STUDI PERKEMBANGAN DAN KONSEP REVITALISASI TATA … · Konsep revitalisasi yang digunakan adalah...

20
1 STUDI PERKEMBANGAN DAN KONSEP REVITALISASI TATA LINGKUNGAN TRADISIONAL BALUWARTI SURAKARTA Nafi’ah Solikhah 1 Purwanita Setijanti 2 Bambang Soemardiono 2 1 Mahasiswa Program Magister Jurusan Arsitektur, FTSP-ITS Surabaya [email protected] 2 Staf pengajar Jurusan Arsitektur, FTSP-ITS Surabaya ABSTRAK Baluwarti awalnya merupakan kawasan tempat tinggal kerabat dan abdi dalem Keraton Surakarta. Semakin berkembangnya jenis aktivitas di kawasan Baluwarti, memunculkan fungsi baru yang dikhawatirkan akan menggeser identitas kawasan. Studi ini bertujuan untuk mengembangkan konsep revitalisasi tata lingkungan tradisional Baluwarti yang sedang mengalami pergeseran identitas. Jenis penelitian adalah deskriptif–kualitatif dengan menggunakan dua metode, yaitu syncrhonic-diachronic reading berupa studi perkembangan kawasan dan analisa faktor dengan teknik Delphi. Selanjutnya, hasil analisa synchronic-diachronic reading dan analisa Delphi dielaborasikan dengan teori identitas kawasan dan revitalisasi kawasan bersejarah, regulasi, serta pendapat pakar untuk menentukan kriteria revitalisasi sebagai dasar pengembangan konsep revitalisasi. Hasil temuan studi yaitu jejalur pradaksino (path), kamandungan dan butulan (nodes), unit permukiman (district), keraton dan dalem pangeran (landmark) mengalami pergeseran fisik dan fungsi. Sedangkan benteng Baluwarti (edges) tidak mengalami pergeseran fisik, namun mengalami pergeseran fungsi. Adapun faktor yang menggeser identitas kawasan adalah perkembangan fisik, perubahan fungsi, perekonomian, nilai sosial, status kepemilikan, dan pemahaman masyarakat Baluwarti terhadap kegiatan pelestarian. Konsep revitalisasi yang digunakan adalah dengan mensinergikan aspek fisik, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Kata kunci: Perkembangan, Elemen Pembentuk Identitas Kawasan, Revitalisasi, Kawasan Baluwarti. ABSTRACT Baluwarti was originally a residential area for family and servants in the palace of Surakarta Palace. Progressively expanding the types of activities in the region Baluwarti, allowing a new function which are feared to shift the identity of the area. This study aims to develop the concept of revitalization of traditional environmental governance Baluwarti who are experiencing a shift in identity. Types of qualitative research is descriptive, using two methods, namely syncrhonic- diachronic reading of the study of development area and factor analysis with the Delphi technique. Furthermore, the results of synchronic-diachronic reading and the Delphi analysis elaborated with theory of identity area and the revitalization of historic areas, regulations and standards, as well as the opinion of competent experts to determine the criteria for revitalization that will be used as the basis for the development of the concept of revitalization of traditional environmental system Baluwarti Surakarta. Study findings are jejalur pradaksino (path), and dwelling kamandungan (nodes), residential units (district), the palace and into the prince (landmarks) experience physical and functional shift. While the fort Baluwarti (edges) are not experiencing a physical shift, but shift function. As for factors that shift the identity of the area is physical development, changes in function, economy, social values, status of ownership, and public understanding Baluwarti of preservation activity. Revitalization concept that is used is to synergize the physical aspects, economic aspects, and social aspects. Key Words: Baluwarti Regions, Shifting Identity Regions, Revitalization.

Transcript of STUDI PERKEMBANGAN DAN KONSEP REVITALISASI TATA … · Konsep revitalisasi yang digunakan adalah...

Page 1: STUDI PERKEMBANGAN DAN KONSEP REVITALISASI TATA … · Konsep revitalisasi yang digunakan adalah dengan mensinergikan aspek fisik, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Kata kunci: Perkembangan,

STUDI PERKEMBANGAN DAN KONSEP REVITALISASI TATA LINGKUNGAN TRADISIONAL BALUWARTI SURAKARTA

Nafi’ah Solikhah1

Purwanita Setijanti2 Bambang Soemardiono2

1Mahasiswa Program Magister Jurusan Arsitektur, FTSP-ITS Surabaya

[email protected] 2Staf pengajar Jurusan Arsitektur, FTSP-ITS Surabaya

ABSTRAK

Baluwarti awalnya merupakan kawasan tempat tinggal kerabat dan abdi dalem Keraton Surakarta. Semakin berkembangnya jenis aktivitas di kawasan Baluwarti, memunculkan fungsi baru yang dikhawatirkan akan menggeser identitas kawasan. Studi ini bertujuan untuk mengembangkan konsep revitalisasi tata lingkungan tradisional Baluwarti yang sedang mengalami pergeseran identitas. Jenis penelitian adalah deskriptif–kualitatif dengan menggunakan dua metode, yaitu syncrhonic-diachronic reading berupa studi perkembangan kawasan dan analisa faktor dengan teknik Delphi. Selanjutnya, hasil analisa synchronic-diachronic reading dan analisa Delphi dielaborasikan dengan teori identitas kawasan dan revitalisasi kawasan bersejarah, regulasi, serta pendapat pakar untuk menentukan kriteria revitalisasi sebagai dasar pengembangan konsep revitalisasi. Hasil temuan studi yaitu jejalur pradaksino (path), kamandungan dan butulan (nodes), unit permukiman (district), keraton dan dalem pangeran (landmark) mengalami pergeseran fisik dan fungsi. Sedangkan benteng Baluwarti (edges) tidak mengalami pergeseran fisik, namun mengalami pergeseran fungsi. Adapun faktor yang menggeser identitas kawasan adalah perkembangan fisik, perubahan fungsi, perekonomian, nilai sosial, status kepemilikan, dan pemahaman masyarakat Baluwarti terhadap kegiatan pelestarian. Konsep revitalisasi yang digunakan adalah dengan mensinergikan aspek fisik, aspek ekonomi, dan aspek sosial.

Kata kunci: Perkembangan, Elemen Pembentuk Identitas Kawasan, Revitalisasi, Kawasan Baluwarti.

ABSTRACT

Baluwarti was originally a residential area for family and servants in the palace of Surakarta Palace. Progressively expanding the types of activities in the region Baluwarti, allowing a new function which are feared to shift the identity of the area. This study aims to develop the concept of revitalization of traditional environmental governance Baluwarti who are experiencing a shift in identity. Types of qualitative research is descriptive, using two methods, namely syncrhonic-diachronic reading of the study of development area and factor analysis with the Delphi technique. Furthermore, the results of synchronic-diachronic reading and the Delphi analysis elaborated with theory of identity area and the revitalization of historic areas, regulations and standards, as well as the opinion of competent experts to determine the criteria for revitalization that will be used as the basis for the development of the concept of revitalization of traditional environmental system Baluwarti Surakarta. Study findings are jejalur pradaksino (path), and dwelling kamandungan (nodes), residential units (district), the palace and into the prince (landmarks) experience physical and functional shift. While the fort Baluwarti (edges) are not experiencing a physical shift, but shift function. As for factors that shift the identity of the area is physical development, changes in function, economy, social values, status of ownership, and public understanding Baluwarti of preservation activity. Revitalization concept that is used is to synergize the physical aspects, economic aspects, and social aspects.

Key Words: Baluwarti Regions, Shifting Identity Regions, Revitalization.

Page 2: STUDI PERKEMBANGAN DAN KONSEP REVITALISASI TATA … · Konsep revitalisasi yang digunakan adalah dengan mensinergikan aspek fisik, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Kata kunci: Perkembangan,

PENDAHULUAN Perancangan kota merupakan bagian dari proses perencanaan dalam bentuk rancangan

spasial dari suatu lingkungan dan mendasarkan pada kualitas fisik, yang salah satunya adalah kualitas visual (Shirvani, 1984). Tata ruang kawasan tradisional merupakan karakter spesifik yang membentuk identitas sebagai suatu pengenalan bentuk dan kualitas ruang sebuah kawasan, yang secara umum disebut sense of place (Gallion,1992).

Permukiman tradisional akan berubah wujud dan fungsinya sejalan dengan dinamika waktu. Untuk mengembalikan identitas yang mengalami pergeseran, dapat dilakukan dari pendekatan perancangan kota. Menurut Appleyard (1982), perancangan kota erat kaitannya dengan tiga orientasi yang berbeda, yaitu: pembangunan, konservasi, dan masyarakat. Berdasarkan ketiga jenis orientasi tersebut, yang menjadi salah satu perspektif pada kawasan yang mengalami pergeseran identitas saat ini adalah mengenai konservasi yang fokus pada pelestarian serta pengembangan kawasan bersejarah.

Kawasan Keraton Kasunanan yang biasa disebut perkampungan Baluwarti, berasal dari bahasa Portugis baluarte yang artinya benteng. Perkampungan di Baluwarti Surakarta mempunyai keterkaitan khusus dengan Keraton Kasunanan Surakarta, dimana dahulu (sejak 1745) perkampungan ini merupakan tempat tinggal kerabat Keraton dan abdi dalem keraton sesuai dengan jabatan masing- masing. Penamaan wilayah disesuaikan dengan penempatan abdi dalem dahulu (Hardiyanti, 2005)

Secara morfologi, kawasan Baluwarti pada awalnya dipengaruhi oleh konsep tata ruang kotaraja kerajaan Mataram (Jawa). Dari aspek visual, kawasan Baluwarti terbentuk dari konfigurasi elemen pembentuk identitas kawasan (Lynch, 1960), yaitu: path berupa jalur sirkulasi kawasan, edges berupa benteng, district berupa dalem dan perkampungan, nodes berupa simpul aktivitas kawasan, dan landmark berupa keraton dan bangunan dalem. Berdasarkan fakta empiris di lapangan, saat ini beberapa elemen pembentuk identitas kawasan diindikasikan mengalami pergeseran.

Kegiatan pelestarian yang selama ini diterapkan di Baluwarti belum mensinergikan fungsi baru dengan potensi yang dimiliki kawasan karena masih terbatas pada estetika kawasan (beautifikasi) dan belum memperhatikan aspek non- fisik (sosial, ekonomi, budaya dll). Oleh karena itu, diperlukan suatu kajian pelestarian kawasan Baluwarti berupa konsep revitalisasi kawasan yang mampu meningkatan aktivitas ekonomi (economic revitalization) dengan merujuk kepada aspek sosial-budaya serta aspek lingkungan (environmental objectives).

Permasalahan kawasan Baluwarti sebagai objek penelitian, yaitu upaya pelestarian kawasan Baluwarti untuk mempertahankan dari pergeseran identitas kawasan masih terbatas pada estetika kawasan (beautifikasi) dan belum mensinergikan fungsi baru dengan potensi yang dimiliki kawasan untuk meningkatan aktivitas ekonomi (economic revitalization) dengan merujuk kepada aspek sosial-budaya dan lingkungan. Sehingga muncul pertanyaan penelitian [research question], yaitu:

1. Bagaimana perkembangan elemen-elemen pembentuk identitas kawasan Baluwarti ? 2. Faktor-faktor apa saja yang menggeser identitas kawasan ? 3. Bagaimana kriteria revitalisasi tata lingkungan tradisional di kawasan Baluwarti yang sedang

mengalami pergeseran identitas ? Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan konsep revitalisasi tata lingkungan

tradisional Baluwarti yang sedang mengalami pergeseran identitas.Untuk mencapai tujuan tersebut, maka sasaran penelitian adalah:

1. Mengidentifikasi perkembangan elemen-elemen pembentuk identitas kawasan Baluwarti. 2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menggeser identitas kawasan. 3. Mengembangkan konsep revitalisasi tata lingkungan tradisional kawasan Baluwarti yang

sedang mengalami pergeseran identitas. KAJIAN PUSTAKA Identitas Kawasan dan Karakter Spasial

Zahnd (1999) menyatakan bahwa perancangan kota menyangkut bentuk massa bangunan dan spatial serta hubungan antara bangunan dan ruang yang terbentuk. Teori Place merupakan landasan penelitian perancangan kota yang membahas makna sebuah kawasan sebagai sebuah tempat. Secara arsitektural, Trancik (1986) merumuskan bahwa sebuah place dibentuk sebagai sebuah space jika memiliki ciri khas sebagai identitas lingkungan. Untuk menghadirkan identitas lingkungan yang kontekstual, dapat dilakukan dengan memperhatikan sejarah setempat, kebutuhan masyarakat, tradisi, event dan realitas pada lingkungan sehingga kecil kemungkinan untuk sama dengan lingkungan lain.

Page 3: STUDI PERKEMBANGAN DAN KONSEP REVITALISASI TATA … · Konsep revitalisasi yang digunakan adalah dengan mensinergikan aspek fisik, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Kata kunci: Perkembangan,

Pada kawasan yang memiliki nilai historis dan budaya yang tinggi, pengendalian citra kawasan diperlukan untuk mempertahankan nilai historis dan budayanya. Secara lebih spesifik Lynch (1960) mengemukakan adanya lima elemen yang membentuk citra kawasan, yaitu:

a. Path ( jalur ) Merupakan jalur sirkulasi yang menghubungkan suatu tempat dengan tempat lainnya dan

bersifat linier (satu dimensional). Path akan mempunyai identitas yang lebih baik kalau memiliki tujuan yang jelas, penampakan yang kuat (fasade, pohon, dll), atau belokan yang jelas. Selain terbentuk oleh jalur sirkulasi, lebih lanjut Lynch (1960) menyatakan bahwa karakteristik fasade bangunan di sepanjang path juga berperan penting dalam menciptakan identitas/ karakter pada sebuah path kawasan.

b. Edge ( tepian ) Merupakan batas atau peralihan antara dua daerah yang berbeda karakter. Edge memiliki

identitas yang lebih baik jika kontinuitas tampak jelas batasnya. c. District ( kawasan )

Merupakan suatu daerah (bagian dari kota) dengan ciri kegiatan tertentu dan bersifat dua dimensional serta dapat dikenali. District mempunyai identitas yang lebih baik jika batasnya dibentuk dengan jelas dan dapat dilihat homogen, serta fungsi dan posisinya jelas.

d. Nodes ( simpul ) Merupakan simpul atau lingkaran daerah strategis dimana arah atau aktivitasnya saling

bertemu dan dapat diubah ke arah atau aktivitas lain. Node mempunyai identitas yang lebih baik jika tempatnya memiliki bentuk yang jelas serta tampilan berbeda dari lingkungannya (fungsi, bentuk).

e. Landmark ( Tetenger ) Merupakan bentuk visual yang menonjol yang bisa sebagai ciri khusus pada suatu kawasan.

Salah satu karakter spatial yang dimiliki oleh arsitektur Nusantara adalah konsep penataan

ruang kota kerajaan Mataram (Jawa). Terdapat 4 (empat) karakteristik yang membentuk konsep tata ruang negara Mataram (Jawa), yaitu: sistem klasifikasi simbolik tradisional jawa, pola gradasi kesakralan, kawasan pertahanan, dan pola pergerakan ritual

a. Sistem Klasifikasi Simbolik Tradisional Jawa Dalam kehidupan masyarakat Jawa, dikenal sistem klasifikasi simbolik yang dikembangkan

dari pandangan manusia Jawa akan kosmos, dimana keempat penjuru mata angin diyakini sebagai tempat bertahtanya para dewa. Sistem ini dapat ditelusuri berdasarkan pada sistem berkategori 2,3,5, dan 9. Di sisi lain, manusia Jawa dengan sistem kategori 4,6,dan 8 (Tanudjaya, 1991).

Gambar 1. Sistem Klasifikasi Simbolik Tradisional Jawa (Sumber: Tanudjaya, 1991)

Pola simbolik berkategori empat dikenal dengan nama kiblat pajupat (berdasarkan ajaran Islam) atau pola Mandala (pengaruh Hindu-Jawa). Pola mandala dipadukan dengan pola simbolik berkategori lima yang dikenal dengan Mancapat atau Mancalima dengan titik pusat. Titik pusat dianggap memancarkan tenaga keluar menuju yang berkekuatan lebih tipis, sehingga tempat yang berstatus lebih tinggi dikelilingi yang kurang dekat dengan kekuasaan (Tanudjaya, 1991).

b. Pola Gradasi Kesakralan Santoso (2008) menyatakan bahwa konsep penataan ruang kerajaan Jawa menuntut

terbentuknya suatu hubungan tertentu antara negara agung dan mancanegara. Tata ruang negara Mataram (Jawa) berbentuk suatu lingkaran dengan 4 (empat) radius berbeda yang disusun secara hierarkis dan ditafsirkan sebagai 2 bagian yang berbeda, yaitu bagian inti yang suci (negara agung/ C) dan bagian pinggiran yang duniawi (mancanegara/ D).

Page 4: STUDI PERKEMBANGAN DAN KONSEP REVITALISASI TATA … · Konsep revitalisasi yang digunakan adalah dengan mensinergikan aspek fisik, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Kata kunci: Perkembangan,

Santoso (2008) menjelaskan bahwa pola hubungan antara kraton (lingkaran A) dan negara

(lingkaran B) terulang kembali pada pola hubungan antara negara agung (lingkaran C) dengan mancanegara (lingkaran D). Sedangkan batas negara (ibu kota) yang digambarkan lingkaran B, bukan batas dari kesatuan ruang sakral. Dengan demikian, bagian negara yang tidak termasuk kompleks kraton dapat dianggap wilayah profan dari negara. Di dalam negara, terdapat dua bagian keruangan yang berbeda, yaitu bagian inti yang sakral dan bagian pinggir yang profane. Pola konsentrik teritori kekuasaan berdasarkan gradasi kesakralan dapat digambarkan sebagai berikut:

Masing-masing lingkaran mempunyai nilai kesakralan yang berbeda, yaitu: ‐ Dalem/ Pusat : sebagai inti absolut yang bersifat paling sakral, ‐ Lingkaran A :

(Kedhaton) merupakan tempat kedudukan administrasi dalam (parentah jero) yang sebagai lembaga penghubung antara raja dan administrasi luar (parentah jaba).

‐ Lingkaran B : (Negara)

pusat kerajaan yang disebut Negara atau “pusat kerajaan”. Di dalam negara, bermukim kaum bangsawan dan pegawai negeri tingkat tinggi.

‐ Lingkaran C : (Negara agung)

disebut negara agung (tanah suci) atau “daerah inti wilayah kekuasaan”. Hampir seluruh wilayah negara agung dibagi menjadi sejumlah gaduhan (tanah hak guna pakai atau tanah garapan).

‐ Lingkaran D : (Mancanegara)

mancanegara yaitu wilayah kerajaan yang memiliki sistem administrasi berbeda dengan di negara agung.

c. Melambangkan kawasan pertahanan Konsep kawasan pertahanan juga mempengaruhi pengertian kota. Menurut Tikopranoto

(1980), pengertian kota dalam kehidupan masyarakat Jawa telah mengalami perubahan. Kota (Kutha) pada awalnya diartikan suatu pagar bata atau pagar tembok. Di dalam tembok kutha tersebut terdapat tempat tinggal pimpinan negara/ wilayah para abdi serta para pejabat pemerintah. Pengertian kutha tersebut kemudian berubah dan diartikan sebagai papan padunungan (tempat) pimpinan negara/ wilayah, tanpa adanya tembok.

d. Tata Lingkungan Dilandasi oleh Pola Pergerakan Ritual Menurut Siregar (1990), pengaruh Hindusiation pada tata ruang kota Jawa adalah tatanan

bagian kota dilandasi oleh pola pergerakan ritual (upacara keagamaan. Kegiatan ibadah, dll).

Gambar 3. Pola Gradasi Kesakralan Sumber : Santoso (2008), Tanudjaya (1991)

A B

Gambar 2. Superposisi dari Lingkaran (Sumber : Santoso, 2008)

Keterangan :  A  : Kedhaton B  : Negara C  : Negara agung D  : Mancanegara 

C

D

A B C D

Dalem

Page 5: STUDI PERKEMBANGAN DAN KONSEP REVITALISASI TATA … · Konsep revitalisasi yang digunakan adalah dengan mensinergikan aspek fisik, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Kata kunci: Perkembangan,

Revitalisasi sebagai Respon atas Pergeseran Identitas Kawasan Citra kawasan sebagai identitas kawasan dapat berubah seiring perkembangan kebutuhan

masyarakat maupun perkembangan ekonomi kawasan. Revitalisasi menurt Piagam Burra (1988), adalah menghidupkan kembali kegiatan sosial dan ekonomi bangunan atau lingkungan bersejarah yang sudah kehilangan vitalitas fungsi aslinya, dengan memasukkan fungsi baru ke dalamnya sebagai daya tarik, agar bangunan atau lingkungan tersebut menjadi hidup kembali. Proses revitalisasi bukan hanya berorientasi pada keindahan fisik, tetapi juga harus mampu meningkatkan stabilitas lingkungan, pertumbuhan perekonomian masyarakat pelestarian dan pengenalan budaya (Ichwan, 2004).

Sebagai sebuah kegiatan yang sangat kompleks, revitalisasi terjadi melalui beberapa tahapan dan membutuhkan kurun waktu tertentu serta meliputi hal-hal sebagai berikut (Danisworo, 2000):

a. Intervensi Fisik Dalam arah perancangan kota, intervensi fisik bangunan baru pada kawasan

konservasi yang dilestarikan dapat dilakukan melalui pendekatan-pendekatan yang berlandaskan pada teori-teori berikut:

1) Architecture in Context (Brolin, 1980) ; bertujuan untuk mempelajari bagaimana merancang kaitan visual yang baik dalam menjalin hubungan bangunan baru ke dalam lingkungan yang lama.

2) Context and Contrast (Hedman, 1984) ; Merancang secara kontekstual berarti memberi kaitan visual secukupnya antara bangunan eksisting dan proyek yang diusulkan, sehingga tercipta efek keseluruhan yang menyatu.

3) Adaptive Use (Fitch, 1992) ; merupakan pendekatan dengan menggunakan bangunan bersejarah untuk fungsi/ kegiatan sesuai dengan pertimbangan perkembangan kebutuhan, misalnya nilai ekonomi.

b. Rehabilitasi Ekonomi Revitalisasi yang diawali dengan proses peremajaan artefak urban harus mendukung proses

rehabilitasi kegiatan ekonomi. Perbaikan fisik kawasan yang bersifat jangka pendek, diharapkan bisa mengakomodasi kegiatan ekonomi informal dan formal (local economic development), sehingga mampu memberikan nilai tambah bagi kawasan kota (Hall dalam Wongso, 2006). Dalam konteks revitalisasi perlu dikembangkan fungsi campuran yang bisa mendorong terjadinya aktivitas ekonomi dan sosial (vitalitas baru).

c. Revitalisasi Sosial atau Institusional Keberhasilan revitalisasi sebuah kawasan akan terukur bila mampu menciptakan lingkungan

yang menarik (interesting), jadi bukan sekedar membuat beautiful place. Maksudnya, kegiatan tersebut harus berdampak positif serta dapat meningkatkan dinamika dan kehidupan sosial masyarakat/warga.

METODOLOGI

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Metode pendekatan yang digunakan adalah deskriptif-evaluatif (The descriptive-evaluation methods), dimana data dinyatakan dalam keadaan sewajarnya tanpa merubah ke dalam bentuk simbol-simbol atau bilangan Lingkup Penelitian

Lingkup wilayah penelitian ini adalah area seluas 40,7 hektar yang dikelilingi oleh benteng keraton Kasunanan (Benteng Baluwarti) setinggi 6 meter. Dimana secara administratif berada di Kalurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta.

Lingkup substansi melalui pengkajian aspek fisik dan non-fisik. Pengkajian aspek fisik kawasan Baluwarti meliputi kesesuaian dengan konsep tata ruang negara Mataram (Jawa), yaitu: sistem klasifikasi simbolik tradisional Jawa, pola gradasi kesakralan, kawasan pertahanan, dan pola pergerakan ritual, serta kajian elemen arsitektur pendukung fasade, yaitu: atap, pintu, dinding, warna dan elemen dekoratif. Pengkajian tersebut untuk meningkatkan kualitas fisik-visual kawasan Baluwarti dalam mempertahankan identitas sebagai permukiman tradisional. Sedangkan pengkajian aspek non fisik meliputi: fungsi bangunan, sosial-budaya, dan status kepemilikan. Pengkajian tersebut bertujuan untuk meningkatkan sense of place kawasan Baluwarti dalam mempertahankan identitas sebagai permukiman tradisional.

Page 6: STUDI PERKEMBANGAN DAN KONSEP REVITALISASI TATA … · Konsep revitalisasi yang digunakan adalah dengan mensinergikan aspek fisik, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Kata kunci: Perkembangan,

Indikator Penelitian Indikator perkembangan elemen pembentuk identitas kawasan meliputi: path, edges, district,

nodes, dan landmark. Sedangkan indikator faktor-faktor yang menggeser identitas kawasan meliputi: perkembangan fisik, perubahan fungsi, perekonomian, nilai sosial, status kepemilikan, nilai budaya.

Teknik Penentuan Sampel dan Responden Pemilihan sampel dilakukan dengan purposive sampling atau pemilihan secara sengaja. Terdapat 24 bangunan yang akan dijadikan sampel, yaitu:

a. Benteng Baluwarti (termasuk kori brajanala/ pintu masuk) b. 1 bangunan kori kamandungan Keraton Kasunanan c. 11 Dalem Pangeran d. 4 Griya/ Rumah dengan konsep joglo e. 1 bangunan kesehatan f. 1 fasilitas umum keraton berupa gudang kereta g. 2 bangunan pendidikan h. 3 Bangunan peribadatan

Pemilihan responden (stakeholder) dilakukan dengan purposive sampling atau pemilihan secara sengaja. Kelompok stakeholders tersebut selanjutnya dianalisis tingkat pengaruh (influence) dan tingkat kepentingan (importance) stakeholder terhadap permasalahan revitalisasi tata lingkungan tradisional Baluwarti, sehingga akan dapat diketahui stakeholder kunci

Metode Pengumpulan Data Data untuk mengidentifikasi perkembangan elemen pembentuk identitas kawasan lebih

ditekankan pada data sekunder berupa peta, gambar/ foto, dan sejarah perkembangan kawasan tahun 1745-2010 (time series). Sedangkan data untuk mengidentifikasi faktor yang menggeser identitas kawasan berupa data sekunder dan data primer dengan cara observasi, wawancara semi terstruktur, rekaman, dan materi visual berupa gambar maupun bentuk tiga dimensi (foto, video, & film).  Metode Analisa

Metode yang digunakan adalah deskriptif–kualitatif. Analisa pergeseran elemen pembentuk identitas kawasan menggunakan syncrhonic-diachronic reading berupa studi perkembangan kawasan. Analisa faktor-faktor yang menggeser identitas kawasan dengan teknik Delphi. Selanjutnya, hasil analisa synchronic-diachronic reading dan analisa Delphi dielaborasikan dengan teori identitas kawasan dan revitalisasi kawasan bersejarah, regulasi dan standard, serta pendapat pakar untuk menentukan kriteria revitalisasi sebagai dasar pengembangan konsep revitalisasi Kawasn Baluwarti..

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisa Syncrhonic-Diachronic berupa Studi Perkembangan Elemen Pembentuk Identitas Kawasan Baluwarti a. Path (jalur) 1) Periode Kotaraja Kerajaan Mataram (1745 – 13 Februari 1755)

a) Pengkajian aspek fisik Path mayor membentuk sumbu imajiner, jalur pradaksino (searah jarum jam), serta area

transisi gradasi kesakralan. Path minor mulai terbentuk seiring dengan adanya permukiman bagi abdi dalem di selatan kraton (area sakral). Pengaruh kolonial mulai muncul melalui pembagian blok permukiman dan path minor secara grid pattern.

Pada akhir periode, karakteristik fasade dipengaruhi oleh jenis atap bangunan pada permukiman abdi dalem berupa atap kampung pacul gowang dan kampung trajumas. Dengan adanya aturan adat terkait dengan fasade bangunan, maka tercipta karakteristik visual di sepanjang pathways.

b) Pengkajian aspek non fisik Pathways membentuk poros imajiner mancapat mancalima, jalur pergerakan ritual,

membentuk jalur pradaksino, membagi area profan-sakral serta sebagai area transisi antar gradasi kesakralan untuk pembagian distrik. Ada pembatasan jenis kendaraan yang boleh memasuki kawasan Baluwarti.

Page 7: STUDI PERKEMBANGAN DAN KONSEP REVITALISASI TATA … · Konsep revitalisasi yang digunakan adalah dengan mensinergikan aspek fisik, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Kata kunci: Perkembangan,

2) Masa Penjajahan Belanda (13 Februari 1755 - 17 Agustus 1945) a) Pengkajian aspek fisik

Belanda mempengaruhi path dengan pola kawasan pertahanan dengan adanya supit urang, yaitu berupa jalan masuk ke path mayor yang berbentuk menyerupai huruf U. Path minor berkembang mengikuti perkembangan area abdi dalem di selatan (area sakral). Pada area permukiman abdi dalem mulai berkembang bangunan modern dengan atap limasan dan atap datar. Pada periode ini, mulai berdiri dalem pangeran dengan atap yang seragam, yaitu joglo sinom apitan (trajumas).

Pada periode ini, tipologi regol untuk hunian abdi dalem menyesuaikan dengan tuntutan

fungsi. Jika dahulu pintu masuk menggunakan tolok ukur ukuran tubuh manusia, maka pada periode ini mulai dipertimbangkan unsur alat transportasi (mobil, sepeda motor, becak, dll). Pada masa pemerintahan PB IV (1820), mulai berkembang dalem pangeran dengan konsep regol. Hal ini mempengaruhi karakteristik di sepanjang pathways berupa penambahan tipologi regol.

Pada periode ini mulai muncul elemen dekoratif (ornamen) pada sun shading dan pintu masuk regol. Warna masih didominasi coklat-putih-biru

b) Pengkajian aspek non fisik

- fungsi: tidak hanya untuk kepentingan keraton, tetapi menyesuaikan dengan aktivitas masyarakat yang juga dipengaruhi belanda (pengawasan)

- sosial-budaya: membentuk poros imajinner utara-selatan, membagi area permukiman berdasarkan gradasi kesakralan. Aktivitas budaya berlangsung dengan jalur mengitari Baluwarti

3) Pasca Kemerdekaan - Reformasi (1945 - 1998)

a) Pengkajian aspek fisik Perubahan fisik terjadi pada bentuk Alun-alun selatan (lor) karena pembangunan jalan supit urang pada tahun 1952 dan pembuatan pintu butulan sebagai sarana evakuasi banjir tahun 1966. Fasade bangunan yang membentuk skyline path mayor sudah tidak mengikuti aturan adat. Pada periode ini mulai berkembang griya. Bentuk atap yang digunakan abstraksi dari atap joglo trajumas. Griya juga menggunakan konsep regol yang akan mempengaruhi fasade pada path minor.

b) Pengkajian aspek non fisik Pada periode ini mulai terjadi perubahan sirkulasi yang semula satu arah menjadi dua arah

(melanggar aturan pradaksina), material yang semula aspal diganti dengan paving pada path mayor. Mulai berkembangnya aktivitas wisata keraton mempengaruhi jenis kendaraan yang memasuki kawasan Baluwarti. Keraton sudah tidak bisa mengatur apa dan siapa yang boleh lewat.

Gambar 1. tipologi atap periode penjajahan belanda (Sumber : dikembangkan berdasarkan wawancara (2010), Ismunandar (2003)

(a) atap limasan dan datar) (b) atap joglo trajumas

Gambar 2. Tipologi regol dalem pangeran periode penjajahan belanda (Sumber : dikembangkan berdasarkan wawancara, 2010)

Gambar 3. elemen dekoratif periode penjajahan belanda (Sumber : dikembangkan berdasarkan wawancara, 2010)

Page 8: STUDI PERKEMBANGAN DAN KONSEP REVITALISASI TATA … · Konsep revitalisasi yang digunakan adalah dengan mensinergikan aspek fisik, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Kata kunci: Perkembangan,

4) Reformasi - Sekarang (1998 - 2010) a) Pengkajian aspek fisik

Perkembangan elemen path pada periode ini cenderung sama dengan periode sebelumnya (1945-1998). Pada periode ini terjadi pergeseran konsep regol. Jika pada konsep awal regol menggunakan pasangan dinding bata dan pintu dari kayu, maka pada periode ini pintu menggunakan rolling door. Tuntutan fungsi tersebut antara lain untuk garasi mobil dan ruko (warung). Dinding regol juga difungsikan sebagai reklame usaha. Sehingga mengurangi estetika visual kawasan.

Pada periode ini warna sebagai elemen pembentuk fasade masih didominasi kombinasi

warna putih dan biru laut pada regol. Namun pada perkembangan rumah mulai ada pemakaian warna yang tidak harmonis, seperti warna oranye ( ), merah muda ( ), dan kuning ( ). b) Pengkajian aspek non fisik

Fungsi sosial sebagai pemisah gradasi kesakralan sudah tidak berlaku, karena mulai berkembang area permukiman magersari di area dalem pangeran. Selain itu path tidak lagi menganut konsep pradaksino. Aktivitas budaya berlangsung dengan jalur mengitari Baluwarti pada hanya pathways bagian utara (kamandungan).

b. Edge (tepian) 1) Periode Kotaraja Kerajaan Mataram (1745 – 13 Februari 1755)

a) Pengkajian aspek fisik Pada masa awal Periode Kotaraja Kerajaan Mataram / pemerintahan Paku Buwono (PB) II

sekitar tahun 1745, sudah berdiri tembok keraton (cepuri). Batas kawasan Baluwarti masih menggunakan material bambu sekaligus sebagai zona transisi antara area di dalam kawasan Baluwarti (Prabasuyasa, Keraton, Negari, Negarigung) dengan kawasan di luar Baluwarti (Mancanegara).

Baluwarti Pada awal tahun 1755, Baluwarti mulai mendapat pengaruh dari Belanda, dengan adanya supit urang utara dan konsep pertahanan berupa benteng. Sehingga batas kawasan yang semula dari bambu diganti dengan tembok beton yang didominasi warna putih, dan tanpa ornamen.

b) Pengkajian aspek non fisik

Pada periode ini masih terdapat ikatan sosial antara masyarakat dengan keraton maupun antar masyarakat Baluwarti sendiri. Sehingga masyarakat yang tinggal di batas dalam Benteng Baluwarti dianggap mempunyai strata sosial lebih tinggi. 2) Masa Penjajahan Belanda (13 Februari 1755 - 17 Agustus 1945)

a) Pengkajian aspek fisik PB X memperluas wilayah Baluwarti ke arah timur dan barat, sehingga merubah batas

kawasan Baluwarti. Selain melakukan perluasan wilayah, pada periode ini juga terjadi penambahan dua buah pintu masuk (Brajanala) di sebelah timur dan barat.

b) Pengkajian aspek non fisik Benteng Baluwarti berfungsi untuk mempermudah pengawasan Belanda terhadap aktivitas

keraton, batas teritori kekuasaan dan area pertahanan keraton. Pada akhir periode, ikatan emosional antara warga Baluwarti dengan keraton berkurang, karena Keraton yang tidak lagi menjadi pemegang pemerintahan kawasan Baluwarti dan bergantinya generasi masyarakat yang mendiami kawasan.

Gambar 4. skyline kawasan periode sekarang (2010) (Sumber : dikembangkan berdasarkan wawancara (2010)

Kori kamandungan

Pergeseran fungsi regol Bangunan baru Ketidakharmonisan skyline

Page 9: STUDI PERKEMBANGAN DAN KONSEP REVITALISASI TATA … · Konsep revitalisasi yang digunakan adalah dengan mensinergikan aspek fisik, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Kata kunci: Perkembangan,

3) Pasca Kemerdekaan - Reformasi (1945 - 1998) a) Pengkajian aspek fisik

Pada periode ini konsep edges kawasan Baluwarti tidak mengalami perubahan, yaitu sebagai batas teritori keraton. Namun terjadi perbaikan beberapa bagian tembok Baluwarti mengalami kerusakan akibat banjir tahun 1966.

b) Pengkajian aspek non fisik Pada masa pasca kemerdekaan, keraton bersatu dengan pemerintahan NKRI. Hal ini

berdampak pada fungsi dan peranan edges kawasan, yaitu berubah menjadi batas administrasi kelurahan Baluwarti. Ikatan emosional antar warga juga mulai luntur seiring dengan bergantinya generasi masyarakat yang mendiami kawasan, sehingga tidak ada lagi perbedaan strata sosial antara yang tinggal di dalam dengan yang tinggal di luar kompleks.

4) Reformasi - Sekarang (1998 - 2010)

a) Pengkajian aspek fisik Pada periode ini, konsep edges sama dengan periode sebelumnya, yaitu benteng Baluwarti sebagai batas teritori keraton.

b) Pengkajian aspek non fisik Fungsi dan peranan edges kawasan menjadi batas administrasi dan batas pengamanan

kelurahan Baluwarti. Pada periode ini, ikatan emosional antara warga Baluwarti dengan keraton sudah menipis. Hal ini terkait dengan status keraton yang tidak lagi menjadi pemegang pemerintahan kawasan Baluwarti. c. District ( kawasan) 1) Periode Kotaraja Kerajaan Mataram (1745 – 13 Februari 1755) a) Pengkajian aspek fisik

Pada awal periode (1745), kawasan Baluwarti hanya terdiri dari kompleks kedhaton tempat tinggal raja dan keluarganya. Pada tahun 1755 (PB III), Raja mulai menyediakan permukiman abdi dalem di sebelah selatan Keraton yang dianggap sebagai area sakral, yaitu Tamtaman (prajurit Tamtomo), Carangan (prajurit Carangan), dan Wirengan (prajurit Wirengan). Pola permukiman mempunyai grid pattern berdasarkan latar belakang abdi dalem dan status penghuni. Dalam gradasi kesakralan, distrik dengan pola permukiman berada di lingkaran negarigung.

b) Pengkajian aspek non fisik Pada periode kotaraja Kerajaan Mataram Jawa, masih ada ikatan sosial antara masyarakat

dengan keraton maupun antar masyarakat Baluwarti sendiri. Masyarakat yang tinggal di batas dalam Benteng Baluwarti dianggap mempunyai strata sosial lebih tinggi. Permukiman abdi dalem merupakan permukiman yang disediakan raja bagi abdi dalem keraton dengan status kepemilikan “lungguh/ tempat tinggal” dan “anggaduh run temurun”. Status kepemilikan tersebut berlaku untuk bangunan rumah, sedangkan tanah di dalam tembok Baluwarti menjadi hak keraton. 2) Masa Penjajahan Belanda (13 Februari 1755 - 17 Agustus 1945)

a) Pengkajian aspek fisik Pada periode ini, mulai berkembang permukiman di sebelah barat Keraton (Hordenasan).

Selain itu juga berdiri beberapa dalem pangeran baru yang terletak di sebelah utara dan selatan Keraton. Pemisahan permukiman sesuai dengan profesi dan derajat kebangsawanan. Grid pattern bertujuan untuk pengawasan dari pihak Belanda. Dalam gradasi kesakralan, distrik dengan pola dalem terletak dalam lingkaran negari. Sedangkan pola permukiman berada di lingkaran negarigung. Pola dalem diperuntukkan bagi pangeran/ bangsawan, dimana abdi dalem/ pembantu keluarga diijinkan untuk tinggal di lingkungan dalem pangeran dengan status magersari, sehingga terbentuklah sebuah compound house.

Pada area permukiman abdi dalem mulai berkembang bangunan modern dengan atap limasan dan atap datar. Pada periode ini, mulai berdiri dalem pangeran dengan atap yang seragam, yaitu joglo sinom apitan (trajumas).

Page 10: STUDI PERKEMBANGAN DAN KONSEP REVITALISASI TATA … · Konsep revitalisasi yang digunakan adalah dengan mensinergikan aspek fisik, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Kata kunci: Perkembangan,

10 

b) Pengkajian aspek non fisik Permukiman mulai mengalami perubahan fungsi sesuai dengan aktivitas masyarakat. Hal ini

antara lain dipengaruhi oleh berdirinya Pasar Klewer di sebelah barat kawasan Baluwarti. Fungsi pendhapa pada dalem pangeran sebagai pewadahan aktivitas kesenian masyarakat (kesenian gamenlan, karawitan, dll)

Pada masa pemerintahan PB IV (1820), mulai berkembang dalem pangeran. Status kepemilikan dari dalem pangeran adalah “paringan dalem/ pemberian raja”. Status kepemilikan tersebut berlaku untuk bangunan rumah, sedangkan tanah di dalam tembok Baluwarti menjadi hak keraton. Pada periode ini juga berkembang distrik dengan status kepemilikan magersari, yaitu hunian abdi dalem yang berkembang di area dalem pangeran, sehingga membentuk sebuah compound house. 3) Pasca Kemerdekaan - Reformasi (1945 - 1998)

a) Pengkajian aspek fisik Pada periode ini, permukiman tradisional mulai bercampur dengan permukiman modern.

Pada awalnya, lingkaran negari hanya diperuntukkan bagi dalem pangeran. Pada periode ini, di lingkaran negari mulai berkembang permukiman.

Pola permukiman berkembang secara sporadis dan irreguler tanpa menerapkan pola utara - selatan maupun mancapat-mancalima dan gradasi kesakralan. Dimana orientasi bangunan yang ada saat ini lebih berorientasi pada unsur ekologis lingkungan fisik, misalnya arah/ ukuran kapling tanah yang ada, jalur jalan yang ada, serta ciri lingkungan seperti mengikuti pola benteng.

b) Pengkajian aspek non fisik

Saat ini, fungsi rumah dan permukiman masyarakat Baluwarti mulai bergeser. Hal ini dapat diindikasikan dari mulai ada pergeseran fungsi baru bersifat non – budaya (tidak terkait dengan Keraton) yang juga berdampak pada pergeseran identitas kawasan sebagai permukiman tradisional, sehingga saat terasa kurang mempunyai keterkaitan (linkage) dengan Keraton Surakarta.

Dari aspek sosial, penduduk Baluwarti dalam beberapa hal terikat pada aturan adat. Misalnya hubungan mereka dengan masyarakat di luar Kori Brajanala lebih terbatas, karena kori Brajanala ditutup antara pukul 23.00 dan 05.30 (berlaku jam malam pada kawasan). Pada perkembangannya, nilai sosial tersebut mengalami kemunduran. Seperti adanya akses butulan, sehingga memungkinkan untuk keluar masuk kawasan Baluwati secara bebas 24 jam.

Pada periode ini, status kepemilikan tanah mulai menimbulkan permasalahan. Hal ini terkait dengan bergabungnya keraton dengan NKRI, sehingga status tanah “lungguh, anggaduh run temurun, magersari, dan paringan dalem” menjadi tidak jelas.

4) Reformasi - Sekarang (1998 - 2010)

a) Pengkajian aspek fisik Perkampungan mendominasi kawasan. Permukiman magersari berkembang di halaman

dalem Pangeran. Distrik baru tidak berdasarkan gradasi kesakralan dan profesi abdi dalem, meskipun nama kampung yang digunakan masih sama. Jika dahulu kawasan Baluwarti hanya diperuntukkan bagi abdi dalem, maka sekarang pihak luar boleh bertempat tinggal (sewa, kontrak, kost, dll).

Fasade bangunan sudah tidak mengikuti aturan adat, karena mulai berkembang bangunan bertingkat pada area perkampungan (meskipun tidak melebihi Panggung Sangga Buwana, namun mengurangi keharmonisan skyline). Hal ini terkait dengan tidak adanya aturan pengendalian bangunan dan lingkungan di kawasan Baluwarti. Dahulu keraton mempunyai wewenang pengendalian melalui aturan adat yang ditaati warga, namun sekarang aturan tersebut sudah mulai ditinggalkan warga.

Gambar 5. tipologi atap periode sekarang (2010) Sumber : dikembangkan berdasarkan wawancara (2010)

Page 11: STUDI PERKEMBANGAN DAN KONSEP REVITALISASI TATA … · Konsep revitalisasi yang digunakan adalah dengan mensinergikan aspek fisik, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Kata kunci: Perkembangan,

11 

Pada konsep awal, regol menggunakan dinding bata dan pintu kayu. Namun, pada periode ini pintu menggunakan rolling door karena tuntutan fungsi, seperti untuk garasi mobil, ruko (warung). Dinding regol juga difungsikan sebagai reklame usaha, sehingga mengurangi estetika kawasan.

b) Pengkajian aspek non fisik

Terjadi perkembangan aktivitas pada distrik yang dipengaruhi aktivitas ekonomi dan sosial, seperti pemanfaatan hunian sebagai rumah kost, katering, dll.

Pada periode ini, status kepemilikan di Baluwarti didominasi oleh status magersari (90%). Kondisi permukiman magersari pada perkembangannya menjadi tidak teratur, sehingga secara visual merusak dan dapat melemahkan identitas kawasan. d. Nodes ( simpul ) 1) Periode Kotaraja Kerajaan Mataram (1745 – 13 Februari 1755)

a) Pengkajian aspek fisik Pada awal Periode Kotaraja Kerajaan Mataram (1745), kamandungan utara Keraton

merupakan node mayor, karena mudah diingat dengan adanya Keraton sebagai landmark dan sebagai pusat kegiatan sosial masyarakat Baluwarti. Hingga februari 1755 tidak terjadi perubahan jenis node mayor di Kawasan Baluwarti dari periode sebelumnya, namun mulai terbentuk nodes minor seiring dengan berkembangnya permukiman abdi dalem.

Pada konsep awal terbentuknya Baluwarti, Kori Brajanala yang terdapat pada kori kamandungan utara dan selatan merupakan nodes mayor atau pintu masuk kawasan. Kori Brajanala menggunakan abstraksi bentuk atap konsep joglo semar tinandhu dengan material kontemporer (tembok beton). Sebagai simpul antara kawasan Baluwarti dengan kawasan di luar Baluwarti (mancanegara), maka setiap kori kamandungan dibangun pintu besar (regol). Elemen fisik pada Kori Brajanala yaitu dengan penggunaan dinding beton berwarna putih tanpa elemen dekoratif.

b) Pengkajian aspek non fisik

Nodes mayor menghubungkan kawasan Baluwarti dengan kawasan di luar Baluwarti (mancanegara), sebagai pembentuk poros imajiner utara –selatan, dan sebagai pusat kegiatan sosial masyarakat Baluwarti Nodes minor sebagai simpul/ pertemuan antara area keraton dengan seiring area permukiman abdi dalem (1755). Kamandungan Utara merupakan area transisi antara kehidupan keraton dengan kehidupan kawula alit (rakyat biasa) dan tempat prajurit beristirahat tanpa senjata.

Gambar 6. pergeseran regol periode sekarang (2010) Sumber : dikembangkan berdasarkan wawancara (2010)

Gambar 7. abstraksi atap joglo semar tinandhu pada kori Brajanala Sumber : dikembangkan berdasarkan wawancara (2010) Konsep awal joglo semar tinandhu abstraksi

Page 12: STUDI PERKEMBANGAN DAN KONSEP REVITALISASI TATA … · Konsep revitalisasi yang digunakan adalah dengan mensinergikan aspek fisik, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Kata kunci: Perkembangan,

12 

2) Masa Penjajahan Belanda (13 Februari 1755 - 17 Agustus 1945) a) Pengkajian aspek fisik

Pola mancapat-mancalima mulai bergeser. Simpul aktivitas berkembang dengan penambahan Kori Brajanala, yaitu:

‐ Di sebelah utara bernama Kori Brajanala Utara (1782/ Paku Buwana III) ‐ Di sebelah selatan bernama Kori Brajanala Selatan. ‐ Di sebelah timur diberi nama Kori Batulan Wetan (1837) ‐ Di sebelah barat diberi nama Kori Butulan-Kulon (1836).

Terjadi perkembangan nodes minor seiring dengan perkembangan distrik (perkampungan baru). b) Pengkajian aspek non fisik

Pada awal periode, nodes masih berfungsi sebagai simpul antara kawasan keraton dengan Mancanegara sekaligus sebagai simpul aktivitas keraton. Pada akhir periode, fungsi pada nodes berkembang menjadi simpul aktivitas ekonomi dan transportasi kawasan.

Dari aspek sosial-budaya, nodes mayor masih menjadi pusat Sense of occasion, seperti: tingalan jumenengan raja, kirab malam 1 sura, gunungan, jamasan pusaka, grebeg maulud, dll. 3) Pasca Kemerdekaan - Reformasi (1945 - 1998)

a) Pengkajian aspek fisik Pada perode ini simpul kamandungan masih menjadi pusat aktivitas keraton, meskipun

dalam skala dan intensitas berbeda. b) Pengkajian aspek non fisik

Fungsi nodes lebih didominasi sebagai penunjang aktivitas ekonomi kawasan Baluwarti, yaitu: Kori Brajanala Utara menghubungkan dengan Pasar Klewer, Kori Brajanala Timur menghubungkan dengan Pasar Kliwon, Kori Brajanala Selatan menghubungkan dengan Pasar Gading, dan Kori Brajanala Barat menghubungkan kawasan Coyudan. 4) Reformasi - Sekarang (1998 - 2010)

a) Pengkajian aspek fisik Secara umum pergeseran yang terjadi sama dengan periode sebelumnya, yaitu sebagai

dampak dari berkembangnya simpul aktivitas di Butulan yang menggeser konsep mancapat mancalima serta poros imajiner utara-selatan.

b) Pengkajian aspek non fisik Nodes mayor masih menjadi pusat Sense of occasion, yaitu berkaitan dengan perayaan

tradisional khusus, kultur, dan kebudayaan masyarakat yang mengekspresikan ciri masyarakat Baluwarti. Seperti: tingalan jumenengan raja, kirab malam 1 sura, gunungan, jamasan pusaka, gamelan, grebeg maulud, kirab budaya, dan lain-lain.

e. Landmark (Tetenger) 1) Periode Kotaraja Kerajaan Mataram (1745 – 13 Februari 1755)

a) Pengkajian aspek fisik Keraton menjadi landmark tunggal karena menjadi inti dari pola mandala, pusat dari sumbu

(axis) kawasan Baluwarti, pusat pergerakan ritual dan gradasi kesakralan. Bagian yang menjadi landmark adalah Kori Kamandungan dan Panggung Sanggabuwana, karena mempunyai bentuk visual yang menonjol dan menjadi suatu ciri khusus pada kawasan Baluwarti.

Gambar 8. landmark periode kotaraja kerajaan Mataram (Jawa) (Sumber : dikembangkan berdasarkan wawancara, 2010)

Panggung Sanggabuwana

Kori Kamandungan

Page 13: STUDI PERKEMBANGAN DAN KONSEP REVITALISASI TATA … · Konsep revitalisasi yang digunakan adalah dengan mensinergikan aspek fisik, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Kata kunci: Perkembangan,

13 

Warna merupakan salah satu elemen pembentuk landmark pada suatu bangunan. Pada konsep awal, warna kori Kamandungan belum menjadi elemen yang menonjol secara visual. Hal ini karena kori Kamndungan masih menggunakan warna alam dari material bangunan, yaitu bambu yang juga sebagai elemen dekoratif.

b) Pengkajian aspek non fisik Menara Sanggabuwana digunakan sebagai tempat meditasi Susuhunan sekaligus untuk

mengawasi benteng VOC/ Hindia Belanda (Benteng Vastenburgh) yang berada tidak jauh dari istana. Pada konsep awal, kori Kamandungan merupakan tempat berlangsungnya Sense of occasion, yaitu berkaitan dengan perayaan tradisional khusus, kultur, dan kebudayaan masyarakat yang mengekspresikan ciri masyarakat Baluwarti. Seperti: tingalan jumenengan raja, gunungan, jamasan pusaka, gamelan, grebeg maulud, kirab budaya, dan lain-lain. 2) Masa Penjajahan Belanda (13 Februari 1755 - 17 Agustus 1945)

a) Pengkajian aspek fisik Keraton (Kori Kamandungan dan panggung Sanggabuwana) menjadi landmark kawasan.

Pada awal tahun 1755, Baluwarti mulai mendapat pengaruh dari Belanda dengan renovasi kori kamandungan yang semula dari bambu diganti dengan tembok beton dan ornamen kayu. Pada masa pemerintahan PB IV (1820) mulai berdiri dalem pangeran di sebelah utara keraton (area sakral). Pada akhir periode didirikan fasilitas umum keraton, yaitu Sekolah (Kastryan dan Sekolah Pamardhi Putri), masjid (Suronahtan, Gambuhan), dan gudang kereta. Fasilitas umum dan dalem pangeran tersebut kemudian menjadi salah satu karakteristik kawasan Baluwarti (menjadi landmark minor)

Pada landmark mayor (kori Kamandungan), atap berkembang menjadi limasan yang dilengkapi unsur dekoratif berupa ornamen pada fasade (muka bangunan). Warna kamandungan sudah menjadi elemen yang dominan bagi kawasan, yaitu penggunaan warna biru laut. Karakteristik dalem pangeran sebagai landmark minor menggunakan atap yang seragam yaitu joglo sinom apitan (trajumas) dan konsep regol dengan warna putih.

b) Pengkajian aspek non fisik

Kori kamadungan menjadi area transisi kompleks kedhaton dengan kawasan permukiman (negari dan negarigung). Dalem pangeran berfungsi sebagai rumah tinggal sekaligus sebagai wadah kegiatan sosial/ publik, seperti menerima tamu, latihan menari, prosesi ritual, dll. 3) Pasca Kemerdekaan - Reformasi (1945 - 1998)

a) Pengkajian aspek fisik Kori Kamandungan dan panggung Sanggabuwana masih menjadi landmark mayor,

sedangkan landmark minor bertambah dengan berkembangnya griya. Pada periode ini, mulai ada penambahan elemen yang tidak kontekstual, berupa pemakaian seng pada sun shading.

Gambar 9. elemen arsitektur pendukung fasade pada landmark periode penjajahan belanda (Sumber : dikembangkan berdasarkan wawancara (2010), Ismunandar (2003)

atap joglo trajumas 

Regol dalem pangeran

Fasade kamandungan 

Page 14: STUDI PERKEMBANGAN DAN KONSEP REVITALISASI TATA … · Konsep revitalisasi yang digunakan adalah dengan mensinergikan aspek fisik, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Kata kunci: Perkembangan,

14 

b) Pengkajian aspek non fisik Kraton masih jadi landmark mayor, aktivitas terkait dengan landmark masih dijaga. Pada

landmark minor terjadi beberapa perubahan fungsi, antara lain: - Sekolah Kasatriyan (sekolah khusus pria) berubah menjadi SMP Kasatriyan pada tahun 1960. - Dalem Sindusenan berubah menjadi Pusat Pendidikan Topografi TNI AD pada tahun 1957. - Sekolah Pamardi Putri berubah menjadi BPLP dan SDN Pamardi Putri tahun 1960. - Bangunan Kamstin berubah menjadi SDN Kasatriyan & SDN Pamardi Siwi tahun 1958 & 1960. - Dalem Kadipaten berubah menjadi musium Keraton Surakarta pada (1963). 4) Reformasi - Sekarang (1998 - 2010) a) Pengkajian aspek fisik

Pada periode ini, landmark ditinjau dari kesesuaian dengan konsep tata ruang negara Mataram (Jawa) masih sama dengan periode sebelumnya. Pada periode ini, sebagian besar landmark kawasan dalam kondisi tidak terawat.

b) Pengkajian aspek non fisik Kori kamadungan menjadi area transisi kompleks kedhaton dengan kawasan permukiman

(negari dan negarigung). Sebagian besar Dalem Pangeran mengalami perubahan fungsi, baik masih berhubungan dengan keraton maupun tidak.

Berdasarkan analisa perkembangan elemen-elemen pembentuk identitas kawasan Baluwarti

dengan teknik synchronic-diachronic, maka hasil identifikasi pergeseran yang terjadi pada masing-masing elemen dapat dilihat pada tabel berikut:

No. Elemen Pergeseran Fisik Pergeseran Non Fisik 1 Path - Jalur pradaksino bergeser ( 2 arah).

- Path minor tidak lagi di area sakral (Utara-Selatan).

- Fasade dan Skyline yang membentuk hierarki ruang luar, berkembang menjadi tidak seirama.

- Perkembangan elemen pembentuk fasade(atap, regol, warna, dan ornamen) tidak kontekstual dengan konsep awal.

- fungsi pathways berkembang menyesuaikan dengan aktivitas masyarakat.

- Pemanfaatan pathways untuk aktivitas budaya hanya pada koridor tertentu (area kamandungan).

- Aktivitas budaya pada pathways berkurang, sehingga sense of occation juga berkurang.

- Keraton tidak mempunyai wewenang pengaturan apa dan siapa yang boleh melewati pathways di Baluwarti.

2 Edges Pada elemen edges tidak terjadi pergeseran fisik.

- tidak lagi menjadi sebagai pemisah area berdasarkan gradasi kesakralandi dalam kawasan Baluwarti (Prabasuyasa, Keraton, Negari, Negarigung) dengan kawasan di luar Baluwarti (Mancanegara). Namun menjadi batas administrasi kelurahan Baluwarti

- ikatan emosional warga Baluwarti dengan keraton mulai berkurang.

- Ikatan emosional antar warga juga mulai luntur 3 District - Permukiman berkembang tanpa

menerapkan pola utara – selatan, mancalima dan gradasi kesakralan.

- Permukiman tradisional mulai bercampur dengan permukiman modern.

- Perkembangan kawasan mengisi ruang kosong pada kantong grid.

- Berorientasi pada unsur ekologis lingkungan fisik

- mulai ada pergeseran fungsi baru bersifat non – budaya

- Distrik baru tidak berdasarkan profesi abdi dalem, skrg pihak luar boleh bertempat tinggal (sewa, kontrak, kost, dll).

- Ikatan sosial antar warga dan ikatan emosional warga dengan keraton menipis.

Gambar 10. elemen arsitektur pendukung fasade pada landmark periode sekarang (2010) (Sumber : dikembangkan berdasarkan wawancara (2010)

Tabel 1. hasil identifikasi pergeseran pada elemen identitas kawasan Baluwarti

Page 15: STUDI PERKEMBANGAN DAN KONSEP REVITALISASI TATA … · Konsep revitalisasi yang digunakan adalah dengan mensinergikan aspek fisik, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Kata kunci: Perkembangan,

15 

4 Nodes - Penambahan pintu “butulan” tidak sesuai dengan konsep mancapat-mancalima.

- Nodes mayor di brojonolo timur, barat, dan selatan mempengaruhi aktivitas ekonomi masyarakat Baluwarti.

5 Landmark - Sebagian besar landmark kawasan dalam kondisi tidak terawat.

- pada landmark minor mulai terjadi beberapa perubahan fungsi

- ikatan emosional warga Baluwarti dengan keraton mulai berkurang (apresiasi terhadap sense of occation rendah).

- magersari mengurangi estetika visual (terkait sense of belonging).

Sumber: analisa synchronic-diachronic, 2010

Hasil Analisa Delphi Berdasarkan analisa, teridentifikasi faktor-faktor yang menggeser identitas kawasan Baluwarti, yaitu:

a. Perkembangan fisik yang mempengaruhi karakteristik visual kawasan. b. Perubahan fungsi yang mempengaruhi ragam aktivitas kawasan. c. Perekonomian yang mempengaruhi karakter visual kawasan, ragam aktivitas serta nilai

sosial. d. Nilai sosial yang mempengaruhi ikatan batin dan sense of belonging terhadap kawasan.

Selain itu, kedudukan politik keraton juga berpengaruh dalam menerapkan aturan pengendalian kawasan.

e. Status kepemilikan yang mempengaruhi rasa kepemilikan masyarakat Baluwarti (sense of belonging).

f. Pemahaman masyarakat Baluwarti terhadap kegiatan pelestarian yang mempengaruhi peran serta masyarakat dalam kegiatan revitalisasi kawasan.

Hasil Analisa Triangulasi

Berdasarkan analisa, kriteria revitalisasi yang diterapkan pada kawasan Baluwarti mengandung arti lebih dari “visible feature of teritory”, dengan menyerap konflik interaksi antar kegiatan manusia dan lingkungan. Setiap elemen fisik, manusia, budaya, sosial, dan ekonomi menjadi bagian yang setara. Konsep yang digunakan adalah dengan mensinergikan aspek fisik, aspek ekonomi, dan aspek sosial.  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 11. konsep revitalisasi kawasan Baluwarti yang berkelanjutan (sustainability)

Sumber: Peneliti, 2010

Rehabilitasi Ekonomi - peruntukan fungsi baru kawasan dengan adaptive-use - zoning management aktivitas dan fungsi baru sesuai karakteristik segmen, - pewadahan aktivitas dan penunjang ekonomi kawasan.

Interfensi Fisik 

Rehabilitasi Ekonomi Rehabilitasi Sosial 

SUSTAINABLE

Rehabilitasi Sosial - pewadahan “srawung warga”, - pewadahan pergelaran budaya

dan kerajinan tradisional (grebeg syawal, jamasan pusaka, wayang beber, keris, dll),

- meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap bangunan lama,

- peletakan informasi budaya dan potensi kawasan pada spot penting, dan

- mewadahi forum diskusi antara warga dengan akademisi/ pemerintah.

Interfensi Fisik - zoning management, - Pembentukan hirarki ruang

luar, - mengabstraksikan bentuk dan

elemen dari konsep asli kawasan Baluwarti,

- intervensi fisik sesuai tingkat pergeseran.

Page 16: STUDI PERKEMBANGAN DAN KONSEP REVITALISASI TATA … · Konsep revitalisasi yang digunakan adalah dengan mensinergikan aspek fisik, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Kata kunci: Perkembangan,

16 

PENUTUP Kesimpulan a. Penataan elemen pembentuk identitas kawasan Baluwarti didominasi prinsip mikrokosmis-

hierarkis. Selain itu juga merupakan transformasi pokok-pokok pikiran yang terlihat dari perwujudannya yang tradisional mitologis.

b. Elemen pembentuk identitas kawasan mengalami pergeseran secara fisik dan non-fisik. Faktor yang menggeser identitas kawasan Baluwarti tidak hanya faktor fisik, namun terdapat faktor non-fisik yang juga berperan serta.

c. Kriteria revitalisasi yang diterapkan pada kawasan Baluwarti mengandung arti lebih dari “visible feature of teritory”, dengan menyerap konflik interaksi antar kegiatan manusia dan lingkungan. Setiap elemen fisik, manusia, budaya, sosial, dan ekonomi menjadi bagian yang setara.

d. Konsep yang digunakan adalah konsep revitalisasi kawasan yang berkelanjutan (sustainability), berupa keseimbangan antara karakteristik fisik, pemanfaatan potensi ekonomi, dan kelestarian nilai sosial kawasan Baluwarti.

Saran

Penentuan sampel bangunan kuno pada penelitian selanjutnya disarankan dengan mempertimbangkan aspek lain selain aspek usia bangunan, kondisi fisik, fungsi, dan ekonomis. Namun dapat mempertimbangkan makna cultural (cultural significances), meliputi: estetika, kejamakan, kelangkaan, keluarbiasaan, peranan sejarah, dan memperkuat kawasan. Pembelajaran (Lesson Learned) Sebagai penutup, maka pembelajaran (lesson learned) yang dapat diambil yaitu diperlukan adanya reformasi konsep revitalisasi agar tumbuh dengan akar yang kuat, sehingga mampu berkembang secara berkelanjutan. Konsep baru tersebut adalah dengan mensinergikan aspek fisik, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Intervensi fisik merupakan strategi jangka pendek untuk meningkatkan kondisi fisik dan menjaga karakteristik visual kawasan serta mendorong peningkatan aktivitas ekonomi jangka panjang. Sehingga tetap diperlukan perbaikan dan peningkatan aktivitas ekonomi (economic revitalization) yang merujuk pada aspek sosial-budaya serta aspek lingkungan (environmental objectives). Revitalisasi harus melibatkan partisipasi masyarakat, sehingga upaya revitalisasi yang dilakukan tidak hanya bertahan dalam kurun waktu singkat akan tetapi dapat berkelanjutan dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Antariksa (2010), Tipologi Wajah Bangunan dan Riasan dalam Arsitektur Kolonial Belanda,

http://antariksaarticle.blogspot.com/20100501_archive.html (diakses 9 Mei 2010: 22.47) Appleyard, Donald (1982), Three Kinds of Urban Design Practice, Purchase, Institute of Urban

Design, New York. Brolin, Brent C. (1980), Architecture in Context: Fitting New Building With Old, Van Nostrand

Reinhold Co., New York Danisworo, Mohammad & Widjaja Martokusumo (2000), “Revitalisasi Kawasan Kota Sebuah Catatan

dalam Pengembangan dan Pemanfaatan Kawasan Kota”. (www.urdi.org (urban and reginal development institute, 2000)) diakses 22 Maret 2009 pukul 23.17.

Fitch, James Marston (1992), Historic Preservation: Curatorial Management of the Built World, The McGraw-Hill Companies Inc., New York.

Gallion, B. Arthur, dkk. (1992), Pengantar Perancangan Kota, Erlangga, Jakarta. Hardiyanti, Nurul S., Antariksa, dan Hariyani, Septiana, (2005), “Studi Perkembangan dan Pelestarian

Kawasan Keraton Kasunanan Surakarta”, DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR, Vol. 33, No. 1, Desember 2005: 112 – 124.

Hedman, Richard and Jaszewski, Andrew (1984), Fundamentals of Urban Design. Planner Press, American Planning Association, Chicago, Illionis.

ICOMOS 14th General Assembly, Victoria Falls, Zimbabwe, Oktober 2003

Page 17: STUDI PERKEMBANGAN DAN KONSEP REVITALISASI TATA … · Konsep revitalisasi yang digunakan adalah dengan mensinergikan aspek fisik, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Kata kunci: Perkembangan,

17 

Ichwan, Rido Matari (2004), “Penataan dan Revitalisasi sebagai Upaya Meningkatkan Daya Dukung Kawasan Perkotaan”, Makalah pribadi Pengantar ke Falsafah Sains, Sekolah Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Lynch, Kevin (1960), The Image of The City, MIT Press, Cambridge. Sajid, R M. (1984), Babad Sala, Perpustakaan Rekso Pustoko Mangkunegaran, Surakarta Santoso, Jo (2008), Arsitektur Kota Jawa: Kosmos, Kultur dan Kuasa, Centrapolis, Jakarta. Shirvani, Hamid (1985), The Urban Design Process, Van Nostrand Reinhold Company, NY Siregar, Sandi Aminuddin (1990), Bandung The Architecture Of The City In Devolopment, Disertasi

pada K.U. Leuven, Belgie. Tanudjaya, Sinar J. (1992), Wujud Arsitektur sebagai Ungkapan Makna Sosial Budaya Manusia,

Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta Tikopranoto dan Mardisuwignya (1980), Sejarah Kutha Sala, Toko Buku Pelajar, Sala Trancik, Roger (1986), Finding Lost Space, Theories of Urban Design, Van Rostrand Reinhold

Company, New York. Wongso, Jonny (2006), “Strategi Revitalisasi Kawasan Pusat Kota Bukittinggi”, Jurusan Teknik

Arsitektur FTSP - Universitas Bung Hatta Padang http://www.fab.utm.my/download/ConferenceSemiar/ICCI2006S5PP20.pdf

+revitalisasi+bukittinggi&hl=id&gl=id&sig=AFQjCNHrQv9qAp8u5ihibZWkleXO3WOCTA (diakses 09 September 2009 pukul 23.57)

Zahnd, Markus (1999), Perancangan Kota secara Terpadu, Penerbit Kanisius,Yogyakarta.

Page 18: STUDI PERKEMBANGAN DAN KONSEP REVITALISASI TATA … · Konsep revitalisasi yang digunakan adalah dengan mensinergikan aspek fisik, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Kata kunci: Perkembangan,

18 

LAMPIRAN: PERKEMBANGAN ELEMEN PEMBENTUK IDENTITAS KAWASAN BALUWARTI Path

- Jejalur pradaksino (path) mengalami pergeseran fisik dan fungsi. Hal ini dapat diindikasikan dengan berkembangnya pradaksino menjadi 2 (dua) arah,

berkembangnya fasade dan skyline menjadi tidak seirama, dan berkurangnya aktivitas budaya pada pathways yang mempengaruhi berkurangnya sense of occation kawasan.

Edges

- Benteng Baluwarti (edges) tidak mengalami pergeseran fisik, namun mengalami pergeseran fungsi. Hal ini dapat diindikasikan dengan tidak lagi menjadi sebagai pemisah area berdasarkan gradasi kesakralan (Prabasuyasa, Keraton, Negari, Negarigung) dengan kawasan di luar Baluwarti (Mancanegara), namun menjadi batas administrasi kelurahan Baluwarti.

Page 19: STUDI PERKEMBANGAN DAN KONSEP REVITALISASI TATA … · Konsep revitalisasi yang digunakan adalah dengan mensinergikan aspek fisik, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Kata kunci: Perkembangan,

19 

District

- Unit permukiman (district) mengalami pergeseran fisik dan fungsi. Hal ini dapat diindikasikan dari permukiman yang berkembang tanpa menerapkan pola

U-S, mancapat-mancalima, gradasi kesakralan, dan tidak berdasarkan profesi abdi dalem, serta terjadi pergeseran fungsi baru bersifat non–budaya.

Page 20: STUDI PERKEMBANGAN DAN KONSEP REVITALISASI TATA … · Konsep revitalisasi yang digunakan adalah dengan mensinergikan aspek fisik, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Kata kunci: Perkembangan,

20 

Nodes

- Kamandungan dan butulan (nodes) mengalami pergeseran fisik dan fungsi. Hal ini dapat diindikasikan dari penambahan pintu “butulan” yang tidak sesuai dengan konsep mancapat-mancalima, dan berkembangnya fungsi Brajanala yang mempengaruhi aktivitas ekonomi masyarakat Baluwarti.

Landmark

- Keraton-dalem pangeran (landmark) mengalami pergeseran fisik dan fungsi. Sebagian besar landmark kawasan dalam kondisi tidak terawat dan terjadi perubahan fungsi. Selain itu apresiasi terhadap sense of occation juga rendah

Sumber: Analisa Syncrhonic-diachronic, 2010