(SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN) OLEH · PDF filebedah mayat. Salah satu kegiatan...

28
1 TINJAUAN UU N0. 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN TERHADAP TINDAK PIDANA “DENGAN SENGAJA MENGEDARKAN SEDIAAN FARMASI YANG TIDAK MEMILIKI IJIN EDAR” (SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN) OLEH ANNY RETNOWATI ABSTRACT This research was conducted to find out the functionalization of The Health Law No. 36, 2009 as an Administrative Penal Code in overcoming the crime of distributing pharmaceutical supplies without having distributing permit in the district of Sleman State Court. This research used normative method. The result showed that the law court sentenced six months imprisonment and Rp 1.000.000,- fine in substitution of one month encirclement to the accused. Such a court sentence, although lower than the prosecution of the public prosecutor, was effective from the general prevention perspective. As a general prevention, this court sentence gives useful learning for the society that the one who is responsible for distributing pharmaceutical supplies is health provider. Those who are not health providers are not allowed to distribute pharmaceutical supplies and could be threathened and punished based on article 197 of The Health Law No. 36, 2009. Key Words: Health Law, Pharmaceutical supplies, Distributing permit, Health provider. Di dalam konsiderans UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan antara lain disebutkan bahwa setiap hal yang menyebabkan gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan negara. Pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 butir 1, 2, 4 dan 5 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan diberikan definisi mengenai kesehatan, sumber daya di bidang

Transcript of (SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN) OLEH · PDF filebedah mayat. Salah satu kegiatan...

Page 1: (SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN) OLEH · PDF filebedah mayat. Salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang disebut dalam Pasal 48 ayat (1) huruf n adalah

1

TINJAUAN UU N0. 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN

TERHADAP TINDAK PIDANA “DENGAN SENGAJA MENGEDARKAN

SEDIAAN FARMASI YANG TIDAK MEMILIKI IJIN EDAR”

(SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN)

OLEH ANNY RETNOWATI

ABSTRACT

This research was conducted to find out the functionalization of The Health Law

No. 36, 2009 as an Administrative Penal Code in overcoming the crime of

distributing pharmaceutical supplies without having distributing permit in the

district of Sleman State Court. This research used normative method. The result

showed that the law court sentenced six months imprisonment and Rp 1.000.000,-

fine in substitution of one month encirclement to the accused.

Such a court sentence, although lower than the prosecution of the public

prosecutor, was effective from the general prevention perspective. As a general

prevention, this court sentence gives useful learning for the society that the one

who is responsible for distributing pharmaceutical supplies is health provider.

Those who are not health providers are not allowed to distribute pharmaceutical

supplies and could be threathened and punished based on article 197 of The Health

Law No. 36, 2009.

Key Words: Health Law, Pharmaceutical supplies, Distributing permit, Health

provider.

Di dalam konsiderans UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan antara lain

disebutkan bahwa setiap hal yang menyebabkan gangguan kesehatan pada masyarakat

Indonesia akan menimbulkan kerugian yang besar bagi negara, dan setiap upaya

peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan

negara.

Pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 butir 1, 2, 4 dan 5 UU No. 36 tahun 2009

tentang Kesehatan diberikan definisi mengenai kesehatan, sumber daya di bidang

Page 2: (SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN) OLEH · PDF filebedah mayat. Salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang disebut dalam Pasal 48 ayat (1) huruf n adalah

2

kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan. Kesehatan menurut Pasal 1 butir 1 adalah

keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan

setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Begitu pentingnya kesehatan bagi setiap orang, maka perlu dilakukan upaya

pembangunan kesehatan yang menurut ketentuan Pasal 2 diselenggarakan berasaskan

perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan

kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan noram-norma agama. Di dalam

Pasal 3 dinyatakan bahwa pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan

kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat

kesehatan masyarakat yang setinggi-tinginya, sebagai investasi bagi pembangunan

sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis.

Sumber daya di bidang kesehatan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 butir 2

adalah segala bentuk dana, tenaga, perbekalan kesehatan, sediaan farmasi dan alat

kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan dan teknologi yang dimanfaatkan untuk

menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,

dan/atau masyarakat.

Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 2 di

atas lebih lanjut diatur dalam Pasal 47 yang menentukan bahwa penyelengaraan upaya

kesehatan tersebut dilakukan dalam bentuk kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan

rehabilitatif yang dilakukan secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan melalui

berbagai kegiatan yang disebutkan dalam Pasal 48 ayat (1) sebagai berikut:

a. pelayanan kesehatan;

b. pelayanan kesehatan tradisional;

c. peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit;

Page 3: (SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN) OLEH · PDF filebedah mayat. Salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang disebut dalam Pasal 48 ayat (1) huruf n adalah

3

d. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan;

e. kesehatan reproduksi;

f. keluarga berencana;

g. kesehatan sekolah;

h. kesehatan olahraga;

i. pelayanan kesehatan pada bencana;

j. pelayanan darah;

k. kesehatan gigi dan mulut;

l. penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran;

m. kesehatan matra;

n. pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan;

o. pengamanan makanan dan minuman;

p. pengamanan zat adiktif; dan/atau

q. bedah mayat.

Salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang disebut dalam

Pasal 48 ayat (1) huruf n adalah pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat

kesehatan. Sediaan farmasi berdasarkan Pasal 1 butir 4 adalah obat, bahan obat, obat

tradisional, dan kosmetika. Sedangkan alat kesehatan menurut Pasal 1 butir 5 adalah

instrumen, apparatus, mesin dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang

digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit,

merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk struktur

dan memperbaiki fungsi tubuh.

Pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan lebih lanjut diatur

dalam Pasal 98, 99, 104, 105, 106, 107 dan 108 UU No. 36 tahun 2009 tentang

Kesehatan. Pada Bab XX undang-undang ini diatur mengenai ketentuan pidana dari Pasal

190 s.d. Pasal 201. Karena memuat ketentuan pidana, maka UU No. 36 tahun 2009

tentang Kesehatan termasuk hukum pidana administrasi, khususnya di bidang

kesejahteraan sosial. Menurut Barda Nawawi Arief1, hukum pidana administrasi pada

1 Barda Nawawi, Arief. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

hlm.15-16.

Page 4: (SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN) OLEH · PDF filebedah mayat. Salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang disebut dalam Pasal 48 ayat (1) huruf n adalah

4

hakekatnya merupakan perwujudan dari kebijakan menggunakan hukum pidana sebagai

sarana untuk menegakkan/melaksanakan hukum administrasi. Jadi, merupakan bentuk

“fungsionalisasi/operasionalisasi/instrumentali- sasi hukum pidana di bidang

administrasi”.

Barda Nawawi Arief2 selanjutnya menjelaskan bahwa masalah penggunaan

hukum/sanksi pidana dalam hukum administrasi pada hakekatnya termasuk bagian dari

“kebijakan hukum pidana” („penal policy‟). Apabila bab “Ketentuan Pidana” UU No. 36

tahun 2009 tentang Kesehatan (Pasal 190 s.d. Pasal 201) diidentifikasi, maka akan

ditemukan pola formulasi kebijakan penal sebagai berikut:

1. UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menganut “single track system” (hanya

sanksi pidana).

2. Dalam hal menggunakan sanksi pidana, digunakan pidana pokok dan pidana

tambahan.

3. Pidana pokok yang digunakan adalah pidana penjara dan denda, sedangkan pidana

tambahan berupa pencabutan izin usaha dan pencabutan status badan hukum {Pasal

201 ayat (2)}.

4. Perumusan sanksi pidana di dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan

dilakukan secara tunggal dan kumulasi.

5. Pidana denda yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan

pemberatan 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal yang bersangkutan

{Pasal 201 ayat (1)}.

2 Ibid., hlm. 15-18.

Page 5: (SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN) OLEH · PDF filebedah mayat. Salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang disebut dalam Pasal 48 ayat (1) huruf n adalah

5

6. Di dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan tidak disebutkan kualifikasi

deliknya (“kejahatan”/ “pelanggaran”).

Dari pola formulasi kebijakan penal di dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang

Kesehatan sebagaimana diutarakan di atas, lebih jauh dapat dikatakan bahwa perumusan

sanksi pidana secara kumulasi (pidana penjara dan denda) ditemukan dalam Pasal 190

ayat (1) dan (2), Pasal 191, Pasal 193, Pasal 194, Pasal 195, Pasal 196, Pasal 197, Pasal

199 ayat (1), Pasal 200 dan Pasal 201 ayat (1). Sedangkan perumusan tunggal (hanya

pidana denda) ditemukan dalam Pasal 198, Pasal 199 ayat (2) dan Pasal 201 ayat (1).

Khusus mengenai kesengajaan/kejahatan/pelanggaran terhadap profesi yang berkaitan

dengan sediaan farmasi dan alat kesehatan diatur dalam Pasal 196, 197, dan 198 UU No.

36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang menentukan:

Pasal 196

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi

dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan,

atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3)

dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak

Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 197

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi

dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal

106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda

paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu liliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 198

Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik

kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda

paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Page 6: (SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN) OLEH · PDF filebedah mayat. Salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang disebut dalam Pasal 48 ayat (1) huruf n adalah

6

Berkaitan dengan fungsi hukum pidana administrasi sebagaimana diutarakan di atas,

maka peneliti ingin mengetahui bagaimana UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan

difungsionalisasikan, khususnya dalam penanggulangan tindak pidana “dengan sengaja

mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki ijin edar” yang pernah diproses di PN

Sleman dan bagaimana kinerja penegak hukum di wilayah hukum PN Sleman dalam

upaya penanggulangannya dengan menggunakan perangkat hukum yang ada guna

memberikan efek jera dalam rangka mengeliminir tindak pidana “dengan sengaja

mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki ijin edar” di Propinsi DIY di masa

yang akan datang dan sekaligus memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.

TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Bambang Poernomo3, pada masa lalu sampai abad ke-19 pandangan

masyarakat tentang pola pengobatan tumbuh dari cara ritual-mistis karena orang sakit

dianggap kutukan Tuhan, sehingga pengobatan tidak didasarkan secara rasional. Cara

ritual mistis kemudian berubah ke cara paternalistis-karitatif karena pengobatan

dilakukan oleh dokter yang dianggap orang pandai yang serba bisa, sehingga pengobatan

dilakukan oleh dokter secara tertutup dan orang sakit dianggap berserah diri tanpa hak

apapun untuk mengetahui permasalahan penyakit. Kedua cara ini mempunyai kelemahan

karena pasien harus percaya begitu saja walaupun terjadi akibat kematian dan/atau cacat

tetap sebagai si penderita tanpa hak untuk menggugat atau menuntut yang disebut

“implied-waiver” dalam pengobatan.

3 Bambang Poernomo, 2001. Hukum Kesehatan, Program Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat

Magister Managemen Pelayanan Kesehatan , UGM, Yogyakarta, hlm. 1 - 2.

Page 7: (SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN) OLEH · PDF filebedah mayat. Salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang disebut dalam Pasal 48 ayat (1) huruf n adalah

7

Sementara itu pada awal abad ke-20 tumbuh pula pandangan tentang gejala

konsumerisme dan komersialisme dalam pelayanan pengobatan baik di kalangan

masyarakat maupun di kalangan dokter yang berakibat merusak dasar filosofi bahwa

“pengobatan adalah pelayanan untuk manusia dan kemanusiaan tanpa pamrih apapun”,

sehingga masyarakat rentan yang lemah ekonomi nyaris tidak sanggup bersaing dalam

pelayanan pengobatan dan etika/moral penyandang jasa pengobatan oleh sebagian besar

dokter menunjukkan gejala merosot terbawa arus konsumerisme-komersialisme.

Pada pertengahan abad ke-20 terjadi “revolusi kesehatan” untuk melawan dan

menentang pola pengobatan paternalisits karitatif dan konsumersime/komersialisme

dengan beramai-ramai melakukan gugatan atau penuntutan terhadap para dokter atau

rumah sakit dengan cara mengajukan konflik yang tidak proporsional di muka

pengadilan. Perkembangan konflik pengobatan yang tidak proporsional tersebut

mengakibatkan para dokter dan rumah sakit menjadi tidak tenang dan diliputi was-was

untuk bekerja melayani pengobatan, karena setiap kegagalan atau kematian atau cacat

yang diakibatkan oleh jasa pengobatan yang merugikan pasien langsung dinyatakan

sebagai “konflik hukum” dengan gugatan atau tuntutan hukum. Pada hal sesunguhnya

pengobatan secara melekat “mengandung aspek resiko” baik terhadap pasien/masyarakat

maupun terhadap dokter/rumah sakit. Oleh karena itu diperlukan “perlindungan hukum”

bagi dokter dan rumah sakit di satu pihak, dan bagi pasien/masyarakat di pihak lain yang

menempatkan konflik pengobatan secara proporsional mengandung aspek hak asasi dan

kesejahteraan.

Oleh karena itu masyarakat internasional sepakat mengadakan perlindungan hukum

yang pada awalnya dinamakan “Hukum Kedokteran” dan selajutnya diperluas menjadi

Page 8: (SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN) OLEH · PDF filebedah mayat. Salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang disebut dalam Pasal 48 ayat (1) huruf n adalah

8

“Hukum Kesehatan” untuk meredakan revolusi yang berawal dari Amerika Serikat dan

Kanada dan terus melanda dunia di sekitar tahun 1950 – 1960. PBB memberikan

dukungan fasilitas terhadap World Health Organization (WHO) dan World Medical

Association (WMA) untuk mengembangkan hukum kedokteran (Medical Law) dan

hukum kesehatan (Health Law) dengan cara mengorganisasi Negara anggota PBB untuk

menyelenggarakan konggres atau seminar internasional agar hukum kedokteran/hukum

kesehatan ditumbuh kembangkan di setiap negara anggota PBB termasuk negara

Indonesia.

Sehubungan dengan apa yang diutarakan di atas, Alexandra Indriyati Dewi4

menegaskan bahwa di dalam ilmu kesehatan dikenal bebarapa asas sebagai berikut:

1. Sa science et sa conscience … ya ilmunya ya hati nuraninya, maksud dari

pernyataan asas ini adalah bahwa kepandaian seorang ahli kesehatan tidak boleh

bertentangan dengan hati nurani dan kamunusiaannya. Biasanya digunakan pada

pengaturan hak-hak dokter, dimana dokter berhak menolak dilakukannya tindakan

medis jika bertentangan dengan hati nuraninya.

2. Agroti Salus Lex Superma…keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi.

3. Deminimis noncurat lex…hukum tidak mencampuri hal-hal yang sepele. Hal ini

terkait dengan kelalaian yang dilakukan oleh petugas kesehatan. Selama

kelalaian tersebut tidak berdampak merugikan pasien maka hukum tidak akan

menuntut.

4 Alexandra Indriyanti Dewi, 2008. Etika dan Hukum Kesehatan, Cetakan I, Pustaka Book Publisher,

Yogyakarta, hlm.167.

Page 9: (SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN) OLEH · PDF filebedah mayat. Salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang disebut dalam Pasal 48 ayat (1) huruf n adalah

9

4. Res Ipsa liquitur…faktanya telah berbicara. Digunakan dalam kasus-kasus mal

praktek dimana kelalaian yang terjadi tidak perlu pembuktian lebih lanjut

karena faktanya terlihat jelas.

Keempat asas tersebut di atas jelas bersinggungan dengan kepentingan kehidupan

manusia, khususnya upaya peningkatan kualitas hidup manusia di bidang kesehatan.

Menurut Bahder Johan Nasution5, upaya peningkatan kualitas hidup manusia di bidang

kesehatan merupakan suatu usaha yang sangat luas dan menyeluruh, usaha tersebut

meliputi peningkatan kesehatan masyarakat baik fisik maupun non-fisik. Di dalam

Sistem Kesehatan Nasional disebutkan, bahwa kesehatan menyangkut semua segi

kehidupan yang ruang lingkup dan jangkauannya sangat luas dan kompleks. Hal ini

sejalan dengan pengertian kesehatan yang diberikan oleh dunia internasional sebagai: A

state of complete physical, mental, dan social, well being and not merely the absence of

desease or infirmity.

Bertolak dari batasan kesehatan yang diberikan oleh dunia internasional, khususnya

WHO sebagaimana disebutkan di atas, maka Soekidjo Notoatmodjo6 menegaskan

bahwa hal ini berarti kesehatan seseorang tidak hanya diukur dari aspek fisik, mental

dan sosial saja, tetapi juga diukur dari produktivitasnya dalam arti mempunyai

pekerjaan atau menghasilkan secara ekonomi. Bagi yang belum memasuki usia kerja,

anak dan remaja, atau bagi yang sudah tidak bekerja (pension) atau usila, berlaku

produktif secara sosial, yakni mempunyai kegiatan, misalnya sekolah bagi atau kuliah

5 Bahder Johan Nasution, 2005. Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, PT Rineka Cipta,

Jakarta, hlm. 1. 6 Soekidjo Notoatmodjo, 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Cetakan Pertama, PT Rineka

Cipta, Jakarta, hlm. 3-4.

Page 10: (SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN) OLEH · PDF filebedah mayat. Salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang disebut dalam Pasal 48 ayat (1) huruf n adalah

10

bagi anak dan remaja, dan kegiatan pelayanan sosial bagi usila. Keempat dimensi

kesehatan tersebut saling mempengaruhi dalam mewujudkan tingkat kesehatan pada

seseorang, kelompok, atau masyarakat. Itulah sebabnya, maka kesehatan itu bersifat

holistik atau menyeluruh. Wujud atau indikator dari masing-masing aspek tersebut

dalam kesehatan individu antara lain sebagai berikut:

1. Kesehatan fisik terwujud apabila seseorang tidak merasa sakit dan memang secara

klinis tidak sakit. Semua organ tubuh normal dan berfungsi normal atau tidak ada

gangguan fungsi tubuh.

2. Kesehatan mental (jiwa) ini mencakup tiga komponen, yakni: pikiran, emosional

dan spiritual. Pikiran yang sehat itu tercermin dari cara berpikir seseorang,

yakni mampu berpikir logis (masuk akal) atau berpikir secara runtut. Emosional

yang sehat tercermin dari kemampuan seseorang untuk mengeskpresikan

emosinya, misalnya takut, gembira, khawatir, sedih, dan sebagainya. Spiritual yang

sehat tercermin dari cara seseorang dalam mengekspresikan rasa syukur, pujian,

atau penyembahan terhadap sang pencipta alam dan seisinya (Allah Yang Maha

Kuasa). Secara mudah spiritual yang sehat ini dapat dilihat dari praktek keagamaan

atau kepercayaannya, serta perbuatan baik yang sesuai dengan norma-norma

masyarakat.

3. Kesehatan sosial terwujud apabila seseorang mampu berhubungan dengan orang lain

secara baik, atau mampu berinteraksi dengan orang atau kelompok lain tanpa

membeda-bedakan ras, suku, agama atau kepercayaan, status sosial, ekonomi, politik,

dan sebagainya, saling menghargai dan toleransi.

Page 11: (SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN) OLEH · PDF filebedah mayat. Salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang disebut dalam Pasal 48 ayat (1) huruf n adalah

11

4. Kesehatan dari aspek ekonomi terlihat dari produktivitas seseorang (dewasa) dalam

arti mempunyai kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang dapat menyokong

hidupnya atau keluarganya secara finansial. Bagi anak, remaja, dan usila dengan

sendirinya batasan ini tidak berlaku. Bagi mereka, produktif di sini diartikan

mempunyai kegiatan yang berguna bagi kehidupan nanti, misalnya sekolah atau

kuliah bagi siswa atau mahasiswa, dan kegiatan pelayanan atau keagamaan bagi para

usila.

Sehubungan dengan keempat asas dalam ilmu kesehatan yang jelas bersinggungan

dengan kepentingan kehidupan manusia, khususnya upaya peningkatan kualitas hidup

manusia di bidang kesehatan sebagaimana dikemukakan oleh Alexandra Indriyati Dewi

di atas, maka Bambang Poernomo7 memberikan beberapa penegasan sebagai berikut:

1. Pelayanan kesehatan yang mengandung “human services” untuk mewujudkan “human

right” dan “human welfare” membawa konsekuensi bahwa “pelayanan kesehatan

merupakan upaya kesehatan yang didukung oleh sumber daya kesehatan harus

memperhatikan fungsi sosial dan tanggung jawab sosial” yang dapat diartikan

mengedepankan pelayanan non-profit. Oleh karena itu pelayanan kesehatan harus

berhati-hati dalam mengembangkan managemen kesehatan agar tidak terjebak oleh

pengaruh bisnis/komersial yang menganggap kesehatan sebagai suatu usaha industri.

Apabila pelayanan kesehatan akan dikembangkan ke rana bisnis/komersial,

dikawatirkan timbul bahaya latent untuk terjadinya revolusi kedua seperti masa lalu

(1950) yang akan menuai konflik hukum dalam bentuk gugat menggugat/tuntut

7 Bambang Poernomo, 2001. Op. cit. hlm. 4-5.

Page 12: (SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN) OLEH · PDF filebedah mayat. Salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang disebut dalam Pasal 48 ayat (1) huruf n adalah

12

menuntut antara pihak pasien dan pihak dokter/rumah sakit sebagaimana telah

dijelaskan di atas.

2. Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi “standar

profesi dan menghormati hak pasien”. Standar profesi diartikan mengembangkan

pedoman/petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik. Empat hak asasi pasien

yang harus dihormati mencakup, a. hak informasi, b. hak untuk memberikan

persetujuan, c. hak atas rahasia kedokteran, dan d. hak atas pendapat kedua (second

opinion).

3. Tentang pembiayaan kesehatan menurut hukum kesehatan, berdasarkan standar

internasional harus dikembangkan pola “the system of payment for health care

providers and price regulation”. Pembiayan kesehatan ini harus dihubungkan dengan

dasar “social security” (jaminan sosial) dalam deklarasi HAM yang telah disepakati

secara internasional tentang, a. asuransi sosial kesehatan yang menyimpangi

ketentuan hukum asuransi komersial, dan b. pengadaan produksi obat generik yang

relatif murah karena menyimpangi ketentuan biaya lisensi perusahaan dan hak patent

penemuan jenis obat tertentu untuk kepentingan kesehatan.

Obat generik yang relatif murah dan jenis obat tertentu untuk kepentingan kesehatan

yang ditemukan dan perlu mendapat hak patent sebagaimana disebut dalam angka 3 butir

b di atas termasuk dalam sediaan farmasi dan alat kesehatan yang hanya dapat diedarkan

setelah mendapat izin edar sesuai dengan ketentuan Pasal 106 ayat (1) UU No. 36 tentang

Kesehatan. Apabila sediaan farmasi dan alat kesehatan diedarkan tanpa izin edar, maka

Page 13: (SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN) OLEH · PDF filebedah mayat. Salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang disebut dalam Pasal 48 ayat (1) huruf n adalah

13

si pelaku melanggar Pasal 197 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan dapat

dikenai sanksi pidana yang diancamkan dalam pasal tersebut.

Bertolak dari uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui penerapan

undang-undang ini di dalam praktek di pengadilan, khususnya di PN Sleman dalam

penanganan perkara tindak pidana „dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi yang

tidak memiliki ijin edar‟ dengan cara melakukan penelitian berjudul: “Tinjauan UU No.

36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Terhadap Tindak Pidana „Dengan Sengaja

Mengedarkan Sediaan Farmasi Yang Tidak Memiliki Ijin Edar‟; Suatu Studi Di Wilayah

Hukum PN Sleman” sebagaimana tercantum dalam judul penelitian di atas.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan cara mengkaji

kaidah-kaidah, konsep, pandangan, doktrin-doktrin hukum yang diperoleh dari bahan

hukum sekunder, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang berkaitan

dengan permasalahan yang dibahas yaitu UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang mendukung sebagai bahan hukum

primer.

Selain itu juga digunakan pendekatan kasus sebagai cara untuk mengetahui

bagaimana bahan-bahan hukum yang mengatur tentang masalah kesehatan

difungsionalisasikan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Sleman oleh para penegak

hukum yang berwenang dalam penangulangan tindak pidana “dengan sengaja

mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki ijin edar,” ditambah pendapat hukum

dengan cara mewawancarai Hakim yang pernah menangani perkara yang menjadi obyek

Page 14: (SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN) OLEH · PDF filebedah mayat. Salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang disebut dalam Pasal 48 ayat (1) huruf n adalah

14

penelitian dan Jaksa yang pernah menangani perkara sejenis. Setelah bahan hukum yang

diperlukan terkumpul, diadakan pengolahan data dengan menggunakan metode kualitatif.

Menurut F. Sugeng Istanto8, analisis kualitatif adalah analisis data yang didasarkan

atas kualitas, nilai, atau keadaan data yang diperoleh. Dengan kata lain pencarian

kebenaran dalam penelitian itu didasarkan atau diukur dengan kualitas, nilai atau keadaan

data yang bersangkutan. Analisis kualitatif dalam penelitian harus mendapat kebenaran

dengan mengukur data yang diperoleh dengan unsur-unsur ketentuan hukum yang

berlaku. Dalam penelitian ini kebenaran akan ditentukan berdasarkan kualitas data.

Analisis kualitatif dalam penelitian ini dilakukan dengan mengelompokkan data yang

berupa berkas putusan perkara tindak pidana „„dengan sengaja mengedarkan sediaan

farmasi yang tidak memiliki ijin edar‟‟, norma hukum pidana yang berkaitan dengan

tindak pidana „„dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki ijin

edar‟‟ sebagaimana diatur dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan

perundang-undangan lainnya yang digunakan dalam proses penyelesaian perkara tindak

pidana „„dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki ijin edar‟‟.

Analisis ini dilakukan dengan cara:

a) Perbandingan data

b) Ukuran berdasarkan prinsip hukum sebagaimana terdapat di dalam UUK

dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait.

8 F. Sugeng Istanto, 1999. “Teknik dan Metode Penelitian Hukum”, Makalah disampaikan pada

Pelatihan Penelitian Intensif Terfokus, Lembaga Penelitian UAJY, Yogyakarta, 10 Juli, hlm 6.

Page 15: (SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN) OLEH · PDF filebedah mayat. Salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang disebut dalam Pasal 48 ayat (1) huruf n adalah

15

Penarikan kesimpulan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode

deduksi. Menurut F. Sugeng Istanto9, metode deduksi adalah suatu cara mengungkap

suatu kebenaran dengan mengukur kesesuaian suatu spesies dengan genusnya. Di dalam

pembahasan tentang penerapan hukum positif ini, yang merupakan genus adalah UU No.

36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang berlaku umum, sedang spesiesnya adalah

peristiwa „„dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki ijin edar‟‟,

yang merupakan realisasi ketentuan hukum yang berlaku umum tersebut.

Hasil dan Pembahasan

Identitas Terdakwa dalam Putusan Perkara Pidana No. 80/Pid.B/2010/PN.SLMN.

“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”

Pengadilan Negeri Sleman yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana

yang diajukan dengan acara biasa pada tingkat pertama, telah menjatuhkan putusan

sebagai berikut dalam perkara terdakwa:

Nama Lengkap : Basuki Alias Bontet.

Tempat Lahir : Sleman.

Umur/tanggal lahir : 28/19 Nopember 1987.

Jenis Kelamin : Laki-laki.

Kebangsaan : Indonesia.

Tempat tinggal : Dusun Meijing Lor, Rt 03/RW 01, Ambarketawang,

Gamping, Sleman.

Agama : Islam.

Pekerjaan : Swasta.

Pendidikan : SMP (tidak lulus).

9 F. Sugeng Istanto, Penelitian Hukum, Cet. Ke 1, CV GANDA, Yogyakarta, hlm. 36.

Page 16: (SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN) OLEH · PDF filebedah mayat. Salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang disebut dalam Pasal 48 ayat (1) huruf n adalah

16

Kasus Posisi

Putusan perkara No. 80/Pid.B/2010/PN.SLMN. yang berkaitan dengan tindak

pidana „„dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki ijin edar‟‟

berawal dari perbuatan terdakwa Basuki alias Bonet pada hari Minggu tanggal

29 Nopember sekitar pukul 22.00 WIB, atau setidak-tidaknya pada suatu waktu

dalam tahun 2009, bertempat di rumah terdakwa di Dusun Meijing Lor RT 03/RW

01 Desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman atau setidak-

tidaknya di suatu tempat yang masih termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan

Negeri Sleman, dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan

atau alat kesehatan yang tidak memiliki ijin edar, sebagaimana dimaksud dalam Pasal

106 ayat (1), perbuatan tersebut dilakukan oleh terdakwa dengan cara sebagai berikut:

Pada hari Senin Sore tanggal 29 Nopember 2009 sekitar pukul 21.30 WIB,

terdakwa Basuki alias Bontet telah membeli obat keras pil Trihexypenidyl dari saksi

Erick Irawan (diberkas tersendiri) di Gampingan, Pekuncen, Wirobrajan, Yogyakarta

sebanyak 9 (sembilan) butir dengan harga Rp 20.000,- (dua puluh ribu rupiah). Setelah

terdakwa mendapatkan pil Trihexypenidyl, pada hari Minggu tanggal 29 Nopember

2009 sekitar pukul 22.00 WIB bertempat di rumah terdakwa di Dusun Meijing Lor RT

03, Rw 01, Ambarketawang, Gamping, Sleman, pil Trihexypenidyl dijual oleh terdakwa

kepada saksi Danang Novi Ardian seharga RP 30.000,- (tiga puluh ribu rupiah),

kemudian pil Trihexypenidyl tersebut oleh saksi Danang Novi Ardian digunakan

sebanyak 1 (satu) butir.

Pada tanggal 29 Nopember 2009 sekitar pukul 22.00 pada saat berada di utara

perempatan lampu merah Sidoluhur, Godean, Sleman saksi Danang Novi Ardian

Page 17: (SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN) OLEH · PDF filebedah mayat. Salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang disebut dalam Pasal 48 ayat (1) huruf n adalah

17

ditangkap oleh Sat Narkoba Polres Sleman. Setelah dilakukan penggeledahan badan

dan pakaian, ditemukan 8 (delapan) butir pil Trihexypenidyl yang berada di dalam saku

celananya sebelah depan, yang menurut pengakuan terdakwa pil tersebut miliknya dan

diperoleh dari terdakwa dengan cara dibeli. Selanjutnya petugas melakukan

penangkapan terhadap terdakwa di rumahnya, namun setelah dilakukan penggeledahan

badan dan pakaian serta rumah tidak ditemukan apa-apa. Pada saat mengedarkan

sediaan farmasi terdakwa tidak memiliki ijin dari pihak berwenang dan tanpa ijin

edarnya.

Pada tanggal 16 Desember 2009 dilakukan pemeriksaan terhadap barang bukti di

Laboratorium Kriminalistik Cabang Semarang Nomor Lab.1365/KNF/XII/2009 yang

ditandatangani Setijani Dwi Astuti, S.K.M. B. Nrcahyo, S.Si.M. Biotech dan Ibu

Sutarto, ST. selaku pemeriksa pada laboratorium Forensik, dan diperoleh kesimpulan

bahwa barang bukti nomor: BB. 2513/2009 berupa 8 (delapan) butir tablet

Trihexyhenidyl warna putih tersebut di atas mengandung Trihexyhenidyl HCL yang

termasuk dalam daftar Obat Keras/Daftar G.

Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Atas perbuatan terdakwa Basuki Alias Bontet yang telah mengedarkan sediaan

farmasi yang tidak memiliki ijin edar, maka Jaksa Penuntut Umum membuat dakwaan

alternatif sebagai berikut:

Kesatu: Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 197 UU

No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

Kedua: Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal

12 ayat (1) huruf a jo Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Obat Keras 1949.

Page 18: (SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN) OLEH · PDF filebedah mayat. Salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang disebut dalam Pasal 48 ayat (1) huruf n adalah

18

Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Berdasarkan dakwaan tersebut di atas, maka Jaksa Penuntut Umum pada pokoknya

menuntut supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sleman yang memeriksa perkara

ini:

1. menyatakan terdakwa Basuki alias Bontet bersalah melakukan tindak pidana

„„dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat

kesehatan yang tidak memiliki ijin edar” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106

ayat (1) UU No. 36 tahun 2009, dan diancam pidana dalam Pasal 197 UU No. 36

Tahun 2009 tentang Kesehatan.

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana

penjara selama 7 (tujuh) bulan dikurangi selama terdakwa dalam tahanan

sementara dan denda sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) susidair 1 (bulan)

kurungan.

3. Menyatakan barang bukti berupa:

- 8 butir pil holly Trihexyhenidyl diambil 8 (delapan) butir warna putih dirampas

untuk dimusnahkan.

4. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan sepenuhnya

dari pidana yang dijatuhkan.

5. Menetapkan terdakwa tetap ditahan.

6. Menetapkan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp 1.000,-

(seribu rupiah).

Page 19: (SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN) OLEH · PDF filebedah mayat. Salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang disebut dalam Pasal 48 ayat (1) huruf n adalah

19

Pembelaan diri (Pleidoi) terdakwa

Terdakwa secara lisan mengajukan pembelaan yang pada pokoknya berisi

pengakuan bersalah dan penyesalan atas perbuatannya serta janji untuk tidak lagi

melakukan perbuatan pidana. Oleh karena itu terdakwa memohon agar dijatuhi

hukuman yang seringan-ringannya dengan alasan terdakwa tidak lagi mengulangi

melakukan perbuatan pidana.

Putusan Perkara Pidana No. 80/Pid.B/2010/PN.SLMN.

Sebelum menjatuhkan pidana terhadap terdakwa terlebih dahulu Mejelis Hakim

mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan memberatkan sebagai berikut:

Yang meringankan:

- Terdakwa berlaku sopan di persidangan dan mengakui terus terang perbuatannya

sehingga tidak mempersulit jalannya sidang;

- Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatanya.

Yang memberatkan:

- Perbuatan terdakwa bertentangan dengan UU No. 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan yang seharusnya tidak boleh dilakukan terdakwa.

Mengingat dan memperhatikan Undang-undang yang bersangkutan terutama Pasal

197 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, serta peraturan perundang-undangan

lain yang bersangkutan;

M E N G A D I L I

1. Menyatakan bahwa terdakwa Basuki alias Bontet terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja mengedarkan

sediaan farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak memiliki ijin edar”;

Page 20: (SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN) OLEH · PDF filebedah mayat. Salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang disebut dalam Pasal 48 ayat (1) huruf n adalah

20

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 6 (empat)

bulan dan denda sebesar Rp 1.000,000,- (satu juta rupiah) dengan ketentuan apabila

denda tersebut tidak dibayar diganti dengan 1 (satu) bulan kurungan;

3. Menetapkan lamanya terdakwa berada dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dari

pidana yang dijatuhkan;

4. Memerintahkan terdakwa tetap dalam tahanan;

5. Menetapkan barang bukti berupa:

- 8 butir pil holly Trihexyhenidyl diambil 8 (delapan) butir warna putih dirampas

untuk dimusnahkan.

6. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp 2.000- (dua ribu rupiah).

Demikianlah dijatuhkan putusan ini pada hari: Selasa, tanggal 23 Maret 2010

dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sleman yang terdiri

dari: Ujianti SH., MH., sebagai Ketua Majelis, Anton Budi Santosa, SH., dan

Nuryanto, SH., masing-masing sebagai Hakim Anggota, yang diucapkan dalam

sidang terbuka untuk umum, oleh Ketua Majelis tersebut dengan dihadiri Hakim-Hakim

Anggota tersebut dan dibantu oleh Eka Surya Setiawan, SH., sebagai Panitera

Pengganti pada Pengadilan Negeri Sleman, serta dihadiri oleh Sadiyo, SH., Jaksa

Penuntut Umum serta Terdakwa.

Dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa dan adanya barang-barang bukti

yang diajukan dalam perkara ini, maka kesalahan terdakwa dapat dibuktikan yakni

melanggar Pasal 197 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam dakwaan kesatu

Jaksa Penuntut Umum. Oleh karena itu Majelis Hakim PN Sleman yang memeriksa dan

Page 21: (SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN) OLEH · PDF filebedah mayat. Salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang disebut dalam Pasal 48 ayat (1) huruf n adalah

21

mengadili perkara ini menjatuhkan putusan terhadap terdakwa berupa pidana penjara

selama 6 (empat) bulan dikurangi masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dan

denda sebesar Rp 1.000,000,- (satu juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda

tersebut tidak dibayar diganti dengan 1 (satu) bulan kurungan.

Kesalahan terdakwa tersebut dapat disimpulkan setelah Majelis Hakim menemukan

adanya fakta-fakta hukum yang mengindikasikan adanya pelanggaran hukum

sebagaimana dituduhkan kepada terdakwa. Fakta-fakta hukum tersebut adalah:

1. Pada hari Minggu tanggal 29 Nopember 2009, sekitar pukul 21.30 WIB, di

Gampingan WB 1/726 Rt. 045 Rw. 010, Pecuncen, Wirobrajan, Yogyakarta,

terdakwa telah membeli Pil Trihexypenidyl sebanyak 9 (sembilan) seharga Rp

20.000,- (dua puluh ribu rupiah) dari Erick Irawan alias Erick Tato.

2. Pada hari Minggu tanggal 29 Nopember 2009, sekitar pukul 22.00 WIB, di

dusun Meijing Lor Rt.03. Rw.01, Ambarketawang, Gamping, Sleman, terdakwa

telah menjual Pil Trihexypenidyl sebanyak 9 (sembilan) seharga Rp 50.000,-

(lima puluh ribu rupiah) kepada Danang Novi Ardian.

3. Pada hari Minggu tanggal 29 Nopember 2009, sekitar pukul 22.45 WIB di dusun

Meijing Lor Rt.03. Rw.01, Ambarketawang, Gamping, Sleman, terdakwa

ditangkap oleh Petugas Sat narkoba Polres Sleman dan terdakwa mengakui telah

membawa/menjual/mengedarkan Pil Trihexypenidyl tanpa ijin edar dari pihak yang

berwenang.

Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat bahwa

telah terjadi suatu peristiwa berupa perbuatan terdakwa Basuki alias Bontet pada hari

Minggu tanggal 29 Nopember 2009, sekitar pukul 21.30 WIB, di Gampingan WB

Page 22: (SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN) OLEH · PDF filebedah mayat. Salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang disebut dalam Pasal 48 ayat (1) huruf n adalah

22

1/726 Rt. 045 Rw. 010, Pecuncen, Wirobrajan, Yogyakarta, telah membeli Pil

Trihexypenidyl sebanyak 9 (sembilan) seharga Rp 20.000,- (dua puluh ribu rupiah)

dari Erick Irawan alias Erick Tato, dan kemudian pada hari Minggu tanggal 29

Nopember 2009, sekitar pukul 22.00 WIB, di dusun Meijing Lor Rt.03. Rw.01,

Ambarketawang, Gamping, Sleman, terdakwa telah menjual Pil Trihexypenidyl

sebanyak 9 (sembilan) seharga Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) kepada Danang

Novi Ardian. Sebagai akibat perbuatan tersebut maka pada hari Minggu tanggal 29

Nopember 2009, sekitar pukul 22.45 WIB di dusun Meijing Lor Rt.03. Rw.01,

Ambarketawang, Gamping, Sleman, terdakwa ditangkap oleh Petugas Sat Narkoba

Polres Sleman dan terdakwa mengakui telah membawa/menjual/mengedarkan Pil

Trihexypenidyl tanpa ijin edar dari pihak yang berwenang.

Untuk memperoleh keyakinan bahwa peristiwa tersebut merupakan tindak pidana

“dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak

memiliki ijin edar,” Majelis Hakim mempertimbangkan unsur-unsur dari pasal yang

paling sesuai dengan perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa yaitu Pasal 197

UU No. 36 tentang Kesehatan yang menentukan:

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi

dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki ijin edar sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)

tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta

rupiah).

Dari konstruksi pasal tersebut di atas, ada dua unsur yang harus dibuktikan oleh

Majelis hakim dalam penyelesaian perkara ini yaitu:

1. barang siapa; dan

Page 23: (SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN) OLEH · PDF filebedah mayat. Salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang disebut dalam Pasal 48 ayat (1) huruf n adalah

23

2. dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi/alat kesehatan

yang tidak memiliki ijin edar.

Adanya kedua unsur ini telah dapat dibuktikan oleh Majelis Hakim. Berdasarkan

fakta-fakta yang terungkap di persidangan dan keterangan para saksi dan terdakwa,

serta dihubungkan pula dengan barang bukti yang diajukan di persidangan, maka

Majelis Hakim telah mendapat cukup bukti yang sah dan menyakinkan menurut

hukum, bahwa terdakwa telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana: “dengan

sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak memiliki ijin

edar” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 UU No. 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan.

Berdasarkan doktrin hukum pidana10

, yang dimaksud dengan sengaja adalah

adanya kehendak atau sikap batin terdakwa untuk melakukan suatu perbuatan, serta

mengerti dan menginsafi perbuatan tersebut. Ada tiga corak kesengajaan dalam teori

hukum pidana, yaitu kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kepastian, dan

kenengajaan sebagai kemungkinan.

Corak kesengajaan yang dapat dibuktikan oleh Majelis Hakim adalah kesengajaan

dengan maksud. Dikatakan demikian karena berdasarkan fakta yang terungkap di

persidangan bahwa ketika dilakukan penggeledahan, tidak ditemukan Pil

Trihexypenidyl di badan, pakaian dan rumah terdakwa, tetapi terdakwa mengakui telah

membawa/menjual/mengedarkan Pil Trihexypenidyl tanpa ijin edar dari pihak yang

berwenang. Obat jenis Trihexypenidyl termasuk obat yang menurut Pasal 1 angka 4 UU

No. 36 tentang Kesehatan merupakan sediaan farmasi yang berdasarkan ketentuan

Pasal 106 ayat (1) untuk mengedarkannya harus ada ijin edar. Terdakwa mengakui

10

Moeljatno, 2008. Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 191.

Page 24: (SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN) OLEH · PDF filebedah mayat. Salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang disebut dalam Pasal 48 ayat (1) huruf n adalah

24

bahwa dia tidak memiliki ijin untuk mengedarkan sediaan farmasi berupa pil

Trihexypenidyl namun dalam kenyataannya terdakwa telah membeli pil tersebut dari

Erick Irawan alias Erick Tato dan mengedarkannya dengan cara menjual kepada

Danang Novi Ardian tanpa izin edar atas sediaan farmasi tersebut, dan memang hal

inilah yang menjadi maksud terdakwa.

Dengan adanya pertimbangan terhadap hal-hal yang memberatkan dan meringankan

terdakwa, maka dapat dipahami bahwa pidana yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim ini

lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum, karena terdakwa dituntut pidana

penjara selama 7 (tujuh) bulan dikurangi selama terdakwa dalam tahanan sementara

dengan perintah terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta

rupiah) susidair 1 (bulan) kurungan oleh Jaksa Penuntut Umum, namun Majelis Hakim

menjatuhkan pidana penjara selama 6 (enam) bulan dikurangi selama terdakwa

dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar

Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) susidair 1 (bulan) kurungan.

Bila putusan ini dihubungkan dengan ketentuan Pasal Pasal 197 UU No. 36

tentang Kesehatan yang memuat ketentuan pidana penjara paling lama paling lama 15

(lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus

juta rupiah), maka menurut peneliti putusan tersebut sudah layak dan pantas dijatuhkan

kepada terdakwa, karena peneliti setuju dengan pertimbangan Majelis Hakim yang

memberatkan terdakwa yaitu bahwa perbuatan tedakwa perbuatan terdakwa

bertentangan dengan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang seharusnya

tidak boleh dilakukan terdakwa.

Page 25: (SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN) OLEH · PDF filebedah mayat. Salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang disebut dalam Pasal 48 ayat (1) huruf n adalah

25

Pertimbangan yang demikian itu benar karena mengedarkan sediaan farmasi hanya

boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU No. 36

Tahun 2009 tentang Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam

bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau ketrampilan melalui pendidikan

di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk

melakukan upaya kesehatan.

Simpulan dan Saran

Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa di dalam perkara ini Majelis

Hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 6 (enam)

bulan dikurangi selama terdakwa dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa

tetap ditahan dan denda sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) susidair 1 (bulan)

kurungan, karena terdakwa terbukti bersalah telah melakukan tindak pidana “dengan

sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak memiliki ijin

edar” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 UU No. 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan yang dituduhkan Jaksa Penuntut Umum terhadap terdakwa.

Bertolak dari kesimpulan di atas disarankan agar Pemerintah, dalam hal ini Dinas

Kesehatan proaktif dalam memberikan pembinaan dan melakukan pengawasan sesuai

dengan ketentuan Pasal 178 dan 179 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan agar

timbul kesadaran dalam masyarakat bahwa yang dapat diberi ijin untuk mengedarkan

sediaan farmasi dan atau alat kesehatan adalah Tenaga Kesehatan sebagaiman

dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Hal ini

diperlukan untuk mencegah hal-hal yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat

pada umumnya.

Page 26: (SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN) OLEH · PDF filebedah mayat. Salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang disebut dalam Pasal 48 ayat (1) huruf n adalah

26

DAFTAR PUSTAKA

Indriyanti Dewi, Alexandra. 2008. Etika dan Hukum Kesehatan, Cetakan I,

Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.

Istanto, Sugeng. 1999. “Teknik dan Metode Penelitian Hukum”, Makalah disampaikan

pada Pelatihan Penelitian Intensif Terfokus, Yogyakarta: Lembaga

Penelitian UAJY, 10 Juli.

______________. 2007. Penelitian Hukum, Cet. Ke 1, Yogyakarta: CV G A N D A.

Moeljatno, 2008. Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Jakarta: PT Rineka Cipta.

Nasution, Bahder Johan. 2005. Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter,

Jakarta: PT Rineka Cipta.

Nawawi Arief, Barda. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Penerbit PT.

Citra Aditya Bakti.

Notoatmodjo, Soekidjo 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Cetakan

Pertama, Jakarta : PT Rineka Cipta.

Poernomo, Bambang. 2001. Hukum Kesehatan, Yogyakarta: Program Pasca Sarjana

Ilmu Kesehatan Masyarakat Magister Managemen Pelayanan Kesehatan,

UGM.

UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

PP No. 72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan.

Page 27: (SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN) OLEH · PDF filebedah mayat. Salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang disebut dalam Pasal 48 ayat (1) huruf n adalah

27

Page 28: (SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN) OLEH · PDF filebedah mayat. Salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang disebut dalam Pasal 48 ayat (1) huruf n adalah

28