Studi igos 2008

54
1. LAPORAN AKHIR Studi Evaluatif Program IGOS Dalam Pengimplementasian Open Source di Lembaga Pemerintah PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN APTEL SKDI BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SDM 2008 . DEPKOMINFO

Transcript of Studi igos 2008

Page 1: Studi igos 2008

1.

LAPORAN AKHIR

Studi Evaluatif Program IGOS

Dalam Pengimplementasian Open Source di Lembaga Pemerintah

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN APTEL SKDI

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SDM

2008

1. DEPKOMINFO

Page 2: Studi igos 2008

i

2. TIM PENYUSUN

‘Studi Evaluatif Program IGOS Dalam Pengimplementasian Open Source di Lembaga Pemerintahan’

Pusat Litbang APTEL SKDI

Peneliti/Penulis:

1. Dr Kanti W Istidjab, M.Sc 2. Dr Moedjiono, M.Sc 3. Drs. Akmam Amir, MKOM 4. Drs. Dede Drajat 5. Drs. Parwoko 6. Drs. Paraden L Sidauruk 7. Drs. Djoko Waluyo 8. Drs. Heru Pudjo Buntoro, MA 9. Atjih Ratnawati, BA 10. Gantyo Witarso, BA 11. Yan Andriariza AS, S.Kom

Penerbit: Pusat Penelitian dan Pengembangan APTEL SKDI Badan Litbang SDM Depkominfo Jl Medan Merdeka Barat No 9 Jakarta Pusat Jakarta, Desember 2008 Kepala Puslitbang APTEL SKDI

Akmam Amir

Page 3: Studi igos 2008

ii

3. KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya melalui berkat ridho dan karunia-Nya, kami masih terus dapat beraktifitas untuk melaksanakan tugas dan kewajiban yang telah menjadi tanggung jawab bersama. Salah satu dari tugas dan kewajiban yang telah kami laksanakan, yang terkait dengan kegiatan penelitian salah satunya adalah menyusun Laporan Akhir hasil „Studi Evaluatif Program IGOS Dalam Pengimplementasian Open Source di Lembaga Pemerintahan‟.

Studi ini dilaksanakan oleh Badan Litbang SDM Depkominfo c.q Puslitbang Aptel dan SKDI, dan merupakan studi lanjutan dari „Studi Penggunaan dan Pengembangan Perangkat Lunak Open Source Pada Institusi Pemerintahan‟ yang dilaksanakan pada tahun 2007. Diharapkan dengan adanya studi ini kita dapat memperoleh gambaran secara nyata dari pengimplementasian Open Source Software (OSS) di Lembaga Pemerintahan, dan mengetahui hambatan-hambatan apa saja yang ditimbulkan dalam usaha pengimplementasian OSS di Lembaga Pemerintahan tersebut, sehingga kita dapat mencari jalan keluar untuk mengatasi hambatan tersebut.

Demikian sepatah kata dari kami, dan untuk memahami secara lengkap tentang hasil studi ini, kami menyusunnya dalam bentuk laporan akhir, yang sebelumnya telah dipresentasikan melalui forum seminar sebanyak dua kali, dimana dalam forum tersebut dihadiri para pejabat struktural, dan peneliti baik dari lingkungan Depkominfo maupun lintas instansi lainnya, serta para pakar terkait.

Selanjutnya apa yang kami susun masih jauh dari kesempurnaan, karenanya kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan. Semoga hasil penelitian kami dapat bermanfaat bagi pembaca. Terima kasih.

Jakarta, Desember 2008 Kepala Puslitbang APTEL SKDI

Akmam Amir

Page 4: Studi igos 2008

iii

4. ABSTRAK

Perangkat lunak Open Source Software (OSS) merupakan perangkat lunak yang kode programnya terbuka, artinya dapat dikembangkan lagi sesuai dengan kebutuhan pengguna OSS. OSS telah berkembang di berbagai negara, negara-negara tersebut telah mendorong instansi pemerintahnya untuk menggunakan OSS dan pada umumnya pemerintahlah yang menjadi motor penggerak pemanfaatan OSS melalui pemberian insentif maupun kebijakan-kebijakan yang memihak penggunaan OSS secara nasional. Begitu juga di Indonesia, dalam rangka penerapan kebijakan penggunaan OSS secara nasional di Indonesia, harus didahului dengan penggunaan OSS di pemerintahan terlebih dahulu, untuk itu diperlukannya „Studi Evaluatif Program IGOS Dalam Pengimplementasian Open Source di Lembaga Pemerintahan‟.

Evaluasi OSS di lembaga pemerintah dalam penelitian ini dilakukan terhadap area implementasi OSS yang meliputi Operating System, Network Security, Dekstop Applications, Server Application, dan Vertical Application. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu identifikasi terhadap kebijakan-kebijakan yang terkait dengan implementasi OSS, evaluasi terhadap implementasi OSS di lembaga pemerintah dan penyusunan alternatif kebijakan implementasi OSS di lembaga pemerintah. Pengumpulan data dari penelitian ini dilakukan melalui studi literatur, survei dengan menggunakan kuesioner, wawancara mendalam, serta focus group discussion (FGD). Dan analisis datanya dilakukan dengan cara analisis kuantitatif dan analisis kualitatif.

Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan antara lain bahwa tingkat implementasi OSS di lembaga pemerintah masih rendah. Daerah dengan tingkat implementasi OSS tertinggi adalah Jakarta sedangkan yang terendah adalah Manado dan Kupang. Diantara 5 instansi deklarator IGOS, tingkat implementasi tertinggi dimiliki oleh KNRT sedangkan yang terendah adalah Menpan. Faktor penggerak dan penghambat implementasi OSS bervariasi antar daerah dan antar instansi. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang berbeda tiap daerah dan tiap instansi sesuai dengan kondisinya. Keberhasilan implementasi OSS ini sangat dipengaruhi oleh pimpinan lembaga & Manager/staff TI. Kata Kunci : Open Source Software (OSS), IGOS

Page 5: Studi igos 2008

iv

5. DAFTAR ISI

TIM PENYUSUN ...................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ............................................................................................... ii

ABSTRAK ............................................................................................................... iii

DAFTAR ISI ............................................................................................................ iv

DAFTAR GAMBAR................................................................................................. v

DAFTAR TABEL .................................................................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1

1.2 Pertanyaan Penelitian ................................................................................. 4

1.3 Tujuan ....................................................................................................... 4

1.4 Sasaran ...................................................................................................... 4

BAB II METODOLOGI PENELITIAN .................................................................... 5

2.1 Kerangka Analisis ...................................................................................... 5

2.2 Metode Penelitian ...................................................................................... 9

2.2.1 Lingkup Penelitian ............................................................................. 9

2.2.2 Tahapan Penelitian ........................................................................... 10

2.2.3 Metode Pengumpulan, Pengolahan, dan Analisis Data ...................... 11

BAB III EVALUASI PENGARUH IGOS DALAM IMPLEMENTASI OSS DI

LEMBAGA PEMERINTAH ................................................................................... 15

3.1 Kebijakan IGOS di Lembaga Pemerintah ................................................. 15

3.2 Implementasi OSS di Lembaga Pemerintah .............................................. 16

3.3 Pengaruh Kebijakan IGOS terhadap implementasi OSS di Lembaga

Pemerintah .......................................................................................................... 30

BAB IV FAKTOR PENGGERAK DAN PENGHAMBAT IMPLEMENTASI OSS

DI LEMBAGA PEMERINTAH .............................................................................. 31

4.1 Faktor Penggerak dan Penghambat Implementasi OSS di Lembaga

Pemerintah .......................................................................................................... 31

4.1.1 Pimpinan Lembaga ........................................................................... 31

4.1.2 Manager/staff TI............................................................................... 32

4.1.3 Pengguna TI ..................................................................................... 33

4.2 Alternatif Kebijakan Implementasi Open Source di Lembaga Pemerintah. 41

4.2.1 Value................................................................................................ 42

4.2.2 Capacity ........................................................................................... 42

4.2.3 Support............................................................................................. 42

BAB V PENUTUP .................................................................................................. 44

5.1 KESIMPULAN ........................................................................................ 44

5.2 SARAN ................................................................................................... 45

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 47

6.

Page 6: Studi igos 2008

v

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Area Implementasi OSS ............................................................... 6 Gambar 2.2 Hambatan Implementasi OSS ...................................................... 7 Gambar 2.3 Model VCS ................................................................................... 9 Gambar 2.4 Tahapan Penelitian .................................................................... 11 Gambar 3.1 Pengetahuan Pimpinan Instansi tentang Program IGOS ........... 18 Gambar 3.2 Sumber Informasi Pimpinan Mengenai Program IGOS .............. 19 Gambar 3.3 Pengetahuan Pengguna TI tentang Program IGOS ................... 19 Gambar 3.4 Sumber Informasi Pengguna Mengenai Program IGOS ............ 20 Gambar 3.5 Penggunaan OSS di Lembaga Pemerintah ............................... 20 Gambar 3.6 Jumlah Komputer yang Dimiliki Lembaga Pemerintah ............... 21 Gambar 3.7 Persentase Komputer dengan Sistem Proprietary ..................... 22 Gambar 3.8 Cara Memperoleh Sistem Operasi Proprietary ........................... 22 Gambar 3.9 Persentase Komputer dengan Sistem Open Source .................. 23 Gambar 3.10 Persentase Komputer dengan Dual Boot ................................. 23 Gambar 3.11 Jumlah Staff TI ......................................................................... 24 Gambar 3.12 Jumlah Pegawai yang Mampu Mengoperasikan OSS ............. 24 Gambar 3.13 Tingkat Implementasi OSS di Tiap Area Implementasi

Berdasarkan Daerah ............................................................................... 27 Gambar 3.14 Penilaian Tingkat Implementasi OSS per Daerah .................... 28 Gambar 3.15 Perbandingan Tingkat Implementasi OSS pada Tiap Area

Implementasi antar Instansi Deklarator IGOS ......................................... 29 Gambar 3.16 Perbandingan Implementasi OSS antar Instansi Deklarator

IGOS ....................................................................................................... 30

Page 7: Studi igos 2008

vi

7. DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data ......................................... 12 Tabel 2.2 Variabel Penelitian ................................................................................... 12 Tabel 3.1 Jumlah Responden .................................................................................. 17 Tabel 3.2 Kode Area Implementasi OSS ................................................................. 25 Tabel 3.3 Nilai Implementasi Seluruh Responden ................................................... 25 Tabel 3.4 Nilai Implementasi OSS Seluruh Responden di Seluruh Area Implementasi

........................................................................................................................ 26 Tabel 3.5 Tingkat Implementasi OSS di Lembaga Pemerintah (per daerah) ........... 27 Tabel 3.6 Perbandingan Tingkat Implementasi OSS pada Tiap Area Implementasi

antar Instansi Deklarator IGOS ........................................................................ 29 Tabel 4.1 Penggerak dan Penghambat untuk Tiap Aspek dari Sisi Pimpinan

Lembaga ......................................................................................................... 31 Tabel 4.2 Faktor Penggerak dan Penghambat dari Pimpinan Lembaga .................. 31 Tabel 4.3 Aspek penggerak dan penghambat dari Sisi Manager/Staff TI ................ 32 Tabel 4.4 Faktor penggerak dan penghambat dari tiap-tiap aspek dari sisi

Manager/Staff TI .............................................................................................. 32 Tabel 4.5 Faktor penggerak dan penghambat dari Pengguna TI ............................. 33 Tabel 4.6 Faktor penggerak dan penghambat dari sisi Pengguna TI ....................... 33 Tabel 4.7 Aspek Penggerak dan Penghambat Implementasi OSS di daerah Jakarta

dan Kupang dari Sisi Pimpinan Lembaga ........................................................ 34 Tabel 4.8 Faktor Penggerak dan Penghambat di daerah Jakarta, Manado, dan

Kupang dari Sisi Pimpinan Lembaga ............................................................... 34 Tabel 4.9 Aspek Penggerak dan Penghambat Implementasi OSS di daerah Jakarta,

Manado, dan Kupang dari Sisi Manager/staff TI .............................................. 35 Tabel 4.10 Faktor Penggerak dan Penghambat Implementasi OSS di daerah Jakarta,

Manado dan Kupang dari Sisi Manager/staff TI ............................................... 35 Tabel 4.11 Aspek Penggerak dan Penghambat Implementasi OSS di daerah Jakarta,

Manado dan Kupang dari Sisi Pengguna TI ..................................................... 36 Tabel 4.12 Faktor Penggerak dan Penghambat Implementasi OSS di daerah Jakarta,

Manado dan Kupang dari Sisi Pengguna TI ..................................................... 36 Tabel 4.13 Aspek Penggerak dan Penghambat di KNRT dan Menpan dari sisi

Pimpinan Lembaga .......................................................................................... 37 Tabel 4.14 Faktor Penggerak dan Penghambat di KNRT dan Menpan dari sisi

Pimpinan Lembaga .......................................................................................... 37 Tabel 4.15 Aspek Penggerak dan Penghambat di KNRT dan Menpan dari sisi

Manager/Staff TI .............................................................................................. 38 Tabel 4.16 Faktor Penggerak dan Penghambat di KNRT dan Menpan dari sisi

Manager/Staff TI .............................................................................................. 38 Tabel 4.17 Aspek Penggerak dan Penghambat di KNRT dan Menpan dari sisi

Pengguna TI .................................................................................................... 39 Tabel 4.18 Faktor Penggerak dan Penghambat di KNRT dan Menpan dari sisi

Pengguna TI .................................................................................................... 39 Tabel 4.19 Faktor Penggerak dan Penghambat utama implementasi OSS dari sisi

Pimpinan Lembaga .......................................................................................... 40 Tabel 4.20 Faktor Penggerak dan Penghambat utama implementasi OSS dari sisi

Manager/staff TI .............................................................................................. 41 Tabel 4.21 Faktor Penggerak dan Penghambat utama implementasi OSS dari sisi

Pengguna TI .................................................................................................... 41

Page 8: Studi igos 2008

1

1. BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan manusia Indonesia saat ini diarahkan menuju konsep masyarakat berbasis pengetahuan (Knowledge Based Society/KBS) yang menegaskan bahwa daya saing ekonomi suatu bangsa bukan hanya ditentukan oleh faktor produksi, tetapi juga oleh pengetahuan dan kreatifitas sebagai faktor inovasi. Oleh sebab itu pengembangan Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) juga diarahkan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat, khususnya masyarakat perdesaan dan kepedulian tentang potensi pemanfaatan TIK yang responsive terhadap kebutuhan pasar dan industri. Pembangungan dan pengembangan TIK ditujukan untuk mewujudkan masyarakat informasi (Information Society) dan masyarakat berbasis KBS serta meningkatkan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) yang bermutu, kreatif dan inovatif dalam mengantisipasi, mengadopsi, menerapkan dan memanfaatkan perkembangan kemajuan TIK. Terkait dengan hal tersebut maka salah satu upaya nasional yang dilakukan untuk mengikuti perkembangan teknologi informasi global adalah melalui strategi pemanfaatan dan pengembangan perangkat lunak Open Source Software (OSS) yang merupakan perangkat lunak yang sumbernya atau kode programnya terbuka, artinya dapat dikembangkan lagi sesuai dengan kebutuhan pengguna OSS, berbeda dengan Closed Source Software (CSS). OSS (Open Source Software) adalah perangkat lunak yang dikembangkan dengan source code yang terbuka. OSS tidak identik dengan Free Software.

OSS telah berkembang di berbagai negara, baik negara maju maupun negara berkembang, meliputi kurang lebih 30 negara di Asia, Eropa, dan Amerika Latin (Chuong, 2003). Negara-negara tersebut telah mendorong instansi pemerintahnya untuk menggunakan OSS karena alasan-alasan yang meliputi Cost Advantage, Robustness, Reliability & Security; Bridging the Digital Divide within a Short Time Frame at a Low Cost, dan Potential for Development of Locally Relevant Software (UNCTAD, 2003). Dari studi kasus beberapa negara tersebut, dapat disimpulkan bahwa umumnya pemerintahlah yang menjadi motor penggerak pemanfaatan OSS melalui pemberian insentif maupun kebijakan-kebijakan yang memihak penggunaan OSS secara nasional. Sejumlah negara menyadari bahwa pemanfaatan OSS dapat menjadi salah satu cara untuk mendorong industri perangkat lunak lokal dan menurunkan biaya pengadaan perangkat lunak dalam lingkungan pemerintahan.

Di India, instansi-instansi pemerintah mendorong pengunaan solusi lokal berbasis Linux. Departemen Teknologi Informasi di India juga memiliki minat yang tinggi untuk memperkenalkan Linux sebagai standard de facto terhadap institusi akademik. Sejak November 2001, pemerintah

Page 9: Studi igos 2008

2

Malaysia telah mulai menggunakan FOSS di instansi-instansi pemerintah. Negara ini juga mendorong penggunaan OSS untuk memperoleh PC berbasis GNU/Linux dengan harga yang murah. Selain kedua negara tersebut, negara-negara lain seperti Pakistan, Filiphina, Peru, Korea, dan Vietnam juga telah mulai mendorong penggunaan OSS di instansi pemerintah.

Seperti halnya negara-negara lain, Indonesia juga telah melakukan kegiatan-kegiatan yang mengarah pada pengembangan OSS, yang ditandai dengan munculnya komunitas-komunitas open source, kegiatan pengembangan berbagai aplikasi berbasis open source, pelatihan-pelatihan dan sebagainya. Manfaat penting dari pengembangan OSS ini mencakup, antara lain: 1. Berkurangnya penggunaan devisa negara dan tingkat ketergantungan

impor TIK 2. Meningkatnya reliabilitas dan keamanan dalam penggunaan

perangkat lunak 3. Meningkatnya partisipasi dan peran dalam jejaring global

pengembang perangkat lunak 4. Meningkatnya kapasitas litbang TIK nasional 5. Terbukanya peluang ekspor bagi industri TIK nasional.

Beberapa sifat OSS seperti biaya investasi yang relatif lebih rendah, kualitas kinerja dan keamanan yang lebih baik, lokalisasi, dan kebebasan, merupakan beberapa faktor kelebihan dari OSS ini. Walaupun demikian, masih terdapat beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan dan diperbaiki terutama dalam implementasi. Untuk itu, upaya penelitian dan pengembangan OSS menjadi hal yang penting untuk dilakukan di Indonesia.

Pemanfaatan perangkat lunak OSS juga merupakan salah satu strategi untuk menjawab tantangan yang disebabkan oleh banyak beredarnya perangkat lunak bajakan atau ilegal yang telah melanggar Undang-Undang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Dalam kasus Indonesia, pemanfaat OSS menjadi sangat relevan karena Indonesia masih dianggap belum berhasil dalam mengatasi pembajakan perangkat lunak komputer. Berdasarkan data Business Software Alliance (BSA) dalam Global Software Piray (July 2004) terungkap bahwa Indonesia merupakan salah satu dari empat Negara pembajakan perangkat lunak terbesar yaitu 88%, setelah China 92%, Vietnam 92%, dan Ukraina 91%1. Tingginya tingkat pembajakan ini menjadikan Indonesia diusulkan oleh International Intellectual Property Alliance (IIPA) kepada United State Trade of Representative (USTR) untuk dimasukkan dalam daftar Negara prioritas untuk diawasi (Priority Watch List). Kondisi ini menjadi peringatan yang tidak boleh dikesampingkan, karena akan memberikan pengaruh negatif kepada pembangunan ekonomi bangsa secara keseluruhan. Negara-negara yang terdaftar dalam Priority Watch List akan kehilangan fasilitas generalized system of preference (GSP), yaitu fasilitas khusus untuk negara berkembang berupa pembebasan tarif dalam pelaksanaan ekspor. Oleh sebab itu perlu ditingkatkan

1 http://www.bsa.org/globalstudy/loader.cfm?url=/commonspot/security/getfile.cfm&pageid=16947&hitbox-done

=yes

Page 10: Studi igos 2008

3

penggunaan perangkat lunak legal dan OSS, sehingga ranking pembajakan perangkat lunak ke empat akan semakin turun dan Indonesia keluar dari Priority Watch List.

Strategi pemanfaatan dan pengembangan perangkat lunak berbasis OSS juga sangat penting dalam menurunkan ketergantungan pada satu vendor tertentu dan mengembangkan pilihan-pilihan yang ekonomis dan dinilai paling sesuai bagi kebutuhan masyarakat. Dalam konteks ini, kuatnya komitmen antara pemerintah, kalangan pendidikan, dan lembaga penelitian dan pengembangan menjadi sangat penting. Komitmen ini ditujukan untuk secara proaktif mendorong kreatifitas dan inovasi, serta berupaya mengatasi permasalahan ini (Agenda Riset Nasional, 2006-2009).

Guna mengatasi atau mengurangi tingkat pembajakan perangkat lunak ini, pemerintah kini sedang giat melakukan penegakan hukum (law enforcement) terutama Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang menyebutkan bahwa program komputer merupakan salah satu jenis ciptaan yang harus dilindungi kepemilikannya. Namun, perlu disadari bahwa penegakan hukum tentu saja tidak cukup untuk mengatasi masalah ini. Secara pro-aktif harus ada terobosan dalam menyediakan pilihan perangkat lunak yang lebih murah dan terjamin kualitasnya kepada masyarakat, agar masyarakat tidak melakukan pembajakan.

Salah satu bentuk perhatian khusus pemerintah terhadap pendayagunaan OSS adalah dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2001 tentang Pengembangan dan Pendayagunaan Telematika di Indonesia. Dalam kesepakatan World Summit on the Information Society (WSIS) di Geneva Desember 2003, pemerintah-pemerintah nasional juga diminta bekerjasama dengan pihak swasta dan pelaku di sektor publik untuk mempromosikan berbagai aspek dan bentuk OSS. Dalam konteks ini, Kementrian Negara Riset dan Teknologi (KNRT) mengajak seluruh komponen masyarakat TIK untuk melakukan langkah nyata dalam mendorong penggunaan perangkat lunak legal berlisensi maupun tanpa lisensi yang lebih dikenal dengan Open Source Software (OSS), melalui penandatanganan Deklarasi Bersama Gerakan Indonesia Go Open Source (IGOS), yang telah diselenggarakan tanggal 30 Juni 2004. Deklarasi Bersama ini ditandatangani secara bersama-sama oleh Menteri Riset dan Teknologi, Menteri Komunikasi dan Informasi, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia dan Menteri Pendidikan Nasional. Untuk mengetahui perkembangan pelaksanaan IGOS di Indonesia yang telah berlangsung selama empat tahun, penting untuk diketahui bagaimana implementasi OSS terutama di lembaga-lembaga pemerintah yang seharusnya mempunyai komitmen dan menjadi contoh penggunaan OSS dalam rangka implementasi program IGOS. Program ini diharapkan dapat meningkatkan penggunaan OSS. Setelah 4 tahun deklarasi IGOS, perlu diketahui implementasi OSS di lembaga pemerintah. Oleh karenanya, diperlukan adanya studi evaluatif program IGOS dalam pengimplementasian open source di lembaga pemerintah.

Page 11: Studi igos 2008

4

1.2 Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana implementasi program IGOS di lembaga pemerintah? 2. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penggerak dan penghambat

implementasi program IGOS di lembaga pemerintah?

1.3 Tujuan

1. Mengevaluasi implementasi OSS di lembaga pemerintah 2. Mengidentifikasi faktor penggerak dan penghambat implementasi

OSS

1.4 Sasaran

1. Tersedianya gambaran mengenai implementasi OSS di lembaga pemerintah

2. Tersedianya gambaran faktor penggerak dan penghambat implementasi OSS

Page 12: Studi igos 2008

5

2. BAB II

METODOLOGI PENELITIAN

2.1 Kerangka Analisis

Menurut Open Source Initiative (OSI) yang dijabarkan dalam The Open Source Definition, definisi open source harus memenuhi kriteria sebagai berikut (Indrayanto, 2007): 1. Pendistribusian ulang secara bebas. 2. Source code dari perangkat lunak harus disertakan atau disimpan di

tempat yang dapat diakses setiap orang. 3. Hasil modifikasi source code atau turunan dari program yang

menggunakan lisensi open source, dapat didistribusikan menggunakan lisensi yang sama seperti program asalnya.

4. Untuk menjaga integritas source code milik pembuat perangkat lunak, lisensi yang digunakan pada program dapat melarang pendistribusian source code yang telah dimodifikasi, kecuali lisensi itu mengijinkan pendistribusian patch files (potongan file program) yang bertujuan memodifikasi program tersebut dengan disertakan source code dari program asal. Lisensi itu secara eksplisit harus memperbolehkan pendistribusian perangkat lunak yang dibuat dari source code yang telah dimodifikasi.

5. Lisensi pada open source tidak boleh menciptakan diskriminasi terhadap pihak lain baik secara individu atau kelompok.

6. Tidak boleh membatasi seseorang terhadap pemanfaatan open source dalam suatu bidang tertentu.

7. Hak-hak yang dicantumkan pada program tersebut harus dapat diterapkan pada semua yang menerima tanpa perlu dikeluarkannya lisensi tambahan oleh pihak-pihak tersebut.

8. Lisensi tersebut tidak diperbolehkan bersifat spesifik terhadap suatu produk.

9. Lisensi tersebut tidak diperbolehkan membatasi perangkat lunak lain. Kendati demikian, ada satu hal yang perlu digarisbawahi: definisi

free disini bukan berarti gratis, namun free disini berarti bebas. Definisi bebas ini dijabarkan ke dalam lima aktivitas (Indrayanto, 2007), yaitu: 1. Kebebasan menjalankan program untuk keperluan apapun. 2. Kebebasan untuk mengakses source code program, sehingga dapat

mengetahui cara kerja program. 3. Kebebasan untuk mengedarkan program. 4. Kebebasan untuk memperbaiki program. 5. Kebebasan untuk memperdagangkan (menjual) program baik secara

langsung maupun tidak langsung. Selain definisi di atas, terdapat beberapa definisi serupa, seperti

yang dikemukakan Weissman (2003) yang mendefinisikan OSS sebagai software yang source code-nya tersedia bagi publik atau sifatnya terbuka. OSS biasanya dikembangkan oleh programmer-programmer pada sebuah online community dari seluruh dunia. OSS berbeda dengan proprietary software yang tidak dimiliki oleh siapapun, tidak memerlukan

Page 13: Studi igos 2008

6

biaya untuk menggunakannya, dan dapat didistribusikan ulang kepada siapapun.

Penggunaan OSS dapat memberikan bermacam-macam manfaat. Secara teknis, administratif, dan politis, OSS dapat memberikan manfaat seperti (NCOSPR, 2005): • Eliminasi virtual terhadap “vendor lock-in”

• Promosi terhadap interoperability dan open standards, • Peningkatan keamanan • Pengurangan acquisition expense, • Product life cycle yang lebih lama • Peningkatan program manageability, • Fleksibilitas dalam pemilihan service providers.

Organisasi non-profit biasanya menggunakan OSS untuk 4 alasan (Weissman, 2003): 1. Biaya yang lebih rendah 2. Lisensi yang bebas 3. Community based technical support and development 4. Kesesuaian dengan misi dan nilai-nilai organisasi

OSS memiliki 5 area implementasi (MAMPU, 2006), yakni yang

terkait dengan Operating System, Network Security, Dekstop Applications, Server Applications, dan Vertical Applications (Gambar 2.1).

Operating System

Linux

BSD

Network Security

Firewall

Network

Intrusion Detection System (IDS)

Virtual Private Network (VPN)

Anti-virus Anti-spam

Dekstop Applications

Office Productivity Suite

Project Management

Mail Client

Web Browser

Multimedia Player

Dekstop Environment

Educational Software

Server Applications

Mail Transfer Agent (MTA)

Mail Access Agent

Groupware

Web Server

Remote Login Server

Database Server

Proxy Server

File & Printer Server

Backup Server/Tool

Vertical Applications

Knowledge Management (KM)

Content Management System (CMS)

Document Management System (DMS)

Workflow System

Gambar 2.1 Area Implementasi OSS

Dalam implementasi OSS, seringkali ditemui berbagai hambatan.

Hambatan adopsi OSS diantaranya adalah karena orang-orang kurang mengetahui keberadaannya. Organisasi non-profit biasanya tidak dapat memperoleh staff teknis yang bersifat full-time. Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa mereka tidak tergabung dalam jaringan pengguna open source. Hambatan lain adalah organisasi non-profit tidak berpikir

Page 14: Studi igos 2008

7

strategis mengenai teknologi yang dipakai di awal penerapan. Pada umumnya, diskusi mengenai total biaya kepemilikan, lisensi dan kebebasan melakukan upgrade, dll tidak pernah muncul pada saat melakukan perencanaan. Hambatan ketiga, beberapa produk open source seperti Linux biasanya membutuhkan pembelajaran dan edukasi mengenai suatu hal yang baru dan kondisi transisi biasanya tidak berlangsung dengan mudah.

Faktor penentu implementasi OSS dapat terkait dengan faktor pada area teknologi, manusia, kebijakan dan prosedur, serta organisasi (MAMPU, 2006).

TEKNOLOGI

MANUSIA

KEBIJAKAN

DAN

PROSEDUR

ORGANISASI

IMPLEMENTASI

OSS

Gambar 2.2 Hambatan Implementasi OSS

1. Teknologi

Teknologi merupakan salah satu aspek penting dalam implementasi OSS. Teknologi OSS yang digunakan di sektor publik seharusnya memenuhi standard dunia. Teknologi yang ada harus mampu mendukung pihak lain untuk terus memberikan dukungan. Implementasi teknologi OSS juga harus didasarkan atas rencana implementasi. Implementasi harus meningkatkan knowledge yang ada, dengan dampak minimal terhadap aktivitas harian yang ada di organisasi. Hambatan dalam implementasi OSS pada area teknologi dapat bersumber dari beberapa hal antara lain persepsi terhadap keamanan dan autentifikasi OSS, ketergantungan terhadap aplikasi dari perusahaan TI yang bersifat proprietary, keterbatasan atau ketiadaan dari OSS yang tersedia, serta interoperability dan incompatibility dari format data dan file yang ada.

2. SDM Sumber daya manusia juga dapat menjadi salah satu factor penghambat dalam implemetasi OSS. Hambatan yang muncul dapat berupa resistansi untuk berubah diantara pemakai, kurangnya in-house personel yang ahli dalam OSS, keterbatasan dukungan teknis eksternal, dan kurang aktifnya komunitas OSS dalam organisasi.

3. Kebijakan dan prosedur Hambatan implementasi OSS dapat bersumber dari aspek kebijakan dan prosedur. Hambatan tersumber pada umumnya berupa kurangnya

Page 15: Studi igos 2008

8

OSS proponents serta kurangnya pemahaman konsep intellectual property, copyright, paten dan trademarks.

4. Organisasi Beberapa hal yang menjadi penghambat impelementasi OSS dilihat dari aspek organisasi biasanya bersumber dari kurangnya awareness, pemahaman dan kepercayaan terhadap inisiatif open source, mindset dan penerimaan budaya terhadap OSS, serta hambatan yang terkait dengan personel TI internal dan komunitas OSS, serta kurang optimalnya kolaborasi antar organisasi untuk melakukan knowledge sharing.

Pemerintah memiliki peran kunci dalam mendorong implementasi

OSS. Dengan mengenali potensi manfaat dari OSS terutama bagi lembaga pemerintah, pemerintah dapat berkontribusi dan mengambil manfaat terutama dalam memperkenalkan kebijakan dan undang-undang yang tepat yang dapat memaksimalkan keuntungan yang dapat diperoleh. Tindakan yang dapat diambil pemerintah terkait dengan tahapan dalam strategi yang diterapkan dapat berupa (GITOC, 2003): 1. Neutral approach yang bersifat dasar, yang memastikan bahwa pilihan

yang diambil akan didukung dan perbedaan yang menentang OSS dihilangkan. o Mengadopsi kebijakan untuk memastikan bahwa OSS

dipertimbangkan secara hati-hati dalam proses IT procurement. o Mengimplementasikan kriteria untuk mengevaluasi produk-produk

open source, dan prosedur untuk mengadopsi dan mengelola open standards

o Mengizinkan software untuk bersaing pada basis yang seimbang dengan alternatif yang bersifat proprietary.

o Mendukung komunikasi untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan pemahaman mengenai OSS

2. Enabling approach, dimana kebijakan digerakkan melalui pencitaan kapasitas untuk mengimplementasikan dan mengelolanya o Mengembangkan kemampuan untuk memberikan arahan dalam

memilih dan mengimplementasikan OSS o Mendorong pendidikan dan pelatihan dalam produk OSS o Mendukung kemitraan dan komunitas pengembang OSS

3. Aggressive approach, dimana pemerintah secara aktif mendorong pembangunan OSS dengan kondisi yang tepat melalui undang-undang dan kebijakan o Keterlibatan aktif dari pemerintah dalam mendukung komunitas

pengembang OSS dan proyek pengembangannya o Mengadopsi strategi untuk meningkatkan komitmen terhadap

produk-produk OS o Audit reguler terhadap dampak OSS o Partisipasi aktif dalam program-program yang dapat meminimalkan

resiko terkait dengan OSS o Standarisasi OSS dimana analisis menunjukkan bahwa hal tersebut

merupakan alternatif terbaik

Page 16: Studi igos 2008

9

Persyaratan implementasi OSS di institusi pemerintah harus memenuhi aspek-aspek yang ada dalam model VCS (Gambar 2.3).

Gambar 2.3 Model VCS

Sumber: Moore Mark H (1995)

Faktor penentu kesuksesan implementasi OSS dapat

dikelompokkan menjadi 3 seperti ditunjukkan oleh model VCS. Pertama, implementasi harus menghasilkan value; kedua, kapasitas untuk melakukan implementasi dan mengelola harus cukup; dan ketiga, sufficient support untuk inisiatif yang dilakukan harus diberikan oleh semua key players. Sebelum dilakukan implementasi, perlu dilihat bahwa OSS akan memberikan additional value, dimana terdapat necessary capacity, dan tersedia sufficient support untuk memastikan bahwa program yang akan dilakukan tidak akan gagal, misalnya karena sumber daya tidak tersedia, output tidak digunakan, atau kurangnya perlindungan terhadap ancaman yang muncul.

Pertimbangan keputusan kebijakan pemerintah terkait dengan OSS tergolong kompleks dan terkadang saling terkait satu dengan lainnya. Pertimbangan-pertimbangan kebijakan yang diambil (An Lee, 2006) menyangkut: 1. Pertimbangan Ekonomi

Kebijakan pemerintah harus mempertimbangkan cost Savings, Switching Costs dan Network Effects, Subsidies for Research dan Underproduction of Public Goods, serta Market Competition dan Technology Neutrality

2. Pertimbangan teknis Sebagai tambahan dari pertimbangan ekonomi, salah satu pertimbangan dalam adopsi OSS adalah masalah teknis yang berpotensi muncul. Hal ini mencakup compatibility, security, usability, dan availability.

2.2 Metode Penelitian

2.2.1 Lingkup Penelitian

Evaluasi OSS di lembaga pemerintah dalam penelitian ini dilakukan terhadap area implementasi OSS (Gambar 1) yang meliputi

Page 17: Studi igos 2008

10

Operating System, Network Security, Dekstop Applications, Server Application, dan Vertical Application. Dengan evaluasi tersebut dapat diketahui tingkat implementasi OSS di lembaga pemerintah. Evaluasi juga dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor penghambat implementasi OSS. Identifikasi faktor-faktor penghambat tersebut dilakukan dengan menilai aspek teknologi, manusia, kebijakan dan prosedur, serta organisasi (Gambar 2).

Lembaga pemerintah yang menjadi objek studi meliputi 5 kementrian seVbagai deklarator program IGOS, yakni Kementrian Riset dan Teknologi, Departemen Komunikasi dan Informatika, Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara, Departemen Kehakiman dan HAM, serta Departemen Pendidikan Nasional. Selain itu, evaluasi juga dilakukan di lembaga pemerintah departemen dan non-departemen, serta pemda di sepuluh lokasi yaitu: Banda Aceh, Medan, Padang, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Makasar, Manado, Papua dan Kupang. Responden penelitian terdiri dari pihak pimpinan instansi, manager TI dan pengguna (user).

2.2.2 Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap seperti diperlihatkan pada Gambar 2.4. Penelitian diawali dengan melakukan identifikasi terhadap kebijakan-kebijakan yang terkait dengan implementasi OSS. Kemudian penelitian dilanjutkan dengan melakukan evaluasi terhadap implementasi OSS di lembaga pemerintah. Hasil dari kedua tahap tersebut menjadi dasar dalam penyusunan alternatif kebijakan implementasi OSS di lembaga pemerintah. 1. Identifikasi Kebijakan OSS

Tahap identifikasi kebijakan-kebijakan OSS ditujukan untuk mengetahui kebijakan-kebijakan OSS yang telah ada selama ini. Aspek-aspek yang ditinjau dalam identifikasi kebijakan adalah tujuan kebijakan, program-program atau kegiatan yang tercantum dalam kebijakan dan target yang ingin dicapai dari kebijakan tersebut. Data-data pada tahap ini akan diperoleh melalui studi literatur terhadap dokumen-dokumen kebijakan OSS. Adapun output yang akan dihasilkan pada tahap ini adalah peta kebijakan OSS yang meliputi rencana pengembangan OSS dan gambaran kondisi OSS yang diharapkan.

2. Evaluasi Program OSS Setelah melakukan identifikasi kebijakan OSS maka tahap selanjutnya adalah melakukan evaluasi terhadap implementasi OSS yang terkait dengan kebijakan-kebijakan tersebut. Dua aspek penting yang akan dievaluasi pada tahap ini adalah area implementasi yang akan menggambarkan tingkat implementasi OSS dan faktor-faktor penggerak dan penghambat implementasi OSS di lembaga pemerintah. Tingkat implementasi OSS akan diidentifikasi melalui penilaian terhadap area implementasi OSS yang meliputi Operation System, Network Security, Dekstop Application, dan Server Application. Pengumpulan data pada tahap ini akan dilakukan melalui survei dengan menyebarkan kuesioner. Selanjutnya penelitian ini akan mengidentifikasi faktor-faktor yang akan menjadi penggerak dan penghambat impelementasi OSS di lembaga pemerintah. Identifikasi

Page 18: Studi igos 2008

11

akan dilakukan dengan menilai aspek teknologi, manusia, kebijakan dan prosedur, serta organisasi. Tahap ini akan menghasilkan peta tingkat implementasi OSS yang merupakan kondisi aktual dan faktor-faktor penggerak dan penggerak implementasi OSS.

3. Penyusunan Alternatif Kebijakan Implementasi Open Source di Lembaga Pemerintah. Alternatif Kebijakan Implementasi Open Source di lembaga pemerintah yang merupakan output akhir dari penelitian akan dihasilkan pada tahap akhir. Alternatif kebijakan akan disusun berdasarkan kesenjangan (gap) yang masih harus dicapai antara kondisi implementasi saat ini dengan target atau kondisi yang diharapkan. Penyusunan alternatif kebijakan akan dilakukan dengan mempertimbangkan faktor penggerak dan penghambat yang telah diidentifikasi pada tahap sebelumnya.

Gambar 2.4 Tahapan Penelitian

2.2.3 Metode Pengumpulan, Pengolahan, dan Analisis Data

Penelitian yang terdiri dari tiga tahap ini akan menggunakan data kuantitatif maupun kualitatif. Oleh sebab itu pengumpulan datanya pun akan dilakukan melalui studi literatur, survei dengan menggunakan kuesioner, wawancara mendalam, serta focus group discussion (FGD). Analisis terhadap data juga akan dilakukan dengan cara analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Metode yang digunakan dalam pengumpulan,

Page 19: Studi igos 2008

12

pengolahan, dan analisis data pada penelitian ini diperlihatkan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data

No Tahap Penelitian Pengumpulan Data Analisis Data Output

1 Identifikasi Kebijakan OSS

Studi Literatur

Analisis dokumen

Peta Kebijakan IGOS: Tujuan : Rencana

Pengembangan

2 Evaluasi Program OSS:

Tingkat implementasi

Faktor penggerak dan penghambat

Survei (kuesioner)

Wawancara

FGD

Analisis statistika deskriptif

Analisis kualitatif

Tingkat Implementasi OSS (kondisi aktual)

Peta Faktor Penggerak dan Penghambat Implementasi IGOS

3 Penyusunan Alternatif Kebijakan Implementasi Open Source di Lembaga Pemerintah

Hasil tahap 1 dan 2 Analisis kualitatif

Alternatif Kebijakan Implementasi Open Source di Lembaga Pemerintah

Survei implementasi OSS dilakukan dengan menyebarkan

kuesioner ke lembaga pemerintah yang ada di DKI Jakarta, Makasar, DIY, Kupang, Aceh, Papua, Medan, Padang, dan Surabaya. Kuesioner memuat pertanyaan terbuka dan tertutup. Beberapa pertanyaan yang ditujukan untuk mengidentifikasi faktor penggerak dan penghambat implementasi OSS dinilai dengan skala Likert 1-4 (Lampiran 1-3). Responden pengisi kuesioner meliputi pimpinan instansi, manager TI dan pengguna level pengguna pada lembaga-lembaga pemerintah terkait. Evaluasi implementasi OSS akan dinilai berdasarkan level keberhasilannya yang terdiri dari empat kategori yaitu sangat berhasil, berhasil, kurang, gagal. Level tersebut dinilai berdasarkan total nilai pada area implementasi OSS (tingkat desktop, server, network application, dan vertical application). Variabel dan indikator penelitian diperlihatkan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Variabel Penelitian

KATEGORI PIMPINAN MANAGER/PENGELOLA TI USER

TEKNOLOGI Keberadaan rencana implementasi teknologi OSS (visi dan strategi)

Keberadaan rencana pengembangan (investasi/alokasi dana) teknologi OSS

Kompatibilitas dengan system yang sudah ada

Kesulitan dalam implementasi (install, dll)

Kemudahan memperoleh aplikasi

Area implementasi OSS (komparasi dengan proprietary software)

Kompatibilitas dengan system yang sudah ada

Kesulitan dalam implementasi (install, dll)

Kemudahan memperoleh aplikasi

Kebutuhan akan pengetahuan yang lebih tinggi

Interoperabilitas/kompatib

Kompatibilitas dengan closed source software

Page 20: Studi igos 2008

13

KATEGORI PIMPINAN MANAGER/PENGELOLA TI USER

Kebutuhan akan pengetahuan yang lebih tinggi

ilitas (Permasalahan pada format data dan file akibat perubahan software, dll)

ORGANISASI Pemahaman terhadap konsep dan manfaat OSS dan IGOS

Kesadaran terhadap pentingnya OSS

Keberadaan kerjasama dengan organisasi lain

Pemahaman terhadap konsep dan manfaat OSS

Dukungan pimpinan untuk migrasi

Keberadaan alokasi dana untuk implementasi OSS

Persepsi mengenai kemudahan penggunaan OSS

MANUSIA - Kemampuan implementasi (Kemampuan menginstall, menggunakan, merawat)

Kemudahan memperoleh bantuan eksternal

Keaktifan dalam komunitas

Keinginan beralih ke OSS

Kemudahaan memperoleh bantuan teknis

KEBIJAKAN & PROSEDUR

Pemahaman konsep intellectual property, copyright, paten dan trademarks.

Keberadaan kebijakan dan prosedur implementasi OSS

Keberadaan rencana dan alasan migrasi ke OSS

Tahapan migrasi ke OSS

Keberadaan kebijakan pengadaan OSS

Program pendukung : training, bantuan eksternal, maintenance

Keberadaan diseminasi informasi dan sosialisasi program

Keberadaan rencana dan alasan migrasi ke OSS

Tahapan migrasi ke OSS

Keberadaan kebijakan dan prosedur implementasi OSS

Keharusan melakukan migrasi

Keberadaan diseminasi informasi dan sosialisasi program

Keberadaan dan keikutsertaan dalam pelatihan OSS

Keikutsertaan pelatihan OSS dan manfaatnya

Keikutsertaan dalam sosialisasi IGOS/OSS (media dan manfaat)

Dalam penelitian ini faktor penggerak dan penghambat adopsi TI ditentukan berdasarkan hasil survei yang mewajibkan responden untuk mengisi pernyataan-pernyataan yang merupakan variabel-variabel faktor penggerak dan penghambat implementasi OSS (Tabel 2.2). Adapun jawaban yang diberikan berupa skala likert yang bernilai 1 (salah) sampai dengan 4 (betul). Nilai menunjukkan tingkat kebenaran pernyataan dengan kondisi perusahaan saat ini dan bukan kondisi yang seharusnya terjadi. Setelah jawaban semua responden direkapitulasi, langkah selanjutnya adalah jumlah jawaban 1 dikalikan dengan -2, jawaban 2 dikalikan dengan -1, jawaban 3 dengan 1, dan jawaban 4 dengan 2. Kemudian dilakukan perhitungan rata-rata untuk setiap variabel-variabel tersebut. Kemudian rata-rata tiap variabel dibandingkan dengan rata-rata keseluruhan variabel. Suatu variabel akan dinyatakan sebagai faktor

Page 21: Studi igos 2008

14

penggerak jika rata-ratanya lebih besar dari rata-rata keselurahan dan sebagai faktor penghambat jika rata-ratanya lebih kecil dari rata-rata keseluruhan. Penjelasan mengenai faktor penggerak dan faktor penghambat implementasi OSS akan diperkuat dengan hasil wawancara mendalam dan FGD.

Page 22: Studi igos 2008

15

3. BAB III EVALUASI PENGARUH IGOS DALAM IMPLEMENTASI OSS DI

LEMBAGA PEMERINTAH

3.1 Kebijakan IGOS di Lembaga Pemerintah

IGOS merupakan salah satu upaya nasional dalam rangka memperkuat sistem teknologi informasi nasional serta untuk memanfaatkan perkembangan teknologi informasi global melalui pengembangan dan pemanfaatan OSS (KNRT, 2004). Kebijakan pemerintah yang dapat dijadikan acuan dalam menggagas program IGOS antara lain adalah Inpres No. 6 tahun 2001 tentang pengembangan dan pendayagunaan telematika di Indonesia. Kebijakan ini isinya berkaitan dengan kerangka kebijakan dan strategi pengembangan teknologi informasi serta arahan pelaksanaannya. Disini strategi pengembangan telematika dari informasi dan pengembangan berbagai aplikasi yang diperlukan oleh masyarakat yang mendayagunakan perangkat lunak OS mendapat perhatian khusus.

KNRT sebagai salah satu lembaga yang berperan dalam implementasi OSS di Indonesia telah merumuskan kebijakan Indonesia Go Open Source (IGOS). Tujuan utama kebijakan IGOS (Aritenang, 2004) adalah: pertama, memperkecil kesenjangan TIK di antara Indonesia dan negara-negara berindustri maju dengan pengembangan perangkat lunak; kedua, mengakselerasi program-program pemerintah di bidang TIK berskala nasional yang mempunyai dampak politis, ekonomis, sosial, pendidikan, dan hankamnas; ketiga, melindungi HKI di bidang TIK. Sejumlah kegiatan strategis dalam kerangka pengembangan aplikasi OSS adalah, antara lain : (i) Pengembangan perangkat lunak berbasis Open IT Standard; (ii) Rebranding software RI berbasis OSS; dan (iii) pengembangan Tsunami Early Warning System (TEWS). Selain itu juga terdapat Sistem Insentif IGOS (Kadiman, 2006 - file artikel-e-indonesia). Insentif ini diperlukan untuk mendorong pengembangan dan pemanfaatan open source software (OSS), baik di kalangan pemerintahan, perguruan tinggi, maupun para pelaku bisnis. Insentif ini juga diselaraskan dengan kebijakan pengembangan e-government, yang landasan peraturannya diberikan pada Lampiran Instruksi Presiden RI Nomor 3 Tahun 2003, tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government.

Kebijakan lainnya adalah Peraturan Presiden No.7, Tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009, adanya program peningkatan penggunaan open source system ke seluruh institusi pemerintah dan lapisan masyarakat, serta Surat Edaran Menkominfo no. 05/SE/M.Kominfo/10/2005 tentang pemakaian dan pemanfaatan penggunaan piranti lunak legal di lingkungan instansi pemerintah. Kebijakan lain yang berkaitan dengan IGOS adalah UU no. 19 tahun 2002 mengenai hak cipta.

Di Indonesia juga telah berkembang kegiatan-kegiatan yang mengarah pada pengembangan OSS, yang ditandai dengan munculnya

Page 23: Studi igos 2008

16

komunitas-komunitas open source, kegiatan pengembangan berbagai aplikasi berbasis open source, pelatihan-pelatihan dan sebagainya.

Rencana kegiatan IGOS terdiri atas tiga tahap (KNRT, 2004), yakni: 1. Tahap sosialisasi

Terlaksananya sosialisasi penggunaan perangkat lunak OS di lingkungan instansi pemerintah pusat dan daerah, swasta, masyarakat secara bertahap, antara lain dilakukan: a. seminar, workshop dan pameran b. diskusi interaktif di media TV, radio c. media cetak (pers release, tulisan lain) d. website (http://www.igos.web.id dan www.igos.or.id) e. kegiatan IT week daerah f. reference book IGOS g. IGOS award h. CD-ROM dan brosur/leaflet IGOS

2. Tahap kebijakan, dengan adanya: a. SKB Menteri tentang penggunaan OSS di lingkungan Instansi

pemerntahan b. Panduan (guidelines) penggunaan, pemanfaatan dan

pengembangan OSS di Indonesia c. Panduan migrasi penggunaan dan pemanfaatan OSS

3. Tahap Implementasi Terlaksananya kegiatan implementasi guna mendukung program IGOS secara bertahap dan berkesinambungan, antara lain: a. Penerapan sistem OS di instansi pemerintah b. Pengembangan piranti lunak c. Program insentif dan kaitan dengan insentif yang ada (warintek,

BTC, HKI) d. Pusat pendidikan/pelatihan OS. e. Pusat inkubator bisnis OS f. Penghargaan pengembangan OSS. g. Penguatan support group

Hingga saat ini, program IGOS telah mencapai tahap implementasi. Saat ini instansi-instansi pemerintah sudah memulai menggunakan TI dengan sistem OS dan mengembangkan piranti lunak yang berbasis piranti lunak. Guna mengetahui keberhasilan program IGOS, maka diperlukan adanya evaluasi terhadap implementasi OSS di lembaga pemerintah. Melalui evaluasi tersebut dapat diketahui tingkat implementasi OSS yang telah dicapai oleh instansi-instansi pemerintah.

3.2 Implementasi OSS di Lembaga Pemerintah

Guna mengidentifikasi implementasi OSS dan faktor-faktor yang menjadi penggerak dan penghambatnya, penelitian ini telah melakukan survei dengan mendatangi langsung responden yang berada di sembilan kota di Indonesia yaitu Jakarta, Makasar, Yogyakarta, Kupang, Aceh, Papua, Medan, Padang, Surabaya. Kuesioner disebarkan ke lima kementerian deklarator IGOS (Depkominfo, Depdiknas, Depkumham, KNRT, dan Menpan) dan beberapa instansi pemerintah (Balitbangda,

Page 24: Studi igos 2008

17

Perguruan Tinggi Negeri, Pemerintah Daerah, dll). Kuesioner ditujukan kepada tiga pihak yang terkait dengan implementasi OSS di lembaga pemerintah yaitu pimpinan instansi, manager/staff TI dan pengguna pada level desktop.

Dari seluruh kuesioner yang disebarkan di sembilan wilayah tersebut, kuesioner yang kembali sebanyak 46 kuesioner dari pimpinan intansi, 93 kuesioner dari manager/staff TI, dan 233 kuesioner dari pengguna TI. Sedangkan sisanya tidak mengisi dan mengembalikan kuesioner dengan berbagai alasan. Rendahnya jumlah kuesioner yang kembali menyebabkan hasil penelitian tidak dapat menggambarkan tingkat implementasi OSS serta faktor penggerak dan penghambatnya secara umum. Hasil yang didapatkan hanya menggambarkan indikasi awal tentang tingkat implementasi OSS serta faktor penggerak dan penghambatnya.

Sebelum melakukan pengolahan data, terlebih dahulu dilakukan validasi terhadap kuesioner yang kembali. Hasil validasi menunjukkan bahwa terdapat beberapa kuesioner tidak valid yang dikarenakan responden tidak berasal dari instansi pemerintah, jawaban tidak lengkap, dan asalan-alasan lainnya. Kuesioner yang valid dan dapat digunakan pada penelitian ini sebanyak 39 kuesioner dari pimpinan instansi, 86 kuesioner dari manager/staff TI, dan 221 kuesioner dari pengguna TI. Jumlah responden pada setiap wilayah objek penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3.1 Jumlah Responden

PIMPINAN INSTANSI

MANAGER/STAFF TI

PENGGUNA TI

JAKARTA 4 7 21

MAKASSAR 4 9 21

DIY 4 9 23

KUPANG 5 10 24

ACEH 4 6 23

PAPUA 4 9 16

MEDAN 4 8 23

PADANG 1 10 24

SURABAYA 5 10 25

MANADO 4 8 21 JUMLAH 39 86 221

Implementasi sistem OSS di lembaga pemerintah salah satunya

didorong oleh pengetahuan dan pemahaman pimpinan intansi mengenai program IGOS. Pengetahuan dan pemahaman pimpinan tersebut akan cenderung mendorong lembaga tersebut untuk mengimplementasikan. Oleh sebab itu menjadi hal yang penting untuk mengetahui sejauh mana pimpinan intansi di lembaga pemerintah Indonesia memahami tentang adanya program IGOS. Hasil survey yang telah dilakukan menunjukkan bahwa sebagian besar (85%) pimpinan instansi di lembaga pemerintah telah mengetahui program IGOS (Gambar 3.1). Sebagian besar dari mereka mengetahui program IGOS dari informasi-informasi yang ada di

Page 25: Studi igos 2008

18

internet (Gambar 3.2). Selain berasal dari internet, pimpinan instansi juga mendapatkan informasi program IGOS dari sumber lainnya yang tidak disebutkan dalam pilihan kuesioner, seperti informasi dari teman, media masa, pelatihan, pertemuan formal, dll. Sumber informasi program IGOS yang menduduki peringkat selanjutnya adalah seminar dan surat edaran. Hal lain yang menarik adalah tidak ada satu pun pimpinan instansi yang mengetahui mengenai program IGOS melalui pamflet-pamflet. Kondisi ini menunjukkan bahwa sosialisasi program IGOS belum dilakukan secara maksimal dan kurang efisien karena sebagian besar dari mereka mengetahui program IGOS secara informal melalui media internet. Hanya sedikit dari pimpinan instansi yang mengetahui program IGOS dari media formal seperti surat edaran dan seminar. Padahal dalam dokumen rencana kegiatan IGOS (KNRT, 2004), tahap sosialisasi dilakukan melalui media-media sebagai berikut: 1. seminar, workshop dan pameran 2. diskusi interaktif di media TV, radio 3. media cetak (pers release, tulisan lain) 4. website (http://www.igos.web.id dan www.igos.or.id) 5. kegiatan IT week daerah 6. reference book IGOS 7. IGOS award 8. CD-ROM dan brosur/leaflet IGOS

85%

15%

MENGETAHUI

TIDAK MENGETAHUI

Gambar 3.1 Pengetahuan Pimpinan Instansi tentang Program IGOS

Page 26: Studi igos 2008

19

22.86%

5.71%

0.00%

28.57%

22.86%

14.29%

0.00% 5.00% 10.00% 15.00% 20.00% 25.00% 30.00%

Seminar

Surat Edaran

Pamflet

Internet

Lainnya

N/A

Gambar 3.2 Sumber Informasi Pimpinan Mengenai Program IGOS

Fakta ini juga didukung oleh hasil survey dari pihak pengguna TI di

level desktop. Survey menunjukkan bahwa sebagian besar pengguna TI sebagai pegawai juga mengetahui adanya program IGOS (Gambar 3.3). Lebih dari separuh responden yaitu sebesar 65% mengetahui tentang program IGOS, sedangkan sisanya 35% tidak mengetahui adanya program IGOS. Seperti halnya pimpinan instansi, sebagian besar pengguna pada level desktop mengetahui program IGOS dari informasi-informasi yang ada di internet (Gambar 3.4). Hanya 9% responden yang mengetahuinya dari seminar dan 2% yang mengetahui dari pamflet. Hal ini menunjukkan bahwa media yang efektif sebagai sumber informasi mengenai IGOS adalah internet. Hal ini mengindikasikan bahwa media sosialisasi yang telah direncanakan dalam IGOS dalam rangka implementasi OSS kurang maksimal pemanfaatannya. Hal ini mengakibatkan rendahnya pengetahuan pada level pengguna.

65%

35%Mengetahui

Tidak

Mengetahui

Gambar 3.3 Pengetahuan Pengguna TI tentang Program IGOS

Page 27: Studi igos 2008

20

9.00%

7.50%

2.00%

33.50%

8.00%

34.50%

0.00% 5.00% 10.00% 15.00% 20.00% 25.00% 30.00% 35.00%

Seminar

Surat Edaran

Pamflet

Internet

Lainnya

N/A

Gambar 3.4 Sumber Informasi Pengguna Mengenai Program IGOS

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengetahuan pimpinan tentang program IGOS akan mempengaruhi rencana dan implementasi OSS di lembaga pemerintah. Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa lebih dari separuh lembaga pemerintah yang disurvei telah menggunakan sistem OSS (Gambar 3.5). Sedangkan 36% persen yang belum menggunakan OSS, saat ini sedang berencana untuk menggunakan OSS di masa yang akan datang, dan tidak ada lembaga pemerintah yang belum menggunakan OSS dan tidak berencana menggunakan OSS. Kondisi ini mengindikasikan arah yang positif dari keberhasilan program IGOS di masa datang karena lembaga-lembaga pemerintah yang belum menggunakan OSS saat ini telah mempunyai rencana untuk implementasi OSS di masa depan.

64%

28%

0% 8%

Sudah

MenggunakanBelum Menggunakan

Tetapi Berencana

Menggunakan

Tidak MenjawabBelum Menggunakan dan Tidak

Berencana Menggunakan

Gambar 3.5 Penggunaan OSS di Lembaga Pemerintah

Guna mengetahui lebih lanjut dan lebih mendalam dari implementasi OSS, maka dilakukan analisis pada level desktop. Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar (44%) lembaga pemerintah yang disurvei memiliki komputer sebanyak 6 hingga 20 buah (Gambar

Page 28: Studi igos 2008

21

3.6). Hanya 19% persen yang memiliki komputer sebanyak 20 hingga 50 buah, dan 22% persen yang memiliki jumlah komputer yang lebih besar dari 50. Sedangkan sisanya sebesar 15% hanya memiliki komputer kurang dari 5 buah.

15%

44%

19%

22%

<5

6-20

20-50

>50

Gambar 3.6 Jumlah Komputer yang Dimiliki Lembaga Pemerintah

Hasil survey menunjukkan bahwa sebagian besar komputer yang dimiliki lembaga pemerintah hanya menggunakan sistem proprietary. 54% lembaga pemerintah yang disurvei hampir 100% komputernya menggunakan sistem proprietary (Gambar 3.7). Hal ini menunjukkan masih tingginya penggunaan sistem proprietary di komputer-komputer milik lembaga pemerintah. Sayangnya, tingginya penggunaan sistem proprietary tidak didukung dengan penggunaan sistem operasi yang legal. Hasil survey telah menunjukkan bahwa sistem operasi proprietary yang digunakan di lembaga-lembaga pemerintah sebagiannya masih menggunakan bajakan. Gambar 3.8 menunjukkan bahwa sebagian besar (55%) mengakui bahwa sistem operasi proprietary yang digunakan di instansinya sebagian berasal dari membeli lisensi sedangkan sebagiannya berasal dari membeli atau pun meng-copy bajakan. Hal ini menunjukkan masih tingginya penggunaan software bajakan yang dipakai di instansi pemerintah, serta menunjukkan tidak tercapainya salah satu dari tujuan-tujuan utama program IGOS, yakni terkait dengan perlindungan HKI.

Page 29: Studi igos 2008

22

7%6%

7%

26%

54%

0-10%11% - 40%

41% - 60%

61% - 90%

91% - 100%

Gambar 3.7 Persentase Komputer dengan Sistem Proprietary

6%

28%

9%

55%

2%

Seluruhnya Beli dengan

Lisensi Individu

Seluruhnya Beli dengan

Lisensi Corporate

Seluruhnya Beli

atau Copy

Bajakan

Sebagian Beli Lisensi

dan Sebagian Beli/Copy

Bajakan

Tidak Menjawab

Gambar 3.8 Cara Memperoleh Sistem Operasi Proprietary

Masih rendahnya penggunaan sistem OSS di komputer milik

lembaga pemerintah juga didukung dari data lainnya yang diperlihatkan oleh Gambar 3.9 dan 3.10. Hasil survey menunjukkan bahwa komputer milik lembaga pemerintah yang hanya menggunakan sistem OS atau pun dual boot hanya berkisar 0 hingga 10% dari seluruh jumlah komputer yang dimiliki. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh masih rendahnya jumlah staff TI dan pegawai yang mengerti dan ahli dalam bidang OSS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (52%) lembaga pemerintah yang disurvei memiliki staff TI sebanyak 3 hingga 10 orang (Gambar 3.11), dan dari jumlah yang tergolong sedikit tersebut yang ahli dalam bidang OSS kurang dari 3 orang (Gambar 3.12). Masih minimnya jumlah pegawai lembaga pemerintah yang paham dan ahli dalam OSS menjadi hambatan tersendiri bagi lembaga tersebut untuk implementasi OSS. Meskipun suatu lembaga sudah menyadari pentingnya implementasi OSS dan sudah mempunyai rencana untuk

Page 30: Studi igos 2008

23

mengimplementasikannya, namun hal tersebut akan sulit menjadi kenyataan bila lembaga tersebut tidak mempunyai sumber daya manusia yang cukup baik dalam kuantitas maupun kualitasnya.

80%

9%

3%6% 2%

0-10%

11%-40%

41%-60% 61%-90% 91%-100%

Gambar 3.9 Persentase Komputer dengan Sistem Open Source

81%

10%

6%

0%2%

1%

0-10%

11%-40%

41%-60%

61%-90%91%-100%

Tidak

Menjawab

Gambar 3.10 Persentase Komputer dengan Dual Boot

Page 31: Studi igos 2008

24

24%

52%

17%

7% <3

3-10

11-20>20

Gambar 3.11 Jumlah Staff TI

81%

13%

2% 2% 2%

< 3

3-10

11-20 >20 Tidak Menjawab

Gambar 3.12 Jumlah Pegawai yang Mampu Mengoperasikan OSS

Guna mengidentifikasi tingkat implementasi OSS di lembaga pemerintah, selanjutnya dilakukan analisis terhadap area implementasi OSS yang terdiri dari Desktop Applications, Server Application, Network Security, dan Vertical Applications. Dalam analisis, tingkat implemetasi dibagi ke dalam empat level yaitu persentasi penggunaan antara 0 – 25% , 26% - 50% , 51% - 75%, >75%, dengan bobot masing-masing 1,2,3, dan 4. Kemudian, jumlah skor yang merupakan jumlah responden dikali dengan bobot, dibagi dengan nilai maksimal. Sehingga nilai implementasi akan berkisar antara 0.25 hingga 1. Semakin dekat nilai dengan 1, berarti nilai implementasi semakin baik. Kode area implementasi yang digunakan dalam analisis diperlihatkan pada Tabel 3.2.

Page 32: Studi igos 2008

25

Tabel 3.2 Kode Area Implementasi OSS

AREA IMPLEMENTASI KODE

DEKSTOP APPLICATION A

Operating System A1

Office A2

Project Management A3

Mail Client A4

Web Browser A5 SERVER APPLICATION B

Operating System B1

Web Server B2

Database Server B3

Proxy Server B4

Mail Transfer Agent (MTA) B5

Mail Access Agent B6 NETWORK SECURITY C

Firewall C1

Network Intrusion Detection System (IDS)

C2

Virtual Private Network (VPN) C3

Anti-virus C4

Anti-spam C5 VERTICAL APPLICATIONS D

Knowledge Management (KM) D1

Content Management System (CMS) D2

Enterprise Resource Planning (ERP) D3

Secara keseluruhan, nilai implentasi yang diperlihatkan Tabel 3.3

menunjukkan bahwa nilai implementasi OSS di seluruh area tidak mencapai angka separuhnya. Hal ini dapat dilihat dari semua area implementasi OSS di lembaga pemerintah yang disurvey bernilai tidak lebih dari 0.5. Nilai paling tinggi yaitu sebesar 0.17 berada pada area Server Applications. Hal ini mengimplikasikan bahwa OSS di lembaga pemerintah yang disurvei sebagian besar diimplementasikan di area Server Applications. Kemudian diikuti dengan implementasi di area Network Security, Vertical Applications, dan yang terendah adalah implementasi di area Desktop Applications. Walaupun demikian, tingkat implementasi ini tergolong masih rendah. Hal ini menunjukkan terbatasnya kemampuan manager/staff TI, yang juga akan mempengaruhi kemampuan user.

Tabel 3.3 Nilai Implementasi Seluruh Responden

Area Implementasi Index Implementasi OSS

Desktop Applications 0,07

Server Applications 0,17

Network Security 0,16

Vertical Applications 0,08

Analisis lebih lanjut yang diperlihatkan Tabel 3.4 menunjukkan

bahwa pada area server applications, OSS lebih banyak diimplementasikan pada Database Server dan yang paling rendah penggunaanya berada pada area Mail Access Agent. Pada area Desktop

Page 33: Studi igos 2008

26

Applications, OSS banyak digunakan pada Web Browser. Sedangkan pada area Network Security dan Vertical Applications, OSS lebih digunakan pada area Anti-Spam dan Content Management System (CMS).

Tabel 3.4 Nilai Implementasi OSS Seluruh Responden di Seluruh Area Implementasi

Perbandingan Implentasi OSS Antar Daerah

Guna mengidentifikasi tingkat implementasi OSS pada lembaga pemerintah di beberapa daerah objek penelitian, maka analisis selanjutnya adalah dengan melakukan perbandingan area implementasi OSS antar daerah. Gambar 16 menunjukkan bahwa hampir di seluruh wilayah objek penelitian, penggunaan OSS sebagian besar digunakan pada area Server Applications. Gambar tersebut juga menunjukkan bahwa hampir di semua area implementasi, lembaga-lembaga pemerintah di Jakarta mempunyai tingkat implementasi OSS yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Bahkan pada area Server Applications, nilai implementasi OSS daerah Jakarta mencapai angka yang cukup tinggi yaitu 0.64. selanjutnya diikuti oleh Yogyakarta yang nilainya mencapai 0.44 (Tabel 7). Yogyakarta merupakan daerah yang memiliki nilai implementasi nomor dua tertinggi setelah Jakarta. Sedangkan daerah yang tingkat implementasi OSS -nya cenderung paling rendah adalah Kupang. Dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya, ketiga daerah tersebut mempunyai nilai paling rendah hampir di semua area implementasi. Bahkan nilai implementasi OSS pada semua area di ketiga daerah tersebut tidak lebih dari 0.30. Hal tersebut

AREA IMPLEMENTASI KODE NILAI IMPLEMENTASI

DEKSTOP APPLICATIONS A

Operating System A1 0,04 Office A2 0,05 Project Management A3 0,02 Mail Client A4 0,07 Web Browser A5 0,17

SERVER APPLICATIONS B Operating System B1 0,15 Web Server B2 0,21 Database Server B3 0,23 Proxy Server B4 0,18 Mail Transfer Agent (MTA) B5 0,19 Mail Access Agent B6 0,08

NETWORK SECURITY C Firewall C1 0,17 Network Intrusion Detection System (IDS) C2 0,15 Virtual Private Network (VPN) C3 0,11 Anti-virus C4 0,16 Anti-spam C5 0,19

VERTICAL APPLICATIONS D Knowledge Management (KM) D1 0,05 Content Management System (CMS) D2 0,15 Enterprise Resource Planning (ERP) D3 0,03

Page 34: Studi igos 2008

27

mengindikasikannya masih sangat rendahnya penggunaan OSS di lembaga pemerintah daerah Kupang.

0.00

0.25

0.50

0.75

1.00

Desktop Applications

Server Applications

Network Security

Vertical Applications

TOTAL JKT

MKS DIY

KPG ACHPAP MDN

PDG SBY

MND

Gambar 3.13 Tingkat Implementasi OSS di Tiap Area Implementasi

Berdasarkan Daerah

Tabel 3.5 Tingkat Implementasi OSS di Lembaga Pemerintah (per daerah)

Desktop Applications

Server Applications

Network Security

Vertical Applications

TOTAL 0.07 0.17 0.16 0.08

JKT 0.30* 0.64* 0.40* 0.28

MKS 0.04 0.22 0.28 0.00

DIY 0.15 0.44 0.37 0.33*

KPG 0.09 0.00** 0.00** 0.00**

ACH 0.02 0.30 0.33 0.00

PAP 0.01 0.02 0.04 0.04

MDN 0.15 0.23 0.25 0.07

PDG 0.04 0.02 0.00 0.00

SBY 0.05 0.13 0.02 0.17

MND 0.00** 0.00** 0.00** 0.00** Keterangan:

* Nilai Tertinggi ** Nilai Terendah

Penilaian implementasi secara lengkap yang ditunjukkan pada Gambar 3.14 mempertegas bahwa hampir di seluruh area implementasi OSS lembaga-lembaga pemerintah Jakarta memiliki nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Sedangkan daerah

Page 35: Studi igos 2008

28

Kupang dan Manado memiliki nilai yang paling rendah hampir di seluruh area implementasi OSS.

0.00

0.25

0.50

0.75

1.00

A1

A2

A3

A4

A5

B1

B2

B3

B4

B5B6

C1

C2

C3

C4

C5

D1

D2

D3

TOTAL JKT

MKS DIY

KPG ACHPAP MDN

PDG SBY

MND

Gambar 3.14 Penilaian Tingkat Implementasi OSS per Daerah

Salah satu faktor yang menyebabkan ketimpangan tingkat implementasi OSS antara daerah Jakarta dengan daerah Kupang dan Manado adalah letak daerah Jakarta yang cenderung lebih dekat dengan akses informasi dan kebijakan. Deklarasi program IGOS juga dilakukan oleh lima kementerian yang berada di kantor pusat yaitu Jakarta. Sosialisasi mengenai program IGOS juga lebih banyak dan lebih efektif dilakukan di daerah-daerah yang terdekat dengan pusat pemerintah.

Perbandingan Implementasi OSS Antar Instansi

Perbandingan tingkat implementasi OSS antar instansi dilakukan terhadap instansi-instansi yang menjadi deklarator program IGOS yaitu Depkominfo, Depdiknas, KNRT, Depkumham, dan Menpan. Hasil survei yang diperlihatkan Gambar 3.15 menunjukkan bahwa instansi yang memiliki tingkat implementasi OSS paling tinggi adalah KNRT (Gambar 3.15 dan 3.16). Bahkan pada area Server Applications, nilai implementasi KNRT mencapai nilai penuh yaitu 1.00 (Gambar 3.15 dan Tabel 3.6). Nilai implementasi OSS KNRT di seluruh area implementasi mencapai angka yang lebih dari 0.5, pada area Desktop Applications 0.80, kemudian 0.60 pada area Network Security, dan nilai paling rendah berada pada area Vertical Applications yaitu sebesar 0.33. Analisis lebih lanjut yang diperlihatkan Gambar 3.16 bahkan menunjukkan bahwa hampir di keseluruhan area implementasi KNRT mencapai nilai penuh sebesar 1.00. Artinya untuk area-area implementasi tersebut, 75% - 100% sistem informasi KNRT telah menggunakan OSS. Area implementasi yang masih sangat rendah penggunaan OSS-nya adalah

Page 36: Studi igos 2008

29

Project Management (Desktop Applications), Virtual Private Network/VPN dan Anti-Virus (Network Security, Knowledge Management/KM dan Enterprise Resource Planning/ERP (Vertical Applications).

Sedangkan lembaga pemerintah yang memiliki nilai implementasi OSS paling rendah adalah Menpan. Kedua instansi tersebut memiliki nilai implementasi OSS yang lebih rendah dari 0.10 di seluruh area implementasi.

0.00

0.25

0.50

0.75

1.00

Desktop Applications

Server Applications

Network Security

Vertical Applications

TOTAL

DEPKOMINFO

DEPDIKNAS

KNRT

DEPKUMHAM

MENPAN

Gambar 3.15 Perbandingan Tingkat Implementasi OSS pada Tiap Area Implementasi antar Instansi Deklarator IGOS

Tabel 3.6 Perbandingan Tingkat Implementasi OSS pada Tiap Area Implementasi antar Instansi Deklarator IGOS

Desktop

Application Server

Application Network Security

Vertical Application

TOTAL 0,07 0,17 0,16 0,08

DEPKOMINFO 0,06 0,35 0,34 0,05

DEPDIKNAS 0,05 0,21 0,10 0,16

KNRT 0,80* 1,00* 0,60* 0,33*

DEPKUMHAM 0,13 0,15 0,13 0,11

MENPAN 0,00** 0,00** 0,00** 0,00**

Keterangan: * Nilai Tertinggi ** Nilai Terendah

Page 37: Studi igos 2008

30

0.00

0.25

0.50

0.75

1.00

A1

A2

A3

A4

A5

B1

B2

B3

B4

B5B6

C1

C2

C3

C4

C5

D1

D2

D3

TOTAL

DEPKOMINFO

DEPDIKNAS

KNRT

DEPKUMHAM

MENPAN

Gambar 3.16 Perbandingan Implementasi OSS antar Instansi Deklarator IGOS

3.3 Pengaruh Kebijakan IGOS terhadap implementasi OSS di Lembaga Pemerintah

Banyaknya kebijakan yang mendukung IGOS telah cukup mempengaruhi lembaga-lembaga pemerintah untuk menggunakan OSS. Hal ini dapat dilihat dari tingkat implementasi OSS seperti yang telah dijelaskan di atas. Namun demikian terlihat juga bahwa implementasi OSS belum merata. Hal ini terlihat dari masih timpangnya penggunaan OSS, baik antar daerah maupun antar instansi. Untuk meningkatkan penggunaan dan mengatasi ketimpangan tersebut, perlu diketahui faktor penggerak dan penghambat implementasi OSS.

Page 38: Studi igos 2008

31

4. BAB IV FAKTOR PENGGERAK DAN PENGHAMBAT

IMPLEMENTASI OSS DI LEMBAGA PEMERINTAH

4.1 Faktor Penggerak dan Penghambat Implementasi OSS di Lembaga Pemerintah

4.1.1 Pimpinan Lembaga

Dari hasil survey, secara umum diketahui bahwa faktor penggerak yang terkait dengan pimpinan lembaga adalah aspek organisasi sedangkan faktor penghambat meliputi aspek teknologi serta kebijakan dan prosedur (Tabel 4.1).

Tabel 4.1 Penggerak dan Penghambat untuk Tiap Aspek dari Sisi Pimpinan Lembaga

Tabel 4.2 Faktor Penggerak dan Penghambat dari Pimpinan Lembaga

Kategori Variabel Nilai G/H

Teknologi Keberadaan rencana implementasi teknologi OSS 0,51 G

Keberadaan rencana pengembangan (investasi/alokasi dana) teknologi OSS -0,84 H

Kesulitan dalam implementasi (install, dll) 0,11 H

Kemudahan memperoleh aplikasi 0,76 G

Kompatibilitas dengan system yang sudah ada -0,18 H

Kebutuhan akan pengetahuan yang lebih tinggi 0,71 G

Kebijakan Pemahaman konsep intellectual property, copyright, paten dan trademarks. 0,89 G

Keberadaan kebijakan dan prosedur implementasi OSS: 0,06 H

Keberadaan rencana dan alasan migrasi ke OSS (mengikuti ajakan pemerintah (IGOS) untuk menggunakan OSS) 1,11 G

Tahapan 0,78 G

Pengadaan OSS -0,22 H

Program pendukung : training, bantuan eksternal, maintenance 0,19 H

Keberadaan diseminasi informasi dan sosialisasi program 0,64 G

Kesadaran akan manfaat dari penyelenggaraan dan keikutsertaan dalam kegiatan sosialisasi OSS 1,14 G

Organisasi Pemahaman terhadap konsep OSS 1,31 G

Pemahaman terhadap manfaat OSS 0,89 G

Keberadaan kerjasama dengan organisasi lain 0,51 G

Keterangan: G = penggerak H = penghambat

Aspek Nilai Penggerak/penghambat

Teknologi 0,19 Penghambat

Kebijakan dan prosedur 0,27 Penghambat

Organisasi 0,76 Penggerak

Rata-rata 0,41

Page 39: Studi igos 2008

32

Faktor-faktor penggerak dan penghambat yang ditunjukkan pada

Tabel 4.1 dan 4.2 bersifat relatif terhadap faktor lain. Pada kenyataannya, faktor penggerak merupakan faktor dengan nilai yang lebih mendekati 2, sedangkan faktor penghambat merupakan faktor dengan nilai mendekati -2. Pada tabel di atas, sebagian besar faktor merupakan faktor penghambat serta penggerak yang lemah. Faktor penggerak utama merupakan faktor dengan nilai minimal 1, yakni Keberadaan rencana dan alasan migrasi ke OSS (mengikuti ajakan pemerintah (IGOS) untuk menggunakan OSS), Kesadaran akan manfaat dari penyelenggaraan dan keikutsertaan dalam kegiatan sosialisasi OSS, serta pemahaman terhadap konsep OSS.

4.1.2 Manager/staff TI

Dari hasil survei diketahui bahwa aspek penggerak yang terkait dengan manager/staff TI meliputi aspek teknologi dan organisasi sedangkan faktor penghambat meliputi aspek manusia serta kebijakan dan prosedur (Tabel 4.3). namun, aspek-aspek tersebut hanya bersifat relatif. Pada kenyataannya, faktor-faktor penggerak yang ada hanya bersifat lemah dan tidak mendukung implementasi OSS. Secara detail, faktor-faktor penggerak dan penghambat dari sisi manager/staff TI ditunjukkan pada Tabel 4.4.

Tabel 4.3 Aspek penggerak dan penghambat dari Sisi Manager/Staff TI

Tabel 4.4 Faktor penggerak dan penghambat dari tiap-tiap aspek dari sisi Manager/Staff TI

Kategori Variabel TOTAL G/H

SDM Kemampuan implementasi (Kemampuan menginstall, menggunakan, merawat) -0,11 H

Dukungan teknis eksternal 0,01 G

Keaktifan komunitas OSS -0,63 H

teknologi Kompatibilitas dengan system yang sudah ada 0,03 G

Kesulitan dalam implementasi (install, dll) -0,08 H

Kemudahan memperoleh aplikasi 0,01 G

Kebutuhan akan pengetahuan yang lebih tinggi

0,36 G

Interoperability dan incompatibility dari format data dan file yang ada. -0,09 H

Kebijakan Keberadaan kebijakan dan prosedur implementasi OSS: -0,40 H

Keberadaan rencana dan alasan migrasi ke OSS 0,42 G

Keharusan melakukan migrasi -0,10 H

Tahapan -0,16 H

Keberadaan diseminasi informasi dan sosialisasi program 0,52 G

Keberadaan dan keikutsertaan dalam pelatihan OSS 0,40 G

Aspek Nilai Penggerak/penghambat

SDM -0,24 Penghambat

Teknologi 0,04 Penggerak

Kebijakan dan prosedur -0,18 Penghambat

Organisasi 0,05 Penggerak

Rata-rata -0,08

Page 40: Studi igos 2008

33

Organisasi Pemahaman terhadap konsep OSS 1,25 G

Pemahaman terhadap manfaat OSS 0,27 G

Dukungan pimpinan untuk migrasi 0,33 G

Keberadaan alokasi dana untuk implementasi OSS -1,14 H

Seperti halnya pimpinan lembaga, dari sisi manager/staff TI,

sebagian besar faktor secara absolut hanya merupakan faktor penghambat dan penggerak yang lemah. Faktor penggerak utama dari sisi manager/staff TI meliputi pemahaman terhadap konsep OSS. Di lain pihak, faktor penghambat utama terkait dengan alokasi dana untuk implementasi OSS.

4.1.3 Pengguna TI

Dari hasil survei diketahui bahwa aspek penggerak yang terkait dengan pengguna TI meliputi aspek SDM dan organisasi sedangkan faktor penghambat meliputi aspek teknologi serta kebijakan dan prosedur (Tabel 4.5).

Tabel 4.5 Faktor penggerak dan penghambat dari Pengguna TI

Dari tabel di atas, terlihat bahwa seluruh aspek yang mempengaruhi implementasi OSS di lembaga pemerintah bernilai negatif. Secara absolut, seluruh aspek menjadi penghambat, terutama dari aspek kebijakan dan prosedur. Faktor penggerak dan penghambat dari sisi pengguna TI secara detail diperlihatkan pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Faktor penggerak dan penghambat dari sisi Pengguna TI

Kategori Variabel TOTAL G/H

Teknologi Kompatibilitas dengan closed source software -0,31 G

Kebijakan Pernah tidaknya mendapatkan training OSS 0,11 G

Sosialisasi -0,39 H

SDM Keinginan beralih ke OSS 0,41 G

Ketersediaan bantuan teknis -0,84 H

Organisasi Persepsi (dibandingan dengan proprietary) : kemudahan (mempelajari, penggunaan, -0,06 G

Dari tabel 4.6 di atas, terlihat bahwa sebagian besar faktor bernilai

negatif. Faktor yang paling menghambat walaupun belum dapat dikategorikan sebagai penghambat utama (bernilai maksimal -1), ditemui pada aspek SDM, yakni ketersediaan bantuan teknis.

Dalam penelitian ini, dilihat pula faktor-faktor tersebut berdasarkan perbedaan wilayah serta instansi. Hal ini penting karena melihat variasi

Kategori Nilai Penggerak/penghambat

Teknologi -0,31 Penghambat

Kebijakan dan prosedur -0,52 Penghambat

SDM -0,19 Penggerak

Organisasi -0,17 Penggerak

Rata-rata -0,30

Page 41: Studi igos 2008

34

tingkat implementasi dari tiap instansi di tiap wilayah, terutama wilayah yang memiliki tingkat implementasi tertinggi dan terendah, yakni DKI Jakarta, Manado, dan Kupang. Perbandingan faktor penggerak dan penghambat antar wilayah dari sisi pimpinan lembaga, manager/staff TI, dan pengguna TI seperti diperlihatkan pada Tabel berikut.

Tabel 4.7 Aspek Penggerak dan Penghambat Implementasi OSS di daerah Jakarta dan Kupang dari Sisi Pimpinan Lembaga

Kategori TOTAL G/H JKT G/H KPG G/H MND G/H

Teknologi 0,19 H 0,44 H 0,94 H 0,15 G

Kebijakan 0,27 H 0,63 H 1,21 G -0,54 H

Organisasi 0,76 G 1,65 G 0,98 H 0,09 G

Rata-rata 0,41 0,91 1,04 -0,10

Dari Tabel 4.7, terlihat bahwa aspek penggerak utama untuk

daerah Jakarta berasal dari aspek organisasi. Secara detail, factor-faktor pada tiap aspek diperlihatkan pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8 Faktor Penggerak dan Penghambat di daerah Jakarta, Manado, dan Kupang dari Sisi Pimpinan Lembaga

Kategori Variabel TOTAL G/H JKT G/H KPG G/H MND G/H

Teknologi Keberadaan rencana implementasi teknologi OSS 0,51 G 1,00 G 0,80 H

0,00 G

Keberadaan rencana pengembangan (investasi/alokasi dana) teknologi OSS -0,84 H 0,67 H 2,00 G -1,67 H

Kesulitan dalam implementasi (install, dll) 0,11 H

-0,50 H -0,40 H 0,75 G

Kemudahan memperoleh aplikasi 0,76 G 2,00 G 0,60 H 1,25 G

Kompatibilitas dengan system yang sudah ada -0,18 H

-1,33 H 0,80 H 0,00 G

Kebutuhan akan pengetahuan yang lebih tinggi 0,71 G 0,50 H 2,00 G 1,00 G

Kebijakan

Pemahaman konsep intellectual property, copyright, paten dan trademarks. 0,89 G 2,00 G 1,40 G -0,75 H

Keberadaan kebijakan dan prosedur implementasi OSS: 0,06 H 0,25 H 2,00 G -1,25 H

Keberadaan rencana dan alasan migrasi ke OSS 1,11 G 1,50 G 1,20 G

0,50 G

Tahapan 0,78 G 1,25 G 2,00 G -0,75 H

Pengadaan OSS -0,22 H 0,00 H 0,00 H -1,00 H

Program pendukung : training, bantuan eksternal, maintenance 0,19 H 0,00 H 2,00 G

0,00 G

Keberadaan diseminasi informasi dan sosialisasi program 0,64 G

-0,50 H 0,50 H

0,25 G

Organisasi

Pemahaman terhadap konsep OSS 1,14 G 2,00 G -0,40 H

1,75 G

Pemahaman terhadap manfaat OSS 1,31 G 2,00 G 1,20 G

0,25 G

Keberadaan kerjasama dengan organisasi lain 0,89 G 0,67 H 2,00 G

-0,75 H

Page 42: Studi igos 2008

35

Dari faktor-faktor yang diperlihatkan pada Tabel 4.8, terlihat cukup banyak faktor penggerak utama, baik dari aspek teknologi, SDM, organisasi, maupun kebijakan. Satu-satunya penghambat utama ditemukan pada daerah Jakarta, yakni terkait kompatibilitas dengan system yang telah ada. Sedangkan faktor penggerak utama meliputi keberadaan rencana implementasi teknologi OSS, kemudahan memperoleh aplikasi, Pemahaman konsep intellectual property, copyright, paten dan trademarks, Keberadaan rencana dan alasan migrasi ke OSS, tahapan migrasi, Pemahaman terhadap konsep OSS dan manfaatnya. Namun, di daerah Manado ternyata faktor-faktor tersebut menjadi penghambat utama dalam implementasi OSS, ditambah lagi dengan faktor keberadaan rencana pengembangan (investasi/alokasi dana) teknologi OSS yang menjadi penghambat terbesar.

Dari sisi manager/staff TI, hampir semua aspek menjadi penggerak utama di wilayah Jakarta, namun hal yang sebaliknya terjadi di Manado. Hal tersebut seperti diperlihatkan pada Tabel 4.9. secara detail, faktor-faktor penggerak dan penghambat implementasi OSS diperlihatkan pada Tabel 4.10.

Tabel 4.9 Aspek Penggerak dan Penghambat Implementasi OSS di daerah Jakarta, Manado, dan Kupang dari Sisi Manager/staff TI

Kategori TOTAL G/H JKT G/H KPG G/H MND G/H

SDM -0,24 H 0,94 H -0,24 H -1,33 H

Teknologi 0,04 G 1,27 G 0,08 H -0,98 G

Kebijakan -0,18 H 1,16 H 0,36 G -1,35 H

Organisasi 0,05 G 1,52 G 0,48 G -1,01 G

Rata-rata -0,08 1,22 0,17 -1,17

Tabel 4.10 Faktor Penggerak dan Penghambat Implementasi OSS di daerah Jakarta, Manado dan Kupang dari Sisi Manager/staff TI

Kategori Variabel TOTAL G/H JKT G/H KPG G/H MND G/H

SDM

Kemampuan implementasi

(Kemampuan menginstall,

menggunakan, merawat) -0,11 H 0,71 H 0,20 H -1,25 H

Dukungan teknis eksternal 0,01 G 1,29 G 0,44 G -1,25 H

Keaktifan komunitas OSS -0,63 H 0,83 H -1,38 H -1,50 H

Teknologi

Kompatibilitas dengan system

yang sudah ada 0,03 G 1,29 G 0,33 G -1,00 G

Kesulitan dalam implementasi

(install, dll) -0,08 H 1,33 G -0,22 H -1,38 H

Kemudahan memperoleh

aplikasi 0,01 G 2,00 G 0,20 H -1,00 G

Kebutuhan akan pengetahuan

yang lebih tinggi 0,36 G 0,71 H -0,20 H -0,63 G

Interoperability dan

incompatibility dari format

data dan file yang ada. -0,09 H 1,00 H 0,30 G -0,88 G

Kebijakan

Keberadaan kebijakan dan

prosedur implementasi OSS: -0,40 H 0,57 H 1,00 G -1,38 H

Page 43: Studi igos 2008

36

Keberadaan rencana dan

alasan migrasi ke OSS 0,42 G 2,00 G 0,60 G -1,38 H

Keharusan melakukan migrasi -0,10 H 1,60 G 1,00 G -1,50 H

Tahapan -0,16 H 0,67 H -0,56 H -1,25 H

Keberadaan diseminasi

informasi dan sosialisasi

program 0,52 G 2,00 G 1,56 G

-1,25 H

Keberadaan dan keikutsertaan

dalam pelatihan OSS 0,40 G 1,86 H 1,33 G -1,25 H

Organisasi

Pemahaman terhadap konsep

OSS 1,25 G 2,00 G 1,29 G

-0,50 G

Pemahaman terhadap manfaat

OSS 0,27 G 1,83 H 1,14 G

-0,50 G

Dukungan pimpinan untuk

migrasi 0,33 G 1,71 G 0,33 G -1,25 H

Keberadaan alokasi dana

untuk implementasi OSS -1,14 H 0,75 H -1,67 H -1,25 H

Dari tabel 4.10, terlihat perbedaan factor yang menjadi penggerak dan penghambat antara Jakarta, Manado, dan Kupang. Di daerah Manado, hampir semua faktor menjadi faktor penghambat utama. Beberapa factor juga hanya menjadi penggerak yang lemah di daerah Jakarta.

Dari sisi pengguna TI, hampir semua faktor menjadi penghambat implementasi OSS. Secara detail, faktor-faktor penggerak dan penghambat pada tiap aspek diperlihatkan pada Tabel 4.12. Dari tabel tersebut, terlihat bahwa semua factor menjadi penghambat, walaupun bukan menjadi penghambat utama.

Tabel 4.11 Aspek Penggerak dan Penghambat Implementasi OSS di daerah Jakarta, Manado dan Kupang dari Sisi Pengguna TI

Kategori TOTAL G/H JKT G/H KPG G/H MND G/H

Teknologi -0,31 H -0,17 H 1,81 G -0,81 H

Kebijakan -0,52 H 0,00 H 0,04 H 0,60 G

SDM -0,19 G 0,48 G 0,50 H -0,07 G

Organisasi -0,17 G -0,25 H 0,54 H -0,11 H

Rata-rata -0,30 0,16 0,72 -0,10

Tabel 4.12 Faktor Penggerak dan Penghambat Implementasi OSS di daerah Jakarta, Manado dan Kupang dari Sisi Pengguna TI

Kategori Variabel TOTAL G/H JKT G/H KPG G/H

MND G/H

Teknologi Kompatibilitas dengan closed source software -0,31 H -0,17 H 1,81 G -0,81 H

Kebijakan Pernah tidaknya mendapatkan training OSS 0,11 G 0,59 G 0,95 G 1,28 G

Sosialisasi -0,39 H 0,11 G -0,48 H 1,33 G

SDM Keinginan beralih ke OSS 0,41 G 0,67 G 1,50 G 0,63 G

Ketersediaan bantuan teknis -0,84 H 0,26 G -0,52 H -0,94 H

Organisasi

Persepsi (dibandingan dengan proprietary) : kemudahan (mempelajari, penggunaan, -0,06 G 0,25 G 1,11 G

0,17 G

Page 44: Studi igos 2008

37

Selain melihat faktor penggerak dan penghambat antar wilayah, perlu juga dilihat perbandingannya antar instansi, terutama instansi-instansi yang menjadi deklarator IGOS, dengan mempertimbangkan bahwa instansi-instansi tersebut harus menjadi contoh bagi instansi-instansi lainnya. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, dari kelima instansi yang menjadi deklarator IGOS, instansi yang paling tinggi tingkat implementasi OSS-nya adalah KNRT, sedangkan yang terendah adalah Menpan. Perbandingan faktor penggerak dan penghambat dari sisi pimpinan lembaga seperti ditunjukkan pada Tabel 4.13 dan 4.14.

Tabel 4.13 Aspek Penggerak dan Penghambat di KNRT dan Menpan dari sisi Pimpinan Lembaga

Kategori Total G/H MENPAN G/H KNRT G/H

Teknologi 0,19 H 0,71 H 1,29 H

Kebijakan 0,27 H 0,54 H 1,85 G

Organisasi 0,76 G 1,25 G 1,63 G

Rata-rata 0,41 0,83 1,59

Dari Tabel 4.13, terlihat bahwa hampir semua aspek menjadi

penggerak utama di KNRT. Untuk Menpan, penggerak utama hanya berasal dari organisasi sedangkan aspek lain hanya menjadi penggerak yang sifatnya lemah. Dari tabel 4.14, terlihat cukup banyak factor yang menjadi penggerak utama di kedua instansi, baik dari aspek teknologi, kebijakan, maupun organisasi. Namun, terdapat pula factor-faktor yang menjadi penggerak utama di KNRT tetapi menjadi penghambat utama di Menpan, dan sebaliknya.

Faktor keberadaan rencana pengembangan (investasi/alokasi dana) teknologi OSS, Kesulitan dalam implementasi (install, dll), Keberadaan kebijakan dan prosedur implementasi OSS: Pengadaan OSS, Program pendukung (training, bantuan eksternal, maintenance), Keberadaan diseminasi informasi dan sosialisasi program, dan Keberadaan kerjasama dengan organisasi lain menjadi factor penghambat utama di Menpan. Di lain pihak, di KNRT, hampir seluruh faktor menjadi factor penggerak utama.

Tabel 4.14 Faktor Penggerak dan Penghambat di KNRT dan Menpan dari sisi Pimpinan Lembaga

Kategori Variabel TOTAL G/H Menpan G/H KNRT G/H

Teknologi Keberadaan rencana implementasi teknologi OSS 0,51 G 2,00 G 2,00 G

Keberadaan rencana pengembangan (investasi/alokasi dana) teknologi OSS -0,84 H -1,00 H 2,00 G

Kesulitan dalam implementasi (install, dll) 0,11 H -1,00 H 2,00 G

Kemudahan memperoleh aplikasi 0,76 G 2,00 G 2,00 G

Kompatibilitas dengan system yang sudah ada -0,18 H 0,00 H 0,00 H

Kebutuhan akan pengetahuan yang lebih tinggi 0,71 G 1,00 G -1,00 H

Kebijakan Pemahaman konsep intellectual property, copyright, paten dan trademarks. 0,89 G 2,00 G 2,00 G

Keberadaan kebijakan dan prosedur implementasi OSS: 0,06 H -1,00 H 2,00 G

Keinginan migrasi & mengikuti ajakan pemerintah untuk

menggunakan OSS 1,11 G 2,00 G 1,00 H

Page 45: Studi igos 2008

38

Tahapan 0,78 G 2,00 G 2,00 G

Pengadaan OSS -0,22 H -1,00 H 1,00 H

Program pendukung : training, bantuan eksternal, maintenance 0,19 H -1,00 H 2,00 G

Keberadaan diseminasi informasi dan sosialisasi program 0,64 G -1,00 H 2,00 G

Organisasi Pemahaman terhadap konsep OSS 1,14 G 2,00 G 2,00 G

Pemahaman terhadap manfaat OSS (pengeluaran/biaya TI) 1,31 G 2,00 G 2,00 G

Keberadaan kerjasama dengan organisasi lain 0,89 G -1,00 H 2,00 G

0,51 G

Aspek-aspek penggerak dan penghambat di KNRT dan Menpan

dari sisi manager/staff TI ditunjukkan pada Tabel 4.15. dari tabel tersebut, dapat dilihat bahwa seluruh aspek menjadi penggerak di KNRT. Sedangkan di Menpan, aspek teknologi dan organisasi menjadi penggerak utama, sedangkan kebijakan kurang menjadi penggerak dan aspek SDM menjadi penghambat. Faktor-faktor penggerak dan penghambat dari tiap-tiap aspek di kedua instansi ini diperlihatkan pada Tabel 4.16.

Tabel 4.15 Aspek Penggerak dan Penghambat di KNRT dan Menpan dari sisi Manager/Staff TI

Kategori Total G/H Menpan G/H KNRT G/H

SDM -0,24 H -0,33 H 1,67 G

teknologi 0,04 G 1,00 G 0,90 H

Kebijakan -0,18 H 0,75 G 1,50 G

Organisasi 0,05 G 1,44 G 1,33 H

Rata-rata -0,08 0,72 1,35

Tabel 4.16 Faktor Penggerak dan Penghambat di KNRT dan Menpan dari sisi Manager/Staff TI

Kategori Variabel TOTAL G/H Menpan G/H KNRT G/H

SDM Kemampuan implementasi (Kemampuan menginstall, menggunakan, merawat) -0,11 H -1,00 H 2,00 G

Dukungan teknis eksternal 0,01 G 1,00 G 2,00 G

Keaktifan komunitas OSS -0,63 H -1,00 H 1,00 H

teknologi Kompatibilitas dengan system yang sudah ada 0,03 G 1,00 G 1,00 H

Kesulitan dalam implementasi (install, dll) -0,08 H -1,00 H 2,00 G

Kemudahan memperoleh aplikasi 0,01 G 2,00 G 2,00 G

Kebutuhan akan pengetahuan yang lebih tinggi 0,36 G 2,00 G -1,00 H

Interoperability dan incompatibility dari format data dan file yang ada. -0,09 H 1,00 G 0,50 H

Kebijakan Keberadaan kebijakan dan prosedur implementasi OSS: -0,40 H -2,00 H 2,00 G

Keberadaan rencana dan alasan migrasi ke OSS 0,42 G 2,00 G 1,00 H

Keharusan melakukan migrasi -0,10 H 2,00 G 1,50 G

Tahapan -0,16 H 1,00 G 2,00 G

Keberadaan diseminasi informasi dan sosialisasi program 0,52 G -1,00 H 1,50 G

Keberadaan dan keikutsertaan dalam pelatihan OSS 0,40 G -1,00 H 1,50 G

Organisasi Pemahaman terhadap konsep OSS 1,25 G 2,00 G 2,00 G

Pemahaman terhadap manfaat OSS 0,27 G 2,00 G 1,00 H

Dukungan pimpinan untuk migrasi 0,33 G 1,00 G 2,00 G

Keberadaan alokasi dana untuk implementasi OSS -1,14 H 1,00 G 0,00 H

Page 46: Studi igos 2008

39

Dari tabel di atas, hal yang perlu dicermati terutama adalah factor yang menjadi penggerak di Menpan, namun menjadi penghambat di KNRT, dan sebaliknya. Misalnya kemampuan implementasi (kemampuan menginstall, menggunakan, merawat), keaktifan komunitas OSS, kesulitan dalam implementasi (install, dll), keberadaan kebijakan dan prosedur implementasi OSS, dan keberadaan dan keikutsertaan dalam pelatihan OSS

Dari sisi pengguna TI, seluruh aspek menjadi penghambat implementasi OSS di Menpan, terutama teknologi, kebijakan, dan SDM. Sedangkan di KNRT, aspek kebijakan dan SDM menjadi penggerak utama sedangkan aspek organisasi menjadi penghambat. Secara detail, factor-faktor penggerak dan penghambat di setiap aspek tersebut diperlihatkan pada Tabel 4.18. dari tabel tersebut, hampir semua factor menjadi penghambat utama di Menpan. Factor penghambat utama di kedua instansi ini adalah kesulitan dalam mengoperasikan OSS.

Tabel 4.17 Aspek Penggerak dan Penghambat di KNRT dan Menpan dari sisi Pengguna TI

Kategori TOTAL G/H Menpan G/H KNRT G/H

teknologi -0,31 H -2,00 H 0,50 H

kebijakan -0,52 H -2,00 H 1,44 G

SDM -0,19 G -1,00 G 1,67 G

organisasi -0,17 G -0,17 G -0,08 H

Rata-rata -0,30 -1,29 0,88

Tabel 4.18 Faktor Penggerak dan Penghambat di KNRT dan Menpan dari sisi Pengguna TI

Kategori Variabel TOTAL G/H Menpan G/H KNRT G/H

Teknologi Kompatibilitas dengan closed source software -0,31 G -2,00 H 0,50 H

Kebijakan Pernah tidaknya mendapatkan training OSS 0,11 G -2,00 H 1,00 H

Sosialisasi -0,39 H -0,50 G 1,50 G

SDM Keinginan beralih ke OSS 0,41 G -1,50 H 1,50 G

Ketersediaan bantuan teknis -0,84 H 1,50 G 1,75 G

Organisasi Persepsi (dibandingkan dengan proprietary) Kemudahan penggunaan dibandingkan dengan proprietary software -0,06 G -2,00 H 0,50 H

Kemudahan mempelajari pengoperasian OSS bagi pengguna baru -0,22 G -2,00 H 1,00 H

Kesulitan dalam mengoperasikan OSS -0,01 G -2,00 H -1,75 H

Dari tabel 4.18, terlihat bahwa factor Kompatibilitas dengan closed

source software menjadi factor penghambat utama di Menpan, namun menjadi penggerak yang lemah di KNRT. Pada aspek kebijakan, training menjadi factor penghambat utama di Menpan, namun menjadi penggerak utama di KNRT. Di lain pihak, sosialisasi menjadi penggerak utama di KNRT, namun tidak terlalu menjadi penghambat di Menpan. Untuk aspek SDM, keinginan beralih ke OSS menjadi factor penghambat utama di

Page 47: Studi igos 2008

40

Menpan, namun sebaliknya menjadi penggerak utama di KNRT. Demikian pula persepsi mengenai kemudahan mempelajari pengoperasian OSS bagi pengguna baru pada aspek organisasi. Persepsi mengenai kesulitan dalam mengoperasikan OSS menjadi penghambat utama pada kedua instansi. Aspek lain mengenai persepsi yakni Kemudahan penggunaan OSS dibandingkan dengan proprietary software menjadi penghambat utama di Menpan, namun hanya mnejadi penggerak yang lemah di KNRT.

Dari penjelasan di atas, factor penggerak dan penghambat utama dapat diringkas pada Tabel berikut.

Tabel 4.19 Faktor Penggerak dan Penghambat utama implementasi OSS dari sisi Pimpinan Lembaga

Penggerak Penghambat

Pimpinan Lembaga

Teknologi:

o Keberadaan rencana implementasi teknologi OSS

o Kemudahan memperoleh aplikasi

o Keberadaan rencana pengembangan (investasi/alokasi dana) teknologi OSS

o Kesulitan dalam implementasi (install, dll)

Kebijakan:

o Pemahaman konsep intellectual property, copyright, paten dan trademarks.

o Keberadaan rencana dan alasan migrasi ke OSS (mengikuti ajakan pemerintah (IGOS) untuk menggunakan OSS)

o Kesadaran akan manfaat dari penyelenggaraan dan keikutsertaan dalam kegiatan sosialisasi OSS

o Tahapan migrasi

o Keberadaan kebijakan dan prosedur implementasi OSS:

o Pengadaan OSS o Program pendukung :

training, bantuan eksternal, maintenance

o Keberadaan diseminasi informasi dan sosialisasi program

Organisasi:

o Pemahaman terhadap konsep OSS o Pemahaman terhadap manfaat OSS

o Keberadaan kerjasama dengan organisasi lain

Page 48: Studi igos 2008

41

Tabel 4.20 Faktor Penggerak dan Penghambat utama implementasi OSS dari sisi Manager/staff TI

Penggerak Penghambat

Manager/staff TI

Teknologi:

Interoperability dan incompatibility dari format data dan file yang ada.

Kesulitan dalam implementasi (install, dll) Kemudahan memperoleh aplikasi Kompatibilitas dengan system yang sudah ada

Kebijakan:

Keberadaan kebijakan dan prosedur implementasi OSS: Keberadaan diseminasi informasi dan sosialisasi program Keberadaan dan keikutsertaan dalam pelatihan OSS Keberadaan rencana dan alasan migrasi ke OSS Keharusan melakukan migrasi

Organisasi:

Pemahaman terhadap konsep OSS Pemahaman terhadap manfaat OSS

Keberadaan alokasi dana untuk implementasi OSS

SDM

Keaktifan komunitas OSS Kemampuan implementasi (Kemampuan menginstall, menggunakan, merawat) Dukungan teknis eksternal

Tabel 4.21 Faktor Penggerak dan Penghambat utama implementasi OSS dari sisi Pengguna TI

Penggerak Penghambat

Pengguna TI

Teknologi:

o Kompatibilitas dengan closed source software

Kebijakan:

o Pernah tidaknya mendapatkan training OSS

SDM

o Keinginan beralih ke OSS o Persepsi (dibandingkan dengan

proprietary) o Kemudahan penggunaan

dibandingkan dengan proprietary software

o Kemudahan mempelajari pengoperasian OSS bagi pengguna baru

o Kesulitan dalam mengoperasikan OSS

Organisasi

o Kesulitan dalam mengoperasikan OSS

4.2 Alternatif Kebijakan Implementasi Open Source di Lembaga Pemerintah.

Dengan melihat faktor-faktor penggerak dan penghambat seperti yang telah dijelaskan di atas, dapat dirumuskan alternatif kebijakan untuk

Page 49: Studi igos 2008

42

meningkatkan implementasi OSS di lembaga pemerintah. Alternatif kebijakan dirumuskan berdasarkan model VCS, yang meliputi aspek value, capacity, dan support sesuai dengan mempertimbangkan factor-faktor penggerak dan penghambat utama, factor penggerak di satu instansi/daerah yang menjadi penghambat di instansi/daerah lain maupun menjadi penggerak dan penghambat yang bersifat lemah secara umum.

Secara umum, alternatif kebijakan dapat dijelaskan sebagai berikut:

4.2.1 Value

Aspek ini telah cukup mendukung implementasi OSS, terutama terkait dengan persepsi yang positif baik dari pimpinan lembaga, manager/staff TI, maupun pengguna mengenai manfaat OSS. Walaupun demikian, masih perlu diperhatikan kompatibilitas OSS dengan system yang sudah ada serta upaya untuk memunculkan persepsi tersebut mengingat masih ada lembaga pemerintah yang kurang menyadari manfaat OSS. Oleh karenanya, diperlukan adanya kebijakan untuk meningkatkan aspek ini. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan sosialisasi kepada pimpinan lembaga, dengan memperhatikan efektivitas media yang digunakan serta penciptaan lingkungan untuk melakukan migrasi ke OSS. Sebagai contoh dengan menerapkan aplikasi keuangan yang berbasis OS (SAI, SABMN, dll), memberikan penghargaan untuk daerah/instansi yg paling maju/terbelakang untuk implementasi OSS (misal instansi yang paling banyak membajak software, dll). Disamping itu, hal yang tidak kalah penting adalah penyediaan budget untuk migrasi (kegiatan operasional dalam implementasi OSS).

4.2.2 Capacity

Dalam aspek capacity, nampaknya masih perlu diperhatikan peningkatan kemampuan SDM, baik staff TI maupun pengguna TI. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan serta sosialisasi yang cukup. Hal ini juga diperlukan untuk meningkatkan kesadaran mengenai manfaat serta memunculkan persepsi yang positif terhadap OSS guna mendukung munculnya value di organisasi.

4.2.3 Support

Kedua aspek di atas tidak akan dapat terwujud dengan baik apabila tidak didukung oleh aspek support ini, terutama dari pimpinan lembaga ataupun manager TI. Kebijakan yang tepat untuk mendukung capacity tentunya sangat diperlukan, terutama dalam hal pemberian pelatihan, sosialisasi, rencana implementasi/pengembangan/migrasi, upaya kerjasama dengan organisasi untuk memperoleh dukungan teknis eksternal, dorongan untuk aktif dalam komunitas OSS, serta pengalokasian dana untuk implementasi OSS guna melakukan migrasi. Dalam melakukan migrasi, diperlukan timeframe tertentu yang dimasukkan dalam rencana yang ada di lembaga pemerintah, sehingga target dan capaian menjadi jelas. Disamping itu, perubahan aplikasi-aplikasi yang sering digunakan, misalnya aplikasi dari Departemen Keuangan maupun aplikasi-aplikasi lainnya perlu diubah menjadi berbasis OSS. Hal-hal tersebut diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif.

Page 50: Studi igos 2008

43

Hal lain yang penting untuk direalisasikan adalah adanya focal point implementasi OSS di daerah, yang berfungsi memberikan pelatihan, sosialisasi, bimbingan dalam rangka meningkatkan implementasi OSS. Hal tersebut diperlukan untuk mempersempit gap antara implementasi OSS di pusat dan daerah.

Terkait dengan kebijakan yang diterapkan saat ini, implementasi OSS sebagai salah realisasi Deklarasi IGOS hanya merupakan alternative kebijakan yang menjadi pilihan (preferensi) dan sifatnya tidak mengikat. Untuk meningkatkan implementasi OSS di lembaga pemerintah, sebaiknya kebijakan diubah menjadi bersifat mandatory. Berdasarkan studi kasus di KNRT yang menerapkan kebijakan yang bersifat mandatory, terlihat bahwa hal tersebut menghasilkan tingkat implementasi OSS yang tinggi (paling tinggi di antara lima deklarator IGOS lainnya). Hal ini dapat menjadi pelajaran bagi lembaga-lembaga pemerintah lainnya.

Page 51: Studi igos 2008

44

5. BAB V PENUTUP

5.1 KESIMPULAN

Tingkat implementasi OSS di lembaga pemerintah masih rendah. Hal ini terjadi karena kurangnya dukungan SDM yang memiliki kemampuan dan ketrampilan mengoperasikan OSS dalam jumlah yang cukup serta kurangnya sosialisasi. Sumber utama informasi IGOS baik untuk pimpinan lembaga maupun pengguna adalah internet.

Tujuan utama IGOS terkait dengan perlindungan HaKI nampaknya belum tercapai. Hal ini ditunjukkan dengan masih tingginya penggunaan software bajakan di lembaga pemerintah. Area OSS dengan tingkat implementasi tertinggi adalah server applications, namun nilainya masih rendah. Implementasi OSS dimulai dari server applications, network security, dekstop applications, dan vertical applications.

Daerah dengan tingkat implementasi OSS tertinggi adalah Jakarta sedangkan yang terendah adalah Manado dan Kupang. Diantara 5 instansi deklarator IGOS, tingkat implementasi tertinggi dimiliki oleh KNRT sedangkan yang terendah adalah Menpan.

Faktor penggerak dan penghambat implementasi OSS bervariasi antar daerah dan antar instansi. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang berbeda tiap daerah dan tiap instansi sesuai dengan kondisinya. Keberhasilan implementasi OSS ini sangat dipengaruhi oleh pimpinan lembaga & Manager/staff TI.

Dari sisi pimpinan lembaga, factor penggerak utama untuk aspek teknologi meliputi Keberadaan rencana implementasi teknologi OSS dan Kemudahan memperoleh aplikasi, sedangkan factor penghambat dari aspek ini meliputi Keberadaan rencana pengembangan (investasi/alokasi dana) teknologi OSS dan kesulitan dalam implementasi (install, dll). Untuk aspek kebijakan, Pemahaman konsep intellectual property, copyright, paten dan trademarks. keberadaan rencana dan alasan migrasi ke OSS (mengikuti ajakan pemerintah (IGOS) untuk menggunakan OSS), kesadaran akan manfaat dari penyelenggaraan dan keikutsertaan dalam kegiatan sosialisasi OSS dan tahapan migrasi. Factor penghambat dari aspek ini meliputi keberadaan kebijakan dan prosedur implementasi OSS, pengadaan OSS, program pendukung : training, bantuan eksternal, maintenance, dan keberadaan diseminasi informasi dan sosialisasi program. Dari aspek organisasi, factor penggerak utama meliputi Pemahaman terhadap konsep dan manfaat OSS, sedangkan penghambat utama pada aspek ini adalah keberadaan kerjasama dengan organisasi lain.

Dari sisi manager/staff TI, pada aspek teknologi, faktor penggerak meliputi Interoperability dan incompatibility dari format data dan file yang ada, sedangkan factor penghambat utama dalam aspek ini adalah Kesulitan dalam implementasi (install, dll), Kemudahan memperoleh aplikasi, dan Kompatibilitas dengan system yang sudah ada. Untuk aspek kebijakan, tidak ditemukan adanya penggerak utama, namun ditemukan

Page 52: Studi igos 2008

45

adanya factor penghambat utama, yakni keberadaan kebijakan dan prosedur implementasi OSS, keberadaan diseminasi informasi dan sosialisasi program, keberadaan dan keikutsertaan dalam pelatihan OSS, keberadaan rencana dan alasan migrasi ke OSS, dan keharusan melakukan migrasi. Dari aspek organisasi, factor penggerak berasal dari Pemahaman terhadap konsep dan manfaat OSS, sedangkan factor penghambat pada aspek ini adalah Keberadaan alokasi dana untuk implementasi OSS. Pada aspek SDM tidak ditemui adanya factor penggerak utama, sedangkan factor penghambat utama meliputi keaktifan komunitas OSS, kemampuan implementasi (kemampuan menginstall, menggunakan, merawat), dan dukungan teknis eksternal

Dari sisi pengguna TI, semua factor pada tiap aspek menjadi penghambat utama, meliputi kompatibilitas dengan closed source software (aspek teknologi), Pernah tidaknya mendapatkan training OSS (aspek kebijakan), persepsi (dibandingkan dengan proprietary), keinginan beralih ke OSS, kemudahan penggunaan dibandingkan dengan proprietary software, kemudahan mempelajari pengoperasian OSS bagi pengguna baru, dan Kesulitan dalam mengoperasikan OSS (aspek SDM), serta kesulitan dalam mengoperasikan OSS (aspek organisasi).

Sesuai dengan model VCS, ketiga aspek yakni value, capacity, dan support masih perlu ditingkatkan dan memerlukan kebijakan yang tepat. Hal ini diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif di lembaga pemerintah guna meningkatkan implementasi OSS.

5.2 SARAN

Aspek value telah cukup mendukung implementasi OSS, terutama terkait dengan persepsi yang positif baik dari pimpinan lembaga, manager/staff TI, maupun pengguna mengenai manfaat OSS. Walaupun demikian, masih perlu diperhatikan kompatibilitas OSS dengan system yang sudah ada serta upaya untuk memunculkan persepsi tersebut mengingat masih ada lembaga pemerintah yang kurang menyadari manfaat OSS. Oleh karenanya, diperlukan adanya kebijakan untuk meningkatkan aspek ini. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan sosialisasi kepada pimpinan lembaga , dengan memperhatikan efektivitas media yang digunakan serta penciptaan lingkungan untuk melakukan migrasi ke OSS. Sebagai contoh dengan menerapkan aplikasi keuangan yang berbasis OS (SAI, SABMN, dll), memberikan penghargaan untuk daerah/instansi yg paling maju/terbelakang untuk implementasi OSS (misal instansi yang paling banyak membajak software, dll). Disamping itu, hal yang tidak kalah penting adalah penyediaan budget untuk migrasi (kegiatan operasional dalam implementasi OSS).

Dalam aspek capacity, nampaknya masih perlu diperhatikan peningkatan kemampuan SDM, baik staff TI maupun pengguna TI. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan serta sosialisasi yang cukup. Hal ini juga diperlukan untuk meningkatkan kesadaran mengenai manfaat serta memunculkan persepsi yang positif terhadap OSS guna mendukung munculnya value di organisasi.

Kedua aspek di atas tidak akan dapat terwujud dengan baik apabila tidak didukung oleh aspek support ini, terutama dari pimpinan lembaga

Page 53: Studi igos 2008

46

ataupun manager TI. Kebijakan yang tepat untuk mendukung capacity tentunya sangat diperlukan, terutama dalam hal pemberian pelatihan, sosialisasi, rencana implementasi/pengembangan/migrasi, upaya kerjasama dengan organisasi untuk memperoleh dukungan teknis eksternal, dorongan untuk aktif dalam komunitas OSS, serta pengalokasian dana untuk implementasi OSS guna melakukan migrasi.

Dalam melakukan migrasi, diperlukan time-frame tertentu yang dimasukkan dalam rencana yang ada di lembaga pemerintah, sehingga target dan capaian menjadi jelas. Disamping itu, perubahan aplikasi-aplikasi yang sering digunakan, misalnya aplikasi dari Departemen Keuangan maupun aplikasi-aplikasi lainnya perlu diubah menjadi berbasis OSS.

Hal lain yang penting adalah adanya focal point implementasi OSS di daerah, yang berfungsi memberikan pelatihan, sosialisasi, bimbingan dalam rangka meningkatkan implementasi OSS. Hal tersebut penting untuk mempersempit gap antara implementasi OSS di pusat dan daerah. Kebijakan saat ini yang bersifat preferensi sebaiknya diubah menjadi bersifat mandatory.

Page 54: Studi igos 2008

47

6. DAFTAR PUSTAKA

Aritenang, Wendy, 2004, Kebijakan Pemerintah dalam Pengembangan Perangkat Lunak Open Source, Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Indonesia Go Open Source yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Teknik Informatika, STT PLN, Jakarta 6 Oktober 2004.

Chuong, Tran Luu, 2003. Open Source Software Movement in Vietnam.

GITOC (Government Information Technology Officers' Council), 2003, Using Open Source Software In The South African Government, A Proposed Strategy Compiled By The Government Information Technology Officers' Council, Version 3.3 16 January 2003.

Hattiesburg and Stennis, 2005, Building an Open Source Enterprise Community. Open source Institute and The University of Southern Mississipi.

Indrayanto, Adi, 2007, Panduan Penelitian Open Source Software, Versi 3.00.

Jyh-An Lee, 2006, New Perspectives on Public Goods Production: Policy Implications of Open Source Software, VANDERBILT J. OF

ENTERTAINMENT AND TECH. LAW Vol. 9:1:45

Kadiman, Kusmayanto, 2006, Menuju Masyarakat Informasi Indonesia: Peluang dan Tantangan.

MAMPU, 2006, The Malaysian Government Interoperability Framework for Open source Software (MyGIFOSS), Malaysian Public Sector Open Source Software (OSS) Initiative.

Moore Mark H, 1995, Creating Public Value; Harvard University Press.

United Nations conference on Trade and Development (UNCTAD), 2003, E-commerce and Development Report 2003, Internet edition prepared by the UNCTAD Secretariat, downloaded from http://www.unctad.org/ecommerce/

Weissman, 2003, Opportunities for Open Source Software among Non-profit Organizations, Case Study: Philadelphia. Opportunities for Open Source Software Among Non-profit Organizations Teaming for Technology June 18, 2003