Status Terbaru Torus Palatinus Dan Torus Mandibularis
-
Upload
yeyen-sutasmi -
Category
Documents
-
view
355 -
download
10
Embed Size (px)
description
Transcript of Status Terbaru Torus Palatinus Dan Torus Mandibularis

STATUS TERBARU TORUS PALATINUS DAN TORUS MANDIBULARIS
Abstrak
Sangat sulit untuk mencari referensi dalam literature ilmiah yang dapat
menjelaskan patologi ini, karena dianggap telah diteliti secara luas dan tidak terlalu
penting. Namun, terdapat pendapat yang bertentangan mengenai patologi ini. Meskipun
patologinya masih belum jelas, diketahui bahwa terdapat komponen hereditas, dan
meskipun tidak dijelaskan dalam seluruh kasus, dan diyakini bahwa torus disebabkan
oleh sejumlah faktor. Sebaliknya, terdapat kesepatakan mengenai etiopatologi torus.
Sebagai contoh, tori cenderung tampak selama usia pertengahan; torus palatines lebih
sering tampak pada wanita, sedangkan perbedaan ini tidak tampak pada torus
mandibularis. Tampak juga bahwa kelompok etnis tertentu lebih terkena torus. Torus
umumnya dihilangkan untuk alasan prostodontik, dapat juga digunakan sebagai bahan
biologis, tidak hanya di periodotologi tapi juga dalam implantologi.
Sebab itu, tujuan dari penelitian ini untuk menganaliosa seluruh faktor yang
disebutkan diatas melalui tinjauan pustaka dari literature dalam dua puluh tahun terakhir.
Kata kunci: torus palatines, torus mandibularis.
Pendahuluan
Torus (dalam bahasa Latin berarti “berdiri” atau gumpalan”) merupakan
eksostosis yang terbentuk oleh tulang kortikal padat dan sejumlah kecil sumsum tulang,
dan dilapisi oleh mukosa tipis dengan vaskularisasi buruk. Torus biasanya terletak pada
rigde longitudinal palatinus, pada persatuan apofisis palatines maksilaris atau pada sisi
internal cabang horizontal rahang, diatas garis mylohyoid dan sejajar daerah premolar

dan daerah kaninus, memiliki pertumbuhan progresif dan sangat lambat yang dapat
berhenti secara spontan.
Castro Reino dkk mendefinisikan torus sebagai protuberansi kongenital dengan
sifat jinak, menyebabkan aktivitas osteoblastoma dan deposit tulang berlebih sepanjang
garis fusi palatum atau pada bodily hemimandibular.
Eksostosis ini biasanya ditemukan secara spontan pada pemeriksaan klinis rutin,
karena torus ini umumnya tidak disertai gejala, kecuali pada kasus pertumbuhan
signifikan atau pada pasien edentulous, dimana torus dapat menghalangi pembuatan
prostesa. Meskipun sejumlah penelitian telah dilakukan namun etiologi torus masih
belum jelas; berbagai penyebab telah ditampilkan dalam literature, tapi tidak ada yang
besifat definitive. Dikatakan bahwa terdapat prevalensi tertentu pada kelompok etnis
tertentu, jenis kelamin dan usia. Pengeluaran torus pada pasien bergigi tidak dapat
dibenarkan, kecuali dapat digunakan secara klinis atau sebagai bahan pengisi biologis
untuk koreksi defek tulang pada rahang pasien.
Prevalensi torus, berdasarkan penelitian oleh Al-Bayaty dkk., adalah 12.3%, nilai
ini hampir sama dengan Bruce dkk., dengan 14.6%, sedangkan Jainkittivong dkk
menunjukkan prevalensi sebesar 26.9%.
Karena sangat sedikit literature ilmiah yang membahas mengenai torus, maka
tampak bahwa torus sangat lazim dan tidak menunjukkan patologis, kami bertujuan untuk
melakukan tinjauan pustaka pada literature dalam 20 tahun terkahir, unuk menganalisa
etiologi dan faktor epidemiologis, serta perawatan komplikasi dan aplikasi dalam bidang
regenerasi tulang.
Etiologi

Penyebab pasti terjadinya torus tidak jelas. Teori yang saat ini diterima adalah
faktor genetik, tapi tidak semua kasus dapat menunjukkan sifat autosomal dominan.
Dalam tiga kasus yang diteliti oleh Curran dkk., dimana anak perempuan, ibu, dan nenek
memeiliki osteosclerosis autosomal dominan, dimana ketiganya memiliki torus
mandibula (TM) dan torus palatinus (TP). Dalam penelitian oleh Eggen, diperkirakan
bahwa TM yang disebabkan oleh genetik sebesar 29.5% kasus; dimana kasus yang lain,
sekitar 70% disebabkan oleh faktor lingkungan, umumnya berhubungan dengan stress
oklusal.
Penyebab lain adalah cedera superficial atau disebabkan oleh respon fungsional
pada individu dengan otot penguyahan yang berkembang dengan baik, atau pada pasien
dengan gigi abrasi karena oklusi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Reinchart dkk.,
beliau menemukan korelasi signifikan antara insidensi torus dan adanya gigi abrasi pada
populasi Thailand, tapi tidak pada populasi Jerman. Dalam penelitian yang dilakukan
oleh sirirungrojying dkk., Clifford dkk., dan Kerdpon dkk., beliau menemukan hubungan
yang kuat antara TM dan kebiasaan parafungsional, sedangkan tidak pada TP. Sebab itu,
Sirirungrojying dkk., menyimpulkan bahwa TM dapat digunakan untuk indikasi resiko
adanya kelainan temporomandibular.
Peneliti lain menyebutkan adanya penyebab lain, yaitu kebiasaan makan,
devisiensi vitamin atau suplemen kaya calcium, dan juga diet. Dalam penelitian oleh
Eggen dkk., dan Al-Bayaty dkk., beliau menghubungkan konsumsi ikan dengan adanya
torus, karena ikan mengandung asam lemak tidak jenuh Ω3 dan vitamin D,yang
mendukung pertumbuhan tulang.

Sasaki dkk., mencoba untuk menarik hubungan antara torus dan penggunaan
phenytoin yang lama, tapi tidak mampu menyimpulkan bahwa penggunaan phenytoin
menyebabkan terjadinya torus. Namun, beliau menentukan bahwa faktor yang
menyebabkan peningkatan ukuran torus, karena memicu peningkatan calcium
homeostasis, yang berperan sebagai agen osteogenik.
Yang terakhir, dan mungkin mempertahankan hubungan dengan cedera yang telah
disebutkan sebelumnya, Sonnier dkk. menghubungkan adanya gigi pada mandibula
dengan torus. Untuk mendukung pernyataan ini, dalam penelitian yang dilakukan oleh
Eggen dkk., beliau menemukan hubungan antara adanya torus dan jumlah gigi yang ada
di mulut. Selain itu, diantara remaja dengan torus mandibula, rasio kaninus yang tidak
erupsi lebih kecil dibandingkan pada subjek yang tidak memiliki torus. Lebih lanjut,
dalam penelitian lain, Eggen menemukan hubungan antara adanya torus mandibula dan
tinggi tulang normal di sekeliling gigi.
Frekuensi
Seperti yang disebutkan sebelumnya, prevalensi torus sangat penting, yang sesuai
dengan penelitian oleh Al-Bayaty dkk, yaitu sebesar 12.3% dan mendekati nilai yang
diteliti oleh Bruce yaitu 14.6%.
Dalam sebagian besar penelitian yang ditinjau, TP lebih sering terjadi
dibandingkan TM; namun, terdapat beberapa uraian seperti oleh Sonnier dkk.,
Sirirungrojving dkk., dan Bruce dkk., yang menunjukkan prevalensi TM yang lebih
tinggi dibandingkan TP.
Tabel 1. Frekuensi dan prevalensi torus berdasarkan usia, jenis kelamin, dan kelompok
etnis.


Hanya satu penelitian yang kami temukan menghubungkan adanya kedua
eksostosis yang dilakukan oleh Al-Bayati dkk., Bruce dkk., dan Haugen yang melaporkan
pada 2% hingga 3% kasus, sedangkan Jainkittivong dkk melaporkan terjadi pada 28.12%
kasus. Haugen menemukan bahwa probabilitas TM pada subjek dengan TP dua kali lipat
dibandingkan pada subjek tanpa TP, dan begitu juga sebaliknya. Dalam penelitian yang
dilakukan di Trinidad dan Tobago, Al-Bayaty dkk juga yakin bahwa terdapat hubungan
yang kuat antara TP dan TM (50% subjek dengan TM juga memiliki TP, namun hanya
30% subjek dengan TP yang memiliki TM) (Tabel 1).
Usia
Tidak mudah untuk membandingkan kisaran usia yang ditampilkan dalam
penelitian yang kami analisa, karena dalam banyak kasus, tidak memiliki standarisasi
dan tiap penulis memberikan referensi berbeda, Berdasarkan penelitian oleh Bruce dkk.,
usia rerata waktu onset torus adalah 34 tahun. Berdasarkan Al-Bayaty dkk., usia rerata
adalah 30.7 tahun untuk pasien TP dan 39.2 tahun untuk pasien TM.
Onset torus tampak lebih cepat pada subjek dengan TP, dimana onset telah terjadi
sejak lahir dan dekade pertama. Pada penelitian oleh Reichart dkk, (pada wanita) dan Al-
Bayaty dkk., kisaran usia terbanyak yang menunjukkan onset TP adalah dari 11 hingga
20 tahun. Meskipun sebagian besar penelitian menunjukkan kisaran usia terbanyak onset
torus antara 30 dan 50 tahun, dekade ketiga dan keempat, dalam penelitian yang
dilakukan oleh Haugen dkk., kisaran usia yang paling sering menunjukkan onset torus
adalah 65 tahun. Berdasarkan Edmund dkk., TP tampaknya terjadi selama pubertas dan
tumbuh perlahan hingga subjek dewasa, dengan kemungkinan terus bertumbuh hingga
dekade ketujuh.

TM sangat jarang tampak pada dekade pertama. Terpisah dari hal tersebut, tidak
terdapat banyak variasi mengenai usia onset TP; kecuali pada penelitian oleh Al-Bayaty
dkk, Bruce dkk., dan Haugen yang menunjukkan kisaran usia hingga dekade keenam.
Berdasarkan Sonnier dkk., prevalensi TM berbanding terbalik dengan usia (Tabel 1).
Jenis Kelamin
TP lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pada pria, dan diyakini bahwa
terdapat jenis dominan pada kromosom X. Pada seluruh penelitian yang diperiksa, TP
lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pada pria, meskipun tidak seluruh
penelitian menunjukkan perbedaan signifikan antara jenis kelamin. Untuk TM, beberapa
penulis tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara pria dan wanita, meskipun
dalam seluruh penelitian, TM lebih sering tampak pada pria.
Penelitian yang dilakukan oleh Nair dkk., mengacu pada torus secara umum,
tanpa membedakan antara TP dan TM, dan tidak menemukan perbedaan signifikan antara
keduanya.
Hanya dua penelitian yang memberikan perbedaan TP dan TM pada pria dan
wanita, dan hasil keduanya serupa, meskipun perbedaan yang tampak tidak signifikan
(Tabel 1).
Kelompok Etnis
Torus lebih sering terjadi pada kelompok etnis dan negara tertentu (Eskimo,
Jepang, dan di Amerika Serikat). Sebagai contoh, tampak predisposisi besar terjadi TM
pada Mongolia.
Kami telah memeriksa beberapa artikel dengan penelitian di region berbeda di
dunia. Dalam penelitian oleh Sonnier dkk, dimana beliau membandingkan insidensi torus

diantara populasi Amerika Utara dan Amerika Afrika (33.8%) yang memiliki insidensi
TM tertinggi, sedangkan Kaukasia (22.8%) paling banyak menderita TP. Dalam analisa
insidensi diantara subjek Norwegia, kami menemukan dua penelitian yang memberikan
hasil yang berbeda. Dalam penelitian pertama, persentase TP adalah 9.22%, sedangkan
penelitian keuda, TP terjadi pada 36.1% dan TM tampak pada 7.23% dan 18.8%.
Perbedaan juga tampak pada penelitian lain di Thailand. Dalam penelitian pertama,
persentase TP adalah 23.1% dan penelitian kedua adalah 59%, sedangkan insidensi TM
adalaj 9.2% dan 33%.
Ukuran
Torus berkembang secara perlahan, dan pertumbuhan terbesar dalam dekade
kedua dan ketiga. Untuk bagian ini, diantara penelitian yang diteliti, tidak terdapat
persamaan pendapat mengenai bagaimana mengklasifikasikan pertumbuhan; tiap
penelitian melakukan klasifikasi yang berbeda-beda.
Haugen dan Eggen dkk., mengklasifikasikan pertumbuhan dalam istilah kecil,
sedang, dan besar, kurang dari 2mm, 2 hingga 4 mm, dan lebih dari 4 mm. Sehingga,
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Haugen, mayoritas TP berukuran kecil,
dengan 69.85% TP ditemukan pada 6.44% individu. Pertumbuhan yang lambat juga
tampak pada TM, dan ditemukan dalam 60.11% TM, atau 4.40% individu. Sering kali,
karena eksostosis ini sangat kecil, torus tidak terdeteksi karena terlapisi oleh mukosa.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Eggen, sangat banyak ditemukan TM yang
berukuran kecil, baik dalam kelompok penelitian, 59.5% (72), serta dalam kelompok
kontrol, 66.7% (68); sedangkan untuk TP, paling banyak ditemukan TP berukuran kecil,
91%(659).

Klasifikasi lain dilakukan oleh Reichart dkk., yang mengklasifikasikan torus
bedasarkan klas 1, berukuran kecil hingga 3 mm; klas 2, berukuran sedang hingga 6 mm,
dan klas 3; diatas 6 mm. Ukuran TP yang paling sering tampak pada subjek Jerman dan
Thailand adalah berukuran kecil pada 84.9% dan 94.9% kasus. Yang menarik, pria
Jerman diamati hanya memiliki TP berukuran kecil. Untuk TM, ukuran yang paling
sering ditemui adalah kecil, dengan 88.4% untuk subjek Jerman dan 82.8% untuk subjek
Thailand.
Penelitian yang dilakukan oleh Sonnier dkk dan Al-Bayaty dkk melakukan
perhitungan rerata besar torus. Ukuran rerata adalah 20.33 mm x 9.45 mm dan 21 x18
mm; dan untuk TM 10.9 x 6.49 mm dan 10 x 9 mm. Penelitian yang dilakukan oleh
Sirirungrojving dkk., mencoba untuk menghubungkan ukuran torus dengan insidensi
parafungsi, tapi tidak mampu menemukan sebuah hubungan.
Bentuk
Terdapat sejumlah variasi dalam bentuk torus; TP dapat berbentuk datar, nodular,
lobular atau berbentuk spindle, dan TM biasanya berbentuk nodular, unilateral atau
bilateral dan tunggal atau multipel.
Dalam bentuk TP, tidak tampak adanya overlap. Dalam penelitian yang dilakukan
oleh Haugen, bentuk TP yang paling sering dijumpai adalah kecil dan nodular; dalam
sebagian besar kasus, TP berbentuk nodular, sedangkan bentuk lobular sangat jarang
ditemui. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riechart dkk., bentuk yang paling sering
dijumpai pada populasi Saxon adalah bentuk spindle (39.8%) sedangkan bentuk nodular
berada urutan kedua (37.6%). Dalam penelitian oleh Al-Bayaty dkk, pada mayoritas
kasus (48%), paling banyak berbentuk datar.

Gbr. 1. Torus palatinus
Gbr. 2. Torus mandibula
Gbr. 3 Torus como fuente de hueso para
injertos.
Sedangkan untuk TM, mayoritas penelitian menunjukkan bentuk yang paling
sering adalah bilateral. Dalam penelitian oleh Al-Bayaty dkk., bentuk TM yang paling
sering dijumpai adalah nodular 61% (63), dan bilateral pada 87% (33) kasus TM. Bentuk
juga ini sering dijumpai pada populasi Jerman dan Thailand (52.2% dan 87.35%), dalam
penelitian oleh Reichart dkk, serta dalam penelitian yang dilakukan oleh Sonnier dkk
(73.9%) (Gbr. 2).
Diagnosis
Pada sebagian besar kasus, torus ditemukan secara tidak sengaja dan tampak pada
pemeriksaan klinis di klinik gigi. Hal ini karena torus bersifat asimpotmatik, dan pasien
tidak merasakannya. Terkadang pasien mengalami gangguan phonorary, keterbatasan

mekanisme pengunyahan, ulserasi mukosa, deposit makanan, ketidakstabilan prostetik,
dan beberapa pasien dapat mengalami cancerophobia, dan berkonsultasi kepada dokter
untuk mencari pengobatan.
Torus terdiagnosa melalui pemeriksaan klinis:
Torus palatines dapat berbentuk unilobular, polylobular, datar dan spindle,
terletak pada garis median palatum durum.
Torus mandibula biasanyat berbentuk simetris dan bilateral, tapi juga dapat
berbentuk unilateral, terletak pada sisi lingual mandibula, di atas garis mylohyoid dan
sejajar premolar.
Sinar-X menunjukkan gambar densitas dengan densitas yang sedikit lebih besar
dibandingkan tulang di sekelilingnya. Sinar-X (periapikal, oklusal, dan panoramic) tidak
terlalu berguna, namun dapat memudahkan diagnose pada pemeriksaan klinis.
Pemeriksaan histopatologis menunjukkan bahwa torus menyerupai struktur
kompak tulang normal, memiliki struktur spongy dengan ruang sumsum.
Perawatan
Pembuangan torus tidak selalu perlu dilakukan. Penyebab ekstirpasi dilakukan
adalah untuk perawatan prostetik atau berpotensi menjadi sumber tulang kortikal
autogenous untuk graft dalam bedah periodontal, bedah kista, atau bedah implant (Gbr.
3), namun stabilitas jangka panjang untuk graft tidak menentu (Tabel 2).
Barker dkk., menggunakan tulang yang diperoleh dari TM pasien untuk
meningkatkan ketebalan rahang atas dan memungkinkan untuk pemasangan implant,
untuk menggantikan gigi insisivus lateral dan kaninus dari pasien tersebut. Beliau
menentukan bahwa TM menjadi sumber tulang local untuk peningkatan ketebalan tulang.

Proussaefs membahas tiga kasus klinis dimana beliau melakukan pemeriksaan klinis dan
histologist dalam penggunaan torus mandibula sebagai graft untuk pemasangan implant,
dimana beliau mendapatkan peningkatan ketebalan tulang sebesar 4.33 mm dan tingkat
absorbs serupa dengan graft yang diperoleh dari tulang dari daerah donor lain di rongga
mulut.
Penulis lain tidak menyarankan pembuangan torus kecuali pada kasus yang sangat
ekstrim, dan beliau menyarankan pembuangan protesa dalam daerah ini atau penggunaan
akrilik lunak pada tepi protesa. Kami sekarang dapat menghindari pembuangan torus dan
menawarkan pasien alternative rehabilitasi rahang lain dengan menggunakan protesa
implant.
Tabel 2. Penyebab eksostosis dan komplikasi torus

Tehnik pembedahan dan komplikasi
Instrument yang digunakan hampir sama dengan instrument yang digunakan
dalam bedah mulut (dengan chisel atau bur), dengan anastesi local atau umum,
bergantung pada kasus, namun anastesi local terkadang sudah cukup.
Untuk pembuangan TP, nervus nasopalatinus harus dianastesi karena nervus ini
keluar melalui foramen palatines anterior, dan nervus palatines anterior harus dianastesi
melalui foramen palatinus posterior. Selain itu, anastesi akan diberikan melalui infiltrasi
perilesional untuk memudahkan pelepasan fibromukosa palatinus.
Untuk menghilangkan TM, Castri Reino dkk., menyarankan pemberian anastesi
dengan infiltrasi lesi; namun, dalam pelayanan kami, kami menyarankan untuk
melakukan anastesi blok nervus pada nervus alveolar inferior, dan juga nervus lingual
dan mentale.
Penggunaan anastesi umum tidak diindikasikan untuk jenis pembedahan ini,
karena menimbulkan resiko bagi pasien, dan berdasarkan fakta, penggunaan sistemik
tidak dibenarkan.
Insisi berbeda dapat dilakukan untuk pembuangan TP. Jenis insisi yang paling
sering digunakan adalah insisi Y-ganda, karena insisi ini mencegah cedera blok
nasopalatinus dan palatinus anterior. Insisi yang dilakukan berupa total-thickness.
Untuk perawatan TM, insisi akan dilakukan pada rigde mandibula, dengan insisi
dilakukan di atas torus, yang memberikan pembukaan bidang operasi yang baik, atau
scalloped mengikuti leher gigi (jika gigi ada) sepanjang lidah, membelah ligamentum
gingival.

Periostotome akan digunakan untuk melepaskan perlekatan, dan kami akan
memidahkan fibromukosa hingga lesi terbuka.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, mukosa yang menutupi torus sangat tipis,
sehingga mudah robek jika prosedur tidak dilakukan secara teliti.
Flap diikatkan dengan melakukan suturing pada gigi, atau dengan memisahkan
flap dengan menggunakan Farabeuf untuk menghindari kerusakan flap pada saat prosedur
operasi.
Pada TM, tampon dapat diletakkan antara flap lingual dan ruang bedah yang
mencapai torus. Dengan ini akan mencegah tulang yang kering menjadi bagian yang
terdalam pada struktur mulut.
Awalnya, eksisi akan dilakukan menggunakan fissure bure, yang kami gunakan
untuk membelah torus; kemudian kami akan menggunakan chisel untuk memotong tiap
bagian, atau, bur besar atau file dapat digunakan untuk membentuk ulang tulang, atau
memotong torus. Jika torus tidak terlalu besar, maka tidak perlu dibelah; torus dapat
dikeluarkan secara langsung dengan bur. Castro Reino dkk menganjurkan penggunaan
turbine high speed yang didinginkan dengan larutan saline normal, dengan pertimbangan
bahwa penggunaan chisel dan hammer akan beresiko menyebabkan cedera iatrogenic;
dan juga untuk menghindari pergerakan pasien pada saat menggunakan chisel; namun,
perlu kami pertimbangkan bahwa hal ini dapat beresiko menyebabkan emphysema.
Dengan mengeluarkan torus dan reposisi flap, akan menghasilkan kelebihan
jaringan lunak, yang dapat dipotong dengan menggunakan gunting. Penjahitan dapat
dilakukan dengan jahitan sedehana, suture mattress, dll., pastikan jahitan tidak terlalu
kencang.

Semen bedah dapat digunakan untuk melindungi luka dari tekanan traumtik dan
mekanis selama proses penyembuhan, serta untuk mendapatkan aksi bakteriostatik atau
bactericidal jika semen yang digunakan mengandung agen dengan sifat ini, dan untuk
mencegah akumulasi makanan.
Pada TP, splint bedah sebaiknya dipasangkan di atas semen bedah selama 48 jam,
dan dilepaskan pada saat pemeriksaan luka. Gigitiruan pasien yang telah direlining dan
disesuaikan dapat digunakan kembali
Meskipun tidak sering terjadi, komplikasi yang dapat terjadi disebabkan oleh
karena gerakan iatrogenic oleh dokter (Tabel 2).
Perawatab Post-operatif
Pasien sebaiknya diberitahukan bahwa tanda dan gejala dapat terjadi selama
periode postoperative yang berhubungan dengan prosedur bedah ini, seperti edema,
hematoma, nyeri ringan, dll. Medikasi postoperative meliputi antibiotik, analgesik, dan
anti-inflamasi, serta menekankan pentingnya bagi pasien untuk melakukan prosedur oral
hygiene sehingga luka dapat sembuh dengan baik.