STUDI TENTANG PERILAKU SKRINING KANKER SERVIKS...

131
STUDI TENTANG PERILAKU SKRINING KANKER SERVIKS PADA WANITA DI TANGERANG SELATAN Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.) Oleh : GANISSUFI KAUTSAR NIM : 1111070000101 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H / 2016 M

Transcript of STUDI TENTANG PERILAKU SKRINING KANKER SERVIKS...

STUDI TENTANG PERILAKU SKRINING KANKER

SERVIKS PADA WANITA DI TANGERANG SELATAN

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)

Oleh :

GANISSUFI KAUTSAR

NIM : 1111070000101

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1437 H / 2016 M

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk

Allah, Tuhan seluruh alam

(Al-An’am, 162)

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka

mengubah keadaan diri mereka sendiri

(Ar-Ra’d, 11)

Allah berfirman : Aku akan mengikuti prasangka hamba-Ku dan Aku akan

senantiasa menyertainya apabila berdoa kepada-Ku

(Hadis Qudsi)

Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat

(Al-Baqarah, 45)

Karya tulis ini penulis dedikasikan kepada kedua orang tua, adik,

saudara-saudara, dosen-dosen, para sahabat, serta seluruh wanita

di tanah air

vi

ABSTRAK

A) Fakultas Psikologi

B) Januari 2016

C) Ganissufi Kautsar

D) Studi tentang Perilaku Skrining Kanker Serviks pada Wanita di Tangerang

Selatan

E) xiv + 92 halaman + 25 lampiran

F) Kanker serviks adalah kanker paling umum terjadi di Indonesia. Kanker ini

dapat dicegah dengan skrining serviks rutin tes pap smear atau IVA. Tujuan

penelitian ini adalah untuk meneliti perilaku skrining kanker serviks yang

dipengaruhi oleh variabel Health Belief Model, yang terdiri dari dimensi

perceived susceptibility, perceived severity, perceived benefits, perceived

barriers, cues to action, self-efficacy, dan pengaruh faktor demografis yang

terdiri dari usia, tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan pada wanita di

Tangerang Selatan. Sampel berjumlah 227 orang wanita, usia 21-70 tahun

yang sudah menikah dan berdomisili di Tangerang Selatan. Teknik

pengambilan sampel menggunakan convenience non probability sampling

technique. Uji validitas alat ukur menggunakan teknik Confirmatory Factor

Analysis (CFA). Analisis data menggunakan teknik analisis regresi logistik

binary.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seluruh independent variable

berpengaruh secara signifikan dan memberikan kontribusi sebesar 55.6%

terhadap dependent variable. Dari sembilan independent variable, terdapat

lima independent variable yang berpengaruh secara signifikan terhadap

perilaku skrining kanker serviks pada wanita di Tangerang Selatan, yaitu

perceived barriers, cues to action, usia, tingkat pendidikan dan tingkat

pendapatan. Hasil ini menunjukkan bahwa health belief yang menjadi

penggerak utama perilaku skrining kanker serviks pada wanita di Tangerang

Selatan adalah perceived barriers dan cues to action. Peneliti menyarankan

untuk penelitian selanjutnya dilakukan pengkajian lebih dalam pada variabel

perceived barriers dan cues to action.

G) Bahan bacaan: 45; buku: 12 + jurnal: 23 + artikel online: 8 + disertasi: 1

vii

ABSTRACT

A) Faculty of Psychology

B) January 2016

C) Ganissufi Kautsar

D) The Study of Cervical Cancer Screening Behavior in South Tangerang

Women

E) xiv + 92 page + 25 appendix

F) Cervical cancer is the most common cancer in Indonesia. It can be prevented

with routine screening by pap smear or IVA test. The aims of this study is to

examine the cervical cancer screening behavior in South Tangerang women

with predictor Health Belief Model, including perceived susceptibility,

perceived severity, perceived benefits, perceived barriers, cues to action, self-

efficacy, and demography factors, including age, education level and income

level. Participants were involved approximately 227 married women, age

between 21-70 years old and have been living in South Tangerang. Samples

had been taken with convenience non probability sampling technique. The

instruments was examined by Confirmatory Factor Analysis (CFA). The

method is binary logistic regression.

The result shows that perceived barriers, cues to action, age, education level

and income level has significant effect toward cervical cancer screening

behavior in South Tangerang women. This result indicates that the prime

activator of health belief toward cervical cancer screening behavior in South

Tangerang women is perceived barriers and cues to action. Deeper study on

the variables perceived barriers and cues to action is recommended for the

next same research.

G) Reading: 45; books: 12 + journal: 23 + online article: 8 + dissertation: 1

viii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan taufik, hidayah, serta inayah

kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini, walaupun masih

jauh dari kesempurnaan. Shalawat serta salam senantiasa peneliti sanjungkan

kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat.

Skripsi ini terwujud tak lepas dari bantuan berbagai pihak, baik dalam

bentuk pikiran, tenaga, maupun waktu. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan

hati, peneliti menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag, M.Si, Dekan Fakultas Psikologi UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2014-2019, beserta jajarannya.

2. Ibu Luh Putu Suta Haryanthi, M.Psi.T., Psikolog selaku dosen pembimbing

skripsi, terima kasih atas segala bimbingan, masukan, kritikan, dan nasihat

selama peneliti menyelesaikan skripsi ini.

3. Ibu Liani Luzvinda, M.Si, selaku Dosen Pembimbing Akademik Kelas C 2011,

terima kasih atas segala bimbingan dan arahan selama perkuliahan.

4. Ibu dr.Ratna Mardiati, Sp.Kj, Ibu Puti Febrayosi, M.Si, dan Ibu Nia

Tresniasari, M.Si, yang telah memberikan bimbingan, masukan, nasihat dan

inspirasi bagi peneliti.

5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

memberikan ilmu dan pembelajaran kepada peneliti. Para staf Fakultas

Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu peneliti dalam

proses administrasi selama ini.

ix

6. Kedua orang tua tercinta, Ayah dan Mama, terima kasih atas doa, kasih sayang,

dukungan, nasihat, serta perhatian kepada peneliti.

7. Mahasiswa Fakultas Psikologi angkatan 2011 khususnya kelas C yang telah

menemani peneliti selama empat tahun menuntut ilmu di Fakultas Psikologi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih atas cinta, kasih sayang,

persahabatan, dukungan, bantuan dan motivasi yang telah diberikan kepada

peneliti.

8. Kak Ani, Kak Bobby, Daus, Dana, Ningrum, Rijkaard, Raden, Sri, Kak Rere,

Lilih, Bunda Zakiatin Nisa, dan LDK Syahid 18, terima kasih atas bantuan,

semangat, dukungan dan sharing ilmunya kepada peneliti di saat peneliti

mengalami kesulitan.

9. Dinas kesehatan, puskesmas dan Ibu kader se-Tangerang Selatan, terima kasih

atas bantuan, dukungan, dan kemudahan yang diberikan kepada peneliti saat

penelitian di lapangan, juga para Ibu yang bersedia menjadi responden, terima

kasih atas kesediaannya membantu peneliti.

10. Seluruh pihak yang tidak dapat peneliti tuliskan satu per satu. Semoga segala

niat baik dan perbuatan baiknya dibalas oleh Allah dengan sebaik-baiknya

balasan.

Terakhir, peneliti berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi banyak orang.

Oleh karena karya ini masih banyak kekurangan dan keterbatasan, peneliti

senantiasa menanti feedback dan saran yang membangun guna bahan

penyempurnaan.

Jakarta, 11 Januari 2016

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i

HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................ ii

HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii

HALAMAN ORISINALITAS ......................................................................... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN .................................................................. v

ABSTRAK ........................................................................................................ vi

ABSTRACT ...................................................................................................... vii

KATA PENGANTAR ...................................................................................... viii

DAFTAR ISI ..................................................................................................... x

DAFTAR TABEL ............................................................................................ xii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiii

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................... 1

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................... 9

1.2.1 Pembatasan Masalah ............................................................... 9

1.2.2 Perumusan Masalah ................................................................ 9

1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 11

1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................... 11

1.4.1 Manfaat Teoritis ...................................................................... 11

1.4.2 Manfaat Praktis ........................................................................ 11

BAB 2 LANDASAN TEORI ........................................................................... 13

2.1 Perilaku Skrining Kanker Serviks .................................................... 13

2.1.1 Definisi Perilaku Skrining Kanker Serviks ............................. 13

2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Skrining ............ 14

2.1.3 Pengukuran Perilaku Skrining Kanker Serviks ....................... 16

2.2 Health Belief Model ......................................................................... 18

2.2.1 Definisi Health Belief Model ................................................... 18

2.2.2 Komponen Health Belief Model............................................... 21

2.2.3 Pengukuran Health Belief Model ............................................ 24

2.3 Variabel Demografis ........................................................................ 27

2.3.1 Usia ......................................................................................... 27

2.3.2 Tingkat pendidikan .................................................................. 27

2.3.3 Tingkat pendapatan ................................................................. 28

2.4 Kerangka Berpikir ............................................................................ 29

2.5 Hipotesis Penelitian .......................................................................... 33

BAB 3 METODE PENELITIAN .................................................................... 34

3.1 Populasi dan Sampel ......................................................................... 34

3.2 Teknik Pengambilan Sampel............................................................. 35

xi

3.3 Variabel Penelitian ........................................................................... 35

3.4 Definisi Operasional Variabel .......................................................... 36

3.5 Instrumen Pengumpulan Data ........................................................... 37

3.6 Uji Validitas Konstruk ..................................................................... 39

3.6.1 Uji Validitas Konstruk Skala Health Belief Model ................. 41

3.7 Metode Analisis Data ....................................................................... 49

3.8 Prosedur Penelitian ........................................................................... 52

BAB 4 HASIL PENELITIAN ......................................................................... 54

4.1 Deskripsi Subjek Penelitian ............................................................. 54

4.2 Hasil Analisis Deskripsi ................................................................... 56

4.3 Hasil Uji Hipotesis Penelitian .......................................................... 58

4.3.1 Proporsi Varians Masing-Masing Variabel Independen .......... 70

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN ........................................ 74

5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 74

5.2 Diskusi ............................................................................................. 74

5.3 Saran ................................................................................................. 86

5.3.1 Saran Metodologis .................................................................. 86

5.3.2 Saran Praktis ........................................................................... 87

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 89

LAMPIRAN ...................................................................................................... 93

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Blue Print Perilaku Skrining Kanker Serviks .................................... 38

Tabel 3.2 Blue Print Item Health Belief Model ................................................. 39

Tabel 3.3 Muatan Faktor Item Perceived Susceptibility .................................... 42

Tabel 3.4 - 3.5 Muatan Faktor Item Perceived Severity ..................................... 43

Tabel 3.6 Muatan Faktor Item Perceived Benefits .............................................. 45

Tabel 3.7 - 3.8 Muatan Faktor Item Perceived Barriers ..................................... 46

Tabel 3.9 Muatan Faktor Item Cues to Action .................................................... 47

Tabel 3.10 Muatan Faktor Item Self-Efficacy ..................................................... 48

Tabel 4.1 Gambaran Perilaku Subjek Penelitian ................................................ 54

Tabel 4.2 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Data Demografis ............ 55

Tabel 4.3 Deskripsi Statistik dan Kategorisasi Skor Variabel Penelitian .......... 57

Tabel 4.4 Norma Skor Variabel ......................................................................... 57

Tabel 4.5 Hosmer and Lemeshow Test ............................................................... 58

Tabel 4.6 R Square .............................................................................................. 59

Tabel 4.7 Koefisien Regresi Logistik.................................................................. 60

Tabel 4.8 Proporsi Varians Masing-masing Variabel Independen ..................... 71

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Pengaruh Health Belief Model dan faktor demografis terhadap

perilaku skrining kanker serviks ................................................................ 32

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lampiran Kuesioner Penelitian ................................................................... 93

2. Lampiran Hasil Lisrel ................................................................................. 99

3. Lampiran Output SPSS Analisis Regresi Logistik ..................................... 109

4. Lampiran Surat Izin Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan ................. 117

1

BAB 1

PENDAHULUAN

Dalam bab satu ini akan dibahas beberapa hal yaitu, latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan, dan manfaat penelitian.

1.1 Latar Belakang Masalah

Kanker serviks merupakan kanker ketiga yang paling sering didiagnosis dan

penyebab keempat kematian kanker pada perempuan di seluruh dunia. Terhitung

sekitar sembilan persen atau 529.800 dari total kasus kanker baru dan delapan

persen atau 275.100 dari jumlah kematian akibat kanker di kalangan perempuan

pada tahun 2008 (Jemal, Bray, Center, Ferlay, Ward & Forman, 2011). Pada tahun

2012, diperkirakan lebih dari 270.000 kematian akibat kanker serviks dan lebih

dari 85% kematian ini terjadi di negara miskin dan berkembang (WHO, 2014).

Kanker serviks adalah kanker paling umum terjadi pada wanita di

Indonesia, seperti di kebanyakan negara berkembang (Tjindarbumi &

Mangunkusumo, 2002; Parkin et al., 2005 dalam Vet et al., 2008). Berdasarkan

data dari rumah sakit, kanker serviks menyumbang sekitar 28,6% dari kanker

perempuan di Indonesia (Tjindarbumi & Mangunkusumo dalam Vet et al., 2008).

Penyebab utama kanker serviks adalah karena infeksi Human papilloma virus atau

HPV (MDGs and NCDs, dalam American Cancer Society, 2010). Hasil penelitian

di tiga kota di Indonesia yaitu di Jakarta, Tasikmalaya, dan Denpasar pada 2.686

2

wanita, usia 15-70 tahun, menunjukkan bahwa prevalensi HPV adalah sekitar

11,4% (Vet et al., 2008).

Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia ditargetkan setiap

lima tahun, minimal 80% perempuan usia 30-50 tahun sudah melakukan skrining

kanker serviks (Mufti, 2014). Moeloek (2014) yang merupakan ketua Yayasan

Kanker Indonesia (YKI) menjelaskan bahwa tingginya angka kasus kanker

serviks di Indonesia diperkirakan karena tidak cepat terdeteksi. Pada stadium

awal, kanker ini tidak menimbulkan gejala atau keluhan sama sekali. Kanker

serviks disebabkan oleh Human papilloma virus (HPV) yang menyerang leher

rahim dan membutuhkan proses yang panjang antara 3-20 tahun untuk menjadi

sebuah kanker. Penyebaran virus ini terjadi melalui hubungan seksual. Sehingga

bila seseorang sudah pernah melakukan hubungan intim, ditekankan untuk rutin

melakukan skrining IVA atau tes pap smear (Herman, 2014). Direktur Layanan

Kesehatan dari Yayasan Kusuma Buana dr. Adi Sasongko (2014) menyatakan

kendala wanita takut melakukan pap smear yaitu sulitnya memotivasi masyarakat

karena faktor psikologis. Jika wanita melakukan pap smear, mereka berpikir akan

terkena kanker serviks di saat itu juga, padahal persepsi ini salah besar (Kania,

2014).

Perhatian utama psikolog kesehatan adalah memprediksi dan memahami

perilaku yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat (Sheeran & Orbell,

2000). Kanker serviks adalah penyakit yang dapat dicegah, karena pra-deteksi

dengan waktu yang panjang, tahap pra-invasif dapat diobati dengan deteksi

skrining serviks rutin (Reis, Bebis, Kose, Sis, Engin, & Yavan, 2012). Deteksi

3

dini dan pengobatan kanker serviks melalui program skrining secara signifikan

mengurangi morbiditas dan mortalitas dari penyakit ini (WHO 2005; Mosavel et

al., 2009 dalam Reis et al., 2012).

BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan di Indonesia

sebagai Badan Pelaksana merupakan badan hukum publik yang dibentuk untuk

menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia

sejak tanggal satu Januari 2014. Tujuan diberlakukannya program Jaminan

Kesehatan Nasional dalam skrining kesehatan adalah untuk mendeteksi faktor

risiko penyakit kronis dan mendeteksi penyakit kanker leher rahim dan kanker

payudara. Sasaran deteksi kanker adalah pada wanita peserta BPJS Kesehatan,

meliputi semua wanita yang pernah menikah dan wanita berisiko, yang berusia 30

tahun ke atas. Deteksi kanker leher rahim dilakukan melalui pemeriksaan Inspeksi

Visual Asetat (IVA) dan pap smear (BPJS Kesehatan, 2014). Dalam tingkatan

pelayanan kesehatan, sejak dari pelayanan primer, dilakukan kegiatan promosi

hidup sehat untuk menghindari kanker dan deteksi dini. Bentuk pelayanan di

pelayanan kesehatan tingkat pertama (primer) atau di puskesmas adalah

melakukan edukasi atau penyuluhan terkait penyakit kanker dan melakukan

pemeriksaan fisik umum maupun pemeriksaan fisik khusus yang ditujukan untuk

deteksi dini kanker. Bentuk pemeriksaan berupa tes Inspeksi Visual Asetat (IVA)

atau pemeriksaan pap smear pada perempuan usia 20-74 tahun yang telah

menikah atau berhubungan seksual, dapat dilakukan oleh dokter atau bidan

terlatih (Kementerian Kesehatan, 2015).

4

Informasi yang diperoleh peneliti dari bagian Kesehatan Ibu dan Anak

(KIA) di Dinas Kesehatan Tangerang Selatan, diketahui bahwa di Tangerang

Selatan telah terdapat pelayanan skrining kanker serviks sejak tahun 2010 untuk

11 puskesmas. Bentuk pelayanan ini menggunakan tes IVA dan gratis bagi warga

yang memiliki KTP Tangerang Selatan maupun bukan warga Tangerang Selatan,

tetapi menggunakan BPJS. Tanggal 21 April 2015, Kementerian Kesehatan RI

menyelenggarakan roadshow pemeriksaan tes IVA secara nasional untuk

memperingati hari Kartini. Peringatan pusatnya di Jawa dan untuk provinsi

Banten dilakukan di Serang dan Tangerang Selatan. Selain itu, peneliti juga

mendapatkan informasi dari koordinator kader se-Tangerang Selatan bahwa

Tangerang Selatan mendapat penghargaan administrasi posyandu terbaik tingkat

nasional dari Kementerian Kesehatan.

Jumlah puskesmas di Tangerang Selatan pada tahun 2015 bertambah

sehingga totalnya menjadi 25 puskesmas. Puskesmas yang baru ini belum

mendapat training dari Dinas Kesehatan Tangerang Selatan untuk program

pelayanan skrining kanker serviks. Selain itu, didapatkan informasi dari Dinas

Kesehatan Tangerang Selatan bahwa program skrining kanker serviks yang

dilaksanakan di 11 puskesmas masih memiliki kekurangan. Dari 11 puskesmas

yang telah ditunjuk untuk melakukan pelayanan skrining kanker serviks, hanya

dua puskesmas yang masih teratur melaporkan pelaksanaan program skrining

kanker serviks kepada Dinas Kesehatan Tangerang Selatan. Akibatnya, data yang

tersedia di Dinas Kesehatan Tangerang Selatan mengenai pelaksanaan program

skrining kanker serviks tidak tercatat dengan baik dan lengkap. Dinas Kesehatan

5

Tangerang Selatan menyatakan bahwa program skrining kanker serviks masih

dalam pembenahan.

Peneliti melakukan preliminary study pada 15 orang wanita, yang berusia

37-67 tahun, melalui wawancara mengenai fenomena skrining kanker serviks

dengan tes pap smear atau tes IVA gratis dari BPJS. Peneliti melakukan

wawancara kepada wanita dengan kriteria pernah melakukan pap smear untuk

melihat faktor-faktor psikologis apa saja yang mendorong mereka melakukan tes

pap smear. Hasil dari wawancara yang dilakukan peneliti didapatkan bahwa

sekitar 86,7% (13 orang) responden telah melakukan tes pap smear melalui BPJS,

33,34% (5 orang) dari 86,7% responden menyatakan akan berpikir dua kali dan

merasa berat untuk melakukan tes pap smear jika harus membayar dengan uang

sendiri. Frekuensi responden telah melakukan pap smear sebagian besar sebanyak

dua kali, dan empat orang responden pernah melakukan skrining dengan tes IVA

dan pap smear. Delapan puluh persen (12 orang) responden menerima informasi

mengenai tes pap smear dan IVA dari ibu kader setempat, sedangkan sisanya (tiga

orang) berasal dari media elektronik dan media massa.

Dua orang responden berasal dari keluarga dengan riwayat kanker usus

dan kanker rahim, sedangkan responden lainnya tidak ada riwayat kanker. Alasan

dasar responden melakukan skrining kanker serviks adalah karena takut terkena

penyakit kanker serviks dan terkena dampak yang lebih buruk di masa mendatang.

Selain itu, responden menyatakan pendapatnya mengenai wanita yang belum

melakukan skrining (yaitu berdasarkan kejadian di sekitar lingkungan rumah,

tetangga dan teman responden) bahwa para wanita yang enggan untuk skrining

6

disebabkan karena merasa malu dengan proses skrining, merasa risih, takut sakit

karena alat tes yang dimasukkan ke vagina, dan bilamana diperiksa takut

penyakitnya terdeteksi.

Memahami keyakinan masyarakat tentang faktor-faktor yang mengontrol

kesehatan mereka, penting pula untuk memahami perilaku orang yang

berhubungan dengan kesehatan (Bundek, Marks, & Richardson, 1993). Salah satu

faktor penting yang memengaruhi aplikasi untuk diagnosis dini kanker serviks

adalah keyakinan pada kesehatan (health belief). Penelitian yang dilakukan

menunjukkan bahwa keyakinan sosial dan nilai-nilai berkontribusi terhadap

tingkat partisipasi perempuan dalam skrining untuk kanker payudara dan leher

rahim dan keyakinan ini juga dapat menciptakan hambatan untuk perilaku tes pap

smear dan skrining (Matin & LeBaron, 2004; Paskett et al., 2004; Donnelly, 2006;

Wong et al., 2008 dalam Reis et al., 2012). Health Belief Model (HBM) telah

digunakan dalam sejumlah besar studi perilaku protektif kesehatan yang pada

mulanya dikembangkan oleh Rosenstock (dalam Murray & McMillan, 1993).

Champion dan Skinner (dalam Glanz, Rimer, & Viswanath, 2008) menyatakan

bahwa HBM terdiri dari enam komponen yaitu perceived susceptibility

(keyakinan terhadap kerentanan terjangkit suatu penyakit), perceived severity

(keyakinan terhadap seberapa serius kondisi penyakit yang dialami), perceived

benefits (keyakinan terhadap seberapa manfaat tindakan yang disarankan),

perceived barriers (keyakinan terhadap hambatan-hambatan saat individu

bertindak sesuai yang dianjurkan), cues to action (strategi-strategi yang dilakukan

7

guna mengaktifkan kesiapan berperilaku) dan self-efficacy (keyakinan individu

atas kemampuan yang dimiliki untuk melakukan tindakan yang disarankan).

Dalam penelitian Abotchie dan Shokar (2009) mengenai perilaku skrining

kanker serviks, didapatkan hasil bahwa lebih dari 68% wanita merasa rentan

(perceived susceptibility) terhadap kanker serviks, dan sekitar tiga perempat dari

responden (73%) percaya bahwa kanker serviks adalah penyakit serius (perceived

severity) yang akan membuat hidup wanita sulit. Wanita juga lebih mungkin

untuk terlibat dalam perilaku kesehatan jika biaya dan hambatan (perceived

barriers) untuk perilaku sehat masuk akal (Abotchie & Shokar, 2009). Penelitian

juga telah mendukung untuk peran cues to action dalam memprediksi perilaku

kesehatan, pada isyarat eksternal tertentu seperti penerimaan informasi. Informasi

dalam bentuk peringatan dapat membangkitkan dan mengubah sikap serta

perilaku kesehatan (Ogden, 2007). Penentu penting lain dari praktik perilaku

kesehatan adalah self-efficacy, yaitu keyakinan bahwa seseorang mampu

mengendalikan perilaku tertentu (Bandura, 1991; D.A. Murphy et al., 2001 dalam

Taylor, 2006). Umumnya, penelitian menemukan hubungan yang kuat antara

persepsi self-efficacy baik pada perubahan perilaku kesehatan maupun

pemeliharaan jangka panjang pada perubahan perilaku (Taylor, 2006).

Hasil penelitian Esin, Bulduk, dan Ardic (2011) didapatkan bahwa HBM

memiliki pengaruh yang berbeda terhadap perilaku skrining kanker serviks.

Berkaitan dengan keyakinan akan kerentanan (perceived susceptibility), wanita

melaporkan bahwa mereka tidak beresiko terkena kanker serviks. Untuk

keyakinan akan keseriusan penyakit (perceived severity), wanita tidak

8

menganggap kanker serviks seserius jenis kanker lain. Untuk keyakinan akan

manfaat dari skrining (perceived benefits), 10,6% dari wanita percaya bahwa tes

pap smear dapat mendeteksi perubahan serviks sebelum mereka berubah menjadi

kanker. Untuk keyakinan akan hambatan, 69,3% mengatakan bahwa hanya wanita

yang telah melahirkan yang membutuhkan tes pap smear. Hal ini terjadi karena

wanita yang percaya bahwa tes pap smear menyakitkan, empat kali lebih mungkin

untuk menghindari tes. Rasa sakit dan ketidaknyamanan dianggap sebagai

hambatan untuk skrining di kalangan wanita tanpa gejala kanker serviks. Dalam

studi Esin et al. (2011) ini, para wanita yang tidak tahu di mana mereka akan

melakukan tes pap smear, empat kali lebih mungkin untuk tidak melakukan tes

pap smear. Hal ini sejalan dengan penelitian Byrd et al. (2004) dalam Esin et al.

(2011) yang melakukan penelitian pada wanita Meksiko juga menemukan

keyakinan pada wanita bahwa tes pap smear adalah mahal dan kurangnya

pengetahuan tentang di mana tes pap smear dapat dilakukan merupakan hambatan

untuk melakukan tes pap smear.

Faktor lain yang memengaruhi aplikasi untuk skrining kanker serviks

adalah faktor demografis yang berupa faktor usia, tingkat pendidikan dan tingkat

pendapatan. Meskipun tes pap smear telah direkomendasikan dan sudah mapan

selama bertahun-tahun, tetapi tidak semua wanita melakukan skrining pada

interval yang tepat (Paskett, McLaughlin, Reiter, Lehman, Rhoda, Katz, Hade,

Post, & Ruffin, 2010). Studi terakhir oleh Akers et al. (dalam Paskett et al., 2010)

menyatakan bahwa kelompok-kelompok perempuan tertentu yang memiliki

pendapatan buruk, berpendidikan rendah, usia lanjut, minoritas, terisolasi secara

9

geografis kecil kemungkinannya untuk melakukan pap smear sesuai panduan

yang direkomendasikan.

Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, terdapat dua penelitian

terdahulu yang memiliki hasil berbeda dalam Health Belief Model terhadap

perilaku skrining kanker serviks. Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai perilaku skrining kanker serviks dengan menggunakan Health Belief

Model dan faktor demografis untuk meneliti faktor-faktor yang memprediksi

partisipasi wanita dalam skrining kanker serviks dan menguji kembali teori HBM

dan faktor demografis terhadap perilaku skrining kanker serviks pada wanita di

Tangerang Selatan.

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah

1.2.1 Pembatasan Masalah

Penelitian ini dibatasi pada masalah yang berkaitan dengan perilaku skrining

kanker serviks pada wanita di Tangerang Selatan, dan faktor-faktor yang

memengaruhinya yaitu Health Belief Model (perceived susceptibility, perceived

severity, perceived benefits, perceived barriers, cues to action, self-efficacy) dan

faktor demografis (usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan).

1.2.2 Perumusan Masalah

Peneliti merumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Apakah ada pengaruh yang signifikan Health Belief Model dan faktor

demografis terhadap perilaku skrining kanker serviks?

10

2. Apakah ada pengaruh yang signifikan perceived susceptibility terhadap

perilaku skrining kanker serviks?

3. Apakah ada pengaruh yang signifikan perceived severity terhadap perilaku

skrining kanker serviks?

4. Apakah ada pengaruh yang signifikan perceived benefits terhadap perilaku

skrining kanker serviks?

5. Apakah ada pengaruh yang signifikan perceived barriers terhadap perilaku

skrining kanker serviks?

6. Apakah ada pengaruh yang signifikan cues to action terhadap perilaku

skrining kanker serviks?

7. Apakah ada pengaruh yang signifikan self-efficacy terhadap perilaku skrining

kanker serviks?

8. Apakah ada pengaruh yang signifikan usia terhadap perilaku skrining kanker

serviks?

9. Apakah ada pengaruh yang signifikan tingkat pendidikan terhadap perilaku

skrining kanker serviks?

10. Apakah ada pengaruh yang signifikan tingkat pendapatan terhadap perilaku

skrining kanker serviks?

11. Prediktor mana yang paling besar pengaruhnya terhadap perilaku skrining

kanker serviks?

11

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh variabel Health Belief Model

(perceived susceptibility, perceived severity, perceived benefits, perceived

barriers, cues to action, self-efficacy) dan faktor demografis (usia, tingkat

pendidikan, tingkat pendapatan) terhadap perilaku skrining kanker serviks pada

wanita di Tangerang Selatan, serta mengetahui seberapa besar kontribusi yang

diberikan oleh masing-masing variabel terhadap perilaku skrining kanker serviks

pada wanita di Tangerang Selatan.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat baik teoritis maupun praktis yaitu

sebagai berikut:

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk memperkaya khazanah kajian

psikologi, terutama berkaitan dengan psikologi kesehatan.

2. Penelitian ini dapat menjadi sumber informasi bagi penelitian selanjutnya, yang

ingin mengembangkan penelitian dengan tema yang sama.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Sebagai masukan bagi pemerintah dan instansi kesehatan di Indonesia dalam

upaya promosi kesehatan reproduksi.

2. Sebagai masukan bagi para praktisi kesehatan dalam mengatasi hambatan pada

wanita untuk melakukan skrining kanker serviks.

12

3. Sebagai masukan bagi para wanita agar dapat lebih memahami bahaya dari

kanker serviks dan manfaat dari perilaku pencegahan dengan skrining.

4. Sebagai bahan dan sumber pengetahuan baru bagi semua kalangan.

13

BAB 2

LANDASAN TEORI

Pada bab dua ini dijelaskan definisi perilaku skrining kanker serviks, teori Health

Belief Model, variabel demografis, kerangka berpikir dan hipotesis penelitian.

2.1 Perilaku Skrining Kanker Serviks

2.1.1 Definisi Perilaku Skrining Kanker Serviks

Skrining dalam Kamus Epidemiologi (Porta, Greenland, Hernán, Silva, & Last,

2014) diartikan sebagai identifikasi dugaan penyakit yang belum diketahui dengan

aplikasi tes, pemeriksaan atau prosedur lain yang dapat diterapkan dengan cepat.

Tes skrining memilah orang-orang yang mungkin memiliki penyakit dari orang-

orang yang mungkin tidak memiliki penyakit.

Menurut Matti Hakama dalam Miller (1996), skrining kanker meliputi

identifikasi penyakit praklinis dengan tes yang relatif sederhana yang bertujuan

untuk mengurangi risiko kematian. Tes skrining kanker serviks ditujukan untuk

deteksi luka prainvasif sehingga dapat dilihat penurunan kejadian penyakit invasif

karena skrining kanker serviks, dan dapat dilihat indikator untuk efek perubahan

dari kejadian sebelum dan sesudah penerapan tes skrining atau perbedaan antara

mereka yang mengalami skrining dan mereka yang tidak mengalami skrining.

Menurut Marks, Murray, Evans, dan Willig (2000) skrining adalah salah

satu bentuk pencegahan sekunder melalui deteksi dini penyakit. Skrining ini

merupakan prosedur dimana bagian dari populasi yang paling berisiko memiliki

14

penyakit tertentu diperiksa untuk melihat apakah mereka memiliki indikasi awal

suatu penyakit. Alasan di balik strategi ini adalah semakin awal suatu penyakit

diidentifikasi dan diobati, semakin kecil kemungkinan penyakit itu untuk

berkembang menjadi bentuk yang lebih buruk.

Ogden (2007) menyatakan skrining adalah pencegahan sekunder yang

telah dikembangkan sepanjang abad XX sebagai sarana penting untuk mendeteksi

penyakit pada tahap asimtomatik (tanpa gejala) yang bertujuan untuk menemukan

risiko penyakit (skrining primer) dan mendeteksi penyakit itu sendiri (skrining

sekunder). Menurut WHO (2013), skrining kanker serviks adalah aplikasi

sistematis dari sebuah tes untuk mengidentifikasi kelainan serviks pada populasi

asimtomatik (tanpa gejala). Wanita yang ditargetkan untuk skrining berada dalam

kondisi sehat dan tidak ada gejala penyakit, akan tetapi dianjurkan untuk skrining

sebagai pencegahan terhadap kanker serviks. Sedangkan menurut Murray dan

McMillan (1993), perilaku skrining kanker serviks adalah perilaku mendatangi

tempat skrining kanker serviks untuk tes pap smear.

Perilaku skrining kanker serviks dalam penelitian ini menggunakan

definisi dari Murray dan McMillan (1993) yaitu perilaku mendatangi tempat

skrining kanker serviks untuk tes pap smear atau tes IVA.

2.1.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku Skrining

Marteau (dalam Ogden, 2007) menyatakan bahwa ada tiga faktor utama yang

memengaruhi pengambilan skrining, yaitu faktor internal, faktor profesional

kesehatan dan faktor organisasi.

15

1. Faktor Internal

a) Faktor Demografi

MacLean et al. (dalam Ogden, 2007) menyatakan bahwa wanita yang

datang untuk melakukan skrining kanker payudara kemungkinan besar

berasal dari status sosial-ekonomi yang tinggi, dan Owens et al. (dalam

Ogden, 2007) menyatakan bahwa wanita yang berusia lebih tua cenderung

lebih besar untuk melakukan skrining kanker payudara dibandingkan

wanita yang lebih muda.

b) Health Belief

Health belief telah dikaitkan dengan pengambilan untuk melakukan

skrining dan telah diukur dengan menggunakan model. Bish et al. (dalam

Ogden, 2007) menggunakan Health Belief Model (HBM) dan Theory of

Planned Behaviour (TPB) untuk memprediksi pengambilan tes pap smear

serviks rutin.

c) Faktor Emosional

Faktor emosional seperti kecemasan, stres, ketakutan, ketidakpastian, dan

perasaan tidak senonoh juga telah terbukti berhubungan dengan

pengambilan untuk melakukan skrining. Simpson et al. (dalam Ogden,

2007) memperlihatkan bahwa orang yang tidak datang kembali dalam

program skrining di tempat kerja menyatakan bahwa mereka lebih takut

untuk menerima hasil dari skrining. Studi kualitatif lebih memperhatikan

peran faktor emosional dalam bentuk perasaan tidak senonoh. Analisis

Borrayo dan Jenkins (dalam Ogden, 2007) menunjukkan bahwa masalah

16

mendasar pada wanita yang melakukan skrining kanker payudara adalah

karena melanggar standar budaya.

d) Faktor Kontekstual

Smith et al. (dalam Ogden, 2007) menunjukkan bahwa pengambilan tes

tidak hanya karena persepsi risiko individu tetapi juga faktor kontekstual

seperti diskusi keluarga atau peristiwa penting yang terjadi pada seseorang

yang memicu untuk melakukan skrining.

2. Faktor Profesional Kesehatan

Marteau dan Johnston (dalam Ogden, 2007) berpendapat bahwa penting

untuk menilai keyakinan dan perilaku dari profesional kesehatan „di samping

perilaku pasien‟. Cara penyajian tes memengaruhi pengambilan untuk

melakukan skrining pada pasien.

3. Faktor Organisasi

Banyak faktor organisasi dapat memengaruhi pengambilan skrining, misalnya

penggunaan undangan (Mann et al., 1988; Smith et al. dalam Ogden 2007),

aksesibilitas ke tempat program skrining, serta edukasi dan kampanye

melalui media akan berdampak tinggi pada pengambilan skrining.

2.1.3 Pengukuran Perilaku Skrining Kanker Serviks

Perilaku skrining kanker serviks dalam penelitian ini yaitu perilaku mendatangi

tempat skrining kanker serviks untuk tes pap smear atau tes IVA (Murray &

McMillan, 1993). Dalam penelitian ini peneliti hendak mengukur perilaku

skrining kanker serviks, yaitu subjek pernah melakukan skrining kanker serviks

17

atau tidak pernah, maka peneliti membuat skala pengukuran sendiri yang

didasarkan pada konsep regresi logistik binari dengan dua kategori pilihan

jawaban „Ya‟ dan „Tidak‟. Adapun beberapa alat ukur perilaku skrining kanker

serviks lainnya antara lain :

1. Murray dan McMillan (1993) mengukur perilaku skrining kanker serviks

berdasarkan dari perilaku wanita dalam mendatangi tempat skrining untuk

melakukan tes pap smear, yaitu dengan menggunakan dua pertanyaan :

a) Apakah Anda pernah tes pap smear serviks? „sekali‟, „beberapa kali‟,

„tidak pernah‟.

b) Anda melakukan tes pap smear karena? (a) Anda yang memintanya, (b)

dokter yang menyarankannya, (c) tes ini dilakukan secara rutin pada

pemeriksaan pasca melahirkan, (d) atau karena beberapa alasan lain?"

Jawaban para wanita dari kedua pertanyaan tersebut, Murray dan McMillan

mengklasifikasikannya menjadi tiga kelompok: (1) non-attenders, (2) passive

attenders (datang untuk tes pap smear karena mengikuti saran dari orang lain

atau melakukan skrining secara rutin), (3) active attenders (wanita yang

meminta untuk melakukan tes pap smear).

2. Kuitto, Pickel, Neumann, Jahn, dan Metelmann (2010) mengukur

pengambilan skrining pada wanita dengan memberikan pertanyaan “Kapan

Anda terakhir membuat janji pertemuan dengan dokter kandungan untuk

skrining kanker serviks dengan pap smear?” Jawaban dari para wanita

kemudian diklasifikasikan menjadi dua, yaitu kehadiran skrining rutin (yaitu

18

dalam 12 bulan terakhir) dan kehadiran skrining tidak rutin (yaitu terakhir

melakukan skrining lebih dari tiga tahun yang lalu atau tidak pernah).

3. Park, Park, Choi, Jun, dan Lee (2011) melakukan penelitian terhadap tingkat

partisipasi orang Korea pada skrining kanker untuk lima kanker yang umum

yaitu lambung, hati, usus, payudara, dan kanker serviks dengan menggunakan

data Korean National Cancer Screening Survey (KNCSS) dari tahun 2005-

2009. Hasilnya mengukur wanita yang pernah mammogram dan pap smear

dengan mengklasifikasikan wanita ke dalam orang yang pernah melakukan

kedua jenis skrining (yaitu, minimal satu kali mammogram dan minimal satu

kali pap smear), hanya satu jenis skrining (mammogram atau pap smear,

tetapi tidak keduanya), dan tidak melakukan satu pun jenis skrining.

2.2 Health Belief Model

2.2.1 Definisi Health Belief Model

Health Belief Model (HBM) awalnya dikembangkan pada tahun 1950 oleh para

psikolog sosial yang bekerja di Pelayanan Kesehatan Masyarakat Amerika

Serikat, untuk menjelaskan banyaknya masyarakat yang gagal dalam partisipasi

program pencegahan dan pendeteksian penyakit (Hochbaum, 1958; Rosenstock,

1960, 1974 dalam Glanz, Rimer, & Viswanath, 2008). Model diperluas

penggunaannya untuk mempelajari respons individu terhadap gejala (Kirscht,

1974 dalam Glanz et al., 2008) dan perilaku mereka dalam menanggapi penyakit

yang didiagnosis, khususnya dalam hal kepatuhan berobat (Becker, 1974 dalam

Glanz et al., 2008).

19

Konsep HBM ini merupakan hasil gabungan teori belajar, yaitu teori

Stimulus Response atau S-R (Watson, 1925 dalam Glanz et al., 2008) dan teori

kognitif (Lewin, 1951; Tolman, 1932 dalam Glanz et al., 2008). Teori S-R

menyatakan belajar itu berasal dari suatu peristiwa (disebut reinforcement) yang

mengurangi dorongan-dorongan psikologis sehingga muncul sebuah perilaku.

Skinner (1938 dalam Glanz et al., 2008) telah merumuskan hipotesisnya yang

telah banyak berlaku yaitu frekuensi suatu perilaku ditentukan oleh konsekuensi

atau reinforcement yang diperoleh oleh pelaku. Menurut Skinner pemberian

reward langsung setelah adanya suatu perilaku merupakan cara untuk

meningkatkan kemungkinan perilaku tersebut akan diulang. Pandangan ini tidak

mengkaitkan konsep penalaran atau berpikir dalam menjelaskan sebuah perilaku.

Sedangkan teori kognitif berasumsi bahwa perilaku merupakan fungsi dari

nilai subjektif dan harapan yang dimiliki individu. Rumusan ini dikenal dengan

teori value-expectancy. Teori kognisi beranggapan bahwa perilaku terjadi setelah

adanya proses mental. Teori kognisi juga berasumsi bahwa reinforcement bekerja

dengan memengaruhi harapan terhadap suatu kondisi, tidak memengaruhi

perilaku secara langsung. Ketika konsep teori value-expectancy digunakan dalam

konteks perilaku sehat, ada dua asumsi yang diperoleh; 1) penilaian (value)

individu untuk menghindari penyakit atau sembuh; 2) harapan (expect) individu

dengan perilaku sehat tertentu bisa mencegah atau menyembuhkan penyakit.

Harapan tersebut kemudian digambarkan sebagai perkiraan individu tentang

kerentanan pribadi dan keparahan yang dirasakan dari suatu penyakit. Lalu ada

kemungkinan untuk bisa mengurangi ancaman tersebut melalui suatu perilaku.

20

HBM telah banyak didefinisikan oleh para tokoh. Sarafino dan Smith

(2011) mendefinisikan health belief model yaitu kemungkinan seseorang

berperilaku sehat bergantung langsung pada dua penilaian, yaitu perasaan

terancam atas masalah kesehatan yang dialami dan pro-kontra dalam bertindak.

Menurut Lynn Clemow dalam Anderson (2004) HBM adalah teori ekspektasi

nilai yang berupaya menggambarkan penilaian dari keinginan individu untuk

menghindari suatu penyakit (atau mengobati secara efektif) dan jenis ekspektasi

tentang kesehatan mendasar yang memengaruhi perilaku pencegahan (atau

perawatan diri).

Maiman dan Becker (1974) menyatakan bahwa HBM menggunakan

variabel sosio-psikologis untuk menjelaskan perilaku kesehatan preventif dan

menganalisis motivasi individu untuk bertindak sebagai fungsi dari harapan untuk

mencapai tujuan di bidang perilaku kesehatan. Sedangkan Janz dan Becker (1984)

mendefinisikan health belief model sebagai suatu formulasi konseptual untuk

memahami mengapa orang melakukan atau tidak melakukan berbagai tindakan

yang terkait dengan kesehatan.

Champion dan Skinner (dalam Glanz, Rimer, & Viswanath, 2008)

mendefinisikan HBM adalah suatu model tentang keyakinan akan kesehatan yang

dapat memprediksi mengapa orang mengambil tindakan pencegahan, skrining,

atau untuk mengontrol suatu kondisi penyakit. Ogden (2007) menyatakan HBM

adalah serangkaian keyakinan yang berisi persepsi-persepsi seseorang yang

menghasilkan suatu perilaku sehat. Sedangkan Taylor (2006) mendefinisikan

bahwa HBM adalah model yang dapat digunakan untuk memahami perilaku

21

kesehatan seseorang dengan mengetahui dua faktor, yaitu perasaan seseorang

akan ancaman terhadap kesehatan dirinya dan keyakinan seseorang bahwa

tindakan kesehatan tertentu akan efektif dalam mengurangi ancaman terhadap

kesehatan.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan definisi dari Champion dan

Skinner (dalam Glanz et al., 2008) yang mendefinisikan HBM sebagai suatu

model tentang keyakinan akan kesehatan yang dapat memprediksi mengapa orang

mengambil tindakan pencegahan, skrining, atau untuk mengontrol suatu kondisi

penyakit.

2.2.2 Komponen Health Belief Model

Menurut Champion dan Skinner (dalam Glanz et al., 2008) HBM terdiri atas

beberapa konsep dasar yaitu kerentanan, keseriusan, manfaat dan hambatan untuk

berperilaku, isyarat berperilaku, dan keyakinan diri. Ketika seorang individu

beranggapan ia rentan terhadap suatu kondisi, percaya bahwa kondisi itu memiliki

konsekuensi serius, percaya bahwa ada suatu tindakan yang bisa mengurangi

kerentanan atau keparahan suatu kondisi tersebut, serta percaya bahwa manfaat

tindakan tersebut lebih besar daripada hambatan yang ia terima, ia akan

berperilaku sesuai yang ia yakini dapat mengurangi risiko.

1. Perceived susceptibility

Perceived susceptibility adalah keyakinan terhadap kerentanan terjangkit suatu

kondisi atau penyakit. Contohnya, seorang wanita meyakini kemungkinan ia

terjangkit kanker payudara sebelum ia melakukan pemeriksaan mammogram.

22

Menurut Sarafino dan Smith (2011), perceived susceptibility adalah seseorang

mengevaluasi kemungkinan terjadi pengembangan masalahnya. Semakin besar

risiko yang ia persepsikan, semakin besar pula ia merasa terancam dan

mengambil tindakan. Ogden (2007) dalam bukunya Health Psychology

menjelaskan susceptibility adalah kerentanan terhadap penyakit. Sedangkan

Taylor (2006) menyebutnya sebagai perception of health threat, yaitu persepsi

mengenai ancaman terhadap kesehatan diri dipengaruhi oleh tiga faktor: nilai

terhadap kesehatan umum, termasuk perhatian dan kekhawatiran tentang

kesehatan; keyakinan spesifik tentang kerentanan pribadi terhadap gangguan

tertentu; dan keyakinan tentang konsekuensi dari gangguan, seperti seberapa

serius suatu penyakit.

2. Perceived severity

Perceived severity adalah keyakinan akan adanya keseriusan tertular atau

terkena suatu penyakit yang memiliki dua konsekuensi. Konsekuensi medis

berupa kematian, cacat, atau nyeri dan konsekuensi sosial berupa dampak

terhadap pekerjaan, kehidupan keluarga, dan hubungan sosial. Kombinasi dari

perceived susceptibility dan severity disebut perceived threat (keyakinan akan

ancaman). Ogden (2007) mendefinisikan severity adalah keseriusan penyakit.

Sarafino dan Smith (2011) menyebutnya dengan istilah perceived seriousness

yaitu keyakinan terhadap keseriusan masalah kesehatan yang dihadapi

seseorang. Artinya, seseorang beranggapan terhadap seberapa parah

konsekuensi yang ia terima jika ia menyelesaikan masalah kesehatannya atau

membiarkannya tidak terobati. Semakin serius keyakinan seseorang terhadap

23

dampaknya, semakin besar kemungkinan untuk menganggapnya sebagai

ancaman dan mengambil tindakan pencegahan.

3. Perceived benefits

Perceived benefits adalah keyakinan akan adanya keberhasilan dari tindakan

yang disarankan untuk mengurangi risiko atau keseriusan dampak. Menurut

Sarafino dan Smith (2011), dalam menimbang pro dan kontra dari suatu

perilaku kesehatan, seseorang akan menilai manfaatnya (benefits), seperti

membuat hidup lebih sehat atau mengurangi risiko kesehatan, dan hambatan

(barriers) atau biaya dalam mengambil tindakan kesehatan. Sedangkan

menurut Ogden (2007), benefits adalah manfaat yang diperoleh dari

berperilaku sehat. Sedangkan Taylor (2006) menyebutnya perceived threat

reduction, yaitu keyakinan seseorang bahwa tindakan kesehatan akan

mengurangi ancaman memiliki dua subkomponen: pikiran individu bahwa

tindakan kesehatan akan efektif dan biaya dalam melakukan tindakan melebihi

manfaat dari tindakan (Rosenstock dalam Taylor, 2006).

4. Perceived barriers

Perceived barriers adalah keyakinan terhadap hambatan-hambatan saat

individu bertindak sesuai dengan yang dianjurkan atau aspek negatif potensial

dari perilaku kesehatan tertentu dapat bertindak sebagai hambatan untuk

perilaku yang dianjurkan, seperti masalah biaya berobat. Dalam komponen

HBM yang dikemukakan oleh Ogden (2007) tidak terdapat komponen

perceived barriers, tetapi terdapat cost, yaitu biaya yang digunakan dalam

24

berperilaku sehat. Sarafino dan Smith (2011) menyatakan hambatan (barriers)

adalah biaya dalam mengambil tindakan kesehatan.

5. Cues to action

Cues to action adalah strategi-strategi yang dilakukan guna mengaktifkan

kesiapan berperilaku, misalnya publikasi media. Ini bermanfaat sebagai trigger

(pemicu) agar orang tergugah sadar dan mau berperilaku. Sarafino dan Smith

(2011) juga mendefinisikan hampir sama, yaitu pengingat-pengingat yang

dibuat untuk meningkatkan kemungkinan seseorang mengambil tindakan

kesehatan. Pengingat ini bisa berupa papan pengumuman, iklan di televisi, dan

panggilan untuk konsultasi kesehatan. Sedangkan menurut Ogden (2007), cues

to action adalah dorongan yang bersifat internal seperti gejala yang dirasakan

tubuh dari suatu penyakit dan dorongan yang bersifat eksternal seperti dari

leaflet yang berisi informasi pendidikan kesehatan.

6. Self-efficacy

Self-efficacy adalah keyakinan yang dimiliki seseorang bahwa ia mampu untuk

berperilaku. Ogden (2007) memiliki dua komponen HBM berbeda dengan

Glanz et al. (2008) yaitu health motivation, kesiapan individu dalam

menanggapi keadaan kesehatannya dan perceived control, keyakinan individu

untuk mencapai keberhasilan dalam menjalankan perilaku sehat.

2.2.3 Pengukuran Health Belief Model

Health Belief Model telah diterapkan untuk populasi di seluruh dunia dalam

pencegahan AIDS dan pengobatan, pengelolaan berbagai penyakit kronis,

25

pencegahan kanker dan skrining, pemanfaatan imunisasi, kehamilan pada remaja,

dan bahkan meneliti pengaruh keyakinan kesehatan pada penyedia layanan

kesehatan (Anderson, 2004). Sejak tahun 1974-1984, HBM telah digunakan

dalam 46 studi. Dua puluh empat studi meneliti preventive-health behaviors

(PHB), 19 studi mengeksplorasi sick-role behaviors (SRB), dan tiga studi

membahas clinic utilization (Janz & Becker, 1984).

Health Belief Model dalam penelitian perilaku skrining kanker serviks,

diukur menggunakan kuesioner dengan 22 item yang diambil dari penelitian

sebelumnya oleh Champion (1985) dan National Analysts (1982) dalam Murray

dan McMillan (1993). Responden diminta untuk menilai sejauh mana tingkat

persetujuan mereka dalam skala enam poin dan dirancang untuk menilai lima

dimensi HBM yaitu perceived susceptibility, perceived severity, perceived

barriers, perceived benefits, dan cost. Sedangkan dalam penelitian Esin, Bulduk,

dan Ardic (2011), perilaku skrining kanker serviks diukur menggunakan Health

Belief Model-Based Scale yang dikembangkan oleh Byrd et al. (2004), kemudian

diadaptasi menjadi Turkish Health Belief Model (T-HBM) based scales untuk

persamaan budaya di Turki. Skala ini digunakan untuk mengetahui keyakinan

wanita tentang skrining kanker serviks. Indeks content validity T-HBM based

scales adalah 0.91. T-HBM based scales untuk reliabilitas konsistensi internal

dinyatakan diterima untuk perceived susceptibility terhadap kanker serviks (alpha

= 0,69), perceived seriousness terhadap kanker serviks (alpha = 0,84), perceived

benefits terhadap tes pap smear (alpha = 0,79), dan perceived barriers untuk

melakukan skrining (alpha = 0,93). Koefisien reliabilitas alpha cronbach untuk

26

item berkisar antara 0,30-0,83. Semua elemen menunjukkan korelasi yang

signifikan (p <0,01). Respon untuk item ini dievaluasi pada empat angka skala

likert dengan satu berarti sangat setuju dan empat sangat tidak setuju.

Instrumen HBM telah digunakan dalam berbagai perilaku kesehatan,

seperti dijelaskan oleh Charles Abraham dan Paschal Sheeran (dalam Conner &

Norman, 2005), yaitu skala Standardized Compliance Questionnaire (Sackett et

al., 1974) yang telah dimodifikasi dalam berbagai setting penggunaan (Cerkoney

& Hart 1980; Bollin & Hart 1982; Connelly 1984), tetapi instrumen ini sulit untuk

diperoleh sehingga muncul skala lainnya yang juga telah digunakan. Misalnya,

Calnan (1984) dan Hallal (1982) menggunakan instrumen yang diambil dari

penelitian Stillman (1977) untuk kanker payudara. Fincham dan Wertheimer

(1985) menggunakan item yang berasal dari Leavitt (1979) dalam penelitian

mereka tentang pengambilan resep obat, sementara Hoogewerf et al. (1990)

meneliti kepatuhan skrining genetik menggunakan item dari Halper et al. (1980).

Skala HBM juga di perkenalkan di bidang kepatuhan dalam pemeriksaan

hipertensi (Abraham & Williams 1991), obesitas anak-anak (Maiman et al. 1977),

pemeriksaan payudara sendiri (Champion 1984), dan perilaku lainnya.

Dalam penelitian ini, peneliti memodifikasi skala HBM dari Champion

(1985) dan National Analysts (dalam Murray & McMillan, 1993) khusus terkait

dengan perilaku skrining kanker serviks berdasarkan enam komponen HBM dari

Champion dan Skinner (dalam Glanz et al., 2008) yaitu perceived susceptibility,

perceived severity, perceived benefits, perceived barriers, cues to action dan self-

efficacy. Item yang digunakan terdiri dari empat skala poin di mana responden

27

diminta menilai tingkat kesetujuan mereka, dari skala satu „sangat tidak setuju‟

dan empat „sangat setuju‟.

2.3 Variabel Demografis

2.3.1 Usia

Wanita berusia 35-64 tahun cenderung lebih intens melakukan skrining kanker

serviks dibandingkan dengan wanita berusia 25-34 tahun (Damiani, Federico,

Basso, Ronconi, Bianchi, Anzellotti, Nasi, Sassi, & Ricciardi, 2012). Hasil

penelitian dari Yanikkerem, Goker, Piro, Dikayak dan Koyuncu (2013)

menunjukkan bahwa wanita yang berusia lebih dari 35 tahun memiliki persentase

tinggi untuk melakukan pap smear. Pelaksanaan BSE (Breast Self Examination)

dan kehadiran untuk tes pap smear lebih sering terjadi pada wanita yang berusia

35-54 tahun (Murray & McMillan, 1993).

Usia merupakan prediktor demografis yang menunjukkan bahwa

kehadiran untuk tes pap smear lebih sering dilakukan oleh wanita dengan usia

yang lebih tua (Murray & McMillan, 1993). Wanita dengan usia lebih tua

cenderung untuk melakukan skrining kanker serviks dibandingkan wanita yang

lebih muda (Yi, 1994). Wanita yang melakukan skrining (mammogram atau pap

smear) lebih cenderung pada usia 50 tahun atau lebih (Park et al., 2011).

2.3.2 Tingkat Pendidikan

Orang dengan pendidikan yang lebih baik dan berasal dari keluarga dengan status

sosial-ekonomi yang tinggi akan cenderung untuk ikut berpartisipasi dalam

perilaku sehat (Hajializadeh, Ahadi, Jomehri, & Rahgozar, 2013). Wanita yang

28

bekerja dan memiliki tingkat pendapatan tinggi, pendidikan yang tinggi serta

memiliki asuransi kesehatan lebih menyadari tentang kanker serviks (Yanikkerem

et al., 2013).

Hasil penelitian dari McKinnon, Harper dan Moore (2011)

mendeskripsikan bahwa pendidikan umumnya memberikan kontribusi terbesar

dalam skrining kanker serviks. Kuitto et al. (2010) menyatakan bahwa tingkat

pendidikan mempunyai pengaruh yang signifikan pada kehadiran saat skrining.

Wanita dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung untuk mendatangi

skrining secara lebih teratur.

Wanita dengan tingkat pendidikan rendah yang tinggal di daerah

metropolitan di U.S cenderung rendah untuk melakukan skrining kanker serviks

(Coughlin, King, Richards, & Ekwueme, 2006). Sampai saat ini di Korea,

diketahui bahwa tingkat pendidikan yang rendah adalah penghalang untuk

skrining kanker payudara dan kanker serviks (Park et al., 2011).

2.3.3 Tingkat Pendapatan

Faktor sosial ekonomi menunjukkan bahwa ada hubungan yang kuat dengan

pemanfaatan layanan pencegahan (Lorant, Boland, Humblet, & Deliège, 2002;

Garrido-Cumbrera M, Borrell, Palència, Espelt, & Rodríguez-Sanz dalam

Damiani, et al., 2012). Studi komparatif tentang penggunaan layanan pencegahan

di Eropa menunjukkan kesenjangan dalam berpartisipasi untuk program skrining

(Palencia, Espelt, Rodriguez-Sanz, Puigpinòs, Pons-Vigués, Pasarìn, et al., 2010;

Stirbu, Kunst, Mielck, Mackenbach dalam Damiani et al., 2012).

29

Etnis minoritas, usia tua dan status sosial ekonomi rendah memiliki

kesempatan yang rendah pula dalam menjalani prosedur skrining kanker

(Ackerson & Gretebeck dalam Damiani et al., 2012). Penelitian di Itali

menunjukkan bahwa wanita dengan status sosial ekonomi tinggi memiliki

kecenderungan yang tinggi untuk melakukan skrining kanker serviks

dibandingkan dengan wanita dengan status sosial ekonomi yang lebih rendah

(Damiani et al., 2012).

Kehadiran skrining secara signifikan lebih tinggi pada responden dari

status sosial ekonomi yang tinggi dan tingkat pendidikan yang tinggi (Kuitto et

al., 2010). Wanita yang memiliki status sosial ekonomi mandiri berkorelasi

dengan kepatuhan melakukan pap smear (Paskett et al., 2010). Penelitian di U.S.,

pasien dengan status sosial ekonomi rendah memiliki tingkat signifikansi yang

lebih tinggi dalam diagnosis kanker serviks stadium akhir (Singh, Miller, Hankey,

& Edwards, 2004).

2.4 Kerangka Berpikir

Perilaku skrining kanker serviks merupakan salah satu perilaku sehat preventif

yang dilakukan dengan mendatangi tempat skrining yang bertujuan untuk

mendeteksi penyakit akibat virus HPV (human papilloma virus) pada tahap

perkembangan asimtomatik (tanpa gejala) dengan tes pap smear atau IVA,

sehingga perkembangan penyakit dapat dihentikan atau terhambat. Berdasarkan

penelitian sebelumnya, perilaku skrining kanker serviks diprediksi kuat oleh

faktor-faktor psikologis berupa keyakinan-keyakinan yang berkaitan dengan

30

perilaku sehat yaitu Health Belief Model (HBM). HBM merupakan variabel yang

sering digunakan dan signifikan memprediksi perilaku skrining kanker serviks.

Model ini berpendapat bahwa mungkin untuk mengidentifikasi pola keyakinan

khusus tertentu yang akan memprediksi penggunaan layanan kesehatan seperti

skrining (Marks et al., 2000). Teori HBM ini terdiri dari empat komponen utama,

yaitu perceived susceptibility, perceived severity, perceived benefits, perceived

barriers dan dua komponen tambahan, yaitu cues to action dan self-efficacy

(Champion & Skinner dalam Glanz et al., 2008).

Health Belief Model dalam Ogden (2007) memprediksi skrining rutin

untuk kanker serviks jika seorang individu meyakini bahwa dia sangat rentan

terhadap kanker serviks, penyakit ini merupakan ancaman kesehatan yang serius,

dan manfaat dari skrining rutin tinggi serta biaya dari tindakan tersebut relatif

murah. Tindakan skrining ini akan menjadi kenyataan jika wanita tersebut

menjalankan isyarat untuk bertindak yang bersifat eksternal, seperti membaca

leaflet yang disediakan di ruang tunggu dokter, atau bersifat internal, seperti

gejala yang dirasakan terkait dengan kanker serviks misalnya rasa sakit atau

iritasi. HBM juga memprediksi bahwa wanita akan hadir untuk skrining jika dia

yakin bahwa dia bisa melakukannya dan jika dia termotivasi untuk menjaga

kesehatannya.

Health Belief Model menyatakan bahwa untuk keberhasilan sebuah

perubahan perilaku, individu harus memiliki dorongan untuk mengambil tindakan,

merasa terancam oleh pola perilakunya saat ini, dan percaya bahwa perubahan

spesifik tertentu akan bermanfaat dan menyebabkan hasil yang bernilai dengan

31

biaya yang dapat diterima, selain itu individu juga harus meyakini bahwa dirinya

kompeten (self-efficacious) untuk menerapkan perubahan itu (Moore, 2011).

Penelitian telah menunjukkan dukungan kuat terhadap perceived barriers dari

konstruk HBM (Tanner-Smith & Brown, 2010; Janz, Champion & Strecher, 2002

dalam Moore, 2011). Perceived susceptibility (Janz et al., 2002 dalam Moore,

2011) dan perceived benefits (Tanner-Smith & Brown, 2010 dalam Moore, 2011)

juga telah diidentifikasi sebagai prediktor yang penting.

Hasil temuan Moore (2011) menyatakan bahwa HBM secara keseluruhan

fit untuk menguji skrining kanker serviks. Hasil penelitiannya mendukung

komponen utama dari teori HBM. Partisipan dilaporkan tinggi dalam keyakinan

akan manfaat (perceived benefits) dari skrining dan ancaman terhadap kanker

serviks, serta rendah dalam keyakinan akan hambatan (perceived barriers) untuk

skrining memiliki kesempatan signifikan yang lebih besar. Self-efficacy dan

ancaman adalah prediktor terkuat dari perilaku skrining kanker serviks. Penelitian

lain dari Hill et al. (1985) yang mengaplikasikan HBM terhadap kanker serviks,

untuk menguji faktor-faktor yang memprediksi perilaku skrining serviks

menunjukkan bahwa keyakinan akan hambatan (perceived barriers) untuk

berperilaku adalah prediktor terbaik dari intensi perilaku dan keyakinan akan

kerentanan (perceived susceptibility) dari kanker serviks juga secara signifikan

berhubungan dengan perilaku skrining.

Faktor demografis berupa usia, tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan

dari wanita juga turut memengaruhi perilaku skrining kanker serviks. Banyak

penelitian yang menyatakan bahwa faktor demografis secara signifikan

32

memengaruhi perilaku skrining kanker serviks, termasuk usia, tingkat pendidikan

dan tingkat pendapatan. Studi terakhir oleh Akers et al. (dalam Paskett et al.,

2010) menyatakan bahwa kelompok-kelompok perempuan tertentu yaitu

pendapatan buruk, berpendidikan rendah, usia lanjut, minoritas, dan terisolasi

secara geografis kecil kemungkinannya untuk melakukan pap smear sesuai

panduan yang direkomendasikan. Penelitian ini menggunakan Health Belief

Model dan faktor demografis untuk memprediksi secara langsung serta

mengetahui probabilitas perilaku skrining kanker serviks. Selanjutnya, peneliti

menyajikan kerangka berpikir dalam bentuk gambar 2.1 sebagaimana berikut :

perceived susce

Gambar 2.1 Pengaruh Health Belief Model dan faktor demografis terhadap

perilaku skrining kanker serviks

Perilaku Skrining

Kanker Serviks

Health Belief Model

Perceived susceptibility

Perceived severity

Perceived benefits

Perceived barriers

Cues to action

Self-efficacy

Faktor Demografis

Usia

Tingkat pendapatan

Tingkat pendidikan

33

2.5 Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian yang terdapat dalam penelitian ini, antara lain :

H1 : Ada pengaruh yang signifikan Health Belief Model dan faktor demografis

terhadap perilaku skrining kanker serviks.

H2 : Ada pengaruh yang signifikan perceived susceptibility terhadap perilaku

skrining kanker serviks.

H3 : Ada pengaruh yang signifikan perceived severity terhadap perilaku skrining

kanker serviks.

H4 : Ada pengaruh yang signifikan perceived benefits terhadap perilaku skrining

kanker serviks.

H5 : Ada pengaruh yang signifikan perceived barriers terhadap perilaku skrining

kanker serviks.

H6 : Ada pengaruh yang signifikan cues to action terhadap perilaku skrining

kanker serviks.

H7 : Ada pengaruh yang signifikan self-efficacy terhadap perilaku skrining kanker

serviks.

H8 : Ada pengaruh yang signifikan usia terhadap perilaku skrining kanker serviks.

H9 : Ada pengaruh yang signifikan tingkat pendidikan terhadap perilaku skrining

kanker serviks.

H10 : Ada pengaruh yang signifikan tingkat pendapatan terhadap perilaku skrining

kanker serviks.

34

BAB 3

METODE PENELITIAN

Pada bab tiga ini berisi pemaparan tentang populasi dan sampel, teknik

pengambilan sampel, variabel penelitian, definisi operasional variabel, instrumen

pengumpulan data, uji validitas konstruk, metode analisis data dan prosedur

pengumpulan data.

3.1 Populasi dan Sampel

Populasi pada penelitian ini adalah wanita yang berdomisili di Tangerang Selatan.

Sampel yang digunakan adalah wanita berusia 21-70 tahun dan sudah menikah.

Besar sampel penelitian yang peneliti gunakan adalah sebanyak 227 orang wanita.

Peneliti memilih wanita yang sudah menikah karena sasaran deteksi kanker

serviks dengan pemeriksaan tes Inspeksi Visual Asetat (IVA) atau dengan

pemeriksaan pap smear adalah pada wanita usia 20-74 tahun yang telah menikah

atau berhubungan seksual (Kementerian Kesehatan, 2015).

Pelayanan skrining kanker serviks dengan tes IVA telah tersedia di

puskesmas Tangerang Selatan. Dari 25 puskesmas, terdapat 11 puskesmas yang

telah memiliki pelayanan skrining kanker serviks. Peneliti mendatangi puskesmas

yang telah memiliki pelayanan skrining kanker serviks dan puskesmas terdekat

serta posyandu untuk mendapatkan responden.

35

3.2 Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik convenience non

probability sampling, yaitu teknik pemilihan partisipan penelitian berdasarkan

kemudahan perekrutan partisipan oleh peneliti (Howitt & Cramer, 2011). Peneliti

mengambil data dengan mendatangi empat puskesmas yang telah disetujui oleh

Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, antara lain Puskesmas Ciputat,

Puskesmas Ciputat Timur, Puskesmas Pondok Ranji, dan Puskesmas Pamulang.

Puskesmas dipilih berdasarkan ketersediaan pelayanan untuk skrining kanker

serviks dengan tes IVA serta kemudahan peneliti dalam mengakses lokasi

puskesmas. Pengambilan data dilakukan dengan cara mendatangi posyandu-

posyandu dari setiap puskesmas yang dipilih, berkoordinasi dengan bidan dan

petugas puskesmas yang bertugas saat itu.

3.3 Variabel Penelitian

Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Perilaku skrining kanker serviks

2. Perceived susceptibility

3. Perceived severity

4. Perceived benefits

5. Perceived barriers

6. Cues to action

7. Self-efficacy

8. Usia

36

9. Tingkat pendidikan

10. Tingkat pendapatan

Variabel dependen (outcome variable) dalam penelitian ini adalah perilaku

skrining kanker serviks yang merupakan variabel kategorik dengan nilai 0 dan 1.

Nilai 0 berarti subjek yang tidak pernah melakukan skrining kanker serviks dan

nilai 1 berarti subjek yang pernah melakukan skrining kanker serviks. Sedangkan

variabel-variabel lainnya merupakan variabel independen (predictor variable).

3.4 Definisi Operasional Variabel

Peneliti menggunakan definisi operasional dari Champion dan Skinner (dalam

Glanz, Rimer, & Viswanath, 2008) untuk semua variabel independen dalam

penelitian ini.

1. Perilaku skrining kanker serviks adalah perilaku mendatangi tempat skrining

kanker serviks untuk tes pap smear atau tes IVA (Murray & McMillan, 1993).

2. Perceived susceptibility, keyakinan akan kemungkinan mengalami suatu risiko

atau kerentanan terjangkit suatu penyakit sehingga mengambil tindakan untuk

melakukan perilaku pencegahan.

3. Perceived severity, keyakinan akan keseriusan suatu penyakit dan akibatnya

sehingga seseorang mengambil langkah pencegahan.

4. Perceived benefits, keyakinan terhadap keefektifan atau manfaat suatu tindakan

kesehatan dalam mengurangi risiko suatu penyakit dan keyakinan akan adanya

keberhasilan dari tindakan yang disarankan untuk mengurangi risiko atau

keseriusan dampak.

37

5. Perceived barriers, keyakinan terhadap hambatan-hambatan yang dialami saat

melakukan tindakan yang disarankan berupa hambatan dalam biaya, fasilitas,

pelayanan, transportasi, jarak, waktu, perasaan malu, dan perasaan takut sakit.

6. Cues to action, strategi-strategi yang dilakukan guna mengaktifkan kesiapan

berperilaku, misalnya publikasi media dan menggunakan sistem pengingat

yang tepat.

7. Self-efficacy, keyakinan yang dimiliki seseorang bahwa ia mampu untuk

berperilaku, misalnya mengurangi kecemasan dan menetapkan tujuan yang

progresif.

3.5 Instrumen Pengumpulan Data

Peneliti membuat sendiri skala perilaku skrining kanker serviks, sedangkan untuk

skala Health Belief Model dimodifikasi dari skala Champion (1985) dan National

Analysts (dalam Murray & McMillan, 1993) khusus terkait dengan perilaku

skrining kanker serviks berdasarkan enam komponen HBM dari Champion dan

Skinner (dalam Glanz et.al., 2008).

1. Perilaku skrining kanker serviks diukur dengan menggunakan pertanyaan

“apakah anda pernah melakukan pemeriksaan dini kanker leher rahim?”

dengan dua pilihan jawaban yaitu “Ya” atau “Tidak”. Pilihan satu merupakan

pilihan jawaban Ya (Ya = 1), artinya jika responden pernah melakukan

skrining kanker serviks dengan tes pap smear atau tes IVA, baik pernah sekali

atau beberapa kali. Pilihan dua merupakan pilihan jawaban Tidak (Tidak = 0),

artinya jika responden tidak pernah melakukan skrining kanker serviks.

38

Tabel 3.1

Blue Print Perilaku Skrining Kanker Serviks

No. Item Jumlah

Ya (1) Tidak (0)

1. Apakah Anda pernah melakukan pemeriksaan

dini kanker leher rahim?

2. Health Belief Model diukur menggunakan skala yang dimodifikasi dari

Champion (1985) dan National Analysts (dalam Murray & McMillan, 1993)

khusus terkait dengan perilaku skrining kanker serviks berdasarkan komponen-

komponen yang dikemukakan oleh Champion dan Skinner (dalam Glanz et.al.,

2008). Skala ini disusun berdasarkan skala likert dengan rentang dari satu

hingga empat poin, yaitu dari “1” (sangat tidak setuju) hingga “4” (sangat

setuju). Peneliti menggunakan skala likert empat poin karena untuk

menghindari kecenderungan jawaban pada skala tengah-tengah dan

mempermudah subjek dalam pengisian alat ukur. Pernyataan dalam skala

tersebut bersifat favorable, yaitu pernyataan yang mendukung objek sikap

dengan bobot nilai STS=1, TS=2, S=3, SS=4 dan unfavorable, yaitu

pernyataan anti objek sikap dengan bobot nilai STS=4, TS=3, S=2, dan SS=1.

Berikut blue print dimensi Health Belief Model.

39

Tabel 3.2

Blue Print Item Health Belief Model

No Komponen Indikator Nomor Item

Total Fav Unfav

1. Perceived

susceptibility

Keyakinan individu akan

kemungkinan terkena kanker

serviks yang disebabkan suatu

keadaan pada diri individu

tersebut.

23,24,25,

26,27

5

2. Perceived severity Keyakinan individu akan

keseriusan suatu penyakit dan

akibatnya.

29,30,31,

32

28 5

3. Perceived benefits Keyakinan individu akan efek

positif yang diharapkan dari

tindakan yang disarankan.

1,2,3,4,5 5

4. Perceived barriers Keyakinan individu akan

hambatan dalam melakukan

tindakan kesehatan karena

masalah biaya kesehatan,

fasilitas kesehatan, transportasi,

jarak, waktu, rasa malu, dan rasa

takut sakit.

16,17,18,

19,20,21

22 7

5. Cues to action Pemberian informasi;

meningkatkan kesadaran melalui

publikasi media; dan

menggunakan sistem pengingat

yang tepat untuk meningkatkan

kesiapan berperilaku.

6,7,8,9,

10

5

6. Self-efficacy Keyakinan individu bahwa ia

mampu berperilaku sehat dengan

menetapkan tujuan yang

progresif, menunjukkan perilaku

yang diinginkan, dan

mengurangi kecemasan.

11,12,13,

14,15

5

Jumlah 30 2 32

3.6 Uji Validitas Konstruk

Sebelum peneliti melakukan analisis data, peneliti melakukan pengujian validitas

konstruk terhadap instrumen yang dipakai, yaitu skala Health Belief Model.

Peneliti melakukan uji validitas konstruk instrumen tersebut dengan menggunakan

CFA (Confirmatory Factor Analysis) dengan bantuan software LISREL 8.7.

Adapun logika dari CFA (Umar, 2013) :

40

1. Ada sebuah konsep atau trait berupa kemampuan yang didefinisikan secara

operasional sehingga dapat disusun pertanyaan atau pernyataan untuk

mengukurnya. Kemampuan ini disebut faktor, sedangkan pengukuran terhadap

faktor ini dilakukan melalui analisis terhadap respon atas item-itemnya.

2. Setiap item diteorikan hanya mengukur satu faktor saja, begitu pun juga tiap

sub tes hanya mengukur satu faktor juga. Artinya baik item maupun sub tes

bersifat unidimensional.

3. Dengan data yang tersedia, dapat diestimasi matriks korelasi antar item yang

seharusnya diperoleh jika memang unidimensional. Matriks korelasi ini disebut

sigma (Σ), kemudian dibandingkan dengan matriks dari data empiris yang

disebut matriks S. Jika teori tersebut benar (unidimensional) maka tentunya

tidak ada perbedaan antara matriks Σ dan matriks S, atau bisa juga dinyatakan

dengan Σ – S = 0.

4. Pernyataan tersebut dijadikan hipotesis nihil yang kemudian diuji dengan chi

square. Jika hasil chi square tidak signifikan (p > 0,05), maka hipotesis nihil

tersebut “tidak ditolak”. Artinya teori unidimensionalitas tersebut dapat

diterima bahwa item ataupun sub tes instrumen hanya mengukur satu faktor

saja.

5. Jika model fit, maka langkah selanjutnya ialah menguji apakah item signifikan

atau tidak mengukur apa yang hendak diukur dengan menggunakan uji-t. Jika

hasil uji-t tidak signifikan maka item tersebut tidak signifikan dalam mengukur

apa yang hendak diukur, sebaiknya item yang demikian di drop. Dalam

penelitian kali ini, peneliti menggunakan taraf kepercayaan 95% sehingga item

41

yang dikatakan signifikan adalah item yang memiliki nilai-t lebih dari 1,96 (t >

1,96).

6. Terakhir, apabila dari hasil CFA terdapat item yang koefisien muatan faktornya

negatif, maka item tersebut harus di drop. Sebab hal ini tidak sesuai dengan

sifat item, yang bersifat positif (favorable).

3.6.1 Uji Validitas Konstruk Skala Health Belief Model

1. Perceived Susceptibility

Peneliti menguji apakah lima item yang ada, bersifat unidimensional, artinya

item-item tersebut benar hanya mengukur perceived susceptibility. Setelah

dilakukan analisis CFA pertama dengan model satu faktor, dihasilkan model tidak

fit dengan Chi-Square = 18.22, df = 5, P-Value = 0.00268, RMSEA = 0.108.

Namun setelah dilakukan modifikasi sebanyak satu kali terhadap model dengan

membebaskan korelasi kesalahan pengukuran diantara item-item yang dianalisis,

maka kemudian diperoleh model fit dengan Chi-Square = 5.90, df = 4, P-Value =

0.20698, RMSEA = 0.046. Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0.05 (tidak

signifikan), yang artinya model satu faktor (unidimensional) dapat diterima,

bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor saja yaitu perceived

susceptibility.

Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam

mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu

perlu di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang

koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t

42

bagi setiap koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut

signifikan dan begitu juga sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item

pengukuran perceived susceptibility disajikan dalam tabel 3.3.

Tabel 3.3

Muatan Faktor Item Perceived Susceptibility No.Item Koefisien Standard Error Nilai t Signifikan

23 0.74 0.06 12.21 V

24 0.88 0.06 15.67 V

25 0.78 0.06 13.12 V

26 0.43 0.07 6.38 V

27 0.69 0.06 11.28 V

Keterangan : tanda V = signifikan (t>1.96), X = tidak signifikan

Pada tabel 3.3 tidak terdapat item yang memiliki t-value <1.96 dan tidak

ada item yang memiliki koefisien muatan faktor negatif. Selain itu, model fit yang

diperoleh juga tidak menunjukkan adanya item yang memiliki kesalahan

pengukuran lebih dari sama dengan tiga. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada

item perceived susceptibility yang di-drop.

Langkah terakhir yang dilakukan yaitu item–item perceived susceptibility

yang tidak di-drop dihitung faktor skornya. Faktor skor ini dihitung untuk

menghindari estimasi bias dari kesalahan pengukuran. Jadi penghitungan faktor

skor ini tidak menjumlahkan item–item variabel pada umumnya, tetapi

menghitung true score pada tiap item. Setelah didapatkan faktor skor, peneliti

mentransformasikan faktor skor menjadi T skor. Penggunaan T skor ini bertujuan

untuk menyamakan skala pengukuran yang berbeda-beda dan untuk menghindari

nilai minus pada faktor skor agar pembaca mudah memahami interpretasi hasil

penelitian. Adapun rumus T skor yaitu (Umar, 2013) :

T skor = (10*faktor skor)+50

Keterangan : 10= nilai standar deviasi, 50= nilai mean

43

Setelah didapatkan faktor skor yang telah diubah menjadi T skor, nilai

baku inilah yang akan dianalisis dalam uji hipotesis korelasi dan regresi. Perlu

dicatat, bahwa langkah terakhir juga berlaku untuk variabel-variabel lain dalam

penelitian ini.

2. Perceived Severity

Peneliti menguji apakah lima item yang ada, bersifat unidimensional, artinya

item-item tersebut benar hanya mengukur perceived severity. Setelah dilakukan

analisis CFA pertama dengan model satu faktor, dihasilkan model tidak fit dengan

Chi-Square = 33.51, df = 5, P-Value = 0.00000, RMSEA = 0.159. Namun setelah

dilakukan modifikasi sebanyak satu kali terhadap model dengan membebaskan

korelasi kesalahan pengukuran diantara item-item yang dianalisis, maka kemudian

diperoleh model fit dengan Chi-Square = 6.36, df = 4, P-Value = 0.17372,

RMSEA = 0.051. Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0.05 (tidak

signifikan), yang artinya model satu faktor (unidimensional) dapat diterima,

bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor saja yaitu perceived severity.

Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran perceived severity disajikan

dalam tabel 3.4.

Tabel 3.4

Muatan Faktor Item Perceived Severity No.Item Koefisien Standard Error Nilai t Signifikan

28 0.04 0.07 0.62 X

29 1.00 0.07 14.38 V

30 0.48 0.07 7.09 V

31 0.45 0.07 6.77 V

32 0.71 0.07 10.45 V

Keterangan : tanda V = signifikan (t>1.96), X = tidak signifikan

44

Pada tabel 3.4 terdapat item yang memiliki t-value < 1.96, yaitu item 28, hal ini

menunjukkan bahwa item 28 di-drop, artinya item tersebut tidak diikutkan dalam

analisis. Setelah itu, peneliti melakukan analisis kembali dengan tidak

mengikutsertakan item 28, sehingga didapatkan hasil analisis CFA dengan Chi-

Square = 0.00, df= 0, P-Value = 1.00000, RMSEA = 0.000. Nilai Chi-Square

menghasilkan P-value > 0.05 (tidak signifikan), yang artinya model satu faktor

(unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor

saja yaitu perceived severity. Koefisien muatan faktor item perceived severity

disajikan dalam tabel 3.5.

Tabel 3.5

Muatan Faktor Item Perceived Severity No.Item Koefisien Standard Error Nilai t Signifikan

29 0.948 0.071 13.299 V

30 0.503 0.068 7.427 V

31 0.479 0.070 6.882 V

32 0.751 0.069 10.808 V

Keterangan : tanda V = signifikan (t>1.96), X = tidak signifikan

3. Perceived Benefits

Peneliti menguji apakah lima item yang ada, bersifat unidimensional, artinya

item-item tersebut benar hanya mengukur perceived benefits. Setelah dilakukan

analisis CFA pertama dengan model satu faktor, dihasilkan model tidak fit dengan

Chi-Square = 56.51, df = 5, P-Value = 0.00000, RMSEA = 0.213. Namun setelah

dilakukan modifikasi sebanyak dua kali terhadap model dengan membebaskan

korelasi kesalahan pengukuran diantara item-item yang dianalisis, maka kemudian

diperoleh model fit dengan Chi-Square = 5.56, df = 3, P-Value = 0.13488,

RMSEA = 0.061. Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0.05 (tidak

signifikan), yang artinya model satu faktor (unidimensional) dapat diterima,

45

bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor saja yaitu perceived benefits.

Selanjutnya peneliti melihat t-value bagi setiap koefisien muatan faktor seperti

pada tabel 3.6.

Tabel 3.6

Muatan Faktor Item Perceived Benefits No.Item Koefisien Standard Error Nilai t Signifikan

1 0.69 0.06 11.50 V

2 0.72 0.06 12.02 V

3 0.93 0.05 18.07 V

4 0.87 0.05 16.20 V

5 0.84 0.05 15.37 V

Keterangan : tanda V = signifikan (t>1.96), X = tidak signifikan

Tabel 3.6 menunjukkan bahwa tidak ada item yang memiliki nilai t < 1.96 dan

bermuatan faktor negatif. Selain itu, model fit yang diperoleh juga tidak

menunjukkan adanya item yang memiliki kesalahan pengukuran lebih dari sama

dengan tiga. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada item perceived benefits yang

di-drop.

4. Perceived Barriers

Peneliti menguji apakah tujuh item yang ada, bersifat unidimensional, artinya

item-item tersebut benar hanya mengukur perceived barriers. Setelah dilakukan

analisis CFA pertama dengan model satu faktor, dihasilkan model tidak fit dengan

Chi-Square = 149.96, df = 14, P-Value = 0.00000, RMSEA = 0.207. Namun

setelah dilakukan modifikasi sebanyak empat kali terhadap model dengan

membebaskan korelasi kesalahan pengukuran diantara item-item yang dianalisis,

maka kemudian diperoleh model fit dengan Chi-Square = 16.05, df = 10, P-Value

= 0.09824, RMSEA = 0.052. Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0.05

(tidak signifikan), yang artinya model satu faktor (unidimensional) dapat diterima,

46

bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor saja yaitu perceived barriers.

Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran perceived barriers disajikan

dalam tabel 3.7.

Tabel 3.7

Muatan Faktor Item Perceived Barriers No.Item Koefisien Standard Error Nilai t Signifikan

16 0.40 0.07 5.80 V

17 0.68 0.06 10.82 V

18 0.73 0.06 12.17 V

19 0.79 0.06 13.66 V

20 0.87 0.06 15.50 V

21 0.77 0.06 12.78 V

22 0.08 0.07 1.12 X

Keterangan : tanda V = signifikan (t>1.96), X = tidak signifikan

Pada tabel 3.7 terdapat item yang memiliki t-value < 1.96 yaitu item 22,

hal ini menunjukkan bahwa item 22 di-drop, artinya item tersebut tidak diikutkan

dalam analisis. Setelah itu, peneliti melakukan analisis kembali dengan tidak

mengikutsertakan item 22, sehingga didapatkan hasil analisis CFA dengan Chi-

Square = 9.44, df= 5, P-Value = 0.09270, RMSEA = 0.063. Koefisien muatan

faktor item perceived barriers disajikan dalam tabel 3.8 berikut :

Tabel 3.8

Muatan Faktor Item Perceived Barriers No.Item Koefisien Standard Error Nilai t Signifikan

16 0.40 0.07 5.82 V

17 0.68 0.06 10.88 V

18 0.73 0.06 12.19 V

19 0.82 0.06 14.01 V

20 0.85 0.06 15.01 V

21 0.79 0.06 13.06 V

Keterangan : tanda V = signifikan (t>1.96), X = tidak signifikan

5. Cues to action

Peneliti menguji apakah lima item yang ada, bersifat unidimensional, artinya

item-item tersebut benar hanya mengukur cues to action. Setelah dilakukan

47

analisis CFA pertama dengan model satu faktor, dihasilkan model tidak fit dengan

Chi-Square = 99.43, df = 5, P-Value = 0.00000, RMSEA = 0.289. Namun setelah

dilakukan modifikasi sebanyak dua kali terhadap model dengan membebaskan

korelasi kesalahan pengukuran diantara item-item yang dianalisis, maka kemudian

diperoleh model fit dengan Chi-Square = 4.93, df = 3, P-Value = 0.17666,

RMSEA = 0.053. Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0.05 (tidak

signifikan), yang artinya model satu faktor (unidimensional) dapat diterima,

bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor saja yaitu cues to action.

Selanjutnya peneliti melihat t-value bagi setiap koefisien muatan faktor seperti

pada tabel 3.9.

Tabel 3.9

Muatan Faktor Item Cues to Action No.Item Koefisien Standard Error Nilai t Signifikan

6 0.67 0.06 10.68 V

7 0.71 0.06 11.39 V

8 0.78 0.06 12.85 V

9 0.88 0.06 14.95 V

10 0.72 0.06 11.31 V

Keterangan : tanda V = signifikan (t>1.96), X = tidak signifikan

Tabel 3.9 menunjukkan bahwa tidak ada item yang memiliki nilai t < 1.96 dan

bermuatan faktor negatif. Selain itu, model fit yang diperoleh juga tidak

menunjukkan adanya item yang memiliki kesalahan pengukuran lebih dari sama

dengan tiga. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada item cues to action yang di-

drop.

6. Self-Efficacy

Peneliti menguji apakah lima item yang ada, bersifat unidimensional, artinya

item-item tersebut benar hanya mengukur self-efficacy. Setelah dilakukan analisis

48

CFA pertama dengan model satu faktor, dihasilkan model tidak fit dengan Chi-

Square = 28.24, df = 5, P-Value = 0.00003, RMSEA = 0.143. Namun setelah

dilakukan modifikasi sebanyak dua kali terhadap model dengan membebaskan

korelasi kesalahan pengukuran diantara item-item yang dianalisis, maka kemudian

diperoleh model fit dengan Chi-Square = 2.49, df = 3, P-Value = 0.47661,

RMSEA = 0.000. Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0.05 (tidak

signifikan), yang artinya model satu faktor (unidimensional) dapat diterima,

bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor saja yaitu self-efficacy.

Selanjutnya peneliti melihat t-value bagi setiap koefisien muatan faktor seperti

pada tabel 3.10.

Tabel 3.10

Muatan Faktor Item Self-Efficacy No.Item Koefisien Standard Error Nilai t Signifikan

11 0.77 0.06 13.63 V

12 0.91 0.05 17.38 V

13 0.81 0.06 14.35 V

14 0.87 0.05 16.11 V

15 0.80 0.06 13.33 V

Keterangan : tanda V = signifikan (t>1.96), X = tidak signifikan

Tabel 3.10 menunjukkan bahwa tidak ada item yang memiliki nilai t < 1.96 dan

bermuatan faktor negatif. Selain itu, model fit yang diperoleh juga tidak

menunjukkan adanya item yang memiliki kesalahan pengukuran lebih dari sama

dengan tiga. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada item self-efficacy yang di-

drop.

49

3.7 Metode Analisis Data

Penelitian ini memiliki variabel independen sebanyak sembilan variabel dan satu

variabel dependen. Peneliti menggunakan teknik analisis regresi logistik berganda

untuk menguji hipotesis nihil penelitian ini. Dalam penelitian ini tidak bisa

dilakukan analisis regresi biasa dikarenakan variabel dependen yang digunakan

dalam penelitian ini merupakan data kategorik dikotomi, sedangkan dalam

analisis regresi biasa diasumsikan variabel tersebut adalah kontinum. Jika tetap

dilakukan analisis regresi biasa maka hasil menjadi palsu atau tidak valid. Itulah

sebabnya dalam penelitian ini, peneliti menggunakan regresi logistik berganda.

Penyelesaian ini menggunakan pendekatan persamaan nonlinear yaitu model

logistik dengan persamaan regresi logistik sebagai berikut:

Keterangan :

P(i) = probabilitas perilaku skrining kanker serviks

e = basis logaritma natural, yaitu mathematical constant sebesar 2.718

β = koefisien regresi

X1= perceived susceptibility

X2= perceived severity

X3= perceived benefits

X4= perceived barriers

X5= cues to action

X6= self-efficacy

X7= Usia

50

X8= Tingkat pendidikan

X9= Tingkat pendapatan

Koefisien regresi logistik secara sederhana menunjukkan perubahan pada

log odds dari suatu peristiwa yang dialami atau yang memiliki karakteristik dari

satu unit perubahan variabel independen. Koefisien ini memiliki penafsiran yang

sama persis dengan koefisien dalam regresi biasa hanya saja unit variabel

dependen dalam regresi logistik diwakili dengan log odds (Li) yang memiliki

satuan logit (Pampel, 2000).

Li =

Keterangan :

Li= logit dari perilaku skrining kanker serviks

Kesederhaan interpretasi dari koefisien regresi logistik seperti dijelaskan di atas

tidak memiliki matrik yang bermakna. Log odds (logit) merupakan persamaan

yang linear, namun ada beberapa informasi yang tidak bisa didapatkan dari logit.

Oleh karena itu, interpretasi akan dilanjutkan pada tingkat odds (Oi). Berikut

model persamaan odds dengan mengambil eksponen atau antilogaritma dari

koefisien regresi logistik :

=

Odds adalah rasio dari dua probabilitas. Dalam hal ini odds diartikan

sebagai rasio dari probabilitas perilaku pernah melakukan skrining kanker serviks

dibanding dengan probabilitas kejadian tidak pernah melakukan skrining kanker

serviks, sehingga dapat dituliskan rumus sebagai berikut :

51

Oi = odds perilaku skrining kanker serviks

Dalam regresi logistik nilai odds bisa disajikan dalam bentuk odds ratio

(OR), yaitu rasio dari dua odds. OR digunakan untuk melihat nilai dari naik atau

turunnya odds perilaku skrining kanker serviks tiap kenaikan satu unit variabel

independen. Dapat juga dikatakan bahwa OR menunjukkan sejauh mana

peningkatan ukuran variabel dependen dengan setiap perubahan yang dipengaruhi

oleh variabel independen. Selain itu, terdapat sebuah rumus sederhana di dalam

analisis regresi logistik yang menunjukkan odds ratio dapat ditafsirkan sebagai

persentase perubahan (percent change) dengan rumus:

% change = 100 (OR – 1)

Selanjutnya, penafsiran koefisien regresi logistik dilanjutkan ke tahap

probabilitas. Karena hubungan antara variabel dependen dan variabel independen

adalah nonlinear dan bukan penambahan, maka probabilitas tidak bisa

diinterpretasi secara penuh dengan koefisien tunggal. Probabilitas harus

diidentifikasi dengan nilai tertentu, yaitu dengan persamaan sederhana yang

menunjukkan predicted probability dalam odds sebagai berikut :

Penafsiran dalam perhitungan analisis regresi logistik melalui empat tahapan,

yaitu logit, odds, odds ratio, dan probabilitas. Dalam melakukan perhitungan

analisis regresi logistik, peneliti menggunakan bantuan software SPSS 20.

52

3.8 Prosedur Penelitian

1. Persiapan

Pada tahap awal, peneliti merumuskan masalah yang akan diteliti kemudian

mengadakan studi pustaka untuk melihat masalah tersebut dari sudut pandang

teori. Selain itu, peneliti juga melakukan studi pendahuluan di lapangan, guna

membuktikan adanya fenomena terkait masalah yang diangkat dalam

penelitian. Peneliti mengadakan studi pendahuluan di Rumah Sakit

Bhayangkara Sespima Polri dan Bintaro, Jakarta Selatan. Setelah mendapatkan

teori-teori secara lengkap, kemudian peneliti menyiapkan, membuat dan

menyusun alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan

menggunakan skala yang peneliti buat sendiri dengan konsep binary logistic

regression untuk mengukur variabel dependen. Sedangkan untuk skala Health

Belief Model merupakan modifikasi dari skala Champion (1985) dan National

Analysts (dalam Murray & McMillan, 1993) khusus terkait dengan perilaku

skrining kanker serviks berdasarkan enam komponen HBM dari Champion dan

Skinner (dalam Glanz et.al., 2008).

2. Pengambilan Sampel

Dalam penelitian ini sampel diambil dengan menggunakan convenience non

probability sampling yaitu teknik pemilihan partisipan penelitian berdasarkan

kemudahan perekrutan partisipan oleh peneliti (Howitt & Cramer, 2011).

Sampel dalam penelitian ini adalah wanita berusia 21-70 tahun yang sudah

menikah di kawasan Tangerang Selatan. Pengambilan data dilakukan dari

tanggal 8 Mei 2015 sampai 17 Juni 2015.

53

3. Penyebaran Data

Peneliti melaksanakan pengambilan data dengan cara menyebarkan kuesioner

skala kepada para responden sesuai dengan kriteria sampel yang telah

ditentukan, yaitu kepada wanita berusia 21-70 tahun yang sudah menikah di

kawasan Tangerang Selatan dengan mengunjungi puskesmas yang

menyediakan pelayanan skrining kanker serviks dan puskesmas terdekat serta

posyandu.

4. Pengolahan Data

Setelah melakukan penyebaran data atau kuesioner, peneliti melakukan scoring

terhadap hasil skala yang telah diisi oleh responden, menghitung dan mencatat

tabulasi data yang diperoleh, kemudian membuat tabel. Peneliti selanjutnya

melakukan analisis data. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis regresi

logistik binary dengan software SPSS 20.

54

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Pada bab ini peneliti membahas hasil penelitian yang telah dilakukan.

Pembahasan tersebut meliputi tiga bagian yaitu deskripsi subjek penelitian, hasil

analisis deskriptif dan hasil uji hipotesis penelitian.

4.1 Deskripsi Subjek Penelitian

Gambaran umum subjek pada penelitian ini diuraikan berdasarkan perilaku

pernah melakukan skrining kanker serviks atau tidak. Subjek penelitian ini

berjumlah 227 orang. Penjelasan mengenai subjek penelitian berdasarkan

gambaran perilaku dan gambaran demografis responden sebagaimana

digambarkan pada tabel 4.1 dan 4.2 berikut ini.

Tabel 4.1

Gambaran Perilaku Subjek Penelitian Sampel Penelitian Jumlah Persentase

Perilaku 227

Tidak Pernah Skrining 121 53,3%

Pernah Skrining 106 46,7%

Jenis Skrining 106

Tes IVA 1 0,4%

Tes pap smear 102 44,9%

Tes IVA & pap smear 3 1,3%

Frekuensi melakukan skrining 106

Satu kali 55 24,2%

Dua kali 18 7,9%

Tiga kali 20 8,8%

Empat kali 7 3,1%

Enam kali 2 0,9%

Delapan kali 1 0,4%

Sepuluh kali 3 1,3%

55

Berdasarkan tabel 4.1 terlihat bahwa dari 227 responden dalam penelitian

ini diketahui jumlah subjek penelitian yang tidak pernah melakukan skrining

kanker serviks lebih banyak dibandingkan dengan yang pernah melakukan

skrining kanker serviks yaitu sebanyak 121 orang atau 53,3%, sedangkan subjek

penelitian yang pernah melakukan skrining kanker serviks sebanyak 106 orang

atau 46,7%. Jenis skrining kanker serviks yang paling banyak dilakukan oleh

subjek penelitian adalah tes pap smear sebanyak 102 (44,9%) orang. Sedangkan

intensitas skrining kanker serviks yang paling banyak dilakukan oleh subjek

penelitian adalah satu kali, sebanyak 55 (24,2%) orang.

Subjek penelitian dalam penelitian ini juga dijelaskan berdasarkan data

demografis yaitu usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, pekerjaan, jumlah

anak dan status pernikahan.

Tabel 4.2

Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Data Demografis Sampel Penelitian Jumlah Persentase

Usia

21-40 135 59,5%

41-65 91 40,1%

66-70 1 0,4%

Tingkat Pendidikan

SD 11 4,8%

SMP 54 23,8%

SMA 130 57,3%

Diploma 18 7,9%

Sarjana 14 6,2%

Tingkat Pendapatan

<1.000.000 45 19,8%

1.000.000-2.730.000 94 41,4%

2.730.000-5.000.000 62 27,3%

>5.000.000 26 11,5%

Total 227 100%

UMK (Upah Minimum Kota/Kabupaten) Tangerang (2015) : Rp 2.730.000, Kep.Gub.Banten

Nomor: 561/Kep.506-Huk/2014 dalam Dewi (2015).

Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa usia responden yang mendominasi

pada penelitian ini adalah usia dewasa awal menurut teori Erikson yaitu usia

56

antara 21-40 tahun dengan persentase 59,5% atau sebanyak 135 orang. Tingkat

pendidikan responden paling banyak berasal dari SMA sebesar 57,3% atau 130

orang. Penghasilan per bulan responden lebih banyak pada Rp 1.000.000 -

2.730.000 dengan persentase 41,4% atau sebanyak 94 orang, dan diikuti tingkat

pendapatan Rp 2.730.000 – 5.000.000 sebesar 27,3% atau 62 orang.

Responden yang bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) memiliki

persentase terbesar 89% atau sebanyak 202 orang, kemudian diikuti pekerjaan

wiraswasta sebanyak 9 (4%) orang, karyawan swasta 5 (2,2%) orang, PNS 3

(1,3%) orang, dosen 2 (0,9%) orang, jurnalis, asisten apoteker, guru PAUD,

perawat, pensiunan dan bidan memiliki persentase sama sebesar 0,4% atau 1

orang. Responden yang berstatus menikah sebanyak 207 (91,2%) orang,

sedangkan sisanya berstatus janda sebesar 20 (8,8%) orang. Kebanyakan

responden memiliki jumlah anak dua orang sebanyak 100 (44,1%) orang

kemudian diikuti responden yang memiliki jumlah anak tiga orang sebanyak 50

(22%) orang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran.

4.2 Hasil Analisis Deskripsi

Pada tabel 4.3 dijelaskan hasil analisis deskriptif variabel-variabel penelitian yang

terdiri dari nilai mean, standar deviasi, nilai maksimum, nilai minimum, dan

varians. Berdasarkan tabel 4.3 diketahui deskripsi statistik pada variabel

penelitian yaitu variabel independen (selain variabel demografi dan variabel

dependen). Kolom min dan max menjelaskan nilai minimum dan maksimum pada

setiap variabel penelitian. Dilihat dari kolom minimum diketahui variabel

57

independen yang memiliki nilai terendah ialah perceived benefits sebesar tujuh.

Sedangkan berdasarkan kolom maksimum diketahui variabel independen yang

memiliki nilai tertinggi adalah perceived barriers sebesar 82. Berdasarkan kolom

variance, variabel independen penelitian yang paling heterogen ialah variabel

perceived barriers, disusul dengan variabel self-efficacy.

Tabel 4.3

Deskripsi Statistik dan Kategorisasi Skor Variabel Penelitian

Variabel N Min Max Mean S.D Variance Rendah

n (%)

Tinggi

n (%)

P.susceptibility 227 32 77 50 9.090 82.635 104 (45.81) 123 (54.18)

P.severity 227 16 65 50 8.944 79.997 149 (65.63) 78 (34.36)

P.benefits 227 7 65 50 9.152 83.761 137 (60.35) 90 (39.64)

P.barriers 227 29 82 50 9.364 87.693 137 (60.35) 90 (39.64)

Cues to action 227 20 69 50 8.991 80.842 137 (60.35) 90 (39.64)

Self-efficacy 227 23 71 50 9.252 85.607 148 (65.19) 79 (34.80)

Kategorisasi skor hanya untuk variabel independen, selain variabel demografi.

Dengan menggunakan standar deviasi dan mean dari skala T ini, maka ditetapkan

norma seperti yang tertera pada tabel 4.4 berikut.

Tabel 4.4

Norma Skor Variabel Norma Interpretasi

X < 49 Rendah

X ≥ 50 Tinggi

Dengan demikian, dari hasil sebaran pada dimensi-dimensi Health Belief Model,

dimensi yang paling banyak berada pada kategori tinggi adalah perceived

susceptibility. Sedangkan dimensi yang paling banyak pada kategori rendah ialah

perceived severity, perceived benefits, perceived barriers, cues to action, dan self

efficacy.

58

4.3 Hasil Uji Hipotesis Penelitian

Pada tahapan ini peneliti menguji hipotesis dengan teknik analisis regresi logistik

dengan bantuan software IBM SPSS 20. Dalam analisis regresi logistik ada tiga

hal yang perlu diperhatikan. Pertama, besaran R square untuk mengetahui berapa

persen varians variabel dependen yang dijelaskan oleh variabel independen.

Kedua, koefisien tiap variabel independen terhadap variabel dependen beserta

signifikansinya. Ketiga, proporsi varians masing-masing variabel independen

terhadap variabel dependen. Sebagaimana sudah dijelaskan di bab tiga bahwa

masing-masing koefisien variabel independen dapat ditafsirkan melalui empat

tingkat analisis, yaitu logit, odds, odds ratio, dan probabilitas.

Sebelum analisis regresi data penelitian, peneliti melakukan uji model fit

data, yakni apakah model yang ada sudah sesuai dengan data. Pengujian model ini

dengan model uji goodness-of-fit Hosmer-Lemeshow. Model dikatakan fit apabila

p > 0.05. Adapun hasil uji model data penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.5

berikut :

Tabel 4.5

Hosmer and Lemeshow Test

Step Chi-square df Sig.

1 13.199 8 .105

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa nilai chi-square sebesar 13.199 dengan p= 0.105

(>0.05), artinya model teori yang digunakan dalam penelitian fit dengan data.

Dengan demikian, ada pengaruh perceived susceptibility, perceived severity,

perceived benefits, perceived barriers, cues to action, self-efficacy, usia, tingkat

pendidikan dan tingkat pendapatan terhadap pernah tidaknya responden

melakukan skrining kanker serviks. Setelah pengujian model fit, peneliti melihat

59

besaran R square untuk mengetahui berapa persen varians variabel dependen

dijelaskan oleh seluruh variabel independen. Berikut dipaparkan besar R square

dalam tabel 4.6.

Tabel 4.6

R Square Step Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square

1 .417 .556

Peneliti menggunakan Nagelkerke R square untuk melihat nilai R square

karena Nagelkerke memiliki rentang nilai dari 0 sampai 1 sehingga

pengukurannya lebih reliabel dalam menjelaskan hubungan. Umumnya, nilai

Nagelkerke R square lebih tinggi dari pada Cox & Snell R square. Nagelkerke R

square lebih sering dijadikan acuan dalam pelaporan hasil analisis regresi logistik

karena nilainya yang mendekati 1. Meskipun demikian, hal ini bersifat

kontroversi, karena R square ini tidak dapat disamakan dengan R square dalam

regresi linear biasa. Dari tabel 4.6 dapat dilihat nilai Nagelkerke R square

penelitian ini sebesar 0.556 atau 55,6%. Artinya, proporsi varians logit perilaku

skrining kanker serviks yang dijelaskan oleh seluruh variabel independen yaitu

perceived susceptibility, perceived severity, perceived benefits, perceived barriers,

cues to action, self-efficacy, usia, tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan

adalah sebesar 55,6%, sedangkan 44,4% dipengaruhi oleh variabel independen

lain di luar penelitian ini.

Tahap selanjutnya adalah melihat besaran koefisien masing-masing

variabel independen. Adapun penyajiannya ditampilkan pada tabel 4.7.

60

Tabel 4.7

Koefisien Regresi Logistik B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95% C.I. for

EXP (B)

Lower Upper

P.Susceptibility .008 .022 .131 1 .718 1.008 .965 1.052

P.Severity -.001 .026 .001 1 .971 .999 .950 1.051

P.Benefits -.040 .027 2.290 1 .130 .960 .911 1.012

P.Barriers -.058 .024 5.762 1 .016 .944 .900 .989

Cues to action .079 .036 4.751 1 .029 1.082 1.008 1.162

Self-efficacy -.026 .033 .612 1 .434 .974 .912 1.040

Usia .141 .024 34.131 1 .000 1.151 1.098 1.206

T.Pendidikan 13.429 4 .009

T.Pendidikan(1) -3.284 1.405 5.466 1 .019 .037 .002 .588

T.Pendidikan(2) -2.321 .921 6.358 1 .012 .098 .016 .596

T.Pendidikan(3) -1.216 .798 2.323 1 .128 .296 .062 1.416

T.Pendidikan(4) .159 .942 .028 1 .866 1.172 .185 7.423

T.Pendapatan 24.433 3 .000

T.Pendapatan(1) -1.736 .746 5.424 1 .020 .176 .041 .760

T.Pendapatan(2) .173 .589 .086 1 .769 1.188 .375 3.770

T.Pendapatan(3) 1.601 .624 6.586 1 .010 4.960 1.460 16.853

Constant -2.664 2.167 1.512 1 .219 .070

*T.Pendidikan (pembanding) : Sarjana

*T.Pendapatan (pembanding) : > Rp 5.000.000

Tabel 4.7 menunjukkan bahwa terdapat lima variabel yang signifikan

memengaruhi perilaku skrining kanker serviks, yaitu perceived barriers, cues to

action, usia, tingkat pendidikan(1), tingkat pendidikan(2), tingkat pendapatan(1)

dan tingkat pendapatan(3). Variabel lainnya yaitu perceived susceptibility,

perceived severity, perceived benefits, dan self-efficacy tidak signifikan

memengaruhi perilaku skrining kanker serviks. Untuk mengetahui signifikan atau

tidaknya koefisien regresi yang dihasilkan, peneliti melihat nilai signifikansi pada

kolom keenam dari kiri. Jika sig < 0,05, maka koefisien regresi yang dihasilkan

signifikan pengaruhnya terhadap perilaku skrining kanker serviks dan sebaliknya.

Seperti yang telah dijelaskan di bab 3, dalam melakukan analisis regresi

logistik, penafsiran dilakukan melalui empat tahap, yaitu logit, odds, odds ratio,

dan probabilitas. Logit atau log odds merupakan log dari rasio dua probabilitas.

61

Odds adalah rasio dari dua probabilitas, sedangkan odds ratio adalah rasio dari

dua odds. Odds ratio dapat dijelaskan dalam bentuk persen perubahan odds ratio

(percent change), yaitu nilai perubahan pada odds ratio dalam persen. Kemudian,

probabilitas adalah besarnya peluang terjadinya perilaku.

Nilai B (kolom ke-2) adalah koefisien dalam skala logistik yang dapat

digunakan untuk membuat persamaan prediktif (sama dengan nilai b pada regresi

linear) dalam satuan logit. Sehingga didapatkan persamaan dari model regresi ini,

yaitu:

logit perilaku skrining kanker serviks = -2.664 + 0.008 perceived susceptibility

– 0.001 perceived severity – 0.040 perceived benefits – 0.058 perceived barriers*

+ 0.079 cues to action* – 0.026 self efficacy + 0.141 usia* – 3.284 tingkat

pendidikan(1)*– 2.321 tingkat pendidikan(2)* – 1.216 tingkat pendidikan(3)

+ 0.159 tingkat pendidikan(4) – 1.736 tingkat pendapatan(1)* + 0.173 tingkat

pendapatan(2) + 1.601 tingkat pendapatan(3)* (1)

(*signifikan)

Dari enam variabel psikologi dan tiga variabel demografi pada hipotesis minor

terdapat lima yang signifikan. Penjelasan dari nilai logit yang diperoleh pada

masing-masing variabel independen adalah sebagai berikut:

1. Variabel perceived susceptibility memiliki nilai koefisien sebesar 0.008 (sig =

0.718;>0.05), yang berarti bahwa variabel perceived susceptibility secara

positif tidak mempengaruhi logit perilaku skrining kanker serviks secara

signifikan.

62

2. Variabel perceived severity memiliki nilai koefisien sebesar -0.001 (sig =

0.971;>0.05), yang berarti bahwa variabel perceived severity secara negatif

tidak mempengaruhi logit perilaku skrining kanker serviks secara signifikan.

3. Variabel perceived benefits memiliki nilai koefisien sebesar -0.040 (sig =

0.130;>0.05), yang berarti bahwa variabel perceived benefits secara negatif

tidak mempengaruhi logit perilaku skrining kanker serviks secara signifikan.

4. Variabel perceived barriers memiliki nilai koefisien sebesar -0.058 (sig =

0.016;<0.05), yang berarti bahwa variabel perceived barriers secara negatif

mempengaruhi logit perilaku skrining kanker serviks secara signifikan. Jadi,

semakin tinggi perceived barriers seseorang, semakin rendah logit perilaku

skriningnya dan signifikan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa apabila

perceived barriers seseorang naik sebanyak satu unit, maka logit seseorang

untuk skrining turun sebanyak 0.058 kali.

5. Variabel cues to action memiliki nilai koefisien sebesar 0.079 (sig =

0.029;<0.05), yang berarti bahwa variabel cues to action secara positif

mempengaruhi logit perilaku skrining kanker serviks secara signifikan. Jadi,

semakin tinggi cues to action seseorang, semakin tinggi pula logit perilaku

skriningnya secara signifikan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa apabila

cues to action seseorang naik sebanyak satu unit, maka logit seseorang untuk

skrining naik sebanyak 0.079 kali.

6. Variabel self-efficacy memiliki nilai koefisien sebesar -0.026 (sig =

0.434;>0.05), yang berarti bahwa variabel self-efficacy secara negatif tidak

mempengaruhi logit perilaku skrining kanker serviks secara signifikan.

63

7. Variabel usia memiliki nilai koefisien sebesar 0.141 (sig = 0.000;<0.05), yang

berarti bahwa variabel usia secara positif mempengaruhi logit perilaku skrining

kanker serviks secara signifikan. Jadi, semakin tinggi usia seorang wanita,

semakin tinggi pula logit perilaku skriningnya dan signifikan. Dalam hal ini

dapat dikatakan bahwa apabila usia seorang wanita naik sebanyak satu unit,

maka logit untuk skrining naik sebanyak 0.141 kali.

8. Variabel tingkat pendidikan(1) atau SD memiliki nilai koefisien sebesar -3.284

(sig = 0.019;<0.05), yang berarti bahwa variabel tingkat pendidikan(1) atau SD

secara negatif mempengaruhi logit perilaku skrining kanker serviks secara

signifikan. Dapat pula diartikan bahwa logit perilaku skrining kanker serviks

pada wanita SD 3.284 kali lebih rendah dibandingkan sarjana. Dengan kalimat

sederhana, saat wanita lulusan SD dibandingkan dengan sarjana, sarjanalah

yang memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk melakukan skrining kanker

serviks.

9. Variabel tingkat pendidikan(2) atau SMP memiliki nilai koefisien sebesar –

2.321 (sig = 0.012;<0.05), yang berarti bahwa variabel tingkat pendidikan(2)

atau SMP secara negatif mempengaruhi logit perilaku skrining kanker serviks

secara signifikan. Dapat pula diartikan bahwa logit perilaku skrining kanker

serviks pada wanita SMP 2.321 kali lebih rendah dibandingkan sarjana.

Dengan kalimat sederhana, saat wanita lulusan SMP dibandingkan dengan

sarjana, sarjanalah yang memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk melakukan

skrining kanker serviks.

64

10. Variabel tingkat pendidikan(3) atau SMA memiliki nilai koefisien sebesar –

1.216 (sig = 0.128;>0.05), yang berarti bahwa variabel tingkat pendidikan(3)

atau SMA secara negatif tidak mempengaruhi logit perilaku skrining kanker

serviks secara signifikan.

11. Variabel tingkat pendidikan(4) atau diploma memiliki nilai koefisien sebesar

0.159 (sig = 0.866;>0.05), yang berarti bahwa variabel tingkat pendidikan(4)

atau diploma secara positif tidak mempengaruhi logit perilaku skrining kanker

serviks secara signifikan.

12. Variabel tingkat pendapatan(1) atau <Rp1.000.000 memiliki nilai koefisien

sebesar –1.736 (sig = 0.020;<0.05), yang berarti bahwa variabel tingkat

pendapatan atau <Rp1.000.000 secara negatif mempengaruhi logit perilaku

skrining kanker serviks secara signifikan. Dapat pula diartikan bahwa logit

perilaku skrining kanker serviks pada wanita dengan pendapatan <Rp1.000.000

adalah 1.736 kali lebih rendah dibandingkan wanita dengan pendapatan

>Rp5.000.000. Dengan kalimat sederhana, saat wanita dengan pendapatan

<Rp1.000.000 dibandingkan dengan wanita dengan pendapatan >Rp5.000.000,

wanita dengan pendapatan >Rp5.000.000 lah yang memiliki kecenderungan

lebih tinggi untuk melakukan skrining kanker serviks.

13. Variabel tingkat pendapatan(2) atau Rp1.000.000-2.730.000 memiliki nilai

koefisien sebesar 0.173 (sig = 0.769;>0.05), yang berarti bahwa variabel

tingkat pendapatan(2) atau Rp1.000.000-2.730.000 secara positif tidak

mempengaruhi logit perilaku skrining kanker serviks secara signifikan.

65

14. Variabel tingkat pendapatan(3) atau Rp2.730.000-5.000.000 memiliki nilai

koefisien sebesar 1.601 (sig = 0.010;<0.05), yang berarti bahwa variabel

tingkat pendapatan(3) atau Rp2.730.000-5.000.000 secara positif

mempengaruhi logit perilaku skrining kanker serviks secara signifikan. Dapat

pula diartikan bahwa logit perilaku skrining kanker serviks pada wanita dengan

pendapatan Rp2.730.000-5.000.000 adalah 1.601 kali lebih tinggi

dibandingkan wanita dengan pendapatan >Rp5.000.000. Dengan kalimat

sederhana, saat wanita dengan pendapatan Rp2.730.000-5.000.000

dibandingkan dengan wanita dengan pendapatan >Rp5.000.000, wanita dengan

pendapatan Rp2.730.000-5.000.000 lah yang memiliki kecenderungan lebih

tinggi untuk melakukan skrining kanker serviks.

Kesederhanaan interpretasi koefisien regresi logistik dengan logit seperti

dijelaskan di atas tidak memiliki metrik yang bermakna. Log odds (logit)

merupakan persamaan yang linear, namun ada beberapa informasi yang tidak bisa

didapatkan dari logit. Oleh karena itu, interpretasi akan dilanjutkan pada tingkat

odds (Oi).

=

Keterangan : Oi = odds perilaku skrining kanker serviks

Dari persamaan di atas peneliti dapat menghitung nilai odds dari

keseluruhan variabel independen. Untuk lebih jelasnya, peneliti memberikan

sebuah contoh dari logit perilaku skrining kanker serviks dari seorang wanita.

Contoh 1: Jika diketahui seorang wanita berusia 38 tahun, pendidikan terakhir

diploma, penghasilan per bulan Rp 2.730.000-5.000.000, memiliki nilai perceived

66

susceptibility 49, nilai perceived severity 60, nilai perceived benefits 48, nilai

perceived barriers 55, nilai cues to action 50, dan nilai self-efficacy 48, maka nilai

odds yang dihasilkan adalah :

𝑖= ex (2)

Karena persamaan yang terbentuk terlalu panjang maka peneliti menyingkatnya

menjadi seperti pada persamaan (2), dimana x adalah -2.664 + 0.008(49) –

0.001(60) – 0.040(48) – 0.058(55) + 0.079(50) – 0.026(48) + 0.141(38) +

0.159(4) + 1.601(3). Sehingga didapat 𝑖 = e6.057

= 427.09.

Odds sebesar 427.09, artinya seorang wanita dengan kriteria yang

disebutkan di atas memiliki peluang 427.09 kali untuk melakukan skrining kanker

serviks dibanding tidak melakukan skrining. Interpretasi dengan angka yang besar

pada odds dapat terjadi, karena rentang nilai odds ialah dari 0 sampai +∞.

Interpretasi lebih mudah dimengerti jika dalam bentuk probabilitas yang rentang

nilainya dari 0 sampai 1.

Selanjutnya, interpretasi koefisien regresi dilanjutkan dalam bentuk odds

ratio atau persentase perubahan. Odds ratio (OR) adalah perbandingan satu odds

dengan odds yang lain. Adapaun rumus OR seperi persamaan di bawah ini :

Odds ratio =

(3)

OR digunakan untuk melihat nilai dari naik atau turunnya odds perilaku

skrining kanker serviks tiap kenaikan satu unit variabel independen. Dapat juga

dikatakan bahwa OR menunjukkan sejauh mana peningkatan ukuran variabel

dependen dengan setiap perubahan yang dipengaruhi oleh variabel independen.

Nilai OR disajikan pada kolom Exp (B) pada tabel 4.8 (kolom ke-7). Selain itu,

67

terdapat sebuah rumus sederhana di dalam analisis regresi logistik yang

menunjukkan odds ratio dapat ditafsirkan sebagai persentase perubahan (percent

change) dengan rumus:

% change = 100(OR – 1) (4)

Untuk lebih jelasnya peneliti memberikan penjabaran mengenai beberapa

contoh OR dari setiap variabel dan persentase perubahannya sehingga

mendapatkan hasil yang sesuai dengan tabel 4.8 sebagai berikut:

1. Variabel perceived susceptibility :

=

=

= 1.008. Nilai

persentase perubahannya adalah 100(1.008 – 1) = 0.8. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa odds terjadinya perilaku skrining kanker serviks pada wanita

yang memiliki nilai perceived susceptibility 40 adalah 0.8 kali atau 0.8% lebih

besar dibandingkan terjadinya perilaku skrining kanker serviks pada wanita

yang memiliki nilai perceived susceptibility 39. Hal ini menunjukkan bahwa

setiap kenaikan satu unit perceived susceptibility dan variabel lain dianggap

konstan, peluang wanita untuk skrining kanker serviks akan naik sebanyak 0.8

kali atau sebesar 0.8%.

2. Variabel perceived severity :

=

=

= 0.999. Nilai

persentase perubahannya adalah 100(0.999 – 1) = 0.1. Dengan demikian

dapat dikatakan bahwa odds terjadinya perilaku skrining kanker serviks pada

wanita yang memiliki nilai perceived severity 1 adalah 0.1 kali atau 0.1%

lebih kecil dibandingkan terjadinya perilaku skrining kanker serviks pada

wanita yang memiliki nilai perceived severity 0. Hal ini menunjukkan bahwa

setiap kenaikan satu unit perceived severity dan variabel lain dianggap konstan,

68

peluang wanita untuk skrining kanker serviks akan turun sebanyak 0.1 kali atau

sebesar 0.1%.

3. Variabel perceived benefits :

=

=

= 0.960. Nilai

persentase perubahannya adalah 100(0.960 – 1) = 4. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa odds terjadinya perilaku skrining kanker serviks pada wanita

yang memiliki nilai perceived benefits 48 adalah 4 kali atau 4% lebih kecil

dibandingkan terjadinya perilaku skrining kanker serviks pada wanita yang

memiliki nilai perceived benefits 47. Hal ini menunjukkan bahwa setiap

kenaikan satu unit perceived benefits dan variabel lain dianggap konstan,

peluang wanita untuk skrining kanker serviks akan turun sebanyak 4 kali atau

sebesar 4%.

4. Variabel perceived barriers :

=

=

= 0.944. Nilai

persentase perubahannya adalah 100(0.944 – 1) = –5.6. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa odds terjadinya perilaku skrining kanker serviks pada wanita

yang memiliki nilai perceived barriers 58 adalah –5.6 kali atau 5.6% lebih

kecil dibandingkan terjadinya perilaku skrining kanker serviks pada wanita

yang memiliki nilai perceived barriers 57. Hal ini menunjukkan bahwa setiap

kenaikan satu unit perceived barriers dan variabel lain dianggap konstan,

peluang wanita untuk skrining kanker serviks akan turun sebanyak 5.6 kali atau

sebesar 5.6%.

5. Variabel cues to action :

=

=

= 1.082. Nilai persentase

perubahannya adalah 100(1.082 – 1) = 8.2. Dengan demikian dapat dikatakan

69

bahwa odds terjadinya perilaku skrining kanker serviks pada wanita yang

memiliki nilai cues to action 48 adalah 8.2 kali atau 8.2% lebih besar

dibandingkan terjadinya perilaku skrining kanker serviks pada wanita yang

memiliki nilai cues to action 47. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan

satu unit cues to action dan variabel lain dianggap konstan, peluang wanita

untuk skrining kanker serviks akan naik sebanyak 8.2 kali atau sebesar 8.2%.

6. Variabel self-efficacy :

=

=

= 0.974. Nilai persentase

perubahannya adalah 100(0.974 – 1) = –2.6. Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa odds terjadinya perilaku skrining kanker serviks pada wanita yang

memiliki nilai self-efficacy 57 adalah –2.6 kali atau 2.6% lebih kecil

dibandingkan terjadinya perilaku skrining kanker serviks pada wanita yang

memiliki nilai self-efficacy 56. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan

satu unit self-efficacy dan variabel lain dianggap konstan, peluang wanita untuk

skrining kanker serviks akan turun sebanyak 2.6 kali atau sebesar 2.6%.

7. Variabel usia :

=

=

= 1.151. Nilai persentase

perubahannya adalah 100(1.151 – 1) = 15.1. Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa odds terjadinya perilaku skrining kanker serviks pada wanita yang

berusia 47 adalah 15.1 kali atau 15.1% lebih besar dibandingkan terjadinya

perilaku skrining kanker serviks pada wanita yang berusia 46. Hal ini

menunjukkan bahwa setiap kenaikan satu unit usia dan variabel lain dianggap

konstan, peluang wanita untuk skrining kanker serviks akan naik sebanyak 15.1

kali atau sebesar 15.1%.

70

Dalam hal ini odds adalah rasio dari probabilitas, sehingga penafsiran

dapat dilakukan dalam level probabilitas. Penafsiran dalam taraf probabilitas juga

memiliki keuntungan di mana hasilnya akan lebih mudah untuk dipahami.

Probabilitas dapat menunjukkan peluang terjadinya perilaku melakukan skrining

kanker serviks dibandingkan terjadinya perilaku tidak melakukan skrining kanker

serviks dengan persamaan:

probabilitas perilaku skrining kanker serviks =

(5)

Dari persamaan di atas, peneliti dapat menghitung peluang terjadinya

perilaku skrining kanker serviks pada wanita dilihat dari nilai keseluruhan

variabel independen seperti pada contoh 1 dan persamaan 2, sehingga didapatkan

hasil sebagai berikut:

probabilitas perilaku skrining kanker serviks =

= 0.997

Artinya, peluang wanita yang berusia 38 tahun dengan pendidikan terakhir

diploma dan penghasilan per bulan Rp 2.730.000-5.000.000, memiliki nilai

perceived susceptibility 49, perceived severity 60, perceived benefits 48, perceived

barriers 55, cues to action 50, dan self-efficacy 48 untuk melakukan skrining

kanker serviks adalah 0.997 atau 99,7%. Nilai 99,7% ini disebut juga nilai

predicted probability.

4.3.1 Proporsi Varians Masing-masing Variabel Independen

Pengujian pada tahapan ini bertujuan untuk melihat berapa besar proporsi varians

dari logit perilaku skrining kanker serviks yang bisa dijelaskan oleh masing-

masing variabel independen yaitu perceived susceptibility, perceived severity,

71

perceived benefits, perceived barriers, cues to action, self-efficacy, usia, tingkat

pendidikan, dan tingkat pendapatan seperti yang dapat dilihat pada tabel 4.8.

Tabel 4.8

Proporsi Varians Masing-masing Variabel Independen Variabel Independen Nagelkerke R Square R square changes

X1 0.031 0.031

X1.2 0.031 0

X1.2.3 0.057 0.026

X1.2.3.4 0.176 0.119

X1.2.3.4.5 0.201 0.025

X1.2.3.4.5.6 0.201 0

X1.2.3.4.5.6.7 0.338 0.137

X1.2.3.4.5.6.7.8 0.443 0.105

X1.2.3.4.5.6.7.8.9 0.556 0.113

Total 0.556

Keterangan :

X1= perceived susceptibility

X2= perceived severity

X3= perceived benefits

X4= perceived barriers

X5= cues to action

X6= self-efficacy

X7= Usia

X8= Tingkat pendidikan

X9= Tingkat pendapatan

Tabel 4.8 memberikan informasi mengenai besar proporsi sumbangan masing-

masing variabel independen sebagaimana berikut :

1. Variabel perceived susceptibility memberikan sumbangan sebesar 0.031 atau

3.1% dalam varians logit perilaku skrining kanker serviks.

72

2. Variabel perceived severity memberikan sumbangan sebesar 0% dalam varians

logit perilaku skrining kanker serviks.

3. Variabel perceived benefits memberikan sumbangan sebesar 0.026 atau 2.6%

dalam varians logit perilaku skrining kanker serviks.

4. Variabel perceived barriers memberikan sumbangan sebesar 0.119 atau 11.9%

dalam varians logit perilaku skrining kanker serviks.

5. Variabel cues to action memberikan sumbangan sebesar 0.025 atau 2.5%

dalam varians logit perilaku skrining kanker serviks.

6. Variabel self-efficacy memberikan sumbangan sebesar 0% dalam varians logit

perilaku skrining kanker serviks.

7. Variabel usia memberikan sumbangan sebesar 0.137 atau 13.7% dalam varians

logit perilaku skrining kanker serviks.

8. Variabel tingkat pendidikan memberikan sumbangan sebesar 0.105 atau 10.5%

dalam varians logit perilaku skrining kanker serviks.

9. Variabel tingkat pendapatan memberikan sumbangan sebesar 0.113 atau 11.3%

dalam varians logit perilaku skrining kanker serviks.

Dari kesembilan variabel independen yang diprediksi memengaruhi perilaku

skrining kanker serviks, terdapat tujuh variabel yang menyumbang dalam

memprediksi perilaku skrining kanker serviks, dari mulai yang memiliki nilai

sumbangan terbesar hingga terkecil, yaitu usia sebesar 13.7%, perceived barriers

sebesar 11.9%, tingkat pendapatan sebesar 11.3%, tingkat pendidikan sebesar

10.5%, perceived susceptibility sebesar 3.1%, perceived benefits sebesar 2.6%,

dan cues to action sebesar 2.5%. Sedangkan dua variabel independen lainnya

73

tidak memberikan sumbangan sama sekali terhadap logit perilaku skrining kanker

serviks, yaitu perceived severity dan self-efficacy.

74

BAB 5

KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

Pada bab ini, peneliti memaparkan kesimpulan penelitian, diskusi penelitian, serta

saran metodologis maupun praktis untuk penelitian selanjutnya.

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data penelitian, kesimpulan yang dapat diambil adalah

hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa ada pengaruh Health Belief Model

dan faktor demografis terhadap perilaku skrining kanker serviks diterima. Dari

sembilan variabel yang diduga mempengaruhi perilaku skrining kanker serviks

pada wanita di Tangerang Selatan, ditemukan lima variabel yang signifikan, yaitu

perceived barriers, cues to action, usia, tingkat pendidikan(1), tingkat

pendidikan(2), tingkat pendapatan(1) dan tingkat pendapatan(3).

5.2 Diskusi

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam kasus perilaku skrining kanker

serviks pada wanita di Tangerang Selatan, keyakinan wanita terhadap kerentanan

dan keseriusan dari suatu penyakit, keyakinan wanita akan manfaat dari tindakan

yang disarankan, serta keyakinan wanita akan kemampuannya untuk melakukan

skrining kanker serviks tidaklah menjadi penggerak utama seorang wanita

berperilaku skrining kanker serviks. Yang menjadi penggerak utama dan terbukti

menurut penelitian ini adalah keyakinan wanita terhadap hambatan dalam

75

melakukan tindakan kesehatan (perceived barriers), strategi yang dilakukan guna

mengaktifkan kesiapan berperilaku (cues to action), usia, tingkat pendidikan dan

tingkat pendapatan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku skrining

kanker serviks pada wanita di Tangerang Selatan terbukti signifikan dipengaruhi

oleh perceived barriers, cues to action, usia, tingkat pendidikan, dan tingkat

pendapatan.

Variabel perceived barriers (keyakinan akan hambatan saat individu

bertindak sesuai dengan yang dianjurkan) merupakan variabel kedua terbesar yang

memberikan kontribusi pada logit perilaku skrining kanker serviks dan signifikan.

Variabel ini memiliki nilai koefisien negatif dalam skala logistik, artinya semakin

tinggi perceived barriers pada wanita, maka semakin rendah perilaku skrining

kanker serviksnya. Pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Murray dan McMillan (1993) bahwa perceived barriers atau keyakinan akan

hambatan untuk pemeliharaan kesehatan diidentifikasi sebagai prediktor yang

paling penting dari kehadiran untuk skrining serviks. Wanita yang keyakinan akan

hambatannya sedikit yang lebih mungkin untuk hadir. Hill et al. (1985) dalam

Murray dan McMillan (1993) juga menemukan bahwa keyakinan akan hambatan

merupakan yang paling penting dalam health belief yang memprediksi kehadiran

untuk skrining serviks. Item barrier yang diketahui memiliki korelasi negatif

tertinggi dengan kehadiran skrining serviks adalah rasa malu, ketidaknyamanan

dan biaya dokter. Malu adalah prediktor kuat dari skrining dari pada keyakinan

akan kerentanan dan manfaat dari deteksi dini (Richardson et al., 1987 dalam

Austin, Ahmad, McNally, & Stewart, 2002).

76

Penelitian Norman dan Fitter (1989) dalam Ogden (2007) mengenai

perilaku skrining kesehatan menemukan bahwa perceived barriers adalah

prediktor terbesar untuk kehadiran ke klinik. Review studi HBM yang dilakukan

antara tahun 1974 dan 1984 (Becker, 1974; Janz & Becker, 1984 dalam Glanz et

al., 2008), ditemukan bahwa perceived barriers adalah prediktor tunggal paling

kuat di semua studi dan perilaku. Sarafino dan Smith (2011) menyatakan

keyakinan akan risiko (kerentanan) dan keyakinan akan hambatan (perceived

barriers) muncul menjadi elemen penting dalam memprediksi perilaku kesehatan,

namun hambatan yang kuat dapat memiliki pengaruh lebih besar daripada

keyakinan akan risiko.

Data yang peneliti temukan pada studi pendahuluan, diketahui dari 15

orang wanita yang diwawancara menyatakan bahwa hambatan mereka dalam

melakukan skrining kanker serviks yaitu rasa malu, rasa takut sakit, risih, tabu,

biaya untuk skrining, jarak tempuh menuju puskesmas atau klinik yang jauh, tidak

adanya uang transport, dan tidak adanya fasilitas yang menyediakan tes skrining

di klinik sekitar rumahnya yang menyebabkan mereka enggan untuk melakukan

skrining kanker serviks. Sedangkan dari hasil wawancara dengan dua bidan di

puskesmas yang berbeda, diketahui bahwa hambatan wanita di Tangerang Selatan

untuk melakukan skrining kanker serviks adalah karena malu, tabu, sibuk, atau

karena petugas yang terlatih untuk melakukan tes skrining tidak ada karena ada

pekerjaan lain. Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dengan Dinas Kesehatan

Tangerang Selatan, didapatkan informasi bahwa program skrining kanker serviks

di Tangerang Selatan telah tersedia di 11 puskesmas dari 25 puskesmas. Jadi,

77

belum semua puskesmas di Tangerang Selatan mempunyai fasilitas dan tenaga

ahli untuk pelayanan skrining kanker serviks.

Cues to action signifikan memprediksi perilaku skrining kanker serviks

dan memiliki pengaruh positif terhadap perilaku skrining kanker serviks, artinya

semakin tinggi cues to action atau strategi-strategi yang dilakukan guna

mengaktifkan kesiapan berperilaku pada wanita, maka semakin tinggi pula

perilaku skrining kanker serviksnya. Penelitian sebelumnya telah mendukung

peran cues to action dalam memprediksi perilaku kesehatan, berupa isyarat

eksternal tertentu seperti perolehan informasi. Faktanya, promosi kesehatan yang

menggunakan informasi tersebut bertujuan untuk mengubah keyakinan dan

akibatnya mempromosikan perilaku sehat di masa depan. Informasi dalam bentuk

peringatan yang membangkitkan rasa takut dapat mengubah sikap dan perilaku

kesehatan di berbagai bidang seperti kesehatan gigi, berkendara yang aman dan

merokok (Sutton, 1982; Sutton & Hallett, 1989 dalam Ogden, 2007).

Penelitian lain juga telah mendukung peran cues to action, misalnya,

individu lebih mungkin untuk melakukan Breast Self Examination (BSE) dan

jalan cepat jika mereka menerima pengingat dari eksternal, seperti saran dari

dokter dan membaca informasi kesehatan dari leaflet (Craun & Deffenbacher,

1987; Prestwich, Perugini & Hurling dalam Sarafino & Smith, 2011). Ada

kesesuaian yang peneliti temukan antara studi pendahuluan, hasil wawancara

dengan bidan di puskesmas, dan teori dari Glanz et al. (2008), bahwa cues to

action berpengaruh positif terhadap perilaku skrining kanker serviks secara

signifikan karena ia berfungsi sebagai trigger (pemicu) melalui pemberian

78

informasi dari tenaga medis (dokter, bidan, atau petugas puskesmas) serta kader

dan melalui publikasi media (brosur, majalah, koran, atau televisi) sehingga orang

tergugah sadar dan mau berperilaku skrining kanker serviks.

Variabel usia memiliki sumbangan atau pengaruh terbesar terhadap logit

perilaku skrining kanker serviks secara positif. Artinya semakin bertambah usia

seorang wanita, maka semakin tinggi logit perilaku skriningnya dan signifikan.

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Murray dan McMillan (1993) yang

menyatakan bahwa usia merupakan prediktor demografis yang menunjukkan

bahwa kehadiran untuk tes pap smear lebih sering dilakukan oleh wanita dengan

usia yang lebih tua. Hasil penelitian Damiani et al. (2012) menyatakan usia

berkorelasi positif dengan pengambilan tes pap smear tetapi berkorelasi negatif

dengan penggunaan mammografi. Berdasarkan wawancara dengan responden,

wanita yang berusia muda menyatakan bahwa mereka belum melakukan skrining

kanker serviks karena waktu dan pikiran yang mereka miliki lebih diutamakan

untuk suami dan anak dibandingkan diri mereka sendiri. Sedangkan menurut hasil

wawancara dengan bidan di puskesmas, alasan yang diberikan wanita yang belum

melakukan skrining karena sibuk dengan pekerjaan.

Variabel berikutnya yaitu tingkat pendidikan, ada dua tingkat pendidikan

yang signifikan mempengaruhi perilaku skrining kanker serviks dengan tingkat

pendidikan sarjana sebagai pembanding. Responden dengan tingkat pendidikan

sarjana memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk melakukan skrining kanker

serviks dibandingkan responden dengan tingkat pendidikan SD dan SMP. Hasil

79

penelitian ini membuktikan bahwa tingkat pendidikan yang semakin tinggi

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku skrining kanker serviks.

Sesuai dengan hasil penelitian Reis et al. (2012) yang menyatakan bahwa

pendidikan menjadi suatu hal penting saat mempelajari hubungan antara

keyakinan kesehatan pada wanita dan karakteristik demografisnya. Keyakinan

wanita terhadap skrining kanker serviks dipengaruhi oleh tingkat pendidikan.

Ketika tingkat pendidikan naik, wanita menjadi lebih yakin pada kenyataan bahwa

aplikasi kesehatan secara teratur dan melakukan pap smear merupakan suatu

perlindungan terhadap kanker serviks dan hambatan mereka untuk pap smear

menurun. Selain itu, sebagian besar health belief pada wanita dipengaruhi oleh

tingkat pendidikan mereka dan wanita dengan tingkat pendidikan yang rendah

memiliki health belief negatif terhadap skrining kanker serviks. Hasil ini

menunjukkan betapa pentingnya pendidikan dalam membuat wanita memiliki

health belief dan perilaku yang positif.

Hasil studi Hacihasanoglu dan Gozum (2008) dalam Reis et al. (2012)

menunjukkan bahwa pendidikan adalah cara efektif dalam hal meningkatkan

persepsi yang akurat dan mengarah ke perilaku kesehatan yang positif. Terdapat

kesesuaian antara penelitian ini dan penelitian terdahulu. Salah satu hambatan

wanita di Tangerang Selatan untuk melakukan skrining kanker serviks adalah

karena berhubungan dengan tingkat pendidikannya. Berdasarkan hasil wawancara

dengan dua bidan di puskesmas yang berbeda, wanita yang tinggal di pinggiran

kota belum tahu mengenai pentingnya tes IVA, mereka masih belum memahami

fungsi dan manfaat tes IVA. Wanita yang sudah tahu pun masih kurang

80

kesadarannya untuk memeriksakan diri dengan skrining kanker serviks. Hal ini

berhubungan dengan faktor pendidikan masyarakat di pinggiran kota yang tingkat

pendidikannya masih rendah, misalnya masih banyak yang lulusan SMA. Selain

itu, puskesmas juga melihat dari status pekerjaan suami, karena tingkat prostitusi

di pinggiran kota masih tinggi. Pengkajian untuk pencegahan kanker serviks di

puskesmas dilakukan dengan melihat status pekerjaan suaminya, misal suaminya

bekerja sebagai supir, kuli bangunan, atau pelayar yang jarang pulang ke rumah,

karena wanita yang hasil skriningnya positif biasanya karena ada masalah pada

hubungan suami istrinya.

Variabel tingkat pendapatan dengan pembandingnya adalah tingkat

pendapatan >Rp5.000.000 signifikan mempengaruhi perilaku skrining kanker

serviks. Responden dengan tingkat pendapatan >Rp5.000.000 memiliki

kecenderungan lebih tinggi untuk melakukan skrining kanker serviks

dibandingkan responden dengan tingkat pendapatan <Rp1.000.000. Sedangkan

responden dengan tingkat pendapatan Rp2.730.000-5.000.000 cenderung lebih

tinggi melakukan skrining kanker serviks dibandingkan responden dengan tingkat

pendapatan >Rp5.000.000. Peneliti berasumsi bahwa wanita dengan pendapatan

Rp2.730.000-5.000.000 cenderung lebih tinggi untuk melakukan skrining kanker

serviks dibandingkan wanita dengan pendapatan >Rp5.000.000 karena

pendapatan Rp2.730.000-5.000.000 sudah termasuk golongan pendapatan di atas

Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) Tangerang, sehingga wanita ini mampu

untuk melakukan skrining kanker serviks.

81

Temuan ini konsisten dengan hasil penelitian internasional lainnya (Lorant

et al., 2002; Moser, Patnick, & Beral, 2009; Couture et al., 2008; Duport &

Ancelle-Park, 2006 dalam Damiani, 2012) yang melaporkan bahwa wanita

dengan status sosial ekonomi rendah, kecil kemungkinannya untuk menjalani

skrining kanker. Penelitian lain menunjukkan bahwa pendapatan keluarga

mempengaruhi partisipasi untuk mammogram dan pap smear, dimana wanita dari

keluarga dengan penghasilan rendah, kecil kemungkinannya untuk berpartisipasi

dibandingkan dari keluarga berpenghasilan tinggi (Moser et al., 2009; Coughlin et

al., 2006; Katz & Hofer, 1994; Kim & Jang, 2008; Selvin & Brett, 2003 dalam

Park et al., 2011).

Variabel perceived susceptibility (keyakinan terhadap kerentanan

terjangkit suatu kondisi atau penyakit), tidak signifikan memprediksi perilaku

skrining kanker serviks pada wanita di Tangerang Selatan. Peneliti berasumsi

berdasarkan hasil wawancara dengan dinas kesehatan dan puskesmas di

Tangerang Selatan bahwa tidak signifikannya perceived susceptibility pada wanita

di Tangerang Selatan karena berkaitan dengan pengetahuan mereka mengenai

pentingnya skrining kanker serviks yang sangat rendah. Partisipasi wanita di

Tangerang Selatan untuk skrining masih sedikit karena masyarakat belum tahu

banyak mengenai skrining serviks dengan tes IVA atau tes pap smear, sehingga

mereka tidak memahami betul mengenai risiko kemungkinan terkena kanker

serviks jika tidak skrining.

Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Reis et al. (2012) yang

menyatakan bahwa wanita memiliki perceived susceptibility rendah. Menurut

82

temuan ini, wanita berpikir bahwa mereka mungkin tidak terkena kanker serviks

di masa depan atau di waktu lainnya dalam kehidupan mereka. Hasil penelitian

lain yang dilakukan oleh Esin, Bulduk, dan Ardic (2011) menyebutkan bahwa

penyebab tidak signifikannya variabel perceived susceptibility karena sebagian

besar wanita meyakini bahwa mereka tidak berisiko terkena kanker serviks.

Sarafino dan Smith (2011) menyatakan bahwa perceived susceptibility terjadi saat

seseorang mengevaluasi kemungkinan terjadi pengembangan masalahnya.

Semakin besar risiko yang ia persepsikan, semakin besar pula ia merasa terancam

dan mengambil tindakan.

Variabel selanjutnya yaitu perceived severity (keyakinan akan keseriusan

suatu penyakit dan akibatnya) memberikan pengaruh tidak signifikan terhadap

perilaku skrining kanker serviks. Berdasarkan studi pendahuluan ditemukan

bahwa dari 15 wanita yang diwawancara, terdapat sembilan orang yang

menyatakan bahwa teman-teman mereka yang tidak mau skrining kanker serviks

disebabkan karena tidak ingin mengetahui hasil tes skriningnya, mereka takut

hasil tesnya positif. Peneliti juga mendapatkan informasi dari hasil wawancara

dengan bidan di puskesmas bahwa alasan kuat yang membuat wanita di

Tangerang Selatan tidak mau melakukan skrining karena mereka takut hasilnya

positif ada kanker dan membuat beban bagi pikiran mereka, sehingga mereka

lebih memilih untuk tidak skrining. Selain itu, kesadaran wanita di Tangerang

Selatan untuk melakukan skrining masih rendah. Hal ini disebabkan karena

pemahaman mereka yang rendah akan pentingnya skrining, meskipun wanita telah

mengetahui tentang pentingnya skrining dari penyuluhan yang disampaikan

83

petugas puskesmas tetapi kesadaran untuk memeriksakan diri dengan skrining

masih kurang.

Serupa dengan yang ditemukan oleh Esin et al. (2011) yang membuktikan

bahwa perceived severity tidak signifikan memengaruhi perilaku skrining kanker

serviks pada wanita di Turki karena sebagian besar wanita Turki berpikir bahwa

kanker serviks tidak separah atau seserius jenis kanker lainnya. Sedangkan dalam

penelitian Reis et al. (2012), wanita memiliki perceived severity rendah karena

mereka tidak meyakini bahwa kanker serviks dapat mengakibatkan efek negatif

dan dapat mempengaruhi kehidupan dan hubungan mereka. Sarafino dan Smith

(2011) menyatakan bahwa semakin serius keyakinan seseorang terhadap dampak

suatu penyakit, semakin besar kemungkinan orang tersebut untuk menganggapnya

sebagai ancaman dan mengambil tindakan pencegahan. Sedangkan menurut

penelitian lain menyatakan bahwa prediktor terlemah adalah perceived severity

(Tanner-Smith & Brown, 2010; Janz et al., 2002 dalam Moore, 2011). Keyakinan

akan keparahan atau perceived severity telah terbukti memiliki korelasi kecil

dengan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan. Salah satu penjelasan

potensial untuk korelasi yang lemah dengan perilaku karena persepsi keparahan

hanya memengaruhi motivasi ketika keparahan melebihi batas tertentu (Abraham

& Sheeran, 2000 dalam Moore, 2011).

Variabel perceived benefits (keyakinan akan manfaat dari tindakan yang

disarankan) tidak signifikan mempengaruhi perilaku skrining kanker serviks.

Hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan Dinas Kesehatan Tangerang

Selatan diketahui bahwa masih banyak wanita di Tangerang Selatan yang

84

memiliki keyakinan rendah akan efek positif dari skrining yang disarankan, hal ini

disebabkan karena mereka merasa belum memiliki kebutuhan untuk

memeriksakan dini kanker serviks secara teratur. Berkaitan dengan perceived

benefits, beberapa studi telah menunjukkan bahwa alasan yang paling sering

diberikan untuk tidak ikut berpartisipasi dalam skrining kanker karena wanita

tidak merasa butuh, mereka merasa dalam kondisi sehat sehingga tidak merasa

butuh untuk menggunakannya. Wanita berpikir bahwa skrining mammogram

hanya perlu ketika seseorang sakit (Vernon et al. dalam Marks, Murray, Evans, &

Willig, 2000).

Harlan et al. (1991) dalam Marks, Murray, Evans, dan Willig (2000)

menemukan bahwa alasan utama wanita untuk tidak ikut berpartisipasi dalam

skrining serviks adalah mereka tidak menganggap skrining perlu dilakukan karena

mereka tidak memiliki gejala apapun. Dalam penelitian Reis et al. (2012), wanita

memiliki perceived benefits yang sedang untuk skrining kanker serviks, artinya

wanita tidak meyakini bahwa praktik kesehatan secara teratur dan melakukan tes

pap smear bisa melindunginya dari kanker serviks.

Sarafino dan Smith (2011) menyatakan kemungkinan seseorang

berperilaku sehat bergantung langsung pada dua penilaian, yaitu perasaan

terancam (perceived threat) atas masalah kesehatan yang dialami dan pro-kontra

(perceived benefits dan barriers) dalam menimbang suatu perilaku kesehatan.

Hasil pertimbangan seseorang yang menilai manfaat suatu perilaku kesehatan

terhadap hambatan merupakan suatu penjumlahan (sum = benefits – barriers),

sejauh mana seseorang mengambil tindakan jika lebih bermanfaat bagi dirinya

85

daripada tidak mengambil tindakan. Seseorang yang merasa terancam oleh

penyakit dan percaya manfaat dari pemeriksaan lebih besar daripada hambatan

cenderung untuk melakukan pemeriksaan. Tetapi, orang yang tidak merasa

terancam atau menilai bahwa hambatan terlalu kuat, orang tersebut cenderung

untuk tidak melakukan pemeriksaan.

Variabel self-efficacy tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

perilaku skrining kanker serviks pada wanita di Tangerang Selatan. Pada beberapa

penelitian sebelumnya ditemukan self-efficacy memiliki pengaruh signifikan

terhadap perilaku skrining kanker serviks. Penelitian Fernández et al. (2009)

ditemukan hasil regresi logistik mendukung hubungan teoritis antara self-efficacy

dan perilaku kesehatan di mana wanita dengan self-efficacy tinggi lebih cenderung

melakukan tes pap smear kembali daripada wanita dengan self-efficacy rendah.

Penelitian lain ditemukan self-efficacy menjadi faktor penting dari banyak

perilaku kesehatan (Kang et al., 2004; Reece & Harkless, 2006; Lorig et al., 2003;

Lorig K et al., 1999; Palmer et al., 2005 dalam Fernández et al., 2009), dan

temuan ini menunjukkan bahwa hal ini penting juga untuk skrining tes pap smear.

Ditemukan ketidaksesuaian antara penelitian ini dengan penelitian-

penelitian terdahulu. Peneliti berasumsi bahwa tidak signifikannya self-efficacy

terhadap perilaku skrining kanker serviks pada wanita di Tangerang Selatan

berdasarkan hasil wawancara dengan bidan di puskesmas disebabkan karena

masih banyak wanita yang memiliki komitmen sangat rendah untuk melakukan

skrining kanker serviks sesuai dengan anjuran pihak medis, mereka masih perlu

terus diingatkan tentang adanya tes IVA di puskesmas. Jika tidak ada petugas

86

puskesmas atau kader yang mengingatkan dan mendorong untuk tes IVA di

puskesmas, kemungkinan wanita untuk melakukan skrining sangat kecil sekali,

ditambah keyakinan bahwa mereka mampu mengatasi hambatan-hambatan yang

mungkin muncul untuk melakukan skrining kanker serviks yang masih rendah.

5.3 Saran

Peneliti menyadari bahwa terdapat kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karena

itu, peneliti memaparkan saran metodologis dan saran praktis. Saran-saran ini

dapat digunakan dalam penelitian selanjutnya yang memiliki variabel dependen

yang sama, yaitu perilaku skrining kanker serviks.

5.3.1 Saran Metodologis

1. Peneliti menyarankan untuk penelitian selanjutnya dilakukan pengkajian

lebih dalam pada variabel yang signifikan dalam penelitian ini, antara lain

variabel perceived barriers dan cues to action.

2. Peneliti menyarankan untuk penelitian selanjutnya dilakukan pada wanita

dengan domisili yang berbeda, misalnya pada wanita yang berdomisili di

Jabodetabek di tingkat kabupaten atau perkotaannya, dan atau pada wanita

yang tinggal di pedesaan, karena sampel dari lokasi lain memiliki

karakteristik yang berbeda-beda sehingga hasilnya pun dapat berbeda.

87

5.3.2 Saran Praktis

1. Penelitian ini membuktikan bahwa perceived barriers memiliki pengaruh

signifikan terhadap perilaku skrining kanker serviks pada wanita di

Tangerang Selatan. Peneliti memiliki saran untuk Dinas Kesehatan

Tangerang Selatan, agar menyediakan fasilitas skrining kanker serviks di

seluruh puskesmas di Tangerang Selatan serta menambah tenaga ahli dalam

pelayanan skrining di setiap puskesmas yang bertujuan untuk mengurangi

hambatan pada wanita dan memudahkan seluruh wanita di Tangerang

Selatan dalam mengakses fasilitas untuk skrining kanker serviks.

2. Peneliti memiliki saran untuk Dinas Kesehatan Tangerang Selatan, dokter,

bidan, bagian Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di puskesmas, dan khususnya

kader yang langsung berinteraksi dengan warga untuk lebih aktif

memberikan program penyuluhan yang bertujuan untuk meningkatkan cues

to action (strategi yang dilakukan guna mengaktifkan kesiapan berperilaku

berupa informasi dari eksternal) pada wanita di Tangerang Selatan, sehingga

mereka mau melakukan skrining kanker serviks. Adapun penyuluhan ini

bisa lebih difokuskan pada wanita yang tidak pernah skrining, wanita yang

berasal dari tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan yang rendah, wanita

yang cenderung jarang untuk skrining karena lupa, merasa malu dan tabu,

tidak teratur melakukan skrining, atau karena tidak tahu mengenai program

skrining kanker serviks.

3. Pemberian informasi dari eksternal (cues to action) mengenai skrining

kanker serviks untuk wanita di Tangerang Selatan dapat berupa edukasi

88

kesehatan, leaflet yang disediakan di puskesmas, seminar, konseling khusus,

pendekatan dan intervensi berbasis komunitas, serta meyakinkan wanita

mengenai nilai dan manfaat dari kemampuan tes ini untuk mendeteksi sel-

sel pra-kanker, sehingga akan memberikan kesempatan untuk meningkatkan

pengambilan skrining kanker serviks.

4. Untuk para wanita di Tangerang Selatan disarankan aktif dalam mencari

informasi berkaitan dengan skrining kanker serviks yang telah disediakan

oleh Dinas Kesehatan Tangerang Selatan, puskesmas dan BPJS Kesehatan.

89

DAFTAR PUSTAKA

Abotchie, P.N., & Shokar, N.K. (2009). Cervical cancer screening among college

students in Ghana: knowledge and health beliefs. International journal of

gynecological cancer: Official journal of the international gynecological

cancer society. 19(3), 412-416.

American Cancer Society. (2010). The millenium development goals and non-

communicable diseases (NCDs). Diunduh dari

http://ncdalliance.org/sites/default/files/rfiles/The%20MDGs%20and%20N

CDs_0.pdf. Diakses pada 30 Januari 2015.

Anderson, N.B. (2004). Encyclopedia of health and behavior. U.S.A: Sage

Publications.

Austin, L.T., Ahmad, F., McNally, M.J., & Stewart, D.E. (2002). Breast and

cervical cancer screening in hispanic women: a literature review using the

health belief model. Women's health issues. 12(3), 122-128.

BPJS Kesehatan. (2014). Panduan praktis skrining kesehatan. Diunduh dari

http://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/index.php/arsip/view/36. Diakses pada 30

Januari 2015.

Bundek, N.I., Marks, G., & Richardson, J.L. (1993). Role of health locus of

control beliefs in cancer screening of elderly hispanic women. American

psychological association. 12(3), 193-199.

Conner, M., & Norman, P. (2005). Predicting health behaviour: Research and

practice with social cognition models. London : Open University Press.

Coughlin, S.S., King, J., Richards, T.B., & Ekwueme, D.U. (2006). Cervical

cancer screening among women in metropolitan areas of the united states by

individual-level and area-based measures of socioeconomic status, 2000 to

2002. Cancer epidemiology, biomarkers and prevention. 15(11), 2154-2159.

Damiani, G., Federico, B., Basso, D., Ronconi, A., Bianchi, C.B.N.A., Anzellotti,

G.M., Nasi, G., Sassi, F., & Ricciardi, W. (2012). Socioeconomic disparities

in the uptake of breast and cervical cancer screening in Italy: a

crosssectional study. BMC public health. 12(99), 1471-2458.

Dewi, Tris Susanti. (2015). UMR/UMK propinsi banten, non sektor pada tahun

2015. Diunduh dari

http://www.hrcentro.com/umr/banten/kota_tangerang/non_sektor/2015.

Diakses pada 28 April 2015.

90

Esin, M.N., Bulduk, S., & Ardic, A. (2011). Beliefs about cervical cancer

screening among turkish married women. Journal of cancer education.

26(3), 510-515.

Fernández, M. E., Diamond, P. M., Rakowski, W., Gonzales, A., Tortolero-Luna,

G., Williams, J., & Morales-Campos, D.Y. (2009). Development and

validation of a cervical cancer screening self-efficacy scale for low-income

mexican american women. Cancer epidemiology biomarkers and

prevention. 18(3), 866-875.

Glanz, K., Rimer, B.K., & Viswanath, K. (2008). Health behavior and health

education: Theory, research, and practice. U.S.A: Jossey-Bass A Wiley

Imprint.

Hajializadeh, K., Ahadi, H., Jomehri, F., & Rahgozar, M.. (2013). Psychosocial

predictors of barriers to cervical cancer screening among iranian women:

the role of attachment style and social demographic factors. Journal of

preventive medicine and hygiene. 54(4), 218-222.

Herman. (2014). Kesadaran untuk deteksi dini kanker serviks masih rendah.

Diunduh dari http://www.beritasatu.com/kesra/192891-kesadaran-untuk-

deteksi-dini-kanker-serviks-masih-rendah.html. Diakses pada 8 Desember

2014.

Howitt, D., & Cramer, D. (2011). Introduction to research methods in psychology.

U.K : Pearson Education Limited.

Janz, N. K., & Becker, M. H. (1984). The health belief model: A decade later.

Health education and behavior. 11(1), 1-47.

Jemal, A., Bray, F., Center, M.M., Ferlay, J., Ward, E., & Forman, D. (2011).

Global cancer statistics. CA: A cancer journal for clinicians. 61(2), 69-90.

Julinawati, S., Cawley, D., Domegan, C., Brenner, M., & Rowan, N.J. (2013). A

review of the perceived barriers within the health belief model on pap smear

screening as a cervical cancer prevention measure. Journal of asian

scientific research. 3(6), 677-692.

Kania, D. (2014). Alasan wanita takut jalani pap smear. Diunduh dari

http://lifestyle.okezone.com/read/2014/12/16/481/1080013/alasan-wanita-

takut-jalani-pap-smear. Diakses pada 8 Desember 2014.

Kementerian Kesehatan. (2015). Panduan pelayanan kanker. Diunduh dari

http://kanker.kemkes.go.id/guidelines/PanduanPelayananKanker.pdf.

Diakses pada 3 November 2015.

Kuitto, K., Pickel, S., Neumann, H., Jahn, D., & Metelmann, H.R. (2010).

Attitudinal and socio-structural determinants of cervical cancer screening

91

and HPV vaccination uptake: a quantitative multivariate analysis. Journal of

public health. 18(2), 179–188.

Maiman, L.A., & Becker, M.H. (1974). The health belief model: Origins and

correlates in psychological theory. Health education monographs. 2(4), 336-

353.

Marks, D.F., Murray, M., Evans, B., & Willig, C. (2000). Health psychology :

Theory, research and practice. London: SAGE Publications.

McKinnon, B., Harper, S., & Moore, S. (2011). Decomposing income-related

inequality in cervical screening in 67 countries. International journal of

public health. 56(2), 139-152.

Miller, A.B. (1996). Advances in cancer screening. Massachusetts : Kluwer

Academic Publishers.

Moore, A.D.P. (2011). Health beliefs and socio-cultural factors that predict

cervical cancer screening behaviors among hispanic women in seven cities

in the upstate of south carolina. ProQuest Dissertations & Theses Full Text:

The Humanities and Social Sciences Collection; ProQuest Sociology.

Diunduh dari

http://search.proquest.com/docview/919007102?accountid=25704. Diakses

pada 9 November 2015.

Mufti, A. (2014). Peran pemerintah daerah provinsi bali dalam penanggulangan

kanker serviks. Diunduh dari

http://yayasankankerindonesia.org/2014/peran-pemerintah-daerah-provinsi-

bali-dalam penanggulangan-kanker-serviks/. Diakses pada 8 Desember

2014.

Murray, M., & McMillan, C. (1993). Health beliefs, locus of control, emotional

control and women's cancer screening behaviour. British journal of clinical

pychology. 32(1), 87-100.

Ogden, J. (2007). Health psychology. England : Open University Press.

Pampel, F.C. (2000). Logistic regression : A primer. U.S.A : Sage Publications.

Park, M.J., Park, E.C., Choi, K.S., Jun, J.K., & Lee, H.Y. (2011).

Sociodemographic gradients in breast and cervical cancer screening in

korea: the Korean National Cancer Screening Survey (KNCSS) 2005-2009.

BMC cancer. 11(1), 257-265.

Paskett, E.D., McLaughlin, J.M., Reiter, P.L., Lehman, A.M., Rhoda, D.A., Katz,

M.L., Hade, E.M., Post, D.M., & Ruffin, M.T. (2010). Psychosocial

predictors of adherence to risk-appropriate cervical cancer screening

guidelines: a cross sectional study of women in ohio appalachia

92

participating in the Community Awareness Resources and Education

(CARE) project. Preventive medicine. 50(1), 74-80.

Porta, M.S., Greenland, S., Hernán, M., Silva, I.S., & Last, J.M. (2014). A

dictionary of epidemiology. U.S.A : Oxford University Press.

Reis, N., Bebis, H., Kose, S., Sis, A., Engin, R., & Yavan, T. (2012). Knowledge,

behavior and beliefs related to cervical cancer and screening among turkish

women. Asian pacific journal of cancer prevention. 13(4), 1463-1470.

Sarafino, E.P., & Smith, T.W. (2011). Health psychology : Biopsychosocial

interactions. U.S.A : John Wiley & Sons.

Sheeran, P., & Orbell, S. (2000). Using implementation intentions to increase

attendance for cervical cancer screening. American psychological

association. 19(3), 283-289.

Singh, G.K., Miller, B.A., Hankey, B.F., & Edwards, B.K. (2004). Persistent area

socioeconomic disparities in US incidence of cervical cancer, mortality,

stage, and survival. Cancer. 101(5), 1051-1057.

Taylor, S.E. (2006). Health psychology. New York : McGraw-Hill.

Umar, J. (2013). Statistika. Bahan ajar fakultas psikologi UIN Jakarta. Tidak

dipublikasikan.

Vet, J.N.I., De Boer, M.A., Van den Akker, B.E.W.M., Siregar, B., Lisnawati,

Budiningsih, S., Tyasmorowati, D., Moestikaningsih, Cornain, S., Peters,

A.A.W., & Fleuren, G.J. (2008). Prevalence of human papillomavirus in

Indonesia: a population-based study in three regions. British journal of

cancer. 99(1), 214 – 218.

WHO. (2013). WHO guidance note: Comprehensive cervical cancer prevention

and control: A healthier future for girls and women. Switzerland: WHO

Press.

WHO. (2014). Human papilloma virus (HPV) and cervical cancer. Diunduh dari

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs380/en/. Diakses pada 31

Januari 2015.

Yanikkerem, E., Goker, A., Piro, N., Dikayak, S., & Koyuncu, F.M. (2013).

Knowledge about cervical cancer, pap test and barriers towards cervical

screening of women in turkey. Journal of cancer education. 28(2), 375–383.

Yi, J. K. (1994). Factors associated with cervical cancer screening behavior

among vietnamese women. Journal of community health. 19(3), 189-200.

93

LAMPIRAN 1

KUESIONER PENELITIAN

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Salam Sejahtera

Saya adalah mahasiswi Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, saat

ini sedang melakukan penelitian mengenai keyakinan tentang kondisi kesehatan

pada wanita usia 21-70 tahun dan sudah menikah terhadap kanker serviks. Dalam

rangka memenuhi persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan sarjana psikologi,

saya membutuhkan sejumlah data yang hanya akan dapat saya peroleh dengan

adanya kerjasama dari Anda dalam mengisi kuesioner ini.

Anda diminta untuk memilih jawaban yang paling sesuai dengan diri Anda

dan jawaban yang diberikan adalah jawaban yang sejujurnya dan paling

menggambarkan diri Anda. Tidak ada jawaban yang salah atau benar dan setiap

jawaban yang Anda berikan akan dijaga kerahasiaannya dan hanya dipergunakan

untuk keperluan penelitian ini.

Bacalah petunjuk pengisian terlebih dahulu. Setelah selesai mengisi kuesioner

ini mohon diteliti kembali jawaban Anda agar tidak ada pernyataan yang tidak

terjawab atau terlewati. Bantuan Anda dalam menjawab pertanyaan pada

kuesioner ini merupakan bantuan yang amat besar dan berarti bagi keberhasilan

penelitian ini. Saya mengucapkan terima kasih atas kerjasama Anda.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, Mei 2015

Hormat saya,

Ganissufi Kautsar

94

DATA RESPONDEN

1) Nama :

2) Usia :

3) Pendidikan terakhir : Centang (√) pada salah satu pilihan jawaban di

bawah ini :

□ SD □ SMA □ Sarjana

□ SMP □ Diploma □ Lainnya .........

4) Pekerjaan :

5) Penghasilan Per bulan (suami dan istri) : Centang (√) pada salah satu

pilihan jawaban di bawah ini :

□ Kurang dari Rp 1.000.000 □ Rp 2.730.000 – Rp 5.000.000

□ Rp 1.000.000 – Rp 2.730.000 □ Diatas Rp 5.000.000

6) Status pernikahan : Centang (√) pada salah satu pilihan jawaban di bawah ini :

□ Belum Menikah

□ Menikah

□ Cerai / Janda

7) Jumlah anak :

Tanda tangan

( )

95

BAGIAN 1

Baca dan pahamilah setiap pernyataan di bawah ini dan isilah sesuai dengan

keadaan diri Anda dengan memberikan tanda centang (√) pada kolom jawaban

yang telah disediakan.

BAGIAN 2

Berikut ini terdapat beberapa pernyataan. Baca dan pahamilah setiap pernyataan.

Anda diminta untuk memilih jawaban yang paling sesuai dengan diri Anda dari

keempat alternatif jawaban yang tersedia dengan memberikan tanda centang (√)

pada kolom jawaban yang telah disediakan.

No. Pernyataan Iya Tidak

1. Apakah Anda pernah melakukan pemeriksaan

dini kanker serviks?

2.

Jika iya, apa jenis pemeriksaan kanker serviks yang dilakukan? (Centang

(√) pada pilihan jawaban yang tersedia, jawaban dapat lebih dari

satu) :

□ Tes IVA (Berapa kali...........)

□ Tes pap smear (Berapa kali...........)

No. Pernyataan

Sangat

Tidak

Setuju

Tidak

Setuju Setuju

Sangat

Setuju

1. Jika kanker serviks terdeteksi

dini, maka tingkat keberhasilan

pengobatan lebih tinggi.

2. Penyuluhan mengenai kanker

serviks bermanfaat untuk

menambah pemahaman saya

tentang pentingnya pemeriksaan

dini kanker serviks.

3. Jika saya melakukan

pemeriksaan dini kanker serviks

secara teratur, maka peluang

saya terkena kanker serviks

rendah.

4. Dengan adanya pemeriksaan

96

dini kanker serviks, saya dapat

terhindar dari risiko kanker

serviks.

5. Saya melakukan pemeriksaan

dini kanker serviks sesegera

mungkin, sebagai upaya

pencegahan terhadap kanker

serviks.

6. Saya memperoleh informasi

yang tepat dan benar mengenai

pemeriksaan dini kanker serviks

dari pihak medis (dokter, bidan,

konsultan kesehatan).

7. Informasi tentang kanker

serviks yang disampaikan oleh

ibu kader, mendorong saya

untuk melakukan pemeriksaan

dini kanker serviks.

8. Brosur yang berisi informasi

lengkap mengenai kanker

serviks meyakinkan saya untuk

melakukan pemeriksaan dini

kanker serviks.

9. Penyuluhan tentang kanker

serviks mengingatkan saya akan

pentingnya melakukan

pemeriksaan dini kanker serviks

secara teratur.

10. Saya mencatat tanggal untuk

mengingatkan saya melakukan

pemeriksaan dini kanker serviks

selanjutnya.

11. Saya memiliki komitmen untuk

mampu menjalani pemeriksaan

dini kanker serviks sesuai

dengan anjuran pihak medis.

12. Saya mampu menetapkan

tujuan untuk mencegah

terjangkitnya kanker serviks.

13. Saya mampu menjaga pola

hidup yang lebih sehat sesuai

anjuran pihak medis untuk

menghindari risiko

terjangkitnya kanker serviks.

14. Saya mampu mengatasi

hambatan-hambatan yang

97

mungkin muncul untuk

melakukan pemeriksaan dini

kanker serviks.

15. Saya mampu menyampaikan

hasil pemeriksaan dini kanker

serviks kepada anggota

keluarga saya.

16. Saya malu melakukan

pemeriksaan dini kanker

serviks.

17. Melakukan pemeriksaan dini

kanker serviks, menimbulkan

rasa tidak nyaman atau sakit.

18. Saya kesulitan untuk melakukan

pemeriksaan dini kanker serviks

karena jarak tempuh menuju

klinik yang relatif jauh.

19. Saya mengalami kesulitan

memperoleh kendaraan umum

menuju klinik pemeriksaan dini

kanker serviks.

20. Biaya untuk pemeriksaan dini

kanker serviks tidak terjangkau.

21. Klinik di sekitar rumah saya

tidak menyediakan fasilitas

untuk pemeriksaan dini kanker

serviks.

22. Saya tidak terbebani melakukan

pemeriksaan dini kanker serviks

dengan adanya bantuan dana

kesehatan (BPJS) dari

pemerintah.

23. Saya berisiko terkena kanker

serviks.

24. Kondisi kesehatan saya saat ini,

rentan terkena kanker serviks.

25. Saya yakin peluang saya tinggi

mengalami kanker serviks di

masa depan.

26. Kerentanan terhadap

terjangkitnya kanker serviks

dipengaruhi oleh pola hidup

saya sejauh ini.

27. Menilik riwayat kesehatan

keluarga saya, kemungkinan

saya terjangkit kanker serviks

98

Harap periksa kembali seluruh jawaban Anda. Pastikan tidak ada halaman

ataupun nomor yang terlewat.

Terima Kasih

lebih tinggi.

28. Saya tidak mau melakukan

pemeriksaan dini kanker

serviks, karena saya tidak ingin

mengetahui hasil pemeriksaan

tersebut.

29. Saat saya memperoleh

informasi tentang kanker

serviks, saya menyadari betapa

seriusnya akibat yang dapat

ditimbulkan dari kanker serviks.

30. Saya meyakini orang-orang

yang menderita kanker serviks

selalu disertai dengan respon

nyeri.

31. Saya meyakini bahwa kanker

serviks berdampak pada

hubungan sosial seseorang.

32. Keseriusan dampak kanker

serviks menjadi perhatian saya

saat ini.

99

LAMPIRAN 2

Hasil Lisrel

a. Syntax, Path Diagram, dan Output Variabel Perceived Susceptibility

UJI VALIDITAS KONSTRUK SUSCEPT

DA NI=5 NO=227 MA=PM

LA

X23 X24 X25 X26 X27

PM SY FI=SUSCEPT.COR

MO NX=5 NK=1 LX=FR TD=SY

LK

SUSCEPT

FR LX 1 1 LX 2 1 LX 3 1 LX 4 1 LX 5 1

FR TD 5 4

PD

OU TV SS MI

Goodness of Fit Statistics

Degrees of Freedom for (C1)-(C2) = 4

Maximum Likelihood Ratio Chi-Square (C1) = 5.897 (P = 0.2070)

Browne's (1984) ADF Chi-Square (C2_NT) = 5.864 (P = 0.2096)

Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 1.897

90 Percent Confidence Interval for NCP = (0.0 ; 12.634)

Minimum Fit Function Value = 0.0260

100

Population Discrepancy Function Value (F0) = 0.00836

90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.0 ; 0.0557)

Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.0457

90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.0 ; 0.118)

P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.453

Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 0.123

90 Percent Confidence Interval for ECVI = (0.115 ; 0.170)

ECVI for Saturated Model = 0.132

ECVI for Independence Model = 2.773

Chi-Square for Independence Model (10 df) = 619.545

Normed Fit Index (NFI) = 0.990

Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.992

Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.396

Comparative Fit Index (CFI) = 0.997

Incremental Fit Index (IFI) = 0.997

Relative Fit Index (RFI) = 0.976

Critical N (CN) = 509.835

Root Mean Square Residual (RMR) = 0.0205

Standardized RMR = 0.0205

Goodness of Fit Index (GFI) = 0.990

Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.962

Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.264

b. Syntax, Path Diagram, dan Output Variabel Perceived Severity

UJI VALIDITAS KONSTRUK SEVERITY

DA NI=5 NO=227 MA=PM

LA

X28 X29 X30 X31 X32

PM SY FI=SEVERITY.COR

SE

2 3 4 5/

MO NX=4 NK=1 LX=FR TD=SY

LK

SEVERITY

FR LX 1 1 LX 2 1 LX 3 1 LX 4 1

FR TD 4 3 TD 3 2

PD

OU TV SS MI

101

Goodness of Fit Statistics

Degrees of Freedom for (C1)-(C2) 0

Maximum Likelihood Ratio Chi-Square (C1) 0.00 (P = 1.0000)

Browne's (1984) ADF Chi-Square (C2_NT) 0.00 (P = 1.0000)

The Model is Saturated, the Fit is Perfect !

c. Syntax, Path Diagram, dan Output Variabel Perceived Benefits

UJI VALIDITAS KONSTRUK BENEFIT

DA NI=5 NO=227 MA=PM

LA

X1 X2 X3 X4 X5

PM SY FI=BENEFIT.COR

MO NX=5 NK=1 LX=FR TD=SY

LK

BENEFIT

FR LX 1 1 LX 2 1 LX 3 1 LX 4 1 LX 5 1

FR TD 4 2 TD 2 1

PD

OU TV SS MI

102

Goodness of Fit Statistics

Degrees of Freedom for (C1)-(C2) = 3

Maximum Likelihood Ratio Chi-Square (C1) = 5.564 (P = 0.1349)

Browne's (1984) ADF Chi-Square (C2_NT) = 5.816 (P = 0.1209)

Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 2.564

90 Percent Confidence Interval for NCP = (0.0 ; 13.384)

Minimum Fit Function Value = 0.0245

Population Discrepancy Function Value (F0) = 0.0113

90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.0 ; 0.0590)

Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.0614

90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.0 ; 0.140)

P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.321

Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 0.130

90 Percent Confidence Interval for ECVI = (0.119 ; 0.178)

ECVI for Saturated Model = 0.132

ECVI for Independence Model = 4.380

Chi-Square for Independence Model (10 df) = 984.354

Normed Fit Index (NFI) = 0.994

Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.991

Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.298

Comparative Fit Index (CFI) = 0.997

Incremental Fit Index (IFI) = 0.997

103

Relative Fit Index (RFI) = 0.981

Critical N (CN) = 461.914

Root Mean Square Residual (RMR) = 0.0154

Standardized RMR = 0.0154

Goodness of Fit Index (GFI) = 0.990

Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.949

Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.198

d. Syntax, Path Diagram, dan Output Variabel Perceived Barriers

UJI VALIDITAS KONSTRUK BARRIER

DA NI=7 NO=227 MA=PM

LA

X16 X17 X18 X19 X20 X21 X22

PM SY FI=BARRIER.COR

SE

1 2 3 4 5 6/

MO NX=6 NK=1 LX=FR TD=SY

LK

BARRIER

FR LX 1 1 LX 2 1 LX 3 1 LX 4 1 LX 5 1 LX 6 1

FR TD 2 1 TD 4 3 TD 6 2 TD 6 4

PD

OU TV SS MI

104

Goodness of Fit Statistics

Degrees of Freedom for (C1)-(C2) = 5

Maximum Likelihood Ratio Chi-Square (C1) = 9.441 (P = 0.0927)

Browne's (1984) ADF Chi-Square (C2_NT) = 9.327 (P = 0.0967)

Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 4.441

90 Percent Confidence Interval for NCP = (0.0 ; 17.235)

Minimum Fit Function Value = 0.0416

Population Discrepancy Function Value (F0) = 0.0196

90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.0 ; 0.0759)

Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.0626

90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.0 ; 0.123)

P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.306

Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 0.183

90 Percent Confidence Interval for ECVI = (0.163 ; 0.239)

ECVI for Saturated Model = 0.185

ECVI for Independence Model = 4.874

Chi-Square for Independence Model (15 df) = 1094.382

Normed Fit Index (NFI) = 0.991

Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.988

Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.330

Comparative Fit Index (CFI) = 0.996

Incremental Fit Index (IFI) = 0.996

Relative Fit Index (RFI) = 0.974

Critical N (CN) = 362.176

Root Mean Square Residual (RMR) = 0.0328

Standardized RMR = 0.0328

Goodness of Fit Index (GFI) = 0.986

Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.943

Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.235

e. Syntax, Path Diagram, dan Output Variabel Cues to Action

UJI VALIDITAS KONSTRUK CUESTOA

DA NI=5 NO=227 MA=PM

LA

X6 X7 X8 X9 X10

PM SY FI=CUESTOA.COR

105

MO NX=5 NK=1 LX=FR TD=SY

LK

CUESTOA

FR LX 1 1 LX 2 1 LX 3 1 LX 4 1 LX 5 1

FR TD 2 1 TD 5 3

PD

OU TV SS MI

Goodness of Fit Statistics

Degrees of Freedom for (C1)-(C2) = 3

Maximum Likelihood Ratio Chi-Square (C1) = 4.935 (P = 0.1767)

Browne's (1984) ADF Chi-Square (C2_NT) = 4.929 (P = 0.1771)

Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 1.935

90 Percent Confidence Interval for NCP = (0.0 ; 12.263)

Minimum Fit Function Value = 0.0217

Population Discrepancy Function Value (F0) = 0.00852

90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.0 ; 0.0540)

Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.0533

90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.0 ; 0.134)

P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.380

Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 0.127

90 Percent Confidence Interval for ECVI = (0.119 ; 0.173)

ECVI for Saturated Model = 0.132

ECVI for Independence Model = 3.775

106

Chi-Square for Independence Model (10 df) = 847.014

Normed Fit Index (NFI) = 0.994

Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.992

Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.298

Comparative Fit Index (CFI) = 0.998

Incremental Fit Index (IFI) = 0.998

Relative Fit Index (RFI) = 0.980

Critical N (CN) = 520.689

Root Mean Square Residual (RMR) = 0.0101

Standardized RMR = 0.0101

Goodness of Fit Index (GFI) = 0.991

Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.957

Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.198

f. Syntax, Path Diagram, dan Output Variabel Self-efficacy

UJI VALIDITAS KONSTRUK SE

DA NI=5 NO=227 MA=PM

LA

X11 X12 X13 X14 X15

PM SY FI=SE.COR

MO NX=5 NK=1 LX=FR TD=SY

LK

SE

FR LX 1 1 LX 2 1 LX 3 1 LX 4 1 LX 5 1

FR TD 5 2 TD 5 3

PD

OU TV SS MI

107

Goodness of Fit Statistics

Degrees of Freedom for (C1)-(C2) = 3

Maximum Likelihood Ratio Chi-Square (C1) = 2.493 (P = 0.4766)

Browne's (1984) ADF Chi-Square (C2_NT) = 2.465 (P = 0.4816)

Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 0.0

90 Percent Confidence Interval for NCP = (0.0 ; 7.423)

Minimum Fit Function Value = 0.0110

Population Discrepancy Function Value (F0) = 0.0

90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.0 ; 0.0327)

Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.0

90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.0 ; 0.104)

P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.684

Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 0.119

90 Percent Confidence Interval for ECVI = (0.119 ; 0.152)

ECVI for Saturated Model = 0.132

ECVI for Independence Model = 4.466

Chi-Square for Independence Model (10 df) = 1003.700

Normed Fit Index (NFI) = 0.998

Non-Normed Fit Index (NNFI) = 1.002

Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.299

Comparative Fit Index (CFI) = 1.000

Incremental Fit Index (IFI) = 1.001

Relative Fit Index (RFI) = 0.992

108

Critical N (CN) = 1029.767

Root Mean Square Residual (RMR) = 0.00949

Standardized RMR = 0.00947

Goodness of Fit Index (GFI) = 0.996

Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.978

Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.199

109

LAMPIRAN 3

Output SPSS Analisis Regresi Logistik

Logistic Regression

Case Processing Summary

Unweighted Casesa N Percent

Selected Cases

Included in Analysis 227 100,0

Missing Cases 0 ,0

Total 227 100,0

Unselected Cases 0 ,0

Total 227 100,0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number

of cases.

Dependent Variable Encoding

Original Value Internal Value

Tidak pernah skrining

kanker serviks 0

Pernah skrining kanker

serviks 1

110

Categorical Variables Codings

Frequency Parameter coding

(1) (2) (3) (4)

Tingkat_Pendidikan

SD 11 1,000 ,000 ,000 ,000

SMP 54 ,000 1,000 ,000 ,000

SMA 130 ,000 ,000 1,000 ,000

Diploma 18 ,000 ,000 ,000 1,000

Sarjana 14 ,000 ,000 ,000 ,000

Tingkat_Pendapatan

<1.000.000 45 1,000 ,000 ,000

1.000.000-

2.730.000 94 ,000 1,000 ,000

2.730.000-

5.000.000 62 ,000 ,000 1,000

>5.000.000 26 ,000 ,000 ,000

Block 0: Beginning Block

Classification Tablea,b

Observed Predicted

Perilaku_Skrining_Kank

er_Serviks

Percentage Correct

Tidak

pernah

skrining

kanker

serviks

Pernah

skrining

kanker

serviks

Step 0

Perilaku_

Skrining_

Kanker_

Serviks

Tidak pernah

skrining kanker

serviks

121 0 100,0

Pernah skrining

kanker serviks 106 0 ,0

Overall Percentage 53,3

a. Constant is included in the model.

b. The cut value is ,500

111

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant -,132 ,133 ,990 1 ,320 ,876

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Step 0 Variables

Perceived_Susceptibility ,031 1 ,861

Perceived_Severity 5,236 1 ,022

Perceived_Benefits 7,565 1 ,006

Perceived_Barriers 21,844 1 ,000

Cues_to_Action 15,050 1 ,000

Self_Efficacy 9,410 1 ,002

Usia 35,387 1 ,000

Tingkat_Pendidikan 13,935 4 ,008

Tingkat_Pendidikan(1) 6,568 1 ,010

Tingkat_Pendidikan(2) 2,656 1 ,103

Tingkat_Pendidikan(3) ,785 1 ,376

Tingkat_Pendidikan(4) 5,118 1 ,024

Tingkat_Pendapatan 39,778 3 ,000

Tingkat_Pendapatan(1) 21,866 1 ,000

Tingkat_Pendapatan(2) 1,747 1 ,186

Tingkat_Pendapatan(3) 29,040 1 ,000

Overall Statistics 94,765 14 ,000

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1

Step 122,382 14 ,000

Block 122,382 14 ,000

Model 122,382 14 ,000

112

Model Summary

Step -2 Log

likelihood

Cox & Snell R

Square

Nagelkerke R

Square

1 191,315a ,417 ,556

a. Estimation terminated at iteration number 6 because

parameter estimates changed by less than ,001.

Hosmer and Lemeshow Test

Step Chi-square df Sig.

1 13,199 8 ,105

Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test

Perilaku_Skrining_Kanker_Serviks

= Tidak pernah skrining kanker

serviks

Perilaku_Skrining_Kanker_Serviks

= Pernah skrining kanker serviks

Total

Observed Expected Observed Expected

Step 1

1 23 22,684 0 ,316 23

2 23 21,328 0 1,672 23

3 17 20,002 6 2,998 23

4 17 17,720 6 5,280 23

5 16 14,074 7 8,926 23

6 8 10,570 15 12,430 23

7 11 6,980 12 16,020 23

8 2 4,682 21 18,318 23

9 3 2,182 20 20,818 23

10 1 ,778 19 19,222 20

113

Classification Tablea

Observed Predicted

Perilaku_Skrining_Kanker_Serviks Percentage

Correct

Tidak pernah

skrining kanker

serviks

Pernah skrining

kanker serviks

Step 1

Perilaku_Skri

ning_Kanker_

Serviks

Tidak pernah skrining

kanker serviks 99 22 81,8

Pernah skrining kanker

serviks 20 86 81,1

Overall Percentage 81,5

a. The cut value is ,500

114

Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square

1 308,308a ,023 ,031

a. Estimation terminated at iteration number 3 because parameter estimates changed by less than ,001.

Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square

1 308,304a ,023 ,031

a. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than ,001.

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95% C.I.for

EXP(B)

Lower Upper

Step 1a

Perceived_Susceptibility ,008 ,022 ,131 1 ,718 1,008 ,965 1,052

Perceived_Severity -,001 ,026 ,001 1 ,971 ,999 ,950 1,051

Perceived_Benefits -,040 ,027 2,290 1 ,130 ,960 ,911 1,012

Perceived_Barriers -,058 ,024 5,762 1 ,016 ,944 ,900 ,989

Cues_to_Action ,079 ,036 4,751 1 ,029 1,082 1,008 1,162

Self_Efficacy -,026 ,033 ,612 1 ,434 ,974 ,912 1,040

Usia ,141 ,024 34,131 1 ,000 1,151 1,098 1,206

Tingkat_Pendidikan 13,429 4 ,009

Tingkat_Pendidikan(1) -3,284 1,405 5,466 1 ,019 ,037 ,002 ,588

Tingkat_Pendidikan(2) -2,321 ,921 6,358 1 ,012 ,098 ,016 ,596

Tingkat_Pendidikan(3) -1,216 ,798 2,323 1 ,128 ,296 ,062 1,416

Tingkat_Pendidikan(4) ,159 ,942 ,028 1 ,866 1,172 ,185 7,423

Tingkat_Pendapatan 24,433 3 ,000

Tingkat_Pendapatan(1) -1,736 ,746 5,424 1 ,020 ,176 ,041 ,760

Tingkat_Pendapatan(2) ,173 ,589 ,086 1 ,769 1,188 ,375 3,770

Tingkat_Pendapatan(3) 1,601 ,624 6,586 1 ,010 4,960 1,460 16,853

Constant -2,664 2,167 1,512 1 ,219 ,070

a. Variable(s) entered on step 1: Perceived_Susceptibility, Perceived_Severity, Perceived_Benefits,

Perceived_Barriers, Cues_to_Action, Self_Efficacy, Usia, Tingkat_Pendidikan, Tingkat_Pendapatan.

115

Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square

1 303,821a ,043 ,057

a. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than ,001.

Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square

1 281,525a ,132 ,176

a. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than ,001.

Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square

1 276,637a ,151 ,201

a. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than ,001.

Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square

1 276,630a ,151 ,201

a. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than ,001.

Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square

1 247,382a ,253 ,338

a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001.

Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square

1 222,210a ,332 ,443

a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001.

Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square

1 191,315a ,417 ,556

a. Estimation terminated at iteration number 6 because parameter estimates changed by less than ,001.

116

Pekerjaan

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Valid

IRT 202 89,0 89,0 89,0

KARYAWAN SWASTA 5 2,2 2,2 91,2

WIRASWASTA 9 4,0 4,0 95,2

JURNALIS 1 ,4 ,4 95,6

PNS 3 1,3 1,3 96,9

ASISTEN APOTEKER 1 ,4 ,4 97,4

DOSEN 2 ,9 ,9 98,2

GURU PAUD 1 ,4 ,4 98,7

PERAWAT 1 ,4 ,4 99,1

PENSIUNAN 1 ,4 ,4 99,6

BIDAN 1 ,4 ,4 100,0

Total 227 100,0 100,0

Status_Pernikahan

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Valid

Menikah 207 91,2 91,2 91,2

Janda 20 8,8 8,8 100,0

Total 227 100,0 100,0

Jumlah_Anak

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Valid

0 11 4,8 4,8 4,8

1 47 20,7 20,7 25,6

2 100 44,1 44,1 69,6

3 50 22,0 22,0 91,6

4 14 6,2 6,2 97,8

5 5 2,2 2,2 100,0

Total 227 100,0 100,0