Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

52

description

Salam Reforma Agraria sejati Pada edisi ke-10, Suara Pembaruan Agraria kali ini, redaksi akan memuat isu-isu hangat seputar perkembangan perjuangan reforma agraria di Indonesia. Laporan Utama mengulas visi misi reforma agraria dari para calon Presiden yang bertarung pada Pilpres Langsung 2014. Berisi perbandingan kedua visi-misi kandidat yang bisa menunjukan kebulatan tekad pemimpin baru menjalankan reforma agraria.

Transcript of Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

Page 1: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

KPA edisi X maret_COVER.indd 1 11/3/2014 9:35:16 AM

Page 2: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

Daftar Isi

Salam Redaksi: .................................................................................................................................................................. 3

Laporan Utama: Menakar Reforma Agraria dalam Visi Misi ..................................................................................... 4

Opini: ...................................................................................................................................................................................

Petani Mencari PresidenDi Bawah Reruntuhan Hiroshima Dan Nagasaki, Jepang Melakukan Landreform

9

Berita Agraria: ....................................................................................................................................................................

Wawancara eksklusif: “Transformasi Perkebunan Sawit” bersama Jevry G Saragih

13

Dunia Dalam KPA: ...........................................................................................................................................................

Perekebunan Sawit dan Tambang Musuh Utama Petani di SanggauMenuai Kemerdekaan Petani Pasca Land Reform KulonbambangTajamnya Konflik Agraria Di Sektor KehutananMasalah Agraria: Tantangan Kebijakan Agraria Nasional Masa Kini Dan Masa DepanKPA Sulteng: Hutan Untuk Rakyat Bukan Untuk Pengusaha

17

Lintas Peristiwa: ................................................................................................................................................................

Dua Tahun Serikat Tani IndramayuKPA Mendukung Pembubaran Kementrian Kehutanan Kalah di PTUN: Perjuangan Jalan TerusGerakan Buruh Usung Reforma AgrariaBebaskan Para Pejuang Agraria: Bebaskan Eva Bande, Yohanes dan Anyun!

26

Dinamika Kebijakan Agraria: ........................................................................................................................................

Setahun MK 35: Reforma Agraria dan Hutan AdatKonflik Agraria Sektor Tambang akan Diteliti LIPI Sektor Pertanian Diobral Murah ke Asing Pemerintah Harus Menghentikan Laju Ahli Fungsi Lahan

Pertanian Meninjau Kembali Sistem Kemitraan Perkebunan Inti Rakyat RUU Pertanahan Harus Menjawab Ketimpangan Sturktur dan Konflik Agraria

34

Sosok: Eva Bande: ...............................................................................................................................................................

Eva Bande Sang Pejuang Agraria yang Tangguh

46

Resensi Buku: ..................................................................................... ................................................................................

Jurnal Land Reform: “Menghapus Warisan Buruk Agraria SBY: Rekomendasi untuk Pemimpin Baru”

49

Buletin Suara Pembaruan Agraria diterbitkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Redaksi menerima tulisan berupa liputan, opini, resensi buku. Redaksi berhak mengedit tulisan sepanjang tidak mengubah isi dan makna tulisan. Tulisan yang dimuat menjadi milik redaksi. Tulisan dapat dikirim via email ke alamat [email protected] atau dikirim via pos ke alamat redaksi

Page 3: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

Salam RedaksiSalam Reforma Agraria sejatiPada edisi ke-10, Suara Pembaruan Agraria kali ini, redaksi akan memuat isu-isu hangat seputar perkembangan perjuangan reforma agraria di Indonesia. Laporan Utama mengulas visi misi reforma agraria dari para calon Presiden yang bertarung pada Pilpres Langsung 2014. Berisi perbandingan kedua visi-misi kandidat yang bisa menunjukan kebulatan tekad pemimpin baru menjalankan reforma agraria.

Suara Pembaruan Agraria mengangkat beberapa topik aktual. Dalam bentuk Opini, Sekjend KPA Iwan Nurdin memaparkan bahasan petani yang akan terus mencari presiden untuk bisa melaksanakan reforma agraria sejati. Opini kedua datang dari Jepang yang akan membahas land reform di Jepang dan manfaatnya bagi rakyat Jepang oleh Rudi Casrudi, Peserta Study di Asian Rural Institute-Japang delegasi KPA.

Pada rubrik Berita Agraria, kami akan mengulas Arah Transformasi Perkebunan Sawit di Indonesia. Kami sajikan bahasan ini, dalam bentuk wawancara eksklusif yang bertema “Transformasi Perkebunan Sawit” bersama Jefri Gideon Saragih, Koordinator Sawit Watch.

Tak ketinggalan, dalam Suara Pembaruan Agraria edisi ke-10 kali ini, memuat perkembangan kegiatan organisasi KPA yang ditampilkan dalam rubrik Dunia Dalam KPA, diantaranya: Perekebunan Sawit dan Tambang Musuh Utama Petani di Sanggau; Menuai Kemerdekaan Petani Pasca Land Reform Kulonbambang; Tajamnya Konflik Agraria Di Sektor Kehutanan; Masalah Agraria: Tantangan Kebijakan Agraria Nasional Masa Kini Dan Masa Depan dan KPA Sulteng: Hutan Untuk Rakyat Bukan Untuk Pengusaha.

Pada rubrik Lintas Peristiwa menyajikan rangkaian beragam peristiwa terkini seputar persoalan agraria, antara lain: Dua Tahun Serikat Tani Indramayu; KPA Mendukung Pembubaran Kementrian Kehutanan; Kalah di PTUN: Perjuangan Jalan Terus; Gerakan Buruh Usung Reforma Agraria serta Bebaskan Para Pejuang Agraria: Bebaskan Eva Bande, Yohanes dan Anyun!

Dalam edisi ini Redaksi Suara Pembaruan Agraria juga mengulas Dinamika Kebijakan Agraria sebagai wujud penyebaran informasi perkembangan kelahiran atau perubahan kebijakan agraria yang mempengaruhi gerakan dan pelaksanaan reforma agraria di tanah-air. Redaksi akan memulainya dengan Setahun MK 35: Reforma Agraria dan Hutan Adat; Konflik Agraria Sektor Tambang yang akan Diteliti LIPI; Asingisasi Sektor Pertanian oleh Rezim SBY Sengsarakan Petani; Pemerintah Harus Menghentikan Laju Ahli Fungsi Lahan Pertanian; Meninjau Kembali Sistem Kemitraan Perkebunan Inti Rakyat dan RUU Pertanahan Harus Menjawab Ketimpangan Sturktur dan Konflik Agraria

Dalam rubrik Sosok, KPA mengangkat profil pejuang agraria perempuan dari Sulawesi Tengah yaitu Eva Bande. Meskipun menghadapi tantangan berat melalui kriminalisasi, Eva tetap menyerukan perjuangan reforma agraria dari dalam penjara. Simak bahasan lengkap tentang Eva Bande di Rubrik Sosok. Di bagian akhir, kami juga mengangkat Resensi Jurnal Land Reform yang bertema “Menghapus Warisan Buruk Agraria SBY: Rekomendasi untuk Pemimpin Baru.” Harapannya, buletin ini dapat hadir mencukupi kebutuhan akan informasi aktual dan pelajaran-pelajaran penting apa yang dapat dimaknai dari setiap kejadian. Semoga tiap rangkaian kata dapat dijadikan modal bagi perluasan kesadaran dan pengetahuan bagi pembesaran gerakan Reforma Agraria di Indonesia.

SUARA PEMBARUAN AGRARIA

Edisi: X/Maret - Mei 2014Tiada Guna Demokrasi Tanpa Reforma Agraria Sejati

Penanggung JawabIwan Nurdin

Pemimpin RedaksiDewi Kartika

Dewan RedaksiGalih Andreanto, Jarwo Susilo, Andria Perangin-angin, Yusriansyah, DD Shineba, Yayan Herdiana, Agus Suprayitno, Adang Satrio, Diana, Roy Silalahi, Acik Handini

FotograferKent Yusriansyah

LayoutChange Creative House

Alamat RedaksiKompleks Liga Mas IndahJl Pancoran Indah 1, Blok E3 No. 1, Pancoran, Jakarta Selatan 12760Telp 021-7984540Fax 021-7993834Email: [email protected]: www.kpa.or.id

Cover

Page 4: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

4 Edisi X/Maret-Mei 2014

Menakar Reforma Agraria Dalam Visi Misi

Kontestasi pimpinan nasional telah menyeret perhatian publik pada kampanye hitam yang menghias dominan di arus pemberitaan berbagai media. Substansi metode pelaksanaan

ide para kontestan tergeser, sehingga luput dari perbincangan sehari-hari. Kampanye hitam membuat pendidikan politik publik mandeg. Alhasil, publik terlewat menilai apa-apa saja yang akan dikerjakan pemimpin baru hasil Pilpres 2014.

Visi-Misi memang telah dirancang, dengan pengemasan narasi yang menawan mena-warkan janji. Setidaknya apa yang dituliskan para kandidat mencerminkan suasana batin dan semangat politik yang ada. Dari situ kita dapat menilai apa yang hendak dilakukan pasca pil-pres, termasuk soal kehendak menjalankan reforma agraria.

Dokumen visi misi resmi para kandidat merupakan ukuran awal sejauh mana kesung-guhan niat menjalankan reforma agraria ke depan. Namun, sayangnya reforma agraria hanya diposisikan penambal-sulam dalam teks. Persoalan penguasaan kekayaan alam, khususnya tanah bagi rakyat tak menjadi sorotan utama para kandidat pimpinan nasional. Calon-calon pimpinan nasional hanya meneropong program di ruang populer dengan harapan muluk-muluk dalam ilusi kemegahan angka pertumbuhan ekonomi.

Lilis Mulyani, Peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI berpan-dangan, bahwa kedua kandidat belum menempatkan agenda Landreform atau Reforma Agraria sebagai prioritas agenda yang diusung. “Hal ini terlihat misalnya di Visi Misi Jokowi-JK hanya ditempatkan di agenda No. 5 dari Nawacita atau 9 Agenda Prioritasnya, sementara Prabowo-Hatta malah menempatkan di agenda prioritas terakhir, yaitu nomor 8,” jelas Lilis.

“Dalam teks visi-misi dan debat kandidat kedua calon pimpinan tidak secara terang men-jelaskan tata cara maupun metode implementasi dari program ini secara rill dan strategis di da-lam kenyataannya nanti,” tambah lilis.

Masalah agraria menjadi isu penting, karena Indonesia dihadapkan pada persoalan agra-ria yang kronis. Masalah penguasaan kekayaan alam oleh segelintir orang menempatkan 56 persen asset berupa tanah, perkebunan dan properti hanya dikuasai oleh 0,2 persen penduduk.

LAPORAN UTAMA

JOKOWI-PRABOWO

Page 5: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

Suara Pembaruan Agraria 5

Ketimpangan itu telah nyata menggerogoti keadilan sosial di Indonesia. Lebih parah lagi, kenyataan bahwa indeks gini tanah secara na-sional mencapai 0.72 yang menunjukan ke-timpangan penguasaan tanah semakin lebar.

Harapan pertumbuhan ekonomi yang da-pat meneteskan kesejahteraan kepada rakyat bawah masih menjadi kegemaran para kan-didat. Padahal, klaim pertumbuhan ekono-mi oleh rezim 2004-2014 yang tinggi, nyata-nyata membuat ketimpangan makin lebar. Angka indeks gini hingga 0,413 memuncul-kan potensi kerawanan sosial di Indonesia. Kenyataannya, pembangunan nasional yang berparadigma pertumbuhan ekonomi tidak selalu berkolerasi pada pemerataan. Hal itu dikarenakan fondasi pertumbuhan ekono-mi disandarkan pada hutang serta investasi asing yang penuh spekulasi.

Masalah angka pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan serta pengang-guran yang dihitung berdasarkan basis eks-por-import dan kenaikan investasi, hanya didominasi oleh sekitar 10% penduduk. Jika kita telaah dari angka kemiskinan rumah tangga di pedesaan, sampai sekarang, besar orang miskin bertempat menetap di pedesa-an dan mayoritas bekerja sebagai petani dan buruh tani. Dari total 28 juta Rumah Tangga Petani (RTP) yang ada di Indonesia, terda-pat 11,1 juta RTP yang tidak memiliki lahan sama sekali. Sedangkan bagi mereka yang pu-nya lahan, rata-rata pemilikan lahannya ha-nya 0,36 hektar. Jadi dengan kata lain saat ini terdapat sekitar 32 juta jiwa petani Indonesia adalah buruh tani, dan 90 juta jiwa adalah pe-tani subsisten. Yang selama ini luput adalah analisa pergeseran 5,04 juta rumah tangga petani menjadi buruh dan pekerja informal di perkotaan dan luar negeri.

Lilis mengatakan bahwa yang terpen-ting dalam melaksanakan Landreform atau Reforma Agraria sebagaimana hasil kaji-an LIPI adalah di level negara, “diperlukan

pembenahan menyeluruh dari mulai kebijak-an hingga kelembagaan pengelola sumber daya agraria yang masih sangat sektoral, untuk itu, saya mengkritisi kedua kandidat karena tidak menyentuh masalah ini sama sekali. Dalam visi misi Prabowo-Hatta yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Reformasi pengelolaan Sumber Daya Alam yang dijanji-kan justru bertujuan meningkatkan nilai tam-bah SDA. sehingga tujuannya masih fokus di produktivitas (peningkatan nilai ekonomi) be-lum pada aspek keadilan ataupun keberlanjut-an,” jelas Lilis.

Kontradiksi Dalam Teks Visi-Misi Jokowi-JKPara kandidat pemimpin baru, visi-misinya berbeda tipis namun, harus diakui masih mi-nim secara sistematika metodologi. Bahkan, yang tampak adalah kontradiksi atau perten-tangan nilai dalam isinya. Dalam visi misi res-minya, Jokowi-JK berniat memperjelas kepe-milikan dan kemanfaatan tanah dan sumber daya alam melalui penyempurnaan terhadap UU Pokok Agraria.

Patut dicurigai bahwa niatan perubahan UUPA 1960 sejalan dengan amanat MP3EI yang selama ini ditentang oleh gerakan rakyat pengusung reforma agraria. Pada hal 179 do-kumen MP3EI 2011-2025 dalam pelaksana-an dan tata kelola MP3EI di bagian perbaikan regulasi dan perizinan, MP3EI menghendaki “pengkajian ulang (UU & PP Keagrariaan) untuk memasukkan status tanah ulayat seba-gai bagian dari komponen investasi, sehingga memberikan peluang kepada pemilik tanah ulayat untuk menikmati pertumbuhan eko-nomi di daerahnya (terkait realisasi MIFEE)”. Publik harus jeli melihat kehendak perom-bakan ini.

UUPA yang selama ini menjadi ben-teng konstitusi reforma agraria namun di-petieskan, tidak relevan untuk direvisi ka-rena kuatnya liberalisasi undang-undang

Page 6: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

6 Edisi X/Maret-Mei 2014

di era post reformasi saat ini. Kehendak pe-laksanaan reforma agraria harus ditempat-kan sesuai amanat konstitusi UUD 1945 dan UUPA 1960 untuk menjaga jiwa dan sema-ngat kerakyatannya.

Tuntutan gerakan akan reforma agraria sebenarnya telah meluas dilakukan oleh se-rikat tani di seluruh wilayah tanah air. KPA setidaknya melansir seluruh provinsi di Indonesia terjadi konflik agraria dan terjadi pergolakan rebutan tanah secara struktural, baik antara rakyat dengan negara maupun antara rakyat dengan perusahaan swasta pe-megang konsesi.

Berikutnya adalah, klausul komitmen Jokowi-JK untuk implementasi reforma agra-ria melalui “akses dan aset reform pendistri-busian asset terhadap petani melalui distribusi hak atas tanah petani melalui land reform dan program kepemilikan lahan bagi petani dan buruh tani; menyerahkan lahan sebesar 9 juta Ha.” Hal ini menimbulkan pertanyaan lama yang muncul kembali ke permukaan, bah-wa tanah siapa dan dimanakah seluas 9 Juta Ha tersebut?

Sementara paradigma pembangunan in-frastruktur di atas ketimpangan menjadi pi-lihan Jokowi-JK dengan “akan membangun infrastruktur jalan baru sepanjang 2.000 Km, membangun 10 pelabuhan baru, 10 kawasan industri baru dan membangun 1 juta Ha la-han sawah baru di luar Jawa”. Hal ini tentu berlawanan dengan semangat anti alih fung-si lahan yang selama ini dipaparkan Jokowi karena akan membangun 10 kawasan indus-tri yang selama ini melibas lahan-lahan su-bur pertanian.

Sedangkan, niatan Jokowi-JK dalam me-ningkatkan daya saing akan meningkatkan akselerasi pertumbuhan ekonomi nasional, yakni industri manufaktur, industri pangan, sektor maritim dan pariwisata akan percu-ma jika tidak lebih dahulu menata ulang penguasaan, pemilikan, pengelolaan dan

pemanfaatan sumber-sumber agraria men-jadi lebih adil untuk rakyat. Jika reforma ag-raria tidak dijalankan sebagai tahapan utama industrialisasi nasional maka pembangunan infrastruktur akan semakin meningkatkan konflik agraria dan melebarkan ketimpangan di Indonesia.

Iwan Nurdin, Sekjend KPA menambah-kan bahwa Jokowi-JK lebih banyak berenca-na pada aspek regulasi. “Misalnya dalam hal memberdayakan desa, Jokowi-JK menyiap-kan dan menjalankan kebijakan regulasi baru untuk membebaskan desa di kantong-kan-tong hutan dan perkebunan, begitu juga da-lam akses dan hak desa mengelola SDA ber-skala lokal, mengatasi konflik agraria tanpa memastikan kelembagaan yang bertugas me-laksanakan konsepnya,” jelas Iwan. Peraturan dalam melaksanakan reforma agraria itu su-dah banyak, namun UU sektoral-lah yang justru merintangi pelaksanaan UUPA 1960. “Kondisinya krisis agraria sudah berat, aki-batnya sangat dalam, sehingga memerlukan kecepatan dan ketepatan pemimpin baru nan-ti,” tegas Iwan.

Prabowo-HattaKandidat Prabowo-Hatta dalam visi misi res-minya mencantumkan “akan meningkatkan pendapatan perkapita penduduk dari 35 juta menjadi minimal 60 juta dengan pertumbuh-an ekonomi mencapai 7 persen pertahun me-nuju pertumbuhan di atas 10 persen, dengan strategi pertumbuhan ekonomi tinggi berku-alitas melalui peningkatan pertumbuhan me-lalui sektor produksi, sehingga dicapai kese-imbangan optimal dengan pertumbuhan yang dipicu konsumsi.” Niatan ini sebenarnya bu-kan konsep baru, karena ilusi pertumbuhan ekonomi yang muluk-muluk nir pemerataan telah nyata menempatkan industri ekstrak-tif sumber daya alam yang merampas tanah rakyat. Padahal, Prabowo-Hatta juga hen-dak bermaksud meningkatkan mengurangi

Page 7: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

Suara Pembaruan Agraria 7

jurang ketimpangan si miskin dan si kaya de-ngan menurunkan indeks gini dari 0,41 men-jadi 0,31.

Menyoal rencana Prabowo-Hatta, Dr Arya Hadi Dharmawan, Akademisi IPB me-ngatakan Program Pak Prabowo yang akan membuat 2 juta Ha sawah dalam 5 tahun itu dari teori manapun tidak masuk dan tak bisa diimplementasikan. Ia mengatakan “Silakan konsultasi ke Bakosurtanal, Kementan RI, Bappenas, Badan Pertanahan Nasional, Kementrian PU, Kemenko Perekonomian RI sampai kepada para ahli pertanahan di IPB. Kemampuan RI dalam mencetak sawah de-ngan dana yang ada, dengan perangkat hu-kum yang ada dan dengan teknologi yang ada, serta clearness dalam hal kepastian hukum agraria serta kelayakan ekologi sehamparan yang ada, hanya 10.000 - 20.000 Ha per ta-hun. Artinya dalam lima tahun = 100.000 Ha saja (itu dengan syarat secara agraria, tanah-nya clear and clean dan dalam satu hamparan tanpa konflik dan tanpa sengketa - hari ini tak ada tanah tanpa sengketa), Ini titik lemah pak Prabowo,” kata Arya.

Selanjutnya adalah paradoks niatan “mempercepat reforma agraria untuk menja-min kepemilikan tanah rakyat, meningkatkan akses dan penguasaan yang lebih adil dan ber-kerakyatan”, namun Prabowo-Hatta menem-patkan Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia (MP3EI) sebagai ja-lan membangun kembali kedaulatan pangan, energi dan sumber daya alam.

Menurut Resolusi Munas KPA ke-VI, MP3EI bertentangan dengan arah dan co-rak Reforma Agraria sejati yang diamanatkan UUPA 1960 dan Pasal 33 UUD 45. MP3EI adalah antitesis pembangunan pedesaan dan kedaulatan pangan karena merupakan pe-lestarian perampasan lahan dan ruang hi-dup masyarakat. MP3EI semakin menguat-kan struktur ekonomi kolonial, yang belum berubah sejak Indonesia merdeka, dimana

konsentrasi penguasaan tanah oleh perusa-haan-perusahaan pemegang lisensi perke-bunan, kehutanan dan pertambangan, dan menempatkan rakyat Indonesia menjadi te-naga kerja. MP3EI yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, berkolerasi dengan menurunnya kesejahteraan rakyat.

MP3EI adalah pipa-pipa penghisap ke-kayaan alam dengan menempatkan korpora-si swasta dan asing serta dana hutang seba-gai lokomotif pelaksana penjarahan sumber daya alam. Konsep MP3EI berlawanan de-ngan semangat kedaulatan pangan berba-sis keadilan sosial. Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Merauke ada-lah contoh nyata dimana pembangunan are-al pangan skala luas berbasis korporasi telah memusnahkan kedaulatan rakyat atas tanah-airnya sendiri.

Menurut Wasekjen KPA, Dewi Kartika “kontradiksi visi-misi reforma agraria Prabowo-Hatta mencerminkan tidak konsis-tennya niatan mereka, dan mereka tidak sepe-nuhnya benar-benar ingin menjalankan agen-da reforma agraria, karena di sisi lain, mereka juga mengusung model pembangunan yang bertentangan dengan reforma agraria. Karena dasar dari MP3EI adalah pertumbuhan eko-nomi semata, bukan untuk kesejahteraan masyarakat bawah.” Dewi menjelaskan bah-wa MP3EI itu mengusung penguasaan dan pengusahaan tanah dalam skala besar mela-lui proses eksploitasi sumber-sumber agra-ria, sementara reforma agraria adalah untuk menghapuskan juga ketimpangan, MP3EI justru akan mempertajam ketimpangan.

Kubu Prabowo-Hatta juga menempat-kan pembangunan infrastruktur sebagai ukuran keberhasilan. Pertanyaannya, apakah niatan pembangunan infrastruktur tersebut sejalan dengan sasaran terjaminnya akses rakyat terhadap tanah yang selama ini tera-baikan? Apalah arti akselarasi pembangun-an infrastruktur tanpa petani berdaulat atas

Page 8: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

8 Edisi X/Maret-Mei 2014

tanahnya. Maka patut dipertanyakan apakah pembangunan infrastruktur benar-benar di-tunjukan kepada rakyat kecil? Atau hanya demi lapangnya laju penghisapan sumber daya alam di seluruh wilayah Indonesia.

Membangun Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur serta bermarta-bat dengan menjalankan MP3EI adalah pe-ngelabuan dan penyesatan kesadaran rakyat. Alat picu konsumsi yang dianggap dapat me-ningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah khayalan. Rakyatlah yang dapat menghidup-kan kekayaan alam dengan menjamin akses rakyat terhadap kekayaan alam. Itulah basis menyumbang pertumbuhan ekonomi negara.

Belajar dari yang Lalu demi Masa DepanKe depan, dapat diprediksi bahwa Indonesia akan kembali berada dalam fase keterbela-kangan industrialisasi nasional dengan sega-la masalah keruwetan agrarianya. Pimpinan nasional baru patut belajar dari pengalaman rezim SBY-Boediono yang menyumbangkan konflik agraria strukutral mencapai 1.057 kejadian dengan luasan areal 3.018.119 Ha

yang melibatkan 503.349 KK. Bahkan pada 2013 angka konflik naik 86% dibandingkan 2012. Tingginya angka konflik agraria me-nempatkan 22 petani tewas dan seharus-nya menempatkan reforma agraria sebagai kerangka utama pembangunan nasional di Indonesia. Reforma agraria bukan saja demi tujuan pengentasan kemiskinan semata, na-mun juga dalam rangka mewujudkan kea-dilan sosial. Reforma agraria sesuai tuntutan cita-cita proklamasi 1945 harus dijalankan secara logis dan sistematis sesuai dengan jiwa dan kemauan politik yang kuat dari pimpin-an nasional pilihan rakyat. Momentum elek-toral di 2014 ini harus memunculkan kema-juan ide pelaksanaan reforma agraria secara terukur dan meluas. Jika sungguh-sungguh hendak melaksanakan reforma agraria, tiap kandidat harus menjelaskan siapa bertugas apa dan lembaga apa yang mau dan mampu menjalankan reforma agraria. Semoga refor-ma agraria sejati dapat terlaksana.

SBY gagal urus agraria

Page 9: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

Suara Pembaruan Agraria 9

Petani Mencari Presiden

Oleh: Iwan Nurdin, Sekjend KPA

Pada pemilihan presiden 9 Juli nanti, jika me-rujuk kepada visi-misi, tidak ada alasan bagi

petani untuk tidak pergi ke TPS dan memilih. Pasalnya, kedua kandidat presiden menawarkan program reforma agraria melalui redistribusi ta-nah atau land reform. Meski belum secara deta-il dijelaskan bagaimana kelak presiden terpilih menjalankan agenda ini. Setidaknya di atas ker-tas, redistribusi tanah untuk rakyat telah menja-di komitmen politik resmi.

Dalam pemilihan presiden langsung, do-kumen visi-misi memang menjadi ukuran pen-ting. Sebab inilah yang akan dituangkan keda-lam rancangan pembangunan jangka menengah (RPJM) dalam kurun waktu lima tahun kedepan.

Janji reforma agraria sendiri bukanlah hal baru. Pemerintahan yang sedang berkuasa da-

lam dua periode menjanjikan pelaksanaan refor-ma agraria. Meski hasilnya tidak pernah bergerak dari level wacana ke tataran aksi implemen-tasi. Pendeknya, di atas kertas visi-misi mencari presiden pro-petani relatif mudah. Dengan begitu, nampaknya petani harus tetap terus menerus mencari presidennya setelah pemilihan presiden usai.

Mencari PresidenPetani harus mencari presidennya karena suaranya seolah air yang terserap kedalam pasir setelah selesai penghitungan suara. Meski jumlah agregatnya banyak tak juga membuat ar-tikulasi kepentingannya diterima dengan baik oleh para perumus kebijakan paska pilpres. Apalagi, pengalaman membuktikan bahwa kepentingan petani banyak tereduksi oleh peng-ambil kebijakan yang terbiasa memandang persoalan pertanian, pedesaan, dalam kacamata orang kota yang industri (urban bias dan industrial bias).

Pandangan seperti ini telah membuat bahwa persoalan pertanian, pedesaan bahkan pa-ngan adalah persoalan produksi semata sehingga proyek pengadaan benih, pupuk, pestisida, jaringan irigasi dan stimulus harga adalah rancangan pokok dalam meningkatkan produksi. Melupakan fakta bahwa produktifitas lahan pertanian petani kita tertinggi di ASEAN bahkan dunia. Dengan produktivitas lahan sawah tahunan 9.03 ton/ha/tahun, lebih tinggi dibanding China, Jepang, Korea dan Amerika Serikat (Andreas Santosa: 2013), petani telah bekerja ke-ras. Masalahnya bukankah petani gurem akan menghasilkan hasil panen yang gurem?. Belum lagi, atas nama petani, proyek-proyek semacam itu sebenarnya lebih banyak menguntungkan kalangan industriawan dan kontraktor belaka.

OPINI

Petani baca buku

Page 10: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

10 Edisi X/Maret-Mei 2014

Petani harus tetap mencari presidennya, karena tanah pertanian, perkebunan dan ke-hutanan seharusnya diprioritas kepada mere-ka. Menurut BPN saat ini terdapat 26.366.788 bidang tanah yang bersertifikat di Indonesia dengan luas 72.954.190 Ha. Di dalamnya ha-nya 10.368 sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) milik perusahaan. Namun, luasnya mencapai 46 persen (33.5 juta ha) dari tanah bersertifi-kat tersebut.

Prioritas tanah untuk rakyat adalah sya-rat pokok transformasi agraria dari susunan lama yang subsisten, gurem, dan rendah tek-nologi kepada koperasi pertanian yang maju. Anggapan bahwa prioritas tanah kepada pe-tani sulit dilakukan dan jikapun dijalankan petani harus menjadi plasma dari raksasa korporasi pertanian/perkebunan harus di-tinggalkan. Kedepan, petani, pemuda, sarja-na dengan didukung oleh kredit pemerintah harus menjadi pemilik koperasi pertanian, perkebunan dan kehutanan yang modern. Sebab bercocok tanam dalam wadah modern bukanlah teknologi luar angkasa yang susah diterapkan kepada rakyat.

Petani harus mencari presidennya, se-bab konflik dan perampasan tanah terus saja mengancam kehidupan mereka. Pada tahun lalu, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

mencatat 369 kejadian konflik agraria struk-tural yang mengakibatkan 21 orang tewas dan telah merampas 1.281.660.09 ha, dan korban 139.874 KK. Dalam menangani kon-flik tersebut belum ada usaha pemerintah un-tuk membangun kelembagaan penyelesaian konflik agraria tersebut.

Pada akhirnya, kita dan petani harus te-tap mencari presiden. Sebab problem upah buruh murah di perkotaan, merebaknya sek-tor informal, lemahnya industrialisasi nasio-nal, hingga membludaknya pekerja migrant dengan skil rendah dan minim perlindungan berakar dari keterbelakangan petani, pertani-an dan pedesaan. Dengan mudah ditemukan benang merah bahwa “tentara cadangan” bu-ruh murah bagi industriawan di dalam dan luar negeri tersebut berasal dari mereka yang terlempar secara tragis dari pedesaan.

Akhirnya, kita butuh khalayak luas yang memahami bahwa membenahi persoalan pe-tani ini adalah memperkuat akar kedaulat-an bangsa. Kita harus menemukan kandidat presiden yang mau terus menerus melihat dan mendengar, dan meyakini bahwa kelak terus berbuat demikian setelah terpilih kelak. Sebab, jawaban persoalan rakyat ditemukan bersama-sama rakyat.

"Ribuan Petani pada februari lalu mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melaporkan kasus agraria yang ber-kaitan dengan Korupsi, Itikad baik pemerintahan baru untuk menuntaskan konflik agraria dan korupsi agraria dinantikan oleh

kaum tani"

Page 11: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

Suara Pembaruan Agraria 11

Di Bawah Reruntuhan Hiroshima Dan Nagasaki, Jepang Melakukan Landreform

Oleh: Rudi Casrudi, Peserta Study di Asian Rural Institute-Japang delegasi KPA

Harus dikatakan bahwa Restorasi Meiji tidaklah memberikan perubahan yang sesungguh-nya terhadap rakyat dan kaum tani, tuan tanah dan kaum feodal masih saja berada di

pedesaan, mereka menyewa-nyewakan tanah kepada petani dengan pajak yang tinggi.Sejak di Jatuhkannya bom Atom di Hiroshima dan Nagasaki akhirnya Jepang ada da-

lam pelukan Sekutu. Ada hal yang sangat penting dalam periode ini dimana di bawah kuasa Amerikalah Jepang melakukan Landreform. Tentu saja hal ini bisa dianggap aneh dimana Amerika justru melakukan landreform. Bukankah landreform identik program blok sosialis? Tapi kenyataannya justru di bawah komando Amerikalah landrefrom di Jepang dilaksanakan. Mc. Arthur bahkan mengkalim bahwa program Landrefom paling berhasil di dunia.

Setelah diduduki oleh Amerika, maka Amerika tidak menginginkan wilayah jepang ter-jadi hura hara , apalagi Amerika mendapatkan perlawanan dari rakyat. Maka yang harus di-taklukan terlebih dahulu ialah tuan tanah dan kaum feodal. Karena dua kekuatan ini yang bisa melakukan perlawanan kekuatan Amerika dan sekutunya. Cara yang ampuh adalah de-ngan pelaksanaan landreform. Akhirnya tahun 1947 pelaksanaan landreform dimulai de-ngan cara paksa oleh pemerintah membeli semua tanah milik tuan tanah hampir 70% dari tanah pertanian diambil dan kemudian dijual oleh pemerintah dengan harga murah kepada

Mekanisasi pertanian salah satu mesin penanam padi yang banyak di gunakan.

Page 12: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

12 Edisi X/Maret-Mei 2014

para penyewa yang selama ini menderita aki-bat tuan tanah. Dengan demikian petani bisa menggarap di tanahnya sendiri dan mulai bertani dengan nyaman.

Dan sekarang jika kita berkunjung ke Jepang kita akan sulit menemukan perke-bunan-perkebunan dalam sekala seperti di Indonesia. Karena tanah-tanah sudah diberi-kan kepada rakyat. Inilah salah satu dampak-nya pelaksana dari landreform.

Lalu bagaimana kehidupan peertanian sekarang ini. Sejak tahun 1961 pemerintah Jepang menetapkan kebijakan dasar pertani-annya dengan cara memodernisir sektor per-tanian. Mekanisasi pertanian dan mengikut-sertakan unsur kimia. Teraktor tangan dan teraktor besar, mesin untuk menanam padi semua dikerjakan dengan mesin. Dampaknya adalah ketergantungan pada masukan kimia semakin tinggi, polusi, kerusakan lingkungan serta masalah masalah kesehatan.

Walaupun dengan teknologi yang sudah maju dalam pertanian ternyata problem ma-kanan tidaklah bisa diatasi sendiri oleh nege-ranya. Sekarang 60 % dari kebutuhan makan di Jepang adalah import yang didatangkan dari berbagai penjuru dunia.

Usaha-usaha untuk mengkeritisi kee-bijakan revolusi hijau sudah dilakukan se-jak tahun 1971 dan sudah dibentuk Asosiasi Pertanian Organik Jepang yang memproduk-si makanan yang lebih sehat dan ramah ling-kungan. Selain itu untuk pemasaran mereka membuat system yang bernama “Teikei” di-mana hubungan konsumen dengan produ-sen bukan sekedar dagang belaka tetapi ada-lah saling menghormati dan percaya. Itulah sekilas info Landreform dan dampaknya bagi rakyat di Jepang.

Tochigi-Japan, 20 Juni 2014.

Siapa yang memiliki tanah maka tanamilah, dan jika ia tidak dapat menanaminya dan tidak mampu melakukannya, maka hendaknya ia berikan tanah itu kepada saudaranya, dan ia tidak sewakan atau gadaikan kepadanya. [Hadits diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah]

Page 13: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

Suara Pembaruan Agraria 13

Wawancara Eksklusif

Jefri Saragih, Koordinator Sawit Watch

“Transformasi Perkebunan Sawit”

1. Apa sebabnya model perkebunan sawit era Kolonialisme masih diteruskan hingga saat ini?

Pertama, Kita lihat dari era Kolonialisme. Pada masa ini penguasaan lahan sepenuhnya bergantung pada pihak pemerintah koloniali dimana masyarakat wajib membe-rikan lahan kepada penjajah melalui kerajaan atau mem-berikan pajak tanah bagi tuan tanah yang memiliki usaha pertanian. Selain itu masyarakat juga wajib bekerja de-ngan upah kecil atau tanpa upah (kerja paksa) di lahan-lahan yang dikuasai penjajah.

Kedua, pada masa kemerdekaan kondisi ini berubah. Semua lahan yang dikuasai sebelumnya oleh pihak ko-lonial diambil alih oleh negara untuk dikuasai sepenuh-nya oleh masyarakat. Satu hal yang menarik pada masa itu adalah, adanya “Maklumat Hatta” yang intinya berisi

instruksi kepada selauruh rakayat Indonesia untuk mengelola lahan-lahan penginggalan ko-lonialisme. Proses ini sangat menguntungkan masyarakat dalam meningkatkan taraf hidup mereka pasca kehidupan masa kolonial yang sangat susah. Namun untuk perkebunan skala besar, penguasaannya mulai diserahkan kepada tentara oleh pemerintah berkat manuver po-litik Jenderal Nasution.

Ketiga, jaman orde baru samapai sekarang. Kondisi yang terjadi pasca orde lama adalah penguasaan lahan sepenuhnya kembali dikuasai oleh negara melalui pemerintah. Lahan yang sebelumnya dikuasai masyarakat, diambil alih oleh negara untuk dikuasai dan dipergunakan dengan dalih meningkatkan devisa negara. Dengan dalih tadi, pemerintah pun mengundang para investor, baik asing maupun dalam negeri, untuk mengelola lahan-lahan tersbut. Dasar hukum yang diberikan kepada investor tersebut berupa Hak Guna Usaha (HGU).

Kondisi ini pun terjadi sampai sekarang dan kemungkinan akan terus berlangsung jika pemerintah dan DPR serta kekuasaan yudikatif tidak menitikberatkan pola pembangunan berbasis ekonomi kerakyatan, yang berarti rakyatlah yang menjadi aktor utama dan yang ter-penting dalam pengeloaan sumber daya alam berbasis tanah. Bukan pemilik modal besar yang berbadan hukum perusahaan, melainkan koperasi. Bila kondisi sekarang ini diteruskan, bisa dipastikan, tak akan ada lagi lahan yang dimiliki masyarakat yang bisa mencukupi ke-butuhan hidupnya di masa depan. Yang ada justru bangsa ini akan menjadi kuli di tanahnya sendiri dan kuli bagi bangsa-bangsa lain.

Contoh nyata yang terjadi terkait hal ini di perkebunan kelapa sawit ada di Sumatera Utara, tepatnya di Kabupaten Serdang Bedagai. Masyarakat yang menguasai lahan sejak

BERITA AGRARIA

JEFRI G SARAGIH SW

Page 14: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

14 Edisi X/Maret-Mei 2014

jaman Sukarno, tiba-tiba dipaksa keluar oleh pemerintah orde baru ketika memberikan Hak Guna Usaha (HGU) kepada satu peru-sahaan asing yang berpatungan dengan pe-modal dalam negeri. Bukan hanya perampas-an lahan atas nama negara yang dilakukan, pemerintah juga menuding penduduk desa Pergulaan yang sebelumnya menguasai bah-kan telah membayar pajak lahan itu ke peme-rintah sebagai pengikut organisasi terlarang Buruh Tani Indonesia (BTI) yang berafiliasi ke partai terlarang Partai Komunis Indonesia (PKI). Rakyat pun kehilangan sumber hidup sekaligus harga diri dan kebanggaan sebagai bagian dari bangsa ini sampai sekarang.

Dari contoh di atas bisa ditarik satu ke-simpulan, pemerintah memang lebih meng-utamakan peningkatan ekonomi melalui pemanfaatan lahan yang pengelolaannya di-berikan kepada perusahaan pemilik modal besar dengan mengesampingkan keberadaan dan kehidupan rakyat di seitar perkebunan sawit tersebut.

2. Bagaimana kondisi konflik agraria sek-tor perkebunan sawit

Luas perkebunan kelapa sawit yang ada sekarang di Indonesia sekarang adalah 13,5 juta Ha (Sawit Watch,2014). Perluasan per-kebunan kelapa sawit ini berbanding lurus dan berjalan seiring dengan semakin ting-ginya konflik dan kekerasan yang terjadi an-tara masyarakat, pemerintah dan perusaha-an skala besar. Anehnya sikap pemerintah sangat terlihat jelas berpihak pada pemodal besar, entah dari dalam atau luar negeri atau kolaborasi keduanya. Berdasarkan data yang tercatat sekarang di Sawit Watch (2014), ter-dapat 720 konflik, dan semua itu tak akan se-lesai bila pemerintah tak mengubah paradig-ma dan pendekatan peningkatan ekonomi berbasis masyarakat. Pada umumnya konflik yang terjadi dikarenakan karena proses pe-nguasaan lahan/tanah oleh pihak perusahaan

hanya berdasarkan surat ijin dari pemerin-tah, tanpa pernah memberikan pengakuan terhadap hak kelola masyarakat telah memi-liki lahan tersebut berketurunan.

3. Bagaimana kondisi buruh kebun?Buruh yang ada sekarang di Indonesia,

khusus di perkebunan sawit, telah mencapai angka 6 juta orang. Sekitar 50% dari buruh tersebut merupakan buruh harian lepas yang tak memiliki jaminan kesehatan dan hari tua, yang di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, be-berapa pulau kecil di Maluku dan Papua.

Jumlah ini, menurut kami, akan terus meningkat seiring semakin masifnya ek-spansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Buruh perkebunan di sektor perkebunan kelapa sawit agak berbeda dengan buruh di sektor industry lainnya. Selain tempat yang sebagian besar masih terisolir, buruh juga memiliki tugas atau tanggung jawab yang sa-ngat besar dengan upah yang tidak sesuai de-ngan frekuensi kerjanya.

Buruh di perkebunan kelapa sawit ter-diri dari Buruh Tetap dan Buruh Harian Lepas,Buruh kontrak dan Buruh Borongan. Buruh Tetap adalah buruh permanen yang mendapatkan hak-hak yang sesuai dengan undang-undang tenaga kerja. Buruh Harian Lepas adalah buruh ini yang tidak mendapat-kan hak yang sesuai dengan UU yang berlaku.

Pada umumnya, kondisi hidup di tengah-tengah perkebunan kelapa sawit cukup mem-prihatinkan. Untuk kehidupan sehari-hari, seperti membeli bahan makanan pokok, bu-ruh harus mengeluarkan biaya dua kali lipat dari harga normal yang dijual. Sehingga un-tuk menghemat pengeluaran mereka seming-gu sekali keluar dari wilayah perkebunan ke-lapa sawit dan membeli kebutuhan pokok.

Hal lain yang ada di perkebunan kelapa sawit adalah persoalan air bersih. Di perke-bunan kelapa sawit sumber air bersih sangat sulit didapat. Jangankan untuk minum dan

Page 15: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

Suara Pembaruan Agraria 15

masak, untuk mencuci dan mandi mereka menggunakan air hujan atau air yang ada di kanal-kanal di perkebunan kelapa sawit.

Selain beberapa kondisi di atsa, kondi-si lain yang sangat memprihatinkan adalah terkait kondisi anak-anak buruh perkebunan kelapa sawit. Dengan upah yang sangat mi-nim, sekolah-sekolah yang sangat jauh dari wilayah perkebunan, anak-anak mereka da-pat dipastikan tidak mendapatkan pendi-dikan yang seharusnya didapat. Bahkan se-bagian anak yang masih usia sekolah mesti bekerja membantu orang tuanya jadi buruh untuk mendapatan penghasilan lebih dari yang seharusnya. Akibatnya program wajib belajar 9 tahun sulit untuk diberlakukan bagi anak-anak di perkebunan kelapa sawit.

4.   Seperti apa mata rantai perdagangan CPO dan produk turunan sawit?

Proses rantai pasok atau supply chain di perkebunan kelapa sawit sepenuhnya di-kuasai oleh perusahaan-perusahaan besar. Proses yang terjadi adalah setelah mengelo-la Tandan Buah Segar (TBS) menjadi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), perusa-haan langsung mengirim CPO ke pasar esk-por dan domestik.

Berdasarkan data resmi 2013, Indonesia memproduksi 28 juta ton CPO dimana 6 juta ton diperuntukkan bagi pemenuhan kon-sumsi dalam negeri dan selebihnya dijual ke beberapa negara tujuan seperti Eropa, Asia (India, China) dan Amerika. Namun dalam proses ekspor ini, CPO tersebut tidak lang-sung di kirim ke negara tujuan tetapi me-lalui negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Hal ini terjadi karena beberapa perusahaan besar yang berusaha di Indonesia memiliki perusahaan yang mempunyai hak untuk menjual berada di Singapura dan Malaysia. Salah satu contohnya adalah Sinar Mas, yang mengirim CPO terlebih dahulu ke Singapura dan di sana GAR (Golden Agri

Resources) yang akan mengirim langsung ke negara tujuan ekspor.

Terkait dengan produk turunan dari CPO sendiri, sampai sekarang, yang bisa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia adalah mengelola CPO ini menjadi minyak goreng. Sedangkan produk turunan lain seperti, coklat, sabun, shampo belum da-pat dilakukan di dalam negeri. Khusus untuk biodiesel dari CPO, sebenarnya Indonesia mampu membuat di tengah krisis produk-si bahan bakar minyak (BBM) namun harga keekonomian biodiesel tak sanggup bersaing dengan harga BBM yang disubsidi pemerin-tah. Akibatnya industri ini pun rontok dan Indonesia tetap tak mampu mengurangi im-por BBMnya dari luar negeri.

Hapan kami pemerintah Indonesia ke depan bisa membuat satu peraturan yang mewajibkan perusahaan sawit bergerak di hilir industri sawit seperti mengelola CPO menjadi barang jadi atau siap pakai seperti sabun, coklat dan beberapa turunan lainnya. Sedangkan sektor hulu biarkan masyarakat yang mengerjakannya dengan dukungan pe-latihan dan sarana serta prasarana produksi dari pemerintah. Jika hal ini dilakukan, ten-tu ketergantungan kita dari impor barang-barang turunan CPO tidak lagi terjadi, teru-tama untuk bahan bakar diesel.

5. Bagaimana semestinya arah transforma-si perkebunan sawit ke depan?

Ada dua hal yang dapat dilakukan un-tuk merubah sistem perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia. Pertama adalah pro-ses ekspansi perkebunan kelapa sawit yang terjadi sekarang di Indonesia harus dihenti-kan. Hal yang perlu dilakukan untuk meng-aduit legalitas perusahaan dan menghitung produkstifitas kebun sawit yang dikelola ser-ta cadangan lahan (land bank) yang dimiliki perusahaan sawit. Tentu ada sanksi hukum yang diberlakukan bagi perusahaan yang

Page 16: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

16 Edisi X/Maret-Mei 2014

melanggar peraturan. Serta harus ada reward diberikan kepada perusahaan yang taat terha-dap hukum, misalnya dengan memberikan keringanan pajak. Selanjutnya meminta perusa-haan yang patut tadi bekerja sama dengan petani dalam pengelolaan kebun dan peningkatan produktifitas berdasarkan good agriculture practices (GAP) dalam jangka waktu tertentu, ke-mudian mengharuskan perusahaan untuk turun ke hilir memproduksi barang jadi berbahan baku minyak sawit.

Dengan jumlah kebun sawit yang sudah mencapai 13,5 juta ha, produktifitas per ha Indonesia masih kalah dengan Malaysia yang hanya memiliki 8 juta ha kebun sawit. Tahun lalu kita hanya memproduksi sekitar 28 juta ton CPO, sedangkan negeri jiran tadi sudah menghasilkan kurang lebih 20 juta ton pertahun. Artinya bila masyarakat yang didik dengan baik yang didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai menjadi tulang punggu-ung dan aktor terpenting dalam pengelolaan kebun sawit, kami yakin produktifitas Indonesia akan mengalahkan negara manapun di dunia ini.

6. Bagaimana Reforma Agraria di sektor perkebunan kelapa sawit?Proses reforma agraria di sektor ini tidak akan pernah terjadi bila pemerintah masih

menjadikan perusahaan sawit skala besar menjadi aktor utama, bukan rakyat atau petani. Di sektor sawit, secara terang benderang ditunjukkan bahwa agenda reforma agraria tidak menjadi hal penting bagi pemerintah, melainkan peningkatan devisa negara melalui inestasi modal yang masuk ke sektor ini dan pajak ekspor yang menguntungkan pemerintah.

Semoga pemerintah baru Republik Indonesia yang ditandai terpilihnya presiden dan wa-kil presiden untuk 5 tahun ke depan bisa membuat rakyat menjadi aktor utama di sektor sa-wit. Saat itulah reforma agraria akan mulai bergulir. Kita lihat saja.

"Sekitar 700 rumah gubuk SAD telah dihancurkan oleh aparat keamanan dan perusahaan sawit PT Asiatik Persada (PT AP). 3000 jiwa lebih warga SAD sejak saat itu terusir dari tanah leluhurnya dan tidak dapat pulang kembali. Untuk diketahui bahwa PT

Asiatik Persada adalah perusahaan sawit asing milik Malaysia yang menclaim lebih kurang 27.150 Hektar lahan."

Page 17: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

Suara Pembaruan Agraria 17

Rencana Replikasi Reforma Agraria Terbatas Sanggau:

Perkebunan Sawit dan Tambang Musuh Utama Petani di SanggauDesa Menyabo, Kabupaten Sanggau,

Kalimantan Barat merupakan desa yang dipenuhi konflik agraria, baik di sek-tor perkebunan mapun pertambangan. Desa Menyabo yang terdiri dari dusun Menyabo, Kelingking, Sagu dan Tonggong ini berhadapan dengan dua perusahaan yang lapar akan tanah. Kedua perusahaan itu adalah tambang bauksit PT. Bintangar Jaya Abadi/ PT. BJA dan perkebunan sawit PT. Epita Agro Lestari/ PT. EAL yang dulu bernama PT. Ratu Badis.

Perusahaan tambang PT BJA masuk ke wilayah adat Menyabo pada 2010 tanpa ada sosi-aliasi terlebih dahulu kepada masyarakat. Sedangkan Perkebunan PT EAL berada di Dusun Sagu masuk sejak tahun 2002 dengan mengantongi ijin hutan produksi dari pemerintah. Awalnya pihak perkebunan mengembangkan sistem kerja sama dengan kelompok tani se-hingga warga percaya untuk menjual tanahnya ke pihak perusahaan. Setelah perusahaan me-nguasai lahan warga maka pihak perusahaan merubah sistem bagi hasil menjadi 50:50 pada 2012. Perusahan ingin menggunakan pola kerja sama inti plasma dan bagi aset, tentu hal ini mendapat reaksi dari masyarakat dan pola inti plasma ini ditolak oleh warga dan pemerin-tah desa.

Warga yang mulai merasa ditipu oleh pihak perusahaan mulai mengambil alih tanah-tanah yang dulu diberikan kepada perusahaan. Sedangkan dari pihak perusahaan mengklaim tanah tersebut adalah milik perusahaan karena telah melakukan ganti-rugi. Pada kenyataan-nya perusahaan perkebunan PT EAL hanya mengganti rugi tanaman yang tumbuh di atas la-han, jadi tidak termasuk lahan warga.

Akhirnya sampai berita ini dimuat, konflik agraria yang ada di Desa Manyabu belum se-lesai, baik yang berkonflik dengan pertambangan maupun dengan perkebunan. Di lapangan penduduk masih mengupayakan raklaiming atau menduduki lahan kembali yang telah di-rampas perusahaan. Kemudian melakukan kajian hukum dan membuka dialog dengan in-stansi pemerintahan terkait serta melakukan pemetaan wilayah.

Mengenai konflik yang terjadi di Desa Menyabo, Sanggau Sekjend KPA, Iwan Nurdin, berpendapat bahwa konflik yang terjadi harus bisa dimanfaatkan menjadi satu peluang untuk pelaksanaan reforma agraria. Capaiannya adalah rakyat yang ada di Sanggau harus meng-anggap dirinya sebagai pejuang agraria sehingga terbentuk satu organisasi rakyat yang kuat untuk mendesak terlaksananya reforma agraria. Selanjutnya, tanah yang sudah berhasil dire-but warga harus bisa dikembangkan untuk meningkatkan eknomi rumah tangga petani, jelas Iwan. (AGP)

DUNIA DALAM KPA

rencana replikasi

Page 18: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

18 Edisi X/Maret-Mei 2014

Menuai Kemerdekaan Petani pasca Land Reform Kulonbambang

Reforma agraria sebagai jalan utama kesejahteraan dan keadilan sosial terbukti nyata di Kulonbambang, Blitar, Jawa Timur. Kisah perjuangan para buruh eks perkebunan yang

menduduki lahan ex-HGU hingga kemenangannya mendapatkan tanah redistribusi sangat menarik untuk selalu diteladani. Perjuangan reforma agraria tak terbatas waktu, ia adalah perjuangan terus-menerus. Kini penataan ekonomi dan regenerasi pengurus organisasi men-jadi suatu tantangan baru yang harus dijawab organisasi petani di Blitar.

Advokasi tanah secara terorganisir dijalankan melalui wadah perjuangan Pawartaku. Setelah 13 tahun, pada Oktober 2011, 280 Ha ex-HGU dinyatakan sebagai objek land reform dan didistribusikan kepada masyarakat melalui BPN. Warga-warga ke-4 kampung: Kampung Tlogosari, Tlogorejo, Bambang dan Kampung Anyar, Dusun Kulonbambang dapat mandiri atas kepemilikan terhadap tanah mereka.

Warga Kulonbambang bercerita “Dulu, kadang-kadang sulit makan setiap hari. Gajinya terlambat, dan tidak mungkin bikin tabungan, apalagi untuk menyekolah anak, merayakan le-baran dll. Pegawas kebun menganggap kami sebagai anjing, bahkan ada yang mendalami inti-midasi dan trauma ketika perjuangan.”

Sedangkan sekarang, tingkat ekonomi dan kehidupan jauh lebih baik. Jadwal kerja tidak ada lagi. Jumlah jam kerja sudah berkurang dua kali lipat (kira-kira 5jam/hari) dan rata-rata penghasilannya sudah naik dua kali lipat. Situasinya pasti lebih sejahtera. Banyak warga yang sudah memiliki motor dan rumah yang layak.

menuai kemerdekaan

Page 19: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

Suara Pembaruan Agraria 19

Selain itu, salah satu keuntungan landreform adalah kesempatan mendapatkan waktu merdeka di luar jam kerja. Agar ada peningkatan ekonomi di atas tanah yg didapat serta memperkuat persatuan, warga membuat pendirian asosiasi lokal (arisan perempuan dan pe-muda). Misalnya, kooperasi pinjam-simpan/Credit Union (CU) Pawartaku terbentuk pada januari 2013 sudah punya lebih dari 150 KK anggota yang diikat oleh dasar saling percaya.

Setelah land reform warga mengaku bukan saja tanah semata-mata yang sudah dikemba-likan kepada rakyat, tetapi juga martabat sebagai rakyat, kepercayaan diri dan tentu saja harga diri sebagai petani yang merdeka.

Dalam perjalanan tiga tahun ini, inisiatif warga Kulonbambang selalu berkembang. Penataan Ekonomi serta Kaderiasi dipandang pentibg dilakukan untuk terus memperbesar langkah perjuangan reforma agraria secara utuh. Untuk menjawab tantangan tersebut, or-ganisasi petani telah membangun pusat pendidikan dan mendurukan Credit Union (CU). Selain itu, kebutuhan akan kaderisasi dalam konteks penguatan organisasi tani dan regenerasi para pejuang agraria, maka mutlak perlunya diadakan pendidikan bagi para aktifis pendam-ping, mahasiswa dan para petani di daerah itu untuk menguatkan organisasi. Semua warga termasuk pengurus organisasi dan pendamping sangat optimis tentang kemakmuran masa depan di Kulonbambang. Semoga cerita ini menjadi teladan bagi perjuangan reforma agraria di seluruh Indonesia. (Camile-GA)

Tajamnya Konflik Agraria di Sektor Kehutanan

Klaim Kementerian Kehutanan yang mengatakan bahwa luas kawasan hutan 130 juta hek-tar telah menghasilkan konflik agraria. Kawasan hutan yang dijadikan Hutan Tanaman

Industri (HTI), pertambangan dan perkebunan merupakan sumber konflik agraria di kawa-san hutan. Hal ini dikarenakan proses pinjam pakai kawasan maupun pelepasan kawasan hutan tidak memperhatikan kondisi sosial masyarakat yang telah tumbuh di sekitar kawasan hutan. Masyarakat yang pada awalnya telah hidup dan bergantung pada hutan secara tiba-tiba kehilangan akses terhadap hutan akibat dari aktivitas pertambangan maupun perkebunan.

Melihat kondisi dan situasi konflik agraria terus terjadi di kawasan hutan maka Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengadakan diskusi yang bertemakan “Konflik Agraria di Kawasan Hutan, Ditinjau Dari Sisi Hukum”. Diskusi Jumatan yang rutin dilaku-kan oleh KPA ini mengundang Myrna Safitri sebagai pembicara. Dalam kesempatan terse-but Myrna mengatakan kelompok yang selalu berkonflik terdiri dari masyarakat yang mem-pertahankan haknya atas hutan, Kehutanan yang merupakan perwakilan dari pemerintah dan pengusaha.

Myrna yang aktif di Nota Kesepahaman Bersama (NKB 12 K/L) menyampaikan bahwa dalam 30 tahun kedepan Kementerian Kehutanan memiliki rencana sebagai berikut, perta-ma adalah dalam rencana makro, 20 tahun ke depan kawasan hutan akan tetap dijaga dengan luas 112 juta ha dan ini diasumsikan sebagai kawasan yang bebas konflik. Kedua kawasan hu-tan konservasi tetap dipertahankan sebesar 26,9 juta ha dan 20% dari luas kawasan hutan 112 juta ha akan dijadikan untuk kawasan lindung dan produksi. Untuk ahli fungsi lahan sebesar

Page 20: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

20 Edisi X/Maret-Mei 2014

18,3 juta ha dengan membentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).

Untuk mejalankan rencana di atas Kehutanan menggunakan konsep “temu ge-lang”. Menurut Kehutanan konsep ini juga bertujuan untuk mempercepat pengukuran tapal batas sehingga konflik-konflik yang ada di kawasan hutan bisa dengan cepat diselesai-kan. Pada tingkat lapangan pengukuran ta-pal batas kawasan hutan yang dilakukan oleh Kehutanan sering kali mendapat protes dari masyarakat yang tinggal d kawasan hutan. Hal ini terjadi karena pematokan yang dila-kukan oleh Kehutanan berdasarkan pengu-kuran, tidak melibatkan masyarakat yang su-dah tumbuh di sekitar kawasan hutan. Pada tahap ini, jika sudah ada yang komplein dari masyarakat maka harus dilakukan pengukur-an ulang sehingga konflik tidak terjadi.

Di penghujung diskusi, Myrna menutup dengan menyampaikan solusi untuk menye-lesaikan konflik di kawasan hutan dengan menciptakan satu sistem yang baik ketim-bang membentuk satu lembaga baru. sistem yang baik ini memiliki empat tahapan, yaitu tahap pencegahan, tahap perbaikan kebijak-an, tahap konflik dan tahap pemulihan pasca konflik. Sistem yang berlangsung harus bisa mencegah perluasan konflik yang terjadi di sektor persisir, adat dan lingkungan dengan memperhatikan masukan dari masyarakat.

Di fase kebijakan, pengkajian ulang bukan hanya UU yang sudah disahkan, tetapi ter-hadap Rancangan UU juga perlu dilakukan. Kemudian melakukan penataan ulang terha-dap ijin-ijin yang sudah dikeluarkan, hal ini mengingat ijin-ijin tersebut telah menjadi sumber konflik agraria di kawasan hutan.

Untuk menangani konflik ada dua opsi yang bisa ditempuh, yaitu membentuk lem-baga penanganan konflik atau memperku-at fungsi lembaga Komnas HAM jika mem-bentuk lembaga penanganan konflik sulit dinegosiasikan. Memperkuat kewenangan Komnas HAM tidak sesulit membentuk satu lembaga karena hanya merubah UU yang mengatur Komnas HAM.

Fase pemulihan pasca konflik merupa-kan bagian yang sangat penting. Masyarakat yang berkonflik secara psikis pasti terguncang karena mendapat intimiadasi atau kekerasan, jadi perlu waktu dan penanganan khusus, terutama kaum perempuan dan anak-anak. Selain pemulihan psikis pasca konflik, perlu kiranya diperhatikan pemulihan lingkungan pasca pengeloalaan lahan oleh perusahaan. Misalnya, sejauh ini belum ada perusahaan tambang yang bertanggung jawab atas keru-sakan lingkungan yang disebabkan pasca ak-tivitas pertambangan. (AGP)

Page 21: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

Suara Pembaruan Agraria 21

Masalah Agraria: Tantangan Kebijakan Agraria Nasional Masa Kini dan Masa Depan

Masalah Agraria kekinian semakin rumit dan sema-kin menguatkan desakan akan pelaksanaan reforma

agraria sejati di Indonesia. Kompleksitas masalah agraria ditunjukan dengan semakin banyaknya jumlah kejadian konflik agraria di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Oleh karena itu diskursus mendalam dan menyeluruh ten-tang masalah agraria serta solusinya harus diintensifkan di berbagai ajang dan lembaga.

Salah satu pihak yang melakukan penelitian menge-nai isu agraria adalah Tim Penelitian Strategi Pembaruan Agraria untuk Keadilan dan Mengurangi Kemiskinan: Analisis Hukum dan Kelembagaan yang dinisiasi oleh Lilis Mulyani dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan sebagai koordinator penelitian.

Selama 2011-2013, tim peneliti menemukan bah-wa masyarakat Indonesia masih memandang penting arti

masalah agraria

Seminar “Masalah Agraria Kontemporer:

Tantangan dan Kebijakan Agraria di Indonesia” ker-

jasama Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan

Kebudayaan -LIPI de-ngan Konsorsium

Pembaruan Agraria

Page 22: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

22 Edisi X/Maret-Mei 2014

tanah. Lebih lanjut, akses warga negara terha-dap lahan memiliki keterkaitan erat dengan pemenuhan hak, pengurangan kemiskinan, dan pengurangan kesenjangan. Hasil pene-litian tersebut disampaikan dalam seminar Masalah Agraria Kontemporer: Tantangan dan Kebijakan Agraria di Indonesia hasil kerja sama PMB-LIPI dengan Konsorsium Pembaruan Agraria di LIPI pada Selasa, 8 April 2014.

Keynote speaker dalam seminar ini diisi oleh DR (HC) Gunawan Wiradi yang menyo-roti kerumitan (involusi) di segala bidang ma-syarakat Indonesia. “Menurut teori, involu-si ada ambang batasnya, jika dilampaui yang akan terjadi adalah ledakan,” papar Gunawan Wiradi. Pertanyaan yang penting dijawab adalah Bagaimana ‘wajah’ masyarakat pede-saan penghasil pangan, di wilayah-wilayah yang berbeda-beda lingkungan alamiahnya di masa kini?”, tanya Gunawan Wiradi.

Tak luput dari analisanya, Gunawan juga mencermati momentum penentuan 2014 ini, yaitu pergantian kepemimpinan nasional. “Momentum ini mengandung peluang dan mengundang harapan. Pertanyaannya, sia-papun yang akan muncul sebagai pimpinan nasional, apa dia mampu dan sanggup me-lakukan langkah terobosan yang mendasar, khususnya dalam kebijakan mengatasi pe-ngelolaan sumber-sumber agraria?”

Gunawan Wiradi merekomendasikan beberapa tugas penting pemimpin yang baru, pertama, mendorong perlunya pemahaman yang benar mengenai konsep reforma agra-ria yang sejati (genuine). Kedua, mendorong adanya kemauan politik, komitmen yang ko-kok dan konsisten melaksanakan reforma ag-raria. Ketiga, menyusun kembali kelemba-gaan yang sesuai bagi pelaksanaan reforma agraria. Keempat, memberikan kesadaran bahwa masalah agraria tidak akan selesai me-lalui pendekatan ‘tambal sulam’, melainkan harus dimulai dengan program menyeluruh

dan drastis dari pusat. Kelima, melakukan pe-ninjauan kembali terhadap semua Undang-undang yang berkaitan dengan agraria secara serius, teliti tetapi cepat.

Agenda seminar ini turut dimeriahkan oleh para pakar dan aktifis yang selama ini fokus pada perjuangan agraria di Indonesia. Laksmi A. Savitri dari Departemen Antropologi UGM sebagai salah satu nara-sumber yang memaparkan topik transforma-si agraria dan perampasan tanah di Indonesia yang diambil dari studi kasus di Merauke, Papua. Laksmi menyoroti konsentrasi dan rekonsentrasi pemilikan dan penguasaan ta-nah yang ditunjukan dengan koefisien gini yang mencapai 0,41, penurunan jumlah peta-ni gurem, konsesi kehutanan yang mencapai 35,7 juta Ha dan perkebunan yang mencapai 11 juta Ha dan pertambangan 28,27 juta Ha. “Hal itu mengakibatkan perampasan tanah skala luas yang melibatkan modal besar untuk perluasan perputaran modal. Persoalannya ekspansi modal selalu menemukan ruang baru, tapi tidak selalu menyerap buruh bah-kan terjadi krisis peluang kerja di pedesaan dan perkotaan,” ungkap Laksmi. Pelaksanaan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) adalah contoh bagaimana mengu-bah krisis menjadi peluang, namun berakhir krisis. Laksmi mengkonfirmasi temua terja-dinya de-agrarianisasi atau de-peasantisation dimana indikatornya adalah Jumlah Rumah Tangga Petani (RTP) menurun dan terbesar di Jawa, berkurangnya pekerjaan pertanian dan akses terhadap tanah di Jawa, penam-bahan jumlah konsesi di luar Jawa dan terjadi transmigrasi demi penyediaan cadangan bu-ruh untuk pertanian industrial serta investasi rumah tangga pedesaan pada pendidikan, se-jenis SMK/Pendidikan vokasi demi penyedi-aan cadangan buruh untuk industri.

Surya Afiff dari Pusat Kajian Antropologi FISIP UI menyoroti topik Transisi Agraria kaitannya dengan Kerangka Riset untuk

Page 23: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

Suara Pembaruan Agraria 23

Memahami Kemiskinan. Surya menyatakan “ketimpangan penguasaan tanah dimana se-dikit orang saja yang menguasai tanah luas,” papar Surya. Surya juga menyoroti masalah sulitnya orang miskin keluar dari jebakan kemiskinan karena ketimpangan penguasa-an tanah. Disamping itu ada fakta lain yang juga bekerja, “pengabaian pertanian akan berdampak pada krisis pangan dan perluasan kemiskinan.” Pemerintah membiarkan orang miskin mencari jalan sendiri untuk keluar dari kemikinannya. “kemana mereka pergi? Menjadi TKI, sektor informal di perkotaan, terjebak perdagangan manusia,” tegas Surya. Menurut Surya Afiff kerangka transisi agraria dalam konteks memahami kemiskinan itulah yang harus menjadi prioritas LIPI ke depan.

Sesi kedua seminar menangkat pemba-hasan mengenai tantangan tata kelola agra-ria di Indonesia. Iwan Nurdin, Sekjend KPA dalam pemaparan topik korupsi agraria me-ngatakan bahwa masalah agraria saat ini di-perumit oleh persoalan korupsi dalam prak-tek perampasan tanah-tanah rakyat. “Dengan demikian, tidaklah berlebihan jika kita me-nyimpulkan bahwa kejahatan korupsi ada di wilayah-wilayah yang terkait dengan pengua-saan dan pengusahaan sumber-sumber agra-ria dan kekayaan alam,” Ungkap Iwan.

Tali temali antara konflik agraria yang terjadi dengan kejahatan korupsi aparat biro-krasi agraria di berbagai sektor (kebun, tam-bang, hutan, pesisir) ini, seharusnya mampu mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama kepolisian dan kejaksaan un-tuk mulai berkomitmen menjalankan refor-ma agraria. “Institusi penegak hukum harus dengan sesegera mungkin melakukan penye-lidikan secara sungguh-sungguh atas wila-yah-wilayah yang selama ini telah dilaporkan masyarakat mengalami konflik agraria dan adanya dugaan kuat kejahatan korupsi di da-lamnya,” tambah Iwan.

Dalam kesempatan yang sama DR. Bambang Widjojanto (Wakil Ketua KPK) mengatakan bahwa KPK memiliki rencana strategi 2011-2015 yaitu fokus pelaksanaan tugas antara lain perbaikan sektor strategis terkait kepentingan nasional yang meliputi: ketahanan energi dan lingkungan (energi, migas, pertambangan dan kehutanan); ke-tahanan pangan, pendidikan dan kesehatan; penerimaan negara (pajak, bea cukai serta PNBP dan bidang infrastruktur).

Dalam kegiatannya dalam layanan per-tanahan misalnya, KPK telah melakukan Koordinasi, Supervisi dan Pengkajian terka-it Kajian Sistem Pengelolaan Administrasi Pertanahan (KPK, 2005); Koordinasi dan Supervisi Layanan Pertanahan (KPK, 2006-2011); Pemantauan Implementasi Rencana Aksi BPN-RI (2011-2014); Kajian Sistem Perizinan di Sektor Sumberdaya Alam – Studi Kasus Penetapan HGU dan HGB (KPK, 2013); Penandatanganan Nota Kesepahaman Bersama (NKB) Kehutanan oleh 12 Kementerian/Lembaga (KPK, 2013).

Sementara dari hasil kajian sistem penge-lolaam administrasi pertanahan (KPK, 2005); Koordinasi dan supervisi (KPK, 2005-2011); Data pengaduan masyarakat (2004-2010) dan survey integritas (2007-2009) diperoleh ke-simpulan bahwa masih terjadi praktek pun-gli oleh petugas, masih banyaknya praktek percaloan oleh petugas dan belum ada sank-si/tindakan tegas terhadap petugas yang me-nyalahgunakan wewenang. Kesimpulan ter-sebut telah disampaikan kepada Presiden RI melalui surat Nomor : B‐204/01‐10/01/2011 Perihal upaya perbaikan pada pengurusan layanan pertanahan di Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Dalam su-rat tersebut KPK merekomendasikan kepa-da Presiden untuk mendorong implementasi tindak lanjut atas rekomendasi KPK kepada Badan Pertanahan Nasional dengan mem-berikan instruksi kepada Pimpinan lembaga

Page 24: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

24 Edisi X/Maret-Mei 2014

agar rekomendasi KPK ditindaklanjuti mela-lui perbaikan nyata di lapangan. Kedua, men-dorong Badan Pertanahanan Nasional untuk segera meningkatkan perbaikan layanan per-tanahan di Indonesia.

Contoh kasus korupsi pertanahan yang ditangani KPK antara lain: Kasus Pusat Olah Raga Hambalang (Penyuapan); Kasus Tanah Kuburan Kabupaten Bogor (Penyuapan dan Mark Up); Kasus Lombok (Penyuapan‐Libatkan Penegak Hukum); Kasus pembelian tanah melalui Dana Bansos Bandung (penyu-apan dan Mark Up) serta Kasus TPPU dan pembelian tanah sebagai placing, layering dan covering.

Melihat kompleksitas masalah agraria ke-kinian tentu saja tantangan bidang kajian dan riset masalah agraria semakin besar. Tim pe-neliti LIPI mengajukan rekomendasi agar pe-merintah membuat “Dokumen Pelaksanaan Kebijakan Agraria Nasional”. Lebih lanjut tim peneliti LIPI mengungkapkan bahwa doku-men tersebut harus mencakup prinsip kese-imbangan aspek ekonomi, sosial budaya, dan keberlanjutan lingkungan. Proses pengelo-laan juga harus diarahkan bersifat integra-tif sehingga dapat mendobrak ego sektoral yang terjadi selama ini. Yang terpenting akses sumber daya agraria harus berwatak kerak-yatan yang berkeadilan sosial sesuai amanat UUD 45 Pasal 33 dan UUPA 1960. (GA)

KPA Sulteng: Hutan untuk Rakyat Bukan untuk Pengusaha

KPA Sulawesi Tengah mengatakan bahwa pemerintah tidak serius dalam menjalankan skema Hutan kemasyarakatan (HKM), Hutan Desa (HD) dan Hutan Tanaman Rakyat

hutan yang rusak

Page 25: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

Suara Pembaruan Agraria 25

(HTR) di Sulawesi Tengah. Hal tersebut disampaikan pada sosialisasi Hutan Kemasyarakatan (HKM) di Restoran Kampung Nelayan (20/05/14).

“Saat ini terdapat 1.618 Daerah Aliran Sungai dalam kondisi kritis, hal ini tidak terle-pas dari kegiatan perluasan investasi dalam pengelolaan sumber daya alam di sektor Hutan, tambang skala besar dan tambang galian C serta perkebunan sawit di Sulawesi Tengah,” kata Gifvents, Deputi Konsorsium Pembaruan Agraria Wilayah Sulteng.

Dia menambahkan, program-program pemberdayaan yang diusulkan sejatinya bu-kan memberdayakan masyarakat. Ini dibuktikan dengan pendampingan yang tidak serius dan menjadi proyek salah satu instansi terkait. Prakteknya di lapangan terjadi pembentuk-an kelompok tani dadakan, proyek menanam pohon di wilayah aliran sungai, bantuan lebah madu, gerhan dan bansos. “Ini kemudian malah memicu konflik di tingkatan masyarakat,” ujar Gifvents.

Selain itu, dia juga mengambil sampel di Kabupaten Donggala dalam kurun waktu dua tahun terkahir. Kami sudah mendampingi kelompok tani yang ada 6 Desa di 4 Kecamatan yang ada di kabupaten donggala, yang saat ini sedang dalam proses pengusulan Hutan Kemasyarakat (HKM) seluas 7.050 Ha, yang arealnya di cadangkan dalam wilayah Hutan Produksi (HP) dan Hutan Lindung (HL). “Hutan sejatinya untuk rakyat bukan untuk pengu-saha”, tegas Gifvents

Berkas Usulan tersebut sampai dengan saat ini belum di tindaklanjuti oleh dinas kehu-tanan kabupaten Donggala. Padahal Visi Misi Bupati Donggala yang baru terpilih 2014-2018 salah satunya adalah pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan, namun beriringan dengan itu- ada beberapa usulan perkebunan sawit seperti PT Agromas Perdana seluas 20.000 Ha dan pertambangan yang baru maupun usulan lama dan yang sudah dalam status ekplorasi, yang juga muncul diwilayah usulan HKM yang diusulkan oleh masyarakat.

Hal ini membuktikan bahwa pemerintah lebih memilih pengusaha dibandingkan rakyat-nya sendiri, padahal rakyat butuh tanah untuk hidup dan bercocok tanam. Apalagi saat ini ada Perpres No 39 tahun 2014 Tentang penyertaan modal asing di sektor tanaman pangan, jika itu terimplementasi maka kita akan krisis pangan dan lahan, karena sebagian besar hasil pangan petani akan diekspor keluar.

Dia juga menambahkan KPA Sulteng mengusulkan pada Pemda Donggala agar segera melakukan review kembali izin tersebut dan pemerintah harus berpihak pada petani untuk meningkatkan tata kelola rakyat atas tanahnya secara baik.

Sekedar informasi, saat ini ada 450.000 Ha kawasan hutan produksi dan hutan lindung di Sulteng akan dilepaskan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL). Hal itu dikeluarkan dengan alasan, bahwa masyarakat sudah eksis di sana, namun disinyalir bahwa pelepasan kawasan hutan tersebut adalah salah satu cara pemerintah melepaskan kawasan untuk diinvestasikan kepada perkebunan dan pertambangan yang menyingkirkan kaum tani. Hanya saja ada pem-benaran dengan bungkus “demi pemberdayaan” sehingga dikhawatirkan akan memicu bom waktu ke depannya.(Gvn)

Page 26: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

26 Edisi X/Maret-Mei 2014

Dua Tahun Serikat Tani Indramayu

Pada perayaan Hari lahir Serikat Tani Indramayu (STI) yang kedua, ribuan petani yang tergabung dalam STI datang ke Desa Sukaslamet, Kec. Kroya untuk merayakan hari jadi

organisasi tersebut. Dalam acara tersebut turut hadir kalangan pemuda petani yang terga-bung dalam Gerakan Pemuda dan Pemudi (GPP). Acara perayaan hari lahir STI ini dimulai dari pukul 18.30 sampai dengan selesai. Selain anggota STI dan GPP, jaringan nasional yang datang keacara tersebut adalah Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang diwakili oleh Iwan Nurdin, Direktur Walhi Jawa Barat yang diwakili Dadan Ramdan dan Aliansi Petani Indonesia (API) yang diwakili oleh Oji.

Acara yang dilaksanakan pada 1 Maret 2014 mengangkat tema “Menata Organisasi Menuju Percepatan Reforma Agraria di Indonesia”. Tema ini sesuai dengan kondisi STI yang terus mendapat ancaman pembubaran dari Perhutani, Polsek Indramayu dan preman. Mulai dari pertengahan 2013 sampai Juni 2014, pejuang STI terus dikriminalisasi. Tujuannya adalah untuk melemahkan gerakan STI di basis-basis.

Dalam kata sambutannya, Syamsudin yang mewakili Sekjend STI mengatakan, petani STI akan tetap berkomitmen untuk memperjuangkan haknya atas tanah yang selama ini dikuasai Perhutani. Seluruh anggota STI harus belajar dari pengalaman yang lalu untuk membangun organisasi, program-program organisasi baik dalam bidang ekonomi kerakyatan, pendidik-an maupun yang lainya harus ditata ulang. Lebih lanjut Syamsudin mengatakan perjuangan

LINTAS PERISTIWA

harlah 2 Tahun STI

Page 27: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

Suara Pembaruan Agraria 27

reforma agraria di Indonesia khusunya di Indramayu tidaklah mudah kerena perme-rintah pada saat ini tidak pro kepada rak-yat petani.

Iwan Nurdin, Sekjend KPA, yang juga memberikan kata sambutannya mangata-kan bahwa STI mempunyai potensi besar untuk menjadi organisasi panutan bagi pe-tani lainnya di Indramayu. STI sudah mem-punyai pengalaman untuk menyikapi tin-dak intimidasi dari polisi, membentuk solidaritas untuk mengawal sidang teman

seperjuangan yang dikriminalisasi dan mem-perjuangkan hak atas tanah yang telah di-rampas oleh pemerintah.

Hal senada juga diungkapkan oleh ka-wan dari WALHI, Dadan mangatakan STI harus mulai menata produksi dari hulu sam-pai hilir berkaitan dengan tata kelola lahan garapan peningkatan ekonomi dan pendi-dikan sehingga selanjutnya STI tidak hanya menjadi organisasi gerakan yang hanya me-nyelesaikan kasus di lapangan saja. Acara memperingati hari lahir STI ini ditutup de-ngan Tausiyah Agama.Danang.

KPA Mendukung Pembubaran Kementrian Kehutanan

Dalam rangka memperingati hari Kebangkitan Masyarakat Adat sejumlah elemen masya-rakat melakukan aksi (17/03). Elemen masyarakat yang terdiri dari Aliansi Masyarakat

Adat Nasional (AMAN), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Walhi aksi long march dari Bundaran HI menuju istana Negara dan Kementerian Kehutanan.

KPA dukung pembubaran kemenhut

Page 28: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

28 Edisi X/Maret-Mei 2014

Di depan istana Abdon Nababan, Sekjend AMAN, mengatakan bahwa Putusan MK No. 35/puu-x/2012 tidak dijalankan karena ulah Kementerian Kehutanan. Lembaga Negara tersebut masih belum mengembalikan hutan adat seperti yang dinyatakan Putusan MK No. 35/puu-x/2012. Untuk itu Abdon me-nuntut kementerian Kehutanan agar dibu-barkan karena telah menjadi batu sandungan bagi masyarakat adat untuk menjaga keles-tarian hutan. Selain itu, Abdon mengimbau seluruh masyarakat adat agar tidak memilih calon presiden yang telah melakukan peru-sakan hutan.

Dalam rilis AMAN menyebutkan bah-wa menteri kehutanan menggunakan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan untuk mengkriminalisasi masyarakat adat. Hal ini juga memperlambat penyelesai-an RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat (PPHMA).

Hal yang senada juga disampaikan oleh Iwan Nurdin, Sekjen KPA. Dalam orasinya di depan gedung Kementerian Kehutanan menjelaskan bahwa Kementerian Kehutanan harus segara dibubarkan demi kesejahtera-an masyarakat.

“Ada Kementerian Kehutanan, hutan-hutan makin habis, hutan makin rusak, ta-nah-tanah rakyat makin diberikan kepada pengusaha, rakyat dihabisi tanah-tanahnya,” tegas Iwan Nurdin.

Idealnya, Kemenhut itu fokus saja ke-pada usaha perhutanan bukan menjadi pe-nguasa wilayah seperti yang terjadi saat ini. “Sehingga semua komponen pendaftaran ta-nah, hutan adat, hutan negara itu didaftar,” ujarnya. Kemenhut yang nantinya bertrans-formasi menjadi Dirjen ini bekerja berda-sarkan fungsi tata ruang, tidak lagi jadi pe-nguasa wilayah. “Kemenhut dilikuidasi saja, dijadikan Dirjen Kehutanan,” tegasnya lagi.

Pada tahun 2013, KPA mencatat 31 ke-jadian konflik agraria sektor kehutanan dan dengan luasan areal paling besar sepanjang konflik 2013 dengan 527.939,27 Ha. Jika kita melihat areal izin usaha pertambangan yang ada selama ini didominasi oleh areal pinjam-pakai kawasan hutan dan areal perkebunan juga merupakan lahan konversi dari kawasan hutan. Maka dapat disimpulkan bahwa kawa-san hutan menurut definisi yang dicantum-kan oleh UU 41/1999 tentang Kehutanan se-sungguhnya merupakan muasal pokok dari konflik agraria yang terjadi. (GA)

Kalah di PTUN: Perjuangan Jalan Terus

Perjuangan masyarakat Ringinrejo, Kecamatan Wetas, Kabupaten Blitar melalui Pengadilan terjawab sudah. Tanggal 6 Mei 2014, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta

Timur memutuskan bahwa lahan seluas 724,23 ha yang menjadi sengketa dimenangkan oleh Kementerian Kehutanan. Alasan PTUN adalah subjek penggugat tidak mempunyai bukti-bukti yang menyatakan bahwa penggugat memiliki alas hak atas lahan objek gugatan.

Dengan dimenangkannya Kementerian Kehutanan oleh PTUN maka konflik lahan antara Paguyuban Petani Penggarap Eks Perkebunan Gondangtapen (P4GT) dengan PT Holcim, secara otomatis dimenangkan oleh PT Holcim. Konflik lahan ini berlangsung sejak ex Perkebunan Gondang Tapen ditunjuk oleh Kementerian Kehutanan sebagai kawasan hu-tan sesuai dengan SK.367/Menhut-II/2013. Penunjukkan ini merupakan bagian tukar guling lahan Perhutani di Tuban dengan PT Holcim yang ada di Gondang Tapen.

Jika ditelusuri, sejak 2009 yang lalu HGU dari Perkebunan Gondang Tapen telah bera-khir dan petani yang tergabung dalam P4GT menggarap lahan tersebut karena terindikasi

Page 29: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

Suara Pembaruan Agraria 29

terlantar. Namun dengan dikeluarkannya SK Kementerian Kehutanan maka konflik lahan mulai muncul dan petani P4GT melakukan gugatan dengan menunjuk PIL-NET sebagai kuasa hukumnya.

Membangun Semangat Organisasi

Walau PTUN telah memutuskan bah-wa P4GT tidak memiliki hak atas atas ta-nah seluas 724,23 ha perjuangan tidak ber-akhir. Dari jalur hukum perjungan untuk mendapatkan hak atas tanah garapan masih

dilanjutkan dengan melakukan banding. Di lapangan P4GT siap menghadang pemerin-tah yang akan melakukan eksekusi dengan merusak tanaman petani. Pada tingkatan or-ganisasi, P4GT mulai berbenah dengan mela-kukan pertemuan rutin, mengatur keuangan organisasi dan manata manajemen produksi agar lebih baik lagi.

Dukungan terhadap P4GT terus meng-alir agar bara perjuangan tetap menyala. Dukungan tersebut datang dari KPA, Elasam dan PIL-NET, lembaga-lembaga tersebut da-tang ke Blitar pada 9 Mei 2014 untuk meng-ingatkan pejuang P4GT agar tidak patah arang. Mereka memberikan pesan kepada petani P4GT agar tidak melepaskan tanah-nya walau sejengkal saja kepada PT Holcim. Selain itu mereka juga menyampaikan agara mendokumentasikan semua kejadian pen-ting, terutama peristiwa lapangan. Hal ini mengingat konflik agraria cenderung terjadi pelanggaran HAM. AGP

kalah di PTUN

membangun

Page 30: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

30 Edisi X/Maret-Mei 2014

Gerakan Buruh Usung Reforma Agraria:

Belajar dari pengalaman Hari Buruh Internasional 1 Mei 2014Tiap hari, tiap bulan anda dan mungkin saya sering mendengar besarnya Ledakan

angka PHK kaum buruh yang pada 2012 saja tiap bulannya tercatat rata-rata di Indonesia sebanyak 18.000 buruh manufaktur dan jasa kehilangan pekerjaan, sementara yang masih bekerja justru dipaksa menerima rendahnya upah, minimnya jaminan social untuk buruh, dibatasinya kehidupan kebebasan berorganisasi dalam pabrik.

Tidak benar, kalau Negara menyatakan ada jaminan sosial terhadap kaum buruh lewat UU SJSN, tidak benar Negara telah mengklaim ada perlindungan terhadap kebebasan beror-ganisasi buat kaum buruh, tidak benar kalo Negara telah mengkalim ada upaya perlingdung-an maksimal saat buruh di PHK. Justru yang terjadi adalah Negara telah berpaling muka dari tanggung jawabnya sambil menginjak-injak kaum buruh yang memang sudah terhisap sejak perjanjian kerja ditantadatangani.

Buktinya hak-hak dasar, sebuah hak yang seharusnya diberikan oleh negara, justru si-tuasinya tidak seindah dalam teks undang-undang. Namun hak dasar itu bisa diperoleh aki-bat karena gigihnya perjuangan kaum buruh. Kita bisa belajar dari pengalaman perjuang-an, mogok nasional buru pada 3 Oktober 2012 kemarin, perjuangan buruh di Jabotabek saat

buruh

Page 31: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

Suara Pembaruan Agraria 31

melakukan tekanan politik menuntut Hak dan kepastian bekerja lewat aksi massa mem-blokir jalan Jakarta-Cikampek dan pemogo-kan 2 hari 2 malam di Depnakertrans bebe-rapa waktu yang lalu, pun dengan berbagai pelajaran yang diajarkan kaum buruh yang bersatu saat mengugat revisi UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan di tahun 2006-2007. Ungkap John Silaban, Sekjend FPBI.

Usep Setiawan Anggota Dewan Pakar KPA, menilai usaha pemerintah selama le-bih dari empat dekade terakhir ialah menam-pung kelebihan tenaga kerja produktif asal perdesaan dengan menggenjot pertumbuh-an sektor industri. Namun, agaknya usaha ini belum banyak membuahkan hasil. Terbukti, jumlah petani gurem dan buruh tani gurem di negara kita setiap tahun justru terus ber-tambah. Apalagi cetak biru pembangunan industri nasional bertumpu pada relokasi in-dustri dari negara maju dan utang luar nege-ri. Tidak mengherankan jika pembangunan industri nasional selama ini tak berelasi de-ngan pembangunan pertanian dan perdesaan yang dikembangkan.

Fenomena itu dianalisa oleh Iwan Nurdin, Sekjend KPA, “mengatakan bahwa pertumbuhan tersebut tak berkorelasi posi-tif terhadap peningkatan kesejahteraan bu-ruh. Bahkan, pertumbuhan petani gurem dan buruh tani terus meningkat dan menja-min ketersediaan buruh dalam sistem indus-tri pertanian dan perkebunan milik penjajah (kolonial). Inilah yang menjadi salah satu da-sar kesimpulan Gertz tentang gejala involusi pertanian dan sharing of poverty pada kehi-dupan petani Jawa.”

“Walhasil jebakan kemiskinan bagi pen-duduk perdesaan, khususnya buruh tani dan petani gurem, semakin dalam. Tidak ada proteksi dan subsidi bagi kaum buruh tani dan petani gurem, sehingga kehidupan mere-ka terus memburuk. Lantaran hasil keringat dari bekerja di atas tanah pertanian tak lagi cukup untuk menghidupi diri dan keluarga-nya, maka migrasi ke luar desa (bahkan ke luar negeri) sering kali menjadi pilihan yang terpaksa mereka ambil, inilah keadaan yang menegaskan bahwa sesungguhnya Rezim SBY tidak pernah peduli kepada rakyat.”

Aksi Buruh Mayday 2014 (Photo-Kent)

Page 32: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

32 Edisi X/Maret-Mei 2014

Tambah Iwan Nurdin, saat orasi di depan ri-buan kaum buruh.

Dengan persoalan yang demikian berat, menangani persoalan buruh tani dan petani gurem tidak dapat dijalankan dengan pende-katan biasa. Dibutuhkan terobosan kebijakan yang bersifat lompatan jauh ke depan, khu-susnya tekait pembangunan pertanian dan pedesaan yang dipadukan dengan pemba-ngunan perkotaan yang ramah terhadap rak-yat miskin.

Perlu ditempuh ialah mempercepat in-dustrialisasi pedesaan sebagai bagaian dari skema industrialisasi nasional dengan dasar pelaksanaan pembaruan agraria atau pem-baruan agraria. Pemerintah harus mendesa-in pembentukan badan usaha milik desa atau milik petani dalam wadah koperasi. Hal ini

gamar 16 bebaskan eva bande

didukung penyediaan lahan, bibit, kredit mu-rah, pendampingan, dan infrastruktur lain yang dibutuhkan. Tegas Iwan Nurdin.

Kent Yusriansyah Kepala Departmen POR KPA, memberikan catatan penting atas praktek perjuangan kaum buruh yang melakukan aksi massa pada hari buruh Internasional 1 Mei 2014 sebagai pelajaran berharga kepada gerakan tani di Indonesia. Bahwa kaum buruh di Indonesia setidaknya sudah menyadari bahwa reforma agraria ada-lah bagian yang penting dalam proses mene-gakkan industrialisasi nasional yang kuat un-tuk membangun kemandirian, keadaulatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia, ini juga mengandung pengertian bahwa gerakan bu-ruh dalam kacamata teori sosial modern ada-lah pelopor perubahan sosial.(K-Ysr)

Bebaskan Para Pejuang Agraria: Bebaskan Eva Bande, Yohanes dan Anyun!

Di ujung periode kepemimpinan SBY-Budiono, rezim semakin represif terhadap para Pejuang Agraria yang membela hak-hak petani atas tanahnya. Kali ini Eva Susanti Bande

atau yang akrab disapa Eva Bande dikriminalisasi oleh aparat hukum. Eva Bande adalah peju-ang yang konsisten mendampingi warga petani Kecamatan Toili, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah dari gempuran perampasan lahan oleh PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS). 15

Page 33: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

Suara Pembaruan Agraria 33

Mei Eva Bande ditangkap di Yogyakarta oleh tim Kejaksaan Negeri Luwuk bekerjasa-ma dengan Kejaksaan Agung dan ditahan di Lapas Luwuk kelas II B.

Sementara Murad Husein yang sejak 2010 ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Banggai tidak pernah ditahan sama sekali. Bahkan Kapolres Banggai Ajun Komisaris Besar Polisi Dadan telah mengeluarkan Surat Penghentian Penghentian Penyidikan (SP3) atas tindak pidana yang dilakukan oleh Murad Husain. Padahal nyata-nyata taipan sawit tersebut menerabas kawasan Suaka Margasatwa Bangkiriang dan merampasi la-han-lahan petani Banggai.

Sementara itu, di Pontianak, Kalimantan Barat terjadi penahanan secara sewenang-wenang lima orang petani pada 5 Mei 2014. Mereka ditangkap dan diperlakukan se-cara brutal oleh Polisi, Brimob, dan petu-gas PT Swadaya Mukti Prakarsa (SMP)/PT. First Resources. Kelima korban ialah Kepala Desa Batu Daya Bethlyawan, Ketua Badan Pemusyaratan Desa (BPD) Yohanes Singkul, Antoniyus Sintu, Anyun, dan Jorben Marinel. Kini dua orang masih ditahan di Polda Kalbar yaitu Yohanes Singkul dan Anyun. Mereka adalah para pejuang yang selama ini

konsisten atas perjuangan hak-hak masyara-kat adat.

Atas peristiwa penangkapan para pe-juang agraria di atas serta konflik agraria yang berkepanjangan di Banggai, Sulawesi Tengah dan Pontianak, Kalimantan Barat maka Konsorsium Pembaruan Agraria me-nyatakan sikap mengecam keras penangkap-an dan kekerasan oleh aparat terhadap peju-ang agraria: Eva Bande, Bethlyawan, Yohanes Singkul, Antoniyus Sintu, Anyun dan Jorben Marinel. KPA juga mendesak pengusutan tuntas kekerasan aparat keamanan terhadap lima petani pontianak Bethlyawan, Yohanes Singkul, Antoniyus Sintu, Anyun dan Jorben Marinel; KPA mendesak pemebasan Eva Bande, Yohanes Singkul dan Anyun karena tidak bersalah atas segala tuduhan yang dia-lamatkan. Segala tuduhan terhadap para pe-juang agraria adalah upaya pelemahan orga-nisasi rakyat pro reforma agraria yang selama ini konsisten memperjuangkan hak-hak pe-tani. Selain itu KPA juga menuntut penyele-saian menyeluruh konflik-konflik agraria se-cara tuntas dan menyeluruh dalam kerangka pelaksanaan reforma agraria di Indonesia.

Foto Walhi Sulteng: “Massa pengunjuk rasa tuntut Murad Husain ditangkap dan meminta Eva Bande dibebaskan.”

Page 34: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

34 Edisi X/Maret-Mei 2014

Setahun MK 35: Reforma Agraria dan Hutan Adat

Dalam agenda peringatan setahun MK 35/2012, KPA turut memberikan refleksi kritisnya terhadap implementasi MK 35 dan hubungannya dengan reforma agraria di sektor ke-

hutanan. Setelah setahun dikeluarkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum menin-daklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa hu-tan adat bukan lagi hutan negara. Padahal, Keputusan MK.35/2012 memiliki makna bahwa pengakuan negara atas keberadaan masyarakat adat di wilayah hutan adat yang dikeluarkan dari klaim sebagai wilayah hutan negara merupakan sarana penyelesaian konflik berbasis pe-mulihan hak akibat adanya penetapan konsesi di atas wilayah hutan adat.

Hutan adat dapat dijadikan objek reforma agraria dengan subjek utamanya adalah ma-syarakat adat itu sendiri. Terkait wilayah adat lainnya, masih tersisa persoalan yaitu wilayah masyarakat adat non kawasan hutan namun tidak diatur oleh masyarakat adat sebagai subjek hukum atau berada dalam konsesi usaha semisal kebun dan tambang.

Catatan kritis pelaksanaan MK 35 tersebut disampaikan Iwan Nurdin di acara peringat-an satu tahun putusan MK 35 di Jakarta, selasa (13/5). Iwan memaparkan bahwa paska pu-tusan MK maka peluang politik semakin meluas, apalagi dengan adanya Nota Kesepahaman Bersama (NKB) KPK dengan 12 K/L tentang percepatan pengukuhan kawasan hutan yang di dalamnya juga terdapat perluasan wilayah kelola rakyat dan penyelesaian konflik agraria di kawasan hutan. Paska putusan MK, ada UU No 6/2014 tentang Desa yang mengatur pene-tapan desa adat plus wilayahnya. Namun, yang terjadi sekarang adalah pembangkangan biro-krasi khususnya Kementrian Dalam Negeri dan Kementrian Kehutanan atas putusan MK 35. Terlebih lagi, tidak sepadannya peluang politik dan hukum yang semakin luas tersedia dengan realisasi pengakuan hutan adat dan wilayah masyarakat adat lainnya.

DINAMIKA KEBIJAKAN AGRARIA

setahun MK 35 AMAN

Page 35: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

Suara Pembaruan Agraria 35

Iwan juga memaparkan sejumlah alasan urgensi reforma agraria di Kawasan Hutan. Pertama, kawasan Hutan Indonesia adalah objek Reforma Agraria terluas (hampir 68 persen daratan telah ditunjuk sebagai kawa-san hutan) di Indonesia dan hanya 16 per-sen yang telah ditata batas. Kedua, kawasan Hutan Indonesia adalah titik dengan ketim-pangan struktur agraria tertinggi (perban-dingan pengelolaan hutan oleh korporasi dan oleh rakyat sangat tinggi). Kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat. Ketiga, pele-pasan, izin usaha pengusahaan, dan izin pin-jam pakai kawasan hutan adalah bisnis utama Kemenhut saat ini yang rawan dengan mega korupsi. Keempat, kehutanan adalah sumber utama Konflik Agraria.

Data Ketimpangan Agraria Kehutanan mengatakan bahwa Hutan mencakup 136.94 juta hektar atau 69 persen wilayah Indonesia, 121, 74 juta (88%) ha belum ditata batas. Sedikitnya 33.000 desa definitif berada da-lam kawasan hutan. 6.400 nya adalah desa di Perhutani. Luas HTI mencapai 9,39 juta ha (262 perusahaan). Bandingkan dengan izin Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang 631.628 hektar. Luas HPH di Indonesia 21,49 juta hektar dari 303 perusahaan HPH (2011). Kontribusi kehutanan kurang dari 1 persen PDB (FWI 2011).

Ada beberapa hambatan Reforma Agraria di Kawasan Hutan, antara lain: per-tama, tidak ada komitmen politik menjalan-kan agenda reforma agraria dari pemerintah; Kedua, Secara hukum, UUPA 1960 tidak ber-laku di kawasan hutan, dan penyeleweng-an pelaksanaan UUPA 1960. Bahkan, UU 41/1999 sesungguhnya menghidupkan kem-bali “domein verklaring” di dalam kawasan hutan yang telah dihapus oleh UUPA. Ketiga, Organisasi penyuara dan diskursus Reforma Agraria dalam politik kekuasaan masih mar-jinal dan keempat, reforma agraria dikawasan

hutan kerapkali salah dianggap tidak sejalan dengan agenda Lingkungan Hidup.

Mengapa Reforma Agraria Berlaku pada hutan adat? Objek Hutan adat telah tum-pang tindih dengan berbagai izin dan konse-si sehingga terdapat konflik agraria struktu-ral yang laten maupun manifest. Kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat adat akibat kehilangan akses terhadap hutan nya. Belum jelasnya objek hutan adat dalam soal tata ba-tas, dan tata guna ke dalam peta. Namun, se-benarnya lebih sulit menetapkan subjek re-form untuk jenis masyarakat adat ketimbang objek. Struktur sosial Masyarakat Adat pada wilayah tertentu diwarnai dominasi nilai pat-riarkhi dan feodalisme.

Secara Nasional dan wilayah tidak ada reforma agraria di Indonesia. Namun, dengan menggunakan perspektif lain sebenarnya te-lah terjadi local land/agrarian reform melalui sejumlah aksi pendudukan dan reklaiming oleh Organisasi Rakyat, dimana pada lokasi tersebut telah terjadi perubahan corak dan relasi produksi atas tanah. Meskipun secara legal belum kuat (masih berproses). Agrarian Reform by Leverage adalah sebuah pelaksana-an reforma agraria berdasarkan inisiatif or-ganisasi rakyat yang potensial dilakukan oleh AMAN pada objek hutan adat.

Diperlukan prinsip umum dalam pene-tapan objek hutan adat sebagai objek refor-ma agraria sehingga dirumuskan tata guna tanah yang mengacu pada nilai-nilai ma-syarakat adat yang menjunjung demokrasi dan keadilan sosial. Pengembangan prinsip-prinsip universal dalam menetapkan subjek reforma agraria pada hutan adat misalnya non diskriminasi terhadap kaum perempu-an dan pemuda. Menetapkan model subjek tertutup untuk masyarakat luar komunitas adat dan model terbuka untuk masyarakat di luar komunitas

Mayarakat pengusung reforma agraria harus Mendorong agenda Reforma Agraria

Page 36: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

36 Edisi X/Maret-Mei 2014

Pada Pemerintah ke depan dengan mem-bubarkan kementerian Kehutanan dan di-jadikan Kementerian Perhutanan. Namun, Agenda Reforma Agraria belum disuarakan secara nyata oleh para kandidat capres yang ada karena kurang dipahami arti penting-nya bagi penyelesaian ketidakadilan struktur

ekonomi dan sosial masyarakat. Pemahaman akan pentingnya agenda reforma agraria ter-bentur dengan anggapan bahwa Reforma Agraria dianggap sebatas program memper-tahankan struktur masyarakat pertanian atau agenda pertanian, bukan agenda transforma-si sosial. (GA)

LIPI Berencana Teliti Konflik Tambang

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam waktu dekat akan melaksanakan pe-nelitian konflik tambang di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Terkait dengan ren-

cana tersebut, Selasa, 25 Februari lalu telah dilaksanakan seminar riset design dengan topik “Ekonomi Politik Pengelolaan Sumber Daya Alam Pasca Orde Baru: Studi Kasus Kabupaten Bima”. Bertempat di Ruang Seminar PDII LIPI Jakarta, puluhan peneliti tampak antusias me-nyimak paparan design riset konflik agraria dari Tim Pusat Penelitian Politik LIPI.

Ketua Tim Penelitian LIPI, Pandu Yuhsina Adaba dalam pemaparannya mengungkapkan, bahwa riset ini berangkat dari identifikasi yang berasal dari studi-studi politik yang mengarah pada peran aktor yang memiliki kuasa atas penguasaan sumber daya alam. “Latar belakang riset ini adalah dari studi-studi mengenai politik pengelolaan sumber daya alam dan konflik, tampaklah bahwa aktor-aktor yang mempunyai akses pada kekuasaan lebih mempunyai ke-sempatan untuk mengendalikan dan mempengaruhi keputusan terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam menurut kepentingan mereka,” papar Pandu.

Lebih lanjut, Pandu mengatakan bahwa pola penguasaan SDA sebagaimana tercermin dalam regulasi-regulasi yang terkait belum dapat menyelesaikan frekuensi konflik berbasis sumberdaya alam yang merupakan akibat langsung dari ketidakadilan terhadap akses un-tuk memanfaatkannya.

Turut hadir sebagai pembahas dalam agenda tersebut, Iwan Nurdin Sekjend KPA. Dalam pembahasannya, Iwan memaparkan masukan-masukan KPA dalam prenelitian

Page 37: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

Suara Pembaruan Agraria 37

konflik tambang di Bima. “Riset ini harus secara komprehensif dan kuat dapat menje-laskan mengenai paradigma ekonomi politik Pengelolaan SDA di Indonesia sesuai konsti-tusi UUD dan UUPA 1960 serta harus dije-laskan juga perjalanan pelaksanaan Ekopol SDA Indonesia Orde Lama, Orde Baru hing-ga sekarang,” kata Iwan.

“Perubahan rezim pengelolaan SDA mempunyai konsekuensi pada perubahan aktor, dan relasi aktor politik dan ekonomi di nasional dan daerah. Konflik kepentingan antara masyarakat politik, masyarakat eko-nomi dan masyarakat sipil lainnya salah satu-nya konflik sebagai fase dari tidak terdamai-kannya sebuah kompetisi pengelolaan SDA yang berujung ketidak adilan),” tambah Iwan.

Lebih dalam Iwan menambahkan bahwa riset ini akan lebih baik jika tujuan peneliti-an dapat menggambarkan rezim ekopol SDA yang berlaku saat ini melalui perbagai pera-turan SDA yang ada Pertama, untuk meme-takan struktur penguasaan dan pengelola-an sumber daya alam di Bima sebagai akibat rezim peraturan SDA yang berlaku. Kedua, untuk mengidentifikasi para pihak dan rela-sinya dalam pengelolaan sumber daya alam. Ketiga, untuk mencari formulasi yang tepat mengenai pengelolaan SDA melalui bebera-pa aspek diantaranya usulan peraturan per-undangan dan hal-hal lain yang diperlukan untuk mengoptimalkan hasil pengelolaan sumber daya alam untuk mewujudkan kese-jahteraan rakyat. (GA)

Sektor Pertanian Diobral Murah ke Asing

Di tengah kebutuhan mendesak akan kemandirian dan konsolidasi modal dalam negeri yang melibatkan tenaga dan modal produktif rakyat petani sesuai amanat Pembukaan

UUD 1945, rezim SBY justru melahirkan kebijakan liberalisasi sektor pertanian. Pada 23 April 2014 lalu, Perpres 39/2014 tentang “Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal” diberlakukan. Pepres tersebut semakin meyakinkan penyimpangan ke arah liberalisasi penuh sistem ekonomi Indonesia.

Diakhir periode kekuasaan, SBY justru meninggalkan kebijakan yang akan semakin menyingkirkan petani dan pertanian dari tangan rakyat. Padahal warisan buruknya sudah

Page 38: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

38 Edisi X/Maret-Mei 2014

demikian banyak. Sektor Pertanian dalam Perpres tersebut dijadikan salah satu bidang usaha yang diliberalisasi dengan kepemilik-an modal asing 30-95% (daftar terlampir). Perpres tersebut lahir dari pelakasnaan UU No 25/2007 Tentang Penanaman Modal yang sangat liberal. Kebijakan tersebut berdampak pada tersingkirnya tenaga produktif pertani-an, baik dalam bentuk tenaga produksi tani dan modal.

Dibukanya investasi pertanian pangan, industri bibit hingga GMO kepada investor asing, semakin menandakan bahwa rencana pembangunan pertanian nasional kita bukan mentransformasikan petani menjadi pemilik dan pelaku usaha modern yg disupport pe-merintah melalui tanah, modal dan teknologi dalam skema reforma agraria.

Dibukanya investasi ini akan semakin membawa perubahan aktor pertanian pa-ngan ke arah penguasaan korporasi, ini me-lanjutkan trend yg telah terjadi, dimana jum-lah petani menurun hingga 5,04 juta rumah tangga dan jumlah perusahaan pertanian pa-ngan yg menguasai pangan masyarakat se-makin meningkat hingga 5.486 perusahaan (Sensus Pertanian 2013).

Di saat kondisi petani Indonesia berada dalam kondisi miskin berat karena berbagai faktor akibat hilangnya peran perlindungan negara, pemerintah justru semakin aktif me-nyengsarakan petani dengan kebijakan libe-ralnya di sektor pertanian. Petani akan sema-kin cepat bertransformasi menjadi buruh tani yang secara modal (capital) tidak dilibatkan sebagai unsur pokok pembangunan nasional. Rezim SBY telah menggagalkan semangat kolektifisme dan sistem ekonomi kekeluar-gaan seperti yang diamanatkan UUD 1945 Pasal 33 dengan membelokan arah sektor pertanian kepada dominasi modal asing.

KPA menilai bahwa rezim SBY telah gagal total membangun industri pedesaan

berbasis ekonomi kerakyatan yang didam-bakan oleh UUD 1945 khususnya Pasal 33. Secara substansial KPA menilai bahwa te-lah terjadi penyimpangan sistematis cita-cita kemerdekaan 1945 oleh rezim SBY dengan mengundang dominasi modal asing dalam sektor-sektor ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak.

KPA menilai bahwa dengan mengeluar-kan Perpres 39/2014, Rezim SBY telah me-ngukuhkan diri sebagai perpanjangan tangan penjajahan model baru dengan menyediakan karpet merah bagi jalannya liberalisasi pe-nuh. Pelibatan modal asing yang dominan akan semakin merapuhkan struktur ekonomi nasional yang semakin timpang.

KPA menilai bahwa menyerahkan sektor pertanian kepada modal asing sama saja de-ngan menyerahkan leher kedaulatan dan na-sib bangsa ke pada pasar bebas yang liberal. Kami menilai bahwa kebijakan liberalisasi melalui perpres tersebut akan semakin me-lemahkan kedaulatan nasional, semakin me-minggirkan usaha pertanian rakyat, semakin menggagalkan industri pertanian pedesaan berbasis ekonomi kerakyatatan dan semakin menghilangkan modal kekuatan produktif rakyat dalam agenda pembangunan nasional. Akumulasi modal asing akan semakin men-jauhkan Indonesia dari kemandirian sebagai bangsa dan mendorong ancaman kerawanan di dalam negeri.

Atas uraian di atas, KPA mengecam ke-ras atas lahirnya Perpes 39/2014 dan menye-rukan kepada organisasi masyarakat sipil pro Reforma Agraria dan serikat tani di seluruh Indonesia untuk menggugat lahirnya Perpres tersebut. Kami mendesak dicabutnya Perpres tersebut karena akan mewariskan krisis eko-nomi dan hancurnya sektor pertanian karena labilnya struktur modal asing ala pasar bebas yang diundang Rezim SBY.

Page 39: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

Suara Pembaruan Agraria 39

Lampiran 1. Daftar Peraturan Kepemilikan Modal Asing di Sektor Pertanian da-lam Perpres 39/2014 Tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal

1) Kepemilikan modal asing maksimal 49% dengan usaha budidaya tanaman pa-ngan pokok dengan luas lebih dari 25 Ha yaitu Padi, Jagung, Kedelai, Kacang Tanah, Kacang Hijau, Tanaman Pangan lainnya (ubi kayu dan ubi jalar) melalui rekomendasi menteri pertanian.

2) Kepemilikan modal asing maksimal 95% dan perizinan khusus Usaha industri perbenihan perkebunan dengan luas 25 Ha atau lebih melalui rekomendasi menteri per-tanian. Jenis tanaman antara lain, jarak pagar, tanaman pemanis lainnya, tebu, tembakau, bahan baku tekstil dan kapas, jambu mete, kelapa, kelapa sawit, tanaman untuk bahan mi-numan (teh, kopi, kakao), lada, cengkeh, minyak atsiri, tanaman obat/bahan farmasi (di luar holtikultura), tanaman rempah lainnya, tanaman karet dan penghasil getah lainnya, tanaman lainnya yang tidak diklasifikasikan di tempat lain.

3) Kepemilikan modal asing hingga 95% dan perizinan khusus Usaha perkebunan dengan luas 25 Ha atau lebih sampai dengan luasan tertentu tanpa unit pengolahan dengan rekomendasi menteri pertanian. Jenis tanaman, antara lain tanaman jarak pagar, tanaman pemanis lainnya, tebu, tembakau, bahan baku tekstil dan kapas, jambu mete, kelapa, kelapa sawit, tanaman untuk bahan minuman (teh, kopi, kakao), lada, dengkeh, minyak atsiri, ta-naman obat/bahan farmasi (di luar holtikultura), tanaman rempah lainnya, tanaman karet dan penghasil getah lainnya.

4) Kepemilikan modal asing hingga 95% dan perizinan khusus Usaha perkebun-an dengan luas 25 Ha atau lebih yang terintegrasi dengan unit pengolahan dengan ka-pasitas tertentu. Jenis usaha antara lain: perkebunan jambu mete dan industri biji mete kering dan Cashew Nut Shell Liquid (CNSL); Perkebunan lada dan industri biji lada pu-tih kering dan biji lada hitam kering; Perkebunan jarak dan industri minyak jarak pagar; Perkebunan tebu, industri gula pasir, pucuk tebu dan Bagas; Perkebunan tembakau dan industri daun tembakau kering; perkebunan kapas dan industri serat kapas; perkebunan kelapa dan industri minyak kelapa; perkebunan kelapa dan industri kopra, serat (fiber), Arang Tempurung, debu (dust), Nata de Coco, Perkebunan kelapa sawit dan industri mi-nyak kelapa sawit (CPO), Perkebunan kopi dan industri pengupasan, pembersiahan serta sortasi kopi; perkebunan kakao dan industri pengupasan, pembersihan dan pengeringan kakao; perkebunan teh dan industri teh hitam/teh hijau; perkebunan cengkeh dan indus-tri bunga cengkeh kering; perkebunan tanaman minyak atsiri dan industri minyak atsiri; perkebunan karet dan industri sheet, lateks pekat; perkebunan biji-bijian selain kopi, kakao dan industri pengupasan dan pembersihan biji-bijian selain kopi dan kakao.

5) Modal asing juga bisa masuk sampai maksimal 95% atas rekomendasi Menteri Pertanian untuk usaha industri pengolahan hasil perkebunan, yaitu: Industri Minyak Mentah dari Nabati dan Hewani; Industri Kopra, Serat, Arang Tempurung, Debu, Nata de Coco; Industri Minyak Kelapa; Industri Minyak Kelapa Sawit; Industri Gula Pasir, Pucuk Tebu, dan Bagas; Industri Teh Hitam/Teh Hijau; Industri Tembakau Kering; Industri Jambu mete menjadi biji mete kering; dan Industri Bunga Cengkeh Kereng.

Page 40: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

40 Edisi X/Maret-Mei 2014

6) Kepemilikan modal asing maksimal 30% di bidang usaha perbenihan holtikultu-ra, melupiti: perbenihan tanaman buah semusi, perbenihan anggur, perbenihan buah tro-pis, perbenihan jeruk, perbenihan apel dan buah batu, perbenihan buah beri, perbenihan tanaman sayuran semusim, perbenihan tanaman sayuran tahunan, perbenihan tanaman obat, perbenihan jamur, perbenihan tanaman florikultura.

7) Kepemilikan modal asing 30% di bidang usaha holtikultura yaitu budidaya tanam-an buah semusim, anngurm buah tropis, jeruk, apel dan buah batu, beri, sayuran daun (an-tara lain: kubis, sawit, bawang daun, seledri).

8) Kepemilikan modal asing 30% untuk bidang usaha industri pengolahan holtikul-tura dan usaha labolatorium uji mutu holtikultura serta pegusahaan wisata agro holtikul-tura dan Usaha jasa holtikultura lainnya seperti usaha jasa pascapanen, usaha perangkaian bunga/Florist/dekorator, konsultan pengembangan holtikultura, landscaping, jasa kur-sus holtikultura.

9) Kepemilikan modal asing hingga 49% dalam bidang usaha penelitian dan pe-ngembangan ilmu teknologi dan rekayasa: sumber daya genetik pertanian dan produk GMO (rekayasa genetika) melalui rekomendasi dari menteri pertanian.

Pemerintah Harus Menghentikan Laju Ahli Fungsi Lahan Pertanian

Tidak terjaminnya ekonomi Rumah Tangga Petani (RTP) membuat petani menjual tanah garapannya untuk dijadikan perkebunan, pertambangan maupun bangunan seperti pab-

rik, hotel dan jalan. Harian Kompas pernah menerbitkan bahwa ditahun 1992-2002 terjadi konversi lahan pertanian 110.000 ha per tahun dan mengalami peningkatan sejak 2002-2006 menjadi 145.000 ha. Jadi bisa disimpulkan dalam kurun waktu 15 tahun terjadi penyusutan lahan pertanian seluas 1,935 juta ha atau 120.000 ha per tahun. Jika kondisi ini tidak ada per-ubahan maka 65 tahun mendatang luas lahan pertanian Indonesia akan hilang 7,75 ha.

Page 41: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

Suara Pembaruan Agraria 41

Untuk mencegah semakin luasnya kon-versi lahan pertanian di Indonesia maka Badan Pertanahan Negara (BPN) melaku-kan riset terhadap dinamika dan peluang pe-ngendalian ahli fungsi tanah sawah. Hal ini diakerenakan jumlah konversi lahan pertani-an lebih besar dibandingkan dengan jumlah pencetakan sawah baru, yaitu luas konver-si lahan pertanian 120.000 ha per tahun, se-dangkan luas lahan sawah yang dicetak da-lam setahun hanya 60.000 ha.

Penelitian BPN ini bertujuan untuk menganalisis dinamika perubahan tanah sa-wah menjadi non-pertanian, penyebab kon-versi lahan pertanian, dampak konversi la-han pertanian terhadap petani dan strategi kebijakan untuk mencegah konversi lahan pertanian. Sebelum melakukan penelitian la-pangan, BPN melakukan konsinyering pada tanggal 2-4 April di Hotel Oria untuk menyu-sun desain dan instrument penelitian. Dalam pertemuan tersebut BPN menyampaikan bahwa pengurangan lahan pertanian sejalan dengan menurunnya produksi pertanian dan meningkatnya jumlah produk impor.

Indonesia sebenarnya mempunyai UU yang bertujuan untuk mencegah konver-si lahan pertanian, yaitu UU No.41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian

Pengan Berkelanjutan. Lahirnya UU ten-tang Perlindungan Lahan Pertanian Pengan Berkelanjutan disebabkan oleh dua hal, ya-itu semakin kritisnya lahan pertanian yang berproduksi di sektor pangan dan semakin tingginya jumlah produk impor yang masuk ke Indonesia.

Menurut Dewi kartika, Wakil Sekjend Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), yang hadir sebagai narasumber mengata-kan bahwa dalam pelaksanaannya, UU ten-tang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan memiliki beberapa kendala. Kendalanya yaitu, pertama rendahnya sub-sidi kepada petani, seperti pupuk, teknologi dan penyebaran pengetahuan untuk mening-katkan produksi pertanian. Mahalnya bia-ya produksi pertanian tentu sejalan dengan tingginya harga jual di pasar dan inilah mem-buat produk pertanian dalam negeri kalah saing dengan produk luar yang harganya le-bih murah. Bahkan desakan dari WTO yang dikenal dengan “Paket Bali” mengharuskan semua Negara anggota WTO harus mengah-apus subsidi, termasuk di sektor pertanian.

Kedua, Indonesia yang sangat bergan-tung kepada investasi, khususnya yang dari luar menjadi ancaman terhadap hilangnya lahan pertanian berskala kecil. Ekonomi ru-mah tangga petani yang tidak mengalami peningkatan, bahkan cenderung mengalami penurunan akan membuat petani berinisiatif menjual tanah-tanahnya. Kemudian mereka akan bekerja menjadi buruh pabrik di kota, menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau merambah ekonomi informal, seperti tukang ojek, supir angkot dll.

Melakukan sertifikasi tanah tanpa diser-tai program pendukung, disektor pertanian akan mempercepat proses penyusutan lahan pertanian. Dengan sertifikat yang sah, me-mudahkan petani berskala kecil untuk men-jual tanahnya. AGP.

Indonesia di masa datang mau menjadi negeri yang makmur, supaya rakyatnya dapat serta pada kebudayaan dunia dan ikut serta mempertinggi peradaban. Untuk mencapai kemakmuran rakyat di masa datang, politik perekonomian mes-tilah disusun di atas dasar yang ternyata sekarang, yaitu Indonesia sebagai negeri agraria. Oleh karena tanah faktor produk-si yang terutama, maka hendaklah pera-turan milik tanah memperkuat keduduk-an tanah sebagai sumber kemakmuran bagi rakyat umumnya”. (Drs.Mohammad Hatta).

Page 42: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

42 Edisi X/Maret-Mei 2014

Meninjau Kembali Sistem Kemitraan Perkebunan Inti Rakyat

Indonesia mulai menerapkan sistem Perkebunan Inti Rakyat (PIR) pada 1977 di Alue Merah, D.I

Istimewa Aceh dan Tabalong, Sumatera Selatan. Sistem yang didanai oleh bank dunia ini memiliki tujuan mulia karena ingin memberdayakan petani yang tidak bertanah, bertanah kecil dan petani yang tidak memiliki modal.

Namun menjelang berakhirnya era Orde Baru konflik agraria mulai bermunculan kepublik yang diakibatkan oleh sistem kemitraan. Hal ini bisa ter-jadi karena pola kemitraan tidak memberikan keun-tungan kepada masyarakat petani. Berdasarkan SK. Mentan No. 333/kpts/KB.50/6/1986 tentang tata cara pelaksanaan pengembangan perkebunan dengan pola PIR-Trans, perjanjian lahan kebun inti dan ke-bun plasma 20:80. Tentu saja angka 80 ada ditangan penyandang, baik dari Negara maupun oleh swasta.

Di lapangan juga banyak petani yang terlibat de-ngan pola inti plasma tidak mendapatkan haknya, misalnya tanah sudah diberikan oleh warga untuk dijadikan perkebunan namun tanah pengganti yang diperuntukkan sebagai ganti rugi tidak diberikan. Warga malahan kerap dijadikan sebagai buruh kasar perkebunan.

Banyaknya konflik yang terjadi akibat dari pola kemitraan membuat BPN ingin melaku-kan penelitian terhadap sistem pola tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pe-nguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah pola-pola kemitraan inti plasma. Sebelum menjalankan penelitiannya, BPN terlebih dahulu melakukan konsinyering untuk menyusun desain dan instrument penelitian. Acara yang berlangsung pada 28-30 April 2014 di Hotel Oria turut juga mengundang Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Hadir dalam acara tersebut Wakil Sekjend KPA, Dewi Kartika, mengusulkan agar pene-litian BPN memasukkan tata kuasa, tata guna, tata kelola tanah dan tata produksi ke dalam pembahasan. Dengan demikian kita bisa memahami satu gambaran utuh tentang system ker-ja pola kemitraan yang berjalan selama ini.

Penelitian BPN tentang perkebunan inti rakyat ataupun inti plasma harus bisa membu-ka kebobrokan sistem yang berkerja selama ini. Dengan demikian maka kita bisa mengeta-hui pola kemitraan masih relevan atau tidak. Jika kita berkaca pada catatan akhir tahun KPA maka sektor perkebunan merupakan penyumbang konflik agraria terbesar, yaitu 180 konflik agraria dengan luas lahan sengketa 527.939,27 ha.

Tingginya konflik di sektor pekebunan bukan tanpa sebab, salah satu penyebabnya ada-lah kondisi ekonomi petani plasma yang tidak sejahtera. Setelah BPN melakukan penelitian terhadap pola kemitraan maka harus ada satu tindakan konkret yang berpihak kepada ma-syarakat, khususnya petani inti plasma. Pola kemitraan bukan hanya membuat petani plasma menjual tenaganya dengan murah, tetapi hasil tanamannya juga dujual murah ke koperasi perusahaan, tegas Dewi. (AGP)

Page 43: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

Suara Pembaruan Agraria 43

RUU Pertanahan Harus Menjawab Ketimpangan Sturktur dan

Konflik AgrariaSekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) memandang bahwa, RUU Pertanahan harus dibahas dengen kecermatan dan ketelitian yang tinggi. Apalagi, RUU ini dalam naskah akademiknya dimaksudkan sebagai implementasi UU Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 dan jawaban dalam menyelesaikan karut-marut pertanahan akibat tak dijalankannya UUPA secara konsekuen selama Orde Baru hingga sekarang,” kata Iwan Nurdin di seminar nasional “Quo Vadis RUU Pertanahan” yang digelar Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, Jakarta (24/4).

Seminar tersebut menghadirkan para pembicara, yakni Sekjen KPA Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Real Estate Indonesia (DPP REI) Eddy Hussy, Aryani (notaris/PPAT), Gunawan (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice), Aris Swantoro (akade-misi), dan Eddy M. Leks (pengacara/konsultan Hukum).

RUU Pertanahan diharapkan dapat segera mengakomodir soal kelembagaan lintas sekto-ral yang mengatur pengelolaan sumber-sumber agraria. “RUU Pertanahan harus bisa menja-wab persoalan ketimpangan struktur agraria serta maraknya konflik agraria,” Jelas Iwan.

Selain itu Iwan juga mengatakan bahwa RUU Pertanahan ini juga sebaiknya membentuk Pengadilan Pertanahan, sebuah pengadilan khusus untuk mengadili kasus-kasus pertanahan. Hal itu didasarkan pada temuan Konsorsium Pembaruan Agraria dengan adanya peningkat-an jumlah konflik pertanahan selama lima tahun terakhir (2009-2013). Bahkan, konflik tanah itu telah menyebabkan jatuh korban jiwa. Tahun 2013 jumlah korban tewas sebanyak 3 petani. Tahun 2014 ini konflik agraria telah menimbulkan korban jiwa sebanyak 21 orang. Sebanyak 30 orang tertembak, 130 orang mengalami penganiayaan dan 239 orang ditahan oleh aparat keamanan, katanya.

RUU Pertanahan Harus Mengakomodir Reforma Agraria SejatiJika kita menengok ke dalam RUU Pertanahan, ada beberapa kelemahan yang seharusnya segera dijawab dan diselesaikan. Pertama, RUU ini dimaksudkan untuk melaksanakan re-forma agraria sebagai solusi ketimpangan atas tanah. Bahkan, secara khusus dibahas dalam bab tersendiri. Sayangnya, reforma agraria yang dimaksud bukan reforma agraria yang ge-nuine. Reforma agraria dalam hal ini operasi cepat dan menyeluruh dalam mengatasi ketim-pangan agraria melalui redistribusi tanah (land reform) sekaligus katalisator bagi tumbuhnya

Page 44: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

44 Edisi X/Maret-Mei 2014

badan usaha milik desa, petani, nelayan, dan masyarakat marginal lain dalam mengusaha-kan tanah secara modern. Oleh karena itu, perlu lembaga ad hoc yang dipimpin dan ber-tanggung jawab kepada presiden dalam me-laksanakan program ini, misalnya Komite Nasional Pelaksana Reforma Agraria.

Reforma agraria adalah upaya mengu-rangi ketimpangan dan ketidakterhubung-an pembangunan desa-kota, pertanian, dan industri yang selama ini terjadi. Seyogianya hak guna usaha perkebunan, pertanian, per-ikanan darat, dan peternakan diprioritaskan kembali untuk koperasi/petani sesuai amanat UUPA 1960 dan investasi skala besar pada proses hilirisasi.

Sementara akademisi Unika Atmajaya Aris Swantoro mengatakan “Selain itu, RUU Pertanahan itu untuk mempertegas penafsir-an ketentuan-ketentuan yang telah diatur di dalam UUPA,” kata Aris Swantoro dalam se-minar tersebut. Aspek terpenting dari sebu-ah hukum justru terdapat di luar hukum ter-sebut yaitu terkait implementasi hukum dan kebijakan yang dirumuskan di dalamnya, ujar Aris.

Bentuk Segera Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria!Jawaban penyelesaian konflik pertanahan yang ditawarkan dalam RUU Pertanahan ada-lah membentuk pengadilan pertanahan. Hal tersebut mendapat masukan dari KPA. dalam Seminar di Jakarta tersebut. Iwan mengata-kan “usulan tersebut akan efektif jika peme-rintah mampu menyelesaikan pekerjaan ru-mah dalam menyelesaikan masalah-masalah pertanahan dan problem ketimpangan mela-lui reforma agraria dan menegakkan kelem-bagaan pertanahan yang kredibel,” ujar Iwan.

Dalam kesempatan menjadi Panelis, Iwan Nurdin memaparkan mengenai bebera-pa strategi menyelesaikan konflik agraria se-kaligus menyelesaikan ketimpangan struktur

agraria. Iwan mengatakan bahwa sebelum menuju pengadilan pertanahan perlu usaha penyelesaian ribuan konflik/sengketa perta-nahan seperti kasus Mesuji, Bima, dan lain-lain yang tergolong  extra ordinary  oleh se-buah lembaga transisi sekaligus menjawab keadilan masyarakat dalam proses transisio-nal. Lembaga ini misalnya Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria yang pernah diusulkan Komnas HAM.

Iwan menambahkan, “lembaga ini ber-tugas mendaftar, melakukan verifikasi, dan pemberkasan kasus yang diajukan masyara-kat secara kolektif; memfasilitasi penyelesai-an secara win-win; dan menyampaikan reko-mendasi penyelesaian yang akan diputuskan oleh pengadilan (khusus) pertanahan”. te-gas Iwan.

Sektoralisme Harus DihentikanRUU Pertanahan belum sungguh-sungguh menghentikan sektoralisme di bidang perta-nahan dan membangun kelembagaan perta-nahan yang kuat dan dipercaya masyarakat. “Lemahnya kelembagaan pertanahan yang hendak dibangun RUU ini tecermin dari di-pertahankannya kelembagaan pertanahan seperti BPN. Dengan begitu, kewenangan tata ruang sebagai cermin utama perencana-an dan tata guna tanah masih akan berada di Kementerian PU; informasi geo spasial masih berada di Badan Informasi Geospasial, dan administrasi hak atas tanah di luar kawasan hutan masih berada di BPN, sementara yang berada di dalam kawasan hutan (70 persen daratan) masih diadministrasi Kementerian Kehutanan,” Iwan menjelaskan.

“Seharusnya RUU ini mengusulkan pem-bentukan kementerian agraria yang menga-tur keseluruhan perencanaan, administrasi, informasi spasial, pendaftaran dan hak atas seluruh tanah dalam satu wadah secara nasi-onal,” lanjut Iwan. (GA)

Page 45: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

Suara Pembaruan Agraria 45

Mengkritisi Program Redistribusi Tanah ala BPN

Konflik agraria, menurunya ekonomi rumah tangga, terjadinya kerusakan lingkungan dan timpangnya

penguasaan lahan disebabkan karena belum dilaksana-kannya reforma agraria. Tidak tegasnya sikap pemerin-tah mengenai reforma agraria membuat agenda ini ha-nya sebatas isu di masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih banyak petani tidak bertanah dan me-miliki tanah kecil, sementara disatu sisi ada korporasi yang memiliki tanah luas bahkan banyak perusahaan menelantarkan tanah garapannya, termasuk perusaha-an Negara.

Untuk menjalankan reforma agraria sebenarnya sudah diamanatkan oleh UUD 45 yang kemudian di-terjemahkan oleh UUPA 1960 dan melahirkan pertau-ran Perpu No.56/1960 tentang Penetapan Luas Tanah

Pertanian. Di tahun 2001 MPR mengluarkan TAP MPR No.IX/2001 yang memerintahkan Presiden dan DPR agar melakukan kajian terhadap UU yang bertentangan dengan pemba-ruan agraria sehingga ada argumentasi untuk mencabut UU tersebut. Namun sejauh ini niat pemerintah untuk menjalankan semua amanat UUD dan peraturan yang lain belum ada.

Badan Pertanahan Negara (BPN) mencoba menginisiasi untuk menjalankan agenda ter-sebut dengan melaksanakan redistribusi tanah. Walau agenda reforma agraria sebenarnya bu-kan tanggung jawab BPN secara mutlak dan bukan sekedar bagi-bagi tanah, sikap BPN untuk melakukan redistribusi tanah wajib diapresiasi. Untuk memantapkan program redistribusi tanah, BPN mengadakan satu pertemuan untuk mengevaluasi kerberhasilan dan kegagalan dalam menjalankan redistribusi tanah.

Dalam acara tersebut BPN mengundang Sekjend KPA, Iwan Nurdin, untuk menyampai-kan pandangannya mengenai redistribusi tanah yang pernah dilakukan BPN bersama KPA di wilayah jawa bagian selatan. Pada kesempatan itu Iwan mengatakan ada tiga (3) temuan dari hasil program ini, yaitu pertama salah subjek, contoh salah subejk ini terjadi di Cilacap karena tidak melibatkan serikat tani yang berjuang untuk mendapatkan tanah. Kedua adalah salah objek, kejadian ini terjadi di Banjaranyar Ciamis. Tanah yang dibagikan bukan area garapan warga dan ketigayang cukup berhasil adalah Kulonbambang, keberhasilan dikarenakan cam-pur tangan organisasi yang kuat.

Iwan juga menambahkan agar dalam pelaksanaan redistribusi tanah harus melibatkan petani yang tergabung di organisasi serta melakukan kolaborasi terhadap instansi yang ter-kait. Model pemberian hak non-individu harus mulai dicoba. Artinya tanah yang diberikan sifatnya kolektif dengan memberikan HGU sehingga tanah yang telah diredistribusi tidak mungkin dijual. Pasca redistribusi perlu dilakukan pegembangan ekonomi dengan memba-ngun satu badan usaha milik petani atau desa.

Pasca redistribusi memang sangat diharapkan tingkat ekonomi petani mengalami perba-ikan. “Kondisi pertani di Indonesia untuk saat ini memang tidak punya masa depan sehingga banyak orang mulai meninggalkan kehidupan petani,” tutup Iwan. (AGP)

Page 46: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

46 Edisi X/Maret-Mei 2014

Eva Bande Sang Pejuang Agraria yang Tangguh

Yogyakarta, 15 Mei 2014 merupakan hari yang ber-sejarah bagi pejuang agraria, karena satu rekan

seperjuangan kita telah ditangkap oleh tim Kejaksaan Negeri Luwuk bekerjasama dengan Kejaksaan Agung. Perempuan Pejuang agraria yang ditangkap itu berna-ma Eva Susanti Hanafi Bande atau sering disapa de-ngan Eva Bande.

Eva memang momok yang menakutkan bagi Rezim SBY-Boediono, Pengusaha rakus dan Kepolisian Banggai, Sulawesi Tengah. Sosok Eva Bande telah membangkitkan semangat perjuangan untuk melawan PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS) serta membangkitkan semangat gerakan reforma agraria di Sulawesi Tengah. Aktivitasnya dalam memimpin or-

ganisasi rakyat untuk memperjuangkan hak-hak petani atas tanah yang dirampas oleh pemo-dal membara di Sulawesi Tengah.

Eva Bande lahir di Luwuk, Sulawesi Tengah pada 1974 dan menamatkan SMA di Luwuk yang kemudian melanjutkan pendidikannya di universitas Tadulako, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Sebelum lulus pada 1998, Eva Bande aktif dalam gerakan mahasiswa yang pada saat itu sangat berseberangan dengan pemerintah rezim Orde Baru. Jadi dunia ge-rakan bukanlah hal yang asing lagi baginya, sehingga pada 1999 dia bersama kawan-kawan Front Mahasiswa Indonesia Sulawesi Tengah melakukan advokasi untuk membela petani yang ditindas oleh perusahaan tambak di Bantui, Kabupaten Banggai. Pada 2008, Eva menja-di koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) yang membuat dirinya semakin mantap untuk melakukan advokasi terhadap petani yang tanahnya terus dirampas oleh pengusaha.

Selain membela petani yang terus ditindas oleh Negara dan pengusaha, Eva Bande juga aktif mengadvokasi perempuan korban kekerasan di Sulawesi Tengah. Sejak 2002, Eva Bande telah aktif di Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah. Dia ber-sama kawan-kawannya terus melakukan pendidikan terhadap kaum perempuan, sampai akhirnya mereka menjadi penggerak perdamaian Poso, yang dikenal dengan “Perempuan Merajut Perdamaian”.

Saat ini Eva Bande sedang menghadapi dIkriminalisasi, karena dianggap telah melanggar pasal 160 KUHP. Atas tuduhan ini Eva divonis 4,6 tahun dan dipenjara di Lapas 2B, Luwuk, Kabupaten Banggai. Dalam penjara Eva Bande terus menyuarakan perjuangan reforma agra-ria dan berharap perjuangannya diteruskan oleh kawan-kawan yang ada di Indonesia, khu-susnya Sulawesi Tengah. Meskipun dipenjara, Eva tetap mengobarkan spirit perlawanan dan solidaritas terhadap para petani yang memperjuangkan reforma agraria. Dari dalam penjara Eva menuliskan sebuah surat untuk para petani di seluruh Indonesia khususnya kepada pe-tani Karawang yang sedang menghadapi perampasan lahan oleh PT. Agung Podomoro Land yang dibekingi oleh aparat bersenjata dan preman. Berikut cuplikan surat Eva Bande:

SOSOK

Page 47: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

Suara Pembaruan Agraria 47

Hormat dan Solidaritas terkuat untuk kalian, Kaum Tani Indonesia, yang terus berju-ang tanpa lelah. Terkhusus untuk Petani Karawang, teriring salam duka atas tersayatnya hati kalian. Kesabaran dan keberanian kalian benar-benar telah terbuka ujiannya. Karena harus berhadapan dengan ‘buasnya’ aparatur negara mengawal kepentingan modal.

Sejarah mencatat, bahwa rakyat Karawang adalah pejuang-pejuang kemerdekaan. Perjuangan semesta pembebasan telah kalian lakukan lagi dalam alam ‘merdeka.’ Teguhlah pada perlawanan terhadap Imperialisme ‘bangsa sendiri.’

Kembali untuk kesekian kalinya, aparatur negara Indonesia mempertontonkan perila-ku biadab menghadapi rakyat. Pengurus negara yang pakaian, gaji, kendaraan dan segala peralatan tempur yang dibeli dari cucuran keringat rakyat itu dipakai untuk mengusir kaum tani dari ruang hidupnya. Alat kekerasan yang disediakan untuk melindungi dan melayani rakyat, justru digunakan untuk menembak rakyat.

Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara. Seolah menjadi peribahasa ko-song makna. Segala diksi patriotisme, sekedar menjadi ungkapan pemanis telinga dalam per-lombaan calon-calon penguasa di tanah air ini.

Penjara negara yang sedianya dimanfaatkan untuk menghukum koruptor, penjahat, dan aparatur yang menghianati mandat rakyat melalui undang-undang dipakai untuk mem-bungkam dan menghentikan langkah dan gerak perjuangan rakyat.

Rakyat yang sungguh-sungguh rakyat, bukan tuan-tuan modal, tuan-tuan penguasa pendusta amanah.

Rasa sedih, marah, duka, teriakan, kutukan dan semua yang sejenis ini tidak lagi cu-kup untuk menegur apalagi menyadarkan penguasa negeri ini, duhai saudara-saudaraku. Penderitaan dari abad ke abad, duka sedih, tangisan, darah yang menetes di bumi persa-da ini mengusir Kolonialisme-Imperialisme nyata-nyata telah menegakkan NKRI. NKRI de-ngan demikian adalah buah pengorbanan kaum tani, buruh, dan kaum terpelajar. Semua itu nyata terbukti-niscaya terjadi, meski hanya ‘bambu runcing’.

Ya, semua itu karena rakyat bersatu. Rakyat dari berbagai pelosok negeri yang berada dalam satu naungan amanah penderitaan rakyat.

Lalu, apa yang ditunggu lagi saat ini? Penderitaan, darah, air mata, belumkah cukup untuk membangun persatuan rakyat semesta tanah air. Merebut kembali hak hidup kita, menegakkan kedaulatan rakyat sejati dengan pemimpin-pemimpin sejati yang terlahir dari ‘rahim’ rakyat.

Sekarang saatnya persatuan rakyat dinyatakan dengan sikap, sekali lagi dengan sikap-tindak, bukan sekedar selogal perlawanan, bersatulah, bersatulah. Lakukan segera Persatuan Pembebasan Nasional.

Ayo tumbangkan segera rezim pendusta, penghianat, fasis, neolib. Bangun Indonesia baru yang berdiri di atas amanah penderitaan rakyat.

Wahai kaum Tani Indonesia, bangun..bangun…bangun…bangunlah jiwa raga kalian, rapatkan barisan, tumbangkan rezim bar-bar ini. Sudahilah kezaliman mereka. Sudahilah penderitaan rakyat. Jangan warisi lagi penderitaan kepada anak cucu kita kelak.

Wahai kaum Tani Indonesia, jangalah terpecah-pecah. Satukan jiwa-sikap-kekuatan-komando kalian. Cukuplah. Sekarang bertindak! Terlalu lama kalian dijadikan alat pengu-asa pembangkang di negara ini.

Page 48: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

48 Edisi X/Maret-Mei 2014

Wahai Kaum Tani Indonesia! Jangan lagi ada rasa takut, sebab itulah kelemahan kita selama ini. Teruslah berjuang, kalian ada soko guru negara ini. Tulang punggung jalannya kehidupan bangsa ini. Tumbangkan rezim neoliberalisme! Ayo penuhi jalan-jalan kota du-duki kembali tanah-tanah kalian. Yang selama ini diambil sewenang-wenang oleh mereka.

Bungkam-ikat-kurung kembali para komprador itu dan para tuan-tuan yang telah me-rampas tanah kalian. Hadapi dan singkirkan mereka laksana membuang jauh ke dalam be-lantara hutan yang penuh dengan segala kengerian. Sebagaimana mereka telah merampas dan mengusir dari tanah-tanah kalian.

Doaku dan spirit persatuan terkirim dari balik jeruji besi ini. Tetap teguhlah saudaraku Kaum Tani Karawang. Teguhlah dalam perjuangan sejati kaum tani. Dari balik jeruji ini se-ruan dan semangat kukirim berjuta-juta hebatnya untuk kalian. Penguasa di sini, sama pula ditempat lain, memenjarakan kami yang menolak tanah dirampas.

Berlawanlah saudaraku, kaum Tani seantaro negeri, sebentar lagi akan menjemput ke-bahagiannya. Dengan segenap jiwa raganya bersama kalian tani Karawang.

Salam Pembebasan,Penjara (Lapas II) Luwuk Banggai Sulawesi Tengah

26 Juni 2014

"Aksi para pendukung eva bande dari Front Rakyat Aksi Sawit Menuntut Pembebasan Eva Bande"

Page 49: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

Suara Pembaruan Agraria 49

JURNAL LANDREFORM: “Menghapus Warisan Buruk Agraria SBY: Rekomendasi untuk Pemimpin Baru”

Menjelang pergantian kekuasaan di Indonesia, re-zim SBY telah mewariskan berbagi macam carut-marut kondisi agraria di Indonesia. meningkatnya konflik agraria, meluasnya ketimpangan dan se-makin hebatnya kerusakan lingkungan tidak dapat diselesaikan oleh pemerintahan SBY. Paradigma pembangunan yang berorientasi pada modal te-lah melemahkan posisi rakyat terhadap segala ben-tuk sumber kekayaan alam yang dimliki Indonesia. Bahkan semasa pemerintahan SBY rampasan ter-hadap tanah-tanah warga semakin massif terjadi.

Untuk itu jurnal landreform, edisi perdana yang telah diterbitkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengulas berbagai permasalahan agraria di negeri ini dan memberikan rekomendasi kepada pemimpin yang baru nanti, hasil Pemilihan Presiden 2014. Tingginya impor disektor pertani-an dan lahirnya UU yang pro terhadap perkebun-an dan pertanian skala luas menjadikan telah mela-hap lahan pertanian skala kecil. Akibatnya banyak

petani yang berubah mata pencaharian menjadi buruh pabrik, buruh kebun, tenaga kerja Indonesia (TKI) dll.

Program MP3EI yang merupakan agenda utama pemerintah menjadi fokus utama di dalam jurnal landreform. MP3EI adalah program ambisius pemerintah untuk mendapatkan investasi asing dengan membagi Indonesia menjadi enam koridor dengan pengembangan ekonomi khusus disetiap wilayah. Efek dari program MP3EI ini telah menyumbangkan ke-rusakan lingkungan,baik yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan maupun perkebunan.

Dalam tulisan terakhir jurnal landreform memberikan satu rekomendasi agar di pe-merintahan yang baru membentuk satu badan khusus untuk menjalankan reforma agraria. Tujuannya untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria yang terjadi selama ini, mengakhiri ketimpangan dan menghentikan kerusakan alam yang selama terjadi. Dalam pelaksanaan re-forma agraria harus sesuai dengan UUPA 1960 yang merupakan terjemahan langsung dari UUD 1945. AGP

RESENSI

Page 50: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014
Page 51: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014
Page 52: Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

52 Edisi X/Maret-Mei 2014

KPA edisi X maret_COVER.indd 1 11/3/2014 9:35:16 AM