STI 2 Fikih Ibadah

261
 

description

STI 2

Transcript of STI 2 Fikih Ibadah

  • Studi Islam II Fikih Ibadah

    STUDI ISLAM I

    Fikih Ibadah Dr. Akhmad Alim. MA

    Pusat Kajian Islam

    Universitas Ibn Khladun Bogor

  • Studi Islam II Fikih Ibadah

    Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) ALIM, Akhmad

    STUDI ISLAM I: Fikih Ibadah, Penulis, Dr. Akhmad Alim, M.A; Penyunting, Bahrum

    Subagia, --Cet. 1-Bogor: Pusat Kajian Islam Universitas Ibn Khaldun, 2012. 253 hlm.;

    25,7 cm.

    ISBN : 978-979-1324-14-4

    STUDI ISLAM II: Fikih Ibadah

    Penulis:

    Dr. Akhmad Alim, M.A

    Penyunting:

    Bahrum Subagia

    Penata Letak:

    Irfan Habibie

    Desain Sampul:

    Fathurrohman Saifuddin

    Penerbit:

    Pusat Kajian Islam Universitas Ibn Khaldun

    Jl. K.H. Sholeh Iskandar Km. 2 Kedung Badak Bogor

    Telp./Fax. (0251) 8356884

    Cetakan Pertama, Shafar 1435 H- Januari 2014 M

    Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Ketentuan Pidana (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal

    49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

    (2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara palling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

    Pasal 72 UU No.19 Tahun 2002

  • i | Studi Islam II Fikih Ibadah

    KATA PENGANTAR

    . : Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

    Hai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar

    takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam

    keadaan beragama Islam. (QS. Ali-Imran: 102)

    Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang telah

    menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan

    isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan

    perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan

    (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan

    (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan

    mengawasi kamu. (QS. An-Nisa: 1)

  • ii | Studi Islam II Fikih Ibadah

    Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan

    katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-

    amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. (QS. Al-Ahzab: 70-71)

    Manusia modern cenderung melepaskan diri dari keterikatan

    dengan Tuhan (al-Iradh), untuk selanjutnya membangun tatanan yang

    berpusat pada manusia (al-qadariyah). Akibatnya, kehidupan manusia

    terdominasi oleh hipnotis atmosfer modernitas, yang pada gilirannya

    akan membuat manusia lengah dan tidak menyadari bahwa dimensi

    spiritualnya terdistorsi, sehingga tidak mengherankan jika akar

    spiritualtas tercabut dari panggung kehidupan global.

    Munculnya problem spiritual yang menimpa manusia modern

    bermula dari hilangnya visi keilahiyan (uluhiyah) yang disebabkan oleh

    ulahnya sendiri, yakni bergerak menjauh dari tuntunan Allah dalam

    mengatur kehidupan. Menurut Ibn Jauzi penyebab utama krisis

    keruhaniyan tersebut, berawal dari dua hal pokok, yaitu menjauh dari

    Allah (al-iradh), dan menuhankan hawa nafsu (ittiba al-hawa) atau dalam

    istilah lain dikenal dengan istilah memperturutkan syahwat(Ittiba al-

    syahawat). Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam (QS. Thaha:

    124) dan (QS. Maryam: 19), berikut ini:

    Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya

    baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunnya pada

    harikiamat dalam keadaan buta. (QS. Thaha: 124)

    Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-

    nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan

    menemui kesesatan. (QS. Maryam: 19)

  • iii | Studi Islam II Fikih Ibadah

    Dari penafsiran ayat tersebut, Ibn Jauzi melihat bahwa ada dua

    penyebab pokok, yang membuat rusaknya mental spiritual manusia,

    sehingga menyebabkannya terjatuh dalam jurang kehancuran (ghayya),

    yaitu (1) berpaling dari Allah (al-iradh), dalam hal ini menyia-nyiakan

    shalat; karena orang yang meremehkan shalat berarti tanda orang yang

    berpaling dari jalinan vertikal yaitu hablumminallah, dan (2)

    memperturutkan hawa nafsu (Ittiba al-syahawat), yaitu dengan

    melampiaskan segala kesenangan, yang melampaui batas syariat, seperti

    zina, khamr, dan sejenisnya yang menghalangi seseorang dari jalan

    ketaatan kepada Allah.

    Untuk itu, tidak ada solusi lain kecuali manusia harus kembali ke

    pusat eksistensi tersebut, yaitu kembali kepada Allah (fafirru ilallah) dan

    mengendalikan kembali hawa nafsu (dzam al-hawa). Dalam usaha

    mencapai hal tersebut, maka dibutuhkan penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs)

    melalui ibadah kepada Allah. Karena dengan usaha inilah jiwa akan

    terbebas dari hal-hal yang mengotorinya dan kembali pada fitrahnya.

    Menurut Ali Abduh, ibadah seperti shalat, zakat, membaca Al-Quran,

    berdzikir, dan ibadah lainnya, adalah sarana paling efektif untuk

    menyucian jiwa seseorang.

    Penulisan buku Studi Islam 2: Fikih Ibadah ini diharapkan dapat

    menjawab problematika krisis spiritual tersebut, sehingga dapat

    memberikan solusi yang memadai. Wallahu Alam Bisshawab.

    Bogor, 01 Maret 2012

    Dr. Akhmad Alim, M.A

  • iv | Studi Islam II Fikih Ibadah

    DAFTAR ISI

    Kata Pengantar ..................................................................................... i

    Daftar Isi ............................................................................................. v

    Bab I Ibadah Dan Ruang Lingkupnya ................................................ 1

    Bab II Fikih Shalat ............................................................................ 24

    Bab III Fikih Zakat............................................................................ 45

    Bab IV Fikih Puasa ........................................................................... 73

    Bab V Ibadah Haji, Umrah Dan Ziarah ............................................ 97

    Bab VI Fikih Jenazah ...................................................................... 117

    Bab VII Dzikir, Istighfar, Selawat, & Doa ................................... 139

    Bab VIII Qiyamullail Dan Tadabur Al-Quran .............................. 190

    Bab IX Panduan Shalat Sunnah ...................................................... 207

    Bab X Khilafiyah Dalam Ibadah..................................................... 223

    Daftar Pustaka. ................................................................................ 247

    Riwayat Hidup Penulis ................................................................... 250

  • 1 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    BAB I

    IBADAH DAN RUANG LINGKUPNYA

    1. Ibadah Sebagai Tujuan Penciptaan Jin dan Manusia

    Allah Subhanahu wa Taala tidak menciptakan jin dan manusia

    sebagai suatu yang sia-sia. Tetapi, ada tujuan dibalik penciptaan mereka,

    yang tidak lain adalah tujuan ubudiyah. Dalam arti menyembah Allah

    Subhanahu wa Taala, mengesakan, mengagungkan, membesarkan, dan

    mentaati-Nya, dengan melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi

    segala larangan-Nya. Sebagaimana firman-Nya Subhanahu wa Taala:

    Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya

    mereka menyembah-Ku. (QS. Az-Zariyat: 56)

    Dari Mu'azd bin Jabal Radhiyallahu anhu, ia berkata, "Saya

    membonceng Nabi Salallahu Alaihi wa Sallam di atas keledai yang

    dinamakan 'afir, lalu 'Beliau Salallahu Alaihi wa Sallam bersabda, 'Wahai

    Mu'adz, tahukah kamu apa hak Allah Subhanahu wa Taala terhadap

    hamba dan apa hak hamba kepada Allah Subhanahu wa Taala? Saya

    menjawab. 'Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.' Beliau

    bersabda,: 'Sesungguhnya hak Allah Subhanahu wa Taala terhadap hamba

    adalah bahwa mereka menyembah Allah Subhanahu wa Taala dan tidak

    menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan hak hamba terhadap Allah

    Subhanahu wa Taala adalah bahwa Dia Subhanahu wa Taala tidak akan

    menyiksa orang yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Saya

    bertanya, 'Wahai Rasulullah, bolehlah saya memberitahukan kepada

    manusia?' Beliau menjawab, 'Jangan engkau beritakan kepada mereka,

    maka mereka menjadi enggan beramal. (HR.Muttafaqun 'alaih).1

    1 Muttafaqun 'alaih. HR. al-Bukhari no. 2856 dan Muslim no. 30, lafadz hadits ini dari riwayat Muslim.

  • 2 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    2. Definisi Ibadah

    Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta

    tunduk. Sedangkan menurut syara (terminologi), ibadah adalah sebutan

    yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa

    Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang

    bathin.2

    Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri berkata :

    Yang berhak disembah hanya Allah Subhanahu wa Taala semata,

    dan ibadah digunakan atas dua hal; Pertama: menyembah, yaitu

    merendahkan diri kepada Allah Subhanahu wa Taala dengan

    melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-

    Nya karena rasa cinta dan mengagungkan-Nya. Kedua: Yang

    disembah dengannya, yaitu meliputi segala sesuatu yang dicintai

    dan diridhahi oleh Allah Subhanahu wa Taala berupa perkataan

    dan perbuatan, yang nampak dan tersembunyi seperti, doa, zikir,

    shalat, cinta, dan yang semisalnya. Maka melakukan shalat

    misalnya adalah merupakan ibadah kepada Allah Subhanahu wa

    Taala. Maka kita hanya menyembah Allah Subhanahu wa Taala

    semata dengan merendahkan diri kepada-Nya, karena cinta dan

    mengagungkan-Nya, dan kita tidak menyembahnya kecuali

    dengan cara yang telah disyari'atkan-Nya.3

    Dari pengertian di atas dapat dirinci bahwa ibadah mencakup

    ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja

    (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah

    (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan

    dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan

    lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati). Sedangkan

    shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan

    hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan

    dengan amalan hati, lisan dan badan.4

    2Ibn Taimiyah,Al Ubudiyah, Maktabah Darul Balagh, hlm. 6 3 - Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri, Ringkasan Fiqih Islam, Pustaka Islamhouse,hlm.17 4- Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Quran dan As-Sunnah yang Shahih, Bogor : Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 3

  • 3 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    3. Rukun Ibadah

    Setiap ibadah yang dikerjakan oleh setiap hamba, harus menenuhi

    tiga pilar pokok, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja (harapan). Rasa

    cinta harus disertai dengan rasa rendah diri, sedangkan khauf harus

    dibarengi dengan raja. Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-

    unsur ini. Allah berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang

    mukmin:

    Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya. (QS.Al-Maa-

    idah: 54)

    Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cinta-nya kepada

    Allah. (QS.Al-Baqarah: 165)

    Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam

    (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap

    dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu kepada Kami. (QS.

    Al-Anbiya: 90)

    Mengenai tiga pilar ini, sebagian ulama salaf berkata , Siapa yang

    beribadah kepada Allah dengan rasa cinta saja, maka ia adalah zindiq,5

    siapa yang beribadah kepada-Nya dengan raja saja, maka ia adalah

    murji.6 Dan siapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan khauf,

    5. Zindiq adalah orang yang munafik, sesat dan mulhid. 6. Murji adalah orang murjiah, yaitu golongan yang mengatakan bahwa amal bukan bagian dari iman, iman hanya dalam hati.

  • 4 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    maka ia adalah haruriy.7 Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya

    dengan hubb, khauf, dan raja, maka ia adalah mukmin muwahhid.8

    4. Syarat diterimanya ibadah

    Melakukan amalan ibadah merupakan sebuah kewajiban bagi

    setiap muslim; karena tujuan diciptakannya jin dan manusia adalah

    untuk beribadah. Demikian itu sebagaimana yang difirmankan oleh

    Allah azza wa jalla dalam Al-Quran (QS. Adz Dzariyat : 56).

    Dan tidaklah Aku ciptakan seluruh jin dan seluruh manusia melainkan

    untuk beribadah hanya kepadaKu. (QS. Adz Dzariyat : 56)

    Agar amalan ibadah yang kita lakukan diterima oleh Allah, maka

    harus mengikuti dua syarat, berikut ini:

    a. Al-Ikhlash, yaitu berniat ikhlas kepada Allah Azza wa Jalla.

    b. Al-Ittiba, yaitu mengikuti syariat Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi

    wa Sallam.9

    Dua syarat ini sebagaimana dijelaskan oleh oleh Allah dalam Al-

    Quran (QS. Al Kahfi: 110),

    Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah

    dia mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan seorangpun

    dengan Rabb- nya. (QS. Al Kahfi: 110)

    Di dalam ayat ini, Ibnu Katsir menafsirkan, bahwa maksud dari

    firman Allah: ( ) adalah amal ibadah yang shaleh

    merupakan bekal bagi siapa saja yang ingin berjumpa dengan Allah.

    7.Haruriy adalah orang dari golongan khawarij yang pertama kali muncul di Harura, dekat Kufah, yang berkeyakinan bahwa orang mukmin yang berdosa besar adalah kafir. 8. Ibn Taimiyah, al-Ubuudiyyah, tahqiq Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid al-Halaby al-Atsar, Maktabah Darul Ashaalah 1416 H, hlm.161-162 9. Ibnu Rajab, Jami al-Ulum wa al-Hikam, tahqiq oleh Syuaib Al Arnauth dan Ibrahim Bajis, Saudi Arabia: Muassassah ar-Risalah, 1419H. , hlm. 12.

  • 5 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    Amal ibadah tersebut tidak akan pernah diterima, kecuali sesuai dengan

    syariat Allah, yaitu dengan mengikuti petunjuk Rasulallah Shalallahu

    Alaihi wa Sallam. Sementara maksud dari firman Allah: (

    ) adalah selalu ikhlas dalam beramal, yaitu hanya mencari ridha Allah

    dan tidak berbuat syirik pada-Nya. Kemudian Ibn Katsir menegaskan,

    Inilah dua rukun diterimanya ibadah, yaitu harus ikhlas karena Allah

    dan mengikuti petunjuk Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam.10

    Pendapat Ibn Katsir tersebut, dikuatkan dengan atsar sahabat Ali

    bin Abi Thalib, Ibn Masud, Hasan, Said bin Zubair, dan sahabat yang

    lainnya. Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh Sufyan Ats Tsaury berikut

    ini:

    "

    Artinya: Para ulama berkata: Tidak akan lurus perkataan kecuali

    dengan perbuatan, tidak akan lurus perkataan dan perbuatan kecuali dengan niat

    dan tidak akan sempurna perkataan dan perbuatan serta niat kecuali dengan

    mengikuti sunnah Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam.11

    Dalam menyikapi dua syarat diterimanya amalan ibadah tersebut,

    manusia dibagi menjadi empat golongan. Hal itu sebagaimana yang

    dijelaskan oleh Ibnu Qayyim dalam Madarij al-Salikin (1/95-97), yang

    kesimpulannya adalah sebagai berikut:

    1. Kelompok Muwahid, yaitu orang yang dalam amalannya

    menyempurnakan kedua syarat di atas, yakni ikhlas dan mutabaah,

    secara terintegrasi. Mereka adalah orang-orang menyembah kepada

    Allah dengan sebenar-benarnya. Karena mereka mengikhlaskan

    amalan mereka hanya kepada Allah, dengan mengikuti syariat

    Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam. Mereka tidak beramal untuk

    10Ibn Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Adzim, Maktabah Darus Salam, Volume III, hlm. 120-

    121 11Ibnu Rajab, Jmi al-Ulm wa al-Hikam, tahqiq oleh Syuaib Al Arnauth dan Ibrahim

    Bajis, Saudi Arabia: Muassassah ar-Risalah, 1419H. , hlm. 9, Al-Baghdadi, Iqtidha Al-Ilm Al-Amal, Beirut: Maktab Al-Islami, 1397H. , hlm. 29, Ibn Bathah Al-Ukbari, Al-Ibanah, Vol. 2, hlm. 803

  • 6 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    manusia, karena mereka mengetahui bahwa pujian manusia sama

    sekali tidak bisa mendatangkan manfaat, sebagaimana cercaan

    mereka sama sekali tidak bisa mendatangkan kejelekan. Akan tetapi

    mereka mengikhlaskan ibadah secara zhahir dan batin untuk Allah,

    serta mereka jujur dalam mengikuti sunah Nabi Muhammad

    Shalallahu Alaihi wa Sallam.

    2. Kelompok Zindiq, yaitu orang yang kehilangan ikhlas dan Ittiba

    dalam amalannya. Dengan demikian, kelompok ini melakukan

    amalan hanya karena makhluk dan kepentingan duniawi, sehingga

    mereka tidak lagi mementingkan Ittiba sunah Rasulallah Shalallahu

    Alaihi wa Sallam dalam amalannya tersebut.

    3. Kelompok Mubtadiah, yaitu orang yang beramal dengan ikhlas, tapi

    tanpa Ittiba. Hal ini berawal dari kejahilan dalam mengamalkan

    syariat, sehingga beribadah tanpa berdasarkan ilmu. Akibatnya,

    kebanyakan dari mereka terjatuh dalam kebidahan, yaitu amalan-

    amalan ibadah yang tidak dicontohkan oleh Rasulallah Shalallahu

    Alaihi wa Sallam. Hasilnya, amalan yang mereka lakukan tidak

    menambah dekat dengan Allah, tetapi amalan tersebut akan semakin

    membuat mereka jauh dari Allah.

    4. Kelompok Munafik, yaitu orang yang melakukan Ittiba dalam

    amalannya, tetapi meninggalkan keikhlasan. Hal ini disebabkan

    karena riya dan mencari tujuan duniawi yang sifatnya fana, sehingga

    amalan ibadahnya mengharapkan pujian manusia, dan kedudukan di

    sisi mereka. Hasilnya, amalan-amalan tersebut adalah sia-sia di sisi

    Allah.12

    Dua syarat diterima suatu amalan ibadah tersebut, akan dijelaskan dalam

    uraian berikut ini:

    1. Al-Ikhlas

    a. Pengertian (Tarif)

    Ikhlas secara bahasa (lughah) memiliki beberapa makna, di antaranya

    adalah sebagai berikut:

    12 Ibnu Qayyim, Badai Al-Fawaid, Mekah: Maktabah Nizar Musthafa, 1416H. , Vol. 4,

    hlm. 952, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, Vol. I, hlm. 95-97

  • 7 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    1) Al-Tashfiyah, Al-tanqiyah, Al-Tahdzib, yaitu memurnikan sesuatu dari

    segala macam campuran.

    2) Al-Tauhid, yaitu mengesakan.

    3) Al-Takhshish, yaitu mengkhususkan.

    4) Al-Najah, yaitu selamat dari sesuatu.

    5) Al-Ihsan, yaitu memperbaiki dan menyempurnakan.13

    Adapun secara istilah, para ulama berbeda redaksi (ibarah) dalam

    menggambarkanya, tetapi pada intinya sama. Ada yang berpendapat,

    ikhlas adalah memurnikan tujuan ibadah untuk mendekatkan diri kepada

    Allah. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah mengesakan Allah

    dalam beribadah kepadaNya. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah

    menyelamatkan ibadah dari pamer (riya) kepada makhluk. Ada pula

    yang berpendapat, ikhlas adalah mensucikan amal dari sifat ujub, dan

    segala macam penyakit hati (afat al-qulub).14

    Al Harawi mengatakan: Ikhlas ialah, membersihkan amal dari

    setiap noda. Ulama yang lain berkata, Seorang yang ikhlas ialah

    seorang yang tidak mencari perhatian di hati manusia dalam rangka

    memperbaiki hatinya di hadapan Allah, dan tidak suka seandainya

    manusia sampai memperhatikan amalnya, meskipun hanya seberat biji

    sawi (dzarrah).15 Sementara Fudhail bin Iyadh berkata: Meninggalkan

    amal karena manusia adalah riya. Dan beramal karena manusia adalah

    syirik. Dan ikhlas ialah, apabila Allah menyelamatkan kamu dari

    keduanya.16 Said bin Zubair mengatakan: ikhlas adalah mensucikan

    diri dalam melakukan amal dari segala sifat riya, dan menjadikan amalan

    ibadah hanya karena Allah.17 Al-Qurthubi berkata:ikhlas adalah

    memurnikan amalan ibadah dari campuran kepentingan duniawi.18 Ibn

    Hajar Al-Ashqalani berkata: ikhlas bermakna ihsan, yaitu seseorang

    13Muhammad Ibn Abi Bakar Al-Razi, Mukhtar Al-Shihah, Madinah Munawarah: Dar Al-

    thaibah, 1987, hlm. 184, Ibn Faris, Mujam Maqayis Al-Lughah, Libanon: Dar Al-Fikr, 1415 H. , hlm. 327, hlm. 6, Ibn Hajar Al-Ashqalani, Fath Al-Bari, Riyadh: Dar Al-Salam, 1418 H. , Vol. 10, hlm. 589

    14Abdul Lathif, Al-Ikhlash Wa Al-Syirk Al-Ashghar, Darul Wathan, 1412 H. , www. alabdullatif. islamlight. net, hlm. 5, Al-Ghazali, Ihya Ulum Al-Din, Beirut: Al-Maktabah Al-Ashriyah, 1420 H. , Vol. 4, hlm. 502

    15Ibid 16Ibn Qayyim, Madarijus Salikin, Kairo: Darul Hadits, Vol. 2, hlm. 95-96 17Al-Marwazi, Tadzim Al-Shalat, Madinah Munawarah: Maktabah Al-Dar, 1406 H. ,

    Vol. 2, hlm. 566 18Al-Qurthubi, Al-Jami li Ahkam Al-Quran, Kairo: Dar Al-Hadist, 1414 H. , Vol. 2, hlm.

    151

  • 8 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    melakukan amal ibadah, seakan-akan Ia melihat Allah, atau merasa

    bahwa dirinya selalu dilihat oleh Allah.19

    Dari uraian singkat pendapat para ulama di atas, dapat dikatakan

    bahwa ikhlas adalah seseorang berniat dengan amal ibadahnya, hanya

    untuk mendekatkan dirinya kepada Allah semata, bukan karena mencari

    pujian manusia, atau mencari kepentingan duniawi. Dengan demikian,

    seseorang akan selalu memperbaiki amalannya, dengan cara

    mentauhidkannya dan tidak mensyirikkan amalan tersebut kepada selain

    Allah.

    b. Dalil-Dalil tentang Ikhlas

    Adapun mengenai dalil-dalil yang menjelaskan tentang pentingnya

    ikhlas dalam melakukan amalan ibadah, adalah terdapat di dalam Al-

    Quran dan Al-Sunah.

    Dalil-dalil dari Al-Quran tentang ikhlas adalah sebagai berikut:

    Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah

    dia mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan seorangpun

    dengan Rabb- nya. (QS. Al Kahfi: 110)

    Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan

    memurnikan ketaatan kepada-Nya. (QS. Al-Bayyinah: 5)

    19Ibn Hajar Al-Ashqalani, Fath Al-Bari, Riyadh: Dar Al-Salam, 1418 H. , Vol. 10, hlm.

    589

  • 9 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    Katakanlah: Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah

    Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.

    (QS. Al-Zumar: 11)

    Padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya

    yang harus dibalasnya, Tetapi (Dia memberikan itu semata-mata) Karena mencari

    keridhaan Tuhannya yang Maha Tinggi. (QS. Al-Lail: 19 20)

    Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk

    mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan

    tidak pula (ucapan) terima kasih. (QS. Al-Insaan: 9)

    Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami

    tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan

    di dunia kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada

    baginya suatu bagianpun di akhirat. (QS. Asy-Syuuraa: 20)

    Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya

    Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan

    sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang

    tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu. (QS.

    Hud: 15-16)

  • 10 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    Dalil-dalil dari Al-Sunah tentang ikhlas adalah sebagai berikut:

    Dari Umamah, ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada

    Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam seraya berkata, Bagaimanakah

    pendapatmu (tentang) seseorang yang berperang demi mencari upah

    dan sanjungan, apa yang diperolehnya? Rasulullah Shalallahu Alaihi wa

    Sallam menjawab, Dia tidak mendapatkan apa-apa. Orang itu

    mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali, dan Nabi Shallallahu 'alaihi

    wa salalm selalu menjawab, orang itu tidak mendapatkan apa-apa (tidak

    mendapatkan ganjaran), kemudian Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam

    bersabda:

    Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menerima amal perbuatan,

    kecuali yang ikhlas dan dimaksudkan (dengan amal perbuatan itu) mencari wajah

    Allah.20

    Dari Amirul Muminin, Abi Hafs Umar bin Al Khathab, dia

    berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda:

    .

    Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya

    setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang

    hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka

    hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya

    karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya

    maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.21

    20HR Nasa-i, VI/25 dan sanad-nya jayyid sebagaimana perkataan Imam Mundziri

    dalam At Targhib Wat Tarhib, I/26-27 no. 9. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib Wat Tarhib, I/106, no. 8.

    21HR. Muslim, no: 1907

  • 11 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    Di dalam Shahih Muslim dari hadits Abu Hurairah, sesungguhnya

    Rasulallah saw bersabda, Allah berfirman (hadits qudsi):

    Aku tidak membutuhkan sekutu, barangsiapa yang melakukan suatu amal

    ibadah yang ia menyekutukan selain-ku bersama-Ku, niscaya Aku

    meninggalkannya dan sekutunya.22

    2. Al-Ittiba

    a. Pengertian (Tarif)

    Al-Ittiba secara bahasa bersumber dari mashdar ittabaa, yang

    bermakna al-talwu, al-qafwu, al-itimam, yaitu mengikuti sesuatu.

    Dikatakan mengikuti sesuatu jika berjalan mengikuti jejaknya dan

    mengiringinya. Kata ini berkisar pada makna menyusul, mencari,

    mengikuti, meneladani dan mencontoh. Dikatakan Ittiba kepada Al-

    Quran, bermakna mengikutinya dan mengamalkan kandungannya. Dan

    Ittiba kepada Rasul Shalallahu Alaihi wa Sallam, bermakna meneladani,

    mencontoh dan mengikuti sunah-sunahnya.23

    Adapun secara istilah syari, Al-Ittiba adalah mengikuti petunjuk

    Rasulallah Shalallahu Alaihi wa Sallam, dalam melaksanakan amalan

    ibadah, baik dalam keyakinan (itiqad), perkataan (qauliyah), perbuatan

    (filiyah) dan di dalam perkara-perkara yang ditinggalkan.24

    Ittiba kepada Rasulallah Shalallahu Alaihi wa Sallam, dalam

    keyakinan akan terwujud dengan meyakini apa yang diyakini oleh

    Rasulallah Shalallahu Alaihi wa Sallam. Ittiba kepada Rasulallah Shalallahu

    Alaihi wa Sallam, dalam perkataan, akan terwujud dengan melaksanakan

    kandungan dan makna-makna dari sabda Rasulallah Shalallahu Alaihi wa

    Sallam,. Ittiba kepada Rasulallah Shalallahu Alaihi wa Sallam, dalam

    perbuatan akan terwujud dengan meneladani semua apa yang telah

    dilakukan Rasulullah dalam bentuk sunah filiyah.

    22HR. Muslim, no. 29985 23Ibn Faris, Maqayis Al-Lughah, Vol. I, hlm. 362 24Ibn Qayyim, Al-Fawa;id,Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1393H. , hlm.199

  • 12 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    Jadi, Ittiba merupakan konsekuensi syahadat yang kedua yaitu

    Muhammad Rasulallah, persaksian bahwa Muhammad adalah utusan

    Allah. Sebuah ikrar yang di dalamnya terdapat pengakuan atas kerasulan

    Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam. Dengan demikian, syahadat

    tersebut mengandung maksud bahwa risalah yang dibawa oleh Nabi

    Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam adalah benar, sehingga harus

    diimani dan diamalkan. Oleh karena itu, wajib bagi seorang muslim

    untuk ittiba kepada Rasulallah Shalallahu Alaihi wa Sallam, dengan taat

    terhadap apa yang diperintahkannya dan membenarkan apa yang

    diberitakannya serta menjauhi apa yang dilarang dan diancamnya. Tidak

    beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang beliau syariatkan.

    b. Dalil-Dalil tentang Al-Ittiba

    Adapun mengenai dalil-dalil yang menjelaskan tentang pentingnya

    Ittiba dalam melakukan amalan ibadah, adalah terdapat di dalam Al-

    Quran dan Al-Sunah.

    Dalil-dalil dari Al-Quran,

    Katakanlah, Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, niscaya Allah

    akan mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian. Allah Maha Pengampun lagi

    Maha Penyayang. (QS. Ali Imran: 31)

    Maka demi Rabbmu, mereka tidaklah beriman hingga mereka

    menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian

    mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu

    berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. An-Nisa`: 65)

  • 13 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah engkau penuhi panggilan

    Allah dan RasulNya, apabila Dia memanggil kepada apa-apa yang

    menghidupkan kamu. (Al-Anfaal: 24)

    Dan apa yang Rasululah datangkan kepada kalian maka ambillah dan

    apa yang dilarang kepada kalian darinya maka jauhilah dan bertaqwalah kepada

    Allah karena sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya. (QS. Al-Hasyr: 7)

    Ya Allah, kami beriman dengan apa yang telah engkau turunkan, dan

    kami telah mengikuti (Ittiba) Rasul, maka catatlah kami dalam golongan orang

    yang bersaksi. (QS. Ali Imran: 53)

    Dalil-dalil dari Al-Sunah,

    Siapa yang taat kepadaku maka dia telah taat kepada Allah dan siapa

    yang durhaka kepadaku maka dia telah durhaka kepada Allah. (HR.

    Bukhari)

    .

    .

    Semua umatku akan masuk jannah (surga), kecuali orang-orang yang

    enggan. Para shahabat bertanya: Ya Rasulullah siapa orang enggan itu?

    Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam menjawab: Barang siapa yang

    mentaatiku maka dia kan masuk jannah, dan barang siapa yang memaksiatiku

    maka sungguh dia telah enggan. (HR. Bukhari)

  • 14 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    Artinya: Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada

    asalnya dari agama kita maka amalan itu tertolak. (HR. Muslim)

    Siapa saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-

    apa yang bukan darinya maka dia tertolak. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

    Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.25

    Saya berwasiat kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar,

    dan taat (kepada pemerintah) walaupun (pemerintah tersebut) seorang budak

    Habasyi. Karena sesungguhnya barangsiapa yang tetap hidup di antara kalian,

    maka dia akan melihat perselisihan yang sangat banyak. Maka wajib atas kalian

    (untuk mengikuti) sunnahku dan sunnah khulafa` yang mendapatkan hidayah

    dan petunjuk. Berpegangteguhlah kalian dengannya serta gigitlah ia dengan gigi

    geraham kalian. (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah dan

    dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa`)

    Dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu anhuma dari Nabi Shalallahu

    Alaihi wa Sallam beliau bersabda:

    25HR. Buhari, no. 631

  • 15 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    Amma badu, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitab Allah, dan

    sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad, dan sejelek-jelek perkara

    adalah yang diada-adakan dan setiap yang diada-adakan adalah bidah dan setiap

    bidah adalah kesesatan dan semua kesesatan berada dalam neraka. (HR.

    Muslim dan An-Nasa`i)

    c. Kriteria Amalan Yang Mutabaah

    Ukuran yang menunjukkan bahwa kita telah mewujudkan Ittiba

    kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam dalam ibadah, adalah

    dengan terwujudnya 6 kriteria, sebagaimana berikut ini:

    1) Sebab pelaksanaannya (as-sabab)

    Dalam masalah ibadah, sebab pelaksanaannya harus sesuai dengan

    apa yang telah ditetapkan oleh syariat, maka siapa saja yang beribadah

    dengan sebab yang tidak sesuai dengan tuntunan syariat, maka ibadah

    tersebut akan berubah menjadi perbuatan bidah. Sebagai contoh,

    seseorang shalat dua rakaat disebabkan mendengar suara petir, atau

    menyembelih hewan kurban sebab menyambut datangnya tahun baru

    Masehi.

    2) Jenis (an-nau/al-jinsu)

    Dalam masalah ibadah, jenis yang dipilih harus sesuai dengan apa

    yang telah ditetapkan oleh syariat, maka apabila ada yang

    menyelisihinya, maka dampaknya akan terjadi penyimpangan ibadah.

    Misalnya dalam masalah udhiyah (hewan kurban), syariat telah

    menentukan jenisnya yaitu harus dari jenis bahimatul anam (onta, sapi,

    domba, dan kambing). Bila ada seseorang yang berkurban (udhiyah)

    dengan jenis kuda atau ayam, maka ibadah kurbannya tersebut tidak sah,

    bahkan digolongkan dalam amal bidah.

  • 16 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    3) Ukuran (al-qadr)

    Dalam masalah ibadah, ukurannya harus sesuai dengan apa yang

    telah diukur oleh syariat, maka apabila ada seseorang yang shalat

    Zhuhur 6 rakaat atau shalat magrib 7 rakaat, maka shalat Zhuhurnya

    dan Magribnya tersebut, tidak diterima karena menyelisihi syariat.

    4) Sifat (as-sifat)

    Dalam masalah ibadah, sifatnya harus sesuai dengan apa yang

    telah disifati oleh syariat, maka ada orang yang wudhu menyelisihi sifat

    wudhu Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam seperti

    mendahulukan mencuci kaki sebelum mencuci wajah atau seseorang

    yang mengawali shalat dengan salam, dan mengahiri dengan takbiratul

    ihram-, maka kedua ibadah seperti ini tidak akan diterima, karena

    menyelisihi sunah Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam.

    5) Waktu Pelaksanaannya (al-zaman/al-waqtu)

    Dalam masalah ibadah, waktu pelaksanaannya harus sesuai

    dengan apa yang telah ditetapkan oleh syariat, maka apabila ada orang

    yang menyembelih udhhiyahnya sebelum shalat idul Adh-ha, maka tidak

    dianggap sebagai udhhiyah. Karena waktu disyariatkannya udhhiyah

    (menyembelih) di hari Iedul Adhha adalah setelah shalat Ied, bukan

    sebelumnya.

    6) Tempat Pelaksanaannya (al-makan)

    Dalam masalah ibadah, tempat pelaksanaannya harus sesuai

    dengan apa yang telah tentukan oleh syariat, maka apabila ada orang

    yang beritikaf di kamar rumahnya atau pergi melakukan thawaf kepada

    Allah di kuburan. Kedua ibadah ini tidak akan diterima, karena itikaf

    tempat disyariatkannya adalah di masjid. Sedangkan thawaf hanya

    diperbolehkan di Kabah.26

    d. Urgensi Niat dalam Ibadah

    Islam sangat memperhatikan masalah niat, karena niat adalah ruh

    amal ibadah dan inti sarinya (lubb). Perbuatan tanpa niat bagaikan jasad

    26Muhammad bin Shalih bin 'Utsaimin, Al-Ibda' fi Kamaalisy-Syar'i wa Khothrul-

    Ibtida', hm. 21-23

  • 17 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    tanpa ruh, sehingga dapat dikatakan amalan tanpa niat ikhlas adalah

    tiada bermakna, dan menghilangkan pahala dari kebaikan yang

    dilakukan. Bahkan Imam Syafii menegaskan, bahwa niat adalah

    mencakup sepertiga ilmu agama ini, dan merangkum 70 (tujuh puluh)

    bab fiqih. Lebih dari itu, Ibnu Rajab mengatakan bahwa niat adalah pilar

    agama, tanpa niat agama ini akan runtuh.27

    Oleh karena itu, niat adalah fondasi dasar (asas) dari amalan

    ibadah, yang dapat membedakan antara sah, dan rusaknya suatu ibadah,

    atau diterima dan ditolaknya suatu amalan ibadah. Perbuatan bisa

    dikatakan sah jika niatnya juga sah, begitu juga sebaliknya, jika niatnya

    rusak, maka amalannya juga dikatakan rusak, tentunya hal ini sangat

    menentukan kesesuaian dengan balasan yang akan diterima di dunia dan

    di akhirat.28

    Ibn Qayyim mengibaratkan niat yang ikhlas, bagaikan sebatang

    pohon yang tertanam di dalam hati, yang cabang-cabangnya adalah

    amal-amal, sedangkan buah-buahannya adalah baiknya kehidupan dunia

    dan surga yang penuh dengan kenikmatan di akherat. Sebagaimana

    buah-buahan di surga tidak akan akan habis dan tidak terlarang untuk

    dipetik, maka buah dari niat yang berupa tauhid dan keikhlasan di dunia

    pun akan tetap mengalir. Adapun syirik, kedustaan, dan riya adalah

    pohon yang tertanam di dalam hati yang buahnya di dunia adalah

    berupa rasa takut, kesedihan, gundah gulana, rasa sempit di dalam dada,

    dan gelapnya hati, dan buahnya di akherat nanti adalah berupa buah

    Zaqqum dan siksaan yang terus menerus. Allah telah menceritakan

    kedua macam pohon ini di dalam surat Ibrahim ayat 24-26 berikut ini,29

    27Ibnu Rajab, Jmi al-Ulm wa al-Hikam, tahqiq oleh Syuaib Al Arnauth dan Ibrahim

    Bajis, Saudi Arabia: Muassassah ar-Risalah, 1419H. , hlm. 9 28 Ibn Qayyim al-Jauziyah, Ilam al-Muwaq-qiin, Kairo: Maktabah Ibn Taimiyah, Vol. 4,

    hlm. 250 29Ibn Qayyim al-Jauziyah, al-Fawaid, hlm. 158

  • 18 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    Tidakkah kamu kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat

    perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan

    cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap

    musim dengan seizin Rabbnya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu

    untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang

    buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari

    permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun. (QS. Ibrahim: 24-26)

    Pengertian (Tarif) Tentang Niat

    Niat secara lughah berasal dari kata an-nawa ( ), yang bermakna

    al-qashdu (bermaksud), al-iradah (berkeinginan), al-azimah (bertujuan), al-

    ibtigha (mencari).30 Adapun niat menurut istilah syari adalah keinginan

    melakukan ketaatan kepada Allah, yang diiringi dengan melaksanakan

    perbuatan atau meninggalkannya.31

    Dalam Al-Quran banyak menjelaskan masalah niat dalam

    beberapa nash dan istilah yang beragam, walaupun niat tidak disebutkan

    secara langsung, tetapi substansinya berpusat pada niat, tujuan dan

    keikhlasan. Firman Allah Subhanahu wa Taala dalam al-quran surat al-

    Bayyinah ayat ke-5 dan Surat al-Zumar ayat 2 dan 11, Surat al-Araf ayat

    29, Surat al-Ghafir ayat 14 dan 65, dan Surat Luqman ayat 32. Di dalam

    ayat-ayat tersebut, secara detail menjelaskan tentang urgensi ikhlas

    sebagai ruh dari sebuah niat. Niat juga diungkapkan dengan

    menggunakan istilah al-iradah (keinginan). Hal ini dapat dilihat di dalam

    Al-Quran Surat al-Isra ayat 19, al-Furqan ayat 62, al-Qoshash ayat 19,

    al-Baqarah ayat 233 dan 228, Surat Hud ayat 88. Di dalam ayat-ayat

    30Muhammad Ibn Abi Bakar Al-Razi, Mukhtar Al-Shihah, Madinah Munawarah: Dar Al-

    thaibah, 1987, hlm. 687, Ibnu Manzhur, Lisanul Arab, Beirut: Daar Ihya at Turats al-Arabi, Vol. 14, hlm. 343

    31Ibid

  • 19 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    tersebut al-iradah diungkapkan dalam makna yang berbeda-beda dalam

    konteks yang beragam pula, tetapi semua iradah (keinginan) tersebut

    dikembalikan pada niat dan tujuan. Niat juga diungkapkan dengan kata

    al-ibtigha (tujuan, sasaran atau target). Misalnya di dalam Al-Quran surat

    an-Nisa ayat 94, at-Tahrim ayat 1, al-Qashash ayat 55, dan Ali Imran

    ayat 5 dan ayat 85, dan di dalam surat al-Rad ayat 22 dan al-Isra ayat

    28. Di dalam ayat-ayat tersebut al-ibtigha muncul dalam konteks

    larangan maupun perintah. Dengan demikian, perbuatan yang

    diperintahkan membutuhkan niat, perbuatan yang dilarang pun juga

    membutuhkan niat.

    Adapun dalam pandangan Al-Sunah, niat selalu dikaitkan dengan

    maksud dan tujuan seseorang dalam melakukan amalan ibadah. Jika

    tujuannya karena Allah maka hal itu disebut ikhlas, dan jika karena

    manusia atau kepentingan duniawi, maka niat tersebut berubah menjadi

    riya. Selain itu, Rasulallah Shalallahu Alaihi wa Sallam menjadikan niat

    sebagai salah satu syarat sahnya suatu amalan, sehingga suatu amalan

    tiada bernilai pahala jika tanpa disertai dengan niat. Hal itu sebagaimana

    yang dijelaskan dalam hadist Umar bin Khatthab berikut ini.

    .

    Dari Amir al-Muminn, Abu Hafsh Umar bin al-Khaththab ra, dia

    berkata bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya setiap amal

    perbuatan tergantung pada niatnya dan setiap orang pun (akan dibalas) sesuai

    dengan yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-

    Nya, maka hijrahnya sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang-siapa

    yang hijrahnya karena urusan duniawi yang ingin digapainya atau karena seorang

    wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang

    diniatkannya tersebut. (HR. Buhari dan Muslim)

  • 20 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    Fungsi Niat (Fawaid al-Niyah) dalam Ibadah

    Fungsi niat dalam amalan ibadah ada dua perkara, yaitu:

    1. Pertama: membedakan antara ibadah dengan adat (tamyiz al-ibadat an

    al-adat). Misalnya seseorang duduk di masjid untuk istirahat atau

    itikaf, hal ini dapat dibedakan dengan niatnya. Demikian juga

    menyerahkan harta kepada orang lain, apakah akadnya hibah,

    hadiyah, atau wadiah, atau zakat, sedekah biasa atau sebagai

    kaffarat. Semua itu, akan dibedakan dengan niatnya.

    2. Kedua, membedakan antara peringkat ibadah yang satu dengan

    ibadah yang lainnya (tamyiz mzrztib zl-ibadat badhuha min badhin).

    Misalnya macam-macam shalat ada yang fardhu dan ada pula yang

    sunnah, demikian juga apakah bersifat qadha atau ada.32

    Waktu Niat dan Tempatnya

    Menukil kesepakatan ulama, Ibnu Taimiyyah mengemukakan

    bahwa waktu niat itu di awal melakukan amalan ibadah. Adapun tempat

    niat adalah di hati, bukan diucapkan dengan lisan,33 kecuali waktu

    tertentu yang disunahkan untuk melafazkan niat, seperti ketika haji dan

    umrah, dengan mengatakan: "Labbaik Allahumma Hajjan" (Ya Allah, aku

    penuhi panggilan-Mu untuk haji), atau "Labbaik Allahumma 'Umratan"

    (Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk umrah), sehingga apa yang

    ada dalam hati dikuatkan dengan kata-kata yang dilafazkan. Sebab

    Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam melafazkan niat haji dan juga

    melafazkan niat umrah. Maka demikian ini sebagai dalil disyariatkannya

    melafazkan niat karena mengikuti Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam.

    Sebagaimana para sahabat juga melafazkan demikian itu seperti

    diajarkan oleh Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam dan mereka

    mengeraskan suara mereka.34

    32Al-Zarkasyi, Al-Mantsur, Kuwait: Wuzarah Al-Auqaf Kuwait, 1405H. , Vol. 2, hlm.

    285, IbnU Rajab, Jmi al-Ulm wa al-Hikam, tahqiq oleh Syuaib Al Arnauth dan Ibrahim Bajis, Saudi Arabia: Muassassah ar-Risalah, 1419H. , hlm. 9

    33 Ibn Taimiyyah, Majmu Fatawa, Vol. 26, hlm. 21-24. 34Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-

    Ulama Besar Saudi Arabia, Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi'i, hlm. 80 83

  • 21 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    Besar Kecilnya Pahala Amalan Dzahir Tergantung Pada Kualitas

    Niatnya

    Niat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pahala amalan

    dzahir yang kita lakukan, semakin niatnya ikhlas, semakin besar pula

    pahala yang akan kita dapatkan. Demikian juga sebaliknya, niat yang

    salah akan mempengaruhi rusaknya amalan yang kita lakukan, dan

    menghapus pahalanya. Oleh karena itu, menata niat sebelum melakukan

    amal adalah amat penting, sehingga amalan yang dilakukan terjaga

    pahalanya dan kualitasnya. Lebih jelasnya, kita tadaburi firman Allah

    berikut ini:

    Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai

    (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.

    (QS. Al-Hajj: 37)

    Dari ayat di atas, menunjukkan bahwa amalan dzahir yang berupa

    penyembelihan hewan kurban, ditentukan oleh kualitas niat dalam

    hatinya yang terwujud dalam bentuk ketaqwaan, sehingga bentuk dzahir

    berupa daging dan darah hewan kurban tidak sampai pada Allah, tetapi

    niatnya itulah yang sampai pada keridhaan Allah. Ibnu Taimiyyah

    rahimahullah berkata:

    Sesungguhnya amalan-amalan lahiriah (dzohir) nilainya menjadi besar

    atau menjadi kecil sesuai dengan apa yang ada di hati, dan apa yang ada di hati

    bertingkat-tingkat. Tidak ada yang tahu tingkatan-tingkatan keimanan dalam

    hati-hati manusia kecuali Allah.

  • 22 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    Sesungguhnya amalan-amalan berbeda-beda tingkatannya sesuai dengan

    perbedaan tingkatan keimanan dan keikhlasan yang terdapat di hati. Dan sungguh

    ada dua orang yang berada di satu shaf sholat akan tetapi perbedaan nilai sholat

    mereka berdua sejauh antara langit dan bumi.35

    Salah satu rahasia kenapa Allah menjadikan sedikit infaq yang

    dikeluarkan oleh para sahabat Nabi lebih tinggi nilai pahalanya, dari

    pada beribu-ribu ton emas yang kita sedekahkan. Hal itu dikarenakan,

    kualitas niat para sahabat sangatlah tinggi, sementara kualitas niat kita

    tidak sebanding dengan niat mereka. Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi

    wa Sallam pernah bersabda,

    Janganlah kalian mencela para sahabatku, kalau seandainya salah seorang

    dari kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud maka tidak akan menyamai infaq

    mereka (kurma atau gandum sebanyak-pen) dua genggam tangan atau segenggam

    tangan. (HR. Bukhari dan Muslim)

    Al-Baydhawi mensyarah hadist ini, seraya berkata:

    Makna hadits ini adalah salah seorang dari kalian meskipun menginfakan

    emas sebesar gunung Uhud maka tidak akan meraih pahala dan karunia

    sebagaimana yang diraih oleh salah seorang dari mereka (para sahabat) meskipun

    35-Ibn Taimiyah, Minhaj alSunnah, Vol. 6, hl. 136-137

  • 23 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    hanya menginfakan satu mud makanan atau setengah mud. Sebab perbedaan

    tersebut adalah karena (mereka) yang lebih utama (yaitu para sahabat) disertai

    dengan keikhlasan yang lebih dan niat yang benar.36

    Walhasil, niat yang berkualitas akan mempengaruhi kualitas suatu

    amalan ibadah yang kita amalkan. Dengan demikian, niat adalah bagian

    yang amat penting dalam struktur amal, sehingga baik tidaknya amal

    adalah ditentukan pada niat pelakunya.

    36Redaksi ini sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari, Vol. 7, hlm. 34

  • 24 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    BAB II

    FIKIH SHALAT

    1. Kedudukan Shalat dalam Islam

    Islam telah mengagungkan kedudukan shalat, menempatkannya

    dalam posisi yang mulia yaitu sebagai rukun Islam yang paling agung

    setelah dua kalimat syahadat. Dari Ibnu Umar Radhiallahu anhuma

    bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam

    bersabda, "Islam itu didirikan atas lima pondasi, bersaksi bahwa tiada

    Tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya kecuali Allah

    Shubhanahu wa TaalLa dan bersaksi bahwa Muhammad Shalallahu Alaihi

    Wa Sallam adalah utusan Allah Shubhanahu wa Taalla, mendirikan shalat,

    menunaikan zakat , berhaji dan melaksnakan puasa ramadhan.

    Shalat juga merupakan ibadah pertama yang akan dipertanggung-

    jawabkan di hadapan Allah Shubhanahu wa Taalla pada hari kiamat. Dari

    Abdullah bin Qarth Radhiallahu anhu bahwa Nabi Muhammad Shalallahu

    Alaihi Wa Sallam bersabda, "Amal ibadah yang pertama yang akan

    dihisab oleh Allah pada hari kiamat adalah shalatnya, jika shalatnya baik

    maka baiklah seluruh amalannya yang lain dan jika shalatnya rusak maka

    rusaklah seluruh amalannya yang lain.

    Shalat juga sebagai pembeda antara seorang muslim dengan orang

    yang kafir. Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu anhu bahwa Nabi

    Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Di antara seseorang

    dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.

    Shalat juga sebagai tameng yang melindungi seseorang dari

    kemaksiatan. Allah berfirman: "Dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu

    mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. (QS. Al-Ankabut:

    45)

    Shalat juga sebagai alat yang dapat menghapuskan dosa. Dari Abi

    Hurairah Radhiallahu anhu bahwa Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa

  • 25 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    Sallam bersabda: Bagaimanakah pendapat kalian jika ada sebuah sungai

    di hadapan pintu salah seorang di antara kalian dan dia mandi padanya

    lima kali sehari, maka apakah akan ada daki yang tertinggal pada

    badannya? Para shahabat berkata: Tidak ada daki yang tertinggal pada

    jasadnya. Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Itulah

    perumpamaan shalat lima waktu di mana Allah Taala menghapuskan

    kesalahan dengannya.37

    Shalat juga merupakan pesan terakhir, yang diwasiatkan Rasulullah

    Shalallahu Alaihi wa Sallam pada umatnya, saat beliau menghadapi

    sakaratul maut adalah: Jagalah shalat, jagalah shalat dan budak-budak

    yang kalian miliki.

    2. Ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat

    Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, maka ia telah

    kufur. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Hal itu berdasarkan dalil

    berikut ini :

    Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu anhu, bahwa

    Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda

    Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan dan

    kekafiran adalah meninggalkan shalat. (HR. Muslim).

    Diriwayatkan dari Buraidah bin Al Hushaib Radhiallahu anhu, ia

    berkata: aku mendengar Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam

    bersabda:

    Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, barangsiapa yang

    meninggalkannya maka benar benar iatelah kafir. (HR.Abu Daud,

    Turmudzi, An Nasa'i, Ibnu Majah dan Imam Ahmad)

    Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam telah berwasiat:

    37Shahih Bukhari 1/184 no: 528 dan shahih Muslim 1/463 no: 667

  • 26 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    Janganlah kamu berbuat syirik kepada Allah sedikitpun, dan janganlah

    kamu sengaja meninggalkan shalat, barangsiapa yang benar-benar dengan

    sengaja meninggalkan shalat maka ia telah keluar dari Islam.

    Adapun kosekwensi hukum yang berlaku karena kufur (keluar

    dari Islam), yaitu :

    a. Kehilangan haknya sebagai wali, karena syarat perwalian adalah

    harus Islam dan adil.

    b. Kehilangan haknya untuk mewarisi harta kerabatnya. Hal itu

    berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid

    Radhiallahu anhu, Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

    Tidak boleh seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak boleh orang

    kafir mewarisi orang muslim. (HR.Bukhari dan Muslim)

    c. Dilarang baginya untuk memasuki kota Makkah dan tanah haram.

    Berdasarkan firman Allah Subhaanahu wa Taalla:

    Hai orang orang yang beriman, sesungguhnya orang- orang musyrik itu najis,

    maka janganlah mereka mendekati Al Masjidil Haram sesudah tahun

    ini (QS. At Taubah: 28)

    d. Diharamkan makan hewan sembelihannya. karena salah satu syarat

    penyembelihannya adalah bahwa penyembelihnya harus seorang

    muslim, adapun orang murtad, paganis, majusi, dan sejenisnya, maka

    sembelihan mereka tidak halal.

  • 27 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    e. Tidak boleh dishalatkan jenazahnya dan tidak boleh dimintakan

    ampunan dan rahmat untuknya. Berdasarkan firman Allah

    Subhaanahu wa Taalla:

    Dan janganlah kamu sekali-kali menshalatkan (jenazah) seorang yang mati

    di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburannya,

    sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka

    mati dalam keadaan fasik. (QS. At -Taubah: 84)

    f. Dilarang menikah dengan wanita muslimah. Karena orang kafir

    tidak boleh menikahi wanita muslimah, berdasarkan nash dan ijma.

    Allah Subhaanahu wa Taallaberfirman:

    Hai orang-orang yang beriman, apabila perempuan perempuan yang beriman

    datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka,

    Allah lebih mengetahui tentang mereka, jika kamu telah mengetahui bahwa

    mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka

    kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir, mereka tidak halal bagi

    orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka

    (QS. Al Mumtahanah: 10)

    g. Keutamaan shalat berjamaah

    Pahala shalat berjama`ah melebihi pahala shalat sendirian dua

    puluh tujuh derajat.

  • 28 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    :

    Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam

    bersabda : Shalat berjama`ah lebih utama daripada shalat sendirian dua

    puluh tujuh derajat. (HR. Buhari dan Muslim)

    Pahala shalat berjamaah melampui pahala shalat malam

    ((

    .)) .

    Dari Utsman bin `Affan Radhiallahu anhu berkata: Saya telah

    mendengar Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

    Barangsiapa yang shalat Isya dengan berjama`ah maka seakan-akan ia

    shalat seperdua malam, dan barangsiapa yang shalat Shubuh dengan

    berjama`ah maka seakan-akan ia shalat sepanjang malam. (HR.

    Muslim)

    Setiap langkah yang diayunkan seorang muslim untuk

    menegakkan shalat berjama`ah terhitung disisi Allah sebagai

    pahala dan ganjaran baginya. Tidaklah setiap ayunan langkahnya

    melainkan terangkat baginya satu derajat dan dihapuskan satu

    dosa untuknya. Sebagaimana hadits yang terdapat di dalam

    shahihain.

    :

  • 29 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    Dari Abu Hurairah Radhiallahu anhu berkata: Rasululah Shalallahu

    Alaihi wa Sallam bersabda: Pahala shalat seseorang yang berjamaah

    melebihi pahala shalat sendirian di rumahnya dan dipasarnya dua puluh

    lima kali lipat. Yang demikian itu apabila ia berwudhu` dengan sebaik-

    baiknya, kemudian ia pergi menuju masjid, tidak ada tujuan lain kecuali

    untuk shalat berjama`ah maka tidaklah setiap langkah yang

    diayunkannya melainkan terangkat baginya satu derajat dan dihapuskan

    untuknya satu dosa, apabila ia melakukan shalat berjama`ah maka para

    malaikat senantiasa mendoakannya selama ia masih berada di tempat

    shalatnya dan juga ia belum berhadats. Para Malaikat berdoa:

    Allahumma shalli `alaihi, Allahummarhamhu (Ya Allah, Ampunilah

    dia dan rahmatilah). Dan tetap ia dianggap shalat selama ia menunggu

    waktu shalat berikutnya tiba. (HR. Buhari)

    Seseorang yang istiqamah shalat berjama`ah dijamin terlepas dari

    sifat nifaq.

  • 30 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    .

    .

    Dari Ibnu Mas`ud Radhiallahu anhu berkata: Barangsiapa yang ingin

    bertemu dengan Allah kelak (dalam keadaan) sebagai seorang muslim,

    maka hendaklah dia memelihara shalat setiap kali ia mendengar

    panggilan shalat. Sesungguhnya Allah telah mensyariatkan sunnanal huda

    (jalan-jalan petunjuk) dan sesungguhnya shalat berjama`ah merupakan

    bagian dari sunnanil huda. Apabila kamu shalat sendirian di rumahmu

    seperti kebiasaan shalat yang dilakukan oleh seorang mukhallif (yang

    meninggalkan shalat berjama`ah) ini, berarti kamu telah meninggalkan

    sunnah nabimu, apabila kamu telah meninggalkan sunnah nabimu,

    berarti kamu telah tersesat. Tiada seorang pun yang bersuci (berwudhu`)

    dengan sebaik-baiknya, kemudian dia pergi menuju salah satu masjid

    melainkan Allah mencatat baginya untuk setiap langkah yang

    diayunkannya satu kebajikan dan diangkat derajatnya satu tingkat dan

    dihapuskan baginya satu dosa. Sesungguhnya kami berpendapat, tiada

    seorang pun yang meninggalkan shalat berjama`ah melainkan seorang

    munafik yang jelas-jelas nifak. Dan sesungguhnya pada masa dahulu ada

    seorang pria yang datang untuk shalat berjama`ah dengan dipapah oleh

    dua orang laki-laki sampai ia didirikan di dalam barisan shaff shalat

    berjama`ah. (HR. Muslim)

    Orang yang shalat berjama`ah terbebas dari segala perangkap

    syaithan

  • 31 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    Dari Abu Darda Radhiallahu anhu berkata: Saya telah

    mendengar Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

    Tidaklah dari tiga orang yang berada di sebuah perkampungan maupun

    sebuah dusun dan mereka tidak mendirikan shalat berjama`ah di

    dalamnya, melainkan syaithan telah menguasai diri mereka. Maka

    hendaklah atas kamu bersama jama`ah, sesungguhnya srigala hanya

    menerkam kambing yang terpisah dari kawannya. (HR. Abu Daud)

    Dari Abu Hurairah Radhiallahu anhu bahwa Rasulullah Shalallahu

    Alaihi wa Sallam bersabda: Siapa yang datang ke masjid pagi-pagi

    atau setelah matahari tergelincir (maksudnya lebih awal dari waktu

    shalat), Allah menyediakan baginya tempat di surga setiap kali dia

    datang. (HR. Bukhari dan Muslim)

    Melakukan shalat berjamaah berarti ia merealisasikan shalat pada

    waktunya.

    .

    . .

    . .

  • 32 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    Dari Abdullah bin Mas`ud Radhiallahu anhu berkata: Saya

    bertanya kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam, Apakah

    amal yang paling disukai Allah ?, jawab Rasulullah Shalallahu Alaihi

    wa Sallam: Shalat pada waktunya. Saya bertanya: Kemudian apa

    lagi?, jawab Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam: Berbakti

    kepada kedua orang tua. Saya bertanya: Kemudian apa lagi?, jawab

    Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam: Berjihad di jalan Allah.

    Berkata Abdullah bin Mas`ud Radhiallahu anhu, Rasulullah Shalallahu

    Alaihi wa Sallam menyampaikan semuanya itu kepadaku, seandainya

    aku meminta penjelasan lebih dari itu, niscaya beliau akan

    menambahkannya. (HR. Al Bukhari)

    Berjalan menuju masjid untuk berjamaah bisanya dilakukan

    dengan tenang

    ((

    .

    .)) .

    Dari Abu Qatadah Radhiallahu anhu berkata: Ketika kami sedang

    shalat bersama-sama Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam, tiba-tiba

    kami mendengar suara hiruk pikuk. Maka Rasulullah Shalallahu

    Alaihi wa Sallam bersabda: Apa yang terjadi dengan kalian, jawab

    mereka : Kami tergesa-gesa hendak shalat. Sabda Rasulullah

    Shalallahu Alaihi wa Sallam: Jangan kalian lakukan itu, apabila

    kamu pergi shalat, berjalanlah dengan tenang. Apa yang kamu dapati

    dalam shalat ikutilah, dan apa yang kamu ketinggalan, sempurnakanlah

    kemudian. (HR. Muslim)

    Allah menjadi saksi atas setiap orang yang memelihara shalat

    berjama`ah di masjid dengan penuh keimanan. Firman Allah

    Subhanahu wa Taalla :

  • 33 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    Hanyalah yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah ialah orang-orang

    yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan

    shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain

    Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan

    orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. At-Taubah : 18)

    Berharap agar amin yang diucapkan dapat berbarengan

    dengan aminnya imam dan aminnya para malaikat.

    . .

    Dari Abu Hurairah Radhiallahu anhu bahwa Rasulullah Shalallahu

    Alaihi wa Sallam bersabda: Apabila Imam membaca Amin, maka

    ucapkan pula Amin olehmu. Barangsiapa yang ucapan Aminnya

    berbarengan dengan ucapan Aminnya malaikat, diampuni segala

    dosanya yang telah lalu. (HR. Bukhari dan Muslim)

    h. Hikmah shalat berjamaah

    Disyariatkannya shalat berjamaah, tentu memiliki banyak hikmah.

    Di antaranya adalah sebagaimana berikut:

    Pertama: Mamperlihatkan syiar Islam, yaitu syiar shalat, sebab

    seandainya manusia tetap melaksanakan shalat di rumah mereka maka

    tidak ada yang mengetahui bahwa di sana ada syariat shalat.

    Kedua: Menjalin kasih sayang sesama manusia, sebab saling bertemu

    dengan manusia dan saling berjabatan tangan akan melahirkan rasa kasih

    sayang dan saling mencintai. Diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam

  • 34 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    kitab shahihnya dari Abi Hurairah Radhiallahu anhu bahwa Nabi

    Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda: Kalian tidak akan

    masuk surga sehingga kalian beriman, dan tidak akan beriman sehingga

    kalian saling mencintai, tidakkah aku tunjukkan kepada kalian suatu

    amalan yang apabila kalian kerjakan maka kalian akan saling mencintai?.

    Sebarkanlah salam di antara kalian.38

    Ketiga: Terbentuknya rasa persamaan sesama manusia. Sebab di

    dalam mesjid akan berkumpul orang yang paling kaya di samping orang

    yang paling miskin, seorang penguasa bersebelahan dengan rakyat,

    seorang hakim berjejer bersama orang yang dihakimi dan anak-anak atau

    remaja berdampingan dengan orang yang sudah tua, dengan ini maka

    akan tercipta rasa persamaan, oleh karena itulah Rasulullah Shalallahu

    Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk meluruskan shaf. Dan Nabi

    Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda: Luruskanlah shaf dan

    janganlah kalian bershaf bengkok sehingga hati-hati kalian menjadi

    berselisih.39

    Keempat: Akan terbentuk rasa peka dengan keadaan orang lain. Peka

    dengan keadaan orang-orang fakir dan orang-orang yang sakit serta

    keadaan orang yang meremehkan shalat. Sebab jika keadaan orang yang

    fakir diketahui oleh jamaah mesjid maka mereka akan bersedekah

    kepadanya dan menghiburnya, begitu juga jika seseorang tidak

    menghadiri shalat berjamaah maka para jamaah akan mengetahui jika

    dia sakit, sehingga dengan ini para jamaah akan membantunya, atau jika

    ada salah seorang jamaah yang meremehkan shalat berjamaah maka

    mereka akan menasehatinya dengan segera.40

    i. Hukum shalat berjamaah

    Shalat berjama`ah hukumnya wajib, ini pendapat mayoritas ulama.

    Kewajiban ini berlaku atas setiap muslim laki-laki, baik ia dalam keadaan

    menetap maupun dalam perjalanan, dalam keadaan aman maupun

    dalam keadaan genting. Hal itu berdasarkan dalil-dalil dari Al Qur`an

    dan As-Sunnah dan pendapat Ahlu Ilmi. Di antara dalil-dalil tersebut

    adalah :

    38Muslim: no: 54 39Shahih Muslim: no: 432 40- Dr. Amin bin Abdullah asy-Syaqawi, Shalat Jamaah, Pustaka Islamhouse,2010,hlm.8

  • 35 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    Firman Allah Subhaanahu wa Taalla yang memerintahkan Nabi-

    Nya untuk mendirikan shalat berjama`ah di dalam keadaan yang

    genting :

    Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu

    kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah

    segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata,

    kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah

    menyempurnakan seraka'at), maka hendaklah mereka pindah dari

    belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan

    yang kedua yang belum bershalat, lalu bershalatlah mereka denganmu, dan

    hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. (QS. An-

    Nisa: 102)

    Ayat ini menegaskan bahwa dalam keadaan kecamuk perang,

    Allah masih mewajibkan untuk tetap melakukan shalat dengan

    cara berjamaah. Apalagi dalam keadaan aman, tentu shalat yang

    dilakukan dengan berjamaah akan lebih wajib.

    Firman Allah Subhaanahu wa Taalla:

    Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku'lah bersama

    orang-orang yang ruku'. (QS.Al-Baqarah:43)

    Ayat ini merupakan nash yang menunjukan hukum wajibnya

    shalat berjama`ah, indikasinya adalah dikaitkan dengan lafadz

    akhir ayat tersebut yang berbunyi: Warka`uu ma`ar raaki`iin.

    Yang artinya perintah melaksanakan shalat bersama orang-orang

    yang mendirikan shalat.

  • 36 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    Terdapat dalam hadist-hadist, sebagaimana diriwayatkan dari

    Abu Hurairah Radhiallahu anhu bahwa Rasulullah Shalallahu

    Alaihi wa Sallam bersabda :

    . ) (

    Demi Allah yang jiwaku ada ditangan-Nya, rasanya aku ingin menyuruh

    mengumpulkan kayu bakar, dan kuperintahkan mengumandangkan

    adzan untuk mendirikan shalat, kemudian aku instruksikan seseorang

    untuk mengimami jama`ah shalat. Selanjutnya aku berbalik menuju

    orang-orang yang tidak shalat berjama`ah, lalu aku bakar mereka

    bersama rumah-rumah mereka. (HR. Buhari dan Muslim)

    .

    .

    . .

    .) (

    Dari Abu Hurairah Radhiallahu anhu katanya seorang laki-laki

    buta datang kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam, lalu

    bertanya: Ya Rasulullah, aku ini buta. Tidak ada orang yang akan

    menuntunku pergi ke masjid (untuk shalat berjama`ah). Lalu dia

    memohon kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam agar

    membolehkannya shalat di rumahnya. Mula-mula Rasulullah Shalallahu

    Alaihi wa Sallam membolehkannya, tetapi setelah orang itu pergi belum

    begitu jauh, dia dipanggil kembali oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi wa

  • 37 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    Sallam seraya bertanya: Apakah adzan dan shalat terdengar sampai

    kerumahmu? Jawab orang buta itu: Terdengar, ya Rasulullah !. Sabda

    Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam: Kalau begitu, penuhilah panggilan

    adzan tersebut!. (HR. Buhari dan Muslim)

    ) (

    Dari Ibnu Mas`ud Radhiallahu anhu berkata: Barangsiapa yang

    ingin bertemu dengan Allah kelak (dalam keadaan) sebagai seorang

    muslim, maka hendaklah dia memelihara shalat setiap kali ia mendengar

    panggilan shalat. Sesungguhnya Allah telah mensyariatkan sunnanal huda

    (jalan-jalan petunjuk) dan sesungguhnya shalat berjama`ah merupakan

    bagian dari sunnanil huda. Apabila kamu shalat sendirian di rumahmu

    seperti kebiasaan shalat yang dilakukan oleh seorang mukhallif (yang

    meninggalkan shalat berjama`ah) ini, berarti kamu telah meninggalkan

    sunnah nabimu, apabila kamu telah meninggalkan sunnah nabimu,

    berarti kamu telah tersesat. Tiada seorang pun yang bersuci (berwudhu`)

    dengan sebaik-baiknya, kemudian dia pergi menuju salah satu masjid

    melainkan Allah mencatat baginya untuk setiap langkah yang

  • 38 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    diayunkannya satu kebajikan dan diangkat derajatnya satu tingkat dan

    dihapuskan baginya satu dosa. Sesungguhnya kami berpendapat, tiada

    seorang pun yang meninggalkan shalat berjama`ah melainkan seorang

    munafik yang jelas-jelas nifak. Dan sesungguhnya pada masa dahulu ada

    seorang pria yang datang untuk shalat berjama`ah dengan dipapah oleh

    dua orang laki-laki sampai ia didirikan di dalam barisan shaff shalat

    berjama`ah. (HR. Muslim)

    j. Adab shalat berjamaah di masjid

    Memilih pakaian yang bagus. Allah Taala berfirman

    Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)

    masjid. (QS. Al-Araf: 31)

    Berwudhu dari rumah terlebih dahulu, sebagaimana diterangkan

    oleh Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam.

    Barangsiapa yang bersuci dari rumahnya kemudian berjalan ke salah

    satu rumah dari rumah-rumah Allah (masjid) untuk menunaikan salah

    satu dari kewajiban-kewajiban yang Allah wajibkan, maka kedua

    langkahnya salah satunya akan menghapus dosa dan langkah yang

    lainnya akan mengangkat derajatnya. (HR. Muslim)

    Membaca doa menuju masjid. Rasulullah Shalallahu Alaihi wa

    Sallam mengajarkan kita untuk mengucapkan doa. Dari Anas bin

    Malik, bahwa Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

  • 39 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    Jika seorang laki-laki keluar dari rumahnya lalu mengucapkan:

    Bismillahi tawakkaltu alallaahi, laa haula wa laa quuwata illa billah

    (Dengan nama Allah aku bertawakal kepada Allah, tidak ada daya dan

    kekuatan kecuali dengan izin Allah). Beliau bersabda, Maka pada

    saat itu akan dikatakan kepadanya, Kamu telah mendapat petunjuk,

    telah diberi kecukupan, dan mendapat penjagaan, hingga setan-setan

    menjauh darinya. Lalu setan yang lainnya berkata kepadanya (setan yang

    akan menggodanya, pent.), Bagaimana (engkau akan mengoda) seorang

    laki-laki yang telah mendapat petunjuk, kecukupan, dan penjagaan.

    (HR. Abu Daud dan At-Tirmizi)

    Ketika hendak menuju masjid, dianjurkan membaca :

    Allahummajal fii qolbi nuura wa fii bashari nuura wa fii sami nuura

    wa an yamiinihi nuura wa an yasaarii nuura wa fauqi nuura wa tahti

    nuura wa amaami nuura wa khalfi nuura wajal lii nuura (Ya Allah

    jadikanlah cahaya dalam hatiku, cahaya dalam penglihatanku, cahaya

    dalam pendengaranku, cahaya dari kananku, cahaya dari kiriku, cahaya

    dari belakangku, dan jadikanlah untukku cahaya. (HR. Muslim)

    Berdoa Ketika Masuk Masjid sebagaimana terdapat dalam

    hadits Abu Said radhiyallahu anhu:

  • 40 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    .

    Jika salah seorang di antara kalian memasuki masjid, maka

    ucapkanlah, Allahummaftahlii abwaaba rahmatik (Ya Allah,

    bukakanlah pintu-pintu rahmat-Mu). Jika keluar dari masjid,

    ucapkanlah: Allahumma inni as-aluka min fadhlik (Ya Allah, aku

    memohon pada-Mu di antara karunia-Mu). (HR. Muslim)

    Tidak Lewat di Depan Orang yang Sedang Shalat. Rasulullah

    Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

    Seandainya orang yang lewat di depan orang yang shalat mengetahui

    (dosa) yang ditanggungnya, niscaya ia memilih untuk berhenti selama 40 (

    tahun), itu lebih baik baginya daripada lewat di depan orang yangsedang

    shalat. (HR. Bukhari dan Muslim)

    Melaksanakan Shalat Dua Rakaat Sebelum Duduk. Rasulullah

    Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda :

    Jika salah seorang dari kalian masuk masjid, maka hendaklah dia shalat

    dua rakaat sebelum dia duduk. (HR. Bukhari dan Muslim)

    Menghadap Sutrah41 Ketika Shalat. Dalil yang menunjukkan

    disyariatkannya shalat menghadap sutrah terdapat dalam sabda

    Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam berikut :

    41- Yang dimaksud denagan sutrah adalah pembatas dalam shalat, bisa berupa tembok, tiang, orang yang sedang duduk/sholat, tongkat, tas, dll. Sutrah disyariatkan bagi imam dan bagi orang yang shalat sendirian.

  • 41 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    Apabila salah seorang di antara kalian shalat, hendaknya ia shalat

    dengan menghadap sutrah dan mendekatlah padanya. (HR. Abu

    Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini

    shahih sebagaimana dalam Shahihul Jaami)

    Menjawab panggilan adzan. Rasulullah shallallahu alihi wa

    sallam bersabda:

    Apabila kalian mendengar adzan maka ucapkanlah seperti yang sedang

    diucapkan muadzin. (HR. Bukhari dan Muslim)

    Apabila muadzin mengatakan, Allahu Akbar Allahu Akbar, maka

    hendaklah kalian yang mendengar menjawab, Allahu Akbar Allahu

    Akbar. Kemudian muadzin mengatakan, Asyhadu An Laa Ilaaha

    Illallah, maka dijawab, Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah. Muadzin

    mengatakan setelah itu, Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah,

    maka maka dijawab, Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah. Saat

    muadzin mengatakan, Hayya Alash Shalah, maka maka dijawab

    Laa Haula wala Quwwata illa billah. Saat muadzin mengatakan,

  • 42 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    Hayya Alal Falah, maka maka dijawab Laa Haula wala Quwwata

    illa billah. Kemudian muadzin berkata, Allahu Akbar Allahu

    Akbar, maka dijawab, Allahu Akbar Allahu Akbar. Dan muadzin

    berkata, Laa Ilaaha illallah, maka dijawab, La Ilaaha illallah Bila

    yang menjawab adzan ini mengatakannya dengan keyakinan hatinya

    niscaya ia pasti masuk surga. (HR. Muslim)

    Ketika selesai mendengarkan adzan, dianjurkan membaca doa

    yang diajarkan Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam dalam hadits

    berikut :

    Barangsiapa yang setelah mendengar adzan membaca doa : Allahumma

    Robba hadzihid dawattit taammah was shalatil qaaimah, aati

    muhammadanil wasiilata wal fadhiilah wabatshu maqaamam

    mahmuudanil ladzi wa adtahu (Ya Allah pemilik panggilan yang

    sempurna ini dan shalat yang didirikan berilah Muhammad wasilah dan

    keutamaan dan bangkitkanlah dia pada tempat yang terpuji yang telah

    Engkau janjikan padanya) melainkan dia akan mendapatkan syafaatku

    pada hari kiamat. (HR. Bukhari)

    Tidak Keluar dari Masjid Tanpa Uddzur. Hal ini sebagaiamana

    dikisahkan dalam sebuah riwayat dari Abu as Syatsaa

    Radhiyallahu anhu, beliau berkata :

  • 43 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    Kami pernah duduk bersama Abu Hurairah dalam sebuah masjid.

    Kamudian muadzin mengumandangkan adzan. Lalu ada seorang laki-

    laki yang berdiri kemudian keluar masjid. Abu Hurairah melihat hal

    tersebut kemudian beliau berkata : Perbuatan orang tersebut termasuk

    bermaksiat terhadap Abul Qasim (Nabi Muhammad) Shalallahu

    Alaihi wa Sallam. (HR Muslim)

    Memanfaatkan Waktu Antara Adzan dan Iqomah. Yaitu dengan

    mengisi shalat sunnah qabliyah, membaca Al-Quran, berdizikir,

    atau berdoa. Waktu ini merupakan waktu yang dianjurkan

    untuk berdoa, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi wa

    Sallam:

    Doa di antara adzan dan iqamah tidak tertolak. (HR. Tirmidzi)

    Menempati shaf yang utama. Bagi laki-laki yang paling depan,

    adapun bagi wanita yang paling belakang. Imam Muslim

    meriwayatkan dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah Shalallahu

    Alaihi wa Sallam bersabda,

    Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang pertama dan seburuk-buruknya

    adalah yang terakhir. Sebaik-baik shaf wanita adalah yang terakhir dan

    seburuk-buruknya adalah yang pertama. (HR.Muslim)

    Merapikan dan merapatkan shaf shalat. Sebagaimana yang

    dijelaskan di dalam hadits dari sahabat Abu Abdillah Numan

    bin Basyir, beliau berkata, aku mendengar Rasulullah Shalallahu

    Alaihi wa Sallam bersabda :

  • 44 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    Hendaknya kalian bersungguh- sungguh meluruskan shaf-shaf kalian

    atau Allah sungguh-sungguh akan memperselisihkan di antara wajah-

    wajah kalian. (HR. Bukhari dan Muslim)

    Jangan mendahului gerakan imam.Sebagaimana dijelaskan

    dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu:

    Sesungguhnya imam hanya untuk diikuti, maka janganlah

    menyelisihnya. Apabila ia ruku, maka rukulah. Dan bila ia

    mengatakan samiallahu liman hamidah, maka katakanlah,Rabbana

    walakal hamdu. Apabila ia sujud, maka sujudlah. Dan bila ia shalat

    dengan duduk, maka shalatlah kalian dengan duduk semuanya. (HR.

    Bukhari)

    Berdoa ketika keluar masjid. Dari Abu Humaid atau dari Abu

    Usaid dia berkata: Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam

    bersabda:

    Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka

    hendaknya dia membaca, Allahummaftahli abwaaba rahmatika

    (Ya Allah, bukalah pintu-pintu rahmat-Mu). Dan apabila keluar,

    hendaknya dia mengucapkan, Allahumma inni as-aluka min fadhlika

    (Ya Allah, aku meminta kurnia-Mu). (HR. Muslim)

  • 45 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    BAB III

    FIKIH ZAKAT

    1. Definisi Zakat

    Zakat secara bahasa memiliki banyak arti yang saling berdekatan,

    yaitu:

    Zakat berarti berarti bertambah atau tumbuh.

    Makna seperti dapat kita lihat dari perkataan Ali bin Abi Tholib,

    Ilmu itu semakin bertambah dengan diinfakkan.

    Zakat berarti , yang lebih baik. Sebagaimana dapat kita

    lihat pada firman Allah Taala,

    Dan kami menghendaki, supaya Rabb mereka mengganti bagi mereka

    dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu. (QS.

    Al-Kahfi: 81)

    Zakat juga berarti mensucikan. Sebagaimana firman Allah

    Taala,

    Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. (QS.

    Asy-Syams: 9)

  • 46 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu

    membersihkan dan mensucikan mereka. (QS. At Taubah: 103)42

    Adapun secara istilah syari, zakat berarti penunaian kewajiban

    pada harta yang khusus, dengan cara yang khusus, dan disyaratkan

    ketika dikeluarkan telah memenuhi haul (masa satu tahun) dan nishob

    (ukuran minimal dikenai kewajiban zakat). Zakat pun kadang

    dimaksudkan untuk harta yang dikeluarkan. Sedangkan muzakki adalah

    istilah untuk orang yang memiliki harta dan mengeluarkan zakatnya.43

    Hubungan antara definisi zakat secara bahasa dan istilah sangat

    erat, yaitu pokok harta itu akan tumbuh dengan bertambah barokah

    ketika dikeluarkan dan juga orang yang mengeluarkan akan

    mendapatkan berkah dengan doa dari orang yang berhak menerima

    zakat tersebut. Harta lain yang tersisa juga akan bersih dari syubhat,

    ditambah dengan terlepasnya dari kewajiban-kewajiban yang berkaitan

    dengan harta tersebut.44

    2. Fungsi Zakat

    Zakat merupakan ibadah maliyah (harta), yang memiliki tiga fungsi

    sekaligus, yaitu fungi diniyah (keagamaan), khuluqiyyah (akhlak) dan

    ijtimaiyyah (sosial) yang memiliki posisi sangat penting, setrategis dan

    mentukan, baik dilihat dari ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan

    kesejahteraan umat.45 Fungsi zakat ini akan dirinci dalam uraian

    berikut:46

    a. Fungi diniyah

    Menegakan satu rukun dari rukun-rukun Islam yang

    menjadi sentral kebahagiaan hamba di dunia dan di

    akhirat.

    42- Al-Mujam Al-Wasith, Mesir : Dar Al-Maarif, 1972,Vo.1,hlm.396 43- Ibid 44- Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Disertasi UIN Syarif Hidayatullah, 2001, hlm.17 45- Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Disertasi UIN Syarif Hidayatullah, 2001, hlm.1 46- Muhamad bin Soleh al-Utsaimin, Zakat dan Faedah-Faedahnya, Puataka Islamhouse,2010, hlm.8

  • 47 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    Zakat dapat mendekatknan hamba kepada Tuhannya

    dan menambah keimananya, seperti ketaatan-ketaatan

    yang lain.

    Zakat adalah pintu surga bagi orang yang

    menunaikannya. Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam

    bersabda,

    Sesungguhnya di surga terdapat kamar yang luarnya dapat

    terlihat dari dalamnya dan dalamnya dapat terlihat dari

    luarnya. Kemudian ada seorang badui berdiri lantas bertanya,

    Kepada siapa (kamar tersebut) wahai Rasulullah? Beliau

    bersabda, Bagi orang yang berkata baik, memberi makan (di

    antaranya lewat zakat, pen), rajin berpuasa, shalat karena Allah

    di malam hari di saat manusia sedang terlelap tidur.

    (HR.Tirmidzi)

    Pahala dan keberkahan yang besar yang diperoleh dari

    menunaikan zakat, Allah Subhaanahu wa Taalla

    berfirman:

    Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. (Al-

    Baqoroh: 276).

    Dan berfirman:

  • 48 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia

    bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah

    pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang

    kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka

    (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat

    gandakan (pahalanya). (QS: Ar-rum: 39)

    Nabi bersabda:

    - -

    Barang siapa bersedekah dengan dengan sepadan satu butir

    kurma, dari hasil kerja yang baik(halal), dan Allah tidak

    menerima kecuali yang baik, maka Allah Subhaanahu wa

    Taalla akan mengambilnya dengan tangan kananya, kemudian

    mengembangkanya untuk pemiliknya sebagaimana salah seorang

    dari kalian mengembangkan hingga menjadi seperti gunung.

    (HR: Bukhori dan Muslim)

    Allah Subhaanahu wa Taalla menghapus dosa-dosa dengan zakat,

    sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam:

    Dan sedekah itu dapat memadamkan dosa sebagaimana air

    memadamkan api. (HR.Tirmidzi)

    b. Fungsi Akhlakiyah

  • 49 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    Memasukan muzakki ke dalam barisan orang-orang dermawan

    yang pemurah.

    Zakat mengharuskan muzakki memiliki sifat penyayang kepada

    saudara-saudaranya yang tidak punya, dan para penyayang itu

    disayang Allah.

    Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga dia mencintai

    saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri. (HR.Bukhari)

    Terbukti bahwa ketika jiwa memberikan kontribusinya secara

    finansial bagi kepentingan kaum muslimin, akan menjadikan

    dada terasa lapang dan jiwa terasa lega, dan mengharuskan

    seseorang menjadi dicintai karena telah memberikan manfaat

    bagi saudaranya.

    Bahwa zakat itu dapat mensucikan akhlak pelakunya dari sifat

    kikir dan pelit, sebagaimana Firman-Nya:

    Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu

    membersihkan dan mensucikan mereka. (QS: At-Taubah: 103)

    c. Fungsi Ijtimaiyyah

    Zakat mengokohkan ikatan-ikatan cinta antara kaya dan miskin,

    karena jiwa sesungguhnya diciptakan dengan kecenderungan

    mencintai orang yang berbuat baik kepadanya.

    Agar harta itu jangan hanya beredar di tangan orang-orang yang kaya

    saja diantara kalian.. (QS. Al-Hasyr:7)

    Zakat dapat menutupi kebutuhan fakir miskin yang

    mayoritas di kebanyakan negeri.

  • 50 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    Zakat dapat memperkokoh kaum muslimin dan

    meninggikan derajat mereka, karena itu salah satu dari

    sasaran zakat adalah jihad fi sabilillah, seperti yang akan

    kamisebutkan insya Allah.

    Zakat dapat menghapus rasa iri dengki dan cemburu dari

    dalam dada kaum fakir miskin, orang miskin jika melihat

    orang-orang kaya menikmati hartanya tanpa ia dapat

    mengambil manfaat sedikit pun darinya, terkadang

    tumbuh dalam dirinya rasa cemburu dan permusuhan

    terhadap orang-orang kaya akibat mereka tidak

    memberikan perhatian terhadap haknya, tidak pula

    memenuhi kebutuhanya, jika orang kaya memberikan

    sebagian hartanya kepada si miskin pada setiap putaran

    tahunya, maka semua perasaan ini akan lenyap dan

    tumbuhlah rasa cinta dan kebersamaan.

    Zakat dapat menumbuhkan harta dan memperbanyak

    berkah, sebagaimana dalam hadits, bahwa Nabi

    Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

    .

    Tidaklah zakat itu dapat mengurangi harta

    Di dalam pembayaran zakat terdapat perluasan daerah

    harta, karena suatu harta jika dicairkan sebagian darinya,

    maka akan meluas jangkauanya, dan banyak orang yang

    mengambil manfaat darinya, berbeda jika harta hanya

    berputar di antara orang-orang kaya saja sedang orang-

    orang miskin tidak mendapatkan sedikitpun darinya.

    3. Kewajiban Berzakat

    Zakat adalah satu kewajiban dari kewajiban-kewajiban Islam, ia

    adalah salah satu dari rukun-rukunya, dan termasuk rukun yang

    terpenting setelah syahadat dan sha

    lat, Kitab dan sunnah serta ijma' telah menunjukan kewajibanya.

    Dalil yang menyatakan wajibnya zakat di antaranya terdapat dalam

    ayat,

  • 51 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang-orang

    yang ruku. (QS. Al-Baqarah: 43)

    Perintah zakat ini berulang di dalam Al-Quran dalam berbagai ayat

    sampai berulang hingga 32 kali.

    Begitu juga dalam sabda Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam ketika

    memerintahkan pada Muadz yang ingin berdakwah ke Yaman,

    Jika mereka telah mentaati engkau (untuk mentauhidkan Allah dan

    menunaikan shalat ), maka ajarilah mereka sedekah (zakat) yang diwajibkan atas

    mereka di mana zakat tersebut diambil dari orang-orang kaya di antara mereka

    dan kemudian disebar kembali oleh orang miskin di antara mereka. (HR.

    Bukhari)

    Dari nash-nash di atas telah jeas bahwa hukum zakat adalah wajib.

    Maka barang siapa mengingkari kewajibanya maka ia adalah kafir dan

    murtad dari Islam harus diminta agar bertaubat, jika tidak bertaubat

    dibunuh, dan barang siapa kikir dengan enggan mengeluarkan zakat atau

    mengurangi sesuatu derinya maka ia termasuk orang-orang dzolim yang

    berhak atas sangsi dari Allah Subhaanahu wa Taalla, Allah Subhaanahu wa

    Taalla berfirman:

    Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah

    berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik

  • 52 | Studi Islam II Fikih Ibadah

    bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang

    mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan

    kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah

    mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS: Ali-Imron: 180)

    4. Hukum Orang yang Enggan Menunaikan Zakat

    Orang yang enggan menunaikan zakat ada dua keadaan, yaitu karena

    inkar, dan bakhil.

    Pertama: Orang yang mengingkari kewajiban zakat. Sebagaimana

    yang sudah maklum bahwa bahwa zakat adalah bagian dari

    rukun Islam. Para ulama bersepakat (berijma) bahwa siapa yang

    menentang dan mengingkari rukun tarsebut, termasuk di

    dalamnya kewajiban zakat, maka ia telah kafir dan murtad dari

    Islam. Karena ini adalah perkara malum minad diini bid

    doruroh, yaitu sudah diketahui akan wajibnya. Imam Nawawi

    Rahimahullah berkata, Barangsiapa mengingkari kewajiban zakat

    di zaman ini, ia kafir berdasarkan kesepakatan para ulama.47

    Pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnu Haja