Strategi pengembangan bisnis jaringan televisi lokal...

7
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Industri media dan hiburan Indonesia masih menjadi pasar yang menjanjikan di tengah pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat, persaingan tinggi dan disrupsi yang terus berlangsung. Dalam Entertainment and Media Outlook 2017-2021, PwC memproyeksikan laju pertumbuhan industri media dan hiburan Indonesia secara rata-rata tahunan (CAGR) mencapai 9,6% dengan total pendapatan senilai USD 22,46 miliar di tahun 2021. Angka pertumbuhan tersebut merupakan yang tertinggi kedua di Asia, setelah India, lebih tinggi dari perkiraan laju pertumbuhan majemuk tahunan secara global pada 4,2% (PwC 2017a). Dalam analisisnya, PwC menyebut sebagian besar segmen industri tradisional mengalami penurunan tingkat pertumbuhan. Hingga tahun 2021, banyak segmen media dan hiburan akan kesulitan untuk mengimbangi pertumbuhan PDB, namun hanya dua segmen yaitu koran dan majalah yang mengalami penurunan secara absolut. Khusus pasar Indonesia, PwC memproyeksikan pertumbuhan CAGR 2016-2021 untuk majalah dan koran pada kisaran dua persen, sementara iklan televisi tumbuh 10,4%. Iklan televisi masih akan merajai pendapatan di sektor hiburan yaitu sebesar 79,9%. Namun perlu disoroti juga segmen video Internet dan iklan Internet yang diperkirakan tumbuh pesat 28,5% dan 21,8% (PwC 2017b). Lembaga survei independen Nielsen juga mencatat kontribusi (share) belanja iklan televisi di Indonesia pada tahun 2017 sebanyak 80%, sisanya 19% untuk koran serta 1% majalah dan tabloid. Berdasarkan catatan Nielsen dari tahun 2013 hingga 2017, belanja iklan untuk koran dan majalah terus mengalami penurunan sementara belanja iklan televisi tetap memperlihatkan kenaikan. Seperti terlihat di Gambar 1, pada tahun 2013 belanja iklan koran tercatat mencapai Rp 31,6 triliun, sedangkan pada tahun 2017 turun menjadi Rp 28,5 triliun. Sementara belanja iklan televisi memperlihatkan kenaikan dari Rp 67,9 triliun pada tahun 2013 menjadi Rp 115,8 triliun pada 2017. Sumber: Nielsen Gambar 1 Pertumbuhan belanja iklan berdasar jenis media

Transcript of Strategi pengembangan bisnis jaringan televisi lokal...

Page 1: Strategi pengembangan bisnis jaringan televisi lokal …repository.sb.ipb.ac.id/3305/5/E57-05-Firmiyanti...wilayah Jawa Timur, berdiri pada tahun 2001. Stasiun televisi lokal semakin

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Industri media dan hiburan Indonesia masih menjadi pasar yang menjanjikan di tengah pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat, persaingan tinggi dan disrupsi yang terus berlangsung. Dalam Entertainment and Media Outlook 2017-2021, PwC memproyeksikan laju pertumbuhan industri media dan hiburan Indonesia secara rata-rata tahunan (CAGR) mencapai 9,6% dengan total pendapatan senilai USD 22,46 miliar di tahun 2021. Angka pertumbuhan tersebut merupakan yang tertinggi kedua di Asia, setelah India, lebih tinggi dari perkiraan laju pertumbuhan majemuk tahunan secara global pada 4,2% (PwC 2017a).

Dalam analisisnya, PwC menyebut sebagian besar segmen industri tradisional mengalami penurunan tingkat pertumbuhan. Hingga tahun 2021, banyak segmen media dan hiburan akan kesulitan untuk mengimbangi pertumbuhan PDB, namun hanya dua segmen yaitu koran dan majalah yang mengalami penurunan secara absolut. Khusus pasar Indonesia, PwC memproyeksikan pertumbuhan CAGR 2016-2021 untuk majalah dan koran pada kisaran dua persen, sementara iklan televisi tumbuh 10,4%. Iklan televisi masih akan merajai pendapatan di sektor hiburan yaitu sebesar 79,9%. Namun perlu disoroti juga segmen video Internet dan iklan Internet yang diperkirakan tumbuh pesat 28,5% dan 21,8% (PwC 2017b).

Lembaga survei independen Nielsen juga mencatat kontribusi (share) belanja iklan televisi di Indonesia pada tahun 2017 sebanyak 80%, sisanya 19% untuk koran serta 1% majalah dan tabloid. Berdasarkan catatan Nielsen dari tahun 2013 hingga 2017, belanja iklan untuk koran dan majalah terus mengalami penurunan sementara belanja iklan televisi tetap memperlihatkan kenaikan. Seperti terlihat di Gambar 1, pada tahun 2013 belanja iklan koran tercatat mencapai Rp 31,6 triliun, sedangkan pada tahun 2017 turun menjadi Rp 28,5 triliun. Sementara belanja iklan televisi memperlihatkan kenaikan dari Rp 67,9 triliun pada tahun 2013 menjadi Rp 115,8 triliun pada 2017.

Sumber: Nielsen

Gambar 1 Pertumbuhan belanja iklan berdasar jenis media

Page 2: Strategi pengembangan bisnis jaringan televisi lokal …repository.sb.ipb.ac.id/3305/5/E57-05-Firmiyanti...wilayah Jawa Timur, berdiri pada tahun 2001. Stasiun televisi lokal semakin

2

Ditinjau dari sisi penetrasi, hasil riset berkala triwulan Nielsen menunjukkan penetrasi media cetak (koran, majalah dan tabloid) terus mengalami penurunan. Pada awal 2014 penetrasi media cetak tercatat di angka 12%, namun pada semester pertama tahun 2017 turun menjadi 7%. Sementara penetrasi televisi relatif stabil di kisaran 96% sejak tahun 2015 sampai paruh pertama 2017. Penetrasi televisi juga dominan dibandingkan penetrasi radio dan Internet di semua kalangan usia, rata-rata mencapai 95% (Nielsen 2017).

Tren penurunan pertumbuhan dan pendapatan media cetak yang terjadi secara global, juga dialami oleh koran Jawa Pos. Seperti diungkap dalam ceknricek.com (2017), koran Jawa Pos di tahun 2013 meraup pendapatan sebesar Rp 686,56 miliar, namun angka itu kemudian turun pada tahun-tahun berikutnya dan merosot tajam pada tahun 2017. Hingga Oktober 2017, pendapatan koran Jawa Pos baru berkisar Rp 345,57 miliar. Turunnya pendapatan, otomatis membuat laba berkurang. Tampak pada Gambar 2, laba bersih koran Jawa Pos pada 2013 mencapai Rp 257,52 miliar, tetapi pada tahun 2017 hingga bulan Oktober, laba bersih diperkirakan sekitar Rp 65 miliar.

Sumber: ceknricek.com

Gambar 2 Tren pendapatan, biaya dan laba Jawa Pos Koran

Koran Jawa Pos merupakan salah satu dari 188 penerbitan surat kabar dan majalah di bawah naungan Jawa Pos Group. Selain media cetak, Jawa Pos Group juga mengelola 51 stasiun televisi lokal yang tersebar di 23 provinsi, seperti pada Gambar 3. Perusahaan induk Jawa Pos serta para pemegang saham berharap penurunan di lini media cetak dapat ditambal oleh lini bisnis televisinya yang masih bisa berkembang dan merebut kue pendapatan iklan televisi. Anak perusahaan Jawa Pos yang diberi kewenangan untuk mengelola bisnis televisi adalah Jawa Pos Multimedia (JPM).

Stasiun-stasiun televisi Jawa Pos Group merupakan stasiun-stasiun televisi lokal yang tumbuh berkembang seiring dengan otonomi daerah. Riau TV, yang merupakan anak perusahaan dari Riau Pos Group, adalah televisi lokal pertama di Indonesia berdiri pada tahun 2000. JTV yang siarannya menjangkau seluruh wilayah Jawa Timur, berdiri pada tahun 2001. Stasiun televisi lokal semakin banyak bermunculan setelah berlakunya Undang-Undang No. 32 Tahun 2002

631,52�

686,56�653,57�

548,92�520,4�

345,57�341,02�369,61� 376,63�

356,53� 349,41�

271,33�

302,24�336,99�

313,04�

220,96�193,6�

84,02�229,29�

257,52�242,94�

173,02�149,81�

65,65�0�

100�

200�

300�

400�

500�

600�

700�

800�

2012� 2013� 2014� 2015� 2016� s/d�Okt�2017�

��Miliar�Rup

iah�

Pendapatan� Biaya*)� Laba�Sebelum�Pajak� Laba�Setelah�Pajak�

Page 3: Strategi pengembangan bisnis jaringan televisi lokal …repository.sb.ipb.ac.id/3305/5/E57-05-Firmiyanti...wilayah Jawa Timur, berdiri pada tahun 2001. Stasiun televisi lokal semakin

3

tentang Penyiaran yang mendukung prinsip keberagaman konten (diversity of content) dan keberagaman kepemilikan (diversity of ownership).

Sumber: JPM

Gambar 3 Jaringan stasiun televisi JPM

Stasiun-stasiun televisi lokal Jawa Pos Group sebagian besar didirikan dan dimiliki oleh kelompok koran Jawa Pos di masing-masing wilayah. Selain Riau TV yang dibangun oleh Riau Pos Group misalnya, kelompok koran Sumatera Ekspres mendirikan PAL TV, Fajar Group memunculkan Fajar TV dan seterusnya. Masing-masing stasiun televisi ini bersiaran dengan konten-konten lokal yang kental karakteristik budaya masyarakat di masing-masing wilayahnya.

Pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan telekomunikasi mengakibatkan ekosistem industri media mengalami perubahan. Konvergensi dan digitalisasi media telah memaksa dan terus menekan industri untuk menciptakan bisnis multiplatform yang melampaui media konvensional (Nugroho et al. 2012). Industri penyedia konten dan industri telekomunikasi menjadi terintegrasi, menciptakan media multiplatform yang berbasis teknologi.

Arti platform digital yang mengalami perubahan-perubahan, juga terus-menerus membentuk industri televisi. Platform televisi sebagai model komersial lanskap media baru berangsur meningkat, sementara budaya dan materi keterbukaan di Internet, mengubah konsumsi televisi secara radikal (Sanz dan Crosbie 2015). Programming televisi kini dapat diakses secara streaming melalui beragam perangkat seperti ponsel pintar, komputer tablet dan konsol game portabel. Meski belum diketahui pengaruhnya pada kepemirsaan dan lokalisme, menjadi pertanyaan, apakah masyarakat akan peduli bila konten berbasis lokal menghilang seiring semakin banyaknya saluran televisi yang bisa dipilih (Comer dan Wikle 2014).

Jennes dan Broeck (2014) juga mengingatkan, layanan OTT (over-the-top) dengan berbagai pemain asing dan biaya berlangganan yang relatif murah, mendesak industri lokal untuk bertindak. OTT adalah konten televisi dan/atau film yang dapat diterima melalui Internet, tanpa harus berlangganan layanan televisi kabel atau televisi satelit berbayar. Dari perspektif khalayak, keberadaan OTT mungkin positif, namun bisa berdampak negatif pada penonton stasiun televisi

Page 4: Strategi pengembangan bisnis jaringan televisi lokal …repository.sb.ipb.ac.id/3305/5/E57-05-Firmiyanti...wilayah Jawa Timur, berdiri pada tahun 2001. Stasiun televisi lokal semakin

4

lokal atau penggemar konten lokal. Sebab, bila lembaga penyiaran kesulitan mendapatkan uang, produksi konten lokal mungkin juga akan tertekan.

Digitalisasi penyiaran di Indonesia sendiri, hingga pertengahan Juli 2018 masih terkendala Rancangan Undang-Undang tentang Penyiaran yang belum juga selesai dibahas dan diketuk palu oleh Dewan Perwakilan Rakyat. RUU ini akan mengatur penyelenggaraan siaran digital yang menjadi masa depan lanskap industri penyiaran Indonesia. Revisi atas Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 tersebut masih tertahan di Badan Legislatif DPR sejak Februari 2017. Yang masih menjadi perdebatan adalah terkait penerapan sistem penggunaan frekuensi penyiaran atau multipleksing (mux).

Perubahan teknologi di bidang penyiaran dari analog ke digital merupakan suatu keniscayaan. Hingga 2017, sudah lebih dari 85% wilayah dunia menerapkan siaran digital. International Telecommunication Union (ITU) telah menetapkan 17 Juni 2015 sebagai batas waktu peralihan ke digital (digital switchover), kecuali sejumlah negara paling lambat 17 Juni 2020. Pada 2012, negara-negara ASEAN sepakat menuju analogue switch-off (mematikan analog) mulai 2015 hingga 2020. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia dalam Rencana Strategis Penyiaran 2016-2020 juga mencanangkan digitalisasi penyiaran televisi Indonesia pada 2020.

Perubahan lanskap industri penyiaran ini tentu akan berimbas pada peta bisnis televisi di Indonesia secara keseluruhan. Beralihnya teknologi siaran dari analog menjadi digital, serta berubahnya pola dan cara orang menonton televisi menjadi melalui banyak platform (multiplatform) dan banyak layar (multiscreen), membuat stasiun-stasiun televisi perlu mengubah strategi bisnis tradisionalnya. Kecepatan perubahan eksternal yang meningkat, perlu ditandingi dengan mempercepat perubahan internal (Kotter dan Cohen 2002).

Penelitian untuk membuat kerangka kerja atau model bisnis di industri penyiaran televisi, dilakukan seiring dengan perkembangan teknologi yang mengakibatkan perubahan ekosistem media. Rangone dan Turconi (2003) membuat kerangka kerja referensi strategis dalam konvergensi multimedia yang berpengaruh pada industri televisi di Italia. Galipeau (2010) menelaah dasar pengembangan model bisnis berkelanjutan dalam lingkungan media baru pada sistem penyiaran Kanada.

Penelitian tentang pengembangan model bisnis stasiun televisi terkait perubahan lanskap industri penyiaran di Indonesia, masih sulit dicari. Begitu pula mengenai strategi bisnis suatu jaringan televisi lokal yang memiliki kompleksitas tersendiri. Penelitian ini penting untuk menjadi bahan acuan bagi perusahaan dalam mempertajam strategi bisnisnya menuju penyiaran digital yang akan segera diberlakukan. Sementara bagi akademisi, tentunya penelitian ini bisa berharga karena minimnya penelitian tentang strategi bisnis stasiun televisi, terutama televisi lokal di Indonesia.

Perumusan Masalah

Memasuki era penyiaran digital, stasiun-stasiun televisi lokal nantinya harus bersaing langsung dengan jaringan stasiun televisi nasional di masing-masing 15 zona digital di Indonesia. Tidak hanya berhadapan dengan stasiun televisi nasional

Page 5: Strategi pengembangan bisnis jaringan televisi lokal …repository.sb.ipb.ac.id/3305/5/E57-05-Firmiyanti...wilayah Jawa Timur, berdiri pada tahun 2001. Stasiun televisi lokal semakin

5

yang telah mapan dan memiliki modal besar, sebagai dampak digitalisasi, televisi lokal juga harus menghadapi persaingan dari berbagai platform lain, dari dalam dan luar negeri.

Berubahnya peta bisnis penyiaran ini tentu akan berdampak pada Jawa Pos Multimedia (JPM), anak perusahaan Jawa Pos yang mengelola bisnis televisi. Terdapat 51 perusahaan televisi lokal yang saat ini menjadi jaringan JPM, baik yang dimiliki langsung, terafiliasi ataupun yang terikat kerja sama siaran. Stasiun-stasiun televisi lokal itu tersebar di 23 provinsi. Masing-masing stasiun televisi lokal tersebut memiliki pola siar atau programming sendiri dengan konten-konten yang sangat lokal.

Mereka memproduksi konten berita dan/atau hiburan dalam bahasa daerah setempat. JTV misalnya memiliki program siaran berbahasa Jawa, Riau TV punya konten berbahasa Melayu, Padang TV dengan produknya dalam bahasa Minang. Selain program lokal, stasiun-stasiun lokal ini merelai siaran berita dari induk televisi jaringannya, stasiun televisi berita jawapostv di Jakarta.

Di tengah membanjirnya konten-konten video lewat media sosial, juga siaran televisi yang dapat diakses lewat streaming melalui platform digital, stasiun-stasiun televisi lokal itu tentu perlu melakukan transformasi. JPM perlu mengembangkan model bisnisnya agar tetap relevan di masa kini dan masa depan, pada saat persaingan tidak lagi linear.

Dengan menggunakan pendekatan kanvas model bisnis, penelitian ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: 1. Bagaimana model bisnis JPM saat ini? 2. Bagaimana desain pengembangan model bisnis JPM untuk meningkatkan

daya saing di era penyiaran digital?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi model bisnis JPM saat ini. 2. Merumuskan desain pengembangan model bisnis JPM untuk meningkatkan

daya saing di era penyiaran digital.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah: 1. Bagi perusahaan, dapat menjadi bahan acuan pelengkap dalam menentukan

arah kebijakan perusahaan, strategi bisnis serta rencana tindakan dalam menghadapi era penyiaran digital.

2. Bagi akademisi atau peneliti lain, penelitian ini dapat menjadi referensi dalam penelitian strategi bisnis atau pengembangan model bisnis perusahaan televisi, terutama stasiun televisi lokal.

Page 6: Strategi pengembangan bisnis jaringan televisi lokal …repository.sb.ipb.ac.id/3305/5/E57-05-Firmiyanti...wilayah Jawa Timur, berdiri pada tahun 2001. Stasiun televisi lokal semakin

6

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini berfokus pada strategi bisnis JPM sebagai jaringan stasiun televisi lokal dan tidak mencakup unit bisnis JPM lainnya. Penelitian juga tidak melingkupi strategi turunan di masing-masing stasiun televisi lokal jaringan JPM. Stasiun televisi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah stasiun televisi free-to-air (FTA) di wilayah Indonesia yang ditransmisikan secara terestrial.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Perencanaan Strategis Perencanaan strategis masih menjadi salah satu alat yang paling populer

digunakan banyak perusahaan dari berbagai industri, termasuk industri media. Survei terhadap para eksekutif media di Inggris menunjukkan, perencanaan strategis memiliki tingkat penggunaan dan tingkat kepuasan yang tinggi (Oliver 2013). Sebelumnya, hasil survei lembaga konsultan manajemen Amerika Serikat, Bain & Co. pada tahun 2007, memperlihatkan bahwa perencanaan strategis paling banyak digunakan oleh perusahaan, dan terutama efektif dalam mengidentifikasi peluang-peluang baru untuk pertumbuhan (Rigby dan Bilodeau 2007).

Perencanaan strategis menurut Fry et al. (1999) memiliki manfaat menyeluruh pada performa bisnis perusahaan. Alat manajemen ini terutama bermanfaat bagi perusahaan kecil atau perusahan yang baru membuka usaha di lingkungan yang cenderung mengalami perubahan pesat. Wheelen dan Hunger (2012) juga mengatakan bahwa manajemen strategis menekankan pada performa jangka panjang perusahaan dan bernilai dalam membantu suatu organisasi berjalan sukses pada lingkungan yang kompleks dan dinamis.

Sementara David (2011) mendefinisikan perencanaan strategis atau manajemen strategis sebagai seni dan ilmu dalam merumuskan, menerapkan dan mengevaluasi keputusan-keputusan lintas-fungsi yang memungkinkan suatu organisasi mencapai tujuan-tujuannya. Kegunaan manajemen strategis adalah untuk mengeksploitasi dan menciptakan peluang-peluang yang berbeda dan baru untuk masa depan; perencanaan jangka panjang, dan sebaliknya, berupaya mengoptimalkan tren saat ini untuk masa depan. Seperti juga yang dikatakan Hamel dan Prahalad (1994), strategi adalah bersaing untuk struktur industri masa depan, sama bobotnya dengan bersaing dalam struktur industri saat ini.

Perusahaan biasanya mempertimbangkan tiga jenis strategi: korporasi, bisnis dan fungsional. Strategi korporasi menggambarkan arah secara keseluruhan dalam hal sikap umum menuju pertumbuhan dan pengelolaan berbagai lini bisnis dan produknya. Strategi bisnis biasanya muncul di tingkat unit bisnis atau produk dan menekankan pada peningkatan posisi kompetitif produk atau jasa perusahaan dalam industri atau segmen pasar tertentu yang dilayani unit bisnis tersebut. Strategi fungsional merupakan pendekatan yang diambil di wilayah fungsional untuk mencapai tujuan dan strategi unit bisnis dan korporasi dengan memaksimalkan produktivitas sumber daya (Wheelen dan Hunger 2012).

Page 7: Strategi pengembangan bisnis jaringan televisi lokal …repository.sb.ipb.ac.id/3305/5/E57-05-Firmiyanti...wilayah Jawa Timur, berdiri pada tahun 2001. Stasiun televisi lokal semakin

Untuk Selengkapnya Tersedia di Perpustakaan SB-IPB