STRATEGI PENGEMBANGAN INSTALASI FARMASI BERBASIS …repository.setiabudi.ac.id/640/2/THESIS ACHMAD...
Transcript of STRATEGI PENGEMBANGAN INSTALASI FARMASI BERBASIS …repository.setiabudi.ac.id/640/2/THESIS ACHMAD...
i
STRATEGI PENGEMBANGAN INSTALASI FARMASI BERBASIS
EVALUASI AKREDITASI MANAJEMEN PENGGUNAAN OBAT
(MPO) DENGAN METODE HANLON DI INSTALASI FARMASI
RUMAH SAKIT DR. H. MOCH. ANSARI SALEH
BANJARMASIN KALIMANTAN SELATAN
TESIS
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai
derajat Sarjana Strata-2
Program Pascasarjana Ilmu Farmasi
Diajukan oleh:
Achmad Syahbana
SBF 141540310
PROGRAM PASCASARJANA ILMU FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2016
PENGESAHAN TESIS
dengan judul:
STRATEGI PENGEMBANGAN INSTALASI FARMASI BERBASIS
EVALUASI AKREDITASI MANAJEMEN PENGGUNAAN OBAT
(MPO) DENGAN METODE HANLON DI INSTALASI FARMASI
RUMAH SAKIT DR.H. MOCH. ANSARI SALEH
BANJARMASIN KALIMANTAN SELATAN
Oleh:
Achmad Syahbana
SBF 141540310
Dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Tesis
Fakultas Farmasi Universitas Setia Budi
Pada tanggal : 2016
Mengetahui,
Fakultas Farmasi
Universitas Setia Budi
Dekan,
Prof. Dr. R.A. Oetari, SU.,MM., M.Sc., Apt
Pembimbing Utama
Prof. Dr. R.A. Oetari, SU., MM., M.Sc., Apt
Pembimbing Pendamping
Dr. Gunawan Pamudji Widodo, M.Si., Apt
Dewan Penguji:
1. Prof. Dr. Ediati Sasmito, S.E., Apt 1. ......................
2. Drs. Mujiana, Sp. FRS., Apt 2. .....................
3. Dr. Gunawan Pamudji Widodo, M.Si., Apt 3. .....................
4. Prof. Dr. R.A. Oetari, SU., MM., M.Sc., Apt 4. ......................
HALAMAN PERSEMBAHAN
Artinya :
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-
orang yang diberi ilmupengetahuan beberapa derajat (Q.s. al-Mujadalah : 11)
CARILAH KESEMPATAN
JANGAN TOLAK KESEMPATAN
REBUTLAH KESEMPATAN
CIPTAKAN KESEMPATAN
ALHAMDULILLAH KUPERSEMBAHKAN KARYA INI :
ABAH, MAMA, YANG SELALU DUKUNG LEWAT SEMANGAT,DOA, MORAL DAN
TENAGA, KAKA INTAN, KAKA DEWI DAN KEMBARAN KU BANI YANG SELALU
BANGGA DENGAN KERJA KERAS SAUDARANYA. ULUN SAYANG BUHAN PIAN.
JAJARAN YAYASAN DAN SELURUH PEJABAT, DOSEN, KARYAWAN INSTITUSI
AKBID BK. TERIMA KASIH ATAS KESEMPATANNYA.
KAWAN-KAWAN ANGKATAN 2014 GENAP. S2 ILMU FARMASI USB. TERIMA
KASIH BANTUAN DAN SEMANGAT SELAMA INI… JANJI… HARUS SUKSES
SEMUA YA!!!
PERNYATAAN
Saya menyatakan penelitian ini adalah hasil pekerjaan saya sendiri dan
tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di
suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau
pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara
tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila tesis ini merupakan jiplakan dari penelitian, karya ilmiah, skripsi
atau tesis orang lain yang pernah ada, maka saya siap menerima sanksi baik secara
akademis maupun hukum.
Surakarta, Juli 2016
Penulis,
Achmad Syahbana
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya sehingga
penulis memperoleh kesehatan, kekuatan, semangat dan kemampuan untuk
menyelesaikan tesis yang berjudul “STRATEGI PENGEMBANGAN
INSTALASI FARMASI BERBASIS EVALUASI AKREDITASI
MANAJEMEN PENGGUNAAN OBAT (MPO) DENGAN METODE
HANLON DI INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT DR.H. MOCH.
ANSARI SALEH BANJARMASIN KALIMANTAN SELATAN”
. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata
2 pada Program Studi S2 Ilmu Farmasi Universitas Setia Budi.
Penulis menyadari bahwa dalam penyususnan tesis ini telah mendapat
banyak bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis menyampaikan
terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Djoni Tarigan, MBA., selaku rektor Universitas Setia Budi, Surakarta
yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis.
2. Prof. Dr. R.A. Oetari, SU., MM.,M.Sc, Apt. Selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Setia Budi Surakarta dan sekaligus pembimbing utama yang telah
mengarahkan, membimbing, memberi masukan dan menyisihkan waktu dalam
penyusunan tesis ini.
3. Dr. Gunawan Pamudji Widodo, M.Si., Apt. Selaku ketua Program
Pascasarjana Ilmu Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Setia Budi Surakarta
sekaligus sebagai pembimbing serta yang telah meluangkan waktu, perhatian
dan keikhlasannya dalam memberikan masukan, ilmu dan bimbingan sehingga
terselesaikannya penyusunan tesis ini
4. Tim Penguji Prof. Dr. Ediati Sasmito, SE., Apt dan Drs. Mujiana, Sp.FRS.,
Apt. yang telah menyediakan waktu untuk menguji dan memberi masukan
kepada penulis dalam menyempurnakan penyusunan tesis ini.
5. Seluruh Dosen Pascasarjana Fakultas Farmasi Minat Manajemen Farmasi
yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan dan pengalaman kepada
penulis selama di bangku kuliah.
6. Segenap pihak Rumah Sakit dan Instalasi Farmasi Rumah Sakit Dr. H. Moch.
Ansari Saleh Banjarmasin Kalimantan Selatan yang telah memberi izin untuk
melakukan penelitian dan membantu penulis dalam memberikan informasi
yang dibutuhkan.
7. Mama Abah, Kaka, ading, dan keluarga penulis yang tercinta yang selalu
memberikan doa, dukungan, serta semangat kepada penulis selama menempuh
pendidikan dan penyusunan tesis ini.
8. Yayasan dan Institusi Akbid Bunga Kalimantan yang selalu suport
9. Sahabat dan teman-teman kuliah S2 Ilmu Farmasi minat Manajemen Farmasi
Angkatan 2014, yang selalu memberi motivasi dan semangat kepada penulis
dalam menyelesaikan tesis ini.
10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuan dalam penyusunan tesis ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat
membangun dalam upaya penyempurnaan penulisan tesis ini dan menjadi lebih
baik di masa yang akan datang. Akhir kata, penulis berharap semoga apa yang
telah penulis persembahkan dalam karya ini akan bermanfaat bagi semua pihak,
khususnya bagi penulis umumnya bagi para pembaca.
Penulis dengan tulus hati memohon semoga Allah SWT selalu
memberikan berkat dan rahmat yang melimpah kepada pihak yang telah banyak
membantu sehingga Tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Mengingat terbatasnya kemampuan dan pengetahuan yang ada pada
penulis, maka penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat kekurangan. Oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari
pembaca sehingga tesis ini dapat lebih bermanfaat.
Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat berguna dan bermanfaat
bagi pihak yang berkepentingan.
Surakarta, Juli 2016
Penulis,
Achmad Syahbana
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... v
BAB I PENDAHULIAN......................................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah.............................................................................. 3
C. Tujuan Penelitian.................................................................................. 4
D. Manfaat Penelitian................................................................................ 4
E. Keaslian Penelitian ............................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 8
A. Gambaran Umum Rumah Sakit Dr. Moch. Ansari Saleh .................... 8
1. Visi dan Misi ................................................................................... 8
B. Akreditasi Rumah Sakit ..................................................................... 10
C. Standar Akreditasi Kegiatan Pelayanan Instalasi ............................... 19
D. Unit Pelayanan Farmasi ..................................................................... 24
E. Strategi ............................................................................................... 31
F. Uji Perbaikan Manajemen dengan Hanlon......................................... 33
G. Perencanaan ........................................................................................ 39
H. Audit Mutu Internal ............................................................................ 42
I. Evaluasi .............................................................................................. 45
J. Penyempurnaan Mutu ........................................................................ 46
K. Regulasi .............................................................................................. 46
L. Landasan Teori ................................................................................... 47
M. Kerangka Konsep ............................................................................... 49
BAB III METODE PENELITIAN........................................................................ 50
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ......................................................... 50
B. Lokasi dan Waktu Penelitian.............................................................. 50
C. Subyek Penelitian ............................................................................... 50
D. Instrumen Penelitian ........................................................................... 51
E. Jalannya Penelitian ............................................................................. 51
F. Analisis Data ...................................................................................... 53
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 57
A. Karakteristik Responden dan Penelitian 57
B. Uji Validitas Instrumen 58
C. Pencapaian Standar Akreditasi dan Pembahasan di
RSUD DR.H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin 59
D. Kerangka Usulan Perbaikan Strategi Pengembangan Pelayanan 77
E. Keterbatasan Penelitian 84
BAB V Kesimpulan dan Saran 85
A. Kesimpulan 85
B. Saran 86
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 88
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... 93
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Bagan Kerangka Konsep ..................................................................... 49
Gambar 2. Skor penilaian kuisioner standar organisasi dan manajemen .............. 62
Gambar 3. Skor penilaian kuisioner standar seleksi dan pengadaan .................... 65
Gambar 4. Skor penilaian kuisioner standar penyimpanan ................................... 68
Gambar 5. Skor penilaian kuisioner standar pemesanan dan pencatatan.............. 70
Gambar 6. Skor penilaian kuisioner standar persiapan dan penyaluran ............... 73
Gambar 7. Skor penilaian kuisioner standar tandar pemberian ............................ 75
Gambar 8. Skor penilaian kuisioner standar pemantauan ..................................... 77
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Keaslian Penelitian .................................................................................... 5
Table 2. karakteristik subjek penelitian ............................................................... 57
Tabel 3. Hasil uji validitas .................................................................................... 58
Table 4. Hasil uji reabilitas ................................................................................... 58
Table 5. Presentasi nilai hasil ................................................................................ 78
Table 6. Presentasi nilai selisih ............................................................................. 79
Tabel 7. Penentuan skala prioritas ........................................................................ 80
Table 8. Masalah dan Strategi pengembangan ...................................................... 81
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Kuesioner Penelitian ......................................................................... 96
Lampiran 2. Pedoman Wawancara .....................................................................113
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rumah sakit merupakan suatu sarana kesehatan dan merupakan rujukan
pelayanan kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 tahun 2014 tentang
standar pelayanan farmasi rumah sakit menyebutkan bahwa pelayanan farmasi
rumah sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan
kesehatan rumah sakit yang utuh dan berorientasi kepada pelayanan pasien,
penyediaan obat yang bermutu dan pelayanan farmasi klinik yang terjangkau bagi
semua lapisan masyarakat (Kepmenkes RI, 2014).
Seperti kita ketahui program akreditasi rumah sakit yang merupakan
program departemen kesehatan dan diselenggarakan oleh komite akreditasi rumah
sakit (KARS) merupakan salah satu instrumen penilaian mutu pelayanan yang
menilai apakah pelayanan di rumah sakit tersebut telah memenuhi standar
minimal pelayanan. Tujuan dari akreditasi rumah sakit adalah mendapatkan
gambaran seberapa jauh rumah sakit di Indonesia telah memenuhi berbagai
standar yang ditetapkan, dengan demikian mutu pelayanan rumah sakit dapat di
pertanggungjawabkan. Disamping itu akreditasi rumah sakit dimaksudkan untuk
memberi jaminan dan kepuasan kepada pelanggan (pasien dan karyawan) dan
masyarakat bahwa pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit diselenggarakan
sebaik mungkin dengan mutu pelayanan yang baik (Depkes RI, 2012).
2
Salah satu strategi untuk meningkatkan mutu sarana pelayanan kesehatan,
termasuk rumah sakit adalah dengan melibatkan lembaga eksternal dalam bentuk
kegiatan akreditasi. Program akreditasi dianggap berhasil bila dapat meningkatkan
mutu organisasi dengan cara merangsang motivasi dan komitmen internal
terhadap self assessment dan perubahan (Shaw, 2004)
Persepsi staf rumah sakit digunakan untuk mengukur dampak akreditasi
antara lain dan meningkatkan komitmen terhadap standar atau acuan, perawatan
pasien terhadap diterapkannya prosedur yang lebih baik, proses komunikasi dan
meningkatkan komitmen terhadap standar atau acuan, perawatan pasien
(Greenfield & Braithwaite, 2008).
Menilai efektivitas akreditasi melalui perspektif rumah sakit yaitu dengan
menilai pengalaman atau persepsi individu atau staf rumah sakit setelah mengikuti
dan mempunyai gambaran mengenai manfaat program akreditasi yang diikuti dan
juga menggunakan indikator objektif yang dapat dibandingkan secara statistik
sebelum dan sesudah menerapkan standar akreditasi (Shaw, 2001).
Metode Hanlon merupakan salah satu alat yang digunakan untuk
membandingkan berbagai masalah kesehatan yang berbeda-beda dengan cara
relative dan bukan absolute, framework, seadil mungkin dan objektif. Cara yang
digunakan untuk menentukan prioritas masalah dengan menggunakan empat
kelompok kriteria, yakni: besarnya masalah (magnitude), kegawatan masalah
(emergency), kemudahan penanggulangan masalah (causability), faktor yang
menentukan dapat tidaknya program dilaksanakan (PEARL factor).
3
Ketertarikan peneliti untuk melakukan penelitian di Instalasi Farmasi
RSUD Dr. H. Moch.Ansari Saleh Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan
adalah untuk melihat perkembangan dengan meninjau dari segi mutu pelayanan
yang telah dijalankan di Instalasi Farmasi RSUD Dr. H. Moch.Ansari Saleh dan
mengadakan suatu strategi pengembangan dengan berdasarkan analIsis Hanlon.
Hasil penelitian diharapkan Instalasi Farmasi RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh
Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan mampu meningkatkan eksistensinya
dan memberikan pelayanan yang berkualitas bagi masyarakat.
Selain itu juga RSUD Dr. H. Moch.Ansari Saleh Banjarmasin sudah
mendapatkan akreditasi paripurna dengan klasifikasi B, dimana hal ini sangat
menunjang pelayanan kesahatan di IFRSUD Dr. H. Moch Ansari Saleh
Banjarmasin, serta dengan adanya penelitian ini pula sebagai bahan pertimbangan,
informasi dan evaluasi bagi IFRSUD Dr. H. Moch Ansari Saleh Banjarmasin
untuk semakin meningkatkan nilai akreditasinya sehingga dimaksimalkan untuk
mengarah ke akreditasi standar JCI.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka dapat ditarik
perumusan masalahnya adalah:
1. Bagaimana tingkat kesesuaian tujuh standar akreditasi di Instalasi Farmasi
RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan
yaitu standar organisasi dan manajemen, standar seleksi dan pengadaan,
4
standar penyimpanan, standar pemesanan dan pencatatan, standar persiapan
dan penyaluran, standar pemberian, standar pemantauan?
2. Bagaimana strategi pengembangan pelayanan di Instalasi Farmasi
berdasarkan analisis prioritas dengan metode Hanlon ?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui tingkat kesesuaian tujuh standar akreditasi di Instalasi Farmasi
RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan
yaitu standar organisasi dan manajemen, standar seleksi dan pengadaan,
standar penyimpanan, standar pemesanan dan pencatatan, standar persiapan
dan penyaluran, standar pemberian, standar pemantauan
2. Mengetahui strategi pengembangan pelayanan di Instalasi Farmasi berdasarkan
analisis prioritas dengan metode Hanlon
D. Manfaat penelitian
Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat untuk:
1. Bagi Stakeholder, penelitian ini diharapkan sebagai bahan informasi dan
pertimbangan bagi stakeholder di unit pelayanan farmasi dari RSUD Dr. H.
Moch. Ansari Saleh Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan dalam
mengatur strategi dan rencana pengembangan pelayanan farmasi.
5
2. Bagi petugas pelayanan farmasi, penelitian diharapkan dapat merangsang
profesi di unit palayanan farmasi untuk meningkatkan mutu pelayanan melalui
pemberian pelayanan sesuai dengan standar.
3. Bagi staf rumah sakit, penelitian diharapkan sebagai contoh evaluasi
pelaksaan kegiatan pelayanan standar untuk standar pelayanan lainnya.
4. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis
dalam pelaksanakan tujuh standar pelayanan farmasi.
5. Bagi pembaca, penelitian diharapkan memberikan informasi kepada pembaca,
bahwa pentingnya pelaksaan tujuh standar pelayanan farmasi sebagai ujung
tombak rumah sakit di dalam memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang strategi pengembangan instalasi farmasi rumah sakit
berbasi evaluasi akreditasi di RSUD Dr. H. Moch.Ansari Saleh Banjarmasin
Provinsi Kalimantan Selatan belum pernah dilakukan. Penelitian sebelumnya
yang berkaitan dengan tingkat kesesuaian standar akreditasi terhadap strategi dan
rencana pengembangan pelayanan
Tabel 1. Keaslian penelitian PENELITI METODE SAMPEL TEMPAT KESIMPULAN
Hasanuddin
(2014)
Analisis
Metode
Matrik
29
Responden
RSUP Dr.
Wahidin
Sudirohusodo
Makasar
(Sul-Sel)
Terdapat selisih hasil
penilaian standar
akreditasi antara
manajemen dan
penggunaan obat staf
IFRS (98,57%)
dengan hasil
observasi (89,04%).
6
Penanganan masalah
perlu meningkatkan
kinerja sesuai dengan
standar akreditasi.
Perlu Strategi dan
rencana
pengembangan yaitu
pengembangan staf
dan program
pendidikan,
meningkatkan
evaluasi dan
monitoring terhadap
semua standar
kinerja,
menempatkan
apoteker penanggung
jawab di setiap
bangsal, pelaporan
kesalahan
pengobatan, serta
meningkatkan
kerjasama dan
komunikasi antara
dokter, apoteker,
perawat yang berada
di bangsal untuk
meningkatkan
keselamatan pasien.
Ningrum
(2014)
Analisis
Metode
Matrik
22
Responden
RSUD
Kraton
Pekalongan
(Jateng)
Terdapat selisih hasil
penilaian standar
akreditasi antara
manajemen dan
penggunaan obat staf
IFRS (74,28%)
dengan hasil
observasi (79,5%).
Penanganan masalah
7
adalah standar II
yaitu standar seleksi
dan pengadaan.
Perlu melakukan
peningkatan kinerja
sesuai dengan standar
akreditasi, upaya
strategi dan rencana
harus segera
dilakukan untuk
mengarah ke
akreditasi yang lebih
tinggi (JCI).
Perbedaan pada penelitian ini dengan penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya adalah adanya prioritas penanganan masalah pada pelayanan farmasi,
karakteristik lokasi dan fokus pada penilaian elemen instrumen MPO dengan
metode Hanlon.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Gambaran Umum RSUD DR. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin
Provinsi Kalimantan Selatan
1. Visi dan Misi
Visi adalah merupakan cermin dan cara pandang ke depan tentang yang
ingin di capai, tercapainya visi misi kedepan mengandung konsep masa depan
yang ideal. Visi juga merupakan pandangan jauh ke depan, kemana dan
bagaimana instansi pemerintah harus dibawa dan berkarya agar konsisten dapat
eksis, antisipatif, inovatif serta proaktif. Visi tidak lain adalah suatu gambaran
yang menantang tentang keadaan masa depan berisikan citra dan citra yang ingin
diwujudkan oleh instansi pemerintah.
a. Visi
Menjadikan RSUD DR. H. Moch.Ansari Saleh Banjarmasin Provinsi
Kalimantan Selatan sebagai rumah sakit rujukan yang berkualitas dan terjangkau.
Makna pokok yang terkandung dalam visi RSUD DR. H. Moch. Ansari Saleh
Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan tersebut adalah:
Terwujudnya pelayan Prima (Exellent Service) bagi masyarakat Kalimantan
Selatan.
b. Misi
Untuk memenuhi visi tersebut, RSUD DR. H. Moch.Ansari Saleh
Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan mencanangkan misi. Misi adalah suatu
9
yang harus dilaksanakan oleh organisasi (instansi pemerintah) agar tujuan
organisasi dapat tercapai dan berhasil dengan baik. Dengan pernyataan misi yang
ditetapkan ini diharapkan seluruh pegawai dan pihak yang berkepentingan dapat
mengenal RSUD DR. H. Moch.Ansari Saleh Banjarmasin Provinsi Kalimantan
Selatan dan mengetahui alasan keberadaan dan perannya lebih dalam.
Misi yang ditetapkan adalah sebagai berikut:
1) Mengembangkan pusat rujukan pelayanan kesehatan dengan unggulan
penyakit syaraf, penyakit infeksi, dan penyakit tropik di Provinsi Kalimantan
Selatan
2) Mengembangkan aspek pendidikan dan penelitian bagi tenaga medik dan
tenaga kesehatan lainnya.
3) Mengembangkan dan meningkatkan kualiatas sumber daya manusia.
c. Tujuan, sasaran dan program
RSUD DR. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin Provinsi Kalimantan
Selatan menetapkan tujuan strategi berdasarkan visi, misi dan faktor-faktor kunci
keberhasilan. Sasaran-sasaran strategi RSUD DR. H. Moch. Ansari Saleh
Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan yang merupakan sebagian integral
dalam proses perencanaan strategi organisasi dirumuskan untuk masing-masing
tujuan yang ditetapkan.
Keberhasilan tujuan strategi berdasarkan visi, misi RSUD DR. H. Moch.
Ansari Saleh Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan yang dilaksanakan adalah:
Pelayanan medis: pelayanan dokter umum, pelayanan dokter gigi, pelayanan
10
penunjang: laboratorium, pelayanan gizi dan farmasi, fasilitas: UGD 24 jam,
rawat jalan, rawat inap
Tujuan dan sasaran strategi yang ditetapkan dapat diuraikan sebagai
berikut:
1) Meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata, adil dan
terjangkau oleh masyarkat
2) Mendorong masyarakat untuk memanfaatkan RSUD DR. H. Moch. Ansari
Saleh Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan menjadi mitra keluarga
3) Melaksanakan dan mengembangkan managemen rumah sakit
4) Pengembangan sumber daya manusia tenaga kesehatan dibidangnya menuju
tercapainya pelayanan yang profesionalisme
B. Akreditasi Rumah Sakit
Menuurut WHO (1999), rumah sakit merupakan suuatu organisasi
integrasi yang berfungsi menyediakan pelayanan kesejahtraan lengkap bagi
masyarakat. Pelayanan tersebut dapat bersifat diagnostik, kuratif, promotif,
rehabilitatif, maupun preventif, pelayanan dalam dan luar sampai kepada keluarga
dan lingkungan serta sebagai pusat pendidikan bagi petugas-petugas di bidang
kesehatan serta sosial.
Akreditasi rumah sakit adalah suatu pengakuan dari pemerintah yang
diberikan kepada rumah sakit yang telah memenuhi standar pelayanan. Melalui
akreditasi ini diharapkan mutu pelayanan rumah sakit dapat
dipertanggungjawabkan karena pelayanan tersebut telah memenuhi standar yang
11
ditentukan. Pelayanan yang sesuai dengan standar tersebut tentunya akan memberi
rasa aman kepada dokter, perawat maupun pasien. Namun harus diakui upaya
pemenuhan standar pelayanan rumah sakit tersebut bukanlah hal yang mudah,
rumah sakit perlu menyiapkan dirinya agar mendapatkan status akreditasi penuh.
Persiapan rumah sakit semakin diperlukan dengan adanya kebijakan Departemen
Kesehatan bahwa secara bertahap rumah sakit di Indonesia baik rumah sakit
umum, swasta dan rumah sakit jiwa akan diakreditasi standar pelayanannya
(Luwirhasih, 2002).
Sesungguhnya outcome dari pelayanan program akreditasi itu adalah
meningkatnya mutu pelayanan rumah sakit sebagai hasil dari upaya rumah sakit
untuk memenuhi standar pelayanan. Karena upaya peningkatan mutu harus selalu
berorientasi pada pelanggan, maka manfaat akreditasipun harus dirasakan oleh
pelanggan. Pelanggan disini yang dimaksud bukan hanya pasien sebagai
pelanggan eksternal, tetapi juga pihak lain yang berkepentingan terhadap mutu
pelayanan termasuk di dalamnya pelanggan internal, yaitu rumah sakit dan
pegawainya (Djojosugito, 2000).
Untuk sampai kepada pengakuan rumah sakit melalui suatu proses
penilaian yang didasarkan pada Standar Nasional Perumahsakitan. Penilaian
dilakukan berulang dengan interval yang reguler dan diawali dengan kegiatan
kajian mandiri (self assesment) oleh rumah sakit yang dinilai. Survei akreditasi ini
dilakukan oleh badan yang terlegitimasi dan di Indonesia adalah Komite
Akreditasi Rumah Sakit dan sarana kesehatan lainnya (KARS) sedangkan
12
sertifikasi diberikan oleh Dirjen Pelayanan Medik Depkes RI berdasarkan
rekomandasi KARS (Depkes RI, 2012).
Dasar hukum akreditasi rumah sakit adalah sebagai berikut:
1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.012 tahun 2012 tentang
Akreditasi Rumah Sakit
2. UU No. 44/2009 tentang Rumah Sakit Pasal 40
a. Dalam upaya peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit wajib dilakukan
akreditasi secara berkala minimal 3 tahun sekali.
b. Akreditasi Rumah sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh suatu lembaga independen baik dari dalam maupun dari luar negeri
berdasarkan standar akreditasi yang berlaku.
c. Lembaga independen sebagaimana dimaksud ayat (2) ditetapkan oleh
menteri.
d. Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi Rumah Sakit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
3. Permenkes no. 159b/88 tentang rumah sakit, pasal 26 mengatur tentang
akreditasi rumah sakit.
4. SK Menkes 436/93 menyatakan berlakunya standar pelayanan rumah sakit dan
standar pelayanan medis.
Pada dasarnya tujuan utama akreditasi rumah sakit adalah agar kualitas
pelayanan yang diberikan terintegrasi dan menjadi budaya sistem pelayanan di
rumah sakit. Secara khusus tujuan akreditasi adalah agar :
13
1. Memperoleh gambaran seberapa jauh rumah sakit di Indonesia telah
memenuhi berbagai standar yang ditentukan sehingga mutu pelayanan rumah
sakit dapat dipertanggungjawabkan.
2. Memberikan pengakuan dan penghargaan kepada rumah sakit yang telah
mencapai tingkat pelayanan sesuai dengan standar yang ditetapkan.
3. Memberikan jaminan kepada petugas rumah sakit bahwa semua fasilitas,
tenaga dan lingkungan yang diperlukan tersedia sehingga dapat mendukung
upaya penyembuhan dan pengobatan pasien dengan sebaiknya.
Memberikan jaminan dan kepuasan kepada individu, keluarga dan
masyarakat sebagai pelanggan bahwa pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit
diselenggarakan dengan baik (Poerwani dan Sopacua, 2004).
Survei akreditasi dilaksanakan dalam beberapa tahap yaitu tahap
persiapan, tahap pelaksanaan survei akreditasi dan tahap pascasurvei akreditasi.
1. Tahap persiapan
Kegiatan yang dilaksanakan disini adalah self assessment (kajian
mandiri) yang dilakukan oleh rumah sakit yang akan dinilai menggunakan
instrumen survei akreditasi rumah sakit. Kajian mandiri dilaksanakan oleh
timakreditasi rumah sakit yang terdiri dari beberapa kelompok kerja, sesuai
dengan pelayanan yang akan dinilai. Misalnya bila rumah sakit memilih untuk
akreditasi tingkat dasar maka tim akreditasi rumah sakit terdiri dari 5
kelompok kerja.
Langkah-langkah persiapan survei akreditasi di rumah sakit adalah
sebagai berikut:
14
a. Pimpinan, pemilik dan seluruh pegawai sepakat melaksanakan persiapan
survei akreditasi rumah sakit dengan sosialisasi pada setiap kesempatan
dengan menjelaskan kaitan akreditasi dengan mutu pelayanan di rumah
sakit.
b. Tim akreditasi rumah sakit perlu dibentuk dengan surat keputusan
direktur.
c. Ubah pola kerja menjadi kerja tim, saling terbuka dan menghargai.
d. Sosialisasikan apa yang dimaksud dengan akreditasi dan makna yang
terkandung di dalamnya, kepada seluruh jajaran rumah sakit mulai dari
manajer puncak hingga pelaksana di lapangan termasuk satpam, tukang
kebun, juru masak dan lainnya.
Tim akreditasi rumah sakit terdiri atas kelompok kerja yang sesuai
dengan instrumen kajian mandiri serta mempunyai uraian tugas yang jelas
berdasarkan SK direktur rumah sakit. Tim akreditasi bersifat terbuka,
koordinasi sangat diperlukan dalam tim karena banyak hal menjadi lebih
efisien bila dikerjakan secara tim.
2. Tahap pascasurvei akreditasi
Kegiatan pada paska survei akreditasi berupa pembinaan yang bertujuan
mendorong manajemen rumah sakit untuk memantau pelaksanaan
rekomendasi hasil survei, memberikan arahan untuk dapat memenuhi
rekomendasi, melakukan evaluasi terhadap penerapan standar yang
berdampak pada peningkatan mutu pelayanan di rumah sakit serta
15
meningkatkan interaksi antara rumah sakit, dinas kesehatan provinsi dan
KARS.
Kegiatan pembinaan paska akreditasi dilakukan paling cepat 12 bulan
setelah dilakukan survei akreditasi oleh KARS. Hasil pembinaan dalam
bentuk laporan sebagai umpan balik terhadap upaya rumah sakit untuk
memenuhi rekomendasi hasil survei kepada pimpinan rumah sakit.
Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) mempunyai fungsi perencanaan,
pelaksanaan, pengembangan, pembimbingan dan pelatihan serta monitoring dan
evaluasi dalam bidang akreditasi rumah sakit di Indonesia, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan perkembangan akreditasi rumah
sakit secara internasional. Masa bakti Komisi Akreditasi Rumah Sakit adalah 5
tahun untuk pelaksana akreditasi (surveyor).
Tugas pokok dan fungsi KARS adalah:
1. Merumuskan kebijakan dan tata laksana akreditasi rumah sakit
2. Menyusun rencana strategis akreditasi rumah sakit
3. Menyusun peraturan internal KARS
4. Menyusun standar akreditasi
5. Menetapkan status akreditasi rumah sakit
6. Menyelenggarakan pendidikan, pelatihan dan pembimbingan serta
pengembangan di bidang akreditasi dan mutu layanan rumah sakit
7. Mengangkat dan memberhentikan tenaga surveyor
16
8. Membina kerja sama dengan institusi di dalam negeri maupun di luar negeri
yang berkaitan dengan bidang akreditasi dan peningkatan mutu layanan rumah
sakit
9. Melakukan sosialisasi dan promosi kegiatan akreditasi
10. Melakukan monitoring dan evaluasi dalam bidang akreditasi rumah sakit
11. Melakukan pencatatan dan pelaporan kegiatan akreditasi rumah sakit (Depkes
RI, 1998).
Embrio instrumen survei akreditasi adalah format penilaian penampilan
rumah sakit yang dilaksankan setiap tahun dalam rangka hari kesehatan nasional
yang dikembangkan tahun 1984. Pengembangan dan penyempurnaan indikator
penilaian dilakukan berkala setiap 2 tahun sekali. Format penilaian penampilan
rumah sakit ini dikembangkan Dirjen Pelayanan Medik bersama Pusat Penelitian
dan Pengembangan Pelayanan Kesehatan di Surabaya dan hingga tahun 1994
menjadi instrumen untuk survei akreditasi. Instrumen survei akreditasi mengalami
perbaikan hingga tahun 2003 sebagai instrumen kajian mandiri yang digunakan
sampai saat ini (Poerwani dan Sopacua, 2004).
Pelayanan yang dinilai dalam instrumen survei akreditasi mengacu pada
SK Menkes pada tahun 1993 tentang standar pelayanan rumah sakit. Pada tahun
1999 dilakukan revisi sehingga terdiri dari 20 kegiatan pelayanan. Standar
pelayanan rumah sakit tersebut meliputi Administrasi dan Manajemen, Pelayanan
Medis, Pelayanan Keperawatan, Pelayanan Gawat Darurat, Rekam Medik,
Farmasi, Radiologi, Kamar Operasi, Pengendalian Infeksi, Pelayanan Resiko
tinggi, Laboratorium dan Keselamatan Kerja, Kebakaran dan Kewaspadaan
17
Bencana ditambah Pelayanan Intensif, Pelayanan Transfusi Darah, Pelayanan
Rehabilitasi Medik dan Pelayanan Gizi, Sterilisasi sentral, Pemeliharaan sarana,
Pelayanan Anestesi dan Perpustakaan (Poerwani dan Sopacua, 2004).
Dalam perkembangannya, instrumen survei akreditasi pada tingkat
lengkap setelah melalui pembahasan menjadi 16 kegiatan pelayanan saja, karena
ada beberapa kegiataan pelayanan yang dapat digabungkan. Pelayanan
perpustakaan dimasukkan di pelayanan administrasi dan manajemen, pelayanan
pemeliharaan sarana dimasukkan juga ke pelayanan administrasi dan manajemen,
pelayanan anestesi dimasukkan dalam pelayanan kamar operasi.
Akreditasi dibedakan menjadi 4 yaitu :
1. Tingkat Dasar
Empat bab digolongkan Major, nilai minimum setiap bab harus 80 % :
Sasaran keselamatan pasien rumah sakit, hak pasien dan keluarga (HPK),
pendidikan pasien dan keluarga (PPK), dan peningkatan pelayanan mutu dan
keselamatan pasien. Sebelas bab digolongkan Minor, nilai minimum setiap bab
harus 20%: Millenium Development Goal’s (MDG’S), akses pelayanan dan
komunitas pelayanan, asesment pasien, pelayanan pasien pelayanan anastesi dan
bedah, manajemen penggunaan obat, manajemen komunikasi dan informasi,
kualifikasi dan pendidikan staff, pencegahan dan pengendalian infeksi, tata kelola
kepemimpinan dan pengarahan, manajemen fasilitas dan keselamatan.
2. Tingkat Madya
Delapan bab digolongkan Major, nilai minimum setiap bab harus 80% :
Sasaran keselamatan pasien rumah sakit, hak pasien dan keluarga, pendidikan
18
pasien dan keluarga, peningkatan mutu dan keselamatan pasien, millenium
development goal’s, akses pelayanan dan kontinuitas pelayanan, asesment pasien,
dan pelayanan pasien.
Tujuh bab digolongkan Minor, nilai minimum setiap bab harus 20% :
Pelayanan anastesi dan bedah, manajemen penggunaan obat, manajemen
komunikasi dan informasi, kualitas dan pendidikan staff, pencegahan dan
pengendalian infeksi, tata kelola kepemimpinan dan pengarahan , manajemen
fasilitas dan keselamatan.
3. Tingkat Utama
Duabelas bab digolongkan Major, nilai minimum setiap bab harus 80%:
sasaran keselamatan pasien rumah sakit, hak pasien dan keluarga, pendidikan
pasien dan keluarga, peningktanan mutu dan keselamatan pasien, millenium
development goal’s, akses pelayanan dan kontinuitas pelayanan, asesment pasien,
dan pelayanan pasien, pelayanan anastesi dan bedah, manajemen penggunaan
obat, manajemen komunikasi dan informasi, kualitas dan pendidikan staff.
Tiga bab digolongkan Minor, nilai minimum setiap bab harus 20% :
Pencegahan dan pengendalian infeksi, tata kelola kepemimpinan dan pengarahan ,
manajemen fasilitas dan keselamatan.
4. Tingkat Paripurna
Limabelas (semua) bab digolongkan Major, nilai minimum setiap bab
harus 80% : Sasaran keselamatan pasien rumah sakit, hak pasien dan keluarga,
pendidikan pasien dan keluarga, peningktanan mutu dan keselamatan pasien,
millenium development Goal’s, akses pelayanan dan kontinuitas pelayanan,
asesment pasien, dan pelayanan pasien, pelayanan anastesi dan bedah, manajemen
19
penggunaan obat, manajemen komunikasi dan informasi, kualitas dan pendidikan
staff, Pencegahan dan pengendalian infeksi, tata kelola kepemimpinan dan
pengarahan, manajemen fasilitas dan keselamatan (KARS, 2012).
Untuk sampai kepada pengakuan rumah sakit melalui suatu proses
penilaian yang didasarkan pada Standar Nasional perumahsakitan. Penilaian
dilakukan berulang dengan interval yang reguler dan diawali dengan kegiatan
kajian mandiri (self assessment) oleh rumah sakit yang dinilai. Survei akreditasi
ini dilakukan oleh badan yang terlegitimasi dan di Indonesia adalah Komite
Akreditasi Rumah Sakit dan sarana kesehatan lainnya (KARS) sedangkan
sertifikasi diberikan oleh Dirjen Pelayanan Medik Depkes RI berdasarkan
rekomendasi KARS.
C. Standar Akreditasi Kegiatan Pelayanan Farmasi
Ada 7 standar pelayanan farmasi yang harus dipenuhi dalam akreditasi nasional
rumah sakit yaitu (KARS, 2011):
1. Organisasi dan Manajemen
Obat sebagai suatu sumber penting dalam pelayanan pasien, harus
diorganisir secara efektif dan efisien. Manajemen obat bukan hanya
tanggungjawab dari pelayanan farmasi tetapi juga dari para manajer dan praktisi
asuhan klinis. Pengaturan pembagian tanggungjawab tergantung pada struktur
organisasi dan staffing. Pada saat apoteker tidak hadir, obat-obat bisa dikelola
oleh setiap unit klinis tergantung kebijakan rumah sakit. Pada kasus lain, dimana
terdapat suatu sentral farmasi yang besar, bagian farmasi dapat mengorganisir dan
20
mengendalikan obat yang diberlakukan di seluruh rumah sakit. Manajemen obat
yang efektif mencakup semua bagian dalam rumah sakit, unit rawat inap, rawat
jalan maupun unit khusus. Undang-undang dan peraturan yang berlaku
dimasukkan ke dalam struktur organisasi dan operasional sistem manajemen obat
di rumah sakit.
2. Seleksi dan Pengadaan
Setiap rumah sakit harus menetapkan obat mana yang harus tersedia untuk
diresepkan dan dipesan oleh praktisi pelayanan kesehatan. Keputusan ini
didasarkan pada misi rumah sakit sakit, kebutuhan pasien, dan jenis pelayanan
yang disiapkan. Rumah sakit mengembangkan suatu daftar (formularium) dari
semua obat yang ada di stok atau sudah tersedia, dari sumber luar. Dalam
beberapa kasus, undang-undang atau peraturan bisa menentukan obat dalam daftar
atau sumber obat tersebut. Pemilihan obat adalah suatu proses kerja
sama/kolaboratif yang mempertimbangkan baik kebutuhan dan keselamatan
pasien maupun kondisi ekonomisnya. Kadang-kadang terjadi kehabisan obat
karena terlambatnya pengiriman, kurangnya stok nasional atau sebab lain yang
tidak diantisipasi dalam pengendalian inventaris yang normal. Ada suatu proses
untuk mengingatkan para pembuat resep tentang kekurangan obat tersebut dan
saran substitusinya.
21
3. Penyimpanan
Obat bisa disimpan dalam tempat penyimpanan, di dalam
pelayananfarmasi atau kefarmasian, atau di unit asuhan pasien pada unit-unit
farmasi atau di
nurse station dalam unit klinis. Standar MPO.1 menyiapkan mekanisme
pengawasan bagi semua lokasi dimana obat disimpan. Dalam semua lokasi tempat
obat disimpan, hal berikut ini adalah jelas:
a. Obat disimpan dalam kondisi yang sesuai untuk stabilitas produk;
b. Bahan yang terkontrol (controlled substances) dilaporkan secara akurat sesuai
undang-undang dan peraturan yang berlaku
c. Obat-obatan dan bahan kimia yang digunakan untuk mempersiapkan obat
diberi label secara akurat menyebutkan isi, tanggal kadaluwarsa dan
peringatan;
d. Elektrolit pekat konsentrat tidak disimpan di unit asuhan kecuali merupakan
kebutuhan klinis yang penting dan bila disimpan dalam unit asuhan
dilengkapi dengan pengaman untuk mencegah penatalaksanaan yang kurang
hati-hati (diberi nilai pada Sasaran Keselamatan Pasien III, EP 1 dan 2).
e. Seluruh tempat penyimpanan obat diinspeksi secara periodik sesuai kebijakan
rumah sakit untuk memastikan obat disimpan secara benar; dan
f. Kebijakan rumah sakit menjabarkan cara identifikasi dan penyimpanan obat
yang dibawa oleh pasien
22
4. Pemesanan dan Pencatatan (ordering & transcribing)
Peresepan, pemesanan dan pencatatan yang aman diarahkan olehkebijakan
dan prosedur rumah sakit.Para staf medis, perawatan, farmasi danadministratif
berkolaborasi untuk mengembangkan dan memonitor kebijakan danprosedur.Staf
yang terkait dilatih untuk praktek penulisan resep, pemesanan danpencatatan yang
benar.Karena peresepan obat yang tidak terbaca atau pemesananyang
mengacaukan keselamatan pasien bisa menunda pengobatan, makakebijakan
rumah sakit mengatur tindakan untuk mengurangi tidak terbacanyaresep.Ada
daftar dari semua obat terkini dicatat dalam status pasien dan tersediadi farmasi,
keperawatan dan dokter. Rumah sakit menetapkan suatu proseduruntuk
membandingkan daftar obat pasien yang diminum sebelum masuk rawatinap
terhadap order pertama obat.
5. Persiapan dan Penyaluran (dispensing)
Pelayanan farmasi atau kefarmasian menyiapkan dan mengeluarkan obat
dalam lingkungan yang bersih dan aman sesuai undang-undang, peraturan dan
standar praktek profesional. Rumah sakit mengidentifikasi standar praktek bagi
lingkungan penyiapan dan penyaluran obat yang aman dan bersih. Obat yang
disimpan dan dikeluarkan dari area di luar farmasi (misalnya unit pelayanan
pasien, harus memenuhi langkah-langkah yang sama dalam hal keamanan dan
kebersihan). Staf yang mempersiapkan produk campuran yang steril (seperti i.v.
dan epidural) dilatih dalam prinsip-prinsip teknik aseptik. Demikian pula, tersedia
23
lubang angin yang bertudung dan digunakan bilamana dibutuhkan untuk praktek
profesional (misalnya mencampur obat cytotoxic).
6. Pemberian (administration)
Pemberian obat untuk mengobati seorang pasien membutuhkan
pengetahuan dan pengalaman yang spesifik. Setiap rumah sakit bertanggungjawab
untuk mengidentifikasi petugas dengan pengetahuan dan pengalaman sesuai
persyaratan dan yang juga diijinkan berdasarkan lisensi, sertifikasi, undang-
undangatau peraturan untuk pemberian obat.Suatu rumah sakit bisa membuat
batasan bagi petugas dalam pemberian obat, seperti bahan yang diawasi atau
radioaktif dan obat investigatif. Dalam situasi emergensi, rumah sakit
mengidentifikasi setiap petugas tambahan yang diijinkan untuk memberikan obat.
7. Pemantauan (monitoring)
Pasien, dokternya, perawat dan praktisi pelayanan kesehatan lainnya
bekerja bersama untuk memantau pasien yang mendapat obat. Tujuan monitoring
adalah untuk mengevaluasi efek pengobatan terhadap gejala pasien
ataupenyakitnya, demikian juga hitung darah, fungsi ginjal, fungsi hati dan
monitoringlain untuk obat yang selektif, dan untuk mengevaluasi pasien terhadap
KTD. Berdasarkan monitoring, dosis atau jenis obat dapat disesuaikan, bila perlu.
Sudah seharusnya memonitor secara ketat respons pasien terhadap dosis pertama
obatyang baru diberikan kepada pasien. Monitoring demikian dimaksudkan
untukmengidentifikasi respons terapetik yang diantisipasi maupun reaksi alergik,
24
interaksi obat yang tidak diantisipasi, adanya perubahan dalam keseimbangan
pasien yang akan meningkatkan risiko jatuh dan lain-lain.
Memonitor efek obat termasuk mengobservasi dan mendokumentasikan
setiap KTD. Rumah sakit mempunyai kebijakan yang mengidentifikasi semua
KTD yang harus dicatat dan yang harus dilaporkan. Rumah sakit membangun
suatu mekanisme pelaporan dari KTD bila perlu dan kerangka waktu untuk
pelaporan (Kars, 2011).
D. Unit Pelayanan Farmasi
1. Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah suatu unit/bagian di rumah
sakit tempat atau fasilitas penyelenggaraan semua fungsi pekerjaan kefarmasian
yang mengelola semua aspek obat mulai dari produksi, pengembangan, pelayanan
farmasi untuk semua individu pasien, profesional kesehatan dan program rumah
sakit (Permenkes, 2014).
Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) dapat didefinisikan sebagai suatu
departemen atau unit atau bagian di suatu rumah sakit di bawah pimpinan
seoarang apoteker dan dibantu oleh beberapa orang apoteker yang memenuhi
persyaratan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kompeten secara
profesional, tempat atau fasilitas penyelenggaraan yang bertanggungjawab atas
seluruh pekerjaan serta pelayanan kefarmasian yang terdiri atas pelayanan
paripurna, mencakup perencanaan, pengadaan, produksi,penyimpanan perbekalan
kesehatan atau sediaan farmasi, dispensing obat berdasarkan resep bagi penderita
25
rawat tinggal dan rawat jalan, pengendaliaan mutudan pengendaliaan distribusi
dan penggunaan seluruh perbekalan di rumah sakit; pelayanan farmasi klinik
umum dan spesialis, mencakup pelayanan langsung pada penderitadan pelayanan
klinis yang merupakan program rumah sakit secara keseluruhan (Permenkes,
2014).
Definisi IFRS tersebut diatas menyatakan secara jelas tanggungjawab yang
luas dari apoteker rumah sakit.Untuk bisa hidup, tumbuh, dan berkembang dalam
melaksanakan seluruh tanggungjawab tersebut, IFRS harus mengadopsi suatu
strategi luas yang memberikan keuntungan kompetitif yang berkelanjutan.Untuk
itu, IFRS perlu mengadopsi strategi biaya, yang berusaha meningkatkan efisiensi
dan pengendalian biaya di seluruh rantai biaya kegiatan IFRS, yaitu biaya
kegiatan pemasokan, biaya kegiatan internal, dan biaya kegiatan
distribusi.Disamping itu, IFRS juga perlu mengadopsi strategi diferensiasi, yaitu
berupaya menambah nilai pada produk dan pelayanan sebagaimana ditetapkan dan
diharapkan konsumen internal, mencakup staf profesional, pimpinan rumah sakit,
warga rumah sakit, dan lain-lain. Serta konsumen eksternal mencakup penderita,
masyarakat umum, masyarakat ilmiah, masyarakat pendidik, masyarakat
profesional, dan sebagainya. Strategi ini secara khas memerlukan pencapaian
keunggulan teknologi, memberikan pelayanan dukungan lebih banyak dan lebih
baik kepada konsumen (Siregar dan Amalia, 2004).
Pelayanan oleh Instalasi Farmasi selain difokuskan terhadap konsumen,
juga ditujukan pada pihak yang berkaitan, yaitu anggota masyarakat rumah sakit,
pemilik rumah sakit dan stakeholders. Untuk mencapai kebutuhan dan harapan
26
konsumen serta pihak lain, instalasi farmasi harus mempertimbangkan,
mengidentifikasi kebutuhan dan harapan, menerjemahkan kebutuhan dan harapan
menjadi persyaratan serta mengomunikasikan persyaratan tersebut pada seluruh
tingkat personel di IFRS dan mengembangkan seluruh proses untuk menciptakan
nilai bagi pihak yang berkepentingan tersebut.
2. Tugas dan tanggungjawab Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Tugas utama IFRS adalah pengelolaan mulai dari perencanaan, pengadaan,
penyimpanan, penyiapan, peracikan, pelayanan langsung kepada penderita sampai
dengan pengendalian semua perbekalan kesehatan yang beredar dan digunakan
dalam rumah sakit baik untuk penderita rawat inap, rawat jalan maupun untuk
semua unit termasuk poliklinik rumah sakit. Berkaitan dengan pengelolaan
tersebut, IFRS harus menyediakan terapi obat yang optimal bagi semua penderita
dan menjamin pelayanan bermutu tinggi dan yang paling bermanfaat dengan
biaya yang minimal Jadi, IFRS adalah satu-satunya unit di rumah sakit yang
bertugas dan bertanggung jawab sepenuhnya pada pengelolaan semua aspek yang
berkaitan dengan obat atau perbekalan kesehatan yang beredar dan digunakan di
rumah sakit tersebut. IFRS bertanggung jawab mengembangkan suatu pelayanan
farmasi yang luas dan terkoordinasi dengan baik dan tepat, untuk memenuhi
kebutuhan berbagai bagian atau unit diagnosis dan terapi, unit pelayanan
keperawatan, staf medik, dan rumah sakit keseluruhan untuk kepentingan
pelayanan penderita yang lebih baik (Siregar dan Amalia, 2004).
Visi Instalasi Farmasi Rumah Sakit yang hendak dicapai adalah pelayanan
farmasi profesional didasari aspek manajemen maupun klinik dengan orientasi
27
kepada kepentingan pasien sebagai individu, berwawasan lingkungan, dan
keselamatan kerja berdasarkan kode etik.
Misi Instalasi Farmasi Rumah Sakit yang hendak dibangun bertanggung
jawab atas pengelolaan farmasi Rumah Sakit yang berdasar guna dan berhasil
guna, melaksanakan pelayanan kefarmasian yang berorientasi pada tercapainya
hasil pengubahan yang optimal bagi pasien dan berperan serta dalam program
pelayanan kesehatan di Rumah Sakit untuk meningkatkan kesehataan seluruh
lapisan masyarakat, baik pasien maupun tenaga kerja rumah sakit( Siregar, 2004).
3. Fungsi Rumah Sakit
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009
Pasal 5, disebutkan bahwa untuk menjalankan tugas rumah sakit mempunyai
fungsi:
a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit.
b. Pemeliharaan dan peningkatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang
paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.
c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam memberikan pelayanan kesehatan.
d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
Fungsi dari Rumah Sakit, yaitu:
28
3.1. Menyelenggarakan pelayanan medik. Pelayanan medik terdiri dari
pelayanan medik dasar, spesialistik dan sub spesialistik. Pelayanan spesialistik
dasar adalah pelayanan medik spesialistik penyakit dalam, kebidanan, kandungan,
kesehatan anak dan bedah. Pelayanan medik spesialistik luas adalah pelayanan
medik spesialistik dasar ditambah dengan pelayanan spesialistik THT, mata,
syaraf, jiwa, kulit dan kelamin, jantung, paru radiologi, anastesi, rehabilitasi
medik, patologi klinik, patologi anatomi. Pelayanan sub spesialistik luas adalah
pelayanan sub spesialistik di setiap spesialistik yang ada. Spesialistik luas
sekurang-kurangnya terdapat sebelas permintaan dari spesialis yang ada di Rumah
Sakit Umum yaitu thorax, bedah anak, nefrologi, imunologi, nefrologi anak,
bedah digestif, infertility serologi, oncology, hematologi, dan lain- lain. Pelayanan
medik dasar meliputi pelayanan medik umum dan gigi.
3.2. Menyelenggrakan pelayanan penunjang medik dan non medik.
Pelayanan penunjang medik mencakup: radiologi, anastesiologi, patologi klinik,
patologi anatomi, gizi, farmasi dan rehabilitasi medik. Sedang penunjang non
medik mencakup binatu, pemeliharaan sarana rumah sakit dan pemulasaraan
jenasah. Pelayanan umum dan keuangan meliputi: pencatatan medik, penyusunan
anggran dan pembendaharaan, sekretariat, akuntansi dan mobilisasi dana.
3.3. Menyelenggarakan pelayanan rujukan. Pelayanan rujukan adalah
suatu upaya penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang melaksanakan
pelimpahan tanggung jawab timbal balik atas kasus atau masalah yang timbul,
baik secara vertikal maupun secara horizontal kepada pihak yang mempunyai
fasilitas lebih lengkap dan mempunyai kemampuan yang lebih tinggi.
29
3.4. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan. Pendidikan dan
pelatihan sebagai suatu fungsi rumah sakit yang terdiri atas dua bentuk utama
yaitu: (1) pendidikan dan/atau pelatihan profesi kesehatan yang mencakup dokter,
apoteker, perawat, pekerja sosial pelayanan medik, personal rekaman medik, ahli
gizi, teknisi sinar X, laboratorium, teknologis medik, terapis pernapasan,
okupasional dan administrator rumah sakit. Program pendidikan sangat penting
karena hanya di rumah sakit tersedia fasilitas terkonsentrasi demikian untuk
memberikan pengalaman pembelajaran praktek yang perlu dalam penyelamatan
hidup manusia, (2) Pendidikan atau latihan pelatihan penderita, merupakan suatu
fungsi rumah sakit yang penting dalam suatu lingkup yang jarang disadari oleh
masyarakat, hal itu mencakup pendidikan umum bagi anak-anak yang terikat
hospitalisasi jangka panjang, pendidikan khusus dalam bidang rehabilitasi, dalam
perawatan kesehatan yang membutuhkan reorientasi. Pendidikan tentang obat
sangat penting diberikan kepada penderita yaitu untuk meningkatkan kepatuhan,
mencegah penyalahgunaan obatdan salah penggunaan obat, dan untuk
meningkatkan hasil terapi yang optimal dengan penggunaan obat yang sesuai dan
tepat.
3.5. Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan. Rumah Sakit
sebagai fungsi vital penelitian dan pengembangan bermaksud untuk memajukan
pengetahuan medik tentang penyakit, peningkatan atau perbaikan pelayanan
rumah sakit, hal tersebut bertujuan sebagai dasar pelayanan kesehatan yang lebih
baik bagi pasien.
30
3.6. Menyelenggarakan administrasi umum dan keuangan. Pelayanan
administrasi umum dan keuangan meliputi: pencatatan medik, anggaran dan
pembendaharaan, sekretariat, akuntansi dan mobilisasi dana (Depkes RI, 2009).
4. Klasifikasi Rumah Sakit
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 56 Tahun 2014
tentang Klasifikasi Rumah Sakit, Rumah Sakit Pemerintah Pusat dan Daerah
diklasifikasikan menjadi Rumah Sakit Umum kelas A, B, C, dan D. klasifikasi
tersebut didasarkan pada unsur pelayanan, ketenagaan, fisik, dan peralatan:
a. Rumah Sakit Umum kelas A, yaitu Rumah Sakit Umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) pelayanan
medik spesialis dasar, 5 (lima) pelayanan spesialis penunjang medik, 12 (dua
belas) pelayanan medik spesialis lain dan 13 (tiga belas) pelayanan medik sub
spesialis.
b. Rumah Sakit Umum kelas B, yaitu Rumah Sakit Umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) pelayanan
medik spesialis dasar, 4 (empat) pelayanan spesialis penunjang medik, 8
(delapan) pelayanan medik spesialis lainnya dan 2 (dua) pelayanan medik sub
spesialis dasar.
c. Rumah Sakit Umum kelas C, yaitu Rumah Sakit Umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) pelayanan
medik spesialis dasar, dan 4 (empat) pelayanan spesialis penunjang medik.
31
d. Rumah Sakit Umum kelas D, yaitu Rumah Sakit Umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) pelayanan
medik spesialis dasar.
Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, Rumah Sakit dikelompokkan
menjadi:
a. Rumah Sakit Umum (general hospital). Rumah Sakit Umum adalah Rumah
Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan kepada semua jenis penyakit dari
yang bersifat dasar, spesialistik, dan subspesialistik. Rumah Sakit yang bersifat
dasar meliputi: pelayanan umum dan gigi. Subspesialistik dasar mempunyai 4
dokter ahli (penyakit dalam, obstetik-ginekologik, bedah, dan kesehatan anak),
dan subspesialistik luas meliputi pelayanan medik spesialis dasar ditambah
dengan pelayanan spesialistik telinga, hidung dan tenggorokan, mata, syaraf,
jiwa, kulit dan kelamin, jantung, paru, radiologi, anestesi, rehabilitasi medik,
patologi klinik, patologi anatomi dan pelayanan spesialistik lain sesuai dengan
kebutuhan.
b. Rumah Sakit Khusus (Special Hospital). Rumah Sakit Khusus adalah Rumah
Sakit yang memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis
penyakit tertentu, berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ atau jenis
penyakit (Kepmenkes, 2014).
E. Strategi
Strategi adalah langkah utama bagi jalan untuk mencapai objektif atau
menyusun sasaran seperti dimaksudkan dalam manajemen strategi. Apabila
32
dimaksudkan dalam kontek organisasi keseluruhan, strategi adalah suatu cara
untuk mengejar tujuan-tujuan yang diberikan terhadap adanya tantangan-
tantangan, peluang-peluang berkaitan dengan lingkungan dan sumber daya dan
kemampuan organisasi (Wijono, 1999).
Mengacu pada penyelesaian, maka strategi strategi dipengaruhi oleh tiga
faktor utama, yaitu lingkungan ekstern, sumber daya interna dan tujuan-tujuan
yang dikejar. Dengan demikian strategi organisasi menyediakan pengertian dasar
bagaimana organisasi akan memperdayakan lingkungan dan sumber daya alam
dalam mencapai tujuan.
Strategi adalah serangkaian aksi yang terintegrasi dan diarahkan untuk
meningkatkan kesejahteraan dan kekuatan perusahaan dalam jangka panjang.
Pengamatan menunjukkan bahwa berbagai rumah sakit telah menyusun rencana
strategis. Akan tetapi, rencana strategis tersebut ternyata tidak meningkatkan
kinerja. Dokumen rencana strategi smenjadi dokumen yang tidak dipergunakan
dalam pelaksanaan. Keadaan ini muncul apabila rencana strategis merupakan
dokumen yang harus ada karena dibutuhkan dalam penilaian atasan, akreditasi,
ataupun hasil suatu pelatihan. Dalam hal ini terjadi apa yang disebut rencana
diatas kertas. Terdapat jurang pemisah antara rencana dengan pelaksanaan
dilapangan. Apabila hal ini ditelusuri lebih lanjut, rencana strategis tersebut tidak
berhubungan dengan system penganggaran, pelaksanaan, dan pengendalian
kegiatan. Bahkan, lebih lanjut rencana strategis tidak terkait dengan penyusunan
struktur, staffing, pelaksanaan, dan pembangunan fasilitas fisik (Brickerhoff,
2000).
33
F. Uji Perbaikan Manajemen dengan Metode Hanlon
Metode ini disebut metode Hanlon and Basic Priority Rating System
(BPRS), didefinisikan dalam Public Health: Administrasion and Practive (Hanlon
and Hyman, Aspen Publishers).
Metode Hanlon merupakan suatu teknik atau cara yang digunakan untuk
menentukan prioritas masalah dengan menggunakan 4 kelompok kriteria, yakni:
1. Besarnya masalah (magnitude).
2. Kegawatan masalah (emergency).
3. Kemudahan penanggulangan masalah (causability).
4. Faktor yang menentukan dapat tidaknya program dilaksanakan (PEARL
factor).
PEARL factor terdiri atas:
1. P = Kesesuaian (Propiety).
2. E = Murah secara ekonomi (Economic Feasibility).
3. A = Dapat diterima (Acceptability).
4. R = Ketersediaan sumber daya manusia (Resource availability)
5. L = Legalitas (Legality).
Uji setiap masalah dengan factor PEARL hanya 2 jawaban “Ya = 1” “tidak = 0”.
Metode ini merupakan alat yang digunakan untuk membandingkan
berbagai masalah kesehatan yang berbeda-beda dengan cara relative dan bukan
absolute, framework, seadil mungkin dan objektif
Metode ini memiliki 3 tujuan utama yaitu:
34
1. Agar pembuat keputusan dapat mengidentifikasikan faktor-faktor eksplisit
untuk dapat dipertimbangkan dalam menetapkan prioritas.
2. Untuk mengelola faktor-faktor tersebut kedalam kelompok-kelompok yang
dianggap relatif sama satu dengan yang lainnya (weighted relative to each
other)
3. Agar faktor-faktor tersebut dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan dan
dinilai secara individual.
BASIC PRIORITY RATING FORMULA
Formula dasar penilaian prioritas, dilakukan dengan memberikan skor atas
serangkaian kriteria A, B, C dan D (PEARL).
A = Besar masalah yaitu % atau jumlah atau kelompok penduduk yang terkena
masalah serta keterlibatan masyarakat dan instansi terkait. Skor 0-10
(kecil-besar).
B = Tingkat keseriusan masalah. Skor 0-10 (tidak serius-sangat serius).
C = Efektifitas atau kemudahan penanggulangan masalah, dilihat dari hasil
atau manfaat penyelesaiaan masalah yang akan diperoleh dengan sumber
daya (biaya, sarana dan cara) untuk menyelesaikan masalah. Skor 0-10
(sulit-mudah).
D = PEARL
Berbagai pertimbangan dalam kemungkinan pemecahan masalah.
Skor 0 = tidak dan 1 = ya.
P = Propriety yaitu kesesuaian masalah dengan prioritas berbagai
kebijaksanaan/ program/ kegiatan instansi/ organisasi terkait.
35
E = Economic feasibility yaitu kelayakan dari segi pembiayaan.
A = Acceptability yaitu situasi penerimaan masyarakat dan instansi terkait/
instansi lainnya.
R = Resource availability yaitu ketersediaan sumber daya untuk memecahkan
masalah (tenaga, sarana/ peralatan, waktu).
L = Legality yaitu dukungan aspek hukum/ perundang-undangan/ peraturan
terkait seperti peraturan pemerintah/ juklak/ juknis/ protap.
Setelah kriteria tersebut berhasil diisi, maka menghitung nilai Basicc Priority
Rating(BPR) dan Overall Priority Rating (OPR) dengan rumus sebagai berikut:
BPR (Basicc Priority Rating) = (A + B) C/3
OPR (Overall Priority Rating) = [(A + B) C/3] x D
Prioritas pertama adalah masalah dengan skor Overall Priority Rating (OPR)
tertinggi.
Prioritas
Pemilihan suatu metode berkaitan erat dengan proses penetapan prioritas.
Manajer program harus memilih atau merekomondasikan suatu metode untuk
mencapai suatu tujuan khusus. Ini harus dilakukan di dalam kerangka politis
untuk meninjau prioritas masyarakat. Adakalanya pemimpin masyarakat, Negara
bagian, atau pemimpin Negara yang dipilih memiliki prioritas-prioritas yang pasti,
seperti yang terjadi dengan dikeluarkannya the National Health Planing and
Resources Develoment Act of 1974. Manajer program atau administrator lembaga
sering kali membawa analisis masalah dan prioritas ke suatu badan pembuat
keputusan, seperti komisi daerah atau gubernur dan badan legalistif. Ada sejumlah
36
cara untuk menganalisis prioritas: metode simpleks, proses kelompok nominal,
pembobotan kriteria, evaluasi rasional alternatif keputusan, dan proses pengurutan
prioritas.
Proses pengurutan prioritas memiliki beberapa manfaat dari sekian banyak
teknik lain dan bertindak sebagai proses pembelajaran yang efektif bagi
partisipan. Seperti pada prosedur lain, proses ini membuahkan hasil relatife yang
berguna untuk memperbandingkan program yang berbeda dan bersaing atau
metode alternatif untuk mencapai tujuan yang sama. Proses ini tidak dapat
diterapkan dalam program tunggal sebagai suatu metode evaluasi. Para anggota
kelompok harus bekerja sama sepanjang proses cenderung unik untuk tiap-tiap
kelompok kerja. Konsistensi sepanjang ruang lingkup program dipandang perlu
untuk mendapatkan peringkat yang relatif berguna.
Langkah pertama adalah partisipan diminta mendata setiap kegiatan atau program
yang sedang dipertimbangkan. Daftar itu dengan mudah dapat berjumlah ratusan.
Kelompok itu kemudian menganalisis tiap program dengan menggunakan rumus
dinamis yang mengandung empat komponen yaitu:
Komponen A : besarnya masalah
Komponen B : keseriusan masalah
Komponen C : kefeeektifan intervensi
Komponen D : kesesuaian, ekonomi, keberterimaan, sumber daya, dan legalitas
(propriety, economice, acceptability, resource, legality, PEARL)
Rumus penilaian prioritas dasar (basic priority rating, BPR) adalah:
Penilaian prioritas dasar (BPR) =
37
Kisaran skor untuk masing-masing dari empat unsur di atas adalah:
A: 0 hingga 10
B: 0 hingga 20
C: 0 hingga 10
D: 0 atau 1
Hasil perolehan maksimum komponen (A, B, dan C) di atas adalah 300.
Dengan pembagian sembarang hasil maksimum dengan 3, skor maksimum
menjadi 100. Setiap peringkat kemudian akan berada pada kisaran 0 sampai 100.
Unsur D, atau PEARL menjadi 0 atau 1, seperti ditunjukkan nanti.
Seperti dalam banyak kasus prosedur evaluasi, unsur subyektif yang besar
masuk dalam latihan ini. Pilihan dan defisiensi komponen dalam rumus tersebut
dan bobot relatif yang dibebankan pada tiap-tiap komponen tersebut dan bobot
relatif yang dibebankan pada tiap-tiap komponen tersebut didasarkan pada
kesepakatan kelompok. Sebagian kendali dapat diperoleh melalui penggunaan
definisi yang tepat dari berbagai istilah yang ada, penjelasan prosedur urutan yang
tepat, dan penggunaan data statistik untuk memandu penilaian jika
memungkinkan.
Komponen A: besarnya masalah. Untuk menentukan prioritas, besarnya masalah
dapat dinilai dengan menggunakan angka atau persentase dari total penduduk
yang beresiko terhadap masalah yang sedang dipertimbangkan. Banyak masalah
akan ditentukan untuk sebagian kecil kelompok penduduk, dengan membuat
angka prevalensi atau insidensi per 100.000 orang yang beresiko sebagai
pendekatan yang bermanfaat.
38
Penggunaan insidensi atau prevalensi bergantung pada apakah program
itu dirancang untuk mencegah terjadinya masalah atau mengurangi prevalensi
masalah melalui teknik-teknik pencegahan sekunder atau bahkan tersier.
Komponen B: keseriusan masalah. Keseriusan masalah ditentukan oleh empat
faktor urgenasi: urgensi, keparahan, kerugian ekonomis, dan keterlibatan orang
lain. “Kesesuaian” ditetapkan pada kisaran 0 hingga 20 dalam rumus, dan masing-
masing dari keempat faktor itu ditetapkan pada kisaran 0 hingga 10. Skor 40, yang
tentunya melebihi kisaran, bisa saja didapat, tetapi jarang bahwa gabungan faktor-
faktor itu berakumulasi hingga taraf tersebut. Masalah yang paling mendesak dan
parah biasanya masalah perorangan yang tidak melibatkan gangguan masyarakat
yang signifikan. Istilah-istilah tersebut semuanya subjektif, dan beberapa iterasi
proses akan diperlukan sebelum kelompok itu dapat mulai menyepakati penilaian.
Urgensi atau (desakan) dapat digunakan untuk menjelaskan sifat permasalahan
yang darurat, seperti respons darurat atas kecelakaan mobil atau rasa urgensi
masyarakat jika bahan kimia yang tidak diketahui ditumpahkan oleh truk tanki.
Keparahan dapat mencakup estimasi angka fatalitas kasus atau tingkat keparahan
disabilitas jika massalahnya tidak fatal. Kerugian ekonomis berkaitan dengan
keparahan dan dapat mencerminkan biaya atau kerugian masyarakat dan biaya
keluarga. Keterlibatan orang lain juga berkaitan dengan faktor lain dan yang
paling sering menjadi persoalan dalam kasus penyakit yang cepat menular seperti
campak pada masyarakat yang tidak diimunisasi. Jika skor totalnya melebihi 20,
secara sembarang terpotong ke level tersebut.
39
Komponen C: keefektifan intervensi. Keefektifan intervensi seringkali sulit
diukur. Efisiensi kebanyakan vaksin telah diukur dengan sangat teliti, tetapi
intervensi lain, seperti pengobatan rumah sakit terhadap pasien sakit jiwa atau
pemberian nutrisi tambahan bagi ibu hamil berisiko tinggi dan berpenghasilan
rendah, kuarng dievaluasi dengan baik. Sebagian besar kelompok secara nalar
dapat membuat perkiraan yang berguna, terutama jika anggotanya memiliki
program-program yang berkompetisi, karena mereka akan saling
mempertandingkan klaim yang tidak realistis berkaitan dengan keefektifan. Jika
program hanya mencapai 20% dari mereka yang bermasalah dan hanya 70% yang
efektif, keefektifannya adalah 0,20 x 0,70 = 0,14, atau 14% dan peringkat ini
menjadi benar-benar rendah. Keefektifan merupakan pengganda dalam rumus
pemberian peringkat prioritas dasar sehingga pengaruhnya sangat kuat.
Komponen D: kepatutan, ekonomi, akseptabilitas, sumber daya, dan legalitas
(PEARL). PEARL terdiri dari sekelompok faktor yang tidak berhubungan secara
langsung dengan kebutuhan aktual atau keefektifan investasi yang diusulkan,
tetapi yang menentukan apakah program tertentu benar-benar dapat dilaksanakan
(Maftuhah, 2009).
G. Perencanaan
Perencanaan adalah pekerjaan yang menyangkut penyusunan konsep
kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
demi masa depan yang lebih baik (Azwar, 1996).
Perencanaan yang baik mempunyai beberapa ciri yang harus diperhatikan,
40
ciri- ciri yang dimaksud dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Bagian dari sistem administrasi
Suatu perencanaan yang baik adalah yang berhasil menempatkan pekerjaan
perencanaan sebagai bagian dari administrasi secara keseluruhan.
2. Dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan
Suatu perencanaan yang baik adalah yang dilakukansecara terus menerus dan
berkesinambungan, perencanaan penting untuk pelaksanaan yang apabila
hasilnya telah dinilai, dilanjutkan lagi dengan perencanaan. Demikianlah
seterusnya sehingga terbentuk suatu spiral yang tidak mengenal titik akhir.
3. Berorientasi pada masa depan
Suatu perencanaan yang baik adalah yang berorientasi pada masa depan.
Artinya, hasil dari pekerjaan tersebut, apabila dapat dilaksanakan, akan
mendatangkan berbagai kebaikan tidak hanya pada saat ini tetapi juga pada
masa yang akan datang.
4. Mampu menyelesaikan masalah
Suatu perencanaan yang baik adalah yang mampu menyelesaikan masalah dan
ataupun tantangan yang dihadapi. Penyelesaian masalah dan ataupun
tantangan yang dimaksud disini tentu harus disesuaikan dengan kemampuan.
5. Mempunyai tujuan
Suatu perencanaan yang baik adalah yang mempunyai tujuan yang
dicantumkan jelas. Tujuan yang dimaksudkan disini biasanya dibedakan atas 2
macam, yaitu tujuan umum yang berisikan uraian secara garis besar, serta
tujuan khusus yang berisikan uraian yang lebih spesifik.
41
6. Bersifat mampu kelola
Suatu perencanaan yang baik adalah yang bersifat mampu kelola, dalam arti
yang wajar, logis, objektif, jelas, fleksibel serta telah disesuaikan dengan
sumber daya (Azwar, 1996).
Perencanaan strategis diawali dari komitmen dan leadership yang kuat
serta mempunyai implikasi pengembangan system dalam fungsi-fungsi
manajemen. Secara logis, rencana strategis rumah sakit atau unit-unit kerjanya
akan diikuti dengan pengembangan sistem manajemen. misalnya, rumah sakit
mempunyai strategi pengembangan berupa penambahan berbagai pelayanan baru
dan peningkatan mutu pelayanan. Strategi ini diikuti dengan pengembangan
system operasional klinik maupun non klinik, pengembangan sistem informasi,
pengembangan sistem keuangan, pengembangan sumber daya manusia hingga
pengembangan fasilitas fisik. Setiap aspek pengembangan ini diharapkan
mempunyai peran dalam peningkatan kinerja (Siregar dan Amalia, 2004).
1. Perencanaan strategi IFRS
Pimpinan IFRS dan Apoteker rumah sakit bersama-sama menetapkan
visi masa depan IFRS dan mengembangkan prosedur opersional guna
mencapai masa depan itu. Visi keadaan masa depan IFRS memberi arah
kepada IFRS bergerak dan energi memulai gerakan itu. Perencanaan strategis
memerlukan penetapan sasaran dan tujuan IFRS yang jelas serta pencapaian
sasaran dan tujuan tersebut, selama periode yang ditetapkan untuk mencapai
keadaan masa depan yang direncanakan (Permenkes, 2014).
Dalam proses perencanaan strategi itu, ada beberapa tahap yang perlu
42
dilakukan antara lain: analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman
(SWOT analysis), menetapkan tujuan jangka panjang, analisis celah serta
perencanaan tindakan dan penerapan terpadu (Permenkes, 2014).
Menetapkan visi adalah suatu tindakan kreatif dan perlu
dikomunikasikan sedemikian agar seluruh staf IFRS dan Rumah sakit
mengerti dan menganggap itu sebagai suatu sasaran yang dapat dicapai
(Permenkes, 2014).
Salah satu yang penting dalam perencanaan strategis adalah
pengembangan suatu misi, yaitu suatu pernyataan jelas dan singkat, tentang
alasan dari eksistensi, maksud atau fungsi IFRS yang diinginkan. Pernyataan
misi memberi suasana untuk memformulasi berbagai garis tertentu dari semua
upaya yang akan dilakukan IFRS dan strategi yang digunakan IFRS beroperasi
Fokus misi adalah internal IFRS dan fokus visi adalah stakeholders eksternal
IFRS (Brown, 1992).
H. Audit Mutu Internal
Audit adalah kegiatan mengumpulkan data dan informasi yang bersifat
faktual, signifikan dan relevan melalui pemeriksaan, pengukuran dan penilaian
secara sistematis, objektif dan terdokumentasi yang berorientasi pada azas
manfaat (Susilo, 2003).
Auditing adalah suatu proses sistematik untuk memperoleh dan
mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan tentang kegiatan dan
kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuian antara
pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta
43
menyampaikan hasil kepada pemakai yang berkepentingan (Mulyadi, 2001).
Audit mutu internal merupakan suatu pemeriksaan sistematik dan tidak
memihak, untuk menetapkan kesesuian kegiatan mutu dan hasil yang berkaitan,
terhadap pengaturan yang telah ditetapkan serta memeriksa pengaturan tersebut
telah dilaksanakan secara efektif dan sesuai untuk mencapai tujuan. Instalasi
farmasi harus menetapkan proses audit mutu internal untuk menilai kekuatan dan
kelemahan sistem manajemen mutu (Siregar dan Amalia, 2004).
Tujuan audit internal adalah untuk memastikan kegiatan Sistem
manajemen mutu telah dijalankan sesuai dengan persyaratan standar secara efektif
mencapai maksud dan tujuan yang telah direncanakan atau yang telah dijadikan
komitmen dan kebijakan serta tertuang dalam sasaran mutu organisasi. Manfaat
audit mutu terbagi 7 bagian:
1. Manfaat audit mutu bagi pucuk pimpinan
Hasil audit mutu internal dapat menjadi masukan berharga untuk referensi
dalam membuat keputusan atau mengambil kebijakan mutu sehingga
pengelolaan mutu dapat lebih sesuai dengan perencanaan organisasi jangka
panjang.
2. Manfaat audit mutu untuk unit yang diteliti
Audit mutu membantu para pimpinan unit yang diteliti untuk mengidentifikasi
permasalahan yang dihadapi oleh unit secara keseluruhan maupun secara
spesifik, sehingga setiap pimpinan unit dapat mengambil langkah langkah
yang tepat untuk melakukan perbaikan yang diperlukan sesuai masukan dan
rekomendasi auditor.
44
3. Manfaat audit mutu bagi unit pengelola mutu
Audit unit mutu internal bermanfaat untuk mambantu dalam pengendalian
mekanisme jaminan mutu baik pada tahap input, proses maupun output.
4. Manfaat audit mutu bagi karyawan
Audit mutu internal dapat dipandang sebagai proses pembelajaran dan
pertumbuhan serta pembangunan budaya rumah sakit seperti budaya mutu,
budaya disiplin, budaya taat prosedur, budaya perbaikan, budaya kerja
sistematis. Hal ini dimunkinkan karena hasil audit mutu internal sebagai
feedback secara konsisten disampaikan kepada unit penanggungjawab untuk
ditindak lanjuti.
5. Manfaat bagi auditor
Audit mutu bagi auditor merupakan proses pembelajaran dan pertumbuhan
yang tidak ternilai harganya. Interaksi auditor dengan audite pada berbagai
fungsi dan kegiatan dan pengungkapan permasalahan dan pembahasan
solusinya merupakan proses pengkaderan dan pematanganauditor sebagai
tenaga profesional.
6. Manfaat bagi mutu pasien dan pemakai pelayanan memberikan kepuasan
kepada pasien, proses pendektesian segala kemungkinan yang dapat
menciptakan ketidakpuasan pasien dan dilanjutkan dengan tindakanperbaikan
dan pencagahan sehingga komitmen untuk memberikan kepuasan kepada
pasien dapat benar-benar tercapai.
7. Manfaat audit mutu bagi pemasok.
Dengan adanya kegiatan audit pada aspek terkait dengan kegiatan, pemasok
45
dapat memberikan sedikit atau banyak umpan balik terhadap kinerja pemasok
dari sudut pandang rumah sakit yang berkepentingan untuk menjamin barang
yang dipasok memenuhi semua persyaratan (Susilo, 2003).
I. Evaluasi
Evaluasi adalah kegiatan untuk membandingkan antara hasil yang dicapai
dengan rencana yang telah ditentukan. Penilaian merupakan alat penting untuk
membantu pengambilan keputusan sejak tingkat perumusan kebijakan maupun
pada tingkat pelaksanaan program (Wijono, 1999).
Menurut WHO, evaluasi adalah suatu cara yang sistematis untuk
mempelajari berdasarkan pengalaman dan menggunakan pelajaran yang dipelajari
untuk memperbaiki kegiatan kegiatan yang sedang berjalan serta meningkatkan
perencanaan yang lebih baik dengan seleksi yang seksama untuk semua kegiatan
masa datang. Tujuan evaluasi program kesehatan adalah untuk memperbaiki
program program kesehatan dan pelayananya untuk mengantarkan dan
mengarahkan alokasi tenaga dan dana untuk program dan pelayanan yang sedang
berjalan dan yang akan datang. Evaluasi adalah sebagai perbedaan apa yang ada
dengan suatu standar untuk mengetahui apakah ada selisih. Evaluasi merupakan
suatu proses yang dilakukan dalam rangka menentukan kebijakan (Tayibnapis,
2008).
46
J. Penyempurnaan Mutu
Mutu adalah faktor keputusan mendasar dari pelanggan. Mutu adalah
penentuan pelanggan, bukan ketetapan insinyur, pasar atau ketetapan manjemen.
Tetapi berdasarkan atas pengalaman nyata pelanggan terhadap produk dan jasa
pelayanan, mengukurnya, mengharapkannya, dijanjikan atau tidak, sadar atau
hanya dirasakan operasional teknik atau subjektif sama sekali dan selalu
menggambarkan target yang bergerak dalam pasar kompetitif (Wijono, 1999).
Berbagai upaya penting untuk meningkatkan mutu pelayanan IFRS adalah
menyempurnakan produksi, pengembangan dan pelayanan farmasi klinik.Sistem
organisasi produksi diperbaiki agar menjadi lebih produktif, efisien, terkendali,
menguntungkan penderita dan rumah sakit keseluruhan. IFRS adalah suatu
organisasi pelayanan yang karakteristik utamanya adalah berkontak langsung pada
titik temu dengan penderita, profesional kesehatan dan masyarakat. Makin baik
dan produktif kontak langsung ini makin bermutu pelayanan IFRS tersebut
(Siregar dan Amalia, 2004).
K. Regulasi
Regulasi adalah pengendalian yang berkesinambungan dan terfokus yang
dilakukan oleh lembaga publik terhadap kegiatan pelayanan yang dibutuhkan oleh
masyarakat berpendapat bahwa regulasi pelayanan kesehatan merupakan upaya
publik untuk memberikan pengaruh secara langsung atau tidak langsung terhadap
perilaku dan fungsi organisasi maupun perorangan yang menyediakan pelayanan
kesehatan (Hafez Cit Koentjoro, 2007).
47
Pada dasarnya kegiatan regulasi diperlukan untuk mengendalikan kegiatan
pelayanan kesehatan agar dilaksanakan sesuai persyaratan yang berlaku, yang
dapat dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat.
Peran pemerintah dalam regulasi dibedakan menjadi 3 peran sebagai
pengarah, peran sebagai regulator, dan peran sebagai pelaksana pelayanan yang
diregulasi. Sebagai pengarah dalam regulasi pelayanan kesehatan, pemerintah
menetapkan, melaksanakan dan memantau aturan main sistem pelayanan
kesehatan, menjamin keseimbangan berbagai pihak yang terlibat dalam pelayanan
kesehatan, dan menyusun rencana strategik untuk keseluruhan sistem kesehatan.
Sebagai regulator, pemerintah melakukan pengawasan untuk menjamin agar
organisasi pelayanan kesehatan memberikan pelayanan yang bermutu, pemerintah
berperan sebagai pelaksana melalui sarana sarana pelayanan kesehatan milik
pemerintah, pemerintah wajib menyediakan pelayanan kesehatan yang bermutu
dan efisien (Utarini Cit Koentjoro, 2007).
L. Landasan Teori
Mutu pelayanan kesehatan rumah sakit sangat dipengaruhi kualitas sarana
fisik, jenis tenaga yang tersedia, obat dan alat kesehatan serta sarana penunjang
lainnya. Proses pemberian pelayanan perlu ditingkatkan melalui peningkatan mutu
dan profesionalisme serta sumber daya kesehatan. Namun sangat didasari bahwa
dengan semakin tingginya pendidikan dan kesejahteraaan masyarakat, tuntutan
akan mutu pelayanan semakin meningkat. Di pihak lain dengan semakin
48
berkembangnya asuransi kesehatan pelayanan rumah sakit yang sesuai standar
semakin dibutuhkan sehingga pelaksanaan akreditasi menjadi penting.
Salah satu strategi untuk meningkatkan mutu sarana pelayanan kesehatan,
termasuk di rumah sakit adalah dengan melibatkan lembaga eksternal dalam
bentuk kegiatan sertifikasi dan akreditasi (Shaw, 2001). Di Indonesia akreditasi
rumah sakit diwajibkan oleh pemerintah melalui UU No 44Tahun 2009 dengan
tujuan untuk memberikan jaminan kepada masyarakat akan mutu pelayanan yang
diharapkan dan untuk melindungi petugas kesehatan dari tuntutan hokum melalui
pelayanan yang sesuai dengan standar dan prosedur (Koentjoro, 2007 ; Soepojo, et
al. 2002). Program akreditasi di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1996,
dilakukan oleh KARS (Komite Akreditasi Rumah Sakit) menggunakan standar
atau instrumen akreditasi pelayanan rumah sakit yang terdiri dari 5, 12 dan 16
pelayanan dimana penilaian dilakukan oleh tim surveyor yang telah dilatih dan
memenuhi persyaratan sebelumnya.
Di banyak negara, meski akreditasi telah menjadi elemen penting dalam
kegiatan peningkatan mutu pelayanan, namun systematic review oleh Greenfield
dan Braithwaite (2008) menemukan bahwa hubungan antara akreditasi dengan
dampak peningkatan mutu sangat beragam, dampak akreditasi terlihat jelas pada
kategori mendorong terjadinya perubahan dan pengembangan profesional, namun
dampak terhadap organisasi, sikap para profesional, keuangan, peningkatan mutu
menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Lebih lanjut Greenfield dan Braithwaite
mengidentifikasi permasalahan berupa sifat akreditasi yang birokratis dan proses
49
akreditasi yang memakan banyak waktu serta anggapan dokter yang merasa
akreditasi sebagai beban.
Berdasarkan berbagai permasalahan tersebut di atas maka WHO
mengeluarkan beberapa panduan dan rekomendasi untuk meningkatkan efektifitas
program akreditasi. Rekomendasi tersebut antara lain bahwa: (1) Program
akreditasi harus memiliki standar akreditasi yang baik, (2) Lembaga akreditasi
nasional harus memiliki otonomi, sumber daya manusia yang terampil serta
sumber keuangan yang cukup agar dapat beroperasi secara efektif dan mapan, (3)
Akreditasi harus memperhatikan rangkaian proses perawatan yang berkelanjutan
(Continuum of Care) dan memperhatikan batasan-batasan dalam penyediaan
perawatan dan pelayanan terhadap pasien, (4) Akreditasi harus berpatokan pada
kebutuhan pasien dan juga penyedia layanan kesehatan dan dapat menciptakan
budaya yang terbuka untuk belajar dan perbaikan. Pedoman dan rekomendasi
tersebut telah dijabarkan oleh The International Society for Quality in Health
Care (ISQua) dalam bentuk International Accreditation Program (IAP).
M. Kerangka Konsep
Berdasarkan tinjauan pustaka dan landasan teori maka dapat dirumuskan
kerangka konsep penelitian sebagai berikut:
Gambar 1. Bagan kerangka konsep
Standar
pelayanan
farmasi RS
Analisis
Hanlon
Strategi
pengembangan
Kenyataan
50
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan rancangan penelitian non eksperimental di
IFRSUD DR. H. Moch.Ansari Saleh Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan.
Data di analisis secara kuantitatif dan kualitatif. Cara pengumpulan data dilakukan
dengan menggunakan instrumen kuesioner self assessment apoteker dan TTK
yang terlibat dalam proses akreditasi berupa hasil hitungan dari jawaban respon
pada kuesioner. Observasi juga dilakukan untuk melihat keberadaan dan
kelengkapan data/konsumen, SOP, fasilitas di pelayanan farmasi. Data yang
diperoleh tersebut untuk mendukung wawancara secara mendalam, di dalam
menggali hal-hal yang berhubungan dengan standar akreditasi pelayanan farmasi,
kesiapan proses akreditasi dan strategi rencana pengembangan pelayanan farmasi.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian adalah IFRSUD DR. H. Moch.Ansari Saleh Banjarmasin
Provinsi Kalimantan Selatan. Penelitian ini mulai dilakukan pada tanggal 15
Maret 2016 sampai dengan 15 April 2016
C. Subjek Penelitian
Subyek pada penelitian ini adalah seluruh Apoteker dan TTK IFRS yang
memiliki peranan penting di instalasi farmasi RSUD DR. H. Moch.Ansari Saleh
Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan.
51
D. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian merupakan kuesioner yang daftar pertanyaan
terstruktur untuk mendapatkan informasi tentang tingkat kesesuaian pelaksanaan 7
standar akreditasi pelayanan farmasi di RSUD DR. H. Moch. Ansari Saleh
Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan. Instrumen penelitian ini akan
dilakukan lagi uji validitas dan realibilitas agar mengetahui sejauh mana suatu alat
pengukur dapat diandalkan dan dapat memperoleh informasi yang mampu
mengungkap informasi sebenarnya di lapangan. Setiap pertanyaan juga dilengkapi
dengan definisi operasional yang memudahkan seseorang untuk menjawab
pertanyaan kuesioner
Penelitian ini ditujukan kepada Pegawai di IFRS, disamping itu juga
penulis melakukan pedoman wawancara untuk menambah informasi data yang
diperlukan dalam penulisan penelitian ini serta melakukan observasi untuk
melihat keberadaan dan kelengkapan data/dokumen.
E. Jalannya Penelitian
Penelitian dibagi dalam beberapa tahap tahap persiapan, pelaksanaan
(pengumpulan data dan analisis data), dan tahap penyusunan laporan yaitu:
1. Tahap persiapan
a. Dilakukan studi pendahuluan untuk mendapatkan data sesuai dengan
kebutuhan penelitian
52
b. Menyusun instrumen penelitian berupa kuesioner sesuai dengan variabel
dalam penelitian
2. Tahap Pelaksanaan
a. Kuesioner dibagikan dan disebarkan kepada responden
b. Data diseleksi untuk menghindari terjadinya kesalahan, jika ditemukan
kejanggalan dilakukan cek ulang di lapangan
c. Responden diajarkan cara menjawab kuesioner dengan bantuan definisi
Operasional (DO) dari setiap pertanyaan, sehingga dapat mempermudah
responden untuk menjawab dan memperkecil kesalahan di dalam
menjawab kuesioner.
d. Seluruh jawaban yang masuk dibuktikan dengan dokumentasi, wawancara,
selanjutnya data dimasukkan dalam komputer secara otomatis.
e. Perbaikan Manajemen dengan Metode Hanlon
1. Mengidentifikasi masalah dan solusi manajemen obat yang terdiri atas
seleksi, perencanaan, pengadaan, penyimpanan, distribusi dan
penggunaan.
2. Memberikan skors (bobot maximum) atas serangkaian kriteria A, B, C
dan D (PEARL).
3. Setelah serangkaian kriteria tersebut berhasil diisi, maka selanjutnya
menghitung nilai Basicc Priority Rating (BPR) dan Overall Priority
Rating (OPR) dengan rumus: BPR (Basicc Priority Rating) = (A + B)
C/3 dan OPR (Overall Priority Rating) = [(A + B) C/3] x D
53
4. Skor dengan nilai Overall Priority Rating (OPR) tertinggi adalah
prioritas pertama penanganan masalah.
5. Penilaian untuk A (besar permasalahan), B (kegawatan masalah), C
(kemudahan masalah).
6. Dilakukan wawanacara mendalam dengan Pegawai Instalasi Farmasi
Rumah Sakit
7. Hasil wawancara dan diskusi mendalam dengan Pegawai Instalasi
Farmasi Rumah Sakit dan mendapatkan persetujuan terhadap angka
yang akan diberikan oleh setiap permasalahan yang terjadi.
8. Tahap penyusunan laporan
Data yang telah dianalisis, disajikan berupa hasil pengelolaan data
dalam bentuk laporan hasil pengolahan data sesuai dengan hasil
temuan.
F. Analisis Data
1. Pengolahan data dilakukan dengan melakukan tahapan sebagai berikut :
a. Editing yaitu melakukan pemeriksaan kelengkapan maupun kesalahan
jawaban pada kuesioner
b. Koding yaitu pemberian kode pada jawaban responden di kuesioner
c. Tabulasi yaitu melakukan pengelompokan dan penghitungan data sesuai
dengan variabel dan sub variabel
d. Penyajian data yaitu menyajikan data yang telah ditabulasi ke dalam tabel
grafik/diagram
54
2. Data dianalisis dengan menggunakan analisis data univariat
Dalam analisis ini variabel-variabel penelitian disusun secara deskriptif
dalam bentuk tabel frekuensi.Tabel frekuensi memuat falsafah dan tujuan,
administrasi dan pengelolaan, staf dan pimpinan, fasilitas dan peralatan,
kebijakan dan prosedur, pengembangan staf dan program pendidikan serta
evaluasi dan pengendalian mutu.Dari hasil jawaban responden dari masing-
masing pertanyaan pada tiap standar dilihat jawaban yang banyak keluar
(modus), kemudian dari modus setiap masing-masing pertanyaan tersebut
dijumlahkan (jumlah nilai). Jumlah nilai dikalikan 100% dibagi jumlah
parameter yang dinilai dikali 5 sehingga didapat rata-rata persentase
pencapaian standar pada kegiatan pelayanan tersebut. Dilihat apakah hasil
tersebut sudah sesuai dengan skor standar yang telah ditentukan atau belum.
Data kuantitatif yang didapat tersebut digunakan untuk mendukung
data kualitatif yang didapat dari wawancara mendalam, dokumen, literatur,
buku laporan, catatan dan laporan kasus.
Analisis data pada penelitian kualitatif ini menggunakan metode
perbandingan tetap (constant comparative method). Tahap analisis data adalah
sebagai berikut:
a. Mengumpul hasil wawancara mendalam dan metafora berupa rekaman,
dokumen, literatur, foto, buku laporan selanjutnya dari data yang sudah
terkumpul dilakukan pentranskripan
b. Menyederhanakan/ mereduksi data, yaitu mengidentifikasi satuan bagian
terkecil yang ditemukan dalam data yang mempunyai koding untuk
55
mempermudah penelusuran data, pada tahap awal, pengkodingan disebut
open coding karena bersifat mendekat pada aslinya.
c. Kategori yaitu memilah-milah data “open coding“ ke dalam bagian yang
memiliki kesamaan
d. Sintesisasi yaitu mencari kaitan antara satu kategori dengan kategori lain
e. Membuat rumusan data sesuai dengan pernyataan informan yang
proporsional sebagai kategori utama, selanjutnya diinterpretasikan dalam
laporan penelitian.
f. Memeriksa keabsahan data, yaitu dengan memeriksa dan membanding
kembali data yang didapat dari berbagai sumber yang berbeda dari
informan penelitian, baik itu perawat, dokter, administrasi maupun
direktur.
g. Menyajikan secara naratif data yang diperoleh dari setiap fokus penelitian,
selanjutnya menarik kesimpilan hasil penelitian.
3. Perbaikan Manajemen dengan Metode Hanlon
1. Mengidentifikasi masalah dan solusi manajemen
2. Memberikan skor (bobot) atas serangkaian kriteria A, B, C dan D
(PEARL).
3. Setelah serangkaian kriteria tersebut berhasil diisi, maka selanjutnya
menghitung nilai Basic Prioritas Rating (BPR) dan Overall Priority
Rating (OPR) dengan rumus sebagai berikut:
BPR (Basic Priority Rating) = (A + B) C/3
OPR (Overall Priority rating) = [(A + B) C/3] x D
56
Keterangan:
A = skor 0 – 10 (kecil – besar)
B = skor 0 – 10 (tidak serius – sangat serius)
C = skor 0 – 10 (sulit – mudah)
D = skor 0 (ya) dan 1 (tidak)
4. Skor dengan nilai Overall Priority Rating (OPR) tertinggi adalah prioritas
pertama penanganan masalah.
5. Penilaian untuk A (besar permasalahan), B (kegawatan masalah), C
(kemudahan masalah).
57
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Responden dan Penelitian
Penelitian dengan judul Strategi pengembangan instalasi farmasi berbasis
evaluasi akreditasi di RSUD DR.H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin dengan
metode Hanlon menggunakan sebanyak 30 responden yang berstatus pegawai
tetap di RSUD DR.H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin. Data karakteristik
responden meliputi umur, pendidikan terakhir dan lama bekerja.
Tabel 2. Karakteristik Subjek Penelitian
NO Karakteristik Responden (n = 30)
1 Umur
a. 20-25
b. 26-30
c. 31-35
d. 36-40
e. › 41 thn
6
12
8
2
2
2 Pendidikan
a. Apoteker
b. S1 Farmasi
c. D3 Farmasi
d. SMF
e. Lain-lain*
10
4
8
8
-
3 Lama Bekerja
a. ›1 tahun
b. 1-2 tahun
c. 2-3 tahun
d. 3-5 tahun
e. ›5 tahun
8
2
-
8
12 Sumber : Data mentah yang diolah
Keterangan :
n = jumlah
Responden penelitian adalah tenaga farmasi yang bekerja di instalasi
farmasi RSUD DR.H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin sebanyak 30 orang.
58
Dimana rata-rata umur responden yang paling banyak mengisi kuisioner yaitu
berumur sekitar 26-30 tahun, dari latar pendidikan responden terbanyak yaitu
apoteker, dan lamanya responden bekerja dirumah sakit rata-rata 3-5 tahun.
Karakteristik subjek penelitian secara keseluruhan dapat terlihat pada tabel 1.
B. Uji Validitas Instrumen
Tabel 3. Hasil Uji Validitas Instrumen
Variabel Item pertanyaan Corrected item
pertanyaan total
correlation
r tabel Ket.
MPO 1 1
2
3
4
0.573
0.432
0.573
0.545
0.374
0.374
0.374
0.374
Valid
Valid
Valid
Valid
MPO 2 5
6
7
0.539
0.539
0.529
0.374
0.374
0.374
Valid
Valid
Valid
MPO 3 8
9
10
11
0.439
0.543
0.573
0.394
0.374
0.374
0.374
0.374
Valid
Valid
Valid
Valid
MPO 4 12
13
14
0.394
0.394
0.387
0.374
0.374
0.374
Valid
Valid
Valid
MPO 5 15
16
17
0.423
0.442
0.442
0.374
0.374
0.374
Valid
Valid
Valid
MPO 6 18
19
20
21
0.417
0.527
0.524
0.494
0.374
0.374
0.374
0.374
Valid
Valid
Valid
Valid
MPO 7 22
23
24
0.421
0.552
0.542
0.374
0.374
0.374
Valid
Valid
Valid
Sumber: Data output SPSS yang diolah tahun 2016
Tabel 4. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen
Cronbach’s Alpha N of Item
.893 24
59
Hasil uji validitas dilakukan dengan membandingkan nilai r hitung dan
nilai r tabel. Berdasarkan data tabel 3. di atas menunjukkan bahwa 24 item
pertanyaan memiliki hasil r hitung lebih besar dari pada r tabel 0, 374. Dari hasil
uji validitas tersebut dinyatakan bahwa kuisioner layak digunakan oleh peneliti,
sehingga penelitian dapat dilanjutkan.
Sedangkan hasil uji reliabilitas dapat dilihat pada tabel 4. dimana output
diketahui bahwa nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,893. Karena apabila
Cronbach’s Alpha > 0,80, maka dapat disimpulkan bahwa 24 item pertanyaan
mempunyai konsistensi yang sangat tinggi.
C. Pencapaian Standar Akreditasi dan Pembahasan di RSUD DR. H.
Moch. Ansari Saleh Banjarmasin
Penelitian dilakukan mulai dari tanggal 15 Maret 2016 sampai dengan 15
April 2016. Kuisioner standar akreditasi disebarkan kepada pegawai di instalasi
farmasi untuk mengetahui penilaian standar akreditasi oleh pegawai di instalasi
farmasi. Biasanya staf di instalasi farmasi hanya melakukan pekerjaan rutinitas
saja tetapi tidak mengetahui apakah pelayanan yang diberikan sudah sesuai
standar atau belum, dan apakah yang dilakukam mengalami peningkatan atau
tidak. Setelah kuisioner tersebut telah dibuat selanjutnya dilakukan uji validitas.
Hasil uji validitas memperlihatkan bahwa semua item pertanyaan dalam
kuesioner semuanya dinyatakan valid. Dari penyebaran kuisioner kepada
pegawai instalasi farmasi yang berjumlah 30 responden, peneliti menemukan hasil
skor penilaian rata-rata dari setiap standar akreditasi. Hasil skor penilaian rata-rata
60
diambil untuk menentukan banyaknya jawaban yang sama terhadap suatu
pertanyaan penilaian standar akreditasi oleh pegawai instalasi farmasi, yang
mengetahui keadaan instalasi farmasi baik dalam pelayanan maupun administrasi.
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat hal – hal pendukung dalam seluruh
staf melakukan aktivitas kefarmasian. Berdasarkan hasil respon 30 responden
sebagai berikut :
a. Organisasi dan Manajemen
Standar organisasi dan manajemen terdiri dari empat pertanyaan,
yaitu : MPO1.P1, apakah rumah sakit mengidentifikasi petugas kompeten yang
diberi izin untuk mensupervisi pelayanan kefarmasian?. Petugas yang secara
langsung mensupervisi aktivitas pelayanan kefarmasian yang mebutuhkan
pengetahuan dan pengalaman yang spesifik serta memiliki ijin dan sertifikat
terlatih, dari jumlah responden 30 orang, yang menjawab poin F (ada petugas
yang kompeten, memiliki ijin, sertifikat, dan terlatih untuk mensupervisi semua
aktivitas pelayanan kefarmasian) berjumlah 22 responden. Dan poin E ( ada
petugas yang kompeten, memiliki ijin, sertifikat, dan terlatih untuk mensupervisi
sebagian aktivitas pelayanan kefarmasian) berjumlah 8 responden. Respon ini
seimbang dengan hasil wawancara dimana RSUD DR.H. Moch. Ansari Saleh
Banjarmasin mempunyai petugas kompeten yang memiliki ijin untuk
mensupervisi semua aktivitas kefarmasian, yang dituangkan dalam kebijakan
rumah sakit itu sendiri, hal ini jelas sangat membantu dalam segala aktivitas
kefarmasian yang terjamin.
61
MPO1.P2, Apakah ada keputusan (perencanaan atau kebijakan atau
dokumen lain) dalam mengidentifikasi bagaimana penggunaan obat diorganisir
dan dikelola di rumah sakit?. Dari jumlah responden 30 orang, yang menjawab
poin F (ada keputusan tertulis, dijalankan sesuai prosedur dan sudah
disosialisasikan kepada seluruh pegawai farmasi) berjumlah 30 responden atau
seluruhnya. Hal ini seimbang dengan hasil wawancara dimana semua kebijakan
dan prosedur yang ada di Instalasi Farmasi RSUD DR.H. Moch. Ansari Saleh
Banjarmasin harus tertulis dan dicantumkan tanggal dikeluarkannya peraturan
tersebut. Bahkan kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah dan harga perbekalan
farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk menghindari
kekosongan obat, dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain
konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi
disesuaikan dengan anggaran yang tersedia.
MPO1.P3, Apakah pelayanan farmasi dan penggunaan obat di rumah sakit
sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku?. Pelayanan farmasi
adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang
berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien. Dari jumlah responden 30 orang yang
menjawab poin F (ada pelayanan farmasi dan penggunaan obat sesuai dengan
undang-undang dan peraturan yang berlaku dan dijalankan sesuai prosedur)
berjumlah 30 responden atau seluruhnya. Hal ini seimbang dengan hasil
wawancara dimana Instalasi Farmasi RSUD DR.H. Moch. Ansari Saleh
Banjarmasin yang sudah mengikuti dasar undang-undang PERMENKES RI
62
Nomor 58 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit,
karena undang-undang sebagai tolak ukur dan pedoman bagi tenaga kefarmasian
dalam menyelenggarkan palyanan kefarmasian.
MPO1.P4. Apakah sumber informasi obat yang tepat selalu tersedia bagi
semua yang terlibat dalam penggunaan obat?. Sumber informasi obat merupakan
salah satu informasi yang digunakan untuk memperoleh suatu pengetahuan
mengenai objek yang diuraikan secara ilmiah dan terekomendasi dari segi
farmakologi, toksikologi, dan penggunaan terapi obat, serta informasi obat baik
bersifat aktif maupun pasif. Dari jumlah responden 30 orang yang menjawab poin
F (ada sumber informasi obat yang tepat selalu tersedia disosialisasikan, dan
dijalankan). Berjumlah 30 responden atau seluruhnya. Hal ini seimbang dengan
hasil wawancara dimana sumber informasi selalu tersedia melalui pustaka atau
melalui lisan apoteker langsung disetiap tempat penggunan obat.
Gambar 2. Skor penilaian Kuisioner Standar Organisasi dan Manajemen dari petugas
instalasi farmasi
63
b. Standar Seleksi dan Pengadaan
Standar seleksi dan pengadaan terdiri dari 3 pertanyaan yaitu: MPO2.P1,
apakah ada metode untuk mengawasi penggunaan obat di rumah sakit. Metode
yang dimaksud berupa kebijakan pengawasan penggunaan obat yang dibuat oleh
rumah sakit atau PFT. Dari jumlah responden 30 orang yang menjawab poin F
(ada metode / cara untuk mengawasi penggunaan obat dan ditetapkan oleh
pimpinan rumah sakit, diketahui oleh seluruh anggota). Sebanyak 30 responden,
hal ini seimbang dengan hasil wawancara dimana rumah sakit mempunyai
metode/cara untuk mengawasi penggunaan obat, seperti penunjukan komite,
untuk menjaga dan memonitor daftar obat serta penggunan obat dalam proses
pemesanan, penyaluran, pemberian dan monitoring obat itu sendiri. (Mustika ;
Danu 2014) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa ketersediaan obat pada
setiap rumah sakit juga tergantung pada manajemen pendistribusian obat.
Perencanaan yang tepat belum menjamin ketersediaan yang baik apabila
distribusi obat tidak berjalan baik. Berapa pun besarnya anggaran obat tersedia
namun apabila distribusi buruk, maka ketersediaan obat akan terganggu.
MPO2.P2, apakah ada proses persetujuan dalam pengadaan obat yang
dibutuhkan tetapi tidak ada dalam persediaan atau tidak tersedia dalam rumah
sakit?. Pengadaan obat merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang
telah direncanakan dan disetujui, melalui proses pembelian, produksi atau hibah.
Dari jumlah 30 responden yang menjawab poin F (ada proses persetujuan dalam
pengadaan obat, diketahui seluruh anggota disertai adanya evaluasi). Sebanyak 30
responden atau seluruhnya. Hal ini seimbang dengan hasil wawancara dimana
64
adakalanya obat tidak dalam persediaan atau tidak tersedia dalam stok di rumah
sakit saat dibutuhkan. Maka dalam hal ini perlunya pengadaan obat yang disetujui
dan diketahui oleh seluruh anggota, dan prosedur ini pernah dilakukan dalam
lingkungan RSUD. Dr. H.Moch Ansari Saleh Banjarmasin.
MPO1.P3, apakah staf terkait melakukan seleksi obat dan memahami
prosesnya untuk pemesanan dan peresepan yang benar?. Rumah sakit harus
menetapkan obat mana yang harus tersedia untuk diresepkan dan dipesan oleh staf
terkait dalam melakukan proses seleksi obat. Rumah sakit harus mengembangkan
suatu daftar (formularium) dari semua obat yang ada di stok atau dari sumber lain.
Dari jumlah 30 responden yang menjawab poin F (Ada proses seleksi obat,
dilakukan oleh staf terkait yang memahami proses seleksi obat dengan benar
sepenuhnya) sebanyak 30 responden atau seluruhnya. Hal ini sesuai dengan hasil
wawanara dimana IFRS Ansari Saleh Banjarmain telah membuat daftar
formularium yang di anggap sebagai acuan dalam peresepan dimana pemilihan
obat yang mempertimbangkan baik kebutuhan pasien maupun kondisi
ekonominya.
65
Gambar 3. Skor penilaian standar seleksi dan pengadaan dari petugas instalasi farmasi
c. Standar Penyimpanan
Standar penyimpanan terdiri dari empat pertanyaan, yaitu: MPO3.P1,
apakah kebijakan rumah sakit menjabarkan cara penyimpanan yang tepat bagi
produk nutrisi?. Persyaratan kefarmasian meliputi: Stabilitas dan keamanan,
cahaya, kelembaban, ventilasi, dan penggolongan jenis sediaan farmasi, Ada
beberapa jenis obat yang karena resikonya tinggi (obat-obatan radioaktif),
kemungkinan untuk penyalahgunaan, misalnya obat emergensi atau sifat yang
khusus (produk nutrisi), perlu didukung kebijakan sebagai pedoman untuk
penyimpanan dan pengendalian dalam penggunaannya, dari jumlah responden 30
orang yang memilih poin F (Semua penyimpanan sesuai dengan kebijakan rumah
sakit, menjabarkan cara penyimpanan produk nutrisi dan dikendalikan dengan
baik) sebesar 29 responden, dan yang memilih poin E (Kebijakan rumah sakit
menjabarkan cara penyimpanan produk nutrisi dan dikendalikan dengan baik)
66
sebanyak 1 orang. Hal ini seimbang dengan wawancara dimana setelah barang
diterima di instalasi farmasi dilakukan penyimpanan sebelum dilakukan
pendistribusian. Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas dan keamanan
Sediaan Farmasi yang sudah di standarkan oleh rumah sakit tersebut dituangkan
dalam kebijakan penyimpanan obat.
MPO3.P2, Apakah kebijakan rumah sakit menetapkan bagaimana obat
emergensi disimpan, dijaga dan dilindungi dari kehilangan atau pencurian?.
Dimaksudkan apabila terjadi kegawatdaruratan pasien, akses cepat terhadap obat
emergensi yang tepat adalah sangat penting/kritis. Setiap rumah sakit
merencanakan lokasi obat emergensi dan obat yang harus disuplai ke lokasi, dari
jumlah responden 30 orang yang menjawab poin F (Tersedia obat emergensi, ada
kebijakan bagaimana obat emergensi disimpan, dijaga, dan dilindungi, serta aman
bilamana disimpan di luar farmasi dari kehilangan atau pencurian). Sebanyak 29
responden dan yang menjawab poin D (Tersedia obat emergensi, ada kebijakan
bagaimana obat emergensi disimpan dan dijaga, tetapi tidak dilindungi dari
kehilangan atau pencurian) sebanyak 1 responden, hal ini sesuai dengan hasil
wawancara dimana rumah sakit memastikan akses obat emergensi bilamana
diperlukan, rumah sakit sudah menyusun suatu prosedur untuk mencegah
penyalahgunaan, pencurian atau kehilangan terhadap obat yang dimaksud,
prosedur ini memastikan bahwa obat diganti bilamana digunakan, rusak atau
kadaluwarsa.
MPO3.P3, apakah rumah sakit memiliki kebijakan dan prosedur yang
mengatur pemusnahan obat yang diketahui kadaluwarsa atau ketinggalan jaman?,
67
Pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang
sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dari jumlah responden 30 orang yang
menjawab poin F (Ada kebijakan, dilaksanakan sesuai prosedur dan dilakukan
oleh petugas yang kompeten, dimonitoring dan diganti secara berkala) sebanyak
26 responden dan yang menjawab poin E (Ada kebijakan, dilaksanakan sesuai
prosedur dan dilakukan oleh petugas yang kompeten) 3 responden. Dalam
wawancara sudah disebutkan rumah sakit mempunyai proses untuk
mengidentifikasi, menarik, mengembalikan, memusnahkan dengan cara yang
aman dan benar.
MPO3.P4, Apakah rumah sakit sudah melakukan prosedur penyimpanan
obat dan diinspeksi secara berkala sesuai kebijakan rumah sakit untuk memastikan
obat disimpan secara benar?. Penyimpanan obat adalah kegiatan dan usaha untuk
melakukan pengurusan, penyelenggaraan dan pengaturan barang persediaan di
dalam ruang penyimpanan agar aman (tidak hilang), terhindar dari kerusakan fisik
maupun kimia dan mutunya tetap terjamin. Dari jumlah 30 responden yang
menjawab poin F (Ada prosedur penyimpanan obat dan inspeksi berkala,
ditetapkan oleh pimpinan rumah sakit, diketahui oleh sebagian anggota dan
dijalankan sepenuhnya) sebesar 28 responden dan yang menjawab poin E (Ada
prosedur penyimpanan obat dan inspeksi berkala, ditetapkan oleh pimpinan rumah
sakit, diketahui oleh sebagian anggota dan dijalankan sebagian) sebesar 2
responden. Dimana hal ini sesuai dengan hasil wawancara, prosedur
penyimpanan, pengaturan persediaan berdasarkan bentuk/jenis obat yang
68
disimpan, serta system penyimpanannya sudah di atur sesuai kebijakan dan
adanya inspeksi berkala triwulan yang dilakukan RSUD Dr. H. Moch. Ansari
Saleh Banjarmasin.
Gambar 4. Skor penilaian Kuisioner Standar Penyimpanan dari petugas instalasi farmasi
d. Pemesanan dan Pencatatan
Standar pemesanan dan pencatatan terdiri dari tiga pertanyaan, yaitu:
MPO4.P1, apakah pemesanan obat atau penulisan resep yang akseptabel sesuai
dengan kebijakan rumah sakit?. Untuk mengurangi variasi dan meningkatkan
keselamatan pasien, rumah sakit dalam kebijakannya menetapkan elemen-elemen
suatu permintaan atau resep yang lengkap dan dapat diterima. Dari jumlah 30
responden yang menjawab poin F (Ada kebijakan dan dilaksanakan, pemesanan
obat sesuai elemen secara keseluruhan) sebanyak 29 responden dan yang
menjawab poin E (ada kebijakan dan dilaksanakan, pemesanan obat sesuai
69
elemen, tapi tidak sepenuhnya). Dalam hasil wawancara seluruh elemen yang
dimaksud sudah berjalan sesuai prosedur yang ada untuk tetap menjaga mutu
dalam peresepan yang sesuai kebijakan rumah sakit, dan menghindari keselahan
dalam peresepan di luar dari kebijakan.
MPO4.P2, apakah rumah sakit mengidentifikasi petugas yang kompeten
yang diizinkan untuk menulis resep atau memesan obat. Seleksi obat untuk
pengobatan pasien membutuhkan pengetahuan dan pengalaman yang spesifik,
setiap rumah sakit bertanggung jawab untuk mengidentifikasi petugas
berpengetahuan dan berpengalaman yang disyaratkan dan juga diizinkan dengan
lisensi, sertifikat, hukum, atau peraturan untuk menuliskan resep atau pemesanan
obat. dari jumlah 30 responden yang menjawab poin F sebanyak 30 responden
atau seluruhnya. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dimana rumah sakit
membuat peraturan persyaratan untuk ijin penulisan resep bagi yang berlisensi
dan menentukan batasan sampai berapa kali seseorang boleh melakukan
peresepan seperti misalnya zat – zat yang dikontrol ketat, agen kemoterapi, atau
obat – obatan radioaktif dan investigasional.
MPO4.P3, apakah obat beserta dosis yang diresepkan dicatat dalam rekam
medis pada setiap pasien?. Dari jumlah 30 responden yang menjawab poin F (obat
dicatat semua direkam medis setia pasien) sebanyak 30 responden atau
seluruhnya. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dimana setiap pasien yang
menerima obat, rekam medisnya berisi daftar obat yang diresepkan untuk pasien
beserta dosis dan berapa kali obat diberikan dicatat dalam rekam medis. Termasuk
pula obat yang diberikan “bila perlu”. Bila informasi ini dicatat pada lembaran
70
obat yang terpisah, maka lembaran tersebut diselipkan dalam rekam medis pasien
saat dipulangkan atau di pindahkan.
Gambar 5. Skor penilaian Kuisioner Standar Pemesanan dan Pencatatan dari petugas
instalasi farmasi
e. Standar Persiapan dan Penyaluran
Standar persiapan dan penyaluran terdiri dari tiga pertanyaan, yaitu:
MPO5.P1, apakah setiap resep atau pesanan obat ditelaah ketepatannya sebelum
diberikan kepada pasien?. Dari jumlah 30 responden yang menjawab poin F
(Ditelaah ketepatannya sebelum diberikan kepada pasien serta meliputi seluruh
elemen) sebesar 30 responden atau seluruhnya. Hal ini seimbang dengan hasil
wawancara dimana setiap reserp yang masuk ditelaah oleh apoteker yang
berwenang di setiap depo.
MPO5.P2, apakah ada sistem yang seragam di rumah sakit dalam
penyaluran dan pendistribusian obat?. Pendistribusian merupakan suatu rangkaian
71
kegiatan dalam rangka menyalurkan/menyerahkan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dari tempat penyimpanan sampai pada
unit pelayanan/pasien dengan tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah, dan
ketepatan waktu, dari jumlah 30 responden yang menjawab poin F (ada sistem
penyaluran dan pendistribusian obat yang seragam dan dilaksanakan secara akurat
dan tepat waktu) sebanyak 7 responden dan yang menjawab poin E (sistem
penyaluran dan pendistribusian obat yang seragam dan dilaksanakan) sebanyak 23
responden, menurut Fauzar (2013) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa
pencatatan obat di rumah sakit harus dilakukan rutin setiap ada obat yang masuk
maupun ke luar dari gudang dengan mencantumkan nama, jumlah obat serta
jenis obat yang ada. Kolom-kolom pada kartu stok diisi meliputi nama obat,
isi kemasan, tanggal penerimaan dan pengeluaran, sumber asal obat atau
kepada siapa obat dikirim, tanggal kadaluarsa, jumlah penerimaan dan
pengeluaran serta paraf petugas yang mengerjakan. Hal ini dilakukan dengan
tujuan untuk menjaga mutu obat agar tidak tidak terjadi pembuangan obat
cuma-cuma sehingga dapat berakibat pada kurangnya stok obat, pada hasil
wawancara yang dilakukan kepada Kepala IFRS Dr.H.Moch. Ansari Saleh
Banjarmasin sudah dibuat sistem penyalurkan obat dalam bentuk pengisian
formulir atau kartu penyimpanan, kartu pendistribusian, dan kartu stok setelah
penerimaan sediaan farmasi maupun alkes, dengan tujuan untuk memperkecil
kemungkinan terjadinya kesalahan dalam pendistribusian dan pemberian. Namun
dalam soal ini 80% responden menjawab belum semuanya tepat waktu, hal ini
dibenarkan oleh Kepala IFRS Dr.H. Moch Ansari Saleh Banjarmasin, beberapa
72
faktor yang membuat ketidaktepatan waktu dalam pendistribusian dalam hal ini
adalah ; 1). menumpuknya barang datang, dikarenakan barang yang dipesan
datang di saat bersamaan, sehingga diperlukan pengecekan, pembongkaran,
penghitungan kembali secara bersamaan, 2). Keterbatasan tenaga gudang, dimana
apabila barang datang secara bersamaan perlu waktu lama untuk pengecekan
ulang dengan keterbatasan tenaga, dan 3). Sediaan farmasi dan alat kesehatan
yang belum bisa dipesan secara mendadak, dikarenakan anggaran dari bagian
keungan belum bisa dikeluarkan secara mendadak, sehingga penyaluran
permintaan belum bisa tepat waktu.
MPO5.P3, apakah staf yang menyiapkan produk steril dilatih dalam hal
teknik aseptik?. Teknik aseptis atau steril adalah suatu sistem cara bekerja atau
praktek yang menjaga sterilitas ketika menangani pengkulturan mikroorganisme
untuk mencegah kontaminasi terhadap kultur mikroorganisme yang diinginkan,
dari jumlah 30 responden yang menjawab poin F (ada pelatihan, staf penyiapan
produk steril yang mengikuti, dijalankan sesuai prosedur). Sebanyak 15 responden
dan yang menjawab poin D (ada pelatihan, staf penyiapan produk steril yang
mengikuti tetapi tidak dijalankan). Sebanyak 15 responden, di soal ini ada 50%
responden menyatakan kegiatan ini tidak dijalankan walaupun sudah dilakukan
pelatihan dan yang mengikuti pelatihan dari staf aseptis itu sendiri, menurut hasil
wawancara dimaksudkan dari 50% responden yang menjawab belum dijalankan
teknik aseptis adalah dalam hal penggunaan cangkir untuk obat, dimana kadang
pemberian obat dan cuci tangan aseptis yang mencakup bagian aseptis medis,
kurangnya pemahaman karyawan tentang arti penting cuci tangan salah satu
73
faktor teknik aseptis ini tidak berjalan dengan baik, meskipun ada penjelasan rinci
tentang arti penting cuci tangan dan disediakan handsanitizer di setiap bangsal
rumah sakit.
Gambar 6. Skor penilaian Kuisioner Standar Persiapan dan Penyaluran dari petugas
instalasi farmasi
f. Pemberian
Standar pemberian terdiri dari empat pertanyaan, yaitu: MPO6.P1, apakah
obat, jumlah dosis obat, dan rute pemberian obat selalu dilakukan verifikasi
berdasarkan resep atau pesanan. Dari jumlah 30 responden yang menjawab poin F
(Dilakukan verifikasi secara menyeluruh oleh petugas yang kompeten) sebanyak
28 responden dan yang menjawab poin E (Dilakukan verifikasi menyeluruh tetapi
bukan olehstaf yang kompeten) sebanyak 2 responden. Seimbang dengan hasil
wawancara dimana proses verifikasi terhadap resep atau pesanan dilakukan oleh
74
petugas yang kompeten dan ditentukan oleh Kepala Instalasi Farmasi RSUD. Dr.
H.Moch Ansari Saleh Banjarmasin berdasarkan kebijakan rumah sakit.
MPO6.P2, apakah kebijakan dan prosedur diimplementasikan untuk
mengatur pendokumentasian dan pengelolaan setiap obat yang di bawa ke dalam
rumah sakit untuk atau oleh pasien?. Dari jumlah 30 responden yang menjawab
poin F (kebijakan dan prosedur diimplementasikan untuk dokumentasi dalam
seluruh pengelolaan obat) sebanyak 29 responden dan yang menjawab poin E
(kebijakan dan prosedur diimplementasikan untuk dokumentasi tetapi hanya
sebagian pengelolaan obat) sebanyak 1 responden, seimbang dengan hasil
wawancara dimana pendokumentasian dan pengelolaan setiap obat yang dibawa
ke dalam rumah sakit untuk atau oleh pasien sesuai dengan kebijakan dan
prosedur rumah sakit dan dijalankan dengan baik namun masih perlu evaluasi dan
monitoring.
MPO6.P3, apakah rumah sakit mengidentifikasi petugas, mellui uraian
jabatannya atau proses pemberian kewenangan, mendapatkan otorisasi untuk
memberikan obat?. Dari jumlah 30 responden ada 30 orang atau seluruhnya yang
menjawab poin F (ada identifikasi, kualifikasi sudah memenuhi, mendapatkan
otorisasi dan berpengalaman) dimana sudah sesuai dengan hasil wawancara
dimana penerimaan, identifikasi dan penyerahan dilakukan oleh apoteker
berpengalam, dimana dengan ketentuan apoteker minimal 2 tahun masa kerja.
MPO6.P4, apakah obat diberikan sebagaimana diresepkan dan dicatat
dalam status pasien? Dari jumlah 30 responden yang menjawab poin F (obat
diberikan sebagaimana diresepkan dan dicatat sepenuhnya dalam status pasien,
75
serta dilakukan evaluasi) sebanyak 27 responden dan yang menjawab poin E (obat
diberikan sebagaimana diresepkan dan dicatat sepenuhnya dalam status pasien)
sebanyak 3 responden, hal ini sesuai dengan hasil wawancara dimana obat yang
disiapkan seluruhnya sesuai dengan resep dan dicatat dalam status pasien, hal ini
juga untuk mempermudah evaluasi dikemudian hari.
Gambar 7. Skor penilaian standar pemberian dari petugas Instalasi farmasi
g. Pemantauan
Standar pemberian terdiri dari tiga pertanyaan, yaitu: MPO7.P1, apakah
Rumah Sakit menggunakan informasi pelaporan kesalahan obat dan KNC untuk
memperbaiki proses penggunaan obat dalam kurun waktu yang ditetapkan?, dari
jumlah 30 responden yang menjawab poin F (menggunakaninformasi pelaporan
kesalahan obat dan dievaluasi dalam waktu yang ditetapkan) sebanyak 30
responden atau seluruhnya, hal ini sesuai dengan hasil wawancara dimana rumah
sakit mempunyai proses untuk mengidentifikasi dan melaporkan kesalahan obat
76
dan Kejadian Nyaris Cidera (KNC) (near misses). Tahapan yang dilakukan;
pengumpulan data, identifikasi masalah terkait obat, rekomendasi penyelesaian
masalah terkait obat, pemantauan, dan tindak lanjut.
MPO7.P2, apakah efek pengobatan terhadap pasien dimonitoring,
termasuk efek yang tidak diharapkan (adverse effect)? Dari 30 responden yang
menjawab poin F (ada monitoring terhadap pasien, dilakukan oleh dokter, perawat
dan, apoteker secara rutin dan ada evaluasi) sebanyak 24 responden, dan yang
menjawab poin E (ada monitoring terhadap pasien, dilakukan oleh dokter,
perawat, dan apoteker secara rutin) sebanyak 6 responden. yang dimaksud
monitoring adalah kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang
merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan
pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis, dan terapi. Dari hasil kuisioner
ada 6 responden yang menyatakan tidak rutin di evaluasi walau sudah dilakukan
monitoring rutin, hal ini sesuai dengan hasil wawancara dimana monitoring sudah
dilakukan rutin dilingkungan RSUD Dr.H.Moch. Ansari Saleh Banjarmasin.
hanya perlu meningkatkan rutinitas evaluasi monitoring.
MPO7.P3, apakah rumah sakit mempunyai kebijakan mengidentifikasi
efek obat yang tidak diharapkan yang harus dicatat dalam status pasien dan yang
harus dilaporkan ke rumah sakit?, dari jumlah 30 responden yang menjawab poin
F (ada kebijakan, diidentifikasi, dicatat dalam status pasien dan dilaporkan
sepenuhnya ke rumah sakit). Sebanyak 29 responden, dan yang menjawab poin E
(ada kebijakan, diidentifikasi, dicatat dalam status pasien, hanya dilaporkan
sebagian ke rumah sakit). Sebanyak 1 responden. Sesuai dengan hasil wawancara
77
dimana RSUD Dr.H.Moch. Ansari Saleh Banjarmasin sudah menerapkan sistem
pelaporan reaksi obat tidak diharapkan (adverse drug reactions) Selain itu,
dimasukkan sebagai IKP (insiden keselamatan pasien) dan dicatat dalam rekam
medis. Pelaporan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
0
5
10
15
20
25
30
MPO7P1 MPO7P2 MPO7P3
Series 1
Series 2
Series 3
Series 4
Series 5
Series 6
Gambar 8. Skor penilaian standar Pemantauan dari petugas Instalasi farmasi
D. Kerangka Usulan Perbaikan Strategi Pengembangan Pelayanan
Strategi dan rencana pengembangan pelayanan Instalasi Farmasi dilakukan
berdasarkan hasil kuisioner dan wawancara dengan standar yang ditetapkan oleh
Departemen Kesehatan untuk pencapaian standar akreditasi di Instalasi Farmasi.
Untuk pencapaian standar akreditasi tersebut harus dilakukan
pembenahan/perbaikan terhadap kekurangan yang dimiliki pada tiap-tiap
78
standar akreditasi, yang nilai dibawah standar akreditasi yaitu: < 80%. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Persentasi nilai akreditasi di Instalasi Farmasi RSUD Dr.H. Moch. Ansari Saleh
Banjarmasin dengan standar yang ditetapkan oleh Departeman Kesehatan untuk
pencapaian akreditasi maksimal
No. Standar Pelayanan
Farmasi
Pencapaian
(100% )
Besar
Masalah
(100%)
1. Organisasi dan Manajemen 98,65 1,35
2. Seleksi dan Pengadaan 100 0
3. Penyimpanan 98,59 1,41
4. Pemesanan dan Pencatatan 99,53 0,47
5. Persiapan dan penyaluran 89,96 10,04
6. Pemberian 100 0
7. Pemantauan 96,33 3,67
Skor akreditasi dan rata-
rata pencapaian 97,58 2,42
Sumber : Data mentah yang diolah
Pada tabel 2 menunjukkan bahwa ada 2 standar pelayanan farmasi yang
memenuhi standar akreditasi nasional secara penuh yaitu standar seleksi dan
pengadaan dengan angka 100%. Sedangkan untuk 6 standar pelayanan farmasi
lainnya sudah memenuhi standar akreditasi nasional yang ditetapkan Departemen
Kesehatan.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa pelayanan farmasi RSUD Dr.H.Moch
Ansari Saleh Banjarmasin sudah memenuhi standar akreditasi nasional yaitu
diatas 80% secara keseluruhan standar, akan tetapi masih harus adanya
peningkatan mutu dalam upaya pengembangan dan peningkatan pelayanan
farmasi rumah sakit sesuai dengan yang diharapkan masyarakyat, maka ada
beberapa standar akreditasi yang perlu dilakukan pembenahan dan uji perbaikan
dengan metode Hanlon.
79
Tabel 6. Persentasi nilai Selisih pencapaian hasil kegiatan dengan pencapaian 100%
No Mpo Pencapaian
(<100) %
Besarnya masalah
(100% - % pencapaian)
1 Petugas kompeten mensupervisi
pelayanan kefarmasian
94,6 5,4
2 Perencanaan Obat 100 0
3 Pelaksanaan pelayanan farmasi &
penggunaan obat
100 0
4 Pelayanan informasi penggunaan obat 100 0
5 Pengawasan Obat 100 0
6 Pengadaan obat 100 0
7 Seleksi obat 100 0
8 Penyimpanan produk nutrisi 99,3 0,7
9 Obat emergensi 98,66 1,34
10 Pemusnahan obat yang kadaluwarsa 99,13 0,87
11 Penyimpanan obat 97,3 2,7
12 Pemesanan obat atau penulisan resep
akseptabel
99,3 0,7
13 Identifikasi petugas berkompeten 100 0
14 Pencatatan obat di rekam medis 99,3 0,7
15 Menelaah ketepatan pada pesanan obat 100 0
16 Sistem penyaluran dan pendistribusian
obat
84,6 15,4
17 Penyiapan produk steril 85,3 14,7
18 Obat, jumlah dosis obat dan route
pemberian
100 0
19 Pendokumentasian dan pengelolaan
setiap obat yang dibawa kedalam rumah
sakit
100 0
20 Mengidentifikasi petugas untuk
melakukan pemberian obat
100 0
21 Pemberian obat yang diresepkan dan
dicatat dalam status pasien
100 0
22 Pelaporan kesalahan obat dan KNC 100 0
23 Monitoring efek obat (adverse effect) 96 4
24 Pencatatan efek obat yang tidak 93 7
80
diharapkan dalam status pasien dan
dilaporkan ke rumah sakit
Nilai terbesar : 100
Ninali terkecil : 84,6
Selisih : 15,4
Tabel 7. Penentuan Skala Prioritas Penanganan Masalah dengan Metode Hanlon
Standar Kriteria dan Bobot Maksimum
PEARL *OPR Proritas
Masalah A B C *BPR
MPO1P1 2 1 8 8 11111 8 4
MPO5P2 3 4 6 14 11111 14 1
MPO5P3 3 4 6 14 11111 14 2
MPO7P2 1 1 8 5,3 11111 5,3 5
MPO7P3 2 1 8 8 11111 8 3
Dari hasil pembobotan yang dilakukan dengan metode Hanlon pada tabel ,
Sebernarnya masalah yang terjadi di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh
Banjarmasin tidak terlalu besar, hanya ada kekurangan di sebagian proses yang
sudah dijalankan, Namun pengembangan akan tetap dilakukan demi mencapai
nilai akreditasi yang maksimal.
Skala prioritas yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah yang
dihadapi dalam lingkup IFRS. dimana pembobotan ini dimaksudkan agar
IFRS dapat mengatasi permasalahan secara bertahap sesuai dengan hasil skala
prioritas dengan metode Hanlon (Maftuhah 2009).
Dari persentase nilai OPR pada tabel , diperoleh skala prioritas yang dapat
dilakukan untuk mengatasi masalah di tiap standar pelayanan farmasi, prioritas
pertama adalah masalah dengan skor Overall Priority Rating (OPR) tertinggi.
Berdasarkan hasil skoring dalam penetuan skala prioritas kemungkinan IFRS
untuk menentukan mana yang terjadi. Dengan adanya prioritas masalah ini maka
81
IFRS mampu untuk melaksanakan perbaikan dan pengembangan mutu pelayanan
farmasi.
Pada metode Hanlon proses perbaikan yang terjadi setelah proses audit
observasional, melibatkan langkah-langkah berikut : persentasi hasil audit kepada
tim, klarifikasi isu perhatian, menggunakan masukan dari semua anggota
tim; persiapan dari diagram afinitas (alat yang digunakan untuk mengindentifikasi
dan mengatasi berbagai masalah secara bersamaan, dengan penataan dan
mengklasifikasikannya, pengelompokan ketidaksesuaian diamati oleh jenis
masalah, dan pengembangan proritas untuk membantu menetapkan besarnya
masalah dan ketidaksesuaian harus ditangani terlebih dahulu (Ghenadenik et al.,
2012).
Tabel 8. Masalah dan Strategi Pengembangan pelayanan farmasi
Nilai skor yang belum
memenuhi standar
akreditasi
Masalah Solusi manajemen
Standar Akreditasi
Organisasi dan
Manajemen
MPO1P1:
Identifikasi Petugas
Kompeten
Rumah sakit telah melakukan
identifikasi terhadap yang diberi
ijin untuk mensupervisi
pelayanan kefarmasian, namun
syarat baik secara akademis dan
teknis dari petugas tersebut
hanya sebagian yang memenuhi
kriteria.
Perlu dilakukan evaluasi dan
monitoring terhadap petugas
supervisi agar sering mengikuti
pelatihan dalam bidang
manajemen rumah sakit/
manajemen kefarmasian/
pelayanan kefarmasian, agar
memilki pengetahuan dan
pengalaman yang lebih spesifik.
Persiapan dan
Penyaluran
MPO5P2: Sudah ada sistem dan sudah Perlu monitoring terhadap sistem
82
Nilai skor yang belum
memenuhi standar
akreditasi
Masalah Solusi manajemen
Sistem penyaluran dan
pendistribusian obat
MPO5P3 :
Staf yang menyiapkan
produk streril
dijalankan tetapi belum
maksimal.
Ada pelatihan dan di ikuti staf
penyiapan produk steril tapi
tidak dijalankan
keseragaman rumah sakit dalam
penyaluran agar dijalankan secara
maksimal.
Dijalankan sistem teknik aseptik
dan dikontrol secara rutin serta
dilakukan monitoring, dan ada
laporan evaluasi
Pemantauan
MPO7P2: Ada monitoring,dilakukan oleh
dokter,perawat, dan apoteker
secara rutin tetapi belum pernah
ada evaluasi
Ada kebijakan, di identifikasi,
dicatat dalam status pasien
tetapi hanya sebagian yang
dilaporkan
Perlu adanya evaluasi dalam
monitoring efek obat yang tidak
diharapkan. Dalam hal ini
membantu dalam perbaikan
setelah monitoring serta tindak
lanjut.
Dengan adanya pelaporan hasil
identfikasi secara keseluruhan
akan menunjang evaluasi dalam
monitoring
Monitoring efek obat
yang tidak diharapkan
MPO7P3:
Identifikasi efek obat
yang tidak diharapkan
Keterangan :
MPO : Manajemen penilaian obat
P : Pertanyaan
Tahapan penyelesaian masalah disetiap standar pelayanan farmasi
berdasarkan persentase skala prioritas yang dilakukan dengan metode Hanlon
dapat disusun sebagai berikut :
1. Persiapan dan penyaluran
a). Rumah sakit menjabarkan informasi pasien yang spesifik apa saja yang
dibutuhkan agar efektif terhadap pemesanan obat atau penulisan resep.
83
b). Perlu dievaluasi dan dimonitoring secara rutin oleh profesional yang
terlatih.
c). Perlu kerjasama antara petugas farmasi dan petugas lainnya.
2. Pemantauan
a). Perlu kerjasama dalam penyusunan pedoman tentang kesalahan obat.
b). Perlu mengidentifikasi petugas yang melakukan dan yang melaporkan
kejadian kesalahan obat dan terus melakukan perbaikan proses
penggunaan obat berdasarkan evaluasi, informasi dan pelaporan kesalahan
obat.
3. Organisasi dan manajemen
a). Perlu dilakukan monitoring terhadap petugas supervisi, sebaiknya sering
mengikuti pelatihan dalam bidang manajemen rumah sakit atau
manajemen kefarmasian atau pelayanan kefarmasian.
b). Petugas yang diidentifikasi harus memenuhi syarat atau kriteria baik
secara akademis maupun teknis.
Shaw (2014) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa akreditasi dan
sertifikasi rumah sakit berkaitan erat dengan kualitas pelayanan rumah sakit
yang bertujuan untuk meningkatkan keselamatan pasien. Akreditasi secara luas
digunakan sebagai sarana penilaian untuk menjamin dan meningkatkan kualitas
pelayanan di rumah sakit. Pooyan (2011) dalam penelitiannya menjelaskan
bahwa akreditasi dapat mempengaruhi kinerja karyawan. Program akreditasi
dapat digunakan dan dimanfaatkan untuk menilai kinerja karyawan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan.
84
E. Keterbatasan Penelitian
Adapun keterbatasan penelitian ini yaitu dalam melakukan wawancara dan
pengembalian kuisoner tidak sesuai dengan waktu yang ditentukan. Hanya sebatas
menggunakan kuisioner, dan peneliti hanya menggunakan 24 elemen,sehingga
tidak dapat menyimpulkan secara keseluruhan keadaan dilapangan berdasarkan
KARS.
85
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pelayanan farmasi di
RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin dengan skor pencapaian
masing-masing standar akreditasi, sebagai berikut :
a. Standar organisasi dan manajemendengan skor 98,65%.
b. Standar seleksi dan pengadaan mencapai skor 100%.
c. Standar penyimpanan mencapai skor 98,59%.
d. Standar pemesanan dan pencatatan mencapai skor 99,53%.
e. Standar persiapan dan penyaluran mencapai skor 89,96%.
f. Standar pemberian mencapai skor 100%.
g. Standar pemantauanmencapai skor 96,33%.
2. Adapun strategi pengembangan pelayanan di instalasi farmasi RSUD Dr. H.
Moch. Ansari Saleh Banjarmasin yaitu perlu dilakukan monitoring terhadap
petugas supervisi, sebaiknya sering mengikuti pelatihan dalam bidang
manajemen rumah sakit atau manajemen kefarmasian atau pelayanan
kefarmasian,petugas yang diidentifikasi harus memenuhi syarat atau kriteria
baik secara akademis maupun teknis, perlu kerjasama dalam penyusunan
pedoman tentang kesalahan obat, perlu mengidentifikasi petugas yang
melakukan dan yang melaporkan kejadian kesalahan obat dan terus melakukan
perbaikan proses penggunaan obat berdasarkan evaluasi, informasi dan
86
pelaporan kesalahan obat, perlu dilakukan monitoring penggunaan dan
pengawasan obat yang ketat terhadap penggunaan obat agar terkontrol/terjaga
dengan baik, agar tidak terjadi kehilangan obat, perlu adanya proses
persetujuan dalam pengadaan obat, jumlah obat dalam persediaan stok harus
diperhitungkan dan direncanakan dengan baik, rumah sakit menjabarkan
informasi pasien yang spesifik apa saja yang dibutuhkan agar efektif terhadap
pemesanan obat atau penulisan resep, perlu kerjasama antara petugas farmasi
dan petugas lainnya, perlu monitoring didukung kebijakan sebagai pedoman
untuk penyimpanan dan pengendalian dalam penggunaannya sesuai peraturan
yang berlaku, obat emergensi dimonitor dan diganti secara tepat waktu sesuai
kebijakan rumah sakit, perlu dilakukan kontrol secara rutin sistem penarikan
kembali dalam hal ini obat-obat kadaluwarsa baik di gudang, di depo-depo
farmasi atau di bangsal, dan perlu monitoring dalam mengidentifikasi setiap
petugas yang diijinkan untuk penulisan resep, pencatatan dan pemesanan obat.
B. Saran
1. Instalasi farmasi :
Perlu penambahan tenaga farmasi, melakukan monitoring atau visite secara
rutin terhadap pasien dan kerja sama yang baik antara pegawai, baik itu
dokter maupun perawat.
2. Rumah Sakit :
a. Direktur, komite medik, komite akreditasi perlu peningkatan komitmen
yang kuat di dalam meningkatkan pelayanan dan keselamatan pasien
sesuai dengan standar akreditasi KARS.
87
b. Perlu melengkapi setiap pelaporan, dokumen dan selalu dilakukan evaluasi
secara rutin di instalasi farmasi.
c. Perlu dilakukan evaluasi secara berkala dan berkesinambungan terhadap
standar akreditasi KARS. Agar terus dapat dikembangkan dan
dipertahankan.
3. Peneliti yang lain :
Perlu dilakukan uji reliabilitas dan validitas terhadap instrumen penelitian.
Soal kuisioner perlu di tambahkan dengan berdasarkan elemen-elemen MPO
itu sendiri.
88
BABVI
RINGKASAN
Rumah sakit merupakan suatu sarana kesehatan dan merupakan rujukan
pelayanan kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 tahun 2014 tentang
standar pelayanan farmasi rumah sakit menyebutkan bahwa pelayanan farmasi
rumah sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan
kesehatan rumah sakit yang utuh dan berorientasi kepada pelayanan pasien,
penyediaan obat yang bermutu dan pelayanan farmasi klinik yang terjangkau bagi
semua lapisan masyarakat (Kepmenkes RI, 2014).
Akreditasi rumah sakit adalah suatu pengakuan dari pemerintah yang
diberikan kepada rumah sakit yang telah memenuhi standar pelayanan. Melalui
akreditasi ini diharapkan mutu pelayanan rumah sakit dapat
dipertanggungjawabkan karena pelayanan tersebut telah memenuhi standar yang
ditentukan. Pelayanan yang sesuai dengan standar tersebut tentunya akan memberi
rasa aman kepada dokter, perawat maupun pasien. Namun harus diakui upaya
pemenuhan standar pelayanan rumah sakit tersebut bukanlah hal yang mudah,
rumah sakit perlu menyiapkan dirinya agar mendapatkan status akreditasi penuh.
Persiapan rumah sakit semakin diperlukan dengan adanya kebijakan Departemen
Kesehatan bahwa secara bertahap rumah sakit di Indonesia baik rumah sakit
umum, swasta dan rumah sakit jiwa akan diakreditasi standar pelayanannya
(Luwirhasih, 2002).
89
Ketertarikan peneliti untuk melakukan penelitian di Instalasi Farmasi
RSUD Dr. H. Moch.Ansari Saleh Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan
adalah untuk melihat perkembangan dengan meninjau dari segi mutu pelayanan
yang telah dijalankan di Instalasi Farmasi RSUD Dr. H. Moch.Ansari Saleh dan
mengadakan suatu strategi pengembangan dengan berdasarkan analIsis Hanlon.
Hasil penelitian diharapkan Instalasi Farmasi RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh
Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan mampu meningkatkan eksistensinya
dan memberikan pelayanan yang berkualitas bagi masyarakat.
Selain itu juga RSUD Dr. H. Moch.Ansari Saleh Banjarmasin sudah
mendapatkan akreditasi paripurna dengan klasifikasi B, dimana hal ini sangat
menunjang pelayanan kesahatan di IFRSUD Dr. H. Moch Ansari Saleh
Banjarmasin, serta dengan adanya penelitian ini pula sebagai bahan pertimbangan,
informasi dan evaluasi bagi IFRSUD Dr. H. Moch Ansari Saleh Banjarmasin
untuk semakin meningkatkan nilai akreditasinya sehingga dimaksimalkan untuk
mengarah ke akreditasi standar JCI.
Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui tingkat kesesuaian tujuh
standar akreditasi di Instalasi Farmasi RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh
Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan yaitu standar organisasi dan
manajemen, standar seleksi dan pengadaan, standar penyimpanan, standar
pemesanan dan pencatatan, standar persiapan dan penyaluran, standar pemberian,
standar pemantauan dan strategi pengembangan yang dilakukan IFRS Dr. H.
Moch. Ansari Saleh Banjarmasin.
90
Metode Hanlon merupakan salah satu alat yang digunakan untuk
membandingkan berbagai masalah kesehatan yang berbeda-beda dengan cara
relative dan bukan absolute, framework, seadil mungkin dan objektif. Cara yang
digunakan untuk menentukan prioritas masalah dengan menggunakan empat
kelompok kriteria, yakni: besarnya masalah (magnitude), kegawatan masalah
(emergency), kemudahan penanggulangan masalah (causability), faktor yang
menentukan dapat tidaknya program dilaksanakan (PEARL factor).
Penelitian ini merupakan rancangan penelitian non eksperimental di
IFRSUD DR. H. Moch.Ansari Saleh Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan.
Data di analisis secara kuantitatif dan kualitatif. Cara pengumpulan data dilakukan
dengan menggunakan instrumen kuesioner self assessment apoteker dan TTK
yang terlibat dalam proses akreditasi berupa hasil hitungan dari jawaban respon
pada kuesioner. Observasi juga dilakukan untuk melihat keberadaan dan
kelengkapan data/konsumen, SOP, fasilitas di pelayanan farmasi. Data yang
diperoleh tersebut untuk mendukung wawancara secara mendalam, di dalam
menggali hal-hal yang berhubungan dengan standar akreditasi pelayanan farmasi,
kesiapan proses akreditasi dan strategi rencana pengembangan pelayanan farmasi.
Penelitian ini mulai dilakukan pada tanggal 15 Maret 2016 sampai dengan 15
April 2016.
No. Standar Pelayanan
Farmasi
Pencapaian
(100% )
Besar
Masalah
(100%)
1. Organisasi dan Manajemen 98,65 1,35
2. Seleksi dan Pengadaan 100 0
3. Penyimpanan 98,59 1,41
4. Pemesanan dan Pencatatan 99,53 0,47
5. Persiapan dan penyaluran 89,96 10,04
91
6. Pemberian 100 0
7. Pemantauan 96,33 3,67
Skor akreditasi dan rata-
rata pencapaian 97,58 2,42
Sumber : Data mentah yang diolah
Hasil tersebut menunjukkan bahwa pelayanan farmasi RSUD Dr.H.Moch
Ansari Saleh Banjarmasin sudah memenuhi standar akreditasi nasional yaitu
diatas 80% secara keseluruhan standar, akan tetapi masih harus adanya
peningkatan mutu dalam upaya pengembangan dan peningkatan pelayanan
farmasi rumah sakit sesuai dengan yang diharapkan masyarakyat, maka ada
beberapa standar akreditasi yang perlu dilakukan pembenahan dan uji perbaikan
dengan metode Hanlon.
Tabel 6. Persentasi nilai Selisih pencapaian hasil kegiatan dengan pencapaian
100%
No Mpo Pencapaian
(<100) %
Besarnya masalah
(100% - %
pencapaian)
1 Petugas kompeten mensupervisi
pelayanan kefarmasian
94,6 5,4
2 Perencanaan Obat 100 0
3 Pelaksanaan pelayanan farmasi &
penggunaan obat
100 0
4 Pelayanan informasi penggunaan
obat
100 0
5 Pengawasan Obat 100 0
6 Pengadaan obat 100 0
7 Seleksi obat 100 0
8 Penyimpanan produk nutrisi 99,3 0,7
92
9 Obat emergensi 98,66 1,34
10 Pemusnahan obat yang
kadaluwarsa
99,13 0,87
11 Penyimpanan obat 97,3 2,7
12 Pemesanan obat atau penulisan
resep akseptabel
99,3 0,7
13 Identifikasi petugas berkompeten 100 0
14 Pencatatan obat di rekam medis 99,3 0,7
15 Menelaah ketepatan pada pesanan
obat
100 0
16 Sistem penyaluran dan
pendistribusian obat
84,6 15,4
17 Penyiapan produk steril 85,3 14,7
18 Obat, jumlah dosis obat dan route
pemberian
100 0
19 Pendokumentasian dan
pengelolaan setiap obat yang
dibawa kedalam rumah sakit
100 0
20 Mengidentifikasi petugas untuk
melakukan pemberian obat
100 0
21 Pemberian obat yang diresepkan
dan dicatat dalam status pasien
100 0
22 Pelaporan kesalahan obat dan
KNC
100 0
23 Monitoring efek obat (adverse
effect)
96 4
24 Pencatatan efek obat yang tidak
diharapkan dalam status pasien
dan dilaporkan ke rumah sakit
93 7
Nilai terbesar : 100
93
Ninali terkecil : 84,6
Selisih : 15,4
Tabel 7. Penentuan Skala Prioritas Penanganan Masalah dengan Metode
Hanlon
Standar Kriteria dan Bobot Maksimum
PEARL *OPR Proritas
Masalah A B C *BPR
MPO1P1 2 1 8 8 11111 8 4
MPO5P2 3 4 6 14 11111 14 1
MPO5P3 3 4 6 14 11111 14 2
MPO7P2 1 1 8 5,3 11111 5,3 5
MPO7P3 2 1 8 8 11111 8 3
Pada metode Hanlon proses perbaikan yang terjadi setelah proses
audit observasional, melibatkan langkah-langkah berikut : persentasi hasil audit
kepada tim, klarifikasi isu perhatian, menggunakan masukan dari semua
anggota tim; persiapan dari diagram afinitas (alat yang digunakan untuk
mengindentifikasi dan mengatasi berbagai masalah secara bersamaan, dengan
penataan dan mengklasifikasikannya, pengelompokan ketidaksesuaian diamati
oleh jenis masalah, dan pengembangan proritas untuk membantu menetapkan
besarnya masalah dan ketidaksesuaian harus ditangani terlebih dahulu
(Ghenadenik et al., 2012).
Tabel 8. Masalah dan Strategi Pengembangan pelayanan farmasi
Nilai skor yang
belum memenuhi
standar akreditasi
Masalah Srategi manajemen
Standar Akreditasi
Organisasi dan
Manajemen
MPO1P1: Rumah sakit telah Perlu dilakukan evaluasi
94
Nilai skor yang
belum memenuhi
standar akreditasi
Masalah Srategi manajemen
Identifikasi Petugas
Kompeten
melakukan identifikasi
terhadap yang diberi ijin
untuk mensupervisi
pelayanan kefarmasian,
namun syarat baik secara
akademis dan teknis dari
petugas tersebut hanya
sebagian yang memenuhi
kriteria.
dan monitoring terhadap
petugas supervisi agar
sering mengikuti pelatihan
dalam bidang manajemen
rumah sakit/ manajemen
kefarmasian/ pelayanan
kefarmasian, agar memilki
pengetahuan dan
pengalaman yang lebih
spesifik.
Persiapan dan
Penyaluran
MPO5P2: Sudah ada sistem dan
sudah dijalankan tetapi
belum maksimal.
Ada pelatihan dan di ikuti
staf penyiapan produk
steril tapi tidak dijalankan
Perlu monitoring terhadap
sistem keseragaman rumah
sakit dalam penyaluran agar
dijalankan secara maksimal.
Dijalankan sistem teknik
aseptik dan dikontrol secara
rutin serta dilakukan
monitoring, dan ada laporan
evaluasi
Sistem penyaluran
dan pendistribusian
obat
MPO5P3 :
Staf yang
menyiapkan produk
streril
Pemantauan
MPO7P2: Ada monitoring,dilakukan
oleh dokter,perawat, dan
apoteker secara rutin tetapi
Perlu adanya evaluasi dalam
monitoring efek obat yang
tidak diharapkan. Dalam hal
Monitoring efek
obat yang tidak
95
Nilai skor yang
belum memenuhi
standar akreditasi
Masalah Srategi manajemen
diharapkan
MPO7P3:
Identifikasi efek
obat yang tidak
diharapkan
belum pernah ada evaluasi
Ada kebijakan, di
identifikasi, dicatat dalam
status pasien tetapi hanya
sebagian yang dilaporkan
ini membantu dalam
perbaikan setelah
monitoring serta tindak
lanjut.
Dengan adanya pelaporan
hasil identfikasi secara
keseluruhan akan
menunjang evaluasi dalam
monitoring
Keterangan :
MPO : Manajemen penilaian obat
P : Pertanyaan
Tahapan penyelesaian masalah disetiap standar pelayanan farmasi
berdasarkan persentase skala prioritas yang dilakukan dengan metode Hanlon
dapat disusun sebagai berikut :
1. Persiapan dan penyaluran
a). Rumah sakit menjabarkan informasi pasien yang spesifik apa saja yang
dibutuhkan agar efektif terhadap pemesanan obat atau penulisan resep.
b). Perlu dievaluasi dan dimonitoring secara rutin oleh profesional yang
terlatih.
c). Perlu kerjasama antara petugas farmasi dan petugas lainnya.
2. Pemantauan
a). Perlu kerjasama dalam penyusunan pedoman tentang kesalahan obat.
96
b). Perlu mengidentifikasi petugas yang melakukan dan yang melaporkan
kejadian kesalahan obat dan terus melakukan perbaikan proses
penggunaan obat berdasarkan evaluasi, informasi dan pelaporan kesalahan
obat.
3. Organisasi dan manajemen
a). Perlu dilakukan monitoring terhadap petugas supervisi, sebaiknya sering
mengikuti pelatihan dalam bidang manajemen rumah sakit atau
manajemen kefarmasian atau pelayanan kefarmasian.
b). Petugas yang diidentifikasi harus memenuhi syarat atau kriteria baik
secara akademis maupun teknis.
Shaw (2014) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa akreditasi dan
sertifikasi rumah sakit berkaitan erat dengan kualitas pelayanan rumah sakit
yang bertujuan untuk meningkatkan keselamatan pasien. Akreditasi secara luas
digunakan sebagai sarana penilaian untuk menjamin dan meningkatkan kualitas
pelayanan di rumah sakit. Pooyan (2011) dalam penelitiannya menjelaskan
bahwa akreditasi dapat mempengaruhi kinerja karyawan. Program akreditasi
dapat digunakan dan dimanfaatkan untuk menilai kinerja karyawan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan.
97
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, A. 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan. Binarupa Aksara.
Bates, DW, Boyle DL, Vander Vliet MB, Schneider J, Leape LL. 1995.
Relationship Between Medication Errors and Adverse Drug Events. J Gen
Intern Med. Vol 10: 199-205.
Chriswardani. 2010. Metode Penentuan Prioritas Masalah. Bahan Kuliah
Perencanaan dan Evaluasi Kesehatan , Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Diponegoro.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. UU No. 44 Tahun 2009
Tentang Rumah Sakit. Jakarta: Depkes RI.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009.Pedoman Pemantauan Terapi
Obat. Jakarta: Depkes RI.
Fosmari. 2003. The Business Case for Medication Safety.
Hanlon and Hyman. Hanlon and Basic Priority Rating System (BPRS). Public
Health:Administrasion and Practive (Hanlon and Hyman, Aspen
Publishers).
Hansen, Don, R dan Mowen, Maryanne, M. 1994. Management Accounting(third
Edition). Ohio: South Western Publishing Co.
Herijulianti E, Indriani S, Artini S. 2001. Pendidikan Kesehatan Gigi. Jakarta:
EGC.
Indrajit, R.E, dan Djokropranoto, R., 2003. Manajemen Persediaan. Gramedia
Widiasarana. Jakarta.
Jepson, M.H., 1990. Patient Compliance and Counselling. In: D.M. Collett and
M.E. Aulton (Eds.). Pharmaceutical Practice, Edinburgh: Churchill
Livingstone,p.339-341.
Kaplan, R.S., Norton, D.V. 2004. Strategy Maps: Converting Intangible Assets
Inti Tangible Outcome.
98
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral Bina Upaya
Kesehatan RI Dengan KARS 2011. Standar Akreditasi Rumah Sakit:
Jakarta.
Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS). 2012. Instrumen Akreditasi Rumah
Sakit Standar Akreditasi Versi 2012Edisi -1 Tahun 2012.
Kongres PERSI. 2007. Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia: Jakarta.
Kozier, Erb. 2009.Buku Ajar Keperawatan Klinis Kozier & Erb. Edisi 5. Jakarta:
EGC.
Kron, Thora, Gray, Anne. 1987. The Management of Patient Care; Putting
Leadeship Skills Work. Sixth Edition: W.b. Saunders Company.
Kumorotomo, dan Wahyudi. 2004. Sistem Informasi Manajemen dalam
Organisasi. Organisasi Publik. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Laksono Trisnantoro. 2005. Aspek strategis dalam Manajemen Rumah Sakit.
Cetakan Pertama. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Leape LL, Bates DW, Cullen DJ, et al. 1995.Systems Analysis of Adverse Drug
Events. JAMA. ;274: 35-43.
Liliek, S. 1998. Evaluasi Manajemen Obat di Rumah Sakit Umum Daerah
Wangaya Kota Madya Dati II. Denpasar. Tesis. Magister Manajemen
Rumah Sakit, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Maftuhah, N. 2009. 4 Faktor Penting Penetapan Prioritas Masalah Kesehatan
Masyarakat (Metode Hanlon). Jurnal Penetapan Prioritas dan Metode
Hanlon, Vol.3, hal.45-56.
Mulyadi. 2002. Auditing. Jakarta: Salemba Empat.
Nadeem, H., 2001, A Survey of Prescription Errors in General Practice, Pharm
J: Vol 267, hal 55-60
National Association of Country & City Health Officials (NACCHO), 2010, The
National Connection for Local Public Health.
NCC MERP. Index for Categorizing Medication Errors.http://www/nccmerp.org.
99
Noegrohowati, T. 2002. Alergi Obat pada Bayi dan Anak, dalam Boedardja, S.A,
Widaty, S. Rihatmaja, R. Edisi Alergi Kulit pada Bayi dan Anak. Masalah
dan Penanganan. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nurbeti, M. 2009.Panduan penetapan prioritas masalah kesehatan masyarakat.
Aneka ilmu: Jakarta.
Peraturan Pemerintah Indonesia. 2006. Tentang Tata Cara Pengendalian dan
Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan No. 39 tahun 2006.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Tentang Kebijakan Dasar
Pusat Kesehatan Masyarakat No. 128 tahun 2008. Depkes RI.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Tentang Akreditasi
Rumah Sakit No. 012 tahun 2012. Depkes RI.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Tentang Klasifikasi dan
Perizinan Rumah Sakit No. 56 Tahun 2014. Depkes RI.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit No. 58 Tahun 2014. Depkes RI.
Poerwani SK dan Sopacua E. 2004. Upaya Pemerintah dalam Penataan
Perumahsakitan di Indonesia Melalui Kegiatan Akreditasi. Makalah dalam
Simposium I Badan Litbangkes. Jakarta.
Prodlove, N, C & Boaden. R. 2005. Using operational information and
information systems to improve in- patient flow in hospitals, Journal of
Health Organization and Management 2005, Vol 19 (6): 466-477.
Quick, J.P., Rankin, J.R., Laing, R.O., O’Cornor, R.W. 2012. Managing Drug
Supply, The Selection, Procurement, Distribution and Use of
Pharmaceutical, third edition, USA: Kumarin Press. Conecticus.
Quinn. 1999. Diagnosing and Changing Organizational Culture: Based on the
Competing Values Framework. Reading, Massachusetts: Addison Wesley.
Rantucci, MJ. 2007. Pharmacist Talking with Patients: A Guide to Patient
Counseling, Williams& Wilkins.
100
Rock, CL. 2004. Carotenoids and Cancer in: Britton G., Liaaen-Jensen, S,
Pfander, H (Eds). Carotenoids in Health and Disease. Marcel Dekker,
Basel, Switzerland, pp. 269-286.
Sahab, 1997. Teknik Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT.
Bina Sumber Daya Manusia.
Sampurno. 2011. Manajemen Pemasaran Farmasi. Yogyakarta: UGM Press.
Sari, L. O. R. K. 2006. Pemanfaatan Obat Tradisional Dengan Pertimbangan
Manfaat dan Keamanannya. Universitas Jember. Majalah Ilmu
Kefarmasian , Vol. 3 (1): 01-07.
Satibi. 2015. Manajemen Obat di Rumah Sakit. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Schnipper, JL, Jennifer, LK, Michael, CC, Stephanie, AW, Brandon, AB, Emily,
T,Allen, K, Mark, H, Christoper, LR, Sylvia, CM, David, WB. 2006. Role
of Pharmacist Counseling in Preventing Adverse Drug Events After
Hospitalization. USA: Archives of Internal Medicine. Vol 166.565-571.
Shaw, C, D. 2001. External Assessment of Health Care . BMJ (Clinical Research
Ed.)
Shaw, C, D. 2004. Toolkit for Accreditation Program. The National Society for
Quality in Health Care.
Shaw, C, D et al. 2014. The effect of certification and accreditation on quality
manajement in 4 clinical services in 73 European hospitals, International
Journal for Quality in Health Care 2014 (26): 100-107.
Shofari, dan Bambang. 2005. Pengelolaan Sistem Rekam Medis. Perhimpunan
Organisasi Profesional Perekammedisan. Informatika Kesehatan
Indonesia. Semarang.
Singarimbun, M. dan Effendi, S. 2006.Metode Penelitian Survei. Cetakan
Kedelapanbelas, Penerbit Pustaka LP3ES, Jakarta.
Siregar Ch, J.P., dan Amalia, L. 2004. Teori dan Penerapan Farmasi Rumah Sakit.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. EGC.
101
Suastika K. 1992.Pengaruh Malnutrisi Terhadap Berbagai System dan
OrganTubuh. Dalam: Majalah Ilmu Penyakit Dalam. Vol 18, No 3, Juli-
September, Hlm163 – 170.
Sugian, S. 2006. Kamus Manajemen (Mutu). Jakarta: Gramedia.
Sutapa, G. 2011. Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi. Jakarta:
Kementerian Pendidikan Nasional.
Tayipnapis. FS. 2008. Evaluasi Program. Jakarta. PT Rineka Cipta.
Tohirin. 2012. Metode Penelitian Kualitatif Dalam Pendidikan dan Bimbingan
Konseling. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Vardiansyah, Dani. 2008. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Indeks,
Jakarta.
WHO Consultative Group. 1997. The Role of the Pharmacist in the Health-Care
System-Preparing the Future Pharmacist: Curricular Development.
Vancouver. Canada
Wijono, D. 1999. Manajemen mutu pelayanan kesehatan, teori, strategi dan
aplikasi, vol 1. Surbaya: Airlangga University Press.