STRUKTURASI KEKUASAAN DAN KEKERASAN SIMBOLIK · Tugas Akhir Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu...
Transcript of STRUKTURASI KEKUASAAN DAN KEKERASAN SIMBOLIK · Tugas Akhir Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu...
STRUKTURASI KEKUASAAN DAN KEKERASAN SIMBOLIK
DALAM CERPEN “AYAM”,
“SUATU MALAM SUATU WARUNG”, DAN “TAHI”
DALAM KUMPULAN CERPEN HUJAN MENULIS AYAM
KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI:
SEBUAH PERSPEKTIF PIERRE BOURDIEU
Tugas Akhir
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Patrick Ardina Barata
NIM 124114009
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
i
STRUKTURASI KEKUASAAN DAN KEKERASAN SIMBOLIK
DALAM CERPEN “AYAM”,
“SUATU MALAM SUATU WARUNG”, DAN “TAHI”
DALAM KUMPULAN CERPEN HUJAN MENULIS AYAM
KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI:
SEBUAH PERSPEKTIF PIERRE BOURDIEU
Tugas Akhir
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Patrick Ardina Barata
NIM 124114009
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
Halaman Persetujuan Pembimbing
Tugas Akhir
STRUKTURASI KEKUASAAN DAN KEKERASAN SIMBOLIK
DALAM CERPEN “AYAM”,
“SUATU MALAM SUATU WARUNG”, DAN “TAHI”
DALAM KUMPULAN CERPEN HUJAN MENULIS AYAM
KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI:
SEBUAH PERSPEKTIF PIERRE BOURDIEU
Oleh
Patrick Ardina Barata
NIM 124114009
Telah disetujui oleh
Pembimbing I
Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. 28 Juli 2017
Pembimbing II
Drs. B. Rahmanto, M.Hum. 28 Juli 2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
Halaman Pengesahan
Tugas Akhir
STRUKTURASI KEKUASAAN DAN KEKERASAN SIMBOLIK
DALAM CERPEN “AYAM”,
“SUATU MALAM SUATU WARUNG”, DAN “TAHI”
DALAM KUMPULAN CERPEN HUJAN MENULIS AYAM
KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI:
SEBUAH PERSPEKTIF PIERRE BOURDIEU
Ditulis oleh
Patrick Ardina Barata
NIM: 124114009
Telah dipertahankan di depan panitia penguji
pada tanggal, 27 Juli 2017
dan dinyatakan memenuhi syarat.
Susunan Panitia Penguji:
Nama Lengkap Tanda Tangan
Ketua : Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. ..................................
Sekretaris : Drs. B. Rahmanto, M.Hum. ..................................
Anggota : S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum. ..................................
Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. ..................................
Drs. B. Rahmanto, M.Hum. .................................
Yogyakarta, 31 Juli 2017
Dekan Fakultas Sastra
UniversitasSanata Dharma
Dr. P. Ari Subagyo, M.Hum.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 28 Juli 2017
Patrick Ardina Barata
NIM 124114009
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah
Untuk Kepentingan Akademis
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama : Patrick Ardina Barata
NIM : 124114009
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul Strukturasi
Kekuasaan dan Kekerasan Simbolik dalam cerpen “Ayam”, “Suatu Malam
Suatu Warung”, dan “Tahi” dalam Kumpulan Cerpen Hujan Menulis Ayam
Karya Sutardji Calzoum Bachri: Sebuah Perspektif Pierre Bourdieu
Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata
Dharma hak menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya dalam
bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya
di internet atau media yang lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta
izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal 28 Juli 2017
Yang menyatakan,
Patrick Ardina Barata
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan sehingga penulis dapat
menyelesaikan seluruh proses penyelesaian skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk
memenuhi persyaratan penyelesaian program Strata satu (S-1) Program Studi
Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Banyak pihak yang membantu dan mendukung penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih
terhadap seluruh pihak yang sudah membantu dan mendukung penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini, yaitu :
1. Bapak Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. sebagai pembimbing I, terima
kasih atas segala pendampingan, bimbingan dan masukannya selama
pengerjaan skripsi ini.
2. Bapak Drs. B. Rahmanto, M.Hum. sebagai pembimbing II, terima kasih
atas segala masukan dalam pengerjaan skripsi ini.
3. Bapak Dr. Ari Subagyo, M.Hum. sebagai Dosen Pembimbing Akademik
Angkatan 2012, terima kasih telah memotivasi dan mendukung saya untuk
menyelesaikan skripsi ini.
4. Para dosen, Alm. Bapak Hery Antono, M.Hum., Prof. Dr. I. Praptomo
Baryadi, M.Hum., Ibu S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum., terima kasih telah
memberikan banyak ilmu dalam perkuliahan selama ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
5. Karyawan sekretariat Prodi Sastra Indonesia, Mbak Rus, terima kasih telah
membantu saya untuk mengurus hal-hal administratif selama saya
menjalani proses kuliah.
6. Teman-teman angkatan Sastra Indonesia 2012, terima kasih atas dukungan
dan kebersamaannya di dalam kelas maupun di luar kelas.
7. Keluarga penulis, Bapak, Ibu, dan adik, terima kasih atas dukungannya
selama saya menempuh proses pengerjaan skripsi ini.
8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih
atas perhatian dan dukungan yang diberikan kepada penulis.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh sebab
itu, segala saran dan kritik dari segala pihak akan penulis terima dengan besar
hati. Somoga skripsi ini bermanfaat bagi lebih banyak orang.
Yogyakarta, 28 Juli 2017
Penulis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
MOTO DAN PERSEMBAHAN
Tuhan Jadikanlah Aku Murni Namun Jangan Sekarang
-Agustinus-
Skripsi ini kupersembahkan untuk :
Ayah, Ibu, Adik-adik, Sahabat-sahabatku
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
ABSTRAK
Barata, Patrick Ardina.2017. Strukturasi Kekuasaan dan Kekerasan
Simbolik dalam cerpen “Ayam”, “Suatu Malam Suatu Warung”, dan
“Tahi” dalam Kumpulan Cerpen Hujan Menulis Ayam Karya
Sutardji Calzoum Bachri. Yogyakarta: Program Studi Sastra
Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas
Sanata Dharma.
Penelitian ini mengkaji kekerasan simbolik dalam kumpulan cerpen Hujan
Menulis Ayam karya Sutardji Calzoum Bachri. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan dan mengaalisis modal, kelas, habitus, arena, kekerasan dan
kekuasaan dalam kumpulan cerpen Hujan Menulis Ayam karya Sutardji Calzoum
Bachri. Selanjutnya akan dianalisis pula kekerasan simbolik yang ada di dalam
kumpulan cerpen tersebut. Ada tiga cerpen yang akan dianalisis, yaitu: “Ayam”,
“Suatu Malam Suatu Warung”, dan “Tahi”.
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra dengan teori
kekerasan simbolik. Penelitian ini diawali dengan menganalisis berbagai jenis
modal, kelas, habitus, arena, kekuasaan dan kekerasan yang ada di dalam
kumpulan cerpen tersebut. Selanjutnya, akan diteliti mekanisme kekersan
simboliknya.
Metode dan teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode studi pustaka. Cerpen-cerpen yang sudah terpilih ini dibaca secara
mendalam kemudian data yang diperoleh dicatat. Data-data tersebut kemudian
dianalisis menggunakan teori kekerasan simbolik. Metode dan teknik penyajian
hasil analisis data adalah deskriptif kualitatif. Hasil analisis akan dideskripsikan
secara kualitatif, yaitu peneliti mendeskripsikan jenis-jenis modal, kelas, habitus,
arena, kekuasaan dan kekerasan serta kekerasan simbolik.
Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:(1) Adanya keempat modal di
dalam kumpulan cerpen tersebut, yaitu: modal ekonomi, sosial, budaya, dan
simbolik. Setiap tokoh memiliki kapasistas modalnya masing-masing dalam setiap
modal yang ada. (2) Kelas-kelas di dalam kumpulan cerpen tersebut dipengaruhi
oleh kekuatan modal masing-masing tokoh. Kelas dominan diisi oleh orang-orang
atau kelompok yang memiliki modal kuat. Dalam cerpen tersebut kelas dominan
diisi oleh para penyair di cerpen “Ayam” dan “Suatu Malam Suatu Warung”,
tokoh aku di dalam cerpen “Tahi”. Kelas borjuasi kecil diisi oleh pekerja
pemotong dahan, pembuat kopi atau jamu di dalam cerpen “Ayam” sedangkan di
dalam cerpen “Suatu Malam Suatu Warung” adalah pemilik warung. Cerpen
“Tahi” tidak menghadirkan adanya kelas borjuasi kecil. Kemudian kelas populer
diisi oleh orang-orang yang tinggal di pinggir sungai dalam cerpen “Ayam”,
pelacur tua dalam cerpen “Suatu Malam Suatu Warung”, dan Orang yang
peminta-minta dalam cerpen “Tahi”. (3) Habitus dan arena yang ditamplkan
dalam cerpen tersebut lebih pada kehidupan sosial masyarakat menengah ke
bawah. (4) Kekerasan simbolik berupa mekanisme eufimisme dan mekanisme
sensorisasi terjadi. Kelompok yang mendapatkan kekerasan menganggap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
kekerasan itu sebagai sebuah kebenaran. Akan tetapi di akhir cerita ada
penyesalan dan kesadaran dari tokoh-tokoh yang melakukan kekerasan tersebut.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kekerasan simbolik ada di
dalam kumpulan cerpen Hujan Menulis Ayam, walaupun kelas-kelas yang ada di
dalamnya tidak sangat mencolok digambarkan perbedaannya. Kekerasan yang
terjadi diwarnai dengan banyaknya simbol-simbol yang dihadirkan di dalam
cerpen tersebut. Akan tetapi ada hal-hal baru yang coba dimunculkan dari ketiga
cerpen tersebut dalam upaya penciptaan dunia baru.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
ABSTRACT
Barata, Patrick Ardina. 2017. Domination Structure and Symbolical
Violence in Short Story “Ayam”, “Suatu Malam Suatu Warung”, and
“Tahi” in Anthology of Short Story “Hujan Menulis Ayam” by
Sutardji Calzoum Bachri. Yogyakarta: Indonesian Letters Study
Programme, Department of Indonesian Letters, Faculty of Letters,
Sanata Dharma University
This study examines symbolical violence in anthology of short story
Hujan Menulis Ayam by Sutardji Calzoum Bachri. The purpose of this study is to
describe and analyze modal, class, habitus, arena, violence and power in
anthology of short story Hujan Menulis Ayam by Sutardji Calzoum Bachri.
Furthermore, there will be analysis on symbolic violence on the anthology of
short story mentioned above. There are three short stories which are going to be
analyzed. Those are “Ayam”, “Suatu Malam Suatu Warung”,and “Tahi”.
This study uses sociological literary approach with theory of symbolical
violence. This study begins with analysis on types of modal, class, habitus, arena,
power and violence which are present in those short stories. After that, the
mechanism of symbolical violence will be analyzed.
Method and data collecting technique which are employed in this study is library
research. Selected short stories are closely read. Then, the data that has been
gathered are written. The data is analyzed using theory of symbolical violence.
Method and result of analysis presented are qualitative descriptive. The result of
analysis will be described qualitatively which means the writer describes types of
modal, class, habitus, arena, power and violence and also symbolical violence in
those selected short stories from anthology of short story Hujan Menulis Ayam.
The results of this study are: (1) There are four modals in those selected
short stories; economy capital, social modal, cultural modal, and symbolic modal.
Every character has their own modal capacity for available modal. (2) Every class
in those short stories is influenced by the power of modal of every character.
Dominant class is filled with people or groups which have strong modal. In those
short stories, the dominant class is filled with poets in short story “Ayam” and
“Suatu Malam Suatu Warung”, and character “I” in short story “Tahi”. Small
bourgeoisie class is filled with branch cutter workers, coffee or traditional herbal
drinkmaker in short story “Ayam” whereas in short story “Suatu Malam Suatu
Warung”, stall owner is the member of small bourgeoisie class. In short story
Tahi, there is no small bourgeoisie class. Moreover, popular class is filled with
people who live along the river bank in short story “Ayam”, old prostitute in short
story “Suatu Malam Suatu Warung” and people who often seek help in short story
“Tahi”. (3) Habitus and arena shown in those short stories are more on social life
of lower class people. (4) Symbolical violence in form of euphemism mechanism
and censorship mechanism occur. The group receiving violence assumes that the
violence as truth. However, at the end of the story, there will be regret and
enlighten from characters who perform that violence.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
The result of this study can be concluded that symbolical violence occurs
in anthology of short stories Hujan Menulis Ayam, even though classes in those
short stories are not described distinctively. Violence occurred is noticed by the
range of symbols appeared in those short stories. However, there are new things
which are trying to be shown from three selected short stories in effort to create
new a world.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .......................................................... iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS .......................................................v
KATA PENGANTAR ......................................................................................vi
MOTO DAN PERSEMBAHAN .....................................................................viii
ABSTRAK ........................................................................................................ ix
ABSTRACT .......................................................................................................xi
DAFTAR ISI ..................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 5
1.4 Manfaat Hasil Penelitian ......................................................................... 6
1.4.1 Manfaat Teoretis ........................................................................... 6
1.4.2 Manfaat Praktis ............................................................................. 7
1.5 Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 7
1.6 Landasan Teori ........................................................................................ 8
1.6.1 Pendekatan Sosiologi Sastra .......................................................... 9
1.6.2 Perspektif Pierre Bourdieu ............................................................. 10
1.6.2.1 Strukturasi Kekuasaan ........................................................... 10
1.6.2.1.1 Modal .......................................................................... 10
1.6.2.1.2 Kelas ............................................................................. 11
1.6.2.1.3 Habitus ......................................................................... 12
1.6.2.1.4 Arena ............................................................................ 13
1.6.2.1.5 Kekerasan dan Kekuasaan............................................ 14
1.6.2.2 Kekerasan Simbolik .............................................................. 14
1.6.2.2.1 Eufemisme.................................................................... 15
1.6.2.2.2 Mekanisme Sensorisasi ................................................ 15
1.6.2.2.3 Menciptakan Dunia ...................................................... 15
1.7 Metode Penelitian.................................................................................... 15
1.7.1 Pendekatan Penelitian .................................................................... 16
1.7.2 Metode Penelitian........................................................................... 16
1.7.3 Metode Analisis Data ..................................................................... 16
1.7.4 Metode Penyajian Hasil Analisis Data ........................................... 17
1.7.5 Sumber Data ................................................................................... 17
1.8 Sistematika Penyajian ............................................................................. 17
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
BAB II STRUKTURASI KEKUASAAN
DALAM CERPEN “AYAM”,
“SUATU MALAM SUATU WARUNG”, DAN “TAHI”
DALAM KUMPULAN CERPEN HUJAN MENULIS AYAM
KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI .................................... 19
2.1 Pengantar ................................................................................................. 19
2.2 Modal ...................................................................................................... 20
2.2.1 Modal Ekonomi ............................................................................ 20
2.2.2 Modal Sosial ................................................................................. 26
2.2.3 Modal Budaya............................................................................... 29
2.2.4 Modal Simbolik ............................................................................ 39
2.3 Kelas ........................................................................................................ 43
2.3.1 Kelas Dominan ............................................................................. 44
2.3.2 Kelas Borjuasi Kecil ..................................................................... 47
2.3.3 Kelas Populer ................................................................................ 48
2.4 Habitus .................................................................................................... 51
2.4.1 Habitus Kelas Dominan ................................................................ 51
2.4.2 Habitus Kelas Borjuasi Kecil ....................................................... 52
2.4.3 Habitus Kelas Populer .................................................................. 53
2.5 Arena ....................................................................................................... 54
2.6 Kekuasaan dan Kekerasan....................................................................... 56
2.7 Rangkuman ............................................................................................. 57
BAB IIIKEKERASAN SIMBOLIK
DALAM CERPEN “AYAM”,
“SUATU MALAM SUATU WARUNG”, DAN “TAHI”
DALAM KUMPULAN CERPEN HUJAN MENULIS AYAM
KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI .................................. 60
3.1 Pengantar ................................................................................................. 60
3.2 Analisis Kekerasan Simbolik .................................................................. 60
3.2.1 Eufimisme .................................................................................... 63
3.2.2 Mekanisme Sensorisasi ................................................................ 63
3.2.3 Menciptakan Dunia ....................................................................... 65
3.3 Rangkuman ............................................................................................. 65
BAB IIIPENUTUP ........................................................................................... 67
4.1 Kesimpulan ............................................................................................. 67
4.2 Saran ........................................................................................................ 68
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 69
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra selalu menarik untuk diteliti karena menyimpan realitas di
dalamnya. Ada banyak persoalan yang sebenarnya terkandung di dalamnya.
Masalah-masalah di dalam kehidupan seringkali terungkap dari karya sastra.
Wellek dan Warren (2003:15) mengungkapkan bahwa pendekatan umum yang
dilakukan terhadap hubungan sastra dan masyarakat adalah mempelajari sastra
sebagai dokumen sosial, sebagai potret kenyataan sosial.
Bagi para akademisi, karya sastra tidak hanya untuk dinikmati. Makna
berlapis dalam karya sastra selalu memberikan tantangan tersendiri untuk
dipahaminya dengan menganalisisnya, sehingga hal-hal penting yang terkandung
di dalamnya dapat terungkap. Apalagi sastra bisa menjadi cermin tentang
masyarakat.
Cerpen adalah salah satu jenis karya sastra. Sampai saat ini cerpen masih
menarik hati pembaca karena tulisan yang tidak panjang dan tidak membutuhkan
waktu yang lama untuk membacanya. Banyak pula majalah ataupun surat kabar
yang memberikan kolom khusus untuk cerpen. Bahkan ketika banyak novel
ataupun buku-buku yang dilarang terbit, sastrawan memakai cerpen sebagai media
untuk menyampaikan gagasan-gagasannya.
Kisah menarik tentang cerpen terjadi pada masa Orde Baru. Saat korupsi
dan manipulasi menggerogoti kehidupan manusia, ditambah lagi situasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
perpolitikan yang nampak suram membuat penerbit buku-buku mulai tidak
menentu. Penerbit seperti Balai Pustaka, Pustaka Rakyat, dan Pembangunan mulai
tidak menentu. Hal tersebut membuat aktivitas sastra terbatas pada majalah-
majalah seperti Pujangga Baru, Gelanggang, Kompas, Tjerita, Basis, dll. Pada
waktu itu Nugroho Notosusanto mempopulerkan istilah “sastra Majalah” dalam
tulisannya di Kompas.
Dalam perkembangannya kumpulan cerita pendek jauh kurang terkenal
ketimbang novel bagi masyarakat pembaca. Bahkan kumpulan sajak masih terjual
lebih laku ketimbang kumpulan cerita pendek (Teeuw, 1988: 169). Teeuw (1989:
169) juga menyimpulkan bukannya tidak mungkin bahwa penulis-penulis cerita
pendek yang berbakat telah terlupakan, terutama apabila tidak satu pun karya
mereka tampil di dalam kumpulan-kumpulan tersendiri.
Dewasa ini, Sutardji Calzoum Bachri (SCB) adalah salah satu penulis
cerpen yang mungkin bisa terlupakan karena dia lebih terkenal dengan puisinya.
Tidak banyak yang mengenal cerpen-cerpen SCB. Dalam pengantar kumpulan
cerpen Hujan Menulis Ayam karya SCB, dikatakan, “Sejarah dan pembaca sastra
harus tahu, bahwa justru jauh hari sebelum SCB kukuh dengan kredo puitiknya
(bahkan mungkin sebelum SCB menulis puisi), ia terlebih dulu sudah menulis
cerpen dan mempublikasikannya. Beberapa cerpen itu dipublikasikan di majalah
Aktuil dan Mahasiswa Indonesia Edisi Djabar, selain kemudian juga di Horison,
Pelita, dan Kompas(Bachri, 2001: xiii).
Padahal cerpen-cerpen SCB sarat akan pesan dan hal-hal yang diangkat
sangat dekat dengan permasalahan-permasalahan yang ada di dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
masyarakat.Dalam pengantar kumpulan cerpenHujan Menulis AyamSCB
dikatakan sebagai seorang sastrawan yang hadir menampilkan realitas keseharian.
SCB adalah pengarang yang menggebrak dunia sastra di Indonesia pada
tahun 70-an karena puisinya yang melakukan banyak penyimpangan. Rachmat
Djoko Pradopo(2012: 106) mengatakan penyimpangan itu diantaranya berupa
penghapusan tanda baca, pemutusan kata, pembalikan kata, penggandengan dua
kata atau lebih, penghilangan imbuhan, pembentukan jenis kata dari kata lain
tanpa mengubah bentuk morfologisnya. Hampir dapat dikatakan pada setiap
sajaknya terdapat penyimpangan tata bahasa normatif.
Rupanya beberapa keunikan tersebut juga masih ada di dalam cerpen-
cerpennya. Dalam pengantar kumpulan cerpen Hujan Menulis Ayam dikatakan
bahwa diksi-diksi di dalam cerpen pun juga tetap menampakkan identitas
eksentrik kebahasaan SCB yang memang menonjol dalam puisinya, misalnya
pada pengulangan dan permainan kata. Orang tua itu tuanya tegap dan tua orang
tua itu tak ada susahnya kelihatan (Bachri, 2001: 13).
Walaupun demikian, dia tetap kritis dalam memberi kritik sosial, seperti
yang terungkap dalam cerpen “Suatu Malam Suatu Warung.”Pelacur tua itu
memandang lagi pada yang punya warung, minta diiyakan. Yang punya warung
diam. Dia sering mendengar pertengkaran di warungnya dan biasanya dia diam
saja. Karena setiap pertengkaran selalu asalnya sama saja, mempertahankan
kepura-puraan (Bachri, 2001: 23).
Bertolak dari kredo puisinya yang ingin membebaskan kata-kata dari
makna. Cerpen-cerpen SCB tidak demikian karena banyak makna yang dikandung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
di dalam keindahan penceritaannya yang seperti sajak dalam puisi. Semua
cerpennya berisi tentang makna-makna yang dalam dan kritis terhadap masalah-
masalah sosial.
Penulis melihat adanya masalah sosial berkaitan dengan ekonomi dalam
karya-karya SCB. Adanya kekuasaan dan yang dikuasai kemudian pertentangan
juga dimunculkan di dalamnya sebagai bagian dari kritiknya. Hal itu
menunjukkan adanya permasalahan sosial di dalamnya. Kemudian relasi
kekuasaan juga tidak lepas dari isi cerpen tersebut yang digambarkan dengan
konflik yang melibatkan kelompok kelas yang berbeda. Hal-hal tersebutlah yang
menjadi dasar Penulis memilih topik ini untuk diteliti lebih jauh. Penulis ingin
mengungkapkan permasalahan sosial yang ada di dalam kumpulan cerpen Hujan
Menulis Ayam. Persoalan-persoalan masyarakat selalu penting untuk dibicarakan.
Begitu pula kumpulan cerpen ini yang sarat akan persoalan-persoalan sosial.
Persoalan-persoalan tersebut dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan modal dalam
tiap-tiap orang ataupun kelompok masyarakat.
SCB yang terkenal dengan puisinya dan banyaknya orang yang belum
mengenal cerpen-cerpenya juga menjadi alasan tambahan penelitian ini. Menguak
cerpen-cerpen SCB yang penuh dengan kritik sosial memang tidak mudah.
Apalagi jika sudah terjebak di dalam keindahan bahasanya. Tidak jarang akan
membuat pembaca kebingungan untuk menangkap pokok pemikirannya.
Dari 10 cerpen dalam kumpulan cerpen Hujan Menulis Ayamkarya SCB,
hanya akan dipilih tiga cerpen untuk ditelititi agar terungkap kritiknya dan relasi
di dalam kelas yang saling bersinggungan. Ketiga cerpen tersebut adalah cerpen
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
berjudul: “Ayam”; “Suatu Malam Suatu Warung”; dan “Tahi.” Ketiga cerpen
tersebut dipilih karena kritik yang ada di dalamnya lebih menonjol dan masalah-
masalah yang diungkap sangat berkaitan dengan masalah sosial dewasa ini.
Terlebih lagi mempunyai tema yang sama berkaitan dengan permasalahan sosial
yang berakar dari masalah modal dan perbedaan dalam kelas sosial.Sedangkan
enam cerpen yang lainnya di dalam kumpulan cerpen Hujen Menulis Ayam tidak
menyinggung permasalahan-permasalahan kelas yang mencolok berkaitan
masalah ekonomi. Ketiga cerpen tersebut akan dianalisis menggunakan teori
strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik Pierre Bourdieu.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah strukturasi kekuasaan dalam kumpulan cerpenHujan
Menulis Ayam karya Sutardji Calzoum Bachri?
2. Bagaimanakah kekerasan simbolik yang terjadi di dalam kumpulan cerpen
Hujan Menulis Ayam karya Sutardji Calzoum Bachri?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan strukturasi kekuasan yang mencakup modal, kelas,
habitus, kekerasan dan kekuasaandalam kumpulan cerpen Hujan Menulis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
Ayam karya Sutardji Calzoum Bachri. Hal-hal tersebut akan dianalisis di
dalam Bab II.
2. Mendeskripsikan kekerasan simbolik dalam kumpulan cerpen Hujan
Menulis Ayam karya Sutardji Calzoum Bachri. Hal tersebut akan dianalisis di
dalam Bab III.
1.4 Manfaat Hasil Penelitian
Hasil dari penelitian ini akan memberikan manfaat secara teoritis dan
praktis. Manfaat-manfaat tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
1.4.1 Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis adalah manfaat penelitian bagi ilmu pengetahuan dan
manfaat praktis adalah manfaat untuk profesi pekerjaan tertentu. Cerpen yang
sudah dipilih adalah cerpen-cerpen yang mengandung permasalahan sosial yang
sesuai dengan situasi saat ini. Terlebih berkaitan dengan masalah ekonomi.
Penelitian ini akan menghadirkan berbagai masalah yang berdekatan
dengan masalah sosial yang ada saat ini. Masalah yang diulas akan memberikan
pemahaman tentang permasalahan sosial yang terjadi di masa sekarang.
Selanjutnya, penelitian ini juga menghadirkan perihal tentang relasi
kekuasaan yang berkaitan dengan kelas dan ekonomi. Permasalahan itu adalah
permasalahan yang saat ini sedang terjadi, sehingga akan diketahui hal-hal apa
yang menyebabkan permasalahan itu terjadi menurut perspektif Pierre Bourdieu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
1.4.2 Manfaat Praktis
Penulisan ini juga bermanfaat untuk orang-orang yang bergelut di dalam
bidang ilmu pengetahuan, terlebih yang menjalani profesi dalam bidang sastra
untuk mendalami lagi tentang kepenyairan SCB dalam mengkritik keadaan sosial
masyarakat dan perbedaan kelas sosial yang terjadi lewat cerpen-cerpennya.
Bagi Penulis, hasil penulisan ini juga dapat menambah wawasan tentang
salah satu pengarang dalam sastra yang terkenal sebagai penulis puisi namun juga
telah menulis cerpen untuk menunjukkan masalah-masalah sosial
masyarakat.Penelitian ini juga bermanfaat sebagai syarat kelulusan dari program
S1 Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma.
1.5 Tinjauan Pustaka
Ketenarannya dalam karya sastra yang berbentuk puisi membuat SCB
sedikit dilupakan dalam karyanya yang lain. Hal ini membuat karya SCB yang
lain tidak banyak dibicarakan di dalam penelitian. Hal ini tentu tidak boleh terjadi
karena karya SCB yang berbentuk cerpen sangat menarik untuk dibicarakan.
Puisinya memang sudah banyak diteliti oleh berbagai kalangan dengan
rumusan masalah dan tujuan penelitian yang beragam. Terlebih kumpulan puisi O,
Amuk, Kapak yang terkenal inkonvensional dan mampu mendobrak kelesuan
sastra Indonesia pada tahun 70-an. Akan tetapi, sejauh ini Penulis belum
menemukan peneliti lain yang berusaha meneliti cerpen-cerpenya dalam tulisan
resmi seperti artikel ilmiah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
Adapun penelitian tentang cerpen SCB berjudul “hujan.” Akan tetapi
penelitian tersebut tidak berkaitan langsung dengan sastra karena menganalisis
cerpen “hujan” karya SCB dari aspek kebahasaannya. Tentunya hal ini menjadi
tantangan bagi Penulis untuk mengungkap karya cerpen SCB yang sebenarnya
penuh dengan permasalahan sosial masyarakat. Apalagi masalah-masalah tersebut
berakar dari permasalahan modal yang menjadi salah satu pilar penting bagi
kelangsungan hidup manusia.
Dalam hal ini, penulis mencoba melihat ketiga cerpen yang dipilih dengan
cara pandang yang baru yaitu berkaitan dengan isi di dalam cerita yang
mengandung masalah-masalah sosial. Sejauh yang penulis ketehui, penelitian ini
bisa dikatakan sebagai sebuah penelitian yang baru karena belum ditemukannya
penelitian yang menjadikan cerpen Hujan Menulis Ayam sebagai objek
penelitiannya.
1.6 Landasan Teori
Pada umumnya, teori dipertentangkan dengan praktik. Setelah suatu ilmu
pengetahuan berhasil mengabstraksikan keseluruhan konsepnya ke dalam suatu
rumusan ilmiahyang dapat diuji kebenarannya, yaitu teori itu sendiri, maka teori
tersebut mesti dioperasikan secara praktis, sehingga cabang-cabang ilmu
pengetahuan sejenis dapat dipahami secara lebih rinci dan mendalam (Ratna,
2004: 1-2).
Karya sastra merupakan sebuah fakta yang terlahir sebagai bagian dari
berbagai permasalahan dan situasi konkret yang dihadapi manusia di luar faktanya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
sebagai pembangun makna. Dengan itu, hendak dinyatakan bahwa karya sastra
merupakan sebuah fakta kemanusiaan (Faruk, 2012: 90).
1.6.1 Pendekatan Sosiologi Sastra
Teori sangat penting untuk membongkar dan mengungkap hal yang ada di
dalam sebuah karya satra. Dalam ketiga cerpen SCB yang telah dipilih, penulis
akan menggunakan Sosiologi Sastra untuk menganalisisnya. Sosiologi sastra
adalah sebuah ilmu yang menganalisis permasalahan-permasalahan yang ada di
dalam masyarakat. Sosiologi sastra muncul karena perkembangan masyarakat
yang begitu pesat sehingga kajian sosiologis dibutuhkan dalam hal ini.
Hubungan karya sastra denga masyarakat, baik sebagai negasi dan inovasi,
maupun afirmasi, jelas merupakan hubungan yang hakiki. Karya sastra
mempunyai tugas penting, baik dalam usahanya untuk menjadi pelopor
pembaharuan, maupun memberikan pengakuan terhadap suatu gejala
kemasyarakatan (Ratna, 2004: 334).
Sosiologi sastra adalah analisis karya sastra dalam kaitannya dengan
masyarakat. Salah satu caranya adalah menganalisis masalah-masalah sosial yang
terkandung di dalam karya sastra itu sendiri, kemudian menghubungkannya
dengan kenyataan yang pernah terjadi. Pada umumnya disebut sebagai aspek
ekstrinsik, model hubungan yang terjadi disebut refleksi (Ratna, 2004: 340).
Oleh sebab itu penulis akan menggunakan dua teori untuk membedah
ketiga cerpen yang sudah dipilih. Penulis akan menggunakan teori kekerasan
simbolik yang diungkapkan oleh Pierre Bourdieu untuk menganalisis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
permasalahan relasi sosial masyarakat. Namun sebelumnya akan dibahas terlebih
dahulu konsep dasar dari pemikiran Pierre Bourdieu berkaitan dengan masalah
modal, kelas, habitus, kekerasan dan kekuasaan.
1.6.2 Perspektif Pierre Bourdieu
Pada dasarnya pemikiran Pierre Bourdieu menunjuk pada masalah-
masalah sosial. Permasalahan itu adalah modal, kelas, habitus, arena, dan
kekerasan simbolik. Bila permasalahan-permasalahan itu dapat dipecahkan, relasi
kekuasaan yang ada di dalamnya akan terkuak.
Relasi adalah hubungan antara dua kelompok ataupun individu. Di dalam
sebuah relasi akan ada pihak yang mendominasi dan pihak yang terdominasi.
Perbedaan itulah yang membuat adanya permasalahan dalam sebuah relasi.
Sehingga bisa melahirkan relasi kekuasan. Istilah itu menunjukkan adanya
kelompok yang menguasai dan kelompok yang dikuasai.
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan teori strukturasi
kekuasaan dan kekerasan simbolik. Strukturasi kekuasaan sebagai pintu masuk
untuk sampai pada analisis kekerasan simbolik.
1.6.2.1 Strukturasi Kekuasaan
Sebelum masuk pembahasan pada kekerasan simbolik perlu adanya
analisis struktur. Pierre Bourdieu menyebutnya dengan strukturasi kekuasaan yang
mencakup modal, kelas, habitus, arena, kekerasan dan kekuasaan.
1.6.2.1.1 Modal
Dalam pemikiran Bourdieu, modal bukan berarti tentang uang saja seperti
dalam istilah ekonomi. Namun lebih luas dari hal tersebut, modal berarti sebuah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
hasil kerjayang terakumulasi dan terjiwai dalam diri seseorang (Martono, 2013:
32), sehingga dapat dipahami bahwa yang dimaksudkan modal oleh Bourdieu
adalah hal yang tidak hanya bersifat materi namun juga bersifat nonmateri. Hal
tersebut sangat penting karena akan menentukan posisi seseorang atau kelompok
dalam struktur sosial.
Ada empat modal yaitu; modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan
modal simbolik. Modal ekonomi adalah modal yang berkaitan dengan uang dan
warisan yang bisa diteruskan untuk generasi selanjutnya. Modal sosial adalah
modal bersama yang membuat adanya jaringan hubungan. Misalnya seperti
keluarga, suku, sekolah. Selanjutnya, modal budaya adalah kemampuan seseorang
dalam sikap, cara bertutur kata, berpenampilan, cara bergaul, dan sebagainya.
Sedangkan modal simbolik adalah sesuatu yang dikenali dan diakui secara natural,
seperti; tempat tinggal, hobi, tempat makan, dan sebagainya (Martono, 2013: 33).
1.6.2.1.2 Kelas
Pemikiran Bourdieu memang dipengaruhi juga oleh Karl Marx sehingga
dia juga menggunakan istilah kelas yang dimaknai sebagai sebuah individu yang
menempati posisi atau kedudukan yang sama. Dalam hal ini Bourdieu juga
menggunakan istilah selera(Martono, 2013: 34).
Menurut Bourdieu setiap kelas memiliki sikap, selera, kebiasaan, perilaku
atau modal yang berbeda. Perbedaan inilah yang akhirnya menyebabkan lahirnya
hubungan antarkelas yang tidak seimbang. Kemudian peranan sosial yang
dimainkan tersebut bisa melahirkan selera yang berbeda-beda.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
Ada tiga kelas menurut Bourdieu, yaitu: kelas dominan, kelas borjuasi
kecil, dan kelas populer. Kelas dominan adalah pemilikan modal yang cukup
besar sehingga membedakan dirinya dengan yang lain. Kelas dominan juga
memaksakan pandangannya tentang yang baik dan yang buruk. Selanjutnya kelas
borjuasi kecil adalah kelas yang berada di tengah-tengah dan memiliki keinginan
untuk naik ke kelas yang lebih tinggi. Menaiki kelas lebih penting daripada
memaksakan pandangan. Sedangkan kelas populer adalah kelas yang tidak
memiliki modal baik ekonomi, budaya, maupun simbolik. Kelas ini seperti tidak
memiliki posisi tolak terhadap kelas dominan yang memaksakan idenya.
1.6.2.1.3 Habitus
Habitus dapat dirumuskan sebagai sebuah sistem disposisi-disposisi
(skema-skema persepsi, pikiran, dan tindakan yang diperoleh dan bertahan lama).
Habitus juga merupakan gaya hidup, nilai-nilai, watak, dan harapan kelompok
sosial tertentu (Martono, 2013: 36).
Habitus bisa dikatakan sebagai ketidaksadaran-kultural, yaitu pengaruh
sejarah yang dianggap alamiah. Habitus juga memungkinkan manusia hidup
dalam keseharian mereka secara spontan dan melakukan hubungan dengan pihak-
pihak di luar dirinya. Habitus hanya menyarankan apa yang harus dipikirkan dan
tindakan apa yang seharusnya dipilih (Takwin, 2003: 115).
Ada lima konsep dasar habitus, yaitu; habitus sebagai sebuah pengondisian
yang dikaitkan dengan syarat-syarat keberadaan suatu kelas; habitus merupakan
hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktisyang kemudian diterjemahkan
menjadi sebuah kemampuan, yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
lingkungan sosial tertentu; habitus merupakan kerangka penafsiran dan menjadi
dasar kepribadian individu; habitus merupakan nilai atau norma dalam
masyarakat yang menjadi etos untuk menjadi cerdas, ulet, tekun, rajin dan juga
dalam bentuk cara berjalan, mudah bergaul, mata memandang ke bawah, dan
sebagainaya; habitus bisa memposisikan diri di dalam kelas sosial.
Jadi setiap kelas memiliki habitusyang berbedadan kelas dominan akan
selalu memaksakan habitusnya untuk menguasai kelas terdominasi (Martono,
2013: 38).
1.6.2.1.4 Arena
Konsep habitus tidak dapat dipisahkan dari arena atau ranah karena
keduanya memiliki hubungan yang sangat erat dan saling mempengaruhi. Habitus
mendasari terbentuknya ranah, sementara di lain pihak ranah menjadi lokus dari
kinerja habitus. Bourdieu melihat arena, menurut definisinya sebagai arena
pertempuran, arena juga merupakan arena perjuangan. Arena adalah sejenis pasar
kompetitif yang di dalamnya terdapat berbagai jenis modal, seperti modal
ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik.
Arena adalah ruang yang ada di dalam masyarakat. Arena seperti sepotong
kecil dunia sosial, sebuah jagat penuh mufakat yang bekerja secara otonom
ddengan hukum-hukumnya sendiri. Ada beragam arena, seperti arena pendidikan,
arena bisnis, arena seniman, dan arena politik. Arena juga merupakan tempat di
mana orang bermanuver dan berjuang dalam mengejar sumber daya yang
didambakan (Rusdiarti, 2003: 34).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
Siapa saja yang ingin masuk ke dalamnya harus memahami “aturan main”
yang berlaku di jagat mufakat ini, karena jagat ini juga merupakan sebuah arena
pertarungan, arena adu kekuatan, sebuah medan dominasi dan konflik antar
individu, antarkelompok demi mendapatkan posisinya (Rusdiarti, 2003: 34).
1.6.2.1.5 Kekerasan dan Kekuasaan
Bourdiou berpendapat bahwa kekerasan merupakan pangkal dari hasil
kekuasaan. Ketika sebuah kelas mendominasi kelas yang lain, maka di dalam
proses dominasi tersebut akan menghasilkan sebuah kekerasan. Jadi kekerasan
dan kekuasaan adalah dua konsep yang tidak dapat dipisahkan.
Kelas dominan berupaya agar aksi kekerasannya tidak mudah untuk
dikenali. Akhirnya kekerasan yang dilakukan bukanlah kekerasan fisik semata
sehingga kelas terdominasi tidak merasakan bahwa dia mendapat kekerasan.
1.6.2.2 Kekerasan Simbolik
Secara bergantaian Bourdieu menggunakan istilah kekerasan simbolik,
kuasa simbolik, dan dominasi simbolik untuk menunjuk hal yang sama.
Kekerasan simbolik adalah kekerasan yang tidak dirasa sebagai sebuah
kekerasan. Kekerasan ini juga merupakan kekerasan yang dilakukan secara paksa
dan kekerasan ini mempunyai mekanisme „penyembunyian kekerasan‟ yang
akhirnya disadari „yang memang seharusnya demikian” (Martono, 2013: 40).
Kekerasan simbolik adalah kekerasan yang sangat halus, kekerasan yang
dikenakan pada agen-agen sosial tanpa mengundang resistensi, malah sebaliknya
mengundang konformitas sebab sudah mendapat legitimasi sosial karena
bentuknya yang sangat halus (Takwin, 2003: 116).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
1.6.2.2.1 Eufemisme
Eufemisme membuat kekerasan simbolik menjadi tidak nampak, bekerja
sangat halus, tidak dapat dikenali, dan dapat dipilih secara tidak sadar. Bentuk
Eufimisme dapat berupa kepercayaan, kewajiban, kesetiaan, sopan santun,
pemberian, utang pahala, dan belas kasihan (Martono, 2013: 40).
1.6.2.2.2 Mekanisme Sensorisasi
Mekanisme Sensorisasi menjadikan kekerasan simbolik nampak sebagai
bentuk sebuah pelestarian semua bentuk nilai yang dianggap sebagi moral
kehormatan, seperti: kesantunan, kesucian, kedermawanan, dan sebagainya yang
biasanya dipertentangkan dengan moral yang rendah, seperti; kekerasan, kriminal,
ketidakpantasan, asusila, kerakusan, dan sebagainya (Martono, 2013: 40).
1.6.2.2.3 Menciptakan Dunia
Pelaku sosial dapat menciptakan atau menghancurkan, memisahkan atau
menyatukan, dan yang lebih penting lagi dengan menggunakan kekerasan
simbolik, ia dapat membuat definisi maskulin atau feminim, kuat atau lemah, baik
atau buruk, benar atau salah (Martono, 2013: 40).
1.7 Metode Penelitian
Penulis akan menggunakan beberapa pendekatan yang dapat membantu
dalam penelitian ini. Selanjutnya untuk metode penelitiannya akan ada beberapa
tahapan. Penelitian ini akan melewati beberapa tahap seperti pengumpulan data,
analisis data, dan penyajian data.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
1.7.1 Pendekatan Penelitian
Penulis akan menggunakan pendekatan sosiologis. Menurut Ratna (2004:
60) dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara
karya sastra dan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan
oleh: a) karya sastra dihasilkan oleh pengarang, b) pengarang itu sendiri adalah
anggota masyarakat, c) pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam
masyarakat, dan d) hasil karya itu dimanfaatkan oleh masyarakat.
Selanjutnya, penulis juga akan menggunakan pendekatan objektif karena
sangat erat dengan teori-teori yang menggunakan konsep dasar struktur.
Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang terpenting sebab pendekatan apa
pun yang dilakukan bertumpu atas karya sastra itu sendiri (Ratna, 2004:73).
1.7.2 Metode Penelitian
Penulis akan menggunakan tiga tahapan yaitu: a) pengumpulan data, b)
analisis data, c) penyajian data.
Pengumpulan data menggunakan metode studi pustaka. Hal ini adalah hal
yang paling bisa untuk dijangkau penulis karena data-data yang ada sudah cukup
untuk menganalisis karya ini. Buku-buku referensi dan buku-buku penunjang
dalam penelitian ini juga sudah ditemukan.
1.7.3 Metode Analisis Data
Dalam analisis data yang digunakan adalah analisis isi. Metode analisis isi
akan membantu memecahkan masalah yang ada dengan cara mencari pesan yang
ada di dalam karya sastra tersebut dengan landasan berpikir Pierre Bourdieu
dalam teori strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
1.7.4 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Data yang ada akan disajikan dengan deskriptif kualitatif yaitu
mendeskripsikan analisis ke dalam kalimat-kalimat. Isi dari deskripsi ini adalah
analisis mengenai strukturasi kekasaan yang ada di dalam ketiga cerpen SCB.
Selanjutnya, akan disajikan pula kekerasan simbolik yang ada di dalam ketiga
cerpen SCB.
1.7.5 Sumber Data
Karya sastra yang menjadi objek penelitian adalah kumpulan cerpen
dengan identitas sebagi berikut:
Judul Buku : Hujan Menulis Ayam
Pengarang : Sutardji Calzoum Bachri
Tahun Terbit :2001
Penerbit : Indonesiatera
Halaman : 94
Dalam buku kumpulan cerpen tersebut hanya akan diteliti tiga cerpen,
yaitu: “Ayam,” “Suatu Malam Suatu Warung,” dan “Tahi.”
1.8 Sistematika Penyajian
Penelitian ini akan dilaporkan dalam bentuk yang sistematis ke dalam bab-
bab. Setiap bab memiliki peranannya masing-masing untuk menyajikakan sesuatu
yang berkaitan dengan penelitian. Pada dasarnya penelitian ini akan di bagi
menjadi tiga bagian besar, yaitu: bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
Pada bagian awal berisi satu bab yang di dalamnya terdapat beberapa sub
bab. Bagian awal adalah Bab I yang memberikan pendahuluan untuk penelitian
ini. Bab I berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan,
manfaat hasil penulisan, tinjauan pustakan, landasan teori, pendekatan dan metode
penelitian, dan sistematika penyajian.
Pada bab II berisi tentang pemahaman karya sastra dengan cara
membedah unsur karya sastra dan mendeskripsikan strukturasi kekuasaan yang
ada di dalam ketiga cerpen yang dipilih. Selanjutnya bab III berisi tentang
kekerasan simbolik yang ada di dalam karya menurut teori dari Pierre Bourdieu.
Bagian akhir berisi penutup dari penelitian ini. Penulis akan membuat
kesimpulan dari seluruh hasil analisis dalam cerpen yang sudah dipilih dari
kumpulan cerpen Hujan Menulis Ayam karya SCB.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
BAB II
STRUKTURASIKEKUASAAN
DALAM CERPEN “AYAM”,
“SUATU MALAM SUATU WARUNG”, DAN “TAHI”
DALAM KUMPULAN CERPENHUJAN MENULIS AYAM
KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI
2.1 Pengantar
Ada pilar-pilar penting untuk membahas kekerasan simbolik menurut
perspektif Pierre Bourdieu. Dalam bab ini akan dibahas mengenai pilar-pilar
penting yang ada di dalam kumpulan cerpen Hujan Menulis Ayamkarya SCB.
Pembahasan akan mencakup permasalahan mengenai modal, kelas, habitus,
arena, kekuasaan dan kekerasan.
Pembahasan tersebut dilakukan sebagai pintu masuk dan dasar untuk
meneliti lebih jauh tentang kekerasan simbolik yang ada di dalam kumpulan
cerpen Hujan Menulis Ayamkarya SCB. Permasalahan mengenai modal, kelas,
habitus, arena, kekuasaan dan kekerasan juga mejadi cara untuk menjabarkan dan
memilah hal-hal yang ada di dalam cerpen karya SCB tersebut. Cerpen-cerpen
yang akan dianalisis yaitu cerpen “Ayam,” “Suatu Malam Suatu Warung,” dan
“Tahi.”
Pembahasan mengenai modal dilakukan terlebih dahulu karena modal
merupakan hal yang sangat vital untuk menentukan posisi kelas. Setelah itu, bila
pembagian kelas sudah terbentuk maka akan dianalisis habitus yang ada dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
bagaimana keberadaanya di dalam sebuah arena. Kemudian bab ini akan ditutup
dengan pembahasan mengenai kekuasaan dan kekerasan yang ada di dalam
kumpulan cerpen Hujan Menulis Ayam karya SCB, yaitu cerpen “Ayam,” “Suatu
Malam Suatu Warung,” dan “Tahi.”
2.2 Modal
Modal menurut perspektif Pierre Bourdieu adalah hal yang bukan saja
bersifat materi namun juga dapat berupa nonmateri. Modal menjadi dasar bagi
tiap-tiap orang untuk menentukan posisinya di dalam masyarakat. Semakin
banyak modal yang dimiliki oleh manusia maka akan semakin bagus juga
posisinya di dalam arena perjuangan.
Modal dibagi menjadi empat jenis, yaitu: modal ekonomi, modal sosial,
modal budaya, dan modal simbolik. Masing-masing modal memiliki peranannya
masing-masing di dalam sebuah arena. Dalam arena yang satu mungkin orang
akan membutuhkan modal budaya namun di dalam arena yang lain modal
ekonomi diperlukan. Posisi pelaku di dalam lingkup kelas-kelas sosial tergantung
pada kepemilikan jumlah besarnya struktur modal mereka (Haryatmoko, 2003:
12).
2.2.1 Modal Ekonomi
Modal ekonomi bukan hanya berkaitan dengan uang saja melainkan bisa
mencangkup alat-alat produksi, materi dan harta yang dengan mudah dapat
diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
Dalam cerpen “Ayam” ayah Sasi adalah orang yang memiliki modal
ekonomi paling banyak. Dia bisa melakukan banyak hal dengan uang yang dia
miliki. Ayah Sasi bisa membelikan Sasi sebuah boneka kelinci kepadanya.
Sasi, anakku, langsung menyambar kelinci raksasa, dan tak
nampak kecewa karena sepatu kebesaran. Sambil
menggendong kelinci ia ikut membantu ibunya
membongkar kopor (Bachri, 2001:71).
Dia juga bisa membelikan oleh-oleh berupa barang-barang serta kurma
untuk istrinya walaupun bukan merupakan barang yang mahal.
“Ah made in China,” kata istriku ketawa, “Jauh-jauh dari
Baghdad masak bawa made in China.”
“Orang Irak Cuma bikin minyak dan kurma. Yang murah-
murah buatan Cina dan Bangladesh,” aku bilang.
“Masak kau tak bisa cari barang yang khas Irak, yang tak
usah mahal-mahallah” (Bachri, 2001:71).
Kemudian hal-hal yang berkaitan dengan modal ekonomi ayah Sasi
ditunjukkan dengan membelikan Sasi dua ekor anak ayam. Hal menarik terjadi di
tengah-tengah cerita ketika ayah Sasi hendak membuang ayam ke sungai. Di sana
ayah Sasi menjumpai orang-orang yang hidupnya sangat miskin sekali bahkan
mereka hendak meminta ayam yang sudah mati tersebut untuk dimakan.
“Kasih kami saja, Pak,” ujar salah seorang di antaranya.
“Mubazir, Pak, kalau dibuang,” ujar yang lain.
“Ayamnya sudah mati,” aku bilang.
“Justru itu, Pak,” kata yang paling tua. Matanya rusak
sebelah, pernah kena penyakit agaknya.
Mereka mendekat dan ingin menggapai kantung plastik itu
(Bachri, 2001:79).
Namun, ayah sasi tidak memberikan ayam tersebut melainkan mengambil
uang seribu rupiah untuk diberikan kepada orang yang hidup di pinggiran sungai
itu karena ketika dia sempat melemparkan ayam itu ke sungai, orang-orang
tersebut melompat untuk mendapatkan bangkai ayam itu. Lantas hal itu membuat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
ayah Sasi marah dan memberikan uang kepada mereka. Kemudian ayam itu
dibawa pulang kembali.
Aku raba saku celana, aku keluarkan uang seribu itu. Aku
raba saku-saku, yang lain juga saku kemejaku. Aku
memang masih ingat aku bawa uang seribu. Tapi, dalam
keadaan begini aku benar-benar mengharapkan keajaiban.
Hanya seribu itulah aku serahkan kepada wanita kuyu itu.
Aku bawa bangkai ayam itu pergi(Bachri, 2001:80).
Dalam cerpen tersebut ayah Sasi memiliki modal ekonomi paling tinggi.
Dia juga bersama tetangga-tetangga komplek rumahnya yang biasa menyuruh
orang-orang untuk membantu mereka dengan memberikan upah. Sedangkan
orang-orang pinggiran sungai tersebut tidak memiliki harta apapun. Bahkan
mereka masih kebingungan untuk mencari makan sampai tubuhnya menjadi
sangat kurus.
Sampai di rumah, aku lihat pohon akasia di samping pagar
sudah habis dahan-dahannya. Tinggal batang saja yang
mencuat dengan beberapa helai daun di dahan kecil.
“Aku suruh mereka potong dahan-dahan itu, baru aku beri
ayam dan seribu perak. Soalnya kalau langsung terima
ayam dan seribu perak, tidak potong pohon, bisa kesedapan.
Jangan dinampakkan bahwa kita mudah diteror dengan
kemelaratan mereka,” ujar istriku(Bachri, 2001:80).
Sementara di dalam cerpen “Suatu Malam Suatu Warung,” para
senimanlah yang mempunyai modal ekonomi paling baik daripada pemilik
warung maupun pelacur yang mereka godai. Ketiga seniman itu setidaknya
memiliki modal ekonomi yang lebih baik walaupun mereka mengukur
keberhasilannya dengan karya yang mereka miliki namun kepemilikan uang
membuat mereka masih bisa menikmati minuman dalam warung yang masih buka
sampai sangat malam dan membayari pelacur yang duduk-duduk di sana.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
Ketika para seniman tersebut terlibat di dalam sebuah obrolan, mereka
sampai kepada obrolan bahwa salah satu dari penyair tersebut tidak takut sipilis.
Hal itu membuat mereka menantang temanya tersebut. Keberaniannya dibuktikan
dengan mencengkeram pangkal paha pelacur itu. Kepemilikan uang membuat
seniman itu berani berbuat semaunya.
“Tidak, aku tidak takut sipilis. Aku tidak takut gonorrheoa,”
kata Nahar. Dia mencengkam cepat-cepat pada antara dua
pangkal paha pelacur tua itu. Pelacur itu menjerit, “Au,”
kemudia ketawa kecil,”Ha...ha...” (Bachri, 2001:21).
Kemudian cerita dilanjutkan dengan masalah uang lagi. Kalimat bayarkan
muncul berkali-kali. Hal itu menunjukkan modal ekonomi para seniman tersebut
jauh dibandingkan pelacur tua itu.
“Aku tak takut sipilis,” kata Nahar, “Kau bayarkan aku,
Man. Biar aku main dengannya.”
“Aku tak sipilis,” kata pelacur tua itu (Bachri, 2001:22).
“Bayarkan dia, Man,” kata Amir, biar dia rasa sipilis itu
apa.”
“Aku tak sipilis!” pelacur itu marah dan marahnya datang
sendirian (Bachri, 2001:22).
“Aku tak peduli kau sipilis atau tidak. Aku berani main
dengan kau. Bayarkan aku, Man,” kata Nahar.
“Aku memang tak sipilis,” kata si pelacur itu lagi (Bachri,
2001:22).
“Aku tak peduli kau sipilis atau tidak. Aku berani main
dengan kau. Bayarkan aku, Man,” kata Nahar.
“Aku memang tak sipilis,” kata si pelacur itu lagi (Bachri,
2001:22).
“Aku tak sipilis. Aku tak gonorwa. Aku tak pernah sakit,”
dia menjerit kuat-kuat agar air di matanya ta kelihatan.
“Ayolah main, katanya pada Nahar.
“Bayarkan aku, Man,” kata Nahar.
“Tak usah bayar,” kata pelacur itu, “Aku tak sakit” (Bachri,
2001:24).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
Walaupun setelah itu mereka tidak melakukan apapun namun hal itu
membuat pelacur itu marah dan pergi. Mereka kemudian membayarkan makanan
yang sudah pelacur tua itu nikmati walau mereka tidak menikmati pelacur itu.
Modal ekonomi yang tidak terlalu kuat juga membuat pemilik warung tidak bisa
berbuat apa-apa. Dia hanya diam melihat pelacur tua itu menjadi ejekan para
seniman tersebut. Setidaknya ejekan itu tidak menimpanya karena pelacur tua
itulah yang memiliki modal ekonomi paling jelek di dalam cerpen tersebut.
Selanjutnya di dalam cerpen “Tahi,” hanya ada dua tokoh yang terlibat di
dalam jalannya cerita. Ada tokoh yang memiliki modal paling baik dan yang
satunya lagi tidak memilikinya, bahkan hanya untuk makan harus meminta kepada
tokoh yang memiliki modal ekonomi yang lebih baik tersebut. Walaupun tokoh
yang lebih baik di dalam cerita ini juga harus menghutang untuk menghidupi
dirinya. Masalah uang kembali menjadi hal yang ditonjolkan di dalam cerita ini.
Aku sampai di tengah kota dan matahari tepat di atasnya.
Orang ramai di trotoar, lalu dan lewat. Dia menyapaku kuat-
kuat karena suara orang banyak di sekitar.
“Hei, ke mana kau?” katanya.
“Ke mana, kau?” kataku. “Aku cari-cari rejeki,” kataku
pula.
“Aku mau ke rumah kau. Rejeki apa?” katanya.
“Cari-cari kawan yang bisa dipinjami uangnya”(Bachri,
2001:30).
Kepemilikan uang membuatnya masih bisa makan sedangkan orang yang
ditemui di trotoar itu yang tentunya sudah akrab dengan belas kasihannya
membuatnya peduli untuk memberi makan.
“Aku lapar, sudah empat hari tidak makan,” katanya.
“Ada nasi di rumahku,” kataku.
“Ada?”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
“Ada! Di dapur, dalam rantang ditutup koran.”
Dia mengulurkan tangannya yang kering kurus coklat
berdaki. Jari-jarinya cepat menangkap kunci yang
kuberikan. Dia pergi. Aku pergi. Kami berpisah (Bachri,
2001:31).
Orang yang kelaparan tersebut akhirnya memakan tahi yang dirasanya
seperti nasi goreng yang sudah basi. Mungkin tokoh tersebut sudah terbiasa
dengan nasi yang sudah basi. Hal-hal itu hanya dekat dengan orang yang memiliki
modal ekonomi yang buruk di dalam masyarakat.
Di akhir cerita, orang yang memakan tahi di dalam rantang berkarat
tersebut diberi rokok dan uang oleh tokoh yang memiliki modal ekonomi lebih
baik walaupun uang itu hanya cukup untuk digunakan membeli kopi.
Kuberikan rokok. Seorang sahabat telah memakan
serantang penuh tahiku. Aku akan memberikan segalanya
pada sahabatku.
Dua batang rokok sudah habis diisapnya, dan pada batang
rokok yang ketiga dia mau pulang.
“Kau mau?” kataku. Kugenggamkan semua uangku
padanya.
“Jangan semua,” katanya, “Beri aku hanya untuk kopi saja.”
(Bachri, 2001:33).
Kemudian tokoh yang memiliki modal ekonomi paling baik di dalam
cerita itu masih bisa mengatakan bahwa besok dia akan mendapat uang dari Syam
, salah seorang temannya meskipun itu adalah hal yang bohong. Sedangkan tokoh
yang baru saja memakan tahi dalam rantang tersebut dengan bercanda ingin
meminta uang kepadanya pada besok hari.
Ambilah semuanya,” kataku.
“Ah, jangan. Kau nanti bagaimana?” katanya.
“Besok pagi-pagi Syam datang kemari. Dia janjikan uang
untukku,” kataku, berbohong.
“Kalu begitu, besok saja aku minta lagi uangmu,” katanya,
ketawa. Dia tahu aku bohong.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
Dia memasukkan ke sakunya uang yang dikiranya cukup
untuk kopi. Dia pergi (Bachri, 2001:33).
Dari ketiga cerpen tersebut terlihat bagaimana modal ekonomi tiap-tiap
orang atau kelompok masyarakat sangat beragam. Cerpen-cerpen tersebut lebih
menonjolkan modal ekonomi dalam bentuk uang. Bagaimana digambarkan
dengan uang orang bisa membeli dan membayar, bahkan memberi. Sedangkan
tokoh yang memiliki modal ekonomi kurang bagus hanya bisa menerima.
2.2.2 Modal Sosial
Modal sosial bisa berupa keluarga, suku, dan sekolah. Termasuk di
dalamnya ialah hubungan-hubungan dan jaringan hubungan-hubungan yang
merupakan sumber daya yang berguna di dalam penentuan dan reproduksi
kedudukan sosial (Haryatmoko, 2003:12).
Dalam cerpen SCB yang berjudul “Ayam,” terlihat mencolok dalam
beberapa tokoh yang mempunyai modal sosial yang bagus di dalam masyarakat,
terutama ayah Sasi. Ayah Sasi adalah seorang seniman dari sebuah keluarga yang
tidak berkekurangan dan memiliki hubungan yang baik dengan tetangga. Kejadian
itu nampak ketika tetangganya menawarkan kandang untuk ayam yang ingin
dimiliki Sasi.
“Ah, janji anak-anak lima tahun, tahu sendirilah, jadi aku
tetap bertahan,” kata istriku. “Celakanya, ibu tina lewat.
Mendengar alasanku padda Sasi, kita tak punya kandang
untuk ayam, lantas saja ibu Tina bilang, ia punya sangkar
burung yang tak dipakai, ambil sajalah untuk Sasi, katanya
(Bachri, 2001:73).
Selain itu ayah Sasi juga orang yang berpendidikan. Hal itu dibuktikan
dengan beberapa hal yang ada di dalam cerpen tersebut. Salah satu hal itu ketika
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
dia bisa sampai keluar negeri sebagi seorang penyair. Di sana dia bisa melihat
teater pula bersama temannya, Taufiq Ismail.
Maksudku, sambil duduk-duduk di bawah pohon kurma,
menunggu teman-teman yang sedang asik menonton
pembacaan sajak di teater arena Babylon, aku pungut buah
kurma yang terus berjatuhan di bawah matahari yang tak
terlalu panas. Aku pikir, bijinya nanti bisa ditanam untuk
kenang-kenangan. Malam harinya, di lobi hotel, kawanku
penyair Taufiq Ismail bilang, daerah yang kami kunjungi itu
dulunya kawasan Nabi Sulaiman (Bachri, 2001:72).
Ayah Sasi juga memiliki teman-teman yang bekerja di sebuah kantor di
dekat Taman Ismail Marzuki. Teman-temannya tersebut adalah orang-orang
bekerja di di dalam bidang periklanan. Ada pula seniman-seniman. Orang-orang
menghargainya.
Beberapa sahabatku, para seniman, sastrawan, penyair
mendirikan usaha yang mereka namakan “multi-media
advertising” di sini (Bachri, 2001:82).
Sementara di dalam cerpen “Suatu Malam Suatu Warung,” juga tidak jauh
berbeda dengan yang ada di dalam cerpen “Ayam.” Di sana ada sekelompok
penyair yang memiliki modal sosial lebih tinggi ketimbang pelacur maupun
pemilik warung.
Penyair-penyair itu jelas memiliki kedudukan sosial yang tinggi karena
pendidikan mereka. Sedangkan pemilik warung itu terlihat tidak memiliki
kedudukan sosial yang juga tinggi walaupun dia memiliki warung. Pemilik
warung itu harus berjaga sampai larut malam dan warungnya adalah tempat
tongkrongan pelacur tua.
Tiga orang lelaki muda dan seorang pelacur tua duduk di
depan meja sebuah warung. Warung itu muram karena
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
lampunya muram dan sumbunya kecil pula di pasang.
Sedang malam sudah larut dan bulan di luar sebelah saja
sudah kelihatan (Bachri, 2001:19).
Penyair-penyair itu bercanda layaknya sebuah keluarga yang saling
memahami dan saling membantu. Pergaulan mereka tampak terasa dan
menunjukkan kedudukan sosal mereka memang lebih tinggi dibandingkan tokoh
lainnya yang ada di dalam cerita tersebut. Ketika pelacur tua itu sedang dalam
masalah ketika dituduh menderita sipilis, dia hanya bisa menangis dan pergi. Dia
tidak punya kekuatan karena kelas sosialnya memang tidak memungkinkan untuk
melakukan perlawanan.
“Aku tak sakit tak sakit tak sakit!” Pelacur itu menangis dan
tomat yang mau busuk itu pecah sekarang. Dia keluar
berlari ke jalan sambil memaki-maki dalam malam yang
muram (Bachri, 2001:24).
Selanjutnya di dalam cerpen “Tahi,” perbedaan modal sosial ditunjukkan
dalam lingkungan pergaulan yang berbeda. Lingkungan pergaulan itu membentuk
setiap tindakan tokoh. Salah satu tokoh yang memiliki modal sosial yang tinggi
masih bisa mendapatkan uang dari sahabat-sahabat yang berada dalam posisi yang
baik dalam masyarakat. Sedangkan tokoh yang lainnya yang memiliki modal
sosial kurang baik hanya bisa meminta pertolongan dan membutuhkan uluran
tangan atau bantuan.
Ambilah semuanya,” kataku.
“Ah, jangan. Kau nanti bagaimana?” katanya.
“Besok pagi-pagi Syam datang kemari. Dia janjikan uang
untukku,” kataku, berbohong.
“Kalu begitu, besok saja aku minta lagi uangmu,” katanya,
ketawa. Dia tahu aku bohong.
Dia memasukkan ke sakunya uang yang dikiranya cukup
untuk kopi. Dia pergi (Bachri, 2001:33).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
Dalam ketiga cerpen di atas sebenarnya keberadaan modal sosial tidak
ditunjukkan secara eksplisit. Bagaimana keluarga, suku, atau sekolah mereka.
Akan tetapi posisi mereka dalam masyarakat menunjukkan bahwa ada orang-
orang atau kelompok yang memiliki modal sosial paling baik di dalam
masyarakat. Hampir semuanya ditunjukkan dengan adanya pendidikan yang lebih
baik ketimbang tokoh yang memiliki modal sosial kurang baik. Selain itu juga
ditunjukkan perbedaan posisi mereka dengan relasi yang mereka dalam
lingkungan sosial.
2.2.3 Modal Budaya
Modal budaya meliputi cara orang dalam bertindak, bersikap, dan
berpenampilan dalam masyarakat. Termasuk modal budaya yaitu ijazah,
pengetahuan yang sudah diperoleh, kode-kode budaya, cara berbicara,
kemampuan menulis, cara pembawaan, sopan santun, cara bergaul, dan
sebagainya yang berperan di dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-
kedudukan sosial.
Dalam cerpen SCB yang berjudul “Ayam,” modal budaya tiap tokoh
terlihat sangat berbeda. Hal itu menunjukkan bagaimana sebenarnya posisi
mereka di dalam masyarakat berbanding dengan modal budaya yang mereka
miliki masing-masing dan mereka hidupi.
Ayah Sasi adalah tokoh yang memiliki pengetahuan yang luas. Dia bisa
paham tentang sejarah. Dia mengerti tentang produk-produk yang berkualitas.
“Orang Irak Cuma bisa bikin minyak dan kurma. Yang
murah-murah buatan Cina dan Bangladesh,” aku bilang.
“Masak kau tak bisa cari barang yang khas Irak, yang tak
usah mahal-mahallah (Bachri, 2001:71).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
Jelas, dong, itu kan kurma Nabi Sulaiman,” jawabku.
“Lima ribu tahun yang lalu, kata Taufiq, Nabi Sulaiman
sering gentayangan di tempat kurma ini ditanam, jadi aku
kira tentulah nenek moyang kurma ini pernah memberi
makan Nabi Sulaiman,” aku bilang (Bachri, 2001:72).
Dia juga memiliki cara bergaul yang sangat kelas. Dia bisa menonton
pembacaan sajak dengan teman-temannya di teater arena Babylon.
Maksudku, sambil duduk-duduk di bawah pohon kurma,
menunggu teman-teman yang sedang asik menonton
pembacaan sajak di teater arena Babylon, aku pungut buah
kurma yang terus berjatuhan di bawah matahari yang tidak
terlalu panas (Bachri, 2001:72).
Sikapnya juga menunjukan bahwa dia memiliki modal budaya yang baik,
ditunjukkan dengan pola perilakunya dalam menghadapi situasi.
Bangun dinihari, mulai satu jam dari yang dianjurkan guru
spiritualku. “Life begins at two o’clock in the morning,”
kata guru yang memang bahasa Inggris. “Boleh nggak aku
tawar, “aku bilang. Dia tersenyum, aku ketawa. Lantas
mulailah aku membiasakan diri bangun jam tiga pagi,
duduk menghadap meja, dan menghujani kompleks dengan
bunyi mesin ketikku. Kalau kadang tak ada yang bisa
diketik, aku membaca. Jika tak ada yang bisa aku baca, aku
menyanyi-nyanyi atau bersiul-siul sampai pagi (Bachri,
2001:75).
Sudah menjadi kebiasaanku, sebelum pergi ke luar rumah,
duduk-dudk santai dahulu di depan rumah, membaca koran
ata majalah (Bachri, 2001:77).
Bahkan ketika menuju tempat teman-temannya di daerah Taman Ismail
Marzuki, dia sempat membaca majalah di dalam bus.
Sambil menyandang tas aku pun keluar rumah. Setelah
akhirnya dapat tempat duduk di dalam bus, aku ambil
majalahdan mulai membaca di samping seorang mahasiswi
yang sedang asik mengisi teka-teki silang (Bachri,
2001:81).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
Ayah Sasi menunjukkan bagaimana dia bersikap terhadap orang lain
dengan beberapa kejadian. Dia nampak seperti orang yang memiliki perilaku
budaya yang sangat baik dalam masyarakat. Pertama, saat dia hendak ingin
membunuh ayam milik Sasi yang sering berak dan merepotkan dirinya karena
harus membersihkan kotorannya namun di sisi lain dia juga mash mengobatinya
ketika ayam itu sakit.
Setiap pagi setelah mengetik, kedua anak ayam mulai
berciap-ciap menggantikan bunyi mesin ketikku. Sambil
memberikan makanan dan menuangkan air di tempat
minumannya, aku berharap kedua binatang ini cepat saja
mati. Tentu aku bisa memencet dengan kedua jariku dan
matilah. Tapi, cara begitu tidak begitu cocok dengan
perangaiku (Bachri, 2001:73).
Kedua ayam itu telah besar dan sudah saatnya untuk
dipotong. Tapi, tak ada niatku untuk memotong.
Memelihara ayam potong untuk tidak dipotong memang
kurang masuk akal. Namun begitulah, ketika seekor ayam
itu sakit, aku mencoba menyembuhkannya. Aku masukkan
kapsul ampiclox 500 miligram sisa-sisa waktu aku sakit
dahulu(Bachri, 2001:78).
Kedua, ketika dia hendak membuang ayam ke sungai dan berhadapan
dengan orang-orang misin yang hidup di pinggir sungai.
Aku ingin memakinya. Tetapi kainnya yang kuyup gemetar,
kutangnya yang keriput dan basah, matanya yang kosong
menatap, menyumpal mulutku. Aku raba saku celana, aku
keluarkan uang seribu itu. Aku raba saku-saku yang lain
juga saku kemejaku. Aku memang ingat aku bawa uang
seribu itu. Tapi, dalam keadaan seperti ini aku benar-benar
mengharapkan keajaiban. Hanya seribu itulah yang aku
serahkan kepada wanita kuyu itu (Bachri, 2001:80).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
Ketiga, ketika dia merasa bersalah membuang bangkai ayam itu di temat
sampah kantor sahabatnya sehingga ayam itu diambil oleh pembantu di dalam
kantor itu untuk dikonsumsinya.
“Pemalu juga rupanya Pak Abdul itu. Dia malu-malu kalau-
kalau kita tak mau terima. Jadi berlagak nyentrik dan pura-
pura pikun, dia taruh saja di keranjang sampah.” “Ah, bukan
pemalu. Bijak kok. Coba kalau di rumah langsung
nyodorkan ayam mati kepada kita, tentu dia takut kalau-
kalau kita tersnggung. Omong-omong enak juga ya. Masih
ada nggak sisanya?” “kan sudah aku bawa pulang.”
Tiba-tiba kencingku terhenti. Aku sentakkan pint toilet
pergi ke Abdul, ingin membisikkan maafku dan
menceritakan segalanya (Bachri, 2001:84).
Sedangkan tokoh-tokoh lain seperti orang-orang yang hidup dipinggiran
sungai itu memiliki modal budaya yang kurang baik di dalam tatanan masyarakat.
Terlihat dari bagaimana mereka bersikap dan berpakaian.
Dari semak-semak di seberang muncul tubuh wanita
kerempeng dengan kutang yang kumal. Ia menatap ke
arahku dan remang-remang kelihatan nasib membikin dia
lebih tua daripada usianya. Pastilah istri salah satu orang-
orang ini, pikirku (Bachri, 2001:80).
Ia baru saja menaiki tebing sungai. Erat-erat dipelukknya
kantung plastik itu. Aku rampas saja. Ia tak mengiba. Tak
meronta. Tak menangis Cuma terperangah. Agaknya ia tak
menyangka ada orang yang begitu hebat membela bangkai
ayam (Bachri, 2001:80).
Ada juga ibu-ibu pegawai yang biasanya membuat kopi untuk para
karyawan. Mereka melakukan tindakan-tindakan yang terlihat tidak memiliki
modal budaya yang baik. Tindakan itu seperti memungut ayam yang sudah
meninggal dari dalam sampah untuk dijadikan lauk makan.
“Pemalu juga rupanya Pak Abdul itu. Dia malu-malu kalau-
kalau kita tak mau terima. Jadi berlagak nyentrik dan pura-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
pura pikun, dia taruh saja di keranjang sampah.” “Ah, bukan
pemalu. Bijak kok. Coba kalau di rumah langsung
nyodorkan ayam mati kepada kita, tentu dia takut kalau-
kalau kita tersnggung. Omong-omong enak juga ya. Masih
ada nggak sisanya?” “kan sudah aku bawa pulang.”
Tiba-tiba kencingku terhenti. Aku sentakkan pint toilet
pergi ke Abdul, ingin membisikkan maafku dan
menceritakan segalanya (Bachri, 2001:84).
Selanjutnya di dalam cerpen “Suatu Malam Suatu Warung,” juga
ditunjukkan dengan jelas bagaimana modal budaya dari masing-masing tokoh.
Hal-hal itu sangat tampak terlihat dari bagaimana mereka berpenampilan,
bersikap, dan bertutur kata. Tokoh-tokoh yang memiliki modal budaya paling
tinggi di dalam cerita tersebut adalah para penyair, yaitu: Rahman, Amir, dan
Nahar. Sedangkan pemilik warung dan pelacur tidak memiliki modal sebaik para
penyair tersebut.
Ketiga lelaki itu bajunya lusuh, dan malam dan warung
yang muram membikin lusuh bajunya bertambah kumal
kelihatan. Seorang dari mereka, yang bersampingan dengan
pelacur tua, memakai topi. Topi itu disediakan untuk
mentari siang tadi, tapi bila malam tiba dibiarkannya saja di
sana, di atas kepalanya, di bawah bulan dan pada malam
yang dingin datangnya. Debu jalanan menutupi jaket tipis
dari yang seorang lagi. Debu itu tebalnya karena debu jalan
sepanjang siang. Tapi, biru baru jaket itu masih dapat
kelihatan. Sedang yang satu lagi belum bercukur. Bulu-bulu
banyak di mukanya membikin dia yang paling kumal di
antara mereka (Bachri, 2001:19).
Pelacur tua itu terlihat sudah tidak memiliki tampilan yang memadai untuk
menjadi pelacur yang bisa mendapatkan banyak keuntungan. Hal itu terlihat dari
perwakannya yang digambarkan di dalam cerpen tersebut.
Dia memandang Amir. Dia memandang Rahman. Dia
memandang keduanya dengan garang. Amir diam. Rahman
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
tetap diam dan sesuatu yang kosong dalam dadanya makin
besar rasa kosongnya. Dan dia diam-diam memandang mata
pelacur tua itu yang jadi bertambah merah dalam marahnya.
Pipi yang dibedaki merah jadi seperti tomat yang mau
busuk kelihatan. Bibir keriput agak segar kena air liur dan
teriakkan. Urat lehernya membuat cekung yang panjang
dalam dongakan menantang. Pelacur tua itu memandang
yang punya warung. (Bachri, 2001:23)
Hal itu menunjukkan sebenarnya bagaimana pelacur tua itu menutupi
penampilannya. Dia merasa harus berjuang bagaimana sebisa mungkin untuk
menjadi lebih cantik agar sanggup memikat orang-orang. Sedangkan pemilik
warung tidak digambarkan dengan jelas namun pembawaannya saat menjaga
hingga laruh malam sampai-sampai dan harus menahan kantuknya berkali-kali
menunjukkan bagaimana perjuangannya untuk sampai pada posisi yang lebih
baik.
Yang punya warung, perempuan tua yang lebih tua lagi
karena beban kantuknya mulai memperhatikan mereka.
Diusapnya bibirnya dengan telapak tangan, dia mengusir
kantuknya di sana. Dan matanya berusaha memadatkan
pandangan pada mereka (Bachri, 2001:22).
Tapi, kosong itu tetap makin besar rasa kosongnya,
menangkup segala yang tinggal dari pelacur tua itu, tempat
duduknya, gelas yang kosong, sisa kue, dan sisa-sisa
makian yang masih dapat kedengaran ditinggalkannya di
ujung jalan. Rahman memandang yang punya warung.
Yang punya warung telah dari tadi kembali menunduk
dalam kantuknya (Bachri, 2001:25).
Hal-hal lain yang menunjukkan modal budaya yang berbeda adalah dari
cara tokoh-tokoh tersebut dalam bertutur kata ataupun bersikap. Terlihat ketiga
penyair tersebut sangat santai dalam melontarkan kalimat-kalimat yang
sebenarnya sulit untuk diterima oleh kelompok yang lainnya. Namun, balutan
candaan membuat semuanya seperti biasa saja.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
“Coba kaubayangkan bila kita yang begini muda kehabisan
daya cipta,” kata Nahar, “Aku benar-benar takut.”
“Hm,” kata rahman.
“Aku tak takut hutang. Aku tak takut sipilis. Aku tak takut
gonorrheoa. Aku takut Tuhan menghilangkan daya
kreatifku,” kata Nahar.
“Aku takut Tuhan. Aku juga takut sipilis dan gonorrheoa,”
kata Nahar.
“Lagipula, kalau kau sipilis atau gonorrheoa, kau tak bisa
menulis,” kata Amir.
“Tidak, aku tak takut sipilis, Aku tak takut gonorrheoa,”
kata Nahar. Dia mencengkam cepat-cepat pada antara dua
pangkal paha pelacur tua itu. Pelacur itu menjerit, “Au,”
kemudia tertawa kecil, “Ha...ha...” (Bachri, 2001:21).
Sedangkan pemilik warung lebih memilih menjadi sosok yang
mendengarkan. Sekali-kali berbicara untuk menempatkan posisinya di pihak yang
lebih kuat. Dalam hal ini berada di dalam pihak para penyair tersebut.
Pelacur tua itu memandang yang punya warung, minta
diiyakan. Yang punya warung diam. Dia sering mendengar
pertengkaran di warungnya dan biasanya dia diam saja.
Karena setiap pertengkaran selalu asalnya sama saja,
mempertahankan kepura-puraan. Tetapi, lelaki itu memang
ada benarnya, pikirnya (Bachri, 2001:21).
Nasib lain harus diterima pelacur tua itu. Modal budaya yang dia miliki
dalam kehidupan bermasyarakat membuatnya berada di posisi yang kurang bagus
sehingga tampak tidak memiliki kekuatan karena tidak adanya modal kuat untuk
melakukannya. Hal yang bisa dilakukannya hanya menerima atau bila marah pun
itu lebih kepada dia tidak percaya akan hal-hal yang harus dia terima.
Memang sudah lama kelihatan orang tak mengambilnya
lagi. Orang hanya memegang-megang dadanya, memegang-
megang pahanya, memegang-megang pantatnya saja di sini.
Dan lelaki yang memegang membayarkan kopi dan kue-kue
ang dimakannya. Memang tak pernah kelihatan lagi dia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
pergi dengan lelaki yang memeganginya, pikirnya (Bachri,
2001-23).
Bahkan kemarahannya pun harus terjadi ketika hinaan itu datang lebih dari
tiga kali. Kata-kata pasrahnya juga menunjukkan sikapnya yang lemah
dibandingkan dengan tokoh-tokoh lainnya.
“Aku tak takut sipilis,” kata Nahar, “Kau bayarkan aku,
Man. Biar aku main dengannya.”
“Aku tak sipilis,” kata pelacur tua itu (Bachri, 2001:22).
“Bayarkan dia, Man,” kata Amir, biar dia rasa sipilis itu
apa.”
“Aku tak sipilis!” pelacur itu marah dan marahnya datang
sendirian (Bachri, 2001:22).
“Aku tak peduli kau sipilis atau tidak. Aku berani main
dengan kau. Bayarkan aku, Man,” kata Nahar.
“Aku memang tak sipilis,” kata si pelacur itu lagi (Bachri,
2001:22).
“Aku tak peduli kau sipilis atau tidak. Aku berani main
dengan kau. Bayarkan aku, Man,” kata Nahar.
“Aku memang tak sipilis,” kata si pelacur itu lagi. (Bachri,
2001:22)
“Aku tak sipilis. Aku tak gonorwa. Aku tak pernah sakit,”
dia menjerit kuat-kuat agar air di matanya ta kelihatan.
“Ayolah main, katanya pada Nahar.
“Bayarkan aku, Man,” kata Nahar.
“Tak usah bayar,” kata pelacur itu, “Aku tak sakit.” (Bachri,
2001:24)
“Aku tak sakit tak sakit tak sakit!” Pelacur itu menangis dan
tomat yang mau busuk itu pecah sekarang. Dia keluar
berlari ke jalan sambil memaki-maki dalam malam yang
muram (Bachri, 2001:24).
Selanjutnya dalam cerpen “Tahi,” ada dua tokoh yang memiliki
pembawaan dan sikap yang berbeda. Hal itu sekaligus juga menunjukkan modal
budaya yang masing-masing mereka miliki. Tokoh yang memiliki modal budaya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
lebih tinggi memiliki sikap yang lebih santai dan menjalani hidupnya dengan
lepas bebas walaupun hal itu juga disaingi oleh tokoh yang modal budayanya
lebih rendah. Akan tetapi ketergantungan tokoh dengan modal budaya yang lebih
rendah kepada tokoh yang lainnya menunjukkan perbedaan modal budaya di sana.
“Aku lapar, sudah empat hari tidak makan,” katanya.
“Ada nasi di rumah,” kataku.
“Ada?”
“Ada! Di dapur, dalam rantang ditutup koran.”
Dia mengulurkan tangannya yang kering kurus coklat
berdaki. Jari-jarinya cepat menangkap kunci yang
kuberikan. Dia pergi. Aku pergi. Kami berpisah. (Bachri,
2001:31).
Bahkan tokoh dengan modal budaya yang lebih rendah tersebut tidak bisa
membedakan tahi dan nasi goreng.
“Tahi itu!”
“Apa?” katanya.
“Tahi. Yang kaumakan itu tahi!”
“Ya,benar. Nasi gorengmu sekarang sudah jadi tahi,”
katanya, ketawa-tawa sambil mengetuk-ngetuk perutnya.
Ketukan itu padat kedengaran. Dan tanganku makin kuat
getarannya (Bachri, 2001:32).
Belum cukup sampai di situ. Dia juga meminta rokok. Sikap meminta
hanya ada di dalam kelompok yang tidak memiliki modal budaya yang lebih
rendah karena bila yang memiliki modal lebih tinggi tidak memberi maka tidak
akan didapat hal yang diharapkan dari orang yang meminta tersebut.
“Kau yang gila,” bentakku.
“Kau tak gila?” katanya.
“Aku tak gila,” kataku.
“Kau tak gila! Aku tak gila. Aku tak lapar. Makanlah nasi
itu. Aku masih kenyang,” katanya agak berteriak. “Kau ada
rokok?” katanya melanjutkan. (Bachri, 2001:33).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
Walaupun kemudian perasaan bersalah muncul lagi di dalam cerpen ini
karena merasa telah membuat sahabatnya memakan tahi yang ditaruh di dalam
rantang. Bercaandaan kembali menjadi hal yang membuat dia lupa bahwa
kelaparan menjadikan sahabatnya tidak mengerti bahwa tahi telah dimakannya.
Soalnya itu tahi. Ah tahi! Ah tabahnya dia! Empat hari tak
makan masih ada kuatnya berjalan di bawah pekat matahari.
(Bachri, 2001:34).
Dalam ketiga cerpen SCB yang berjudul, “Ayam,” “Suatu Malam Suatu
Warung,” dan “Tahi,” ditunjukkan bagaimana perbedaan modal budaya yang tiap-
tiap tokoh miliki. Hal itu membuat cara bersikap dan berpenampilan dari masing-
masing tokoh sangat berbeda.
Hal-hal yang menonjol ditunjukkan dengan cara tokoh bersikap dalam
menghadapi situasi. Tokoh yang memiliki modal budaya lebih baik merasa
bersalah walaupun dia tidak sadar bahwa hal itu juga terjadi akibat dirinya. Segala
kebaikan yang telah dilakukannya seperti sudah menjadi hal yang cukup atas
perbuatan yang sudah dilakukannya.
Uniknya di dalam ketiga cerpen tersebut, para tokoh yang memiliki modal
budaya lebih tinggi masih peduli dengan tokoh yang tidak memiliki modal budaya
cukup baik. Sikap-sikap tersebut sangat menunjukkan bagaimana kelompok
dengan modal budaya lebih kuat bisa menentukan nasib kelompok-kelompok
dengan modal budaya yang kurang baik. Kelompok tersebut memegang peranan.
Tindakan mereka sangat menetukan kelompok-kelompok yang lainnya. Bahkan,
kelompok-kelompok lain merasa mendapatkan kebaikan dari mereka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
2.2.4 Modal Simbolik
Modal simbolik bisa berupa kantor yang luas di daerah mahal, mobil
dengan sopirnya, namun bisa juga petunjuk-petunjuk yang tidak mencolok mata
yang menunjukkan status tinggi pemiliknya: misalnya gelar pendidikan yang
dicantumkan di kartu nama, cara bagaimana membuat tamu menanti, cara
mengafirmasi otoritasnya (Haryatmoko, 2003:12).
Modal simbolik juga merupakan sesuatu yang dikenali dan diakui secara
natural, seperti; tempat tinggal, hobi, tempat makan, dan sebagainya (Martono,
2013:33).
Dalam cerpen “Ayam” ditunjukkan dengan keluarga seorang penyair. Dia
memiliki istri, anak, dan tempat tinggal yang layak.
Turun dari taksi, di halaman rumah di balik pohon jambu
kerdil, di tanah sempit penuh dengan pepohonan perdu,
sudah menunggu dua ekor anak ayam dalam sangkar burung
(Bachri, 2001:71).
Selanjutnya simbol lain ditunjukkan dengan sahabat-sahabat dari penyair
tersebut. Dia punya sahabat-sahabat yang melambangkan ada dalam kelompok
sosial yang tinggi dalam masyarakat. Ditunjukkan pula bagaimana hobinya di
dalam cerpen tersebut.
Maksudku, sambil duduk-duduk di bawah pohon kurma,
menunggu teman-teman yang sedang asik menonton
pembacaan sajak di teater arena Babylon, aku pungut buah
kurma yang terus berjatuhan di bawah matahari yang tak
terlalu panas (Bachri, 2001:72).
Aku tinggalkan kantor sepi itu dan aku pergi membeli film
ke Jalan Sabang (Bachri, 2001:83).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
Selain itu dia juga mempunyai teman seorang penyair yang terkenal yaitu
Taufiq Ismail. Dia juga mempunya teman seorang bos di dalam sebuah kantor.
Terlihat dari panggilan akrab dari teman, bukan atasan.
Malam harinya di lobi hotel, kawanku penyair Taufiq Ismail
bilang, daerah yang kami kunjungi itu dulunya kawasan
Nabi Suaiman (Bachri, 2001:72).
Tiba-tiba kencingku terhenti. Aku sentakkan pintu toilet
pergi ke Abdul, ingin membisikkan maafku dan
menceritakan segalanya. Aku bawa dia ke sudut ruangan
agak jauh dari teman-teman yang sibuk ngobrol. Lantar aku
paparkan kisah ini (Bachri, 2001:84).
Kawan-kawannya juga orang yang bukan sembarangan dalam memilih
makan. Mereka bahkan mereka membutuhkan makanan khusus di kala kantor
sedang mempunyai banyak pesanan.
Tiga hari tiga malam repot terus di kantor. Semua jadi
sibuk. Juga ibu pembikin kopi. Kalau sudah sibuk begitu ia
tidak hanya berfungsi sekadar memasak air dan membikin
kopi tetapi juga harus memasak menu khusus atau jamu.
Maklumlah sahabat-sahabatku para bos ini banyak
pantangan makanannya, tak bisa begitu saja pesan makanan
di restoran Padang atau semacamnya (Bachri, 2001:83).
Kemudian ibu-ibu yang memesak di kantor tersebut memang tidak
disebutkan bagaimana rumahnya maupun hobinya. Namun setidaknya mereka
bekerja dan memiliki penghasilan untuk mencukupi hidupnya. Hal itu
melambangkan kelas mereka masih lebih baik dibanding orang-orang yang tinggal
di pinggir sungai.
Orang-orang tersebut jelas secara simbolis nampak bahwa mereka berada
dalam kelas yang tidak beruntung. Mulai dari tempat tinggal, bahkan hingga
selera makan. Ditunjukkan pula bagaimana bentuk tubuhnya dan penampilannya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
yang melambangkan kemiskinan yang mereka hadapi. Orang-orang tersebut tidak
keluar dari balik pagar sebuah rumah namun dari semak-semak pinggir sungai.
Sampai dekat mulut jembatan, aku berpikir sekilas
bagaimana baiknya aku melempar kantung plastik itu agar
jangan tersangkut di semak-semak yang tumbuh di tikungan
sungai. Tiba-tiba, orang-orang hitam di seberang bergegas
menyeberangi jembatan. Sambil menatap kantung plastikku
mereka bilang, “Jangan dibuang, Pak.” (Bachri, 2001:79)
Sedangkan di dalam cerpen “Suatu Malam Suatu Warung,” modal
simbolik ditunjukkan oleh ketiga tokoh yang memiliki modal berbeda-beda.
Tokoh tersebut adalah tiga orang penyair muda, pemilik warung, dan pelacur tua.
Secara simbolik ditunjukkan bahwa penyair tersebut memiliki kekuatan untuk
bisa makan dengan uang sendiri sedangkan pelacur tua harus menjual dirinya.
Bahkan itu hanya cukup untuk membeli kue dan minum.
Memang sudah lama kelihatan orang tak mengambilnya
lagi. Orang hanya memegang-megang dadanya, memegang-
megang pahanya, memegang-megang pantatnya saja di sini.
Dan lelaki yang memegang membayarkan kopi dan kue-kue
yang dimakannya (Bachri, 2001:23)
.
Simbol-simbol lain ditunjukkan dengan keseharian yang mereka geluti.
Penyair itu masih bisa berimajinasi tentang kehidupannya di dalam dunia
kepenyairan, wanita pemilik warung bisa juga mengharapkan banyak uang dari
pembeli walaupun harus menahan kantuknya, tetapi pelacur tua itu harus
menerima dirinya menerima upah berupa minuman dan makanan.
“Tahun ini sedikit sekali aku mencipta. Aku kurang kreatif,”
katanya dan dia terus merenung-renung ke kalender itu,
“Aku takut.”
“Hm?” kata yang tadi bilang hm. Sedang yang satu lagi
masih menghirup kopinya.
“Aku takut daya kreatifku menyusut terus. Kau tau aku
hanya dapat membuat tiga cerpen dan delapan sajak saja
tahun ini. Sedang novelku itu majunya seperti siput.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
“Samalah aku,”kata yang tadi bilang hm, “Cuma enam saja.
Kau masih mendingan, Har.”
Yang tadi menghirup kopi meletakkan gelasnya ke meja.
“Aku dua puluh empat sekarang,” kata Nahar,
“Mengerikan bila orang seumurku telah melewati puncak
kreativitasnya yang Cuma belasan cerpen dan sajak. Aku
benar-benar takut. Kau takut, Man?” (Bachri, 2001:20)
Selanjutnya di dalam cerpen “Tahi,” simbol-simbol mengenai tempat
tinggal dan makanan terlihat sangat berbeda dari kedua tokoh. Bahkan salah satu
tokoh dilambangkan memakan tahi yang dirasanya seperti nasi goreng basi.
Namun mengapa tahi harus ada di dalam rantang yang biasa dijadikan tempat
nasi.
Kaleng-kaleng sudah terbang ke loak. Di atas meja, rantang
berkarat sudah lama tak berisi nasi. “Selamat kau dari
gengaman loak!” Kataku pada rantang itu. Maafkan aku,
dengan ini terpaksa kuisi. Aku berjongkok (Bachri,
2001:29).
Lalu rantang berisi tahi tersebutlah yang menjadi santapan temannya yang
minta makan ketika dijumpai di jalan. Lantas habislah tahi itu.
Hal lain yang menunjukkan perbedaan modal ditunjukkan secara simbolik
lewat tempat tinggal yang mereka miliki. Tokoh yang satu memiliki rumah yang
bisa melindunginya dari terik matahari di kala siang sedangkan tokoh yang
lainnya masih saja di jalanan dengan digambarkan perawakannya.
Dia mengulurkan tangannya yang kering kurus coklat
berdaki. Jari-jarinya cepat menangkap kunci yang
kuberikan. Dia pergi. Aku pergi. Kami berpisah (Bachri,
2001:31).
Dalam ketiga cerpen SCB memang tidak ditunjukkan dengan sangat kuat
bentuk modal simboliknya. Cerpen SCB lebih mengedepankan simbol-simbol
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
yang terlihat biasa namun hal itu sanggup membedakan antara kelompok yang
satu dengan yang lainnya, antara orang yang satu dengan orang yang lainnya.
Hal-hal yang menonjol ditunjukkan adalah adanya perbedaan tempat
tinggal, makanan, dan hobi dari tiap-tiap orang ataupun kelompok masyarakat.
Walaupun begitu sudah sangat jelas perbedaan modal simbolik yang ada dan
ditampilkan dalam cerpen-cerpen tersebut.
2.3 Kelas
Ada tiga kelas menurut Bourdieu, yaitu: kelas dominan, kelas borjuasi
kecil, dan kelas populer. Kelas dominan adalah pemilikan modal yang cukup
besar sehingga membedakan dirinya dengan yang lain. Kelas dominan juga
memaksakan pandangannya tentang yang baik dan yang buruk. Selanjutnya kelas
borjuasi kecil adalah kelas yang berada di tengah-tengah dan memiliki keinginan
untuk naik ke kelas yang lebih tinggi. Menaiki kelas lebih penting daripada
memaksakan pandangan. Sedangkan kelas populer adalah kelas yang tidak
memiliki modal baik ekonomi, budaya, maupun simbolik. Kelas ini seperti tidak
memiliki posisi tolak terhadap kelas dominan yang memaksakan idenya.
Menurut pembagian tersebut cerpen-cerpen SCB menunjukkan adanya
perbedaan kelas antara toko yang satu dengan yang lainnya. Kelas dominan
menunjukkan kemampuannya dengan uang yang mereka miliki dan mereka masih
punya ide-ide tentang hidupnya. Kelas borjuis kecil ditunjukkan dengan keadaan
dirinya yang masih aman dalam lingkungan masyarakat dan menjalani hari-
harinya seperti biasa saja. Sedangkan kelas populer ditunjukkan kehidupannya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
yang sangat memperihatinkan dan membutuhkan bantuan dari kelas dominan,
bahkan untuk bertahan hidup sekalipun. Walaupun kelas dominan merasa
perbuatannya kepada mereka salah namun kelas populer masih merasakan itu
sebagi sebuah kebaikan.
2.3.1 Kelas Dominan
Kelas dominan dalam cerpen “Ayam,” ada beberapa. Namun yang selalu
muncul dalam cerita adalah penyair. Sebenarnya tetangga-tetangga penyair itu
juga bisa menjadi kelas dominan namun mereka kurang dominan untuk muncul di
dalam cerita. Begitu pula teman-temannya yang ada di kantor atau bahkan
mungkin kawannya yang menjadi bos di dalam sebuah kantor yang berlokasi di
daerah Taman Ismail Marzuki tersebut.
Meskipun banyak penghuni di sini kelihatan cepat kaya,
sering merombak rumah sesuai dengan model mutakhir, tapi
tidak terlalu sering kuli-kuli berbaju hitam ini mendapat
peluang membuang puing. Sekali aku pernah dengar
tetanggaku bilang keras mereka, “Pokoknya seribu perak,
kalau tidak mau saya suruh pembantu saya yang
mengangkat puing ini! (Bachri, 2001:78).
.
Rupanya uang seribu perak menjadi lambang kekuatan kelas dominan. Hal
itu juga terjadi ketika penyair hendak membuang bangkai ayam ke dalam sungai
dan orang-orang yang tinggal di pinggir sungai meminta bangkai ayem tersebut.
Aku ingin memakinya. Tetapi kainnya yang kuyup gemetar,
kutangnya yang keriput dan basah, matanya yang kosong
menatap, menyumpal mulutku. Aku raba saku celana, aku
keluarkan uang seribu itu. Aku raba saku-saku yang lain
juga saku kemejaku. Aku memang ingat, aku Cuma bawa
uang seribu. Tapi, dalam keadaan begini aku benar-benar
mengharapkan keajaiban. Hanya seribu itulah aku serahkan
kepada wanita kuyu itu (Bachri, 2001:80).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
Sedangkan kelas dominan di dalam cerpen “Suatu Malam Suatu Warung,”
adalah ketiga penyair yang mampir ke sebuah warung dan seenaknya sendiri
menggodai pelacur tua. Bahkan penyair tersebut digambarkan sebagai orang-
orang yang muda sedangkan lawannya adalah pelacur yang sudah tua.
Dalam cerpen ini, uang juga yang menonjolkan dominasi para penyair itu.
Selain juga candaanya kepada pelacur tua itu. Pemuda-pemuda tersebut
membayarkan makanan yang pelacur tua itu makan walaupun dia tidak menikmati
seperti orang-orang lain yang datang kepada pelacur tua itu.
Yang punya warung dengan ngantuk menghitung jumlah
kopi yang diminum dan apa-apa yang di makan mereka.
Dan bila dia menjumlahkan semua, Rahman menyuruhnya
manggabungkan pula dengan apa-apa yang dimakan pelacur
dan diminumnya (Bachri, 2001:25).
Dominannya para penyair itu juga terlihat bagaimana mereka menguasai
ruang-ruang pembicaraan dengan bertutur semaunya. Bahkan dengan uang yang
mereka punya, mereka bisa menggodai pelacur itu dengan menuduhnya sipilis.
Hingga pelacur itu sampai mau bermain gratis dengan salah satu dari mereka
hanya untuk membuktikan bahwa tidak sipilis.
“Aku tak sipilis. Aku tak gonorwa. Aku tak pernah sakit,”
dia menjerit kuat-kuat agar air di matanya tak kelihatan.
“Ayolah main,” katanya pada Nahar.
“Bayarkan aku, Man,” kata Nahar.
“Tak usah bayar,” kata pelacur itu, “Aku tak sakit.” (Bachri,
2001:24)
Selanjutnya dalam cerpen “Tahi,” ditunjukkan dengan uang juga.
Kepemilikan uang membuat orang memiliki dominasi yang tinggi. Sepeti yang
semua dilakukannya adalah benar termasuk juga candaannya kepada kelompok
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
yang lebih rendah. Hal itulah yang membuat orang yang tidak lain adalah
kawannya yang belum makan empat hari melihat tahi sebagai nasi goreng yang
basi. Bahkan orang lapar tersebut menikmatinya.
“Maksudku tadi hanya bergurau saja. Itu tahiku aku katakan
nasi,” kataku.
“Nah, sekarang kau memang bergurau,” katanya, ketawa-
ketawa.
Aku ambil rantang. Kuberikan padanya.
“Ciumlah baunya!” kataku.
“Bau basi bisa saja seperti bau tahi,” katanya (Bachri,
2001:32).
Sebelum kawannya pergi, masih saja dia membuat candaan lagi dengan
memberinya uang untuk membeli kopi yang sebenarnya uang tersebut tidak
cukup. Dia juga mencoba membuat candaan lagi bahwa dia akan menghutanginya
besok padahal itu hanya candaan yang menunjukkan bahwa dominasi ada di
tangannya.
Ambilah semuanya,” kataku.
“Ah, jangan. Kau nanti bagaimana? Katanya.
“Besok pagi-pagi Syam datang kemari. Dia janjikan uang
untukku,” kataku, berbohong.
“Kalau begitu, besok saja aku minta lagi uangmu,” katanya,
ketawa. Dia tahu aku bohong.
Dia masukkan ke sakunya uang yang dikiranya cukup untuk
beli kopi. Dia pergi (Bachri, 2001:33).
Dari ketiga cerpen tersebut kelas dominasi ditandai dengan kepemilikan
uang dan posisi mereka dalam masyarakat. Mereka bisa bebas bertindak untuk
melakukan dominasi yang sebenarnya juga tidak mereka sadari. Dominasi-
dominasinya juga nampak dalam tindakan mereka terhadap tokoh lainnya. Mereka
seperti memegang kendali terhadap semua hal yang ada.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
2.3.2 Kelas Borjuasi Kecil
Dalam kelas borjuasi kecil yang paling penting adalah bagaimana
kelompok tersebut berjuang untuk ada pada posisi yang lebih tinggi. Mereka
berjuang agar tidak sampai menerima penindasan yang berat seperti kelas di
bawah mereka.
Cerpen “Ayam,” memperlihatkan bagaimana tukan potong dahan pohon
yang sering berkeliling menduduki kelas borjuasi kecil. Walaupun mereka hanya
mendapat upah seperti yang orang pinggiran terima dari tangan cuma-cuma. Akan
tetapi, mereka sudah berusaha secara hormat.
Mereka yang berpakaian hitam kumal ini, dengan kaki-kaki
kurus, dalam kelompok dua atau tiga orang kadang empat,
melangkah gontai dan pelan-pelan mengitari kompleks,
mencari kalau-kalau ada orang yang mau menyuruh mereka
memotong dahan-dahan akasia (Bachri, 2001:77).
Kemudian tokoh lain yang menduduki kelas borjuasi kecil adalah ibu-ibu
yang biasa membuatkan para pegawai kopi atau jamu ketika kantor sedang
dilanda kesibukan. Walaupun mereka masih memiliki kebiasaan yang buruk
seperti mau memakan bangkai ayam namun mereka masih mau berusaha untuk
bekerja secara normal seperti orang pada umumnya.
Tiga hari tiga malam repot terus di kantor. Semua jadi
sibuk. Juga ibu pembikin kopi. Kalau sudah sibuk begitu ia
tidak hanya berfungsi sekadar memasak air dan membikin
kopi tetapi juga harus memasak menu khusus atau jamu.
(Bachri, 2001:83).
Selanjutnya dalam cerpen “Suatu Malam Suatu Warung,” ibu pemilik
warung yang sudah tua dan dijaganya harus larut malam berada dalam kelas
borjuasi kecil. Dia berusaha mendapatkan uang walaupun kantuk berkali-kali
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
menghampirinya. Perjuangan berat tersebut menjadi salah satu indikasinya. Selain
itu tentang sikapnya kepada pemuda yang datang menggodai pelacur tua itu juga
menunjukkannya.
Yang punya warung, perempuan tua yang lebih tua lagi
karena beban kantuknya mulai memperhatikan mereka.
Diusapnya bibirnya dengan telapak tangan, dia mengusir
kantuknya di sana. Dan matanya berusaha memadatkan
pandangan pada mereka. (Bachri, 2001:22).
Sedangkan dalam cerpen “Tahi,” tidak ditemukan tokoh yang berada
dalam kelas ini. Dalam cerpen ini hanya ada dua tokoh di dalam cerita. Salah satu
tokohnya masuk di dalam kelas dominan dan yang lainnya lebih cocok berada di
dalam kelas populer.
Dari ketiga cerpen tersebut, kelas borjouis kecil ditunjukkan dengan
adanya perjuangan yang mereka lakukan untuk mendapatkan posisi yang lebih
baik. Walaupun mereka juga bisa merasakan apa yang kelas bawahnya alami.
Mereka masih berusaha untuk menjadi normal seperti yang dilakukan oleh orang-
orang pada umumnya.
2.3.3 Kelas Populer
Dalam Cerpen “Ayam,” kelas populer ditempati oleh orang-orang yang
hidup di pinggir sungai. Kebuasan mereka menunjukkan bagaimana posisi mereka
dalam kehidupan. Selain itu tempat tinggal mereka juga terlihat tidak layak bagi
masyarakat pada umumnya. Penampilan mereka juga menjdi salah satu
indikasinya.
Wanita kerempeng menyibak kainnya tinggi-tinggi,
bergegas melanggar semak-semak di pinggir sungai,
mengikuti kantung plastik yang hanyut. Ia terjun
mengarungi air sungai yang sampai dadanya dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
mengambil kantung plastik yang tersangkut di semak-
semak di tikungan sungai (Bachri, 2001:80).
Orang-orang tersebut juga tidak berani terhadap orang yang membuang
bangkai ayam tersebut karena kelas sosialnya lebih tinggi. Mereka hanya bisa
pasrah, bangkai ayam yang di dapatnya dari aliran sungai itu diambil pemiliknya
lagi. Sebenarnya ketika barang tersebut suadah di buang, barang tersebut sudah
bisa menjadi milik orang lain. Namun, apa daya mereka hanya bisa menerima
karena tidak memiliki kekuatan terhadap kelas yang mendominasi.
Mereka diam, tetapi di mata mereka ada anggukan. Namun,
begitu salah seorang masih mengulang bilang, “Mubazir,
Pak, kalau dibuang,” aku terus pergi. Hilang keinginanku
membuang bangkai itu ke sungai. Percuma, pasti ada yang
terjun lagi (Bachri, 2001:81).
Selanjutnya, dalam cerpen “Suatu Malam Suatu Warung,” kelas
populernya adalah pelacur tua itu yang selalu mendapat hinaan. Bahkan dia rela
menyerahkan harga dirinya secara gratis hanya untuk membuktikkan dirinya
sehat. Pelacur tua itu juga hanya bisa mendapatkan kue-kue dan minuman dari
warung setelah pelanggannya menggerayanginya. Pelanggan yang hanya
memegang-megang tanpa melakukan hubungan intim dengannya menunjukkan
pelacur tua itu sudah tidak memiliki nilai lagi di mata masyarakat.
Kekalahannya terhadap dominasi dari kelas yang lebih tinggi ditunjukkan
dengan ketidakmampuannya dalam melawan. Dia hanya bisa marah kemudian
pergi.
“Aku tak sakit tak sakit tak sakit!” pelacur itu menangis dan
tomat yang mau busuk itu pecah sekarang. Dia keluar
berlari ke jalan sambil memaki-maki dalam malam yang
muram (Bachri, 2001:24).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
Sedangkan dalam cerpen “Tahi,” kelas populer diduduki oleh orang yang
hidup dengan meminta belas kasihan temannya. Dia digambarkan sudah empat
hari tidak makan hingga tidak bisa membedakan antara tahi dan nasi goreng.
Selain meminta makan, dia juga masih meminta rokok. Bahkan, harus meminta
uang untuk membeli kopi. Bisa tergambarkan dengan jelas bagaimana keaadannya
di dalam masyarakat.
“Aku lapar, sudah empat hari tidak makan,” katanya.
“Ada nasi di rumah,” kataku.
“Ada?”
“Ada! Di dapur, dalam rantang ditutup koran.”
Dia mengulurkan tangannya yang kering kurus coklat
berdaki. Jari-jarinya cepat menangkap kunci yang kuberikan
(Bachri, 2001:31).
Sedangkan dalam cerpen “Tahi,” kelas populer diduduki oleh orang yang
hidup dengan meminta belas kasihan temannya. Dia digambarkan sudah empat
hari tidak makan hingga tidak bisa membedakan antara tahi dan nasi goreng.
Selain meminta makan, dia juga masih meminta rokok. Bahkan, harus meminta
uang untuk membeli kopi. Bisa tergambarkan dengan jelas bagaimana keaadannya
di dalam masyarakat.
Ketiga cerpen SCB tersebut menggambarkan bagaimana kelas populer
hampir tidak memiliki modal-modal yang seperti dijabarkan oleh Pierre Bourdieu.
Sehingga mereka tidak berdaya ketika harus berhadapan dengan kelas yang
dominan. Mereka hanya bisa pasrah menerima apa yang meraka dapatkan dari
kelas dominan. Dalam cerpen “Suatu Malam Suatu Warung,” sebenarnya ada
perlawanan namun tokoh kelas populer tetap tidak sanggup menghadapi kelas
dominan karena merea kalah dalam segala modal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
2.4 Habitus
Habitus merupakan hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis
(tidak harus disadari) yang kemudian diterjemahkan mejadi suatu kemampuan
yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu.
Habitus menjadi dasar kepribadian individu namun tidak diketahui ujung
pangkalnya. (Haryatmoko, 2003:11)
2.4.1 Habitus Kelas Dominan
Dalam tokoh-tokoh yang menduduki kelas dominan mereka memilik
habitus bahwa mereka hidup seperti dalam kebebasan terhadap orang lain.
Walaupun ada rasa kasihan terhadap kelompok lain namun sadar ataupun tidak
mereka juga telah berbuat yang menurut mereka paling benar.
Habitus tersebut semakin mempertegas posisi mereka di dalam
masyarakat. Hal-hal yang mereka lakukan menjadi semacam kebenaran yang
mutlak dan harus ditaati oleh kelompok yang lainnya.
Misalkan tokoh di dalam cerpen “Ayam,” yang lebih memilih mengambil
lagi ayam yang sudah diambil oleh orang yang tinggal di pinggir sungai.
Kebuasan orang pinggir sungai tersebut menunjukkan kelaparan yang sangat
tinggi. Dia dengan aturan mainnya sendiri mengambil ayam itu lagi dan menukar
dengan uang seribu perak.
Padahal bisa terlihat bagaimana ayam itu sangat mereka butuhkan.
Mengambil ayam itu dengan menukar ayam yang lebih bagus bisa menjadi
alternatif lain bila tokoh tersebut benar-benar iba dengan keaadaan yang dialami
orang-orang yang hidup di pinggir sunga tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
Pada akhirnya ayam tersebut harus dia buang di tempat sampah kantor.
Dia mengambil langkah-langkah yang sangat sederhana padahal langkah-langkah
itu mempengaruhi tokoh-tokoh dari kelompok sosial yang lebih rendah.
Sedangkan dalam cerpen “Suatu Malam Suatu Warung,” ditunjukkan tiga
orang penyair yang masih muda berkali-kali menggodai dan menuduh pelacur tua
walaupun mereka tidak tahu kebenarannya. Walaupun mereka membayarkan
makanan dan minuman yang dipesan oleh pelacur tua itu tetapi hal itu hanya
semakin mempertegas bahwa posisi dan modal ekonomi yang mereka punya
membuat mereka berani bertindak seenaknya tanpa berpikir panjang mengenai
perasaan pelacur tua.
Selanjutnya di dalam cerpen “Tahi,” tokoh yang dominan membuat
candaan yang diterima dengan serius oleh kawannya yang berada di dalam kelas
sosial lebih rendah hingga tahi dalam rantang di makan oleh kawannya.
2.4.2 Habitus Kelas Borjuasi Kecil
Habitus kelas borjuasi kecil dalam ketiga cerpen SCB tersebut
menunjukkan adanya kesamaan karakter, yaitu semangat perjuangan. Walaupun
mereka juga masih menunjukkan habitus dari kelas yang rendah. Mereka terlihat
tunduk terhadap kelas yang lebih dominan karena menganggap hal yang
dilakukan oleh kelas dominan adalah hal yang benar. Mereka mencoba mengikuti
aturan mainnya.
Dalam cerpen “Ayam,” ada orang-orang dengan pakaian hitam-hitamnya
yang tunduk ketika digaji berapapun untuk membantu kelas dominan. Mereka
mempunyai habitus untuk “tunduk.” Hal itu juga ditunjukkan oleh ibu-ibu yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
harus bekerja ekstra ketika kantor dalam keadaan sibuk atau banyak pesanan.
Mereka harus mengikuti aturan main kelas yang dominan. Ketika kelas dominan
bekerja keras, mereka juga harus melakukannya.
Sedangkan dalam cerpen “Suatu Malam Suatu Warung,” pemilik warung
hanya diam tidak mau menolong pelacur tua yang mendapat hinaan dari para
pemuda itu. Dia lebih memilih diam agar terhindar dari konflik dengan kelas
dominan. Bisa saja warungnya tidak didatangi pemuda itu lagi karena melakukan
hal-hal bodoh. Sedangkan pelacur tua itu juga akan tetap datang ke warungnya
untuk mencari pelanggan.
2.4.3 Habitus Kelas Populer
Habitus kelas populer lebih cenderung menjadi kelompok yang menjadi
bahan dominasi. Apalagi mereka tidak memiliki modal ekonomi yang cukup
karena modal ekonomi adalah pilar dalam kehidupan. Kelas populer lebih
memilih menerima saja apa yang terjadi. Kelas ini juga cenderung mempunyai
usaha yang minimalis untuk menjalankan kehidupannya.
Habitus dari kelas ini yang ditonjolkan di dalam cerpen SCB adalah
kurangna kemampuan mereka untuk menggunakan nalar mereka secara jernih.
Dalam cerpen “Ayam,” mereka spontanitas saja masuk ke dalam aliran sungai
tanpa memikirkan bahaya. Hal itu juga bisa disebabkan karena mereka sudah
terbiasa.
Dalam cerpen “Suatu Malam Suatu Warung,” tokohnya harus menjadi
pelacur. Hal itu terjadi karena kebiasaan yang terus dia jalani hingga dia sampai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
menjadi pelacur tua. Tidak ada kemauan maupun kemampuan untuk berubah.
Lantas dia menjadi kelas yang paling sering mendapatkan serangan.
Sedangkan dalam cerpen “Tahi,” orang sampai lupa membedakan nasi
goreng dan tahi. Bahkan juga dia tidak peduli bila nasi gorengnya sudah basi.
Kelaparan yang melanda membuatnya tidak sempat untuk berpikir. Kebiasaan-
kebiasaan buruk sampai bisa memakan tahi adalah hal yang aneh kecuali dia
sudah terbiasa memakan makanan yang tidak layak konsumsi.
2.5 Arena
Bourdieu melihat arena, menurut definisinya sebagai arena pertempuran,
arena juga merupakan arena perjuangan. Arena adalah sejenis pasar kompetitif
yang di dalamnya terdapat berbagai jenis modal, seperti modal ekonomi, modal
sosial, modal budaya, dan modal simbolik. Semakin orang memiliki modal yang
banyak maka orang akan menang di dalam sebuah arena.
Arena adalah ruang yang ada di dalam masyarakat. Ada beragam arena,
seperti arena pendidikan, arena bisnis, arena seniman, dan arena politik. Arena
juga merupakan tempat di mana orang bermanuver dan berjuang dalam mengejar
sumber daya yang didambakan.
Arena yang ada di dalam ketiga cerpen tersebut bisa dikategorikan dalam
kelompok besar yaitu arena sosial di dalam masyarakat menengah yang hidup di
perkotaan. Kehidupan-kehidupan biasa dalam keseharian yang mempertemukan
berbagai kalangan ditonjolkan di dalam cerpen SCB tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
Selalu ada situasi di mana tokoh-tokoh ataupun kelas-kelas yang berbeda
menunjukkan apa yang bisa mereka makan. Di dalam urusan itu tentu modal
ekonomi yang diutamakan. Hal itu nampak dalam cerpen SCB yang menjadikan
uang sebagai modal berharga untuk bertarung di dalam arena yang ditunjukkan
dengan makanan yang mereka konsumsi.
Dalam cerpen “Ayam,” para penyair makan di kantor dengan menu yang
diperhitungkan dan tidak sembarangan. Bahkan mereka masih harus megonsumsi
jamu bila kerjaan sedang padat. Sedangkan ibu-ibu yang berkerja membuat kopi
harus makan bangkai ayam yang sebelumnya hendak di makan orang pinggir
sungai namun diketahui kelas dominan sehingga bisa dicegah.
Dalam cerpen “Suatu Malam Suatu Warung,” para pemuda bisa
menikmati makanan dari warung yang sama dengan pelacur namun bedanya
mereka bisa membayar dan hal itu membutnya menang di dalam arena tersebut.
Kepemilikan modal membuatnya bisa menggodai pelacur tua itu. Mereka merasa
cukup mengganti kemarahannya dengan membayar makanan yang pelacur tua itu
telah makan.
Dalam cerpen “Tahi,” perbedaan di dalam arena sangat mencolok. Satu
tokoh bisa makan nasi rames sedangkan tokoh yang lainnya memakan tahi.
Perang simbol hadir di dalam cerpen-cerpen SCB. Arena pertarungan itu
dipenuhi dengan simbol-simbol yang menunjukkan keberadaan atau posisi kelas
masing-masing tokoh. Akhirnya bisa dilihat siapakah yang paling mendominasi di
dalam arena-arena yang ada dan siapakah yang menjadi kelompok yang
didominasi dan kalah dalam arena.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
2.6 Kekuasaan dan Kekerasan
Dalam upaya mempertahankan kekuasaan, orang mulai membedakan
dirinya dari kelas-kelas sosial yang lainnya. Hal itu sebagai bentuk strategi
kekuasaan. (Haryatmoko, 2003:13)
Oleh sebab itu pilihan jenis makan, cara makan, dan jumlahnya
menentukan diri dari kelas sosial yang mana. Simbol-simbol banyak digunakan
untuk membedakan dari kelompok yang lainnya. Kelas dominan jelas akan
membedakan dirinya dengan kelas borjuasi kecil dan kelas populer. Semakin
modal yang dimiliki semakin banyak, pembedaan diri akan terwujud dengan
mudah.
Akhirnya hal tersebut akan melahirkan kekerasan yang tidak kasat mata
atau bisa disebut kekerasan simbolis. Kekerasan itu berlangsung karena
ketidaktahuan dan pengakuan dari yang ditindas.
Dalam cerpen “Ayam,” kekerasan dilakukan oleh penyair kepada orang-
orang yang tinggal di pinggir sungai dan kepada ibu-ibu yang biasa membuat kopi
atau minuman untuk pegawai kantor yang berisi para seniman.
Dalam cerpen “Suatu Malam Suatu Warung,” kekerasan dilakukan oleh
para penyair kepada pelacur tua dengan tuduhan-tuduhannya dan obyek candaan
mereka.
Dalam cerpen “Tahi,” kekerasan dilakukan oleh tokoh yang memberikan
tahi kepada sahabatnya untuk di makan. Walaupun itu berawal dari candaan
namun itu bisa menjadi simbol tentang bagaimana dia memperlakukan atau
mengerjai sahabatnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
2.7 Rangkuman
Hasil analisis untuk permasalah modal dari ketiga cerpen tersebut
menunjukkan bahea modal ekonomi tiap-tiap orang atau kelompok masyarakat
sangat beragam. Cerpen-cerpen tersebut lebih menonjolkan modal ekonomi dalam
bentuk uang. Bagaimana digambarkan dengan uang orang bisa membeli dan
membayar, bahkan memberi.
Kemudian modal sosial tidak ditunjukkan dengan adanya pendidikan yang
lebih baik ketimbang tokoh yang memiliki modal sosial kurang baik. Selain itu
juga ditunjukkan perbedaan posisi mereka dengan relasi yang mereka dalam
lingkungan sosial.
Lalu modal budaya lebih tinggi masih peduli dengan tokoh yang tidak
memiliki modal budaya cukup baik. Sikap-sikap tersebut sangat menunjukkan
bagaimana kelompok dengan modal budaya lebih kuat bisa menentukan nasib
kelompok-kelompok dengan modal budaya yang kurang baik. Kelompok tersebut
memegang peranan.
Selanjutnya ketiga cerpen SCB memang tidak ditunjukkan dengan sangat
kuat bentuk modal simboliknya. Cerpen SCB lebih mengedepankan simbol-
simbol yang terlihat biasa namun hal itu sanggup membedakan antara kelompok
yang satu dengan yang lainnya, antara orang yang satu dengan orang yang
lainnya.Hal-hal yang menonjol ditunjukkan adalah adanya perbedaan tempat
tinggal, makanan, dan hobi dari tiap-tiap orang ataupun kelompok masyarakat.
Walaupun begitu sudah sangat jelas perbedaan modal simbolik yang ada dan
ditampilkan dalam cerpen-cerpen tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
Hasil analisis kelas dari ketiga cerpen tersebut kelas dominasi ditandai
dengan kepemilikan uang dan posisi mereka dalam masyarakat. Mereka bisa
bebas bertindak untuk melakukan dominasi yang sebenarnya juga tidak mereka
sadari. Dominasi-dominasinya juga nampak dalam tindakan mereka terhadap
tokoh lainnya. Mereka seperti memegang kendali terhadap semua hal yang ada.
Dari ketiga cerpen tersebut, kelas borjouis kecil ditunjukkan dengan
adanya perjuangan yang mereka lakukan untuk mendapatkan posisi yang lebih
baik. Walaupun mereka juga bisa merasakan apa yang kelas bawahnya alami.
Mereka masih berusaha untuk menjadi normal seperti yang dilakukan oleh orang-
orang pada umumnya.
Ketiga cerpen SCB tersebut menggambarkan bagaimana kelas populer
hampir tidak memiliki modal-modal yang seperti dijabarkan oleh Pierre Bourdieu.
Sehingga mereka tidak berdaya ketika harus berhadapan dengan kelas yang
dominan. Mereka hanya bisa pasrah menerima apa yang meraka dapatkan dari
kelas dominan. Dalam cerpen “Suatu Malam Suatu Warung,” sebenarnya ada
perlawanan namun tokoh kelas populer tetap tidak sanggup menghadapi kelas
dominan karena merea kalah dalam segala modal.
Hasil analisis arena yang ada di dalam ketiga cerpen tersebut bisa
dikategorikan dalam kelompok besar yaitu arena sosial di dalam masyarakat
menengah yang hidup di perkotaan. Kehidupan-kehidupan biasa dalam keseharian
yang mempertemukan berbagai kalangan ditonjolkan di dalam cerpen SCB
tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
Bab ini merupakan kajian struktur yang membahas karya dengan
menganalis modal, kelas, habitus, arena, kekerasan dan kekuasaan. Dari hasil
analisis strukturasi kekuasaan di atas, sudah terlihat munculnya kekerasan
simbolik. Selanjutnya pembahasan mengenai kekerasan simbolik dalam cerpen
SCB tersebut akan dibahas di dalam bab III.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
BAB III
KEKERASAN SIMBOLIK
DALAM CERPEN “AYAM”,
“SUATU MALAM SUATU WARUNG”, DAN “TAHI”
DALAM KUMPULAN CERPEN HUJAN MENULIS AYAM
KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI
3.1 Pengantar
Kekerasan simbolik adalah kekerasan yang secara paksa mendapatkan
kepatuhan yang tidak dirasakan sebagai paksaan dengan bersandar pada harapan-
harapan kolektif dari kepercayaan-kepercayaan yang sudah tertanam secara sosial
(Rusdiarti, 2003:39).
Ada dua mekanisme kekerasan simbolik yaitu dengan bentuk eufemisme dan
mekanisme sensorisasi. Dalam bab ini akan dibahas mengenai bentuk kekerasan
yang ada di dalam kumpulan cerpen Hujan Menulis Ayam karya SCB.
Pembahasan juga akan sampai pada bagaimana dunia diciptakan dalam cerpen-
cerpen tersebut. Cerpen-cerpen itu adalah cerpen “Ayam,” “Suatu Malam Suatu
Warung,” dan “Tahi.”
3.2 Analisis Kekerasan Simbolik
Kekerasan simbolik bekerja dengan mekanisme-mekanisme
penyembunyian kekerasan yang dimiliki-menjadi sesuatu yang diterima sebagai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
yang memang seharusnya demikian. Ada dua mekanisme dalam kekerasan
simbolik, yaitu dengan Eufimisme dan Mekanisme Sensorisasi.
Selanjutnya bisa dilihat adanya penciptaan dunia bila orang bisa mengubah
hal-hal yang diterima begitu saja dengan hal-hal yang baru. Menciptakan dunia
hanya terjadi bila orang bisa mengubah bagaimana dunia diciptakan (Rusdiarti,
2003:39).
3.2.1 Eufimisme
Eufimisme biasanya membuat kekerasan simbolik tidak tampak, bekerja
secara halus, tidak dapat dikenali, dan dipilih secara “tak sadar.” Bentuknya dapat
berupa kepercayaan, kewajiban, kesetiaan, sopan santun, pemberian, utang,
pahala, atau belas kasihan (Rusdiarti, 2003:39).
Dalam ketiga cerpen SCB bentuk kekerasannya lebih dominan pada
simbol sopan santun, pemberian, utang, dan belas kasihan.
Cerpen “Ayam,” menunjukkan bagaimana hati-hatinya seorang dalam
membuang ayam. Hingga akhirnya dengan satir ditunjukkan bahwa bangkai ayam
tersebut tetap menjadi makanan untuk orang lain. Bahkan, mereka menikmati dan
menganggap membuang ayam pada sampah di kantor adalah sebuah kebenaran
tanpa berpikir kritis. Ayam bukan merupakan lambang dari sampah kantor. Ketika
orang lain dari kelompok kelas yang lebih rendah mendapatinya, mereka akan
berpikir bahwa itu adalah sebuah pemberian karena mereka merasa hal itu bukan
bentuk kekerasan.
“Pemalu juga rupanya Pak Abdul itu. Dia malu-malu kalau-
kalau kita tak mau terima. Jadi berlagak nyentrik dan pura-
pura pikun, dia taruh saja di keranjang sampah.” “Ah, bukan
pemalu. Bijak kok. Coba kalau di rumah langsung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
nyodorkan ayam mati kepada kita, tentu dia takut kalau-
kalau kita tersnggung. Omong-omong enak juga ya. Masih
ada nggak sisanya?” “kan sudah aku bawa pulang.”
Tiba-tiba kencingku terhenti. Aku sentakkan pint toilet
pergi ke Abdul, ingin membisikkan maafku dan
menceritakan segalanya (Bachri, 2001:84).
Pemberian-pemberian berupa uang juga ditampilkan dalam cerpen
tersebut. Pemberian dari kelas dominan kepada kelas yang ada di bawahnya. Hal
itu sudah menjadi simbol bahwa pemberian cuma-cuma adalah sebuah penindasan
dan lambang kekerasan. Di dalam pemberian tersebut juga terkandung rasa belas
kasihan kepada kelompok kelas lainnya.
Aku ingin memakinya. Tetapi kainnya yang kuyup gemetar,
kutangnya yang keriput dan basah, matanya yang kosong
menatap, menyumpal mulutku. Aku raba saku celana, aku
keluarkan uang seribu itu. Aku raba saku-saku yang lain
juga saku kemejaku. Aku memang ingat aku bawa uang
seribu itu. Tapi, dalam keadaan seperti ini aku benar-benar
mengharapkan keajaiban. Hanya seribu itulah yang aku
serahkan kepada wanita kuyu itu (Bachri, 2001:80).
Sedangkan dalam cerpen “Suatu Malam Suatu Warung,” para penyair
yang masih muda tersebut menampilkan simbol pemberian. Para pemuda
membayarkan pelacur tua makanan dan minuman walaupun mereka tidak
memakai jasanya. Bentuk itu bisa dilihat sebagai sebuah penghinaan, terlebih
memang beberapa kali mereka melakukan penghinaan. Para pemuda merasa tidak
perlu memakai jasa pelacur tua itu sehingga pelacur tua itu akan merasa tidak
mempunyai nilai di dalam kelas sosial.
Yang punya warung dengan ngantuk menghitung jumlah
kopi yang diminum dan apa-apa yang di makan mereka.
Dan bila dia menjumlahkan semua, Rahman menyuruhnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
manggabungkan pula dengan apa-apa yang dimakan pelacur
dan diminumnya (Bachri, 2001:25).
Selanjutnya di dalam cerpen “Tahi,” simbol yang ditonjolkan adalah
pemberian dan belas kasihan. Seorang tokoh yang dominan memberi makan dan
memberi rokok. Bahkan, memberikan uang. Hal satir yang muncul di dalam
cerpen ini adalah bagaimana tokoh yang dominan merasa bersalah dengan
keajadian temannya yang memakan tahinya.
Kuberikan rokok. Seorang sahabat telah memakan
serantang penuh tahiku. Aku akan memberikan segalanya
pada sahabatku.
Dua batang rokok sudah habis diisapnya, dan pada batang
rokok yang ketiga dia mau pulang.
“Kau mau?” kataku. Kugenggamkan semua uangku
padanya.
“Jangan semua,” katanya, “Beri aku hanya untuk kopi saja.”
(Bachri, 2001:33).
3.2.2 Mekanisme Sensorisasi
Mekanisme sensorisasi menjadikan kekerasan simbolik tampak sebagi
bentuk dari pelestarian semua bentuk nilai yang dianggap sebagi “moral
kehormatan,” seperti kesantunan, kesucian, kedermawanan, dan sebagainya yang
biasanya dipertentangkan dengan “moral rendah,” seperti kekerasan, kriminal,
ketidakpantasan, asusila, kerakusan, dan sebagainya (Rusdiarti, 2003:39).
Dalam cerpen-cerpen SCB yang menunjukkan adanya kekerasan melalui
mekanisme sensorisasi adalah dengan kesantunan dan kedermawanan.
Kesantunan bisa dilihat dari ucapannya kepada kelompok lain dan kedermawanan
bisa dilihat dari bentuk pemberian yang cuma-cuma.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
Cerpen “Ayam,” kesantunan tokohnya terletak pada saat dia hendak
memaki orang yang mengambil bangkai ayam yang sudah dibuang ke sungai
namun keadaan fisik orang yang hidup di pinggir sungai membuatnya tidak
mampu untuk melakukannya.
Aku ingin memakinya. Tetapi kainnya yang kuyup
gemetar, kutangnya yang keriput dan basah, matanya yang
kosong menatap, menyumpal mulutku. Aku raba saku
celana, aku keluarkan uang seribu itu. Aku raba saku-saku
yang lain juga saku kemejaku. Aku memang ingat aku bawa
uang seribu itu. Tapi, dalam keadaan seperti ini aku benar-
benar mengharapkan keajaiban. Hanya seribu itulah yang
aku serahkan kepada wanita kuyu itu (Bachri, 2001:80).
Permintaan maafnya kepada bos sebuah kantor yang tidak lain adalah
temannya juga merupakan bentuk kesantunannya. Selain itu dia juga melakukan
kedermawanannya. Hal itu berbeda dengan yang dilakukan oleh istrnya yang tidak
bisa memberi uang cuma-cuma.
Selanjutnya di dalam cerpen, “Suatu Malam Suatu Warung,”
kedermawanan tokohnya ditunjukkan dengan membayarkan pelacur tua itu
makanan dan minuman yang telah dimakannya. Walaupun di dalam cerita ini
tidak digambarkan kesantuanannya karena menuduh-nuduh pelacur tua itu sakit
sipilis.
Sedangkan di cerpen “Tahi,” kedermawanan dan kebaikannya terlihat dari
bagimana tokoh dominan di dalam cerita itu memberikan makan, rokok, dan uang
kopi. Dia tidak ada niatan kawannya memakan tahinya karena dia juga
membelikan nasi rames untuk kawannya ketika pulang.
Senja datang. Aku pulang. Sebungkus nasi rames dalam
tangan dan di kantongku masih ada uang. Kudorong pintu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
Ha ha haha! Dia sedang membaca seenaknya (Bachri,
2001:31).
3.2.3 Menciptakan Dunia
Dalam menciptakan dunia, manusia harus mengubah bagaimana dunia itu
diciptakan. Kekuasaan simbolik adalah kekuasaan menciptakan dunia. Dengan
memiliki kekuasaan simbolik, pelaku sosial memiliki kekuasaan untuk
menciptakan atau menghancurkan, memisahkan atau menyatukan, dan yang lebih
penting lagi kekuasaan untuk memberi nama atau membuat defenisi:
maskulin/feminin, atas/bawah, kuat/lemah, bahkan juga baik/buruk, benar/salah,
dan lain-lainnya (Rusdiarti, 2003:39).
Dalam ketiga cerpen SCB ada perisiwa-peristiwa di mana dunia
diciptakan. Cerpen “Ayam,” ditunjukkan dengan istri dari penyair tersebut tidak
mau memberikan uang cuma-cuma. Orang harus bekerja dan berjuang. Penciptaan
dunia baru menghapuskan rasa belas kasihan yang menjadi salah satu indikasi
kekerasan simbolik.
Penciptaan dunia baru juga dimunculkan dengan perasaan bersalah dari
kelas dominan. Cerpen “Ayam” dan “Tahi” menggambarkan tentang bagaimana
kelas dominan menjadi merasa bersalah atas perbuatan mereka.
3.3 Rangkuman
Dalam ketiga cerpen SCB bentuk kekerasannya lebih dominan pada
simbol sopan santun, pemberian, utang, dan belas kasihan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
Contohnya dalam cerpen “Ayam,” menunjukkan bagaimana hati-hatinya
seorang dalam membuang ayam. Hingga akhirnya dengan satir ditunjukkan
bahwa bangkai ayam tersebut tetap menjadi makanan untuk orang lain. Bahkan,
mereka menikmati dan menganggap membuang ayam pada sampah di kantor
adalah sebuah kebenaran tanpa berpikir kritis. Ayam bukan merupakan lambang
dari sampah kantor. Ketika orang lain dari kelompok kelas yang lebih rendah
mendapatinya, mereka akan berpikir bahwa itu adalah sebuah pemberian karena
mereka merasa hal itu bukan bentuk kekerasan.
Kemudian dalam cerpen-cerpen SCB yang menunjukkan adanya
kekerasan melalui mekanisme sensorisasi adalah dengan kesantunan dan
kedermawanan. Kesantunan bisa dilihat dari ucapannya kepada kelompok lain dan
kedermawanan bisa dilihat dari bentuk pemberian yang cuma-cuma.
Lalu dalam penciptaan dunia baru, ditunjukkan dalam cerpen “Ayam,”
istri dari penyair tersebut tidak mau memberikan uang cuma-cuma. Orang harus
bekerja dan berjuang. Penciptaan dunia baru menghapuskan rasa belas kasihan
yang menjadi salah satu indikasi kekerasan simbolik. Cerpen “Ayam” dan “Tahi”
menggambarkan tentang bagaimana kelas dominan menjadi merasa bersalah atas
perbuatan mereka.
Dalam bab ini dibahas mengenai berbagai mekanisme kekerasan simbolik.
Analisis kekerasan simbolik yang mencakup mekanisme eufimisme dan
mekanisme sensorisasi. Praktik kekerasan tersebut ditemukan di dalam cerpen-
cerpen karya SCB. Akan tetapi, penciptaan dunia juga terjadi di dalam karya
tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Cerpen-cerpen Sutardji Calzoum Bachri lebih banyak menggambarkan
kehidupan sosial masyarakat. Sutardji seperti menangkap kehidupan sehari-hari
masyarakat dan dituangkan ke dalam cerpen-cerpennya. Melalu simbol-simbol
dan bentuk-bentuk yang sederhana, cerpen tersebut menampilkan perbedaan-
perbedaan kelas di dalam masyarakat.
Perbedaan-perbedaan tersebut tidak harus melulu tentang kelompok
dominan yang digambarkan dengan penguasa yang kaya raya dan memiliki
banyak uang. Sedangkan kelompok yang tertindas adalah kelompok-kelompok
yang sangat miskin hingga tidak sanggup berbuat apapun. Akan tetapi cerpen-
cerpen tersebut menggambarkan tentang masyarakat yang hidup biasa-biasa saja
dan terlihat normal namun praktik kekerasan juga terjadi di sana.
Dari cerpen-cerpen yang sudah dianalisis terlihat jelas bahwa modal
ekonomi menjadi modal paling kuat di dalam masyarakat. Modal ekonomi
menjadi pilar berharga bila orang ingin berjuang di dalam sebuah arena. Selain itu
habitus tiap-tiap kelas juga berbeda-beda dan tidak mungkin kita
menyamakannya. Hal itu terbentuk sangat lama hingga menjadi sebuah kebiasan.
Penciptaan dunia baru-lah yang akan bisa mengubahnya. Habitus yang tertanam
itu terlihat sekali sangat mempengaruhi kehidupan masing-masing kelompok
masyarakat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
Kekerasan simbolik yang ada di dalam cerpen tersebut digambarkan
dengan sangat halus melalui tingkah laku, cara hidup dan simbol-simbol yang ada
di dalam setiap tokoh. Kekerasan itu tidak menjurus ke dalam hal-hal yang fisik
melainkan melalui simbol-simbol yang dibangun oleh tokoh yang lebih kuat
kepada tokoh yang lebih lemah.
Bentuk kekerasannya bermacam-macam namun pihak yang menerima
kekerasan itu merasa dirinya layak mendapatkannya. Bahkan bukan lagi menjadi
sebuah kekerasan. Selanjutnya yang menarik dicatat adalah ketika tokoh yang
melakukan kekerasan itu menjadi kecewa dan sadar akan tindakan-tindakannya.
4.2 Saran
Kumpulan cerpen Hujan Menulis Ayam karya Sutardji Calzoum Bachri
memiliki banyak simbol-simbol. Cerpen tersebut juga bisa diteliti dalam
hubungannya dengan sejarah dan tentang keterkaitan simbol-simbol di dalam
sejarah karena semua cerpennya ditulis ketika masa Orde Baru.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
DAFTAR PUSTAKA
Bachri, Sutardji Calzoum. 2001. Hujan Menulis Ayam. Magelang: Yayasan
Indonesia Tera
Bourdieu, Pierre. 2010. Arena Produksi Kultural. Diterjemahkan oleh Yudi
Santosa. Yogyakarta: Kreasi wacana
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan
Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra. Jakarta: Buku Seru
Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Haryatmoko. 2016. Membongkar Rezim Kepastian. Yogyakarta: Kanisius
Haryatmoko. 2003. “Menyingkap Kkepalsuan Budaya Penguasa”. dalam Majalah
Basis, No.11-12, November-Desember 2003, hlm. 5-23
Martono, Nanang. 2012. Kekerasan Simbolik di Sekolah. Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada
Pradopo, Rachmat Djoko. 2012. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rusdiarti, Suma Riella. 2003. “Bahasa, Pertarungan Simbolik dan Kekuasaan”.
dalam Majalah Basis, No.11-12, November-Desember 2003, hlm. 31-40
Saraswati, Ekarini. 2003. Sosiologi Sastra. Malang: UMM Press
Takwin, Bagus. 2003. Akar-akar Ideologi. Yogyakarta: Jalasutra.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
Teeuw, A. 1989. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI