Stop inequality

7
STOP PEMBIAKAN INEQUALITY ! : Seruan CSO Indonesia untuk Framework Pembangunan Pasca 2015 i MDGs tinggal 2 tahun lagi, dunia mulai sibuk memproses framework Pembangunan milinium yang baru pasca 2015. Nama Indonesia tiba-tiba harum dipanggung dunia, ketika image sebagai negara totaliter, tidak demokratis, perusak lingkungan, pelanggar HAM, terkorup berubah menjadi image harum sebagai negara demokratis ,dengan derajat tingkat korupsi yang makin membaik, pertumbuhan ekonomi yang stabil dan baik ditengah krisis dunia, pelaksanaan MDGs yang on track dan peran politik yang makin menonjol baik di tingkat regional maupun global, dan telah meninggalkan status dari negara miskin ke negara menengah ke atas. Tak heran kalau Presiden RI mendapatkan berbagai penghargaan dan posisi strategis termasuk sebagai co chair High Level Panel (HLP) utuk menggagas framework Pembangunan pasca 2015. Ini berarti Indonesia mendapat peluang untuk didengarkan suaranya di tingkat global untuk merumuskan mimpi dunia baru pasca 2015. Apa yang perlu kita konstribusikan dalam framework pembangunan pasca 2015 ? Untuk itu kita perlu memotret realita yang ada Dalam tiap annual report pencapaian MDGs yang disampaikan ke UN, Indonesia selalu melaporkan on track dan optimism pencapaian semua target di tahun 2015. Namun kalau kita lihat realita ada masalah besar di setiap sector MGDs yaitu KESENJANGAN ( inequality). MDGs 1 Pengatasan kemiskinan dan kelaparan, dipercaya didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang stabil, namun gini rasio menunjukan kesenjangan ekonomi yang makin lebar baik antar minoritas kaya dan mayoritas miskin, antara desa dan kota, antara laki-laki dan perempuan dimana perempuan lebih

Transcript of Stop inequality

Page 1: Stop inequality

STOP PEMBIAKAN INEQUALITY ! : Seruan CSO Indonesia untuk Framework Pembangunan Pasca 2015 i

MDGs tinggal 2 tahun lagi, dunia mulai sibuk memproses framework Pembangunan milinium yang baru pasca 2015. Nama Indonesia tiba-tiba harum dipanggung dunia, ketika image sebagai negara totaliter, tidak demokratis, perusak lingkungan, pelanggar HAM, terkorup berubah menjadi image harum sebagai negara demokratis ,dengan derajat tingkat korupsi yang makin membaik, pertumbuhan ekonomi yang stabil dan baik ditengah krisis dunia, pelaksanaan MDGs yang on track dan peran politik yang makin menonjol baik di tingkat regional maupun global, dan telah meninggalkan status dari negara miskin ke negara menengah ke atas. Tak heran kalau Presiden RI mendapatkan berbagai penghargaan dan posisi strategis termasuk sebagai co chair High Level Panel (HLP) utuk menggagas framework Pembangunan pasca 2015. Ini berarti Indonesia mendapat peluang untuk didengarkan suaranya di tingkat global untuk merumuskan mimpi dunia baru pasca 2015. Apa yang perlu kita konstribusikan dalam framework pembangunan pasca 2015 ? Untuk itu kita perlu memotret realita yang ada

Dalam tiap annual report pencapaian MDGs yang disampaikan ke UN, Indonesia selalu melaporkan on track dan optimism pencapaian semua target di tahun 2015. Namun kalau kita lihat realita ada masalah besar di setiap sector MGDs yaitu KESENJANGAN ( inequality).

MDGs 1 Pengatasan kemiskinan dan kelaparan, dipercaya didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang stabil, namun gini rasio menunjukan kesenjangan ekonomi yang makin lebar baik antar minoritas kaya dan mayoritas miskin, antara desa dan kota, antara laki-laki dan perempuan dimana perempuan lebih mengalami kemiskinan, kelompok berkebutuhan khusus dll. Selama satu dekade terakhir kantong-kantong kemiskinan dan kejadian kekurangan pangan masih ada di wilayah dan kelompok yang sama. Ini berarti selain efektifitas Pembangunan dipertanyakan, ukuran Pembangunan dengan angka pertumbuhan ekonomi ( economic growth) TIDAK COCOK untuk dipakai lagi untuk framework Pembangunan Pasca 2012 karena tidak ada korelasinya dengan pemerataan dan tidak menjamin kelestarian lingkungan dan perdamaian abadi.

MDGs 2. Capaian Pendidikan Dasar juga dilaporkan on track, namun ada kesenjangan luar biasa dari sisi kualitas antar wilayah, maupun golongan serta gender.Walau aksesebilitas kelihatan baik , namun kesenjangan affordebilitas untuk mendapatkan pendidikan dasar yang berkualitas makin besar. Dengan demikian goal pendidikan dasar tidak cukup diukur dari aksesebilitas dan availebilitas, tetapi juga affordebilitas dan kualitas. Ini terkait erat dengan problem MGDs!

MGDs 3. Kesetaraan Gender dan pemberdayaan juga dilaporkan on track, apabila diukur dari proporsi perempuan yang menikmati pendidikan dasar; bukan esensi kesetaraan gender yang

Page 2: Stop inequality

sebenarnya. Data juga terlelu digeneralisasi untuk laki dan perembuan saja, namun tidak dikelompokan secara tersegregasi baik umur, wilayah dan golongan. Kesenjangan gender di segala bidang masih terjadi; dengan demikian ukuran kesenjangan gender perlu dirubah

MDGs 4. Menurunan angka kematian anak, selalu dibanggakan melebihi target; namun tak begitu sangat membanggakan apabila dibandingkan dengan pencapaian Negara-negara tetangga di asia tenggara. IMR justru terjadi di daerah-deaerah yang dipercaya baik dari sisi aksesebilitas, afordebilitas, availebilitas dan kualitas. Peningkatan IMR bergerak dari desa ke kota; dengan factor penyebab bergerak dari penyakit pernafasan ke prematuritas. Pada satu sisi wilayah-wilayah penyumbang IMR tidak berubah dalam satu decade terakhir, ditambah makin banyaknya kasus kematian di kantong perkotaan. Dengan demikian penurunan IMR kita tidak sustain, karena intervensi terlalu teknis dan teknokratis tidak menyentuh dimensi sosial ekonomi dan dimensi hak. Ini berarti framework goal perlindungan terhadap keselamatan anak, tidak bisa hanya diukur dengan ukuran teknis dan teknokratis saja, tetapi dimensi yang crosscutting.

MDGS5. Ini yang secara jujur diragukan pencapaiannya oleh pemerintah Indonesia. Berbagai upaya teknis dan teknokratis terbukti gagal untuk memecahkan problem ini. MMR tak ada korelasi dengan penanganan oleh petugas persalinan terlatih, justru kasus-kasus penanganan kematian ibu di Jawa sebagian besar terjadi di RS dan telah ditangani oleh dokter ahli. Faktor penyebab bergeser dari pendarahan dan eklamsia ke penyakit-penyakit lain khususnya berbagai macam virus, penyakit degenerative, beberapa penyakit inveksi termasuk HIV. Framework Pembangunan milinium baru perlu mencari ukuran baru dalam perlindungan keamanan hidup ibu dengan ukuran yang non teknis menyentuh akar masalah yang terkait dengan kesenjangan perempuan dalamdimensi MDGs lainnya khususnya MDGs 1,2,3 dan 4.

MDGs 6. Duapuluh tahun yang lalu, kita belajar dari negara-negara lain yang tinggi HIV,TB dan Malaria. Sekarang Indonesia menjadi tempat belajar karena tinggingya insidensi penyakit-penyakit tersebut di atas. Indonesia masih menduduki kelompok tertinggi di dunia dalam penyebaran HIV melalui jarum suntik, terbesar “illegal” pekerja sex, TB dan malaria. Walau dari sisi resiko ada equality, namun tetap saja kelompok ekonomi terbawah, perempuan, mereka yang tinggal di remote area mengalami problemyang paling banyak; belum lagi ada kesenjangan besar dari sisi pengakuan HAM para penderitanya.

MDGs 7. Indonesia melaporkan ontrack terhadap ukuran akses airbersih; mungkin itu benar kalau diukur di musim hujan, tapi di musing kemarau, 40% wilayah Indonesia tidak punya akses airbersih. Karena banjir di musim hujan, akses airbersihpun juga bermasalah. Ini sangat terkait dengan kondisi daya dukung lingkungan yang sudah tidak lestari. Dengan demikian kita perlu mencari ukuran baru dalam kelestarian lingkungan dalam framework Pembangunan baru, yang mewadahi sensitive mengukur problem saat ini, terlebih atas dampak perubahan iklim.

MDGs 8. Adalah unsur yang sangat penting bagi Indonesia, mengingat sumber dana penanganan MDGs di Indonesia sangat tergantung dari bantuan asing. Ketika Indonesia memasuki status baru sebagai middle upper income country; sudah dipastikan akan terjadi

Page 3: Stop inequality

pengurangan drastis bantuan asing dalam pengatasan MDGs. Karena porsi APBD untuk pelayanan public yang makin kecil, sudah dipastikan akan digalakkan pencarian hutang untuk biaya pengatasan gap MDGs. Ini semua terjadi karena semua ukuran MDGs hanya akan mempunyai dampak positif pada rakyat di negara-negara di selatan, tidak bagi negara-negara donor dari utara. Ukuran baru goal Pembangunan milinium yang mengikat kepentingan rakyat seluruh belahan bumi perlu diciptakan agar kemitraan baru berdasarkan prinsip “commond but differencialy responsibility” dapat dilaksanakan.

Dengan demikian goal development framework yang baru untuk MENURUNKAN INEQUALITY secara comprehensive, crosscutting, multidimensi perlu dipastikan karena Inequality adalah akar penyebab semua gap semua MDGs. Inequality terjadi karena ketidakseimbangan kekuatan (power) atas stakeholder dalam segala aras baik vertical maupun horizontal, yang dipicu oleh penerapan paradigm pembangunan “growth dan greed”, yang memberi peluang bagi kelompok kecil untuk menikmati lebih banyak dan membiarkan mayoritas sebagai target pasar dan penonton. Dengan demikian framework Pembangunan pasca 2015 harus memberi perhatian utama issue inequality ini. Semua ukuran goal Pembangunan harus dipastikan mengarah pada pengurangan jurang kesenjangan, semua kebijakan pendukung perlu melihat issue inequality dan perlindungan bagi mayoritas kelompok yang saat ini termarginal, bahkan secara teknis statistikpun harus ada menggunakan data-data tersegregasi yang memastikan diteksi dini terhadap ketidakmerataan serta diagnosa yang tepat terhadap ketidakmerataan.

Baru saja di Yogyakarta Pemerintah RI sukses menjadi tuan rumah Asian Ministerial Conference on Disaster Risk ke-5 (AMCDRR) yang melahirkan deklarasi yogyakarta yang pada intinya mengakui bahwa rakyat adalah actor utama dalam Pembangunan. Salah satu kritik terbesar dalam penyusunan konsep MDGs yang tinggal 2 tahun batas akhir implementasi adalah proses yang sangat top down dan meninggalkan suara rakyat. Ini yang menyebabkan ukuran-ukuran dirasa teknis, teknokratis dan kurang memotret realita dan suara hati rakyat, serta kurang kohesive satu sama lain. Oleh karena itu kita tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama; kita harus libatkan rakyat untuk bersuara dalam menentukan masa depan ayng mereka inginkan pasca 2015. CSO secara formal diakui oleh UN sebagai salah satu aktor Pembangunan, karena kekuatannya untuk menjadi penyambung lidah rakyat. Dalam paragraph 22 Busan Outcome Document setahun yang lalu dinyatakan “Civil society organisations (CSOs) play a vital role in enabling people to claim their rights,

in promoting rights-‐based approaches, in shaping development policies and partnerships, and in overseeing their implementation. They also provide services in areas that are complementary to those provided by states”.

Walau CSO di tingkat global dan khususnya diiendonesia saat ini makin”miskin” karena ketergantungan dana dari mitra CSO balahan bumi utara, ini bukan alasan untuk mengesampingkan peran CSO termasuk dalam Regional meeting and stakeholder counsultation on the post development agenda 2015 besok tgl 13-14 Desember 2015. Sampai saat ini hanya CSO yang saat ini secara aktif dengan uang mereka sendiri menjaring aspirasi rakyat tentang masa depan yang rakyat inginkan pasca 2015. Dari rakyat kita juga bisa belajar bagaimana mereka punya kelentingan/resilence untuk tetap hidup dan

Page 4: Stop inequality

mempertahankan kualitas kehidupan ditengah kemiskinan, diskriminasi, marginalisasi dan minimnya intervensi CSO Indonesia meyakini bahwa selama inequality tidak menjadi agenda utama, masa depan dunia akan tetap terancam kelestaria dan perdamaiannya. Itulah pesan utama CSO Indonesia.

Page 5: Stop inequality

i Kertas posisi ini disusun oleh Sigit Wijayanta Yakkum untuk Regional Meeting and Stakeholder Consultation on the Post Development Agenda 2015, tgl 13-14 Desember 2012, merangkum masukan dari kelompok CSO Indonesia pemerhati Post MDGs 2015 development framework yang terdiri dari Infid ( koord), Aman Indonesia, WVI, Hivos, OXFAM, KPI, Kemitraan, DK Insufa, Humanitarian Forum Indonesia, , ACT Alliance Forum Indonesia, Yakkum , lainnya …………