STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT...

84
i STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENURUT STAATBLAD 1917 NOMOR 129 DAN MENURUT HUKUM ISLAM SKRIPSI Oleh: MIKO VERIYADI PRAJOKO E1A005351 Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2011

Transcript of STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT...

Page 1: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

i

STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUM

PENGANGKATAN ANAK MENURUT STAATBLAD 1917 NOMOR 129

DAN MENURUT HUKUM ISLAM

SKRIPSI

Oleh:

MIKO VERIYADI PRAJOKO

E1A005351

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2011

Page 2: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

ii

LEMBAR PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI

STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUM

PENGANGKATAN ANAK MENURUT STAATBLAD 1917 NOMOR 129

DAN MENURUT HUKUM ISLAM

Disusun oleh :

MIKO VERIYADI PRAJOKO

E1A005351

Untuk memenuhi salah satu persyaratan Memperoleh gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Diterima dan disahkan

Pada, Maret 2011

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Trusto Subekti, S.H., M.Hum. Udjiati, S.H., M.H. NIP. 19500410 198003 1 003 NIP. 19490915 198003 2 001

Penguji

Haedah Faradz, S.H., M.H NIP. 19590725 198601 2 001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman

Hj. Rochani Urip Salami, S.H., M.S. NIP. 19520603 198003 2 001

Page 3: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

iii

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : MIKO VERIYADI PRAJOKO

NIM : E1A005351

Judul Skripsi : STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP

DAN AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN

ANAK MENURUT STAATBLAD 1917 NOMOR

129 DAN MENURUT HUKUM ISLAM

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul ”STUDI

PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUM

PENGANGKATAN ANAK MENURUT STAATBLAD 1917 NOMOR 129

DAN MENURUT HUKUM ISLAM” yang diajukan untuk memenuhi salah satu

syarat memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman adalah betul-betul hasil karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil

karya orang lain maupun meniru karya orang lain tanpa hak.

Dan apabila ternyata terbukti sebaliknya, maka saya bersedia menanggung segala

resiko dan sanksi yang ada.

Purwokerto, Maret 2011

Yang Menyatakan

MIKO VERIYADI PRAJOKO NIM. E1A005351

Page 4: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Sang pencipta alam

semesta yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan karunia-Nya. Sholawat

serta salam semoga tetap tercurah kepada Junjungan kita Nabi Muhammad SAW,

kepada keluarganya, dan para sahabatnya. Tidak ada kata yang pantas diucapkan

melainkan syukur alhamdulillah karena penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Studi Perbandingan Tentang Konsep Dan Akibat Hukum

Pengangkatan Anak Menurut Staatblad 1917 Nomor 129 Dan Menurut

Hukum Islam ”.

Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan tidak lepas dari bantuan berbagai

pihak dan pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Kedua orang tua penulis, Bapak Djoko Suyanto dan Ibu Umiyati atas doa,

perhatian, dukungan dan kasih sayang yang begitu besar.

2. Ibu Hj. Rochani Urip Salami, S.H.,M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman.

3. Bapak Trusto Subekti, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu

Udjiati S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II atas segala bantuan,

arahan, bimbingan dan masukan yang telah diberikan selama penulisan

skripsi ini.

4. Ibu Haedah Faradz, S.H., M.H selaku Dosen Penguji skripsi atas segala

arahan, dukungan dan masukan yang telah diberikan selama penulisan

skripsi ini.

Page 5: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

v

5. Ibu Aryuni Yuliantiningsih, S.H.,M.H selaku Dosen Pembimbing

Akademik atas segala arahan dan masukan yang telah diberikan selama

menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Purwokerto.

6. Seluruh Dosen, Staf dan karyawan di Fakultas Hukum Universitas

Jenderal Soedirman Purwokerto.

7. Adik penulis Lulun Rosana Pratiwi. S.Psi., yang telah memberi semangat

dan doanya

8. Seluruh kawan-kawan Fakultas Hukum terima kasih untuk diskusi dan

bantuannya, terima kasih untuk persahabatan serta canda tawanya.

9. Semua pihak yang membantu penulis hingga terselesaikannya skripsi ini,

namun tidak dapat disebut satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak

kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bermanfaat

untuk kesempurnaan skripsi ini sangat penulis harapkan.

Purwokerto, Maret 2011

Penulis

Miko Veriyadi Prajoko

Page 6: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

vi

MOTTOMOTTOMOTTOMOTTO

" Sesuatu yang tidak membunuhmu hanya akan " Sesuatu yang tidak membunuhmu hanya akan " Sesuatu yang tidak membunuhmu hanya akan " Sesuatu yang tidak membunuhmu hanya akan menjadikanmu lebih kuat" ( Nietszche)menjadikanmu lebih kuat" ( Nietszche)menjadikanmu lebih kuat" ( Nietszche)menjadikanmu lebih kuat" ( Nietszche)

" kemenangan paling sempurna adalah mengubah " kemenangan paling sempurna adalah mengubah " kemenangan paling sempurna adalah mengubah " kemenangan paling sempurna adalah mengubah

hati orang yang membenci kita dengan kelembutan dahati orang yang membenci kita dengan kelembutan dahati orang yang membenci kita dengan kelembutan dahati orang yang membenci kita dengan kelembutan dan n n n kebaikan hati kita" ( Saladin)kebaikan hati kita" ( Saladin)kebaikan hati kita" ( Saladin)kebaikan hati kita" ( Saladin)

" Knowledge is Power" ( F.Bacon)" Knowledge is Power" ( F.Bacon)" Knowledge is Power" ( F.Bacon)" Knowledge is Power" ( F.Bacon)

Page 7: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

vii

ABSTRAK Penelitian ini berjudul “Studi Perbandingan Tentang Konsep Dan

Akibat Hukum Pengangkatan Anak Menurut Staatblad 1917 Nomor 129 Dan Menurut Hukum Islam ’. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep dan akibat hukum pengangkatan anak menurut Staatblad 1917 nomor 129 dan menurut Hukum Islam.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, dengan sumber data berupa data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Sementara metode analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif. Penelitian ini dilakukan di Perpustakan Fakultas Hukum dan Perpustakaan Pusat Universitas Jenderal Soedirman.

Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis, diperoleh hasil sebagai berikut:

1. Konsep pengangkatan anak dalam Staatblad 1917 Nomor 129 yaitu mengalihkan hak anak dari kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang alain yang bertanggung jawab atas pemeliharan dan pendidikan, serta menjadikan anak tersebut seperti anak kandung. Sedangkan menurut Hukum Islam konsepnya yaitu pengalihan tanggung jawab pemeliharaan anak, pemberian nafkah dan pendidikan dari orang tua kandung kepada orang tua angkat berdasarkan putusan pengadilan.

2. Akibat hukum pengangkatan anak menurut Staatblad 1917 Nomor 129 yaitu,status anak angkat berstatus sama dengan anak kandung, hubungan dengan orang tua kandung terputus, kekuasaan orang tua beralih dan orang tua angkat menjadi wali anak angkat, berhak mewaris layaknya anak kandung. Sedangkan Menurut Hukum Islam anak angkat tidak berstatus sama dengan anak kandung, hubungan dengan orang tua kandung tidak terputus, kekuasaan orang tua beralih tetapi tidak menjadi wali nikah anak angkat, mewaris dengan jalan wasiat wajibah.

Dari perbedaan konsep dan akibat hukum tersebut tersebut disarankan: Staatsblad 1917 nomor 129 tentang pengangkatan anak sudah tidak sesuai

dengan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Di sisi lain Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Pemerintah tentang pengangkatan anak masih tersebar dan konsep pengangkatan anak masih bervariasi. Maka diperlukan adanya undang-undang nasional tentang pengangkatan anak sehingga adanya kesamaan dalam konsep dan akibat hukum pengangkatan anak.

Kata kunci: Konsep, Akibat Hukum, dan Pengangkatan Anak

Page 8: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

viii

ABSTRACT

This study entitled "Comparative Studies On the Concept and Legal Due 1917 Adoption According to the Staatblad Number 129 And According to Islamic Law '. This study aims to determine the concept and consequences of child adoption laws in 1917 Staatblad number 129 and according to Islamic law. The method used in this research is normative juridical approach, with the data source as a secondary data obtained through a literature study. While the analytical method used is qualitative analysis. This research was conducted at the Library of the Faculty of Law and General Sudirman University library. From the results of research conducted authors obtained the following results: 1. The concept of child adoption in 1917 Staatblad Number 129 is assigned its rights to the child from its parents, legal guardian, or person alain responsible for maintenance and education, and make the child like a biological child. While according to Islamic law the concept of transferring the responsibility of maintenance of children, provision of livelihood and education of the biological parent to the adoptive parents based on court decisions. 2. As a result of legal adoption by Staatblad Number 129 of 1917, the status of an adopted child the same status as biological children, relationship with the biological parent is lost, its parents and the adoptive parents move into guardian foster child, is entitled mewaris like biological children. Meanwhile, Islamic Legal status of adopted children are not the same as biological children, relationships with biological parents is not lost, the power switch but the parents do not become the guardian of marriage adopted child, mewaris by road was borrowed. From the difference in concept and effect of law are suggested: Staatsblad 1917 129 number of adoptions are not in accordance with the developments happening in the community. On the other hand, legislation and government regulation regarding the adoption are still scattered and the concept of adoption is still variable. So it is necessary national legislation regarding adoptions so that the similarities in concept and effect of adoption law. Keywords: Concept,Due to the Law, and Adoption

Page 9: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... ii

PERNYATAAN ............................................................................................ iii

KATA PENGANTAR .................................................................................. iv

MOTTO .......................................................................................................... vi

PERSEMBAHAN ........................................................................................... vii

ABSTRAKSI ................................................................................................. vii

ABSTRACT ................................................................................................... viii

DAFTAR ISI ................................................................................................ i

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................ 1

B. Perumusan Masalah ....................................................................... 7

C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 7

D. Kegunaan Penelitian........................................................................ 8

II. TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengaturan Pengangkatan Anak Di Indonesia ....................... 9

a. Sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia.................. 9

b. Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia ....................... 11

2. Pengertian Pengangkatan Anak ........................................................ 17

a. Pengertian Menurut Keilmuan ............................................. 17

b. Pengertian Menurut Pakar Hukum ....................................... 18

Page 10: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

x

c. Pengertian Menurut Staatblad 1917 Nomor 129 ................. 20

d. Pengertian Menurut Hukum Islam ....................................... 21

e. Pengertian Menurut Hukum Adat ........................................ 22

3. Motivasi Pengangkatan Anak ............................................................ 23

4. Maksud dan Tujuan Pengangkatan Anak............................................ 25

a. Menurut Staatblad 1917 Nomor 129................................................... 26

b. Menurut Hukum Adat..........................................................................26

c. Menurut Hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan........ 29

5. Syarat Pengangkatan Anak................................................................... 30

a. Menurut Staatblad 1917 Nomor 129.................................................. 30

b. Menurut Hukum Islam........................................................................... 30

c. Menurut Peraturan Perundang-Undangan................................................31

1) SEMA Nomor 6 Tahun 1983...................................................... 32

2) Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984....32

3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002................................ 33

4) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007......................... 34

6. Prosedur Pengangkatan Anak .............................................................. 36

a. Melalui Pengadilan............................................................................ 36

b. Melalui Adat...................................................................................... 38

7. Hubungan Hukum Orang Tua Angkat Dengan Anak Angkat............. 39

III. METDE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan ........................................................................ 41

B. Spesifikasi Penelitian ..................................................................... 41

Page 11: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

xi

C. Lokasi Penelitian ............................................................................. 41

D. Jenis dan Sumber Data .................................................................... 42

E. Metode Pengumpulan Data ............................................................. 43

F. Metode Penyajian Data ................................................................... 43

G. Metode Analisis Data ...................................................................... 43

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penellitian .............................................................................. 44

B. Pembahasan ..................................................................................... 48

1. Konsep Pengangkatan Anak ..................................................... 48

a. Menurut Statblad 1917 Nomor 129....................................... 49

b. Menurut Hukum Islam.......................................................... 52

2. Akibat Hukum Pengangkatan Anak ......................................... 56

a. Aspek Hubungan Keluarga................................................... 57

1) Menurut Staatblad 1917 Nomor 129........................ 57

a) Status Anak Angkat................................... 57

b) Hubungan Dengan Orang Tua Kandung....... 58

c) Kekuasaan Orang Tua Dan Perwalian.......... 58

2) Menurut Hukum Islam................................................. 59

a) Status Anak Angkat....................................... 59

b) Hubungan Dengan Orang Tua Kandung........ 61

c) Kekuasaan Orang Tua Dan Perwalian............ 61

b. Aspek Pewarisan........................................................................ 62

1) Menurut Staatblad 1917 Nomor 129.............................. 62

Page 12: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

xii

2) Menurut Hukum Islam.....................................................64

V. PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................... 68

B. Saran .............................................................................................. 69

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 13: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia dalam perjalanan hidup mengalami tiga peristiwa penting yaitu:

kelahiran, perkawinan dan kematian, dan sudah menjadi kodratnya antara seorang

perempuan dengan seorang laki-laki mempunyai keinginan untuk hidup bersama

dan membina rumah tangga dalam suatu perkawinan.

Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 telah disebutkan mengenai

pengertian perkawinan. Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974,

perkawinan yaitu ikatan lahir batin antara pria dengan wanita sebagai suami istri

dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari definisi perkawinan tersebut

perkawinan mempunyai tujuan utama yaitu membentuk sebuah keluarga dalam

suasana penuh kasih sayang,rukun, bahagia dan kekal sampai akhir hayat.

Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia

sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil, yang

terdiri dari seorang ayah, Ibu dan anak. Dalam kenyataan tidak selalu ketiga unsur

ini terpenuhi, sehingga kadang-kadang terdapat suatu keluarga yang tidak

mempunyai anak. Dengan demikian dilihat dari eksistensi keluarga sebagai

kelompok kehidupan masyarakat, menyebabkan banyak keluarga yang

menginginkan anak, karena berbagai alasan, sehingga terjadilah perpindahan anak

dari satu kelompok keluarga ke dalam kelompok keluarga yang lain

Page 14: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

2

Selanjutnya, salah satu tujuan dari perkawinan yang dilakukan, pada dasarnya

adalah untuk memperoleh keturunan, yaitu anak. Begitu pentingnya hal keturunan

(anak) ini, sehingga menimbulkan berbagai peristiwa hukum misalnya karena

ketiadaan keturunan (anak) maka timbul pengangkatan anak (adopsi).

Pengangkatan anak atau adopsi merupakan peristiwa hukum yang biasanya

terjadi karena alasan di dalam perkawinan itu tidak memperoleh keturunan

(walaupun bukan satu-satunya alasan). Tingginya frekuensi pengangkatan anak

yang dilakukan di dalam masyarakat mungkin merupakan akibat dari perkawinan

yang tidak menghasilkan keturunan. Jadi, seolah-olah apabila suatu perkawinan

tidak memperoleh keturunan, maka tujuan perkawinan tidak tercapai. Dengan

demikian, apabila di dalam suatu perkawinan telah ada keturunan (anak), maka

tujuan perkawinan dianggap telah tercapai dan proses pelanjutan generasi dapat

berjalan

Adopsi merupakan perbuatan perdata yang merupakan bagian dari hukum

keluarga,karena akibat dari peristiwa hukum pengangkatan ini adalah terjadi

hubungan hukum antara orang tua angkat dengan anak angkat dalam ruang

lingkup hukum keluarga, yaitu hubungan secara timbal balik dalam arti diantara

mereka terdapat hak dan kewajiban orang tua angkat kepada anak angktanya dan

demikian pula sebaliknya terdapat hak dan kewajiban hukum antara anak angkat

dengan orang tuanya.

Istilah adopsi dengan anak angkat merupakan istilah yang secara umum

memiliki pengertian yang sama, tetapi dalam istilah teknis memiliki pengertian

yang berbeda.perbedaan ini terjadi karena ada yang menyebut adopsi merupakan

Page 15: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

3

sebuah konsep yamg pengertiannya melekat dengan pengertian adopsi

sebagaimana yang diatur menurut Staatblad 1917 Nomor 129, sedangkan anak

angkat merupakan sebuah konsep yang pengertiannya melekat pada anak angkat

yang proses pengangkatannya dilakukan melalui penetapan Pengadilan Negeri,

atau penyebutan yang diperkenalakan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik

Indonesia. Tanpa mempedulikan perbedaan dalam pemaknaan dari pengertian

anak angkat dengan adopsi seperti yang tersebut di atas, penulisan ini dipakai

pengertian yang dikemukakan oleh Ahmad Asyar Basyir sebagai berikut: Adopsi

atau pengangkatan anak banyak dilakukan orang yang tidak dianugerahi

keturunan guna memenuhi hasrat nuraninya untuk menyalurkan kasih sayang

kepada anak yang dirasa akan meneruskan garis keturunan hidupnya1 Secara

operasional konsep mengenai adopsi atau pengangkatan anak lebih lanjut telah

dijelaskan oleh Soedaryo Soimin yang mengatakan bahwa pengangkatan anak

atau adopsi adalah suatu perbuatan mengambil anak orang lain kedalam

keluarganya sendiri, dengan demikian antara orang yang mengambil anak dan

yang diangkat timbul suatu hubungan hukum.2 Dengan demikian dapat disepakati

dalam tulisan ini bahwa pengertian mengenai adopsi dan anak angkat tidak perlu

lagi dibedakan atau dipertentangkan.

Masalah pengangkatan anak bukanlah masalah baru, termasuk di Indonesia.

Sejak zaman penjajahan Belanda telah dilakukan pengangkatan anak dengan cara

dan motivasi yang berbeda-beda,sesuai dengan sistem hukum dan perasaan

1 Ahmad Asyar Basyir,. 1979.Kawin Campur Wasiat Adopsi Menurut Islam.Bandung: PT Alma’arif., hal.19 2 Soedaryo Soimin.2002. Hukum Orang dan Keluarga. Jakarta: Sinar Grafika., hal.35.

Page 16: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

4

hukum yamg hidup serta berkembang di daerah yamg bersangkutan3 dan

peraturan-peraturan atau kaidah hukum yang mengaturnya juga tetap berlaku atas

dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 dengan pemahaman harus disesuaikan

dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang baru yang

baru berlaku sekarang ini. Terlebih lagi dengan telah diaturnya pengangkatan anak

ini dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002

Tentang Perlindungan anak, dan peraturan pelaksanaan lainnya.

Diantara peraturan perundang-undangan dari zaman Pemerintah Hindia

Belanda yang masih berlaku sampai sekarang adalah Staatblad 1917 Nomor 129

yang mengatur mengenai adopsi bagi anak laki-laki Tionghoa, latar belakangnya

adalah sistem kekeluargaan masyarakat Tionghoa adalah mengikuti pola

patrilineal, dan anak laki-laki memiliki posisi sebagi penerus silsilah dan

berkewajiban memelihara abu leluhur, apabila dalam satu keluarga tidak ada anak

laki-laki maka keluarga itu akan putus dan tidak ada lagi yang memelihara abu

leluhur, oleh karena itu lembaga pengangkatan anak menjadi penting karena

merupakan solusi dari permasalahan tersebut, karena kedudukan anak angkat

sama dengan anak kandung. Kemudian dalam fakta sejarah hukum Islam di

Indonesia sekarang ini dalam Kompilasi Hukum Islam telah diatur mengenai

pengangkatan anak, dengan demikian lembaga pengangkatan anak telah diterima

dan diatur dalam Hukum Islam. Masyarakat Islam di Indonesia sekarang ini telah

mengalami perkembangan, tujuan pengangkatan anak tidak lagi semata-mata

untuk meneruskan keturunan, tetapi lebih beragam lagi. Di Indonesia orang lebih

3 Muderis Zaini.2002. Adopsi, Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum. Jakarta: Sinar Grafika., hal.7.

Page 17: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

5

suka mengambil anak dari kalangan keluarga sendiri, sering tanpa surat adopsi

yang semestinya.4 Kemudian berkembang, dimana orang tidak lagi membatasi diri

terhadap kalangan keluarga sendiri tetapi juga terhadap anak-anak orang lain,

walaupun masih tetap bersifat selektif.

Dalam pandangan Islam sendiri, apabila dirunut dari aspek sejarah Islam di

Arab, secara historis sudah dikenal dan berkembang sebelum kerasulan Nabi

Muhammad SAW. Mahmut Syaltut menjelaskan, bahwa tradisi pengangkatan

anak sebenarnya dipraktikan oleh masyarakat berbagai bangsa lain sebelum

kedatangan Islam,seperti yang dipraktikan bangsa Yunani, Romawi, India dan

bangsa lain di Zaman kuno5. Bahkan dari sisi pandang Agama Islam adalah

menjadi tanggung jawab seorang muslim untuk memelihara anak orang lain yang

tidak mampu, miskin, terlantar dan lain-lain. Tetapi tidak dibolehkan memutuskan

hubungan dan hak-hak itu dengan orang tua kandungnya. Pemeliharaan itu harus

didasari penyantunan semata,sesuai dengan anjuran Allah SWT, tanpa adanya

maksud-maksud lain yang bertentangan dengan ajaran Islam. Jadi yang

bertentangan dengan ajaran Islam adalah mengangkat anak (adopsi) dengan

memberikan status yang sama dengan anak kandung sendiri. Sebaliknya

pengangkatan anak dalam arti terbatas, diperbolehkan bahkan sangat dianjurkan.

Disini tekanan pengangkatan anak adalah dalam segi kecintaan, pemberian

kebutuhan dan bukan diperlakukan sebagai anak kandung sendiri. Ini berarti

4 Ibid., hal 8 5Ahmad Kamil dan M. Fauzan.2008. Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada., hal 98

Page 18: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

6

bahwa agama Islam memperbolehkan dilakukannya pengangkatan anak sepanjang

tidak diangkat sebagai anak kandung.6

Fakta-fakta yang telah dipaparkan di atas, apabila ditarik kedalam ranah

normatif dalam hukum positif di Indonesia, sekarang ini fakta hukum

menunjukkan anak angkat mamiliki konsep yang pengertiannya multitafsir dan

akibat hukum yang berbeda bagi anak angkat yang pengangkatannya

menggunakan Staatblad 1917 Nomor 129 bagi orang Tionghoa yang sekarang

melalui penetapan Pengadilan Negeri (semula cukup menggunakan akta Notasis

saja).

Pengangkatan anak menurut Staatblad 1917 Nomor 129 memiliki akibat

hukum bahwa antara orang tua kandung dengan anaknya yang diangkat orang lain

menjadi putus, sebab anak angkat tersebut justru menjadi penerus silsilah orang

tua angkatnya, dan memiliki kedudukan yang sama dengan anak kandung,

sedangkan disisi lain bagi orang-orang beragama Islam anak angkat yang

pengangkatan anaknya melalui Pengadilan Agama, hubungan nasab antara anak

yang diangkat dengan orang tua kandungnya tidak putus, anak angkat tidak sama

kedudukannya dengan anak kandung, karena anak angkat dalam Hukum Islam

tidak berkedudukan sebagai ahli waris. Sehingga apabila dilihat dari segi

kepastian hukum dan unifikasi hukum keadaan tersebut diatas menjadikan hukum

pengangkatan anak bisa dikategorikan sebagai hukum yang tidak baik, karena

masih multi tafsir dan tidak pasti akibat hukumnya.

6 R. Seoroso, .2007. Perbandingan Hukum Perdata.Jakarta: Sinar Grafika., hal 196

Page 19: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

7

Dilihat dari perspektif hukum dan sstem hukum positif di Indonesia telah

menimbulkan permasalahan mengenai konsep apa yang sebetulnya menjadi dasar

dari lembaga-lembaga hukum anak angkat atau adopsi dari berbagai peraturan

perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan dengan sendirinya perlu

kejelasan mengenai akibat hukum dari peristiwa pengangkatan anak tersebut.

Selanjutnya studi melalui penelitian mengenai konsep dan akibat hukum

pengangkatan anak menjadi penting, dan diharapkan dapat memberikan kontribusi

positif baik bagi para pembentuk undang-undang, praktisi hukum dan juga bagi

masyarakat. Demikian juga untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan hukum,

untuk itu perlu di lakukan penelitian tentang:

STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT

HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENURUT STAATBLAD 1917

NOMOR 129 DAN MENURUT HUKUM ISLAM

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan

sebagai berikut :

1. Bagaimana konsep pengangkatan anak menurut Staatblad 1917 Nomor

129 dan menurut Hukum Islam ?

2. Bagaimana akibat hukum pengangkatan anak menurut Staatblad 1917

Nomor 129 dan menurut Hukum Islam?

Page 20: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

8

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :.

1. Untuk mengetahui konsep pengangkatan anak menurut Staatblad 1917

Nomor 129 dan menurut Hukum Islam

2. Untuk mengetahui akibat hukum pengangkatan anak menurut Staatblad

1917 Nomor 129 dan Hukum Islam.

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan teoritis adalah untuk menambah wacana dan wawasan

mengenai konsep dan akibat hukum adopsi atau pengagkatan anak dalam

dua sistem hukum yang berbeda yang ada di Indonesia yaitu Staatblad

1917 Nomor 129 dan Hukum Islam.

2. Kegunaan praktis adalah untuk memotivasi peneliti pada khususnya serta

mahasiswa pada umumnya untuk lebih kritis dalam mengkaji materi-

materi di bidang ilmu hukum khususnya tentang hukum perdata terkait

dengan adopsi di pandang dari dua sisi hukum yang berbeda yaitu

Staatblad 1917 Nomor 129 dan Hukum Islam.

Page 21: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengaturan Pengangkatan Anak di Indonesia

a. Periode Sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia

Sebelum masa Kemerdekaan Republik Indonesia , lembaga pengangkatan

anak hanya dikenal pada sistem kekeluargaan golongan masyarakat adat yang

berpedoman pada hukum adatnya masing-masing.dan masyarakat Timur Asing

Tionghoa yang berpedoman pada Staatblad 1917 Nomor 129. Di beberapa daerah

yang mayoritas penduduknya beragama Islam, menganut pada teori Receptio in

Complexu yang dikemukakan Van Der Berg, hukum adat yang berlaku adalah

hukum adat yang telah dipengaruhi Hukum Islam.7Berdasarkan Hukum Islam,

pada prinsipnya agama Islam memperbolehkan dilakukannya pengangkatan anak

sepanjang tidak dijadikan anak kandung8, juga tidak diperbolehkan memutuskan

hubungan dan hak-hak orang tua kandungnya. Pengangkatan anak hanya dari segi

kecintaan, pemeliharaan, dan pendidikan. Juga tidak ada hubungan waris-mewaris

anak angkat dengan orang tua angkatnya.

Berbeda dengan masyarakat adat, sehubungan dengan makin eratnya

hubungan perdagangan antara pemerintah Belanda dengan golongan Timur Asing

pada abad 19, awalnya Pemerintah Belanda mencoba memberlakukan hukum

kekayaan Eropa saja9 untuk keseluruhan golongan Timur Asing. Tahun 1919,

7 Bushar Muhammad, 2004. Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta : Pradnya Paramita 8 Op.Cit. R. Soeroso, hal 196 9 Moh. Saleh Djindang, 1983. Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru. hal 189

Page 22: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

10

Belanda memberlakukan keseluruhan hukum perdatanya untuk golongan

Tionghoa dan membagi golongan Timur Asing menjadi Timur Asing Tionghoa

dan Timur Asing lain ( Arab,India dan lain-lain ).

Agar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang

berasaskan monogami mutlak dapat diberlakukan sebagai satu kesatuan sistem

pada masyarakat Tionghoa, Pemerintah Belanda menghapus lembaga Concubine

yaitu isteri-isteri lain disamping isteri sah yang dikenal pada hukum adat

masyarakat Tionghoa sebelumnya. Salah satu fungsi lembaga ini adalah

memenuhi kebutuhan keturunan anak laki-laki untuk bersembahyang terhadap

para leluhur mereka. Semua anak laki-laki yang lahir dari isteri-isterinya tersebut

merupakan anak-anak sah.10 Dengan dihapusnya lembaga Concubine, untuk

menampung kebutuhan anak laki-laki maka dibuatlah peraturan mengenai

adopsi.11

Peraturan ini dituangkan dalam Staatblad 1917 Nomor 129 yang diberlakukan

untuk golongan Timur Asing Tionghoa. Latar belakang lembaga pengangkatan

anak ini tidak diuraikan pada Staatblad tersebut, tetapi menurut Utrecht, adopsi

bagi golongan Tionghoa adalah untuk memenuhi kebutuhan anak laki-laki

sehubungan dengan fungsi anak laki-laki yaitu untuk memelihara abu leluhur dan

penghormatan bagi leluhur mereka.12 Oleh karena itu pada Staatblad tersebut

sesuai dengan ketentuan Pasal 6 secara tegas dinyatakan bahwa yang dapat

diangkat sebagi anak angkat adalah orang-orang laki-laki Tionghoa yang belum

menikah serta belum pernah diangkat anak oleh orang lain. Syarat ini merupakan 10 G.H.S. Lumban Tobing, 1983. Peraturan Jabatan Notaris. Jakarta: Erlangga, hal 247 11 Ibid. Hal 248 12 Op.Cit Ahmad Kamil dan M. Fauzan., hal 22

Page 23: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

11

syarat mutlak, apabila syarat ini tidak terpenuhi maka pengangkatan anak ini

berakibat batal demi hukum

Peranan notaris pada pengangkatan anak yang mengacu pada Staatbalad ini

sangatlah penting karena sahnya pengangkatan anak ini cukup dengan akta notaris

saja, dan syarat ini merupakan syarat mutlak yang apabila tidak dipenuhi maka

berakibat batal demi hukum. Jadi sebelum masa proklamasi pengaturan

pengangkatan anak hanya diatur dalam Staatblad 1917 Nomor 129 yang

diperuntukkan bagi golongan Tionghoa dan masih berlaku hingga sekarang

sementara itu untuk golongan pribumi masih menggunakan Hukum Adat dan

Hukum Islam

b. Pengaturan Pengangkatan Anak Setelah Proklamasi

Pasca proklamasi, Indonesia memasuki era tata hukum nasional,dimana hanya

terdapat dua kategori penduduk yaitu Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga

Negara Asing (WNA), namun sebagian hukum era kolonial masih berlaku, antara

lain perihal pengangkatan anak. Hukum warisan kolonial tersebut berlaku di

samping Hukum Adat dan Hukum Islam. Keberagaman sistem hukum tersebut

berakibat pada perbedaan konsepsi pengangkatan anak, yang kemudian menjadi

hambatan sekaligus tantangan untuk mewujudkan pengaturan pengangkatan anak

dalam peraturan perundang-undangan. Proses pengaturan pengangkatan anak

dalam peraturan perundang-undangan pada masyarakat Indonesia yang bhineka

(plural) tidak mudah dan mengalami banyak pertentangan. Pada masa setelah

proklamasi pengaturan pengangkatan anak masih belum terjadi unifikasi hukum

karena proses pengangkatan anak diatur dalam dua peraturan yaitu Undang-

Page 24: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

12

Undang Republik Indonesia dan Statblaad 1917 Nomor 129 yang dibuat oleh

Pemerintah Belanda dan diperuntukkan bagi masyarakat golongan Tionghoa.

Reformasi hukum merupakan salah satu mata rantai sejarah perkembangan

hukum di Indonesia. Bahkan dapat dikatakan reformasi hukum yang berlangsung

ini merupakan perkembangan hukum ketiga setelah kolonialisasi hukum terhadap

hukum adat pada masa penjajahan Belanda yang dilanjutkan oleh proses transisi

hukum dan transformasi hukum yang terjadi sejak awal kemerdekaan Indonesia

sampai dengan berakhirnya Orde Baru. Reformasi hukum menitikberatkan antara

lain pada reorganisasi hukum yang bersifat proaktif, profesional, dan aspiratif

terhadap perkembangan kebutuhan hukum masyarakat nasional maupun

internasional. Reorganisasi hukum berorientasi kepada penataan kembali materi

hukum dan proses penegakan hukum. Penataan kembali materi hukum ditujukan

terhadap seluruh produk kolonial dan peraturan perundang-undangan nasional

yang sudah tidak relevan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat nasional

dan perlindungan hak asasi manusia untuk saat ini dan masa yang akan datang,

antara lain peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengangkatan anak.

Komitmen pemerintah era reformasi untuk memberikan perlindungan terhadap

anak telah ditindaklanjuti dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang ini mengatur tentang berbagai

upaya yang dilakukan dalam rangka perlindungan, pemenuhan hak-hak dan

peningkatan kesejahteraan anak, yang di dalamnya juga mengatur pengangkatan

anak.

Page 25: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

13

Kini, untuk melaksanakan ketentuan pengangkatan anak tersebut telah

ditetapkan dan diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang

Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 3

Tahun 2006, tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama, terdapat perbedaan pendapat dikalangan pakar hukum

dan praktisi hukum, apakah Pengadilan Agama mempunyai kewenangan

menangani perkara pengangkatan anak secara Islam bagi warganegara beragama

Islam. Tetapi setelah lahirnya Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tersebut,

perbedaan pendapat tersebut tidak perlu lagi, karena telah diatur dalam Pasal 49

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 berikut penjelasannya, yang menegaskan

bahwa kewenangan tentang perkara pengangkatan anak bagi orang yang beragama

Islam adalah Pengadilan Agama.

Ada beberapa ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang bisa

dijadikan landasan atau dasar hukum dalam pengangkatan anak di Pengadilan

Agama13 :

1. Al-Qur'an Surat Al- Ahzab ayat 4 dan 5, dan sunnah Nabi Muhammad

SAW.

2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama

(penafsiran Pasal 49 )

3. Kompilasi Hukum Islam, pasal 171 huruf (h) dan Pasal 209 ayat (2)

4. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003, tentang Perlindungan Anak

5. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, Pasal 49 dan penjelasannya.

13 . Soedaryo Soimin. 2004. Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak. Sinar Grafika

Page 26: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

14

6. Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1987, pasal 7 ayat (1).

7. Fatwa MUI No. U.335/MUI/VI/82, tanggal 18 Sya'ban 1402 H/ 10 Juni

1982 M

Sedangkan dasar hukum pengangkatan anak (adopsi) yang di jadikan dasar

pengangkatan anak di Pengadilan Negeri adalah sebagai berikut:

1. Staatblaad 1917 Nomor 129.

2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Kesejahteraan Sosial.

3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

4. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

5. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1989.

6. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 13 Tahun 1993 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

7. Keputusan Menteri Sosial RI No. 2/HUK/1993, tentang Penyempurnaan

Lampiran Keputusan Menteri Sosial tentang Petunjuk Pelaksanaan

Pengangkatan Anak.

8. Yurisprudensi Mahkamah Agung

Ketentuan-ketentuan hukum tentang pengangkatan anak pertama kali

dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan Staatsblad 1917 Nomor 129

yang diatur dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 yaitu mengenai adopsi bagi

golongan Timur Asing. Staatblaad ini mengatur tentang pengangkatan anak bagi

orang-orang Tionghoa yang selain memungkinkan pengangkatan anak oleh orang

yang terikat perkawinan, juga bagi yang pernah terikat perkawinan (duda atau

Page 27: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

15

janda). Namun bagi janda yang suaminya telah meninggal dan sang suami

meninggalkan wasiat yang isinya tidak menghendaki pengangkatan anak, maka

janda tersebut tidak dapat melakukannya.Pengangkatan anak menurut Staatblaad

ini hanya dimungkinkan untuk anak laki-laki dan hanya dapat dilakukan dengan

Akta Notaris. Namun Yurisprudensi (Putusan Pengadilan Negeri Istimewa

Jakarta) tertanggal 29 Mei 1963, telah membolehkan mengangkat anak

perempuan14.

Ketentuan yang berkaitan dengan pengangkatan anak versi Hukum Barat ini

diatur dalam Staatsblad Pasal 5 sampai dengan 15 antara lain:

a. Suami istri atau duda yang tidak mempunyai anak laki-laki yang

sah dalam garis laki-laki baik keturunan dari kelahiran atau

keturunan karena pengangkatan. Orang demikian diperbolehkan

mengangkat anak laki-laki sebagai anaknya;

b. Seorang janda (cerai mati ) yang tidak mempunyai anak laki-laki

dan tidak dilarang oleh bekas suaminya dengan suatu wasiat. (Pasal

5 );

c. Yang boleh diangkat adalah anak Tionghoa laki-laki yang tidak

beristri dan tidak beranak dan tidak sedang dalam status siangkat

oleh orang lain. (Pasal 6)

d. Usia yang diangkat harus 18 tahun lebih muda dari suami dan 15

tahun lebih muda dari istri. (Pasal 7 ayat (1));

e. Adopsi harus dilakukan atas kata sepakat;

14Ibid. hal 82

Page 28: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

16

f. Pengangkatan anak harus dilakukan dengan akta notaris. (Pasal 10)

g. Pengangkatan terhadap anak perempuan dan pengangkatan dengan

cara tidak membuat akta otentik batal demi hukum. ( Pasal 15 ayat

2 ). Di samping itu adopsi, atas tuntutan oleh pihak yang

berkepentingan juga dapat dinyatakan batal;

h. Suatu adopsi tidak dapat dibatalkan dengan kesepakatan para

pihak. ( Pasal 15 ayat (1) ). Pasal tersebut merupakan

penyimpangan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata (

BW ) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara

sah dapat dibatalkan dengan sepakat para pihak yang membuat

perjanjian yang bersangkutan.

i. Secara yuridis formal, motif tidak ada ketentuannya,. Akan tetapi,

secara kultural motif pengangkatan anak dalam sistem adat

Tionghoa agar dapat meneruskan keturunan, agar dapat menerima

abu leluhur, dan sebagai pancingan agar dapat memperoleh

keturunan laki-laki.

j. Akibat Hukum pengangkatan anak tersebut, antara lain :

1) Pasal 12 memberikan ketentuan, bahwa adopsi

menyebabkan anak angkat tersebut berkedudukan sama

dengan anak sah dari perkawinan yang orang tua yang

mengangkatnya. Termasuk, jika yang mengangkat anak

tersebut seorang janda, anak angkat ( adoptandus)

Page 29: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

17

tersebut harus dianggap dari hasil perkawinan dengan

almarhum suaminya.

2) Adopsi menghapus semua hubungan kekeluargaan

dengan keluarga asal, kecuali dalam hal :

a) Penderajatan kekeluargaan sedarah dan semenda

dalam bidang perkawinan;

b) Ketentuan pidana yang didasarkan atas keturunan;

c) Mengenai perhitungan biaya perkaradan penyanderaan;

d) Mengenai pembuktian dengan saksi;

e) Menganai saksi dalam pembuatan akta autentik.

3) Oleh karena akibat hukum adopsi menyebabkan

hubungan kekeluargaan dengan keluarga asalnya menjadi

hapus, maka hal ini berakibat juga pada hukum waris,

yaitu : anak angkat tidak lagi mewaris dari keluarga

sedarah asalnya, sebaliknya sekarang mewaris dari

keluarga ayah dan ibu yang mengadopsi dirinya.15

2. Pengertian Pengangkatan Anak

a. Pengertian menurut keilmuan

Dalam Kamus Hukum kata adopsi yang berasal dari bahasa latin adoptio

yang artinya pengangkatan anak sebagai anak sendiri, sedangkan dalam kamus

15 Staatblad 1917 Nomor 129

Page 30: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

18

bahasa Indonesia arti dari anak angkat adalah anak orang lain yang diambil dan

disamakan dengan anaknya sendiri.

Pengangkatan anak disebut juga dengan istilah lain yaitu adopsi. Dari segi

etimologi yaitu asal usul kata adopsi berasal dari kata adoptie (bahasa Belanda)

yang artinya pengangkatan seorang anak untuk dijadikan sebagai anak sendiri.

Sedangkan menurut bahasa Inggris yaitu adoption yang berarti pengangkatan anak

atau mengangkat anak.16

Secara terminologi seperti disebutkan dalam ensiklopedia umum yang

dikutip oleh Muderis Zaini Adopsi yaitu , suatu cara untuk mengadakan hubungan

antara orang tua dan anak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.17

Biasanya pengangkatan anak dilaksanakan untuk mendapatkan pewaris atau untuk

mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak memiliki, akibat dari pengangkatan

anak yang demikian itu ialah bahwa anak yang diangkat kemudian memiliki status

sebagai anak kandung yang sah dengan segala hak dan kewajiban.18

b. Pengertian Menurut Pakar Hukum

Pengertian pengangkatan anak dikemukakan oleh para ahli, antara lain

sebagai berikut :

1) Arif Gosita, SH. dalam bukunya “Masalah Perlindungan Anak”, mengatakan bahwa :

”Pengangkatan anak adalah suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak keturunannya sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan.”19

16 Op.cit. R.Soeroso. Hal.174 17 Loc. Cit, Muderis Zaini hal. 5 18 Ibid. hal 5 19 Gosita, Arif. 1989. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta : Akademika Pressindo. Hal 32

Page 31: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

19

2) Amir Martosedono, SH. dalam bukunya “Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan Masalahnya”, mengatakan bahwa : ”Anak Angkat adalah anak yang diambil oleh seseorang sebagai anaknya, dipelihara, diberi makan, diberi pakaian, kalau sakit diberi obat, supaya tumbuh menjadi dewasa. Diperlakukan sebagai anaknya sendiri. Dan bila nanti orang tua angkatnya meninggal dunia, dia berhak atas warisan orang yang mengangkatnya.” 20

3) Djaja S. Meliala, SH. dalam buku Pengangkatan Anak (Adopsi) di

Indonesia, mengatakan bahwa :Adopsi atau pengangkatan anak adalah

suatu perbuatan hukum yang memberi kedudukan kepada seorang anak

orang lain yang sama seperti seorang anak yang sah 21

4) Bastian Tafal, SH. di dalam bukunya “Pengangkatan Anak Menurut

Hukum Adat Serta Akibat-akibat Hukumnya di Kemudian Hari” bahwa

pengangkatan anak adalah usaha untuk mengambil anak bukan keturunan

dengan maksud untuk memelihara dan memperlakukannya sebagai anak

sendiri22

5) Menurut Hilman Hadi Kusuma, S.H mengemukakan pendapatnya dengan

menyebutkan : Anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak

sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat

dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan pemeliharaan atas

harta kekayaan rumah tangga.

6) Kemudian dikemukakan pendapat Surojo Wingjodipura, S.H yang

menyebutkan :

20Amir Martosedono. 1990. Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan Masalahnya. Jakarta: Jakarta Press., hal 15 21Djaja S Meliala. 1982. Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia. Bandung :Tarsito., hal 27 22Bastian Tafal.1983. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-akibat Hukumnya di Kemudian Hari., hal.45

Page 32: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

20

”Adopsi ( mengangkat anak ) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama, seperti yang ada diantara orang tua dan anak.”23

Dari pendapat para sarjana seperti yang disebutkan di atas maka dapat

disimpulkan bahwa adopsi atau pengangkatan anak adalah mengangkat anak

orang lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri dan diberi kasih sayang layaknya

anak kandung.

c. Pengertian Menurut Staatblad 1917 Nomor 129

Staatblad 1917 Nomor 129 didasarkan pada hukum adat Cina Selatan. Di

daerah Cina Selatan adopsi adalah bukan semata-mata untuk melanjutkan

keturunan. tetapi untuk memenuhi kebutuhan anak laki-laki sehubungan dengan

fungsi anak laki-laki yaitu untuk memelihara abu leleuhur dan penghormatan bagi

leluhur mereka. Biasanya yang diambil menjadi anak adalah dari keluarga sendiri

atau dari kalangan suku sendiri.24

Pengertian anak angkat menurut Undang-Undang tersebut adalah anak yang

haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah,

atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan

membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya

untuk dijadikan anak sendiri

23 Op.Cit. R.Soeroso., hal 175 24 Op.Cit. Ahmad Kamil dan M. Fauzan.2008.hal 20

Page 33: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

21

d. Pengertian Menurut Hukum Islam

Dalam Islam pengangkatan anak telah menjadi tradisi dikalangan mayoritas

bangsa Arab yang dikenal dengan istilah tabbani yang menurut Prof. Mahmud

Yunus diartikan dengan mengambil anak angkat, sedang dalam Kamus Munjid

diartikan ittikhadzahu ibnan, yaitu menjadikannya sebagai anak angkat.25Dalam

pengertian lain, tabbani adalah seseorang baik laki-laki maupun perempuan

dengan sengaja menasabkan seorang anak padahal anak tersebut sudah

mempunyai nasab yang jelas terhadap orang tua kandungnya.26

Mahmud Syaltut mengemukakan bahwa setidaknya ada dua pengertian

”pengangkatan anak.” Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan

dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang,tanpa diberikan status anak

kandung kepadanya,cuma ia diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak

sendiri. Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi

status anak kandung,sehingga ia berhak memakai nama keturunan orang tua

angkatnya dan saling mewarisi harta peninggalan, serta hak-hak lain sebagai

akibat hukum antar anak angkat dan oramg tua angkatnya itu.27Anak angkat

dalam pengertian pertama lebih didasari oleh perasaan seseorang yang menjadi

orang tua angkat untuk membantu orang tua kandung dari anak angkatnya atau

bagi suami istri yang tidak dikaruniai keturunan, agar anak itu bisa

dididik,sehingga diharapkan nantinya anak tersebut bisa mandiri serta dapat

meningkatkan taraf hidupnya dimasa yang akan datang, dan lebih dari itu terbersit

di hati orang tua angkat bahwa anak angkatnya nantinya dapat menjadi anak saleh 25 Op.Cit hal 4 26 Op. Cit Ahmad Kamil dan M.Fauzan ,2008 hal 29 27 Ibid. hal 30

Page 34: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

22

yang mau merawat orang tua angkatnya disaat sakit, dan mendoakan di saat orang

tua angkat telah meninggal dunia.28 Perbuatan hukum pengangkatan anak seperti

itu, dapat diterima sebagai bagian dari bentuk amal saleh yang sangat dianjurkan

Islam.29 Anak angkat dalam pengertian yang kedua telah lama dikenal dan

berkembang diberbagai negara di dunia,termasuk di Indonesia. Pengangkatan

anak dalam pengertian yang kedua jelas dilarang oleh Islam dan bertentangan

dengan Hukum Islam.30

e. Pengertian Menurut Hukum Adat

Menurut Hukum Adat di Indonesia terdapat bermacam-macam istilah untuk

pengangkatan anak seperti Mupu anak (Cirebon ), Ngukut anak ( Jawa Barat -

Suku Sunda ), Nyentanayang (Bali ), Meki anak ( Minahasa ), Ngukup anak (

Suku Dayak Manyan ), Mulang jurai ( Rejang Bengkulu ) dan di Batak Karo

istilahnya sama yaitu anak angkat.31

Adapun menurut Supomo di seluruh wilayah hukum (Jawa Barat) yang

menganut sistem kekeluargaan parental, anak angkat dikenal dengan istilah

“mupu, mulung atau mungut anak” yang dimaksudkan ialah mengangkat anak

orang lain sebagai anak sendiri.32 Di Batak Toba dikenal anak naniain, yaitu

semacam anak angkat Anak naniain” berasal dari kata dasar “ain” artinya

“angkat”, yang menurut kamus Batak Toba Indonesia karangan J. Warneck, anak

niain berarti anak angkat sedangkan mangain artinya mengangkat seseorang

28 Ibid. hal 104 29 Ibid. hal 104 30 Ibid. hal 105 31 Op.Cit., Djaja. S. Meliala., hal 8 32 R. soepomo.1987. Hukum Perdata Adat Jawa Barat.Jakarta: Djambatan., hal 24

Page 35: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

23

menjadi anak sendiri misal keluarga yang tidak mempunyai anak. Di Jawa

Tengah, pengangkatan anak menurut Djojodiguno dan Raden Tritawinata adalah

pengangkatan anak orang dengan maksud supaya anak itu menjadi anak dari

orang tuanya.33 Anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri

oleh orang tua angkat yang resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan

tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pamili atas kekayaan rumah tangga

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pengangkatan anak

menurut hukum adat mempunyai pengertian yang berbeda-beda tujuan yang

hampir sama yaitu untuk meneruskan keturunan.

3. Motivasi Pengangkatan Anak

Takdir Tuhan Yang Maha Esa yang dapat menentukan lain dari keinginan

manusia untuk memperoleh anak setelah bertahun-tahun menikah tetapi tidak

mempunyai anak maka dalam keadaan yang demikian seseorang melakukan

pengangkatan anak itulah salah satu faktor yang melatar belakanginya.

Menurut Muderis Zaini inti dari motif pengangkatan anak yaitu 34:

1) Karena tidak mempunyai anak.

2) Karena belas kasihan kepada anak tersebut karena orang tua si

anak tidak mampu memberikan nafkah kepadanya.

3) Karena belas kasihan, disebabkan anak yang bersangkutan tidak

mempunyai orang tua (yatim piatu).

33 Soepomo.1987. Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramitha., hal 104 34 Op.Cit. Muderis Zaini., hal 15

Page 36: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

24

4) Karena hanya mempunyai anak laki-laki, maka diangkatlah

seseorang anak perempuan atau sebaliknya.

5) Sebagai pemancing bagi yang tidak mempunyai anak untuk dapat

mempunyai anak kandung.

6) Untuk menambah tenaga dalam keluarga.

7) Dengan maksud anak yang diangkat mendapatkan pendidikan yang

layak.

8) Karena unsur kepercayaan,bahwa mempunyai anak mendatangkan

rezeki.

9) Untuk menyambung keturunan dan mendapatkan regenerasi bagi

yang tidak mempunyai anak kandung.

10) Diharapkan anak angkat dapat menolong di hari tua dan

menyambung keturunan bagi yang tidak mempunyai anak.

M. Budiarto, dalam bukunya yang berjudul “Pengangkatan Anak Ditinjau

Dari Segi Hukum” menyebutkan bahwa faktor atau latar belakang dilakukan

pengangkatan anak, yaitu:

a) Keinginan untuk mempunyai anak, bagi pasangan yang tidak

mempunyai anak.

b) Adanya harapan dan kepercayaan akan mendapatkan anak setelah

mengangkat anak atau sebagai “pancingan”.

c) Masih ingin menambah anak yang lain jenis dari anak yang telah

dipunyai.

Page 37: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

25

d) Sebagai belas kasihan terhadap anak terlantar, miskin, yatim piatu

dan sebagainya35.

Menurut Hilman Hadikusuma pengangkatan anak dilakukan karena

alasan-alasan sebagai berikut :

1) Tidak mempunyai keturunan.

2) Tidak ada penerus keturunan.

3) Rasa kekeluargaan

Dari pendapat-pendapat para ahli yang telah diuraikan diatas diketahui

bahwa pada dasarnya motivasi atau sebab-sebab seseorang melakukan

pengangkatan anak adalah sama, yaitu yang paling utama adalah karena tidak

mempunyai keturunan. Dengan adanya pengangkatan anak ini kedua belah pihak

mempunyai hubungan yang saling menguntungkan, yaitu bagi anak angkat dapat

memperoleh kasih sayang dan memperoleh penghidupan yang layak dari orang

tua angkatnya, sedangkan bagi orang tua angkatnya adanya anak angkat dapat

menjadi penerus keturunan mereka dan diharapkan menjadi penolong dihari tua

mereka.

4. Maksud dan Tujuan Pengangkatan anak

Pengangkatan anak pada dasarnya tidak terlepas dari upaya mengatasi

permasalahan anak, oleh karena itu salah satu tujuan utamanya adalah

kepentingan perlindungan atau kesehjateraan anak itu sendiri, diharapkan setelah

anak tersebut menjadi anak angkat keadaannya akan lebih baik dibandingkan

35 . M. Budiarto.1991. Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum. Jakarta: Akademi Pressindo hal 16

Page 38: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

26

ketika sebelum menjadi anak angkat. Tujuan lainnya yaitu semata-mata untuk

melanjutkan dan mempertahankan keturunan dalam suatu keluarga yang tidak

mempunyai keturunan. Dalam perkembangannya tujuan pengangkatan anak

bermacam-macam antara lain:

a. Tujuan pengangkatan anak menurut Staatblad 1917 Nomor 129

Tujuan pengangkatan anak bagi orang Tionghoa sebagaiman diatur dalam

Staatblad 1917 adalah untuk meneruskan keturunan laki-laki. Hukum keluarga

adat golongan Tionghoa menurut garis keturunan laki-laki (patrilineal) karena itu

nama keluarga diturunkan melalui keturunan laki-laki. Jadi apabila tidak ada

keturunan anak laki-laki untuk meneruskan nama keluarga, maka mereka akan

mengangkat anak dari keluarga lain.36

b. Tujuan pengangkatan anak menurut Hukum Adat

Hukum kekeluargaan adat memandang bahwa keturunan adalah ketunggalan

leluhur, artinya dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan darah dengan

tunggal leluhur. Akibat hukum yang berhubungan dengan ketunggalan leluhur

bervariasi di masing-masing daerah. Ada satu pandangan pokok yang sama bahwa

keturunan merupakan unsur hakiki serta mutlak bagi suatu klan, suku, atau

kerabat yang khawatir akan menghadapi kepunahan pada umumnya melakukan

pengangkatan anak.37

36 Musthofa, Sy.2008. Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama. Jakarta: Prenada Media Group., hal 23 37 R. Subekti. 2006. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramitha. Hal 19

Page 39: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

27

Pengangkatan anak dalam hukum adat merupakan suatu hal yamg lazim

dilakukan dan dikenal diseluruh wilayah indonesia dengan cara dan motif yang

bervariasi. Tujuannya antara lain untuk meneruskan keturunan apabila dalam

suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan.38 Ini merupakan motivasi yang

dapat dibenarkan dan salah satu alternatif positif yang sesuai dengan rasa

kemanusiaan terhadap kehadiran anak dalam lingkungan keluarga setelah sekian

lamanya belum dikaruniai keturunan.

Masyarakat Jawa umumnya mengambil anak angkat dari kalangan

keluarganya sendiri baik laki-laki ataupun perempuan, dengan tujuan:

1. Untuk mempererat tali persaudaran dengan orang tua anak yang diangkat;

2. Untuk mempunyai anak laki-laki, maka mengangkat anak perempuan dan

sebaliknya;

3. Sebagai pancingan agar mendapat anak keturunannya sendiri;

4. Untuk mendapatkan anak laki-laki yang dapat membantu pekerjaan orang

tuanya.39

Dengan demikian tujuan pengangkatan anak yang dilakukan oleh masyarakat

Indonesia pada dasarnya adalah:

a) Untuk mempertahankan keturunan dan sebagai kelangsungan

hidup dari yang mengangkat anak. Juga diharapkan agar supaya

kelak dikemudian hari apabila orang tua angkatnya sudah tidak

mampu lagi bekerja maka si anak tersebut diharapkan akan dapat

38 Muderis, Zaini.Op.Cit., hal 7 39 Musthofa, Sy. Op.Cit. hal 28-29

Page 40: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

28

memelihara dan memberi nafkah sampai orang tua angkatnya

meninggal dunia.

b) Untuk mempertahankan lingkungan kekeluargaan.

c) Untuk menambah ketenteraman dan kebahagiaan dalam hidup

rumah tangga, karena sudah barang tentu orang yang dalam

keluarga tidak mempunyai anak maka merasa gelisah dan kurang

tentram serta sepi dalam rumah tangganya.

d) Untuk memperkuat tali persaudaraan dengan orang tua anak yang

diangkat.

e) Adanya kepercayaan bahwa karena pengangkatan anak itu

kemudian akan mendapat anak sendiri dalam hal ini yang disebut

anak pancingan.

f) Karena adanya rasa belas kasihan, mereka ingin menolong anaknya

yang hidupnya kekurangan dan terlantar.

g) Untuk mendapatkan bujang, yang dapat membantu pekerjaan orang

tuanya dirumah.40

Seiring perkembangan yang terjadi dalam masyarakat sekarang ini,

menunjukan bahwa tujuan pengangkatan anak tidak lagi semata-mata untuk

meneruskan keturunan saja, tetapi lebih beragam. Ada beberapa motivasi yang

mendorong seseorang untuk mengangkat anak, bahkan tidak jarang pula karena

faktor ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya.

40 Ibid., hal 15

Page 41: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

29

c. Tujuan Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam dan Peraturan

Perundang-undangan

Tujuan pengangkatan anak menurut Hukum Islam yaitu untuk kepentingan

terbaik bagi anak agar tidak sampai terlantar atau menderita dalam masa

perkembangan dan pertumbuhannya41. Agama Islam mengajarkan agar umat

manusia saling tolong menolong, karena itu pengangkatan anak merupakan salah

satu bentuk sebagai wujud tolong menolong terhadap sesama umat manusia.Hal

ini berdasarkan Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 2 yang artinya:

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran

Sedangkan dalam peraturan perundang-undangan,pengangkatan anak pada

dasarnya adalah untuk mengatasi permasalahan anak, oleh karena itu tujuan utama

dilakukannya pengangkatan anak adalah untuk kepentingan kesejahteraan dan

perlindungan anak sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Ayat (1) Undang-Undang

Nomor 4 tahun 1979 jo Pasal 39 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

yang menjelaskan bahwa pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk

kepentingan terbaik bagi anak dan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

41 Loc.cit Zaini, Muderis. Hal 55

Page 42: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

30

5. Syarat-syarat Pengangkatan Anak

a. Syarat Pengangkatan Anak menurut Staatblad 1917 Nomor 129

Mengenai syarat-syarat tentang pengangkatan anak diatur dalam Staatsblad

Tahun 1917 Nomor 129 Pasal 8 disebutkan ada 4 syarat, yaitu :

1) Persetujuan orang yang mengangkat anak.

2) Apabila anak yang diangkat itu adalah anak sah dari orang tuanya, maka

diperlukan ijin dari orang tua itu, apabila Bapak sudah wafat dan ibunya

telah kawin lagi, maka harus ada persetujuan dari walinya dan Balai Harta

Peninggalan (Wees Kamer) selaku pengawas wali.

3) Apabila anak yang diangkat itu sudah berusia 15 tahun, maka diperlukan

pula persetujuan dari anak itu sendiri.

4) Apabila yang akan mengangkat anak itu seorang perempuan janda, maka

harus ada persetujuan dari saudara laki-laki dan ayah dari almarhum

suaminya, atau jika tidak ada saudara laki-laki atau ayah, yang masih

hidup atau jika mereka tidak menetap di Indonesia maka harus ada

persetujuan dari anggota laki-laki dari keluarga almarhum suaminya dalam

garis laki-laki sampai derajad keempat.42

b. Syarat Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam.

Menurut hukum Islam pengangkatan anak hanya dapat dibenarkan apabila

memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

1) Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan

orang tua biologis dan keluarga.

42 Staatblad 1917 Nomor 129

Page 43: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

31

2) Anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua angkat,

melainkan tetap sebagai pewaris dari orang tua kandungnya, demikian

juga orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak

angkatnya.

3) Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya

secara langsung kecuali sekedar sebagai tanda pengenal / alamat.

4) Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan

terhadap anak angkatnya 43

Dari ketentuan tersebut diatas dapat diketahui bahwa prinsip pengangkatan

anak menurut hukum Islam adalah bersifat pengasuhan anak dengan tujuan agar

seorang anak tidak sampai terlantar atau menderita dalam pertumbuhan dan

perkembangannya.44

c.Syarat Pengangkatan Anak Menurut Peraturan Perundang-undangan

Syarat pengangkatan anak diatur dalam undang-undang yaitu dalam SEMA

Nomor 6 Tahun 1983, Keputusan Menteri Sosial RI Nomor

41/HUK/KEP/VII/1984, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002, Peraturan

Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007.

1. SEMA Nomor 6 Tahun 1983

SEMA Nomor 6 Tahun 1983 menentukan bahwa warga negara asing (WNA)

yang akan mengadopsi anak WNI harus sudah berdomisili dan bekerja tetap di

43 Op.Cit Muderis Zaini. hal 54 44 Ibid. Hal 55

Page 44: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

32

Indonesia selama minimal tiga tahun. Selain itu, calon orang tua angkat harus

mendapat izin tertulis dari Menteri Sosial. Pengangkatan anak harus dilakukan

melalui yayasan sosial yang memiliki izin dari Departemen Sosial untuk bergerak

di bidang pengangkatan anak. Pengangkatan anak WNI yang langsung dilakukan

orang tua kandung WNI dengan calon orang tua WNA tidak diperbolehkan.

Seorang WNA yang belum atau tidak menikah tidak boleh mengangkat anak WNI

dan calon anak angkat WNI harus berusia di bawah lima tahun

2. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984

Syarat bagi calon orang tua angkat adalah:

a. Berstatus kawin dan berumur minimal 25 tahun atau maksimal 45 tahun.

b. Khusus untuk pengangkatan anak antar WNI, selisih umur antara calon

orang tua angkat dengan calon anak angkat minimal 20 tahun.

c. pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak sekurang-

kurangnya sudah kawin 5 tahun, dengan mengutamakan calon orang tua

angkat dengan keadaan sebagai berikut:

1. tidak mungkin mempunyai anak (dengan surat keterangan dokter

kebidanan/dokter ahli); atau

2. belum mempunyai anak; atau

3. mempunyai anak kandung seorang; atau

4. mempunyai anak angkat seorang dan tidak mempunyai anak

kandung.

Page 45: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

33

d. dalam keadaan mampu ekonomi berdasarkan surat keterangan dari pejabat

yang berwenang serendah-rendahnya lurah/kepala desa setempat.

e. berkelakuan baik berdasarkan surat keterangan dari Kepolisian RI

f. dalam keadaan sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat keterangan

dokter Pemerintah.

g. mengajukan pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak semata-mata

untuk kepentingan kesejahteraan anak.

3.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002

a. Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik

bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam poin (1), tidak

memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua

kandungnya.

c. Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh

calon anak angkat.

d. Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan

sebagai upaya terakhir.

e. Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan

dengan agama mayoritas penduduk setempat.

f. Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai

asal usulnya dan orang tua kandungnya.

Page 46: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

34

g. Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana

dimaksud dalam poin 6 dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak

yang bersangkutan.

h. Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan

terhadap pelaksanaan pengangkatan anak.

i. Ketentuan mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud

dalam poin 8 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2007.

Syarat anak yang akan diangkat, meliputi:

a. belum berusia 18 (delapan belas) tahun;

b. merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;

c. berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak;

d. memerlukan perlindungan khusus.

Usia anak angkat sebagaimana dimaksud pada huruf a meliputi:

a. anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama;

b. anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas)

tahun, sepanjang ada alasan mendesak;

c. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18

(delapan belas) tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus.

Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat:

a. sehat jasmani dan rohani;

Page 47: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

35

b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima

puluh lima) tahun;

c. beragama sama dengan agama calon anak angkat;

d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak

kejahatan;

e. berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;

f. tidak merupakan pasangan sejenis;

g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;

h. dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;

i. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak;

j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi

kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;

k. adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat;

l. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak

izin pengasuhan diberikan; dan

m. memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.

Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing, harus

memenuhi syarat:

a. memperoleh izin tertulis dari pemerintah negara asal pemohon melalui

kedutaan atau perwakilan negara pemohon yang ada di Indonesia;

b. memperoleh izin tertulis dari Menteri; dan

c. melalui lembaga pengasuhan anak.

Page 48: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

36

Pengangkatan anak Warga Negara Asing oleh Warga Negara Indonesia, harus

memenuhi syarat:

a. memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah Republik Indonesia; dan

b. memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah negara asal anak.

(1) Pengangkatan anak oleh orang tua tunggal hanya dapat dilakukan

oleh Warga Negara Indonesia setelah mendapat izin dari Menteri.

(2) Pemberian izin dapat didelegasikan kepada kepala instansi sosial

di provinsi.

Selain memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan diatas, calon orang tua

angkat Warga Negara Asing juga harus memenuhi syarat:

a. telah bertempat tinggal di Indonesia secara sah selama 2 (dua) tahun;

b. mendapat persetujuan tertulis dari pemerintah negara pemohon; dan

c.membuat pernyataan tertulis melaporkan perkembangan anak kepada

Departemen Luar Negeri Republik Indonesia melalui Perwakilan Republik

Indonesia setempat.

6. Prosedur Pengangkatan Anak

a.Melalui Pengadilan

Sebelum lahirnya UU Nomor 3 Tahun 2006, Pengadilan Negeri dan

Pengadilan Agama mempunyai wewenang untuk menangani perkara

pengangkatan anak. Sebelumnya Pengadilan Agama di beberapa daerah telah

menangani perkara pengangkatan anak bagi orang yang beragama Islam,

walaupun waktu itu terdapat perbedaan pendapat dikalangan pakar hukum dan

Page 49: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

37

peraktisi hukum, hal ini di dasarkan kepada penafsiran pasal 49 ayat (1) huruf (b)

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, Pasal 171 huruf (h) dan Pasal 209

Kompilasi Hukum Islam, Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Agama Nomor 2

Tahun 1987, serta pendapat ahli fiqh dan fatwa MUI. Setelah lahirnya Undang-

undang Nomor 3 tahun 2006, semakin jelas bahwa pengangkatan anak bagi orang

yang beragama Islam adalah kewenangan Pengadilan Agama. Prosedur yang biasa

berlaku di Pengadilan Agama sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun

2006, dalam mengajukan perkara pengangkatan anak, yakni calon orang tua

angkat mengajukan perkara permohonan pengangkatan anak sebagaimana

lazimnya perkara volunter. Di Pengadilan Agama diproses sesuai dengan hukum

acara yang berlaku sampai keluar Penetapan Pengadilan Agama. Sebagai rujukan

dalam acara pemeriksaan dan bentuk penetepan dari permohonan pengangkatan

anak bisa dipedomani SEMA Nomor 2 Tahun 1979 jo SEMA Nomor 6 Tahun

1983.

Sementara itu Pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang yang bukan

beragama Islam harus terlebih dahulu mengajukan permohonan

pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan

diangkat itu berada. Bentuk permohonan itu bisa secara lisan atau tertulis, dan

diajukan ke panitera. Permohonan diajukan dan ditandatangani oleh pemohon

sendiri atau kuasanya, dengan dibubuhi materai secukupnya dan dialamatkan

kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat

tinggal/domisili anak yang akan diangkat .Adapun isi Permohonan yang dapat

diajukan adalah motivasi mengangkat anak, yang semata-mata berkaitan atau

Page 50: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

38

demi masa depan anak tersebut dan penggambaran kemungkinan kehidupan anak

tersebut di masa yang akan datang.

Untuk itu dalam setiap proses pemeriksaan, juga harus membawa dua orang

saksi yang mengetahui seluk beluk pengangkatan anak tersebut. Dua orang saksi

itu harus pula orang yang mengetahui betul tentang kondisi calon orang tua angkat

(baik moril maupun materil) dan memastikan bahwa calon orang tua angkat

tersebut akan betul- betul memelihara anak tersebut dengan baik.

Setelah permohonan disetujui Pengadilan, maka calon orang tua angkat akan

menerima salinan Keputusan Pengadilan mengenai pengadopsian anak. Salinan

yang diterima ini harus dibawa ke kantor Catatan Sipil untuk menambahkan

keterangan dalam akta kelahirannya. Dalam akta tersebut dinyatakan bahwa anak

tersebut telah diadopsi dan didalam tambahan itu disebutkan pula nama orang tua

angkatnya.

b. Melalui Adat

Proses pelaksanaan pengangkatan anak menurut hukum adat antar daerah satu

dengan daerah lain terdapat perbedaan sesuai dengan hukum adatnya masing-

masing. Pengangkatan anak di Jawa, biasanya anak angkat diambil dari

keponakannya sendiri atau dari lingkungan keluarganya sendiri. Meskipun

demikian tidak menutup kemungkinan lain untuk mengangkat anak yang bukan

kerabatnya sendiri, bahkan mengangkat anak yang tidak diketahui siapa orang tua

kandung seperti misalnya anak yang diambil dari panti asuhan.

Dalam hukum adat Jawa, perbuatan pengangkatan anak tidak dilakukan

melalui suatu upacara tertentu yang tidak diharuskan. Tetapi hanya diadakan suatu

Page 51: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

39

selamatan dengan mengundang tetangga-tetangga yang terdekat dengan orang tua

angkat, yang bertujuan untuk keselamatan untuk semua pihak. Biasanya diadakan

selamatan setelah adanya persetujuan antara orang tua kandung dengan calon

orang tua angkat, atau setelah orang tua angkat menerima anaknya dari panti

asuhan atau rumah sakit yang dimintai bantuannya. Pada selamatannya biasa

diundang keluarga dan tetangga dekat dari orang tua angkat dengan atau tanpa

dihadiri oleh kepala desa.45 Dengan adanya proses pengangkatan anak tersebut,

dapat dilaporkan kepada kepala desa atau dapat juga tidak dan biasanya kepala

desa tidak mengadakan pencatatan mengenai pengangkatan anak tersebut.

7. Hubungan Hukum Orang Tua Angkat dengan Anak angkat

Hubungan hukum adalah hubungan antara subjek hukum yang diatur oleh

hukum.46 Isinya adalah hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dalam

pengangkatan anak juga terdapat hak dan kewajiban antara anak angkat dan orang

tua angkatnya, yang menjadikan adanya hubungan hukum antara keduanya.

Hubungan hukum itu berupa:

Seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 12 Staatblad 1917 Nomor 129 bahwa

anak angkat dianggap dilahirkan dari perkawinan kedua orang tua angkatnya, 47

ketentuan ini menjadikan anak angkat berstatus sama dengan anak angkat

sehingga antara anak yang diangkat dengan orang tua angkat timbul hubungan

hukum antara anak angkat sebagai anak sendiri dan orang tua angkat sebagai

orang tua sendiri. Karenanya timbul hubungan mewaris dan hubungan perwalian. 45 Op.cit Bushar Muhammad, 1981 hal.. 34 46J.B. Daliyo. 2001.Pengantar Ilmu Hukum.Jakarta: Prenhallindo hal.104 47 Staatblad 1917 Nomor 129

Page 52: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

40

Pengangkatan Anak dalam Hukum Islam tidak mengubah status anak angkat sama

dengan anak kandung, hal ini ditegaskan dalam Al-Quran Surat Al-Ahz’b ayat 4,

ayat 5 yang artinya

“ Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar). 5. Panggilah mereka) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” QS. al-Ahzab ( 33 : 4-5 )

Ketentuan seperti ini menjadikan hubungan hukum antara anak yang diangkat

dengan orang tua angkatnya hanya terbatas sebagai hubungan antara orang tua

asuh dengan anak asuh saja tidak sampai menjadikan anak angkat tersebut sebagai

anaknya sendiri dan sama sekali tidak menciptakan hubungan nasab.

Page 53: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

41

BAB III

METODE PENELITIAN

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan

konsep legal positif. Konsep ini memandang hukum sebagai norma-norma tertulis

yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dan

konsep yang melihat hukum sebagai sistem normatif yang otonom, tertutup, dan

terlepas dari kehidupan dan mengabaikan norma lain selain norma hukum.48

2. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini menggunakan spesifikasi penelitian perbandingan hukum yaitu

suatu penelitian untuk memecahkan suatu permasalahan yang diselidiki dengan

membandingkan data atau gambaran dan juga keadaan subyek atau obyek

penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau

sebagaimana adanya berdasarkan analisa perkembangan masalah yang menjadi

obyek penelitian

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Perpustakaan Fakultas Hukum,dan Unit

Pelayanan Terpadu (UPT) Perpustakaan Universitas Jenderal Soedirman serta

48 Ronny Hanitijo Soemitro,1988. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Alumni, Jakarta. Hal 13.

Page 54: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

42

melalui media internet, majalah, surat kabar, buletin, artikel ilmiah atau yang

lainnya dirasa perlu dan dapat menunjang kelengkapan data.

4. Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian ini, peneliti lebih banyak menggunakan data sekunder

untuk memperoleh hasil penelitian yang obyektif dari penelitian yang dilakukan.

Data sekunder ini meliputi :

Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat yaitu

berupa :

1. Kompilasi Hukum Islam.

2. Staatblad 1917 Nomor 129

3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari :

1. Pustaka tentang adopsi dalam Staatblad 1917 Nomor 129 dan Hukum

Islam

2. Artikel-artikel ilmiah, baik dari surat kabar, internet, majalah atau

buletin tentang adopsi dalam Staatblad 1917 Nomor 129 dan Hukum

Islam

Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk terhadap

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu berupa kamus hukum.

Page 55: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

43

5. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, peneliti lebih terfokus menggunakan data sekunder dan

metode yang digunakan untuk mengumpulkan data ialah menginventarisasi

dengan cara studi kepustakaan, internet browsing, telaah artikel ilmiah, telaah

karya ilmiah sarjana dan studi dokumen, termasuk di dalamnya karya tulis ilmiah

dan juga surat kabar atau media lainnya yang substansinya mengandung materi

penjelasan tentang Adopsi khususnya Adopsi dalam sistem Hukum Barat dan

Hukum Islam.

6. Metode Penyajian Data

Data yang berupa bahan-bahan hukum yang telah diperoleh kemudian

disajikan dalam bentuk teks naratif, uraian-uraian yang disusun secara sistematis,

logis, dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan

satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti

sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.

7. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah kualitatif,

yaitu analisis data dilakukan dengan memahami dan merangkai data yang telah

dikumpulkan dan disusun secara sistematis, kemudian ditarik simpulannya.

Page 56: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

44

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diperoleh data sebagai berikut:

Data sekunder

No. Aspek Staatblad 1917 Nomor 129 Hukum Islam 1 Pengertian anak yang haknya dialihkan

dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya untuk dijadikan anak sendiri. (M. Budiarto.1991. Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum. Jakarta: CV. Akademik & Pressindo)

Pasal 171 huruf (g) Kompilasi Hukum Islam Anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tangung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan

2 Motivasi Ingin mempunyai anak laki-laki ( Muderis Zaini,1995. suatu tinjauan dari tiga sistem hukum.Jakarta: Sinar Gafika)

Ibadah dan saling tolong –menolong ( Muderis Zaini,1995. suatu tinjauan dari tiga sistem hukum.Jakarta: Sinar Gafika)

3 Tujuan Penerus silsilah dan memelihara abu leluhur (Musthofa,Sy.2008.Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama. Jakarta: Prenada Media Group.)

Kepentingan dan kesejahteraan anak ( Muderis Zaini,1995. suatu tinjauan dari tiga sistem hukum.Jakarta: Sinar Gafika)

4 Jenis kelamin anak yang diangkat

Pasal 6. Yang boleh diangkat sebagai anak hanyalah orang Tionghoa laki-laki yang tidak kawin, dan tidak punya anak, yang belum diangkat oleh orang lain

Semua orang, baik laki-laki maupun perempuan (Musthofa,Sy.2008.Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama. Jakarta: Prenada Media Group)

Page 57: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

45

5 Syarat Pasal 8 1. Persetujuan dari orang

atau orang- orang yang mengadopsi

2. a. dalam hal anak yang diadopsi adalah seorang anak sah, maka persetujuan dari orang tuanya, atau jika salah satu telah meninggal dunia, dari suami atau istri yang masih hidup dengan pengecualian dari ibunya yang kawin lagi; dalam hal ini, demikian juga jika kedua orang tuanya telah meninggal dunia, untuk melakukan adopsi seorang anak yang belum cukup umur diharuskan persetujuan dari walinya dan balai harta peniggalan.

3. dalam hal ini orang yang diadopsi adalah anak di luar perkawinan: persetujuan dari orang tuanya, jika diakui oleh keduanya, atau jika ia hanya diakui oleh salah satu dari mereka, persetujuan daripadanya; jika tidak terjadi pengakuan atau orang tuanya yang mengakuinya telah meninggal dunia, maka untuk melakukan adopsi terhadap orang yang belum cukup umurdiharuskan

1 Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua biologis dan keluarga.

2 Anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua angkat, melainkan tetap sebagai pewaris dari orang tua kandungnya, demikian juga orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak angkatnya.

3 Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya secara langsung kecuali sekedar sebagai tanda pengenal alamat.

4 Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan terhadap anak angkatnya

( Muderis Zaini,1995. suatu tinjauan dari tiga sistem hukum.Jakarta: Sinar Gafika)

Page 58: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

46

persetujuan dari walinya dan dari balai harta peninggalan.

4. persetujuan dari orang yang diadopsi, jika ia telah mencapai usia lima belas tahun.

5. dalam hal adopsi oleh seorang janda seperti yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), persetujuan dari kakak-kakak yang telah dewasa dan dari ayah (dari suami) yang telah meninggal dunia, dan jika mereka tidak ada atau jika orang-orang tersebut tidak bertempat tinggal di Indonesia, dari dua orang diantara keluarga laki-laki terdekat yang sudah dewasa dari garis bapak dari suami yang telah meninggal dunia sampai derajat keempat yang bertempat tinggal di Indonesia.

6 Hubungan Hukum

antara anak yang diangkat dengan orang tua angkat timbul hubungan hukum antara anak angkat sebagai anak kandung dan orang tua angkat sebagai orang tua kandung ( Staatblad 1917 Nomor 129)

hanya terbatas sebagai hubungan antara orang tua asuh dengan anak asuh saja tidak sampai menjadikan anak angkat tersebut sebagai anak kandung (Kamil ,Ahmad dan M. Fauzan. 2008. Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.)

7 Akibat Hukum

1. Pasal 11

Adopsi membawa akibat demi

1 tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah atau

Page 59: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

47

hukum, bahwa orang yang diadopsi, jika ia mempunyai nama keturunan lain daripada laki-laki yang mengadopsinya sebagai anak laki-lakinya,memperoleh nama keturunan dari orang yang mengadopsi sebagai ganti dari nama keturunan orang yang diadopsi itu.

2. Pasal 12. (1) Bila orang-orang yang kawin mengadopsi seorang laki-laki, maka ia dianggap dilahirkan dari perkawinan mereka.

3. Pasal 14. Karenasuatu adopsi, maka gugurlah hubungan-hubungan keperdataan yang terjadi karena keturunan alamiah antara orang tua atau keluarga sedarah dan semenda dengan orang yang diadopsi, kecuali terhadap:

a) larangan-larangan perkawinan berdasarkan saudara sedarah dari garis samping

b) ketentuan-ketentuan dalamhukum pidana yang didasarkan pada keturunan alamiah;

c) ganti rugi biaya-biaya perkara dan sandera

d) pembuktian dengansaksi-saksi;

e) bertindaknya sebagai saksi pada akta-akta otentik.

nasab, hubungan wali-mewali dan hubungan waris-mewaris dengan orang tua angkatnya

2 anak tetap memakai nama dari Bapak kandung

3 hubungan dengan orang tua aslinya tidak terputus

4 tetap menjadi ahli waris orang tua kandungnya

5 tidak mewaris terhadap orang tua angkatnya tetapi dapat memperoleh harta warisan melalui wasiat wajibah.

(Kamil ,Ahmad dan M. Fauzan. 2008. Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.)

Sumber data: Kompilasi Hukum Islam; Staatblad 1917 Nomor 129., Kamil ,Ahmad dan M. Fauzan. 2008. Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia. Jakarta: PT Raja

Page 60: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

48

Grafindo Persada., M. Budiarto.1991. Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum. Jakarta: CV.Akademik & Pressindo., Musthofa,Sy.2008.Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama. Jakarta: Prenada Media Group., Muderis Zaini,1995. suatu tinjauan dari tiga sistem hukum.Jakarta: Sinar Gafika.

B. Pembahasan

1. Konsep Pengangkatan Anak

Dalam penelitian, seorang peneliti menggunakan istilah yang khusus untuk

menggambarkan suatu fenomena yang akan diteliti. Itulah yang disebut konsep

yaitu istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak :

kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu

sosial. Dengan kata lain konsep adalah abstraksi mengenai suatu fenomena yang

dirumuskan atas dasar dari generalisasi dari sejumlah karakteristik, kejadian,

keadaan, kelompok atau individu tertentu.

Untuk mengetahui konsep pengangkatan anak kita harus terlebih dahulu

mengetahui konsep dari anak angkat, dari penelitian yang telah dilakukan

didapatkan dua konsep anak angkat yaitu :

1. Anak yang haknya dialihkan dari kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau

orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan

membesarkan anak tersebut, serta memasukkan anak tersebut ke dalam

lingkungan keluarga orang tua angkatnya untuk dijadikan anak kandung;

2. Anak yang tanggung jawabnya dialihkan dari orang tua asal kepada orang

tua angkat yang berkewajiban untuk mengasuh dan mendidik anak tersebut

tanpa diberikan status anak kandung terhadap anak tersebut.

Konsep anak angkat tersebut merupakan dua konsep yang berasal dari dua

sistem hukum yang berbeda, konsep yang pertama merupakan konsep yang

Page 61: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

49

berasal dari Hukum Barat yang dituangkan dalam Staatblad 1917 Nomor 129 dan

konsep yang kedua merupakan konsep yang ada dalam Hukum Islam. Di lihat dari

perbedaan konsep anak angkat maka konsep pengangkatan anak dalam Staatblad

1917 Nomor 129 dengan Hukum Islam juga berbeda.

1.a. Konsep Pengangkatan Anak Menurut Staatblad 1917 Nomor 129

Pengertian pengangkatan anak dalam Staatsblad 1917 Nomor 129 yang

dikenal dengan istilah adopsi, yang berarti pengangkatan seorang anak dijadikan

seperti anak kandung atau anak sendiri. Pengangkatan anak menurut menurut

Staatblad 1917 Nomor 129 ini adalah pengangkatan anak Tionghoa laki-laki oleh

seorang laki-laki beristri atau pernah beristri, atau seorang janda cerai mati, tidak

mempunyai keturunan laki-laki dari garis laki-laki, baik keturunan karena

kelahiran maupun keturunan karena pengangkatan, yang berakibat hukum anak

yang diangkat mendapat nama keluarga yang mengangkat, berkedudukan sebagai

anak sah, putus segala hubungan perdata dengan keluarga asalnya, tidak mewaris

dari keluarga sedarah asalnya, dan mewaris dari keluarga ayah dan ibu yang

mengangkatnya.

Motivasi pengangkatan anak dalam Staatblad 1917 Nomor 129 yaitu ingin

mempunyai anak laki-laki, hal ini dikarenakan dalam masyarakat Tionghoa,

sistem kekeluargaan masyarakat Tionghoa adalah mengikuti pola patrilineal dan

anak laki-laki memiliki posisi sebagi penerus silsilah dan berkewajiban

memelihara abu leluhur, apabila dalam satu keluarga tidak ada anak laki-laki

maka keluarga itu akan putus dan tidak ada lagi yang memelihara abu leluhur .

Page 62: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

50

Sebelum melakukan pengangkatan anak terdapat persyaratan yang harus

dipenuhi, syarat pengangkatan anak menurut Pasal 8 Staatblad 1917 Nomor 129

yaitu:

(1) Persetujuan dari orang atau orang- orang yang mengadopsi (2) a. dalam hal anak yang diadopsi adalah seoran anak sah, maka persetujuan

dari orang tuanya, atau jika salah satu telah meninggal dunia, dari suami atau istri yang masih hidup dengan pengecualian dari ibunya yang kawin lagi; dalam hal ini, demikian juga jika kedua orang tuanya telah meninggal dunia, untuk melakukan adopsi seorang anak yang belum cukup umur diharuskan persetujuan dari walinya dan balai harta peniggalan. b. dalam hal ini orang yang diadopsi adalah anak di luar perkawinan: persetujuan dari orang tuanya, jika diakui oleh keduanya, atau jika ia hanya diakui oleh salah satu dari mereka, persetujuan daripadanya; jika tidak terjadi pengakuan atau orang tuanya yang mengakuinya telah meninggal dunia, maka untuk melakukan adopsi terhadap orang yang belum cukup umurdiharuskan persetujuan dari walinya dan dari balai harta peninggalan.

(3) persetujuan dari orang yang diadopsi, jika ia telah mencapai usia lima belas tahun.

(4) dalam hal adopsi oleh seorang janda seperti yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), persetujuan dari kakak-kakak yang telah dewasa dan dari ayah (dari suami) yang telah meninggal dunia, dan jika mereka tidak ada atau jika orang-orang tersebut tidak bertempat tinggal di Indonesia, dari dua orang diantara keluarga laki-laki terdekat yang sudah dewasa dari garis bapak dari suami yang telah meninggal dunia sampai derajat keempat yang bertempat tinggal di Indonesia.

Dari bunyi Pasal tersebut persyaratan pengangkatan anak harus ada

persetujuan orang yang tua kandung dan orang yang mengangkat anak. Apabila

anak yang diangkat itu adalah anak sah dari orang tuanya, maka diperlukan ijin

dari orang tua itu, apabila salah satu orang tua telah meninggal dunia maka harus

ada persetujuan dari salah satu , kecuali Bapak sudah wafat dan ibunya telah

kawin lagi, maka harus ada persetujuan dari walinya. Demikian juga untuk

mengangkat anak yang tidak sah harus ada persetujuan dari orang tuanya jika

anak tersebut diakui oleh keduanya orang tuanya tetapi jika yang mengakui hanya

salah satu dari orang tuanya, ataupun tidak terdapat pengakuan atau orang tuanya

Page 63: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

51

telah meninggal dunia maka harus ada persetujuan dari walinya dan balai harta

peniggalan.

Jika anak yang diangkat itu sudah berusia lima belas tahun, maka diperlukan

pula persetujuan dari anak itu sendiri. Apabila yang akan mengangkat anak itu

seorang janda, maka harus ada persetujuan dari saudara laki-laki dan ayah dari

almarhum suaminya, atau jika tidak ada saudara laki-laki atau ayah, yang masih

hidup atau jika mereka tidak menetap di Indonesia maka harus ada persetujuan

dari anggota laki-laki dari keluarga almarhum suaminya dalam garis laki-laki

sampai derajat keempat.

Hubungan hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban. Dengan adanya

pengangkatan anak dalam Staatblaad 1917 Nomor 129 ini maka akan timbul suatu

hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua angkat. Hubungan hukum

yang timbul antara orang tua angkat dengan anak angkat yaitu anak angkat

sebagai anak kandung dan orang tua angkat sebagai orang tua kandung. Sehingga

timbul hak dan kewajiban antara orang tua angkat dengan anak angkat. Dalam

Staatblaad 1917 Nomor 129 anak angkat berstatus sama dengan anak kandung,

maka hak dan kewajiban yang muncul antara anak angkat dan orang tua angkat

sama dengan hak dan kewajiban antara anak kandung dengan orang tua kandung.

Jadi dapat disimpulkan bahwa, konsep pengangkatan anak dalam Staatblad

1917 Nomor 129 yaitu, suatu suatu peristiwa hukum proses penyerahan anak laki-

laki Tionghoa oleh orang tua kandung kepada orang tua angkat dan menempatkan

kedudukan anak angkat tersebut sama dengan anak kandung dan putus hubungan

Page 64: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

52

silsilah antara orang tua kandung dengan anak yang diangkat serta anak yang

diangkat tersebut menggunakan nama marga orang tua angkat.

1.b. Konsep Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam

Dalam Hukum Islam pengangkatan anak adalah memperlakukan sebagai anak

dalam kecintaan pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala

kebutuhannya yang bukan memperlakukan sebagai anak kandungnya sendiri.

Pengertian pengangkatan anak seperti tersebut di atas telah pula disampaikan

Mahmud Syaltut yang mengemukakan bahwa pengertian pengangkatan anak yaitu

, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan

kasih sayang,tanpa diberikan status anak kandung kepadanya,cuma ia

diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak sendiri. Definisi ini

menggambarkan, bahwa anak angkat itu sekedar mendapatkan pemeliharaan

nafkah, kasih sayang dan pendidikan, sehingga tidak dapat disamakan dengan

status anak kandung baik dari segi pewarisan maupun dari perwalian.

Konsep pengangkatan anak tersebut dapat dipahami jika melihat motivasi

pengangkatan anak dalam Hukum Islam, motivasi dan tujuan pengangkatan anak

dalam Hukum Islam yaitu ingin mempunyai anak sebagai penerus keturunan dan

merupakan suatu ibadah yaitu memberi pertolongan terhadap anak tersebut,

sehingga dalam Hukum Islam anak yang diangkatpun tidak dibedakan antara laki-

laki maupun perempuan.

Jika dilihat dari sebelum dan sesudah diundangkannya Kompilasi Hukum

Islam maka dapat dilihat bahwa sebelum adanya Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Page 65: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

53

konsep pengangkatan anak di Indonesia seperti konsep anak asuh menurut istilah

sekarang yaitu menjadikan anak yang bukan anak kandungnya untuk dipelihara,

dididik dan diperlakukan dengan baik, tetapi setelah adanya KHI konsep

pengangkatan anak ini mengalami perubahan dimana menurut KHI pengangkatan

anak yaitu mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh

perhatian dan kasih sayang,tanpa diberikan status anak kandung kepadanya, cuma

ia diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak sendiri dan mengalihkan

tangung jawab dari orang tua asal kepada orang tua angkat berdasarkan putusan

pengadilan.

Setelah adanya putusan dari pengadilan mengandung maksud bahwa

pengangkatan anak menurut KHI harus melalui pengadilan, dengan lahirnya

Undang-undang No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pengadilan Agama memiliki

kewenangan absolut untuk menerima, memeriksa dan mengadili perkara

permohonan pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam.

Selanjutnya untuk melakukan pengangkatan anak terdapat syarat yang harus

dipenuhi, syarat-syarat tersebut antara lain :

1. Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang

tua biologis dan keluarga.

2. Anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua angkat,

melainkan tetap sebagai pewaris dari orang tua kandungnya, demikian juga orang

tua angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak angkatnya.

Page 66: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

54

3. Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya secara

langsung kecuali sekedar sebagai tanda pengenal alamat.

4. Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan

terhadap anak angkatnya

Dari ketentuan di atas dapat diketahui bahwa prinsip pengangkatan anak menurut

hukum Islam adalah bersifat pengasuhan anak dengan tujuan agar seorang anak

tidak sampai terlantar atau menderita dalam pertumbuhan dan perkembangannya.

Setelah pengangkatan anak terjadi maka akan timbul suatu hubungan hukum,

pengangkatan anak dalam Hukum Islam menimbulkan hubungan hukum antara

anak angkat dengan orang tua angkat yaitu hubungan antara orang tua asuh

dengan anak asuh saja tidak sampai menjadikan anak angkat tersebut sebagai

anaknya sendiri sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran Surat Al-Ahz’b ayat 4

dan ayat 5 yang artinya

“ (ayat 4) Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar). (Ayat 5). Panggilah (mereka) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” QS. al-Ahzab ( 33 : 4-5 )

Ayat ke 4 dan 5 dalam surat al-Ahzab mengandung pengertian bahwa Allah

melarang pengangkatan anak yang menghubungkan segala-galanya kepada nama

bapak angkatnya, seperti persamaan hak waris, hubungan mahram dan perwalian

perkawinan sebagaimana layaknya anak kandung. Anak angkat itu hanya bisa

Page 67: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

55

sekedar anak pemeliharaan atau anak asuh yang tidak bisa disamakan dengan

status anak kandung sehingga hubungan hukum antara anak angkat dan orang tua

kandungnya masih tetap ada, perubahan yang terjadi dalam pengangkatan anak

menurut Hukum Islam adalah pengalihan hak dan kewajiban antara anak angkat

dengan orang tua kandungnya kepada orang tua angkatnya.. Di dalam undang-

undang hak dan kewajiban antara anak dan orang tua diatur dalam Pasal 45

sampai dengan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 hak dan

kewajiban orang tua dan anak dikemukakan berikut ini :

1. Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak sampai anak itu kawin atau

dapat berdiri sendiri

2. Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik

3. Anak wajib memelihara dan membantu orang tuanya manakala orang tuanya

sudah tua

Dalam pengangkatan anak hak dan kewajiban orang tua angkat dengan anak

yang diangkat harus seimbang sehingga keharmonisan dan keadilan hukum dapat

tercipta. Hak dari orang tua angkat adalah sebagaimana maksud ketika ia

melakukan pengangkatan anak sesuai dengan latar belakang dan tujuan dari

pengangkatan anak itu yaitu memberikan kasih sayang terhadap anak tersebut.

Dalam hal kewajiban orang tua angkat sebagaimana diuraikan sebelumnya adalah

memelihara, mendidik, mengasuh dan membesarkannya dengan baik serta

memenuhi segala kebutuhannya layaknya anak kandung sendiri setelah adanya

putusan dari pengadilan. Jadi menurut Hukum Islam konsep pengangkatan anak

adalah peristiwa hukum proses penyerahan anak oleh orang tua kandung kepada

Page 68: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

56

orang tua angkat tetapi tidak menempatkan kedudukan anak angkat tersebut sama

dengan anak kandung dan tidak memutuskan hubungan silsilah antara anak angkat

dengan orang tua kandung sehingga anak tersebut asih mengguanakan nama

marga orang tua kandung.

2. Akibat Hukum Pengangkatan Anak

Suatu perbuatan hukum akan selalu menimbulkan akibat hukum dari

perbuatan itu. Dalam perbuatan hukum berupa pengangkatan anak, mempunyai

akibat yang secara umum dapat dikualifikasikan dalam dua aspek yaitu aspek

hubungan keluarga dan aspek pewarisan. Perbuatan pengangkatan anak

merupakan perbuatan yang menimbulkan akibat hukum baik terhadap orang tua

angkatnya maupun terhadap anak angkatnya. Akibat hukum ini merupakan

konsekuensi dari suatu perbuatan hukum, akibat hukum itu timbul terhadap para

pihak yang bersangkutan dan harus menerima akibat hukum yang ditimbulkan,

baik itu dirasakan menguntungkan ataupun merugikan. Konsep pengangkatan

anak dalam Staatblad 1917 Nomor 129 berbeda dengan konsep pengangkatan

anak dalam Hukum Islam, hal ini menimbulkan akibat hukum yang berbeda pula,

baik dalam aspek hubungan keluarga dan aspek pewarisan.

Page 69: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

57

a. Akibat Hukum Dalam Aspek Hubungan Keluarga

1. Menurut Staatblad 1917 Nomor 129

1. a Status Anak Angkat

Sebagai akibat dari pengangkatan anak, di dalam staatblad 1917 nomor 129

anak angkat dianggap dilahirkan dari perkawinan suami isteri yang mengangkat

anak Sesuai dengan Pasal 12 ayat (1) Staatsblad 1917 Nomor 129 disebutkan

bahwa, bila orang-orang yang kawin mengadopsi seseorang laki-laki, maka ia

dianggap dilahirkan dari perkawinan mereka. Karena anak angakat dianggap

dilahirkan dari perkawinan orang yang mengangkat anak maka dalam keluarga

tersebut anak angkat berkedudukan sebagai anak sah. Anak sah adalah anak yang

lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya, jadi anak tersebut

dianggap sebagai anak sah atau anak kandung orang tua angkat tersebut.

Anak angkat menurut hukum dianggap sebagai anak kandung dari orang tua

angkatnya. Dengan demikian anak angkat tersebut secara otomatis mendapatkan

hak-haknya dan kewajiban-kewajiban yang tidak beda layaknya dengan seorang

anak kandung dari orang tua angkatnya. Hak anak antara lain anak berhak

memperoleh pendidikan dan pemeliharaan dari orang tuanya, sedangkan

kewajibannya antara lain anak wajib menghormati orang tua dan mentaati

kehendak mereka yang baik. Mengenai masalah nama, karena anak angkat

berstatus sama dengan anak kandung maka anak angkat tersebut menggunakan

nama dari bapak angkatnya.

Page 70: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

58

1. b. Hubungan Dengan Orang Tua Kandung

Sementara itu dilihat dari aspek hubungan keluarga antara anak angkat dengan

orang tua kandungnya, dengan dijadikannya anak angkat sebagai anak kandung

oleh orang tua angkat hubungan keperdataan anak angkat dengan orang tua

aslinya menjadi putus sama sekali artinya anak yang diangkat tersebut tidak lagi

mempunyai hak dan kewajiban yang sama layaknya anak kandung terhadap

orang tua aslinya, hak dan kewajiban itu beralih kepada orang tua angkatnya.

1. c. Kekuasaan Orang Tua dan Perwalian

Karena anak angkat berstatus sama dengan anak kandung maka ketentuan

mengenai kekuasaan orang tua juga tunduk terhadap BW. Kekuasaan orang tua

dalam BW yaitu kekuasaan orang tua terhadap pribadi anak yang belum dewasa

dan kekuasaan terhadap harta kekayaan anak yang belum dewasa. Anak yang

belum dewasa artinya anak tersebut belum berusia 21 tahun atau belum

melangsungkan perkawinan. Setelah adanya Undang-Undang Nomor 1 tahun

1974 tentang perkawinan, Kekuasaan orang tua itu berupa :

1. Kekuasaan atas diri pribadi anak yaitu untuk mewakili anak dalam

melakukan suatu perbuatan hukum bagi anak yang belum berumur 18

tahun atau belum melangsungkan perkawinan

2. Kekuasaan terhadap harta benda anak , terhadap anak yang belum berumur

18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan memiliki kekuasaan

untuk mengurus harta anak tersebut dan menikmati keuntungan yang

diperoleh dari kepengurusan harta tersebut. Selama harta si anak tersebut

Page 71: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

59

berada dalam kekuasaan orang tua, orang tua dilarang melakukan tindakan

yang merugikan anak tersebut, seperti memindahkan hak atau

menggadaikan barang anaknya, kecuali bila kepentingan si anak

menghendaki hal itu

Dalam pengangkatan anak akibat anak angkat berstatus sama dengan anak

kandung maka kekuasaan orang tua beralih dari orang tua kandung kepada orang

tua angkat, kekuasaan orang tua itu beralih sejak pengangkatan anak itu terjadi

yang prosesnya dulu hanya dengan menggunakan akta notaris tetapi sekarang

dengan putusan pengadilan.

Masalah perwalian berhubungan dengan kekuasaan orang tua dimana

perwalian tidak akan terjadi apabila anak masih ada dalam kekuasaan orang

tuanya, dan kekuasaan orang tua meliputi diri pribadi anak dan harta bendanya.

Dengan beralihnya kekuasaan orang tua terhadap orang tua angkat maka orang tua

angkat itu menjadi wali dari anak angkat tersebut.

2. Menurut Hukum Islam

2. a. Status Anak Angkat

Hukum Islam tidak menjadikan anak angkat berstatus sama dengan anak

kandung dalam segala hal, status anak ini hanya sebagai anak asuh dari orang tua

angkatnya dalam arti memelihara dan mendidik anak tersebut. Pengangkatan anak

ini pada dasarnya adalah demi kepentingan dan kesejahteraan si anak sendiri,

seperti yang disebutkan didalam surat al- azhab ayat 4 yang artinya:

Page 72: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

60

“….. dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulut saja, dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar.

Agama Islam mendorong seorang muslim untuk memelihara anak orang lain

yang tidak mampu, miskin, terlantar, dan lain-lain. Tetapi tidak dibolehkan

memutuskan hubungan dan hak-hak itu dengan orang tua kandungnya.

Pemeliharaan itu harus didasarkan atas penyantunan semata-mata Disini tekanan

pengangkatan anak adalah perlakuan sebagai anak dalam segi kecintaan,

pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan segala kebutuhannya, bukan

diperlakukan sebagai anak kandungnya sendiri.

Menurut Kompilasi Hukum Islam anak angkat adalah anak yang tanggung

jawab pemeliharaan dan pendidikan beralih dari orang tua kandung kepada orang

tua angkat tanpa diberikan status sebagai anak kandung. Jadi dalam Kompilasi

Hukum Islam anak angkat tidak berubah statusnya menjadi anak kandung yang

beralih hanyalah dari aspek hak dan kewajiban orang tua yang dari orang tua

kandung beralih kepada orang tua angkat. Hak dan kewajiban itu berupa tanggung

jawab pemeliharaan dan pendidikan terhadap anak tersebut. Mengeni masalah

nama, anak angkat tetap memakai nama dari orang tua kandungnya dan tidak

diperbolehkan menggunakan nama dari orang tua angkat. Penggunaan nama orang

tua angkat hanya sebagai tanda pengenal atau penunjuk alamat saja.

2.b Hubungan Dengan Orang Tua kandung

Ketentuan seperti ini menjadikan hubungan anak angkat dengan orang tua

asalnya masih tetap ada, pengangkatan anak tidak memutuskan nasab antara

Page 73: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

61

orang tua kandung dengan anak angkat, nasab adalah keturunan atau ikatan

keluarga atau ikatan keluarga sebagai hubungan darah, baik karena hubungan

darah ke atas (bapak, kakek,ibu, nenek dan seterusnya) ke bawah (anak, cucu dan

seterusnya ) maupun ke samping ( saudara, paman, bibi dan seterusnya).

Kejelasan nasab sangat penting dalam Islam, akibat dari ketidak jelasan nasab

dikhawatirkan akan terjadi perkawinan dengan mahrom. Untuk itulah Islam

mengharamkan untuk menghubungkan nasab seseorang kepada orang lain yang

bukan ayah kandungnya. Menurut Hukum Islam nasab adalah hubungan darah,

jadi tidak mungkin seorang anak angkat memiliki nasab terhadap orang tua

angkatnya, karena memang anak tersebut tidak dilahirkan dari perkawinan orang

tua angkat sehingga anak angkat tidak mempunyai hubungan darah dengan orang

tua angkat, hubungan anak angkat dengan orang tua angkat hanya berbentuk

hubungan hukum berupa peralihan tanggung jawab dari orang tua asalnya

peralihan tanggung jawab itu berupa pemeliharaan dan mendidik anak.

2.c Kekuasaan Orang Tua dan Perwalian

Pengangkatan anak dalam Hukum Islam tidak mengalihkan status anak

angkat berubah menjadi berstatus sama dengan anak kandung, pengangkatan anak

hanya dari segi kecintaan dan kasih sayang terhadap anak tersebut, sehingga dari

aspek kekuasaan orang tua dan perwalian, kekuasaan orang tua dan tetap berada

ditangan orang tua kandung, orang tua kandung tetap menjadi wali dari anak

angkat.

Page 74: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

62

Sejak adanya Kompilasi Hukum Islam pengangkatan anak tidak hanya

mengalihkan hak dan kewajiban orang tua kandung kepada orang tua angkatnya,

tetapi dari aspek kekuasaan orang tua juga ikut beralih dari orang tua kandung

kepada orang tua angkat. Hal ini bisa dilihat dari pengertian anak angkat dalam

Kompilasi Hukum Islam yaitu anak angkat adalah anak yang dalam

pemeliharaannya untuk hidup sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya

beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal (kandung) kepada orang tua angkat

berdasarkan putusan pengadilan. Setelah adanya putusan dari pengadilan

mengandung maksud bahwa pengangkatan anak menurut Kompilasi Hukum Islam

harus melalui pengadilan. Jadi Orang tua angkat berhak mewakili anak dalam

melakukan suatu tindakan hukum dan memelihara harta anak tersebut sejak

adanya putusan dari pengadilan .

Dari aspek perwalian orang tua angkat menjadi wali dari anak angkat, tetapi

hanya dapat menjadi wali terbatas yaitu menjadi wali terhadap diri anak angkat,

harta anak angkat,dan melakukan suatu perbuatan hukum tetapi tidak dapat

menjadi wali nikah anak angkat apabila anak yang diangkat itu perempuan.

b. Akibat Hukum Dalam Aspek Pewarisan

1. Menurut Staatblad 1917 Nomor 129

Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang memberi kedudukan

anak angkat berstatus sama dengan anak kandung, dilihat dari aspek pewarisan

anak angkat juga mempunyai hak waris sama dengan anak kandung namun

Staatblad 1917 Nomor 129 tidak diatur masalah kewarisan. Karena anak angkat

Page 75: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

63

dalam Staatblad 1917 Nomor 129 dianggap sebagai anak kandung maka

kedudukan seorang anak angkat dalam lapangan hukum kewarisan dapat

menggunakan Pasal 852 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pasal

tersebut disebutkan anak kandung termasuk ke dalam anggota keluarga golongan

pertama. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa terdapat

empat penggolongan ahli waris, yaitu :

1. Golongan 1 : Anak-anak dan keturunannya, termasuk suami/isteri;

2. Golongan 2 : Orang tua (ayah dan ibu) dan saudara-saudara sekandung

dan/atau anak-anak keturunannya;

3. Golongan 3 : Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu,

dan seterusnya dalam garis lurus keatas dari pewaris;

4. Golongan 4 : Sanak keluarga dalam garis ke samping sampai dengan

derajat ke enam

Mengenai penggolongan tersebut, apabila ada ahli waris golongan satu,maka

golongan ahli waris yang lain tidak berhak mewaris, apabila ahli waris golongan

satu tidak ada, maka ahli waris golongan dua yang berhak mewaris, demikian

seterusnya sampai dengan golongan empat. Keturunan dari orang yang

meninggalkan warisan merupakan ahli waris yang terpenting, karena pada

kenyataannya mereka merupakan satu-satunya ahli waris, jika orang yang

meninggalkan warisan itu mempunyai keturunan Apabila orang tua angkatnya

tersebut tidak mempunyai anak kandung dan kedua orang tua angkatnya tersebut

meninggal dunia, maka anak angkat tersebut dapat mewarisi harta peninggalan

dari orang tua angkatnya. Mengenai penggantian kedudukan, seorang anak angkat

Page 76: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

64

tidaklah berbeda dengan kedudukan seorang anak kandung, sedangkan jika dilihat

dari hubungan antara anak angkat dengan orang tua kandungnya , maka akibat

adanya pengangkatan anak adalah terputusnya hubungan kewarisan antara si anak

angkat dengan orang tua kandungnya atau saudaranya, dikarenakan masuknya si

anak angkat ke dalam keluarga dari orang tua angkatnya.

2. Menurut Hukum Islam

Menurut Hukum Islam, dalam hal hubungan waris mewaris, prinsip yang

menjadi hal pokok dalam pewarisan menurut Hukum Islam adalah adanya

hubungan darah atau mahram, tetapi mengingat hubungan antara anak angkat

dengan orang tua angkatnya sudah dekat serta memperhatikan jasa baiknya

terhadap keluarga orang tua angkatnya, Islam tidak menutup kemungkinan sama

sekali anak angkat mendapat bagian dari harta peninggalan orang tua angkatnya

Karena anak angkat tidak dapat saling mewaris dengan orang tua angkatnya,

maka yang dapat dilakukan bila ia berkeinginan memberikan harta kepada anak

angkat adalah dengan wasiat , yang dapat disalurkan dengan cara hibah ketika dia

masih hidup, atau dengan jalan wasiat dalam batas sepertiga harta warisan

sebelum yang bersangkutan meninggal dunia.

Secara terminologi wasiat adalah penyerahan harta secara sukarela dari

seseorang terhadap pihak lain yang berlaku setelah orang tersebut wafat, baik

harta berbentuk materi maupun yang berbentuk manfaat. Jadi wasiat ini

dilaksanakan setelah si pewasiat meninggal dunia baik itu berupa harta berwujud

maupun harta yang tidak berwujud.. Masalah wasiat tersebut telah diatur dalam

Page 77: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

65

Kompilasi Hukum Islam, wasiat tersebut dinamakan wasiat wajibah seperti dalam

ketentuan Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) bahwa seorang anak angkat

berhak 1/3 ( sepertiga ) bagian dari harta peninggalan orang tua angkatnya begitu

juga sebaliknya sebagai suatu wasiat wajibah. Sedangkan pengertian wasiat

wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat

negara untuk memaksa, atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah

meninggal, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu,

sementara dalam Pasal 209 ayat (1 dan 2) disebutkan wasiat wajibah adalah

wasiat yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

diperuntukkan bagi anak angkat atau sebaliknya orang tua angkatnya yang tidak

diberi wasiat sebelumnya oleh orang tua angkatnya atau anak angkatnya, dengan

jumlah maksimal 1/3 dari harta peninggalan. Dari ketentuan diatas dapat

disimpulkan bahwa aank angkat berhak memperoleh harta warisan orang tuanya

melalui wasiat wajibah yang besarnya 1/3 harta orang tua begitu juga sebaliknya,

orang tua angkat dapat mewaris harta yang ditinggalkan anak angkatnya dengan

bagian yang sama pula.

Dari apa yang dipaparkan diatas dapat dilihat bahwa akibat hukum

pengangkatan anak menurut Staatblad 1917 Nomor 129 dan Hukum Islam

dikualifikasikan dalam dua aspek yaitu aspek hubungan keluarga dan aspek

hubungan pewarisan, perbedaannya jika dilihat dari hubungan keluarga, Staatblad

1917 Nomor 129 menjadikan anak angkat tesebut sebagai anak kandung dari

orang tua angkat dan memutuskan hubungan keperdataan antara anak angkat

dengan orang tua angkatnya sehingga akibatnya anak angkat tersebut memiliki

Page 78: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

66

hak dan kewajiban yang sama dengan anak kandung terhadap orang tua

angkatnya. Dari aspek kekuasaan orang tua dan perwalian kekuasaan orang tua

beralih ke tangan orang tua angkat dan orang tua angkat menjadi wali anak angkat

, sedangkan menurut Hukum Islam anak angkat tidak dijadikan sebagai anak

kandung tetapi hanya bersifat pengasuhan saja, tidak memutuskan hubungan

dengan orang tua kandungnya, orang tua angkat tidak menjadi wali anak angkat

tetapi setelah adanya Kompilasi Hukum Islam hak dan kewajiban serta kekuasaan

orang tua ikut beralih dari orang tua kandung kepada orang tua angkat. Dalam hal

perwalian orang tua angkat dapat menjadi wali atas diri anak dan harta anak

angkat tetapi tidak dapat menjadi wali nikah apabila anak angkat tersebut

perempuan.

Sementara itu dalam aspek pewarisan, menurut Staatblad 1917 Nomor 129

anak angkat berhak mewaris layaknya anak kandung yang berkedudukan sebagai

ahli waris golongan pertama dan tidak mewaris dari orang tua kandungnya

sedangkan dalam Hukum Islam , pada prinsipnya anak angkat hanya berhak

mewaris dari orang tua kandungnya, tetapi setelah adanya Kompilasi Hukum

Islam dengan pertimbangan kemanusiaan anak angkat berhak pula mewaris dari

orang tua angkatnya yaitu dengan jalan wasiat wajibah yang dalam Kompilasi

Hukum Islam ditentukan besarnya 1/3 (sepertiga) dari harta warisan.

Dari apa yang telah dipaparkan di atas dapat dilihat bahwa Pengangkatan anak

di Indonesia memiliki konsep pengertian dan akibat hukum yang multitafsir,

konsep pengangkatan anak dalam Staatblad 1917 nomor 129 menjadikan anak

angkat berstatus sama dengan anak kandung di sisi lain konsep pengangkatan

Page 79: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

67

anak dalam Hukum Islam anak angkat hanya sebagai anak asuh. Dalam Undang-

Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak konsep pengangkatan

anak yaitu pengangkatan anak mengalihkan hak anak dari kekuasaan orang tua

tanpa dijadikan anak kandung.

Adanya dualisme konsep tersebut menimbulkan akibat hukum yang

bebeda pula konsep yang pertama akan berakibat hukum anak tersebut menjadi

anak kandung dari orang tua angkat sehingga memiliki hak dan kewajiban sebagai

anak kandung. Dari konsep kedua, anak angkat bersifat pengasuhan saja yang

berakibat hukum tidak menjadi anak kandung dari orang tua angkat.

Pascaproklamasi, Indonesia memasuki era tata hukum nasional, namun

sebagian hukum era kolonial masih berlaku, antara lain perihal pengangkatan

anak. Hukum warisan kolonial tersebut berlaku di samping hukum adat dan

hukum Islam. Keberagaman sistem hukum tersebut berakibat pada perbedaan

konsepsi pengangkatan anak, yang kemudian menjadi hambatan sekaligus

tantangan untuk mewujudkan pengaturan pengangkatan anak dalam peraturan

perundang-undangan. Adanya dualisme konsep dan akibat hukum pengangkatan

anak tersebut tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum karena hukum

pengangkaan anak masih multitafsir dan tidak pasti akibat hukumnya. Untuk

itulah perlu diadakan unifikasi hukum pengangkatan anak sehingga hukum

pengangkatan anak tidak lagi multitafsir dan dapat menjamin kepastian hukum

Page 80: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

68

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik sebuah kesimpulan sebagai

berikut

1. Konsep pengangkatan anak dalam Staatblad 1917 Nomor 129 yaitu, suatu

suatu peristiwa hukum proses penyerahan anak laki-laki Tionghoa oleh

orang tua kandung kepada orang tua angkat dan menempatkan kedudukan

anak angkat tersebut sama dengan anak kandung dan putus hubungan

silsilah antara orang tua kandung dengan anak yang diangkat serta anak

yang diangkat tersebut menggunakan nama marga orang tua angkat,

sedangkan menurut Hukum Islam konsep pengangkatan anak adalah

peristiwa hukum proses penyerahan anak oleh orang tua kandung kepada

orang tua angkat tetapi tidak menempatkan kedudukan anak angkat

tersebut sama dengan anak kandung dan tidak memutuskan hubungan

silsilah antara anak angkat dengan orang tua kandung sehingga anak

tersebut asih mengguanakan nama marga orang tua kandung.

2. Akibat hukum pengangkatan anak menurut Staatblad 1917 Nomor 129 dan

Hukum Islam dikualifikasikan dalam dua aspek yaitu aspek hubungan

keluarga dan aspek hubungan pewarisan :

a.Aspek Hubungan Keluarga

1).Menurut Staatblad 1917 Nomor 129 :

Page 81: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

69

a.Status anak angkat menjadi anak kandung orang tua angkat

b.Hubungan anak angkat dengan orang tua kandung putus sama

sekali

c.Kekuasaan Orang Tua dan Perwalian beralih dari orang tua

kandung kepada orang tua angkat

2).Menurut Hukum Islam:

a.Status anak angkat tidak menjadi anak kandung dari orang tua

angkat

b.Hubungan anak angkat dengan orang tua kandung tidak terputus

c.Kekuasaan orang tua beralih dari orang tua kandung kepada orang

tua angkat, tetapi orang tua angkat tidak dapat menjadi wali nikah

dari anak angkat apabila anak angkat tersebut perempuan.

b.Aspek Pewarisan

1).Menurut Staatblad 1917 Nomor 129 anak angkat berhak mewaris dari

orang tua angkat layaknya anak kandung.

2).Menurut Hukum Islam anak angkat mewaris dari orang tua angkat

dengan jalan wasiat wajibah yang besarnya 1/3 harta warisan.

B. Saran

Staatsblad 1917 nomor 129 tentang pengangkatan anak sudah tidak sesuai

dengan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Di sisi lain Peraturan

Perundang-undangan dan Peraturan Pemerintah tentang pengangkatan anak masih

tersebar dan konsep pengangkatan anak masih bervariasi. Maka diperlukan

Page 82: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

70

adanya undang-undang nasional tentang pengangkatan anak sehingga adanya

kesamaan dalam konsep dan akibat hukum pengangkatan anak.

Page 83: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

71

DAFTAR PUSTAKA

Basyir, Ahmad Asyar. 1979.Kawin Campur Wasiat Adopsi Menurut Islam.Bandung: PT Alma’arif Bushar Muhammad, 2004. Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta : Pradnya Paramita Daliyo,J.B.2001.Pengantar Ilmu Hukum.Jakarta: Prenhallindo G.H.S. Lumban Tobing, 1983. Peraturan Jabatan Notaris. Jakarta: Erlangga Gosita, Arif. 1989. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta : Akademika Pressindo Kamil ,Ahmad dan M. Fauzan. 2008. Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia., Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Martosedono, Amir. 1990. Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan Masalahnya. Jakarta: Jakarta Press M. Budiarto.1991. Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum. Jakarta: CV. Akademik & Pressindo Meliala, Djaja S. 1982. Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia. Bandung :Tarsito. Moh. Saleh Djindang, 1983. Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru Musthofa, Sy.2008. Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama. Jakarta: Prenada Media Group R. Soepomo.1987. Hukum Perdata Adat Jawa Barat.Jakarta: Djambatan. Ronny Hanitijo Soemitro,1988. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Alumni. Soedaryo, Soimin,.2002. Hukum Orang dan Keluarga. Jakarta: Sinar Grafika ------------2004. Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak.Jakarta:Sinar Grafika Soepomo.1987. Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramitha Soeroso, R.2007. Perbandingan Hukum Perdata.Jakarta: Sinar Grafika

Page 84: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUMfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_5.pdf · i studi perbandingan tentang konsep dan akibat hukum pengangkatan

72

Tafal, Bastian.1983. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat- akibat Hukumnya di Kemudian Hari. Jakarta: CV. Rajawali Zaini, Muderis.2002. Adopsi, Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum. Jakarta: Sinar Grafika Peraturan Perundang-Undangan Staatblad 1917 Nomor 129 Tentang Pengangkatan Anak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam