Strategi Petani dalam Pengelolaan Irigasi
Transcript of Strategi Petani dalam Pengelolaan Irigasi
Strategi Petani dalam Pemenuhan Kebutuhan
Air Irigasi di Daerah Irigasi Wanir
(studi kasus di Dusun Leles Desa Mekarsari Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung)
SKRIPSI
Hardian Eko Nurseto
G1E03002
Jurusan Antropologi Sosial
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Padjadjaran
2009
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penelitian yang dilakukan ini mengenai strategi petani dalam pemenuhan
kebutuhan air irigasi pada Daerah Irigasi Wanir. Penelitian ini bermaksud
menggambarkan bagaimana petani di Dusun Leles Desa Mekarsari Kecamatan
Ciparay Kabupaten Bandung berkerjasama dalam menjamin ketersediaan air irigasi
mereka sepanjang tahun.
Daerah Irigasi Wanir berada pada daerah hulu subDAS Citarum yang
mengairi lahan seluas 2062.5 ha dan tersebar dalam 14 desa di 3 kecamatan yaitu
kecamatan Pacet, Ciparay dan Majalaya. Selama periode kekeringan tahun 2006,
debit air di bendungan Wanir mengalami penyusutan hingga 8366 l/detik (9160
l/detik menjadi 794 l/detik). Dampaknya adalah sekitar 1.500 hektar sawah di Pacet,
Ciparay, dan Majalaya gagal panen (data sekunder Dinas pengairan Ciparay, 2007).
Pada musim penghujan sungai Citarum sering kali meluap dan membanjiri
pemukiman dan persawahan. Keterangan yang dihimpun Antara menyebutkan
sebanyak lima desa di Kecamatan Majalaya dan Ciparay tercatat dilanda banjir
cukup parah dengan ketinggian antara 0,5 meter hingga 1,5 meter di persawahan dan
permukiman penduduk. Di Kecamatan Ciparay, banjir bandang Sungai Citarum
melibas dua desa yaitu Desa Sumbersari dan Mekarsari yang mengakibatkan 384
2
rumah yang dihuni 1.392 jiwa terendam air setinggi 0,5 hingga satu meter. Selain itu
sekitar 215 hektare sawah yang siap panen terancam membusuk karena terendam air
(Media Indonesia, 9-04-2001).
Ketersediaan air irigasi sangat penting dalam pertanian, karena air dapat
memelihara stuktur tanah, menghambat dan menekan pertumbuhan gulma, mengatur
tinggi rendahnya suhu tanah, dan membawa zat hara yang diperlukan oleh padi
(Siregar, 1981:180). Idealnya air harus selalu tergenang selama kurang lebih 80 hari,
dan 20 hari sisanya atau menjelang masa panen, sawah tidak memerlukan banyak air,
bahkan harus dikeringkan (Hardjono, 1990). Namun, sifat dan jumlah pasokan air
bisa tak terduga, ketika musim kemarau air sulit untuk didapat dan dapat mengancam
pertumbuhan, dan terkadang di musim hujan jumlah air di saluran-saluran irigasi
melewati batas dan menimbulkan banjir di petak-petak sawah, sehingga diperlukan
berbagai strategi untuk menyiasati dan menjamin ketersediaan air guna
mempertahankan produktifitas pertanian.
Penelitian Krishna (2000) di Rajathan India Selatan tentang keterlibatan
penduduk desa dalam proyek penampungan air menunjukkan bahwa resiko
kekurangan pasokan air dapat diselesaikan bersama-sama oleh warga desa. Salah
satu upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah berkerjasama
dan menciptakan organisasi perkumpulan pemakai air. Jadi, berbagai upaya
masyarakat dalam pengelolaan air dapat memunculkan tindakan-tindakan bersama
dengan tujuan untuk menghindari dan menyelesaikan persoalan pasokan air.
3
Dalam menjamin ketersediaan air, terutama di Jawa, kelompok-kelompok
petani membangun jaringan irigasi dengan memanfaatkan aliran sungai untuk
mengairi sawah-sawah mereka. Irigasi tidak dapat dilaksanakan secara perorangan,
berbagai kegiatan keirigasian menuntut kerjasama diantara para petani yang
bersangkutan. Petani-petani Jawa menjawab tuntutan itu dengan mengembangkan
kerjasama yang erat diantara mereka, dan kerjasama yang erat itu menjadi landasan
bagi munculnya peradaban khas masyarakat pertanian padi pada masa lampau, yaitu
peradaban pengairan (hidraulic civilization) (Hutapea, 1996: x).
Pada masyarakat Bali, para petani-petani Bali mengembangkan teknologi
irigasi yang kita kenal dengan nama Subak1. Dalam organisasi Subak kerjasama
antar petani juga menjadi faktor penting dalam penyediaan dan pendistribusian air
irigasi. Ketika musim kemarau misalnya, dalam menghadapi kekurangan air mereka
mengembangkan sistem pinjam-meminjam air antar Subak dalam satu aliran sungai.
Penelitian Wayan Widia mengenai pengelolaan irigasi dalam kasusnya di Subak
Agung Yeh Ho, Tabanan-Bali menjelaskan, bahwa dalam menghadapi kekurangan air
pada musim kemarau Subak / Subak Gede saling meminjamkan air yang difasilitatori
oleh Subak Agung dalam kasus ini adalah Subak Agung Yeh ho. Apabila ada Subak di
hilir yang membutuhkan pinjaman air irigasi, maka mereka melapor kepada Pekaseh
(pimpinan) Subak Agung yang kemudian akan meninjau Subak yang kekurangan air
dan menghubungi Subak yang akan dipinjami air. Apabila persediaan air di Subak
1 Subak adalah lembaga yang mengatur dan menyalurkan air ke sawah-sawah untuk pertanian dan juga sangat efktif digunakan untuk memungut pajak tanah (Liefrinck dan Graeder dalam Shusila 1992: 213-215).
4
yang akan di pinjami air memungkinkan untuk dipinjam, maka penjaga pintu
bendung akan mengalirkan air untuk Subak yang membutuhkan. Pada umumnya
Subak di Hulu akan meminjamkan beberapa saat (beberapa hari) untuk dapat
menolong temannya yang ada di daerah hilir (Widia, 1996, dalam Kurnia, 1997:
247).
Pinjam-meminjam air ini bisa terjadi karena adanya kerjasama yang dilandasi
oleh rasa persaudaraan dan rasa persatuan antara Subak-Subak di wilayah sungai Yeh
Ho. Pertemuan-pertemuan mereka dalam upacara adat di pura-pura menjadi pemicu
rasa persatuan dan persaudaraan diantara mereka.
Namun, dalam telaah kesejarah yang dilakukan oleh S.R. Hutapea nilai-nilai
kerjasama dan kebersamaan dalam pengelolaan irigasi pada periode Sebelum
Penjajahan, Penjajahan, Republik Indonesia, mengalami gangguan yang semakin
lama semakin serius sejak periode Penjajahan. Melemahnya kerjasama dan
berkembangnya individualisme dalam pengelolaan irigasi terus berlanjut hingga ke
masa pemerintahan Orde Baru. Pembentukan Perkumpulan Petani Pemakai Air
(P3A) oleh pemerintah ternyata belum berfungsi dengan baik. Sistemnya yang
seragam seluruh Indonesia, membuat petani menjadi pasif, dan hanya bergerak jika
diperintah (Asnawi, 1996, dalam Hutapea, 1996: 43-45).
Mengacu pada Hutapea dan Asnawi yang melihat penurunan tingkat
kerjasama petani, Penelitian ini akan berusaha melihat apakah petani di Dusun Leles
Desa Mekarsari melakukan kerjasama dalam pengadaan air irigasi demi terjaminnya
pasokan air pada sawah-sawah mereka? Penelitian ini juga ingin mencoba
5
mengungkapkan lebih dalam tentang strategi kerjasama yang dilakukan petani dalam
menjaga pasokan air pada petak-petak sawahnya. Selain itu, penelitian ini juga akan
membandingkan pola-pola kerjasama yang dilakukan petani antara musim kemarau
yang sulit air dan musim penghujan yang surplus air.
1.2. Masalah Penelitian
Petani di Dusun Leles Desa Mekarsari sudah sejak lama menggunakan
saluran irigasi Wanir untuk memasok air ke sawah-sawah mereka. Di lihat dari sisi
geografisnya letak Dusun Leles Desa Mekarsari berada pada ketinggian 700 mdpl
dan terletak di hilir saluran irigasi, membuat daerah ini hanya mendapatkan air sisa
dari daerah lain diatasnya dan sering kekurangan pasokan air pada musim kemarau.
Begitu pula pada musim penghujan, karena letaknya yang berada dihilir membuat
daerah ini kerap dilanda banjir akibat meluapnya air dari sungai citarum ataupun
saluran irigasi yang pintu-pintu airnya rusak atau hilang.
Ketidakstabilan pasokan air irigasi ini akan menimbulkan permasalan dalam
mekanisme pembagian air. Hal tersebut akan membawa kita pada permasalahan
bagaimana strategi yang dilakukan petani dalam rangka menjamin ketersedian air
irigasi di petak-petak sawahnya. Penelitian ini ingin melihat bagaimana petani
membuat kerjasama dalam pemenuhan kebutuhan air irigasi untuk menjamin
ketersediaan air irigasi pada lahan pertaniannya, guna mempertahankan produktifitas
pertanian mereka.
Berdasarkan uraian diatas maka pertanyaan penelitian difokuskan kepada :
6
1. Bagaimana pengelolaan irigasi di Dusun Leles Desa Mekarsari Kecamatan
Ciparay Kabupaten Bandung?
2. Bagaimana petani berkerjasama dalam pemenuhan kebutuhan air irigasi
untuk menjamin ketersediaan air irigasi di musim kemarau dan musim
penghujan?
1.3. Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana petani
melakukan strategi kerjasama dalam pemenuhan kebutuhan air irigasi di Dusun Leles
Desa Mekarsari Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung dalam menghadapi
fluktuasi air irigasi dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya. Selain itu
penelitian ini juga berusaha membandingkan antara strategi yang dilakukan petani
pada musim kemarau dan musim penghujan terkait dengan perbedaan pasokan air
irigasi.
1.4. Tinjauan Pustaka
1.4.1. Petani
Petani (Peasant) merupakan masyarakat yang mencari nafkahnya dan
mengambil cara hidup dengan mengelola tanah. Pertanian yang dilakukan dalam hal
ini adalah suatu mata pencaharian hidup dan bukan merupakan kegiatan untuk
mencari keuntungan (Redfield, 1982:19). Wolf (1985:2) membedakan petani
menurut kegiatan usahanya kedalam dua kelompok: Pertama, pengusaha pertanian
7
(farmer) yaitu pengelola perusahaan pertanian dengan mengkombinasikan faktor-
faktor produksi yang diupayakan dengan sejumlah modal kemudian hasil produksi
dijual ke pasar untuk memperoleh keuntungan. Kedua, petani pedesaan (peasant)
yaitu petani yang bercocok tanam di daerah pedesaan, ia tidak melakukan usaha
pertanian sebagai sebuah perusahaan bisnis tetapi hanya mengelola lahan pertanian
untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Scott (1989:62) melihat petani dari sudut pandang moral yang hidup dalam
pola subsisten (yaitu rumah tangga petani yang mengerjakan suatu lahan kecil untuk
dikonsumsi sendiri) dan enggan mengambil resiko. Pada prinsipnya petani
beranggapan bahwa pertanian bukanlah suatu usaha yang ekonomis untuk
memperoleh keuntungan melainkan suatu usaha pertanian subsistensi yang semata-
mata bertujuan untuk menghasilkan pangan (Scott. 1989:22).
Pandangan lain mengenai petani diungkapkan oleh Popkins (1986:4) yang
lebih mengakui adanya rasionalitas petani yang akan terus memaksimalkan
sumberdaya dan kemakmuran sendiri. Dalam kehidupan petani terdapat resiko yang
mereka ambil, walaupun mereka sangat miskin dan dekat dengan garis bahaya,
namun cukup banyak kejadian para petani masih mempunyai sedikit kelebihan dan
kemudian melakukan tindakan investasi yang beresiko. Ia membantah anggapan
bahwa petani enggan mengambil resiko ketika mereka mengevaluasi strategi-strategi
ekonomi dan anggapan-anggapan bahwa mereka lebih menyukai strategi kecil tapi
mendatangkan hasil yang pasti daripada strategi yang dapat menghasilkan hasil yang
besar tapi dapat mendatangkan resiko yang besar pula (Popkin, 1986:14-15).
8
1.4.2. Sumber Daya Air
Pentingnya air irigasi bagi pertanian ini menjadikan “air” sebagai sumber
daya2 bagi petani dan mengandung arti bahwa adanya akses3 terhadap sumber daya
tersebut. Menurut Garret Hardin (1968, dalam Cousins 1995) apabila suatu
sumberdaya itu open access atau tidak ada hak milik, sumber daya ini dapat dimiliki
oleh setiap orang, dan hal ini sama saja dengan tidak dimiliki oleh siapapun,
sehingga dapat dipakai secara bebas. Hal ini menurut Hardin akan menyebabkan
“Tragedy of the Common” karena dengan akses terbuka (open access), akan terjadi
over-eksploitasi sumber daya tersebut yang akan menyebabkan rusaknya sumber
daya tersebut. Hardin berpendapat bahwa akses terbuka akan mendorong aktor-aktor
rasional untuk memaksimalkan penggunaan sumber daya yang pada akhirnya
menyebabkan penurunan kualitas sumber daya tersebut. Namun, pendapat Hardin ini
memunculkan kritik-kritik terhadapnya, karena model tragedy of the commons gagal
membedakan antara akses terbuka dan kepemilikan komunal.
2 Sumber daya adalah hasil dari pendapat, keinginan, keahlian, teknologi, modal, hukum, dan penataan secara institusi, seperti halnya kebiasaan politik. Apa yang menjadi sumber daya di suatu daerah mungkin hanya merupakan benda biasa saja di daerah lainnya (Mitchell,1989).
Menurut Koning (2001: 262) sumber daya adalah aset, hak milik, produk, sarana-sarana, kepunyaan, kekayaan, nasib baik, kemakmuran dan modal.
Sumber daya menurut Bromley ialah benefit stream atau aliran manfaat yang bisa diperoleh untuk mencapai tujuan. Secara umum Sumber daya merupakan “energi” yang bisa dimanfaatkan untuk mencapai tujuan.3 Akses (acces), di dalam The Concise Oxford Dictionary (1991: 7), dapat diartikan sebagai 1) sebuah jalan untuk mendatangkan atau mencapai sesuatu; 2) Hak atau kesempatan untuk menjangkau sesuatu; 3) merujuk pada kepentingan kelompok tertentu untuk mengerjakan sesuatu.
Akses dapat dilihat secara kepemilikan atau penguasaan, bagaimana seseorang dapat mengakses yang menjadi miliknya dan bukan hak miliknya, atau bagaimana seseorang memiliki akses terhadap sesuatu yang bukan hak miliknya melalui penguasaan tanpa memilikinya.
9
Common property is not “everybody’s property”. The concept implies that potential resource users who are not members of a group of co-equal owners are excluded. The concept “property” has no meaning at all without this feature of exclusion of all who are not either owners themselves or have some arrangement with owners to use the resource in question (Cousins, 1995: 4).
Menurut pendapat tersebut di bawah kepemilikan bersama, hak individual
dapat dibatasi dan diatur sehingga eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya dapat
dicegah. Bromley dan Cernea (1989) menyatakan bahwa sumber daya bukan dilihat
dari aspek fisik melainkan lebih pada unsur-unsur sosial yang terkait dalam
pemanfaatan sumber daya tersebut. Hak pemanfaatan sumber daya ditentukan oleh
anggota-anggota masyarakat beserta aturan –aturan yag telah disepakati.
Bromley dan Carnea (1989) membagi kepemilikan dan pengaturan atas
sumberdaya ke dalam empat kategori, yaitu open-acces (sumber daya yang berhak
diakses oleh siapa saja, misalnya udara, sinar matahari); commom property (sumber
daya milik bersama dan bukan milik pribadi) sumber daya ini hanya dapat diakses
oleh suatu kelompok masyarakat yang memiliki kekuasaan untuk mengunakan
sumber daya itu. Penggunaan sumber daya tersebut diatur oleh sistem tertentu yang
telah disepakati oleh masyarakat pengguna sumber daya tersebut ; state property
(sumber daya milik negara) penggunaan sumber daya ini dikontrol langsung oleh
negara, dan penggunaannya diautr oleh undang-undang dalam suatu negara, misalnya
PLN (Perusahaan Listrik Negara); dan private property (sumber daya milik
perorangan).
10
Sependapat dengan Bromley dan Carnea ternyata air irigasi tidaklah open
access, Akses petani terhadap air irigasi tergantung pada banyak hal seperti,
kepemilikan fisik, kedekatan tempat tinggal dengan sumber daya, dan hubungan-
hubungan sosial dengan pengambilan kebijakan pengelolaan air, inilah yang disebut
modal. Mereka yang memiliki modal besar dan kontrol terhadap sumber daya, dalam
artian memiliki teknologi dan sarana penyaluran air, dekat dengan sumber air atau
bahkan menguasaianya, serta memiliki hubungan yang baik dengan pengaturan
tingkat desa, hampir selalu mempunyai akses istimewa pada sumber daya air dan
lebih mampu mengeksploitasinya (Benda-Beckman, Franz von dan Keebet Von
Benda-Beckman, 2001: 41).
Pengelolaan sumber daya tentu saja berhubungan dengan pranata sosial,
karena merupakan sistem yang menjadi wahana yang masyarakat dalam berinteraksi
menurut pola-pola resmi. Pranata juga dapat dibatasi sebagai sistem norma khusus
atau sistem aturan yang menata suatu ruang kajian tindakan berpola mantap guna
memenuhi suatu keperluan khusus manusia dalam kehidupan bermasyarakat
(Koentjaraningrat, 1992). Pranata sosial yang dikembangkan di berbagai tempat
memenuhi fungsinya masing-masing secara khusus mengacu ke bentuk-bentuk
persoalan yang dihadapi masyarakat. Van de Ven, misalnya menunjukan bagaimana
pembagian waktu antar orang di dalam pengelolaan pertanian sebagai perwujudan
solidaritas telah menyebabkan teratasinya persoalan pangan yang dihadapi penduduk.
(Van de Ven, 2000: 90, dalam Abdullah, 2004).
11
1.4.3. Strategi Petani dalam Pengelolaan Irigasi.
Petani sebagai pengelola lahan pertanian tentunya harus menjamin
ketersediaan air pada petak-petak sawah mereka, agar proses produksi mereka
berjalan dengan baik. Penyediaan dan pengendalian air merupakan faktor yang
penting dalam penanaman padi. Air yang berlebih sama besar bahayanya dengan
kekurangan air, dan untuk mengatasi permasalahan tersebut biasanya petani-petani
memiliki mekanisme tertentu dalam pemenuhan kebutuhan atas air dengan mengacu
pada waktu (Geertz, 1983:31).
Variasi-variasi keadaan alam dan kemampuannya di dalam mendukung
pemenuhan kebutuhan hidup merupakan hal penting untuk dilihat secara seksama di
berbagai tempat karena hal ini dapat memperkuat desakan untuk membuat strategi
yang tepat, apakah itu terkait dengan rekayasa lingkungan alam, maupun cara lain
yang dapat mengatasi kelangkaan sumberdaya itu. (Benda-Beckmann et al. 1988
dalam Benda-Beckmann 2001).
Dalam mengahadapi ketidakpastian pasokan air baik di musim kemarau
maupun penghujan petani dapat mengembangkan suatu strategi untuk menjamin
ketersediaan air irigasi. Yang dimaksud dengan strategi disini adalah rencana jangka
panjang dengan diikuti tindakan-dalam menggunakan kemampuan, sumber daya dan
lingkungan secara efektif untuk mencapai tujuan tertentu. Terdapat empat unsur
penting yang saling berkaitan dalam pengertian strategi, yaitu: kemampuan, sumber
12
daya, lingkungan, dan tujuan (Mulyana, 2007) 4. Jadi dalam konteks penelitian ini,
ketidakpastian pasokan air irigasi ke petak-petak sawah membuat petani melakukan
strategi dengan mengembangkan kerjasama untuk tujuan menjamin ketersediaan air
irigasi.
Dalam mengembangkan kerjasama, petani dapat menggunakan hubungan
sosial dan jaringan sosial5 untuk menjamin ketersediaan air irigasi. Dalam
masyarakat terdapat berbagai bentuk ikatan sosial yang berfungsi dengan baik, baik
itu ikatan antarorang dalam berbagai bentuknya maupun ikatan antarkelompok.
Ikatan ini membentuk suatu jaringan yang didasarkan pada berbagai prinsip.
Keluarga atau kerabat menjadi prinsip yang mendasar dalam berbagai transaksi
sosial. Yang secara umum memiliki implikasi yang luas hingga keluar batas keluarga
dan kerabat. Ikatan kekerabatan dapat mempengaruhi struktur akses yang bersifat
ekonomi atau bersifat politik dalam usaha akumulasi kekayaan dan kekuasaan.
Proses yang sama terjadi pada ikatan tempat tinggal dan ketetanggaan. Hubungan-
hubungan ketetanggaan yang diidealkan dalam suatu masyarakat dapat menjadi basis
yang kuat didalam menggalang kekuatan serta mobilisasi dana dan tenaga kerja.
Gotong royong misalnya, kegiatan ini sangat fungsional bagi pemecahan persoalan
4 Konsep dari strategi akan lebih dimengerti bila dibandingkan dengan taktik. Taktik mencakup pilihan terbaik yang telah dipilih pada keputusan tingkat strategi. Taktik yang memiliki ruang lingkup yang lebih sempit dan waktu yang lebih singkat.5 Jaringan sosial adalah suatu rangkaian hubungan yang teratur atau hubungan sosial yang sama diantara individu-individu atau kelompok-kelompok (Granovetter dan Swedberg, 1992 dalam Damsar, 1997). Jaringan sosial terbentuk dalam masyarakat karena seseorang tidak dapat dan tidak mau berhubungan dengan semua orang yang ada, tetapi hubungannya selalu terbatas pada sejumlah orang saja. Begitu juga, setiap orang belajar dari pengalamannya untuk masing-masing memilih untuk mengembangkan hubungan-hubungan sosial yang tersedia di masyarakatnya. (Suparlan, 1988).
13
sehari-hari yang dihadapi penduduk. Ikatan-ikatan semacam ini menjadi dasar
adanya kohesi sosial dan solidaritas dalam masyarakat yang telah ditunjukan sebagai
ikatan yang kuat untuk menghadapi berbagai persoalan dalam hidup manusia.
Jaringan ini pada gilirannya akan menjadi sumber penting yang siap dimanfaatkan
oleh anggota dalam mengakses berbagai kesempatan dan kepentingan. Pada saat
mekanisme formal tidak mampu merespon kebutuhan penduduk, maka jaringan ini
akan membentuk kekuatan yang telah teruji (Abdullah, 2004).
Ostrom (2000) mengungkapkan bahwa persoalan tentang sumber daya air yang
berkaitan dengan kualitas dan kuantitasnya harus menyadarkan semua pihak bahwa
persoalan air perlu dikelola secara bersama-sama dalam sebuah organisasi6, dalam
hal ini adalah organisasi irigasi. Organisasi irigasi adalah pola-pola interaksi diantara
manusia secara langsung ataupun tidak langsung, berkepentingan dengan irigasi
tersebut. Berarti irigasi sebagai suatu organisasi sosial menyangkut bagaimana orang
bersangkut-paut dengan pengairan saling berhubungan satu sama lain.
Menurut Coward (1980), fungsi organisasi irigasi di dalam aktifitasnya dapat
dikategorikan kedalam tiga bagian.
Pertama, aturan-aturan yang menetapkan atau mengontrol
pengalokasian dan pendistribusian air untuk sawah-sawah.
Kedua, aturan untuk memobilisasikan para petani dan sumber-
sumber lainnya didalam pemeliharaan dan perbaikan irigasi.
6 Pengorganisasian merupakan pengaturan kegiatan yang didalamnya terdapat pembagian kerja, tugas, hak dan kewajiban dalam sebuah kesatuan atau kelompok.
14
Ketiga, aturan-aturan yang menyelesaikan perselisihan diantara
petani yang disebabkan oleh air.
Aturan-aturan ini didalamnya juga meliputi kedudukan dan peranan-peranan individu
dan kelompok yang secara langsung atau tidak langsung berkepentingan dengan
irigasi yang dapat mempengaruhi ketiga kategori tersebut.
Selain pembentukan organisasi irigasi, menurut Wolf (1985:42) dalam
menghadapi cobaan yang berat, petani akan membuat pesekutuan-pesekutuan.
Persekutuan ini dinamakan koalisi dalam arti kombinasi atau persekutuan terutama
yang bersifat sementara antara orang, golongan, negara. Koalisi-koalisi petani ini
oleh Wolf (1985:144) dibedakan kedalam tiga kriteria, yaitu: (1) tingkat koalisi yang
dibentuk antara orang-orang yang mempunyai banyak kepentingan yang sama
(koalisi banyak benang atau manystranded) atau antara orang-orang yang terikat oleh
satu kepentingan tunggal (koalisi satu benang atau singlestranded). Koalisi yang
banyak benang terbentuk oleh banyak ikatan yang jalin-menjalin dan saling
mencakup dengan mengandalkan hubungan kerabat atau sahabat atau tetangga. (2)
jumlah orang yang terlibat koalisi. Koalisi itu diadik yang melibatkan dua orang atau
dua kelompok orang, atau koalisi itu poliadik yang melibatkan banyak orang atau
banyak kelompok orang. (3) apakah koalisi itu terbentuk oleh orang-orang yang
mempunyai peluang-peluang hidup yang sama dan menduduki posisi yang sama
dalam tatanan sosial, ataukah oleh orang-orang yang menduduki posisi berbeda
dalam tatanan sosial.
15
1.5. Kerangka Pemikiran
Kestabilan pasokan air yang di setiap musim menjadi tantangan petani di
Dusun Leles. Kelangkaan air di musim kemarau dan berlimpahnya air di musim
penghujan merupakan masalah yang menuntut strategi ke arah kerjasama agar lahan
garapan tetap berproduksi. Kerjasama antar pemakai saluran irigasi menjadi penting
karena air tidak dimiliki satu orang saja dan resiko ketika pasokannya tidak stabil
juga tidak ditanggung satu orang saja. Selain sebab alami seperti musim, faktor sosial
juga menjadi penyebab ketidakstabilan (sifat air sebagai sumberdaya) yakni, akan
diperebutkan jika pemakai lebih besar daripada yang tersedia. Persaingan menjadi
sesuatu yang tidak bisa dihindari antar pengguna air irigasi.
Pengaturan irigasi agar sesuai kebutuhan pada akhirnya menuntut strategi dari
para penggunanya. Strategi yang dimaksud adalah hubungan-hubungan sosial dalam
upaya untuk menjamin ketersediaan irigasi yang mewujud dalam bentuk kerjasama,
baik antarorang atau antarkelompok. Oleh karena itu diasumsikan terdapat berbagai
bentuk kerjasama yang dilakukan petani dalam mengatasi ketidakpastian pasokan air
irigasi di musim kemarau dan penghujan. Bentuk-bentuk kerjasama bisa dilihat dari
pembentukan organisasi irigasi, hubungan-hubungan sosial, jaringan sosial, dan
koalisi-koalisi yang dilakukan petani dalam rangka menjamin ketersediaan air di
petak-petak sawahnya. Pemenuhan kebutuhan air irigasi ini merupakan perwujudan
dari strategi yang dilakukan petani untuk mengatasi kekurangan air.
Strategi pemenuhan air irigasi untuk produksi pertanian merupakan upaya
petani dalam mengelola hubungan-hubungan sosial seperti kerjasama antar orang
16
maupun antar kelompok dalam bentuk organisasi irigasi, hubungan-hubungan sosial,
jaringan sosial, dan koalisi-koalisi yang ada. Pentingnya aspek sosial dalam
pengelolaan irigasi ini perlu diketahui lebih mendalam mengingat strategi dalam
pengelolaan sumberdaya berkaitan erat dengan kemampuan individu maupun
kelompok dalam mengoptimalkan akses dan kontrol sumberdaya.
1.6. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan
pemaparan deskriptif yang bertujuan menggambarkan bagaimana petani-petani di
Dusun Leles Desa Mekarsari Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung membuat
strategi-strategi dalam mengelola irigasi. Bogdan dan Tylor dalam Lexy J Moleong
(1990) mendefinisikan “metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut
secara holistik (utuh). Metode deskriptif ini memiliki dua tujuan, yaitu mengetahui
perkembangan sarana fisik atau aspek fenomena sosial tertentu, lalu
menggambarkannya dengan rinci (Singarimbun dan Effendi,1981: 4). Dengan
penelitian deskriptif ini diharapkan analisis penelitian dapat menggambarkan
fenomena sosial secara terperinci.
Menurut Melly G. Tan, metode penelitian deskriptif memberikan gambaran
secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu dan
menjelaskan penyebab dari keadaan atau gejala tersebut (dalam Koentjaraningrat,
17
1990). Pendekatan tersebut juga berusaha menganalisis dan menyajikan fakta secara
sistematis sehingga dapat dengan mudah dipahami dan disimpulkan.
1.6.1. Satuan analisis dan populasi penelitian
Untuk memahami bagaimana strategi pengelolaan irigasi, maka satuan
analisisnya adalah petani yang terhimpun dalam organisasi petani P3A/Mitra cai.
Populasi penelitian ini adalah seluruh masyarakat petani sawah irigasi di Dusun
Leles Desa Mekarsari Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung
1.6.2. Metode pengumpulan data
Karena satuan analisis penelitian ini adalah petani baik individu maupun yang
terhimpun dalam kelompok petani., maka teknik pengumpulan datanya adalah
pengamatan terlibat (observasi partisipan), wawancara mendalam (deep interview),
dan studi kepustakaan, dan dokumentasi.
1.6.2.1. Pengamatan terlibat (observasi partisipan)
Merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan cara melakukan
pengamatan terlibat dalam aktifitas petani yang berkaitan dengan pemenuhan
pasokan air irigasi di musim kemarau. pengamatan ini dilakukan secara wajar dan
objektif tanpa berupaya untuk mengatur atau mempengaruhi sehingga dapat
berpengaruh terhadap hasil penelitian. Dengan menggunakan teknik ini peneliti dapat
18
memahami apa yang dikajinya sesuai dengan pandangan obyek penelitian.
Fenomena-fenomena yang ditemukan di lapangan dari hasil pengamatan digunakan
untuk melengkapi data yang dibutuhkan dalam penelitian. Cara yang dilakukan
antara lain, mengamati lahan persawahan, menelusuri jaringan-jaringan irigasi,
mengamati kegiatan para petani di sawah, maupun ditempat lain, misalnya warung,
kantor kelurahan atau tempat umum lainnya. Hasil pengamatan ini dicatat dalam
buku catatan dan direkam dengan kamera dalam bentuk foto dan film.
1.6.2.2. Wawancara mendalam (deep interview)
Teknik ini merupakan cara untuk mendapatkan keterangan atau pendirian
secara lisan, dengan becakap-cakap berhadapan muka dengan orang yang
diwawancarai. Peneliti perlu mengajukan pertanyaan awal mengenai siapa, apa, di
mana, kapan, kenapa, dan bagaimana. Selain itu, teknik ini juga dilakukan untuk
memeriksa jawaban-jawaban yang telah diperoleh dengan mengajukan pertanyaan
secara berulang-ulang. Sebelum melakukan wawancara ada pentingnya melakukan
persetujuan dengan responden. Untuk memperoleh data yang lebih akurat, dalam
proses wawancara mendalam dilakukan dengan kombinasi pendapat dari minimal
tiga orang dengan harapan untuk memperkaya informasi tentang strategi petani
dalam menjamin ketersediaan air. (Koentjaraningrat, 1990: 129).
Wawancara mendalam dilakukan terhadap informan kunci, yaitu orang-orang
yang mempunyai pengetahuan luas terhadap organisasi irigasi, pertanian, masalah-
masalah yang berkaitan dengan pengelolaan dan kekurangan air, yang terdiri dari
19
tokoh-tokoh masyarakat baik formal maupun informal di Dusun Leles Desa
Mekarsari Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung. Selain itu juga, wawancara
dilakukan pada informan biasa yaitu masyarakat yang ditemui secara khusus maupun
tidak sengaja atau kebetulan pada saat peneliti berada di lapangan.
Wawancara mendalam juga memiliki kegunaan lain, yaitu untuk mengatasi
kekurangan pada teknik diskusi yang terfokus (focus group discussion) dalam suatu
kelompok, sehingga pemikiran-pemikiran secara individual dapat tergali. Teknik ini
dikerjakan berdasarkan pedoman wawancara dengan bantuan tape recorder.
1.6.2.3. Studi Kepustakaan dan pengumpulan data sekunder
Teknik ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data melalui buku-buku riset-
riset yang telah dilakukan berkaitan dengan permasalahan yang diteliti sebagai
landasan dan pembatasan masalah penelitian, serta mempercepat pemahaman tentang
lapangan penelitian juga untuk mempertajam analisis. Pengumpulan data-data
seperti, data kependudukan, dan data-data lainnya yang dianggap perlu untuk
menambah informasi, dikumpulkan pada saat penelitian lapangan berlangsung. Studi
kepustakaan memanfaatkan beberapa perpustakaan di Bandung dan Jatinangor,
Perpustakaan Jurusan Antropologi Sosial Unpad, Perpustakaan Fisip Unpad, dan
Perpustakaan CISRAL Unpad, Pusat Dinamika Penduduk (PDP), Perpustakaan
AKATIGA, dan Internet.
1.6.3. Lokasi Penelitian
20
Lokasi penelitian ini Dusun Leles Desa Mekarsari Kecamatan Ciparay
Kabupaten Bandung Jawa Barat. Tempat ini dipilih karena Dusun Leles adalah
daerah paling hilir dari Daerah Irigasi (DI) wanir, sehingga terdapat permasalahan-
permasalahan terkait ketidakstabilan pasokan air.
Banyaknya pengguna air irigasi di DI Wanir, jarak yang jauh dari bendung
utama, hal ini membuat daerah ini hanya mendapat air sisa dari daerah-daerah
diatasnya. sehingga petani di Dusun Leles ini harus melakukan strategi kerjasama
dalam pengadaan air irigasi untuk sawah-sawah mereka. Permasalahan inilah yang
membuat Dusun Leles dianggap cocok untuk dijadikan lokasi penelitian.
Gambar 1.1. Peta Kabupaten Bandung
1.6.4. Data Set Penelitian
21
Tabel 1.1 Data Set Penelitian
Topik Data Set Sumber Data Teknik
Pengumpulan
DataPermasalahan Irigasi di Musim Kemarau
Ketersediaan air
irigasi
saluran irigasi,
Siklus kemarau
Petani, Pengurus
P3A, PU pengairan
Wawancara,
observasi
Masalah-masalah
yang timbul
Pola tanam,
Pemilihan Benih,
pengaturan irigasi
Petani, Pengurus
P3A
Wawancara,
observasi
Permasalahan Irigasi di Musim PenghujanKetersediaan air
irigasi
saluran irigasi,
Siklus Penghujan
Petani, Pengurus
P3A, PU pengairan
Wawancara,
observasiMasalah-masalah
yang timbul
Pola tanam,
Pemilihan Benih,
pengaturan irigasi
Petani, Pengurus
P3A
Wawancara,
observasi
Pengelolaan IrigasiPola Pengelolaan Cara kerja, waktu
kerja, detail
kegiatan
pengelolaan
Petani, Pengurus
P3A
Wawancara,
observasi
Masalah dalam
Pengelolaan
masalah yang
dihadapi
Petani, Pengurus
P3A
Wawancara
Strategi petani di musim kemarauPola keseharian Bentuk kegiatan
pertanian
Petani, Pengurus
P3A
Wawancara,
observasi
22
strategi
penyelesaian
masalah di musim
kemarau
Bentuk-bentuk
kerjasama,
Hubungan sosial,
jaringan sosial,
koalisi-koalisi, dan
lain-lain
Petani, Pengurus
P3A
Wawancara,
observasi
Strategi petani di musim PenghujanPola keseharian Bentuk kegiatan
pertanian
Petani, Pengurus
P3A
Wawancara,
observasi
strategi
penyelesaian
masalah di musim
Penghujan
Bentuk-bentuk
kerjasama,
Hubungan sosial,
jaringan sosial,
koalisi-koalisi, dan
lain-lain
Petani, Pengurus
P3A
Wawancara,
observasi
1.6.5. Rancangan Analisis data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analis data
kualitatif. Peneliti melakukan pengumpulan dan pengolahan data dalam bentuk kata-
kata. Data kualitatif dianalisa dengan interpretasi terhadap data yang bersamaan
waktunya dengan tahap pengumpulan data. Proses analisa data dalam pendekatan
23
kualitatif terdiri atas tiga tahap kegiatan yang bersamaan yaitu; reduksi data,
penampilan data dan penulisan kesimpulan. Reduksi data adalah proses pemilihan,
penyederhanaan, abstraksi, dan transformasi data yang diperoleh dari lapangan.
Reduksi data dilakukan dengan membaca transkrip wawancara, catatan pengamatan
atau dokumen-dokumen yang akan dianalisis, setelah itu disusun catatan atas data
tersebut. Kegiatan reduksi data dilanjutkan dengan penampilan data, yaitu
penyusunan data menjadi kumpulan informasi yang terorganisasi. Kegiatan terakhir
dari proses analisis data kualitatif adalah pembuatan kesimpulan yang disusun
setelah tahap pengumpulan data berakhir.
1.7. Organisasi Penulisan
Bab I dari skripsi ini merupakan pendahuan, didalamnya diuraikan tentang
latar belakang penelitian, sedikit permasalahan, perumusan masalah, tujuan
penelitain, tinjauan pustaka, dan metode penelitian sebagai penjelasan mengenai
cara-cara yang ditempuh dalam proses penelitian.
Bab II berisi gambaran umum mengenai letak dan keadaan alam daerah
penelitan. Penjelasan dimulai dengan menjelaskan kondisi kabupaten Bandung,
kemudian kecamatan Ciparay, sedikit gambaran tentang daerah irigasi Wanir, Desa
Mekarsari, dan yang terakhir gambaran tentang dusun Leles sebagai lokasi
penelitian. Dalam bab ini juga duraikan mengenai kependudukan, pendidikan, mata
pencaharian dan sarana transportasi di desa Mekarsari.
24
Bab III menguraikan siapa saja pengguna air irigasi Wanir, dari mulai petani,
kolam ikan arus deras, dan indutri tekstil. Bab ini juga menjelaskan permasalahan-
permasalahan yang terjadi di daerah irigasi Wanir baik di musim hujan maupun
kemarau. Bagian terakhir dari bab ini menjelaskan mitra cai sebagi pengelola air
irigasi Wanir.
Bab IV menguraikan bentuk-bentuk kerjasama yang dilakukan petani dalam
menjamin ketersediaan air irigasi mereka. Bentuk-bentuk kerjasama itu antara lain
nganir cai dan pompanisasi, iuran petani, dan kerjasama ditingkat keluarga.
Bab V, bab ini merupakan bagian terakhir dari skripsi ini. Bab ini berisi
penarikan kesimpulan yang diambil dari ringkasan hasil penelitian mengenai
pengelolaan irigasi di daerah irigasi Wanir serta saran-saran yang dapat diambil dari
penelitian ini.
Selain kelima bab diatas, skripsi ini juga dilengkapi dengan gambar-gambar,
peta lokasi penelitian, dan lampiran yang berupa, rinicaian luas petak tersier D.U.
Wanir, susunan pengurus P3A/Mitra cai “Harapan I”, serta undangan-undangan
musyawarah kerja dari Mitra cai “Harapan I”.
BAB II
25
GAMBARAN UMUM
Bab ini menguraikan gambaran umum dari lokasi penelitian yaitu Dusun
leles, Desa Mekarsari, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung. Data yang
tercantum pada gambaran umum ini disesuaikan dengan konteks penelitian yang
memfokuskan pada pengelolaan irigasi dan digunakan sebagai acuan untuk
mengetahui berbagai aspek yang melatari penelitian.
2.1 Kabupaten Bandung
Kabupaten Bandung berada di cekungan dataran tinggi bandung dan
termasuk wilayah Propinsi Jawa Barat yang terletak antara 6°41’ sampai 7° 19’
lintang Selatan dan 107° 22’ sampai 108° 5’ Bujur Timur. Sebelah Utaranya
berbatasan dengan Kabupaten Subang dan Purwakarta; di bagian Selatan berbatasan
dengan Kota Cimahi; di bagian Timur berbatasan dengan Kabupaten Sumedang dan
Garut; dan di bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Purwakarta.
Secara administratif wilayah pemerintahan Kabupaten Bandung pada tahun 2007
terdiri dari 45 kecamatan, 432 desa dan 8 kelurahan.Luas wilayah daerah Kabupaten
Bandung sekitar 291.346 hektar, pada tahun 2004 Kabupaten Bandung dihuni sekitar
4.145.967 jiwa dengan jumlah penduduk perempuan 2.058.411 (49,65%) dan
penduduk laki-laki 2.087.556 jiwa (50,35%).
26
Wilayah Kabupaten Bandung terletak pada ketinggian antara 110 meter
sampai dengan 2.429 meter di atas permukaan laut, dengan curah hujannya antara
60-150 mm/hari, suhu rata-rata berkisar antara 19°C dengan penyimpangan harian
mencapai 5°C, dan kelembaban udara bervariasi antara 78% pada musim hujan dan
70% pada musim kemarau. Kemiringan lereng bervariasi antara 0-8°, 0-15° hingga
di atas 45° yang secara topografis di bagi menjadi dua bagian, sebagian wilayahnya
yang berupa perbukitan terbentang sepanjang bagian utara, selatan, serta bagian barat
dengan kemiringan beragam antara 52-45°. Sebagian lagi berupa dataran yang
terhampar luas di bagian tengah Cekungan Bandung dengan kemiringan antara 0-2
°dan 2-8° ke arah barat dan ke arah Sungai Citarum yang membelah wilayah timur
ke barat ke utara menuju Laut Jawa (Badan Pengembangan Informasi Daerah
Kabupaten Bandung 2004: 11-12).
Menurut data sejarah, wilayah Kabupaten Bandung pada awalnya
merupakan daerah jajahan Mataram. Sultan Agung menunjuk Wiro Angun-Angun
(1641-1681) sebagai bupati pertama yang pusat pemerintahannya berada di tepi utara
Sungai Citarum atau di tengah dataran Bandung, tepatnya di sebuah kota kecil
bernama Karapyak yang kemudian berubah nama menjadi Bojongasih, Citeureup,
dan sekarang daerah ini dikenal dengan nama Deuyeuhkolot (Hardjono, 1990: 28).
Pada masa penjajahan, Pemerintah Kolonial Belanda berencana membangun Jalan
Pos sepanjang 1000 Km dari Anyer Banten sampai Panarukan Jawa Timur yang
melewati dataran tinggi Jawa Barat dengan tujuan untuk memperbaiki komunikasi
militer dan sebagai sarana pengawasan penduduk setempat. Deandels yang pada saat
27
itu menjabat sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda pada tanggal 25 Mei 1810
memerintahkan Bupati Priangan untuk memindahkan pusat pemerintahannya ke
suatu lokasi yang berjarak 11 km ke Utara. Lokasi yang dipilihkan adalah adalah
tempat jalan baru Anyer-Panarukan membelah sungai Cikapundung. Pada saat itu
tanah di sepanjang Sungai Cikapundung masih berhutan lebat dan tempat terpilihnya
hanya merupakan dusun kecil yang terdiri dari beberapa rumah (Pemerintah Daerah
1974: 117, dalam Hardjono, 1990: 28) kota baru ini yang dididrikan pada tahun 1811
dengan penduduk berjumlah 1800 diberi nama Bandung meskipun sebelumnya nama
itu hanya digunakan sebagai nama wilayah (Hardjono, 1990: 28).
Sejak tahun 1906 pemerintah Hindia Belanda secara administratif mengubah
Bandung menjadi Gementee (Kota Praja) dan mulai saat itu Kabupaten Bandung
secara administratif terpisah dengan Gementee. Baru pada tahun 1974 atau setelah 68
tahun, Ibu Kota Kabupaten Bandung dipindahkan ke daerah Baleendah yang secara
resmi menjadi wilayah administratif Kabupaten Bandung (Badan Pengembangan
Informasi Daerah Kabupaten Bandung 2004: 5). Namun pada tahun 1980 Gubernur
Jawa Barat menginstruksikan agar Kabupaten Bandung dipindahkan dari Baleendah
ke Soreang, karena daerah itu sering terkena banjir. Secara resmi kompleks kantor
pemerintahan daerah Kabupaten Bandung dipindahkan ke Soreang pada tanggal 1
April 1989 di atas lahan seluas 24 Hektar.
Penggunaan tanah di Kabupaten Bandung masih mempunyai ciri-ciri utama
dari jaman kolonial. Padi masih merupakan tanaman utama di wilayah ini, tetapi
masalah drainase belum juga bisa terpecahkan dari ratusan tahun lalu. Pada musim
28
kemarau tingkat ketinggian air di sungai Citarum sangat rendah sehingga
menyulitkan petani dalam proses penanaman padi (Hardjono, 1990: 29).
2.2. Daerah Irigasi Wanir
Daerah Irigasi (DI) Wanir adalah salah satu dari 25 DI yang terdapat di
Kabupaten Bandung. Daerah irigasi Wanir berada di wilayah kerja Cabang Dinas PU
Pengairan wilayah VIII Ciparay dan cabang dinas PU Pengairan wilayah IX
Majalaya, Dinas PU Pengairan kabupaten bandung.
Suplai air utama Daerah Irigasi Wanir ini berasal dari sungai Citarum bagian
hulu. Daerah Irigasi ini memiliki bangunan utama berupa bendung, saluran primer
sepanjang 1.25 km dan saluran sekunder sepanjang 27.22 km. Terdapat tujuh buah
saluran sekunder di Daerah Irigasi Wanir, yaitu Saluran sekunder Cibodas, Saluran
sekunder Cikoneng, Saluran sekunder Cipeujeuh, Saluran sekunder Sukasadar,
Saluran sekunder Pasir astana, Saluran sekunder Wangisagara, dan Saluran sekunder
Rancakentang.
Pembangunan Daerah Irigasi Wanir dimulai pada tahun 1965/1966 yang
diawali dengan pembuatan pintu intake dan saluran induknya. Berikut ini adalah
perkembangan daerah irigasi wanir sejak awal pembangunannya :
Tabel 2.1. Perkembangan Pembangunan Daerah Irigasi Wanir
Tahun Fasilitas Jumlah
1965/1966• Pintu intake
• Saluran pembawa
1 buah
29
1968/1969 • Bendung
1988/1989
• Bangunan penguras
• Bangunan sadap
• Bangunan bagi
• Bangunan terjun
• Bangunan got miring
1 buah
13 buah
7 buah
2 buah
1990/1991 • Bangunan sadap 24 buah Sumber : Dinas Pengairan Kecamatan Ciparay, 2007
• Bangunan-bangunan tersebut terletak pada saluran induk Wanir, saluran
sekunder Wangisagara, Cibodas, dan Cipeujeuh.
Daerah Irigasi Wanir mengairi 14 desa di tiga kecamatan yaitu Kecamatan
Pacet, Kecamatan Ciparay dan Kecamatan Majalaya. Dengan keadaan geografis
sebagai berikut (data sekunder Dinas Pertanian Kecamatan Pacet, Ciparay dan
Majalaya):
1. Kecamatan Pacet
Keadaan topografi terdiri dari daerah datar sebanyak 40%, daerah berbukit
dan bergelombang sebanyak 60% dengan rata-rata kemiringan sebesar 30%
ketinggian tempat berkisar antara 700 – 1400 mdpl. Jenis tanah yang ada di wilayah
ini terdiri dari Aluvial, Andosol, dan Podsolik merah kuning. Suhu rata-rata 26oC dan
kelembaban udara 60 – 75%.
30
2. Kecamatan Ciparay
Keadaan topografi wilayah Ciparay berbukit di sebelah selatan dan datar di
sebelah utara. Ketinggian tempat yaitu 673 mdpl. Jenis tanah didominasi oleh
Latosol dengan suhu rata-rata 28oC.
3. Kecamatan Majalaya
Keadaan topografi wilayah Majalaya sebelah selatan umumnya landai dan
berteras serta miring ke sebelah utara. Jenis tanah pada umumnya Latosol campur
Grumusol, sedangkan sebelah barat, timur dan utara umumnya datar dengan jenis
tanah Latosol. Ketinggian tempat berkisar antara 650 – 720 mdpl dengan suhu rata-
rata 29-30 oC.
Daerah Irigasi Wanir pada tahun 2001 mengairi lahan seluas 2.213,5 ha yang
tersebar dalam 101 petak tersier dan 14 desa. Pada tahun 2002 luas areal potensial
saluran irigasi sebesar 2.062,50 ha dan terjadi penyempitan luas areal pengairan
karena alih fungsi lahan sebesar 64,50 ha, sehingga luas areal fungsionalnya menjadi
1998 ha (lampiran). Pada tahun 2007 terjadi penyempitan luas areal pengairan
Daerah Irigasi Wanir yang disebabkan oleh alih fungsi lahan dari persawahan
menjadi pemukiman dan industri. Alih fungsi lahan persawahan menjadi pemukiman
dan industri ini sebesar 188 ha atau sebesar 333.5 ha dari luas awal. Saat ini Daerah
Irigasi Wanir mengairi lahan hanya seluas 1.880 ha yang tersebar dalam 101 petak
tersier. Tabel dibawah ini akan menyajikan rincian perubahan luas lahan yang diairi
oleh jaringan irigasi Wanir.
31
Tabel 2.2. Luas Lahan yang Diairi oleh Jaringan Irigasi Wanir
KecamatanLuas Areal Pengairan Teknis PU (hektar) Alih Fungsi
(hektar)Tahun 2001 Tahun 2007
Pacet 369,2 314 55,2Ciparay 849,3 616 233.3Majalaya 995 950 45Total 2.213,5 1.880 333.5
Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Bandung dan Dinas Pengairan Kecamatan
Ciparay, 2007
Sejak tahun 2000 pengelolaan air irigasi di DI Wanir telah diserahkan kepada
Gabungan P3A. Dalam berita acara pembentukan GP3A ini disebutkan bahwa GP3A
mempunyai kewajiban mengelola jaringan irigasi pada tingkat primer dan sekunder,
sedangkan P3A ikut mengelola jaringan irigasi pada tingkat tersier. GP3A ini
membawahi seluruh P3A atau mitra cai yang ada di wilayah pengairan Daerah
Irigasi Wanir. Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air (GP3A) Daerah Irigasi
Wanir bernama GP3A Tirta Walatra, dengan struktur organisasi sebagai berikut :
Tabel 2.3. Struktur Organisasi GP3A Tirta Walatra
Jabatan Nama Dari P3A desaKetua T. Muchsin CipeujeuhWakil Ketua Ayi Saepudin NeglasariBidang Administrasi E. Kusaeri CipeujeuhBidang Keuangan 1. Dadang
2. Yaya Wijaya
Cipeujeuh
WangisagaraBidang Teknik 1. Harisman Wangisagara
32
2. Ojat PakutandangBidang Usaha 1. Endang
2. Didin Samsudin
Wangisagara
CikonengBadan Pengawas :Ketua H. rahmat WangisagaraAnggota 1. K. Komarudin
2. O. Jayusman
Pakutandang
TanjungwangiSumber : Berita Acara GP3A, 2000
Terkait dengan struktur organisasi GP3A diatas, dapat kita lihat bahwa Desa
Mekarsari tidak memiliki perwakilan dalam struktur organisasi kepengurusan GP3A.
Tidak adanya perwakilan di kepengurusan GP3A ini tentunya terkait pada power dan
posisi tawar petani Desa Mekarsari dalam pengadaan air irigasi. Absennya mekarsari
dari kepengurusan membuat permasalan-permasalahan irigasi di Desa Mekarsari
sering terabaikan, sehingga membuat petani Desa Mekarsari harus menyelesaikan
sendiri permasalahan-permasalan irigasi di desanya.
Dalam pelaksanaan operasi7 dan pemeliharaan8 (O & P) di Daerah Irigasi
Wanir, petugas PU pengairan Ciparay mempekerjakan sejumlah orang, sebagai
berikut :
1. Pemelihara/penjaga bendung : 1 orang
7 Operasi jaringan irigasi adalah upaya pengaturan air irigasi dan pembuangannya, termasuk kegiatan membuka menutup pintu bangunan irigasi, menyusun rencana tata tanam, menyusun sistem golongan, menyusun rencana pembagian air, melaksanakan kalibrasi pintu/bangunan, mengumpulkan data, memantau, dan mengevaluasi.
8 Pemeliharaan pada hakekatnya adalah pekerjaan perawatan dan perbaikan pada saluran atau bangunan yang sudah ada. Kegiatan pemeliharaan diperlukan untuk menjamin berfungsinya jaringan irigasi yang efisien terus-menerus dan untuk memperpanjang usia ekonomi jaringan. Jaringan irigasi yang sudah dibangun perlu dipelihara agar tetap berada dalam keadaan baik supaya bisa dioperasikan secara efisien.
33
2. Bangunan bagi 1 orang : 1 orang
3. Pemelihara saluran : 3 orang
4. Mandor : 1 orang
Sesuai dengan PP. No.20 Tahun 2006 tentang irigasi, operasi dan
pemeliharaan yang dilakukan oleh petugas PU pengairan hanya pada fasilitas-
fasilitas yang terdapat pada saluran primer dan sekunder. Operasi dan pemeliharaan
pada saluran tersier dan kuarter diserahkan sepenuhnya kepada pihak petani untuk
mengelola air irigasi dalam hal ini adalah GP3A dan P3A. Rehabilitasi saluran
biasanya dilakukan oleh masyarakat atau Dinas pengairan membayar sejumlah
pekerja untuk melakukan rehabilitasi.
Air irigasi dari bendung Wanir yang mengaliri daerah Pacet, Majalaya, dan
Ciparay ini tidak hanya digunakan untuk mengaliri petak-petak sawah para petani
saja, tetapi digunakan juga oleh kolam ikan arus deras dan industri-industri tekstil di
Majalaya.
Kolam ikan arus deras ini hanya berada di Desa Cipeujueh dan Desa
Cikoneng Kecamatan Ciparay. Kedua desa ini berada di hulu DI Wanir yang debit air
irigasinya masih tinggi sehingga sangat cocok untuk kolam arus deras yang
membutuhkan pasokan air yang tinggi untuk memacu pertumbuhan ikannya. Jika
kita urutkan dari hulu ke hilir seluruh desa-desa yang teraliri DI Desa Mekarsari
merupakan desa paling akhir dari sistem irigasi ini, hal ini membuat Desa Mekarsari
memiliki banyak permasalahan terkait ketersediaan air irigasi. Letaknya di daerah
paling akhir sistem irigasi juga membuat Desa ini sulit untuk mengakses sumber
34
daya air yang ada, karena letaknya yang jauh dari pusat bendungan. Berbeda dengan
daerah hulu seperti daerah Cipeujeuh dan Cikoneng, pengguna irigasi di daerah
tersebut dengan mudah mengakses air irigasi karena air irigasi melimpah dan belum
digunakan oleh petani yang lain .
2.3. Kecamatan Ciparay
Wilayah Kecamatan Ciparay terletak sekitar 25 Km sebelah selatan Ibukota
Propinsi Jawa Barat, serta 23 Km kearah tenggara dari pusat pemerintahan
Kabupaten Bandung. Daerah ini berada ditepi barat sungai Citarum dengan kondisi
topografis yang berbukit disebelah selatan dan dataran disebelah utara. Pusat
pemerintahannya berada pada tepi jalan besar yang menghubungkan daerah Majalaya
dengan Dayeuhkolot. Pemandangan khas yang bisa kita lihat di sekitar kantor
kecamatan ciparay adalah barisan delman yang terparkir menunggu penumpang,
pasar yang selalu ramai yang menyediakan berbagai kebutuhan untuk warga-warga
di wilayah Ciparay, Pacet, dan hingga Majalaya. daerah ini juga memiliki sebuah
terminal yang menghubungkan daerah ciparay dengan daerah-daerah sekitarnya
seperti Pacet, Majalaya, Ibu Kota Propinsi “Bandung”, dan Pusat pemerintahan
Kabupaten Bandung “Soreang”.
Kecamatan Ciparay terdiri dari 14 desa dan terbagi kedalam 50
dusun/kampung. Dengan luas Wilayah 4.839.739 Ha yang terdiri dari lahan sawah
35
2.637,998 Ha, lahan kering 2.176,951 Ha, kolam ikan 30 Ha, dan tanah keperluan
fasilitas umum 23,76 Ha. Lahan persawahan merupakan areal terluas dari wilayah
Ciparay, mencapai 56,856% dari seluruh luas wilayah Kecamatan Ciparay. Besarnya
persentase luas lahan persawahan ini adalah karena sebagian besar wilayah
kecamatan ini terdiri atas bukit-bukit kecil di kaki pegunungan yang dapat pengairan
dari sungai Citarum.
Kecamatan Ciparay ini berada pada ketinggian 673 mdpl. Jenis tanah yang
ada diwilayah Kecamatan Ciparay adalah Latosol dengan tipe iklim termasuk zone
C2 (oldeman9) dengan suhu rata-rata 28° C (Progama Penyuluhan Pertanian
Kecamatan Ciparay, 2007). Pada tahun 1930-an petani berhasil membelokan air
dari sungai Citarum ke dalam saluran-saluran irigasi dengan membendung sungai
Citarum dan membangun pintu air didaerah Wanir (Hardjono, 1990: 41). Hingga saat
ini Kecamatan Ciparay masih mendapat suplai air dari sungai citarum yang
disalurkan memalui pintu air Wanir. Air sungai Citarum ini dimanfaatkan oleh warga
antara lain untuk irigasi persawahan, kolam ikan, industri, dan keperluan rumah
9 Oldeman membagi lima zona iklim dan lima sub zona iklim. Zona iklim merupakan pembagian dari banyaknya jumlah bulan basah berturut-turut yang terjadi dalam setahun. Sedangkan sub zona iklim merupakan banyaknya jumlah bulan kering berturut-turut dalam setahun. Pemberian nama Zone iklim berdasarkan huruf yaitu zone A, zone B, zone C, zone D dan zone E sedangkan pemberian nama sub zone berdasarkana angka yaitu sub 1, sub 2, sub 3 sub 4 dan sub 5. Zone A dapat ditanami padi terus menerus sepanjang tahun. Zone B hanya dapat ditanami padi 2 periode dalam setahun. Zone C, dapat ditanami padi 2 kali panen dalam setahun, dimana penanaman padi yang jatuh saat curah hujan di bawah 200 mm per bulan dilakukan dengan sistem gogo rancah. Zone D, hanya dapat ditanami padi satu kali masa tanam. Zone E, penanaman padi tidak dianjurkan tanpa adanya irigasi yang baik. (Oldeman, et al., 1980)
36
tangga. Terdapat dua bendungan irigasi pemerintah yaitu bendung Wanir dan
bendung Wangisagara. Bendungan-bendungan ini membendung langsung air sungai
Citarum untuk didistribusikan ke areal-areal persawahan, kolam-kolam ikan dan
industri disekitar daerah Ciparay dan Majalaya.
2.4 Desa Mekarsari
2.4.1 Lokasi dan Tata guna lahan
Desa Mekarsari adalah desa pemekaran dari Desa Magung. Pada tahun 1983
Desa Magung dimekarkan menjadi Desa Mekarsari dan Desa Manggungharja. Desa
Mekarsari merupakan salah satu desa dari 14 desa di Kecamatan Ciparay Kabupaten
Bandung. Desa Mekarsari berjarak 4 km dari pusat pemerintahan Kecamatan. Jarak
dengan ibukota Kabupaten 35 km, dengan ibukota Propinsi 37 km, dan jarak dari
ibukota Negara 149 km.
Desa Mekarsari terletak pada ketinggian 700 mdpl, suhu rata-rata 29°-32°C,
dengan karakteristik berupa hamparan dataran. Terdapat jalan aspal dengan lebar
sekitar 10 meter yang merupakan jalan utama desa ini dan juga sebagai jalan
alternatif yang menghubungkan jalan raya Ciparay-Majalaya dengan jalan Sapan.
Pemukiman penduduk tersebar sepanjang jalan utama desa ini, sehingga kita harus
berjalan melewati rumah-rumah penduduk untuk melihat hamparan sawah yang luas
yang ada di desa ini. Desa Mekarsari ini dilintasi oleh tiga buah sungai Sungai
Citarum dibagian utara, Sungai Cipadaulun dibagian tengah, dan Sungai Cirasea
37
dibagian barat. Desa mekarsari berbatasan langsung dengan Desa Ciparay
Kecamatan Ciparay disebelah barat, Desa Manggungharja Kecamatan Ciparay dan
Desa Padaulun Kecamatan Majalaya disebelah selatan, dan Desa Sukamaju
Kecamatan Majalaya disebelah utara dan timur.
Alat transportasi yang tersedia di desa ini antara lain delman, becak, dan ojeg.
Delman menjadi alat angkut terbesar dan termurah di desa ini. Dengan biaya berkisar
antar Rp 1.000,00 – Rp 2.000,00 tergantung jarak yang ditempuh kita sudah bisa
sampai ketempat tujuan. Bahkan anak-anak sekolah hanya membayar Rp 500,00
untuk dapat sampai ke sekolah-sekolah yang ada di desa ini, walaupun mereka harus
rela untuk berdesak-desakan dengan pelajar lainnya yang akan berangkat atau pulang
sekolah. Delman-delman ini bisa memuat hingga 10 pelajar sekali jalan, itu sebabnya
mereka bisa membayar murah ongkos delmannya. Delman-delman ini juga sering
terlihat mengantar ibu-ibu ke pasar Ciparay yang hanya berjarak sekitar 4 km dari
desa, dan membawa pupuk, pakan ternak dan barang-barang berat lainnya..
Secara administratif, Desa Mekarsari terbagi menjadi 13 Rukun Warga (RW)
dan terdiri dari tiga cantilan/dusun, yaitu Dusun Leles, Dusun Bojong Nangka,
Dusun Cieuri. Dari setiap cantilan/dusun ini terdiri dari 4-5 RW. Luas wilayah Desa
Mekarsari sebesar 190,118 Ha. Sebagian besar luas wilayah tersebut digunakan
untuk persawahan sekitar 160 Ha atau 84,158 % dari luas wilayah keseluruhan Desa
Mekarsari. Kawasan pemukiman menempati lahan seluas 21 Ha atau 11,045 %.
Terdapat satu kawasan disekitar RW 10 dan 11 yang merupakan kebun
bambu, ini adalah tempat yang paling rindang dan sejuk dari seluruh wilayah desa.
38
Areal-areal diantara pohon bambu yang rimbun digunakan oleh warga untuk
bermain dan olah raga. Warga pun membangun lapangan voli dan lapangan sepak
bola yang dua buah gawang bola dengan ukuran yang tidak standar untuk menunjang
kegiatan olah raga mereka. Bila hujan datang, anak-anak kecil berbondong-bondong
datang kelapangan bola untuk bermain bola sambil bermandikan lumpur.
Tabel 2.4. Tata Guna Lahan Desa Mekarsari
Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase (%)Sawah Irigasi Teknis
Pemukiman
Jalan
Bangunan Umum
Pekuburan
Lain-lain
160
21
2,88
2,365
1,99
1,883
84,2
11,1
1,5
1,2
1,1
0,9Total 190,118 100
Sumber : Monografi Desa Mekarsari Semester II 2007
39
Gambar 2.1. Peta Wilayah Desa Mekarsari
2.4.2 Jumlah Penduduk
Penduduk adalah jumlah orang yang bertempat tinggal di suatu wilayah pada
waktu tertentu dan merupakan hasil proses-proses demografi yaitu fertilitas,
mortalitas, dan migrasi. Jumlah penduduk Desa Mekarsari menurut catatan
Monografi desa semester II tahun 2007 berjumlah 10.708 jiwa dan terdiri dari 2.994
KK. Jumlah penduduk sebanyak laki-laki 5.490 jiwa dan perempuan 5.218 jiwa,
serta jumlah penduduk produktif (15-56 tahun) di desa Mekarsari sebesar 6.684 jiwa
atau sebesar 78,1 %. Jumlah penduduk produktif ini merupakan jumlah terbanyak di
desa Mekarsari. (Monografi Desa Mekarsari Semester II Tahun 2007)
40
2.4.3 Mata Pencaharian Penduduk
Mata Pencaharian sebagian besar penduduk Desa Mekarsari adalah buruh
pabrik, menurut data dari monografi Desa Mekarsari semester II tahun 2007 sekitar
2.259 orang atau sekitar 55,5% dari jumlah penduduk Mekarsari yang bekerja.
Mereka bekerja di industri-industri tekstil yang banyak terdapat di daerah Kecamatan
Majalaya. Banyaknya penduduk Mekarsari yang menjadi buruh pabrik dikarenakan
saat ini para pemuda menilai bahwa kerja kantoran lebih baik daripada bertani,
sehingga mereka lebih memilih menjadi buruh pabrik dari pada mencangkul
disawah. Selain sebagai buruh pabrik, mata pencaharian utama penduduk Desa
Mekarsari berhubungan dengan pertanian, sekitar 483 orang atau 11,9% bermata
pencaharian sebagai petani baik pemilik sawah maupun petani maro, karena saat ini
banyak kepemilikan sawah-sawah di Desa Mekarsari sudah berpindah tangan dari
warga sekitar ke orang-orang kaya di Bandung dan Jakarta. dan 384 orang atau 9,4%
sebagai buruh tani. Dalam bidang pertanian, penduduk bercocok tanam di sawah,
sekitar 84,2% luas seluruh wilayah desa, dengan hasil produksi pertanian mencapai
560 ton gabah dari 160 Ha lahan sawah yang ditanami.
Tabel 2.5. Jenis Mata Pencaharian Penduduk Desa Mekarsari
Jenis Mata Pencaharian Jumlah Persentase (%)Pegawai Negeri Sipil 122 3ABRI / POLRI 72 1,8Buruh Pabrik / Swasta 2.259 55,5Pedagang 364 8,9Petani 483 11,9
41
Buruh Tani 384 9,4Pertukangan 251 6,2Pensiunan 47 1,2Jasa 49 1,2Pemulung 38 0,9Total 4.069 100
Sumber : Monografi Desa Mekarsari Semester II Tahun 2007
Selain mengacu pada data resmi desa mengenai keanekaragaman mata
pencaharian, masyarakat desa Mekarsari juga mengenal penggolongan sosial
ekonomi. Secara umum terdapat tiga golongan yaitu beunghar/mampu,
sedeng/menengah, miskin/tidak mampu. Penggolongan sosial ini didasari oleh
beberapa faktor antara lain, kepemilikan lahan, kepemilikan alat giling padi, jenis
pekerjaan, dan jabatan.
Tabel 2.6. Pelapisan Masyarakat Desa Mekarsari Berdasakan Kategori Sosial
Ekonomi
Golongan Uraian Beunghar/mampu Pegawai Negeri Sipil (PNS), ABRI/POLRI, Bos
pabrik, Pemilik Sawah, Pemilik Penggilingan
Padi, Guru, Pedagang Besar.Sedeng/menenga
h
Petani maro(penggarap sawah), Buruh Pabrik,
Pemilik Warung Kelontong.Miskin/tidak
mampu
Buruh Tani, Tukang Becak, Tukang Sampah,
Pembantu.Sumber : Data Primer 2007
42
2.5. Dusun Leles di Desa Mekarsari
Penelitian ini khususnya dilakukan disebuah dusun di desa Mekarsari. Dusun
ini bernama dusun Leles. Dusun leles merupakan satu dusun dari tiga dusun yang ada
di desa Mekarsari. Dusun ini terletak dibagian paling barat dari wilayah desa
Mekarsari dan berbatasan langsung dengan desa Magunggharja. Dusun leles ini
meliputi RW 10, RW 11, RW 12, dan RW 13, yang dibatasi oleh batas alam yaitu
sungai Cipadaulun dan sungai Cirasea.
Jika dilihat dari jalan raya Majalaya Ciparay, Dusun Leles merupakan daerah
paling depan dari desa Mekarsari. Warga setempat menganggap dusun Leles sebagai
jantungnya desa Mekarsari. Hal itu dikarenakan di dusun ini terdapat sarana
pendidikan dari mulai SD hingga SMU, sarana olah raga seperti Lapangan voli dan
lapangan sepak bola, Mesjid Persis dan pesantren. Sarana-sarana ini membuat
jalanan di dusun Leles tidak pernah sepi, pagi dan siang pelajar hilir mudik, sore hari
para pemuda berolahraga di lapangan voli dan lapangan bola atau sekedar ngobrol-
ngobrol di pinggir jalan, setiap malam mesjid selalu mengadakan pengajian rutin.
Dilihat dari topografinya, dusun ini merupakan hamparan tanah yang datar
tanpa bukit yang dihiasi oleh talun bambu di sebelah utaranya. Dusun ini dilewati
oleh dua buah anak sungai Citarum yang pada musim hujan airnya sering meluap
sehingga membanjiri persawahan dan rumah warga, sungai itu adalah sungai
Cipadaulun dan sungai Cirasea.
43
Sungai Cirasea mengalir dari sebelah barat hingga ke selatan dusun Leles.
Sungai Cirasea ini juga menjadi batas geografis yang membatasi wilayah dusun
Leles dengan desa sebelah, Desa Ciparay Kecamatan Ciparay. sungai yang kanan
kirinya ditumbuhi pohon-pohon bambu ini sering digunakan anak-anak untuk
berenang. Walaupun airnya berwarna coklat, anak-anak biasanya berenang disini
sambil membersihkan diri mereka dari lumpur-lumpur yang menempel dibadan
sehabis bermain bola.
Sementara sungai Cipadaulun berada dibagian timur dari dusun Leles dan
menjadi pembatas wilayah dengan dusun Cieuri yang masih berada dalam satu desa.
Sungai ini lansung berbatasan dengan pematang sawah milik petani, tidak ada talun
bambu dipinggir-pinggirnya, sehingga sering terjadi longsor kecil yang membuat
pematang sawah amblas. Walaupun berbatasan langsung dengan sawah-sawah
petani, air dari sungai ini tidak dapat mengalir ke petak-petak sawah, karena
ketinggian airnya lebih rendah dari permukaan tanah, kecuali ketika sungai ini
meluap akibat hujan besar. Berbeda dengan sungai Cirasea yang sering digunakan
berenang oleh anak-anak, sungai Cipadaulun ini memiliki air dengan bau yang
menyengat. Air disungai setiap harinya berubah-rubah warna terkadang hitam,
merah, coklat, hijau tua, dan unggu. Air yang berwarna dan bau yang menyengat ini
berasal dari limbah pabrik yang dibuang ke sungai dari pabrik-pabrik disekitar
Majalaya.
Dusun ini memiliki pola pemukiman yang mengikuti jalan utama.
Pemukiman warga berada disekitar jalan utama yang menghubungkan desa
44
Mekarsari dengan jalan raya Ciparay-Majalaya dan jalan Sapan. Sawah di dusun
Leles tersebar di sebelah selatan, Sawah-sawah ini berada dibelakang pemukiman
warga.
Secara geografis dusun leles berada di daerah paling hilir dan merupakan
daerah terakhir dari jaringan irigasi Wanir. Letak geografis tersebut mempengaruhi
ketersediaan air pada saluran irigasi, terlebih pada musim kemarau. Letak di daerah
hilir menyebabkan perlunya waktu yang lebih lama untuk mengalirkan air dari
bendung wanir ke dusun leles dan semakin banyaknya hambatan-hambatan yang
ditemui saat perjalanan air tersebut. Beberapa hal yang menjadi hambatan kelancaran
pasokan air irigasi di dusun Leles, terutama di musim kemarau antara lain, rusaknya
pintu-pintu air, mengeringnya tanah pada saluran irigasi kuarter, dan perebutan air
dengan pengguna air irigasi di daerah girang atau hulu.
2.6. Rangkuman
Secara geografis DI Wanir terletak di tiga kecamatan di Kabupaten Bandung,
yaitu Kecamatan Pacet, Kecamatan Ciparay, dan Kecamatan Majalaya.
Pembangunan DI Wanir ini dimulai pada tahun 1965/1966 dengan suplai air
utamanya dari sungai Citarum. Dari tahun ke tahun luas lahan yang dialiri oleh
irigasi Wanir terus berkurang karena alih fungsi lahan, dari areal persawahan menjadi
industri atau pemukiman.
Air irigasi dari bendungan Wanir awalnya diperuntukkan untuk petani sebagai
faktor pendukung pertanian mereka. Namun, saat ini pengguna air irigasi tidak hanya
45
petani saja, air irigasi juga digunakan untuk mengairi kolam ikan arus deras di daerah
hulu (Cipeujeuh dan Cikoneng) dan industri tekstil daerah Majalaya.
Penelitian ini dilakukan di Dusun Leles, Desa Mekarsari, Kecamatan Ciparay,
daerah ini merupakan daerah paling hilir dari Irigasi Wanir. Letak geografisnya yang
paling hilir dari DI Wanir, mempengaruhi ketersediaan air irigasi di daerah ini. Air
irigasi membutuhkan waktu lebih lama untuk mengalir kedaerah ini karena saluran
irigasi yang bertambah panjang, dan semakin banyak hambatan yang ditemui selama
perjalannya, sehingga di musim kemarau daerah ini sering kekurangan air irigasi
karena lokasinya yang berada di akhir saluran irigasi membuat pasokan air untuk
daerah ini sering habis tersedot oleh daerah lain diatasnya. Sementara di musim
hujan daerah ini kerap kali dilanda banjir karena limpahan air dari daerah-daerah
yang ada diatasnya (di daerah hulu).
46
BAB. III
PENGGUNA, PERMASALAHAN,
DAN PENGELOLAAN IRIGASI
Bab ketiga ini menguraikan tentang aktor-aktor yang pengguna air irigasi
Wanir dan apa saja yang menjadi masalah dalam penggunaan air irigasi. Kemudian
bab ini juga akan menguraikan bagaimana petani di dusun Leles mengelola air irigasi
agar pasokan air tetap tersedia disetiap musim.
3.1. Pengguna Air Irigasi DI. Wanir
Sektor pertanian merupakan pengguna air terbesar di Daerah Irigasi Wanir,
karena Daerah Irigasi Wanir yang dibangun tahun 1965/1966 pada awalnya dibangun
dengan tujuan untuk memajukan pertanian disekitar Pacet, Ciparay, dan Majalaya.
Namun dengan semakin bertambahnya penduduk dan berkembangnya pembangunan
berbagai sektor, pengguna air irigasi Wanir menjadi semakin bertambah. Saat ini
yang menggunakan air irigasi Wanir antara lain petani, Industri tekstil disekitar
Majalaya, dan kolam ikan arus deras.
3.1.1. Petani
47
Petani yang menggunakan air irigasi dari DI Wanir tersebar di seluruh
wilayah pengairan DI Wanir, mulai dari kecamatan Pacet, Ciparay, dan Majalaya.
Petani-petani di DI Wanir menggunakan air irigasi untuk mengairi sawah-sawah
mereka. Petani merupakan pengguna air irigasi terbanyak di DI Wanir. Petani-petani
tidak hanya menanam padi yang nanti berasnya dapat kita jumpai di pasar-pasar dan
kita makan sebagai makanan pokok, walaupun sebenarnya komoditi utamanya
adalah padi. beraneka ragam tanaman mereka tanam, mulai dari padi, beras merah,
beras ketan, ketan hitam, kacang tanah, jagung, hingga sayur mayur seperti tomat
dan sawi. Air irigasi merupakan faktor penting dalam mendukung pertanian mereka,
karena tanpanya tanaman-tanaman tidak akan tumbuh.
Sektor pertanian memegang peran yang penting dalam kehidupan sosial
masyarakat sekitar DI Wanir. Hal ini dikarenakan mayoritas masyarakat sekitar DI
Wanir bergantung pada sektor pertanian. Untuk menjamin ketersediaan air irigasi
diseluruh DI Wanir tentunya dibutuhkan mekanisme khusus yang mengatur
pembagian dan pendistribusian air irigasi. Seperti yang dikemukakan Geertz (1983),
bahwa penyediaan dan pengendalian air merupakan faktor yang penting dalam
penanaman padi. Air yang berlebih sama bahayanya dengan kekurangan air. Untuk
itu dibutuhkan sebuah pengelolaan air irigasi dengan mengembangkan kerjasama dan
dikelola secara bersama-sama dalam sebuah organisasi.
Luasnya daerah pengairan DI Wanir pendistribusian air irigasi yang adil
menjadi penting agar seluruh pengguna irigasi dapat memperoleh manfaat dari air
irigasi. Untuk membuat pembagian air yang merata tentunya dibutuhkan kerjasama
48
dari semua elemen masyarakat dalam mengelola air irigasi. Seperti dikemukakan
diatas bahwa petani mengembangkan kerjasama dan mengelola secara bersama-sama
dalam sebuah organisasi, pengelolaan irigasi di DI Wanir Sejak tahun 2000, dikelola
empat belas P3A (Perkumpulan Petani Pemakai Air) yang tersbar diseluruh daerah
pengairan DI Wanir dengan satu GP3A (gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air)
sebagai induknya.
Dalam berita acara pembentukan GP3A ini disebutkan bahwa GP3A
mengelola pengairan secara global dan mempunyai kewajiban mengelola jaringan
irigasi pada tingkat primer dan sekunder, sedangkan P3A10 ikut mengelola jaringan
irigasi pada tingkat tersier di petak-petak sawah daerah masing-masing, biasanya
P3A ada di tingkat desa. P3A ini berfungsi mengelola masyarakat tani untuk
partisipatif dalam pengelolaan sistem irigasi di tingkat tersier yang diwujudkan mulai
dari pemikiran, pengambilan keputusan, serta pelaksanaan kegiatan dalam
pembangunan, peningkatan, operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi. Partisipasi ini
dapat diwujudkan dalam bentuk sumbangan pemikiran, gagasan, waktu, tenaga,
material, dan dana.
Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air (GP3A) Daerah Irigasi Wanir
bernama GP3A Tirta Walatra. GP3A Titra Walatra ini terdiri dari 14 Perkumpulan
10 Perkumpulan petani pemakai air (P3A) adalah kelembagaan pengelolaan irigasi yang menjadi wadah petani pemakai air dalam suatu daerah pelayanan irigasi yang dibentuk oleh petani pemakai air sendiri secara demokratis, termasuk lembaga lokal pengelola irigasi. (Peraturan Pemerintah nomor 20 tahun 2006).
49
Petani Pemakai Air (P3A) di tiap desa di kecamatan Pacet, Ciparay dan Majalaya.
Berikut daftar P3A di DI Wanir:
Tabel 3.1. P3A Tiap Desa di Daerah Irigasi Wanir
Kecamatan Desa Nama P3A
PacetCipeujeuh SaluyuCipeujeuh BarokahTanjungwangi Mekarwangi
Ciparay
Cikoneng Sukagalih ICikoneng Sukagalih IISagaracipta TirtagaraPakutandang TatandangMagungharja Cinta damaiMekarsari Harapan I
Majalaya
Neglasari NeglasariWangisagara TirtawangiPadamulya Tirtawangi IIPadaulun PadaulunBiru Tirta amanah
Sumber : Dinas Pengairan Kecamatan Ciparay, 2007
Untuk menciptakan pendistribusian yang adil, pengurus GP3A bersama
seluruh pengurus P3A di DI Wanir melakukan rapat setiap awal musim tanam. Rapat
ini antara lain membahas rencana tata tanam global, perbaikan dan perawatan saluran
air, dan bila rapat ini di awal musim kemarau rapat juga membahas penjadwalan
pengaliran air ke setiap P3A-P3A di DI. Wanir agar seluruh wilayah pengairan dapat
teraliri air irigasi. Penyusunan rencana tata tanam global bertujuan untuk menetapkan
a. Pola tanam yang sesuai dengan kondisi fisik serta dapat meningkatkan
pendapatan petani walaupun dalam kondisi air terbatas
50
b. Mengatur sistem pembagian air irigasi terutama dalam kondisi air terbatas.
c. Menetapkan waktu pengeringan saluran untuk melaksanakan pemeliharaan
saluran.
Ketika musim kemarau pasokan air dari sungai citarum tidak mencukupi
kebutuhan para pengguna irigasi di DI Wanir sehingga penjadwalan distribusi air
irigasi dilakukan oleh GP3A agar air dapat terbagi secara merata. Penjadwalan air ini
dibuat melalui rapat GP3A yang dihadiri oleh para pengurus P3A dari seluruh daerah
irigasi Wanir, dan penjadwalan air ini berlaku setiap tahun disaat musim kemarau
atau disaat debit air citarum turun. Penjadwalan ini delakukan dengan cara membuka
secara bergilir saluran tiga sekunder utama (saluran Cipeujeuh, saluran Cikoneng,
dan saluran Wangisagara) melalui pintu bagi di daerah Pacet. Umumnya setiap desa
mendapatkan dua waktu pengaliran air irigasi. Khususnya untuk Dusun Leles Desa
Mekarsari mendapatkan jatah air pada Minggu dan Jumat pukul 18.00 sampai 06.00.
Berikut ini tabel penjadwalan air DI Wanir di musim kemarau:
Tabel 3.2. Jadwal Pembagian Air irigasi di Daerah Irigasi Wanir
Kecamatan Desa Hari Waktu
PacetCipeujeuh Selasa dan Sabtu 06.00 sampai 18.00Tanjungwangi Selasa dan Sabtu 06.00 sampai 18.00Cikoneng Senin dan Kamis 06.00 sampai 18.00
Ciparay Sagaracipta Senin dan Kamis 06.00 sampai 18.00Pakutandang Senin dan Rabu 18.00 sampai 06.00Magungharja Minggu dan Jumat 18.00 sampai 06.00Mekarsari Minggu dan Jumat 18.00 sampai 06.00Neglasari Jumat 06.00 sampai 18.00
51
Selasa 18.00 sampai 06.00Wangisagara Jumat
Selasa
06.00 sampai 18.00
18.00 sampai 06.00
Majalaya
Padamulya Kamis dan Sabtu 18.00 sampai 06.00
Sukamukti Kamis dan Sabtu 18.00 sampai 06.00Padaulun Minggu dan Rabu 06.00 sampai 18.00Biru Minggu dan Rabu 06.00 sampai 18.00
Sumber: GP3A Tirta Walatra, 2007
Seluruh petani di DI Wanir tergabung dalam P3A di masing-masing
daerahnya. Namun, tidak seluruh petani mengambil bagian dalam pengelolaan air
irigasi. Hanya para pengurus P3A saja yang menjadi pengelola irigasi ditingkat
saluran tersier. Dalam pendistribusian air irigasi ternyata tidak seluruh pengguna
irigasi dapat merasakan manfaat air irigasi. Peran GP3A dalam mengelola air irigasi
secara global ternyata tidak berjalan dengan baik. Banyak hambatan yang ditemui
dalam pendistribusian air irigasi antara lain, adanya perebutan air antara petani
dengan Running water dan industri tekstil.
3.1.2. Kolam Ikan Arus Deras (Running Water / Raning)
Running water adalah perikanan arus deras yang pengelolaannya
membutuhkan debit air tinggi. Ikan yang dijadikan komoditas adalah ikan mujaer
dan ikan mas. Running water mulai ada di Di Wanir pada awal tahun 90an. Di
sepanjang daerah irigasi Wanir, running water terdapat di daerah hulu yaitu di daerah
Cipeujeuh dan Cikoneng. Yang menjalankan perikana arus deras ini merupakan
52
orang luar daerah, mereka membangun di daerah ini karena ketersediaan air yang
melimpah. Hampir seluruh pemilik running water merupakan orang yang memiliki
modal besar seperti Jendral, dan pengusaha-pengusaha Cina. Mereka memiliki
hubungan yang baik dengan aparat pemerintahan desa, sehingga mereka bisa
membangun kolam ikan dekat dengan saluran sekunder.
Lokasinya yang dekat dengan saluran sekunder membuat running water ini
dengan mudah mengambil air langsung dari saluran sekunder. Air yang mengalir
pada saluran irigasi langsung dibelokkan menuju kolam-kolam ikan dengan cara
membobol tembok saluran sekunder kemudian membuat pintu air untuk mengontrol
debit air yang masuk ke kolam. Air irigasi yang masuk ke kolam selanjutnya dibuang
melalui saluran pembuangan ke sungai.
Pembuangan air dari kolam ke sungai ini menjadi masalah karena air tidak
dapat digunakan kembali oleh petani. Ketinggian permukaan air yang lebih rendah
dari permukaan sawah menyebabkan air tidak dapat mengalir ke sawah. Pembobolan
saluran irigasi sekunder juga membuat berkurangnya debit air irigasi untuk pasokan
air ke daerah hilir seperti daerah Leles (lihat gambar 3.1, dan gambar 3.2)
53
Gambar 3.1. Runing Water
Gambar 3.2. Air dari saluran irigasi yang dibelokan ke Running water
Pembangunan running di dekat sumber air (saluran sekunder) ini
memudahkan pemilik running untuk mengakses sumber daya air yang ada. Untuk
melancarkan akses mereka terhadap sumber daya air, para pemilik running water
mengaktifkan hubungan sosial dengan aparat pemerintahan, baik desa maupun
kecamatan. Hubungan baik dan kedekatannya dengan aparat desa juga membuat
terjaminnya pasokan air irigasi ke running-running ini. Hal ini ternyata sejalan
dengan pendapat Benda-Beckman (2001) bahwa Mereka yang memiliki modal besar
dan kontrol terhadap sumber daya, dalam artian memiliki teknologi dan sarana
penyaluran air, dekat dengan sumber air atau bahkan menguasaianya, serta memiliki
hubungan yang baik dengan pengaturan tingkat desa, hampir selalu mempunyai
akses istimewa pada sumber daya air dan lebih mampu mengeksploitasinya.
3.1.3. Industri Tekstil
54
Air irigasi Wanir yang mengairi 1.880 ha di tiga kecamatan ini ternyata tidak
hanya digunakan untuk petani dan pengelolaa ikan saja, industri tekstil pun ternyata
menggunakan air irigasi Wanir. Industri tektil ini menggunakan air irigasi sebagai
bahan baku air yang digunakan pada saat proses produksi. Terdapat sembilan
perusahaan yang bergerak di industri tekstil dan pengolahan kain yang sumber airnya
berasal dari air irigasi di DI Wanir. Industri-industri ini tidak tersebar di seluruh
wilayah pengairan DI Wanir tetapi hanya terdapat di Kecamatan Majalaya saja,
karena wilayah Kecamatan Ciparay dan Kecamatan Pacet tidak diperuntukkan bagi
kawasan industri, melainkan sebagai kawasan pertanian, pemukiman dan pendidikan
(Kantor Kecamatan Ciparay, 2007). Tercatat secara resmi terdapat sembilan industri
tekstil yang mengunakan air irigasi dari saluran irigasi DI Wanir (Dinas PSDA
Provinsi Jabar, 2007). Pemakaian air ini berkisar antara 0,5 l/detik sampai 10 l/detik
setiap harinya untuk tiap industri. Perusahaan-perusahaan tersebut berproduksi setiap
harinya selama 24 jam dengan menggunakan air irigasi.
Tabel. 3.3. Daftar Perusahaan yang Mendapat Rekomendasi Teknis SIPPA dari
BPSDA Wilayah Sungai Citarum
No. Nama perusahaan Jenis produksi Lokasi
1.PT. Ganesha Pertiwi Textile
MillsTekstil Desa Biru
2. PT. Sari Sandang Tekstil Desa Padamulya
3. CV. Purnama TirtatexPengolahan
kainDesa Padamulya
55
4. PT. Tribintang Lokawarna Tekstil Desa Padaulun5. PT. Ferinatex Jaya Tekstil Desa Sukamukti6. PT. Pertenunan Muintex Tekstil Desa Padaulun
7. PT. JasatexPengolahan
kainDesa Padaulun
8. PT. Aktex Cidalaya Biru Tekstil Desa Biru9. PT Setiatex Kusuma Jaya Tekstil Desa Sukamukti
Sumber : Dinas PSDA Provinsi Jawa Barat, 2007
Perusahaan-perusahaan diatas mengambil air irigasi dengan membuat pintu
pada saluran irigasi, dan membelokan air irigasi untuk ditampung di kolam
penampungan. Kolam-kolam penampungan ini tidak berada di dalam kompleks
pabrik. Kolam-kolam penampungan ini dibangun oleh masing-masing pabrik pada
lokasi yang dekat dengan saluran sekunder dan berada didaerah tinggi. Kolam-kolam
ini bisa berjarak hingga 2 Km jauhnya dari pabrik.
Kolam-kolam penampungan air ini banyak ditemukan di desa Padaulun, dan
Biru. Kolam penampungan yang dibuat oleh pabrik ini cukup besar, salah satunya
kolam penampungan milik PT. Pertenunan Muintex di desa Padaulun. PT.
Pertenunan Muintex memiliki dua kolam penampungan, yang pertama berukuran 20
m X 8 m dengan kedalaman mencapai 4 m, kemudian yang kolam kedua dengan
ukuran lebih kecil 10 m X 10 m dengan kedalaman 4 m. kolam-kolam ini dibuat
besar dengan tujuan agar mampu menjaga pasokan air untuk proses produksi pabrik
selama 24 jam.
56
Pabrik membangun saluran penghubung antara kolam penampungan dan
pabrik dengan menggunakan pipa paralon yang ditimbun didalam tanah. Dahulu
pendistribusian air dari kolam penampungan ke pabrik dilakukan dengan
menggunakan selokan, sehingga petani masih bisa mengambil sedikit air untuk
dialirkan ke sawah mereka. Tetapi dengan menggunakan pipa paralon, saat ini petani
kesulitan mendapatkan air untuk mengairi sawah.
Dalam menjaga pasokan air untuk produksinya pihak industri banyak
memperkerjakan preman-preman atau orang yang ditakuti di daerah setempat untuk
menjaga pasokan air dan kolam-kolam penampungan mereka. Para petani menyebut
mereka dengan sebutan babah hideung. Pilihan pihak industri dengan
memperkerjakan para preman datau babah hideung ini membuat petani segan untuk
mengganggu pasokan air milik pabrik.
Terdapat beberapa persoalan yang dihadapi para pengguna air irigasi DI
Wanir (petani, running water, dan industri) ini. Pertama akses pertani terhadap
sumber daya air irigasi terganggu dengan adanya kedua sektor lain yang memiliki
modal dan teknologi yang lebih tinggi dalam mengakses sumberdaya air. Padalah
menurut pasal 8 ayat 2 UU. No. 11 Tahun 1974 prioritas penggunaan air adalah untuk
kebutuhan domestik, pertanian, dan ketenagaan (industri). Berdasarkan undang-
undang ini dapat disimpulkan bahwa industri berada dalam prioritas terakhir untuk
penggunaan air. Tetapi, dalam kenyataannya di DI Wanir, industri dan running water
57
(yang juga merupakan sektor ketenagaan) justru memperoleh akses yang lebih baik
terhadapa air irigasi.
Pemilik usaha running water memiliki akses yang baik terhadap air irigasi,
karena modal dan hubungan sosial dengan aparat desa yang mereka miliki.
Sedangkan, pada sektor Industri terdapat teknologi yang lebih tinggi dibandingkan
para petani, dengan membangun kolam penampungan air di daerah hulu dan saluran
air yang menghubungkan kolam penampungan dengan pabrik. Dalam Benda-
Beckman (2001) dinyatakan bahwa mereka yang memiliki modal besar dan kontrol
terhadap sumber daya, dalam artian memiliki teknologi dan sarana penyaluran air,
dekat dengan sumber air atau bahkan menguasaianya, serta memiliki hubungan yang
baik dengan pengaturan tingkat desa, hampir selalu mempunyai akses istimewa pada
sumber daya air dan lebih mampu mengeksploitasinya. Hal ini terlihat dari
kemudahan akses terhadap air yang dimiliki oleh running water dan industri yang
memiliki modal lebih besar daripada petani.
Selain itu petani juga mengalami masalah dengan pihak industri yaitu,
industri mempekerjakan para preman-preman setempat yang disegani para petani
untuk menjaga pasokan air mereka. Selain itu beberapa pengurus P3A bekerja pada
industri untuk memasok air ke kolam penampungan, karena tergiur dengan
pendapatan yang tinggi.
Adapun masalah juga yang dihadapi petani sehingga mereka seolah tidak bisa
melawan kekuatan industri, banyak buruh pabrik yang merupakan keluarga dari para
petani tersebut (anaknya, istrinya, suaminya, dan sanak saudaranya) sehingga apabila
58
petani melawan dan industri tidak mendapatkan air, maka ancaman yang terjadi
adalah PHK terhadap anggota keluarga petani.
Posisi petani di DI wanir terhadap industri dan running water sangat lemah
karena faktor-faktor di atas. Jadi, para petani perlu melakukan strategi kerjasama
untuk menanggulangi permasalahan air irigasi ini.
3.2. Permasalahan Irigasi di Dusun Leles
3.2.1. Permasalahan irigasi di Musim Kemarau
Dusun Leles merupakan daerah paling hilir dari saluran irigasi Wanir. Letak
geografis tersebut mempengaruhi ketersediaan air pada saluran irigasi, terlebih pada
musim kemarau. Letak di daerah hilir menyebabkan perlunya waktu yang lebih lama
untuk mengalirkan air dari bendung Wanir ke Dusun Leles dan semakin banyaknya
hambatan-hambatan yang ditemui saat perjalanan air tersebut. Beberapa hal yang
menjadi hambatan kelancaran pasokan air irigasi di dusun Leles, terutama di musim
kemarau antara lain, rusaknya pintu-pintu air, mengeringnya tanah pada saluran
irigasi kuarter, dan perebutan air dengan pengguna air irigasi di daerah girang atau
hulu.
3.2.1.1 Rusak dan Hilangnya Pintu Air
Saluran irigasi mempunyai pintu air yang berfungsi untuk membandung air
agar dapat mengalir ke daerah yang lebih rendah. Pintu air merupakan komponen
59
yang penting, karena disitulah pengaturan air dilakukan. Ketika debit air rendah,
pintu akan ditutup jika diperlukan, dengan tujuan menaikan ketinggian permukaan
air hingga batas ketinggian tertentu agar air mengalir ke daerah yang lebih rendah.
Dusun Leles memiliki dua saluran irigasi. Satu saluran merupakan saluran
tersier, dengan lebar sekitar 1,5 meter; saluran ini merupakan kepanjangan langsung
dari saluran irigasi Wanir. Sedangkan satu saluran lagi merupakan cabang dari
saluran tersier yang para petani sebut solokan, lebarnya sekitar 0,5 meter. Kedua
saluran irigasi ini terletak di batas dusun Leles dan Manggungharja (lihat gambar
3.3).
Gambar 3.3. Saluran Irigasi Tersier Dusun Leles
Pada saluran tersier, terdapat dua pintu air yang digunakan untuk mengatur
aliran air. Agar saluran kuarter atau ”solokan” dapat dialiri air maka pintu air harus
ditutup agar ketinggian air melebihi permukaan saluran kuarter. Kondisi pintu air
merupakan hal yang perlu diperhatikan karena ia berfungsi untuk mengalirkan dan
membagi air. Ketika masuk musim kemarau debit air irigasi berkurang, peran pintu
60
air menjadi semakin penting karena melaluinya pembagian air yang adil bagi daerah
pertanian di saluran irigasi Wanir dapat dilakukan. Namun, salah satu masalah dalam
irigasi justru terletak pada pintu air ini
Pintu air terdiri dari komponen logam: baut, mur, drat (knop yang berfungsi
untuk menutup dan membuka pintu air), talang besi, seng, dan daun pintu yang
terbuat dari papan kayu. Hal yang menjadi masalah ialah terjadinya pencurian
terhadap komponen logam pintu air ini. Karena logam besi ini memiliki nilai jual
yang tinggi. Menurut seluruh keterangan informan, komponen logam itu diambil
oleh tukang kindeu (pemulung besi) untuk mereka jual (lihat gambar 3.4 dan gambar
3.5).
Gambar 3.4. Pintu Air yang Drat-nya Sudah Hilang
61
Gambar 3.5. Pintu Air
Kasus ini terjadi karena penjagaan di pintu air, terutama di saluran tersier dan
sekunder, pengawasannya kurang ketat. Memang, pada saluran primer dan sekunder,
terdapat rumah atau kantor penjaga petugas Gabungan Petugas P3A yang dari
letaknya dapat memantau area saluran irigasi. Dengan begitu, pintu-pintu air dapat
dipantau. Selain itu terdapat juga rumah milik warga yang bukan petugas namun
letaknya dekat dengan pintu air.
Menurut keterangan informan, kunci pintu air biasanya berada atau dititipkan
pada rumah penjaga atau warga yang rumahnya dekat dengan pintu air. Tetapi
seringkali pintu bisa dibuka tanpa mengikuti jadwal atau ketentuan yang berlaku.
Bahkan, lanjutnya lagi, ada beberapa petani yang telah memiliki (duplikat) kunci
tersebut sehingga tidak perlu melewati petugas untuk membukanya.
3.2.1.2. Solokan
Di musim kemarau, saluran irigasi kuarter yang jarang dialiri air
menyebabkan tanah berada dalam kondisi kering sehingga mengakibatkan tanah
retak (tela-tela). Kondisi tanah yang kering pada saluran irigasi berpengaruh
terhadap kelancaran datangnya pasokan air. Ketika saluran irigasi mendapat pasokan
62
air dari hulu, perlu menunggu satu hari agar air dapat mengalir lancar pada saluran.
Pada hari pertama saat saluran diairi, air langsung meresap kedalam retakan-retakan
pada tanah yang kering pada solokan. Akibatnya, saluran tidak bisa langsung dialiri
air secara lancar. Biasanya, baru pada hari kedua, setelah kondisi tanah basah, air
dapat mengalir lancar pada saluran irigasi (lihat gambar 3.6).
Gambar 3.6. Solokan yang
Kering Karena Tidak Teraliri Air.
3.2.1.3.Perebutan Air
Saluran irigasi Wanir mengairi lahan pertanian mulai dari hulu hingga
hilirnya. Di musim kemarau, kecilnya curah hujan menyebabkan menurunnya debit
air sehingga pasokan air bagi lahan-lahan di sepanjang saluran berkurang. Hal ini
diatasi dengan pembagian jatah dibukanya pintu air untuk mengairi daerah di
sepanjang saluran irigasi. Gabungan P3A unit irigasi Wanir sebagai lembaga yang
menangani irigasi telah membuat jadwal menyangkut pembagian air untuk setiap
63
desa. Dusun Leles mendapatkan jatah air melalui saluran Cibodas setiap hari Minggu
dan Jumat, mulai dari pukul 18.00 – 06.00. Namun pada praktiknya sering terjadi
ketidaksesuaian menyangkut jadwal pembukaan pintu air ini.
Perebutan air pada saluran irigasi sering terjadi pada musim kemarau, hal ini
disebabkan karena debit air disungai citarum turun sehingga berpengaruh pada
berkurangnya pasokan air irigasi bagi pengguna air irigasi. Perebutan air ini tidak
hanya antar-petani dengan petani, tetapi perebutan air ini juga diramaikan oleh para
pemilik running water atau perikanan arus deras dan Industri.
running water membutuh air secara terus-menerus untuk kebutuhan ikan-ikan
mereka. Lokasi kolam yang bersebelahan dengan saluran skunder memudahkan
pemilik running water untuk langsung mengambil air dari saluran sekunder. “kalau
saya tidak boleh mengambil air dari saluran irigasi, kenapa dulu desa memberikan
izin sama saya untuk membangun kolam disini? Ya sekarang sih saya meminta pihak
desa untuk mengatur air supaya air bisa masik kekolam terus. Kalau tidak kan bisa
repot...” (ko’ Ak, 8 maret 2009), kalimat tadi adalah pernyataan dari salah satu
pemilik running water yang menggunakan ijin dari pihak desa sebagai modal dalam
menggunakan air irigasi setiap waktu.
Selain petani dan pemilik running water, industri juga menjadi aktor lain
dalam perebutan air irigasi ini. Dalam menjaga pasokan air untuk pabrik, para babah
hideung diberi bayaran yang tinggi oleh pabrik, mereka juga diberi uang oleh pabrik
untuk membeli air dari pintu pembagi. Jadi sering kali para babah hideung ini
mengambil air pada waktu-waktu yang bukan seharusnya. Untuk mempermudah
64
usaha mereka itu, para babah hideung membayar sejumlah uang kepada petugas dari
PU pengairan yang bertugas menjaga pintu bagi di Jalan Cagak. Hal ini
menyebabkan petani kesulitan mendapat air untuk sawah mereka. Seperti yang
dituturkan olah salah seorang informan :
“Nya eta ceuk bapa ge da duit, da nu kuasa mah duit. Bere we duit kara rada di ageungan angger we suap menyuap. Ayeuna aya pabrik, patani jarang kabagean, da modalna ageung pabrik mah.”“Ya itu kata bapak juga uang, soalnya yang berkuasa itu uang. Dikasih aja uang baru baru agak dibesarkan (air irigasi) tetap saja suap menyaup. Sekarang ada pabrik, petani jarang kebagian, soalnya pabrik besar modalnya” (Pa Yy, 14-03-09)
Pabrik memiliki kontrol yang besar terhadap sumber daya air irigasi di musim
kemarau dengan memperkerjakan para babah hideung. Selain itu juga pabrik
memiliki teknologi dan sarana penyaluran air untuk mempermudah akses mereka
terhadap air irigasi ini.
Walaupun tidak sampai terjadi kontak fisik dalam perebutan air ini,
kekurangan air irigasi ini membuat petani di dusun Leles harus melakukan kerjasama
dengan berbagai pihak baik sesama petani maupun aktor yang lain dalam mengatasi
hal ini.
3.2.2. Permasalahan Irigasi di Musim Hujan
Pada musim hujan, nasib petani lebih beruntung. Air irigasi terus mengalir,
bahkan debit air bertambah. Air didapat tidak hanya dari saluran irigasi, tapi juga
dari air hujan yang turun. Petani tidak akan kekurangan air untuk kebutuhan
65
pertanian. Hal ini akan membuat kerja para petani menjadi mudah dalam mengolah
lahan pertanian. Seperti dalam membajak tanah, dengan cukupnya ketersedian air
membuat kerja petani yang menggunakan cangkul, kerbau atau pun traktor11 menjadi
lebih ringan karena tanah akan lebih cepat menjadi gembur. Selain itu, pada masa-
masa ketika padi harus tetap tergenang air, petani tidak harus bingung mencari air
seperti ketika musim kemarau. Dengan ketersedian air yang cukup, kerja pertanian
akan lebih lancar dan petani tidak harus membuang tenaga dan waktu untuk mencari
air guna kebutuhan pertanian.
Meskipun mempunyai beban kerja yang lebih ringan, pada musim hujan juga
banyak masalah yang timbul. Seperti ketika hujan turun terkadang membuat sungai
Cirasea dan Cipadaulun (anak sungai Citarum) meluap sehingga terjadi banjir sampai
ke pemukiman dan ke sawah yang menyebabkan padi terbenam oleh air. Jika padi
baru di tanam sekitar 2 minggu, padi akan terbawa arus banjir. Hal ini terjadi karena
padi masih berbentuk bibit, belum berkembang sehingga mudah terbawa arus banjir.
Banjir ini disebabkan kondisi daerah dusun Leles yang secara geografis berada di
hilir sungai, yang menyebabkan dusun Leles mejadi tempat tumpahan air dari hulu
sungai, ditambah dengan banyaknya sampah yang menyumbat aliran air di sungai.
Tetapi menurut keterangan beberapa informan, selama ini banjir di dusun Leles
belum pernah menyebabkan kerusakan yang signifikan. Di dusun leles, selama ini
banjir tidak bertahan lama; paling lama sekitar 6 jam. Jika sungai Cirasea atau
11 . Di dusun leles, tidak semua petani mempunyai kerbau atau traktor. Untuk membajak sawah, banyak petani menyewa kerbau atau traktor. Ongkos sewa yang harus dikeluarkan petani dalam satu bedug (muali pukul 06.00-12.00) berbeda-beda, untuk sewa kerbau beserta pembajaknya sebesar Rp 60.000,00 –Rp 65.000,00, sedangkan traktor sekitar Rp 150.000,00.
66
Cipadaulun mulai meluap pada pukul 6, biasanya akan mulai surut sekitar jam 10-12
malam. Seperti menurut seorang informan, “..da ngan sakedap banjir mah kadieu.
lamun banjir maghrib, da unggal banjir oge maghrib banjir jam 6, jam 12 ge urang
tos beberes deui..” ( banjir cuman sebentar datangnya, banjir biasanya datangnya
maghrib jam 6, jam 12 saya sudah beres-beres rumah lagi) ujarnya atau menurut
informan lainnya “..akh banjir mah datang na ukur saliwat ..” ( banjir datangnya
cuman ngelewat aja, sementara). Bahkan ketika banjir, para petani justru
memanfaatkan kondisi tersebut. Para petani dan masyarakat lainnya berkumpul di
titik-titik banjir untuk mencari ikan (dilakukan dengan menjaring atau menyetrum)
karena banyak ikan dari kolam milik warga yang ikut terbawa arus banjir (lihat
gambar 3.7 dan gambar 3.8).
Gambar 3.7. Seseorang Sedang Menjaring Ikan Sesaat Setelah Terjadi Banjir
67
Gambar 3.8. Banjir Ketika Musim Hujan Bisa Mencapai Setinggi
Pinggang Orang Dewasa.
Selain banjir, di dusun Leles hujan membawa permasalahan lainnya. Ketika
sawah menjelang panen, ketika padi berumur sekitar 80 hari, padi harus dalam
keadaan kering. Tetapi hujan turun hampir setiap hari dan terus membuat padi
tergenang. Untuk itu dibutuhkan pengaturan air yang baik, sehingga air yang
tergenang bisa dibuang melalui lubang-lubang saluran air ke sungai. Menurut
informan, kondisi di sawah yang tergenang saat akan mejelang panen, akan
mengundang hama tikus untuk datang ke sawah mereka. Menurutnya, kondisi sawah
yang basah dan padi yang sudah berbuah saat menjelang panen, sangat disukai oleh
hama tikus. Sehingga apabila hama tikus menyerang petani akan mengalami
kerugian, karena sawahnya mengalami kerusakan.
Ketika musim hujan, sering terjadi angin besar di sawah.. Angin besar
tersebut membuat padi-padi yang sedang tumbuh dan terutama yang siap panen akan
68
rubuh (ayeuh). Hal ini terjadi karena kualitas tanah yang terlalu gembur dan benih
padi yang dipilih untuk ditanam secara fisik lebih besar dan tinggi sehingga akan
lebih gampang terkena angin dan rubuh, seperti penuturan seorang informan, “eta
teh dampak tina Sawahna lendot, sawahna legok. Nu ledok tea,”. Hal itu akan
mengakibatkan bulir (buah) padi akan ikut tergenang air. Jika tergenang sampai 3
hari atau lebih, padi akan rusak bahkan menjadi busuk atau terjadi hapa12. Hal ini
mengakibatkan kerugian karena gabah tidak bisa jual, atau harganya menjadi turun
(lihat gambar 3.9).
Gambar 3. 9. Padi yang Ayeuh Terkena Angin Besar.
Musim secara alamiah mempengaruhi jumlah air irigasi. Air akan melimpah
dimusim hujan dan akan langka di musim kemarau. Terutama pada musim kemarau
petani mengalami berbagai macam permasalah, mulai dari permasalahn teknis
hingga permasalahan sosial.
12 Padi yang tidak tumbuh sempurna, ketika di panen padi tidak mempunyai buah atau biji padi,kosong.
69
Permasalahan teknis seperti hilang dan rusaknya pintu air disebabkan oleh
orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mereka mengambil peralatan pintu air
seperti baut, kunci pintu dan lain-lain untuk dijual karena memiliki nilai ekonomis
yang tinggi. Hal ini menyebabkan fungsi pintu air tidak dapat berjalan dengan
semestinya. Sehingga petani harus menghabiskan waktu lebih lama untuk
mendistribusikan air irigasi. Permasalan sosial yang dihadapai tentang perebutan air
telah dijelaskan di sub bab sebelumnya, yakni permasalahan petani dengan industri
dan running water.
Tidak hanya di musim kemarau, musim hujan pun petani memiliki masalah
dalam pasokan air irigasi. Dalam musim ini jumlah air berlebih, kadang-kadang
mereka mengalami kebanjiran yang bisa merusak padi-padi di sawah mereka.
Intinya, petani saat ini dalam posisi yang kurang menguntungkan baik dari efek
musim maupun sosial. Untuk menghadapi masalah tersebut petani harus
mengembangkan strategi kerjasama yang dituangkan dalam bentuk organisasi irigasi
seperti yang diungkapkan Ostrom (2000), dalam hal ini dibentuk P3A atau Mitra cai
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan pengairan.
3.3. P3A / Mitra cai “Harapan I” sebagai pengelola irigasi
Dalam usaha pemenuhan kebutuhan air irigasi, petani di dusun Leles
tergabung dalam satu organisasi Mitra cai atau P3A. Mitra cai atau P3A
(Perkumpulan Petani Pemakai Air) Harapan I di susun Leles merupakan organisasi
yang dibentuk pemerintah sekitar tahun 1980-an. Mitra Cai merupakan organisasi
70
bentukan pemerintah Orde Baru yang dibuat untuk mengelola air irigasi. Tepatnya
organisasi ini dibentuk oleh dinas pengairan dan dikuatkan juga oleh Surat
Keputusan (SK) Gubernur. Mitra cai yang memiliki jumlah anggota hingga 80 orang
ini berfungsi untuk mengorganisir dan mengelola ketersediaan air untuk sawah-
sawah yang ada di dudun Leles.
“berdasarkan peraturan weh, ketentuan ti pamarentah,ti Dinas Pengairan.Peraturan pamarentah P3 cai mah. Kapungkur mah nuju Orde Baru, Mitra Cai mah. Kawitan bapa dines teh nuju jadi Ketua Desa teh taun 1987 dugi ka 1994, harita teh tos ngawitan P3A berdiri, malah bapa karek dilatih. Semua desa nu aya pertanian, jadi sadayana kedah ngalaksanakeun pengairanna sistemna berdasarkeun P3A/Mitra Cai. P3A/Mitra Cai kapungkur mah, Bapa taun 1988 tos dilatih di Waduk Darma salami hampir sasasih. Waktos harita nu dilatih teh camat, teras kapolsek, teras Kaur Ekbang kecamatan, ditambih juru pengairan. Tah harita teh kedah tos berdiri P3A, di desa teh cai teh sistem berdasarkan P3A/Mitra Cai. taunna nya bapa kirang apal, da tos lami.”“berdasarkan peraturan saja, ketentuan dari pemereintah, dari dinas pegairan. Peraturan pemerintah P3Air itu. Dulu waktu jaman Orde Baru mitra cai itu (dibentuk). Awalnya bapak waktu menjabat sebagai ketua desa pada tahun 1987 sampai 1994, waktu itu P3a sudah mulai berdiri, malah bapak baru dilatih. Semua desa yang ada pertaniannya, jadi semua harus melaksanakan pengairan dengan system berdasarkan P3A/Mitra cai. P3A/Mitra cai dahulu, bapak tahun 1988 sudah dilatih di Waduk Darma selama hampir satu bulan. Waktu itu yang dilatih adalah Camat, lalu Kapolsek, lalu Kaur Ekbang kecamatan, ditambah dengan juru pengeiran. Nah waktu itu harus sudah berdiri P3A, di desa itun sistemnya berdasarkan P3A/Mitra cai. Tahunnya ya bapak kurang hafal, karena sudah lama.” (Pa Ed, 10 maret 2009)
Mitra cai memiliki struktur piramida dari mulai ketua hingga tim lapangan.
para pengurus ini dipilih oleh anggota dan diberi kepercayaan untuk mengelola air
irigasi. Untuk ketua dipimpin oleh Pak Endin Abdurrohim yang merupakan bekas
kepala desa. Wakil ketua dalam susunan organisasi mitra cai ini Eman Sobandi.
Susunan organisasi berlanjut langsung ke sekretaris yang dijabat oleh Jajang
Rukmana. Adapun posisi bendahara diisii oleh H. A. Sachmar. Bagian tata usaha
71
Sakam, U. Komaludin, Ikin Sodikin. Kemudian yang terakhir ialah tim lapangan, tim
lapangan ini diketuai oleh Eman dengan anggota yang terdiri dari Encang, Yaya
Sumarya, Nandang Kesmed, Asep, Ama, Sidin, dan Maman.(lampiran)
Ketua mitra cai mengatur dan mengorganisir segala hal mengenai
ketersediaan air. Secara struktural ialah yang memimpin organisasi ini. Ia
mempunyai wewenang untuk mengatur dan menginstruksikan kepada anggota
lainnya perihal ketersediaan dan distribusi air. Pak Endin Abdurrohim adalah seorang
mantan kepala desa, dan saat ini yang menggantikan posisinya sebagai kepala desa di
Desa Mekarsari adalah anaknya. Hal inilah yang membuat Pak Endin Abdurrohim
dituakan oleh warga desa dan diangkat menjadi ketua P3A/ Mitra Cai “Harapan I”
Selanjutnya, posisi ketua dibantu oleh sekretaris yang berfungsi mencatat dan
melaporkan tentang berbagai hal. Mulai dari mencatat jalannya rapat, catatan
properti yang dimiliki, jumlah anggota mitra cai hingga jumlah keseluruhan petani di
dusun leles.Pak Eman Sobandi, dia adalah pensiunan kepala sekolah di Majalaya,
kiprahnya sebagai kepala sekolah membuat para petani di Dusun Leles memilihnya
menjadi sekertaris yang membantu ketua dalam pengelolaan irigasi. Sedangkan Haji
A. Sachmar yang menjabat sebagai bendahara adalah seorang petani kaya di Dusun
Leles, dia meiliki sawah yang digarap oleh para petani maro, huller (mesin
penggiling padi), dan dua buah truk untuk pendistribusian beras-berasnya.
bendahara mencatat jumlah pemasukan untuk mitra cai, mulai bantuan pemerintah
hingga iuran dari para petani. Iuran petani dikumpulkan saat musim panen sesuai
dengan jumlah lahan sawah yang dimiliki petani. Kemudian tim lapangan bertugas
72
untuk bekerja dari mulai menagih iuran saat hendak nganir cai hingga menyusuri
saluran sepanjang saluran irigasi dari hulu hingga ke hilir untuk memastikan air
irigasi masuk ke Leles. Mereka yang memegang peranan langsung di lapangan dalam
ada atau tidaknya ketersediaan air, terutama pada musim kemarau. Dari mulai,
pengecekan di setiap pintu air mempetan, hingga perbaikan saluran irigasi.
Kebanyakan dari tim lapangan merupakan petani yang memiliki status sosial
menengah di Dusun Leles, seperti buruh tani, petani maro, dan petani yang memiliki
tanah garapan yang kecil. Seperti misalanya Pak Sakam, Pak Sakam hanyalah
seorang buruh tani yang setiap subuh dan sore hari menjadi tukang becak untuk
menambah penghasilanya. Mulai pagi hari hingga siang Pak Sakam menjadi
pengurus P3A/Mitra Cai “Harapan I” dan jika ada permintaan dia juga sering
menggarap sawah milik orang lain sebagai buruh tani atau biasa disebut dengan
ngabedug karena waktu kerjanya hanya dari pagi sampai adzan dzuhur.
Bentuk-bentuk pengelolaan yang dilakukan mitra cai dalam upaya
menyediakan air irigasi berbeda-beda dalam satu tahunnya. Perbedaan pengelolaan
ini dikarenakan adanya perbedaan musim (kemarau-penghujan) yang berpengaruh
pada stok air yang tersedia di saluran irigasi, dan akan dijelaskan pada sub-bab
selanjutanya.
3.3.1. Pengelolaan Irigasi di Musim Kemarau
Ketersediaan air irigasi di musim kemarau yang menipis, membuat para
pengurus Mitra cai harus bekerja lebih ekstra dalam menjamin ketersediaan air
73
irigasi di petak-petak sawah dusun Leles. Pengelolaan irigasi di dusun Leles
dilakukan oleh P3A Mitra Cai bersama para petani.
Ketentuan yang dibuat oleh GP3A se DI Wanir mengenai pembagian air
selama musim kemarau ternyata belum bisa mencukupi kebutuhan air irigasi para
petani di dusun Leles. Untuk seluruh wilayah DI Wanir, dusun Leles mendapatkan
jatah dialiri air 2 kali semingu, yaitu setiap hari Minggu malam dan Jumat malam,
mulai dari pukul 18.00 – 06.00.
Seperti telah dijelaskan pada permasalahan di musim kemarau, stok air yang
menipis, pintu air yang rusak dan hilang, serta terjadinya perebutan air dengan petani
daerah lain menjadi penyebab kelangkaan air irigasi di dusun Leles. Mitra cai dalam
menghadapi kesulitan ini ternyata memiliki strategi khusus demi menjamin air irigasi
di wilayahnya. Strategi itu adalah nganir cai dan pompanisasi, yang akan dijelaskan
secar rinci di bab selanjutnya.
3.3.2. Pengelolaan Irigasi pada Musim Hujan
Ketika musim hujan datang aktifitas kerjasama petani berubah, mereka tidak
lagi nganir cai, maupun menyedot air sungai dengan pompa diesel. Di awal musim
hujan, petani memperbaiki saluran-saluran irigasi tersier untuk bersiap-siap
menghadapi debit air yang akan bertambah Perbaikan ini dikelola oleh petugas Mitra
cai. Biasanya petugas Mitra cai akan mengundang petani-petani untuk berpartisipasi
dalam gotong royong untuk memperbaiki saluran. Hubungan-hubungan ketetanggaan
para petani di Dusun Leles menjadi basis yang kuat didalam menggalang kekuatan
74
serta mobilisasi tenaga kerja untuk perbaikan saluran irigasi. Selain memperbaiki,
pada awal musim hujan petugas Mitra cai akan mengecek pintu-pintu air yang
terhubung dengan saluran irigasi ke dusun Leles. Ini dilakukan untuk memeriksa jika
ada pintu air yang rusak, dan membersihkan pintu air dari sampah-sampah yang
nantinya akan menyumbat air.
Untuk petani sendiri, ada beberapa perbaikan yang dilakukan secara individu.
Perbaikan yang dilakukan hanya pada saluran irigasi quarter, yang berada di daerah
lahan miliknya. Perbaikan saluran irigasi oleh petani ini berupa pembersihan saluran
dari sampah, peninggian galengan, memperdalam parit, ngarucug, dan menyumbat
kuluwung. Pembersihan sampah dilakukan oleh petani untuk membuat aliran air pada
saluran lebih lancar, karena sampah akan menyumbat jalannya air yang akan
menyebabkan banjir pada musim hujan. Untuk kegiatan peninggian galengan dan
memperdalam parit, keduanya bisa dilaksanakan sekaligus. Peninggian parit
dilakukan dengan cara menambahkan lumpur ke galengan dan disusun agar
galengan pada saluran bertambah tinggi. Lumpur untuk menambah tinggi galengan
di dapat dari hasil petani memperdalam parit. Ketika memperdalam parit, petani akan
menggali dasar parit dengan menggunakan cangkul untuk memperdalam dan
tanahnya digunakan untuk menambah tinggi galengan. Hal ini dilakukan untuk
mengantisipasi bertambahnya debit air yang nantinya akan berpotensi menyebabkan
banjir ketika turun hujan. Untuk mencegah pondasi galengan longsor atau rubuh
ketika turun hujan dan debit air bertambah tinggi, petani akan menahan atau
menopang galengan dengan menggunakan bambu yang ditanamkan pada sisi-sisi
75
galengan yang berada di pinggiran air. Aktivitas yang bersifat antisipatif terhadap
banjir ini disebut ngarucug.
Selain itu petani juga akan mempetan kuluwung atau menyumbat lubang-
lubang saluran air pada sawahnya yang terhubung dengan saluran irigasi. Ini
dilakukan untuk menyumbat air yang akan masuk dari saluran irigasi ke sawahnya
ketika turun hujan agar sawah mereka tidak kelebihan air. Jika sawah petani
mengalami kelebihan air setelah turun hujan, petani akan membuka kuluwung
kembali untuk membuang air ke sungai melalui saluran-saluran air. Jika dilihat
semua kegiatan perbaikan saluran irigasi yang dilakukan petani adalah untuk
mengantisipasi dan persiapan menghadapi musim hujan yang secara otomatis akan
menambah debit air pada saluran irigasi. Jika tidak ada persiapan dari awal, musim
hujan di dusun Leles akan berpotensi mengakibatkan banjir yang berdampak pada
rusaknya sawah-sawah milik petani.
Dalam pemenuhan kebutuhan irigasi, petani di Dusun Leles mengembangkan
organisasi irigasi yaitu Mitra cai untuk menyelesaikan berbagai persoalan irigasi.
Jika mengacu pada Wolf (1985) tentang koalisi-koalisi petani, petani di Dusun Leles
melakukan koalisi antara orang-orang yang mempunyai kepentingan yang sama
(singlestranded) yaitu ketersediaan air irigasi. Petani di Dusun Leles menggunakan
P3A/Mitra cai “Harapan I” untuk menjamin ketersediaan air irigasi pada petak-petak
sawah mereka. Ketika mereka berhadapan dengan pihak luar, mereka saling
bekerjasama dan tergabung dalam satu organisasi P3A/Mitra cai “Harapan I”.
76
Kerjasama ini didasari oleh kesamaan kebutuhan, tujuan dan teritorial atau
wilayah mereka. Pembentukan P3A/ Mitra cai “Harapan I” ini ternyata sejalan
dengan penelitian Krishna (2000) yang dilakukan di India Selatan, yang warga
desanya membangun organisasi perkumpulan pemakai air untuk mengatasi masalah
pasokan air. petani di Dusun Leles Desa Mekarsari bekerjasama dalam P3A/Mitra cai
“Harapan I” dalam menyelesaikan persoalan-persoalan irigasi dengan pihak luar,
seperti menghadapi pihak industri dan running water maupun dengan petani-petani
dari daerah lain dalam perebutan air. tidak hanya menyelesaikan persoalan irigasi
dengan pihak luar, P3A/Mitra cai “Harapan I” mengelola dan menyelesaikan
permasalahan-permasalan irigasi di Dusun Leles sendiri, seperti perbaikan saluran
irigasi, pembagian air irigasi secara merata ke petak-petak sawah di Dusun Leles.
3.4. Iuran Petani
Dalam melaksanakan pengelolaan irgiasi P3A/Mitra cai “Harapan I” tentu
membutuhkan biaya untuk opersionalnya. Biaya ini tentunya tidak ditanggung oleh
Mitra cai, karena tidak adanya bantuan dana dari pemerintah desa, dalam rapat
anggota disepakati bahwa petani akan membayarkan sejumlah uang atau gabah
setiap kali panen untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran Mitra cai. Besarnya iuran
yang dikeluarkan petani ini berbeda-beda, tergantung dari luas lahan garapannya dan
juga musim tanamnya. Penentuan besarnya iuran ini dilakukan disetiap awal musim
tanam ketika rapat anggota, besarnya iuran disepakati oleh para petani yang hadir
dalam rapat dan para pengurus P3A/Mitra cai “Harapan I”.
77
3.4.1. Iuran Petani pada Musim Kemarau
Mitra cai telah menetapkan iuran rutin untuk mengisi kas, pada para petani
sebesar 40 kg/100 tumbak yang menurut keterangan informan—baik pengurus Mitra
cai maupun petani lain—besarnya iuran ini telah disepakati dalam rapat anggota.
Iuran ini dilakukan saat musim kemarau. Penagihan biasa dilakukan oleh Pak Sakam
selakua pengurus P3A/Mitra cai. Penagihan iuran biasa dilakukan di sawah-sawah
petani setiap mereka panen, hal ini dimaksud agar petani langsung membayar iuran
tersebut. Karena menurut Pak Sakam, petani yang sudah membawa gabah-gabahnya
pulang biasanya enggan untuk membayar iuran. “Upami tos dicandak uih ka bumi
mah, sok rada seuseut marayarna teh!” ujar Pak Sakam.
Tidak ada aturan dan sanksi tegas menyangkut pembayaran iuran ini
membuat para petani tidak pernah secara maksimal membayar iuran.. Ketua Mitra
cai menuturkan bahwa tidak ada sanksi tegas menyangkut iuran ini. Ia sendiri sering
mengeluh kepada para petani yang tidak maksimal dalam pembayaran. Contohnya,
mang Od (45), petani dengan luas lahan 400 tumbak, membayar iuran sebesar 20 kg
dan kadang-kadang 50 kg. Padahal jika mengikuti aturan pertama, ia seharusnya
membayar 160 kg. Lebih sulit lagi pada petani dengan luas lahan yang besar, para
petugas Mitra cai menuturkan bahwa justru para petani besar yang lebih sedikit
membayar iuran irigasi. Hal tersebut menurutnya terjadi karena perhitungan petani
besar yang tidak mau rugi karena besarnya jumlah iuran yang harus dibayar. Hal ini
dicontohkan oleh bu Hj Id (60), ia memberikan 10 kg ketika petugas Mitra cai
78
menagih iuran langsung di sawah. Iuran itu tidak sebanding dengan jumlah lahan
yang ia miliki seluas 6 bahu (3000 tumbak). Begitu pula dengan pak Haji Ay (50)
yang memiliki kolam ikan yang sumber airnya diambil dari saluran irigasi. Kolam
yang ia miliki seluas 250 tumbak, namun ia belum pernah membayar iuran irigasi.
Sanksi tertulis dari P3A memang tidak ada, namun menurut Ketua Mitra cai, sesekali
bagi petani yang tidak membayar iuran, ia tidak akan mengalirkan air menuju lahan
petani bersangkutan. Namun, petugas Mitra cai lain menuturkan, malah benar-benar
tidak ada sanksi bagi yang tidak membayar karena iuran ini lebih dianggap sukarela
oleh petani.
Selain itu, terdapat iuran yang dilakukan ketika akan pergi nganir cai, di
mana petugas lapangan Mitra cai mendatangi masing-masing petani untuk meminta
kesediaannya memberikan ongkos nganir cai. Dalam satu kali nganir cai ini,
menurut Ketua Mitra cai, minimal harus ada Rp. 100.000, karena jika kurang dari
jumlah itu, para petugas lapangan enggan untuk pergi. Keengganan ini disebabkan
oleh biaya operasional yang tinggi setiap kali nganir cai. Ongkos transportasi yang
mencapai 20.000 untuk sekali pergi, uang leuleueur untuk petugas pintu air, upah
ngaburuhan pemuda setempat yang membantu membuka pintu air dan konsumsi
rokok serta kopi untuk petugas lapangan mitra cai dusun Leles.
3.4.2. Iuran Petani pada Musim Hujan
Ketika musim hujan, ketika air berlimpah dan bisa didapatkan dengan mudah
tentunya akan memudahkan kerja petani dan meringankan beban dari petugas P3A /
79
Mitra cai. Petani tidak harus bingung mencari air dan mengeluarkan biaya lebih
untuk menyewa pompa, petugas P3A/ Mitra cai juga tidak harus pergi ke hulu untuk
menggiring air ke dusun Leles. Tetapi, kondisi-kondisi seperti itu juga tak luput dari
permasalahan iuran irigasi. Dari kondisi ini muncul permasalahan dari hubungan
petani dan petugas P3A/ Mitra cai. Permasalahan itu ada karena sebagian besar
petani di dusun Leles pada musim hujan tidak mau membayar iuran kepada pengurus
P3A. Padahal iuran tersebut telah disepakati bersama pada rapat yang
diselenggarakan oleh kelompok tani dan pengurus P3A/ Mitra cai. Jika pada musim
kemarau petani dibebani iuran 40 kg setiap 100 tumbak, untuk musim hujan tidak
ada ketentuan harus membayar iuran tetapi petani diharapkan membayar iuran
seihklasnya kepada pengurus P3A/ Mitra cai. Seperti menurut pak Endin, ketua
kelompok tani, “..tah ayeuna musim hijih teu diputuskeun kedah sabraha , sabraha
weh lah tapi ulah henteu pisan..” (sekarang musim pertama (hujan) tidak diputuskan
harus membayar iuran berapa, berapa aja tapi jangan sampai tidak membayar iuran).
Petani tidak membayar iuran pada musim hujan kepada pengurus P3A dengan alasan
ketika musim hujan, kinerja petugas P3A tidak ada dalam pengelolaan saluran irigasi.
Petani beranggapan ketika musim hujan, tanpa adanya petugas P3A air di saluran
irigasi akan tetap mengalir. Bahkan petani ada yang mempunyai alasan bahwa air
yang ada pada musim hujan itu ada, bukan dari hasil kerja P3a tapi turun dari langit,
dari Tuhan. Seperti ini menurutnya, “... cai teh ti Alloh datangna “margi dipasihan
ku Alloh teh hujan pan ..”13 (air itu dari Allah datangnya, kan hujan juga dikasih oleh
13 Pa Dd, 13 maret 2009
80
Allah). Tetapi menurut petugas P3A pada musim hujan, para petugas pun harus
melakukan perbaikan-perbaikan pada pintu air dan saluran irigasi. Karena tanpa itu,
ketika hujan turun akan bisa mengakibatkan banjir. Menurut pak Sakam, seorang
pengurus P3A/ Mitra cai, petani-petani di dusun Leles ini kurang mempunyai
kesadaran diri dan toleransi pada pengurus P3A. Mereka sering komplain jika tidak
air tetapi ketika dimintai iuran, susah untuk membayar dan iuran yang dibayarkan
tidak sesuai dengan aturan.
Iuran pada musim hujan ini sebenarnya akan disimpan untuk uang kas yang
nantinya akan digunakan untuk pengeluaran pengurus P3A dalam mengelola saluran
irigasi pada musim kemarau. Karena tidak ada uang kas atau dana awal untuk
keperluan petugas P3A, untuk musim selanjutnya P3A/ Mitra cai meminjam terlebih
dahulu kepada petani kaya yang nantinya akan diganti dari iuran yang didapat dari
petani pada akhir panen. Dari hasil iuran musim sebelumnya (kemarau), terkumpul
2920 kg14 gabah dan uang sebesar Rp. 1.170.000. Hasil tersebut dipakai untuk
membayar gaji para pengurus P3A. Untuk pengurus yang langsung turun ke
lapangan sebanyak 5 orang diberi masing-masing uang sebesar Rp. 300.000 dan
gabah sebanyak 250 kg, sedangkan untuk ketua P3A, yang berperan dalam
mengkoordinasi, memberi instruksi, dan konsolidasi ke desa-desa lain diberi uang
sebesar Rp. 150.000 dan gabah sebanyak 150 kg.
14 1 kwintal gabah Rp. 200.000
81
BAB. IV
Bentuk-bentuk Kerjasama
DI Wanir yang wilayah pengairannya mencapai 1.880 ha dan pengguna air
irigasi yang beragam, dari mulai petani, kolam ikan, hingga industri tekstil, tentunya
membutuhkan suatu mekanisme yang mengatur pembagian air agar seluruh
pengguna dapat merasakan manfaat dari air irigasi tersebut. Pengaturan pembagian
air yang dibuat oleh GP3A se DI Wanir mengenai pembagian air selama musim
kemarau ternyata belum bisa mencukupi kebutuhan air irigasi para petani di dusun
Leles. Untuk seluruh wilayah DI Wanir, dusun Leles mendapatkan jatah dialiri air
dua kali seminggu, yaitu setiap hari Minggu malam dan Jumat malam, mulai dari
pukul 18.00 – 06.00. seperti halnya telah dituliskan pada bagian pengelolaan di
musim kemarau, para petani dusun leles bekerjasama untuk menyiasati kekurangan
air ini. Kegiatannya antara lain nganir cai, pompanisasi, dan gotong-royong.
Bab keempat ini menjelaskan bagaimana para petani di dusun leles membuat
strategi kerjasama untuk mengatasi masalah pasokan air, dengan mengaktifkan
hubungan-hubungan sosial yang ada baik itu antarorang maupun antarkelompok.
82
4.1. Nganir Cai
Dalam penelitan ini ditemukan adanya sebuah strategi kerjasama yang
dilakukan Mitra cai dusun Leles dalam menjaga pasokan air di musim kemarau.
Kegiatan ini mereka sebut dengan nganir cai. Nganir cai merupakan suatu usaha
yang dilakukan mitra cai pada saat musim kemarau untuk mendatangkan dan
menjaga air irigasi dari Dam Wanir agar sampai ke wilayah dusun Leles. Kegiatan ini
dilakukan untuk menjaga jatah air mereka agar tidak terpakai oleh pihak lain, baik itu
petani dari daerah lain maupun running water dan industri. Nganir cai ini dilakukan
dengan cara pergi ke wilayah hulu untuk membuka saluran air agar air dapat
mengalir hingga ke dusun Leles. Nganir cai ini dilakukan setiap jadwal dusun Leles
mendapatkan air dari Wanir, yaitu setiap malam senin dan malam sabtu, seperti yang
dikatakan oleh seorang pengurus mitra cai di dusun Leles
“Nganir ka tonggoh teh Saminggu dua kali. Dina dinten sabtu sareng dinten senen. Angkat ti dieu jam opat….. ka ditu ka jalan cagak, ka Wanir…uih ti ditu teh mapay susukan, ari ti dieu mah sok kana mobil. Ti ditu mimiti lungsur sekitar jam delapan jam tujuh mapay susukan ka dieu,dongkap ka dieu jam dua subuh.” “Nganir ke hulu itu seminggu dua kali. Pada hari sabtu dan hari senin. Berangkat dari sini jam empat, kesana ke jalan cagak, ke Wanir. Pulang dari sana menyusuri selokan (saluran irigasi) kesini, kalau dari sini sreingnya naik mobil. Dari sana mulai turun menyusuri selokan sekitar jam tujuh, sampai disini jam dua subuh.” (Pa Yy, 9 maret 2009)
Pada jadwal pembagian air irigasi untuk dusun Leles malam sabtu dan malam
senin, para petugas lapangan Mitra cai dusun Leles pergi menuju hulu saluran irigasi
Wanir untuk membuka pintu-pintu air yang menghubungkan saluran irigasi di dusun
83
Leles dengan Wanir dan menutup pintu-pintu air pada saluran Cibodas yang menuju
ke daerah lain. Jumlah pintu air yang dibuka dan ditutup, dari hulu hingga hilir,
berjumlah 22 buah. Pintu air dibuka agar air dapat mengalir menuju dusun Leles
karena sebelumnya telah dibendung oleh petani dari daerah lain untuk diarahkan
menuju saluran irigasi daerah mereka. Sedangkan pintu air yang menuju daerah lain
mereka tutup agar air dapat sampai ke dusun Leles. Pekerjaan yang dilakukan
semalaman ini disebut dengan istilah nganir cai yang dalam pengertian petani
setempat adalah ngagiring cai (menggiring air).
Petugas lapangan Mitra cai berangkat dari dusun Leles ke Wanir sekitar pukul
16.00 untuk nganir cai. Biasanya jumlah orang yang pergi menuju Wanir untuk
nganir cai sekitar empat sampai enam orang. Mereka pergi menggunakan angkot dari
pasar ciparay menuju jalan cagak. Sesampainya di Wanir, mereka membagi menjadi
dua kelompok. Kelompok pertama pada separuh malam pertama berangkat dari
Wanir menyusuri saluran irigasi pada pukul 19.00-20.00—setelah membuka pintu-
pintu air—biasanya air tiba di dusun Leles sekitar pukul 23.00. kemudian kelompok
kedua , air tiba sekitar pukul 03.00.
Tugas kelompok pertama adalah membuka pintu-pintu air yang menuju
dusun Leles, dan menutup pintu-pintu air yang menuju daerah lain. Dan tugas
kelompok kedua adalah mengontrol pintu-pintu air tadi agar tetap pada posisinya
sehingga air dapat mengalir ke dusun Leles. Pembagian tugas ini dikarenakan pintu-
pintu air yang sudah dibuka, ditutup lagi oleh petani daerah lain yang berada di
sepanjang daerah hulu untuk dialiri menuju sawah mereka. Hal ini terbukti pada
84
pukul 05.00 subuh, seringkali air sudah tidak mengalir lagi karena pintu airnya
ditutup oleh petani di daerah hulu.
Menurut penuturan para petugas lapangan, petani daerah hulu biasanya juga
memantau pintu air mereka, sehingga mereka bisa dengan cepat membuka kembali
pintu air menuju saluran mereka dan menutup yang lain. Sepanjang penuturan
informan, belum pernah para petugas lapangan bertemu langsung apalagi terjadi
konflik fisik dengan petani daerah hulu disaat mereka sedang nganir. Seperti yang
dituturkan salah satu informan
“da orang girang teh sok ngararintip, lamun tos dileuleureskeun engke teh sok di barongkaran deui aram-aram teh. Tapi da tara nembongan pas urang nuju ngaleuleures mah. jadi tara aya masalah dugi ka garelut mah.”Soalnya orang daerah hulu sering mengintip, kalau sudah dibetulkan nanti suka dibongkar lagi aram-aramnya. Tapi tidak pernah muncul kalau kita sedang membetulkan, jadi tidak pernah ada masalah apalagi samapai berkelahi. (Pa Yy, 9 maret 2009)
Pintu-pintu air yang berfungsi sebagai pengatur aliran irigasi agar dapat
dinikmati oleh seluruh petani DI.Wanir ternyata sudah tidak berfungsi dengan baik.
Peralatan di pintu-pintu air yang terbuat dari kuningan dan besi ini ternyata
mengundang tangan-tangan jahil untuk mencurinya. Hal ini dikarenakan harga jual
besi dan kuningan yang tinggi. Sehingga oleh para petani tukang kideu15-lah yang
dianggap sebagai pelakunya.
15 Tukang kindeu adalah tukang rongsokan, atau orang yang suka mengumpulakan barang-barang bekas yang terbuat dari plastik, kertas, dan logam seperti besi, dan kuningan.
85
“Tah nu eta aya kasulitan itu na teh si pintu teh tos teu araya beusi-beusina. ayana tukang kindeu, tukang rongsokan eta tea. Beusina di karilo, kuningan na tos teu aya tinggal tihang-tihang na weh tipayun mah kuningan na weh hungkul sareung pamuteranna. Ari ayeuna mah sareung tihang na di rarabutan teh Jadi jang mengkolkeun cai teh masang aram-aram jang ngagantikeun pintu air tea. Geuningan di Kukun mah tos teu araya pamuterna teh. Jadi tutupna teh kudu di angkat ku jalmi opatan. Biasana ari ti dieu mah sok diangkat ku orang ditu. Tah engke jalmina dipasihan artos jang roko-roko wae mah.”“Nah yang itu ada kesulitan si pintunya sudah tidak ada besi-besinya, adanya tukang kindeu, tukang rongsokan itu. Besinya pada di kilo, kuningannya sudah tidak ada tinggal tihang-tihangnya saja, dulu hanya kuningan dan pemutarnya saja. Kalau sekarang sama tihannya dicabuti. Jadi untuk membelokkan air harus memasang aram-aram buat menggantikan pintu air. seperti di Kukun sudah tidak ada pemutarnya. Jadi tutupnya hatus diangkat oleh empat orang. Biasanya kalau kita suka diangkat samam orang sana. Nah nanti orangnya dikasih uang untuk sekedar beli rokok. (pak Yy, 10 maret 2009)
Hilangnya sebagian alat-alat pintu air seperti pemutar pintu, kunci-kunci,
atap, tiang-tiang, hingga pintu airnya membuat petani dan petugas Mitra cai kesulitan
dalam mengatur aliran air. Dalam penyusuran saluran irigasi dari Wanir ke Leles,
selama perjalanan para petugas Mitra cai harus mengumpulkan pelepah pisang,
batang-batang bambu, jerami, dan sampah-sampah untuk membuat aram-aram 16
yang akan digunakan sebagai pengganti pintu air-pintu air yang sudah rusak dan
hilang agar air tidak mengalir ketempat lain (lihat gambar 4.1 dan gambar 4.2).
Padahal sebelumnya, mereka hanya membawa kunci pintu air saja untuk membuka
dan menutup pintu-pintu air tersebut.
16 Aram-aram merupakan gabungan dari barang-barang seperti bambu, pelepah pisang , jerami, dan sampah-sampah yang disusun sedemikain rupa, sehingga dapat membendung air, agar air dapat dialirkan ketempat yang dituju.
86
Gambar 4.1. Tempat Pintu Air yang Saat Ini Pintu Airnya Sudah Hilang.
Gambar 4.2. Aram-aram.
‘mapay-mapay tiditu, nya eta pan urang teh tiditu teh ngontrol, dimana bedol cai ku urang pendet mun teu di cocokan. Tipayun kantos ka ditu teh sok nyandak alat, model konci tipayun mah da pintu teh diputer, ayeuna mah tos teu aya, nu tihang na, nu ieu na pintu na. ayeuna mah kedah urang weh ngababat ieu bangsa ieu .. hawu, awi, cocongoan, gebok jeung jarami ato motong haur batur sakieu atuh abi mah, aya nu nyiar runtah ngider, jang nyieun aram-aram tea di anggo mendet. Kan ayeuna seeur nu ka perikanan tadina ieu teh, tina pintu kadieuken teh kan seeur nu digemblongkeun ditombros-tombroskeun tah urang teh nyetop keur mendetan eta, nobros. Menyusuri dari sana, ya itu kan kita itu darisana mengontrol, dimana air jebol kita kita pendet kalau tidak dicocokan, dulu pernah kesana suka membawa alat, seperti kunci dulu itu pintu itu diputar, sekarang sih sudah tidak ada, yang tihangnya, yang ininya pintunya. Sekarang kita harus memotong sebangsa kayu, bambu, cocongoan, pelepah pisang atau jerami, atau memotong pohon orang lain. Lumayan saya sih, ada yang mengumpulkan sampah segala untuk membuat aram-aram untuk dipakai menyumbat. Kan sekarng banyak ke perikanan tadinya
87
ini semua, dari pintu kearah sini kan banyak yang dijebol, nah kita menyetop buat menyumbat saluran. (Pa Yy, 9 maret 2009)
Kesulitan petugas mitra cai dalam membuka pintu-pintu air antara lain di
pintu air Kukun. Pintu air ini yang tersisa hanya daun pintunya saja yang ada didasar
selokan. Dari mulain drat, baut, gula-gula, kusen atau tiang-tiang penyangga
semuanya sudah hilang. Hilangnya alat-alat ini membuat para petugas harus bersusah
payah dalam membuka daun pintunya. Petugas harus membawa tambang, untuk
mengikat daun pintu dari bawah, lalu diikat ke bambu dan diangkat beramai-ramai.
Sementara dibagian bawah daun pintu, ada orang yang mencongkel daun pintu
dengan linggis agar air dapat mengalir. Di pintu ini membutuhkan banyak tenaga,
sehingga terkadang para petugas meminta tolong warga sekitar untuk membantu
membuka daun pintu tersebut. Kemudian mereka memberi imbalan dengan sejumlah
uang atau rokok.
Keberadaan Pintu air Kukun sangat penting pengaruhnya bagi ketersediaan air
irigasi di dusun Leles. Pintu ini yang menutup aliran ke dusun Leles, apabila pintu
tidak dibuka air irigasi akan langsung mengalir ke sungai Cirasea sehingga tidak
dapat digunakan lagi oleh petani, karena ketinggian airnya yang lebih rendah dari
permukaan sawah. Seperti dikatakan oleh seorang informan .
“Enya pintu-pintu air teh tos teu aya, nu kadieu mah ayeuna mah nu jadi masalah cai mah di Kukun, da di Kukun apanan cai teh di gubrakeun ka cirasea mun tos kapendet eta teh, eta nu masalah pisan mah. Jadi lamun tos ngagubrak ka cirasea mah tos tetiasa dikukumaha deui”“Iya pintu-pintu air itu sudah tidak ada, yang ke arah sini sakarang yang menjadi masalah air itu di Kukun, soalnya di Kukun itu air terbuang ke cirasea kalau sudah
88
tersumbat, itu yang menjadi masalah. Jadi kalau sudah terbuang ke cirasea sudah tidak bisa diapa-apakan lagi. (Pa Yy, 10 maret 2009)
Setelah semua pintu-pintu air menuju dusun Leles terbuka dan air sudah
mulai mengalir sampai ke dusun Leles, pintu air dan kuluwung di wilayah dusun pun
harus dibersihkan agar air dapat lancar mengaliri saluran dan solokan di wilayah
dusun Leles. Jadi, ketika tiba di dusun setelah nganir cai dari Wanir, pekerjaan
mereka belum selesai. mereka harus membuka lagi saluran-saluran air, selokan-
selokan dan kuluwung pada petak-petak sawah agar air irigasi mengalir dengan
lancar pada sawah-sawah yang terdapat di dusun Leles.
“malem saptu sareng malem senen…tah eta the caina teh teu normal ti ditu teh. Jalaran tetep sanajan ti jadwal oge gangguan mah tetep aya we…gangguanna teh ti para petani oge, ku para petani teh dibendung-bendung…dipendet kitu. Upami aya ti dieu mios teh jam lima, aya opatan, aya genepan, aya limaan, mios kaditu ka Cipeujeuh, desa Pacet. Upami ming tiditu aya opatan, nu kahijina jam tujuh miosna ti ditu, solat magrib di ditu, mapay ngabedah-bedahkeun bendungan-bendungan dam sadap-dam nu dipendet..ti ditu kadieu teh dietang aya 22 dam sadap nu di damel ku pengairan, namun ayeuna mah tos reksak, sadayana tos teu aya nu utuh, aya nu tos teu aya, aya nu aya keneh teu berfungsi, seueurna mah tos teu aya, janten sulit upami nu ti dieu ngalirkeun cai ti ditu. Jalaran ku teu ayana pintu cai tea nya kapaksa milari runtah, milari awi milari kai, di kulepan, anu kaditu, anu ka batur teh. nembe milari runtah, janten ku tiasana kapendet ge teu normal, teu kapendet sadayana cai teh, tetep we ngocor keneh ka batur ge ka ditu. Eta teh teu sababara hiji, dietang teh aya welasna, pintu-pintu sadap nu tos reksak tea...aya we pintu nu ageung, upami eta mah pintu keseluruhan, aya di Cibodas, langsung eta ka Maruyung, eta pintu permanen, saageungna solokan eta mah. Kaduana ti Kukun ti desa Cikoneng caket desa, tah eta kaditu langkung ka palih kulon ka balong-balong di desa Cikoneng, salangkungan ka Cirasea dipiceun. Janten pintu nu agengna mah aya dua, nu di Cibodas sareng nu di Kukun, tah janten ti dina mah tinggal pintu-pintu sadap. Upami nu dipendet nu kadieuna eta ngocor kaditu rupina ti parapatan ka batur weh. Kitu di batur mah desa nu sanes. Sulit pisan ku ayeuna reksakna pintu-pintu sadap. Tos teu normal. Pintu teh dicarandak...kieu...teu aya, kantun daunna mungkul, dratna teu aya, gula-gulana teu aya, pangeret pamikul kusen ti luhur teu aya, eh kusenna mah aya...eh, teu aya kusenna mah teu aya, teras dratna tos teu
89
aya, gula-gulana, kantun daunna mungkul. Janten upami eta mah teu diusahakeun, moal kengeng cai...kapaksa usahana nya nganggo tambang...P3A ti dieu teh nyandak tambang, dibeulitkeun, ditalian ti handap, tina daunna nu aya lubang-lubangna tea pan, ngangge awi, ditanggung istilahna mah, digotong ku duaan, janten kedah limaan, ti kenca duaan, katuhu duaan, ti handap saurang disungkal ku linggis, nembe kengeng...teu kitu mah...sawaktos-waktos sok muruhkeun, ari jalmi ti luar ti dieu mah nya moal kaangkat, tiluan, opatan, nya kapaksa nyuhungkeun bantosan ka masarakat didinya, engke urang masihan..tah kitu.” (Pa Ed, 9 maret 2009)
Dalam setiap Nganir cai, mitra cai membutuhkan biaya. Biaya tersebut antara
lain untuk biaya transportasi ke jalan Cagak, konsumsi bagi para anggota yang pergi
nganir cai, uang rokok bagi yang membantu, uang kebersihan dan uang leleeur17.
Keseluruhan biaya ini kira-kira sebesar Rp 100.000,00. Biaya-biaya ini didapat dari
sumbangan warga yang dikumpulkan sore hari sebelum mereka berangkat nganir
cai.
Biasanya setiap akan pergi nganir cai Ketua Mitra cai mengumumkan kepada
seluruh warga melalui pengeras suara masjid bahwa nanti malam mereka akan
berangkat Nganir cai dan membutuhkan uang jalan. Setelah pengumuman biasanya
dua sampai tiga orang dari anggota mitra cai keliling kerumah-rumah penduduk
untuk meminta sumbangan. Besarnya sumbangan tidak ditentukan, semua itu
tergantung kemampuan dan keikhlasan warga. Biasanya besarnya sumbangan mulai
dari Rp.1.000,00 sampai Rp.2.000,00. Seperti yang dituturkan oleh salah seorang
Mitra cai yang sering ikut nganir cai :
17 Uang leleeur maksudnya adalah unag pelicin yang diberikan kepada petugas PU pengairan yang menjaga pintu bagi di Jalan cagak , dengan tujuan agar air tidak di berikan kepada daerah lain.
90
Ari ti dieu mah sok angkat ka ditu dipasihan artos. Kangge kabersihan, kangge ongkos ngalereskeun ku itu. Da ongkos mah da sok aya nu masihan dua rebu, aya nu sarebu da tos dikempelkeun mah dugi ka kenging kitu ka dalapan puluh, aya saratus. da sabraha kali kaditu na oge, aya puluh na kali. saminggu teh dua kaliKalau dari sini suka berangkat kesana diberi uang. Untuk kebersihan, untuk ongkos membetulkan saluran oleh orang sana. Sebenarnya onkos itu sering ada yang memberi dua ribu, ada yang seribu kalau sudah dikumpulkan bisa mencapai delapan puluh, hingga seratus. Berapa kali kesananya juga, ada puluhan kali, seminggu dua kali. (Pa Yy, 9 maret 2009).
Hasil dari sumbangan warga ini kemudian dikumpulkan kepada bendahara
atau ketua untuk dihitung, dan kemudian di bagi-bagikan kembali untuk keperluan
nganir cai. Apabila sumbangan yang didapat melebihi dari biaya yang dikeluarkan
pada saat nganir cai, maka uang tersebut akan dimasukan kedalam kas dan
digunakan kembali untuk nganir cai selanjutnya.
Strategi nganir cai di musim kemarau untuk membawa air dari bendungan
Wanir ke sawah-sawah di Dusun Leles ini ternyata masih belum bisa menyelesaikan
masalah
4.2. Pompanisasi
Pompanisasi adalah istilah yang diberikan oleh petani Dusun Leles
bagi proses pengairan lahan dengan menggunakan mesin pompa air. Pompanisasi ini
dilakukan apabila usaha nganir cai sudah tidak memberikan hasil, karena air di
bendungan Wanir tidak ada akibat dari menurunnya debit air sungai Citarum airnya.
Hal ini membuat air irigasi tidak sampai ke sawah-sawah di Dusun Leles. Sumber air
diperoleh dari sungai Cirasea yang ada di sebelah barat Dusun Leles. Proses
menyedot air ini menggunakan pipa penyedot yang dihubungkan dengan dengan pipa
91
pembuangan melalui alat pompa yang daya hisapnya diperoleh dari mesin
diesel/generator.
P3A / Mitra cai “Harapan I” memiliki satu buah pompa diesel yang didapat
dari bantuan pemerintah desa. Walaupun pompa diesel ini merupakan bantuan dari
pemerintah desa, pengelolaan dan pengoperasian pompa diesel sepenuhnya
diserahkan ke pihak P3A / Mitra cai “Harapan I”. Mulai dari perawatan pompa,
penggantian suku cadang, bahan bakar (solar), seluruh biayanya ditanggung oleh
P3A / Mitra cai “Harapan I”. Pompa diesel ini digunakan ketika padi di sawah
sedang membutuhkan air sementara pasokan air dari saluran irigasi benar-benar
kering atau tidak mencukupi apabila tidak terairi maka padi akan mati, sehingga
dibutuhkan bantuan pompa untuk memasok air ke sawah untuk menjaga padi-padi itu
tetap hidup.
Proses pompanisasi, pertama-tama, mesin pompa dan selang diangkut menuju
sisi sungai Cirasea yang bersisian juga dengan lahan persawahan milik para petani di
Dusun Leles. Mesin pompa diangkut engan cara mengikat mesin pada sebatang kayu
dan kemudian dipikul oleh dua orang di sisi-sisi batang kayu tersebut. Kemudian,
mengangkut selang penghisap, selang ini panjangnya kira- kira 10 meter dengan
diameter enam inci. Selang penghisap ini terbuat dari bahan plastik tebal membuat
selang ini tidak dapat digulung ataupun dilipat, dan dibutuhkan paling sedikit tiga
orang untuk mengangkutnya. Sedangkan yang paling berat adalah pompa
penghubung antara selang penghisap dan mesin diesel. Pompa ini harus diangkat
oleh sekurangnya empat orang karena beratnya mencapai 150 kg yang diangkut
92
menggunakan gerobak atau semacam kereta dorong. Pemasangannya komponen-
komponen tersebut bisa dilakukan sekitar selama setengah jam.
Ketika semua komponen sudah terpasang semua, perlu waktu sekitar 15
menit untuk memanaskan mesin pompa agar kerjanya berjalan lancar. Pak Endin
menuturkan bahwa kadang pemanasan mesin bisa berlangusng selama 1 jam karena
mesin sebelumnya sudah lama tidak dipakai. Setelah mesin menyala, selang
penghisap yang telah dimasukkan ke sungai Cirasea akan menyedot air dan
menyemburkannya pada selang lainnya menuju lahan persawahan warga dan saluran
irigasi. Pemasangan mesin pompa ini tidak bisa dilakukan pada ketinggian tanah
yang rendah. Mengikuti prinsip gravitasi, mesin harus diletakkan lebih tinggi dari
lahan yang akan diairi agar air dapat mengalir lancar. Karena itu, setiap pemasangan
pompa selalu diletakkan di sebuah penopang papan datar dengan empat kaki tiang
yang bentuknya menyerupai meja yang tinggi.
Pompanisasi dilakukan setiap hari selama sekitar dua minggu. Jadi sekitar
dua minggu itu, mesin pompa terus digunakan, sesekali dimatikan untuk istirahat.
Selama masa itu pula, persediaan solar harus terus tercukupi karena jika mesin
sampai mati karena kehabisan bahan bakar hal tersebut akan menyulitkan petugas
untuk mengoperasikan mesin pompa kembali. Petugas P3A yang terlibat adalah
petugas yang sama dengan proses nganir cai. Mereka bergantian menjaga pompa di
waktu siang dan malam. Tugas mereka adalah menjaga agar mesin tidak hilang, tetap
berjalan, dan menambahkan bahan bakar. Ketika malam hari tiba, para petugas pun
93
ikut tidur di dekat tempat mesin pompa agar dapat bertindak jika ewaktu-waktu
pompa bermasalah.
Penjagaan pompa ini, selain dilakukan oleh petugas lapangan P3A, juga
dibantu oleh pemuda setempat. Menurut pak Endin, hal tersebut dianggap setidaknya
memberikan pekerjaan kepada para pemuda yang menganggur, “lumayan lah kanggo
pamuda nu ngaranggur mah”. Para pemuda ini berjumlah sekitar 2-4 orang,
meskipun tidak tetap. Mereka mendapatkan uang jasa dengan 1 atau 2 bungkus
rokok. Selain itu ada pula petani non-petugas P3A yang suka ikut membantu
pemasangan atau menjaga pompa. Tapi tidak seluruh petani di dusun Leles terlibat,
hanya 2-3 orang yang ikut membantu secara teknis. Petani lain yang sawahnya diairi
melalui pompanisasi ikut berpartisipasi dengan membayar iuran (dari gabah 40
kg/100 tumbak setiap petani) untuk biaya operasional pompa. Ibu-ibu juga terkadang
dengan sukarela memberi makanan untuk para penjaga pomapa sebagai bagian dari
suport mereka kepaa para penjaga pompa.
Karena tidak adanya uang kas pada P3A/ Mitra cai ”harapan I”, untuk modal
awal pengoperasian pompa, biasanya meminjam bantuan dana pada sesepuh atau
petani besar di dusun Leles, yang nantinya akan diganti oleh uang kas P3A/ Mitra cai
setelah panen yang didapat dari iuran petani. Modal awal biasanya digunakan untuk
membeli solar sebagai bahan bakar pompa, mengganti oli dan sukun cadang yang
rusak sebelum pompa digunakan, serta membeli rokok, makanan untuk mengganjal
perut para penjaga pompa. Modal awal ini juga digunakan untuk memberi sedikit
94
uang untuk pemuda-pemuda yang ikut menjaga pompa. (untuk informasi gambar
lihat gambar 4.3, 4.4, 4.5, dan 4.6).
Gambar 4.3. Pompa Air Sedang Diangkut ke Pinggir Sungai.
Gambar 4.4. Pompa Air Sedang Dipasangi Selang.
Gambar 4.5. Gambar Petunjuk Perawatan Mesin pompa.
95
Gambar 4.6. Pemberian Solar Pada Mesin Pompa
Dalam proses pompanisasi ini ternyata tidak hanya pengurus P3A saja yang
terlibat didalamnya. Banyak elemen masyarakat dusun Leles yang mengambil bagian
dalam pompanisasi ini. Para pemuda desa, secara bergantian menemani petugas P3A
menjaga pompa, petani-petai kaya walaupun mereka tidak pernah terlibat langsung
dalam pengoperasian pompa, tetapi meraka membantu dalam bentuk donasi atau
pinjaman untuk modal awal pengoperasian pompa, petani-petani lain yang tidak
memiliki modal untuk membantu, mereka memberikan tenaganya untuk menemani
menjaga pompa air ini atau sekedar memberi makana dan minuman bagi penjaga
pompa.
Dengan pompanisasi ini kira-kira ¾ luas lahan yang berada di dusun Leles
bisa terpenuhi kebutuhan air irigasinya. Tidak seluruh areal sawah di dusun Leles
mendapatkan air dari pompanisasi ini. Karena, sering kali air hasil pompanisasi lebih
dulu meresap kedalam tanah sebelum sempat mengairi seluruh areal persawahan,
akibat dari tanah di saluran irigasi terlalu kering. Biasanya daerah yang tidak dapat
96
air hasil pompanisasi ini adalah blok Cigula yang berada di sebelah timur dibagian
akhir dari saluran irigasi di Dusun Leles. Namun, walupun sawah-sawah di blok
Cigula tidak terairi air hasil pompanisasi, sawah-sawah di blok Cigula ini tetap dapat
berproduksi. Hal ini bisa tercapai karena bantuan air dari bendungan kecil yang
dikelola oleh pak Eman di selokan pembuangan pabrik dekat blok Cigula.
4.3. Gotong Royong
Petani beserta Mitra cai dusun Leles rutin mengadakan kerja bakti untuk
membersihkan saluran irigasi tersier dan quarter menjelang musim hujan dan
kemarau. Pada musim hujan, debit air di saluran irigasi akan meningkat, namun
kondisi saluran-salurannya perlu dibersihkan dari tanaman liar dan sampah-sampah
agar air dapat mengalir lancar. Sedangkan menjelang kemarau, meskipun dari proses
nganir cai debit air yang diperoleh jauh lebih sedikit, saluran tetap perlu dibersihkan
agar air mengalir lancar karena jika pada saluran terdapat sampah atau tumbuhan liar
maka akan mengakibatkan debit air yang sedikit itu lebih sulit untuk mengalir lancar.
Jadi, pada dasarnya, pembersihan saluran ini bertujuan untuk melancarkan aliran air
irigasi.
Kerja bakti ini dilakukan atas inisiatif Mitra cai yang dikabarkan pada petani
melalui undangan yang dikirim ke tiap rumah petani—didatangi oleh petugas
lapangan Mitra cai. Pemberitahuan juga dilakukan melalui pengeras suara masjid
oleh Ketua Mitra cai, yang sering terdengar ketika satu atau dua hari menjelang hari
kerja bakti.
97
Jumlah petani anggota Mitra cai di dusun Leles tercatat ada 80 orang menurut
keterangan Ketua Mitra cai. Dari jumlah itu seringkali sekitar 3/4 dari jumlah total
petani yang datang saat kerja bakti berlangsung, sekitar 50-65 orang. Caranya bisa
dua macam, ada petani yang terlibat langsung, ada pula petani yang ngaburuhan18
orang lain untuk menggantikan kehadirannya. Contoh yang kedua ini biasanya sering
dilakukan oleh petani berlahan luas seperti Hj. Id (60). Ia menuturkan bahwa setiap
ada kerja bakti ia ngaburuhan satu orang pekerja, sementara ia sendiri belum pernah
turun langsung untuk kerja bakti.
Ketika kegiatan berlangsung, para petani membawa alat masing-masing
seperti celurit dan golok. Alat itu digunakan untuk membabat tumbuhan liar.
Kegiatannya berlangsung di pagi hari. Jika mulai jam 8, maka sekitar jam 11
kegiatannya sudah berakhir. Rata-rata, menurut penuturan petani dan petugasMitra
cai, kegiatan ini memang tidak berlangsung lama, hanya sekitar 3 jam. Pembagian
kerjanya sendiri yang umum adalah petani membersihkan saluran-saluran air yang
ada disekitar lahan garapannya dan sebagian lagi membersihkan sampah-sampah
disaluran tersier dan solokan.
4.4. Kerjasama di Tingkat Keluarga
Bentuk-bentuk kerjasama yang diuraikan diatas merupakan kerjasama yang
dilakukan petani-petani di dusun Leles dalam memenuhi kebutuhan air irigasi
18 Mempekerjakan, membayar orang yang disuruh untuk ikut kerja bakti.
98
mereka. Kerjasama antar petani dusun Leles itu timbul dari adanya satu tujuan, yaitu
ketersediaan air irigasi. Lalu, adakah kerjasama yang petani lakukan atas dasar
hubungan kekerabatan?
Dalam penelitian ditemukan adanya kerjasama dalam menjamin ketersediaan
air irigasi dan meningkatkan produktifitas pertanian mereka dengan menggunakan
hubungan kekerabatan. Salah satunya adalah keluarga besar Kesmed.
Pak Kesmed merupakan salah satu warga Dusun Leles yang termasuk
memiliki sawah terluas di Dusun Leles, yakni sekitar 600 tumbak. Pak Kesmed
sudah tidak lagi bekerja sebagai petani di sawah miliknya karena sudah tua dan tak
mampu lagi mengolah tanah. Saat ini sawahnya diurus oleh anak-anaknya. Pak
Kesmed memiliki delapan orang anak, yaitu: Akim, Mimi, Nandang, Apong, Iip,
Cucu, Ate, dan Deden. Semua anak Pak Kesmed memiliki pekerjaan yang berbeda-
beda, pekerjaannya bukan hanya di bidang pertanian saja.
Anak pertama yaitu Akim bekerja sebagai pedagang di pasar. Kemudian
Mimi adalah seorang ibu rumah tangga, namun ia terkadang bekerja di sawah
sebagai buruh tani membantu kerabatnya yang sedang panen. Walaupun hanya
seorang buruh tani dan ibu rumah tangga tetapi bu Mimi memiliki seekor kerbau
yang sering dia sewakan untuk membajak sawah. Anak ketiga dari pak Kesmed
adalah Pak Nandang, yang tinggal tepat di sebelah rumah bapaknya. Pak Nandang
bekerja sebagai petani yang menggarap sawah milik bapaknya (Pak Kesmed) yang
luasnya sekitar 200 tumbak. Ia juga merupakan salah satu petugas Mitra Cai yang
99
bekerja di bagian lapangan atau mengurus pengairan sawah di Dusun Leles19. Pak
Nandang juga memiliki seekor kerbau yang ia gunakan untuk menggarap sawah.
Kerbau ini biasa ia gunakan dari pagi hingga siang hari pada saat memasuki masanya
membajak tanah. Setelah siang hari, terkadang kerbaunya ia pinjamkan kepada
saudara-saudaranya untuk menggarap sawah mereka. Terkadang kerbaunya pun
kerap ia sewakan pada petani lainnya untuk membajak sawah20. Selain itu ia pun
memiliki mesin diesel berukuran 4inci untuk membantu menyedot air pada musim
kemarau dari sungai Cipadaulun (lihat gambar 16) .
Anak yang keempat adalah Apong. Sama seperti Pak Nandang, Apong juga
bekerja sebagai petani yang menggarap sawah milik ayahnya sebesar 200 tumbak.
Lalu anak kelima Pak Kesmed yaitu Iip. Iip adalah seorang guru yang bekerja di
salah satu sekolah dasar di Dusun Leles. Iip memiliki suami yang bernama Pak Eman
yang berprofesi sebagai petani. Kemudian anak keenam adalah Cucu. Sama seperti
Mimi, Cucu berprofesi sebagai buruh tani. Suami dari Cucu adalah Pak Asep yang
juga merupakan petugas Mitra Cai yang bekerja di lapangan21. Jadi, Pak Eman dan
Pak Asep merupakan menantu dari Pak Kesmed.
Selanjutnya adalah Ate atau biasa dipanggil Dadang. Profesi Ate berbeda
dengan saudara-saudaranya. Umumnya anak Pak Kesmed bekerja di bidang
pertanian, Ate justru memiliki pekerjaan sebagai tentara di Banten. Hal ini
dikarenakan sejak kecil Ate bercita-cita sebagai tentara. Terakhir adalah Deden.
19 Petugas ini biasa disebut ulu-ulu20 Biaya penyewan kerbau sabedugeun (dar pukul 6 pagi hingga adzan dzuhur) sekitar 60.00021 Selain pak Nandang dan Pak Asep, petugas Mitrai Cai yang bekerja di bagian lapangan atau mengurusi pengairan sawah Dusun Leles adalah Pak Ama dan Pak Yaya.
10
Deden bekerja sebagai petani yang mengolah sawah milik ayahnya sebesar 200
tumbak.
Pak Eman yang menikah dengan Iip anak kelima Pak Kesmed, merupakan
petani nengah22 yang menggarap sawah milik pengusaha dari Bandung dan beberapa
petak sawah milik salah seorang Bos pabrik tekstil. Pak Eman memiliki traktor
pribadi dan juga bendungan yang berfungsi membendung air pada musim kemarau.
Bendungan ini ia bangun secara gotong- royong dengan petani lainnya di sekitar
daerah Cigula23. Gotong Royong ini dipimpin oleh Pak Eman. Bendungan ini sendiri
dibangun pada tahun 1995. bendungan ini dibangun di saluran pembuangan pabrik
yang tinggi permukaan airnya lebih rendah dari permukaan sawah. Berbeda dari
sungai yang kering dimusim kemarau, saluran pembuangan pabrik airnya tidak
pernah surut, hanya saja air pembuangan ini kotor dan berbau menyengat.
Awalnya bendungan ini dibuat tidak permanen, setiap musim kemarau pak
Eman menyusun karung-karung tanah dan pelepah-pelepah pisang untuk menyumbat
saluran pembuangan agar permukaan airnya naik dan dapat mengalir ke sawah.
Namun, setiap musim hujan tiba karung-karung tanah dan pelepah-pelepah pisang
hanyut terbawa air, sehingga pada musim kemarau selanjutnya harus membuat
bendungan itu lagi. Pada tahun 1995, seperti telah dijelaskan diatas, pembangunan
bendungan permanen pun dilakukan. Pak Eman membuat bendungan tersebut
22 Mengolah sawah yang bukan milik pribadinya dengan perjanjian, apabila panen hasilnya dibagi dua antara pemilik sawah dan penggarap sawah.23 Daerah Cigula terkadang tidak mendapatkan aliran air irigasi hasil Nganir cai pada musim kemarau dan kerap kebanjiran pada musim penghujan. Hal ini dikarenakan daerah Cigula berada di dataran paling rendah dan paling ujung dari dusun leles sehingga air hasil Nganir cai terkadanga habis dijalan sebelum mencapai blok Cigula ini.
10
dengan menancapkan semacam papan penghalang untuk membendung air pada
musim kemarau. Papan penghalang selebar 2,5 meter ini terbuat dari kayu. Papan
tersebut ditancapkan secara melintang untuk menahan dan membendung aliran
sungai24. Sebelumnya Pak Kesmed juga telah memasang fondasi atau semacam
dudukan agar papan penghalang ini bisa berdiri. Dudukan ini dibuat dengan
menggali sisi-sisi sungai sedalam 50cm. Jadi bendungan ini bukan semacam tanah
ceruk untuk membendung air, melainkan hanya papan yang dipasang melintang di
tengah kanal, yang berfungsi untuk menahan dan membendung air untuk sementara.
Setelah air dapat tertahan dan terbendung kemudian. aliran air itu dibelokkan dan
dialirkan pada sawah-sawah di sekitarnya melalui sebuah lubang (kuluwung) ke tiap
petak sawah disekitarnya.
Pembangunan bendungan ini menghabiskan bahan bangunan antara lain batu
podasi empat truk, pasir dua truk, dan semen empat puluh empat sak. Bangunan ini
selesai dalam kurun waktu tujuh hari, pengerjaan dilakukan secara gotong royong
dan biaya pembangunan didapat dari sumbangan-sumbangan warga. Jika dilihat dari
proses pembuatannya, seharusnya bendungan ini bukan milik pribadi melainkan
milik seluruh warga dusun Leles. Tetapi dalam kenyataan dilapangan, para petani
mengatakan bahwa bendungan ini milik pak Eman. Dari penelusuran pengakuan
bendungan ini sebagai bendungan pak Eman karena ide pembuatan dan pengelola
bendungan ini adalah pak Eman. Jadi warga menganggap bahwa bendungan ini milik
pak Eman. 24 Aliran ini ialah merupakan semacam kanal pembuangan yang dibuat oleh pabrik yang melalui sawah-sawah di Dusun Leles yang akan berakhir di sungai Cipadaulun
10
Pembangunan bendungan ini ternyata bermanfaat bagi jaminan ketersediaan
air di musim kemarau tidak hanya bagi sawah milik keluarga Kesmed, tetapi juga
bagi sawah-sawah lainnya yang berada disekitar blok Cigula dusun Leles. Berbeda
dengan pengelolaan air irigasi oleh Mitra cai, walaupun bendungan yang membantu
mengairi sawah-sawah sekitar blok Cigula milik warga yang lain pada musim
kemarau ini, tidak ada patokan mengenai iuran pengelolaan bendungan. Pak Eman
selaku pengurus dan pengelola bendungan tidak meminta iuran khusus kepada warga
yang lain setiap waktu panen. Hanya saja warga terkadang memberi gabah se-ridho-
nya kepada pak Eman sebagi ucapan terimakasih karena sawahnya sudah diberi air.
seperti yang dituturkan salah satu petani yang memilki sawah di blok Cigula:
“ah, da jang Eman mah tara nyuhun keun ato kumaha-kumaha lamun pas panen mah. saurna mah “da jang Eman mah ikhlas ngocorkeun cai teh”. Meureunan lamun teu dikocorkeun kalo laen mah, sawah jang Eman kabanjiran atuh. Nya eta mah itung-itung mieceun cai. Nya walopun jang Eman ikhlas ngocorkeun cai ka sawah emak teh, tapi biasa emak mah sok masihan segon25 ka jang Eman, bangsa salantang dugi ka tilu lantang26 mah ka jang Eman teh, da eta tea tos di kocoran cai.” “ah, pak Eman tidak pernah meminta atau giman-gimana ketika panen tiba. Katanya “ soalnya pak Eman ikhlas mengalirkan airnya”. Mungkin kalau tidak dialirkan ketempat lain, sawah pak Eman akan kebanjiran. Ya itu sih itung-itung membuang air. walaupun pak Eman ikhlas mengakirkan air ke sawah ibu, tapi biasanya ibu suka memberi gabah sekitar satu sampai tiga lantang buat pak Eman, karena sudah dialiri air.(bu Ibah, 12 maret 2009)
Dalam mengelola sawah keluarga, anak-anak Pak Kesmed bekerja sama demi
peningkatan produktifitas hasil panen yang maksimal. Hal ini dikarenakan mereka
memiliki sawah yang luas, sehingga mereka membutuhkan startegi tertentu untuk
25 Segon adalah gabah basah yang baru dipanen.26 Tiga lantang sama dengan dua kilogram.
10
memaksimalkan hasil panen mereka. Strateginya terlihat pada keterlibatan anak-anak
pak Kesmed dalam P3A/Mitra Cai. Terdapat tiga orang yang menduduki posisi
lapangan di Mitra cai yang berasal dari keluarga Pak Kesmed, yaitu Pak Nandang,
Pak Yaya, dan Asep. Tiga orang inilah yang rutin nganir cai pada musim kemarau
dengan bantuan iuran dari para petani. Mereka yang secara teknis dan langsung
mengurus masalah ketersediaan air bagi sawah di Dusun Leles. Tentu dengan adanya
tiga orang dari keluarga Pak Kesmed ini memudahkan mereka dalam mengakses
sumber daya air bagi sawah-sawahnya. Selain itu, karena mereka yang paling
mengerti teknis di lapangan, maka sedikit banyak mereka dapat mempengaruhi
kebijakan-kebijakan mengenai pengelolaan air yang nantinya mungkin saja dapat
menguntungkan sawah keluarga mereka27.
Gambar 4.7. Pak Nandang Bersama Mesin Diesel Miliknya.
27 Laporan mengenai kendala tim lapangan biasanya disampaikan kepada Pak Endin selaku ketua Mitra Cai. Kemudian laporan ini akan diolah untuk nantinya akan diambil sebagai landasan dalam memutuskan suatu kebijakan
10
Keuntungan lain dari bergabungnya Pak Nandang, Pak Yaya, dan Asep dalam
tim lapangan Mitra Cai ialah mereka tidak perlu membayar iuran seperti yang
dilakukan petani lainnya yang tidak tergabung sebagai anggota mitra cai. Hal ini
dikarenakan mereka adalah tim lapangan Mitra Cai. Tim yang melakukan nganir cai
dengan berangkat ke hulu untuk menjemput air irigasi. Sebagai “balas jasa” atas
perkerjaan tersebut, para pengurus mitra cai dibebaskan dari iuran-iuran di setiap
musimnya, malahan mereka mendapatkan “honor” dari hasil iuran para petani
lainnya28. Jadi Keluarga Pak Kesmed yang total lahannya seluas 600 tumbak tidak
membayar iuran pada mitra cai setiap masa panen.29 Hasil panen sawah keluarga pak
Kesmed pun dapat lebih maksimal karena tidak dikurangi dengan iuran seperti yang
harus dibayar oleh petani lainnya yang tidak menjadi pengurus Mitra Cai.
Dengan semakin tingginya produksi hasil sawah keluarga Kesmed, maka
hasil surplusnya dapat diinvestasikan pada hal lain yang dapat mendukung
produktifitas sawah mereka, salah satunya ialah dengan pembelian kerbau, traktor
dan pompa deisel. Sebagai contoh, Mimi dan Pak Nandang masing-masing memiliki
satu ekor kerbau. Dengan adanya kerbau atau traktor akan mempercepat proses
membajak sawah tanpa harus menyewa ketempat lain, ini dapat mengurangi ongkos
produksi. Dengan menggunakan traktor waktu yang dibutuhkan dalam membajak
sawah dengan luas sekitar 200 hektar menghabiskan waktu 1 hari, sedangkan dengan
cara manual membutuhkan waktu lebih lama dan diperlukan biaya lebih untuk
28 Untuk musim kemarau tiap 100 tumbak ditagih 40 kg dan untuk musim hujan sebesar 10 kg.29 Dengan aturan 40 kg/100 tumbak, pada musim kamarau saja mereka dengan total luas 600 tumbak, berarti mereka tidak harus membayar sebesar total 240 kg gabah.
10
membayar ongkos kuli tani yang membantu membajak sawah. Dengan traktor dan
kerbau juga, tanah yang dibajak akan menjadi gembur secara lebih merata. Hal ini
tentu akan mempengaruhi kualitas tanaman padi mereka. Jadi, kepemilikan kerbau
dan traktor ini dapat membantu mereka, baik dari segi efektitas maupun
produktifitas. Selain itu, kehadiran mesin diesel di sisi mereka dapat begitu
membantu di saat-saat genting, terutama pada musim kemarau. Kondisi ketika debit
air di saluran irigasi sangat kecil bahkan terkadang hingga air tidak bisa mengalir.
Masa ketika mereka begitu membutuhkan air untuk nutrisi bagi tanaman padi
mereka. Hari-hari ketika mereka membutuhkan suatu bantuan agar air dapat mengalir
di petak sawah mereka. Kondisi yang tepat bagi mesin diesel mereka untuk segera
turun tangan bagi pemecahan masalah ini. Mesin diesel yang mampu menyedot air
dari sungai Cipadaulun untuk kemudian disalurkan pada sawah mereka. Selain itu
sumber daya yang mereka miliki ini dapat memberikan pemasukan langsung berupa
uang dengan cara menyewakan traktor, kerbau, dan mesin diesel yang mereka miliki
kepada petani lainnya. Intinya, bantuan sumber daya ini, dapat menghemat waktu,
tenaga, biaya, meningkakan produktifitas hasil panen, dan memberikan pemasukan
tambahan bagi mereka.
Ikatan kekerabatan dapat mempengaruhi struktur akses yang bersifat ekonomi
dalam usaha akumulasi kekayaan dan kekuasaan. Keluarga Kesmed menggunakan
ikatan kekerabatan mereka untuk memudahkan mereka mengakses sumber daya air
dan teknologi pertanian. Dalam bekerjasama, masing-masing anggota keluarga
memiliki peran yang berbeda-beda, dari mulai pemilik kerbau, pemilik pompa diesel,
10
pengurus bendungan, hingga pengurus sawah (buruh tani). Kerjasama antar keluarga
dengan sumberdaya yang berbeda-beda ini membuat keluarga Pak Kesmed yang
memiliki sawah yang terbilang luas ini dapat selalu memanen padinya baik pada
musim kemarau ataupun hujan dengan produktifitas yang tinggi. Kerjasama ini
memberikan kemudahan bagi mereka karena didukung oleh sumber daya manusia
yang tersedia, kemudahan akses, dan teknologi yang mendukung mereka. Kerjasama
ini didasari oleh adanya ikatan kekeluargaan diantara mereka, yang membuat
kerjasama mereka langgeng.
Mengacu pada Wolf (1985) keluarga Kesmed ini merupakan keluarga luas
dengan banyak keluarga-keluarga inti didalamnya. Keluarga-keluarga inti itu antara
lain keluarga pak Kesmed itu sendiri, keluarga Akim, Mimi, Nandang, Apong, Iip
bersama pak Eman, Cucu, dan Deden. Berbeda dengan banyak keluarga luas lainnya
yang tidak memiliki tanah untuk diolah dan mengharuskan anak-anaknya mencari
penghidupan lain diluar pertanian, keluarga-keluarga inti ini malah saling
bekerjasama dalam proses produksi pengolahan sawah milik ayah mereka. Mereka
bekerjasama menggunakan sumber daya-sumberdaya yang mereka miliki seperti
traktor, kerbau untuk membajak, bendungan, dan pompa air untuk menyedot air
dikala kemarau panjang, untuk meningkatkan hasil produksi semaksimal mungkin.
Dalam kerjasama keluarga ini mereka saling bekerjasama dari mulai pembajakan
sawah, pemenuhan kebutuhan air, hingga proses pemanenan. Keterlibatannya dengan
pengambilan keputusan di P3A membuat keluarga ini memiliki kemudahan dalam
10
mengakses sumber daya air irigasi, selain itu kepemilikan teknologi juga membuat
keluarga mereka mampu mengoptimalkan hasil panen dengan maksimal.
Wolf (1985) menyebut bentuk kerjasama ini dengan komunitas korporatif
tertutup, dimana komunitas seperti ini membatasi keanggotaanya kepada orang-orang
yang dilahirkan atau dibesarkan dilingkungannya saja. Hanya saja komunitas ini
masih menerima anggota lainnya yang diambil dari proses pernikahan dengan
anggota kelompok yang ada, seperti yang terjadi pada pak Eman dan pak Asep.
Keluarga pak Kesmed ini merupakan keluarga luas memiliki hubungan
kerjasama antar anggotanya yang menurut Wolf (1985) termasuk pada kriteria koalisi
yang manystranded, poliadik, dan horizontal. Disebut koalisi ini merupakan koalisi
yang banyak-benang (manystranded) karena koalisi ini terbentuk dari satu ikatan
yang jalin-menjalin dan saling mencangkup, tidak hanya dengan satu tujuan produksi
saja mereka berkoalisi, tetapi mereka berkoalisi dalam kehidupan sehari-hari, dalam
pemenuhan kebutuhan hidup, perawatan keluarga yang sakit, dan kematian. Karena
koalisi ini terdiri dari banyak keluarga inti yang saling berkerjasama dan mereka juga
memiliki kesamaan dalam status dengan ikatan keluarga, maka ini disebut dengan
poliadik-horizontal. Kerjasama keluarga ini bersifat langgeng dan kontinu.
Namun, jika merujuk pada Wolf (1985) koalisi yang terjadi dalam keluarga
luas ini tidak berjalan dengan mulus apabila pemimpin telah meninggal dan anak-
anaknya sebagai ahli waris membagi sawah-sawahnya. Pembagian sawah menjadi
petak-petak kecil untuk setiap keluarga inti ini membuat mereka hanya mengelola
10
sumber daya yang lebih kecil dari sebelumnya. Hal ini berdampak pada menurunnya
surplus yang mereka peroleh.
rangkuman
Strategi kerjasama petani dalam pengelolaan air sangatlah penting, karena tanpa itu
petani tidak dapat menjamin ketersediaan air irigasi mereka, dan akan berpengaruh
terhadap hasil panen mereka. Letak geografis Dusun Leles yang berada di hilir irigasi
Wanir kurang menguntungkan petani di daerah tersebut. Lamanya waktu air irigasi
untuk sampai ke daerah tersebut dan banyaknya hambatan-hambatan yang ditemui
10
selama air mengalir, menyebabkan pasokan air di Dusun Leles tidak stabil. Selain itu,
kurangnya modal dan kekuasaan petani dalam mengakses sumber daya air irigasi
menjadi faktor tambahan yang menghambat pasokan air. Masalah-masalah di atas
menunjukan bahwa, petani di Dusun Leles perlu melakukan strategi kerjasama di
antara mereka dengan cara nganir cai, pompanisasi, iuran petani di setiap akhir
musim panen, dan kerjasama di tingkat keluarga.
Usaha nganir cai yang dilakukan petani di Dusun Leles mampu
menyelesaikan masalah pasokan air, namun pada musim kemarau panjang – ketika
air sungai Citarum surut dan tidak bisa mengisi bendungan Wanir – usaha nganir cai
menjadi percuma karena tidak ada air yang bisa dimanfaatkan. Untuk mengatasi
masalah ini petani melalui Mitra cai mengembangkan teknologi pengairan dengan
menyedot air dari sungai di dekat daerah mereka untuk dialirkan ke petak-petak
sawah. Usaha ini disebut dengan pompanisasi, yang menggunakan mesin diesel
sebagai tenaga penyedot air.
Pompanisasi ini efektif digunakan ketika air di saluran irigasi benar-benar
surut. Masalahnya biaya operasional yang dikeluarkan untuk usaha ini terlalu tinggi
sehingga hal ini dapat mengurangi keuntungan petani. Selain itu juga, kekuatan
pompa yang dimiliki Mitra cai ini tidak mampu mengairi seluruh areal persawahan di
Dusun Leles, karena air lebih dulu terserap kedalam tanah sebelum mengairi seluruh
areal persawahan. Blok Cigula sebagai daerah paling jauh dari pompa air sering kali
tidak mendapat aliran air dari pompanisasi ini.
11
Strategi kerjasama terakhir yang dilakukan adalah kerjasama keluarga yang
dilakukan di Blok Cigula. Kepemilikan sawah di blok ini kebetulan dimiliki oleh satu
keluarga. Usaha membuat bendungan semi permanen di saluran pembuangan pabrik
yang mengalir ke daerah ini menjadi jawaban dalam menjamin ketersediaan air di
blok ini.
Berdasarkan kriteria koalisi petani Wolf (1985), kasus ini menggunakan
koalisi yang bersifat singlestranded-polyadik-horizontal, artinya mereka memiliki
kepentingan yang sama terhadap keberhasilan pertanian. Koalisi ini meliputi banyak
orang dan mereka juga memiliki kesamaan dalam status dengan ikatan keluarga.
Kerjasama keluarga ini lebih efektif menyelesaikan masalah, karena sifatnya
langgeng dan kontinu. Sedangkan nganir cai dan pompanisasi dilakukan hanya
ketika ada masalah saja.
11
Bab. V
Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan strategi kerjasama petani di
Dusun Leles Desa Mekarsari Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung. Penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Yang akan dilihat dalam penelitia ini adalah bagaimana pengelolaan irigasi di Dusun
Leles, serta bagaimana petani bekerjasama dalam pengelolaan irigasi untuk
menjamin ketersediaan air irigasi di musim kemarau dan musim hujan. Data
diperoleh dengan pengamatan terlibat, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan,
serta pengumpulan data sekunder.
Dusun Leles berada di daerah paling hilir dari daerah irigasi Wanir. Kondisi
ini menyebabkan pasokan air irigasi di daerah ini tidak stabil. Berdasarkan hasil
penelitian dapat disimpulkan beberapa hal yang menjadi hambatan kelancaran
11
pasokan air irigasi di dusun Leles, terutama di musim kemarau antara lain, rusaknya
pintu-pintu air, mengeringnya tanah pada saluran irigasi kuarter (solokan) membuat
air yang mengalir lebih dulu terserap kedalam tanah sebelum mengalir ke petak-
petak sawah, dan perebutan air dengan pengguna air irigasi (petani lain, industri dan
pemilik kolam ikan arus deras) di daerah girang atau hulu. Pada musim hujan juga
banyak masalah yang timbul, seperti ketika hujan turun terkadang membuat sungai
Cirasea dan Cipadaulun (anak sungai Citarum) meluap sehingga terjadi banjir sampai
ke pemukiman dan ke sawah yang menyebabkan padi terbenam oleh air. Jika padi
tergenang sampai 3 hari atau lebih, padi akan rusak bahkan menjadi busuk atau
terjadi hapa. Hal mengakibatkan kerugian karena gabah tidak bisa jual, atau
harganya menjadi turun. Selain banjir, hujan yang disertai dengan angin juga sering
membuat padi-padi rubuh sehingga tidak dapat dipanen karena busuk.
Untuk mengatasi masalah diatas, petani membuat sebuah organisasi
P3A/Mitra cai yang kemudian dikuatkan oleh Surat Keputusan (SK) Gubernur.
P3A/Mitra cai ini terbentuk sekitar 1980-an dengan nama P3A/Mitra Cai “Harapan
I”. Bentuk-bentuk pengelolaan yang dilakukan mitra cai dalam upaya menyediakan
air irigasi berbeda-beda dalam satu tahunnya. Perbedaan pengelolaan ini dikarenakan
adanya perbedaan musim (kemarau-hujan) yang berpengaruh pada stok air yang
tersedia di saluran irigasi.
Pengelolaan mitra cai untuk menjamin pasokan air irigasi pada musim
kemarau ialah, Pembagian dan penjadwalan penggunaan air irigasi dengan daerah
lain, nganir cai dan pompanisasi. Untuk mengatasi masalah ini, para petani, mitra
11
cai, dan industri bekerjasama membuat bendungan di saluran pembuangan air dari
industri. Sementara pada awal musim hujan, untuk bersiap-siap menghadapi debit air
yang bertambah petani berkerja bakti memperbaiki saluran-saluran irigasi tersier.
Perbaikan saluran irigasi oleh petani ini berupa pembersihan saluran dari sampah,
peninggian galengan, memperdalam parit, ngarucug, dan menyumbat kuluwung.
Dalam melaksanakan pengelolaan irigasi P3A/Mitra cai membutuhkan biaya
untuk operasionalnya. Biaya ini tidak ditanggung oleh P3A/Mitra cai, dalam rapat
anggota telah disepakati bahwa petani yang menjadi anggota P3A/Mitra cai tetapi
tidak menjadi pengurus akan membayarkan sejumlah uang atau gabah setiap kali
panen untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran P3A/Mitra cai. Besarnya iuran yang
dikeluarkan petani ini berbeda-beda, tergantung dari luas lahan garapannya dan juga
musim tanamnya. Besarnya iuran yang harus dikeluarkan petani musim kemarau
sebesar 40 kg gabah/100 tumbak setiap kali panen, dan untuk musim hujan tidak ada
ketentuan harus membayar iuran tetapi petani diharapkan membayar iuran
seihklasnya kepada pengurus mitra cai. Pembayaran biasanya dilakukan duisawah
ketika sedang memanen padi.
Pada masa musim tanam pemilihan terhadap benih diperlukan, pemilihan
benih yang cocok akan berpengaruh pada pencapaian hasil panen. Benih IR-64
cenderung menjadi pilihan petani pada musim hujan. Hal ini dilakukan untuk
mengurangi kerugian yang disebabkan angin yang menyebabkan padi ayéuh (rubuh).
Sementara dimusim kemarau Sarinah menjadi pilihan untuk ditanam, karena
11
ketahanannya terhadap ketersediaan air yang minim. Petani mendapatkan benih-
benih ini antara lain dari bantuan pemerintah atau membeli toko
Dalam penelitian ini air irigasi menjadi sebuah sumber daya yang merupakan
commom property, sehingga pemakaiannya harus diatur agar seluruh pengguna dapat
merasakan manfaatnya. Air bagi petani merupakan faktor penting dalam keberhasilan
pertanian mereka. Padi tidak akan tumbuh tanpa suplai air yang cukup. Tetapi air
juga bisa menjadi petaka bagi petani ketika jumlahnya berlebih, air dapat membanjiri
sawah-sawah mereka dan menghancurkan padi-padi mereka. Jadi keberadaan air
sebai faktor pendukung pertanian julahnya harus terjaga, dan untuk menjaga
kestabilan pasokan air irigasi ini dibutuhkan suatu pengelolaan dan kerjasama antar
petani agar suplai air irigasi stabil. Hal ini sejalan dengan pendapat Ostrom (2000)
mengungkapkan bahwa persoalan tentang sumber daya air yang berkaitan dengan
kualitas dan kuantitasnya harus menyadarkan semua pihak bahwa persoalan air perlu
dikelola secara bersama-sama dalam sebuah organisasi, dalam hal ini organisasi
irigasi.
Dalam pengelolaan dan pemakaian air irigasi organisasi P3A/Mitra cai
mengatur dan mengelola saluran irigasi dimasing-masing daerah/desa. Pengelolaan
air irigasi ini membutuhkan kerjasama antara seluruh pengguna air irigasi dan
seluruh P3A/Mitra cai yang ada di DI. Wanir yang tergabung dalam Gabungan P3A
(GP3A Tirta Walatra) dengan mengaktifkan hubungan sosial dan jaringan soaial yang
mereka miliki agar maslah pasokan air ini dapat terselesaikan.
11
Jika mengacu pada Wolf (1985:144) tentang koalisi-koalisi petani, petani di
Dusun Leles melakukan koalisi antara orang-orang yang mempunyai banyak
kepentingan yang sama (manystranded) yaitu ketersediaan air irigasi. Petani di
Dusun Leles menggunakan P3A/Mitra cai “Harapan I” untuk menjamin ketersediaan
air irigasi pada petak-petak sawah mereka. Ketika mereka berhadapan dengan pihak
luar mereka saling bekerjasama dan tergabung dalam satu organisasi P3A/Mitra cai
“Harapan I”. Kerjasama ini didasari oleh kesamaan kebutuhan, tujuan dan teritorial
atau wilayah mereka.
Dalam memenuhi kebutuhan air irigasi ternyata petani tidak hanya
menggunakan mitra cai sebagai sarana untuk menjamin ketersediaan air irigasi.
Dilapangan ditemukan bahwa petani juga mengaktifkan hubungan-hubungan
kekerabatan mereka untuk menjamin ketersediaan air dan produktifitas pertaniaan
mereka. Seperti yang dilakukan keluarga besar Kesmed. Mereka saling bekerjasama
dari mulai pembajakan sawah, pemenuhan kebutuhan air, hingga proses pemanenan.
Kemudahan akses terhadap sumber daya dan teknologi juga membuat keluarga
mereka mampu mengoptimalkan hasil panen dengan maksimal.
Bentuk koalisi yang dilakukan P3A/Mitra cai dan keluarga ternyata memiliki
perbedaan. Dalam kasus keluarga Kesmed, koalisi mereka bersifat singlestranded-
polyadik-horizontal, artinya mereka memiliki kepentingan yang sama terhadap
keberhasilan pertanian. Koalisi ini meliputi banyak orang dan mereka juga memiliki
kesamaan dalam status dengan ikatan keluarga. Koalisi ini bersifat langgeng.
Sedangkan hubungan kerjasama yang dilakukan P3A/ Mitra cai “Harapan I” bersifat
11
koalisi singlestranded-polyadik-vertikal, yang artinya mereka memiliki satu tujuan
dalam pengelolaan irigasi yaitu ketersediaan air irigasi, tetapi adanya perbedaan
dalam status. Kedudukan pengurus lebih tinggi dibandingkan angota-anggotanya.
Koalisi ini bersifat tidak langgeng. Sehingga ketika musim hujan dimana petani tidak
membutuhkan air hasil nganir cai ataupun pompanisasi hubungan mereka menjadi
rapuh.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 2004. Pengembangan Sumberdaya Sosial di Daerah; dalam
Dinamika Kependudukan dan Kebijakan (editor: Faturochman dkk).
Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah
Mada, hal 177-196.
Allen, R.E. (ed.). 1991. The Concise Oxford Dictionary, Eight Edition. Oxford:
Clarendon Press.
Asnawi, Sjofjan, dan Mochtar Naim. 1996. Aspek Kelembagaan Pembangunan
Irigasi Sebuah Pendekatan Holistik Terpadu; dalam Irigasi di Indonesia:
Peran Masyarakat dan Penelitian (editor: Suzzane E.siskel dan S.R. Hutapea)
Jakarta: LP3ES. Hlm 40-51.
Benda-Beckmann, Franz von, Keebet von Benda-Beckmann, dan Juliette Koning
(editor). 2001. Sumberdaya Alam dan Jaminan Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
11
Benda-Beckmann, Franz von, dan Keebet von Benda-Beckmann. 2001. Jaminan
Sosial, Sumberdaya Alam, dan Kompleksitas Hukum; dalam Sumberdaya Alam
dan Jaminan Sosial Sosial (editor: F. Von Benda-Beckmann dkk). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, hlm 23-60.
Bromley, D.W., and Cernea, M. M. 1989. The Management of Common Property
Natural Resources: Some Conceptual and Operational Fallacies. World Bank
Discussion Paper No.57, The World Bank, Washington,. DC.
Cousin, Ben. 1995. A Role for Common Property Institutions in Land Redistribution
Programmes in South Africa. International Institute For Environment and
Development: Gatekeeper Series No. 53.
Coward, E Walter, Jr. 1980. Irrigation and Agriculture Development in Asia.
Prespective from the Social Sciences. London: Cornell University.
Geertz, Clifford. 1983. Involusi Pertanian: Proses perubahan Ekologi di Indonesia.
Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Hardjono, Joan. 1990. Tanah, Pekerjaan dan Nafkah di Pedesaan Jawa Barat.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hutapea S.R dan Suzzane E, Siskel. 1996. Irigasi di Indonesia: Peran Masyarakat
dan Penelitian Jakarta: LP3ES.
Krishna, Anirudh. 2000. Creating and Harnessing Social Capital; dalam Social
Capital; Multifaceted Prespective. P. Dasgupta dan Ismail Serageldin (peny).
Washington D.C. : The International Bank for Recontruction and Development/
The World Bank.
11
Kurnia, Ganjar. 1997. Hemat Air Irigasi: Kebijaksanaan, Teknik, Pengelolaan, dan
Sosial Budaya. Bandung: Pusat Dinamika Pembangunan.
Koning, Juliette. 1998. Akses Terhadap Tanah dan Air di Pedesaan Jawa; Peranan
Sumberdaya Alam dalam Jaminan Ekonomi dan Sosial. Dalam Sumber Daya
Alam dan Jaminan Sosial, Editor Franz von Benda-Beckmann. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Koentjaraningrat. 1984. Masyarakat Desa di Indonesia Masa Ini. Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Koentjaraningrat (ed.). 1990. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta :
Gramedia.
Koentjaraningrat. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
Mitchell, Bruce. 1989. Geography and Resource analysis. 2nd Edition Singapore.
Longman Scientific and Technical, hlm 2-6.
Mulyana, Imam. 2007. Mengupas Konsep Strategi. (http://id.shvoong.com/business-
management/management/1658495-mengupas-konsep-strategi/ di akses pada
tanggal 22 juli 2008).
Moleong. Lexy.J. 1990. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Oldeman, L.R., Irsal Las , dan Muladi. 1980. The Agroclimatic Map of Kalimantan,
Irian Jaya, and Bali, West and East Nusa Tenggara. CRIA. Bogor.
Indonesia.
11
Ostrom, Elinor. 2000. Social Capital:A Fad or a Fundamental Concept? Dalam
Social Capital; Multifaceted Prespective. P. Dasgupta dan Ismail Serageldin
(peny.). Whasington, D.C. : The international Bank for Reconstruction and
Development/The World Bank.
Popkin, Samuel L. 1986. Petani Rasional. Terjemahan oleh Sjahrir Mawi. Jakarta:
Lembaga Penerbit Yayasan Padamu Negeri.
Redfield, Robert. 1982. Masyarakat Petani dan Kebudayaannya. Jakarta: Rajawali
Press.
Scott, James. C. 1989. Moral Ekonomi Petani. Jakarta: LP3ES.
Siregar, Dr.Hadrian. 1981. Budidaya Tanaman Padi di Indonesia. Bogor: Satra
Hudaya.
Singarimbun, Masri & Sofian Effendi. 1981. Metode Penelitian Survai. Jakarta:
LP3ES.
Suparlan, Parsudi. 1988. Jaringan Sosial. Dari Buletin Antropologi No.13/III.
Perpustakaan FASA UGM Yogyakarta.
Windia, Wayan. 2006. Transformasi Sistem Irigasi Subak yang Berlandaskan
Konsep Tri Hita Karana. Bali: Pusataka Bali Post.
Wolf, Eric. 1985. Petani: Suatu Tinjauan Antropologi. Jakarta: Rajawali Pers dan
Yayasan Ilmu-ilmu Sosial.
Data Monografi Kecamatan Pacet Semester I (Satu) Tahun 2007.
Data Monografi Kecamatan Ciparay Semester I (Satu) Tahun 2007.
12
Data Monografi Kecamatan Majalaya Semester I (Satu) Tahun 2007.
Buku Petunjuk Operasi dan Pemeliharaan Daerah Irigasi Wanir, Dinas Pengairan
Kecamatan Ciparay.
Media Indonesia, 9 april 2001
12