STI 2 Fikih Ibadah
-
Upload
triaaanditaa -
Category
Documents
-
view
306 -
download
3
description
Transcript of STI 2 Fikih Ibadah
-
Studi Islam II Fikih Ibadah
STUDI ISLAM I
Fikih Ibadah Dr. Akhmad Alim. MA
Pusat Kajian Islam
Universitas Ibn Khladun Bogor
-
Studi Islam II Fikih Ibadah
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) ALIM, Akhmad
STUDI ISLAM I: Fikih Ibadah, Penulis, Dr. Akhmad Alim, M.A; Penyunting, Bahrum
Subagia, --Cet. 1-Bogor: Pusat Kajian Islam Universitas Ibn Khaldun, 2012. 253 hlm.;
25,7 cm.
ISBN : 978-979-1324-14-4
STUDI ISLAM II: Fikih Ibadah
Penulis:
Dr. Akhmad Alim, M.A
Penyunting:
Bahrum Subagia
Penata Letak:
Irfan Habibie
Desain Sampul:
Fathurrohman Saifuddin
Penerbit:
Pusat Kajian Islam Universitas Ibn Khaldun
Jl. K.H. Sholeh Iskandar Km. 2 Kedung Badak Bogor
Telp./Fax. (0251) 8356884
Cetakan Pertama, Shafar 1435 H- Januari 2014 M
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Ketentuan Pidana (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal
49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara palling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 72 UU No.19 Tahun 2002
-
i | Studi Islam II Fikih Ibadah
KATA PENGANTAR
. : Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
Hai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar
takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam
keadaan beragama Islam. (QS. Ali-Imran: 102)
Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan
(peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu. (QS. An-Nisa: 1)
-
ii | Studi Islam II Fikih Ibadah
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-
amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. (QS. Al-Ahzab: 70-71)
Manusia modern cenderung melepaskan diri dari keterikatan
dengan Tuhan (al-Iradh), untuk selanjutnya membangun tatanan yang
berpusat pada manusia (al-qadariyah). Akibatnya, kehidupan manusia
terdominasi oleh hipnotis atmosfer modernitas, yang pada gilirannya
akan membuat manusia lengah dan tidak menyadari bahwa dimensi
spiritualnya terdistorsi, sehingga tidak mengherankan jika akar
spiritualtas tercabut dari panggung kehidupan global.
Munculnya problem spiritual yang menimpa manusia modern
bermula dari hilangnya visi keilahiyan (uluhiyah) yang disebabkan oleh
ulahnya sendiri, yakni bergerak menjauh dari tuntunan Allah dalam
mengatur kehidupan. Menurut Ibn Jauzi penyebab utama krisis
keruhaniyan tersebut, berawal dari dua hal pokok, yaitu menjauh dari
Allah (al-iradh), dan menuhankan hawa nafsu (ittiba al-hawa) atau dalam
istilah lain dikenal dengan istilah memperturutkan syahwat(Ittiba al-
syahawat). Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam (QS. Thaha:
124) dan (QS. Maryam: 19), berikut ini:
Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya
baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunnya pada
harikiamat dalam keadaan buta. (QS. Thaha: 124)
Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-
nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan
menemui kesesatan. (QS. Maryam: 19)
-
iii | Studi Islam II Fikih Ibadah
Dari penafsiran ayat tersebut, Ibn Jauzi melihat bahwa ada dua
penyebab pokok, yang membuat rusaknya mental spiritual manusia,
sehingga menyebabkannya terjatuh dalam jurang kehancuran (ghayya),
yaitu (1) berpaling dari Allah (al-iradh), dalam hal ini menyia-nyiakan
shalat; karena orang yang meremehkan shalat berarti tanda orang yang
berpaling dari jalinan vertikal yaitu hablumminallah, dan (2)
memperturutkan hawa nafsu (Ittiba al-syahawat), yaitu dengan
melampiaskan segala kesenangan, yang melampaui batas syariat, seperti
zina, khamr, dan sejenisnya yang menghalangi seseorang dari jalan
ketaatan kepada Allah.
Untuk itu, tidak ada solusi lain kecuali manusia harus kembali ke
pusat eksistensi tersebut, yaitu kembali kepada Allah (fafirru ilallah) dan
mengendalikan kembali hawa nafsu (dzam al-hawa). Dalam usaha
mencapai hal tersebut, maka dibutuhkan penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs)
melalui ibadah kepada Allah. Karena dengan usaha inilah jiwa akan
terbebas dari hal-hal yang mengotorinya dan kembali pada fitrahnya.
Menurut Ali Abduh, ibadah seperti shalat, zakat, membaca Al-Quran,
berdzikir, dan ibadah lainnya, adalah sarana paling efektif untuk
menyucian jiwa seseorang.
Penulisan buku Studi Islam 2: Fikih Ibadah ini diharapkan dapat
menjawab problematika krisis spiritual tersebut, sehingga dapat
memberikan solusi yang memadai. Wallahu Alam Bisshawab.
Bogor, 01 Maret 2012
Dr. Akhmad Alim, M.A
-
iv | Studi Islam II Fikih Ibadah
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ..................................................................................... i
Daftar Isi ............................................................................................. v
Bab I Ibadah Dan Ruang Lingkupnya ................................................ 1
Bab II Fikih Shalat ............................................................................ 24
Bab III Fikih Zakat............................................................................ 45
Bab IV Fikih Puasa ........................................................................... 73
Bab V Ibadah Haji, Umrah Dan Ziarah ............................................ 97
Bab VI Fikih Jenazah ...................................................................... 117
Bab VII Dzikir, Istighfar, Selawat, & Doa ................................... 139
Bab VIII Qiyamullail Dan Tadabur Al-Quran .............................. 190
Bab IX Panduan Shalat Sunnah ...................................................... 207
Bab X Khilafiyah Dalam Ibadah..................................................... 223
Daftar Pustaka. ................................................................................ 247
Riwayat Hidup Penulis ................................................................... 250
-
1 | Studi Islam II Fikih Ibadah
BAB I
IBADAH DAN RUANG LINGKUPNYA
1. Ibadah Sebagai Tujuan Penciptaan Jin dan Manusia
Allah Subhanahu wa Taala tidak menciptakan jin dan manusia
sebagai suatu yang sia-sia. Tetapi, ada tujuan dibalik penciptaan mereka,
yang tidak lain adalah tujuan ubudiyah. Dalam arti menyembah Allah
Subhanahu wa Taala, mengesakan, mengagungkan, membesarkan, dan
mentaati-Nya, dengan melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi
segala larangan-Nya. Sebagaimana firman-Nya Subhanahu wa Taala:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku. (QS. Az-Zariyat: 56)
Dari Mu'azd bin Jabal Radhiyallahu anhu, ia berkata, "Saya
membonceng Nabi Salallahu Alaihi wa Sallam di atas keledai yang
dinamakan 'afir, lalu 'Beliau Salallahu Alaihi wa Sallam bersabda, 'Wahai
Mu'adz, tahukah kamu apa hak Allah Subhanahu wa Taala terhadap
hamba dan apa hak hamba kepada Allah Subhanahu wa Taala? Saya
menjawab. 'Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.' Beliau
bersabda,: 'Sesungguhnya hak Allah Subhanahu wa Taala terhadap hamba
adalah bahwa mereka menyembah Allah Subhanahu wa Taala dan tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan hak hamba terhadap Allah
Subhanahu wa Taala adalah bahwa Dia Subhanahu wa Taala tidak akan
menyiksa orang yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Saya
bertanya, 'Wahai Rasulullah, bolehlah saya memberitahukan kepada
manusia?' Beliau menjawab, 'Jangan engkau beritakan kepada mereka,
maka mereka menjadi enggan beramal. (HR.Muttafaqun 'alaih).1
1 Muttafaqun 'alaih. HR. al-Bukhari no. 2856 dan Muslim no. 30, lafadz hadits ini dari riwayat Muslim.
-
2 | Studi Islam II Fikih Ibadah
2. Definisi Ibadah
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta
tunduk. Sedangkan menurut syara (terminologi), ibadah adalah sebutan
yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa
Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang
bathin.2
Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri berkata :
Yang berhak disembah hanya Allah Subhanahu wa Taala semata,
dan ibadah digunakan atas dua hal; Pertama: menyembah, yaitu
merendahkan diri kepada Allah Subhanahu wa Taala dengan
melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-
Nya karena rasa cinta dan mengagungkan-Nya. Kedua: Yang
disembah dengannya, yaitu meliputi segala sesuatu yang dicintai
dan diridhahi oleh Allah Subhanahu wa Taala berupa perkataan
dan perbuatan, yang nampak dan tersembunyi seperti, doa, zikir,
shalat, cinta, dan yang semisalnya. Maka melakukan shalat
misalnya adalah merupakan ibadah kepada Allah Subhanahu wa
Taala. Maka kita hanya menyembah Allah Subhanahu wa Taala
semata dengan merendahkan diri kepada-Nya, karena cinta dan
mengagungkan-Nya, dan kita tidak menyembahnya kecuali
dengan cara yang telah disyari'atkan-Nya.3
Dari pengertian di atas dapat dirinci bahwa ibadah mencakup
ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja
(mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah
(senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan
dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan
lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati). Sedangkan
shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan
hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan
dengan amalan hati, lisan dan badan.4
2Ibn Taimiyah,Al Ubudiyah, Maktabah Darul Balagh, hlm. 6 3 - Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri, Ringkasan Fiqih Islam, Pustaka Islamhouse,hlm.17 4- Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Quran dan As-Sunnah yang Shahih, Bogor : Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 3
-
3 | Studi Islam II Fikih Ibadah
3. Rukun Ibadah
Setiap ibadah yang dikerjakan oleh setiap hamba, harus menenuhi
tiga pilar pokok, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja (harapan). Rasa
cinta harus disertai dengan rasa rendah diri, sedangkan khauf harus
dibarengi dengan raja. Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-
unsur ini. Allah berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang
mukmin:
Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya. (QS.Al-Maa-
idah: 54)
Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cinta-nya kepada
Allah. (QS.Al-Baqarah: 165)
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam
(mengerjakan) kebaikan dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap
dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu kepada Kami. (QS.
Al-Anbiya: 90)
Mengenai tiga pilar ini, sebagian ulama salaf berkata , Siapa yang
beribadah kepada Allah dengan rasa cinta saja, maka ia adalah zindiq,5
siapa yang beribadah kepada-Nya dengan raja saja, maka ia adalah
murji.6 Dan siapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan khauf,
5. Zindiq adalah orang yang munafik, sesat dan mulhid. 6. Murji adalah orang murjiah, yaitu golongan yang mengatakan bahwa amal bukan bagian dari iman, iman hanya dalam hati.
-
4 | Studi Islam II Fikih Ibadah
maka ia adalah haruriy.7 Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya
dengan hubb, khauf, dan raja, maka ia adalah mukmin muwahhid.8
4. Syarat diterimanya ibadah
Melakukan amalan ibadah merupakan sebuah kewajiban bagi
setiap muslim; karena tujuan diciptakannya jin dan manusia adalah
untuk beribadah. Demikian itu sebagaimana yang difirmankan oleh
Allah azza wa jalla dalam Al-Quran (QS. Adz Dzariyat : 56).
Dan tidaklah Aku ciptakan seluruh jin dan seluruh manusia melainkan
untuk beribadah hanya kepadaKu. (QS. Adz Dzariyat : 56)
Agar amalan ibadah yang kita lakukan diterima oleh Allah, maka
harus mengikuti dua syarat, berikut ini:
a. Al-Ikhlash, yaitu berniat ikhlas kepada Allah Azza wa Jalla.
b. Al-Ittiba, yaitu mengikuti syariat Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi
wa Sallam.9
Dua syarat ini sebagaimana dijelaskan oleh oleh Allah dalam Al-
Quran (QS. Al Kahfi: 110),
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah
dia mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan seorangpun
dengan Rabb- nya. (QS. Al Kahfi: 110)
Di dalam ayat ini, Ibnu Katsir menafsirkan, bahwa maksud dari
firman Allah: ( ) adalah amal ibadah yang shaleh
merupakan bekal bagi siapa saja yang ingin berjumpa dengan Allah.
7.Haruriy adalah orang dari golongan khawarij yang pertama kali muncul di Harura, dekat Kufah, yang berkeyakinan bahwa orang mukmin yang berdosa besar adalah kafir. 8. Ibn Taimiyah, al-Ubuudiyyah, tahqiq Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid al-Halaby al-Atsar, Maktabah Darul Ashaalah 1416 H, hlm.161-162 9. Ibnu Rajab, Jami al-Ulum wa al-Hikam, tahqiq oleh Syuaib Al Arnauth dan Ibrahim Bajis, Saudi Arabia: Muassassah ar-Risalah, 1419H. , hlm. 12.
-
5 | Studi Islam II Fikih Ibadah
Amal ibadah tersebut tidak akan pernah diterima, kecuali sesuai dengan
syariat Allah, yaitu dengan mengikuti petunjuk Rasulallah Shalallahu
Alaihi wa Sallam. Sementara maksud dari firman Allah: (
) adalah selalu ikhlas dalam beramal, yaitu hanya mencari ridha Allah
dan tidak berbuat syirik pada-Nya. Kemudian Ibn Katsir menegaskan,
Inilah dua rukun diterimanya ibadah, yaitu harus ikhlas karena Allah
dan mengikuti petunjuk Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam.10
Pendapat Ibn Katsir tersebut, dikuatkan dengan atsar sahabat Ali
bin Abi Thalib, Ibn Masud, Hasan, Said bin Zubair, dan sahabat yang
lainnya. Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh Sufyan Ats Tsaury berikut
ini:
"
Artinya: Para ulama berkata: Tidak akan lurus perkataan kecuali
dengan perbuatan, tidak akan lurus perkataan dan perbuatan kecuali dengan niat
dan tidak akan sempurna perkataan dan perbuatan serta niat kecuali dengan
mengikuti sunnah Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam.11
Dalam menyikapi dua syarat diterimanya amalan ibadah tersebut,
manusia dibagi menjadi empat golongan. Hal itu sebagaimana yang
dijelaskan oleh Ibnu Qayyim dalam Madarij al-Salikin (1/95-97), yang
kesimpulannya adalah sebagai berikut:
1. Kelompok Muwahid, yaitu orang yang dalam amalannya
menyempurnakan kedua syarat di atas, yakni ikhlas dan mutabaah,
secara terintegrasi. Mereka adalah orang-orang menyembah kepada
Allah dengan sebenar-benarnya. Karena mereka mengikhlaskan
amalan mereka hanya kepada Allah, dengan mengikuti syariat
Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam. Mereka tidak beramal untuk
10Ibn Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Adzim, Maktabah Darus Salam, Volume III, hlm. 120-
121 11Ibnu Rajab, Jmi al-Ulm wa al-Hikam, tahqiq oleh Syuaib Al Arnauth dan Ibrahim
Bajis, Saudi Arabia: Muassassah ar-Risalah, 1419H. , hlm. 9, Al-Baghdadi, Iqtidha Al-Ilm Al-Amal, Beirut: Maktab Al-Islami, 1397H. , hlm. 29, Ibn Bathah Al-Ukbari, Al-Ibanah, Vol. 2, hlm. 803
-
6 | Studi Islam II Fikih Ibadah
manusia, karena mereka mengetahui bahwa pujian manusia sama
sekali tidak bisa mendatangkan manfaat, sebagaimana cercaan
mereka sama sekali tidak bisa mendatangkan kejelekan. Akan tetapi
mereka mengikhlaskan ibadah secara zhahir dan batin untuk Allah,
serta mereka jujur dalam mengikuti sunah Nabi Muhammad
Shalallahu Alaihi wa Sallam.
2. Kelompok Zindiq, yaitu orang yang kehilangan ikhlas dan Ittiba
dalam amalannya. Dengan demikian, kelompok ini melakukan
amalan hanya karena makhluk dan kepentingan duniawi, sehingga
mereka tidak lagi mementingkan Ittiba sunah Rasulallah Shalallahu
Alaihi wa Sallam dalam amalannya tersebut.
3. Kelompok Mubtadiah, yaitu orang yang beramal dengan ikhlas, tapi
tanpa Ittiba. Hal ini berawal dari kejahilan dalam mengamalkan
syariat, sehingga beribadah tanpa berdasarkan ilmu. Akibatnya,
kebanyakan dari mereka terjatuh dalam kebidahan, yaitu amalan-
amalan ibadah yang tidak dicontohkan oleh Rasulallah Shalallahu
Alaihi wa Sallam. Hasilnya, amalan yang mereka lakukan tidak
menambah dekat dengan Allah, tetapi amalan tersebut akan semakin
membuat mereka jauh dari Allah.
4. Kelompok Munafik, yaitu orang yang melakukan Ittiba dalam
amalannya, tetapi meninggalkan keikhlasan. Hal ini disebabkan
karena riya dan mencari tujuan duniawi yang sifatnya fana, sehingga
amalan ibadahnya mengharapkan pujian manusia, dan kedudukan di
sisi mereka. Hasilnya, amalan-amalan tersebut adalah sia-sia di sisi
Allah.12
Dua syarat diterima suatu amalan ibadah tersebut, akan dijelaskan dalam
uraian berikut ini:
1. Al-Ikhlas
a. Pengertian (Tarif)
Ikhlas secara bahasa (lughah) memiliki beberapa makna, di antaranya
adalah sebagai berikut:
12 Ibnu Qayyim, Badai Al-Fawaid, Mekah: Maktabah Nizar Musthafa, 1416H. , Vol. 4,
hlm. 952, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, Vol. I, hlm. 95-97
-
7 | Studi Islam II Fikih Ibadah
1) Al-Tashfiyah, Al-tanqiyah, Al-Tahdzib, yaitu memurnikan sesuatu dari
segala macam campuran.
2) Al-Tauhid, yaitu mengesakan.
3) Al-Takhshish, yaitu mengkhususkan.
4) Al-Najah, yaitu selamat dari sesuatu.
5) Al-Ihsan, yaitu memperbaiki dan menyempurnakan.13
Adapun secara istilah, para ulama berbeda redaksi (ibarah) dalam
menggambarkanya, tetapi pada intinya sama. Ada yang berpendapat,
ikhlas adalah memurnikan tujuan ibadah untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah mengesakan Allah
dalam beribadah kepadaNya. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah
menyelamatkan ibadah dari pamer (riya) kepada makhluk. Ada pula
yang berpendapat, ikhlas adalah mensucikan amal dari sifat ujub, dan
segala macam penyakit hati (afat al-qulub).14
Al Harawi mengatakan: Ikhlas ialah, membersihkan amal dari
setiap noda. Ulama yang lain berkata, Seorang yang ikhlas ialah
seorang yang tidak mencari perhatian di hati manusia dalam rangka
memperbaiki hatinya di hadapan Allah, dan tidak suka seandainya
manusia sampai memperhatikan amalnya, meskipun hanya seberat biji
sawi (dzarrah).15 Sementara Fudhail bin Iyadh berkata: Meninggalkan
amal karena manusia adalah riya. Dan beramal karena manusia adalah
syirik. Dan ikhlas ialah, apabila Allah menyelamatkan kamu dari
keduanya.16 Said bin Zubair mengatakan: ikhlas adalah mensucikan
diri dalam melakukan amal dari segala sifat riya, dan menjadikan amalan
ibadah hanya karena Allah.17 Al-Qurthubi berkata:ikhlas adalah
memurnikan amalan ibadah dari campuran kepentingan duniawi.18 Ibn
Hajar Al-Ashqalani berkata: ikhlas bermakna ihsan, yaitu seseorang
13Muhammad Ibn Abi Bakar Al-Razi, Mukhtar Al-Shihah, Madinah Munawarah: Dar Al-
thaibah, 1987, hlm. 184, Ibn Faris, Mujam Maqayis Al-Lughah, Libanon: Dar Al-Fikr, 1415 H. , hlm. 327, hlm. 6, Ibn Hajar Al-Ashqalani, Fath Al-Bari, Riyadh: Dar Al-Salam, 1418 H. , Vol. 10, hlm. 589
14Abdul Lathif, Al-Ikhlash Wa Al-Syirk Al-Ashghar, Darul Wathan, 1412 H. , www. alabdullatif. islamlight. net, hlm. 5, Al-Ghazali, Ihya Ulum Al-Din, Beirut: Al-Maktabah Al-Ashriyah, 1420 H. , Vol. 4, hlm. 502
15Ibid 16Ibn Qayyim, Madarijus Salikin, Kairo: Darul Hadits, Vol. 2, hlm. 95-96 17Al-Marwazi, Tadzim Al-Shalat, Madinah Munawarah: Maktabah Al-Dar, 1406 H. ,
Vol. 2, hlm. 566 18Al-Qurthubi, Al-Jami li Ahkam Al-Quran, Kairo: Dar Al-Hadist, 1414 H. , Vol. 2, hlm.
151
-
8 | Studi Islam II Fikih Ibadah
melakukan amal ibadah, seakan-akan Ia melihat Allah, atau merasa
bahwa dirinya selalu dilihat oleh Allah.19
Dari uraian singkat pendapat para ulama di atas, dapat dikatakan
bahwa ikhlas adalah seseorang berniat dengan amal ibadahnya, hanya
untuk mendekatkan dirinya kepada Allah semata, bukan karena mencari
pujian manusia, atau mencari kepentingan duniawi. Dengan demikian,
seseorang akan selalu memperbaiki amalannya, dengan cara
mentauhidkannya dan tidak mensyirikkan amalan tersebut kepada selain
Allah.
b. Dalil-Dalil tentang Ikhlas
Adapun mengenai dalil-dalil yang menjelaskan tentang pentingnya
ikhlas dalam melakukan amalan ibadah, adalah terdapat di dalam Al-
Quran dan Al-Sunah.
Dalil-dalil dari Al-Quran tentang ikhlas adalah sebagai berikut:
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah
dia mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan seorangpun
dengan Rabb- nya. (QS. Al Kahfi: 110)
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya. (QS. Al-Bayyinah: 5)
19Ibn Hajar Al-Ashqalani, Fath Al-Bari, Riyadh: Dar Al-Salam, 1418 H. , Vol. 10, hlm.
589
-
9 | Studi Islam II Fikih Ibadah
Katakanlah: Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.
(QS. Al-Zumar: 11)
Padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya
yang harus dibalasnya, Tetapi (Dia memberikan itu semata-mata) Karena mencari
keridhaan Tuhannya yang Maha Tinggi. (QS. Al-Lail: 19 20)
Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk
mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan
tidak pula (ucapan) terima kasih. (QS. Al-Insaan: 9)
Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami
tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan
di dunia kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada
baginya suatu bagianpun di akhirat. (QS. Asy-Syuuraa: 20)
Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya
Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan
sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang
tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu. (QS.
Hud: 15-16)
-
10 | Studi Islam II Fikih Ibadah
Dalil-dalil dari Al-Sunah tentang ikhlas adalah sebagai berikut:
Dari Umamah, ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada
Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam seraya berkata, Bagaimanakah
pendapatmu (tentang) seseorang yang berperang demi mencari upah
dan sanjungan, apa yang diperolehnya? Rasulullah Shalallahu Alaihi wa
Sallam menjawab, Dia tidak mendapatkan apa-apa. Orang itu
mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali, dan Nabi Shallallahu 'alaihi
wa salalm selalu menjawab, orang itu tidak mendapatkan apa-apa (tidak
mendapatkan ganjaran), kemudian Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam
bersabda:
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menerima amal perbuatan,
kecuali yang ikhlas dan dimaksudkan (dengan amal perbuatan itu) mencari wajah
Allah.20
Dari Amirul Muminin, Abi Hafs Umar bin Al Khathab, dia
berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda:
.
Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya
setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang
hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya
karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya
maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.21
20HR Nasa-i, VI/25 dan sanad-nya jayyid sebagaimana perkataan Imam Mundziri
dalam At Targhib Wat Tarhib, I/26-27 no. 9. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib Wat Tarhib, I/106, no. 8.
21HR. Muslim, no: 1907
-
11 | Studi Islam II Fikih Ibadah
Di dalam Shahih Muslim dari hadits Abu Hurairah, sesungguhnya
Rasulallah saw bersabda, Allah berfirman (hadits qudsi):
Aku tidak membutuhkan sekutu, barangsiapa yang melakukan suatu amal
ibadah yang ia menyekutukan selain-ku bersama-Ku, niscaya Aku
meninggalkannya dan sekutunya.22
2. Al-Ittiba
a. Pengertian (Tarif)
Al-Ittiba secara bahasa bersumber dari mashdar ittabaa, yang
bermakna al-talwu, al-qafwu, al-itimam, yaitu mengikuti sesuatu.
Dikatakan mengikuti sesuatu jika berjalan mengikuti jejaknya dan
mengiringinya. Kata ini berkisar pada makna menyusul, mencari,
mengikuti, meneladani dan mencontoh. Dikatakan Ittiba kepada Al-
Quran, bermakna mengikutinya dan mengamalkan kandungannya. Dan
Ittiba kepada Rasul Shalallahu Alaihi wa Sallam, bermakna meneladani,
mencontoh dan mengikuti sunah-sunahnya.23
Adapun secara istilah syari, Al-Ittiba adalah mengikuti petunjuk
Rasulallah Shalallahu Alaihi wa Sallam, dalam melaksanakan amalan
ibadah, baik dalam keyakinan (itiqad), perkataan (qauliyah), perbuatan
(filiyah) dan di dalam perkara-perkara yang ditinggalkan.24
Ittiba kepada Rasulallah Shalallahu Alaihi wa Sallam, dalam
keyakinan akan terwujud dengan meyakini apa yang diyakini oleh
Rasulallah Shalallahu Alaihi wa Sallam. Ittiba kepada Rasulallah Shalallahu
Alaihi wa Sallam, dalam perkataan, akan terwujud dengan melaksanakan
kandungan dan makna-makna dari sabda Rasulallah Shalallahu Alaihi wa
Sallam,. Ittiba kepada Rasulallah Shalallahu Alaihi wa Sallam, dalam
perbuatan akan terwujud dengan meneladani semua apa yang telah
dilakukan Rasulullah dalam bentuk sunah filiyah.
22HR. Muslim, no. 29985 23Ibn Faris, Maqayis Al-Lughah, Vol. I, hlm. 362 24Ibn Qayyim, Al-Fawa;id,Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1393H. , hlm.199
-
12 | Studi Islam II Fikih Ibadah
Jadi, Ittiba merupakan konsekuensi syahadat yang kedua yaitu
Muhammad Rasulallah, persaksian bahwa Muhammad adalah utusan
Allah. Sebuah ikrar yang di dalamnya terdapat pengakuan atas kerasulan
Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam. Dengan demikian, syahadat
tersebut mengandung maksud bahwa risalah yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam adalah benar, sehingga harus
diimani dan diamalkan. Oleh karena itu, wajib bagi seorang muslim
untuk ittiba kepada Rasulallah Shalallahu Alaihi wa Sallam, dengan taat
terhadap apa yang diperintahkannya dan membenarkan apa yang
diberitakannya serta menjauhi apa yang dilarang dan diancamnya. Tidak
beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang beliau syariatkan.
b. Dalil-Dalil tentang Al-Ittiba
Adapun mengenai dalil-dalil yang menjelaskan tentang pentingnya
Ittiba dalam melakukan amalan ibadah, adalah terdapat di dalam Al-
Quran dan Al-Sunah.
Dalil-dalil dari Al-Quran,
Katakanlah, Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, niscaya Allah
akan mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian. Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. (QS. Ali Imran: 31)
Maka demi Rabbmu, mereka tidaklah beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. An-Nisa`: 65)
-
13 | Studi Islam II Fikih Ibadah
Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah engkau penuhi panggilan
Allah dan RasulNya, apabila Dia memanggil kepada apa-apa yang
menghidupkan kamu. (Al-Anfaal: 24)
Dan apa yang Rasululah datangkan kepada kalian maka ambillah dan
apa yang dilarang kepada kalian darinya maka jauhilah dan bertaqwalah kepada
Allah karena sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya. (QS. Al-Hasyr: 7)
Ya Allah, kami beriman dengan apa yang telah engkau turunkan, dan
kami telah mengikuti (Ittiba) Rasul, maka catatlah kami dalam golongan orang
yang bersaksi. (QS. Ali Imran: 53)
Dalil-dalil dari Al-Sunah,
Siapa yang taat kepadaku maka dia telah taat kepada Allah dan siapa
yang durhaka kepadaku maka dia telah durhaka kepada Allah. (HR.
Bukhari)
.
.
Semua umatku akan masuk jannah (surga), kecuali orang-orang yang
enggan. Para shahabat bertanya: Ya Rasulullah siapa orang enggan itu?
Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam menjawab: Barang siapa yang
mentaatiku maka dia kan masuk jannah, dan barang siapa yang memaksiatiku
maka sungguh dia telah enggan. (HR. Bukhari)
-
14 | Studi Islam II Fikih Ibadah
Artinya: Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada
asalnya dari agama kita maka amalan itu tertolak. (HR. Muslim)
Siapa saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-
apa yang bukan darinya maka dia tertolak. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.25
Saya berwasiat kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar,
dan taat (kepada pemerintah) walaupun (pemerintah tersebut) seorang budak
Habasyi. Karena sesungguhnya barangsiapa yang tetap hidup di antara kalian,
maka dia akan melihat perselisihan yang sangat banyak. Maka wajib atas kalian
(untuk mengikuti) sunnahku dan sunnah khulafa` yang mendapatkan hidayah
dan petunjuk. Berpegangteguhlah kalian dengannya serta gigitlah ia dengan gigi
geraham kalian. (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah dan
dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa`)
Dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu anhuma dari Nabi Shalallahu
Alaihi wa Sallam beliau bersabda:
25HR. Buhari, no. 631
-
15 | Studi Islam II Fikih Ibadah
Amma badu, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitab Allah, dan
sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad, dan sejelek-jelek perkara
adalah yang diada-adakan dan setiap yang diada-adakan adalah bidah dan setiap
bidah adalah kesesatan dan semua kesesatan berada dalam neraka. (HR.
Muslim dan An-Nasa`i)
c. Kriteria Amalan Yang Mutabaah
Ukuran yang menunjukkan bahwa kita telah mewujudkan Ittiba
kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam dalam ibadah, adalah
dengan terwujudnya 6 kriteria, sebagaimana berikut ini:
1) Sebab pelaksanaannya (as-sabab)
Dalam masalah ibadah, sebab pelaksanaannya harus sesuai dengan
apa yang telah ditetapkan oleh syariat, maka siapa saja yang beribadah
dengan sebab yang tidak sesuai dengan tuntunan syariat, maka ibadah
tersebut akan berubah menjadi perbuatan bidah. Sebagai contoh,
seseorang shalat dua rakaat disebabkan mendengar suara petir, atau
menyembelih hewan kurban sebab menyambut datangnya tahun baru
Masehi.
2) Jenis (an-nau/al-jinsu)
Dalam masalah ibadah, jenis yang dipilih harus sesuai dengan apa
yang telah ditetapkan oleh syariat, maka apabila ada yang
menyelisihinya, maka dampaknya akan terjadi penyimpangan ibadah.
Misalnya dalam masalah udhiyah (hewan kurban), syariat telah
menentukan jenisnya yaitu harus dari jenis bahimatul anam (onta, sapi,
domba, dan kambing). Bila ada seseorang yang berkurban (udhiyah)
dengan jenis kuda atau ayam, maka ibadah kurbannya tersebut tidak sah,
bahkan digolongkan dalam amal bidah.
-
16 | Studi Islam II Fikih Ibadah
3) Ukuran (al-qadr)
Dalam masalah ibadah, ukurannya harus sesuai dengan apa yang
telah diukur oleh syariat, maka apabila ada seseorang yang shalat
Zhuhur 6 rakaat atau shalat magrib 7 rakaat, maka shalat Zhuhurnya
dan Magribnya tersebut, tidak diterima karena menyelisihi syariat.
4) Sifat (as-sifat)
Dalam masalah ibadah, sifatnya harus sesuai dengan apa yang
telah disifati oleh syariat, maka ada orang yang wudhu menyelisihi sifat
wudhu Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam seperti
mendahulukan mencuci kaki sebelum mencuci wajah atau seseorang
yang mengawali shalat dengan salam, dan mengahiri dengan takbiratul
ihram-, maka kedua ibadah seperti ini tidak akan diterima, karena
menyelisihi sunah Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam.
5) Waktu Pelaksanaannya (al-zaman/al-waqtu)
Dalam masalah ibadah, waktu pelaksanaannya harus sesuai
dengan apa yang telah ditetapkan oleh syariat, maka apabila ada orang
yang menyembelih udhhiyahnya sebelum shalat idul Adh-ha, maka tidak
dianggap sebagai udhhiyah. Karena waktu disyariatkannya udhhiyah
(menyembelih) di hari Iedul Adhha adalah setelah shalat Ied, bukan
sebelumnya.
6) Tempat Pelaksanaannya (al-makan)
Dalam masalah ibadah, tempat pelaksanaannya harus sesuai
dengan apa yang telah tentukan oleh syariat, maka apabila ada orang
yang beritikaf di kamar rumahnya atau pergi melakukan thawaf kepada
Allah di kuburan. Kedua ibadah ini tidak akan diterima, karena itikaf
tempat disyariatkannya adalah di masjid. Sedangkan thawaf hanya
diperbolehkan di Kabah.26
d. Urgensi Niat dalam Ibadah
Islam sangat memperhatikan masalah niat, karena niat adalah ruh
amal ibadah dan inti sarinya (lubb). Perbuatan tanpa niat bagaikan jasad
26Muhammad bin Shalih bin 'Utsaimin, Al-Ibda' fi Kamaalisy-Syar'i wa Khothrul-
Ibtida', hm. 21-23
-
17 | Studi Islam II Fikih Ibadah
tanpa ruh, sehingga dapat dikatakan amalan tanpa niat ikhlas adalah
tiada bermakna, dan menghilangkan pahala dari kebaikan yang
dilakukan. Bahkan Imam Syafii menegaskan, bahwa niat adalah
mencakup sepertiga ilmu agama ini, dan merangkum 70 (tujuh puluh)
bab fiqih. Lebih dari itu, Ibnu Rajab mengatakan bahwa niat adalah pilar
agama, tanpa niat agama ini akan runtuh.27
Oleh karena itu, niat adalah fondasi dasar (asas) dari amalan
ibadah, yang dapat membedakan antara sah, dan rusaknya suatu ibadah,
atau diterima dan ditolaknya suatu amalan ibadah. Perbuatan bisa
dikatakan sah jika niatnya juga sah, begitu juga sebaliknya, jika niatnya
rusak, maka amalannya juga dikatakan rusak, tentunya hal ini sangat
menentukan kesesuaian dengan balasan yang akan diterima di dunia dan
di akhirat.28
Ibn Qayyim mengibaratkan niat yang ikhlas, bagaikan sebatang
pohon yang tertanam di dalam hati, yang cabang-cabangnya adalah
amal-amal, sedangkan buah-buahannya adalah baiknya kehidupan dunia
dan surga yang penuh dengan kenikmatan di akherat. Sebagaimana
buah-buahan di surga tidak akan akan habis dan tidak terlarang untuk
dipetik, maka buah dari niat yang berupa tauhid dan keikhlasan di dunia
pun akan tetap mengalir. Adapun syirik, kedustaan, dan riya adalah
pohon yang tertanam di dalam hati yang buahnya di dunia adalah
berupa rasa takut, kesedihan, gundah gulana, rasa sempit di dalam dada,
dan gelapnya hati, dan buahnya di akherat nanti adalah berupa buah
Zaqqum dan siksaan yang terus menerus. Allah telah menceritakan
kedua macam pohon ini di dalam surat Ibrahim ayat 24-26 berikut ini,29
27Ibnu Rajab, Jmi al-Ulm wa al-Hikam, tahqiq oleh Syuaib Al Arnauth dan Ibrahim
Bajis, Saudi Arabia: Muassassah ar-Risalah, 1419H. , hlm. 9 28 Ibn Qayyim al-Jauziyah, Ilam al-Muwaq-qiin, Kairo: Maktabah Ibn Taimiyah, Vol. 4,
hlm. 250 29Ibn Qayyim al-Jauziyah, al-Fawaid, hlm. 158
-
18 | Studi Islam II Fikih Ibadah
Tidakkah kamu kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat
perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan
cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap
musim dengan seizin Rabbnya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu
untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang
buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari
permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun. (QS. Ibrahim: 24-26)
Pengertian (Tarif) Tentang Niat
Niat secara lughah berasal dari kata an-nawa ( ), yang bermakna
al-qashdu (bermaksud), al-iradah (berkeinginan), al-azimah (bertujuan), al-
ibtigha (mencari).30 Adapun niat menurut istilah syari adalah keinginan
melakukan ketaatan kepada Allah, yang diiringi dengan melaksanakan
perbuatan atau meninggalkannya.31
Dalam Al-Quran banyak menjelaskan masalah niat dalam
beberapa nash dan istilah yang beragam, walaupun niat tidak disebutkan
secara langsung, tetapi substansinya berpusat pada niat, tujuan dan
keikhlasan. Firman Allah Subhanahu wa Taala dalam al-quran surat al-
Bayyinah ayat ke-5 dan Surat al-Zumar ayat 2 dan 11, Surat al-Araf ayat
29, Surat al-Ghafir ayat 14 dan 65, dan Surat Luqman ayat 32. Di dalam
ayat-ayat tersebut, secara detail menjelaskan tentang urgensi ikhlas
sebagai ruh dari sebuah niat. Niat juga diungkapkan dengan
menggunakan istilah al-iradah (keinginan). Hal ini dapat dilihat di dalam
Al-Quran Surat al-Isra ayat 19, al-Furqan ayat 62, al-Qoshash ayat 19,
al-Baqarah ayat 233 dan 228, Surat Hud ayat 88. Di dalam ayat-ayat
30Muhammad Ibn Abi Bakar Al-Razi, Mukhtar Al-Shihah, Madinah Munawarah: Dar Al-
thaibah, 1987, hlm. 687, Ibnu Manzhur, Lisanul Arab, Beirut: Daar Ihya at Turats al-Arabi, Vol. 14, hlm. 343
31Ibid
-
19 | Studi Islam II Fikih Ibadah
tersebut al-iradah diungkapkan dalam makna yang berbeda-beda dalam
konteks yang beragam pula, tetapi semua iradah (keinginan) tersebut
dikembalikan pada niat dan tujuan. Niat juga diungkapkan dengan kata
al-ibtigha (tujuan, sasaran atau target). Misalnya di dalam Al-Quran surat
an-Nisa ayat 94, at-Tahrim ayat 1, al-Qashash ayat 55, dan Ali Imran
ayat 5 dan ayat 85, dan di dalam surat al-Rad ayat 22 dan al-Isra ayat
28. Di dalam ayat-ayat tersebut al-ibtigha muncul dalam konteks
larangan maupun perintah. Dengan demikian, perbuatan yang
diperintahkan membutuhkan niat, perbuatan yang dilarang pun juga
membutuhkan niat.
Adapun dalam pandangan Al-Sunah, niat selalu dikaitkan dengan
maksud dan tujuan seseorang dalam melakukan amalan ibadah. Jika
tujuannya karena Allah maka hal itu disebut ikhlas, dan jika karena
manusia atau kepentingan duniawi, maka niat tersebut berubah menjadi
riya. Selain itu, Rasulallah Shalallahu Alaihi wa Sallam menjadikan niat
sebagai salah satu syarat sahnya suatu amalan, sehingga suatu amalan
tiada bernilai pahala jika tanpa disertai dengan niat. Hal itu sebagaimana
yang dijelaskan dalam hadist Umar bin Khatthab berikut ini.
.
Dari Amir al-Muminn, Abu Hafsh Umar bin al-Khaththab ra, dia
berkata bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya setiap amal
perbuatan tergantung pada niatnya dan setiap orang pun (akan dibalas) sesuai
dengan yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-
Nya, maka hijrahnya sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang-siapa
yang hijrahnya karena urusan duniawi yang ingin digapainya atau karena seorang
wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang
diniatkannya tersebut. (HR. Buhari dan Muslim)
-
20 | Studi Islam II Fikih Ibadah
Fungsi Niat (Fawaid al-Niyah) dalam Ibadah
Fungsi niat dalam amalan ibadah ada dua perkara, yaitu:
1. Pertama: membedakan antara ibadah dengan adat (tamyiz al-ibadat an
al-adat). Misalnya seseorang duduk di masjid untuk istirahat atau
itikaf, hal ini dapat dibedakan dengan niatnya. Demikian juga
menyerahkan harta kepada orang lain, apakah akadnya hibah,
hadiyah, atau wadiah, atau zakat, sedekah biasa atau sebagai
kaffarat. Semua itu, akan dibedakan dengan niatnya.
2. Kedua, membedakan antara peringkat ibadah yang satu dengan
ibadah yang lainnya (tamyiz mzrztib zl-ibadat badhuha min badhin).
Misalnya macam-macam shalat ada yang fardhu dan ada pula yang
sunnah, demikian juga apakah bersifat qadha atau ada.32
Waktu Niat dan Tempatnya
Menukil kesepakatan ulama, Ibnu Taimiyyah mengemukakan
bahwa waktu niat itu di awal melakukan amalan ibadah. Adapun tempat
niat adalah di hati, bukan diucapkan dengan lisan,33 kecuali waktu
tertentu yang disunahkan untuk melafazkan niat, seperti ketika haji dan
umrah, dengan mengatakan: "Labbaik Allahumma Hajjan" (Ya Allah, aku
penuhi panggilan-Mu untuk haji), atau "Labbaik Allahumma 'Umratan"
(Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk umrah), sehingga apa yang
ada dalam hati dikuatkan dengan kata-kata yang dilafazkan. Sebab
Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam melafazkan niat haji dan juga
melafazkan niat umrah. Maka demikian ini sebagai dalil disyariatkannya
melafazkan niat karena mengikuti Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam.
Sebagaimana para sahabat juga melafazkan demikian itu seperti
diajarkan oleh Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam dan mereka
mengeraskan suara mereka.34
32Al-Zarkasyi, Al-Mantsur, Kuwait: Wuzarah Al-Auqaf Kuwait, 1405H. , Vol. 2, hlm.
285, IbnU Rajab, Jmi al-Ulm wa al-Hikam, tahqiq oleh Syuaib Al Arnauth dan Ibrahim Bajis, Saudi Arabia: Muassassah ar-Risalah, 1419H. , hlm. 9
33 Ibn Taimiyyah, Majmu Fatawa, Vol. 26, hlm. 21-24. 34Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-
Ulama Besar Saudi Arabia, Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi'i, hlm. 80 83
-
21 | Studi Islam II Fikih Ibadah
Besar Kecilnya Pahala Amalan Dzahir Tergantung Pada Kualitas
Niatnya
Niat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pahala amalan
dzahir yang kita lakukan, semakin niatnya ikhlas, semakin besar pula
pahala yang akan kita dapatkan. Demikian juga sebaliknya, niat yang
salah akan mempengaruhi rusaknya amalan yang kita lakukan, dan
menghapus pahalanya. Oleh karena itu, menata niat sebelum melakukan
amal adalah amat penting, sehingga amalan yang dilakukan terjaga
pahalanya dan kualitasnya. Lebih jelasnya, kita tadaburi firman Allah
berikut ini:
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai
(keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.
(QS. Al-Hajj: 37)
Dari ayat di atas, menunjukkan bahwa amalan dzahir yang berupa
penyembelihan hewan kurban, ditentukan oleh kualitas niat dalam
hatinya yang terwujud dalam bentuk ketaqwaan, sehingga bentuk dzahir
berupa daging dan darah hewan kurban tidak sampai pada Allah, tetapi
niatnya itulah yang sampai pada keridhaan Allah. Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata:
Sesungguhnya amalan-amalan lahiriah (dzohir) nilainya menjadi besar
atau menjadi kecil sesuai dengan apa yang ada di hati, dan apa yang ada di hati
bertingkat-tingkat. Tidak ada yang tahu tingkatan-tingkatan keimanan dalam
hati-hati manusia kecuali Allah.
-
22 | Studi Islam II Fikih Ibadah
Sesungguhnya amalan-amalan berbeda-beda tingkatannya sesuai dengan
perbedaan tingkatan keimanan dan keikhlasan yang terdapat di hati. Dan sungguh
ada dua orang yang berada di satu shaf sholat akan tetapi perbedaan nilai sholat
mereka berdua sejauh antara langit dan bumi.35
Salah satu rahasia kenapa Allah menjadikan sedikit infaq yang
dikeluarkan oleh para sahabat Nabi lebih tinggi nilai pahalanya, dari
pada beribu-ribu ton emas yang kita sedekahkan. Hal itu dikarenakan,
kualitas niat para sahabat sangatlah tinggi, sementara kualitas niat kita
tidak sebanding dengan niat mereka. Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi
wa Sallam pernah bersabda,
Janganlah kalian mencela para sahabatku, kalau seandainya salah seorang
dari kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud maka tidak akan menyamai infaq
mereka (kurma atau gandum sebanyak-pen) dua genggam tangan atau segenggam
tangan. (HR. Bukhari dan Muslim)
Al-Baydhawi mensyarah hadist ini, seraya berkata:
Makna hadits ini adalah salah seorang dari kalian meskipun menginfakan
emas sebesar gunung Uhud maka tidak akan meraih pahala dan karunia
sebagaimana yang diraih oleh salah seorang dari mereka (para sahabat) meskipun
35-Ibn Taimiyah, Minhaj alSunnah, Vol. 6, hl. 136-137
-
23 | Studi Islam II Fikih Ibadah
hanya menginfakan satu mud makanan atau setengah mud. Sebab perbedaan
tersebut adalah karena (mereka) yang lebih utama (yaitu para sahabat) disertai
dengan keikhlasan yang lebih dan niat yang benar.36
Walhasil, niat yang berkualitas akan mempengaruhi kualitas suatu
amalan ibadah yang kita amalkan. Dengan demikian, niat adalah bagian
yang amat penting dalam struktur amal, sehingga baik tidaknya amal
adalah ditentukan pada niat pelakunya.
36Redaksi ini sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari, Vol. 7, hlm. 34
-
24 | Studi Islam II Fikih Ibadah
BAB II
FIKIH SHALAT
1. Kedudukan Shalat dalam Islam
Islam telah mengagungkan kedudukan shalat, menempatkannya
dalam posisi yang mulia yaitu sebagai rukun Islam yang paling agung
setelah dua kalimat syahadat. Dari Ibnu Umar Radhiallahu anhuma
bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam
bersabda, "Islam itu didirikan atas lima pondasi, bersaksi bahwa tiada
Tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya kecuali Allah
Shubhanahu wa TaalLa dan bersaksi bahwa Muhammad Shalallahu Alaihi
Wa Sallam adalah utusan Allah Shubhanahu wa Taalla, mendirikan shalat,
menunaikan zakat , berhaji dan melaksnakan puasa ramadhan.
Shalat juga merupakan ibadah pertama yang akan dipertanggung-
jawabkan di hadapan Allah Shubhanahu wa Taalla pada hari kiamat. Dari
Abdullah bin Qarth Radhiallahu anhu bahwa Nabi Muhammad Shalallahu
Alaihi Wa Sallam bersabda, "Amal ibadah yang pertama yang akan
dihisab oleh Allah pada hari kiamat adalah shalatnya, jika shalatnya baik
maka baiklah seluruh amalannya yang lain dan jika shalatnya rusak maka
rusaklah seluruh amalannya yang lain.
Shalat juga sebagai pembeda antara seorang muslim dengan orang
yang kafir. Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu anhu bahwa Nabi
Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Di antara seseorang
dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.
Shalat juga sebagai tameng yang melindungi seseorang dari
kemaksiatan. Allah berfirman: "Dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu
mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. (QS. Al-Ankabut:
45)
Shalat juga sebagai alat yang dapat menghapuskan dosa. Dari Abi
Hurairah Radhiallahu anhu bahwa Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa
-
25 | Studi Islam II Fikih Ibadah
Sallam bersabda: Bagaimanakah pendapat kalian jika ada sebuah sungai
di hadapan pintu salah seorang di antara kalian dan dia mandi padanya
lima kali sehari, maka apakah akan ada daki yang tertinggal pada
badannya? Para shahabat berkata: Tidak ada daki yang tertinggal pada
jasadnya. Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Itulah
perumpamaan shalat lima waktu di mana Allah Taala menghapuskan
kesalahan dengannya.37
Shalat juga merupakan pesan terakhir, yang diwasiatkan Rasulullah
Shalallahu Alaihi wa Sallam pada umatnya, saat beliau menghadapi
sakaratul maut adalah: Jagalah shalat, jagalah shalat dan budak-budak
yang kalian miliki.
2. Ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat
Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, maka ia telah
kufur. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Hal itu berdasarkan dalil
berikut ini :
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu anhu, bahwa
Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda
Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan dan
kekafiran adalah meninggalkan shalat. (HR. Muslim).
Diriwayatkan dari Buraidah bin Al Hushaib Radhiallahu anhu, ia
berkata: aku mendengar Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam
bersabda:
Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, barangsiapa yang
meninggalkannya maka benar benar iatelah kafir. (HR.Abu Daud,
Turmudzi, An Nasa'i, Ibnu Majah dan Imam Ahmad)
Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam telah berwasiat:
37Shahih Bukhari 1/184 no: 528 dan shahih Muslim 1/463 no: 667
-
26 | Studi Islam II Fikih Ibadah
Janganlah kamu berbuat syirik kepada Allah sedikitpun, dan janganlah
kamu sengaja meninggalkan shalat, barangsiapa yang benar-benar dengan
sengaja meninggalkan shalat maka ia telah keluar dari Islam.
Adapun kosekwensi hukum yang berlaku karena kufur (keluar
dari Islam), yaitu :
a. Kehilangan haknya sebagai wali, karena syarat perwalian adalah
harus Islam dan adil.
b. Kehilangan haknya untuk mewarisi harta kerabatnya. Hal itu
berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid
Radhiallahu anhu, Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
Tidak boleh seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak boleh orang
kafir mewarisi orang muslim. (HR.Bukhari dan Muslim)
c. Dilarang baginya untuk memasuki kota Makkah dan tanah haram.
Berdasarkan firman Allah Subhaanahu wa Taalla:
Hai orang orang yang beriman, sesungguhnya orang- orang musyrik itu najis,
maka janganlah mereka mendekati Al Masjidil Haram sesudah tahun
ini (QS. At Taubah: 28)
d. Diharamkan makan hewan sembelihannya. karena salah satu syarat
penyembelihannya adalah bahwa penyembelihnya harus seorang
muslim, adapun orang murtad, paganis, majusi, dan sejenisnya, maka
sembelihan mereka tidak halal.
-
27 | Studi Islam II Fikih Ibadah
e. Tidak boleh dishalatkan jenazahnya dan tidak boleh dimintakan
ampunan dan rahmat untuknya. Berdasarkan firman Allah
Subhaanahu wa Taalla:
Dan janganlah kamu sekali-kali menshalatkan (jenazah) seorang yang mati
di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburannya,
sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka
mati dalam keadaan fasik. (QS. At -Taubah: 84)
f. Dilarang menikah dengan wanita muslimah. Karena orang kafir
tidak boleh menikahi wanita muslimah, berdasarkan nash dan ijma.
Allah Subhaanahu wa Taallaberfirman:
Hai orang-orang yang beriman, apabila perempuan perempuan yang beriman
datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka,
Allah lebih mengetahui tentang mereka, jika kamu telah mengetahui bahwa
mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka
kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir, mereka tidak halal bagi
orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka
(QS. Al Mumtahanah: 10)
g. Keutamaan shalat berjamaah
Pahala shalat berjama`ah melebihi pahala shalat sendirian dua
puluh tujuh derajat.
-
28 | Studi Islam II Fikih Ibadah
:
Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam
bersabda : Shalat berjama`ah lebih utama daripada shalat sendirian dua
puluh tujuh derajat. (HR. Buhari dan Muslim)
Pahala shalat berjamaah melampui pahala shalat malam
((
.)) .
Dari Utsman bin `Affan Radhiallahu anhu berkata: Saya telah
mendengar Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
Barangsiapa yang shalat Isya dengan berjama`ah maka seakan-akan ia
shalat seperdua malam, dan barangsiapa yang shalat Shubuh dengan
berjama`ah maka seakan-akan ia shalat sepanjang malam. (HR.
Muslim)
Setiap langkah yang diayunkan seorang muslim untuk
menegakkan shalat berjama`ah terhitung disisi Allah sebagai
pahala dan ganjaran baginya. Tidaklah setiap ayunan langkahnya
melainkan terangkat baginya satu derajat dan dihapuskan satu
dosa untuknya. Sebagaimana hadits yang terdapat di dalam
shahihain.
:
-
29 | Studi Islam II Fikih Ibadah
Dari Abu Hurairah Radhiallahu anhu berkata: Rasululah Shalallahu
Alaihi wa Sallam bersabda: Pahala shalat seseorang yang berjamaah
melebihi pahala shalat sendirian di rumahnya dan dipasarnya dua puluh
lima kali lipat. Yang demikian itu apabila ia berwudhu` dengan sebaik-
baiknya, kemudian ia pergi menuju masjid, tidak ada tujuan lain kecuali
untuk shalat berjama`ah maka tidaklah setiap langkah yang
diayunkannya melainkan terangkat baginya satu derajat dan dihapuskan
untuknya satu dosa, apabila ia melakukan shalat berjama`ah maka para
malaikat senantiasa mendoakannya selama ia masih berada di tempat
shalatnya dan juga ia belum berhadats. Para Malaikat berdoa:
Allahumma shalli `alaihi, Allahummarhamhu (Ya Allah, Ampunilah
dia dan rahmatilah). Dan tetap ia dianggap shalat selama ia menunggu
waktu shalat berikutnya tiba. (HR. Buhari)
Seseorang yang istiqamah shalat berjama`ah dijamin terlepas dari
sifat nifaq.
-
30 | Studi Islam II Fikih Ibadah
.
.
Dari Ibnu Mas`ud Radhiallahu anhu berkata: Barangsiapa yang ingin
bertemu dengan Allah kelak (dalam keadaan) sebagai seorang muslim,
maka hendaklah dia memelihara shalat setiap kali ia mendengar
panggilan shalat. Sesungguhnya Allah telah mensyariatkan sunnanal huda
(jalan-jalan petunjuk) dan sesungguhnya shalat berjama`ah merupakan
bagian dari sunnanil huda. Apabila kamu shalat sendirian di rumahmu
seperti kebiasaan shalat yang dilakukan oleh seorang mukhallif (yang
meninggalkan shalat berjama`ah) ini, berarti kamu telah meninggalkan
sunnah nabimu, apabila kamu telah meninggalkan sunnah nabimu,
berarti kamu telah tersesat. Tiada seorang pun yang bersuci (berwudhu`)
dengan sebaik-baiknya, kemudian dia pergi menuju salah satu masjid
melainkan Allah mencatat baginya untuk setiap langkah yang
diayunkannya satu kebajikan dan diangkat derajatnya satu tingkat dan
dihapuskan baginya satu dosa. Sesungguhnya kami berpendapat, tiada
seorang pun yang meninggalkan shalat berjama`ah melainkan seorang
munafik yang jelas-jelas nifak. Dan sesungguhnya pada masa dahulu ada
seorang pria yang datang untuk shalat berjama`ah dengan dipapah oleh
dua orang laki-laki sampai ia didirikan di dalam barisan shaff shalat
berjama`ah. (HR. Muslim)
Orang yang shalat berjama`ah terbebas dari segala perangkap
syaithan
-
31 | Studi Islam II Fikih Ibadah
Dari Abu Darda Radhiallahu anhu berkata: Saya telah
mendengar Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
Tidaklah dari tiga orang yang berada di sebuah perkampungan maupun
sebuah dusun dan mereka tidak mendirikan shalat berjama`ah di
dalamnya, melainkan syaithan telah menguasai diri mereka. Maka
hendaklah atas kamu bersama jama`ah, sesungguhnya srigala hanya
menerkam kambing yang terpisah dari kawannya. (HR. Abu Daud)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu anhu bahwa Rasulullah Shalallahu
Alaihi wa Sallam bersabda: Siapa yang datang ke masjid pagi-pagi
atau setelah matahari tergelincir (maksudnya lebih awal dari waktu
shalat), Allah menyediakan baginya tempat di surga setiap kali dia
datang. (HR. Bukhari dan Muslim)
Melakukan shalat berjamaah berarti ia merealisasikan shalat pada
waktunya.
.
. .
. .
-
32 | Studi Islam II Fikih Ibadah
Dari Abdullah bin Mas`ud Radhiallahu anhu berkata: Saya
bertanya kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam, Apakah
amal yang paling disukai Allah ?, jawab Rasulullah Shalallahu Alaihi
wa Sallam: Shalat pada waktunya. Saya bertanya: Kemudian apa
lagi?, jawab Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam: Berbakti
kepada kedua orang tua. Saya bertanya: Kemudian apa lagi?, jawab
Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam: Berjihad di jalan Allah.
Berkata Abdullah bin Mas`ud Radhiallahu anhu, Rasulullah Shalallahu
Alaihi wa Sallam menyampaikan semuanya itu kepadaku, seandainya
aku meminta penjelasan lebih dari itu, niscaya beliau akan
menambahkannya. (HR. Al Bukhari)
Berjalan menuju masjid untuk berjamaah bisanya dilakukan
dengan tenang
((
.
.)) .
Dari Abu Qatadah Radhiallahu anhu berkata: Ketika kami sedang
shalat bersama-sama Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam, tiba-tiba
kami mendengar suara hiruk pikuk. Maka Rasulullah Shalallahu
Alaihi wa Sallam bersabda: Apa yang terjadi dengan kalian, jawab
mereka : Kami tergesa-gesa hendak shalat. Sabda Rasulullah
Shalallahu Alaihi wa Sallam: Jangan kalian lakukan itu, apabila
kamu pergi shalat, berjalanlah dengan tenang. Apa yang kamu dapati
dalam shalat ikutilah, dan apa yang kamu ketinggalan, sempurnakanlah
kemudian. (HR. Muslim)
Allah menjadi saksi atas setiap orang yang memelihara shalat
berjama`ah di masjid dengan penuh keimanan. Firman Allah
Subhanahu wa Taalla :
-
33 | Studi Islam II Fikih Ibadah
Hanyalah yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah ialah orang-orang
yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan
shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain
Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan
orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. At-Taubah : 18)
Berharap agar amin yang diucapkan dapat berbarengan
dengan aminnya imam dan aminnya para malaikat.
. .
Dari Abu Hurairah Radhiallahu anhu bahwa Rasulullah Shalallahu
Alaihi wa Sallam bersabda: Apabila Imam membaca Amin, maka
ucapkan pula Amin olehmu. Barangsiapa yang ucapan Aminnya
berbarengan dengan ucapan Aminnya malaikat, diampuni segala
dosanya yang telah lalu. (HR. Bukhari dan Muslim)
h. Hikmah shalat berjamaah
Disyariatkannya shalat berjamaah, tentu memiliki banyak hikmah.
Di antaranya adalah sebagaimana berikut:
Pertama: Mamperlihatkan syiar Islam, yaitu syiar shalat, sebab
seandainya manusia tetap melaksanakan shalat di rumah mereka maka
tidak ada yang mengetahui bahwa di sana ada syariat shalat.
Kedua: Menjalin kasih sayang sesama manusia, sebab saling bertemu
dengan manusia dan saling berjabatan tangan akan melahirkan rasa kasih
sayang dan saling mencintai. Diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam
-
34 | Studi Islam II Fikih Ibadah
kitab shahihnya dari Abi Hurairah Radhiallahu anhu bahwa Nabi
Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda: Kalian tidak akan
masuk surga sehingga kalian beriman, dan tidak akan beriman sehingga
kalian saling mencintai, tidakkah aku tunjukkan kepada kalian suatu
amalan yang apabila kalian kerjakan maka kalian akan saling mencintai?.
Sebarkanlah salam di antara kalian.38
Ketiga: Terbentuknya rasa persamaan sesama manusia. Sebab di
dalam mesjid akan berkumpul orang yang paling kaya di samping orang
yang paling miskin, seorang penguasa bersebelahan dengan rakyat,
seorang hakim berjejer bersama orang yang dihakimi dan anak-anak atau
remaja berdampingan dengan orang yang sudah tua, dengan ini maka
akan tercipta rasa persamaan, oleh karena itulah Rasulullah Shalallahu
Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk meluruskan shaf. Dan Nabi
Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda: Luruskanlah shaf dan
janganlah kalian bershaf bengkok sehingga hati-hati kalian menjadi
berselisih.39
Keempat: Akan terbentuk rasa peka dengan keadaan orang lain. Peka
dengan keadaan orang-orang fakir dan orang-orang yang sakit serta
keadaan orang yang meremehkan shalat. Sebab jika keadaan orang yang
fakir diketahui oleh jamaah mesjid maka mereka akan bersedekah
kepadanya dan menghiburnya, begitu juga jika seseorang tidak
menghadiri shalat berjamaah maka para jamaah akan mengetahui jika
dia sakit, sehingga dengan ini para jamaah akan membantunya, atau jika
ada salah seorang jamaah yang meremehkan shalat berjamaah maka
mereka akan menasehatinya dengan segera.40
i. Hukum shalat berjamaah
Shalat berjama`ah hukumnya wajib, ini pendapat mayoritas ulama.
Kewajiban ini berlaku atas setiap muslim laki-laki, baik ia dalam keadaan
menetap maupun dalam perjalanan, dalam keadaan aman maupun
dalam keadaan genting. Hal itu berdasarkan dalil-dalil dari Al Qur`an
dan As-Sunnah dan pendapat Ahlu Ilmi. Di antara dalil-dalil tersebut
adalah :
38Muslim: no: 54 39Shahih Muslim: no: 432 40- Dr. Amin bin Abdullah asy-Syaqawi, Shalat Jamaah, Pustaka Islamhouse,2010,hlm.8
-
35 | Studi Islam II Fikih Ibadah
Firman Allah Subhaanahu wa Taalla yang memerintahkan Nabi-
Nya untuk mendirikan shalat berjama`ah di dalam keadaan yang
genting :
Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu
kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah
segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata,
kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah
menyempurnakan seraka'at), maka hendaklah mereka pindah dari
belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan
yang kedua yang belum bershalat, lalu bershalatlah mereka denganmu, dan
hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. (QS. An-
Nisa: 102)
Ayat ini menegaskan bahwa dalam keadaan kecamuk perang,
Allah masih mewajibkan untuk tetap melakukan shalat dengan
cara berjamaah. Apalagi dalam keadaan aman, tentu shalat yang
dilakukan dengan berjamaah akan lebih wajib.
Firman Allah Subhaanahu wa Taalla:
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku'lah bersama
orang-orang yang ruku'. (QS.Al-Baqarah:43)
Ayat ini merupakan nash yang menunjukan hukum wajibnya
shalat berjama`ah, indikasinya adalah dikaitkan dengan lafadz
akhir ayat tersebut yang berbunyi: Warka`uu ma`ar raaki`iin.
Yang artinya perintah melaksanakan shalat bersama orang-orang
yang mendirikan shalat.
-
36 | Studi Islam II Fikih Ibadah
Terdapat dalam hadist-hadist, sebagaimana diriwayatkan dari
Abu Hurairah Radhiallahu anhu bahwa Rasulullah Shalallahu
Alaihi wa Sallam bersabda :
. ) (
Demi Allah yang jiwaku ada ditangan-Nya, rasanya aku ingin menyuruh
mengumpulkan kayu bakar, dan kuperintahkan mengumandangkan
adzan untuk mendirikan shalat, kemudian aku instruksikan seseorang
untuk mengimami jama`ah shalat. Selanjutnya aku berbalik menuju
orang-orang yang tidak shalat berjama`ah, lalu aku bakar mereka
bersama rumah-rumah mereka. (HR. Buhari dan Muslim)
.
.
. .
.) (
Dari Abu Hurairah Radhiallahu anhu katanya seorang laki-laki
buta datang kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam, lalu
bertanya: Ya Rasulullah, aku ini buta. Tidak ada orang yang akan
menuntunku pergi ke masjid (untuk shalat berjama`ah). Lalu dia
memohon kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam agar
membolehkannya shalat di rumahnya. Mula-mula Rasulullah Shalallahu
Alaihi wa Sallam membolehkannya, tetapi setelah orang itu pergi belum
begitu jauh, dia dipanggil kembali oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi wa
-
37 | Studi Islam II Fikih Ibadah
Sallam seraya bertanya: Apakah adzan dan shalat terdengar sampai
kerumahmu? Jawab orang buta itu: Terdengar, ya Rasulullah !. Sabda
Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam: Kalau begitu, penuhilah panggilan
adzan tersebut!. (HR. Buhari dan Muslim)
) (
Dari Ibnu Mas`ud Radhiallahu anhu berkata: Barangsiapa yang
ingin bertemu dengan Allah kelak (dalam keadaan) sebagai seorang
muslim, maka hendaklah dia memelihara shalat setiap kali ia mendengar
panggilan shalat. Sesungguhnya Allah telah mensyariatkan sunnanal huda
(jalan-jalan petunjuk) dan sesungguhnya shalat berjama`ah merupakan
bagian dari sunnanil huda. Apabila kamu shalat sendirian di rumahmu
seperti kebiasaan shalat yang dilakukan oleh seorang mukhallif (yang
meninggalkan shalat berjama`ah) ini, berarti kamu telah meninggalkan
sunnah nabimu, apabila kamu telah meninggalkan sunnah nabimu,
berarti kamu telah tersesat. Tiada seorang pun yang bersuci (berwudhu`)
dengan sebaik-baiknya, kemudian dia pergi menuju salah satu masjid
melainkan Allah mencatat baginya untuk setiap langkah yang
-
38 | Studi Islam II Fikih Ibadah
diayunkannya satu kebajikan dan diangkat derajatnya satu tingkat dan
dihapuskan baginya satu dosa. Sesungguhnya kami berpendapat, tiada
seorang pun yang meninggalkan shalat berjama`ah melainkan seorang
munafik yang jelas-jelas nifak. Dan sesungguhnya pada masa dahulu ada
seorang pria yang datang untuk shalat berjama`ah dengan dipapah oleh
dua orang laki-laki sampai ia didirikan di dalam barisan shaff shalat
berjama`ah. (HR. Muslim)
j. Adab shalat berjamaah di masjid
Memilih pakaian yang bagus. Allah Taala berfirman
Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
masjid. (QS. Al-Araf: 31)
Berwudhu dari rumah terlebih dahulu, sebagaimana diterangkan
oleh Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam.
Barangsiapa yang bersuci dari rumahnya kemudian berjalan ke salah
satu rumah dari rumah-rumah Allah (masjid) untuk menunaikan salah
satu dari kewajiban-kewajiban yang Allah wajibkan, maka kedua
langkahnya salah satunya akan menghapus dosa dan langkah yang
lainnya akan mengangkat derajatnya. (HR. Muslim)
Membaca doa menuju masjid. Rasulullah Shalallahu Alaihi wa
Sallam mengajarkan kita untuk mengucapkan doa. Dari Anas bin
Malik, bahwa Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
-
39 | Studi Islam II Fikih Ibadah
Jika seorang laki-laki keluar dari rumahnya lalu mengucapkan:
Bismillahi tawakkaltu alallaahi, laa haula wa laa quuwata illa billah
(Dengan nama Allah aku bertawakal kepada Allah, tidak ada daya dan
kekuatan kecuali dengan izin Allah). Beliau bersabda, Maka pada
saat itu akan dikatakan kepadanya, Kamu telah mendapat petunjuk,
telah diberi kecukupan, dan mendapat penjagaan, hingga setan-setan
menjauh darinya. Lalu setan yang lainnya berkata kepadanya (setan yang
akan menggodanya, pent.), Bagaimana (engkau akan mengoda) seorang
laki-laki yang telah mendapat petunjuk, kecukupan, dan penjagaan.
(HR. Abu Daud dan At-Tirmizi)
Ketika hendak menuju masjid, dianjurkan membaca :
Allahummajal fii qolbi nuura wa fii bashari nuura wa fii sami nuura
wa an yamiinihi nuura wa an yasaarii nuura wa fauqi nuura wa tahti
nuura wa amaami nuura wa khalfi nuura wajal lii nuura (Ya Allah
jadikanlah cahaya dalam hatiku, cahaya dalam penglihatanku, cahaya
dalam pendengaranku, cahaya dari kananku, cahaya dari kiriku, cahaya
dari belakangku, dan jadikanlah untukku cahaya. (HR. Muslim)
Berdoa Ketika Masuk Masjid sebagaimana terdapat dalam
hadits Abu Said radhiyallahu anhu:
-
40 | Studi Islam II Fikih Ibadah
.
Jika salah seorang di antara kalian memasuki masjid, maka
ucapkanlah, Allahummaftahlii abwaaba rahmatik (Ya Allah,
bukakanlah pintu-pintu rahmat-Mu). Jika keluar dari masjid,
ucapkanlah: Allahumma inni as-aluka min fadhlik (Ya Allah, aku
memohon pada-Mu di antara karunia-Mu). (HR. Muslim)
Tidak Lewat di Depan Orang yang Sedang Shalat. Rasulullah
Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
Seandainya orang yang lewat di depan orang yang shalat mengetahui
(dosa) yang ditanggungnya, niscaya ia memilih untuk berhenti selama 40 (
tahun), itu lebih baik baginya daripada lewat di depan orang yangsedang
shalat. (HR. Bukhari dan Muslim)
Melaksanakan Shalat Dua Rakaat Sebelum Duduk. Rasulullah
Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda :
Jika salah seorang dari kalian masuk masjid, maka hendaklah dia shalat
dua rakaat sebelum dia duduk. (HR. Bukhari dan Muslim)
Menghadap Sutrah41 Ketika Shalat. Dalil yang menunjukkan
disyariatkannya shalat menghadap sutrah terdapat dalam sabda
Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam berikut :
41- Yang dimaksud denagan sutrah adalah pembatas dalam shalat, bisa berupa tembok, tiang, orang yang sedang duduk/sholat, tongkat, tas, dll. Sutrah disyariatkan bagi imam dan bagi orang yang shalat sendirian.
-
41 | Studi Islam II Fikih Ibadah
Apabila salah seorang di antara kalian shalat, hendaknya ia shalat
dengan menghadap sutrah dan mendekatlah padanya. (HR. Abu
Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih sebagaimana dalam Shahihul Jaami)
Menjawab panggilan adzan. Rasulullah shallallahu alihi wa
sallam bersabda:
Apabila kalian mendengar adzan maka ucapkanlah seperti yang sedang
diucapkan muadzin. (HR. Bukhari dan Muslim)
Apabila muadzin mengatakan, Allahu Akbar Allahu Akbar, maka
hendaklah kalian yang mendengar menjawab, Allahu Akbar Allahu
Akbar. Kemudian muadzin mengatakan, Asyhadu An Laa Ilaaha
Illallah, maka dijawab, Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah. Muadzin
mengatakan setelah itu, Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah,
maka maka dijawab, Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah. Saat
muadzin mengatakan, Hayya Alash Shalah, maka maka dijawab
Laa Haula wala Quwwata illa billah. Saat muadzin mengatakan,
-
42 | Studi Islam II Fikih Ibadah
Hayya Alal Falah, maka maka dijawab Laa Haula wala Quwwata
illa billah. Kemudian muadzin berkata, Allahu Akbar Allahu
Akbar, maka dijawab, Allahu Akbar Allahu Akbar. Dan muadzin
berkata, Laa Ilaaha illallah, maka dijawab, La Ilaaha illallah Bila
yang menjawab adzan ini mengatakannya dengan keyakinan hatinya
niscaya ia pasti masuk surga. (HR. Muslim)
Ketika selesai mendengarkan adzan, dianjurkan membaca doa
yang diajarkan Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam dalam hadits
berikut :
Barangsiapa yang setelah mendengar adzan membaca doa : Allahumma
Robba hadzihid dawattit taammah was shalatil qaaimah, aati
muhammadanil wasiilata wal fadhiilah wabatshu maqaamam
mahmuudanil ladzi wa adtahu (Ya Allah pemilik panggilan yang
sempurna ini dan shalat yang didirikan berilah Muhammad wasilah dan
keutamaan dan bangkitkanlah dia pada tempat yang terpuji yang telah
Engkau janjikan padanya) melainkan dia akan mendapatkan syafaatku
pada hari kiamat. (HR. Bukhari)
Tidak Keluar dari Masjid Tanpa Uddzur. Hal ini sebagaiamana
dikisahkan dalam sebuah riwayat dari Abu as Syatsaa
Radhiyallahu anhu, beliau berkata :
-
43 | Studi Islam II Fikih Ibadah
Kami pernah duduk bersama Abu Hurairah dalam sebuah masjid.
Kamudian muadzin mengumandangkan adzan. Lalu ada seorang laki-
laki yang berdiri kemudian keluar masjid. Abu Hurairah melihat hal
tersebut kemudian beliau berkata : Perbuatan orang tersebut termasuk
bermaksiat terhadap Abul Qasim (Nabi Muhammad) Shalallahu
Alaihi wa Sallam. (HR Muslim)
Memanfaatkan Waktu Antara Adzan dan Iqomah. Yaitu dengan
mengisi shalat sunnah qabliyah, membaca Al-Quran, berdizikir,
atau berdoa. Waktu ini merupakan waktu yang dianjurkan
untuk berdoa, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi wa
Sallam:
Doa di antara adzan dan iqamah tidak tertolak. (HR. Tirmidzi)
Menempati shaf yang utama. Bagi laki-laki yang paling depan,
adapun bagi wanita yang paling belakang. Imam Muslim
meriwayatkan dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah Shalallahu
Alaihi wa Sallam bersabda,
Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang pertama dan seburuk-buruknya
adalah yang terakhir. Sebaik-baik shaf wanita adalah yang terakhir dan
seburuk-buruknya adalah yang pertama. (HR.Muslim)
Merapikan dan merapatkan shaf shalat. Sebagaimana yang
dijelaskan di dalam hadits dari sahabat Abu Abdillah Numan
bin Basyir, beliau berkata, aku mendengar Rasulullah Shalallahu
Alaihi wa Sallam bersabda :
-
44 | Studi Islam II Fikih Ibadah
Hendaknya kalian bersungguh- sungguh meluruskan shaf-shaf kalian
atau Allah sungguh-sungguh akan memperselisihkan di antara wajah-
wajah kalian. (HR. Bukhari dan Muslim)
Jangan mendahului gerakan imam.Sebagaimana dijelaskan
dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu:
Sesungguhnya imam hanya untuk diikuti, maka janganlah
menyelisihnya. Apabila ia ruku, maka rukulah. Dan bila ia
mengatakan samiallahu liman hamidah, maka katakanlah,Rabbana
walakal hamdu. Apabila ia sujud, maka sujudlah. Dan bila ia shalat
dengan duduk, maka shalatlah kalian dengan duduk semuanya. (HR.
Bukhari)
Berdoa ketika keluar masjid. Dari Abu Humaid atau dari Abu
Usaid dia berkata: Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam
bersabda:
Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka
hendaknya dia membaca, Allahummaftahli abwaaba rahmatika
(Ya Allah, bukalah pintu-pintu rahmat-Mu). Dan apabila keluar,
hendaknya dia mengucapkan, Allahumma inni as-aluka min fadhlika
(Ya Allah, aku meminta kurnia-Mu). (HR. Muslim)
-
45 | Studi Islam II Fikih Ibadah
BAB III
FIKIH ZAKAT
1. Definisi Zakat
Zakat secara bahasa memiliki banyak arti yang saling berdekatan,
yaitu:
Zakat berarti berarti bertambah atau tumbuh.
Makna seperti dapat kita lihat dari perkataan Ali bin Abi Tholib,
Ilmu itu semakin bertambah dengan diinfakkan.
Zakat berarti , yang lebih baik. Sebagaimana dapat kita
lihat pada firman Allah Taala,
Dan kami menghendaki, supaya Rabb mereka mengganti bagi mereka
dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu. (QS.
Al-Kahfi: 81)
Zakat juga berarti mensucikan. Sebagaimana firman Allah
Taala,
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. (QS.
Asy-Syams: 9)
-
46 | Studi Islam II Fikih Ibadah
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka. (QS. At Taubah: 103)42
Adapun secara istilah syari, zakat berarti penunaian kewajiban
pada harta yang khusus, dengan cara yang khusus, dan disyaratkan
ketika dikeluarkan telah memenuhi haul (masa satu tahun) dan nishob
(ukuran minimal dikenai kewajiban zakat). Zakat pun kadang
dimaksudkan untuk harta yang dikeluarkan. Sedangkan muzakki adalah
istilah untuk orang yang memiliki harta dan mengeluarkan zakatnya.43
Hubungan antara definisi zakat secara bahasa dan istilah sangat
erat, yaitu pokok harta itu akan tumbuh dengan bertambah barokah
ketika dikeluarkan dan juga orang yang mengeluarkan akan
mendapatkan berkah dengan doa dari orang yang berhak menerima
zakat tersebut. Harta lain yang tersisa juga akan bersih dari syubhat,
ditambah dengan terlepasnya dari kewajiban-kewajiban yang berkaitan
dengan harta tersebut.44
2. Fungsi Zakat
Zakat merupakan ibadah maliyah (harta), yang memiliki tiga fungsi
sekaligus, yaitu fungi diniyah (keagamaan), khuluqiyyah (akhlak) dan
ijtimaiyyah (sosial) yang memiliki posisi sangat penting, setrategis dan
mentukan, baik dilihat dari ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan
kesejahteraan umat.45 Fungsi zakat ini akan dirinci dalam uraian
berikut:46
a. Fungi diniyah
Menegakan satu rukun dari rukun-rukun Islam yang
menjadi sentral kebahagiaan hamba di dunia dan di
akhirat.
42- Al-Mujam Al-Wasith, Mesir : Dar Al-Maarif, 1972,Vo.1,hlm.396 43- Ibid 44- Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Disertasi UIN Syarif Hidayatullah, 2001, hlm.17 45- Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Disertasi UIN Syarif Hidayatullah, 2001, hlm.1 46- Muhamad bin Soleh al-Utsaimin, Zakat dan Faedah-Faedahnya, Puataka Islamhouse,2010, hlm.8
-
47 | Studi Islam II Fikih Ibadah
Zakat dapat mendekatknan hamba kepada Tuhannya
dan menambah keimananya, seperti ketaatan-ketaatan
yang lain.
Zakat adalah pintu surga bagi orang yang
menunaikannya. Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam
bersabda,
Sesungguhnya di surga terdapat kamar yang luarnya dapat
terlihat dari dalamnya dan dalamnya dapat terlihat dari
luarnya. Kemudian ada seorang badui berdiri lantas bertanya,
Kepada siapa (kamar tersebut) wahai Rasulullah? Beliau
bersabda, Bagi orang yang berkata baik, memberi makan (di
antaranya lewat zakat, pen), rajin berpuasa, shalat karena Allah
di malam hari di saat manusia sedang terlelap tidur.
(HR.Tirmidzi)
Pahala dan keberkahan yang besar yang diperoleh dari
menunaikan zakat, Allah Subhaanahu wa Taalla
berfirman:
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. (Al-
Baqoroh: 276).
Dan berfirman:
-
48 | Studi Islam II Fikih Ibadah
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah
pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka
(yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat
gandakan (pahalanya). (QS: Ar-rum: 39)
Nabi bersabda:
- -
Barang siapa bersedekah dengan dengan sepadan satu butir
kurma, dari hasil kerja yang baik(halal), dan Allah tidak
menerima kecuali yang baik, maka Allah Subhaanahu wa
Taalla akan mengambilnya dengan tangan kananya, kemudian
mengembangkanya untuk pemiliknya sebagaimana salah seorang
dari kalian mengembangkan hingga menjadi seperti gunung.
(HR: Bukhori dan Muslim)
Allah Subhaanahu wa Taalla menghapus dosa-dosa dengan zakat,
sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam:
Dan sedekah itu dapat memadamkan dosa sebagaimana air
memadamkan api. (HR.Tirmidzi)
b. Fungsi Akhlakiyah
-
49 | Studi Islam II Fikih Ibadah
Memasukan muzakki ke dalam barisan orang-orang dermawan
yang pemurah.
Zakat mengharuskan muzakki memiliki sifat penyayang kepada
saudara-saudaranya yang tidak punya, dan para penyayang itu
disayang Allah.
Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga dia mencintai
saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri. (HR.Bukhari)
Terbukti bahwa ketika jiwa memberikan kontribusinya secara
finansial bagi kepentingan kaum muslimin, akan menjadikan
dada terasa lapang dan jiwa terasa lega, dan mengharuskan
seseorang menjadi dicintai karena telah memberikan manfaat
bagi saudaranya.
Bahwa zakat itu dapat mensucikan akhlak pelakunya dari sifat
kikir dan pelit, sebagaimana Firman-Nya:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka. (QS: At-Taubah: 103)
c. Fungsi Ijtimaiyyah
Zakat mengokohkan ikatan-ikatan cinta antara kaya dan miskin,
karena jiwa sesungguhnya diciptakan dengan kecenderungan
mencintai orang yang berbuat baik kepadanya.
Agar harta itu jangan hanya beredar di tangan orang-orang yang kaya
saja diantara kalian.. (QS. Al-Hasyr:7)
Zakat dapat menutupi kebutuhan fakir miskin yang
mayoritas di kebanyakan negeri.
-
50 | Studi Islam II Fikih Ibadah
Zakat dapat memperkokoh kaum muslimin dan
meninggikan derajat mereka, karena itu salah satu dari
sasaran zakat adalah jihad fi sabilillah, seperti yang akan
kamisebutkan insya Allah.
Zakat dapat menghapus rasa iri dengki dan cemburu dari
dalam dada kaum fakir miskin, orang miskin jika melihat
orang-orang kaya menikmati hartanya tanpa ia dapat
mengambil manfaat sedikit pun darinya, terkadang
tumbuh dalam dirinya rasa cemburu dan permusuhan
terhadap orang-orang kaya akibat mereka tidak
memberikan perhatian terhadap haknya, tidak pula
memenuhi kebutuhanya, jika orang kaya memberikan
sebagian hartanya kepada si miskin pada setiap putaran
tahunya, maka semua perasaan ini akan lenyap dan
tumbuhlah rasa cinta dan kebersamaan.
Zakat dapat menumbuhkan harta dan memperbanyak
berkah, sebagaimana dalam hadits, bahwa Nabi
Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
.
Tidaklah zakat itu dapat mengurangi harta
Di dalam pembayaran zakat terdapat perluasan daerah
harta, karena suatu harta jika dicairkan sebagian darinya,
maka akan meluas jangkauanya, dan banyak orang yang
mengambil manfaat darinya, berbeda jika harta hanya
berputar di antara orang-orang kaya saja sedang orang-
orang miskin tidak mendapatkan sedikitpun darinya.
3. Kewajiban Berzakat
Zakat adalah satu kewajiban dari kewajiban-kewajiban Islam, ia
adalah salah satu dari rukun-rukunya, dan termasuk rukun yang
terpenting setelah syahadat dan sha
lat, Kitab dan sunnah serta ijma' telah menunjukan kewajibanya.
Dalil yang menyatakan wajibnya zakat di antaranya terdapat dalam
ayat,
-
51 | Studi Islam II Fikih Ibadah
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang-orang
yang ruku. (QS. Al-Baqarah: 43)
Perintah zakat ini berulang di dalam Al-Quran dalam berbagai ayat
sampai berulang hingga 32 kali.
Begitu juga dalam sabda Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam ketika
memerintahkan pada Muadz yang ingin berdakwah ke Yaman,
Jika mereka telah mentaati engkau (untuk mentauhidkan Allah dan
menunaikan shalat ), maka ajarilah mereka sedekah (zakat) yang diwajibkan atas
mereka di mana zakat tersebut diambil dari orang-orang kaya di antara mereka
dan kemudian disebar kembali oleh orang miskin di antara mereka. (HR.
Bukhari)
Dari nash-nash di atas telah jeas bahwa hukum zakat adalah wajib.
Maka barang siapa mengingkari kewajibanya maka ia adalah kafir dan
murtad dari Islam harus diminta agar bertaubat, jika tidak bertaubat
dibunuh, dan barang siapa kikir dengan enggan mengeluarkan zakat atau
mengurangi sesuatu derinya maka ia termasuk orang-orang dzolim yang
berhak atas sangsi dari Allah Subhaanahu wa Taalla, Allah Subhaanahu wa
Taalla berfirman:
Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah
berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik
-
52 | Studi Islam II Fikih Ibadah
bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang
mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan
kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS: Ali-Imron: 180)
4. Hukum Orang yang Enggan Menunaikan Zakat
Orang yang enggan menunaikan zakat ada dua keadaan, yaitu karena
inkar, dan bakhil.
Pertama: Orang yang mengingkari kewajiban zakat. Sebagaimana
yang sudah maklum bahwa bahwa zakat adalah bagian dari
rukun Islam. Para ulama bersepakat (berijma) bahwa siapa yang
menentang dan mengingkari rukun tarsebut, termasuk di
dalamnya kewajiban zakat, maka ia telah kafir dan murtad dari
Islam. Karena ini adalah perkara malum minad diini bid
doruroh, yaitu sudah diketahui akan wajibnya. Imam Nawawi
Rahimahullah berkata, Barangsiapa mengingkari kewajiban zakat
di zaman ini, ia kafir berdasarkan kesepakatan para ulama.47
Pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnu Haja