(SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN) OLEH · PDF filebedah mayat. Salah satu kegiatan...
-
Upload
truongkhanh -
Category
Documents
-
view
217 -
download
0
Transcript of (SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN) OLEH · PDF filebedah mayat. Salah satu kegiatan...
1
TINJAUAN UU N0. 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN
TERHADAP TINDAK PIDANA “DENGAN SENGAJA MENGEDARKAN
SEDIAAN FARMASI YANG TIDAK MEMILIKI IJIN EDAR”
(SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN)
OLEH ANNY RETNOWATI
ABSTRACT
This research was conducted to find out the functionalization of The Health Law
No. 36, 2009 as an Administrative Penal Code in overcoming the crime of
distributing pharmaceutical supplies without having distributing permit in the
district of Sleman State Court. This research used normative method. The result
showed that the law court sentenced six months imprisonment and Rp 1.000.000,-
fine in substitution of one month encirclement to the accused.
Such a court sentence, although lower than the prosecution of the public
prosecutor, was effective from the general prevention perspective. As a general
prevention, this court sentence gives useful learning for the society that the one
who is responsible for distributing pharmaceutical supplies is health provider.
Those who are not health providers are not allowed to distribute pharmaceutical
supplies and could be threathened and punished based on article 197 of The Health
Law No. 36, 2009.
Key Words: Health Law, Pharmaceutical supplies, Distributing permit, Health
provider.
Di dalam konsiderans UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan antara lain
disebutkan bahwa setiap hal yang menyebabkan gangguan kesehatan pada masyarakat
Indonesia akan menimbulkan kerugian yang besar bagi negara, dan setiap upaya
peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan
negara.
Pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 butir 1, 2, 4 dan 5 UU No. 36 tahun 2009
tentang Kesehatan diberikan definisi mengenai kesehatan, sumber daya di bidang
2
kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan. Kesehatan menurut Pasal 1 butir 1 adalah
keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan
setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Begitu pentingnya kesehatan bagi setiap orang, maka perlu dilakukan upaya
pembangunan kesehatan yang menurut ketentuan Pasal 2 diselenggarakan berasaskan
perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan
kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan noram-norma agama. Di dalam
Pasal 3 dinyatakan bahwa pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tinginya, sebagai investasi bagi pembangunan
sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis.
Sumber daya di bidang kesehatan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 butir 2
adalah segala bentuk dana, tenaga, perbekalan kesehatan, sediaan farmasi dan alat
kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan dan teknologi yang dimanfaatkan untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau masyarakat.
Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 2 di
atas lebih lanjut diatur dalam Pasal 47 yang menentukan bahwa penyelengaraan upaya
kesehatan tersebut dilakukan dalam bentuk kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif yang dilakukan secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan melalui
berbagai kegiatan yang disebutkan dalam Pasal 48 ayat (1) sebagai berikut:
a. pelayanan kesehatan;
b. pelayanan kesehatan tradisional;
c. peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit;
3
d. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan;
e. kesehatan reproduksi;
f. keluarga berencana;
g. kesehatan sekolah;
h. kesehatan olahraga;
i. pelayanan kesehatan pada bencana;
j. pelayanan darah;
k. kesehatan gigi dan mulut;
l. penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran;
m. kesehatan matra;
n. pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan;
o. pengamanan makanan dan minuman;
p. pengamanan zat adiktif; dan/atau
q. bedah mayat.
Salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang disebut dalam
Pasal 48 ayat (1) huruf n adalah pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat
kesehatan. Sediaan farmasi berdasarkan Pasal 1 butir 4 adalah obat, bahan obat, obat
tradisional, dan kosmetika. Sedangkan alat kesehatan menurut Pasal 1 butir 5 adalah
instrumen, apparatus, mesin dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang
digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit,
merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk struktur
dan memperbaiki fungsi tubuh.
Pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan lebih lanjut diatur
dalam Pasal 98, 99, 104, 105, 106, 107 dan 108 UU No. 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan. Pada Bab XX undang-undang ini diatur mengenai ketentuan pidana dari Pasal
190 s.d. Pasal 201. Karena memuat ketentuan pidana, maka UU No. 36 tahun 2009
tentang Kesehatan termasuk hukum pidana administrasi, khususnya di bidang
kesejahteraan sosial. Menurut Barda Nawawi Arief1, hukum pidana administrasi pada
1 Barda Nawawi, Arief. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
hlm.15-16.
4
hakekatnya merupakan perwujudan dari kebijakan menggunakan hukum pidana sebagai
sarana untuk menegakkan/melaksanakan hukum administrasi. Jadi, merupakan bentuk
“fungsionalisasi/operasionalisasi/instrumentali- sasi hukum pidana di bidang
administrasi”.
Barda Nawawi Arief2 selanjutnya menjelaskan bahwa masalah penggunaan
hukum/sanksi pidana dalam hukum administrasi pada hakekatnya termasuk bagian dari
“kebijakan hukum pidana” („penal policy‟). Apabila bab “Ketentuan Pidana” UU No. 36
tahun 2009 tentang Kesehatan (Pasal 190 s.d. Pasal 201) diidentifikasi, maka akan
ditemukan pola formulasi kebijakan penal sebagai berikut:
1. UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menganut “single track system” (hanya
sanksi pidana).
2. Dalam hal menggunakan sanksi pidana, digunakan pidana pokok dan pidana
tambahan.
3. Pidana pokok yang digunakan adalah pidana penjara dan denda, sedangkan pidana
tambahan berupa pencabutan izin usaha dan pencabutan status badan hukum {Pasal
201 ayat (2)}.
4. Perumusan sanksi pidana di dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
dilakukan secara tunggal dan kumulasi.
5. Pidana denda yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan
pemberatan 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal yang bersangkutan
{Pasal 201 ayat (1)}.
2 Ibid., hlm. 15-18.
5
6. Di dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan tidak disebutkan kualifikasi
deliknya (“kejahatan”/ “pelanggaran”).
Dari pola formulasi kebijakan penal di dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan sebagaimana diutarakan di atas, lebih jauh dapat dikatakan bahwa perumusan
sanksi pidana secara kumulasi (pidana penjara dan denda) ditemukan dalam Pasal 190
ayat (1) dan (2), Pasal 191, Pasal 193, Pasal 194, Pasal 195, Pasal 196, Pasal 197, Pasal
199 ayat (1), Pasal 200 dan Pasal 201 ayat (1). Sedangkan perumusan tunggal (hanya
pidana denda) ditemukan dalam Pasal 198, Pasal 199 ayat (2) dan Pasal 201 ayat (1).
Khusus mengenai kesengajaan/kejahatan/pelanggaran terhadap profesi yang berkaitan
dengan sediaan farmasi dan alat kesehatan diatur dalam Pasal 196, 197, dan 198 UU No.
36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang menentukan:
Pasal 196
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi
dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan,
atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 197
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi
dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu liliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 198
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik
kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda
paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
6
Berkaitan dengan fungsi hukum pidana administrasi sebagaimana diutarakan di atas,
maka peneliti ingin mengetahui bagaimana UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
difungsionalisasikan, khususnya dalam penanggulangan tindak pidana “dengan sengaja
mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki ijin edar” yang pernah diproses di PN
Sleman dan bagaimana kinerja penegak hukum di wilayah hukum PN Sleman dalam
upaya penanggulangannya dengan menggunakan perangkat hukum yang ada guna
memberikan efek jera dalam rangka mengeliminir tindak pidana “dengan sengaja
mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki ijin edar” di Propinsi DIY di masa
yang akan datang dan sekaligus memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Bambang Poernomo3, pada masa lalu sampai abad ke-19 pandangan
masyarakat tentang pola pengobatan tumbuh dari cara ritual-mistis karena orang sakit
dianggap kutukan Tuhan, sehingga pengobatan tidak didasarkan secara rasional. Cara
ritual mistis kemudian berubah ke cara paternalistis-karitatif karena pengobatan
dilakukan oleh dokter yang dianggap orang pandai yang serba bisa, sehingga pengobatan
dilakukan oleh dokter secara tertutup dan orang sakit dianggap berserah diri tanpa hak
apapun untuk mengetahui permasalahan penyakit. Kedua cara ini mempunyai kelemahan
karena pasien harus percaya begitu saja walaupun terjadi akibat kematian dan/atau cacat
tetap sebagai si penderita tanpa hak untuk menggugat atau menuntut yang disebut
“implied-waiver” dalam pengobatan.
3 Bambang Poernomo, 2001. Hukum Kesehatan, Program Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat
Magister Managemen Pelayanan Kesehatan , UGM, Yogyakarta, hlm. 1 - 2.
7
Sementara itu pada awal abad ke-20 tumbuh pula pandangan tentang gejala
konsumerisme dan komersialisme dalam pelayanan pengobatan baik di kalangan
masyarakat maupun di kalangan dokter yang berakibat merusak dasar filosofi bahwa
“pengobatan adalah pelayanan untuk manusia dan kemanusiaan tanpa pamrih apapun”,
sehingga masyarakat rentan yang lemah ekonomi nyaris tidak sanggup bersaing dalam
pelayanan pengobatan dan etika/moral penyandang jasa pengobatan oleh sebagian besar
dokter menunjukkan gejala merosot terbawa arus konsumerisme-komersialisme.
Pada pertengahan abad ke-20 terjadi “revolusi kesehatan” untuk melawan dan
menentang pola pengobatan paternalisits karitatif dan konsumersime/komersialisme
dengan beramai-ramai melakukan gugatan atau penuntutan terhadap para dokter atau
rumah sakit dengan cara mengajukan konflik yang tidak proporsional di muka
pengadilan. Perkembangan konflik pengobatan yang tidak proporsional tersebut
mengakibatkan para dokter dan rumah sakit menjadi tidak tenang dan diliputi was-was
untuk bekerja melayani pengobatan, karena setiap kegagalan atau kematian atau cacat
yang diakibatkan oleh jasa pengobatan yang merugikan pasien langsung dinyatakan
sebagai “konflik hukum” dengan gugatan atau tuntutan hukum. Pada hal sesunguhnya
pengobatan secara melekat “mengandung aspek resiko” baik terhadap pasien/masyarakat
maupun terhadap dokter/rumah sakit. Oleh karena itu diperlukan “perlindungan hukum”
bagi dokter dan rumah sakit di satu pihak, dan bagi pasien/masyarakat di pihak lain yang
menempatkan konflik pengobatan secara proporsional mengandung aspek hak asasi dan
kesejahteraan.
Oleh karena itu masyarakat internasional sepakat mengadakan perlindungan hukum
yang pada awalnya dinamakan “Hukum Kedokteran” dan selajutnya diperluas menjadi
8
“Hukum Kesehatan” untuk meredakan revolusi yang berawal dari Amerika Serikat dan
Kanada dan terus melanda dunia di sekitar tahun 1950 – 1960. PBB memberikan
dukungan fasilitas terhadap World Health Organization (WHO) dan World Medical
Association (WMA) untuk mengembangkan hukum kedokteran (Medical Law) dan
hukum kesehatan (Health Law) dengan cara mengorganisasi Negara anggota PBB untuk
menyelenggarakan konggres atau seminar internasional agar hukum kedokteran/hukum
kesehatan ditumbuh kembangkan di setiap negara anggota PBB termasuk negara
Indonesia.
Sehubungan dengan apa yang diutarakan di atas, Alexandra Indriyati Dewi4
menegaskan bahwa di dalam ilmu kesehatan dikenal bebarapa asas sebagai berikut:
1. Sa science et sa conscience … ya ilmunya ya hati nuraninya, maksud dari
pernyataan asas ini adalah bahwa kepandaian seorang ahli kesehatan tidak boleh
bertentangan dengan hati nurani dan kamunusiaannya. Biasanya digunakan pada
pengaturan hak-hak dokter, dimana dokter berhak menolak dilakukannya tindakan
medis jika bertentangan dengan hati nuraninya.
2. Agroti Salus Lex Superma…keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi.
3. Deminimis noncurat lex…hukum tidak mencampuri hal-hal yang sepele. Hal ini
terkait dengan kelalaian yang dilakukan oleh petugas kesehatan. Selama
kelalaian tersebut tidak berdampak merugikan pasien maka hukum tidak akan
menuntut.
4 Alexandra Indriyanti Dewi, 2008. Etika dan Hukum Kesehatan, Cetakan I, Pustaka Book Publisher,
Yogyakarta, hlm.167.
9
4. Res Ipsa liquitur…faktanya telah berbicara. Digunakan dalam kasus-kasus mal
praktek dimana kelalaian yang terjadi tidak perlu pembuktian lebih lanjut
karena faktanya terlihat jelas.
Keempat asas tersebut di atas jelas bersinggungan dengan kepentingan kehidupan
manusia, khususnya upaya peningkatan kualitas hidup manusia di bidang kesehatan.
Menurut Bahder Johan Nasution5, upaya peningkatan kualitas hidup manusia di bidang
kesehatan merupakan suatu usaha yang sangat luas dan menyeluruh, usaha tersebut
meliputi peningkatan kesehatan masyarakat baik fisik maupun non-fisik. Di dalam
Sistem Kesehatan Nasional disebutkan, bahwa kesehatan menyangkut semua segi
kehidupan yang ruang lingkup dan jangkauannya sangat luas dan kompleks. Hal ini
sejalan dengan pengertian kesehatan yang diberikan oleh dunia internasional sebagai: A
state of complete physical, mental, dan social, well being and not merely the absence of
desease or infirmity.
Bertolak dari batasan kesehatan yang diberikan oleh dunia internasional, khususnya
WHO sebagaimana disebutkan di atas, maka Soekidjo Notoatmodjo6 menegaskan
bahwa hal ini berarti kesehatan seseorang tidak hanya diukur dari aspek fisik, mental
dan sosial saja, tetapi juga diukur dari produktivitasnya dalam arti mempunyai
pekerjaan atau menghasilkan secara ekonomi. Bagi yang belum memasuki usia kerja,
anak dan remaja, atau bagi yang sudah tidak bekerja (pension) atau usila, berlaku
produktif secara sosial, yakni mempunyai kegiatan, misalnya sekolah bagi atau kuliah
5 Bahder Johan Nasution, 2005. Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, PT Rineka Cipta,
Jakarta, hlm. 1. 6 Soekidjo Notoatmodjo, 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Cetakan Pertama, PT Rineka
Cipta, Jakarta, hlm. 3-4.
10
bagi anak dan remaja, dan kegiatan pelayanan sosial bagi usila. Keempat dimensi
kesehatan tersebut saling mempengaruhi dalam mewujudkan tingkat kesehatan pada
seseorang, kelompok, atau masyarakat. Itulah sebabnya, maka kesehatan itu bersifat
holistik atau menyeluruh. Wujud atau indikator dari masing-masing aspek tersebut
dalam kesehatan individu antara lain sebagai berikut:
1. Kesehatan fisik terwujud apabila seseorang tidak merasa sakit dan memang secara
klinis tidak sakit. Semua organ tubuh normal dan berfungsi normal atau tidak ada
gangguan fungsi tubuh.
2. Kesehatan mental (jiwa) ini mencakup tiga komponen, yakni: pikiran, emosional
dan spiritual. Pikiran yang sehat itu tercermin dari cara berpikir seseorang,
yakni mampu berpikir logis (masuk akal) atau berpikir secara runtut. Emosional
yang sehat tercermin dari kemampuan seseorang untuk mengeskpresikan
emosinya, misalnya takut, gembira, khawatir, sedih, dan sebagainya. Spiritual yang
sehat tercermin dari cara seseorang dalam mengekspresikan rasa syukur, pujian,
atau penyembahan terhadap sang pencipta alam dan seisinya (Allah Yang Maha
Kuasa). Secara mudah spiritual yang sehat ini dapat dilihat dari praktek keagamaan
atau kepercayaannya, serta perbuatan baik yang sesuai dengan norma-norma
masyarakat.
3. Kesehatan sosial terwujud apabila seseorang mampu berhubungan dengan orang lain
secara baik, atau mampu berinteraksi dengan orang atau kelompok lain tanpa
membeda-bedakan ras, suku, agama atau kepercayaan, status sosial, ekonomi, politik,
dan sebagainya, saling menghargai dan toleransi.
11
4. Kesehatan dari aspek ekonomi terlihat dari produktivitas seseorang (dewasa) dalam
arti mempunyai kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang dapat menyokong
hidupnya atau keluarganya secara finansial. Bagi anak, remaja, dan usila dengan
sendirinya batasan ini tidak berlaku. Bagi mereka, produktif di sini diartikan
mempunyai kegiatan yang berguna bagi kehidupan nanti, misalnya sekolah atau
kuliah bagi siswa atau mahasiswa, dan kegiatan pelayanan atau keagamaan bagi para
usila.
Sehubungan dengan keempat asas dalam ilmu kesehatan yang jelas bersinggungan
dengan kepentingan kehidupan manusia, khususnya upaya peningkatan kualitas hidup
manusia di bidang kesehatan sebagaimana dikemukakan oleh Alexandra Indriyati Dewi
di atas, maka Bambang Poernomo7 memberikan beberapa penegasan sebagai berikut:
1. Pelayanan kesehatan yang mengandung “human services” untuk mewujudkan “human
right” dan “human welfare” membawa konsekuensi bahwa “pelayanan kesehatan
merupakan upaya kesehatan yang didukung oleh sumber daya kesehatan harus
memperhatikan fungsi sosial dan tanggung jawab sosial” yang dapat diartikan
mengedepankan pelayanan non-profit. Oleh karena itu pelayanan kesehatan harus
berhati-hati dalam mengembangkan managemen kesehatan agar tidak terjebak oleh
pengaruh bisnis/komersial yang menganggap kesehatan sebagai suatu usaha industri.
Apabila pelayanan kesehatan akan dikembangkan ke rana bisnis/komersial,
dikawatirkan timbul bahaya latent untuk terjadinya revolusi kedua seperti masa lalu
(1950) yang akan menuai konflik hukum dalam bentuk gugat menggugat/tuntut
7 Bambang Poernomo, 2001. Op. cit. hlm. 4-5.
12
menuntut antara pihak pasien dan pihak dokter/rumah sakit sebagaimana telah
dijelaskan di atas.
2. Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi “standar
profesi dan menghormati hak pasien”. Standar profesi diartikan mengembangkan
pedoman/petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik. Empat hak asasi pasien
yang harus dihormati mencakup, a. hak informasi, b. hak untuk memberikan
persetujuan, c. hak atas rahasia kedokteran, dan d. hak atas pendapat kedua (second
opinion).
3. Tentang pembiayaan kesehatan menurut hukum kesehatan, berdasarkan standar
internasional harus dikembangkan pola “the system of payment for health care
providers and price regulation”. Pembiayan kesehatan ini harus dihubungkan dengan
dasar “social security” (jaminan sosial) dalam deklarasi HAM yang telah disepakati
secara internasional tentang, a. asuransi sosial kesehatan yang menyimpangi
ketentuan hukum asuransi komersial, dan b. pengadaan produksi obat generik yang
relatif murah karena menyimpangi ketentuan biaya lisensi perusahaan dan hak patent
penemuan jenis obat tertentu untuk kepentingan kesehatan.
Obat generik yang relatif murah dan jenis obat tertentu untuk kepentingan kesehatan
yang ditemukan dan perlu mendapat hak patent sebagaimana disebut dalam angka 3 butir
b di atas termasuk dalam sediaan farmasi dan alat kesehatan yang hanya dapat diedarkan
setelah mendapat izin edar sesuai dengan ketentuan Pasal 106 ayat (1) UU No. 36 tentang
Kesehatan. Apabila sediaan farmasi dan alat kesehatan diedarkan tanpa izin edar, maka
13
si pelaku melanggar Pasal 197 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan dapat
dikenai sanksi pidana yang diancamkan dalam pasal tersebut.
Bertolak dari uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui penerapan
undang-undang ini di dalam praktek di pengadilan, khususnya di PN Sleman dalam
penanganan perkara tindak pidana „dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi yang
tidak memiliki ijin edar‟ dengan cara melakukan penelitian berjudul: “Tinjauan UU No.
36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Terhadap Tindak Pidana „Dengan Sengaja
Mengedarkan Sediaan Farmasi Yang Tidak Memiliki Ijin Edar‟; Suatu Studi Di Wilayah
Hukum PN Sleman” sebagaimana tercantum dalam judul penelitian di atas.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan cara mengkaji
kaidah-kaidah, konsep, pandangan, doktrin-doktrin hukum yang diperoleh dari bahan
hukum sekunder, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang berkaitan
dengan permasalahan yang dibahas yaitu UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang mendukung sebagai bahan hukum
primer.
Selain itu juga digunakan pendekatan kasus sebagai cara untuk mengetahui
bagaimana bahan-bahan hukum yang mengatur tentang masalah kesehatan
difungsionalisasikan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Sleman oleh para penegak
hukum yang berwenang dalam penangulangan tindak pidana “dengan sengaja
mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki ijin edar,” ditambah pendapat hukum
dengan cara mewawancarai Hakim yang pernah menangani perkara yang menjadi obyek
14
penelitian dan Jaksa yang pernah menangani perkara sejenis. Setelah bahan hukum yang
diperlukan terkumpul, diadakan pengolahan data dengan menggunakan metode kualitatif.
Menurut F. Sugeng Istanto8, analisis kualitatif adalah analisis data yang didasarkan
atas kualitas, nilai, atau keadaan data yang diperoleh. Dengan kata lain pencarian
kebenaran dalam penelitian itu didasarkan atau diukur dengan kualitas, nilai atau keadaan
data yang bersangkutan. Analisis kualitatif dalam penelitian harus mendapat kebenaran
dengan mengukur data yang diperoleh dengan unsur-unsur ketentuan hukum yang
berlaku. Dalam penelitian ini kebenaran akan ditentukan berdasarkan kualitas data.
Analisis kualitatif dalam penelitian ini dilakukan dengan mengelompokkan data yang
berupa berkas putusan perkara tindak pidana „„dengan sengaja mengedarkan sediaan
farmasi yang tidak memiliki ijin edar‟‟, norma hukum pidana yang berkaitan dengan
tindak pidana „„dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki ijin
edar‟‟ sebagaimana diatur dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan
perundang-undangan lainnya yang digunakan dalam proses penyelesaian perkara tindak
pidana „„dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki ijin edar‟‟.
Analisis ini dilakukan dengan cara:
a) Perbandingan data
b) Ukuran berdasarkan prinsip hukum sebagaimana terdapat di dalam UUK
dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait.
8 F. Sugeng Istanto, 1999. “Teknik dan Metode Penelitian Hukum”, Makalah disampaikan pada
Pelatihan Penelitian Intensif Terfokus, Lembaga Penelitian UAJY, Yogyakarta, 10 Juli, hlm 6.
15
Penarikan kesimpulan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode
deduksi. Menurut F. Sugeng Istanto9, metode deduksi adalah suatu cara mengungkap
suatu kebenaran dengan mengukur kesesuaian suatu spesies dengan genusnya. Di dalam
pembahasan tentang penerapan hukum positif ini, yang merupakan genus adalah UU No.
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang berlaku umum, sedang spesiesnya adalah
peristiwa „„dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki ijin edar‟‟,
yang merupakan realisasi ketentuan hukum yang berlaku umum tersebut.
Hasil dan Pembahasan
Identitas Terdakwa dalam Putusan Perkara Pidana No. 80/Pid.B/2010/PN.SLMN.
“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”
Pengadilan Negeri Sleman yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana
yang diajukan dengan acara biasa pada tingkat pertama, telah menjatuhkan putusan
sebagai berikut dalam perkara terdakwa:
Nama Lengkap : Basuki Alias Bontet.
Tempat Lahir : Sleman.
Umur/tanggal lahir : 28/19 Nopember 1987.
Jenis Kelamin : Laki-laki.
Kebangsaan : Indonesia.
Tempat tinggal : Dusun Meijing Lor, Rt 03/RW 01, Ambarketawang,
Gamping, Sleman.
Agama : Islam.
Pekerjaan : Swasta.
Pendidikan : SMP (tidak lulus).
9 F. Sugeng Istanto, Penelitian Hukum, Cet. Ke 1, CV GANDA, Yogyakarta, hlm. 36.
16
Kasus Posisi
Putusan perkara No. 80/Pid.B/2010/PN.SLMN. yang berkaitan dengan tindak
pidana „„dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki ijin edar‟‟
berawal dari perbuatan terdakwa Basuki alias Bonet pada hari Minggu tanggal
29 Nopember sekitar pukul 22.00 WIB, atau setidak-tidaknya pada suatu waktu
dalam tahun 2009, bertempat di rumah terdakwa di Dusun Meijing Lor RT 03/RW
01 Desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman atau setidak-
tidaknya di suatu tempat yang masih termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan
Negeri Sleman, dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan
atau alat kesehatan yang tidak memiliki ijin edar, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
106 ayat (1), perbuatan tersebut dilakukan oleh terdakwa dengan cara sebagai berikut:
Pada hari Senin Sore tanggal 29 Nopember 2009 sekitar pukul 21.30 WIB,
terdakwa Basuki alias Bontet telah membeli obat keras pil Trihexypenidyl dari saksi
Erick Irawan (diberkas tersendiri) di Gampingan, Pekuncen, Wirobrajan, Yogyakarta
sebanyak 9 (sembilan) butir dengan harga Rp 20.000,- (dua puluh ribu rupiah). Setelah
terdakwa mendapatkan pil Trihexypenidyl, pada hari Minggu tanggal 29 Nopember
2009 sekitar pukul 22.00 WIB bertempat di rumah terdakwa di Dusun Meijing Lor RT
03, Rw 01, Ambarketawang, Gamping, Sleman, pil Trihexypenidyl dijual oleh terdakwa
kepada saksi Danang Novi Ardian seharga RP 30.000,- (tiga puluh ribu rupiah),
kemudian pil Trihexypenidyl tersebut oleh saksi Danang Novi Ardian digunakan
sebanyak 1 (satu) butir.
Pada tanggal 29 Nopember 2009 sekitar pukul 22.00 pada saat berada di utara
perempatan lampu merah Sidoluhur, Godean, Sleman saksi Danang Novi Ardian
17
ditangkap oleh Sat Narkoba Polres Sleman. Setelah dilakukan penggeledahan badan
dan pakaian, ditemukan 8 (delapan) butir pil Trihexypenidyl yang berada di dalam saku
celananya sebelah depan, yang menurut pengakuan terdakwa pil tersebut miliknya dan
diperoleh dari terdakwa dengan cara dibeli. Selanjutnya petugas melakukan
penangkapan terhadap terdakwa di rumahnya, namun setelah dilakukan penggeledahan
badan dan pakaian serta rumah tidak ditemukan apa-apa. Pada saat mengedarkan
sediaan farmasi terdakwa tidak memiliki ijin dari pihak berwenang dan tanpa ijin
edarnya.
Pada tanggal 16 Desember 2009 dilakukan pemeriksaan terhadap barang bukti di
Laboratorium Kriminalistik Cabang Semarang Nomor Lab.1365/KNF/XII/2009 yang
ditandatangani Setijani Dwi Astuti, S.K.M. B. Nrcahyo, S.Si.M. Biotech dan Ibu
Sutarto, ST. selaku pemeriksa pada laboratorium Forensik, dan diperoleh kesimpulan
bahwa barang bukti nomor: BB. 2513/2009 berupa 8 (delapan) butir tablet
Trihexyhenidyl warna putih tersebut di atas mengandung Trihexyhenidyl HCL yang
termasuk dalam daftar Obat Keras/Daftar G.
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Atas perbuatan terdakwa Basuki Alias Bontet yang telah mengedarkan sediaan
farmasi yang tidak memiliki ijin edar, maka Jaksa Penuntut Umum membuat dakwaan
alternatif sebagai berikut:
Kesatu: Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 197 UU
No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
Kedua: Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal
12 ayat (1) huruf a jo Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Obat Keras 1949.
18
Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Berdasarkan dakwaan tersebut di atas, maka Jaksa Penuntut Umum pada pokoknya
menuntut supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sleman yang memeriksa perkara
ini:
1. menyatakan terdakwa Basuki alias Bontet bersalah melakukan tindak pidana
„„dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat
kesehatan yang tidak memiliki ijin edar” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106
ayat (1) UU No. 36 tahun 2009, dan diancam pidana dalam Pasal 197 UU No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan.
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 7 (tujuh) bulan dikurangi selama terdakwa dalam tahanan
sementara dan denda sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) susidair 1 (bulan)
kurungan.
3. Menyatakan barang bukti berupa:
- 8 butir pil holly Trihexyhenidyl diambil 8 (delapan) butir warna putih dirampas
untuk dimusnahkan.
4. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan sepenuhnya
dari pidana yang dijatuhkan.
5. Menetapkan terdakwa tetap ditahan.
6. Menetapkan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp 1.000,-
(seribu rupiah).
19
Pembelaan diri (Pleidoi) terdakwa
Terdakwa secara lisan mengajukan pembelaan yang pada pokoknya berisi
pengakuan bersalah dan penyesalan atas perbuatannya serta janji untuk tidak lagi
melakukan perbuatan pidana. Oleh karena itu terdakwa memohon agar dijatuhi
hukuman yang seringan-ringannya dengan alasan terdakwa tidak lagi mengulangi
melakukan perbuatan pidana.
Putusan Perkara Pidana No. 80/Pid.B/2010/PN.SLMN.
Sebelum menjatuhkan pidana terhadap terdakwa terlebih dahulu Mejelis Hakim
mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan memberatkan sebagai berikut:
Yang meringankan:
- Terdakwa berlaku sopan di persidangan dan mengakui terus terang perbuatannya
sehingga tidak mempersulit jalannya sidang;
- Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatanya.
Yang memberatkan:
- Perbuatan terdakwa bertentangan dengan UU No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan yang seharusnya tidak boleh dilakukan terdakwa.
Mengingat dan memperhatikan Undang-undang yang bersangkutan terutama Pasal
197 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, serta peraturan perundang-undangan
lain yang bersangkutan;
M E N G A D I L I
1. Menyatakan bahwa terdakwa Basuki alias Bontet terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja mengedarkan
sediaan farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak memiliki ijin edar”;
20
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 6 (empat)
bulan dan denda sebesar Rp 1.000,000,- (satu juta rupiah) dengan ketentuan apabila
denda tersebut tidak dibayar diganti dengan 1 (satu) bulan kurungan;
3. Menetapkan lamanya terdakwa berada dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dari
pidana yang dijatuhkan;
4. Memerintahkan terdakwa tetap dalam tahanan;
5. Menetapkan barang bukti berupa:
- 8 butir pil holly Trihexyhenidyl diambil 8 (delapan) butir warna putih dirampas
untuk dimusnahkan.
6. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp 2.000- (dua ribu rupiah).
Demikianlah dijatuhkan putusan ini pada hari: Selasa, tanggal 23 Maret 2010
dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sleman yang terdiri
dari: Ujianti SH., MH., sebagai Ketua Majelis, Anton Budi Santosa, SH., dan
Nuryanto, SH., masing-masing sebagai Hakim Anggota, yang diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum, oleh Ketua Majelis tersebut dengan dihadiri Hakim-Hakim
Anggota tersebut dan dibantu oleh Eka Surya Setiawan, SH., sebagai Panitera
Pengganti pada Pengadilan Negeri Sleman, serta dihadiri oleh Sadiyo, SH., Jaksa
Penuntut Umum serta Terdakwa.
Dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa dan adanya barang-barang bukti
yang diajukan dalam perkara ini, maka kesalahan terdakwa dapat dibuktikan yakni
melanggar Pasal 197 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam dakwaan kesatu
Jaksa Penuntut Umum. Oleh karena itu Majelis Hakim PN Sleman yang memeriksa dan
21
mengadili perkara ini menjatuhkan putusan terhadap terdakwa berupa pidana penjara
selama 6 (empat) bulan dikurangi masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dan
denda sebesar Rp 1.000,000,- (satu juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda
tersebut tidak dibayar diganti dengan 1 (satu) bulan kurungan.
Kesalahan terdakwa tersebut dapat disimpulkan setelah Majelis Hakim menemukan
adanya fakta-fakta hukum yang mengindikasikan adanya pelanggaran hukum
sebagaimana dituduhkan kepada terdakwa. Fakta-fakta hukum tersebut adalah:
1. Pada hari Minggu tanggal 29 Nopember 2009, sekitar pukul 21.30 WIB, di
Gampingan WB 1/726 Rt. 045 Rw. 010, Pecuncen, Wirobrajan, Yogyakarta,
terdakwa telah membeli Pil Trihexypenidyl sebanyak 9 (sembilan) seharga Rp
20.000,- (dua puluh ribu rupiah) dari Erick Irawan alias Erick Tato.
2. Pada hari Minggu tanggal 29 Nopember 2009, sekitar pukul 22.00 WIB, di
dusun Meijing Lor Rt.03. Rw.01, Ambarketawang, Gamping, Sleman, terdakwa
telah menjual Pil Trihexypenidyl sebanyak 9 (sembilan) seharga Rp 50.000,-
(lima puluh ribu rupiah) kepada Danang Novi Ardian.
3. Pada hari Minggu tanggal 29 Nopember 2009, sekitar pukul 22.45 WIB di dusun
Meijing Lor Rt.03. Rw.01, Ambarketawang, Gamping, Sleman, terdakwa
ditangkap oleh Petugas Sat narkoba Polres Sleman dan terdakwa mengakui telah
membawa/menjual/mengedarkan Pil Trihexypenidyl tanpa ijin edar dari pihak yang
berwenang.
Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat bahwa
telah terjadi suatu peristiwa berupa perbuatan terdakwa Basuki alias Bontet pada hari
Minggu tanggal 29 Nopember 2009, sekitar pukul 21.30 WIB, di Gampingan WB
22
1/726 Rt. 045 Rw. 010, Pecuncen, Wirobrajan, Yogyakarta, telah membeli Pil
Trihexypenidyl sebanyak 9 (sembilan) seharga Rp 20.000,- (dua puluh ribu rupiah)
dari Erick Irawan alias Erick Tato, dan kemudian pada hari Minggu tanggal 29
Nopember 2009, sekitar pukul 22.00 WIB, di dusun Meijing Lor Rt.03. Rw.01,
Ambarketawang, Gamping, Sleman, terdakwa telah menjual Pil Trihexypenidyl
sebanyak 9 (sembilan) seharga Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) kepada Danang
Novi Ardian. Sebagai akibat perbuatan tersebut maka pada hari Minggu tanggal 29
Nopember 2009, sekitar pukul 22.45 WIB di dusun Meijing Lor Rt.03. Rw.01,
Ambarketawang, Gamping, Sleman, terdakwa ditangkap oleh Petugas Sat Narkoba
Polres Sleman dan terdakwa mengakui telah membawa/menjual/mengedarkan Pil
Trihexypenidyl tanpa ijin edar dari pihak yang berwenang.
Untuk memperoleh keyakinan bahwa peristiwa tersebut merupakan tindak pidana
“dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak
memiliki ijin edar,” Majelis Hakim mempertimbangkan unsur-unsur dari pasal yang
paling sesuai dengan perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa yaitu Pasal 197
UU No. 36 tentang Kesehatan yang menentukan:
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi
dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki ijin edar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
rupiah).
Dari konstruksi pasal tersebut di atas, ada dua unsur yang harus dibuktikan oleh
Majelis hakim dalam penyelesaian perkara ini yaitu:
1. barang siapa; dan
23
2. dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi/alat kesehatan
yang tidak memiliki ijin edar.
Adanya kedua unsur ini telah dapat dibuktikan oleh Majelis Hakim. Berdasarkan
fakta-fakta yang terungkap di persidangan dan keterangan para saksi dan terdakwa,
serta dihubungkan pula dengan barang bukti yang diajukan di persidangan, maka
Majelis Hakim telah mendapat cukup bukti yang sah dan menyakinkan menurut
hukum, bahwa terdakwa telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana: “dengan
sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak memiliki ijin
edar” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 UU No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan.
Berdasarkan doktrin hukum pidana10
, yang dimaksud dengan sengaja adalah
adanya kehendak atau sikap batin terdakwa untuk melakukan suatu perbuatan, serta
mengerti dan menginsafi perbuatan tersebut. Ada tiga corak kesengajaan dalam teori
hukum pidana, yaitu kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kepastian, dan
kenengajaan sebagai kemungkinan.
Corak kesengajaan yang dapat dibuktikan oleh Majelis Hakim adalah kesengajaan
dengan maksud. Dikatakan demikian karena berdasarkan fakta yang terungkap di
persidangan bahwa ketika dilakukan penggeledahan, tidak ditemukan Pil
Trihexypenidyl di badan, pakaian dan rumah terdakwa, tetapi terdakwa mengakui telah
membawa/menjual/mengedarkan Pil Trihexypenidyl tanpa ijin edar dari pihak yang
berwenang. Obat jenis Trihexypenidyl termasuk obat yang menurut Pasal 1 angka 4 UU
No. 36 tentang Kesehatan merupakan sediaan farmasi yang berdasarkan ketentuan
Pasal 106 ayat (1) untuk mengedarkannya harus ada ijin edar. Terdakwa mengakui
10
Moeljatno, 2008. Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 191.
24
bahwa dia tidak memiliki ijin untuk mengedarkan sediaan farmasi berupa pil
Trihexypenidyl namun dalam kenyataannya terdakwa telah membeli pil tersebut dari
Erick Irawan alias Erick Tato dan mengedarkannya dengan cara menjual kepada
Danang Novi Ardian tanpa izin edar atas sediaan farmasi tersebut, dan memang hal
inilah yang menjadi maksud terdakwa.
Dengan adanya pertimbangan terhadap hal-hal yang memberatkan dan meringankan
terdakwa, maka dapat dipahami bahwa pidana yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim ini
lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum, karena terdakwa dituntut pidana
penjara selama 7 (tujuh) bulan dikurangi selama terdakwa dalam tahanan sementara
dengan perintah terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah) susidair 1 (bulan) kurungan oleh Jaksa Penuntut Umum, namun Majelis Hakim
menjatuhkan pidana penjara selama 6 (enam) bulan dikurangi selama terdakwa
dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar
Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) susidair 1 (bulan) kurungan.
Bila putusan ini dihubungkan dengan ketentuan Pasal Pasal 197 UU No. 36
tentang Kesehatan yang memuat ketentuan pidana penjara paling lama paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus
juta rupiah), maka menurut peneliti putusan tersebut sudah layak dan pantas dijatuhkan
kepada terdakwa, karena peneliti setuju dengan pertimbangan Majelis Hakim yang
memberatkan terdakwa yaitu bahwa perbuatan tedakwa perbuatan terdakwa
bertentangan dengan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang seharusnya
tidak boleh dilakukan terdakwa.
25
Pertimbangan yang demikian itu benar karena mengedarkan sediaan farmasi hanya
boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau ketrampilan melalui pendidikan
di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan.
Simpulan dan Saran
Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa di dalam perkara ini Majelis
Hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 6 (enam)
bulan dikurangi selama terdakwa dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa
tetap ditahan dan denda sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) susidair 1 (bulan)
kurungan, karena terdakwa terbukti bersalah telah melakukan tindak pidana “dengan
sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak memiliki ijin
edar” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 UU No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan yang dituduhkan Jaksa Penuntut Umum terhadap terdakwa.
Bertolak dari kesimpulan di atas disarankan agar Pemerintah, dalam hal ini Dinas
Kesehatan proaktif dalam memberikan pembinaan dan melakukan pengawasan sesuai
dengan ketentuan Pasal 178 dan 179 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan agar
timbul kesadaran dalam masyarakat bahwa yang dapat diberi ijin untuk mengedarkan
sediaan farmasi dan atau alat kesehatan adalah Tenaga Kesehatan sebagaiman
dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Hal ini
diperlukan untuk mencegah hal-hal yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat
pada umumnya.
26
DAFTAR PUSTAKA
Indriyanti Dewi, Alexandra. 2008. Etika dan Hukum Kesehatan, Cetakan I,
Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Istanto, Sugeng. 1999. “Teknik dan Metode Penelitian Hukum”, Makalah disampaikan
pada Pelatihan Penelitian Intensif Terfokus, Yogyakarta: Lembaga
Penelitian UAJY, 10 Juli.
______________. 2007. Penelitian Hukum, Cet. Ke 1, Yogyakarta: CV G A N D A.
Moeljatno, 2008. Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Jakarta: PT Rineka Cipta.
Nasution, Bahder Johan. 2005. Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter,
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Nawawi Arief, Barda. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Penerbit PT.
Citra Aditya Bakti.
Notoatmodjo, Soekidjo 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Cetakan
Pertama, Jakarta : PT Rineka Cipta.
Poernomo, Bambang. 2001. Hukum Kesehatan, Yogyakarta: Program Pasca Sarjana
Ilmu Kesehatan Masyarakat Magister Managemen Pelayanan Kesehatan,
UGM.
UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
PP No. 72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan.
27
28