STRATEGI KEBIJAKAN PENDIDIKAN NONFORMAL DALAM MEREDUKSI PENGANGGURAN

22

Click here to load reader

description

STRATEGI KEBIJAKAN PENDIDIKAN NONFORMAL DALAM MEREDUKSI PENGANGGURAN Oleh: Dr. H. Moh. Alifuddin, MM Fenomena Pengangguran Hingga kini bangsa Indonesia masih dililit persoalan pengangguran yang luar biasa. Menurut Laporan Biro Pusat Statistik (2010), 7,41% atau 8.595.600 orang dari angkatan kerja pada tahun 2010 (Februari) sebanyak 116.000.000 orang merupakan pengangguran terbuka. Menurut Edwards (dalam Sumarsono, 2009: 260), penganguran terbuka adalah mereka yang benarbenar tidak bekerja, baik

Transcript of STRATEGI KEBIJAKAN PENDIDIKAN NONFORMAL DALAM MEREDUKSI PENGANGGURAN

Page 1: STRATEGI KEBIJAKAN PENDIDIKAN NONFORMAL DALAM MEREDUKSI PENGANGGURAN

STRATEGI KEBIJAKAN PENDIDIKAN NONFORMALDALAM MEREDUKSI PENGANGGURAN

Oleh: Dr. H. Moh. Alifuddin, MM

Fenomena Pengangguran

Hingga kini bangsa Indonesia masih dililit persoalan pengangguran yang

luar biasa. Menurut Laporan Biro Pusat Statistik (2010), 7,41% atau 8.595.600

orang dari angkatan kerja pada tahun 2010 (Februari) sebanyak 116.000.000

orang merupakan pengangguran terbuka. Menurut Edwards (dalam

Sumarsono, 2009: 260), penganguran terbuka adalah mereka yang benar-

benar tidak bekerja, baik secara sukarela maupun paksaan. Selain itu, dalam

waktu yang sama, juga terdapat pengangguran dengan kategori setengah

pengangguran sebanyak 32,8 juta orang. Kategori pengangguran jenis ini

adalah para pekerja yang jumlah jam kerjanya lebih sedikit dari yang

sebenarnya mereka inginkan (Edwards, dalam Sumarsono, 2009: 260).

Untuk tingkat pengangguran terbuka (TPT), selama periode 2008-2010,

rinciannya tampak pada tabel berikut:

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Periode 2008–2010

(persen)

Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan

2008 2009 2010

Februari Agustus Februari Agustus Februari

SD ke Bawah 4,70 4,57 4,51 3,78 3,71Sekolah Menengah Pertama

10,05 9,39 9,38 8,37 7,55

Sekolah Menengah Atas

13,69 14,31 12,36 14,50 11,90

Sekolah Menengah Kejuruan

14,80 17,26 15,69 14,59 13,81

Diploma I/II/III 16,35 11,21 15,38 13,66 15,71Universitas 14,25 12,59 12,94 13,08 14,24

Total 8,46 8,39 8,14 7,87 7,41

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah kembali (2010).Dari data pada tabel tersebut terlihat bahwa TPT mengalami gejolak

fluktuatif dari tahun ke tahun. Dalam hitungan semester, kondisi dapat berubah

secara ekstrim. Untuk pengangguran terbuka yang tamat Sekolah Menengah

Page 2: STRATEGI KEBIJAKAN PENDIDIKAN NONFORMAL DALAM MEREDUKSI PENGANGGURAN

Kejuruan misalnya, pada bulan Februari 2008 persentasenya 14,80% dan

enam bulan kemudian (Agustus) mengalami lonjakan drastis menjadi 17,26%.

Sebaliknya untuk penganggguran terbuka yang tamat Diploma I/II/III, pada

bulan Februari 2008 persentasenya 16,35% dan enam bulan kemudian

(Agustus) mengalami penurunan serius menjadi 11,21%, namun enam bulan

berikutnya (Februarti 2009) bergejolak naik lagi menjadi 15,38%. Fenomena ini

mengisyaratkan adanya tingkat turn over di dunia kerja yang sangat tinggi,

yang antara lain dapat disebabkan oleh keterampilan kerja tidak memadai, yang

mengakibatkan para pekerja gagal membangun kinerjanya sendiri dan juga

tidak mampu memberikan kontribusi positif pada kinerja organisanya (tempat

bekerja).

Pertanyaan kritis

Fenomena pengangguran yang disertai tingkat turn over yang tinggi

tersebut setidaknya menyodorkan satu pertanyaan kritis: mengapa angkatan

kerja kita tidak memiliki keterampilan yang memadai sehingga membuat

mereka menganggur atau mengalami turn over ketika sudah bekerja?

Teori

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kiranya penting untuk disinggung

beberapa teori yang relevan dengan persoalan tersebut, antara lain teori

pengangguran, kebijakan pendidikan nonformal, dan strategi.

Pengangguran

Istilah pengangguran (umployed) dapat diartikan sebagai lawan kata

employed (bekerja). Namun, yang disebut pengangguran masih ada

persyaratan lain, yaitu ia harus aktif mencari pekerjaan, sehingga lebih layak

dikategorikan sebagai pencari kerja (Arfida, 2003: 134). Sedangkan menurut

Sumarsono (2009: 259), pengangguran adalah suatu keadaan di mana

seseorang yang tergolong dalam kategori angkatan kerja tidak memiliki

pekerjaan dan secara aktif sedang mencari kerja.

Dilihat dari sebab-sebab timbulnya, pengangguran dapat dibagi menjadi:

Page 3: STRATEGI KEBIJAKAN PENDIDIKAN NONFORMAL DALAM MEREDUKSI PENGANGGURAN

1. Pengangguran friksional, yaitu pengangguran yang disebabkan oleh suatu

hambatan yang menyebabkan proses bertemunya penawaran dan

permintaan tenaga kerja menjadi tidak lancar, atau pengangguran yang

timbul akibat dari perubahan di dalam syarat-syarat kerja, yang terjadi

seiring dengan dinamika atau perkembangan ekonomi yang terjadi.

2. Pengangguran struktural, yakni pengangguran yang terjadi sebagai akibat

adanya perubahan di dalam struktur pasar tenaga kerja yang menyebabkan

terjadinya ketidaksesuaian antara penawaran dan permintaan tenaga kerja.

3. Pengangguran alamiah, yaitu pengangguran yang terjadi pada kesempatan

kerja penuh atau tingkat pengangguran dimana inflasi yang diharapkan

sama dengan tingkat inflasi aktual.

4. Pengangguran konjungtur atau siklis, yakni pengangguran yang terjadi

akibat merosotnya kegiatan ekonomi atau karena terlampau kecilnya

permintaan efektif agregat di dalam perekonomian daripada penawaran

agregat (Arfida, 2003: 134-135; Sumarsono, 2009: 259-260).

Di negara sedang berkembang pada umumnya pengangguran yang

terjadi adalah:

1. Pengangguran terselubung (disguised unemployment), yang terjadi akibat di

dalam perekonomian adanya kelebihan tenaga kerja sehingga sering

disebut pengangguran tak ketara.

2. Pengangguran musiman (season unemployment), yaitu pengangguran yang

terjadi pada waktu-waktu tertentu pada satu tahun.

3. Setengah pengangguran (under unemployment), yaitu pengangguran yang

terjadi akibat kelebihan penduduk di sektor-sektor tertentu pada negara

sedang berkembang sehingga banyak penduduknya yang kurang mendapat

pekerjaan dan bekerja di waktu-waktu tertentu seperti harian, mingguan

atau musiman (Sumarsono (2009: 259). Menurut Hansen (dalam Arfida,

2003: 134), terdapat tiga penyebab terjadinya setengah pengangguran

yaitu: kurangnya jam kerja, rendahnya pendapatan, dan ketidakcocokan

antara pekerjaan dan keterampilan pekerjaan

Sedangkan Edwards (dalam Sumarsono, 2009: 260) membedakan jenis

pengangguran, khususnya di negara sedang berkembang, sebagai berikut:

Page 4: STRATEGI KEBIJAKAN PENDIDIKAN NONFORMAL DALAM MEREDUKSI PENGANGGURAN

1. Pengangguran terbuka (open unemployment), yaitu mereka yang benar-

benar tidak bekerja baik secara sukarela maupun paksaan.

2. Setengah pengangguran (underemployment), yaitu para pekerja yang

jumlah jam kerjanya lebih sedikit dari yang sebenarnya mereka inginkan.

3. Mereka yang nampak aktif bekerja tetapi sebenarnya kurang produktif,

adalah mereka yang tergolong dalam pengangguran terselubung, namun

bekerja di bawah standar produktivitas optimal.

4. Mereka yang memang tidak mampu bekerja secara penuh karena cacat

atau sebagainya yang sebenarnya mereka ingin bekerja tetapi hasrat

terbentur pada kondisi tubuh yang tidak memungkinkan.

5. Mereka yang tidak produktif, yaitu mereka yang sesungguhnya memiliki

kemampuan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang produktif akan

tetapi mereka tidak memiliki sumber daya komplemen yang memadai untuk

menghasilkan output yang mereka miliki hanya tenaga, sehingga meskipun

mereka sudah bekerja keras hasilnya tetap saja tidak memadai.

Menurut Sumarsono (2009: 260), pengangguran dapat memberikan dua

dampak pokok. Pertama, dampak pengangguran terhadap perekonomian:

masyarakat tidak dapat memaksimalkan pendapatan nasional yang sebenarnya

dicapai lebih rendah dari pada pendapatan nasional potensial, pendapatan

pajak (tax revenue) pemerintah berkurang, dan tidak menggalakkan

pertumbuhan ekonomi. Kedua, dampak pengangguran terhadap individu dan

masyarakat: kehilangan mata pencaharian dan pendapatan, kehilangan

keterampilan, ketidakstabilan politik, dan timbulnya penyakit sosial di

masyarakat.

Persoalan pengangguran tidak dapat dipisahkan dengan kebijakan

pendidikan, baik pendidikan formal maupun pendidikan nonformal.

Pengangguran terjadi antara lain karena kegagalan sistem pendidikan formal

dalam memberikan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan oleh dunia

kerja. Di pihak lain, pengangguran juga mungkin terjadi karena kebijakan

pendidikan nonformal yang diagendakan untuk menyangga atau menutupi

kekurangan pendidikan formal tidak tepat sasaran. Oleh karena itu, kiranya

Page 5: STRATEGI KEBIJAKAN PENDIDIKAN NONFORMAL DALAM MEREDUKSI PENGANGGURAN

penting untuk melihat sekilas tentang teori kebijakan dan kebijakan pendidikan

nonformal di Indonesia.

Kebijakan Pendidikan Nonformal (PNF)

Tentang kebijakan, Dunn (2000: 51-52) menjelaskan bahwa secara

etimologis, istilah kebijakan atau policy berasal dari bahasa Yunani,

Sansekerta, dan Latin. Akar kata dalam bahasa Yunani dan Sansekerta polis

(negara kota) dan pur (kota) yang dikembangkan dalam bahasa Latin menjadi

politia (negara) dan akhirnya dalam bahasa Inggris policy, yang berarti

menangani masalah-masalah publik atau administrasi pemerintahan.

Bagi Mintzberg (dalam Scott & Davis, 2007: 319), kebijakan merujuk

pada: (a) rencana – cara bertindak yang sengaja ditetapkan; (b) permainan –

manuver yang dimaksudkan untuk menyesatkan orang lain; (c) pola –

kumpulan tindakan yang konsisten, apakah bertujuan atau tidak; (d) posisi –

lokasi atau wadah yang menunjuk bidang tindakan; dan (e) perspektif – cara

memandang dunia.

Sedangkan menurut Schermerhorn, Hunt dan Osborn (2005: 390),

kebijakan merupakan pedoman bertindak yang menguraikan sasaran penting

dan secara luas menunjukkan bagaimana aktivitas dapat dikerjakan. Hal yang

hampir sama dikemukakan oleh Ansoff (dalam Rollinson, Edwards & Broadfield,

1998: 432-433) bahwa kebijakan dapat digambarkan sebagai pedoman

atau prinsip yang mengarahkan pembuatan keputusan masadepan jika dan

ketika unsur-unsur tertentu muncul. Selain itu kebijakan mungkin juga

menunjukkan standard tingkah laku yang dimaksudkan, yang akan

mengakibatkan orang-orang mengambil tindakan dengan cara tertentu;

misalnya beberapa bank menganut kebijakan untuk tidak melakukan investasi

pada proyek-proyek yang tidak tepat atau proyek yang melanggar secara

moral.

Selain itu, Lasswell dan Kaplan (dalam Mullins, 2005: 71) juga

memberikan definisi tentang kebijakan sebagai sesuatu program pencapaian

tujuan, nilai-nilai dalam praktek-praktek yang terarah (a projected program of

goal, value and practices). Kemudian Anderson (dalam Winarno, 2002: 16)

menyatakan bahwa kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai

Page 6: STRATEGI KEBIJAKAN PENDIDIKAN NONFORMAL DALAM MEREDUKSI PENGANGGURAN

maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam

mengatasi suatu masalah atau persoalan.

Dari batasan, pengertian atau definisi tersebut dapat disarikan bahwa

kebijakan merefleksikan pedoman bertindak yang menguraikan sasaran penting

dan secara luas menunjukkan bagaimana aktivitas dapat dikerjakan serta

menunjukkan standar tingkah laku yang mengakibatkan orang-orang

mengambil tindakan dengan cara tertentu.

Dalam konteks kehidupan bernegara, Easton (dalam Islamy, 2000: 19)

mengemukakan bahwa kebijakan negara atau pemerintah sebagai pengalokasi

nilai-nilai secara sah kepada seluruh warga masyarakat,“ The authoritative

allocation of values for the whole society”. Karena itu, kebijakan pemerintah

seyogyanya bersifat obyektif dan tersusun dengan baik. Publik mempunyai

kepentingan yang sangat besar atas dampak kebijakan yang secara langsung

maupun tidak langsung akan menyentuh masyarakat.

Terkait dengan hal itu, maka kebijakan hendaklah memperhatikan hal-

hal berikut: (1) memungkinkan penafsiran terbuka dan penilaian; (2) bersifat

konsisten dan tidak boleh ada dua kebijakan yang saling bertentangan dalam

sebuah organisasi; (3) harus sesuai dengan keadaan yang berkembang; (4)

harus membantu pencapaian sasaran dan harus dibantu dengan fakta-fakta

yang obyektif; dan (5) harus sesuai dengan kondisi-kondisi eksternal (Winardi,

1990: 120).

Dalam usaha memenuhi keinginan, harapan dan kebutuhan masyarakat,

Indonesia menerbitkan beberapa kebijakan tentang pendidikan nonformal,

antara lain:

1. UU Sistem Pendidikan Nasional

Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pendidikan nonformal adalah jalur

pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara

terstruktur dan berjenjang. Dalam UU Sisdiknas pasal 26 ayat (1)

ditegaskan bahwa pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga

masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai

pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka

Page 7: STRATEGI KEBIJAKAN PENDIDIKAN NONFORMAL DALAM MEREDUKSI PENGANGGURAN

mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pada ayat selanjutnya dijelaskan

bahwa pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta

didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan

fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.

Ada beberapa macam pendidikan nonformal yang dapat

diselenggarakan. Sebagaimana dinyatakan pada Pasal 26 ayat (3) bahwa

pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan

anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan

perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan

kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk

mengembangkan kemampuan peserta didik.

Pendidikan nonformal yang diselenggarakan dapat berupa lembaga

kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar

masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.

Khususnya untuk kursus dan pelatihan, diselenggarakan bagi masyarakat

yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan

sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha

mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Hasil

pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program

pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh

lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan

mengacu pada standar nasional pendidikan (Hamid, 2003: 13-143).

2. Permendiknas No. 49 tahun 2007

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 49

tahun 2007 mengatur tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan

Pendidikan Nonformal. Dalam undang-undang ini dijelaskan bahwa tujuan

satuan pendidikan nonformal meliputi: (1) Menggambarkan pencapaian

tingkat mutu yang seharusnya dicapai dalam program pembelajaran; (2)

Mengacu pada visi, misi dan tujuan pendidikan nasional serta relevan

dengan kebutuhan pemberdayaan masyarakat; (3) Diputuskan oleh

pengelola dan/atau penyelenggara pendidikan nonformal dengan

Page 8: STRATEGI KEBIJAKAN PENDIDIKAN NONFORMAL DALAM MEREDUKSI PENGANGGURAN

memperhatikan masukan dari berbagai pihak; dan (4) Disosialisasikan

kepada segenap pihak yang berkepentingan (Hamid, 2003: 4).

Dengan merujuk pada tujuan tersebut, maka Permendiknas No. 49

tahun 2007 pada dasarnya memberikan pedoman bagi para penyelenggara

pendidikan nonformal tentang target-target yang yang harus dicapai oleh

pengelola pendidikan nonformal. Target-target yang akan dicapai harus

merujuk pada tujuan pendidikan nasional. Dalam proses

penyelenggaraannya pengelola diberikan otonomi yang cukup luas namun

harus tetap memperhatikan peraturan-peraturan terkait.

Dalam Permendiknas No. 49 tahun 2007 antara lain dibahas tentang

perencanaan program, pelaksanaan rencana kerja, pengawasan dan

evaluasi, dan sistem informasi manajemen.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 73 tahun 1991

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73 tahun 1991 tentang

Pendidikan Luar Sekolah antara lain dijabarkan beberapa butir penting.

Pada bagian awal disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan

luar sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah baik

dilembagakan maupun tidak. Ada tiga tujuan yang hendak dicapai oleh

pendidikan luar sekolah. Pertama, melayani warga belajar supaya dapat

tumbuh dan berkembang sedini mungkin dan sepanjang hayatnya guna

meningkatkan martabat dan mutu kehidupannya. Kedua, membina warga

belajar agar memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yang

diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah atau

melanjutkan ke tingkat dan/atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ketiga,

memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam

jalur pendidikan sekolah.

Dalam PP Nomor 73 tahun 1991 juga disebutkan bahwa ada lima

jenis pendidikan luar sekolah. Pertama, pendidikan umum, yaitu pendidikan

yang mengutamakan perluasan dan peningkatan keterampilan dan sikap

warga belajar dalam bidang tertentu. Kedua, pendidikan keagamaan,

merupakan pendidikan yang mempersiapkan warga belajar untuk dapat

menjalankan peranan yang menuntut penguasaan khusus tentang ajaran

Page 9: STRATEGI KEBIJAKAN PENDIDIKAN NONFORMAL DALAM MEREDUKSI PENGANGGURAN

agama yang bersangkutan. Ketiga, pendidikan jabatan kerja, yaitu

pendidikan yang berusaha meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan

sikap warga belajar untuk memenuhi persyaratan pekerjaan tertentu pada

satuan kerja yang bersangkutan. Keempat, pendidikan kedinasan, yakni

pendidikan yang berusaha meningkatkan kemampuan dalam pelaksanaan

tugas kedinasan untuk pegawai atau calon pegawai suatu Departemen atau

Lembaga Pemerintah Non Departemen. Kelima, pendidikan kejuruan,

adalah pendidikan yang mempersiapkan warga belajar untuk dapat bekerja

dalam bidang tertentu.

Persyaratan untuk menyelenggarakan pendidikan luar sekolah

ditetapkan oleh Menteri, atau Menteri lain atau pimpinan Lembaga

Pemerintah Non Departemen setelah berkonsultasi dengan Menteri.

Penyelenggara pendidikan luar sekolah dapat terdiri atas Pemerintah,

badan, kelompok atau perorangan yang bertanggung jawab atas

pelaksanaan jenis pendidikan luar sekolah yang diselenggarakannya.

Masyarakat dapat menyelenggarakan semua jenis pendidikan luar sekolah

kecuali pendidikan kedinasan.

Pendidikan luar sekolah dapat berupa lembaga kursus. Kursus

diselenggarakan bagi warga belajar yang memerlukan bekal untuk

mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah dan/atau melanjutkan ke

tingkat atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

4. Pokok-pokok Kebijakan Pendidikan Nonformal

Dalam Pokok-pokok Kebijakan Pembangunan Pendidikan Nonformal

juga disebutkan bahwa kelembagaan kursus dan kursus para-profesi yang

berorientasi pada peningkatan kecakapan hidup (PKH) yang bermutu dan

relevan dengan kebutuhan masyarakat serta pelayanan yang semakin

meluas, adil dan merata, khususnya bagi penduduk miskin dan penganggur

terdidik, dapat bekerja dan/atau berusaha secara produktif, mandiri, dan

profesional (Suryadi, 2007: 9-11).

Sejalan dengan hal itu, maka pembangunan pendidikan non-formal

antara lain bertujuan agar: terwujud kelembagaan kursus dan pelaksanaan

Page 10: STRATEGI KEBIJAKAN PENDIDIKAN NONFORMAL DALAM MEREDUKSI PENGANGGURAN

kursus para profesi yang bermutu dan berorientasi kecakapan hidup (PKH),

khususnya bagi penduduk penganggur usia produktif untuk dapat bekerja

dan atau berusaha secara produktif, mandiri, dan profesional (Suryadi,

2007: 11-12).

Dalam kebijakan ini ditegaskan bahwa penyelenggaraan kursus

diorientasikan pada upaya peningkatan kecakapan hidup yang bermutu dan

relevan dengan kebutuhan masyarakat.

5. Renstra

Dalam Renstra Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah 2005-

2009 antara lain dinyatakan bahwa program kursus dan pendidikan

kecakapan hidup (PKH); target yang harus dicapai adalah membelajarkan

penduduk dewasa yang menganggur, miskin, dan/atau tidak terampil

sebanyak 1,5 juta orang (Suryadi, 2007: 15-19).

Setiap kebijakan memiliki misi, tujuan dan sasaran strategis, sehingga

dalam formulasi dan implementasi juga harus dilakukan secara strategis pula.

Strategi

Terkait dengan strategi, dalam buku The Big Book Of Business

Quotations sebagaimana dikutip Barney dan Hesterly (2008: 4) dinyatakan

bahwa strategi adalah “theory about how to gain competitive advantage.” Ini

berarti bahwa strategi adalah teori tentang bagaimana memperoleh keunggulan

kompetitif atau bersaing.

Pengertian yang hampir sama dikemukakan oleh Demsetz (dalam

Barney & Hesterly, 2008: 5) bahwa: “strategy is theory of how to achieve high

levels of performance in the markets and industries within which it is operating.”

Definisi ini berarti bahwa strategi adalah teori bagaimana mencapai kinerja

tingkat tinggi di pasar dan industri dimana perusahaan tersebut beroperasi di

dalamnya.

Sedangkan Johnson dan Scholes (dalam John dan Allen, 2001: 176)

mengemukakan bahwa strategi adalah arah dan lingkup dari sebuah organisasi

yang berlangsung jangka panjang; secara ideal sumber-sumber yang

digunakan cocok dengan perubahan lingkungan. Sementara itu, Quinn (dalam

Grant, 2005: 21) menyatakan bahwa strategi adalah pola atau perencanaan

Page 11: STRATEGI KEBIJAKAN PENDIDIKAN NONFORMAL DALAM MEREDUKSI PENGANGGURAN

yang mengintegrasikan tujuan, kebijakan dan urutan tindakan utama organisasi

menjadi satu kesatuan secara terpadu.

Porter (dalam Rangkuti, 2005: 3-4) menjelaskan bahwa strategi

merupakan alat yang sangat penting untuk mencapai keunggulan bersaing.

Kemudian bagi Hamel dan Prahalad, strategi merupakan tindakan yang bersifat

incremental (senantiasa meningkat) dan terus menerus dan dilakukan

berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan pelanggan di masa

depan.

Formulasi strategi yang baik membantu pimpinan dan mengalokasikan

sumber daya organisasi yang unik dan sehat berdasarkan atas kompetensi

relatif dan kekurangan-kekurangan internal, mengantisipasi perubahan

lingkungan, dan pergerakan yang tidak menentu oleh kecerdikan lawan.

Suatu organisasi dapat mengembangkan strategi untuk mengatasi

ancaman eksternal dan merebut peluang yang ada. Proses analisa,

perumusan, dan evaluasi strategi-strategi itu disebut perencanaan strategis.

Tujuan utama perencanaan strategis adalah agar organisasi dapat melihat

secara obyektif kondisi-kondisi internal dan eksternal, sehingga dapat

mengantisipasi perubahan lingkungan eksternal. Dalam hal ini dapat dibedakan

secara jelas, fungsi manajemen, konsumen, dan pesaing. Jadi perencanaan

strategis penting untuk memperoleh keunggulan bersaing dan memiliki

produk/jasa yang sesuai dengan keinginan konsumen dengan dukungan yang

optimal dari sumber daya yang ada (Rangkuti, 2005:2-3).

Berdasarkan uraian tentang strategi di atas terlihat bahwa tujuan akhir

dari perumusan dan implementasi strategi yang dilakukan oleh organisasi

adalah untuk memperoleh kemenangan di kancah persaingan melalui upaya-

upaya yang dapat mendorong tercapainya tingkat kinerja yang optimum.

Analisis: Urgensi Kebijakan yang Futuristik

Pengangguran yang terjadi di Indonesia jelas merefleksikan

ketidakmampuan sistem pendidikan formal dalam menyiapkan tenaga kerja

Page 12: STRATEGI KEBIJAKAN PENDIDIKAN NONFORMAL DALAM MEREDUKSI PENGANGGURAN

yang siap karya (kerja) atau sesuai dengan kebutuan aktual (kontemporer)

dunia kerja. Kesiapkaryaan tersebut terkait erat dengan penguasaan atas

pengetahuan dan keterampilan oleh tenaga kerja sebagai alumni lembaga

pendidikan formal. Fakta membuktikan bahwa kenyataannya banyak tenaga

kerja yang nota benne alumni lembaga pendidikan formal dari berbagai jenjang

tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan sesuai yang dipersyaratkan oleh

dunia kerja.

Fakta tersebut ditangkap secara sempurna oleh Pemerintah sebagai

penyelenggara negara yang bertanggung jawab atas pelayanan publik,

sehingga kemudian muncul kebijakan mengenai pendidikan nonformal dalam

berbagai level, dari UU, PP, Permen, sampai Renstra. Pendidikan nonformal

sudah diatur dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tetapi belum

didukung oleh Peraturan Pemerintah (PP) yang relevan sebagai bentuk

operasionalisasinya. Amanat pasal 6 ayat (7) UU Sisdiknas yang menyatakan

bahwa “Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan nonformal diatur

lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah” hingga kini belum diakomodir oleh

Pemerintah. Ketentuan-ketentuan mengenai pendidikan nonformal justru

muncul pada tingkat peraturan perundangan-undangan di bawah PP, yakni

Permendiknas No. 49 tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan

oleh Satuan Pendidikan Nonformal. Dalam Permendiknas ini penyelenggaraan

pendidikan nonformal diatur secara panjang lebar.

Di pihak lain, dalam PP Nomor 73 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar

Sekolah antara lain disebutkan bahwa pendidikan luar sekolah dapat berupa

lembaga kursus. Kursus diselenggarakan bagi warga belajar yang memerlukan

bekal untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah dan/atau

melanjutkan ke tingkat atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sejalan

dengan itu, kebijakan mengenai pendidikan nonformal muncul dalam Renstra

Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah 2005-2009 yang antara lain

menyinggung soal program kursus dan pendidikan kecakapan hidup (PKH),

yang merupakan area pendidikan nonformal.

Mencermati beberapa produk perundang-undangan tentang pendidikan

nonformal tersebut tampak bahwa Pemerintah belum atau kurang menunjukkan

Page 13: STRATEGI KEBIJAKAN PENDIDIKAN NONFORMAL DALAM MEREDUKSI PENGANGGURAN

keseriusannya terhadap pendidikan nonformal, setidaknya bila dilihat dari

keengganannya memenuhi amanat pasal 6 ayat (7) UU Sisdiknas yang

menyatakan bahwa “Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan

nonformal diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.” Setelah lebih dari

enam tahun diundangkan, amanat pasal 6 ayat (7) UU Sisdiknas belum juga

dipenuhi oleh pemerintah. Dalam waktu yang sama, Pemerintah lebih suka

membiarkan pendidikan nonformal diatur secara overlaping dalam PP dan

Renstra tentang Pendidikan Luar Sekolah yang tidak merujuk pada UU

Sisdiknas yang baru (UU No. 20/2003). Hal ini, sekali lagi, menunjukkan

kekuranggseriusan Pemerintrah dalam menuntaskan persoalan kebijakan

pendidikan nonformal.

Kondisi tersebut mencerminkan kekurangcermatan strategi Pemerintah

dalam mengeluarkan kebijakan tentang pendidikan nonformal, terutama apabila

strategi dimaknai sebagai pola yang mengintegrasikan tujuan, kebijakan dan

urutan tindakan utama organisasi menjadi satu kesatuan secara terpadu, atau

alat untuk mencapai keunggulan bersaing. Seharusnya, sebelum mengeluarkan

Permen tentang Pendidikan Nonformal, terlebih dahulu menerbitkan PP,

sehingga hirarki peraturan perundang-undangan tentang pendidikan nonformal

terjamin dan menjadi lebih jelas. Dengan kejelasan ini, implementasi kebijakan

pendidikan nonformal juga akan menjadi lebih mudah dan aplikatif, dalam arti

tidak membingungkan para penyelenggara pendidikan nonformal.

Lebih dari itu, dalam PP tentang Pendidikan Nonformal juga

dimungkinkan lahirnya pasal-pasal yang memuat kebijakan-kebijakan

pendidikan nonformal yang futuristik, yaitu kebijakan yang dapat mengantisipasi

kebutuhan tenaga kerja di masa depan. Tidak seperti sekarang, kebanyakan

penyelenggara pendidikan nonformal berorientasi pada masa lalu, dengan

membuka bidang kekhususan yang sudah jenuh, sehingga tidak lagi sesuai

dengan kebutuhan aktual/kontemporer.

Kebijakan pendidikan nonformal yang futuristik jelas memerlukan usaha

yang tidak mudah, karena bukan sekedar bicara soal trend pekerjaan, tetapi

lebih dari itu bicara soal proyeksi pekerjaan di masa depan. Ini jelas

memerlukan riset dan kajian secara mendalam. Pekerjaan ini merupakan

Page 14: STRATEGI KEBIJAKAN PENDIDIKAN NONFORMAL DALAM MEREDUKSI PENGANGGURAN

proyek besar yang kurang/tidak mungkin dilakukan oleh penyelenggara

pendidikan nonformal, sehingga lebih layak dilakukan oleh Pemerintah.

Kalau kebijakan pendidikan nonformal yang futuristik dapat diupayakan

dan implementasinya ditunjang pula oleh Pemerintah tampaknya usaha

lembaga pendidikan nonformal menciptakan tenaga kerja plus (pengetahuan

dan keterampilan khusus) tidak akan muspra, karena sesuai dengan kebutuhan

peradaban dunia kerja masa depan. Ini berarti juga bahwa angka

pengangguran di masa depan direduksi.

Rekomendasi

Sejalan dengan itu, maka ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan

sebagai rekomendasi. Pertama, Pemerintah segera mengeluarkan PP tentang

Pendidikan Nonformal sebagai amanat pasal 6 ayat (7) UU Sisdiknas. Kedua,

dalam PP tersebut antara lain dimasukkan diktum mengenai kebijakan

pendidikan nonformal yang futuristik, yaitu kebijakan yang dapat mengantisipasi

kebutuhan tenaga kerja dengan keterampilan khusus sesuai spesifikasi

kebutuhan dunia kerja di masa depan, dimana Pemerintah sebagai penyokong

utama dan fasilitator bagi implementasi kebijakan ini. Ketiga, Pemerintah

merevisi atau mencabut PP yang tidak sehaluan, overlaping atau apalagi

bertentangan dengan PP tentang Pendidikan Nonformal.

Referensi

Arfida BR., Ekonomi Sumber Daya Manusia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003.

Barney, Jay B. and William S. Hesterly, Strategic Management and Competitive Advantage: Concepts and Cases, New Jersey: Pearson Prentice Hall, 2008.

Dunn, N. William. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Terjemahan Samodra Wibawa dkk, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2000.

Grant, Robert M, Contemporary Strategy Analysis, Malden, MA: Blackwell Publishing, 2005.

Hamid, Dedi. Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Asokadikta, 2003.

Islamy, M. Irfan. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bumi Aksara, 2000.

Page 15: STRATEGI KEBIJAKAN PENDIDIKAN NONFORMAL DALAM MEREDUKSI PENGANGGURAN

John, Robin and Michael Allen, Global Business Strategy, London: Thomson, 2001.

Mullins, Laurie J. Management and Organisational Behaviour, Essex: Prentice Hall, 2005.

Muslikh, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 49 tahun 2007 tentang Standar pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Nonformal, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional 2007.

Rangkuti, Freddy, Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2005

Rollinson, Derek, David Edwards, & Aysen Broadfield, Organisational Behavior and Analysis, Essex: Pearson Edu. Limited, 1998.

Schermerhorn, John R., Jr., James G. Hunt and Richard N. Osborn, Organizational Behavior, Danvers: John Wiley & Sons., Inc., 2005.

Scott, Richard W. & Gerald F. Davis, Organizations and Organizing, New Jersey: Pearson Education, 2007.

Sumarsono, Sonny. Teori Kebijakan Publik Ekonomi Sumber Daya Manusia, yogyakarta: Graha Ilmu, 2009.

Suryadi, Ace. Pokok-Pokok Kebijakan Pembangunan Pendidikan Nonformal Tahun 2007.

Winardi, J. Perilaku Organisasi, Bandung: Tarsito, 1990.

Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta: Media Pressindo, 2002.