STRATEGI PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN BERBASIS … · viii STRATEGI PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN...
Transcript of STRATEGI PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN BERBASIS … · viii STRATEGI PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN...
S T R AT E G I P E M A N FA ATA N J A S A
L I N G K U N G A N B E R B A S I S K A R B O N
Di Taman Nasional
C.01/08.2018
Penerbit IPB PressJalan Taman Kencana, No. 3
Bogor - Indonesia
SubarudiAri Wibowo
Fitri NurfatrianiAsep Sugiharta
Muhammad Zahrul Mutaqin
PENYUNTING:
S T R AT E G I P E M A N FA ATA N J A S A
L I N G K U N G A N B E R B A S I S K A R B O N
Di Taman Nasional
Judul Buku:Strategi Pemanfaatan Jasa Lingkungan Berbasis Karbon di Taman Nasional
Penyunting:Subarudi | Ari Wibowo | Fitri NurfatrianiAsep Sugiharta | Muhammad Zahrul Muttaqin
Penyunting Bahasa:Aditya Dwi Gumelar
Desain Sampul & Penata Isi:Muhamad Ade Nurdiansyah
Korektor:Nopionna Dwi AndariMy Diah Roro
Jumlah Halaman: 312 + 24 halaman romawi
Edisi/Cetakan:Cetakan 1, Agustus 2018
Sumber Foto:Agung Sih Erick Danzer Ismin Ikhwanur Endro Setiawan Nugroho DA
PT Penerbit IPB PressAnggota IKAPIJalan Taman Kencana No. 3, Bogor 16128Telp. 0251 - 8355 158 E-mail: [email protected]
ISBN: 978-602-440-458-1
Dicetak oleh IPB Press Printing, Bogor - IndonesiaIsi di Luar Tanggung Jawab Percetakan
© 2018, HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG
Dilarang memperbanyak buku ini sebagian atau seluruhnya dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi, kecuali untuk keperluan pendidikan atau non-komersial lainnya dengan mencantumkan sumber (penulis) buku ini. Untuk merujuk buku ini dapat dilakukan dengan format sebagai berikut:
Nama-nama Penulis. 2018. “Judul Bab”, dalam Strategi Pemanfaatan Jasa Lingkungan Berbasis Karbon di Taman Nasional, editor: Subarudi, A. Wibowo, F. Nurfatriani, A. Sugiharta, dan M. Z. Muttaqin, IPB Press, Bogor, Indonesia.
Djamaludin Taman Nasional Gunung Palung Taman Nasional Meru Betiri Taman Nasional Sebangau Taman Nasional Gunung Halimun Salak
SAMBUTAN
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah
menetapkan Peraturan Menteri LHK Nomor: P.70/Menlhk/Setjen/
Kum.1/12/2017 tentang Tata Cara Pelaksanaan Reducing Emissions
from Deforestaion and Forest Degradaion, Role of Conservaion, Sustainable Management of Forest and Enhancement of Forest Carbon Stocks sebagai pedoman dalam mengimplementasikan REDD+ di sektor
kehutanan. Oleh karena itu, taman nasional sebagai salah satu aset
dalam pembangunan sektor kehutanan diharapkan ikut berkontribusi
dalam pencapaian target penurunan emisi nasional yang tertuang
dalam Naionally Determined Contribuion (NDC) di sektor kehutanan
baik melalui pelaksanaan REDD+ maupun aksi miigasi dan adaptasi lainnya.
Saat ini, konsep yang relaif mapan di dalam skema REDD+ adalah pendekatan addiionality yang menekankan pada pengukuran kinerja
penurunan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan yang
didasarkan pada kondisi sejarah deforestasi dan degradasi hutan karena
pengelolaan yang bersifat business as usual (BAU). Namun demikian,
mengingat kawasan hutan konservasi, khususnya taman nasional,
memiliki sejarah ingkat deforestasi yang relaif rendah dibandingkan dengan pola pengelolaan hutan lainnya, maka skema pendekatan
addiionality tersebut kurang begitu menarik bagi pengelola kawasan
konservasi. Untuk itu perlu pendekatan lain yang memperhaikan fungsi dan karakterisik masing-masing ekosistem yang ada di taman nasional serta sejarah laju deforestasi dan degradasi hutan di taman
nasional tersebut. Lebih lanjut, pengelola kawasan konservasi dapat
meniikberatkan upaya miigasi perubahan iklimnya pada aspek “plus” dari skema REDD+ seperi konservasi stok karbon hutan dan peningkatan stok karbon hutan, meskipun masih memerlukan elaborasi
terkait dengan metodologi dan tata cara implementasinya.
Didukung oleh Indonesia-Japan Project for Development of REDD+ Implementaion Mechanism (IJ-REDD+), sebuah im penelii sebagai bentuk kerja sama peneliian antara Direktorat Pemanfaatan Jasa
vi
STR
AT
EG
I PE
MA
NFA
ATA
N JA
SA LIN
GK
UN
GA
N B
ER
BA
SIS KA
RB
ON
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
Lingkungan Hutan Konservasi (PJLHK) - Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) dan Pusat Peneliian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim
(P3SEKPI) - Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, telah melaksanakan kegiatan peneliian untuk menyediakan informasi atas gap yang ada untuk mendukung
implementasi REDD+ yang lebih komprehensif dan berkeadilan,
terutama bagi taman nasional. Namun demikian, mengingat
keterbatasan sumber daya, peneliian tersebut baru dapat mencakup dua ipe ekosistem, yaitu hutan hujan dataran rendah dan gambut sehingga upaya serupa perlu dilakukan untuk memperoleh gambaran
ekosistem-ekosistem lainnya di taman nasional di Indonesia secara lengkap. Di samping itu, hasil peneliian perlu direlasikan dengan peraturan yang berlaku terkait dengan REDD+ untuk mendukung
peran yang lebih besar dari taman nasional pada upaya pengendalian
perubahan iklim nasional.
Saya menyambut baik atas inisiaif dan upaya penyusunan buku Strategi
Pemanfaatan Jasa Lingkungan Berbasis Karbon di Taman Nasional
ini sebagai kontribusi posiif dan konstrukif bagi upaya pengendalian perubahan iklim nasional pada umumnya dan implementasi skema
REDD+ di kawasan konservasi pada khususnya. Di samping itu, saya
berharap agar ke depan, pengarus-utamaan isu perubahan iklim mulai diterjemahkan kedalam penyusunan rencana pengelolaan kawasan
hutan konservasi.
Akhir kata, saya menyampaikan apresiasi kepada seluruh pihak yang
telah mencurahkan pikiran dan tenaganya bagi tersusunnya buku
ini dalam rangka mengaktualisasikan dan mengoperasionalisasikan
peran konservasi (role of conservaion) taman nasional maupun hutan
konservasi lainnya dalam upaya pengendalian perubahan iklim di
ingkat nasional maupun global.
Jakarta, Juli 2018
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Ir. Wiratno, M.Sc
PRAKATA
Meskipun umumnya memiliki sejarah laju deforestasi dan degradasi
hutan yang relaif rendah, namun keberadaan taman nasional sebagai salah satu aktor dalam upaya penurunan emisi dalam skema REDD+
sangat pening. Bahkan, skema REDD+ juga memberikan ruang bagi peran konservasi (the role of conservaion) untuk mendapatkan
insenif atas upaya konservasi stok karbon hutan dan/atau peningkatan stok karbon hutan (Pasal 17 Peraturan Menteri LHK Nomor: P.70/
Menlhk/Setjen/Kum.1/12/2017). Hal ini dapat menjadi fokus miigasi perubahan iklim di kawasan konservasi, khususnya taman nasional.
Dengan kata lain, aksi miigasi perubahan iklim di taman nasional perlu merepresentasikan peran konservasi taman nasional karena
memelihara dan/atau meningkatkan stok karbon yang berari menjamin keberlangsungan jasa lingkungan biodiversitas lora dan fauna, ketersediaan jasa lingkungan air termasuk perlindungan daerah
aliran sungai/watershed management, keindahan dan fenomena alam
(wisata alam). Dengan demikian, nilai stok karbon di taman nasional
idak cukup hanya didekai dengan mengukur kuanitas stok karbon yang mengindikasikan besarnya karbon yang tersimpan atau dapat
diserap yang jika idak dijaga berpotensi sebagai sumber emisi ke atmosfer, namun juga perlu mempromosikan “kualitas” stok karbon
yang dapat merepresentasikan kinerja pemanfaatan jasa lingkungan
secara terintegrasi.
Untuk mengaktualisasikan peran konservasi (role of conservaion)
taman nasional dalam kerangka REDD+, diperlukan metode yang dapat
digunakan untuk pengukuran, pelaporan dan veriikasi (MRV). Metode tersebut juga diharapkan dapat digunakan untuk kepeningan yang lebih luas, yaitu bagaimana upaya pemanfaatan jasa lingkungan di
taman nasional dapat lebih mudah dilaksanakan dengan menggunakan
basis stok karbon untuk perencanaan kegiatan pemanfaatan dan
penghitungan investasinya. Dalam upaya penyediaan metode
viii
STR
AT
EG
I PE
MA
NFA
ATA
N JA
SA LIN
GK
UN
GA
N B
ER
BA
SIS KA
RB
ON
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
tersebut, Direktorat PJLHK bekerja sama dengan P3SEKPI dan atas
dukungan IJ-REDD+ telah melakukan kajian untuk mengintegrasikan jasa lingkungan ke dalam karbon hutan dan uji coba implementasinya
di taman nasional.
Buku ini menawarkan metodologi inovaif untuk menilai hubungan antara stok karbon dengan jasa lingkungan lainnya di taman nasional
dan menawarkan gagasan untuk menjadikan stok karbon di taman
nasional sebagai basis untuk menilai manfaat non-karbon sebagai nilai tambah dalam implementasi REDD+. Semoga buku ini dapat
memberikan manfaat yang luas, yang idak hanya sebagai referensi upaya implementasi REDD+ di taman nasional, namun juga memberikan
masukan untuk melakukan kajian dan upaya inovaif lanjutan dalam pengelolaan jasa lingkungan di taman nasional. Kami menyadari
bahwa buku ini masih memiliki kelemahan dan kekurangan. Untuk itu
saran, masukan dan kriikan dari para pihak untuk perbaikan buku ini sangat kami harapkan.
Bogor, Juli 2018
Tim Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Buku ini merupakan salah satu hasil kolaborasi antara Direktorat PJLHK,
Ditjen KSDAE dan P3SEKPI, BLI - KLHK dengan dukungan IJ-REDD+. Buku ini terdiri atas 5 bagian utama yang ditulis oleh 17 penulis dengan
melibatkan banyak pihak, terutama para pihak dari Taman Nasional
Meru Beiri, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Taman Nasional Sebangau dan Taman Nasional Gunung Palung. Secara khusus, kami mengapresiasi kontribusi pening yang telah diberikan oleh:
1. Is Mugiono, Adi Susmianto, Wandojo Siswanto, Wahjudi Wardojo,
Bambang Supriyanto, Ani Mardiastui, Ricky Avenzora dan Zulira Warta untuk semua masukannya bagi penyempurnaan kajian
metodologi pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon di
taman nasional ini sehingga kemudian layak didokumentasikan
hasilnya kedalam buku ini;
2. Hideyuki Kubo, Toni Anwar, Hiroshi Kobayashi, Noor Hidayat, Fina
Agusiani, Mundi Prasetyan dan Herman Rusmana (IJ-REDD+) atas dukungannya sehingga kajian metodologi pemanfaatan jasa
lingkungan berbasis karbon di taman nasional dapat terwujud dan
menjadi landasan awal dalam penyusunan buku ini;
3. Wahyu Iskandar, Endro Seiawan, Bambang Suryantoro dan Muhammad Badri (Taman Nasional Gunung Palung);
4. Purwantono dan Nugroho Driatmojo (Taman Nasional Meru
Beiri);
5. Noviyani Nugraheni, Suyoko dan Hendro Sopha (Taman Nasional Sebangau);
6. M. Erlan Sudahlan, Nur Faizin, Momo Suparmo (Taman Nasional Gunung Halimun Salak);
7. Endah Tri Kurniawai dan Lia Karikasari (Direktorat Mobilisasi Sumberdaya Sektoral dan Regional, Ditjen PPI);
x
STR
AT
EG
I PE
MA
NFA
ATA
N JA
SA LIN
GK
UN
GA
N B
ER
BA
SIS KA
RB
ON
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
8. Nunu Anugrah dan Desy Satya Chandradewi (Direktorat Konservasi
Keanekaragaman Hayai, Ditjen KSDAE);
9. Sri Mulyani, Agus Supriyanto dan Iskandar (Setditjen KSDAE);
10. Edi Sulistyo (P3E Kalimantan) dan Sudarmalik (Pusjakstra), Yayasan
Palung dan Yayasan ASRI.
Selain para pihak yang telah disebutkan di atas, kami juga
menyampaikan penghargaan kepada para mitra, petugas lapangan,
narasumber wawancara dan responden lainnya yang idak bisa kami sebutkan satu persatu atas bantuan dan kontribusinya.
DAFTAR ISI
SAMBUTAN .................................................................................... v
PRAKATA ...................................................................................... vii
UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................. ix
DAFTAR ISI .................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................xvii
DAFTAR GAMBAR .........................................................................xxi
PENDAHULUAN
I. MENUJU PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN BERBASIS
KARBON DI TAMAN NASIONAL: Sebuah Pendahuluan ............. 3
Subarudi, Muhammad Zahrul Mutaqin, Ari Wibowo dan Anton Eko Satrio
1.1 Latar Belakang ....................................................................... 3
1.2 Kerangka Konseptual ............................................................ 4
1.3 Gambaran Umum Lokasi Kajian ............................................ 6
1.4 Kebijakan Terkait Pemanfaatan Jasa Lingkungan
Berbasis Karbon di Taman Nasional .................................... 12
1.5 Ancaman Deforestasi dan Degradasi di Taman Nasional .... 15
1.6 Menilai Karbon Berdasarkan Jasa Lingkungan .................... 15
1.7 Mempersiapkan Kelembagaan Pemanfaatan
Jasa Lingkungan Berbasis Karbon ........................................ 17
1.8 Peran Taman Nasional dalam Upaya Miigasi Perubahan Iklim .................................................................. 18
1.9 Kesimpulan dan Saran ......................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 22
xii
STR
AT
EG
I PE
MA
NFA
ATA
N JA
SA LIN
GK
UN
GA
N B
ER
BA
SIS KA
RB
ON
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
BAGIAN KESATU
PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN DI TAMAN NASIONAL
DAN ANCAMANNYA
II. KEBIJAKAN PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN DI TAMAN
NASIONAL ............................................................................. 25
Sulistya Ekawai
2.1 Mengenal Taman Nasional ................................................. 25
2.2 Gap Kebijakan Pemanfaatan Jasa Lingkungan
di Taman Nasional ............................................................... 28
2.3 Gap Kebijakan Kelembagaan Taman Nasional .................... 46
2.4 Penutup ............................................................................... 50
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 51
III. ANCAMAN DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN
DI TAMAN NASIONAL ............................................................ 55
Ari Wibowo, Eka Susani dan Annisa Agusina
3.1 Pendahuluan ....................................................................... 55
3.2 Ancaman Deforestasi dan Degradasi di Taman Nasional
Meru Beiri .......................................................................... 57
3.3 Ancaman Deforestasi dan Degradasi
di Taman Nasional Sebangau .............................................. 63
3.4 Ancaman Deforestasi dan Degradasi di Taman Nasional
Gunung Halimun Salak ........................................................ 71
3.5 Ancaman Deforestasi dan Degradasi di Taman Nasional
Gunung Palung .................................................................... 77
3.6 Penutup ............................................................................... 82
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 83
BAGIAN KEDUA
PENDEKATAN INDIKATOR JASA LINGKUNGAN
DI TAMAN NASIONAL
IV. INTEGRASI JASA LINGKUNGAN DALAM INDIKATOR KARBON:
Sebuah Pendekatan Awal ...................................................... 87
Muhammad Zahrul Mutaqin, Virni Budi Arifani, Mega Lugina
4.1 Pendahuluan ....................................................................... 87
4.2 Kerangka Konseptual .......................................................... 88
xiii
DA
FTAR
ISI
4.3 Penentuan Unit Analisis ...................................................... 90
4.4 Stok Karbon di Taman Nasional dan Hubungannya
dengan Indikator Jasa Lingkungan ...................................... 93
4.5 Esimasi Nilai Ekonomi Stok Karbon .................................... 95
4.6 Nilai Stok Karbon yang Terintegrasi
dengan Jasa Lingkungan ...................................................... 96
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 99
V. STOK KARBON DI TAMAN NASIONAL ................................... 103
Mega Lugina dan Virni Budi Arifani
5.1 Pendahuluan ..................................................................... 103
5.2 Stok Karbon di Taman Nasional Meru Beiri ..................... 104
5.3 Stok Karbon di Taman Nasional Sebangau ........................ 107
5.4 Stok Karbon di Taman Nasional Halimun Salak ................. 110
5.5 Stok Karbon di Taman Nasional Gunung Palung ............... 113
5.6 Tantangan ke Depan ......................................................... 118
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 118
VI. INDIKATOR BIODIVERSITAS DI TAMAN NASIONAL ............... 121
Adi Susilo
6.1 Pendahuluan ..................................................................... 121
6.2 Indikator Biodiversitas di Taman Nasional Meru Beiri .... 124
6.3 Indikator Taman Nasional Gunung Halimun Salak ............ 127
6.4 Indikator Taman Nasional Sebangau ................................ 130
6.5 Indikator Taman Nasional Gunung Palung ........................ 132
6.6 Kesimpulan ........................................................................ 134
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 134
VII. INDIKATOR JASA AIR DAN KEINDAHAN ALAM DI TAMAN
NASIONAL ........................................................................... 139
Mirna Aulia Pribadi
7.1 Pendahuluan ...................................................................... 139
7.2 Jasa Air dan Keindahan Alam di Taman Nasional .............. 141
7.3 Metode Valuasi Jasa Lingkungan Air dan Keindahan Alam di Taman Nasional .......................... 145
xiv
STR
AT
EG
I PE
MA
NFA
ATA
N JA
SA LIN
GK
UN
GA
N B
ER
BA
SIS KA
RB
ON
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
7.4 Uji Coba Valuasi Jasa Lingkungan Air dan Keindahan Alam di Taman Nasional........................... 152
7.5 Kesimpulan dan Saran ....................................................... 159
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 160
VIII. NILAI EKONOMI STOK KARBON DI TAMAN NASIONAL ......... 163
Indarik
8.1 Pendahuluan ..................................................................... 163
8.2 Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan di Taman Nasional ........... 164
8.3 Nilai Ekonomi Total Jasa Lingkungan dan Esimasi Nilai Karbon di Taman Nasional ................................................ 176
8.4 Penutup ............................................................................. 177
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 178
BAGIAN KETIGA
TRANSFORMASI KELEMBAGAAN UNTUK MENDUKUNG
REALISASI PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN BERBASIS
KARBON DI TAMAN NASIONAL
IX. TRANSFORMASI ORGANISASI DAN MANAJEMEN SUMBER
DAYA MANUSIA TAMAN NASIONAL BAGI OPTIMALISASI
PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN BERBASIS KARBON ...... 183
Mimi Salminah
9.1 Pendahuluan ..................................................................... 183
9.2 Struktur, Fungsi dan Program Kerja Organisasi ................ 186
9.3 Sumber Daya Manusia (SDM) ........................................... 196
9.4 Sarana Prasarana (Sarpras) ............................................... 204
9.5 Komparasi Kondisi Riil dengan Konstruksi Ideal................ 205
9.6 Kesimpulan ........................................................................ 209
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 210
X. ALTERNATIF SKEMA PENDANAAN PEMANFAATAN JASA
LINGKUNGAN BERBASIS KARBON DI TAMAN NASIONAL ...... 213
Fitri Nurfatriani dan Mohamad Iqbal
10.1 Latar Belakang .................................................................. 213
10.2 Skema Pendanaan Taman Nasional Saat Ini .................... 214
xv
DA
FTAR
ISI
10.3 Proil Penerimaan, Alokasi Belanja dan Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan Taman Nasional .................................... 219
10.4 Struktur Anggaran Taman Nasional Berbasis
Pemanfaatan Jasa Karbon ................................................ 221
10.5 Mekanisme Pendanaan Miigasi Perubahan Iklim di Kawasan Konservasi ..................................................... 240
10.6 Kesimpulan ....................................................................... 243
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 245
XI. DESAIN PENGELOLAAN DANA PERWALIAN (TRUST FUND)
UNTUK MENDUKUNG PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL .... 247
Galih Karika Sari
11.1 Pendahuluan .................................................................... 247
11.2 Pengerian dan Jenis Dana Perwalian .............................. 248
11.3 Peluang Pemanfaatan Dana Perwalian
di Taman Nasional ............................................................ 249
11.4 Penutup ............................................................................ 266
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 267
XII. MEKANISME INSENTIF DAN DISINSENTIF DALAM
PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN BERBASIS KARBON
DI TAMAN NASIONAL .......................................................... 271
Subarudi
12.1 Pendahuluan .................................................................... 271
12.2 Pengerian Insenif dan Disinsenif .................................. 273
12.3 Kesenjangan Kebijakan Insenif dan Disinsenif Pemanfaatan Jasa Lingkungan Berbasis Karbon
di Taman Nasional ............................................................ 275
12.4 Mekanisme Insenif dan Disinsenif Pemanfaatan Jasa Lingkungan Berbasis Karbon di Taman Nasional .............. 278
12.5 Strategi Merealisasikan Insenif dan Disinsenif untuk Opimalisasi Pemanfaatan Jasa Lingkungan Berbasis Karbon di Taman Nasional ................................. 295
12.6 Kesimpulan ....................................................................... 298
12.7 Saran ................................................................................ 300
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 301
xvi
STR
AT
EG
I PE
MA
NFA
ATA
N JA
SA LIN
GK
UN
GA
N B
ER
BA
SIS KA
RB
ON
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
PENUTUP
XIII. TANTANGAN DAN PELUANG PEMANFAATAN JASA
LINGKUNGAN BERBASIS KARBON DI TAMAN NASIONAL:
Rekomendasi Manajerial ..................................................... 305
Muhammad Zahrul Mutaqin, Asep Sugiharta, dan Ari Wibowo
13.1 Pendahuluan .................................................................... 305
13.2 Tantangan Mengimplementasikan Konsep Integrasi
Jasa Lingkungan Berbasis Karbon Hutan
di Taman Nasional ............................................................ 306
13.3 Peluang Mengimplementasikan Konsep Integrasi Jasa
Lingkungan Berbasis Karbon Hutan di Taman Nasional ... 308
13.4 Kesimpulan dan Saran ...................................................... 310
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 311
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Kesenjangan kebijakan pemanfaatan jasa lingkungan
berbasis karbon di taman nasional ............................... 13
Tabel 2.1. Gap kebijakan dengan implementasi pemanfaatan
jasling di keempat taman nasional ................................ 30
Tabel 2.2. Pemanfaatan jasa lingkungan
di keempat taman nasional ........................................... 32
Tabel 2.3. Aktor pemanfaatan jasa lingkungan di taman nasional
(lokasi peneliian) .......................................................... 33
Tabel 2.4. Gap kebijakan pemanfaatan jasa karbon
di hutan konservasi ....................................................... 37
Tabel 2.5. Gap kebijakan pemanfaatan air di hutan konservasi .... 40
Tabel 2.6. Gap kebijakan pemanfaatan wisata alam ..................... 43
Tabel 2.7. Gap kebijakan pemanfaatan keanekaragaman hayai .. 45
Tabel 2.8. Gap kebijakan pendanaan taman nasional ................... 48
Tabel 2.9. Hasil penilaian efekivitas pengelolaan di keempat taman nasional (lokasi peneliian) ................................ 50
Tabel 3.1. Analisis tutupan lahan TNMB tahun 1990–2015........... 58
Tabel 3.2. Luas dan persentase tutupan lahan hutan
dan besarnya deforestasi di TNMB
tahun 1990–2015 .......................................................... 59
Tabel 3.3. Perubahan tutupan lahan pada periode
tahun 2001–2010 di TNMB ........................................... 59
Tabel 3.4. Jenis gangguan hutan dominan di TNMB
tahun 2012–2016 .......................................................... 62
Tabel 3.5. Analisis tutupan lahan TNS tahun 1990–2015 .............. 64
Tabel 3.6. Luas dan persentase tutupan lahan hutan
dan besarnya deforestasi di TNS tahun 1990–2015 ...... 66
xviii
STR
AT
EG
I PE
MA
NFA
ATA
N JA
SA LIN
GK
UN
GA
N B
ER
BA
SIS KA
RB
ON
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
Tabel 3.7. Analisis tutupan lahan TNGHS tahun 1990–2015 ......... 72
Tabel 3.8. Luas dan persentase tutupan lahan hutan
dan besarnya deforestasi di TNGHS
tahun 1990–2015 .......................................................... 73
Tabel 3.9. Jumlah dan volume PETI di TNGHS
tahun 2012–2016 .......................................................... 75
Tabel 3.10. Analisis tutupan lahan TNGP tahun 1990–2015............ 78
Tabel 3.11. Luas dan persentase tutupan lahan hutan
dan besarnya deforestasi di TNGP tahun 1990–2015 ... 80
Tabel 4.1. Luas ekosistem yang dianalisis ...................................... 93
Tabel 4.2. Hasil analisis indikator jasa lingkungan
di ekosistem hutan dataran rendah .............................. 94
Tabel 4.3. Hasil analisis indikator jasa lingkungan
di ekosistem gambut ..................................................... 94
Tabel 4.4. Esimasi nilai karbon di ekosistem hutan dataran rendah ............................................................. 95
Tabel 4.5. Esimasi nilai karbon di ekosistem gambut ................... 95
Tabel 4.6. Ringkasan integrasi jasa lingkungan ke dalam
stok karbon di ekosistem hutan dataran rendah
taman nasional .............................................................. 96
Tabel 4.7. Ringkasan integrasi jasa lingkungan ke dalam
stok karbon di ekosistem gambut taman nasional ....... 97
Tabel 5.1. Tipe ekosistem pada TNMB ........................................ 105
Tabel 5.2. Rata-rata cadangan karbon pada dua ekosistem di TNMB ...................................................................... 107
Tabel 5.3. Cadangan karbon pada dua ekosistem di TNMB ........ 107
Tabel 5.3. Jumlah PSP dan rata-rata dugaan cadangan karbon di atas permukaan iap lokasi ..................................... 109
Tabel 5.4. Total C AGC dan total C AGC+peat .............................. 110
Tabel 5.5. Cadangan karbon hutan di lima pool karbon TNGHS ............................................................. 112
Tabel 5.6. Luas ipe ekosistem di TNGP ....................................... 113
Tabel 5.7. Cadangan karbon hutan di lima pool karbon TNGP .... 115
xix
DA
FTAR
TAB
EL
Tabel 6.1. Lima jenis pohon dominan di ekosistem hutan
dataran rendah TNMB ................................................ 124
Tabel 6.2. Indeks keragaman hayai beberapa jenis fauna di TNMB .................................... 125
Tabel 6.3. Lima jenis pohon dominan di TNGHS .......................... 128
Tabel 6.4. Indeks keragaman hayai beberapa jenis fauna di TNGHS................................... 128
Tabel 6.5. Peran jenis pohon dominan pada kehidupan
Owa Jawa dan Elang Jawa ........................................... 129
Tabel 6.6. Lima jenis pohon dominan di TNS ............................... 130
Tabel 6.7. Indeks keragaman hayai beberapa jenis fauna di TNS .......................................................................... 130
Tabel 6.8. Lima jenis pohon dominan di ekosistem hutan
dataran rendah TNGP ................................................. 132
Tabel 6.9. Lima jenis pohon dominan
di ekosistem gambut TNGP ......................................... 133
Tabel 6.10. Indeks keragaman hayai fauna di TNGP .................... 133
Tabel 7.1. Potensi debit air sungai di ekosistem hutan hujan
dataran rendah pada taman nasional contoh ............. 152
Tabel 7.2. Potensi jasa air ekosistem gambut .............................. 155
Tabel 7.3. Hasil uji coba penghitungan indeks SBE
di empat taman nasional contoh ................................ 156
Tabel 7.4. Kategorisasi indeks SBE ............................................... 156
Tabel 7.5. Kategori nilai keindahan alam menurut indeks SBE
di empat taman nasional contoh ................................ 156
Tabel 8.1. Nilai jasa wisata alam di empat taman nasional ......... 165
Tabel 8.2. Pungutan usaha pemanfaatan air (PUPA)
di kawasan hutan konservasi ...................................... 167
Tabel 8.3. Nilai jasa air di empat taman nasional ........................ 168
Tabel 8.4. Nilai biodiversitas lora non komersial dan komersial di 4 taman nasional ............................. 171
Tabel 8.5. Nilai total biodiversitas (lora dan fauna) di empat taman nasional ............................................ 174
xx
STR
AT
EG
I PE
MA
NFA
ATA
N JA
SA LIN
GK
UN
GA
N B
ER
BA
SIS KA
RB
ON
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
Tabel 8.6. Nilai ekonomi total dan esimasi nilai karbon di empat taman nasional ............................................ 176
Tabel 9.1. Sasaran strategis masing-masing taman nasional ....... 192
Tabel 9.2. Kinerja kegiatan untuk mendukung pencapaian
output masing-masing taman nasional ....................... 193
Tabel 9.3. Perbandingan luas areal dan jumlah SDM .................. 197
Tabel 9.4. Kebutuhan SDM bagi pengopimalan jasa lingkungan di taman nasional .............................. 201
Tabel 9.5. Kondisi riil vs konstruksi ideal
manajemen organisasi dan SDM taman nasional ....... 206
Tabel 11.1. Dasar hukum pembangunan dan pemanfaatan
dana perwalian di Indonesia ....................................... 252
Tabel 11.2. Karakterisik pengelolaan PNBP K/L ............................ 261
Tabel 12.1. Kesenjangan kebijakan pemanfaatan
jasa lingkungan berbasis karbon di taman nasional .... 275
Tabel 12.2. Jenis kegiatan di taman nasional
yang perlu diberikan insenif....................................... 278
Tabel 12.3. Hasil perhitungan uji coba penerapan insenif dan disinsenif bagi taman nasional ............................ 286
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Alur pikir kajian pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon di taman nasional ............................5
Gambar 1.2. Lokasi TN Meru Beiri di selatan Jawa Timur .............6
Gambar 1.3. Peta lokasi dan pembagian wilayah kerja pengelolaan TN Sebangau ..........................................9
Gambar 1.4. Lokasi TN Gunung Halimun Salak .............................10
Gambar 3.1. Peta tutupan lahan di TNMB pada tahun 1990 dan 2015 ..................................................................57
Gambar 3.2. Graik gangguan hutan di TNMB
tahun 2012–2016 (BTNMB, 2017)............................61
Gambar 3.3. Peta tutupan lahan di TNS pada tahun 1990 dan 2015 ......................................63
Gambar 3.4. Graik jumlah hotspot dan luas kebakaran
di TNS tahun 2011–2016 ..........................................67
Gambar 3.5 Sebaran iik api di kawasan TNS tahun 2011–2015 (Anggodo, 2017) .........................68
Gambar 3.6. Peta tutupan lahan di TNGHS pada tahun 1990 dan 2015 ......................................73
Gambar 3.7. Peta tutupan lahan di TNGP pada tahun 1990 dan 2015 ......................................80
Gambar 4.1. Peta ekosistem dan DAS di TN Meru Beiri ......................................................90
Gambar 4.2. Peta ekosistem dan DAS di TN Gunung Halimun Salak ....................................91
Gambar 4.3. Peta ekosistem dan DAS di TN Gunung Palung ........91
Gambar 4.4. Peta ekosistem gambut di TN Sebangau ..................92
xxii
STR
AT
EG
I PE
MA
NFA
ATA
N JA
SA LIN
GK
UN
GA
N B
ER
BA
SIS KA
RB
ON
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
Gambar 5.1. Sebaran permanent sample plot di TNMB .............106
Gambar 5.2. Peta kawasan TNS ..................................................108
Gambar 5.3. Peta ekosistem TNGHS ...........................................111
Gambar 5.4. Ekosistem hutan di TNGP .......................................114
Gambar 7.1. Watershed delineaion di TNMB ............................151
Gambar 7.2. Watershed delineaion di TNGHS ...........................151
Gambar 7.3. Watershed delineaion di TNGP .............................152
Gambar 7.4. Peta distribusi curah hujan Agustus 2016 Provinsi Kalimantan Barat ......................................153
Gambar 9.1. Pendekatan open system theory dalam analisis
transformasi organisasi manajemen
dan sumber daya manusia taman nasional............186
Gambar 9.2. Struktur organisasi TN kelas I ipe A ......................188
Gambar 9.3. Struktur organisasi TN kelas II ipe A .....................188
Gambar 9.4. Usulan bentuk struktur organisasi untuk mendukung pengopimalan jasa lingkungan .........196
Gambar 9.5. Pengembangan struktur fungsi teknis organisasi taman nasional untuk mendukung
pengopimalan jasa lingkungan .............................196
Gambar 9.6. Komposisi pegawai taman nasional berdasarkan usia ....................................................198
Gambar 9.7. Komposisi pegawai taman nasional berdasarkan ingkat pendidikan ............................198
Gambar 9.8. Proporsi alokasi pegawai taman nasional berdasarkan bidang pekerjaan ...............................199
Gambar 9.9. Komposisi pegawai taman nasional berdasarkan latar belakang pendidikan ......................................200
Gambar 10.1. Rata-rata PNBP di empat taman nasional contoh (Rp/tahun) ..............................................................215
Gambar 10.2. Perbandingan rata-rata PNBP terhadap belanja total taman nasional ..................216
Gambar 10.3. Perbandingan rata-rata PNBP terhadap belanja barang dan modal taman nasional .........................217
xxiii
DA
FTAR
GA
MB
AR
Gambar 10.4. Rata-rata komponen belanja di empat taman nasional .......................................218
Gambar 10.5. Proil penerimaan, alokasi belanja dan nilai ekonomi jasa lingkungan TNGHS ....................219
Gambar 10.6. Perbandingan anggaran terkait karbon
terhadap total anggaran TNS .................................222
Gambar 10.7. Perbandingan persentase anggaran
terkait karbon dan non karbon TNS .......................223
Gambar 10.8. Proporsi anggaran terkait pemanfaatan jasa karbon hutan di TNS .......................................223
Gambar 10.9. Proporsi anggaran kegiatan skema penurunan emisi di TNS .........................................224
Gambar 10.10. Proporsi anggaran kegiatan skema konservasi stok karbon di TNS .................................................225
Gambar 10.11. Proporsi anggaran kegiatan skema peningkatan stok karbon di TNS .................................................226
Gambar 10.12. Perbandingan anggaran terkait karbon
terhadap total anggaran TNGHS ............................226
Gambar 10.13. Perbandingan persentase anggaran
terkait karbon dan non karbon TNGHS ..................227
Gambar 10.14. Proporsi anggaran terkait pemanfaatan jasa karbon hutan di TNGHS ..................................228
Gambar 10.15. Proporsi anggaran kegiatan skema penurunan emisi di TNGHS .......................................................228
Gambar 10.16. Proporsi anggaran kegiatan skema konservasi stok karbon di TNGHS ............................................229
Gambar 10.17. Proporsi anggaran kegiatan skema peningkatan stok karbon di TNGHS ............................................230
Gambar 10.18. Perbandingan anggaran terkait karbon
terhadap total anggaran TNGP ..............................231
Gambar 10.19. Perbandingan persentase anggaran terkait karbon dan non karbon TNGP ................................231
Gambar 10.20. Proporsi anggaran terkait pemanfaatan jasa karbon hutan di TNGP .....................................232
xxiv
STR
AT
EG
I PE
MA
NFA
ATA
N JA
SA LIN
GK
UN
GA
N B
ER
BA
SIS KA
RB
ON
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
Gambar 10.21. Proporsi anggaran kegiatan skema penurunan emisi di TNGP .........................................................233
Gambar 10.22. Proporsi anggaran kegiatan skema konservasi stok karbon di TNGP .............................234
Gambar 10.23. Proporsi anggaran kegiatan skema peningkatan stok karbon di TNGP ..........................235
Gambar 10.24. Perbandingan anggaran terkait karbon terhadap total anggaran TNMB .............................236
Gambar 10.25. Perbandingan persentase anggaran terkait karbon dan non karbon TNMB ...................236
Gambar 10.26. Proporsi anggaran terkait pemanfaatan jasa karbon hutan di TNMB ....................................237
Gambar 10.27. Proporsi anggaran terkait kegiatan skema penurunan emisi TNMB .........................................238
Gambar 10.28. Proporsi anggaran kegiatan skema konservasi stok karbon di TNMB..............................................239
Gambar 10.29. Proporsi anggaran kegiatan skema peningkatan stok karbon di TNMB..............................................239
Gambar 10.30. Pendanaan miigasi perubahan iklim (Direktorat MSSR, 2017) ........................................240
Gambar 11.1. Desain struktur organisasi dan tata kerja pengelolaan dana perwalian di taman nasional
melalui mekanisme hibah ......................................258
Gambar 11.2. Struktur yayasan pengelola dana perwalian di taman nasional ...................................................259
Gambar 11.3. Penerimaan PNBP empat taman nasional (diolah dari data KLHK, 2017) .................................262
Gambar 12.1. Skema pembayaran jasa lingkungan di taman nasional ...................................................288
PENDAHULUAN
I. MENUJU PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN BERBASIS KARBON DI
TAMAN NASIONAL: Sebuah PendahuluanSubarudi, Muhammad Zahrul Mutaqin, Ari Wibowo
dan Anton Eko Satrio
1.1 Latar Belakang
Aksi miigasi perubahan iklim di taman nasional dapat merepresentasikan peran konservasi taman nasional, karena memelihara dan/atau meningkatkan stok karbon di taman nasional berari menjamin keberlangsungan jasa lingkungan biodiversitas lora dan fauna, ketersediaan jasa lingkungan air termasuk perlindungan daerah aliran sungai/watershed management, keindahan dan fenomena alam (wisata alam). Dengan demikian, nilai karbon di taman nasional idak cukup hanya didekai dengan mengukur kuanitas stok karbon yang mengindikasikan besarnya karbon yang dapat diserap dan berpotensi sebagai sumber emisi ke atmosfer, namun juga dengan mengukur kualitas stok karbon yang terkait dengan jasa lingkungan lainnya.
Untuk mengaktualisasikan peran konservasi (role of conservaion) taman nasional diperlukan metode yang dapat digunakan untuk pengukuran, pelaporan dan veriikasi (MRV) dalam kerangka REDD+. Metode tersebut juga diharapkan dapat digunakan untuk kepeningan yang lebih luas, yaitu bagaimana upaya pemanfaatan jasa lingkungan di taman nasional dapat lebih mudah dilaksanakan dengan menggunakan basis stok karbon untuk perencanaan kegiatan pemanfaatan dan penghitungan investasinya.
Pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon sangat berpotensi, idak hanya dalam hal memudahkan pengelola taman nasional untuk bernegosiasi dengan investor, namun juga dapat membantu menggalang dukungan dan pendanaan publik di ingkat nasional dan global bagi pengelolaan taman nasional. Dalam upaya penyediaan metode tersebut, Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi (PJLHK) bekerja sama dengan Pusat Peneliian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim
4
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
(P3SEKPI) dan atas dukungan IJ-REDD+ telah melakukan kajian untuk mengintegrasikan jasa lingkungan kedalam karbon hutan dan uji coba implementasinya di empat taman nasional contoh, yaitu Taman Nasional Meru Beiri (TNMB),Taman Nasional Sebangau (TNS), Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan Taman Nasional Gunung Palung (TNGP).
Tujuan kajian tersebut, yaitu (1) mengintegrasikan indikator jasa lingkungan keanekaragaman hayai, air dan keindahan alam ke dalam stok karbon hutan di empat taman nasional yaitu TNMB, TNS, THGHS dan TNGP; (2) mengkaji alternaif kelembagaan pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon berkelanjutan di taman nasional; dan (3) menyusun skema pendanaan alternaif untuk mendukung pengelolaan hutan konservasi yang efekif dan eisien. Kajian ini dilakukan selama 1 tahun mulai April 2017 hingga Maret 2018 di Kalimantan Barat (TN Gunung Palung), Kalimantan Tengah (TN Sebangau), Jawa Barat (TN Gunung Halimun Salak) dan Jawa Timur (TN Meru Beiri).
Berdasarkan kajian tersebut, buku ini menawarkan metodologi inovaif untuk menilai hubungan antara stok karbon dengan jasa lingkungan lainnya (kualitas stok karbon) di taman nasional dan menawarkan gagasan untuk menjadikan stok karbon di taman nasional sebagai basis untuk menilai manfaat non-karbon sebagai nilai tambah dalam implementasi REDD+. Buku ini juga dilengkapi dengan uraian tentang pengembangan kebijakan dan strategi integrasi jasa lingkungan berbasis karbon di taman nasional. Selain itu, buku ini juga menyajikan opsi-opsi kebijakan teknis dan iskal serta bentuk kelembagaan yang tepat dalam implementasi REDD+ di taman nasional.
1.2 Kerangka Konseptual
Sebagaimana dipaparkan pada Gambar 1.1, alur pikir kajian yang digunakan adalah bagaimana jasa lingkungan karbon dapat menjadi fokus pemanfaatan jasa lingkungan di taman nasional yang melipui penyediaan jasa penyerapan dan penyimpanan karbon, penyediaan biodiversitas, penyediaan jasa tata air dan wisata alam.
5
I. MEN
UJU PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL: SEBUAH PENDAHU
LUAN
Indikator Jasa Lingkungan di Taman Nasional Kelembagaan Pemanfaatan Jasa Lingkungan di Taman Nasional
Jasa Lingkungan di Taman Nasional
Nilai dan Indeks Kehati
Indikator dan Nilai Jasa Air dan Ekowisata Stok Karbon
Peraturan Perundangan dan Tahubja
Organisasi dan Manajemen SDM Sistem Pendanaan
Integrasi Indikator Jasa
Lingkungan kedalam Karbon
Hutan
Desain Inovatif Kelembagaan
Pemanfaatan Jasa Lingkungan
Berbasis Karbon
Ancaman deforestasi &
degradasi terhadap stok karbon,
kehati, hidro-orologi dan
keindahan alam
Skema Pemanfaatan Jasa
Lingkungan & Pendanaan Bagi
Pengelolaan Taman Nasional
Berkelanjutan
Gambar 1.1 Alur pikir kajian pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon di taman nasional
Keempat jasa lingkungan tersebut akan dinilai setara karbon. Di samping untuk menilai kualitas stok karbon hutan, hal ini juga dilakukan untuk mempermudah upaya pemanfaatan jasa lingkungan hutan lainnya karena unit penilaian menjadi lebih terukur dan sederhana. Bagaimanapun, penerapan pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon di taman nasional secara luas memerlukan proses internalisasi dan insitusionalisasi sehingga diperlukan sistem kelembagaan pemanfaatan jasa lingkungan yang mampu mendukung pendekatan baru tersebut. Oleh karena itu, bersamaan dengan kajian integrasi indikator jasa lingkungan kedalam karbon hutan, dilakukan juga kajian kelembagaan pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon di taman nasional untuk menguji kondisi eksising kesiapan taman nasional, baik dari aspek kebijakan, organisasi dan manajemen sumber daya manusia (SDM) maupun sistem pendanaannya. Hasil kedua kajian ini diharapkan menjadi basis dalam merancang sistem pemanfaatan jasa lingkungan dan pendanaan alternaif untuk mendukung pengelolaan taman nasional berkelanjutan.
6
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
1.3 Gambaran Umum Lokasi Kajian
1.3.1 Gambaran Umum Taman Nasional Meru BeiriTaman Nasional Meru Beiri (TNMB) terletak di bagian selatan Provinsi Jawa Timur dan berada di dua kabupaten yaitu Jember dan Banyuwangi dengan aksesibilitas relaif inggi. Luas total TNMB adalah ± 58.000 ha yang terdiri atas berbagai ipe vegetasi dari pegunungan sampai ke daerah pesisir. TNMB kaya keanekaragaman hayai dan kehidupan masyarakat sekitar hutan yang memberikan dampak posiif dan negaif terhadap kelestarian hutan. Kondisi topograi sangat bervariasi mulai dari daerah perbukitan, dataran rendah, pantai dan mangrove yang menghadap ke Samudera Hindia. Kawasan TNMB seluas ±58.000 ha berdasarkan SK Menhut No.277/Kpts-IV/1997. Lokasi geograi TNMB adalah 113º38’38” – 113º58’30” BT dan 8º20’48” – 8º33’48” LS.
Gambar 1.2 Lokasi TN Meru Beiri di selatan Jawa Timur
Kawasan taman nasional merupakan ekosistem hutan hujan tropis dengan keanekaragaman lora dan fauna yang inggi. Lebih dari 500 jenis vegetasi telah diideniikasi, termasuk tanaman obat, tanaman hias, dan bambu. Dalam hal fungsi, TNMB dibagi menjadi 5 zona, yaitu zona ini, zona hutan utuh, zona pemanfaatan, zona rehabilitasi dan
7
I. MEN
UJU PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL: SEBUAH PENDAHU
LUAN
zona penyangga. Seiap zona dikelola secara khusus berdasarkan fungsi spesiik. Zona ini dengan luas wilayah ±27,900 ha merupakan kawasan lindung dan hanya diperbolehkan untuk peneliian dan pendidikan. Zona hutan dengan total luas ±22,622 ha diperbolehkan untuk peneliian dan pendidikan, pemanfaatan terbatas untuk ekowisata. Zona Pemanfaatan dengan luas total ±1,285 ha selain untuk peneliian dan pendidikan, juga untuk pemanfaatan berkelanjutan pada dataran inggi dan pesisir yaitu untuk ekowisata. Zona rehabilitasi dengan luas wilayah ±4,023 ha adalah zona di mana rehabilitasi hutan dan lahan (agro-kehutanan budidaya) melibatkan masyarakat lokal sedang berlangsung untuk memperkuat dan melindungi zona lain. Kegiatan rehabilitasi dilakukan di daerah ini untuk memulihkan tutupan hutan dari pembalakan ilegal, konversi dan budidaya sejak awal 1990-an. Rehabilitasi dilakukan berdasarkan prinsip saling menguntungkan antara TNMB dan masyarakat dengan mengembangkan sistem agroforestry.
Tipe hutan di Taman Nasional Meru Beiri adalah hutan mangrove, hutan rawa, dan hutan hujan dataran rendah. TNMB juga merupakan rumah bagi beberapa satwa yang dilindungi, termasuk 29 jenis mamalia dan 180 jenis burung. TNMB dikenal sebagai habitat terakhir Harimau Jawa (Panthera igris sondaica) yang sekarang menjadi sangat terancam punah dan merupakan jenis yang dilindungi. Jejak harimau ini idak ditemukan lagi selama bertahun-tahun sehingga dikhawairkan telah punah. TNMB juga memiliki keisimewaan lainnya yaitu habitat penyu. Pantai Sukamade merupakan habitat dari berbagai jenis penyu seperi penyu belimbing, penyu sisik, dan penyu hijau. Fasilitas penangkaran sederhana telah dibangun di pantai ini untuk memasikan bahwa penyu tersebut idak punah.
1.3.2 Gambaran Umum Taman Nasional Sebangau
Kawasan Taman Nasional Sebangau mempunyai luas ±568.700 ha, secara administraif terletak di iga wilayah Kabupaten/Kota, yaitu Kota Palangkaraya, Kabupaten Kaingan, dan Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah. Kawasan ini ditetapkan untuk menyelamatkan ekosistem gambut beserta keanekaragaman hayai dan keunikan alamnya untuk kepeningan peningkatan kualitas hidup manusia generasi sekarang dan yang akan datang.
8
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Topograi kawasan TN Sebangau sebagian besar tergolong datar dengan kelerengan < 2% dengan keinggian antara 0–35 mdpl. Hanya pada beberapa tempat yang berbukit-bukit yang di sekitarnya terdapat topograi yang lebih curam dan dengan keinggian di atas 35 mdpl. Menurut pembagian ipe hujan dari Schmidt dan Ferguson, kawasan taman nasional. Sebangau didominasi oleh ipe hujan A yaitu daerah yang memiliki bulan basah (CH > 100mm) selama 9–12 bulan dengan bulan kering (CH < 60 mm) selama 0–1 bulan.
Kawasan hutan di TN Sebangau memberikan dukungan ekologis bagi kegiatan perekonomian masyarakat di sekitar kawasan, seperi penyedia sumber daya air bagi kebutuhan air minum dan keperluan rumah tangga, mendukung kegiatan perikanan, irigasi pertanian, juga transportasi unggulan masyarakat di sekitar kawasan. Ada iga Daerah Aliran Sungai (DAS) di dalam kawasan Sebangau, yakni DAS Kaingan, DAS Sebangau, dan DAS Kahayan. Keiga DAS tersebut berperan pening dan signiikan dalam mendukung kehidupan dan pertumbuhan perekonomian daerah sekitar, terutama Kabupaten Kaingan, Kabupaten Pulang Pisau, dan Kota Palangkaraya. Keiga DAS di dalam kawasan TN Sebangau berperan dalam mendukung keberlanjutan produksi sektor pertanian pada kabupaten/kota terkait.
TN Sebangau memiliki 809 jenis lora, yang termasuk dalam 128 suku, (16 jenis di antaranya belum dapat terideniikasi), dengan suku yang merajai yaitu suku Rubiaceae, Myrtaceae, Euphorbiaceae, Moraceae, Fabaceae, Cluasiacea, Cyperaceae, Annonaceae dan Lauraceae (LIPI 2007 dalam BTS 2015).
Hasil observasi mamalia yang dilaksanakan oleh CIMTROP UNPAR (2012 dalam BTS 2015), dijumpai 35 jenis mamalia yang 13 di antaranya telah diideniikasikan sebagai satwa dengan kategori mendekai kepunahan, di mana dua di antara 13 jenis mamalia tersebut, yakni: Orang utan (Pongo pygmaeus) dan Bekantan (Nasalis larvatus) merupakan spesies prioritas untuk dikonservasi di kawasan TN Sebangau.
9
I. MEN
UJU PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL: SEBUAH PENDAHU
LUAN
Gambar 1.3 Peta lokasi dan pembagian wilayah kerja pengelolaan TN Sebangau
1.3.3 Gambaran Umum Taman Nasional Gunung
Halimun Salak
Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) terletak di dua Provinsi yaitu Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten serta iga Kabupaten yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lebak. Terdapat 123 desa yang tercakup dalam 28 kecamatan yang masuk ke dalam kawasan TNGHS. Lokasi TNGHS dapat dilihat pada Gambar (BTNGHS 2016).
10
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Gambar 1.4 Lokasi TN Gunung Halimun Salak
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 tentang penunjukan Kawasan TNGH dan perubahan fungsi kawasan hutan lindung, hutan produksi tetap, dan hutan produksi terbatas pada kelompok hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Gunung Salak yang dikelola oleh Perum Perhutani. Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) yang luasnya ±40.000 ha berubah menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dengan luas kawasan menjadi ±113.357 ha. Pada tahun 2016 luas kawasan TNGHS kembali mengalami perubahan sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 327/Menlhk/Setjen/PLA.2/4/2016 tanggal 26 April 2016 yang sebagian kawasannya berubah fungsi menjadi hutan lindung seluas ±3.738 ha, hutan produksi terbatas seluas ±9.477 ha, hutan produksi tetap seluas ±4.158 ha dan pengembalian areal penggunaan lain (enclave) seluas ±7.847 ha di Kabupaten Bogor dan Sukabumi (Provinsi Jawa Barat) serta Kabupaten Lebak (Provinsi Banten). Berdasarkan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tersebut, luas kawasan TNGHS menjadi ±87.699 ha.
Kawasan TNGHS terbagi menjadi 3 Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah (SPTNW), yaitu SPTNW I Lebak terdiri atas 5 resort, yaitu Gn. Bedil, Cibedug, Gn. Bongkok, Cisoka dan Panggarangan. SPTNW
11
I. MEN
UJU PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL: SEBUAH PENDAHU
LUAN
II Bogor terdiri atas 6 resort, Gn. Talaga, Gn. Kencana, Gn. Botol, Gn. Butak, Gn. Salak II, dan Gn. Salak I. SPTNW III Sukabumi terdiri atas 6 resort, Kawah Ratu, Gn. Kendeng, Cimantaja, Gn. Bodas, Gn. Koneng, dan Cikaniki.
Secara umum, penutupan hutan di kawasan TNGHS merupakan dominasi hutan primer dan hutan sekunder. Tipe hutan di kawasan ini merupakan hutan hujan tropis pegunungan yang dapat dibagi menjadi iga zona utama yaitu Zona Collin (600–1000 mdpl) dan Zona Sub Montana (1000–1500 mdpl). Namun, di beberapa tempat pada pinggiran kawasan terdapat pula semak belukar, hutan tanaman, sawah dan perkebunan karet.
Keanekaragaman satwa yang dimiliki TNGHS masih relaif cukup inggi walaupun kondisi hutan di kawasan resort ini banyak mengalami gangguan. Satwa langka yang menjadi spesies kunci di TNGHS adalah macan tutul, elang jawa dan owa jawa.
Kawasan TNGHS memiliki 244 jenis burung, 61 jenis mamalia, 27 jenis amibi, 50 jenis repilia dan berbagai jenis serangga. Kawasan TNGHS juga memiliki keanekaragaman tumbuhan yang inggi. Ditemukan lebih dari 700 jenis tumbuhan berbunga yang melipui 391 marga dari 119 suku. Pada keinggian 500–700 m di atas permukaan laut (dpl) ditemukan jenis Dipterocarpaceae yang merupakan ciri-ciri dari hutan hujan tropis yaitu Dipterocarpus trinensis dan Dipterocarpus gracilis, akan tetapi jumlah tumbuhan dari jenis ini jumlahnya sudah semakin berkurang akibat penebangan liar. Juga tercatat terdapat 75 jenis anggrek dan beberapa di antara jenis-jenis anggrek tersebut merupakan jenis langka.
1.3.4 Gambaran Umum Taman Nasional Gunung
Palung
Kawasan Gunung Palung ditetapkan sebagai kawasan konservasi sejak ditetapkannya daerah ini sebagai kawasan Cagar Alam/Suaka Marga satwa tahun 1937. Pada tahun 1939 status kawasan diubah menjadi Cagar Alam dengan luas kawasan ±30.000 Ha. Pada tahun 1990, kawasan ini ditunjuk sebagai kawasan taman nasional melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 448/Menhut-VI/1990 dengan luas ±90.000 Ha. Berdasarkan SK.4191/Menhut-VII/KUH/2014 luas TNGP ditetapkan seluas ±108.043,90 Ha. Balai Taman Nasional Gunung
12
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Palung berkedudukan di Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat terbentang di Kecamatan Matan Hilir Utara, Sukadana, Simpang Hilir, Nanga Tayap, dan Sandai merupakan salah satu kawasan pelestarian alam yang memiliki keanekaragaman hayai bernilai inggi. Berbagai ipe ekosistem di TNGP adalah hutan mangrove, hutan rawa, rawa gambut, hutan rawa air tawar, hutan hujan tropika, dan hutan pegunungan yang selalu ditutupi kabut.
TNGP dianggap sebagai satu-satunya kawasan hutan tropika Dipterocarpaceae yang terbaik dan terluas di Kalimantan. Sekitar 65% kawasan, masih berupa hutan primer yang relaif idak terganggu akivitas manusia dan memiliki banyak komunitas tumbuhan dan satwa liar. Tumbuhan yang tergolong unik di taman nasional ini adalah anggrek hitam (Coelogyne pandurata), yang mudah dilihat di Sungai Matan terutama pada bulan Februari–April.
Tupai kenari (Rheithrosciurus macrois) yang sangat langka, dan sulit untuk dilihat juga idak kalah menariknya. Tercatat ada 190 jenis burung dan 35 jenis mamalia yang berperan sebagai penabur biji tumbuhan di hutan. Semua keluarga burung dan kemungkinan besar dari seluruh jenis burung yang ada di Kalimantan, terdapat di dalam hutan taman nasional ini. Masih ada sekitar 2.500 orangutan atau sekitar 10% dari populasi global.
Kawasan Taman Nasional Gunung Palung mempunyai iklim tropis dengan rata-rata curah hujan 3.000 mm per tahun dan suhu udara berkisar antara 25,5–35 °C. Beberapa lokasi/objek yang menarik untuk dikunjungi antara lain, Pantai Pulau Datok dan Bukit Lubang Tedong. Wisata bahari, Gunung Palung (1.116 mdpl) dan Gunung Pani (1.050 mdpl), pendakian, air terjun, pengamatan tumbuhan/satwa berkemah dan pengamatan satwa bekantan.
1.4 Kebijakan Terkait Pemanfaatan Jasa Lingkungan Berbasis Karbon di Taman Nasional
Secara umum kebijakan diarikan sebagai pengambilan keputusan atau idak mengambil keputusan terhadap suatu masalah atau isu. Kebijakan seringkali diklasiikasikan sebagai kebijakan tertulis dan idak tertulis. Kebijakan tertulis dapat berupa peraturan perundangan, surat
13
I. MEN
UJU PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL: SEBUAH PENDAHU
LUAN
edaran dan surat keputusan, sedangkan yang idak tertulis berupa pernyataan-pernyataan lisan dari seorang pemangku jabatan publik.
Kebijakan terkait pemanfaatan jasa lingkungan (jasling) berbasis karbon di taman nasional akan membahas jenis-jenis peraturan perundangan baik dalam bentuk Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), dan Peraturan Menteri (Permen). Datar peraturan perundangan dan kesenjangannya (mendukung dan/atau menghambat) dalam pelaksanaan pemanfaatan jasling berbasis karbon dapat dilihat pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Kesenjangan kebijakan pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon di taman nasional
No.Jenis
PeraturanPerihal Kesenjangan
1. UU Nomor 5 Tahun 1990
Konservasi SDAH dan Ekosistemnya
Belum mengatur insenif untuk pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon di taman nasional
2. UU Nomor 41 Tahun 1999
Kehutanan Belum mengatur pemberian insenif untuk upaya konservasi di lahan negara (termasuk taman nasional)
3. PP No. 46 Tahun 2017
Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup
Belum mengatur pembayaran kompensasi jasa lingkungan dari pihak lain kepada UPT Pemerintah Pusat di daerah (termasuk taman nasional) (Pasal 10 ayat 3).
Di sisi lain, taman nasional sudah memenuhi ketentuan untuk mendapat kompensasi jasa lingkungan (Pasal 12 ayat 1).
14
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
No.Jenis
PeraturanPerihal Kesenjangan
4. Permenhut Nomor: P.85/2014 jo. PermenLHK Nomor: P.44/2017
Tata Cara Kerja sama Penyelenggaraan KSA dan KPA
Balai taman nasional idak diperbolehkan untuk mengajukan proposal permohonan kerja sama dengan pihak lain sehingga dikhawairkan idak dapat mengakses sumber daya dari luar termasuk pendanaan.
Hal ini dibutuhkan untuk membuka akses lebih luas dalam mengembangkan kerja sama untuk pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon.
5. PermenLHK Nomor: P.70/2017
Tata Cara Pelaksanaan REDD+
Mekanisme REDD+ yang ada masih menekankan pada konsep addiionality yang berkaitan langsung dengan kuanitas karbon sehingga belum mengakomodasi peran hutan konservasi dalam menjaga simpanan karbon.
Jika taman nasional mengikui konsep addiionality maka insenif yang diperoleh relaif kecil mengingat laju deforestasi dan degradasi di taman nasional pada umumnya relaif sangat rendah.
Tabel 1.1 menunjukkan bahwa ada kesenjangan diantara peraturan perundangan yang terkait pemanfaatan jasling berbasis karbon di taman nasional. Sebagai contoh PP No. 46/2107 belum mengatur pembayaran kompensasi jasa lingkungan dari pihak lain kepada UPT pemerintah pusat di daerah (termasuk taman nasional), walaupun taman nasional sudah memenuhi ketentuan untuk mendapatkan kompensasi jasa lingkungan. Di samping itu Permen LHK No. P.70/2017 belum mendorong taman nasional untuk memelihara kawasan hutannya untuk pemanfaatan jasling berbasis karbon karena konsep addiionality menawarkan insenif yang relaif kecil, mengingat laju deforestasi dan degradasi di taman nasional pada umumnya memang relaif sangat rendah.
Tabel 1.1 Kesenjangan kebijakan pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon di taman nasional (lanjutan)
15
I. MEN
UJU PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL: SEBUAH PENDAHU
LUAN
1.5 Ancaman Deforestasi dan Degradasi di Taman Nasional
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor: P.30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) Pasal 1, pengerian deforestasi adalah perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi idak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia. Sementara degradasi hutan adalah penurunan kuanitas tutupan hutan dan stok karbon selama periode tertentu yang diakibatkan oleh kegiatan manusia. Pengerian penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) adalah semua upaya pengelolaan hutan dalam rangka pencegahan dan atau pengurangan penurunan kuanitas tutupan hutan dan stok karbon yang dilakukan melalui berbagai kegiatan untuk mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Secara umum ancaman deforestasi dan degradasi hutan di kawasan hutan konservasi yang sebagian besar berbentuk taman nasional relaif rendah karena selama ini dijaga dan dipelihara dengan baik di bawah lembaga Balai Taman Nasional dengan kegiatan utama perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan (3P). Kegiatan tersebut juga melibatkan berbagai stakeholder seperi kepolisian, swasta, masyarakat dan lain-lain sehingga angka deforestasi di taman nasional umumnya relaif rendah. Meskipun demikian masih terjadi ancaman deforestasi dan degradasi yang disebabkan oleh berbagai sebab seperi pembalakan liar, kebakaran dan lainnya (Bab 3). Berbagai ancaman tersebut berpotensi untuk menurunkan kemampuan taman nasional dalam menghasilkan berbagai jasa lingkungan yang diperlukan kehidupan manusia.
1.6 Menilai Karbon Berdasarkan Jasa Lingkungan
Integrasi jasa lingkungan ke dalam indikator stok karbon di kawasan hutan konservasi, khususnya taman nasional dilakukan untuk melihat sejauh mana pengaruh kehilangan satu unit karbon di taman nasional terhadap jasa-jasa lingkungan yang dapat disediakannya. Kehilangan satu unit karbon diasumsikan akan berdampak terhadap penyediaan air dan jasa air, keanekaragaman hayai (biodiversity), dan keindahan alam (scenic beauty) sehingga akan berpengaruh terhadap fungsi dan kontribusi taman nasional terhadap lingkungan sekitarnya. Untuk
16
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
melakukan valuasi nilai jasa lingkungan tersebut ke dalam indikator karbon diperlukan usaha-usaha yang idak mudah dan kompleks sehingga diperlukan suatu metode yang dapat dipertanggungjawabkan idak saja secara ilmiah, tetapi juga mudah untuk dilakukan oleh para pengelola taman nasional.
Dalam kajian ini diinvesigasi hubungan antara stok karbon dengan jasa-jasa lingkungan di taman nasional. Asumsi mendasar dari upaya menghubungkan stok karbon dengan jasa lingkungan di taman nasional adalah “jika stok karbon berkurang akibat deforestasi dan/atau degradasi hutan, maka fungsi/nilai jasa lingkungan lainnya akan berkurang”. Beberapa indikator jasa lingkungan yang diidenikasi dan diukur adalah biodiversitas, jasa air dan keindahan alam, dan karbon.
Hasil awal menunjukkan bahwa ternyata belum ditemukan pola hubungan (korelasi) langsung antara volume stok karbon dengan penyediaan jasa lingkungan (biodiversitas, air dan keindahan alam) di masing-masing ekosistem hutan di taman nasional yang dianalisis. Namun demikian, indikator-indikator yang diukur mampu menjelaskan perbedaan-perbedaan yang ada, terutama antar ekosistem yang dapat dijadikan langkah awal untuk membuat panduan analisis jasa lingkungan di taman nasional.
Upaya menjaga dan memanfaatkan jasa lingkungan merupakan kinerja pengelola taman nasional sehingga dapat diberikan insenif dari berbagai pemangku kepeningannya. Pertanyaan yang paling mendasar adalah berapa besar nilai karbon hutan di taman nasional dan apakah nilai karbon per hektare di hutan konservasi akan sama nilainnya dengan nilai karbon per hektare di hutan produksi atau di hutan lindung. Pertanyaan tersebut harus dapat dijawab apabila ada investor atau lembaga donor yang ingin memberikan insenif atau hibah kepada pengelola taman nasional. Jawaban yang mungkin dilakukan adalah menilai semua jasa-jasa lingkungan yang dimiliki taman nasional seperi jasa lingkungan air, jasa lingkungan keindahan alam dan keberadaan biodiversitas dan kemudian divaluasi secara ekonomi. Ekonomi total yang diperoleh kemudian dibagi dengan jumlah total karbon di taman nasional, maka akan diperoleh nilai ekonomi karbon per ha di wilayah taman nasional.
17
I. MEN
UJU PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL: SEBUAH PENDAHU
LUAN
1.7 Mempersiapkan Kelembagaan Pemanfaatan Jasa Lingkungan Berbasis Karbon
Dalam PP No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA), Pasal 1 disebutkan bahwa Taman Nasional adalah KPA yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan peneliian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Hal ini menuntut sistem kelembagaan taman nasional yang tepat sehingga taman nasional mampu mengelola sistem zonasinya dengan baik sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Kebijakan yang ada pada umumnya telah mendukung keberadaan taman nasional untuk menyediakan jasa lingkungan dari mulai jasa air, keanekaragaman hayai dan keindahan alam. Namun kebijakan tersebut dipandang belum mencukupi jika idak diikui dengan transformasi kelembagaan taman nasional untuk mendukung pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon di wilayah kerjanya. Hal ini dikarenakan kelembagaan taman nasional yang ada sekarang ini belum akomodaif dalam penyelesaian persoalan-persoalan yang muncul di lapangan. Sementara itu, dengan keterbatasan anggaran pemerintah, taman nasional juga memerlukan dukungan dan pendanaan publik untuk pengelolaan dan pemanfaatan jasa lingkungan hutannya sehingga dibutuhkan juga sistem kelembagaan yang mendukung baik dari segi struktur organisasi, sumber daya manusia (SDM), pendanaan, pengelola dana publik (trust fund), dan sistem insenif dan disinenif yang mendukungnya. Oleh karena itu dilakukan sinkronisasi antara kelembagaan taman nasional dengan upaya pengelolaan dan pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon demi mendukung pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan.
Manfaat dari transformasi kelembagaan taman nasional dan pengopimalan pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon di taman nasional sangat pening dan strategis serta menjadi penentu keberhasilan pengelolaannya karena kelembagaan yang kuat akan bekerja sesuai dengan tugas, pokok dan fungsinya dalam membangun dan mengelola pemanfaatan karbon dan jasa lingkungan lain di taman nasional yang menjadi beban dan tanggung jawabnya. Oleh karena
18
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
itu, tulisan tentang transformasi kelembagaan taman nasional dalam mendukung pengelolaan dan pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon menjadi pening dan perlu dilaksanakan dengan penekanan pada unsur penyusun kelembagaan yang terdiri atas organisasi dan manajemen SDM, sistem pendanaan, lembaga trust fund, dan sistem insenif dan disinsenif yang mendukungnya. Muara dari keempat bidang kajian tersebut adalah transformasi kelembagaan yang lebih ditekankan kepada penerapan insenif dan disinsenif bagi taman nasional untuk meningkatkan pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon dan pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan.
1.8 Peran Taman Nasional dalam Upaya Miigasi Perubahan Iklim
REDD+ adalah skema miigasi perubahan iklim sektor kehutanan dengan kegiatan utama pencegahan deforestasi dan degradasi serta komponen pengelolaan hutan berkelanjutan, konservasi karbon hutan dan peningkatan cadangan karbon hutan. REDD+ di Indonesia diterapkan dengan prinsip Naional Approach dan Sub Naional Implementaion. Konsep addiionality dalam skema REDD+ menyebabkan kawasan konservasi seperinya berpeluang kecil untuk berkontribusi dalam penurunan emisi karena umumnya nilai sejarah deforestasi (BAU) yang rendah. Hal ini, menyebabkan kawasan konservasi berpeluang kecil untuk mendapatkan insenif dari skema REDD+ sehingga belum mampu mendorong taman nasional untuk berparisipasi akif dalam upaya penurunan emisi di wilayah areal kerjanya.
Jika dicermai lebih lanjut komponen REDD+, maka sebenarnya taman nasional sangat berperan dalam upaya miigasi perubahan iklim. Dari data dan hasil analisis diketahui bahwa taman nasional memiliki tutupan hutan yang dominan dengan stok karbon yang inggi. Perkembangan akivitas dan jumlah penduduk termasuk konversi hutan yang legal dan ilegal dapat menjadi ancaman kelestarian hutan yang mengakibatkan emisi. Kegiatan REDD+ pada dasarnya adalah semua upaya pengelolaan hutan dalam rangka pencegahan dan atau pengurangan penurunan kuanitas tutupan hutan dan stok karbon. Dalam hal ini, taman nasional dapat berparisipasi terhadap kegiatan pencegahan pengurangan stok karbon di kawasan konservasi atau dapat disebut sebagai konservasi stok karbon dengan kegiatan utamanya pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon.
19
I. MEN
UJU PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL: SEBUAH PENDAHU
LUAN
Berdasarkan drat Permen LHK tentang Pemanfaatan Jasa Karbon Hutan di Kawasan Hutan Konservasi, kegiatan pemanfaatan jasa karbon hutan di kawasan hutan konservasi terdiri atas: (1) pemeliharaan stok karbon hutan; dan/atau (2) peningkatan stok karbon hutan melalui restorasi ekosistem. Sementara itu, pemeliharaan stok karbon hutan dapat dilakukan melalui: (1) pencegahan deforestasi dan degradasi hutan dan/atau degradasi lahan gambut yang dilakukan dengan skema penurunan emisi, dan (2) pemanfaatan produk jasa lingkungan/jasa ekosistem hutan selain karbon melalui skema konservasi stok karbon hutan.
Dengan demikian terdapat iga skema dalam pemanfaatan jasa lingkungan di taman nasional berbasis karbon, yaitu (1) peningkatan stok karbon hutan, (2) penurunan emisi, dan (3) konservasi stok karbon hutan. Skema penurunan emisi berupa kegiatan-kegiatan dalam kerangka: (1) perlindungan ekosistem dari ancaman kebakaran; (2) perlindungan ekosistem dari ancaman pembalakan liar; (3) perlindungan ekosistem dari ancaman perambahan; (4) perlindungan terhadap keanekaragaman hayai yang melipui ekosistem, jenis dan geneik yang mencakup satwa, tumbuhan dan jasad renik dari ancaman penurunan dan/atau kepunahannya; (5) pemeliharaan daya dukung ekosistem bagi kelestarian produksi jasa lingkungan/jasa ekosistem; dan (6) peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat daerah penyangga kawasan hutan konservasi.
Skema konservasi stok karbon hutan berupa kegiatan-kegiatan dalam kerangka: (1) peningkatan kelestarian jasa lingkungan/jasa ekosistem tata air; (2) pengembangan jasa lingkungan/jasa ekosistem keindahan dan fenomena alam (ekowisata); (3) peningkatan keanekaragaman hayai; (4) peningkatan kelestarian produk jasa lingkungan/jasa ekosistem. Sementara skema peningkatan stok karbon hutan berupa kegiatan-kegiatan dalam kerangka: (1) pembinaan habitat melalui penanaman dan pengkayaan dengan jenis tumbuhan endemik dan/atau jenis asli dalam rangka penyediaan pakan, tempat bersarang dan ruang wilayah jelajah satwa; (2) pembinaan habitat melalui eradikasi dan pengendalian jenis pengganggu (invasive alien spesies); (3) percepatan proses mekanisme alam; (4) pembinaan objek wisata alam; (5) pembinaan populasi dengan meningkatkan jumlah populasi satwa liar melalui pelepasliaran satwa utama dan satwa mangsa endemik dan/atau jenis satwa asli setempat yang populasinya terancam
20
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
punah; (6) pembinaan populasi dengan meningkatkan jumlah populasi tumbuhan liar melalui penanaman jenis tumbuhan endemik dan/atau jenis asli dalam rangka penyediaan pakan, tempat bersarang dan ruang wilayah jelajah satwa; dan (7) pembinaan populasi dengan meningkatkan jumlah populasi hidupan liar melalui relokasi satwa liar dan/atau eradikasi.
1.9 Kesimpulan dan Saran
Keterlibatan taman nasional dalam program REDD+ sangat nyata, yaitu dengan menjaga stok karbon di wilayah kerjanya yang tercermin dari kegiatan untuk (1) pengurangan emisi dari deforestasi (pengurangan konversi hutan menjadi bukan hutan), (2) pengurangan emisi dari degradasi hutan (pencegahan penebangan liar, perambahan liar dan kebakaran hutan), (3) konservasi karbon hutan (perlindungan hutan untuk konservasi), dan (4) peningkatan stok karbon hutan. Namun demikian, diperlukan metodologi untuk mendukung pengukuran, pelaporan dan veriikasi (MRV).
Kajian pemanfaatan jasling berbasis karbon di taman nasional ini merupakan suatu langkah pendahuluan untuk menyediakan suatu metodologi yang robust dalam mewujudkan peran konservasi (role
of conservaion) sebagai cakupan dalam kegiatan REDD+. Kajian ini dilakukan dengan mengintegrasikan jasa lingkungan (biodiversitas, air dan keindahan alam) ke dalam stok karbon dan menghitung nilai ekonominya.
Hasil awal menunjukkan bahwa ternyata belum ditemukan pola hubungan (korelasi) langsung antara volume stok karbon dengan penyediaan jasa lingkungan (biodiversitas, air dan keindahan alam) di masing-masing ekosistem hutan di taman nasional yang dianalisis. Namun demikian, indikator-indikator yang diukur mampu menjelaskan perbedaan-perbedaan yang ada, terutama antar ekosistem yang dapat dijadikan langkah awal untuk membuat panduan analisis jasa lingkungan di taman nasional.
Integrasi jasa lingkungan ke dalam indikator stok karbon di kawasan taman nasional pada dasarnya memperimbangkan bahwa kehilangan satu ton karbon di taman nasional akan berdampak terhadap penyediaan air dan jasa air, keanekaragaman hayai (biodiversity), dan keindahan alam (scenic beauty) sehingga akan berpengaruh terhadap
21
I. MEN
UJU PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL: SEBUAH PENDAHU
LUAN
fungsi dan kontribusi taman nasional terhadap lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, dengan melakukan miigasi terhadap berbagai jenis ancaman yang berdampak pada peningkatan laju deforestasi dan degradasi di kawasan taman nasional, maka pengelola taman nasional juga telah berupaya menjamin keberlangsungan jasa lingkungan biodiversitas lora dan fauna, ketersediaan jasa lingkungan air termasuk perlindungan daerah aliran sungai/watershed management,
keindahan dan fenomena alam (wisata alam).
Transisi kelembagaan taman nasional untuk mendukung pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon dapat dilakukan melalui transformasi organisasi dan SDM, perancangan sistem pendanaan taman nasional yang tepat, penyediaan pilihan lembaga trust fund yang sesuai kebutuhan taman nasional, dan penerapan sistem insenif dan disinsenif sebagai alat kontrol dan pengendali perilaku suatu kelembagaan yang kokoh.
Dari sisi kebijakan, perangkat peraturan perundangan yang ada saat ini sudah mendukung pelaksanaan pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon di taman nasional, namun masih memerlukan perangkat yang lebih operasional agar pelaksanaan pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon tersebut dapat dilaksanakan oleh pengelola taman nasional di ingkat tapak.
Untuk mencapai integrasi pengelolaan jasa lingkungan berbasis karbon di taman nasional, perlu dilakukan penyesuaian terhadap struktur organisasi taman nasional. Dengan prinsip “miskin struktur namun kaya fungsi”, maka penyesuaian ini dapat dilakukan tanpa menambah jumlah dan jabatan struktural yang sudah ditetapkan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Sumber daya manusia taman nasional yang ada saat ini belum memenuhi jumlah dan kualiikasi yang dibutuhkan untuk mendukung pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon. Hal ini dapat di atasi dengan re-alokasi sumber daya manusia yang ada dan peningkatan kualitasnya melalui pendidikan dan pelaihan serta pemagangan.
Perubahan sistem pendanaan harus dilakukan dengan melakukan perubahan yang sama terhadap sumber pendanaan, sumber penerimaan, skema pembelanjaan, struktur anggaran taman nasional berbasis pemanfaatan jasa karbon, dan rancangan alternaif skema pendanaan pemanfaatan jasa karbon di taman nasional. Pada
22
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
prinsipnya perubahan pendanaan taman nasional perlu difokuskan pada peningkatan anggaran pengelolaan taman nasional melalui berbagai kerja sama dan melakukan usaha bisnis terhadap aset-aset yang dimiliki taman nasional dalam koridor hukum yang ada sebagai upaya mewujudkan pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan.
Perubahan sistem pendanaan taman nasional yang melibatkan dan menarik berbagai sumber pendanaan juga harus diikui dengan pengembangan sebuah lembaga trust fund yang tepat untuk pengelolaan dana konservasi. Hal ini dapat dilakukan dengan memilih jenis trust fund yang sesuai dan sistem keuangan dan pencatatannya yang mumpuni dengan menerapkan tata kelola keuangan yang transparan, akuntabel dan profesional.
Datar PustakaBalai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. 2016. Staisik Balai
Taman Nasional Gunung Halimun Salak Tahun 2015. Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Kabandungan.
Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. 2017. Staisik Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak Tahun 2016. Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Kabandungan.
Balai Taman Nasional Sebangau. 2012. Staisik Balai Taman Nasional Sebangau 2011. Balai Taman Nasional Sebangau. Palangkaraya.
Balai Taman Nasional Sebangau. 2013. Staisik Balai Taman Nasional Sebangau 2012. Balai Taman Nasional Sebangau. Palangkaraya.
Balai Taman Nasional Sebangau. 2014. Staisik Balai Taman Nasional Sebangau 2013. Balai Taman Nasional Sebangau. Palangkaraya.
Balai Taman Nasional Sebangau. 2015. Staisik Balai Taman Nasional Sebangau 2014. Balai Taman Nasional Sebangau. Palangkaraya.
Balai Taman Nasional Sebangau. 2016. Staisik Balai Taman Nasional Sebangau 2015. Balai Taman Nasional Sebangau. Palangkaraya.
BAGIAN KESATU: PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN DI TAMAN
NASIONAL DAN ANCAMANNYA
II. KEBIJAKAN PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN DI TAMAN NASIONAL
Sulistya Ekawai
2.1 Mengenal Taman Nasional
Keika pertama kali jari mengeik kata taman nasional Indonesia pada mesin pencari data google muncul sejumlah narasi dan gambar yang melukiskan betapa indahnya pemandangan serta gambar-gambar indah lora fauna endemik yang langka. Ada rasa bangga sebagai anak bangsa, kita dikaruniai ekosistem, hewan dan tumbuhan langka yang hanya ada di taman nasional Indonesia. Danau iga warna di Taman Nasional Kelimutu bisa berubah-ubah warna airnya (biru muda, merah, dan hijau toska). Hewan purba komodo (Veranus comodoensis) di Taman Nasional Komodo sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia (world
seven wonders). Keunikan dari dua taman nasional tersebut ternyata mampu mendatangkan jumlah rupiah yang cukup fantasik. Perolehan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tahun 2017 di Taman Nasional Komodo mencapai 27 miliar (Metro TV, 2018) dan di Taman Nasional Kelimutu mencapai Rp 3,5 miliar (Dawainusa 2018). Sayangnya kondisi tersebut belum terjadi untuk taman nasional lainnya. Sebenarnya idak ada taman nasional di Indonesia yang idak canik dan menarik, namun punya kekhasan tersendiri. Kecanikan Taman Nasional Sebangau berbeda dengan kecanikan Taman Nasional Meru Beiri. Sebagian taman nasional belum berupaya menampilkan wajah kecanikannya untuk menarik para pengunjungnya baik wisatawan nasional maupun wisatawan mancanegara. Kecanikan taman nasional membuat banyak orang tertarik berdatangan mengunjunginya. Walaupun sebagian besar masyarakat sudah sering mengunjungi taman nasional, tetapi banyak di antaranya yang belum paham benar apa deinisi taman nasional. Menurut Internaional Union for Conservaion of Nature (IUCN), taman nasional merupakan Protected Area dengan kategori II yang pengelolaannya ditujukan untuk melindungi fungsi ekosistem secara keseluruhan, dikelola dengan sistem zonasi yang memungkinkannya terdapat pemanfaatan sumber daya alam dan untuk tujuan rekreasi alam terbatas. Aturan pengelolaan taman nasional idak setegas untuk Strict Nature Reserve (Kategori Ia IUCN) ataupun Wilderness Area
26
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
(Kategori Ib IUCN), karena pada taman nasional masih diperbolehkan ada intervensi manusia terutama pada pembangunan infrastruktur dan kunjungan wisata alam pada zona pemanfaatan (Dudley 2008). Menurut PP No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan peneliian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.
Diantara kawasan konservasi lainnya, taman nasional relaif paling maju baik bentuk maupun sistem pengelolaannya dibandingkan dengan taman hutan raya, taman wisata alam, cagar alam dan suaka margasatwa (Setyowai 2008). Saat ini, Indonesia memiliki kawasan hutan konservasi seluas ± 27,4 Juta ha, di mana hampir 60% dari luasan tersebut, yakni seluas ± 16,26 Juta ha adalah kawasan taman nasional (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2017). Ada kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan taman nasional, yaitu:
a. Memiliki sumber daya alam hayai dan ekosistem yang khas dan unik yang masih utuh dan alami serta gejala alam yang unik.
b. Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh.
c. Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami.
d. Merupakan wilayah yang dapat dibagi ke dalam zona ini, zona pemanfaatan, zona rimba, dan/atau zona lainnya sesuai dengan keperluan.
Wilayah taman nasional dapat dimanfaatkan untuk kegiatan: (1) peneliian dan pengembangan ilmu pengetahuan; (2) pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam; (3) penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air, energi air, angin, panas matahari, panas bumi, dan wisata alam; (4) pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar; (5) pemanfaatan sumber plasma nufah untuk penunjang budidaya; dan (6) pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat berupa kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu, budidaya tradisional, serta perburuan tradisional terbatas untuk jenis satwa yang idak dilindungi.
27
II. KEBIJAKAN PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
DI TAMAN
NASIO
NAL
Meskipun paling maju, kebijakan pengelolaan taman nasional masih memerlukan beberapa penyesuaian. Ada disharmoni dari beberapa kebijakan terkait pengelolaan taman nasional. Peraturan yang disusun belum merespons dinamika lapangan yang terjadi sehingga muncul konlik yang berkepanjangan. Selain itu, penegakan hukum atas perambahan dan illegal logging di taman nasional juga sangat lemah dilaksanakan. Di sisi lain, pengembangan peran serta masyarakat di dalam pengelolaan kawasan konservasi juga belum mendapat perhaian yang serius dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Menurut Wiratno (2018), tekanan terbesar yang dihadapi taman nasional saat ini adalah merebaknya penanaman monokultur tanaman perkebunan yang sangat diminai pasar global, seperi penanaman komoditas kelapa sawit, kopi, cokelat dan karet.
Semua sepakat bahwa taman nasional menjadi benteng terakhir dari konservasi sumber daya hutan di Indonesia. Hal tersebut ditunjukkan dengan rendahnya angka deforestasi yang terjadi di hutan konservasi dibandingkan dengan hutan produksi dan hutan lindung. Menurut Setyowai (2008) di satu sisi kebijakan pengelolaan hutan konservasi sebagai bagian integral dari pembangunan berkelanjutan pada saat ini menghadapi berbagai tantangan yang berat karena pengelolaannya yang sentralisik dan sektoral, sedangkan kebijakan yang diambil cenderung seragam untuk semua kondisinya. Disisi lain, tanggung jawab sebuah insitusi pengelola sering idak sejalan dengan kapasitas organisasi yang dimiliki. Kemampuan kelembagaan ini juga terus diuji oleh kebutuhan yang terus berubah dan kelemahan kelembagaan tersebut terus berlangsung untuk menjalankan tanggung jawab mereka. Pemanfaatan yang terbatas seringkali menjadi alasan pemerintah daerah untuk idak mau terlibat akif dalam pengelolaan taman nasional, padahal taman nasional mempunyai banyak manfaat jasa lingkungan yang berpotensi memberi kontribusi peningkatan pendapatan bagi daerah dan masyarakat seperi wisata alam, jasa air, keanekaragaman hayai dan karbon. Hal ini menuntut perbaikan tata kelola taman nasional untuk meningkatkan parisipasi seluruh stakeholder dan memperkuat koordinasi sehingga pengelolaan taman nasional menjadi lebih efekif.
Pemerintah sudah mereformasi beberapa kebijakan terkait pengelolaan taman nasional, seperi kebijakan zonasi taman nasional, kerja sama dan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan konservasi. Tahun
28
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
2017 seharusnya menjadi tahun pening dalam pengelolaan taman nasional, karena tahun 2017 pemerintah pengeluarkan PP No. 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup. Pengelola taman nasional melakukan kegiatan konservasi sumber daya alam dalam bentuk perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan. Pengelola taman nasional juga melakukan pemanfaatan jasa lingkungan hidup seperi: perlindungan tata air, perlindungan keanekaragaman hayai, penyerapan dan penyimpanan karbon, pelestarian keindahan alam dan jasa lingkungan hidup lainnya. Menurut PP tersebut apa yang telah dilakukan taman nasional akan memperoleh pendanaan baik melalui kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antar daerah, dana amanah/bantuan konservasi maupun dari insenif. Selain pendanaan di atas, sumber pendanaan lain yang berpotensi untuk dikembangkan di taman nasional adalah melalui skema REDD+.
Potensi yang ada di Taman Nasional sangat luar biasa besar dan pening sehingga perlu dijaga dan dikelola dengan benar. Pemanfaatan yang bijaksana menjadi kata kunci dalam pemanfaatan taman nasional. Selama ini masih banyak ditemukan kesenjangan (gap) antara kondisi faktual dan kondisi ideal yang diharapkan. Pertanyaan yang muncul adalah kenapa taman nasional sulit untuk membenahi dirinya? Pembenahan kebijakan apa yang harus dilakukan dalam pemanfaatan taman nasional?
2.2 Gap Kebijakan Pemanfaatan Jasa Lingkungan di Taman Nasional
Taman nasional adalah supermaket jasa lingkungan (jasling), semua jenis jasa lingkungan dengan mudah ditemukan di semua taman nasional. Menurut Wunder (2005), ada empat jenis jasa lingkungan yang dikenal oleh masyarakat global, yaitu tata air, keanekaragaman hayai, penyerapan karbon, dan keindahan lanskap. Hal ini belum termasuk jasa lingkungan panas bumi yang tersedia di taman nasional. UU No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi memasukkan panas bumi sebagai jasa lingkungan yang diperbolehkan diusahakan di hutan konservasi. Jasa lingkungan dengan potensi pasar terbesar adalah air, ekowisata, dan cadangan karbon (van Beukering et al. 2009). Sayangnya sekitar 60% jasa lingkungan yang terkait dengan kesejahteraan manusia sedang mengalami degradasi atau dimanfaatkan secara idak
29
II. KEBIJAKAN PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
DI TAMAN
NASIO
NAL
berkelanjutan. Degradasi jasa lingkungan berdampak secara signiikan terhadap kehidupan, kesehatan dan perekonomian di level lokal, sub naional dan nasional (Millennium Ecosystem Assessment, 2005). Pada akhirnya hal ini memiliki konsekuensi serius bagi dunia internasional serta berdampak langsung terhadap kesejahteraan manusia secara keseluruhan (Leimona, 2011).
Banyak kebijakan disusun dalam rangka untuk menjaga jasa lingkungan agar bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan. Di lapangan masih dapat ditemukan kesenjangan antara dokumen peraturan pemanfaatan jasa lingkungan dan implementasinya. Analisis kesenjangan (gap) cocok untuk digunakan sebagai salah satu teknik analisis untuk mengevaluasi suatu kebijakan atau merumuskan rekomendasi baru yang diperlukan. Kesenjangan (disparitas) antara dokumen kebijakan dan implementasinya dinilai dapat digunakan untuk merekomendasikan suatu indakan perubahan kebijakan atau menyempurnakan kebijakan sebelumnya (Wheeler et al. 2010). Dalam tulisan ini, pemanfaatan taman nasional dibedakan menjadi empat jenis, yaitu pemanfaatan wisata alam, jasa air, biodiversitas dan karbon. Tulisan ini mengamai empat taman nasional yang mewakili beberapa ekosistem, yaitu Taman Nasional Meru Beiri, Taman Nasional Halimun Salak, Taman Nasional Gunung Palung dan Taman Nasional Sebangau.
Adapun gap antara kebijakan dan implementasinya dalam pemanfaatan jasa lingkungan di taman nasional, antara lain:
a. Belum disusunnya peraturan pemanfaatan karbon di hutan konservasi.
b. Belum adanya pihak yang menghitung dan menetapkan daya dukung sumber daya air.
c. Belum adanya peraturan pelaksanaan imbal jasa lingkungan sebagai turunan PP No. 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup.
d. Belum terlibatnya swasta dan pemda dalam pemanfaatan jasa karbon.
e. Banyak potensi wisata belum dimanfaatkan.
f. Belum ada roadmap yang diacu dalam pelaksanaan peneliian di taman nasional.
30
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Tabel 2.1 Gap kebijakan dengan implementasi pemanfaatan jasling di keempat taman nasional
Jenis Pemanfaatan
Taman Nasional
Pemanfaatan Taman Nasional
Pemanfaatan Jasa Karbon
Pemanfaatan Air dan Energi Air
Wisata Alam
Pemanfaatan Jenis Tumbuhan/Satwa Liar dan Sumber Plasma Nufah
Legal Kegiatan yang termasuk penyimpanan dan penyerapan karbon di hutan konservasi
· Pemeliharaan stok karbon hutan (pencegahan deforestasi dan degradasi hutan, dan pemanfaatan produk jasa lingkungan/jasa ekosistem)
· Peningkatan stok karbon hutan melalui restorasi ekosistem
· Pemanfaatan massa air dan energi air dapat dilakukan di taman nasional, kecuali zona ini atau zona rimba.
· Taman nasional melakukan inventarisasi sumber daya air
· Pembatasan volume pemanfaatan air
· Pengusahaan pariwisata alam dapat dilakukan di zona pemanfaatan kecuali zona ini
· Permohonan izin pengusahaan pariwisata alam dapat diajukan oleh: perorangan; badan usaha; atau koperasi
· Pemanfaatannya dilakukan dengan idak mengubah fungsi kawasan, dan merusak bentang alam.
· Luas areal yang diizinkan untuk dibangun sarana wisata alam paling banyak 10% dari luas areal yang ditetapkan dalam izin
· Litbang
· Penangkaran;
· Peragaan;
· Pertukaran;
· Budidaya tanaman obat-obatan;
31
II. KEBIJAKAN PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
DI TAMAN
NASIO
NAL
Jenis Pemanfaatan
Taman Nasional
Pemanfaatan Taman Nasional
Pemanfaatan Jasa Karbon
Pemanfaatan Air dan Energi Air
Wisata Alam
Pemanfaatan Jenis Tumbuhan/Satwa Liar dan Sumber Plasma Nufah
Implementasi · Baru DA ITTO di TN Meru Beiri Tahun 2010–2013 dan DA TN Sebangau 2009-2039
· Sudah ada inisiasi kegiatan pemanfaatan jasa karbon di 3 taman nasional
· Belum ada pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan
· DA idak mereplikasi ke skala yang lebih luas
· Belum ada metode kuaniikasi karbon untuk perlindungan kehai dan pengelolaan hutan konservasi
· Belum ada perdagangan karbon karena penyelenggaraan karbon untuk hutan konservasi belum diatur (ada drat PermenLHK)
· Air dimanfaatkan untuk konsumsi rumah tangga, PDAM, perikanan, peternakan, industri
· Sudah dilakukan inventarisasi sumber daya air
· Tidak ada yang mengukur daya dukung sumber daya air
· Izin pemanfaatan air diambil diluar kawasan hutan
· Perizinan ganda pemanfaatan air permukaan (pemanfaatan air permukaan pada Ditjen PU, pajak air tanah pada Pemda dan PNBP kehutanan)
· Belum ada aturan turunan imbal jasa lingkungan (air)
· Sudah ada izin pemanfaatan wisata alam di lokasi
· Belum ada kerja sama dengan swasta untuk pengusahaan wisata
· Banyak potensi wisata tetapi belum dimanfaatkan
· Promosi wisata kurang
· Peneliian sudah banyak dilakukan, tetapi peneliian terbatas/sama, sebaran lokasi peneliian idak proporsional, belum ada peneliian ime series
· Peragaan: pengamatan burung (bird
watching), pengamatan merak, habitat ralesia
· Penangkaran: ralesia, penyu
· Sudah ada budidaya tanaman obat: kedaung
· Pemasaran tanaman obat kurang
· Belum lengkapnya data dasar populasi dan habitat tumbuhan dan satwa liar yang dapat dimanfaatkan
· Adanya kerusakan dan penurunan kualitas habitat satwa liar
Sumber: Disarikan dari 76 peraturan perundangan terkait pemanfaatan jasa lingkungan di taman nasional
Keterangan: Huruf yang bergaris bawah merupakan gap kebijakan yang ditemukan
Tabel 2.1 Gap kebijakan dengan implementasi pemanfaatan jasling di keempat taman nasional (lanjutan)
32
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Dari empat lokasi taman nasional yang ditelii menunjukkan bahwa pemanfaatan jasling karbon masih rendah dibanding dengan keiga jenis pemanfaatan jasling yang lain. Semua taman nasional sudah memanfaatkan potensi wisata alam, jasa air dan kehai. Pemanfaatan yang paling menonjol di taman nasional adalah pemanfaatan wisata alam, walaupun masih terbatas. Diantara keempat taman nasional tersebut, Taman Nasional Meru Beiri memiliki keindahan alam yang elok yang sebagian cukup diminai wisatawan. Pantai Sukamade dengan atraksi penyu bertelurnya bisa dipoles lagi menjadi atraksi yang menarik, karena sangat berpotensi mengundang wisatawan asing untuk berkunjung. Tiga taman nasional lainnya sebenarnya juga menyimpan keindahan alam baik berupa air terjun/air panas, maupun keindahan sungai dan keunikan satwanya (orang utan) sehingga inggal menunggu datangnya investor melalui tangan-tangan terampil untuk mengangkat keindahan tersebut.
Tabel 2.2 Pemanfaatan jasa lingkungan di keempat taman nasional
NoTaman
Nasional
Pemanfaatan
Wisata
AlamJasa Air Biodiversitas Karbon
1. Meru Beiri Tinggi Sedang Sedang Rendah2. Sebangau Tinggi Sedang Sedang Rendah3. Gunung
Halimun SalakTinggi Tinggi Sedang Rendah
4. Gunung Palung Tinggi Sedang Sedang RendahKeterangan:
Tinggi = jasling dimanfaatkan secara bisnis/mendatangkan pendapatan dan menyerap tenaga kerja
Sedang = jasling dimanfaatkan untuk konsumsi rumah tangga/ peneliian/idak dipungut bayaran
Rendah = jasling belum dimanfaatkan
Pengelolaan taman nasional akan efekif jika melibatkan semua pihak agar bisa terlibat. Para pihak yang beragam tersebut mempunyai kepeningan yang berbeda-beda dan seringkali bertentangan sehingga banyak ahli seperi Grimble dan Chan (2005), Meyers (2005) dan Ramizes (2005) menyatakan bahwa analisis stakeholder merupakan syarat pening dalam pengelolaan taman nasional. Dengan memahami
33
II. KEBIJAKAN PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
DI TAMAN
NASIO
NAL
siapa stakeholder yang terlibat, apa peran, tanggung jawab dan kepeningannya kita akan dengan mudah memetakan para aktor yang terlibat untuk memudahkan menyusunkan strategi ke depan.
Tabel 2.3. Aktor pemanfaatan jasa lingkungan di taman nasional (lokasi peneliian)
NoNama Taman
Nasional
Pemanfaatan Jasa Lingkungan
Wisata Alam Jasa Air Kehai Karbon Panas Bumi
1. TN Meru Beiri TN MasyarakatDinas Pariwisata
Masyarakat TNPTLSMSwasta
LSM (ITTO)PTPuspijak
-
2. TN Sebangau TNSwasta Dinas Pariwisata
Masyarakat TNPTLSMSwasta
LSM (WWF)PT
-
3. TN Halimun Salak
TN MasyarakatDinas pariwisataSwasta
PDAMMasyarakatSwasta (AMDK, PLN)
TNPTLSM
PT PT ChevronPT Pertamina
4. TN Gunung Palung
TNMasyarakatSwasta Dinas Pariwisata
MasyarakatSwasta (AMDK, PLN)
TNPTLSM
PTLSM (JICA, Yayasan Palung)
-
Keterangan:
TN = Taman Nasional | PT = Perguruan Tinggi | LSM = Lembaga Swadaya Masyarakat | AMDK = Air Minum Dalam Kemasan | PDAM = Perusahaan Daerah Air Minum | PLN = Perusahaan Listrik Negara
Berdasarkan Tabel 2.3 terlihat bahwa pemanfaatan wisata alam di taman nasional sudah melibatkan semua pihak, tetapi keterlibatan pemerintah daerah sebatas pada pemanfaatan wisata alam dalam bentuk penyiapan kelompok sadar wisata. Pihak swasta (PT Swadaya Muki Perkasa, PT Sukamade Baru) terlibat pada pengembangan wisata alam dalam bentuk promosi kepariwisataan dan pembangunan sapras pendukung. Sebenarnya banyak potensi wisata alam yang perlu digarap dan memerlukan modal sehingga kerja sama dengan pihak swasta menjadi alternaif yang bisa diperimbangkan.
34
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Begitu juga pada pemanfaatan jasa air, semua pihak sudah terlibat. Pihak swasta yang terlibat pada pemanfaatan energi air adalah PLN, sedangkan yang terlibat dalam pemanfaatan massa air adalah PDAM dan Perusahaan Air Dalam Kemasan (AMDK). Pemanfaatan biodiversitas dalam wujud peneliian dilakukan penelii Indonesia maupun asing. Data di keempat taman nasional menunjukkan ada sekurangnya ada 3 insitusi litbang (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Litbang KLHK, litbang Kementerian Kesehatan), - 21 Perguruan Tinggi Negeri, - 16 Perguruan Tinggi Swasta dan 30 Universitas di Luar Negeri yang melakukan peneliian di taman nasional. Beberapa hasil peneliian tersebut mendukung pengelolaan taman nasional, misalnya peneliian orang utan di TN Gunung Palung, peneliian elang dan owa Jawa di TN Halimun Salak, peneliian penyu hijau dan ralesia di TN Meru Beiri serta peneliian karbon dan pertumbuhan tanaman di lahan gambut. Peneliian di TN Sebangau relaif lebih sedikit dan terbatas dibanding jumlah dan ragam peneliian di iga lokasi Taman Nasional lainnya. Evaluasi beberapa kegiatan peneliian di empat taman nasional menunjukkan penelii cenderung melakukan peneliian untuk topik-topik yang hampir sama; tema peneliian juga masih terbatas dan belum menjangkau seluruh aspek yang ada di taman nasional. Selain itu, peneliian yang bersifat ime series masih sangat kurang, khususnya untuk spesies yang terancam punah serta lokasi peneliian terkumpul pada wilayah yang mudah diakses.
Pemanfaatan karbon baru diinisiasi di iga taman nasional, pihak yang merinis pemanfaatan karbon di TN Meru Beiri adalah Proyek ITTO dan Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan (Puspijak), sedangkan di TN Sebangau dilakukan oleh WWF, di TN Gunung Palung dilakukan oleh JICA dan Yayasan Palung. Pemanfaatan jasa karbon belum melibatkan pihak swasta, padahal di tengah kemandegan pembayaran karbon yang dihadapi pemerintah saat ini, bisa menggandeng pihak swasta untuk terlibat dalam pemanfaatan karbon. Di TN Halimun Salak, pemanfaatan jasa lingkungan panas bumi mulai beroperasi pada tahun 1994 oleh Chevron Geothermal Indonesia dan PT Pertamina telah mampu menghasilkan listrik sebesar 375 MW.
35
II. KEBIJAKAN PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
DI TAMAN
NASIO
NAL
2.2.1 Gap Kebijakan Pemanfaatan Jasa Karbon
Taman nasional memiliki tutupan hutan yang masih terjaga dibanding hutan produksi dan hutan lindung sehingga jika dikuaniikasi cadangan karbonnya masih sangat inggi. Upaya pengelolaan taman nasional sudah seharusnya dihargai dalam program dan kegiatan penurunan emisi. Pemanfaatan jasa karbon hutan di kawasan hutan konservasi bertujuan untuk mengopimalkan pengelolaan hutan secara berkelanjutan untuk mendukung miigasi dan/atau adaptasi perubahan iklim dan meningkatkan pendanaan/dukungan publik dalam rangka pengelolaan hutan konservasi. Dapat dibayangkan berapa besar dana penyerapan dan penyimpanan karbon yang akan diperoleh taman nasional jika taman nasional berhasil mengelola wilayahnya secara berkelanjutan.
Ada beberapa peraturan yang terkait dengan pemanfaatan jasa karbon di hutan konservasi, yaitu: Peraturan Menteri (Permen) Kehutanan Nomor: P.20/Menhut-II/2012 tentang Penyelenggaraan Karbon Hutan. Permen ini menyebutkan bahwa kegiatan penyelenggaraan karbon hutan dapat dilaksanakan di hutan produksi, hutan lindung, hutan konservasi dan hutan hak. Kegiatan pengelolaan hutan konservasi dan perlindungan keanekaragaman hayai termasuk dalam kegiatan penyimpanan dan/atau penyerapan karbon hutan.
Permen tersebut juga mengatur tentang demonstraion aciviies (DA). Demonstraion aciviies adalah kegiatan pengujian dan pengembangan metodologis, teknologi dan insitusi pengelolaan karbon hutan dalam rangka tahap kesiapan (readiness). Ketentuan tentang DA diatur tersendiri dalam Permenhut Nomor: P. 68/Menhut-II/2008 tentang Penyelenggaraan Demonstraion Aciviies Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan. Di lokasi peneliian ada dua Demplot Acivity untuk kegiatan Reducing Emission from Deforestaion and Forest Degradaion (REDD) yaitu di DA di TN Meru Beiri dan DA di TN Sebangau. Kedua taman nasional tersebut dijadikan pembelajaran untuk membangun proses-proses pembuatan atau penyempurnaan standar teknis pengukuran, penerapan standar, serta pelaporan hasil pengukuran. Selain itu juga dilakukan fasilitasi dengan melakukan pendampingan untuk proses-proses pembuatan atau penyempurnaan standar teknis pengukuran, implementasi standar, serta pelaporan hasil pengukuran. Diharapkan kegiatan karbon hutan
36
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
di DA tersebut dapat diterapkan (workable), dan direplikasi dalam skala yang lebih luas, dan berkesinambungan setelah DA berakhir, namun kenyataannya replikasi dalam skala yang lebih luas dan keberlanjutan kegiatan idak terjadi. Pembelajaran kegiatan karbon hutan idak dijadikan role model untuk pengelolaan jasa karbon di hutan konservasi. Unit Pelaksana Teknis (UPT) konservasi sumber daya alam atau Kepala UPT taman nasional dapat menjadi pelaku REDD. Persyaratan REDD pada hutan konservasi adalah: a) Memiliki salinan Surat Keputusan Menteri tentang Penunjukan/Penetapan Hutan Konservasi; b) Memenuhi kriteria lokasi untuk pelaksanaan REDD dan c) Memiliki rencana pelaksanaan REDD.
Peraturan lain yang terkait dengan karbon di hutan konservasi adalah Permenhut Nomor: P.30 Tahun 2009 tentang Tata cara pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD). Peraturan ini mengatur REDD dapat dilakukan pada Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan (IUPHH), Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) termasuk Kesatuan Pemangkuan Hutan Konservasi (KPHK) dan hutan konservasi. Tata Cara Perizinan usaha pemanfaatan penyerapan karbon dan/atau penyimpanan karbon di hutan lindung dan hutan produksi sudah di atur dalam Permenhut Nomor: P.36/Menhut-II.2009 yang mengalami dua kali revisi (Permenhut Nomor: P.11/Menhut-II/2013 dan Permenhut Nomor: P.8/Menhut-II/2015), sedangkan untuk hutan konservasi baru ada draf peraturan menterinya. Drat peraturan menteri tentang kegiatan karbon di hutan konservasi harus memuat metode kuaniikasi karbon untuk perlindungan kehai dan pengelolaan hutan konservasi.
Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor: P.70/MenLHK/Setjen/Kum.1/12/2017 tentang Tata Cara Pelaksanaan Reducing Emissions From Deforestaion and Forest Degradaion, Role of Conservaion, Sustainable Management of Forest And Enhancement of Forest Carbon Stocks. Peraturan ini bertujuan untuk tercapainya pelaksanaan REDD+ yang sesuai dengan persyaratan Keputusan Conference of Paries
(COP) United Naion Framework Convenion on Climate Change
(UNFCCC) tentang REDD+ dan konsisten dengan kebijakan nasional, serta mendorong pelaksana REDD+ untuk menuju pelaksanaan REDD+ secara penuh (result-based payment), untuk mendukung pencapaian target implementasi Naionally Determined Contribuion (NDC) sektor Kehutanan. Ruang lingkup Peraturan Menteri ini, melipui:
37
II. KEBIJAKAN PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
DI TAMAN
NASIO
NAL
lokasi, pendekatan dan Perangkat REDD+, pemantauan, evaluasi dan pembinaan kegiatan terkait REDD. Permen ini diharapkan menjadi payung dari semua kegiatan yang terkait REDD+ sehingga semua peraturan terkait karbon sebelumnya dinyatakan idak berlaku. Kondisi tersebut menimbulkan kekosongan peraturan pelaksanaan implementasi REDD di lapangan. KLHK selanjutnya mengeluarkan beberapa peraturan seperi Permen LHK Nomor: P.71/MenLHK/Setjen/Kum.1/12/2017 tentang Penyelenggaraan Sistem Registrasi Nasional Pengendalian Perubahan Iklim, Permen LHK Nomor: P.72/MenLHK/Setjen/Kum.1/12/2017 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengukuran, Pelaporan dan Veriikasi Aksi dan Sumberdaya Pengendalian Perubahan Iklim dan Permen LHK Nomor: P.73/MenLHK/Setjen/Kum.1/12/2017 tentang Pedoman Penyelenggaraan dan Pelaporan Inventarisasi GRK Nasional. Gap kebijakan pemanfaatan karbon di hutan konservasi dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Gap kebijakan pemanfaatan jasa karbon di hutan konservasi
NoDokumen
KebijakanImplementasi Gap Kebijakan Rekomendasi
1. Penyimpanan dan/atau penyerapan karbon di hutan konservasi, yang terdiri atas: 1) perlindungan keanekaragaman hayai dan 2) pengelolaan hutan konservasi
Fasilitasi, pendampingan pengukuran karbon di DA (Permenhut Nomor: P.20/Menhut-II/2012)*
DA harus bisa direplikasi ke skala yang lebih luas (Permenhut Nomor: P.20/Menhut-II/2012)*
Sudah ada DA (TN Meru Beiri dan TN Sebangau) dan inisiasi karbon hutan di TN Gunung Palung
Sudah ada drat
PermenLHK terkait jasa karbon hutan di hutan konservasi
Belum ada metode kuaniikasi karbon untuk perlindungan kehai dan pengelolaan hutan konservasi
DA belum di replikasi ke skala yang lebih luas
Perlu dibuat peraturan penyerapan dan penyimpanan karbon di hutan konservasi yang berisi: 1) kuaniikasi karbon untuk perlindungan kehai dan 2) kuaniikasi karbon pengelolaan hutan konservasi
Pembelajaran DA diintegrasikan dalam PermenLHK yang akan disusun
38
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
NoDokumen
KebijakanImplementasi Gap Kebijakan Rekomendasi
2. Distribusi manfaat karbon di hutan lindung dan hutan produksi (Permenhut Nomor: P.36/Menhut-II/2009 jo Permenhut Nomor: P.11/Menhut-II/2013 jo PermenLHK Nomor: P.8/MenLHK-II/ 2015)*
Belum ada peraturan perizinan dan distribusi pemanfaatan penyerapan dan penyimpanan karbon di hutan konservasi
Belum ada naskah akademis penentuan nilai dan pengalokasian distribusi manfaat PNBP dari perdagangan karbon hutan konservasi
Perlu dibuat peraturan penentuan nilai dan pengalokasian distribusi manfaat dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari perdagangan karbon hutan
3. Pengaturan lokasi, pendekatan dan perangkat REDD+, pemantauan, evaluasi dan pembinaan (PermenLHK Nomor: P.70/2017)
PermenLHK Nomor: P.70/2017 dianggap payung semua kegiatan terkait karbon
Peraturan sebelumnya yang terkait jasa karbon hutan dinyatakan idak berlaku
Kekosongan pengaturan jasa karbon di hutan, misalnya: perizinan, distribusi manfaat menunggu Perpres BLU
Peraturan teknis terkait pemanfaatan karbon perlu segera dilengkapi
Keterangan: * = peraturan tersebut sudah idak berlaku
2.2.2 Pemanfaatan Air dan Energi Air
Disadari ataupun idak, taman nasional memegang peran pening dalam penyediaan air bagi kawasan sekitarnya. Pemanfaatan air dan energi air di taman nasional melipui pemanfaatan air sebagai massa air dan air sebagai jasa aliran air. Pemanfaatan air dan energi air dapat dilakukan pada semua zona taman nasional, kecuali zona ini atau zona rimba. Pemanfaatan air dan energi air dilaksanakan berdasarkan rencana pengelolaan dan hasil inventarisasi sumber daya air. Jenis pemanfaatan air di taman nasional dibedakan menjadi pemanfaatan non komersial atau komersial. Pemanfaatan air untuk kegiatan non
Tabel 2.4 Gap kebijakan pemanfaatan jasa karbon di hutan konservasi (lanjutan)
39
II. KEBIJAKAN PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
DI TAMAN
NASIO
NAL
komersial melipui: pemanfaatan air untuk pemenuhan keperluan rumah tangga atau pemanfaatan air untuk kepeningan sosial. Pemanfaatan air untuk kegiatan komersial melipui pemanfaatan untuk: air minum dalam kemasan (AMDK), perusahaan daerah air minum (PDAM), atau menunjang kegiatan industri pertanian, kehutanan, perkebunan, pariwisata dan industri lainnya.
Ada pembatasan pemanfaatan air untuk kepeningan non komersial yaitu paling banyak 30%, sedangkan untuk kepeningan komersial 20% dari 50% (lima puluh per seratus) volume air yang sudah ditetapkan. Pemanfaatan massa air yang sangat besar terjadi di TN Gunung Halimun Salak. Dilaporkan ada ada 20 unit perusahaan yang memanfaatkan untuk memproduksi air minum dalam kemasan (AMDK). Sisanya merupakan perusahaan yang bergerak di bidang peternakan dan garmen. Belum terhitung jumlah PDAM yang memanfaatkan air dari Gunung Salak. Seharusnya pihak-pihak yang memanfaatkan air tersebut memberikan kompensasi/imbal jasa lingkungan kepada taman nasional.
Selama ini belum ada pihak yang menghitung daya dukung sumber daya air di taman nasional, padahal sumber daya air merupakan faktor pening untuk kelangsungan kehidupan lora dan fauna di dalamnya. Peraturan yang ada hanya mengatur bahwa pemanfaatan air dilakukan dengan memperhaikan:
a. daya dukung sumber daya air,
b. jumlah dan penyebaran penduduk serta proyeksi pertumbuhannya ,
c. perhitungan dan proyeksi kebutuhan sumber daya air,
d. pemanfaatan air yang sudah ada, serta
e. objek dan daya tarik wisata alam .
Pemanfaatan air secara berlebihan untuk tujuan komersial dikhawairkan melebihi daya dukungnya. Selama ini pendekatan daya dukung hanya menggunakan pembatasan pemanfaatan berdasarkan persentase volume air yang ada. Pemanfaatan air dengan cara penyedotan di luar kawasan taman nasional yang faktanya sumber airnya berasal dari hutan di taman nasional belum diatur. PP terkait instrumen ekonomi sudah dibuat, tetapi peraturan turunan dari PP tersebut yang mengatur imbal jasa lingkungan belum disusun. Tidak ada insenif bagi taman nasional untuk mengonservasi wilayahnya agar
40
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
tetap berfungsi sebagai penyedia air bagi daerah sekitarnya. Selain itu, pemegang izin pemanfaatan air dikenai pungutan ganda dari Ditjen Pekerjaan Umum (PU), pajak air tanah oleh Pemda setempat dan PNBP dari Kementerian LHK. Gap kebijakan pemanfaatan air dan energi air dapat dilihat pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Gap kebijakan pemanfaatan air di hutan konservasiDokumen
KebijakanImplementasi Gap Kebijakan Rekomendasi
Permenhut Nomor: P.64/Menhut-II/2013:
· Pemanfaatan air dan aliran air dapat dilakukan di taman nasional, kecuali zona ini atau zona rimba.
· Taman nasional melakukan inventarisasi sumber daya air
· Pembatasan volume pemanfaatan air
· Air dimanfaatkan untuk konsumsi rumah tangga, PDAM, perikanan, peternakan, industri
· Sudah dilakukan inventarisasi sumber daya air
· Tidak ada yang mengukur daya dukung sumber daya air
· Izin pemanfaatan air diambil diluar kawasan hutan belum di atur
· Perizinan ganda (pemanfaatan air permukaan pada Ditjen PU, pajak air tanah pada pemda dan PNBP kehutanan)
· Belum ada insenif bagi taman nasional sebagai daerah penyedia air untuk mengonservasi wilayahnya
· Perlu dilakukan analisis daya dukung sumber daya air
· Koherensi peraturan terkait perizinan pemanfaatan air antara Ditjen PU, KLHK dan Pemda
· Penyusunan peraturan imbal jasa lingkungan (air)
41
II. KEBIJAKAN PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
DI TAMAN
NASIO
NAL
Dokumen
KebijakanImplementasi Gap Kebijakan Rekomendasi
PP Nomor 46 Tahun 2017:
· Jasa lingkungan hidup yang diberikan kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antar daerah di antaranya adalah: perlindungan tata air.
· Penerapan pajak, retribusi, dan subsidi lingkungan hidup untuk kegiatan pengambilan dan atau penggunaan air tanah serta air permukaan.
· Air dari hulu di mana taman nasional berada dimanfaatkan daerah di tengah dan hilir
· Sudah ada retribusi pemanfaatan air oleh PDAM
· Belum tersusun mekanisme imbal jasa lingkungan/kompensasi
· Belum ada insenif bagi taman nasional sebagai daerah penyedia air untuk mengonservasi wilayahnya
· Perlu segera disusun Peraturan Menteri terkait kompensasi/imbal jasa lingkungan sebagai turunan dari PP No. 46 Tahun 2017
· Perlu disusun Peraturan Menteri terkait insenif bagi taman nasional yang mengonservasi wilayahnya dengan baik
Tabel 2.5 Gap kebijakan pemanfaatan air di hutan konservasi (lanjutan)
42
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
2.2.3 Pemanfaatan Wisata Alam
Pemanfaatan jasa lingkungan yang paling menonjol adalah wisata alam. Wisata alam bisa dijadikan kunci untuk konservasi. Menurut Indrawan et al. (2007), wisata alam dapat menjadi salah satu alasan untuk melindungi keanekaragaman hayai dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Wisata alam telah mencapai 10%–50% dari total perjalanan wisata seluruh dunia. Rekreasi untuk memperoleh pengalaman berinteraksi dengan alam dan komunitas biologinya yang luar biasa (contoh seluruh sungai di TN Sebangau, savana di TN Baluran, terumbu karang di TN Wakatobi) terbuki menarik wisatawan untuk mengunjungi taman nasional, begitu juga rekreasi untuk melihat spesies lagship (orang utan di TN Gunung Palung, penyu di TN Meru Beiri, gajah TN Way Kambas). Taman nasional juga memiliki potensi wisata alam yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan pendapatan nasional dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Pemanfaatan wisata alam menjadi kegiatan pening untuk mendukung pemberdayaan masyarakat agar berparisipasi dalam menjaga kelestarian kawasan taman nasional. Sebenarnya pemanfaatan wisata alam masih bisa diingkatkan karena banyak potensi wisata yang belum digarap, misalnya membuat atraksi orang utan di TN Gunung Palung dan membuat restoran terapung dengan menu ikan hasil budidaya di air gambut. Beberapa gap kebijakan dalam pemanfaatan wisata alam yang ditemukan antara lain adanya sarana wisata di luar zona pemanfaatan (misal tracking di zona ini) dan kurangnya promosi wisata. Gap kebijakan pemanfaatan wisata alam dapat dilihat pada Tabel 2.6.
43
II. KEBIJAKAN PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
DI TAMAN
NASIO
NAL
Tabel 2.6 Gap kebijakan pemanfaatan wisata alam
Dokumen Kebijakan Implementasi Gap Rekomendasi
PP No. 36 Tahun 2010; Permenhut Nomor: P.48/Menhut-II/2010 jo. P.4/Menhut-II/2012):
· Pengusahaan izin pariwisata alam dapat dilakukan di zona pemanfaatan kecuali zona ini
· Permohonan izin pengusahaan pariwisata alam dapat diajukan oleh: perorangan, badan usaha, atau koperasi
· Usaha penyediaan sarana wisata alam, hanya dapat diberikan pada zona pemanfaatan, tetapi sarpras transportasi bisa diberikan pada semua zona kecuali zona ini
· Pemanfaatannya dilakukan dengan idak mengubah fungsi kawasan, dan merusak bentang alam.
· Luas areal yang diizinkan untuk dibangun sarana wisata alam paling banyak 10% dari luas areal yang ditetapkan dalam izin (PP 36/2010; P.48/Menhut-II/2010 jo P.4/Menhut-II/2012)
· Sudah ada izin pemanfaatan wisata alam di semua lokasi
· Banyak potensi wisata tetapi belum dimanfaatkan
· Promosi wisata kurang
· Adanya sarana wisata di luar zona pemanfaatan
· Adanya tracking
wisata di zona ini,
· Belum ada badan usaha yang mengajukan izin
· Pemanfaatan potensi wisata yang belum dimanfaatkan dengan melibatkan mitra
· Promosi wisata diingkatkan
· Atraksi wisata perlu dibuat, misalnya: interaksi dengan orang utan, restoran terapung di sungai gambut
2.2.4 Pemanfaatan Keanekaragaman HayaiLuas Indonesia hanya 1,3% dari luas daratan dunia, tetapi Indonesia kaya akan keanekaragaman hayai (mega biodiversity). Diperkirakan sebanyak 300.000 jenis satwa liar atau sekitar 17% satwa di dunia terdapat di Indonesia. Indonesia nomor satu dalam hal kekayaan mamalia (515 jenis) dan menjadi habitat lebih dari 1539 jenis burung. Sebanyak 45% ikan di dunia, hidup di Indonesia. Indonesia juga menjadi habitat bagi satwa-satwa endemik atau satwa yang hanya ditemukan di Indonesia saja. Jumlah mamalia endemik Indonesia ada 259 jenis, kemudian burung 384 jenis dan amibi 173 jenis (IUCN, 2013). Keberadaan satwa endemik ini di Indonesia sangat pening, karena jika punah populasinya maka itu arinya mereka punah juga di
44
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
dunia. Meskipun demikian Indonesia dikenal juga sebagai negara yang memiliki datar panjang tentang satwa liar yang terancam punah. Saat ini jumlah jenis satwa liar Indonesia yang terancam punah menurut IUCN (2011) adalah 184 jenis mamalia, 119 jenis burung, 32 jenis repil, 32 jenis amibi, dan 140 jenis. Jumlah total spesies satwa Indonesia yang terancam punah dengan kategori kriis (criically endangered) ada 69 spesies, kategori endangered 197 spesies dan kategori rentan (vulnerable) ada 539 jenis (IUCN, 2013).
Pelestarian dan perlindungan satwa liar dilakukan secara ganda, yaitu melalui penetapan kawasan konservasi (termasuk taman nasional) dan penetapan jenis satwa dilindungi melalui perundang-undangan. Peluang pemanfaatan satwa liar di kawasan konservasi sampai saat ini belum digarap secara opimal karena keiadaan data populasi dan status perlindungan satwa oleh peraturan (Santoso, 2014), padahal pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar bertujuan agar jenis tumbuhan dan satwa liar dapat didayagunakan secara lestari untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hasil penangkaran satwa liar dilindungi yang dapat digunakan untuk keperluan perdagangan adalah satwa liar generasi kedua dan generasi seterusnya. Perdagangan jenis satwa liar diawali dengan penetapan kuota pengambilan/penangkapan satwa liar dari alam yang merupakan batas maksimal jenis dan jumlah spesimen satwa liar yang dapat diambil dari habitat alam. Penetapan kuota pengambilan/penangkapan tumbuhan dan satwa liar didasarkan pada prinsip kehai-haian (precauionary principle) dan dasar-dasar ilmiah untuk mencegah terjadinya kerusakan atau degradasi populasi (non-detriment inding) sebagaimana tertuang dalam Aricle IV Convenion on Internaional Trade in Endangered Spesies (CITES). Kuota ditetapkan oleh Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) berdasarkan rekomendasi LIPI untuk seiap kurun waktu 1 (satu) tahun takwim untuk spesimen baik yang termasuk maupun idak termasuk dalam datar Appendiks CITES baik jenis yang dilindungi maupun idak dilindungi undang-undang. Dalam proses penyusunan kuota disadari bahwa ketersediaan data potensi satwa liar yang menggambarkan populasi dan penyebaran seiap jenis masih sangat terbatas. Untuk itu peranan lembaga swadaya masyarakat dan perguruan inggi akan sangat berari dalam membantu informasi mengenai potensi dan penyebaran jenis satwa liar yang dapat dimanfaatkan.
45
II. KEBIJAKAN PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
DI TAMAN
NASIO
NAL
Gap kebijakan dalam pemanfaatan kehai antara lain: peneliian kehai belum sepenuhnya mendukung konservasi keanekaragaman hayai, karena kurangnya peneliian lora dan fauna di zona ini dan minimnya peneliian yang bersifat ime series. Gap lainnya adalah belum lengkapnya data dasar populasi dan habitat tumbuhan dan satwa liar serta adanya kerusakan dan penurunan kualitas habitat satwa liar sebagaimana tercantum dalam Tabel 2.7.
Tabel 2.7 Gap kebijakan pemanfaatan keanekaragaman hayai
NoDokumen
KebijakanImplementasi Gap Rekomendasi
1. Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di dalam habitatnya (in
situ) dilakukan dalam bentuk kegiatan ideniikasi, inventarisasi, pemantauan, pembinaan habitat dan populasinya, penyelamatan jenis dan litbang (PP No. 7 Tahun 1999)
· Inventarisasi sudah dilakukan tetapi perlu diingkatkan
· Ideniikasi, pemantauan, pembinaan habitat dan penyelamatan jenis sudah dilakukan
· Peneliian sudah banyak dilakukan, tetapi peneliian yang hampir sama, sebaran lokasi peneliian idak proporsional, belum ada peneliian ime series
· Belum lengkapnya data dasar populasi dan habitat tumbuhan dan satwa liar
· Adanya kerusakan dan penurunan kualitas habitat satwa liar
· Penyusunan roadmap sebagai acuan dalam pelaksanaan peneliian di taman nasional
· Penyusunan data
base populasi satwa yang valid
· Perbaikan kualitas habitat satwa
2. Taman nasional dapat dimanfaatkan untuk pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar (TSL), pemanfaatan sumber plasma nufah untuk penunjang budidaya (PP No. 28 Tahun 2011)
· Pemanfaatan TSL di taman nasional: litbang, peragaan, penangkaran (ralesia, penyu), peragaan (pengamatan burung, pengamatan merak, habitat ralesia)
· Budidaya tanaman obat sudah dilakukan
· Pemasaran budidaya tanaman obat kurang
· Pemanfaatan sumber plasma nufah untuk penunjang budidaya sangat kurang
· Membantu pemasaran tanaman obat
· Peragaan dijadikan atraksi wisata
46
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
2.3 Gap Kebijakan Kelembagaan Taman Nasional
Beberapa taman nasional belum siap mengembangkan pemanfaatan jasa lingkungannya secara opimal dan lestari. Kinerja pemanfaatan taman nasional sangat ditentukan oleh kelembagaan formal taman nasional (Susetyo, 2014). Kelembagaan taman nasional yang akan dibahas pada tulisan ini terkait dengan SDM, pendanaan, insenif/disinsenif serta pengukuran kinerja Taman Nasional.
2.3.1 Gap Pendanaan Taman Nasional
Pendanaan taman nasional selama ini belum berdasarkan kriteria yang jelas. Penganggaran taman nasional yang ada saat ini lebih berkorelasi terhadap jumlah pegawai, karena sebagian alokasi anggaran banyak digunakan untuk gaji dan tunjangan kinerja. Pasal 10 PP No. 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup menyebutkan jasa lingkungan yang dapat diberikan kompensasi/imbal jasa lingkungan adalah perlindungan tata air, perlindungan keanekaragaman hayai, penyerapan dan penyimpanan karbon, pelestarian keindahan alam; dan/atau jasa lingkungan hidup lainnya. Kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antar daerah dapat dilakukan oleh: pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, pemerintah daerah dengan pemerintah daerah, pemerintah pusat dengan seiap orang; atau pemerintah daerah dengan seiap orang. Bentuk kompensasi/imbal jasa lingkungan dapat berupa uang atau sesuatu lainnya yang dapat dinilai dengan uang melalui beberapa skema, termasuk di antaranya hibah. Taman nasional mempunyai peluang besar untuk memperoleh kompensasi/imbal jasa lingkungan, karena taman nasional melaksanakan fungsi perlindungan keanekaragaman hayai, penyerapan dan penyimpanan karbon, pelestarian keindahan alam dan perlindungan tata air. Semua ketentuan yang dipersyaratkan untuk mendapatkan dana kompensasi juga dipenuhi oleh taman nasional, yaitu:
1. Taman nasional memiliki buki pemilikan/penguasaan lahan (SK penetapan kawasan dan SK wilayah kerja).
2. Taman nasional memiliki kewenangan untuk menyediakan, menghasilkan dan/atau meningkatkan jasa lingkungan hidup (SK tupoksi balai).
47
II. KEBIJAKAN PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
DI TAMAN
NASIO
NAL
3. Perhitungan jasa lingkungan hidup dan kompensasi/imbal jasa terukur (Tata cara penghitungan jasa lingkungan yang terukur).
Selain dari imbal jasa lingkungan, konservasi sumber daya alam (SDA) dapat didanai dari dana amanah. Kegiatan konservasi SDA yang dapat didanai dari dana amanah antara lain: perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan (3P). Kegiatan 3 P tersebut merupakan strategi konservasi di taman nasional, namun sayangnya PP No. 46 Tahun 2017 hanya memberikan bentuk insenif dalam bentuk pemberian keringan kewajiban, pemberian kemudahan dan/atau pelonggaran persyaratan pelaksanaan kegiatan, pemberian fasilitas dan/atau bantuan, pemberian dorongan dan bimbingan, pemberian pengakuan dan/atau penghargaan dan/atau pemberitahuan kinerja posiif kepada publik. Seharusnya perlu ditambahkan bentuk insenif lainnya sehingga mendorong para pihak untuk melestarikan sumber daya alam. Permasalahan pendanaan lain adalah alokasi PNBP yang idak menjamin akan dikembalikan sebagian ke taman nasional penghasil PNBP sehingga idak ada insenif bagi Taman Nasional yang menghasilkan banyak PNBP (Tabel 2.8).
48
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Tabel 2.8 Gap kebijakan pendanaan taman nasional
Dokumen Kebijakan Implementasi Gap Rekomendasi
· Jasa lingkungan yang dapat diberikan kompensasi/imbal jasa lingkungan antar daerah adalah perlindungan tata air, perlindungan keanekaragaman hayai, penyerapan dan penyimpanan karbon, pelestarian keindahan alam; dan/atau jasa lingkungan hidup lainnya
· Ketentuan untuk mendapatkan dana kompensasi: memiliki buki pemilikan/penguasaan lahan, memiliki kewenangan untuk menyediakan, menghasilkan, dan/atau meningkatkan jasa lingkungan, perhitungan jasa lingkungan hidup dan kompensasi/imbal jasa terukur
· Kegiatan konservasi sumber daya alam (perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan dapat diberikan insenif (PP No. 46 Tahun 2017)
· Taman nasional menghasilkan semua jasa lingkungan untuk mendapatkan imbal jasa lingkungan
· Taman nasional telah melaksanakan konservasi sumber daya alam (perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan)
· Belum ada imbal jasling/kompensasi antar daerah
· Dua ketentuan sudah dipenuhi taman nasional untuk mendapatkan dana kompensasi
· Belum ada petunjuk teknis penghitungan jasa lingkungan
· Belum pernah mendapatkan insenif
· Penyusunan buku petunjuk teknis penghitungan jasa lingkungan untuk memenuhi ketentuan mendapatkan dana imbal jasa lingkungan
· Bentuk insenif perlu diperkaya bukan hanya penghargaan, keringanan persyaratan/ kewajiban, pemberian fasilitas/bantuan, pemberian dorongan/bimbingan dan pemberitahuan kinerja ke publik
Penetapan alokasi DBH Sumberdaya Alam berdasarkan daerah penghasil atas perimbangan kementerian teknis (PP Nomor 55 Tahun 2005)
Tidak ada standar yang jelas dalam alokasi pendanaan di taman nasional
Taman nasional yang menghasilkan PNBP banyak idak menjamin mendapatkan dana yang lebih besar
PNBP yang dihasilkan bisa dikembalikan sebagian ke taman nasional penghasil
49
II. KEBIJAKAN PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
DI TAMAN
NASIO
NAL
2.3.2 Gap Kebijakan Terkait SDM
Salah satu tantangan yang dihadapi taman nasional dari dahulu hingga kini adalah keterbatasan SDM. Selain itu sebagian besar taman nasional berada di daerah yang terpencil dan sulit diakses, sedangkan sistem recruitment yang dipakai dalam menjaring pegawai baru di taman nasional masih belum mengakomodasi penduduk lokal yang berbatasan langsung dengan taman nasional. Perimbangan asal daerah dalam sistem recruitment pegawai taman nasional diharapkan akan membuat pegawai lebih betah dan punya rasa mencintai SDA yang ada di daerahnya. Selain itu rasio antara luas wilayah dan jumlah SDM yang mengelola taman nasional juga sangat besar, diperlukan standarisasi untuk mengatur berapa jumlah pegawai taman nasional yang dibutuhkan dengan memperimbangkan luasan wilayah kerjanya.
2.3.3 Gap Kebijakan Terkait Kinerja Taman Nasional
Pengukuran kinerja (performance assessment) merupakan salah satu bagian pening dalam pengelolaan taman nasional. Selama ini pengukuran kinerja masih berdasarkan Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Selama ini LAKIP yang disusun balai taman nasional masih sebatas formalitas dan jarang digunakan sebagai dasar strategi perbaikan pengelolaan hutannya, karena lebih meniikberatkan ke pertanggungjawaban dan penyerapan anggaran. Direktorat KSDAE sudah menyusun Pedoman Penilaian Efekivitas Kawasan Konservasi di Indonesia yang mengadopsi Management Efeciveness Tracking Tools (METT). Pedoman tersebut diatur dalam Peraturan Dirjen KSDAE Nomor: P.15/KSDAE-SET/2015. Pengukuran tersebut bersifat self assesment untuk mengukur efekivitas pengelolaan kawasan. Hasil penilaian tersebut dilegalkan dalam SK Dirjen KSDAE Nomor: SK.357/KSDAE/Set/KSA/2015 tentang Penetapan Nilai Awal Efekivitas Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam dan Taman Buru (Sulastriningsih et al. 2017). Hasil penilaian tersebut kemudian, dikategorikan sesuai dengan pendapat Leverington (2008) menjadi iga kategori, yaitu:
a. Tidak memadai/idak efekif ≤ 33%
b. Kurang memadai/kurang efekif 33–67%
c. Cukup baik /efekif ≥ 67%
50
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Sayangnya hasil penilaian tersebut idak dijadikan dasar untuk memberikan insenif bagi taman nasional yang sudah berkinerja baik. Hasil penilaian efekivitas pengelolaan kawasan konservasi ke empat taman nasional dapat dilihat pada Tabel 2.9.
Tabel 2.9 Hasil penilaian efekivitas pengelolaan di keempat taman nasional (lokasi peneliian)
Taman Nasional Nilai Kategori
Sebangau 62 Kurang efekifGunung Palung 67 Kurang efekifMeru Beiri 68 Cukup efekifGunung Halimun Salak 71 Cukup efekif
2.4 Penutup
Taman nasional merupakan gudang penyimpanan jasa lingkungan yang sangat pening, tetapi sebagian jasa lingkungan tersebut belum termanfaatkan. Kebijakan yang ada belum sepenuhnya mendukung pemanfaatan jasa lingkungan di taman nasional. Sampai saat ini belum ada peraturan pemanfaatan jasa karbon di hutan konservasi. Demonstraion Acivity yang ada di beberapa taman nasional idak idak dijadikan role model untuk replikasi dalam skala yang lebih luas dan keberlanjutan pengelolaan jasa karbon di hutan konservasi. Selain itu belum ada keterlibatan swasta dalam pemanfaatan jasa karbon di keempat taman nasional. Peraturan pemanfaatan jasa karbon di hutan konservasi perlu disusun dengan memasukkan beberapa hal terkait: (1) kuaniikasi jasa karbon untuk perlindungan kehai dan pengelolaan hutan konservasi; dan (2) pembagian manfaat jasa karbon. Pembelajaran DA di taman nasional diintegrasikan ke dalam Permen karbon di hutan konservasi yang akan disusun.
Selama ini pemanfaatan keanekaragaman hayai di taman nasional banyak dimanfaatkan untuk kegiatan peneliian. Sayangnya peneliian yang dilakukan hampir sama, sebaran lokasi peneliian idak proporsional dan masih sedikitnya peneliian yang bersifat ime series. Selain itu hasil peneliian dan inventarisasi yang dilakukan belum lengkap sehingga belum bisa dijadikan data dasar populasi dan habitat tumbuhan dan satwa liar. Perlu ada pembuatan roadmap peneliian yang akan diacu dalam pelaksanaan peneliian di taman nasional.
51
II. KEBIJAKAN PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
DI TAMAN
NASIO
NAL
Walaupun wisata alam merupakan kunci konservasi, banyak potensi wisata belum dimanfaatkan di taman nasional. Kecanikan taman nasional jangan disimpan dan dibiarkan terbungkus oleh lebatnya hutan rimba dan sulitnya aksesibilitas. Promosi wisata perlu diingkatkan dengan melibatkan masyarakat dan swasta secara kolaborasi.
Walaupun taman nasional mempunyai peluang besar untuk memperoleh kompensasi/imbal jasa lingkungan seperi yang disebutkan PP No. 46 Tahun 2017, harus dipasikan bahwa dana kompensasi/imbal jasa lingkungan tersebut bisa dialokasikan kembali ke taman nasional. Satu ketentuan yang belum dilakukan taman nasional adalah menyusun pedoman tata cara penghitungan jasa lingkungan yang terukur, termasuk di antaranya jasa karbon, jasa air, wisata alam dan kehai sebagai permen turunan PP tersebut. Belum ada insenif bagi taman nasional untuk mengonservasi wilayahnya agar tetap berfungsi sebagai penyedia air bagi daerah sekitarnya. Perlu pengaturan untuk penghitungan daya dukung dalam pemanfaatan air untuk menjamin kelestarian taman nasional.
Insenif yang ada di PP No. 46 Tahun 2017 hanya berupa penghargaan, keringanan persyaratan/kewajiban, pemberian fasilitas/bantuan, pemberian dorongan/bimbingan dan pemberitahuan kinerja ke publik. Perlu ada bentuk insenif lain untuk lebih mendorong para pihak untuk melakukan konservasi. Kementerian perlu mengalokasikan kembali sebagian dana PNBP ke taman nasional penghasil untuk biaya pengelolaan kawasannya. Kinerja taman nasional yang menunjukkan efekivitas pengelolaan kawasan konservasi belum dijadikan insenif untuk menentukan besarnya dana yang diperoleh taman nasional. Selain itu perlu ada pembenahan terkait sistem rekrutmen SDM di taman nasional yang mengakomodasi penduduk lokal dan diperlukan standarisasi jumlah pegawai taman nasional dengan memperimbangkan luasan wilayahnya.
Datar PustakaDawai Nusa. 2018. Pada tahun 2017, Wisata Danau Kelimutu Raup
Pendapatan Besar. 7 Februari 2018. htp://www.dawainusa.com
Dudley N. (Editor). 2008. Guidelines for Applying Protected Area Management Categories. Gland, Switzerland: IUCN
52
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Grimble R, dan Chan KM. 2005. Analisis Stakeholder untuk Pengelolaan sumber daya Alam. Dalam Suporahardjo (ed). Manajemen Kolaborasi. Memahami Pluralisme membangun Konsesus (terjemahan). Lain. Bogor.
Indrawan M, Primack RB, Supriatna J. 2007. Biologi Konservasi (terjemahan). Judul asli A Primer of Conservaion Biology. Yayasan Obor. Jakarta.
IUCN (Internaional Union for Conservaion of Nature and Natural Resources). 2011. IUCN Red List of Threatened Spesies. Available on line at htp://www.iucnredlist.org diunduh pada tanggal 04 Januari 2013.
IUCN (Internaional Union for Conservaion of Nature and Natural Resources). 2013. IUCN Red List Of Threatened Spesies. Version 2013.2. htp://www.iucnredlist.org. Diakses 13 Oktober 2013.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2017. Fesival Taman Nasional & Taman Wisata Alam Indonesia untuk Majukan Pariwisata Alam. Siaran Pers 10 Agustus 2017.
Leimona B, Munawir, Rofandi N. 2011. Konsep Jasa Lingkungan dan Pembayaran Jasa Lingkungan di Indonesia. ICRAF. Bogor.
Leverington F, KL Costa, J Courrau, H Paseve, C Nolte, M Marr, L Coad, N Burgess, B Bomhard, M Hockings. 2010. Management Efeciveness Evaluaion in Protected Areas–a Global Study. Second Ediion. The University of Quensland. Brisbane. Australia.
Millennium Ecosystem Assessment, 2005. Ecosystems and Human
Well-being: Synthesis. Island Press, Washington, DC.
Metro TV. 2018. Pendapatan Wisata Pulau Komodo capai Rp 27 Miliar. Senin, 01 Jan 2018 13:30 WIB. htp://ekonomi.metrotvnews.com.
Meyers J. 2005. Analisis Kekuatan Stakeholders. Suporahardjo (ed). Manajemen Kolaborasi. Memahami Pluralisme membangun Konsesus (terjemahan). Lain. Bogor.
Mudiana D, Suharmono, Pendit MR, Mudarsa WI. 2003. Vegetasi di sekitar danau iga warna Taman Nasional Kelimutu Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Biodiversitas 4(1): 35–37. Januari 2003.
53
II. KEBIJAKAN PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
DI TAMAN
NASIO
NAL
Ramizes R. 2005. Analisis Stakeholder dan Manajemen Konlik. Suporahardjo (ed). Manajemen Kolaborasi. Memahami Pluralisme membangun Konsesus (terjemahan). Lain. Bogor.
Santosa Y. 2014. Peningnya Kebijakan Pemanenan dalam Pengelolaan Populasi Satwa Liar di Kawasan Konservasi. Jurnal Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan. 1(1):53–58. April 2014.
Setyowai AB. 2008. Konservasi Indonesia. Sebuah Potret Pengelolaan dan Kebijakan. Pokja Kebijakan Konservasi, Kementerian Kehutanan kerja sama dengan USAID dan ESP. Jakarta.
Sulastriningsih D, Komara WY, Muslich M, Willianto E. 2017. Laporan Penilaian Efekivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia tahun 2016. Direktorat kawasan Konservasi. Direkrorat Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta.
Susetyo, Edi SH, Basuni S, Hidayat A. 2014. Analisis Kelembagaan Pemanfaatan Sumberdaya Taman Nasional Sebangau-Kalimantan Tengah.
Wiratno. 1994. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango menuju pengelolaan sebagai biosphere reserve. Majalah Kehutanan Indonesia. No 12 Tahun 1993/1994. Hal 3–7.
Wiratno. 2018. 10 Cara Baru Mengelola Kawasan Konservasi di Indonesia. Membangun Learning Organizaion. Direktur Jenderal KSDAE. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta
Wunder S. 2005. Payment for Environmental Services: Some Nuts and Bolts. Research. Center for Internaional Forestry Research. Bogor.
Wheeler D, dan Hammer D. 2010. The Economis of Populaion Policy of Crabon Emission Reducion in Developing Countries. Center for Global Development. Washington, DC
Van Beukering P, Grogan K, Hansfort SL and Seager D. 2009. An economic valuaion of Aceh’s forests: The road towards sustainable development. Report number R-09/14 for Fauna & Flora Internaional.
III. ANCAMAN DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN DI TAMAN NASIONAL
Ari Wibowo, Eka Susani dan Annisa Agusina
3.1 Pendahuluan
Hutan konservasi merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki fungsi pening dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungan bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dari luas hutan konservasi sekitar 22 juta hektare, 15 juta ha dikelola dalam bentuk taman nasional, yang ditetapkan karena memiliki potensi keanekaragaman hayai dan jasa lingkungan lainnya yang dapat bermanfaat untuk mendukung kehidupan.
Berkembangnya mekanisme miigasi perubahan iklim melalui mekanisme REDD+ yang memasukkan peran konservasi semakin menguatkan peran kawasan konservasi yang idak hanya sebagai sumber keragaman hayai, menghasilkan jasa lingkungan seperi tata air dan objek wisata, tetapi juga berperan pening dalam menjaga kestabilan iklim global sebagai kawasan yang mempunyai stok karbon inggi. Namun demikian, sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan akivitas manusia, ancaman terhadap kawasan konservsi tersebut juga semakin meningkat. Beberapa potensi ancaman kawasan konservasi dapat berasal dari deforestasi dan degradasi yang diakibatkan oleh penebangan liar, pemungutan hasil hutan, kebakaran, perambahan, konversi hutan dan kegiatan lainnya.
Ancaman terhadap kawasan konservasi yang berpotensi mengganggu kelestarian hutan dalam bentuk penurunan kualitas jasa lingkungan sebagai stok karbon, sumber biodiversitas, jasa air dan wisata pening untuk dianalisis. Hal tersebut menjadi salah satu dasar bagi penyusunan strategi pengelolaan taman nasional khususnya untuk mengopimalkan pemanfaatan jasa lingkungan. Analisis dilakukan di empat taman nasional yang dapat mewakili gambaran kondisi taman nasional di Indonesia secara umum, yaitu Taman Nasional Meru Beiri (TNMB), Taman Nasional Sebangau (TNS), Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan Taman Nasional Gunung Palung (TNGP).
56
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Deforestasi dideinisikan sebagai perubahan tutupan hutan menjadi bukan hutan. Tingkat deforestasi dianalisis melalui data citra satelit tutupan lahan di areal taman nasional. Klasiikasi penutupan lahan mengacu kepada Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan (2015), yang membagi penutupan lahan ke dalam 22 kelas, yaitu Hutan Lahan Kering Primer, Hutan Rawa Primer, Hutan Mangrove Primer, Hutan Lahan Kering Sekunder, Hutan Rawa Sekunder, Hutan Mangrove Sekunder, Hutan Tanaman, Belukar, Belukar Rawa, Tanah Terbuka, Rawa, Pertanian Campur Semak, Transmigrasi, Permukiman, Padang Rumput, Sawah, Perkebunan, Tambak, Bandara/Pelabuhan, Air, dan Awan. Klasiikasi KLHK ini lebih rinci dari klasiikasi IPCC (2006), yang membagi kelas tutupan lahan menjadi enam kelas yaitu Forest
Land, Crop Land, Wetland, Grassland, Setlement dan Other Land.
Hasil citra satelit Landsat diolah untuk mengetahui perubahan tutupan lahan dari tahun 1990 sampai tahun 2015. Selanjutnya laju deforestasi tahunan taman nasional dihitung berdasarkan perubahan tutupan lahan hutan yaitu Hutan Lahan Kering Primer, Hutan Rawa Primer, Hutan Mangrove Primer, Hutan Lahan Kering Sekunder, Hutan Rawa Sekunder, Hutan Mangrove Sekunder, dan Hutan Tanaman, yang berubah menjadi tutupan lahan bukan hutan (deforestasi). Analisis deskripif juga dilakukan untuk mengetahui ancaman degradasi terhadap taman nasional. Degradasi dideinisikan sebagai penurunan stok karbon pada suatu tutupan lahan, tetapi idak mengubah kelas penutupan lahan tersebut. Degradasi bisa disebabkan oleh kejadian kebakaran hutan, penebangan liar, perambahan dan pencurian lora/fauna. Informasi juga dikumpulkan untuk mengetahui latar belakang ancaman hutan termasuk kondisi sosial ekonomi masyarakat serta upaya perlindungan hutan dan hambatan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan hutan.
57
III. ANCAM
AN DEFO
RESTASI DAN
DEGRADASI HUTAN
DI TAMAN
NASIO
NAL
3.2 Ancaman Deforestasi dan Degradasi di Taman Nasional Meru Beiri
3.2.1 Ancaman Deforestasi di Taman Nasional Meru
BeiriTaman nasional adalah kawasan konservasi yang dikelola oleh pemerintah pusat melalui manajemen balai taman nasional. Sebagai kawasan konservasi yang dilindungi undang-undang, pengelolaan kawasan taman nasional dilakukan melalui sistem zonasi yang merujuk pada Permenhut Nomor: P.56/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional.
Dengan sistem zonasi dan batas-batas yang jelas secara hukum, ancaman deforestasi akibat konversi sangat kecil kemungkinannya. Meskipun demikian, dari hasil analisis tutupan lahan yang dilakukan untuk periode tahun 1990–2015, terjadi deforestasi sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3.1. Adapun luas tutupan lahan hutan, persentase tutupan lahan hutan dan besarnya deforestasi pada tahun 1990–2015 dapat dilihat pada Tabel 3.2. Sementara peta tutupan lahan di TNMB pada tahun 1990 dan 2015 terlihat pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1 Peta tutupan lahan di TNMB pada tahun 1990 dan 2015
58
STRATEGI PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN BERBASIS KARBON DI TAMAN NASIONAL
Tabel 3.1 Analisis tutupan lahan TNMB tahun 1990–2015
Tutupan Lahan(Kode)
Luas Per Tutupan Lahan (Ha)
1990 1996 2000 2003 2006 2009 2011 2012 2013 2014 2015
Hutan Lahan Kering Primer(2001)
134,02 134,02 19,40 19,40 19,40
Hutan Lahan Kering Sekunder(2002)
49.559,57 49.559,57 47.567,59 47.364,06 47.053,69 46.247,85 46.247,85 46.247,85 46.247,85 45.044,46 45.044,46
Hutan Tanaman(2006) 101,37 101,37 101,37 101,37 101,37 101,37 101,37 101,37 101,37 101,37 101,37
Semak Belukar(2007) 1.402,59 1.402,59 2.995,79 3.145,16 3.264,60 3.587,46 3.583,66 3.583,66 3.583,66 4.400,92 4.400,92
Perkebunan(2010) 981,62 981,62 1.182,89 1.182,89 1.563,26 1.765,18 1.766,42 1.766,42 1.765,40 1.765,40 1.765,40
Pemukiman(2012) 182,36 182,36 182,36 182,36 182,36 182,36 182,36 182,36 183,37 183,37 183,37
Tanah Terbuka(2014) 214,25 246,77 2,36 2,36 2,36 2,36 2,36 67,59 67,59
Badan Air(5001) 7,24 7,24 7,24 7,24 7,24 7,24 7,24 7,24 7,24 7,23 7,23
Pertanian Lahan Kering(20091)
568,98 568,98 568,98 590,62 645,59 946,07 948,63 948,63 948,63 1.076,97 1.076,97
Pertanian Lahan Kering Campur(20092)
97,87 97,87 97,87 97,87 97,87 97,87 97,87 290,43 290,43
Sawah(20093) 409,04 409,04 409,04 409,04 409,04 409,04 409,04 409,04 409,04 409,06 409,06
Total 53.346,79 53.346,79 53.346,79 53.346,79 53.346,79 53.346,79 53.346,79 53.346,79 53.346,79 53.346,79 53.346,79
59
III. ANCAM
AN DEFO
RESTASI DAN
DEGRADASI HUTAN
DI TAMAN
NASIO
NAL
Tabel 3.2 Luas dan persentase tutupan lahan hutan dan besarnya deforestasi di TNMB tahun 1990–2015
Tahun
Luas Tutupan Lahan
Hutan
(Ha)
Persentase
Tutupan Lahan
Hutan
(%)
Deforestasi
(Ha)
1990 49.794,96 93,341996 49.794,96 93,34 -2000 47.688,37 89,39 2.106,592003 47.484,84 89,01 203,532006 47.174,47 88,43 310,372009 46.349,22 86,88 825,252011 46.349,22 86,88 -2012 46.349,22 86,88 -2013 46.349,22 86,88 -2014 45.145,83 84,63 1.203,392015 45.145,83 84,63 -
Rata-rata 25 Tahun 88,21 185,97
Tabel 3.2 menunjukkan bahwa tutupan lahan hutan berupa hutan hujan lahan kering mendominasi tutupan lahan TN Meru Beiri (84,6%). Analisis perubahan tutupan lahan untuk periode tahun 1990 sampai 2015 menunjukkan bahwa luas tutupan lahan hutan pada tahun 1990 adalah 49.693,60 ha, sedangkan pada tahun 2015 hanya seluas 45.145,84 Ha. Dengan demikian terjadi deforestasi sebesar 185,97 ha seiap tahunnya.
Analisis tutupan lahan tahun 2001–2010 dilakukan untuk kepeningan kegiatan DA REDD+ di TN Meru Beiri sebagaimana tertera pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3 Perubahan tutupan lahan pada periode tahun 2001–2010 di TNMB
Perubahan Tutupan Lahan Luas
(Ha)Tutupan Lahan 2001 Tutupan Lahan 2010
Lahan hutan (Forest land) Lahan pertanian (Crop land) 276Lahan agroforestry 517Semak belukar (Grassland) 6
Total 799
Sumber: Arifani et al. (2010), CER dan CCCPRD (2015)
60
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Tabel 3.3 menujukkan bahwa tutupan hutan yang dikonversi menjadi lahan non-hutan (lahan pertanian dan belukar) dari tahun 2001 sampai 2010 adalah sekitar 282 ha. Dengan demikian, ingkat deforestasi tahunan adalah 28,2 ha/tahun. Lahan agroforestry idak masuk sebagai deforestasi karena dari hasil analisis remote sensing, masih
masuk sebagai kriteria hutan (forest land).
Perubahan tutupan lahan atau deforestasi terjadi karena perambahan kawasan hutan, terutama di wilayah yang berbatasan dengan pemukiman penduduk (desa). Kawasan hutan yang dirambah adalah berupa hutan jai ex-tanaman Perum Perhutani yang dirambah masyarakat sekitar dan masyarakat dari luar yang terjadi pada era reformasi tahun 1997-1998. Akibat adanya perambahan, kawasan tersebut selanjutnya ditetapkan sebagai zona rehabilitasi. Saat ini zona rehabilitasi dikelola oleh TNMB dengan melibatkan masyarat melalui kelompok tani (Jaketresi). Masyarakat mengembangkan sistem agroforestry dengan jenis-jenis tanaman kayu yang disetujui oleh pihak taman nasional. Masyarakat diizinkan untuk melakukan kegiatan tanaman pertanian dengan syarat bahwa mereka diwajibkan untuk menanam dan memelihara tanaman pokok berkayu tanaman kehutanan.
Di masa yang akan datang ancaman deforestasi masih ada terutama di wilayah yang berbatasan dengan desa yaitu Desa Wonoasri, Curah Nongko, Andongrejo, Sanenrejo dan Curah Takir. Pertambahan jumlah dan akivitas masyarkat dapat berpotensi menjadi ancaman akan terjadinya penggundulan hutan. Meskipun demikian, dengan adanya ancaman hukuman, adanya Balai TNMB yang mengelola kawasan dan melakukan upaya perlindungan hutan, peluang terjadinya deforestasi relaif kecil. Hingga saat ini, tutupan lahan hutan masih dominan di kawasan TNMB. Gangguan hutan yang masih kerap terjadi adalah degradasi atau penurunan kualitas hutan akibat gangguan hutan seperi penebangan liar, pencurian satwa liar dan gangguan hutan lainnya.
61
III. ANCAM
AN DEFO
RESTASI DAN
DEGRADASI HUTAN
DI TAMAN
NASIO
NAL
3.2.2 Ancaman Degradasi di Taman Nasional Meru
BeiriTNMB sebagaimana kawasan hutan lainnya, juga menghadapi ancaman yang menyebabkan degradasi dan mengurangi nilai dari fungsi ekosistem termasuk perannya dalam penyerapan karbon dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Penyebab utama ancaman degradasi hutan adalah penebangan liar. Penebangan liar kayu dan hasil hutan non-kayu dari TNMB sebagian besar karena tekanan ekonomi yang disebabkan oleh kemiskinan dan kurangnya sumber pendapatan serta masih kurangnya kesadaran masyarakat tentang fungsi hutan. Kurangnya upaya penegakan hukum yang disebabkan oleh keterbatasan sumber daya manusia (petugas/polisi hutan) juga memacu terjadinya gangguan hutan. Situasi ini, secara langsung atau idak langsung, memberikan kontribusi terhadap potensi degradasi dari kawasan TNMB. Tingkat gangguan hutan pada periode tahun 2012–2016 didominasi oleh penebangan liar sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3.2.
5
Gambar 3.2. Grafik gangguan hutan di TNMB tahun 2012-2016 (BTNMB, 2017) Gambar 3.2 Graik gangguan hutan di TNMB tahun 2012–2016
(BTNMB 2017)
Penebangan liar merupakan gangguan hutan sebagai kasus yang paling banyak terjadi di kawasan TNMB dibandingkan gangguan hutan lainnya. Penebangan liar terjadi umumnya di zona rimba, di mana kondisi hutan masih baik dan banyak mengandung kayu komersial. Dari berbagai kasus yang ditemukan, barang buki biasanya menunjukkan jumlah berupa tunggak hasil penebangan dan tumpukan kayu yang siap diangkut ke luar kawasan. Jenis yang bayak dicuri seiap tahunnya di masing-masing seksi wilayah tertera pada Tabel 3.4, Gambar 3.2, dan Tabel 3.4 menunjukkan jumlah kasus yang dijumpai, akan tetapi idak memberikan gambaran besarnya intensitas gangguan atau ingkat
62
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
degradasi terhadap hutan karena bisa saja satu kasus mengakibatkan banyak kerusakan (ditemukan banyak jumlah kayu yang ditebang) sedangkan kasus lain, misalnya, hanya ditemukan satu pohon atau tunggak.
Tabel 3.4 Jenis gangguan hutan dominan di TNMB tahun 2012–2016
Seksi Pengelolaan
Taman Nasional
(SPTN)
Jenis Kayu Sering
Dicuri
Jenis Satwa
Liar Sering
Diburu
Jenis HHBK
Sering Dicuri
Wilayah I Sarongan Jai, akasia, bayur, suren, putat, bendo
Telur dan daging penyu, berbagai jenis burung
Getah
Bendo
Bambu
Wilayah II Ambulu Glintungan, bayur, gaharu, putat, bendo
kijang, babi ayam hutan, banteng
Getah
Bendo
Bambu
Wilayah III Kalibaru Bayur, putat, suren
Banteng, babi hutan
Bambu
Sumber: diolah dari data BTNMB (2017)
Kasus kebakaran hutan meskipun terjadi, intensitasnya relaif kecil dan merupakan kebakaran permukaan (surface ire). Selama tahun 2012–2016 tercatat sekitar 90 ha luas kebakaran permukaan, atau rata-rata 18 ha per tahun dengan intensitas rendah. Untuk kasus perambahan hutan, meskipun terjadi, intensitasnya juga relaif kecil. Selama tahun 2012–2016 tercatat sekitar 15 ha luas perambahan permukaan atau rata-rata 3 ha per tahun.
Ancaman terhadap kelestarian hutan yang bisa mengarah kepada degradasi terutama penebangan liar idak lepas dari keberadaan masyarakat di desa-desa yang berbatasan dengan TNMB. TNMB berada di dua kabupaten yaitu Jember dan Banyuwangi dengan jumlah desa yang langsung berbatasan dengan kawasan TNMB yaitu 10 desa dan jumlah penduduk 26.125 orang (Balai TN Meru Beiri 2017). Kebanyakan masyarakat yang inggal di desa-desa ini adalah petani subsisten dan buruh dalam kegiatan yang berhubungan dengan pertanian. Rata-rata pendapatan masyarakat cukup rendah, sekitar Rp. 850.000/bulan. Untuk mendukung kehidupan sehari-hari, sebagian besar anggota masyarakat mencari sumber pendapatan alternaif, dan ada yang melakukan penebangan di kawasan taman nasional, baik
63
III. ANCAM
AN DEFO
RESTASI DAN
DEGRADASI HUTAN
DI TAMAN
NASIO
NAL
untuk kayu dan hasil hutan bukan kayu. Beberapa anggota masyarakat juga bekerja di TNMB untuk kegiatan rehabilitasi sebagai sumber pendapatan tambahan. Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan meningkatnya ketergantungan masyarakat pada sumber daya yang disediakan dari TNMB.
Untuk penanganan kasus gangguan hutan berupa indak pidana seperi penebangan liar, pencurian satwa, perambahan, oleh pihak Balai TNMB khususnya PPNS BTNMB dilakukan melalui kerja sama dengan aparat kepolisian Polres/Polsek setempat. Berbagai kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat di sekitar hutan juga dilakukan, mulai dari penyuluhan, pelaihan keterampilan dan berbagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagai contoh, kerja sama dalam pengembangan sistem agroforestri di zona rehabilitasi, budidaya jamur iram, ternak lele dan pengembangan tanaman obat.
3.3 Ancaman Deforestasi dan Degradasi di Taman Nasional Sebangau
3.3.1 Ancaman Deforestasi di Taman Nasional Sebangau
Analisis perubahan tutupan lahan di Taman Nasional Sebangau yang dilakukan untuk periode tahun 1990–2015 tertera pada Tabel 3.5. Peta tutupan lahan di TN Sebangau pada tahun 1990 dan 2015 terlihat pada Gambar 3.3. Luas dan persentase tutupan lahan hutan dan besarnya deforestasi pada tahun 1990–2015 dapat dilihat pada Tabel 3.6.
Gambar 3.3 Peta tutupan lahan di TNS pada tahun 1990 dan 2015
64
STRATEGI PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN BERBASIS KARBON DI TAMAN NASIONAL
Tabel 3.5 Analisis tutupan lahan TNS tahun 1990–2015
Tutupan Lahan
(Kode)
Luas Per Tutupan Lahan (Ha)
1990 1996 2000 2003 2006 2009 2011 2012 2013 2014 2015
Hutan Lahan Kering Sekunder(2002)
11.922,58
Hutan Rawa Primer(2004)
10.244,27
Hutan Rawa
Sekunder(20041)
527.639,65 526.824,02 509.423,78 491.286,11 472.291,81 458.559,35 457.864,91 457.218,38 456.391,61 456.288,79 427.387,55
Hutan Mangrove Sekunder(20041)
24,62 24,62 24,62 24,62
Belukar Rawa
(20071)10.127,63 28.242,73 45.642,97 57.248,45 80.939,83 92.170,66 92.840,47 93.013,80 94.754,59 94.753,51 74.446,72
Rawa
(50011)30.499,43 34.154,16 34.154,16 35.276,04 35.486,49 35.486,49 35.486,49 35.486,49 33.698,29 33.698,29 29.245,43
Perkebunan(2010)
61,51 61,51 61,51 121,30 123,35 123,35 123,35 123,35 123,35 1.993,42
Pertanian Lahan Kering(20091)
3,09 3,09 3,09 3,09 3,09 3,09 3,09 3,09 3,09 156,87 981,65
Pertanian Lahan Kering Campur(20092)
638,37 638,37
Semak Belukar
(2007)3.307,08 2.380,38 2.380,38 2.357,03 2.357,03 2.357,03 2.357,03 2.357,03 2.357,03 2.357,03 2.668,45
65
III. ANCAMAN DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN DI TAMAN NASIONAL
Tutupan Lahan
(Kode)
Luas Per Tutupan Lahan (Ha)
1990 1996 2000 2003 2006 2009 2011 2012 2013 2014 2015
Badan Air(5001)
792,98 792,98 792,98 792,98 792,98 792,98 792,98 792,98 792,98 792,98 792,27
Tanah Terbuka(2014)
2,34 2.080,18 2.080,18 7.513,84 2.546,51 5.046,10 5.046,10 5.519,29 5.755,11 5.705,22 56.962,19
Pemukiman(2012)
461,24 461,24 461,24 461,24 461,24 461,24 461,24 461,24 461,24 461,24 522,60
Total 595.000,28 595.000,28 595.000,28 595.000,28 595.000,28 595.000,28 595.000,28 595.000,28 595.000,28 595.000,28 595.000,28
Tabel 3.5 Analisis tutupan lahan TNS tahun 1990–2015 (lanjutan)
66
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Tabel 3.6 Luas dan persentase tutupan lahan hutan dan besarnya deforestasi di TNS tahun 1990–2015
Tahun
Luas Tutupan Lahan
Hutan
(Ha)
Persentase
Tutupan Lahan
Hutan
(%)
Deforestasi
(Ha)
1990 549.806,49 92,401996 526.824,02 88,54 22.982,482000 509.423,78 85,62 17.400,242003 491.286,11 82,57 18.137,672006 472.291,81 79,38 18.994,302009 458.559,35 77,07 13.732,462011 457.889,53 76,96 669,822012 457.243,01 76,85 646,522013 456.416,24 76,71 826,772014 456.313,42 76,69 102,822015 427.387,55 71,83 28.925,87
Rata-rata 25 Tahun 80,42 4.896,76
Tabel 3.5 dan 3.6 menunjukkan bahwa tutupan lahan hutan yang dominan di TNS berupa hutan rawa gambut (71,8%). Analisis perubahan tutupan lahan periode tahun 1990 sampai 2015 menunjukkan bahwa hasil luas tutupan lahan hutan pada tahun 1990 adalah 549.806,10 ha dan pada tahun 2015 adalah 427.387,15 ha, atau terjadi deforestasi sebesar 4.896,76 ha seiap tahunnya.
Kerusakan hutan yang banyak terjadi di TN Sebangau sebelum ditetapkan sebagai taman nasional pada tahun 2004 adalah perambahan dan penebangan liar. Sejak tahun 2004, kegiatan konversi dan penebangan dilarang sehingga deforestasi yang terjadi banyak disebabkan oleh kejadian kebakaran. Meskipun telah ditetapkan sebagai taman nasional, kawasan hutan idak luput dari berbagai ancaman yang dapat mengancam kelestarian hutan gambut. Ancaman yang dapat mengakibatkan deforestasi dan degradasi adalah kebakaran, pencurian kayu/perambahan dan pembuatan kanal.
67
III. ANCAM
AN DEFO
RESTASI DAN
DEGRADASI HUTAN
DI TAMAN
NASIO
NAL
Kebakaran di TN Sebangau pada umumnya terjadi karena konversi gambut yang mengganggu hidrologi gambut sehingga menjadi mudah terbakar. Tingginya ingkat deforestasi dan degradasi TN Sebangau khususnya akibat alih fungsi hutan dan pembalakan liar sebelum ditetapkan menjadi taman nasional dapat dipahami, mengingat areal tersebut sebelumnya merupakan hutan produksi. Akivitas manusia seperi pembakaran lahan untuk penyiapan tanaman pertanian pada musim kemarau meningkatkan risiko kebakaran dan merupakan ancaman utama pengelolaan kawasan TN Sebangau saat ini.
Pada tahun 2015 yang merupakan siklus kemarau panjang (tahun el-nino), menyebabkan sebagian kawasan TN Sebangau mengalami kebakaran hutan seluas ±16.506,44 ha dengan jumlah hotspot 126 dan merupakan kebakaran dengan luas teringgi selama lima tahun terakhir (Gambar 3.4).
10
Gambar 3.4. Grafik jumlah hotspot dan luas kebakaran di TNS tahun 2011-2016 Gambar 3.4 Graik jumlah hotspot dan luas kebakaran di TNS tahun 2011–2016
Analisis lebih lanjut lokasi hotspot menunjukkan bahwa lokasi kebakaran merupakan wilayah yang jauh dari areal pemukiman sebagaimana yang tertera pada Gambar 3.5.
68
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
10
Gambar 3.5 Sebaran titik api di kawasan TNS tahun 2011-2015 (Anggodo, 2017)
Gambar 3.5 Sebaran iik api di kawasan TNS tahun 2011–2015 (Anggodo 2017)
Meskipun demikian diketahui bahwa kebakaran tersebut dipicu oleh akivitas manusia dan didukung oleh musim kemarau yang menyebabkan kawasan gambut menjadi lebih kering. Kebakaran di kawasan gambut merupakan kebakaran tanah (ground ire) yang sulit dipadamkan karena api menjalar di bawah tanah (membakar bahan organik gambut). Selain itu, kebakaran di kawasan gambut menghasilkan emisi GRK secara langsung dan menghasilkan banyak asap.
3.3.2 Ancaman Degradasi di Taman Nasional Sebangau
Rusaknya hutan rawa gambut, terlihat sejak tahun 2001 di mana saat itu banyak dibuat parit untuk menuju wilayah pedalaman. Parit dibuat untuk akses kapal masuk ke pedalaman serta untuk mengangkut kayu yang ditebang secara liar. Saat itu, seidaknya ada 150 perusahaan pengolahan kayu yang melakukan penebangan kayu tanpa izin sehingga mengakibatkan kerusakan hutan yang mencapai 66 ribu hektare (Wijaya 2012). Lebih dari seribu kanal, dengan lebar dua hingga empat meter, merupakan warisan eksploitasi iga dekade silam. Kanal dibangun untuk menghanyutkan kayu-kayu ke sungai utama yang kemudian mendorongnya ke muara.
69
III. ANCAM
AN DEFO
RESTASI DAN
DEGRADASI HUTAN
DI TAMAN
NASIO
NAL
Pembuatan parit atau drainase juga menyebabkan pengeringan kawasan gambut yang mengakibatkan kawasan menjadi mudah terbakar. Meskipun kondisi saat ini pembalakan kayu dan pembuatan kanal sudah jauh berkurang, tetapi dampak dari pembalakan kayu dan pembangunan sejumlah kanal telah merusak hutan dan membutuhkan upaya untuk reforestasi. Dengan kondisi ini, maka upaya penyelesaian masalah di taman nasional itu adalah mengatur agar kawasan menjadi relaif lembap dan basah untuk mencegah dan mengurangi frekuensi kebakaran dengan melakukan penabatan kanal (canal blockage), pembuatan dam dan upaya rehabilitasi atau penanaman kembali. Kegiatan penurunan emisi REDD+ di TN Sebangau yang mengacu kepada Veriied Carbon Standard (VCS) juga fokus kepada kegiatan pembasahan lahan gambut dengan penabatan (WWF et al. 2014). Berbagai pihak secara akif berupaya untuk menjaga kelestarian TN Sebangau, termasuk WWF, yang terus akif menyuarakan peningnya penyelamatan hutan rawa gambut Sebangau untuk dilestarikan dan dijaga dari kerusakan.
Selain kebakaran, pembalakan liar menjadi salah satu tantangan pengelolaan TN Sebangau. TN Sebangau, yang diapit dua sungai Kaingan dan Sebangau, merupakan bekas lokasi operasi 13 hak pengusahaan hutan (HPH) pada tahun 1980 hingga 1995. Kawasan itu baru ditetapkan sebagai taman nasional oleh Menteri Kehutanan pada tahun 2004 dan usaha konservasi dimulai dari 2005. Pembalakan liar di kawasan taman nasional marak terjadi sejak sebelum penetapan TN Sebangau (Abaza 2012).
Sampai saat ini, pembalakan liar merupakan ancaman hutan yang umum terjadi di kawasan konservasi. Kebutuhan masyarakat akan kayu untuk kepeningan ekonomi dan lainnya, kerap kali berujung kepada kegiatan pembalakan liar di kawasan hutan. Selama pelaksanaan kegiatan patroli ruin pengamanan kawasan, selalu ditemukan hasil kegiatan pembalakan liar berupa tunggak dan kayu hasil tebangan liar. Pada tahun 2016 misalnya, ditemukan kayu gelam ± 140 batang di Resort Bangah. Ditemukan juga bekas pondok yang diindikasikan digunakan untuk kegiatan illegal logging di Resort Bangah. Pada temuan tersebut idak ditemukan adanya pelaku sehingga dilakukan penghancuran atau pemusnahan barang buki. Luasnya kawasan hutan dan keterbatasan personel menjadi alasan klasik yang menyebabkan ancaman pembalakan liar selalu menjadi masalah dalam pengelolaan taman nasional.
70
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Perburuan satwa juga seringkali terjadi di TN Sebangau yang mengancam kelestarian biodiversitas TN Sebangau. Hutan Sebangau merupakan “rumah” bagi 25 jenis mamalia, 182 jenis burung, 48 jenis ikan, 54 spesies ular, dan 808 jenis tumbuhan. TN Sebangau juga merupakan habitat orangutan liar terbesar di dunia. Di kawasan itu terdapat 6.000–9.000 individu orangutan liar (Panda 2013).
Perambahan dan perubahan penggunaan/status lahan merupakan tantangan lainnya. Menurut aturan, kawasan taman nasional idak dapat dialih fungsikan, akan tetapi di lapangan terjadi berbagai pelanggaran. Misalnya, temuan patroli ruin pengamanan kawasan tahun 2016 menemukan pembukaan Jalan Hampangen-Mendawai dengan jarak ±153 M dari batas terluar serta pembangunan jalan Hampangen-Mendawai oleh kontraktor Pemda Kaingan yang idak mengikui trace sehingga masuk kawasan TN Sebangau ±2,8 Km dengan luas kerusakan hutan akibat jalan tersebut seluas ±110 Ha. Temuan ini telah diindaklanjui dengan melakukan koordinasi di Dinas PU Kabupaten Kaingan. Hasilnya, Dinas PU telah memberikan peringatan kepada kontraktor untuk memperbaiki pembuatan trace
jalan dan menutup trace yang terlanjur dibuat dan masuk kawasan TN Sebangau (Jenito 2017).
Untuk menanggulangi berbagai ancaman kelestarian hutan Sebangau, pihak manajemen telah melakukan berbagai upaya, seperi meningkatkan patroli pengamanan hutan sekaligus untuk deteksi dini kebakaran. Patroli pencegahan kebakaran/pengamanan hutan dilakukan bersama masyarakat pada bulan-bulan kemarau. Selain patroli, kesiap-siagaan dan peningkatan koordinasi juga dilakukan dengan kegiatan antara lain membentuk posko siaga kebakaran hutan, sosialisasi/penyuluhan dan pengendalian kebakaran hutan. Namun demikian penanggulangan kebakaran di TN Sebangau mengalami kendala akibat keterbatasan alat pemadam, SDM serta lokasi kebakaran yang sulit dijangkau.
Upaya penyelamatan kawasan ekosistem gambut juga dilakukan dengan memperbaiki sistem tata air gambut. Kurang lebih 10% dari luas kawasan TN Sebangau merupakan hutan rawa gambut yang mengalami kerusakan. Dalam upaya memperbaiki gambut yang rusak, dilakukan kegiatan-kegiatan restorasi seperi penabatan kanal dan idak membangun kanal baru lagi. Di kawasan sekitar anak sungai yang
71
III. ANCAM
AN DEFO
RESTASI DAN
DEGRADASI HUTAN
DI TAMAN
NASIO
NAL
ada di Sebangau, saat ini telah dibangun sekitar 800 tabat. Tujuan penabatan ini adalah mengurangi laju pengurasan air tanah gambut keluar dari sistem hidrologinya.
Restorasi dengan penabatan menciptakan prakondisi lingkungan yang baik untuk rehabilitasi hutan gambut. Setelah kondisi tanah gambut lembab, upaya rehabilitasi (menghutankan kembali) bisa dilakukan. Sejak tahun 2007, di TN Sebangau, terutama di kawasan seluas 56.000 hektare yang mengalami kerusakan paling parah, dilakukan program reforestastasi. Pohon-pohon yang ditanam adalah spesies asli setempat, seperi jelutung (Dyera lowii), pulai (Alstonia spp.), dan kahoi (Shorea
belangeran). Swasta juga terlibat dalam upaya pemulihan ekosistem TN melalui kegiatan penanaman dan perawatan pohon untuk membantu memperbaiki hutan rawa gambut di Sebangau. Selain bisa memulihkan habitat gambut, pohon-pohon itu juga bisa menjadi sumber makanan bagi populasi orangutan di kawasan tersebut.
3.4 Ancaman Deforestasi dan Degradasi di Taman Nasional Gunung Halimun Salak
3.4.1 Ancaman Deforestasi di Taman Nasional
Gunung Halimun Salak
Data tutupan lahan TNGHS sejak tahun 1990–2015 hasil interpretasi citra landsat dapat dilihat pada Tabel 3.7. Peta tutupan lahan di TN Gunung Halimun Salak pada tahun 1990 dan 2015, tertera pada Gambar 3.6. Luas dan persentase tutupan lahan hutan dan besarnya deforestasi pada tahun 1990–2015 dapat dilihat pada Tabel 3.8.
72
STRATEGI PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN BERBASIS KARBON DI TAMAN NASIONAL
Tabel 3.7 Analisis tutupan lahan TNGHS tahun 1990–2015
Tutupan Lahan
(Kode)
Luas Per Tutupan Lahan (Ha)
1990 1996 2000 2003 2006 2009 2011 2012 2013 2014 2015
Hutan Lahan Kering Primer(2001)
1.969,01 1.969,01 1.969,01 1.969,01 1.950,09 1.938,30 1.938,30 1.938,30 1.938,30 1.938,30 1.938,30
Hutan Lahan Kering Sekunder(2002)
37.165,60 37.165,60 37.130,93 37.130,93 37.026,15 37.020,04 36.998,69 36.998,69 36.998,69 36.814,14 36.797,02
Hutan Tanaman(2006)
13.708,67 13.708,67 13.784,14 13.784,14 13.586,86 13.116,90 13.065,45 13.065,45 13.065,45 13.316,30 13.299,65
Semak Belukar
(2007)1.743,37 1.743,37 1.812,59 1.812,59 2.108,28 2.142,22 1.459,23 1.459,23 1.459,23 217,64 217,64
Perkebunan(2010)
1.920,93 1.920,93 1.920,93 1.920,93 1.920,93 1.920,93 1.920,93 1.920,93 1.920,93 2.180,01 2.198,29
Pemukiman(2012)
0,84 0,84 0,84 0,84 0,84 0,84 0,84 0,84 0,84 2,56 10,70
Badan Air(5001)
34,43 34,43 34,43 34,43 34,43 34,43 34,43 34,43 34,43 4,64 4,64
Pertanian Lahan Kering(20091)
915,73 915,73 1.097,30 1.097,30 1.224,20 1.401,63 1.975,56 1.975,56 1.975,56 5.981,46 5.980,31
Pertanian Lahan Kering Campur(20092)
8.595,46 8.595,46 8.408,66 8.408,66 8.356,99 8.482,41 9.229,69 9.229,69 9.229,69 10.459,02 10.459,02
Sawah
(20093)9.482,73 9.482,73 9.377,94 9.377,94 9.327,99 9.479,07 8.913,65 8.913,65 8.913,65 4.622,70 4.631,21
Total 75.536,77 75.536,77 75.536,77 75.536,77 75.536,77 75.536,77 75.536,77 75.536,77 75.536,77 75.536,77 75.536,77
73
III. ANCAM
AN DEFO
RESTASI DAN
DEGRADASI HUTAN
DI TAMAN
NASIO
NAL
Gambar 3.6 Peta tutupan lahan di TNGHS pada tahun 1990 dan 2015
Hutan hujan lahan kering mendominasi tutupan hutan TN Gunung Halimun Salak dengan persentase 68,9%. Selama periode tahun 1990 sampai 2015 terjadi deforestasi tahunan seluas 32,33 Ha. Proses kehilangan hutan alam banyak terjadi pada periode tahun 2001 sampai dengan 2008, yang kemungkinan perisiwa ini berkaitan dengan proses implementasi otonomi daerah, di mana pada saat itu terjadi keidaktentuan hukum (Prasetyo dan Setyawan, 2007).
Tabel 3.8 Luas dan persentase tutupan lahan hutan dan besarnya deforestasi di TNGHS tahun 1990–2015
Tahun
Luas
Tutupan
Lahan Hutan
(Ha)
Persentase Tutupan
Lahan Hutan
(%)
Deforestasi
(Ha)
1990 52.843,29 69,961996 52.843,29 69,96 -2000 52.884,07 70,01 (40,79)2003 52.884,07 70,01 -2006 52.563,11 69,59 320,972009 52.075,24 68,94 487,862011 52.002,44 68,84 72,812012 52.002,44 68,84 -2013 52.002,44 68,84 -2014 52.068,74 68,93 (66,30)2015 52.034,97 68,89 33,77Rata-rata 25 Tahun 69,35 32,33
Ancaman deforestasi potensial juga bisa terjadi akibat alih fungsi kawasan TN Gunung Halimun Salak yang ditetapkan berdasarkan SK. 175/Menhut-II/2003 tertanggal 10 Juni 2003 seluas ±113.357 ha.
74
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Kawasan tersebut merupakan pengembangan sekaligus perluasan dari Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) seluas ±40.000 ha yang memasukkan hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Produksi Tetap (HP), dan Hutan Lindung Gunung Salak seluas ±73.357 ha yang sebelumnya berada di wilayah kerja Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Saat ini sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 327/Menlhk/Setjen/PLA.2/4/2016 tanggal 26 April 2016 sebagian kawasannya berubah fungsi menjadi hutan lindung seluas ±3.738 ha, hutan produksi terbatas seluas ±9.477 ha, hutan produksi tetap seluas ±4.158 ha dan pengembalian areal penggunaan lain (enclave) seluas ±7.847 ha di Kabupaten Bogor dan Sukabumi (Provinsi Jawa Barat) serta Kabupaten Lebak (Provinsi Banten). Berdasarkan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tersebut, luas kawasan TN Gunung Halimun Salak menjadi ±87.699 Ha. Perubahan fungsi seluas ±37.000 ha ini, masih belum jelas status hukumnya di lapangan sehingga dapat mengancam kelestarian taman nasional.
TN Gunung Halimun Salak merupakan salah satu kawasan pelestarian alam (KPA) di Jawa Barat dan Banten. Sebagai kawasan pelestarian alam, TN Gunung Halimun Salak memiliki fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayai dan ekosistemnya. Namun, perizinan yang telah diberikan terkait penambang emas PT Antam, tambang panas bumi PT Chevron Geotermal Indonesia dan akivitas sarana pariwisata atas nama wisata alam lainnya berpotensi menambah kerusakan tatanan ekosistem kawasan hutan. Adanya hutan adat melalui Perda Nomor 58 Tahun 2015 di Kabupaten Lebak yang mengakomodasi Kasepuhan seluas ±200 ha merupakan tantangan tersendiri bagi pengelolaan taman nasional karena berpotensi merusak tutupan hutan (WALHI, 2012).
3.4.2 Ancaman Degradasi di Taman Nasional Gunung
Halimun Salak
Ancaman degradasi terjadi di beberapa tempat karena banyak warga yang melakukan penebangan pohon untuk kegiatan eksplorasi penambangan emas tanpa izin (PETI). Volume PETI tahun 2012 sampai 2016 tertera pada Tabel 3.9.
75
III. ANCAMAN DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN DI TAMAN NASIONAL
Tabel 3.9 Jumlah dan volume PETI di TNGHS tahun 2012–2016
Seksi Pengelolaan
Taman Nasional
(SPTN)
Volume PETI
2012 2013 2014 2015 2016
Luas
(ha)
Pelaku
(org)
Luas
(ha)
Pelaku
(org)
Luas
(ha)
Pelaku
(org)
Luas
(ha)
Pelaku
(org)
Lubang
(Lbg)
Pelaku
(org)
Wilayah I Lebak 35 140 70 279 540 50 N/A 525 291 N/AWilayah II Bogor 7 220 7 45 N/A 1164 485 40 45 N/AWilayah III Sukabumi 1 10 1 8 1 2 24 9 N/A N/A
Sumber: Staisik BTNGHS (2017)
76
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Selain merusak kawasan taman nasional, keberadaan tambang ilegal itu pun sering kali membawa bencana. Kejadian tambang yang longsor dan mengakibatkan kemaian penambang liar atau gurandil merupakan perisiwa yang sering terjadi.
Selama tahun 2016, luas areal terdegradasi berupa perambahan di kawasan TNGHS adalah seluas ±298,69 ha, yaitu ±1,5 ha di SPTNW I Lebak, ±153,57 ha di SPTNW II Bogor dan ±143,62 ha di SPTNW III Sukabumi. Perambahan tersebut dilakukan oleh masyarkat yang menggarap lahan di wilayah taman nasional dengan menanam tanaman pertanian.
Pada tahun 2015 ditemukan kayu bulat dan olahan hasil tebangan liar sebanyak 315 m3, terdiri atas berbagai jenis (campuran) seperi jenis manii, isuk, rasamala, damar, sengon dan kisereh. Di tahun 2016, untuk kasus penebangan liar ditemukan dan disita kayu bulat dan olahan hampir di seiap resort. Telah ditemukan tunggak bekas penebangan liar dengan berbagai jenis dan diameter. Total tunggak yang ditemukan selama tahun 2016 di wilayah taman nasional adalah 134 tunggak.
Untuk kasus kebakaran hutan, pada tahun 2015 sebagai tahun El-Nino, terjadi kebakaran seluas ±5,6 ha pada bulan Juli–September 2015. Sementara pada tahun 2016 hanya terjadi sekali dengan luas ±0,4 ha. Dengan demikian, kebakaran hutan, bukan masalah utama yang dapat mengancam kelestarian TN Gunung Halimun Salak.
Tiga spesies satwa utama yang dilindungi di TN Gunung Halimun
Salak adalah macan tutul, elang jawa dan owa. Hasil rekaman camera trap menemukan enam individu macan tutul (Panthera pardus) yang terekam. Populasi macan tutul di kawasan TNGHS semakin berkurang, bahkan terancam punah. Populasi elang jawa yang ada di TNGHS diperkirakan sekitar 60 ekor, sedangkan owa jumlahnya diperkirakan sekitar 400 ekor. Di TNGHS, satwa tesebut keberadaannya semakin terancam, akibat pemburuan yang dilakukan masyarakat. Hasil pemburuan itu dijual dalam keadaan hidup atau sudah diawetkan. Oleh karena itu, satwa-satwa tersebut sangat dilindungi untuk mencegah punah.
Beberapa kegiatan telah dilakukan untuk mencegah dan mengurangi gangguan hutan, di antaranya dengan melakukan indakan tegas dan penegakan hukum bagi perusak hutan dengan melibatkan aparat
77
III. ANCAM
AN DEFO
RESTASI DAN
DEGRADASI HUTAN
DI TAMAN
NASIO
NAL
kepolisian. Selain itu, secara ruin dilakukan kegiatan pemantauan, patroli dan pengamanan dalam rangka perlindungan hutan. Upaya pengembangan kesempatan kerja pada sentra-sentra pertumbuhan wilayah dilakukan untuk menyediakan pekerjaan bagi masyarakat, khususnya penduduk sekitar kawasan. Hal ini diharapkan dapat mengurangi intensitas interaksi penduduk dengan kawasan taman nasional.
Reboisasi dan penghijauan dalam rangka pemulihan hutan yang rusak akibat penebangan liar dilakukan manajemen taman nasional secara bersama-sama dengan Pemerintah kabupaten. Upaya mengembangkan dan meningkatkan perekonomian masyarakat dilakukan dengan memberikan ruang di zona pemanfaatan yang bisa difungsikan untuk kawasan wisata, agroforestri serta budidaya penunjang lain. Langkah seperi itu dilakukan di kawasan wisata Gunung Bunder, wisata air terjun (curug), Kampung Cikaniki atau perkemahan Sukamantri, dan telah memberikan efek posiif dalam meningkatkan penghasilan masyarakat sekitar taman nasional. Selain itu, dilakukan peningkatan efekivitas Program Model Kampung Konservasi (MKK) yang melipui peningkatan pengamanan kawasan, peningkatan pendapatan masyarakat dan restorasi habitat.
3.5 Ancaman Deforestasi dan Degradasi di Taman Nasional Gunung Palung
3.5.1 Ancaman Deforestasi di Taman Nasional
Gunung Palung
Data tutupan lahan TN Gunung Palung sejak tahun 1990–2015 hasil interpretasi citra landsat dapat dilihat pada Tabel 3.10. Peta tutupan lahan di TN Gunung Palung pada tahun 1990 dan 2015 tertera pada Gambar 3.7. Luas tutupan lahan hutan, persentase tutupan lahan hutan dan besarnya deforestasi pada tahun 1990–2015 dapat dilihat pada Tabel 3.11.
78
STRATEGI PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN BERBASIS KARBON DI TAMAN NASIONAL
Tabel 3.10 Analisis tutupan lahan TNGP tahun 1990–2015
Tutupan Lahan
(Kode)
Luas Per Tutupan Lahan (Ha)
1990 1996 2000 2003 2006 2009 2011 2012 2013 2014 2015
Hutan Lahan Kering Primer(2001)
22.690,12 22.690,12 22.690,12 22.690,12 22.690,12 22.690,12 22.690,12 22.690,12 22.690,12 22.690,12 22.685,40
Hutan Lahan Kering Sekunder(2002)
49.033,54 48.345,32 47.862,26 47.862,26 47.669,46 47.451,14 46.761,54 46.761,54 45.204,49 44.978,83 44.966,76
Hutan Mangrove Sekunder(2004)
232,77 232,64 232,64 232,64 232,64 232,64 232,64 231,93 231,93 231,93 231,09
Hutan Rawa
Sekunder(20041)
25.481,40 24.053,88 23.883,85 23.883,85 23.867,43 23.789,66 23.687,37 3.258,93 3.277,09 3.296,66 3.298,06
Belukar Rawa
(20092)2.049,89 2.948,20 3.201,87 3.094,76 3.111,17 3.179,94 3.282,22 4.447,80 4.542,16 4.538,54 4.538,54
Perkebunan(2010)
0,37 371,79 368,33 368,33 380,03 439,40 439,40 439,40 440,06 161,98 161,98
Pertanian Lahan Kering(20091)
2.393,31 4.146,85 4.066,68 4.173,79 4.179,33 4.423,79 4.423,79 4.447,80 4.542,17 4.538,55 4.538,55
Pertanian Lahan Kering Campur(20092)
79,43 79,43 79,43 79,43 79,43 79,43 79,43 79,43 106,71 235,82 235,82
Sawah
(20093)32,62 318,73 318,73 318,73 318,73 318,73 318,73 318,73 318,73 318,73 318,73
Semak Belukar
(2007)5.654,80 4.460,72 4.943,79 4.914,76 5.090,31 5.258,27 5.947,87 5.947,87 7.471,37 7.924,23 7.891,23
79
III. ANCAMAN DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN DI TAMAN NASIONAL
Tutupan Lahan
(Kode)
Luas Per Tutupan Lahan (Ha)
1990 1996 2000 2003 2006 2009 2011 2012 2013 2014 2015
Tanah Terbuka(2014)
397,48 397,48 397,48 426,51 426,51 182,05 182,05 182,05 184,81 90,66 175,51
Badan Air(5001)
96,04 96,04 96,04 96,04 96,04 96,04 96,04 96,04 96,04 96,00 96,00
Total 108.141,21 108.141,21 108.141,21 108.141,21 108.141,21 108.141,21 108.141,21 108.141,21 108.141,21 108.141,21 108.141,21
Tabel 3.10 Analisis tutupan lahan TNGP tahun 1990–2015 (lanjutan)
80
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Gambar 3.7 Peta tutupan lahan di TNGP pada tahun 1990 dan 2015
Hutan hujan lahan kering mendominasi tutupan lahan di TN Gunung Palung, yaitu sekitar 64,64%. Analisis perubahan tutupan lahan yang dilakukan untuk periode tahun 1990 sampai 2015 menunjukkan bahwa luas tutupan hutan pada tahun 1990 adalah ±71.956,43 ha dan pada tahun 2015 adalah ±67.883,25 Ha. Arinya, telah terjadi deforestasi sebesar ±162,93 ha seiap tahunnya. Deforestasi yang terjadi disebabkan oleh berubahnya tutupan lahan hutan menjadi lahan pertanian karena perambahan.
Tabel 3.11 Luas dan persentase tutupan lahan hutan dan besarnya deforestasi di TNGP tahun 1990–2015
Tahun
Luas Tutupan Lahan
Hutan
(Ha)
Persentase
Tutupan Lahan
Hutan
(%)
Deforestasi
(Ha)
1990 71.956,43 66,541996 71.268,08 65,90 688,352000 70.785,02 65,46 483,062003 70.785,02 65,46 -2006 70.592,22 65,28 192,802009 70.373,90 65,08 218,322011 69.547,69 64,31 826,212012 69.683,58 64,44 (135,89)2013 68.126,53 63,00 1.557,052014 67.900,87 62,79 225,672015 67.883,25 62,77 17,62
Rata-rata 25 Tahun 64,64 162,93
81
III. ANCAM
AN DEFO
RESTASI DAN
DEGRADASI HUTAN
DI TAMAN
NASIO
NAL
3.5.2 Ancaman Degradasi di Taman Nasional Gunung
Palung
Penebangan liar di TN Gunung Palung terjadi pada berbagai areal. Kerusakan idak berupa hamparan, melainkan hanya iik-iik pembukaan lahan yang ditaksir kurang dari 5% kawasan. Prakik penebangan liar di TN Gunung Palung dilakukan secara konvensional oleh penebang tradisional, dan idak terlihat penebangan liar yang dilakukan dengan alat-alat berat. Peta kerawanan penebangan liar dan perambahan menunjukkan bahwa penebangan liar sudah terjadi sampai di zona ini taman nasional. Jenis kayu yang dicuri umumnya jenis komersial seperi ulin/bulian, merani, kayu rimba dan jenis lainnya. Kebakaran hutan merupakan kasus yang juga ditemukan di wilayah TN Gunung Palung, meskipun idak terlalu luas. Rata-rata luas kebakaran per tahun pada periode 2000–2014 adalah ±150 Ha.
Hal-hal yang mengakibatkan masih banyaknya gangguan ancaman terhadap kelestarian taman nasional di antaranya adalah perubahan luas kawasaan TN berdasarkan SK penunjukan yang belum disertai kejelasan tata batas di lapangan sehingga berpotensi mengancam kelestarian taman nasional. Peningkatan jumlah dan akivitas penduduk yang berada di dalam dan berbatasan langsung dengan taman nasional juga memberikan dampak negaif pada kondisi hutan TN Gunung Palung. Pertumbuhan penduduk dan dorongan ekonomi untuk usaha pertanian dan perkebunan menyebabkan kebutuhan akan lahan semakin meningkat sehingga menimbulkan banyak terjadinya kegiatan illegal logging dan perambahan di kawasan taman nasional.
Ancaman lainnya adalah lemahnya penegakan hukum. Hal ini dipicu karena masih minimnya jumlah SDM atau tenaga pengamanan. Jumlah tenaga polisi hutan yang ada masih kurang dibandingkan dengan luas kawasan hutan. Meskipun demikian, TN Gunung Palung dijaga oleh personel polisi hutan dengan perlengkapan operasi yang termasuk terlengkap di Indonesia. TN Gunung Palung merupakan satu-satunya taman nasional yang bisa melaksanakan operasi darat, air, dan udara. Sistem patroli udara dilakukan agar kegiatan pemantauan kawasan dapat lebih efekif dan efesien.
82
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
3.6 Penutup
Taman nasional, khususnya yang dianalisis, pada umumnya masih didominasi oleh tutupan hutan. Laju deforestasi umumnya rendah tetapi pertambahan penduduk menjadi ancaman serius terhadap kelestarian hutan. Kawasan taman nasional sebagai kawasan yang dilindungi oleh undang-undang seharusnya memang terbebas dari deforestasi yang direncanakan (planned deforestaion).
Deforestasi dapat disebabkan adanya perubahan luas kawasan hutan yang ditetapkan berdasarkan keputusan menteri. Perubahan luas kawasan yang ditetapkan berpotensi menimbulkan deforestasi karena idak jelasnya pengelola di ingkat tapak, termasuk kemungkinan untuk memenuhi target perhutanan sosial. Hal lain yang mengancam deforestasi adalah adanya Peraturan Daerah (Perda) tentang hutan adat. Sebagai contoh, Perda Kabupaten Lebak yang mengakomodasi hutan adat untuk Kasepuhan. Untuk mengurangi ancaman deforestasi, perubahan keputusan terkait luasan taman nasional harus memperhitungkan berbagai aspek terutama pengelolaan ke depan agar idak terjadi kevakuman pengelolaan yang berpotensi mengancam kelestarian taman nasional.
Kasus yang menonjol terkait degradasi adalah kebakaran, penebangan liar dan perambahan oleh masyarakat sekitar. Maraknya penambangan emas tanpa izin (PETI) juga berpotensi merusak hutan karena dilakukan dengan cara menebang vegetasi di atasnya. Potensi degradasi hutan lainnya adalah pemanfaatan sumber energi panas bumi yang dilakukan dengan membuka kawasan hutan.
Sebagai salah satu upaya mengurangi ancaman deforestasi dan degradasi diperlukan sistem penganggaran yang didasarkan pada besarnya ingkat ancaman, luas dan karakterisik wilayah, jumlah personel, satwa yang dilindungi, serta perimbangan lainnya. Apabila ada insenif terkait jasa lingkungan dari wilayah konservasi, perlu diprioritaskan terhadap upaya peningkatan perlindungan taman nasional, termasuk pemberdayaan masyarakat di sekitar taman nasional.
83
III. ANCAM
AN DEFO
RESTASI DAN
DEGRADASI HUTAN
DI TAMAN
NASIO
NAL
Datar PustakaAbaza R .2012. Mission Imposible di Taman Nasional Sebangau.
Palangkaraya Tourism (htp://www.beritasatu.com/msnfeed/60661-mission-imposible-di-taman-nasional-sebangau.html). Diunduh 10 September 2017.
Anggodo. 2017. Pemulihan Ekosistem Taman Nasional Sebangau. Presentasi Kepala Balai TN Sebangau. Balai Taman Nasional Sebangau. Palangkaraya.
Arifani VB, Bainnaura A, dan Ginoga KL. 2010. Landcover Change Analysis Using Remote Sensing and GIS: Iniial Phase of Measuring Carbon Sequestraion For REDD+ In Meru Beiri Naional Park, Indonesia. Technical Report No 7. ITTO PD 519/08 REV.1 (F) In Cooperaion with Forestry Research and Development Agency Ministry of Forestry, Indonesia.Bogor.
Arifani VB, dan Marthinus D. 2013. Establishment of Project Boundaries of REDD+ and Landcover Re-classiicaion in Meru Beiri Naional Park. Technical Report No 23. ITTO PD 519/08 REV.1 (F) In Cooperaion with Forestry Research and Development Agency Ministry of Forestry, Indonesia.Bogor.
Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS) 2016–2017. Staisik BTNGHS Tahun 2015-2016. Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem. KLHK. Kabandungan.
Balai Taman Nasional Gunung Palung (BTNGP). 2017.Staisik BTNGP Tahun 2016. BTNGP. Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem. KLHK. Ketapang.
Balai Taman Nasional Meru Beiri (BTNMB). 2017. Staisik BTNMB tahun 2016. BTNMB. Jember.
Balai Taman Nasional Sebangau (BTNS).2012–2016. Staisik BTNS tahun 2011–2015. BTNS. KLHK. Palangkaraya.
Carbon and Environmental (CER) Indonesia, and Center for Climate Change and Policy Research and Development. 2015. A Veriied Carbon Standard (VCS) Version 3, Project Descripion (PD) Avoiding Unplanned Deforestaion And Enhancing Carbon Stock In Meru
84
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Beiri Naional Park, East Java, Indonesia. Technical Report No 28. ITTO PD 519/08 REV.1 (F) In Cooperaion with Forestry Research and Development Agency Ministry of Forestry, Indonesia. Bogor.
Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan. 2015. Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2014. Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan.Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan. KLHK.
IPCC. 2006. IPCC Guidelines for Naional Greenhouse Gas Inventories, Prepared by the Naional Greenhouse Gas Inventories Programme, Eggleston HS, Buendia L, Miwa K, Ngara T, dan Tanabe K. (eds). Published: IGES, Japan.
Jenito. 2017. Balai TN Sebangau Selidiki Hutan Gambut Terbabat jadi Kanal.(htp://www.mongabay.co.id/2017/02/25/balai-tn-sebangau-selidiki-hutan-gambut-terbabat-jadi-kanal/)
Panda A. 2013.Kawasan hutan Taman Nasional Sebangau Benteng Terakhir Hutan Gambut (htp://majalah.gatra.com/2013-08-19/majalah/arikel.php?pil=23&id=154807) diunduh, 10 September 2017.
Prasetyo LB, dan Setyawan Y. 2007. Analisis Tutupan Lahan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Menggunakan Citra Satelit Aster 2005–2006. Supported by JICA and Department of Forestry, Indonesia.
Walhi. 2012. Rencana Alih Fungsi Kawasan TNGHS Ancam Perusakan Ekosistem Hutan Yang Lebih Masif…!/Posted in: Kehutanan, Siaran Pers. Tagged: alih fungsi, Hutan, kehutanan, konservasi, pertambangan.
Wijaya A. 2012. Selamatkan hutan TN Sebangau. Antara News. (htp://www.antaranews.com/berita/311619/selamatkan-hutan-tn-sebangau) diunduh, 10 September 2017.
WWF Indonesia, WWF Germany, Winrock Internaional, Remote Sensing Soluions GmbH, South Pole Carbon, Alterra Wageningen, on behalf of WWF Germany. 2014. Reweing of tropical peat swamp forest in Sebangau Naional Park, Central Kalimantan, Indonesia. Project Descripion: VCS Version 3.
BAGIAN KEDUA:PENDEKATAN INDIKATOR JASA
LINGKUNGAN DI TAMAN NASIONAL
IV. INTEGRASI JASA LINGKUNGAN DALAM INDIKATOR KARBON:
Sebuah Pendekatan Awal Muhammad Zahrul Mutaqin, Virni Budi Arifani, Mega Lugina
4.1 Pendahuluan
Pada hutan konservasi, menjaga nilai karbon hutan berari menjaga biodiversitas lora dan fauna, dan menjaga jasa lingkungan seperi air dan sebagainya. Nilai karbon di hutan konservasi ini seharusnya lebih inggi dari hutan lainnya. Sampai sejauh ini, belum diketahui seberapa besar nilai karbon yang mencakup fungsi lainnya di hutan konservasi. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian tentang esimasi nilai karbon hutan di hutan konservasi.
Selama ini, nilai karbon dari seiap fungsi hutan dianggap sama. Di hutan konservasi, khususnya taman nasional, nilai karbon seharusnya idak hanya dipandang sebagai stok karbon saja, tetapi juga menggambarkan biodiversitas seperi satwa atau tumbuhan yang dilindungi. Selain itu juga menggambarkan jasa lingkungan yang ada di seiap taman nasional. Oleh karena itu diperlukan sebuah kajian yang akan menjawab pertanyaan sebagai berikut: (1) Bagaimana hubungan antara stok karbon dengan jasa lingkungan lain di taman nasional?; (2) Bagaimana hubungan ini dapat membantu menilai kualitas karbon hutan di taman nasional?; dan (3) Bagaimana kualitas stok karbon di taman nasional dapat dijadikan basis untuk menilai manfaat non-karbon dan mendekai peran konservasi dalam REDD+?
Pusat Peneliian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim bekerja sama dengan Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi dan didukung oleh Indonesia-Japan
Project for Development of REDD+ Implementaion Mechanism
(IJ-REDD+) telah melaksanakan peneliian terkait dengan upaya mengintegrasikan stok karbon di hutan konservasi, khususnya taman nasional, dengan indikator jasa lingkungan biodiversitas, air dan keindahan alam. Lebih lanjut peneliian tersebut juga mencoba untuk menilai stok karbon berdasarkan nilai ekonomi jasa lingkungan yang terkait dengan keberadaan stok karbon tersebut. Secara khusus
88
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
peneliian tersebut bertujuan untuk: (1) mencari hubungan antara stok karbon dengan jasa lingkungan lain di taman nasional; dan (2) menilai kualitas karbon hutan di taman nasional. Lokasi peneliian tersebut tersebar di beberapa Provinsi melipui: Kalimantan Barat (TN Gunung Palung), Kalimantan Tengah (TN Sebangau), Jawa Barat (TN Gunung Halimun Salak) dan Jawa Timur (TN Meru Beiri).
4.2 Kerangka Konseptual
Upaya untuk mengintegrasikan indikator jasa lingkungan di hutan konservasi ke dalam stok karbon ini didasarkan pada asumsi dasar bahwa keberadaan stok karbon di kawasan hutan konservasi itu berasosiasi dengan penyediaan jasa lingkungan. Dengan kata lain, “Jika stok karbon berkurang akibat deforestasi dan/atau degradasi hutan, maka fungsi/nilai jasa lingkungan lainnya akan berkurang”. Wibowo et al. (2018) menyatakan bahwa di kawasan taman nasional, masih terjadi deforestasi walaupun dengan laju yang rendah (0,04–0,8 %) per tahun. Persentase tutupan lahan hutan di empat lokasi taman nasional masih dominan dan relaif dalam kondisi yang masih baik. Lebih lanjut menurut Wibowo et al. (2018) ancaman deforestasi terjadi karena berbagai hal seperi perambahan, illegal logging dan kebakaran. Potensi deforestasi juga mengancam kawasan akibat adanya penetapan perubahan luas taman nasional seperi di TN Gunung Halimun Salak. Ancaman degradasi umumnya dalam bentuk penebangan liar, sebagai kasus yang paling dominan dan kebakaran gambut di TN Sebangau. Gangguan lain yang umum terjadi adalah pencurian HHBK, pencurian satwa liar, dan perambahan.
Dengan demikian hubungan antara stok karbon dengan jasa-jasa lingkungan di taman nasional digambarkan dalam bentuk persamaan sebagai berikut:
Stok Karbon=f(biodiversitas,jasa air,keindahan alam)
Beberapa indikator jasa lingkungan yang diideniikasi dalam kajian ini adalah: (1) biodiversitas; melipui indeks keragaman, indeks kekayaan spesies, dan indeks individual; (2) air dan tata air; melipui debit air, dan jumlah daerah aliran sungai (sumber air); (3) keindahan alam: melipui persepsi atas keanekaragaman (diversity), air, tutupan lahan (land cover), kealamian (naturalness), bentuk lahan (land form); dan (4) karbon: cadangan/stok karbon (tonC).
89
IV. INTEGRASI JASA LIN
GKUN
GAN
DALAM IN
DIKATOR KARBO
N: Sebuah Pendekatan Aw
al
Dalam rangka mendapatkan masukan dari para pihak terkait dengan metodologi dan hasil-hasil peneliian tentang integrasi jasa lingkungan di dalam hutan, telah dilaksanakan Focus Group Discussion (FGD) untuk mengideniikasi upaya-upaya integrasi jasa lingkungan ke dalam stok karbon. Dalam kegiatan ini telah diundang berbagai ahli untuk mendiskusikan sejauh mana upaya untuk memodelkan hubungan antara stok karbon dengan jasa lingkungan dapat dilaksanakan. Dalam Focus Group Discussion (FGD) yang dilaksanakan pada 24 Mei 2017 tersebut para pakar yang diundang memberikan masukan bahwa belum ada upaya untuk mendekai “the role of conservaion” pada REDD+. Hal ini disebabkan karena berbagai tantangan yang ditemukan untuk mendekai secara kuanitaif. Lebih jauh, untuk deforestasi dan degradasi pun masih harus menyesuaikan perbedaan antar satu lokasi dengan lokasi lainnya sehingga diambil hal-hal yang sifatnya umum dan sederhana serta adanya persamaan antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Bahkan dalam FGD tersebut beberapa pakar yang diundang masih skepis atas berjalannya REDD+. FGD kedua dilaksanakan pada tanggal 5 Oktober 2017. Dalam forum ini didiskusikan mengenai kesulitan dalam merumuskan dan mengimplementasikan makna “plus” dalam REDD-plus. Namun demikian sebagai upaya awal, kegiatan pemodelan hubungan antara stok karbon dan jasa lingkungan lainnya merupakan salah satu usaha untuk merumuskan dan mengaktualisasikan “the role of conservaion” dalam REDD+. Dalam hal ini disepakai bahwa untuk sementara waktu kajian ini dapat diarahkan untuk mengoperasionalkan konsep manfaat non-karbon dalam upaya penurunan emisi dari lahan/hutan.
Tulisan ini merupakan upaya menghubungkan indikator-indikator jasa lingkungan di beberapa taman nasional, yang dihasilkan oleh beberapa peneliian, untuk melihat keintegrasian antara hasil penghitungan stok karbon, pengukuran indeks biodiversitas, pengukuran volume dan aliran air, serta pengukuran keindahan alam. Hubungan ini ditampilkan dalam bentuk matriks dan peta terpadu terkait dengan potensi dan pemanfaatan jasa lingkungan di berbagai ekosistem atau zona di taman nasional.
90
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
4.3 Penentuan Unit Analisis
Penentuan unit analisis menjadi langkah awal dalam tulisan ini. Untuk mendapatkan gambaran variasi hubungan antara stok karbon dengan indikator jasa lingkungan, maka parameter yang diukur diklasiikasikan berdasarkan ekosistem. Berdasarkan observasi dan analisis data sekunder diperoleh informasi ekosistem yang terdapat di beberapa taman nasional yaitu ekosistem hutan dataran rendah, ekosistem hutan dataran inggi, ekosistem mangrove, dan ekosistem gambut. Hasil delineasi ekosistem dan ideniikasi lokasi analisis jasa lingkungan di masing-masing taman nasional dipaparkan pada Gambar 4.1–4.4.
Gambar 4.1 Peta ekosistem dan DAS di TN Meru Beiri
Gambar 4.1 menunjukkan bahwa luas masing-masing ekosistem di TN Meru Beiri adalah sebagai berikut:
· Hutan Dataran Rendah : 52,0 ha
· Hutan Mangrove : 63,0 ha
Berdasarkan data pengukuran debit air yang diperoleh, sebanyak 7 DAS telah berhasil di delineasi di TN Meru Beiri.
91
IV. INTEGRASI JASA LIN
GKUN
GAN
DALAM IN
DIKATOR KARBO
N: Sebuah Pendekatan Aw
al
Gambar 4.2 Peta ekosistem dan DAS di TN Gunung Halimun Salak
Berdasarkan peta ekosistem Taman Nasional Gunung Halimun Salak, diperoleh 19 DAS dengan luas masing-masing ekosistem sebagai berikut (Gambar 4.2):
· Hutan dataran rendah : 43.446,24 ha
· Hutan sub-montana : 40.003,48 ha
· Hutan montana : 4.343,31 ha
Gambar 4.3 Peta ekosistem dan DAS di TN Gunung Palung
92
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Berdasarkan peta ekosistem Taman Nasional Gunung Palung, terdapat 6 DAS dan 7 ipe ekosistem dengan luasan sebagai berikut:
Hutan Hujan Pegunungan : 7728,50 ha
Hutan Tanah Aluvial : 446,76 ha
Hutan Sub Alpin : 2023,32 ha
Mangrove : 86,53 ha
Vegetasi Rheoite : 118,79 ha
Hutan Dataran Rendah : 59903,85 ha
Hutan Rawa Gambut : 29953,41 ha
Taman Nasional Sebangau berada di atas kubah gambut dengan kedalaman bervariasi antara 0,5–10,6 m (Jaenicke et al. 2008). Ditumbuhi hutan rawa gambut, sebelum ditunjuk sebagai taman nasional, kawasan TN Sebangau merupakan hutan produksi yang dibebani izin-izin HPH yang berjumlah 13 (WWF-Indonesia Sebangau Project 2012). Secara umum seluruh kawasan TN Sebangau dapat dikategorikan kedalam ekosistem hutan rawa gambut.
Gambar 4.4 Peta ekosistem gambut di TN Sebangau
Namun demikian, idak semua ekosistem yang terdapat di taman nasional yang menjadi objek tulisan ini tersedia informasinya. Dengan demikian analisis difokuskan pada:
93
IV. INTEGRASI JASA LIN
GKUN
GAN
DALAM IN
DIKATOR KARBO
N: Sebuah Pendekatan Aw
al
1. Ekosistem hutan dataran rendah di Taman Nasional Meru Beiri, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, dan Taman Nasional Gunung Palung; dan
2. Ekosistem gambut di Taman Nasional Sebangau dan Taman Nasional Gunung Palung.
Hasil delineasi menunjukkan bahwa luas masing-masing ekosistem di taman nasional terkait dengan data jasa lingkungan lain dalam kajian ini dipaparkan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Luas ekosistem yang dianalisis
Ekosistem Taman Nasional Luas (Ha)
Hutan Dataran rendah Meru Beiri 52.012Gunung Halimun Salak 43.446Gunung Palung 59.904
Rawa Gambut Sebangau 542.141Gunung Palung 29.953
4.4 Stok Karbon di Taman Nasional dan Hubungannya dengan Indikator Jasa Lingkungan
Lugina dan Arifani (2018) melakukan pengukuran stok karbon di empat taman nasional yang menjadi lokasi peneliian proyek IJ-REDD+. Hasil peneliian tersebut menjadi acuan utama kajian ini untuk menentukan ipe ekosistem yang dianalisis dan dibandingkan antar taman nasional. Lebih lanjut penentuan ekosistem juga didasarkan pada kelengkapan data indikator jasa lingkungan lainnya. Tulisan ini menggunakan data terkait dengan indikator biodiversitas yang ditelii oleh Susilo (2018) serta data indikator jasa air dan keindahan alam yang ditelii oleh Pribadi (2018a; 2018b). Hasil analisis indikator jasa lingkungan dipaparkan pada Tabel 4.2 dan 4.3.
94
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Tabel 4.2 Hasil analisis indikator jasa lingkungan di ekosistem hutan dataran rendah
Taman
Nasional
Luas
(Ha)
Stok
Karbon1
(tC/ha)
Indeks Kehai2
Debit3 (mm3/
th)
Keindahan
Alam4
(SBE Index)Flora Fauna
Meru Beiri
52.012 171,09 4,30 2,35 876,46 124,20
Gunung Halimun Salak
43.446 519,70 2,98 1,97 1.225,39 179,50
Gunung Palung
59.904 197,58 3,17 1.66 144,26 180,30
Rata-rata 51.787,3 296,12 3,5 2,0 748,70 161,30Sumber: 1Lugina dan Arifani (2018), 2Susilo (2018), 3Pribadi (2018a), 4Pribadi (2018b)
Hasil analisis indikator jasa lingkungan pada ekosistem hutan dataran rendah dari ke-3 taman nasional menunjukkan bahwa rata-rata stok karbon adalah 296,12 tC/ha dengan stok karbon teringgi diperoleh di TN Gunung Halimun Salak. Indeks kehai rata-rata untuk lora dan fauna adalah 3,5 dan 2,0. Lebih ingginya nilai indeks lora disebabkan lebih lengkapnya data lora yang diperoleh di lapangan dibandingkan dengan fauna. Dalam menghitung indeks fauna ditemukan beberapa tantangan, di antaranya adalah sulitnya menghitung fauna yang ditemukan di lapangan. Debit air rata-rata di keiga taman nasional adalah 748,7 mm3/tahun. Data debit di TNGP rendah karena pengukuran dilakukan pada saat musim kemarau ekstrem di tahun 2016 (curah hujan 0–100 mm/bulan), sedangkan di 3 kabupaten di wilayah TNGHS (Sukabumi, Bogor, dan Cianjur) curah hujan bulanan rata-ratanya cukup inggi (133–607,5 mm/bulan). Indeks keindahan alam (SBE) rata-rata adalah 161,3 dengan kisaran yang hampir sama di keiga taman nasional.
Tabel 4.3 Hasil analisis indikator jasa lingkungan di ekosistem gambut
Taman Nasional Luas (Ha)
Stok
Karbon1
(tC/ha)
Indeks
Kehai2
Tinggi
muka Air3
(mm3/th)
Keindahan
Alam4
(SBE Index)Flora Fauna
Sebangau 542.141 2.033,01 4,5 3,06 19,1 157,3Gunung Palung 29.953 325.25 1,96 3,15 N/A 112,5Rata-rata 286.047,00 1.179,3 3,23 3,105 19,1 4,9134,9
Sumber: 1Lugina dan Arifani (2018), 2Susilo (2018), 3Pribadi (2018a), 4Pribadi (2018b)
95
IV. INTEGRASI JASA LIN
GKUN
GAN
DALAM IN
DIKATOR KARBO
N: Sebuah Pendekatan Aw
al
Rata-rata stok karbon di ekosistem gambut adalah 1.179,13 tC/ha dengan stok karbon teringgi diperoleh di TN Sebangau. Cadangan karbon terbesar di ekosistem gambut diperoleh dari karbon pool tanah. Indeks kehai lora dan fauna di TN Sebangau dan Gunung Palung idak berbeda signiikan. Indeks keindahan alam di ekosistem dataran rendah cenderung lebih inggi dibanding dengan ekosistem gambut karena variasi objek di ekosistem dataran rendah lebih inggi dan pengalaman responden di dataran rendah lebih inggi dibandingkan dengan ekosistem gambut. Tinggi muka air merupakan faktor yang pening di ekosistem gambut, namun karena minimnya data mengenai inggi muka air di taman nasional, maka disarankan untuk melakukan pengukuran tersebut pada peneliian lanjutan.
4.5 Esimasi Nilai Ekonomi Stok KarbonEsimasi nilai stok karbon didasarkan pada hasil peneliian Indarik (2018). Hasil esimasi nilai stok karbon dipaparkan pada Tabel 4.4 dan 4.5.
Tabel 4.4 Esimasi nilai karbon di ekosistem hutan dataran rendah
Taman
Nasional
Biodiversitas
(Rp Miliar/
Tahun)
Jasa
Air (Rp
Miliar/
Tahun)
Keindahan
Alam (Rp
Miliar/
Tahun)
Total
Nilai Jasa
Lingkungan
(Rp Miliar/
Tahun)
Volume Stok KarbonEsimasi Nilai Ekonomi
Stok Karbon
(tC) (tC/ha) (Rp/tC.th)(Juta Rp/
ha.th)
MB 832,63 105,2 183,6 1.121 8.898.910,63 171,09 126.017,0 21,56
GHS 1.195,1 127,44 117,5 1.440,0 22.578.835,50 519,70 63.783,0 33,15
GP 3.886,4 36,93 0,4 3.923,7 11.836.027,00 197,60 331.506,0 65,50
Rata-rata 1.971,38 89,86 100,50 2.161,57 14.437.924,38 296,13 173.768,67 40,07
Sumber: Indarik (2018); Lugina dan Arifani (2018)
Tabel 4.5 Esimasi nilai karbon di ekosistem gambut
Taman
Nasional
Biodiversitas
(Rp Miliar/
Tahun)
Jasa Air
(Rp Miliar/
Tahun)
Keindahan
Alam (Rp
Miliar/
Tahun)
Total
Nilai Jasa
Lingkungan
(Rp Miliar/
Tahun)
Volume Stok Karbon
Esimasi Nilai Ekonomi Stok
Karbon
(tC) (tC/ha)(Rp/
tC.th)
(Juta
Rp/
ha.th)
Sebangau 34.591,1 306,70 5,00 34.902,8 1.102.186.206,5 1.156,70 38.392,0 444,08
Sumber: Indarik (2018); Lugina dan Arifani (2018)
Esimasi rata-rata nilai ekonomi stok karbon di ekosistem gambut TN Sebangau adalah Rp 38.392/tC.tahun. Esimasi nilai karbon di ekosistem gambut TN Gunung Palung idak dapat dilakukan karena idak ada data terkait biodiversitas dan jasa air yang tersedia di ekosistem tersebut.
96
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
4.6 Nilai Stok Karbon yang Terintegrasi dengan Jasa Lingkungan
Hasil kajian integrasi jasa lingkungan ke dalam stok karbon di taman nasional menunjukkan bahwa hubungan antara berbagai jasa lingkungan yang direpresentasikan oleh jasa lingkungan keanekaragaman hayai (biodiversitas), jasa lingkungan air, dan jasa lingkungan keindahan alam dengan volume stok karbon di masing-masing ekosistem yang dianalisis belum menunjukkan adanya pola hubungan yang jelas. Namun demikian, indikator-indikator yang diukur mampu menjelaskan perbedaan-perbedaan yang ada terutama antar ekosistem yang dapat dijadikan langkah awal untuk membuat panduan analisis jasa lingkungan di taman nasional.
Dari hasil penghitungan dan esimasi volume stok karbon, indikator jasa lingkungan dan nilai ekonomi stok karbon, maka dapat diperoleh gambaran umum terkait dengan integrasi jasa lingkungan ke dalam stok karbon di taman nasional sebagaimana dipaparkan pada Tabel 4.6 dan 4.7 berikut.
Tabel 4.6 Ringkasan integrasi jasa lingkungan ke dalam stok karbon di ekosistem hutan dataran rendah taman nasional
Luas Rata-
rata (ha)
Stok Karbon
(tC/ha)
Indeks Kehai Debit
Air (m3/
tahun)
Indeks
Keindahan
AlamFlora Fauna
Nilai Parameter 51.787,30 296,12 3,50 2,00 748,70 161,30
Nilai Ekonomi Biodiversitas (Rp Miliar/tahun)
1.971,38
Nilai Ekonomi Jasa Air (Rp Miliar/tahun)
89,86
Nilai Ekonomi Wisata Alam (Rp Miliar/tahun)
100,50
Nilai Ekonomi
Stok Karbon (Rp/
tC.tahun)
173.768,67
Nilai Ekonomi
Stok Karbon (Juta
Rp/ha.tahun)
40,07
97
IV. INTEGRASI JASA LIN
GKUN
GAN
DALAM IN
DIKATOR KARBO
N: Sebuah Pendekatan Aw
al
Tabel 4.7 Ringkasan integrasi jasa lingkungan ke dalam stok karbon di ekosistem gambut taman nasional
Luas Rata-
rata (ha)
Stok
Karbon (tC/
ha)
Indeks Kehai Tinggi Rata-
rata Muka
Air (Cm)
Indeks
Keindahan
AlamFlora Fauna
Nilai Parameter
286.047,00 1.179,13 3,23 3,105 19,10 134,90
Nilai Ekonomi Biodiversitas (Rp Miliar/tahun)
34.591,10
Nilai Ekonomi Jasa Air (Rp Miliar/tahun)
306,70
Nilai Ekonomi Wisata Alam (Rp Miliar/tahun)
5,00
Nilai Ekonomi
Stok Karbon
(Rp/tC.tahun)
38.392,00
Nilai Ekonomi
Stok Karbon
(Juta Rp/
ha.tahun)
444,08
Integrasi jasa lingkungan ke dalam stok karbon pada ekosistem hutan dataran rendah menghasilkan nilai ekonomi stok karbon sebesar Rp 173.768,67/tC per tahun. Nilai ini diperoleh dengan membagi nilai total ekonomi biodiversitas, jasa air dan wisata alam dengan jumlah stok karbon. Jika dilihat dari nilai per hektare, maka diperoleh nilai ekonomi stok karbon sebesar Rp 40,07 juta/ha per tahun. Sementara itu, integrasi jasa lingkungan ke dalam stok karbon pada ekosistem hutan rawa gambut menghasilkan nilai ekonomi stok karbon sebesar Rp 38.392/tC per tahun atau mencapai Rp 444,08 juta/ha per tahun. Di sini terlihat bahwa meskipun nilai ekonomi stok karbon (tC/tahun) di ekosistem hutan dataran rendah lebih besar dibandingkan dengan di ekosistem gambut, namun jika dilihat dari nilai per luasan (ha/tahun), maka nilai ekonomi stok karbon di ekosistem gambut jauh lebih besar (lebih dari 10 kali) nilai ekonomi stok karbon di ekosistem hutan dataran rendah.
Secara umum kajian ini memberikan kisaran nilai karbon secara kasar berdasarkan nilai jasa lingkungan yang dihasilkan dari berbagai ipe ekosistem di taman nasional. Nilai ini dapat dianggap sebagai nilai aset
98
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
taman nasional setara karbon yang harus dijaga agar keberadaannya tetap lestari. Lebih lanjut, dalam konteks implementasi REDD+ di Indonesia, sebagaimana telah diatur dalam PermenLHK Nomor: P.70/2017 tentang Tata Cara Pelaksanaan Reducing Emissions from
Deforestaion and Forest Degradaion, Role of Conservaion, Sustainable Management of Forest and Enhancement of Forest Carbon Stocks (REDD+), nilai-nilai yang dihasilkan dalam kajian ini dapat digunakan sebagai pendekatan untuk menghitung manfaat selain karbon dalam
implementasi REDD+ di taman nasional.
Kelemahan pendekatan ini adalah, untuk nilai jasa lingkungan yang sama namun dengan volume stok karbon yang lebih besar, maka nilai ekonomi stok karbon menjadi lebih kecil. Namun demikian, jika diinjau dari sudut pandang nilai per hektare, maka dapat diketahui untuk wilayah yang memiliki stok karbon inggi maka nilai karbon dalam satu luasan tertentu akan jauh lebih besar dibandingkan dengan areal yang memiliki stok karbon rendah. Sehingga perlu dilakukan juga pembandingan antara nilai stok karbon dalam bentuk volume karbon (tC) dan dalam bentuk luasan (ha). Kelemahan lain dari pendekatan ini adalah sangat dipengaruhi oleh ketersediaan data, terutama biodiversitas. Ketersediaan data ini memengaruhi sejauh mana nilai-nilai jasa lingkungan dapat dimoneiikasi (dinilai setara uang) untuk masing-masing ekosistem dengan stok karbon yang berbeda-beda.
Mengingat keterbatasan peneliian yang hanya dapat mencakup dua ekosistem, yaitu hutan hujan dataran rendah dan gambut, maka upaya serupa perlu dilakukan untuk memperoleh gambaran ekosistem-ekosistem lainnya di taman nasional di Indonesia. Hasil peneliian perlu dihubungkan dengan peraturan yang berlaku terkait dengan REDD+ untuk mendukung peran yang lebih besar dari taman nasional pada upaya miigasi perubahan iklim nasional. Upaya implementasi konsep ini perlu didukung oleh kajian kelembagaan terkait dengan kesiapan taman nasional membumikan konsep integrasi jasa lingkungan ke dalam stok karbon.
99
IV. INTEGRASI JASA LIN
GKUN
GAN
DALAM IN
DIKATOR KARBO
N: Sebuah Pendekatan Aw
al
Datar PustakaAnshari GZ, Pambudi E, Eliandy, Ilham, Putri TTA. 2013. Above
Ground and Peat Carbon Assessment: The Planning of Hydrologic Restoraion Measures by Canal Blocking in the Danau Bulan Area, Sebangau Naional Park, Central Kalimantan. Center for Wetlands People and Biodiversity (CWPB), Universitas Tanjungpura, Ponianak.
Anshari GZ, Aifudin M, Nuriman M, Gusmayani E, Arianie L, Susana R, Raiastanto A. 2010. Drainage and land use impacts on changes in selected peat properies and peat degradaion in West Kalimantan Province, Indonesia. Biogeosciences, 7(11): 3403–3419. htps://doi.org/10.5194/bg-7-3403-2010
Arifani VB, Dharmawan IWS, & Wicaksono D. 2014. Potensi cadangan karbon tegakan hutan sub-montana di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Carbon Stocks of Sub-Montane Forest in Mount Halimun Salak Naional Park). Forestry Socio and Economic Research Journal, 11(493).
Arifani VB, Bainnaura A, dan Ginoga KL. 2010. Landcover Change Analysis Using Remote Sensing and GIS: Iniial Phase of Measuring Carbon Sequestraion For REDD+ in Meru Beiri Naional Park, Indonesia. Technical Report No 7. ITTO PD 519/08 REV.1 (F) In Cooperaion with Forestry Research and Development Agency Ministry of Forestry, Indonesia.Bogor.
Arifani VB, dan Marthinus D. 2013. Establishment of Project Boundaries of REDD+ and Landcover Re-classiicaion in Meru Beiri Naional Park. Technical Report No 23. ITTO PD 519/08 REV.1 (F) In Cooperaion with Forestry Research and Development Agency Ministry of Forestry, Indonesia.Bogor.
Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS).2016–2017.StaisikBalai Taman Nasional Gunung HalimunSalak Tahun 2015–2016.Balai Taman Nasional Gunung HalimunSalak. Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem.Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.Kabandungan.
Balai Taman Nasional Gunung Palung (BTNGP). 2017. Staisik Balai Taman Nasional Gunung Palung Tahun 2016. Balai Taman Nasional Gunung Palung. Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam
100
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
dan Ekosistem.Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.Ketapang.
Balai Taman Nasional Meru Beiri (BTNMB). 2017. StaisikBalai Taman Nasional Meru Beiri (BTNMB) Tahun 2016).Balai Taman Nasional Meru Beiri. Jember.
Balai Taman Nasional Sebangau (BTS). 2012–2016. Staisik Balai Taman Nasional Sebangau (BTNS) tahun 2011- 2015.Balai Taman Nasional Sebangau. Palangkaraya.
Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan.2015.Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2014. Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
IPCC. 2006. IPCC Guidelines for Naional Greenhouse Gas Inventories, Prepared by the Naional Greenhouse Gas Inventories Programme, Eggleston HS, Buendia L, Miwa K, Ngara T, dan Tanabe K. (eds). Published: IGES, Japan.
Indarik. 2018. Analisis Nilai Ekonomi Stok Karbon di Taman Nasional. Laporan Hasil Peneliian Proyek Indonesia-Japan REDD+ (IJ-REDD+), Kerja sama antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Japan Internaional Cooperaion Agency, Pustlitbang Sosial Eknomi Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI) dan Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi, Bogor.
Jaenicke J, Rieley JO, Mot C, Kimman P, Siegert F. 2008. Determinaion of the Amount of carbon Stored in Indonesia Peatlands, Geoderma
147: 151–158.
Lugina M, dan Arifani VB. 2018. Analisis Stok Karbon di Taman Nasional. Laporan Hasil Peneliian Proyek Indonesia-Japan REDD+ (IJ-REDD+), Kerja sama antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Japan Internaional Cooperaion Agency, Pustlitbang Sosial Eknomi Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI) dan Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi, Bogor.
Lugina M, Ginoga KL, Wibowo A, Bainnaura A, dan Parian T. 2011. Prosedur Operasi Standar (SOP) untuk Pengukuran Stok Balai Taman Nasional Meru Beiri. 2016. Zona Pengelolaan Taman Nasional Meru Beiri Provinsi Jawa Timur. Jember, Indonesia.
101
IV. INTEGRASI JASA LIN
GKUN
GAN
DALAM IN
DIKATOR KARBO
N: Sebuah Pendekatan Aw
al
Manuri S, Brack C, Nugroho NP, Hergoulac’h K, Novita N, Dotzauer H, Verchot L, Putra CAS, dan Widyasari E. 2014. Tree Biomass Equaions for Tropical Peat Swamp Forest Ecosystems in Indonesia. Forest Ecology and Management, 334: 241–253.
Pribadi MA. 2018a. Analisis Indikator Jasa Air di Taman Nasional. Laporan Hasil Peneliian Proyek Indonesia-Japan REDD+ (IJ-REDD+), Kerja sama antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Japan Internaional Cooperaion Agency, Pustlitbang Sosial Eknomi Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI) dan Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi, Bogor.
Pribadi MA. 2018b. Analisis Indikator Jasa Keindahan Alam di Taman Nasional. Laporan Hasil Peneliian Proyek Indonesia-Japan REDD+ (IJ-REDD+), Kerja sama antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Japan Internaional Cooperaion Agency, Pustlitbang Sosial Eknomi Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI) dan Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi, Bogor.
Siregar CA dan IWS Dharmawan. 2009. Sintesa hasil-hasil peneliian jasa hutan sebagai penyerap karbon. Bogor, Indonesia: Pusat Peneliian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.
Sularso GNM. 2011. Pendugaan Perubahan Cadangan Karbon di Taman Nasional Meru Beiri. Skripsi. Insitut Pertanian Bogor, Bogor.
Susilo A. 2018. Analisis Indikator Biodiversitas di Taman Nasional. Laporan Hasil Peneliian Proyek Indonesia-Japan REDD+ (IJ-REDD+), Kerja sama antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Japan Internaional Cooperaion Agency, Pustlitbang Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI) dan Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi, Bogor.
WWF Indonesia, WWF Germany, Winrock Internaional, Remote Sensing Soluions GmbH, South Pole Carbon, Alterra Wageningen, on behalf of WWF Germany.2014.Reweing of tropical peat swamp forest in Sebangau Naional Park, Central Kalimantan, Indonesia.Project Descripion: VCS Version 3.
V. STOK KARBON DI TAMAN NASIONALMega Lugina dan Virni Budi Arifani
5.1 Pendahuluan
Hutan konservasi sebagai penjaga stok karbon hingga saat ini masih
belum mendapatkan apresiasi dengan baik dari upaya miigasi perubahan iklim di sektor kehutanan. Metodologi penyediaan insenif bagi upaya penurunan emisi dari sektor lahan termasuk hutan di
ingkat global dan nasional masih memakai pendekatan addiionality,
yaitu seberapa besar upaya miigasi dilakukan untuk menurunkan emisi karbon yang didasarkan pada skenario business as usual (BAU).
Pendekatan ini ternyata idak begitu menarik bagi pengelola hutan konservasi yang umumnya memiliki sejarah laju deforestasi dan
degradasi hutan yang rendah. Dalam kerangka upaya penurunan
emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+), hutan konservasi
memiliki kesempatan untuk diikutsertakan dalam kegiatan REDD+
dengan dimasukkannya kegiatan konservasi ke dalam salah satu
komponen REDD+ pada COP 14 di Poznan, Polandia. Dengan demikian
skema REDD+ telah memberikan ruang bagi peran konservasi untuk
mendapatkan insenif posiif tersebut melalui kegiatan carbon conservaion (penyimpan stok karbon).
Saat ini metodologi pendugaan biomasa hutan telah banyak
dikembangkan dan untuk di Indonesia telah disusun SNI 7724:2011
yang merupakan pedoman bagi pengukuran dan penghitungan
cadangan karbon hutan (Badan Standardisasi Nasional 2011).
Pengukuran stok karbon hutan mulai banyak dilakukan seiring
dengan merebaknya isu peranan hutan di dalam perubahan iklim.
Penghitungan dan pemantauan stok karbon pada ekosistem-
ekosistem yang ada di kawasan konservasi menjadi pening dengan dimasukkannya komponen konservasi sebagai salah satu akivitas REDD+. Pihak pengelola kawasan konservasi, di antaranya taman
nasional, perlu memperimbangkan dampak pengelolaan terhadap stok karbon di taman nasional. Oleh karenanya diperlukan usaha untuk
menginventarisasi dan memantau perubahan stok karbon di kawasan
taman nasional. Dengan mengetahui stok karbon dan perubahannya,
maka dapat ditentukan kebijakan pengelolaan taman nasional terkait
peran taman nasional di dalam REDD+.
104
STR
AT
EG
I PE
MA
NFA
ATA
N JA
SA LIN
GK
UN
GA
N B
ER
BA
SIS KA
RB
ON
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
Menurut Intergovernmental Panel for Climate Change/IPCC (2006),
perhitungan total kandungan biomasa dan bahan organik didasarkan
pada lima sumber karbon (carbon pools) yaitu biomasa di atas
permukaan, biomasa bawah permukaan tanah, kayu mai (necromass),
serasah (liter), dan bahan organik tanah. Pada kegiatan ini, pengukuran
cadangan karbon dilakukan pada 5 sumber karbon untuk mengetahui
cadangan karbon di 4 taman nasional yang selama ini belum banyak
ditelii. Pengukuran cadangan karbon di taman nasional diharapkan menjadi informasi awal peran kawasan konservasi dalam skema
REDD+.
5.2 Stok Karbon di Taman Nasional Meru BeiriBerdasarkan analisis dokumen, Taman Nasional (TN) Meru Beiri terbagi ke dalam lima ekosistem yang melipui hutan pantai, hutan mangrove, hutan rawa, dan reoit. Akan tetapi berdasarkan hasil di lapangan, im dan petugas taman nasional hanya menemukan iga ipe ekosistem, yaitu hutan pantai, hutan mangrove, dan hutan hujan dataran rendah.
Hutan pantai berada di sepanjang pantai tepat di belakang pantai pasir
yang ditumbuhi komunitas pes-caprae (Kartawinata 2013). Hutan
mangrove tumbuh pada habitat basah dan air masin yang berada di
sepanjang pantai, muara-muara sungai besar, dan dari sungai besar
sampai masuk ke pedalaman (Kartawinata 2013). Karakterisik vegetasi dan lokasi seiap ekosistem di TN Meru Beiri dapat dilihat pada Tabel 5.1.
105
V. STO
K K
AR
BO
N D
I TAM
AN
NA
SION
AL
Tabel 5.1 Tipe ekosistem pada TNMB
No.Tipe
EkosistemCiri-ciri Vegetasi Lokasi
1. Hutan Pantai · Vegetasi yang ada terdiri atas dua
formasi yaitu formasi Pescaprae dan
formasi Barringtonia.
· Formasi Pescaprae terdiri atas
tumbuhan yang tumbuh rendah dan
kebanyakan terdiri atas jenis herba,
sebagian tumbuh menjalar seperi ubi pantai (Ipomoea pescaprae) dan
rumput lari-lari (Spinifex squarosus).
· Formasi Barringtonia terdiri atas
keben (Barringtonia asiaica),
nyamplung (Callophyllum inophyllum),
waru (Hibiscus iliaceus), ketapang
(Terminalia catappa), dan pandan
(Pandanus tectorius).
Pantai Bandealit,
Sukamade,
Nanggelan,
Permisan, Teluk
Hijau, Rajegwesi,
dan Meru.
2. Hutan
Payau/
Mangrove
· Jenis-jenis yang mendominasi adalah bakau-bakauan (Rhizophora sp.), Tancang (Bruguiera sp.), dan Sonneraia caseolaris.
· Jenis nipah (Nypa fruicans).
Bagian imur Teluk Rajegwesi
(Muara Sungai
Lembu dan Karang
Tambak), Teluk
Meru, Permisan,
Nanggelan, dan
Sukamade.
3. Hutan
Hujan Tropis
Dataran
Rendah
· Jenis epiit seperi anggrek, paku-pakuan, dan liana.
· Jenis tumbuhan yang banyak dijumpai di antaranya jenis walangan (Pterospermum diversifolium), winong (Tetrameles nudilora), gondang (Ficus variegate), budengan (Diospyros caulilora), pancal kidang (Aglaia variegata), Rau (Dracontomelon mangiferum), glintungan (Bischoia javanica), ledoyo (Dysoxylum amoroides), randu agung
(Gossampinus heptaphylla), nyampuh
(Litsea sp.), serta rotan warak
(Pletocomia elongata) dan lainnya.
Sebagian besar
kawasan TN Meru
Beiri
4. Hutan Rawa · Jenis-jenis yang dapat dijumpai: sawo kecik (Manilkara kauki), rengas (Gluta renghas), pulai (Alstonia scholaris),
dan kepuh (Sterculia foeida).
Belakang hutan
payau Sukamade
5. Rheoit · Jenis vegetasi yang tumbuh antara lain glagah (Saccharum spontaneum).
Aliran sungai
Sukamade
Sumber: Balai Taman Nasional Meru Beiri (2016)
106
STR
AT
EG
I PE
MA
NFA
ATA
N JA
SA LIN
GK
UN
GA
N B
ER
BA
SIS KA
RB
ON
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
TN Meru Beiri terpilih menjadi lokasi Pilot Project Reducing Emission from Deforestaion and Forest Degradaion (REDD) PD. 519/08 Rev
(1). Kegiatan pilot REDD merupakan kerja sama antara Kementerian
Kehutanan dan Internaional Tropical Timber Orgaizaion (ITTO).
Salah satu kegiatan pilot REDD adalah menghitung baseline emisi di
kawasan TN Meru Beiri. Untuk mengetahui stok karbon di beberapa tutupan lahan, telah dibangun beberapa plot sampel permanen (PSP)
untuk menduga biomasa. Peneliian ini meng-overlay-kan posisi
koordinat ke-40 PSP dengan peta ekosistem. Dari hasil dari overlay
posisi koordinat dengan peta ekosistem diketahui bahwa 38 PSP
yang telah dibangun berada di ekosistem hutan hujan tropis dataran
rendah dan 2 PSP berada di ekosistem mangrove. Dari hasil analisis
tutupan lahan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Planologi dan
Tata Lingkungan dapat dihitung luasan masing-masing ipe ekosistem. Hutan dataran rendah diideniikasi seluas 52,012 ha, hutan mangrove 63 ha, dan hutan pantai 18 ha. Sebaran ke-40 PSP di TN Meru Beiri disajikan pada Gambar 5.1.
Gambar 5.1 Sebaran permanent sample plot di TNMB
Pengukuran biomasa dilakukan di lima pool karbon yang melipui tegakan, tumbuhan bawah, serasah, nekromasa, dan tanah. Dari rata-
rata pengukuran di 38 PSP yang dibangun di hutan hujan dataran
rendah dan 2 PSP di hutan mangrove diperoleh nilai cadangan karbon
pada Tabel 5.2.
107
V. STO
K K
AR
BO
N D
I TAM
AN
NA
SION
AL
Tabel 5.2 Rata-rata cadangan karbon pada dua ekosistem di TNMB
Ecosystem
Type
C Stock Stand
(MgC ha-1)C Stock
Understoreys
(MgC ha-1)
C Stock
Liters(MgC
ha-1)
C Stock
Necromass
(MgC ha-1)
C Stock
Soils
(MgC
ha-1)
AGC
(MgC
ha-1)
AGC + Soil
(MgC ha-1)
Saplings Trees
Hutan
Dataran
Rendah
8,99 70,03 5,39 8,77 3,16 74,74 96,35 171,09
Hutan
Mangrove 28,46 28,46 5,47 10,58 0,97 89,63 67,06 156,69
Sumber: diolah dari data Balai TN Meru Beiri; Sularso (2011)Keterangan: MgC = Mega Gram Carbon = Ton Carbon (tC)
Dari hasil penghitungan rata-rata cadangan karbon di atas permukaan
(AGC) dengan luas masing-masing ekosistem maka diperoleh cadangan
karbon pada ekosistem hutan dataran rendah sebesar 5.011.350,73 Mg
C dan cadangan karbon di ekosistem hutan mangrove sebesar 4.224,65
Mg C. Sementara total karbon stok (AGC dan soils) untuk ekosistem
hutan dataran rendah pada TN Meru Beiri sebesar 8.898.910,63 Mg dan untuk ekosistem hutan mangrove sebesar 9.817,57 Mg.
Tabel 5.3 Cadangan karbon pada dua ekosistem di TNMB
Tipe EkosistemLuas
(ha)
Total C AGB
(Mg)
Total C AGC + Soils
(Mg)
Hutan Dataran
Rendah 52.012 5.011.350,73 8.898.910,63
Hutan Mangrove 63 4224,65 9.871,57
5.3 Stok Karbon di Taman Nasional Sebangau
Taman Nasional Sebangau berada di atas kubah gambut dengan
kedalaman bervariasi antara 0,5–10,6 m (Jaenicke et al. 2008). Sebelum
ditunjuk sebagai taman nasional, kawasan TN Sebangau merupakan
hutan produksi yang dibebani izin-izin HPH yang berjumlah 13 (WWF-
Indonesia Sebangau Project 2012). Akivitas HPH meninggalkan kanal-kanal yang dibangun untuk sarana transportasi, yang mengakibatkan
turunnya muka air gambut. Jenis-jenis vegetasi pohon yang tumbuh
di TN Sebangau merupakan jenis yang menjadi ciri khas ekosistem
rawa gambut seperi ramin (Gonystylus bancanus), jelutung (Dyera costulata), balangeran (Shorea balangeran), bintangur (Calophyllum
108
STR
AT
EG
I PE
MA
NFA
ATA
N JA
SA LIN
GK
UN
GA
N B
ER
BA
SIS KA
RB
ON
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
sclerophyllum), merani (Shorea spp.), nyatoh (Palaquium spp.),
keruing (Dipterocarpus spp.), agathis (Agathis spp.), dan menjalin
(Xanthophyllum spp.) (WWF-Indonesia Sebangau Project 2012).
Gambar 5.2. Peta kawasan TNS
Berdasarkan data yang telah diperoleh, terdapat 230 PSP yang dibangun
untuk beberapa alasan, di antaranya adalah untuk pengukuran
karbon, inventarisasi pakan bekantan, dan keanekaragaman hayai. Pembangunan PSP di TN Sebangau telah dilakukan baik oleh pihak
Balai TN Sebangau maupun pihak luar seperi Universitas Tanjungpura dan WWF Indonesia. Untuk memperoleh data cadangan karbon
di TN Sebangau, keseluruhan data PSP yang ada diolah dengan
menggunakan persamaan alometrik Manuri et al. (2014). Manuri et al. (2014) mengkoreksi persamaan alometrik yang ada sebelumnya
untuk menduga biomasa di hutan rawa gambut dengan membangun
persamaan alometrik yang baru yang menggunakan iga variabel independen: DBH, kerapatan kayu, dan inggi pohon. Berdasarkan hasil penghitungan karbon di 230 PSP yang dibangun di ke-8 lokasi
TN Sebangau diperoleh data karbon di atas permukaan sebagaimana
dipaparkan.
109
V. STO
K K
AR
BO
N D
I TAM
AN
NA
SION
AL
Tabel 5.3. Jumlah PSP dan rata-rata dugaan cadangan karbon di atas
permukaan iap lokasi
No. Lokasi Jumlah PSPAGC
(ton/ha)
1. Bangah 25 129,85
2. Habaring Hurung Kerangas 15 124,50
3. Muara Bulan Riparian 88 62,68
4. Punggualas 20 228,25
5. Rasau 15 95,95
6. SSI 23 47,22
7. Sungai Koran 25 58,95
8. Danau Bulan 19 63,80
Rata-rata 101,4
Sumber: diolah dari data Balai TN Sebangau dan Anshari et al. (2013)
Dari Tabel 5.3 dapat diketahui bahwa rata-rata karbon di atas
permukaan (above ground carbon/AGC) di Punggualas memiliki rata-
rata teringgi dibandingkan lokasi lainnya. Tingginya rata-rata AGC ini dikarenakan jumlah tegakan yang mencapai 497 individu dengan
diameter bervariasi antara 6,3–59,55 cm. PSP di SSI memiliki rata-
rata AGC terkecil dengan diameter berkisar antara 9,55–57,32 cm.
Dari seluruh lokasi diperoleh rata-rata AGC sebesar 101,4 ton/ha.
Hasil kajian Mirmanto (2010) di hutan Sebangau menunjukkan bahwa
kepadatan tegakan di Sebangau semakin mendekai sungai semakin jarang. Page et al. (1999) menyatakan hasil peneliiannya di DAS Sebangau menunjukkan bahwa perubahan vegetasi tergambarkan
seiring dengan meningkatnya keinggian permukaan kubah gambut dan ketebalan gambut.
Berbeda dengan pengukuran karbon di atas permukaan yang sudah
banyak dilakukan, pengukuran gambut di Kawasan TN Sebangau
masih terbatas. Berdasarkan Anshari et al. (2013) kedalaman gambut
di 16 iik di TN Sebangau bervariasi antara 0,75–6 m, dengan rata-rata 2,4 meter. Hasil pengukuran ini berada di dalam kisaran kedalaman
gambut hasil dugaan model penduga ketebalan/kedalaman yang
dibangun Jaenicke et al. (2008) untuk daerah Sebangau yang berkisar
antara 0,5–10,6 m. Anshari et al. (2013) juga mengukur water table
di tempat yang sama antara 8–43 cm, dengan rata-rata 20,13 cm.
Pengukuran ini hanya dilakukan pada satu waktu saja yaitu pada bulan
110
STR
AT
EG
I PE
MA
NFA
ATA
N JA
SA LIN
GK
UN
GA
N B
ER
BA
SIS KA
RB
ON
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
Mei dan Juni yang merupakan akhir musim kemarau sehingga idak dapat merepresentasikan water table rata-rata sepanjang tahun.
Dari hasil perhitungan diperoleh total AGC dan gambut untuk seiap hektarenya yaitu sebesar 2.033,03 ton. Jika luasan ekosistem hutan
rawa gambut TN Sebangau seluas 542.141 ha dikalikan dengan nilai
rata-rata AGC maka diperoleh nilai sebesar 54.973.097,40 MgC. Dan
jika luasan TN Sebangau dikalikan dengan rata-rata AGC + gambut maka
akan diperoleh total AGC sebesar 1.102.186.206,53 MgC. Ringkasan
hasil perhitungan dapat dilihat di Tabel 5.4.
Tabel 5.4 Total C AGC dan total C AGC+peat
Ecosystem
Type
C Stock
Stand
(Mg/ha)
C Stock
Peat
(Mg/ha)
C Stock
AGC +
Peat
(Mg/ha)
Luas
(ha)
Total C AGB
(MgC)
Total C AGC + Peat
(MgC)
Hutan Rawa
Gambut
101,40 1.931,63 2.033,03 542.141 54.973.097,40 1.102.186.206,53
5.4 Stok Karbon di Taman Nasional Halimun Salak
Peta ekosistem Taman Nasional Gunung Halimun Salak dibuat
berdasarkan keinggian (Van Steenis, 1972) dengan klasiikasi sebagai berikut:
Hutan dataran rendah : 0–950 mdpl
Hutan sub-montana : 1000–1500 mdpl
Hutan montana : 1500–2400 mdpl
111
V. STO
K K
AR
BO
N D
I TAM
AN
NA
SION
AL
Gambar 5.3 Peta ekosistem TNGHS
Berdasarkan peta ekosistem Taman Nasional Gunung Halimun Salak,
diperoleh luas masing-masing ekosistem sebagai berikut (Gambar
5.3):
Hutan dataran rendah : 43.446,24 ha
Hutan sub-montana : 40.003,48 ha
Hutan Montana : 4.343,31 ha
Berdasarkan pembagian ekosistem di TN Gunung Halimun Salak,
plot pengukuran cadangan karbon terletak di 2 ekosistem yaitu
ekosistem dataran rendah dan ekosistem sub-montana. Oleh karena
itu, perhitungan cadangan karbon di TN Gunung Halimun Salak hanya
dilakukan pada kedua ekosistem tersebut.
Esimasi biomasa dan cadangan karbon di lokasi peneliian di TN Gunung Halimun Salak didasarkan pada hubungan antara diameter
seinggi dada, inggi pohon dan berat jenis kayu. Persamaan alometrik biomasa yang digunakan adalah persamaan Chave et al. (2005) untuk
hutan tropis lembap (tropical moist forest). Persamaan alometrik
Chave et al. (2005) adalah persamaan yang direkomendasikan untuk
digunakan di TN Gunung Halimun Salak (Arifani et al. 2014).
11
2
STRATEGI PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN BERBASIS KARBON DI TAMAN NASIONAL
Tabel 5.5 Cadangan karbon hutan di lima pool karbon TNGHS
AGC
(MgC
ha-1)
Tumbuhan
bawah
(MgC ha-1)
Serasah
(MgC ha-1)
Nekromass
(MgC ha-1)
Akar
(MgC
ha-1)
Tanah
(MgC
ha-1)
AGC
Total
(MgC
ha-1)
BGC Total
(MgC ha-1)
Total
cadangan
karbon
(MgC
ha-1)
Hutan dataran
rendah247,0 2,5 2,2 0,8 69,2 198,1 252,5 267,2 519,7
Hutan sub montana 252,5 1,6 3,1 0,6 70,7 102,6 257,9 173,3 431,2
Rata-rata 249,8 2,1 2,7 0,7 69,9 150,3 255,2 220,3 475,4
113
V. STO
K K
AR
BO
N D
I TAM
AN
NA
SION
AL
Cadangan karbon atas permukaan (AGC) teringgi terdapat di hutan sub-montana (252,5 ± 50,0 MgC ha-1) walaupun idak berbeda signiikan dengan hutan dataran rendah (247,0 ± 28,2 MgC ha-1; p >
0,1). Tingginya cadangan karbon atas permukaan hutan sub-montana
disebabkan dengan ingginya diameter rata-rata tegakan di hutan sub-montana (21,9 ± 1,3 MgC ha-1) yang sangat signiikan (p > 0,0001)
dibandingkan dengan diameter rata-rata tegakan di hutan dataran
rendah (12,0 ± 0,6 MgC ha-1).
Cadangan karbon tanah hutan di hutan dataran rendah lebih inggi (198,1 ± 10,8 MgC ha-1) secara signiikan (p < 0,0001) dibandingkan
dengan cadangan karbon tanah di hutan sub-montana (102,6 ±
5,6 MgC ha-1). Rata-rata konsentrasi C tanah mineral di TN Gunung
Halimun Salak adalah 8,2%. Karbon pool lainnya seperi tumbuhan bawah, serasah, akar dan nekromas idak berbeda secara signiikan di kedua ipe ekosistem.
Secara keseluruhan, cadangan karbon hutan TN Gunung Halimun Salak
terbesar terdapat di ekosistem hutan dataran rendah (519,7 MgC ha-1)
diikui dengan ekosistem hutan sub-montana dengan cadangan karbon sebesar 431,2 MgC ha-1. Total cadangan karbon hutan dataran rendah
untuk seluruh kawasan TN Gunung Halimun Salak (43.446,24 ha)
diesimasi sebesar 22.578.835,50 MgC ha-1 sedangkan total cadangan
karbon hutan pada ekosistem hutan sub-montana (40.003,48 ha)
adalah sebesar 17.248.638,59 MgC ha-1.
5.5 Stok Karbon di Taman Nasional Gunung Palung
Ekosistem di TN Gunung Palung terdiri atas ekosistem hutan dataran
rendah, hutan hujan pegunungan, hutan rawa gambut, hutan sub-
alpin, hutan tanah alluvial, hutan mangrove dan vegetasi Rheoit (Gambar 5.4) dengan luas sebagaimana dipaparkan pada Tabel 5.6
Tabel 5.6 Luas ipe ekosistem di TNGP
Tipe ekosistem Luas (Ha)
Hutan Hujan Pegunungan 7728,50
Hutan Tanah Aluvial 446,76
Hutan Sub Alpin 2023,32
Mangrove 86,53
Vegetasi Rheoite 118,79
114
STR
AT
EG
I PE
MA
NFA
ATA
N JA
SA LIN
GK
UN
GA
N B
ER
BA
SIS KA
RB
ON
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
Tipe ekosistem Luas (Ha)
Hutan Dataran Rendah 59903,85
Hutan Rawa Gambut 29953,41
Pengukuran cadangan karbon di TN Gunung Palung dilakukan di 2 ipe ekosistem yaitu ekosistem hutan dataran rendah (Desa Laman Satong)
dan ekosistem hutan gambut (Desa Sedahan Jaya) dengan spesiikasi sebagai berikut:
Hutan dataran rendah:
· 3 PSP Hutan dataran rendah primer
· 3 PSP Hutan dataran rendah rehabilitasi
· 3 PSP Hutan dataran rendah bekas kebakaran
Hutan gambut:
· 3 PSP Hutan gambut primer
· 3 PSP Hutan gambut rehabilitasi
· 3 PSP Hutan gambut bekas kebakaran
Gambar 5.4 Ekosistem hutan di TNGP
Cadangan karbon hutan dataran rendah di TN Gunung Palung diesimasi berdasarkan persamaan alometri dari Siregar & Dharmawan (2009).
Cadangan karbon hutan gambut di TN Gunung Palung diesimasi berdasarkan persamaan alometri dari Manuri et al. (2014) sebagaimana
dipaparkan pada Tabel 5.7.
Tabel 5.6 Luas ipe ekosistem di TNGP (lanjutan)
11
5
V. STOK KARBON DI TAMAN NASIONAL
Tabel 5.7 Cadangan karbon hutan di lima pool karbon TNGP
Ecosystem
AGC
(MgC/
ha)
Understorey
(MgC/ha)
Liter(MgC/
ha)
Necromass
(MgC/ha)
AGC
Total
(MgC/
ha)
Soil
(MgC/
ha)
Total C
stocks
(MgC/
ha)
Total C
stocks
(MgC)
Hutan gambut
(62–1,5 m)
Primer 82,8 0,4 1,1 1,0 85,3 240,0 325,2 9.742.102
Rehabilitasi 45,5 0,3 2,5 0,5 48,7 229,7 278,4
Bekas kebakaran 55,7 2,3 1,6 0,3 60,0 155,5 215,5
Rata-rata 61,3 1,0 1,7 0,6 64,7 208,4 273,0
Hutan dataran rendah
Primer 103,3 0,6 1,8 0,9 106,5 91,1 197,6 11.836.027
Rehabilitasi 46,9 1,4 1, 6 0,1 50,0 132,3 182,4
Bekas kebakaran 1,3 19,4 NA NA 20,7 90,3 111,0
Rata-rata 50,5 7,1 1,7 0,5 59,1 104,6 163,7
116
STR
AT
EG
I PE
MA
NFA
ATA
N JA
SA LIN
GK
UN
GA
N B
ER
BA
SIS KA
RB
ON
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
Cadangan karbon atas permukaan rata-rata teringgi di TN Gunung Palung diperoleh di ekosistem hutan dataran rendah primer (103,3 ±
18,6 MgC ha-1) dan ekosistem hutan gambut primer (82,8 ± 9,9 MgC
ha-1). Hal ini dijelaskan dari ingginya rata-rata diameter pohon di ekosistem hutan dataran rendah primer (17,6 ± 1,8 cm) dibandingkan
dengan rata-rata diameter di ekosistem hutan gambut primer (9,5 ±
1,1 cm; p < 0,0001) (Tabel 5.7).
Cadangan karbon atas permukaan rata-rata pada ipe ekosistem hutan gambut dan dataran rendah yang telah direhabilitasi cenderung lebih
inggi dibandingkan dengan cadangan karbon atas permukaan rata-rata pada kedua ipe ekosistem yang bekas terbakar. Perbedaan yang signiikan terlihat antara ekosistem hutan dataran rendah primer dan hutan gambut primer dengan ekosistem hutan dataran rendah bekas
kebakaran (p < 0,005). Hal ini dapat dijelaskan dengan rendahnya
rata-rata diameter pohon di hutan dataran rendah bekas kebakaran
sebesar 2,0 ± 0,3 cm dibandingkan dengan rata-rata diameter pohon
di ekosistem lainnya dengan kisaran rata-rata diameter sekitar 9,5–
17,6 cm.
Cadangan karbon tanah terbesar terdapat di ipe ekosistem hutan gambut dibandingkan dengan ekosistem hutan dataran rendah (Tabel
5.7). Rata-rata cadangan karbon tanah di hutan gambut primer (240,0
± 27,1 MgC ha-1) berbeda signiikan dengan cadangan karbon tanah di ekosistem hutan dataran rendah primer (91,1 ± 8,4 MgC ha-1),
rehabilitasi (132,3 ± 6,9 MgC ha-1) dan bekas kebakaran (90,3 ± 3,8
MgC ha-1) (p < 0,05).
Rata-rata cadangan karbon tanah di ekosistem hutan gambut primer
(240,0 ± 27,1 MgC ha-1) sangat rendah dibandingkan dengan cadangan
karbon gambut pada umumnya di Indonesia (Basuki 2017; Novita 2016; Warren et al. 2012). Rendahnya cadangan karbon tanah di hutan
gambut primer TN Gunung Palung di antaranya disebabkan dangkalnya
kedalaman gambut yang berkisar antara 100–150 cm. Basuki (2017)
dan Novita (2016) menunjukkan cadangan karbon gambut di hutan
primer sampai dengan 1 meter sebesar 491 Mg C ha-1 dan 796 Mg C
ha-1.
Di Pematang Gadung, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, untuk
hutan primer memiliki kedalaman rata-rata 915 cm, sedangkan untuk
hutan bekas logging memiliki kedalaman rata-rata sebesar 725 cm
117
V. STO
K K
AR
BO
N D
I TAM
AN
NA
SION
AL
(Basuki, 2017). Sementara rata-rata kedalaman gambut di TN Tanjung
Puing Kalimantan Tengah untuk hutan primer adalah 222 cm (Novita 2016). Studi di hutan gambut primer di Pematang Gadung, Kabupaten
Ketapang, Kalimantan Barat menunjukkan cadangan karbon tanah
berkisar antara 3,650 hingga 5,442 Mg C ha-1 dengan rata-rata 4,243
Mg C ha-1 (Basuki 2017). Sementara cadangan karbon rata-rata di TN
Tanjung Puing adalah sebesar 1526 Mg C ha-1.
Rendahnya nilai cadangan karbon gambut di TN Gunung Palung
disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya karena dangkalnya
kedalaman gambut dan ingkat kematangan gambut yang masih rendah (ibric). Kedalaman gambut di TN Gunung Palung untuk hutan gambut
primer, hutan gambut rehabilitasi dan hutan gambut bekas kebakaran
berkisar antara 100–150 cm, 75–120 cm dan 55–67 cm. Nilai tersebut
sangat rendah jika dibandingkan dengan kedalaman gambut di tempat
lain di Pulau Kalimantan. Dangkalnya gambut di tempat dilakukannya
pengambilan data di TN Gunung Palung dapat dikonirmasi dari peta sistem lahan RePPProt 1987 yang menunjukkan bahwa Desa Sedahan
Jaya terdiri atas shallow peat swamp dengan kedalaman gambut
berkisar antara 51–75 cm dan 75–100 cm. Berdasarkan peta sistem
lahan RePPProt tersebut diperkirakan lokasi gambut dalam berada di
Resort Batu Barat dengan kedalaman gambut 200–300 cm.
Pada studi ini, cadangan karbon total pada ekosistem hutan gambut
primer di TN Gunung Palung diperkirakan sebesar 325,2 Mg C ha-1.
Nilai ini 1.6 kali lebih besar dari cadangan karbon total pada ekosistem
hutan dataran rendah (197,6 Mg C ha-1). Pada umumnya cadangan
karbon total pada ekosistem hutan primer (baik gambut maupun
dataran rendah) lebih inggi dibandingkan cadangan karbon total pada ekosistem yang telah mengalami gangguan seperi kebakaran atau ekosistem hutan yang telah direhabilitasi.
Hutan primer dengan kondisi alam yang belum terganggu baik tegakan
maupun tanahnya mampu menyimpan karbon dalam jumlah yang
signiikan. Ekosistem yang telah mengalami gangguan sebaliknya akan mengalami penurunan jumlah tegakan yang berdampak pada
penurunan biomasa atas dan bawah permukaan. Kegiatan pembalakan
atau pembakaran lahan akan menurunkan proses fotosintesis sehingga
membatasi pertumbuhan biomasa dan akumulasi gambut melalui
meningkatnya mineralisasi gambut (Page et al. 2011).
118
STR
AT
EG
I PE
MA
NFA
ATA
N JA
SA LIN
GK
UN
GA
N B
ER
BA
SIS KA
RB
ON
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
Tanah di ekosistem hutan gambut yang telah mengalami gangguan
akibat pembalakan, kebakaran dan drainase akan mengalami
penurunan cadangan karbon akibat proses dekomposisi, kompaksasi
dan peat collapse (Anshari et al. 2010). Menurunnya cadangan
karbon tanah khususnya di ekosistem gambut akibat kebakaran atau
pembakaran dapat dibukikan di studi ini yaitu dari karakterisik gambut seperi konsentrasi karbon yang cenderung menurun dan bulk density yang meningkat dari hutan gambut primer, rehabilitasi
dan bekas kebakaran. Gambut primer yang masih intact memiliki
konsentrasi karbon yang cenderung lebih inggi dan bulk density yang
lebih rendah dibandingkan gambut yang terganggu.
Berdasarkan hasil peneliian di TN Gunung Palung, dapat disimpulkan bahwa hutan gambut memiliki cadangan karbon yang lebih besar
dibandingkan ekosistem hutan dataran rendah. Namun demikian,
mengingat lokasi tempat pembuatan PSP di hutan gambut memiliki
kedalaman gambut yang dangkal, maka disarankan untuk melakukan
studi lanjutan di lokasi lain dengan kedalaman gambut yang lebih
dalam, seperi di Resort Batu Barat.
5.6 Tantangan ke Depan
Untuk membukikan peran taman nasional sebagai penyimpan cadangan karbon hutan maka perlu dilakukan pengukuran dan
pemantauan cadangan karbon pada seiap ekosistem di wilayah taman nasional. Pengelola taman nasional perlu meningkatkan kapasitas
sumber daya manusia dalam pengukuran karbon, mengalokasikan
dana, dan mengintegrasikan kegiatan pengukuran karbon ke dalam
rencana pengelolaan taman nasional. Untuk ke depan, selain
berdasarkan ekosistem perlu dilakukan pengukuran cadangan karbon
di berbagai zona pengelolaan taman nasional untuk melihat dampak
pengelolaan taman nasional terhadap cadangan karbon.
Datar PustakaAnshari GZ, Pambudi E, Eliandy, Ilham, Putri TTA. 2013. Above
Ground and Peat Carbon Assessment: The Planning of Hydrologic
Restoraion Measures by Canal Blocking in the Danau Bulan Area, Sebangau Naional Park, Central Kalimantan. Center for Wetlands People and Biodiversity (CWPB), Universitas Tanjungpura,
Ponianak.
119
V. STO
K K
AR
BO
N D
I TAM
AN
NA
SION
AL
Anshari GZ, Aifudin M, Nuriman M, Gusmayani E, Arianie L., Susana R, Raiastanto A. 2010. Drainage and land use impacts on changes in selected peat properies and peat degradaion in West Kalimantan Province, Indonesia. Biogeosciences, 7(11), 3403–3419. htps://doi.org/10.5194/bg-7-3403-2010
Arifani VB, Dharmawan IWS, & Wicaksono D. 2014. Potensi cadangan karbon tegakan hutan sub-montana di Taman Nasional Gunung
Halimun Salak (Carbon Stocks of Sub-Montane Forest in Mount
Halimun Salak Naional Park). Forestry Socio and Economic Research Journal, 11(493).
Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2011. Standar Nasional Indonesia
(SNI) 7724:2011 Pengukuran dan Penghitungan Cadangan Karbon-
Pengukuran Lapangan untuk Penaksiran Cadangan Karbon HUtan
(ground-based forest carbon accouning). Jakarta, Indonesia.
Basuki I. 2017. Carbon dynamics in response to land cover change in tropical peatlands, Kalimantan. Oregon State University.
Chave J, Andalo C, Brown S, Cairns M A, Chambers JQ, Eamus D,
Yamakura T. 2005. Tree allometry and improved esimaion of carbon stocks and balance in tropical forests. Oecologia, 145(1),
87–99. htps://doi.org/10.1007/s00442-005-0100-x
IPCC. 2006. 2006 IPCC Guidelines For Naional Greenhouse Gas Inventories.
Jaenicke J, Rieley JO, Mot C, Kimman P, Siegert F. 2008. Determinaion of the Amount of carbon Stored in Indonesia Peatlands, Geoderma
147: 151–158.
Kartawinata K. 2013. Diversitas Ekosistem Alami Indonesia: Ungkapan
Singkat dengan Sajian Foto dan Gambar. LIPI Press bekerja sama
dengan Yayasan Pustaka Obor, Jakarta.
Manuri S, Brack C, Nugroho NP, Hergoulac’h K, Novita N, Dotzauer
H, Verchot L, Putra CAS, dan Widyasari E. 2014. Tree Biomass
Equaions for Tropical Peat Swamp Forest Ecosystems in Indonesia. Forest Ecology and Management, 334: 241–253.
Mirmanto E. 2010. Vegetaion Analyses of Sebangau Peat Swamp Forest, Central Kalimantan. Biodiversitas. 11 (2): 82–88.
120
STR
AT
EG
I PE
MA
NFA
ATA
N JA
SA LIN
GK
UN
GA
N B
ER
BA
SIS KA
RB
ON
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
Novita N. 2016. Carbon Stocks and Soil Greenhouse Gas Emissions Associated with Forest Conversion to Oil Palm Plantaions in Tanjung Puing Tropical Peatlands, Indonesia. Oregon State
University.
Page SE, Rieley JO, Shotyk ØW, dan Weiss D. 1999. Interdependence of
Peat and Vegetaion in a Tropical Peat Swamp Forest. Philosophical transacions of the royal society B, 354: 1885–1897.
Page SE, Rieley JO, & Banks CJ. 2011. Global and regional importance of
the tropical peatland carbon pool. Global Change Biology, 17(2),
798–818. htps://doi.org/10.1111/j.1365-2486.2010.02279.x
Siregar CA, dan IWS Dharmawan. 2009. Sintesa hasil-hasil peneliian jasa hutan sebagai penyerap karbon. Bogor, Indonesia: Pusat
Peneliian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.
Sularso GNM. 2011. Pendugaan Perubahan Cadangan Karbon di
Taman Nasional Meru Beiri. [Skripsi]. Insitut Pertanian Bogor, Bogor.
Van Steenis CGGJ. 1972. The mountain lora of Java. Leiden, the Netherlands: Brill Publisher. Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat.
(n.d.)
Warren MW, Kaufman JB, Murdiyarso D, Anshari G, Hergoualc’h K, Kurnianto S, Iswandi A. 2012. A cost-eicient method to assess carbon stocks in tropical peat soil. Biogeosciences Discussions,
9(6), 7049–7071. htps://doi.org/10.5194/bg-9-4477-2012
WWF-Indonesia Sebangau Project. 2012. Reweing of Tropical Peat Swamp Forest in Sebangau Naional Park, Central Kalimantan, Indonesia: Project Design Document for Validaion under the Climate, Community and Biodiversity Project Design Standards
Second Ediion.
VI. INDIKATOR BIODIVERSITAS DI TAMAN NASIONAL
Adi Susilo
6.1 Pendahuluan
Perubahan iklim global merupakan imbas dari keidakseimbangan antara konsentrasi CO
2 di atmosfer dengan ketersediaan pohon
sebagai penyerap dan penyimpan karbon. Pohon-pohon besar dapat
mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer melalui proses fotosintesis
yang mengubah CO2 menjadi O
2. Beberapa jenis pohon lebih eisien
dalam menyerap dan menyimpan karbon dari atmosfer. Secara
umum pohon besar yang tumbuh lambat dengan kepadatan kayu
inggi memiliki kecenderungan menyimpan karbon dalam jangka panjang. Untuk menahan laju pertambahan CO
2 di atmosfer perlu
adanya pelestarian pohon melalui skema REDD+. Skema ini fokus pada
pelestarian tutupan hutan yang merupakan rumah bagi banyak spesies
sehingga memiliki potensi pelestarian keragaman hayai.
Namun demikian bila idak dirancang dengan baik, proyek REDD+ yang hanya melestarikan hutannya demi nilai karbon tersimpan idak sertamerta melestarikan keragaman hayai. Bila pohon mai, karbon yang tersimpan dalam kayu akan terlepas kembali ke atmosfer.
Penurunan keragaman hayai mungkin secara idak langsung berimbas pada kelestarian pohon sehingga memengaruhi pula penyimpanan
karbon. Misalnya hutan terlindungi dengan baik melalui program
REDD+ masih mungkin dalam beberapa dekade kehilangan cadangan
karbon dari efek domino perburuan satwa liar (Brodie 2009).
Perburuan liar dengan sasaran satwa pemencar biji mungkin berakibat
dengan bergesernya komposisi jenis pohon sehingga dapat pula
akhirnya berakibat pada penyimpanan karbon. Peneliian di Kamerun dan Panama menemukan bahwa 70%–90% jenis pohon tergantung
pada satwa liar untuk memencarkan bijinya dan perburuan liar telah
berdampak langsung pada komposisi jenis pohon (Brodie 2009, Maisel 2001, Wright 2007). Di Kamerun dan Thailand pemusnahan satwa liar pemencar biji besar berhubungan dengan kehilangan pohon berbiji
besar, yang tentunya penyimpan karbon dalam jumlah besar. Perburuan liar sering berfokus pada vertebrata besar yang memiliki fungsi kunci
122
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
dalam ekosistemnya. Keika top predator berkurang karena perburuan
liar maka herbivor meningkat sehingga bisa berakibat overbrowsing
pada semai pohon sehingga menghalangi regenerasi pohon.
Penurunan keragaman hayai berdampak pula pada daya tahan ekosistem dalam menghadapi gangguan sehingga memengaruhi
pula kemampuan penyimpanan karbon dalam jangka panjang (Diaz
2009). Gangguan kebakaran hutan, introduksi jenis invasif, perubahan temperatur dan presipitasi sebagai akibat perubahan iklim yang
saat ini sedang berlangsung semuanya memerlukan adaptasi untuk
kelestarian ekosistem. Kemampuan ekosistem untuk menyembuhkan diri dari berbagai gangguan tersebut sangat tergantung dari keragaman
hayai. Keragaman hayai yang inggi merupakan “asuransi” untuk bisa pulih dari berbagai macam gangguan sehingga tetap dapat
menyimpan karbon dalam jangka panjang (Bunker 2005). CBD tahun
2009 melaporkan bahwa hutan yang memiliki keragaman hayai inggi lebih produkif dan memberikan cadangan karbon yang lebih besar khususnya pada hutan yang telah mapan berusia tua. Oleh karena itu, pelestarian keragaman hayai menjaga ketahanan ekosistem sehingga menjaga pula kelangsungan penyerapan dan penyimpanan karbon.
Perlindungan keragaman hayai melalui skema REDD+ memiliki nilai tambah (Diaz 2009). Menjaga keragaman hayai tetap inggi berari melestarikan fungsi lain selain penyerapan dan penyimpanan karbon, baik untuk masyarakat lokal untuk memanen HHBK secara lestari dan manfaat jasa lingkungan lainnya yang lebih luas termasuk menjaga
kualitas dan debit air, polinasi, pemencaran biji, pencegahan erosi dan jasa lingkungan lainnya.
Analisis indikator keragaman hayai dilakukan untuk menghitung indeks keragaman hayai lora dan fauna serta menganalisis hubungan antara spesies lora dominan pembentuk karbon dengan satwa prioritas di TN Meru Beiri (TNMB), TN Gunung Halimun Salak (TNGHS), TN Sebangau (TNS) dan TN Gunung Palung (TNGP). Analisis keragaman hayai lora menggunakan data sekunder di TNMB, TNGHS dan TNS, dan data primer di TNGP. Data sekunder lora diambil dari petak-petak ukur permanen yang telah dibuat oleh taman nasional.
TNMB memiliki 40 petak ukur permanen berukuran 20 m x 100 m untuk perhitungan cadangan karbon. Petak-petak tersebut tersebar
di lima zona (ini, pemanfaatan, pemanfaatan khusus, rehabilitasi,
123
VI. INDIKATO
R BIODIVERSITAS DI TAM
AN N
ASION
AL
rimba) yang terletak di sebelas resort (Andongrejo, Baban, Bandealit, Karangtambak, Malangsari, Perkebunan Sukamade, Rajegwesi, Sanenrejo, Sukamade, Sumber Pacet dan Wonosari) dan melipui delapan ipe tutupan lahan yaitu areal pertanian, hutan primer, hutan sekunder, hutan campuran, mangrove, padang rumput dan alang-alang, perkebunan karet, semak belukar.
TNGHS memiliki 3 petak permanen masing-masing berukuran 100 m x 100 m di Cikaniki dan 4 plot berukuran 25 m x 25 m di koridor. Petak-petak ukur tersebut untuk peneliian ekologi. Plot permanen tersebut idak dipakai dalam kajian ini. Karena terkait dengan perhitungan karbon maka data sekunder yang digunakan adalah 27 plot peneliian yang digunakan untuk menghitung karbon yang tersebar di iga lokasi yaitu Resort Cikaniki, Resort Kawah Ratu dan Resort Gunung Bedil Cibedug (Virni et al. 2014).
TNS memiliki 240 plot permanen masing-masing berukuran 20 m x 20 m yang tersebar di 7 lokasi yaitu Sungai Bangah 25 plot, Harbaring Hurung (Kerangas) 15 plot, Muara Bulan 115 plot, Pangualas 20 plot, Rasau 15, SSI 25 plot, Sungai Koran 25 plot.
TNGP diambil data primer di ekosistem hutan dataran rendah dan hutan gambut masing-masing dengan 9 buah plot berukuran 20 m x 20. Sembilan plot permanen di hutan dataran rendah tersebar pada hutan
primer, hutan bekas terbakar dan hutan rehabilitasi masing-masing dengan 3 plot permanen. Demikian halnya pada ekosistem gambut
dibuat 9 plot tersebar di 3 lokasi yaitu hutan mangrove primer, hutan mangrove rehabilitasi, dan hutan mangrove bekas terbakar masing-masing dengan 3 buah plot.
Dari plot-plot tersebut dilakukan analisis vegetasi untuk mendapatkan
jenis-jenis dominan yang berkontribusi besar dalam pembentukan
cadangan karbon. Dominansi jenis didapatkan dari penjumlahan
kerapatan relaif, frekuensi relaif dan dominansi relaif. Selain itu dihitung pula indeks keragaman hayai (Shannon-Wiener diversity
index) beserta komponennya yaitu kekayaan jenis (Spesies Richness)
dan jumlah pohon (number of individual). Indeks keragaman hayai dihitung dengan menggunakan rumus:
124
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Keterangan:H’ = indeks keragaman, pi = perbandingan jumlah individu satu jenis dengan jumlah individu keseluruhan sampel dalam plot (n/N)
Sementara itu, indeks keragaman fauna didapatkan dari berbagai publikasi ilmiah.
6.2 Indikator Biodiversitas di Taman Nasional Meru Beiri
Dari data sekunder 40 plot permanen tercatat 129 jenis pohon dari 93 genus dan 39 famili. Kerapatan pohon mencapai 268 pohon per ha. Hasil perhitungan indeks keragaman hayai dari 40 plot permanen menunjukkan angka yang sangat inggi yaitu 4.3. Nilai indeks ini mewakili kondisi umum di TNMB mengingat keempat puluh plot tersebut tersebar di seluruh kawasan hutan dataran rendah. Hasil
analisis vegetasi selengkapnya terlampir pada Lampiran 3.1 dan lima jenis pohon dominan tertera pada Tabel 6.1. Lima jenis dominan ini berkontribusi besar dalam penyimpanan karbon karena jenis-jenis
tersebut terdapat di mana-mana (frekuensi inggi) dengan kerapatan inggi dan berpostur besar.
Tabel 6.1 Lima jenis pohon dominan di ekosistem hutan dataran rendah TNMB
No.Nama
LokalJenis Famili Kr (%) Fr (%) Dr (%)
INP
(%)
1 Besole Chydenanthus
excelsus
Lecythidaceae 10,49 10,49 17,59 38,57
2 Bendo Artocarpus
elasicusMoraceae 5,59 5,59 12,16 23,35
3 Berasan Drypetes ovalis Ebenaceae 9,32 9,32 4,52 23,17
4 Jai Tectona grandis Lamiaceae 5,59 5,59 7,41 18,59
5 Garu Aglaia sp. Meliaceae 5,83 5,83 5,76 17,42
Dari studi pustaka didapatkan indeks keragaman hayai dari berbagai jenis fauna seperi pada Tabel 6.2.
125
VI. INDIKATO
R BIODIVERSITAS DI TAM
AN N
ASION
AL
Tabel 6.2 Indeks keragaman hayai beberapa jenis fauna di TNMB
Individu Spesies Famili H’ Lokasi Sumber
Burung 46 23 2,796Pantai
Sukamade
Faimah 2001
Burung 76 39 3,745 Rajegwesi
Mutaqin et
al.2015
Burung 68 34 3,75Hutan
Campuran
Mutaqin et
al.2015
Burung 44 25 3,15Hutan
homogenus
Mutaqin et
al.2015
Burung 40 27 2,85Hutan
Rehabilitasi
Mutaqin et
al.2015
Burung 22 15 2,69 Desa
Mutaqin et
al.2015
Burung 20 15 2,53 Sawah
Mutaqin et
al.2015
Burung 10 9 1,88 Savana
Mutaqin et
al.2015
Gastropoda 20 3 1,86Sungai
Sukamade
Purnama
et al.2011
Kupu-Kupu 13 1,084
Camping
Ground
Sukamade
Purnama
et al.2011
Collembola10 10 0,999Ekosistem
referensi Lolita 2017
Collembola10 10 0,929Zona
rehabilitasi Lolita 2017
Rata-rata Indeks Keragaman Hayai 2,355
Tiga jenis pohon dominan Bisole, Berasan dan Bendo, merupakan pohon inang utama bagi anggrek hutan. Lima jenis anggrek yang banyak populasinya adalah: Pteroceras zollingerii, Fickingeria luxurians, Pomatocalpa spicata, Thrixspermum subulatum, Trixspermum sp.
Besole (Chydenanthus excelsa) merupakan pohon inang yang sangat
umum kemudian disusul oleh Berasan (Drypetes ovalis) dan Bendo
(Artocarpus elasica).
Kelima jenis pohon dominan pada Table 6.1 idak berperan langsung dalam kehidupan 5 jenis satwa prioritas di TNMB. Satwa prioritas di TNMB adalah Macan tutul (Panthera pardus melas), Banteng (Bos
javanicus), Elang Jawa (Nisaetus bartelsi), dan Penyu Hijau (Chelonia
mydas).
126
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Macan Tutul
Macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) merupakan satwa yang
dilindungi Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999. Punahnya macan jawa menaikan status macan tutul sebagai top predator
di habitatnya sehingga memiliki peran pening dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan di Pulau Jawa. Survey LSM Peduli Karnivora Jawa (PKJ) tahun 2005 memperkirakan populasi macan tutul di TNMB sebanyak 35 ekor.
Peran lima jenis pohon dalam kehidupan macan tutul mungkin
sebagai thermal cover atau pelindung diri dari sengatan matahari.
Macan tutul adalah satwa arboreal, yang berari hidupnya sangat bergantung pada ketersediaan pohon. Mereka makan, idur, kawin dan memburu mangsanya dari atas pohon (Alderton, 1998). Jenis satwa mangsa macan tutul jawa antara lain babi, kijang rusa monyet, landak lutung burung kelelawar (Pteropus sp), lutung (Tracypithecus
sp), surili (Presbyis comata), kijang (Muniacus muntjak), ayam hutan (Gallus gallus), merak (Pavo sp), pelanduk (Tragulus javanicus) dan
lain-lain. Penandaan teritori oleh macan tutul juga merupakan cara
yang pening dalam komunikasi antar sesama. Batas-batas teritori secara teratur ditandai dengan urin, feses, kemunculan/kehadiran, cakaran di tanah dan di pohon.
Banteng
Banteng lebih senang pada habitat yang terbuka karena banteng lebih
bersifat sebagai pemakan rumput (grazer) dari pada pemakan daun
dan semak (browser). Padang perumputan digunakan sebagai tempat
mencari makan, isirahat, mengasuh, dan membesarkan anaknya, serta melakukan hubungan sosial lainnya (Alikodra 1983). Namun demikian habitat banteng yang ideal harus memiliki hutan alam yang
berfungsi sebagai tempat berlindung dan bersembunyi dari segala
macam gangguan baik cuaca, manusia maupun pemangsa.
Di TNMB, banteng memanfaatkan areal perkebunan Bandealit sebagai habitat karena dalam areal tersebut terdapat jenis-jenis tanaman
disukai banteng, seperi pohon kopi, karet, vanili dan sengon. Hasil analisis kandungan nilai gizi pakan menunjukkan bahwa jenis tanaman
perkebunan, terutama daun sengon muda dan daun karet umur tanam satu tahun, mempunyai kandungan protein yang inggi dibandingkan
127
VI. INDIKATO
R BIODIVERSITAS DI TAM
AN N
ASION
AL
dengan jenis hijauan pakan yang ada di dalam kawasan TNMB. Dengan demikian jenis-jenis dominan pada 40 plot pemanen idak berperan pening dalam kehidupan Banteng.
Elang Jawa
Elang jawa di TNMB idak banyak dipublikasikan. Elang Jawa tercatat hadir di 4 lokasi (Sumbersari, Permisan, Teluk Hijau dan Sukamade) (Van Balen et al. 1999). Habitat elang jawa adalah hutan hujan tropis
primer dan sekunder dengan curah hujan inggi (Prawiradilaga 2006) khususnya hutan hujan perbukitan dengan kondisi tutupan hutan
yang rapat, basah, bersuhu dingin serta ingkat gangguan manusia yang rendah (Cahyana et al. 2015). Karakter habitat seperi itu terkait dengan habitat jenis satwa mangsa. Pakan elang jawa umumnya
adalah mamalia kecil (tupai, bajing, ikus), burung dan repil termasuk anakan monyet dan kancil (Prawiradilaga 2006). Keragaman vegetasi yang inggi menjamin kergaaman satwa mangsa sekaligus menjamin keberlangsungan hidup elang jawa (Cahyana et al.2015). Lima Jenis Pohon dominan di Taman Nasional Merubeiri adalah jenis-jenis dataran rendah sehingga idak terindikasi berperan pening dalam konservasi elang jawa.
Penyu Hijau
Pantai sebagai lokasi pendaratan Penyu Hijau (Chelonia mydas) yang
akan bertelur menjadi kunci dalam kegiatan konservasi Penyu Hijau
(Chelonia mydas) di Taman Nasional Merubeiri. Karena ke lima jenis pohon dominan dalam peneliian ini idak tumbuh di pantai maka peran pohon dominan dalam pelestarian penyu dapat diabaikan.
6.3 Indikator Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Di TNGHS, dari 27 plot yang tersebar di iga lokasi yaitu Resort Cikaniki, Resort Kawah Ratu dan Resort Gunung Bedil Cibedug tercatat 56 jenis 36 genus 25 famili dengan kerapatan 262 pohon per hektare dan indeks keragaman hayai 2,981. Hasil analisis vegetasi seperi tertera pada Lampiran 3.2 dengan lima jenis dominan tercantum pada Tabel 6.3.
128
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Tabel 6.3 Lima jenis pohon dominan di TNGHS
No. Nama Lokal Jenis Famili Kr (%) Fr (%) Dr (%)INP
(%)
1 Rasamala Alingia excelsa Hamamelidaceae 33,77 35,94 23,37 93,08
2 Puspa Schima walichii Theaceae 11,69 12,44 17,77 41,91
3 Ki hujan Engelhardia
spicata
Leguminosae 4,33 4,61 7,26 16,20
4 Burununggul Blumeodendron
elateriospermum
Euphorbiaceae 3,90 4,15 5,96 14,01
5 Saninten Castanopsis
argentea
Fagaceae 3,46 0,00 7,12 10,58
Dari penelusuran pustaka didapatkan beberapa perhitungan indeks
keragaman hayai lora seperi pada Tabel 6.4. Spesies kunci di TNGHS adalah Owa jawa, Elang jawa dan Macan tutul.
Tabel 6.4 Indeks keragaman hayai beberapa jenis fauna di TNGHS
Individu Spesies Famili H’ Lokasi Sumber
Kupu-kupu 2664 53 7 2,76TN Gunung Halimun Salak
Kupu-kupu 2793 51 6 2,79TN Gunung Halimun Salak
Kupu-kupu 1575 39 5 2,31TN Gunung Halimun Salak
Burung 8 1,855 Hutan, TNGHSMeididiet
et al.2002
Burung 4 0,899Kebun Teh, TNGHS
Meididiet
et al.2002
Burung 6 1,222 Zona Peralihan
Meididiet
et al.2002
Rata-rata Index Keragaman Fauna 1,973
Owa Jawa
Pohon pakan Owa Jawa di TNGHS didominasi oleh Ficus sinuata Thunb, Quercus gemililorus Blume, Alingia exelsa Noronha dan Castanopsis
argentea Bl. Sementara jenis pohon yang digunakan sebagai pohon
idur di antaranya adalah Querqus gemililorus Blume, Ficus sinuata
Thunb, Castanopsis argentea dan Alingia exelsa Noronha (Iskandar 2007). Terdapat keeratan hubungan antara pohon pakan dan pohon idur dengan kepadatan populasi owa jawa di TNGHS (Iskandar 2007). Peran jenis pohon dominan seperi tertera pada Tabel 6.5.
129
VI. INDIKATO
R BIODIVERSITAS DI TAM
AN N
ASION
AL
Tabel 6.5 Peran jenis pohon dominan pada kehidupan Owa Jawa dan Elang Jawa
No Nama Lokal Jenis Famili
Owa Jawa Elang Jawa
Pohon
Pakan
Pohon
Tidur
Pohon
Sarang
Pohon
Tengger
1 Rasamala Alingia excelsa Hamamelidaceae √ √ √ √
2 Puspa Schima walichii Theaceae √ √ √
3 Ki hujan Engelhardia
spicataLeguminosae
4 BurununggulCastanapsis
arganteaEuphorbiaceae √ √
5 SanintenCastanopsis
javanicaFagaceae √ √ √ √
Elang Jawa
Elang jawa di TNGHS tersebar di semua ipe hutan hingga di pegunungan pada keinggian 2.400 mdpl tetapi kepadatan populasi teringgi didapatkan pada rentang keinggian 500–1.000 mdpl (Seiadi et al. 2000). Wilayah jelajah elang jawa melipui berbagai ipe habitat seperi hutan, hutan produksi dan perkebunan. Namun demikian peneliian mendalam tentang penggunaan habitat dalam wilayah jelajahnya menyimpulkan bahwa elang jawa menggunakan hutan
(baik sekunder maupun primer) lebih sering daripada ipe habitat lainnya (Kuswandono et al. 2003, Nijman & Prawiradilaga 2003). Hal ini menunjukkan bahwa elang jawa di TNGHS sangat tergantung pada hutan
Karakterisik pohon sarang adalah besar dengan diameter umumnya lebih dari 50 cm, inggi lebih dari 30 m dengan kanopi terbuka bercabang horizontal sehingga memiliki pandangan yang luas. Banyak
pohon sarang tumbuh pada lereng curam. Jenis-jenis dominan pada peneliian ini berperan pening sebagai penyedia tempat bersarang Pohon pertenggeran seperi tertera pada Tabel 6.5.
Macan Tutul
Macan tutul juga merupakan satwa prioritas di TNGHS. Jenis pohon dominan mungkin sebagai thermal cover. Jenis pohon puspa (Schima
walichii) yang merupakan jenis dominan di TNGHS berkecenderungan terpilih untuk dicakar sebagai penanda teritori. Alasan pemilihan ini
130
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
masih misteri (Gunawan komunikasi pribadi). Macan tutul di TNGHS lebih sering ditemukan di hutan sekunder. Mungkin karena satwa
mangsanya adalah browser yang lebih banyak terdapat di hutan
sekunder. TNGHS merupakan bentangan alam hutan primer terluas di Jawa Barat dan merupakan salah satu habitat utama macan tutul jawa (Rabinowitz 1989). Populasi macan tutul jawa di taman nasional ini telah diketahui 42–58 individu (Harahap dan Sakaguchi 2004).
6.4 Indikator Taman Nasional Sebangau
TNS memiliki 240 plot permanen masing-masing berukuran 20 m x 20 m yang tersebar di 7 lokasi yaitu Sungai Bangah 25 plot, Harbaring Hurung (Kerangas) 15 plot, Muara Bulan 115 plot, Pangualas 20 plot, Rasau 15, SSI 25 plot, Sungai Koran 25 plot. Hasil perhitungan dari plot-plot tersebut tercatat 123 jenis 47 genus dari 27 famili. Kerapatan pohon mencapai 167 pohon per ha dengan nilai indeks keragaman hayai 4,517. Lima jenis dominan dari plot-plot tersebut tercantum dalam Tabel 6.6. Indeks keragaman hayai fauna hanya diwakili dari populasi burung seperi tertera pada Tabel 6.7.
Tabel 6.6 Lima jenis pohon dominan di TNS
No.Nama
LokalJenis Famili Kr (%) Fr (%) Dr (%) INP (%)
1 Nyatoh Palaquium Sapotaceae 6,98 7,29 7,00 21,26
2 Merani Shorea sp. Dipterocarpaceae 6,92 7,22 4,21 18,35
3 Balangeran Shorea balangeran Dipterocarpaceae 5,98 6,25 5,32 17,55
4 Tutup Kabali
Diospyros
pseudomalabori
Ebenaceae 3,86 4,03 7,97 15,86
5 Perupuk Lophopetalum Celastraceae 5,30 5,53 3,87 14,70
Tabel 6.7 Indeks keragaman hayai beberapa jenis fauna di TNS
Individu Spesies Famili H’ Lokasi Sumber
Burung 398 69 3,63 logged forest Posa (2011)
Burung 214 36 3,12 degraded forest Posa (2011)
Burung 447 32 2,44 non-forest area Posa (2011)
3,063
131
VI. INDIKATO
R BIODIVERSITAS DI TAM
AN N
ASION
AL
Satwa prioritas TNS adalah Kaliawat dan orangutan. Jenis pohon dominan berperan dalam menyediakan pakan, singing site untuk
kaliawat dan pohon tempat idur (sarang) bagi orangutan. Berdasarkan bentuk morfologi buah Palaquium sp dan Diospyros pseudomalabori
adalah buah primata. Dua jenis ini merupakan pakan utama kaliawat
(Cheyne & Sinta 2006) dan orangutan (Morrogh-Bernard 2006). Shorea
spp dan Lophopetalum javanicum bukan merupakan pohon pakan
primata karena bijinya bersayap dipancarkan oleh angin sehingga idak membutuhkan jasa satwa liar dalam memencarkan bijinya. Meskipun
demikian Shorea spp keberadaannya pening dalam kehidupan kaliawat dan orangutan. Shorea spp adalah pohon-pohon emergant
yang merupakan singing site bagi kaliwat untuk menandai teritorinya.
Shorea spp. banyak digunakan oleh orangutan sebagai pohon idur (Gibson 2005). Shorea spp juga merupakan inang utama Ficus spp yang
merupakan sumber utama bagi kaliawat dan orangutan.
Hutan rawa gambut di Taman Nasional Sebangau adalah blok hutan utuh terbesar yang berisi populasi kaliwat dan kemungkinan
menyimpan populasi kaliawat terbesar di Indonesia (Cheyne & Sinta 2006). Kaliawat populasinya diesimasi mencapai 30.000 individu (Chene et al. submited). Areal ini sangat pening untuk konservasi kaliawat.
Lebih dari 289 jenis pohon telah terideniikasi hingga pada ingkat spesies; 65 di antaranya merupakan pohon pakan kaliawat (Cheyne & Sinta 2006). Dua puluh jenis pohon merupakan pohon pakan utama hingga menghabiskan 83% dari total waktu makan. Dua puluh jenis tersebut berasal dari Anacardiaceae, Annonaceae, Apocynaceae, Ebenaceae, Euphorbiaceae, Gnetaceae, Icacinaceae, Moraceae, Myrtaceae, Sapindaceae, Sapotaceae and Tetrimeristaceae. Dari famili ini yang terpening adalah Annonaceae dan Moracea. Jenis-jenis pada kedua famili tersebut idak berbuah bersamaan sehingga selalu menyediakan pakan khususnya pada saat paceklik buah. Dua
famili tersebut menjadi sangat pening bagi konservasi kaliawat.
Hutan rawa gambut di TNS menyimpan populasi orangutan terbesar di dunia. Populasi orangutan di kawasan ini mencapai lebih dari 6.900 individu (Morrogh-Bernard et al. 2003; Husson et al. submited). Dengan
demikian wilayah ini sangat pening untuk konservasi orangutan. Lebih dari 289 jenis pohon di kawasan ini telah diideniikasi hingga pada level spesies, 153 di antaranya adalah jenis pohon pakan orangutan
132
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
(Morrogh-Bernard et al. 2006). Dua puluh jenis merupakan pohon pakan utama yang menguasai 70% dari waktu yang dilewatkan untuk
makan (Morrogh-Bernard et al. 2006). Pohon-pohon tersebut dari famili Annonaceae, Apocynaceae, Clusiaceae, Ebenaceae, Euphorbiaceae, Fagaceae, Linaceae, Moraceae, Myrtaceae, Tetrimeristaceae and Sapotaceae (Borrogh-Bernard et al. 2006) Beberapa dari famili ini merupakan pakan yang sangat pening karena berbuah idak bersamaan sehingga mampu menyediakan pakan sepanjang tahun
(Borrogh-Bernard et al. 2006).
Peneliian kepadatan populasi orangutan menyimpulkan bahwa hutan bekas balak hanya mampu menampung sekitar seperiga hingga sebagiankepadatan pada hutan primer yang idak dibalak (Rijksen, 1978; Payne, 1987; van Schaik & Azwar 1991; Rao & van Schaik, 1997; Morrogh- Bernard et al. in press).
Orangutan memiliki preferensi pohon idur. Campnosperma coriaceum
adalah jenis pohon idur yang paling sering dipakai karena 25% pembuatan sarang dilakukan oleh orangutan jenis Campnosperma
coriaceum kemudian diikui oleh Litsea ellipica dan Shorea sp.
Koompassia malaccensis dan Xylopia fusca (Gibson 2005). Pohon idur umumnya dari jenis-jenis yang idak mengeluarkan getah yang lengket (Gibson 2005).
6.5 Indikator Taman Nasional Gunung Palung
Hasil perhitungan dari 9 plot vegetasi di dataran rendah tercatat 28 jenis 26 genus dari 19 famili. Kerapatan pohon mencapai 262 pohon per ha dengan nilai indeks keragaman hayai 3,169. Lima jenis dominan dari plot-plot tersebut tercantum dalam Tabel 6.8. Indeks keragaman hayai fauna hanya diwakili dari populasi burung seperi tertera pada Tabel 8.
Tabel 6.8 Lima jenis pohon dominan di ekosistem hutan dataran rendah TNGP
No.Nama
LokalJenis Famili Kr (%) Fr (%) Dr (%) INP (%)
1 Saurauia Saurauia Acinidiaceae 4,33 4,61 7,26 16,20
2 Aglaia Aglaia Meliaceae 3,90 4,15 5,96 14,01
3 Aporosa Aporosa Phyllanthaceae 3,90 4,15 1,62 9,67
4 Palaquium Palaquium Sapotaceae 1,73 1,84 1,84 5,42
5 Licania Licania Chrysobalanaceae 1,73 1,84 0,93 4,51
133
VI. INDIKATO
R BIODIVERSITAS DI TAM
AN N
ASION
AL
Hasil perhitungan dari 9 plot vegetasi di hutan gambut tercatat 12
jenis 12 genus dari 12 famili. Kerapatan pohon mencapai 105 pohon per ha dengan nilai indeks keragaman hayai 3.15. Lima jenis dominan dari plot-plot tersebut tercantum dalam Tabel 6.9. Indeks keragaman hayai fauna hanya diwakili dari populasi burung seperi tertera pada Tabel 6.10.
Tabel 6.9. Lima jenis pohon dominan di ekosistem gambut TNGPNo. Nama Lokal Jenis Famili Kr (%) Fr (%) Dr (%) INP (%)
1 Litsea Litsea Lauraceae 21,05 15,67 65,95 102,68
2 Macaranga sp Macaranga sp. Euphorbiaceae 26,32 37,36 4,17 67,85
3 Gymnacrantera Gymnacrantera Myrisicaceae 10,53 7,81 15,68 34,02
4 Syzygium Syzygium Myrtaceae 10,53 8,04 0,75 19,31
5 Dialium Dialium Fabaceae 5,26 4,01 5,66 14,93
Tabel 6.10. Indeks keragaman hayai fauna di TNGP
Individu Spesies Famili H’ Lokasi Sumber
Burung 110 40 17 1,663 Hutan Sebadal
(hutan dataran rendah)
Hidayat et al.
(2017)
Burung 237 76 24 3,15 Cabang Pani(hutan rawa gambut)
Susilo
(Unpublished
data)
Satwa prioritas di TNGP adalah orangutan dan kaliawat. TNGP adalah satu dari sedikit kawasan yang menyimpan populasi orangutan
cukup besar untuk kelestarian jangka panjang (Johnson et al. 2005).
Orangutan adalah pemakan buah khususnya pada pohon besar melipui ratusan jenis (Knot 1998). Dari jenis-jenis dominan hutan dataran rendah dan hutan gambut yang merupakan pakan orangutan adalah
Aglaia, Palquium, Syzigium dan Dialium. Empat jenis pohon dominan tersebut juga merupakan pakan bagi Kaliawat. Agalia merupakan pakan yang paling dicari kaliawat di TNGP (Marshal & Leighton 2009). Meskipun kaliawat dan orangutan sama-sama menyukai buah
primata namun peneliian empiris menyimpulkan bahwa pakan dua jenis satwa ini hanya overlap 48,6% (Marshal & Leighton 2009) dan kaliawat berkecenderungan makan pada pohon-pohon berdiameter
lebih kecil sementara orangutan berkecenderungan memakan pada
pohon berdiameter besar. Selain itu populasi kaliawat terdapat lebih
inggi pada lokasi yang orangutannya berpopulasi rendah (Marshal & Leighton 2009). Dengan demikian dua jenis primata ini saling mengatur diri untuk idak bersaing terlalu ketat dalam perolehan makanan.
134
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
6.6 Kesimpulan
Di TNMB, dari data 40 plot permanen tercatat 129 jenis pohon dari 93 genus dan 39 famili. Kerapatan pohon mencapai 268 pohon per ha. Hasil perhitungan indeks keragaman hayai menunjukkan angka yang sangat inggi yaitu 4,3. Di TNGHS, dari 27 plot yang tersebar di iga lokasi yaitu Resort Cikaniki, Resort Kawah Ratu dan Resort Gunung Bedil Cibedug tercatat 56 jenis 36 genus 25 famili dengan kerapatan 262 pohon per hektare dan indeks keragaman hayai 2,981. Di TNS, dari 240 plot permanen tercatat 123 jenis 47 genus dari 27 famili. Kerapatan pohon mencapai 167 pohon per ha dengan nilai indeks keragaman hayai 4,517. Di TNGP, hasil perhitungan dari 9 plot vegetasi di dataran rendah tercatat 28 jenis 26 genus dari 19 famili. Kerapatan pohon mencapai 262 pohon per ha dengan nilai indeks keragaman hayai 3,169.
Masing-masing taman nasional memiliki satwa prioritas yang
berhubungan dengan vegetasi/lora sebagai habitat. Upaya perlindungan lora yang arinya adalah mempertahankan atau menjaga stok karbon juga berhubungan erat dengan upaya menjaga kelestarian
biodiversitas.
Datar PustakaAncrenaz M, R Calaque, I Lackman-Ancrenaz. 2004. Orangutan Nesing
Behavior in Disturbed Forest of Sabah, Malaysia: Implicaions for Nest Census Internaional. Journal of Primatology 25 (5).
Blackham G. 2005. Pilot survey of nocturnal primates, Tarsius bancanus borneanus (western tarsier) and Nycicebus coucang menagensis (slow loris) in peat swamp forest, Central Kalimantan, Indonesia [dissertaion]. Oxford, UK: Oxford Brookes University. 59 p. 454.
Brodie JF, Helmy OE, Brockelman WY, Maron JL. 2009. Bushmeat
poaching reduces the seed dispersal and populaion growth rate of a mammal-dispersed tree Ecological Applicaions, 19(4), 2009, pp. 854–863.
Bunker DE, DeClerck F, Bradford JC, Colwell RK, Perfecto I, Phillips OL, Sankaran M, Naeem S. 2005 Spesies loss and aboveground carbon
storage in a tropical forest. Science 310 (5750): 1029–1031.
135
VI. INDIKATO
R BIODIVERSITAS DI TAM
AN N
ASION
AL
Cahyana AN, JB Hernowo, dan Prasetyo LB. 2015. Pemodelan spasial kesesuaian habitat elang jawa (Nisaetus bartelsi Stresemann, 1924) di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Media Konservasi 20
(3): 211–219.
Cavanaugh KC, JS Gosnell, SL Davis, J Ahumada, P Boundja, DB Clark, B Mugerwa, PA Jansen, TG O’Brien, F Rovero, D Sheil, R Vasquez, and S Andelman. 2014. Carbon storage in tropical forests correlates with taxonomic diversity and funcional dominance on a global scale. Global Ecology and Biogeography 23:563–573.
Cheyne SM, dan E Shinta. 2006. Important tree spesies for gibbons in the Sebangau peat swamp forest. CIMTROP. Report to the Indonesian Department of Forestry (PHKA), Jakarta and Palangkaraya.
Davis AG dan Payne JB. 1981. A Faunal Survey of Sabah. WWF Malaysia, Kuala Lumpur.
Diaz S, Hector A, dan Wardle DA. 2009. Biodiversity in forest carbon
sequestraion iniiaives: not just a side beneit. Current Opinion
in environmental Sustainability 1: 55–60.
Faimah S. 2001. Keanekaragaman Burung di Sekitar Hutan Pantai Sukamade Taman Nasional Meru Beiri. [Skripsi] Program Pendidikan Biologi, Jurusan Pendidikan Matemaika dan llmu Pengetahuan Alam, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember.
Gibson A. 2005. Orangutan nesing preferences in a disturbed tropical deep-peat swamp forest, Central Kalimantan, Indonesia. [Tesis]. Department of Conservaion Management, Otley College, Otley, UK.
Hamard M. 2008. Vegetaion Correlates Of Gibbon Density In The Sebangau Naional Park, Central Kalimantan, Indonesia. Dessertaion. Oxford Brookes University September 2008
Hidayat R, S Rifanjani, Wahdina. 2017. Studi Keanekaragaman Jenis Burung Diurnal di Hutan Sebadal Taman Nasional Gunung Palung Kabupaten Kayong Utara. Jurnal Hutan Lestari 5 (3): 696–703.
Johnson AE, CD Knot, B Pamungkas, M Pasaribu, AJ Marshall. 2005. A survey of the orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii) populaion in and around Gunung Palung Naional Park, West Kalimantan, Indonesia based on nest counts. Biological Conservaion 121:495–507.
136
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Knot CD. 1998. Changes in Orangutan Caloric Intake, Energy Balance, and Ketones in Response to Fluctuaing Fruit Availability. Internaional Journal of Primatology 19: 1061–1079.
Lolita R. 2017. Tingkat Keragaman Collembola sebagai Bioindikator di Ekosistem Referensi dan Zona Rehabilitasi Taman Nasional Meru Beiri dan Pemanfaatannya sebagai Buku Panduan Lapang. Program Studi Pendidikan Biologi, Jurusan Pendidikan Matemaika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Jember.
Lyons AL. 2003. The importance of non-imber forest products to livelihoods and conservaion in the Sebangau catchment, Central Kalimantan, Indonesia. BSc thesis, University of East Anglia, Norwich, UK.
Maisels F, Keming E, Kemei M, Toh C. 2001. The exirpaion of large mammals and implicaions for montane forest conservaion: the case of the Kilum-ljim Forest, North-west Province, Cameroon
Oryx Vol 35 No 4.
Marshall AJ, Cannon CH, Leighton M. 2009. Compeiion and Niche Overlap Between Gibbons (Hylobates albibarbis) and Other
Frugivorous Vertebrates in Gunung Palung Naional Park, West Kalimantan, Indonesia. In: Whitaker D., Lappan S. (eds) The Gibbons. Developments in Primatology: Progress and Prospects. Springer, New York, NY.
Morrogh-Bernard H, ME Harrison, dan E Shinta. 2006. Important Tree Spesies for Orang-utans in the Sebangau Peat Swamp Forest. CIMTROP. Report to the Indonesian Department of Forestry (PHKA), Jakarta and Palangkaraya.
Mutaqien HZ, L Hakim, dan AS Leksono. 2015. Analysis of bird diversity for supporing ecotourism development in Rajegwesi Meru Beiri Naional Park. Journal of Indonesia Tourism and Development
Studies. 3(3): 105–110.
Payne J. 1987. Surveying orangutan populaions by couning nests from a helicopter: a pilot survey in Sabah. Primate Conservaion, 8: 92–103.
Posa MRC. 2011. Peat swamp forest avifauna of Central Kalimantan, Indonesia: Efects of habitat loss and degradaion. Biological Conservaion 144: 2548–2556.
137
VI. INDIKATO
R BIODIVERSITAS DI TAM
AN N
ASION
AL
Purnama PE, NW Nasii, ME Agusin, dan M Afandi. 2011. Diversitas Gastropoda Di Sungai Sukamade, Taman Nasional Meru Beiri, Jawa Timur. Berk. Penel. Hayai 16:143–147.
Rao M, dan van Schaik CP. 1997. The behavioural ecology of Sumatran orangutans in logged and unlogged forest. Tropical Biodiversity
4(2): 173–185.
Siling P. 2002. Ecology: theories and applicaions. Upper Saddle River, NJ: Prenice Hall.
Struebig MJ, ME Harrison, SM Cheyne, dan SH Limin. 2007. Intensive huning of large lying foxes Pteropus vampyrus natunae in Central
Kalimantan, Indonesian Borneo. Oryx 41(3): 390–393.
van Schaik CP, dan Azwar. 1991. Orangutan densiies in diferent forest types in the Gunung Leuser Naional Park, Sumatra, as determined by nest counts. Report to the PHVA, LIPI and L.S.B. Leakey Foundaion, Durham, N.C.
Wright S, A Hernandez, R Condit. 2007. The Bushmeat Harvest Alters
Seedling Banks by Favoring Lianas, Large Seeds, and Seeds
Dispersed by Bats, Birds, and Wind. Biotropica 39(3): 363–371.
VII. INDIKATOR JASA AIR DAN KEINDAHAN ALAM DI TAMAN NASIONAL
Mirna Aulia Pribadi
7.1 Pendahuluan
Secara umum fungsi hutan adalah menjaga kesuburan tanah,
penyerap karbon dan penghasil oksigen, memiliki keanekaragaman
hayai (biodiversity) yang inggi, pengatur tata air, dan tempat rekreasi. Sebagaimana telah dicantumkan dalam PP No. 6 Tahun 2007
tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan
serta Pemanfaatan Hutan bahwa pemanfaatan hutan adalah kegiatan
untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan,
memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil
hutan kayu dan bukan kayu secara opimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya.
Pemanfaatan hutan tersebut di atas dapat dilakukan pada seluruh
kawasan hutan, yaitu pada kawasan hutan konservasi, kecuali pada
cagar alam, zona rimba, dan zona ini dalam taman nasional, kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi (PP No. 6 Tahun 2007, Pasal 18). Hal ini menunjukkan bahwa pada hutan konservasi dapat
dilakukan pemanfaatan hutan, di mana pemberian izin pemanfaatan
hutannya harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
PP No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA), Pasal 19 menyebutkan bahwa zonasi pengelolaan pada kawasan taman nasional terdiri atas zona
ini, zona rimba, zona pemanfaatan, dan/atau zona lain sesuai dengan keperluan. Pada dasarnya taman nasional dapat dimanfaatkan untuk
kegiatan: (1) peneliian dan pengembangan ilmu pengetahuan; (2) pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam; (3) penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air, panas, dan angin serta wisata alam; (4) pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar; (5) pemanfaatan sumber plasma nufah untuk penunjang budidaya; dan (6) pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat.
140
STR
AT
EG
I PE
MA
NFA
ATA
N JA
SA LIN
GK
UN
GA
N B
ER
BA
SIS KA
RB
ON
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
Jadi pemanfaatan taman nasional dapat dilakukan melalui kegiatan
penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air, panas, dan angin serta wisata alam. Kegiatan pemanfaatan
air, jasa energi air, panas dan angin serta wisata alam merupakan
kegiatan yang termasuk dalam pemanfaatan jasa lingkungan.
Deinisi dari pemanfaatan jasa lingkungan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan idak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utama hutannya.
Jadi pola pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan konservasi atau
taman nasional seperinya sama dengan pola pemanfaatan jasa lingkungan di hutan lindung sebagaimana dijelaskan dalam PP No.
6 Tahun 2007, Pasal 25. Kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan dilakukan melalui kegiatan usaha: (1) pemanfaatan jasa aliran air; (2) pemanfaatan air; (3) wisata alam; (4) perlindungan keanekaragaman hayai; (5) penyelamatan dan perlindungan lingkungan; dan (6) penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.
Dalam hal ini pemanfaatan jasa aliran air dan keindahan (wisata) alam menjadi pening karena kedua pola pemanfaatan tersebut sudah berjalan dan berlangsung baik di hutan lindung dan hutan produksi,
namun masih terbatas pelaksanaannya di hutan konservasi. Oleh
karena itu, pemanfaatan jasa aliran air dan keindahan alam di taman
nasional akan dikaji lebih dalam berkaitan dengan bagaimana sistem
valuasi jasa air dan keindahan alam, sistem perizinan yang melipui persyaratan perizinan, lama waktu pengurusan perizinan dan biaya
yang dibutuhkan sehingga pengusaha/investor yang tertarik untuk terjun dalam kedua bidang usaha tersebut memperoleh kepasian hukum dan informasi yang benar dan akurat.
Tujuan penulisan “Indikator Jasa Air dan Keindahan Alam di Taman
Nasional” ini untuk (1) mengideniikasi jasa air dan keindahan alam di taman nasional, (2) mengkaji metode valuasi jasa air dan keindahan alam yang relevan untuk diterapkan di taman nasional, dan (3) melakukan uji coba penghitungan valuasi jasa air dan keindahan alam
di taman nasional.
141
VII. IN
DIK
ATO
R JA
SA A
IR D
AN
KE
IND
AH
AN
ALA
M
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
7.2 Jasa Air dan Keindahan Alam di Taman Nasional
7.2.1 Jasa Air di Taman Nasional
Sampai saat ini, pandangan sebagian besar orang awam tentang jasa
hutan masih sebatas pada penghasil produk kayu dan hasil hutan
bukan kayu (HHBK) yang bernilai ekonomi. Anggapan ini sesungguhnya sangat beralasan karena produk olahan hasil hutan kayu Indonesia
telah menjadi salah satu komoditas utama penghasil devisa negara.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK), Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tahun 2012–2016 dari sektor kayu dan non kayu bernilai Rp. 1,4 triliun. Ekspor produk kayu nasional bahkan mengalami kenaikan selama enam tahun, di mana
nilai ekspor produk kayu tahun 2012 mencapai US$ 10,02 miliar dan
nilai ekspor produk kayu tahun 2016 mengalami penurunan menjadi
sebesar US$ 9,87 miliar. Namun, kemudian nilai ekspor produk kayu tahun 2017 kembali meningkat hingga mencapai US$ 10,94 miliar (Purningsih 2018).
Namun sejainya, potensi yang tersimpan di taman nasional jauh melebihi dari hanya sebatas penghasil kayu dan HHBK. Masih terdapat
potensi jasa lingkungan yang dihasilkan dari proses ekologis dari
ekosistem hutan yang belum dimanfaatkan dan bernilai inggi, salah satunya adalah jasa air. Potensi ekonomi jasa air ini idak kalah besar nilainya jika dibandingkan dengan produk kayu dan bukan kayu. Untuk
pemanfaatan jasa lingkungan hutan khususnya jasa air di kawasan
konservasi, pemerintah telah membuka peluang dengan menerbitkan
PP No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) sebagai payung hukum. Dengan adanya PP tersebut, kawasan konservasi dibuka peluangnya untuk
dilakukan pemanfaatan jasa lingkungan dengan memperhaikan daya dukungnya. Dalam arian besarnya pemanfaatan jasa lingkungan di taman nasional dapat diupayakan dengan terlebih dahulu mengetahui
potensinya. Selama ini taman nasional dianggap sebagai beban dan
pusat pengeluaran dana (cost center) karena biaya operasional yang
besar dan sebaliknya pendapatan dari kegiatan wisata terbatas dan
relaif kecil. Apalagi, peraturan terkait pengelolaan taman nasional idak memperbolehkan ekstraksi hasil kayu maupun bukan kayu,
142
STR
AT
EG
I PE
MA
NFA
ATA
N JA
SA LIN
GK
UN
GA
N B
ER
BA
SIS KA
RB
ON
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
namun dengan adanya PP No. 28 Tahun 2011 telah membuka peluang
pemanfaatan sumber daya khususnya hasil pemanfaatan jasa air di
taman nasional.
Air merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat pening bagi kehidupan seluruh makhluk hidup, termasuk manusia. Air
merupakan kebutuhan pokok dan esensial bagi seluruh makhluk
hidup karena peranannya dalam berbagai proses kehidupan sehingga
ketersediaannya sangat dibutuhkan dan harus bersifat koninyu. Mengingat peningnya peranan air sehingga mendasari deklarasi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang menyatakan bahwa air merupakan hak asasi manusia dengan makna bahwa seiap manusia di muka bumi ini mempunyai hak dasar yang sama terhadap pemakaian
air. Berdasarkan siklus hidrologi, tumbuhan memainkan peranan
pening terutama pada proses transpirasi. Dengan demikian, hutan yang strukturnya didominasi oleh hamparan pohon dalam suatu
kesatuan yang kompak memiliki kontribusi besar dan pening dalam peningkatan besarnya penguapan air kembali ke atmosfer.
Air di taman nasional selama ini digunakan untuk kebutuhan domesik di dalam kawasan taman nasional, antara lain untuk kebutuhan minum
satwa dan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar taman
nasional, seperi air minum, Mandi, Cuci dan Kakus (MCK), pertanian, peternakan, dan lain-lain. Di beberapa taman nasional, misalnya di
TN Gunung Palung, air dari dalam taman nasional telah dieksploitasi
sebagai sumber air Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan sebagai sumber air untuk perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK). Namun, hingga kini kegiatan eksploitasi sumber daya air tersebut
belum dikenakan tarif PNBP. Menurut informasi, pengambilan air oleh
PDAM idak dikenakan tarif karena peruntukannya adalah kebutuhan dasar (air minum dan MCK) masyarakat dan lagi perusahaan air minum tersebut belum memiliki Izin Usaha Pemanfaatan Air (IUPA). Saat ini IUPA dari PDAM sedang dalam pengajuan sehingga masih belum
dapat dijadikan dasar untuk penarikan tarif PNBP nya. Pada prakik pemanfaatan air di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, sumber
daya air telah dilakukan oleh salah satu perusahaan air kemasan
terkemuka di Indonesia, namun seperi halnya yang terjadi di Taman Nasional Gunung Palung, di TN Gunung Halimun Salak juga belum
menerima insenif dari pemanfaatan jasa air tersebut. Padahal taman nasional berharap insenif tersebut akan digunakan sebagai sumber
143
VII. IN
DIK
ATO
R JA
SA A
IR D
AN
KE
IND
AH
AN
ALA
M
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
pendanaan untuk pemeliharaan ekosistem taman nasional sehingga
fungsinya sebagai penghasil jasa air tetap lestari. Kontribusi untuk
pengelolaan ekosistem hutan sebenarnya dapat diperoleh dalam
bentuk hibah, bantuan, maupun dana Corporate Social Responsibility
(CSR) sesuai kesadaran dari pihak pemanfaat jasa air. Hal tersebut menggambarkan bahwa masih kecilnya kepedulian dan kesadaran
para pihak untuk menghargai suatu ekosistem hutan sebagai penghasil
dan perlindungan jasa air. Seharusnya masyarakat pemanfaatan jasa
air menyadari bahwa jika kondisi hutan rusak, maka jumlah air yang
dihasilkan akan berkurang bahkan dapat habis sama sekali.
7.2.2 Jasa Keindahan Alam
Keindahan secara umum mencerminkan sifat dan ciri sari suatu objek.
Keindahan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diarikan sebagai sifat-sifat (keadaan dan sebagainya) yang indah; keelokan. Dalam teori umum tentang nilai, keindahan dianggap sebagai
salah satu jenis nilai seperi halnya nilai moral, nilai ekonomi, nilai pendidikan, dan sebagainya. Nilai keindahan (beauty) menurut The
Liang Gie (1976) adalah kebenaran yang sekaligus merupakan kebaikan, maksudnya sesuatu yang indah adalah merupakan kebenaran bagi
yang dapat menikmai sehingga ingin terus menerus menikmainya. Jika dilihat dari pengeriannya, keindahan merupakan hal yang bersifat kualitaif sehingga unsur-unsur subjekivitas yang melekat kepada nilai keindahan itu sendiri menjadi relaif besar. Masing-masing orang memiliki persepsi sendiri tentang sesuatu yang dianggap indah,
sesuai dengan pengalaman, nilai-nilai yang dianut dan moivasi saat menginterpretasikan suatu objek.
Hutan Indonesia merupakan salah satu hutan tropis dengan luasan
terbesar di dunia dengan ingkat keanekaragaman hayainya yang inggi sehingga menyimpan keunikan tersendiri. Masing-masing ipe hutan yang ada di Indonesia memiliki kekhasan ekosistem dengan tumbuhan
dan satwa yang ada di dalamnya dan bentang alam yang menyimpan
potensi keindahan. Menurut peruntukannya, hutan di Indonesia terdiri
atas berbagai status, salah satunya adalah taman nasional. UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayai dan Ekosistemnya mendeinisikan taman nasional sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang
dimanfaatkan untuk tujuan peneliian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
144
STR
AT
EG
I PE
MA
NFA
ATA
N JA
SA LIN
GK
UN
GA
N B
ER
BA
SIS KA
RB
ON
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Dari deinisi tersebut menekankan bahwa pemanfaatan keindahan taman nasional sangat
dimungkinkan untuk kebutuhan rekreasi atau wisata alam. Lebih
lanjut pada pasal 31 Undang-Undang tersebut menyebutkan bahwa di dalam taman nasional dapat dilakukan kegiatan wisata alam terbatas
dalam ari lokasi kegiatan dan besar kegiatannya dilakukan hanya di zona pemanfaatan.
Selama ini, pemanfaatan keindahan alam taman nasional sebagai
daya tarik wisata alam belum memberikan hasil yang opimum. Pengelolaan daya tarik wisata alam tersebut juga dinilai masih belum
maksimal dan belum menemukan arah pengembangannya yang tepat.
Manajemen wisata alam terbatas di taman nasional dilakukan tanpa
memperhaikan dan memperimbangkan interpretasi keindahan ekosistem khususnya oleh pengunjung. Hal ini disebabkan oleh iga faktor, yaitu (i) belum tepat sasarannya strategi pengelolaan taman nasional, (ii) pengelolaan objek dan daya tarik wisata yang masih bersifat umum dan belum spesiik, serta (iii) aspek keindahan yang menjadi objek utama kegiatan wisata alam dianggap sesuatu hal yang
biasa saja tanpa lebih memperhaikan detail pengembangannya. Keiga faktor tersebut berdampak pada belum eisiennya penggunaan dana yang tersedia untuk pengembangan wisata alam. Persoalan
belum eisiennya penggunaan dana yang terbatas dapat disebabkan karena belum fokusnya pengembangan wisata alam pada suatu objek
dan daya tarik wisata yang diminai. Jika pengelola wisata alam telah mengetahui tentang penilaian keindahan alam dari stakeholder,
khususnya pengunjung, maka dana pengelolaan bisa difokuskan
untuk pengembangan wisata pada objek-objek wisata alam yang
dinilai indah dan cenderung diminai oleh banyak pengunjung. Belum terpetakannya minat dan interpretasi mengenai keindahan alam di
taman nasional itu sendiri menjadi alasan utama tentang perlunya
dilakukan penilaian atau penghitungan indeks keindahan sehingga
dapat diketahui besarnya nilai suatu keindahan dibandingkan dengan
objek lain. Hasil penghitungan indeks tersebut dapat digunakan untuk
melakukan perencanaan dan pemilihan strategi pengelolaan wisata
alam. Selain itu, keberadaan informasi tentang indeks keindahan objek
dan daya tarik wisata telah menjadikan jasa keindahan alam di taman
nasional idak lagi dianggap hal yang kecil dan idak pening. Untuk itu, penulis berupaya melakukan penilaian keindahan alam pada empat
145
VII. IN
DIK
ATO
R JA
SA A
IR D
AN
KE
IND
AH
AN
ALA
M
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
taman nasional contoh, yaitu Taman Nasional Meru Beiri, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Taman Nasional Gunung Palung, dan
Taman Nasional Sebangau.
7.3 Metode Valuasi Jasa Lingkungan Air dan Keindahan Alam di Taman Nasional
7.3.1 Metode Valuasi Jasa Lingkungan Air
Untuk menggambarkan betapa peningnya ekosistem hutan, dalam hal taman nasional sebagai penghasil jasa lingkungan air, pada tulisan
ini akan dibahas mengenai potensi produksi jasa air di keempat
taman nasional contoh. Untuk mengetahui potensi jasa air di
taman nasional tersebut, penulis berupaya melakukan pendekatan-
pendekatan sederhana dalam memprediksi potensi jasa air di wilayah
taman nasional sehingga diketahui berapa besar air yang akan dapat
dimanfaatkan dari upaya perlindungan hutan dan sekaligus dapat
diperkirakan berapa besar hutan seharusnya mendapatkan “hak
insenifnya” untuk mendukung kegiatan pengelolaan berkelanjutan.
Secara teknis, jasa air di taman nasional yang dapat dimanfaatkan
bersumber dari mata air, sungai, danau, dengan persyaratan: sumber
airnya memenuhi persyaratan higienis; air tersedia sepanjang tahun; debit air mencukupi; dan kualitas air terjamin. Lokasi pengambilan air yang diperbolehkan adalah di zona pemanfaatan, namun pengambilan
air idak dapat dilakukan langsung apabila sumber air terletak pada zona ini dan zona rimba. Berdasarkan karakterisik ekosistem, jenis sumber air dan pemanfaatan jasa air di empat taman nasional contoh
masih memerlukan upaya integrasi jasa air ke dalam jasa lingkungan
berbasis karbon (dibahas pada bab lain dari buku ini). Dalam upaya mendukung integrasi tersebut, potensi jasa air berdasarkan ipe ekosistemnya dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu (i) potensi jasa air di ekosistem hutan hujan dataran rendah dan (ii) potensi jasa air di ekosistem gambut. Potensi jasa air di hutan hujan dataran rendah
dihitung berdasarkan debit air di Taman Nasional Meru Beiri, Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Taman Nasional Gunung Palung.
Sementara potensi jasa air di ekosistem gambut dihitung berdasarkan
hasil pengukuran keinggian muka air gambut di TN Sebangau dan TN Gunung Palung.
146
STR
AT
EG
I PE
MA
NFA
ATA
N JA
SA LIN
GK
UN
GA
N B
ER
BA
SIS KA
RB
ON
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
Potensi air di ekosistem hutan hujan dataran rendah pada taman
nasional contoh yang diprediksi adalah air yang bersumber dari air
permukaan yaitu sungai, di mana besarnya potensi dinyatakan dengan
debit air sungai. Data utama yang digunakan adalah hasil pengukuran
debit air sungai di lapangan. Berdasarkan ketersediaan data, pendekatan
yang digunakan untuk menghitung potensi jasa lingkungan air di
ekosistem hutan hujan dataran rendah adalah pendekatan watershed
delineaion atau membuat batas-batas DAS kecil (cakupan DAS). Pendekatan watershed delineaion digunakan agar dapat diperoleh
hasil debit total air sungai pada daerah kesatuan hulu sampai ke hilir
sesuai lokasi-lokasi (iik koordinat) pengukuran debit air sungai. DAS-DAS kecil yang terbentuk melingkupi dan mengelompokkan iik-iik pengukuran debit air sungai dari hasil kegiatan inventarisasi sumber
daya air oleh petugas dari masing-masing balai taman nasional.
Watershed delineaion menggunakan kriteria atau batasan sesuai
dengan tujuan analisis dan ketersediaan data. Pada taman nasional
contoh, proses watershed delineaion menggunakan batasan topograi dengan input data berupa data Digital Elevaion Model (DEM) dan Soil
and Water Assessment Tool (SWAT) sebagai alat analisisnya. DEM merupakan bentuk penyajian keinggian permukaan bumi secara digital. DEM adalah teknik penyimpanan data tentang topograi suatu dataran (terrain). Suatu DEM merupakan penyajian koordinat
(X, Y, H) dari iik-iik secara digital, yang mewakili bentuk topograi suatu terrain (Dipokusumo et al. 1983) dan digunakan untuk analisis topograi daerah tersebut (Aronof 1991). Dalam aplikasinya, DEM digunakan dalam berbagai analisis termasuk pemetaan hidrograi.
Pada analisis ini, watershed delineaion dilakukan pada alat analisis
SWAT. Metode SWAT merupakan model terdistribusi yang terhubung dengan Geographic Informaion Sistem (GIS) dan terintegrasi dengan Spaial DSS (Decision Support System) (Junaidi & Tarigan 2012). SWAT adalah model DAS kecil dengan skala sungai untuk simulasi kualitas
dan kuanitas air permukaan dan air tanah, serta memprediksi dampak lingkungan dari penggunaan lahan, prakik pengelolaan lahan dan perubahan iklim. Metode SWAT banyak digunakan dalam pencegahan dan pengendalian erosi tanah, pengendalian pencemaran sumber non-
iik dan pengelolaan regional di DAS. Dalam analisis penilaian potensi jasa air di taman nasional ini, pendekatan SWAT hanya dilakukan sampai pada tahap mendelineasi DAS-DAS kecil berbasis sungai
147
VII. IN
DIK
ATO
R JA
SA A
IR D
AN
KE
IND
AH
AN
ALA
M
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
(watershed delineaion) yang mencakup iik-iik pengukuran debit air sungai. Memperimbangkan prinsip pemodelan pada SWAT dan ketersediaan data yang diperoleh di lapangan, maka metode prediksi
potensi jasa air dilakukan dengan SWAT untuk mendelineasi cakupan DAS dan paling memungkinkan untuk diaplikasikan.
Setelah diketahui debit total per-kesatuan DAS-DAS kecil tersebut,
maka dapat dihitung rata-rata debit air sungai per hektare yang akan
digunakan untuk mengagregasi produksi air sungai untuk seluruh
luasan ekosistem hutan hujan dataran rendah. Dengan bantuan alat
pengolah data spasial berupa SWAT, diperoleh prediksi nilai debit total air sungai di taman nasional. Secara keseluruhan, ada iga tahapan pening dalam analisis data untuk potensi air. Tahap pertama yaitu membuat batas DAS kecil atau cakupan DAS (Watershed delineaion)
dengan input data berupa Data DEM SRTM 30M dan diolah dengan tool ArcSWAT pada ArcGIS dan peta sungai. Penentuan iik “Joint” dalam
proses watershed delineaion memperimbangkan lokasi pengukuran debit air sungai di lapangan sehingga stasiun pengukuran debit berada
dalam cakupan-cakupan DAS yang terbentuk. Selain itu, peta sungai
juga digunakan untuk membantu dalam menentukan iik joint pada
saat melakukan proses watersehed delineaion. Tahap kedua adalah
menghitung debit air pada seiap cakupan DAS yang terbentuk pada tahap pertama. Input data pada proses ini adalah hasil pengukuran
debit air sungai serta peta sungai. Secara umum, debit total pada
seluruh penampang aliran sungai dihitung berdasarkan persamaan
sebagai berikut (Rahman 2009):
Namun untuk menghitung Qtotal seluruh penampang juga harus
memperhaikan ordo ruas sungai. Ordo ruas sungai diketahui dengan bantuan peta sungai. Dengan peta sungai dapat diketahui posisi
suatu iik pengukuran debit aliran sungai terhadap iik lainnya dan keberadaan ordo ruas sungai yang akan menentukan rumus perhitungan
total debit aliran sungai. Lalu tahap akhir adalah menghitung debit air
148
STR
AT
EG
I PE
MA
NFA
ATA
N JA
SA LIN
GK
UN
GA
N B
ER
BA
SIS KA
RB
ON
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
sungai rata-rata seiap DAS per satuan luas areanya (m3/th/ha) yang akan digunakan untuk menduga debit air sungai dalam satu ekosistem
(m3/th).
Melalui studi literatur, terdapat peneliian lain yang menggunakan metode penghitungan total debit air sungai dengan menjumlahkan
(jumlah dan rata-rata) debit air pada masing-masing ruas sungai. Namun pada uji coba penghitungan potensi jasa air di taman nasional
ini, penghitungan potensi jasa air idak dilakukan dengan metode menjumlahkan seluruh debit air sungai karena pengukuran debit air di
taman nasional idak dilakukan di seluruh ruas sungai. Untuk mengatasi keterbatasan data tersebut, maka pendugaan potensi debit air untuk
keseluruhan luas wilayah/ekosistem dilakukan dengan pendekatan produksi air/debit air sungai per luasan (per hektare) pada cakupan DASnya melalui penyesuaian dan modiikasi pendekatan watershed
delineaion. Dengan pendekatan watershed delineaion dimungkinkan
untuk menghitung debit air per luasan area melalui pendugaan debit
air sungai per cakupan DAS nya. Pembatasan/pelingkupan iik-iik pengukuran debit air pada suatu cakupan DAS akan menunjukkan
kesatuan aliran sungai dari hulu ke hilir sehingga dapat menghindari
kemungkinan duplikasi perhitungan (double couning), terutama
untuk ruas-ruas sungai yang berada dalam cakupan DAS yang sama.
Penggunaan alat analisis SWAT juga memungkinkan pihak taman nasional memperkirakan besar potensi air permukaan yang akan
datang sehingga membantu dalam perencanaan pengelolaan air.
Namun untuk prediksi potensi air pada masa mendatang diperlukan
data pemantauan debit air di lapangan yang sifatnya ime series, serta
data penunjang lainnya berupa data curah hutan (ime series), dan
data jenis tanah. Data-data tersebut juga dapat digunakan sebagai
input prediksi debit, indeks erosi dan sedimentasi dengan bantuan
SWAT sehingga mempermudah perencanaan pengelolaan taman nasional. Untuk itu, kegiatan monitoring dan inventarisasi sumber
daya air perlu dilakukan seiap tahun pada dua musim yaitu musim kemarau dan penghujan, serta perlu untuk melengkapi data-data
terkait perencanaan hidrologi lainnya.
149
VII. IN
DIK
ATO
R JA
SA A
IR D
AN
KE
IND
AH
AN
ALA
M
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
7.3.2 Metode Valuasi Keindahan Alam
Metode valuasi keindahan alam di taman nasional mengadaptasi
pendekatan Scenic Beauty Esimaion (SBE). Nilai keindahan alam, khususnya objek dan daya tarik wisata alam di empat taman nasional
contoh diketahui dengan menghitung indeks SBE-nya. Metode SBE
merupakan metode penilaian terhadap suatu keindahan lanskap
atau iik lanskap sehingga mendapatkan suatu nilai (kuanitaif) dari objek yang sifatnya kualitaif. Metode SBE merupakan suatu alternaif metode untuk mengkuaniikasi objek kualitaif yang sifatnya subjekif menjadi nilai-nilai kuanitaif. Indeks SBE pada aplikasinya seringkali digunakan untuk menentukan preferensi suatu lanskap terhadap
lanskap lainnya, ataupun pilihan perencanaan dan pengelolaan
suatu lanskap dengan bantuan teknik rekayasa fotograi. Beberapa peneliian yang mengaplikasikan perhitungan SBE untuk kuaniikasi nilai keindahan dan preferensi visual lanskap telah dilakukan antara
lain: evaluasi keindahan ruang terbuka hijau (Zahra et al. 2014), analisis preferensi visual lanskap untuk pengembangan pariwisata pesisir
(Khakhim 2008) dan evaluasi kualitas ecological aestheics lanskap di
suatu wilayah (Parwai 2007). Metode SBE ini dipilih untuk digunakan sebagai metode penilaian keindahan alam di taman nasional karena
kebutuhan data yang sederhana, teknik pengolahan data yang juga
sederhana, dan memberikan hasil penilaian yang cepat.
Pada prinsipnya, penilaian keindahan alam dengan pendekatan SBE
ini dimaksudkan untuk mendapatkan nilai atau indeks kuanitaif dari objek yang bersifat kualitaif. Dengan diperoleh suatu nilai atau indeks, akan lebih mudah dilakukan pembandingan maupun kategorisasi
untuk kebutuhan manajemen maupun pemilihan alternaif-alternaif strategi pengelolaan. Secara keseluruhan, terdapat dua tahapan
dalam melakukan analisis SBE. Tahap pertama adalah menganalisis
kualitas visual dari sebuah area dengan memperlihatkan sampel acak
dari pemandangan lanskap area tersebut pada suatu grup penilai yang
disebut responden ahli. Tahap kedua adalah mengetahui respons
responden dengan mengakumulasi reaksi individual untuk mengetahui
penilaian secara umum terhadap suatu potret pemandangan.
Teknik penghitungan SBE relaif sangat mudah dan sederhana. Data yang digunakan dalam penghitungan indeks SBE ini adalah
raing responden terhadap foto Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam
150
STR
AT
EG
I PE
MA
NFA
ATA
N JA
SA LIN
GK
UN
GA
N B
ER
BA
SIS KA
RB
ON
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
(ODTWA). Foto ODTWA yang dipilih merupakan foto objek wisata alam di masing-masing taman nasional yang menjadi maskot, dinilai
memiliki keunikan, kekhasan yang menjadi daya tarik wisata serta
menjadi desinasi pengunjung. Alat yang digunakan melipui kuesioner penilaian keindahan alam serta alat pengolah data berupa sotware
Microsot Excel. Dalam ujicoba, kuesioner penilaian keindahan diisi oleh 30 (iga puluh) orang responden. Responden yang dipilih merupakan responden ahli yaitu orang-orang dengan pengalaman dan berlatar
belakang pendidikan di bidang Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata, Manajemen Hutan, Arsitektur Lanskap dan Perencanaan
Wilayah. Setelah diperoleh data raing responden terhadap visual ODTWA, data diolah pada sotware Microsot Excel dengan persamaan sebagai berikut:
SBEx = (Zx–Zo) x 100
Di mana:
SBEx = nilai penduga nilai keindahan pemandangan lanskap ke-x
Zx = nilai rata-rata z untuk lanskap ke-x
Zo = nilai rata-rata suatu lanskap tertentu sebagai standar
Untuk menghitung SBE, seiap ranking dilakukan penghitungan jumlah frekuensi kumulaif, peluang kumulaif, dan nilai z (Daniel dan Booster, 1976). Pengelompokan didasarkan oleh sebaran normal dengan uji sebaran normal menggunakan sotware Microsot Excel. Frekuensi (f) merupakan perhitungan jumlah responden yang menilai untuk masing-masing raing berdasarkan satu lansekap foto. Peluang kumulaif (cp) adalah frekuensi kumulaif dibagi jumlah responden. Nilai z diperoleh dengan program Microsot Excel menggunakan rumus Normsinv dikali peluang kumulaif (Normsinv x cp). Untuk nilai cp = 1,00 digunakan rumus cp = 1-1/(2n) dan untuk nilai cp = 0 (z = ± tak terhingga) menggunakan rumus cp = 1/(2n). Nilai rata- rata z yang diperoleh merupakan standar penilaian untuk menduga esteika pemandangan (Harimbawa et al. 2015). Proses-proses penghitungan indeks SBE tersebut dilakukan untuk seiap foto ODTWA yang dinilai keindahannya. Selanjutnya, dilakukan perhitungan rata-rata indeks
SBE seluruh foto ODTWA. Rata-rata indeks SBE tersebut yang kemudian mewakili indeks SBE pada taman nasional contoh.
151
VII. IN
DIK
ATO
R JA
SA A
IR D
AN
KE
IND
AH
AN
ALA
M
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
7.4 Uji Coba Valuasi Jasa Lingkungan Air dan Keindahan Alam di Taman Nasional
7.4.1 Uji Coba Valuasi Jasa Lingkungan Air
Dengan pendekatan SWAT yang digunakan, diperoleh hasil watershed
delineaion yang melingkupi iik pengukuran air di lapangan yang ditampilkan pada Gambar 7.1, 7.2, dan 7.3. Hasil penghitungan potensi debit air sungai yang dapat dilihat pada Tabel 7.1.
Gambar 7.1 Watershed delineaion di TNMB
Gambar 7.2 Watershed delineaion di TNGHS
152
STR
AT
EG
I PE
MA
NFA
ATA
N JA
SA LIN
GK
UN
GA
N B
ER
BA
SIS KA
RB
ON
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
Gambar 7.3 Watershed delineaion di TNGP
Tabel 7.1 Potensi debit air sungai di ekosistem hutan hujan dataran
rendah pada taman nasional contoh
Taman NasionalLuas
(ha)
Potensi debit rata-
rata
(m3/th/ha)
Potensi debit air
sungai
(m3/th)
Meru Beiri 52.001 16.851,2 876.456.959,6Gunung Halimun Salak 43.446 28.204,8 1.225.387.220Gunung Palung 59.903,8 2.408,1 144.25.371,5
Hasil perhitungan debit total untuk ekosistem hutan hujan dataran
rendah (Tabel 7.1) menunjukkan bahwa potensi debit air teringgi adalah di Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan terendah
berada di Taman Nasional Gunung Palung. Besarnya debit air sungai
dipengaruhi oleh banyak faktor di antaranya (i) besarnya curah hujan dan penutupan lahan (Muchtar & Abdullah 2008), (ii) intersepsi yang juga dipengaruhi oleh vegetasi (penyerapan air oleh akar tanaman sehingga air hujan diserap menjadi air tanah, idak menjadi air permukaan/run of), (iii) evaporasi dan transpirasi (intensitas cahaya matahari dapat memengaruhi besarnya evaporasi), dan (iv) jenis tanah (menentukan permeabilitas tanah sehingga memengaruhi penyerapan air, di mana air menerobos ke dalam tanah melalui celah
parikel tanah). Rendahnya debit air sungai total di Taman Nasional
153
VII. IN
DIK
ATO
R JA
SA A
IR D
AN
KE
IND
AH
AN
ALA
M
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
Gunung Palung diperkirakan dipengaruhi oleh rendahnya curah hujan
karena data curah hujan di Provinsi Kalimantan Barat secara umum
termasuk rendah.
Rendahnya curah hujan di wilayah Taman Nasional Gunung Palung
ditunjukkan pada Gambar 7.4. Peta distribusi curah hujan Provinsi Kalimantan Barat memperlihatkan bahwa pada bulan Agustus
2016, yaitu rentang waktu dilaksanakannya monitoring potensi dan
pemanfaatan jasa air, di mana kegiatannya melipui pengukuran debit air sungai utama di kawasan TNGP (Kabupaten Kayong Utara dan Ketapang) dengan curah hujannya sangat rendah berkisar 0–100 mm.
Sumber: BMKG (2016)
Gambar 7.4 Peta distribusi curah hujan Agustus 2016 Provinsi Kalimantan Barat
Jika dibandingkan dengan prediksi potensi air sungai di Taman Nasional
Gunung Palung, potensi air di Taman Nasional Meru Beiri lebih inggi. Menurut data BPS Kabupaten Jember (2017), curah hujan di Kabupaten Jember Provinsi Jawa Timur relaif lebih inggi dibandingkan di Kabupaten Kayong Utara dan Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat.
Hasil peneliian Wahono (2016) menunjukkan bahwa secara umum, Kabupaten Jember memiliki curah hujan dengan intensitas sedang
yaitu pada kisaran 2.001–2.500 mm/tahun.
154
STR
AT
EG
I PE
MA
NFA
ATA
N JA
SA LIN
GK
UN
GA
N B
ER
BA
SIS KA
RB
ON
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
Tingginya debit air sungai di Taman Nasional Gunung Halimun Salak
diasumsikan dipengaruhi juga oleh ingginya curah hujan di Kabupaten Sukabumi, Cianjur, dan Bogor. Curah hujan bulanan Kabupaten Sukabumi pada tahun 2014 berkisar 116-753 mm sehingga curah hujan tahunannya mencapai 3.835 mm (BPS Kabupaten Sukabumi 2015), curah hujan bulanan di Kabupaten Bogor berkisar 117–462 mm (BPS Kabupaten Bogor 2017), dan curah hujan bulanan Kabupaten Cianjur berkisar 167–608 mm (BPS Kabupaten Cianjur 2017). Dari data curah hujan tersebut menunjukkan bahwa ingginya curah hujan sebanding atau berbanding lurus dengan besarnya potensi jasa air di iga taman nasional contoh.
Jika dibandingkan dengan TN Meru Beiri dan TN Gunung Palung, lokasi pengukuran debit aliran sungai di lapangan melipui lokasi yang lebih tersebar, di samping iik-iik pengukurannya juga lebih banyak. Dengan demikian diperkirakan pendugaan debit air sungai total di TN
Gunung Halimun Salak lebih baik dibandingkan di dua taman nasional
lainnya. Di TN Gunung Palung, lokasi pengukuran juga lebih banyak
dibandingkan TN Meru Beiri, namun lokasi pengukuran terfokus di wilayah barat taman nasional saja yaitu resort Sedahan dan Tanjung
Gunung, sedangkan untuk bagian imur wilayah TN Gunung Palung hanya dilakukan pengukuran pada 1 iik. Hal ini dapat mengakibatkan keidakakuratan prediksi potensi air sungai.
Selain potensi jasa air di ekosistem hutan hujan dataran rendah, dicoba
juga memprediksi besarnya potensi jasa air pada ekosistem hutan
rawa gambut yang dilakukan di Taman Nasional Sebangau dan Taman
Nasional Gunung Palung. Taman Nasional Sebangau merupakan taman
nasional yang seluruh arealnya berupa hutan rawa gambut. Sementara
Taman Nasional Gunung Palung memiliki zona yang merupakan hutan
rawa gambut muda (Lugina & Arifani 2018).
Ekosistem rawa gambut merupakan ekosistem yang unik dan khas.
Pada lahan gambut, sistem hidrologi menentukan kelestarian dan
keberlangsungan jasa lingkungannya. Neraca air yang seimbang
diperlukan untuk berlangsungnya neraca karbon yang seimbang.
Kelestarian jasa lingkungan ekosistem gambut hanya dapat dicapai
dengan neraca karbon yang seimbang sehingga diperlukan tata
air yang baik agar kelestarian ekosistem gambut dan layanan jasa
lingkungannya tetap lestari.
155
VII. IN
DIK
ATO
R JA
SA A
IR D
AN
KE
IND
AH
AN
ALA
M
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
Untuk mengetahui potensi atau nilai jasa air, terlebih dahulu harus
diketahui jenis pemanfaatan air di ekosistem rawa gambut. Aliran air
yang berasal dari hutan gambut bersifat masam dan berwarna hitam
sehingga idak sesuai dijadikan sebagai sumber air untuk kebutuhan sehari-hari. Selain itu, pemanfaatan air di ekosistem gambut juga
harus dilakukan secara hai-hai karena kelestarian ekosistem gambut sangat bergantung kepada kondisi hidrologi dan keberadaan airnya.
Untuk kepeningan kelestarian ekosistem gambut, maka eksploitasi air yang keluar dari ekosistem harus dipantau secara seksama karena nilai
jasa sumber daya airnya melekat juga kepeningan untuk pelestarian ekosistem. Oleh karena itu, pada penilaian potensi jasa air ekosistem
gambut idak dilakukan dengan pendekatan produkivitas airnya, melainkan dengan indikator keinggian muka air yang mengindikasikan kesehatan/kualitas ekosistem gambut. Pada Tabel 7.2 berikut disajikan data keinggian muka air ekosistem gambut di TN Sebangau dan TN Gunung Palung.
Tabel 7.2 Potensi jasa air ekosistem gambut
No. Taman Nasional Tinggi Muka Air (cm)
1. TN Sebangau 19,1*)2. TN Gunung Palung (idak ada data)
Sumber: *) Anshari et al. (2013)
Tinggi muka air gambut di Taman Nasional Sebangau mengindikasikan
ekosistem gambutnya masih sangat baik. Hal ini didasarkan pada
kriteria kualitas gambut di kawasan budidaya gambut sesuai PP No.57 Tahun 2016 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Ekosistem Gambut
Pasal 23 (3), di mana inggi muka air di TN Sebangau (19,1 cm) masih jauh di atas batas yang dipersyaratkan yaitu 0,4 m atau 40 cm sehingga dapat dikatakan bahwa kualitas ekosistem gambut di TN Sebangau
sangat baik. Tinggi muka air 0,4 meter seharusnya hanya dijadikan indikator sistem peringatan dini (early warning system) seperi halnya indikator hotspot dalam kasus kebakaran hutan dan lahan.
7.4.2 Uji Coba Valuasi Keindahan Alam
Uji coba penilaian keindahan alam di taman nasional dilakukan dengan
mengadaptasi pendekatan Scenic Beauty Esimaion (SBE). Nilai keindahan alam, khususnya objek dan daya tarik wisata alam di empat
156
STR
AT
EG
I PE
MA
NFA
ATA
N JA
SA LIN
GK
UN
GA
N B
ER
BA
SIS KA
RB
ON
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
taman nasional contoh diketahui dengan menghitung indeks SBE. Hasil
penghitungan indeks SBE sebagai representasi nilai keindahan alam
dapat dilihat pada Tabel 7.3.
Tabel 7.3. Hasil uji coba penghitungan indeks SBE di empat taman nasional contoh
No. Taman Nasional Tipe Ekosistem Indeks SBE
1 TN Meru Beiri hutan hujan dataran rendah 124,22 TN Gunung Halimun Salak hutan hujan dataran rendah 179,53 TN Gunung Palung hutan hujan dataran rendah 180,34 TN Gunung Palung hutan rawa gambut 112,55 TN Sebangau hutan rawa gambut 157,3
Melalui hasil perhitungan indeks SBE diketahui dugaan ingkat keindahan alam suatu objek wisata atau lanskap. Semakin inggi indeks SBE suatu objek maka nilai keindahannya dianggap semakin besar
(terindah) sehingga dari indeks SBE (Tabel 7.3) dapat disimpulkan bahwa ODTWA di ekosistem hutan hujan dataran rendah Taman Nasional Gunung Palung merupakan yang terindah, sedangkan ODTWA di ekosistem rawa gambutnya memiliki nilai keindahan yang paling
kecil. Jika dilakukan kategorisasi terhadap hasil perhitungan tersebut
dengan menggunakan pembagian 3 kategori (kurang indah, indah dan sangat indah) seperi Tabel 7.4, maka hasil katagorisasi dari indeks keindahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.5.
Tabel 7.4 Kategorisasi indeks SBE
Kategori keindahan Indeks SBE
Sangat indah 157,8–180,3Indah 135,2–157,7Kurang indah 112,5–135,1
Tabel 7.5. Kategori nilai keindahan alam menurut indeks SBE di empat taman nasional contoh
Taman Nasional Tipe EkosistemIndeks
SBE
Kriteria
keindahan
TN Meru Beiri hutan hujan dataran rendah 124,2 kurang indah
TN Gunung H. Salak hutan hujan dataran rendah 179,5 sangat indah
TN Gunung Palung hutan hujan dataran rendah 180,3 sangat indah
TN Gunung Palung hutan rawa gambut 112,5 kurang indah
TN Sebangau hutan rawa gambut 157,3 indah
157
VII. IN
DIK
ATO
R JA
SA A
IR D
AN
KE
IND
AH
AN
ALA
M
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
Kategorisasi indeks SBE seiap taman nasional contoh memperlihatkan bahwa secara keseluruhan, keindahan alam di ipe ekosistem hutan hujan dataran rendah dinilai lebih inggi dibandingkan dengan ekosistem rawa gambut. Hal ini dapat dimaklumi karena di ekosistem
hutan hujan dataran rendah, komponen penyusun bentang alam atau
lanskap hutannya lebih beragam dibandingkan di hutan rawa gambut.
Jika dilihat dari variasi ODTWA, objek wisata alam di ekosistem hutan hujan dataran rendah lebih bervariasi dibandingkan di hutan rawa
gambut. Hal ini dapat terlihat dari banyak jumlah foto ODTWA yang digunakan dalam menghitung indeks SBE. Di ekosistem hutan hujan
dataran rendah TN Meru Beiri digunakan 10 foto, di TN Gunung Halimun Salak 12 foto dan TN Gunung Palung 20 foto. Sementara di
ekosistem hutan rawa gambut TN Sebangau digunakan 7 foto dan di
hutan rawa gambut TN Gunung Palung digunakan foto sebanyak 2
foto. Semakin banyak foto ODTWA mengindikasikan semakin banyak objek dan daya tarik wisata alam yang diperkirakan memiliki nilai
keindahan yang diminai dan potensial dikembangkan dalam kegiatan usaha wisata alam.
Dari hasil uji coba penilaian keindahan alam taman nasional dengan
pendekatan SBE dapat disimpulkan bahwa kelebihan menggunakan
pendekatan SBE antara lain:
1. Mempermudah mengkuaniikasi dan menentukan ingkat keindahan alam suatu objek atau lansekap dibandingkan
dengan objek atau lansekap lainnya.
2. Sebagai alat bantu menentukan perencanaan pengelolaan
ODTWA maupun pengembangan lansekap lainnya, misalnya dalam menentukan desain dalam rehabilitasi suatu lansekap.
Untuk menentukan preferensi dalam perencanaan desain
dalam pengelolaan dan pengembangan suatu lansekap,
metode SBE dapat dikombinasikan dengan teknologi rekayasa
fotograi seperi adobe photoshop.
3. Kebutuhan data, alat dan teknik yang mudah, sederhana dan cepat dalam proses pengolahan datanya.
Selain kelebihan aplikasi metode SBE, terdapat beberapa kelemahan
yang dapat dijadikan sebagai saran perbaikan dalam penggunaan
metode ini di waktu mendatang, antara lain:
158
STR
AT
EG
I PE
MA
NFA
ATA
N JA
SA LIN
GK
UN
GA
N B
ER
BA
SIS KA
RB
ON
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
1. Relaivitas masih inggi, di mana orang yang sama dapat menilai berbeda untuk objek yang sama di waktu yang berbeda
sehingga hasil perhitungan SBE nya juga akan berubah. Untuk
mengatasi hal ini, maka dapat digunakan teknik “slide show”
dalam waktu yang dibatasi sehingga raing yang diberikan merupakan penilaian berdasarkan kesan pertama (irst impression) terhadap objek.
2. Adanya unsur subjekivitas dalam menilai keindahan objek, di mana unsur subjekivitas ini dapat dimimalisasi dengan pemilihan responden dari golongan profesional dan intelektual
yang memahami secara tepat dan benar atas konsep-konsep
fungsi dan nilai keberadaan objek yang akan dinilai (Mailani, 2004).
3. Pengalaman pribadi responden terhadap objek yang dinilai keindahan alamnya, di mana responden yang pernah
mendatangi suatu objek wisata atau lanskap yang dinilai akan
berbeda interpretasinya dibandingkan responden yang belum
pernah mendatangi langsung objek dan hanya menilainya
berdasarkan foto yang ditunjukkan. Peneliian Poerwoningsih et al. (2016) menunjukkan bahwa preferensi masyarakat terhadap karakter lanskap yang digali melalui metode
SBE dipengaruhi oleh atribut zona visibilitas (background,
midleground dan foreground) yang membentuk komposisi
visual lanskap. Nilai SBE juga dipengaruhi oleh potensi sense
of place terhadap karakter lanskap.
4. Penilaian dapat dipengaruhi oleh resolusi gambar dan teknik pengambilan foto (sudut pandang, fokus objek, interpretasi fotografer terhadap objek, dll) sehingga untuk menghasilkan
foto dengan kualitas sama untuk bahan penilaian, disarankan
untuk mengambil foto objek wisata atau lanskap dengan
alat dan fotografer yang sama. Ilhami dan Gunawan (2011) menyatakan bahwa preferensi seseorang terhadap keindahan
dipengaruhi oleh warna, pola keindahan yang terdapat dalam
suatu lanskap dan cara penyajian gambar ataupun lingkungan
sekitar lanskap.
5. Hambatan yang dijumpai secara umum di taman nasional sampel yang dinilai keindahan alamnya adalah
keidaktersediaan foto berkualitas dari masing-masing
159
VII. IN
DIK
ATO
R JA
SA A
IR D
AN
KE
IND
AH
AN
ALA
M
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
ODTWA sehingga foto untuk pengambilan data raing diperoleh dari berbagai sumber. Hambatan ini dapat menjadi
kelemahan dalam aplikasi pendekatan SBE.
7.5 Kesimpulan dan Saran
Untuk kebutuhan prediksi potensi jasa air di ekosistem hutan
hujan dataran rendah dapat mengadaptasi pendekatan watershed
delineaion pada SWAT. Sementara berdasarkan perimbangan fungsi keberadaannya pada ekosistem, potensi air di ekosistem gambut
hanya dilihat dari inggi muka air. Pada ekosistem hutan hujan dataran rendah, potensi air teringgi terdapat di TN Gunung Halimun Salak, sedangkan terendah di TN Gunung Palung. Kualitas ekosistem gambut
di TN Sebangau sangat baik diindikasikan dari inggi muka air gambut yang masih jauh di atas kriteria kualitas gambut di kawasan budidaya
sebagaimana dipersyaratkan dalam PP No. 57 Tahun 2016.
Keakuratan hasil prediksi potensi jasa air sangat dipengaruhi dari
ketersediaan data. Untuk itu, diperlukan kegiatan monitoring dan
inventarisasi sumber daya air secara koninyu seiap tahun pada dua musim, yaitu musim kemarau dan penghujan sehingga diperoleh data
yang dapat digunakan untuk esimasi secara lebih akurat. Selain itu, di taman nasional dengan ekosistem gambut juga perlu dipantau
inggi muka airnya sebagai indikator utama kesehatan ekosistem rawa gambut dan sebagai kegiatan upaya mencegah bencana kebakaran
hutan dan lahan.
Pengelola taman nasional dapat memperkirakan besar potensi
air permukaan di wilayahnya sebagai bagian dari perencanaan
pengelolaan airnya, namun pengelola taman nasional perlu melakukan
pengumpulan data pemantauan debit air di lapangan yang sifatnya
ime series dan data penunjang lainnya berupa data curah hutan (ime series) dan data jenis tanah.
Penilaian keindahan alam dengan pendekatan penghitungan SBE dapat
dijadikan sebagai alternaif bagi dasar perimbangan pengelolaan ODTWA di suatu taman nasional, maupun dalam pengambilan keputusan tentang alternaif-alternaif pengelolaan wisata alam di suatu taman nasional. Dengan memperimbangkan indeks SBE, pengelola di masing-masing taman nasional dapat mengetahui objek
160
STR
AT
EG
I PE
MA
NFA
ATA
N JA
SA LIN
GK
UN
GA
N B
ER
BA
SIS KA
RB
ON
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
wisata alam mana yang harus fokus untuk dikembangkan dan dikelola
dengan baik agar pengopimalan dan eisiensi dalam penggunaan anggaran dapat dicapai.
Penggunaan metode SBE lebih lanjut oleh para pengelola taman
nasional di Indonesia untuk penilaian ODTWA di wilayah kerjanya perlu memperhaikan 5 (lima) poin kelemahan penggunaan metode SBE dan terus berupaya mengeliminir atau mereduksi poin-poin
kelemahannya untuk dijadikan sebagai kekuatan yang sangat berguna
untuk penyempurnaan metode SBE tersebut.
Datar PustakaAnshari GZ, Pambudi E, Eliandy, Ilham, Putri TTA. 2013. Above
Gound and Peat Carbon Assesssment: The Planning of Hydrologic Restoraion Measures by Canal Blocking in the Danau Bulan Area, Sebangau Naional Park, Central Kalimantan. Center for Wetlands People and Biodiversity (CWPB), Universitas Tanjungpura, Ponianak.
Aronof S. 1991. Geographic Informaion System: A Management Perspecive,. WDL publicaions, Otawa, Canada.
Asih TM, Helmi M, Sasmito B. 2012. Pemodelam Spasial Aliran
Permukaan Menggunakan Data Satelit Terra ASTER-GDEM di
Daerah Tangkapan Hujan Waduk Rawa Pening Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Geodesi Undip, 1(1): 1-11.
BMKG, 2016. Peta distribusi curah hujan agustus 2016 provinsi
kalimantan barat. htp://iklim.kalbar.bmkg.go.id/index.php?page=BacaPubIkl&IDBerita=142. Diunduh 13 maret 2018.
BPS Kabupaten Bogor. 2017. Kabupaten Bogor dalam angka 2017.
Badan Pusat Staisik Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.
BPS Kabupaten Cianjur. 2017. Kabuapten Cianjur dalam angka 2017. Badan Pusat Staisik Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat.
BPS Kabupaten Sukabumi. 2015. Curah Hujan Harian (mm) di Kabupaten Sukabumi pada Stasiun PT Goalpara. htps://sukabumikab.bps.go.id/statictable/2015/12/11/12/curah-hujan-harian-mm-di-kabupaten-sukabumi-pada-stasiun-pt-goalpara-2014-.html. Diunduh 13 Maret 2018.
161
VII. IN
DIK
ATO
R JA
SA A
IR D
AN
KE
IND
AH
AN
ALA
M
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
CIFOR. n.d .Hidrologi lahan gambut indonesia. htp://www.cifor.org/ipn-toolbox/tema-c/. Diunduh 13 Maret 2018.
Climate Org. n.d. Iklim Bogor. htps://id.climate-data.org/locaion /3930/. Diunduh 13 Maret 2018.
Daniel and Boster. 1976. Measuring Landscapes Estheics:The Scenic Beauty Esimaion Methode. USDA Forest Service.
Harimbawa IWP, Sukewijaya IM, Utami NWF. 2015. Pengaruh Alih Fungsi Telajakan Depan Rumah Menjadi Artshop Terhadap
Kenyamanan dan Esteika Lansekap Desa Tegallalang. E-Jurnal
Arsitektur Lansekap. 1(1) April 2015:1–10. htps://ojs.unud.ac.id/index.php/lanskap/aricle/download/12619/8653+&cd=2&hl=en&ct=clnk&gl=id.
Ilhami WT, Gunawan A. 2011. Persepsi dan Preferensi Warna dalam Lanskap. Jurnal Lanskap Indonesia Vol 3 No 2: 73-79.
Junaidi E, Tarigan SD. 2012. Penggunaan Model Hidrologi SWAT (Soil and Water Assessment Tool) dalam Pengelolaan DAS Cisadane. Jurnal Peneliian Hutan dan Konservasi Alam, 9(3): 221-237.
Khakhim N. 2008. Analisis Preferensi Visual Lanskap Pesisir Daerah
Isimewa Yogyakarta Untuk Pengembangan Pariwisata Pesisir Menuju Pada Pengelolaan Wilayah Pesisir Berkelanjutan. Forum Geograi Vol 22 No 1: 44-59.
Lugina M, dan Arifani V. 2018. Analisis Stok Karbon di Taman Nasional. Laporan Kerja sama Puslitbang Sosial Ekonomi Kebijakan dan
Perubahan Iklim dan IJREDD. Tidak dipublikasikan.
Mailani A. 2004. Pengaruh Reforestasi Terhadap Kualitas Esteik Lanskap Hutan. Fakultas Pertanian. Insitut Pertanian Bogor.
Muchtar & Abdullah. 2008. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Debit Sungai Mamasa. Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):174-187.
Parwai K. 2007. Evaluasi Kualitas Ecological Aestheics Lanskap Kota.
Sekolah Pascasarjana. Insitut Pertanian Bogor.
Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
162
STR
AT
EG
I PE
MA
NFA
ATA
N JA
SA LIN
GK
UN
GA
N B
ER
BA
SIS KA
RB
ON
DI TA
MA
N N
ASIO
NA
L
Poerwoningsih D, Santoso I, Winansih E. 2016. Sense of Place
Masyarakat terhadap Karakter Lanskap Kawasan Bumiaji, Kota
Batu. Temu Ilmiah IPLBI 2016. htp://temuilmiah.iplbi.or.id/wp-content/uploads/2016/12/IPLBI2016-A-101-106-Sense-of-Place-Masyarakat-Terhadap-Karakter-Lanskap-Kawasan-Bumiaji-Kota-
Batu.pdf. Diunduh 15 April 2018.
Purningsih D. 2018. SVLK Tingkatkan Nilai Ekspor Kayu Indonesia.
http://www.greeners.co/berita/svlk-tingkatkan-nilai-ekspor-kayu-indonesia-hingga-1094-miliar-dolar/. Diakses 22 Mei 2018.
The Liang Gie. 1976. Garis Besar Esteika (Filsafat Keindahan). Yogyakarta: Karya Kencana.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayai dan Ekosistemnya.
Zahra AF, Sitawai, Suryanto A. 2014. Evaluasi Keindahan dan Kenyamanan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Alun-Alun Kota Batu. Jurna Produksi Tanaman Vol 2 No 7: 524-532. htps://media.nelii.com/media/publications/128418-ID-evaluasi-keindahan-dan-kenyamanan-ruang.pdf+&cd=6&hl=en&ct=clnk&gl=id. Diunduh 15 April 2018.
VIII. NILAI EKONOMI STOK KARBON DI TAMAN NASIONAL
Indarik
8.1 Pendahuluan
Hutan konservasi merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki fungsi pening dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungan bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Hutan konservasi dengan luas sekitar 22 juta hektare memiliki potensi keanekaragaman hayai dan jasa lingkungan lainnya yang dapat dimanfaatkan oleh pengelola untuk mendukung kelestariannya. Salah satu bentuk kawasan konservasi adalah taman nasional. Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan peneliian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
Pengelolaan taman nasional masih dianggap beban bagi keuangan negara, karena belum menghasilkan pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya (Nurfatriani 2018). Padahal taman nasional memiliki fungsi ekologi yang besar bagi kehidupan. Manfaat ekologi taman nasional yang sering disebut jasa lingkungan hutan di antaranya seperi biodiversitas lora dan fauna, air, oksigen dan keindahan alamnya. Manfaat ini seringkali idak disadari nilainya karena belum diketahui besarannya secara moneter.
Isu yang berkembang terkait jasa lingkungan hutan saat ini lebih menekankan kepada pemanfaatan jasa lingkungan hutan sebagai penyerap dan penyimpan karbon. Mekanisme pengurangan emisi karbon dari deforestasi atau Reducing Emission from Deforestaion and Forest Degradaion (REDD+) merupakan skema yang diharapkan dapat menjadi cara untuk menuju hutan lestari. Skema REDD+ memberikan peluang pendanaan bagi kawasan konservasi. Namun informasi nilai stok karbon di hutan konservasi khususnya di taman nasional masih belum tersedia sehingga dapat menjadi kendala dalam penentuan harga karbon. Harga karbon di taman nasional seringkali menggunakan harga pasar seperi dalam studi Zapfack, Noiha, &
164
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Tabue (2016), yang menggunakan harga pasar karbon sukarela untuk mengesimasi nilai ekonomi penyerapan dan penyimpanan karbon di taman nasional Lobeke Kamerun. Penghitungan nilai stok karbon berdasarkan nilai jasa lingkungan yang mengikuinya belum tersedia. Oleh karena itu, dalam tulisan ini, dilakukan penghitungan nilai ekonomi stok karbon menggunakan pendekatan nilai ekonomi total (total economic value) dari beberapa komponen jasa lingkungan, dengan pembahasan difokuskan ke 4 (empat) taman nasional yaitu TN Meru Beiri (TNMB), TN Gunung Halimun Salak (TNGHS), TN Sebangau (TNS), dan TN Gunung Palung (TNGP).
8.2 Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan di Taman Nasional
Jasa lingkungan hutan yang dibahas pada buku ini dibatasi pada jasa air, biodiversitas dan wisata alam di Taman Nasional.
8.2.1 Nilai Jasa Wisata Alam
Nilai jasa wisata alam dihitung dengan pendekatan metode biaya perjalanan (travel cost method). Komponen biaya melipui biaya transportasi, iket masuk, biaya makan, biaya penginapan, biaya pemandu wisata, biaya souvenir dan biaya lainnya. Objek wisata yang menjadi contoh: (1) TN Meru Beiri adalah Pantai Sukamade dan Teluk Hijau; (2) TN Gunung Halimun Salak adalah Gunung Bunder, Curug Nangka, Sukamantri, Kawah Ratu dan Cikaniki; (3) TN Sebangau adalah Sungai Koran Resort Sebangau Hulu, SSI Resort Mangkok, Danau Punggualas-Resort Baon Bango; dan (4) TN Gunung Palung adalah Lubuk Baji. Pemilihan lokasi wisata berdasarkan pada objek wisata yang memiliki jumlah pengunjung yang relaif banyak.
Kurva permintaan merupakan kurva maksimum marginal willingness
to pay dari konsumen. Seluruh nilai uang di bawah kurva permintaan merupakan keinginan membayar maksimum konsumen pada ingkat harga tertentu. Surplus konsumen (consumer surplus) adalah selisih yang diterima konsumen yang merupakan selisih antara keinginan membayar maksimum konsumen dengan jumlah uang yang benar-benar dibayarkan oleh konsumen (actual consumpion expenditure). Nilai surplus ini merupakan nilai manfaat wisata alam yang bersifat non marketable. Menurut Fauzi (2006), fungsi permintaan wisata alam
165
VIII. NILAI EKO
NO
MI STO
K KARBON
DI TAMAN
NASIO
NAL
biasanya dipengaruhi oleh variabel biaya perjalanan, biaya waktu, persepsi responden, karakterisik subsitusi, fasilitas rekreasi dan pendapatan responden. Namun dalam tulisan ini, fungsi permintaan dibatasi sebagai fungsi dari biaya perjalanan saja.
Nilai jasa wisata tergantung pada karakterisik responden dan objek wisata di seiap taman nasional. Untuk TN Meru Beiri, wisatawan yang berkunjung terdiri atas wisatawan domesik, mancanegara dan para penelii. Pengunjung pantai Sukamade sekitar 69% merupakan wisatawan domesik yang berasal dari kota/kabupaten dalam Provinsi Jawa Timur, seperi Lamongan, Jember, Madiun, Malang, Probolinggo, dan Surabaya atau dari kota/kabupaten diluar Provinsi Jawa Timur, seperi Jakarta, Bandung, Semarang, Denpasar dan Yogyakarta. Sementara wisatawan mancanegara rata-rata berasal dari Eropa seperi Perancis, Belanda, Swiss, Jerman, Finlandia dan Belgia. Pengunjung pantai Teluk Hijau umumnya berasal dari wisatawan domesik, terutama dari kabupaten/kota dalam Provinsi Jawa Timur (84%), seperi Banyuwangi, Jember, Bondowoso, Situbondo, Blitar, Sidoarjo, Surabaya, dan Malang. Hal ini kemungkinan karena lokasi pantai ini lebih mudah diakses dan idak perlu menginap. Berdasarkan biaya perjalanan wisatawan di kedua objek tersebut, fungsi permintaan di TN Meru Beiri seperi dalam Tabel 8.1. Berdasarkan fungsi permintaan tersebut, besarnya surplus konsumen sebesar Rp. 3.314.827/orang/tahun, dengan rata-rata jumlah kunjungan 55.389 orang, maka nilai jasa wisata alam sebesar Rp. 183,60 miliar.
Tabel 8.1 Nilai jasa wisata alam di empat taman nasional
No.Taman
NasionalFungsi Permintaan
Surplus
Konsumen
(Rp)
Rata-rata
jumlah
kunjungan
/tahun
Nilai Jasa
Wisata
Alam
(miliar
Rp/tahun)
1 Meru Beiri Yij = 1,661–3,2 x 10-7 Cij 3.314.827 55.389 183,60
2Gunung Halimun Salak
Yij = 3,432–4,226 x 10-6 Cij 980.468 119.880 117,54
3 Sebangau Yij = 2,679–1,888 x 10-7 Cij 13.406.721 370 4,96
4 Gunung Palung Yij = 3,241–4,605 x 10-6 Cij 768.553 521 0,40
166
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Jumlah pengunjung di TN Gunung Halimun Salak cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, peningkatan tajam terjadi di sekitar tahun 2009. Pengunjung terdiri atas wisatawan nusantara dan mancanegara, namun pengunjung terbanyak di ODTWA TN Gunung Halimun Salak adalah wisatawan dalam negeri. Data hasil survey ke pengunjung lima ODTWA juga menunjukkan hal yang sama, di seluruh lokasi tersebut wisatawan dalam negeri terutama yang berasal dari kota/kabupaten di dalam Jawa Barat mendominasi mencapai 65 %, bahkan di Cikaniki dan Sukamantri mencapai lebih dari 70 %. Mereka berasal dari Kabupaten/Kota Bogor, Bekasi, dan Sukabumi. Sementara yang berasal dari Kota/Kabupaten di luar Provinsi Jawa Barat seperi dari Serang, Jakarta, Tangerang dan Pandeglang mencapai 34 %. Fungsi permintaan wisata alam di TN Gunung Halimun Salak seperi dalam Tabel 8.1. Berdasarkan fungsi permintaan tersebut, dengan surplus konsumen sebesar Rp. 980.468,00 dan rata-rata jumlah kunjungan per tahun 119.880, maka nilai jasa wisata alam di TN Gunung Halimun Salak sebesar Rp.117,54 miliar.
Sebagian besar pengunjung di TN Sebangau adalah pengunjung dengan minat khusus seperi penelii maupun rombongan wisata edukasi sehingga kunjungan sangat dipengaruhi oleh ada idaknya peneliian atau kegiatan sejenis. Jumlah pengunjung TN Sebangau relaif stabil dari tahun ke tahun, terdiri atas wisatawan nusantara dan mancanegara. Data hasil survey pengunjung menunjukkan sebagian besar sekitar 73% berasal dari dalam negeri terutama berasal dari Kabupaten /Kota dalam Kalimantan Tengah, yaitu Palangkaraya dan Kotawaringin Timur. Sementara pengunjung di luar Provinsi Kalimantan Tengah berasal dari Bandung, Banjarbaru, Bogor, Jakarta, Magelang, Yogyakarta dan Bali. Pengunjung yang berasal dari luar negeri mencapai 27%, yang berasal dari Australia, USA, Belanda, Jerman, Inggris, dan Swiss. Untuk mengunjungi ODTWA di TN Sebangau harus menggunakan transportasi air sehingga biaya perjalanan relaif mahal, berkisar antara Rp. 400 ribu sampai dengan Rp 3,6 juta tergantung asal wisatawan. Berdasarkan biaya perjalanan tersebut, fungsi permintaan TN Sebangau seperi dalam Tabel 8.1. Surplus konsumen berdasarkan fungsi tersebut sebesar Rp. 13.406.721, dengan rata-rata jumlah kunjungan per tahun 370 orang, maka nilai jasa wisata alam di TN Sebangau mencapai Rp. 4,96 miliar.
167
VIII. NILAI EKO
NO
MI STO
K KARBON
DI TAMAN
NASIO
NAL
Pengunjung ODTWA di TNGP berasal dari wisatawan dalam negeri dan mancanegara. Wisatawan domesik lebih mendominasi, meskipun jumlah wisatawan mancanegara relaif banyak. Namun, berdasarkan survei yang dilakukan sekitar bulan November, semua responden berasal dari dalam negeri, dan sebagian besar berasal dari kota/kabupaten dalam Provinsi Kalimantan Barat. Pengunjung rata-rata berusia 19 tahun dan sebagian besar masih berstatus sebagai pelajar SLTA. Asal pengunjung dari Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara, dengan alat transportasi yang digunakan ke Lubuk Baji rata-rata menggunakan motor sehingga biaya perjalanan relaif murah sekitar Rp. 126.000/orang. Dengan jumlah kunjungan wisatawan rata-rata 521 dan consumer surplus masing-masing wisatawan sebesar Rp. 768.553 maka nilai wisata alam TNGP berdasarkan fungsi permintaan di atas sebesar Rp 0,40 miliar (Tabel 8.1).
8.2.2 Nilai Jasa Air
Nilai jasa air di taman nasional dihitung dengan menggunakan 2 pendekatan, yaitu (1) air digunakan sebagai input PDAM (TN Meru Beiri, Gunung Halimun Salak, Gunung Palung); (2) air digunakan untuk perikanan, khusus air permukaan gambut di TN Sebangau. Untuk air yang digunakan sebagai input PDAM, besaran nilai yang dibayarkan sebagai harga gani input air adalah sebesar tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Menurut PP No.12 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan, telah diatur besaran pungutan usaha komersial berdasarkan jenis investasi seperi dalam Tabel 8.2.
Tabel 8.2 Pungutan usaha pemanfaatan air (PUPA) di kawasan hutan konservasi
No. Jenis Investasi Besaran Pungutan
1 Skala Mikro 2% x harga dasar PDAM setempat x volume2 Skala Kecil 4% x harga dasar PDAM setempat x volume3 Skala Menengah 6% x harga dasar PDAM setempat x volume4 Skala Besar 8% x harga dasar PDAM setempat x volume
Sumber: PP Nomor 12 Tahun 2014
Berdasarkan tabel tersebut, asumsi yang digunakan dalam tulisan ini adalah air dikelola oleh perusahaan pemanfaatan air dengan investasi skala besar. Hal ini berkorelasi dengan besaran pungutan yang harus
168
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
dibayar ke negara, yaitu 8% dari harga dasar PDAM setempat yang dikalikan dengan volume air yang dimanfaatkan. Potensi air yang dapat dimanfaatkan adalah 50% dari total air yang terkandung di taman nasional. Data potensi air di 3 taman nasional diperoleh dari kajian Pribadi (2018) yang telah menghitung dengan menggunakan metode SWAT. Laporan tersebut menghitung potensi debit air sungai di ekosistem hutan hujan dataran rendah pada 3 taman nasional. Dengan pendekatan dan asumsi tersebut, nilai jasa air di ke 3 taman nasional yang dipergunakan untuk usaha komersial berkisar antara Rp. 36,93–127,44 miliar/tahun (Tabel 8.3). Nilai teringgi pada TN Gunung Halimun Salak, karena potensi air di taman nasional ini relaif lebih besar.
Tabel 8.3 Nilai jasa air di empat taman nasional
No. Taman Nasional
Harga dasar
PDAM setempat
(Rp/m3)
Volume air
(m3/tahun)
Nilai Jasa Air
(miliar Rp/
tahun)
1 Meru Beiri 3.000 438.228.480 105,172 Gunung Halimun Salak 2.600 612.693.610 127,443 Sebangau 306,704 Gunung palung 6.400 72.128.186 36,93
Sedangkan pemanfaatan air permukaan oleh masyarakat sekitar TN Sebangau berupa ikan yang merupakan sumber protein utama di pedesaan Kalimantan Tengah. Ada 48 desa di sekitar taman nasional Sebagau yang tersebar di 3 Kabupaten, yaitu Kabupaten Kaingan, Pulang Pisau dan Kota Palangkaraya dengan jumlah penduduk total 81.126 jiwa pada tahun 2014 (Balai TNS 2015). Menurut Mintarjo & Betlina (2006), persentase jumlah penduduk yang memiliki pekerjaan menangkap ikan/nelayan di desa-desa sekitar TNS adalah 15,57 %. Dengan asumsi laju pertumbuhan penduduk tahunan 0,23 %, maka jumlah penduduk sekitar TNS pada tahun 2018 menjadi 82.076 jiwa, yang bermata pencaharian sebagai nelayan sekitar 12.779 orang. Dengan pendapatan rata-rata dari menangkap ikan sekitar Rp. 2 juta/bulan (Lugina & Hamdani 2015), maka nilai total pendapatan nelayan selama satu tahun adalah Rp. 306,70 miliar.
169
VIII. NILAI EKO
NO
MI STO
K KARBON
DI TAMAN
NASIO
NAL
8.2.3 Nilai Biodiversitas
Nilai biodiversitas dibedakan menjadi nilai biodiversitas lora dan fauna. Nilai biodiversitas lora didekai dengan harga pasar untuk jenis lora yang memiliki nilai komersial dan biaya pengganian (biaya rehabilitasi/restorasi) untuk lora yang idak memiliki nilai komersial. Flora komersial yang dibahas dalam tulisan ini adalah tumbuhan anggrek di TN Meru Beiri, TN Gunung Halimun Salak dan TN Gunung Palung, sedangkan di TN Sebangau melipui anggrek, tumbuhan obat, rotan dan ramin.
Nilai biodiversitas fauna menggunakan harga satwa liar yang telah dikaji oleh Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayai (KKH) bekerja sama dengan Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata IPB. Harga satwa liar ini telah memasukkan nilai konservasi. Harga satwa dasar berasal dari perdagangan satwa liar di pasar internasional ditambah dengan faktor pembobot seperi endemik, status konservasi, jenis kelamin, trend perdagangan, icon negara, world’s heritage dan
ingkat kesulitan reproduksi (Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayai 2014). Namun, jenis satwa liar yang telah divaluasi terbatas pada satwa liar yang termasuk pada PP Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Untuk satwa yang idak termasuk dalam kajian tersebut didekai dengan nilai satwa yang sejenis dengan status IUCN yang sama dan harga pasar.
Nilai Biodiversitas Flora
TN Meru Beiri sebagian besar merupakan perwakilan ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah yang memiliki nilai ekologis inggi. Dalam kawasan ini telah tercatat 496 jenis lora terdiri atas 15 jenis dilindungi dan 481 jenis yang idak dilindungi. Jenis tanaman yang dilindungi seperi balanopora sejenis tumbuhan parasit dan padmosari/ralesia yang hidupnya tergantung pada tumbuhan inang, 239 jenis telah diketahui berkhasiat obat dan 77 jenis di antaranya telah dimanfaatkan oleh masyarakat, seperi kemukus, kedawung, pakem, joho lawe, cabe jawa, dan lain-lain. Kawasan TN Meru Beiri juga sangat dikenal karena ke-eksoikan tumbuhan endemik ralesia, bambu, dan anggrek (Balai TNMB 2016).
170
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Di TN Gunung Halimun Salak terdapat lebih dari 700 jenis tumbuhan berbunga, yang melipui 391 marga dari 119 suku. Untuk anggrek terdapat 261 jenis anggrek, di antaranya termasuk yang dilindungi, yaitu anggrek harimau (Gramatophyllum speciosum), anggrek jingga (Renathera matuina) dan anggrek kiaksara (Macodes petola). Di TNGHS juga terdapat 1 jenis kantong semar (Nepenthes gymnamphora)
yang dilindungi, 41 jenis lumut, 38 jenis jamur, 12 jenis rotan, 12 jenis bamboo, 135 jenis tumbuhan hias dan 127 tumbuhan obat (Suparmo 2017).
TN Sebangau merupakan hutan rawa gambut yang menjadi habitat berbagai jenis lora dan fauna yang dilindungi dan endemik. Jenis lora yang ada di TNS di antaranya ramin (Gonystylus bancanus), jelutung (Dyera constulata), belangeran (Shorea belangeran), bintangur (Calophyllum sclerophyllum), merani (Shorea spp.), nyatoh (Palaquium
spp.), keruing (Dipterocarpus spp), dan agathis (Aghais spp). Selain itu juga terdapat berbagai jenis anggrek, kantong semar, tanaman obat, serta rotan (Balai TNS 2015).
Di TN Gunung Palung sedikitnya terdapat 3.500–4.000 jenis vegetasi berkayu, termasuk di dalamnya 70 jenis famili Dipterocarpaceae. Beberapa spesies lora kunci yang ditemukan di Gunung Palung adalah famili Dipterocarpaceae, Gaharu (Aquilaria malaccensis), Ulin (Eusideroxylon zwageri) dan Ramin (Gonystylus bancanus). Jenis-jenis anggrek ditemukan di daerah Sungai Kubang dan Sungai Batu Barat sebanyak 13 genus anggrek. Dendrobium sp merupakan genus yang paling banyak ditemukan di wilayah Sungai Batu Barat dan Sungai Kubang. Sementara di wilayah pegunungan, anggrek hutan berbagai jenis tersebar mulai dari keinggian 150 mdpl sampai 1.050 mdpl. Jenis anggrek raksasa (Gramatophyllum speciosum) dapat dijumpai di sepanjang aliran sungai pada keinggian 100–300 mdpl (Balai TNGP 2015).
Penghitungan nilai biodiversitas lora non komersial di TN Meru Beiri, Gunung Halimun Salak dan Gunung Palung menggunakan biaya rehabilitasi sebesar Rp. 689.129,00/ha, dan biaya restorasi sebesar Rp. 12.000.000 /ha untuk gambut di TN Sebangau (Mutaqin, Suryandari, Alviya & Wicaksono 2017). Upaya rehabilitasi yang harus dilakukan oleh pengelola taman nasional merupakan selisih antara rata-rata laju deforestasi nasional sebesar 0.8% per tahun (Dokumen FREL) dengan deforestasi yang masih terjadi di taman nasional, kecuali TN Sebangau.
171
VIII. NILAI EKO
NO
MI STO
K KARBON
DI TAMAN
NASIO
NAL
Kondisi awal TN Sebangau yang merupakan bekas areal hutan produksi yang dikelola oleh beberapa HPH menyebabkan penghitungan upaya rehabilitasi berbeda. Sehingga upaya rehabilitasi balai per tahun diasumsikan sama dengan besarnya rata-rata deforestasi nasional. Data deforestasi tahunan di taman nasional diperoleh dari kajian Wibowo, Susani, & Agusina (2018). Nilai ekonomi dari upaya rehabilitasi digunakan sebagai pendekatan bagi nilai-nilai lora non komersial seperi dalam Tabel 8.4.
Tabel 8.4 Nilai biodiversitas lora non komersial dan komersial di 4 taman nasional
No.Taman
Nasional
Upaya
Rehabilitasi/
tahun
(Ha)
Nilai Flora Non
Komersial
(Rp/tahun)
Nilai Flora
Komersial
(Miliar Rp/
tahun)
1 Meru Beiri 260,0 179.213.303 728,57
2 Gunung Halimun Salak 861,0 593.693.730 1.078,40
3 Sebangau 4.337,0 52.045.536.000 34.539,074 Gunung Palung 651,7 449.103.450 1.715,06
Sumber: diolah dari data primer dan data sekunder
Nilai lora komersial di TN Meru Beiri yang dihitung adalah anggrek. Berdasarkan hasil ideniikasi dan inventarisasi anggrek hutan di TNMB terdapat 34 jenis anggrek yang tersebar di Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I Sarongan dan SPTN Wilayah II Ambulu. Dari jenis-jenis anggrek hutan yang ada, lima jenis yang banyak populasinya adalah: Pteroceras zollingerii, Fickingeria luxurians, Pomatocalpa spicata, Thrixspermum subulatum, Trixspermum sp. (Balai TNMB 2016). Populasi anggrek hutan sangat tergantung dari pohon inangnya. Anggrek hutan memilih pohon inang tertentu sebagai tempat hidupnya. Kehadiran pohon inang ini sangat pening bagi kelestarian populasi anggrek yang berasosiasi dengan pohon tersebut. Oleh karena itu, untuk menduga populasi anggrek menggunakan kerapatan pohon inangnya. Data kerapatan pohon inang diperoleh dari kajian Susilo (2018) sedangkan harga anggrek merupakan harga rata-rata beberapa jenis anggrek di pasar. Berdasarkan pendekatan tersebut, nilai ekonomi anggrek di resort Sukamade sebesar Rp. 334,44 miliar dan Bandealit sebesar Rp. 394,12 miliar sehingga total sebesar Rp. 728,57 miliar.
172
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Seperi halnya TN Meru Beiri, nilai biodiversitas lora komersial di TNGHS juga berasal dari nilai anggrek. Berbagai jenis anggrek hutan tumbuh di TNGHS, dengan jenis yang dilindungi seperi anggrek harimau, jingga dan kiaksara. Data kerapatan pohon/ha berasal dari Susilo (2018), namun data inang pohon anggrek idak ada sehingga diasumsikan seiap 2 pohon terdapat 1 pohon inang dengan 1 tumbuhan anggrek. Populasi anggrek dapat diesimasi sehingga total nilai anggrek di TNGHS sebesar adalah Rp. 1.078,40 miliar.
Jenis tumbuhan komersial di TNS di antaranya adalah tumbuhan anggrek, tanaman obat, rotan serta lora berkonservasi inggi seperi ramin. Tulisan ini memanfaatkan nilai lora berdasarkan data kajian Kemenkeu (2011) yang telah menginventarisasi lora di TNS berdasarkan jenis tumbuhan. Nilai tersebut dikoreksi berdasarkan asumsi inlasi tahunan sebesar 7% sehingga nilai biodiversitas lora komersial di TNS sebesar Rp. 34.539,07 miliar.
Jenis tumbuhan komersial di TNGP di antaranya adalah anggrek. Nilai biodiversitas lora komersial pada kajian ini dibatasi pada nilai anggrek karena keterbatasan data. Data yang tersedia adalah data kerapatan pohon/ha yang berasal dari data im biodiversitas, namun data inang dari pohon anggrek idak ada. Dengan asumsi iap 2 pohon terdapat 1 pohon inang tumbuhan anggrek dan 1 tumbuhan anggrek, maka populasi anggrek dapat diesimasi. Berdasarkan pendekatan tersebut, total nilai anggrek di dataran rendah adalah Rp. 1.416,09 miliar dan nilai anggrek di rawa gambut Rp. 298,97 miliar sehingga total ekonomi lora komersial Rp. 1.715,06 miliar.
Nilai Biodiversitas Fauna
TN Meru Beiri memiliki potensi fauna 372 jenis yang terdiri atas 25 jenis mamalia (18 jenis di antaranya mamalia dilindungi), 8 jenis repilia (6 jenis di antaranya dilindungi), 214 potensi satwa sejenis aves (68 jenis di antaranya dilindungi), 35 jenis insecta, 6 jenis bivalvia,13 jenis pisces, dan 71 jenis Arthropoda tanah (Balai TNMB, 2016). Jenis-jenis fauna dilindungi yang ada di TNMB di antaranya: Macan tutul (Panthera pardus melas), Banteng (Bos javanicus), Kijang (Muniacus muntjak), Burung merak (Pavomuicus), Elang Jawa (Nisaetus bartelsi), Kukang (Nycicebus javanicus), dan Lutung Jawa (Trachypithecus auratus), serta empat jenis Penyu yaitu Penyu Belimbing (Dermochely
173
VIII. NILAI EKO
NO
MI STO
K KARBON
DI TAMAN
NASIO
NAL
scoriacea), Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea), Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) dan Penyu Hijau (Chelonia mydas). Satwa penyu idak dimasukkan dalam penghitungan nilai biodiversitas karena sudah tercakup dalam nilai wisata alam. Data satwa yang digunakan di TNMB sebanyak 22 spesies termasuk spesies yang dilindungi. Dengan pendekatan harga satwa liar dari KKH dan harga pasar, dapat dihitung nilai biodiversitas fauna dari 22 spesies di TN Meru Beiri adalah sebesar Rp. 103,88 miliar (Tabel 8.5).
Data populasi satwa yang dimiliki oleh Balai TNGHS terbatas pada satwa yang menjadi spesies kunci di TNGHS, yaitu elang jawa (Nisatus bartelsi), macan tutul jawa (Panthera pardus melas) dan owa jawa (Hylobates moloch), walaupun mereka telah melakukan inventarisasi jenis satwa. Keterbatasan data populasi tentunya sangat berpengaruh pada nilai biodiversitas fauna. Padahal TNGHS memiliki nilai keanekaragaman hayai yang inggi baik lora maupun fauna. Untuk Fauna, TNGHS memiliki potensi fauna seperi mamalia 70 jenis, burung 277 jenis, primata 5 jenis, elang 16 jenis, amibi 77 jenis, capung 26 jenis, semut ada 2000 jenis, repile 42 jenis dan jenis lainnya seperi ikan 50 jenis, siput 36 jenis, rayap 15 jenis. Diantara satwa-satwa tersebut masuk dalam satwa yang dilindungi. Untuk jenis burung endemic, seperi Nizaetus bartelsi (elang jawa) merupakan satwa endemik yang juga termasuk kategori CITES. Beberapa jenis lain yang termasuk kategori CITES adalah Pernis pilorhynchus (elang sikep madu), Accipiter soloensis (alap-alap cina), Spilorsis cheela (elang ular bido), Icinaetus malayensis (elang hitam), Microchierax fringillarius
(alap-alap capung) (Balai TNGHS, 2016).
TNGHS juga merupakan habitat pening bagi primata endemik, langka dan terancam punah, seperi owa jawa (Hylobates moloch) dan surili (Presbysis comata). Jenis mamalia lain yang bisa ditemukan di TNGHS antara lain: kucing hutan (Prionailurus bengalensis), ajag (Cuon alpinus
javanicus), sigung (Mydaus javanensis), babi hutan (Sus scrofa) dan mencek/kijang (Muniacus muntjak), dan rusa (Cervus imorensis).
174
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Jenis pening mamalia yang menjadi spesies kunci adalah macan tutul (Panthera pardus) (Suyanto, 2002). Populasi satwa yang idak ada datanya diasumsikan 2 mewakili individu jantan dan beina. Dengan menggunakan harga nilai satwa liar dan buru dari direktorat KKH dan nilai pasar yang ada, maka dapat dihitung nilai biodiversitas fauna. Berdasarkan perhitungan dengan asumsi di atas, maka nilai biodiversitas fauna dari 19 spesies di TNGHS adalah sebesar Rp. 116,18 miliar (Tabel 8.5).
Tabel 8.5 Nilai total biodiversitas (lora dan fauna) di empat taman nasional
No. Taman Nasional
Nilai
Biodiversitas
Flora
(Miliar Rp/
tahun)
Nilai
Biodiversitas
Fauna
(Miliar Rp/
tahun)
Total Nilai
Biodiversitas
(Miliar Rp/
tahun)
1 Meru Beiri 728,75 103,88 832,63
2 Gunung Halimun Salak 1.078,99 116,18 1.195,17
3 Sebangau 34.591,12 7.411,85 42.002,974 Gunung Palung 1.715,51 2.469,84 4.185,35
Hutan rawa gambut Sebangau merupakan habitat berbagai jenis lora dan fauna yang dilindungi dan endemik. Jenis satwa liar yang ditemukan antara lain orangutan (Pongo Pygmaeus wrumbii), owa-owa (Hylobates agilis albibarbis), kelasi (Presbyis rubicunda), kera ekor pendek/ beruk (Macaca nemestrina), kera ekor panjang (Macaca
fascicularis), bekantan (Nasalis larvatus), beruang madu (Helarctor
malayanus), kucing hutan (Felis bengalensis), macan dahan (Neofelis
diardi), serta berbagai jenis burung seperi kangkareng perut puih (Anthracoceros albirostris), rangkong badak (Buceros rhiniceros), pekaka emas (Pelargopsis capensis) dan elang bondol (Heliastus
indus). Harga satwa menggunakan pendekatan seperi taman nasional yang lain. Populasi orangutan menggunakan data WWF sebesar 5826 (Meididit et al. 2015), besarnya populasi orangutan tersebut sesuai dengan peneliian Morrogh-Bernard, Huson, Page, & Rieley (2003) yang menyatakan bahwa populasi orangutan di TN Sebangau berkisar antara 5.671–8.951. Populasi beruang madu, rusa, macan dahan dan kucing hutan dari hasil survei Kemenkeu (2011), sedangkan populasi satwa lain yang idak ada datanya diasumsikan minimal 2 mewakili
175
VIII. NILAI EKO
NO
MI STO
K KARBON
DI TAMAN
NASIO
NAL
individu jantan dan beina. Hasil penghitungan nilai biodiversitas satwa dari 34 spesies di TN Sebangau sebesar Rp. 7.411,85 miliar (Tabel 8.5).
Di kawasan TNGP terdapat beberapa jenis berang-berang, kucing, musang, luak dan juga rubah. Dari 9 jenis kucing (Family Felidae) yang ditemukan di Indonesia, 5 jenis dapat dijumpai di TNGP, yang salah satunya adalah macan dahan yang merupakan spesies langka. Sedikitnya ada 236 spesies burung yang telah terdata di TNGP, di mana 8 jenis di antaranya adalah endemik Borneo. Jenis amibi dan repil seperi ular piton yang panjang tubuhnya dapat mencapai 10 meter. Raja ular, yaitu king cobra yang terkenal dengan kebiasaannya yang suka memangsa jenis ular lain, dan merupakan salah satu ular yang paling berbisa di dunia. Selain itu ditemukan juga krait, viper, rat snake, dan ular pohon. Untuk serangga terdiri atas kumbang, semut, lebah, kupu-kupu dan ngengat, capung, lalat, dll. Jenis fauna yang dapat dengan mudah dijumpai di dalam kawasan adalah dari golongan primata seperi kera (Macaca fasicularis), owa/kelampiau (Hylobathes
agilis), kelasi (Presbyis rubicunda) dan orangutan (Pongo pygmaeus
wurmbii). Jenis mamalia darat lainnya, terdapat jenis beruang madu, macan dahan, rusa, babi hutan, landak, linsang dan tujuh jenis primata lainnya. Dari hasil observasi di Pusat Peneliian Cabang Pani menunjukkan bahwa dari 181 jenis mamalia yang terdapat di Kalimantan, 68 di antaranya telah terideniikasi, ditambah dengan iga spesies yang sebelumnya idak tercantum dalam datar spesies di Kalimantan Barat (Balai TNGP 2015).
Data populasi satwa yang dimiliki TNGP terbatas pada orangutan, yaitu 1.939 pada tahun 2016. Sementara satwa lainnya baru diideniikasi jenisnya, tetapi jumlah populasinya belum diinventarisasi. Untuk satwa yang idak diketahui populasinya diasumsikan ada 2 ekor yang mewakili jantan dan beina. Dengan menggunakan harga nilai satwa liar dan buru dari direktorat KKH dan nilai pasar yang ada,maka dapat dihitung nilai biodiversitas fauna. Berdasarkan perhitungan dengan asumsi di atas, maka nilai biodiversitas fauna dari 27 spesies di TNGP adalah sebesar Rp. 2.469,84 miliar (Tabel 8.5). Nilai ini bisa bertambah jika kita bisa mengeksplorasi populasi lora dan fauna di TNGP.
176
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
8.3 Nilai Ekonomi Total Jasa Lingkungan dan Esimasi Nilai Karbon di Taman Nasional
Nilai ekonomi total jasa lingkungan di taman nasional merupakan penjumlahan dari nilai jasa wisata alam, jasa air dan biodiversitas lora dan fauna. Secara keseluruhan nilai ekonomi total jasa lingkungan di empat taman nasional seperi dalam Tabel 8.6. Esimasi nilai karbon hutan berdasarkan nilai ekonomi total jasa lingkungan yang terkandung di taman nasional dibagi dengan stok karbon. Data stok karbon diperoleh dari kajian Lugina & Arifani (2018).
Nilai ekonomi total TN Meru Beiri mencapai Rp. 1.121,41 miliar. Ekosistem dataran rendah dominan di TN Meru Beiri sehingga dapat mewakili seluruh wilayah taman nasional. Stok karbon ekosistem dataran rendah adalah sebesar 8.898.911 ton C sehingga esimasi nilai karbon hutan di TN Meru Beiri sebesar Rp. 126.017,00/ton C/tahun. Di TN Gunung Halimun Salak, sebagian besar objek wisata berada di daerah ekosistem dataran rendah, dan nilai jasa air juga berdasarkan debit air sungai di dataran rendah sehingga stok karbon yang digunakan adalah stok karbon di ekosistem dataran rendah, yaitu sebesar 22.578.836 ton C. Nilai total ekonomi diperoleh dari ke iga nilai jasa lingkungan di TN Gunung Halimun Salak adalah sebesar Rp.1.440,15 miliar, maka dengan stok karbon di atas, esimasi nilai karbon di TN Gunung Halimun Salak sebesar Rp. 63.783,00/ton C/tahun.
Tabel 8.6 Nilai ekonomi total dan esimasi nilai karbon di empat taman nasional
No.Taman
Nasional
Nilai Ekonomi Total
Jasling
(Miliar Rp/tahun)
Stok Karbon
(ton C)
Esimasi Nilai Karbon
(Rp/tahun)
1 Meru Beiri 1.121,41 8.898.911 126.017
2 Gunung Halimun Salak 1.440,15 22.578.836 63.783
3 Sebangau 42.314,63 1.102.186.207 38.3924 Gunung Palung 3.923,71 11.836.027 331.506
TN Sebangau merupakan ekosistem rawa gambut, yang memiliki stok karbon yang inggi. Berdasarkan kajian Lugina & Arifani (2018), total stok karbon di ekosistem rawa gambut adalah 1.102.186.207 ton C. Nilai ekonomi total jasa lingkungan di TN Sebangau mencapai 42.314,63
177
VIII. NILAI EKO
NO
MI STO
K KARBON
DI TAMAN
NASIO
NAL
miliar. Dengan stok karbon tersebut, maka esimasi nilai-nilai karbon adalah Rp. 38.392,00 /ton C/tahun. Untuk TN Gunung Palung, stok karbon dihitung di ekosistem dataran rendah dan gambut, sedangkan objek wisata alam berada di dataran rendah serta nilai air juga berdasarkan debit sungai di dataran rendah. Nilai biodiversitas yang terideniikasi di gambut yaitu nilai lora komersial akan dikeluarkan dari nilai ekonomi total jasa lingkungan menjadi sebesar Rp.3.923,71 miliar. Dengan nilai stok karbon di dataran rendah sebesar 11.836.027 ton C, maka esimasi nilai karbon menjadi Rp. 331.506,-/ton C/tahun. Hal ini berari, selang nilai stok karbon di empat taman nasional berkisar antara Rp. 38.392,- ton C/tahun sampai dengan Rp. 331.506,-/ton C/tahun atau sekitar 3 US$/ton C/tahun sampai dengan 26 US $/ton C/tahun ( 1 US $ = Rp. 13.000). Sebagai pembanding harga transaksi karbon untuk konservasi di Ecosystem Marketplace pada tahun 2008 diesimasi sebesar 4,8 USD/ton CO2 atau 17,6 USD/ton C (Zapfack et
al. 2016).
8.4 Penutup
Esimasi nilai karbon hutan dalam tulisan ini didekai dari nilai ekonomi total jasa lingkungan dibagi dengan stok karbon yang tersimpan di taman nasional. Penghitungan nilai ekonomi jasa lingkungan yang terdiri atas wisata alam, jasa air dan jasa biodiversitas dipengaruhi oleh ketersediaan data. Untuk mendapatkan nilai jasa wisata alam yang lebih mewakili, maka perlu dilakukan pengambilan data pada beberapa iik waktu dalam satu tahun sehingga dapat menggambarkan secara keseluruhan karakterisik wisatawan di taman nasional. Nilai jasa air juga terbatas pada kesediaan data potensi air di taman nasional. Sementara nilai biodiversitas sangat dipengaruhi oleh ketersediaan jenis dan populasi lora dan fauna, yang seringkali terbatas pada spesies kunci, padahal taman nasional memiliki keanekaragaman hayai yang inggi. Secara keseluruhan, nilai biodiversitas menempai nilai teringgi dari empat taman nasional. Esimasi nilai stok karbon di hutan konservasi berkisar antara Rp. 38.392,- ton C/tahun sampai dengan Rp. 331.506,-/ton C/tahun atau sekitar 3 US$/ton C/tahun sampai dengan 26 US $/ton C/tahun ( 1 US $= Rp. 13.000). Nilai ini dapat berubah dengan bertambahnya informasi atau ketersediaaan data populasi lora dan fauna, debit air sungai serta pengambilan data wisatawan. Namun seidaknya, esimasi nilai karbon ini bisa dijadikan bahan acuan dalam proses negosiasi dalam kegiatan REDD+.
178
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Datar PustakaBalai TNGP. 2015. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Taman
Nasional Gunung Pallung. Palangkaraya: Balai Taman Nasional Gunung Palung.
Balai TNGHS. 2016. Perubahan Desain Tapak Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Sukabumi: Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
Balai TNMB. 2016. Zona Pengelolaan Taman Nasional Meru Beiri. Jember: Balai Taman Nasional Meru Beiri.
Balai TNS. 2015. Zonasi Taman Nasional Sebangau. Palangkaraya: Balai Taman Nasional Sebangau.
Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayai. (2014). Valuasi Nilai Ekonomi Satwa Liar Dilindungi. Laporan Hasil Kajian Kerja sama Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayai (KKH) dengan Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata IPB. Jakarta.
Fauzi A. 2006. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (Teori dan Aplikasi). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kemenkeu. 2011. Uji Penilaian Sumberdaya Hutan di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah. Laporan Akhir Subdit Standarisasi Penilaian Bisnis dan Sumberdaya Air. Direktorat Penilaian, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Jakarta.
Lugina M, & Arifani VB. 2018. Analisis Stok Karbon di Taman Nasional. Laporan Hasil Peneliian Proyek Indonesia-Japan REDD (IJ-REDD). Kerja sama antara JICA, Puslitbang Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI) dan Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi. Bogor.
Lugina M, & Hamdani FUM. 2015. Enhancing Smallholder Beneits from Reduced Emissions from Deforestaion and Forest Degradaion in Indonesia. Laporan Hasil Peneliian Kerja sama ACIAR-Puslitbang Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim. Bogor.
Meididit A, Simon O, Anshori M, Pratama AP, Pangimanan B, Ariandi D, & Ariadi A. 2015. Survei Populasi dan Distribusi Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus wurmbii) di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah. Laporan WWF Kalimantan Tengah. Palangkaraya.
179
VIII. NILAI EKO
NO
MI STO
K KARBON
DI TAMAN
NASIO
NAL
Mintarjo, & Betlina S. 2006. Prospek Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Nasional Sebangau Melalui Usaha Pengembangan Tanaman Jelutung (Dyera Lowii). Buana Sains, 6(2), 101–114.
Morrogh-Bernard H, Huson S, Page SE, & Rieley JO. 2003. Populaion status of Bornean Orangutan (Pongo pygmaeus) in the Sebangau peat swamp forest, Central Kalimantan, Indonesia. Biological
Conservaion, 110, 141–152.
Mutaqin MZ, Suryandari EY, Alviya I, & Wicaksono D. 2017. Menuju Operasionalisasi Pendanaan Iklim. Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim. Jakarta.
Nurfatriani F. 2018. Analisis Sistem Pendanaan Taman Nasional. Laporan Hasil Peneliian Proyek Indonesia-Japan REDD(IJ-REDD), Kerja sama antara JICA, Pulitbang Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI) dan Direktorat Pemanfatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi. Bogor.
Pribadi MA. 2018. Analisis Indikator Jasa Air di Taman Nasional. Laporan Hasil Peneliian Proyek Indonesia-Japan REDD(IJ-REDD), Kerja sama antara JICA, Pulitbang Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI) dan Direktorat Pemanfatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi. Bogor.
Suparmo M. 2017. Mengenal Flora dan Fauna serta Program Konservasi Satwa Kunci di TN Gunung Halimun Salak. Sukabumi.
Susilo A. 2018. Analisis Indikator Biodiversitas di Taman Nasional. Laporan Hasil Peneliian Proyek Indonesia-Japan REDD (IJ-REDD). Kerja sama antara JICA, Puslitbang Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI) dan Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi. Bogor.
Suyanto A. 2002. Mamalia di Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Barat. Biodeversity Conservaion Project. Bogor.
Wibowo A, Susani E, & Agusina A. 2018. Analisis Ancaman Deforestasi dan Degradasi Hutan di Taman Nasional. Laporan Hasil Peneliian Proyek Indonesia-Japan REDD (IJ-REDD). Kerja sama antara JICA, Puslitbang Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI) dan Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi. Bogor.
Zapfack L, Noiha NV, & Tabue MRB. 2016. Economic Esimaion of Carbon Storage and Sequestraion As Ecosystem Services of Protected Areas: a Case Study of Lobeke Naional Park. Journal of
Tropical Forest Science, 28(4), 406–415.
BAGIAN KETIGA: TRANSFORMASI KELEMBAGAAN UNTUK MENDUKUNG REALISASI
PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN BERBASIS KARBON
DI TAMAN NASIONAL
IX. TRANSFORMASI ORGANISASI DAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA TAMAN NASIONAL BAGI OPTIMALISASI
PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN BERBASIS KARBON
Mimi Salminah
9.1 Pendahuluan
Organisasi dan sumber daya manusia (SDM) memiliki hubungan yang
sangat pening, di mana SDM merupakan salah satu faktor utama dari keberhasilan pencapaian tujuan organisasi (Mathis & Jackson 2001; Ionita et al. 2013). Organisasi itu sendiri merupakan wadah
untuk mewujudkan tujuan melalui pengaturan fungsi-fungsinya. Organisasi merupakan suatu sistem yang mengatur pola hubungan antara anggotanya dengan para pihak yang terkait. Struktur organisasi dideinisikan sebagai mekanisme pengalokasian kekuasaan dan tanggung jawab serta mekanisme bagaimana prosedur kerja diterapkan di antara anggota organisasi (Blau 1970; Dewar & Werbel 1979; Germain 1996; Gerwin & Kolodny 1992; Ravanfar 2015; Ruekert et al. 1985; Walton 1985). Struktur organisasi termasuk manajemen SDM di dalamnya dapat menentukan seberapa efekif organisasi tersebut dapat mencapai tujuan organisasi (Su & Wright 2012). Namun demikian, untuk mewujudkan pengelolaan organisasi dan sumber daya manusia yang efekif diperlukan strategi agar struktur organisasi mudah beradaptasi dengan berbagai perubahan yang terkait dengan
target organisasi.
Taman nasional merupakan bentuk organisasi formal di bawah pemerintah pusat yang berfungsi untuk mengelola kawasan hutan konservasi, yang memiliki karakterisik ekosistem dan bidoversitas spesiik, secara lestari. Taman nasional saat ini diorientasikan untuk pengamanan kawasan hutan dan kekayaan biodiversitasnya. Dengan demikian, pengelolaan taman nasional lebih bersifat cost center dan
membutuhkan biaya yang besar. Di sisi lain, taman nasional memiliki kewenangan yang terbatas dalam mengelola manfaat ekonomi sumber daya hutan khususnya kayu sehingga sumber pendanaan
184
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
menjadi sangat terbatas pula. Manfaat ekonomi taman nasional lebih difokuskan pada pengopimalanpemanfaatan jasa lingkungan, seperi wisata, air, biodiversitas atau karbon yang mekanismenya diatur di ingkat pusat (KLHK).
Pada ingkat tapak, pengelolaan taman nasional menghadapi tantangan yang serius baik yang bersifat internal maupun eksternal. Tantangan internal pengelolaan taman nasional adalah “konseptualisasi taman nasional, pengelolaan organisasi, dan sumber daya manusia” (Atmojo et al. 2014). Pengelolaan taman nasional juga menghadapi konlik sosial dan tenurial yang cukup kompleks (Purwanto 2005; Kadir et al. 2013).
Terdapat banyak masyarakat miskin yang hidup di dalam dan sekitar
hutan serta menggantungkan kehidupannya kepada sumber daya
hutan. Mereka memiliki akses yang terbatas terhadap pemanfaatan sumber daya hutan. Illegal logging serta pencurian lora dan fauna langka juga menjadi ancaman bagi kelestarian pengelolaan taman nasional (Obidzinski et al. 2006). Oleh karena itu, jasa lingkungan seperi air, karbon, wisata, dan biodiversitas diharapkan dapat diopimalkan pemanfaatannya untuk meningkatkan nilai ekonomi dari kawasan hutan konservasi (Getzner 2010).
Kehadiran PP No. 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup dan PermenLHK Nomor: P.70/2017 tentang Tata Cara Pelaksanaan Reducing Emissions from Deforestaion and Forest Degradaion, Role of Conservaion, Sustainable Management of Forest and Enhancement of Forest Carbon Stocks memberikan peluang bagi
manajemen taman nasional untuk dapat meningkatkan nilai ekonomi kawasan hutan konservasi dari pemanfaatan jasling khususnya karbon. Hal tersebut sangat diperlukan untuk mengatasi keterbatasan pendanaan dan meningkatkan kontribusi hutan konservasi terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar, yang merupakan faktor pening dalam pengelolaan taman nasional secara lestari. Sayangnya pemanfaatan jasa lingkungan di beberapa taman nasional di Indonesia belum opimal (Santoso et al. 2015).
Untuk dapat mengatasi permasalahan yang cukup kompleks dalam pengelolaan taman nasional sekaligus mampu mengopimalkan pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon diperlukan transformasi organisasi dan manajemen SDM taman nasional menjadi lebih leksibel. Organisasi taman nasional yang dapat mewujudkan tujuan kelestarian
185
IX. TRANSFO
RMASI O
RGANISASI DAN
SUM
BER DAYA MAN
USIA TAM
AN N
ASION
AL BAGI O
PTIMALISASI PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
BERBASIS KARBON
hutan dan mengopimalkan jasa lingkungan berbasis karbon sebagai salah satu sumber pendanaan. Karena taman nasional telah ditetapkan sebagai bentuk organisasi formal pemerintah maka pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana sumber daya taman nasional harus dikelola untuk mencapai tujuannya, bagaimana seharusnya nilai-nilai organisasi taman nasional dikembangkan, dan infrastuktur apa yang diperlukan untuk membangun enabling condiion bagi pencapaian
tujuan taman nasional dengan permasalahan yang dihadapinya.
Transformasi organisasi dan manajemen SDM taman nasional membutuhkan pembenahan struktur, fungsi dan program kerja taman nasional di samping peningkatan kualitas dan kuanitas SDM. Selain itu transformasi organisasi dan manajemen SDM taman nasional juga perlu didukung oleh sarana prasarana yang memadai untuk mendukung tercapainya tujuan kelestarian hutan dan pengopimalan pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon. Analisis transformasi organisasi dan manajemen SDM taman nasional menggunakan pendekatan “open systems theory” di mana organisasi merupakan sebuah sistem total yang melipui input, proses dan output, yang saling terhubung membentuk lingkaran umpan balik (Katz & Kahn 1978; Ionita 2013). Input yang dianalisis melipui struktur organisasi, SDM, dan sarana prasarana (sarpras). Proses organisasi yang dianalisis adalah tupoksi dan program kerja (visi, sasaran strategis, Indikator Kinerja Kegiatan) sebagai instrumen pelaksanaan proses kerja organisasi. Keberhasilan manajemen taman nasional dinilai melalui upaya pengalokasian dan pendistribusian input dan proses kerja taman nasional untuk mencapai output yang ditetapkan (Ravanfar 2015, Samantha 2012).
186
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Gambar 9.1 Pendekatan open system theory dalam analisis
transformasi manajemen organisasi dan manajemen sumber daya manusia taman nasional
9.2 Struktur, Fungsi dan Program Kerja Organisasi
Berdasarkan IUCN (1994) taman nasional dikelompokkan dalam kawasan yang dilindungi kategori II dengan tujuan utama untuk pengawetan keanekaragaman jenis dan geneis, pemeliharaan jasa lingkungan, serta pendidikan. Pengelolaan wisata dan rekreasi merupakan tujuan tambahan, sedangkan pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan dari ekosistem alami merupakan tujuan yang potensial atau mungkin idak dapat diterapkan. Dengan kata lain, menurut IUCN, pengelolaan taman nasional pada dasarnya ditujukan untuk pengawetan dan perlindungan. Sementara itu, pemanfaatan hanya bersifat tambahan yang dapat atau justru idak dapat dilakukan di taman nasional. Begitu pula terkait jasa lingkungan taman nasional, fungsi yang dikedepankan adalah pemeliharaan bukan pemanfaatan.
Sementara itu, taman nasional di Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.07/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional. PermenLHK tersebut menyatakan bahwa taman nasional memiliki tugas penyelenggaraan konservasi sumber
187
IX. TRANSFO
RMASI O
RGANISASI DAN
SUM
BER DAYA MAN
USIA TAM
AN N
ASION
AL BAGI O
PTIMALISASI PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
BERBASIS KARBON
daya alam dan ekosistemnya. PermenLHK menegaskan bahwa fungsi utama taman nasional di Indonesia idak hanya perlindungan dan pengawetan, tetapi termasuk fungsi pemanfaatan. Taman nasional merupakan unit pelaksana teknis (UPT) pengelola penyelenggaraan konservasi sumber daya alam dan ekosistem yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Konservasi Sumber Data Alam Ekosistem (KSDAE).
Semua taman nasional melaksanakan tupoksi yang telah ditetapkan oleh PermenLHK Nomor: P.07/2016. Secara rinci, tupoksi ini taman nasional adalah:
· Perlindungan dan pengamanan
· Pengendalian dampak kerusakan sumber daya alam hayai termasuk kebakaran
· Pengawetan, pengembangan dan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar (TSL) untuk non komersial
· Pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan
· Pemulihan ekosistem dan penutupan kawasan
· Pengembangan kerja sama dan kemitraan bidang KSDAE
Struktur organisasi taman nasional di Indonesia disesuaikan berdasarkan kelas dan ipenya. Taman nasional dibagi menjadi 2 kelas yaitu kelas I yang disebut Balai Besar Taman Nasional dan kelas II yaitu Balai Taman Nasional, sedangkan masing-masing kelas dibagi menjadi dua ipe yaitu ipe A dan ipe B. Taman nasional kelas I dikepalai oleh seorang kepala balai seingkat eselon II b, sedangkan taman nasional kelas II dikepalai oleh seorang kepala balai seingkat eselon III. Pembagian ipe didasarkan pada wilayah pengelolaan di mana taman nasional kelas I ipe A memiliki 3 jumlah wilayah pengelolaan dan ipe B hanya memiliki 2 wilayah pengelolaan. Masing-masing wilayah pengelolaan membawahi 2 seksi pengelolaan. Selain Bidang Tata Usaha, taman nasional ipe 1 juga memiliki Bidang Teknis Konservasi yang berfungsi untuk menyiapkan rencana pengelolaan, perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan kawasan. Taman nasional kelas II ipe A memiliki 3 seksi pengelolaan sedangkan ipe B hanya memiliki 2 seksi pengelolaan. Fungsi Bidang Teknis Konservasi pada taman nasional ipe 1 menjadi tanggung jawab Subbagian Tata Usaha.
188
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Gambar 9.2. Struktur organisasi TN kelas I tipe A Gambar 9.2. Struktur organisasi TN kelas I ipe A
Tulisan ini fokus pada taman nasional yang masuk ke dalam kategori kelas II. Konstruksi organisasi taman nasional kelas II menunjukkan, kepala Balai sebagai top management, memiliki peran sentral dalam menentukan kebijakan dan strategi pengelolaan organisasi taman nasional. Hal ini menegaskan hasil peneliian Atmojo et al. (2014). Sementara itu, Subbagian Tata Usaha (TU) bertugas untuk melaksanakan seluruh kegiatan yang bersifat administraif dan manajerial seperi program evaluasi dan anggaran, kerja sama, persuratan, perizinan, promosi, kepegawaian serta keuangan. Seksi pengelolaan melaksanakan tugas yang bersifat teknis seperi inventarisasi potensi, pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan, penyuluhan, pemberdayaan masyarakat, dan sejenisnya. Struktur organisasi taman nasional menunjukkan sentralitas dan formalitas yang khas dalam organisasi birokrasi sebagaimana teori organisasi Webber (Ivancevich et al. 2007; Atmojo et al. 2014).
Gambar 9.3. Struktur organisasi TN kelas II tipe A Gambar 9.3 Struktur organisasi TN kelas II ipe A
189
IX. TRANSFO
RMASI O
RGANISASI DAN
SUM
BER DAYA MAN
USIA TAM
AN N
ASION
AL BAGI O
PTIMALISASI PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
BERBASIS KARBON
Berdasarkan PermenLHK Nomor: P.07/2016, taman nasional menerapkan prinsip pengelolaan berbasis resort (Resort Based
Management), di mana resort merupakan ujung tombak pengelola taman nasional secara teknis pada ingkat tapak. Resort diharapkan dapat menyediakan data dan informasi yang akurat dan cepat tentang kawasan yang dikelolanya kepada manajemen di ingkat yang lebih atas untuk menjadi dasar pengambilan keputusan. Untuk pengelolaan resort, kepala balai dapat menunjuk pejabat non struktural untuk melaksanakan tugas sebagai kepala resort. Kepala balai dapat juga menunjuk pejabat fungsional sebagai kepala resort mengingat tugas kepala resort bersifat lebih teknis dengan area kerja terbatas. Pelaksanaan tugas masing-masing jabatan harus dikoordinasikan, diintegrasikan dan disinkronisasikan dengan lingkungan internal dan eksternal organisasi.
Tujuan kelestarian hutan dan pengopimalan jasa lingkungan telah secara jelas ditetapkan dalam tupoksi taman nasional. Maknanya, legalitas bagi manajemen taman nasional untuk melaksanakan kegiatan yang dapat mendukung kedua target tersebut cukup kuat. Tetapi, perbandingan antara tupoksi dan struktur organisasi taman nasional menunjukkan bahwa semua tupoksi secara manajerial dilaksanakan oleh Sub Bagian Tata Usaha (Subbag TU) dan secara teknis dilakukan oleh seksi pengelolaan dan resort. Pada umumnya bagian TU akan menunjuk staf non struktural atau fungsional tertentu untuk melakukan tugas tertentu terkait kegiatan organisasi, misalnya terkait perizinan jasa lingkungan, perlindungan dan pengamanan, konservasi, serta tugas manajerial lainnya di bawah Subbag TU. Karena keterbatasan SDM, satu staf harus melaksanakan beberapa tugas yang berbeda sehingga hal tersebut seringkali menyebabkan kurang efekifnya pelaksanaan kegiatan yang seharusnya dapat mendukung pencapaian
output. Kompleksitas masalah dan tugas organisasi menjadikan sistem rangkap jabatan idak efekif, pelaksanaan kegiatan menjadi kurang inovaif, lebih mengedapankan administraif atau hanya bersifat business as usual.
Tupoksi, struktur dan pembagian tugas kerja organisasi taman nasional menggambarkan bahwa kepala balai memegang peranan pening dalam menentukan arah kebijakan dan strategi pencapaian kinerja taman nasional. Sebagai pimpinan teringgi, kepala balai memiliki kewenangan dominan untuk menentukan pelaksanaan
190
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
kinerja taman nasional. Pencapaian output pengopimalan jasa lingkungan dan kelestarian hutan sangat ditentukan oleh arah strategis kegiatan yang dianggap prioritas oleh Kepala Balai. Pemimpin suatu organisasi memegang peran kunci dalam keberhasilan pencapaian target organisasi terutama melalui penentuan arah organisasi dan peningkatan produkivitas dan loyalitas SDM (Pramudyo 2013; Soliha et al. 2008). Dengan demikian, kualitas dan peran kepala balai sangat memengaruhi pencapaian target pemanfaatan jasling dan kelestarian hutan. Selain kemampuan manajerial internal, Kepala Balai juga harus memiliki kemampuan untuk mengembangkan jejaring kerja untuk
menarik mitra dalam mengembangkan potensi jasa lingkungan taman nasional.
Meskipun struktur organisasi dan tupoksi taman nasional bersifat seragam tetapi tujuan kelola masing-masing taman nasional sangat spesiik disesuaikan dengan potensi dan kekhasan ekosistem masing-masing taman nasional. Sebagai contoh, TN Sebangau memiliki tujuan kelola untuk melestarikan ekosistem gambut, TN Meru Beiri memiliki tujuan kelola untuk melestarikan biodiversitas khususnya fauna yang khas seperi harimau jawa, banteng, macan tutul, dan penyu, sementara TN Gunung Palung memiliki tujuan kelola untuk melestarikan orang utan. Tujuan kelola tersebut menjadi konsesi umum keika taman nasional terbentuk. Tetapi pada perkembangannya tujuan kelola tersebut berkembang menjadi bersifat lebih umum, yang dituangkan dalam bentuk visi dan sasaran strategis.
Sebagai contoh, visi TN Sebangau (TNS) adalah menjadikan TNS sebagai pusat pendidikan gambut dunia (arahan MenLHK) serta melestarikan ekosistem gambut untuk kualitas hidup dan kehidupan yang berkelanjutan. Visi TN Meru Beiri (TNMB) menjadi pusat wisata edukasi dengan biodiversitas terutuh di indonesia. Visi TN Gunung Palung (TNGP) adalah untuk memasikan kondisi lingkungan kawasan TNGP berada pada toleransi yang dibutuhkan untuk kehidupan manusia dan sumber daya yang ada di TNGP berada pada rentang populasi aman serta memberikan sumbangan bagi perekonomian nasional. Sementara itu, Visi TN Gunung Halimun Salak (TNGHS) adalah terwujudnya TNGHS sebagai taman nasional terbaik yang dikonstruksikan secara sosial dan menjamin kelestarian fungsinya sebagai sistem penyangga kehidupan. Pada umumnya, penetapan visi
191
IX. TRANSFO
RMASI O
RGANISASI DAN
SUM
BER DAYA MAN
USIA TAM
AN N
ASION
AL BAGI O
PTIMALISASI PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
BERBASIS KARBON
tersebut belum mencerminkan secara jelas arah pemanfaatan jasa lingkungan khususnya karbon. Jasa lingkungan yang diopimalkan oleh taman nasional pada umumnya jasa wisata edukasi ekosistem khas masing-masing taman nasional.
Penjabaran visi masing-masing taman nasional baik ke dalam sasaran strategis maupun Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) menunjukkan bahwa pengelolaan taman nasional lebih meniikberatkan pada upaya pengamanan kawasan dan perlindungan biodiversitas sebagaimana tersaji dalam Tabel 9.1 dan Tabel 9.2. Hal tersebut sejalan dengan sasaran strategis pertama KSDAE terkait konservasi biodiversitas. Sasaran strategis kedua KSDAE terkait peningkatan PNBP jasa lingkungan dijabarkan oleh manajemen taman nasional kedalam IKK masing-masing melalui target peningkatan jumlah pengunjung di lokasi wisata alam. Taman nasional yang telah menargetkan jasa karbon adalah TNS dan TNGP. TNS menetapkan target penurunan emisi, miigasi dan pengendalian perubahan iklim melalui pengendalian kebakaran hutan dan gambut, rehabilitasi dan restorasi kawasan TNS. Target tersebut didukung oleh WWF yang memberikan pendampingan dalam penyusunan Project Design Document (PDD) proyek REDD+ di area sekitar 40.000 ha TNS. Target REDD+ TNGP didukung oleh JICA. Meskipun demikian, TNS dan TNGP belum menargetkan PNBP yang dihasilkan dari upaya penurunan emisi tersebut.
Secara umum, taman nasional belum menetapkan jasa lingkungan khususnya karbon sebagai prioritas output organisasi. Alasan utama dibalik hal tersebut adalah karena belum ada acuan normaif dan pedoman dari pusat (PJLHK) serta belum jelasnya perkembangan jasa karbon baik di ingkat nasional maupun global. Selain itu, jasa lingkungan juga belum menjadi prioritas mengingat penerimaan dari jasa lingkungan relaif masih kecil. Pengelolaan jasa lingkungan karbon akan diinisiasi oleh taman nasional apabila ada dukungan dari pihak keiga (NGO). Kendala lain upaya pengembangan jasa lingkungan taman nasional adalah sistem penetapan prioritas kegiatan/program masih dipengaruhi oleh pusat, di mana taman nasional harus mendukung sasaran strategis KSDAE. Orientasi kegiatan pada umumnya ditujukan untuk perlindungan dan pengamanan. Salah satu kasus yang terjadi
adalah keika manajemen taman nasional mengusulkan untuk membangun akses ke lokasi wisata tetapi ditolak oleh pusat karena
192
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
bukan prioritas di ingkat pusat. Tetapi keika dikonirmasi dengan manajemen ingkat pusat, mereka mengatakan sepanjang manajemen taman nasional dapat meyakinkan bahwa usulan program/kegiatan tersebut pening, maka pusat akan menyetujuinya.
Tabel 9.1 Sasaran strategis masing-masing taman nasional
Sebangau Meru Beiri Gunung PalungGunung Halimun
Salak
· Pengelolaan ekosistem gambut dan biodiversitas;
· Peningkatan kesejahteraan
masyarakat
sekitar;
· Mewujudkan
penurunan emisi, miigasi dan PPI;
· Mengembangkan
kelembagaan, kolaborasi dan kemitraan
pengelolaan kawasan yang
berkelanjutan.
· Peningkatan efekivitas pengelolaan hutan konservasi dan upaya
konservasi keanekaragaman
hayai; serta· Peningkatan
penerimaan
devisa dan PNBP dari pemanfaatan jasa lingkungan
kawasan
konservasi.
· Memanfaatkan potensi TNGP untuk meningkatkan
ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat
(diukur dari PNBP jasa lingkungan)
· Melestarikan
keseimbangan
ekosistem dan keanekaragaman
hayai sebagai sistem penyangga
kehidupan (diukur
dari METT)
· Mewujudkan
kemantapan
kawasan
· Menyelamatkan
spesies kunci
· Menekan akivitas illegal
· Meningkatkan
upaya-upaya pengembangan
sistem
pencegahan
kebakaran hutan
dan lahan;
· Mengopimalkan potensi jasa lingkungan
dalam rangka
peningkatan PNBP dan kesejahteraan
masyarakat
· Pengembangan sistem database
Selain itu, penentuan prioritas kegiatan taman nasional juga sangat dipengaruhi oleh sasaran strategis (sastra) yang ditetapkan oleh Dirjen KSDAE di mana seluruh kegiatan taman nasional harus mendukung sastra yang telah ditetapkan oleh Dirjen KSDAE. Sebagai UPT di bawah KSDAE, seluruh taman nasional harus melaksanakan semua kegiatan yang mendukung sasaran strategis KSDAE, yaitu (1) peningkatan efekivitas pengelolaan hutan konservasi dan upaya konservasi keanekaragaman hayai; serta (2) peningkatan penerimaan devisa dan PNBP dari pemanfaatan jasa lingkungan kawasan konservasi dan keanekaragaman hayai. Dengan demikian, tujuan kelestarian hutan dan pengopimalan pemanfaatan jasa lingkungan taman nasional sudah sesuai dengan sasaran strategis KSDAE.
193
IX. TRANSFO
RMASI O
RGANISASI DAN
SUM
BER DAYA MAN
USIA TAM
AN N
ASION
AL BAGI O
PTIMALISASI PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
BERBASIS KARBON
Tabel 9.2 Kinerja kegiatan untuk mendukung pencapaian output
masing-masing taman nasional
Sebangau Meru Beiri Gunung PalungGunung Halimun
Salak
· Pemulihan eko-sistem kategori kriis & terbuka
· Penambahan populasi satwa terancam punah
sebesar 6.000 orangutan dan 200 bekantan
· Pembangunan pusat pengem-bangbiakan dan
suaka satwa
spesies terancam
punah
· Pembinaan desa di daerah pe-nyangga kawasan
· Peningkatan jumlah kunjungan
wisata 500-1000 orang
· Diakuinya pe-nyelenggaraan
DA REDD+ TN Sebangau melalui
tersedianya seri-ikasi VCS, CCBA)
· Pembentukan kader konservasi
· Penurunan kasus kejahatan bidang
pelanggaran
· Penurunan jumlah iik panas (hotspot) dan luas
kebakaran
· Pemulihan eko-sistem terdegra-dasi
· Pembinaan desa di daerah pe-nyangga kawasan
· Kemitraan dengan masyarakat untuk
mengelola zona tradisional
· Perlindungan dan pengamanan
· Peningkatan pop-ulasi 25 spesies satwa terancam
punah
· Peningkatan jumlah kunjungan
wisata 72.650 orang
· Pembentukan kader konservasi
· Peningkatan kerja sama pembangu-nan strategis
· Pemulihan eko-sistem terdegra-dasi
· Pembinaan desa di daerah pe-nyangga kawasan
· Kemitraan dengan masyarakat untuk
mengelola zona tradisional
· Pelaksanaan kegiatan per-lindungan dan
pengamanan
· Peningkatan populasi 25 jenis satwa terancam
· Pembangunan pusat pengem-bangbiakan dan
suaka satwa
spesies terancam
punah
· Peningkatan jumlah kunjungan
wisata 175 orang· Registrasi dan
seriikasi Veriied Carbon Standard
(VCS) atau Cli-mate, Community and Biodiversity Alliance (CCBA) REDD+
· Pemanfaatan jasa air (1 unit)
· Pembentukan kader konservasi
· Pemulihan eko-sistem terdegra-dasi
· Pembinaan desa di daerah pe-nyangga kawasan
· Pelaksanaan kegiatan per-lindungan dan
pengamanan
· Peningkatan populasi 25 jenis satwa terancam
· Pengembang-biakan dan suaka
satwa (sanctuary)
spesies terancam
punah
· Peningkatan jumlah kunjungan
wisata 50 ribu orang dalam negeri
· Izin pemanfaatan jasa air 4 unit
· Pemanfaatan energi air dari ka-wasan konservasi untuk keperluan
mini/micro hy-
dropower plant (1
unit)
· Pembentukan kader konservasi
Pada perencanaan ingkat kementerian, pemanfaatan jasa lingkungan menjadi salah satu Indikator Kinerja Utama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, di mana dinyatakan bahwa jumlah PNBP dari produksi barang dan jasa hutan dan lingkungan hidup pada tahun 2019 ditargetkan sebesar Rp. 3,9 Triliun. Penerimaan jasa lingkungan sendiri ditargetkan berasal dari izin usaha pemanfaatan
194
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
jasa wisata alam (IUPJWA), pungutan masuk objek wisata (PMOWA), izin penangkapan TSL dari alam, dan izin peredaran TSL. Berdasarkan wawancara dengan perwakilan dari Biro Perencanaan, PNBP dari taman nasional diharapkan dapat diopimalkan tanpa merusak daya dukung lingkungan dan bentang alam taman nasional.
Meskipun demikian, sampai saat ini jasa lingkungan di taman nasional yang dimanfaatkan secara opimal hanya wisata alam dan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar, sedangkan jasa karbon dan air belum dimanfaatkan secara opimal. Bahkan, beberapa pihak menyatakan idak opimis terhadap pemanfaatan jasa karbon karena idak ada koordinasi yang jelas lingkup internal KLHK. Di sisi lain, sistem penganggaran di ingkat kementerian pun belum menggambarkan bahwa nilai penerimaan PNBP taman nasional menjadi salah satu indikator untuk pengalokasian anggaran yang lebih besar untuk taman nasional penghasil. Sistem perencanaan dan penganggaran taman nasional baik di ingkat Direktorat Jenderal KSDAE maupun di ingkat Kementerian KLHK belum memberikan insenif bagi pengelolaan jasa lingkungan. Hal tersebut berari bahwa manajemen taman nasional idak diberikan insenif lebih apabila mereka sukses untuk mengopimalkan jasa lingkungan dan menghasilkan PNBP yang besar. Hal ini menyebabkan manajemen taman nasional idak tertarik dan idak berorientasi pada pemanfaatan jasa lingkungan. Tetapi, dari sisi perencanaan di ingkat KLHK mengharapkan bahwa PNBP taman nasional harus ditargetkan dengan jelas dan ditransformasikan ke dalam bentuk program dan kegiatan yang mendukung pemanfaatan jasa lingkungan.
Sintesa di atas menunjukkan bahwa untuk mencapai target
pengopimalan jasa lingkungan, visi dan sasaran strategis yang ditetapkan taman nasional seharusnya mengakomodasi pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan yang menjadi ciri khas atau potensi masing-masing ekosistem taman nasional. Penetapan pengopimalan jasa lingkungan dalam sasaran strategis berimplikasi pada penyediaan anggaran pendukungnya. Sebagai gambaran, Meru Beiri memiliki potensi wisata yang besar, maka visinya dapat berupa pengembangan jasa lingkungan wisata. TNS dan TNGP yang memiliki potensi jasa karbon yang berasal dari berbagai ipe ekosistem hutan, dapat mengutamakan pengembangan jasa lingkungan karbon dari
195
IX. TRANSFO
RMASI O
RGANISASI DAN
SUM
BER DAYA MAN
USIA TAM
AN N
ASION
AL BAGI O
PTIMALISASI PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
BERBASIS KARBON
pengelolaan ekosistem dominannya. Pengembangan jasa karbon pada dasarnya dapat dilakukan oleh seiap taman nasional. Hal ini mengingat tujuan kelestarian dan pengamanan kawasan hutan adalah menjaga
keberadaan vegetasi hutan, yang arinya menjaga stok karbon. Manfaat lainnya, pengembangan jasa karbon idak berisiko terhadap kerusakan hutan, sementara pengembangan wisata berpotensi merusak hutan apabila menjadi mass-tourism.
Visi taman nasional menjadi dasar bagi penetapan pengembangan jasa lingkungan dalam sasaran strategis. Untuk mendukung penetapan tersebut, sasaran strategis di ingkat KSDAE harus mendukung pengembangan jasa lingkungan baik wisata, biodiversitas, air maupun karbon. Saat peneliian ini dilakukan, pengembangan jasa lingkungan karbon belum secara tegas dituangkan dalam sebuah legislasi. Hal ini menjadi salah satu penyebab manajemen taman nasional belum secara tegas menetapkan jasa lingkungan karbon sebagai prioritas dalam sasaran strategis.
Untuk mendukung pelaksanaan sasaran dan program kerja, struktur organisasi taman nasional kelas II perlu didukung oleh bagian yang berfungsi untuk menyiapkan rencana strategis pengembangan jasa lingkungan dan perlindungan kawasan hutan. Mengingat bentuk
organisasi sudah diatur dalam PermenLHK, maka Kepala Balai dapat berinovasi membentuk im strategis di luar struktur formal. Tim tersebut mendukung peran kepala balai dalam merumuskan
dan mengembangkan rencana pengopimalan jasa lingkungan dan meningkatkan perlindungan hutan. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Getzner & Jungmeier (2009; 2011), Slobodian (2011) dan Ionita (2013) bahwa untuk organisasi yang telah ditetapkan secara formal (given), anggota organisasi dapat mengubah hierarki dan formalitas organisasi berdasarkan nilai (value) yang dianut organisasi untuk meningkatkan peran dan hubungan antar anggota organisasi.
196
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Gambar 9.4 Usulan bentuk struktur organisasi untuk mendukung pengopimalan jasa lingkungan
Anggota im strategis merupakan SDM yang memiliki cukup pengalaman, pemikiran kriis dan kreaivitas dalam merumuskan strategi pengelolaan taman nasional. Untuk mendukung kinerja im tersebut, rumusan kegiatan dan anggaran perlu ditetapkan dalam sistem administrasi taman nasional (DIPA). Kegiatan dan anggaran dapat ‘dicantolkan’ pada subbagian TU. Berdasarkan fungsi dan target kinerja taman nasional untuk pengopimalan jasa lingkungan dan kelestarian hutan, struktur organisasi taman nasional pada prinsipnya dapat dikembangkan menjadi seperi yang tersaji pada Gambar 9.4 dan Gambar 9.5.
Gambar 9.5 Pengembangan struktur fungsi teknis organisasi taman nasional untuk mendukung pengopimalan jasa lingkungan
9.3 Sumber Daya Manusia (SDM)
Jumlah, kompetensi, alokasi dan distribusi SDM di taman nasional harus mendukung pencapaian target atau output yang telah ditetapkan.
Kompetensi diarikan sebagai kemampuan individu untuk mengerjakan
197
IX. TRANSFO
RMASI O
RGANISASI DAN
SUM
BER DAYA MAN
USIA TAM
AN N
ASION
AL BAGI O
PTIMALISASI PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
BERBASIS KARBON
pekerjaan yang dibebankan kepadanya, seringkali dinyatakan sebagai kombinasi skill, knowledge dan aitude (Appleton 2015). Kegiatan ini taman nasional terkait output kelestarian hutan dan pengopimalan jasa lingkungan adalah 1) perlindungan & pengamanan; 2) konservasi & pemulihan ekosistem; 3) pemanfaatan jasa lingkungan; dan 4) pemberdayaan masyarakat.
Jumlah SDM di berbagai taman nasional sangat bervariasi. Dengan luasan 542.141 ha, TNS memiliki pegawai sejumlah 79 orang yang terdiri atas 48 PNS dan 29 tenaga kontrak. Sebaliknya, dengan luasan hanya sekitar 9% dari luasan TNS, TNMB memiliki jumlah pegawai sebanyak 92 orang PNS dan 25 tenaga upah harian. Perbandingan jumlah SDM dan luas area taman nasional disajikan dalam Tabel 9.3.
Tabel 9.3 Perbandingan luas areal dan jumlah SDM
Taman NasionalLuas Area
(Ha)Jumlah SDM
Rasio
SDM : Luas
Area
Meru Beiri 52.626,04 117 1 : 450Sebangau 542.141,00 79 1 : 6.863Gunung Halimun Salak 87.699,00 151 1 : 581Gunung Palung 108.043,90 74 1 : 1.460
Tabel 9.3 tersebut menunjukkan bahwa pada umumnya perbandingan jumlah SDM dengan luasan area, apabila dibandingkan dengan aturan kementerian lingkungan dan sumber daya Filipina, telah mencukupi. Di Indonesia sendiri idak ada ketentuan baku kebutuhan personel per hektare taman nasional. Kementerian Lingkungan dan SD Filipina menetapkan ketentuan perbandingan jumlah tenaga patroli dengan luas area taman nasional adalah 1:4.000 (Rambaldi 2000), yang arinya 1 orang diharapkan mampu menjaga 4.000 ha area taman nasional. Dari keempat lokasi peneliian, hanya TNS yang memiliki rasio SDM terhadap luas area lebih dari 1:4.000. SDM taman nasional juga pada umumnya didominasi oleh SDM pada rentang usia produkif (< 50 tahun) sebagaimana tersaji pada Gambar 9.6. Kondisi ini menjadi potensi taman nasional untuk mendukung transformasi organisasi dalam rangka mencapai target pengopimalan jasa lingkungan dan pengamanan hutan.
198
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Gambar 9.6 Komposisi pegawai taman nasional berdasarkan usia
Namun demikian, beberapa model pengelolaan taman nasional menunjukkan bahwa perbandingan jumlah SDM dengan luas area
1:1.000 lebih efekif untuk meningkatkan pengamanan dan pengelolaan hutan (Rambaldi 2000; Ionita 2013). Meskipun kebutuhan SDM idak dapat disamaratakan; sangat bergantung pada kondisi alam taman nasional, infrastruktur, kemampuan SDM, kondisi sosial ekonomi sekitar taman nasional dan lain-lain; berdasarkan rasio di atas, TNS dan TNGP secara kuanitas masih membutuhkan tambahan staf untuk mewujudkan pengelolaan organisasi taman nasional yang efekif.
Gambar 9.7 Komposisi pegawai taman nasional berdasarkan ingkat pendidikan
Permasalahan lainnya adalah sebagian besar SDM taman nasional memiliki ingkat pendidikan setara atau di bawah SLTA dan difungsikan pada bidang administrasi sebagaimana tersaji pada Gambar 9.7 dan Gambar 9.8. Bahkan, SDM yang bertugas pada fungsi pemanfaatan jasa lingkungan dan pengembangan kerja sama lebih mengerjakan
hal-hal yang bersifat administraif seperi pengurusan perizinan. Selain itu, berdasarkan hasil wawancara terungkap bahwa dari total
199
IX. TRANSFO
RMASI O
RGANISASI DAN
SUM
BER DAYA MAN
USIA TAM
AN N
ASION
AL BAGI O
PTIMALISASI PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
BERBASIS KARBON
jumlah pegawai, idak lebih dari 50% saja pegawai dapat menjalankan tugasnya dengan efekif. Hal tersebut disebabkan oleh kompetensi SDM yang rendah.
Gambar 9.8 Proporsi alokasi pegawai taman nasional berdasarkan bidang pekerjaan
Selain administrasi, proporsi alokasi SDM juga diutamakan untuk fungsi pengamanan dan perlindungan. Hal tersebut terlihat dari jumlah polhut yang lebih banyak dibandingkan fungsional lainnya. Hal tersebut sangat umum pada pola pengelolaan taman nasional di dunia. Misalnya di Hungaria, Jerman, Austria, Serbia, dan lain-lain (Ionita et
al. 2013). Fungsi pengamanan dan perlindungan menunjukkan bahwa taman nasional sangat memprioritaskan kelestarian hutan. Pada dasarnya kelestarian hutan berperan sangat pening untuk pencapaian target pengopimalan jasa lingkungan, karena jasa lingkungan akan opimal apabila kelestarian hutan tetap terjaga. Meskipun demikian tugas lainnya seperi konservasi dan monitoring sumber daya air, perhitungan dan monitoring karbon, pengelolaan wisata, manajemen database serta fungsi komunikasi dan markeing belum didukung oleh sumber daya manusia yang memadai. Fungsi markeing dan komunikasi memegang peranan pening bagi keberlanjutan pengelolaan taman nasional dan diperlukan untuk transfer organisasi menjadi lebih modern (Ionita et al. 2013, Appleton et al. 2003). Lockwood et al. (2006) menyatakan bahwa SDM taman nasional selain memiliki kemampuan teknik (technical skill), seharusnya juga memiliki kemampuan social (human skill), dan kemampuan konseptual (conceptual skill).
200
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Berdasarkan latar belakang pendidikan, SDM taman nasional yang memiliki jenjang pendidikan setara atau di atas sarjana didominasi oleh bidang ilmu alam baik kehutanan, pertanian maupun perikanan sebagaimana tersaji pada Gambar 9.9. Beberapa SDM di beberapa taman nasional telah mendapatkan pelaihan terkait manajemen taman nasional yang didukung oleh berbagai NGO sebagai mitra kerja taman nasional. Misalnya, pelaihan inventarisasi hutan dan pengelolaan database keanekaragaman hayai, penerapan Spaial Monitoring and Reporing Tool (SMART), serta pelaihan pengelolaan kawasan konservasi. Pelaihan lebih banyak pada aspek teknis pengelolaan taman nasional. Beberapa taman nasional telah memiliki SDM yang berlatar belakang pendidikan sosial, ekonomi, hukum dan IT meskipun jumlahnya sedikit, tetapi idak ada satu taman nasional pun yang memiliki SDM di bidang komunikasi. Untuk mengisi kekurangan SDM yang memiliki keahlian di bidang tertentu khususnya yang terkait
erat dengan kegiatan pengopimalan jasa lingkungan, SDM taman nasional perlu diberikan program pelaihan secara regular sesuai dengan tugasnya masing-masing secara spesiik.
Gambar 9.9 Komposisi pegawai taman nasional berdasarkan latar belakang pendidikan
Isu pening lain terkait manajemen SDM taman nasional adalah pendistribusian SDM di wilayah kerja. Mengingat pengelolaan taman nasional menggunakan pendekatan resort based management, maka kebutuhan SDM di iap resort harus disesuaikan dengan karakterisik masing-masing resort. Resort yang memiliki potensi jasa wisata yang inggi tetapi ancaman kerusakan hutannya rendah maka perlu diperkuat SDM yang memiliki kompetensi teknis terkait jasa wisata. Sebaliknya resort yang memiliki ancaman kerusakan hutan yang
201
IX. TRANSFO
RMASI O
RGANISASI DAN
SUM
BER DAYA MAN
USIA TAM
AN N
ASION
AL BAGI O
PTIMALISASI PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
BERBASIS KARBON
inggi harus maka SDM yang ditempatkan lebih banyak adalah tenaga pengamanan hutan atau polhut. Penempatan SDM di ingkat resort lebih diprioritaskan untuk yang memiliki kemampuan teknis. Hanya diperlukan 1–2 orang SDM yang memiliki kemampuan strategis dan manajerial untuk mengorganisasitenaga teknis.
Untuk penyediaan tenaga teknis di lapangan/resort pada dasarnya dapat dilakukan melalui kolaborasi atau kerja sama dengan masyarakat sekitar. Masyarakat dapat dijadikan mitra untuk tenaga pengamanan
hutan dan tenaga teknis pengembangan jasa lingkungan seperi tenaga pelayanan wisata, tenaga pengukuran dan monitoring pohon, dll. Strategi pengalihan penugasan ke pihak keiga atau outsourcing
seperi itu dinilai efekif untuk organisasi yang memiliki hierarki dan formalitas sangat rigid, agar dapat lebih adapif dan lexibel (Rafanvar 2015; Naipinit et al. 2014; Gyepi-Garbrah & Binfor 2013).
Berdasarkan analisis struktur dan strategi organisasi, kebutuhan SDM untuk mendukung pencapaian output pengopimalan jasa lingkungan dan kelestarian hutan adalah seperi tersaji pada Tabel 9.4 di bawah.
Tabel 9.4 Kebutuhan SDM bagi pengopimalan jasa lingkungan di taman nasional
Fungsi / bidang pekerjaan Tugas dan tanggung
jawab
Knowledge / Skill yang
harus dimiliki
Middle Management
· Strategi
pengembangan jasa
wisata
· Penyusunan rencana strategis
pengembangan
pengelolaan wisata
· Manajemen
kehutanan/ekologi, manajemen pariwisata, desain kawasan wisata, manajemen ekologi
· Strategi
pengembangan jasa air
· Penyusunan rencana strategis
pengembangan
pengelolaan potensi sumber daya air
· Hidrologi, kehutanan
· Strategi konservasi dan pengamanan hutan
· Penyusunan rencana strategis konservasi dan pengamanan
hutan
· Konservasi dan manajemen
kehutanan, risk and disaster management, Memahami ilmu
dampak lingkungan
202
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Fungsi / bidang pekerjaan Tugas dan tanggung
jawab
Knowledge / Skill yang
harus dimiliki
· Pengembangan kerja sama, promosi dan pemasaran jasa
lingkungan
· Penyusunan rencana strategis kegiatan kerja
sama, promosi dan pemasaran potensi jasa lingkungan TN
· Manajemen bisnis, markeing, manajemen kehutanan, kemampuan
komunikasi dalam bahasa inggris, menyusun proposal proyek
· Manajemen SDM · Pengembangan kompetensi SDM dan pengelolaan SDM
· Manajemen SDM, supervisi, moivasi dan evaluasi kinerja SDM
Technical Specialist
· Teknologi dan informasi
· Menyiapkan teknologi informasi potensi jasa lingkungan TN untuk mendukung fungsi kerja sama, promosi dan pemasaran jasa
lingkungan
· Pengelolaan database
potensi jasa lingkungan TN
· IT, GIS, Remote Sensing
· Urusan Hukum dan peraturan
· Menganalisis
peraturan yang berlaku
dalam pengelolaan TN
· Hukum dan peraturan terkait pengelolaan hutan konservasi
· Pemandu wisata · Meningkatkan
awareness dan
knowledge bagi
pengunjung terkait
potensi wisata· Men-supervisi dan
menjadi guide untuk
pengunjung wisata
· Manajemen
wisata, manajemen kehutanan, komunikasi dalam bahasa inggris
· Manajemen keuangan · Mengatur mekanisme
keuangan TN· Akuning, manajemen
keuangan
· Pemberdayaan masyarakat
· Melaksanakan
peningkatan
knowledge masyarakat
sekitar kawasan dan
menjalin kerja sama
dengan masyarakat
dalam menjaga
kawasan
· Sosiologi, manajemen kehutanan, komunikasi
Tabel 9.4 Kebutuhan SDM bagi pengopimalan jasa lingkungan di taman nasional (lanjutan)
203
IX. TRANSFO
RMASI O
RGANISASI DAN
SUM
BER DAYA MAN
USIA TAM
AN N
ASION
AL BAGI O
PTIMALISASI PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
BERBASIS KARBON
Fungsi / bidang pekerjaan Tugas dan tanggung
jawab
Knowledge / Skill yang
harus dimiliki
Skilled Labours
· Pelayanan jasa wisata · Melaksanakan urusan
pelayanan jasa wisata
seperi karcis masuk, ketersediaan fasilitas wisata, dll
· Mengoperasikan komputer
· Pengamanan hutan · Melaksanakan
pengamanan dan
perlindungan hutan
· Teknik-teknik pengamanan
hutan, memahami penggunaan alat-alat pengamanan hutan
dan komunikasi (GPS, dll)
· Fungsi administraif kepegawaian
· Melaksanakan
urusan administrasi
terkait manajemen
kepegawaian
· Mengoperasikan komputer
· Fungsi administraif kerja sama
· Melaksanakan
urusan administrasi
terkait pelaksanaan
kerja sama misalnya
perizinan, dll
· Mengoperasikan komputer
· Monitoring kehai · Mengideniikasi dan menjaga lora fauna, termasuk habitatnya
· Memahami
penggunaan alat-alat pengamanan hutan
dan komunikasi (GPS, kompas, dll), memahami jenis-jenis biodiversitas hutan
· Monitoring hidrologi · Monitoring potensi sumber daya air
· Memahami
penggunaan alat-alat monitoring hidrologi
· Monitoring stok karbon
· Mengukur stok karbon · Memahami
penggunaan alat-alat pengukuran pohon
· Perawatan sarpras · Menjaga kondisi sarpras secara ruin
· Maintainance alat-alat di lapangan
Sumber: dimodiikasi dari Appleton (2015)
Tabel 9.4 Kebutuhan SDM bagi pengopimalan jasa lingkungan di taman nasional (lanjutan)
204
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
9.4 Sarana Prasarana (Sarpras)
Permasalahan sarana prasarana di seiap taman nasional merupakan permasalahan klasik di mana sarpras pendukung kegiatan ini belum memadai. Hal yang terungkap dari fakta di lapangan adalah sulitnya akses ke dalam hutan, masih rendahnya fasilitas pengunjung di kawasan wisata alam, fasilitas pendukung pengopimalan jasa lingkungan lainnya serta sarpras pendukung sistem pengamanan.
Selain itu sarana komunikasi antara resort, seksi dan balai juga masih memerlukan perbaikan. Pada umumnya alat komunikasi dan alat prosesing data sangat terbatas di ingkat seksi dan resort. Hampir semua taman nasional masih memerlukan sarpras terkait monitoring dan analisis biodiversity. Petugas pengaman hutan juga perlu dilengkapi alat pendeteksi lokasi / GPS berbasis android sebagai alat deteksi dini ancaman hutan seperi illegal logging, perambahan, dll. Sementara itu, beberapa resort di TNMB belum memiliki kantor permanen, seperi Resort Baban di SPTNW III dan Resort Karangtambak di SPTNW I Sarongan.
Mengingat kegiatan pengopimalan jasa lingkungan khususnya air dan karbon pada umumnya belum menjadi prioritas taman nasional, diperlukan penambahan infrastruktur pendukung pengukuran dan monitoring sumber daya air dan karbon. Meskipun demikian, pada dasarnya kegiatan pengopimalan jasa air dan karbon idak memerlukan penambahan sarpras yang banyak. Sarpras utama yang diperlukan
adalah pembangunan Permanent Sample Plot (PSP) dan penguatan teknologi citra satelit di beberapa lokasi hutan taman nasional yang mewakili beberapa ipe ekosistem untuk memonitoring perubahan stok karbon. Selain itu, untuk jasa air paling idak diperlukan alat monitoring debit air dan inggi muka air (untuk gambut) secara reguler sehingga tersedia database potensi air yang dapat dimanfaatkan.
205
IX. TRANSFO
RMASI O
RGANISASI DAN
SUM
BER DAYA MAN
USIA TAM
AN N
ASION
AL BAGI O
PTIMALISASI PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
BERBASIS KARBON
9.5 Komparasi Kondisi Riil dengan Konstruksi Ideal
Komparasi kondisi riil dengan kontruksi organisasi dan manajemen SDM yang diharapkan (Tabel 9.5) menyajikan fakta bahwa saat ini struktur organisasi dan SDM taman nasional masih memerlukan pembenahan dan perbaikan. Pembenahan, mengingat pada beberapa hal idak diperlukan tambahan investasi hanya perlu inovasi untuk mendesain ulang. Misalnya perombakan design organisasi dan pembenahan tupoksi pegawai. Pembenahan desain organisasi dilakukan tanpa mengubah struktur organisasi taman nasional yang telah ditetapkan berdasarkan PermenLHK, hanya mendistribusikan SDM untuk melakukan fungsi tertentu yang diperlukan. Selain itu, sebagian personel yang sebelumnya memiliki fungsi administraif dapat didistribusikan ke fungsi teknis. Pelaihan pun dapat diberikan apabila diperlukan untuk peningkatan kapasitas SDM.
206
STRATEGI PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN BERBASIS KARBON DI TAMAN NASIONAL
Tabel 9.5 Kondisi riil vs konstruksi ideal organisasi dan manajemen SDM taman nasional
Aspek Kondisi Ideal Kondisi Ril Gap Upaya Perbaikan
Struktur & fungsi organisasi
· Desain organisasi bersifat organik yang memiliki leksibilitas dalam ruang inovasi dan komunikasi antar anggota.
· Struktur dan fungsi organisasi sesuai dengan tujuan yang
akan dicapai
· Desain organisasi bersifat mekanisik, memiliki formalitas dan sentralisasi yang inggi.
· Fungsi organisasi taman nasional sudah mendukung pencapaian pengopimalan jasling dan kelestarian hutan
· Struktur organisasi kurang mendukung pencapaian tujuan
taman nasional
· Keiadaan bagian yang menangani strategi
pengembangan jasling dan
perlindungan hutan serta
fungsi manajemen database sumber daya taman nasional.
· Organisasi yang ada masih
fokus pada penanganan kegiatan yang bersifat teknis
· Penambahan bagian pada struktur organisasi yang berfungsi untuk merumuskan strategi pengembangan jasling
dan perlindungan hutan serta
pengelolaan database sumber
daya taman nasional· Perlu diperjelas fungsi
teknis di lapangan dengan
mendeinisikan fungsi yang terkait pemanfaatan jasa lingkungan
Sasaran strategis Kejelasan sasaran strategis terkait pengopimalan jasling
Keidakjelasan taman nasional dalam menetapkan pengopimalan jasling khususnya karbon dalam sasaran strategis
Keiadaan dokumen yang memuat komitmen pengopimalan jasa lingkungan
Menetapkan pemanfaatan jasa karbon dalam sasaran strategis dan mengalokasikan anggaran pendukungnya
207
IX. TRANSFORMASI ORGANISASI DAN SUMBER DAYA MANUSIA TAMAN NASIONAL BAGI OPTIMALISASI PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN BERBASIS KARBON
Aspek Kondisi Ideal Kondisi Ril Gap Upaya Perbaikan
Hubungan kerja dengan
Ditjen KSDAE dan Direktorat Jenderal terkait
lingkup KLHK
· Kejelasan peraturan terkait pemanfaatan karbon di taman nasional
· Kesesuaian visi sasaran strategis pemanfaatan jasa lingkungan antara KSDAE dan KLHK
· Sistem perencanaan dan
anggaran yang mendukung
pengopimalan jasling
· Keidakjelasan aturan hukum, visi dan sasaran strategis KLHK untuk mendukung pengopimalan jasling khususnya karbon di taman nasional
· Sistem perencanaan dan
anggaran belum mendukung
pengopimalan jasling karbon
· Keiadaan peraturan sebagai paying hukum
· Keidaksesuaian perencanaan KSDAE dan KLHK
· Penyusunan peraturan pemanfaatan karbon di taman nasional
· Taman nasional dan KSDAE menegaskan target pemanfaatan jasa karbon di kawasan konservasi ke ingkat KLHK
· Penetapan sistem perencanaan dan
anggaran yang mendukung
pengopimalan jasling karbon
Pembagian tugas dan kewenangan
Terdapat kejelasan uraian tugas
dan tanggung jawab pekerjaan
seiap fungsi / bagian
Terdapat sistem rangkap tugas Tidak terdapat kejelasan tugas
dan tanggung jawab seiap personel
Perlu disusun dan ditetapkan tugas dan tanggung jawab untuk
seiap personel
Jumlah SDM · Seiap personel bertanggung jawab terhadap pengelolaan 4.000 ha area taman nasional.
· Perbandingan yang lebih ideal adalah 1 : 1.000
Beberapa taman nasional masih kekurangan personel
Terdapat kebutuhan penambahan
personel taman nasionalKebutuhan SDM untuk tugas khusus yang bersifat teknis dapat dilakukan melalui sistem
pemberdayaan masyarakat
setempat
Tabel 9.5 Kondisi riil vs konstruksi ideal organisasi dan manajemen SDM taman nasional (lanjutan)
208
STRATEGI PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN BERBASIS KARBON DI TAMAN NASIONAL
Aspek Kondisi Ideal Kondisi Ril Gap Upaya Perbaikan
Kompetensi SDM · Terdapat kepemimpinan yang
transformasional· Terdapat personel yang
memiliki kemampuan berikir strategis dan keahlian terkait
pengelolaan jasa lingkungan
· Sistem penetapan pimpinan
taman nasional yang mekanisik
· Sebagian besar personel taman nasional berpendidikan seingkat SMA ke bawah yang idak memiliki keahlian yang relevan
· Sebagian besar SDM memiliki
background ilmu alam, belum ada SDM yang memiliki
background di bidang ilmu
lainnya yang mendukung
pengelolaan jasling
· Keiadaan sistem kepemimpinan yang
transformasional· Kompetensi SDM untuk
mendukung pengopimalan jasa lingkungan masih kurang
· Keiadaan personel yang memiliki bidang ilmu tertentu
yang diperlukan untuk
transformasi organisasi
· Mekanisme Penetapan pimpinan taman nasional yang selekif
· Pelaihan terkait bidang ilmu / keahlian yang dibutuhkan khususnya untuk fungsi yang bersifat teknis dan bidang keilmuan yang diperlukan.
· Penambahan personel di bidang ilmu yang dibutuhkan
Sarpras Kelengkapan sarpras terkait pengamanan hutan, monitoring dan pengukuran jasa karbon, air dan biodiversitas serta sarpras terkait pelayanan jasa wisata.
· Kekurangan jumlah plot pengukuran karbon permanen untuk monitoring dan pengukuran stok karbon
· Keiadaan stasiun monitoring debit air yang permanen
· Keidaklayakan saran wisata terutama akses jalan
· Minimnya alat komunikasi dan data processing di ingkat resort
Kekurang-lengkapan sarpras untuk mendukung pengopimalan jasa lingkungan
· Pembuatan beberapa PSP di seiap ipe ekosistem hutan
· Pembuatan stasiun monitoring air di lokasi SDA
· Dibuat track atau jalur
sederhana (pengerasan tanah
tanpa ditembok) menuju lokasi wisata
· Pengadaan alat komunikasi dan data processing
Tabel 9.5 Kondisi riil vs konstruksi ideal manajemen organisasi dan SDM taman nasional (lanjutan)
209
IX. TRANSFO
RMASI O
RGANISASI DAN
SUM
BER DAYA MAN
USIA TAM
AN N
ASION
AL BAGI O
PTIMALISASI PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
BERBASIS KARBON
Perbaikan yang cukup signiikan adalah kebutuhan sistem kepemimpinan taman nasional yang transformasional dan
penambahan sarpras. Kepemimpinan tersebut mampu meningkatkan potensi dan integritas personel serta mampu mengembangkan perencanaan strategis termasuk menjalin kerja sama dengan pihak
keiga (Ancok 2012; Atmojo et al. 2013). Hal terakhir tersebut menjadi poin pening mengingat fakta menunjukkan bahwa pengopimalan jasa lingkungan di beberapa taman nasional dapat terlaksana karena adanya dukungan pihak keiga. Pihak keiga yang potensial untuk menjadi partner adalah non government organizaion (NGOs) yang peduli terhadap lingkugan, sektor swasta maupun masyarakat. Konsep public–private partnership dapat dikembangkan untuk
mentransformasi organisasi taman nasional. Hal tersebut mulai dikembangkan di beberapa negara (Saporii 2006; Thackway et al.
1999). Sementara itu, kerja sama dengan masyarakat khususnya untuk kegiatan pengamanan dan monitoring sumber daya hutan menjadi alternaif upaya peningkatan kontribusi taman nasional terhadap kesejahteraan masyarakat setempat.
9.6 Kesimpulan
Transformasi organisasi dan SDM taman nasional memerlukan proses inovasi dan perbaikan pada beberapa hal. Tupoksi taman nasional pada dasarnya telah mendukung upaya mengopimalkan jasling, hanya saja perlu inovasi dalam mendesain fungsi-fungsi organisasi serta penyesuaian distribusi personel ke dalam fungsi tersebut. Pelibatan masyarakat setempat dalam upaya pengelolaan taman nasional juga merupakan upaya efekif untuk mendukung tujuan kelestarian hutan dan pengopimalan jasa lingkungan.
Peningkatan kualitas pimpinan taman nasional menjadi poin pening dalam proses transformasi organisasi dan SDM taman nasional. Hal tersebut dapat diupayakan melalui standarisasi mekanisme seleksi
pimpinan taman nasional. Diperlukan peraturan yang jelas terkait mekanisme pengembangan jasa karbon di taman nasional termasuk mekanisme public–private partnership. Dengan demikian, transformasi organisasi dan SDM taman nasional pada akhirnya selain mendukung pengopimalan jasa lingkungan, peningkatan pengamanan hutan, juga dapat meningkatkan kontribusi taman nasional terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
210
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Datar PustakaAtmojo T, Awang SA, Purwanto EA. 2014. Ideniikasi Variabel-Variabel
Pembangunan Lembaga Kph Konservasi Di TN Alas Purwo. Jurnal
Analisis Kebijakan Kehutanan. 11(2): 117–127, Agustus 2014.
Avishek K, Yu X, & Liu J. 2012. Ecosystem management in Asia Paciic: Bridging science–policy gap. Environmental Development, 3, 77–90. doi:10.1016/j.envdev.2012.03.014
Blau PM. 1970. Decentralizaion in bureaucracies. In: Zald, M.N. (Ed.), Power in Organisaions. Vanderbilt University Press, Nashville, TN, pp. 150–174.
Dewar R, Werbel J. 1979. Universalisic and coningency predicions of employee saisfacion and conlict. Administraive Science Quarterly 24, 426–448.
Falleta SV. 2005. Organizaional Diagnosic Models: A Review & Synthesis. Leadersphere, Inc. Sunnyvale.
Germain R. 1996. The role of context and structure in radical and incremental logisics innovaion adopion. Journal of Business Research 35, 117–127.
Gerwin D, Kolodny H. 1992. Management of Advanced Manufacturing Technology: Strategy, Organizaion, and Innovaion. Wiley/Interscience, New York, NY.
Getzner M. 2010. Ecosystem services, inancing, and the regional economy: A case study from Tatra Naional Park, Poland, Biodiversity, 11:1–2, 55–61, doi: 10.1080/14888386.2010.9712648
Katz D, & Kahn RL. 1978. The Social psychology of organizaions. (2nd
ed.). New York, NY: Wiley.
Ionita A, Jungmeier M, Huber M. 2013. Analysis of organizaional structures of protected areas along the Danube. Study commissioned by Donau-Auen Naional Park. DANUBEPARKS Step 2.0. Phase II, E.C.O. Insitute of Ecology, Klagenfurt, 45 p. + Annex
IUCN (1994) Guidelines for protected area management categories. IUCN Commission on Naional Parks and Protected Areas with the assistance of the World Conservaion Monitoring Centre. IUCN, Gland.
211
IX. TRANSFO
RMASI O
RGANISASI DAN
SUM
BER DAYA MAN
USIA TAM
AN N
ASION
AL BAGI O
PTIMALISASI PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
BERBASIS KARBON
Kadir AW, Nurhaedah M, Purwani R. 2013. Konlik Pada Kawasan Taman Nasional Banimurung Bulusaraung Provinsi Sulawesi Selatan dan Upaya Penyelesaiannya. Jurnal Peneliian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. 10 (3): 186–198. September 2013.
Lockwood M, Worboys G, Kothari A. 2006. Managing Protected Areas: A Global Guide. Earthscan. London.
Mathis RL, Jackson JH. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia-Human Resource Management. PT. Salemba Emban Patria. Jakarta.
Obidzinski K, Andrianto A, Wijaya C. 2006. Penyelundupan kayu di Indonesia masalah gening atau berlebihan? Pembelajaran pengaturan hutan dari Kalimantan. Center for Internaional Forestry Research. Bogor, Indonesia.
Purwanto SA. 2005. Taman Nasional, Hak-hak Masyarakat Setempat dan Pembangunan Regional. Antropologi Indonesia. 29 (3).
Pramudyo A. 2013. Implementasi Manajemen Kepemimpinan Dalam Pencapaian Tujuan Organisasi. JBMA. I(2): 49-61.
Rambaldi G. 2000. Staing Protected Areas: Deining Criteria Based on a Case Study of Eight Protected Areas in the Philippines. Suhay: Special Report July–September.
Ravanfar MM. 2015. Analyzing Organizaional Structure Based on 7s Model of Mckinsey. Global Journal of Management and Business Research: A Administraion and Management. 15(10) Version 1.0
Ruekert RW, Walker Jr. OC, Roering KJ. 1985. The organizaion of markeing aciviies: a coningency theory of structure and performance. Journal of Markeing 49: 13–25.
Santoso H, Muntasib EKSH, Kartodihardjo H, Soekmadi R. 2015. Peranan Dan Kebutuhan Pemangku Kepeningan Dalam Tata Kelola Pariwisata Di Taman Nasional Bunaken, Sulawesi Utara. Jurnal Peneliian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. 12(3): 197–211. Desember 2015.
Saporii N. 2006. Managing Naional Parks How Public-Private Partnerships Can Aid Conservaion. htp://rru.worldbank.org/PublicPolicyJournal.
Soliha E, dan Hersugondo. 2008. Kepemimpinan Yang Efekif dan Perubahan Organisasi. Fokus Ekonomi (FE). 7(2): 83–93.
212
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Su Z, and Wright PM. 2012. The efecive human resource management system in transiional China: a hybrid of commitment and control pracices. The Internaional Journal of Human Resource Management. 23(10): 2065–2086.
Thackway R. Olsson K. 1999. Public/private partnerships and protected areas: selected Australian case studies. Landscape and Urban Planning. 44: 87–97.
Thanaphan Naipinit, Somkier Kojchavivong, Vorawit Kowitayakorn1 & Thongphon Promsaka NaSakolnakorn (2014), McKinsey 7S Model for Supply Chain Management of Local SMEs Construcion Business in Upper Northeast Region of Thailand, Asian Social Science; Vol. 10, No. 8; ISSN 1911-2017 E-ISSN 1911-2025. 20.
Theophilus Francis Gyepi-Garbrah, Frederick Binfor (2013), An Analysis of Internal Environment of a Commercial-oriented Research Organizaion: Using Mckinsey 7S Framework in a Ghanaian Context, Internaional Journal of Academic Research in Business and Social Sciences. 3(9). ISSN: 2222-6990.
Walton RE. 1985. From control to commitment:transforming work force management in the United States. In: Clark, K., Hayes, R., Lorenz, C. (Eds.), The Uneasy Alliance: Managing the Producivity–Technology Dilemma. Harvard Business School Press, Boston, pp. 237–265.
Weber, Samantha, (Eds.). 2012. Rethinking Protected Areas in a Changing World: Proceedings of the 2011 George Wright. Society Biennial Conference on Parks, Protected Areas, and Cultural Sites. Hancock, Michigan: The George Wright Society.
X. ALTERNATIF SKEMA PENDANAAN PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN
BERBASIS KARBON DI TAMAN NASIONALFitri Nurfatriani dan Mohamad Iqbal
10.1 Latar Belakang
Kawasan konservasi memiliki peran yang idak terganikan sebagai benteng perlindungan spesies dan bagi upaya konservasi keragaman
hayai. Saat ini terdapat lebih dari 150.000 kawasan konservasi di dunia dengan luasan mencapai sekitar 19 juta km2 atau 12,7% dari permukaan bumi (Direktorat Kawasan Konservasi 2015). Taman nasional merupakan salah satu kawasan konservasi yang memiliki
keanekaragaman hayai yang inggi. Saat ini, Indonesia memiliki kawasan hutan konservasi seluas ± 27,4 Juta Ha, di mana hampir 60% dari luasan tersebut, yakni seluas ± 16,26 Juta Ha adalah kawasan taman nasional (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2017). Berbagai fungsi ekologis taman nasional perlu diapresiasi. Fungsi-fungsi tersebut antara lain sebagai penjamin keberlangsungan jasa lingkungan biodiversitas lora dan fauna, ketersediaan jasa lingkungan air termasuk perlindungan daerah aliran sungai/watershed
management, keindahan dan fenomena alam (wisata alam) dan sebagai kawasan yang menjaga, menyimpan dan meningkatkan stok karbon sekaligus. Namun demikian, dalam kerangka penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+), peran hutan konservasi sebagai penjaga stok karbon hingga saat ini masih belum terapresiasi dengan baik. Hal ini karena metodologi penyediaan insenif bagi upaya penurunan emisi dari sektor lahan termasuk hutan di ingkat global dan nasional masih menekankan pada aspek addiionality, yaitu seberapa besar upaya miigasi dilakukan untuk menurunkan emisi karbon yang didasarkan pada skenario business as usual (BAU). Akan tetapi peran kawasan konservasi dalam menjaga simpanan karbon telah mulai diapresiasi melalui peluang adanya insenif dari REDD+ untuk manfaat non karbon.
Terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan konservasi secara umum di Indonesia. Salah satu permasalahan yang ditemui adalah kurangnya sumber daya yang
214
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
tersedia untuk mengelola kawasan konservasi dan keidaktepatan dalam mengalokasikan sumber daya yang dimiliki. Untuk itu diperlukan alternaif pendanaan bagi kawasan konservasi khususnya taman nasional agar sumber daya yang dibutuhkan lebih opimal dan dapat mencapai tujuan pengelolaan taman nasional yang telah ditetapkan. Hal ini sangat dibutuhkan mengingat kawasan taman nasional memiliki potensi keanekaragaman hayai dan jasa lingkungan lainnya yang dapat dimanfaatkan oleh pengelola untuk mendukung kelestariannya. Dengan demikian fungsi ekologis berbasis karbon yang dihasilkan oleh
taman nasional seharusnya diapresiasi oleh berbagai pihak dan hal
ini dapat dijadikan instrumen untuk menangkap peluang pendanaan publik sebagai alternaif sumber pendanaan taman nasional. Untuk itu dalam bab ini akan diuraikan bagaimana alternaif skema pendanaan taman nasional berdasarkan pada fungsi ekologis berbasis karbon
yang dihasilkan taman nasional. Tulisan ini berdasarkan pada hasil peneliian di empat kawasan taman nasional yaitu Taman Nasional Meru Beiri (TNMB), Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), Taman Nasional Gunung Palung (TNGP) dan Taman Nasional Sebangau (TNS).
10.2 Skema Pendanaan Taman Nasional Saat Ini
Bagian ini menganalisis berbagai sumber pendanaan taman nasioal yang sedang berjalan, penerimaan taman nasional, belanja taman nasional, kesesuaian antara penerimaan dengan belanja taman nasional, dan restrukturisasi program dan pembiayaan taman nasional yang
berorientasi pada pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon. Data penerimaan dan belanja Taman Nasional dalam buku ini diambil dari Laporan Realisasi Anggaran (LRA) masing-masing Taman Nasional.
10.2.1 Penerimaan Taman nasional
Analisis sumber pendanaan taman nasional di empat lokasi peneliian menunjukkan bahwa sumber dana terbesar untuk mendanai kegiatan pengelolaan taman nasional adalah anggaran pemerintah atau Datar Isian Penggunaan Anggaran (DIPA). Hal ini disebabkan oleh pengelolaan taman nasional yang masih bersifat cost oriented sehingga diperlukan
sumber dana yang besar untuk mendanai pengelolaan dibandingkan
dengan penerimaan yang akan dihasilkan taman nasional. Di
215
X. ALTERNATIF SKEM
A PENDAN
AAN PEM
ANFAATAN
JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
beberapa taman nasional memang terdapat pendanaan dari hibah
yang diperoleh dari kegiatan kerja sama pengelolaan taman nasional. Akan tetapi nilai hibah ini masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan total anggaran yang dibutuhkan untuk mengelola taman nasional. Nilai hibah ini bukan merupakan bantuan dana tunai yang masuk
ke dalam anggaran DIPA taman nasional tetapi dalam bentuk hibah barang atau jasa. Meskipun nilai hibah idak terlalu inggi tetapi dari hasil wawancara dengan narasumber pengelola taman nasional, hal ini cukup membantu membiayai kegiatan operasional taman nasional
yang idak terpenuhi sepenuhnya dari DIPA.
Gambar 10.1 Rata-rata PNBP di empat taman nasional contoh
(Rp/tahun)
Penerimaan taman nasional terdiri atas penerimaan dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan hibah. PNBP didominasi oleh penerimaan dari pemanfaatan wisata alam yaitu dari iket masuk. Beberapa taman nasional memperoleh PNBP dari izin usaha jasa wisata dan sarana prasarana wisata alam dan dari pemanfaatan satwa dan
tumbuhan untuk kegiatan peneliian. Pemanfaatan fungsi hidrologis taman nasional belum menghasilkan PNBP bagi taman nasional meskipun di TNGHS dan TNGP prakik pemanfaatan sumber air sudah berjalan untuk sumber air perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK), demikian pula untuk energi air. Penerimaan dari hibah idak tercatat sebagai penerimaan tunai bagi balai taman nasional. Rata-
216
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
rata PNBP per tahun yang dihasilkan empat taman nasional dapat dilihat pada Gambar 10.1. Dari Gambar 10.1 terlihat bahwa TNGHS menghasilkan rata-rata PNBP per tahun teringgi sementara Taman Nasional Sebangau paling rendah. Hal ini terkait dengan akses ke taman nasional dan juga keunikan keanekaragaman hayai yang dimiliki taman nasional.
Untuk melihat potensi pengelolaan taman nasional secara mandiri dari PNBP yang dihasilkan, dilakukan perhitungan perbandingan antara besar total belanja (belanja barang, belanja modal dan belanja pegawai) yang dibutuhkan taman nasional dengan PNBP yang dihasilkan. Dalam Gambar 10.2 dipaparkan perbandingan antara rata-rata total belanja dengan rata-rata PNBP yang dihasilkan di empat taman nasional. Dari hasil analisis diketahui bahwa perbandingan antara PNBP yang dihasilkan dengan anggaran TNGP sangat kecil yaitu berkisar antara 0,4%–8%. Proporsi PNBP terbesar terdapat di TNGHS yaitu sebesar 8%, hal ini disebabkan karena PNBP yang dihasilkan oleh TNGHS paling inggi di antara empat taman nasional lainnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengelolaan taman nasional bukan berorientasikan proit atau income oriented tetapi lebih ke cost oriented.
Gambar 10.2 Perbandingan rata-rata PNBP terhadap belanja total taman nasional
Jika belanja pegawai dikeluarkan dari total belanja taman nasional, maka diperoleh perbandingan antara PNBP dan total belanja tanpa belanja pegawai berkisar antara 0,7%–15,4%. Hal ini menunjukkan
217
X. ALTERNATIF SKEM
A PENDAN
AAN PEM
ANFAATAN
JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
bahwa proporsi PNBP bahkan masih kecil untuk dapat memenuhi kebutuhan belanja barang dan modal taman nasional saja. Dalam hal ini, Taman Nasional Sebangau memiliki proporsi PNBP terhadap belanja barang dan modal yang paling kecil dibandingkan taman nasional lainnya.
15.42%
2.95%
14.72%
0.67%
Gambar 10.3 Perbandingan rata-rata PNBP terhadap belanja barang dan modal taman nasional
10.2.2 Belanja Taman nasional
Belanja taman nasional terdiri atas belanja barang, belanja modal dan belanja pegawai. Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101 Tahun 2011 tentang Klasiikasi Anggaran, belanja pegawai merupakan kompensasi dalam bentuk uang maupun barang yang diberikan
kepada pegawai negeri, pejabat negara, dan pensiunan serta pegawai honorer yang akan diangkat sebagai pegawai lingkup pemerintahan
baik yang bertugas di dalam maupun di luar negeri sebagai imbalan
atas pekerjaan yang telah dilaksanakan dalam rangka mendukung tugas dan fungsi unit organisasi pemerintah.
218
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Gambar 10.4 Rata-rata komponen belanja di empat taman nasional
Umumnya belanja pegawai merupakan gaji atau honor. Belanja barang adalah pengeluaran untuk pembelian barang dan/atau jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan/atau jasa yang dipasarkan maupun yang idak dipasarkan serta pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat di luar kriteria belanja bantuan sosial serta belanja perjalanan. Sementara belanja modal adalah pengeluaran untuk pembayaran perolehan aset dan/atau menambah nilai aset tetap/aset lainnya yang memberi
manfaat lebih dari satu periode akuntansi dan melebihi batas minimal
kapitalisasi aset tetap/aset lainnya yang ditetapkan pemerintah.
Komponen belanja taman nasional masih didominasi oleh belanja pegawai kecuali di Taman Nasional Sebangau yang jumlah pegawainya jauh lebih sedikit, meskipun arealnya lebih besar, dibandingkan dengan taman nasional yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa komponen belanja untuk gaji pegawai masih menjadi komponen belanja terbesar.
Untuk belanja barang terdiri atas pengeluaran untuk perjalanan, bahan dan peralatan operasional kantor. Komposisi pengeluaran untuk belanja barang ini merupakan komponen belanja terbesar kedua setelah belanja pegawai kecuali di Taman Nasional Sebangau. Sementara belanja modal yang terdiri atas belanja untuk pengadaan sarana dan prasarana, dan peralatan merupakan komponen belanja paling kecil dibanding belanja lainnya.
219
X. ALTERNATIF SKEM
A PENDAN
AAN PEM
ANFAATAN
JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
10.3 Proil Penerimaan, Alokasi Belanja dan Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan Taman Nasional
Dari hasil analisis terhadap PNBP dan belanja taman nasional diketahui bahwa PNBP yang diterima taman nasional sangat kecil dan idak dapat memenuhi kebutuhan belanja taman nasional sehingga kesenjangan antara penerimaan taman nasional dan alokasi belanja taman nasional sangat inggi. Namun demikian, dari hasil kajian Indarik (2018) tentang nilai ekonomi jasa lingkungan di empat taman nasional yang sama, diperoleh hasil bahwa nilai ekonomi jasa lingkungan yang dihasilkan taman nasional sangat inggi. Nilai ini menggambarkan persepsi dan apresiasi masyarakat atau individu terhadap manfaat dari jasa lingkungan yang dihasilkan taman nasional.
Gambar 10.5 Proil penerimaan, alokasi belanja dan nilai ekonomi jasa lingkungan TNGHS
Dengan demikian meskipun pengelolaan taman nasional adalah
cost oriented, tetapi jika dibandingkan dengan nilai ekonomi jasa lingkungan yang dihasilkan dapat dilihat bahwa perlu lebih menghargai
manfaat jasa lingkungan taman nasional karena memiliki nilai ekonomi potensial yang inggi. Gambar 10.5 menunjukkan perbandingan antara PNBP, belanja dan nilai ekonomi jasa lingkungan untuk TNGHS yang berpotensi untuk diindaklanjui dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan.
220
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Hasil perbandingan memperlihatkan bahwa nilai ekonomi jasa lingkungan yang dihasilkan TNGHS jauh melebihi besar anggaran dan PNBP yang dihasilkan taman nasional. Total nilai ekonomi jasa lingkungan TNGHS 88 kali lebih besar dibandingkan dengan besar rata-rata alokasi anggaran untuk TNGHS. Dengan demikian diketahui bahwa TNGHS telah memberikan manfaat lingkungan yang sangat inggi dari sisi manfaat wisata alam, biodiversitas, dan fungsi hidrologis yang jauh lebih inggi daripada alokasi anggaran yang dihasilkan.
Pemanfaatan fungsi hidrologis di TNGHS dilakukan baik secara komersial dan non komersial, di antaranya terdapat kegiatan pemanfaatan air khususnya untuk sumber air bagi perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK), dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) untuk pemanfaatan komersial dan pemanfaatan sumber air untuk kebutuhan rumah tangga. Untuk energi air, pemanfaatannya untuk pembangkit tenaga listrik mini hydro (energi sebesar 1–10 MW) dan micro hydro (energi sebesar kurang dari 1 MW). Pemanfaatan sumber air bagi perusahaan AMDK saat ini berada di luar kawasan sehingga idak dikenakan iuran dan pungutan pemanfaatan air, tetapi dimasukkan dalam kerja sama pengelolaan dengan mitra sehingga bukan pemanfaatan komersial. Berdasarkan hasil peneliian Indarik (2018), pemanfaatan jasa air taman nasional ini maka nilai ekonomi potensial yang dihasilkan adalah sebesar Rp 127,4 miliar per tahun.
Di TNGHS dapat juga dibangun sistem insenif hulu hilir antar pemerintah daerah. Dalam hal ini TNGHS idak terlibat langsung dalam mekanisme tersebut, tetapi melakukan perjanjian kerja sama dengan pemerintah daerah penyedia jasa lingkungan. Sebagai contoh, prakik imbal jasa lingkungan antara pemerintah kabupaten Bogor sebagai pemerintah daerah tempat sebagian wilayah TNGHS berada dengan pemerintah kota Bogor sebagai pemerintah daerah yang memanfaatkan jasa hidrologis yang dihasilkan taman nasional. Saat ini sumber air PDAM Kota Bogor berada di wilayah Kabupaten Bogor. Dengan demikian selanjutnya pemerintah Kabupaten Bogor yang mendapat insenif imbal jasa lingkungan perlu melaksanakan kerja sama dengan taman nasional dalam memelihara sumber air yang berada di wilayah
TNGHS. Bentuk kerja sama dapat berupa pembiayaan untuk kegiatan pengamanan, pengayaan tanaman dan rehabilitasi.
221
X. ALTERNATIF SKEM
A PENDAN
AAN PEM
ANFAATAN
JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
10.4 Struktur Anggaran Taman Nasional Berbasis Pemanfaatan Jasa Karbon
Saat ini upaya miigasi perubahan iklim melalui kegiatan REDD+ telah melipui pula peningkatan stok karbon dan implementasi pengelolaan hutan lestari. Terkait upaya peningkatan stok karbon maka kegiatan ini dimungkinkan untuk dapat dilaksanakan di kawasan konservasi, dalam hal ini taman nasional. Secara teknis dapat dilaksanakan dalam bentuk pemanfaatan jasa karbon hutan di kawasan hutan konservasi yang bertujuan mengopimalkan pengelolaan hutan konservasi secara berkelanjutan untuk mendukung miigasi perubahan iklim. Di samping itu, pemanfaatan jasa karbon hutan di kawasan hutan konservasi diharapkan dapat meningkatkan pendanaan dan dukungan publik
dalam rangka pemeliharaan dan peningkatan fungsi pengaturan
ekosistem hutan konservasi.
Kegiatan pemanfaatan jasa karbon hutan di kawasan hutan konservasi dilaksanakan dengan cara: (1) pemeliharaan stok karbon hutan; dan/atau (2) peningkatan stok karbon hutan. Pemeliharaan stok karbon hutan dapat dilakukan melalui pencegahan deforestasi dan degradasi
hutan dan/atau degradasi lahan gambut dengan skema penurunan
emisi serta pemanfaatan produk jasa lingkungan/jasa ekosistem hutan selain karbon dengan skema konservasi stok karbon hutan. Sementara itu, peningkatan stok karbon hutan dilakukan melalui restorasi ekosistem dengan skema peningkatan stok karbon hutan.
Dengan demikian ada iga alternaif skema dalam pemanfaatan jasa lingkungan taman nasional berbasis karbon, yaitu (1) skema penurunan emisi; (2) skema konservasi stok karbon hutan; dan (3) skema peningkatan stok karbon hutan. Selanjutnya akan diuraikan struktur anggaran untuk mendukung iga skema pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon di taman nasional tersebut. Analisis terhadap struktur anggaran pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon ini dilakukan berdasarkan Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAKL) taman nasional. Analisis dilakukan terhadap anggaran yang mendukung iga skema di atas sehingga anggaran biaya ruin dan pegawai dikeluarkan dari struktur anggaran yang dianalisis. Selanjutnya dibuat perbandingan antara anggaran total dan anggaran yang mendukung
iga skema pemanfaatan karbon ini.
222
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
10.4.1 Struktur Anggaran Berbasis Karbon di Taman
Nasional Sebangau
Berdasarkan telaahan terhadap dokumen RKAKL Taman nasional Sebangau (TNS) Tahun 2011 s/d 2016, diketahui bahwa rata-rata anggaran TNS 6 tahun terakhir adalah Rp. 9.115.285.799,00. Seiap tahunnya anggaran Balai TNS mengalami perubahan sesuai dengan alokasi anggaran yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat
(Gambar 10.6).
Gambar 10.6 Perbandingan anggaran terkait karbon terhadap total anggaran TNS
Pengalokasian anggaran kegiatan terkait karbon cukup besar terjadi pada tahun 2011, yakni sebesar 23% dari total anggaran pada tahun tersebut, sedangkan pengalokasian anggaran kegiatan terkait karbon terendah, yakni sebesar 5% dari total anggaran terjadi pada tahun 2016 (Gambar 10.7. Perbandingan persentase anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan terkait pemanfaatan jasa karbon dan kegiatan non karbon di TNS berdasarkan pengganggaran dalam RKAKL tahun 2011–2016 dapat dilihat pada Gambar 10.7.
223
X. ALTERNATIF SKEM
A PENDAN
AAN PEM
ANFAATAN
JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Gambar 10.7 Perbandingan persentase anggaran terkait karbon dan non karbon TNS
Dalam kurun waktu 6 tahun (tahun 2011–2016), rata-rata proporsi anggaran kegiatan terkait pemanfaatan jasa karbon di TNS adalah sebesar 14% dari total anggaran yang tersedia seiap tahunnya (Gambar 10.7). Komposisi terbesar dari anggaran sebesar 14% tersebut digunakan untuk kegiatan di bawah skema penurunan emisi (79%) (Gambar 10.8).
Gambar 10.8 Proporsi anggaran terkait pemanfaatan jasa karbon hutan di TNS
224
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Dalam kategori skema penurunan emisi (Gambar 10.9), sebagian besar kegiatan di TNS dilakukan dalam upaya perlindungan ekosistem dari ancaman perambahan sebesar 57%. Selanjutnya berupa kegiatan-kegiatan terkait perlindungan ekosistem dari ancaman kebakaran
(28%), peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar (14%), dan perlindungan ekosistem dari ancaman pembalakan liar (1%).
Gambar 10.9 Proporsi anggaran kegiatan skema penurunan emisi di TNS
Kegiatan perlindungan ekosistem dari ancaman perambahan
dilaksanakan mulai dari patroli pengamanan kawasan hutan, pemeliharaan batas kawasan, fasilitasi pemantapan zonasi, dan lain sebagainya. Upaya perlindungan ekosistem dari ancaman kebakaran terdiri atas kegiatan-kegiatan pemadaman hingga patroli pencegahan
kebakaran hutan. Upaya peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar berupa fasilitasi pengembangan usaha masyarakat
berbasis konservasi dan pemberdayaan masyarakat.
225
X. ALTERNATIF SKEM
A PENDAN
AAN PEM
ANFAATAN
JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Gambar 10.10 Proporsi anggaran kegiatan skema konservasi stok karbon di TNS
Adapun skema konservasi stok karbon hutan di TNS diiikberatkan pada keanekaragaman hayai sebagai manfaat non karbon dan juga pemanfaatan jasa lingkungan ekowisata (Gambar 10.10). Sebagian besar (90%) skema konservasi stok karbon dilakukan dalam upaya peningkatan keanekaragaman hayai yang dilaksanakan dalam bentuk kegiatan monitoring dan inventarisasi satwa dan tumbuhan
kunci di kawasan taman nasional untuk meningkatkan populasi dan
menjaga kelestarian ekosistem. Sementara upaya pengembangan jasa lingkungan/jasa ekosistem keindahahan/fenomena alam (10%) dilakukan melalui kegiatan-kegiatan pembangunan dan pengembangan
sarana prasarana wisata alam hingga pelaihan kelompok masyarakat pemandu wisata alam.
Sementara itu, skema peningkatan karbon stok karbon di taman nasional Sebangau difokuskan pada dua kegiatan restorasi ekosistem, yaitu percepatan proses mekanisme alam (55%) dan pembinaan habitat melalui penanaman dan pengkayaan jenis tumbuhan endemik dalam rangka penyediaan pakan satwa (45%) (Gambar 10.11).
226
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Gambar 10.11 Proporsi anggaran kegiatan skema peningkatan stok karbon di TNS
10.4.2 Struktur Anggaran Berbasis Karbon di Taman
Nasional Gunung Halimun Salak
Berdasarkan dokumen RKAKL Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) Tahun 2013 s/d 2017, diketahui bahwa rata-rata anggaran TNGHS 5 tahun terakhir adalah Rp. 18.107.035.400,00. Seiap tahunnya anggaran Balai TNGHS mengalami perubahan sesuai dengan alokasi anggaran yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat (Gambar 10.12).
Gambar 10.12 Perbandingan anggaran terkait karbon terhadap total anggaran TNGHS
227
X. ALTERNATIF SKEM
A PENDAN
AAN PEM
ANFAATAN
JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Pengalokasian anggaran untuk kegiatan terkait karbon paling besar terjadi pada tahun 2017, yaitu sebesar 26,05% dari total anggaran. Hal ini berbanding lurus dengan kenaikan besaran anggaran total yang mencapai hingga Rp. 25,9 M. Perbandingan persentase anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan terkait pemanfaatan jasa karbon dan kegiatan non karbon di TNGHS berdasarkan penganggaran dalam RKAKL tahun 2013–2017 dapat dilihat pada Gambar 10.13.
Gambar 10.13 Perbandingan persentase anggaran terkait karbon dan non karbon TNGHS
Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (tahun 2013-2017), rata-rata proporsi anggaran kegiatan terkait pemanfaatan jasa karbon di TNGHS adalah sebesar 14,2% dari total anggaran yang tersedia seiap tahunnya (Gambar 10.13). Komposisi terbesar dari anggaran sebesar 14,2% tersebut digunakan untuk kegiatan di bawah skema konservasi stok karbon (49%) (Gambar 10.14).
228
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Gambar 10.14 Proporsi anggaran terkait pemanfaatan jasa karbon hutan di TNGHS
Dalam kategori skema penurunan emisi (Gambar 10.15), sebagian besar kegiatan di TNGHS dilakukan dalam upaya perlindungan ekosistem dari ancaman perambahan sebesar 57%. Selanjutnya berupa kegiatan-kegiatan terkait peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar
(26%), perlindungan ekosistem dari ancaman kebakaran (16%), dan perlindungan ekosistem dari ancaman pembalakan liar (1%).
Gambar 10.15 Proporsi anggaran kegiatan skema penurunan emisi di TNGHS
229
X. ALTERNATIF SKEM
A PENDAN
AAN PEM
ANFAATAN
JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Kegiatan perlindungan ekosistem dari perambahan dilaksanakan
mulai dari kegiatan sosialisasi zonasi TNGHS hingga kegiatan patroli pengamanan kawasan hutan. Upaya peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar berupa pengembangan usaha ekonomi
kelompok masyarakat, pengembangan budidaya ulat sutera serta pembinaan daerah penyangga kawasan konservasi. Sementara kegiatan perlindungan dari ancaman pembalakan liar berupa
pembinaan masyarakat mitra polhut (MMP).
Adapun skema konservasi stok karbon hutan di TNGHS diiikberatkan pada keanekaragaman hayai sebagai manfaat non karbon dan juga pemanfaatan jasa lingkungan ekowisata (Gambar 10.16).
Gambar 10.16 Proporsi anggaran kegiatan skema konservasi stok karbon di TNGHS
Sebagian besar (61%) skema konservasi stok karbon dilakukan dalam upaya pengembangan jasa ekosistem keindahan/fenomena alam (ekowisata) yang dilaksanakan dalam bentuk pengembangan desain tapak, pemeliharaan jalur wisata, serta pembangunan sarana dan prasarana pendukung wisata alam. Selanjutnya, peningkatan keanekaragaman hayai (34%) dilakukan melalui kegiatan-kegiatan monitoring dan inventarisasi satwa dan tumbuhan kunci di kawasan
taman nasional untuk meningkatkan populasi dan menjaga kelestarian
230
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
ekosistem. Untuk kegiatan peningkatan kelestarian jasa lingkungan air (5%) berupa kegiatan monitoring dan ideniikasi pemanfaatan jasa lingkungan air.
Sementara itu, skema peningkatan karbon stok karbon di TNGHS difokuskan pada dua upaya restorasi ekosistem, yaitu percepatan proses mekanisme alam (96%) dan pembinaan populasi (4%) melalui pelepasliaran satwa utama/endemik (Gambar 10.17).
Gambar 10.17 Proporsi anggaran kegiatan skema peningkatan stok karbon di TNGHS
10.4.3 Struktur Anggaran Berbasis Karbon di Taman
Nasional Gunung Palung
Berdasarkan dokumen RKAKL Taman Nasional Gunung Palung (TNGP) Tahun 2013 s/d 2017, diketahui bahwa rata-rata anggaran TNGP 5 tahun terakhir adalah Rp. 10.744.671.400,00. Seiap tahunnya anggaran Balai TNGP mengalami perubahan sesuai dengan alokasi anggaran yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat (Gambar 10.18).
231
X. ALTERNATIF SKEM
A PENDAN
AAN PEM
ANFAATAN
JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Gambar 10.18 Perbandingan anggaran terkait karbon terhadap total anggaran TNGP
Pengalokasian anggaran kegiatan terkait karbon cukup besar terjadi pada tahun 2013, yaitu sebesar 21,15% dari total anggaran pada tahun tersebut, sedangkan pengalokasian anggaran kegiatan karbon terendah, yakni sebesar 8% dari total anggaran terjadi pada tahun 2014 (Gambar 10.19). Perbandingan persentase anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan terkait pemanfaatan jasa karbon dan kegiatan non karbon di TNGP berdasarkan penganggaran dalam RKAKL tahun 2013-2017 dapat dilihat pada Gambar 10.19.
Gambar 10.19 Perbandingan persentase anggaran terkait karbon dan non karbon TNGP
Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (tahun 2013-2017), rata-rata proporsi anggaran kegiatan terkait pemanfaatan jasa karbon di TNGP adalah sebesar 14,6% dari total anggaran yang tersedia seiap
232
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
tahunnya (Gambar 10.19). Komposisi terbesar dari anggaran sebesar 14,6% tersebut digunakan untuk kegiatan di bawah skema penurunan emisi (67%) (Gambar 10.20).
Gambar 10.20 Proporsi anggaran terkait pemanfaatan jasa karbon hutan di TNGP
Dalam kategori skema penurunan emisi (Gambar 10.21), sebagian besar kegiatan di TNGP dilakukan dalam upaya perlindungan ekosistem dari ancaman perambahan sebesar 52%. Selanjutnya berupa kegiatan-kegiatan terkait peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat
sekitar (21%), perlindungan ekosistem dari ancaman kebakaran (21%), perlindungan ekosistem dari ancaman pembalakan liar (5%), dan perlindungan keanekaragaman hayai dari ancaman kepunahan (1%).
233
X. ALTERNATIF SKEM
A PENDAN
AAN PEM
ANFAATAN
JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Gambar 10.21 Proporsi anggaran kegiatan skema penurunan emisi di TNGP
Kegiatan perlindungan ekosistem dari ancaman perambahan
dilaksanakan mulai dari sosialisasi penataan batas zonasi hingga kegiatan operasi pengamanan hutan. Upaya peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar berupa pelaihan peningkatan usaha ekonomi masyarakat dan pemberdayaan masyarakat. Sementara kegiatan terkait upaya perlindungan ekosistem dari ancaman
kebakaran hutan berupa pemadaman kebakaran, pembangunan posko siaga, pelaihan dan pembentukan masyarakat peduli api, dan lain sebagainya.
234
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Gambar 10.22 Proporsi anggaran kegiatan skema konservasi stok karbon di TNGP
Adapun skema konservasi stok karbon hutan di TNGP diiikberatkan pada keanekaragaman hayai sebagai manfaat non karbon dan juga pemanfaatan jasa lingkungan ekowisata (Gambar 10.22). Sebagian besar (51%) skema konservasi stok karbon dilakukan dalam upaya peningkatan keanekaragaman hayai yang dilakukan dalam bentuk kegiatan monitoring populasi tumbuhan dan satwa liar maupun
monitoring permanent sample plot (PSP). Sementara upaya pengembangan jasa lingkungan keindahan/fenomena alam (43%) dilakukan melalui kegiatan pemeliharaan jalur interpretasi wisata, penyusunan desain tapak wisata alam, dan pengembangan sarana prasarana pengusahaan pariwisata alam. Untuk kegiatan peningkatan kelestarian jasa lingkungan air (6%) berupa kegiatan monitoring potensi pemanfaatan jasa lingkungan air dan penyediaan peralatan pendukungnya.
235
X. ALTERNATIF SKEM
A PENDAN
AAN PEM
ANFAATAN
JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Gambar 10.23 Proporsi anggaran kegiatan skema peningkatan stok karbon di TNGP
Sementara itu, kegiatan di bawah skema peningkatan stok karbon di TNGP sebagian besar berupa pembinaan habitat melalui penanaman dan pengkayaan jenis tumbuhan endemik (39%) maupun eradikasi dan pengendalian jenis pengganggu (36%), pembinaan populasi dengan meningkatkan jumlah populasi tumbuhan liar melalui penanaman jenis endemik (15%), dan percepatan proses mekanisme alam (10%).
10.4.4 Struktur Anggaran Berbasis Karbon di Taman
Nasional Meru BeiriBerdasarkan dokumen RKAKL Taman nasional Meru Beiri (TNMB) Tahun 2013 s/d 2017, diketahui bahwa rata-rata anggaran TNMB 5 tahun terakhir adalah Rp. 13.484.824.800,00. Seiap tahunnya anggaran Balai TNMB mengalami perubahan sesuai dengan alokasi anggaran yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat. Begitu pula anggaran terkait karbon, mengalami perubahan seiap tahunnya (Gambar 10.24), tergantung pada kebutuhan tahun berjalan dan tergantung dari prioritas kegiatan yang ditentukan.
236
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Gambar 10.24 Perbandingan anggaran terkait karbon terhadap total anggaran TNMB
Pengalokasian anggaran kegiatan terkait karbon paling besar terjadi pada tahun 2017, yaitu sebesar 27,6% dari total anggaran pada tahun tersebut, sedangkan pengalokasian anggaran kegiatan karbon terendah, yakni sebesar 12,4% dari total anggaran terjadi pada tahun 2016 (Gambar 10.25). Perbandingan persentase anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan terkait pemanfaatan jasa karbon dan kegiatan non karbon di TNMB berdasarkan penganggaran dalam RKAKL tahun 2013–2017 dapat dilihat pada Gambar 10.25.
Gambar 10.25 Perbandingan persentase anggaran terkait karbon dan non karbon TNMB
237
X. ALTERNATIF SKEM
A PENDAN
AAN PEM
ANFAATAN
JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (tahun 2013–2017), rata-rata proporsi anggaran kegiatan terkait pemanfaatan jasa karbon di TNMB adalah sebesar 18,3% dari total anggaran yang tersedia seiap tahunnya (Gambar 10.25). Komposisi terbesar dari anggaran sebesar 18,3% tersebut digunakan untuk kegiatan di bawah skema konservasi stok karbon (51%) (Gambar 10.26).
Gambar 10.26 Proporsi anggaran terkait pemanfaatan jasa karbon hutan di TNMB
Dalam kategori skema penurunan emisi (Gambar 10.27), sebagian besar kegiatan di TNMB dilakukan dalam upaya perlindungan ekosistem dari ancaman perambahan sebesar 56% yang dilaksanakan melalui patroli-patroli ruin yang melibatkan masyarakat dan semua pihak yang terkait maupun sosialisasi sebagai bentuk pencegahan
perambahan kawasan TNMB. Selain itu dalam skema penurunan emisi dilakukan juga perlindungan kehai (17%) baik di ingkat ekosistem, jenis maupun geneik dari kepunahan melalui kegiatan penyelesaian kasus hukum, patroli peredaran jenis tumbuhan dan satwa liar, dan peningkatan kapasitas Polhut.
238
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Gambar 10.27 Proporsi anggaran terkait kegiatan skema penurunan emisi TNMB
Skema konservasi stok karbon hutan di TNMB diiikberatkan pada pengembangan jasa lingkungan ekowisata sebagai salah satu manfaat non karbon dan juga peningkatan keanekaragaman hayai (Gambar 10.28). Sebagian besar (49%) skema konservasi stok karbon dilakukan dalam upaya pengembangan jasa lingkungan keindahan/fenomena alam melalui berbagai pembangunan sarpras wisata alam di blok
pemanfaatan TNMB, dan juga pemeliharaan objek wisata alam yang telah ada. Selanjutnya, peningkatan keanekaragaman hayai (46%) dilaksanakan dalam bentuk berbagai survei, monitoring dan ideniikasi potensi tumbuhan dan satwa liar terancam punah di dalam kawasan
TNMB maupun dukungan anggaran untuk operasional Unit Pengelolan Konservasi Penyu (UPKP) di Sukamade. Namun, TNMB idak banyak melakukan kegiatan terkait peningkatan kelestarian jasa lingkungan air (1%).
239
X. ALTERNATIF SKEM
A PENDAN
AAN PEM
ANFAATAN
JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Gambar 10.28 Proporsi anggaran kegiatan skema konservasi stok karbon di TNMB
Sementara itu, skema peningkatan karbon stok karbon di TNMB difokuskan pada upaya-upaya restorasi ekosistem berupa pembinaan
habitat melalui penanaman dan pengkayaan jenis tumbuhan endemik (90%), pembinaan populasi melalui relokasi satwa liar/eradikasi (8%) dan pembinaan habitat melalui pengendalian jenis pengganggu (2%).
Gambar 10.29 Proporsi anggaran kegiatan skema peningkatan stok karbon di TNMB
240
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
10.5 Mekanisme Pendanaan Miigasi Perubahan Iklim di Kawasan Konservasi
Saat ini mekanisme pendanaan untuk miigasi Perubahan Iklim termasuk untuk REDD+ mengacu kepada PP No. 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup. Dalam PP tersebut diatur bahwa dana untuk miigasi perubahan iklim akan dikelola oleh BLU yang direncanakan bernama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).
Gambar 10.30 Pendanaan miigasi perubahan iklim(Direktorat MSSR 2017)
BPDLH akan mengelola: (1) dana penanggulangan pencemaran/kerusakan lingkungan hidup dan (2) dana amanah/bantuan konservasi. Kedua jenis dana ini dapat digunakan untuk kegiatan miigasi perubahan iklim di kawasan konservasi (Gambar 10.30).
Sumber dana BLU BPDLH berasal dari donor dan anggaran pemerintah. Donor selanjutnya akan menyusun kesepakatan dengan BLU dan pemerintah (KLHK) mengenai arah penggunaan dana misalkan untuk konservasi SDA, perubahan iklim, penanggulangan kerusakan lingkungan dll. Semua pendanaan dari donor luar pengelolaannya tergantung K/L yang bersangkutan, apakah akan dikelola melalui
241
X. ALTERNATIF SKEM
A PENDAN
AAN PEM
ANFAATAN
JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
BLU atau dikelola oleh enitas lain, misal UNDP. Naninya akan dibentuk komite pengarah dan dewan pengawas untuk BPDLH yang beranggotakan K/L kunci terkait seperi ESDM, Kementan, dan lain-lain. Setelah itu masing-masing anggota (K/L) di BLU membuat kriteria teknis untuk penggunaan dana PI di berbagai sektor.
Di samping pendaanan melalui BLU BPDLH, terdapat sumber pendanaan lain untuk REDD+ yaitu melalui dana perwalian untuk perubahan iklim
yang dikelola lembaga perwalian (trust fund) ICCTF, dana desa, hibah internasional dan pasar karbon domesik. Pendanaan REDD+ dapat diberikan untuk kegiatan bersifat result based payment untuk karbon
dan non karbon serta kegiatan pendukung. Untuk kegiatan bersifat result based payment mencakup kegiatan:
1. Pengurangan emisi GRK:
a. pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan;
b. peningkatan peran konservasi;
c. pengelolaan hutan berkelanjutan (sustainable management of forest);
d. peningkatan simpanan karbon hutan;
2. Manfaat non karbon, seperi:
a. jasa perlindungan fungsi hidrologis;
b. perlindungan fungsi ekologis;
c. perlindungan keanekaragaman hayai;
d. penguatan sumber penghidupan (livelihood);
e. peningkatan tata kelola hutan dan lahan;
f. perlindungan ekosistem esensial.
Untuk kegiatan pendukung melipui kegiatan:
a. peningkatan kapasitas insitusi dan sumber daya;
b. penguatan kebijakan dan perangkat REDD+;
c. peneliian dan pengembangan dan /atau;
d. kegiatan prakondisi (enabling condiion) lainnya.
242
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Sementara lembaga-lembaga yang berhak menerima dana REDD+ yaitu:
a. lembaga pemerintah di ingkat nasional dan sub-nasional;
b. lembaga swadaya masyarakat dan organisasi masyarakat sipil;
c. pengelola KPH;
d. asosiasi atau perhimpunan, baik dari kalangan masyarakat sipil maupun perusahaan;
e. jenis lembaga lain yang memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh komite pengarah.
Dengan demikian kawasan konservasi dapat memperoleh dana REDD+
untuk kegiatan pengurangan emisi, manfaat non karbon dan kegiatan pendukung. Balai taman nasional merupakan salah satu lembaga yang berhak menerima dana REDD+ dengan basis pemberian dananya
adalah berbasis kinerja yaitu delta pengurangan emisi. Akan tetapi karena karakterisik kawasan konservasi yaitu sebagian besar sejarah deforestasi dan degradasinya rendah, maka delta yang diperoleh akan relaif kecil karena hanya mempertahankan dari kondisi eksising. Untuk itu perlu penguatan fungsi taman nasional sebagai penghasil manfaat non karbon yang sangat inggi sehingga pendanaan REDD+ dapat diberikan kepada taman nasional atas manfaat non karbon. Hal ini memerlukan upaya kuaniikasi manfaat non karbon yang naninya dapat digunakan sebagai veriikator dalam penilaian manfaat non karbon.
Meskipun manfaat non karbon dapat diberikan insenif tetapi proporsinya masih lebih kecil dibandingkan dengan manfaat karbon. Penyaluran dana dari BLU BPDLH ke balai taman nasional melalui mekanisme hibah. Balai taman nasional dapat mengajukan proposal kegiatan pengurangan emisi, penguatan manfaat non karbon dan kegiatan pendukung ke BLU sesuai dengan tema/subjek yang ditetapkan.
243
X. ALTERNATIF SKEM
A PENDAN
AAN PEM
ANFAATAN
JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
10.6 Kesimpulan
Poin-poin pening rancangan alternaif skema pendanaan pemanfaatan jasa karbon di taman nasional dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Skema pendanaan harus bersifat inovaif bisa berupa kombinasi pengelolaan PNBP mandiri dan DIPA.
b. Perlu dilakukan eisiensi biaya pengelolaan dengan meningkatkan kemitraan dalam pengelolaan taman nasional. Di samping itu juga harus dilakukan eisiensi untuk kegiatan non operasional.
c. Perlu dilakukan pengopimalan dana swasta melaui pengopimalan kegiatan CSR.
d. Pengembangan skema PES khususnya untuk pemanfaatan fungsi hidrologi.
e. Mekanisme dana perimbangan yang inovaif yaitu dengan mengembangkan DAK Jasa Lingkungan untuk pemda yang memiliki wilayah tempat taman nasional berada berkinerja baik.
f. Pengembangan skema pendanaan karbon melalui REDD+, pasar karbon dan skema ofset.
g. Perlu ada anggaran berbasis kinerja berupa pemberian Insenif bagi taman nasional yang kinerjanya baik berupa peningkatan anggaran, kemudahan pengurusan anggaran.
h. Alternaif bentuk pendanaan taman nasional bisa berupa: trust fund, dana amanah konservasi, dana lingkungan, DAK jasa lingkungan.
Untuk menuju taman nasional yang berorientasi pada pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon, maka diperlukan:
1. Restrukturisasi program, kegiatan dan anggaran taman nasional. Restrukturisasi dilakukan dengan mengubah struktur anggaran agar berdasarkan pada pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon melalui skema:
a. peningkatan stok karbon hutan;
b. penurunan emisi;
c. konservasi stok karbon hutan.
244
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
1. Pendanaan alternaif yang dapat diakses oleh pengelola taman nasional. Tingginya nilai ekonomi jasa lingkungan di taman nasional merupakan aset yang dapat dimanfaatkan pengelola
taman nasional untuk secara progresif menangkap peluang
pendanaan alternaif melalui pengopimalan sumber-sumber pendanaan dari:
a. pembayaran jasa lingkungan (PES);
b. skema REDD+;
c. kemitraan/kerja sama pemerintah-swasta (PPP);
d. dana penanggulangan kerusakan LH;
e. dana amanah/bantuan konservasi;
f. hibah.
2. Terobosan berupa perbaikan/penyempurnaan kebijakan terkait PNBP untuk pemanfaatan jasa lingkungan (fungsi hidrologis, wisata alam dan biodiversitas). Penyempurnaan kebijakan PNBP pemanfaatan jasa lingkungan itu mencakup beberapa (namun idak terbatas) hal sebagai berikut:
a. rasionalisasi tarif PNBP pemanfaatan jasa lingkungan dan alokasi penggunaan PNBP;
b. penyediaan mekanisme/skema pendanaan inovaif yang berasal dari kombinasi pengelolaan PNBP mandiri dan DIPA;
c. earmarking penerimaan PNBP dari pemanfaatan jasa lingkungan (air, wisata, biodiversitas/TSL, dan karbon) untuk pengelolaan taman nasional sehingga PNBP dari pemanfaatan jasa lingkungan dapat digunakan kembali secara khusus untuk pembiayaan pengelolaan taman
nasional.
245
X. ALTERNATIF SKEM
A PENDAN
AAN PEM
ANFAATAN
JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Datar Pustaka Balai Taman nasional Meru Beiri. 2017. RKAKL Balai Taman Nasional
Meru Beiri 2013-2017. Tidak diterbitkan.
Balai Taman Nasional Sebangau. 2016. RKAKL Balai Taman Nasional Sebangau 2011-2016. Tidak diterbitkan.
Balai Taman Nasional Gunung Palung. 2017. RKAKL Balai Taman Nasional Sebangau 2013-2017. Tidak diterbitkan.
Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. 2017. RKAKL Balai Taman Nasional Sebangau 2013-2017. Tidak diterbitkan.
Bishop JT. (ed.) 1999. Valuing Forests: A Review of Methods and Applicaions in Developing Countries. London: Internaional Insitute for Environment and Development.
Direktorat Mobilisasi Sumberdaya Sektoral dan Regional. 2017. Instrument Pendanaan Untuk REDD+. Materi presentasi disampaikan pada FGD Financial Incenive Mechanism for REDD+ di Jakarta tanggal 9 November 2017.
Direktorat Kawasan Konservasi. 2015. Pedoman Penilaian Efekivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia Management Efeciveness Tracking Tool. Jakarta: Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem.
Indarik. 2018. Analisis Nilai Ekonomi Stok Karbon di Taman nasional. Laporan Hasil Peneliian Proyek Indonesia-Japan REDD (IJ-REDD), Kerja sama antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Japan Internaional Cooperaion Agency. Bogor: Pustlitbang Sosial Eknomi Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI) dan Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2017. Staisik Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2016. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Sekretariat Ditjen KSDAE. 2017. Realisasi PNBP Bidang Jasa Wisata Alam dan Tumbuhan Satwa Liar. Tidak Diterbitkan.
XI. DESAIN PENGELOLAAN DANA PERWALIAN (TRUST FUND) UNTUK
MENDUKUNG PENGELOLAAN TAMAN NASIONALGalih Karika Sari
11.1 Pendahuluan
Trust Fund atau dana perwalian berpotensi menjadi sumber pendanaan
yang dapat digunakan untuk mendukung pembangunan di Indonesia. Peluang penggunaan dana perwalian di Indonesia didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 80 tahun 2011 tentang Dana Perwalian. Prabandani (2016) mengemukakan bahwa inisiasi pembentukan trust fund dimulai sejak lama, yaitu pada saat rekontruksi gempa dan tsunami Aceh dan Nias pada tahun 2004. Terbitnya peraturan presiden tersebut menjadi legal basis pembangunan trust fund di Indonesia untuk mengisi gap terkait dengan inansial pada pelaksanaan pembangunan di berbagai sektor.
Konservasi sumber daya alam khususnya hutan menjadi bagian yang idak terpisahkan dari pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah yang dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Hal tersebut di antaranya dilaksanakan melalui pengelolaan kawasan konservasi yang diyakini banyak pihak sebagai pengelolaan yang memerlukan biaya inggi. Trust fund menjadi peluang
untuk mengisi gap pembiayaan pada pengelolaan kawasan konservasi, sebagaimana disebutkan Spergel dan Wells (2010) bahwa dalam kurun waktu 20 tahun terakhir terdapat lebih dari 50 dana perwalian yang dialokasikan untuk konservasi atau biasa disebut dengan dana perwalian konservasi. Dana perwalian konservasi merupakan sumber pendanaan berkelanjutan untuk konservasi keanekaragaman hayai yang berkelanjutan, yang secara khusus digunakan untuk mendukung pengelolaan wilayah-wilayah yang dilindungi (Bladon et al. 2014).
Penggunaan dana perwalian dialokasikan untuk tujuan tertentu sesuai dengan yang dimandatkan oleh donor. Taman nasional sebagai bagian dari kawasan konservasi memiliki potensi untuk memperoleh
248
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
dukungan pendanaan dari dana perwalian. Pada penggunaannya, dana perwalian memerlukan desain khusus pada lembaga pengelolanya. Lembaga pengelola idak hanya mengakomodasi regulasi yang berlaku dan mandat dari donor tanpa harus mengabaikan tujuan utama pengelolaan taman nasional. Akan tetapi kelembagaan taman nasional sebagai pengelola kawasan konservasi saat ini belum akomodaif untuk pengelolaan dana perwalian.
Sebagai upaya untuk melihat kemungkinan pengelolaan dana perwalian oleh taman nasional telah dilaksanakan studi terhadap empat taman nasional di Indonesia. Taman nasional tersebut adalah Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Taman Nasional Meru Beiri, Taman Nasional Sebangau dan Taman Nasional Gunung Palung. Studi ditujukan untuk menganalisis opsi desain pengelolaan dana perwalian yang mampu
mendukung pengelolaan taman nasional secara mandiri di Indonesia.
11.2 Pengerian dan Jenis Dana PerwalianTrust fund atau di Indonesia dikenal dengan dana perwalian dapat dideinisikan sebagai sejumlah sumber daya yang terkait dengan aset inansial yang berupa properi, uang, sekuritas (trust) yang diiipkan atau diserahkan oleh perorangan atau lembaga (trustor/donor/
grantor) pada sebuah lembaga (trustee) untuk dikelola dan disalurkan untuk kepeningan pihak penerima manfaat (beneiciaries) yang
disesuaikan dengan maksud dan tujuan yang telah dimandatkan oleh pemberi sumber daya (donor) (Hernowo 2011). Lebih lanjut World Bank (2017) menambahkan bahwa pembangunan dana perwalian merupakan sarana untuk mengelola pendanaan yang berasal dari mitra pembangunan yang ditujukan untuk kegiatan yang mendukung pembangunan dan didesain secara cepat untuk memenuhi kebutuhan penerima manfaat.
Trustee diarikan oleh cambridge dicionary sebagai individu atau
organisasi yang mengatur sumber daya untuk individu atau organisasi lain. Trustee memiliki tugas dan tanggung jawab di antaranya melaksanakan tugas yang dimandatkan oleh regulasi dan kesepakatan antara mitra dengan donor (Butler 2015). Pada umumnya trustee yang
mengelola dana perwalian merupakan lembaga atau organisasi.
249
XI. DESAIN PEN
GELOLAAN
DANA PERW
ALIAN (TRU
ST FUN
D) U
NTU
K MEN
DUKU
NG PEN
GELOLAAN
TAMAN
NASIO
NAL
Berdasarkan asal donor dan penggunaannya, dana perwalian dibagi menjadi empat jenis. Masing-masing jenis dana perwalian memiliki karakterisik yang berbeda satu sama lain. Jenis dana perwalian menurut Bladon et al. (2014), Gonzales (2004) dan Kementerian Perikanan Kelautan (2016), yaitu:
1. Endowment Fund (Dana Abadi), merupakan dana yang dikelola secara abadi dan diharapkan tetap utuh, tanpa batasan waktu atau sampai terkumpulnya sumber daya yang memadai untuk mengimplementasikan program dan kegiatan yang telah disepakai. Salah satu cara pemanfaatannya yaitu dana yang digunakan untuk pembiayaan merupakan hasil investasi.
2. Sinking Fund (Dana Menurun), merupakan dana yang diserahkan untuk dikelola bagi pengelolaan program dan diamanatkan untuk digunakan sesuai dengan anggaran yang disepakai. Pada penggunaan dana ini diharapkan untuk diserap habis.
3. Revolving Fund (Dana Bergulir), merupakan dana yang diiipkan/diserahkan untuk dikelola secara bergulir. Pada umumnya digunakan untuk pinjaman dan dapat bergulir karena mendapatkan penerimaan/pendapatan dari pengembalian pinjaman ataupun penjualan jasa/produk.
4. Mixed trust fund, merupakan kombinasi dari keiga jenis trust
fund di atas.
Jenis dana perwalian pada penggunaannya disesuaikan dengan tujuan yang dimandatkan oleh pihak donor. Dari keempat jenis dana perwalian tersebut yang paling ideal digunakan adalah mixed trust fund. Pada penggunannya jenis dana perwalian tersebut lebih leksibel. Selain itu kombinasi di antara keiga jenis dana perwalian akan mampu mengisi gap pada masing-masing jenis dana perwalian.
11.3 Peluang Pemanfaatan Dana Perwalian di Taman Nasional
Pengelolaan dana perwalian untuk mendukung kemandirian inansial dapat dilakukan oleh organisasi taman nasional sebagai pemangku kawasan. Dana Perwalian dapat menyediakan pendanaan muli-year
untuk mendukung pembangunan (World Bank 2017). Pengelolaan
250
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
dana perwalian sebagai dukungan dalam pengelolaan taman nasional memerlukan kesiapan kelembagaan taman nasional sebagai penerima dan pengelola dana tersebut. Hal itu terkait dengan keterbatasan yang dimiliki oleh taman nasional dari segi pemanfaatan potensi yang dimiliki karena statusnya sebagai kawasan konservasi. Jasa lingkungan merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan dukungan pendanaan baik dari penghimpunan dana perwalian maupun investasi. Diperlukan kesiapan infrastruktur kelembagaan taman nasional yang mendukung agar dapat menarik dan mengelola dana perwalian yang berasal dari donor dan para pihak khususnya yang terkait dengan pemanfaatan jasa lingkungan di taman nasional.
Jasa lingkungan itu sendiri menurut Supriyanto (2017) merupakan hasil atau implikasi dari dinamika bentang alam berupa jasa (yang memberikan keuntungan bagi kehidupan manusia) yang dapat dikategorikan sebagai keindaahan dan fenomena bentang alam, keanekaragaman hayai dan ekosistem, fungsi hidrologi, penyerapan dan penyimpanan karbon, dan berbagai jasa lainnya. Meskipun demikian, di beberapa masyarakat, jasa lingkungan yang memiliki ari pening dalam kehidupan manusia hanya dianggap sebagai barang bebas. Leimona et al. (2009) menambahkan bahwa jasa lingkungan adalah penyediaan, pengaturan, penyokong proses alami, dan pelestarian nilai budaya oleh suksesi alamiah dan buatan (manusia) yang bermanfaat bagi keberlangsungan kehidupan.
Taman nasional merupakan bagian dari kelembagaan pemerintah pusat. Kelembagaan pemerintah pusat tersebut merepresentasikan fungsi dan tanggung jawab pemerintah pusat yang luas, melipui : mengelola permasalahan negara; memfasilitasi negara untuk berperan akif dalam poliik luar negeri dan kerja sama internasional; mengelola dan mengkoordinasikan pemerintah daerah; dan memberikan layanan terbaik kepada masyarakat (LAN 2013). Pada operasionalisasinya pengelolaan taman nasional bekerja bersama dengan pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat baik lokal, nasional maupun internasional, lembaga donor dan bekerja bersama masyarakat yang berada disekitar taman nasional dan masyarakat yang memiliki kepeningan terhadap keberadaan taman nasional. Selain itu, perubahan lingkungan yang dinamis ikut berpengaruh terhadap manajemen dan sistem kelembagaan yang berjalan untuk pengelolaan
251
XI. DESAIN PEN
GELOLAAN
DANA PERW
ALIAN (TRU
ST FUN
D) U
NTU
K MEN
DUKU
NG PEN
GELOLAAN
TAMAN
NASIO
NAL
taman nasional. Yusika (2012) mengemukakan bahwa dinamika yang terjadi dalam perubahan kelembagaan disebabkan 2 faktor utama, yaitu (1) perubahan kelembagan yang terjadi sebagai akibat hubungan simbioik antara kelembagaan dan organisasi yang mengelilingi disekitar struktur insenif yang disediakan oleh kelembagaan; (2) perubahan kelembagaan yang terjadi sebagai proses umpan-balik, di mana individu merasa dan memberikan reaksi terhadap perubahan yang terjadi di berbagai kesempatan.
Gambaran umum kondisi organisasi taman nasional saat ini memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu dalam hubungannya dengan para mitra atau para pihak termasuk donor dan lembaga donor yang terlibat dalam pengelolaan taman nasional. Selain itu perlu dipersiapkan kondisi pemungkin lainnya yang idak hanya terkait dengan kelembagaan taman nasional akan tetapi juga terkait dengan regulasi keuangan negara secara umum. Kondisi pemungkin tersebut akan dapat meningkatkan efekivitas dan eisiensi penggunaan dana perwalian untuk mendukung pengelolaan taman nasional. FAO (2018) menguatkan bahwa operasionalisasi kelembagaan taman nasional memerlukan lingkungan pendukung yang terkait dengan kerangka peraturan dan kebijakan, hubungan antar kelembagaan serta penguatan komitmen poliik.
Usaha penyiapan kondisi pemungkin pembangunan dan pemanfaatan dana perwalian telah diinisiasi oleh pemerintah di antaranya dengan
menyiapkan regulasi. Regulasi merupakan legal basis pembangunan dan pemanfaatan dana perwalian di Indonesia. Regulasi yang telah disusun untuk mendukung implementasi dana perwalian, yaitu:
252
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Tabel 11.1 Dasar hukum pembangunan dan pemanfaatan dana perwalian di Indonesia
No Regulasi Uraian1 UU No. 17 Tahun
2003 tentang
Keuangan Negara
Pendapatan negara berasal dari penerimaan
pajak, penerimaan bukan pajak dan hibah
2 UU No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan.
Pasal 26: Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dalam hal ini tertentu dapat menunjuk badan lain untuk melaksanakan penerimaan dan/atau pengeluaran negara untuk mendukung kegiatan operasional Kementerian/Lembaga.
Pasal 38: Tata cara pengadaan utang dan/atau penerimaan hibah baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri serta penerusan
utang atau hibah luar negeri kepada Pemerintah Daerah/BUMN/BUMD diatur dengan Peraturan Pemerintah
3 UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan
Nasional (SPPN)
SPPN sebagai salah satu upaya untuk memasikan keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, pendanaan, pelaksanaan dan pemantauan
4 PP No. 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan
Pinjaman Luar Negeri dan
Penerimaan Hibah
Hibah asing dikategorikan menjadi hibah asing terencana (sudah masuk dalam perencanaan pemerintah) dan hibah langsung (hibah yang
diberikan di tengah tahun iskal dan idak direncanakan sebelumnya)
253
XI. DESAIN PEN
GELOLAAN
DANA PERW
ALIAN (TRU
ST FUN
D) U
NTU
K MEN
DUKU
NG PEN
GELOLAAN
TAMAN
NASIO
NAL
No Regulasi Uraian5 Perpres No. 80
Tahun 2011 tentang Dana
Perwalian
Pembentukan Trust Fund:
Pasal 5: Pengelolaan trust fund dilakukan oleh Lembaga Wali Amanat (LWA) yang dibentuk oleh Menteri setelah mendapat perimbangan dari Bappenas dan Kementerian Keuangan;
Pengelola trust fund adalah LWA yang terdiri atas Majelis Wali Amanat (MWA) dan Pengelola Dana Amanat (PDA)
Pasal 6: MWA dipersamakan dengan Satuan Kerja (Satker)
Pasal 8: MWA bertugas antara lain
1. menetapkan PDA2. menetapkan program3. menarik dana dari donor4. memerintahkan pembayaran5. melakukan pengadaan barang dan jasa6. mengajukan pengesahan dokumen
anggaran pendapatan dan belanja serta
pengesahan realisasinya
7. menyusun laporan keuangan trust fund
Pasal 11: PDA dapat berupa Kementerian/Lembaga, lembaga mulilateral, Organsiasi Non Pemerintah. Ditetapkan dalam perjanjian hibah. Sementara Badan Usaha Nasional dan/atau lembaga keuangan asing ditetapkan berdasarkan proses pengadaan barang dan jasa kecuali diatur dalam perjanjian hibah.
Pembentukan lembaga yang dapat mengelola dana perwalian menjadi peluang taman nasional untuk memperoleh dukungan pendanaan yang diperuntukkan bagi pengelolaan taman nasional. Tujuan pembentukan lembaga pengelola dana perwalian adalah memberikan dukungan pendanaan sesuai dengan yang dimandatkan donor dengan prosedur penggunaan yang lebih sederhana dibandingkan dengan prosedur birokrasi. Menurut Bladon et al. (2014) dana perwalian dapat
dikelola oleh Badan Pemerintah yang biasanya melalui dewan direksi atau dewan pemerintahan atau komite pengawas. Di Indonesia,
Tabel 11.1 Dasar hukum pembangunan dan pemanfaatan dana perwalian di Indonesia (lanjutan)
254
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Perpres No. 80 tahun 2011 menyebutkan bahwa pengelolaan trust
fund dilakukan oleh Lembaga Wali Amanat (LWA) yang terdiri atas Majelis Wali Amanat (Board of Trustee) yang memiliki peran sebagai pengendali operasional pelaksanaan kegiatan trust fund. Prabandani (2015) menerangkan bahwa trust fund harus memiliki governing body yang mewakili keberagaman dalam masyarakat, misalnya terdiri atas beberapa kementerian, masyarakat, donor, bank pembangunan, swasta dan mitra lainnya.
Pengelola dana perwalian menurut Hernowo (2011) memiliki beberapa karakterisik, yaitu:
1. Peran penggalangan sumber daya.
2. Peran pengelolaan dana amanat.
3. Peran pengelolaan insitusi.
4. Peran pengelolaan program.
5. Peran pengelolaan administrasi dan keuangan.
6. Peran penyalur dana hibah (grant maker).
Lembaga pengelola dana perwalian memiliki mulifungsi. Fungsi tersebut dapat dipenuhi oleh lembaga yang memiliki leksibilitas untuk dapat melaksanakan fungsi yang diperlukan sebagai lembaga pengelola dana perwalian. Taman nasional memiliki peluang sebagai lembaga pengelola dana perwalian akan tetapi taman nasional idak dapat menjalankan peran sebagai penggalangan sumber daya. Peran penggalangan sumber daya oleh taman nasional dapat dilaksanakan dengan melakukan review terhadap tugas pokok dan fungsi serta regulasi yang mengatur tentang kerja sama di kawasan konservasi di Indonesia. Lebih lanjut lagi lembaga pengelola dana perwalian harus mampu memenuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas. Pengelolaan dana perwalian yang berasal dari berbagai macam donor baik dalam dan luar negeri serta sumber pendanaan lainnya harus memiliki kejelasan penggunaan yang dapat dipertanggung jawabkan secara sistem keuangan negara maupun sistem keuangan lembaga donor. Khusus untuk dana perwalian yang dialokasikan untuk konservasi, Bladon et al. (2014) membutuhkan beberapa prakondisi yang harus dipenuhi, di antaranya:
255
XI. DESAIN PEN
GELOLAAN
DANA PERW
ALIAN (TRU
ST FUN
D) U
NTU
K MEN
DUKU
NG PEN
GELOLAAN
TAMAN
NASIO
NAL
1. Terdiri dari sekelompok pemangku kepeningan yang berasal dari berbagai sektor yang memiliki visi yang sama.
2. Mendapatkan pendanaan berasal dari organisasi yang mampu untuk memberikan pembiayaan.
3. Adanya kerangka kerja hukum dan keuangan dasar yang memungkinkan untuk mengelola pendanaan.
4. Mendapatkan dukungan pemerintah.
Keidakpercayaan donor terhadap sistem monitoring dan evaluasi keuangan di Indonesia mendorong donor untuk menggunakan audit eksternal untuk melalukan monitoring dan evaluasi terhadap penggunaan dananya di Indonesia.
Selain itu, perlu dikembangkan opsi desain bagi pengelolaan dana perwalian pada organisasi taman nasional. Opsi desain pengelolaan dana perwalian di taman nasional di antaranya:
1. Mekanisme hibah yang disalurkan kepada taman nasional.
2. Pembentukan yayasan lokal.
3. Transformasi taman nasional menjadi Badan Layanan Umum (BLU).
4. Transformasi taman nasional menjadi Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK).
Opsi desain pengelolaan dana perwalian tersebut bukan merupakan desain baru kelembagaan. Desain kelembagaan yang sudah ada di Indonesia, jika dilihat dari sisi regulasi, dapat mewadahi pengelolaan dana perwalian bagi taman nasional. Desain pembangunan dan pengelolaan dana perwalian memerlukan penyiapan infrastruktur kelembagaan yang mampu mengakomodasi kehadiran dana perwalian sebagai pendukung pengelolaannya.
11.3.1 Mekanisme Penyaluran Hibah ke Taman Nasional
Regulasi mengatur bahwa taman nasional idak bisa menerima dana secara langsung. Akan tetapi regulasi memungkinkan taman nasional untuk melakukan kegiatan kerja sama dalam bentuk barang dan jasa. Penyaluran pendanaan dapat dilakukan untuk memberikan dukungan kepada pengelolaan taman nasional melalui mekanisme hibah.
256
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Mekanisme hibah dapat digunakan sebagai saluran untuk mengelola dana perwalian. Pengelolaan dana perwalian melalui mekanisme hibah dapat menggunakan bentuk organisasi taman nasional saat ini. Bentuk organisasi di sektor publik menurut Weber dalam Nigro & Nigro (2012) dideskripsikan memiliki ciri sebagai berikut:
1. Jabatan pada organisasi sektor publik memiliki tatanan hierarkis yang memiliki otoritas dan legiimasi masing-masing. Sebagai implikasi dari tatanan hierarkis tersebut struktur birokrasi pada sektor publik berbentuk piramid di mana satu jabatan yang lebih inggi mengontrol dan mengawasi beberapa jabatan yang lebih rendah;
2. Organisasi sektor publik memiliki pemisahan pekerjaan yang dilakukan secara sistemaik. Selain itu masing-masing jabatan dan posisi memiliki kompetensi khusus;
3. Perilaku dan prosedur pada organisasi sektor publik diatur oleh aturan yang diformalkan dan tertulis. Hal itu bertujuan untuk menyeragamkan dalam implementasinya
4. Pada organisasi sektor publik terdapat tatanan impersonal yang wajib ditaai oleh pejabat birokrasi. Tatanan impersonal tersebut mengatur secara formal dengan menetapkan norma-norma bagaimana pejabat birokrasi bersikap dan berindak sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan;
5. Kompetensi pejabat birokrasi pada organisasi sektor publik bersifat netral, di antaranya untuk mendapatkan promosi pejabat dipilih berdasarkan kompetensi teknis yang dimilikinya.
Organisasi taman nasional sebagai salah satu organisasi sektor publik yang mengelola kawasan konservasi memiliki pembagian kerja berdasarkan tatanan jabatan yang hierarki. Masing-masing jabatan dan bagian memiliki fungsi dan tugas pokok yang khusus diatur untuk jabatan dan posisi tertentu. Fungsi dan tugas pokok pada masing-masing jabatan diatur dan tunduk pada aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Saat ini organisasi taman nasional mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No. P.7/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional. Peraturan
257
XI. DESAIN PEN
GELOLAAN
DANA PERW
ALIAN (TRU
ST FUN
D) U
NTU
K MEN
DUKU
NG PEN
GELOLAAN
TAMAN
NASIO
NAL
tersebut menyebutkan bahwa taman nasional merupakan unit pengelola bagi penyelenggaraan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya. Unit pengelola tersebut bertangggung jawab kepada Direktur Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya. Pada Permen LHK Nomor: P.7/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 tersebut terdapat 4 ipe taman nasional yaitu:
1. Balai besar taman nasional Tipe A, pada struktur organisasi balai besar taman nasional ipe A tersebut terdiri atas bagian tata usaha, bidang teknis konservasi taman nasional, bidang pengelolaan taman nasional wilayah I, bidang pengelolaan taman nasional wilayah II, bidang pengelolaan taman nasional wilayah III dan kelompok jabatan fungsional;
2. Balai besar taman nasional ipe B, struktur organisasi pada organisasi ini terdiri atas bagian tata usaha, bidang teknis konservasi taman nasional, bidang pengelolaan taman nasional wilayah I, bidang pengelolaan taman nasional wilayah II dan kelompok jabatan fungsional;
3. Balai taman nasional ipe A, pada struktur organisasinya terdiri atas sub bagian tata usaha, seksi pengelolaan taman nasional wilayah I, seksi pengelolaan taman nasional wilayah II, seksi pengelolaan taman nasional wilayah III dan kelompok jabatan fungsional;
4. Balai taman nasional ipe B, struktur organisasi pada balai taman nasional ipe B terbagi menjadi sub bagian tata usaha, seksi pengelolaan taman nasional wilayah I, seksi pengelolaan taman nasional wilayah II dan kelompok jabatan fungsional.
Pada struktur organisasi di semua ipe taman nasional, kegiatan kerja sama merupakan tugas pokok dan fungsi dari bagian tata usaha di bawah koordinasi sub bagian program dan kerja sama. Pengelolaan dana perwalian melalui mekanisme hibah dilakukan dalam kerangka skema kerja sama.
258
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Gambar 11.1 Desain struktur organisasi dan tata kerja pengelolaan dana perwalian di taman nasional melalui mekanisme hibah
11.3.2 Pembentukan Yayasan LokalKonsep lembaga pengelola dana perwalian untuk konservasi adalah sebagai organisasi independen yang bukan hanya merupakan lembaga pendanaan akan tetapi juga yang mereleksikan pengelolaan kawasan konservasi yang berkelanjutan. Terdapat beberapa tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan dana yang berasal dari donor. Dana yang berasal dari donor dikategorikan sebagai hibah yang dapat dikelola oleh kementerian/lembaga terkait. Namun demikian, berdasarkan UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, penyaluran dana hibah ke kementerian/lembaga hanya dapat dilakukan oleh Kementerian Keuangan sebagai bendahara umum negara. Hal itu menjadi tantangan bagi donor yang menginginkan untuk secepatnya mendapatkan output
dari pendanaan yang telah diberikan. Prosedur birokrasi pemerintah yang mengatur tentang mekanisme hibah yang rumit menjadi tantangan yang perlu dipecahkan.
Yayasan lokal yang dibentuk sebagai pengelola dana perwalian dapat berfungsi sebagai pendukung pengelolaan taman nasional. Posisi yayasan lokal yang dibentuk dapat menjadi mitra bagi pengelola taman nasional. Mitra dapat mendukung pembiayaan bagi program dan kegiatan yang idak dibiayai oleh anggaran pemerintah.
259
XI. DESAIN PEN
GELOLAAN
DANA PERW
ALIAN (TRU
ST FUN
D) U
NTU
K MEN
DUKU
NG PEN
GELOLAAN
TAMAN
NASIO
NAL
Yayasan pengelola dana perwalian tersebut idak masuk dalam struktur organisasi taman nasional. Walaupun demikian kepala taman nasional memiliki posisi sebagai Majelis Wali Amanah (MWA) pada yayasan tersebut. Hal itu bertujuan agar pada pelaksanaannya, keberadaan yayasan akan mendukung pengelolaan taman nasional. Pelibatan para pihak dalam pengelolaan dana perwalian tersebut ditunjukkan dengan keanggotaan MWA yang terdiri atas perwakilan pemerintah pusat, Lembaga swadaya masyarakat, pemerintah daerah, masyarakat, donor, swasta dan akademisi. Selain MWA yayasan tersebut memiliki im pelaksana yang terdiri atas direktur dan staf pelaksana lainnya serta terdiri atas sub divisi pengawetan, perlindungan dan pemanfaatan taman nasional. Dana yang berasal dari donor atau mitra akan dikelola oleh Bank Kustodian. Sistem pelaporan dan evaluasi serta monitoring akan diberikan oleh pihak yayasan kepada pihak donor.
Gambar 11.2 Struktur yayasan pengelola dana perwalian di taman nasional
Keberadaan yayasan pengelola dana perwalian tersebut akan mendukung pengelolaan taman nasional melalui mekanisme kemitraan. Kerja sama/kemitraan idak hanya dilakukan dengan taman nasional akan tetapi berbagai pihak yang akan mengajukan dan melaksanakan program dan kegiatan di taman nasional. Pada sistem ini taman nasional harus memiliki roadmap yang berisi program dan
kegiatan yang memerlukan dukungan sumber daya dari para mitra. Hal itu terkait dengan pelaksanaan program dan kegiatan sekaligus untuk
260
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
menarik pihak donor atau mitra untuk memberikan dukungan sumber daya sesuai dengan mandat masing-masing. Selain itu mekanisme monitoring dan evaluasi yang tertata diperlukan untuk memenuhi aspek akuntabilitas dan transparansi dalam penggunaan sumber daya serta pelaksanaan kegiatan untuk mencapai output yang diharapkan.
11.3.3 Transformasi Taman Nasional Menjadi Badan Layanan Umum (BLU)
Pengerian Badan Layanan Umum (BLU) didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Pada peraturan tersebut BLU dideinisikan sebagai instansi pemerintah bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat yaitu berupa penyediaan barang dan atau jasa, idak berorientasi pada keuntungan dan kegiatan pelayanan yang diberikan didasarkan pada prinsip eisiensi dan produkivitas serta diberikan keleluasaan dalam melakukan pengelolaan sumber dayanya (Waluyo, 2014). Tujuan pembentukan BLU lebih didasarkan pada pemberian ruang untuk mengaplikasikan pola keuangan yang leksibel dan mengutamakan produkivitas, eisiensi dan efekivitas kepada Kementerian/Lembaga (K/L) yang memiliki tugas pokok dan fungsi terkait dengan pelayanan publik kepada masyarakat (Kemenkeu, 2018).
Pada prosesnya, transformasi organisasi menjadi sebuah BLU harus memenuhi persyaratan yaitu persyaratan substanif, persyaratan teknis dan persyaratan administrasi (Lukman 2015). Selain itu diperlukan jaminan kepasian pendanaan yang digunakan untuk biaya operasional. Potensi pendanaan yang dapat digunakan sebagai biaya operasional yaitu Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), kerja sama dan dana perwalian.
Saat ini sumber penerimaan taman nasional saat ini berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan kerja sama. PNBP merupakan bagian dari sumber dana anggaran belanja negara. Menurut Kementerian Keuangan (2017) rata-rata kotribusi PNBP dalam APBN dalam kurun waktu 5 tahun (tahun 2013-2017) adalah sebesar 21,04%, di mana pada tahun 2014 mencapai Rp. 398,6 triliun; akan tetapi pada tahun 2015 terjadi penurunan. Hal itu menyebabkan diturunkannya
261
XI. DESAIN PEN
GELOLAAN
DANA PERW
ALIAN (TRU
ST FUN
D) U
NTU
K MEN
DUKU
NG PEN
GELOLAAN
TAMAN
NASIO
NAL
target PNBP di tahun 2017 menjadi lebih kecil dibandingkan realisasi tahun 2016. Karakterisik pengelolaan PNBP Kementerian/Lembaga dijabarkan oleh Kementerian Keuangan (2017) sebagaimana terlihat pada Tabel 11.2.
Tabel 11.2 Karakterisik pengelolaan PNBP K/L
UraianJenis PNBP K/L
PNBP Fungsional PNBP Pemanfaatan BMN
PNBP Layanan Umum (BLU)
Mekanisme pengelolaan
Sesuai tugas fungsi layanan K/L, termasuk SDA yang berasal dari penerimaan
pertambangan
mineral, kehutanan dan kelautan dan perikanan
· Pemanfaatan BMN (sewa, kerja sama pemanfaatan sarana dan prasarana)
· Jasa giro penerimaan kembali tahun anggaran
yang lalu (TAYL)
· Penyediaan B/J layanan umum
· Pengelolaan wilayah
atau kawasan tertentu
· Pengelolaan dana
khusus
Pemungutan
jenis dan
tarif
· Ditetapkan dengan UU atau PP
· Tarif memperhaikan: dampak pengenaan, biaya penyelenggaraan, aspek keadilan dan kebijakan pemerintah
· Ditetapkan dengan persetujuan Menkeu (didelegasikan pada Dirjen KN, Kepala Kanwil DJKN, dan/atau Kepala KPKNL)
· Besaran sewa
didasarkan pada tarif pokok sewa dan faktor penyesuaian sewa
· Ditetapkan dengan Permenkeu, Pimpinan K/L atau Pimpian Satker BLU
· Tarif memperimbangkan aspek koninuitas dan pengembangan
layanan, daya beli, asas keadilan dan kepatutan, kompetensi yang sehat
Penerimaan Disetorkan ke kas negara
Disetorkan ke kas negara
Tidak disetorkan ke kas negara
Penggunaan Dapat digunakan sebagian sesuai
Kepmenkeu tentang Persetujuan Izin Penggunaan PNBP
Tidak dapat digunakan Digunakan langsung
UIC di Kemenkeu
Ditjen Anggaran cq Dit. PNBP
Ditjen Kekayaan Negara
Ditjen Perbendahaan
Cq Dit. PPK BLU
Sumber: Kementerian Keuangan (2017)
Berdasarkan regulasi, penerimaan PNBP bersumber dari penerimaan sumber daya alam, penerimaan laba BUMN, penerimaan PNBP lainnya dan penerimaan yang berasal dari BLU. Pada sektor sumber daya alam, penerimaan PNBP berasal dari (Kemenkeu 2016):
262
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
1. Penerimaan minyak dan gas alam
2. Penerimaan pertambangan mineral (emas, nikel, tembaga, perak dll) dan batubara
3. Penerimaan pertambangan panas bumi
4. Penerimaan di sektor kehutanan (dana reboisasi, provisi sumber daya hutan, penggunaan kawasan hutan)
5. Penerimaan sektor perikanan
Penerimaan PNBP yang dipungut oleh taman nasional masuk dalam kategori penerimaan di sektor kehutanan. Penerimaan PNBP di 4 taman nasional lokasi studi tergambar pada Gambar 11.3. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa rata-rata graik penerimaan PNBP menunjukkan kenaikan.
Data sumber pendanaan menunjukkan bahwa nilai PBNP dan kerja sama yang dilaksanakan oleh taman nasional belum dapat menjamin pendanaan taman nasional. Nilai kerja sama pada taman nasional saat ini belum memungkinkan terjaminnya pendanaan pengelolaan taman nasional.
Gambar 11.3 Penerimaan PNBP empat taman nasional(diolah dari data KLHK 2017)
Gap pendanaan tersebut dapat diisi dengan memanfaatkan dana perwalian. Jenis dana perwalian yang dapat digunakan untuk dapat menjamin kepasian pendanaan adalah dana abadi (endowment fund). Terdapat 5 persyaratan yang dapat digunakan untuk membentuk dan mengembangkan dana perwalian di antaranya :
263
XI. DESAIN PEN
GELOLAAN
DANA PERW
ALIAN (TRU
ST FUN
D) U
NTU
K MEN
DUKU
NG PEN
GELOLAAN
TAMAN
NASIO
NAL
1. Transformasi taman nasional menjadi lembaga BLU dapat dilakukan dengan memanfaatkan dana abadi. Pemanfaatan dana abadi harus mampu memenuhi persyaratan yang
diperlukan untuk membentuk dan mengembangkan dana abadi. Syarat tersebut dikemukakan Gonzales (2004), di antaranya lembaga harus memiliki tujuan jangka panjang. Hal itu terkait dengan tujuan dari dana abadi untuk melayani tujuan jangka panjang.
2. Lembaga taman nasional merupakan lembaga yang berada di sektor yang memiliki prioritas inggi, yaitu lembaga yang bergerak di bidang konservasi sumber daya hutan. Hal itu menuntut lembaga pengelola untuk mampu menentukan prioritas dan mengalokasikan pendanaan yang diperolehnya sesuai dengan prioritas pengelolaan yang telah ditentukan. Pengelolaan tersebut harus sesuai prioritas donor di bidang
konservasi dan dengan prioritas lembaga pengelola dana perwalian.
3. Taman Nasional yang bertransformasi menjadi BLU harus menjadi lembaga pengelola yang memiliki keterbukaan kebijakan, kebijakan yang kondusif dan idak bertentangan dengan pembentukan dana perwalian, serta prasyarat pening lainnya.
4. Lembaga taman nasional yang bertransformasi menjadi BLU merupakan badan legal yang mampu bertanggung jawab dan secara poliik dapat diterima oleh donor untuk menerima dan mengelola dana perwalian yang diberikan.
5. Lembaga taman nasional memiliki alokasi pendanaan pemerintah yang dapat digunakan untuk menarik pendanaan dari para donor.
Pemanfaatan dana abadi sebagai jaminan tersedianya dana operasional pada suatu BLU dapat dilakukan dengan menginvestasikan dana tersebut. Hal itu merupakan salah satu bentuk pengopimalan pengelolaan kas BLU, sebagaimana disebutkan Waluyo (2014) bahwa BLU dapat melakukan pengopimalan pengelolaan kas melalui investasi. Hasil investasi atau return dapat digunakan untuk mendanai tujuan nirlaba tertentu dari suatu lembaga dengan tanpa mengurangi
264
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
dana pokok (Afra 2016). Salah satu yang dapat dibiayai dari return
adalah untuk biaya operasional BLU. Pemanfaatan dana abadi sebagai bagian dari dana publik akan dapat membantu BLU untuk mandiri.
11.3.4 Tranformasi Taman Nasional Menjadi Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK)
Solusi bagi permasalahan pengelolaan hutan di Indonesia untuk memperbaiki tata kelola, keidakjelasan hak tenurial dan lemahnya kapasitas dalam manajemen hutan adalah melalui kebijakan pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (Maryudi 2016). Selain itu, kebutuhan unit pengelolaan hutan di ingkat tapak dan organisasinya dapat dijawab dengan adanya kebijakan pembentukan KPH (Kartodihardjo et al. 2011). Departemen Kehutanan (2009) memandang bahwa pembangunan wilayah pengelolaan hutan
merupakan serangkaian proses yang diawali dari proses perencanaan/penyusunan desain kawasan hutan berdasarkan atas fungsi pokok dan peruntukannya untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang eisien dan lestari, selain itu KPH juga menjadi bagian dari penguatan sistem pengurusan hutan nasional, provinsi dan kabupaten/kota.
Kebijakan pembentukan KPH sebagai jalan untuk menuju pengelolaan hutan lestari. Di sisi lain, pembentukan KPH akan memberikan kesempatan kepada seiap tapak untuk dikelola sesuai dengan karakterisik dan potensi yang dimilikinya. FORCLIME (2017) menguraikan bahwa berdasarkan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, bahwa seluruh kawasan hutan yaitu produksi, lindung dan konservasi harus dibagi dan dikelola di bawah unit pengelolaan hutan. Kawasan konservasi termasuk taman nasional masuk kedalam pengelolaan Unit Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK). Pengembangan KPHK berbeda dengan KPHP dan KPHL. KPHK dikembangkan dari kawasan konservasi/hutan yang telah ditunjuk dan dikelola oleh balai besar/balai taman nasional atau konservasi sumber daya alam (untuk kawasan konservasi non-taman nasional) dan kewenangan pengelolaannya berada pada pemerintah pusat yaitu Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (FORCLIME 2017).
KPH secara umum memiliki tugas dan fungsi yang secara khusus diatur dalam PP No. 6 Tahun 2007 pasal 9 (Nugroho & Soedomo 2016), yaitu:
265
XI. DESAIN PEN
GELOLAAN
DANA PERW
ALIAN (TRU
ST FUN
D) U
NTU
K MEN
DUKU
NG PEN
GELOLAAN
TAMAN
NASIO
NAL
1. Menyelenggarakan pengelolaan hutan yang melipui:
a. Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan.
b. Pemanfaatan hutan.
c. Penggunaan kawasan hutan.
d. Rehabilitasi hutan dan reklamasi.
e. Perlindungan hutan dan konservasi alam.
2. Menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/kota bidang kehutanan untuk diimplementasikan.
3. Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya mulai dari perencanaan, pengorganisasiaan, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian.
4. Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya.
5. Membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan.
KPH termasuk KPHK memiliki peluang investasi sebagai upaya untuk mendukung tercapainya pengelolaan hutan konservasi. Hal itu memberikan peluang kepada KPHK untuk dapat menerima dan mengelola dana perwalian untuk mendukung pengelolaan kawasan konservasi yang berada dalam kewenangannya. Saat ini beberapa KPH telah memperoleh dukungan pendanaan dari beberapa lembaga donor internasional. Suharjito (2017) mengungkapkan bahwa untuk memecahkan tantangan terkait dengan keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh pemerintah, beberapa KPH memperoleh dukungan dana dari lembaga internasional. Sebagai contoh, KPHK Model Tasik Besar Serkap (TBS) di Riau memperoleh dana bantuan dari pemerintah Republik Korea untuk penyiapan operasionalisasi selama 3 tahun (2012–2014).
Akan tetapi terdapat beberapa tantangan terkait dengan pembentukan dan implementasi kebijakan pembentukan KPHK. Tantangan tersebut di antaranya perangkat regulasi tentang pembentukan dan pengelolaan KPHK belum ada. Saat ini regulasi terkait dengan KPH lebih banyak mengatur tentang KPHL dan KPHP di antaranya Permendagri No. 61
266
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Tahun 2010 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) di Daerah.
11.4 Penutup
Pengelolaan dana perwalian memerlukan perangkat infrastruktur yang sesuai dengan regulasi pemerintah dan ketentuan donor. Perangkat infrastruktur kelembagaan untuk mengelola dana perwalian khususnya di taman nasional dapat dilakukan dengan mengopimalkan fungsi dan struktur organisasi serta menambahkan tugas pokok dan fungsi taman nasional terkait dengan pengelolaan dana perwalian. Selain itu penyiapan roadmap program dan kegiatan yang dapat didukung oleh pendanaan yang berasal dari donor dapat mendukung kesiapan infrastruktur kelembagaan TN sebagai pengelola dana perwalian.
Roadmap program dan kegiatan kerja sama disesuaikan dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing taman nasional.
Selanjutnya regulasi yang ada saat ini belum memungkinkan pendanaan yang berasal dari dana publik untuk dipergunakan tanpa melalui mekanisme yang panjang. Oleh karena itu, untuk dapat menggunakan dana publik tersebut untuk dapat ikut mendukung pengelolaan taman nasional diperlukan review terhadap Perpres No. 80 Tahun 2011 tentang Dana Perwalian. Review tersebut diperlukan untuk dapat memangkas birokrasi yang harus dilewai oleh dana publik sebelum dapat digunakan oleh pengguna. Selain itu restrukturisasi mekanisme monitoring dan evaluasi kerja sama diperlukan sebagai bentuk untuk mewujudkan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan dana perwalian di taman nasional.
267
XI. DESAIN PEN
GELOLAAN
DANA PERW
ALIAN (TRU
ST FUN
D) U
NTU
K MEN
DUKU
NG PEN
GELOLAAN
TAMAN
NASIO
NAL
Datar PustakaAfra SA. 2016. Endowment Fund. htp://mwaum.ui.ac.id/bk/wp-
content/uploads/2016/05/Kajian-Endowment-Fund.pdf diakses pada Rabu, 23 Mei 2018.
Bladon A, Mohammed EY, Milner-Gullan EJ. 2014. A Review of Conservaion Trust funds for Sustainable Marine Resources Management: Condiions for Succes. IIED Working Paper. IIED, London.
Butler, Rawlison. 2015. A guide for Trustee: Your duies and responsibiliies. htp://www.rawlisonbutler.com/assets/uploads/ 2015/12/Trustees-PC-leaflet-electronic-version.pdf?x91086 diakses pada 30 Mei 2018.
Lukman, Mediya. 2015. Badan Layanan Umum dari Birokrasi Menuju Korporasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara
Waluyo, Budi. 2014. Analisis Permasalahan pada Implementasi Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Jurnal Infoartha. 3(7): 27–38.
Bladon A, Mohammed E, Milner-Guland E. 2014. A review of Conservaion Trust funds for sutainable Marine Resources Management: Condiion for Success. Report. IIED.
Chevron Geothermal Salak, LTD. 2013. Ringkasan Kinerja Pengelolaan Lingkungan Penilaian PROPER 2012-2013 Chevron Gheotermal Salak, LTD.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Kementerian Keuangan. 2016. Proil Pengelolaan Hibah Pemerintah Pusat. Jakarta: Kementerian Keuangan.
Djogo T, Sunaryo D, Suharjito, Sirait M. 2003. Kelembagaan dan Kebijakan dalam Pengembangan Agroforestry. Bahan Ajaran Agroforestry 8. World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia. Bogor.
Dunggio, Iswan, dan Gunawan H. 2009. Telaah Sejarah Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. 6 (1): 43–56, April 2009.
268
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
FAO. 2018. Enabling Framework: Enhancing Capaciies for a Country-Owned Transiion Towards CSA. htp://www.fao.org/climate-smart-agriculture-sourcebook/enabling-frameworks/module-c2-capacity-development/c2-overview/en/?type=111. Diakses Minggu 1 April 2018.
FORCLIME. 2017. Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia: Pengelolaan saat ini, pembelajaran dan rekomendasi. Jakarta.
Gardner A, Griin AS, West SA. 2016. Theory of Cooperaion. London.
Gonzales, Eugenio M. 2004. Membentuk dan Mengelola Dana Abadi: Pelajaran dari Asia Tenggara. The Synergos Insitute. Lembaga Peneliian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Jakarta.
Hernowo, Basah. 2011. Peran Lembaga Trust fund dalam REDD+. Power Point Presentasi pada Workshop Pendanaan dan Mekanisme Distribusi Insenif REDD+, Jakarta 28 April 2011.
Imansyah MJ. 2017. Sumber Pendanaan Konservasi Keanekaragaman Hayai Indonesia. htps://id.linkedin.com/pulse/sumber-pendanaan-konservasi-keanekaragaman-hayai-m-jeri-imansyah. Diakses 31 Januari 2018.
Kartodihardjo H, Nugroho B, & Putro HR. 2011. Konsep Pembangunan Kesatuan Pengelolaan (KPH): Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi. Kementerian Kehutanan. Jakarta.
Kartodihardjo, H. 2006. Masalah Kelembagaan dan Arah Kebijakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. 3(1): 29–41. Maret 2006.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2016. Dana Perwalian (Trust
Fund) sebagai Instrumen Pendanaan Berkelanjutan Bagi Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Jakarta.
Kementerian Keuangan. 2016. Proil Pengelolaan Hibah Pemerintah Pusat. Jakarta.
Kementerian Keuangan. 2018. Kajian Pengelolaan Badan Layanan Umum. htp://www.iskal.kemenkeu.go.id/dw-konten-view.asp?id=20160331084238604011876#. Diakses, Minggu 4 Februari 2018.
269
XI. DESAIN PEN
GELOLAAN
DANA PERW
ALIAN (TRU
ST FUN
D) U
NTU
K MEN
DUKU
NG PEN
GELOLAAN
TAMAN
NASIO
NAL
Kementerian Keuangan. 2017. Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak. (disampaikan dalam rangka bimibingan teknis penganggaran di Bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Mataram 6-4 Oktober 2017).
Lembaga Administrasi Negara (LAN). 2013. Laporan: Kajian Desain Kelembagaan Pemerintah Pusat (Arsitektur Kelembagaan tahun 2014-2019). htp://ppid.lan.go.id/wp-content/uploads/2014/10/Kajian-Desain-Kelembagaan.pdf. Diakses Minggu, 1 April 2018.
Leimona, B, Noordwijk, Meine Van, Joshi, Laxman. 2009. Konsep Imbal Jasa Lingkungan: Pengantar Pelaihan Kaji Cepat Hidrologi dan Pengukuran Karbon Tersimpan. Power Point Presentasi pada pelaihan RUPES, Jambu Luwuk 5 Oktober 2009.
Lukman, Mediya. 2015. Badan Layanan Umum dari Birokrasi Menuju Korporasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Mackinnon JK, Child, Graham, & Thorsell Jim. 1990. Pengelolaan
Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Maryudi, Ahmad. 2016. Arahan Tata Hubungan Kelembagaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KHP) di Indonesia. Jurnal Ilmu Kehutanan. 10(1) Januari–Maret 2016.
Nigro, Felix A & Nigro, Liyoid G. 2012. Administrasi Publik Modern. Yogyakarta. PALMALL Yogyakarta.
Prabandani, Hendra Wahanu. 2015. The Virtue and Problems of Indonesian Development Trust fund. Thesis. University of north Carolina School of Law. Chapel Hill, North Carolina.
Santosa dan Setyowai. 2016. Pengelolaan Kawasan Konservasi Secara Kolaboraif. Lestari Paper No. 01. Jakarta: USAID.
Spergel, B dan Well, M. 2010. Dana Perwalian Konservasi sebagai model pendanaan REDD+ nasional, pada Mewujudkan REDD+: Strategi Nasional dan Berbagai Pilihan Kebijakan (ed: Arild Angelsen). Center for Internaional Forestry Research. Bogor
Suharjito D. 2017. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH): Kebijakan, Implementasi dan Masa Depan. Mulistakeholder Forestry Programme 3 (MFP3) dan Dewan Kehutanan Nasional. Jakarta.
270
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Sulistyana D, dan Azrin Rasuwin. 2013. Kajian atas Sistem Keuangan Pemerintah dalam Pengelolaan Hibah Luar Negeri. Jakarta: MPAG-USAID.
Supriyanto, Bambang. 2017. Pengembangan Jiwa Kewirausahaan Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan Konservasi. Power Point Presentasi.
Taman Nasional Gunung Halimun Salak. 2017. Pengelolaan taman Nasional Gunung Halimun Salak: Urusan Kerjsama dan Hubungan Masyarakat tahun 2017.
Taman Nasional Kayan Mentarang. 2018. Brieing Paper No. 9: Pembiayaan Taman Nasional Berkelanjutan. htp://heartoborneo.or.id/uploads/parks_reports/brief_paper9_pembiayaan_tn_berkelanjutan.pdf. Diakses tanggal 19 Maret 2018.
World Bank. 2017. Fact Sheet on World Bank Trust funds. http://siteresources.worldbank.org/CFPEXT/Resources/TFfactsheetapril2017.pdf diakses pada tanggal 18 April 2018.
Yusika, Ahmad Erani. 2012. Ekonomi Kelembagaan. Jakarta: Erlangga.
Zamzami F, Nariaki Onda, Kunihiko Yoshino, dan Misa Masuda. 2009. Deforestaion and Agricultural Expansion Processes in Gunung Palung Naional Park, West Kalimantan, Indonesia. JMHT 15(1): 24–31, April 2009.
XII. MEKANISME INSENTIF DAN DISINSENTIF DALAM PEMANFAATAN
JASA LINGKUNGAN BERBASIS KARBON DI TAMAN NASIONAL
Subarudi
12.1 Pendahuluan
Pemanfaatan jasa lingkungan di taman nasional melipui kegiatan usaha penyerapan dan/atau penyimpanan karbon, pengelolaan
tata air atau air minum, pengelolaan ekowisata, dan penyediaan
produk dan jasa biodiversitas. Pemanfaatan jasa lingkungan tersebut
perlu diwujudkan secara nyata dengan melibatkan para pemangku
kepeningan untuk menjadi mitra dalam mewujudkan pengelolaan jasa lingkungan tersebut.
Pengelolaan pemanfaatan jasa lingkungan di taman nasional
menuntut suatu mekanisme sistem insenif dan disinsenif karena selama ini pengelola taman nasional idak termoivasi untuk mewujudkan pemanfaatan jasa lingkungan di wilayah taman nasional
yang dikelolanya. Hal yang sama juga terjadi keika kebakaran hutan yang terus berulang seiap tahun di Indonesia karena keiadaan sistem insenif dan disinsenif ekonomi dari pelaksanaan aturan main pengendalian kebakaran (Syauina dan Sukmana 2008). Konsep sistem insenif dan disinsenif telah dikemukakan oleh Subarudi (2002) yang mengusulkan pemberian insenif bagi desa-desa yang mampu menjaga hutannya agar idak terbakar. Insenif dapat berupa pembangunan sarana dan prasarana desa untuk membangkitkan
sistem perekonomian desa tersebut. Pemberian insenif dan disinsenif berbasis desa telah diadopsi oleh PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP) dengan menciptakan program Desa Bebas Api, di mana desa yang
dahulunya berstatus rawan kebakaran dan mampu membukikan menjadi desa bebas api dalam satu tahun berjalan, maka desa tersebut
akan mendapatkan insenif berupa uang tunai sebesar Rp. 100 juta (RAPP 2017).
272
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Secara teoriis dan prakis, penilaian ekonomi sumber daya alam (SDA) yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan moneter dari kegiatan ekstraksi dan distribusi SDA tersebut telah menyebabkan
kurangnya insenif bagi pengelolaan dan penggunaan SDA yang berkelanjutan. Oleh karena itu, untuk mendukung penggunaan SDA yang berkelanjutan, maka biaya lingkungan akibat degradasi tersebut
harus diintegrasikan dalam seluruh aspek kegiatan ekonomi idak hanya pola konsumsi dan perdagangan, tetapi juga terhadap semua
aspek sumber daya tersebut (Pearce et al. 1994). Taman nasional telah diakui menghasilkan berbagai jasa lingkungan yang sangat pening sebagai sistem penyangga kehidupan manusia. Pengelolaan taman
nasional terkait pemeliharaan dan peningkatan stok karbon berari menjamin keberlangsungan jasa lingkungan biodiversitas lora dan fauna, ketersediaan jasa lingkungan air termasuk perlindungan daerah
aliran sungai/watershed management, keindahan dan fenomena
alam (wisata alam). Untuk itu pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon di taman nasional perlu segera diinisiasi sebagai indak lanjut disusunnya metodologi yang mengasosiasikan stok karbon dengan
fungsi atau manfaat jasa lingkungan kehai, jasa lingkungan air termasuk watershed management, keindahan alam (wisata alam). Transformasi pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon di taman nasional ini
membutuhkan transformasi unsur kelembagaan pengelolaan taman
nasional yaitu: organisasi, pendanaan, kebijakan dan pengelolaan
dana publik.
Sebagai pendorong dilaksanakannya transformasi pemanfaatan jasa
lingkungan berbasis karbon di taman nasional maka perlu disiapkan
mekanisme insenif dan disinsenif bagi pengelola taman nasional. Secara konseptual penerapan insenif dan disinsenif dalam pengelolaan jasa lingkungan di taman nasional menggunakan sistem kompensasi
imbal jasa lingkungan. Konsep ini muncul untuk mewujudkan rasa keadilan antara pihak yang memberikan jasa/manfaat (service provider) dengan pihak penerima jasa/manfaat (service user) lingkungan karena selama ini penerima manfaat idak pernah berikir atau idak pernah memberikan perhaian terhadap pihak-pihak penyedia manfaat lingkungan. Hal ini perlu diperkenalkan dengan suatu pendekatan User
Pay Principle (USP), yaitu pengguna membayar atas jasa yang telah dimanfaatkannya. Satu lagi pendekatan yang seringkali digunakan
dalam pengelolaan pencemaran lingkungan hidup adalah Poluters Pay
273
XII. MEKAN
ISME IN
SENTIF DAN
DISINSEN
TIF DALAM PEM
ANFAATAN
JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
NDI TAM
AN N
ASION
AL
Principle (PPP), yaitu pihak yang membuat pencemaran lingkungan harus membayar atau memberikan kompensasi atas dampak yang
diimbulkannya. Untuk merealisasikan insenif dan disinsenif tersebut telah disusun kriteria dan indikator serta cara veriikasinya untuk bahan penilaian bagi penerima kompensasi penyedia lingkungan (Subarudi,
2009).
Oleh karena itu dalam penerapan pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon di taman nasional, mekanisme insenif dan disinsenif menjadi pening dalam konteks penyelamatan wilayah konservasi dari aspek gangguan luar sekaligus mendapatkan dana untuk kegiatan
konservasi kawasan hutan. Adapun maksud dari tulisan ini adalah
untuk menyusun mekanisme insenif/disinsenif yang mendorong transformasi kelembagaan taman nasional dalam pemanfaatan jasa
lingkungan (jasling) berbasis karbon di taman nasional. Sementara tujuan dari tulisan ini, yaitu (i) menjelaskan pengerian tentang insenif dan disinsenif, (ii) mengideniikasi peraturan perundang-undangan di bidang insenif dan disinsenif di taman nasional, (ii) memformulasikan mekanisme insenif/disinsenif untuk mengopimalkan pemanfaatan jasling di taman nasional berbasis karbon, (iii) menyusun strategi untuk penerapan mekanisme insenif/disinsenif dalam pemanfaatan jasling berbasis karbon di taman nasional.
12.2 Pengerian Insenif dan DisinsenifPada prinsipnya, hutan memiliki manfaat bagi manusia baik secara
langsung dan idak langsung. Manfaat hutan secara langsung (tangible
beneit) melipui penyediaan barang berupa kayu, rotan, getah dan hasil hutan lainnya yang dapat langsung dirasakan dan digunakan oleh
masyarakat. Sebaliknya, manfaat hutan idak langsung (intangible
beneit) seperi pengendali erosi, penjaga kesuburan tanah, penyerap karbon, pengatur tata air, dan lain-lain yang idak dapat dirasakan langsung oleh masyarakat, akan tetapi akan terus berlangsung terjadi
tanpa dapat dikendalikan oleh kebijakan kehutanan. Manfaat hutan idak langsung ini dapat melewai batas-batas isik hutan (beyond
the boundary) dan manfaat ini juga diharapkan terus berlanjut oleh
masyarakat luas, yaitu pihak-pihak yang idak mendapatkan hak pengelolaan atau izin pemanfaatan hasil hutan (Kartodihardjo 2006).
274
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Pendapat yang mengatakan bahwa hutan itu adalah barang publik
(public goods) bisa jadi benar karena yang sebenarnya publik dapat
menerima manfaat idak langsung atau fungsi hutan idak langsung, sedangkan manfaat langsungnya dapat dimiliki secara eksklusif oleh
perseorangan atau pemilik hutan hak, para pemegang hak atau izin
pengelolaan hutan, pengelola hutan rakyat atau pengelola hutan
adat. Mengingat pemerintah adalah representasi dari publik, maka pemerintah seharusnya memberikan kompensasi atau insenif kepada pemilik hutan yang telah memberikan dan menyediakan jasa
lingkungan baik berupa bebas banjir di musim hujan dan ketersediaan
air di musim kemarau serta udara segar dan iklim yang kondusif bagi
lingkungan hidup dan kehidupan masyarakat.
Secara umum isilah insenif dalam konteks “konservasi” telah muncul sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan dan
Pemanfaatan Hutan serta Penggunaan Hutan pada Pasal 69: “Dalam
hal hutan hak diubah statusnya menjadi kawasan hutan karena
memiliki fungsi lindung dan konservasi, Pemerintah berkewajiban
memberikan kompensasi kepada pemegang hak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal hutan hak
difungsikan sebagai kawasan konservasi atau lindung, Pemerintah
dapat memberikan insenif kepada pemegang hak”. Penjelasan
terkait pemberian kompensasi bagi masyarakat yang hutan haknya
diubah statusnya menjadi kawasan hutan dengan fungsi konservasi
karena kawasan konservasi sumber daya alam hayai (SDAH) dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian
SDAH serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih
mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu
kehidupan manusia. Disamping itu konservasi SDAH dan ekosistemnya
menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat sebagaimana
dicantumkan dalam Pasal 3 dan 4 Undang-undang (UU) No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi SDAH dan Ekosistemnya.
Dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dinyatakan bahwa “Insenif sebagaimana pasal 35 yang merupakan perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang
sejalan dengan tata ruang” (Pasal 38 [2]) dan “disinsenif sebagaimana Pasal 35, yang merupakan perangkat untuk mencegah dan membatasi pertumbuhan atau mengurangi kegiatan yang idak sejalan dengan rencana tata ruang yang sudah ditetapkan bersama” (Pasal 38 [3]).
275
XII. MEKAN
ISME IN
SENTIF DAN
DISINSEN
TIF DALAM PEM
ANFAATAN
JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
NDI TAM
AN N
ASION
AL
Wijayanto (2007) mendeinisikan insenif sebagai semua bentuk dorongan spesiik atau rangsangan/simulus, yang umumnya berasal dari faktor eksternal (pemerintah, LSM, swasta dan lain-lain), yang dirancang dan diterapkan untuk memengaruhi atau memoivasi masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, untuk berindak atau mengadopsi teknik dan metoda baru yang bertujuan untuk
memperbaiki kondisi. Dengan demikian isilah insenif diarikan sebagai penghargaan yang diberikan seseorang atas prestasi kerjanya
dan disinsenif adalah pemberian hukuman atas penurunan kinerja atau pencapaian kinerja yang idak sesuai dengan target yang sudah ditetapkan.
12.3 Kesenjangan Kebijakan Insenif dan Disinsenif Pemanfaatan Jasa Lingkungan Berbasis Karbon di Taman Nasional
Beberapa contoh peraturan perundang-undangan yang mengatur pemberian insenif dan disinsenif dalam berbagai kegiatan konservasi hutan, kehutanan dan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup telah ada, namun masih memerlukan perbaikan dan/atau
penyempurnaan terhadap konten/substansinya agar relevan dengan
pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon di taman nasional (Tabel
12.1).
Tabel 12.1 Kesenjangan kebijakan pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon di taman nasional
No Jenis Peraturan Perihal Kesenjangan1 UU Nomor 5
Tahun 1990Konservasi SDAH dan
Ekosistemnya
Belum mengatur insenif untuk pemanfaatan jasa lingkungan
berbasis karbon di TN2 UU Nomor 41
Tahun 1999Kehutanan Belum mengatur pemberian
insenif untuk upaya konservasi di lahan negara (TN)
276
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
No Jenis Peraturan Perihal Kesenjangan3 PP No. 46
Tahun 2017Instrumen Ekonomi
Lingkungan HIdup
Kompensasi jasa lingkungan yang diatur oleh PP 46/2017 belum mengatur pembayaran
kompensasi jasa lingkungan
dari pihak lain kepada UPT pemerintah pusat di daerah (TN) (Pasal 10 ayat 3).
Di sisi lain TN sudah memenuhi ketentuan untuk mendapat
kompensasi jasa lingkungan
(Pasal 12 ayat 1).4 Permenhut
No. 85 Tahun 2014 junto PermenLHK No. 44 Tahun 2017
Tata Cara
Kerja sama Penyelenggaraan
KSA dan KPA
Balai TN idak diperbolehkan untuk mengajukan proposal
permohonan kerja sama
dengan pihak lain sehingga
dikhawairkan idak dapat mengakses sumber daya dari
luar termasuk pendanaan.
Hal ini dibutuhkan untuk
membuka akses lebih luas
dalam mengembangkan kerja
sama untuk pemanfaatan jasa
lingkungan berbasis karbon.
Tabel 12.1 Kesenjangan kebijakan pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon di taman nasional (lanjutan)
277
XII. MEKAN
ISME IN
SENTIF DAN
DISINSEN
TIF DALAM PEM
ANFAATAN
JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
NDI TAM
AN N
ASION
AL
No Jenis Peraturan Perihal Kesenjangan5 PermenLHK No.
70 Tahun 2017Mekanisme REDD+
Mekanisme REDD+ yang ada masih menekankan pada konsep
addiionality yang berkaitan
langsung dengan kuanitas karbon sehingga belum
mengakomodasi peran hutan
konservasi dalam menjaga
simpanan karbon.
Jika TN mengikui konsep addiionality maka insenif yang diperoleh relaif kecil mengingat laju deforestasi dan degradasi di
TN pada umumnya relaif sangat rendah.
Tabel 12.1 menunjukkan bahwa ada 2 (dua) jenis Undang-Undang (UU), 1 (satu) Peraturan Pemerintah (PP), dan 2 (dua) Peraturan Menteri (Permen) yang mengatur tentang insenif dan disinsenif di bidang konservasi hutan dan kehutanan maupun pemanfaatan jasa
lingkungan di hutan konservasi, khususnya taman nasional. Untuk konservasi hutan, UU No. 5 Tahun 1990 hanya menjelaskan tentang disinsenif terutama terkait menjaga wilayah penyangga kehidupan dan jika idak dapat menjaga maka diberikan sanksi (disinsenif). Hal ini menunjukkan bahwa UU No. 5/1990 hanya berbicara tentang konsekuensi (hukuman), tetapi belum menyentuh ranah insenif khususnya pihak-pihak yang melakukan konservasi terhadap hutan dan lahan hutan miliknya sendiri.
Dalam hal ini, skema insenif dalam kegiatan konservasi hutan harus sudah mulai dirancang karena penerapan disinsenif dan mengabaikan insenif idak akan berjalan dan berpengaruh nyata terhadap berbagai pelanggaran dan penyimpangan dalam kegiatan konservasi. Oleh karena itu, penerapan insenif harus masuk dalam berbagai regulasi terkait dengan pengelolaan hutan konservasi berikut dengan target
pengelolaan hutan konservasi yang berkelanjutan.
Tabel 12.1 Kesenjangan kebijakan pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon di taman nasional (lanjutan)
278
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
12.4 Mekanisme Insenif dan Disinsenif Pemanfaatan Jasa Lingkungan Berbasis Karbon di Taman Nasional
12.4.1 Formulasi Insenif dan Disinsenif Pemanfaatan Jasa Lingkungan Berbasis Karbon di Taman Nasional
Penerapan sistem insenif dan disinsenif dalam pemanfaatan jasa lingkungan di taman nasional merupakan suatu gagasan baru dan
sekaligus sebagai peluang untuk diterapkan pada pengelolaan taman
nasional. Berdasarkan hasil rekapitulasi jawaban responden di Taman
Nasional (TN) Meru Beiri dan TN Sebangau, jenis kegiatan yang perlu mendapatkan insenif bagi taman nasional melipui kegiatan peningkatan stok karbon, kebakaran hutan, pencurian kayu, dan lain-lain sebagaimana tercantum dalam Tabel 12.2.
Tabel 12.2 Jenis kegiatan di taman nasional yang perlu diberikan insenif
Jenis Kegiatan TN Meru
Beiri TN Sebangau Rata-rata
Peningkatan stok karbon 4,83 4,71 4,77Penurunan kasus-kasus pencurian kayu
4,67 4,14 4,40
Penurunan kasus-kasus perambahan hutan
4,33 4,43 4,38
Penurunan perburuan satwa 4,33 4,43 4,38Pencurian lora 4,50 4,43 4,46Pencurian HHBK 4,00 4,00 4,00Penambangan liar 4,33 4,29 4,31Peningkatan populasi spesies
kunci
4,83 4,57 4,70
Kebakaran hutan 5,00 5,00 5,00
Tabel 12.2 menunjukkan bahwa pemberian insenif antara TN Meru Beiri dan TN Sebangau idak jauh berbeda terkait dengan jenis-jenis kegiatan yang perlu mendapatkan insenif yang melipui penurunan kasus-kasus kebakaran hutan, pengurangan stok karbon, penurunan perambahan, peningkatan populasi spesies kunci, penurunan
279
XII. MEKAN
ISME IN
SENTIF DAN
DISINSEN
TIF DALAM PEM
ANFAATAN
JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
NDI TAM
AN N
ASION
AL
perburuan satwa liar dan lora, pencurian kayu, dan penambangan liar. Dari semua datar kegiatan ancaman di taman nasional yang dipilih untuk mendapatkan insenif dan berpengaruh nyata terhadap penurunan stok karbon adalah kebakaran hutan, perambahan dan
penambangan liar.
Peningkatan Stok KarbonDari jenis-jenis kegiatan yang perlu mendapat insenif dapat dilakukan dengan menggabungkan beberapa kegiatan menjadi kegiatan yang
berbasis karbon (dihitung kehilangannya dengan setara karbon), yaitu (i) kebakaran hutan, (ii) perambahan hutan, (iii) penebangan dan pencurian kayu dan (iv) penambangan liar.
Kegiatan pencegahan dan pengendalian kebakaran digunakan jumlah kasus kebakaran hutan dan luas areal yang terbakar dalam 5 tahun terakhir. Dari empat taman nasional yang diamai, kasus kebakaran dan luas lahan terbakar yang terkecil selama 5 tahun berada di taman nasional Gunung Palung. Kasus kebakaran tersebut terjadi pada tahun 2015 dan tepat pada saat terjadinya El Nino yang juga membakar hampir sebagian besar kawasan hutan Indonesia seluas ha dengan kerugian mencapai Rp. 13,2 triliun (World Bank, 2016).
Kegiatan pencegahan dan pengendalian perambahan hutan digunakan jumlah kasus perambahan hutan dan luas areal yang dirambah dalam
5 tahun terakhir. Data menunjukkan bahwa kasus perambahan idak terjadi di TN Sebangau (TNS) dan TN Gunung Halimun Salak (TNGHS) dapat dijelaskan secara rinci sesuai dengan karakterisik taman nasional tersebut. TNS idak memiliki areal yang dirambah karena dominan arealnya adalah semak dan pandan sehingga kegiatan pertanian
atau pemukiman idak mungkin dilakukan dan masyarakat seringkali memanfaatkan areal TNS sebagai tempat mencari ikan dan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Kasus perambahan di TNGS sebenarnya idak terjadi hanya untuk kegiatan pemukiman dan pertanian, tetapi kasus
perambahan berupa kegiatan pertambangan emas tanpa izin (PETI) cukup marak.
Indikator pencegahan dan pengendalian penebangan liar dan pencurian kayu direpresentasikan oleh jumlah kasus penebangan liar
dan luas areal yang ditebang dalam 5 tahun terakhir. Data menunjukkan bahwa TNS dan TNGHS idak ada data terkait dengan illegal logging di
280
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
dalam staisik tahunannya sehingga hal ini perlu dikonirmasi kepada pengelola taman nasional tersebut. Hasil konirmasi dari TNS dan TNGP menyatakan ada penebangan liar tetapi kecil sekali dan biasanya digunakan penduduk untuk membangun atau memperbaiki rumah
inggal mereka sehingga idak dicatatkan dalam staisik pengelolaan taman nasional.
Kegiatan pencegahan dan pengendalian penambangan liar atau lebih dikenal sebagai PETI (penambangan tanpa Izin) digunakan jumlah kasus PETI dan luas areal yang ditambang dalam 5 tahun terakhir. Dari keempat taman nasional yang diamai, kasus PETI dan areal yang ditambang terjadi di TNGHS dan TN Gunung Palung (TNGP). Kasus PETI di TNGHS selama 5 tahun relaif inggi yang mencapai luasan 1.162,3 ha dan 336 unit (yang dilaporkan dalam jumlah “lubang”). Seharusnya kasus PETI idak dilaporkan dalam bentuk lubang, tetapi juga ukuran atau besaran lubang sehingga dapat dihitung luas areal lubang tersebut.
Sebenarnya luas PETI dapat diidenikkan dengan perambahan hutan yang idak dilaporkan dalam buku Staisik TNGHS.
Peningkatan Populasi Spesies KunciSpesies kunci adalah jenis satwa liar atau lora yang menjadi perhaian dan fokus pengelolaan dari seiap taman nasional. Pada umumnya spesies kunci yang digunakan oleh taman nasional adalah fauna
atau satwa liar. Sementara spesies kunci lora jarang menjadi target pengelolaan taman nasional. Sebagai contoh, TN Meru Beiri (TNMB) memiliki spesies kunci Harimau Jawa. TNS memiliki Orang Utan dan Rangkong sebagai spesies kuncinya. TNGHS memiliki spesies kunci yang terdiri atas Elang Jawa, Macan Tutul dan Owa Jawa. Kegiatan pemanfaatan taman nasional yang dapat dilihat keterkaitannya dengan
peningkatan spesies kunci adalah pencegahan dan pengendalian
terhadap perburuan liar, pencurian lora dan perdagangan satwa liar serta pencurian HHBK.
Sebenarnya sudah ada metode penghitungan populasi dengan
mengkombinasikan data dan informasi terkait habitat satwa liar dengan
karakterisiknya (ground survey) dan kemudian dipaduserasikan dengan peta spasial informasi kawasan taman nasional sehingga
diperoleh luasan habitatnya dan kemudian dapat diduga terkait dengan
jumlah populasi untuk spesies kunci tersebut. Dalam hal ini Direktorat
281
XII. MEKAN
ISME IN
SENTIF DAN
DISINSEN
TIF DALAM PEM
ANFAATAN
JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
NDI TAM
AN N
ASION
AL
Kawasan Konservasi dapat menginisiasi pelaihan untuk memonitor jenis-jenis spesies kunci di areal hutan konservasi sehingga penetapan target oleh masing-masing taman nasional bukan hanya di atas kertas (on paper), tetapi memang nyata keberadaannya di lapangan.
Kegiatan yang terkait dengan peningkatan atau penurunan spesies kunci adalah kegiatan pencegahan dan pengendalian terhadap perburuan
liar, pencurian lora, perdagangan satwa liar, dan pencurian hasil hutan bukan kayu (HHBK). Kegiatan pencegahan dan pengendalian perburuan liar digunakan jumlah kasus perburuan dan jenis satwa liar yang diburu
dalam 5 tahun terakhir. Dari keempat taman nasional yang diamai, hanya TNMB yang memiliki banyak pencurian fauna yang terdiri atas jenis burung, penyu, mamalia besar (Banteng, Rusa, Kijang, Kancil) dan mamalia kecil (Trenggiling, Musang, Tupai Terbang), dan primata (Lutung) dengan jumlah total 78 ekor dan daging sebanyak 249 kg dan 45 jenis. Namun jenis fauna yang dilindungi juga termasuk yang dicuri melipui burung merak, lutung, trenggiling, musang, banteng, kancil, rusa, kijang, dan tupai terbang.
Kegiatan pencegahan dan pengendalian pencurian lora khususnya yang masuk kategori spesies kunci digunakan jumlah batang dan jenis
lora yang dicuri dalam 5 tahun terakhir. Pencurian lora yang dilindungi hanya tercatat di TNGP, namun demikian yang idak tercatat bukan berari idak ada jenis lora yang dilindungi yang dicuri atau ditebang. Sebagai contoh di TNMB terdapat 77 jenis spesies yang ditebang dalam bentuk temuan berupa 2.959 batang dan 392 tunggak dan sebagian kecil termasuk jenis tanaman yang dilindungi seperi sentul, kedaung dan ambulu dan pohon langka lainnya. Di TNGP telah terjadi pencurian kayu ulin/bulian (Eusideroxylon zwageri), namun jumlah atau volumenya idak dilaporkan.
Kegiatan pencegahan dan pengendalian perdagangan satwa liar khususnya yang masuk kategori spesies kunci digunakan jumlah ekor
dan jenis satwa liar yang dicuri dalam 5 tahun terakhir. Ternyata idak ada kegiatan perdagangan satwa liar di TNS, TNGHS, dan TNGP bukan berari idak ada sama sekali, tetapi kemungkinan idak ditemukannnya barang buki di lokasi. Pencurian jumlah ekor dan jenis satwa langka tercatat lengkap di TNMB dengan ditemukannya 7 spesies satwa yang dilindungi seperi banteng, kijang, lutung, kancil, merak dan tupai terbang dengan jumlah totalnya 17 ekor.
282
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Kinerja pencegahan dan pengendalian pencurian HHBK diindikasikan volume dan jenis HHBK yang dicuri dalam 5 tahun terakhir. Pencurian HHBK tercatat hanya di TNMB dan di taman nasional lainnya idak tercatat. Tidak tercatat di staisik belum tentu berari idak ada pencurian HHBK, kemungkinan terbesar adalah soal keakifan dan kemauan mencatat. Di TNMB terdapat pencurian HHBK dalam bentuk bambu (11.896 batang), getah bendo (8,5 kg) dan serat ijuk (5 ikat) yang semuanya mudah untuk dijual dan ada pasarnya.
Peningkatan Kinerja Perlindungan HutanSalah satu faktor kegiatan yang luput untuk diberikan insenif dan disinsenif adalah peningkatan kinerja perlindungan hutan terhadap kelestarian kawasan taman nasional. Taman nasional yang memiliki
ingkat kinerja perlindungan hutan yang inggi akan diberikan insenif karena pada dasarnya pengelola taman nasional bertanggung jawab
mutlak (strict liability) atas keseluruhan kawasannya. Jika ingkat kinerja perlindungan hutan inggi di taman nasional menjadi indikator bahwa pengelola taman nasional telah bekerja dengan serius dan
sepenuh hai (addiionality) menjaga kawasannya. Dalam hal ini
peningkatan kinerja perlindungan hutan menjadi faktor penambah dari
suatu sistem insenif yang dihitung berdasarkan kinerja tahun berjalan dengan tahun sebelumnya. Sebagai contoh, pelaporan kasus-kasus kebakaran hutan dan lahan dan luasannya di provinsi selalu dilaporkan
di bawah jumlah kasus dan luas kebakaran yang sebenarnya. Namun keika diluncurkan program rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), maka dinas kehutanan provinsi mendatarkan kasus dan luas lahan yang terbakar lebih luas (mark up) dari kondisi kebakaran yang sebenarnya (Sianturi 2003).
Dari kasus-kasus yang ditemukan sebagai indikator peningkatan kinerja perlindungan yang harus diapresiasi adalah yang dilakukan
oleh masing-masing pengelola taman nasional. Jika dilihat ranking taman nasional yang banyak persoalan dengan gangguan keamanan
dan kerusakan hutan adalah TNMB, namun kinerja perlindungan dinilai berdasarkan upaya kinerja yang telah dilakukan dibandingkan
dengan capaian kinerja sebelumnya, maka kemungkinan TNMB yang berhak mendapat insenif. Hal ini berdasarkan dari data dan informasi yang ada telah terjadi penurunan terhadap berbagai kasus gangguan
283
XII. MEKAN
ISME IN
SENTIF DAN
DISINSEN
TIF DALAM PEM
ANFAATAN
JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
NDI TAM
AN N
ASION
AL
keamanan dan kerusakan hutan, sementara taman nasional yang
lain sulit untuk diberikan karena idak ada data dan informasi yang mendukungnya.
Peningkatan Kerja SamaPemberian insenif dan disinsenif taman nasional dapat juga diberikan berdasarkan peningkatan jumlah kerja sama dengan pihak yang
berbeda-beda. Penilaian kerja sama dilakukan dengan mencantumkan jenis, nilai dan manfaat kerja sama terhadap peningkatan kinerja
pengelolaan taman nasional. Jenis kerja sama pengelolaan kawasan taman nasional dapat dilakukan dengan 5 pihak, yaitu (1) masyarakat setempat; (2) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal, nasional dan internasional; (3) perusahaan swasta, (4) lembaga riset lokal, nasional dan internasional, dan (5) instansi pemerintah kabupaten/kota, provinsi dan pusat. Sebagai contoh, TNGP telah melakukan kerja sama dengan pihak swasta melibatkan 3 (iga) perusahaan untuk memanfaatkan program CSR yang terdiri atas PT SMP, CV TAS dan CV TPA. Kerja sama dengan LSM melibatkan 2 LSM lokal yaitu Yayasan Palung dan Yayasan Alam Sehat untuk program pemulihan ekosistem TNGP. Khusus untuk kegiatan litbang kelayakan habitat dan populasi orang utan, kerja
sama dilakukan dengan Yayasan Inisasi Alam Rehabilitasi Indonesia. Secara umum pelaksanaan kerja sama TNGP telah dilakukan dengan iga pihak (swasta, LSM dan Lembaga Riset) sehingga proporsi TNGP mendapatkan tambahan dana 60% dari produk kerja sama, terlepas pelaksanaan kerja sama dengan swasta (3 perusahaan) dan LSM (2 LSM) dalam penilaian tetap dianggap satu produk kerja sama.
Dalam hal ini jenis kerja sama dengan berbagai pihak dapat perlu
diboboi. Untuk seiap jenis kerja sama dipandang sama pening maka seiap kerja sama dengan satu pihak akan diberi pembobotan 0,2 atau 20% dari total nilai kerja sama yang dihitung dalam kelipatan ratusan ribu rupiah. Misalnya kerja sama di TNS dilakukan dengan pemerintah (Dirjen PPI dan Direktorat PHLHK) sebesar Rp. 2,75 miliar dan dengan LSM Nasional (WWF Kalteng) sebesar Rp. 2 miliar, maka pagu nilai kerja sama yang ada sebesar 20% x Rp. 2,75 M ditambah dengan 20% x Rp. 2 M sehingga menjadi total pagu kerja sama sebesar Rp. 1,9 M. Dengan demikian insenif yang diterima oleh TNS adalah 4% x Rp. 1,9 miliar = Rp. 760 juta sebagaimana tercantum dalam Tabel 12.3.
284
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Pengumpulan PNBPDalam hal ini pengumpulan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari berbagai jenis kegiatan yang dilakukan oleh pengelola taman nasional
dapat juga dilakukan pembobotan, di mana untuk jumlah PNBP yang diterima dapat diberikan insenif dalam bentuk persentase (20%) dari total PNBP yang diterimanya seiap tahun. Data menunjukkan ada trend kenaikan dalam perolehan PNBP di semua taman nasional, yang terbesar adalah TNGHS dari Rp. 225 juta (2012) menjadi Rp. 1,58 miliar (2016) dengan PNBP rata-rata per tahun sebesar Rp. Rp 1,3 miliar. Peringkat kedua ditempai TNMB, dari Rp. 78 juta (2012) menjadi Rp. 1,12 miliar (2016) dengan PNBP rata-rata per tahun sebesar Rp. 673 juta (Nurfatriani 2018).
Jenis penerimaan dari PNBP untuk TNMB berasal dari: (1) karcis masuk; (2) iuran peneliian, (3) sewa atau jual tanah, bangunan, dan peralatan, dan (4) pengembalian uang/penerimaan kembali tahun anggaran yang lalu. Total PNBP dari TNMB sebesar Rp. 1,12 miliar/tahun, maka insenif yang akan diterima adalah 10% x Rp. 1,12 miliar = Rp. 0,112 miliar atau Rp. 112 juta. TNGP akan mendapat insenif sebesar 4% x Rp. 151,4 juta = 6,1 juta. Sebaliknya TNBS akan mendapat disinsenif berupa pengurangan anggaran untuk BP sebesar = (-2)% x Rp. 34,3 juta = Rp. 0,7 juta sebagaimana tercantum dalam Tabel 12.3.
Realisasi Penyerapan Anggaran TahunanSistem insenif lainnya yang perlu diperimbangkan adalah realisasi penyerapan anggaran tahunan (PPAT). Indikatornya jika realisasinya inggi (di atas 95%) maka insenif yang akan diterima sebagai apresiasi terhadap perencanaan kerja dan anggaran yang tepat sebesar 2% dari pagu belanja pegawai. Basis pagu belanja pegawai karena semua
target pencapainya didasarkan atas kinerja SDM taman nasional yang ada. Sementara disinsenif yang diberikan sebesar -2% jika persentase pencapaian PPAT di bawah 84% sebagaimana tercantum pada Tabel 12.3. Pemberian disinsenif dalam pengurangan pagu anggaran apabila ingkat penyerapan di taman nasional di bawah 84% merupakan langkah tepat untuk mendorong pengelola taman nasional untuk
selalu menyusun anggarannya sesuai dengan kebutuhan dan waktu
penggunaannya, dan bukan semata keinginan dari pihak pengelola
taman nasional untuk mendapatkan anggaran yang besar tetapi sulit
merealisasikan penyerapannya.
285
XII. MEKAN
ISME IN
SENTIF DAN
DISINSEN
TIF DALAM PEM
ANFAATAN
JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
NDI TAM
AN N
ASION
AL
Dalam upaya mendukung peluang merealisasikan sistem insenif dan disinsenif bagi taman nasional, pemberian sistem insenif dan disinsenif (PSID) yang akan dirancang perlu memperimbangan 6 (enam) faktor penentunya sebagaimana telah dijelaskan di atas, yaitu (1) peningkatan stok karbon secara kondisional (PSKK); (2) peningkatan populasi jenis kunci (PPJK); (3) peningkatan kinerja kegiatan perlindungan hutan (PKKP) antara tahun berjalan dengan tahun sebelumnya; (4) peningkatan jumlah kerja sama pengelolaan (PJKP); (5) peningkatan penerimaan negara bukan pajak (PPNBP); dan (6) peningkatan penyerapan anggaran tahuan (PPAT) yang diformulasikan sebagai berikut:
PSID = PSKK +PPJK + PKKP (t2-t-1) + PJKP + PPNBP+ PPAT
Hasil perhitungan uji coba terhadap penerapan sistem insenif dan disinsenif yang layak untuk taman nasional dapat dilihat pada Tabel 12.3 yang menunjukkan bahwa alokasi anggaran antar taman nasional relaif sama untuk 3 taman nasional (TNGP, TNMB dan TNS). Namun apabila sistem penetapan pagu anggaran taman nasional diterapkan berbasis insenif dan disinseif telah berhasil meningkatkan penganggaran TNGHS sebesar 7,0% dari sebesar Rp. 19,918 miliar (tahun berjalan) menjadi sebesar Rp. 21,314 miliar pada tahun yang akan datang. Penambahan anggaran untuk iap sub anggaran (BP, BM, BB) tergantung pada hasil perhitungan masing-masing kinerja yang berbasis pada sub anggaran tersebut). Sebagai contoh, ingkat penyerapan anggaran didasarkan pada biaya pegawai karena hal ini
terkait dengan kapasitas dan kapabilitas SDM dalam memanfaatkan anggaran sehingga hasil insenifnya dikembalikan kepada pos Biaya Pegawai (BP). Khusus insenif untuk kerja sama dan perolehan PNBP dialokasikan untuk Biaya Modal (BM) karena untuk menambah efekivitas pengelolaan taman nasional. Sisanya yang lain didasarkan atas Belanja Barang (BB), maka insenifnya juga dikembalikan ke pos anggaran BB.
286
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Tabel 12.3 Hasil perhitungan uji coba penerapan insenif dan disinsenif bagi taman nasional
No Bentuk Insenif TNGHS TNS TNGP TNMB
1 Pagu anggaran 2016 (Rp. Juta) 19.918 11.804 12.817 13.2952 PSKK (pagu dari BB) 162,3 -89,7 91,3 -100,83 PPJK (pagu dari BB) 81,23 44,9 45,7 50,44 PKKP (pagu dari BB) 162,3 89,7 91,3 100,85 PJKP (pagu dari nilai kerja sama) 210,0 760 400 23,26 PPNBP (pagu dari total PNBP) 112,0 158,1 6,1 -0,77 Insenif dari PPAT berjalan (%) 388,4 118,0 128,2 122,38 Total insenif (buir 2-7) 1.116 1.080 7639 Pagu Anggaran 2017 berbasis
insenif21.314 12.886 13.579 13.480
10 Persentase kenaikan dari pagu
anggaran awal 7,01 9,17 5,95 1,39
12.4.2 Mekanisme Insenif dan Disinsenif dalam Bentuk Insenif Fiskal dan Non Fiskal
Transformasi unsur kelembagaan pengelolaan taman nasional menuju
pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon di taman nasional dapat
dilakukan melalui transformasi kebijakan pemanfaatan jasa lingkungan
taman nasional; transformasi organisasi taman nasional; restrukturisasi
program, skema pembiayaan dan pendanaan; serta transformasi tata
kelola dan mengopimalkan penggunaan trust fund. Untuk mendorong taman nasional bertransformasi menuju pemanfaatan jasa lingkungan
berbasis karbon maka diperlukan mekanisme insenif yang terdiri atas mekanisme insenif iskal dan non iskal yaitu berupa insenif kelembagaan yang akan dijelaskan pada bagian berikut.
Insenif iskal terdiri atas imbal jasa lingkungan, pendanaan REDD+, pemanfaatan dana publik (trust fund) untuk pembiayaan program dan kegiatan taman nasional, penambahan anggaran taman nasional
berdasarkan kinerja taman nasional, pemberian dana amanah/bantuan
konservasi, pemberian hibah, dan pemberian dana kerja sama dari
public private partnership.
287
XII. MEKAN
ISME IN
SENTIF DAN
DISINSEN
TIF DALAM PEM
ANFAATAN
JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
NDI TAM
AN N
ASION
AL
Imbal Jasa LingkunganTaman nasional harus bisa membukikan bahwa keberadaan taman nasional dapat menghasilkan jasa lingkungan yang dinikmai oleh publik. Leimona et al.(2009) menjelaskan bahwa pembayaran/imbal jasa lingkungan merupakan suatu skema yang menghubungkan
antara penyedia dengan penerima manfaat jasa lingkungan, dan
pembayarannya harus kondisional, realisis, sukarela dan berpihak pada yang miskin. Peraturan Pemerintah No. 46 tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup menjelaskan bahwa penyedia jasa lingkungan adalah seiap orang, pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang menjaga dan atau mengelola lingkungan
untuk meningkatkan kualitas jasa lingkungan, sedangkan penerima
manfaat jasa lingkungan adalah seiap orang, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah yang menggunakan jasa lingkungan.
Efekivitas implementasi skema pembayaran jasa lingkungan yang ditunjukkan pada Gambar 12.1 dapat dicapai dengan tersedianya road map kegiatan taman nasional yang memuat program dan
kegiatan unggulan. Pada gambar tersebut menggambarkan bahwa
taman nasional sebagai pengelola kawasan konservasi dan sekaligus
juga penyedia jasa lingkungan. Jasa lingkungan yang dihasilkan sebagai dampak dari pengelolaan kawasan konservasi yang melipui pemanfaatan, pengawetan dan perlindungan di antaranya adalah
keanekaragaman hayai, keindahan alam, kuanitas dan kualitas air dan penyerapan dan penyimpanan karbon. Jasa lingkungan tersebut dimanfaatkan oleh penerima manfaat jasa lingkungan yang terdiri
atas pemerintah pusat, pemerintah daerah dan seiap orang yang pembayarannya dapat dilakukan melalui 3 skema, yaitu skema kemitraan, skema hibah dan skema trust fund.
288
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
Gambar 12.1 Skema pembayaran jasa lingkungan di taman nasional
Pendanaan REDD+
Taman nasional harus bisa membukikan mampu menghasilkan manfaat non karbon dan pengurangan emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan. Permen LHK Nomor P.70/2017 menyebutkan bahwa REDD+ merupakan aksi miigasi bidang kehutanan dengan pendekatan kebijakan dan insenif melalui: (1) Pengurangan emisi dari deforestasi (pengurangan konversi hutan menjadi bukan hutan); (2) Pengurangan emisi dari degradasi hutan (pencegahan penebangan liar, perambahan
liar dan kebakaran hutan); (3) Pengelolaan hutan berkelanjutan; (4) Konservasi karbon hutan (perlindungan hutan untuk konservasi); dan (5) Peningkatan cadangan karbon hutan.
Penyaluran pendanaan REDD+ ke taman nasional sebagai insenif atas kinerja taman nasional yang telah menurunkan emisi dapat dilakukan
melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) dan lembaga trust fund. Sementara kinerja taman nasional atas upaya menjaga
dan memanfaatkan jasa lingkungan air, kehai dan ekoturisme dapat diberikan insenif melalui hibah dari pihak donor ke taman nasional. Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, dan manfaat
non karbon yang dihasilkan taman nasional harus terukur dengan
menggunakan metodologi tertentu. REDD+ di Indonesia menerapkan dengan prinsip Naional Approach dan Sub Naional Implementaion.
289
XII. MEKAN
ISME IN
SENTIF DAN
DISINSEN
TIF DALAM PEM
ANFAATAN
JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
NDI TAM
AN N
ASION
AL
Penyaluran pendanaan REDD+ dapat dilakukan melalui jendela
pendanaan REDD+ yang merupakan salah satu jendela pada Badan
Pengelola Dana Lingkungan Hidup (Dirjen PPI 2017).
Pemanfaatan Dana Publik (trust fund) untuk Pembiayaan Program dan Kegiatan Taman NasionalTaman nasional harus memiliki keunggulan dan keunikan alamiah
yang dituangkan kedalam program dan road map konservasi
keanekaragaman hayai dan ekosistemnya. Seiap taman nasional memiliki keunikan pada keanekaragaman hayai dan ekosistemnya. Hal itu tercermin pada spesies kunci dan ekosistem yang dilindungi
pada masing-masing taman nasional yang berbeda-beda. Dalam hal ini, taman nasional sebagai kawasan hutan konservasi berpotensi
untuk mendapatkan dukungan pendanaan yang berasal dari donor
internasional yang memiliki program prioritas penyelamatan lora dan fauna langka yang sejalan dengan program dan road map taman
nasional. Skema pembiayaan program dan kegiatan taman nasional
dapat dilakukan melalui skema hibah dan/atau skema trust fund yang
pendanaannya dari donor internasional.
Penambahan Anggaran Taman Nasional Berdasarkan Kinerja Taman NasionalPenambahan anggaran pada taman nasional diberikan berdasarkan
kinerja pengelolaannya. Taman nasional harus mampu membukikan kinerjanya yang diukur dari: (1) peningkatan atau konservasi stok karbon; (2) peningkatan spesies kunci; (3) peningkatan kinerja perlindungan hutan; (4) peningkatan jumlah kerja sama; (5) peningkatan PNBP; dan (6) peningkatan penyerapan anggaran tahunan. Penilaian kinerja taman nasional tersebut sebaiknya dapat dimasukan dalam
penilaian pengelolaan efekif dengan alat telusur (Management
Efeciveness Tracking Tools-METT) dengan kriteria dan indikator yang jelas. Penilaian METT merupakan sebuah evaluasi yang dilakukan untuk melihat sejauh mana pengelolaan kawasan konservasi dilakukan
dalam kerangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan (Direktorat
Kawasan Konservasi 2017). Kerangka kerja penilaian METT didasarkan pada 6 komponen pengelolaan, di antaranya konteks, perencanaan, input, proses, output dan outcome. Penambahan anggaran tersebut
290
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
diberikan dari Dirjen KSDAE kepada taman nasional apabila Kinerja taman nasional dan nilai METT sangat inggi. Skema penambahan anggaran dilakukan melalui mekanisme peningkatan anggaran dari
DIPA.
Pemberian Dana Amanah/Bantuan KonservasiTaman nasional harus mampu membukikan pencapaian secara terukur dari kegiatan perlindungan dan pengawetan sumber daya
alam hayai dan ekosistemnya untuk pemanfaatan berkelanjutan. Dana amanah/bantuan konservasi dapat dikumpulkan dan disalurkan
oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup. Dana amanah untuk konservasi merupakan dana yang dialokasikan untuk konservasi
sumber daya alam, kelestarian sumber daya alam dan perlindungan
atmosfer (Ditjen PPI, 2017). Balai taman nasional dapat menjadi salah satu enitas penerima dana amanah/bantuan konservasi.
Pemberian HibahTaman nasional harus dapat menyusun program dan kegiatan prioritas
dari KLHK yang perlu didukung oleh hibah. Deinisi hibah menurut Kementerian Keuangan (2016) adalah seiap penerimaan pemerintah pusat dalam bentuk uang, barang, jasa dan/atau surat berharga
yang diperoleh dari pemberi hibah yang idak perlu dibayar kembali, berasal dari dalam atau luar negeri dan pemerintah mendapatkan
manfaat manfaat langsung yang dapat mendukung tugas dan fungsi
Kementerian atau Lembaga (K/L), atau dapat diteruskan kepada pemerintah daerah, BUMN dan BUMD.
Hibah yang diterima pemerintah terbagi menjadi hibah terencana dan
hibah langsung. Pada penerimaan hibah terencana, penandatanganan
hibah dilakukan oleh Kementerian Keuangan, dan pencairannya harus melalui Kantor Pelayanan Perbendaharan Negara (KPPN)/Bendaharan Umum Negara (BUN) dengan bentuk hibahnya adalah uang. Cara penarikan hibah terencana melalui Leter of Credit (LC), Direct
Payment (DP), Rekening Khusus (Reksus), Rekening Kas Umum Negara (RKUN) dan reimbursement. Sementara hibah langsung/non Datar Rencana Kegiatan Hibah (DRKH), penandatangan hibah dilakukan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan bentuk hibahnya adalah uang, dan barang/jasa. Penarikan langsung dilakukan oleh
291
XII. MEKAN
ISME IN
SENTIF DAN
DISINSEN
TIF DALAM PEM
ANFAATAN
JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
NDI TAM
AN N
ASION
AL
kementerian/lembaga melalui non KPPN/BUN atau melalui bank yang telah teregistrasi. Hibah ini dapat dimanfaatkan taman nasional untuk
mengisi gap program dan kegiatan di taman nasional.
Pemberian Dana Kerja Sama Dari Public Private
Partnership
Keterbatasan pendanaan untuk pembangunan mendorong pemerintah untuk menggunakan alternaif pendanaan yang berasal dari kerja sama pembangunan yang melibatkan pihak pemerintah dan swasta
atau public private partnership. Di Indonesia kerja sama tersebut dikenal dengan Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Noor (2016) menjelaskan pengerian KPBU sebagai kerja sama antara pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur yang
bertujuan untuk kepeningan umum. Dasar hukum pelaksanaan KPBU adalah Peraturan Presiden nomor 38 tahun 2015 tentang kerja sama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur.
Taman nasional sebenarnya dapat mengakses KPBU untuk mendukung pengembangan wisata alam yang membutuhkan pembangunan
infrastruktur yang memadai sekaligus ramah lingkungan. Pembangunan
infrastruktur tersebut dapat dibiayai dari penerimaan PNBP, namun selama ini taman nasional hanya menyetorkan saja PNBP ke kas negara tanpa menerima kembali dana hasil pungutan PNBP sehingga pendanaan dari KPBU menjadi sumber pendanaan alternaif (Noor 2016).
Insenif kelembagaan (non iskal) dapat terdiri atas: (1) Pemberian reward kepada Kepala Balai taman nasional yang mampu mengopimalkan pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon; (2) Perlu ada dasar hukum yang mengatur pemberian insenif bagi taman nasional dalam Undang-undang dan peraturan turunannya; (3) Penyediaan unit manajemen yang berfungsi mengatur pemberian insenif dan disinsenif bagi taman nasional; (4) Pemberian penghargaan kepada taman nasional yang berkinerja dan memiliki nilai Management
Efeciveness Tracking Tool (METT) inggi; (5) Perbaikan kebijakan untuk mendorong pengopimalan pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon di taman nasional, melipui:
292
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
· Penyusunan buku petunjuk teknis penghitungan jasa
lingkungan untuk memenuhi ketentuan mendapatkan dana
imbal jasa lingkungan.
· Perbaikan regulasi PP PNBP agar PNBP yang dihasilkan harus dapat dikembalikan sebagian ke Taman Nasional penghasil
· Undang-undang No. 5 Tahun 1990 dan Undang-undang No. 41 Tahun 1999 perlu direvisi terkait pemberian insenif untuk mengopimalkan pemanfaatan jasling.
· Perlu dibuat regulasi yang mengatur perbaikan manajemen dan
organisasi taman nasional untuk mendukung pengopimalan jasa lingkungan berbasis karbon.
· Perlu dibuat peraturan turunan dari PP No. 46 Tahun 2017 yang mengatur sistem insenif dan disinsenif secara detail. Bentuk insenif perlu diperkaya bukan hanya penghargaan, tetapi juga keringanan persyaratan/kewajiban, pemberian
fasilitas/bantuan, pemberian dorongan/bimbingan dan
pemberitahuan hasil kinerja ke publik.
· Perlu dibuka peluang bagi Balai taman nasional untuk
mengajukan kerja sama dengan pihak luar agar dapat
mengakses pendanaan melalui revisi PermenLHK mengenai tata cara kerja sama penyelenggaraan KSA dan KPA.
· Perlu revisi PermenLHK 70/2017 yang memuat : i) penguatan role of conservaion terkait kualitas karbon karena telah
tersedia metodologi dan sistem penghitungan kualitas karbon
di taman nasional; ii) pemberian insenif manfaat non karbon di kawasan konservasi.
12.4.3 Penerima dan Pemberi Insenif-DisinsenifPenerima insenif dan disinsenif sebagaimana dicantumkan dalam formula adalah balai taman nasional. Pihak pemberi insenif disebutkan dari para responden adalah pemerintah pusat, pemerintah provinsi,
pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah desa. Pemerintah
pusat dalam hal ini Kementerian LHK sebagai insitusi utama yang memberikan dana insenif untuk pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan. Lingkup Kementerian LHK yang turut berparisipasi melipui:
293
XII. MEKAN
ISME IN
SENTIF DAN
DISINSEN
TIF DALAM PEM
ANFAATAN
JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
NDI TAM
AN N
ASION
AL
1. Direktur Jenderal KSDAE selaku atasan langsung dan sekaligus pembina dan penanggung jawab pengelolaan UPT Taman Nasional.
2. Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait insenif atas upaya penyelesaian komprehensif kasus-kasus gangguan keamanan kawasan: illegal logging, penggunaan kawasan secara idak sah, konlik tenurial, okupasi kawasan, dan penambangan emas serta
pencurian lora dan fauna yang dilindungi.
3. Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim terkait insenif atas upaya penyelesaian kasus-kasus pengendalian kebakaran hutan.
4. Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan terkait insenif atas upaya penyelesaian berbagai konlik kawasan dengan masyarakat melalui pemberian akses pemanfaatan HHBK pada kawasan Tanaman Nasional Eks Perhutani.
5. Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan terkait insenif atas atas upaya pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat kegiatan
penambangan emas di dalam kawasan baik yang berizin
maupun tanpa izin, dan pengendalian dampak kegiatan
pemanfaatan jasa lingkungan lainnya seperi: panas bumi dan jasa lingkungan air untuk PLTA.
6. Direktur Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung terkait insenif atas upaya keberhasilan kegiatan restorasi ekosistem melalui kegiatan rehabilitasi di dalam kawasan
taman nasional.
7. Inspektur Jenderal KemenLHK terkait insenif atas tata kelola keuangan dan administrasi yang akuntabel menuju tata
kelola pemerintahan yang baik (good governance) melalui kegiatan pengawasan dan kinerja Sistem Pengendalian Intern Pemerintahan (SPIP).
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat memberikan insenif terhadap jasa lingkungan yang disediakan oleh pengelola taman
nasional dalam bentuk upaya taman nasional dalam menjaga dan
294
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
mengelola kawasan hutan sebagai daerah tangkapan air, pencegahan
erosi dan banjir serta pengelolaan kehai, jasa air, keindahan alam, dan udara yang segar. Dana insenif dari pemerintah daerah tersebut diambil dari berbagai pungutan seperi kendaraan bermotor, Corporate Social Responsibility (CSR) dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) daerah, CSR bank-bank pemerintah daerah dan nasional, perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayahnya. Perusahaan swasta/
BUMN/BUMD baik secara langsung maupun tak langsung menerima manfaat atas fungsi/keberadaan kawasan hutan taman nasional,
seperi pasokan air baik sebagai produk utama maupun sebagai komponen proses produksinya. Insenif dari pemerintah daerah tersebut diberikan melalui kegiatan kerja sama antara pemerintah
daerah di mana wilayah taman nasional berada dengan balai taman
nasional.
Pemberi insenif lainnya adalah Negara Asing/lembaga Donor dengan fokus utamanya adalah terkait kewajiban pengurangan emisi karbon
melalui mekanisme penyerapan dan penyimpanan karbon /usaha jasa
lingkungan karbon yang mana taman nasional sudah berkontribusi
nyata terkait dengan pengurangan laju deforestasi dan degradasi
hutan di areal wilayah kerjanya.
Berkaitan dengan insenif dari pemerintah desa ke pengelola taman nasional dapat dilakukan apabila Badan Usaha Milik Desa (BUMdes) bekerja sama dalam pengelolaan ekowisata di sekitar tanam nasional
yang berdekatan dengan lokasi desa mereka. Penggunaan dari
dana desa naninya akan diperbaiki dan diopimalkan. Tahun 2018 anggaran dana desa dialokasikan untuk biaya operasional BUMDes, pembangunan ekonomi desa dan pemberdayaan masyarakat.
Penggunaan dana desa tahun 2015 (Rp. 20,8 triliun) dan 2016 (Rp. 46,7 triliun) dan telah menghasilkan 89.000 km jalan desa, 746.300 meter jembatan, 22.126 unit sambungan air bersih rumah tangga, 1.700 unit tambatan perahu, 19.485 unit sumur, 3.000 pasar desa serta 107.776 drainase dan irigasi (Widodo 2017).
Penggunaan alokasi dana insenif disesuaikan dengan tujuan dan pengelolaan dari taman nasional yang bersangkutan. Misalnya Taman Nasional Sebangau difokuskan kepada peningkatan populasi orang utan dan gambut sehingga segala penyusunan program dan kegiatan
diarahkan kepada tujuan pengelolaan tersebut. Sebaliknya pengelolaan
295
XII. MEKAN
ISME IN
SENTIF DAN
DISINSEN
TIF DALAM PEM
ANFAATAN
JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
NDI TAM
AN N
ASION
AL
Taman Nasional Meru Beiri lebih diarahkan untuk mengonservasi harimau jawa sehingga segala fungsi pengawetan, pemanfaatan
dan pengamanan di TNMB difokuskan ke arah peningkatan populasi harimau jawa.
12.5 Strategi Merealisasikan Insenif dan Disinsenif untuk Opimalisasi Pemanfaatan Jasa Lingkungan Berbasis Karbon di Taman Nasional
Strategi merealisasikan pemberian insenif dan disinsenif untuk pengopimalan pemanfaatan jasling berbasis karbon di taman nasional dapat dilakukan melalui (1) transformasi kelembagaan, (2) kesepakatan untuk formulasi insenif dan disinsenif, (3) perubahan pencatatan dan staisik taman nasional, (4) perubahan pencatatan kerja sama taman nasional dengan pihak luar, dan (5) pencatatan kinerja perlindungan hutan dalam tahun berjalan.
12.5.1 Tranformasi Kelembagaan Taman NasionalTransformasi kelembagaan taman nasional untuk menghasilkan desain
inovasi kelembagaan yang tepat dilaksanakan melalui perumusan
kebijakan dan strategi, transformasi organisasi, restrukturisasi program,
skema pembiayaan dan pendanaan, tata kelola dan pengopimalan penggunaan dana publik.
Perumusan kebijakan dan strategi pemanfaatan jasa lingkungan
(jasling) di taman nasional untuk karbon, dilakukan melalui: (1) pembuatan peraturan menteri (PermenLHK) tentang pemanfaatan karbon yang berisi kuaniikasi karbon untuk konservasi kehai, untuk pengelolaan HK, dan untuk distribusi manfaat jasa karbon di antara stakeholder terkait; (2) pembelajaran DA yang sudah ada di taman nasional perlu diintegrasikan dalam PermenLHK di atas; dan (3) penerbitan PermenLHK 70/2017 tentang mekanisme REDD+ membuat keidakjelasan tentang siapa pelaksana pemanfaatan karbon sehingga perlu direvisi atau diperlukan peraturan pendukungnya. Pemanfaatan
jasling air dilakukan melalui kegiatan analisis daya dukung sumber
daya air dan perubahan PP No. 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup karena mekanisme imbal jasling hanya
296
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
dapat dilakukan antar daerah sehingga imbal jasling dari pemda
ke pengelola taman nasional perlu diatur tersendiri. Pemanfaatan
wisata alam dilakukan melalui pemanfaatan potensi wisata alam,
yang belum dimanfaatkan hingga saat ini, dengan melibatkan mitra
dan melakukan promosi wisata. Sementara pemanfaatan kehai dapat dilakukan melalui: (1) pembuatan road map peneliian di taman nasional sehingga peneliian idak terfokus pada beberapa aspek/lokasi dan diperkaya dengan peneliian ime series; (2) penyusunan database tumbuhan dan satwa liar (TSL) yang valid dan menjadi basis pemanfaatan TSL; dan (3) pelaksanaan promosi tanaman obat dari kehai sebagai alternaif obat kimia yang mahal.
Transformasi manajemen dan organisasi taman nasional untuk
mendukung pengopimalan jasa lingkungan dilakukan melalui: (1) pengaturan rasio antara luasan taman nasional dan jumlah SDM dengan rasio seidaknya 1 : 4000; (2) kompetensi pimpinan taman nasional (Alumni Diklat School of Conservaion Management (SCM); (3) sasaran strategis Ditjen KSDAE yang mencantumkan pengopimalan jasa lingkungan berbasis karbon di taman nasional; dan (4) penetapan target pengopimalan jasling berbasis karbon dalam sasaran strategis karena akan berimplikasi pada penyusunan anggaran dan kegiatan
pendukungnya.
Restrukturisasi program, kegiatan dan anggaran pemanfaatan jasling
berbasis karbon melalui skema peningkatan stok karbon hutan,
penurunan emisi, dan skema konservasi stok karbon hutan. Sementara
mengopimalkan sumber pendanaan alternaif diperoleh dari payment
for environmental services (PES), REDD+ scheme, public private
partnership (PPP), dana amanah/bantuan konservasi dan hibah.
Tata kelola dan pengopimalan penggunaan dana publik dilakukan melalui (i) rasionalisasi tarif PNBP pemanfaatan jasling dan alokasi penggunaan PNBP, (ii) skema pendanaan inovaif berasal dari kombinasi Pengelolaan PNBP Mandiri dan DIPA, (iii) earmarking penerimaan
PNBP dari pemanfaatan jasling (air, wisata, biodiversitas/ TSL, karbon) untuk pengelolaan taman nasional, (iv) pembentukan unit manajemen trust fund di bawah TU, (v) mekanisme pengelolaan dana secara “on
budget of treasury”, (vi) restrukturisasi regulasi manajemen kerja sama pengelolaan dana publik (tata cara kerja sama dan pengelolaan
dana publik), (vii) penyediaan mekanisme monev yang transparan dan akuntabel, dan (viii) penyusunan roadmap program pemanfaatan jasling berbasis karbon yang berpotensi dikerja samakan.
297
XII. MEKAN
ISME IN
SENTIF DAN
DISINSEN
TIF DALAM PEM
ANFAATAN
JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
NDI TAM
AN N
ASION
AL
12.5.2 Kesepakatan Formulasi Pemberian Insenif dan Disinsenif
Formulasi pemberian insenif dan disinsenif untuk mengopimalkan jasa lingkungan berbasis karbon perlu disepakai secara internal oleh Dirjen KSDAE dengan melibatkan para direktur dan kepala balai besar dan balai taman nasional. Kesepakatan tersebut melipui parameter yang dijadikan faktor penentu insenif, besaran insenif dan disinsenif untuk seiap parameter.
Kesepakatan lainnya yang perlu dibuat adalah siapa yang akan memberikan insenif dan dari mana asal sumber pendanaannya untuk pemberian insenif, serta penentuan insenif apakah akan dimasukkan dalam struktur anggaran taman nasional atau merupakan tambahan
dana dalam bentuk insenif dan disinsenif.
12.5.3 Perubahan Pencatatan dan Staisik Taman Nasional
Penggunaan perubahan stok karbon sebagai salah satu penerapan
sistem insenif dan disinsenif belum pernah dilakukan dalam buku staisik balai taman nasional sehingga buku staisik perlu diperbaiki dengan mencantumkan perubahan stok karbon. Pencantuman
perubahan stok karbon ini menjadi pening sehingga dapat dijadikan salah unsur penilaian kinerja pengelolaan balai taman nasional. Metode penilaian stok karbon harus sudah disediakan dan distandarkan oleh
Direktorat PJLHK. Contoh nyata dapat diadopsi dari pengelolaan TNGHS yang telah menggunakan peta perubahan tutupan lahan dari tahun 1989–2008 di areal wilayah kerjanya sehingga memudahkan pemantauan perubahan yang terjadi. Hal ini perlu diingkatkan kembali dengan seiap tahun dilakukan monitoring dan evaluasi berdasarkan data spasial dan dikalibrasi dengan data lapangan (ground cheking) sehingga memudahkan penghitungan perubahan stok karbon di areal
TNGHS.
Di samping itu, selama ini sistem pencatatan hasil temuan patrol hanya
berupa: (1) jumlah batang untuk kayu-kayu illegal; (2) nama spesies dan jumlah ekor dalam kehilangan satwa liar; (3) luas dan lokasi perambahan taman nasional; (4) jumlah rumpun untuk bambu yang ditebang; (5) nama spesies dan jumlah batang untuk tanaman liar yang
298
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
dicuri; dan (6) variasi unit dalam pencurian HHBK. Semua satuan unit tersebut harus digani untuk mendukung dan menunjang realiasasi sistem pemberian insenif dan disinsenif bagi taman nasional.
12.5.4 Perubahan Pencatatan Kerja Sama Taman Nasional
Selama ini sistem pencatatan kegiatan kerja sama antara pengelola
taman nasional dengan insitusi eksternal idak dilakukan pencatatan secara detail dan seringkali aspek manfaat kerja sama untuk taman
nasional dan nilai ekonominya idak dicantumkan dalam staisik Balai Taman Nasional. Untuk mendukung realisasi pemberian insenif, satuan unit kerja sama yang pernah dan akan dilakukan pengelola
taman nasional perlu dilakukan perubahan pencatatan kerja sama
antara taman nasional dengan pihak luar.
12.5.5 Pencatatan Kinerja Perlindungan HutanSelama ini sistem pencatatan kinerja perlindungan hutan dalam tahun
berjalan belum dilakukan pencatatan dalam staisik Balai Taman Nasional sehingga perlu dilakukan perubahan yang signiikan untuk mendukung sistem insenif dan disinsenif. Untuk mendukung realisasi pemberian insenif, satuan unit kinerja kegiatan perlindungan hutan di taman nasional perlu dilakukan perubahan terkait persoalan luasan
dan lokasi dengan koordinat geograisnya sehingga memudahkan pengukuran deforestasi dan degradasi hutan oleh pengelola taman
nasional dan sekaligus juga diveriikasi dan divalidasi oleh im MRV (measurable, reportable and veriiable) daerah yang independen
sebagai basis pembayaran insenif dari skema REDD+. Keuntungan lainnya adalah pengukuran kinerja perlindungan hutan juga akan
mendapat insenif langsung dari Dirjen KSDAE untuk menambah pagu anggaran pengelolaan taman nasional yang berhasil meningkatkan
kinerjanya.
12.6 KesimpulanInsenif diarikan sebagai penghargaan yang diberikan seseorang atas prestasi kerjanya dan disinsenif adalah pemberian hukuman atas penurunan kinerja atau pencapaian kinerja yang idak sesuai
299
XII. MEKAN
ISME IN
SENTIF DAN
DISINSEN
TIF DALAM PEM
ANFAATAN
JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
NDI TAM
AN N
ASION
AL
dengan target yang sudah ditetapkan. Sistem insenif dan disinsenif merupakan satu kesatuan yang harus dirumuskan untuk mewujudkan
tata kelola yang baik.
Penggunaan sistem insenif dan disinsenif dalam rangkan pemanfaatan jasa lingkungan di taman nasional merupakan suatu ide/gagasan baru
sehingga perlu menjadi perhaian dan perimbangan utama bagi pengambil kebijakan dalam mewujudkan pengelolaan taman nasional
yang berkelanjutan. Sistem insenif dan disinsenif ini menjadi pening bagi pengelola taman nasional untuk mencegah kebakaran hutan dan
lahan, menurunkan ingkat perambahan hutan dan illegal logging,
pertambangan ilegal, perdagangan lora dan fauna yang dilindungi, serta pencurian HHBK di areal wilayah taman nasional sehingga perlu ditetapkan kriteria dan indikatornya melalui suatu kesepahaman dan
kesepakatan bersama di lingkup internal Dirjen KSDAE.
Mekanisme insenif untuk pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon di taman nasional terdiri atas mekanisme insenif iskal dan non iskal sebagai suatu insenif kelembagaan. Insenif iskal terdiri atas imbal jasa lingkungan, pendanaan REDD+, pemanfaatan dana publik
(trust fund) untuk pembiayaan program dan kegiatan taman nasional, penambahan anggaran taman nasional berdasarkan kinerja taman
nasional, pemberian dana amanah/bantuan konservasi, pemberian
hibah, dan pemberian dana kerja sama dari public private partnership.
Sementara insenif non-iskal dalam bentuk pemberian reward
kepada Kepala Balai taman nasional yang mampu mengopimalkan pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon dan taman nasional
yang berkinerja dan memiliki nilai METT inggi, penyediaan dasar hukum yang mengatur pemberian insenif bagi taman nasional, dan penyediaan unit manajemen yang berfungsi mengatur pemberian
insenif dan disinsenif bagi taman nasional, serta perbaikan kebijakan untuk mendorong pengopimalan pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon di taman nasional.
Strategi untuk merealisasikan pemberian insenif dan disinsenif dalam rangka mengopimalkan pemanfaatan jasling berbasis karbon di taman nasional dapat dilakukan melalui: (1) transformasi kelembagaan; (2) kesepakatan untuk formulasi insenif dan disinsenif; (3) perubahan pencatatan dan staisik taman nasional; (4) perubahan pencatatan kerja sama taman nasional dengan pihak luar; dan (5) pencatatan kinerja perlindungan hutan dalam tahun berjalan.
300
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
12.7 Saran
Penerapan sistem insenif dan disinsenif dalam pemanfaatan jasa lingkungan di taman nasional perlu didukung dengan revisi peraturan
perundang-undangan yang berlaku dalam pengelolaan kawasan hutan konservasi sehingga sistem tersebut dapat segera diterapkan.
Misalnya revisi UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayai dan Ekosistemnya, PP No. 28/2016 tentang Pengelolaan Konservasi dan Pelestarian Alam beserta Peraturan Menteri turunannya.
Direktorat Jenderal KSDAE saat ini sudah mulai melakukan pelaihan pengukuran karbon di taman nasional secara terbatas sehingga
pelaihan ini perlu diintensikan dan diperluas untuk menjangkau semua peserta dari 56 taman nasional yang ada sebagai upaya mendukung penerapan sistem insenif dan disinsenif dalam pemanfaatan jasa lingkungan di taman nasional. Direktorat Jenderal KSDAE perlu melakukan pilot project penerapan sistem insenif dan disinsenif dalam pemanfaatan jasa lingkungan di 5 (lima) taman nasional yang sudah siap yang berlokasi di lima pulau besar di Indonesia, seperi Pulau Jawa, Kalimantan, Papua, Sulawesi, dan Sumatera.
Pengelola taman nasional harus sudah mulai mengubah cara berpikir
(mindset) untuk membuka peluang kerja sama dengan berbagai pihak dengan prinsip yang saling menguntungkan dalam mendukung
pendanaan yang berkelanjutan karena keterbatasan pendanaan
pengelolaan taman nasional di masa datang. Di samping itu, pola kerja
sama yang digalang juga akan dijadikan dasar pemberian insenif dalam bentuk tambahan dana untuk kegiatan pengelolaan taman nasional.
301
XII. MEKAN
ISME IN
SENTIF DAN
DISINSEN
TIF DALAM PEM
ANFAATAN
JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
NDI TAM
AN N
ASION
AL
Datar PustakaBungin B. 2001. Content analysis dan focus group discussion dalam
peneliian sosial di dalam metodologi peneliian kualitaif: aktualisasi metodologis ke arah ragam varian kontemporer.
Jakarta: PT. Raja Graindo Perkasa.
Direktorat Kawasan Konservasi. 2017. Panduan Pelaksanaan METT. Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Dirjen PPI. 2017. Pelaksanaan REDD+ di Indonesia. Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Irawan P. 2007. Peneliian Kulitaif dan Kuanitaif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poliik. Universitas Indonesia, Jakarta.
Kartodihardjo H. 2006. Ekonomi dan Insitusi Pengelolaan Hutan: Telaah Lanjut Analisis Kebijakan Usaha Kehutanan. Penerbit
Ideals. Bogor.
Kementerian Keuangan. 2017. Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak. (disampaikan dalam rangka bimibingan teknis penganggaran
di Bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Mataram 6-4 Oktober 2017).
Nawawi H, & Hadari MM. 2006. Instrumen Peneliian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Noor MMH. 2016. Mengenal Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), Skema Public Private Partnership (PPP) di Indonesia. http://www.djkn.kemenkeu.go.id/201/artikel/mengenal-kpbu-skema-ppp-di-Inonesia diakses: Senin 19 Februari 2018.
Nurfatriani F. 2018. Analisis Sistem Pendanaan Taman Nasional. Laporan Akhir Kelembagaan Pemanfaatan Jasa Lingkungan Berbasis Karbon di Taman Nasional. Bogor: Puslitbang Sosek Kebijakan dan Perubahan Iklim dan Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi.
Pearce DW, Atkinson G, and Dubourg WR. 1994. The Economic of Sustaniable Development. Annual Review of Energy and Environment: 19: 457–474.
302
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
RAPP. 2017. Pengembangan Desa Peduli Api di Wilayah Kerja RAPP. PT Riau Andalan Pulp and Paper. Riau.
Schmid AA. 1987. Property, Power, and Public Choice: An Inquiry into Law and Economics. USA: Pranger Publisher.
Sianturi A. 2003. Evaluasi Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Tingkat Nasional. Info Sosial Ekonomi Kehutanan No. 4, November 2003. Pusat Peneliian Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.
Subarudi. 2002. Sistem Kelembagaan Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan. Jurnal Sosial Ekonomi Volume 3 Nomor 1, Tahun 2002: halaman 47-66. Puslitbang Sosial Budaya dan Ekonomi Kehutanan, Bogor.
Subarudi. 2009. Sistem Insenif Dalam Pengendalian Kebakaran Hutan di Sekitar Wilayah Danau Toba. Prosiding Workshop Teknik
Pencegahan Kebakaran Hutan Melalui Parisipasi Masyarakat. Diselenggakan di Kabanjahe, 11-12 Maret 2009. Hasil Kerja sama Program Program ITTO PD 394/06 Rev. 1 (F), Pusat Peneliian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam dan Dinas Kehutanan Kabupaten Karo.
Syauina L & Sukmana A. 2008. Kajian Penyebab Utama Kebarakan Hutan di daerah Tangkapan Air Danau Toba. Laporan Akhir Studi Program ITTO PD 394/06 Rev. 1 (F). Bogor: Pusat Peneliian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.
Wijayanto N. 2007. Insenif Pengusahaan Hutan Rakyat. Makalah disampaikan pada Seminar Pengembangan Hutan Rakyat
Mendukung Kelestarian Kayu Rakyat di Pusat Peneliian Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Kehutanan (PUSLITSOSEK) Bogor, pada tanggal 3 Desember 2007.
World Bank. 2016. Kerugian dari Kebakaran Hutan: Analisis Dampak
Ekonomi dari Krisis Kebakaran Hutan Tahun 2015. Laporan Pengetahuan Lanskap Berkelanjutan Indonesia: 1. World Bank, Jakarta.
PENUTUP
XIII. TANTANGAN DAN PELUANG PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN
BERBASIS KARBON DI TAMAN NASIONAL: Rekomendasi Manajerial
Muhammad Zahrul Mutaqin, Asep Sugiharta, dan Ari Wibowo
13.1 Pendahuluan
Dalam mengelola jasa lingkungan di kawasan konservasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membagi jasa lingkungan menjadi jasa lingkungan air, jasa lingkungan keindahan alam, jasa lingkungan karbon dan jasa lingkungan panas bumi. Pada dasarnya ini mengadopsi sebuah konsep jasa lingkungan yang membagi jasa lingkungan hutan menjadi: (1) jasa air; (2) jasa biodiversitas; (3) jasa keindahan alam; dan (4) jasa penyerapan dan penyimpanan karbon (Mayrand & Paquin 2004; Pagiola, Landell-Mills, & Bishop 2002).
Jasa lingkungan air dan keindahan alam di hutan konservasi telah lama dimanfaatkan dan diatur oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sementara jasa penyerapan dan penyimpanan karbon masih belum banyak dimanfaatkan. Meskipun saat ini sudah ada skema Reducing Emissions from Deforestaion and Forest Degradaion
(REDD+) yang tengah dikembangkan di ingkat global dan digalakkan oleh pemerintah Indonesia, namun metodologi dan strategi pelaksanaannya di hutan konservasi masih belum tersedia. Peraturan Menteri LHK Nomor: P.70/MenLHK/Setjen/Kum.1/12/2017 tentang Tata Cara Pelaksanaan Reducing Emission From Deforestaion and Forest Degradaion, Role of Conservaion, Sustainable Management of Forest and Enhancement of Forest Carbon Stocks,menyebutkan bahwa pelaksanaan REDD+ dilakukan melalui upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, konservas stok karbon hutan, pengelolaan hutan berkelanjutan, dan peningkatan stok karbon hutan. Namun demikian metodologi untuk menilai peran konservasi stok karbon hutan yang banyak terdapat di kawasan konservasi masih belum tersedia. Dalam Permen LHK tersebut disebutkan adanya manfaat selain karbon yang terdiri atas: (1) Jasa perlindungan fungsi hidrologis; (2) Perlindungan fungsi ekologis; (3) Perlindungan keanekaragaman
306
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
hayai; (4) Penguatan sumber penghidupan (livelihood); (5) Peningkatan tata kelola hutan dan lahan; serta (6) Perlindungan ekosistem esensial. Namun demikian operasionalisasinya di lapangan juga masih belum mapan.
Peneliian tentang integrasi jasa lingkungan hutan ke dalam stok karbon di taman nasional ini merupakan salah satu upaya untuk menerjemahkan konsep “konservasi stok karbon hutan” dan “manfaat selain karbon” dalam REDD+. Di samping itu, hasil peneliian integrasi jasa lingkungan ke dalam stok karbon ini diharapkan dapat memberikan masukan pada upaya mencari pola pemanfaatan jasa lingkungan karbon di luar skema REDD+, khususnya di taman nasional.
13.2 Tantangan Mengimplementasikan Konsep Integrasi Jasa Lingkungan Berbasis Karbon Hutan di Taman Nasional
13.2.1 Konsep Addiionality dalam REDD+
Sampai saat ini skema REDD+ di ingkat global masih didasarkan kepada konsep bahwa penurunan emisi yang dilakukan adalah bersifat “addiionality”, arinya upaya penurunan emisi yang dinilai adalah tambahan penurunan emisi dibandingkan dengan data sejarah emisi yang lalu (business as usual). Dengan demikian kawasan konservasi yang merupakan kawasan dilindungi dengan laju deforestasi umumnya rendah dan ingkat tutupan hutannya relaif inggi seperi TNMB, TNGHK dan TNGP menjadi idak diuntungkan karena ingkat additonality yang rendah. Hanya taman nasional yang memiliki sejarah laju deforestasi inggi seperi TNS yang menguntungkan untuk skema REDD+.
13.2.2 Metodologi Konservasi Stok Karbon dalam
REDD+
Dalam Permen LHK tentang Tata Cara Pelaksanaan REDD+ disebutkan bahwa selain upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan terdapat upaya lain yang dapat dikompensasi melalui skema REDD+ di antaranya adalah konservasi stok karbon. Namun demikian metodologi dan tata cara implementasi di lapangan masih belum
307
XIII. TANTAN
GAN DAN
PELUANG PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL: Rekomendasi M
anajerial
tersedia dengan baik. Untuk itu diperlukan upaya pendekatan konservasi stok karbon sebagaimana dilakukan dalam peneliian ini dengan mengajukan konsep integrasi jasa lingkungan ke dalam stok karbon. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana memasukkan konsep ini ke dalam metode Measurement, Reporing and Veriicaion (MRV) dalam REDD+.
13.2.3 Metodologi Penilaian Manfaat Selain Karbon
Upaya taman nasional untuk ikut serta dalam program miigasi perubahan iklim masih belum didukung oleh metodologi dan tata cara penilaian yang baik. Perlindungan fungsi ekologis, penguatan sumber penghidupan (livelihood), dan peningkatan tata kelola hutan dan lahan, merupakan manfaat selain karbon dalam skema REDD+ yang masih membutuhkan dukungan metode penilaian, termasuk sistem pemantauan dan veriikasi kinerjanya. Standard sukarela seperi Climate, Community, Biodiversity Standard (CCBS 2014) dapat menjadi salah satu rujukan untuk pengembangan metodologi yang menekankan aspek masyarakat dan lingkungan (biodiversity) dalam penilaian manfaat karbon. Taman nasional yang umumnya dibentuk karena adanya ekosistem yang khas termasuk adanya lora dan fauna langka dan pada beberapa ipe ekosistem memiliki hubungan yang posiif dengan stok karbon, sudah seharusnya dikembangkan metode penilaian integrasinya. Hal ini pening agar nilai lebih taman nasional mendapatkan pengakuan dan kompensasi untuk lebih diingkatkan upaya kelestariannya.
13.2.4 Kelembagaan di Tingkat Taman Nasional
Tantangan lain dalam meingimplementasikan konsep integrasi jasa lingkungan ke dalam stok karbon ini adalah kesiapan kelembagaan di ingkat taman nasional. Selain itu, konsep pengelolaan kawasan konservasi secara umum ke depan perlu diperkuat dengan konsep miigasi dan adaptasi perubahan iklim, yang dituangkan dalam rencana pengelolaan kawasan. Mengingat konsep ini membutuhkan dukungan informasi ilmiah dan sebagian besar bersifat idak tampak (intangible), maka sumber daya taman nasional, baik manusia maupun perlengkapan dan infrastuktur, perlu dipersiapkan agar taman nasional dapat mengintegrasikan konsep ini ke dalam kerangka kerja dan
308
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
perencanan kegiatannya dan mengimplementasikannya di lapangan. Dalam hal ini telah dilaksanakan peneliian terkait aspek kelembagaan pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon di taman nasional yang diharapkan dapat menjembatani gap antara konseptualisasi dan implementasi.
13.3 Peluang Mengimplementasikan Konsep Integrasi Jasa Lingkungan Berbasis Karbon Hutan di Taman Nasional
Meskipun dijumpai beberapa tantangan dalam upaya pemanfaatan jasa lingkungan berbasis karbon di taman nasional, terutama terkait konsep REDD+ yang menekankan pada aspek addiionality, peluang pemanfaatan jasa lingkungan karbon di taman nasional cukup besar. Untuk taman nasional yang memiliki sejarah deforestasi inggi seperi Taman Nasional Sebangau dan Taman Nasional Tesso Nilo dapat mengikui skema REDD+ terutama dalam mengurangi emisi karbon dari deforestasi. Untuk taman nasional dengan sejarah deforestasi dan degradasi yang rendah, maka kegiatan REDD+ dapat diarahkan pada upaya peningkatan peran konservasi dan penilaian manfaat selain karbon.
13.3.1 Jasa Perlindungan Fungsi Hidrologis
Manfaat selain karbon yang diakui dalam Permen LHK tentang Tata Cara Pelaksanaan REDD+ adalah jasa perlindungan fungsi hidrologis. Peneliian ini mencoba untuk merepresentasikan fungsi hidrologis melalui parameter debit air untuk ekosistem hutan hujan dataran rendah dan parameter inggi muka air untuk ekosistem gambut. Pemilihan parameter ini diharapkan dapat membantu mendeinisikan jasa lingkungan terkait dengan manfaat selain karbon yang dapat dikompensasi melalui upaya konservasi stok karbon.
13.3.2 Perlindungan Fungsi Ekologis
Perlindungan fungsi ekologis adalah tujuan umum dari pengelolaan kawasan konservasi, termasuk taman nasional. Dengan demikian, perlindungan fungsi ekologis merupakan hasil akhir dari upaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan.
309
XIII. TANTAN
GAN DAN
PELUANG PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL: Rekomendasi M
anajerial
13.3.3 Perlindungan Keanekaragaman HayaiUpaya perlindungan keanekaragaman hayai merupakan salah satu upaya penyediaan jasa keanekaragaman hayai. Dalam hal ini keanekaragaman hayai idak hanya bermanfaat bagi stabilitas ekosistem tetapi juga memiliki potensi pemanfaatan yang sangat besar bagi peradaban manusia saat ini maupun di masa mendatang. Peneliian ini mengajukan parameter indeks keragaman untuk mengkuaniikasi jasa lingkungan keanekaragaman hayai yang dapat dijadikan parameter manfaat selain karbon dalam skema REDD+.
13.3.4 Penguatan Sumber Penghidupan (Livelihoods)
Salah satu keunikan taman nasional di Indonesia adalah interaksinya dengan masyarakat. Sebagian besar taman nasional dan kawasan konservasi di Indonesia dikelilingi, bahkan dihuni oleh penduduk setempat. Dengan demikian mengelola kawasan konservasi di Indonesia idak dapat mengecualikan keterlibatan masyarakat lokal. Bahkan dalam beberapa kasus, masyarakat lokal telah mendiami daerah tersebut sebelum dinyatakan sebagai kawasan konservasi. Kementerian Kehutanan mengeluarkan Permenhut Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam yang memungkinkan keterlibatan pihak lain dalam pengelolaan kawasan konservasi, khususnya dalam taman nasional. Kebijakan tersebut kemudian diperbaiki dengan terbitnya Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.85/Menhut-II/2014 Tentang Tata Cara Kerja sama Penyelenggaraan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, dan terakhir dengan terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.44/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.85/Menhut-II/2014 Tentang Tata Cara Kerja Sama Penyelenggaraan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Di dalam taman nasional terdapat zona khusus yang diarikan sebagai zona untuk mengakomodasi kelompok masyarakat yang telah inggal di kawasan taman nasional sebelum ditetapkan dan atau mengakomodasi sarana/prasarana, seperi telekomunikasi, transportasi, dan listrik. Namun demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kondisi wilayah potensial zona khusus berbeda-beda di seiap taman nasional
310
STRATEGI PEMAN
FAATAN JASA LIN
GKUN
GAN BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL
sehingga batasan zona khusus dan kriteria penetapannya seharusnya beragam, sesuai dengan kondisi setempat dan kesepakatan para pihak (Wibowo 2016).
Kebijakan pengelolaan pengelolaan kawasan konservasi saat ini bukan tentang memagari kawasan dan mengeluarkan orang-orang dari area tersebut untuk melindungi ekosistem dari gangguan. Ini adalah tentang mencapai tujuan ganda dari program konservasi: mencegah hilangnya keanekaragaman hayai, termasuk perlindungan lingkungan, dan mempertahankan mata pencaharian masyarakat lokal. Dengan demikian, upaya kolaborasi dengan masyarakat dapat diajukan oleh taman nasional sebagai manfaat selain karbon dalam REDD+.
13.3.5 Peningkatan Tata Kelola Hutan dan Lahan
Taman nasional telah dikelola sangat baik melalui sistem zonasi melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Dengan melakukan sistem zonasi maka diharapkan kepeningan ekologi, ekonomi dan sosial dari pembentukan taman nasional dapat dicapai dengan baik dan seimbang. Di samping taman nasional dan kawasan konservasi lainnya, kegiatan konservasi di luar kawasan hutan negara juga perlu mendapatkan perhaian, seperi perlindungan ekosistem esensial. Dengan demikian, untuk beberapa kasus, perlindungan fungsi ekosistem esensial dapat diintegrasikan ke dalam tata kelola kawasan konservasi, termasuk taman nasional.
13.4 Kesimpulan dan Saran
Memanfaatkan jasa karbon di kawasan konservasi, khususnya di taman nasional, perlu memperhaikan karakterisik masing-masing ekosistem yang ada di taman nasional dan sejarah deforestasi dan degradasi hutan di taman nasional tersebut. Skema imbal jasa karbon yang tersedia saat ini adalah skema REDD+ yang menekankan pada aspek addiionality penurunan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi. Namun pada dasarnya skema REDD+ memiliki juga aspek konservasi stok karbon dan manfaat selain karbon, yang direpresentasikan sebagai manfaat jasa lingkungan, tetapi secara ilmiah masih memerlukan elaborasi terkait dengan metodologi dan tata cara implementasinya.
311
XIII. TANTAN
GAN DAN
PELUANG PEM
ANFAATAN
JASA LINGKU
NGAN
BERBASIS KARBO
N DI TAM
AN N
ASION
AL: Rekomendasi M
anajerial
Peneliian ini berusaha untuk menyediakan informasi atas gap yang ada untuk mendukung implementasi REDD+ yang lebih komprehensif dan berkeadilan.
Namun demikian, mengingat keterbatasan peneliian yang hanya dapat mencakup dua ekosistem, yaitu hutan hujan dataran rendah dan gambut, maka upaya serupa perlu dilakukan untuk memperoleh gambaran ekosistem-ekosistem lainnya di taman nasional di Indonesia. Di samping itu, hasil peneliian perlu direlasikan dengan peraturan yang berlaku terkait dengan REDD+ untuk mendukung peran yang lebih besar dari taman nasional pada upaya miigasi perubahan iklim nasional. Lebih lanjut, upaya implementasi perlu didukung oleh kajian kelembagaan terkait dengan kesiapan taman nasional membumikan konsep integrasi jasa lingkungan ke dalam stok karbon.
Datar PustakaCCBS. 2014. CCB Standards, available online at htp://www.climate-
standards.org/ccb-standards/ (accessed 4/6/2018).
Mayrand K, & Paquin M. 2004. Payments for Environmental Services: A survey and assessment of current schemes. Retrieved from Montreal.
Pagiola S, Landell-Mills N, & Bishop J. 2002. Market-based Mechanisms for Forest Conservaion and Development. In S. Pagiola, J. Bishop, & N. Landell-Mills (Eds.), Selling Forest for Environmental Services: Market-based mechanism for conservaion and development (pp. 1–13). London: Earthscan.
Wibowo A. 2016. Implementasi Kegiatan REDD+ pada Kawasan Konservasi di Indonesia (Implementaion of REDD+ Aciviies in Conservaion Area of Indonesia). Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 13(3), 185–199.