STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU QUDAMAH TENTANG...

72
STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU QUDAMAH TENTANG TIDAK SAHNYA AKAD NIKAH DENGAN MENDAHULUKAN QABUL DAN MENGAKHIRKAN IJAB SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Jurusan Ahwal Asy-Syakhsiyah (AS) Disusun Oleh: AHMAD ISYBAH NURHIKAM 072111044 JURUSAN AHWAL ASY-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2012

Transcript of STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU QUDAMAH TENTANG...

STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU QUDAMAH TENTANG TIDAK

SAHNYA AKAD NIKAH DENGAN MENDAHULUKAN QABUL DAN

MENGAKHIRKAN IJAB

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)

Jurusan Ahwal Asy-Syakhsiyah (AS)

Disusun Oleh:

AHMAD ISYBAH NURHIKAM

072111044

JURUSAN AHWAL ASY-SYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2012

2

3

4

5

DEKLARASI

Dengan kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa

skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau

diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran

orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan

sebagai rujukan.

Semarang, 10 Juni 2012

Deklarator,

AHMAD ISYBAH NURHIKAM

NIM. 072111044

6

MOTTO

رواه ( 1هلل.ات قوا اهلل ف النساء فانكم اخذ توىن بأمانة اهلل واستحللتم ف روجهن بكلمة ا

)مسلمArtinya: “Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan, sesungguhnya kamu ambil

mereka dengan kepercayaan Allah, dan kamu halalkan kehormatan mereka

dengan kalimat Allah.” (HR. Muslim)

1 Muslim, Shahih Muslim, Juz I, Semarang: Toha Putra, t.th, hlm.593.

7

PERSEMBAHAN

Dengan segala kerendahan hati skripsi ini penulis persembahkan kepada :

Kedua orang tua tercinta Bapak Drs. H. Abdul Basyir, M.Ag. dan Ibu Hj. Siti Aisyah

yang dengan penuh cinta, kasih dan sayang selalu mengarahkan penulis kepada jalan

yang benar.

kakakku mba Isy Basyiroh Putri Yulianti dan adik-adikku Muhamad Nurtamamun Niam,

Nia Utamiatul Fatimah, Nail Mukmila Hiyar Mazaya.

Seorang terkasih dan tersayang Yuli Wirisliani.

Keluarga besar PP Al-Ma‟rufiyyah khususnya Abah Yai Abbas Masrukhin dan keluarga,

para ustadz khusunya Bpk Nadzir yang tanpa pamrih selalu memberikan ilmu-ilmu dan

nasehat sirrinya, kawan-kawan senasib seperjuangan; kang Huda, kang Ghofur, kang

Qomar, kang Zudin, kang Yusro, kang Haryanto, kang Sukron, kang Majid, kang

Musthofa, mba Hani, mba Eka, mba Anis, mba Nia, mba Dian dan semuanya yang tak

mungkin disebutkan satu per satu.

Sahabat KKN (Um Supri, Bunda Zum, Satria, Ihwan, Shidqie, mbah Basith, Himma,

Heni, Nyai Fatma).

Para Bapak dan Ibu dosen IAIN Walisongo yang membimbing penulis hingga menjadi

mahasiswa yang berkarakter.

8

ABSTRAK

Pernikahan dianggap sah apabila memenuhi rukun dan syarat pernikahan.diantara rukun

perkawinan adalah adanya Ijab dan Qabul. Berdasarkan hukum asalnya, Ijab itu datangnya

dari pengantin wanita, sedangkan Qabul dari pengantin laki-laki. Seluruh ulama sependapat,

akan tetapi andaikata Qabul didahulukan atas Ijab, timbul pertanyaan: apakah akad tersebut

sah atau tidak? Mayoritas ulama menyatakan sah. Dan Ibnu Qudamah adalah salah satu

ulama yang tidak mengesahkan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab dalam akad

nikah.

Penulis tertarik untuk meneliti Mengapa Ibnu Qudamah menyatakan tidak sah

terhadap akad nikah dengan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab? Dan bagaimana

bagaimana istinbath hukum yang digunakan Ibnu Qudamah dalam menentukan tidak sahnya

akad nikah dengan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab?.

Dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu

metode penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari orang-

orang atau perilaku yang diamati. Dan jenis penelitian ini adalah Library Research, yaitu

memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data penelitian. penulis

mengumpulkan data umum dan informasi dari buku-buku ataupun dokumen-dokumen yang

menjelaskan pendapat Ibnu Qudamah tentang tidak sahnya akad nikah dengan mendahulukan

Ijab dan mengakhirkan Qabul.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut Ibnu Qudamah mengenai akad nikah

dengan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab tidaklah sah. Karena sesungguhnya

adanya Qabul sebab adanya Ijab. Maka syaratnya mengakhirkan Qabul dari Ijab. Sesuai

dengan isi dari dari Ijab Qabul itu sendiri mengandung serah terima dari pihak wali kepada

suami agar bertanggung jawab atas hak-haknya sebagai suami terhadap isterinya. Posisi

suami dalam akad nikah sebagai orang yang di beri beban tanggung jawab maka harus ada

penyerahan dari pihak wali karena wanita tidak bisa menikahkan dirinya sendiri. Adapun

dasar hukum yang digunakan yaitu Al-Qur‟an dan Hadits, dengan istinbath hukum

menggunakan Istishhab, yaitu hukum-hukum yang sudah ada pada masa lampau tetap

berlaku untuk zaman sekarang dan yang akan datang, selama tidak ada dalil lain yang

mengubah hukum itu.

9

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur atas segala kasih sayang-Nya yang telah

melimpahkan karunia yang sangat besar, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

Shalawat serta salam penulis sanjungkan kepada beliau Baginda Nabi Muhammad SAW,

semoga diakui sebagai umatnya yang setia hingga hari akhir nanti.

Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis mendapat bantuan, petunjuk dan

bimbingan dari berbagai pihak, dan pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag., selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang.

2. Bapak Dr. H. Imam Yahya, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo

Semarang yang telah memberi izin penulis untuk membahas dan mengkaji permasalahan

ini.

3. Ibu Dra. Hj. Siti Amanah, M.Ag. dan Bapak Muhammad Shoim, S.Ag., MH. selaku

pembimbing I dan II yang telah banyak membantu, dengan meluangkan waktu dan

tenaganya yang sangat berharga semata-mata demi mengarahkan dan membimbing

penulis selama penyusunan skripsi ini.

4. Ketua Jurusan, Sekretaris Jurusan Hukum Perdata Islam serta Stafnya kami sampaikan

terima kasih.

5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Syari‟ah khusunya Bapak Drs. H.

Muhyidin, M.Ag. selaku dosen wali dan karyawan dan karyawati di lingkungan Fakultas

Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang yang telah mengajarkan ilmunya dengan ikhlas

kepada penulis selama belajar di Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang.

10

6. Kedua orangtua penulis, Bapak Drs. H. Abdul Basyir, M.Ag. dan Ibu Hj. Siti Aisyah

yang dengan tulus dan sabar memberikan dukungan dan do‟a restu, hingga penulis dapat

menyelesaikan studi di Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang.

7. Pengasuh PP Al-Ma‟rufiyyah, KH. Abbas Masrukhin beserta keluarga dan segenap

dewan Asatidz PP Al-Ma‟rufiyyah.

8. Dan semua pihak yang tak bisa penulis sebut satu-persatu yang telah membantu

terselesaikannya skripsi ini sesuai dengan kemampuan mereka.

Atas semua kebaikan yang telah diberikan, penulis tiada dapat membalas jasa kalian,

hanya mampu berharap dengan do‟a, semoga Allah SWT menerima sebagai amal kebaikan

dan membalasnya dengan balasan yang lebih baik.

Akhirnya hanya kepada Allah SWT penulis berserah diri semoga skripsi ini dapat

menambah khazanah keilmuan dan semoga dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan

pembaca pada umumnya.

Semarang, 10 Juni 2012

Penulis,

Ahmad Isybah Nurhikam

NIM. 072111044

11

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING..................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ iv

HALAMAN DEKLARASI.................................................................................... v

HALAMAN MOTTO............................................................................................ vi

HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................................... vii

HALAMAN ABSTRAK..................................................................................... viii

HALAMAN KATA PENGANTAR..................................................................... ix

HALAMAN DAFTAR ISI................................................................................... xi

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...................................................................... 1

B. Rumusan Masalah permasalahan........................................... 5

C. Tujuan Penelitian................................................................... 5

D. Telaah Pustaka....................................................................... 6

E. Metode Penelitian................................................................. 9

F. Sistematika Penulisan.......................................................... 12

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG AKAD NIKAH

A. Pengertian dan Dasar Hukum Akad Nikah.......................... 14

1. Pengertian Akad Nikah..................................................14

2. Dasar Hukum Akad Nikah.............................................21

B. Rukun dan Syarat Akad Nikah............................................. 23

1. Rukun-Rukun Dalam Akad Nikah.................................25

2. Syarat-Syarat Dalam Akad Nikah..................................29

3. Akad Nikah Dalam Kompilasi Hukum Islam................34

C. Konsep Akad Nikah Menurut Ulama Empat Madzhab....... 36

BAB III : PENDAPAT IBNU QUDAMAH TENTANG TIDAK SAHNYA AKAD

NIKAH DENGAN MENDAHULUKAN QABUL DAN MENGAKHIRKAN IJAB

A. Sekilas Biografi Ibnu Qudamah........................................... 39

12

B. Pendapat Ibnu Qudamah Tentang Tidak Sahnya Akad Nikah Dengan

Mendahulukan Qabul Dan Mengakhirkan

Ijab....................................................................................... 44

C. Istinbath Hukum Ibnu Qudamah Tentang Tidak Sahnya Akad Nikah

Dengan Mendahulukan Qabul Dan Mengakhirkan

Ijab....................................................................................... 47

BAB IV : ANALISIS PENDAPAT IBNU QUDAMAH TENTANG TIDAK

SAHNYA AKAD NIKAH DENGAN MENDAHULUKAN QABUL DAN

MENGAKHIRKAN IJAB

A. Analisis Pendapat Ibnu Qudamah Tentang Tidak Sahnya Akad Nikah

Dengan Mendahulukan Qabul Dan Mengakhirkan

Ijab .............................................................. 51

B. Analisis Istinbath Hukum Ibnu Qudamah Tentang Tidak Sahnya Akad

Nikah Dengan Mendahulukan Qabul Dan Mengakhirkan

Ijab............................................................... 58

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan.......................................................................... 65

B. Saran-Saran.......................................................................... 66

C. Penutup ................................................................................ 67

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................68

LAMPIRAN-LAMPIRAN

13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2

Perkawinan adalah salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk

Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Sebagaimana firman Allah

SWT.:

Artinya: Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat

kebesaran Allah.3 (QS. Adz-Dzariat: 49)

Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa Arab disebut dengan dua

kata, yaitu nikah (نكاح) dan zawaj (زواج). Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan

sehari-hari orang arab dan banyak terdapat dalam Al-Quran dan Hadis Nabi.4 Kata na-ka-ha

banyak terdapat dalam Al-Quran dengan arti kawin, seperti dalam surat An-Nisa‟ ayat 3:

Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan

yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain)

2 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 7.

3 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, Al Qur‟an dan Terjemahnya, Jakarta: CV. Atlas,

1998, hlm. 862. 4 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana Predana Media Group,

2009, hlm.35.

14

yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan

dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.5 (QS. An-Nisa‟: 3)

Demikian pula banyak terdapat kata za-wa-ja dalam Al-Quran dalam arti kawin,

seperti dalam surat Al-Ahzab ayat 37:

Artinya: Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya),

kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin

untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka.6 (QS. Al-Ahzab: 37)

Unsur pokok suatu perkawinan adalah laki-laki dan perempuan yang akan kawin,

akad perkawinan itu sendiri, wali yang melangsungkan akad dengan si suami, dua orang saksi

yang akan menyaksikan telah berlangsungnya akad perkawinan itu. Berdasarkan pendapat ini

rukun perkawinan itu secara lengkap adalah sebagai berikut:7

a. Calon mempelai laki-laki.

b. Calon mempelai perempuan.

c. Wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan perkawinan.

d. Dua orang saksi.

e. Ijab yang dilakukan oleh wali dan Qabul yang dilakukan oleh suami.

UU perkawinan sama sekali tidak berbicara tentang rukun perkawinan. UU

perkawinan hanya membicarakan syarat-syarat perkawinan, yang mana syarat-syarat tersebut

lebih banyak perkenaan dengan unsur-unsur atau rukun perkawinan. KHI secara jelas

membicarakan rukun perkawinan sebagaimana yang terdapat dalam pasal 14, yang

keseluruhan rukun tersebut mengikuti fiqh Syafi‟i dengan tidak memasukkan mahar dalam

rukun.8

Perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam

bentuk Ijab dan Qabul disebut akad nikah. Ijab adalah penyerahan dari pihak

pertama,sedangkan Qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si

5 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, loc.cit., hlm. 115. 6 Ibid, hlm. 673.

7 Amir Syarifuddin, loc.cit., hlm. 61. 8 Ibid.

15

perempuan dengan ucapannya: “Saya kawinkan anak saya yang bernama si A kepadamu

dengan mahar sebuah kitab Al-Qur‟an”. Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan

ucapannya: “Saya terima mengawini anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah

kitab Al-Qur‟an”.

Dalam hukum Islam sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab fiqh akad perkawinan itu

bukanlah sekedar perjanjian yang bersifat keperdataan. Ia dinyatakan sebagai perjanjian yang

kuat yang disebut dalam Al-Qur‟an dengan ungkapan Mitsaqon Ghalizhan yang mana

perjanjian itu bukan hanya disaksikan oleh orang banyak yang hadir pada waktu

berlangsungnya akad perkawinan, tetapi juga disaksikan oleh Allah SWT.

Para ulama fiqh telah sepakat bahwa Ijab dan Qabul merupakan rukun nikah. Tanpa

Ijab dan Qabul tidaklah sah pernikahan antara seseorang perempuan dengan laki-laki.9 Untuk

sahnya suatu akad perkawinan disyaratkan beberapa syarat. Diantara syarat tersebut ada yang

disepakati ulama dan diantaranya diperselisihkan oleh ulama.

Berdasarkan hukum asalnya, Ijab itu datangnya dari pengantin wanita, sedangkan

Qabul dari pengantin laki-laki. Wali mengatakan, “saya nikahkan anak perempuanku

kepadamu”. Lalu pengantin laki-laki menjawab, “saya terima nikah dengannya”. Andaikata

Qabul didahulukan, dimana pengantin laki-laki mengatakan kepada wali, ”nikahkan saya

dengan dia”, lalu wali berkata, ”saya nikahkan kamu dengannya”, timbul pertanyaan: apakah

akad tersebut sah atau tidak? Imamiyah dan tiga madzhab lainnya mengatakan sah,

sedangkan Hambali mengatakan tidak sah.10

Penulis tertarik untuk meneliti pendapat Ibnu Qudamah, salah satu pengikut

Madzhab Hanbali. Dalam kitabnya yang berjudul “Al-Kafie Fi Fiqh Al-Iman Ahmad Bin

Hanbal”, beliau berpendapat dalam masalah Ijab dan Qabul sebagai berikut:

9 M. Idris Ramulyo, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam, Jakarta:

IND-HILL, CO, 1985, hlm. 178. 10

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: PT Lentera Basritama, Cet 2, 1996,

hlm. 313.

16

دم القبول على اإلجياب ، مل يصح ، ألن القبول إمنا ىو باإلجياب ، فيشرتط تأخره وان تق 11عنو.

Artinya: jika mendahulukan Qabul atas Ijab, maka tidaklah sah, karena sesungguhnya adanya

Qabul sebab adanya Ijab, maka syaratnya mengakhirkan Qabul dari Ijab.

Berdasar pada latar belakang diatas, penulis ingin mengangkatnya dalam skripsi

dengan judul: “STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU QUDAMAH TENTANG TIDAK

SAHNYA AKAD NIKAH DENGAN MENDAHULUKAN QABUL DAN

MENGAKHIRKAN IJAB”.

B. Rumusan masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, ada beberapa hal yang menjadi

pokok permasalahan dalam skripsi , yaitu:

1. Mengapa Ibnu Qudamah menyatakan tidak sah terhadap akad nikah dengan

mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab?

2. Bagaimana Istinbath hukum yang digunakan Ibnu Qudamah dalam menentukan tidak

sahnya akad nikah dengan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang mendasari penulis dalam menulis skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai pendapat Ibnu Qudamah tentang tidak sahnya

akad nikah dengan mendahulukan Qabul dan Mengakhirkan Ijab.

b. Untuk mengetahui Istinbath hukum yang digunakan Ibnu Qudamah dalam menentukan

tidak sahnya akad nikah dengan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab.

11

Syaikh al-Islam Abi Muhammad Muwaffaq ad-Dien Abdullah bin Qudamah al-Maqdisiy, al-Kafie fi

Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal juz III, Beirut: Darul Fikr, 1992, hlm. 20-21.

17

D. Telaah Pustaka

Telaah atau kajian pustaka secara garis besar merupakan proses yang dilalui guna

untuk mendapatkan teori. Telaah pustaka dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang

hubungan pembahasan dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya,

sehingga dengan upaya ini tidak terjadi pengulangan yang tidak perlu.

Bertitik tolak pada permasalahan di atas, sepanjang pengetahuan penulis

permasalahan tentang pendapat Ibnu Qudamah tentang tidak sahnya akad nikah dengan

mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab secara spesifik berbeda dengan penelitian karya

ilmiah terdahulu. Namun penulis menemukan beberapa tulisan mengenai hal-hal yang

berkaitan dengan masalah tersebut, di antaranya yaitu :

Di dalam buku Fiqh Perbandingan dijelaskan tentang Ijab dan Qabul. Ijab ialah lafadz

yang diucapkan oleh wali atau wakilnya. Qabul ialah lafadz yang diucapkan oleh calon suami

atau wakilnya.12

Menurut Syafi‟i Ijab itu harus dari pihak perempuan atau wakilnya, dan Qabul harus

dari pihak laki-laki, calon suami atau wakilnya.13

Dalam Fiqih Sunnah juga menjelaskan

tentang Ijab-Qabul yaitu pernyataan pertama yang menunjukkan kemauan untuk membentuk

hubungan suami-isteri disebut “Ijab” dan pernyataan kedua yang dinyatakan oleh pihak yang

mengadakan akad berikutnya untuk menyatakan rasa ridha dan setujunya disebut “Qabul”.14

Skripsi Ali Luthvi yang berjudul Studi Analisis Pendapat Ibnu Abidin Tentang

Dibolehkannya Ijab Oleh Pihak Laki-Laki Dan Qabul Oleh Pihak Perempuan Dalam Akad

Nikah. Di kalangan Ulama fiqh terdapat polemik mengenai sah atau tidak akad nikah

andaikata Qabul diucapkan terlebih dahulu, kemudian disusul Ijab. Dalam skripsi tersebut

dijelaskan bahwa Ijab tidak harus dilaksanakan oleh pihak perempuan dan Qabul tidak harus

12

Ibrahim Husen, Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah-Thalaq-Ruju‟ dan Hukum Kewarisan,

Jilid 1, Jakarta: Balai Penerbitan dan Kepustakaan Islam Yayasan Ihya‟ Ulumudin Indonesia, 1971, hlm. 96. 13

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, Cet. Ke-10, 1983,

hlm. 15. 14

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 6, Bandung: PT. al-Ma‟arif, 1990, hlm. 49.

18

dari pihak laki-laki. Jadi, sah hukumnya ketika ijab dilaksanakan oleh pihak laki-laki dan

Qabul oleh pihak perempuan. Yang terpenting adalah tercapainya maksud yang dikehendaki.

Dalam hal ini, Istinbath hukum yang digunakan oleh Ibnu Abidin dalam masalah Ijab oleh pihak

laki-laki dan Qabul oleh pihak perempuan adalah hadits riwayat Imam Muslim dan

memahaminya dengan melihat zhahirnya dalil dan dalalah sunah yang shahih. Dan Dalam

menganalisis permasalahan Ijab dan Qabul ini menggunakan istihsan.

Skripsi Nurul Laeliyah yang berjudul Akad Nikah di depan Mayat dan Implikasinya

(Studi atas adat istiadat di desa Kewedusan Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen).

Dalam masyarakat desa Kawedusaan terdapat adat istiadat akad nikah di depan mayat. Akad

nikah di depan mayat dilaksanakan sebagai bentuk penghormatan mereka kepada para leluhur

mereka dengan cara mematuhi dan melaksanakannya dan adat tersebut merupakan salah satu

bentuk sinkretisme ajaran Islam dan Hindu yang diwariskan secara turun-temurun oleh nenek

moyang mereka. Akad nikah yang berlangsung tetap sah, sebab jenazah dalam pelaksanaan

akad nikah tidak memiliki peran sama sekali, baik sebagai wali maupun saksi. Karena

dengan bersandar pada kaidah fiqh, bahwa hal tersebut merupakan salah satu bagian „Urf

Shahih dan tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Skripsi Nur Shihah Ulya yang berjudul Praktek Perwakilan Perwalian Dalam Akad

Pernikahan Di Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak. Dalam skripsi tersebut dijelaskan

mengenai praktek perwakilan perwalian pada saat prosesi akad nikah. Dalam pandangan

hukum Islam boleh, selama dia tidak menjadi saksi. Akan tetapi bila ia menjabat sebagai

saksi maka akad nikah tersebut tidak sah. Alasan yang mendasari praktek perwakilan

perwalian tersebut adalah kemampuan dan tingkat keilmuan yang dimiliki oleh wali tersebut

serta alasan lain yakni ingin mendapatkan barokah dari orang yang diundang khusus untuk

mewakili akad nikah seperti kiai atau ulama yang berpengaruh.

19

Skripsi Sofi Hidayati yang berjudul Studi Pemikiran Ibnu Qudamah Tentang Hukum

Menikah Dengan Niat Cerai. Dalam sistem perundang-undangan perkawinan di Indonesia

sebuah perceraian haruslah diikuti dengan beberapa sebab. Seandainya pendapat Ibnu

Qudamah dipakai, maka seorang suami ketika mau menceraikan istrinya tanpa sebab yang

dapat memberatkan adanya sebuah perceraian, secara otomatis perceraian tersebut ditolak

oleh pengadilan. Dalam skripsi tersebut dijelaskan bahwa Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-

Mughni berpendapat bahwa menikah dengan niat cerai adalah boleh dan sah-sah saja

dilakukan. Karena menurutnya pernikahan model ini bukanlah nikah mut‟ah atau nikah tahlil

sebagaimana yang telah jelas dilarang oleh agama Islam.

Berdasarkan telaah pustaka di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa penelitian

sebelumnya tidak membahas tentang prosedur akad nikah yang dilaksanakan wali dari pihak

perempuan dan calon suami dan dari skripsi yang ditulis oleh Ali Luthfi hanya membahas

masalah proses akad nikah sah dengan mendahulukan Qabul atas Ijab. Sedangkan penelitian

ini hendak mengungkapkan pendapat Ibnu Qudamah tentang tidak sahnya akad nikah dengan

mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab. Sehingga fokus pembahasan dalam skripsi ini

merupakan karya yang berbeda dengan penelitian sebelumnya, sehingga masih penting

mengangkat tema ini ke dalam karya ilmiah.

E. Metode Penelitian

Dalam rangka menjawab pertanyaan yang telah dirumuskan diatas, maka guna

menghasilkan kesimpulan dari analisa yang tepat dan bertanggungjawab, penulis

menggunakan metode sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu

memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data penelitian.

20

Dalam hal ini penulis meneliti pendapat Ibnu Qudamah tentang tidak syahnya

akad nikah dengan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab dalam kitab Al-Kafie fi

Fiqh Al-Iman Ahmad Bin Hanbal.15

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini digolongkan menjadi dua, yaitu:

a. Sumber Primer

Sumber data primer adalah sumber data utama atau pokok yang menjadi bahan

penelitian atau kajian dalam penelitian ini. Data ini disebut data langsung atau asli.

Dalam hal ini yang menjadi sumber data primer adalah pemikiran Ibnu Qudamah

yang tertuang dalam karyanya yaitu kitab Al-Kafi fi Fiqhi ‟Al- Imam Ahmad Bin

Hambal.

b. Sumber data Sekunder

Sumber data sekunder adalah data yang menjadi bahan penunjang dan

pelengkap atau kajian dalam penulisan skripsi ini. Yaitu sumber data yang

memberikan informasi dan data yang telah disalin, diterjemahkan atau dikumpulkan

dari sumber-sumber aslinya. Sumber data sekunder ini berupa kitab-kitab fiqih, hadits,

tafsir karya para ulama serta literatur lainnya yang membahas tentang akad nikah.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam skripsi ini dilakukan dengan metode

kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan membaca

sumber-sumber tertulis seperti buku-buku dan kitab-kitab yang berkaitan dengan

masalah yang dikemukakan.

15

Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004, hlm. 1-2.

21

Dalam penulisan ini, penulis mengumpulkan data umum dan informasi dari buku-

buku ataupun dokumen-dokumen yang menjelaskan pendapat Ibnu Qudamah tentang

tidak sahnya akad nikah dengan mendahulukan Ijab dan mengakhirkan Qabul.

4. Metode Analisis Data

Analisis Data Sebagai tindak lanjut dari pengumpulan data maka metode analisis

data menjadi signifikan untuk menuju sempurnanya penelitian ini. Untuk analisis

penelitian dilakukan dengan metode Content Analysis. Yaitu teknik apapun yang

digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan, dan

dilakukan secara obyektif dan sistematis.16

Content Analysis mengindikasikan beberapa

ciri, pertama, teks perlu diproses dengan aturan dan prosedur yang telah dirancangkan.

Kedua, teks diproses secara sistematis, mana yang termasuk dalam suatu kategori, dan

mana yang tidak termasuk ditetapkan berdasarkan aturan yang sudah ditetapkan. Ketiga,

proses menganalisis teks tersebut haruslah mengarah ke pemberian sumbangan pada

teori, ada relevansi teoritiknya. Keempat, proses analisis tersebut mendasarkan pada

deskripsi yang dimanifestasikan.17

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Deskriptif analisis yakni

menggambarkan dan menganalisis data yang seteliti mungkin, tentang manusia, keadaan,

atau gejala-gejala lainnya.18

Dengan demikian penulis akan menggambarkan pemikiran

Ibnu Qudamah tentang tidak sahnya akad nikah dengan mendahulukan Qabul dan

mengakhirkan Ijab.

Untuk menganalisis data yang ada, penulis juga menggunakan metode

komparatif, yaitu menganalisis data-data tertentu yang berkaitan dengan situasi atau

16

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, cet. IV, 1993,

hlm. 163. 17

Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi III, cet. VII, Yogyakarta: RakeSarasin,

1996, hlm. 51. 18

Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Cet. 6, Yogjakarta: Gajah Mada University Press,

1993, hlm. 63.

22

faktor-faktor yang diselidiki, kemudian faktor-faktor tersebut dibandingkan satu dengan

yang lainnya.19

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-masing

menampakkan titik berat yang berbeda, namun dalam satu kesatuan yang saling mendukung

dan melengkapi.

BAB I PENDAHULUAN. dalam bab ini merupakan gambaran umum secara global

namun integral komprehensif dengan memuat: latar belakang masalah, permasalahan, tujuan

penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKAD NIKAH. Dalam bab ini pembahasan

meliputi pengertian dan dasar hukum akad nikah, rukun akad nikah, syarat akad nikah,

konsep akad nikah menurut ulama empat madzhab.

BAB III PENDAPAT IBNU QUDAMAH TENTANG TIDAK SAHNYA AKAD

NIKAH DENGAN MENDAHULUKAN QABUL DAN MENGAKHIRKAN IJAB. Dalam

bab ini meliputi penjabaran tentang sekilas biografi Ibnu Qudamah, pendapat Ibnu Qudamah

tentang tidak sahnya akad nikah dengan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab,

metode Istinbath hukum Ibnu Qudamah tentang tidak sahnya akad nikah dengan

mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab.

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IBNU QUDAMAH TENTANG TIDAK SAHNYA

AKAD NIKAH DENGAN MENDAHULUKAN QABUL DAN MENGAKHIRKAN IJAB.

Dalam bab empat ini meliputi analisis pendapat dan metode Istinbath hukum Ibnu Qudamah

tentang tidak sahnya akad nikah dengan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab.

BAB V PENUTUP. Meliputi kesimpulan, saran-saran, dan penutup.

19 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I, Yogyakarta: Andi Offset, 2001, hlm. 9.

23

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG AKAD NIKAH

A. Pengertian dan Dasar Hukum Akad Nikah

1. Pengertian Akad Nikah

Pernikahan merupakan ikatan yang kokoh, mengikatkan hati, dan

melembutkannya, mencampurkan nasab, menumbuhkan hubungan kemasyarakatan,

menjadikan kemaslahatan, sehingga manusia dapat menjaga hubungan antar

individu dan golongan. Dengan demikian, menjadi luas hubungan kemasyarakatan.

Sungguh Allah SWT telah menjadikan hubungan semenda (hubungan kekeluargaan

karena perkawinan) menjadi dasar nasab,20

Allah berfirman:

Artinya: Dan dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia

itu (punya) keturunan dan mushaharah21

dan adalah Tuhanmu Maha

Kuasa.22

(QS. Al-Furqan: 54)

Dari sudut keinginan dan kepentingan ini dibentuk pernikahan. Oleh karena

itu, Allah Yang Maha Bijaksana meliputinya dengan ikatan-ikatan, aturan-aturan,

dan hukum-hukum yang terperinci sejak permulaan pemikiran peminang hingga

kesempurnaannya. Kemudian meliputi juga dengan setiap tanggungan-tanggungan

yang bersifat materi dan maknawi sejak pelaksanaannya sehingga berakhirnya

pernikahan sebab kematian atau yang lainnya untuk menjaga hak-hak semua pihak.23

20

Nur Khozin, Fiqh Keluarga, Jakarta: AMZAH, 2010, hlm. 98-99. 21

Mushaharah artinya hubungan kekeluargaan yang berasal dari perkawinan, seperti menantu,

ipar, mertua dan sebagainya. 22

Yayasan penyelenggara penterjemah Al-Qur‟an, Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta: CV.

ATLAS, 1998, hlm. 567. 23

Nur Khozin, loc.cit.,

24

Pengertian akad nikah berasal dari dua kata, yaitu akad dan nikah. Akad

sendiri artinya ialah “perjanjian”, “pernyataan” sedang nikah adalah “perkawinan”,

“perjodohan”.24

Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang

melangsungkan perkawinan dalam bentuk Ijab dan Qabul. 25

Akad nikah adalah wujud nyata perikatan antara seorang pria yang menjadi

suami dengan seorang yang menjadi istri, dilakukan di depan dua orang saksi paling

sedikit, dengan menggunakan sighat Ijab dan Qabul.26

Ijab merupakan pernyataan pertama yang dikemukakan oleh salah satu

pihak, yang mengandung keinginan secara pasti untuk mengikat diri. Adapun Qabul

adalah pernyataan pihak lain yang mengetahui dirinya menerima pernyataan ijab

tersebut.27

Al-Qur‟an telah menggambarkan sifat yang lahir bagi ikatan yang dijalin

oleh dua orang insan berbeda jenis yakni ikatan perkawinan dengan gambaran yang

dikemukakan melalui beberapa ayat. Sebagaimana firman Allah:

Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu

telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri, dan

mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang

kuat.28

(Q.S An-Nisa‟: 21)

24

Achmad Kuzari, Nikah sebagai Perikatan, Cet. 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 34. 25

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet. 2, Jakarta: PRENADA MEDIA, hlm.

61 26

Achmad Kuzari, op.cit., 27

Dahlan Aziz (Ed), Ensiklopedi Hukum Islami, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeke, hlm. 1331. 28

Yayasan penyelenggara penterjemah Al-Qur‟an, loc.cit., hlm. 120.

25

Dalam ayat tersebut ikatan perkawinan dinamakan dengan ungkapan kata

Mitsaqan Ghalizhan atau suatu ikatan yang kokoh.29

Di antara fuqaha

mengemukakan tentang definisi akad nikah, misalnya al-Malkari di dalam kitabnya

Liarah Al-Thahbin adalah sebagai berikut:

30تزويج أو إنكاح بلفظ وطئ إباحة يتضمن عقدArtinya : “Akad yang mengandung kebolehan persetubuhan dengan kata Nikah atau

Tazwij.”

Dari definisi tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa al-Malkari

hanya melihat kebolehan hukumnya saja, dalam hal ini hukum halalnya hubungan

seorang lelaki dengan seorang perempuan yang semula haram.

Hal tersebut juga telah dimuat dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 yang berbunyi:

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”31

Jelas kiranya bahwa nilai yang termuat dalam akad nikah tidak hanya dari

segi hukum formal, tapi sampai kepada maksud tujuan bersifat sosial keagamaan.

Dengan disebut halnya “membentuk keluarga” dan berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa.32

Sedangkan definisi akad nikah dalam kompilasi hukum Islam telah termuat

dalam Bab I pasal 1 (c) yang berbunyi sebagai berikut “Akad nikah adalah rangkaian

29

Achmad Kuzari, loc.cit. 30

Muhammad Syafa, al-Dimyati I‟anch al-Thalibin, dan Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz III, Beirut,

223. 31

Undang-undang Perkawinan, Cet. 2, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1997, hlm. 7. 32

Achmad Kuzari, op.cit., hlm. 12.

26

Ijab yang diucapkan oleh wali dan Qabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau

wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi.33

Para ulama mazhab sepakat bahwa pernikahan baru dianggap sah jika

dilakukan dengan akad, yang mencakup Ijab dan Qabul antara wanita yang dilamar

dengan lelaki yang melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya seperti

wakil dan wali dan dianggap tidak sah hanya semata-mata berdasarkan suka sama

suka tanpa adanya akad.34

Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang sahnya akad nikah yang tidak

menggunakan redaksi fiil madhi (yang menunjukkan telah) atau menggunakan lafal

yang bahan bentuknya dari kata النكاح dan الزواج , seperti akar kata hibah (pemberian,

.penjualan), dan yang sejenisnya الب يع

Madzhab Hanafi berpendapat; akad boleh dilakukan dengan redaksi yang

menunjukkan maksud menikah, bahkan sekalipun dengan lafad Al-Tamlik

(pemilihan), Al-Hibah (penyerahan), Al-Bay‟ (penjualan), Al-„Atha (pemberian), Al-

Ibahah (perbolehan), dan Al-Ihlal (penghalalan), sepanjang akad nikah tersebut

disertai dengan Qarinah (kaitan) yang menunjukkan arti nikah. Akan tetapi akad

tidak sah jika dilakukan dengan lafal Al-Ijarah (upah) atau al-Ariyah (pinjam), sebab

kedua kata tersebut tidak memberi arti kelestarian atau kontinuitas.

Akan tetapi boleh dilakukan dengan lafal yang bukan bentuk madhi, dan

tidak pula boleh menggunakan lafal selain Al-Zawaj dan Al-Nikah. Sebab, karena

lafal inilah yang menunjukkan maksud pernikahan pada mulanya, sedangkan bentuk

33

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo Edisi Pertama,

1995, hlm. 113. 34

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2005, hlm. 309.

27

madli memberi arti kepastian. Ketentuan ini dinyatakan oleh ayat al Qur‟an berikut

ini:35

Artinya : “Maka taatlah zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap isterinya

(menceraikan terhadap isterinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu

dengan dia.”36

(QS. al-Ahzab: 37)

Seluruh madzhab sependapat bahwa akad yang menggunakan bahasa non

Arab adalah sah bila yang bersangkutan tidak bisa melakukannya dalam bahasa

Arab. Akan tetapi, terdapat perbedaan pendapat bila ia mampu melakukannya.

Tetapi, Maliki, dan Hanbali menyatakan sah, sedangkan Syafii memandangnya tidak

sah (Abu Zahra, Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah, hal. 27).37

Dalam Islam telah ditetapkan aspek-aspek yang berkaitan dengan akad

pernikahan dengan segala akibatnya,38

yaitu:

a. Cara-cara mengadakan akad nikah meliputi aqad nikah, karena nikah, atau syarat-

syaratnya.

b. Cara-cara pemutusan akad juga telah ditetapkan secara pasti seperti, thalak,

fasakh, nuyuz, syigat dan sebagainya.

c. Akibat adanya ikatan/aqad itu, laki-laki dan perempuan (suami isteri) punya hak

dan kewajiban masing-masing.

Sedangkan akad nikah menurut terminologi, ada beberapa pengertian antara

lain:

a. Najmuddin Amin al-Kurah memberikan pengertian nikah sebagai berikut:

ن اباحة وطء بلفظ عقد ي ت 39انكاح اوت زويج اوت رجتو ضم

35

Ibid., hal. 311. 36

Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, Al Qur‟an dan Terjemahnya, Jakarta: CV. Atlas,

1998, hlm. 673. 37

Ibid., 38

Sudarson, Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 2001, hlm. 209

28

“Akad yang menjamin bolehnya bersetubuh dengan lafad Inkah atau Tajwij atau

terjemahnya.”

b. Taqiyyuddin Abi Bakar memberikan pengertian nikah sebagai berikut:

شهور المشتمل على الركان والمشروط

40العقد امل “Akad yang terkenal yang mengandung beberapa rukun dan syarat”.

c. Dan Abdul al-Wahab asy-Sya‟rani memberikan pengertian sebagai berikut:

رعية المس رع ان النكاح من العقود الش 41ن ونة باصل الش “Nikah termasuk akad syar‟i yang disunnahkan dari asal syara‟.”

Kemudian Shighat Al-Aqadi ialah Ijab dan Qabul, Ijab ialah permulaan

penjelasan yang kelar dari salah seorang dari salah seorang yang berakad sebagai

gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad, sedangkan Qabul ialah perkataan

yang keluar dari pihak berakad pula, yang diucapkan setelah adanya Ijab.42

Pengertian Ijab dan Qabul dalam pengalaman dewasa ini ialah bertukarnya sesuatu

dengan yang lain.

Apabila kita analisis pengertian nikah di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa pengertian nikah hanya melihat dari satu segi saja yaitu kebolehan dalam

hukum dalam hubungan antara laki-laki dengan wanita yang semula hukum dalam

hubungan antara laki-laki dengan wanita itu mempunyai tujuan sekaligus

hukumnya.43

39

Najmuddin Amin al-Kurah, Tanwir al-Kutub, Beirut Libanon: Daar al-Fikr, T.th., hlm. 338. 40

Taqiyuddin Abi Bakar bin Muhammad al-Husain al_hisan Addimasqy asy-Syafi‟i, loc.cit. 41

Abd al-Wabah asy-Sya‟rani, Kitab al-Mizan, Juz 2, Mesir: Matba‟ah al-Taqadim al- Ilmiah, Cet. 1,

1321 H, hlm.108. 42

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Grafindo persada, 2002, hal. 47. 43

Dirjen Bimbaga Islam, Depag, Ilmu Fiqih, jilid 2, Jakarta: Proyek pembinaanPrasarana dan Sarana

Perguruan Tinggi Agama, 1983, Cet. 2, hal. 48.

29

Tegasnya pernikahan yang dalam bahas Indonesia dikenal dengan

pernikahan ialah “suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin

antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup

berkeluarga yang diliputi ketenteraman serta kasih sayang dengan cara diridhai

Allah SWT.44

Dalam undang-undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 1 dijelaskan bahwasanya

“perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami isteri dengan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dan pengertian perkawinan tersebut

dipertegas dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam bahwa perkawinan menuru

hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau Mitsaqon

Ghalidhon untuk manfaat perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.45

Dengan demikian pernikahan merupakan salah satu Sunnatullah. Segala

sesuatu yang dikitabkan kepada manusia pasti ada tujuan dan manfaatnya, baik yang

berupa larangan maupun perintah atau anjuran karena terbatasnya akan dan

kemampuan berpikir manusia, maka tidak semua manfaat tersebut dapat

diketahuinya.

2. Dasar Hukum Akad Nikah

Al-Qur‟an telah menggambarkan sifat yang lahir bagi ikatan yang dijalin

oleh dua orang insan berbeda jenis yakni ikatan perkawinan dengan gambaran yang

dikemukakan melalui beberapa ayat. Sebagaimana firman Allah:

44

Depag RI Perwakilan Jawa Tengah, UU Perkawinan, Semarang: CV. Al Alawiyah, 1974, hlm. 5 45

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 1992, hlm. 13

30

Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu

telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri, dan

mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang

kuat.46

(Q.S An-Nisa‟ : 21)

Kemudian mengenai akad nikah dalam sabda Rasulullah SAW.,

diantaranya:

ف روجهن بكلمة ات قوا اهلل ف النساء فانكم اخذ توىن بأمانة اهلل واستحللتم 47)رواه مسلم(اهلل.

Artinya: “Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan, sesungguhnya kamu

ambil mereka dengan kepercayaan Allah, dan kamu halalkan

kehormatan mereka dengan kalimat Allah.” (HR. Muslim)

Adapun sebuah hadits yang menunjukkan bahwa Ijab itu hak perempuan

dan Qabul kewajiban laki-laki:

ا امرأة مل ي نكحها ال ولم فنكاحها باطل فنكاحها باطل فنكاحها باطل أيملطان ولم من ل ها فإن اشتجروا فالسم فإن أصاب ها ف لها مهرىا با أصاب من

48ول لو Artinya: “Wanita manapun yang tidak dinikahkan oleh walinya maka pernikahannya

tidak sah, beliau mengucapkannya tiga kali. Jika telah melakukan

hubungan badan, maka wanita itu tetap berhak menerima mahar

(maskawin) karena hubungan badannya itu. Jika mereka berselisih maka

pemerintah adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.” (H.R.

Ahmad)

46

Yayasan penyelenggara penterjemah Al-Qur‟an, loc.cit., hlm. 120. 47

Muslim, Shahih Muslim, Juz I, Semarang, Toha Putra, t.th, hlm.593. 48

Imam Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Bab La Nikah Illa Biwaliy, Juz V, Aplikasi Maktabah

Syamilah, hlm. 486.

31

B. Rukun dan Syarat Akad Nikah

Rukun perkawinan menurut hukum Islam, akan dijelaskan berikut. Syarat-syarat

perkawinan mengikuti rukun-rukunnya, seperti dikemukakan Kholil Rahman49

:

a. Calon mempelai pria, syarat-syaratnya:

1) Beragama Islam

2) Laki-laki

3) Jelas orangnya

4) Dapat memberikan persetujuan

5) Tidak terdapat halangan perkawinan

b. Calon mempelai wanita, syarat-syaratnya:

1) Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani

2) Perempuan

3) Jelas orangnya

4) Dapat dimintai persetujuannya

5) Tidak terdapat halangan perkawinan

c. Wali nikah, syarat-syaratnya:

1) Laki-laki

2) Dewasa

3) Mempunyai hak perwalian

4) Tidak terdapat halangan perwaliannya

d. Saksi nikah, syarat-syaratnya:

1) Minimal dua orang laki-laki

2) Hadir dalam Ijab Qabul

3) Dapat mengerti maksud akad

4) Islam

5) Dewasa

e. Ijab Qabul, syarat-syaratnya:

1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali

2) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria

3) Memakai kata-kata Nikah, Tazwij atau terjemahan dari kata Nikah atau

Tazwij

4) Antara Ijab da Qabul bersambungan

5) Antara Ijab dan Qabul jelas maksudnya

6) Orang yang berkait dengan Ijab Qabul tidak sedang dalam ihram haji/umrah

49

Kholil Rahman, Hukum Perkawinan Islam, (Diktat tidak diterbitkan), Semarang: IAIN Walisongo, tt,

hlm. 31-32.

32

7) Majelis Ijab dan Qabul itu harus dihadiri minimum empat orang, yaitu: calon

mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai wanita atau wakilnya, dan

dua orang saksi.50

Rukun dan syarat-syarat perkawinan tersebut diatas wajib dipenuhi, apabila

tidak terpenuhi maka perkawinan yang dilangsungkan tidak sah. Disebutkan dalam Kitab

Al-Fiqh „Ala Al-Mazahib Al-Arba‟ah: “Nikah fasid yaitu nikah yang tidak memenuhi

syarat-syaratnya, sedangkan nikah batil adalah nikah yang tidak memenuhi rukunnya.

Dan hukum, nikah fasid dan batil adalah sama, yaitu tidak sah”.51

Kompilasi Hukum

Islam menjelaskan rukun nikah dalam pasal 14, yaitu: a) Calon suami, b) Calon istri, c)

Wali nikah, d) Dua orang saksi, dan e) Ijab dan Qabul.52

1. Rukun-Rukun Dalam Akad Nikah

Rukun adalah bagian dari hakikat sesuatu. Rukun masuk didalam

substansinya. Adanya sesuatu itu karena adanya rukun dan tidak adanya karena tidak

ada rukun. Berbeda dengan syarat, ia tidak masuk ke dalam substansi dan hakikat

sesuatu, sekalipun itu tetap ada tanpa syarat, namun eksistensinya tidak

diperhitungkan. Akad nikah mempunyai beberapa rukun yang berdiri dan menyatu

dengan substansinya. 53

Akad nikah tidak dapat diadakan, kecuali setelah memenuhi beberapa rukun

berikut ini :54

50

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995, hlm. 71-72. 51

Abdurrahman Al-Jaziry, kitab al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Arba‟ah, Maktabah al-Tijariyah kubra juz

IV, hlm. 118 52

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, loc.cit., hlm. 17 53

Abdul Majid Khon, Fiqh Munakahat, Jakarta: AMZAH, 2009, hlm. 59. 54

Syaikh Kamil Muhammad, „Uwaidah, Al Jami‟ Fii Fiqhi An-Nisa‟, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,

1998, hlm. 402 – 404.

33

a. Kedua belah pihak (calon mempelai) telah mencapai usia akil baligh. Jika salah

seorang dari keduanya hilang ingatan atau masih kecil, maka berarti belum

mencapai usia baligh, sehingga akad nikah tidak dapat dilaksanakan.

b. Menyatukan tempat pelaksanaan Ijab Qabul. Dengan pengertian, tidak boleh

memisahkan antara Ijab dan Qabul dengan pembicaraan atau hal-hal lainnya

selain. Tidak disyaratkan, pelaksanaan Qabul dilakukan langsung setelah Ijab.

Meski pertemuan pelaksanaan Ijab Qabul itu berlangsung cukup lama dan qabul

dilakukan dengan adanya selang waktu dari ijab serta tidak ada hal-hal yang

menunjukkan penolakan dari kedua belah pihak, maka pelaksanaan Ijab Qabul

tersebut tetap satu. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh para ulama

penganut madzhab Hanafi dan Hanbali.

Dalam kitab Al-Mughni disebutkan, “bila ada tenggang waktu antara Ijab

dan Qabul, maka hukumnya tetap sah, selagi dalam satu majelis yang tidak

diselingi sesuatu yang mengganggu. Karena dipandang satu majelis selama

terjadinya ucapan akad nikah, dengan alasan sama dengan penerimaan tunai,

sedangkan bagi barang yang tidak disyaratkan tunai penerimaannya, barulah

dibenarkannya hak Khiyar (tetap jadi pembeli atau membatalkan)”.55

Jika sebelum dilakukan Qabul salah seorang calon pengantin

memutuskan untuk tidak jadi menikah, maka Ijabnya batal. Karena makna Ijab

disini telah hilang. Sebab, menghalangi bisa dilakukan oleh pihak laki-laki

dengan jalan memutuskan untuk membatalkan niat menikah sehingga dengan

demikian tidak terlaksana Qabulnya. Begitu pula kalau kedua-duanya sibuk

55

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007, hlm. 515-516.

34

dengan sesuatu yang mengakibatkan terputusnya Ijab Qabul, maka Ijabnya

batal lantaran upacara Qabulnya terhalangi.56

Lebih lanjut dikatakan: “Karena hukum yang berlaku dalam majelis

sama seperti yang berlaku pada pelaksanaan akad. Adapun dalil yang dijadikan

sebagai landasan dalam hal ini adalah disyaratkannya serah terima dan juga hak

pilih dalam berbagai perjanjian jual beli. Sehingga dengan demikian, jika kedua

mempelai tersebut terpisah tempat, maka Ijab yang dimaksudkan menjadi batal

dan tidak berarti.”57

Demikian pula jika masing-masing dari keduanya sibuk dengan sesuatu

hal yang lain sehingga mengakibatkan terputusnya waktu akad. Diriwayatkan

oleh Imam Ahmad mengenai seorang laki-laki yang didatangi sekumpulan

orang yang mengatakan kepadanya: “Nikahilah si fulan”, orang itu menjawab:

“Baiklah, aku menikahinya dengan mahar seribu dinar”. Kemudian mereka

kembali mendatangi si fulan dan memberitahukannya. Maka ia pun menjawab:

Aku terima. Lalu ditanyakan kepadanya (Imam Ahmad): Apakah yang demikian

itu merupakan sebuah pernikahan? “Ya”, jawabnya. Sedangkan para ulama

penganut Madzhab Syafi‟i memberi tahu syarat terhadap pernikahan semacam

itu, yaitu tindakan segera.

Lebih lanjut mereka berpendapat, bahwa apabila dilakukannya

pemisahan antara Ijab dan Qabul itu dengan kata pendahuluan, misalnya si wali

mengatakan: “Aku nikahkan kamu”. Pihak pengantin laki menjawab: “Dengan

nama Allah, segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa

terlimpahkan kepada Rasulullah, aku terima nikahnya”. Maka mengenai hal ini

terdapat dua pendapat: Pertama, pendapat Syaikh Abu Hamid Al-Isfirayaini.

56

Ibid, hlm. 516. 57

Syaikh Kamil Muhammad, loc.cit.

35

Bahwa pernikahan semacam itu tetap sah, Karena kata pendahuluan

diperintahkan dalam pelaksanaan akad pernikahan, sehingga tidak membatalkan

pernikahan, seperti halnya tayamum antara dua shalat jama‟. Kedua, pendapat

yang menyatakan, bahwa pernikahan semacam itu tidak dapat dibenarkan.

Karena kata-kata tersebut telah memisahkan antara Ijab dan Qabul,

sebagaimana jika keduanya dipisahkan oleh selain kata pendahuluan. Berbeda

dengan tayamum yang diperintahkan melakukannya di antara dua shalat, maka

khutbah pernikahan diperintahkan sebelum berlangsungnya akad pernikahan.58

Adapun Imam Malik membolehkan waktu senggang yang sebentar

antara ucapan Ijab dan Qabul. sebab perbedaan pendapat ini adalah masalah

waktu pelaksanaan Ijab dan Qabul dalam akad nikah, apakah disyaratkan

melaksanakannya secara bersamaan atau tidak.59

c. Agar lafadz (penyampaian) Qabul tidak bertentangan dengan Ijab kecuali

pertentangannya itu lebih baik dari yang seharusnya. Yaitu, jika pihak wali

mengatakan: Aku nikahkah kamu dengan puteriku, si fulan dengan mahar

seratus junaihah. Lalu si mempelai menjawab : Aku terima nikahnya dengan

mahar dua ratus junaihah. Maka dengan demikian, pernikahan itu telah sah,

karena mencukupi dari yang seharusnya.

d. Kedua belah pihak saling mendengar satu dengan lainnya dan memahami,

bahwa maksudnya adalah pelaksanaan nikah. Meskipun salah atu dari keduanya

tidak memahami kata per kata dari kalimat yang diucapkan (dalam bahasa lain).

Karena, yang terpenting adalah tujuan dan niat.

2. Syarat-Syarat Dalam Akad Nikah

58

Ibid., 59

Sayyid Sabiq, loc.cit.

36

Tidak semua akad nikah yang dilakukan antara seorang laki-laki dengan

seorang perempuan itu dapat dianggap benar menurut hukum perkawinan Islam.

Akad nikah baru bisa dianggap benar dan sah jika memenuhi syarat dan rukun yang

telah ditentukan oleh syariat Islam, dan sebaliknya suatu akad nikah dihukumkan

batal jika tidak memenuhi syarat dan rukunnya.60

Dimaksudkan dengan syarat akad perkawinan ialah hal-hal yang harus ada

sebelum akad perkawinan itu dilaksanakan. Termasuk dalam syarat-syarat akad

nikah tersebut ialah :

a. Adanya calon istri (perempuan) dan calon suami (laki-laki) yang masing-masing

atas dasar kerelaan dan saling cinta mencintai antara keduanya, bukan atas dasar

paksaan dan terpaksa, masing-masing telah ada kesungguhan untuk berkawin.

Tidak sah akad nikah jika dilakukan atas dasar paksa dan terpaksa.

b. Antara calon istri dan calon suami yang akan melakukan akad nikah, masing-

masing bukan termasuk Mawani‟un nikah, yaitu orang-orang yang terlarang

melaksanakan perkawinan.

c. Antara calon istri dan calon suami hendaknya orang-orang sejodoh (sekufu) atau

“Kafa‟ah” dalam istilah fiqh. Kafa‟ah menurut bahasa artinya ialah “sama”,

“serupa”, “seimbang”, atau “serasi”. Dan dimaksudkan dengan Kafa‟ah dalam

hal ini adalah keseimbangan atau keserasian antara calon suami dan istri hingga

karenanya pihak-pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu tidak

merasa berkeberatan terhadap kelangsungan perkawinan yang telah

dilaksanakan.61

Akad tidak akan berakhir kecuali bila terjadi perceraian atau salah satu

pihak meninggal. Karena maksud disyari‟atkannya perkawinan adalah sebagai

60 Hady Mukaat Ahmad, Fiqh Munakahat, Semarang: Duta Grafika, 1942, hlm. 102 61

Ibid.,

37

ikatan kekeluargaan yang abadi untuk mendidik anak, melaksanakan kehidupan

rumah tangga, semuanya itu tidak terwujud tanpa melaksanakan akad itu.62

Inilah yang dimaksudkan bahwa berlangsungnya perkawinan terhimpun

dalam satu syarat-syarat yaitu bahwa tidak seorang pun suami atau istri berhak

merasakan akadnya setelah akadnya berlangsung dan berlaku secara sah, karena

salah satu pihak berhak membatalkan berarti akadnya tidak berlaku dan sia-sia

menurut pandangan syara‟.

Yang dimaksud persyaratan dalam akad nikah ialah syarat-syarat yang

dibuat dan diucapkan di dalam rangkaian akad nikah, atau dengan kata lain akad

(Ijab Qabul) yang disertai dengan syarat-syarat. Persyaratan yang dibuat dalam akad

nikah ada tiga kemungkinan:

a. Syarat yang sifatnya bertentangan dengan tujuan akad nikah. Dalam hal ini

terdapat dua bentuk:

1) Tidak sampai merusak tujuan pokok akad nikah. Misalnya suami berkata

dalam Sighat Qabulnya: “Aku terima nikahnya dengan syarat tanpa mas

kawin”.63

Tidak ada perbedaan pendapat ulama tentang batalnya syarat-

syarat tersebut, sedangkan akad nikahnya sendiri tetap sah, karena akad

nikah itu sendiri telah menetapkan kewajiban suami memberi nafkah dan

membayar mahar menurut jumlah yang telah ditentukan dalam akad nikah

atau berupa mahar Mitsil (setelah Dukhul) jika syarat-syarat untuk

menggugurkan kewajiban tersebut di dalam suatu akad berarti menetapkan

tidak wajibnya hal-hal tersebut. Dapat dikatakan, dengan menyebutkan

62

Al-Hamdani, Risalah Nikah, Pekalongan: Raja Murah, 1980, hlm. 41 – 42. 63

Chuzaimah T. Yanggo, A. Hafiz Anshary, (ed), Problematika Hukum Islam Kontemporer (1),

Jakarta: PT. Pusaka Firdaus, cet.2, 1996, hlm. 50.

38

syarat-syarat tersebut hanya sia-sia saja, dan tidak wajib untuk dipenuhi.64

Oleh karena itu walaupun di dalam akad nikah disebutkan syarat tanpa mas

kawin atau tanpa nafkah, kewajiban membayar mas kawin dan nafkah itu

tetap.65

2) Merusak tujuan pokok akad nikah. Misalnya: pihak istri membuat syarat

agar ia tidak disetubuhi, atau istrinya yang harus memberikan nafkah.

Hukum membuat syarat seperti ini sama dengan apa yang telah diuraikan

pada huruf (a) di atas, yaitu syarat-syaratnya batal, karena akad nikah itu

sendiri telah memberikan hak kepada suami untuk menyetubuhi istrinya.

b. Syarat-syarat yang tidak bertentangan dengan tujuan akad nikah. Dalam hal ini

terdapat juga dua bentuk:

1) Merugikan pihak ketiga secara langsung. Contoh: istri mensyaratkan

kepada calon suami (yang sudah punya istri) supaya menjatuhkan talak

istrinya itu. Syarat seperti ini dianggap tidak ada, karena jelas bertentangan

dengan larangan agama, dengan nash yang jelas.66

2) Manfaat syarat-syarat itu kembali kepada wanita. Misalnya: calon istri

mensyaratkan agar ia tidak dimadukan. Mengenai syarat seperti ini, terdapat

perbedaan pendapat di kalangan fuqaha‟.67

a) Pendapat pertama yang memandang bahwa syarat seperti itu hukumnya

batal, sedang akad nikahnya tetap sah.

Beristri lebih dari satu orang diizinkan agama. Syarat-syarat

yang sifatnya melarang sesuatu yang dibolehkan agama adalah batal

hukumnya, karena hal itu tidak patut. Selain dari itu perlu pula

64

Ibid., hlm. 51. 65

Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, Semarang: Dina Utama, 1993, hlm. 28. 66

Chuzamah T. Yanggo, A. Hafiz Anshary, op.cit., hlm. 52. 67

Djamaan Nur, op.cit.,

39

difahami, bahwa Imam Syafi‟i dan Abu Hanifah sependapat bahwa

syarat-syarat tidak merusak akad nikah, tapi merusak mahar Musamma,

karena itu kembali kepada mahar Mitsil.68

b) Pendapat kedua memandang syarat seperti itu hukumnya sah dan wajib

dipenuhi dan jika tidak dipenuhi maka pihak wanita tidak berhak

memfasakhkan akad nikahnya. Allah berfirman:

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu

(janji-janji itu).69

(QS. Al-Ma‟idah : 1)

Rasulullah SAW bersabda :

ث نا اب و الوليد ىشام بن ع ث نا ليث حد عن يزيد بن اب بد الملك حديعن عقبة عن النب صل اهلل عليو وسلم قال: ىحبيب عن اب ال

روط ان ت وف وا بو ما استحللتم بو الفروج احقم ما اوف يتم من 70الشم }رواه البخارى{

Artinya : “Diceritakan kepada kami dari Abu al-Walid Hisyam bin

Abdi al-Malik, dari Lais, dari Yazid bin Abi Habib, dari Abi

al-Khoir, dari Uqbah, dari Nabi SAW. Beliau bersabda:

“Syarat yang paling utama untuk dipenuhi adalah sesuatu

yang dengannya kamu pandang halal hubungan kelamin.”

(HR. Bukhori)

c. Syarat yang sejalan dengan tujuan akad nikah, dan tidak mengandung hal-hal

yang menyalahi hukum Allah dan Rasul. Contoh : pihak wanita mensyaratkan

harus diberi belanja, dipergauli dengan baik, tidak mencemarkan nama

68

Ibid., hlm. 53. 69

Yayasan penyelenggara penterjemah Al-Qur‟an, loc.cit., hlm. 156. 70

Al-Bukhori, Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shohih Bukhari, Juz I, Beirut: Daar wa

Matabi al-Sya‟bi, hlm. 26.

40

suaminya, dan sebagainya. Dalam hal ini wajib dipenuhi karena sesuai dengan

tujuan nikah.71

3. Akad Nikah Dalam Kompilasi Hukum Islam

Istilah perkawinan sebagai istilah Indonesia untuk pernikahan melalui

kompilasi sudah dibakukan dalam hukum Islam Indonesia. Akan tetapi istilah wali

nikah, saksi nikah atau akad nikah masih dipergunakan. Walaupun kita sudah paham

bahwa dalam hal ini tidak ada perbedaan antara “nikah” dan “kawin”.

Dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa perkawinan

menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau

Mitsaqon Ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya

merupakan ibadah.72

Di dalam Bab IV Kompilasi Hukum Islam telah diatur tentang rukun dan

syarat perkawinan sekalipun tidak tegas pembedaannya satu dengan lain. Pada pasal

14 menyebutkan apa yang biasa dalam kitab fikih disebut dengan rukun nikah.

Dikatakan bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada:

a. Calon suami;

b. Calon istri;

c. Wali Nikah;

d. Dua orang saksi, dan

e. Ijab dan Qabul.73

Pengertian tentang akad nikah disebutkan dalam pasal 1 huruf c ialah “akad

nikah rangkaian Ijab yang diucapkan oleh wali dan Qabul yang diucapkan oleh

mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi”.74

Dan tentang

pelaksanaan akad nikah diatur secara khusus dalam pasal 27, 28 dan 29.

71

Chuzamah T. Yanggo, A. Hafiz Anshary, Op. Cit., hlm. 55. 72

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademik Presindo, 1992, hlm. 21 73

Ibid., 74

Ibid.,

41

Pasal 27 Kompilasi Hukum Islam berbunyi :

“Ijab dan Qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntung dan

tidak berselang waktu”.

Pasal 28:

“Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang

bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain.”

Pasal 29:

1) Yang berhak mengucapkan Qabul ialah calon mempelai pria secara Pribadi

2) Dalam hal-hal tertentu ucapan Qabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain

dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis

bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.

3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria

diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.75

Berdasarkan pasal-pasal tersebut, dalam hal pelaksanaan akad nikah tidak

diberikan pengaturan tentang kemungkinan dilakukannya Ijab Qabul pada tempat

yang berbeda. Namun di sini yang lebih ditekankan bahwa calon mempelai dapat

menyatakannya melalui orang yang dikuasakan secara khusus.

Dengan pengaturan yang masih baku ini maka hakim dituntut untuk lebih

berperan aktif dalam memutuskan suatu perkara, karena keberadaan KHI itu sendiri

tidak dimaksudkan untuk memandulkan kreativitas dan penalaran serta bukan untuk

menutup pintu dalam melakukan terobosan dan pembaharuan hukum ke arah yang

lebih aktual. Misalnya saja tenang masalah pernikahan via telepon atau masalah-

masalah kontemporer lainnya yang erat kaitannya sebagai dampak dari

perkembangan zaman.

Lahirnya Kompilasi Hukum Islam dimaksudkan agar ke simpangsiuran

keputusan dalam lembaga-lembaga Peradilan Agama dan sebab-sebab khilaf yang

75

Departemen Agama R.I., Instruksi Presiden R.I. Nomor 1Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam Di

Indonesia, Jakarta, 2001, hlm23-24.

42

disebabkan oleh masalah fikih akan dapat diakhiri. Sehingga bahasa dan nilai-nilai

hukum yang dipertarungkan di forum Peradilan Agama oleh masyarakat pencari

keadilan, sama kaidah dan rumusannya dengan apa yang mesti diterapkan oleh para

hakim di seluruh nusantara.76

C. Konsep Akad Nikah Menurut Ulama Empat Madzhab

Para ulama madzhab sepakat bahwa pernikahan baru dianggap sah jika

dilakukan dengan akad, yang mencakup Ijab dan Qabul antara wanita yang dilamar

dengan lelaki yang melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya seperti wakil

dan wali, dan dianggap tidak sah semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa adanya

akad.

Para ulama madzhab juga sepakat bahwa nikah itu sah bila dilakukan dengan

menggunakan redaksi زوجت (aku mengawinkan) atau انكحت (aku menikahkan) dari pihak

yang dilamar atau orang yang mewakilinya dan redaksi Qabiltu (aku terima) atau Raditu

(aku setuju) dari pihak yang melamar atau orang yang mewakilinya.77

Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang sahnya akad nikah yang tidak

menggunakan redaksi Fi‟il Madli (yang menunjukkan telah), atau menggunakan lafal

yang bukan bentukan dari akar kata النكاح dan الزواج , seperti akar kata hibah

(pemberian), الب يع (penjualan), dan yang sejenisnya.

Madzhab Hanafi berpendapat bahwa akad boleh dilakukan dengan segala

redaksi yang menunjukkan maksud menikah, bahkan sekalipun dengan lafal Al-Tamlik

(pemilikan), Al-Hibah (penyerahan), Al-Bay‟ (penjualan), Al-„Atha‟ (pemberian), Al-

76 Ibid.,

77 Muhammad Jawad Mughniyah, loc.cit, hlm. 313.

43

Ibahah (pembolehan), dan Al-Ihlal (penghalalan), sepanjang akad tersebut disertai

dengan Qarinah (kaitan) yang menunjukkan arti nikah. Akan tetapi akad tidak sah jika

dilakukan dengan lafal Al-Ijarah (sewa) atau al-„Ariyah (pinjaman), sebab kedua kata

tersebut tidak memberi arti kelestarian atau kontinuitas.

Maliki dan Hanbali berpendapat: Akad nikah dianggap sah jika menggunakan

lafal Al-Nikah dan Al-Zawaj serta lafal-lafal bentukannya. Juga dianggap sah dengan

lafal-lafal Al-Hibah, dengan syarat harus disertai penyebutan mas kawin, selain kata-kata

tersebut di atas tidak dianggap sah.

Sementara itu, madzhab Syafi‟i berpendapat bahwa, redaksi akad harus

merupakan kata bentukan dari lafal Al-Tazwij dan Al-Nikah saja, selain itu tidak sah.

Berdasarkan hukum asalnya, Ijab itu datangnya dari pengantin wanita,

sedangkan Qabul dari pengantin laki-laki. Wali mengatakan , “Saya nikahkan anak

perempuanku kepadamu,” lalu pengantin laki-laki menjawab, “saya terima nikah

denganmu”. Andaikata Qabul didahulukan, dimana pengantin laki-laki mengatakan

kepada wali, “Nikahkan saya dengan dia”, lalu wali berkata, “Saya nikahkan kamu

dengannya”, timbul pertanyaan: apakah akad tersebut sah atau tidak?

Imamiyah dan tiga madzhab lainnya mengatakan sah, sedangkan HaNbali

mengatakan tidak sah.78

78

Ibid., hlm. 313

44

BAB III

PENDAPAT IBNU QUDAMAH TENTANG TIDAK SAHNYA AKAD NIKAH

DENGAN MENDAHULUKAN QABUL DAN MENGAKHIRKAN IJAB

A. Sekilas Biografi Ibnu Qudamah

Ibnu Qudamah adalah salah seorang pemikir dari mazhab Hanbali dan bahkan ia

merupakan ulama besar dari mazhab tersebut. Nama lengkapnya adalah Muwaffaqudin Abu

Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah. Ia terlahir di kota Jamail,

Yerussalem, Syakban 541 H atau Januari – Februari 1147 M. dan ia meninggal di kota

Damaskus, 6 Jumadil Akhir 620 H atau 6-7 Juli 1233 M. Ibnu Qudamah adalah sosok ulama

besar serta penulis kitab-kitab fiqh dari Mazhab Hanbali.79

Menurut para sejarawan, Ibnu Qudamah adalah keturunan Umar bin Khattab melalui

jalur Abdullah bin Umar bin Khattab. Ia hidup ketika perang salib sedang berlangsung,

khususnya di daerah Syam atau Syuriah sekarang. Dari akibat perang salib tersebut

keluarganya mengasingkan diri ke Yerussalem pada tahun 551 H dan bermukim di sana

selama dua tahun. Kemudian keluarga ini pindah ke Jabal Qasiyun, yaitu sebuah desa di

Lebanon. Di desa inilah Ibnu Qudamah memulai pendidikannya dengan mempelajari Al-

Quran dari ayahnya dan Syaikh lain.80

Pada usia dua puluh tahun, Ibnu Qudamah mulai mengembara untuk menimba ilmu,

khususnya di bidang fiqh. Dan pada tahun 561 H, dengan ditemani pamannya, ia berangkat ke

Iraq untuk belajar dari Syaikh Abdul Qadir Al-Jaelani selama empat tahun. Ia kembali ke

Damaskus untuk melanjutkan kembali pelajarannya. Pada tahun 578 H, ia pergi ke Mekkah

79

Hasan Muarif Ambari, et.al., Suplemen Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1966, hlm. 212.

80 Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1996. Hlm. 619.

45

Al-Mukarrahmah dan belajar dari Syaikh Al-Mubarak bin Ali bin Husain bin Abdullah bin

Muhammad at-Tabbakh Al-Bagdadi, seorang ulama besar mazhab Hanbali di bidang fiqh dan

ushul fiqh. Kemudian ia kembali ke Baghdad lagi dan berguru pada Ibnu Manni selama

setahun. Ibnu Manni juga termasuk salah satu ahli fiqh dan ushul fiqh dari mazhab Hanbali.

Kemudian setelah itu, ia kembali ke Damaskus untuk mengembangkan ilmu yang didapatnya

dengan mengajar dan menulis buku. Murid-muridnya yang menonjol antara lain adalah dua

orang anak dari saudaranya sendiri, yakni Abu Al-Fajr Abdurrahman bin Muhammad bin

Qudamah (seorang ketua Mahkamah Agung di Damaskus) dan Al-Imad Ibrahim bin Abdul

Wahid bin Ali bin Surur al Mugdisi al-Dimisqi (pada akhirnya ia juga ulama besar mazhab

Hanbali). Sejak saat itulah Ibnu Qudamah tidak pernah lagi keluar Damaskus. Selain

mengajar dan menulis buku, sisa hidupnya juga diabdikan untuk menghadapi perang salib

melalui pidatonya yang tajam dan membakar semangat umat Islam.81

Pada tahun 561 H, dengan ditemani pamannya, Ibnu Qudamah berangkat ke Irak

untuk menimba ilmu, khususnya di bidang fiqih. Ia menimba ilmu di Irak selama 4 tahun dari

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani (ahli fiqih, 470 H/1077 M-561 H/1166 M) dan beberapa syaikh

lain. Kemudian Ia kembali ke Damaskus untuk menimba ilmu lagi dari beberapa orang

ulamabesar Damaskus. Pada tahun 578 H, Ia pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji,

sekaligus menimba ilmu dari Syaikh al-Mubarak bin Ali bin al-Husain bin Abdillah bin

Muhammad at-Tabbakh al-Baghdadi (w. 575 H), seorang ulama besar Madzhab Hanbali di

bidang fiqh dan ushul fiqh. Kemudian Ia kembali ke Baghdad dan berguru selama satu

tahunkepada Ibnu al-Manni, yang juga seorang ulama besar Madzhab Hanbali di bidang fiqih

dan ushul fiqih. Setelah itu, Ia kembali ke Damaskus untuk menyumbangkan ilmunya dengan

mengajar dan menulis buku. Murid-muridnya yang menoonjol antara lain adalah dua orang

anak saudaranya sendiri, yakni Abu al-Fajr Abdurrahman bin Muhammad bin Qudamah

81 Hasan Muarif Ambari, et.al., loc.cit., hlm. 213.

46

(ketika itu ketua Mahkamah Agung Damaskus) dan al-Imad Ibrahim bin Abdul Wahid bin

Ali bin Surur al-Maqdisi ad-Dimasyqi (di kemudian hari menjadi seorang ulama besar di

kalangan Madzhab Hanbali).82

Ibnu Qudamah dikenal oleh Ulama sezamannya sebagai seorang Ulama besar yang

sarat dengan berbagai ilmu. Ia menguasai berbagai ilmu sehingga gurunya sendiri, Ibnu

Manni dari Bagdad, mengakui keunggulan dan kecerdasan Ibnu Qudamah. Ketika Ibnu

Qudamah akan meninggalkan Iraq, Ibnu Manni berkata “Tingallah di Iraq ini, karena jika

engkau berangkat tidak ada lagi Ulama yang sebanding dengan engkau di Iraq”. Dan tidak

hanya itu saja, seorang Ulama dan pemikir Islam, Ibnu Taimiyah, mengakui “Setelah Al

Auzai (seorang pengumpul hadis pertama di Syam), Ulama besar di Syuriah adalah Ibnu

Qudamah.83

Dari hasil pemikirannya dalam berbagai keilmuannya itu, ia meninggalkan beberapa

karya besarnya yang hingga saat ini masih menjadi standar sekaligus sebagai rujukan oleh

generasi di bawahnya dalam mazhab Hanbali. Menurut penelitian Abdul Aziz Abdurrahman

Al Said, seorang tokoh fiqh Saudi Arabia yang menulis tesis dengan judul Ibnu Qudamah Wa

Asaruh al-Ushuliyyah (Ibnu Qudamah dan Pengaruh Usulnya), karya Ibnu Qudamah

seluruhnya dalam berbagai bidang ilmu berjumlah tiga puluh satu buah dalam ukuran besar

dan kecil.84

Karya-karya besar Ibnu Qudamah antara lain adalah: (1) Al Mughni, terdiri atas

sepuluh jilid; memuat seluruh permasalahan fiqh, mulai dari ibadah, muamalat dengan segala

aspeknya, sampai kepada masalah perang dan kitab ini telah dicetak beberapa kali dan

beredar di berbagai belahan dunia Islam, (2) Al- Kafi, terdiri atas tiga jilid besar; merupakan

ringkasan Bab Fiqh, (3) Al-Muqni, kitab fiqh yang terdiri atas tiga jilid besar, tetapi tidak

82

Abdul Aziz, loc.cit., hlm. 619. 83 Hasan Muarif Ambari, et.al., loc.cit., hlm. 213. 84 Ibid.

47

selengkap Al-Mughni, (4) Al „Umdah fi al-Fiqh, yaitu tiga kitab fiqh kecil yang disusun

untuk para pemula dengan mengemukakan argumentasi dari Al-Quran dan Sunnah, (5)

Raudah An- Nazir fi Usul al-Fiqh, membahas persoalan usul fiqh dan merupakan kitab usul

fiqh dan kitab ini merupakan kitab ushul fiqh yang tertua dalam Mazhab Hanbali. Pada

ahirnya kitab ini diringkas oleh Najmuddin Al-Tufi, (6) Mukhtasar Ila Al Hadits, kitab ini

mengupas tentang cacat-cacat hadis, (7) Mukhtasar fi Garib Al- Hadis, menerangkan tentang

hadis-hadis gharib, (8) Al Burhan fi Masaili AQuran, kitab ini membahas tentang ilmu-ilmu

Al-Quran, (9) Kitab Al Qadr, terdiri atas dua jilid; yang menerangkan tentang Kadar, (10)

Fadhail Al-Sahabah, menerangkan tentang kelebihan-kelebihan para sahabat, (11) Kitab Al-

Tawwabin fi Al-Hadis, terdiri atas dua jilid; membahas tentang tobat dalam hadis, (12) Al

Mutahabbin fi Allah, kitab tasawuf, (13) Al-Istitsar fi Nasb Al-Ansar, membahas tentang

keturunan orang-orang Anshor, (14) Manasik AL-Haji, membahas tentang tata cara haji dan

(15) Zamm Al-Ta‟wil, membahas tentang persoalan ta‟wil.85

Dari sekian banyak karya-karya Iman Ibnu Qudamah, dua kitabnya yakni Al-Mughni

dan Raudah al-Nazir, menjadi rujukan para Ulama. Al Mughni merupakan kitab fiqh standar

dalam mazhab Hanbali, keistemewaan kitab ini adalah bahwa pendapat kalangan mazhab

Hanbali mengenai satu masalah senantiasa dibandingkan dengan pendapat dari mazhab

lainnya. Jika pendapat mazhab Hanbali berbeda dengan pendapat lainnya, selalu diberikan

alasan dari ayat atau hadis terhadap pendapat kalangan mazhab Hanbali, sehingga banyak

sekali dijumpai ungkapan “ walana Hadits Rasulillah…” (alasan kami adalah hadis

Rasulillah). Dalam kitab ini terlihat jelas keterikatan Ibnu Qudamah kepada teks ayat atau

hadits, sesuai dengan prinsip mazhab Hanbali. Karena itu jarang sekali beliau menggunakan

argumentasi akal.86

85 Ibid, hlm. 213. 86 Hasan Mu’arif, et.al., Ibid, hlm 213.

48

Demikian halnya dengan kitab Raudah-nya, dibidang usul fiqh, ia sejalan dengan

prinsip ushul fiqh dalam Mazhab Hanbali dan dianggap sebagai kitab ushul standar dalam

mazhab tersebut. Dalam kitab ini, Ibnu Qudamah membahas berbagai persoalan ushul fiqh,

dengan membuat perbandingan teori ushul Mazhab lainnya. Ia belum berhenti membahas

suatu masalah sebelum setiap pendapat didiskusikan dari berbagai aspek pembahasan,

kemudian ditutup dengan pendapatnya atau pendapat mazhab Hanbali.87

B. Pendapat Ibnu Qudamah Tentang Tidak Sahnya Akad Nikah Dengan Mendahulukan

Qabul Dan Mengakhirkan Ijab

Dalam kitab Al-Kafie fi Fiqh Al-Iman Ahmad bin Hanbal, Ibnu Qudamah

berpendapat dalam masalah Ijab dan Qabul, sebagai berikut:

الشرط الامس من شروط النكاح : الجياب والقبول. ول يصح الجياب ال بلفظ النكاح، ، فيقول: قبلت ىذا النكاح. وان اقتصر على قبلت، صح، لن او تزويج. واما القبول

وان تقدم القبول على اإلجياب ، مل يصح القبول يرجع اىل ما او جبو الوىل، كما يف البيع. 88.، ألن القبول إمنا ىو باإلجياب ، فيشرتط تأخره عنو

Artinya: Syarat yang kelima dari syarat nikah adalah Ijab dan Qabul. dan tidak sah suatu

Ijab kecuali dengan lafadz Nikah atau Tazwij. Dan adapun qabul maka ucapannya

adalah saya terima pernikahan ini. Dan apabila hanya diucapkan Qabiltu, sah,

karena sesungguhnya ucapan Qabul ada karena Ijab atau jawaban dari wali, seperti

dalam jual-beli. Sesungguhnya mendahulukan Qabul atas Ijab, tidaklah sah, karena

sesungguhnya adanya Qabul sebab adanya Ijab, maka syaratnya mengakhirkan

Qabul dari Ijab.

Ketika Qabul mendahului Ijab hukumnya tidak sah. Baik menggunakan kata-kata

Madli, seperti ”telah aku peristri anak perempuanmu”, kemudian dijawab: “ya, telah aku

jodohkan anakku denganmu”. Atau dengan lafal Thalab (permohonan), seperti kata-kata:

87 Ibid, hlm. 213. 88

Syaikh al-Islam Abi Muhammad Muwaffaq ad-Dien Abdullah bin Qudamah al-Maqdisiy, al-Kafie fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal juz III, Beirut: Darul Fikr, 1992, hlm. 20-21.

49

“jodohkan aku dengan anak perempuanmu”, kemudian menjawab: “ya, telah aku jodohkan

kamu dengan putriku”.

Adapun Hanafi, Malik, Syafi‟i mengesahkan adanya Qabul sebelum Ijab baik

menggunakan kata-kata Madli atau Thalab. Sebab terkadang ditemui juga adanya Ijab dan

Qabul seperti itu. Maka sah hukumnya seperti ketika Ijab mendahului Qabul. Dan bagi kami

(Imam Hanbali) bahwa sesungguhnya Qabul tidak akan ada kecuali adanya Ijab. Maka bila

mana ditemukan Qabul sebelum Ijab maka tidak bisa disebut Qabul karena tidak ada artinya,

maka tidak sah.89

Adapun ungkapan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab adalah:

1. Contoh pertama

Pihak mempelai laki-laki lebih dahulu mengucapkan Qabul.

قبلت نكاح فلنة.....Saya terima nikahnya.....

Kemudian wali mengucapkan:

انكحتكها.....Saya nikahkan.....

2. Contoh kedua

Pihak mempelai laki-laki lebih dahulu mengucapkan Qabul:

.....زوجت اب نتك Telah aku peristri putrimu.....

kemudian wali mengucapkan:

جتك.....زو Telah aku jodohkan putriku denganmu....

89 Syaikh al-Islam Abi Muhammad Muwaffaq ad-Dien Abdullah bin Qudamah al-Maqdisiy, Al-Mughni,

Beirut: Darul Kutub, 1996, hlm.430-431.

50

3. Contoh ketiga

Pihak mempelai laki-laki lebih dahulu mengucapkan Qabul:

زوجن اب نتك.....Jodohkanlah denganku anak perempuanmu.....

kemudian wali mengucapkan:

زوجتكها.....Telah aku jodohkan kamu dengan putriku.....

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa, pendapat Ibnu Qudamah tentang

Ijab oleh pihak laki-laki lebih dahulu lalu disusul Qabul oleh pihak perempuan dalam akad

nikah hukumnya tidak sah.

C. Metode Istinbath Hukum Yang Digunakan Ibnu Qudamah Tentang Tidak Sahnya

Akad Nikah Dengan Mendahulukan Qabul Dan Mengakhirkan Ijab

Istinbath merupakan sistem atau metode para mujtahid guna menemukan atau

menetapkan suatu hukum. Istinbath erat kaitannya dengan ushul fiqh, karena ushul fiqh

dengan segala kaitannya tidak lain merupakan hasil ijtihad para mujtahidin dalam

menemukan hukum dari sumbernya (al-Qur‟an dan as-sunnah).

Ibnu Qudamah dalam melakukan istinbath hukum tentang tidak sahnya akad nikah

dengan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab menggunakan langkah sebagai berikut:

1. Al-Qur‟an

Al-Qur‟an adalah Kalam Allah yang diturunkan oleh-Nya melalui perantaraan

malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah Muhammad bin Abdullah dengan lafaz yang

51

berbahasa Arab dan makna-maknanya yang benar, menjadi undang-undang bagi manusia

yang mengikuti petunjuknya.90

Dalam al-Qur‟an tidak ada yang membahas secara khusus dan rinci tentang

masalah ijab dan qabul dalam akad nikah, akan tetapi beberapa ayat Al Qur‟an bisa

dijadikan rujukan (dalil). Dalam al-Qur‟an mengenai akad nikah diungkapkan dengan

Mitsaqon Ghalizhan yang artinya perjanjian yang kuat. Di antaranya Firman Allah

SWT.:

Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah

bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-

isteriermu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.91

(QS. An-Nisa:

21)

2. Sunnah

Sunnah Nabi adalah ucapan, perbuatan serta ketetapan-ketetapan Nabi

Muhammad SAW. Dengan demikian sunnah dilihat dari segi materi dan esensinya

terbagi menjadi tiga macam:

a. Sunnah Qauliyah (ucapan)

b. Sunnah Fi‟liyah (perbuatan)

c. Sunnah Taqririyah (ketetapan)92

Dalam masalah Ijab penulis lebih melihat pada dalil yang secara umum, yaitu:

رواه (جهن بكلمة اهلل. ات قوا اهلل ف النساء فانكم اخذ توىن بأمانة اهلل واستحللتم ف رو 93)مسلم

90 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994, hlm. 18. 91 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, Al Qur‟an dan Terjemahnya, Jakarta: CV. Atlas,

1998, hlm. 120.

92 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus 1994, hlm. 149. 93 Muslim, Shahih Muslim, Juz I, Semarang, Toha Putra, t.th, hlm.593.

52

Artinya: “Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan, sesungguhnya kamu ambil

mereka dengan kepercayaan Allah, dan kamu halalkan kehormatan mereka

dengan kalimat Allah.” (HR. Muslim)

Adapun sebuah hadits yang menunjukkan bahwa Ijab itu hak perempuan dan

Qabul kewajiban laki-laki:

ا امرأة مل ي نكحها الولم فنكاحها باطل فنكاحها باطل فنكاحها باطل ف إن أيملطان ولم من ل ول لو ها فإن اشتجروا فالسم 94أصاب ها ف لها مهرىا با أصاب من

Artinya: “Wanita manapun yang tidak dinikahkan oleh wali maka pernikahannya tidak

sah, beliau mengucapkannya tiga kali. Jika telah melakukan hubungan badan,

maka wanita itu tetap berhak menerima mahar (maskawin) karena hubungan

badannya itu. Jika mereka berselisih maka pemerintah adalah wali bagi orang

yang tidak memiliki wali.” (H.R. Ahmad)

3. Aqwalus Sahabat

Sahabat adalah orang-orang yang bertemu Rasulallah SAW, yang langsung

menerima risalahnya, dan mendengar langsung penjelesan syari‟at dari beliau sendiri.

Oleh karena itu Jumhur Fuqaha telah menetapkan bahwa pendapat mereka dapat

dijadikan Hujjah setelah dalil-dalil Nash.

Dalam menetapkan fatwa-fatwa sahabat sebagai Hujjah, Jumhur Fuqaha

mengemukakan beberapa argumentasi, baik dengan dalil Aqli maupun Naqli.95

4. Qiyas

Secara bahasa (Arab) Qiyas berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu,

membandingkan, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain.96

94

Imam Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Bab La Nikah Illa Biwaliy, Juz V, Aplikasi Maktabah

Syamilah, hlm. 486.

95 Muhamad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994, hlm. 328. 96 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1996, hlm. 62.

53

Menurut Ulama ushul fiqh, Qiyas berarti menyamakan sesuatu kejadian yang

tidak ada nash kepada kejadian lain yang ada nashnya pada nash hukum yang telah

menetapkan lantaran adanya kesamaan diantara dua kejadian itu dalam illat (sebab

terjadinya) hukum.97

5. Istishhab

Ibnu Qudamah dalam menggali hukum tentang tidak sahnya akad nikah dengan

mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab adalah berdasarkan Al-Quran, dan Sunnah.

Kemudian metode yang beliau gunakan dalam melakukan ijtihad adalah dengan metode

Istishhab, meskipun tidak secara tegas menyebutkan istilah tersebut, akan tetapi hal ini

dapat dipahami dari pendapat dan langkah-langkah cara berpikir beliau dalam

menetapkan sebuah hukum.

Ditinjau dari segi bahasa, Istishhab berarti: persahabatan dan kelanggengan

persahabatan98

. Dalam literatur lain Istishhab berarti pengakuan terhadap hubungan

pernikahan99

, atau membandingkan sesuatu dan membandingkannya100

.

Secara terminologi ada beberapa definisi Istishhab yang dikemukakan para ahli

ushul fiqh. Imam Al-Ghozali,101

mendefinisikan Istishhab dengan: “berpegang pada dalil

akal atau syara‟, bukan didasarkan karena tidak mengetahui adanya dalil, tetapi setelah

dilakukan pembahasan dan penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah

hukum yang telah ada.” Maksudnya, apabila dalam suatu kasus telah ada hukumnya dan

tidak diketahui dalil lain yang mengubah hukum tersebut, maka hukum yang telah ada di

masa lampau itu tetap berlaku sebagaimana adanya.

97 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, alih bahasa Masdar Helmy, cet. Ke-7, Bandung: Gema

Risalah Press, 1996, Hlm. 92-93. 98 Muhamad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994, hlm. 450. 99 Abdul Wahab Khalaf, loc.cit., hlm. 152. 100

Nasrun Haroen, loc.cit., hlm. 128. 101 Abu Hamid Al-Ghazali, Syifa Al-Ghalil Fi Bayan Al-Syabah Wa Al-Mukhil Wa Masalik Al-Ta’lil, tahqiq

Ahmad Al-Kabisi, jilid I, Baghdad: Mathba’ah Al-Irsyad, 1971, hlm. 128, dan Dr. H. Nasrun Haroen M.A., op.cit.

54

Ibn Hazm,102

mendefinisikan Istishhab dengan: “berlakunya hukum asal yang

ditetapkan berdasarkan nash (ayat dan hadits) sampai ada dalil lain yang menunjukkan

perubahan hukum tersebut.”

Kedua definisi ini, pada dasarnya, mengandung pengertian bahwa hukum-

hukum yang sudah ada pada masa lampau tetap berlaku untuk zaman sekarang dan yang

akan datang, selama tidak ada dalil lain yang mengubah hukum itu.103

Ibnu Qudamah berpendapat tentang tidak sahnya akad nikah dengan

mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab karena menurut beliau, berdasarkan nash

dan sunnah di atas, hukum asal Ijab adalah dari pihak wali si perempuan (penyerahan),

dan Qabul adalah dari pihak calon suami (penerimaan), maka syaratnya Qabul harus

diakhirkan karena adanya Qabul itu timbul karena adanya Ijab. Dengan kata lain, Ijab

dan Qabul harus tertib berurutan. Dan ketika ditemukan Qabul sebelum Ijab maka tidak

bisa disebut Qabul karena tidak ada artinya, maka tidak sah.

102

Ibn Hazm Al-Andalusi, Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam, jilid V, Beirut: Dar Al-Fikr, hlm. 590, dan Muhammad Abu Zahrah, Ibn Hazm Al-Andalusi, Mesir: Dar Al-Fikr Al-‘Arabi, t.t., hlm. 373.

103 Nasrun Haroen, loc.cit., hlm. 128-129.

55

BAB IV

ANALISIS PENDAPAT IBNU QUDAMAH TENTANG TIDAK SAHNYA AKAD

NIKAH DENGAN MENDAHULUKAN QABUL DAN MENGAKHIRKAN IJAB

A. Analisis Pendapat Ibnu Qudamah Tentang Tidak Sahnya Akad Nikah Dengan

Mendahulukan Qabul Dan Mengakhirkan Ijab

Pernikahan dalam Islam merupakan suatu perikatan yang sangat agung

(Aghladhu Al-Mawatsiq) dan suci antara seorang lelaki dan wanita guna menciptakan

keluarga bahagia yang diridhai oleh Allah SWT. Hal ini disebabkan karena perikatan

merupakan suatu cara yang dipilih oleh Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak

dan mengembang biakkan keturunan. Oleh karena itu disyaratkan agar masing-masing

pihak agar siap baik secara lahir maupun batin untuk dapat melaksanakan perannya

dengan positif dalam rangka mewujudkan suatu tujuan pernikahan.104

Salah satu syarat pernikahan adalah Ijab dan Qabul. Di kalangan masyarakat

pada umumnya saat terjadi pernikahan, diadakan Walimatul ‟Urs. Saat bahagia bagi

kedua calon mempelai, dimana mereka akan melangkah pada keputusan untuk menjalani

hidup baru dengan calon mempelai masing-masing. Saat mendebarkan dan puncak acara

adalah ketika pelaksanaan akad nikah. Ijab diutarakan oleh wali calon mempelai

perempuan, dan Qabul oleh mempelai laki-laki. Serta disaksikan oleh dua orang saksi.

Seperti itulah adanya.

Akan tetapi ketika penulis menggali lebih dalam dari dasar hukumnya, penulis

temukan kejanggalan yang aneh. Karena dari yang berkembang di masyarakat,

pelaksanaan akad nikah tidak memungkinkan adanya mendahulukan Qabul dan

mengakhirkan Ijab. Meskipun mayoritas mengaku bermadzhab Syafi‟i, tidak terelakkan

104

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, terj,, Moh Thalib, juz 6, Bandung: Al-Ma‟arif, 1997, hlm 9.

56

bahwa Imam Syafi‟i sendiri berpendapat tentang akad nikah dengan mendahulukan

Qabul dan mengakhirkan Ijab adalah sah, yang terpenting adalah pencapaian maksud

dari dilaksanakannya akad tersebut. Pendapat ini didukung pula oleh Madzhab lainnya,

yaitu Hanafi, Maliki. Hal inilah yang memicu penulis untuk menggali lebih dalam

tentang tidak sahnya akad nikah dengan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab.

Ulama fiqh sepakat tentang redaksi dari Ijab dan Qabul memiliki persamaan

yaitu sah ketika dilakukan dengan menggunakan redaksi زوجت (aku mengawinkan) atau

dari pihak yang dilamar atau orang yang mewakilinya dan (aku menikahkan)انكحت

redaksi Qabiltu (aku terima) atau Raditu (aku setuju) dari pihak yang melamar atau

orang yang mewakilinya.

Namun ketika pelaksanaan akad nikah mendahulukan Qabul dan mengakhirkan

Ijab terjadi perbedaan pendapat. Imam hanafi, Imam Malik, Imam Syafi‟i mengesahkan.

Adapun alasan ketiga Imam Madzhab lainnya adalah yang terpenting maksud tujuan

akad nikah tersebut tercapai.

Sebagaimana yang telah penulis uraikan dalam bab III, menurut Ibnu Qudamah

bahwa tidak sah akad nikah dengan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab,

dengan alasan adanya Qabul sebab adanya Ijab, maka syaratnya mengakhirkan Qabul

dari Ijab. Baik menggunakan kata-kata Madli, Thalab, maupun Istifham. Jadi, Qabul

tidak akan ada kecuali adanya Ijab. Bila mana ditemukan Qabul sebelum Ijab maka tidak

bisa disebut Qabul karena tidak ada artinya, sehingga tidak sah. Sebagaimana tertulis

dengan jelas dalam kitab beliau Al-Kafie Fi Fiqh Al-Imam Ahmad Bin Hanbal, beliau

berpendapat:

57

فيشرتط ، باإلجياب ىو إمنا القبول ألن ، يصح مل ، باإلجيا على القبول تقدم نوإ 105.عنو تأخره

Artinya: jika mendahulukan Qabul atas Ijab, maka tidaklah sah, karena sesungguhnya

adanya Qabul sebab adanya Ijab, maka syaratnya mengakhirkan Qabul dari

Ijab.

Namun menurut penulis penggunaan lafadz Thalab tidak menjadi permasalahan

ketiha Qabul didahulukan dari Ijab. Karena tidak bertentangan dengan pendapat Ibnu

Qudamah yang menentukan berdasarkan hukum asalnya. Justru sangat relevan untuk

diterapkan pada zaman sekarang dan dapat dijadikan inovasi baru pengungkapan Ijab

Qabul sebagai penyetaraan perkembangan persamaan gender dan tidak dapat dipungkuri

laki-laki banyak tergila-gila oleh kaum hawa. Jadi pelaksanaannya dari pihak mempelai

laki-laki mengajukan permohonan kepada pihak mempelai perempuan (wali) untuk

disetujui menjalin rumah tangga dengannya. seperti contoh:

Pihak mempelai laki-laki lebih dahulu mengucapkan Qabul:

زوجن اب نتك.....Jodohkanlah denganku anak perempuanmu.....

kemudian wali mengucapkan:

زوجتكها.....Telah aku jodohkan kamu dengan putriku.....

Adapun sebuah hadits yang menunjukkan bahwa Ijab itu hak perempuan dan

Qabul kewajiban laki-laki:

105

Syaikh al-Islam Abi Muhammad Muwaffaq ad-Dien Abdullah bin Qudamah al-Maqdisiy, al-Kafie

fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal juz III, Beirut: Darul Fikr, 1992, hlm. 20-21.

58

ا امرأة مل ي نكحها الولم فنكاحها باطل فنكاحها باطل فنكاحها باطل فإن أيمه لطان ولم من ل ول أصاب ها ف لها مهرىا با أصاب من ا فإن اشتجروا فالسم

106لو Artinya: “Wanita manapun yang tidak dinikahkan oleh wali maka pernikahannya tidak

sah, maka pernikahannya tidak sah, maka pernikahannya tidak sah. Jika telah

melakukan hubungan badan, maka wanita itu tetap berhak menerima mahar

(maskawin) karena hubungan badannya itu. Jika mereka berselisih maka

pemerintah adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.” (H.R. Ahmad)

Dari pemikiran Ibnu Qudamah tersebut, dapat diartikan bahwa yang disebut

akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan

perkawinan dalam bentuk Ijab dan Qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak wali si

perempuan, dan Qabul adalah penerimaan dari pihak calon suami. Lebih lanjut dalam

persoalan Ijab beliau mensyaratkan bahwa Ijab dan Qabul itu haruslah dari kata-kata

yang tersebut dalam al-Qur‟an, yaitu Lafadz Nikah dan Tazwij atau terjemahannya

seperti kawin dan nikah.

Berdasarkan hukum asalnya, Ijab itu datangnya dari pihak wali si perempuan,

dan Qabul dari pihak calon suami.107

Dalam hal ini, seluruh Ulama sepakat; Namun

ketika dihadapkan dengan kemungkinan bila terjadi dalam suatu akad nikah, dimana

Qabul didahulukan dari Ijab, terdapat perbedaan pendapat. Yang mengesahkan

berpendapat yang terpenting adalah tercapainya maksud diadakannya akad nikah. Di sini penulis melihat bahwa apa yang diungkapkan Ibnu Qudamah dalam

masalah Qabul didahulukan dan Ijab diakhirkan di dalam akad nikah, melihat praktek

yang ada bahwa Ijab dilakukan dari pihak perempuan (wali), dan mempelai laki-laki

106

Imam Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Bab La Nikah Illa Biwaliy, Juz V, Aplikasi Maktabah

Syamilah, hlm. 486.

107 Muhammad Jawad Mughniyyah, Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah, Beirut: Darul „Ilmi Lilmalayin, 1964,

hlm. 11.

59

secara urut/tertib yaitu Ijab dulu oleh pihak wali kemudian disusul Qabul dari pihak

mempelai laki-laki.

Dari keterangan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa, pendapat Ibnu

Qudamah sangat relevan dalam konteks pada masa zaman sekarang, karena melihat Ijab

dan Qabul pada umumnya dimulai dari wali dan calon suami, sesuai dengan bentuk

urutannya. Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam pasal pasal

27, 28 dan 29.

Pasal 27 Kompilasi Hukum Islam berbunyi :

“Ijab dan Qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan

tidak berselang waktu”.

Pasal 28:

“Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang

bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain.”

Pasal 29:

1) Yang berhak mengucapkan Qabul ialah calon mempelai pria secara Pribadi

2) Dalam hal-hal tertentu ucapan Qabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain

dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis

bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.

3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria

diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.108

Jadi, Ijab Qabul itu harus tertib yaitu Ijab dulu dari pihak perempuan, baru

kemudian Qabul dari pihak mempelai laki-laki. Sesuai dengan isi dari dari Ijab Qabul itu

sendiri mengandung serah terima dari pihak wali kepada suami agar bertanggung jawab

atas hak-haknya sebagai suami terhadap isterinya. Posisi suami dalam akad nikah sebagai

108

Departemen Agama R.I., Instruksi Presiden R.I. Nomor 1Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam Di

Indonesia, Jakarta, 2001, hlm23-24.

60

orang yang diberi beban tanggung jawab maka harus ada penyerahan dari pihak wali

karena wanita tidak bisa menikahkan dirinya sendiri.

B. Analisis Metode Istinbath Hukum Yang Digunakan Ibnu Qudamah Tentang Tidak

Sahnya Akad Nikah Dengan Mendahulukan Qabul Dan Mengakhirkan Ijab

Setiap ketetapan hukum mempunyai sumber pengambilan dalam ilmu Fiqh di

kenal istilah istinbath hukum, setiap istinbath (pengambilan hukum) dalam syariat Islam

harus berpijak atas Al-Qur‟an da As-Sunnah.

Istinbath merupakan sistem atau metode para mujtahid guna menemukan atau

menetapkan suatu hukum. Istinbath erat kaitannya dengan ushul fiqh, karena ushul fiqh

dengan segala kaitannya tidak lain merupakan hasil ijtihad para mujtahidin dalam

menemukan hukum dari sumbernya (Al-Qur‟an dan As-Sunnah).

Nash yang menjadi dalil hukum Islam baik Al-Qur‟an sebagai sumber hukum

pertama maupun Sunnah Nabi SAW. Sebagai sumber kedua adalah berbahasa Arab.

Untuk memahaminya dengan baik membutuhkan kemampuan memahami bahasa dan

ilmu bahasa Arab dengan baik pula. Seseorang harus mengerti betul kehalusan dan

kedalaman yang dimaksud oleh bahasa itu (dalalah-nya). Begitu pula harus dipahami

tentang cara mengutarakan sesuatu, apakah dengan bentuk hakikat ataukah dengan

bentuk majaz (kiasan).

Menurut analisis penulis, Ibnu Qudamah dalam beristinbath tentang tidak

sahnya akad nikah dengan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab menggunakan

metode Istishhab, dan dasar beliau menggunakan Al-Qur‟an dan Hadits.

Ibnu Qudamah secara tersirat mendefinisikan Ijab dan Qabul yaitu: Ijab adalah

penyerahan dari pihak pertama yaitu wali dari calon mempelai perempuan, Qabul adalah

penerimaan dari pihak kedua yaitu calon mempelai laki-laki.

61

Dari pengamatan penulis, jelas terlihat bahwasanya Ibnu Qudamah mengangkat

pendapat berdasarkan makna tekstual yang ada. Beliau mempunyai pemikiran yang luas

terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi umat Islam, baik itu yang telah

terjadi, maupun yang belum pernah terjadi, karena kehati-hatiannya dalam menentukan

hukum. Pendapat beliau sesuai dengan firma Allah SWT.:

Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah

bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-

isteriermu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.109

(QS. An-

Nisa: 21)

Dari ayat di tersebut, akad nikah bukanlah sekedar perjanjian yang yang bersifat

keperdataan. Akad nikah dinyatakan sebagai perjanjian yang kuat yang disebut dalam

Al-Qur‟an dengan ungkapan: ميثاقا غليظا yang mana perjanjian itu bukan hanya disaksikan

oleh dua orang saksi yang ditentukan atau orang banyak yang hadir pada waktu

berlangsungnya akad perkawinan, tetapi juga disaksikan oleh Allah SWT.

Dalam masalah Ijab penulis lebih melihat pada dalil yang secara umum, yaitu:

رواه (انكم اخذ توىن بأمانة اهلل واستحللتم ف روجهن بكلمة اهلل. ات قوا اهلل ف النساء ف 110)مسلم

Artinya: “Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan, sesungguhnya kamu ambil

mereka dengan kepercayaan Allah, dan kamu halalkan kehormatan mereka

dengan kalimat Allah.” (HR. Muslim)

Adapun sebuah hadits yang menunjukkan bahwa Ijab itu hak perempuan dan

Qabul kewajiban laki-laki:

109

Yayasan penyelenggara penterjemah Al-Qur‟an, Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta: CV. ATLAS,

1998, hlm. 120. 110

Muslim, Shahih Muslim, Juz I, Semarang:Toha Putra, t.th, hlm.593.

62

ا امرأة مل ي نكحها الولم فن كاحها باطل فنكاحها باطل فنكاحها باطل فإن أيملطان ولم من ل ول ها فإن اشتجروا فالسم أصاب ها ف لها مهرىا با أصاب من

111لو Artinya: “Wanita manapun yang tidak dinikahkan oleh wali maka pernikahannya tidak

sah, beliau mengucapkannya tiga kali. Jika telah melakukan hubungan badan,

maka wanita itu tetap berhak menerima mahar (maskawin) karena hubungan

badannya itu. Jika mereka berselisih maka pemerintah adalah wali bagi orang

yang tidak memiliki wali.” (H.R. Ahmad)

Kedua hadits tersebut memperkuat pendapat Ibnu Qudamah mengenai Ijab dan

Qabul. Bahwa Ijab adalah penyerahan dari pihak wali si perempuan, dan Qabul adalah

penerimaan dari pihak calon suami.

Dan mengenai tidak sahnya akad nikah dengan mendahulukan Qabul dan

mengakhirkan Ijab tentunya tidaklah sah, mengingat bahwa akad nikah adalah perjanjian

yang kuat, yang mana tidak hanya disaksikan oleh banyak orang tetapi langsung

disaksikan Allah SWT. Jadi penentuan tata cara pelaksanaannya harus dipastikan. Dalam

hal ini, Ibnu Qudamah mengharuskan untuk tertib berurutan yaitu Ijab diucapkan terlebih

dahulu oleh wali mempelai perempuan, kemudian disusul Qabul oleh calon mempelai

suami. Mengingat sebuah hadits Rasulullah SAW.:

ىن جد , وىزلن جد : النكاح والطلق والرجعة 112ثلث جدمArtinya: Tiga perkara yang apabila bersungguh-sungguh dan bermain maka akan terjadi,

yaitu talak, nikah, dan rujuk.

Sudah jelas kiranya, bahwa Ijab haruslah dari pihak wali mempelai perempuan

atau yang mewakilkan, dan Qabul harus pula dari pihak mempelai laki-laki atau yang

111

Imam Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Bab La Nikah Illa Biwaliy, Juz V, Aplikasi Maktabah

Syamilah, hlm. 486.

112 Imam Baihaqi, Ma‟rifah As-Sunan Wal-Atsar Lilbaihaqi, bab Talaq Al-Makruh, juz 12, aplikasi

Maktabah Syamilah, hlm. 231.

63

mewakilkan. Hal ini sepatutnya dijadikan dasar, sebagaimana tertuang dalam kaidah

fiqh:

ك اليقي لي زال بالشArtinya: Sesuatu yang sudah keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan adanya sesuatu

keraguan

ة م الصل ب رائة الذArtinya: Hukum dasar adalah kebebasan seseorang dari tanggung jawab.

Dari kaidah tersebut, dapat disimpulkan bahwa, pada hakikatnya manusia

dilahirkan bebas dari segala hutang, kewajiban ataupun pertanggungjawaban.

Adanya suatu kewajiban pertanggungjawaban itu adalah karena adanya hak-hak

yang telah dimiliki, yang datangnya tiada lain karena adanya sebab-sebab yang timbul

setelah manusia lahir.113

Hubungannya dengan tidak sahnya akad nikah dengan mendahulukan Qabul

dan mengakhirkan Ijab adalah dalam hal ini mengenai hak dan kewajiban

pertanggungjawaban. Karena Ijab pada dasarnya adalah hak wali calon mempelai

perempuan. Selama Qabul belum ada maka calon mempelai perempuan masih dalam

kewajiban pertanggungjawaban walinya.

Jadi tidak rasional lagi ketika Qabul didahulukan atas Ijab. Dan dalam hal ini,

maka Qabul tidak ada artinya, dan tidak sah suatu akad nikah dengan mendahulukan

Qabul dan mengakhirkan Ijab. Dengan kata lain, Ijab dan Qabul dalam pelaksanaannya

harus tertib berurutan. Sesuai dengan isi dari dari Ijab Qabul itu sendiri mengandung

serah terima dari pihak wali kepada suami agar bertanggung jawab atas hak-haknya

sebagai suami terhadap isterinya. Posisi suami dalam akad nikah sebagai orang yang di

113

Tolchah Mansur, Usul Fiqh, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi

Agama/IAIN, 1986, hlm. 196.

64

beri beban tanggung jawab maka harus ada penyerahan dari pihak wali karena wanita

tidak bisa menikahkan dirinya sendiri.

Menurut penulis, sangat baik ketika suatu akad, tentunya dalam akad nikah yang

banyak disebutkan dalam Al-Qur‟an dengan ungkapan Mitsaqon Ghalizhan (perjanjian

yang kuat) dipastikan bagaimana tata caranya dan diharuskan tertib. Diantara hikmah

yang dapat diambil dengan tidak mengesahkan mendahulukan Qabul atas Ijab, menurut

penulis sebagai berikut:

d. Menegaskan siapa yang seharusnya lebih berhak atas Ijab dan siapa yang lebih

berhak atas Qabul.

e. Memelihara adab yang baik, karena dapat kita lihat perbedaan yang mencolok antara

menertibkan Ijab Qabul dan mendahulukan Qabul atas Ijab. Ketika menertibkan

Ijab Qabul maka keadaannya adalah wali, menyerahkah dan calon mempelai suami

menerima/menyetujui. Sedangkan ketika mendahulukan Qabul atas Ijab maka

keadaannya menerima permintaan calon mempelai suami, dan calon mempelai

suami meminta untuk dinikahkan. Jadi terjaga wibawa dari wali dan calon mempelai

suami.

Namun apabila kita melihat realita yang ada diantara umat Islam di seluruh

penjuru dunia, dengan segala perbedaan sudut pandang perorangan, adat pelaksanaan

pernikahan yang berbeda-beda di suatu daerah atau negara, tentunya pendapat ini tidak

memberikan kemaslahatan, didukung tidak adanya dalil Nash maupun As-Sunnah yang

jelas dan tegas tentang mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab. Karena pada

hakikatnya suatu akad nikah sah ketika adanya Ijab dan Qabul dari wali mempelai

perempuan dan calon mempelai suami, entah tertib maupun dengan mendahulukan

Qabul atas Ijab. Yang terpenting maksud tujuannya tercapai yaitu untuk menghalalkan

65

yang sebelumnya haram (pernikahan). Dalam kaidah fiqh disebutkan pula sebagai

berikut:

يع العقود ب الت راضي يف ج 114جيArtinya: Wajib saling ridlo dalam semua akad.

114

Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaedah-Kaedah Praktis Memahami Fiqih Islami,

Purwodadi: Pustaka Al-Furqan, 2009, Hlm. 277.

66

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penelitian yang telah penulis lakukan mengenai tidak sahnya akad nikah

dengan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab. Akhirnya penulis menghasilkan

beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Mengenai pendapat Ibnu Qudamah yang tidak mengesahkan akad nikah dengan

mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab adalah berdasarkan Al-Qur‟an, Sunnah,

dan Istishhab. Ibnu Qudamah meyakini bahwa mendahulukan Qabul atas Ijab

tidaklah sah karena secara tekstual akad nikah itu sendiri adalah mengenai perjanjian

yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam bentuk

Ijab dan Qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak wali si perempuan, dan Qabul

adalah penerimaan dari pihak calon suami. Adapun alasan tidak mengesahkan karena

adanya Qabul itu karena adanya Ijab. Jadi sebagai syaratnya, Ijab harus didahulukan

dari Qabul. Dan ketika terjadi Qabul terlebih dahulu, maka Qabul tidak ada artinya,

sehingga akad nikah tidak sah.

2. Istinbath hukum yang digunakan Imam Ibnu Qudamah dalam pendapatnya tentang

tidak sahnya akad nikah dengan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab adalah

dengan menggunakan Istishhab, dikarenakan melihat dari hukum asal Ijab adalah

penyerahan dari pihak wali mempelai perempuan dan Qabul adalah penerimaan dari

pihak suami. Sesuai dengan isi dari dari Ijab Qabul itu sendiri mengandung serah

terima dari pihak wali kepada suami agar bertanggung jawab atas hak-haknya sebagai

suami terhadap isterinya. Posisi suami dalam akad nikah sebagai orang yang di beri

67

beban tanggung jawab maka harus ada penyerahan dari pihak wali karena wanita

tidak bisa menikahkan dirinya sendiri.

B. Saran-Saran

Masalah akad nikah dengan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab, masuk

dalam katagori ikhtilaf ulama, artinya masih terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama.

Saran penulis adalah:

1. Akad nikah dalam Al-Qur‟an disebutkan dengan ungkapan Mitsaqan Ghalizhan,

merupakan perjanjian yang kuat yang tidak hanya disaksikan oleh dua orang saksi,

bahkan orang banyak dalam proses berlangsungnya akad nikah. Akan tetapi juga

disaksikan Allah SWT. Maka tunaikanlah syarat dan rukun sesuai syara‟ untuk meraih

ridlo-NYA.

2. Pendapat siapapun di antara ulama empat madzhab tidak ada salahnya, karena dari

pendapat ulama empat madzhab mempunyai dasar hukum yang kuat. Sejalan dengan itu,

sebagai warga negara tentunya kita terikat pada peraturan yang telah terkodifikasikan

baik dalam Undang-Undang maupun Kompilasi Hukum Islam. Dimana pengambilannya

tidak pula bertentangan dengan syariat Islam, namun justru memiliki dasar yang lebih

kuat dalam pembentukannya yang dipadukan dengan adat istiadat atau „Urf.

C. Penutup

Alhamdulillah Wa Syukrulillah, dengan rahmat dan ridlo-Nya tulisan ini dapat

diangkat dalam bentuk skripsi dan dapat penulis selesaikan. Penulis menyadari terdapat

kekeliruan dan kekurangan, baik dalam teori maupun analisisnya. Dengan sangat

menyadari kekurangan tersebut, maka kritik dan saran menjadi harapan penulis. Sebagai

puncak dari penutup ini tiada kata indah yang dapat penulis rangkai melainkan hanya

68

satu kalimat yaitu kesempurnaan hanya milik Allah SWT dan manusia hanya bisa

berusaha. Semoga Allah SWT meridloi.

Demikian tulisan ini penulis buat, semoga bermanfaat untuk pembaca pada

umumnya dan penulis pada khususnya.

69

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademik Presindo, 1992.

Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqih, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994.

Al-Andalusi, Ibn Hazm , Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam, jilid V, Beirut: Dar Al-Fikr, t.t.

Al-Ghazali, Abu Hamid, Syifa Al-Ghalil Fi Bayan Al-Syabah Wa Al-Mukhil Wa Masalik Al-

Ta‟lil, tahqiq Ahmad Al-Kabisi, jilid I, Baghdad: Mathba‟ah Al-Irsyad, 1971.

Al-Jaziry, Abdurrahman, kitab al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Arba‟ah, Maktabah al-Tijariyah

kubra juz IV

Al-Kurah, Najmuddin Amin, Tanwir al-Kutub, Beirut Libanon: Daar al-Fikr, T.th

Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Asy-Sya‟rani, Abd al-Wabah, Kitab al-Mizan, Juz 2, Mesir: Matba‟ah al-Taqadim al- Ilmiah,

Cet. 1, 1321 H.

Aziz, Abdul, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1996.

Baihaqi, Imam, Ma‟rifah As-Sunan Wal-Atsar Lilbaihaqi, bab Talaq Al-Makruh, juz 12,

aplikasi Maktabah Syamilah.

Bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Ahmad Sabiq, Kaedah-Kaedah Praktis Memahami Fiqih

Islami, Purwodadi: Pustaka Al-Furqan, 2009

Dirjen Bimbaga Islam, Depag, Ilmu Fiqih, jilid 2, Jakarta: Proyek pembinaanPrasarana dan

Sarana Perguruan Tinggi Agama, 1983.

Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Jilid I, Yogyakarta: Andi Offset, 2001.

Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh I, Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1996.

Husen, Ibrahim, Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah-Thalaq-Ruju‟ dan Hukum

Kewarisan, Jilid 1, Jakarta: Balai Penerbitan dan Kepustakaan Islam Yayasan Ihya‟

Ulumudin Indonesia, 1971.

Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushulul Fiqh, alih bahasa Prof. Drs. K.H. Masdar Helmy, cet.

Ke-7, Bandung: Gema Risalah Press, 1996.

Khon, Abdul Majid, Fiqh Munakahat, Jakarta: AMZAH, 2009.

Majah, Ibnu, Sunan Ibnu Majah, Bab La Nikah Illa Biwaliy, Juz V, Aplikasi Maktabah

Syamilah.

Mansur, Tolchah, Usul Fiqh, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan

Tinggi Agama/IAIN, 1986.

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, cet. IV,

1993.

70

Muarif Ambari, Hasan, et.al., Suplemen Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,

1966

Mughniyyah, Muhammad Jawad, Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah, Beirut: Darul „Ilmi Lilmalayin,

1964.

___________________________, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: PT Lentera Basritama, Cet 2,

1996.

Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi III, cet. VIII, Yogyakarta:

RakeSarasin, 1996.

Muhammad, Syaikh Kamil, „Uwaidah, Al Jami‟ Fii Fiqhi An-Nisa‟, Jakarta: Pustaka Al-

Kautsar, 1998.

Muslim, Shahih Muslim, Juz I, Semarang:Toha Putra, t.th, hlm.593.

Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Cet. 6, Yogjakarta: Gajah Mada

University Press, 1993.

Nur, Djamaan, Fiqih Munakahat, Semarang: Dina Utama, 1993.

Proyek Penyuluhan Hukum Agama, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,

Jakarta: Proyek Penyuluhan Hukum Agama, 1996.

Qudamah, Ibnu, al-Kafie fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal, juz III, Beirut: Darul Fikr,

1992.

_____________, Al-Mughni, Beirut: Darul Kutub, 1996.

Ramulyo, M. Idris, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam,

Jakarta: IND-HILL CO, 1985.

Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995.

Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah 6, Bandung: PT. al-Ma‟arif, 1990.

Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Grafindo persada, 2002.

Sudarson, Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 2001.

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana Predana Media

Group, 2009.

Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, Al Qur‟an dan Terjemahnya, Jakarta: CV.

Atlas, 1998.

Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, Cet. Ke-

10, 1983.

Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia, Surabaya: Arkola, tth.

71

Zed, Mestika, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004.

72

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : Ahmad Isybah Nurhikam

Tempat &tanggal Lahir : Sanggau (Kal-Bar), 9 Januari 1989

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat Asal : Dukuh Bandar RT. 02 RW. 09 Kel.

Pakijangan Kec. Bulakamba Kab.

Brebes.

Telpon : 085642888251

Email : [email protected]

Website (blog) : satriabajahikam.blogspot.com

Jenjang Pendidikan:

1. SD Negeri Pakijangan IV Bulakamba Brebes : Tahun 1995-2001

2. SLTP Negeri 3 Brebes : Tahun 2001-2004

3. SMA Negeri 5 Kediri : Tahun 2004-2007

4. Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang : Tahun 2007-2012

Demikian daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenarnya dan semoga dapat

digunakan sebagaimana mestinya.

Semarang, 10 Juni 2012

Tertanda,

Ahmad Isybah Nurhikam

NIM. 072111044