Studi Lini Dasar an Teknologi PHT Pada Tanaman Cabai Di Jawa Barat

20
1 Jurnal Hortikultura, Tahun 1999, Volume 9, Nomor (1): 67-83 STUDI LINI DASAR PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAMA TERPADU PADA TANAMAN CABAI DI JAWA BARAT Witono Adiyoga, Rofik Sinung B., Yusdar Hilman dan Bagus K. Udiarto Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang, Bandung 40391 ABSTRAK. Adiyoga, W., Basuki, R.S., Hilman, Y. dan Udiarto, B.K. 1997. Studi lini dasar pengembangan teknologi pengendalian hama terpadu pada tanaman cabai di Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 1995 sampai Pebruari 1996 untuk memperoleh data dasar bagi pengembangan teknologi pengendalian hama terpadu (PHT) pada tanaman cabai di Jawa Barat. Hasil penelitian menyarankan agar perbaikan teknologi usahatani cabai lebih diarahkan untuk memperbaiki sistem produksi cabai tumpangsari (misalnya dengan bawang merah). Ketergantungan terhadap cara pengendalian kimiawi tercermin dari penyemprotan rutin yang dilakukan oleh petani dengan frekuensi penyemprotan dan konsentrasi yang tinggi. Disamping itu, pencampuran 2 - 6 jenis pestisida juga merupakan hal yang biasa dilakukan oleh sebagian besar petani. Pertimbangan resiko merupakan alasan utama yang melatar-belakangi pola penggunaan pestisida tersebut. Oleh karena itu, faktor resiko perlu dipertimbangkan sebagai salah satu kriteria dalam melakukan evaluasi kelayakan komponen teknologi. Berdasar- kan pertimbangan bahwa efektivitas komponen-komponen teknologi PHT sangat dipengaruhi oleh kebersamaan suatu komunitas untuk menyepakati sistem pengelolaan yang terkoordinasi, penelitian ini juga menyarankan pembinaan dini kelompok tani. Kata kunci: Penelitian; Pengendalian hama terpadu; Tumpangsari; Resiko; Usahatani. ABSTRACT. Adiyoga, W., Basuki, R. S., Hilman, Y. and Udiarto, B. K. 1997. Baseline study for developing integrated pest management (IPM) technology on hot pepper in West Java. This study was aimed to obtain a database for the development of IPM on hot pepper in West Java and conducted from October 1995 to February 1996. The findings of this study suggested that research geared to improve hot pepper farming should put more emphasis on intercropping system. High dependency on the use of pesticides as the main pests and diseases controlling method was reflected from routine spraying carried out by farmers. In addition, mixing 2 - 6 kinds of pesticide was also quite common among farmers. Production risks were considered by farmers as the main reason for practicing such pattern of pesticide use. Therefore, risk factor should be used as an important criterion for assessing the feasibility of IPM components. Considering the IPM system that is mostly effective if members of a community agree to coordinate their practices, this study also suggested to strengthen the existing farmer groups prior to the dissemination of various IPM components. Key words: Research; Integrated pest management; Intercropping; Farming; Risk.

Transcript of Studi Lini Dasar an Teknologi PHT Pada Tanaman Cabai Di Jawa Barat

Page 1: Studi Lini Dasar an Teknologi PHT Pada Tanaman Cabai Di Jawa Barat

1

Jurnal Hortikultura, Tahun 1999, Volume 9, Nomor (1): 67-83

STUDI LINI DASAR PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAMA TERPADU PADA TANAMAN CABAI DI JAWA BARAT

Witono Adiyoga, Rofik Sinung B., Yusdar Hilman dan Bagus K. Udiarto

Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang, Bandung 40391

ABSTRAK. Adiyoga, W., Basuki, R.S., Hilman, Y. dan Udiarto, B.K. 1997. Studi lini dasar pengembangan

teknologi pengendalian hama terpadu pada tanaman cabai di Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan pada bulan

Oktober 1995 sampai Pebruari 1996 untuk memperoleh data dasar bagi pengembangan teknologi pengendalian

hama terpadu (PHT) pada tanaman cabai di Jawa Barat. Hasil penelitian menyarankan agar perbaikan teknologi

usahatani cabai lebih diarahkan untuk memperbaiki sistem produksi cabai tumpangsari (misalnya dengan bawang

merah). Ketergantungan terhadap cara pengendalian kimiawi tercermin dari penyemprotan rutin yang dilakukan

oleh petani dengan frekuensi penyemprotan dan konsentrasi yang tinggi. Disamping itu, pencampuran 2 - 6 jenis

pestisida juga merupakan hal yang biasa dilakukan oleh sebagian besar petani. Pertimbangan resiko merupakan

alasan utama yang melatar-belakangi pola penggunaan pestisida tersebut. Oleh karena itu, faktor resiko perlu

dipertimbangkan sebagai salah satu kriteria dalam melakukan evaluasi kelayakan komponen teknologi. Berdasar-

kan pertimbangan bahwa efektivitas komponen-komponen teknologi PHT sangat dipengaruhi oleh kebersamaan

suatu komunitas untuk menyepakati sistem pengelolaan yang terkoordinasi, penelitian ini juga menyarankan

pembinaan dini kelompok tani.

Kata kunci: Penelitian; Pengendalian hama terpadu; Tumpangsari; Resiko; Usahatani.

ABSTRACT. Adiyoga, W., Basuki, R. S., Hilman, Y. and Udiarto, B. K. 1997. Baseline study for developing

integrated pest management (IPM) technology on hot pepper in West Java. This study was aimed to obtain a

database for the development of IPM on hot pepper in West Java and conducted from October 1995 to February

1996. The findings of this study suggested that research geared to improve hot pepper farming should put more

emphasis on intercropping system. High dependency on the use of pesticides as the main pests and diseases

controlling method was reflected from routine spraying carried out by farmers. In addition, mixing 2 - 6 kinds of

pesticide was also quite common among farmers. Production risks were considered by farmers as the main reason

for practicing such pattern of pesticide use. Therefore, risk factor should be used as an important criterion for

assessing the feasibility of IPM components. Considering the IPM system that is mostly effective if members of a

community agree to coordinate their practices, this study also suggested to strengthen the existing farmer groups

prior to the dissemination of various IPM components.

Key words: Research; Integrated pest management; Intercropping; Farming; Risk.

Page 2: Studi Lini Dasar an Teknologi PHT Pada Tanaman Cabai Di Jawa Barat

2

Potensi dan peluang ekonomi komoditas cabai memotivasi petani untuk mengusahakan

komoditas tersebut secara lebih intensif. Kendala sumberdaya lahan yang tercermin dari sempitnya luas

lahan garapan cenderung mendorong petani menggunakan masukan berlebih untuk memacu

produktivitas usahatani (Adiyoga dan Soetiarso, 1994). Khusus untuk penggunaan pestisida, pengeluaran

yang dialokasikan oleh petani cabai merah di daerah Kemurang Kulon (Brebes) dapat mencapai 51% dari

total biaya produksi (Basuki, 1988). Sebagian besar petani di daerah Brebes dan Tegal juga

mencampurkan 3 atau 5 macam pestisida dengan konsentrasi penggunaan 2 atau 3 kali lipat dari

rekomendasi. Volume penyemprotan yang tinggi (600-1900 l/ha) disertai pula dengan interval

penyemprotan 2 atau 3 hari sekali (Sastrosiswoyo dan Suhardi, 1988). Sementara itu, penggunaan

pestisida berlebih diduga dapat menimbulkan resistensi hama sasaran dan resurgensi hama sasaran.

Petani pada umumnya memiliki pengetahuan yang tidak sempurna (imperfect knowledge) pada

saat mengambil keputusan mengenai kapan dan bagaimana menggunakan pestisida (Norgaard, 1976).

Persepsi yang kurang tepat mengenai perkembangan harga masukan dan luaran, harapan/ramalan yang

meleset mengenai hasil panen serta pemahaman yang kurang baik tentang teknologi budidaya adalah

sebagian faktor yang dapat menyebabkan terjadinya ketidak-efisienan penggunaan pestisida. Konse-

kuensi dari keterbatasan pengetahuan tersebut adalah timbulnya kecenderungan penggunaan pestisida

oleh petani yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan asuransi (Mumford, 1981; Carlson, 1970).

Menyadari dampak negatif kecenderungan ini terhadap aspek ekologis maupun ekonomis, pemasyara-

katan program pengendalian hama terpadu sayuran dataran rendah di tingkat petani dirasakan sangat

mendesak untuk segera ditangani.

Filosofi pengendalian hama terpadu telah diterima secara luas di kalangan para peneliti dan

pengambil kebijakan, namun demikian penerapannya di tingkat petani masih tergolong rendah (Norton,

1982). Program pengendalian hama terpadu di Indonesia memberikan penekanan pada peranan kunci

yang dipegang oleh petani (Baharsjah dan Rasahan, 1994). Agar kapasitas sistem PHT selalu dapat

menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi/situasi serta peningkatan kompleksitas ekonomis,

agronomis dan ekologis, maka pengembangannya harus selalu mempertimbangkan perkembangan

pengetahuan dan ketrampilan petani. Oleh karena itu, penerapan konsep PHT perlu diawali dengan

menghimpun informasi mendalam tentang lingkungan produksi usahatani.

Lingkungan produksi usahatani tidak saja berpengaruh terhadap keputusan petani dalam

menentukan teknologi yang sekarang sedang digunakan, tetapi juga berkaitan erat respon petani

terhadap perubahan-perubahan teknologi. Lingkungan tersebut mencakup lingkungan produksi alami,

ekonomi eskternal, ketersediaan sumberdaya, sasaran petani, interaksi sistem usahatani, deskripsi

teknologi budidaya dan identifikasi faktor-faktor kendala. Informasi dasar ini perlu dihimpun dan dikaji

sebagai langkah awal upaya penerapan PHT beserta komponen teknologi pendukungnya di tingkat

petani. Pada dasarnya, usaha untuk mengadaptasikan teknologi tertentu dalam suatu sistem usahatani

(farming system) yang kompleks merupakan langkah yang lebih bijaksana dan lebih mudah ditempuh,

dibandingkan dengan meminta kesediaan petani untuk mengubah sistem usahataninya agar dapat

mengakomodasi suatu teknologi baru (Rhoades, 1984). Berkaitan dengan kebutuhan pengembangan

teknologi pengendalian hama terpadu, diduga cabai merupakan salah satu komoditas sayuran yang

diusahakan secara intensif (high cost input) dan menekankan penggunaan metode kimiawi dalam

mengendalikan hama penyakit.

Penelitian ini diarahkan untuk menghimpun informasi dasar usahatani cabai dan mengidentifikasi

potensi serta kendala pengembangan sistem PHT.

Page 3: Studi Lini Dasar an Teknologi PHT Pada Tanaman Cabai Di Jawa Barat

3

METODE PENELITIAN

Pemilihan lokasi dan responden penelitian :

Lokasi penelitian dipilih secara sengaja berdasarkan pertimbangan: (a) potensinya sebagai

sentra produksi cabai merah, dan (b) pola pengusahaan yang dilakukan terus menerus dari tahun ke

tahun. Kabupaten Cirebon dan Majalengka terpilih mewakili ekosistem dataran rendah, sedangkan

kabupaten Garut mewakili ekosisten dataran tinggi. Target populasi penelitian ini adalah petani yang

menanam cabai dari tahun ke tahun. Petani responden dipilih secara acak dan ukuran contoh ditetapkan

dengan formula Krejcie dan Morgan (1970), sehingga diperoleh responden sebanyak 60 orang untuk

setiap lokasi. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Oktober 1995 sampai bulan Pebruari 1996.

Pengumpulan data :

Data yang diperlukan diperoleh melalui survai multidisiplin. Pendekatan ini dipilih untuk

memperoleh gambaran kualitatif dan kuantitatif mengenai lingkungan, pelaku dan keragaan usahatani

cabai. Penelitian dilaksanakan dengan mengikuti tahapan: (a) survai pendahuluan -- penjelesaian

perijinan, pemilihan lokasi dan responden, uji coba kuesioner dan pengumpulan data sekunder, serta (b)

survai utama -- menghimpun data primer melalui penggunaan kuesioner. Daftar pertanyaan yang disusun

terutama mencakup: (a) karakteristik petani responden, (b) aspek budidaya dan pola tanam, (c) masukan

dan luaran usahatani, (d) struktur biaya pendapatan, (e) lingkungan produksi alami, (f) lingkungan

produksi ekonomi, (g) ketersediaan sumberdaya, (h) kelembagaan dan (i) kendala sistem produksi.

Untuk memperoleh konfirmasi data primer yang diperoleh dari petani responden, diskusi kelompok

dengan orang kunci (penyuluh, kontak tani, dsb) juga dilaksanakan.

Analisis data :

Data yang dihimpun dari pertanyaan-pertanyaan tertutup dianalisis secara deskriptif (tabulasi).

Sementara itu, data yang berasal dari respon pertanyaan-pertanyaan terbuka diolah dengan mengguna-

kan analisis isi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Petani Responden

Kisaran usia 41-60 tahun ternyata mendominasi struktur umur petani responden (> 50%) di

ketiga lokasi penelitian. Di lain pihak, struktur umur muda (20-30 tahun) menunjukkan persentase yang

rendah (< 15%). Penelitian terdahulu menunjukkan adanya inkonsistensi mengenai hubungan antara usia

dengan tingkat adopsi. Sebagai contoh, Jamison dan Lau (1982) menemukan adanya hubungan positif

antara usia dengan probabilitas adopsi, sedangkan Chinnappa (1980) membuktikan tidak adanya

pengaruh peubah usia terhadap tingkat adopsi. Walaupun demikian, usia sasaran perubahan (petani)

tampaknya masih perlu diperhatikan dalam merakit atau menyebarkan teknologi baru, terutama kemung-

kinan interaksinya dengan peubah-peubah lainnya.

Di ketiga lokasi penelitian, pendidikan formal dominan yang dimiliki petani responden adalah

sekolah dasar (> 75%). Bahkan persentase petani responden yang tidak selesai sekolah dasar ternyata

juga cukup tinggi (> 15%). Salah satu generalisasi yang diungkapkan oleh Rogers (1962) menyatakan

bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin cepat pula yang bersangkutan menerima

Page 4: Studi Lini Dasar an Teknologi PHT Pada Tanaman Cabai Di Jawa Barat

4

Tabel 1 Karakteristik petani responden usahatani cabai (Characteristics of hot pepper farmers).

Karakteristik

(Characteristics)

Cirebon

%

Majalengka

%

Garut

%

Usia (Age):

20 - 30 tahun (years)

31 - 40 tahun (years)

41 - 50 tahun (years)

51 - 60 tahun (years)

> 60 tahun (years)

13,3

10,0

51,7

20,0

5,0

11,7

26,7

40,0

15,0

6,6

13,8

36,2

34,5

12,1

3,4

Pendidikan (Education):

(-) SD (no formal school)

SD (-) (does not graduate ES)

SD (elementary school)

SLTP (middle school)

SLTA (high school)

PT (college)

6,7

25,0

60,0

6,7

1,6

-

1,7

23,3

71,7

3,3

-

-

-

17,2

58,6

6,9

12,1

5,2

Penguasaan lahan (Land tenure):

Milik (Owned)

Sewa (Rented)

Bagi hasil (Sharecropping)

21,7

78,3

-

61,7

38,3

-

56,9

37,9

5,2

Pengalaman bertani cabai (Experience in cultivating

hot pepper) :

1 - 5 tahun (years)

6 - 10 tahun (years)

11 - 15 tahun (years)

16 - 20 tahun (years)

> 20 tahun (years)

26,7

20,0

18,3

16,7

18,2

40,0

25,0

6,7

8,3

20,0

51,7

25,9

10,3

6,9

5,2

Luas minimal usaha (Minimum farm size):

hektar (hectare)

0,020 - 0,071

0,072 - 0,143

0,144 - 0,286

0,287 - 0,357

51,7

30,0

15,0

3,3

48,4

43,3

8,3

-

39,7

37,9

20,7

1,7

Luas maksimal usaha (Maximum farm size):

hektar (hectare)

0,043 - 0,071

0,072 - 0,143

0,144 - 0,286

0,287 - 0,429

0,430 - 0,571

0,572 - 0,714

5,0

46,6

25,0

6,7

15,0

1,7

16,7

45,0

26,6

6,7

3,3

1,7

5,2

37,9

31,0

5,2

13,8

6,9

inovasi. Hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan tingkat adopsi, secara empiris dibuktikan

signifikansinya oleh beberapa penelitian yang membahas implikasi teknologi baru (Gibbons et al., 1980;

Jameson dan Lau, 1982). Dalam konteks pengembangan PHT, faktor tersebut akan sangat

berpengaruh, terutama dikaitkan dengan pemilihan strategi pendekatan difusi.

Page 5: Studi Lini Dasar an Teknologi PHT Pada Tanaman Cabai Di Jawa Barat

5

Status penguasaan lahan sebagian besar petani responden adalah status milik (Majalengka dan

Garut), penyewa (Cirebon), sedangkan status bagi hasil persentasenya sangat kecil (Garut). Secara

umum, bukti empiris mengenai pengaruh langsung status penguasaan lahan terhadap adopsi teknologi

tidak banyak ditemukan. Namun demikian, status penguasaan lahan kemungkinan besar merupakan

peubah perantara (intervening variable), misalnya perbedaan kemudahan untuk memperoleh kredit

produksi atau pembiayaan masukan, yang penting dalam proses adopsi.

Informasi mengenai pengalaman responden melakukan usahatani cabai memberikan konfirmasi

bahwa pengusahaan cabai di ekosistem dataran rendah telah lebih dahulu memasyarakat dibandingkan

dengan di ekosistem dataran tinggi. Interaksi antara pengalaman dengan tingkat pendidikan dapat

dijadikan sebagai cerminan kemampuan pengelolaan usahatani (Adiyoga, 1994). Kemampuan

pengelolaan sangat diperlukan dalam proses pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak

teknologi baru.

Luas lahan minimal (0,02-0,14 ha) dan luas lahan maksimal (0,07-0,28 ha) yang pernah digarap,

memberikan indikasi bahwa sebagian besar responden mengusahakan lahan garapan yang relatif

sempit. Hubungan antara luas lahan dengan adopsi teknologi juga digeneralisasikan oleh Rogers (1962)

yang menunjukkan bahwa semakin luas lahan garapan seseorang, maka semakin cepat yang

bersangkutan mengadopsi teknologi baru. Walaupun demikian, berdasarkan penelitian-penelitian empiris

yang telah dilakukan di negara berkembang, tidak diperoleh indikasi adanya pola konsisten yang

menunjukkan bahwa luas lahan garapan merupakan kendala adopsi teknologi. Ruttan (1977) juga

menunjukkan bahwa seandainya terdapat perbedaan waktu (time lag) dalam mengadopsi teknologi baru,

petani yang berlahan lebih sempit akan mengejar ketertinggalannya dalam waktu yang tidak lama.

Budidaya Cabai di Tingkat Petani

Pola Tanam

Keragaman pola tanam yang paling tinggi terdapat di kabupaten Garut. Pertanaman cabai di

Cirebon hampir selalu ditumpang-sarikan/ditumpang-gilirkan dengan bawang merah dan menunjukkan

bahwa cabai pada dasarnya ditanam sepanjang tahun. Tanaman lain yang biasa diusahakan di

antaranya adalah padi, mentimun, kacang panjang, jagung, tebu dan terung. Pola tanam di Majalengka

lebih didominasi oleh sistem pertanaman monokultur. Ketersediaan air merupakan kendala utama di

Cirebon Bulan (Month)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

mentimun

(cucumber)

kacang panjang

(yardlong bean)

bawang merah, cabai merah

(shallot, hot pepper)

bawang merah, cabai merah

(shallot, hot pepper)

padi

(rice)

bawang merah, cabai merah

(shallot, hot pepper)

kacang panjang

(yardlong bean)

jagung

(corn)

padi

(rice)

bawang merah, cabai merah

(shallot, hot pepper)

Page 6: Studi Lini Dasar an Teknologi PHT Pada Tanaman Cabai Di Jawa Barat

6

Majalengka

Bulan (Month)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

kacang tanah

(peanut)

cabai merah

(hot pepper)

kedelai

(soybean)

cabai merah

(hot pepper)

kc. tanah/kc. merah

(peanut//french bean)

bawang merah, cabai merah

(shallot, hot pepper)

Garut Bulan (Month)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

jagung

(corn)

cabai merah, petsai/kubis

(hot pepper, chinese cabbage/cabbage)

kentang

(potato)

kubis

(cabbage)

tomat

(tomato)

cabai , petsai (hot pepper,

chinese cabbage)

cabai merah, petsai, buncis

(hot pepper, chinese cabbage, kidney bean)

jagung

(corn)

kentang

(potato)

petsai

(chinese cabbage)

kacang jogo

(beans)

kentang

(potato)

jagung

(corn)

cabai merah (hot

pepper)

musim kemarau, sehingga banyak lahan yang terpaksa diberakan. Berdasarkan pengamatan pola tanam

di daerah tersebut, ternyata cabai pada umumnya ditanam pada bulan Oktober dan November.

Tanaman palawija (kacang tanah dan kedelai) merupakan komoditas yang biasa diusahakan untuk

pergiliran tanaman. Sistem pertanaman tumpangsari di daerah Garut seringkali melibatkan lebih dari dua

jenis tanaman. Tanaman lain yang diusahakan setelah atau sebelum cabai merah merupakan jenis

tanaman yang memerlukan biaya input tinggi (kentang, tomat, kubis). Sistem pergiliran tanaman di

daerah ini menunjukkan bahwa cabai biasa ditanam pada bulan April/Mei dan Oktober/November.

Sebagian besar petani responden (> 75%) di ketiga lokasi penelitian menanam cabai satu kali

dalam setahun. Beberapa orang responden, terutama di Cirebon, menanam cabai dua kali setahun

karena pengairan lahan yang memungkinkan. Kecuali di Majalengka, sistem pertanaman yang dilakukan

oleh sebagian besar petani responden adalah tumpangsari. Alasan utama yang dikemukakan petani

Majalengka untuk memilih sistem monokultur adalah adanya anggapan bahwa jika ditumpangsarikan,

pertumbuhan cabai akan terganggu (kompetisi unsur hara dan sinar matahari). Sistem tumpangsari di

Cirebon pada umumnya adalah antara cabai dengan bawang merah. Bawang merah ditanam kurang

lebih sebulan sebelum cabai dipindahkan ke lapangan. Sementara itu, tanaman yang ditumpangsarikan

Page 7: Studi Lini Dasar an Teknologi PHT Pada Tanaman Cabai Di Jawa Barat

7

Tabel 2 Sistem pertanaman dan alasan yang melatar-belakangi pemilihannya (Cropping systems and reasons for chosing

them)

Uraian

(Description)

Cirebon

%

Majalengka

%

Garut

%

Dalam setahun menanam cabai (Cultivating hot pepper in a year):

satu kali (once)

dua kali (twice)

78,3

21,7

98,3

1,7

93,1

6,9

Sistim pertanaman (Cropping system):

monokultur (monocropping)

tumpang sari (multiple cropping)

26,7

73,3

61,6

38,4

3,4

96,6

Alasan monokultur (Reasons for mono-cropping):

tanaman pokok tidak terganggu (main crop is not disturbed)

memudahkan pemeliharaan (relatively easier to handle)

kebiasaan (habit)

38,4

15,4

46,2

67,6

10,8

21,6

100,0

-

-

Alasan tumpang sari (Reasons for multiple cropping):

efisiensi penggunaan lahan (land efficiency)

efisiensi biaya pemeliharaan (cost efficiency)

mengurangi resiko kerugian (reducing risk)

memperoleh pendapatan tambahan (increasing income)

kebiasaan (habit)

11,4

18,2

-

6,8

63,6

-

-

8,7

34,7

56,6

14,3

10,7

7,1

48,2

19,7

dengan cabai di Garut, jenisnya lebih beragam. Pada umumnya petani melakukan tumpangsari antara

cabai dengan sayuran daun (kubis atau petsai) atau kacang-kacangan (buncis, kacang merah, kacang

jogo). Petani melakukan tumpangsari dengan alasan kebiasaan, efisiensi lahan dan biaya, serta

memanfaatkan umur cabai yang relatif panjang untuk memperoleh tambahan pendapatan.

Sistem pertanaman tumpangsari sebenarnya bukan fenomena baru. Sistem ini banyak berkem-

bang di kalangan petani kecil yang umumnya menghadapi keterbatasan sumberdaya, terutama lahan

dan modal. Sementara itu, penelitian-penelitian selama ini cenderung lebih diarahkan untuk pengem-

bangan sistem pertanaman monokultur. Kenyataan di tingkat petani menunjukkan bahwa perakitan

komponen teknologi yang ditujukan untuk pengembangan sistem pertanaman tumpangsari perlu

mendapat perhatian lebih besar. Hal ini juga harus dipertimbangkan dalam merancang komponen-

komponen teknologi PHT.

Benih/bibit dan Persemaian

Berdasarkan tipe buahnya, cabai besar banyak diusahakan di kabupaten Cirebon dan

Majalengka, sedangkan cabai keriting ditanam oleh sebagian besar petani responden di kabupaten

Garut. Kultivar cabai yang digunakan oleh petani ternyata sangat beragam (beberapa diantaranya

diidentifikasi berdasarkan sebutan lokal): Cirebon (Prembun, Jatiroto, Semarang, Tit Super, Tit Paris, Tit

Bagal, Tit Randu, Papak), Majalengka (Papak, Ambon, Sungu), Garut (Keriting Medan, Keriting Lokal,

Keriting Selektani). Secara umum, pertimbangan kesesuaian kultivar dengan iklim/lingkungan setempat

serta hasil yang lebih tinggi tampaknya menempati prioritas lebih penting dibandingkan dengan

pertimbangan lainnya (Tabel 3). Walaupun demikian, informasi tentatif ini memerlukan penelitian lebih

lanjut, terutama kaitannya dengan preferensi petani terhadap kultivar yang tersedia.

Page 8: Studi Lini Dasar an Teknologi PHT Pada Tanaman Cabai Di Jawa Barat

8

Tabel 3 Urutan pertimbangan petani dalam memilih kultivar yang digunakan (The rank of criteria used by farmers in selecting

a particular cultivar)

Kriteria

(Criterion)

Kering

Medan

Keriting

Lokal

Papak Prembun Tit

Super

Sema-

rang

Tit Paris

hasil lebih tinggi (higher yield) 1 2 4 4 1 3 2

kualitas lebih baik (better quality) 4 5 - 5 4 - 1

lebih cocok dengan iklim/lingkungan

setempat (more suitable to local conditions)

2 1 3 1 2 4 3

lebih mudah diperoleh (easier to get) 3 3 2 3 3 2 -

kebiasaan (habit) 5 4 1 2 5 1 -

Sebelum disemai sebagian petani responden merendam benih cabai dalam air hangat atau air

dingin untuk mempercepat perkecambahan. Petani responden, terutama di Cirebon dan Garut, juga

mencampurkan pestisida dengan benih yang telah ditiriskan. Jenis pestisida yang digunakan diantaranya

adalah Dithane, Preficur, Ridomil, Antracol dan Marshall. Penggunaan pupuk kandang sebagai campuran

media persemaian telah dilakukan oleh sebagian besar responden di Majalengka dan Garut. Sebagian

kecil petani di kedua daerah tersebut juga mencampurkan Furadan ke dalam media persemaian. Pupuk

kandang yang dominan digunakan adalah kambing/domba (Cirebon dan Majalengka) dan ayam (Garut).

Secara umum, petani responden berpendapat bahwa umur bibit yang ideal adalah setelah 26-45 hari di

persemaian. Sebagian kecil petani responden di Cirebon langsung menanam benih cabai di lapangan,

tanpa disemai terlebih dahulu. Biji cabai (3-9 biji) langsung ditanam di antara tanaman bawang dan

setelah berumur 30 hari dilakukan penjarangan. Petani menimbang bahwa hal ini lebih praktis, karena

lahan yang telah mendapat perlakuan pada saat petani menanam bawang merah, dianggap dapat

berfungsi seperti persemaian.

Tabel 4 Media persemaian, perlakuan bibit dan umur bibit (Transplanting media, seed treatment, and seed age)

Uraian

(Description)

Cirebon

%

Majalengka

%

Garut

%

Perlakuan terhadap benih (Seed treatment)

direndam air hangat (soaked in warm water)

direndam air dingin (soaked in cold water)

dijemur (solar dried)

diberi pestisida (added pesticide)

41,7

3,3

15,0

20,0

5,0

23,3

3,3

5,0

17,2

6,9

-

22,4

Media persemaian (Transplanting media)

menggunakan pupuk kandang (adding manure)

menggunakan pestisida (adding pesticide)

40,0

-

85,0

8,3

82,8

8,6

Umur bibit (Seed age)

15 - 25 hari (days)

26 - 35 hari (days)

36 - 45 hari (days)

46 - 55 hari (days)

56 - 65 hari (days)

> 65 hari (days)

11,7

80,0

8,3

-

-

-

6,7

48,3

33,3

-

10,0

1,7

3,4

43,2

50,0

-

3,4

-

Page 9: Studi Lini Dasar an Teknologi PHT Pada Tanaman Cabai Di Jawa Barat

9

Pengolahan Tanah dan Jarak Tanam

Pengolahan tanah masih didominasi oleh tenaga manusia. Hanya sebagian kecil responden

(3%) di Garut yang menggunakan traktor untuk persiapan lahan. Sebagian besar petani responden (80%

-95%) menggunakan sistem bedengan (lebih dari satu baris tanaman). Tinggi bedengan atau guludan

bervariasi antara 20 cm - 75 cm, tergantung dari keadaan lahan yang dikaitkan dengan sistem drainase-

nya. Sementara itu, jarak tanam yang digunakan juga sangat beragam mulai 15 cm x 20 cm sampai

dengan 50 cm x 80 cm.

Pemupukan

Jenis pupuk kandang yang dominan digunakan di daerah ekosistem dataran rendah (Cirebon

dan Majalengka) adalah pupuk kandang kambing/domba, sedangkan di daerah ekosistem dataran tinggi

(Garut) adalah pupuk kandang ayam. Pupuk kandang umumnya digunakan sebagai pupuk dasar 7 - 14

hari sebelum tanam, dengan cara (a) dihamparkan sepanjang garitan atau (b) diletakkan pada lubang

tanaman/diantara dua/empat tanaman.

Sebagian besar petani responden melakukan pemupukan minimal sampai lima kali dan hanya

sebagian kecil yang melakukan pemupukan keenam atau ketujuh. Selang waktu pemupukan bervariasi

antara 10-25 hari. Pemberian pupuk buatan dilakukan dengan berbagai cara: (a) membenamkannya

dalam lubang berjarak 5-10 cm dari pokok tanaman, (b) meletakkan pupuk pada lubang di antara 2-4

tanaman, dan (c) melarutkan dalam air, kemudian menyiramkan di sekitar pangkal tanaman. Penelitian

terdahulu di daerah Cirebon dan Majalengka mengklasifikasikan bahwa: (a) penggunaan N - rendah

sampai tinggi, (b) penggunaan P - sedang sampai tinggi, dan (c) penggunaan K - rendah sampai sedang,

jika dibandingkan dengan dosis anjuran. Penelitian ini juga memberikan indikasi adanya ketidak-

seimbangan penggunaan pupuk yang berkaitan dengan kurangnya pengetahuan dasar petani tentang

nutrisi tanaman. Kesimpulan yang ditarik dari survai eksplorasi seperti di atas perlu ditunjang oleh

penelitian teknis spesifik lokasi di lahan petani yang memberikan penekanan pada pengkajian respon

tanaman cabai terhadap pemupukan.

Penggunaan herbisida dan mulsa

Hanya sebagian kecil responden (8,3 %) di Cirebon yang menggunakan herbisida (Goal II E)

untuk menanggulangi gulma. Responden pada umumnya tidak menganggap gulma sebagai masalah

serius, sehingga pengendaliannya cukup secara mekanis. Sementara itu, penggunaan mulsa plastik

hitam (Majalengka 1,7 % dan Garut 3,4 %) dan jerami (Cirebon 6,6 % dan Majalengka 8,3 %) hanya

dilakukan oleh sebagian kecil petani.

Pengendalian Hama dan Penyakit

Secara umum, petani menetapkan ulat grayak dan trips sebagai dua hama pengganggu utama

pada musim kemarau. Sedangkan pada musim penghujan sebagian besar responden menyebutkan

busuk buah, virus dan trips sebagai penyakit dan hama utama. Oleh karena urutan kepentingan tersebut

masih bersifat sangat tentatif, maka diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memperoleh konfirmasi.

Page 10: Studi Lini Dasar an Teknologi PHT Pada Tanaman Cabai Di Jawa Barat

10

Tabel 5 Persepsi petani mengenai urutan kepentingan hama dan penyakit cabai pada musim kemarau dan penghujan

(Farmers’ perceptions with regard to the rank of importance of pests and diseases during dry and wet season).

Hama dan Penyakit

(Pest and Diseases)

Cirebon Majalengka Garut

musim

kemarau (dry

season)

musim hujan

(wet season)

musim

kemarau (dry

season)

musim hujan

(wet season)

musim

kemarau (dry

season)

musim hujan

(wet season)

Ulat grayak

(Spodopthera litura)

1 5 2 6 1 4

Kutu daun

(Myzus persicae)

- 7 - - - -

Trips

(Thrips parvispinus)

2 2 1 3 2 2

Lalat buah

(Dacus dorsalis)

6 4 5 4 6 5

Busuk buah

(Colletotrichum capsici)

5 1 6 1 4 1

Layu

(Fusarium oxysporum)

4 6 3 5 3 6

Virus

3 3 4 2 5 3

Persentase responden yang mengetahui adanya musuh alami (terutama sejenis burung

pemakan ulat) untuk hama cabai berkisar antara 31,6% - 65,0%. Sebagian besar responden melakukan

pengendalian hama penyakit secara mekanis, terutama untuk ulat dan layu. Cara mekanis dilakukan

dengan mematikan telur/larva dan ulat, memusnahkan buah yang busuk karena terserang antraknos atau

lalat buah dan mencabut tanaman muda yang terserang penyakit layu atau virus kemudian disulam

dengan tanaman sehat. Pertimbangan utama untuk melakukan pengendalian mekanis adalah: (a) secara

dini mencegah penyebaran hama dan penyakit cabai dan (b) menghemat penggunaan pestisida. Hal ini

cukup membantu jika dilakukan pada saat yang tepat. Namun demikian, cara pengendalian tersebut

menjadi tidak efektif pada saat intensitas serangan meningkat.

Tabel 6 Pengendalian mekanis hama dan penyakit cabai (Mechanical pest and disease control on hot pepper)

Perlakuan

(Treatment)

Cirebon % Majalengka% Garut%

Melakukan pengendalian secara mekanis (Carry out mechanical control)

ya (yes)

tidak (no)

88,3

11,7

91,7

8,3

56,9

43,1

Tindakan yang dilakukan (Practices done)

mematikan telur (get rid off the egg)

mematikan ulat (kill the larvae)

membuang daun/cabang/buah (get rid off leaves/branches/fruits)

mencabut tanaman (get rid off the whole plant)

81,1

43,4

41,5

49,1

78,2

25,5

40,0

52,7

12,1

42,4

48,5

45,5

Penyemprotan pestisida dilakukan secara rutin oleh sebagian besar petani responden

berdasarkan alasan pencegahan. Resiko kegagalan panen, terutama di ekosistem dataran tinggi adalah

pertimbangan kedua terpenting yang mendorong petani melakukan penyemprotan rutin. Sementara itu,

Page 11: Studi Lini Dasar an Teknologi PHT Pada Tanaman Cabai Di Jawa Barat

11

beratnya serangan hama penyakit yang seharusnya secara logis mendorong petani untuk meningkatkan

penggunaan pestisida, justru merupakan alasan penting terakhir yang melatar-belakangi penyemprotan

rutin. Menarik untuk dicatat adalah pernyataan petani bahwa penyemprotan rutin dilakukan agar dapat

mengimbangi petani tetangganya. Menurut petani, seandainya penyemprotan rutin tidak dilakukan, maka

resiko terserang hama dan penyakit yang merupakan pindahan dari petani tetangga menjadi sangat

tinggi. Di samping ketersediaan dana, kecenderungan untuk melihat gejala serangan sebelum

memutuskan melakukan pengendalian merupakan alasan utama sebagian kecil responden yang tidak

melakukan penyemprotan rutin.

Tabel 7 Pengendalian secara kimiawi dan alasannya (Chemical pest and disease control and underlying reason of its use)

Metode pengendalian dan alasannya

(Control method and its reasons)

Cirebon

(%)

Majalengka

%

Garut

(%)

Penyemprotan pestisida secara rutin (Routine spraying)

ya (yes)

tidak (no)

88,3

11,7

68,3

31,7

93,1

6,9

Alasan penyemprotan rutin (Reasons for routine spraying)

mencegah serangan (preventive)

memperkecil risiko (minimize the risk)

serangan berat (heavy attack)

mengimbangi petani lain (equalize other farmers)

90,6

22,6

13,2

24,5

82,9

36,6

19,5

14,6

83,3

64,8

1,9

22,2

Alasan penyemprotan tidak rutin (Reasons for not conducting routine spraying)

berdasarkan gejala (based on symptom)

ketersediaan dana (availability of fund)

penghematan biaya (saving the costs)

71,4

57,1

28,6

68,4

15,8

42,1

75,0

50,0

-

Pengamatan lapangan secara teratur, terutama untuk mencermati gejala serangan dan melaku-

kan penaksiran intensitas serangan, telah dilaksanakan oleh sebagian besar responden. Walaupun

demikian, aktivitas tersebut ternyata cenderung diikuti oleh pengambilan keputusan yang lebih menitik-

beratkan pada pengendalian secara kimiawi.

Tabel 8 Pengamatan lapang dan keputusan/tindakan yang diambil (Field observation and control decision making by farmers)

Pengamatan dan pengambilan keputusan

(Observation and decision making)

Cirebon

(%)

Majalengka

(%)

Garut

(%)

Melakukan pengamatan lapang secara teratur (Conducting routine field observation)

ya (yes)

tidak (no)

51,6

48,4

80,0

20,0

55,2

44,8

Macam pengamatan yang dilakukan (Actions taken during observation)

mengamati gejala serangan (observe the symptom)

memperkirakan intensitas serangan (predict the intensity of incidence)

menghitung tanaman layu (count the wilted plant)

96,7

35,5

25,8

91,6

16,7

4,2

93,8

18,8

6,3

Keputusan yang diambil setelah pengamatan (Decisions taken after observation)

menentukan waktu penyemprotan (decide the time to spray)

menentukan jenis pestisida (decide the kind of pesticide)

menentukan dosis pestisida (decide the dosage)

mencabut tanaman layu (get rid off the wilted plants)

51,6

64,5

45,2

-

56,3

46,9

14,6

6,3

37,5

46,9

53,1

-

Page 12: Studi Lini Dasar an Teknologi PHT Pada Tanaman Cabai Di Jawa Barat

12

Penyemprotan awal dilakukan oleh responden segera setelah benih cabai dipindahkan ke

lapangan atau paling lambat 7-14 hari setelah tanam. Penyemprotan rutin yang dilakukan setiap 3-7 hari

menyebabkan tingginya total volume semprot. Penggunaan pestisida juga semakin bertambah dengan

adanya kecenderungan pemberian dosis yang melebihi rekomendasi. Sebagian besar petani responden

masih melakukan penyemprotan menjelang cabai dipanen. Sampai sejauh mana pola penggunaan

pestisida ini meninggalkan residu bahan beracun pada buah cabai masih belum banyak diketahui.

Penelitian lengkap serta monitoring reguler yang menyangkut residu pestisida pada cabai atau komo-

ditas sayuran secara umum tampaknya semakin mendesak untuk mendapat perhatian lebih besar lagi.

Informasi ini sangat diperlukan oleh konsumen yang cenderung semakin menyadari bahaya bahan

beracun tersebut. Bagi petani sendiri, bahaya yang mungkin timbul dari cara penyemprotan pestisida

tampaknya juga belum sepenuhnya disadari. Hal ini tercermin dari masih banyaknya petani responden

yang tidak memperhatikan penggunaan alat pelindung pada saat melakukan penyemprotan.

Tabel 9 Penyemprotan awal dan akhir, waktu penyemprotan dan penggunaan alat pelindung (First and last spraying, time to

spray and the use of protection equipments)

Uraian

(Description)

Cirebon

(%)

Majalengka

(%)

Garut

(%)

Penyemprotan pertama (First spraying)

1 - 7 hari setelah tanam (days after planting)

8 - 14 hari setelah tanam (days after planting)

15 - 21 hari setelah tanam (days after planting)

> 21 hari setelah tanam (days after planting)

56,7

30,0

8,3

5,0

40,0

51,7

5,0

3,3

69,0

17,2

13,8

-

Penyemprotan terakhir (Last spraying)

1 - 7 hari sebelum panen (days before harvest)

8 - 14 hari sebelum panen (days before harvest)

15 - 21 hari sebelum panen (days before harvest)

71,7

25,0

3,3

53,3

40,0

6,7

72,4

10,4

17,2

Waktu penyemprotan (Time of spraying)

pagi hari (morning)

siang hari (noon)

sore hari (after noon)

96,7

5,0

18,3

91,7

8,3

10,0

100,0

1,7

3,4

Penggunaan alat pelindung (The use of protection equipments)

ya (yes)

tidak (no)

50,0

50,0

46,5

53,5

6,9

93,1

Hampir seluruh responden menyatakan pernah mengalami hasil yang tidak memuaskan dari

penggunaan pestisida. Persepsi petani mengenai penyebab hasil penyemprotan yang tidak memuaskan

tersebut ternyata cukup beragam, bahkan cenderung kontradiktif. Di satu pihak, petani telah menyadari

bahwa hasil penyemprotan yang tidak efektif disebabkan terutama oleh adanya resistensi dari hama dan

penyakit. Hal ini tercermin dari persepsi sebagian petani yang menganggap bahwa jenis pestisida yang

digunakan untuk mengendalikan hama dan penyakit sasaran sudah tidak tepat atau tidak efektif lagi. Di

lain pihak petani juga menyatakan bahwa penyebab kekurang-berhasilan cara pengendalian adalah

karena konsentrasi penggunaan pestisida yang terlalu rendah. Persepsi petani tersebut tampaknya men-

jadi kontradiktif jika dihubungkan dengan kenyataan bahwa salah satu penyebab utama timbulnya resis-

tensi hama dan penyakit sasaran, justru sebagai akibat dari adanya penggunaan pestisida yang berlebih.

Page 13: Studi Lini Dasar an Teknologi PHT Pada Tanaman Cabai Di Jawa Barat

13

Tabel 10 Hasil pengendalian kimiawi yang tidak memuaskan, perkiraan penyebab dan tindakan selan jutnya (Unsatisfied result

of chemical pest control, perceived causes of ineffectiveness, and further actions)

Uraian

(Description)

Cirebon

(%)

Majalengka

(%)

Garut

(%)

Menyemprot dan hasilnya tidak memuaskan (Spraying with unsatisfied result)

ya (yes)

tidak ( never)

98,3

1,7

86,7

13,3

82,8

17,2

Penyebab tidak memuaskan menurut persepsi petani (Perceived causes of spray

ineffectiveness)

jenis pestisida kurang tepat (inappropriate selection of pesticides)

konsentrasi terlalu rendah (concentration is too low)

frekuensi penyemprotan kurang (frequency of spraying is too low)

hama/penyakit sudah kebal (pests/diseases are immune)

tidak tahu (do not know)

15,3

32,2

-

64,4

-

15,3

15,3

1,9

46,2

15,4

29,2

39,6

16,7

31,3

12,5

Tindakan selanjutnya yang dilakukan (Further actions taken)

mengganti atau menambah jenis pestisida (change or add the kind of pesticides)

meningkatkan konsentrasi (increase concentration)

meningkatkan frekuensi (increase frequency of spray)

mencampur pestisida (mix pesticides)

pengendalian mekanis (mechanical control)

tidak ada perubahan (no changes)

20,3

47,5

10,2

1,7

15,3

15,3

30,8

25,0

17,3

5,8

28,8

13,5

52,1

62,5

29,2

4,2

2,1

-

Pada dasarnya, persepsi yang saling berlawanan ini menggambarkan tingginya ketergantungan petani

terhadap cara pengendalian kimiawi. Ketergantungan tersebut direfleksikan dengan tindak lanjut petani

yang cenderung mendorong peningkatan penggunaan pestisida. Walaupun demikian, kemungkinan un-

tuk mengurangi ketergantungan ini tampaknya masih cukup terbuka. Hal ini ditunjukkan oleh sebagian

petani di Cirebon dan Majalengka yang memilih cara mekanis sebagai tindak lanjut pengendalian. Aspek

tersebut perlu lebih dielaborasi dalam rangka pengembangan alternatif pengendalian yang lebih aman.

Tabel 11 Pencampuran pestisida, cara, macam dan alasannya (Pesticide mixing, method, number of pesticides mixed and its

underlying reason)

Uraian

(Description)

Cirebon

(%)

Majalengka

(%)

Garut

(%)

Melakukan pencampuran pestisida (Mixing pesticides)

selalu (always)

kadang-kadang (sometimes)

tidak pernah (never)

61,7

35,0

3,3

63,3

8,3

28,4

81,1

15,5

3,4

Alasan mencampur pestisida (Reasons for mixing pesticides)

agar lebih manjur (more effective)

menghemat tenaga kerja (labor-saving)

mengendalikan bbrp jenis hapen sekaligus (kill some pests/diseases simultaneously)

mencegah hapen lain timbul (prevent damage from other pests/diseases)

29,3

34,5

51,7

18,9

27,9

60,5

58,1

18,6

57,1

37,5

44,6

14,3

Cara pencampuran pestisida (Method of pesticides mixing)

di dalam tangki - semprot (inside the tank - sprayed)

di luar tangki - semprotkan seluruhnya (outside the tank - sprayed entirely)

di luar tangki - sebagian disemprotkan dan sisanya disimpan (outside the tank - sprayed partly

and the rest is kept for next spraying)

100,0

-

-

81,4

9,3

9,3

76,8

23,2

-

Macam pestisida yang dicampur (Number of pesticides mixed)

2 macam (two kinds)

3 macam (three kinds)

4 macam (four kinds)

> 4 macam (more than four kinds)

39,7

25,8

22,4

12,1

51,2

30,2

18,6

-

21,4

25,0

32,2

21,4

Page 14: Studi Lini Dasar an Teknologi PHT Pada Tanaman Cabai Di Jawa Barat

14

Tingginya persentase responden, terutama di Cirebon dan Garut, yang melakukan pencampuran

pestisida dalam mengendalikan hama dan penyakit menunjukkan bahwa hal ini tampaknya semakin

berkembang dikalangan petani. Petani mencampurkan 2 - 6 jenis pestisida, baik di luar maupun di dalam

tangki sebelum disemprotkan. Sebagian responden bahkan menyimpan campuran pestisida tersebut

sebagai persediaan untuk jadual pengobatan berikutnya. Sebagian besar petani beranggapan bahwa

pencampuran pestisida perlu dilakukan untuk mengendalikan beberapa jenis hama/penyakit secara

sekaligus. Penghematan biaya tenaga kerja untuk penyemprotan juga salah satu alasan penting yang

dikemukakan petani berkenaan dengan pencampuran pestisida. Beberapa petani bahkan menyatakan

bahwa pencampuran antara pestisida yang mahal harganya dengan pestisida murah dianggap lebih

ekonomis. Secara umum, tindakan pencampuran pestisida ini tampaknya banyak dipengaruhi oleh

pertimbangan preventif, sehubungan dengan tingginya tingkat resiko kegagalan usahatani cabai.

Panen

Tanaman cabai di Cirebon dan Majalengka (ekosistem dataran rendah) mulai dipanen pada

umur 60 - 80 hari. Sedangkan di Garut (ekosistem dataran tinggi) umur panen cabai agak lebih panjang,

yaitu 100 - 120 hari. Petani responden menyatakan bahwa tanaman cabai dapat dipanen sebanyak 4-15

kali (minimal) atau 10-25 kali (maksimal). Pada umumnya, tanaman cabai dipanen merah oleh petani

responden. Walaupun demikian, jika harga cabai hijau sedang baik, petani juga melakukan panen hijau.

Biaya Produksi dan Pendapatan

Biaya produksi dan pendapatan di ketiga lokasi penelitian menunjukkan variasi yang disebabkan

tidak saja oleh keragaman penggunaan input, tetapi juga adanya perbedaan harga input dan output.

Komponen biaya terbesar pada usahatani cabai ini adalah biaya tenaga kerja. Data yang diperoleh me-

nunjukkan bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk tenaga kerja di ekosistem dataran rendah hampir

dua kali lipat dari biaya di ekosistem dataran tinggi. Komponen biaya kedua terbesar adalah pengeluaran

untuk pestisida. Walaupun persentase biaya untuk pestisida di Garut merupakan yang tertinggi,

Tabel 12 Biaya produksi, pendapatan kotor dan pendapatan bersih usahatani cabai (Production cost, gross revenue, and net

revenue of hot pepper cultivation)

Cirebon Majalengka Garut

Benih/bibit (Seed) (Rp/ha) 115 430,40 1,8% 49 591,87 1,5% 144 440,52 2,7%

Pupuk buatan (Fertilizer) (Rp/ha) 948 228,46 5,2% 407 899,47 12,6% 792 630,92 15,1%

Pupuk kandang (Manure) (Rp/ha) 24 209,96 0,4% 60 483,96 1,9% 577 320,70 11,1%

Pupuk daun (Foliar fert.) (Rp/ha) 137 820,58 2,2% 55 326,48 1,7% 94 692,27 1,8%

Pestisida (Pesticide) (Rp/ha) 1 415 070,43 22,6% 717 625,82 22,2% 1 339 593,73 25,6%

Tenaga kerja (Labor) (Rp/ha) 2 856 328,11 45,7% 1 415 542,81 43,7% 1 481 544,14 28,3%

Sewa tanah (Land rent) (Rp/ha) 759 040,64 12,1% 532 049,46 16,4% 809 513,81 15,4%

Total biaya (Total cost) (Rp/ha) 6 256 128,58 3 238 529,87 5 239 736,09

Produksi (Yield) (kg/ha) 7 986,61 4 351,88 6 290,63

Pendapatan kotor (Gross income) (Rp/ha) 11 248 957,88 5 034 254,78 8 606 241,96

Pendapatan bersih (Net income) (Rp/ha) 4 992 829,30 1 795 724,91 3 366 505,87

Page 15: Studi Lini Dasar an Teknologi PHT Pada Tanaman Cabai Di Jawa Barat

15

tetapi ternyata tidak terpaut jauh dengan Cirebon dan Majalengka. Sementara itu, komponen biaya yang

menunjukkan perbedaan mencolok diantara ketiga lokasi penelitian adalah pengeluaran untuk pupuk

kandang. Penggunaan pupuk kandang (kuantitasnya) untuk usahatani cabai di ekosistem dataran tinggi

terlihat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di ekosistem dataran rendah. Perbandingan biaya produksi

dan hasil per hektar memberikan gambaran tentatif bahwa usahatani cabai di Cirebon dilakukan secara

lebih intensif dibandingkan dengan Majalengka dan Garut.

Lingkungan Produksi Sosial Ekonomi

Penguasaan lahan

Penguasaan lahan pada usahatani cabai di ketiga lokasi penelitian pada umumnya adalah milik

dan sewa. Persentase status milik lebih dominan di Majalengka dan Garut, sedangkan persentase status

sewa lebih dominan di Cirebon. Sementara itu, dalam persentase yang relatif kecil, status bagi hasil

hanya ditemui di Garut. Selama tiga tahun terakhir, sebagian besar responden tidak menemui kesulitan

untuk memperoleh lahan sewa. Kendala utama yang dihadapi adalah nilai sewa yang semakin

meningkat. Luas lahan sebagian besar responden garapan selama tiga tahun terkhir relatif tidak

mengalami perubahan. Persentase petani responden yang lahan garapannya semakin luas ternyata lebih

tinggi dibandingkan dengan responden yang lahan garapannya semakin sempit.

Tabel 13 Penguasaan lahan dan sumberdaya lahan (Land tenure and land resources)

Uraian

(Description)

Cirebon

(%)

Majalengka

(%)

Garut

(%)

Penguasaan lahan (Land tenure):

milik (owned)

sewa (rented)

bagi hasil (cropsharing)

21,7

78,3

-

61,7

38,3

-

56,9

37,9

5,2

Mencari lahan sewa tiga tahun terakhir (Looking for rented land in the last three years)

mudah (easy)

sukar (difficult)

tidak tahu (do not know)

85,0

11,7

3,3

71,7

13,3

15,0

41,4

31,1

27,5

Luas lahan garapan tiga tahun terakhir (Size of cultivated land in the last three years)

makin luas (getting larger)

makin sempit (getting smaller)

tetap (unchanged)

13,3

5,0

81,7

10,0

8,3

81,7

37,9

12,1

50,0

Sistem bagi hasil dan penggunaan tenaga kerja luar keluarga

Sistem bagi hasil yang berlaku pada dasarnya tergantung pada kesepakatan antara pemilik

lahan dan penggarap. Beberapa sistem bagi hasil yang ditemui: (a) biaya produksi total dibagi dua, (b)

pemilik lahan - bibit dan pupuk buatan; penggarap - tenaga kerja, pupuk kandang dan pestisida, (c)

pemilik lahan - tenaga kerja dan pestisida; penggarap - bibit, pupuk kandang dan pupuk buatan.

Sebagian kecil petani responden yang tidak menggunakan tenaga sewa pada umumnya menggarap

lahan yang relatif sempit, yaitu antara 0,02 - 0,07 hektar, sehingga semua pekerjaan masih dapat

Page 16: Studi Lini Dasar an Teknologi PHT Pada Tanaman Cabai Di Jawa Barat

16

ditangani oleh tenaga kerja keluarga. Tenaga kerja luar keluarga yang disewa oleh sebagian besar

responden umumnya terlibat hampir disemua jenis pekerjaan. Kesulitan memperoleh tenaga kerja sewa

biasanya terjadi pada awal musim hujan.

Pasar masukan dan luaran

Toko atau kios sarana produksi merupakan sumber utama petani untuk mendapatkan sarana

produksi. Kontribusi koperasi dalam kepentingan ini ternyata masih relatif rendah. Salah satu jenis

masukan yang dikeluhkan sering sukar diperoleh di Cirebon dan Majalengka, adalah pupuk kandang.

Sebagian besar responden menyatakan bahwa selama tiga tahun terakhir, permintaan cabai

cenderung terus meningkat. Sebagian petani responden di Garut menjual cabai secara tebasan karena:

(a) membutuhkan uang segera, (b) menginginkan hasil usahataninya secara sekaligus, dan (c) menanam

cabai dalam jumlah kecil. Pada umumnya, petani memasarkan hasil panennya kepada pedagang

perantara dengan pembayaran tunai.

Tabel 14 Permintaan dan pemasaran cabai (Demand and marketing of hot pepper)

Uraian

(Description)

Cirebon

(%)

Majalengka

(%)

Garut

(%)

Permintaan selama tiga tahun terakhir (Demand for hot pepper in the last three years):

meningkat (increasing)

menurun (decreasing)

tetap (constant)

93,3

5,0

1,7

86,7

3,3

10,0

77,6

-

22,4

Cara menjual (Selling method):

ditimbang (weighed)

ditebas (sell the whole harvest in the field)

100,0

-

100,0

-

70,7

29,3

Memasarkan ke (Selling to):

pedagang perantara (middleman/assembly trader)

pasar (bring directly to the market)

71,7

28,3

68,3

31,7

91,7

8,3

Cara pembayaran (Payment method):

tunai (cash)

kemudian (paid later)

88,3

11,7

91,7

8,3

98,3

1,7

Permodalan

Secara umum, hanya sebagian kecil responden yang memanfaatkan bantuan pinjaman dari luar

untuk membiayai usahataninya. Pinjaman dapat berbentuk uang atau sarana produksi tergantung

kesepakatan dengan sumber pinjaman. Persentase peminjam terbanyak adalah petani responden di

Cirebon. Petani dapat memperoleh pinjaman dari pedagang perantara dengan syarat hasil panen harus

dijual ke pedagang tersebut. Secara tidak langsung, pedagang terlibat dalam proses produksi, termasuk

menanggung resiko bersama petani. Namun demikian, pedagang memiliki peluang untuk mendapatkan

keuntungan dan menanggung resiko lebih kecil karena sangat menentukan dalam proses determinasi

harga. Sementara itu, kios saprotan memberikan pinjaman dalam bentuk sarana produksi yang dapat

dibayar kemudian setelah panen.

Page 17: Studi Lini Dasar an Teknologi PHT Pada Tanaman Cabai Di Jawa Barat

17

Tabel 15 Permodalan dan sumber modal pinjaman (Capital and source of capital)

Uraian

(Description)

Cirebon

(%)

Majalengka

(%)

Garut

(%)

Meminjam modal (Borrowing money):

ya (yes)

tidak (no)

38,3

61,7

13,2

86,8

26,7

73,3

Sumber (Source):

keluarga/tetangga (family/neighbour)

pedagang perantara (assembly trader)

kios saprotan (production input kiosk)

koperasi (cooperative)

bank (bank)

30,4

13,1

34,8

-

21,7

54,5

-

-

45,5

-

37,5

31,2

-

6,3

25,0

Penyuluhan

Kegiatan penyuluhan di ketiga lokasi penelitian tampaknya cukup intensif dan melibatkan cukup

banyak petani responden. Khususnya di ekosistem dataran rendah, responden menyatakan bahwa

kegiatan penyuluhan masih lebih banyak berhubungan dengan usahatani padi dan palawija. Sementara

itu, di ekosistem dataran tinggi penekanan terhadap penyuluhan sayuran lebih dominan dan mencakup

aspek budidaya serta pengendalian hama penyakit. Walaupun demikian, materi penyuluhan masih perlu

terus disempurnakan, terutama dikaitkan dengan keluhan sebagian kecil petani yang menyatakan bahwa

informasi yang diterima terkadang tidak sesuai dengan praktek di lapangan.

Tabel 16 Penyuluhan usahatani sayuran (Extension for vegetable cultivation)

Uraian

(Description)

Cirebon

(%)

Majalengka

(%)

Garut

(%)

Penyuluhan dalam setahun terakhir (Receive extension in the last one year)

ya (yes)

tidak (no)

46,7

53,3

60,0

40,0

67,2

32,8

Bertemu penyuluh setahun terakhir (Meet extension worker in the last one year)

satu kali (once)

lebih dari satu kali (more than once)

21,4

78,6

19,4

80,6

7,7

92,3

Informasi dirasakan membantu (Extension program is beneficial)

ya (yes)

tidak (no)

92,9

7,1

80,5

19,5

92,3

7,7

Kelompok tani dan koperasi

Kelompok tani yang terbentuk di Cirebon dan Majalengka pada umumnya lebih diarahkan untuk

program pengembangan padi, palawija dan tebu. Sementara itu, kelompok tani di Garut, tidak saja

dirasakan responden sangat bermanfaat dalam membantu memecahkan masalah usahatani sayuran

Page 18: Studi Lini Dasar an Teknologi PHT Pada Tanaman Cabai Di Jawa Barat

18

yang dihadapi, tetapi juga merupakan wadah untuk kegiatan-kegiatan sosial. Responden yang menjadi

anggota koperasi di ketiga lokasi penelitian ternyata persentasenya masih relatif kecil. Walaupun

demikian, persentase anggota koperasi yang mendapatkan bantuan kredit (kredit usahatani padi di

Cirebon dan Majalengka serta kredit peternakan di Garut) ternyata cukup tinggi. Bantuan kredit untuk

usahatani sayuran tampaknya relatif belum banyak diperoleh petani.

Tabel 17 Keterlibatan di kelompok tani dan koperasi (Involvement in farmer group and cooperative)

Uraian

(Description)

Cirebon

(%)

Majalengka

(%)

Garut

(%)

Anggota kelompok tani (Member of a farmer group):

ya (yes)

tidak (no)

26,7

73,3

65,0

35,0

53,4

46,6

Menghadiri pertemuan kelompok (Atttending group meeting)

satu kali (once)

lebih dari satu kali (more than once)

6,3

93,7

7,7

92,3

19,4

80,6

Anggota KUD (Member of Village Cooperative Unit)

ya (yes)

tidak (no)

21,7

78,3

26,7

73,3

15,5

84,5

Memperoleh kredit dari KUD setahun terakhir (Get credit from VCU in the last one year)

ya (yes)

tidak (no)

69,2

30,8

62,5

37,5

33,3

66,7

IMPLIKASI HASIL PENELITIAN

TERHADAP PENGEMBANGAN PHT

Mengacu pada sistem produksi cabai di tingkat petani, penelitian yang berorientasi sistem per-

tanaman tumpang-sari/tumpang-gilir perlu mendapat perhatian yang lebih besar lagi dalam merancang

komponen teknologi PHT cabai. Akselerasi penelitian pemuliaan cabai yang diarahkan untuk perbaikan

varietas (resisten terhadap hama penyakit) maupun teknologi produksi benih perlu lebih ditingkatkan

untuk mendukung pengembangan PHT. Pertimbangan resiko yang secara dominan melatar-belakangi

pola penggunaan pestisida perlu diadaptasikan ke dalam proses perakitan komponen teknologi PHT.

Dengan kata lain, faktor resiko perlu dimasukkan sebagai salah satu parameter dalam evaluasi kela-

yakan komponen teknologi PHT. Berbeda dengan varietas baru yang dapat diadopsi petani secara

individual, efektivitas komponen-komponen teknologi PHT sangat dipengaruhi oleh kebersamaan suatu

komunitas untuk menyepakati sistem pengelolaan yang terkoordinasi. Dalam konteks pengembangan

PHT, fungsi dan dinamika kelompok tani yang ada di lokasi sasaran perlu diteliti lebih dini sebelum

komponen teknologi diperkenalkan.

Page 19: Studi Lini Dasar an Teknologi PHT Pada Tanaman Cabai Di Jawa Barat

19

KESIMPULAN

• Sebagian besar petani cabai baik di ekosistem dataran rendah maupun dataran tinggi, menanam

cabai secara tumpang-sari/tumpang-gilir. Di samping pertimbangan efisiensi lahan dan biaya, sistem

pertanaman ini dipilih karena umur cabai yang relatif panjang.

• Cabai besar dominan ditanam di dataran rendah, sedangkan cabai keriting lebih dominan di dataran

tinggi. Dari bermacam jenis kultivar cabai yang ditanam, hanya satu kultivar, yaitu Tit Super yang

dikategorikan petani tahan terhadap penyakit busuk buah..

• Penggunaan pupuk kandang di dataran tinggi jauh lebih intensif dibandingkan dengan di dataran

rendah. Sementara itu, aplikasi pupuk buatan dapat mencapai 5-7 kali dan secara umum ternyata

sudah jauh melebihi dosis anjuran.

• Berdasarkan urutan kepentingannya, petani menempatkan ulat grayak dan trips sebagai organisme

pengganggu utama pada musim kemarau, sedangkan pada musim hujan adalah antraknos dan

virus.

• Ketergantungan terhadap cara pengendalian kimiawi tercermin dari penyemprotan rutin yang

dilakukan oleh petani. Pencegahan dan resiko kegagalan panen merupakan pertimbangan utama

yang mendorong petani melakukan penyemprotan rutin. Sementara itu, pencampuran 2 - 6 jenis

pestisida juga merupakan hal yang biasa dilakukan oleh sebagian besar petani.

PUSTAKA

Adiyoga, W. dan Soetiarso, T. A. 1994. Aspek agroekonomi cabai. Makalah disampaikan pada Seminar

Agribisnis Cabai, Agribusiness Club. Jakarta.

Adiyoga, W. 1994. An index for management for potato farms in Wonosobo, Central Java. Buletin

Penelitian Hortikultura, 26(4): 57-62.

Baharsjah, S. dan Rasahan, C. A. 1994. IPM training in Indonesia: A moving towards the second

generation of green revolution. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Dampak Sosial

Ekonomi Program PHT. Bogor.

Basuki, R. S. 1988. Analisis biaya dan pendapatan usahatani cabai merah di Kemurang Kulon, Brebes.

Buletin Penelitian Hortikultura, 26(2): 115-121.

Carlson, G. A. 1970. A decision theoretic approach to crop disease predict-ion and control. American

Journal of Agricultural Economics, 52: 216-223.

Chinnappa, B. N. 1980. Adoption of the new technology in North Arcot District. Dalam B. H. Farmer (Ed.).

Green revolution?: Technology and change in rice-growing areas of Tamil Nadu and Sri Lanka.

The Macmillan Press Ltd. Hongkong.

Gibbons, D. S., De Koninck, R. & Hasan, I. 1980. Agricultural modernization, poverty, and inequality: The

distributional impact of the Green Revolution in regions of Malaysia and Indonesia. Journal of

Southeast Asian Studies, (2): 100-114.

Jamison, D. and Lau, L. 1982. Farmer education and farm efficiency. American Journal of Agricultural

Economics, 64: 116-123.

Page 20: Studi Lini Dasar an Teknologi PHT Pada Tanaman Cabai Di Jawa Barat

20

Krejcie, R. V. and Morgan, D. W. 1970. Determining sample size for research activities. Educational and

Psychological Measurement, 30: 607-610.

Mumford, J. D. 1981. Pest control decision making: Sugar beet in England. Journal of Agricultural

Economics, 32(1): 31-41.

Norgaard, R. B. 1976. The economics of improving pesticide use. Annual Rev. of Entomology, 21: 45-60.

Norton, G. A. 1982. A decision analysis approach to integrated control. Crop Protection, 1(2): 147-164.

Rhoades, R. E. 1984. Understanding small-scale farmers in developing countries: Sociocultural

perspectives on agronomic farm trials. Journal of Agronomic Education, 13: 64-68.

Rogers, E. M. 1962. Predicting inovativeness. Sociological Inquiry Journal, 32: 34-42.

Ruttan, V. 1977. The green revolution: Seven generalization. Internat. Development Review, 19: 55-64.

Sastrosiswoyo, S. dan Suhardi. 1988. Penggunaan pestisida pada tanaman bawang merah dan cabai di

kabupaten Brebes, Tegal dan Demak, Propinsi Jawa Tengah. Tidak dipublikasikan.