Studi Kasus Gerd & Ibd Farter i

20
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang GERD ( Gastroesofageal Reflux Disease) adalah suatu penyakit yang jarang terdiagnosis oleh dokter di Indonesia karena bila belum menimbulkan keluhan yang berat seperti refluks esofagitis dokter belum bisa mendiagnosa. Refluks gastroesofagus adalah masuknya isi lambung ke dalam esophagus yang terjadi secara intermiten pada orang, terutama setelah makan (Asroel, 2002). GERD adalah penyakit organ esofagus yang banyak ditemukan di negara Barat, Berbagai survey menunjukkan bahwa 20-40% populasi dewasa menderita heart burn (rasa panas membakar di daerah retrosternal) yang merupakan suatu keluhan klasik dari GERD. Di Indonesia, penyakit ini tidak banyak ditemukan hanya sebagian kecil pasien GERD datang berobat pada dokter karena pada umumnya keluhannya ringan dan menghilang setelah diobati sendiri dengan antasida. Dengan demikian hanya kasus yang berat dan disertai kelainan endoskopi dan berbagai macam komplikasi yang dirasakan pasien yang datang berobat ke dokter (Djajapranata, 2001). Prevalensi terjadinya GERD bervariasi tergantung letak geografis, tetapi angka tertinggi terjadi di Negara Barat. Trend prevalensi GERD di Asia meningkat. Di Hongkong meningkat dari 29,8% (2002) menjadi 35% (2003). Sedangkan berdasarkan data salah satu rumah sakit di Indonesia, RSCM menunjukkan peningkatan signifikan dari 6% menjadi 26% dalam kurun waktu 5 tahun.

description

Farmakoterapi

Transcript of Studi Kasus Gerd & Ibd Farter i

Page 1: Studi Kasus Gerd & Ibd Farter i

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

GERD ( Gastroesofageal Reflux Disease) adalah suatu penyakit yang

jarang terdiagnosis oleh dokter di Indonesia karena bila belum menimbulkan

keluhan yang berat seperti refluks esofagitis dokter belum bisa mendiagnosa.

Refluks gastroesofagus adalah masuknya isi lambung ke dalam esophagus yang

terjadi secara intermiten pada orang, terutama setelah makan (Asroel, 2002).

GERD adalah penyakit organ esofagus yang banyak ditemukan di negara Barat,

Berbagai survey menunjukkan bahwa 20-40% populasi dewasa menderita heart

burn (rasa panas membakar di daerah retrosternal) yang merupakan suatu keluhan

klasik dari GERD.

Di Indonesia, penyakit ini tidak banyak ditemukan hanya sebagian kecil

pasien GERD datang berobat pada dokter karena pada umumnya keluhannya

ringan dan menghilang setelah diobati sendiri dengan antasida. Dengan demikian

hanya kasus yang berat dan disertai kelainan endoskopi dan berbagai macam

komplikasi yang dirasakan pasien yang datang berobat ke dokter (Djajapranata,

2001). Prevalensi terjadinya GERD bervariasi tergantung letak geografis, tetapi

angka tertinggi terjadi di Negara Barat. Trend prevalensi GERD di Asia

meningkat. Di Hongkong meningkat dari 29,8% (2002) menjadi 35% (2003).

Sedangkan berdasarkan data salah satu rumah sakit di Indonesia, RSCM

menunjukkan peningkatan signifikan dari 6% menjadi 26% dalam kurun waktu 5

tahun.

Asian Burning Desire Survey (2006) membuktikan bahwa pemahaman

tentang GERD pada populasi di Indonesia adalah yang terendah di Asia Pasifik,

hanya sekitar 1%, sedangkan di Taiwan mencapai 81% dan Hongkong 66%.

Antara laki-laki dan perempuan tidak terdapat perbedaan insidensi yang begitu

jelas, kecuali jika dihubungkan dengan kehamilan dan kemungkinan non-erosive

reflux disease lebih terlihat pada wanita. Walaupun perbedaan jenis kelamin

bukan menjadi faktor utama dalam perkembangan GERD, namun Barrett’s

esophagus lebih sering terjadi pada laki-laki.

Gastroesophageal reflux disease (GERD) spektrum gangguan yang terkait

meliputi hernia hiatus, reflux disease dengan gejala seperti nyeri, esofagus erosif,

striktur peptikum, Barrett esofagus, dan adenokarsinoma esofagus. Selain

beberapa patofisiologi dan hubungan antara beberapa gangguan ini, GERD juga

ditandai dengan terjadinya komorbiditas pada pasien yang identic dan oleh

epidemiologi perilaku yang serupa diantara mereka.

Page 2: Studi Kasus Gerd & Ibd Farter i

Dari uraian diatas, maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai kasus

seorang pasien yang mengalami GERD, bagaimana tanda-tanda dan gejala-gejala

yang menunjukkan penyakit GERD ini sehingga dapat diketahui dengan jelas

komplikasinya dan dapat dengan mudah untuk mendiagnosis GERD.

1.2. Rumusan Masalah

Kasus

Ny. HM, usia 35 tahun, BB 69 kg, TB 150 cm, datang ke dokter dengan

keluhan sering merasakan cairan berasa asam yang berasal dari saluran cerna saat

bersendawa. Gejala sudah dirasakan sejak 1 minggu ini. Frekuensinya keluarnya

cairan asam tersebut cukup sering terjadi dan biasanya memburuk jika perutnya

penuh setelah makan. Selain itu Ny. HM juga merasakan terkadang nyeri ulu hati

disertai rasa panas disekitar dada. Ny HM sudah mengobatinya dengan

menggunakan Antasida 15 mL 4x sehari, namun tidak mengurangi gejala yang

dirasakannya. Ny HM menggunakan IUD sebagai alat kontrasepsi, tetapi sudah

satu bulan ini Ny. HM menggunakan pil KB sebagai pengganti IUD. Ny HM

sangat suka makanan bersantan dan pedas, dan terkadang minum kopi di pagi hari

sebelum berangkat ke kantor. Dari hasil pemeriksaan endoskopi, dokter

mendiagnosis Ny HM menderita gastroesofageal refluks (GERD) disertai adanya

peradangan pada esofagus dan memberikan resep berupa Antasida sirup,

Sukralfat sirup, Ranitidin tablet dan Omeprazol kapsul selama 1 minggu.

Dari uraian di atas maka didapatkan rumusan masalah sebagai berikut

1. Apa sajakah faktor pemicu terjadinya GERD pada Ny HM?

2. Pada pemeriksaan endoskopi didapatkan bahwa telah terjadi erosif esofagus

pada pasien. Bagaimana rekomendasi dosis obat dan lama terapi yang

diresepkan untuk pasien Ny HM tersebut?

3. Bagaimana mekanisme kerja obat yang diberikan kepada Ny. HM?

4. pakah saran yang diberikan untuk Ny. HM sebagai pasien yang miliki

kesulitan untuk meminum sediaan kapsul terkait cara minum obat tersebut?

5. Apakah saran yang diberikan untuk Ny HM terkait modifikasi gaya hidup

supaya efektivitas pengobatan GERD meningkat?

1.3. Tujuan

1. Mengetahui faktor pemicu terjadinya GERD pada Ny HM.

2. Mengetahui rekomendasi dosis obat dan lama terapi yang diresepkan untuk

pasien Ny HM.

3. Dapat menjelaskan mekanisme kerja obat yang diberikan kepada Ny. HM.

4. Dapat menyarankan terkait cara minum obat omeprazol.

5. Dapat menjelaskan modifikasi gaya hidup yang digunakan supaya efektivitas

pengobatan GERD meningkat.

Page 3: Studi Kasus Gerd & Ibd Farter i

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Refluks gastroesofageal sebenarnya merupakan proses fisiologis normal yang

banyak dialami orang sehat, terutama sesudah makan. PRGE atau Penyakit refluks

gastroesofageal (gastro-esophageal reflux disease/GERD) adalah kondisi patologis

dimana sejumlah isi lambung berbalik (refluks) ke esofagus melebihi jumlah normal,

dan menimbulkan berbagai keluhan. Keadaan ini disebabkan karena katup esophagus

bagian bawah /lower esophageal sphincter (LES) yang tidak menutup sempurna. Pada

keadaan normal LES menutup dengan bantuan diafragma, namun pada lansia

kekuatan diafragma mulai menurun sedangkan pada ibu hamil, pembesaran perut

akan mengakibatkan diafragma terdesak sehingga risiko terjadinya GERD pada lansia

dan ibu hamil lebih tinggi.

Berdasarkan gejala dan tanda yang ditimbulkan GERD dapat diklasifikasikan

menjadi GERD tipikal, atipikal dan komplikasi. GERD tipikal ditandai dengan

adanya aktivitas tertentu yang dapat meningkatkan refluks gastroesofagus, gejala

yang ditimbulkan bersifat khas untuk diagnosis GERD. GERD atipikal ditunjukkan

dengan gejala ekstraesofageal sehingga sulit untuk mendiagnosis GERD.

Refluks ini ternyata juga menimbulkan symptoms ekstraesofageal, disamping

penyulit intraesofageal seperti striktur, Barrett's esophagus atau bahkan

adenokarsinoma esophagus. PRGE dan sindroma dispepsia mempunyai prevalensi

yang sama tinggi, dan seringkali muncul dengan simptom yang tumpang tindih

sehingga menyulitkan diagnosis. Dispepsia non ulkus, di masa lalu diklasifikasikan

menjadi 4 sub-grup yaitu dispepsia tipe ulkus, dispepsia tipe dismotilitas, dispepsia

tipe refluks dan dispepsia non spesifik. Namun kemudian ternyata dispepsia tipe

refluks dapat berlanjut menjadi penyakit organik yang berbahaya seperti karsinoma

esofagus. Karena itulah para ahli sepakat memisahkan dispepsia tipe refluks dari

dispepsia dan menjadikan penyakit tersendiri bernama penyakit refluks

gastroesofageal. Prevalensi PRGE di Asia, termasuk Indonesia, relatif rendah

dibanding negara maju. Di Amerika, hampir 7% populasi mempunyai keluhan

heartburn, dan 20%-40% diantaranya diperkirakan menderita PRGE. Prevalensi

esofagitis di negara barat berkisar antara 10%-20%, sedangkan di Asia hanya 3%-5%,

terkecuali Jepang dan Taiwan (13-15%). Tidak ada predileksi gender pada PRGE,

laki-laki dan perempuan mempunyai risiko yang sama, namun insidens esofagitis

pada laki-laki lebih tinggi, begitu pula Barrett's esophagitis lebih banyak dijumpai

pada laki-laki (10:1). PRGE dapat terjadi di segala usia, namun prevalensinya

meningkat pada usia diatas 40 tahun.

Patofisiologi PRGE antara lain: (1) Abnormalitas LES. Abnormalitas atau

menurunnya kemampuan kontraksi LES disebabkan karena konsumsi makanan atau

Page 4: Studi Kasus Gerd & Ibd Farter i

obat tertentu. Makanan yang dapat menurunkan fungsi LES antara lain, makanan

berlemak, karminatif, cokelat, kopi, kola, bawang merah, bawah putih dan cabai

sedangkan obat-obatan yang berperan adalah calcium channel blocker, barbiturate,

estrogen, nitrat dan dopamine. (2) Hiatal hernia, yaitu kondisi dimana lambung

bagian atas menonjol di bagian dada. (3) Klirens esophagus, ditentukan oleh gerakan

peristaltic saat menelan, pada saat lambung terisi penuh sampai ke esophagus maka

LES akan terus menerus terbuka sampai makanan masuk seluruhnya ke dalam

lambung, lama-kelamaan hal ini akan menurunkan fungsi LES. (4) Pertahanan

mukosa. (5) Penundaan pengosongan lambung. (6) Salivary buffering. Saliva yang

disekresikan oleh kelenjar air liur dapat menetralkan pH intraesofagus.

Bentuk anatomik SEB yang melipat berbentuk sudut, dan kekuatan menutup

dari sfingter, menjadikan SEB berperan penting dalam mekanisme anti-refluks.

Peningkatan tekanan intraabdomen (misalnya saat batuk), proses gravitasi saat

berbaring, dan kelainan anatomis seperti sliding hernia hiatal mempermudah

terjadinya refluks. Bersihan asam dari lumen esofagus adalah kemampuan esophagus

untuk membersihkan dirinya dari bahan refluksat. Kemampuan esophagus ini berasal

dari peristaltik esofagus primer, peristaltik esofagus sekunder (saat menelan), dan

produksi saliva yang optimal. Ketahanan epitel esofagus berasal dari lapisan mukus

di permukaan mukosa, produksi mukus, dan mikrosirkulasi aliran darah di post epitel.

Sementara yang menjadi faktor ofensif adalah peningkatan asam lambung, dilatasi

lambung, beberapa kondisi patologis yang mengakibatkan berkurangnya kemampuan

pengosongan lambung seperti obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying.

Simptom khas PRGE adalah heartburn, yaitu rasa terbakar di dada disertai nyeri dan

regurgitasi (rasa asam pahit dari lambung terasa di lidah). Salah satu dari keduanya

cukup untuk mendiagnosis PRGE secara klinis. Selain kedua gejala tersebut, PRGE

dapat menimbulkan keluhan nyeri atau rasa tidak enak di epigastrium atau

retrosternal bawah, disfagia (kesulitan menelan makanan), odinofagia (rasa sakit

waktu menelan), mual dan rasa pahit di lidah. Keluhan ekstraesofageal yang juga

dapat ditimbulkan oleh PRGE adalah nyeri dada non kardiak, suara serak, laringitis,

erosi gigi, batuk kronis, bronkiektasis, dan asma.

Terapi farmakologi yang digunakan untuk pasien GERD adalah:

a. Antasida

b. Antagonis reseptor H2. Contohnya: ranitidine, simetidin dan famotidin.

c. PPI (Proton Pump Inhibitor). PPI memiliki aktifitas lebih baik dalam

menurunkan asam lambung dan memperbaiki mukosa daibandingkan H2 bloker.

Contoh PPI yang sering digunakan adalah omeprazol, lansoprazol, dan

esomeprazol.

d. Prokinetik. Contohnya, metoklopramid dan betanekol.

Page 5: Studi Kasus Gerd & Ibd Farter i

BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Faktor Pemicu Terjadinya GERD pada Ny HM

3.1.1. Makanan

Makanan yang berlemak dan pedas serta kopi.

Relaksasi transient LES terjadi kelainan fungsional yaitu penurunan

tekanan LES seperti yang terjadi setelah makan hidangan berlemak ataupun

pedas.

3.1.2. Obat

Penggunaan pil KB sebagai pengganti IUD

Pil KB dapat memperparah keadaan GERD karena mempengaruhi salah

satu patofisiologi GERD yaitu abnormal LES (low esophageal Sphinter).

Normalnya LES harus berada dalam kondisi mengkerut dan kontraksi untuk

mencegah refluks dari isi lambung. Tetapi karena adanya faktor hormonal

(Cholecystokinin, secretin), mengakibatkan turunnya tekanan LES, seperti pada

pil KB yang mengandung hormone progesteron/estrogen. Tekanan LES yang

nilainya lebih kecil dari 6 mmHg (LES Hipotonik) dapat meningkatkan refluks.

Walaupun, ada keadaan dimana refluks dapat terjadi pula pada tekanan LES

normal yang biasa disebut “Inapproriate” atau “Transient Sphinter Relaxation”

yaitu pengendoran katup (sphincter) yang terjadi di luar proses menelan.

3.2. Rekomendasi Dosis Obat dan Lama Terapi yang Diresepkan untuk

Pasien Ny HM

Rekomendasi obat yang diberikan untuk Ny. HM menurut kami kurang

tepat. Dilihat dari hasil pemeriksaan endoskopi, terdapat erosive esophagus pada

pasien, sehingga GERD yang dialami oleh Ny.HM merupakan erosive GERD.

Dimana tidak diperlukan lagi adanya antasida karena antasida hanya berfungsi

untuk gejala GERD ringan dan indikasinya yaitu untuk menetralkan asam

lambung. Bukan sebagai penyembuh tukak. Jadi sebaiknya pemberian antasida

dihentikan. Sedangkan Sukralfat berfungsi melindungi mukosa dengan cara

membentuk gel yang sangat lengket dan dapat melekat kuat pada dasar tukak

sehingga menutupi tukak. Tetapi karena adanya pembentukan benzoar yaitu erosi

mukosa lambung dan terjadi perlekatan pada dinding lambung yang ulserasi.

Penggunaan terapi obat yang disarankan untuk Ny.HM dapat dilihat pada

table 32-4 untuk pasien dengan erosi esophagus. Terapi yang direkomendasikan

antara lain life style modification dan PPI selama 4-16 minggu (2 x sehari). PPI

Page 6: Studi Kasus Gerd & Ibd Farter i

yang digunakan adalah esomeprazol 20-40 mg/hari, omeprazol 20 mg/hari,

lansoprazol 30 mg/hari, pantoprazol 40 mg/hari, dari keempat obat tersebut dapat

dipilih salah satunya. Atau life style modification dan H2 blocker selama 8 – 12

minggu. H2 blocker yang digunakan adalah simetidin 400 mg 4xsehari atau 800

mg 2x sehari, famotidin 40 mg 2x sehari, ranitidin 150 mg 4xsehari dari ketiga

obat tersebut dapat dipilih salah satu

Page 7: Studi Kasus Gerd & Ibd Farter i

Berikut adalah alur penetapan diagnosis dan penanganan pasien GERD

3.3. Mekanisme Kerja Obat yang Diberikan kepada Ny. HM

3.3.1. Antasida (magnesium hidroksida dan Aluminium hidroksida)

Tujuan pemberian antasida adalah untuk menetralkan asam

lambung dengan cara meningkatkan pH lambung. Antasida merupakan

basa lemah yang akan bereaksi dengan asam hidroklorida lambung

membentuk garam dan air. Dengan bereaksinya HCl lambung dengan basa

antasida menyebabkan pH lambung meningkat (dari pH 1 atau 2

meningkat menjadi 4-5). pH lambung yang meningkat > 4 menyebabkan

aktivitas pepsin menjadi tidak aktif.

Mekanisme antasida lainnya adalah merangsang produksi PG

(prostaglandin) yang berperan dalam pembentukan lapisan mukosa

lambung, namun antasida hanya sedikit merangsang produksi PG.

Antasida secara langsung dapat meringankan gejala GERD ringan

dan sering digunakan bersama terapi penekan asam yang lain. Pasien

harus diedukasi bahwa antasida merupakan obat yang tepat untuk

mengobati GERD ringan. Antasida mempertahankan pH intragastrik di

atas 4, menurunkan aktivasi pepsinogen menjadi pepsin, yang merupakan

enzim proteolitik. Juga menetralkan cairan lambung yang mengarah pada

peningkatan kontraksi LES. Pasien yang sering memerlukan penggunakan

antasida untuk symptom kronik harus ditangani dengan terapi penekan

asam yang diresepkan karena penyakitnya dianggap lebih signifikan.

Kombinasi antasida memungkinkan terjadinya efek samping

gastrointestinal (diare atau konstipasi, tergantung produknya), perubahan

Page 8: Studi Kasus Gerd & Ibd Farter i

dalam metabolisme mineral, dan gangguan asam basa. Aluminium yang

terkandung dalam antasida akan berikatan dengan fosfat dalam usus dan

menyebabkan demineralisasi tulang. Selain itu, antasida berinteraksi

dengan berbagai obat dengan mengubah pH lambung, meningkatkan pH

urin, menyerab obat pada permukaannya, memberikan penghalang fisik

untuk proses absorbsi, atau pembentukan kompleks yang tidak larut

dengan obat lain. Antasida memiliki interaksi klinis dengan tetrasiklin,

ferri sulfat, isoniazid, quinidine, sulfonylurea dan antibiotic quinolone.

Interaksi antasida dipengaruhi oleh komposisi dosis dan waktu pemberian

antasida tersebut, serta bentuk formulasinya.

Secara umum antasida memiliki durasi aksi yang pendek, sehingga

mengharuskan pemberian antasida secara berulang. Dosis umum adalah 2

tablet atau 1 sedok makan empat kali sehari, setelah makan dan sebelum

tidur. Mengkonsumsi antasida setelah makan dapat meningkatkan durasi

aksi dari sekitar 1 jam menjadi sekitar 3 jam, namun penekanan asam

tidak dapat dipertahankan dengan dosis tidur.

Antasida dengan asam alginate (Gaviscon) bukan merupakan agen

penetral asam yang poten, tetapi membentuk larutan kental yang

menyelimuti pada permukaan lambung. Berfungsi sebagai pelindung

untuk mencegah erosi esophagus akibat reflux isi lambung dan mengurang

frekuensi refluks. Kombinasi obat ini bekerja lebih baik daripada antasida

yang digunakan secara tunggal, namun dari data endoskopi efektifitasnya

kurang.

3.3.2. Sukralfat (mucosal protectan)

Sukralfat akan melapisi permukaan lambung  dengan cara

membentuk gel yang sangat lengket agar lapisan mukosa lambung dapat

terlindungi dari pengaruh asam lambung. Sehingga apabila ada permukaan

lambung yang mengalami luka, dia akan memiliki waktu untuk

memperbaiki diri, karena sel-sel lambung (sel dibelakang lapisan mukosa)

merupakan kumpulan sel yang renewable. Selain itu sukralfat juga sedikit

menstimulasi pembentukan prostglandin yang berperan dalam

pembentukan lapisan mukosa lambung.

Sukralfat, adalah garam aluminium yang tidak diabsorbsi dari

sukrosa oktasulfate, yang memiliki peran terbatas dalam pengobatan

GERD. Sukralfat memiliki kecepatan penyembuhan sama dengan

antagonis reseptor H2 untuk pasien dengan esofagitis ringan. Namun

sukralfat kurang efektif dibandingkan antagonis reseptor H2 dengan dosis

tinggi untuk pasien dengan esofagitis. Sukralfat tidak dapat secara rutin

Page 9: Studi Kasus Gerd & Ibd Farter i

direkomendasikan untuk digunakan dalam pengobatan apapun kecuali

kasus paling ringan dari GERD.

3.3.3. Ranitidin (H2 blocker)

Ranitidin merupakan antagonis reseptor H2, yang mana obat ini

akan berikatan dengan reseptor H2 sehingga menghalangi histamin untuk

berikatan dengan reseptor tersebut. Ranitidin dan histamin akan

mengalami kompetisi dalam penempatan pada sisi aktif reseptor H2.

Sehingga apabila posisi histamin digantikan oleh ranitidin maka release

HCl dari kompleks histamin-reseptor H2 dapat dikurangi dan secara

langsung jumlah HCl dalam lambung juga berkurang.

Terapi penekan asam adalah pengobatan GERD yang utama.

Antagonis reseptor H2 dalam dosis terbagi dapat efektif dalam pengobatan

pasien GERD ringan sampai sedang. Kepotenan dosis standar antagonis

reseptor H2 menunjukkan bahwa perbaikan gejala dicapai dalam rata-rata

60% dari pasien setelah 12 minggu terapi. Efikasi anagonis reseptor H2

dalam pengelolaan GERD sangat bervariasi dan sering lebih rendah dari

yang diinginkan. Perbedaan efikasi dari antagonis reseptor H2 bergantung

pada (a) keparahan penyakit, (b) regiman dosis yang digunakan, dan (c)

durasi/ lama terapi. Faktor-faktor ini penting untuk diingat ketika

membandingkan berbagai uji klinis dan menilai respon pasien terhadap

terapi yang diberikan.

Untuk mengurangi gejala –gejala GERD yang ringan digunakan

antagonis reseptor H2 nonprescription dengan dosis rendah. Untuk gejala

nonerosif, antagonis reseptor H2 secara umum diberikan dalam dosis

standar dua hari sekali. Pasien yang tidak membaik dengan dosis standar

kemungkinan mengalami hipersekresi asam lambung, sehingga

membutuhkan dosis yang lebih tinggi. Untuk pasien yang mengalami

penyakit erosive penggunanan dosis yang lebih tinggi dan/atau dosis

empat kali sehari (simetidin 800 mg 2 x 1, nizaidin 150 mg 4 x 1, atau

ranitidine 150 mg 4 x 1) memberikan control asam yang lebih baik,

khususnya peningkatan asam lambung setelah makan. Meskipun antagonis

reseptor H2 dengan dosis lebih tinggi memberikan peluang sembuh lebih

tinggi, informasi mengenai keamanannya masih terbatas, dan obat ini

dapat menjadi kurang efektif dan lebih mahal daripada PPI yang

digunakan satu kali sehari. Tidak seperti PUD, lama terapi antagonis

reseptor H2 yang diberikan relative lebih pendek ( 4 sampai 6 minggu),

program jangka panjang (8 minggu atau lebih).

Karena semua antagonis reseptorH2 memiliki efikasi yang sama,

pemilihan obat yang spesifik dalam pengelolaan GERD harus didasarkan

Page 10: Studi Kasus Gerd & Ibd Farter i

pada beberapa faktor misalnya perbedaan farmakokinetik, profil

keamanan, dan biaya. Efek samping yang umum terjadi adalah sakit

kepala, mengantuk, kelelahan, pusing, dan sembelit atau diare.pasien

harus dipantau dari adanya efek samping serta interaksi obat potensial,

khususnya ketika digunakan bersama simetidin. Simetidin dapat

menghambat metabolisme teofilin, warfarin, fenitoin, nefedipin,

propanolol dan lain lain.

3.3.4. Omeprazol (PPI)

Proton Pump Inhibitors (PPI) memblokir sekresi asam lambung

dengan menghambat H+/K+ adenosine triphosphatase gastric di sel

parietal lambung. Obat ini menyebabkan efek antisekresi yang besar dan

tahan lama yang mampu mempertahankan pH lambung di atas 4, bahkan

selama peningkatan asam setelah makan.

PPI lebih unggul dibandingkan dengan antagonis reseptor H2 baik

dalam kemampuannya untuk mengkontrol gejala dan untuk

menyembuhkan esofagitis pada pasien GERD. Penggunaan PPI juga lebih

hemat biaya untuk pasien dengan penyakit berat. Untuk esofagitis ringan,

omeprazol masih lebih unggul dibandingkan dengan ranitidin dosis tinggi.

Omeprazol (40 sampai 60 mg sehari) dan lansoprazole (30 sampai

60 mg sehari) efektif digunakan untuk penyembuhan esofagitis dan PUD

dengan komplikasi GERD. Ketika pasien dengan komplikasi GERD (BE,

striktur, atau kegagalan operasi antireflux) yang sudah tidak mempan

dengan antagonis reseptor H2 dosis tinggi, diberikan omeprazol 40 mg

sehari, semua pasien sembuh dalam terapi selama 20 minggu.

Penggunaan omeprazol dosis tinggi (40 mg 2 x 1 hari)

menyebabkan regresi parsial BE, tetapi tidak ada perubahan untuk pasien

yang diberi ranitidine 150 mg 2 x 1 hari. Selain sebagai antisekresi asam

lambung, pada pasien dengan komplikasi GERD, yaitu Barrett’s

Esophagus (BE), akan menyebabkan munculnya sel skuamosa normal

setelah pemberian PPI dosis tinggi sehingga dapat melingkupi mukosa

lambung dan dapat menutupi perkembangan kanker pada mukosa. Tidak

diketahui apakah peulihan BE menurunkan risiko adenocarsinoma pada

seseorang yang sudah terkena BE, tetapi terapi yang agresif menunjukkan

penekanan yang adequate terhadap reflux asam sehingga dapat membantu

untuk mencegah perkembangan BE.

PPI biasanya dapat diterima dengan baik, namun efek samping

yang mungkin terjadi antara lain sakit kepala, pusing, mengantuk, diare,

Page 11: Studi Kasus Gerd & Ibd Farter i

sembelit, dan mual. Frekuensi munculnya efek samping mirip dengan

antagonis reseptor H2.

Semua PPI dapat menurunkan absorbs obat seperti ketokonazol

atau itrakonazol, yang mana obat ini akan diabsorsi dalam lingkungan

asam. Semua PPI dimetabolisme oleh sistem sitokrom P450, khususnya

oleh enzim CYP2C19 dan CYP3A4. Namun, umumnya tidak

menyebabkan masalah serius, omeprazol memiliki potensi untuk

menghambat metabolism warfarin, diazepam, dan fenitoin.

Interaksi obat dengan omeprazol menjadi perhatian khusus pada

pasien yang dianggap “metabolismeya lambat” seperti yang ditemukan

dari 3% populasi Kaukasia.

3.4. Sarankan untuk Ny. HM Terkait Cara Meminum Kapsul Omeprazol

PPI didegradasi dalam lingkungan asam dan oleh karena itu

diformulasikan dalam kapsul atau tablet delayed-release (pelepasan tertunda).

Lansoprazol, esomeprazol dan omeprazol mengandung granul bersalut enteric

(sensitive pH) dalam sediaan kapsul. Tablet atau kapsul omeprazol diminum

dengan cara langsung ditelan menggunakan air. Tidak boleh dikunyah atau

menghancurkan tablet omeprazol karena obat ini didesain untuk lepas lambat.

Pada pasien yang kesulitan menelan atau pada pasien pediatri, isi

kapsul bisa dicampur dalam saus apel atau dalam jus jeruk. Jika pasien

memiliki tabung nanogastrik, isi kapsul omeprazol dapat dicampur dengan

8,4% larutan sodium bikarbonat. Esomeprazol dapat disampur dengan air.

Pasien harus diberitahu untuk mengkonsumsi PPI di pagi hari, 15 sampai 30

menit sebelum makan untuk memaksimalkan efektivitasnya, karena zat ini

hanya secara aktif menghambat sekresi pompa proton. Makanan dapat

menurunkan absorbsi lansoprazol. Jika digunakan dua kali sehari, dosis kedua

harus diberikan sekitar 10 sampai 12 jam setelah dosis pagi dan sebelum

makan.

3.5. Modifikasi Gaya Hidup yang Disarankan untuk Ny.HM

Pada Ny.HM dapat disarankan untuk menghindari konsumsi kopi dan

makanan berlemak, serta menghentikan penggunaan pil KB. Perubahan gaya

hidup yang paling umum yang harus diedukasikan kepada pasien antara lain (a)

mengurangi berat badan; (b) tidur dengan bagian kepala lebih tinggi; (c)

mengkonsumsi makanan yang lebih kecil dan menghindari makan pada 3 jam

sebelum tidur, (d) menghindari makan atau obat-obatan yang memperparah

GERD; (e) mengurangi rokok dan (f) menghindari alcohol. Pasien dengan

obesitas berisiko 2,8 kali lebih besar daripada pasien dengan berat normal. Reluks

Page 12: Studi Kasus Gerd & Ibd Farter i

lebih sering terjadi pada pasien obesitas karena peningkatan tekanan intra-

abdominal dan kebiasaan diet pasien obes cenderung menyebabkan refluks.

Konsumsi makanan berlemak akan menurunkan tekan LES selama 2 jam atau

lebih setelah makan. Menempatkan kepala lebih tinggi 6 sampai 8 inci dari tubuh

saat tidur menurunkan waktu kontak asam esophagus saat malam hari. Beberpa

makanan juga dapat memperpaah gejala GERD. Lemak dan cokelat dapat

menurunkan tekanan LES, jus jeruk, tomat, kopi dan peppermint dapat

mengiritasi lapisan mukosa lambung. Merokok menyebabkan aerophagia, yang

memicu sendawa dan regurgitasi.

Page 13: Studi Kasus Gerd & Ibd Farter i

DAFTAR PUSTAKA

Dipiro, Joseph T. Talbert, Robert L. Yee, Gary C, dkk. 2005. PHARMACOTHERAPY: A Pathophysiologic Approach. USA: McGRAW-HILL Medical Publishing. Halaman 649-663

Djojoningrat D.2011. Penyakit Refuks Esophageal. Dalam: Rani AA, Simadibrata M, Syam AF. Buku Ajar gastroenterologi. Interna Publising: Jakarta, halaman. 245-5

Makmun D. 2006. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. halaman.317-321 2.