STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU ‘ABIDIN TENTANG TUKAR...
Transcript of STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU ‘ABIDIN TENTANG TUKAR...
STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU ‘ABIDIN
TENTANG TUKAR GULING (RUILSLAG)
TEHADAP TANAH WAKAF
SKRIPSI
Disusun untuk Memenuhi Tugas dan melengkapi syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata I (SI)
Dalam Ilmu Al Ahwal Al Syakhshiyah Fakultas Syari’ah
Oleh:
AHMAD SHOFWAN NIM. 032111028
FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2007
NOTA PEMBIMBING Lamp. : 4 (empat) eksemplar Hal : Naskah skipsi A.n. Ahmad Shofwan
Kepada Yth. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Di Semarang
Assalamu’alaikum War. Wab.
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya. Maka dengan ini saya kirimkan skripsi saudara : Nama : Ahmad Shofwan NIM : 032111028 / 2103028 Jurusan : Al Ahwal Al Syakhshiyah Judul Skripsi : STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU ‘ABIDIN
TENTANG TUKAR GULING (RUILSLAG) TERHADAP TANAH WAKAF
Dengan ini mohon kiranya skripsi saudara dapat segera untuk
munaqosyahkan. Demikian harap menjadikan maklum. Wassalamu’alaikum War. Wab.
Semarang, 25 Juli 2007
Pembimbing I,
Achmad Arief Budiman, M.Ag. NIP. 150 274615
BERITA ACARA MUNAQOSYAH
Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang pada:
Hari : Senin
Tanggal : 14 Januari 2008
Jam : 08.00-selesai
Telah mengadakan Ujian Munaqosyah dengan judul:
“STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU ‘ABIDIN TENTANG TUKAR
GULING (RUILSLAG) TERHADP TANAH WAKAF”
Atas Nama : Ahmad Shofwan
NIM. : 032111028 / 2103028
Jurusan : Al Ahwal Al Syakhsiyah
Keterangan : UTAMA / ULANG dari tanggal:
LULUS / TIDAK LULUS
Semarang, 14 Januari 2008
Ketua Sidang, Sekretaris Sidang,
Drs. H. Musahadi, M.Ag. Achmad Arief Budiman, M.Ag. NIP. 150 267 754 NIP. 150 274 615 Penguji I, Penguji II,
Dra. Hj. Siti Mujibatun, M.Ag. H. Abdul Ghofur, M.Ag. NIP. 150 231 628 NIP. 150 279 723
Pembimbing,
Achmad Arief Budiman, M.Ag. NIP. 150 274615
PENGESAHAN
Skripsi Saudara : Ahmad Shofwan
NIM. : 032111028 / 2103028
Jurusan : Al Ahwal Al Syakhshiyah
Judul Skripsi : STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU ‘ABIDIN
TENTANG TUKAR GULING (RUILSLAG)
TERHADP TANAH WAKAF”
Telah dimunaqosyah oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam
Negeri Walisongo Semarang dan dinyatakan lulus dengan predikat cumluade /
baik / cukup, pada tanggal 14 Januari 2007.
Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar Sarjana Islam Strata 1
(S1) dalam ilmu Syari’ah.
Semarang, 2008
Ketua Sidang, Sekretaris Sidang,
Drs. H. Musahadi, M.Ag. Achmad Arief Budiman, M.Ag. NIP. 150 267 754 NIP. 150 274 615 Penguji I, Penguji II,
Dra. Hj. Siti Mujibatun, M.Ag. H. Abdul Ghofur, M.Ag. NIP. 150 231 628 NIP. 150 279 723
Pembimbing,
Achmad Arief Budiman, M.Ag. NIP. 150 274615
MOTTO
1فما راى المسلمون حسناا فهو عندى اهللا حسن
Artinya :”Apa yang menurut orang-orang
muslim baik, maka baik juga menurut Allah.”
1 Ahmad Ibn Hanbal, al Musnad Juz I, Dar al Fikr, Beirut Libanon, t. th. hal. 379
PERSEMBAHAN • Allah SWT beserta Rasul Nya dan seluruh Ahlul Bait yang ada di dunia dan
akhirat;
• Yang terhormat Ayahanda Ahmad Husnan beserta Ibunda Mufidah yang
selalu mengasihi, menyayangi mendoakan serta segalanya yang diberikan
kepada ananda
• Semua Masyayikhi dan Asatidzi al murobbi ruuhi;
• Yang tersayang adikku satu-satunya, M. Iklil Ma’ruf yang selalu
memberikan inspirasi;
• Semua pihak yang membantu terselesaikannya skripsi ini.
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi
ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau yang
diterbitkannya. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran orang lain,
kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan
atau dikutip secara langsung dari sumbernya.
Semarang, 25 Juli
2007
Penulis
Ahmad Shofwan NIM. 032111028
ABSTRAKSI
Penulisan skripsi yang berjudul “ STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU
‘ABIDIN TENTANG TUKAR GULING (RUILSLAG) TERHADAP TANAH WAKAF “, ini memiliki dua tujuan yakni mengetahui metoda istinbat yang dipakai Ibnu ‘Abidin dan alasannya serta mengetahui analisisnya dari pendapat beliau tentang tukar guling terhadap tanah yang diwakafkan. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) dengan mengambil sumber data yang berasal dari kitab-kitab, buku-buku atau sumber lain yang berkenaan dengan pembahasan pada skripsi ini. Sedangkan dalam tehnik analisis data menggunakan metode content analysis, deskriptif analitis, dan metode ushuliyah.
Dalam pandangan Ibnu ‘Abidin tukar guling terhadap tanah wakaf adalah boleh. Namun beliau mengisyaratkan bahwa hal tersebut dimungkinkan dalam tiga hal. Beliau beristinbat hukum dengan menggunakan akal pikiran (al Ra’yu) dalam memecahkan kasus-kasus yang tidak ada dalilnya, baik dari al Qur’an maupun dari al Hadits. Metode istinbat yang beliau pakai adalah membandingakan kasus yang tidak tedapat nashnya dengan kasus yang ada nashnya. Namun metode yang dipakai bukan qiyas jali melainkan qiyas khafi (istihsan). Inilah yang membedakan Ibnu ‘Abidin dengan Imam Madzhab yang lain seperti Imam Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ibnu Hanbal. Namun ketika dipertemukan dengan Imam Madzhab yang lain yakni Imam Abu Hanifah maka motode istinbatnya sama karena Ibnu ‘Abidin merupakan salah satu penerus dari Madzhab Hanafi, jadi tidak mengherankan jika corak pemikiran keduanya hampir mirip dan bahkan sama.
Dalam metode istinbat tersebut Ibnu ‘Abidin mendasarkan ada dalil yang menyebabkan dia berpaling dari qiyas menuju istihsan karena adanya maslahah. Karena jika tanah wakaf tersebut tidak ditukar guling maka akan mendatangkan mafsadah. Dari pendapat tersebut setidaknya dapat gunakan sebagai smart solution dari apa yang menjadi peraturan di negara kita melalui PP No 28 Tahun 1977 pasal 11 jo. pasal 218 dan 225 KHI jo. UU No. 40 Tahun 2004 pasal 41 ayat 1-4 yang menjelaskan tentang adanya kemungkinan diperbolehkannya ada tukar guling terhadap tanah wakaf namun dengan prosedur yang berbelit-belit dan melelahkan.
Oleh karenanya skripsi ini hadir sebagai solusi alternatif dari apa yang ditawarkan pemerintah kita yang penulis anggap terlalu prosedural. Dalam skripsi ini menawarkan bagaimana proses menukar guling tanah dengan baik dan cepat. Dengan begitu tanah wakaf bisa dengan cepat dapat dimanfaatkan kembali. Sehingga tujuan dari wakaf dapat terealisasikan dan terjaga, yang pada akhirnya tanah wakaf dapat dimanfaatkan dalam jangka waktu yang panjang.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah
melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehinggga pada akhirnya penulis
dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “STUDI ANALISIS PENDAPAT
IBNU ‘ABIDIN TENTANG TUKAR GULING (RUILSLAG) TERHADAP
TANAH WAKAF“ yang merupakan tugas dan syarat yang wajib dipenuhi guna
memperoleh gelar kesarjanaan dari Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.
Tidak lupa, penulis haturkan shalawat serta salam kepada junjungan kita,
Nabi Muhammad SAW. beserta Ahli al Bait di serluruh dunia dan akhirat.
Semoga kita semua mendapat syafaat dari Beliau. Amin.
Dengan segala keterbatasan yang ada, penulis telah berusaha dengan segala
daya dan upaya guna menyelesaikan skripsi ini. Namun tanpa bantuan dari
berbagai pihak, penyusunan ini tidak akan mungkin terwujud serta terselesaikan.
Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada mereka yang telah banyak
memberikan segalanya kepada penulis baik bimbingan, saran dan arahan dalam
rangka penyusunan skripsi ini, mereka adalah:
1. Bapak Drs. H. Muhyiddin, M. Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang beserta para Pembantu Dekan;
2. Bapak Achmad Arief Budiman, M. Ag., selaku pembimbing yang telah
dengan sabar dan tulus bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya
untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini;
3. Segenap Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang yang tidak mengenal lelah dalam membimbing jiwa dan
raga penulis, semoga menjadi amal yang bermanfaat di dunia dan akhirat;
4. Segenap karyawan dan staf di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang yang telah memberikan pelayanan terhadap mahasiswa dengan
baik;
5. Mubibbi yang selalu ada di hati, terima kasih atas spirit, inspirasi dan
segalanya yang telah tercurahkan sehingga penulis mengerti apa arti hidup ini;
6. Keluarga Besar Mbah Moh. Zuhdi Bahri Alm. dan Mbah Hanan Alm. Pak
Dhe Zahwan, Pak Dhe Azhar dan Pak Lik Parno, Pak Lik Slamet serta Bu Lik
Kun serta si kecil Difa (Adina Fathi al Ahyath) dan Ilham yang lagi lucu-
lucunya;
7. Komunitas Adem-ayem el Khos, Anas, Kecip, Ridho, Burhan, Om Kikin,
Babe, Chessyie beserta Bapak Joxer Notonegoro, Djenggot, Cepot, Fatih serta
Boss Mu, canda-tawa kalian selalu terngiang, buatlah alam selalu tersenyum;
8. Kawan-kawan yang sedang berproses di Badan Eksekutif Mahasiswa Institut
(BEM I), Pak Pres. Ali, Dullah, Asyhar, Topiq, Zamroni, Nur Hadi MD.
Maghfuron, Ismail, Boss Nia, Unatin, Elly, Lina, dkk. Jangan pernah lelah
membawa amanat mahasiswa;
9. Kawan-kawan Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan (BEM J) al Ahwal al
Syakhshiyah 2005-2006, Ning Rida, Ko2k, Amin Fauzi, Anam, Jaza’, Irdie,
Ninik, Syafiq dkk. Terima kasih telah menemani penulis menjalani proses
yang tak pernah terlupakan;
10. Kawan-kawan Aliansi BEM Kota Semarang Peduli Rakyat (SIBESPERA),
teruslah kalian beraksi, jangan pernah surut dan pantang
menyerah,”Mahasiswa bersatu tak dapat dikalahkan”;
11. Keluarga Mahasiswa dan Pelajar Pati (KMPP), Bang Nadzir, Bang Shoib, Ali
Masthuri, Sunardi, Call Is, Marqoni, Akrom W., M. Na’im, Nana Istafa dkk.
rekatkan tali silaturrahim jangan pernah putus;
12. Mbah Rono wa ahli baitihi, Mbak Asih, Mas As’ad serta Misbah,thanx for all
13. Alumni PP. Al Anwar, Me2k, Salempong, Darmen Fakhroni, Pak Dhe dan
seluruh penghuni Dar As Salam 05, tataplah masa depan dengan penuh
harapan;
14. Keluarga Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon
syari’ah IAIN Walisongo Semarang, Attan, Sutono, Suji’, Ghozalie, Arif M.
Najib al Rahman, Ikrom, Ing Q, Tiwik, Sofi, Etik Bita, Ika, Impong dan
Sahabat-Sahabati yang ada di YPMI, tetaplah mengepalkan tangan dan maju
ke muka;
15. Teman-teman cangkruk, Mbhendhol, Gandhoz, Nghanyong dan Syakik,
jangan pernah lewatkan malam tanpa arti;
16. Temen-temen main Lilik, Luluk, Ella dan Hilya, waktu yang telah terlewati
takkan kembali jadi pergunakanlah waktu yang ada sebaik-baiknya;
17. Para Asatidz dan Asatidzah TPQ al Iman Kembangarum Semarang Barat,
Husain, Ikka dan Pak Yanto beserta talamidzihim, jangan pernah lelah untuk
mengamalkan ilmu;
18. Dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah
membantu terselesaikannya skripsi ini.
Semoga bantuan yang diberikan kepada penulis dalam wujud apapun demi
kelancaran sehingga terwujudnya skripsi ini semoga menjadi amal baik di dunia
dan akhirat, jazakumullah ahsanal jaza’.
Pada akhirnya penulis menyadari “ Tak ada gading yang tak retak” begitu
pula dalam penulisan skripsi ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan,
karenanya saran dan kritik yang konstruktif dengan senang hati penulis harapkan
dan terima dengan baik, demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi semuanya.
Semarang, 25 Juli
2007
Penulis,
Ahmad Shofwan NIM. 032111028
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama Islam adalah agama yang tidak hanya mengajarkan ibadah yang
sifatnya hanya mengandung unsur ritual saja, tetapi juga mengajarkan ibadah
yang memiliki nilai kepedulian sosial yang luar biasa, sebagai buktinya adalah
ibadah puasa dan zakat serta ibadah lain yang berfungsi sosial. Hal tersebut
sebagai pengejawantahan tujuan islam diturunkan ke dunia ini adalah menjadi
Rahmatan lil ‘Alamin (rahmat bagi seluruh umat manusia).
Dalam Islam terdapat juga ajaran yang menganjurkan kepada umatnya
untuk meraih kehidupan bahagia, baik di dunia maupun di akhirat. Untuk
mencapai kebahagiaan tersebut manusia dituntut untuk mematuhi segala
aturan yang telah ditentukan oleh Allah baik yang berbentuk perintah maupun
larangan. Kehidupan manusia di alam dunia yang fana (sementara) ini, pada
hakekatnya merupakan jembatan untuk menuju ke alam akhirat yang kekal.
Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Surat al Qashash ayat 77:
الدارالاخرة ولاتنس نصيبك من الدنياواحسن وابتغ فيما اتك اهللا اليك ولاتبغ الفسادفى لايحب .الارض آمااحسن اهللا ان اهللا
)77:القصص(المفسدينArtinya: ”Dan carilah pada apa yang dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagai mana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
2
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.1
Di antara ibadah yang tidak hanya berfungsi sebagai ibadah saja adalah
wakaf. Kendatipun di dalam Al-Qur’an tidak jelas dan tegas menyebut wakaf,
namun oleh para ahli terdapat beberapa ayat yang dijadikan sebagai landasan
praktek perwakafan.2 Di antaranya firman Allah dalam surat Ali Imran ayat
92:
لن تنالوا البر حتى تنفقوا مما تحبون وما تنفقوا من شيء فإن اهللا به )92:ال عمران( عليم
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”.3
Salah satu cara membelanjakan benda yang disenangi untuk kebaikan
adalah dengan cara berwakaf. Karena pahala wakaf akan terus mengalir
selama barang yang diwakafkan itu masih dimanfaatkan oleh manusia yang
masih hidup. Hal tersebut telah diterangkan oleh Nabi Muhammad bahwa
shodaqoh yang berkesinambungan (tidak habis dengan sekali pakai), maka
pahalanya akan berlanjut terus menerus meskipun shadiqnya (orang yang
bershadaqah) telah meninggal dunia.
Sebagaimana Sabda Nabi Muhammad saw:
اذا مات : عن ابي هريرة ان رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم قالاو علم ينتفع , صدقة جارية: انقطع عنه عمله اال من ثالثةاالنسان
4 ).رواه مسلم. (او ولد صالح يدعوله, به
1 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Thoha Putra, Semarang, 1989, hal. 623. 2 Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, UI-Press, Jakarta,
1988, hal. 80. 3 Departemen Agama RI, op. cit., hal. 91. 4 Imam Muslim, Shahih Muslim jilid II, Dar al-Fikr, Beirut Libanon, 1993, hal. 70.
3
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. Katanya, Bahwa Rasulullah SAW bersabda: Apabila manusia mati, putuslah amalnya kecuali tiga (perkara): Shadaqah jariyah atau ilmu yang diambil manfaatnya atau anak saleh yang berdoa untuk orang tuanya. (HR. Muslim).
Istilah shadaqah jariyah dapat diartikan sebagai wakaf, ketika mauquf
(barang wakaf) masih bisa dimanfaatkan untuk kepentingan kebaikan, maka
selama itu pula waqif mendapat pahala secara terus-menerus, meskipun telah
meninggal dunia.
Menurut riwayat, wakaf pertama kali dilakukan oleh Umar bin Khattab
r.a., sebagaimana yang diterangkan dalam Hadits Rasulullah saw.:
. م.فاتىالنبي ص, اصاب عمر ارضا بخيبر: عن ابن عمر قالاني اصبت ارضا بخيبر لم اصب . يا رسول اهللا: فقال, يستامره فيها
ان شئت حبست اصلها ( :قال. انفس عندي منه هو ماال قط , وال يورث, اانه اليباع اصله: فتصدق بها عمر: قال) وتصدقت بهاوفى , وفى الرقاب, وفى القرب, فتصدق بها في الفقراء, وال يوهبال جناح على من وليها ان ياآل . والضيف, وابن سبيل, سبيل اهللا
وللفظ . متفق عليه. ويطعم صديقا غير متمول ماال, منها بالمعروف 5 .لمسلم
Artinya: “Dari Ibnu Umar, ia berkata: Umar dapat satu tanah di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi saw. guna meminta instruksi sehubungan dengan tanah tersebut, Ia berkata: Ya Rasulullah sesungguhnya aku telah memperoleh tanah di Khaibar, yang aku tidak menyenanginya seperti padanya, apa yang engkau perintahkan kepadaku dengannya?. Beliau bersabda: “jika kamu menginginkan tahanlah aslinya dan shadaqahkan hasilnya. Maka bersadaqahlah Umar, tanah tersebut tidak bisa dijual, dihibahkan, dan diwariskan. Ia menshadaqahkannya kepada fakir, budak-budak, pejuang di jalan Allah, Ibnu Sabil dan tamu-tamu. Tidak berdosa orang yang mengelolanya, memakan hasil dari tanah tersebut dengan cara ma’ruf dan memakannya tanpa maksud memperkaya diri”. (Muttafaq ‘alaihi, tetapi lafal itu bagi Muslim)
5 Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 3, Dar Fikr, Libanon, Beirut. t.th., hal. 196.
4
Di Indonesia, persoalan perwakafan tanah diberi perhatian khusus
sebagaimana terlihat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang pokok
peraturan Agraria, Bab II, bagian XI, Pasal 49. Dalam pasal itu disebutkan
bahwa untuk melindungi berlangsungnya perwakafan tanah di Indonesia,
pemerintah memberikan pengaturan melalui Peraturan Pemerintah (PP). PP
tersebut baru dikeluarkan setelah 17 Tahun berlakunya UU Pokok Agraria itu,
yakni PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
Permasalahan wakaf Juga dijelaskan dalam KHI pada buku III, serta UU
wakaf yang terbaru adalah UU No 41 Tahun 2004, yang kesemuanya itu
mengatur tatacara perwakafan dari awal hingga akhir, mulai permohonan,
pendaftaran, ikrar wakaf, perubahan status wakaf, penyelesaian sengketa dan
pengawasan wakaf.
Wakaf menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 215 jo. Pasal 1 (1) PP.
No. 28/1977: Wakaf adalah perbuatan Hukum seseorang atau kelompok orang
atau badan Hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan
melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau
keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.6
Harta wakaf adalah amanah Allah, yang kebaikannya terletak di
tangan nadzir, oleh sebab itu nadzir adalah orang yang paling bertanggung
jawab terhadap harta wakaf yang dipegangnya karena harta wakaf bukanlah
milik si nadzir. Nadzir hanya berhak sekedar jerih payahnya dalam mengurus
harta wakaf, penyimpangan dari itu berarti sudah mengkhianati amanah dari
6 Departemen Agama RI, Tanya Jawab Komplikasi Hukum Islam, Depag, Jakarta,
1997/1998, hal. 145.
5
Allah, oleh karena itu begitu pentingnya kedudukan nadzir dalam perwakafan
maka pada diri nadzir perlu terdapat beberapa persyaratan yang harus
dipenuhi.
Dalam perkembangannya ditemukan barang wakaf yang pada awalnya
berfungsi maksimal tetapi lambat laun karena berbagai faktor akan berkurang
manfaatnya bahkan tidak ada manfaatnya lagi. Seperti halnya tanah wakaf
yang dijadikan masjid, yang semula dapat dimanfaatkan dengan maksimal
namun kemudian menjadi tidak bermanfaat karena letaknya tidak strategis
disebabkan terkena proyek tata kota ataupun karena tanah wakaf yang
dijadikan masjid tadi menjadi labil sehingga dimungkinkan rawan terjadi
longsor.
Dari fenomena di atas diperlukan adanya pemindahan ataupun
penukaran (ruilslag) tanah wakaf yang sudah tidak bisa berfungsi maksimal
lagi guna memaksimalkan manfaat tanah wakaf sehingga esensi wakaf dapat
tercapai.
Dalam hal ini para Ulama’ Madzhab mempunyai pandangan
sebagaimana berikut:
Menurut Ibnu ‘Abidin sebagai salah satu penerus madzhab Hanafi
memperbolehkan adanya tukar guling terhadap tanah wakaf serta
memberikan banyak kelonggaran. Namun tukar guling juga harus memenuhi
beberapa syarat diantaranya: harus ada tanah pengganti yang baru atau tanah
yang lama dijual kemudian diganti dengan yang lain. Menurut Ibnu ‘Abidin
pergantian benda wakaf dimungkinkan terjadi dalam tiga hal, yakni: 1)
6
Karena waqif mensyaratkan dengan memperbolehkan bagi dirinya atau orang
lain untuk menukar benda wakaf tersebut. 2) Karena waqif tidak menyatakan
hak untuk menjual dan mengganti benda wakaf, namun dikemudian hari
ternyata benda wakaf itu tidak bermanfaat lagi. Maka dalam hal ini benda
wakaf boleh dijual atau diganti dengan benda lain yang sama. 3) Karena waqif
juga tidak menyatakan dan benda wakaf masih berfungsi dengan maksimal.
Namun ada benda lain yang mendatangkan manfaat lebih baik dan lebih
banyak dari benda wakaf awal.7
Kemudian Imam Malik memperbolehkan adanya tukar guling dalam
keadaan darurat, namun juga didasarkan atas asas dari benda wakaf baik
bergerak ataupun tidak, yakni adanya manfaat pada masa yang akan datang.
Seperti halnya masjid yang telah rusak dan roboh sehingga sukar
memakmurkannya boleh dijual dan dibelikan perkara baru yang sama.8 Maka
demi keberlangsungannya dari manfaat benda wakaf, maka benda wakaf harus
dijual dan digantikan dengan barang yang baru, sehingga manfaat dari benda
wakaf masih bisa dirasakan di masa mendatang.
Iman Syafi’i pada dasarnya hampir sama dengan Imam Malik yakni
melarang adanya tukar guling tanah wakaf kecuali dalam keadaan darurat,
seperti telah rusaknya sebuah masjid dan diperlukan adanya pergantian seperti
juga adanya kepentingan umum yang menyebabkan tanah wakaf harus diganti
di tempat yang lain.9
7 Ibnu Abidin, Radd al-Muhtar, Juz 6, Dar al Kutub al ‘Amaliyah, Beirut Lebanon, t.th.,
hal. 583-584. 8 Muhammad Abu Zahrah, al-Waqfu, Dar al-Fikr, Beirut, Libanon, 1971, hal. 161. 9 Imam Syafi’i, al ‘Umm, Juz 5, Dar al Fikr, Beirut Libanon, t.th., hal. 65.
7
Kemudian Imam Hambali memberikan sedikit kelonggaran tentang
diperbolehkannya menjual benda wakaf dan menggantinya dengan benda baru
yang sama karena benda wakaf tersebut tidak bisa berfungsi dengan
maksimal. Dicontohkan seperti terlalu kecilnya sebuah masjid dibanding
dengan jamaah yang ada. Karena itu perlu dicarikan tanah yang luas sehingga
seluruh jamaah dapat tertampung.10
Dari pendapat para Imam Madzhab mengenai tukar guling terhadap
tanah wakaf jelas membolehkan adanya tukar guling terhadap tanah wakaf
meskipun dengan berbagai persyaratan yang berbeda-beda.
Perbedaan tersebut dilatarbelakangi karena tidak adanya dalil yang
sharih (jelas) baik dari al-Hadits maupun dari al-Qur’an tentang pelarangan
serta diperbolehkannya tukar guling terhadap tanah wakaf.
Perbedaan dalam islam memang menjadi sebuah keniscayaan, itu
disebabkan karena dalil-dalil syari’at menurut dalalahnya (penunjukannya)
pada dasarnya terbagi dua, yakni qath’iyyah dan dhanniyyah. Qath’iyyah
adalah hukum-hukum yang sudah pasti, tegas dan jelas dan tidak membuka
kemungkinan bagi umat Islam untuk berbeda pendapat di dalamnya.
Sedangkan dhanniyyah adalah hukum-hukum yang belum pasti, belum tegas
dan masih mengandung kesamaran, sehingga membuka kemungkinan untuk
berbeda pendapat.11
Berdasarkan pendapat Ibnu ‘Abidin yang membolehkan adanya tukar
guling (ruilslag) tanah wakaf yang memberikan persyaratan paling longgar,
10 Imam Hambali, al Muqna’, Dar al Kutub al ‘Alamiyah, Beirut Lebanon, t.th., hal. 164. 11 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, Dar al-Fikr, Beirut Libanon, t.th., hal. 43-46.
8
maka penulis bermaksud mengangkat dan membahas pendapat Imam Abu
Hanifah tentang diperbolehkannya menukar-guling tanah yang sudah
diwakafkan dalam skripsi yang berjudul “STUDI ANALISIS PENDAPAT
IBNU ‘ABIDIN TENTANG TUKAR GULING (RUILSLAG) TANAH
WAKAF”.
Dengan skripsi ini penulis berharap akan memperoleh informasi
hukum Islam yang sesuai untuk dijadikan pedoman bagi umat Islam dalam
melaksanakan wakaf, khususnya menukar-guling tanah wakaf mengingat
seringnya terjadi konflik dan polemik ketika tukar guling tanah wakaf
dilaksanakan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, setidaknya ada dua pokok
permasalahan yang akan penulis bahas dalam skripsi ini, yaitu:
1. Bagaimana pendapat Ibnu ‘Abidin tentang tukar guling (ruilslag) tanah
wakaf ?
2. Bagaimana metode istinbat Ibnu ‘Abidin tentang tukar guling (ruilslag)
tanah wakaf ?
C. Tujuan Penulisan Skripsi
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan skripsi ini
adalah:
1. Tujuan Fungsional :
a. Untuk mengetahui pendapat Ibnu ‘Abidin tentang tukar guling
(ruilslag) tanah wakaf;
9
b. Untuk mengetahui metode istinbat Ibnu ‘Abidin tentang tukar guling
(ruilslag) tanah wakaf
2. Tujuan Formal
Untuk memenuhi syarat guna meraih gelar sarjana pada jenjang
strata satu (S1) di Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo Semarang.
D. Telaah Pustaka
Kajian dan penelitian tentang tanah wakaf pada dasarnya telah banyak
dilakukan, namun demikian kajian dan penelitian sebelumnya lebih umum dan
berbeda dengan penelitian ini. Oleh karena itu, agar tidak terjadi pengulangan
penelitian dan duplikasi penelitian, maka penulis memfokuskan penelitian ini
tentang pemikiran Ibnu ‘Abidin tentang tanah wakaf tukar guling (ruilslag).
Namun demikian kajian dan penelitian sebelumnya masih penulis gunakan
sebagai bahan acuan dan pembanding dalam penelitian yang penulis lakukan.
Penelitian atau pembahasan yang memiliki relevansi dengan penelitian
ini adalah:
Pertama, Penelitian Noer Chasanah dengan judul Studi Analisis
terhadap Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Penarikan Kembali Harta
Wakaf. Hasil penelitian Chasanah menunjukkan bahwa wakaf adalah menahan
benda sebagai milik wakaf dan ditasharrufkan manfaatnya dan kedudukan
benda tersebut tidak lepas dari waqif. Waqif berhak untuk menariknya kembali
dan boleh menjualnya, karena menurut Imam Abu Hanifah tidak ada wakaf
yang bersifat abadi dan milk al-ain dari benda yang diwakafkan tetap berada
10
pada milik waqif. Kecuali wakaf yang diperuntukkan bagi masjid, wakaf yang
telah diputuskan oleh hakim, wakaf yang dihubungkan dengan kematian waqif
dan wakaf yang telah dinyatakan oleh waqif untuk selama-lamanya. Dengan
berdasar istihsan penarikan kembali itu dapat dilakukan karena tujuan wakaf
adalah untuk memberikan manfaat kepada orang lain sedang milik tetap ada
pada waqif seperti halnya yang terjadi pada al ‘ariyah atau pinjaman.
Kedua, penelitian Juniyanto yang berjudul Studi Analisis Pendapat Ibnu
Abiding tentang Wakaf Barang yang digadaikan. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa pendapat Ibnu Abidin tentang wakaf barang yang
digadaikan masih relefan dengan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia
sekarang ini. Dimana banyak sekali barang yang digadaikan dibiarkan tidak
bermanfaat dan bahkan menjadi beban tanggungan penggadai karena
berkurangnya nilai suatu barang atau sebab rusaknya barang itu sendiri. Begitu
juga dalam hak pemanfaatan barang yang digadaikan maka yang lebih berhak
adalah penggadai yang dalam hal ini barang gadaian dimanfaatkan oleh
masyarakat umum sehingga penggadai dan pemegang barang gadai sama-
sama mendapatkan kebaikan. Kebaikan penggadai karena telah mewakafkan
barang miliknya dan kebaikan pemegang gadai adalah membantu penggadai
untuk melakukan kebaikan karena pada dasarnya orang yang membantu orang
lain dalam berbuat kebaikan juga mendapatkan pahala kebaikan.
Ketiga, Penelitian yang dilakukan oleh Saeful ‘Ulum dengan judul
Tinjauan Hukum Islam Terhadap Putusan Pemerintah Kota Semarang No
90/2946 Tentang Tukar guling Tanah Wakaf Mushalla al-Makmur Kelurahan
11
Tugurejo Kecamatan Tugu Semarang Kota. Hasil penelitian itu berisi
permohonan tukar guling tanah wakaf Mushalla Al-Makmur Tugurejo Tugu
yang ditolak oleh Depag. Kota Semarang dengan pertimbangan nilai jual tanah
penggantinya lebih rendah namun Pemkot. Semarang menyetujui permohonan
tersebut dengan pertimbangan nilai tanah penggantinya lebih produktif
sehingga tidak perlu berlarut-larut, karena alasan yang mendasari keduanya
sudah sesuai dengan ketentuan PMA No 1 Tahun 1978 pasal 18 ayat (3) jo.
UU No 41 Tahun 2004 pasal 41 ayat (3) yaitu Tanah atau benda wakaf
penggantinya mempunyai nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta
benda wakaf semula. Di dalam penelitian ini juga memasukkan pendapat para
Fuqaha’ termasuk Imam Abu Hanifah, tentang tukar guling tanah wakaf
namun lebih spesifik pada hukum tanah yang dijadikan masjid kemudian
ditukar guling.
Dari penelitian-penelitian tersebut jelas, bahwa penelitian Chasanah
lebih memfokuskan penarikan kembali harta yang sudah diwakafkan,
sedangkan penelitian Juniyanto lebih memfokuskan penggadaian barang yang
diwakafkan. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Saiful ‘Ulum lebih
terfokus pada dikabulkannya permohonan tukar guling tanah wakaf Mushalla
al-Makmur Tugurejo Tugu oleh Pemkot. Semarang meskipun Depag. Kota
Semarang menolaknya serta membahas secara spesifik hokum tanah yang
dijadikan masjid kemudian ditukar guling. Dengan demikian, ada perbedaan
dengan penelitian ini yang lebih memfokuskan tentang tukar guling (ruilslag)
tanah wakaf secara umum dalam perspektif Ibnu ‘Abidin baik yang dijadikan
12
masjid ataupun yang lain karena akan menimbulkan implikasi hukum yang
berbeda. Yang bertujuan mengkaji pengertian tukar guling (ruilslag) serta
implikasi dan manfaat yang ditimbulkan dari adanya tukar guling (ruilslag)
tanah wakaf, melalui pemikiran Ibnu ‘Abidin dengan merujuk kitab-kitab
yang secara langsung membahas pemikiran Ibnu ‘Abidin yakni Radd al
Muhtar yang merupakan karya Ibnu ‘Abidin sendiri.
E. Metode Penelitian
Dalam menyusun skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian
sebagai berikut:
Dalam menganalisa data-data dalam skripsi ini, penulis
menggunakan metode analisis kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif
analitik, yaitu menjelaskan secara cermat dan tepat terhadap kajian
tersebut. Sedangkan pendekatan yang digunakan oleh penulis dalam
penelitian ini adalah dalil dan istinbat yang digunakan oleh Ibnu ‘Abidin
tentang tukar guling terhadap tanah wakaf.
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis akan menitik-beratkan pada penelitian
kepustakaan (library research), maka penulis mengambil sumber data berasal
dari kitab-kitab, buku-buku, atau sumber bacaan lain yang berkenaan dengan
skripsi ini.
Dalam menganalisa data-data dalam skripsi ini, penulis menggunakan
metode analisis kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif analitik, yaitu
13
menjelaskan secara cermat dan tepat terhadap kajian tersebut. Sedangkan
pendekatan yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah dalil dan
istinbat yang digunakan oleh Ibnu ‘Abidin tentang tukar guling terhadap tanah
wakaf.
2. Sumber Data
Adapun datanya adalah sebagai berikut:
a. Data primer yang diperoleh dari sumber pertama melalui prosedur
dan teknik pengambilan data yang berupa Kitab Radd al Muhtar
juz 6, karya Ibnu ‘Abidin tentang wakaf
b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber yang bukan
asli yang memuat data tersebut yang terdiri dari kitab:
1) Al Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu juz 8 bab wakaf karya
Wahbah al Zuhaili.
2) Al Waqfu karya Muhammad Abu Zahrah
3) Al Muqna’ karya Imam Hambali
4) Al Umm juz 5 karangan Imam Syafi’I tentang wakaf.
5) Raudhah al Thalibin jilid 4 tentang wakaf karya Abi
Zakaria Yahya bin Shirafi al Nawawi al Dimashaqi.
6) Hasyiyah al Syarqawi, Juz 2 karya Imam Syarqawi.
7) Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 2004
tentang wakaf.
Dan kitab atau buku atau karya-karya yang lainnya, yang masih
berkenaan dengan judul skripsi penulis.
14
3. Metode Analisis Data
Setelah data terkumpul dari hasil pengumpulan data, maka
langkah selanjutnya adalah menganalisis data, melalui metode-metode
sebagai berikut:
a. Metode Deskriptif Analitis
Metode deskriptrif ini digunakan untuk menggambarkan sifat
suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penulisan dilakukan
dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu.12 Untuk
selanjutnya dianalisis dengan melakukan pemeriksaan secara
konseptional atas suatu pernyataan, sehingga dapat diperoleh kejelasan
arti yang terkandung dalam pernyataan tersebut.13
Metode ini digunakan untuk mendiskripsikan pemikiran Ibnu
Abidin, kemudian dianalisis serta relevansi pemikirannya dengan
konteks sekarang.
b. Metode Ushuliyah
Metode ushuliyah yang dimaksudkan di sini adalah ushul fiqh,
yaitu pengetahuan tentang berbagai kaidah dan bahasan yang menjadi
sarana untuk mengambil hukum-hukum syara' mengenai perbuatan
manusia dari dalil-dalilnya yang terinci.14 Dengan kata lain, himpunan
12Consuelo G. Sevilla, dkk., Pengantar Metode Penelitian, UI Press, Jakarta: 1993, hlm.
71 13Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 1997, hlm. 60 14Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh , Alih Bahasa Oleh M. Zuhri dan Ahmad Qorib,
Dina Utama, Semarang: 1994, hlm. 2
15
kaidah dan bahasan yang menjadi sarana untuk mengambil dalil
hukum-hukum syara' mengenai perbuatan
Metode ini digunakan untuk menganalisa dasar Istinbat yang
digunakan oleh Ibnu ‘Abidin tentang tukar guling (ruilslag) terhadap
tanah wakaf.
F. Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan mudah dalam memahami
skripsi ini, maka penulis akan membagi ke dalam lima bab yaitu:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini berisi Latar Belakang Masalah, Penegasan Istilah,
Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kajian Pustaka,
Metodologi Penelitian, Sistematika Penulisan Skripsi
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG WAKAF DAN TUKAR
GULING (RUILSLAG) TERHADAP TANAH WAKAF
Pada bab ini dibagi menjadi dua sub bab. Sub bab pertama
menjelaskan tentang Wakaf, meliputi: Pengertian Wakaf, Syarat-
syarat Wakaf. Sub bab kedua menjelaskan tentang Ruilslag
Terhadap Tanah Wakaf dengan memfokuskan pembahasannya
tentang Pengertian Ruilslag, Dasar Hukum Ruilslag dan Pandangan
Ulama’ tentang Ruilslag Terhadap Tanah Wakaf.
BAB III : PEMIKIRAN IBNU ‘ABIDIN TENTANG TUKAR
GULING (RUILSLAG) TERHADAP TANAH WAKAF
16
Sub bab tiga dibagi menjadi tiga sub bahasan. Sub bab pertama
menjelaskan tentang Biografi Ibnu ‘Abidin dengan memfokuskan
pembahasannya tentang Latar Belakang Ibnu ‘Abidin, Setting
Sosial Kehidupan Ibnu ‘Abidin dan Karya-karya Ibnu ‘Abidin. Sub
bab kedua menjelaskan tentang Pendapat Ibnu ‘Abidin tentang
Ruilslag Terhadap Tanah Wakaf. Sub bab ketiga menjelaskan
tentang Dasar Hukum Ibnu ‘Abidin tentang Ruilslag Terhadap
Tanah Wakaf.
BAB IV : ANALISIS PEMIKIRAN IBNU ‘ABIDIN TENTANG
TUKAR GULING (RUILSLAG) TERHADAP TANAH
WAKAF
Pada Bab keempat ini merupakan bab analisis dengan
memfokuskan pembahasannya pada Analisis Pemikiran Ibnu
‘Abidin Tentang Ruilslag Terhadap Tanah Wakaf, Analisis Dasar
Istinbat Hukum Ibnu ‘Abidin Tentang Ruilslag Tanah Wakaf dan
Kontekstualisasi Pemikiran Ibnu ‘Abidin Tentang Ruilslag Tanah
Wakaf ke-Indonesian
BAB V : PENUTUP
Bab lima merupakan bagian akhir dari rangkaian penelitian. Bab
ini meliputi: Kesimpulan, Saran-saran dan Penutup.
17
18
BAB II
TUKAR GULING (RUILSLAG) TERHADAP TANAH WAKAF
Sebelum berbicara tentang tukar guling terhadap tanah wakaf terlebih
dahulu penulis akan menjabarkan tentang apa yang disebut dengan wakaf serta
segala sesuatu akan yang berhubungan dengan wakaf meliputi pengertian dan
macam-macamnya serta rukun dan syarat wakaf yang memasukkan wakif (orang
yang wakaf), mauquf (benda wakaf), mauquf ‘alaih (tujuan wakaf) dan nadzir
(orang yang menerima wakaf) berikut persyaratannya serta pencatatan wakaf, baik
dalam perspektif fiqh maupun dalam Undang-Undang Wakaf serta Kompilasi
Hukum Islam (KHI) serta.
Penulis menganggap bahwa segala sesuatu di atas termasuk hal-hal yang
berhubungan dengan wakaf jadi perlu adanya penjabaran lebih lanjut
dimaksudkan agar penelitian ini lebih mendetail.
A. Tinjauan tentang Wakaf
1. Pengertian Wakaf
Secara etimologis, kata wakaf berasal dari bahasa Arab, al Waqfu
bentuk mashdar dari susunan fi’il (kata kerja) وقفا- يقف –وقف kata al
Waqfu semakna dengan kata al Habs yang berasal dari bentuk mashdar
dari susunan fi’il حبس - يحبس - حبسا yang keduanya mempunyai arti yang
sama yakni menahan.1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, wakaf
1 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Al-‘Ishri, Multi Karya Grafika
Yogyakarta, 2000, hal. 2034 dan 733.
19
diartikan “sesuatu yang diperuntukkan bagi kepentingan umum sebagai
derma atau untuk kepentingan umum yang berhubungan dengan agama”.2
Sedangkan dalam Ensiklopedi Islam, wakaf didefinisikan: “Perpindahan
hak milik atas suatu harta yang bermanfaat dan tahan lama dengan cara
menyerahkan harta itu kepada pengelola baik perorangan, keluarga
maupun lembaga untuk digunakan bagi kepentingan umum di jalan
Allah”.3
Secara terminologi, banyak ahli atau pakar fiqh yang
mendefinisikan wakaf sebagai berikut:
a. Sayyid Sabiq
اى حبس المال وصرف منافعه فى حبس االصل وتسبيل الثمرة
4 .بسيل اهللاArtinya: “Wakaf adalah menahan harta dan memberikan manfaatnya
dijalan Allah”
b. Imam Taqiyuddin Abi Bakr
ء عينه ممنوع من التصرف فى عينه يمكن االنتفاع به مع بقا 5حبس مال تصرف منافعه فى البر تقربا الي اهللا تعالى
Artinya: “Dengan wakaf dimungkinkan adanya pengambilan manfaat beserta menahan dan menghentikan harta yang dapat diambil manfaatnya guna kepentingan kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah”.
c. Ibnu ‘Abidin
2 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hal. 1006. 3Dewan Redaksi Islam, Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta1989 و, hal
168. 4 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Juz 3, Maktabah Dar al Turas, Kairo, t.th., hal. 378. 5 Taqiyuddin Abi Bakr, Kifayah al Akhyar, Juz I Mesir: Dar al-Kitab al-Araby, t.th., hal.
319.
20
Menahan benda atas hukum kepemilikan dari orang yang
mewakafkan (wakif) dengan menshadaqahkan manfaatnya.6
Sedangkan pengertian wakaf dalam Undang-Undang sebagai
berikut:
a. Kompilasi Hukum Islam pasal 215 jo. Pasal 1 (1) pp. No. 28/1977
Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.7
b. UU wakaf yang terbaru yaitu UU No. 41 Tahun 2004
Disebutkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.8
Dari beberapa pengertian wakaf di atas, kiranya dapat ditarik
cakupan bahwa wakaf meliputi:
a. Harta benda milik seseorang atau sekelompok orang
b. Harta benda tersebut bersifat kekal dzatnya atau tidak habis apabila
dipakai
c. Harta tersebut dilepaskan kepemilikannya oleh pemiliknya, kemudian
harta tersebut tidak bisa dihibahkan, diwariskan, ataupun
diperjualbelikan.
6 Ibnu ‘Abidin, Rad al-Muhtar, Juz 6, Dar al-Fikr Beirut, Lebanon, t. th., hal. 519. 7 KHI pasal 215, jo Pasal 1 (1) pp. No. 28/1977. 8 UU No. 41 Tahun 2004.
21
d. Manfaat dari harta benda tersebut untuk kepentingan umum sesuai
dengan ajaran Islam.9
2. Dasar Hukum Wakaf
Wakaf yang dimaksud dalam kajian ini, tidak dijelaskan secara
eksplisit dalam Al-Qur’an namun demikian ditemukan petunjuk umum
tentang wakaf walaupun secara implisit. Misalnya firman Allah:
a. QS. al- Baqarah ayat 267
ياأيها الذين أمنوا أنفقوا من طيبات ما آسبتم ومما أخرجنا لكم من )267: البقرة.... (الأرض
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah di jalan Allah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu..” (QS. al-Baqarah: 267)10
b. Kemudian dalam QS. Ali Imran ayat 92
إن اهللا لن تنالوا البر حتى تنفقوا مما تحبون وما تنفقوا من شيء ف )92: ال عمران(به عليم
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai pada kebaktian (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (QS. Ali Imran: 92)11
c. Selain itu juga dalam QS. Al-Hajj ayat 77 sebagai berikut :
ياأيها الذين ءامنوا ارآعوا واسجدوا واعبدوا ربكم وافعلوا الخير )77 :الحج ( لعلكم تفلحون
9 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal.
491. 10 Depag, op. cit, hal 46. 11Ibid., hal. 91.
22
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebajikan supaya kamu mendapat kemenangan”. (QS. al-Hajj: 77)12
Kata-kata menafkahkan harta yang disebut dalam Al-Qur’an tidak
kurang dari 73 tempat, selain berkonotasi pada nafkah wajib, seperti zakat
atau memberi nafkah keluarga, juga menunjuk shodaqoh yang mempunyai
hukum sunnah, seperti sedekah, hibah, wakaf, serta shodaqoh yang lain.13
Menurut riwayat, wakaf pertama kali dilakukan oleh Umar Bin
Khattab r.a, yaitu mewakafkan tanah di Khaibar14. Pada dasarnya wakaf
merupakan tindakan sukarela (tabarru’) untuk mendermakan sebagian
kekayaan. Karena sifat harta benda yang diwakafkan tersebut bernilai
kekal, maka wakaf ini bernilai jariyah (kontinyu), artinya pahala akan
senantiasa diterima secara berkesinambungan selama harta wakaf tersebut
dimanfaatkan untuk kepentingan umum.15
Selain dalam Al-Qur’an di dalam beberapa Hadits juga dijelaskan
tentang shodaqoh secara umum yang dapat dipahami sebagai wakaf.
12Ibid., hal. 272. 13 Lihat penjelasan kata Yunfiquun, dalam al-Razi, Ahkam al-Qur’an, Kairo: Dar-Mushaf,
tt,hal 300.juga Ibnu ‘Araby, Ahkam Alqur’an, Mesir: Dar Ihya’ al-Kutub al-Araby, t.th., hal.10. 14 Dewan Redaksi Islam, loc. cit. 15 Ahmad Rofiq, op. cit., hal. 483.
23
Diantaranya Sabda Nabi SAW:
اذا مات : عن ابي هريرة ان رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم قالاوعلم ينتفع , صدقة جارية: االنسان انقطع عنه عمله اال من ثالثة
16).رواه مسلم. (او ولد صالح يدعوله, بهArtinya: “Dari Abu Hurairah r.a. berkata, Bahwa Rasulullah saw.
bersabda: Apabila manusia mati, putuslah amalnya kecuali tiga (perkara): Shadaqah jariyah atau ilmu yang diambil manfaatnya atau anak saleh yang berdoa untuk orang tuanya. (HR. Muslim).
Selain itu, juga Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Imam Muslim yang lebih sharih (jelas) menjelaskan tenang wakaf namun
menggunakan kata habsu:
فاتىالنبي صلى اهللا , اصاب عمر ارضا بخيبر: عن ابن عمر قالاني اصبت ارضا . ا رسول اهللاي: فقال, عليه وسلم يستامره فيها
ان شئت حبست (قال . بخيبر لم اصب ماال قط هو انفس عندي منهوال , انه اليباع اصلها: فتصدق بها عمر: قال) اصلها وتصدقت بها
وفى , وفى القرب, فتصدق بها في الفقراء, وال يوهب, يورثال جناح على من . والضيف, وابن سبيل, وفى سبيل اهللا, الرقاب
. ويطعم صديقا غير متمول ماال, يها ان ياآل منها بالمعروفول 17)متفق عليه وللفظ لمسلم(
Artinya: “Dari Ibnu Umar, Ia berkata: Umar dapat satu tanah di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi SAW guna meminta instruksi sehubungan dengan tanah tersebut, Ia berkata: Ya Rasulullah sesungguhnya aku telah memperoleh tanah di Khaibar, yang aku tidak menyenanginya seperti padanya, apa yang engkau perintahkan kepadaku dengannya?. Beliau bersabda: “jika kamu menginginkan tahanlah aslinya dan shadaqahkan hasilnya. Maka bersadaqahlah Umar, tanah tersebut tidak bisa dijual, dihibahkan, dan diwariskan. Ia menshadaqahkannya kepada fakir, budak-budak, pejuang dijalan Allah, Ibnu Sabil dan tamu-tamu. Tidak berdosa orang yang mengelolanya, memakan hasil dari tanah tersebut dengan cara
16 Imam Muslim, Shahih Muslim Jilid II, Beirut: Dar al-Fikr, 1993, hal. 70. 17 Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, Juz 3, Dar Fikr Lebanon, Bairut, t.th, hal. 196.
24
ma’ruf dan memakannya tanpa maksud memperkaya diri. (Muttafaq ‘alaihi, tetapi lafal itu bagi Muslim).
Itulah beberapa Hadits yang mengisyaratkan wakaf sebagai tindakan
hukum, dengan cara melepaskan hak kepemilikan atas asal barang dan
menyedekahkan manfaatnya untuk kepentingan umum, dengan maksud
memperoleh pahala dari Allah. Kepentingan tersebut bisa berupa kepentingan
sosial maupun keagamaan.
3. Macam-Macam Wakaf
Sejalan dengan tujuannya, wakaf terbagi menjadi dua, yaitu wakaf ahli
dan wakaf khairi.18
Wakaf ahli disebut juga wakaf keluarga, yaitu wakaf yang khusus
diperuntukkan bagi orang-orang tertentu, seorang atau lebih, baik ada ikatan
keluarga ataupun tidak. Karena wakaf ini diperuntukkan bagi orang-orang
khusus atau orang-orang tertentu, maka wakaf ini disebut pula dengan wakaf
khusus.
Yang berhak mengambil manfaat wakaf ahli ialah orang-orang tersebut
dalam sighat wakaf. Persoalan yang biasa timbul kemudian hari pada wakaf
ahli ini, ialah bila orang yang tersebut dalam sighat wakaf itu telah meninggal
dunia, atau ia tidak berketurunan dan jika dinyatakan bahwa keturunannya
berhak mengambil manfaat wakaf itu, atau orang tersebut tidak mengelola
atau mengambil manfaat harta wakaf itu.
18 Asyumi A. Rahman dkk. Ilmu Ushul Fiqh, Depag, Jakarta, 1986, hal. 220-222.
25
Bila terjadi seperti yang demikian, maka biasanya harta wakaf itu
dikembalikan kepada tujuan wakaf pada umumnya, yaitu dimanfaatkan untuk
menegakkan agama Allah atau untuk keperluan sosial.
Hal ini dapat dipahami dari Hadits Ibnu Umar bahwa bila harta telah
diwakafkan berarti telah diserahkan kepada Allah SWT. Sedang manfaat harta
wakaf itu boleh digunakan untuk karib kerabat, untuk jalan Allah untuk fakir
miskin dan sebagainya. Bila karib kerabat atau orang tertentu tidak ada lagi
tentulah harta wakaf itu dapat dimanfaatkan untuk keperluan yang lain sesuai
dengan yang telah ditentukan Allah.19
Wakaf ahli banyak dipraktekkan di beberapa Negara Timur Tengah,
seperti Mesir, Syiria dan beberapa negara lain juga pernah mempraktekkannya
namun mengalami kesulitan-kesulitan di kemudian hari dalam menyelesaikan
perkara ataupun disebabkan munculnya persoalan yang timbul karenanya.20
Banyak di antara mereka yang menyalahgunakannya. Misalnya, 1)
Menjadikan wakaf ahli itu sebagai cara untuk menghindari pembagian atau
pemecahan harta kekayaan pada ahli waris yang berhak menerimanya, setelah
wakif meninggal dunia. 2) Wakaf ahli dijadikan alat untuk mengelak tuntutan
kreditor atas hutang-hutangnya yang dibuat si wakif sebelum mewakafkan
tanah kekayaannya.21 Oleh karena itu, di beberapa negara tersebut. Wakaf ahli
ini dibatasi dan bahkan dihapuskan seperti halnya di Mesir telah
menghapuskan Wakaf ahli ini dengan Undang-Undang No.180 Tahun 1952.
19 Proyek Pengembangan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam di
Jakarta, Ilmu Fiqh, Jilid 3, Depag, Jakarta, 1986, hal. 221. 20 Asyumi A. Rahman dkk. loc. cit. 21 Ahmad Rofiq, op. cit., hal. 492.
26
Sedangkan di Syiria telah menghapus praktek wakaf ahli ini pada tahun
sebelumnya.22
Kedua wakaf khairi atau wakaf umum. Wakaf umum ini ditujukan
untuk kepentingan umum, seperti: masjid, mushalla, madrasah, pondok
pesantren maupun yang lainnya. Wakaf umum ini, sejalan dengan perintah
agama yang secara tegas menganjurkan untuk menafkahkan sebagian
kekayaan umat Islam, untuk kepentingan umum yang lebih besar dan
mempunyai nilai pahala jariyah yang tinggi, artinya meskipun si wakif telah
meninggal dunia, ia akan tetap menerima pahala wakaf, sepanjang benda
wakaf tersebut tetap dipergunakan untuk kepentingan umum.
Di Indonesia wakaf khairi inilah yang terkenal dan banyak dilakukan
kaum Muslimin. Hanya saja umat Islam di Indonesia belum mampu
mengelolanya secara baik sehingga harta wakaf itu belum dapat diambil
manfaatnya secara maksimal.23
4. Fungsi Wakaf
Fungsi wakaf menurut KHI pasal 215 adalah mengekalkan manfaat
benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf yaitu melembagakannya untuk
selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai
dengan ajaran Islam24.
Sedangkan fungsi wakaf menurut redaksi Pasal 5 UU No. 41 Tahun
2004 bahwa “wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis
22 Ibid. 23 Ibid., hal. 222. 24 Kompilasi Pasal 216 dan PP. No. 28/1997 Pasal 2.
27
harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan
kesejahteraan umum”.25
Jadi fungsi wakaf menurut KHI pasal 215 dan Pasal 5 UU No. 41
Tahun 2004 dimaksudkan dengan adanya wakaf terciptanya sarana dan
prasarana bagi kepentingan umum sehingga terwujudnya kesejahteraan
bersama baik dalam hal ibadah ataupun dalam hal mu’amalah. Dengan
demikian orang yang kehidupannya di bawah garis kemiskinan, dapat
tertolong kesejahteraannya dengan adanya wakaf. Kemudian pada umumnya
baik umat Islam pada khususnya ataupun umat lain yang hidup berdampingan
dengan umat Islam pada umumnya, dapat menggunakan benda wakaf sebagai
fasilitas umum sekaligus dapat mengambil manfaatnya.
Hal ini sebagai salah satu bukti bahwa keberadaan islam dan umatnya
menjadi rahmat bagi seluruh alam. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-
Anbiya’ ayat 107 sebagaimana berikut:
)107: االنبياء(عالمين وما أرسلناك إلا رحمة لل Artinya: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam”. (QS. Al-Anbiya’: 107)26
Sekaligus menepis anggapan bahwa Islam dan umatnya tidak
menghargai dan mengakui serta tidak mau hidup berdampingan dengan umat
non muslim lainnya.
25 Pasal 5 UU No. 41 Tahun 2004. 26 Departemen Agama RI, op. cit., hal. 508.
28
5. Rukun dan Syarat Wakaf
Kendatipun para Mujtahid berbeda pendapat mengenai konsep wakaf
dan perbedaan pendapat itu tercermin dalam perumusan, namun semuanya
sependapat bahwa untuk pembentukan lembaga wakaf diperlukan beberapa
rukun. Unsur-unsur pembentuk yang juga merupakan rukun wakaf yaitu: 1)
orang yang berwakaf atau wakif, 2) harta yang diwakafkan atau mauquf, 3)
tujuan wakaf atau mauquf alaih dan, 4) sighat.
a. Wakif (orang yang berwakaf)
Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang
mewakafkan benda miliknya.27 Jadi wakif tidak hanya perorangan tetapi
juga bisa dalam bentuk organisasi dan badan hukum.28
Wakif atau orang yang mewakafkan amalan wakaf pada hakikatnya
adalah tindakan tabarru’ (melepaskan hak milik tanpa mengharap
imbalan), karena itu syarat seorang wakif adalah cakap melakukan
tindakan tabarru’.29 Mengenai kecakapan bertindak, dalam hukum fiqh
ada dua istilah yang perlu dipahami untuk membedakannya, yakni baligh
dan rasyid. Pengertian baligh menitikberatkan pada usia, dalam hal ini
umumnya ulama berpendapat umur 15 tahun. Adapun yang dimaksud
dengan rasyid adalah cerdas atau kematangan dalam bertindak. Oleh
27 Pasal 215 (2) KHI dan pasal 1 (2) PP No. 28 Tahun 1977. 28 Pasal 7 UU No. 41 Tahun 2004. 29 Muhammad Rawas Qal’ah Jay, Mausu’ah Fiqh Umar Ibn Al-Khatab, Dar Al Nafais,
Beirut, Libanon, 1409 H./1989 M, hal. 887.
29
karena itu, menurut Jumhur Ulama’ tidak ada wakaf yang bisa dilakukan
oleh orang bodoh atau pailit (bangkrut).30
Adapun syarat-syaratnya dikemukakan pada pasal 8 UU No. 41
Tahun 2004 dikemukakan dalam pasal wakif perseorangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf a hanya dapat melakukan wakaf apabila
memenuhi persyaratan:
1) Dewasa;
2) Berakal sehat;
3) Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum;31 dan
4) Pemilik sah harta benda wakaf.
Sedangkan bagi wakif yang berasal dari organisasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf b hanya dapat melakukan wakaf apabila
memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf
milik organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang
bersangkutan.
Kemudian bagi wakif yang berasal dari badan hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf c hanya dapat melakukan wakaf apabila
memenuhi ketentuan badan hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf
milik badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang
bersangkutan. (lihat juga Pasal 3 PP. No 28/1977).
30 Said Agil Husin Al Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Penamadani, Jakarta
2004, hal. 136. 31 Maksud dari tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum adalah sudah
memenuhi kriteria selain baligh dan berakal sehat juga harus rasyid sebagaimana yang dijelaskan fuqaha’ serta Said Agil al-Munawar dalam bukunya Hukum Islam Dan Pluralitas Sosial hal. 136. Dengan demikian segala perbuatan dari wakif dapat dipertanggungjawabkan di depan hukum.
30
Dalam kaitannya ini tidak ada ketentuan yang mengharuskan
seorang wakif haruslah seorang Muslim, oleh sebab itu, orang non muslim
pun dapat melakukan wakaf. Sepanjang ia melakukannya sesuai dengan
ketentuan ajaran Islam, dan perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, wakaf yang tabarru’ (melepaskan hak milik tanpa
mengharap imbalan), dalam pelaksanaannya tidak diperlukan adanya
qabul (ucapan menerima) dari orang yang menerima wakaf. Namun
demikian ketentuan ini perlu dipahami, bahwa dalam pelaksanaannya
hendaknya diikuti dengan bukti-bukti tertulis, agar tindakan hukum wakaf
tersebut mempunyai kekuatan hukum sekaligus menciptakan tertib
administrasi. 32
Seorang wakif tidak boleh mencabut kembali benda yang sudah
diwakafkannya dan dilarang menuntut agar harta yang sudah diwakafkan
dikembalikan ke dalam bagian hak miliknya dalam keadaan apapun.33
b. Mauquf (benda yang diwakafkan)
Semua harta benda wakaf yang akan diwakafkan menjadi sah,
apabila memenuhi syarat-syarat tertentu. Adapun syarat dari benda yang
akan diwakafkan adalah sebagai berikut:
1) Benda wakaf dapat dimanfaatkan untuk jangka panjang, tidak sekali
pakai. Hal ini karena watak wakaf yang lebih mementingkan manfaat
benda tersebut.
32 Ahmad Rofiq, op.cit., hal. 493. 33 Imam Syafi’i, al ‘Umm juz 4, Dar al Fikr, Beirut Libanon, t.th., hal. 62.
31
2) Benda wakaf dapat berupa milik pribadi, kelompok atau badan hukum
(al masya’).
3) Hak milik wakif harus jelas batas-batas kepemilikannya, selain itu
benda wakaf merupakan benda milik yang bebas segala pembebanan,
ikatan, sitaan dan sengketa.
4) Harta yang diwakafkan itu haruslah jelas wujudnya dan pasti batasan-
batasannya (misalnya tanah).34
5) Benda wakaf dapat dialihkan hanya jika jelas-jelas untuk maslahah
yang lebih besar.
6) Harta yang diwakafkan itu dapat berupa benda yang bergerak dan yang
tidak bergerak.
7) Benda wakaf tidak dapat diperjualbelikan, dihibahkan atau diwariskan.
8) Bukan barang haram atau najis.35
Pada awal permulaan wakaf disyari’atkan yakni pada zaman Rasul.
Sedangkan sifat dari harta wakaf ialah harta yang tahan lama dan
bermanfaat, seperti tanah dan kebun. Tetapi kemudian para ulama
berpendapat bahwa harta selain tanah dan kebun pun dapat diwakafkan
asal bermanfaat dan tahan lama. Tetapi dalam perkembangannya banyak
pula yang mewakafkan harta yang bergerak seperti yang dikemukakan
dalam pasal 215 ayat (4) dari UU No. 41 Tahun 2006, dikemukakan
“Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak
34 Said Agil Husin Al Munawar, op. cit., hal. 136-139. 35 Muhammad Rawas Qal’ah, op. cit., hal. 877.
32
bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan
bernilai menurut ajaran Islam”.
Adapun benda yang tidak bergerak seperti yang tertera pada UU
No. 41 Tahun 2004 pada pasal 16 ayat (2) adalah:
1) Adalah tanah yang di dalamnya dilekati oleh hak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2) Bangunan atau bagian dari bangunan;
3) Tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah;
4) Hak milik atas satuan rumah susun di atas tanah hak milik;
Adapun benda yang bergerak meliputi:
1) Uang;
2) Logam mulia;
3) Surat berharga;
4) Kendaraan;
5) Hak atas kekayaan intelektual;
6) Hak sewa; dan
7) Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Sedang syarat benda-benda wakaf menurut versi Kompilasi
Hukum Islam (KHI) merupakan benda milik yang bebas segala
pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa (Pasal 217 ayat (3)).
33
c. Mauquf ‘alaih (tujuan wakaf)
Dalam pelaksanaan wakaf seharusnya Wakif menentukan tujuan
dalam mewakafkan harta benda miliknya, seperti harta wakaf tersebut
digunakan untuk Masjid, pondok pesantren atau yang lainnya. Dalam
wakaf yang utama adalah wakaf itu diperuntukkan untuk kebaikan mencari
keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepada Nya. Oleh karena itu tidak
diperbolehkan memberikan wakaf untuk kepentingan maksiat, atau
membantu, mendukung dan atau yang memungkinkan digunakan untuk
tujuan maksiat.
Untuk lebih konkritnya tujuan wakaf adalah sebagai berikut:
1) Untuk mencari keridhaan Allah, termasuk di dalamnya segala macam
usaha untuk menegakkan agama Islam, seperti: mendirikan tempat-
tempat ibadah kaum muslimin, kegiatan dakwah, pendidikan agama
Islam, penelitian ilmu-ilmu agama Islam dan sebagainya. Karena itu
seseorang tidak dapat mewakafkan hartanya, untuk kepentingan
maksiat, atau keperluan yang bertentangan dengan agama Islam,
seperti untuk mendirikan rumah ibadah agama lain, membantu
pendidikan selain Islam dan lain-lain. Demikian juga wakaf tidak
boleh dikelola dalam usaha yang bertentangan dengan agama Islam,
seperti untuk industri minuman keras, ternak babi dan sebagainya.
34
2) Untuk kepentingan masyarakat, seperti: membantu fakir miskin,
orang-orang terlantar, kerabat, mendirikan sekolah, asrama anak yatim
piatu dan sebagainya.36
3) Tujuan wakaf tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah pada
umumnya, sekurang-kurangnya tujuannya harus merupakan hal yang
mubah menurut kaidah hukum Islam.37
d. Shigat wakaf ( ikrar wakaf)
Sighat wakaf adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk
mewakafkan tanah benda miliknya.38 Dalam sighat atau pernyataan wakaf
harus dinyatakan dengan tegas baik secara lisan maupun tulisan, dan
disebutkan dengan jelas benda yang diwakafkan, kepada siapa diwakafkan
dan untuk apa dimanfaatkan.39 Sighat tersebut biasanya menggunakan kata
“aku mewakafkan” atau “aku menahan” atau kalimat semakna lainnya.
Dengan pernyataan wakif tersebut, maka gugurlah hak wakif. Selanjutnya
benda itu menjadi milik mutlak Allah yang dimanfaatkan untuk
kepentingan umum yang menjadi tujuan wakaf. Oleh karena itu, benda
yang telah diikrarkan untuk wakafnya, tidak bisa dihibahkan,
diperjualbelikan, maupun diwariskan.40
Mengenai masalah saksi dalam ikrar wakaf, tidak dibicarakan
dalam kitab-kitab hukum (fiqh) Islam, karena mungkin para ahli fiqh
36 Depag RI, Ilmu Fiqh, Ditjen Bimbingan Islam, Jakarta, 1986, hal. 216. 37 Muhammad Daud Ali, op. cit., hal 87. 38 KHI Pasal 215 (3) jo. Pasal 1 ayat (3) PP. No. 28 Tahun 1977. 39. Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta
2002, hal. 31 40 Drs. Ahmad Rofiq, op. cit., hal. 216.
35
menggolongkan wakaf ke dalam aqad tabarru’ yakni janji untuk
melepaskan hak tanpa suatu imbalan kebendaan. Pelepasan hak itu
ditujukan kepada Allah dalam rangka beribadah untuk memperoleh
keridhaan-Nya. Namun, karena masalah ini termasuk ke dalam kategori
maslahah mursalah yakni untuk kemaslahatan umum, maka soal
kesaksian itu perlu juga diperhatikan. Juga pernyataan wakif harus jelas
yakni 1) melepaskan haknya atas pemilikan benda yang diwakafkan, dan
2) menentukan peruntukan benda itu apakah khusus untuk kepentingan
orang-orang tertentu ataukah umum untuk kepentingan masyarakat.41
Dalam pasal 5 PP Nomor 28 Tahun 1977 jo. Pasal 218 KHI jo.
Pasal 17 UU No 41 Tahun 2004.
1) Pihak yang mewakafkan tanahnya harus mengikrarkan kehendaknya
secara jelas dan tegas kepada Nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akta
Ikrar Wakaf (PPAIW) sebagaimana dimaksud pasal 9 ayat (2) yang
kemudian menuangkannya dalam bentuk akta ikrar wakaf, dengan
disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi.
2) Dalam keadaan tertentu penyimpangan dari ketentuan dimaksud dalam
ayat (10) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat
persetujuan Menteri Agama.
e. Nadzir (orang yang memelihara benda wakaf)
Pada umumnya di dalam kitab-kitab fiqh tidak mencantumkan
nadzir wakaf sebagai salah satu rukun wakaf. Ini dapat dimengerti, karena
41 Muhammad Ali Daud, op. cit., hal. 88.
36
wakaf adalah ibadah tabarru’. Namun demikian, dengan perkembangan
zaman serta memperhatikan tujuan wakaf yang ingin melestarikan manfaat
dari benda wakaf, maka kehadiran nadzir sangat penting.
Nadzir adalah orang atau badan yang memegang amanat untuk
memelihara dan mengurus harta wakaf sebaik-baiknya sesuai dengan
wujud dan tujuannya.42
1) Ketentuan nadzir
Pada dasarnya siapa saja dapat menjadi nadzir asal saja ia
berhak melakukan tindakan hukum. Adapun mengenai ketentuan
nadzir sebagaimana tercantum pada pasal 9-14 UU No. 41 Tahun 2004
meliputi:
Pasal 9 nadzir meliputi:
a) Perorangan;
b) Organisasi; atau
c) Badan hukum
Pasal 10
a) Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a hanya
dapat menjadi nadzir apabila memenuhi persyaratan:
(1) Warga negara indonesia;
(2) Beragama islam;
(3) Dewasa;
42 Ibid.. hal 91
37
(4) Sehat jasmani dan rohani; dan
(5) Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.43
Sedangkan pada KHI pasal 215 ayat (4) syarat nadzir
perorangan ditambah dengan adanya ketentuan nadzir bertempat
tinggal di kecamatan tempat letak benda yang diwakafkan.
b) Organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b hanya
dapat menjadi nadzir apabila memenuhi persyaratan :
(1) Pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi
persyaratan nadzir perorangan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1); dan
(2) Organisasi yang bersangkutan bergerak dibidang sosial,
kemasyarakatan, dan atau keagamaan Islam.
c) Badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c hanya
dapat menjadi nadzir apabila memenuhi persyaratan :
(1) Badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
(2) Badan hukum yang bersangkutan bergerak dibidang sosial,
kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.
d) Pelaksanaan wakaf direalisasikan segera setelah ikrar. Hal ini
karena pemilikan benda telah lepas dari wakif. Karena itu wakaf
43 Terhalangnya melakukan perbuatan hukum bagi seorang nadzir sama halnya dengan
wakif. Jadi dalam hal ini seorang nadzir harus memenuhi syarat selain dan berakal sehat juga harus memiliki kecakapan yakni rasyid.
38
tidak boleh digantungkan kepada suatu keadaan atau syarat
tertentu, misalnya pada kematian seseorang, atau kondisi tertentu.
d) Apabila seorang wakif menentukan syarat dalam pelaksanaan
pengelolaan benda wakaf, yang mana syarat tersebut tidak
bertentangan dengan tujuan wakaf, maka nadzir perlu
memperhatikannya. Tetapi apabila syarat tersebut bertentangan
dengan tujuan wakaf semula, seperti masjid yang jama’ahnya
terbatas golongan tertentu saja. Nadzir tidak perlu memperhatikan.
44
2) Kewajiban dan hak-hak nadzir atas benda wakaf
Nadzir sebagai pihak yang bertugas memelihara dan mengurusi
wakaf mempunyai kedudukan penting dalam perwakafan. Meskipun
demikian, tidak berarti nadzir mempunyai kekuasaan mutlak terhadap
harta yang diamanatkan kepadanya. Pada umumnya ulama sepakat
bahwa kekuasaan nadzir hanya terbatas pada pengelolaan wakaf untuk
dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf yang dikehendaki wakif.45
Kewajiban dan hak-hak nadzir diatur dalam pasal 220 KHI jo
pasal 7 PP No. 28 Tahun 977 sebagai berikut:
a) Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan bertanggungjawab atas
kekayaan wakaf serta hasilnya, dan pelaksanaan perwakafan sesuai
44 Ahmad Rofiq, op. cit., hal. 501. 45 Said Agil, op. cit., hal. 157.
39
dengan tujuannya menurut ketentuan-ketentuan yang diatur oleh
Menteri Agama.
b) Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal
yang menjadi tanggung jawabnya sebagaimana dimaksudkan
dalam ayat (1) kepada kepala Kantor Urusan Agama kecamatan
setempat dengan tembusan kepada Majelis Ulama’ Kecamatan dan
Camat setempat.
c) Tatacara pembuatan laporan seperti dimaksudkan dalam ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Agama,
Pada pasal 222 KHI dan pasal 8 PP No. 28/1977 dinyatakan:
“nadzir berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang jenis dan
jumlahnya ditentukan berdasarkan kelayakan atas saran Majelis
Ulama’ Kecamatan dan Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan
setempat”.
Kemudian yang berhak menentukan nadzir wakaf adalah wakif.
Mungkin ia sendiri yang menjadi nadzir, mungkin pula diserahkannya
kepada orang lain, baik perorangan maupun organisasi. Namun agar
perwakafan dapat terselenggara dengan sebaik-baiknya, maka
pemerintah berhak campur tangan mengeluarkan berbagai peraturan
mengenai perwakafan, termasuk menentukan Nadzirnya yakni melalui
persetujuan PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf).46
46 Daud Ali, op. cit., hal. 93.
40
Pasal 13
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11, nadzir memperoleh pembinaan dari Pemerintah dan Badan
Wakaf Indonesia.
6. Pendaftaran Tanah Wakaf
Menurut pendapat Imam Syafi’i, Imam Malik dan Imam Hambali
wakaf dianggap telah terlaksana dengan adanya lafal atau sighat, walaupun
tidak ditetapkan oleh hakim. Kepemilikan yang semula dari Wakif telah hilang
atau berpindah dengan terjadinya lafal, walaupun barang itu masih berada di
tangan wakif. Menurut beberapa pendapat Imam Madzhab di atas bahwa
dalam perwakafan tidak diperlukan banyak persyaratan menyangkut prosedur
atau tata cara pelaksanaan wakaf. Hanya saja Abu Hanifah yang berpendapat
bahwa benda wakaf belum terlepas dari milik wakif, sampai hakim
memberikan yaitu mengumumkan barang wakaf tersebut.47
Pendaftaran tanah wakaf diatur dalam pasal 10 ayat (1) s/d (5) PP No.
28 Tahun 1977 jo. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 jo. KHI
pasal 223, maka pelaksanaan wakaf itu dilakukan sebagai berikut:
Yakni wakif menghadap kepada Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, yakni
Kepala Kantor Urusan Agama kecamatan di mana tanah yang akan
diwakafkan itu berada, dengan dihadiri sekurang-kurangnya dua saksi. Setelah
selesai ikrar wakaf, maka PPAIW atas nama nadzir diharuskan mengajukan
permohonan, kepada Bupati/Walikota Madya Kepala Daerah cq. Kepala Sub
47 Hasbi ash-Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, hal 179.
41
Direktorat Agraria setempat untuk mendaftar perwakafan tanah milik tersebut
menurut ketentuan PP No. 10 Tahun 1961. selanjutnya Kepala Sub Direktorat
Agraria mencatatnya pada buku tanah dan sertifikatnya. Tapi kalau tanah
wakaf tersebut belum mempunyai sertifikat, maka pencatatannya dilakukan
setelah dibuatkan sertifikatnya. Setelah nadzir yang bersangkutan wajib
melaporkannya kepada pejabat yang ditunjuk oleh menteri agama dalam hal
ini pejabat tersebut seperti dimaksud dalam pasal 10 ayat (2) huruf a Peraturan
Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 adalah Kepala KUA.48
Dalam melaksanakan ikrar harus disertai dengan surat-surat sebagai
berikut :
a. Tanda bukti pemilikan harta benda.
b. Jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka harus
disertai surat keterangan dari Kepala Desa, yang diperkuat oleh Camat
setempat yang menerangkan kepemilikan benda tidak bergerak dimaksud.
c. Surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda tidak
bergerak yang bersangkutan.49
Sedangkan akta ikrar wakaf sendiri dibuat rangkap masing-masing
untuk:
a. PPAIW
b. Bupati/ Walikota Madya Kepala Daerah dalam hal ini Kepala Subdit
Agraria setempat
48 Depag RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Perwakafan Tanah Milik,
Proyek Pembinaan Zakat Dan Wakaf, Jakarta 1984/1985,hal. 124
49 Pasal 9 PP No 28 Tahun 1977.
42
c. Pengadilan Agama yang mewilayahinya
Salinan dibuat rangkap empat untuk disampaikan kepada :
a. Wakif
b. Nadzir
c. Kandepag. Kabupaten/Kotamadya
d. Kepala Desa yang bersangkutan50
Khusus untuk perwakafan yang terjadi sebelum berlakunya PP No. 28
Tahun 1977, tatacara pendaftarannya diatur dalam pasal 15 dan 16 Peraturan
Menteri Agama No. 1/1978, dalam hal ini nadzirlah yang mendaftar kepada
KUA setempat. Apabila nadzir tidak ada lagi, pendaftarannya dilakukan oleh:
a. Wakif atau
b. Ahli warisnya, atau
c. Anak keturunan nadzir
d. Anggota masyarakat yang mengetahuinya.
Kalau tidak ada juga pihak seperti tersebut diatas, Kepala Desalah
yang berkewajiban mendaftarkannya kepada KUA setempat. Pendaftaran ini
disertai dengan:
a. Surat keterangan tentang tanah atau surat keterangan Kepala Desa tentang
perwakafan tanah tersebut.
b. Dua orang saksi ikrar wakaf atau dua orang saksi istifadah.
Dan untuk membuktikan pendaftaran tanah wakaf tersebut di atas,
ditetapkan akta pengganti akta ikrar wakaf.51
50 Pasal 3 Peraturan Menteri Agama No. 1/1978.
43
Pasal 12 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tentang
tatacara perwakafan tanah mengenai perwakafan tanah milik menyebutkan
bahwa, “Untuk keperluan pendaftaran dan pencatatan perwakafan tanah, tidak
dikenakan biaya pendaftaran, kecuali biaya pengukuran dan materai”.52
B. Tukar Guling (Ruilslag) Terhadap Tanah Wakaf
1. Pengertian Tukar Guling
Kata tukar guling dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
disebut juga tukar lalu yang berarti bertukar barang dengan tidak menambah
uang.53 Kemudian dikarenakan hukum positif bangsa Indonesia masih
merupakan warisan dari kolonial Belanda maka tukar guling dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH.Per) disebut dengan kata ruilslag
yang berarti tukar guling yang didasarkan atas persetujuan pemerintah.54
Dalam KUH.Per. sebagaimana pasal 1541 kata tukar guling disebut
dengan tukar menukar yang mempunyai arti suatu persetujuan, dengan mana
kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberi suatu barang
secara bertimbal balik, sebagai gantinya atas suatu barang.55 Selanjutnya
dikarenakan penulis mengadakan penelitian yang berhubungan dengan bahasa
lain yakni bahasa Arab, maka dalam Arab kata tukar guling disebut dengan
kata istibdal (استبدل) yang berasal dari fi’il mujarrod (kata kerja murni) badala
51 Himpunan Peraturan Perundang-Undangan … op. cit., hal. 129. 52 Ibid., hal. 121. 53 Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 2005, hal. 1217. 54 Ibid., hal. 966. 55 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1992; hal. 509.
44
kemudian mendapat tambahan alif, sin dan ta’ sebagai tanda dari fi’il , ( بدل )
tsulasi mazid (kata kerja dengan tambahan tiga huruf).56
Kata tukar guling menurut istilah fuqaha’ meskipun secara langsung
tidak terdefinisikan secara eksplisit, namun secara implisit tetap tersebutkan,
di antaranya adalah:
a. Menurut Imam Syarqawi kata istibdal (tukar guling) dalam masalah wakaf
adalah mengganti mauquf (barang wakaf) yang dinisbatkan dengan
kerusakan, yang kemudian diganti dengan benda lain yang lebih baik ini
didasarkan atas ungkapan beliau dalam kalimat:
وصورته عندهم ان يكون المحل قد ال الى السقوط فيبدله ... 57 ....بمحل اخر احسن منه
b. Sedangkan menurut salah satu penerus madzhab Hanafi yakni Ibnu
‘Abidin kata istibdal berarti mengganti suatu benda wakaf satu dengan
yang lain, hal ini didasarkan atas ungkapan berikut ini:
58حينئذ) شرط االستبدال به ارضا اخرى(جاز )و(
2. Dasar Hukum Tentang Tukar Guling (Ruilslag) Terhadap Tanah Wakaf
Pada dasarnya tidak ada nash yang sharih yang melarang dan
memperbolehkan adanya tukar guling terhadap tanah wakaf sehingga
menimbulkan berbagi perspektif hukum dari para mujtahid fiqh yang berbeda.
56 Atabik Ali, Zuhdi Muhdlor, op. cit., hal. 92. 57 Imam Syarqawi, Hasyiyah al-Syarqawi, Juz 2, Dar al-Fikr, Beirut, Lebanon, t.th., hal.
178. 58 Ibnu Abidin, op. cit., hal. 583-584.
45
Walaupun pada dasarnya membolehkan namun harus dengan berbagai
ketentuan.59
Sedangkan tukar guling atas tanah wakaf dalam UU, dijelaskan bahwa
pada dasarnya .tanah wakaf dilarang dijadikan jaminan, disita, dihibahkan,
dijual, diwariskan, ditukar atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak
lainnya, seperti yang tercantum dalam Pasal 40 UU No 41 Tahun 2004.
Namun realitanya menunjukkan bahwa selalu ada kemungkinan tentang
berkurang atau habis manfaatnya atau tidak ada hasilnya benda wakaf di
kemudian hari. Hal tersebut dimungkinkan karena telah usangnya benda
wakaf ataupun karena letaknya tidak strategis lagi, meskipun pada awal benda
wakaf yang berupa tanah tersebut letaknya cukup strategis. Namun karena
bergesernya waktu maka letaknya tidak strategis lagi.
Oleh sebab itu walaupun pada dasarnya tanah wakaf tidak boleh
ditukar guling namun Pemerintah melalui PP No 28 Tahun 1977 pasal 11
dijelaskan tentang adanya kemungkinan diperbolehkannya hal tersebut,
sebagaimana berikut:
a. Pada dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat
dilakukan perubahan peruntukan atau penggunaan lain daripada yang
dimaksud dalam ikrar wakaf.
b. Penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam ayat 1 hanya dapat dilakukan
terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan
tertulis dari Menteri Agama yakni;
59 Muhammad Abu Zahrah, al-Waqfu, Dar al-Fikr, Beirut, Libanon, 1971, hal. 161-170.
46
1) Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh
wakif
2) Karena kepentingan umum.
c. Perubahan status tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan
penggunaannya sebagai akibat ketentuan tersebut dalam ayat (2) harus
dilaporkan kepada Bupati/Walikota Madya Kepala Daerah, cq. Kepala sub
Direktorat Agraria untuk mendapatkan penyelesaian lebih lanjut.60 (lihat
juga KHI pasal 225).
3. Pandangan Ulama’ Tentang Tukar Guling (Ruilslag) terhadap Tanah
Wakaf
Dengan tidak adanya nash yang sharih (jelas) baik dari al-Hadits
ataupun dari al-Qur’an yang berisi larangan ataupun diperbolehkannya dari
adanya tukar guling terhadap tanah wakaf, maka dalam hal ini menjadi
wilayah ijtihad bagi para ulama’ fiqh untuk memberikan hukum sehingga
memunculkan hukum yang berbeda.
Dalam hal ini para Ulama’ Madzhab mempunyai pandangan
sebagaimana berikut: Ibnu ‘Abidin sebagai salah satu penerus madzhab
Hanafi memperbolehkan adanya tukar guling terhadap tanah wakaf. Bahkan
memberikan banyak kelonggaran dalam tukar guling tanah wakaf, dengan
mensyaratkan harus ada tanah pengganti yang baru atau tanah yang lama
dijual kemudian diganti dengan yang lain. Menurut Ibnu ‘Abidin pergantian
60 Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Perwakafan
Tanah Milik, Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf, Jakarta, 19984/1985, hal. 95.
47
benda wakaf dimungkinkan terjadi dalam tiga hal, yakni: 1) Karena wakif
mensyaratkan dengan memperbolehkan bagi dirinya atau orang lain untuk
menukar benda wakaf tersebut. 2) Karena wakif tidak mensyaratkan hak untuk
menjual dan mengganti benda wakaf bagi dirinya sendiri ataupun orang lain,
namun dikemudian hari ternyata benda wakaf itu tidak bermanfaat lagi. Maka
dalam hal ini benda wakaf boleh dijual atau diganti dengan benda lain yang
sama. Namun terlebih dahulu disurvei oleh hakim dengan melihat adanya
mashlahah yang menyebabkan tanah tersebut harus ditukar guling 3) Karena
wakif juga tidak mensyaratkan bagi dirinya ataupun bagi orang lain untuk
menukar guling dan benda wakaf masih berfungsi dengan maksimal. Namun
ada benda lain yang mendatangkan manfaat lebih baik dan lebih banyak dari
benda wakaf awal.61
Kemudian Imam Malik memperbolehkan adanya tukar guling dalam
keadaan darurat, namun juga didasarkan atas asas dari benda wakaf baik
bergerak ataupun tidak, yakni adanya manfaat pada masa yang akan datang.
Seperti halnya masjid yang telah rusak dan roboh sehingga sukar
memakmurkannya boleh dijual dan dibelikan perkara baru yang sama.62 Demi
keberlangsungannya dari manfaat benda wakaf, maka harus dijual dan
digantikan dengan barang yang baru, sehingga manfaat dari benda wakaf
masih bisa dirasakan di masa mendatang.
Iman Syafi’i pada dasarnya hampir sama dengan Imam Malik yakni
melarang adanya tukar guling tanah wakaf kecuali dalam keadaan darurat,
61 Ibnu Abidin, Radd al-Muhtar, Juz 6, Dar al Kutub al ‘Amaliyah, Beirut Lebanon, t.th., hal. 583-584.
62 Muhammad Abu Zahroh, op. cit., hal. 161.
48
seperti telah rusaknya sebuah masjid dan diperlukan adanya pergantian seperti
juga adanya kepentingan umum yang menyebabkan tanah wakaf harus diganti
di tempat yang lain.63
Kemudian Imam Hambali memberikan sedikit kelonggaran tentang
diperbolehkannya menjual benda wakaf dan menggantinya dengan benda baru
yang sama karena benda wakaf tersebut tidak bisa berfungsi dengan
maksimal. Dicontohkan seperti terlalu kecilnya sebuah masjid dibanding
dengan jamaah yang ada. Karena itu perlu dicarikan tanah yang luas sehingga
seluruh jamaah dapat tertampung.64
Dari pendapat para Imam Madzhab mengenai tukar guling terhadap
tanah wakaf jelas membolehkan adanya tukar guling terhadap tanah wakaf
meskipun dengan berbagai persyaratan yang berbeda-beda. Persyaratan dan
perbedaan tersebut dikarenakan mempertimbangkan banyak hal yang
kesemuanya akan bermuara pada mashlahah. Untuk selanjutnya, setidaknya
dapat diambil pemahaman bahwa tukar guling terhadap tanah wakaf tidak
dapat dilaksanakan dengan sembarangan. Artinya, harus mempertimbangkan
syarat, keadaan dan uji kelayakan adanya tukar guling tersebut.
63 Imam Syafi’i,op.cit. juz 5, hal. 65. 64 Imam Hambali, al Muqna’, Dar al Kutub al ‘Alamiyah, Beirut Lebanon, t.th., hal. 164.
49
BAB III
PEMIKIRAN IBNU ‘ABIDIN TENTANG TUKAR GULING (RUILSLAG)
TERHADAP TANAH WAKAF
A. Biografi Ibnu ‘ Abidin
Muhammad Amin bin Umar bin Abdul Aziz bin Ahmad bin
‘Abdul Rakhim bin Najmuddin bin Muhammad Salahuddin, yang kemudian
dikenal dengan sebutan Ibnu ‘Abidin, dilahirkan di Damaskus Syam pada
tahun 1198 H. Beliau merupakan ahli fiqh di Syam, sekaligus pemuka
golongan Hanafiyah di masanya. Ibnu Abidin merupakan tokoh fiqh masa
keenam (658 H. akhir abad ke-13 H), yaitu pada masa pemerintahan Abdul
Hamid I (Dinasti Utsmaniyah) 1.
Muhammad Amin yang dikenal dengan nama Ibnu ‘Abidin,
sebagai menulis kitab Radd al Muhtar syarah Tanwir al-Absar yang ditulis
ketika terjadi pergolakan politik yang luar biasa, baik di dalam negeri maupun
di luar negeri. Rakyat memandang bahwasanya raja dan seluruh punggawanya
tidak bisa mencerminkan dan mewujudkan rasa keadilan. Sehingga muncullah
isu tentang ketidak percayaan masyarakat terhadap raja dan pemerintahannya.
Hal tersebut memunculkan statemen ulama’ dari madzhab Hanafi dengan
mengatakan “ Barang siapa mengatakan bahwa raja pada saat ini adalah
seorang yang adil maka dia adalah kafir.” Di sisi lain pada waktu itu terjadi
1 Ibnu Abidin, Radd al-Muhtar Juz I, Beirut Libanon. Daar al-Kitab al-Ilmiah, 1994,
hal. 53
50
peperangan antara Dinasti Utsmaniyah dengan Bangsa Tartar2. Maka
muncullah kitab yang saat ini masih bisa kita baca yakni Radd al Muhtar yang
berarti penolakan terhadap orang yang dalam kebingungan. Kitab ini lahir
sebagai wujud perlawanan Ahli Fiqh terhadap pemerintah3.
Sejak kecil beliau sudah mengenal pendidikan agama secara
langsung dari ayahnya yang sekaligus gurunya, yaitu Umar ibnu Abdul Aziz.
Beliau menghafal Al-Qur'an pada usia yang masih relatif muda. Ayahnya
adalah seorang pedagang, sehingga Ibnu ‘Abidin sering diajak ayahnya untuk
berdagang sekaligus dilatih berdagang oleh ayahnya. Pada suatu hari, ketika
beliau sedang membaca Al-Qur'an di tempat ayahnya berdagang, tiba-tiba
lewatlah seorang laki-laki dari kalangan orang saleh dan ia (orang saleh)
mengomentari bacaan Al-Qur'an Ibnu ‘Abidin dengan dua komentar, yang
akhirnya menghantarkan Ibnu ‘Abidin menjadi ulama’ terkenal. Dua komentar
tersebut adalah:
1. Dia (Ibnu ‘Abidin) tidak tartil dalam membaca Al-Qur'an dan tidak
menggunakan tajwid sesuai dengan hukum-hukumnya.
2. Kebanyakan manusia tidak sempat untuk mendengarkan bacaan Al-Qur'an
karena kesibukannya dalam berdagang. Jika tidak mendengar bacaan Al-
Qur'an tersebut maka mereka berdosa. Begitu juga dengan Ibnu ‘Abidin
berdosa karena membuat mereka berdosa karena tidak mendengarkan
bacaan Al-Qur'an yang dia baca.4
2B. Lewis, The Ensiklopedia of Islam III, Jakarta: Ihtiar Baru Van House, 1996, hal.
695 3 Ibnu ‘Abidin Op.cit hal. 43 4Ibid, hal. 53-54
51
Maka bangkitlah Ibnu ‘Abidin seketika dan langsung bertanya
kepada orang saleh tadi tentang ahli qira'ah yang paling tersohor di zamannya.
Maka orang tadi menunjukkan seorang ahli qira'ah saat itu, yaitu Syaikh al-
Hamawi, maka pergilah Ibnu ‘Abidin kepadanya dan meminta agar diajari
ilmu tajwid dan hukum-hukum qira'ati. Sejak saat itu Ibnu ‘Abidin tidak
pernah meluangkan waktunya kecuali untuk belajar. Maka imam al-Hamawi
memerintahkan untuk menghafal al Jazariyah dan al Syatibiyah, kemudian ia
belajar ilmu nahwu dan shorof dan tidak ketinggalan ilmu fiqh. Saat itu ia
pertama kali belajar fiqh adalah fiqh yang bermadzhab Syafi'i.5
Bermula dari seorang guru yang bernama al Hamawi, beliau
menjadi ulama yang sangat terkenal. Setelah ia menguasai dengan matang
ilmu tajwid dan hukum qira'ati serta ilmu fiqh terutama fiqh dari mazhab
Syafi'I pada imam al Hamawi, seorang ahli qira'ati. Pada saat itu Ibnu ‘Abidin
tidak berhenti sampai di situ saja, akan tetapi ia melanjutkan menuntut ilmu
dengan belajar Hadits, tafsir dan mantiq (logika) kepada seorang guru yaitu
Syaikh Muhammad al Salimi al Amiri al Aqad. Al Amiri yang merupakan
seorang hafidz. Dia menyarankan kepada Ibnu ‘Abidin untuk belajar ilmu fiqh
Abu Hanifah. Ibnu ‘Abidin mengikuti nasihat itu dan mempelajari kitab-kitab
fiqh dan ushul fiqh Mazhab Hanafi, ia terus menggali berbagai ilmu sampai
menjadi tokoh aliran saat itu. Tidak hanya sampai di situ kemudian ia pergi ke
Mesir dan belajar pada Syaikh al-Amir al Masiri sebagaimana beliau belajar
kepada Syaikh ahli Hadits dari Syam, yaitu Syaikh Muhammad al Kazbari,
5Ibid hal. 53
52
beliau tak henti-hentinya meraih keluasan dalam mengembangkan ilmu
dengan mengkaji dan mengarang sampai pada suatu ketika ia ditunjukkan
kepada suatu daerah yaitu Bannan. Di daerah Bannan ini beliau mendapatkan
pelajaran dari para tokoh ulama seperti Syaikh Abdul Ghani al-Madani,
Syaikh Hasan al-Baitari, Ahmad Affandi al-Istanbuli dan lain-lain.6
Dasar yang melatarbelakangi kemasyhuran Ibnu Abidin adalah
pendidikan yang keras dan disiplin dari orang tuanya apalagi didukung oleh
sikap dan kemauannya yang sangat tinggi dalam menuntut ilmu. Ulama pada
masa itu dilewatinya untuk belajar ilmu agama pada mereka dan diskusi-
diskusi dia lakukan dengan para ulama terkenal pada saat itu. Hal itulah yang
menjadikannya dia seorang tokoh ulama yang sangat terkenal pada masanya.
Beliau juga terkenal sebagai seorang yang kokoh agamanya, iffah (wira'i),
alim dan taqwa dalam beribadah karena kedalaman ilmunya terutama dalam
bidang ilmu fiqh. Dan di dalam ilmu fiqh ini ternyata ia lebih cocok dengan
fiqh Madzhab Hanafi sehingga ia menjadi ulama Hanafiyah yang sangat
disegani.7
Karena ketinggian ilmunya beliau banyak membuahkan karya-
karya ilmiah. Karangan-karangannya yang banyak dikoleksi oleh pustaka-
pustaka islam di dunia. Karangannya dapat diterima di berbagai peradaban,
karena karangan-karangannya mempunyai keistimewaan dalam
pembahasannya secara mendalam Keilmuan yang mendalam dan
menampakkan kefasihan bahasanya.
6 Ibid, hal. 54 7 Ibid, .
53
Diantara karya-karya yang sampai kepada kita antara lain:
1. Kitab Fiqh
1. Radd al Muhtar syarah al Dur al Mukhtar, kitab tersebut adalah kitab
yang terkenal, kitab ini membahas masalah-masalah fiqh, yang
selanjutnya terkenal dengan nama Hasiyah Ibnu ,Abidin.8 Kitab ini
merupakan kitab fiqh populer yang disusun sesuai dengan mazhab
Hanafi oleh ulama Hanafi generasi mutaakhirrin. Buku ini banyak
sekali menguraikan permasalahan yang muncul di zamannya dengan
menggunakan metode yang berlaku pada mazhab Hanafi. Kitab ini
merupakan syarah dari kitab al Dur al Muhtar oleh al-Haskafi yang
merupakan syarah dari Tanwir al Absar. Tanwir al Absar adalah kitab
karya Muhammad bin Abdullah bin Ahmad al Katib al Tamartasyi,
kitab ini sangat ringkas disusun dengan sistematika fiqh.9
2. Raf al Andhor, dari karangan yang ditulis dari al Halbi atas syarah al
Dar al Mukhtar
3. Al Uqud al Dariyah syarah dari kitab Tanfih al Fatawa al Hamidiyah
4. Nasmad al Ashar syarah al Manar
5. Ar Rahiq al Mahtum kitab yang membahas faraidh.
2. Kitab Tafsir
Kitab Hawasyi 'ala al Badawi, yang dalam hal ini terdapat hal-hal yang
tidak dijelaskan oleh para penafsir.
8Ibid. 9Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta. Ichtiar Baru Van House, 1996,
hal.347
54
3. Kitab Hadits
Dalam karya ilmiahnya tentang Hadits beliau menulis kitab ‘Uqud al-Ali
yang berisi sanad-sanad Hadits yang bernilai tinggi.10
Setelah kehidupannya yang membawa berbagai aktifitas yang
luhur, pengabdian yang mulia dan perjuangan yang sangat berarti bagi umat
islam pada umumnya dan khususnya bagi Madzhab Hanafi, beliau wafat di
Damaskus pada tahun 1252 H dengan meninggalkan warisan yang sangat
berharga. Beliau di makamkan di pekuburan "Bab al Shaghir" Damaskus.11
B. Pemikiran Ibnu ‘ Abidin Tentang Tukar Guling (Ruilslag) Tanah Wakaf
Sebagaimana yang penulis paparkan dalam bab I dan bab II
bahwasanya Ibnu ‘ Abidin memperbolehkan untuk menukar guling tanah
wakaf dengan memberikan banyak kelonggaran, jika dibandingkan para
Imam Madzhab yang lain. Dalam hal tukar guling Ibnu ‘ Abidin mensyaratkan
harus dengan adanya tanah pengganti yang baru atau tanah yang lama dijual
kemudian diganti dengan yang lain. Hal tersebut dapat dipahami dari
perkataan beliau sebagai berikut :
بثمنه بيعه و يشتر ي(شر ط ) أو(حينئذ) شرط االستبدال به ارضا اخرى(جاز )و(...
فاذا فعل صا رت الثانية آاالولي في شرائطها وان لم يذ آر ها ثم ,ري اذا شاءارضا اخ
12 )...ال يستبدلها
Artinya : “ …Dan diperbolehkan menukar guling tanah wakaf dengan syarat adanya tanah yang lain, atau dengan menjualnya dan membelikan tanah yang baru sebagaimana harga tanah yang
10Ibnu ‘Abidin, Loc.Cit., hal. 54 11Ibid, hal. 55 12 Ibid. hal. 583-586
55
pertama jika diinginkan, jika hal tersebut dilaksanakan maka jadilah tanah yang kedua sebagaimana tanah yang pertama dalam persyaratannya meskipun tidak disebutkan kemudian ditukar guling lagi dengan tanah ketiga.. “
Menurut Ibnu ‘Abidin pergantian benda wakaf dimungkinkan terjadi
dalam tiga hal, yakni:
1) Karena wakif mengisyaratkan dengan memperbolehkan bagi dirinya atau
orang lain untuk menukar benda wakaf tersebut. Pergantian pada
kemungkinan pertama inilah yang diperbolehkan menurut
qaul(perkataan) yang shahih, bahkan dikatakan telah menjadi
kesepakatan (ittifaq)dalam Madzhab Hanafi;
2) Karena wakif tidak menyatakan hak untuk menjual dan mengganti benda
wakaf, namun dikemudian hari ternyata benda wakaf itu tidak
bermanfaat lagi. Maka dalam hal ini benda wakaf boleh dijual atau
diganti dengan benda lain yang sama. Dalam kasus yang kedua ini
diperbolehkan jika terlebih dahulu mendapatkan ijin dari hakim yang
telah mengadakan observasi tentang kelayakan terhadap benda wakaf
untuk ditukar guling, dikarenakan adanya kemaslahatan;
3) Karena wakif juga tidak menyatakan dan benda wakaf masih berfungsi
dengan maksimal. Namun ada benda lain yang mendatangkan manfaat
lebih baik dan lebih banyak dari benda wakaf awal. Untuk kemungkinan
yang ketiga ini tidak diperkenankan menurut qaul yang mukhtar
(dipilih). 13
13 Ibid. hal. 583-585.
56
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwasanya Ibnu ‘ Abidin
memperbolehkan adanya tukar guling terhadap tanah wakaf jika terdapat
berbagai kemungkinan sebagaimana di atas.
C. Dasar Istinbat Hukum Ibnu ‘ Abidin
Sebelum penulis memaparkan lebih lanjut mengenai dalil-dalil yang
digunakan oleh Ibnu ‘Abidin dalam menentukan hukum mengenai tukar
guling terhadap tanah wakaf, terlebih dahulu penulis akan memaparkan
tentang secara singkat mengenai metodologi yang dipakai oleh Ibnu ‘ Abidin
dalam menentukan hukum dari suatu masalah.
Seorang Faqih (ahli fiqh) baru melaksanakan ijtihad apabila dalam
suatu peristiwa atau masalah yang terjadi tidak ditemukan dasar hukum yang
jelas menerangkan hal tersebut, baik petunjuk melalui nash yang terdapat
dalam al Qur’an maupun dalam al Hadits. Hal ini dilakukan sebagai bukti
bahwa manusia secara kodrati dibekali kemampuan jasmani dan rohani.
Kemampuan rohani berfungsi untuk memahami terhadap apa yang dilihat oleh
panca indra manusia, dan dialami oleh pikiran, sekaligus juga berfungsi untuk
merespon terhadap hal yang terjadi tersebut, meskipun tidak ada petunjuk
yang jelas dari nash. Diharapkan dari respon yang diberikan oleh akal melalui
kemampuan rohani dan diwujudkan melalui tindakan, maka diharapkan
seorang manusia akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.14
14 Moh. Idris Ramulya, Asa-Asas Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hal. 139.
57
Secara terperinci Ibnu ‘Abidin tidak menjelaskan dasar-dasar istinbat
yang dipakai beliau, tetapi karena beliau merupakan murid Imam Abu
Hanifah maka metodologi istinbatnya juga tidak lepas dari Imam Abu
Hanifah. Kemudian kaidah-kaidah umum (ushul kulliyah) yang menjadi dasar
pemikiran fiqhiyyah Imam Abu Hanifah tercermin dari perkataan beliau,
seperti yang ditulis oleh Thaha Jabir Fayadl al-‘Ulwani dan membagi
metodologi ijtihad Imam Abu Hanifah menjadi dua: yakni metodologi ijtihad
yang pokok dan metodologi ijtihad yang tambahan. Metodologi yang pokok
tercermin dari perkataan Imam Abu Hanifah sebagai berikut:
سنة ب ف أخذ بكتاب اهللا إذا وجدته فما لم اجد:ولقد روي عنه انه قال وال سنة رسول اهللا , بكتاب اهللا فا ن لم اجد في.م.رسول اهللا ص
منهم وادع من شئت ئتاخذ من ش..ول اصحابه ا خذت بق. م.صذاانتهى االمر الى ما فا. قولهم الى قول غيرهموالاخرج عن ثم منهم
وسعيد وعطاء الحسن اي النخعي و الشعبي وابن سيرين وابراهيم 15 .آما اجتهدوافاجتهد اوجتهدافقوم ..بن مسيب
Artinya: Dan diriwayatkan dari Imam Abu Hanifah. Dia berkata “Sesungguhnya saya berpegang pada Kitabullah jika saya menemukannya. Namun jika aku tidak menemukan maka aku akan berpegang pada Sunnah Rasulullah saw. Jika tidak aku temukan dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw, maka aku akan berpegang pada pendapat Sahabat. Saya ambil pendapat-pendapat dari Sahabat yang saya kehendaki dan saya tinggalkan siapa yang saya kehendaki. Saya tidak menyimpang dari pendapat Sahabat kepada yang bukan Sahabat. Kalau urusan itu telah sampai kepada Ibrahim yakni al Nakhfi, al Sya’bi, Ibnu Sirin al Hasan, Atho’ dan Ibnu al Musayyab, dan kaum yang berijtihad maka saya akan berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.
15 Ibnu ‘Abidin,Op.cit. hal. 33-34
58
Sedangkan metodologi ijtihad dari Abu Hanifah yang bersifat tambahan
adalah:
a. Bahwa dilalah (penunjukan) lafal umum adalah qath’i , sebagaimana lafal
khas
b. Bahwa pendapat Sahabat “yang tidak sejalan” dengan pendapat umum
adalah bersifat khusus
c. Bahwa banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti lebih kuat (rajih)
d. Adanya penolakan terhadap mafhum ( makna tersirat), syarat dan sifat
e. Bahwa apabila perbuatan rowi menyalahi periwayatnya, maka yang
dijadikan dalil adalah perbuatannya bukan periwayatannya
f. Mendahulukan qiyas jali dari khabar ahad yang dipertentangkan
g. Menggunakan istihsan dan meninggalkan qiyas apabila diperlukan16
Dalam penjelasan yang lain, diterangkan bahwa pegangan Imam Abu
Hanifah juga sebagaimana berikut:
آالم ابى حنيفة اخذ بالثقة وفرار من القبح والنظر فى معامالت الناس وما استقاموا عليه وصلح عليه امورهم بمضىاألمور على القياس فاذاقبح القياس بمضيه على االستحسان مادام بمضىله فاذالم
ديث يمض له رجع الى ما يتعامل المسلمون به وآان يوصل الحالمعروف الذى اجمع عليه ثم يقيس عليه مادام القياس ساثغا ثم
17 .يرجع الى القياس ايهما آان اوثق رجع عليهArtinya: “Perkataan Imam Abu Hanifah adalah mengambil dari
kepercayaan dan lari dari kerusakan, memperhatikan masalah mu’amalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahah bagi urusan-urusan mereka, ia menjalankan urusan-urusan atas qiyas,18
16 Ibid. hal. 75 17 Muhammad Abu Zahrah, al-Waqfu, Dar al-Fikr, Beirut, Libanon, 1971, hal. 232. 18 Qiyas menurut ulama’ ushul adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada
nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash
59
apabila qiyas tidak baik dilakukan, maka ia melakukan dengan istihsan19, selama dapat dilakukan. Apabila tidak dapat dilakukan iapun akan kembali pada ‘urf20 masyarakat muslim dan mengamalkan Hadits yang telah terkenal dan disepakati oleh ulama’. Kemudian ia mengqiyaskan sesuatu pada Hadits itu selama qiyas itu dapat dilakukan. Kemudian ia kembali kepada istihsan. Mana di antara keduanya yang lebih tepat, kembalilah ia kepadanya.
Dalam redaksi yang hampir sama, diterangkan juga oleh Sahal Ibnu
Muzahim mengenai metodologi Imam Abu Hanifah dalam menegakkan
fiqh, sebagaimana berikut: Imam Abu Hanifah memegangi riwayat orang
yang dipercayai dan menjauhkan diri dari keburukan serta memperhatikan
mu’amalah manusia dan adat serta ‘urf mereka itu. Beliau lebih memegangi
qiyas. Namun kalau dalam suatu masalah tidak baik didasarkan atas qiyas,
maka beliau memegangi istihsan, selama yang demikian itu dapat
dilakukan. Kalau tidak beliau berpegang pada adat dan ‘urf. 21
Ringkasnya, dasar Imam Abu Hanifah ialah: 1) kitabullah; 2) sunnah
rasul dan atsar-atsar yang sahih yang telah masyhur di antara para ulama’;
karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illatnya Setiap qiyas juga harus terdiri dari empat sendi yaitu: 1. Al Ashlu yakni adanya hukum yang ada dalam nash. Disebut juga maqis ‘alaih (yang dijadikan ukuran); 2. Al Far’u yakni sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash. Disebut juga al maqis (yang diukur); 3. Hukum asal yakni hukum syara’ yang ada nashnya menurut asal dan dimaksud dengan ini sebagai pangkal hukum bagi cabang; 4. Al ‘Illat yakni keadaan yang dijadikan dasar oleh hukum asal berdasarkan wujudnya cabang itu pada asal, maka disamakanlah cabang itu kepada asal, mengenai hukumnya., baca lebih lanjut dalam Ilmu Ushul Fiqh karya ‘Abdul Wahab Khalaf, Dar al Qolam, Kuait, t.th. hal. 19.
19 Istihsan menurut istilah ahli ushul adalah berpindahnya seorang Mujtahid dari tuntutan qiyas jali (qiyas nyata) kepada qiyas khafi(qiyas samar)atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum pengecualian, baca lebih lanjut dalam Ilmu Ushul Fiqh karya ‘Abdul Wahab Khalaf, Dar al Qolam, Kuait, t.th. hal.67.
20 ‘Urf dalam perspektif ahli ushul adalah sesuatu yang telah sering dikenal oleh manusia dan telah menjadi tradisinya, baik berupa ucapan ataupun perbuatannya. Dalam pandangan ahli ushul antara ‘urf dan adat adalah dua perkara yang sama serta mempunyai kesamaan dalam makna, baca lebih lanjut dalam Ilmu Ushul Fiqh karya ‘Abdul Wahab Khalaf, Dar al Qolam, Kuwait, t.th. hal.145.
21 TM. Hasbi al-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1953, hal. 100.
60
3) fatwa-fatwa para shahabat; 4) qiyas; 5) istihsan; 6) adat dan ‘urf
masyarakat.22. Namun dalam penjelasan lain yakni dalam Radd al Muhtar
(Juz I hal. 35) Imam Abu Hanifah juga memakai ijma’23 dalam metodologi
istinbatnya.
Kemudian ada perbedaan dasar pemikiran Imam Abu Hanafi
mengenai al Sunnah dengan ulama lain, yakni: Imam Abu Hanifah
menerima Hadits yang masyhur di antara orang-orang kepercayaan dan
kadang-kadang beliau meninggalkan qiyas, karena suatu sebab atau suatu
atsar. Kemudian mengambil kaidah umum yang kemudian ini beliau
namakan istihsan.24
Selanjutnya karena Ibnu ‘Abidin adalah salah satu penerus dari
Madzhab Hanafi25 maka dasar ijtihad pendapat Ibnu ‘Abidin mengenai
bolehnya tukar guling terhadap tanah wakaf juga sama sebagaimana Imam
Abu Hanifah yakni dengan menggunakan istihsan26. Hal tersebut
dikarenakan beberapa kemungkinan:
1. Tidak adanya nash yang sharih dari al Qur’an maupun al Hadits yang
melarang ataupun membolehkan tentang adanya tukar guling terhadap
tanah wakaf;
22 Ibid. 23 Ijma’ dalam perspektif Ahli Ushul adalah kesepakatan semua Mujtahidin diri umat
Islam pada suatu masa setelah meninggalnya Rasulullah Saw atas hukum Syar’i mengenai suatu kejadian ataupun suatu kasus. Baca lebih lanjut dalam Ilmu Ushul Fiqh karya ‘Abdul Wahab Khalaf, Dar al Qolam, Kuwait, t.th. hal.45.
24 TM. Hasbi al-Shiddieqy, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam,
Bulan Bintang, Jakarta: t.th., 129-130. 25 Ibnu ‘Abidin,Op.cit. hal. 53 26 ‘Abdul Wahab Khalaf, Mashodir al Tasyri’ al Islami, Dar al Qolam, Kuait, t.th. hal.67.
61
2. Tidak adanya qaul shahabi (fatwa-fatwa sahabat) yang menerangkan hal
tersebut;
3. Adanya dalil yang menyebabkan dialihkannya tukar guling terhadap
tanah wakaf dari qiyas jali menuju qiyas khafi (istihsan);
4. Dalil yang dimaksud adalah mashlahah yang mengharuskan hal tersebut
dilakukan demi tercapainya esensi dari wakaf. 27 Karena kalau tanah
wakaf tadi tidak ditukar guling maka tidak akan dapat dimanfaatkan
dengan maksimal sehingga akhirnya akan terbengkalai.
27 Ibid. hal. 25.
62
BAB IV
ANALISIS PENDAPAT IBNU ‘ABIDIN TENTANG TUKAR GULING
(RUILSLAG) TERHADAP TANAH WAKAF
A. Analisis Metode Istinbat Ibnu ‘Abidin Tentang Tukar Guling (Ruilslag)
Terhadap Tanah Wakaf
Ibnu ‘Abidin adalah sebagai penerus Madzhab Hanafi. Jadi dalam beristinbat
Ibnu ‘Abidin tidak lepas dari Imam Abu Hanifah dan pengikutnya.1 Secara
terperinci Ibnu ‘Abidin tidak menjelaskan dasar-dasar istinbat yang dipakai beliau,
tetapi karena beliau merupakan penerus Imam Abu Hanifah maka metodologi
istinbatnya juga tidak lepas dari Imam Abu Hanifah.
Kemudian kaidah-kaidah umum (ushul kulliyah) yang menjadi dasar
pemikiran fiqhiyyah Imam Abu Hanifah tercermin dari perkataan beliau, seperti yang
ditulis oleh Thaha Jabir Fayadl al-‘Ulwani dan membagi metodologi ijtihad Imam
Abu Hanifah menjadi dua: yakni metodologi ijtihad yang pokok dan metodologi
ijtihad yang tambahan. Metodologi yang pokok tercermin dari perkataan Imam Abu
Hanifah sebagai berikut:
بسنة رسول أخذ بكتاب اهللا إذا وجدته فما لم اجد ف: ولقد روي عنه انه قال ا خذت بقول . م.وال سنة رسول اهللا ص, فا ن لم اجد في بكتاب اهللا.م.اهللا ص
اخذ من شئت منهم وادع من شئت منهم ثم والاخرج عن قولهم ..اصحابه فاماذاانتهى االمر الى ابراهيم اي النخعي و الشعبي وابن . الى قول غيرهم
وا فاجتهدآما فقوم اجتهد..سيرين والحسن وعطاء وسعيد بن مسيب 2 .اجتهدوا
1 Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muhtar Juz VI, Dar al-Kitab al-Ilmiah, Beirut Libanon, 1994, hal. 54-55. 2 Ibid. hal. 33-34
63
Artinya: Dan diriwayatkan dari Imam Abu Hanifah. Dia berkata “Sesungguhnya saya berpegang pada Kitabullah jika saya menemukannya. Namun jika aku tidak menemukan maka aku akan berpegang pada Sunnah Rasulullah saw. Jika tidak aku temukan dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw, maka aku akan berpegang pada pendapat Sahabat. Saya ambil pendapat-pendapat dari Sahabat yang saya kehendaki dan saya tinggalkan siapa yang saya kehendaki. Saya tidak menyimpang dari pendapat Sahabat kepada yang bukan Sahabat. Kalau urusan itu telah sampai kepada Ibrahim yakni al Nakhfi, al Sya’bi, Ibnu Sirin al Hasan, Atho’ dan Ibnu al Musayyab, dan kaum yang berijtihad maka saya akan berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.
Sedangkan metodologi ijtihad dari Abu Hanifah yang bersifat tambahan
adalah:
a. Bahwa dilalah (penunjukan) lafal umum adalah qath’i , sebagaimana lafal khas
b. Bahwa pendapat Sahabat “yang tidak sejalan” dengan pendapat umum adalah
bersifat khusus
c. Bahwa banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti lebih kuat (rajih)
d. Adanya penolakan terhadap mafhum ( makna tersirat), syarat dan sifat
e. Bahwa apabila perbuatan rowi menyalahi periwayatnya, maka yang dijadikan
dalil adalah perbuatannya bukan periwayatannya
f. Mendahulukan qiyas jali dari khabar ahad yang dipertentangkan
g. Menggunakan istihsan dan meninggalkan qiyas apabila diperlukan3
3 Ibid. hal. 75
64
Dalam penjelasan yang lain, diterangkan bahwa pegangan Imam Abu Hanifah
juga sebagaimana berikut:
آالم ابى حنيفة اخذ بالثقة وفرار من القبح والنظر فى معامالت الناس وما استقاموا عليه وصلح عليه امورهم بمضىاألمور على القياس فاذاقبح
لى االستحسان مادام بمضىله فاذالم يمض له رجع الى ما القياس بمضيه عيتعامل المسلمون به وآان يوصل الحديث المعروف الذى اجمع عليه ثم يقيس عليه مادام القياس ساثغا ثم يرجع الى القياس ايهما آان اوثق رجع
4 .عليهArtinya: “Perkataan Imam Abu Hanifah adalah mengambil dari kepercayaan dan lari
dari kerusakan, memperhatikan masalah mu’amalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahah bagi urusan-urusan mereka, ia menjalankan urusan-urusan atas qiyas,5 apabila qiyas tidak baik dilakukan, maka ia melakukan dengan istihsan6, selama dapat dilakukan. Apabila tidak dapat dilakukan iapun akan kembali pada ‘urf7 masyarakat muslim dan mengamalkan Hadits yang telah terkenal dan disepakati oleh ulama’. Kemudian ia mengqiyaskan sesuatu pada Hadits itu selama qiyas itu dapat dilakukan. Kemudian ia kembali kepada istihsan. Mana di antara keduanya yang lebih tepat, kembalilah ia kepadanya.
Dalam redaksi yang hampir sama, diterangkan juga oleh Sahal Ibnu Muzahim
mengenai metodologi Imam Abu Hanifah dalam menegakkan fiqh, sebagaimana
berikut: Imam Abu Hanifah memegangi riwayat orang yang dipercayai dan
menjauhkan diri dari keburukan serta memperhatikan mu’amalah manusia dan adat
serta ‘urf mereka itu. Beliau lebih memegangi qiyas. Namun kalau dalam suatu
4 Muhammad Abu Zahrah, al-Waqfu, Dar al-Fikr, Beirut, Libanon, 1971, hal. 232. 5 Qiyas menurut ulama’ ushul adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya
kepada kejadian lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illatnya, baca lebih lanjut dalam Ilmu Ushul Fiqh karya ‘Abdul Wahab Khalaf, Dar al Qolam, Kuait, t.th. hal. 19.
6 Istihsan menurut istilah ahli ushul adalah berpindahnya seorang Mujtahid dari tuntutan qiyas jali (qiyas nyata) kepada qiyas khafi(qiyas samar)atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum pengecualian, baca lebih lanjut dalam Ilmu Ushul Fiqh karya ‘Abdul Wahab Khalaf, Dar al Qolam, Kuait, t.th. hal.67.
7 ‘Urf dalam perspektif ahli ushul adalah sesuatu yang telah sering dikenal oleh manusia dan telah menjadi tradisinya, baik berupa ucapan ataupun perbuatannya. Dalam pandangan ahli ushul antara ‘urf dan adat adalah dua perkara yang sama serta mempunyai kesamaan dalam makna, baca lebih lanjut dalam Ilmu Ushul Fiqh karya ‘Abdul Wahab Khalaf, Dar al Qolam, Kuwait, t.th. hal.145.
65
masalah tidak baik didasarkan atas qiyas, maka beliau memegangi istihsan, selama
yang demikian itu dapat dilakukan. Kalau tidak beliau berpegang pada adat dan ‘urf.8
Ringkasnya, dasar Imam Abu Hanifah ialah: 1) kitabullah; 2) sunnah rasul dan
atsar-atsar yang shahih yang telah masyhur di antara para ulama’; 3) fatwa-fatwa
para shahabat; 4) qiyas; 5) istihsan; 6) adat dan ‘urf masyarakat.9. Namun dalam
penjelasan lain yakni dalam Radd al Muhtar (Juz I hal. 35) Imam Abu Hanifah juga
memakai ijma’10 dalam metodologi istinbatnya.
Kemudian ada perbedaan dasar pemikiran Imam Abu Hanafi mengenai al
Sunnah dengan ulama lain, yakni: Imam Abu Hanifah menerima Hadits yang
masyhur di antara orang-orang kepercayaan dan kadang-kadang beliau meninggalkan
qiyas, karena suatu sebab atau suatu atsar. Kemudian mengambil kaidah umum yang
kemudian ini beliau namakan istihsan.11
Menurut penulis, dasar ijtihad pendapat Ibnu ‘ Abidin mengenai bolehnya
tukar guling terhadap tanah wakaf menggunakan istihsan dikarenakan beberapa
kemungkinan:
1. Tidak adanya nash yang sharih dari al Qur’an maupun al Hadits yang melarang
ataupun membolehkan tentang adanya tukar guling terhadap tanah wakaf.
2. Tidak adanya qaul shahabi (fatwa-fatwa sahabat) yang menerangkan hal tersebut
8 TM. Hasbi al-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1953, hal. 100. 9 Ibid. 10 Ijma’ dalam perspektif Ahli Ushul adalah kesepakatan semua Mujtahidin diri umat Islam pada
suatu masa setelah meninggalnya Rasulullah Saw atas hukum Syar’i mengenai suatu kejadian ataupun suatu kasus. Baca lebih lanjut dalam Ilmu Ushul Fiqh karya ‘Abdul Wahab Khalaf, Dar al Qolam, Kuwait, t.th. hal.45.
11 TM. Hasbi al-Shiddieqy, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, t.th., 129-130.
66
3. Adanya dalil yang menyebabkan dialihkannya tukar guling terhadap tanah wakaf
dari qiyas jali menuju qiyas khafi (istihsan);
4. Adanya mashlahah yang mengharuskan hal tersebut dilakukan demi tercapainya
esensi dari wakaf.12
Fuqaha’ Madzhab yakni Maliki, Hambali dan Syafi’i berpendapat bahwa
wakaf diqiyaskan (qiyas jali) dengan jual beli (buyu’) karena didasarkan dengan
sama-sama mengeluarkan hak milik dari pemiliknya.13 Dengan menjual barang maka
ba’i’ (penjual) melepaskan kepemilikan barang yang dia jual kepada orang lain. Hal
tersebut sebagaimana wakaf yakni dengan adanya wakif mewakafkan barang yang
dia punya maka kepemilikan benda wakaf tersebut telah berpindah dari tangan wakif
menuju hak mutlak Allah.
Namun menurut Madzhab Hanafi (termasuk juga Ibnu ‘Abidin) wakaf
diistihsankan (qiyas khafi) dengan sewa-menyewa (‘ariyah), karena didasarkan atas,
dari masing-masing itu yang dimaksudkan adalah sama-sama mengambil manfaat.14
Dengan menyewa barang maka si penyewa dapat mengambil manfaat dari barang
yang ia sewa tersebut. Begitu juga dengan adanya wakaf maka setelah si wakif
menyerahkan benda yang ia wakafkan maka orang lain untuk dapat mengambil
manfaat dari benda wakaf tersebut.
Dalam hal ini kenapa Ibnu ‘Abidin lebih memilih menggunakan metode
istihsan karena adanya dalil yang menyebabkan berpalingnya Ibnu ‘Abidin dari qiyas
menuju istihsan yakni karena adanya maslahah15. Menurut penulis maslahah yang
12 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh Dar al Qolam, Kuait, t.th. hal. 80. 13 Ibid. 14 Ibid. 15 Ibid. hal. 79-80.
67
ada di sini adalah dapat dimanfaatkanya tanah wakaf yakni dapat dimanfaatkan secara
berkesinambungan. Ketika tanah wakaf tidak ditukar guling maka tanah tadi akan
terbengkalai sekaligus mubadzir karena tidak berfungsi maksimal bahkan tidak
berfungsi sama sekali.
Dalam pandangan penulis kenapa tukar guling dianggap boleh karena segala
sesuatu pada awalnya adalah mubah (boleh) sehingga ada dalil yang melarangnya.
Hal ini sebagaimana kaidah fiqhiyyah :
16 حتي يدل عاي تحريمهاء االباحةاالصل في االشياArtinya : “ Asal dari segala sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya“.
Sedangkan Allah dalam Al Qur’an telah melarang kita untuk memubadzirkan
sesuatu karena itu adalah perbuatan syaitan. Karena memubadzirkan segala sesuatu
adalah pemborosan. Sedangkan pemboros adalah teman Syaitan. Hal tersebut
sebagaimana firman Allah:
ه آفورا إن المبذرين آانوا إخوان الشياطين وآان الشيطان لرب )27:االسراء(
Artinya : “ Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara Syaitan, sedang Syaitan itu adalah makhluk yang sangat kufur kepada Tuhannya”
Selain itu tukar guling terhadap tanah wakaf sebagai juga solusi untuk
mencegah dari kerusakan sebagaimana kaidah fiqhiyyah :
17لحعلى جلب المصاسد المفاءردArtinya: "Menolak kerusakan (didahulukan) dari pada menarik kemaslahatan ".
16 Muhammad Yasin, Al-fawaid al-Jiniyyah, Beirut Libanon, 1997, hal. : 1991 17 Ibid. hal. : 260
68
Dari dalil di atas baik al Qur’an maupun kaidah fiqhiyyah jelas menuntut
kepada kita untuk tidak memubadzirkan segala sesuatu karena akan menarik ke arah
mafsadah (kerusakan). Karena menolak kerusakan lebih diutamakan dari pada
melaksanakan kemaslahatan. Oleh karenanya tanah wakaf yang tidak dapat berfungsi
maksimal dan bahkan tidak berfungsi sama sekali maka harus ditukar guling demi
terpenuhinya esensi dari wakaf.
B. Analisis Pendapat Ibnu ‘Abidin Tentang Tukar Guling (Ruilslag) Terhadap
Tanah Wakaf
Sebagaimana yang penulis jelaskan dalam bab III bahwasanya Ibnu ‘Abidin
memperbolehkan adanya tukar guling (ruilslag) terhadap tanah wakaf. Baik dengan
cara ditukar dengan langsung dengan tanah yang lain maupun dijual dahulu kemudian
hasil dari penjualannya (uangnya) dibelikan tanah yang baru sebagai pengganti dari
yang awal. Hal tersebut tercermin dari komentar beliau sebagai berikut :
بيعه و (شر ط ) أو(حينئذ) شرط االستبدال به ارضا اخرى(جاز )و...(ي فاذا فعل صا رت الثانية آاالولي ف, يشتر ي بثمنه ارضا اخري اذا شاء
...18) ثالثاشرائطها وان لم يذ آر ها ثم ال يستبدلهاArtinya : “ …dan diperbolehkan menukar guling tanah wakaf dengan syarat adanya
tanah yang lain, atau dengan menjualnya dan membelikan tanah yang baru sebagaimana harga tanah yang pertama jika diinginkan, jika hal tersebut dilaksanakan maka jadilah tanah yang kedua sebagaimana tanah yang pertama dalam persyaratannya meskipun tidak disebutkan kemudian ditukar guling lagi dengan tanah ketiga… “
18 Ibid. hal. 583
69
Dari paparan di atas terlihat sharih (jelas) bahwasanya Ibnu ‘Abidin
memperbolehkan adanya tukar guling (ruilslag) terhadap tanah wakaf. Ibnu ‘Abidin
memperbolehkan adanya tukar guling dengan berbagai pertimbangan sebagaimana
dalam penjelasan berikutnya yakni:
1) Karena wakif mengisyaratkan dengan memperbolehkan bagi dirinya atau orang
lain untuk menukar benda wakaf tersebut. Pergantian pada kemungkinan pertama
inilah yang diperbolehkan menurut qaul (perkataan) yang shahih, bahkan
dikatakan telah menjadi kesepakatan (ittifaq) dalam Madzhab Hanafi;
2) Karena wakif tidak menyatakan hak untuk menjual dan mengganti benda wakaf,
namun dikemudian hari ternyata benda wakaf itu tidak bermanfaat lagi. Maka
dalam hal ini benda wakaf boleh dijual atau diganti dengan benda lain yang sama.
Dalam kasus yang kedua ini diperbolehkan jika terlebih dahulu mendapatkan ijin
dari hakim yang telah mengadakan observasi tentang kelayakan terhadap benda
wakaf untuk ditukar guling, dikarenakan adanya kemaslahatan;
3) Karena wakif juga tidak menyatakan dan benda wakaf masih berfungsi dengan
maksimal. Namun ada benda lain yang mendatangkan manfaat lebih baik dan
lebih banyak dari benda wakaf awal. Untuk kemungkinan yang ketiga ini tidak
diperkenankan menurut qaul yang mukhtar (dipilih). 19
Dari penjelasan di atas setidaknya memberi kemudahan bagi seorang wakif
ataupun bagi nadzir untuk mengadakan tukar guling terhadap benda wakaf karena
adanya maslahah. Hal tersebut dilakukan guna mengekalkan dari tanah wakaf
sekaligus mengekalkan manfaat dari wakaf yakni benda dapat digunakan dalam
19 Ibid. hal. 583-585.
70
jangka panjang.20 Karena apabila tanah wakaf tersebut tidak ditukar guling maka
tanah wakaf tersebut akan sia-sia serta terbengkalai.
Misalnya sebuah bangunan sekolah yang berada di tengah pasar maka tidak
akan kondusif untuk difungsikan dengan maksimal. Karena siswa-siswa yang belajar
pasti akan terusik dengan hiruk-pikuk keramaian pasar serta bau sampah yang
ditimbulkan dari sekitarnya. Akan lebih baik lagi apabila bangunan sekolah tersebut
dipindahkan ke samping pasar ataupun tempat lain yang lebih kondusif dari tempat
yang pertama.
Dari analisa penulis terhadap pendapat Ibnu ‘Abidin dalam proses tukar
guling, maka tidak boleh dilakukan dengan sembarangan setidaknya ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi yakni:
1. Adanya tanah baru sebagai pengganti. Jika tanah yang pertama dijual maka hasil
dari penjualan tanah pertama tadi, dibelikan tanah baru sebagai penggantinya;
2. Adanya isyarat atau izin dari wakif bagi dirinya ataupun untuk orang lain untuk
melakukan tukar guling;
3. Adanya maslahah yang memperbolehkan tukar guling dilaksanakan;
4. Untuk syarat yang kedua dari tiga kemungkinan yang dipaparkan Ibnu ‘Abidin,
maka harus didahului dengan adanya izin dari hakim setelah mengadakan survei
terhadap tanah yang akan ditukar guling.
Namun kiranya perlu dicermati bahwasanya syarat kedua yang diajukan oleh
Ibnu ‘Abidin ini bisa menjadi bumerang. Karena bisa dengan seenaknya saja seorang
20 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 493.
71
wakif ataupun bagi orang yang diberi izin untuk mengadakan tukar guling tanpa harus
melihat maslahah. Misalnya seorang wakif yang mewakafkan sebidang tanahnya
untuk dijadikan sekolah. Untuk selanjutnya tanah tersebut dibangun oleh masyarakat
dengan dana swadaya menjadi bangunan sekolah yang bagus. Kemudian tanpa sebab
wakif ingin memindahkan bangunan tersebut ke tanah wakif yang lain. Meskipun
dengan ditukar dengan tanah yang lain tentunya ini bisa menjadi persoalan yang
rumit.
Tentunya masyarakat sekitar akan menolak hal tersebut karena belum tentu
wakif bersedia mengganti bangunan yang akan dipindahkan dan tentunya juga akan
memakan banyak biaya. Kemudian letak tanah yang baru juga belum tentu strategis
untuk dijadikan bangunan sekolah. Hal yang harus dipertimbangkan juga tentunya
adalah jarak sekolah dengan pemukiman penduduk. Tentunya sangat kasihan bagi
para siswa yang akan sekolah ataupun orang tua yang akan mengantar anaknya untuk
sekolah apabila letak sekolahan jauh dari pemukiman mereka.
Dalam hemat penulis tentunya tukar guling yang dilakukan oleh wakif atau
bagi orang yang mendapat izin dari dia, harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari
hakim. Kalau kemudian itu tidak mendapatkan izin dari hakim terlebih dahulu maka
akan terjadi kesemrawutan yang luar biasa.
Alasan yang penulis kemukakan kenapa wakif atau orang yang mendapat izin
dari wakif untuk melaksanakan tukar guling harus mendapatkan izin dari hakim
terlebih dahulu dikarenakan :
1. Agar tidak terjadi kesemrawutan dalam hal tukar guling tanah wakaf;
72
2. Karena tanah yang sudah diwakafkan berarti kepemilikannya sudah berpindah
untuk selanjutnya adalah milik mutlak Allah dan gugurlah hak dari wakif21, jadi
tidak sembarangan untuk ditukar guling;
3. Karena tanah wakaf adalah milik umum yang selanjutnya digunakan untuk
kepentingan umum yang berfungsi ibadah. Maka apabila akan ditukar guling juga
harus mendapatkan izin secara umum minimal harus seizin hakim.
Dalam hal tukar guling tanah wakaf Ibnu ‘Abidin memang berbeda dengan dua
Imam Madzhab yakni Imam Malik Imam Syafi’i yang memperbolehkan adanya tukar
guling terhadap tanah wakaf hanya karena dalam keadaan darurat. Sedangkan Imam
Malik hampir sama dengan Ibnu ‘Abidin namun lebih longgar Ibnu ‘Abidin (baca
lebih lanjut dalam bab II hal. 46).
Menurut penulis ada beberapa hal yang menyebabkan pemikiran Ibnu ‘Abidin
beda dengan Imam Madzhab yang lain :
1. Ibnu ‘Abidin bukan keturunan Arab, namun merupakan keturunan Damaskus
Syam dan pernah menimba ilmu di Mesir yang merupakan pusat peradaban Islam
pada waktu itu;
2. Ibnu ‘Abidin tidak hanya memperdalam ilmu syari’ah saja namun juga ilmu-ilmu
yang lain seperti tajwid, nahwu dan shorof;
3. Radd al Muhtar yang memuat fatwa-fatwa Ibnu ‘Abidin muncul pada saat situasi
negara dalam keadaan guncang karena krisis kepercayaan rakyat dan fuqaha’
terhadap pemerintahan Murad IV dari Dinasti Utsmaniyah karena dinilai kurang
arif dan bijaksana;
21 Ibid. hal. 216.
73
4. Radd al Muhtar muncul sebagai simbol perlawanan fuqaha’ terutama yang
bermadzhab Hanafi terhadap pemerintah yang terlalu banyak mengintervensi
masalah-masalah keagamaan;
5. Radd al Muhtar muncul sebagai pemberi solusi terhadap perkara-perkara yang
saat itu baru muncul.22
Kemudian ketika pemikiran Ibnu ‘Abidin ditarik ke ranah Indonesia maka ini
sebagai tawaran solusi dari apa yang telah diatur Pemerintah melalui PP No 28
Tahun 1977 pasal 11 jo. pasal 218 dan 225 KHI dijelaskan tentang adanya
kemungkinan diperbolehkannya ada tukar guling terhadap tanah wakaf, sebagaimana
berikut:
a. Pada dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan
perubahan peruntukan atau penggunaan lain daripada yang dimaksud dalam ikrar
wakaf.
b. Penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam ayat 1 hanya dapat dilakukan
terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis
dari Menteri Agama yakni;
1) Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif
2) Karena kepentingan umum.
c. Perubahan status tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan
penggunaannya sebagai akibat ketentuan tersebut dalam ayat (2) harus dilaporkan
kepada Bupati/Walikota Madya Kepala Daerah, cq. Kepala sub Direktorat
22 Ibid Juz I. hal. 43-44.
74
Agraria untuk mendapatkan penyelesaian lebih lanjut.23 (lihat juga KHI pasal
225).
Apabila peraturan ini harus kita laksanakan yakni dengan melaporkannya
kepada Menteri Agama kemudian menunggu izin dari Menteri Agama dilanjutkan
harus dilaporkan kepada Bupati/Walikota Madya Kepala Daerah, cq. Kepala sub
Direktorat Agraria untuk mendapatkan penyelesaian lebih lanjut. Tentunya hal
tersebut akan menyulitkan kita karena harus melalui prosedur yang berbelit-belit dan
tentunya akan memakan waktu yang tidak sebentar. Padahal realita di lapangan
menuntut agar tanah wakaf segera ditukar guling agar tidak terlalu lama terbengkalai
dan secepatnya dapat dimanfaatkan agar pahala dari tanah wakaf tersebut dapat
mengalir kepada wakifnya sebagai shadaqah jariyah. Jika tanah wakaf tadi tidak
berfungsi lagi sebagaimana mestinya dan tidak secepatnya dilakukan tukar guling
maka tentunya pahalanyapun akan berhenti sampai di situ.
Maka setidaknya apa yang ditawarkan oleh Ibnu ‘Abidin melalui
pemikirannya setidaknya menjadi wacana awal bagi kita sekaligus pencerahan bagi
nalar kita bagaimana mencari smart solution guna memecahkan polemik tukar guling
terhadap tanah wakaf yang sering menjadi persoalan yang berlarut-larut dan bahkan
tidak selesai serta menyisakan banyak persoalan.
23 Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Perwakafan Tanah Milik,
Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf, Jakarta, 19984/1985, hal. 95.
75
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setelah penyusun mengkaji dan mengadakan penelitian tentang tukar
guling (ruilslag) terhadap tanah wakaf sebagaimana yang telah disampaikan Ibnu
‘Abidin melalui Radd al Muhtar, maka setelah menganalisa pendapat tersebut
akhirnya dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Bahwasanya Ibnu ‘Abidin memperbolehkan adanya tukar guling (ruilslag)
terhadap tanah wakaf. Baik dengan cara ditukar dengan langsung dengan
tanah yang lain maupun dijual dahulu kemudian hasil dari penjualannya
(uangnya) dibelikan tanah yang baru sebagai pengganti dari yang awal.
Selanjutnya dimungkinkan terjadinya tukar guling dengan:
a. Karena wakif mengisyaratkan dengan memperbolehkan bagi dirinya atau
orang lain untuk menukar benda wakaf tersebut. Pergantian pada
kemungkinan pertama inilah yang diperbolehkan menurut qaul
(perkataan) yang shahih, bahkan dikatakan telah menjadi kesepakatan
(ittifaq) dalam Madzhab Hanafi;
b. Karena wakif tidak menyatakan hak untuk menjual dan mengganti benda
wakaf, namun dikemudian hari ternyata benda wakaf itu tidak bermanfaat
lagi. Maka dalam hal ini benda wakaf boleh dijual atau diganti dengan
benda lain yang sama. Dalam kasus yang kedua ini diperbolehkan jika
76
terlebih dahulu mendapatkan ijin dari hakim yang telah mengadakan
observasi tentang kelayakan terhadap benda wakaf untuk ditukar guling,
dikarenakan adanya kemaslahatan;
c. Karena wakif juga tidak menyatakan dan benda wakaf masih berfungsi
dengan maksimal. Namun ada benda lain yang mendatangkan manfaat
lebih baik dan lebih banyak dari benda wakaf awal. Untuk kemungkinan
yang ketiga ini tidak diperkenankan menurut qaul yang mukhtar (dipilih).
Namun kiranya perlu dicermati kemungkinan pertama yang diajukan
oleh Ibnu ‘Abidin ini bisa menjadi bumerang. Karena bisa dengan seenaknya
saja seorang wakif ataupun bagi orang yang diberi izin untuk mengadakan
tukar guling tanpa harus melihat maslahah. Jadi setidaknya ketika wakif
ataupun bagi orang yang mendapat izin dari dia, yang akan mengadakan tukar
guling tanah yang diwakafkan harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari
hakim yang tentunya dengan terlebih dahulu melihat adanya maslahah.
2. Istinbat hukum Ibnu ‘Abidin yang mendasar ialah dalam menarik kesimpulan
hukum, beliau selalu menyerukan penggunaan akal pikiran dalam
memecahkan kasus- kasus yang tidak ada nashnya, baik dalam al Qur’an
maupun al Hadist. Yaitu dengan membandingkan kasus-kasus yang telah
dinashkan ketentuan hukumnya. Dari hasil perbandingan itu beliau
menetapkan kesimpulan hukum sebatas hal tersebut dapat mendatangkan
kemaslahatan bagi umat, selaras dengan adat dan tradisi yang berlaku, selagi
77
hal tersebut tidak menyalahi jiwa syariat dan ketetapan hukum yang telah
dinashkan oleh al Qur’an dan al Hadist. Maka kemudian dalam hal tukar
guling tanah wakaf Ibnu ‘Abidin lebih memilih istihsan (Qiyas Khafi) dari
pada qiyas (Qiyas Jali) inti dari hal tersebut didasarkan pada adanya maslahah
dalam memberikan kemudahan dalam ibadah dan mu’amalah mengutamakan
kemaslahatan umum serta memberikan kebebasan bertindak atas suatu hal.
3. Menurut penulis bahwa pendapat Ibnu ‘Abidin tentang tukar guling terhadap
tanah wakaf setidaknya menjadi wacana awal bagi kita sekaligus pencerahan
bagi nalar kita bagaimana mencari smart solution guna memecahkan polemik
tukar guling terhadap tanah wakaf di negeri ini yang sering menjadi persoalan
yang berlarut-larut bahkan tidak selesai sehingga menyisakan banyak
persoalan.
B. SARAN-SARAN
1. Agar tujuan pensyariatan wakaf ini tercapai diantaranya dengan masih dapat
dimanfaatkannya tanah yang diwakafkan, maka tanah yang masih belum
berfungsi dengan maksimal dan bahkan tidak berfungsi sama sekali harus
segera ditukar guling.
2. Kepada pihak pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh menteri agama
serta semua pihak yang terkait, untuk lebih memberi kemudahan dalam hal
tukar guling terhadap tanah wakaf tanpa harus melalui prosedur yang berbelit
78
belit dan membutuhkan waktu yang lama tentunya juga dengan biaya yang
tidak sedikit pula.
3. Cita-cita ideal sebagaimana di atas tidak akan mungkin terwujud tanpa
dukungan dari adanya kesadaran dari diri sendiri dan dari semua pihak .
C. PENUTUP
Puji syukur kembali penulis haturkan dan panjatkan kehadirat sang
pemilik ruh kita Allah SWT. Tuhan yang telah menciptakan langit, bumi serta
alam seisinya yang diperuntukkan bagi kesejahteraan dan kemakmuran umat
manusia, dan juga telah menganugerahkan kepada penulis dengan memberi
kemudahan dalam penulisan skripsi ini hingga telah selesai tanpa aral serta
rintangan yang berarti.
Sebagai penutup penulis sadar bahwa pembahasan dalam bentuk skripsi
hanya sebuah kajian hukum Islam yang terkecil dan sederhana dari bahasan Islam
yang sangat komprehensif. karena itu kritik konstruktif dan saran yang
membangun senantiasa penulis harapkan demi kesempurnaan di masa mendatang.
Karena tidak ada sesuatu yang sempurna selain Allah.
Dan pada akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi penulis sendiri khususnya maupun bagi pembaca pada umumnya.
Amin……….
Wallahu a’lam bisshowab.
PUSTAKA
‘Abidin, Ibnu Radd al-Muhtar Juz VI, Dar al-Kitab al-Ilmiah, Beirut Libanon, 1994.
____________, Radd al-Muhtar Juz I, Daar al-Kitab al-Ilmiah, Beirut Libanon:1994.
Al Munawar, Said Agil Husin, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Penamadani,
Jakarta 2004.
Al-Alabij, Adijani, Perwakafan Tanah Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta
2002.
Al-Bukhari, Imam, Sahih Al-Bukhari, Juz 3, Dar Fikr Lebanon, Bairut, t.th.
Ali, Muhammad Daud, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, UI-Press, Jakarta,
1988.
Al-Shiddieqy, Hasbi, Pengantar Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1953.
_______________, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, t.th.
_______________, Hukum-hukum Fiqh Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1978.
Asyumi, A. Rahman dkk., Ilmu Ushul Fiqh, Depag, Jakarta, 1986.
B. Lewis, The Ensiklopedia of Islam III, Ihtiar Baru Van House, Jakarta: 1996.
Bakr, Taqiyuddin Abi Kifayah al Akhyar, Juz I Mesir: Dar al-Kitab al-Araby, t.th.
Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta. Ichtiar Baru Van House,
1996.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Toha Putra, Semarang, 1989.
Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Perwakafan
Tanah Milik, Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf, Jakarta: 1984/1985.
Departemen Agama RI, Ilmu Fiqh, Dirjen Bimbingan Islam, Jakarta, 1986.
Departemen Agama RI, Tanya Jawab Komplikasi Hukum Islam, Depag, Jakarta,
1997/1998.
Dewan Redaksi Islam, Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta: 1989.
Imam Hambali, al Muqna’, Dar al Kutub al ‘Alamiyah, Beirut Lebanon, t.th.
Jay, Muhammad Rawas Qal’ah, Mausu’ah Fiqh Umar Ibn Al-Khatab, Dar Al Nafais,
Beirut, Libanon, 1409 H./1989 M.
Khalaf, Abdul Wahab Ilmu Ushulul Fiqh, Dar al-Fikr, Beirut Libanon, t.th.
_____________, Mashodir al Tasyri’ al Islami, Dar al Qolam, Kuait, t.th.
Muhdlor, Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi, Kamus Al-‘Ishri, Multi Karya Grafika
Yogyakarta, 2000.
Muslim, Imam, Shahih Muslim jilid II, Dar al-Fikr, Beirut Libanon, 1993.
Ramulya, Moh. Idris, Asa-Asas Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1995.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.
Sabiq Sayyid, Fiqih Sunnah, Juz 3, Maktabah Dar al Turas, Kairo, t.th.
Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1992.
Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Bina Aksara, Jakarta,
1996.
Surachmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode Tehnik, Tarsito,
Bandung, 1998.
Sutrisno, Hadi Metodologi Research, Jilid 1, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 1999.
Syafi’i, Imam, al ‘Umm juz 4, Dar al Fikr, Beirut Libanon, t.th.
____________, al ‘Umm, Juz 5, Dar al Fikr, Beirut Libanon, t.th.
Syarqawi, Imam, Hasyiyah al-Syarqawi, Juz 2, Dar al-Fikr, Beirut, Lebanon, t.th.
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 2005.
UU No. 41 Th. 2004 Tentang Wakaf, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
Yasin, Muhammad, Al-fawaid al-Jiniyyah, Dar al Fikr, Beirut Libanon, 1997.
Zahrah, Muhammad Abu, al-Waqfu, Dar al-Fikr, Beirut, Libanon, 1971.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1. Nama Lengkap : Ahmad Shofwan
2. Tempat Tanggal Lahir : Pati, 2 Nopember 1982
3. NIM. : 032111028 / 2103028
4. Alamat Asal : Jl. Kauman I No. 04 Ngagel Rt. 05 Rw. 01 Dukuhseti
Pati Jateng 59158
5. Alamat Sekarang : Jl. Stasiun I No. 06 Jerakah Semarang Barat
6. No. Telp. : 0295 454 242 Hp. 081 326 431 600
7. Nama Ayah : Ahmad Husnan
8. Nama Ibu : Mufidah
9. Pendidikan Formal :
a. MI YAPIM Ngagel, Lulus tahun 1994
b. MTs. YAPIM Ngagel, Lulus tahun 1997
c. MAK YAPIM Ngagel, Lulus tahun 2000
d. SI IAIN Walisongo Semarang, Lulus 2008
10. Pendidikan Non Formal :
• Pon. Pes. Al Anwar Karangmangu Sarang Rembang 2000-2003
Demikian riwayat hidup ini penulis buat dengan sebenar-benarnya dan harap
menjadikan maklum adanya.
Semarang, 25 Juli 2007
Penulis,
Ahmad Shofawan NIM. 032111028