada fase akut terutama untuk menghindari komplikasi seperti

    kontraktur dengan terapi fisik pengaturan posis, melakukan gerakan ROM

    (pergerakan sendi) dan mobilisasi dini.Terapi ini kemudian dilanjutkan dengan

    home program terapi yang melibatkan lingkungan dirumah

    3. Pada pasien tidak sadar dilakukan dengan strategi terapi coma management dan

    program sensory stimulation

    4. Penanganan dilakukan oleh tim secara terpadu dan terorganisis :dokter ,terapis,

    ahli gizi, perawat, pasien dan keluarga.

    5. Melakukan mobilisasi dini, rehabilitasi termasuk stimulasi, suport nutrisi yang

    adekuat, edukasi keluarga.

  • 2.2.6 Prognosis

    Tindakan operasi pada hematoma subdural kronik memberikan prognosis yang baik, karena

    sekitar 90 % kasus pada umumnya akan sembuh total. Hematoma subdural yang disertai lesi

    parenkim otak menunjukkan angka mortalitas menjadi lebih tinggi dan berat dapat mencapai

    sekitar 50 %.

    2.2.7 Diagnosa banding

    Dementia, stroke, TIA, encephalitis, abses otak, adverse drugs reactions, gangguan kejiwaan,

    Tumor otak, perdarahan subarachnoid, Parkinson, hydrocephalusdengan tekanan normal.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Sloane Ethel, Anatomi dan Fisiologi,2004.EGC ; Jakarta

    Gst.Ng.Gd Ngoerah, Prof , Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf,1991. Airlangga University

    Press ; Surabaya

    Ginsberg Lionel , Neurologi, edisi VIII, 2007. Airlangga. Jakarta

    Zi, Hematoma Subdural, http://yazid88.blogspot.com/2009/04/kasus-2-nn.html (diakses

    tanggal 4 april 2013)